pers 1

 



Pers Indonesia yang

sedang tumbuh ibarat jamur di musim hujan. Sejak zaman perjuangan,

kemerdekaan, Oder Lama hingga Orde Baru yang terkenal dengan jargon

pembangunan, kemerdekaan pers memang baru benar-benar dirasakan

pasca jatuhnya rezim Soeharto. Pengesahan UU No. 40/1999 tentang Pers

menegaskan keberadaan kemerdekaan pers kita. UU Pers tidak lagi

mengenal Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Siapa saja bisa

menerbitkan pers asal punya modal dan badan hukum. sebab  itu, dari

tahun 2000 hingga sekarang, pertumbuhan pers menemukan momen

terbaik. Jika pada masa Orde Baru di satu ibukota provinsi hanya dikenal dua

atau tiga koran—kecuali DKI Jakarta—sekarang bisa jadi ada lima sampai

sepuluh penerbitan. Itu belum termasuk koran di tingkat kabupaten atau

kota. Grup Jawa Pos terkenal paling gencar menerbitkan koran baru di

daerah dengan panji-panji radar-nya.

Permasalahannya, pertumbuhan jumlah pers ini belum diimbangi

dengan kualitas. Sering muncul pengaduan ke Dewan Pers, betapa pers

didirikan hanya sebab  motif politis dan ekonomis, tidak mempedulikan

kepentingan idealis. Padahal, seharusnya kepentingan idealis menjadi ruh

atau spirit bagi berjalannya bisnis pers. Sekarang di mana-mana muncul

keluhan terhadap pers atau wartawan, sebab  wartawan dianggap tidak

menghargai profesinya sendiri yang punya misi mulia. Selalu mudah

ditemukan pengakuan seseorang menjadi wartawan hanya sebab  sudah

melamar pekerjaan lain namun  tidak diterima. Menjadi wartawan dianggap

cukup bermodal kartu pers, apalagi kartu pers gampang dibuat atau diperoleh.   

Terkait persoalan-persoalan ini , tema “pers berkualitas untuk dan

dari warga  cerdas” akan terus aktual dan penting bagi kita. Itu sebabnya

buku ini kami beri judul ringkas “-”.

Judul ini  memancing sejumlah pertanyaan awal: apakah  pers yang

berkualitas itu? Seperti apakah wujud warga  cerdas? Benarkah pers

berkualitas mampu mewujudkan warga  yang cerdas? Antara pers

berkualitas dan warga  yang cerdas, mana yang harus didahulukan?

Dalam literatur pendidikan tentang media atau literasi media, “pers

berkualitas” dan “warga  cerdas” selalu menjadi kata-kata kunci. Jika

menginginkan pers tumbuh profesional, ajarilah  warga  untuk cerdas

dalam memahami, memilih dan memilah pers. warga  sebaiknya

hanya mengkonsumsi pers berkualitas. Melalui kiat seperti itu, dengan

sendirinya pers atau media yang tidak berkualitas akan mati, sebab  tidak

ada yang membaca apalagi membeli, mendengar atau menonton. Yang

kita butuhkan adalah pers yang berkualitas, pers yang dapat

menumbuhkembangkan daya akal sehat warga . Hanya dengan

begitu, kecerdasan warga  dalam segala bidang—politik, budaya,

ekonomi, dan sosial—akan terbentuk.

Pers berkualitas tidak sekedar bermakna pers yang mampu

menghadirkan konten-konten berita atau informasi yang berkualitas kepada

warga . Ia harus dapat bertahan dari persaingan bisnis yang sehat

dan siap menghadapi perkembangan pesat teknologi komunikasi. Pers

sejenis  itu hampir ada di setiap provinsi di Indonesia. Mereka sering

disebut pers mainstream atau pers arus utama. Keberadaannya mampu

memberi pengaruh signifikan untuk perkembangan politik, budaya,

ekonomi, dan sosial yang lebih baik di daerahnya.

Bagaimana dengan warga  yang cerdas? Di sini pers bukan faktor

atau penentu tunggal. warga  sejenis  ini tidak hadir dalam hitungan

tahun. Diperlukan proses berpuluh-puluh tahun untuk mencapainya. Tingkat

pendidikan formal rata-rata warga  lazimnya sejalan dengan tingkat

kecerdasan warga . Lalu, apakah warga  kita sudah sampai pada

tingkat warga  cerdas? Setiap orang bisa memiliki persepsi dan

jawaban berbeda.


Di luar perdebatan itu, pers tetap berperan sangat banyak dan strategis

dalam mendorong tumbuhnya warga  yang cerdas. Dalam

penyelenggaraan pemilihan umum, misalnya, pers digadang-gadang

sebagai unsur terpenting untuk dapat terwujudkan pemilu yang jujur, adil,

dan bermutu melalui penyajian informasi yang dapat memunculkan pemilih-

pemilih cerdas.

Empat penentu

Tugas menumbuhkan pers berkualitas dapat disematkan kepada

kalangan atau praktisi pers, lembaga independen yang terkait pers seperti

Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), organisasi pers, dan

warga . Mari kita bahas posisi dan kegiatan apa yang bisa dilakukan

oleh masing-masing pihak ini. Bagaimana dengan posisi pemerintah? Kita

menghendaki pemerintah sedikit mungkin terlibat atau dilibatkan dalam

permasalahan pers.

Praktisi Pers: Menghadirkan pers berkualitas hanya mungkin bila

didukung sumber daya wartawan berkualitas. Persoalannya, mendapatkan

wartawan berkualitas di Indonesia bukan perkara mudah. Sekolah jurnalistik

belum banyak, sedangkan kapasitas alumnus jurusan jurnalistik dari

perguruan tinggi seringkali tidak memenuhi keinginan perusahaan pers.

usaha  rekrutmen wartawan baru yang dilakukan perusahaan pers juga

tak selamanya mulus. Seorang pimpinan pers terkemuka di Jakarta

bercerita, perusahaannya rutin melakukan rekrutmen wartawan baru.

Hasilnya, setiap angkatan ada lima sampai sepuluh wartawan muda yang

berhasil direkrut. Namun, setelah mereka bekerja tidak sampai satu tahun,

hanya tersisa satu atau dua wartawan. Yang lainnya memilih bekerja di

tempat baru, yang bukan perusahaan pers, sebab  diiming-imingi

kemudahan dan gaji lebih tinggi. Tidak jarang, yang mengajak mereka

pindah adalah narasumber yang pernah mereka wawancara.

usaha  peningkatan sumber daya wartawan yang terampil dan

berpengetahuan luas pertama-tama memang menjadi tanggung jawab

praktisi pers sendiri. Mereka berada terdepan untuk hadirnya pers

berkualitas. Wajah pers setiap hari ditentukan oleh mereka dari ruang


redaksi pers yang idealnya harus independen. Pers yang menyadari hal

ini, telah memiliki sistem rekrutmen, jenjang karir, jenjang gaji, serta

pendidikan dan pelatihan yang baik. Dalam hal ini, kehadiran Standar

Kompetensi Wartawan yang disahkan oleh Dewan Pers sejak tahun 2010

dapat lebih membantu perusahaan pers meningkatkan profesionalisme

wartawannya.

Lembaga independen:  Keberadaan Dewan Pers dan KPI

diharapkan dapat turut mengatasi persoalan-persoalan pers tidak

profesional. Kedua lembaga ini diberi kewenangan menyusun aturan di

bidang pers dan mengawasi pelaksanaannya.

Pasal 15 Undang-Undang No.40/1999 tentang Pers menyebut,

pembentukan Dewan Pers sebagai usaha  mengembangkan kemerdekaan

pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. UU Pers memberi mandat

kepada Dewan Pers untuk menjalankan tujuh fungsi, antara lain terkait

dengan perlindungan kemerdekaan pers, pengkajian dan pengembangan

pers, pelaksanaan -, penyelesaian pengaduan kasus

pers, penyusunan peraturan di bidang pers, dan pendataan pers. Banyak

kegiatan Dewan Pers yang telah digelar sebagai pelaksanaan tujuh fungsi

ini .

Sejak dibentuk tahun 2000, penanganan pengaduan kasus pers

menjadi kegiatan utama Dewan Pers. Pada tahun 2012 Dewan Pers

menerima 470 pengaduan terkait berita pers dan perilaku wartawan.

Sebanyak 86 persen pers yang diadukan itu dinilai oleh Dewan Pers

melanggar -

KPI dibentuk berdasar Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang No. 32/2002

tentang Penyiaran untuk penyelenggaraan penyiaran. Selanjutnya, Pasal

7 dan 8 UU Penyiaran memberi  lima wewenang serta enam tugas dan

kewajiban kepada KPI.

KPI telah banyak mengawasi dan menindak stasiun televisi berdasar

Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS).

Laporan resmi KPI menyebutkan, dari Januari hingga 26 Desember 2012

lembaga independen ini menerima 43.470 pengaduan publik tentang isi

siaran. KPI juga melakukan monitoring isi siaran. Hasilnya, KPI

| XI

menjatuhkan 107 sanksi administratif, 30 surat peringatan, dan 22 imbauan

kepada stasiun televisi. Selain pengawasan dan penindakan, KPI juga

memiliki program “KPI Award” yang rutin digelar setiap tahun untuk

mendorong munculnya program televisi berkualitas.

Organisasi pers: Keberadaan organisasi pers memberi arti sangat

besar bagi wartawan dan perusahaan pers, terutama untuk mereka yang

menjadi anggotanya. Organisasi pers yang dimaksud di sini merujuk pada

organisasi profesi wartawan tempat berhimpun para wartawan dan

organisasi perusahaan pers sebagai organisasinya perusahaan pers.

Hingga awal 2013, Dewan Pers sudah menetapkan tiga organisasi

wartawan yang memenuhi Standar Organisasi Wartawan yaitu Persatuan

Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan

Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Sedangkan untuk organisasi perusahaan

pers, ada empat yang dinilai oleh Dewan Pers telah memenuhi Standar

Organisasi Perusahaan Pers yaitu Asosiasi Televisi Swasta Indonesia

(ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Serikat Perusahaan

Pers (SPS), dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia

(PRSSNI). Masih ada banyak organisasi pers selain tujuh organisasi

ini .

Organisasi wartawan umumnya bergerak pada bidang advokasi dan

peningkatan profesionalisme wartawan. Dua persoalan itu bersinggungan

langsung dengan kegiatan sehari-hari wartawan. Organisasi wartawan

yang konsisten pada tujuan luhur pendiriannya, akan memberi banyak

akses dan fasilitas kepada anggotanya untuk terus tumbuh profesional.

usaha  sejenis  itu tentu sudah banyak dilakukan oleh organisasi

wartawan yang ada sekarang.

Dari sisi lain, peran untuk menumbuhkan perusahaan pers yang “sehat

luar dalam” menjadi mandat organisasi perusahaan pers. Persoalan

terbesar tidak jauh dari pertanyaan, atau tepatnya tuntutan, bagaimana

pers mampu tumbuh sehat dari sisi bisnis sekaligus mampu menjalankan

fungsi dan tugas mulia untuk kebaikan warga  dan negara. Sejumlah

kritik pedas, sebab  banyak perusahaan pers dianggap meninggalkan fungsi

sebagai—mengutip UU Pers—“lembaga sosial” demi keuntungan bisnis

sebesar-besarnya, akan terus menjadi tantangan bagi organisasi


perusahaan pers. Tentu, mendorong tumbuhnya perusahaan pers yang

sehat bisnis dan profesional bukan hal mudah pada saat persaingan bisnis

pers semakin ketat sebab  tuntutan konvergensi dan efisiensi.

Dalam konteks pers berkualitas, Dewan Pers menempatkan

organisasi pers sebagai pihak yang harus didukung kegiatannya atau diajak

bersama-sama menumbuhkan pers berkualitas. Banyak kegiatan yang

telah dan akan digelar Dewan Pers bersama organisasi pers.

warga  dan  lembaga pemantau pers: Praktisi pers sangat

paham ungkapan: Pemilu Presiden hanya dilaksanakan lima tahun sekali,

sedangkan “pemilu pers” berlangsung setiap hari, bahkan setiap detik.

Ungkapan ini  hendak menggambarkan, pers mengikuti pemilu setiap

hari—bahkan setiap detik untuk media siber. Tujuannya, meraih sebanyak

mungkin pembaca, pendengar, dan atau penonton. Persaingan

berlangsung sangat ketat. Pers yang konsisten dan mampu menghadirkan

informasi bermutu dan sesuai kebutuhan warga  akan menjadi

pemenangnya.

Ungkapan itu juga hendak menegaskan warga  sebagai pihak

yang sangat menentukan kelangsungan perusahaan pers. Lekas mati atau

tetap hidupnya satu perusahaan pers berada di tangan warga . Jika

demikian ceritanya, sebenarnya dapat disebut “50 persen saham pers

berkualitas” ada di tangan warga —sisanya ditentukan oleh kemauan

praktisi pers sendiri untuk menjadi berkualitas. Artinya, sebagai pemilik

saham, warga  harus kritis terhadap pers. Pada era keterbukaan dan

kebebasan ini, suara warga  secara pribadi atau melalui lembaga

seperti pemantau pers, lebih ditakuti oleh pers dibanding “telepon” dari

penguasa. Sedikit ekstrim, warga  dianggap sebagai “tuhan pers”

yang menentukan hitam-putih atau hidup-mati pers.

Tayang Bincang di Radio

Buku yang menghimpun transkrip acara tayang bincang (talkshow)

di Kantor Berita Radio (KBR) 68H, Jakarta, ini menggambarkan proses

untuk tercapainya pers berkualitas dan warga  cerdas seperti dibahas

di atas. Setiap tayang bincang disiarkan selama satu jam, dipancarluaskan

oleh sekira 50 radio jaringan --, serta selalu menghadirkan

narasumber dari Dewan Pers dan tokoh pers.


Dalam peri kehidupan yang umum tidaklah senantiasa berlaku

ungkapan persilatan: “Tantangan dijauhi, apabila terjadi pantang dielakkan”.

Tidak ada kehidupan tanpa tantangan atau challenge yang merupakan

perlengkapan dinamika. Tanpa dinamika bukan saja tidak ada perubahan,

namun  sebagai tanda tidak ada lagi kehidupan. Hukum alamiah ini

merupakan sunatullah yang melekat pada segala aspek kehidupan dan

semua kelompok termasuk pers. Pers selalu dalam proses dinamika yang

senantiasa bersua dengan tantangan. Sebaliknya peluang dapat sirna

begitu saja sebab  momentum peluang dibiarkan berlalu (disadari atau

tidak disadari).

Dalam jarak yang belum lama (± 14 tahun), kita menyaksikan

dinamika atau perubahan yang luar biasa dalam peri kehidupan pers kita.

Dari pers yang serba terbelenggu menjadi pers yang serba bebas.

Kebebasan pers (freedom of the press) bukan lagi cita-cita atau angan-

angan namun  suatu realitas (kenyataan). Sebagai sebuah aktivitas, usaha

pers juga berkembang luar biasa. Pada saat ini sulit sekali mengetahui

dengan tepat jumlah penerbitan dan peredaran pers kita. Lebih-Iebih lagi

sebab  perkembangan media sosial, media perorangan (citizen journal-

ism) dan lain-lain. Pers dapat dijalankan setiap orang dari tempat dan

keadaan yang tidak terbatas. Ada yang puas ada yang belum puas. Ada

yang mengatakan kebebasan pers masih kurang. Ada yang mengatakan

sudah kebablasan.

Rasa belum atau tidak puas dapat berasal dari internal pers atau

dari luar pers. Ketidakpuasan internal mengatakan: kebebasan pers masih

Tantangan Pers Indonesia di Masa Depan

Bagir Manan


menghadapi ancaman baik dalam makna potensial atau kenyataan. Dalam

makna potensial seperti diciptakan atau dirancang peraturan-peraturan

hukum yang memuat pembatasan atas kebebasan atau kemerdekaan pers

(UU Rahasia Negara, UU Intelijen, UU Keterbukaan Informasi Publik, RUU

Keamanan Nasional, dan lain-lain). Dalam makna nyata, ancaman terhadap

kebebasan atau kemerdekaan pers dibuktikan dengan meningkatnya dari

tahun ke tahun kekerasan (fisik, perlengkapan dan lain-lain) terhadap

wartawan atau pers pada umumnya, bahkan sampai pada kematian akibat

kekerasan. Sejumlah pers atau para pejuang kebebasan atau

kemerdekaan pers senang sekali (bahkan dengan rasa kesedihan yang

mendalam), mengutip hasil-hasil statistik lembaga-Iembaga seperti NGO

luar negeri mengenai tingkat kebebasan pers Indonesia. Tidak jarang

statistik lembaga-Iembaga itu menjadi drama pemerhati kebebasan pers

sebagai sesuatu yang luar biasa memprihatinkan.

namun  ada yang sebaliknya. Dari berbagai sumber luar negeri yang

oleh sebagian disebarkan dengan rasa bangga, bahwa pers Indonesia paling

bebas di Asia. Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Ketidakpuasan internal lain dapat disebut ketidakpuasan normatif. Ada

yang mengatakan kebebasan pers Indonesia belum memadai sebab  UUD

1945 tidak memuat secara eksplisit jaminan kebebasan pers. Jaminan

kebebasan komunikasi, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan

pikiran yang telah diatur dalam UUD 1945 dipandang belum memadai.

Pers masih perlu meningkatkan perjuangan memasukkan klausula

kemerdekaan pers dalam UUD. Seolah-olah kalau sudah ada dalam UUD,

semua akan beres. Ada pula yang mendorong perubahan Undang-Undang

Pers (UU No. 40 Tahun 1999) dengan alasan masih banyak yang belum

diatur, termasuk belum sempurnanya aturan kebebasan pers.

Perlu disadari. Tidak selamanya kaidah normatif berjalan seiring atau

paralel dengan realitas. Suatu saat  ada negara yang memuat dalam

UUD secara lengkap jaminan hak asasi, termasuk kemerdekaan pers.

Dalam kenyataan, persnya dibelenggu. Sama sekali tidak ada kemerdekaan

pers. Sebaliknya ada negara yang tidak memuat secara eksplisit jaminan

kemerdekaan pers dalam UUD, bahkan ada negara yang tidak memiliki

UUD, namun  memiliki tradisi yang menjamin kebebasan pers dan rakyat

dengan sungguh-sungguh menikmati kemerdekaan pers. Dalam

kenyataan, yang menentukan kehadiran kemerdekaan pers adalah realitas

di luar aturan hukum, terutama realitas sosial dan politik. Dan yang tidak

kalah penting realitas tingkah laku pers itu sendiri.

Bagaimana dengan ketidakpuasan eksternal? Kita sudah acap kali

mendengar ucapan: “kebebasan pers sudah kebablasan”. Ucapan ini tidak

hanya dari kaum politik atau penguasa yang merasa gelisah diberitakan

pers. Acap kali juga ucapan ini dari kaum terpelajar tertentu atau kelompok

yang menjunjung tinggi adat istiadat tradisional seperti ungkapan: “tepo

seliro”. Juga kaum terpelajar yang senantiasa memakai  bahasa yang

menunjukkan: “bahasa itu menunjukan bangsa”. Ungkapan bermakna

penggunaan kata dan cara berbahasa menunjukkan kwalitas keberadaban.

Ngono yo ngono, tapi ojo ngono. Biasanya, kalangan pers atau kaum

kritis menyanggah ketidakpuasan eksternal (pers kebablasan) ini dengan

beberapa ungkapan:

Pertama; konsekuensi keterbukaan (openess).

Keterbukaan bukan hanya bertalian dengan obyek informasi. Tidak

kalah penting yaitu cara menyampaikan informasi. Semboyan yang acap

kali dikedepankan, pers harus memakai  bahasa yang lugas, mudah

dimengerti oleh sebanyak-banyaknya rakyat. Berbahasa yang lugas dan

mudah dimengerti rakyat banyak, akan lebih mampu memenuhi makna

komunikasi, lebih mudah menerima pesan-pesan yang disampaikan pers.

Kedua; konsekuensi kebebasan berpendapat dan mengeluarkan

pikiran.

Pers sebagai wadah kebebasan berpendapat dan mengeluarkan

pikiran, menyangkut pula kebebasan berbahasa saat  menyampaikan

pendapat dan pikiran. Tidak pula dapat dihindari, cara berbahasa

dipengaruhi oleh budaya berbahasa yang berbeda-beda, baik sebab  tingkat

pendidikan yang berbeda, pengalaman yang berbeda, atau lingkungan yang

berbeda.

Ketiga; konsekuensi fungsi kontrol.

Salah satu fungsi dasar pers yaitu kontrol. Fungsi kontrol tidak hanya

memberi peringatan atau menunjukkan jalan yang mungkin lebih baik,


melainkan menyampaikan kritik. Semua itu dimaksudkan untuk mencegah

kesalahan yang akan merugikan publik.

Keempat; masa transisi.

Masa transisi, acap kali diartikan atau menjadi dasar pembenaran

kekeliruan atau kelalaian, atau penyimpangan. Transisi memandang

kesalahan, kelalaian sebagai ekses yang dapat dimengerti, ditoleransi,

bahkan dimaafkan. Transisi membenarkan ketidaknormalan, Sesuatu cara

berpikir yang mengandung potensi kesewenang-wenangan dan membentuk

tingkah laku tidak normal. sebab  itu, tidak layak berpanjang-panjang

dengan masa transisi.

Kelima; demokrasi masih dalam pertumbuhan dan belum matang.

Pemulihan kembali demokrasi, tidak serta merta membentuk tingkah

laku demokrasi yang dewasa, matang, bertanggung jawab dan disiplin.

Kita berdemokrasi, bak jolong baru berkeris. Baru satu aspek yang

menonjol dalam berdemokrasi yaitu kebebasan. Seolah-olah demokrasi

identik dengan kebebasan semata. Kedewasaan dan kematangan

demokrasi membutuhkan pendidikan, pelatihan, dan pengalaman

demokrasi. Masa 14 tahun masih dipandang terlalu singkat untuk meraih

syarat-syarat demokrasi sebagai satu peradaban. Pertanyaannya: “Apakah

pers kita sedang mendidik dan melatih diri menuju demokrasi yang dewasa,

matang, dan bertanggung jawab atau sekedar menikmati freedom of press

just for the sake freedom of press? Mesti direnungkan. Terlalu berlama-

lama menikmati kebebasan yang berlebihan akan menjadi candu menuju

anarki. Reaksi terhadap anarki adalah tirani, pers akan dibelenggu kembali.

2. Bentuk-bentuk tantangan internal pers

Kalau kita sepaham, segala yang dinikmati pers selama 14 tahun

terakhir dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sudah saatnya

dilakukan evaluasi menyeluruh dan mendasar: Pertama; sudah waktunya

pers, baik untuk diri maupun lingkungan, bersikap bahwa masa transisi

tidak perlu diperpanjang lagi. Berpanjang-panjang dengan masa transisi—

seperti dicatat di atas—dapat membentuk tingkah laku yang membenarkan

segala ketidaknormalan dan mencari-cari  pembenaran atas

ketidaksanggupan kita membangun

tatanan pers, politik, sosial dan lain-

lain menuju peradaban yang sejahtera,

damai, harmonis, saling menghormati

(saling menghargai) dalam persamaan

dan perbedaan, terbuka, bertanggung

jawab, dan berdisiplin. Kedua; sudah

waktunya kita merumuskan secara

lebih terarah masa depan pers

menghadapi berbagai keadaan dan

perubahan yang mesti akan terjadi.

Telah berkali-kali saya sampaikan,

beberapa faktor yang akan

mempengaruhi masa depan pers kita. Pada kesempatan ini, saya akan

menyampaikan hanya beberapa persoalan yang lazim dibicarakan dalam

diskusi dan pelatihan pers.

Pertama; tantangan yang bertalian dengan pers atau pelaku pers

sebagai profesi.

Pada saat ini, warga  tidak sekedar menghadapi pers yang tidak

profesional, tidak bekerja menurut kaidah-kaidah profesi. Problematik yang

sangat merisaukan adalah perilaku-perilaku pers, c.q. wartawan yang

memakai  kartu pers untuk melakukan perbuatan tidak terpuji. Hampir

semua diskusi publik yang kita adakan di daerah, mengeluh mengenai

wartawan yang disebut wartawan abal-abal. Mereka tidak mencari berita,

melainkan menyalahgunakan kartu pers untuk memeras sumber berita,

seperti di sekolah-sekolah yang mengelola dana BOS. Hal ini terjadi sebab 

beberapa hal:

(1) Sistem rekrutmen yang tidak didasarkan pada syarat-syarat

jurnalistik yang cukup, melainkan sekedar, orang-orang yang

mencari pekerjaan.

(2)   Masih banyak perusahaan pers tidak memiliki sistem pendidikan

dan pelatihan yang sistematik untuk meningkatkan mutu pers. Ada

perusahaan pers yang lepas tangan.

(3)   Tidak ada penggajian atau kompensasi yang memadai, sehingga

“Kalau kita sepaham,

segala yang dinikmati

pers selama 14 tahun

terakhir dengan

segala kelebihan dan

kekurangannya, sudah

saatnya dilakukan

evaluasi menyeluruh

dan mendasar”


para wartawan dibiarkan mencari tambahan sendiri.

(4)   Tidak pula jarang, para penyelenggara memerintahkan—terutama

di daerah—yang dengan sengaja memelihara wartawan peminta-

minta sebagai imbalan tidak memberitakan hal-hal yang dapat

dipandang membuka aib pemerintahan yang bersangkutan.

(5)  Didapati juga perusahaan pers yang dibentuk sekedar untuk

mendapat keuntungan atau peluang menampakkan diri dalam

percaturan sosial dan politik untuk meraih kedudukan atau

kemudahan tertentu.

Kedua; pers sebagai industri.

Izinkan saya membahasaindonesiakan tulisan dalam dua buku yang

masing-masing ditulis Colin Spark dan Edward Herman.

(1) Colin Spark

Menurut Colin Spark, pers (di Inggris) pertama-tama dan utama

sebagai bisnis. Pers tidak diterbitkan untuk menyampaikan berita, bukan

sebagai mata publik untuk mengawasi pemerintah, bukan untuk membantu

rakyat umum menghadapi penyalagunaan kekuasaan oleh pemerintah,

bukan untuk menggali (investigasi) atas berbagai skandal, atau melakukan

pekerjaan yang baik dan terhormat lainnya. Pers semata-mata ada untuk

menghasilkan uang, semata-mata sebagai bisnis seperti bisnis-bisnis yang

lain. Kalaupun sampai tahap tertentu mereka melakukan fungsi-fungsi

publik, mereka hanya melakukannya demi keberhasilan bisnis.

(2) Edward Herman

Faktor-faktor struktural yang krusial (menunjukkan) bahwa dalam

kenyataan, pers yang berpengaruh sangat kuat terkait dengan sistem

pasar. Pers merupakan bisnis untuk mencari laba, dikuasai oleh orang-

orang yang berada. Pers sebagian besar memperoleh uang dari pemasang

iklan yang juga untuk mencari laba, mengharap iklan mereka akan

mendorong penguatan bisnis mereka. Media juga bergantung pada

pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar sebagai sumber informasi,

baik atas pertimbangan efisien maupun pertimbangan politik. Tidak jarang

pula terjadi tumpang tindih kepentingan dan mengedepankan solidaritas

antara pemerintah, media, dan perusahaan.


Seperti acap kali saya sampaikan, pers sebagai institusi ekonomi

tidak mungkin dielakkan. namun  saya kira terlalu banyak pihak yang tidak

setuju dengan pandangan yang saya kutip di atas. Harus diketemukan

keseimbangan antara pers sebagai institusi publik, institusi politik, dan

institusi ekonomi. Sekarang negara liberal yang berdasar ekonomi

pasar sekalipun tidak lagi semata-mata demi laba. Ada kesadaran bahwa

perusahaan tidak boleh melalaikan aspek kesejahteraan umum. Kita

mengenal ungkapan corporate social responsibility. Perusahaan pers tidak

boleh luput dari kewajiban sosial ini  terutama tetap menjaga fungsi

pers sebagai sarana publik (antara lain, hak publik memperoleh informasi

yang obyektif, benar, dan adil).

Ketiga; perkembangan media sosial.

Ada beberapa kebaikan dan masalah media sosial. Namun, satu hal

yang tidak mungkin dihindari adalah laju perkembangannya.

Dari segi fungsi pers, kebaikan-kebaikan media sosial—antara lain:

dapat lebih dekat dengan hati nurani rakyat, dapat menjangkau sumber

berita yang sulit dijangkau media tradisional, dapat diselenggarakan

dengan murah dan tanpa formalitas, dapat dilakukan setiap orang.

Namun, media sosial juga membawa berbagai masalah. Bagi pers

tradisional, media sosial merupakan pesaing yang kuat. Bahkan dalam

keadaan tertentu, publik lebih memilih berita dari media sosial daripada

media tradisional—antara lain—atas pertimbangan kecepatan informasi.

Persoalannya: media sosial sulit dikontrol dan sulit melekatkan standar-

standar jurnalistik yang baku.

Keempat; penyalahgunaan kebebasan.

Pers yang memakai  kebebasan secara berlebihan akan

mengancam dirinya sendiri. Pers yang terlalu bebas dapat menjadi sumber

atau pemicu anarki.

Kelima; persaingan usaha.

Telah dikemukakan perkembangan pers sebagai institusi ekonomi

atau industri dengan segala pengaruh terhadap internal pers. Sejak

reformasi (cq. UU No. 40 Tahun 1999), bukan saja pemulihan kebebasan

pers, namun  terjadi pula liberalisasi usaha pers. Industrialisasi pers yang

diikuti liberalisasi usaha pers, memicu  persaingan luar biasa antar

perusahaan pers. Persaingan ini makin menampakkan bentuk-bentuk

persaingan yang tidak sehat (unfair compitition) seperti pembentukan

kelompok usaha pers (press group). Penguasaan pers secara horizontal

maupun vertikal. Horizontal usaha pers mencakup sekaligus bermacam-

macam jenis pers (cetak, TV, media sosial) oleh satu grup. Vertikal usaha

pers Jakarta meluas ke usaha-usaha pers di daerah-daerah. Kompetisi

tidak sehat yang sangat nyata adalah persaingan harga. Di daerah, kita

dapat menemukan surat kabar yang berada di bawah naungan grup tertentu

dengan harga tidak lebih dari Rp.1.000. Secara ekonomi, harga ini tidak

mungkin memberi laba, bahkan tidak mungkin menutup biaya produksi

termasuk membayar wartawan dengan layak. Biaya produksi ditutup melalui

iklan (bila perlu sebanyak-banyaknya) dan subsidi silang (cross subsidy)

dalam satu grup. Yang dilakukan bukan lagi persaingan sehat (fair com-

petition) namun  persaingan tidak sehat (unfair competition).

Bagaimana semestinya menjaga keseimbangan antara liberalisasi

usaha, kompetisi yang sehat dan menjamin memperoleh laba secara wajar.

Di negara-negara maju, segala bentuk monopoli, kartelisme, persaingan

tidak sehat sangat terlarang (persaingan harga secara tidak sehat,

memperoleh peluang yang bertentangan dengan hukum) sangat terlarang.

Bahkan di negara-negara maju, Pemerintah membentuk komisi dengan

kekuasaan luas untuk mengawasi segala bentuk persaingan termasuk

pengendalian harga (seperti Inggris, Jerman).

Usaha menjaga keseimbangan antara liberalisasi, kompetisi sehat,

dan laba dilakukan melalui efisiensi (sistem pengelolaan yang efisien),

penggunaan tenaga atas dasar expertise (knowledge dan skill), penggunaan

teknologi terbaik (baru), meningkatkan terus mutu barang dan mutu

pelayanan, kontrol oleh konsumen di samping kontrol pemerintah. Makna

ekonomi pasar (market economy) bukan seperti ekonomi pasar klasik

(free fight liberalism) yang membiarkan harga semata-mata ditentukan

oleh hukum permintaan dan penawaran dan melarang segala bentuk

campur tangan pemerintah terhadap urusan ekonomi (nachtwakerstaat).

Ekonomi pasar akhir abad ke-20 bertolak dari penggunaan pasar untuk

sebesar-besarnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh


rakyat. sebab  itu, dalam sistem ekonomi pasar yang baru, pemerintah

tetap berperan sangat penting baik sebagai regulator maupun sebagai

pengawas (seperti kehadiran lembaga anti monopoli dan persaingan tidak

sehat). Itulah yang semestinya dilakukan di tanah air kita. Dan itu pula

makna yang dikehendaki UUD 1945.

3.  Tantangan eksternal

Ada beberapa tantangan eksternal, antara lain:

Pertama; tanggung jawab pers sebagai pranata sosial (pranata publik).

Merupakan tuntutan bawaan (natural massage), pers wajib terus menerus

sebagai penyalur kepentingan publik. Bagi negara kita, tuntutan bawaan

itu bukan sekedar sebagai penyampai atau penyalur informasi publik.

Bukan sekedar menjadi pranata pendidikan publik. Bukan pula sekedar

penghibur publik (di kala suka atau lara). Tanggung jawab sangat penting

pers Indonesia adalah mengambil bagian mewujudkan cita-cita sosial

bernegara yaitu mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa,

mewujudkan kemakmuran bagi rakyat banyak, dan keadilan sosial bagi

seluruh rakyat. Bung Hatta menyebutnya “cita-cita sosial”. Bung Karno

menyebutnya “kesejahteraan dan keadilan atau sociale rechtvardig heid”.

Kedua; tanggung jawab politik yaitu pematangan demokrasi (maturity

of democracy). Demokrasi yang matang ditandai berbagai hal -antara lain:

tanggung jawab, disiplin, integritas, keterbukaan, toleransi, saling

menyayangi (saling menjaga), hidup dalam ketertiban dan keadilan sosial,

moderat (anti segala bentuk ektrimitas dalam tindakan), solidaritas sosial

dan lain-lain ciri peradaban yang menjunjung tinggi kemanusiaan atau harkat

martabat manusia. Dinamika demokrasi adalah dinamika yang tertib,

damai, keteraturan (regularity). Hal-hal di atas masih perlu dikembangkan

dan didorong agar menjadi kenyataan dari tingkah laku politik kita. Tanpa

hal itu, politik kita akan tetap sebagai pranata memperoleh dan memelihara

kekuasaan yang berisi segala bentuk penyalahgunaan dan menghalalkan

segala cara.

Ketiga; tanggung jawab menciptakan pemerintahan yang bersih dan

bertanggung jawab.


Salah satu masalah besar yang dihadapi yaitu korupsi yang diartikan

sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara (lihat

UU Pemberantasan Korupsi). Diramalkan, tahun mendatang (2013), korupsi

akan meningkat. Atau dapat juga diartikan, tingkat keberhasilan

mengungkap korupsi akan lebih banyak. Hal ini hanya satu aspek korupsi

(pelanggaran hukum). Dalam arti hukum, korupsi dapat juga mencakup

setiap penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan orang lain, atau

kebijakan yang sudah diketahui atau patut diketahui akan merugikan or-

ang lain. Korupsi dapat juga terjadi di luar pengertian hukum, seperti korupsi

politik, korupsi moral (melanggar suatu standar moral yang semestinya

dijunjung tinggi) dan lain sebagainya. Apapun maknanya, korupsi adalah

perbuatan yang merugikan publik. Sudah semestinya dilawan. Pers, baik

melalui pemberitaan, siaran atau investigasi memiliki peran penting

melawan korupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih.

Keempat; tanggung jawab menjaga kedamaian, peri kehidupan yang

harmonis, tertib dalam keutuhan negara kesatuan yang merdeka dan

berdaulat.

Pada saat ini, hampir tiada hari kita menyaksikan berbagai pergolakan

sosial sebagai manifestasi keresahan, frustasi, atau ketidakadilan. Pers

harus mengelola berbagai keresahan, atau pergolakan itu untuk

memulihkan dan merekonstruksi kembali ketertiban, keadilan dan

harmonisasi peri kehidupan warga . Pers tidak boleh—sadar atau

tidak sadar—menjadi perang-

sang atau memicu  salah

pengertian akibat kurang hati-

hati, kurang mempertimbang-

kan isi berita atau siaran.

Terutama media sosial yang

dijalankan secara individual

harus sangat berhati-hati

mengelola keresahan atau

konflik yang sedang terjadi.

Arus simpati terhadap ketidak-

adilan, ketidakwajaran, peng-

Apapun maknanya, korupsi

adalah perbuatan yang

merugikan publik. Sudah

semestinya dilawan. Pers, baik

melalui pemberitaan, siaran

atau investigasi memiliki

peran penting melawan korupsi

untuk mewujudkan

pemerintahan yang bersih.

“”

gunaan kekuasaan yang tidak layak atau tidak berpihak kepada publik,

sekali-kali tidak boleh menyebabkan pers lalai terhadap asas dan kaidah

jurnalistik dalam demokrasi yaitu sebagai wadah free market of peace-

fully public interaction bukan kebalikannya menjadi perangsang ketegangan

(tension).

Jakarta, Desember 2012

Apa bedanya mengurus wartawan dengan mengurus hakim? Boleh

jadi menurut Bagir Manan, mantan Ketua Mahkamah Agung yang

sekarang menjabat Ketua Dewan Pers periode 2010-2013, tidak ada

bedanya. Kalau dalam istilah gaul, ya, “beda-beda tipis”-lah.

Selain lantaran keduanya sama-sama menjadi bagian penting dalam

sistem demokrasi, baik hakim sebagai representasi lembaga

peradilan maupun jurnalis sebagai representasi pers, keduanya

mensyaratkan adanya independensi serta kondisi bebas dari tekanan

jika keduanya diharapkan harus bekerja maksimal.

Dalam sistem demokrasi, lembaga peradilan memang menjadi salah

satu bagian dari tiga prinsip pembagian kekuasaan, trias politica.

Namun, dalam sistem demokrasi pula pers kerap diposisikan sebagai

pilar keempat, The Fourth Estate, yang diyakini menjadi syarat utama

penunjang demokrasi.

Walau awalnya mengaku bersedia saja saat  Aliansi Jurnalis

Independen (AJI) memintanya untuk didaftarkan sebagai bakal calon

anggota Dewan Pers periode 2010-2013, mewakili unsur warga ,

dirinya sejak awal mewanti-wanti tidak ingin malah menjadi beban

saat  kelak sudah ada di dalam.

Bagir Manan:

Pers Instrumen Demokrasi, Tak Boleh Direduksi

Namanya mulus terpilih sampai kemudian nyaris secara aklamasi

ditunjuk menjadi Ketua Dewan Pers pada rapat pertengahan Februari

2010. Mungkin sebab  di antara kesembilan anggota Dewan Pers

dirinyalah yang paling senior, makanya dia diangkat sebagai ketua,

begitu seloroh Bagir saat ditemui di ruang kerjanya di Gedung Dewan

Pers, awal pekan lalu.

Lantas, apa yang sejak awal membuatnya bersedia dicalonkan

menjadi anggota Dewan Pers? Apa saja rencana serta fokus Dewan

Pers ke depan? Atau, bagaimana dia melihat persoalan dan kondisi

aktual seputar institusi pers dan kebebasan pers? Berikut petikan

wawancaranya.

Bagaimana awalnya Anda bisa terlibat di Dewan Pers dan bahkan

menjadi ketua?

Satu hari saya dihubungi AJI yang meminta saya masuk dalam bursa

pemilihan calon anggota Dewan Pers periode 2010-2013. Saya

katakan oke saja asal syaratnya saya tidak ingin malah nanti

dianggap menjadi beban. Saya paham, tidak tahu banyak soal pers.

Setelah itu, yang saya tahu, saya dihubungi sudah lolos tahap seleksi

dari 18 orang menjadi sembilan orang, sampai kemudian saya dipilih

menjadi ketua. Mungkin sebab  saya juga yang paling tua di sini

dari delapan anggota (Dewan Pers) yang lain.

Kalau tadi Anda bilang tidak tahu terlalu banyak soal pers dan

khawatir menjadi beban, mengapa diteruskan?

Memang persentuhan saya dengan pers awalnya sebatas menjadi

narasumber berita. Ada persentuhan yang enak, tapi ada juga yang

tidak mengenakkan. Apalagi saat  sebelumnya saya beberapa kali

dikritik dan diberitakan pers terindikasi terlibat ini dan itu.

Anda kerap dikritik dan diberitakan macam-macam....


Memang terkadang saya mengalami diberitakan tidak enak oleh pers.

Namun, saya berprinsip, seperti juga dinasihatkan kepada saya oleh

para tokoh besar bangsa ini melalui tulisan dan buku mereka, jangan

sampai prinsip atau keyakinan tereduksi dan menjadi kacau-balau

hanya sebab  kita mengalami sesuatu.

Prinsip saya, kebebasan pers adalah syarat mutlak demokrasi.

Kalaupun ada pemberitaan dan kritik kepada saya, paling-paling saya

coba untuk terus berpikir, semua itu sebab  sekarang ini kita masih

baru menikmati kebebasan pers setelah sekian lama. Tentu masih

ada banyak kekurangannya.

Saya tidak pernah berkeinginan mengatakan bahwa pers itu keji

atau kebablasan sebab  saya dihantam pemberitaan ini dan itu. Saya

tidak mau merusak prinsip dan keyakinan saya. Walaupun sedang

bermasalah dengan pers, yang namanya prinsip tetap harus

ditegakkan.

Saat masih menjabat Ketua MA, saya perintahkan kepada hakim-

hakim agar ekstra berhati-hati saat memutus perkara yang berkaitan

dengan pers. Pers itu instrumen demokrasi yang tidak boleh

direduksi. Mereka harus benar-benar menjaga prinsip itu.

Bagaimana konkretnya?

Buat saya, pers punya tiga aturan hukum yang harus diterapkan

sesuai urutannya saat  warga  punya persoalan dengan pers.

Seperti juga profesi bebas lain, macam hakim, pers punya yang

namanya - (KEJ).

Setelah itu, baru kemudian ada yang namanya Undang-Undang

Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Setelah itu, barulah Kitab Undang-

undang Hukum Pidana (KUHP). Jadi, saat  ada pelanggaran oleh

pers, coba dilihat dahulu, apakah hal itu masih bisa diselesaikan

dengan mengacu pada KEJ?

Kalau tidak bisa, baru kita mengacu pada UU Pers. Barulah kalau

pelanggaran itu tidak bisa diselesaikan dengan kedua aturan hukum

tadi, aturan hukum pidana bisa digunakan.

Apakah artinya, saat  semua urutan tadi telah ditempuh, maka

kriminalisasi pers dibolehkan?

Saat ini tren hukum dunia sekarang sudah mengarah pada konsep

dekriminalisasi. Tidak lagi untuk mengkriminalisasikan. Hal itu

berlaku dalam konteks apa saja. Artinya, bagaimana menyelesaikan

perkara pidana dengan cara di luar pidana.

Seorang sarjana politik Amerika Serikat, Lesley Ribbons, dalam

bukunya, The Great Issues of Politics, mendefinisikan keadilan

sebagai kondisi di mana ada  kepuasan dan harmoni sekaligus.

Dengan begitu, hukum pidana modern mencari cara menyelesaikan

masalah pidana dengan cara-cara yang lebih manusiawi dan

membangun harmoni di samping memberi  kepuasan. Apalagi

diketahui selama ini ancaman hukuman berat tidak mampu

menghilangkan tindak pidana. (Wisnu Dewabrata)


Topik wawasan kebangsaan terkait dengan pers seringkali

mengundang sinisme, mengingat sering disalah-persepsikan sebagai

usaha  mengedepankan jargon right or wrong is my country. Wawasan

kebangsaan sering direduksi menjadi rasa kebanggaan yang berlebihan

terhadap bangsa dan kecenderungan chauvinism atau jingoism, satu sikap

loyalitas buta yang berlebihan terhadap bangsa. Sikap-sikap sejenis 

itu bertolak belakang dengan nilai-nilai yang diemban oleh pers, yang selalu

mengedepankan sikap kritis dan skeptis terhadap apapun, termasuk dalam

soal kebangsaan.

Padahal, wawasan kebangsaan, sejauh hal itu adalah wacana normatif

sebagai rumusan visi dan misi satu bangsa, merupakan aspek penting

bagi arah pembangunan suatu bangsa. Wawasan kebangsaan penting

bagi warga  sejauh t idak sekadar menjadi jargon untuk

membangkitkan semangat nasionalisme —khususnya tidak hanya sekadar

menjadi slogan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan (17

Agustus) atau hari Kebangkitan Nasional (20 Mei).

Konteks wawasan kebangsaan sangat relevan dikemukakan untuk

menghadapkan antara idealita dan realita bernegara; mengidentifikasi

sejauh mana perkembangan kemajuan bangsa; serta untuk mengevaluasi

kinerja warga  dan pembangunan dalam kaitan perbandingan dengan

warga  bangsa lainnya. Wawasan kebangsaan merupakan cetak biru

yang menjadi tujuan dan penentu arah perjalanan bangsa, sebagaimana

termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.

Menonjolnya semangat desentralisasi yang muncul pada era

Reformasi, sebagai satu keniscayaan dari proses demokrasi, sering

diterjemahkan sebagai ancaman terhadap disintegrasi bangsa. Itu sebabnya

kemudian muncul gagasan adanya jurnalisme atau pers “berwawasan

kebangsaan”, suatu bentuk jurnalisme yang  mengemas informasi dengan

mengedepankan kepentingan warga , bangsa dan negara. Pers

berwawasan kebangsaan adalah frasa yang redundan, sebab  pers yang

menjalankan prinsip-prinsip jurnalisme profesional dan menegakkan etika

dengan sendirinya mengedepankan kepentingan warga  dan bangsa

—tanpa harus diembel-embeli dengan istilah “berwawasan kebangsaan”.

Kekhawatiran sebagian kalangan terhadap cara pers memberitakan

konflik, yang sempat mendera sejumlah wilayah di Indonesia, seolah

semakin menegaskan pentingnya pers memiliki “wawasan kebangsaan”. 

Padahal kelemahan sejumlah pers mewartakan konflik lebih merupakan

kegagalan memahami dan menerapkan prinsip jurnalisme dan etika, bukan

sebab  memudarnya wawasan kebangsaan. Persoalan kelemahan

ini  dapat ditangani dengan pelatihan pers, atau jika perlu dengan

penegakan hukum terhadap pers yang kebablasan. Pers profesional dengan

sendirinya akan menempatkan kepentingan bangsa dalam memberitakan

tentang konflik, dalam hal ini mengajak warga  waspada dan

mencegah agar konflik tidak meluas.

Kebebasan pers tidak sepatutnya dipertentangkan dengan wawasan

kebangsaan, misalnya kebebasan pers harus dikorbankan jika bangsa

sedang mengalami “persoalan”. sebab  justru saat  bangsa menghadapi

masalah, kebebasan pers musti dijaga, sebagai salah satu sarana

mendialogkan permasalahan bangsa itu. Agar segenap bangsa,

warga , dapat terlibat dalam dialog usaha  mencari solusi —antara

lain melalui pers yang bebas— dan mencegah agar urusan bangsa tidak

cuma ditangani atau dimonopoli segelintir orang, kelompok, atau elite

kekuasaan.

Dalam konteks wawasan kebangsaan sebagai cetak biru tujuan dan

cita-cita bangsa, pers berperan menjadi pencatat, perekam, saksi, penye-

bar informasi sekaligus pemantau kinerja untuk mengingatkan segenap

bangsa, sejauh mana cetak biru yang telah disepakati telah benar-benar

dijalankan oleh penyelenggara negara. Selain sebagai pencatat dan

pemantau, pers juga bisa dikatakan juga sebagai aktor penting proses

sejarah kebangsaan Indonesia, apa yang dirasakan dan dialami rakyat dalam

proses membangun kebangsaan juga dirasakan dan dialami oleh pers.


Pers di Indonesia dalam sejarah sering disebut berperan penting dalam

menyebarluaskan gagasan kebangsaan Indonesia dan memperjuangkan

kemerdekaan.  Pada era kolonial pers Indonesia dikekang, banyak tokoh

pers yang dipenjara atau diasingkan, didakwa menyebarkan perasaan

kebencian serta penghinaan terhadap pemerintahan Belanda, hanya sebab 

menyampaikan informasi faktual tentang penderitaan rakyat.  Era tiga tahun

penjajahan Jepang pers sempat mengalami masa mati suri, sebab  pers

hanya boleh hidup jika menjadi alat propaganda Jepang. Segera setelah

proklamasi kemerdekaan, pers kembali berperan menyuarakan semangat

kemerdekaan dan mengajak sebenap bangsa untuk mengisi kemerdekaan itu.

Kehidupan pers relatif bebas pasca proklamasi kemerdekaan 1945,

namun membangun bangsa yang baru merdeka ternyata tidak mudah.

Berbagai persoalan dan konflik kepentingan yang merundung Indonesia

yang masih berusia muda menyebabkan kebebasan pers, dan kebebasan

rakyat pada umumnya, harus selalu dalam bayang-bayang kepentingan

kekuasaan.  Pada era “demokrasi terpimpin”, kebebasan pers dibungkam

demi kepentingan pemeliharaan ketertiban umum dan perseteruan politik

antar-anak bangsa.

Pada masa awal pemerintahan Orde Baru pers kembali menikmati

kebebasan (periode 1966-1974), hubungan saling pengertian antara pers

dan pemerintah berjalan baik. Periode ini sering disebut dengan era bulan

madu pemerintah dengan pers. Namun bulan madu ini  hanya

berlangsung selama delapan tahun. saat  meletus peristiwa Malari (15

Januari 1974), pers dinilai turut memanaskan situasi, akibatnya tujuh surat

kabar terkemuka di Jakarta diberangus, dan diizinkan terbit kembali setelah

sejumlah pemimpin redaksi menandatangani surat pernyataan maaf

kepada pemerintah, yang kemudian menjadi momentum lahirnya

“jurnalisme pembangunan” yang diintrodusir pemerintah, sebagai kedok

untuk membungkan kebebasan pers.

Pembungkam terhadap kebebasan pers selalu merupakan simtom

awal perampasan kedaulatan rakyat —suatu bentuk pengkhianatan

terhadap wawasan kebangsaan. Sekuat apapun konsolidasi kekuasaan

yang  merampas kedaulatan rakyat, pada akhirnya kekuasaan sejenis 

itu tumbang juga. Soeharto tumbang oleh hasrat rakyat yang ingin merebut


kembali kedaulatannya. Era Reformasi menandai tumbuhnya kesadaran

untuk membentengi kedaulatan rakyat dengan ketentuan hukum yang

dapat menjamin kedaulatan itu, seperti penegakan hak asasi manusia,

termasuk jaminan terhadap kebebasan Pers (melalui UU No.40/1999)

sebagai hak asasi warga negara.

Perjalanan kebangsaan Indonesia diwarnai dengan  berbagai

penyimpangan dan jatuh-bangunnya kedaulatan rakyat. Realita perjalanan

kebangsaan ternyata tidak seindah semangat yang diembannya, ia hanya

indah sebagai slogan dan pidato-pidato para penyelenggara kekuasaan

negara.

Relevansi pers dalam membangun semangat kebangsaan dalam

konteks kontemporer adalah mempertanyakan bagaimana kondisi

kebangsaan Indonesia saat ini. Apa yang telah dicapai Indonesia setelah

62 tahun merdeka dan 99 tahun menegaskan keberadaannya sebagai satu

bangsa?  Pers dalam sejarahnya telah turut memperjuangkan pembebasan

rakyat dari penjajahan dan penindasan; pada era kini pers masih harus

turut memperjuangkan pembangunan untuk melepaskan rakyat dari

kemiskinan, ketidakadilan, dan keterbelakangan. Pergulatan untuk

mewujudkan Bangsa Indonesia yang lebih baik, lebih makmur, dan lebih

sejahtera masih harus terus diperjuangkan.

Sistem demokrasi telah diadopsi di Indonesia, meskipun ada yang

menilai demokrasi yang berjalan baru sebatas prosedural, bukan

substansial. Di sisi lain penegakan hukum sebagai salah satu ciri sebuah

bangsa yang beradab, belum juga berfungsi dengan benar. Praktek korupsi,

kolusi dan nepotisme, yang sempat tumbuh subur di Indonesia masih

belum dapat diberantas. Indonesia masih dikategorikan sebagai bangsa

yang korup, satu predikat yang memalukan masih melekat dalam diri

bangsa Indonesia.

Pada akhirnya usaha  pers dalam membangun semangat kebangsaan

masih tetap relevan sejauh pers mampu memberi pemaknaan baru pada

semangat itu. Jika semangat kebangsaan 99 tahun lalu menjadi landasan

melawan penjajahan, maka semangat kebangsaan saat ini adalah untuk

menggerakkan pembangunan untuk mewujudkan Indonesia yang maju,

terhormat dan bermartabat.


Semangat kebangsaan bukanlah sikap yang terus menerus

membanggakan potensi bangsa, kekayaan alam, keragaman budaya, dan

sejenis nya.  Nilai kebangsaan juga bukan semangat untuk

mendramatisasi adanya berbagai ancaman yang seolah-olah akan

menghancurkan Indonesia. Ancaman terhadap kebangsaan Indonesia

bukanlah pada adanya wacana desentralisasi, disintegrasi, liberalisasi

atau globalisasi, melainkan pada ada atau tidaknya kemampuan

membangun warga  yang sehat, kuat, sejahtera, dan berdaulat.

™™™


Pembentukan Dewan Pers independen menjadi bagian paling

penting dalam perubahan dari pers tidak bebas pada masa Orde Baru

menjadi pers bebas pada masa reformasi. UU No.40/1999 tentang

Pers tegas menyebut Dewan Pers sebagai lembaga independen, tidak

(lagi) tunduk kepada pemerintah yang berkuasa atau partai politik.

Dalam posisi sejenis  itu, Dewan Pers dapat berperan di satu sisi

melindungi kebebasan pers agar tetap terjamin, di sisi lain menjaga

agar kebebasan pers tidak disalahgunakan oleh kalangan pers sendiri.

Dewan Pers lebih banyak berperan sebagai penegak etika pers,

lembaga swaregulasi di bidang pers, jauh dari keinginan menjadi

“monster pers.” Peran seperti ini seringkali dikritik sebab  dianggap

“tak bergigi”, tumpul, cenderung lambat atau bahkan membiarkan

praktik-praktik penyalahgunaan profesi wartawan. Kritik yang patut

didengar untuk meningkatkan kinerja Dewan Pers dan profesionalisme

pers Indonesia.

Talkshow ini membahas keberadaan Dewan Pers dalam

menghadapi berbagai persoalan pers nasional. Menghadirkan

narasumber Lukas Luwarso yang telah banyak membantu kegiatan

Dewan Pers sejak dibentuk pada tahun 2000.

31 Desember 2007

Narasumber:

Lukas Luwarso

Sekretaris Eksekutif Dewan Pers

Host Tamu:

Bekti Nugroho

Anggota Dewan Pers

Penyiar Radio:

Budi Kurniawan

--


Bagaimana sejarah pembentukan Dewan Pers?

Dewan Pers dibentuk pada masa awal reformasi tahun 1998,

kemudian ada masa transisi. Dewan Pers yang lama, yang saat itu menjadi

corong pemerintah, menyatakan dirinya vakum. Saya tahu persis saat itu

pak Jakob Oetama sebagai Ketua Dewan Pers Orde Baru dalam suatu

acara pertemuan pers nasional di Bandung menyampaikan dan mengakui

“dosa-dosa” Dewan Pers lama yang tidak mampu memperjuangkan

kebebasan pers. Dewan Pers lama menyatakan diri vakum, tapi akan

membantu proses peralihan ke Dewan Pers baru yang independen.

Difasilitasi Menteri Penerangan Yunus Yosfiah –hanya memfasilitasi—

kemudian tokoh-tokoh pers berkumpul dan membentuk Badan Pekerja.

Kemudian terbentuk Dewan Pers independen yang pertama yang mulai

bekerja pada awal April 2000.

Dewan Pers sekarang sangat berbeda dibanding Dewan Pers

pada era Orde Baru. Apa perbedaan yang signifikan?

Pertama, dari struktur organisasi, Ketua Dewan Pers lama ex officio

Menteri Penerangan. Terakhir, sebelum Soeharto lengser, Dewan Pers

diketuai Harmoko selama 10 tahun. Sekjennya juga ex officio Dirjen Pers

dan Grafika. Selebihnya anggotanya adalah tokoh pers dan tokoh

warga . Seingat saya memang hampir semua tokoh pers masuk,

seperti Goenawan Mohamad, Jakob Oetama, Jaffar Assegaf, Gus Dur.

Anggota Dewan Pers waktu itu jumlahnya 20-an. Tapi fungsi mereka hanya

sejenis  untuk stempel.

Saya ingat, menjelang huru hara politik tahun 1998 terjadi pembredelan

Tempo, Detik, dan Editor tahun 1994. Setahu saya, itulah mungkin terakhir

kali sidang Dewan Pers yang penting–tentunya dipimpin Harmoko. Dewan

Pers diminta merestui pembredelan ketiga media itu. Sayangnya sebab 

struktur Dewan Pers seperti itu, dan sistem politik saat itu, tokoh-tokoh

pers juga tidak mampu melawan. Kita juga tahu, tokoh-tokoh pers saat itu

diminta menjadi Anggota Dewan Pers, tapi mereka tidak berperan sebab 

kalau menolak berarti melawan pemerintah.

| 3

Seperti apa semangat pembentukan Dewan Pers baru?

Di kalangan tokoh pers muncul keinginan membentuk satu lembaga

swaregulasi. Waktu itu kabinet yang disusun Presiden Abdurrahman Wahid

dengan resmi membubarkan Departemen Penerangan. Kalau Deppen

dibubarkan, siapa yang mengatur pers? Kemudian dipahami di dalam

sistem demokrasi, dimana kebebasan pers menjadi sistem nilai, tidak

ada lembaga yang mengatur pers. Muncul konsep swaregulasi melalui

Dewan Pers, ombudsman pers, organisasi pers profesional, dan media

watch. Lembaga-lembaga swaregulasi sejenis  inilah yang diharapkan

dapat mengatur kebebasan pers. sebab  itulah kenapa Dewan Pers dibuat.

Dan yang unik, Dewan Pers ini diharapkan bisa memainkan peran itu

dengan baik, kemudian dicantumkan di dalam UU Pers.

Lebih dulu mana antara Dewan Pers independen dan UU No.40/

1999 tentang Pers?

Duluan UU Pers. UU Pers disahkan bulan September 1999. Zaman itu

masih ada Menteri Penerangan. Disadari, sejak konsep awal pembahasan

UU Pers, perlu ada Dewan Pers yang kekuatan legalnya dicantumkan di

dalam UU Pers. Prosesnya hampir bersamaan sebenarnya. saat  UU Pers

dirancang, proses pembahasan Dewan Pers independen mulai bergulir.

Begitu UU Pers disahkan, tersusun Anggota Dewan Pers yang baru.

Apakah Dewan Pers sekarang benar-benar independen?

Sejak Anggota Dewan Pers terbentuk, saya diangkat menjadi Direktur

Eksekutif atas putusan rapat pertama Anggota Dewan Pers. Anggota

Dewan Pers pertama sering disebut tokoh langitan sebab  semuanya adalah

tokoh pers senior yaitu Jakob Oetama, Goenawan Mohamad, Surya Paloh,

Azkarmin Zaini, Benyamin Mangkudilaga, Atmakusumah, RH. Siregar,

Zaenal Abidin Suryokusumo.

Untuk periode Dewan Pers kedua, sudah campur antara tokoh langitan

dan yang lebih muda. Yang pertama diketuai Pak Atmakusumah. Periode

kedua anggotanya Ichlasul Amal, RH. Siregar, Sulastomo, Soetomo

Parastho, Santoso, Uni Z Lubis, Hinca IP Pandjaitan, Leo Batubara, Amir

--


Effendi Siregar. Yang ketiga semakin menunjukkan anggotanya muda,

ada Bekti Nugroho, Wina Armada, Wikrama Iryans Abidin, Leo Batubara,

Garin Nugroho, Bambang Harymurti, Ichlasul Amal, Abdullah Alamudi,

Satria Naradha.

Seperti apa fungsi dan tugas Dewan Pers?

Ada tujuh fungsi yang diamanatkan UU Pers. Amanat ini seperti beban

dari negara. Pertama, melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan

pihak lain. Pihak lain ini bisa pemerintah atau warga . Kedua,

melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers. Ketiga,

menetapkan dan mengawasi pelaksanaan -. Keempat,

memberi  pertimbangan dan mengusaha kan penyelesaian pengaduan

warga  atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan

pers. Kelima, mengembangkan komunikasi antara pers, warga , dan

pemerintah. Keenam, memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam

menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi

wartawan. Dan ketujuh, mendata perusahaan pers.

Sejak dibentuk tahun 2000, seperti apa tantangan yang dihadapi

Dewan Pers dari waktu ke waktu?

Sebenarnya sama saja, sebab  kurun waktunya baru tahun ketujuh

memasuki tahun kedelapan. Dari segi tantangan masih sama. Saya ingat

betul bahwa problem awal adalah kebebasan yang menurut sebagian

kalangan out of control atau dalam istilah populer ”kebablasan”. Bisa

dibayangkan pers cetak yang jumlahnya 260-an pada era Orde Baru tiba-

tiba saat  kran kebebasan dibuka meledak menjadi 1.900an. Paling krusial

pada tahun-tahun pertama, tahun 2000-2001, sebab  banyak kekerasan

terhadap media. warga  memakai  cara-cara kekerasan fisik

seperti menduduki kantor redaksi dan kemudian mengancam wartawan

dan melakukan tekanan fisik. Sekarang relatif berkurang.

Sekarang sebenarnya sistem nilai kebebasan pers belum sepenuhnya

diyakini oleh warga  dan khususnya oleh politisi di Indonesia. Setiap

kali, hampir terus berulang, politisi mengingatkan agar pers dikontrol,

| 5

seolah-olah pers betul-betul out of control. Ini hanya soal paradigma

kebebasan pers yang belum dipahami.

Apakah sampai sekarang masih seperti itu?

Masih. Contohnya yang terakhir usaha  untuk merevisi UU Pers. Itu

salah satu bentuk ketidakpercayaan kepada sistem nilai kebebasan pers.

Artinya, para politisi tidak yakin sistem kebebasan pers seperti sekarang,

dimana self-regulation yang menjadi patokan, akan mampu memperbaiki

kinerja pers. Memang kalau kita hanya melihat pada ekses-ekses

kebebasan pers—munculnya wartawan bodrek, tabloid yang tidak

profesional—kesannya kebebasan pers menjadi kacau. Tapi, kita tidak

bisa melihat kebebasan pers dari ekses buruk saja. Juga harus dilihat

nilai positifnya: bagaimana pers membantu warga  mengungkap

kasus korupsi, menjadi sarana komunikasi warga , ide-ide yang saling

dipertarungkan dan lain sebagainya.

Melihat kebebasan pers dari sisi tabloid yang buruk sama dengan

melihat perekonomian bangsa dari bank-bank yang bangkrut. Tidak

memadai untuk melihatnya. Memang paradigma kebebasan pers belum

sepenuhnya dipahami.

SMS

Niel: Apakah Dewan Pers juga menangani wartawan yang selalu

dikontrak dan tidak pernah diangkat menjadi karyawan? Medianya

pailit hingga menganggur sampai kini.

Budi S Burhanuddin (Bogor): Dewan Pers tumpul sebab 

wartawan di daerah tidak netral, sebab  hanya mendukung pejabat

untuk dapat duit. Tidak ada idealisme.

Melihat kebebasan pers dari sisi tabloid yang buruk sama dengan

melihat perekonomian bangsa dari bank-bank yang bangkrut.

Tidak memadai untuk melihatnya. Memang paradigma kebebasan

pers belum sepenuhnya dipahami.

“”


Sampai sekarang, setelah tujuh tahun Dewan Pers terbentuk,

mengapa masih banyak anggota warga  yang tidak mengerti

fungsi Dewan Pers?

Secara khusus Dewan Pers tidak menangani kasus hubungan in-

dustrial, seperti wartawan tidak digaji secara memadai, status kontrak

dan sebagainya. Itu wilayah Departemen Tenaga Kerja. Walaupun secara

khusus tidak menanganinya, tapi Dewan Pers sedapat mungkin akan

membantu. Dewan Pers tidak menutup persoalan sejenis  itu meskipun

wilayah Dewan Pers di etika.

Mengenai Dewan Pers yang tumpul, sejak pertama dibentuk kritikan

itu selalu muncul. Bisa dipahami kalau tolok ukur ketumpulan dan

ketajaman Dewan Pers adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah

pers, seperti wartawan bodrek, wartawan yang dibeli, wartawan amplop.

Itu sulit dilakukan sebab  Dewan Pers bekerja dalam wilayah etika.

Dewan Pers tidak dibekali dengan otoritas hukum yang bisa memberi

sanksi hukum yang bersifat memaksa. Misalnya kepada wartawan yang

memihak ke pol i t ik tertentu. Kalaupun Dewan Pers bisa

mengidentifikasinya, Dewan Pers tidak diberi kewenangan untuk memberi

hukuman apapun. Kecuali, pertama, itu merupakan pengaduan

warga . Dewan Pers kemudian akan memeriksa karya jurnalistik

wartawan ini . Jika tulisan wartawan itu terbukti melanggar etika,

yang bisa dilakukan Dewan Pers adalah memberi  pernyataan penilaian

dan rekomendasi agar pers yang bersangkutan memperbaiki kinerjanya,

mengakui kesalahannya. Kemudian kalau ada wartawan yang terbukti

melanggar etika secara fatal, Dewan Pers hanya memberi rekomendasi

dan silakan kepada perusahaan media yang mempekerjakan wartawan

itu untuk mengambil tindakan. Misalnya memberi peringatan, sanksi, atau

pemecatan sebagai kebijakan dari perusahaan ini .

Mengapa ada yang menganggap Dewan Pers tumpul?

Kalau tolok ukurnya Dewan Pers dianggap seperti Departemen

Penerangan, dimana punya kewenangan untuk menyingkirkan wartawan

atau menentukan pemimpin redaksi media, Dewan Pers bisa dianggap


tumpul. Tapi, apa kita ingin Dewan Pers seperti itu? Jangan-jangan nanti

menjadi Deppen baru. Mundur artinya.

Penelepon

Siregar (Jakarta): Sekarang UU Pers sudah ada. Mengapa

sampai saat ini masih ada wartawan dituntut dengan pasal pidana

kalau ada kesalahan? Kenapa tidak dengan UU Pers? Bahkan ada

yang sampai dipukul dan tidak ada yang membela.

Kejadian itu, seperti yang saya singgung tadi, adalah bagian dari

paradigma kebebasan pers yang belum sepenuhnya diyakini atau diterima

oleh warga , khususnya oleh politisi. Aparat negara adalah salah satu

sektor yang masih memusuhi kebebasan pers.

Mengapa Dewan Pers didesain sejenis  itu padahal banyak

warga  menghendaki Dewan Pers memiliki kewenangan yang

tajam?

UU Pers sudah disahkan sejak 1999 tapi sampai sekarang minim

sekali digunakan oleh aparat penegak hukum sebagai dasar hukum untuk

kasus-kasus hukum pers. Aparat masih memakai  KUHP untuk

menyelesaikan kasus pers padahal tidak lagi sesuai tuntutan zaman.

Berapa banyak kasus pers yang diselesaikan lewat pidana dan

melalui Dewan Pers?

Dalam tujuh tahun terakhir kita tidak punya catatan resmi sebab 

kebanyakan kasus hukum pidana bisa saja tidak selesai. Tapi, yang jelas,

yang memakai  UU Pers bisa dihitung memakai  sepuluh jari tangan.

Mungkin ada kaitannya dengan persepsi warga  dan aparat

penegak hukum mengenai Penjelasan UU Pers yang menyatakan

“untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih UU ini tidak

mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang lain.” Bagaimana menginterpretasikan

Penjelasan yang sering dikutip oleh penegak hukum ini?


Ini perdebatan klasik tujuh tahun terakhir tentang apakah UU Pers lex

specialist atau lex generalist. Saya tidak mau masuk dalam perdebatan itu

sebab  saya bukan pakar hukum. Tapi, yang jelas, saat  UU Pers disahkan

memang tidak mengatur secara rinci ketentuan pidana. sebab  UU Pers

yang saya pahami, dan tentu juga dipahami dalam sistem demokrasi dan

kebebasan pers, untuk menjamin kebebasan pers, titik. Tidak diniatkan

untuk mengatur secara rinci persoalan-persoalan lain menyangkut hukum

atau hal teknis lainnya. Memang problematik. Kalau paradigma aparat hukum

tentang kebebasan pers sudah berkembang, penanganan karya jurnalistik

tentunya harus memakai  tolok ukur UU Pers.

Secara sederhana, membedakan penanganan sebuah kasus pers

secara kriminal atau UU Pers yaitu apakah itu karya jurnalistik atau bukan.

Terhadap media yang didirikan untuk tujuan memeras atau memfitnah,

gunakan KUHP. Dan Dewan Pers tidak akan mempersoalkannya. Tapi,

kalau karya jurnalistik yang mengungkap kasus korupsi dan penting bagi

publik, aparat penegak hukum harus hati-hati. Mestinya berkoordinasi

dengan Dewan Pers.

Dewan Pers menjajaki kerjasama secara formal dengan polisi.

Penjaga gawang pertama adalah kepolisian. Setiap kali warga 

mengadu sebab  membaca berita pers yang diduga merugikan pihaknya,

mereka langsung mengadu ke kepolisian dengan tuduhan pencemaran

nama baik, penghinaan, dan lain sebagainya. Kalau sering laporan

wartawan dihadapkan pada tuduhan dan urusan hukum kepolisian—untuk

menjawab apakah ada pencemaran nama baik dan penghinaan—tentu

merepotkan. Lama kelamaan wartawan jera. Tugas wartawan melaporkan

informasi ke warga . Padahal warga  kita masih penuh korupsi.

Halaman muka pers kita masih sering ditebari informasi kasus-kasus

korupsi yang merajalela di Indonesia. sebab  itu, kalau tuduhan-tuduhan

pencemaran nama baik itu terus terjadi, pers sulit memerankan fungsinya

untuk memberi informasi yang benar.

Sejauh ini seperti apa pemahaman penegak hukum terhadap

penanganan kasus pers?

| 9

Dari pengalaman saya selama enam tahun berinteraksi dengan aparat

penegak hukum–Dewan Pers pernah mengadakan diskusi berseri yang

pesertanya hanya polisi, jaksa, dan hakim— kebanyakan konstruksi

pemahaman aparat penegak hukum masih mekanis bahwa pengaduan

harus ditangani sesuai KUHAP. Prosedurnya seperti itu.

Kalau kejahatan pidana biasa, misalnya pembunuhan, jelas yang

membunuh yang akan menjadi terpidana. Tapi, pers berbeda. Siapa yang

bertanggung jawab kalau karya jurnalistik betul mencemarkan nama baik?

Apakah yang mencemarkan itu wartawan, pemimpin redaksi, redaktur

pelaksana yang lalai, atau pencetak korannya? Kemudian, sebab 

korannya disebarkan oleh anak-anak penjual koran, apakah mereka juga

dilibatkan dalam proses pencemaran nama baik itu? Inilah ”kekacauan”

yang tidak cukup memadai ditampung KUHP.

Bekti Nugroho: Sebenarnya polisi tidak ada untungnya mengurusi

kasus pers seperti ini, sebab  tidak akan mengangkat citranya. Konsen

polisi ke depan adalah meningkatkan citra sebagai aparat penegak hukum

yang bersih dan berwibawa. Dalam catatan akhir tahun, tiga tahun Susilo

Bambang Yudhoyono menjadi Presiden, ada 112 lebih pejabat negara

diperiksa atau ditangkap sebab  korupsi. Ini belum pernah terjadi pada

pemerintahan sebelumnya.

SMS

Sukriyadi (Karawang): Sampai dimana kebebasan pers

disertai keselamatan pekerjanya? Sebab, berita mulai menjadi

kebutuhan warga .

Cipta (Jambi):  Mengapa pers atau wartawan selalu

diidentikkan dengan sarang korupsi? Apakah pemerintah kurang

memerhatikan kesejahteraan pers atau wartawan?

GE Siahaan (Tangerang): Pada masa Orde Baru pers dibina

dan dikendalikan pemerintah. Sekarang pun terkesan demikian.

Sebaiknya pers bebas.

Menanggapi SMS yang ketiga, tidak betul asumsi pers sekarang

dibina oleh pemerintah. Dengan kebebasan pers sekarang, justeru

pemerintah paling kerepotan. Jangankan membina, mau mengingatkan


saja bingung, sebab  tidak ada Departemen Penerangan lagi. Paling

pemerintah mengeluh ke Dewan Pers sebab  persnya kacau. Dulu yang

sering mengeluh Menteri Komunikasi Syamsul Muarif. Bahkan Pak

Syamsul Muarif, sebab  geramnya, menyebut pers saat ini sebagai pilar

pertama (the first estate). Kekuasaannya melebihi eksekutif, legislatif,

dan yudikatif—pers lebih dikenal sebagai pilar keempat demokrasi (the

fourth estate). Satu komentar yang berlebihan. Komentar keduanya, hanya

melihat pers dari sisi ekses negatif saja. Hanya melihat bobroknya

wartawan. Mungkin dari segi kuantitas, jumlah wartawan bodrek atau

amplop cukup besar. Tapi, mereka bisa bekerja hanya dengan dukungan

warga  sendiri. Artinya, ada warga  yang mau diperas oleh

wartawan bodrek, yang suka rela memberi amplop. Kalau warga 

memerangi mereka dengan tidak memberi amplop dan menolak memberi

uang, dengan sendirinya mereka hilang.

Akhirnya begini: dalam kondisi warga  yang sakit, jangan

salahkan munculnya wartawan-wartawan brengsek itu. Wartawan bodrek

dan amplop itu seperti benalu. Benalu hanya bisa tumbuh di tanah kotor,

tanah dimana tumbuhan yang betul tidak sepenuhnya didukung untuk

tumbuh.

SMS

Soni (Jakarta): Bagaimana persoalan wartawan Bersihar Lubis

yang melawan Kejaksaan? Jangan sampai wartawan ini  terjerat

hukum sebab  tulisannya.

Menjelang tutup tahun 2007, ada tiga kasus yang sempat ditangani

Dewan Pers yang menyangkut tindakan hukum. Yang paling fatal memang

kasus Bersihar Lubis. Kasus lain menimpa wartawan grup Jawa Pos, Radar

Jogja, Risang Bima Wijaya, dan wartawan Oposisi di Medan.

“Wartawan bodrek dan amplop itu seperti benalu.

Benalu hanya bisa tumbuh di tanah kotor,

tanah dimana tumbuhan yang betul

tidak sepenuhnya didukung untuk tumbuh.”


Kasus Bersihar Lubis cukup ironis. Kejaksaan telah memakai 

domainnya untuk melakukan tindakan abuse kepada Bersihar, sebab 

mereka punya kewenangan memproses perkara: melaporkan ke polisi dan

menuntut. Ini menunjukkan bagaimana individu di Kejaksaan telah mener-

jemahkan hukum semaunya sendiri. Hanya dengan satu kata ”dungu” dia bisa

mengancam kebebasan orang. Padahal, dalam sistem demokrasi dimana or-

ang bebas berpendapat, warga  sah mengkritik. Saya kira betul Bersihar,

”dungu” rasanya kalau di zaman sekarang membakar buku hanya sebab  isinya

dianggap tidak sesuai. Dibakar besoknya bisa dicetak ulang lagi.

Tadi disinggung bahwa Dewan Pers adalah lembaga etik.

Padahal, selama 32 tahun Indonesia di bawah Orde Baru yang sangat

monolitik dan penuh tekanan terhadap kebebasan berekspresi.

Jangankan persoalan etik, hukum positif saja bisa dibelok-belokkan.

Apakah Dewan Pers berpikirnya tidak terlalu maju?

Memang betul. Kalau kita melihat kondisi riil warga , realitas

yang berkembang mengenai paradigma berpikir tentang etika, Dewan Pers

seperti menara gading. Tidak cocok. Tapi, proses kemajuan harus begitu.

Kita tidak menuruti realitas warga . Dewan Pers adalah lembaga yang

selangkah di depan warga , diharapkan bisa menjadi contoh

bagaimana sengketa berita ditangani dengan penyelesaian etik. Tidak

semua kasus harus diselesaikan dengan hukum.

Setelah tujuh tahun Dewan Pers aktif, problem yang dikemukakan tadi

betul: seolah-olah Dewan Pers tidak cocok dengan paradigma warga 

atau tidak sesuai dengan zamannya. Terlalu maju. Tapi, kita tidak punya

pilihan lain. Dengan proses edukasi, warga  harus diajari. Proses

pengajaran etik tidak bisa dengan paksaan hukum. Dengan edukasi etik maka

pelan tapi pasti warga  akan belajar bagaimana menjadi warga 

yang menghargai etik. Ini memang proses yang panjang dan harus sabar.

“Dewan Pers adalah lembaga yang selangkah di depan

warga , diharapkan bisa menjadi contoh bagaimana

sengketa berita ditangani dengan penyelesaian etik.

Tidak semua kasus harus diselesaikan dengan hukum.”


Dibanding tujuh tahun lalu, pers sedikit mengalami perkembangan.

Ini diakui oleh salah satu aktivis media watch di Surabaya, Sirikit Syah.

Dia mengakui ada sedikit kemajuan pers, khususnya di kalangan pers

mainstream. Tapi, sekali lagi, kalau kita hanya melihat media-media yang

kacau dan warga  tidak sabar dengan itu, saya mengusulkan dibentuk

Komisi Pers.

Seperti apa itu Komisi Pers?

Komisi Pers ini sejenis  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tapi

untuk pers dimana masa tugasnya dibatasi, misalnya hanya tiga sampai

lima tahun, atau bisa diperpanjang untuk membereskan ”kekacauan” pers.

Ini dengan catatan kalau kita tidak sabar dengan kondisi pers sekarang.

Tapi, menurut saya tidak perlu. Komisi sejenis  ini, yang diberi

kewenangan tegas, memang obat manjur untuk sesaat. Bahayanya, kalau

Komisi sejenis  ini diperpanjang akan punya kewenangan seperti Deppen.

Tidak lazim dalam negara demokrasi di manapun ada Komisi sejenis 

itu. Tapi, di Inggris tahun 1980-an pernah ada. Waktu itu di Inggris ada

banyak tabloid yang mengekspos selebriti dan mengerjai politisi. saat 

itu Perdana Menteri Blair mengancam komunitas pers: Kalau secara in-

ternal komunitas pers di Inggris tidak bisa memperbaiki diri sendiri, maka

parlemen Inggris dan pemerintah akan berinisiatif untuk mendirikan Komisi

Pers. Ide itu segera ditanggapi oleh komunitas pers di sana. Mereka

meminta pemerintah dan parlemen menunggu sebab  mereka akan

membuat press complaints commission yang fungsinya menjembatani

warga  yang ingin mengadu.

Penelepon

Beni (Jakarta): Belum lama ini ada kasus wartawan Tempo,

Metta, yang teleponnya disadap. Tahun ke depan liputan investigasi

harus tetap ada. Apa yang harus dilakukan dunia pers untuk

menghindari penyadapan dan apa yang harus dilakukan pemerintah

untuk melindungi pekerja pers dalam melakukan tugasnya?

Menteri Komunikasi M. Nuh sewaktu bertamu ke Dewan Pers

menyatakan, pokoknya urusan pers adalah urusan Dewan Pers. Ini isyarat

| 13

yang bagus. Berikan kesempatan Dewan Pers, komunitas pers dan

lembaga swaregulasi media untuk bekerja. Kita perlu beberapa tahun lagi

untuk menciptakan kondisi pers yang lebih ideal. Selama pemerintah tidak

ikut campur tangan dan politisi menahan diri untuk tidak sedikit-sedikit

ingin mengubah UU Pers atau membuat aturan ini-itu, saya yakin pelan

tapi pasti kondisi pers akan lebih bagus.

Kasus seperti yang dialami Metta, dimana ada penyadapan dan

sejenis nya, juga bagian dari paradigma bahwa seharusnya liputan

investigasi pers dilihat sebagai komplemen bagi pemerintah dalam

menegakkan pemerintahan yang bersih. Persoalannya, pemerintahan itu

tidak homogen. Ada aparat pemerintah yang ingin menegakkan pemerintahan

yang bersih tapi ada juga yang kotor sekali. Ini pertarungan yang akan

selalu terjadi setiap saat. Proses dinamis. Kekuatan pemerintah yang bersih

harus bahu membahu dengan kekuatan pers yang bersih, sebab  kita sadari

ada pers yang kotor.

SMS

Hadi Suhendro (Bogor): Hubungan kerja Dewan Pers dengan

PWI seperti apa?

Bubun (Bogor): Harusnya Dewan Pers bertanggung jawab

terhadap rendahnya kualitas pekerja pers. Bagaimana mungkin pers

bisa berperan sebagai media pendidikan, demokrasi dan politik?

Penelepon

Janis (Yogya): Kondisi kebebasan pers agak abu-abu. Dalam

hal-hal tertentu kebebasan pers sudah tercipta, tapi ada yang abu-abu

atau mengganjal warga . Batasan kebebasan pers yang ideal

untuk warga  itu seperti apa, sebab  ada media yang mementing-

kan kepentingannya sendiri? Sering ada kasus ”kekerasan” oleh me-

dia terhadap wartawannya. Di sisi lain ada media yang memanfaatkan

isu-isu tertentu untuk kepentingan bisnisnya, untuk melakukan tawar

menawar dengan kelompok tertentu, pemerintah atau pengusaha.

Kebebasan pers batasannya adalah kebebasan warga .

warga  bebas tidak membeli media, bebas tidak menonton media, bebas

--

14 |  -

menghukum media. Artinya, kebebasan pers berhadapan dengan kebebasan

warga  untuk tidak membeli, membaca atau menonton. Bahkan kalau

ada pelanggaran hukum, warga  bisa menuntut secara hukum.

Benturan sejenis  itu sekarang masih kencang. Di Indonesia sedikit-

sedikit warga  menggugat pers dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Kebebasan sudah ada tapi jaminan terhadap kebebasan belum begitu kokoh.

SMS

Indra (Jakarta): Dari masa Gus Dur sampai SBY tidak ada

yang berprestasi. Indikasinya, banyak pungli di jalanan, korupsi

banyak, banyak pers tidak obyektif tapi ditutup-tutupi seolah-olah

untuk kepentingan umum padahal partisan.

Pers partisan sudah terbukti tidak akan bisa jalan. Pers partisan pasti

tidak akan hidup lama. Dia hanya pers proyek. saat  politisi atau partai

politik yang mensponsori proyek pemilu selesai, pers partisan itu tutup.

Tentang Dewan Pers

Dewan Pers pertama kali dibentuk tahun 1968. Pembentukannya

berdasar Undang-Undang No. 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Pers yang ditandatangani Presiden Soekarno, 12

Desember 1966. Dewan Pers kala itu, sesuai Pasal 6 ayat (1) UU No.11/

1966, berfungsi mendampingi pemerintah, bersama-sama membina

pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. Sedangkan Ketua Dewan

Pers dijabat oleh Menteri Penerangan (Pasal 7 ayat (1)).

Pemerintahan Orde Baru —melalui Undang-Undang No. 21 Tahun

1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah

dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, yang ditandatangani

Presiden Soeharto 20 September 1982— tidak banyak mengubah

keberadaan Dewan Pers. Kedudukan dan fungsinya sama: lebih

menjadi penasehat pemerintah, khususnya kantor Departemen

™™™

| 15

Penerangan. Sedangkan Menteri Penerangan tetap merangkap sebagai

Ketua Dewan Pers.

Perubahan yang terjadi, menurut UU No. 21 Tahun 1982 ini ,

adalah penyebutan dengan lebih jelas keterwakilan berbagai unsur dalam

keanggotaan Dewan Pers. Pasal 6 ayat (2) UU No. 21 Tahun 1982

menyatakan “Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers,

wakil Pemerintah dan wakil warga  dalam hal ini ahli-ahli di bidang

pers serta ahli-ahli di bidang lain”. Undang-Undang sebelumnya hanya

menjelaskan “anggota Dewan Pers terdiri dari wakil-wakil organisasi

pers dan ahli-ahli dalam bidang pers”.

Perubahan fundamental terjadi pada tahun 1999, seiring dengan

terjadinya pergantian kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi.

Melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang

diundangkan 23 September 1999 dan ditandatangani oleh Presiden

Bacharudin Jusuf Habibie, Dewan Pers berubah menjadi Dewan Pers

(yang) Independen. Pasal 15 ayat (1) UU Pers menyatakan “Dalam

usaha  mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan

pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen”.

Fungsi Dewan Pers Independen tidak lagi menjadi penasehat

pemerintah tapi pelindung kemerdekaan pers. Hubungan struktural antara

Dewan Pers dengan pemerintah diputus, terutama sekali dipertegas

dengan pembubaran Departemen Penerangan oleh Presiden Abdurrahman

Wahid. Tidak lagi ada wakil pemerintah dalam keanggotaan Dewan Pers

seperti yang berlangsung selama masa Orde Baru. Meskipun

pengangkatan anggota Dewan Pers tetap melalui Keputusan Presiden,

namun tidak ada lagi campur tangan pemerintah terhadap institusi maupun

keanggotaan Dewan Pers yang independen. Jabatan Ketua dan Wakil

Ketua Dewan Pers tidak lagi dicantumkan dalam Keputusan Presiden

namun diputuskan oleh seluruh anggota Dewan Pers dalam Rapat Pleno.

Anggota Dewan Pers yang independen, menurut UU Pers Pasal 15

ayat (3), dipilih secara demokratis setiap tiga tahun sekali, yang terdiri dari:

“(a) Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; (b) Pimpinan perusahaan

pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; dan (c) Tokoh warga ,

ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh

organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers”.***


7 Januari 2008

Narasumber:

Abdullah Alamudi

Anggota Dewan Pers

Host Tamu:

Lukas Luwarso

Sekretaris Eksekutif Dewan Pers

Penyiar Radio:

Nanda Hidayat

--

SALAH satu fungsi Dewan Pers menurut UU Pers Nomor 40

tahun 1999 adalah memberi  pertimbangan dan mengusaha kan

penyelesaian pengaduan warga  atas kasus yang berhubungan

dengan pemberitaan pers. Untuk itu Dewan Pers menetapkan

prosedur pengaduan yang harus diketahui dan diikuti warga 

saat  mengadukan pers. Pengaduan bisa ditempuh dengan

beberapa cara seperti memakai  Hak Jawab atau koreksi.

Juga bisa dengan mengadukan kepada ombudsman media

bersangkutan atau mengadu kepada organisasi wartawan. Kapan

sebuah media dikatakan melakukan pemberitaan yang merugikan

warga ? Langkah apa yang bisa ditempuh oleh warga 

untuk mengadukan pemberitaan pers yang dinilai merugikan mereka?

Berikut perbincangan dengan anggota Dewan Pers,

Abdullah Alamudi.

warga  (Belum) Tahu

Hak untuk Mengontrol Pers

warga  (Belum) Tahu Hak untuk Mengontrol Pers

18 |  -

Kasus apa saja yang paling banyak diadukan warga  ke

Dewan Pers?

Pengaduan terbanyak adalah soal pencemaran nama baik atau klaim

bahwa nama baik mereka tercemar oleh sebuah media. Itu yang paling

banyak. Dewan Pers menerima 20 pengaduan setiap bulan, dan bagian

terbesar menyangkut klaim pencemaran nama baik. Tapi tidak semua 20

pengaduan itu benar mencemarkan nama baik. Sebagian besar hanya

klaim. Pengadu masih berpikir dia tidak boleh dikritik sebab  dia seorang

pejabat, penguasa atau pengusaha besar. Pengaduan itu kita periksa.

Selain soal pencemaran nama baik, kasus apa lagi yang banyak

diadukan warga ?

Sebagian terbesar sebab  media menyiarkan berita yang sifatnya

sepihak. Media menyiarkan berita dari keterangan satu orang, tanpa

melakukan verifikasi kepada orang yang diberitakan. Beritanya bersifat

berat sebelah dan jelas melanggar kode etik dan melanggar tata cara

menulis berita.

Seberapa kuat kedudukan dan hak warga  yang

mengadukan pers?

Banyak kasus yang menunjukkan bahwa warga  tidak tahu akan

hak mereka. Padahal, mereka seharusnya mengontrol pers. Dalam era

demokrasi, mengontrol pers bukan dilakukan oleh pemerintah, polisi,

Kominfo, Kodam, Kodim, tapi dilakukan oleh warga . Masalahnya,

warga  belum tahu hak mereka. Dalam UU Pers Pasal 17 disebutkan

hak warga  untuk mengontrol pers. Salah satu caranya adalah

memakai  haknya sebagai warga negara untuk mengontrol pers. Kalau

ada seseorang yang merasa hak atau nama baiknya dicemarkan, dia

langsung memakai  Hak Jawabnya. Hak Jawab berupa bantahan

dengan fakta atas pemberitaan yang disiarkan sebuah media. Kemudian,

media bersangkutan wajib melayani Hak Jawab. Itu prosedur yang diatur

UU Pers dan kode etik. Kalau tidak melayani Hak Jawab, pers bisa dituntut.

| 19

Apakah warga  bisa langsung mengadu tanpa mengirim

Hak Jawab lebih dulu?

Sebaiknya gunakan Hak Jawab lebih dulu. Kalau Hak Jawab tidak

dilayani atau tidak memuaskan maka warga  mengadukannya kepada

Dewan Pers. Dan Dewan Pers melakukan penilaian atas berita dan Hak

Jawab yang diadukan.

Berapa lama sebaiknya warga  mengadukan berita yang

dianggap merugikan?

Pengaduan atas sebuah berita di media cetak sebaiknya dilakukan

dalam waktu dua bulan sejak berita itu muncul. Jika media elektronik,

seperti televisi atau radio, sebaiknya dalam tempo dua minggu. sebab 

jika lebih dari itu, akan sulit.

Berapa lama warga  bisa mendapat keputusan Dewan

Pers atas pengaduannya?

Tergantung pada kasus dan tempatnya, sebab  Dewan Pers hanya

ada di Jakarta dan anggotanya juga hanya Sembilan orang. Kalau

mendapatkan pengaduan, kita melihat kelengkapan pengaduan. Jika

lengkap akan kita jawab segera. Ada yang cepat, misalnya dalam beberapa

kasus, seseorang memakai  Hak Jawab. Surat Hak Jawab itu

ditembuskan kepada Dewan Pers. Lalu Dewan Pers mengirimkan surat

kepada media bersangkutan agar memuatnya. Biasanya, media yang

profesional langsung merespon. Tapi, ini tidak berlaku untuk media yang

tidak profesional, sebab  mereka sering sulit atau lamban merespon.

Dalam era demokrasi, mengontrol pers bukan

dilakukan oleh pemerintah, polisi, Kominfo, Kodam, Kodim,

tapi dilakukan oleh warga .

Masalahnya, warga  belum tahu hak mereka.

“”

warga  (Belum) Tahu Hak untuk Mengontrol Pers

20 |  -

Apakah Dewan Pers pernah mengalami kesulitan diakibatkan

oleh media yang diadukan?

Kalau media itu di daerah (di luar Jakarta), kita yang datang. Tapi,

tergantung juga pada jawaban mereka. Kalau kita sudah kirimi surat tapi

tidak ada jawaban atau jawaban berbelit-belit, maka kita akan menunjukkan

kesalahan media. Untuk hal ini, media bisa dituntut denda 500 juta ru-

piah. Jadi, media bisa memilih melayani Hak Jawab warga  atau akan

diadukan ke aparat hukum.

Kasus apa yang saat ini diproses oleh Dewan Pers?

Kasus Tabloid Investigasi melawan Gubernur Kepulauan Riau. Juga

ada kasus yang paling ramai dibicarakan adalah perselisihan