r mereka. Mereka kesulitan mencari makan, sandang dan papan
yang layak untuk manusia. Banyak juga keluarga yang hidup di dalam
kemiskinan akut. Mereka tidak hanya mengalami kesulitan ekonomi
berat, namun juga kerap kali sakit secara fi sik.
Di sisi lain, ada orang-orang yang hidup dengan amat berkelimpahan.
Gaji mereka puluhan bahkan ratusan juta setiap bulannya. Mereka
hidup di rumah-rumah besar, seperti yang bisa kita lihat di berbagai
perumahan mewah di berbagai kota di Indonesia. Mereka memakai
mobil mewah setiap harinya.
Mereka berbelanja di mall-mall besar. Mereka berwisata ke
”negara-negara mahal” setiap tahunnya. Keadaan ini kontras berbeda
dengan keadaan kelompok lainnya yang hidup dalam kemiskinan akut.
Kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin begitu besar dan begitu
terasa di Indonesia.
Jika ini dibiarkan, maka hidup bersama akan menjadi sulit.
Keadaan hidup sehari-hari akan dipenuhi ketegangan, kecurigaan
dan rasa takut antar warga. Kriminalitas meningkat. Dan sangatlah
mungkin, bahwa kekerasan akan meledak di tingkat politik, misalnya
dalam bentuk revolusi berdarah.
Lembaga dan Mentalitas
Yang mendorong suatu negara berkembang yaitu kualitas
lembaga publiknya, seperti berbagai lembaga pemerintah, penegak
hukum, parlemennya, militer dan lembaga pendidikan. Mereka
yaitu lembaga yang dibiayai dengan uang rakyat, yakni pajak, dan
bekerja untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa kecuali. Mereka
bertanggungjawab untuk kesejahteraan publik rakyat Indonesia.
Mereka yaitu motor pembangunan.
Di Indonesia, lembaga-lembaga publik ini tidak bekerja dengan
baik. Mayoritas dipenuhi korupsi. Uang rakyat dipakai untuk
keperluan pribadi ataupun golongan semata. Akibatnya, banyak
program untuk pengembangan kesejahteraan bersama tidak berjalan.
Lembaga-lembaga ini telah mengkhianati kepercayaan rakyat.
Mereka mengingkari alasan keberadaannya, yakni demi kesejahteraan
rakyat. Padahal, pimpinan-pimpinan utama mereka dipilih langsung
oleh rakyat. Mengapa ini bisa terjadi?
Di berbagai negara yang makmur, lembaga publik berkembang
lintas generasi. Mereka sudah diciptakan sejak ratusan tahun yang
lalu. Banyak hal telah dipelajari, sehingga kini mereka bisa berfungsi
dengan relatif baik. Ada mentalitas dan budaya yang sudah tercipta
di dalam berbagai lembaga publik ini , yang mendukung proses-
proses kerja mereka.
Ini tidak terjadi di Indonesia. Lembaga-lembaga publik di Indonesia
masih amat muda. Mereka tidak punya tradisi yang berkembang
lintas generasi, seperti yang ditemukan di berbagai negara makmur.
Mentalitas dan budaya lembaga yang ada hancur, akibat penjajahan
selama ratusan tahun oleh Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis dan
Jepang, serta juga oleh Orde Baru Suharto.
Penjajahan telah merusak budaya dan mentalitas di Indonesia. Ini
tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di banyak negara Afrika
dan Amerika Latin. Jejak-jejak penjajahan masa lalu yang dipenuhi
kekerasan, perbudakan, penipuan, penghisapan, pembunuhan massal
serta penghancuran tata nilai masih mempengaruhi kehidupan saat
ini. Kehancuran budaya dan mentalitas ini pula yang membuat banyak
lembaga publik di Indonesia dan di berbagai negara ini cacat.
Penjajahan Asing
Sejujurnya, penjajahan asing belum berakhir di Indonesia.
Infrastruktur ekonomi dan budaya kita masih amat tergantung sama
asing. Mayoritas perusahaan besar yang mempengaruhi kehidupan
warga Indonesia masih dimiliki oleh asing. Perjanjian kerja yang
dibuat antara pemerintah dan berbagai perusahaan asing ini juga
kerap kali tidak adil.
Banyak perusahaan asing mendirikan pabrik dan kantor di
Indonesia. Mereka memanfaatkan standar gaji dan perlindungan pekerja
yang rendah di Indonesia. Di beberapa tempat, mereka memakai
kekerasan untuk menekan para pekerja. Para penegak hukum Indonesia
disuap untuk diam, dan bahkan mendukung kekerasan yang terjadi.
Beragam pengolahan sumber daya alam juga masih dikuasai oleh
pihak asing. Manajemen puncak masih dipegang oleh orang-orang
asing. Mayoritas pekerja Indonesia hanya menjadi manajer rendah
atau pesuruh belaka, walaupun kemampuan mereka setingkat dengan
para pekerja asing, atau bahkan lebih baik. Perjanjian kerja yang dibuat
antara beragam perusahaan asing dan pemerintah Indonesia pun kerap
kali juga tidak adil.
Yang lebih mengherankan lagi yaitu soal struktur mata uang.
Mengapa orang Eropa bisa dengan mudah liburan ke Indonesia,
sementara kita sulit sekali untuk liburan ke Eropa? Yang jelas, mereka
tidak lebih cerdas ataupun rajin, jika dibandingkan dengan orang
Indonesia. Ini terjadi, sebab struktur mata uang dunia yang tidak adil.
Saya masih heran sampai sekarang dengan struktur mata uang
ini . Jika diperhatikan dengan jeli, ini yaitu sistem warisan
masa penjajahan dahulu, saat bangsa-bangsa Eropa secara agresif
menyerbu berbagai negara lain di dunia. Sistem mata uang dunia
yaitu sistem yang secara inheren tidak adil dan berbau penjajahan
serta penindasan. Ini memberi kerugian yang amat besar untuk
Indonesia, sekaligus keuntungan yang berlimpah ruah untuk negara-
negara Eropa dan Amerika Serikat.
Tata nilai kita juga kabur, akibat dominasi asing yang begitu kuat.
Di satu sisi, banyak orang yang lebih bangga bergaya hidup Amerika
dan Eropa, daripada menghayati nilai budaya tempat asalnya. Di
sisi lain, banyak orang yang meniru budaya Arab, supaya kelihatan
lebih saleh dan suci, walaupun sebenarnya dipenuhi kemunafi kan.
Kebingungan identitas antara budaya lokal Indonesia, budaya Arab
Timur Tengah serta budaya AS dan Eropa ini berdampak luas, terutama
dalam soal tata nilai yang menjadi dasar dari tindakan sehari-hari kita
di Indonesia.
Tersangka koruptor tiba-tiba memakai jilbab, saat disidang.
Ayat-ayat agama dipakai untuk menindas dan merugikan orang
lain. Orang tergila-gila dengan merk asing, walaupun harganya sangat
tidak masuk akal, dan mutunya biasa-biasa saja. Orang rela jadi budak
asing, supaya dapat uang receh, suap ataupun cipratan hasil korupsi.
Kerancuan tata nilai ini menciptakan kebingungan di banyak
bidang, termasuk lembaga-lembaga publik kita. Tekanan suap dari
pihak asing dan dominasi budaya yang dipenuhi kemunafi kan membuat
beragam lembaga publik kita tersendat. Tak heran, kita tetap ”miskin”,
walaupun sebenarnya kita kaya, amat sangat kaya. Kemiskinan akut
di tengah ”surga” dengan kekayaan melimpah bernama Indonesia,
ironis bukan?
Mengapa Kita ”Miskin”?
Sebagai bangsa, kita tetap ”miskin”, sebab lembaga publik kita
tidak memiliki mentalitas dan budaya yang cocok untuk melayani
rakyatnya. Kita juga hidup dalam bayang-bayang asing, baik dalam
tingkat politik, ekonomi maupun tata nilai (Barat dan Timur Tengah).
Secara kualitatif, mutu berpikir dan kemauan bekerja orang Indonesia
setara dengan beragam negara lainnya, bahkan mungkin lebih baik
dalam banyak hal. Jika kita bisa ”memaksa” lembaga publik kita untuk
menjalankan fungsinya sebaik mungkin, dan bersikap kritis terhadap
beragam pengaruh asing yang masuk, maka jalan menuju keadilan dan
kemakmuran bersama di Indonesia terbuka luas.
Tunggu apa lagi?
Filsafat Politik sebagai Filsafat Kesadaran
Setelah sekitar 15 tahun mendalami fi lsafat politik, saya semakin sadar, bahwa fi lsafat politik, pada hakekatnya, yaitu fi lsafat
kesadaran. Esensi dari fi lsafat politik yaitu fi lsafat kesadaran. Dua
konsep ini, yakni fi lsafat politik dan fi lsafat kesadaran, tentu perlu
dijelaskan terlebih dahulu. Mari kita mulai dengan arti dasar dari
fi lsafat.
Filsafat yaitu pemahaman tentang kenyataan yang diperoleh
secara logis, kritis, rasional, ontologis dan sistematis. Kenyataan
berarti yaitu segala yang ada, mulai dari jiwa manusia, politik,
ekonomi, budaya, seni sampai dengan kesadaran. Logis berarti fi lsafat
memakai penalaran akal budi manusia. Filsafat bukanlah mistik
yang melepaskan diri dari penalaran akal budi.
Pandangan yang rasional yaitu buah dari penalaran semacam
ini. Rasional berarti suatu pernyataan atau pemahaman bisa diterima
dengan akal budi, lepas dari latar belakang orang yang mendengarnya.
Orang bisa berasal dari agama apapun, termasuk ateis, namun tetap
bisa memahami pernyataan ini . Kritis berarti fi lsafat selalu
mempertanyakan segala sesuatu, termasuk jawaban yang dihasilkannya
sendiri.
Dalam arti ini, fi lsafat tidaklah pernah selesai. Ia bersifat terbuka,
dan selalu berakhir dengan pertanyaan baru. Ia bagaikan petualangan
intelektual yang tak pernah berhenti. Pertanyaan dan jawaban diarahkan
pada unsur dasar, atau hakekat, dari apa yang dibicarakan. Inilah yang
disebut sebagai ciri ontologis dari fi lsafat, yakni menggali sampai
ke dasar dari apa yang sedang menjadi tema diskusi. Semua bentuk
jawaban dan pertanyaan di dalam fi lsafat kemudian dirumuskan secara
sistematis, yakni runtut, jelas, mudah dimengerti serta terhindar dari
segala bentuk lompatan logika ataupun pertentangan.
Politik dan Kesadaran
Filsafat politik dan fi lsafat kesadaran berdiri di dalam bayang-
bayang defi nisi fi lsafat di atas. Filsafat politik yaitu cabang dari fi lsafat
yang hendak memahami hakekat dari kehidupan politik manusia,
dan memberi arahan tentang cara menciptakan politik yang
mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi semua. Filsafat kesadaran
yaitu cabang fi lsafat yang hendak memahami hakekat dari kesadaran
manusia. Keduanya memakai metode yang bersifat logis, kritis,
rasional, ontologis dan sistematis.
Filsafat politik hendak menemukan ide dan prinsip yang
memungkinkan adanya warga , atau komunitas, dalam segala
bentuknya. Inilah yang disebut sebagai pendekatan deskriptif di dalam
fi lsafat politik. Pendekatan ini nantinya berkembang menjadi ilmu-ilmu
sosial, seperti sosiologi, ekono mi, politik, hukum dan ilmu budaya.
Namun, fi lsafat politik tidak hanya bersifat deskriptif, namun juga
normatif: ia menawarkan prinsip-prinsip yang memungkinkan suatu
komunitas mencapai perdamaian, keadilan dan kemakmuran bersama.
Dua prinsip yang penting di dalam fi lsafat politik, yakni keadilan
dan kesetaraan. Ada beragam arti dari konsep keadilan dan kesetaraan.
Filsafat politik hendak mengupas dan mengembangkan beragam arti
ini , dan melihat kemungkinan penerapannya di berbagai keadaan.
Dua prinsip ini menjadi nyata, saat ia menjadi prinsip utama di
dalam berbagai institusi publik yang menata keadaan politik sebuah
komunitas.
Filsafat politik juga memiliki ciri kritis. Ia tidak pernah puas dengan
satu jawaban. Tidak ada jawaban fi nal. Yang ada yaitu proses diskusi
terus menerus, sehingga pandangannya bisa terus menyesuaikan
dengan keadaan dunia yang terus berubah dengan cepat sekarang ini.
Institusi dan Kesadaran
Akan namun , setelah mendalami beragam pandangan fi lsafat politik,
saya sampai pada pendapat, bahwa semua teori akan percuma, jika ia
tidak bisa diterjemahkan ke dalam institusi, dan sungguh membawa
perubahan nyata di dalam kehidupan bersama. Artinya, inti dasar
dari fi lsafat politik yaitu pembangunan institusi-institusi di dalam
masyarakan yang mendorong keadilan dan kemakmuran bagi semua.
Namun, bagaimana cara membangun institusi-institusi ini ?
Satu cara yaitu dengan memrumuskan regulasi, atau aturan, yang
tepat. Namun, aturan setepat dan seketat apapun tidak akan mampu
membangun institusi yang cocok untuk pengembangan warga .
Aturan-aturan itu justru akan dipelintir untuk kepentingan-kepentingan
korup tertentu, dan akhirnya mengorbankan kepentingan bersama. Ini
sudah terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia.
Maka, kita perlu pendekatan lain. Aturan dan institusi yang kokoh
tidak dapat dibangun, tanpa adanya manusia-manusia bermutu. Mutu
dalam arti ini yaitu etos hidup yang unggul, seperti jujur, rajin, mau
bekerja keras dan bisa bekerja sama. Maka, pembentukan manusia-
manusia bermutu yaitu jalan yang perlu dilakukan terlebih dahulu.
Pembentukan manusia bermutu berarti perubahan kesadaran mendasar
pada tingkat pribadi.
Dapat juga dikatakan, bahwa tata institusi tidak akan pernah
mencukupi, tanpa adanya perubahan kesadaran secara mendasar. Dititik
inilah fi lsafat kesadaran memainkan peranannya untuk menunjang
fi lsafat politik. Sama seperti fi lsafat politik, fi lsafat kesadaran memiliki
dua pendekatan, yakni deskriptif (memahami kesadaran manusia
sebagaimana adanya) dan normatif (membentuk kesadaran manusia,
sehingga bisa sesuai dengan kenyataan sebagaimana adanya). Untuk
melakukan dua hal ini, fi lsafat kesadaran tidak bisa hanya menimba
ilmu dari ilmu pengetahuan dan fi lsafat barat saja, namun juga dari
fi lsafat timur.
Memahami Kesadaran
Kesadaran manusia bukanlah otaknya. Maka, kesadaran tidak
dapat dipahami dengan pendekatan biologis atau neurologis (saraf)
semata. Kesadaran juga bukanlah semata fenomena empiris yang
bisa ditangkap dengan indera manusia. Lebih dari itu, kesadaran
juga bukanlah semata konsep yang bisa dipahami dengan akal budi
manusia.
Penelitian tentang kesadaran, sampai pada titik paling dalam,
menunjuk kan, bahwa konsep ini kosong. Tidak ada kesadaran di dalam
diri manusia. Lebih tepat dirumuskan, tidak ada kata dan konsep
yang sanggup menjelaskan makna kesadaran secara memadai. Maka
dapat juga disimpulkan, bahwa memahami kesadaran manusia berarti
menyadari sepenuhnya, bahwa ia kosong secara konseptual.
Di dalam fi lsafat timur, terutama di dalam tradisi Zen, memahami
kesadaran berarti memahami inti dari seluruh alam semesta, sebab
manusia dan alam semesta memiliki substansi kesadaran yang
sama. Maka dari itu, dapat dikatakan, bahwa memahami kesadaran
berarti menjalani perubahan kesadaran. Proses ini berarti menyadari
seutuhnya, bahwa kesadaran bukanlah sebuah rumusan konseptual
yang bisa didiskusikan dengan bahasa dan konsep, melainkan sesuatu
yang dialami seccara langsung sebagai ada, tanpa penjelasan apapun.
saat orang menyadari ini, maka ia menjalani perubahan kesadaran
mendasar, yang berarti juga perubahan perilaku, dan perubahan
mendasar seluruh hidupnya.
Kesadaran manusia ada, sebelum segala bentuk pikiran, konsep,
bahasa ataupun kata ”kesadaran” itu sendiri. Memahami dan menyadari
ini secara otomatis membawa perubahan mendasar pada cara berpikir
dan cara hidup seseorang. Inilah pendekatan normatif di dalam
fi lsafat kesadaran. saat banyak orang menyadari ini, maka otomatis
hidupnya akan dibaktikan untuk kepentingan bersama, institusi-
institusi yang kokoh bisa berdiri dan keadilan serta kemakmuran
bersama bisa dicapai.
Ada hubungan yang amat erat antara perubahan kesadaran dan
proses pembangunan warga yang adil dan makmur. Filsafat
politik dan semua ilmu sosial tidak akan bisa mewujudkan keadilan
dan kemakmuran, tanpa mendorong perubahan kesadaran mendasar di
tingkat hidup pribadi. Aspek politik dari fi lsafat kesadaran dan aspek
personal dari fi lsafat politik inilah yang luput dari beragam kajian di
kedua bidang ini .
Penjajahan Mainstream
Sekelompok anak muda Indonesia berkumpul. Mereka saling berbagi cerita. Segala ketakutan dan harapan mereka diutarakan satu sama
lain. Yang menarik, polanya sama.
Mereka takut hal yang sama: tidak punya uang. Mereka merindukan
hal yang sama: mendapatkan uang yang banyak. Mereka benar-
benar merasa, bahwa ketakutan dan harapan mereka mencerminkan
kebenaran. Inilah pola hidup generasi anak muda Indonesia di awal
abad 21 ini.
”Mainstream”
Setiap jaman memiliki ”mainstream”-nya sendiri. Inilah yang
disebut sebagai Zeitgeist, atau semangat jaman. Di awal abad 21 ini, kita
hidup di masa ”uang”. Segala hal diukur dengan uang. Jika sesuatu,
semurni dan setulus apapun itu, tidak memiliki nilai ekonomis, maka
ia dianggap tidak berharga.
Banyak orang ikut serta secara sukarela dan tanpa sadar di dalam
”mainstream” ini. Mereka mengikuti pola hidup yang sama. Mereka
memiliki selera yang sama. Mereka memiliki pola pikir yang sama.
Di sisi lain, mereka juga mempunyai ketakutan yang sama. Mereka
khawatir akan hal yang sama. Mereka memilih hal-hal yang serupa,
sekaligus menolak hal-hal yang sama. Para anggota ”mainstream” ini
hidup bagaikan gerombolan domba yang disetir oleh kekuatan di luar
mereka, yakni kekuatan ”mainstream”.
Yang tercipta kemudian yaitu hidup yang sepenuhnya dangkal,
yakni hidup yang sepenuhnya ditujukan untuk kenikmatan diri sendiri
dalam bentuk penumpukan uang. Orang tidak lagi memiliki visi
pribadi yang lebih luas tentang kehidupan sebagai keseluruhan. Ia
hanya ikut arus dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya.
Akar dari semua ini yaitu ketakutan. Orang mengira, jika ia
tidak ikut arus ”mainstream”, maka ia tidak akan selamat. Ketakutan
ini juga didukung oleh fakta di Indonesia, bahwa negara hampir tidak
hadir untuk melindungi rakyatnya, hampir di segala bidang. Akhirnya,
orang harus memikirkan semuanya sendiri melulu untuk keselamatan
dirinya dan keluarganya.
Berpartisipasi dalam Penindasan
Mengapa hidup mengikuti arus ”mainstream” ini bermasalah?
Pertama, dengan mengikuti gaya hidup ”mainstream”, orang secara
tidak langsung berpartisipasi dalam melestarikan struktur ketidakadilan
sosial yang ada di warga . Di dalam struktur sosial sekarang ini,
sekelompok orang kaya di atas kemiskinan begitu banyak orang
lainnya. Dengan mengikuti gaya hidup ”mainstream”, tanpa sikap
kritis apapun, berarti orang setuju dan mendukung struktur sosial
yang menindas semacam ini.
Kedua, orang yang hidup mengikuti ”mainstream” secara tidak
sadar dimanfaatkan untuk keuntungan pihak lain. Mereka menjadi
benda atau obyek yang diperas demi kepentingan pihak lain. Seringkali,
kepentingan pihak lain itu yaitu semata demi meningkatkan
keuntungan, dan seringkali dengan merugikan pihak-pihak lainnya.
Para anggota ”mainstream” ini kerap tidak sadar, kalau mereka hanya
barang atau alat yang diperas semata.
Di dalam warga konsumtiv kapitalistik sekarang ini, kita
semua yaitu komoditi yang siap dijual. Informasi tentang diri
kita disebar di Internet untuk dijual kepada pembeli tertinggi. Kita
seringkali tidak sadar dengan hal ini, sebab kita sibuk memuaskan
kepentingan diri kita akan uang. Kita sibuk mengikuti gaya hidup
”mainstream” yang menyembunyikan penindasan dan ketidakadilan
besar di baliknya.
saat kita hidup seperti domba mengikuti pola ”mainstream”, kita
merusak warga yang memang sudah rusak. Kita menjadi korban
sekaligus pelaku yang melestarikan ketidakadilan sosial. Bagaimana
keluar dari lingkaran setan semacam ini? Bagaimana supaya kita
terhindar dari penjajahan ”mainstream” ini?
Belajar dan Bertanya
Yang jelas, kita perlu mengembangkan kemampuan berpikir
kritis. Kita perlu belajar dan bertanya tentang jalan hidup yang kita
pilih, apakah ini ikut melestarikan ketidakadilan yang ada, atau
menguranginya. Kita juga perlu melihat ke dalam diri kita, apakah kita
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan
tidak adil, atau tidak. Kita perlu mencari informasi dan bertanya pada
orang-orang yang tercerahkan, supaya kita tidak menjadi domba yang
ikut arus ”mainstream”, dan secara tidak sadar merugikan banyak
orang.
Tidak semua orang memiliki kekuatan dan kehendak untuk
sungguh mengubah keadaan sosial menjadi lebih baik bagi banyak
orang. Namun, setiap orang punya kekuatan untuk tidak ikut me-
nambah ketidakadilan yang ada. Ini bisa dilakukan, jika kita bersikap
kritis terhadap pola hidup ”mainstream”. Bukankah lebih baik kita
hidup sederhana dan bersahaja, daripada hidup mewah bergelimangan
harta hasil dari penipuan dan ketidakadilan sosial di dalam struktur
warga kita?
Teknologi, Ekonomi dan Ekologi
Banyak orang masih hidup dalam anggapan lama. Mereka mengira, bahwa kemajuan ekonomi suatu negara tergantung
pada perkembangan teknologi di negara ini . Jika kita ingin maju
secara ekonomi sebagai suatu bangsa, maka kita harus membangun
industri-industri berat yang berpijak pada teknologi canggih, seperti
pesawat, mobil, satelit, internet dan sebagainya. Ahli ekonomi ternama
sampai dengan pedagang di pinggir jalan di Indonesia masih hidup
dan bekerja dengan anggapan ini.
Filsafat, Sains dan Teknologi
Teknologi yaitu anak dari ilmu pengetahuan. Teknologi ada-
lah rekayasa alam demi pemenuhan kepentingan manusia dengan
memakai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sendiri ber-
kembang dari usaha manusia untuk memahami alam dengan metode
eksperimental (melalui rangkaian percobaan dan penggalian data) dan
empiris (hanya mengakui apa yang bisa dicerna dengan panca indera
dan diukur dengan memakai statistik).
Ilmu pengetahuan sendiri yaitu anak dari fi lsafat, yakni usaha
manusia untuk secara rasional, kritis, logis dan sistematis di dalam
memahami segala sesuatu di sekitarnya. Ilmu pengetahuan me-
nyempitkan fi lsafat ke dalam metode eksperimental dan data empiris
semata. Teknologi lalu menyempitkan ilmu pengetahuan ke dalam
rekayasa teknis semata, guna menghasilkan mesin dan prosedur
tertentu untuk mengubah alam demi kepentingan manusia. Semua ini
dilihat sebagai aktivitas yang mampu mengembangkan ekonomi suatu
negara secara khusus, dan peradaban manusia secara umum.
Hampir semua negara di dunia menanamkan uang yang sangat
besar untuk mengembangkan fi lsafat, sains dan teknologi di negara
mereka. Milyaran rupiah dipakai untuk mendanai beragam bentuk
penelitian yang berpusat di universitas-universitas dan pusat-pusat
penelitian. Begitu banyak hal baik yang muncul dari perkembangan
fi lsafat, sains dan teknologi ini, mulai dari terciptanya sistem politik
dan ekonomi yang mengedepankan martabat manusia, sampai dengan
perkembangan teknologi kedokteran yang menyelamatkan begitu
banyak orang dari kematian, akibat penyakit. Namun, batas akhir kini
mulai tampak.
Krisis Ekologi
Anggapan lama tentang hubungan erat antara perkembangan
ekonomi dan kemajuan teknologi kini mulai digoyang. Perkembangan
teknologi tidak otomatis menciptakan perkembangan ekonomi,
melainkan sebaliknya, ia justru mendorong terciptanya kesenjangan
sosial dan, yang terpenting, kerusakan lingkungan. Beragam industri
dibangun untuk menghasilkan beragam produk secara cepat, murah
dan banyak. Namun, begitu banyak limbah dihasilkan oleh beragam
industri ini .
Sampai sekarang, industri pengolahan limbah di berbagai negara
masihlah amat lemah. Limbah dan sampah hasil produksi pabrik
banyak sekedar ditimbun ke tanah dan dibuang ke laut begitu saja.
Akibatnya, lingkungan menjadi rusak. Air menjadi tercemar oleh
polusi, dan begitu banyak ekosistem laut rusak, akibat limbah yang
dibuang begitu saja.
Negara-negara miskin dipaksa menjual tanahnya kepada negara-
negara kaya untuk pembuangan limbah. Akibatnya, lingkungan sekitar
tempat pembuangan limbah ini rusak. Panen gagal dan air
tercemar. Orang-orang yang tinggal di daerah sekitarnya pun menjadi
sakit, dan terpaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka.
Yang paling parah memang industri pertambangan. Pertambangan
tidak hanya menghasilkan limbah yang besar, tetap secara agresif
merusak alam, demi mengambil sumber daya alam yang terkandung
di dalamnya. Gunung diratakan demi emas yang ada di dalamnya.
Hutan dibabat habis demi minyak ataupun logam-logam lainnya yang
terkandung di tanahnya.
Ini semua yaitu hasil dari perkembangan teknologi yang
mendorong pembangunan beragam industri, mulai dari industri tekstil
sampai dengan pertambangan raksasa. Pendek kata, industri-industri
buah dari perkembangan teknologi ini merusak alam, dan demikian
juga menciptakan penderitaan yang berat, baik secara ekonomi, kultural,
sosial, politik maupun kesehatan, kepada berbagai komunitas di dunia.
Dalam arti ini, perkembagan teknologi tidak mendorong perkembangan
ekonomi, melainkan justru pengrusakan alam, dan pemiskinan berbagai
komunitas di dunia, terutama komunitas-komunitas di daerah miskin
di dunia. Perkembangan teknologi telah menjadi begitu tanpa arah dan
kehilangan kendali, sehingga justru menghasilkan penindasan global
terhadap mereka-mereka yang miskin.
Mengubah Anggapan
Anggapan lama ini harus dibuang sekarang ini. Fokus kita
bukanlah mendorong perkembangan teknologi untuk perkembangan
ekonomi lagi, namun mendorong pembagian kekayaan secara merata
ke seluruh dunia. Kata ”perkembangan” haruslah ditinggalkan, dan
diganti dengan kata ”pembagian”. Dunia ini cukup untuk menunjang
hidup yang bermartabat untuk semua mahluk hidup di dalamnya, asal
ditata dengan adil, yakni menciptakan pembagian yang adil dan merata
untuk semua mahluk, tanpa kecuali. Obsesi pada ”perkembangan”
teknologi dan ”perkembangan ekonomi” justru merusak lingkungan
hidup dan menghancurkan ekonomi itu sendiri.
Untuk bisa mencapai arah ini, kita perlu melepas pandangan
antroposentris yang bercokol di kepala kita. Pandangan ini menekankan,
bahwa manusia yaitu mahluk spesial di alam ini yang berhak untuk
mengatur semuanya demi memuaskan kebutuhan dan kepentingannya.
Pandangan ini salah kaprah, dan justru menghancurkan semua mahluk
hidup, termasuk manusia sendiri. Kita perlu melihat diri kita sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta ini.
Hanya dengan begitu, peradaban manusia bisa bergandengan
tangan dengan seluruh alam semesta ini dan menciptakan komunitas
yang adil dan makmur untuk semua, tanpa kecuali. Ini disebut juga
sebagai kesadaran etis-ekologis. Kesadaran ini jauh lebih penting dari
obsesi pada perkembangan teknologi untuk perkembangan ekonomi
semata. Kesadaran ini berpijak pada ”pembagian” sumber daya yang
merata demi kehidupan semua mahluk hidup, dan bukan kehidupan
segelitir orang saja.
Untuk apa kaya dan maju secara teknologi, namun kita tidak
lagi bisa menghirup udara segar di depan rumah kita? Untuk apa
memakai telepon seluler seri terbaru dan mobil canggih, namun
selalu melihat saudara kita di belahan dunia lain tercabik oleh perang
dan kemiskinan? Untuk apa? Apakah hidup hanya sekedar mobil
mewah, rumah indah, dan memiliki semua peralatan canggih?
Melampaui Dogmatisme
Apakah anda pernah melihat orang yang saling berdebat satu sama lain? Ataukah anda sendiri pernah terlibat perdebatan dengan
orang lain, atau kelompok lain? Perdebatan muncul, sebab perbedaan
pendapat, yakni saat dua orang melihat sesuatu dari sudut pandang
yang berbeda. Masalah muncul, saat keduanya merasa, bahwa
mereka masing-masing memegang kebenaran mutlak.
Biasanya, perdebatan semacam ini diakhiri dengan pertengkaran.
Sangat sedikit perdebatan dengan pola semacam ini yang berakhir
dengan kesepahaman. Ini terjadi, sebab kedua belah pihak memegang
erat pendapat mereka, dan menutup telinga dari pendapat pihak
lainnya. Inilah salah satu bentuk dogmatisme yang bisa dengan mudah
kita temukan dalam hidup sehari-hari.
Pada tingkat yang lebih luas, dogmatisme dapat dengan mudah
dilihat di dalam agama dan politik. Keyakinan agama dan politik
tertentu dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh ditanya.
Siapa yang berani bertanya, apalagi mengritik, dianggap sebagai
musuh yang harus dihancurkan. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa
dogmatisme yaitu penyakit paling berbahaya di dalam kehidupan
bersama umat manusia.
Dogmatisme
Dogmatisme yaitu keyakinan mutlak tanpa tanya pada suatu
bentuk rumusan konseptual. Rumusan ini bisa dalam bentuk
perintah moral, atau penjelasan atas sesuatu yang tak boleh lagi
dipertanyakan. Segala hal di alam semesta ini selalu bisa untuk
dipertanyakan. Namun, dogmatisme melarang segala bentuk pertanyaan
ini .
Yang sering ditemukan yaitu dogmatisme di dalam bidang moral
yang berpijak pada keyakinan agama tertentu. Orang hidup dengan
keyakinan mutlak atas kebenaran pikiran diri dan kelompoknya. Ia
pun bergerak untuk memaksakan keyakinan ini pada orang lain.
Tidak ada toleransi dan kelembutan di dalam penerapannya.
Orang dogmatis dapat dianggap seperti orang yang buta pikirannya.
Ia menutup mata dari kenyataan dunia ini yang beragam dan terus
berubah. Orang ini seringkali tidak sadar, bahwa ia bersikap dogmatis.
Ia memaksakan tata nilainya ke dirinya sendiri dan ke orang lain,
tanpa ada kesadaran sedikit pun, bahwa dunia ini dipenuhi dengan
ketidakpastian dan perubahan.
Selain buta, orang dogmatis juga biasanya dipenuhi ketakutan. Ia
merasa, jika dunia berjalan tidak sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai
hidupnya, maka semua akan hancur. Ia mengira, bahwa seluruh alam
semesta ada dan bergerak dengan berpijak pada nilai-nilai hidup yang
ia yakini tanpa tanya. Tak salah juga jika dikatakan, sikap dogmatis
tidak hanya terkait dengan kebutaan dan ketakutan, namun juga dengan
kebodohan.
Dogmatisme juga membuat suatu nilai yang sejatinya baik menjadi
rusak. Setiap orang perlu hidup dengan nilai di dalam hidupnya.
Namun, saat nilai ini diyakini secara dogmatis, maka nilai
itu akan menjadi sumber masalah bagi hidup pribadi orang ini ,
maupun hubungannya dengan orang lain. Dogmatisme meruntuhkan
keluruhan suatu nilai, dan menjadikannya sumber pembenaran bagi
segala bentuk kekerasan dan kejahatan.
Orang yang dogmatis juga akan cenderung mengalami penderitaan
di dalam dirinya, sebab keyakinannya akan terus berbenturan dengan
kenya -taan yang ada. Benturan ini menghasilkan penderitaan tidak
hanya di dalam batinnya, namun juga penderitaan bagi orang-orang
yang di sekitarnya. Kesadaran akan sikap dogmatis di dalam diri ini
lalu kerap kali mendorong orang untuk mencari jalan keluar.
Melampaui Dogmatisme
Bagaimana keluar dari penyakit dogmatisme semacam ini? Yang
jelas, kita harus terlebih dahulu sadar pada segala bentuk sikap dan
pikiran dogmatis di dalam diri kita. Apakah kita punya kepercayaan
yang tidak boleh lagi dipertanyakan? Jika masih ada satu saja
kepercayaan di dalam hidup kita yang tidak boleh lagi digoyang
dengan pertanyaan, maka kita yaitu orang yang dogmatis.
Akar dari dogmatisme yaitu kelekatan pada ide. Kelekatan yaitu
anggapan, bahwa orang tidak bisa hidup tanpa suatu ide tertentu. Pada
tingkat yang lebih luas, orang yang melekat ini berpikir, bahwa dunia
ini akan hancur, jika tidak ditata dengan satu cara tertentu yang tidak
boleh dipertanyakan. Kelekatan juga berakar dalam pada ketakutan
dan kebodohan, atau lebih tepatnya pada kesalahan berpikir di dalam
melihat dunia.
Jika kelekatan yaitu akar dogmatisme, maka jalan keluar dari
penyakit dogmatisme yaitu dengan mencabut akar kelekatan. Akar
kelekatan bisa dicabut, jika kita mengubah struktur kesadaran kita,
yakni dengan menyadari sepenuhnya, bahwa segala kenyataan yang
tampil di depan mata dan pikiran kita yaitu sesuatu yang terus
berubah. Akibat dari perubahan yang terjadi di setiap saatnya ini,
maka dapat juga dikatakan, bahwa kenyataan yang di depan mata
dan pikiran kita yaitu semu. Ia bukanlah kenyataan sesungguhnya,
sebab saat kita menyebutnya sebagai kenyataan, ia segera pergi
dan berubah.
Dengan sampai pada kesadaran ini, kita lalu secara otomatis
melepas kelekatan yang kita miliki. saat kita melepaskan kelekatan,
kita melepaskan dogmatisme. Bersamaan dengan itu juga, segala bentuk
ketakutan dan kebodohan, yakni kesalahan berpikir di dalam melihat
kenyataan, juga lenyap. saat ketakutan, dogmatisme dan kelekatan
lenyap, maka perdamaian antar manusia sekaligus kedamaian di dalam
diri menjadi kenyataan.
Sikap Alami
Apa yang terjadi, saat orang melepaskan segala bentuk
dogmatisme di dalam dirinya? Apa yang terjadi kemudian, saat orang
melepaskan segala bentuk kelekatan, ketakutan dan kesalahan berpikir
di dalam dirinya? Yang terjadi kemudian yaitu orang ini kembali
ke jati diri alamiahnya. Hidup nya menjadi sepenuhnya mengalir di
dalam kenyataan yang terus berubah, sekaligus bisa menanggapi
berbagai keadaan yang muncul secara tepat dan jernih.
Segala bentuk kekerasan juga lenyap. Ini terjadi, sebab tidak ada
lagi keterpisahan antara diri pribadiku dengan alam semesta. Dengan
kata lain, saat segala bentuk kelekatan dan dogmatisme dilepas,
maka orang kembali terhubung dengan alam semesta. Ia yaitu alam
semesta, dan alam semesta yaitu dia.
Perdamaian dunia tidak akan pernah tercipta, jika orang masih
hidup dalam kelekatan dan dogmatismenya masing-masing. Uang
dan beragam proyek perdamaian bisa digelontorkan. Akan namun , jika
semua itu masih menyelipkan satu bentuk dogmatisme dan kelekatan
saja, maka semuanya akan berantakan. Bukankah itu yang kita alami
sekarang ini?
Kejahatan dari Kebaikan
Sejak kecil, kita diajarkan untuk berbuat baik. Kita diajarkan
untuk membantu orang yang kesupaya n. Kita diajarkan untuk berani
bertindak, saat orang lain membutuhkan bantuan kita. Semua ini
tentu baik.
Berbuat baik yaitu nilai yang cukup universal. Semua agama dan
fi lsafat mengajarkannya. Ini ditemukan di semua peradaban yang telah
dikenal ma nusia. Namun, ada masalah tersembunyi di sini.
Bahaya dari Berbuat Baik
Banyak perbuatan baik justru membuat susah orang lain. Banyak
orang akhirnya hidup dalam ketergantungan pada kebaikan orang
lain. Mereka menjadi malas untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam
hidupnya. Pepatah lama kiranya benar, bahwa jalan ke neraka kerap
kali dilapisi dengan kehendak baik.
Pada masalah -masalah yang lebih parah, perbuatan baik justru
membunuh orang lain. Perbuatan baik menciptakan hubungan-
hubungan antar manusia yang tidak adil. Hitler memusnahkah orang
Yahudi atas nama kehendak baik kepada rakyat Jerman pada awal
abad 20. Suharto membantai ratusan ribu atas nama kehendak baik
bagi kejayaan Republik Indonesia.
Sekarang ini, ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) membunuh,
menyiksa dan memperkosa warga di Irak dan Suriah. Mereka melaku-
kannya atas nama agama. Mereka mengira, perbuatannya yaitu
perbuatan baik untuk agama dan bangsanya. Pola yang sama ditemu-
kan di kelompok teroris Islam radikal Boko Haram di Nigeria Utara.
Mengapa begitu banyak perbuatan baik justru menghasilkan
penderitaan yang lebih besar? Mengapa kehendak baik seringkali
bermuara pada mala petaka? Mengapa berbuat baik justru berbahaya?
Mari kita kupas bersama.
Kebaikan dan Kejernihan
Berbuat baik menjadi petaka, saat itu dilakukan dengan pamrih.
Kehendak baik menjadi jalan ke neraka, saat ia dilumuri dengan
kepentingan kotor. Ini terjadi, sebab orang yang berbuat baik tidak
memiliki kejernihan pikiran. Pikirannya dilumuri dengan perhitungan
untung rugi dan nafsu jahat.
Enomiya-Lasalle, Zen Master dari Jerman, menegaskan, bahwa
kejernihan hanya mungkin, jika orang sudah memahami jati diri
sejatinya. Jati diri sejati terletak sebelum segala bentuk pikiran, bahasa
dan konsep. Seluruh ajaran fi lsafat, mistik dan agama di seluruh dunia
mengajarkan kita untuk menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia.
Sayangnya, kita lebih terpaku pada ajaran moral dan ritual, daripada
jati diri sejati kita sebagai manusia.
Dengan menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia, kita lalu
juga sadar, bahwa jati diri sejati kita sama dengan jati diri sejati seluruh
alam semesta. Kita semua yaitu satu. Tidak ada perbedaan. Perbedaan
hanya dibuat oleh bahasa, konsep dan pikiran yang kita rumuskan
sendiri.
Man Gong, Zen Master asal Korea, juga menegaskan, bahwa
tugas utama kita sebagai manusia yaitu menyadari jati diri sejati
kita. Semua tugas lain perlu dikesampingkan, supaya kita bisa sampai
pada kesadaran semacam ini. Tanpa kesadaran akan jati diri sejati
kita sebagai manusia, hidup kita akan terus dipenuhi penderitaan,
walaupun kita kaya dan sukses di mata warga . Menyadari jati
diri sejati kita yaitu tugas asli kita sebagai manusia, saat dilahirkan
ke dunia.
Kejernihan yang lahir dari kesadaran ini membuat kita juga menjadi
kritis. Kita tidak lagi menjadi manusia naif yang gampang percaya. Kita
melihat kenyataan yang sebenarnya, dan bukan lagi kenyataan yang
diberikan kepada kita oleh media, atau pihak-pihak lain yang hendak
menyembunyikan kebenaran. Kita tidak lagi gampang tertipu oleh
segala bentuk pencitraan.
Bentuk Berbuat baik
Seung Sahn, Zen master asal Korea, merumuskan empat bentuk
berbuat baik. Ini penting sekali untuk diperhatikan. Yang pertama
yaitu berbuat baik dalam bentuk pemenuhan kebutuhan fi sik. saat
ada orang lapar, kita beri makan. saat orang kehausan, kita beri
minum. Ini bentuk tindakan baik yang paling rendah.
Yang kedua yaitu bertindak baik dengan memberi inspirasi
pada orang lain untuk mandiri. Orang lain memperoleh inspirasi,
supaya ia lalu bisa bekerja sendiri. Ia juga bisa memotivasi dirinya,
saat keadaan menjadi sulit. Ia menjadi api bagi dirinya sendiri untuk
berkembang.
Yang ketiga yaitu berbuat baik dengan menjelaskan kepada
orang lain hakekat sesungguhnya dari kenyataan yang ada. Artinya,
kita mengajarkan kepada orang lain tentang kebenaran dari kenyataan
sebagaimana adanya. Kita tidak menipu mereka dengan ajaran maupun
konsep yang terlihat indah, namun palsu. Dengan kata lain, kita mem-
berikan ”kebenaran” kepada orang lain.
Yang keempat, dan tertinggi, yaitu berbuat baik dengan men-
jelaskan fungsi yang tepat dari segala sesuatu kepada orang lain,
sehingga orang lain bisa memakai segala hal yang ia punya
untuk menolong semua mahluk. Di dalam tradisi Zen, ini disebut
juga jalan BodhisaĴ va. Orang tidak menolak apapun. Orang menerima
segala nya, termasuk hal-hal yang dianggap jelek oleh warga , dan
kemudian memakai semuanya untuk menolong semua mahluk.
Namun, kesadaran akan fungsi yang tepat dari segala sesuatu ini
hanya mungkin, jika kita menyadari jati diri sejati kita. Keduanya tidak
bisa dipisahkan. Untuk mencapai ini, orang kerap kali perlu mengalami
penderitaan di dalam hidupnya. Penderitaan disini dilihat sebagai
bagian dari jalan menuju kesadaran.
”Jangan” Berbuat Baik
Keempat bentuk kebaikan di atas harus dilakukan, jika kita sudah
memperoleh kejernihan di dalam batin dan pikiran kita. Jika pikiran
kita masih kacau oleh kepentingan diri dan nafsu kotor, maka jangan
berbuat baik. Jika kita pikiran kita masih dilumuri oleh perhitungan
untung rugi, maka jangan berbuat baik. Perbuatan baik yang didasari
oleh pamrih dan kekacauan pikiran justru akan melahirkan kejahatan
dan penderitaan yang lebih besar.
Dalam arti ini, kita perlu menolong diri kita sendiri terlebih dahulu,
sebelum menolong orang lain. Kita perlu berbuat baik pada diri kita
sendiri dulu, sebelum kita berbuat baik pada orang lain. Artinya, kita
perlu untuk ”selesai” dengan segala pamrih dan perhitungan di dalam
diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum membantu orang lain. Jika
kita belum ”selesai” dengan diri kita sendiri, maka jangan membantu
orang lain.
Bukankah orang buta menuntun orang buta akan membuat
keduanya masuk ke dalam jurang?
Hubungan yang Memisahkan
Kita hidup kini di dalam jaringan dunia virtual. Begitu banyak orang menghabiskan waktunya di beragam situs jaringan sosial
di Internet, seperti Facebook, Path, Instagram dan sebagainya. Beragam
situs ini menjadi sumber informasi utama. Bahkan tak berlebihan jika
dikatakan, bahwa situs-situs ini kini menjadi media pendidikan utama
begitu banyak orang di dunia sekarang ini.
Dengan bantuan situs-situs di dunia virtual ini, orang merasa
didekatkan satu sama lain. Mereka merasa dekat dengan teman
mau pun keluarga, walaupun dipisahkan oleh jarak dan waktu.
Para aktivis sosial dan politik bahkan memakai situs-situs ini
untuk menyebarkan misi dan pandangan mereka. Namun, apakah
hubungan yang diciptakan melalui situs-situs dunia virtual ini sungguh
merupakan sebuah hubungan yang bermutu?
Pendangkalan Sosial
Kita sering melihat orang-orang berkumpul di suatu tempat,
namun mereka sibuk sendiri dengan teleponnya masing-masing.
Mereka bersama, namun tidak bersama. Mereka dekat, sekaligus jauh.
Badan mereka di tempat yang sama. Namun, pikiran mereka terpisah
ribuan, bahkan ratusan ribu kilo meter.
Komunitas di dunia sehari-hari terpisah, saat justru komunitas
di dunia virtual bertumbuh. Orang lebih nyaman dengan layar
komputer, daripada dengan wajah temannya, atau justru keluarganya.
Komunikasi pun menjadi sedemikian dangkal, sebab terbatas pada
beberapa potong kalimat di layar komputer ataupun telepon genggam
yang kerap kali justru menciptakan kesalahpahaman. Gerak tubuh dan
mimik wajah, yang merupakan bagian penting dari komunikasi antar
manusia, kini terlupakan.
Situs-situs di dunia virtual ini, yang juga disebut sebagai jaringan
sosial, yaitu bentuk hubungan yang memisahkan. Mereka menciptakan
hubungan semu yang justru menghancurkan hubungan antar manusia
yang sejati. Mereka justru memecah hubungan antar manusia. Mereka
menjadikan hubungan antar manusia menjadi sedemikian dangkal dan,
seringkali, penuh kepalsuan serta kebohongan.
Yang tercipta kemudian yaitu keterputusan antar manusia.
Komunikasi sejati digantikan dengan komunikasi palsu dan semu.
Ketidakpedulian pun tercipta. Orang lebih sibuk mengejar gosip
terbaru, daripada memikirkan tantangan-tantangan kehidupan bersama.
Orang lalu mengalami pengalihan isu secara terus menerus. Orang
lebih sibuk menyunting foto makanan terbaru, daripada bekerja sama
untuk mengurangi kemiskinan dan ketidakadilan di berbagai belahan
dunia. Orang lebih terpikat pada barang-barang elektronik terbaru,
daripada perang dan penderitaan yang diderita oleh tetangganya.
Orang tergeser dari hal-hal penting dalam kehidupan, dan digiring
masuk seperti kambing ke dalam ranah pembodohan dan pendangkalan
dalam bentuk konsumsi tanpa batas.
Solidaritas pun menjadi kata-kata yang hampir punah. warga
mengalami atomisasi dan distraksi tanpa henti. Komunitas-komunitas
sejati untuk menggiring perubahan terpecah. Komunitas-komunitas
gosip dan pemuja barang-barang konsumsi bertumbuh subur, bagaikan
jamur di musim hujan. Jika solidaritas mati, maka kerja sama antar
manusia untuk mengatasi beragam tantangan bersama pun juga pada
akhirnya akan mati.
Masalah-masalah baru tercipta. Kesenjangan sosial antara si kaya
dan si miskin di berbagai belahan dunia kini semakin besar. Gerak
korporasi rakus di berbagai belahan dunia kini seolah tanpa kontrol.
Tak terasa, umat manusia kini bergerak dengan gembira sekaligus
bodoh menuju kehancurannya sendiri, tanpa ia sadari.
Memutuskan untuk Menyambung
saat pola komunikasi antar manusia menjadi dangkal dan palsu,
maka manusia-manusia yang berkembang dalam pola komunikasi
semacam itu pun akan menjadi dangkal dan palsu. Maka dari itu,
pola komunikasi yang ada pun harus diubah. Dalam konteks ramainya
situs-situs jaringan sosial dengan pendangkalan serta pemalsuan
informasi, kita perlu memutuskan diri dari semua itu, supaya justru
bisa membangun komunikasi yang sejati. Kita perlu memutus jaringan
justru untuk membangun jaringan yang sejati.
Melepaskan diri dari jaringan sosial yang menipu dan mendangkal-
kan membuat kita berjarak dari keadaan. Jarak akan mendorong
refl eksi dan analisis yang lebih mendalam. Dari sini akan tercipta
kebijaksanaan. Kebijaksanaan membantu kita secara kritis memilah
beragam informasi yang ada, dan membuat keputusan terbaik dari
segala kemungkinan yang ada.
Pada akhirnya, bukankah hidup akan menjadi begitu hampa dan
dangkal, jika diisi dengan konsumsi tanpa batas dan berita-berita penuh
kebohongan belaka?
Pendidikan dan Kemajuan Ekonomi
Banyak orang mengira, bahwa tingkat pendidikan seseorang langsung terkait dengan perkembangan tingkat ekonominya. Arti-
nya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar
kemungkinannya untuk menjadi kaya. Anggapan ini tersebar begitu
luas dan tertanam begitu dalam di berbagai warga di dunia.
Anggapan ini juga menjadi dasar dari begitu banyak kebijakan pen-
didikan di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Penelitian Terbaru
Berbagai penelitian terbaru di Jerman dan Austria juga mendukung
anggapan ini. Ludger Wössmann menulis artikel berdasar pe-
nelitiannya dengan judul Gute Bildung schaff t wirtschaftlichen Wohlstand:
Bildung aus bildungsökonomischer Perspektive (2012). Ia menegaskan,
bahwa pendidikan yang tepat akan mendorong seseorang untuk
mendapatkan pekerjaan yang bermutu untuk mengembangkan
hidupnya. Namun, ia juga mengingatkan, bahwa pendidikan yang
terpaku pada aspek ekonomi belaka justru akan mengurangi daya saing
seseorang di pasar tenaga kerja.
Hasi l penelitian Wössmann ini ditunjang oleh penelitian serupa
yang dibuat di Austria dengan judul Bildung 2025 – Die Rolle von
Bildung in der österreichischen Wirtschaft (2015). Pendidikan yang
murah dan bermutu akan meningkatkan kualitas tenaga kerja, dan
akhirnya juga akan mendorong perkembangan ekonomi keseluruhan.
Namun, yang dibutuhkan yaitu pendidikan yang bersifat lintas
ilmu dan lintas budaya. Pendidikan semacam itu tidak hanya akan
menghasilkan manusia-manusia yang terampil bekerja, namun juga
kreatif di dalam menemukan ide-ide baru untuk mengembangkan diri
dan warga nya.
Penelitian yang dibuat di dalam OECD-Studie (Organisation for
Economic Cooperation and Development- terdiri dari 34 negara) (2013)
juga memberi kesimpulan yang sama. Kualitas pendidikan yang
baik serta terjangkau mendorong tingkat ekonomi suatu negara. Tidak
hanya itu, pendidikan yang terjangkau dan bermutu juga mendorong
daya tahan suatu negara, saat krisis melanda. Model Jerman, dengan
pemisahan antara pendidikan universitas yang teoritik-abstrak dan
pendidikan Ausbildung yang berfokus langsung pada keterampilan
kerja, menjadi model yang layak dijadikan contoh bagi negara-negara
lain.
Ketiga penelitian yang saya kutip di atas juga menegaskan, bahwa
pendidikan haruslah mengambil bentuk campuran (Mix-Qualifi kationen).
Ia tidak boleh hanya mengajarkan satu hal semata secara dogmatis.
Di samping itu, ia juga harus terjangkau oleh rakyat banyak. Negara
harus mencari cara untuk memberi subsidi bagi lembaga-lembaga
pendidikan, sehingga ia terjangkau oleh seluruh rakyat, dan jika perlu
bebas biaya sama sekali.
Pendidikan yang Memperbodoh
Pendidikan yang hanya berfokus pada satu hal saja justru
menghancurkan tujuan pendidikan itu sama sekali. Dengan kata lain,
pendidikan semacam itu hanya memperbodoh peserta didik. Di banyak
negara, juga di Indonesia, banyak lembaga pendidikan berfokus semata
pada pendidikan ekonomi. Model pendidikan yang hanya terpaku
pada pendidikan ekonomi sempit semata justru akan menghancurkan
dunia pendidikan itu sendiri, dan memperlambat kemajuan ekonomi,
atau bahkan justru merusaknya.
Argumen ini ditopang oleh dua penelitian yang dilakukan
oleh Julian Nida-Rümelin di dalam bukunya yang berjudul Philosophie
einer Humanen Bildung (2013) dan Ha-Joon Chang di dalam bukunya
yang berjudul 23 Things They Don’t Tell You About Capitalism (2011).
Kedua penelitian ini sampai pada kesimpulan, bahwa pendidikan
lebih luas dari sekedar pengembangan ekonomi belaka. Pendidikan
yang sejati mendorong orang untuk menjadi warga negara yang baik
di dalam warga demokratis. Model pendidikan semacam ini tidak
hanya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas untuk
kemajuan ekonomi, namun juga manusia-manusia yang bisa secara aktif
dan kreatif terlibat dalam pengembangan kehidupan warga secara
keseluruhan di berbagai bidangnya, mulai dari seni, budaya, sampai
dengan politik.
Di Indonesia, kita juga banyak menemukan adanya lembaga-
lembaga pendidikan yang fokus pada nilai-nilai agama semata. Yang
diajarkan hanyalah ajaran suatu agama tertentu, dan menutup mata
pada perkembangan di bidang-bidang lainnya. Pendidikan semacam
ini juga memperbodoh, sebab ia akan menciptakan manusia-manusia
fanatik yang ketinggalan jaman, dan tidak memiliki keterampilan yang
dibutuhkan untuk mengembangkan diri dan warga nya. Akibatnya,
banyak lulusannya terjebak dalam kemiskinan, dan akhirnya jatuh ke
dalam kriminalitas.
Pendidikan jelas membutuhkan pendidikan ekonomi. Pendidikan
juga jelas membutuhkan nilai-nilai religiositas. Namun, pendidikan
yang semata berfokus pada aspek ekonomi atau nilai-nilai agama
tertentu jelas akan menghancurkan pendidikan itu sendiri. Pendidikan
semacam ini justru akan menghancurkan keluhuran nilai-nilai agama
dan mengurangi daya saing ekonomi itu sendiri. Ini yaitu pendidikan
yang memperbodoh.
Bukankah suatu bentuk penyiksaan, jika kita belajar di lembaga
pendidikan yang hanya mengajarkan kita untuk menghafal ajaran
agama tertentu secara dogmatis atau hitung-hitungan ekonomi yang
kerap kali tidak akan pernah kita gunakan di dalam hidup kita?
Apa yang Terpenting?
September 2015, industri mobil dunia terguncang oleh skandal. Volkswagen, salah satu produsen terbesar mobil dunia asal Jerman,
melanggar ketentuan terkait dengan jumlah emisi mobil-mobil hasil
produksinya. Harga saham Volkswagen menurun drastis. Pemecatan
besar-besaran serta denda milyaran Euro pun sudah menunggu di
depan mata.
Banyak analisis diajukan atas masalah ini. Intinya yaitu ,
Volkswagen telah menipu pemerintah dan warga terkait dengan
jumlah polusi yang dihasilkan oleh mobil-mobilnya. Ia tidak hanya
melanggar hukum dan menodai kepercayaan warga , namun juga
merusak alam. Pola pelanggaran semacam ini sudah terjadi begitu
sering di dunia. Perusahaan-perusahaan multinasional mengabaikan
semua hal, demi mendapatkan keuntungan yang lebih banyak lagi.
Pertanyaan kecil p un menggantung di kepala saya. Mengapa
perusahaan yang sudah begitu kaya dan besar masih saja terjebak pada
kerakusan akan uang? Bukankah mereka sudah amat sangat kaya,
bahkan untuk ukuran perusahaan mobil raksasa yang usianya sudah
hampir 100 tahun? Apa yang sebenarnya terjadi?
Salah Paham
Yang jelas, Volkswagen mengalami kesalahpahaman mendasar.
Mereka mengira, bahwa uang yaitu hal terpenting dalam hidup.
Akibatnya, mereka menipu pemerintah dan warga , guna mendapat
uang lebih banyak lagi. Sayangnya, pandangan yang salah semacam
ini justru memukul balik Volkswagen itu sendiri.
Volkswagen tidak sendiri. Begitu banyak orang mengalami ke-
salahpahaman yang sama. Mereka mengira, hal terpenting di dunia
yaitu uang. saat uang banyak, mereka justru bingung, dan akhirnya
melakukan hal-hal yang justru menghancurkan diri mereka sendiri.
Mereka bilang, mereka butuh uang untuk hidup. Ini akhirnya
menciptakan semacam lingkaran setan yang tidak masuk akal. Orang
bekerja untuk hidup, sementara hidupnya diisi dengan bekerja lebih
banyak lagi. Tak heran, dengan pola hidup semacam ini, banyak orang
menderita dalam hidupnya.
Banyak orang juga bilang, bahwa mereka mencari uang untuk
keluarga. Ini tentu masuk akal dan benar. Akan namun , apakah bisa
dibenarkan, jika kita mencari uang untuk keluarga kita, dan menipu
keluarga-keluarga lainnya? Lagi pula, seberapa banyak sih uang yang
kita butuhkan untuk menghidupi keluarga kita? Milyaran Euro?
Kebingungan menghasilkan kesalahpahaman semacam ini.
Kesalahpahaman akhirnya membuahkan penderitaan yang lebih
banyak lagi. Kita tidak paham, apa yang terpenting dalam hidup ini,
dan akhirnya melakukan hal-hal bodoh. Orang lain pun kena getahnya,
akibat dari kebodohan kita.
Yang Terpenting
Lalu, apa yang terpenting dalam hidup ini? Jawabannya jelas bukan
uang. Saya bahkan berani berpendapat, bahwa yang terpenting dalam
hidup ini pun bukan hidup itu sendiri. Keluarga, bahkan memahami
”tuhan”, pun juga bukan merupakan hal terpenting dalam hidup ini.
Hidup, uang, keluarga dan tuhan tentu penting, namun bukanlah yang
terpenting.
Yang terpenting dalam hidup ini yaitu memahami, siapa kita
sebenarnya. Kita punya tugas utama dalam hidup ini, yakni menyadari
jati diri sejati kita sebagai manusia. Jika kita bisa menyadari ini, maka
kita akan menemukan kebebasan serta kebahagiaan yang sejati. Kita
pun lalu bisa membantu mengembangkan kehidupan orang lain dan
warga kita.
Ini bukan hanya pandangan saya. Beragam pandangan di berbagai
belahan dunia juga berpendapat yang sama. Tradisi Vedanta di India,
fi lsafat Stoa di Yunani Kuno, tradisi Mistik Kristen, tradisi Sufi sme
di Islam, tradisi Zen di Jepang dan pandangan hidup suku Sioux di
Amerika Utara menanyakan pertanyaan penting yang sama, siapakah
kita sesungguhnya? Pertanyaan ini yaitu pertanyaan terpenting di
dalam hidup manusia.
Jati Diri Sejati
Yang jelas, kita bukanlah nama kita. Nama yaitu pemberian orang
tua. Itu bisa diganti. Kita juga bukan agama, ras ataupun suku kita.
Semua itu bisa berubah.
Kita perlu mencari yang tak berubah di dalam diri kita. Tubuh kita
berubah. Pikiran kita pun berubah. Yang tak berubah yaitu jati diri
sejati kita sebagai manusia.
Jati diri ini yaitu kesadaran murni (pure awareness) kita. Namun,
kesadaran bukanlah otak. Otak yaitu bagian dari tubuh. Dan kita
jelas bukanlah tubuh kita.
Kesadaran inilah yang memungkinkan kita membaca tulisan ini.
Kesadaran inilah yang memungkinkan kita terus bernafas. Ia yaitu
sumber dari segala aktivitas di dalam diri kita. Ia selalu ada, bahkan
saat kita pikun, atau masuk dalam keadaan koma.
Kesadaran Murni
Sayangnya, kita sering lupa pada jati diri sejati kita ini. Kita lupa,
bahwa kita bukanlah identitas sosial kita. Kita melupakan jati diri sejati
kita, meskipun ia selalu ada bersama kita. Untuk melampaui kelupaan
semacam ini, ada satu metode yang bisa dipakai , yakni metode
mencerap (perceiving method).
Sejak kita lahir di dunia ini, kita sudah mencerap segala sesuatu.
Kita merasakan segala sesuatu secara langsung. Kita tidak menilai
ataupun menganalisis. Kita bisa mencerap, sebab kita memiliki
kesadaran murni di dalam diri kita.
Lalu, kita belajar bahasa dan konsep dari keluarga kita. Kita juga
belajar di sekolah. Kita juga mulai belajar untuk melakukan analisis dan
penilaian atas segala sesuatu. Akhirnya, kita berhenti untuk mencerap,
dan selalu memakai daya analisis dan daya penilaian di dalam
hidup kita.
saat ini terjadi, kita melupakan jati diri sejati kita, yakni kesa-
daran murni kita. Kita terjebak pada dunia konsep dan dunia analisis.
Kita menilai segala sesuatu. Kita pun sulit untuk menemukan kedamai-
an dan kebahagiaan di dalam hidup kita, sebab terlalu banyak berpikir.
Analisis jelas diperlukan di dalam hidup kita. Daya penilaian
juga amat penting. Namun, keduanya bukanlah yang terpenting. Yang
terpenting yaitu kesadaran murni kita.
Kesadaran murni juga merupakan sumber dari daya analisis dan
daya penilaian kita. Kesadaran murni ini tidak dapat ditunjuk, namun
dapat dengan mudah dirasakan. Kita hanya perlu berhenti untuk
menganalisis dan menilai. Kita hanya perlu mencerap segala yang ada
dari saat ke saat, tanpa analisis dan tanpa penilaian.
saat ini dilakukan, pikiran kita menjadi jernih. Kita menemukan
ketenangan, kebebasan dan kebahagiaan di dalam diri kita sendiri. Kita
lalu bisa menolong diri kita sendiri dan orang lain. Kita bisa berfungsi
dengan baik sebagai manusia.
Melampaui Kelekatan
saat kita menyadari kembali kesadaran murni kita, segala
kelekatan pun hilang. Kita tidak lagi melekat pada harta, uang,
jabatan, keluarga dan bahkan pada hidup itu sendiri. Kita menemukan
kebebasan yang sejati.
Dengan kata lain, kita tidak lagi kecanduan pada uang, kuasa,
jabatan dan bahkan hidup itu sendiri. Kita bisa memakai itu
semua sesuai fungsinya. Kita juga bisa memakai itu semua untuk
membantu orang lain. Bahkan, kita bersedia mati untuk menyelamatkan
orang lain.
saat kita menyadari kembali kesadaran murni kita, kita
menciptakan jarak dengan segala hal. Kita tidak lagi terikat dengan
identitas sosial maupun pikiran-pikiran kita. Kita lalu sadar, bahwa itu
semua terus berubah, dan amat rapuh. Jarak semacam ini menciptakan
kejernihan dan kewarasan di dalam diri kita.
Dengan kejernihan dan kewarasan, kita bisa hidup dengan jernih
dari saat ke saat. Kita mencerap dari saat ke saat. Kita memakai
analisis dan penilaian, jika diperlukan. Selebihnya, kita beristirahat di
dalam rumah kesadaran murni di dalam diri kita sendiri.
Jika setiap orang menyadari kesadaran murni di dalam dirinya,
hidup bersama akan menjadi mudah. Perbedaan tidak menjadi sumber
bagi konfl ik, melainkan sumber bagi dialog. Politik menjadi efektif dan
efi sien. Korupsi, kolusi dan nepotisme pun hanya tinggal kenangan.
Jika para pemimpin Volkswagen belajar hal ini, tentu mereka
tidak akan terjebak dalam skandal. Pemerintah dan warga juga
tidak akan tertipu mentah-mentah. Alam juga tidak akan rusak, sebab
kerakusan mereka. Namun begitu, kesempatan masih terbuka, juga
bagi Volkswagen.
Untuk apa kekayaan berlimpah, namun kita tidak mengenal, siapa
diri kita? Untuk apa nama besar dan jabatan tinggi, namun kita hidup
dalam kelekatan dan penderitaan? Untuk apa memiliki kecerdasan
tinggi, namun terjebak terus dalam kecemasan dan kesepian? Saya harap,
kita mulai tergerak untuk melakukan tugas utama kita di dalam hidup,
yakni menyadari kembali jati diri sejati kita sebagai manusia.
Kita sudah Lelah
Pembakaran hutan di Indonesia yaitu masalah lama. Ini sudah
terjadi bertahun-tahun. Namun, masalah ini semakin besar belakangan
ini, saat asap mulai menutupi beragam tempat di Indonesia dan
beberapa negara tetangga. Kerugian yang diciptakan oleh musibah ini
menyentuh berbagai bidang kehidupan.
Hutan rusak. Keseimbangan ekosistem alam terancam. Ini tentu
akan membawa beragam dampak lingkungan lainnya. Kita juga
belum menghitung jumlah hewan dan tumbuhan yang mati, akibat
pembakaran hutan ini .
saat kabut asap me nutupi berbagai tempat, masalah kesehatan
pun muncul. Banyak orang menderita infeksi saluran pernapasan atas,
akibat masalah ini. Bahkan, di beberapa tempat, korban jiwa pun sudah
berjatuhan. Jika terus berlanjut, beragam masalah kesehatan lainnya
juga akan muncul.
warga sudah tahu, bahwa perusahaan-perusahaan besar
yaitu pelaku utama pembakaran hutan ini. Mereka tidak lagi
percaya pada perusa haan-perusahaan ini . Ketidakpercayaan
sosial semacam ini menciptakan keresahan sosial. Dari keadaan ini,
banyak masalah sosial lainnya juga akan muncul, mulai dari konfl ik
antar kelompok, sampai dengan kekerasan terhadap orang-orang yang
tak bersalah.
Dalam banyak masalah , pelaku utama pembakaran hutan ini
tetap tidak tersentuh. Ini tentu menjadi masalah hukum tersendiri.
Perusahaan-perusahaan besar, banyak darinya yaitu perusahaan
asing, menyuap pegawai pemerintah dan aparat hukum, sehingga
mereka lolos dari gugatan hukum. Hal ini tidak hanya merusak
kewibaan hukum Indonesia, namun juga merendahkan konstitusi dasar
negara ini sendiri.
Kekuasaan Bisnis
Cuaca yang semakin panas juga tidak membantu. Ini terjadi,
akibat perubahan iklim yang kini sedang melanda bumi ini. Jika
ditelisik lebih dalam, para pelaku utama pengrusakan lingkungan
yang memicu perubahan iklim ini jugalah para perusahaan
besar, terutama perusahaan-perusahaan multinasional. masalah penipuan
Volkswagen dan beberapa perusahaan mobil lainnya belakangan
menunjukkan hal ini dengan jelas.
Ignatius Wibowo, pakar ekonomi politik Indonesia, juga melihat
peran negara dalam hal ini. Negara tidak hanya membiarkan berbagai
pelanggaran ini terjadi, namun justru mendukungnya. Negara, katanya,
menjadi centeng dari perusahaan-perusahaan besar. Ini membuat
seluruh keadaan menjadi semakin rumit.
Di dalam penelitiannya, Herry Priyono, fi lsuf dan pakar ekonomi
politik, juga berulang kali menegaskan kekuasaan perusahaan-
perusahaan besar ini. Ia merumuskan semacam teori kekuasaan bisnis.
Tidak ada kontrol demokratis dari rakyat pada perusahaan-perusahaan
ini. Akibatnya, mereka bisa bertindak semuanya untuk meningkatkan
keuntungan, walaupun itu merugikan warga luas.
Beberapa perusahaan multinasional juga memiliki sumber daya
raksasa yang melebihi negara. Dengan kekayaan semacam ini, mereka
bisa mempengaruhi berbagai kebijakan nasional maupun internasional,
demi keuntungan mereka sendiri. Yang menjadi korban yaitu negara
miskin, terutama rakyat miskin yang hidup di negara miskin. Jutaan
orang di berbagai belahan dunia meninggal setiap tahunnya sebagai
akibat