Tampilkan postingan dengan label bencana alam 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bencana alam 5. Tampilkan semua postingan

bencana alam 5

 






Kematian adalah suatu keniscayaan bagimakhluk hidup. Semua orang percaya

bahwa pada suatu saat nanti mereka akan

meninggal. Tetapi anehnya, kejadian

kematian memberi efek yang berbeda-beda

pada setiap individu. Reaksi seseorang

terhadap kematian sangat dipengaruhi oleh

cara terjadinya kematian. Berdasarkan

jenisnya, kematian dapat dikategorikan

menjadi: (1) kematian  alami yang dapat

diantisipasi (misal, mengidap kanker, AIDS,

atau penyakit berat lainnya), (2) kematian

alami yang tidak dapat diantisipasi (misal,

serangan jantung, kecelakaan/bencana), (3)

kematian “tidak alami” yang disebabkan

pembunuhan, atau bunuh diri ,Sebagian ahli

menemukan bukti-bukti bahwa jenis

kematian tidak bertalian dengan

Kematian Akibat Bencana dan

Pengaruhnya Pada Kondisi Psikologis

Survivor:Tinjauan Teoritis Tentang Arti

Penting Death Education

Yulianti Dwi Astuti

Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

penyembuhan duka , tetapi banyak ahli lainnya

menyebutkan bahwa jenis kematian

mempengaruhi pengalaman atau reaksi

duka seseorang 

Duka cita atas kematian seseorang atau

sesuatu yang dicintai adalah masalah

kesehatan mental yang paling menantang

dan paling sering dihadapi oleh seorang

konselor. Kematian seseorang yang dicintai

mungkin merupakan pengalaman

kehilangan yang paling mempengaruhi

individu secara fisik, emosional, dan spiri-

tual (James & Friedman, 1998). Perasaan

duka (respon emosional individu atas

kehilangan yang dialami) mencakup seluruh

emosi alamiah manusia yang mengiringi

kehilangan tersebut. Hampir semua orang

setuju dengan pernyataan Parkes (1996)

bahwa kesedihan akan berakibat pada

respon emosional, kognitif, fisik, dan

perilaku.

Terkait dengan kematian akibat

bencana, Indonesia, sejak akhir tahun 2004

sampai April 2005 ini mengalami berbagai

musibah besar yang telah memakan

ratusan ribu korban jiwa seperti jatuhnya

pesawat Lion Air di Surakarta, kecelakaan

kereta api, kecelakaan bis dan yang

terbesar adalah tanggal 26 Desember 2004

dengan datangnya gempa dan gelombang

Tsunami yang memakan korban lebih dari

150.000 jiwa di Aceh dan Sumatera Utara.

Disusul lagi gempa bumi pada bulan Maret-

April yang melanda Nias, Padang dan

beberapa daerah lain yang diperkirakan

menimbulkan ribuan korban jiwa. Hal ini

tentu memberikan dampak yang berat bagi

para survivor yang telah menyaksikan

keluarga maupun orang yang dikenalnya

meninggal akibat bencana tersebut.

Kecelakaan atau kejadian alam yang

menyebabkan hilangnya banyak nyawa

(lebih dari 25 orang) dikenal sebagai

bencana atau katastropi. Penyebab

bencana yang paling sering adalah cuaca

(gelombang panas, gelombang dingin, badai

salju, taufan salju, angin topan, tornado,

banjir), api (kebakaran), gempa bumi,

jatuhnya pesawat udara; kecelakaan kereta,

kecelakaan kapal, dan kecelakaan lainnya.

Selain itu kegagalan struktural bangunan

(gedung/jembatan/dam runtuh) juga

memakan banyak korban. Bencana yang

melibatkan pesawat udara, kereta api, dan

bis pada umumnya lebih sering

dipublikasikan dibanding kecelakaan mobil,

walaupun sebenarnya angka kematian

penumpang akibat kecelakaan mobil dan

motor pertahun secara signifikan lebih tinggi

dibanding alat transportasi yang lain.

Bencana apapun pasti menciptakan

sejumlah tekanan psikologis pada diri

seseorang, tetapi stress yang akut terutama

terjadi bila ada banyak korban jiwa. Reaksi

pertama individu terhadap bencana

bermacam-macam mulai dari shock/

terguncang, ketakutan, kesedihan, dan

kemarahan (rage), yang mungkin mendorong

ke arah suatu pengingkaran atas peristiwa/

bencana  yang terjadi. Sense of control

individu atas hidupnya dan banyak hal-hal

yang predictable dan riil terancam oleh

datangnya bencana yang tak terduga ini.

Carson dan Butcher (dalam Aiken,

2001) menguraikan bahwa sindrom bencana

terdiri dari tiga tahap. Pertama-tama korban

memasuki stage of shock (tahap shock/

tergoncang), dimana ia bingung, terpaku,

bersikap apatis, dan mengalami rasa

kehilangan kendali. Tahap berikutnya adalah

suggestible stage, sepanjang tahap ini

mereka menganggap diri mereka sebagai

suatu massa tak berbentuk yang cenderung

bertindak pasif dan menurut/compliant.

Mereka menunjukkan kelambatan

psikomotorik, emosi yang datar, somno-

lence, dan dalam beberapa kasus dapat

terjadi amnesia (hilangnya memori) tentang

data/identifikasi pribadi. Mereka tak pedulian

dan dengan mudah dipengaruhi. Yang

terakhir adalah recovery stage (tahap

kesembuhan), yang terjadi ketika survivor

sudah menerima bantuan. Tahap ini dimulai

dengan berangsur-angsur hilangnya

ketegangan, pengertian, dan kecemasan

yang meluas. Pada akhirnya individu yang

selamat tersebut akan mendapat kembali

keseimbangannya. Pada tahap ini survivor

biasanya mengalami suatu kebutuhan yang

mendesak untuk membicarakan tentang

bencana yang dialaminya tersebut, mereka

menceritakannya berulang-ulang, dengan

penekanan dan detil yang serupa.

Trauma akibat kejadian mengejutkan

yang berlangsung satu sampai tiga bulan

masih dikatakan sebagai reaksi yang nor-

mal. Kondisi ini disebut Posttraumatic

stress disorder  (PTSD) apabila perasaan

cemas, mimpi buruk, dan bayangan-

bayangan peristiwa yang berhubungan

dengan bencana, cenderung jadi mudah

terkejut, bermasalahan dalam hubungan

sosial dan melakukan penyalahgunaan obat

penenang atau pengalaman lain yang stress-

ful masih terjadi lebih dari bulan ketiga

setelah kejadian atau bahkan bertahun-

tahun kemudian  (Hiew,2005).

Faktor Faktor  yang Mempengaruhi

Proses Duka Cita

Berbagai faktor mempengaruhi

kesedihan yang dialami oleh korban, antara

lain  bagaimana hubungan individu dengan

orang yang meninggal misalnya: orangtua,

anak, mitra, atau teman ,

Sebagai tambahan, berbagai aspek internal

dari individu yang ditinggalkan

mempengaruhi reaksi mereka terhadap

kehilangan seperti kerentanan kepribadian



Beberapa variabel tertentu mempunyai

efek yang berbeda, tergantung dari tahap

kesedihannya  Sebagai contoh, variabel yang

berorientasi pada kehilangan seperti

keadaan kematian atau jenis kematian

menjadi lebih penting pada tahap awal dari

kehilangan,  sedangkan variabel restorasi

seperti memberikan aktivitas sosial lebih

relevan pada tahap yang lebih lanjut.

Berbicara tentang variabel mana yang

berdampak pada pengalaman duka, tidak

mengejutkan jika hubungan seseorang

dengan orang yang meninggal sangat

mempengaruhi tanggapan emosional

individu terhadap kematian sebagai contoh,

hubungan seseorang (misal: ikatan

kekerabatan) dengan yang meninggal

mempunyai suatu efek tertentu pada reaksi

seseorang pada kehilangan. Reaksi yang

terjadi bervariasi, tergantung pada apakah

orang tersebut kehilangan orangtua, saudara

kandung, anak, mitra, rekan kerja, atau

teman; hubungan yang berbeda

menimbulkan tanggapan yang berbeda pula.

Kehilangan pasangan memiliki reaksi yang

berbeda dari kehilangan orangtua. Kematian

dari saudara kembar juga melibatkan

masalah unik tersendiri. Kehilangan seorang

teman mungkin sangat berbeda dari

kehilangan saudara kandung. Kualitas

keterikatan emosional (emotional attach-

ment) kepada individu yang meninggal

berperan sebagai variabel tambahan dalam

menentukan respon seseorang terhadap

kematian. Ikatan seseorang mempengaruhi

intensitas duka cita yang dialami dan

penyesuaiannya pada musibah tersebut

Peran

dari orang yang meninggal (apakah ia

merupakan pahlawan, pemberi nafkah

utama, atau kambing hitam keluarga),

mempunyai suatu efek tersendiri pada

proses duka cita. Jika individu yang

ditinggalkan mempunyai hubungan positif

dengan orang yang meninggal, maka

individu tersebut akan mengalami rasa

berduka yang lebih intens dibandingkan

individu yang hubungannya tidak terlalu

positif dengan almarhum  

Reaksi Keluarga atas kematian

anak

Kematian seorang anak secara

emosional dapat menghancurkan suatu

keluarga. Hal ini terutama terjadi manakala

terjadi kematian secara tak terduga, seperti

kecelakaan, bencana alam, bunuh diri, atau

penyakit yang mendadak fatal. Rasa

kehilangan ini umumnya lebih  sulit untuk

diatasi manakala anak telah mencapai taraf

perkembangan dimana ia sudah dapat

berinteraksi dengan orang tuanya. Jika hal

ini terjadi, orang tua mungkin merasa bahwa

mereka sudah gagal untuk memenuhi

kewajibannya sebagai orangtua dan dengan

demikian, secara langsung atau secara

tidak langsung, menyebabkan kematian

anaknya. Perasaan bersalah ini dapat

mempengaruhi kemampuan orang tua untuk

mengatasi duka citanya ,seiring

dengan rasa bersalah dan depresi yang

dialami, orang tua yang  anaknya menjadi

korban bencana merasakan ketidak-

berdayaan, frustrasi, dan marah karena hal

ini harus terjadi dan mereka tidak mampu

melakukan apapun untuk membantu

anaknya. Kemarahan mungkin  dilampias-

kan kepada pihak-pihak yang dianggap

bertanggung jawab atas tragedi tersebut

seperti pemerintah, diri mereka sendiri, dan

bahkan Tuhan. Perasaan ini menjadi sangat

intens dalam banyak kasus sehingga orang

tua tersebut tidak pernah kembali pulih

secara penuh; permasalahan emosional

yang berhubungan dengan kematian

mungkin tetap ada dalam suatu dekade atau

lebih. Ketika salah satu orangtua atau kedua-

duanya tidak mampu untuk membahas duka

cita mereka, kehidupan berkeluarga menjadi

terganggu. Alkoholisme, gangguan fungsi

seksual, gangguan tidur dan makan, dan

gejala kekacauan emosional lain adalah hal

yang biasa terjadi, menandakan adanya

suatu kebutuhan konseling psikologis atau

psikoterapi. Jika hal ini tidak ditangani,

reaksi yang berkenaan dengan orangtua ini

mungkin mendorong ke arah perpisahan dan

perceraian.

Schultz (1978) menyatakan bahwa

tidak hanya orang tua tetapi semua anggota

keluarga mungkin terpengaruh oleh kematian

anak. Kakek-nenek berduka dengan

perasaan lipat tiga: atas kematian cucunya,

untuk kesedihan putri atau putra mereka,

dan untuk diri mereka sendiri. Lebih jauh

lagi, orang tua sering sangat terpengaruh

oleh perasaan dan pemikiran mereka sendiri

atas kematian ini sehingga mereka mungkin

melalaikan anak-anak lainnya yang masih

hidup. Saudara kandung dari anak-anak

yang meninggal tersebut kemudian sering

merasa cemas, sangat kekurangan, kacau,

dan diasingkan. Jika saudara kandung

tersebut menyaksikan perubahan fisik dan

tingkah laku yang terjadi pada seorang anak

yang sekarat hal itu dapat membuat takut

saudara yang masih muda. Manakala anak

itu benar-benar meninggal dunia, anak-anak

yang selamat nyawanya tidak hanya

merasa sedih seperti semua orang dalam

keluarganya, tetapi mereka mungkin juga

merasa berdosa jika selama ini ia tidak

memperlakukan saudara kandungnya

dengan baik ketika masih hidup atau karena

mungkin mereka pernah berharap agar

saudaranya itu mati. Mereka mungkin juga

menunjukkan perilaku regresi dan

mengembangkan suatu ketakutan tidak

beralasan pada penyebab kematian

saudaranya tersebut (laut, pesawat, kereta,

rumah sakit, dan lainnya) dan pada

kematian. Jika diabaikan oleh orang tua,

perasaan ini dapat tetap bertahan dan

mempengaruhi stabilitas mental dan perilaku

emosional anak yang selamat dari bencana

di masa yang akan datang.

Sejumlah penulis (Green & Solnit, Po-

llock, dalam Aiken, 2001) menguraikan

tentang kerentanan psikologis dan adanya

kecenderungan yang lebih besar untuk

mempunyai masalah emosional pada diri

anak-anak yang selamat yang tetap

bertahan sampai masa dewasanya.

Persentase masalah penyesuaian  diri yang

tinggi (permasalahan dengan sekolah, takut

akan kematian dll) telah ditemukan dalam

diri anak yang selamat dari bencana. Anak-

anak ini sering bertindak defensif pada hal-

hal yang berhubungan dengan kematian,

menolak membicarakan atau mendengar-

kan orang tua memperbicangkan tentang

saudaranya yang meninggal .

Di sisi lain, sikap anak-anak yang

saudara kandungnya meninggal seringkali

lebih baik (sehat) daripada orang tua

mereka. Masa kanak-kanak adalah suatu

waktu yang fleksibilitasnya masih tinggi.

Frustrasi dan rasa kehilangan pada

umumnya dapat disesuaikan ke kondisi

wajar dengan cepat. Apa yang nampak

sebagai suatu pengalaman traumatis untuk

orang dewasa secara spesifik tidak menjadi

hal yang terlalu mengganggu untuk seorang

anak yang sedang tumbuh karena mereka

masih penuh dengan energi dan ketertarikan

akan kehidupan dan belajar. Bagaimanapun,

anak-anak perlu ditenangkan kembali

hatinya dan diperhatikan. Mereka harus

dibuat untuk merasakan bahwa mereka

adalah penting dan diperlukan (Wass &

Stillion, 1988). Setelah kejadian yang

melibatkan kematian, anak yang selamat

tidak boleh dilarang untuk menghadiri

pemakaman atau membicarakan peristiwa

tersebut. Mereka yang berada pada masa

middle childhood (6-10 tahun) dapat

memahami dengan pasti arti kehilangan dan

kematian serta arti dari suatu pemakaman,

maka orang dewasa harus meluangkan

waktu untuk menjelaskan kepada mereka

sesuai tingkat pemahaman mereka tentang

penyebab kematian saudaranya dan apa

maknanya. Jelaslah bahwa penting bagi

orang tua untuk menyelesaikan

permasalahan mereka sendiri yang

berhubungan dengan bencana ini secepat

mungkin agar mereka dapat membantu

anak-anak mereka yang selamat.

Dampak Kematian Orangtua pada Anak

Secara alami biasanya orang tua

meninggal terlebih dahulu dibanding anak-

anak mereka, yang umumnya terjadi setelah

anak-anak tumbuh besar. Bagaimanapun,

banyak anak yang mengalami kematian

sedikitnya satu  orangtua mereka pada usia

15 tahun karena penyakit, kecelakaan, atau

lainnya. Anak-anak muda pada umumnya

sangat tegar dalam menghadapi situasi

yang menyedihkan, tapi berhadapan dengan

kematian orangtua bisa menjadi suatu

tragedi untuk seorang anak. Barangkali

sebagian karena mereka mempunyai suatu

pemahaman tentang kematian yang masih

sedikit sehingga anak-anak yang lebih

muda mempunyai kesulitan yang lebih besar

dibanding orang yang lebih tua dalam

menyesuaikan diri dengan kematian dari

orangtua. Kematian saudara kandung,

sanak keluarga yang lain, teman, atau

bahkan binatang kesayangan sudah cukup

mengganggu, tetapi itu pada umumnya tidak

sebanding dengan reaksi emosional anak

dalam menghadapi kematian orangtuanya

atau figur yang dianggap sebagai orangtua

Anak-anak yang kehilangan seseorang

atau sesuatu yang begitu dekat dengannya

mungkin menunjukkan gejala yang sama

dengan orang dewasa seperti denial

(pengingkaran), bodily distress (sakit fisik),

kemarahan, reaksi bermusuhan kepada

meninggal dan orang lain, rasa bersalah atau

self-blame, depresi, kecemasan, bahkan

kepanikan. Mereka mungkin berkeberatan

untuk menerima kenyataan, mengidealkan

orang yang meninggal, mengaitkan sikap

dan tingkah lakunya dengan kejadian, dan

mencoba untuk menemukan orang yang

bisa menggantikan peran orang tuanya.

Bagaimanapun, mereka harus menyusun

kembali hidup mereka dan belajar untuk

hidup tanpa bantuan dan kehadiran orang

tuanya yang meninggal( Andrey dalam

Aiken, 2001).

Perasaan berduka pada Anak-Anak

Respon duka cita normal dari anak-anak

yang kehilangan orang tua hampir serupa

dengan orang yang mengalami masalah

berat, tetapi duka cita anak-anak tidak sama

persis dengan duka orang dewasa. Anak-

anak sedikit lebih sulit untuk menerima

suatu kematian, dan mereka kadangkala

masih menunjukkan duka cita selama

beberapa tahun, bahkan sampai masa

remaja.Anak muda yang berduka cita

mungkin sulit untuk percaya bahwa orangtua

mereka benar-benar telah meninggal,

memprotes dengan keras, dan mencoba

untuk menemukan suatu cara untuk

mendapatkan orangtua mereka kembali

(Bowlby, dalam Hiew, 2005). Di samping

menekan atau mengingkari rasa duka

mereka, anak-anak yang ditinggalkan

mungkin juga menggunakan mekanisme

pertahanan lain seperti identifikasi dengan

orang yang meninggal atau berangan-angan

tentang orang yang meninggal. Jika

mekanisme pertahanan gagal, perilaku anak

menjadi kacau, dan duka cita yang

sesungguhnya muncul.

Walaupun beberapa penelitian

menunjukkan bahwa tahap menjelang

kematian orangtua (yang sekarat) adalah

masa kerentanan psikologis yang paling

kritis pada anak-anak dibanding periode

setelah kematian, reaksi setelah kematian

juga perlu diperhatikan. Reaksi fisik yang

berhubungan dengan kedukaan pada anak-

anak pra-sekolah mencakup gangguan

makan, tidur, serta gangguan kendali buang

air besar dan kecil. Anak-anak usia sekolah

mungkin juga mengalami gangguan

somatik, disamping mengalami kesulitan

akademis dan menunjukkan sifat mudah

tersinggung, agresif, delinkuensi, dan reaksi

fobia. Berbeda dengan anak perempuan

yang cenderung depresif ketika berduka,

anak lelaki cenderung untuk melampiaskan

rasa duka mereka dengan cara yang bersifat

merusak ,

Anak-anak yang salah satu atau kedua

orang tuanya  meninggal juga cenderung

untuk lebih banyak memiliki masalah fisik

dan psikologis sebagai orang dewasa

dibandingkan anak-anak yang keluarganya

tetap utuh. Permasalahan tersebut antara

lain adalah perilaku antisosial, schizophre-

nia, depresi, dan kecenderungan bunuh diri.

Lloyd (1980) menarik kesimpulan dari

berbagai penelitian bahwa kedukaan karena

kematian orang tua yang terjadi pada masa

kanak-kanak dapat meningkatkan resiko

terjadinya depresi di masa dewasa sekitar

2 atau 3 kali lipat. Kadang-kadang depresi

menjadi-jadi terutama pada hari peringatan

kematian orangtua mereka sehingga sering

disebut dengan istilah anniversary reaction.

Walaupun pada akhirnya anak akan

menerima kenyataan dan mulai menyusun

kembali hidupnya, mengatasi rasa

kehilangan atas meninggalnya orangtua

tidak pernah mudah (dengan dukungan

sosial yang kuat sekalipun). Seperti halnya

pada orang dewasa, tingkat kerentanan (vul-

nerability) anak atas kematian orangtua

bervariasi tergantung pada  tingkat

dependensi anak pada orang tuanya

(Raphael, 1983). Faktor-faktor berikut

nampak sangat berhubungan erat dengan

permasalahan psikologis pada anak-anak

setelah kematian dari saudara kandung atau

orangtuanya (Krupnick dalam Aiken, 2001):

a. Kematian orang tua yang terjadi ketika

anak masih berumur di bawah 5 tahun

atau awal masa remaja

b. Kematian ibu yang  terjadi ketika anak

perempuan berumur di bawah 11 tahun

dan meninggalnya bapak untuk anak

lelaki di usia remaja

c. Kesulitan psikologis pada diri anak

yang sudah ada sebelum kematian

orangtua (semakin parah penyakit yang

sudah diderita sebelumnya, semakin

besar resiko postbereavement-nya)

d. Memiliki konflik hubungan dengan or-

ang yang meninggal beberapa saat

sebelum kematiannya

e. Orangtua (yang selamat) memiliki

kerentanan psikologis sehingga terlalu

bergantung pada anaknya

f. Kurangnya dukungan masyarakat atau

keluarga lainnya, atau orang tua tidak

bisa memanfaatkan sistem pendukung

yang tersedia

g. Lingkungan yang tidak stabil,

inkonsistensi, termasuk di dalamnya

caretaker yang berganti-ganti, dan

berubahnya rutinitas keluarga (contoh

yang ekstrin adalah perpindahan anak

ke panti asuhan)

h. Pernikahan kembali orangtua, jika ada

hubungan negatif antara anak dan figur

pengganti orangtua

i. Kurangnya pengetahuan tentang

kematian, kematian yang mendadak

(unanticipated death)

j. Berhadapan dengan kematian orang

tua atau saudara kandung yang

mengalami pembunuhan atau bunuh

diri

Proses dalam mengatasi kematian

orangtua menjadi lebih mudah kalau anak

memiliki sumber alternatif yang dapat

memberikan dukungan emosi dan

pemahaman. Pada dasarnya, duka cita

dapat diringankan dengan memberi

perasaan nyaman dan berharga pada diri

anak, selain itu kedukaan yang mendalam

juga dapat dicegah dengan mempersiapkan

individu menjadi lebih tangguh melalui

pendidikan tentang kematian ,

Pendidikan Kematian (Death Educa-

tion)

Sejak tahun 1990-an studi tentang

resiliensi (kemampuan untuk bangkit

kembali) dan kesejahteraan/kesehatan

psikologis telah banyak dilakukan. Ciri

kepribadian tertentu dapat membantu untuk

mengaktifkan “inner resilience” untuk

mengatasi kesulitan hidup dan kembali

sehat/normal. “ Self-Healing Person”

mempunyai kemampuan untuk mengatur

emosi mereka, bertindaklah secara antusias,

menunjukkan keseimbangan emosional

anak, remaja, dan orang dewasa yang

resilien dapat kembali normal setelah

mengalami trauma karena kemampuan

mereka untuk dapat mengatur sendiri

kondisi kognitif-emosional dan biologi yang

seimbang. Orang yang resilien dapat

mengatasi tekanan dengan baik, mereka

ramah, menunjukkanlah minat yang lebih

tinggi untuk berafiliasi pada orang lain

(McClelland, 1984) dan memiliki sikap

optimis. Mereka menyelesaikan krisis

secara cepat dengan komitmen dan self-

efficacy yang tinggi dan memiliki

pemahaman bahwa segala kesulitan dapat

dipahami, dikelola, dan memiliki makna bagi

kehidupan ,

Seperti halnya seks, kematian

merupakan bagian dari kehidupan sehingga

orang dewasa dan anak-anak perlu familiar

dengan kematian dan memahaminya.

Meskipun demikian, seperti juga pendidikan

seks, pengenalan tentang topik kematian

melalui kegiatan membaca, diskusi, dan

aktivitas lain di perguruan tinggi dan sekolah

kadang-kadang diangap berpotensi merusak

individu. Sebagian orang sudah berpendapat

bahwa diskusi tentang kematian dan hal-

hal yang terkait dengannya dapat membuat

kaum muda dan anak-anak menjadi cemas,

tertekan, dan tak berdaya, di samping itu

dapat meningkatkan pembunuhan, bunuh

diri dan menurunkan kepercayaan religius.

Fakta bahwa ketakutan itu pada umumnya

tak beralasan dapat dilihat dari perubahan

yang terjadi pada orang dewasa dan anak-

anak yang telah diberikan pendidikan dan

pelatihan yang berhubungan dengan thana-

tology. Hasilnya, pendidikan dan pelatihan

tersebut tidak menciptakan malapetaka

emosi melainkan menghasilkan peningkatan

dalam pengetahuan dan sikap peserta

tentang kematian sehingga menjadi lebih

resilien ketika berhadapan dengan kematian

seseorang ,

Pendidikan tentang kematian dan hal-

hal yang terkait dengannya perlu dirancang

untuk sekolah, perguruan tinggi, organisasi

kemasyarakatan, dan kelompok-kelompok

khusus. Tujuan pendidikan ini 

adalah memberi

pengetahuan praktis dan teoritis tentang

kematian karena kurangnya informasi yang

akurat tentang kematian dan hal-hal yang

terkait, tujuan terpenting adalah untuk

meningkatkan pengetahuan mereka tentang

kematian, di samping itu perlu juga

membiasakan diri mereka dengan organisasi

dan profesi (medis, bidang pemerintahan,

pemakaman, dll.) yang berhubungan

langsung dengan kematian. Tujuan yang lain

adalah untuk membantu individu belajar

untuk menghadapi (secara emosional)

kematian orang yang dicintai dan memiliki

hubungan dengannya. Di luar dua  tujuan

ini, tujuan yang lebih abstrak adalah

membantu memahami masalah sosial dan

etika yang  terkait dengan kematian.

Death Education untuk Anak-Anak

dan Remaja

Sebagian besar pengajaran tentang

kematian pada anak-anak muda bersifat in-

formal dan spontan (tanpa persiapan terlebih

dulu), tergantung pada situasi dan

pertanyaan yang diajukan oleh anak. Orang

tua dan guru pada umumnya membicarakan

tentang kematian hanya ketika anak

bertanya atau bertepatan dengan kematian

seseorang atau seekor binatang

kesayangan sehingga waktu tersebut

dianggap sebagai “ momen yang tepat” untuk

mengajarkan hal tersebut (Leviton & Forman,

1974). Jawaban atas pertanyaan anak

tentang kematian biasanya tergantung pada

konteks pertanyaan dan juga pada tingkat

kematangan anak. Sebagai contoh, anak

pra sekolah tidak memerlukan penjelasan

yang rumit seperti anak-anak yang lebih tua.

Kematian dapat diterangkan pada anak-anak

pra sekolah dengan terminologi biologis dan

fisik sederhana, tidak terlalu terperinci

ataupun abstrak. Sesungguhnya, kebutuhan

anak pra sekolah lebih pada memberi

keyakinan bahwa mereka dicintai dan tidak

akan ditelantarkan, bukan penjelasan yang

sangat akurat tentang kematian itu sendiri.

Di sisi lain, anak-anak yang lebih besar

harus diberitahu secara lebih detil dan diajak

berpikir sedikit lebih abstrak tentang arti

kehidupan dan kematian (Stein, 1974).

Orang dewasa harus jujur, sensitif,

simpatik, mendorong anak-anak untuk

menyatakan gagasan dan perasaan mereka

sendiri tanpa mempedulikan berapapun usia

mereka. Anak-anak perlu diberitahu jika ada

anggota keluarga atau individu lain yang

mereka kenal tengah sekarat, dan mereka

harus diijinkan untuk  berada di antara

mereka pada waktu tersebut. Anak-anak

usia sekolah harus didukung, tetapi tidak

dipaksa untuk menghadiri pemakaman

teman dan anggota keluarga, dan jika

mereka memutuskan untuk hadir, ceritakan

pada mereka apa yang akan mereka hadapi.

Bagaimanapun, melihat mayat, mengamati

jenasah yang sedang diturunkan ke dalam

kuburan, dan meninggalkan sahabat karib

atau kerabat dalam kuburan mungkin sangat

menyedihkan bagi anak pra sekolah.

Diperlukan perhatian khusus untuk

menentukan apakah anak-anak sudah siap

untuk pengalaman di pemakaman. Yang

terakhir, jika anak-anak mempertanyakan

tentang kehidupan setelah kematian, orang

dewasa perlu menyatakan kepercayaan

mereka sendiri tetapi juga harus mengakui

bahwa mereka tidak mengetahui seratus

persen tentang masalah itu.

Tingkat formalitas pendidikan kematian

di sekolah dasar dan sekolah menengah

bervariasi pada tiap sekolah dan guru, tetapi

sejumlah pendekatan telah diusulkan. Salah

satu pendekatan yang paling komprehensif

disusun oleh Gordon dan Klass (1979).

Pendekatan ini didasarkan pada empat

tujuan. Tujuan pertama terkait dengan

pertanyaan tentang apa yang terjadi jika

orang meninggal. Tujuan yang kedua terkait

dengan bagaimana cara menghadapi

kematian secara sehat. Tujuan ini tercapai

jika siswa sudah memepelajari cara yang

efektif terkait dengan kematian pribadinya

nanti dan kematian orang yang penting dalam

hidupnya. Tujuan yang ketiga terkait dengan

hal-hal praktis tentang bagaimana membuat

siswa mengetahui hal-hal yang terkait dengan

kematian seperti pelayanan medis dan jasa

pemakaman. Tujuan keempat dan kelima

bersifat paling abstrak, yaitu untuk membantu

siswa merumuskan masalah socioethical

yang berhubungan dengan kematian dan

untuk menggambarkan nilai jidment yang

diangkat oleh isu ini. Sasaran menjadi lebih

rumit dan abstrak pada tingkatan nilai/kelas

yang lebih tinggi, sehingga materi dan metode

khusus perlu dipakai  untuk mencapainya.

Sebagai contoh, syair/puisi, cerita, menulis/

menggambar, dan film sering bermanfaat

untuk mencapai sasaran afektif dari tujuan

kedua. Perjalanan ke kamar mayat, kuburan,

atau bangsal rumah sakit untuk pasien yang

sakit parah dapat memberi kontribusi penting

pada pelajaran anak-anak tentang kematian

dan kondisi menjelang kematian. Anak-anak

yang masih muda jarang menganggap

pengalaman ini yang menakutkan atau tidak

disukai, dan jika disiapkan terlebih dahulu

serta ditemani oleh orang dewasa yang

banyak tahu banyak serta sensitif, anak-anak

hampir selalu menganggapnya informatif dan

menarik.

Death education di perguruan tinggi In-

donesia belum dimasukkan secara resmi

pada setiap program studi, biasanya prgram

ini dianggap sebagai tanggung jawab dari

mata kuliah agama. Untuk mahasiswa dan

orang dewasa, pendidikan tentang kematian

tidak hanya bertujuan menambah

pengetahuan tetapi juga meningkatkan

sensitivitas terhadap perasaan dan

kebutuhan orang yang menjelang kematian

Di samping membaca, pemberian

kuliah dengan instruktur kursus, dan diskusi

kelas, beberapa aktivitas khusus menjadi

bagian dari pendidikan tentang death & dy-

ing di perguruan tinggi. Aktivitas ini termasuk

menggambarkan alasan mereka untuk

mengambil mata kuliah tersebut dan apa

yang mereka harapkan dari kuliah itu;

diskusi, tanya-jawab, rekaman

pembicaraan, dan film (yang

menggambarkan tentang kehidupan

seseorang menjelang kematiannya),

kunjungan ke minimal satu institusi yang

berhubungan dengan kematian (kuburan,

upacara pemakaman, atau krematorium;

gambar atau cerita dan syair/puisi yang

menggambarkan gagasan dan perasaan

seseorang tentang kematian; menuliskan

berita kematian dan tulisan di batu nisan

sendiri; serta bermain peran dalam drama

tentang kematian dan hal-hal terkait.

Semua orang dewasa sebenarnya tidak

memerlukan kursus formal tentang death &

dying agar menjadi lebih tahu tentang topik

tersebut. Banyak buku yang menyediakan

informasi bermanfaat untuk anak-anak

maupun orang dewasa tentang topik ini, tapi

bagaimanapun, guru dan orang tua harus

memastikan bahwa mereka cukup memiliki

pengetahuan seputar kematian, dan

kedukaan sebelum mencoba untuk memberi

penjelasan pada orang lain.

Memodifikasi Ketakutan akan

Kematian

Usaha untuk mengurangi ketakutan

terhadap kematian dengan kursus ataupun

pendidikan tentang kematian sebagian telah

memberikan, tetapi sebagian lainnya tidak

terlalu memberi hasil yang memuaskan.

Death education yang menggunakan

metode pengajaran didaktis dimana siswa

diberi informasi terperinci tentang kematian,

tetapi sangat sedikit atau bahkan tidak ada

usaha untuk mengurangi dan mengadakan

kontak dengan ketakutannya mungkin tidak

efektif dan tidak menurunkan kecemasan

siswa berkenaan dengan topik itu, sehingga,

nampaknya dibutuhkan metode pendamping

yang tidak bertujuan langsung mengubah

perasaan dan sikap pada kematian agar

death education yang diberikan menjadi lebih

efektif (Rasmussen et al., 1998). Beberapa

penelitian telah membuktikan bahwa

modifikasi perilaku dan psikoterapi (seperti

relaksasi dan manajemen stres) dapat

menjadi alat bantu yang efektif dalam

mengatasi ketakutan pada kematian

tersebut.

Seperti halnya dengan fobia yang lain,

ketakutan pada kematian yang ekstrim

(thanaphobia) biasanya merupakan

generalisasi dari ketakutan orang akan

terpisahnya dia dari orang-orang atau hal-

hal yang dicintainya, dan ketakutan akan

proses menjelang ajal karena rasa sakit yang

dihubungkan dengan kondisi tersebut.

Ketakutan akan kematian mungkin juga

berhubungan dengan objek atau situasi yang

spesifik, seperti ketakutan pada

pemakaman, hal-hal religius (ketidaktahuan

akan tuhan, ketidakpastian apakah mereka

nanti masuk surga atau neraka), hal-hal

supranatural dan sebagainya.

Ketakutan akan kematian yang ekstrim

biasanya tidak berdiri sendiri sebagai suatu

gejala, tetapi menjadi bagian dari pola umum

perilaku dan kognisi yang terganggu. Dalam

kasus tertentu, memusatkan treatment

hanya pada ketakutan saja tidaklah cukup.

Kehidupan dan permasalahan klien harus

didalami secara menyeluruh dengan

berbagai teknik yang dapat dipakai .

Dengan melihat sejarah pribadi klien, terapis

dapat mengungkapkan kondisi-kondisi yang

mempengaruhi dan mencetuskan ketakutan

tersebut, serta konsekuensi dari pikiran dan

perilaku yang berhubungan dengan hal itu.

Suatu program untuk mengatasi  ketakutan

pada kematian dapat dirancang dengan

menggunakan teknik-teknik seperti

desensitisasi sistematis, self-monitoring,

dan modeling.

Desensitisasi Sistematis yang

dikombinasikan dengan relaksasi progresif

dan counterconditioning, telah terbukti efektif

dalam treatmen pada  fobia (Martin &

Pear,1996). Pertama-tama, klien diajari

bagaimana melakukan relaksasi otot tubuh.

Kemudian klien akan dihadapkan pada

serangkaian stimuli penyebab ketakutannya

secara berjenjang/hierarkis, dimulai dari

stimuli yang paling sedikit menimbulkan

ketakutan sampai stimuli yang yang paling

ditakutkan. Pada awalnya, stimuli masih

bersifat simbolis (misal, membayangkan

suatu situasi), kemudian pada tahap

selanjutnya mereka dihadapkan pada stimuli

yang riil (misal, konfrontasi nyata dengan

obyek peristiwa, atau situasi yang

ditakutkan). Jika klien telah belajar untuk

mentoleransi stimulus tahap pertama, maka

hirarki stimulus berikutnya diperkenalkan,

dan seterusnya sampai semua stimuli

dalam hirarki telah menjadi desensitized.

Walaupun klien dan terapis pada umumnya

bekerja sama dalam merancang suatu

hirarki desensitisasi yang yang didasarkan

pada pengalaman klien, satu contoh hirarki

yang dapat diterapkan untuk kasus

ketakutan ekstrim pada kematian adalah

sebagai berikut:

1. Membaca buku yang menceritakan

tentang kematian seseorang.

2. Melihat lukisan-lukisan bertema

kematian.

3. Menonton film yang menggambarkan

tentang kematian seseorang.

4. Berjalan jalan di pemakaman dan

melihat-lihat nisan.

5. Mencoba menuliskan surat wasiat

6. Menghadiri pemakaman seseorang

yang dikenal dengan baik.

7. Membayangkan pemakaman kita

sendiri dan apa yang akan terjadi jika

kita meninggal.

Dalam teknik self-monitoring, klien

diminta untuk membawa sebuah catatan,

diary, dan sebuah jam terus menerus untuk

mencatat ketakutan yang mereka alami

beserta waktu, tempat, dan keadaan ketika

hal itu terjadi. Rekaman Informasi tersebut

kemudian  dilaporkan dan dibahas dengan

terapis. Menariknya proses self-monitoring

ini ternyata dapat mengakibatkan terjadinya

pengurangan munculnya ketakutan.

Meniru perilaku orang lain juga telah

terbukti efektif untuk menanggulangi fobia.

Dalam behavior modelling klien mengamati

orang lain yang berinteraksi dengan obyek

ditakutkan atau melakukan perilaku yang

ditakutkan tanpa menunjukkan suatu

ketakutan. Model dapat berupa seorang

yang riil atau seseorang yang diamati dalam

sebuah film. Klien dapat juga didukung untuk

berlatih melakukan perilaku ditakutkan

dalam sebuah role playing sebelum benar-

benar menghadapi situasi yang sebenarnya.


Selama ini kematian adalah suatu topik

yang kurang terkenal dan jarang dibahas

secara umum, sehingga kebanyakan

manusia kurang terbiasa dengan masalah

seputar kematian. Ada indikasi, bahwa

penolakan akan konsep kematian adalah

karakteristik dari budaya pertengahan abad

20 yang sekarang mulai berubah.

Kenyataan bahwa kematian adalah

komponen kehidupan untuk orang dewasa

dan anak-anak telah meningkatkan

perhatian dan ketertarikan akan topik ini di

Indonesia setelah bencana berulang kali

terjadi dan merenggut banyak nyawa

sekaligus

Kematian terbukti menimbulkan dampak

yang luas. Kematian seorang anak dapat

menghancurkan orang tua dan anggota

keluarga lainnya. Kecemasan, depresi, rasa

bersalah, dan kemarahan atas kematian

anaknya adalah reaksi yang umum terjadi

pada orangtua dan saudara kandung yang

dapat menjurus ke arah gangguan emosi dan

masalah keluarga yang lebih serius jika tidak

segera terpecahkan. Saudara kandung dari

anak-anak yang meninggal pada umumnya

lebih siap melakukan penyesuaian dibanding

anggota keluarga yang dewasa, terutama jika

orang tua tidak melalaikan anak-anak

tersebut selagi mereka mengawasi anak

yang sekarat atau mengurusi anak yang

meninggal.Orang tua harus melalui sejumlah

tahap sebelum dapat menerima fakta secara

penuh bahwa anak mereka tengah sekarat

atau telah meninggal. Perkabungan sudah

dimulai bahkan sebelum kematian anak, dan

hal ini dipandang sebagai suatu pertanda

positif bahwa  tersebut sedang berusaha

mengatasi masalah emosional mereka yang

berhubungan dengan kematian. Sebaliknya,

kematian orangtua bagi anak yang telah

terikat secara emosional, juga dapat

menghasilkan reaksi psikologis yang

ekstrim. Jika tidak ditangani dengan baik, hal

itu dapat mendorong ke arah kekacauan

emosional yang menetap di masa

dewasanya.

Pelajaran tentang death and dying telah

dirancang untuk berbagai kelompok informal

dan formal, mulai dari masa pra sekolah

sampai orang dewasa. Tujuan dari usaha

ini bersifat teoritis dan praktis, kognitif dan

afektif. Tujuan keseluruhan adalah untuk

membantu individu menghadapi kematian

mereka sendiri dan  orang lain yang penting

bagi mereka secara lebih efektif. Death edu-

cation dapat dilakukan dengan pemberian

informasi melalui pendekatan konvensional

(ceramah, kuliah, diskusi, film, membaca,

menulis tugas), dan juga melalui

pengalaman seperti perjalanan ke rumah

sakit, kamar mayat, kuburan, dan lokasi-

lokasi lain yang terkait dengan kematian.

Jika ketakutan pada kematian telah terlanjur

terbentuk, maka death education perlu

disertai dengan modifikasi perilaku dengan

teknik-teknik khusus (desensitisasi

sistematik, self monitoring dan modeling)

serta psikoterapi agar lebih efektif untuk

mengatasi ketakutan tersebut.l