ai biaya mendapatkan layanan
kesehatan. Intinya, membayar klinik kesehatan tidak perlu
dengan uang. Cukup dengan sampah.
Dengan keyakinan tinggi, Gamal pun menjalankan
gagasannya. Klinik kesehatannya pun bertransformasi
menjadi Garbage Clinical Insurance (GCI). Lokasinya di
Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Pada masa
awal berdiri, petugas GCI akan mendatangi warga yang
menderita sakit dan tak sanggup berobat ke rumah sakit
lantaran tak memiliki uang.
Kepada warga yang sakit, petugas GCI menyampaikan
bahwa mereka bisa memberikan layanan kesehatan, tanpa
warga harus membayar memakai uang. Cukup
membayar dengan sampah yang ada di rumah warga.
“Izinkan petugas kami memungut sampah nonorganik
di rumah warga yang sakit. Cukup itu saja syaratnya,”
kata Gamal. Dengan konsep seperti itu, GCI akhirnya
mengajarkan kepada warga untuk memilah sampah –
organik dipisah dari nonorganik – sejak dari rumah.
Perlahan namun pasti, warga Kedungkandang
pun mulai melirik GCI. Mereka tak keberatan memilah
sampah di rumah. Lewat konsep yang sederhana, Gamal
menularkan virus positif kepada warga, agar memiliki
kepedulian terhadap lingkungan.
Meski konsepnya sederhana, Gamal menyadari betul
bahwa programnya memberikan nilai tambah bagi warga.
Selama ini, paradigma yang ada di benak warga
tidak mampu adalah kesehatan itu mahal, dan sampah
adalah sesuatu yang tidak berguna. Melalui GCI, Gamal
menggabungkan unsur kesehatan dan pengelolaan
sampah. “Jadi, melalui GCI, kami berhasil mengubah
persepsi warga tentang sampah. Ternyata bisa
berobat bayarnya dengan sampah,” ucapnya.
Senyuman Adalah Bahan Bakar
Empati terhadap kisah Khairunissa itu ternyata menjadi
tonggak penting dalam kehidupan Gamal. Namun, Gamal tak
mau berhenti hanya sebatas empati. Dia mengawinkannya
dengan inovasi. Gamal percaya dengan story behind
innovation. “Banyak orang berinovasi karena ada peluang dan
masalah. Tapi, mereka lupa berempati. Padahal, empati bagi
saya adalah connection that lives innovation alias koneksi
yang menghidupkan inovasi,” kata Gamal menerangkan
filosofinya tentang kaitan empati dan inovasi.
Gamal beruntung. Sebab, banyak pasien GCI yang
bisa membuatnya terus berempati. Dia mengisahkan
perjuangan seorang ibu anggota GCI. Anaknya terkena
penyakit pendarahan otak. Tiga tahun silam, sang ibu
membawa anaknya berobat ke GCI dan ditangani dengan
baik oleh petugas di GCI. Beberapa bulan lalu, Gamal
berjumpa dengan sang ibu dan anaknya, dengan kondisi
si anak yang terus membaik.
Sang anak kini sudah bisa tersenyum. Dan, senyuman
itu ibarat bahan bakar bagi Gamal untuk terus berinovasi.
Dia meyakini, di saat nanti dirinya kehabisan uang atau
ditinggal pergi oleh teman-teman dan timnya, empati
adalah alasannya untuk terus bertahan dan tetap berinovasi.
Karena itu, Gamal selalu menekankan kepada timnya
agar terus memelihara dan merawat empati. Salah satu
caranya adalah mengunjungi rumah pasien anggota
GCI. Petugas GCI akan mengukur tekanan darah dan
memeriksa kadar gula darah sang pasien. “Kini, kami
sudah melangkah lebih jauh. Kami juga sudah masuk ke
program peningkatan gizi, dengan cara memberikan susu
kepada para pasien,” tutur Gamal.
Setorlah Sampah, Kau Bisa Berobat Gratis
Pelayanan sungguh-sungguh dari GCI itulah yang
akhirnya membuat banyak warga di sekitar klinik yang
terus tumbuh kesadarannya dalam mengelola sampah.
Padahal, Gamal awalnya tidak terlalu optimis jika
gerakannya melalui klinik kesehatan berbayar sampah
ini akan berhasil. Dia menyadari amat tak gampang
mengubah perilaku orang. Kebanyakan warga sudah
merasa nyaman dengan tak perlu memilah sampah
secara rutin di rumah mereka.
Pada prinsipnya, GCI melakukan tiga aktivitas
sekaligus: layanan kesehatan, asuransi, dan pengolahan
sampah. GCI memobilasasi sesuatu yang selama ini
dibuang begitu saja oleh warga , bernama sampah.
GCI mengubah sampah itu menjadi dana kesehatan
dalam bentuk asuransi. Bentuk asuransi sengaja dipilih
karena anggota GCI yang tidak sakit pun tetap harus
menyetorkan sampah mereka ke GCI. Sampah itu lalu
dijual GCI ke pelapak-pelapak sampah di Kota Malang.
GCI terus menggeliat. Memang mereka tak semata-
mata hanya mengandalkan sampah sebagai pemasukan.
Sistem subsidi silang mereka terapkan. Pasien GCI dari
warga mampu, tetap wajib membayar. Kendati demikian,
tetap saja kas GCI kedodoran. Maklum, dari hitungan GCI,
satu orang di dalam satu rumah tangga, rata-rata hanya
bisa menghasilkan uang dari sampah sebesar empat
belas ribu rupiah. Untunglah, dari seluruh anggota GCI,
yang menderita sakit maksimal hanya tiga puluh persen.
Tapi, Gamal menyadari bahwa program yang dia
lakukan melalui GCI adalah kegiatan wirausaha sosial.
Wirausaha diterjemahkan harus mampu menghasilkan
uang. Sedangkan sosial adalah menyelesaikan masalah
kesehatan warga . Tentu saja, inovasi kembali harus
dilakukan. Untuk itulah, GCI kini memiliki alat pencacah
dan press plastik. Tujuannya agar sampah plastik bisa
diolah terlebih dulu sebelum dijual ke pelapak, untuk
mendapatkan harga lebih tinggi.
Selain program klinik kesehatan, Gamal juga sudah
membawa GCI membantu warga mengurus keanggotaan
BPJS. Ternyata, tak sedikit warga di Kota Malang yang
bermasalah dengan keanggotaan BPJS-nya lantaran
persoalan identitas kependudukan. GCI menyelesaikan
persoalan itu, sekaligus membayarkan iuran BPJS warga
yang mereka bantu. Uangnya berasal dari asuransi sampah
yang dimiliki warga anggota GCI.
Salah seorang anggota GCI yang dibantu mengurus
BPJS adalah Suliati, warga Kecamatan Lokwaru.
Perempuan paruh baya ini sudah dua tahun menjadi
pasien Gamal. Dia punya riwayat penyakit darah tinggi
dan gangguan lambung. Suliati biasa berobat langsung
ke GCI. Tapi, terkadang perawat GCI yang menyambangi
rumahnya.
saat pertama kali dibujuk untuk memilah sampah,
Suliati sempat kebingungan. Namun, dia jalankan saja
bujukan dari petugas GCI yang datang ke rumahnya dua
tahun silam. “Saya mau disuruh memilah sampah karena
waktu itu langsung dijanjikan bisa berobat gratis ke klinik
dokter Gamal. Eh, ternyata benar. Saya juga dibantu
mengurus BPJS, padahal NIK saya bermasalah,” ujarnya.
Melihat Suliati bisa berobat gratis hanya dengan
menyetorkan sampah, banyak tetangganya yang akhirnya
ikut menjadi anggota GCI. Suliati merasa amat beruntung,
Kota Malang memiliki warga seperti Gamal Albinsaid.
Kesabaran Adalah Nafas Kebaikan
Gamal sering bertanya kepada timnya soal
keberhasilan program klinik asuransi sampah. Dia
ingin memastikan bahwa program itu benar-benar
memberikan keuntungan bagi warga . Sebab, meski
dengan sampah, warga sebetulnya juga membayar
untuk mendapatkan layanan kesehatan. “Dengan
empowering, saya mencoba menyadarkan warga
bahwa dengan memilah sampah, kebersihan lingkungan
terjaga. Lingkungan bersih memicu lingkungan
sehat. Dan, sampah yang dipilah warga bisa membayar
biaya kesehatan,” kata Gamal.
Bagi Gamal, sampah bukanlah masalah teknologi,
melainkan masalah sosial. Penyelesaiannya harus pula
melalui rekayasa sosial. Salah satu rekayasa sosial yang
diyakininya bisa berhasil adalah dengan cara mengubah
budaya warga dalam memandang sampah.
warga harus mengubah paradigma sampah sebagai
barang terbuang dan tak bernilai, menjadi paradigma
sampah sebagai sesuatu yang memiliki nilai ekonomis.
Interaksi Gamal dengan tim GCI-nya boleh dibilang
cukup intens. Kepada tim GCI, Gamal menanamkan filosofi
“tidak ada kebaikan yang sempurna tanpa kesabaran,
karena kesabaran adalah nafas yang menentukan lama
atau sebentarnya sebuah kebaikan bertahan”. Gamal
sengaja menekankan prinsip ini lantaran dia menginginkan
wirausaha sosial bernama GCI bisa terus bertahan dan
tak lekang oleh waktu. “Saya merintis program ini bukan
hanya untuk dua atau tiga tahun ke depan, melainkan
untuk dua puluh sampai tiga puluh tahun ke depan,” ujar
Gamal.
Merasa tak cukup hanya berinovasi lewat sampah,
Gamal pun mulai merambah usaha rintisan (start up). GCI
kini mengembangkan aplikasi mobil In-Med. Aplikasi ini
bisa diunduh di google play dan apps store. Salah satu isi
In-Med yang berkaitan dengan layanan kesehatan adalah
konsultasi gratis dengan dokter secara online. Selain In-
Med, Gamal juga membuat usaha rintisan crowd funding
bernama siapapeduli.id.
Jerih payah Gamal Albinsaid - sang dokter sampah
- kini sudah berbuah manis. Padahal, saat dia
memutuskan bergiat di layanan kesehatan dengan cara
pemberdayaan warga , tak sedikit yang mencibirnya.
Pun, saat namanya kini sudah dikenal dunia, tetap saja
ada yang menilai terobosannya bukanlah sebuah bentuk
keberhasilan dari seorang dokter. “Ukuran sukses seorang
dokter itu kan biasanya saat dia menjadi dokter spesialis,
berpraktik, punya banyak pasien, dan kaya raya. Lha, saya
sejak lulus malah sibuk ngurusin public health,” ujar Gamal
sambil terkekeh.
Tapi, Gamal tak hirau dengan penilaian seperti
itu. Gamal merasa sudah cukup puas bila ikhtiarnya
berdampak positif bagi warga , sudah cukup.
Bagi Gamal, saat dia mendapatkan penghargaan dari
Pangeran Charles di London, Inggris, pada 2014, atau
ngobrol bareng dengan Presiden Vladimir Putin di Rusia
pada 2017, itu adalah sebuah pembuktian bahwa usahanya
tak sia-sia.
Ketidaksia-siaan usaha Gamal itulah yang kini banyak
dirasakan warga Kota Malang yang menjadi anggota GCI. Kini,
GCI sudah memiliki dua klinik. Klinik lama di Kedungkandang
tetap berdiri tegak. Anggotanya hampir seratus orang.
GCI melebarkan sayapnya ke Kecamatan Lokwaru
dan kini sudah memiliki lebih dari enam ratus anggota.
“Dalam waktu dekat, kami akan menambah tiga klinik lagi,
di kecamatan sisa di Kota Malang, yang belum ada GCI,”
kata Rulianto, manajer GCI. Tiga kecamatan di Kota Malang
yang belum ada layanan kesehatan GCI adalah Kecamatan
Klojen, Kecamatan Blimbing, dan Kecamatan Sukun.
GCI memang bertekad untuk bisa hadir di seluruh
kecamatan di Kota Malang. Tujuannya agar bisa
menjangkau semua warga di Kota Malang yang tak
mampu membayar biaya berobat. Gamal pun ingin klinik
asuransi sampah seperti gagasannya ini ada juga di daerah
lain. Sebab, Gamal tak ingin ada Khairunissa lain yang
meninggal karena tak mampu membayar biaya berobat.
Malam sudah cukup tua. Telah melewati separuh bagiannya. Bulan sepenggal memancarkan sinar agak redup. Suasana sebuah pusat kesenian di
kawasan Jakarta Pusat berangsur lengang. Orang-orang
mulai beranjak pulang. Lalu lintas perlahan menyepi.
Seorang perempuan berpakaian rapi masih terlihat
bugar. Matanya masih awas memperhatikan beberapa
orang yang tengah bekerja. Sesekali, keluar teriakan
perintah dari mulutnya. Perempuan enerjik itu tak terlihat
lelah.
Tanpa dinyana, muncullah beberapa orang bertubuh
tinggi besar. Seorang yang mengenakan jaket kulit dan
lengan bertato, mendatangi perempuan itu. Dari balik
jaket kulitnya, lelaki berwajah beringas itu mengeluarkan
sepucuk pistol. Lalu, menodongkan ke jidat sang
perempuan. “Kamu masih mau tetap di sini, atau keluar
dari sini,” kata lelaki itu pelan, namun tegas.
Keringat dingin perlahan menetes di kening Wilda
Yanti, perempuan yang masih terjaga pada sebuah malam,
di tahun 2014. Mengumpulkan segenap kekuatan, Wilda
lalu bertanya kepada lelaki yang menodongkan pistol
itu. “Salah saya apa? Kenapa saya tidak boleh mengelola
sampah di sini?” tanya Wilda.
Entah keajaiban apa
yang menghampiri, lelaki
bertato itu pun akhirnya
mengajak beberapa
rekannya meninggalkan
Wilda dan timnya. Wilda
pun bisa menarik nafas
lega. Keberaniannya
menghadapi lelaki itu
menambah semangat
anak buahnya.
Kisah mengerikan itu bukan rekaan. Wilda Yanti
sungguh mengalaminya. Sebagai perempuan yang
bergelut di bisnis pengelolaan sampah, Wilda menyadari
banyak pihak yang merasa terusik dengan kiprahnya.
Apalagi, di beberapa tempat pengolahan sampah yang
dibangunnya, Wilda berhasil memutus mata rantai per-
pungli-an dalam pengelolaan sampah.
Peristiwa 2014 itu hanyalah sebagian cerita suka duka
Wilda Yanti membangun sebuah perusahaan bernama
Xaviera Global Synergi (XGS). Perseroan terbatas (PT) yang
berdiri pada 2011 ini bergerak dalam bisnis pengolahan
sampah. Salah satu mitra XGS adalah para pemulung.
Sudah cukup banyak pemulung yang berhasil dibebaskan
Wilda dari jerat utang pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab.
Wilda menyebut sebuah kawasan di Sentul, Bogor,
Jawa Barat. Banyak pemulung di sana yang dimanfaatkan
oleh pihak-pihak tertentu dengan cara “diijon” terlebih
dulu. “Bayangkan, mereka di depan dikasih uang 150 ribu
rupiah. Tapi karena berbunga, pemulung itu jadi punya
utang sampai satu setengah juta rupiah,” ujar Wilda.
IJON. Banyak pemulung
yang sudah “diijon” di depan.
Utangnya menumpuk. Wilda
membebaskan para pemulung
itu .
Ketertarikan Wilda dalam urusan sampah sejatinya
dimulai sejak dia hijrah ke Jakarta pada 1998. Datang ke
Jakarta dari setelah menamatkan SMA di Kabupaten
Agam, Sumatra Barat, Wilda menempuh kuliah di
Universitas Bisa Nusantara (Binus). Sejak mahasiswa itulah
Wilda punya ketertarikan di bidang lingkungan, salah
satunya mengelola sampah.
Namun, Wilda melihat, gerakan lingkungan itu kerap
berhenti di tengah jalan. Jarang ada yang berkelanjutan.
Apalagi jika sudah menyangkut urusan sampah. Konotasi
bahwa sampah itu jorok dan menjijikkan, membuat
banyak orang enggan bersentuhan dengan sampah.
Setelah bekerja di sebuah perusahaan teknologi
informasi di Jakarta, Wilda pun akhirnya menemukan
jawaban atas kegundahannya itu. Menurut Wilda,
gerakan lingkungan acap terhenti lantaran gerakannya
bersifat sosial. Itulah yang membuatnya mengubah
gerakan lingkungan dari sosial ke wirausaha. “Kalau
ada embel-embel usaha, orang kan berpikir bahwa
kegiatannya menghasilkan uang. Jadi, pengelolaannya
bisa berkelanjutan,” tutur Wilda.
Selain soal uang, Wilda juga menyadari pentingnya
peran kelembagaan dalam pengelolaan sampah.
Sebelumnya Wilda mengelola sampah secara sporadis
dan tak terarah, khas sebuah gerakan sosial. Lantas, secara
perlahan, dia mulai membuat kelompok.
Saat itu, bank sampah belum ada. Namun, Wilda
menganggap, kelompok gerakan pengelola sampah yang
dia bentuk, prinsipnya mirip dengan bank sampah. Wilda
mengajak warga memilah sampah sejak dari rumah. Lalu,
sampah itu disetor ke rumah Wilda. Hanya saja, saat itu
Wilda juga menerima sampah basah atau organik.
Masak Iya Kasih Yang Busuk Saja
Wilda mengawali bank sampah versinya itu pada
2007, dari teras rumahnya. Dia memulai dari rumahnya
sendiri. Bersama keluarganya, mereka memilah sampah
kering dan sampah basah. Lucunya, saat dia mengajak
warga di sekitarnya bermukim untuk mau juga memilah
sampah, cibiranlah yang didapatkannya. “Ngapain sih
ngurusin sampah. Mendingan bayar, selesai urusan.
Begitu komentar tetangga saya,” ucap Wilda mengenang
cemooh tetangganya kala itu.
Ditolak di lingkungannya sendiri, tak membuat Wilda
patah arang. Dia lalu mendatangi kawasan permukiman
yang sulit mendapatkan akses pengangkutan sampah
yang biasa dilakukan pemerintah. Selain kawasan seperti
itu, Wilda juga menyambangi kawasan yang dia yakini
penghuninya kesulitan membayar iuran sampah.
Akhirnya, Wilda berhasil mendirikan bank sampah.
Kadung sudah mencemplungkan diri dalam urusan
mengelola sampah, Wilda tak ingin usaha nya berhenti di
tengah jalan. Dia lalu mempelajari ihwal penyebab bank
sampah banyak yang stagnan. Salah satu temuannya
adalah persaingan dengan pemulung dan pengepul.
Warga bisa menjual sampah terpilah langsung ke
pemulung dengan harga lebih tinggi dari bank sampah.
Maklum, bank sampah “mengutip” sekian persen dari
harga jual sampah, sebagai biaya operasional.
Wilda lantas putar otak. Selain menerima sampah
nonorganik, dia juga ikut mengelola sampah organik yang
dihasilkan warga. Harapannya, warga jadi tidak “enak hati”
dengan Wilda. “Masak iya mereka hanya mau ngasih yang
busuk ke saya, sementara sampah kering mereka jual ke
pemulung,” kata Wilda.
Cara itu berhasil. Warga pun menjual sampah kering ke
Wilda. Namun, Wilda mendengar banyak suara sumbang
tentang prinsip kerja bank sampah. Salah satunya adalah
penafian prinsip tanggung jawab yang dipikul oleh orang
yang menghasilkan sampah. Seharusnya, penghasil
sampah membayar iuran untuk mengelola sampah yang
dihasilkannya. Sementara, melalui bank sampah, penghasil
sampah malah mendapatkan uang dari hasil menjual
sampah ke bank sampah. Padahal, uang yang diperoleh si
penghasil sampah sejatinya adalah “upah” yang diberikan
kepadanya karena sudah mengelola sampahnya sendiri.
warga . Wilda Yanti
selalu melibatkan warga
setempat saat membuka
tempat pengolahan sampah.
Jika sampah tak dipilah dari sumbernya, biaya
pemilahan sampah di tempat pengolahan sampah cukup
besar. Dengan memilah sampah, biaya pengolahan
sampah bisa ditekan karena sampah yang berasal dari
sumber sudah dipilah terlebih dulu. “Biayanya sebagian
dialihkan dengan cara diberikan kepada warga yang
sudah memilah sampahnya sendiri,” tutur Wilda.
Keberhasilan Wilda Yanti mengelola bank sampah,
membuatnya dijadikan rujukan pihak yang ingin
mendirikan bank sampah. Wilda menyambangi banyak
wilayah di negara kita untuk memberikan edukasi
pengelolaan bank sampah. Maka, tak salah jika pada 2017,
Wilda didapuk menjadi Sekretaris Jenderal Asosiasi Bank
Sampah Seluruh negara kita (ASOBSI).
Sebelas Satu Sebelas
Perlahan tapi pasti, usaha Wilda membentuk kelompok
pengolahan sampah mulai menunjukkan hasil. Wilda pun
merasa sudah saatnya mencari format kelembagaan yang
pas untuk kelompok-kelompok pengolahan sampah ini.
Yang terlintas di benaknya adalah bentuk perseroan terbatas
(PT). Filosofinya adalah membawa urusan pengolahan
sampah menjadi ranah wirausaha. Dan, pada 11 Januari 2011,
resmilah berdiri PT Xaviera Global Synergi (XGS).
Pada 2012 keluar Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup nomor 13 tentang bank sampah. Ternyata, Permen
itu mengatur soal kelembagaan bank sampah dalam
bentuk koperasi atau yayasan. Sementara, Wilda sudah
kadung mendirikan PT. Itulah yang membuat XGS
sering ditolak pemerintah saat menawarkan kerja sama
mengolah sampah. Alasannya, XGS berorientasi bisnis.
Unsur bisnis inilah yang dianggap membedakan XGS
dengan bank sampah. “Mereka nggak tahu kalau kami
tetap membawa idealisme di bidang sosial. Antara lain
melalui pemberdayaan warga ,” ucap Wilda.
Berbagai penolakan itu membuat Wilda malah
memacu larinya lebih kencang. Dia tak ragu mengunggah
ke media sosial segala kegiatannya mengurus sampah.
Padahal, banyak orang yang merasa tabu menunjukkan
aktivitas seperti itu. Dalihnya, sampah adalah sesuatu
yang menjijikkan.
Cara Wilda “mendemonstrasikan”
kegiatannya itu malah berbuah
manis. Pada 2014, dia terpilih
menjadi “Kartini Next Generation”
untuk kategori perempuan
pembawa perubahan di bidang
kesehatan dan lingkungan.
Penobatan pada perhelatan yang
digelar Kementerian Komunikasi
dan Informatika itu membuat
kiprah Wilda makin terdengar
gaungnya. XGS pun mulai banyak
dilirik berbagai pihak sebagai
solusi mengatasi persoalan sampah.
Berkawan dengan Supir Truk
Jerih payah Wilda membangun XGS bukanlah
proses sekejap mata. Banyak pengorbanan yang telah
dilakukannya. Salah satunya adalah meninggalkan
pekerjaan nyaman sebagai direktur teknologi informasi di
sebuah perusahaan asing di Jakarta. Pada akhir 2011, Wilda
memutuskan berhenti dari perusahaan asing itu .
Keputusan itu tentu tak mudah. Keluarganya
mempertanyakan pilihan Wilda untuk fokus mengurus
sampah. Maklum, Wilda memperoleh posisi sebagai
seorang direktur itu dengan cara tak gampang. Menempuh
kuliah di Jakarta, Wilda melakukannya sembari bekerja
di sebuah perusahaan yang memproduksi spare parts
kendaraan bermotor. “Pagi sampai siang saya kuliah. Sore
sampai malam saya kerja,” kata Wilda.
Setelah menamatkan kuliah di Binus, Wilda diterima
di perusahaan asing yang bergerak di bidang teknologi
informasi. Merangkak dari bawah, Wilda pun akhirnya
mencapai posisi sebagai direktur. Jadi, teramat wajar jika
keluarganya – terutama keluarga besarnya di Sumatra
Barat – tidak memahami pilihan Wilda meninggalkan
jabatan direktur yang diperolehnya dengan susah payah.
Namun, Wilda pantang bersurut langkah. Bermodalkan
keyakinan, dia pun lalu membesarkan XGS. Wilda mendatangi
banyak daerah di negara kita yang berniat mendirikan dan
mengembangkan bank sampah. “XGS sudah masuk di
sepanjang daerah pantai utara Pulau Jawa. Tinggal Brebes
yang belum,” ujar ibu dari tiga anak laki-laki ini.
Setelah bank sampah berdiri , sebagian besar
pengelolanya menginginkan Wilda yang membeli sampah
mereka. Itulah yang akhirnya membuat Wilda mendirikan
bank sampah induk di berbagai tempat. Dan, itu pulalah yang
memicu Wilda berteman dengan banyak supir truk.
Begini kisahnya. Sampah di bank sampah induk yang
dikelola XGS, harus diangkut ke Jakarta, untuk dijual ke
pabrik daur ulang. Jika Wilda menyewa truk, ongkosnya
mahal. Wilda pun mendekati supir truk tronton dari
Jakarta yang membawa beberapa mobil dari pabrik di
Jabodetabek ke wilayah lain di Pulau Jawa.
Biasanya, truk tronton itu kembali ke Jakarta dalam
keadaan kosong. Wilda lantas menawarkan supir truk
mengangkut sampah ke Jakarta. Dengan biaya satu
setengah juta sampai dua juta rupiah, sampah Wilda
pun bertolak ke Jakarta. “dibandingkan balik ke Jakarta dalam
keadaan truk kosong, mendingan bawa sampah saya. Kan
mereka dapat uang tambahan,” ucap Wilda terkekeh.
Tak Mau Berutang ke Bank
Dengan berbagai usaha , Wilda terus mengembangkan
XGS. Dua bisnis inti XGS adalah bank sampah dan jasa
pengelolaan sampah. Turunannya berupa agro bisnis di
bidang pertanian, peternakan, dan perikanan. XGS bisa
merambah sampai ke agro bisnis lantaran mampu mengolah
sampah organik menjadi pupuk dan pakan ternak.
Jadi, tak usah heran jika dari bisnis sampah, XGS kini
bisa pula menjual sayur, buah, dan ikan. Bahkan, ke depan
Wilda sudah merencanakan bisnisnya merambah bidang
biogas dan penyediaan tenaga listrik. Pola bisnis seperti
inilah yang masuk ke dalam kategori ekonomi sirkular.
XGS terus membesar dan kini menerapkan konsep bisnis
bercirikan circular economic.
Padahal, dulu Wilda membangun
XGS dari nol. Tanpa bantuan
permodalan dari pihak mana pun.
Bahkan, sampai sekarang, XGS
sama sekali tidak mempunyai
utang sepeser pun ke bank.
Salah satu yang
menunjukkan kian besarnya XGS
adalah perputaran uang tiap bulan
yang terjadi di XGS. Menurut Wilda,
jumlahnya kini mencapai 60 miliar
rupiah per bulan. Dari perputaran
uang sebesar itu, XGS bisa memperoleh keuntungan
mencapai 12 miliar per bulan. Tentu, ini bukanlah jumlah
uang receh.
Dengan pendapatan itu, XGS mampu mempekerjakan
ratusan karyawan. Ada karyawan tetap, karyawan kontrak,
dan binaan yang ditujukan bagi para pemulung. Gaji
karyawan pun terbilang lumayan. Misalnya, untuk seorang
manajer yang memegang tempat pengolahan sampah
di kawasan besar, gajinya mencapai delapan juta rupiah
per bulan. Sedangkan untuk seorang petugas pemilah
sampah, gajinya bisa mencapai tiga juta rupiah per bulan.
Tentu saja, Wilda kini merasa amat bersyukur. Dia bisa
menghidupi banyak orang. Dia juga sanggup berperan
dan berkontribusi mengurangi jumlah timbulan sampah.
Kini, Wilda sudah memetik hasil dari sebuah keputusan
berat meninggalkan perusahaan asing untuk bergelut
dengan sampah.
Dan, kejadian penodongan pistol yang pernah dia
alami pada sebuah malam di tahun 2014 silam, tak pernah
berulang lagi. Wilda kini bisa menikmati malam-malamnya
dengan lebih tenang. Bergelut dengan sampah, bersama
beberapa karyawan.
l
Bermula dari hobi mendaki gunung, Syaifuddin Islami mengukir kecintaannya terhadap sampah. Saat menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian
Universitas Andalas (Unand), lelaki yang biasa disapa Ilam
ini, mendapat pengetahuan ihwal memilah sampah. Ilam
memang aktif di Komma (Kelompok Mahasiswa Mencintai
Alam) Unand.
Sebelum mendaki, mereka lebih dulu sudah mencatat
barang bawaan apa saja yang bakal menjadi sampah.
Dan, para pendaki memastikan bahwa barang yang akan
menjadi sampah itu tak boleh ditinggalkan alias dibuang
begitu saja selama pendakian. “Kalau setelah sampai
kembali di bawah ada barang yang jadi sampah itu
tidak dibawa turun, kami diwajibkan kembali naik untuk
memungutnya,” kata Ilam.
Tempaan didikan seperti itulah yang memulai Ilam
punya kepedulian terhadap sampah. Pada 2003, dia
bersama rekan-rekannya di Komma berkeliling ke kantin-
kantin dan kafe-kafe yang ada di lingkungan kampus
Unand. Selain mengamati proses pengelolaan sampah,
mereka memunguti sampah yang berserakan. Ilam
pun menemukan kenyataan yang tak mengenakkan.
Biaya pengelolaan sampah untuk satu fakultas di Unand
hanya enam juta rupiah per tahun. Gaji seorang petugas
kebersihan cuma 100 ribu rupiah per bulan. “Yang paling
mudah ya sampah itu dibakar,” tutur Ilam.
Kecintaan Ilam terhadap persoalan sampah berlanjut.
Setelah menamatkan pendidikan tingkat sarjana di
Fakultas Pertanian pada 2004, Ilam melanjutkan ke
jenjang strata dua. Masih di kampus yang sama, tapi di
jurusan Ilmu Lingkungan. Pergaulannya dengan para
aktivis lingkungan di Kota Padang makin bertambah.
PANGGILAN JIWA. Menggerakkan
warga agar mau mendirikan bank
sampah adalah panggilan jiwa
Syaifuddin Islami.
Menyelesaikan pendidikan sarjana strata dua, Ilam
sempat berkecimpung sebentar di dunia konsultan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Namun,
dia merasa hatinya tidak di sana. Banyak pekerjaannya
sebagai konsultan yang tidak sesuai dengan nurani dan
panggilan jiwanya.
Semula Mengira Bak Sampah
Ilam pun memutuskan berhenti. Lalu, dia bergabung
dengan sebuah lembaga swadaya warga di Padang
yang bergiat di bidang lingkungan. Pekerjaannya sebagai
aktivis LSM inilah yang lantas membawanya ke Yogyakarta,
pada 2010, untuk menghadiri sebuah kegiatan lingkungan.
Di Yogyakarta, Ilam mendengar dari seorang teman
tentang bank sampah di Bantul. “Lucu juga, kok ada yang
namanya bank sampah. Semula saya kira bak sampah,”
ujarnya terkekeh. Dia pun kemudian mendatangi Bank
Sampah Gemah Ripah di Bantul.
Itulah awal mula perkenalan Ilam dengan bank sampah.
Sekaligus perkenalannya dengan Bambang Suwerda,
penggagas bank sampah yang bermukim di Bantul.
Ilam merasa amat beruntung karena bisa mendapatkan
pengetahuan tentang bank sampah langsung dari
suhunya.
Sekembalinya ke Padang, Ilam mulai mencoba
menerapkan ilmu singkat tentang bank sampah yang dia
peroleh dari Bambang Suwerda. Universitas Bung Hatta
(UBH) Padang yang pertama mengajaknya “bergumul”
dengan sampah. Merasa belum memiliki ilmu yang
mumpuni soal bank sampah, Ilam pun menyarankan
agar UBH mengundang Bambang Suwerda ke Padang.
Satu kata kunci yang diresapinya benar saat Bambang
Suwerda memberikan pelatihan ke UBH: sosialisasi.
Dengan semangat menggebu-gebu, Ilam pun
melaksanakan anjuran Bambang Suwerda untuk
menyosialisasikan program bank sampah di Padang. Ilam
mengimpikan bank sampah bisa menjadi solusi warga
Kota Padang untuk mengatasi persoalan sampah.
Kenapa Harus Mentawai?
Ternyata, impian Ilam tak seindah kenyataan. Letih dia
berkeliling ke banyak lokasi di Padang, bercuap-cuap ke
banyak orang tentang pentingnya bank sampah, tapi tak
ada yang menyambut gagasannya itu . “Kebanyakan
warga di Padang merasa belum perlu secara mandiri
mengolah sampah yang mereka hasilkan. Alasannya
sederhana: ada petugas pengangkut sampah,” tutur Ilam.
Hampir setahun Ilam menyerukan pentingnya bank
sampah. Tapi, tak satu pun bank sampah yang sesuai
konsep Bambang Suwerda berdiri di Padang. Sampailah
pada Desember 2010. Kala itu, Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Sumatra Barat
- kini bersalin nama menjadi Dinas Lingkungan Hidup -
menggelar sebuah acara. Pejabat Kementerian Lingkungan
Hidup (LH) hadir pada acara itu . Salah satunya adalah
Deputi IV Kementerian LH, Masnellyarti Hilman, yang biasa
disapa Ibu Nelly. Ilam hadir pada acara itu.
Nelly meminta Bapelda Sumbar mulai menjadikan
Pulau Mentawai sebagai percontohan pengelolaan
sampah secara mandiri oleh warga . Ilam agak
terperangah mendengar instruksi itu . “Kenapa harus
memilih Mentawai, sementara pengelolaan sampah di
Padang sendiri masih belum bagus. Apalagi Kota Padang
daerah dengan penduduk terpadat di Sumbar,” ujar Ilam
menceritakan yang terlintas di benaknya kala itu.
Ia pun memberanikan diri menanggapi pejabat
Kementerian LH. Tak hanya protes keberatan dengan
pemilihan Mentawai, Ilam juga menyodorkan konsep bank
sampah, seperti yang dia peroleh dari Bambang Suwerda.
Ternyata, Nelly tertarik dengan presentasi singkat Ilam. Lalu,
Nelly meminta Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian
LH, Sudirman, untuk segera menyiapkan konsep pilot project
bank sampah pertama di Padang. Ilam pun dilibatkan.
Merasa memperoleh dukungan dari pemerintah pusat,
Ilam makin bergerak cepat. Pada sebuah acara sosialisasi di
Masjid Barokah As-Salaam, di komplek perumahan Semen
Padang, bersepakatlah warga perumahan itu mendirikan
bank sampah. Namanya Bank Sampah Barokah As-salam,
sesuai dengan nama masjid tempat sosialisasi digelar.
Warga antusias menyambut ide bank sampah.
Apalagi, salah seorang penghuni komplek perumahan
bernama Siti Aisyah adalah seorang pejabat di Bapedalda
Sumbar. Siti pun merelakan rumahnya dijadikan kantor
dan gudang sementara Bank Sampah Barokah As-salam.
SOSIALISASI. Syaifuddin
Islami melakukan sosialisasi
kepada warga di sebuah
komplek perumahan di
Padang, Sumatra Barat.
Pengurus Bank Sampah Barokah As-salam rupanya tak
main-main. Mereka bersurat kepada KLH agar ada pejabat
kementerian yang meresmikan Bank Sampah Barokah
As-salam. Keinginan pengurus bersambut. Dan, pada 28
Februari 2011, Menteri Lingkungan Hidup, Gusti Mohammad
Hatta, meresmikan Bank Sampah Barokah As-salam.
Dua tahun lamanya Ilam mendampingi Bank Sampah
Barokah As-salam. Dia mengawal jalannya manajemen
bank sampah. Ilam amat pede, lantaran “Ilmu tentang
bank sampah saya dapat langsung dari pentolan bank
sampah, mas Bambang Suwerda,” katanya.
Uang Receh Yang Tak Dianggap
Ilam tak mau aktivitasnya sebagai penggagas bank
sampah di Sumatra Barat hanya mandeg di Padang.
Maka, pada 2013, dia membentuk Jaringan Pengelola
Sampah Mandiri (JPSM) Ranah Minang. Penggerak utama
JPSM adalah Bambang Suwerda. Sejak 2013 itulah, Ilam
melebarkan sayapnya menularkan virus pengelolaan
sampah mandiri melalui bank sampah ke banyak kota di
Sumatra Barat, antara lain di Padang Panjang, Bukittinggi,
Pasaman, Payakumbuh, dan Sijunjung.
Dari pergerakannya yang lintas wilayah di Sumatra
Barat, Ilam mendapatkan sebuah kenyataan cukup pahit.
Ternyata, warga Minang memiliki perbedaan kultur
yang lumayan mencolok dibandingkan warga di
pulau Jawa. Kultur itu, misalnya, dalam memperlakukan
uang. “warga di Jawa masih menganggap uang
seribu perak cukup berharga. Sementara, bagi warga
Minang, mohon maaf, uang seribu itu dianggap amat
receh,” ucap Ilam.
Akibatnya, dia menemui banyak benturan saat
mengajak warga mendirikan bank sampah. Uang yang
diperoleh dari mengelola sampah melalui bank sampah,
dipandang warga tak begitu berarti. Ilam pernah
ditanya warga tentang uang yang bisa didapat dari bank
sampah. saat dia jelaskan bahwa uangnya tergantung
jenis sampah yang ditimbang, jawaban tak mengenakkan
yang dia terima. “Kalau uangnya cuma segitu, mendingan
sampahnya kami kumpulkan saja. Biarkan petugas
kebersihan yang mengangkutnya,” kata Ilam mengenang
jawaban warga yang bertanya itu. Toh, memang iuran
sampah saat itu hanya 15 ribu rupiah pert bulan. “Jadi,
mereka tinggal bayar iuran, dan tak perlu repot mengelola
sampah,” lanjut Ilam.
Berbagai penolakan warga tak membuat Ilam surut
langkah. Dia meyakini, proses penyadaran memang butuh
waktu. Kata kapok dia buang jauh dari kamus hidupnya.
Masjid, musala, dan pengajian warga tetap dia datangi.
Untuk di Kota Padang, Ilam memang mendapatkan dana
pendampingan dari Dinas Lingkungan Hidup Sumatra
Barat. Namun, untuk menjangkau daerah di luar Kota
Padang, Ilam harus mengeluarkan uang dari koceknya
sendiri.
Keuletan Ilam akhirnya berbuah hasil manis. Di daerah
seperti Sijunjung, Bukittinggi, atau Pasaman, warga
mulai tertarik mendirikan bank sampah. Setelah bank
sampah berdiri, Ilam tak bisa meninggalkannya begitu
saja. Sebab, dia meyakini, bank sampah membutuhkan
pendampingan. Jika manajemen sebuah bank sampah
sudah berjalan bagus, barulah Ilam berani melepasnya.
Salah satu wilayah dengan perkembangan bank
sampah yang cukup bagus adalah di Kabupaten Sijunjung.
Bahkan, sejak 2017, pemerintah Kabupaten Sijunjung
sudah melakukan Gerakan Pengurangan Sampah melalui
prinsip 3R (GPS 3R). Meski begitu, Ilam tak ingin menyebut
bahwa keberhasilan pengelolaan sampah di Kabupaten
Sijunjung adalah kerja dirinya belaka. “warga
dan pemerintah kabupaten bisa bersinergi mengelola
sampah. Itu yang diperlukan agar sebuah bank sampah
bisa berhasil,” kata Ilam.
Tak Enak Kena Sentil
Pada awal 2019, Ilam tiba-tiba disentil oleh seorang
pejabat di Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatra
Barat. Sang pejabat merasa heran, Ilam sudah banyak
terlibat dalam pendirian dan pendampingan bank
sampah. Namun, dia sendiri tak memiliki bank sampah
di lingkungan tempat tinggalnya, di kelurahan Andalas,
Padang Timur.
Tergelitik dengan ucapan sang pejabat, Ilam pun lalu
mengumpulkan para pemuda di lingkungannya. Setelah
melalui berapa kali pertemuan, mereka pun akhirnya
menerima gagasan Ilam mendirikan bank sampah. Lalu,
pada Maret 2019, dibentuklah sebuah bank sampah
bernama Andalas Sepakat.
Ilam menyadari, sebuah bank sampah tidak akan bisa
bertahan jika hanya menggantungkan pendapatannya
semata-mata dari menjual sampah. Dia putar otak.
Akhirnya, didapatlah ide membuat komposter. Dia jajakan
contoh produk komposter bikinan Bank Sampah Andalas
Sepakat ke banyak pihak. Untunglah, jaringannya cukup
luas. “Alhamdulillah, kami dapat pesanan komposter dari
Dinas Lingkungan Hidup Sumatra Barat sebanyak 220
unit,” ujar Ilam.
Tak cuma komposter, Dinas Lingkungan Hidup
Sumatra Barat pun menanyakan kesanggupan Bank
Sampah Andalas Sepakat membuat solar biodigester.
Setelah berembuk dengan pengurus, mereka pun
menerima tantangan itu. Dan, dibuatlah 300 unit solar
biodigester, sesuai pesanan Dinas Lingkungan Hidup.
Pesanan komposter dan solar biodigester itu membuat
warga bersemangat. Apalagi, ada upah bagi warga
yang mengerjakannya. Itulah yang akhirnya memacu
warga berperan aktif dalam pengelolaan Bank Sampah
Andalas Sepakat. Padahal, pada mulanya warga tak peduli
dengan sampah yang berserakan. “Cukup susah awalnya
meyakinkan pemuda di sini agar mau mengelola sampah.
Alasan utamanya karena mereka menganggap sampah
itu jorok,” kata Indra, ketua pemuda setempat, yang juga
menjabat sebagai Wakil Direktur Bank Sampah Andalas
Sepakat.
Kini, Bank Sampah Andalas Sepakat sudah menjadi
salah satu rujukan banyak pihak di Sumatra Barat yang
ingin membuat bank sampah. Faktor nama Syaifuddin
Islami alias Ilam, yang dikenal di Sumatra Barat sebagai
kamus berjalan bank sampah, tetap menjadi magnet.
Namun, bagi Ilam, usaha nya terus menyadarkan
warga ihwal pentingnya bank sampah, tak akan
berhenti sampai di Bank Sampah Andalas Sepakat saja.
Masih cukup banyak persoalan yang harus dihadapi bank
sampah. Misalnya, faktor harga sampah yang fluktuatif.
Dengan kondisi ini, tak sedikit bank sampah yang
kepayahan, limbung, dan ujungnya tumbang. “Pemerintah
harus berperan aktif untuk mengatasi persoalan ini,” tutur
Ilam.
Salah satu bentuk aktif dari pemerintah yang terlintas
dalam benak Ilam adalah menjadikan bank sampah
sebagai Badan Usaha Milik Nagari (BUMNag). Di Ranah
Minang memang dikenal istilah nagari. Ini setara dengan
desa atau kelurahan di provinsi lain di negara kita . Nagari
dipimpin oleh seorang Wali Nagari.
Ilam kini kian getol “mengejar” para Wali Nagari.
Dia membujuk agar Wali Nagari membuat peraturan
nagari tentang pemilahan sampah sejak dari rumah dan
pembentukan bank sampah. “Nagari itu mempunyai dana
yang berasal dari dana desa. Jika ada dana nagari yang
dianggarkan untuk membeli sampah dari bank sampah,
saya yakin bank sampah akan hidup,” kata Ilam.
Saban akhir pekan, Ilam terus bergerak dari satu
wilayah ke wilayah lain di Sumatra Barat. Daerah pelosok
pun tak ragu dia sambangi, untuk mengampanyekan
bank sampah. Dia pun harus pandai berbagi waktu
dengan pekerjaannya sebagai dosen di sebuah perguruan
tinggi swasta di Kabupaten Sijunjung. Dan, yang jelas, Ilam
kini harus mengorbankan hobinya mendaki gunung. Sisa
waktunya lebih dia fokuskan untuk menemani sang istri
dan bermain dengan kedua buah hatinya.
Sebelum 2008, jika Kota Surabaya banjir, yang sering jadi kambing hitam adalah Desa Mulyoagung, Kabupaten Malang. Maklum, posisinya di hulu Sungai
Brantas dan berdekatan dengan daerah aliran sungai.
Warga Mulyoagung biasa membuang sampah langsung
ke aliran sungai. Tak ayal, Kepala Desa Mulyoagung acap
mendapatkan teguran dari Dinas Lingkungan Hidup
Provinsi Jawa Timur.
Akhir 2008, dua orang pegawai Dinas Cipta Karya
dan Tata Kota Kabupaten Malang, mendatangi Desa
Mulyoagung. Mereka meminta warga mengelola sampah
secara mandiri dan tidak lagi membuangnya ke Sungai
Brantas. Warga diminta menyiapkan lahan untuk
membuat Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)
dengan konsep 3R (reuse, reduce, recycle).
Setelah warga berembuk, disepakatilah sebuah lahan
kosong sebagai lokasi TPST. Lahan itu adalah tanah kas desa
alias tanah bengkok. Tak cuma dipinjamkan, warga pun
sepakat menghibahkan lahan itu untuk digunakan
secara permanen sebagai TPST. Seorang warga senior
di Mulyoagung bernama Fadil Supadi diminta menjadi
pengelola TPST. Sejatinya, Supadi bukanlah warga asli
Mulyoagung. Namun, sejak 1979, dia hijrah dari Yogyakarta
ke Mulyoagung.
Lahan tempat pengolahan sampah sudah ada. Pengurus
sudah ditunjuk. Supadi pun bergerak cepat. Dia curahkan
sepenuh waktunya untuk menjadikan TPST Mulyoagung
sebagai program yang membanggakan Kabupaten
Malang. Salah satu bentuk nyata keseriusan Supadi, TPST
Mulyoagung berhasil mendapatkan kucuran dana sebesar
seratus juta rupiah, pada 2009. Uang itu diperoleh sebagai
hadiah kompetisi Program Nasional Pemberdayaan (PNPM)
Mandiri Pedesaan. “Uangnya kami pakai untuk membuat
pagar tembok di sekeliling TPST,” kata Supadi.
Sukses dengan kompetisi PNPM Mandiri Pedesaan,
Supadi makin percaya diri. Pada akhir 2009, dia mengajukan
proposal bantuan kepada Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat (PUPR). Proposalnya disetujui. TPST
Mulyoagung pun mendapatkan hibah berupa hanggar,
jalan, dan sarana lain untuk menunjang kebutuhan TPST.
Medio 2010, pengelola TPST membangun hanggar.
Butuh waktu enam bulan menyelesaikan pembangunan
hanggar. Lalu, pada Desember 2010, TPST 3R Mulyoagung
Bersatu berdiri. “Kami baru beroperasi pada Februari 2011,”
ujar Supadi.
Diancam Warga, Tapi Tak Surut Langkah
TPST 3R Mulyoagung Bersatu sudah beroperasi. Tapi,
tetap saja sebagian besar warga Mulyoagung melakukan
kebiasaan lama mereka: membuang sampah ke sungai
Brantas. Supadi tentu prihatin dengan rendahnya
kesadaran warga ini. Padahal, di banyak penjuru Desa
Mulyoagung, terutama di masjid dan musola, terpampang
benderang tulisan “kebersihan sebagian dari iman”.
Tapi, “Itu cuma jadi pajangan. Bagi saya, sampah itu ada
kepanjangannya. Semoga Allah melimpahkan pahala atas
hamba-Nya,” ujar Supadi tersenyum.
Dengan makna sampah seperti itu, Supadi meyakini
bahwa sampah adalah doa. Dan, ada tanggung jawab
sebagai manusia di dalamnya, untuk mengelola sampah
dengan sebaik-baiknya. Dia tak mau perilaku seseorang
malah menyusahkan orang lain.
Supadi mengenang betapa sulitnya menyadarkan
warga pada masa awal berdirinya TPST. Tak jarang, dia
mendapatkan ancaman dan akan dilaporkan ke polisi.
Alasannya, Supadi sudah melakukan tindakan tidak
menyenangkan dan menggangu orang lain. Belum lagi
capnya sebagai warga pendatang di Mulyoagung. Warga
sudah merasa nyaman dengan cara mereka mengatasi
sampah selama ini: buang ke sungai, atau bakar. “Mereka
tak peduli cara seperti itu menyusahkan orang lain, dalam
hal ini warga Surabaya,” tutur Supadi.
Dia pun lalu mengusulkan agar Kepala Desa
Mulyoagung mengeluarkan peraturan desa (perdes). Pada
2012, keluarlah perdes berupa larangan dan sanksi bagi
warga yang masih membuang sampah ke Sungai Brantas.
Perdes itu mewajibkan warga membuang sampah
ke TPST. Warga diwajibakan membayar iuran sebagai
biaya pengolahan sampah. Ternyata, perdes itu ampuh.
Perlahan, warga Mulyoagung tidak lagi membuang
sampah ke Sungai Brantas.
Besarnya iuran berkisar antara delapan ribu rupiah sampai
dua belas ribu rupiah per bulan per rumah, tergantung dari
jumlah anggota keluarga di dalam satu rumah. Iuran warga
itu dipakai sebagai biaya operasional TPST, sebesar 180 juta
rupiah per bulan. Sebagian besar biaya operasional – 120 juta
rupiah per bulan – digunakan untuk menggaji karyawan
TPST yang berjumlah 89 orang. Gaji terendah karyawan TPST
Mulyoagung adalah 1,8 juta rupiah per bulan. Sedangkan gaji
tertinggi sebesar 2,85 juta rupiah per bulan.
Ternyata, iuran warga itu hanya mampu menutupi
tak sampai empat puluh persen dari keseluruhan biaya
operasional. Untuk menambal kekurangan, TPST mengolah
sampah warga. Penghasilan terbesar TPST Mulyoagung
memang produk olahan dari sampah nonorganik. TPST
menampung 359 jenis sampah nonorganik. Lalu, diolah
menjadi 111 paket kemasan sampah yang disesuaikan
dengan kebutuhan pabrik daur ulang.
Profesor Pun Belajar
Di awal berdiri, TPST Mulyoagung hanya melayani
warga Desa Mulyoagung. Enam ribu kepala keluarga di
Desa Mulyoagung semua sudah terlayani. Setelah seluruh
warga desa terlayani, barulah sejak 2013 TPST Mulyoagung
mengembangkan sayapnya. Kini, TPST Mulyoagung juga
melayani warga desa tetangga, yakni Desa Sumbersekar,
Desa Landungsari, dan Desa Gadingkulon. TPST Mulyoagung
melayani sekitar 13 ribu keluarga di empat desa di
Kecamatan Dau, Kabupaten Malang.
Setiap hari, petugas TPST Mulyoagung mengangkut
sampah dari 13 ribu rumah. Total sampah yang diangkut
sebanyak 216 meter kubik sampah per hari, terdiri dari 49
persen sampah nonorganik, 38 persen sampah organik,
dan 13 persen sampah residu.
Supadi kini boleh berbangga. TPST yang dia kelola
sudah menjadi salah satu acuan pengolahan sampah
terpadu berbasis masyakarat. Setiap tahun, TPST
Mulyoagung menerima lebih dari seratus kunjungan
berbagai pihak yang ingin belajar mengolah sampah
secara mandiri. Tak sedikit pula lembaga dari luar negeri
yang mengunjungi TPST Mulyoagung. “Bahkan, ada guru
besar atau profesor yang ke sini dan belajar dengan kami
cara mengelola sampah,” ucap Supadi.
TPST Mulyoagung memungut biaya untuk kegiatan
studi banding sebesar 1,9 juta rupiah. Biaya itu sudah
mencakup narasumber sebesar satu juta rupiah;
akomodasi ruangan, listrik, dan kebersihan sebesar 500
ribu rupiah; dan pendamping lapangan untuk empat zona
pengolahan sampah sebesar 400 ribu rupiah.
Memenuhi Janji, Mewakafkan Hidup
Keseriusan Supadi mengurus TPST Mulyoagung ini
sejatinya merupakan janjinya kepada Tuhan. Pada 2007,
sebelum ada gagasan untuk mendirikan TPST di Desa
Mulyoagung, anak perempuannya terserang penyakit dan
mengalami koma selama 21 hari. Dokter sudah angkat tangan,
dan menyampaikan kepada Supadi bahwa usia putrinya secara
medis hanya tinggal 40 hari. “Usianya baru tujuh tahun. Kepada
Allah, saya hanya memohon bisa memohon kesembuhan
untuk putri saya, jika Allah masih mempercayai kami untuk
merawat dan membesarkannya,” ujar Supadi dengan mata
berkaca-kaca mengenang kejadian sekian tahun silam.
Tuhan mendengar doanya. Sang putri tercinta
sembuh. Putrinya terbebas dari sakit, giliran Supandi yang
terserang penyakit. Diagnosis penyakitnya tidak jelas. Yang
pasti, selama enam bulan, Supadi tak berani memejamkan
mata. “Kalau saya tertidur, selalu ditunjukkan alam kubur,”
katanya. Dia pun kembali memohon kesembuhan,
sekaligus meminta petunjuk kepada Tuhan.
Lalu, Supadi pun mendapatkan petunjuk supaya
mengabdikan dirinya untuk lingkungan dan warga .
Setelah berjanji, Tuhan memberikan kesembuhan bagi
Supadi. “Kan ini seperti kisah spiritual yang saya alami.
Sering saya ceritakan kepada pengunjung di sini. Makanya,
ada yang menjuluki saya sebagai kiai sampah,” tutur Supadi.
Kerja Keras, Tapi Dikhianati
Bagi Supadi, kesungguhannya mengurus sampah
mendatangkan kenikmatan tersendiri. Apalagi jika dia
berhasil memotivasi karyawannya untuk tak kenal lelah
melayani warga dengan mengolah sampah.
Salah satu karyawannya, Nuryati, merasakan betul
betapa dalam kecintaan Supadi soal urusan sampah ini.
Sudah tujuh tahun Nuryati bekerja di TPST Mulyoagung.
Pekerjaan utamanya adalah memisahkan botol plastik
yang bersih dan kotor. Namun, dia bisa pula mengerjakan
pekerjaan lain, dan mendapatkan bonus di luar gaji
pokoknya. “Saya bisa menyelesaikan cicilan rumah selama
bekerja di sini,” kata Nuryati, yang bersuamikan seorang
pemulung.
pasca sarjana Pendidikan Agama Islam. Sempat merantau
ke Bali selama 15 tahun, Joni akhirnya memutuskan
kembali ke kampung halamannya di Mulyoagung.
Awalnya, Joni hanya sekadar lewat di depan TPST. Lalu, dia
memberanikan diri singgah dan bertemu dengan Supadi.
Dari obrolan santai dengan Supadi, Joni pun menawarkan
diri membantu Supadi mengurus TPST. Dengan gaji yang
jauh di bawah penghasilan sebelumnya, Joni pun kini
menjadi tangan kanan Supadi. “Kalau Allah mengizinkan,
saya ingin sampai akhir hayat bekerja di sini,” ujar Joni.
Loyalitas seperti Joni itulah yang membuat Supadi tak
pernah merasa lelah dan menyerah. Memang, dia sempat
mengalami guncangan pada Oktober 2019 lalu. Beberapa
Ketua RT dan Ketua RW di Desa Mulyoagung ternyata
sudah sekian lama melakukan tindakan tidak jujur. Mereka
memalsukan laporan jumlah rumah di wilayah masing-
masing. Umpamanya, ada satu RT dengan jumlah rumah
warga sebanyak 125 rumah. Tapi, sang Ketua RT melaporkan
hanya 61 rumah yang ada di RT-nya. Akibatnya, iuran yang
disetor ke TPST di bawah jumlah yang seharusnya.
Supadi sempat merasa dikhianati. Namun, akhirnya
dia mengambil hikmah dari kejadian itu . “Saya
sampaikan agar kejadian yang sudah lalu biarlah berlalu.
Tapi, saya ndak mau ke depan kejadian seperti itu terulang
lagi,” ucap Supadi.
Begitulah Sang Kiai Sampah dari Kecamatan Dau,
Kabupaten Malang, Jawa Timur. Totalitasnya mengurus
TPST Mulyoagung sudah terbukti. Dan, jika kini Kota
Surabaya mengalami banjir, Supadi meyakini bahwa
itu sama sekali sudah tidak ada kontribusi dari Desa
Mulyoagung.
D eretan jerigen teronggok di pojok pekarangan sebuah rumah di Kota Malang, Jawa Timur. Beberapa di antaranya memperlihatkan isi
berwarna kecoklatan atau kehitaman. Ada yang penuh,
ada pula yang berisi setengah. Itulah jerigen minyak
jelantah di rumah D.K. Wardhani, di sebuah komplek
perumahan di Kecamatan Blimbing. Sejak 2017, rumah
Dini sapaan D.K. Wardhani memang menjadi tempat
persinggahan terakhir minyak jelantah yang diantarkan
anggota Komunitas Sedekah Jelantah (KSJ) Kota Malang.
Dini mendirikan KSJ ini sebagai bentuk keprihatinannya
terhadap sisa minyak penggorengan. Biasanya, warga
membuang minyak jelantah ke selokan di dekat rumah.
Dini hanya bermodalkan nekat saat membentuk KSJ.
“Saya ndak tahu mau menyalurkan jelantah itu ke mana.
Pokoknya saya tampung saja dulu,” kata Dini.
Mencari informasi ke kiri kanan, akhirnya Dini tahu
cara menyalurkan jelantah yang sudah terkumpul. KSJ
membagikan jelantah itu kepada pengelola sentra budi
daya penyu di Kota Malang. Sentra penyu butuh lampu
teplok. Para pengelola budi daya penyu lantas mengolah
jelantah itu menjadi minyak untuk menghidupkan lampu
teplok. Karena dibagikan secara gratis, dari situlah muncul
istilah “sedekah”.
Dari berbagai informasi, KSJ pun akhirnya tahu bahwa
jelantah bisa pula dijadikan sabun. Mulailah KSJ mengajak
para perempuan di Kota Malang untuk membuat sabun
dari jelantah. Sejak itulah KSJ terus berkembang. Dari
awalnya hanya beranggotakan lima orang, kini tercatat
ada 23 orang pengepul jelantah yang tergabung ke dalam
KSJ. Semuanya perempuan.
Dini menyebut mereka sebagai “ibu-ibu bonek”. Bonek
adalah istilah amat populer di Jawa Timur. Singkatan dari
bondo nekat. Alias modal nekat. “Ibu-ibu itu membawa
jelantah ke rumah saya ini pakai sepeda motor. Sekali antar
bahkan ada yang bisa membawa sampai 70 liter,” ujar Dini.
Komunitas Sedekah Jelantah hanya sebagian kecil
aktivitas Dini Wardhani sebagai perempuan pegiat
lingkungan hidup. Sedekah jelantah menjadi salah satu
kendaraan Dini untuk menerapkan konsep hidup minim
sampah. Sejak 2017 itu pula, Dini sebenarnya sudah
mencoba untuk tidak lagi menghasilkan sampah di
rumahnya. Istilah kerennya: zero waste. Dini menyebutnya
sebagai pola hidup minim sampah.
Saat masih menjalani dosen di Universitas Brawijaya,
Malang, Dini memiliki asisten rumah tangga. Tapi, Dini
tak ingin bermanja diri. Dia ajak suami dan anak-anaknya
untuk peduli dengan urusan sampah di rumah mereka.
Pun dengan sang asisten rumah tangga. Dini sampai
mengajak ART-nya menyaksikan tayangan di televisi luar
negeri soal bahaya sampah. Dia ajarkan juga pentingnya
memilah sampah organik dan nonorganik. “Lumayanlah
pemahaman ART saya soal sampah. Pernah dia bilang ke
saya, kalau pulang ke rumahnya di kampung, dia merasa
risih melihat sampah di rumahnya masih nyampur,” tutur
Dini.
Pada 2017, ART-nya jatuh sakit. Dan, memutuskan
berhenti. Saat itulah, Dini mengatakan kepada suaminya
bahwa dia ingin berhenti mengurus sampah di rumahnya.
Dia ingin rumahnya tak lagi menghasilkan sampah.
Alasannya sederhana: Dini tak ingin dipusingkan dengan
urusan sampah di rumahnya. Inilah yang menjadi titik
awal dimulainya pola hidup zero waste di rumah Dini.
Pada mulanya, Dini sempat ragu menerapkan pola
hidup minim sampah. Semua kegiatan manusia tentu
menghasilkan barang sisa yang bernama sampah. “Kita
kan harus makan. Nah, makanan itu pasti ada sisanya.
Itulah yang akan jadi sampah. Masak iya makan kemenyan
supaya ndak nyampah?” kata Dini tergelak.
Perlahan, Dini mengajak keluarganya mengubah
gaya hidup. Makanan diusahakan tak bersisa banyak.
Dia juga memulai kebiasaan baru. Saking inginnya
mengurangi sampah, Dini membawa rantang jika ingin
membeli makanan ke warung atau rumah makan. Dini
memasukkan makanan ke dalam rantang. Tidak lagi
memakai bungkus yang terbuat dari kertas atau
daun. Dia membungkus rantang dengan serbet. Bukan
memasukkan rantang ke dalam kantung plastik. Dini dan
keluarga juga tak pernah memesan makanan melalui
aplikasi atau ojek online. Dia tahu persis, penjual makanan
online mengemas makanannya plastik atau styrofoam.
Perubahan pola hidup yang cukup drastis ini tentu
tak semudah membalikkan telapak tangan. “Di awal, kami
jumpalitan. Tapi, saya pantang menyerah. Kami belajar
bagaimana caranya tidak lagi memproduksi sampah di
rumah,” ucap ibu dua ini. usaha menahan diri menjadi
kata kunci bagi Dini dan keluarga. Dia mengajarkan
dirinya sendiri dan keluarganya agar bisa mengalahkan
ego. Termasuk harus sanggup menahan godaan yang
ditawarkan kemajuan teknologi.
Dini memesan makanan ke temannya yang bisa diajak
kompromi. Tentu dalam urusan mengurangi sampah.
Kepada sang teman, dia akan minta supaya pesanan
makanannya diantar ke rumahnya memakai
wadah milik sang teman. Setelah dicucinya, wadah itu
dia kembalikan. Atau, saat harus mencucikan pakaian
keluarganya ke laundry, Dini menulis pesan agar
pakaiannya tak dibungkus plastik. Anaknya nanti yang
akan mengambil pakaian itu.
Merasa Sudah Menyelematkan Lingkungan
Dini mengenal problematika persampahan
sesungguhnya karena terpaksa. Dia adalah lulusan Teknik
Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia kembali
ke kampung halamannya di Malang untuk menjadi
dosen. Tapi, nasib membawanya mengajar di jurusan
Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya
(UB). Di sanalah dia belajar tentang sampah, drainase, dan
sanitasi.
Saat menjadi dosen di UB, banyak koleganya sesama
dosen yang sedang tugas belajar. Pihak kampus UB
meminta Dini menjadi dosen pengganti. Posisi sebagai
dosen pengganti inilah yang membuat Dini berkenalan
dengan persampahan. Dia mendapatkan pemahaman
baru bahwa untuk merencanakan permukiman, ternyata
banyak aspek yang harus mendapatkan perhatian. Salah
satunya tentang pengelolaan sampah. Padahal, saat
sempat menjalani profesi sebagai arsitek, Dini cukup
hanya sebatas mengurus desain rumah. Lalu selesai.
Suatu saat , saat sedang merencanakan permukiman,
para mahasiswanya mengalami kesulitan. Mereka bilang
ke Dini, tak ada lahan untuk tempat pembuangan sampah
(TPS). Lahan sudah habis terpakai untuk membangun
rumah, sarana prasarana, dan fasilitas umum. “Ternyata,
TPS itu menjadi bagian paling akhir dalam sebuah
perencanaan permukiman,” kata Dini.
Bank Sampah Malang, Dini pun menyambanginya. Dia
mendaftar menjadi nasabah Bank Sampah Malang.
Dengan menjadi nasabah bank sampah, Dini merasa
sudah berperan menyelamatkan lingkungan.
Dini menilai dirinya sebagai orang yang tak bisa
diam melihat sebuah persoalan. Pun, “Saya ini orangnya
memang suka berinovasi dan mencoba sesuatu,” ujar
Dini. saat ada temannya yang bercerita soal biopori, Dini
langsung menerapkannya. Dia bikin enam lubang biopori
di halaman rumahnya. Begitu pula saat mendengar
informasi tentang takakura, Dini mencoba melakukan
pengomposan dengan takakura.
Kepedulian Dini akan sampah yang diperolehnya
sejak menjadi dosen di UB, ternyata tertancap mendalam
di sanubarinya. Perlahan dia mencoba memengaruhi
lingkungannya agar hirau dengan gaya hidup minim
sampah. Memang tak mudah. Umpamanya, saat hendak
menggelar rapat di kampus, Dini harus bisa membuat
perencanaan: di mana memesan katering, siapa yang
kebagian tugas mencuci piring, gelas pinjam ke siapa.
Padahal, jika ingin gampang, Dini bisa saja langsung
memesan makanan dan minuman. Tapi, risikonya akan
timbul sampah dari kemasan styrofoam dan plastik
minuman.
Bagi Dini, kegampangan itulah yang akhirnya
membuat banyak orang merasa nyaman dan enggan
peduli dengan persoalan sampah. “Sebagian besar kita
sudah terbiasa dengan servis penanganan masalah
sampah di lingkungan kita,” ujarnya.
Tak Mau Dianggap Alien
Selain rasa nyaman, Dini juga melihat ada rasa
sungkan banyak orang untuk beraksi. Tentu dalam urusan
pengelolaan sampah. Kesungkanan itu, menurut Dini,
pada akhirnya akan berujung kepada kepasrahan dan
ketidakberdayaan. Pasrah terhadap keadaan dan tak
berdaya dengan situasi yang sudah terjadi.
Karena itu, Dini menganggap yang dilakukannya
sekarang sebagai sebuah dakwah dengan cara halus.
Dia tak ingin melakukannya dengan cara demonstratif.
Dakwah halus itu, bagi Dini, bentuknya adalah keteladanan.
Dini menghindari ajakan demonstratif lantaran, “Saya tak
mau dianggap sebagai alien,” selorohnya terkekeh.
Itulah yang Dini rasakan saat melaksanakan ibadah
umrah bersama keluarganya. Kotak makanan yang dia
bawa dari Tanah Air, hilang di bandara. Mau tak mau,
Dini dan keluarganya terpaksa menerima makanan yang
sebagian sudah tersaji dalam kemasan. Itu sama artinya
dengan menghasilkan sampah. saat akan kembali
ke negara kita , Dini meminta izin kepada suaminya agar
diperbolehkan membawa sebagian sampah berupa
kemasan makanan dan minuman. Memang tak bisa
semuanya dibawa pulang. Sebab, usai beribadah umrah,
Dini dan keluarganya mampir ke Turki terlebih dulu.
Dini dan keluarganya memang hanya bisa membawa
pulang sebagian kecil sampah dari Tanah Suci ke negara kita .
Tapi, polah laku itu rupanya diam-diam menarik perhatian
beberapa jamaah yang serombongan dengan Dini.
Setibanya di Malang, ada dua orang anggota rombongan
yang mengirim pesan singkat kepada Dini. Mereka ternyata
mengamati cara Dini dan keluarganya memperlakukan
sampah. Sepulang umroh, dua anggota rombongan ini
mulai menerapkan pola hidup minim sampah. Mereka
bilang ke Dini, jika terpaksa memesan makanan melalui
ojek online, mereka meminta pengemudi ojek online
untuk terlebih dulu singgah ke rumah. “Teman saya itu
menitipkan kotak makanan kepada si pengemudi. Lalu,
barulah si pengemudi menuju restoran,” kata Dini.
Perlu Teman Curhat
Dini menganggap respon dari kedua temannya
sesama jamaah umroh ini sebagai sebuah energi yang
bisa menjadi bekal baginya untuk terus menerapkan pola
hidup minim sampah. Energi itu pulalah yang dia rasakan
saat mendapatkan tanggapan positif dari alumnus
peserta kelas online belajar hidup zero waste. Sejak Mei
2018, Dini membuka kelas online melalui grup whatsapp.
Dini membuat kelas belajar online itu bersama
seorang rekannya di Yogyakarta. Dini menjadi dosen.
Rekannya menjadi moderator. Pada 2019, kelas online
itu sudah masuk ke angkatan ketujuh. Peserta akan
lulus jika berhasil melewati beberapa permainan yang
berhubungan dengan pengelolaan sampah. Peserta yang
lulus akan diminta membuat laporan perihal keberhasilan
pengurangan sampah di rumah mereka.
Bagi Dini, cara seperti ini bisa membuat orang
melakukan perubahan hidup secara menetap. Beda
halnya dengan menyampaikan materi di sebuah acara,
tapi tidak diiringi dengan pemantauan. “Bayangkan, ada
peserta kelas online yang berhasil mengurangi sampah di
rumahnya hingga 95 persen. Itu tercapai saat si peserta
tak lagi memakai diapers untuk anaknya,” ujar Dini.
Kelas online belajar zero waste ini ternyata menarik
minat salah seorang peserta untuk membuat kelas offline.
Dan, lahirlah Akademi Minim Sampah di Kota Malang, pada
awal 2019. Kini, Akademi Minim Sampah sudah memasuki
tahap kelas paket yang diadakan selama enam pekan.
Sukses dengan berbagai usaha pengelolaan sampah,
ternyata tak membuat Dini berpuas diri. Dia masih ingin
membagikan pengalamannya kepada banyak orang
dalam bentuk tulisan. Utamanya kepada anak-anak. Dan,
akhirnya, menjelmalah Dini menjadi seorang penulis
buku tentang lingkungan. Dini menulis buku bertemakan
penghematan sumber daya alam. Dia merasa perlu
menyampaikannya kepada anak-anak agar timbul
kesadaran sedari kecil bahwa alam sudah begitu banyak
memberi. Dini ingin mengajarkan anak-anak mulai
berhemat sumber daya alam.
Kristien Yuliarti adalah salah seorang sahabat Dini
berbagi keluh. Sebagai sesama penggerak hidup minim
sampah, Kristien mengalami banyak hal yang mirip
dengan Dini. Dia pun menganut paham yang sama
dengan Dini: tak ingin demonstratif menerapkan gaya
hidup zero waste. Bagi Kristien, teladan jauh lebih penting
dibandingkan kata-kata. Misalnya, saat dia menjemur kantung
plastik yang sudah dicuci. Lalu, ada tetangga yang melihat.
“Eh, beberapa hari kemudian, saya melihat tetangga itu
sudah menjemur plastik juga,” tutur Kristien tersenyum.
Kristien sempat mengeluh saat di masa awal merintis
komunitas sedekah jelantah. Dia pernah mendapat pesan
agar mengambil jelantah ke rumah seorang warga. Oleh
sang warga, jelantah itu hanya diletakkan begitu saja di
depan pagar rumah. “Bayangin tuh, ada yang tega seperti
itu ke kami. Untung saya punya teman kayak mbak Dini
yang bisa diajak curhat,” kata Kristien.
CURHAT. Dini bersama salah seorang te