Tampilkan postingan dengan label tentang manusia 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tentang manusia 5. Tampilkan semua postingan

tentang manusia 5



 r mereka. Mereka kesulitan mencari makan, sandang dan papan 

yang layak untuk manusia. Banyak juga keluarga yang hidup di dalam 

kemiskinan akut. Mereka tidak hanya mengalami kesulitan ekonomi 

berat, namun  juga kerap kali sakit secara fi sik.

Di sisi lain, ada orang-orang yang hidup dengan amat berkelimpahan. 

Gaji mereka puluhan bahkan ratusan juta setiap bulannya. Mereka 

hidup di rumah-rumah besar, seperti yang bisa kita lihat di berbagai 

perumahan mewah di berbagai kota di Indonesia. Mereka memakai  

mobil mewah setiap harinya.

Mereka berbelanja di mall-mall besar. Mereka berwisata ke 

”negara-negara mahal” setiap tahunnya. Keadaan ini kontras berbeda 

dengan keadaan kelompok lainnya yang hidup dalam kemiskinan akut. 

Kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin begitu besar dan begitu 

terasa di Indonesia.

Jika ini dibiarkan, maka hidup bersama akan menjadi sulit. 

Keadaan hidup sehari-hari akan dipenuhi ketegangan, kecurigaan 

dan rasa takut antar warga. Kriminalitas meningkat. Dan sangatlah 

mungkin, bahwa kekerasan akan meledak di tingkat politik, misalnya 

dalam bentuk revolusi berdarah.

Lembaga dan Mentalitas

Yang mendorong suatu negara berkembang yaitu  kualitas 

lembaga publiknya, seperti berbagai lembaga pemerintah, penegak 

hukum, parlemennya, militer dan lembaga pendidikan. Mereka 

yaitu  lembaga yang dibiayai dengan uang rakyat, yakni pajak, dan 

bekerja untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa kecuali. Mereka 

bertanggungjawab untuk kesejahteraan publik rakyat Indonesia. 

Mereka yaitu  motor pembangunan.

Di Indonesia, lembaga-lembaga publik ini tidak bekerja dengan 

baik. Mayoritas dipenuhi korupsi. Uang rakyat dipakai  untuk 

keperluan pribadi ataupun golongan semata. Akibatnya, banyak 

program untuk pengembangan kesejahteraan bersama tidak berjalan.

Lembaga-lembaga ini telah mengkhianati kepercayaan rakyat. 

Mereka mengingkari alasan keberadaannya, yakni demi kesejahteraan 

rakyat. Padahal, pimpinan-pimpinan utama mereka dipilih langsung 

oleh rakyat. Mengapa ini bisa terjadi?

Di berbagai negara yang makmur, lembaga publik berkembang 

lintas generasi. Mereka sudah diciptakan sejak ratusan tahun yang 

lalu. Banyak hal telah dipelajari, sehingga kini mereka bisa berfungsi 

dengan relatif baik. Ada mentalitas dan budaya yang sudah tercipta 

di dalam berbagai lembaga publik ini , yang mendukung proses-

proses kerja mereka.

Ini tidak terjadi di Indonesia. Lembaga-lembaga publik di Indonesia 

masih amat muda. Mereka tidak punya tradisi yang berkembang 

lintas generasi, seperti yang ditemukan di berbagai negara makmur. 

Mentalitas dan budaya lembaga yang ada hancur, akibat penjajahan 

selama ratusan tahun oleh Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis dan 

Jepang, serta juga oleh Orde Baru Suharto.

Penjajahan telah merusak budaya dan mentalitas di Indonesia. Ini 

tidak hanya terjadi di Indonesia, namun  juga di banyak negara Afrika 

dan Amerika Latin. Jejak-jejak penjajahan masa lalu yang dipenuhi 

kekerasan, perbudakan, penipuan, penghisapan, pembunuhan massal 

serta penghancuran tata nilai masih mempengaruhi kehidupan saat 

ini. Kehancuran budaya dan mentalitas ini pula yang membuat banyak 

lembaga publik di Indonesia dan di berbagai negara ini  cacat.

Penjajahan Asing

Sejujurnya, penjajahan asing belum berakhir di Indonesia. 

Infrastruktur ekonomi dan budaya kita masih amat tergantung sama 

asing. Mayoritas perusahaan besar yang mempengaruhi kehidupan 

warga  Indonesia masih dimiliki oleh asing. Perjanjian kerja yang 

dibuat antara pemerintah dan berbagai perusahaan asing ini  juga 

kerap kali tidak adil.

Banyak perusahaan asing mendirikan pabrik dan kantor di 

Indonesia. Mereka memanfaatkan standar gaji dan perlindungan pekerja 

yang rendah di Indonesia. Di beberapa tempat, mereka memakai  

kekerasan untuk menekan para pekerja. Para penegak hukum Indonesia 

disuap untuk diam, dan bahkan mendukung kekerasan yang terjadi.

Beragam pengolahan sumber daya alam juga masih dikuasai oleh 

pihak asing. Manajemen puncak masih dipegang oleh orang-orang 

asing. Mayoritas pekerja Indonesia hanya menjadi manajer rendah 

atau pesuruh belaka, walaupun kemampuan mereka setingkat dengan 

para pekerja asing, atau bahkan lebih baik. Perjanjian kerja yang dibuat 

antara beragam perusahaan asing dan pemerintah Indonesia pun kerap 

kali juga tidak adil.

Yang lebih mengherankan lagi yaitu  soal struktur mata uang. 

Mengapa orang Eropa bisa dengan mudah liburan ke Indonesia, 

sementara kita sulit sekali untuk liburan ke Eropa? Yang jelas, mereka 

tidak lebih cerdas ataupun rajin, jika dibandingkan dengan orang 

Indonesia. Ini terjadi, sebab  struktur mata uang dunia yang tidak adil.

Saya masih heran sampai sekarang dengan struktur mata uang 

ini . Jika diperhatikan dengan jeli, ini yaitu  sistem warisan 

masa penjajahan dahulu, saat  bangsa-bangsa Eropa secara agresif 

menyerbu berbagai negara lain di dunia. Sistem mata uang dunia 

yaitu  sistem yang secara inheren tidak adil dan berbau penjajahan 

serta penindasan. Ini memberi  kerugian yang amat besar untuk 

Indonesia, sekaligus keuntungan yang berlimpah ruah untuk negara-

negara Eropa dan Amerika Serikat.

Tata nilai kita juga kabur, akibat dominasi asing yang begitu kuat. 

Di satu sisi, banyak orang yang lebih bangga bergaya hidup Amerika 

dan Eropa, daripada menghayati nilai budaya tempat asalnya. Di 

sisi lain, banyak orang yang meniru budaya Arab, supaya   kelihatan 

lebih saleh dan suci, walaupun sebenarnya dipenuhi kemunafi kan. 

Kebingungan identitas antara budaya lokal Indonesia, budaya Arab 

Timur Tengah serta budaya AS dan Eropa ini berdampak luas, terutama 

dalam soal tata nilai yang menjadi dasar dari tindakan sehari-hari kita 

di Indonesia.

Tersangka koruptor tiba-tiba memakai  jilbab, saat  disidang. 

Ayat-ayat agama dipakai  untuk menindas dan merugikan orang 

lain. Orang tergila-gila dengan merk asing, walaupun harganya sangat 

tidak masuk akal, dan mutunya biasa-biasa saja. Orang rela jadi budak 

asing, supaya   dapat uang receh, suap ataupun cipratan hasil korupsi.

Kerancuan tata nilai ini  menciptakan kebingungan di banyak 

bidang, termasuk lembaga-lembaga publik kita. Tekanan suap dari 

pihak asing dan dominasi budaya yang dipenuhi kemunafi kan membuat 

beragam lembaga publik kita tersendat. Tak heran, kita tetap ”miskin”, 

walaupun sebenarnya kita kaya, amat sangat kaya. Kemiskinan akut 

di tengah ”surga” dengan kekayaan melimpah bernama Indonesia, 

ironis bukan?

Mengapa Kita ”Miskin”?

Sebagai bangsa, kita tetap ”miskin”, sebab  lembaga publik kita 

tidak memiliki mentalitas dan budaya yang cocok untuk melayani 

rakyatnya. Kita juga hidup dalam bayang-bayang asing, baik dalam 

tingkat politik, ekonomi maupun tata nilai (Barat dan Timur Tengah). 

Secara kualitatif, mutu berpikir dan kemauan bekerja orang Indonesia 

setara dengan beragam negara lainnya, bahkan mungkin lebih baik 

dalam banyak hal. Jika kita bisa ”memaksa” lembaga publik kita untuk 

menjalankan fungsinya sebaik mungkin, dan bersikap kritis terhadap 

beragam pengaruh asing yang masuk, maka jalan menuju keadilan dan 

kemakmuran bersama di Indonesia terbuka luas.

Tunggu apa lagi?

Filsafat Politik sebagai Filsafat Kesadaran

Setelah sekitar 15 tahun mendalami fi lsafat politik, saya semakin sadar, bahwa fi lsafat politik, pada hakekatnya, yaitu  fi lsafat 

kesadaran. Esensi dari fi lsafat politik yaitu  fi lsafat kesadaran. Dua 

konsep ini, yakni fi lsafat politik dan fi lsafat kesadaran, tentu perlu 

dijelaskan terlebih dahulu. Mari kita mulai dengan arti dasar dari 

fi lsafat.

Filsafat yaitu  pemahaman tentang kenyataan yang diperoleh 

secara logis, kritis, rasional, ontologis dan sistematis. Kenyataan 

berarti yaitu  segala yang ada, mulai dari jiwa manusia, politik, 

ekonomi, budaya, seni sampai dengan kesadaran. Logis berarti fi lsafat 

memakai  penalaran akal budi manusia. Filsafat bukanlah mistik 

yang melepaskan diri dari penalaran akal budi. 

Pandangan yang rasional yaitu  buah dari penalaran semacam 

ini. Rasional berarti suatu pernyataan atau pemahaman bisa diterima 

dengan akal budi, lepas dari latar belakang orang yang mendengarnya. 

Orang bisa berasal dari agama apapun, termasuk ateis, namun tetap 

bisa memahami pernyataan ini . Kritis berarti fi lsafat selalu 

mempertanyakan segala sesuatu, termasuk jawaban yang dihasilkannya 

sendiri.

Dalam arti ini, fi lsafat tidaklah pernah selesai. Ia bersifat terbuka, 

dan selalu berakhir dengan pertanyaan baru. Ia bagaikan petualangan 

intelektual yang tak pernah berhenti. Pertanyaan dan jawaban diarahkan 

pada unsur dasar, atau hakekat, dari apa yang dibicarakan. Inilah yang 

disebut sebagai ciri ontologis dari fi lsafat, yakni menggali sampai 

ke dasar dari apa yang sedang menjadi tema diskusi. Semua bentuk 

jawaban dan pertanyaan di dalam fi lsafat kemudian dirumuskan secara 

sistematis, yakni runtut, jelas, mudah dimengerti serta terhindar dari 

segala bentuk lompatan logika ataupun pertentangan.

Politik dan Kesadaran

Filsafat politik dan fi lsafat kesadaran berdiri di dalam bayang-

bayang defi nisi fi lsafat di atas. Filsafat politik yaitu  cabang dari fi lsafat 

yang hendak memahami hakekat dari kehidupan politik manusia, 

dan memberi  arahan tentang cara menciptakan politik yang 

mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi semua. Filsafat kesadaran 

yaitu  cabang fi lsafat yang hendak memahami hakekat dari kesadaran 

manusia. Keduanya memakai  metode yang bersifat logis, kritis, 

rasional, ontologis dan sistematis.

Filsafat politik hendak menemukan ide dan prinsip yang 

memungkinkan adanya warga , atau komunitas, dalam segala 

bentuknya. Inilah yang disebut sebagai pendekatan deskriptif di dalam 

fi lsafat politik. Pendekatan ini nantinya berkembang menjadi ilmu-ilmu 

sosial, seperti sosiologi, ekono mi, politik, hukum dan ilmu budaya. 

Namun, fi lsafat politik tidak hanya bersifat deskriptif, namun  juga 

normatif: ia menawarkan prinsip-prinsip yang memungkinkan suatu 

komunitas mencapai perdamaian, keadilan dan kemakmuran bersama.

Dua prinsip yang penting di dalam fi lsafat politik, yakni keadilan 

dan kesetaraan. Ada beragam arti dari konsep keadilan dan kesetaraan. 

Filsafat politik hendak mengupas dan mengembangkan beragam arti 

ini , dan melihat kemungkinan penerapannya di berbagai keadaan. 

Dua prinsip ini menjadi nyata, saat  ia menjadi prinsip utama di 

dalam berbagai institusi publik yang menata keadaan politik sebuah 

komunitas.

Filsafat politik juga memiliki ciri kritis. Ia tidak pernah puas dengan 

satu jawaban. Tidak ada jawaban fi nal. Yang ada yaitu  proses diskusi 

terus menerus, sehingga pandangannya bisa terus menyesuaikan 

dengan keadaan dunia yang terus berubah dengan cepat sekarang ini.

Institusi dan Kesadaran

Akan namun , setelah mendalami beragam pandangan fi lsafat politik, 

saya sampai pada pendapat, bahwa semua teori akan percuma, jika ia 

tidak bisa diterjemahkan ke dalam institusi, dan sungguh membawa 

perubahan nyata di dalam kehidupan bersama. Artinya, inti dasar 

dari fi lsafat politik yaitu  pembangunan institusi-institusi di dalam 

masyarakan yang mendorong keadilan dan kemakmuran bagi semua. 

Namun, bagaimana cara membangun institusi-institusi ini ?

Satu cara yaitu  dengan memrumuskan regulasi, atau aturan, yang 

tepat. Namun, aturan setepat dan seketat apapun tidak akan mampu 

membangun institusi yang cocok untuk pengembangan warga . 

Aturan-aturan itu justru akan dipelintir untuk kepentingan-kepentingan 

korup tertentu, dan akhirnya mengorbankan kepentingan bersama. Ini 

sudah terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia.

Maka, kita perlu pendekatan lain. Aturan dan institusi yang kokoh 

tidak dapat dibangun, tanpa adanya manusia-manusia bermutu. Mutu 

dalam arti ini yaitu  etos hidup yang unggul, seperti jujur, rajin, mau 

bekerja keras dan bisa bekerja sama. Maka, pembentukan manusia-

manusia bermutu yaitu  jalan yang perlu dilakukan terlebih dahulu. 

Pembentukan manusia bermutu berarti perubahan kesadaran mendasar 

pada tingkat pribadi.

Dapat juga dikatakan, bahwa tata institusi tidak akan pernah 

mencukupi, tanpa adanya perubahan kesadaran secara mendasar. Dititik 

inilah fi lsafat kesadaran memainkan peranannya untuk menunjang 

fi lsafat politik. Sama seperti fi lsafat politik, fi lsafat kesadaran memiliki 

dua pendekatan, yakni deskriptif (memahami kesadaran manusia 

sebagaimana adanya) dan normatif (membentuk kesadaran manusia, 

sehingga bisa sesuai dengan kenyataan sebagaimana adanya). Untuk 

melakukan dua hal ini, fi lsafat kesadaran tidak bisa hanya menimba 

ilmu dari ilmu pengetahuan dan fi lsafat barat saja, namun  juga dari 

fi lsafat timur.

Memahami Kesadaran

Kesadaran manusia bukanlah otaknya. Maka, kesadaran tidak 

dapat dipahami dengan pendekatan biologis atau neurologis (saraf) 

semata. Kesadaran juga bukanlah semata fenomena empiris yang 

bisa ditangkap dengan indera manusia. Lebih dari itu, kesadaran 

juga bukanlah semata konsep yang bisa dipahami dengan akal budi 

manusia.

Penelitian tentang kesadaran, sampai pada titik paling dalam, 

menunjuk kan, bahwa konsep ini kosong. Tidak ada kesadaran di dalam 

diri manusia. Lebih tepat dirumuskan, tidak ada kata dan konsep 

yang sanggup menjelaskan makna kesadaran secara memadai. Maka 

dapat juga disimpulkan, bahwa memahami kesadaran manusia berarti 

menyadari sepenuhnya, bahwa ia kosong secara konseptual.

Di dalam fi lsafat timur, terutama di dalam tradisi Zen, memahami 

kesadaran berarti memahami inti dari seluruh alam semesta, sebab  

manusia dan alam semesta memiliki substansi kesadaran yang 

sama. Maka dari itu, dapat dikatakan, bahwa memahami kesadaran 

berarti menjalani perubahan kesadaran. Proses ini berarti menyadari 

seutuhnya, bahwa kesadaran bukanlah sebuah rumusan konseptual 

yang bisa didiskusikan dengan bahasa dan konsep, melainkan sesuatu 

yang dialami seccara langsung sebagai ada, tanpa penjelasan apapun. 

saat  orang menyadari ini, maka ia menjalani perubahan kesadaran 

mendasar, yang berarti juga perubahan perilaku, dan perubahan 

mendasar seluruh hidupnya.

Kesadaran manusia ada, sebelum segala bentuk pikiran, konsep, 

bahasa ataupun kata ”kesadaran” itu sendiri. Memahami dan menyadari 

ini secara otomatis membawa perubahan mendasar pada cara berpikir 

dan cara hidup seseorang. Inilah pendekatan normatif di dalam 

fi lsafat kesadaran. saat  banyak orang menyadari ini, maka otomatis 

hidupnya akan dibaktikan untuk kepentingan bersama, institusi-

institusi yang kokoh bisa berdiri dan keadilan serta kemakmuran 

bersama bisa dicapai.

Ada hubungan yang amat erat antara perubahan kesadaran dan 

proses pembangunan warga  yang adil dan makmur. Filsafat 

politik dan semua ilmu sosial tidak akan bisa mewujudkan keadilan 

dan kemakmuran, tanpa mendorong perubahan kesadaran mendasar di 

tingkat hidup pribadi. Aspek politik dari fi lsafat kesadaran dan aspek 

personal dari fi lsafat politik inilah yang luput dari beragam kajian di 

kedua bidang ini .

Penjajahan Mainstream

Sekelompok anak muda Indonesia berkumpul. Mereka saling berbagi cerita. Segala ketakutan dan harapan mereka diutarakan satu sama 

lain. Yang menarik, polanya sama.

Mereka takut hal yang sama: tidak punya uang. Mereka merindukan 

hal yang sama: mendapatkan uang yang banyak. Mereka benar-

benar merasa, bahwa ketakutan dan harapan mereka mencerminkan 

kebenaran. Inilah pola hidup generasi anak muda Indonesia di awal 

abad 21 ini. 

”Mainstream”

Setiap jaman memiliki ”mainstream”-nya sendiri. Inilah yang 

disebut sebagai Zeitgeist, atau semangat jaman. Di awal abad 21 ini, kita 

hidup di masa ”uang”. Segala hal diukur dengan uang. Jika sesuatu, 

semurni dan setulus apapun itu, tidak memiliki nilai ekonomis, maka 

ia dianggap tidak berharga.

Banyak orang ikut serta secara sukarela dan tanpa sadar di dalam 

”mainstream” ini. Mereka mengikuti pola hidup yang sama. Mereka 

memiliki selera yang sama. Mereka memiliki pola pikir yang sama.

Di sisi lain, mereka juga mempunyai ketakutan yang sama. Mereka 

khawatir akan hal yang sama. Mereka memilih hal-hal yang serupa, 

sekaligus menolak hal-hal yang sama. Para anggota ”mainstream” ini 

hidup bagaikan gerombolan domba yang disetir oleh kekuatan di luar 

mereka, yakni kekuatan ”mainstream”.

Yang tercipta kemudian yaitu  hidup yang sepenuhnya dangkal, 

yakni hidup yang sepenuhnya ditujukan untuk kenikmatan diri sendiri 

dalam bentuk penumpukan uang. Orang tidak lagi memiliki visi 

pribadi yang lebih luas tentang kehidupan sebagai keseluruhan. Ia 

hanya ikut arus dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya.

Akar dari semua ini yaitu  ketakutan. Orang mengira, jika ia 

tidak ikut arus ”mainstream”, maka ia tidak akan selamat. Ketakutan 

ini juga didukung oleh fakta di Indonesia, bahwa negara hampir tidak 

hadir untuk melindungi rakyatnya, hampir di segala bidang. Akhirnya, 

orang harus memikirkan semuanya sendiri melulu untuk keselamatan 

dirinya dan keluarganya.

Berpartisipasi dalam Penindasan

Mengapa hidup mengikuti arus ”mainstream” ini bermasalah? 

Pertama, dengan mengikuti gaya hidup ”mainstream”, orang secara 

tidak langsung berpartisipasi dalam melestarikan struktur ketidakadilan 

sosial yang ada di warga . Di dalam struktur sosial sekarang ini, 

sekelompok orang kaya di atas kemiskinan begitu banyak orang 

lainnya. Dengan mengikuti gaya hidup ”mainstream”, tanpa sikap 

kritis apapun, berarti orang setuju dan mendukung struktur sosial 

yang menindas semacam ini.

Kedua, orang yang hidup mengikuti ”mainstream” secara tidak 

sadar dimanfaatkan untuk keuntungan pihak lain. Mereka menjadi 

benda atau obyek yang diperas demi kepentingan pihak lain. Seringkali, 

kepentingan pihak lain itu yaitu  semata demi meningkatkan 

keuntungan, dan seringkali dengan merugikan pihak-pihak lainnya. 

Para anggota ”mainstream” ini kerap tidak sadar, kalau mereka hanya 

barang atau alat yang diperas semata.

Di dalam warga  konsumtiv kapitalistik sekarang ini, kita 

semua yaitu  komoditi yang siap dijual. Informasi tentang diri 

kita disebar di Internet untuk dijual kepada pembeli tertinggi. Kita 

seringkali tidak sadar dengan hal ini, sebab  kita sibuk memuaskan 

kepentingan diri kita akan uang. Kita sibuk mengikuti gaya hidup 

”mainstream” yang menyembunyikan penindasan dan ketidakadilan 

besar di baliknya.

saat  kita hidup seperti domba mengikuti pola ”mainstream”, kita 

merusak warga  yang memang sudah rusak. Kita menjadi korban 

sekaligus pelaku yang melestarikan ketidakadilan sosial. Bagaimana 

keluar dari lingkaran setan semacam ini? Bagaimana supaya   kita 

terhindar dari penjajahan ”mainstream” ini?

Belajar dan Bertanya

Yang jelas, kita perlu mengembangkan kemampuan berpikir 

kritis. Kita perlu belajar dan bertanya tentang jalan hidup yang kita 

pilih, apakah ini ikut melestarikan ketidakadilan yang ada, atau 

menguranginya. Kita juga perlu melihat ke dalam diri kita, apakah kita 

dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan 

tidak adil, atau tidak. Kita perlu mencari informasi dan bertanya pada 

orang-orang yang tercerahkan, supaya   kita tidak menjadi domba yang 

ikut arus ”mainstream”, dan secara tidak sadar merugikan banyak 

orang.

Tidak semua orang memiliki kekuatan dan kehendak untuk 

sungguh mengubah keadaan sosial menjadi lebih baik bagi banyak 

orang. Namun, setiap orang punya kekuatan untuk tidak ikut me-

nambah ketidakadilan yang ada. Ini bisa dilakukan, jika kita bersikap 

kritis terhadap pola hidup ”mainstream”. Bukankah lebih baik kita 

hidup sederhana dan bersahaja, daripada hidup mewah bergelimangan 

harta hasil dari penipuan dan ketidakadilan sosial di dalam struktur 

warga  kita?

Teknologi, Ekonomi dan Ekologi

Banyak orang masih hidup dalam anggapan lama. Mereka mengira, bahwa kemajuan ekonomi suatu negara tergantung 

pada perkembangan teknologi di negara ini . Jika kita ingin maju 

secara ekonomi sebagai suatu bangsa, maka kita harus membangun 

industri-industri berat yang berpijak pada teknologi canggih, seperti 

pesawat, mobil, satelit, internet dan sebagainya. Ahli ekonomi ternama 

sampai dengan pedagang di pinggir jalan di Indonesia masih hidup 

dan bekerja dengan anggapan ini.

 Filsafat, Sains dan Teknologi

Teknologi yaitu  anak dari ilmu pengetahuan. Teknologi ada-

lah rekayasa alam demi pemenuhan kepentingan manusia dengan 

memakai  ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sendiri ber-

kembang dari usaha  manusia untuk memahami alam dengan metode 

eksperimental (melalui rangkaian percobaan dan penggalian data) dan 

empiris (hanya mengakui apa yang bisa dicerna dengan panca indera 

dan diukur dengan memakai  statistik).

Ilmu pengetahuan sendiri yaitu  anak dari fi lsafat, yakni usaha  

manusia untuk secara rasional, kritis, logis dan sistematis di dalam 

memahami segala sesuatu di sekitarnya. Ilmu pengetahuan me-

nyempitkan fi lsafat ke dalam metode eksperimental dan data empiris 

semata. Teknologi lalu menyempitkan ilmu pengetahuan ke dalam 

rekayasa teknis semata, guna menghasilkan mesin dan prosedur 

tertentu untuk mengubah alam demi kepentingan manusia. Semua ini 

dilihat sebagai aktivitas yang mampu mengembangkan ekonomi suatu 

negara secara khusus, dan peradaban manusia secara umum.

Hampir semua negara di dunia menanamkan uang yang sangat 

besar untuk mengembangkan fi lsafat, sains dan teknologi di negara 

mereka. Milyaran rupiah dipakai  untuk mendanai beragam bentuk 

penelitian yang berpusat di universitas-universitas dan pusat-pusat 

penelitian. Begitu banyak hal baik yang muncul dari perkembangan 

fi lsafat, sains dan teknologi ini, mulai dari terciptanya sistem politik 

dan ekonomi yang mengedepankan martabat manusia, sampai dengan 

perkembangan teknologi kedokteran yang menyelamatkan begitu 

banyak orang dari kematian, akibat penyakit. Namun, batas akhir kini 

mulai tampak.

Krisis Ekologi

Anggapan lama tentang hubungan erat antara perkembangan 

ekonomi dan kemajuan teknologi kini mulai digoyang. Perkembangan 

teknologi tidak otomatis menciptakan perkembangan ekonomi, 

melainkan sebaliknya, ia justru mendorong terciptanya kesenjangan 

sosial dan, yang terpenting, kerusakan lingkungan. Beragam industri 

dibangun untuk menghasilkan beragam produk secara cepat, murah 

dan banyak. Namun, begitu banyak limbah dihasilkan oleh beragam 

industri ini .

Sampai sekarang, industri pengolahan limbah di berbagai negara 

masihlah amat lemah. Limbah dan sampah hasil produksi pabrik 

banyak sekedar ditimbun ke tanah dan dibuang ke laut begitu saja. 

Akibatnya, lingkungan menjadi rusak. Air menjadi tercemar oleh 

polusi, dan begitu banyak ekosistem laut rusak, akibat limbah yang 

dibuang begitu saja.

Negara-negara miskin dipaksa menjual tanahnya kepada negara-

negara kaya untuk pembuangan limbah. Akibatnya, lingkungan sekitar 

tempat pembuangan limbah ini  rusak. Panen gagal dan air 

tercemar. Orang-orang yang tinggal di daerah sekitarnya pun menjadi 

sakit, dan terpaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka.

Yang paling parah memang industri pertambangan. Pertambangan 

tidak hanya menghasilkan limbah yang besar, tetap secara agresif 

merusak alam, demi mengambil sumber daya alam yang terkandung 

di dalamnya. Gunung diratakan demi emas yang ada di dalamnya. 

Hutan dibabat habis demi minyak ataupun logam-logam lainnya yang 

terkandung di tanahnya.

Ini semua yaitu  hasil dari perkembangan teknologi yang 

mendorong pembangunan beragam industri, mulai dari industri tekstil 

sampai dengan pertambangan raksasa. Pendek kata, industri-industri 

buah dari perkembangan teknologi ini merusak alam, dan demikian 

juga menciptakan penderitaan yang berat, baik secara ekonomi, kultural, 

sosial, politik maupun kesehatan, kepada berbagai komunitas di dunia. 

Dalam arti ini, perkembagan teknologi tidak mendorong perkembangan 

ekonomi, melainkan justru pengrusakan alam, dan pemiskinan berbagai 

komunitas di dunia, terutama komunitas-komunitas di daerah miskin 

di dunia. Perkembangan teknologi telah menjadi begitu tanpa arah dan 

kehilangan kendali, sehingga justru menghasilkan penindasan global 

terhadap mereka-mereka yang miskin.

Mengubah Anggapan

Anggapan lama ini  harus dibuang sekarang ini. Fokus kita 

bukanlah mendorong perkembangan teknologi untuk perkembangan 

ekonomi lagi, namun  mendorong pembagian kekayaan secara merata 

ke seluruh dunia. Kata ”perkembangan” haruslah ditinggalkan, dan 

diganti dengan kata ”pembagian”. Dunia ini cukup untuk menunjang 

hidup yang bermartabat untuk semua mahluk hidup di dalamnya, asal 

ditata dengan adil, yakni menciptakan pembagian yang adil dan merata 

untuk semua mahluk, tanpa kecuali. Obsesi pada ”perkembangan” 

teknologi dan ”perkembangan ekonomi” justru merusak lingkungan 

hidup dan menghancurkan ekonomi itu sendiri.

Untuk bisa mencapai arah ini, kita perlu melepas pandangan 

antroposentris yang bercokol di kepala kita. Pandangan ini menekankan, 

bahwa manusia yaitu  mahluk spesial di alam ini yang berhak untuk 

mengatur semuanya demi memuaskan kebutuhan dan kepentingannya. 

Pandangan ini salah kaprah, dan justru menghancurkan semua mahluk 

hidup, termasuk manusia sendiri. Kita perlu melihat diri kita sebagai 

bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta ini.

Hanya dengan begitu, peradaban manusia bisa bergandengan 

tangan dengan seluruh alam semesta ini dan menciptakan komunitas 

yang adil dan makmur untuk semua, tanpa kecuali. Ini disebut juga 

sebagai kesadaran etis-ekologis. Kesadaran ini jauh lebih penting dari 

obsesi pada perkembangan teknologi untuk perkembangan ekonomi 

semata. Kesadaran ini berpijak pada ”pembagian” sumber daya yang 

merata demi kehidupan semua mahluk hidup, dan bukan kehidupan 

segelitir orang saja.

Untuk apa kaya dan maju secara teknologi, namun  kita tidak 

lagi bisa menghirup udara segar di depan rumah kita? Untuk apa 

memakai  telepon seluler seri terbaru dan mobil canggih, namun 

selalu melihat saudara kita di belahan dunia lain tercabik oleh perang 

dan kemiskinan? Untuk apa? Apakah hidup hanya sekedar mobil 

mewah, rumah indah, dan memiliki semua peralatan canggih?

Melampaui Dogmatisme

Apakah anda pernah melihat orang yang saling berdebat satu sama lain? Ataukah anda sendiri pernah terlibat perdebatan dengan 

orang lain, atau kelompok lain? Perdebatan muncul, sebab  perbedaan 

pendapat, yakni saat  dua orang melihat sesuatu dari sudut pandang 

yang berbeda. Masalah muncul, saat  keduanya merasa, bahwa 

mereka masing-masing memegang kebenaran mutlak.

Biasanya, perdebatan semacam ini diakhiri dengan pertengkaran. 

Sangat sedikit perdebatan dengan pola semacam ini yang berakhir 

dengan kesepahaman. Ini terjadi, sebab  kedua belah pihak memegang 

erat pendapat mereka, dan menutup telinga dari pendapat pihak 

lainnya. Inilah salah satu bentuk dogmatisme yang bisa dengan mudah 

kita temukan dalam hidup sehari-hari. 

Pada tingkat yang lebih luas, dogmatisme dapat dengan mudah 

dilihat di dalam agama dan politik. Keyakinan agama dan politik 

tertentu dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh ditanya. 

Siapa yang berani bertanya, apalagi mengritik, dianggap sebagai 

musuh yang harus dihancurkan. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa 

dogmatisme yaitu  penyakit paling berbahaya di dalam kehidupan 

bersama umat manusia.

Dogmatisme

Dogmatisme yaitu  keyakinan mutlak tanpa tanya pada suatu 

bentuk rumusan konseptual. Rumusan ini  bisa dalam bentuk 

perintah moral, atau penjelasan atas sesuatu yang tak boleh lagi 

dipertanyakan. Segala hal di alam semesta ini selalu bisa untuk 

dipertanyakan. Namun, dogmatisme melarang segala bentuk pertanyaan 

ini .

Yang sering ditemukan yaitu  dogmatisme di dalam bidang moral 

yang berpijak pada keyakinan agama tertentu. Orang hidup dengan 

keyakinan mutlak atas kebenaran pikiran diri dan kelompoknya. Ia 

pun bergerak untuk memaksakan keyakinan ini  pada orang lain. 

Tidak ada toleransi dan kelembutan di dalam penerapannya.

Orang dogmatis dapat dianggap seperti orang yang buta pikirannya. 

Ia menutup mata dari kenyataan dunia ini yang beragam dan terus 

berubah. Orang ini seringkali tidak sadar, bahwa ia bersikap dogmatis. 

Ia memaksakan tata nilainya ke dirinya sendiri dan ke orang lain, 

tanpa ada kesadaran sedikit pun, bahwa dunia ini dipenuhi dengan 

ketidakpastian dan perubahan.

Selain buta, orang dogmatis juga biasanya dipenuhi ketakutan. Ia 

merasa, jika dunia berjalan tidak sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai 

hidupnya, maka semua akan hancur. Ia mengira, bahwa seluruh alam 

semesta ada dan bergerak dengan berpijak pada nilai-nilai hidup yang 

ia yakini tanpa tanya. Tak salah juga jika dikatakan, sikap dogmatis 

tidak hanya terkait dengan kebutaan dan ketakutan, namun  juga dengan 

kebodohan.

Dogmatisme juga membuat suatu nilai yang sejatinya baik menjadi 

rusak. Setiap orang perlu hidup dengan nilai di dalam hidupnya. 

Namun, saat  nilai ini  diyakini secara dogmatis, maka nilai 

itu akan menjadi sumber masalah bagi hidup pribadi orang ini , 

maupun hubungannya dengan orang lain. Dogmatisme meruntuhkan 

keluruhan suatu nilai, dan menjadikannya sumber pembenaran bagi 

segala bentuk kekerasan dan kejahatan.

Orang yang dogmatis juga akan cenderung mengalami penderitaan 

di dalam dirinya, sebab  keyakinannya akan terus berbenturan dengan 

kenya -taan yang ada. Benturan ini menghasilkan penderitaan tidak 

hanya di dalam batinnya, namun  juga penderitaan bagi orang-orang 

yang di sekitarnya. Kesadaran akan sikap dogmatis di dalam diri ini 

lalu kerap kali mendorong orang untuk mencari jalan keluar.

Melampaui Dogmatisme

Bagaimana keluar dari penyakit dogmatisme semacam ini? Yang 

jelas, kita harus terlebih dahulu sadar pada segala bentuk sikap dan 

pikiran dogmatis di dalam diri kita. Apakah kita punya kepercayaan 

yang tidak boleh lagi dipertanyakan? Jika masih ada satu saja 

kepercayaan di dalam hidup kita yang tidak boleh lagi digoyang 

dengan pertanyaan, maka kita yaitu  orang yang dogmatis.

Akar dari dogmatisme yaitu  kelekatan pada ide. Kelekatan yaitu  

anggapan, bahwa orang tidak bisa hidup tanpa suatu ide tertentu. Pada 

tingkat yang lebih luas, orang yang melekat ini berpikir, bahwa dunia 

ini akan hancur, jika tidak ditata dengan satu cara tertentu yang tidak 

boleh dipertanyakan. Kelekatan juga berakar dalam pada ketakutan 

dan kebodohan, atau lebih tepatnya pada kesalahan berpikir di dalam 

melihat dunia.

Jika kelekatan yaitu  akar dogmatisme, maka jalan keluar dari 

penyakit dogmatisme yaitu  dengan mencabut akar kelekatan. Akar 

kelekatan bisa dicabut, jika kita mengubah struktur kesadaran kita, 

yakni dengan menyadari sepenuhnya, bahwa segala kenyataan yang 

tampil di depan mata dan pikiran kita yaitu  sesuatu yang terus 

berubah. Akibat dari perubahan yang terjadi di setiap saatnya ini, 

maka dapat juga dikatakan, bahwa kenyataan yang di depan mata 

dan pikiran kita yaitu  semu. Ia bukanlah kenyataan sesungguhnya, 

sebab  saat  kita menyebutnya sebagai kenyataan, ia segera pergi 

dan berubah.

Dengan sampai pada kesadaran ini, kita lalu secara otomatis 

melepas kelekatan yang kita miliki. saat  kita melepaskan kelekatan, 

kita melepaskan dogmatisme. Bersamaan dengan itu juga, segala bentuk 

ketakutan dan kebodohan, yakni kesalahan berpikir di dalam melihat 

kenyataan, juga lenyap. saat  ketakutan, dogmatisme dan kelekatan 

lenyap, maka perdamaian antar manusia sekaligus kedamaian di dalam 

diri menjadi kenyataan.

Sikap Alami

Apa yang terjadi, saat  orang melepaskan segala bentuk 

dogmatisme di dalam dirinya? Apa yang terjadi kemudian, saat  orang 

melepaskan segala bentuk kelekatan, ketakutan dan kesalahan berpikir 

di dalam dirinya? Yang terjadi kemudian yaitu  orang ini  kembali 

ke jati diri alamiahnya. Hidup nya menjadi sepenuhnya mengalir di 

dalam kenyataan yang terus berubah, sekaligus bisa menanggapi 

berbagai keadaan yang muncul secara tepat dan jernih.

Segala bentuk kekerasan juga lenyap. Ini terjadi, sebab  tidak ada 

lagi keterpisahan antara diri pribadiku dengan alam semesta. Dengan 

kata lain, saat  segala bentuk kelekatan dan dogmatisme dilepas, 

maka orang kembali terhubung dengan alam semesta. Ia yaitu  alam 

semesta, dan alam semesta yaitu  dia.

Perdamaian dunia tidak akan pernah tercipta, jika orang masih 

hidup dalam kelekatan dan dogmatismenya masing-masing. Uang 

dan beragam proyek perdamaian bisa digelontorkan. Akan namun , jika 

semua itu masih menyelipkan satu bentuk dogmatisme dan kelekatan 

saja, maka semuanya akan berantakan. Bukankah itu yang kita alami 

sekarang ini?

Kejahatan dari Kebaikan

Sejak kecil, kita diajarkan untuk berbuat baik. Kita diajarkan 

untuk membantu orang yang kesupaya n. Kita diajarkan untuk berani 

bertindak, saat  orang lain membutuhkan bantuan kita. Semua ini 

tentu baik.

Berbuat baik yaitu  nilai yang cukup universal. Semua agama dan 

fi lsafat mengajarkannya. Ini ditemukan di semua peradaban yang telah 

dikenal ma nusia. Namun, ada masalah tersembunyi di sini. 

Bahaya dari Berbuat Baik

Banyak perbuatan baik justru membuat susah orang lain. Banyak 

orang akhirnya hidup dalam ketergantungan pada kebaikan orang 

lain. Mereka menjadi malas untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam 

hidupnya. Pepatah lama kiranya benar, bahwa jalan ke neraka kerap 

kali dilapisi dengan kehendak baik.

Pada masalah -masalah  yang lebih parah, perbuatan baik justru 

membunuh orang lain. Perbuatan baik menciptakan hubungan-

hubungan antar manusia yang tidak adil. Hitler memusnahkah orang 

Yahudi atas nama kehendak baik kepada rakyat Jerman pada awal 

abad 20. Suharto membantai ratusan ribu atas nama kehendak baik 

bagi kejayaan Republik Indonesia.

Sekarang ini, ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) membunuh, 

menyiksa dan memperkosa warga di Irak dan Suriah. Mereka melaku-

kannya atas nama agama. Mereka mengira, perbuatannya yaitu  

perbuatan baik untuk agama dan bangsanya. Pola yang sama ditemu-

kan di kelompok teroris Islam radikal Boko Haram di Nigeria Utara.

Mengapa begitu banyak perbuatan baik justru menghasilkan 

penderitaan yang lebih besar? Mengapa kehendak baik seringkali 

bermuara pada mala petaka? Mengapa berbuat baik justru berbahaya? 

Mari kita kupas bersama.

Kebaikan dan Kejernihan

Berbuat baik menjadi petaka, saat  itu dilakukan dengan pamrih. 

Kehendak baik menjadi jalan ke neraka, saat  ia dilumuri dengan 

kepentingan kotor. Ini terjadi, sebab  orang yang berbuat baik tidak 

memiliki kejernihan pikiran. Pikirannya dilumuri dengan perhitungan 

untung rugi dan nafsu jahat.

Enomiya-Lasalle, Zen Master dari Jerman, menegaskan, bahwa 

kejernihan hanya mungkin, jika orang sudah memahami jati diri 

sejatinya. Jati diri sejati terletak sebelum segala bentuk pikiran, bahasa 

dan konsep. Seluruh ajaran fi lsafat, mistik dan agama di seluruh dunia 

mengajarkan kita untuk menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia. 

Sayangnya, kita lebih terpaku pada ajaran moral dan ritual, daripada 

jati diri sejati kita sebagai manusia.

Dengan menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia, kita lalu 

juga sadar, bahwa jati diri sejati kita sama dengan jati diri sejati seluruh 

alam semesta. Kita semua yaitu  satu. Tidak ada perbedaan. Perbedaan 

hanya dibuat oleh bahasa, konsep dan pikiran yang kita rumuskan 

sendiri.

Man Gong, Zen Master asal Korea, juga menegaskan, bahwa 

tugas utama kita sebagai manusia yaitu  menyadari jati diri sejati 

kita. Semua tugas lain perlu dikesampingkan, supaya   kita bisa sampai 

pada kesadaran semacam ini. Tanpa kesadaran akan jati diri sejati 

kita sebagai manusia, hidup kita akan terus dipenuhi penderitaan, 

walaupun kita kaya dan sukses di mata warga . Menyadari jati 

diri sejati kita yaitu  tugas asli kita sebagai manusia, saat  dilahirkan 

ke dunia.

Kejernihan yang lahir dari kesadaran ini membuat kita juga menjadi 

kritis. Kita tidak lagi menjadi manusia naif yang gampang percaya. Kita 

melihat kenyataan yang sebenarnya, dan bukan lagi kenyataan yang 

diberikan kepada kita oleh media, atau pihak-pihak lain yang hendak 

menyembunyikan kebenaran. Kita tidak lagi gampang tertipu oleh 

segala bentuk pencitraan.

Bentuk Berbuat baik

Seung Sahn, Zen master asal Korea, merumuskan empat bentuk 

berbuat baik. Ini penting sekali untuk diperhatikan. Yang pertama 

yaitu  berbuat baik dalam bentuk pemenuhan kebutuhan fi sik. saat  

ada orang lapar, kita beri makan. saat  orang kehausan, kita beri 

minum. Ini bentuk tindakan baik yang paling rendah.

Yang kedua yaitu  bertindak baik dengan memberi  inspirasi 

pada orang lain untuk mandiri. Orang lain memperoleh inspirasi, 

supaya   ia lalu bisa bekerja sendiri. Ia juga bisa memotivasi dirinya, 

saat  keadaan menjadi sulit. Ia menjadi api bagi dirinya sendiri untuk 

berkembang.

Yang ketiga yaitu  berbuat baik dengan menjelaskan kepada 

orang lain hakekat sesungguhnya dari kenyataan yang ada. Artinya, 

kita mengajarkan kepada orang lain tentang kebenaran dari kenyataan 

sebagaimana adanya. Kita tidak menipu mereka dengan ajaran maupun 

konsep yang terlihat indah, namun palsu. Dengan kata lain, kita mem-

berikan ”kebenaran” kepada orang lain.

Yang keempat, dan tertinggi, yaitu  berbuat baik dengan men-

jelaskan fungsi yang tepat dari segala sesuatu kepada orang lain, 

sehingga orang lain bisa memakai  segala hal yang ia punya 

untuk menolong semua mahluk. Di dalam tradisi Zen, ini disebut 

juga jalan BodhisaÄ´ va. Orang tidak menolak apapun. Orang menerima 

segala nya, termasuk hal-hal yang dianggap jelek oleh warga , dan 

kemudian memakai  semuanya untuk menolong semua mahluk.

Namun, kesadaran akan fungsi yang tepat dari segala sesuatu ini 

hanya mungkin, jika kita menyadari jati diri sejati kita. Keduanya tidak 

bisa dipisahkan. Untuk mencapai ini, orang kerap kali perlu mengalami 

penderitaan di dalam hidupnya. Penderitaan disini dilihat sebagai 

bagian dari jalan menuju kesadaran.

”Jangan” Berbuat Baik

Keempat bentuk kebaikan di atas harus dilakukan, jika kita sudah 

memperoleh kejernihan di dalam batin dan pikiran kita. Jika pikiran 

kita masih kacau oleh kepentingan diri dan nafsu kotor, maka jangan 

berbuat baik. Jika kita pikiran kita masih dilumuri oleh perhitungan 

untung rugi, maka jangan berbuat baik. Perbuatan baik yang didasari 

oleh pamrih dan kekacauan pikiran justru akan melahirkan kejahatan 

dan penderitaan yang lebih besar.

Dalam arti ini, kita perlu menolong diri kita sendiri terlebih dahulu, 

sebelum menolong orang lain. Kita perlu berbuat baik pada diri kita 

sendiri dulu, sebelum kita berbuat baik pada orang lain. Artinya, kita 

perlu untuk ”selesai” dengan segala pamrih dan perhitungan di dalam 

diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum membantu orang lain. Jika 

kita belum ”selesai” dengan diri kita sendiri, maka jangan membantu 

orang lain.

Bukankah orang buta menuntun orang buta akan membuat 

keduanya masuk ke dalam jurang?

Hubungan yang Memisahkan

Kita hidup kini di dalam jaringan dunia virtual. Begitu banyak orang menghabiskan waktunya di beragam situs jaringan sosial 

di Internet, seperti Facebook, Path, Instagram dan sebagainya. Beragam 

situs ini menjadi sumber informasi utama. Bahkan tak berlebihan jika 

dikatakan, bahwa situs-situs ini kini menjadi media pendidikan utama 

begitu banyak orang di dunia sekarang ini.

Dengan bantuan situs-situs di dunia virtual ini, orang merasa 

didekatkan satu sama lain. Mereka merasa dekat dengan teman 

mau pun keluarga, walaupun dipisahkan oleh jarak dan waktu. 

Para aktivis sosial dan politik bahkan memakai  situs-situs ini 

untuk menyebarkan misi dan pandangan mereka. Namun, apakah 

hubungan yang diciptakan melalui situs-situs dunia virtual ini sungguh 

merupakan sebuah hubungan yang bermutu?

 Pendangkalan Sosial

Kita sering melihat orang-orang berkumpul di suatu tempat, 

namun mereka sibuk sendiri dengan teleponnya masing-masing. 

Mereka bersama, namun  tidak bersama. Mereka dekat, sekaligus jauh. 

Badan mereka di tempat yang sama. Namun, pikiran mereka terpisah 

ribuan, bahkan ratusan ribu kilo meter.

Komunitas di dunia sehari-hari terpisah, saat  justru komunitas 

di dunia virtual bertumbuh. Orang lebih nyaman dengan layar 

komputer, daripada dengan wajah temannya, atau justru keluarganya. 

Komunikasi pun menjadi sedemikian dangkal, sebab  terbatas pada 

beberapa potong kalimat di layar komputer ataupun telepon genggam 

yang kerap kali justru menciptakan kesalahpahaman. Gerak tubuh dan 

mimik wajah, yang merupakan bagian penting dari komunikasi antar 

manusia, kini terlupakan.

Situs-situs di dunia virtual ini, yang juga disebut sebagai jaringan 

sosial, yaitu  bentuk hubungan yang memisahkan. Mereka menciptakan 

hubungan semu yang justru menghancurkan hubungan antar manusia 

yang sejati. Mereka justru memecah hubungan antar manusia. Mereka 

menjadikan hubungan antar manusia menjadi sedemikian dangkal dan, 

seringkali, penuh kepalsuan serta kebohongan.

Yang tercipta kemudian yaitu  keterputusan antar manusia. 

Komunikasi sejati digantikan dengan komunikasi palsu dan semu. 

Ketidakpedulian pun tercipta. Orang lebih sibuk mengejar gosip 

terbaru, daripada memikirkan tantangan-tantangan kehidupan bersama.

Orang lalu mengalami pengalihan isu secara terus menerus. Orang 

lebih sibuk menyunting foto makanan terbaru, daripada bekerja sama 

untuk mengurangi kemiskinan dan ketidakadilan di berbagai belahan 

dunia. Orang lebih terpikat pada barang-barang elektronik terbaru, 

daripada perang dan penderitaan yang diderita oleh tetangganya. 

Orang tergeser dari hal-hal penting dalam kehidupan, dan digiring 

masuk seperti kambing ke dalam ranah pembodohan dan pendangkalan 

dalam bentuk konsumsi tanpa batas.

Solidaritas pun menjadi kata-kata yang hampir punah. warga  

mengalami atomisasi dan distraksi tanpa henti. Komunitas-komunitas 

sejati untuk menggiring perubahan terpecah. Komunitas-komunitas 

gosip dan pemuja barang-barang konsumsi bertumbuh subur, bagaikan 

jamur di musim hujan. Jika solidaritas mati, maka kerja sama antar 

manusia untuk mengatasi beragam tantangan bersama pun juga pada 

akhirnya akan mati.

Masalah-masalah baru tercipta. Kesenjangan sosial antara si kaya 

dan si miskin di berbagai belahan dunia kini semakin besar. Gerak 

korporasi rakus di berbagai belahan dunia kini seolah tanpa kontrol. 

Tak terasa, umat manusia kini bergerak dengan gembira sekaligus 

bodoh menuju kehancurannya sendiri, tanpa ia sadari.

Memutuskan untuk Menyambung

saat  pola komunikasi antar manusia menjadi dangkal dan palsu, 

maka manusia-manusia yang berkembang dalam pola komunikasi 

semacam itu pun akan menjadi dangkal dan palsu. Maka dari itu, 

pola komunikasi yang ada pun harus diubah. Dalam konteks ramainya 

situs-situs jaringan sosial dengan pendangkalan serta pemalsuan 

informasi, kita perlu memutuskan diri dari semua itu, supaya   justru 

bisa membangun komunikasi yang sejati. Kita perlu memutus jaringan 

justru untuk membangun jaringan yang sejati.

Melepaskan diri dari jaringan sosial yang menipu dan mendangkal-

kan membuat kita berjarak dari keadaan. Jarak akan mendorong 

refl eksi dan analisis yang lebih mendalam. Dari sini akan tercipta 

kebijaksanaan. Kebijaksanaan membantu kita secara kritis memilah 

beragam informasi yang ada, dan membuat keputusan terbaik dari 

segala kemungkinan yang ada.

Pada akhirnya, bukankah hidup akan menjadi begitu hampa dan 

dangkal, jika diisi dengan konsumsi tanpa batas dan berita-berita penuh 

kebohongan belaka?

Pendidikan dan Kemajuan Ekonomi

Banyak orang mengira, bahwa tingkat pendidikan seseorang langsung terkait dengan perkembangan tingkat ekonominya. Arti-

nya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar 

kemungkinannya untuk menjadi kaya. Anggapan ini tersebar begitu 

luas dan tertanam begitu dalam di berbagai warga  di dunia. 

Anggapan ini juga menjadi dasar dari begitu banyak kebijakan pen-

didikan di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia.

Penelitian Terbaru

Berbagai penelitian terbaru di Jerman dan Austria juga mendukung 

anggapan ini. Ludger Wössmann menulis artikel berdasar  pe-

nelitiannya dengan judul Gute Bildung schaff t wirtschaftlichen Wohlstand: 

Bildung aus bildungsökonomischer Perspektive (2012). Ia menegaskan, 

bahwa pendidikan yang tepat akan mendorong seseorang untuk 

mendapatkan pekerjaan yang bermutu untuk mengembangkan 

hidupnya. Namun, ia juga mengingatkan, bahwa pendidikan yang 

terpaku pada aspek ekonomi belaka justru akan mengurangi daya saing 

seseorang di pasar tenaga kerja.

Hasi l penelitian Wössmann ini ditunjang oleh penelitian serupa 

yang dibuat di Austria dengan judul Bildung 2025 – Die Rolle von 

Bildung in der österreichischen Wirtschaft (2015). Pendidikan yang 

murah dan bermutu akan meningkatkan kualitas tenaga kerja, dan 

akhirnya juga akan mendorong perkembangan ekonomi keseluruhan. 

Namun, yang dibutuhkan yaitu  pendidikan yang bersifat lintas 

ilmu dan lintas budaya. Pendidikan semacam itu tidak hanya akan 

menghasilkan manusia-manusia yang terampil bekerja, namun  juga 

kreatif di dalam menemukan ide-ide baru untuk mengembangkan diri 

dan warga nya.

Penelitian yang dibuat di dalam OECD-Studie (Organisation for 

Economic Cooperation and Development- terdiri dari 34 negara) (2013) 

juga memberi  kesimpulan yang sama. Kualitas pendidikan yang 

baik serta terjangkau mendorong tingkat ekonomi suatu negara. Tidak 

hanya itu, pendidikan yang terjangkau dan bermutu juga mendorong 

daya tahan suatu negara, saat  krisis melanda. Model Jerman, dengan 

pemisahan antara pendidikan universitas yang teoritik-abstrak dan 

pendidikan Ausbildung yang berfokus langsung pada keterampilan 

kerja, menjadi model yang layak dijadikan contoh bagi negara-negara 

lain.

Ketiga penelitian yang saya kutip di atas juga menegaskan, bahwa 

pendidikan haruslah mengambil bentuk campuran (Mix-Qualifi kationen). 

Ia tidak boleh hanya mengajarkan satu hal semata secara dogmatis. 

Di samping itu, ia juga harus terjangkau oleh rakyat banyak. Negara 

harus mencari cara untuk memberi  subsidi bagi lembaga-lembaga 

pendidikan, sehingga ia terjangkau oleh seluruh rakyat, dan jika perlu 

bebas biaya sama sekali.

Pendidikan yang Memperbodoh

Pendidikan yang hanya berfokus pada satu hal saja justru 

menghancurkan tujuan pendidikan itu sama sekali. Dengan kata lain, 

pendidikan semacam itu hanya memperbodoh peserta didik. Di banyak 

negara, juga di Indonesia, banyak lembaga pendidikan berfokus semata 

pada pendidikan ekonomi. Model pendidikan yang hanya terpaku 

pada pendidikan ekonomi sempit semata justru akan menghancurkan 

dunia pendidikan itu sendiri, dan memperlambat kemajuan ekonomi, 

atau bahkan justru merusaknya.

Argumen ini  ditopang oleh dua penelitian yang dilakukan 

oleh Julian Nida-Rümelin di dalam bukunya yang berjudul Philosophie 

einer Humanen Bildung (2013) dan Ha-Joon Chang di dalam bukunya 

yang berjudul 23 Things They Don’t Tell You About Capitalism (2011). 

Kedua penelitian ini sampai pada kesimpulan, bahwa pendidikan 

lebih luas dari sekedar pengembangan ekonomi belaka. Pendidikan 

yang sejati mendorong orang untuk menjadi warga negara yang baik 

di dalam warga  demokratis. Model pendidikan semacam ini tidak 

hanya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas untuk 

kemajuan ekonomi, namun  juga manusia-manusia yang bisa secara aktif 

dan kreatif terlibat dalam pengembangan kehidupan warga  secara 

keseluruhan di berbagai bidangnya, mulai dari seni, budaya, sampai 

dengan politik.

Di Indonesia, kita juga banyak menemukan adanya lembaga-

lembaga pendidikan yang fokus pada nilai-nilai agama semata. Yang 

diajarkan hanyalah ajaran suatu agama tertentu, dan menutup mata 

pada perkembangan di bidang-bidang lainnya. Pendidikan semacam 

ini juga memperbodoh, sebab  ia akan menciptakan manusia-manusia 

fanatik yang ketinggalan jaman, dan tidak memiliki keterampilan yang 

dibutuhkan untuk mengembangkan diri dan warga nya. Akibatnya, 

banyak lulusannya terjebak dalam kemiskinan, dan akhirnya jatuh ke 

dalam kriminalitas.

Pendidikan jelas membutuhkan pendidikan ekonomi. Pendidikan 

juga jelas membutuhkan nilai-nilai religiositas. Namun, pendidikan 

yang semata berfokus pada aspek ekonomi atau nilai-nilai agama 

tertentu jelas akan menghancurkan pendidikan itu sendiri. Pendidikan 

semacam ini justru akan menghancurkan keluhuran nilai-nilai agama 

dan mengurangi daya saing ekonomi itu sendiri. Ini yaitu  pendidikan 

yang memperbodoh.

Bukankah suatu bentuk penyiksaan, jika kita belajar di lembaga 

pendidikan yang hanya mengajarkan kita untuk menghafal ajaran 

agama tertentu secara dogmatis atau hitung-hitungan ekonomi yang 

kerap kali tidak akan pernah kita gunakan di dalam hidup kita?

Apa yang Terpenting?

September 2015, industri mobil dunia terguncang oleh skandal. Volkswagen, salah satu produsen terbesar mobil dunia asal Jerman, 

melanggar ketentuan terkait dengan jumlah emisi mobil-mobil hasil 

produksinya. Harga saham Volkswagen menurun drastis. Pemecatan 

besar-besaran serta denda milyaran Euro pun sudah menunggu di 

depan mata.

Banyak analisis diajukan atas masalah ini. Intinya yaitu , 

Volkswagen telah menipu pemerintah dan warga  terkait dengan 

jumlah polusi yang dihasilkan oleh mobil-mobilnya. Ia tidak hanya 

melanggar hukum dan menodai kepercayaan warga , namun  juga 

merusak alam. Pola pelanggaran semacam ini sudah terjadi begitu 

sering di dunia. Perusahaan-perusahaan multinasional mengabaikan 

semua hal, demi mendapatkan keuntungan yang lebih banyak lagi.

Pertanyaan kecil p un menggantung di kepala saya. Mengapa 

perusahaan yang sudah begitu kaya dan besar masih saja terjebak pada 

kerakusan akan uang? Bukankah mereka sudah amat sangat kaya, 

bahkan untuk ukuran perusahaan mobil raksasa yang usianya sudah 

hampir 100 tahun? Apa yang sebenarnya terjadi?

Salah Paham

Yang jelas, Volkswagen mengalami kesalahpahaman mendasar. 

Mereka mengira, bahwa uang yaitu  hal terpenting dalam hidup. 

Akibatnya, mereka menipu pemerintah dan warga , guna mendapat 

uang lebih banyak lagi. Sayangnya, pandangan yang salah semacam 

ini justru memukul balik Volkswagen itu sendiri.

Volkswagen tidak sendiri. Begitu banyak orang mengalami ke-

salahpahaman yang sama. Mereka mengira, hal terpenting di dunia 

yaitu  uang. saat  uang banyak, mereka justru bingung, dan akhirnya 

melakukan hal-hal yang justru menghancurkan diri mereka sendiri.

Mereka bilang, mereka butuh uang untuk hidup. Ini akhirnya 

menciptakan semacam lingkaran setan yang tidak masuk akal. Orang 

bekerja untuk hidup, sementara hidupnya diisi dengan bekerja lebih 

banyak lagi. Tak heran, dengan pola hidup semacam ini, banyak orang 

menderita dalam hidupnya.

Banyak orang juga bilang, bahwa mereka mencari uang untuk 

keluarga. Ini tentu masuk akal dan benar. Akan namun , apakah bisa 

dibenarkan, jika kita mencari uang untuk keluarga kita, dan menipu 

keluarga-keluarga lainnya? Lagi pula, seberapa banyak sih uang yang 

kita butuhkan untuk menghidupi keluarga kita? Milyaran Euro?

Kebingungan menghasilkan kesalahpahaman semacam ini. 

Kesalahpahaman akhirnya membuahkan penderitaan yang lebih 

banyak lagi. Kita tidak paham, apa yang terpenting dalam hidup ini, 

dan akhirnya melakukan hal-hal bodoh. Orang lain pun kena getahnya, 

akibat dari kebodohan kita.

Yang Terpenting

Lalu, apa yang terpenting dalam hidup ini? Jawabannya jelas bukan 

uang. Saya bahkan berani berpendapat, bahwa yang terpenting dalam 

hidup ini pun bukan hidup itu sendiri. Keluarga, bahkan memahami 

”tuhan”, pun juga bukan merupakan hal terpenting dalam hidup ini. 

Hidup, uang, keluarga dan tuhan tentu penting, namun  bukanlah yang 

terpenting.

Yang terpenting dalam hidup ini yaitu  memahami, siapa kita 

sebenarnya. Kita punya tugas utama dalam hidup ini, yakni menyadari 

jati diri sejati kita sebagai manusia. Jika kita bisa menyadari ini, maka 

kita akan menemukan kebebasan serta kebahagiaan yang sejati. Kita 

pun lalu bisa membantu mengembangkan kehidupan orang lain dan 

warga  kita.

Ini bukan hanya pandangan saya. Beragam pandangan di berbagai 

belahan dunia juga berpendapat yang sama. Tradisi Vedanta di India, 

fi lsafat Stoa di Yunani Kuno, tradisi Mistik Kristen, tradisi Sufi sme 

di Islam, tradisi Zen di Jepang dan pandangan hidup suku Sioux di 

Amerika Utara menanyakan pertanyaan penting yang sama, siapakah 

kita sesungguhnya? Pertanyaan ini yaitu  pertanyaan terpenting di 

dalam hidup manusia.

Jati Diri Sejati

Yang jelas, kita bukanlah nama kita. Nama yaitu  pemberian orang 

tua. Itu bisa diganti. Kita juga bukan agama, ras ataupun suku kita. 

Semua itu bisa berubah.

Kita perlu mencari yang tak berubah di dalam diri kita. Tubuh kita 

berubah. Pikiran kita pun berubah. Yang tak berubah yaitu  jati diri 

sejati kita sebagai manusia.

Jati diri ini yaitu  kesadaran murni (pure awareness) kita. Namun, 

kesadaran bukanlah otak. Otak yaitu  bagian dari tubuh. Dan kita 

jelas bukanlah tubuh kita.

Kesadaran inilah yang memungkinkan kita membaca tulisan ini. 

Kesadaran inilah yang memungkinkan kita terus bernafas. Ia yaitu  

sumber dari segala aktivitas di dalam diri kita. Ia selalu ada, bahkan 

saat  kita pikun, atau masuk dalam keadaan koma.

Kesadaran Murni

Sayangnya, kita sering lupa pada jati diri sejati kita ini. Kita lupa, 

bahwa kita bukanlah identitas sosial kita. Kita melupakan jati diri sejati 

kita, meskipun ia selalu ada bersama kita. Untuk melampaui kelupaan 

semacam ini, ada satu metode yang bisa dipakai , yakni metode 

mencerap (perceiving method).

Sejak kita lahir di dunia ini, kita sudah mencerap segala sesuatu. 

Kita merasakan segala sesuatu secara langsung. Kita tidak menilai 

ataupun menganalisis. Kita bisa mencerap, sebab  kita memiliki 

kesadaran murni di dalam diri kita.

Lalu, kita belajar bahasa dan konsep dari keluarga kita. Kita juga 

belajar di sekolah. Kita juga mulai belajar untuk melakukan analisis dan 

penilaian atas segala sesuatu. Akhirnya, kita berhenti untuk mencerap, 

dan selalu memakai  daya analisis dan daya penilaian di dalam 

hidup kita.

saat  ini terjadi, kita melupakan jati diri sejati kita, yakni kesa-

daran murni kita. Kita terjebak pada dunia konsep dan dunia analisis. 

Kita menilai segala sesuatu. Kita pun sulit untuk menemukan kedamai-

an dan kebahagiaan di dalam hidup kita, sebab  terlalu banyak berpikir.

Analisis jelas diperlukan di dalam hidup kita. Daya penilaian 

juga amat penting. Namun, keduanya bukanlah yang terpenting. Yang 

terpenting yaitu  kesadaran murni kita.

Kesadaran murni juga merupakan sumber dari daya analisis dan 

daya penilaian kita. Kesadaran murni ini tidak dapat ditunjuk, namun  

dapat dengan mudah dirasakan. Kita hanya perlu berhenti untuk 

menganalisis dan menilai. Kita hanya perlu mencerap segala yang ada 

dari saat ke saat, tanpa analisis dan tanpa penilaian.

saat  ini dilakukan, pikiran kita menjadi jernih. Kita menemukan 

ketenangan, kebebasan dan kebahagiaan di dalam diri kita sendiri. Kita 

lalu bisa menolong diri kita sendiri dan orang lain. Kita bisa berfungsi 

dengan baik sebagai manusia.

Melampaui Kelekatan

saat  kita menyadari kembali kesadaran murni kita, segala 

kelekatan pun hilang. Kita tidak lagi melekat pada harta, uang, 

jabatan, keluarga dan bahkan pada hidup itu sendiri. Kita menemukan 

kebebasan yang sejati.

Dengan kata lain, kita tidak lagi kecanduan pada uang, kuasa, 

jabatan dan bahkan hidup itu sendiri. Kita bisa memakai  itu 

semua sesuai fungsinya. Kita juga bisa memakai  itu semua untuk 

membantu orang lain. Bahkan, kita bersedia mati untuk menyelamatkan 

orang lain.

saat  kita menyadari kembali kesadaran murni kita, kita 

menciptakan jarak dengan segala hal. Kita tidak lagi terikat dengan 

identitas sosial maupun pikiran-pikiran kita. Kita lalu sadar, bahwa itu 

semua terus berubah, dan amat rapuh. Jarak semacam ini menciptakan 

kejernihan dan kewarasan di dalam diri kita.

Dengan kejernihan dan kewarasan, kita bisa hidup dengan jernih 

dari saat ke saat. Kita mencerap dari saat ke saat. Kita memakai  

analisis dan penilaian, jika diperlukan. Selebihnya, kita beristirahat di 

dalam rumah kesadaran murni di dalam diri kita sendiri.

Jika setiap orang menyadari kesadaran murni di dalam dirinya, 

hidup bersama akan menjadi mudah. Perbedaan tidak menjadi sumber 

bagi konfl ik, melainkan sumber bagi dialog. Politik menjadi efektif dan 

efi sien. Korupsi, kolusi dan nepotisme pun hanya tinggal kenangan.

Jika para pemimpin Volkswagen belajar hal ini, tentu mereka 

tidak akan terjebak dalam skandal. Pemerintah dan warga  juga 

tidak akan tertipu mentah-mentah. Alam juga tidak akan rusak, sebab  

kerakusan mereka. Namun begitu, kesempatan masih terbuka, juga 

bagi Volkswagen.

Untuk apa kekayaan berlimpah, namun  kita tidak mengenal, siapa 

diri kita? Untuk apa nama besar dan jabatan tinggi, namun  kita hidup 

dalam kelekatan dan penderitaan? Untuk apa memiliki kecerdasan 

tinggi, namun  terjebak terus dalam kecemasan dan kesepian? Saya harap, 

kita mulai tergerak untuk melakukan tugas utama kita di dalam hidup, 

yakni menyadari kembali jati diri sejati kita sebagai manusia.

Kita sudah Lelah

Pembakaran hutan di Indonesia yaitu  masalah lama. Ini sudah 

terjadi bertahun-tahun. Namun, masalah ini semakin besar belakangan 

ini, saat  asap mulai menutupi beragam tempat di Indonesia dan 

beberapa negara tetangga. Kerugian yang diciptakan oleh musibah ini 

menyentuh berbagai bidang kehidupan.

Hutan rusak. Keseimbangan ekosistem alam terancam. Ini tentu 

akan membawa beragam dampak lingkungan lainnya. Kita juga 

belum menghitung jumlah hewan dan tumbuhan yang mati, akibat 

pembakaran hutan ini .

saat  kabut asap me nutupi berbagai tempat, masalah kesehatan 

pun muncul. Banyak orang menderita infeksi saluran pernapasan atas, 

akibat masalah ini. Bahkan, di beberapa tempat, korban jiwa pun sudah 

berjatuhan. Jika terus berlanjut, beragam masalah kesehatan lainnya 

juga akan muncul.

warga  sudah tahu, bahwa perusahaan-perusahaan besar 

yaitu  pelaku utama pembakaran hutan ini. Mereka tidak lagi 

percaya pada perusa haan-perusahaan ini . Ketidakpercayaan 

sosial semacam ini menciptakan keresahan sosial. Dari keadaan ini, 

banyak masalah sosial lainnya juga akan muncul, mulai dari konfl ik 

antar kelompok, sampai dengan kekerasan terhadap orang-orang yang 

tak bersalah.

Dalam banyak masalah , pelaku utama pembakaran hutan ini 

tetap tidak tersentuh. Ini tentu menjadi masalah hukum tersendiri. 

Perusahaan-perusahaan besar, banyak darinya yaitu  perusahaan 

asing, menyuap pegawai pemerintah dan aparat hukum, sehingga 

mereka lolos dari gugatan hukum. Hal ini tidak hanya merusak 

kewibaan hukum Indonesia, namun  juga merendahkan konstitusi dasar 

negara ini sendiri.

Kekuasaan Bisnis

Cuaca yang semakin panas juga tidak membantu. Ini terjadi, 

akibat perubahan iklim yang kini sedang melanda bumi ini. Jika 

ditelisik lebih dalam, para pelaku utama pengrusakan lingkungan 

yang memicu perubahan iklim ini jugalah para perusahaan 

besar, terutama perusahaan-perusahaan multinasional. masalah  penipuan 

Volkswagen dan beberapa perusahaan mobil lainnya belakangan 

menunjukkan hal ini dengan jelas.

Ignatius Wibowo, pakar ekonomi politik Indonesia, juga melihat 

peran negara dalam hal ini. Negara tidak hanya membiarkan berbagai 

pelanggaran ini terjadi, namun  justru mendukungnya. Negara, katanya, 

menjadi centeng dari perusahaan-perusahaan besar. Ini membuat 

seluruh keadaan menjadi semakin rumit.

Di dalam penelitiannya, Herry Priyono, fi lsuf dan pakar ekonomi 

politik, juga berulang kali menegaskan kekuasaan perusahaan-

perusahaan besar ini. Ia merumuskan semacam teori kekuasaan bisnis. 

Tidak ada kontrol demokratis dari rakyat pada perusahaan-perusahaan 

ini. Akibatnya, mereka bisa bertindak semuanya untuk meningkatkan 

keuntungan, walaupun itu merugikan warga  luas.

Beberapa perusahaan multinasional juga memiliki sumber daya 

raksasa yang melebihi negara. Dengan kekayaan semacam ini, mereka 

bisa mempengaruhi berbagai kebijakan nasional maupun internasional, 

demi keuntungan mereka sendiri. Yang menjadi korban yaitu  negara 

miskin, terutama rakyat miskin yang hidup di negara miskin. Jutaan 

orang di berbagai belahan dunia meninggal setiap tahunnya sebagai 

akibat