fiqih penanggulangan sampah plastik.
NU PEDULI. Buku fiqih
sampah plastik sebagai
bentuk kepedulian NU
terhadap persoalan sampah
plastik di negara kita .
Bank Sampah Nusantara membuat buku itu
dengan sebuah kenyataan bahwa NU adalah organisasi
keagamaan. “Jadi, pendekatan yang kami lakukan untuk
mengelola sampah harus pula memasukkan pendekatan
keagamaan,” ucap Fitria. Lewat pendekataan keagamaan
itulah, Bank Sampah Nusantara ingin mendapatkan ciri
khas tertentu, yang bisa membedakannya dengan bank
sampah lain.
Sampah Plastik dan Kisah Nabi
Edukasi dan pendampingan menjadi karakter
menonjol yang dimiliki Bank Sampah Nusantara. Sejak
170
2018, Fitria dan rekan-rekannya begitu getol membentuk
bank sampah di pesantren, sekolah-sekolah yang dimiliki
NU, atau di wilayah dan cabang NU. Sebarannya meliputi
seluruh wilayah negara kita .
Salah satu kegiatan edukasi mereka namakan “Ngaji
Plastik”. Kegiatan ini memberikan pemahaman kepada
pengasuh pesantren dan para santri untuk peduli
terhadap pengelolaan sampah, khususnya sampah plastik.
Kata “ngaji” memang sengaja dipakai. Sebab, “Kalau pakai
kata sosialisasi, kami meyakini kurang bisa membangun
kesadaran mereka,” ujar Fitria. Kegiatan ini mendapatkan
sokongan penuh dari Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan.
NGAJI PLASTIK. Bank
Sampah Nusantara
lebih memilih kata
“ngaji” sebagai bentuk
sosialisasi pengelolaan
sampah plastik.
Pada “Ngaji Plastik”, pengurus Bank Sampah
Nusantara pusat menyelipkan beragam kisah yang
diangkat dari khasanah Islam ihwal pengelolaan sampah.
Misalnya, cara Nabi Muhammad mengelola sampah.
Pun, tak lupa menyampaikan beberapa ayat Al Quran
atau hadis nabi yang berkaitan dengan kebersihan dan
lingkungan hidup.
Agar tak keliru memakai kisah, ayat Al Quran,
atau hadis, Bank Sampah Nusantara menjalin kerja sama
dengan Bahtsul Masail PBNU. Ini adalah lembaga forum
diskusi keagamaan di NU yang biasa mendiskusikan
171
banyak hal untuk merespon dan meberikan solusi atas
problematika aktual yang muncul dalam kehidupan
warga . Dan, saat isu sampah menjadi pembicaraan
hangat di kalangan warga , tentulah Bahtsul Masail
ikut pula mengkajinya.
Berkat kegiatan “Ngaji Plastik”, kini sudah cukup
banyak pesantren yang memiliki program Pesantren
Hijau. Bank Sampah Nusantara memberikan kontrubusi
penting dalam program itu . Setidaknya, Bank
Sampah Nusantara sudah membentuk 125 bank sampah
di berbagai wilayah.
PENDAMPINGAN. Bank
Sampah Nusantara selalu
mendampingi warga yang
ingin membentuk bank
sampah.
Namun, Bank Sampah Nusantara tidak mau begitu
saja menyetujui proposal pembentukan bank sampah di
pesantren atau pengurus cabang NU. Ada proses penilaian
yang terlebih dulu harus ditempuh. Beberapa indikator
dijadikan acuan. Misalnya, luas lahan bakal bank sampah,
atau sumber daya manusia pengelola bank sampah.
“Memang lumayan ribet. Tapi, ini kami lakukan agar bank
sampah yang terbentuk benar-benar punya komitmen
menjalankan bank sampah,” kata Fitria.
Melebarkan Sayap, Menebar Kebaikan
Komitmen memang menjadi kata kunci mengelola
bank sampah. Komitmen itu pulalah yang membuat Bank
172
Sampah Nusantara secara perlahan mengembangkan
sayapnya. Selama ini, nasabah Bank Sampah Nusantara
adalah petugas kebersihan di gedung PBNU. Petugas
kebersihan ini sengaja dijadikan sebagai nasabah,
agar mereka tidak merasa kehadiran Bank Sampah
Nusantara sebagai saingan. Sebelum ada bank sampah,
petugas kebersihan sudah mendapatkan penghasilan
tambahan dari menjual sampah ke pemulung atau
pengepul.
Selain petugas kebersihan, beberapa penghuni
gedung PBNU juga menjadi nasabah Bank Sampah
Nusantara. Biasanya, mereka memilah sampah sejak dari
rumah. Setelah itu, sampah dibawa ke gedung PBNU,
untuk disetorkan ke bank sampah.
Sejak 2018, Bank Sampah Nusantara mulai
melebarkan sayap dan “keluar gedung”. warga di
belakang gedung PBNU mereka ajak menjadi nasabah.
Kini, jumlah nasabah Bank Sampah Nusantara sudah
mencapi 150 nasabah. Selain warga di belakang gedung
PBNU, beberapa perkantoran di sekitar gedung PBNU pun
tertarik menjadi nasabah. Juga beberapa kantor kedutaan
besar yang ada pegawainya merupakan kader NU.
SETOR. Nasabah Bank
Sampah Nusantara
menyetorkan sampah
setiap usai solat Jumat.
Kini, nasabah juga
berasal dari warga di
belakang gedung PBNU.
Sampah yang sudah terkumpul di Bank Sampah
Nusantara lalu dijual ke Suku Dinas Lingkungan Hidup
173
Jakarta Pusat. Omset penjualan sampah kini mencapai
300 kilogram sampai 500 kilogram per pekan. Memang,
Fitria mengakui, uang yang mereka peroleh dari penjualan
sampah tidaklah seberapa. Dan, uang penjualan sampah
itu bukanlah satu-satunya pemasukan Bank Sampah
Nusantara.
Pemasukan lain berasal dari memberikan pelatihan
pengelolaan bank sampah. Cukup banyak kementerian
yang meminta pengelola Bank Sampah Nusantara
mengedukasi mereka. Begitu pula dengan perusahaan
swasta. Bagi Fitria, peran mengedukasi ini sudah sejalan
dengan kehadiran NU yang selama ini memang lebih
banyak berkutat kepada kegiatan untuk mengubah
perilaku.
SOKONGAN. KLHK
mendukung penuh
berbagai kegiatan
Bank Sampah
Nusantara. Salah
satunya adalah
penyelenggaraan
Training of Trainer.
Kegiatan pelatihan ini mendapatkan sokongan
penuh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Salah satu contoh wujud nyata dukungan
KLHK adalah penyelenggaraan kegiatan Training of
Trainer (ToT) tentang manajemen bank sampah berbasis
lingkungan, pada Agustus 2018. Dua pejabat tinggi
KLHK – Dirjen Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan
Berancun Berbahaya, Rosa Vivien Ratnawati, dan Direktur
Pengelolaan Sampah, Novrizal Tahar – hadir dalam acara
itu .
174
PATUNG. Fitria
Ariyani, Direktur Bank
Sampah Nusantara,
memamerkan
kerajinan hasil daur
ulang sampah.
Kerajinan ini
menghasilkan uang
bagi bank sampah.
Dan, pemasukan yang bernilai cukup penting bagi
Bank Sampah Nusantara adalah “berjualan” produk
kerajinan dari daur ulang sampah. Keterlibatan para
seniman kader NU di Bank Sampah Nusantara amat
menyokong lini usaha ini. Cindera mata yang dihasilkan
Bank Sampah Nusantara memang bukan cindera mata
kaleng-kaleng. Cindera matanya sudah terbukti mampu
membuat Menteri Siti Nurbaya dan Dubes Moazzam Malik
sumringah.
175
BANK SAMPAH BAROKAH AS-SALAM PADANG
BERKIBAR, LALU LAYU
Tak sedikit bank sampah yang mati suri.
Ada bank sampah yang diresmikan Menteri
Lingkungan Hidup pada 2011, kini layu. Ada
juga bank sampah yang sempat hampir
ambruk, tapi bisa bangkit kembali. Banyak
penyebab kegagalan sebuah bank sampah.
176
Dari kejauhan, bangunan permanen berkelir abu-abu itu masih terlihat kokoh. Hanya saja, beberapa plang kayu berwarna putih penyangga genting,
sudah mulai tampak lapuk. Saat didekati, kesan dingin
bangunan berbentuk huruf L itu benar-benar terasa.
Maklum, sudah sejak beberapa tahun, tak ada kegiatan
di dalam bangunan itu. Padahal, bangunan yang terletak
persis di depan Masjid As-Salaam itu tadinya adalah sebuah
bank sampah. Namanya Bank Sampah Barokah As-salam.
Lokasinya di Perumahan Dangau Teduh, Kecamatan
Lubuk Begalung, Kota Padang, Sumatra Barat.
Kehadiran Bank Sampah Barokah As-salam sejatinya
sempat menghentak pemerhati masalah persampahan di
negara kita . Maklum, Menteri Lingkungan Hidup saat itu,
Gusti Muhammad Hatta, yang meresmikan Bank Sampah
Barokah As-salam, pada 28 Februari 2011.
Saat itu, bank sampah mulai banyak bermunculan di
daerah-daerah negara kita . Momentumnya adalah pendirian
Bank Sampah Gemah Ripah di Bantul, Yogyakarta, pada
2008, oleh Bambang Suwerda. Bambang Suwerda punya
peran penting dalam mewujudkan berdirinya Bank
Sampah Barokah As-salam di Padang. Adalah Syaifuddin
Islami, seorang aktivis lingkungan di Padang, yang awalnya
belajar manajemen bank sampah ke Bantul. Sepulang
dari Bantul, Syaifuddin memulai kerja blusukan di banyak
kawasan di Padang.
KOSONG. Bekas
kantor dan gudang
Bank Sampah Barokah
As-salam, Padang.
Sejak 2014, tidak ada
lagi kegiatan menyetor
dan menimbang
sampah.
177
Pada Desember 2010, Ilam, sapaan Syaifuddin Islami,
mendapat tantangan dari pejabat tinggi Kementerian
Lingkungan Hidup. Dia diminta untuk memelopori
pembentukan bank sampah di Padang. Saat itu, memang
sedang ada kunjungan pejabat tinggi kementerian ke
Padang.
Ya Rumah, Ya Bank
Dengan semangat menggebu, Ilam mengajak warga
Padang mendirikan bank sampah. Namun, tak banyak
warga yang menyambut gagasan Ilam itu. Ilam tak patah
arang. Sampailah pada lokasi blusukan-nya ke delapan,
Ilam bertemu dengan warga yang menyambut antusias
gagasan mendirikan bank sampah. Lokasi ke delapan
itu adalah sebuah komplek perumahan. Kebanyakan
penghuninya adalah karyawan PT Semen Padang. Itulah
komplek Perumahan Dangau Teduh.
Ilam merasa cukup gampang meyakinkan warga
perumahan lantaran ada seorang perempuan bernama
Siti Aisyah. Pada awal 2011 itu, Icha, panggilan akrab Siti
Aisyah, adalah salah seorang kepala bidang di Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda)
Sumatra Barat. Dan, kebetulan pula, Icha adalah penghuni
komplek perumahan itu .
Ilam lalu mendampingi rombongan emak-emak
warga perumahan menyiapkan pendirian bank sampah.
Icha juga ikut berperan aktif. Apalagi, Icha adalah pejabat
di bidang lingkungan hidup. Malah, “Rumah saya yang
awalnya dijadikan markas para ibu menyiapkan pendirian
bank sampah,” ujar Icha, yang kini menjabat sebagai
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatra Barat.
Karena sudah mengenal Bambang Suwerda, Ilam lalu
mengundang dosen Politeknik Kesehatan Yogyakarta itu
ke Padang. Bambang pun lantas ikut pula pendampingi
178
warga perumahan menyiapkan manajemen bank sampah.
Berkat Bambang dan Ilam, pengurus bank sampah pun
terbentuk.
Tak butuh waktu lama, akhirnya bank sampah berdiri.
Warga sepakat menamakannya Bank Sampah Barokah
As-salam. Boleh jadi, penamaan itu lantaran di komplek
perumahan sudah berdiri masjid As-Salaam. Rumah Icha-
lah yang dijadikan kantor dan gudang bank sampah.
Warga perumahan pun antusias menyambut kehadiran
Bank Sampah Barokah As-salam. Berbondong-bondong
warga menyetorkan sampahnya. Awalnya, pengurus bank
sampah lumayan kelimpungan. Beruntung, cukup banyak
pengepul dan pelapak sampah yang bersedia menjemput
sampah ke Bank Sampah Barokah As-salam.
Agar gaung Bank Sampah Barokah As-salam lebih
nyaring terdengar, pengurus memberanikan diri menyurati
Kementerian Lingkungan Hidup. Tak dinyana, surat itu
direspon baik. Dan, datanglah Menteri Lingkungan Hidup,
Gusti Muhammad Hatta, ke Padang, untuk meresmikan
Bank Sampah Barokah As-salam. Pada 28 Februari 2011,
Bank Sampah Barokah As-salam resmi berdiri. “Inginnya
sih peresmiannya pas pada Hari Peduli Sampah Nasional
(HPSN), 21 Februari 2011. Tapi, pak Menteri bisanya sepekan
setelahnya. Ya, nggak apa-apa juga,” ujar Icha.
MENTERI. Bank
Sampah Barokah
As-salam diresmikan
Menteri Lingkungan
Hidup, Gusti
Muhammad Hatta
(kanan, berbaju safari
coklat), pada 28
Februari 2011. – dok:
antarafoto
179
Peresmian oleh menteri itu, agaknya memudahkan
langkah Bank Sampah Barokah As-salam. Terbukti, PT
Semen Padang dan PT Pelindo II, memberikan dana
corporate social responsibility (CSR) kepada Bank Sampah
Barokah As-salam. Dari dana CSR itulah, pengurus akhirnya
bisa mendirikan kantor dan gudang permanen, persis di
depan masjid As-Salaam.
Bank Sampah Barokah As-salam buka setiap hari
Minggu, usai salat Asar. Menurut Icha, frekuensi buka itu
dirasakan terlalu pendek. Untuk kawasan perumahan
seperti lokasi Bank Sampah Barokah As-salam, “Harusnya
bukanya satu kali saja dalam sebulan, supaya sampah
yang disetor nasabah ke bank sampah jumlahnya banyak,”
tutur Icha.
Jenuh yang Sudah di Puncak
Dua tahun setelah diresmikan Menteri Lingkungan
Hidup, pengurus Bank Sampah Barokah As-salam mulai
merasakan kejenuhan. Hal itu diakui sendiri oleh Icha.
“Kayaknya, bosan juga ya orang menjaga bank sampah,”
katanya.
Akhirnya, mekanisme penyetoran sampah pun
berubah. Tidak ada lagi petugas yang menerima setoran
nasabah. Karena para nasabah mengetahui tempat
penyimpanan kunci gudang sampah, nasabah sendirilah
yang meletakkan sampahnya di gudang. Jika sampah
di gudang mulai menumpuk, pengurus menelepon
pengepul agar datang untuk menimbang dan menjemput
sampah.
Lalu, tibalah tahun 2014. Kejenuhan pengurus Bank
Sampah Barokah As-salam agaknya sudah sampai di
titik puncak. Kantor dan gudang sampah diambil alih
para pemuda warga perumahan. Lalu, dijadikan tempat
180
mereka berkegiatan. Sejak itulah, Bank Sampah Barokah
As-salam stagnan.
TERONGGOK. Mesin
pencacah plastik
teronggok begitu
saja di gudang Bank
Sampah Barokah
As-salam. Hanya jadi
saksi bisu bahwa di
situ pernah ada bank
sampah.
Memang, penghasilan dari transaksi sampah di bank
sampah tidak bisa menjadi pegangan bagi pengurus
bank sampah. Nilainya tak seberapa. Apalagi sejatinya
bank sampah lebih banyak menitikberatkan pada unsur
sosial, ketimbang unsur komersial. Kebanyakan pengurus
Bank Sampah Barokah As-salam adalah para pemuda di
komplek perumahan. Nah, bagi para pemuda, penghasilan
mereka sebagai pengurus Bank Sampah Barokah As-
salam tidak terlalu menjanjikan. “Akhirnya mereka kabur
dan mencari pekerjaan lain,” ucap Icha.
Tadinya Juara Pertama
Kisah mati suri bank sampah di Kota Padang, juga
dialami Bank Sampah Limpapeh Minang. Bank sampah
ini berlokasi di Komplek Indah Tarok Permai I, Kelurahan
Gunuang Sarik, Kecamatan Kuranji, Kota Padang. Kini
tak lagi terdengar kiprahnya. Padahal, bank sampah
yang berdiri pada Oktober 2011 ini, pernah membawa
Kelurahan Gunuang Sarik menjadi juara nasional Lomba
Lingkungan Bersih dan Sehat se-negara kita pada Juni
2012.
181
Jika Bank Sampah Barokah As-salam mendapatkan
dana CSR, beda halnya dengan Bank Sampah Limpapeh
Minang. Bank sampah ini sepenuhnya mengandalkan
swadaya warga . Warga empat Rukun Tetangga (RT)
di Tarok Permai I menanamkan saham di Bank Sampah
Limpapeh Minang.
Pendapatan Bank Sampah Limpapeh Minang juga
berasal dari penjualan produk kerajinan daur ulang sampah.
Konsumennya cukup beragam. Bahkan, pada Januari
2013, bank sampah ini pernah mendapat kunjungan ahli
penyakit demam berdarah dari Singapura dan Malaysia.
Pada kunjungan itu , orang-orang negeri jiran itu tak
lupa membeli produk kerajinan daur ulang sampah hasil
karya pengurus Bank Sampah Limpapeh Minang.
Bank Sampah Limpapeh Minang dulu juga pernah
mengembangkan produk aerobic composter. Alat ini
berguna untuk menguraikan sampah organik rumah
tangga. saat itu, aerobic composter ini dijual seharga
300 ribu rupiah per unit. Pupuk cair yang dihasilkan dari
proses penguraian sampah dengan aerobic composter ini
juga dijual seharga 12 ribu rupiah per liter.
KOMPOS. Bank Sampah
Limpapeh Minang dulu
memproduksi aerobic
composter. Alat ini bisa
menghasilkan pupuk kompos.
Sayang, semua keberhasilan itu kini hanya
tinggal kenangan. Menurut Syaifuddin Islami, pegiat
182
lingkungan dan penggagas banyak bank sampah di
Sumatra Barat, stagnan-nya Bank Sampah Limpapeh
Minang disebabkan hal sepele. “Setahu saya, Bank
Sampah Limpapeh mulai stag saat terjadi pergantian
pengurus Rukun Warga (RW). Pengurus baru menutup
kantor dan gudang bank sampah,” kata Ilam, sapaan
akrab Syaifuddin Islami.
Bangkit Usai Terjatuh
Jatuh bangun bank sampah memang kerap terjadi.
Ada yang ambruk, lalu berhasil bangkit kembali. Ada pula
yang jatuh, lalu tak terdengar lagi kiprahnya. Bank Sampah
Malang bisa dijadikan contoh kebangkitan kembali sebuah
bank sampah. Dua kali Bank Sampah Malang mengalami
kondisi menyesakkan. Pertama, lantaran dibohongi oleh
mitra yang diajak mengoperasikan Bank Sampah Malang.
Kedua, gara-gara pengemudi mobil pengangkut sampah
menilep uang hasil penjualan sampah.
Namun, Rahmat Hidayat, pendiri Bank Sampah
Malang, pantang menyerah. Dua kali kebobolan itu malah
menjadi pelajaran berharga baginya. Kini, Bank Sampah
Malang terus moncer dan menjadi salah satu solusi
unggulan Kota Malang mengatasi persoalan sampah.
“Manajemen bank sampah itu harus benar-benar serius.
Layaknya bank benaran lah,” tutur Rahmat.
BANGKIT. Hanggar
tempat menggiling
plastik di Bank
Sampah Malang.
Sempat jatuh, BS
Malang berhasil
bangkit.
183
Tak gampang bagi sebuah bank sampah yang
sudah sempat loyo, bisa bangkit kembali. Dibutuhkan
visi dan kepemimpinan yang tegas untuk membenahi
manajemen sebuah bank sampah yang sempat terpuruk.
Tak kalah penting juga adalah pengurus bank sampah
harus memiliki jiwa sosial yang tinggi. Sebab, bank sampah
labih banyak menyentuh urusan sosial kewarga an,
ketimbang urusan komersial berbau kemewahan.
Dan, Rahmat agaknya memiliki unsur-unsur itu .
Dia pun akhirnya memutuskan untuk lebih ketat dalam
urusan mengontrol Bank Sampah Malang. Di sela-sela
kesibukannya sebagai seorang aparat sipil negara (ASN)
di Kota Malang, Rahmat tetap meluangkan waktunya
mengurus Bank Sampah Malang. Dia kapok dan tak mau
kecolongan lagi.
Semangat yang Perlahan Meredup
Praktik yang dilakukan Rahmat ini bukanlah perkara
mudah. Keseriusan mengelola bank sampah menjadi
keharusan. Dan, kata kunci penting adalah manajemen
yang bagus. Ihwal kepengurusan dan manajemen bank
sampah yang buruk, ditambah dengan ketidakpedulian
banyak pihak, membuat bank sampah terkadang jadi tak
berdaya. Semangat yang menggebu di awal pendirian,
perlahan redup. Inilah salah satu penyebab banyaknya
bank sampah di negara kita yang kini mati suri.
Data di Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) per Juni 2019 mencatat jumlah bank
sampah di seluruh negara kita sebanyak 8.036 unit. Total
nasabah berjumlah 246 ribu nasabah.
Selain soal manajemen, peran pemerintah juga
menjadi isu krusial. Bambang Suwerda, penggagas bank
sampah di negara kita , menyodorkan data yang cukup
mengejutkan. Bambang mencontohkan keberadaan
184
bank sampah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lebih dari 1.500 unit bank sampah berdiri di Yogyakarta.
Namun, kurang dari separuhnya yang sanggup bertahan.
Bambang menyoroti peran pemerintah di balik mati
surinya bank sampah. Seharusnya, pemerintah daerah
memberikan perhatian lebih kepada bentuk usaha
warga mengelola sampah melalui bank sampah.
“dibandingkan dana 50 juta rupiah dipakai untuk menggelar
wayang semalam suntuk, lebih baik dananya dipakai
untuk mengelola sampah,” ujar Bambang.
PERHATIAN. Bambang
Suwerda menghadiri rapat
dengan DPRD Yogyakarta.
Bambang menyoroti
kurangnya perhatian
pemerintah daerah kepada
bank sampah.
Memang tak gampang mengelola sampah. Padahal,
bank sampah sejatinya bisa menjadi salah satu solusi
menangani masalah persampahan di negara kita . Kesadaran
warga menyetorkan sampahnya ke bank sampah,
sesungguhnya sudah cukup tinggi. Alangkah sayangnya
jika tingkat kesadaran itu bertepuk sebelah tangan, karena
bank sampah yang hendak dituju warga sudah tidak
lagi beroperasi.
Bangunan kantor dan gudang bank sampah memang
bisa saja masih ada. Seperti bekas bangunan Bank Sampah
Barokah As-salam, Kota Padang. Namun, tak lagi tersisa
kegiatan menyetor dan menimbang di sana. Bangunan
abu-abu itu kini hanya menjadi perlambang, bahwa
sesungguhnya warga tetap punya niat mengelola
sampah yang mereka hasilkan.
185
186
KISAH PARA
PENDEKAR
BAB
5
Sepuluh orang yang patut disebut sebagai
“pendekar sampah”. Mereka bergelut dengan
urusan sampah. Dan, ada di antaranya yang
melakoni hidup dalam jalan sunyi. Sepuluh orang
ini memang hanya segelintir manusia negara kita
yang peduli dengan sampah. Tentu, masih banyak
“para pendekar sampah” lainnya yang juga
berjuang demi masa depan bumi yang lebih cerah.
187
TRI RISMAHARINI
DIA YANG MENJADI
TELADAN
Risma adalah sosok pejabat yang tak segan
turun langsung memberikan contoh kepada
warganya. Risma juga kerap berang kepada
warga Surabaya yang tak peduli dengan
urusan sampah. Seabrek gebrakan Risma
kini sudah terbukti. Surabaya menjadi kota
yang nyaman dihuni.
188
Perempuan berkerudung itu mengambil sapu yang disodorkan ajudannya. Sepatu boots memang telah dia kenakan semenjak di dalam mobil. Tanpa ragu,
Tri Rismaharini, sang perempuan berkerudung yang akrab
disapa Risma, langsung menyapu sampah di salah pojok
jalan Kota Surabaya.
Warga Kota Surabaya amat sering menyaksikan
pemandangan seperti itu. Mereka memang mengenal
Risma sebagai orang yang amat peduli dengan kebersihan.
Maka, jangan heran jika di mobil dinasnya, Risma selalu
menyiapkan sapu, sepatu boots, dan beragam alat
kebersihan lain. Risma memang memiliki kepedulian yang
luar biasa terhadap persoalan sampah di Surabaya. Risma
paham betul seluk-beluk urusan sampah di Surabaya.
Pada 2005, dia pernah menjadi Kepala Dinas Kebersihan
dan Pertamanan Kota Surabaya.
Sebuah kenyataan pahit sempat Risma alami saat
menjadi Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan.
Bahkan, dia pun pernah menangis, di awal masa
jabatannya itu. Penyebabnya adalah kelakuan nyeleneh
warga Kota Surabaya. “Awal jadi kepala Dinas Kebersihan
dan Pertamanan, saya pernah nangis lho. Lah yok opo, pas
bongkar sampah di Jalan Pemuda, aku nemu kresek isinya
kotoran manusia,” tutur Risma tersenyum mengingat
kejadian sekian tahun lampau itu. Dia membayangkan
bagaimana perilaku warga Surabaya di pinggiran kota.
MENANGIS. Walikota Surabaya, Tri Rismaharini,
pernah menangis di saat awal menjadi Kepala
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota
Surabaya.
189
Peristiwa itu menjadi sebuah pengingat penting bagi
Risma, betapa urusan mengubah perilaku warga
tak segampang membalik telapak tangan. Saat menjabat
sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan inilah,
Risma memanfaatkan betul segala ruang yang dia
miliki untuk mengubah perilaku warga Surabaya. Risma
meyakini prinsip keteladanan. Karenanya, dia bertekad
menunjukkan keteladanan itu kepada warga
Surabaya. Berangkat pagi-pagi dari rumah, Risma tak
langsung menuju kantor. Dia minta supirnya membawanya
keliling Kota Surabaya. Risma ingin mengawasi langsung
kerja petugas kebersihan menyapu jalan.
MENYAPU. Walikota Risma
tak segan langsung turun
menyapu jalanan Kota
Surabaya. Di dalam mobilnya
selalu tersedia peralatan
kebersihan.
Tak jarang, Risma turun dari mobilnya, mengambil
sapu, lalu ikut menyapu. “Mengubah perilaku orang
itu tak mudah. Jadi, saya harus menunjukkan kepada
warga Surabaya lewat perilaku saya sendiri,” ujar Risma
menyodorkan filosofi hidupnya.
Selain menunjukkan dengan perilaku, Risma pun
meminta warga Surabaya untuk mulai peduli mengelola
sampah. Dia mengajak warga memilah sampah sejak
190
dari rumah. Sampah yang laku dijual, bisa dijual dan
menghasilkan uang. Sampah yang bisa didaur ulang,
dapat diubah menjadi kerajinan. Dengan begitu, sampah
yang terpaksa dibuang ke TPA pun bisa berkurang.
Apalagi, saat menjabat sebagai Kepala Dinas Kebersihan
dan Pertamanan, TPA Keputih sudah ditutup sejak 2001.
Mosok Cuma Nonton Walikota
Pada 2010, Risma terpilih menjadi Walikota Surabaya.
Dia merasa memiliki kekuatan lebih besar lagi untuk
mengelola sampah di kotanya. Namun, tetap saja
beberapa persoalan mengadangnya. Jumlah penduduk
Surabaya terus bertambah. Akibatnya, sampah yang
dihasilkan pun kian meningkat. Sebagai walikota, Risma
tentu saja masygul. “Kalau Surabaya kotor dan kumuh,
siapa yang mau tinggal di sini,” ucap perempuan kelahiran
Kediri, November 1961 ini.
Risma juga menghadapi kendala lain: anggaran yang
terbatas. Kota Surabaya tidak mempunyai keleluasaan
anggaran dalam urusan pengelolaan sampah. Karena
itu, Risma amat menyadari pentingnya melibatkan
warga untuk mengelola sampah, utamanya dengan
memilah sampah sejak dari rumah.
Kendati sudah menjabat sebagai Walikota Surabaya,
tetap saja Risma tak mudah menggugah kesadaran
warganya untuk memilah sampah. “Banyak warga yang
ndak ngerti apa yang harus mereka lakukan untuk
mengelola sampah,” tutur Risma.
Untunglah, filosofi keteladanan yang dianut penuh
oleh Risma, membuatnya bisa langsung terjun ke
warga dan memberikan contoh. “Mosok iyo warga
saya cuma nonton saja saat walikotanya turun langsung
membersihkan sampah, atau memilah sampah,” katanya
sembari tergelak.
191
Di masa awal menjabat sebagai walikota, Risma belum
mendengar konsep bank sampah. Karena itu, langkah
pengelolaan sampah sejak dari rumah yang dia contohkan
kepada warga hanya memisahkan sampah organik
dan nonorganik. Sampah organik dijadikan kompos.
Sedangkan sampah nonorganik dijual ke pelapak.
BANK SAMPAH. Tri
Rismaharini meresmikan
sebuah bank sampah di Kota
Surabaya.
Setelah Risma mengetahui ada bank sampah, dia
pun segera bergerak cepat. Di beberapa wilayah yang
akan mendirikan bank sampah, Risma hadir dalam
peresmiannya. Salah satunya adalah bank sampah di
Simo Jawar, yang berdiri pada Agustus 2018 silam. Kepada
warga yang hadir dalam peresmian bank sampah, Risma
berkata, “Panjenengan bisa nabung tidak hanya dengan
uang. Panjenengan sekarang bisa juga nabung dengan
sampah. Nanti sampahnya disetor ke bank sampah,
ditimbang, lalu dijual. Panjenengan akan dapat uang dari
hasil penjualan sampah itu”.
Risma gembira terhadap antusiasme warga Kota
Surabaya untuk menyetorkan sampah yang sudah
mereka pilah dari rumah ke bank sampah. Risma merasa
dipermudah dengan keberadaan bank sampah. Dengan
percaya diri, dia bisa menyampaikan kepada warga bahwa
sampah sudah tidak lagi dipandang sebagai barang tak
192
berguna dan harus dibuang. Sebab, ternyata sampah juga
memiliki nilai ekonomis. Kini, jumlah bank sampah di Kota
Surabaya sudah hampir 300 unit.
Mengubah Sampah Jadi Listrik
Terobosan Risma tak berhenti hanya sampai di bank
sampah. Dia masih menyimpan kerisauan terhadap
sampah selain organik dan nonorganik yang tak bisa diolah,
alias sampah residu. Satu-satunya jalan hanya membuang
sampah itu ke TPA. Padahal, saat itu Kota Surabaya
belum memiliki TPA yang terkelola dengan baik.
Lantas, terpikirlah oleh Risma tenaga listrik yang
berasal dari sampah. Sebagai insinyur elektro lulusan
Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), Risma
tentu cukup paham dengan urusan tenaga listrik. Dia
pun menyampaikan gagasannya itu ke pihak ITS. Gayung
bersambut. ITS bersedia membuat Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PLTSa). Dan, berdirilah PLTSa Benowo, di
dekat TPA Benowo, Surabaya. “Itu adalah PLTSa pertama
di negara kita ,” ucap Risma sumringah.
LISTRIK. Risma bangga akan
keberhasilan kota Surabaya
memproduksi listrik dari
sampah melalui Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah (PLSa).
PLTSa Benowo setiap hari mampu mengolah sampai
1.400 ton sampah di TPA Benowo menjadi tenaga listrik.
Dari mengolah sampah sebesar itu, PLTSa Benowo sanggup
menghasilkan listrik sebesar sebelas megawatt. PLN akan
membeli listrik yang dihasilkan PLTSa Benowo. Dan, uang
hasil penjualan listrik masuk ke kas Pemkot Surabaya.
193
Keberhasilan PLTSa Benowo membuat Risma
berkeinginan memperbanyak PLTSa di Kota Surabaya.
Risma yakin, PLTSa ini akan semakin mengurangi jumlah
sampah di Surabaya. “Sebenarnya tujuan membuat PLTSa
ini bukan untuk mendapatkan listrik yang dihasilkan dari
sampah. Tapi, lebih bertujuan menangani sampah di
Surabaya yang tidak bisa diapa-apakan itu,” kata Risma.
Selain di Benowo, di Surabaya sebenarnya juga sudah
ada beberapa PLTSa. Misalnya, di Tempat Pengolahan
Sampah Taman Bibit Wonorejo, di Jambangan, dan
di Bratang. Hanya saja, energi listrik yang dihasilkan
oleh beberapa PLTSa itu maksimal cuma empat
kilowatt.
Naik Bus Bayar Pakai Sampah
PLTSa hanya salah satu dari inovasi Pemerintah
Kota Surabaya mengelola sampah. Teroboson lain yang
juga cukup unik adalah membayar bus dengan botol
atau gelas plastik air mineral. Namanya Suroboyo Bus.
Pada April 2018, Risma meresmikan program ini. “Ide
naik bus dengan bayaran sampah ini terlintas begitu
saja. Alhamdulillah sampai sekarang programnya masih
berjalan,” kata Risma.
Penumpang Suroboyo Bus tak perlu mengeluarkan
uang untuk naik bus mewah itu , dan mengelilingi
kota Surabaya selama dua jam. Mereka cukup membayar
ongkos bus dengan lima botol plastik bekas air minum
ukuran tanggung, atau tiga botol plastik besar, atau 10
gelas plastik air mineral, kantong plastik, dan kemasan
plastik lainnya.
Bagi calon penumpang yang tak ingin membawa
sampah plastik, mereka bisa menukarkan jenis sampah
yang diterima bank sampah. Sampah itu bisa ditukarkan
dengan tiket bus, di bank sampah, drop box halte, atau
194
drop box Terminal Purabaya. Setelah menyetorkan
sampah, calon penumpang akan mendapatkan tiket bus.
Saat ini, sudah ada tiga bank sampah di Kota Surabaya
yang bekerja sama dengan Suroboyo Bus.
BUS SAMPAH. Tri Rismaharini
menggagas sebuah bus
mengelilingi Kota Surabaya.
Penumpang cukup
membayar dengan sampah.
Alat bayar bus boleh hanya dengan sampah. Tapi,
jangan diragukan kecanggihan Suroboyo Bus ini.
Delapan armadanya sengaja didesain sangat bagus
dan canggih. Untuk menjamin keamanan penumpang
bus berukuran panjang 12 meter dan lebar 2,8 meter
ini, terpasang 12 kamera CCTV pada bagian dalam, dan
tiga kamera CCTV pada bagian luar. Pintu bus juga
dilengkapi sensor. Jadi, jika ada penumpang yang
menghalangi, pintu bus tidak akan menutup dan bus
tidak akan berjalan.
beberapa inovasi pengelolaan sampah di Surabaya,
membuat Risma diganjar berbagai penghargaan,
termasuk untuk level dunia. Pada 2012, Risma berhasil
mengantarkan Kota Surabaya sebagai kota terbaik tingkat
partisipasi warganya dalam mengelola lingkungan se-Asia
Pasifik versi Citynet. Lalu, pada 2015, Risma dinobatkan
sebagai walikota terbaik ketiga dunia versi World City
Mayors Foundation. Risma dinilai berhasil mengubah
wajah Kota Surabaya dari kota kumuh menjadi kota hijau
dan tertata rapi.
195
INTERNASIONAL. Tri
Rismaharini menjadi salah
seorang pembicara pada
sebuah forum internasional
di Turki.
beberapa penghargaan itu diperuntukkan oleh
Risma bagi warga Kota Surabaya. Setiap kali berpidato di
forum internasional, Risma selalu membanggakan warga
kotanya. “Semua penghargaan itu bukan untuk seorang
Risma. Tapi, itu adalah penghargaan untuk seluruh warga
Kota Surabaya,” ucapnya.
Kim Jong Un pun Diem
Risma memang sudah menyerahkan hidupnya
mengabdi kepada warga Kota Surabaya. Dia tak kenal lelah
memberikan yang terbaik bagi kotanya. Bahkan, dalam
kondisi sakit pun, Risma tetap memikirkan warganya.
Karena itu, tak jarang Risma harus menumpahkan
amarahnya di saat dia menyaksikan ada yang tidak
menghargai partisipasi warga Surabaya menjaga
keindahan dan kebersihan lingkungan.
Insiden Taman Bungkul pada 2014 menjadi salah satu
catatan pengingat ihwal ketegasan sikap Risma. Pada
Ahad, 11 Mei 2014, sebuah perusahaan es krim menggelar
acara bagi-bagi es krim gratis di Taman Bungkul. Warga
menyerbu Taman Bungkul, untuk mendapatkan es
krim gratis. Akibatnya bisa ditebak: taman rusak parah.
Mendapatkan laporan kejadian di Taman Bungkul, Ahad
pagi itu juga Risma segera bergegas menuju Taman
196
Bungkul. Betapa tercengangnya Risma mendapati taman
yang pernah diberikan penghargaan dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa itu dalam kondisi poranda.
Risma lalu mendatangi panitia. Dengan nada tinggi,
dia berkata kepada panitia, “Kalian lihat ini, semuanya
rusak. Kami bangun ini bersama warga dengan biaya
ndak sedikit. Kalian seenaknya saja merusak”. Risma
memang patut berang. Jerih payahnya menata Kota
Surabaya, termasuk salah satunya Taman Bungkul,
diciderai begitu saja. Tapi, bagi Risma, kemarahan itu
adalah bentuk ketegasan. Dan, warga Surabaya sudah
amat mafhum dengan ketegasan Risma. Warga bangga
dengan walikotanya itu.
Sebuah peristiwa cukup unik terjadi pada
September 2019 lalu. Saat itu, mahasiswa di seluruh
negara kita bergerak, menentang revisi undang-undang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di Surabaya,
aksi unjuk rasa mahasiswa dihiasi dengan hashtag
#SurabayaMenggugat. Media sosial pun saat itu
diwarnai dengan ingatan warganet terhadap peristiwa
Taman Bungkul. Mahasiswa diingatkan agar berunjuk
rasa secara tertib dan tidak merusak taman. Lucunya,
ada warganet yang mencuit begini: “Bu Risma kalau
marah, Kim Jong Un diem”. Padahal, semua tahu bahwa
Kim Jong Un adalah pemimpin Korea Utara yang dikenal
bertemperamen tinggi.
Kelakar model itu sebenarnya hanyalah cerminan
betapa warga Surabaya amat mencintai Risma. Mereka
tahu, berkat kerja keras dan kedisiplinan Risma-lah, Kota
Surabaya menjadi seperti sekarang. “Ini kota yang benar-
benar layak huni. Lihat saja, trotoar lebar dan memanjakan
para pejalan kaki. Belum lagi bunga tabebuya yang kini
sedang mekar. Ini semua kami yakini berkat kerja keras Bu
Risma,” ujar Sumedi, seorang warga Surabaya.
197
TABEBUYA. Risma
memperindah kota Surabaya.
Trotoar diperlebar. Bunga
tabebuya saat sedang
mekar, menambah indah
pemandangan.
Semua Demi Keteladanan
Kerja keras memang menjadi kata kunci bagi Risma.
Pun, kedisiplinan. Dari keduanyalah Risma meyakini akan
muncul berbagai terobosan dan inovasi untuk membuat
Kota Surabaya terus menata diri. Dan, Risma menyadari,
berbagai inovasi dan terobosan pengelolaan sampah
di Kota Surabaya, akhirnya mampu mengubah perilaku
warga secara signifikan. Dia mengenang, pada masa
lalu Kota Surabaya juga sudah mencoba membangun
infrastruktur pengolahan sampah secara masif.
Sayangnya, menurut Risma, usaha itu semata
dilakukan hanya untuk mengejar penghargaan Adipura.
Karena warga tidak diajak berpartisipasi, kebijakan itu
pada ujungnya tidak bakal bertahan. “saat walikota
berganti, warga kembali lagi tak peduli dengan
urusan sampah,” ucap Risma.
TELADAN. Tri Rismaharini
menganut prinsip
keteladanan. Dia memberikan
contoh secara langsung agar
warga Surabaya peduli.
198
Karena itu, Risma tak ingin semua kebijakannya dalam
urusan sampah akan tinggal kenangan pada saat dia tak
lagi menjabat sebagai walikota. Lagi-lagi, Risma meyakini
filosofi keteladanan akan mampu membuat berbagai
terobosannya dalam mengelola sampah bisa bertahan
untuk jangka waktu lama.
Jadi, jangan heran jika sang walikota perempuan
pertama sepanjang sejarah Kota Surabaya ini tak segan
memakai sepatu boots-nya. Lalu, bersama pasukan
kuning, Risma pun menyapu jalan di Surabaya. Tanpa
sungkan. Semua demi keteladanan.
199
BIJAKSANA JUNEROSANO
MIMPI BESAR SANG
PEMBAHARU
Sano punya segudang gagasan. Lepas
kuliah di ITB, dia membuat kantong
belanjaan pakai ulang. Lalu, dia mendirikan
Waste4Change. Perusahaan ini berorientasi
informasi teknologi, sebagai solusi
pengolahan sampah.
200
Pemuda itu sedang galau. Pendidikan SMA-nya di Banyuwangi, Jawa Timur hampir rampung. Tapi, dia masih belum bisa memutuskan hendak
melangkahkan kakinya ke bangku kuliah di mana. Saat itu
bertarikh tahun 2000. Lewat tengah malam, sang pemuda
terbangun dari lelapnya. Diambilnya air wudhu, lalu dia
bentangkan sajadah. Dengan khusyuk, dia lalu menemui
Sang Pencipta, lewat salat Istikharah.
Pagi hari seusai salat tengah malamnya, sang pemuda
melihat tayangan di televisi yang menggambarkan
betapa parahnya persoalan sampah di Jakarta. Perpaduan
doa yang dia panjatkan kepada Sang Ilahi, plus tayangan
di televisi, membuatnya tertarik ingin menyelami dunia
persampahan.
Itulah yang akhirnya membuatnya berketetapan hati
memilih Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi
Bandung (ITB) sebagai pijakan pendidikan berikutnya.
Dan, segala rapalan doa yang ditujukannya kepada Tuhan,
berbuah manis. Dia diterima menjadi mahasiswa ITB,
Jurusan Teknik Lingkungan.
MIRIS. Bijaksana Junerosano
amat peduli dengan
lingkungan. Dia masuk ITB
pun karena miris melihat
sampah di Jakarta.
Pemuda itu bernama Bijaksana Junerosano. “Panggil
saya Sano saja,” ujarnya. Boleh jadi, lantaran namanya
yang tak biasa, membuatnya lebih suka dipanggil Sano.
Dua suku kata terakhir pada kata kedua namanya.
201
Medio 2000, mulailah Sano mengembara ke Bandung.
Sebagai mahasiswa ITB, Sano tentu banyak mendapatkan
pengalaman. Tak hanya pengalaman dari sisi pendidikan,
Sano juga mengasah kemampuannya berorganisasi. Bagi
Sano, kampus ITB menjadi tempat paling asyik dalam
membenturkan dan mengadu banyak hal dan argumentasi.
MAHASISWA. Di Kampus ITB,
Sano mendapatkan banyak
hal. Salah satunya adalah
perbenturan gagasan yang
acap terjadi.
Pada 2006, Sano mulai memikirkan ide untuk
berkiprah di bidang lingkungan. Muncullah gagasannya
membentuk Yayasan Greenaration. Nama Greenaration
tentulah didapat dari perpaduan green (hijau) dan
generation (generasi). Sebuah nama yang cukup unik
untuk menggambarkan generasi hijau yang berkonotasi
dengan lingkungan hidup.
Tak Sengaja, Tapi Harus Punya
Sampai 2008, Sano masih meraba-raba format
dan konsep yayasan. Fase itu juga ditandai dengan
pembentukan tim. Lalu, pada 2008, Sano dan tim
membuat kantong belanja yang bisa dipakai ulang.
Namanya baGoes. Tak berhenti sampai di situ, pada 2009,
Sano dan tim juga menggagas edukasi untuk anak-anak
melalui media kreatif. Mereka namakan programnya
“Petualangan Banyu”.
202
Senyampang itu, kantong belanja baGoes terus
disosialisasikan. Akhirnya, pada 2020, Circle-K, sebuah
minimarket yang banyak tersebar di kota Bandung,
tertarik memakai kantong belanja baGoes. Pada
2011, berdirilah PT Greenaration negara kita . “Ini sebenarnya
nggak sengaja. Circle-K yang mewajibkan kami punya
perusahaan untuk urusan pajak dan lain-lain,” ujar Sano.
IDE. Sebagai pemuda enerjik,
Sano punya cukup banyak
ide. Salah satunya membuat
kantung sampah yang bisa
dipakai ulang.
Jadilah Sano memiliki sebuah perusahaan. Padahal,
ide awalnya adalah membuat yayasan. Jika perusahaan
berorientasi profit, maka yayasan lebih kepada urusan
sosial. Sano tetap tak melupakan filosofi itu. Dia menyadari
bahwa ada bagian dari Greenaration yang harus
mengusung semangat dan jiwa sosial. Karena itu, pada
2014, Sano pun membentuk Greenaration Foundation.
Satu perusahaan sudah Sano miliki. Tapi, dia merasa
masih ada yang belum pas dengan idealismenya.
Apalagi kalau bukan urusan pengelolaan sampah. Sano
menganggap, pengelolaan sampah di negara kita belumlah
menyentuh akar persoalan sesungguhnya. “Selama ini,
banyak perusahaan di negara kita yang bergerak di bidang
persampahan, hanya menawarkan sesuatu yang masih di
203
permukaan,” kata Sano. Dia lalu memberikan contoh jenis
usaha di bidang persampahan yang membuat sampah
menjadi kompos atau mengubah sampah menjadi energi.
Pengalaman sepuluh tahun bergelut di bisnis
persampahan, membuat Sano dan timnya menemukan
inti persoalan: tata kelola pengelolaan sampah yang
masih belum tepat. Penyebabnya ada tiga hal. Satu, belum
tegaknya secara benar regulasi yang dibuat pemerintah.
“Kita sama-sama tahulah, banyak regulasi dan kebijakan
di bidang persamapahan yang hanya ada di atas kertas.
Implementasinya kurang,” tutur Sano.
KEMITRAAN. Sano
dengan seorang karyawan
Waste4Change. Konsep
kemitraan dengan banyak
pihak, menjadi kunci penting
keberhasilan pengelolaan
sampah.
Dua, kemitraan yang belum diletakkan pada posisi
yang tepat. Sano melihat, banyak pemerintah daerah yang
gagap jika ada investor yang ingin menamakan modalnya
di bidang persampahan. Beda halnya dengan investasi
di bidang perhotelan atau restoran. “Malah, ada sebagian
pemda yang menganggap calon investor di bidang
persampahan itu akan menyaingi keberadaan dinas
kebersihan atau dinas lingkungan hidup,” ucap Sano.
Tiga, pendanaan yang masih belum menjadi prioritas
utama. Pengelolaan sampah di negara kita selama ini lebih
mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Padahal, menurut Sano, anggaran untuk urusan
sampah di APBD ini jumlahnya amat kecil. “Tidak pernah ada
usaha mereformasi dan merestrukturisasi ihwal pendanaan
ini, khususnya dengan menerapkan prinsip “siapa yang
menghasilkan sampah harus membayar”,” kata Sano.
Bayar Dulu, Baru Angkut
Hasil studi yang dilakukan Sano dan timnya
menunjukkan bahwa retribusi persampahan yang
terkumpul di kota atau kabupaten, hanya mencapai
30 persen dari yang seharusnya bisa diperoleh. Sisanya
menguap lantaran warga tidak mau membayar
retribusi sampah. Atau, yang lebih naif, uang retribusi itu
bocor di tengah jalan, alias dikorupsi.
Ketiga hal pokok itulah yang membuat Sano merasa
yakin untuk mendirikan sebuah perusahaan baru, khusus
berbisnis di bidang pengelolaan sampah. Dan, pada 2014,
Sano pun mendirikan PT Waste4Change Alam negara kita .
Dengan masalah yang sudah terpetakan, Sano merasa
lebih gampang mengarahkan perahu bisnis barunya ini.
Waste4Change menerapkan sistem teknologi informasi
untuk mengelola sampah. Bentuknya berupa smart city
alias kota pintar. Ini adalah kerja sama Waste4Change
dengan kota atau kabupaten dalam bentuk Kerjasama
Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Salah satu yang akan dilakukan Waste4Change adalah
memasang rekening persampahan di setiap rumah.
Tujuannya agar pemerintah gampang memonitor rumah
mana yang sudah bayar retribusi sampah, dan rumah
mana yang belum bayar. “Prinsipnya, bayar dulu, baru
sampah diangkut,” ucap Sano.
Kota Bekasi, Jawa Barat, menjadi pilot project
Waste4Change. Tapi, tak mudah bagi Sano meyakinkan
pemangku kebijakan di Kota Bekasi untuk menerima
proposal mereka. Butuh waktu lebih dari dua tahun,
sampai akhirnya kesepakatan bisa ditandatangani.
Waste4Change kini memiliki 150 orang karyawan.
Bersama timnya inilah Sano bermimpi bisa terbang
setinggi awan, membawa Waste4Change menjadi sebuah
perusahaan besar dan disegani di Tanah Air.
Perlahan, impian besar itu mulai dilirik banyak pihak.
Pada Desember 2019, Waste4Change mendapatkan suntikan
dana lumayan besar dari beberapa investor. “Investor tertarik
karena kami akan mengembangkan sistem teknologi
informasi dalam pengelolaan sampah,” tutur Sano.
Pada 2020, Sano akan lebih getol mencari investor.
Hal itu dia lakukan karena ingin mengembangkan konsep
smart city di bidang persampahan secara lebih agresif.
Tujuannya tentu saja mulia: membantu banyak kota dan
kabupaten di negara kita mengelola sampah.
INVESTOR. Sano kini
tengah ngebut mencari
investor tambahan. Dia
meyakini, perusahaan seperti
Waste4Change butuh modal
kuat untuk berkembang.
Sano meyakini, teknologi informasi akan menjadi
kunci dalam urusan pengelolaan sampah. Keyakinan itu
dia peroleh dari blusukannya bersama tim ke banyak kota
dan kabupaten di negara kita . Juga ke beberapa negara
semisal Amerika Serikat, Belanda, dan Inggris. Teknologi
informasi akan menjadi perangkat utama mengurai tiga
persoalan utama – penegakkan regulasi, kemitraan, dan
pendanaan – penyebab masih amburadulnya tata kelola
persampahan di negeri ini.
Tak Ingin Ikut Gila
Sano menempatkan Waste4Change sebagai perusahaan
rintisan (start up) yang bergerak di bidang pengelolaan
sampah. Kerjanya mulai dari mengangkut sampah,
memilah sampah, sampai memastikan sampah yang
sudah dipilah itu dikelola dengan baik dan benar. “Di
luar negeri, perusahaan seperti ini dinamakan waste
management industry,” ujar Sano.
Dan, Sano merasa amat yakin, Waste4Change akan
berkembang dengan baik lantaran belum ada perusahaan
di negara kita yang bisnis intinya seperti Waste4Change.
Perusahaan yang mengelola sampah spesifik, seperti sampah
bahan beracun dan berbahaya (B3), sudah lumayan banyak di
negara kita . Sano melihat, hal ini terjadi lantaran penegakkan
hukum yang cukup bagus untuk urusan sampah B3.
Lain halnya dengan sampah rumah tangga atau
domestik. Perusahaan yang ada di negara kita kebanyakan
bersifat parsial. Ada yang bergerak khusus di pengangkutan
sampah. Atau, ada juga yang bermain di urusan daur ulang
sampah. Namun, menurut Sano, kendati perusahaan-
perusahaan itu sudah lama berbisnis, sampah domestik
tetap saja menjadi masalah serius hingga saat ini.
Sano tentu tak ingin mencontoh perusahaan-
perusahaan yang sudah lama berbisnis sampah itu .
Dia menyitir kata-kata Albert Einstein. “Einstein bilang,
melakukan hal yang sama berulang kali adalah sebuah
kegilaan,” kata Sano. Maka, Sano pun tak ingin membawa
Waste4Change terjerumus dalam kegilaan yang sama.
Kendati begitu, Sano tetap menyadari akan ada titik
buta (blind spot) yang bakal ditemuinya ke depan karena
boleh jadi ada yang luput dari pengamatannya. Untuk itu,
Sano amat berharap semua stakeholders yang terlibat
dalam pengelolaan sampah memiliki visi yang sama. Sano
hanya meminta diberi kesempatan dan kepercayaan agar
peluang keberhasilannya lebih besar, ketimbang terus
melakukan pola yang sama dengan yang sudah dilakukan
selama ini.
Tak Bisa Tiap Bulan Pulang Bawa Gaji
Sano memang memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Salah satu tempat yang mengasah ke-pede-an Sano adalah
Ashoka Foundation. Ya, Sano memang pernah terpilih
menjadi Young Changemaker Ashoka 2007. Dan, Sano pun
lebih senang dianggap sebagai pembaharu (changemaker),
ketimbang dipandang sebagai aktivis lingkungan. Sebab,
Sano menekuni dua jalur jalan: sebagai aktivis, juga sebagai
pebisnis. “Saya selalu ingin menawarkan sesuatu yang baru
sebagai sebuah jalan keluar,” kata Sano.
Pengalaman 2007 saat mengikuti program Ashoka,
ternyata meninggalkan banyak bekas pada diri Sano.
Dia mendapatkan banyak ilmu, wawasan, dan referensi
bagaimana perjuangan para pembaharu di dunia. Itu
menjadi bekal amat penting bagi Sano menapaki jejaknya
sampai sejauh ini.
Tak ketinggalan pula peran orang tua dan keluarganya.
Sano bersyukur memiliki orang tua yang mampu
menyekolahannya sampai menjadi seorang sarjana Teknik
Lingkungan ITB. Begitu pula peran istri dan mertuanya.
“Kalau istri saya tipe yang menuntut saya pulang ke
rumah tiap akhir bulan dengan membawa beberapa uang
sebagai gaji saya, tentu saya tak bisa menjadi seperti
sekarang,” kata Sano tergelak.
Apakah kini Sano masih tetap galau, seperti halnya kejadian
pada tahun 2000 silam? Boleh jadi iya. Namun, kegalauan
Sano saat ini bukan lagi dalam urusan menentukan ke
mana akan melanjutkan pendidikan. Agaknya, Sano
kini galau dengan seabrek gagasan di kepalanya untuk
menjadikan negara kita mengelola sampah secara lebih
baik. Hanya saja, saluran kegalauan Sano kini sudah dia
miliki: Waste4Change dan Greenaration negara kita .
Dia selalu ingin datang ke negara kita . Tapi, dia tak sedang hendak melancong. Pada 1990, dia pertama kali menginjakkan kakinya di Bumi
Pertiwi. Di tanah Papua dia berlabuh. Dan menjadikannya
jatuh cinta kepada negara kita . Dua setengah tahun
lamanya dia di Papua. Menjadi konsultan konservasi alam
di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Lalu, dia kembali ke kota asalnya di Roma, Italia. Pada
1994, dia kembali ke negara kita . Kali ini, tanah Sumatra
yang dijejaknya. Lebih lama dari Papua. Sembilan tahun
dia bekerja di Batam.
Dia adalah Paola Cannucciari. Perempuan Italia yang
mencintai negara kita . Saking cintanya kepada negara kita ,
Paola memutuskan menetap di Bali, bersama suaminya,
I Ketut Mertaadi, seorang pria asal Pulau Dewata. “Saya
datang ke negara kita bukan untuk jalan-jalan sebagai
turis. Tapi saya datang untuk bekerja,” kata Paola dengan
bahasa negara kita yang fasih.
CINTA. Paola Cannucciari bersama suami, I Ketut
Mertaadi. Cinta orang Bali, cinta negara kita , cinta
lingkungan bersih.
Kecintaannya kepada lingkungan hidup, membuatnya
ingin mengembangkan hal lain yang bersinggungan
dengan urusan lingkungan. Pada 2006, muncullah
gagasannya bersama sang suami, dan dua orang teman
– Gianpaolo Righetti dan Ibu Can – untuk mengelola
sampah di Bali. Ide awalnya datang dari teman-temannya
sesama expatriat di Bali. “Mereka memberikan inspirasi ke
kami, masalah sampah di Bali akan menjadi besar pada
beberapa waktu ke depan, jika tidak ditangani dengan
baik,” ujar Paola.
Menolak Jika Tak Dipilah
Dengan bermodalkan keyakinan, Paola dan Ketut
pun mendirikan ecoBali Recycling. “Waktu memulai
ecoBali Recycling, kami sama sekali tidak punya business
plan. Modalnya hanya nekat,” kata Paola. Tapi, berbekal
pengalaman dan pengetahuan mengelola sampah
selama menjadi konsultan di luar negeri, Paola meyakini
usahanya bakal berhasil.
Prinsip dasar yang mereka kembangkan sebenarnya
amat sederhana: membuang sampah ke dua tong sampah
berbeda. Satu tong sampah untuk sampah kertas, satu
tong lain untuk sampah plastik, gelas, dan metal. Secara
konsep memang sederhana. Namun, pelaksanaannya
tak gampang. “Itu kan harus mengubah mindset orang.
Biasanya, mereka hanya membuang ke satu tong sampah
nonorganik saja,” tutur Ketut.
cuma mengangkut sampah, tapi juga mengembangkan
unsur edukasi dan inovasi. Kepada calon pelanggan,
ecoBali Recycling akan memberikan edukasi terlebih
dulu. Calon pelanggan harus paham kenapa mereka
diwajibkan memilah sampah. EcoBali Recycling tak akan
segan menolak calon konsumen yang tak mau memilah
sampah. Mereka juga akan memperoleh penjelasan
tentang bahaya sampah plastik.
Secara teori, sampah plastik merupakan jenis sampah
yang susah terurai. Dibutuhkan waktu puluhan tahun
agar alam bisa menguraikan atau menghancurkan
sampah plastik. Jadi, calon pelanggan ecoBali Recycling
harus meyakini bahwa memilah sampah bukanlah untuk
menambah pekerjaan.
EDUKASI. Paola Cannucciari
dan tim ecoBali sering
mendatangi sekolah-sekolah,
untuk memberikan edukasi
tentang pengelolaan sampah.
EcoBali Recycling juga melakukan edukasi ke banyak
sekolah di Bali. Juga menggandeng industri perhotelan.
Kegiatan ini bertujuan mengampanyekan pola hidup
zero waste di Bali. Sejak berdiri, ecoBali Recycling sudah
melibatkan lebih dari 18 ribu siswa sekolah, lebih dari
seribu guru, dan 1.500 pelaku perhotelan di Bali dalam aksi
peduli kebersihan.
Mobil Saja Menyewa
Di awal berdiri, ecoBali Recycling hanya bisa menjaring
empat orang pelanggan. Itu pun semua dari kalangan
expatriat. EcoBali Recycling menyediakan dua kantong
sampah untuk pelanggannya. Kantongnya terbuat dari
parasut. Kantong berwarna hijau untuk sampah kertas.
Kantong berkelir merah untuk plastik, gelas, dan metal.
Paola dan Ketut mengenang masa-masa awal
berdirinya EcoBali Recycling. Belum memiliki kantor,
pasangan suami istri menjalankan usahanya dari rumah
mereka. “Mobil saja kami sewa sepekan sekali,” tutur
Paola. Mobil sewaan itulah yang setiap pekan mengambil
sampah ke rumah para pelanggan EcoBali Recycling.
menjadi pelanggan mereka adalah orang yang punya
kepedulian tinggi terhadap pengelolaan sampah. Kalau
calon pelanggan tak bersedia memisahkan dan memilah
sampah, ecoBali Recycling akan menolak.
Dari iklan mulut ke mulut itulah, ecoBali Recycling kini
punya lebih dari seribu pelanggan. Biaya yang dibebankan
kepada pelanggan sebesar 100 ribu rupiah sampai 115 ribu
rupiah. Biaya itu sudah termasuk dua kantong sampah
dan layanan penjemputan ke rumah pelanggan.
PILAH. Petugas ecoBali
Recycling sedang memilah
sampah. EcoBali kini juga
sudah memiliki bank sampah.
Setelah sampah pelanggan sampai di lokasi ecoBali
Recycling di kawasan Kabupaten Badung, beberapa
petugas akan kembali memilah sampah. Pemilahan itu
berdasarkan kategori sampah yang dibutuhkan oleh
pabrik tempat ecoBali Recycling menjual sampah dari
pelanggan. “Pabrik kan ndak mau menerima sampah
campuran,” kata Ketut.
Tak Akan Pernah Menyerah
Pelanggan ecoBali Recycling kini sudah tersebar di
seantero Bali. Tak hanya di kawasan Kabupaten Badung
– lokasi ecoBali Recycling berada. Pencapaian ini tentu
tak lepas dari jerih payah Paola dan Ketut. Kendati
begitu, pasangan suami istri ini tak mau disebut sebagai
pengusaha di bidang sampah.
Menurut Ketut, pengusaha menitikberatkan kepada
orientasi bisnis. EcoBali Recycling memang sudah berbentuk
perseroan terbatas (PT). Namun, ecoBali Recycling tetap
menjalankan kerja sosial, seperti menggelar kegiatan
bersama komunitas pro lingkungan. Kegiatannya, misalnya,
bersih-bersih pantai.
Paola dan Ketut bisa berbesar hati melihat kemajuan
yang sudah dicapai ecoBali Recycling. Terselip pula
rasa bangga dalam diri mereka karena sudah bisa
berkontribusi mengurangi sampah di Bali. “Yang kami
perbuat sekarang ini tidak semata-mata karena uang.
Dan, kami meyakini bahwa kami tidak akan menyerah,
sesulit apa pun situasi ke depan yang bakal kami hadapi,”
kata Ketut.
Sebagai sebuah perusahaan, Paola dan Ketut
tetap menjalankan ecoBali Recycling seperti layaknya
sebuah entitas bisnis. Perusahaannya harus bisa meraih
keuntungan. Ada unsur ekonomi di dalamnya, agar
perusahaan bisa bertahan dan terus berkembang. Mereka
pun harus menggaji 35 orang karyawan. Tapi, bagi Paola
dan Ketut, persoalan ekonomi bukan prioritas nomor satu.
Membuat lingkungan menjadi lebih baik adalah tujuan
utama mereka.
Apalagi, Paola menyadari betul bahwa pemerintah
Kabupaten Badung sudah memberikan perhatian cukup
besar bagi perkembangan ecoBali Recycling. “Tidak ada
alasan bagi kami untuk menyerah. Kecuali kalau kami
bangkrut,” ujar Paola. Ketut menimpali, “Kami baru akan
berhenti jika Bali benar-benar sudah terbebas dari masalah
sampah”.
Menjadi Lebih Mudah
Salah satu bentuk perhatian
Pemerintah Kabupaten Badung
adalah dalam wujud bank
sampah. Ya, memang sejak tiga
tahun silam, ecoBali Recycling
mulai mengembangkan bank
sampah. Di Badung, bank
sampah yang dikelola ecoBali
Recycling berbentuk bank
sampah mandiri utama. Di
atasnya, ada Bank Sampah
Sentra Badung, yang dikelola
Dinas Lingkungan Hidup
Kabupaten Badung. Sedangkan
di bawah Bank Sampah Mandiri Utama, ada beberapa bank
sampah unit yang berlokasi di setiap banjar.
Bank Sampah Mandiri Utama yang dikelola ecoBali
Recycling akan membeli sampah dari bank sampah unit.
Setiap hari petugas dari ecoBali Recycling mengambil
sampah memakai tujuh mobil bak yang mereka
miliki. Sampah itu lalu mereka jual kepada Bank Sampah
Sentra Badung, dan dibayar di muka. “Itulah salah satu
bentuk kepedulian Pemerintah Kabupaten Badung dalam
hal pengelolaan sampah,” kata Paola.
Paola dan Ketut kini merasa lebih dimudahkan dalam
urusan pengelolaan sampah. Cara pikir warga di Bali -
khususnya di Kabupaten Badung - terhadap persoalan sampah,
kini memang telah banyak berubah. Warga bersemangat
menyetorkan sampah ke bank sampah unit, misalnya melalui
kegiatan arisan para ibu yang tergabung ke dalam program
Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Selain mengelola bank sampah, ecoBali Recycling
juga menjalin kerja sama dengan Tetra Pak negara kita ,
sebuah perusahaan kemasan makanan dan minuman.
Ketut mengenang, di awal masa berdiri ecoBali Recycling,
setiap pagi dia mengantarkan minuman susu kemasan
yang memakai produk Tetra Pak ke lapangan kriket
di Gianyar. Ketut menjelaskan kepada para pemain kriket,
kemasan susu yang diminum para pemain itu bisa didaur
ulang. “Saya memberikan pengertian kepada mereka
bahwa persoalan sampah salah satunya bisa muncul dari
kemasan susu yang mereka minum,” tutur Ketut.
Sejak 2007, ecoBali Recycling bekerja sama dengan
Tetra Pak. Setiap tahun, ecoBali Recycling sanggup
mengumpulkan 300 ton kemasan minuman dan makanan
produk Tetra Pak. Sampah kemasan itu lalu dikirim ke
perusahaan daur ulang di Mojokerto, Jawa Timur.
Paola dan Ketut masih tetap terlihat enerjik. Padahal,
usia keduanya sudah menjelang kepala enam. Dan, sudah
lebih dari satu dekade mereka mencurahkan perhatiannya
terhadap persoalan sampah di Bali, lewat ecoBali Recycling.
Paola meyakini, akan ada yang meneruskan usaha mereka
ini. “Kami sekarang sudah melakukan kaderisasi. Suatu
saat nanti, tentu kami juga ingin menikmati hari tua kami,
misalnya dengan melancong ke berbagai negara,” ujar
Paola tersenyum.
Ke berbagai negara itu tentulah Paola akan menjadi
turis. Tapi, hanya ke negara kita -lah dia ingin selalu datang.
Sebab, Paola adalah seorang perempuan Italia yang
mencintai negara kita .
Dokter Gamal Albinsaid teringat betul kisah
seorang bocah yang meninggal di dalam
gerobak sampah. Ayah Khairunissa, nama
sang bocah, tak punya uang mengobati
anaknya ke dokter. Dari kisah itulah, Gamal
bertekad membuat sebuah klinik kesehatan
yang bayarnya cukup pakai sampah.
Jakarta, Juni 2005. Seorang bocah perempuan meninggal di dalam gerobak sampah ayahnya. Khairunissa namanya. Baru tiga tahun usianya. Diare
menjemput ajal Nissa. Ayahnya hanya seorang pemulung
berpenghasilan 10 ribu rupiah per hari. Tak mampu sang
ayah membawa Nissa berobat ke dokter. Bahkan, untuk
menguburkan jasad putri tercinta di Bogor, sang ayah
terpaksa harus berjalan kaki dari Jakarta. Menggendong
Nissa yang sudah tiada.
Beberapa tahun setelah kejadian mengenaskan
yang menimpa Khairunissa, seorang dosen Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur,
menceritakannya kepada para mahasiswanya. Dan, di
kelas itulah Gamal Albinsaid mendengarkan kisah pilu
tesebut. Nestapa Nissa ternyata begitu membekas di
ingatan Gamal.
Selang beberapa waktu kemudian, seorang dosen lain
berkisah pula tentang sebuah inspirasi dari semangkuk
bakso. Nama dosen itu dokter Rita Rosita. Sang dosen
bercerita tentang seorang dokter yang mengembangkan
layanan kesehatan dengan harga semangkuk bakso.
“Bubar kelas dokter Rita, saya dan seorang teman,
namanya Maulana, mendatangi ruangan dokter Rita.
Kami berdiskusi untuk mulai mengembangkan sebuah
klinik kesehatan yang terjangkau bagi warga ,” kata
Gamal.
Dua peristiwa penting itulah yang menjadi peletak
dasar Gamal Albinsaid menyediakan layanan kesehatan
yang bisa dijangkau kalangan tak mampu. Hatinya begitu
trenyuh mendengarkan penderitaan Khairunissa. Pun,
dia tertantang dengan layanan kesehatan hanya seharga
semangkuk bakso.
Gamal dan Maulana berkesempatan mengikuti
Program Kreativitas Mahasiswa (PMK) untuk
mengembangkan klinik kesehatan mereka. Sayang,
lantaran kehabisan dana, klinik itu jalannya terseok-
seok. Kendati kehabisan dana, Gamal tetap menitipkan
programnya ke senat mahasiswa kedokteran Universitas
Brawijaya. Namun, program itu tak bisa berjalan mulus.
Tak hendak idenya kandas begitu saja, Gamal pun
mengambil alih program yang sempat dia titipkan ke senat
mahasiswa. Pada 2013, Gamal mengajak seorang direktur
rumah sakit di Malang, seorang dosen, dan seorang
pemilik tempat, untuk bantingan modal menghidupkan
kembali kliniknya.
Klinik kesehatan kembali menggeliat. Tapi, tetap saja
beberapa kendala membentang. “Waktu itu saya kan
masih berstatus mahasiswa. Saya membayar uang kuliah
sendiri,” tutur Gamal mengenang masa-masa sulit dahulu.
Untunglah, karena dia mengajak seseorang yang memiliki
tempat klinik dalam skema kerja sama, Gamal tak harus
memikirkan uang sewa.
Ketetapan hati Gamal untuk membesarkan kliniknya
kian menjadi-jadi. Itu terjadi saat dia sedang dalam
perjalanan dari Surabaya ke Malang memakai bus.
Gamal mengingat kembali kisah pilu Khairunissa. Dalam
merenung, Gamal berpikir keras tentang usaha yang
bisa dia lakukan agar kejadian seperti Khairunissa itu
tak kembali berulang. “saat itu saya berpikir, skema
keuangan seperti apa yang memungkinkan warga
tak mampu bisa mendapatkan layanan kesehatan yang
bermutu,” ujar Gamal.
Izinkan Kami Memungut Sampah Anda
Sekelebat, muncullah idenya untuk memanfaatkan
sampah. Kenapa sampah? Sebab, Gamal menyadari bahwa
sampah adalah urusan sehari-hari dalam hidup manusia.
Setiap orang atau rumah tangga pasti menghasilkan
sampah. Dan, sampah itulah yang pada akhirnya akan
dipakai warga sebag