Satu hal yang tak terbantahkan: manusia yaitu mahluk dominan di bumi ini. Buah karyanya telah mengubah wajah dunia. Ini semua
menjadi mungkin, sebab manusia mampu bekerja sama dengan
berpijak pada prinsip-prinsip yang rasional. Kerja sama yang erat ini
tidak hanya membuat mereka kuat, namun juga berkembang melampaui
batas-batas fi sik mereka sendiri.
Lima ratus tahun yang lalu, orang hanya bisa hidup sampai dengan
usia 30 atau 40 tahun. Namun kini, di usia yang ke 65, orang masih
tetap bisa hidup dengan sehat. Bentuk kehidupan sosial manusia
pun kini makin kompleks, misalnya dengan keberadaan internet
dan jaringan sosial yang mengubah seluruh makna hubungan antar
manusia. Patah hati dan revolusi politik kini bisa dipicu hanya dengan
satu saat n di jaringan sosial internet.
Dominasi manusia atas bumi ini juga memiliki wajah yang kelam.
Ratusan spesies punah setiap harinya, akibat ketidakseimbangan
alam. Atmosfer dunia rusak, akibat polusi yang diciptakan oleh asap
industri dan aktivitas sehari-hari lebih dari 6 milyar manusia di bumi
ini. Perlahan tapi pasti, bumi menjadi tempat yang tidak cocok untuk
lahir dan berkembangnya kehidupan.
Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Tentang manusia dan kehidupannya, fi lsafat dan ilmu pengetahuan
telah memakai berbagai metode untuk memahaminya. Di sini,
manusia dipahami sebagai mahluk yang berakal budi. Dengan akal
budinya, manusia mampu bekerja sama, dan kemudian mewujudkan
visi hidup mereka menjadi kenyataan.
Tidak hanya akal budi, manusia juga yaitu mahluk emosional.
Mereka mampu merasa, dan bertindak dengan berdasar perasaannya
itu. Mereka juga mampu merasakan kasih kepada manusia, mahluk
hidup dan bahkan benda mati lainnya. Perpaduan antara akal budi,
emosi dan kerja sama menghasilkan peradaban manusia beserta segala
kompleksitasnya.
Di satu sisi, manusia yaitu mahluk individual. Ia memiliki
perasaan dan pikiran yang hidup serta berkembang di dalam kehidupan
pribadinya. Di sisi lain, ia yaitu mahluk sosial. Identitasnya ditentukan
dalam hubungannya dengan dunianya.
Martin Heidegger, fi lsuf Jerman, mencoba menanggapi secara
kritis konsep ”manusia” yang berkembang di dalam fi lsafat dan ilmu
pengetahuan. Kata ”manusia” sebenarnya mengandaikan adanya
pemahaman tertentu sebagai latar belakangnya, yakni pemahaman
yang khas tertanam di dalam fi lsafat Barat yang dipengaruhi fi lsafat
Yunani dan agama-agama monoteis, seperti Yahudi, Kristen dan Islam.
Bagi orang yang tidak lahir di dalam peradaban semacam ini, konsep
”manusia” dipahami secara berbeda.
Oleh sebab itu, Heidegger mencoba menghindari pemakaian
kata ”manusia” di dalam tulisan-tulisannya. Ia memilih memakai
kata Dasein, yang berarti ”ada di sana”. Di dalam fi lsafat Jerman, ini
disebut juga sebagai destruksi metafi sika, yakni mencoba mengajukan
ulang secara kritis dan mendalam pertanyaan tentang ”Ada” (Sein). Pola
berpikir ini nantinya berkembang di dalam pemikiran pasca modernitas,
misalnya di dalam pandangan Derrida tentang dekonstruksi yang
mencoba menunda beragam kepastian pemahaman (Sinnsverschieben).
Filsafat Timur, yang berkembang di Nepal, India, Cina, Jepang
dan Korea, memiliki pemahaman yang sama sekali berbeda tentang
manusia. Manusia tidak dilihat sebagai mahluk istimewa, namun sebagai
bagian tak terpisahkan dari segala hal yang ada di alam semesta ini.
Sama seperti segala hal lainnya, manusia yaitu cerminan dari jiwa
universal yang disebut juga sebagai Atman. Di dalam beberapa tradisi,
seperti tradisi Zen, manusia tidak dijadikan konsep, dan bahkan tidak
dibicarakan sama sekali.
Buku Ini
Buku ini yaitu kumpulan pemikiran saya yang tersebar di berbagai
media selama tahun 2015, saat saya sedang belajar di Jerman. Di
dalam buku ini, beragam pemahaman tentang manusia ini dikupas
secara ringan, mendalam, serta sejalan dengan beragam penelitian
terbaru yang berkembang di dalam ilmu pengetahuan modern, seperti
neurosains. Buku ini juga dapat dilihat sebagai kelanjutan dari buku
yang pernah saya sunting bersama mahasiswa Fakultas Filsafat Unika
Widya Mandala Surabaya, yakni Membongkar Rahasia Manusia, Telaah
Lintas Peradaban Filsafat Timur dan Filsafat Barat (Kanisius, 2010). Namun,
buku ini tidak hanya bergerak di tataran teoritis, namun juga mencoba
melihat pergulatan manusia di dalam kehidupan sehari-harinya. Ia juga
tidak hanya menggambarkan lika liku kehidupan manusia, namun juga
menawarkan arah untuk perkembangannya.
Buku ini saya persembahkan kepada orang-orang yang ingin
memahami apa artinya menjadi manusia di abad 21 ini. Ilmu-ilmu
sosial dan ilmu-ilmu manusia kerap kali jatuh pada pemaparan yang
jauh dari pergulatan hidup manusia sehari-hari yang penuh dengan
keringat dan air mata. Buku ini tidak ingin mengulangi kesalahan yang
sama semacam itu. Harapannya, pembaca bisa menemukan pencerahan
pemikiran, serta menemukan, siapa diri mereka sejatinya.
Terima kasih saya ucapkan kepada KAAD-Jerman serta Fakultas
Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya yang telah mendukung
beragam penelitian saya selama beberapa tahun ini.
Ciri dan Gerak Pikiran Manusia
Begitu banyak orang mengalami penderitaan dalam hidupnya. Hampir semua bentuk penderitaan datang dari pikiran, baik
dalam bentuk kecemasan akan masa depan, maupun penyesalan
atas masa lalu. Penderitaan nyata sehari-hari bisa dilampaui dengan
baik, jika orang mampu berpikir jernih, jauh dari kecemasan dan
penyesalan yang kerap mencengkram pikirannya. Sebaliknya, hal kecil
akan menjadi sulit dan rumit, saat pikiran orang dipenuhi dengan
kecemasan dan penyesalan.
Orang semacam itu akan sulit berfungsi di warga . Mereka
tidak bisa menolong diri mereka sendiri. Akibatnya, mereka pun
cenderung menjadi penghambat bagi orang lain, dan bahkan bisa
membuat orang lain menderita. Beban pikiran yang berlebihan
membuat orang tak mampu menyadari, betapa indah dan sederhana
hidup manusia itu sebenarnya.
Pikiran Manusia
Kunci untuk mencegah hal ini yaitu dengan memahami hakekat
dan gerak pikiran manusia. Setiap bentuk konsep yaitu hasil dari
pikiran manusia. Dengan konsep itu, manusia lalu menanggapi
berbagai keadaan di luar dirinya. Dalam hal ini, emosi dan perasaan
juga merupakan hasil dari konsep yang berakar pada pikiran manusia.
Apa ciri dari pikiran manusia? Ada tiga ciri mendasar, yakni
tidak nyata, sementara dan rapuh. Pikiran itu bukanlah kenyataan. Ia
yaitu tanggapan atas kenyataan. Pikiran dibangun di atas abstraksi
konseptual atas kenyataan.
Pikiran juga sementara. Ia datang, ia pergi, dan ia berubah. Cuaca
berubah, maka pikiran juga berubah. saat lapar, pikiran melemah.
Dan sebaliknya, saat perut kenyang, pikiran bekerja lebih maksimal.
In i menegaskan ciri selanjutnya, bahwa pikiran itu rapuh. Apa
yang kita pikirkan sama sekali belum tentu benar. Bahkan, keyakinan
kita atas pikiran kita cenderung mengarahkan kita pada kesalahan dan
penderitaan, baik penderitaan diri sendiri maupun orang lain. Pikiran
kita begitu amat mudah berubah, dan ini jelas menandakan kerapuhan
dari semua bentuk pikiran kita.
Ekspresi, Represi dan Observasi
Namun, sayangnya, banyak orang mengira, bahwa pikiran mereka
yaitu kenyataan. Mereka mengira, bahwa pikiran mereka yaitu
kebenaran. Emosi dan segala bentuk perasaan, yang merupakan
buah dari pikiran, juga dianggap sebagai realita. Mereka mengalami
kesulitan untuk menjaga jarak dari pikiran mereka sendiri.
Pada titik ini, biasanya orang melihat dua kemungkinan, yakni
ekspresi dan represi. Ekspresi berarti mengeluarkan semua bentuk
pikiran ini dalam bentuk tindakan ataupun kata-kata. Biasanya,
orang lain menjadi obyek dari tindakan ini. Beberapa diantaranya
merasa terhina, sehingga membalas, dan membentuk semacam
lingkaran kekerasan yang lebih besar.
Represi berarti menekan dan menelan semua emosi dan pikiran
yang muncul. Pada pikiran dan emosi yang ekstrem, ini menciptakan
rasa sakit yang luar biasa. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan
penyakit fi sik yang berbahaya, seperti misalnya kanker atau sakit
jantung. Represi emosi dan pikiran jelas bukan merupakan jalan yang
tepat.
Ekspresi menciptakan masalah sosial. Represi menciptakan masalah
personal. Banyak orang terjebak di antara keduanya. Mereka tidak
dapat keluar dari pikiran dan emosi yang mereka anggap nyata.
Namun, ada jalan keluar dari kebuntuan ini, yakni observasi.
Observasi berarti tindak mengamati apa yang terjadi di dalam pikiran
kita secara seksama. Kita mengamati muncul dan bergantinya pikiran
dari satu obyek ke obyek lainnya. Kita bisa melihat, bagaimana emosi,
perasaan dan pikiran terbentuk, dan kemudian berlalu.
Dengan cara ini, kita menciptakan jarak dengan segala hal yang
muncul di kepala kita. Kita tidak lagi percaya, bahwa itu semua yaitu
kebenaran. Hasilnya, semua emosi, pikiran dan perasaan tidak akan
mempengaruhi kita. Kita mengalami kebebasan yang sesungguhnya.
Apa yang Sedang Mengamati?
saat kita mengamati semua bentuk emosi, perasaan dan pikiran
yang muncul, kita lalu bertanya, apa ini yang sedang mengamati? Siapa
ini yang sedang mengamati? Yang jelas, kita bukanlah pikiran kita. Kita
juga bukanlah emosi dan perasaan kita, sebab semua itu datang dan
pergi, serta amat rapuh.
Jika kita bukan pikiran, perasaan maupun emosi kita, lalu apa atau
siapakah kita? Siapa ini yang sedang mengamati? Kita bisa menjawab
dengan jawaban-jawaban lama, seperti jiwa atau roh. Namun, jiwa dan
roh yaitu konsep-konsep yang merupakan hasil dari pikiran kita,
maka ia juga tidak nyata, sementara dan amat rapuh.
Pertanyaan ini membuka ruang baru di dalam hidup kita. Jika
dilakukan secara berkala, yakni bertanya ”Siapa ini yang sedang
mengamati?”, kita akan menyadari kehadiran sang pengamat ini. Ia
mengamati setiap detik pikiran, emosi dan perasaan yang muncul
dan pergi di dalam diri kita. Kesadaran ini membuat kita lebih kuat
menghadapi segala hal yang mungkin terjadi di dalam hidup. Dalam
jangka panjang, tidak ada emosi, pikiran ataupun perasaan yang bisa
mempengaruhi diri kita lagi.
Bukankah ini yang disebut kedamaian sejati?
Sekali Lagi, Tentang Pikiran Manusia
Sewaktu pertama kali datang ke kota Munich di Jerman 3 tahun yang lalu, saya tidak suka kota ini. Orang-orangnya tidak ramah. Mereka
bergerak amat cepat, dan tidak peduli dengan orang lain. Suasananya
menciptakan kesepian dan rasa tegang.
Namun, setelah tinggal disini beberapa lama, pendapat saya
berubah. Orang-orang Munich tetap cuek dan berjalan amat cepat,
namun itulah budaya dan kebiasaan mereka. Ini tidak baik, dan juga
tidak buruk. Dalam banyak aspek, Munich yaitu kota yang nyaman
sebagai tempat tinggal, dan membangun keluarga.
Jadi, awalnya, saya berpikir A. Dan kemudian, saya berpikir B.
Berikutnya, mungkin, saya akan berpikir C. Yang mana yang benar?
Bagaimana memahami pikiran yang berubah-ubah ini?
Pikiran Manusia
Kota Munich tetap ada disini dan saat ini. Namun, kesan saya
berubah. Pengalaman saya berubah. Kesan dan pengalaman saya pun
mempengaruhi sikap hidup saya disini.
Darimana datangnya kesan dan pengalaman? Jawabannya jelas,
yakni dari pikiran. Dari mana asal pikiran manusia? Ini pertanyaan
menarik yang mendorong para ilmuwan dari berbagai bidang untuk
melakukan penelitian.
Kes an biasanya muncul dari pengamatan. Kita melihat dan
mengamati sesuatu, lalu timbul kesan tertentu tentang sesuatu itu. Bisa
dibilang, dari pengamatan lalu muncul pikiran, dan kemudian kesan.
Namun, pengamatan pun selalu membutuhkan pikiran.
Jika disederhanakan, urutannya begini. Pengamatan dengan indera
dan pikiran, lalu melahirkan kesan. Kesan lalu melahirkan pendapat,
dan pendapat lalu mendorong tindakan. Tindakan lalu membentuk
realitas, dan akhirnya, realitas itu diamati lagi dengan indera dan
pikiran. Begitu seterusnya.
Dari sini bisa disimpulkan, bahwa realitas yaitu hasil dari
bentukan pikiran kita. sebab pikiran kita berubah seturut dengan
pengamatan dan kesan, maka realitas hidup kita pun berubah. Hari
ini, kita bahagia. Besok, mung kin ada masalah yang datang.
Pikiran kita begitu mudah berubah, sebab berbagai hal, mulai
dari kondisi biologis sampai sosial politik. Oleh sebab itu, kita bisa
membuat kesimpulan, bah wa pikiran kita bukanlah kebenaran itu
sendiri. Ia bisa salah, dan bahkan seringkali salah. Realitas hasil ciptaan
pikiran kita pun bukanlah realitas sesungguhnya.
Menyingkapi Pikiran
Jika pikiran kita kerap kali salah, lalu bagaimana kita harus hidup?
Per tanyaan ini, pada hemat saya, harus dipukul lebih jauh dengan
pertanyaan berikut, apakah diri kita hanya pikiran kita semata?
Apakah pikiran di kepala kita identik dengan keseluruhan diri kita?
Jika dipikiran secara mendalam, jawabannya jelas: bukan.
Jadi, biarkan pikiran datang dan pergi. Jangan percaya dengan
pikiranmu. Anda dan saya tidaklah sama dengan pikiran yang datang
dan pergi di kepala kita. Gunakan pikiranmu seperlunya, namun
jangan pandang dia mentah-mentah sebagai kebenaran mutlak tentang
segalanya.
Inilah yang disebut kebebasan sesungguhnya. Orang yang bebas
dari pikir annya sendiri berarti ia tidak diperbudak oleh suara-
suara yang ada di kepala nya. Ia bisa berpikir dengan jernih untuk
menyingkapi berbagai hal dalam hidupnya. Ia bisa menjadi orang yang
bijaksana di dalam beragam keadaan.
saat sedih datang, kita sedih. saat gembira datang, kita
gembira. Kita biarkan semuanya datang dan pergi, tanpa keinginan
untuk memegang erat-erat pikiran yang datang. Ingat, kita bukanlah
pikiran kita.
Tidak Tahu
Jika pikiran kita kerap kali salah, maka apa yang harus kita percaya
di dalam hidup kita, terutama untuk membuat beragam keputusan?
Pertama, kita harus sadar, bahwa pengetahuan kita tentang dunia tidak
pernah sepenuhnya benar. Dengan kata lain, kita sesungguhnya tidak
tahu, apa yang ada di dalam realitas.
saat kita sepenuhnya sadar, bahwa kita tidak tahu, maka
semuanya akan menjadi jelas. Inilah yang disebut sebagai ”pikiran
tidak tahu”, yakni pikiran yang terbuka untuk beragam kemungkinan.
Pikiran semacam ini jauh dari keyakinan akan kebenaran mutlak.
saat kita hidup dengan ”pikiran tidak tahu ini”, maka intuisi kita
akan terlatih.
Intuisi yaitu pengalaman langsung dengan kehidupan, tanpa
bahasa dan tanpa konsep. Dengan kata lain, intuisi yaitu pengalaman
langsung dengan kehidupan, tanpa memakai pikiran. saat
intuisi kita terlatih, kita akan tahu apa yang harus dilakukan di dalam
berbagai situasi dalam hidup kita. Kebenaran sejatinya sudah jelas di
depan mata kita. Hanya pikiran kita yang menghalangi kita untuk
sungguh mengalami kebenaran itu.
Jadi, jangan percaya pada pikiranmu….
Otak, Neuroplastisitas dan Hidup Kita
Kita hidup di dunia yang tak selalu sesuai dengan keinginan kita. saat keinginan dan harapan kita rontok di depan mata, kita
mengalami krisis hidup. saat krisis berulang kali terjadi, kita pun
lalu merasa putus asa. Kita mengira, bahwa hidup ini tidak bermakna,
dan tidak layak untuk dijalani.
Padahal, jika dipikirkan lebih dalam, hidup yaitu kemungkinan
tanpa batas. Orang bisa melakukan apapun, selama ia memiliki
komitmen untuk bekerja dan berpikir, guna mewujudkan harapan
serta keinginannya. Salah satu kemampuan penting untuk mencapai
cara berpikir ini sudah selalu terletak di otak kita sendiri. Rasa putus
asa dan patah arang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Pen elitian-penelitian terbaru dengan otak dan kesadaran yang
dikembang kan di dalam fi lsafat dan neurosains (Begley, Davidson,
Schwarĵ , Hüther) menunjukkan satu hal, bahwa perubahan di dalam
diri manusia itu yaitu sesuatu yang mungkin. Ini bukan hanya
sekedar perubahan cara berpikir, namun juga termasuk perubahan
struktur biologis otak manusia itu sendiri. Di dalam berbagai wacana
ilmiah, hal ini dikenal sebagai neuroplastisitas (Neuroplastizität), yakni
kemampuan otak untuk terus berubah, sepanjang hidup manusia.
Otak bukanlah mesin biologis tak bernyawa, melainkan sebuah sistem
biologis yang bisa terus berubah dan berkembang.
Neuroplastisitas
Neuroplastisitas yaitu kemampuan otak manusia untuk mengubah
bera gam jaringan saraf dan sel yang ada di dalamnya. Ini bisa terjadi
sepanjang hidup manusia. Dulu, para ilmuwan dan fi lsuf mengira,
bahwa otak hanya bisa ber ubah, saat orang masih berusia muda.
Orang dewasa sudah memiliki pola jaring an otak yang tetap dan tak
akan bisa diubah, apalagi jika ia sudah berusia senja.
Setelah melalui beragam penelitian yang panjang dan berulang,
pandangan ini pun dipatahkan. Dengan melakukan beberapa tindakan
tertentu, atau mengubah pola hidup secara keseluruhan, struktur otak
seseorang bisa berubah. Bahkan, orang-orang yang telah mengalami
luka di otaknya, misalnya telah mengalami stroke atau memiliki
semacam penyakit di otaknya, juga bisa mengubah struktur otaknya.
Ia tidak hanya bisa menjadi sembuh, namun juga bisa meningkatkan
kinerja otaknya.
Dengan latihan yang sistematis, otak bisa menjadi sehat kembali,
walaupun ia telah mengalami luka sebelumnya. Struktur otak kita,
dan fungsi serta kinerjanya, amat tergantung dari bagaimana kita
memakai otak kita di dalam berpikir. Jika kita bermalas-malasan
sepanjang hari, maka jaringan sel saraf di otak juga akan membentuk
pola hubungan tertentu. Sebaliknya, jika kita rajin belajar sesuatu
yang baru, jaringan saraf di otak kita akan menebal, dan kinerja serta
kesehatannya pun juga akan membaik.
Mengapa Ini Penting?
Hasil penelitian ini amat penting untuk hidup manusia, sebab
memberi kita harapan nyata, bahwa hidup kita bisa berubah. Krisis
tidak selamanya bertahan. Luka dan sakit bisa disembuhkan, asal
kita mau bekerja keras. Nasihat-nasihat semacam ini sekarang bukan
sekedar himbauan belaka, namun didukung oleh ratusan hasil penelitian
yang dilakukan oleh berbagai ilmuwan bermutu di seluruh dunia.
Pola pikir kita menentukan struktur otak kita, sekaligus
kesehatannya. Jika kita rutin berpikir tentang hal-hal yang menyakitkan
kita, maka otak kita akan terbentuk dengan mengikuti pola negatif
semacam ini. Otak kita akan membentuk jaringan saraf dengan pola
ini, dan ini akan juga mempengaruhi kepribadian secara mutu hidup
kita secara keseluruhan. Kebiasaan kita akan membentuk otak kita,
dan keduanya akan mempengaruhi mutu hidup kita.
saat orang mengalami depresi, ia hidup dengan satu pola pikir,
bahwa hidupnya dipenuhi penderitaan, dan semuanya terasa tidak
bermakna. Dengan pola pikir semacam ini, ia tidak dapat bekerja,
berkonsentrasi dan juga tidak dapat mempertahankan hubungan
sosial dengan teman maupun keluarganya. Jika cara berpikir semacam
ini dipertahankan, maka struktur otak dan kesadarannya pun akan
mengambil pola ini.
Di dalam wacana ilmiah, ini disebut sebagai pikiran sirkuler
(zirkuläres Denken), atau pikiran berulang. Artinya, pikiran kita
mengulang pola yang sama terus menerus, sehingga ia membentuk
struktur otak dan kepribadian kita secara umum. Namun, ini bukanlah
keadaan yang tetap. Ia dapat diubah, asal orang mau belajar untuk
membentuk pola berpikir baru yang nantinya akan mempengaruhi
struktur otak serta kepribadiannya.
Mengubah pola pikir tentu bukan proses yang mudah. Dibutuhkan
usaha serta movitasi yang kuat. Dukungan dari lingkungan sekitar pun
juga amat penting. Namun, proses ini tentu amat layak diperjuangkan,
sebab ini dapat meningkatkan mutu hidup kita, dan juga bisa
membantu orang lain yang terjebak pada pola pikir yang mengundang
penderitaan. Ada dua metode yang kiranya bisa diterapkan.
Beberapa Metode
Metode pertama untuk mengubah pola pikir kita yaitu dengan
hidup dalam kesadaran (Achtsamkeit). Ini berarti, kita hidup saat
demi saat dengan kepenuhan serta kesadaran. saat kita makan, kita
sepenuhnya makan. saat kita berjalan, kita sepenuhnya berjalan.
Dimana tubuh kita berada, disitu pikiran kita berada.
Metode kedua yaitu apa yang di dalam fi lsafat Timur disebut
sebagai meditasi. Meditasi berarti melihat kenyataan apa adanya, tanpa
ditambahi dengan analisis, konsep dan penilaian dari kita. Meditasi
juga berarti mencerap kenyataan disini dan saat ini apa adanya. saat
kita hidup dalam pola meditatif ini, otak kita akan tenang, jernih dan
sehat, sehingga bisa dipakai untuk apapun.
Inti dari kedua metode ini sebenarnya sama, yakni kembali ke
saat ini (das ewige Jeĵ t). Sekarang yaitu satu-satunya waktu yang
kita punya. Disini yaitu satu-satunya tempat yang bisa kita tempati.
Dengan hidup sepenuhnya disini dan saat ini, orang bisa membentuk
pola berpikir baru yang menciptakan kesehatan dan kejernihan bagi
struktur otaknya, sekaligus meningkatkan mutu hidupnya secara
keseluruhan.
Ketinggalan
Ini sebenarnya bukan ide baru. Filsafat Timur yang berkembang
di India, Cina, Jepang, Korea, Srilangka, Thailand dan kemudian
menyebar ke Indonesia sudah mengetahui dan menerapkan hal ini
selama berabad-abad. Fokus utama fi lsafat Timur yaitu memahami
hakekat pikiran manusia, yang juga berarti cara kerja otaknya, dan
mendorongnya untuk mencapai hidup yang penuh dan bahagia. Dari
tradisi semacam ini, Yoga dan Zen berkembang, serta menyebar ke
seluruh dunia sekarang ini.
Tentang kaitan antara otak, kesadaran, pikiran dan kebahagiaan
manusia, fi lsafat Timur juga jauh melampaui ilmu pengetahuan dan
fi lsafat Barat. Hal yang sama juga terjadi di bidang kesehatan mental.
Para Yogi, Ajahn dan Zen Master di berbagai negara Asia telah berhasil
menemukan cara untuk membangun hidup yang bermutu dan sehat,
sehingga lalu tidak hanya bisa menolong orang lain, namun juga semua
mahluk yang ada di alam semesta. Penelitian terbaru terkait dengan
otak dan neuroplastisitas hanya menegaskan ulang apa yang telah
diketahui dan diterapkan oleh para master di dalam fi lsafat Timur
selama ribuan tahun.
Lepas dari pada itu, kita bisa yakin akan satu hal, bahwa keadaan
hidup kita sekarang ini bukanlah titik fi nal. Semua bisa diubah, asal
kita memiliki motivasi dan berusaha. Ada beragam metode yang bisa
membantu. Namun, semuanya kembali ke satu dorongan dasar semua
mahluk hidup: mencapai kebahagiaan. Selamat mencoba!
Mendidik Dendam
Semua konfl ik di dunia ini terjadi, sebab orang mengira, bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan. Mereka mengira,
bahwa ini yaitu jalan keluar satu-satunya. Jika kekerasan tak dibalas
dengan kekerasan, ada perasaan tidak puas di dalam diri. Bahkan, pola
semacam ini sudah menjadi begitu otomatis, sehingga orang tidak lagi
menyadarinya.
Bom harus dibalas dengan bom. Pukulan harus dibalas dengan
pukulan. Mata ganti mata. Gigi ganti gigi. Nyawa ganti nyawa.
Padahal, jika melihat sejarah, kita akan menemukan, bahwa
kekerasan tidak pernah menjadi jalan keluar. Kekerasan hanya
melahirkan kekerasan. Tidak lebih dan tidak kurang. Buahnya yaitu
penderitaan dan kemarahan yang semakin dalam.
Dendam
Di balik pola ini, ada satu hal yang sama, yakni dendam. Dendam
yaitu perasaan tidak terima, sebab orang merasa diperlakukan tidak
adil. Dendam menjadi dasar untuk melakukan tindakan balasan, yakni
kekerasan. Disini berlaku hukum yang sama, kekerasan akan terus
melahirkan kekerasan dan penderitaan, sampai kekerasan itu diputus.
Jelas, bahwa kita harus mencari jalan lain. Kita perlu menyadari,
bahwa dendam tidak pernah menghasilkan apapun yang baik. Pepatah
Buddhis berikut kiranya benar, bahwa orang yang menyimpan dendam
itu seperti orang yang membawa bara api di tangannya, dan mau
melemparkan itu ke orang lain. Orang yang menyimpan dendam itu
terluka terlebih dahulu, bahkan sebelum ia menyakiti orang lain.
Oleh sebab itu, kita harus mendidik rasa dendam yang ada di
dalam diri kita. Kita perlu memahami bara api yang kita pegang di
tangan kita sendiri ini. Tujuannya, supaya kita bisa memutus rantai
kekerasan dan penderitaan yang terjadi. Hanya dengan begitu,
perdamaian menjadi mungkin.
Bagaimana cara mendidik dendam? Kita harus memahami akar
dendam itu sendiri. Dengan pemahaman ini, kita akan sadar, apa
arti dendam itu sesungguhnya. Pemahaman ini juga membantu kita
memutus rantai kekerasan yang yaitu buah dari rasa dendam.
Akar Dendam
Dendam memiliki dua kaki, yakni amarah dan rasa takut. Amarah
muncul, sebab keinginan kita tidak sejalan dengan kenyataan yang
terjadi. Rasa takut muncul, sebab ketidakpastian dari kehidupan itu
sendiri. saat dua hal ini bertemu, dendam lalu muncul sebagai reaksi
atas hal-hal yang tak diinginkan.
Padahal, jika diamati dengan jeli, amarah dan takut itu sejatinya
kosong. Keduanya tidak memiliki inti pada dirinya sendiri. Keduanya
lahir dari kesalahan berpikir. Jika kesalahan berpikir itu diperbaiki,
maka keduanya akan lenyap secara alami.
Kesalahan berpikir macam apa yang terjadi disini? Yang pertama
yaitu , bahwa kenyataan harus selalu sesuai dengan keinginan kita.
Ini jelas tidak akan pernah mungkin terjadi. Di dalam fi lsafat Jerman,
ini disebut tegangan antara apa yang ada (das Sein) dan apa yang
seharusnya terjadi (das Sollen) yang menghasilkan ”rasa sakit dunia”
(Weltschmerz). Tegangan ini menghasilkan banyak emosi jelek di dalam
diri manusia; salah satunya yaitu amarah.
saat kita melepaskan keinginan kita, kita lalu bisa menerima
kenyataan apa adanya. Kita tidak lagi memaksakan, supaya dunia
berjalan sesuai dengan keinginan kita. Kita melepaskan mimpi dan
harapan-harapan kosong kita akan kehidupan. Di titik ini, kita
menemukan kedamaian yang sesungguhnya.
Yang kedua yaitu soal ketidakpastian hidup yang membuat kita
merasa takut. Jika dipikirkan lebih dalam, hidup itu sendiri yaitu
ketidakpastian. Setiap saat, segala hal bisa terjadi pada kita.
Di detik berikutnya, kita bisa mati tersengat listrik, atau mendapat
hadiah undian jutaan rupiah. Siapa yang tahu? saat kita bisa
menerima ketidak pastian ini sebagai bagian dari hidup kita, maka rasa
takut pun akan hilang dengan sendirinya.
Kekosongan dari Dendam
Dendam lahir dari amarah dan takut. Namun, amarah dan takut
itu sejatinya kosong. Maka, dendam juga sejatinya kosong. Ia tidak
memiliki inti pada dirinya sendiri.
Di dalam tradisi Timur, kenyataan dipahami sebagai kekosongan.
Nagar juna, fi lsuf India, bahkan menegaskan, bahwa kekosongan
(Sunyata) yaitu dasar dari segala-galanya. Dari kekosongan, segala
sesuatu datang dan pergi. Kekosongan yaitu kemungkinan yang tak
terhingga.
Di dalam fi lsafat Zen, segala hal itu terjadi, sebab yaitu hal-hal
yang memungkinkannya (dependent origination). Air menjadi panas,
sebab ada api yang membakarnya. Api menjadi ada, sebab ada
gesekan yang kuat antara dua benda keras. Dua benda keras bisa
bergesekan, sebab ada energi yang menggerakannya, dan begitu
seterusnya.
Tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri. Segalanya yaitu bagian
dari segalanya. Keterkaitan antara segala sesuatu ini yaitu kehidupan
itu sendiri. Tidak ada satu hal pun yang memiliki inti universal dan
mampu berdiri sendiri, lepas dari jaringan kehidupan.
Di dalam buku Wissenschaft der Logik, Hegel, fi lsuf Jerman, menyebut
ini sebagai hukum keniscayaan. Keniscayaan menjadi mungkin, sebab
potensi berjumpa dengan kondisi. Orang pasti menjadi presiden,
saat bakatnya sebagai pemimpin digabungkan dengan dukungan
dari banyak orang. saat potensi atau kondisi tidak ada, maka tidak
ada pula keniscayaan.
Dendam pun memiliki pola serupa. Ia bukanlah sesuatu yang
mutlak. Ia lahir dari hal-hal yang memungkinkannya. saat hal-hal
ini berubah, dan itu pasti berubah, maka dendam pun juga lenyap
dengan sendirinya.
Ego
saat dendam, amarah dan takut muncul di dada, kita juga perlu
bertanya, siapa ini yang merasakan emosi-emosi ini ? Siapa yang
mengalami gejolak perasaan-perasaan ini ? Jawabannya dengan
mudah diberikan: saya.
Namun, siapa, atau apa, itu ”saya”? Apakah ada yang disebut
”saya”? Jika diteliti lebih jauh, kita akan juga sampai pada kesimpulan,
bahwa ”saya” yaitu kosong. Ia datang dan pergi, tergantung pada
kondisi-kondisi yang memungkinkannya.
saat anda sedang asyik menonton fi lm, ”saya” seolah lenyap.
Anda menyatu dengan fi lm yang anda tonton. Sama halnya, saat anda
mendengar musik yang indah. ”Saya” seolah mundur ke belakang, dan
tak lagi tampak.
Namun, saat anda merasa marah, ”saya” muncul lagi ke depan.
Biasanya, anda marah, sebab kehendak anda tidak terpenuhi. Ambisi
anda tidak sesuai de ngan kenyataan yang terjadi. Di titik ini, si ”saya”
menjadi begitu kokoh dan agresif.
Jadi, ”saya” sebenarnya juga kosong. Ia tak memiliki inti. Ia
tergantung dari keadaan yang menghasilkannya. Ia juga yaitu hasil
dari perkawinan antara potensi dan kondisi, sebagaimana dikatakan
oleh Hegel.
Thomas Meĵ inger, ilmuwan neurosains Jerman, juga menegaskan
ini melalui penelitian-penelitiannya. Di dalam buku Der Ego-Tunnel, ia
melihat, bahwa ”saya”, atau diri, yaitu gambaran semata. Gambaran
ini datang dan pergi, serta terus berubah. Sejatinya, ia tidak ada.
Jika ”saya” yaitu kosong, maka semua perasaan dan pikiran
yang dihasilkannya juga kosong. Semuanya tak memiliki inti. Dendam,
amarah dan takut juga tak memiliki akar yang kuat pada kenyataan.
Semuanya bagaikan awan yang terus bergerak di langit biru yang luas
membentang di belakangnya.
Orang terjebak pada dendam, amarah dan takut, saat ia tidak
menyadari ini. Orang tenggelam pada penderitaan, sebab kesalahan
berpikirnya. Ke salahan berpikir ini yaitu mengira sesuatu yang tak
ada sebagai ada. saat kesalahan ini dilepas, amarah, dendam dan
takut juga lenyap secara alami.
Kebijaksanaan
Kesadaran akan kekosongan dari segala sesuatu yaitu sumber
utama dari kebijaksanaan yang sejati, begitu kata Nagarjuna. Dari
kesadaran ini, kita bisa memiliki kebebasan yang sesungguhnya. Kita
bisa melepas semua emosi jelek kita, dan mencapai kedamaian batin
yang sejati. Kita lalu bisa hidup dengan kejernihan, dan membantu
orang lain di sekitar kita.
Namun, pengetahuan belaka juga tidak banyak membantu. Kita
mem butuh kan pengalaman langsung akan kekosongan itu sendiri.
Disini letak penting nya meditasi, yakni tindak mengamati segala
sesuatu yang terjadi di dalam maupun di luar diri kita, tanpa memberi
penilaian ataupun analisis apa pun. Jika kita bisa mengamati dengan
pola semacam ini setiap saat, kita akan menemukan kejernihan batin
dan pikiran.
Kejernihan ini juga harus dikelola setiap saat. Kita harus
memberi arah pada pikiran kita, supaya ia tidak bergerak tak
teratur. Arah ini dapat diberikan dengan menarik pikiran kita pada
keadaan saat ini dan disini, yakni pada apa yang kita sedang lakukan.
Cara lain yaitu dengan mengajukan pertanyaan mendasar: apa ini
yang sedang melakukan tindakan ini?
Di dalam tradisi Seon Buddhisme Korea, pertanyaan ini disebut
juga sebagai Hwadu, yakni kata yang hidup. Hwadu tidak untuk dijawab
dengan teori, namun untuk dialami secara terus-menerus. Secara ilmiah
bisa dijelaskan, bahwa Hwadu berfungsi memberi arah pada pikiran
kita, sehingga ia tetap fokus dan jernih dari saat ke saat.
Jika pikiran kita jernih, kita bisa memahami keadaan sebagaimana
adanya di depan mata kita. Kita tidak lagi dikaburkan oleh emosi-emosi
tak teratur di dalam diri kita. Kita bisa bertindak dengan bijak, sesuai
dengan keadaan yang ada. Inilah kebijaksanaan hidup yang tertinggi.
Perdamaian
Mendidik dendam berarti menyadari dan mengalami langsung,
bahwa den dam itu kosong. Sejatinya, ia tidak ada. Kesalahan berpikirlah
yang melahir kannya. saat kesalahan berpikir ini diperbaiki, dendam
juga otomatis hilang.
saat dendam lenyap, maka rantai kekerasan akan terputus.
Perdamaian yang sesungguhnya pun menjadi mungkin. Berbagai
perbedaan yang ada diselesaikan dengan jalan dialog yang sehat.
Dendam, amarah dan takut tetap ada, sebab itu yaitu bagian dari
perubahan kenyataan dan diri manusia.
Namun, mereka tidak lagi menganggu. Mereka datang dan pergi,
seperti kabut di pagi hari. Mereka tidak lagi menjadi penjajah yang
memaksa kita untuk menuruti keinginan mereka. Bahkan, pada tingkat
tertentu, mereka yaitu kawan kita untuk berjalan bersama menuju
kebijaksanaan. Mari kita mendidik dendam yang mungkin bercokol
di dalam diri kita.
Berpikir itu Bermimpi
Malam kemarin terasa panjang. Mimpi terasa begitu nyata. Ia hadir terus, bahkan saat tidur telah berakhir. Jejaknya menempel
sebagai ingatan yang mencabut diri dari saat ini.
Banyak orang sulit membedakan mimpi sebagai kenyataan. Mereka
mengira, mimpi yaitu pertanda. Bahkan tak sedikit yang mengira,
mimpi ada lah realita. Sigmund Freud, bapak psikoanalisis asal Jerman,
juga melakukan penelitian tentang tafsir mimpi (Traumdeutung).
Sejenak , kita bisa sadar. Oh, itu hanya mimpi. Kesadaran ini
memutus mimpi, dan membangunkan kita ke kenyataan. Jejaknya pun
berlalu, dan sekedar meninggalkan sejumput ingatan.
Berpikir dan Bermimpi
Jika diperhatikan, pengalaman bermimpi ini sama seperti
pengalaman berpikir. Kita membangun gambaran, konsep dan cerita
di kepala kita, lalu mengiranya sebagai nyata. Namun, setelah diteliti
lebih dalam, gambaran itu ternyata salah. Mirip seperti mimpi, ia pun
segera berlalu, dan hanya menyisakan setitik ingatan.
saat berpikir, kita membangun konsep. Proses ini seringkali
terjadi begitu cepat, tanpa disadari. Kita mulai menilai dan memisahkan.
Peristiwa, yang sejatinya yaitu peristiwa netral, kini mendapat label
baik atau buruk, benar atau salah, nyaman atau tidak nyaman dan
sebagainya.
Konsep ini lalu berubah, saat mendapatkan pengalaman atau
penge tahuan baru. Kadang, ia lenyap sama sekali. Dalam konteks
lain, ia membesar, sebab terus terbuktikan oleh pengalaman. Dalam
kesempatan lain, konsep yang baru pun lahir.
Kenyataan dan Penderitaan
Konsep ini begitu nyata dan kuat. Sama seperti mimpi yang
terasa begitu nyata, kita lalu mengira konsep sebagai kenyataan. Kita
menganggapnya sebagai kebenaran. saat kita mengira konsep yaitu
kenyataan, dititik itu pula, kita memasuki pintu penderitaan.
Sejatinya, sama seperti mimpi, konsep bukanlah kenyataan. Ia
yaitu se bentuk abstraksi yang dihasilkan oleh pikiran manusia.
saat sebuah peris tiwa kita bungkus dalam konsep, saat itu pula,
ia bukan lagi kenyataan. Konsep memisahkan kita dari kenyataan, dan
mengurung kita ke dalam kesalah pahaman.
Mengira konsep sebagai kenyataan yaitu salah satu kesalahan
terbesar di dalam hidup kita. Ini sama seperti mengira, bahwa mimpi
yaitu realita. Kita menderita, saat kita tercabut dari kenyataan, dan
terkurung di dalam konsep. Ini sama seperti penderitaan yang kita
alami, saat kita hidup dalam mimpi.
Pengaruhnya juga terasa di dalam hubungan dengan orang lain.
Orang yang mengira konsep di dalam kepalanya benar biasanya akan
cenderung berselisih pendapat dengan orang lain, yang juga mengira
pikirannya yaitu kenyataan. Selisih pendapat seringkali tidak berakhir
dengan perpisahan, namun dengan konfl ik lebih jauh.
Sebelum Pikiran
Maka, pikiran haruslah dilihat sebagai pikiran. Ia bukanlah
kenyataan. Mimpi haruslah dilihat sebagai sekedar mimpi. Ia juga
bukanlah kenyataan.
Sambil menyadari ini, kita lalu bertanya, siapa atau apa ini yang
sedang berpikir? Siapa atau apa ini yang sedang bermimpi? Jika kita
menjawab pertanyaan ini dengan konsep, kita jatuh lagi ke dalam
pikiran. Kita harus melepaskan pikiran, konsep dan mimpi, supaya
bisa menjawab pertanyaan ini dengan tepat.
28 —
Penderitaan dan kebingungan bisa dilampaui, saat kita berakar
kuat di kenyataan. Keduanya otomatis sirna, saat mimpi dilihat
sebagai semata mimpi, dan pikiran dilihat sebagai semata pikiran.
Konsep datang dan pergi. Mimpi datang dan pergi. Lalu apa yang
menetap? Siapa ini yang sedang membaca?
KATZ!! Matahari bersinar. Angin bertiup. Burung bernyanyi. Gula
itu manis.
Racun di Dalam Pikiran
Racun korupsi masih menjalari tubuh politik kita di Indonesia. Penyebabnya bersifat sistemik dalam bentuk kegagalan penegakan
hukum, sekaligus bersifat personal dalam bentuk lemahnya integritas
kepribadian para penjabat publik kita. Dalam hal ini, pemberantasan
korupsi masih menjadi pekerjaan rumah yang besar dan berat bagi kita
sebagai bangsa. Dukungan dari seluruh rakyat amatlah dibutuhkan.
Menjalarnya korupsi di berbagai bidang juga dapat dilihat sebagai
kega galan demokrasi. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di
berbagai benua. Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat yang mendorong menuju keadilan sosial
dan kemakmuran bersama semakin menjadi mimpi yang jauh dari
jangkauan. Yang banyak tercipta yaitu oligarki, yakni pemerintahan
oleh sekelompok orang kaya yang hendak menghancurkan kepentingan
umum, demi keuntungan pribadi mereka.
Keadaan ini menciptakan ketidakadilan sosial di tingkat global
yang lalu menciptakan kemiskinan dan penderitaan yang begitu besar
bagi banyak orang. Dari kemiskinan dan penderitaan lahirlah terorisme.
Terorisme bermuara pada perang antar kelompok dan bahkan antar
negara. Ini semua seperti lingkaran kekerasan yang justru membawa
kemiskinan dan penderitaan yang lebih besar lagi.
Di bagian dunia lain, orang hidup dalam kelimpahan yang luar
biasa. Ratusan tahun penaklukan dan perampokan atas negara lain
memberi kemakmuran yang luar biasa bagi mereka. Mereka yaitu
negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat. saat bagian dunia
lain berjuang melawan kemiskinan dan korupsi, negara-negara ini
berpesta pora dan menghabiskan sumber daya alam untuk menopang
gaya hidup mewah mereka.
Sikap h idup semacam ini melahirkan arogansi yang dibarengi
dengan kebodohan. Mereka melihat negara-negara di bagian dunia lain
sebagai musuh bagi kemakmuran mereka. Padahal, jika ditelisik lebih
dalam, arogansi dan kebodohan gaya hidup mewah merekalah yang
menciptakan masalah besar bagi seluruh dunia, mulai dari penjajahan,
perbudakan, perang, nuklir, sampai dengan penghancuran alam. Semua
itu seolah dibenarkan, selama mereka bisa mempertahankan gaya
hidup mewah yang boros dan merusak.
Mereka membunuh hewan, supaya bisa memajang kepala hewan
itu di ruang tamu mereka. Mereka menghancurkan hutan, supaya
mereka bisa membangun lapangan golf ataupun vila mewah untuk
orang-orang kaya. Mereka menolak untuk belajar dari bangsa lain,
walaupun sejatinya, mereka bodoh dan terbelakang dalam hal gaya
hidup dan kedalaman pikiran. Arogansi dan kebodohan yaitu
kombinasi yang mematikan.
Di Timur Tengah, kelompok teroris berbasis Islam ekstrimis
juga semakin biadab. Mereka tak segan menculik orang sipil, dan
memenggalnya secara biadab. Mereka memakai ajaran Islam
sebagai pembenaran untuk ke kerasan. Penderitaan yang diakibatkan
oleh kelompok ini bagi negara-negara di Timur Tengah nyaris tak dapat
diungkapkan dengan kata-kata.
Racun di Sekitar Kita
Semua kekacauan ini berakar pada kegagalan manusia menata
dirinya sendiri. Mereka gagal menata pikirannya dan kemudian juga
gagal menata kehidupan bersama yang berpijak pada keadilan dan
kemakmuran. Lebih dari itu, kegagalan tata kelola kehidupan ini juga
membawa kerusakan pada hewan dan tumbuhan lainnya. Seluruh alam
terancam rusak, sebab manusia gagal menata hidupnya.
Mengapa manusia gagal menata hidupnya? Mengapa ia gagal
membangun hidup bersama yang adil dan makmur untuk semua?
Mengapa ia gagal mem bangun hubungan yang baik dengan hewan
dan tumbuhan? Mengapa ia meng hancurkan alam, yang berarti juga
menghancurkan dirinya sendiri?
Saya melihat, pikiran manusia dilumurin oleh racun. Akibatnya,
pikiran nya tak lagi mampu melihat keadaan secara tepat. Pikirannya
pun tidak bisa bersikap menanggapi keadaan dengan tepat. Racun ini
berkembang dari kesalahan berpikir yang diajarkan kepada kita, lalu
berkembang menjadi kebiasaan sekaligus bagian dari kepribadian kita
sendiri.
Racun pertama yaitu kesalahan berpikir mendasar soal waktu.
Kita percaya, bahwa masa lalu itu ada. Akhirnya, banyak orang terjebak
pada masa lalunya. Ia hidup di dalam penderitaan, akibat kenangan
atas masa lalu yang gelap, yang sebenarnya sudah tidak ada.
Banyak orang juga yakin, bahwa masa depan itu ada. Akhirnya,
mereka sibuk bekerja, guna menata masa depan. Orang yang pikirannya
terus berayun di antara masa lalu dan masa depan akan terus hidup
dalam penyesalan masa lalu, dan ketakutan akan masa depan.
Pikirannya dipenuhi ketegangan dan penderitaan.
Orang yang pikirannya penuh dengan ketakutan dan penyesalan
tidak akan pernah menemukan kedamaian. Ia hidup di dalam
penderitaan, dan akhirnya membuat orang lain menderita. Ia akan
mencari segala cara untuk menemukan kedamaian, jika perlu dengan
menghancurkan orang lain dan alam, guna memuaskan kebutuhan
pribadinya. Ketakutan akan masa depan juga membuat orang
menumpuk harta secara buta, kalau perlu dengan korupsi, menipu
dan merugikan orang lain.
Racun kedua yaitu pikiran curiga dan prasangka. Pikiran curiga
berarti pikiran yang selalu melihat dunia dari sisinya yang paling
jelek. Pikiran curiga lalu menghasilkan prasangka. Orang pun tidak
lagi dapat melihat dunia apa adanya, namun selalu dengan kaca mata
curiga dan prasangka. Pendek kata, ia selalu melihat dunia dan orang
lain sebagai musuh yang mengancam dirinya.
Curiga dan prasangka membuat kita membenci orang lain. Kita
tak merasa ragu membuat orang lain menderita, selama kebutuhan
kita terpenuhi. Curiga dan prasangka juga membuat kita menjadi tak
peduli dengan penderitaan orang lain. Curiga dan prasangka yaitu
akar dari kebencian dan konfl ik yang melanda begitu banyak bagian
dunia sekarang ini.
Racun ketiga yaitu pikiran dualistik-dikotomik. Artinya, pikiran
yang melihat dunia dengan kaca mata hitam putih. Ada pihak yang be-
nar secara absolut, dan ada pihak yang salah secara absolut. Tidak ada
jalan tengah. Kedua nya harus saling menghancurkan satu sama lain.
Inilah salah satu akar dari banyak masalah di dunia sekarang ini.
Cara berpikir dikotomik menjadi cara berpikir kawan lawan. Aku dan
kelompokku benar. Sementara, orang lain dan kelompoknya yaitu
lebih rendah dan salah, maka harus dihancurkan. Perbedaan agama,
suku, rasa dan cara berpikir dipakai untuk membenarkan pikiran
dualistik-dikotomik ini.
Racun keempat yaitu dorongan untuk menambah terus menerus.
Kita tidak pernah merasa cukup dengan apa yang ada. Kita sudah pu-
nya satu mobil, namun kemudian merasa kurang, dan membeli mobil
yang baru. Ekonomi juga harus tumbuh terus menerus, tidak boleh
berhenti.
Akar dari dorongan ini yaitu rasa tidak cukup di dalam hati. Kita
bahkan bersedia untuk mengorbankan orang lain, demi memuaskan
kebutuhan kita. Kita juga menghancurkan alam, guna memenuhi
kebutuhan palsu kita akan kemewahan dan kerakusan. Pikiran yang
selalu ingin menambah dan rakus ini membuat kita, dan segala hal di
sekitar kita, menderita.
Melampaui Racun
Sejatinya, waktu itu tidak ada. Waktu yaitu produk dari pikiran.
Jika kita berpikir, maka waktu dan segala penyesalan akan masa lalu
dan ketakutan akan masa depan akan muncul. Berpikir, takut dan
menyesal atas hal yang tidak ada yaitu hal yang sia-sia.
Banyak orang menghabiskan hidupnya untuk mencari uang.
Namun, apakah uang itu ada? Uang yaitu simbol. Ia tidak bernilai
pada dirinya sendiri. Ia hanya bernilai sebagai alat tukar.
Banyak orang juga membunuh demi uang. Mereka korupsi.
Mereka menghancurkan alam untuk mendapat uang. Ini semua yaitu
tindakan yang amat sia-sia.
Akar dari pikiran curiga dan prasangka yaitu rasa takut. Namun,
sejatinya, rasa takut yaitu ilusi. Tidak ada yang perlu ditakuti di
dalam dunia ini. Kematian dan penderitaan menjadi menakutkan,
sebab manusia berpikir, bahwa itu semua yaitu hal buruk yang
harus dijauhi.
Yang sesungguhnya terjadi yaitu peristiwa alami. Alam sedang
bekerja dengan hukum-hukumnya. Baik atau buruk yaitu penilaian
manusia. Jika orang bisa menata pikirannya sejalan dengan gerak alami
alam semesta, maka tidak ada yang perlu ditakuti di dalam hidup ini.
Pikiran dualisme juga sejatinya yaitu ilusi. Tidak ada dualisme di
dalam alam ini. Semuanya yaitu sebagai jaringan yang saling terkait
erat, tanpa bisa dipisahkan. Baik-buruk, benar-salah, untung-malang,
semua dikotomi ini yaitu hasil dari kesalahpahaman yang bercokol
di dalam pikiran manusia.
Bahkan, jika dipikirkan lebih dalam, apa yang kita sebut sebagai
dunia juga sebenarnya yaitu bentukan dari persepsi pikiran yang kita
yang berpijak pada kelima panca indera kita. Artinya, dunia yaitu
dunia sebagaimana dipersepsikan oleh panca indera kita. Hewan dan
tumbuhan memiliki panca indera yang berbeda. Mereka pun memiliki
pemahaman dunia yang berbeda.
saat panca indera kita terganggu, maka pemahaman kita akan
dunia juga berubah. saat pikiran kita terganggu, misalnya sebab
minum bir terlalu banyak, maka persepsi kita pun berubah. saat kita
lapar, maka seluruh panca indera kita juga terganggu. Pemahaman kita
tentang dunia juga berubah.
Maka, dunia sebagai kenyataan mutlak juga sebenarnya tidak ada.
Dunia ada, sejauh kita memikirkannya dengan panca indera kita. Dunia
ada selalu dalam kaitan dengan pikiran kita. Tidak ada Dunia, dengan
huruf d besar yang bersifat mutlak dan berlaku untuk semua mahluk.
Jika dunia ini tak ada, lalu apa yang ada? Sejatinya, kenyataan
yaitu ruang besar yang luas. Ia kosong dan bisa menampung
segalanya. Namun, apa yang ditampung di dalamnya, termasuk
manusia dan segala hal yang ada di dalam alam semesta, bersifat
sementara. Ia berubah, menghilang dan kemudian muncul lagi dalam
bentuk yang lain.
Jika pikiran kita bisa sejalan dengan kenyataan sebagai ruang
hampa yang besar ini, maka segala racun di dalam pikiran kita bisa
dihilangkan. Persepsi akan waktu menghilang. Rasa takut menghilang.
Rasa rakus yang menjadi akar dari segala korupsi juga menghilang.
Pandangan ini ditopang oleh penelitian terbaru di dalam fi sika
teoretik. Alam semesta yaitu ruang hampa yang luas. Segala yang
ada di dalamnya merupakan hasil dari pikiran. Artinya, isi dari ruang
hampa besar bernama alam semesta ini amat tergantung dari mahluk
yang mempersepsinya. Hewan, tumbuhan, manusia dan segala mahluk
lainnya memiliki pemahaman yang berbeda-beda, tergantung pada
struktur fi siknya.
Keberadaan segala hal yang ada di dunia, dengan kata lain,
tergantung pada pengamatnya. Pandangan ini juga ditopang oleh
Buddhisme. Di dalam Buddhisme, keberadaan kenyataan relatif pada
orang yang memikirkannya. Segala hal lahir dari pikiran, begitu kata
Zen Master Seung Sahn.
Kehidupan kita sekarang ini dipenuhi racun. Perang antar negara,
korupsi sampai pada penderitaan pribadi diakibatkan oleh racun yang
bercokol di pikiran kita. Namun, racun itu bisa dilampaui, jika kita
mampu melepaskan memahami segala yang ada sesuai dengan hakekat
alamiahnya, dan bukan mengikuti semata pikiran kita yang rapuh
dan seringkali salah. Kita harus sadar, bahwa pikiran yang bergerak
di kepala kita lebih banyak menipu, daripada menyajikan kebenaran
kepada kita.
Membangun Opini Cerdas
Dunia kita yaitu persepsi kita. Dunia yaitu dunia sebagaimana kita mempersepsinya. Itulah argumen yang diajukan oleh George
Berkeley lebih dari dua ratus tahun silam. Sikap kita terhadap orang
lain dan dunia sebagai keseluruhan amat tergantung dari persepsi yang
bercokol di kepala kita.
Seringkali, persepsi yang ada di kepala kita tidak cocok dengan
kenyataan yang sebenarnya. Persepsi yang salah inilah yang melahirkan
konfl ik dan berbagai ketegangan di dalam hidup manusia, baik pada
tingkat pribadi maupun sosial. Orang yang merasa, bahwa persepsinya
yaitu kebenaran mutlak dan sesuai 100 persen dengan kenyataan,
yaitu orang yang hidup dalam delusi. Teori-teori Marxis menyebutnya
sebagai ideologi, yakni kesadaran palsu tentang dunia.
Orang yang hidup dalam ideologi berarti hidup dalam kepompong
kebohongan. Semua pendapat dan pikirannya lahir dari ideologi sesat
yang bercokol di kepalanya. Tak heran, semua analisis dan pendapatnya
begitu dangkal, sebab hanya mengikuti saja kesesatan berpikir sehari-
hari yang ada di dalam warga luas. Hidup orang ini dipenuhi
prasangka dan kesesatan berpikir di dalam melihat orang lain dan
warga sebagai keseluruhan.
Anatomi Persepsi
Bagaimana persepsi manusia terbentuk? Darimana asal persepsi
yang bercokol di kepala kita? Salah satu jawaban lugas atas pertanyaan
ini di dalam warga jaringan sosial sekarang ini yaitu media
massa. Kita melihat dunia kita dari kaca mata media yang kita baca
sehari-hari. Tak berlebihan jika dikatakan, kita yaitu apa yang kita
baca.
Persepsi kita juga dibentuk oleh pengalaman pribadi kita sebagai
manusia. Perjumpaan dengan orang lain mempengaruhi persepsi
kita tentang orang itu. Namun, seperti ditegaskan oleh Karl Popper,
pengalaman tidak pernah lepas dari pemahaman. Tidak ada pengalaman
murni, sebab semua bentuk pengalaman kita selalu dibungkus oleh
pra-paham yang sudah ada sebelumnya di kepala kita.
Banyak orang tidak sadar dengan pra-paham yang bercokol di
kepalanya. Akibatnya, mereka mengira begitu saja, bahwa persepsinya
yaitu kebenaran, atau bahwa persepsinya sesuai dengan kenyataan
yang ada. Di dalam teori-teori Marxis, pra-paham sesat yang tak
disadari ini disebut juga sebagai hegemoni. Orang yang hidup di
dalam hegemoni terjebak di dalam kesesatan berpikir, walaupun ia
sama sekali tak menyadarinya.
Hegemoni membuat pemahaman yang salah terlihat sebagai benar.
Hegemoni membuat orang dijajah, walaupun ia sama sekali tak merasa
terjajah. Hegemoni itu yaitu teknik menipu tingkat global, namun tak
pernah sungguh disadari sebagai sebentuk penipuan. Siapa pencipta
dan pelaku hegemoni ini?
Hegemoni Media
Media massa sekarang ini yaitu pencipta sekaligus pelestari
hegemoni. Namun, media massa sama sekali bukan institusi yang
netral. Selalu ada kepentingan untuk membangun dan melestarikan
hegemoni di balik setiap pemberitaan yang ada. Tujuannya jelas, yakni
melestarikan keadaan sosial politik yang ada, yang menguntungkan
mereka, namun sejatinya justru merugikan banyak pihak lainnya.
Dalam arti ini, tak berlebihan jika dikatakan, media massa menjadi
aktor sekaligus alat untuk melakukan cuci otak di tingkat global. Ia
memberitakan suatu peristiwa selalu dari sudut pandang tertentu yang
juga menutupi sudut pandang lainnya. Pemberitaan menjadi persepsi,
lalu persepsi mempengaruhi berbagai bentuk kebijakan publik yang
menentukan hidup mati banyak orang. Bahkan, persepsi lalu mengental
menjadi sejarah sekaligus ingatan kolektif yang menjadi dasar bagi
identitas sosial suatu kelompok.
Rasisme dan beragam bentuk diskriminasi juga lahir dari persepsi
yang dilumuri hegemoni dan ideologi. Kita membenci seseorang,
hanya sebab ia memiliki warna kulit berbeda. Seringkali, kita tidak
mempunyai pengalaman pribadi langsung dengan orang itu. Namun,
pemberitaan media telah mencuci otak kita, sehingga kita membangun
persepsi yang salah hanya atas dasar pemberitaan itu.
Banyak juga program politik yang dilahirkan dari persepsi yang
salah semacam ini. Ada segudang undang-undang di Indonesia yang
lahir dari persepsi yang salah, mulai dari soal rekonsiliasi terkait
kejahatan masa lalu, impor beras, sampai kebijakan bodoh terkait
dengan keperawanan pelajar tingkat sekolah dasar. Pada tingkat global
sekarang ini, persepsi yang salah juga tampak di berbagai hal. Satu
bagian dunia berpesta pora dalam kemewahan, sementara banyak
orang di bagian dunia lain meninggal, sebab tidak memiliki sumber
air bersih yang mencukupi.
Persepsi yang lahir dari ideologi dan hegemoni ini menciptakan
kebencian. Kebencian ini akan melahirkan konfl ik dan beragam
pengalaman buruk lainnya, yang akhirnya juga memperkuat persepsi
yang salah ini . Persepsi akhirnya menjadi prasangka, mendorong
kebencian, menciptakan konfl ik yang nantinya memperkuat prasangka
yang sudah ada sebelumnya. Inilah lingkaran setan kekerasan yang
lahir dari cuci otak yang dibuat oleh media.
Membangun Opini Cerdas
Bisakah kita melepaskan diri dari persepsi? Bisakah kita melepaskan
diri dari cuci otak yang dibuat media? Sampai batas tertentu,
jawabannya yaitu positif: ya. Masalahnya bukanlah hidup tanpa
persepsi, melainkan membangun persepsi yang cerdas. Masalahnya
bukanlah tidak punya opini, namun merumuskan opini yang cerdas.
Bagaimana merumuskan opini yang cerdas? Pertama, kita perlu
melakukan kritik ideologi terus menerus terhadap berbagai pikiran
yang muncul di kepala kita. Kita perlu yakin, bahwa pikiran kita
tidak lahir dari kesadaran palsu, melainkan dari kesesuaian dengan
keadaan yang ada. Kritik ideologi juga perlu dilancarkan terus menerus
terhadap berita yang kita terima dari media massa sehari-harinya.
Sikap kritis dan curiga sampai batas tertentu bisa dibenarkan
disini. Informasi yaitu salah satu kebutuhan utama manusia
sekarang ini. Namun, tidak semua informasi yang ditampilkan
media lahir dari kenyataan. Seringkali, informasi ini lahir dari
manipulasi, entah kebohongan atau pemberitaan satu pihak yang justru
menciptakan prasangka dan kesalahan persepsi di telinga pendengar
atau pembacanya.
Di sisi lain, kita juga perlu mencari berita dari sumber-sumber
lain yang independen. Kantor media besar biasanya dimiliki oleh
pengusaha bisnis tertentu yang ingin mempertahankan kepentingan
mereka. Kita masih ingat perang opini antara Metro TV dan TV One,
saat pemilihan presiden 2014 yang lalu. Pola yang sama juga dapat
dilihat di kantor-kantor media internasional. Dalam beberapa hal, blog-
blog dari penulis independen bisa memberi informasi yang lebih
bermutu kepada kita.
Sebagai warga dari warga demokratis, kita perlu mempunyai
opini yang cerdas. Artinya, kita tidak boleh jatuh begitu saja pada
persepsi dan opini yang disetir oleh media massa yang tak bertanggung
jawab. Kita perlu melepaskan diri dari prasangka yang bercokol di
otak kita, sebab serbuan berita-berita tak bertanggungjawab. Kritik
ideologi yaitu kewajiban utama dari warga negara demokratis, seperti
Indonesia.
Bagaimana membangun sikap kritis dan curiga yang sehat
semacam ini? Jelas, pendidikan memainkan peranan besar di sini.
Namun, pendidikan tidak boleh hanya dimengerti secara sempit
sebagai pendidikan di sekolah, namun juga pendidikan di dalam
keluarga dan di dalam warga . warga yang cerdas hanya bisa
dibangun oleh warga yang memiliki persepsi dan opini yang cerdas.
Tidak ada jalan lain.
Akar dari Segala Kejahatan
Tahun 2015, Eropa kembali diancam oleh perang besar. Pasukan Russia terus merapatkan barisan di perbatasan Ukraina. Ukraina,
dalam aliansi dengan NATO dan Uni Eropa, juga mempersiapkan
pasukannya di perbatasan. Jika konfl ik terjadi, maka yang perang akan
melebar ke seluruh negara Uni Eropa, bahkan ke berbagai negara di
benua lainnya. Perang dunia ketiga kini di depan mata kita.
Kelompok bersenjata Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) juga terus
melakukan teror di Timur Tengah. Negara-negara sekitarnya, seperti
Yordania, Arab Saudi dan Turki, sudah mempersiapkan pasukan untuk
menyerbu kelompok ini. Konfl ik bersenjata dalam skala besar nyaris
tak dapat lagi dihindari. Semakin banyak orang akan masuk ke dalam
penderitaan, akibat perang dan konfl ik bersenjata lainnya.
Pada skala yang lebih kecil, beragam jenis kejahatan juga men-
ciptakan penderitaan bagi begitu banyak orang. Pengedar narkoba
beserta pengaruh politis maupun ekonomis dari kartel narkoba
mengancam kehidupan banyak negara. Anak muda dipaksa masuk
untuk bergabung dalam gang bersenjata. Berbagai kebijakan pro rakyat
kandas di depan mata, sebab pengaruh lobi dari beragam kartel
narkoba di dalam kebijakan politik.
Sebagai akibatnya, banyak orang terjebak di dalam rantai
kemiskinan. Akar dari kemiskinan ini bukanlah kemalasan atau
ketidakmampuan pribadi, melainkan kemiskinan sistemik sebagai
dampak dari bobroknya sistem sosial yang ada. Di dalam jeratan
kemiskinan, banyak gadis muda yang terjebak ke dalam pelacuran dan
perdagangan manusia. Inilah bentuk perbudakan modern di awal abad
21 yang masih tertutup dari mata banyak orang.
Orang yang paham akan hal ini merasa tak berdaya untuk
memperbaiki keadaan. Banyak dari antara mereka memutuskan untuk
42 —
bersikap tidak peduli. Caranya yaitu dengan hidup di dalam rantai
konsumsi. Mereka sibuk bekerja, mengumpulkan uang dan membeli
barang lebih dan lebih lagi, guna mengobati ketidakberdayaan mereka
di dalam kehidupan. Konsumtivisme menjadi candu baru.
Mengapa ini semua terjadi? Mengapa manusia melakukan kejahatan
kepada manusia lainnya? Mengapa manusia menciptakan penderitaan
bagi manusia lainnya, dan juga bagi banyak mahluk hidup lainnya?
Jawabannya hanya satu, yakni delusi, atau kesalahan berpikir mendasar
tentang kehidupan.
Kekosongan Batin
Hampir setiap orang yang lahir di awal abad 21 ini merasakan
sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Mereka merasa, bahwa mereka
tidak dapat hidup, jika tidak mendapat pengakuan dari warga .
Mereka merasa, bahwa mereka tidak bisa bahagia, jika tidak memiliki
uang banyak untuk membeli barang-barang. Perasaan kurang semacam
ini menghantui begitu banyak orang, hampir sepanjang hidupnya.
Orang menyebutnya dengan berbagai kata. Ada yang bilang,
mereka mencari kebahagiaan. Ada yang bilang, mereka mencari makna
di dalam hidupnya. Ada pula yang bilang, mereka mengalami krisis
tujuan hidup. Semua menunjuk pada satu keadaan, yakni rasa kurang
yang bercokol di dalam batin.
Mereka lalu mencari cara, guna mengisi kekosongan batin ini .
Mereka pun melihat ke luar dirinya. Narkoba, seks, agama, mistik dan
konsumtivisme menjadi alternatif. Namun, semuanya tetap tak bisa
mengisi kekosongan batin yang ada. Penderitaan pun berlanjut.
Di dalam proses pencarian, saat keadaan telah menjadi sedemikian
rumit, mereka tak segan menyakiti orang lain. Untuk mempertahankan
gaya hidup konsumtif, sebagai pelarian dari kekosongan batin yang
dirasakan, orang bersedia korupsi. Bahkan, orang bersedia membunuh
orang lain, supaya ia bisa merasakan kepuasan sementara. Dunia pun
dipenuhi dengan orang-orang yang menderita secara batiniah, dan
kemudian saling menyakiti satu sama lain.
Inilah yang sekarang ini terjadi di dunia. Russia mengira, bahwa
mereka akan menjadi bangsa besar, saat mereka menguasai Ukraina,
atau bahkan menguasai berbagai negara satelit bekas Uni Soviet di
masa lalu. ISIS mengira, bahwa mereka bisa mendirikan kerajaan model
abad pertengahan, jika mereka terus menyiksa dan membunuh orang-
orang yang tak bersalah. Semuanya hidup dalam kesalahpahaman
mendasar, bahwa mereka bisa mendapatkan kepenuhan hidup dengan
mencari kepuasaan dari benda-benda di luar dirinya.
Aku yang Terpisah
Cara berpikir ini juga didorong oleh delusi lainnya, yakni delusi
keter pisahan manusia. Salah satu racun paling mematikan dari
fi lsafat barat yaitu pandangan, bahwa manusia yaitu mahluk
individualistik yang terpisah dari manusia lainnya, dan juga terpisah
dari alam. Pandangan ini menyebar begitu luas ke berbagai negara di
dunia melalui proses kolonisasi/penjajahan di masa lalu, dan proses
globalisasi di masa sekarang. Media cetak dan elektronik (terutama
internet) berperan besar di dalam menyebarkan pandangan ini.
Delusi keterpisahan manusia ini juga menjadi akar dari segala
bentuk diskriminasi. Bangsa-bangsa tertentu merasa terpisah dari
bangsa-bangsa lainnya. Mereka merasa lebih tinggi derajatnya daripada
bangsa-bangsa lainnya. Ini lalu mendorong penjajahan politik dan
ekonomi dari beberapa negara atas negara-negara lainnya. Ini juga
menjadi akar dari perbudakan, rasisme, fasisme dan penjajahan atas
minoritas di berbagai negara.
Namun, kekosongan batin tetap ada. Orang bisa menjajah dan
menguasai orang lainnya. Namun, ia tetap akan merasa menderita di
dalam hatinya. Delusi keterpisahan manusia mendorong orang masuk
ke dalam kesepian dan kekosongan batin yang lebih dalam, walaupun
ia memiliki uang, kekuasaan, nama besar dan beragam barang mewah
lainnya.
Untuk mengisi kekosongan batinnya, orang juga menghancurkan
alam. Hutan di