Tampilkan postingan dengan label tentang manusia 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tentang manusia 1. Tampilkan semua postingan

tentang manusia 1





Satu hal yang tak terbantahkan: manusia yaitu  mahluk dominan di bumi ini. Buah karyanya telah mengubah wajah dunia. Ini semua 

menjadi mungkin, sebab  manusia mampu bekerja sama dengan 

berpijak pada prinsip-prinsip yang rasional. Kerja sama yang erat ini 

tidak hanya membuat mereka kuat, namun  juga berkembang melampaui 

batas-batas fi sik mereka sendiri.

Lima ratus tahun yang lalu, orang hanya bisa hidup sampai dengan 

usia 30 atau 40 tahun. Namun kini, di usia yang ke 65, orang masih 

tetap bisa hidup dengan sehat. Bentuk kehidupan sosial manusia 

pun kini makin kompleks, misalnya dengan keberadaan internet 

dan jaringan sosial yang mengubah seluruh makna hubungan antar 

manusia. Patah hati dan revolusi politik kini bisa dipicu hanya dengan 

satu saat n di jaringan sosial internet.

Dominasi manusia atas bumi ini juga memiliki wajah yang kelam. 

Ratusan spesies punah setiap harinya, akibat ketidakseimbangan 

alam. Atmosfer dunia rusak, akibat polusi yang diciptakan oleh asap 

industri dan aktivitas sehari-hari lebih dari 6 milyar manusia di bumi 

ini. Perlahan tapi pasti, bumi menjadi tempat yang tidak cocok untuk 

lahir dan berkembangnya kehidupan.

Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

Tentang manusia dan kehidupannya, fi lsafat dan ilmu pengetahuan 

telah memakai  berbagai metode untuk memahaminya. Di sini, 

manusia dipahami sebagai mahluk yang berakal budi. Dengan akal 

budinya, manusia mampu bekerja sama, dan kemudian mewujudkan 

visi hidup mereka menjadi kenyataan.

Tidak hanya akal budi, manusia juga yaitu  mahluk emosional. 

Mereka mampu merasa, dan bertindak dengan berdasar  perasaannya 

itu. Mereka juga mampu merasakan kasih kepada manusia, mahluk 

hidup dan bahkan benda mati lainnya. Perpaduan antara akal budi, 

emosi dan kerja sama menghasilkan peradaban manusia beserta segala 

kompleksitasnya.

Di satu sisi, manusia yaitu  mahluk individual. Ia memiliki 

perasaan dan pikiran yang hidup serta berkembang di dalam kehidupan 

pribadinya. Di sisi lain, ia yaitu  mahluk sosial. Identitasnya ditentukan 

dalam hubungannya dengan dunianya.

Martin Heidegger, fi lsuf Jerman, mencoba menanggapi secara 

kritis konsep ”manusia” yang berkembang di dalam fi lsafat dan ilmu 

pengetahuan. Kata ”manusia” sebenarnya mengandaikan adanya 

pemahaman tertentu sebagai latar belakangnya, yakni pemahaman 

yang khas tertanam di dalam fi lsafat Barat yang dipengaruhi fi lsafat 

Yunani dan agama-agama monoteis, seperti Yahudi, Kristen dan Islam. 

Bagi orang yang tidak lahir di dalam peradaban semacam ini, konsep 

”manusia” dipahami secara berbeda.

Oleh sebab  itu, Heidegger mencoba menghindari pemakaian 

kata ”manusia” di dalam tulisan-tulisannya. Ia memilih memakai  

kata Dasein, yang berarti ”ada di sana”. Di dalam fi lsafat Jerman, ini 

disebut juga sebagai destruksi metafi sika, yakni mencoba mengajukan 

ulang secara kritis dan mendalam pertanyaan tentang ”Ada” (Sein). Pola 

berpikir ini nantinya berkembang di dalam pemikiran pasca modernitas, 

misalnya di dalam pandangan Derrida tentang dekonstruksi yang 

mencoba menunda beragam kepastian pemahaman (Sinnsverschieben).

Filsafat Timur, yang berkembang di Nepal, India, Cina, Jepang 

dan Korea, memiliki pemahaman yang sama sekali berbeda tentang 

manusia. Manusia tidak dilihat sebagai mahluk istimewa, namun  sebagai 

bagian tak terpisahkan dari segala hal yang ada di alam semesta ini. 

Sama seperti segala hal lainnya, manusia yaitu  cerminan dari jiwa 

universal yang disebut juga sebagai Atman. Di dalam beberapa tradisi, 

seperti tradisi Zen, manusia tidak dijadikan konsep, dan bahkan tidak 

dibicarakan sama sekali.

Buku Ini

Buku ini yaitu  kumpulan pemikiran saya yang tersebar di berbagai 

media selama tahun 2015, saat  saya sedang belajar di Jerman. Di 

dalam buku ini, beragam pemahaman tentang manusia ini dikupas 

secara ringan, mendalam, serta sejalan dengan beragam penelitian 

terbaru yang berkembang di dalam ilmu pengetahuan modern, seperti 

neurosains. Buku ini juga dapat dilihat sebagai kelanjutan dari buku 

yang pernah saya sunting bersama mahasiswa Fakultas Filsafat Unika 

Widya Mandala Surabaya, yakni Membongkar Rahasia Manusia, Telaah 

Lintas Peradaban Filsafat Timur dan Filsafat Barat (Kanisius, 2010). Namun, 

buku ini tidak hanya bergerak di tataran teoritis, namun  juga mencoba 

melihat pergulatan manusia di dalam kehidupan sehari-harinya. Ia juga 

tidak hanya menggambarkan lika liku kehidupan manusia, namun  juga 

menawarkan arah untuk perkembangannya.

Buku ini saya persembahkan kepada orang-orang yang ingin 

memahami apa artinya menjadi manusia di abad 21 ini. Ilmu-ilmu 

sosial dan ilmu-ilmu manusia kerap kali jatuh pada pemaparan yang 

jauh dari pergulatan hidup manusia sehari-hari yang penuh dengan 

keringat dan air mata. Buku ini tidak ingin mengulangi kesalahan yang 

sama semacam itu. Harapannya, pembaca bisa menemukan pencerahan 

pemikiran, serta menemukan, siapa diri mereka sejatinya.

Terima kasih saya ucapkan kepada KAAD-Jerman serta Fakultas 

Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya yang telah mendukung 

beragam penelitian saya selama beberapa tahun ini.


Ciri dan Gerak Pikiran Manusia

Begitu banyak orang mengalami penderitaan dalam hidupnya. Hampir semua bentuk penderitaan datang dari pikiran, baik 

dalam bentuk kecemasan akan masa depan, maupun penyesalan 

atas masa lalu. Penderitaan nyata sehari-hari bisa dilampaui dengan 

baik, jika orang mampu berpikir jernih, jauh dari kecemasan dan 

penyesalan yang kerap mencengkram pikirannya. Sebaliknya, hal kecil 

akan menjadi sulit dan rumit, saat  pikiran orang dipenuhi dengan 

kecemasan dan penyesalan.

Orang semacam itu akan sulit berfungsi di warga . Mereka 

tidak bisa menolong diri mereka sendiri. Akibatnya, mereka pun 

cenderung menjadi penghambat bagi orang lain, dan bahkan bisa 

membuat orang lain menderita. Beban pikiran yang berlebihan 

membuat orang tak mampu menyadari, betapa indah dan sederhana 

hidup manusia itu sebenarnya.

Pikiran Manusia

Kunci untuk mencegah hal ini yaitu  dengan memahami hakekat 

dan gerak pikiran manusia. Setiap bentuk konsep yaitu  hasil dari 

pikiran manusia. Dengan konsep itu, manusia lalu menanggapi 

berbagai keadaan di luar dirinya. Dalam hal ini, emosi dan perasaan 

juga merupakan hasil dari konsep yang berakar pada pikiran manusia.

Apa ciri dari pikiran manusia? Ada tiga ciri mendasar, yakni 

tidak nyata, sementara dan rapuh. Pikiran itu bukanlah kenyataan. Ia 

yaitu  tanggapan atas kenyataan. Pikiran dibangun di atas abstraksi 

konseptual atas kenyataan.

Pikiran juga sementara. Ia datang, ia pergi, dan ia berubah. Cuaca 

berubah, maka pikiran juga berubah. saat  lapar, pikiran melemah. 

Dan sebaliknya, saat  perut kenyang, pikiran bekerja lebih maksimal.

In i menegaskan ciri selanjutnya, bahwa pikiran itu rapuh. Apa 

yang kita pikirkan sama sekali belum tentu benar. Bahkan, keyakinan 

kita atas pikiran kita cenderung mengarahkan kita pada kesalahan dan 

penderitaan, baik penderitaan diri sendiri maupun orang lain. Pikiran 

kita begitu amat mudah berubah, dan ini jelas menandakan kerapuhan 

dari semua bentuk pikiran kita.

Ekspresi, Represi dan Observasi

Namun, sayangnya, banyak orang mengira, bahwa pikiran mereka 

yaitu  kenyataan. Mereka mengira, bahwa pikiran mereka yaitu  

kebenaran. Emosi dan segala bentuk perasaan, yang merupakan 

buah dari pikiran, juga dianggap sebagai realita. Mereka mengalami 

kesulitan untuk menjaga jarak dari pikiran mereka sendiri.

Pada titik ini, biasanya orang melihat dua kemungkinan, yakni 

ekspresi dan represi. Ekspresi berarti mengeluarkan semua bentuk 

pikiran ini  dalam bentuk tindakan ataupun kata-kata. Biasanya, 

orang lain menjadi obyek dari tindakan ini. Beberapa diantaranya 

merasa terhina, sehingga membalas, dan membentuk semacam 

lingkaran kekerasan yang lebih besar.

Represi berarti menekan dan menelan semua emosi dan pikiran 

yang muncul. Pada pikiran dan emosi yang ekstrem, ini menciptakan 

rasa sakit yang luar biasa. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan 

penyakit fi sik yang berbahaya, seperti misalnya kanker atau sakit 

jantung. Represi emosi dan pikiran jelas bukan merupakan jalan yang 

tepat.

Ekspresi menciptakan masalah sosial. Represi menciptakan masalah 

personal. Banyak orang terjebak di antara keduanya. Mereka tidak 

dapat keluar dari pikiran dan emosi yang mereka anggap nyata.

Namun, ada jalan keluar dari kebuntuan ini, yakni observasi. 

Observasi berarti tindak mengamati apa yang terjadi di dalam pikiran 

kita secara seksama. Kita mengamati muncul dan bergantinya pikiran 

dari satu obyek ke obyek lainnya. Kita bisa melihat, bagaimana emosi, 

perasaan dan pikiran terbentuk, dan kemudian berlalu.

Dengan cara ini, kita menciptakan jarak dengan segala hal yang 

muncul di kepala kita. Kita tidak lagi percaya, bahwa itu semua yaitu  

kebenaran. Hasilnya, semua emosi, pikiran dan perasaan tidak akan 

mempengaruhi kita. Kita mengalami kebebasan yang sesungguhnya.

Apa yang Sedang Mengamati?

saat  kita mengamati semua bentuk emosi, perasaan dan pikiran 

yang muncul, kita lalu bertanya, apa ini yang sedang mengamati? Siapa 

ini yang sedang mengamati? Yang jelas, kita bukanlah pikiran kita. Kita 

juga bukanlah emosi dan perasaan kita, sebab  semua itu datang dan 

pergi, serta amat rapuh.

Jika kita bukan pikiran, perasaan maupun emosi kita, lalu apa atau 

siapakah kita? Siapa ini yang sedang mengamati? Kita bisa menjawab 

dengan jawaban-jawaban lama, seperti jiwa atau roh. Namun, jiwa dan 

roh yaitu  konsep-konsep yang merupakan hasil dari pikiran kita, 

maka ia juga tidak nyata, sementara dan amat rapuh.

Pertanyaan ini membuka ruang baru di dalam hidup kita. Jika 

dilakukan secara berkala, yakni bertanya ”Siapa ini yang sedang 

mengamati?”, kita akan menyadari kehadiran sang pengamat ini. Ia 

mengamati setiap detik pikiran, emosi dan perasaan yang muncul 

dan pergi di dalam diri kita. Kesadaran ini membuat kita lebih kuat 

menghadapi segala hal yang mungkin terjadi di dalam hidup. Dalam 

jangka panjang, tidak ada emosi, pikiran ataupun perasaan yang bisa 

mempengaruhi diri kita lagi.

Bukankah ini yang disebut kedamaian sejati?

Sekali Lagi, Tentang Pikiran Manusia

Sewaktu pertama kali datang ke kota Munich di Jerman 3 tahun yang lalu, saya tidak suka kota ini. Orang-orangnya tidak ramah. Mereka 

bergerak amat cepat, dan tidak peduli dengan orang lain. Suasananya 

menciptakan kesepian dan rasa tegang.

Namun, setelah tinggal disini beberapa lama, pendapat saya 

berubah. Orang-orang Munich tetap cuek dan berjalan amat cepat, 

namun  itulah budaya dan kebiasaan mereka. Ini tidak baik, dan juga 

tidak buruk. Dalam banyak aspek, Munich yaitu  kota yang nyaman 

sebagai tempat tinggal, dan membangun keluarga.

Jadi, awalnya, saya berpikir A. Dan kemudian, saya berpikir B. 

Berikutnya, mungkin, saya akan berpikir C. Yang mana yang benar? 

Bagaimana memahami pikiran yang berubah-ubah ini?

Pikiran Manusia

Kota Munich tetap ada disini dan saat ini. Namun, kesan saya 

berubah. Pengalaman saya berubah. Kesan dan pengalaman saya pun 

mempengaruhi sikap hidup saya disini.

Darimana datangnya kesan dan pengalaman? Jawabannya jelas, 

yakni dari pikiran. Dari mana asal pikiran manusia? Ini pertanyaan 

menarik yang mendorong para ilmuwan dari berbagai bidang untuk 

melakukan penelitian.

Kes an biasanya muncul dari pengamatan. Kita melihat dan 

mengamati sesuatu, lalu timbul kesan tertentu tentang sesuatu itu. Bisa 

dibilang, dari pengamatan lalu muncul pikiran, dan kemudian kesan. 

Namun, pengamatan pun selalu membutuhkan pikiran.

Jika disederhanakan, urutannya begini. Pengamatan dengan indera 

dan pikiran, lalu melahirkan kesan. Kesan lalu melahirkan pendapat, 

dan pendapat lalu mendorong tindakan. Tindakan lalu membentuk 

realitas, dan akhirnya, realitas itu diamati lagi dengan indera dan 

pikiran. Begitu seterusnya.

Dari sini bisa disimpulkan, bahwa realitas yaitu  hasil dari 

bentukan pikiran kita. sebab  pikiran kita berubah seturut dengan 

pengamatan dan kesan, maka realitas hidup kita pun berubah. Hari 

ini, kita bahagia. Besok, mung kin ada masalah yang datang.

Pikiran kita begitu mudah berubah, sebab  berbagai hal, mulai 

dari kondisi biologis sampai sosial politik. Oleh sebab  itu, kita bisa 

membuat kesimpulan, bah wa pikiran kita bukanlah kebenaran itu 

sendiri. Ia bisa salah, dan bahkan seringkali salah. Realitas hasil ciptaan 

pikiran kita pun bukanlah realitas sesungguhnya.

Menyingkapi Pikiran

Jika pikiran kita kerap kali salah, lalu bagaimana kita harus hidup? 

Per tanyaan ini, pada hemat saya, harus dipukul lebih jauh dengan 

pertanyaan berikut, apakah diri kita hanya pikiran kita semata? 

Apakah pikiran di kepala kita identik dengan keseluruhan diri kita? 

Jika dipikiran secara mendalam, jawabannya jelas: bukan.

Jadi, biarkan pikiran datang dan pergi. Jangan percaya dengan 

pikiranmu. Anda dan saya tidaklah sama dengan pikiran yang datang 

dan pergi di kepala kita. Gunakan pikiranmu seperlunya, namun 

jangan pandang dia mentah-mentah sebagai kebenaran mutlak tentang 

segalanya.

Inilah yang disebut kebebasan sesungguhnya. Orang yang bebas 

dari pikir annya sendiri berarti ia tidak diperbudak oleh suara-

suara yang ada di kepala nya. Ia bisa berpikir dengan jernih untuk 

menyingkapi berbagai hal dalam hidupnya. Ia bisa menjadi orang yang 

bijaksana di dalam beragam keadaan.

saat  sedih datang, kita sedih. saat  gembira datang, kita 

gembira. Kita biarkan semuanya datang dan pergi, tanpa keinginan 

untuk memegang erat-erat pikiran yang datang. Ingat, kita bukanlah 

pikiran kita.

Tidak Tahu

Jika pikiran kita kerap kali salah, maka apa yang harus kita percaya 

di dalam hidup kita, terutama untuk membuat beragam keputusan? 

Pertama, kita harus sadar, bahwa pengetahuan kita tentang dunia tidak 

pernah sepenuhnya benar. Dengan kata lain, kita sesungguhnya tidak 

tahu, apa yang ada di dalam realitas.

saat  kita sepenuhnya sadar, bahwa kita tidak tahu, maka 

semuanya akan menjadi jelas. Inilah yang disebut sebagai ”pikiran 

tidak tahu”, yakni pikiran yang terbuka untuk beragam kemungkinan. 

Pikiran semacam ini jauh dari keyakinan akan kebenaran mutlak. 

saat  kita hidup dengan ”pikiran tidak tahu ini”, maka intuisi kita 

akan terlatih.

Intuisi yaitu  pengalaman langsung dengan kehidupan, tanpa 

bahasa dan tanpa konsep. Dengan kata lain, intuisi yaitu  pengalaman 

langsung dengan kehidupan, tanpa memakai  pikiran. saat  

intuisi kita terlatih, kita akan tahu apa yang harus dilakukan di dalam 

berbagai situasi dalam hidup kita. Kebenaran sejatinya sudah jelas di 

depan mata kita. Hanya pikiran kita yang menghalangi kita untuk 

sungguh mengalami kebenaran itu.

Jadi, jangan percaya pada pikiranmu….

Otak, Neuroplastisitas dan Hidup Kita

Kita hidup di dunia yang tak selalu sesuai dengan keinginan kita. saat  keinginan dan harapan kita rontok di depan mata, kita 

mengalami krisis hidup. saat  krisis berulang kali terjadi, kita pun 

lalu merasa putus asa. Kita mengira, bahwa hidup ini tidak bermakna, 

dan tidak layak untuk dijalani.

Padahal, jika dipikirkan lebih dalam, hidup yaitu  kemungkinan 

tanpa batas. Orang bisa melakukan apapun, selama ia memiliki 

komitmen untuk bekerja dan berpikir, guna mewujudkan harapan 

serta keinginannya. Salah satu kemampuan penting untuk mencapai 

cara berpikir ini sudah selalu terletak di otak kita sendiri. Rasa putus 

asa dan patah arang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Pen elitian-penelitian terbaru dengan otak dan kesadaran yang 

dikembang kan di dalam fi lsafat dan neurosains (Begley, Davidson, 

Schwarĵ , Hüther) menunjukkan satu hal, bahwa perubahan di dalam 

diri manusia itu yaitu  sesuatu yang mungkin. Ini bukan hanya 

sekedar perubahan cara berpikir, namun  juga termasuk perubahan 

struktur biologis otak manusia itu sendiri. Di dalam berbagai wacana 

ilmiah, hal ini dikenal sebagai neuroplastisitas (Neuroplastizität), yakni 

kemampuan otak untuk terus berubah, sepanjang hidup manusia. 

Otak bukanlah mesin biologis tak bernyawa, melainkan sebuah sistem 

biologis yang bisa terus berubah dan berkembang.

Neuroplastisitas

Neuroplastisitas yaitu  kemampuan otak manusia untuk mengubah 

bera gam jaringan saraf dan sel yang ada di dalamnya. Ini bisa terjadi 

sepanjang hidup manusia. Dulu, para ilmuwan dan fi lsuf mengira, 

bahwa otak hanya bisa ber ubah, saat  orang masih berusia muda. 

Orang dewasa sudah memiliki pola jaring an otak yang tetap dan tak 

akan bisa diubah, apalagi jika ia sudah berusia senja.

Setelah melalui beragam penelitian yang panjang dan berulang, 

pandangan ini pun dipatahkan. Dengan melakukan beberapa tindakan 

tertentu, atau mengubah pola hidup secara keseluruhan, struktur otak 

seseorang bisa berubah. Bahkan, orang-orang yang telah mengalami 

luka di otaknya, misalnya telah mengalami stroke atau memiliki 

semacam penyakit di otaknya, juga bisa mengubah struktur otaknya. 

Ia tidak hanya bisa menjadi sembuh, namun  juga bisa meningkatkan 

kinerja otaknya.

Dengan latihan yang sistematis, otak bisa menjadi sehat kembali, 

walaupun ia telah mengalami luka sebelumnya. Struktur otak kita, 

dan fungsi serta kinerjanya, amat tergantung dari bagaimana kita 

memakai  otak kita di dalam berpikir. Jika kita bermalas-malasan 

sepanjang hari, maka jaringan sel saraf di otak juga akan membentuk 

pola hubungan tertentu. Sebaliknya, jika kita rajin belajar sesuatu 

yang baru, jaringan saraf di otak kita akan menebal, dan kinerja serta 

kesehatannya pun juga akan membaik.

Mengapa Ini Penting?

Hasil penelitian ini amat penting untuk hidup manusia, sebab  

memberi kita harapan nyata, bahwa hidup kita bisa berubah. Krisis 

tidak selamanya bertahan. Luka dan sakit bisa disembuhkan, asal 

kita mau bekerja keras. Nasihat-nasihat semacam ini sekarang bukan 

sekedar himbauan belaka, namun  didukung oleh ratusan hasil penelitian 

yang dilakukan oleh berbagai ilmuwan bermutu di seluruh dunia.

Pola pikir kita menentukan struktur otak kita, sekaligus 

kesehatannya. Jika kita rutin berpikir tentang hal-hal yang menyakitkan 

kita, maka otak kita akan terbentuk dengan mengikuti pola negatif 

semacam ini. Otak kita akan membentuk jaringan saraf dengan pola 

ini, dan ini akan juga mempengaruhi kepribadian secara mutu hidup 

kita secara keseluruhan. Kebiasaan kita akan membentuk otak kita, 

dan keduanya akan mempengaruhi mutu hidup kita.

saat  orang mengalami depresi, ia hidup dengan satu pola pikir, 

bahwa hidupnya dipenuhi penderitaan, dan semuanya terasa tidak 

bermakna. Dengan pola pikir semacam ini, ia tidak dapat bekerja, 

berkonsentrasi dan juga tidak dapat mempertahankan hubungan 

sosial dengan teman maupun keluarganya. Jika cara berpikir semacam 

ini dipertahankan, maka struktur otak dan kesadarannya pun akan 

mengambil pola ini.

Di dalam wacana ilmiah, ini disebut sebagai pikiran sirkuler 

(zirkuläres Denken), atau pikiran berulang. Artinya, pikiran kita 

mengulang pola yang sama terus menerus, sehingga ia membentuk 

struktur otak dan kepribadian kita secara umum. Namun, ini bukanlah 

keadaan yang tetap. Ia dapat diubah, asal orang mau belajar untuk 

membentuk pola berpikir baru yang nantinya akan mempengaruhi 

struktur otak serta kepribadiannya.

Mengubah pola pikir tentu bukan proses yang mudah. Dibutuhkan 

usaha serta movitasi yang kuat. Dukungan dari lingkungan sekitar pun 

juga amat penting. Namun, proses ini tentu amat layak diperjuangkan, 

sebab  ini dapat meningkatkan mutu hidup kita, dan juga bisa 

membantu orang lain yang terjebak pada pola pikir yang mengundang 

penderitaan. Ada dua metode yang kiranya bisa diterapkan.

Beberapa Metode

Metode pertama untuk mengubah pola pikir kita yaitu  dengan 

hidup dalam kesadaran (Achtsamkeit). Ini berarti, kita hidup saat 

demi saat dengan kepenuhan serta kesadaran. saat  kita makan, kita 

sepenuhnya makan. saat  kita berjalan, kita sepenuhnya berjalan. 

Dimana tubuh kita berada, disitu pikiran kita berada.

Metode kedua yaitu  apa yang di dalam fi lsafat Timur disebut 

sebagai meditasi. Meditasi berarti melihat kenyataan apa adanya, tanpa 

ditambahi dengan analisis, konsep dan penilaian dari kita. Meditasi 

juga berarti mencerap kenyataan disini dan saat ini apa adanya. saat  

kita hidup dalam pola meditatif ini, otak kita akan tenang, jernih dan 

sehat, sehingga bisa dipakai  untuk apapun.

Inti dari kedua metode ini sebenarnya sama, yakni kembali ke 

saat ini (das ewige Jeĵ t). Sekarang yaitu  satu-satunya waktu yang 

kita punya. Disini yaitu  satu-satunya tempat yang bisa kita tempati. 

Dengan hidup sepenuhnya disini dan saat ini, orang bisa membentuk 

pola berpikir baru yang menciptakan kesehatan dan kejernihan bagi 

struktur otaknya, sekaligus meningkatkan mutu hidupnya secara 

keseluruhan.

Ketinggalan

Ini sebenarnya bukan ide baru. Filsafat Timur yang berkembang 

di India, Cina, Jepang, Korea, Srilangka, Thailand dan kemudian 

menyebar ke Indonesia sudah mengetahui dan menerapkan hal ini 

selama berabad-abad. Fokus utama fi lsafat Timur yaitu  memahami 

hakekat pikiran manusia, yang juga berarti cara kerja otaknya, dan 

mendorongnya untuk mencapai hidup yang penuh dan bahagia. Dari 

tradisi semacam ini, Yoga dan Zen berkembang, serta menyebar ke 

seluruh dunia sekarang ini.

Tentang kaitan antara otak, kesadaran, pikiran dan kebahagiaan 

manusia, fi lsafat Timur juga jauh melampaui ilmu pengetahuan dan 

fi lsafat Barat. Hal yang sama juga terjadi di bidang kesehatan mental. 

Para Yogi, Ajahn dan Zen Master di berbagai negara Asia telah berhasil 

menemukan cara untuk membangun hidup yang bermutu dan sehat, 

sehingga lalu tidak hanya bisa menolong orang lain, namun  juga semua 

mahluk yang ada di alam semesta. Penelitian terbaru terkait dengan 

otak dan neuroplastisitas hanya menegaskan ulang apa yang telah 

diketahui dan diterapkan oleh para master di dalam fi lsafat Timur 

selama ribuan tahun.

Lepas dari pada itu, kita bisa yakin akan satu hal, bahwa keadaan 

hidup kita sekarang ini bukanlah titik fi nal. Semua bisa diubah, asal 

kita memiliki motivasi dan berusaha. Ada beragam metode yang bisa 

membantu. Namun, semuanya kembali ke satu dorongan dasar semua 

mahluk hidup: mencapai kebahagiaan. Selamat mencoba!

Mendidik Dendam

Semua konfl ik di dunia ini terjadi, sebab  orang mengira, bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan. Mereka mengira, 

bahwa ini yaitu  jalan keluar satu-satunya. Jika kekerasan tak dibalas 

dengan kekerasan, ada perasaan tidak puas di dalam diri. Bahkan, pola 

semacam ini sudah menjadi begitu otomatis, sehingga orang tidak lagi 

menyadarinya.

Bom harus dibalas dengan bom. Pukulan harus dibalas dengan 

pukulan. Mata ganti mata. Gigi ganti gigi. Nyawa ganti nyawa.

 Padahal, jika melihat sejarah, kita akan menemukan, bahwa 

kekerasan tidak pernah menjadi jalan keluar. Kekerasan hanya 

melahirkan kekerasan. Tidak lebih dan tidak kurang. Buahnya yaitu  

penderitaan dan kemarahan yang semakin dalam.

Dendam

Di balik pola ini, ada satu hal yang sama, yakni dendam. Dendam 

yaitu  perasaan tidak terima, sebab  orang merasa diperlakukan tidak 

adil. Dendam menjadi dasar untuk melakukan tindakan balasan, yakni 

kekerasan. Disini berlaku hukum yang sama, kekerasan akan terus 

melahirkan kekerasan dan penderitaan, sampai kekerasan itu diputus.

Jelas, bahwa kita harus mencari jalan lain. Kita perlu menyadari, 

bahwa dendam tidak pernah menghasilkan apapun yang baik. Pepatah 

Buddhis berikut kiranya benar, bahwa orang yang menyimpan dendam 

itu seperti orang yang membawa bara api di tangannya, dan mau 

melemparkan itu ke orang lain. Orang yang menyimpan dendam itu 

terluka terlebih dahulu, bahkan sebelum ia menyakiti orang lain.

Oleh sebab  itu, kita harus mendidik rasa dendam yang ada di 

dalam diri kita. Kita perlu memahami bara api yang kita pegang di 

tangan kita sendiri ini. Tujuannya, supaya   kita bisa memutus rantai 

kekerasan dan penderitaan yang terjadi. Hanya dengan begitu, 

perdamaian menjadi mungkin.

Bagaimana cara mendidik dendam? Kita harus memahami akar 

dendam itu sendiri. Dengan pemahaman ini, kita akan sadar, apa 

arti dendam itu sesungguhnya. Pemahaman ini juga membantu kita 

memutus rantai kekerasan yang yaitu  buah dari rasa dendam.

Akar Dendam

Dendam memiliki dua kaki, yakni amarah dan rasa takut. Amarah 

muncul, sebab  keinginan kita tidak sejalan dengan kenyataan yang 

terjadi. Rasa takut muncul, sebab  ketidakpastian dari kehidupan itu 

sendiri. saat  dua hal ini bertemu, dendam lalu muncul sebagai reaksi 

atas hal-hal yang tak diinginkan.

Padahal, jika diamati dengan jeli, amarah dan takut itu sejatinya 

kosong. Keduanya tidak memiliki inti pada dirinya sendiri. Keduanya 

lahir dari kesalahan berpikir. Jika kesalahan berpikir itu diperbaiki, 

maka keduanya akan lenyap secara alami.

Kesalahan berpikir macam apa yang terjadi disini? Yang pertama 

yaitu , bahwa kenyataan harus selalu sesuai dengan keinginan kita. 

Ini jelas tidak akan pernah mungkin terjadi. Di dalam fi lsafat Jerman, 

ini disebut tegangan antara apa yang ada (das Sein) dan apa yang 

seharusnya terjadi (das Sollen) yang menghasilkan ”rasa sakit dunia” 

(Weltschmerz). Tegangan ini menghasilkan banyak emosi jelek di dalam 

diri manusia; salah satunya yaitu  amarah.

saat  kita melepaskan keinginan kita, kita lalu bisa menerima 

kenyataan apa adanya. Kita tidak lagi memaksakan, supaya   dunia 

berjalan sesuai dengan keinginan kita. Kita melepaskan mimpi dan 

harapan-harapan kosong kita akan kehidupan. Di titik ini, kita 

menemukan kedamaian yang sesungguhnya.

Yang kedua yaitu  soal ketidakpastian hidup yang membuat kita 

merasa takut. Jika dipikirkan lebih dalam, hidup itu sendiri yaitu  

ketidakpastian. Setiap saat, segala hal bisa terjadi pada kita.

Di detik berikutnya, kita bisa mati tersengat listrik, atau mendapat 

hadiah undian jutaan rupiah. Siapa yang tahu? saat  kita bisa 

menerima ketidak pastian ini sebagai bagian dari hidup kita, maka rasa 

takut pun akan hilang dengan sendirinya.

Kekosongan dari Dendam

Dendam lahir dari amarah dan takut. Namun, amarah dan takut 

itu sejatinya kosong. Maka, dendam juga sejatinya kosong. Ia tidak 

memiliki inti pada dirinya sendiri.

Di dalam tradisi Timur, kenyataan dipahami sebagai kekosongan. 

Nagar juna, fi lsuf India, bahkan menegaskan, bahwa kekosongan 

(Sunyata) yaitu  dasar dari segala-galanya. Dari kekosongan, segala 

sesuatu datang dan pergi. Kekosongan yaitu  kemungkinan yang tak 

terhingga.

Di dalam fi lsafat Zen, segala hal itu terjadi, sebab  yaitu  hal-hal 

yang memungkinkannya (dependent origination). Air menjadi panas, 

sebab  ada api yang membakarnya. Api menjadi ada, sebab  ada 

gesekan yang kuat antara dua benda keras. Dua benda keras bisa 

bergesekan, sebab  ada energi yang menggerakannya, dan begitu 

seterusnya.

Tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri. Segalanya yaitu  bagian 

dari segalanya. Keterkaitan antara segala sesuatu ini yaitu  kehidupan 

itu sendiri. Tidak ada satu hal pun yang memiliki inti universal dan 

mampu berdiri sendiri, lepas dari jaringan kehidupan.

Di dalam buku Wissenschaft der Logik, Hegel, fi lsuf Jerman, menyebut 

ini sebagai hukum keniscayaan. Keniscayaan menjadi mungkin, sebab  

potensi berjumpa dengan kondisi. Orang pasti menjadi presiden, 

saat  bakatnya sebagai pemimpin digabungkan dengan dukungan 

dari banyak orang. saat  potensi atau kondisi tidak ada, maka tidak 

ada pula keniscayaan.

Dendam pun memiliki pola serupa. Ia bukanlah sesuatu yang 

mutlak. Ia lahir dari hal-hal yang memungkinkannya. saat  hal-hal 

ini  berubah, dan itu pasti berubah, maka dendam pun juga lenyap 

dengan sendirinya.

Ego

saat  dendam, amarah dan takut muncul di dada, kita juga perlu 

bertanya, siapa ini yang merasakan emosi-emosi ini ? Siapa yang 

mengalami gejolak perasaan-perasaan ini ? Jawabannya dengan 

mudah diberikan: saya.

Namun, siapa, atau apa, itu ”saya”? Apakah ada yang disebut 

”saya”? Jika diteliti lebih jauh, kita akan juga sampai pada kesimpulan, 

bahwa ”saya” yaitu  kosong. Ia datang dan pergi, tergantung pada 

kondisi-kondisi yang memungkinkannya.

saat  anda sedang asyik menonton fi lm, ”saya” seolah lenyap. 

Anda menyatu dengan fi lm yang anda tonton. Sama halnya, saat  anda 

mendengar musik yang indah. ”Saya” seolah mundur ke belakang, dan 

tak lagi tampak.

Namun, saat  anda merasa marah, ”saya” muncul lagi ke depan. 

Biasanya, anda marah, sebab  kehendak anda tidak terpenuhi. Ambisi 

anda tidak sesuai de ngan kenyataan yang terjadi. Di titik ini, si ”saya” 

menjadi begitu kokoh dan agresif.

Jadi, ”saya” sebenarnya juga kosong. Ia tak memiliki inti. Ia 

tergantung dari keadaan yang menghasilkannya. Ia juga yaitu  hasil 

dari perkawinan antara potensi dan kondisi, sebagaimana dikatakan 

oleh Hegel.

Thomas Meĵ inger, ilmuwan neurosains Jerman, juga menegaskan 

ini melalui penelitian-penelitiannya. Di dalam buku Der Ego-Tunnel, ia 

melihat, bahwa ”saya”, atau diri, yaitu  gambaran semata. Gambaran 

ini datang dan pergi, serta terus berubah. Sejatinya, ia tidak ada.

Jika ”saya” yaitu  kosong, maka semua perasaan dan pikiran 

yang dihasilkannya juga kosong. Semuanya tak memiliki inti. Dendam, 

amarah dan takut juga tak memiliki akar yang kuat pada kenyataan. 

Semuanya bagaikan awan yang terus bergerak di langit biru yang luas 

membentang di belakangnya.

Orang terjebak pada dendam, amarah dan takut, saat  ia tidak 

menyadari ini. Orang tenggelam pada penderitaan, sebab  kesalahan 

berpikirnya. Ke salahan berpikir ini yaitu  mengira sesuatu yang tak 

ada sebagai ada. saat  kesalahan ini dilepas, amarah, dendam dan 

takut juga lenyap secara alami.

Kebijaksanaan

Kesadaran akan kekosongan dari segala sesuatu yaitu  sumber 

utama dari kebijaksanaan yang sejati, begitu kata Nagarjuna. Dari 

kesadaran ini, kita bisa memiliki kebebasan yang sesungguhnya. Kita 

bisa melepas semua emosi jelek kita, dan mencapai kedamaian batin 

yang sejati. Kita lalu bisa hidup dengan kejernihan, dan membantu 

orang lain di sekitar kita.

Namun, pengetahuan belaka juga tidak banyak membantu. Kita 

mem butuh kan pengalaman langsung akan kekosongan itu sendiri. 

Disini letak penting nya meditasi, yakni tindak mengamati segala 

sesuatu yang terjadi di dalam maupun di luar diri kita, tanpa memberi 

penilaian ataupun analisis apa pun. Jika kita bisa mengamati dengan 

pola semacam ini setiap saat, kita akan menemukan kejernihan batin 

dan pikiran.

Kejernihan ini juga harus dikelola setiap saat. Kita harus 

memberi  arah pada pikiran kita, supaya   ia tidak bergerak tak 

teratur. Arah ini dapat diberikan dengan menarik pikiran kita pada 

keadaan saat ini dan disini, yakni pada apa yang kita sedang lakukan. 

Cara lain yaitu  dengan mengajukan pertanyaan mendasar: apa ini 

yang sedang melakukan tindakan ini?

Di dalam tradisi Seon Buddhisme Korea, pertanyaan ini disebut 

juga sebagai Hwadu, yakni kata yang hidup. Hwadu tidak untuk dijawab 

dengan teori, namun  untuk dialami secara terus-menerus. Secara ilmiah 

bisa dijelaskan, bahwa Hwadu berfungsi memberi  arah pada pikiran 

kita, sehingga ia tetap fokus dan jernih dari saat ke saat.

Jika pikiran kita jernih, kita bisa memahami keadaan sebagaimana 

adanya di depan mata kita. Kita tidak lagi dikaburkan oleh emosi-emosi 

tak teratur di dalam diri kita. Kita bisa bertindak dengan bijak, sesuai 

dengan keadaan yang ada. Inilah kebijaksanaan hidup yang tertinggi.

Perdamaian

Mendidik dendam berarti menyadari dan mengalami langsung, 

bahwa den dam itu kosong. Sejatinya, ia tidak ada. Kesalahan berpikirlah 

yang melahir kannya. saat  kesalahan berpikir ini diperbaiki, dendam 

juga otomatis hilang.

saat  dendam lenyap, maka rantai kekerasan akan terputus. 

Perdamaian yang sesungguhnya pun menjadi mungkin. Berbagai 

perbedaan yang ada diselesaikan dengan jalan dialog yang sehat. 

Dendam, amarah dan takut tetap ada, sebab  itu yaitu  bagian dari 

perubahan kenyataan dan diri manusia.

Namun, mereka tidak lagi menganggu. Mereka datang dan pergi, 

seperti kabut di pagi hari. Mereka tidak lagi menjadi penjajah yang 

memaksa kita untuk menuruti keinginan mereka. Bahkan, pada tingkat 

tertentu, mereka yaitu  kawan kita untuk berjalan bersama menuju 

kebijaksanaan. Mari kita mendidik dendam yang mungkin bercokol 

di dalam diri kita.

Berpikir itu Bermimpi

Malam kemarin terasa panjang. Mimpi terasa begitu nyata. Ia hadir terus, bahkan saat  tidur telah berakhir. Jejaknya menempel 

sebagai ingatan yang mencabut diri dari saat ini.

Banyak orang sulit membedakan mimpi sebagai kenyataan. Mereka 

mengira, mimpi yaitu  pertanda. Bahkan tak sedikit yang mengira, 

mimpi ada lah realita. Sigmund Freud, bapak psikoanalisis asal Jerman, 

juga melakukan penelitian tentang tafsir mimpi (Traumdeutung).

Sejenak , kita bisa sadar. Oh, itu hanya mimpi. Kesadaran ini 

memutus mimpi, dan membangunkan kita ke kenyataan. Jejaknya pun 

berlalu, dan sekedar meninggalkan sejumput ingatan.

Berpikir dan Bermimpi

Jika diperhatikan, pengalaman bermimpi ini sama seperti 

pengalaman berpikir. Kita membangun gambaran, konsep dan cerita 

di kepala kita, lalu mengiranya sebagai nyata. Namun, setelah diteliti 

lebih dalam, gambaran itu ternyata salah. Mirip seperti mimpi, ia pun 

segera berlalu, dan hanya menyisakan setitik ingatan.

saat  berpikir, kita membangun konsep. Proses ini seringkali 

terjadi begitu cepat, tanpa disadari. Kita mulai menilai dan memisahkan. 

Peristiwa, yang sejatinya yaitu  peristiwa netral, kini mendapat label 

baik atau buruk, benar atau salah, nyaman atau tidak nyaman dan 

sebagainya.

Konsep ini lalu berubah, saat  mendapatkan pengalaman atau 

penge tahuan baru. Kadang, ia lenyap sama sekali. Dalam konteks 

lain, ia membesar, sebab  terus terbuktikan oleh pengalaman. Dalam 

kesempatan lain, konsep yang baru pun lahir.

Kenyataan dan Penderitaan

Konsep ini begitu nyata dan kuat. Sama seperti mimpi yang 

terasa begitu nyata, kita lalu mengira konsep sebagai kenyataan. Kita 

menganggapnya sebagai kebenaran. saat  kita mengira konsep yaitu  

kenyataan, dititik itu pula, kita memasuki pintu penderitaan.

Sejatinya, sama seperti mimpi, konsep bukanlah kenyataan. Ia 

yaitu  se bentuk abstraksi yang dihasilkan oleh pikiran manusia. 

saat  sebuah peris tiwa kita bungkus dalam konsep, saat  itu pula, 

ia bukan lagi kenyataan. Konsep memisahkan kita dari kenyataan, dan 

mengurung kita ke dalam kesalah pahaman.

Mengira konsep sebagai kenyataan yaitu  salah satu kesalahan 

terbesar di dalam hidup kita. Ini sama seperti mengira, bahwa mimpi 

yaitu  realita. Kita menderita, saat  kita tercabut dari kenyataan, dan 

terkurung di dalam konsep. Ini sama seperti penderitaan yang kita 

alami, saat  kita hidup dalam mimpi.

Pengaruhnya juga terasa di dalam hubungan dengan orang lain. 

Orang yang mengira konsep di dalam kepalanya benar biasanya akan 

cenderung berselisih pendapat dengan orang lain, yang juga mengira 

pikirannya yaitu  kenyataan. Selisih pendapat seringkali tidak berakhir 

dengan perpisahan, namun  dengan konfl ik lebih jauh.

Sebelum Pikiran

Maka, pikiran haruslah dilihat sebagai pikiran. Ia bukanlah 

kenyataan. Mimpi haruslah dilihat sebagai sekedar mimpi. Ia juga 

bukanlah kenyataan.

Sambil menyadari ini, kita lalu bertanya, siapa atau apa ini yang 

sedang berpikir? Siapa atau apa ini yang sedang bermimpi? Jika kita 

menjawab pertanyaan ini dengan konsep, kita jatuh lagi ke dalam 

pikiran. Kita harus melepaskan pikiran, konsep dan mimpi, supaya   

bisa menjawab pertanyaan ini dengan tepat.

28 —  

Penderitaan dan kebingungan bisa dilampaui, saat  kita berakar 

kuat di kenyataan. Keduanya otomatis sirna, saat  mimpi dilihat 

sebagai semata mimpi, dan pikiran dilihat sebagai semata pikiran. 

Konsep datang dan pergi. Mimpi datang dan pergi. Lalu apa yang 

menetap? Siapa ini yang sedang membaca?

KATZ!! Matahari bersinar. Angin bertiup. Burung bernyanyi. Gula 

itu manis.

Racun di Dalam Pikiran

Racun korupsi masih menjalari tubuh politik kita di Indonesia. Penyebabnya bersifat sistemik dalam bentuk kegagalan penegakan 

hukum, sekaligus bersifat personal dalam bentuk lemahnya integritas 

kepribadian para penjabat publik kita. Dalam hal ini, pemberantasan 

korupsi masih menjadi pekerjaan rumah yang besar dan berat bagi kita 

sebagai bangsa. Dukungan dari seluruh rakyat amatlah dibutuhkan.

Menjalarnya korupsi di berbagai bidang juga dapat dilihat sebagai 

kega galan demokrasi. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun  di 

berbagai benua. Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, 

oleh rakyat dan untuk rakyat yang mendorong menuju keadilan sosial 

dan kemakmuran bersama semakin menjadi mimpi yang jauh dari 

jangkauan. Yang banyak tercipta yaitu  oligarki, yakni pemerintahan 

oleh sekelompok orang kaya yang hendak menghancurkan kepentingan 

umum, demi keuntungan pribadi mereka.

Keadaan ini menciptakan ketidakadilan sosial di tingkat global 

yang lalu menciptakan kemiskinan dan penderitaan yang begitu besar 

bagi banyak orang. Dari kemiskinan dan penderitaan lahirlah terorisme. 

Terorisme bermuara pada perang antar kelompok dan bahkan antar 

negara. Ini semua seperti lingkaran kekerasan yang justru membawa 

kemiskinan dan penderitaan yang lebih besar lagi.

Di bagian dunia lain, orang hidup dalam kelimpahan yang luar 

biasa. Ratusan tahun penaklukan dan perampokan atas negara lain 

memberi  kemakmuran yang luar biasa bagi mereka. Mereka yaitu  

negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat. saat  bagian dunia 

lain berjuang melawan kemiskinan dan korupsi, negara-negara ini 

berpesta pora dan menghabiskan sumber daya alam untuk menopang 

gaya hidup mewah mereka.

Sikap h idup semacam ini melahirkan arogansi yang dibarengi 

dengan kebodohan. Mereka melihat negara-negara di bagian dunia lain 

sebagai musuh bagi kemakmuran mereka. Padahal, jika ditelisik lebih 

dalam, arogansi dan kebodohan gaya hidup mewah merekalah yang 

menciptakan masalah besar bagi seluruh dunia, mulai dari penjajahan, 

perbudakan, perang, nuklir, sampai dengan penghancuran alam. Semua 

itu seolah dibenarkan, selama mereka bisa mempertahankan gaya 

hidup mewah yang boros dan merusak.

Mereka membunuh hewan, supaya   bisa memajang kepala hewan 

itu di ruang tamu mereka. Mereka menghancurkan hutan, supaya   

mereka bisa membangun lapangan golf ataupun vila mewah untuk 

orang-orang kaya. Mereka menolak untuk belajar dari bangsa lain, 

walaupun sejatinya, mereka bodoh dan terbelakang dalam hal gaya 

hidup dan kedalaman pikiran. Arogansi dan kebodohan yaitu  

kombinasi yang mematikan.

Di Timur Tengah, kelompok teroris berbasis Islam ekstrimis 

juga semakin biadab. Mereka tak segan menculik orang sipil, dan 

memenggalnya secara biadab. Mereka memakai  ajaran Islam 

sebagai pembenaran untuk ke kerasan. Penderitaan yang diakibatkan 

oleh kelompok ini bagi negara-negara di Timur Tengah nyaris tak dapat 

diungkapkan dengan kata-kata.

Racun di Sekitar Kita

Semua kekacauan ini berakar pada kegagalan manusia menata 

dirinya sendiri. Mereka gagal menata pikirannya dan kemudian juga 

gagal menata kehidupan bersama yang berpijak pada keadilan dan 

kemakmuran. Lebih dari itu, kegagalan tata kelola kehidupan ini juga 

membawa kerusakan pada hewan dan tumbuhan lainnya. Seluruh alam 

terancam rusak, sebab  manusia gagal menata hidupnya.

Mengapa manusia gagal menata hidupnya? Mengapa ia gagal 

membangun hidup bersama yang adil dan makmur untuk semua? 

Mengapa ia gagal mem bangun hubungan yang baik dengan hewan 

dan tumbuhan? Mengapa ia meng hancurkan alam, yang berarti juga 

menghancurkan dirinya sendiri?

Saya melihat, pikiran manusia dilumurin oleh racun. Akibatnya, 

pikiran nya tak lagi mampu melihat keadaan secara tepat. Pikirannya 

pun tidak bisa bersikap menanggapi keadaan dengan tepat. Racun ini 

berkembang dari kesalahan berpikir yang diajarkan kepada kita, lalu 

berkembang menjadi kebiasaan sekaligus bagian dari kepribadian kita 

sendiri.

Racun pertama yaitu  kesalahan berpikir mendasar soal waktu. 

Kita percaya, bahwa masa lalu itu ada. Akhirnya, banyak orang terjebak 

pada masa lalunya. Ia hidup di dalam penderitaan, akibat kenangan 

atas masa lalu yang gelap, yang sebenarnya sudah tidak ada.

Banyak orang juga yakin, bahwa masa depan itu ada. Akhirnya, 

mereka sibuk bekerja, guna menata masa depan. Orang yang pikirannya 

terus berayun di antara masa lalu dan masa depan akan terus hidup 

dalam penyesalan masa lalu, dan ketakutan akan masa depan. 

Pikirannya dipenuhi ketegangan dan penderitaan.

Orang yang pikirannya penuh dengan ketakutan dan penyesalan 

tidak akan pernah menemukan kedamaian. Ia hidup di dalam 

penderitaan, dan akhirnya membuat orang lain menderita. Ia akan 

mencari segala cara untuk menemukan kedamaian, jika perlu dengan 

menghancurkan orang lain dan alam, guna memuaskan kebutuhan 

pribadinya. Ketakutan akan masa depan juga membuat orang 

menumpuk harta secara buta, kalau perlu dengan korupsi, menipu 

dan merugikan orang lain.

Racun kedua yaitu  pikiran curiga dan prasangka. Pikiran curiga 

berarti pikiran yang selalu melihat dunia dari sisinya yang paling 

jelek. Pikiran curiga lalu menghasilkan prasangka. Orang pun tidak 

lagi dapat melihat dunia apa adanya, namun  selalu dengan kaca mata 

curiga dan prasangka. Pendek kata, ia selalu melihat dunia dan orang 

lain sebagai musuh yang mengancam dirinya.

Curiga dan prasangka membuat kita membenci orang lain. Kita 

tak merasa ragu membuat orang lain menderita, selama kebutuhan 

kita terpenuhi. Curiga dan prasangka juga membuat kita menjadi tak 

peduli dengan penderitaan orang lain. Curiga dan prasangka yaitu  

akar dari kebencian dan konfl ik yang melanda begitu banyak bagian 

dunia sekarang ini.

Racun ketiga yaitu  pikiran dualistik-dikotomik. Artinya, pikiran 

yang melihat dunia dengan kaca mata hitam putih. Ada pihak yang be-

nar secara absolut, dan ada pihak yang salah secara absolut. Tidak ada 

jalan tengah. Kedua  nya harus saling menghancurkan satu sama lain.

Inilah salah satu akar dari banyak masalah di dunia sekarang ini. 

Cara berpikir dikotomik menjadi cara berpikir kawan lawan. Aku dan 

kelompokku benar. Sementara, orang lain dan kelompoknya yaitu  

lebih rendah dan salah, maka harus dihancurkan. Perbedaan agama, 

suku, rasa dan cara berpikir dipakai  untuk membenarkan pikiran 

dualistik-dikotomik ini.

Racun keempat yaitu  dorongan untuk menambah terus menerus. 

Kita tidak pernah merasa cukup dengan apa yang ada. Kita sudah pu-

nya satu mobil, namun  kemudian merasa kurang, dan membeli mobil 

yang baru. Ekonomi juga harus tumbuh terus menerus, tidak boleh 

berhenti.

Akar dari dorongan ini yaitu  rasa tidak cukup di dalam hati. Kita 

bahkan bersedia untuk mengorbankan orang lain, demi memuaskan 

kebutuhan kita. Kita juga menghancurkan alam, guna memenuhi 

kebutuhan palsu kita akan kemewahan dan kerakusan. Pikiran yang 

selalu ingin menambah dan rakus ini membuat kita, dan segala hal di 

sekitar kita, menderita.

Melampaui Racun

Sejatinya, waktu itu tidak ada. Waktu yaitu  produk dari pikiran. 

Jika kita berpikir, maka waktu dan segala penyesalan akan masa lalu 

dan ketakutan akan masa depan akan muncul. Berpikir, takut dan 

menyesal atas hal yang tidak ada yaitu  hal yang sia-sia.

Banyak orang menghabiskan hidupnya untuk mencari uang. 

Namun, apakah uang itu ada? Uang yaitu  simbol. Ia tidak bernilai 

pada dirinya sendiri. Ia hanya bernilai sebagai alat tukar.

Banyak orang juga membunuh demi uang. Mereka korupsi. 

Mereka menghancurkan alam untuk mendapat uang. Ini semua yaitu  

tindakan yang amat sia-sia.

Akar dari pikiran curiga dan prasangka yaitu  rasa takut. Namun, 

sejatinya, rasa takut yaitu  ilusi. Tidak ada yang perlu ditakuti di 

dalam dunia ini. Kematian dan penderitaan menjadi menakutkan, 

sebab  manusia berpikir, bahwa itu semua yaitu  hal buruk yang 

harus dijauhi.

Yang sesungguhnya terjadi yaitu  peristiwa alami. Alam sedang 

bekerja dengan hukum-hukumnya. Baik atau buruk yaitu  penilaian 

manusia. Jika orang bisa menata pikirannya sejalan dengan gerak alami 

alam semesta, maka tidak ada yang perlu ditakuti di dalam hidup ini.

Pikiran dualisme juga sejatinya yaitu  ilusi. Tidak ada dualisme di 

dalam alam ini. Semuanya yaitu  sebagai jaringan yang saling terkait 

erat, tanpa bisa dipisahkan. Baik-buruk, benar-salah, untung-malang, 

semua dikotomi ini yaitu  hasil dari kesalahpahaman yang bercokol 

di dalam pikiran manusia.

Bahkan, jika dipikirkan lebih dalam, apa yang kita sebut sebagai 

dunia juga sebenarnya yaitu  bentukan dari persepsi pikiran yang kita 

yang berpijak pada kelima panca indera kita. Artinya, dunia yaitu  

dunia sebagaimana dipersepsikan oleh panca indera kita. Hewan dan 

tumbuhan memiliki panca indera yang berbeda. Mereka pun memiliki 

pemahaman dunia yang berbeda.

saat  panca indera kita terganggu, maka pemahaman kita akan 

dunia juga berubah. saat  pikiran kita terganggu, misalnya sebab  

minum bir terlalu banyak, maka persepsi kita pun berubah. saat  kita 

lapar, maka seluruh panca indera kita juga terganggu. Pemahaman kita 

tentang dunia juga berubah.

Maka, dunia sebagai kenyataan mutlak juga sebenarnya tidak ada. 

Dunia ada, sejauh kita memikirkannya dengan panca indera kita. Dunia 

ada selalu dalam kaitan dengan pikiran kita. Tidak ada Dunia, dengan 

huruf d besar yang bersifat mutlak dan berlaku untuk semua mahluk.

Jika dunia ini tak ada, lalu apa yang ada? Sejatinya, kenyataan 

yaitu  ruang besar yang luas. Ia kosong dan bisa menampung 

segalanya. Namun, apa yang ditampung di dalamnya, termasuk 

manusia dan segala hal yang ada di dalam alam semesta, bersifat 

sementara. Ia berubah, menghilang dan kemudian muncul lagi dalam 

bentuk yang lain.

Jika pikiran kita bisa sejalan dengan kenyataan sebagai ruang 

hampa yang besar ini, maka segala racun di dalam pikiran kita bisa 

dihilangkan. Persepsi akan waktu menghilang. Rasa takut menghilang. 

Rasa rakus yang menjadi akar dari segala korupsi juga menghilang.

Pandangan ini ditopang oleh penelitian terbaru di dalam fi sika 

teoretik. Alam semesta yaitu  ruang hampa yang luas. Segala yang 

ada di dalamnya merupakan hasil dari pikiran. Artinya, isi dari ruang 

hampa besar bernama alam semesta ini amat tergantung dari mahluk 

yang mempersepsinya. Hewan, tumbuhan, manusia dan segala mahluk 

lainnya memiliki pemahaman yang berbeda-beda, tergantung pada 

struktur fi siknya.

Keberadaan segala hal yang ada di dunia, dengan kata lain, 

tergantung pada pengamatnya. Pandangan ini juga ditopang oleh 

Buddhisme. Di dalam Buddhisme, keberadaan kenyataan relatif pada 

orang yang memikirkannya. Segala hal lahir dari pikiran, begitu kata 

Zen Master Seung Sahn.

Kehidupan kita sekarang ini dipenuhi racun. Perang antar negara, 

korupsi sampai pada penderitaan pribadi diakibatkan oleh racun yang 

bercokol di pikiran kita. Namun, racun itu bisa dilampaui, jika kita 

mampu melepaskan memahami segala yang ada sesuai dengan hakekat 

alamiahnya, dan bukan mengikuti semata pikiran kita yang rapuh 

dan seringkali salah. Kita harus sadar, bahwa pikiran yang bergerak 

di kepala kita lebih banyak menipu, daripada menyajikan kebenaran 

kepada kita.

Membangun Opini Cerdas

Dunia kita yaitu  persepsi kita. Dunia yaitu  dunia sebagaimana kita mempersepsinya. Itulah argumen yang diajukan oleh George 

Berkeley lebih dari dua ratus tahun silam. Sikap kita terhadap orang 

lain dan dunia sebagai keseluruhan amat tergantung dari persepsi yang 

bercokol di kepala kita.

Seringkali, persepsi yang ada di kepala kita tidak cocok dengan 

kenyataan yang sebenarnya. Persepsi yang salah inilah yang melahirkan 

konfl ik dan berbagai ketegangan di dalam hidup manusia, baik pada 

tingkat pribadi maupun sosial. Orang yang merasa, bahwa persepsinya 

yaitu  kebenaran mutlak dan sesuai 100 persen dengan kenyataan, 

yaitu  orang yang hidup dalam delusi. Teori-teori Marxis menyebutnya 

sebagai ideologi, yakni kesadaran palsu tentang dunia.

Orang yang hidup dalam ideologi berarti hidup dalam kepompong 

kebohongan. Semua pendapat dan pikirannya lahir dari ideologi sesat 

yang bercokol di kepalanya. Tak heran, semua analisis dan pendapatnya 

begitu dangkal, sebab  hanya mengikuti saja kesesatan berpikir sehari-

hari yang ada di dalam warga  luas. Hidup orang ini dipenuhi 

prasangka dan kesesatan berpikir di dalam melihat orang lain dan 

warga  sebagai keseluruhan.

Anatomi Persepsi

Bagaimana persepsi manusia terbentuk? Darimana asal persepsi 

yang bercokol di kepala kita? Salah satu jawaban lugas atas pertanyaan 

ini di dalam warga  jaringan sosial sekarang ini yaitu  media 

massa. Kita melihat dunia kita dari kaca mata media yang kita baca 

sehari-hari. Tak berlebihan jika dikatakan, kita yaitu  apa yang kita 

baca. 

Persepsi kita juga dibentuk oleh pengalaman pribadi kita sebagai 

manusia. Perjumpaan dengan orang lain mempengaruhi persepsi 

kita tentang orang itu. Namun, seperti ditegaskan oleh Karl Popper, 

pengalaman tidak pernah lepas dari pemahaman. Tidak ada pengalaman 

murni, sebab  semua bentuk pengalaman kita selalu dibungkus oleh 

pra-paham yang sudah ada sebelumnya di kepala kita.

Banyak orang tidak sadar dengan pra-paham yang bercokol di 

kepalanya. Akibatnya, mereka mengira begitu saja, bahwa persepsinya 

yaitu  kebenaran, atau bahwa persepsinya sesuai dengan kenyataan 

yang ada. Di dalam teori-teori Marxis, pra-paham sesat yang tak 

disadari ini disebut juga sebagai hegemoni. Orang yang hidup di 

dalam hegemoni terjebak di dalam kesesatan berpikir, walaupun ia 

sama sekali tak menyadarinya.

Hegemoni membuat pemahaman yang salah terlihat sebagai benar. 

Hegemoni membuat orang dijajah, walaupun ia sama sekali tak merasa 

terjajah. Hegemoni itu yaitu  teknik menipu tingkat global, namun tak 

pernah sungguh disadari sebagai sebentuk penipuan. Siapa pencipta 

dan pelaku hegemoni ini?

Hegemoni Media

Media massa sekarang ini yaitu  pencipta sekaligus pelestari 

hegemoni. Namun, media massa sama sekali bukan institusi yang 

netral. Selalu ada kepentingan untuk membangun dan melestarikan 

hegemoni di balik setiap pemberitaan yang ada. Tujuannya jelas, yakni 

melestarikan keadaan sosial politik yang ada, yang menguntungkan 

mereka, namun sejatinya justru merugikan banyak pihak lainnya.

Dalam arti ini, tak berlebihan jika dikatakan, media massa menjadi 

aktor sekaligus alat untuk melakukan cuci otak di tingkat global. Ia 

memberitakan suatu peristiwa selalu dari sudut pandang tertentu yang 

juga menutupi sudut pandang lainnya. Pemberitaan menjadi persepsi, 

lalu persepsi mempengaruhi berbagai bentuk kebijakan publik yang 

menentukan hidup mati banyak orang. Bahkan, persepsi lalu mengental 

menjadi sejarah sekaligus ingatan kolektif yang menjadi dasar bagi 

identitas sosial suatu kelompok.

Rasisme dan beragam bentuk diskriminasi juga lahir dari persepsi 

yang dilumuri hegemoni dan ideologi. Kita membenci seseorang, 

hanya sebab  ia memiliki warna kulit berbeda. Seringkali, kita tidak 

mempunyai pengalaman pribadi langsung dengan orang itu. Namun, 

pemberitaan media telah mencuci otak kita, sehingga kita membangun 

persepsi yang salah hanya atas dasar pemberitaan itu.

Banyak juga program politik yang dilahirkan dari persepsi yang 

salah semacam ini. Ada segudang undang-undang di Indonesia yang 

lahir dari persepsi yang salah, mulai dari soal rekonsiliasi terkait 

kejahatan masa lalu, impor beras, sampai kebijakan bodoh terkait 

dengan keperawanan pelajar tingkat sekolah dasar. Pada tingkat global 

sekarang ini, persepsi yang salah juga tampak di berbagai hal. Satu 

bagian dunia berpesta pora dalam kemewahan, sementara banyak 

orang di bagian dunia lain meninggal, sebab  tidak memiliki sumber 

air bersih yang mencukupi.

Persepsi yang lahir dari ideologi dan hegemoni ini menciptakan 

kebencian. Kebencian ini  akan melahirkan konfl ik dan beragam 

pengalaman buruk lainnya, yang akhirnya juga memperkuat persepsi 

yang salah ini . Persepsi akhirnya menjadi prasangka, mendorong 

kebencian, menciptakan konfl ik yang nantinya memperkuat prasangka 

yang sudah ada sebelumnya. Inilah lingkaran setan kekerasan yang 

lahir dari cuci otak yang dibuat oleh media.

Membangun Opini Cerdas

Bisakah kita melepaskan diri dari persepsi? Bisakah kita melepaskan 

diri dari cuci otak yang dibuat media? Sampai batas tertentu, 

jawabannya yaitu  positif: ya. Masalahnya bukanlah hidup tanpa 

persepsi, melainkan membangun persepsi yang cerdas. Masalahnya 

bukanlah tidak punya opini, namun  merumuskan opini yang cerdas.

Bagaimana merumuskan opini yang cerdas? Pertama, kita perlu 

melakukan kritik ideologi terus menerus terhadap berbagai pikiran 

yang muncul di kepala kita. Kita perlu yakin, bahwa pikiran kita 

tidak lahir dari kesadaran palsu, melainkan dari kesesuaian dengan 

keadaan yang ada. Kritik ideologi juga perlu dilancarkan terus menerus 

terhadap berita yang kita terima dari media massa sehari-harinya.

Sikap kritis dan curiga sampai batas tertentu bisa dibenarkan 

disini. Informasi yaitu  salah satu kebutuhan utama manusia 

sekarang ini. Namun, tidak semua informasi yang ditampilkan 

media lahir dari kenyataan. Seringkali, informasi ini  lahir dari 

manipulasi, entah kebohongan atau pemberitaan satu pihak yang justru 

menciptakan prasangka dan kesalahan persepsi di telinga pendengar 

atau pembacanya.

Di sisi lain, kita juga perlu mencari berita dari sumber-sumber 

lain yang independen. Kantor media besar biasanya dimiliki oleh 

pengusaha bisnis tertentu yang ingin mempertahankan kepentingan 

mereka. Kita masih ingat perang opini antara Metro TV dan TV One, 

saat  pemilihan presiden 2014 yang lalu. Pola yang sama juga dapat 

dilihat di kantor-kantor media internasional. Dalam beberapa hal, blog-

blog dari penulis independen bisa memberi  informasi yang lebih 

bermutu kepada kita.

Sebagai warga dari warga  demokratis, kita perlu mempunyai 

opini yang cerdas. Artinya, kita tidak boleh jatuh begitu saja pada 

persepsi dan opini yang disetir oleh media massa yang tak bertanggung 

jawab. Kita perlu melepaskan diri dari prasangka yang bercokol di 

otak kita, sebab  serbuan berita-berita tak bertanggungjawab. Kritik 

ideologi yaitu  kewajiban utama dari warga negara demokratis, seperti 

Indonesia.

Bagaimana membangun sikap kritis dan curiga yang sehat 

semacam ini? Jelas, pendidikan memainkan peranan besar di sini. 

Namun, pendidikan tidak boleh hanya dimengerti secara sempit 

sebagai pendidikan di sekolah, namun  juga pendidikan di dalam 

keluarga dan di dalam warga . warga  yang cerdas hanya bisa 

dibangun oleh warga yang memiliki persepsi dan opini yang cerdas. 

Tidak ada jalan lain.

Akar dari Segala Kejahatan

Tahun 2015, Eropa kembali diancam oleh perang besar. Pasukan Russia terus merapatkan barisan di perbatasan Ukraina. Ukraina, 

dalam aliansi dengan NATO dan Uni Eropa, juga mempersiapkan 

pasukannya di perbatasan. Jika konfl ik terjadi, maka yang perang akan 

melebar ke seluruh negara Uni Eropa, bahkan ke berbagai negara di 

benua lainnya. Perang dunia ketiga kini di depan mata kita.

Kelompok bersenjata Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) juga terus 

melakukan teror di Timur Tengah. Negara-negara sekitarnya, seperti 

Yordania, Arab Saudi dan Turki, sudah mempersiapkan pasukan untuk 

menyerbu kelompok ini. Konfl ik bersenjata dalam skala besar nyaris 

tak dapat lagi dihindari. Semakin banyak orang akan masuk ke dalam 

penderitaan, akibat perang dan konfl ik bersenjata lainnya.

Pada skala yang lebih kecil, beragam jenis kejahatan juga men-

ciptakan penderitaan bagi begitu banyak orang. Pengedar narkoba 

beserta pengaruh politis maupun ekonomis dari kartel narkoba 

mengancam kehidupan banyak negara. Anak muda dipaksa masuk 

untuk bergabung dalam gang bersenjata. Berbagai kebijakan pro rakyat 

kandas di depan mata, sebab  pengaruh lobi dari beragam kartel 

narkoba di dalam kebijakan politik.

Sebagai akibatnya, banyak orang terjebak di dalam rantai 

kemiskinan. Akar dari kemiskinan ini bukanlah kemalasan atau 

ketidakmampuan pribadi, melainkan kemiskinan sistemik sebagai 

dampak dari bobroknya sistem sosial yang ada. Di dalam jeratan 

kemiskinan, banyak gadis muda yang terjebak ke dalam pelacuran dan 

perdagangan manusia. Inilah bentuk perbudakan modern di awal abad 

21 yang masih tertutup dari mata banyak orang. 

Orang yang paham akan hal ini merasa tak berdaya untuk 

memperbaiki keadaan. Banyak dari antara mereka memutuskan untuk 

42 —  

bersikap tidak peduli. Caranya yaitu  dengan hidup di dalam rantai 

konsumsi. Mereka sibuk bekerja, mengumpulkan uang dan membeli 

barang lebih dan lebih lagi, guna mengobati ketidakberdayaan mereka 

di dalam kehidupan. Konsumtivisme menjadi candu baru.

Mengapa ini semua terjadi? Mengapa manusia melakukan kejahatan 

kepada manusia lainnya? Mengapa manusia menciptakan penderitaan 

bagi manusia lainnya, dan juga bagi banyak mahluk hidup lainnya? 

Jawabannya hanya satu, yakni delusi, atau kesalahan berpikir mendasar 

tentang kehidupan.

Kekosongan Batin

Hampir setiap orang yang lahir di awal abad 21 ini merasakan 

sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Mereka merasa, bahwa mereka 

tidak dapat hidup, jika tidak mendapat pengakuan dari warga . 

Mereka merasa, bahwa mereka tidak bisa bahagia, jika tidak memiliki 

uang banyak untuk membeli barang-barang. Perasaan kurang semacam 

ini menghantui begitu banyak orang, hampir sepanjang hidupnya.

Orang menyebutnya dengan berbagai kata. Ada yang bilang, 

mereka mencari kebahagiaan. Ada yang bilang, mereka mencari makna 

di dalam hidupnya. Ada pula yang bilang, mereka mengalami krisis 

tujuan hidup. Semua menunjuk pada satu keadaan, yakni rasa kurang 

yang bercokol di dalam batin.

Mereka lalu mencari cara, guna mengisi kekosongan batin ini . 

Mereka pun melihat ke luar dirinya. Narkoba, seks, agama, mistik dan 

konsumtivisme menjadi alternatif. Namun, semuanya tetap tak bisa 

mengisi kekosongan batin yang ada. Penderitaan pun berlanjut.

Di dalam proses pencarian, saat  keadaan telah menjadi sedemikian 

rumit, mereka tak segan menyakiti orang lain. Untuk mempertahankan 

gaya hidup konsumtif, sebagai pelarian dari kekosongan batin yang 

dirasakan, orang bersedia korupsi. Bahkan, orang bersedia membunuh 

orang lain, supaya   ia bisa merasakan kepuasan sementara. Dunia pun 

dipenuhi dengan orang-orang yang menderita secara batiniah, dan 

kemudian saling menyakiti satu sama lain.

Inilah yang sekarang ini terjadi di dunia. Russia mengira, bahwa 

mereka akan menjadi bangsa besar, saat  mereka menguasai Ukraina, 

atau bahkan menguasai berbagai negara satelit bekas Uni Soviet di 

masa lalu. ISIS mengira, bahwa mereka bisa mendirikan kerajaan model 

abad pertengahan, jika mereka terus menyiksa dan membunuh orang-

orang yang tak bersalah. Semuanya hidup dalam kesalahpahaman 

mendasar, bahwa mereka bisa mendapatkan kepenuhan hidup dengan 

mencari kepuasaan dari benda-benda di luar dirinya.

Aku yang Terpisah

Cara berpikir ini juga didorong oleh delusi lainnya, yakni delusi 

keter pisahan manusia. Salah satu racun paling mematikan dari 

fi lsafat barat yaitu  pandangan, bahwa manusia yaitu  mahluk 

individualistik yang terpisah dari manusia lainnya, dan juga terpisah 

dari alam. Pandangan ini menyebar begitu luas ke berbagai negara di 

dunia melalui proses kolonisasi/penjajahan di masa lalu, dan proses 

globalisasi di masa sekarang. Media cetak dan elektronik (terutama 

internet) berperan besar di dalam menyebarkan pandangan ini.

Delusi keterpisahan manusia ini juga menjadi akar dari segala 

bentuk diskriminasi. Bangsa-bangsa tertentu merasa terpisah dari 

bangsa-bangsa lainnya. Mereka merasa lebih tinggi derajatnya daripada 

bangsa-bangsa lainnya. Ini lalu mendorong penjajahan politik dan 

ekonomi dari beberapa negara atas negara-negara lainnya. Ini juga 

menjadi akar dari perbudakan, rasisme, fasisme dan penjajahan atas 

minoritas di berbagai negara.

Namun, kekosongan batin tetap ada. Orang bisa menjajah dan 

menguasai orang lainnya. Namun, ia tetap akan merasa menderita di 

dalam hatinya. Delusi keterpisahan manusia mendorong orang masuk 

ke dalam kesepian dan kekosongan batin yang lebih dalam, walaupun 

ia memiliki uang, kekuasaan, nama besar dan beragam barang mewah 

lainnya.

Untuk mengisi kekosongan batinnya, orang juga menghancurkan 

alam. Hutan di