Sampah 1

 





Bank sampah sebagai tema utama buku ini, merupakan salah satu bentuk konkret inovasi dan kontribusi warga  dalam pengelolaan sampah 

dan menjadi bagian penting dalam implementasi ekonomi 

sirkular (circular economy). Data BPS (2019) menunjukkan 

pertumbuhan bank sampah yang mengalami peningkatan 

signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dari 1.172 unit di 

tahun 2014, 3.075 unit di tahun 2015, 4.280 unit di tahun 

2016, 5.244 unit dan mempekerjakan 163.128 orang di tahun 

2017, menjadi 7.488 di akhir tahun 2018 yang tersebar di 

34 provinsi dan 219 kabupaten/kota di negara kita . Sampai 

dengan bulan Juli tahun 2020 ada 11.330 bank sampah 

yang terdiri dari bank sampah unit dan bank sampah 

induk.

 Kehadiran bank sampah terbukti memberikan 

dampak positif bukan saja terhadap lingkungan, namun 

juga dari sisi sosial dan ekonomi melalui penyediaan 

lapangan pekerjaan baru, serta memberikan penghasilan 

tambahan bagi warga . Untuk menumbuhkan, 

menggerakkan, dan mengelola bank sampah tidaklah 

mudah. Diperlukan visi dan komitmen yang kuat dari para 

pengelolanya, terutama para inisiator atau pendirinya. 

Merekalah para champion dan pahlawan nyata di masa 

kini, yang berkontribusi dalam mewujudkan negara kita  

yang lebih bersih.

 Sebagai bagian penting dari ekonomi sirkular, bank 

sampah mampu menggerakkan peran serta warga  

dalam memilah dan mengelola sampah melalui mekanisme 

reduce, reuse, dan recycle (3R), yang dihasilkan sejak dari 

rumah. Kepedulian warga  ini sangat diperlukan 

karena persoalan sampah di negara kita  yang semakin 

mencemaskan. Peningkatan jumlah sampah plastik 

dan potensi kebocoran sampah plastik yang masuk ke 

lingkungan dan berakhir di lautan, telah mengancam 

ekosistem dan kesehatan manusia. Padahal, negara kita  

merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang 

dianugerahi melimpahnya keanekaragaman ekosistem 

pesisir dan laut.

 Pemerintah telah menerbitkan Kebijakan dan Strategi 

Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga 

dan Sampah Sejenis Rumah Tangga melalui Peraturan 

Presiden Nomor 97 Tahun 2017 dan menargetkan 

pengurangan 30 persen sampah rumah tangga dan 

penanganannya hingga 70 persen pada tahun 2025. 

Khusus untuk menangani sampah plastik laut, pemerintah 

telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 

2018 tentang Penanganan Sampah Laut yang didalamnya 

juga memuat Rencana Aksi Pengurangan Sampah Plastik 

di Laut Tahun 2018 –2025. Berbagai kebijakan itu  

menjadi bukti bahwa Pemerintah negara kita  serius dalam 

menghadapi persoalan sampah di tanah air. usaha  keras 

pemerintah ini tentu saja tidak akan berhasil optimal jika 

tidak dibarengi dengan sinergi berbagai pihak dan adanya 

peran aktif warga . Hal ini tercermin dalam konsep 

dan sistem yang ada dalam pengelolaan bank sampah. 

 Buku “Sampah, Amanah, Rupiah” ini menggambarkan 

peran bank sampah dalam mengatasi persoalan sampah 

di negara kita , serta menampilkan sosok-sosok penting yang 

telah bekerja keras untuk mewujudkannya. Pengalaman 

para pendiri dan pengelola bank sampah yang dihadirkan 

dalam buku ini diharapkan dapat memberikan motivasi 

bagi warga  untuk berperan aktif mengelola dan 

berkontribusi pada pengurangan sampah. Dengan gaya 

penulisan bertutur, membaca buku ini membawa kita 

kepada banyak kisah inspiratif pendiri dan pengelola bank 

sampah. Kisah inilah yang diharapkan akan mengajak dan 

menggerakkan warga  untuk semakin peduli dengan 

persoalan sampah.

 Pelaksanaan bank sampah di negara kita  menunjukkan 

hasil yang sangat positif. Dari tahun ke tahun, bank 

sampah terus bertumbuh dan berkembang di se-antero 

negara kita . Hingga Juli 2020, jumlah bank sampah di 

negara kita  mencapai 11.330, terdiri dari 11.088 bank sampah 

unit dan 242 bank sampah induk. 

 Perkembangan menggembirakan ini tentu saja 

membawa sebuah harapan besar, yakni pada 2025 

bank sampah dapat menjadi kontribusi terbesar dalam 

pengurangan sampah di negara kita . Pengelolaan sampah 

di bank sampah juga dapat memberdayakan warga  

di sekitar lokasi bank sampah, dalam mengurangi sampah 

rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. 

 Kehadiran buku bank sampah ini juga tak lepas dari 

prakarsa dan peran Kementerian Koordinar Kemaritiman 

dan Investasi, serta dukungan program Multi Donor Trust 

Fund (MDTF) World Bank. Untuk itu, kami mengucapkan 

terima kasih kepada Kementerian Koordinator Maritim 

dan Investasi, serta World Bank. Ucapan terima kasih 

juga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah 

mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya sehingga 

penyusunan buku ini dapat terlaksana sesuai rencana. 

 Besar harapan kami bahwa buku ini dapat menjadi 

pembelajaran dan kebanggaan bagi bangsa negara kita  

dan dunia terhadap ide orisinal “Bank Sampah”, serta 

berbagai proses sejarah yang melatarbelakangi kehadiran 

bank sampah di negara kita . Insya Allah kekuatan gerakan 

partisipasi publik ini dapat menjadi modal sosial yang 

sangat kuat untuk mencapai negara kita  bersih dan bebas 

sampah pada 2025.

Selama setengah abad terakhir, pertumbuhan produksi plastik telah jauh melampaui pertumbuhan bahan manufaktur lainnya. Lima tahun setelah 

terbitnya artikel ilmiah penting berjudul “Input Limbah 

Plastik dari Daratan ke Laut” oleh Jenna Jambeck et al. 

(Science, 347, 768-771, 2015), peningkatan jumlah dan 

ragam produk-produk plastik sekali pakai masih terjadi di 

dunia. Hal ini berdampak negatif pada ekosistem darat, 

air tawar, dan laut, serta bagi sektor perekonomian utama 

yang bergantung kepada masing-masing ekosistem 

tesebut, termasuk pariwisata dan perikanan.

 Di negara kita , Bank Dunia memperkirakan saat ini 

beberapa  4,5 juta ton sampah plastik tidak tertangani 

setiap tahunnya – yang akhirnya dibakar, dikubur, dan/

atau dibuang ke saluran air dan pada akhirnya sampai 

ke lautan. Tidak ada solusi tunggal untuk mengatasi 

masalah ini. Kita membutuhkan serangkaian solusi 

inovatif untuk mengatasi permasalahan sampah plastik, 

seperti misalnya lewat peningkatan pengelolaan limbah 

padat (pengumpulan dan implementasi Reduce, Reuse 

and Recycle-3R), pengembangan bahan dan teknologi 

alternatif, penyusunan kebijakan dan insentif (misalnya 

pajak plastik), perubahan perilaku, penerapan standar 

Perluasan Tanggung Jawab Produsen/ Extended Producers 

Responsibility, dan penegakan hukum. Sudah jelas 

bahwa solusi-solusi itu  sangat dibutuhkan untuk 

mengurangi sampah plastik, termasuk komitmen untuk 

berubah dari semua pemangku kepentingan utama, 

termasuk pembuat kebijakan, produsen, dan konsumen.

 Meskipun permasalahan polusi plastik merupakan 

tantangan besar, saya telah melihat secara langsung 

dedikasi dan tekad Pemerintah negara kita  untuk mengatasi 

hal ini. Pada tahun 2018, Kementerian Koordinator 

Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) 

mengumumkan target ambisius untuk mengurangi 

sampah plastik di laut negara kita  hingga 70 persen pada 

tahun 2025. Pada World Economic Forum 2020, Menteri 

Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut 

Binsar Pandjaitan berkomitmen untuk meningkatkan 

target itu  dengan rencana menjadikan negara kita  

sebagai negara yang bebas dari polusi plastik pada tahun 

2040. Selain itu, kami telah melihat bagaimana para 

pembuat perubahan dan berbagai komunitas saling 

bekerja sama untuk memastikan bahwa perubahan 

juga terjadi di tingkat akar rumput melalui inisiatif bank 

sampah 3R berbasis komunitas, seperti yang diceritakan 

oleh Teguh Usis melalui sebuah buku. 

 Buku yang ditulis oleh Teguh Usis berjudul “Sampah, 

Amanah, Rupiah” ini menjadikan bincang-bincang tentang 

sampah menyenangkan, mencerahkan, menginspirasi, dan 

bahkan menghangatkan hati. Beliau langsung menyasar 

kepada inti dari solusi untuk mengatasi permasalahan 

polusi plastik, yaitu dengan menyajikan gambaran 

warga  sebagai pendorong di balik inovasi bank 

sampah. Beliau memperkenalkan kita kepada para 

pelopor yang berada di garis depan dalam mengatasi 

permasalahan ini, serta berbagai kisah perjuangan mereka 

untuk memulai perubahan dari nol dan menciptakan 

lingkungan yang lebih baik di negara kepulauan negara kita . 

Yang terpenting, Teguh Usis menyoroti semangat para 

pembuat perubahan ini untuk melangkah lebih jauh dari 

mendirikan bank sampah dan menemukan cara yang 

lebih berkelanjutan untuk menyelesaikan tantangan 

terkait polusi plastik. 

 Plastik, yang dulunya sempat menjadi bahan yang 

dipandang modern, kini membutuhkan inovasi yang 

dibuat oleh generasi saat ini untuk membantu mengatasi 

dampak yang ditimbulkannya. Buku ini adalah salah 

satu langkah penting untuk mengakui berbagai inovasi 

yang terjadi di negara kita  yang telah nyata membantu 

mengatasi masalah polusi plastik, serta masih banyak lagi 

yang dapat kita lakukan di tahun-tahun mendatang.


T he negara kita  Oceans, Marine Debris and Coastal Resources Multi-Donor Trust Fund (Oceans-MDTF) adalah sebuah program yang dibentuk atas dasar 

masukan Pemerintah negara kita  untuk mendukung 

kebijakan kelautan negara kita . negara kita  Oceans-

MDTF bertujuan untuk memperdalam pengetahuan, 

memperbaiki kesadaran, dan memperkuat koordinasi 

dalam bentuk strategi dan rencana pengelolaan laut 

negara kita  secara berkelanjutan, pengurangan sampah 

plastik, serta penguatan sumber daya pesisir. 

 Program negara kita  Oceans-MDTF berjalan pada 

tahun 2017-2022, dan saat ini beroperasi dengan kontribusi 

dana yang berasal dari berbagai negara yaitu Pemerintah 

Norwegia sebesar 2,54 juta dolar AS dan Pemerintah 

Denmark sebesar 1,93 juta dolar AS. Dana hibah ini 

disalurkan melalui Bank Dunia. 

 Adapun steering committee negara kita  Oceans-MDTF 

terdiri dari Bank Dunia dan Kementerian Koordinator 

Bidang Kemaritiman dan Investasi sebagai co-chair. 

Sedangkan kementerian/lembaga utama yang menjadi 

technical committee pada negara kita  Oceans-MDTF 

adalah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan 

Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 

Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian 

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Kementerian 

Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

 negara kita  Oceans-MDTF berfokus pada tiga 

komponen teknis prioritas Pemerintah negara kita . Pertama, 

mendukung kebijakan kelautan negara kita  dengan 

meningkatkan kepedulian, perencanaan, koordinasi, 

kebijakan, dan pembiayaan untuk mendukung strategi 

kelautan yang lebih luas, termasuk elemen hayati dan 

non-hayati dalam perekonomian maritim.

 Kedua, mengurangi sampah laut melalui usaha  yang 

sedang berjalan untuk meningkatkan pengelolaan limbah 

padat di kota-kota pesisir dan pada badan air untuk 

meningkatkan pengaruh dari usaha meminimalisasi 

kebocoran sampah plastik.

 Ketiga, meningkatkan ketahanan dan sumber 

daya pesisir, dengan tujuan untuk memperkuat usaha  

konservasi dan pemanfaatan ekosistem pesisir dan laut 

secara berkelanjutan. Hal ini juga berkaitan dengan mata 

pencaharian melalui peningkatan pengelolaan, inovasi 

aktivitas dan pendanaan, serta insentif. 

 Buku “Sampah, Amanah, Rupiah” ini merupakan salah 

satu usaha  negara kita  Oceans-MDTF melakukan sosialisasi 

tiga komponen teknis yang menjadi fokus Pemerintah 

negara kita . Buku ini berisi kisah para pejuang di bidang 

pengelolaan sampah untuk mengurangi jumlah timbulan 

sampah yang dihasilkan warga . Salah satu caranya 

adalah melalui bank sampah. 

 Pengerjaan buku ini sepenuhnya dibiayai melalui dana 

negara kita  Oceans-MDTF, yang disalurkan oleh Bank Dunia. 

Namun, seluruh hasil temuan, interpretasi, dan kesimpulan 

yang disampaikan di dalam buku ini, sepenuhnya adalah 

milik penulisnya. Yang disampaikan di dalam buku ini 

tidak serta-merta mewakili pandangan Bank Internasional 

untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International 

Bank of Reconstruction and Development – IBRD) / Bank 

Dunia, maupun organisasi-organisasi yang berafiliasi 

dengannya, ataupun pandangan Dewan Direktur 

Eksekutif Bank Dunia, maupun seluruh pemerintah yang 

diwakilinya. Bank Dunia tidak menjamin akurasi data yang 

tercantum di dalam publikasi ini.


Persoalan sampah di negara kita  sudah dalam taraf 

mengkhawatirkan. Dalam setahun, penduduk 

negara kita  menghasilkan sedikitnya 65 juta sampah. 

TPA Bantargebang dalam kondisi kritis.

T ak cuma sekali Leonardo DiCaprio menunjukkan keprihatinannya terhadap persoalan lingkungan hidup di negara kita . Aktor kondang Hollywood itu 

setidaknya pernah dua kali menyoroti kondisi Tempat 

Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Pada 

Maret 2019, DiCaprio mengunggah ulang sebuah foto di 

akun instagramnya. Dia menulis: “Beberapa pria, dari Desa 

Cikiwul, menangkap ikan di perairan berlumpur yang 

sangat tercemar yang merembes dari zona pembuangan 

terbesar Bantar Gebang”. 

 Lantas, pada September 2019, peraih Piala Oscar lewat 

film “The Revenant” ini kembali sebuah mengunggah 

sebuah foto. Lagi-lagi, kondisi TPST Bantargebang yang 

menjadi perhatiannya. “Tempat ini dianggap sebagai 

tempat pembuangan sampah terbesar di negara kita ,” 

begitu yang dia tulis di instagramnya.

 TPST Bantargebang terletak di Kota Bekasi, Jawa Barat. 

Namun, tanah tempat TPST Bantargebang itu dimiliki oleh 

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Semula bernama Tempat 

Pemrosesan Akhir (TPA) sampah Bantargebang, TPST ini 

sudah beroperasi sejak 1986. Luasnya mencapai 110 hektar.

 Setiap hari, sekitar tujuh ribu ton sampah warga 

Jakarta yang dibuang ke TPST Bantargebang. Maka, 

tak heran jika sampah di TPST Bantargebang kini sudah 

menyerupai gunung. Tinggi gunungan sampah sudah 

mencapai 40 meter. Dengan tumpukan sampah yang 

menggunung, diperkirakan TPST Bantargebang hanya 

sanggup beroperasi sampai 2021. 

 Tak hanya TPST Bantargebang yang berada dalam 

kondisi memprihatinkan. Sebagian besar TPA dan TPST 

di negara kita  kini sudah kewalahan menampung sampah. 

Selain itu, bencana pun pernah terjadi di TPA.

 Pada 21 Februari 2005, hujan lebat mengguyur 

Kampung Cilimus dan Kampung Pojok, Cimahi, Jawa 

Barat. Kedua kampung itu berdekatan lokasinya dengan 

TPA Leuwigajah. Saat, hujan datang, gunungan sampah 

setinggi 60 meter tak sanggup lagi menahan derasnya 

air hujan. Sesaat , gunungan sampah itu longsor dan 

menghantam permukiman di Kampung Cilimus dan 

Kampung Pojok. Sebanyak 157 warga kedua kampung 

itu  tewas.


 Bule yang peduli terhadap persoalan sampah di 

negara kita , ternyata tak hanya Leonardo DiCaprio. Dua 

orang kakak beradik warga Prancis - Gary Bencheghib dan 

Sam Bencheghib – malah sudah melakukan aksi nyata di 

sepanjang aliran Sungai Citarum. Pada 30 Agustus 2017, 

keduanya mengunggah sebuah video di kanal YouTube 

“Make A Change World”.

 Gary dan Sam menyusuri aliran Sungai Citarum sambil 

membersihkan sampah. Dramatisnya, mereka menaiki 

sampan berkerangka bambu dan terbuat dari 300 ratusan 

botol plastik bekas minuman dalam kemasan. Dengan 

kayak itu, mereka mengarungi aliran Sungai Citarum 

selama dua pekan. Dari Majalaya hingga Bekasi.

 Keduanya menjumpai banyak pengalaman saat 

“berlayar” di Sungai Citarum dengan kayak dari botol 

plastik. Dayung yang mereka gunakan berkali-kali 

tersangkut sampah kantong plastik. “Kami mendayung 

kayak di samping bangkai anjing, atau babi. Dan, baunya 

amat tak sedap,” kata Sam.

 Aksi dua bule kakak beradik ini ternyata langsung 

mendapatkan respon dari pemerintah negara kita . 

Bahkan, Presiden Joko Widodo pun menanggapi serius 

video viral itu . Jokowi berjanji, Citarum akan bersih 

dalam waktu tujuh tahun. “Gary, nanti kamu akan lihat 

bahwa dalam tujuh tahun, Citarum akan menjadi sungai 

paling bersih,” ujar Jokowi dalam video yang diunggah 

“Make A Change World”, halaman Facebook milik Gary 

dan Sam.

 Dan, janji Jokowi itu terlaksana pada 22 Februari 

2018. Jokowi mencanangkan dimulainya program 

“Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Daerah 

Aliran Sungai Citarum”. Program ini dikenal pula dengan 

nama Citarum Harum. 

Paradigma Lama vs Paradigma Baru

 Kondisi memprihatinkan TPST Bantargebang dan 

sebagian besar TPST atau TPA lain di negara kita , hanyalah 

puncak gunung es dari pengelolaan sampah di negara kita . 


Problematika persampahan di negara kita  kini sudah 

memasuki kondisi yang mengkhawatirkan. 


 Pada 2017, Sustainable Waste negara kita  (SWI) 

melalukan penelitian ihwal persampahan di negara kita . 

Datanya cukup mencengangkan. Produksi limbah padat 

di negara kita  mencapai 65 juta ton per tahun. Dari angka 

itu, hanya tujuh persen yang didaur ulang. Lebih gawatnya 

lagi, 24 persen dari total limbah padat yang dihasilkan, 

tidak dapat terkelola dengan baik. Pada ujungnya, 24 

persen sampah ini akan mencemari ekosistem dan 

lingkungan. 

 Dari total 65 juta ton limbah padat per tahun itu, 65 

persen berupa sampah organik. Sisanya adalah plastik (14 

persen), kertas (9 persen), logam (4,3 persen), kaca, kayu, 

dan bahan lainnya (12,7 persen). Tingginya angka timbulan 

sampah plastik jelas saja amat mencemaskan. Apalagi, 

sekitar 1,3 juta ton sampah plastik itu  tidak terkelola 

dengan baik. Diperkirakan, setiap tahun ada sekitar 800 

ribu ton sampah plastik yang masuk ke laut.


 Pemerintah negara kita  tentu saja tidak berdiam diri dan 

berpangku tangan menyikapi kondisi ini. Berbagai usaha  

dan kebijakan sudah dijalankan. Perangkat hukum yang 

mengatur ihwal persampahan pun sudah ada: Undang-

undang nomor 18 tahun 2008.

 Namun, pengelolaan sampah sejatinya tak bisa hanya 

mengandalkan kerja pemerintah belaka. Peran serta 

warga  menjadi kunci penting. warga  harus 

ditumbuhkan kesadarannya untuk peduli dengan urusan 

sampah. Salah satunya melalui gerakan bank sampah. 

Pemerintah sudah mengeluarkan regulasi soal bank 

sampah, yakni Peraturan Menteri Negara Lingkungan 

Hidup Nomor 13 Tahun 2012, tentang Pedoman Pelaksanaan 

Reduce, Reuse, dan Recycle Melalui Bank Sampah.

 Bank sampah diharapkan menjadi sebuah gerakan 

dari warga  untuk mengelola sampah. Melalui bank 

sampah, potensi timbulan sampah sudah bisa dikurangi 

sejak dari rumah tangga. Prinsip dasar bank sampah berupa 

kegiatan 3R (reduce, reuse, recycle - batasi sampah, guna 

ulang sampah, daur ulang sampah). Untuk menjalankan 

prinsip 3R, warga  harus memiliki kesadaran memilah 

sampah sejak dari rumah. Sampah yang sudah terpilah itu 

lalu disetorkan ke bank sampah.

 Bank sampah sejatinya merupakan salah satu sarana 

perubahan paradigma dalam pengelolaan sampah. 

Paradigma lama menganut konsep sampah dibuang, 

ditimbun, atau dibakar. TPA atau TPST menjadi bagian 

paling akhir dari proses ini. Sementara, pada paradigma 

baru, pengeloaan sampah dilakukan dengan cara 

mengurangi sampah. warga  diharapkan bisa 

memakai kembali barang yang biasanya dibuang menjadi 

sampah. Atau, jika pun sudah menjadi sampah, warga  

masih bisa memanfaatkannya menjadi barang jenis lain.

Gara-gara Demam Berdarah

 Adalah Bambang Suwerda yang pertama kali 

memperkenalkan istilah bank sampah di negara kita . Dosen 

Politeknik Kesehatan (Poltekes) Yogyakarta warga Dusun 

Badegan, Bantul, ini awalnya merasa prihatin dengan 

kondisi lingkungan tempatnya bermukim. Saat itu, usai 

gempa bumi hebat meluluhlantakan Yogya, penyakit 

demam berdarah mengganas. Penyebabnya adalah 

tumpukan sampah warga Badegan yang dibiarkan begitu 

saja, lalu menjadi tempat nyaman bagi nyamuk bersarang.

 Bambang tak mau tinggal diam. Bersama warga 

Badegan yang peduli, dia pun mulai berikhtiar mengelola 

sampah. Bambang mengawalinya dengan membuka 

bengkel kerja. Dia ajak tetangganya, seorang seniman 

di Bantul. Lalu, mereka mengolah sampah styrofoam 

menjadi dudukan bendera. Inilah cikal bakal tegaknya 

sebuah bank sampah bernama Gemah Ripah, pada 2008.

 Sejatinya, Bambang Suwerda tidak punya tujuan 

muluk. Ia hanya ingin kondisi lingkungannya bersih dan 

bebas dari penyakit. Bambang meyakini, salah satu cara 

yang akan membawa hasil nyata adalah menyadarkan 

warga  untuk memilah sampah dari rumah. Prinsipnya 

amat sederhana: memilah dan memisahkan sampah 

kering (nonorganik) dan sampah basah (organik). 

 Warga memilah sampah, lalu menyetorkan sampah 

kering ke bank sampah. Sesampainya di bank sampah, 

petugas kembali memilah sampah. Lantas, menimbang 

sampah yang bernilai ekonomis. Bank sampah menghargai 

sampah itu  sesuai dengan harga yang sudah 

ditentukan. Petugas mencatat jumlah uang yang menjadi 

hak nasabah ke dalam buku tabungan. Jadi, prinsip bank 

sampah ini tak ubahnya seperti bank secara umum yang 

menjadi tempat menabung uang.

 Sejak 2008, bank sampah terus berkembang. Patutlah 

Bambang Suwerda mendapatkan acungan jempol untuk 

gagasannya mendirikan bank sampah. Bambang tak 

hanya seorang pendekar sampah. Dalam dunia silat, para 

pendekar berguru kepada seorang suhu. Dan, Bambang 

Suwerda adalah Sang Suhu. Begitu banyak orang yang 

kini bisa dianggap sebagai “pendekar sampah” menuntut 

ilmu soal pengelolaan sampah kepada Bambang.

 Banyak orang di berbagai daerah di negara kita  yang kini 

mereplikasi ide cemerlang Bambang Suwerda. Bentuknya 

beragam. Ada bank sampah yang murni didirikan oleh 

warga, sama sekali tanpa campur tangan pemerintah. Ada 

juga bank sampah yang diinisiasi oleh pemerintah daerah, 

seperti Bank Sampah Malang dan Bank Sampah Makassar.

 Organisasi warga  (ormas) pun tak mau ketinggalan 

mengelola bank sampah. Nahdatul Ulama, ormas Islam 

dengan jumlah anggota hampir 100 juta orang, punya Bank 

Sampah Nusantara di Jakarta. Lebih dari 100 pesantren di 

seluruh negara kita  menjadi cabang Bank Sampah Nusantara. 

Muhammadiyah memiliki gerakan sedekah sampah. 

Lewat gerakan inilah, Muhammadiyah mengelola sampah, 

sekaligus menyantuni orang tak mampu.

 Dalam perkembangannya, tak sedikit pula bank 

sampah yang ambruk. Salah satunya adalah bank sampah 

Barokah Assalam di Padang, Sumatra Barat. Padahal, bank 

sampah ini diresmikan Menteri Lingkungan Hidup, Gusti 

Mohammad Hatta, dalam sebuah acara yang meriah.

 Banyak faktor yang memicu  bank sampah 

mandeg, bahkan tak sedikit yang mati suri. Mengelola 

bank sampah sebetulnya gampang-gampang susah. 

Yang jelas, dibutuhkan komitmen dan jiwa melayani yang 

tinggi. Dalam mengelola sampah, ada tiga unsur penting: 

lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi. Bank sampah 

lebih menitikberatkan ke unsur lingkungan hidup dan 

sosial. Betul memang, ada uang di balik pengelolaan 

bank sampah. Namun, jumlahnya tidaklah seberapa jika 

dibandingkan dengan unsur lingkungan dan nilai sosialnya. 

Jalan Sunyi Pendekar Sampah

 Bank sampah sejatinya hanya sebuah usaha  

sederhana pengelolaan sampah berbasiskan kemandirian 

warga . Selain bank sampah, masih cukup banyak ide 

cemerlang yang berasal dari beberapa  orang. Di Surabaya, 

ada Walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Risma, sapaan 

akrab Sang Walikota, melakukan beberapa  terobosan 

untuk mengubah wajah Surabaya menjadi jauh lebih 

bersih dan indah. Risma juga mengolah sampah menjadi 

listrik, melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

 Di Malang, ada dokter Gamal Albinsaid. Dialah yang 

mencetuskan ide mendirikan klinik asuransi sampah. 

Gamal mewakafkan dirinya membantu orang kecil yang 

tak punya akses kepada layanan kesehatan. Padahal, jika 

ingin kaya, Gamal tinggal membuka praktik dokter, lalu 

memasang tarif kepada pasien yang berobat. Jerih payah 

Gamal sampai mendapat penghargaan dari Pangeran 

Charles dan Vladimir Putin. 

 Ada juga DK Wardhani, seorang arsitek yang akhirnya 

menjadi pegiat lingkungan, antara lain melalui gerakan 

sedekah minyak jelantah. Warga Kota Malang, Jawa 

Timur ini juga memelopori gerakan hidup minim sampah. 

Dini, demikian dia biasa disapa, bahkan tak sungkan 

membawa rantang sendiri jika ingin membeli makanan 

ke rumah makan.

 Di Kabupaten Malang, ada seorang yang dijuluki Kiai 

Sampah. Namanya Fadil Supandi. Dia merintis, mengelola, 

dan menggerakkan TPST Mulyoagung Bersatu. Tak ada 

bantuan dalam bentuk uang kepada TPST Mulyoagung. 

Karenanya, banyak pihak yang menjadikan TPST ini 

sebagai percontohan pengelolaan sampah secara mandiri.

 Di Jakarta, ada Bijaksana Junerosano, seorang pemuda 

yang dijuluki “pemulung berdasi”. Anak muda yang biasa 

disapa Sano ini, memiliki perusahaan pengelolaan sampah 

berbasiskan teknologi informasi. Melalui Waste4Change, 

Sano bermimpi membantu kota dan kabupaten di 

negara kita  untuk menerapkan tata kelola pengelolaan 

sampah yang terpadu dan menyeluruh.

 Masih di Jakarta, ada seorang perempuan enerjik 

bernama Wilda Yanti. “Ratu Sampah” adalah julukan 

yang melekat pada Wilda. Maklum, bisnisnya di bidang 

pengolahan sampah kini sudah menggurita. Omset 

perusahaannya sudah melewati angka 50 miliar rupiah 

per bulan. Wilda Yanti menempuh jalan berliku, sampai 

bisa mencapai tahap seperti sekarang. Bahkan, dia pernah 

ditodong sepucuk pistol oleh pihak yang merasa terusik 

dengan kiprahnya mengolah sampah.

 Di Padang, Sumatra Barat, ada Syaifuddin Islami. 

Soal bank sampah, dia berguru langsung ke suhu bank 

sampah, Bambang Suwerda. Kendati acap mendapatkan 

penolakan dari warga saat mengampanyekan bank 

sampah, Ilam, sapaan Syaifuddin, tak pernah menyerah. 

Dia mendapatkan semangat ini dari Bambang Suwerda.

 Di Yogyakarta, ada Ananto Isworo. Dia menggagas 

Gerakan Shadaqah Sampah (GSS) di Dusun Brajan, 

Bantul. Tak hanya mengelola sampah. Ananto juga 

berhasil mengubah wajah Brajan. Dulu, Brajan dikenal 

sebagai wilayah yang sarat aksi premanisme. Kini, Brajan 

menjadi rujukan gerakan mengolah sampah dengan cara 

bersedekah.

 Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, ada Syawaludin dan 

Febriarti Khairunnisa. Pasangan suami istri ini mendirikan 

Bank Sampah Bintang Sejahtera dengan modal hasil 

menjual mas kawin. Saat sedang di puncak kejayaan, 

mereka terbuai janji manis seorang bule. Harta pun ludes. 

Febriarti bahkan sempat terserang lumpuh otak. Dengan 

tekad dan semangat, keduanya berhasil bangkit.

 Di era kepesatan perkembangan teknologi informasi 

seperti sekarang, bank sampah pun mau tak harus 

bersentuhan dengannya. Perusahaan rintisan (start up) di 

bidang persampahan pun bermunculan. Start up ini lalu 

membuat aplikasi yang memudahkan warga atau pihak 

pengelola sampah menangani persoalan sampah.

 Di Bandung, ada Putra Fajar Alam dengan SMASH-

nya. SMASH membuat beberapa  aplikasi yang banyak 

dipakai bank sampah di negara kita . Beragam aplikasi ini 

memudahkan pengelola bank sampah. Misalnya, dalam 

urusan pencatatan dan pemantauan kinerja bank sampah.

 Sementara di Makassar, ada seorang mahasiswa 

bernama Adi Saifullah Putra. Awalnya, Adi merasa tak 

nyaman dengan bau busuk sampah dari TPS liar di 

dekat kost-nya. Dari situlah dia menggagas sebuah 

aplikasi bernama MallSampah Makassar. Aplikasi ini mirip 

e-commerce. Tapi, produk yang dijual adalah sampah. 

 Berbagai cerita inspiratif tentang jatuh bangun bank 

sampah, atau perjuangan para “pendekar sampah” yang 

tak pernah menyerah mengurus sampah, akan menjadi 

bagian buku ini. Ada drama dan air mata. Ada pula 

pengkhianatan. Dan, tentu ada juga kelucuan dari kisah-

kisah menarik dalam buku ini.

 Tentu saja masih banyak jurus mumpuni lain dalam 

mengelola sampah. Pun, masih berserakan pula orang-

orang yang mencurahkan hidupnya mengurus sampah. 

Buku ini niscaya tak akan mampu menampung semuanya. 

Buku ini hanyalah sebuah potret kecil betapa kepedulian 

terhadap pengelolaan sampah memegang peran penting 

mengubah sebuah lingkungan.

 Dengan sengaja, gaya penulisan buku ini memilih 

cara bertutur (storytelling). Kisahnya dilengkapi dengan 

reportase. Alur ceritanya tak baku. Kadang runtun, kadang 

pula memakai cara flashback. Atau, gabungan dari 

keduanya. Dengan ramuan itu, diharapkan buku ini akan 

memiliki daya tarik, karena dikemas dan ditulis dengan 

gaya penulisan populis. 

Secara umum, sampah rumah tangga terbagi 

menjadi sampah organik dan sampah nonorganik. 

Jika dikelola dengan tepat, kedua jenis sampah 

ini bisa dimanfaatkan lagi. Bahkan, ada nilai 

rupiah di dalam semua sampah.

S eorang perempuan muda berjalan tergesa-gesa. Tangan kanannya mencekal kantong plastik ukuran besar berwarna hitam. Dia memasuki halaman 

sebuah bangunan yang banyak tumpukan sampah. 

Tak sampai sepuluh menit, perempuan itu kembali 

menuju sebuah mobil yang sedang menunggunya. “Saya 

menyetorkan sampah ke bank sampah. Musti buru-

buru karena sudah ditunggu rapat di kantor,” ujar Rosa, 

perempuan enerjik yang tinggal di sebuah komplek 

perumahan di perbatasan Depok dan Jakarta.

 Rosa adalah sosok perempuan perkotaan yang peduli 

dengan sampah. Padahal, dia bisa saja meletakkan sampah 

rumah tangganya di tong sampah di muka rumahnya. 

Dibiarkan teronggok begitu saja. Toh, nanti juga akan 

diangkut petugas kebersihan komplek perumahannya. 

 Tak banyak warga seperti Rosa. Terlebih lagi warga 

yang bermukim di kawasan perkotaan. Kesadaran bahwa 

urusan sampah sejatinya juga harus menjadi urusan 

warga , ternyata masih amat rendah. Statistik 

Lingkungan Hidup negara kita  tahun 2018 yang dirilis 

Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka yang 

memprihatinkan. Sebanyak 66,8 persen rumah tangga di 

negara kita  menangani sampah yang dihasilkan dengan 

cara dibakar. Sedangkan 32 persen menangani sampah 

dengan cara lainnya. Hanya 1,2 persen rumah tangga di 

negara kita  yang mendaur ulang sampah secara mandiri. 

Dan, Rosa termasuk ke dalam angka 32 persen tadi.

 Hanya saja, tak banyak yang seperti Rosa, 

memanfaatkan bank sampah sebagai sarana mengelola 

sampah yang dihasilkan rumah tangga. Lebih dari 90 

persen rumah tangga di negara kita , mengandalkan 

petugas kebersihan sampah yang mengangkut sampah, 

ketimbang menyetorkan sampah ke bank sampah. 

 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, beberapa kota 

besar di negara kita  menghasilkan sampah dalam jumlah 

yang cukup tinggi. Pada 2017, Surabaya menghasilkan 

sampah sebanyak 9.896,78 meter kubik per hari. Jakarta 

sebanyak 7.164,53 meter kubik sampah per hari. Makassar 

menghasilkan sampah 6.485,65 meter kubik per hari. 

Tiga kota lain berikutnya adalah Denpasar, Manado, dan 

Medan, yang secara berurutan menghasilkan sampah per 

hari sebanyak 3.657,20 meter kubik, 2.064 meter kubik, 

dan 1.892 meter kubik. 

Jumlah Sampah Kota Besar 2017

No Kota Jumlah sampah/hari (m3)

1. Surabaya 9.896,70

2. Jakarta 7.164,53

 3. Makassar 6.485,65

4. Denpasar 3.657,20

5. Manado 2.064,00

6. Medan 1.892,00

 Masih tingginya angka timbulan sampah di banyak 

kota besar di negara kita  tentu tak lepas dari perilaku 

warganya. Kesadaran memilah sampah sejak dari rumah 

masih terbilang rendah. Proses memisahkan sampah 

organik dan sampah nonorganik kadang dianggap 

sebagai sebuah pekerjaan yang menjijikkan dan hanya 

membuang waktu.

 Selama ini, warga  memang sudah dimanjakan 

dengan kehadiran petugas pengangkut sampah. Tentu 

saja, warga  harus membayar iuran sampah. Namun, 

besaran iuran itu masih tak sebanding dengan produksi 

sampah yang dihasilkan. 

Untung Ada Bank Sampah

 Menurut Undang-Undang nomor 18 tahun 2018 tentang 

Pengelolaan Sampah, definisi sampah adalah sisa kegiatan 

sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk 

padat. Undang-Undang ini menyebutkan tiga jenis sampah 

yang harus dikelola: sampah rumah tangga, sampah sejenis 

sampah rumah tangga, dan sampah spesifik.

 Sampah rumah tangga berasal dari kegiatan sehari-

hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah 

spesifik. Sampah sejenis sampah rumah tangga berasal 

dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, 

fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya. 

Sedangkan sampah spesifik antara lain berupa sampah 

yang mengandung bahan berbahaya dan beracun.

 Secara umum, sampah rumah tangga terdiri dari 

sampah organik dan sampah nonorganik. Sampah 

organik adalah sampah yang berasal dari sisa mahluk 

hidup dan dapat terurai secara alami. Sampah organik dari 

rumah tangga biasanya berupa sisa makanan dan proses 

memasak di dapur. Sampah organik bisa diolah menjadi 

pupuk kompos. 

 Sedangkan sampah nonorganik adalah sampah yang 

dihasilkan dari bahan-bahan non hayati, baik berupa 

produk sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan 

bahan tambang atau sumber daya alam lain. Sampah 

nonorganik ini amat sulit terurai secara alami. Sampah 

nonorganik dari rumah tangga antara lain berupa plastik, 

kertas, besi atau logam, kaca, dan styrofoam.

 Bank sampah menjadi titik simpul penting guna 

mengurangi timbulan sampah. Bank sampah akan 

mereduksi jumlah sampah yang dibuang ke tempat 

pemrosesan akhir (TPA) sampah. Bank sampah menjadi 

penggerak mekanisme reduce, reuse, dan recycle (3R). 

 Bank sampah mampu mengolah sampah nonorganik 

rumah tangga menjadi produk baru, misalnya berupa 

kerajinan tangan. Inilah konsep daur ulang. Kerajinan 

tangan itu bisa menjadi cindera mata yang laku dijual. 

Banyak bank sampah yang mendaur ulang sampah 

plastik menjadi tas, tempat minuman, atau tempat tisu. 

Ada pula bank sampah yang membuat ecobrick dari botol 

bekas kemasan minuman.

 Memang, bank sampah tak bisa mengolah semua 

jenis sampah yang disetorkan nasabah. Bank sampah akan 

menjual sampah ini ke pengepul atau pelapak sampah. 

Oleh pengepul atau pelapak, sampah itu  dijual ke 

pabrik daur ulang. Mekanisme ini bisa mengurangi jumlah 

sampah yang dibuang ke TPA.

Perjalanan Menuju Bank Sampah 

 Menangani sampah rumah tangga secara benar 

tentu butuh kesadaran, serta sedikit tambahan waktu dan 

tenaga. Proses memilah sampah menjadi kunci penting. 

Setidaknya, pisahkanlah sampah kering dan sampah 

basah. Sampah basah bisa diproses menjadi kompos. 

Caranya beragam. Bisa memakai  takakura. Bisa 

pula ditimbun ke dalam lubang biopori. Kalau mau agak 

moderen sedikit, bisa gunakan biodigister.

 Sampah kering bisa dijual ke bank sampah. Bawa 

sampah ke bank sampah. Lalu, petugas bank sampah akan 

menimbang sampah. Proses berikutnya adalah mencatat 

tabungan sampah nasabah. Setelah semua selesai, 

nasabah akan mendapatkan beberapa  uang. Nasabah 

bank sampah bisa langsung membawa pulang uang 

hasil penjualan sampah. Atau, nasabah bisa menabung 

uangnya di bank sampah. Nasabah tak perlu khawatir 

uangnya akan lenyap. Namanya juga bank. Uang nasabah 

akan disimpan dengan aman. Dan, semua tercatat di 

dalam buku rekening nasabah bank sampah.


Bank adalah tempat menabung uang. Itu bank 

konvensional. Nah, kalau bank sampah, adalah 

tempat menabung sampah. Pola kerjanya mirip 

dengan bank benaran. Di bank sampah, warga 

bisa mendapatkan uang dengan menjual sampah 

yang dihasilkan dari rumah tangga.

Jadi, ibu-ibu.... Sekarang bank itu bukan cuma tempat menyimpan uang saja, lho. Sekarang sudah ada yang namanya bank sampah. Kalau ibu-ibu punya sampah 

di rumah, jangan dibuang seperti selama ini. Ibu-ibu pilah. 

Pisahkan sampah kering dan sampah basah. Sampah 

basah ibu-ibu jadikan kompos. Gampang kok caranya. 

Sedangkan sampah kering bisa ibu-ibu setor ke bank 

sampah, lalu ditimbang di bank sampah. Trus, sampah itu 

dihargai oleh bank sampah. Jadi, ibu-ibu sekarang harus 

sadar bahwa sampah itu juga bisa dijadikan uang”.

 Perempuan berkerudung itu bicara cukup panjang. 

Agaknya, dia terkesima dengan sebuah bentuk baru 

pengelolaan sampah bernama bank sampah. Betapa tidak. 

Selama ini orang mengenal bank sebagai tempat menabung 

uang. Pokoknya, bank adalah tempat segala macam lalu 

lintas transaksi keuangan. Eh, tiba-tiba kini ada bank sampah. 

 Perempuan itu bernama lengkap Tri Rismaharini. 

Orang lebih mengenalnya dengan panggilan Bu Risma. 

Ya, dia adalah Walikota Surabaya, Jawa Timur. Dengan 

antusias, Risma mengajak warga Surabaya mulai 

memanfaatkan keberadaan bank sampah sebagai sarana 

mengelola sampah. Risma menyampaikan hal itu saat 

meresmikan bank sampah di Jalan Simo Jawar, Surabaya, 

pada Agustus 2018.

 Risma membeberkan dengan sederhana ihwal 

bank sampah. Uraian Risma itu amat mengena. Sebab, 

memang seperti itulah konsep bank sampah. Fungsi 

bank sampah adalah untuk menampung sampah 

dari rumah, lalu memanfaatkan kembali atau menjual 

sampah itu .

 Ada satu ketentuan hukum yang mengatur ihwal 

bank sampah. Ketentuan itu berupa Peraturan Menteri 

Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2012, 

tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, dan 

Recycle Melalui Bank Sampah. Konsep 3R (reduce, reuse, 

recycle) menjadi kata kunci penting dalam Permen 

itu . Dalam bahasa negara kita , istilah 3R menjadi 

“batasi sampah”, “guna ulang sampah”, dan “daur ulang 

sampah”. 

 Definisi kegiatan 3R dalam Permen itu  adalah 

“segala aktivitas yang mampu mengurangi segala 

sesuatu yang dapat menimbulkan sampah, kegiatan 

penggunaan kembali sampah yang layak pakai untuk 

fungsi yang sama atau fungsi yang lain, dan kegiatan 

mengolah sampah untuk dijadikan produk baru”. Dalam 

Permen itu, definisi bank sampah adalah “tempat 

pemilahan dan pengumpulan sampah yang dapat 

didaur ulang dan/atau diguna ulang yang memiliki nilai 

ekonomi”.

 Permen No. 13/2012 ini mengatur cukup detil 

tentang bank sampah. Bank sampah harus memiliki 

konstruksi bangunan dan sistem manajemen bank 

sampah. Konstruksi bangunan yang dipersyaratkan 

dalam Permen memiliki luas lantai lebih kurang atau 

sama dengan 40 meter persegi. Juga diatur mengenai 

dinding, pintu, pagar, atap, dan berbagai komponen 

bangunan lainnya. Aturan ini ada pada Lampiran I 

Permen No. 13/2012.

 Selain mengatur soal bangunan, Permen No. 13/2012 

juga mengatur ihwal manajemen bank sampah. Salah 

satunya adalah ketentuan mengenai pendidikan paling 

rendah yang harus dimiliki direktur bank sampah, yakni 

minimal SMA atau sederajat. 

 Ada pula klausul tentang bentuk bank sampah. Pada 

Permen No. 13/2012, bank sampah bisa berbentuk koperasi 

atau yayasan. Sebagian besar bank sampah di negara kita  

memiliki badan hukum berupa koperasi atau yayasan. 

Namun, ada pula bank sampah yang tidak memakai  

badan hukum koperasi atau yayasan. Bank Sampah 

Makassar memakai  bentuk lain, yakni berupa Unit 

Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Karenanya, Bank Sampah 

Makassar berada di bawah pemerintahan kota Makassar. 




TABEL 2. Standar manajemen bank sampah dalam Permen LH No. 13/2012.

Uang Sebagai Biaya Operasional

 Prinsip dasar bank sampah adalah melibatkan peran 

serta warga  dalam pengelolaan sampah. warga  

harus dibangun kesadarannya bahwa persoalan sampah 

adalah persoalan bersama. Bank sampah hanyalah sebuah 

titik simpul bagi warga  untuk mengumpulkan 

sampah. warga  diharapkan dengan sadar dan 

sukarela menyetorkan sampah yang dihasilkannya ke 

bank sampah.

 Tentu saja tak hanya sekadar menyetor sampah. Yang 

jauh lebih penting adalah menggerakkan warga  

agar bersedia memilah sampah sejak dari rumah. Minimal, 

sampah yang disetorkan ke bank sampah sudah terpilah 

antara sampah organik dan sampah nonorganik. 

 Sebagian besar bank sampah di negara kita  hanya 

menerima sampah nonorganik. Pengelola bank sampah 

lantas mengolah sampah nonorganik menjadi produk 

kerajinan. Bank Sampah Sukunan, Sleman, Yogyakarta, 

bahkan sudah bisa menghasilkan batako tahan gempa 

yang dibuat dari sampah plastik atau kaca. 

 Memang, tak semua bank sampah berhasil menjajakan 

produk kerajinan dari sampah daur ulang. Biasanya, harga 

kerajinan daur ulang sampah ini lebih mahal ketimbang 

produk sejenis yang berasal dari pabrik. Inilah yang 

membuat hasil kerajinan bank sampah kalah bersaing. 

Kondisi ini membuat sebagian bank sampah enggan 

mendaur ulang sampah menjadi produk kerajinan. 

Mereka lebih memilih menjual langsung sampah kepada 

pengepul atau pelapak. 

 Ada pula bank sampah yang juga menerima sampah 

organik. Sampah organik berasal dari sisa makanan atau 

sisa hasil memasak di dapur. Sampah ini bisa dijadikan 

pupuk kompos. Bank Sampah Induk Gemah Ripah di 

Bantul, Yogyakarta, misalnya, bahkan sudah memiliki 

gudang luas sebagai tempat pengomposan. 



 Kini, ada pula bank sampah yang juga menerima 

minyak jelantah. Biasanya, warga  membuang 

minyak jelantah ini ke saluran pembuangan air. Tentu 

saja, hal ini dapat memicu  pencemaran lingkungan. 

Salah satu bank sampah yang menerima minyak jelantah 

adalah Bank Sampah Rumah Harum di Depok, Jawa Barat. 

Bank Sampah Rumah Harum menjual minyak jelantah ke 

pabrik yang memproduksi bahan baku biodiesel. 


 Dari hasil mengelola sampah, bank sampah tentu 

saja memperoleh beberapa  uang. Ada bank sampah yang 

memiliki omset sampai miliaran rupiah dalam setahun. 

Tentu saja keuntungannya lumayan besar. Tapi, tak 

sedikit pula bank sampah yang beromset kecil. Sebagian 

pengelola bank sampah yang beromset kecil ini tak lantas 

berkecil hati. Mereka menyadari bahwa pengelolaan 

sampah bukan semata urusan uang belaka. Ada nilai 

sosial dan cinta lingkungan di balik pengelolaan sampah. 

 Sebagian besar bank sampah di negara kita  

menggantungkan biaya operasionalnya dari selisih 

harga membeli sampah nasabah dan menjual sampah 

ke pelapak. Ada pula yang sebagian penghasilannya 

diperoleh dari menjual produk kerajinan daur ulang 

sampah. Mereka mengelola bank sampah secara mandiri, 

tanpa mendapatkan bantuan dari pihak mana pun. 



Letih? Pasti Iya...

 Bank sampah akan membantu membangun kesadaran 

warga  agar peduli dengan urusan pengelolaan 

sampah. Bambang Suwerda menyematkan filosofi penting 

dalam pengelolaan bank sampah: memilah sampah. Proses 

pemilahan dilakukan secara berjenjang. Nasabah bank 

sampah memilah sampah di rumah. Minimal memilah dan 

memisahkan sampah organik dan sampah nonorganik. 

Nasabah lalu menyetorkan sampah ke bank sampah. 

Kebanyakan bank sampah hanya menerima sampah 

nonorganik. 

 Proses pemilahan sampah tidak berhenti sampai di 

situ saja. Setibanya di bank sampah, petugas bank sampah 

kembali memilah sampah nonorganik. Pemilahannya 

berdasarkan jenis sampah nonorganik yang laku dijual. 

Setiap bank sampah memiliki kategori jenis sampah yang 

mereka terima dari nasabah. 

 Bank sampah membeli sampah nasabah dengan 

harga fluktuatif. Harga sampah ini tergantu dari harga 

jual sampah kepada pengepul atau pelapak. Yang jelas, 

harga jual sampah ke pengepul atau pelapak ini harus 

lebih besar ketimbang harga beli bank sampah kepada 

para nasabahnya. Pengelola bank sampah mendapatkan 

selisih harga. Inilah yang digunakan pengelola bank 

sampah sebagai dana operasional. 

 Filosofi memilah sampah terkadang sulit diterima 

warga . Utamanya warga  perkotaan yang 

mengaku tak punya waktu memilah sampah. Memang, 

ada nilai ekonomis yang bisa didapat warga  dari 

proses pemilahan, lalu menyetorkan sampah ke bank 

sampah. Tapi, iming-iming uang ini biasanya tak mempan 

membujuk warga untuk mulai memilah sampah sejak 

dari rumah. Apalagi, nilai rupiahnya sesungguhnya tak 

seberapa besar.



 Karenanya, tak jarang warga  menolak konsep 

bank sampah. Syaifuddin Islami, seorang pegiat bank 

sampah di Padang, Sumatra Barat, tahu persis ihwal 

penolakan ini. Saat mengampanyekan bank sampah, 

Syaifuddin kerap membentur tembok. “saat  saya 

sampaikan jumlah uangnya segini, banyak kok warga 

yang mencibir,” ujar Ilam, sapaan Syaifuddin Islami. 

 Saharuddin Ridwan, penggagas Bank Sampah 

Makassar, juga mengalami hal yang sama. Mantan jurnalis 

televisi ini bahkan pernah diancam saat  melakukan 

sosialisasi bank sampah di salah satu sudut Kota Makassar. 

saat  masuk ke sebuah kawasan, beberapa  preman 

mengadang Sahar. “Mereka tak butuh sosialisasi bank 

sampah. Mereka butuhnya bantuan uang,” kata Sahar 

mengenang kejadian sekian tahun silam. 

 Pengalaman nol dalam urusan pengelolaan sampah, 

juga kadang menjadi kendala. Kisah Hermansyah, 

pengelola Bank Sampah Rumah Harum Depok, Jawa Barat, 

cukup miris. Lantaran tak punya banyak pengetahuan, dia 

pun mengajak seseorang yang dikenalnya di TPA Bantar 

Gebang untuk membantunya. “Eh, saya malah ditipu,” ucap 

Hermansyah tersenyum, mengingat pengalamannya itu.

 Banyak suka duka para pengelola bank sampah 

dalam mengajak warga untuk peduli dengan pengelolaan 

sampah. Tak jarang, para pelopor bank sampah ini harus 

menempuh jalan sunyi, bahkan berjuang seorang diri. 

Letih? Tentu saja iya.... Tapi, mereka tetap bertahan 

mengelola bank sampah. Semangat tak pernah patah. 

Mereka meyakini, bank sampah bisa menjadi tumpuan 

mengatasi persoalan sampah. 

 Rata-rata mereka menyadari, bukan perkara mudah 

mengubah kebiasaan warga  dalam menangani 

urusan sampah. Selama ini, layanan pengangkutan sampah 

yang dilakukan pemerintah daerah setempat sudah 



memanjakan warga . Tapi, proses pengangkutan 

sampah dari sumber sampah ke TPA sampah sudah tak 

bisa lagi dijadikan solusi. Tumpukan sampah di banyak 

TPA di negara kita  kini sudah menggunung. Apalagi jika 

TPA-nya hanya memakai  sistem open dumping.

 Bank sampah diharapkan bisa menjadi solusi 

mengatasi persoalan sampah. Seperti kata Bu Risma, 

Walikota Surabaya, dibandingkan  sampah dibuang, lebih baik 

dipilah. Lalu disetorkan ke bank sampah. Sampah tak 

cuma menjijikkan. Di balik sampah, ada beberapa  rupiah. 

Dan, warga  bisa memperoleh rupiah itu dari bank 

sampah. 


Jika tak ada Bambang Suwerda, boleh jadi 

negara kita  tak mengenal bank sampah. Bambang 

Suwerda tak hanya seorang “pendekar sampah”. 

Rasanya, “maqam”-nya sudah melebihi itu. Dia 

juga sosok yang menjadi acuan banyak pihak 

dalam urusan mengelola sampah. Begitu pula 

pasangan suami istri – Iswanto dan Endah – 

tempat Bambang banyak berdiskusi dan berbagi 

pengalaman soal pengelolaan sampah.

Sabtu, 27 Mei 2006. Matahari belum lagi menyembul sempurna dari balik peraduannya. Hari masih terbilang pagi, pukul enam kurang. Tapi, guncangan 

gempa dahsyat begitu mengejutkan warga Yogyakarta 

dan sekitarnya. Gempa membangunkan sebagian warga 

yang masih tertidur pulas. Yogyakarta pun luluh lantak oleh 

bumi bergetar dengan kekuatan 5,9 pada Skala Richter. 

 Tak terkecuali di Pedukuhan Badegan, Kabupaten 

Bantul. Warga berhamburan keluar rumah. Hiruk-pikuk 

tak karuan. Semua berlarian menyelamatkan diri. Namun, 

korban tetap saja tak bisa terelakkan. Lebih dari empat ribu 

orang meninggal di Kabupaten Bantul, termasuk warga di 

Badegan.

 Pasca gempa, warga Yogya pun mulai kembali menata 

kehidupan. Pemerintah pusat mengucurkan bantuan 

bagi warga terdampak gempa. Bantuan itu menjadi 

modal warga menata kembali kehidupan mereka. Warga 

membangun rumah yang hancur atau rubuh.  Secara 

perlahan, kehidupan di Badegan kembali pulih. 

 Ibarat dua sisi mata uang, bencana tak hanya 

menyisakan kedukaan. Ada hikmah yang terselip di balik 

bencana. Salah satu hikmah pasca gempa adalah semakin 

guyub-nya kehidupan warga. Perasaan senasib sebagai 

korban gempa mempererat tali silaturahmi antarwarga. 

Sebelum gempa, obrolan antarwarga hanya terjadi 

sesekali. Semua warga sibuk dengan urusan masing-

masing. Tapi setelah gempa, ada satu titik yang membuat 

interaksi antarwarga menjadi lebih intensif: dapur umum. 

Mereka saling bertukar sapa dan berbagi cerita, di sela-

sela menyiapkan ransum bagi warga. 

 Dapur umum memang semakin mempererat 

silaturahmi antarwarga. Namun, dapur umum pun 

memunculkan sisi negatif: sampah berserakan. Bekas 

kaleng makanan salah satunya. Akibatnya, penyakit 

mulai berdatangan. Yang paling parah adalah demam 

berdarah.

 Kondisi inilah yang akhirnya memicu seorang warga 

Badegan bernama Bambang Suwerda. Sebagai dosen 

kesehatan lingkungan di Politeknik Kesehatan (Poltekes) 

Yogyakarta, Bambang prihatin dengan kumuhnya 

lingkungan tempatnya bermukim. Sampah berserakan. 

Nyamuk pembawa penyakit demam berdarah begitu anteng 

berkembang biak dalam lingkungan seperti itu. Bambang 

mendapatkan data dari Puskesmas 2 Kabupaten Bantul. Dia 

cukup kaget karena ternyata cukup banyak warga Dusun 

Badegan yang terserang penyakit demam berdarah. 

 Tak hendak hanya berdiam diri, Bambang pun bergerak 

cepat. Dua tahun setelah gempa, tepatnya pada Februari 

2008, Bambang menginisiasi berdirinya Bengkel Kerja 

Kesehatan Lingkungan. Kala itu, bengkel kerja baru sebatas 

lingkup RT 12, tempat Bambang tinggal. Bambang sengaja 

menamakannya dengan embel-embel kata “bengkel kerja”. 

Dia ingin aktivitas di tempat yang didirikannya itu bisa 

menghasilkan pekerjaan pula bagi warga. 

 Singkat cerita, Bambang pun lalu disibukkan dengan 

kegiatan di bengkel kerja itu . Salah satu yang menjadi 

fokus perhatian Bambang adalah sampah styrofoam 

yang berasal dari kemasan peralatan elektronik. saat  itu, 

setiap keluarga memperoleh bantuan uang tunai sebesar 

15 juta rupiah. Sebagian warga membelanjakan uang 

itu  untuk membeli kulkas atau televisi. Styrofoam itu 

berasal dari kardus pembungkus barang elektronik yang 

dibeli warga.

 Kebetulan, di depan rumah Bambang bermukim 

seorang seniman Bantul bernama Nursahid. Bambang 

menantang Nursahid untuk berkreasi menciptakan 

karya seni dengan bahan baku styrofoam, melalui proses 

solidifikasi. Styrofoam diparut, lalu dicampur dengan pasir 

dan semen. “Tahun 2008 itu kan menjelang pemilu. Jadi, 

banyak calon legislatif (caleg) yang butuh dudukan bendera 

untuk dijadikan suvenir dan dibagikan ke warga,” kata 

Bambang. Dan, akhirnya berhasillah Nursahid menciptakan 

dudukan bendera dari bahan baku styrofoam. Banyak 

caleg yang tertarik dengan suvenir buatan Nursahid. Hasil 

penjualan dudukan bendera itu sebagian untuk Nursahid, 

sebagian lagi masuk ke kas bengkel kerja.

ATM tanpa Uang dan Mesin

 Perlahan, sampah styrofoam berkurang. Tapi, 

Bambang masih melihat banyak sampah lain yang belum 

tertangani. Salah satunya adalah kemasan plastik yang 

mengandung aluminium foil. Jika dijual, sampah jenis 

ini nilai rupiahnya tidak seberapa. Tak banyak pemulung 

yang bersedia memungutnya.

 Beruntung, Bambang mempunyai kenalan di Desa 

Sukunan, Sleman. Sepasang suami istri – Iswanto dan 

Endah – sejak 2001 sudah berinisiatif melakukan aktivitas 

pengurangan sampah di Sukunan. Iswanto adalah kolega 

Bambang sesama dosen di Poltekes Yogyakarta. Bambang 

ikut andil membantu Iswanto dan Endah membina 

warga Sukunan mengelola sampah secara mandiri. Salah 

satu kegiatannya adalah mendaur ulang sampah plastik 

menjadi berbagai macam produk. “Jadi, saya minta tolong 

ke pak Iswanto dan bu Endah untuk mengajari warga 

Badegan membuat produk yang berasal dari sampah 

plastik,” ujar Bambang. 

 Dengan senang hati, Iswanto dan Endah lalu 

memberikan pelatihan singkat bagi warga Badegan. 

Dari situlah, warga kemudian bisa membuat beraneka 

kerajinan dari daur ulang sampah plastik. Mereka mampu 

menghasilkan berbagai produk seperti tas, bunga imitasi, 

atau rompi. 

 Bambang tak segan menjelaskan bahwa ide 

bengkel kerja yang dia dirikan di Badegan terinspirasi 

dari pengelolaan sampah yang dilakukan Iswanto dan 

Endah di Sukunan. Namun, Bambang menyadari, konsep 

pengelolaan sampah secara mandiri seperti yang dilakukan 

di Sukunan, rasanya bakal sulit dia terapkan di Badegan. 



 Ada perbedaan yang cukup mencolok antara 

warga  di Sukunan dan di Badegan. Di Sukunan, 

ikatan sosial antarwarga masih sangat erat. Sementara, “Di 

Badegan, karena wilayah ini desa ndak, kota pun belum 

– saya menyebutnya sub-urban transisi – ikatan sosial 

antarwarga tak sekuat di Sukunan. Jadi, bakal susah kalau 

saya mencontoh mentah-mentah konsep di Sukunan,” 

tutur Bambang. 

 Bambang melihat bahwa gerakan pengelolaan 

sampah di Sukunan sudah berhasil. Karenanya, ia pun 

meminta izin kepada Iswanto dan Endah untuk mulai 

melakukan gerakan pengelolaan sampah secara swadaya 

di wilayahnya di Badegan. Menyadari perbedaan cara 

hidup warga Badegan dan Sukunan, Bambang pun 

menerapkan konsep ATM: amati, tiru, dan modifikasi, 

untuk memulai gerakan pengelolaan sampah di Badegan. 

Akhirnya lahirlah Bengkel Kerja Kesehatan Lingkungan 

pada Februari 2008. 

 Bambang merasa ikatan pertemanannya dengan 

Iswanto dan Endah sudah menjurus layaknya saudara. 

Itulah yang membuatnya tak segan meminta bantuan 

pasangan suami istri itu . Salah satu bentuk bantuan 

yang Bambang peroleh berupa pelatihan membuat 

kerajinan dari daur ulang sampah. 

 Lalu, Bambang berjumpa Sri Hartini, seorang pengrajin 

di Bantul. Sama seperti saat  Bambang bertemu 

dengan Nursahid dan mengajaknya mengolah sampah 

styrofoam, dia pun menyodorkan tawaran kerja sama 

dengan Sri Hartini. Sebagai seorang pengrajin, Sri Hartini 

tak menampik ajakan Bambang. Dan, bertambahlah 

lagi produk bengkel kerja kesehatan lingkungan dengan 

memanfaatkan sampah plastik berupa hasil karya Sri 

Hartini.

Buku Tabungan Pembawa Ide

 Pada suatu malam di tahun 2008 itu juga, Bambang 

tengah melamun di teras rumahnya. Dia berpikir keras, 

bagaimana cara melibatkan semakin banyak warga 

Badegan untuk peduli mengelola sampah. Sebab, 

dengan mendaur ulang sampah styrofoam dan plastik 

saja, masih sedikit warga yang menunjukkan antusiasme. 

Entah kenapa, pikirannya membawa Bambang ke 

buku tabungannya. Setiap bulan, gajinya sebagai dosen 

Poltekes Yogyakarta selalu ditransfer ke bank. Setiap kali 

akan mengambil gaji, Bambang pasti membawa buku 

tabungannya. 

 Dan, eureka! Bambang pun mendapatkan ilham: 

membuat bank sampah. “Salah satu konsep bank itu 

kan adalah tempat menabung. Jadi, saya pun terinspirasi 

membuat bank sampah. Cuma, kalau di bank sampah, 

bukan uang yang ditabung, melainkan sampah,” ujar 

Bambang. 

 Keesokan harinya, sepulang dari kampus, Bambang 

singgah di sebuah toko buku. Dia membeli notes kecil yang 

ada kolom-kolomnya. “Seperti buku saku pramuka zaman 

dulu,” kata Bambang. Setibanya di rumah, Bambang 

mengajak pengurus bengkel kerja mendiskusikan ide 

pembentukan bank sampah. Bambang akan menjadikan 

notes kecil yang dibelinya sebagai buku tabungan 

nasabah bank sampah. Itulah awal mula terbentuknya 

Bank Sampah Gemah Ripah. 

 Kini, buku tabungan nasabah Bank Sampah Gemah 

Ripah sudah bukan lagi notes kecil seperti yang dulu 

dibeli Bambang. Buku tabungannya sudah menyerupai 

buku tabungan bank. Semua uang hasil setoran sampah 

nasabah Bank Sampah Gemah Ripah, dicatat pada buku 

itu. Nasabah bisa tahu berapa jumlah saldo yang dimiliki. 

 Bambang tak asal ngecap soal idenya mendirikan bank 

sampah. Kepada rekan-rekannya pengelola bengkel kerja, 

Bambang menyampaikan kalau dia sudah menghubungi 

seorang pelapak sampah di kampung sebelah Badegan. 

Pelapak itu bernama Nasrullah. Bambang menanyakan 

sampah jenis apa saja yang laku dijual ke Nasrullah dan 

berapa harganya. 

 Gagasan bank sampah pun diterima teman-

temannya. Pertama kali menggagas bank sampah, 

bengkel kerja kesehatan lingkungan belum memiliki 

modal. Mereka belum berani membeli sampah dari warga. 

Yang dilakukan saat  itu hanya menimbang sampah 

yang disetor warga. Setelah ditimbang, sampah warga 

dibawa ke lapak Nasrullah. Lalu, ditimbang ulang lagi, 

untuk menentukan harga jual sampah. Harga itulah yang 

disampaikan ke warga yang sudah menyetorkan sampah. 

“Kami meminta keikhlasan warga untuk memberikan 15 

persen dari harga sampah, sebagai kas bank sampah. Dan, 

semua kami lakukan secara transparan. Soal uang kan 

biasanya sensitif,” ujar Bambang. 

Anget-anget Tahi Ayam

 Dimulailah operasional Bank Sapah Gemah Ripah di 

Dusun Badegan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Bambang 

sengaja memilih nama Gemah Ripah. Selain mengandung 

makna simbolisasi kesejahteraan dan kemakmuran, 

ternyata Gemah Ripah juga merupakan singkatan dari 

gerakan memilah dan me-reduce sampah.

 Di masa awal berdiri, nasabah Bank Sampah Gemah 

Ripah masih amat sedikit. Jumlah kepala keluarga di 

Badegan saat  itu sebanyak 600 kepala keluarga. Yang 

tertarik menjadi nasabah Bank Sampah Gemah Ripah 

hanya 20-an keluarga. Karena itu, Bank Sampah Gemah 

Ripah hanya buka sekali sepekan. Setiap Jumat. Itu pun 

hanya buka dari selepas salat asar dan tutup menjelang 

salat magrib. “Saat salat asar di masjid, saya atau pak RT 

mengumumkan kepada warga melalui pengeras suara 

bahwa bank sampah sebentar lagi akan dibuka,” kata 

Bambang mengenang kejadian tahun 2008 lampau. Bank 

Sampah Gemah Ripah pun saat  itu menjual sampah ke 

pelapak hanya setiap tiga bulan sekali. 

 Menjelang Hari Lingkungan Hidup sedunia, 5 Juni 2008, 

Bambang dan kawan-kawan pun ngebut mencari warga 

yang mau diajak menabung sampah di bank sampah. 

Bambang juga menyambangi Dinas Lingkungan Hidup 

Bantul, menyodorkan proposal bank sampah. Sayang, 

respon Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bantul tak 

seindah harapannya. Pejabat di sana malah menggelari 

Bambang sebagai “orang gila”. “Mereka terheran-heran, 

kok yang ditabung bukan uang, tapi sampah. Mereka 

merasa bahwa gerakan ini ndak akan berhasil. Ibarat 

kata, gerakan kami cuma anget-anget tahi ayam,” kata 

Bambang terkekeh. 

 Mendapat julukan miring sebagai “orang gila”, tak 

membuat Bambang patah arang. Dia yakin, kegilaannya 

akan berbuah hasil. Pun, Bambang menyadari tantangan 

dan kendala yang bakal dia hadapi di depan. Termasuk 

tudingan bahwa Bambang akan menjadikan bank 

sampah sebagai kendaraan mendongkrak popularitas 

untuk meningkatkan karirnya sebagai dosen Poltekes 

Yogyakarta. 

 Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Prinsip itulah 

yang dipakai Bambang. Dia mulai memikirkan konsep 

bank sampah gagasannya itu . Yang Bambang tahu, 

bank sebagai tempat menabung uang memiliki struktrur 

organisasi yang jelas. Bambang mau bank sampah 

gagasannya ini harus pula memiliki struktur organisasi. 

“Inti dari sebuah bank adalah manajemen. Jadi, bank 

sampah ini juga harus mempunyai manajemen, seperti 

halnya bank tempat menabung uang,” ujar Bambang. 

Struktur Bank Sampah Gemah Ripah pun mengikuti 

struktur manajemen modern. Ada jabatan direktur utama, 

direktur, dan jabatan lain. Bahkan, Bank Sampah Gemah 

Ripah juga memiliki teller. 

 Bambang optimis Bank Sampah Gemah Ripah bisa 

menjaring separuh dari total 600 keluarga di Badegan. 

Namun, kenyataan pahit harus dia hadapi lantaran hanya 

mampu mengajak 20 keluarga. Bambang menyadari, tak 

gampang mengubah kenyamanan seseorang. Selama ini, 

warga Badegan sudah terbiasa dengan cara membuang 

atau membakar sampah. Atau, membiarkan petugas 

pengangkut sampah mengambil sampah mereka, 

meskipun harus membayar iuran. 

 Belum lagi potongan 15 persen yang dibebankan 

kepada para nasabah dari harga sampah yang dibeli bank 

sampah. Susah payah Bambang menjelaskan kepada 

nasabah bahwa potongan 15 persen itu akan dipakai bank 

sampah sebagai biaya operasional. 

 Bagi orang kebanyakan, kondisi seperti itu mungkin 

bisa membuat menyerah. Tapi, tidak bagi Bambang. Dia 

kembali “menggila”. Lalu, muncullah sebuah prinsip. 

“Saya melihat yang mau jadi nasabah bank sampah. Saya 

tidak melihat warga yang menolak jadi nasabah. Dengan 

begitu, saya tetap punya semangat membesarkan bank 

sampah ini,” kata Bambang. 

 Bambang lalu menyambangi dusun lain di sekitar 

Badegan. Dia berkeyakinan, bakal ada warga yang 

tertarik menjadi nasabah bank sampah. Sekecil apa pun 

jumlahnya, Bambang tak peduli. Dia datangi beberapa  

arisan warga, meminta waktu untuk menyampaikan 

ihwal bank sampah. Betul memang, ada saja warga yang 

tertarik jadi nasabah. Kendati hanya satu atau dua warga. 

Bagi Bambang, satu atau dua warga itu sudah cukup. 

Setidaknya bisa menjadi magnet penarik warga lain 

bergabung menjadi nasabah. 

 Bermula dari dua puluh keluarga pada 2008, dua 

tahun kemudian nasabah Bank Sampah Gemah Ripah 

meningkat menjadi seratus keluarga. Peningkatan itu 

memang tak secepat yang dibayangkan Bambang. Dia 

menyadari, butuh kerja keras lagi untuk membujuk 

warga. Dan, usaha  itu berbuah hasil manis. Pada 2012, 

nasabah Bank Sampah Gemah Ripah sudah mencapai 

500 keluarga. 

Bocah yang Tergopoh-gopoh

 Untuk menarik nasabah, Bambang memberikan 

apresiasi. Nilainya memang tak seberapa. Tapi, bagi 

Bambang, kesungguhan dari nasabah Bank Sampah 

Gemah Ripah-lah yang menjadi arti penting dari 

pemberian apresiasi ini. Hebatnya, apresiasi diberikan 

kepada anak-anak nasabah, berupa buku dan alat tulis. 

 Ternyata, perhatian kepada anak-anak ini bukan 

sekadar sebuah kebetulan. Sedari awal, Bambang 

memang sudah memikirkan konsep bank sampah 

dikaitkan dengan anak-anak. Buku tabungan nasabah 

diwajibkan atas nama anak, jika nasabah memiliki ana