Tampilkan postingan dengan label pers 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pers 3. Tampilkan semua postingan

pers 3




 beriita radio dimana bisa mengadukan.

Apakah Dewan Pers bisa?

Bekti: Dewan Pers sudah ada kesepakatan dengan KPI, hal yang

terkait berita menjadi urusan Dewan Pers. Sementara yang nonberita ke

KPI. Silahkan mengadukan berita televisi atau radio ke Dewan Pers jika

ada yang dirasa tidak berkenan.

Abdullah: Pasal 1 ayat (1) UU Pers menyebutkan semua berita

tunduk pada UU Pers. Jika menyangkut berita, jatuh ke Dewan Pers.

Dalam banyak hal Dewan Pers bekerja sama dengan KPI, sebab  KPI

memiliki wewenang memberi sanksi. Jika menyangkut berita, kita menilai

dari segi etik. KPI juga meminta pendapat Dewan Pers apabila menerima

pengaduan dari warga . Dalam hal ini Dewan Pers dan KPI bekerja

sama. Misalnya kasus Tukul Empat Mata dan Pesawat Adam Air, Dewan

Pers berbicara dengan KPI.

Dewan Pers juga menerima pengaduan berita dari situs internet atau

website. Contoh terakhir kasus Djoko Edi vs Detik.com mengenai jual beli

nomor caleg.

Sejauh mana Dewan Pers memiliki kewenangan untuk

menindak media yang diadukan dan melanggar etika?

Dewan Pers memperoleh wewenang untuk menyelesaikan sengketa

pers dengan warga  sesuai Pasal 15 UU Pers. Dewan Pers berusaha

melakukan mediasi. Dengan mediasi tidak ada orang yang merasa dikalahkan

atau menang, keduanya merasa menang. Proses yang ingin kita capai melalui

mediasi adalah win-win solution, semua merasa terpenuhi haknya. Kalau

media melakukan kesalahan, kita ambil tindakan sesuai etika jurnalistik.

Bentuknya seperti apa?

Sanksi etika harus dijatuhkan oleh pemimpin redaksi jika yang

melanggar wartawannya, atau organisasi  wartawan seperti AJI, IJTI atau

PWI jika yang melanggar anggotanya. Bila kita menemukan kesalahan di

pihak pers, kita minta mereka memenuhi kewajiban untuk memenuhi hak

orang. Bila kesalahannya serius, seperti berita menghakimi, kita minta

mereka meminta maaf. Jika mereka tidak mau, kita ingatkan mereka bahwa

mereka bisa dibawa ke pengadilan dengan denda maksimal Rp 500 juta.

Itu yang bisa dilakukan oleh Dewan Pers.

Dewan Pers memperoleh wewenang untuk menyelesaikan

sengketa pers dengan warga  sesuai Pasal 15 UU Pers.

Dewan Pers berusaha melakukan mediasi.

Dengan mediasi tidak ada orang yang merasa dikalahkan

atau menang, keduanya merasa menang.

“”

--


Dewan Pers memang hanya memiliki wewenang sampai kepada

“polisi etika.” Dewan Pers tidak memiliki kewenangan menghukum. Dimana

pun di dunia ini, Dewan Pers hanya bertindak sebagai “polisi etika.” namun 

jangan lupa, Dewan Pers bukan “dewannya pers” yang terus membela

pers. Dewan Pers adalah “dewannya publik” yang harus menjamin hak-

hak privat publik tidak diinjak-injak oleh pers dengan berlindung di balik

konsep kemerdekaan pers. Pada saat yang sama Dewan Pers harus

melindungi kemerdekaan pers dari setiap usaha  mencampuri kemerdekaan

dan kebebasan redaksi.

Apakah Dewan Pers tidak bisa menindak langsung media yang

dinilai melanggar etika atau hukum?

Tidak bisa. UU Pers tidak memberi wewenang kepada Dewan Pers

untuk menindak. Di negara demokrasi di dunia ini, Dewan Pers tidak

memiliki hak untuk menindak. Sebab, Dewan Pers di beberapa negara

didirikan oleh warga  pers sendiri.

Kalau warga  merasa ada media yang merugikan mereka

dan tidak layak dikonsumsi, apa yang bisa dilakukan warga ?

Pertama, warga  memakai  Hak Jawab. Kita selalu

mendesak susaha  warga  memakai  Hak Jawab. Kenapa

warga  kita dorong memakai  Hak Jawab? Susaha  saat  Hak

Jawab itu dilayani, ada dokumen yang menyatakan bahwa orang itu sudah

membantah fakta-fakta jurnalistik yang dikemukakan media. Membantah

fakta dengan fakta. Kalau tidak membantah, tidak ada dokumen yang

menyatakan dia telah membantah. Sehingga—misalnya nanti cucu-

cucunya masuk ke perpustakaan dan melihat berita nenek atau kakeknya

dicerca oleh media—dia bisa memberi  bukti pernah membantah. Kalau

tidak membantah, semua fakta yang dikemukakan pers itu benar adanya.

sebab  itu, gunakan Hak Jawab.

Apakah ada peningkatan laporan warga  mengenai

pelanggaran yang dilakukan media?


Jelas meningkat tajam. Dalam beberapa hal, kepolisian dan

pengadilan juga meminta Dewan Pers menjadi saksi. Peningkatan

pengaduan yang terjadi, tahun 2007 ada 319 pengaduan. Tahun 2008 ada

424. Januari sampai Maret 2009 sudah ada 142. Ini membuktikan, pertama,

warga  semakin sadar memakai  hak-hak mereka dan

memakai  UU Pers untuk membersihkan nama mereka apabila merasa

dicemarkan. Kedua, mungkin sebab  makin banyak pers abal-abal yang

tidak memiliki tempat dalam jurnalisme. Mereka menjadikan dirinya

sebagai “kuda tunggangan” caleg atau cagub.

Bekti Nugroho: Melihat data pengaduan ini tergantung sudut

pandangnya. Kalau sudut pandang dari sisi jumlah pengaduan, terlihat

warga  mulai sadar dengan hak-haknya. Artinya, sosialisasi Dewan Pers

berhasil. namun , dilihat dari sisi lain, menunjukkan media belum profesional.

Di negara yang sudah demokratis hanya sedikit pengaduan terhadap pers.

Abdullah: Di Inggris, pengaduan ke Dewan Pers di sana tidak

sebanyak di Indonesia. Bahkan Dewan Pers-nya tidak dibentuk oleh UU,

tapi oleh warga . Mereka taat terhadap apa yang diputuskan oleh

Dewan Pers. Di Indonesia, Dewan Pers dibentuk oleh UU. Anggota Dewan

Pers dikukuhkan kedudukannya oleh Presiden sebagai Kepala Negara.

SMS

Galai: Apa sebenarnya fungsi Dewan Pers dan kapan lahirnya?

Udi (Jakarta): Saya melihat pers sekarang tidak beretika

sehingga bahasanya tidak santun, kurang mendidik, pemberitaannya

adu domba terutama dalam Pemilu. Apakah wartawan tidak

disekolahkan? Apa ada unsur uang dalam pemberitaan? Dewan Pers

harusnya peka.

Fungsi Dewan Pers, disebutkan di dalam UU Pers, ada tujuh. Satu

di antaranya adalah bersifat independen, menjamin bahwa hak-hak publik

dan kemerdekaan pers dilindungi. Dewan Pers menyelesaikan sengketa

antara warga  dan pers serta mengembangkan pers Indonesia. Fungsi

utama melindungi kemerdekaan pers.

--


Pasal 7 UU Pers juga menyebutkan bahwa wartawan memiliki

dan harus taat -. Dengan kata lain, kode etik sudah

diangkat dari urusan antara anggota dan organisasi pers menjadi hukum

positif. Kalau ada wartawan melanggar kode etik, dia sebenarnya sudah

melanggar Pasal 7 ayat (2). Artinya, dia melanggar UU Pers atau hukum.

Banyak wartawan tidak tahu hal ini.

Survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2006 menunjukkan 85

persen wartawan Indonesia tidak pernah membaca kode etik. Padahal

kode etik hanya berisi 11 pasal. Kalau tidak pernah membaca, bagaimana

bisa memahaminya. Dewan Pers sudah keliling Indonesia untuk mendorong

wartawan mempelajari UU Pers, terutama kode etik.

Apa yang membedakan Dewan Pers di masa Orde Baru dan

sekarang ini?

Dewan Pers di masa Orde Baru hanya perpanjangan tangan pemerintah

dan anggotanya banyak. Ketua Dewan Pers adalah Menteri Penerangan.

Sedangkan Dewan Pers sekarang anggotanya dipilih oleh warga  pers

sendiri. Jumlahnya hanya sembilan orang. Walaupun dikukuhkan oleh

Presiden sebagai Kepala Negara—bukan Presiden sebagai Kepala

Eksekutif—Anggota Dewan Pers tidak bertanggung jawab kepada Presiden,

namun  kepada warga . sebab  itu, Dewan Pers selalu katakan kepada

warga , gunakan hak anda sebagai warga negara, adukan media yang

merugikan. Media abal-abal tidak memiliki hak untuk terbit dan jangan dibeli.

Gunakan hak anda sebagai warga negara untuk mengkritik hal yang menurut

anda tidak pada tempatnya. Banjiri halaman surat pembaca di media, atau

“Dewan Pers selalu katakan kepada warga ,

gunakan hak anda sebagai warga negara, adukan media

yang merugikan. Media abal-abal tidak memiliki hak

untuk terbit dan jangan dibeli. Gunakan hak anda

sebagai warga negara untuk mengkritik hal yang menurut

anda tidak pada tempatnya.”


ruang pendengar di radio dan televisi. Ruang itu disediakan untuk warga 

memakai  hal politik melakukan komunikasi politik.

Ada tiga unsur anggota Dewan Pers, yaitu tiga dari unsur wartawan,

tiga unsur dari industri pers, dan tiga unsur dari tokoh warga . Selama

ini kita usahakan ketua Dewan Pers adalah tokoh warga .

SMS

Yusron (Jakarta): Apakah maraknya pelanggaran media dalam

penyajian berita merupakan akibat dari longgarnya persyaratan untuk

membentuk sebuah media? Siapa sebenarnya yang paling

bertanggung jawab dalam hal ini?

Memang terjadi kemudahan mendirikan media, namun  tidak berarti

kemudahan itu bisa disalahgunakan—meskipun kenyataannya terjadi

penyalahgunaan dengan munculnya media-media yang melakukan

pemerasan. sebab  itu, warga  harus gunakan haknya untuk mengadu

ke Dewan Pers.

Kita ingin wartawan lahir dari lembaga pendidikan jurnalistik.

Repotnya, di Indonesia ini tidak ada school of journalism. Yang ada sekolah

untuk tentara, polisi, pegawai negeri. Sekolah untuk menjadi wartawan

tidak ada. Singapura yang penduduknya lima juta, memiliki sekolah untuk

wartawan dan termasuk terbaik.

Kalau kita ingin melihat bangsa ini cerdas, perbaiki jurnalistiknya,

perbaiki warga  persnya susaha  mereka memakai  kebebasan

pers untuk membantu pemerintah menegakkan pemerintahan yang bersih.

Selama ini apa usaha  yang dilakukan Dewan Pers untuk

memperbaiki warga  pers?

Kita melakukan sosialisasi, pendidikan, pelatihan, workshop dan lain

sebagainya di sejumlah daerah. Dewan Pers bekerja sama dengan SPS,

LPDS, IPML, AJI, PWI, IJTI. Hak untuk mengontrol pers itu ada di

warga , bukan polisi, bukan kodim.

--

76 |  -

Bekti: Intinya, Dewan Pers menjaga kemerdekaan pers. Ada

konsekwensi sebab  pers menjadi sangat bebas. Untuk mendirikan

perusahaan pers (cetak) tidak memerlukan izin (Surat Izin Usaha

Penerbitan Pers/SIUPP). Siapapun boleh mendirikan pers asal berbadan

hukum. sebab  itu, Dewan Pers membuat beberapa peraturan yang intinya

pers bebas, namun  harus bertanggung jawab dan beretika.

™™™

Alat Ukur Wartawan bukan Kartu Pers

Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara, mengungkapkan

alat ukur wartawan adalah dari karya jurnalistik, bukan kartu persnya.

Sebab saat ini ada empat golongan wartawan, yaitu wartawan profesional

yang menolak amplop; wartawan yang menerima amplop; wartawan

yang memperalat pers bertujuan memperoleh uang; dan wartawan

gadungan yang mengejar amplop.

Leo mengungkapkan hal itu dalam diskusi “Menegakkan

Profesionalisme Pers: Memberantas Penyalahgunaan Profesi Wartawan”

yang digelar Dewan Pers di Bekasi, Jawa Barat, 29 Oktober lalu. Dalam

diskusi ini hadir juga pembicara Irjen Polisi Sisno Adiwinoto, Kepala Divisi

Humas Mabes Polri, dan Kamsul Hasan, Ketua Persatuan Wartawan

Indonesia (PWI) Jaya. Diskusi dipandu Anggota Dewan Pers, Abdullah

Alamudi, dan diikuti puluhan peserta dari berbagai instansi dan organisasi.

Gadungan

Dewan Pers banyak menerima pengaduan menyangkut praktik

“wartawan gadungan” yang menyalahgunakan kebebasan pers untuk

memeras. Praktik sejenis  ini menjadi wewenang kepolisian untuk

menindaknya. Sebab Dewan Pers hanya ditugaskan oleh UU No.40/

1999 tentang Pers untuk penegakkan kode etik, sementara pemerasan

merupakan tindakan kriminal.

Wartawan profesional harus melakukan kegiatan jurnalistik secara

teratur meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,

| 77

dan menyampaikan informasi atau yang biasa disingkat 6 M. Syarat

lainnya, karya jurnalistik wartawan dimuat di media yang teratur terbit

atau siaran. ”Kalau wartawan tidak melakukan kegiatan 6 M ini, dan

liputannya tidak dimuat di media yang teratur terbit, maka artinya ia

wartawan jadi-jadian,” tegas Leo.

Untuk mengatasi wartawan gadungan, Leo menganjurkan,

warga  berhenti menyediakan amplop bagi wartawan. ”Cara yang

paling efektif untuk menghentikan budaya wartawan amplop ialah

pejabat, politisi, dan pengusaha berhenti memberi amplop,” katanya.

Sementara Irjen Polisi Sisno Adiwinoto mengungkapkan banyak

warga  melaporkan pers ke polisi. Sesuai ketentuan, polisi tidak

bisa menolak pengaduan ini . Padahal kalangan pers ingin jika

ada pengaduan mengenai pers ditempuh dulu melalui Dewan Pers.

sebab  itu, saat ini diperlukan kerja sama agar Dewan Pers menjadi

pilihan pertama bagi warga  untuk mengadu.

Jika terjadi pelanggaran kode etik dalam kategori ”berat”, serta

penyalahgunaan profesi wartawan yang membawa konsekwensi hukum

berat juga, polisi sebagai penyidik mau tidak mau harus turun tangan.

”Apakah UU tentang Pers atau KUHP yang dipergunakan, tergantung

materi kasusnya,” ungkap Sisno dalam makalahnya.

usaha  peningkatan profesionalisme dan pemberantasan

penyalahgunaan profesi wartawan, lanjutnya, pertama kali harus

dilakukan oleh perusahaan pers. Pada tingkat berikutnya baru tanggung

jawab organisasi pers, termasuk juga Dewan Pers.

Wartawan gadungan saat  melakukan konfirmasi biasanya

memakai  nada ancaman. Mereka terkadang tidak melakukan

wawancara layaknya wartawan biasa, namun  dengan gaya memeriksa

seperti seorang penyidik. Kamsul Hasan mengungkapkan, dari

pengaduan yang diterima melalui SMS Center PWI Jaya, kasus

pemerasan oleh ”wartawan” paling banyak dialami sekolah. ”Akibatnya

banyak guru tidak efektif bekerja,” ungkapnya.

*

Pasal 2 - menyatakan “Wartawan Indonesia

menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas

jurnalistik”. Salah satu cara profesional yang dimaksud yaitu

“menghormati hak privasi.”

Hak privasi atau hak pribadi umumnya dipahami menyangkut

soal rumah tangga, kematian, sakit, atau kelahiran. Di beberapa

negara lain, soal agama bisa dimasukkan ke dalam hak privasi.

Bahkan, dari sejumlah kasus, persoalan internal perusahaan swasta

juga bisa digolongkan privasi.

Keharusan pers menghormati hak privasi bukan berarti pers

sama sekali dilarang memberitakan kehidupan pribadi. Sepanjang

kasus privasi ini  dinilai menyangkut kepentingan publik, pers

dibenarkan mengungkapnya.

Saat ini sering muncul kritik terhadap pers sebab  dianggap

terlampau berlebihan dalam memberitakan hak privasi. Talkshow ini

mendiskusikan persoalan pemberitaan pers tentang hak privasi dengan

kejadian sakitnya mantan Presiden Soeharto sebagai salah satu bahan

kajian. Atmakusumah yang menjadi narasumber adalah mantan Ketua

Dewan Pers dan saat ini mengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo.

Pers Harus Sangat Hati-Hati

Beritakan Privasi

21 Januari 2008


Bekti Nugroho: Sekarang sedang terjadi peristiwa besar di

Indonesia yaitu mantan Presiden Soeharto sedang dirawat sebab  sakit.

Sejauhmana liputan media mengenai peristiwa ini ? Apakah

liputannya berlebihan atau masih wajar? Belakangan juga muncul

banyak berita mengenai privasi, misalnya tentang operasi ketertiban

yang dilakukan oleh polisi yang sampai masuk ke kamar hotel.

Selama ini liputan pers mengenai privasi banyak dikritik

telah kebablasan. Apakah memang sudah tidak wajar lagi liputan

pers tentang privasi?

Atmakusumah: Ada yang wajar dan ada yang tidak wajar. Saya

melihat wartawan kadang-kadang lupa ada privasi yang harus dihormati

atau dihargai. Privasi itu terutama menyangkut kelahiran, kematian,

perkawinan, termasuk juga perceraian dan sakit. Orang sakit bisa tidak

diberitakan bila keluarganya dan dokter tidak menghendaki sakitnya

diberitakan.

Saya sudah lama mengumpulkan contoh-contoh hak privasi yang

sering dilanggar oleh media pers kita. namun , yang paling mencolok

dan memicu  saya terkejut adalah saat  ada pemberitaan tentang

hubungan intim antarmahasiswa IPDN (Institut Pemerintahan Dalam

Negeri) dan antara beberapa dosen IPDN dan mahasiswanya. Jumlah

hubungan intim itu, kalau dari pemberitaan, sedikit sekali. Saya terkejut

sebab  agaknya pers terbawa arus banyaknya pemberitaan tentang

kekerasan di IPDN. Padahal keduanya lain dan harus dibedakan.

Kekerasan sesama mahasiswa bisa dianggap kejahatan. Tapi, saat 

ada desas desus terjadinya hubungan intim antara mahasiswa dan

mahasiswa atau antara mahasiswa dan dosen, itu bukan kekerasan

tapi privasi.

Kenapa bisa demikian?

sebab  hubungan intim itu privasi. Kalau pun hubungan intim itu

melanggar hukum, lain bagi jurnalisme, sebab  tidak semua pelanggaran

hukum boleh diberitakan secara terbuka.

Artinya,  meskipun mereka mahasiswa IPDN yang ke

depannya diharapkan menjadi pemimpin, hubungan intim itu

tetap urusan privasi?

Tetap privasi atau kehidupan pribadi. Bahkan ada berita dua

mahasiswi yang berhubungan intim kemudian hamil dan melakukan

aborsi. Katakanlah aborsi di Indonesia melanggar hukum, sama dengan

di Jepang, tapi kalau hubungan intim itu dilakukan suka sama suka,

itu adalah pribadi. Bisa diberitakan tapi tidak diungkapkan nama atau

identitas orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Sakit ,  perkawinan,  atau kematian dianggap pr ivasi .

Bagaimana kalau itu menyangkut tokoh publik yang tersangkut

kasus korupsi?

Kalau seseorang tiba-tiba melakukan pesta yang mewah atau berlibur

dengan mewah, harus dilihat apakah itu dengan uang saku sendiri ataukah

memakai  uang kantor atau uang negara. Kalau memakai  uang

sendiri, itu hak pribadi. Kalau memakai  uang negara, itu korupsi.

Baru-baru ini diributkan adanya hubungan intim antara Menteri

Kesehatan Malaysia dan seorang temannya. Hanya Menteri Kesehatan

yang ditampilkan atau diberitakan sebab  dia tokoh publik yang perlu

menjadi teladan. Lalu dia mengundurkan diri. Tapi, teman perempuannya

tidak disebut oleh media pers Malaysia. Akan lain kalau teman

perempuan Menteri Kesehatan itu yang membuat film berisi hubungan

intim mereka, yang kemudian tersebar di internet, dan lalu memeras

Menteri. Itu privasi yang diikuti pemerasan.

Bukan hanya menterinya yang melindungi wanita pasangan yang di-

gaulinya dengan sama sekali tidak menyebut siapakah gerangan dia—hanya

mengatakan “dia teman saya”—tapi media pers juga membatasi diri.

Dalam persoalan Menteri Kesehatan Malaysia, ada yang

mengatakan media Indonesia lebih terbuka dibandingkan media

Malaysia?

--

82 |  -

Media kita jauh lebih terbuka. Saya setuju banyak masalah

korupsi, penyalahgunaan wewenang, bisa diberitakan di Indonesia. Di

Malaysia tidak bisa. sebab  di Indonesia kebebasan pers lebih dijamin.

Telepon

Sri (Bogor):  Di tayangan infotainmen banyak art is

diberitakan cerai. Sejauhmana privasi mereka dilanggar oleh

pemberitaan-pemberitaan itu, padahal sebagian dari mereka

sebenarnya tidak mau diberitakan?

Memang ada pelanggaran jika privasi mereka diberitakan dengan

berlebihan. Hanya saja, kehidupan artis agak lain, unik, dan istimewa. Di

kalangan artis banyak sekali yang tidak berkeberatan malah boleh dikatakan

mendorong media pers untuk memberitakan privasi mereka. Antara artis

dan media pers saling memanfaatkan. Jadi tidak bisa disamakan dengan

privasi dari publik pada umumnya.

Ada pemahaman atau anggapan di warga  dan pers bahwa

artis boleh diubek-ubek privasi? Apakah betul artis tidak punya hak

privasi?

Mereka punya hak privasi. Sebetulnya kalau terlalu jauh pelanggaran

yang dilakukan media pers, artis bisa menuntut. Di Amerika tidak jarang

artis menuntut pers sebab  diberitakan berkelebihan. Terserah pengadilan

apakah tuntutannya dikabulkan atau tidak.

Artis Parto pernah menembakkan pistol ke atas sebab  dikejar-

kejar wartawan infotainmen. Apakah itu masuk wilayah privasi?

Saya rasa ada privasi dalam kasus itu sebab  mitra atau teman Parto

agak terganggu. Hanya disayangkan Parto emosi dan menembakkan

pistolnya. Dari pihak Parto ada sikap yang berlebihan juga.

Sering terjadi tersangka koruptor yang akan diperiksa kemudian

sakit. Sejauhmana publik dapat mengetahui kebenaran mengenai

sakitnya? Apakah ini masuk hak privasi?


Sakit memang masuk kehidupan pribadi. Pers pada umumnya hanya

dapat mengetahui sakitnya dari keluarga atau dokter. Rumah sakit sangat

dilindungi oleh -. Boleh dikata hanya tempat parkir rumah

sakit yang boleh diliput oleh pers. Hanya tempat parkir yang boleh disebut

wilayah publik. Bahkan halaman rumput tempat pasien dijemur dalam

kaitan dengan perawatannya, itu adalah wilayah privat. Tapi, kalau sudah

menyangkut tokoh agak lain.

Privasi atau kehidupan pribadi seorang tokoh memang agak longgar

dibandingkan warga  biasa. Pers masih dimungkinkan memberitakan

masalah-masalah kehidupan pribadi tokoh itu.

SMS

Eko (Jakarta): Bagaimana dengan perselingkuhan? Di Amerika

Serikat saat  Presiden Bill Clinton selingkuh, beritanya luar biasa.

Indarwarman (Jakarta): Hubungan intim adalah privasi namun 

dalam kejadian di IPDN memakai fasilitas publik. Jadi, seharusnya

bisa diberitakan.

Fasilitas publik yang dimaksud mungkin sebab  peristiwa terjadi di

dalam lembaga. Hubungan intim di mana saja bisa terjadi. Hubungan mesra

atau pacaran bisa di taman sebagai wilayah publik. Bukan hanya wilayah

publiknya yang harus dipertimbangkan oleh pers, namun  perbuatan orang.

sebab  itu, di Eropa terutama Amerika Serikat sedang terjadi polemik

sebab  banyaknya kamera yang dipasang di jalan-jalan. Menjadi polemik

sebab  kamera yang ditempatkan di pinggir rumah bisa menyebabkan

kehidupan tetangganya tersorot. Kamera yang dipasang di taman, yang

tujuannya untuk keamanan, diprotes sebab  orang yang sedang berkencan

di taman bisa tertanggu.

“Rumah sakit sangat dilindungi oleh -.

Boleh dikata hanya tempat parkir rumah sakit

yang boleh diliput oleh pers. Hanya tempat parkir

yang boleh disebut wilayah publik.”


Privasi bukan hanya dapat dilakukan di wilayah privat, tapi bisa juga

dilakukan di wilayah publik. Privasi jangan hanya dipertimbangkan terjadi

di wilayah privat, di wilayah publik pun bisa. Kalau ada ayah dan ibu sedang

bersenda gurai dengan anak-anaknya, itukan privasi.

Kasus Bill Clinton—kembali lagi—ia tokoh publik yang diharapkan

menjadi teladan. sebab  itu, memang ia harus hati-hati. Tokoh terkenal,

termasuk artis yang mudah diberitakan, yang selalu diamati media pers

dan publik, mereka harus berhati-hati dalam kehidupan pribadinya. Semakin

terkenal seseorang, apalagi kalau mendapat gaji dari pajak rakyat, semakin

sedikit hak privasinya.

Kabarnya Perancis punya aturan berbeda soal privasi?

Dulu di Perancis bahkan seorang pemimpin pun kehidupan privasinya

lebih dilindungi dibanding di negara lain di Eropa dan Amerika. Contohnya,

seorang presiden Perancis pernah punya anak dari istri peliharaan. saat 

diberitakan soal anaknya ini, marah sekali publik di Perancis, sebab  itu

dianggap kehidupan pribadi. Sekarang sudah lain, sudah berubah. Sekarang

pun kehidupan pribadi para pemimpin di Perancis sudah mulai bisa

diberitakan oleh media pers.

Banyak kasus, pejabat di Indonesia melakukan pembohongan

publik dengan cara ngumpet di rumah sakit. Pernah terjadi,

wartawan mencuri rekaman medis pejabat. Ternyata si pejabat tidak

sakit. Apakah tindakan wartawan ini bisa dibenarkan sebab 

bertujuan mengetahui kejujuran pejabat publik?

Saya kira itu bagian dari liputan investigasi. Itu patut dipuji sebab 

bisa membongkar kebohongan yang tidak hanya dilakukan oleh pasien

namun  juga oleh dokter di rumah sakit. Dalam investigasi, wartawan boleh

mengabaikan sejumlah etika, tapi wartawan harus yakin benar bahwa

kecurigaannya berdasar.

Tentu saja kalau wartawan merasa curiga terhadap keadaan di rumah

sakit atau pasien yang diduga berbohong, dan bisa membuktikan dengan

kuat, itu baik sekali. Media pers boleh mengabaikan beberapa kode etik

jurnalistik asal dasarnya kuat.


saat  wartawan terpaksa harus melanggar kode etik, dugaannya

harus kuat. Kalau umpamanya dugaannya salah, itu berakibat berat. Kalau

wartawan ketahuan melanggar kode etik dan dugaannya salah, itu

pelanggaran berat. Kalau sewaktu wartawan mencuri dokumen ketahuan,

konsekwensi hukum harus ditanggung.

Wartawan itu tidak boleh melakukan wawancara dengan kasar, tidak

boleh menguntit, memaksa, mencuri, atau memotret dari jauh tanpa

diketahui subyek berita. Namun, dalam liputan investigasi yang dugaannya

kuat bahwa, misalnya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau

kebohongan terhadap publik, kode etik bisa diabaikan. Hanya, saat 

wartawan mengabaikan - dan tertangkap basah, sanksi

atas pelanggaran hukum harus tetap ditanggungnya.

 Dalam liputan investigasi yang dugaannya kuat bahwa,

misalnya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau

kebohongan terhadap publik, kode etik bisa diabaikan.

Hanya, saat  wartawan mengabaikan -

dan tertangkap basah, sanksi atas pelanggaran hukum

harus tetap ditanggungnya.

Telepon

Samuel (Cipinang): Pertimbangan untuk menentukan berita

itu terkait privasi atau tidak, apakah ada di tangan wartawan sendiri?

Bukankah kalau ada di tangan wartawan sendiri berarti dia punya

kewenangan besar sekali untuk menentukan privasi atau tidak?

Wanabud (Jakarta): Tadi dikatakan privasi juga bisa dilakukan

di ruang publik, bukan hanya di ruang pribadi. Dalam konteks

keindonesiaan, ruang publik itu juga punya norma-norma yang

diterima warga  umum. Bagaimana jika hal privat dilakukan di

ruang publik sehingga norma publik terganggu? Soalnya kebebasan

saya dibatasi oleh kebebasan orang lain?

“”

--


Ibram (Jakarta): Ada gangguan ketertiban umum. Kita ini

berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalau ada orang di

tempat umum berbuat mesum, seperti ciuman, berpelukan, itu tidak

sesuai. Di tempat umum ada anak kecil.

Hak privasi adalah kehidupan sehari-hari warga yang tidak ada sangkut

pautnya dengan kepentingan publik. Kalau di rumah sakit, yang disebut

wilayah privat mulai dari resepsionis sampai ke ruang orang sakit dan ruang

dokter. Kalau hotel, biasanya hanya kamar. Kalau rumah, mulai dari pintu

depan sampai dapur. Itu wilayah privat yang hanya bisa dimasuki pers seizin

yang punya rumah dan wartawan tidak boleh memotret dari jarak jauh.

Kalau ada orang melakukan perbuatan privat di ruang publik, bisa kita

tegur. Maksud saya, pers belum tentu boleh memberitakan identitas

pelakunya. Kalau memberitakan kasusnya boleh. Misalnya, di taman ada

sepasang remaja yang saling berpelukan, pers tidak boleh menyebutkan

identitasnya. Sama juga dengan kasus di IPDN: pers boleh memberitakan

tapi tidak boleh menyebut identitasnya, kecuali sedang terjadi pelanggaran

hukum. Publik tentu saja bisa menegur jika ada orang melakukan hubungan

intim di ruang publik.

Telepon

Bisma (Semarang): Bagaimana dengan penggrebekan hotel

yang wartawannya langsung menyorot dengan kamera sebab 

membutuhkan gambar langsung. Ada gambar orang yang sedang

digrebek, sedang ganti pakaian. Meskipun ada yang diedit, tapi

mengeditnya berbeda, ada yang disamarkan gambarnya ada yang

diloloskan begitu saja. Bagaimana standar tentang hal ini? Bagaimana

etika mengambil gambar ibu yang sedang berduka sebab  putranya

meninggal? Ada wartawan yang bertanya “bagaimana perasaan ibu

dengan meninggalnya putra ibu?” Apakah pertanyaan sejenis  itu

tidak konyol?


Di dalam kode etik ada panduan seperti apa privasi itu. UU tentang

privasi belum ada di Indonesia. Di beberapa negara, seperti Australia dan

Jepang, sudah ada. sebab  itu, di Jepang aborsi itu melanggar hukum.

Tapi, ada UU Privasi (Privacy  Act) yang melindungi orang yang melakukan

aborsi sebab  pengobatan atau kesehatan. Di Jepang pemberitaan

mengenai aborsi langka sekali sebab  ada UU Privasi.

Walaupun terjadi pelanggaran hukum, pers belum tentu boleh

memberitakan secara terbuka. Peristiwa itu sendiri bisa diberitakan, tapi belum

tentu identitas orang yang terlibat boleh diungkapkan. Sama dengan orang

yang dirazia atau ditangkap di hotel. Memang kameramen kita kurang hati-

hati, sebab  memperlihatkan orang yang dirazia. Menurut penegak hukum,

orang-orang yang dirazia itu melanggar hukum, ada UU yang dilanggar. namun 

jurnalis lain: sepanjang tidak terjadi pemaksaan atau kekerasan, hubungan

intim seperti itu tetap merupakan privasi. Sehingga bisa diberitakan tapi

hendaknya pers tidak menunjukkan identitas atau wajahnya.

Sepuluh tahun lalu, Wakil Ketua Komnas HAM Marzuki Darusman,

pernah memprotes tayangan televisi yang memperlihatkan anak-anak

remaja yang dirazia oleh polisi sebab  razia peredaran narkotika.

Sayangnya saat  ditayangkan di televisi tidak ada keterangan apakah

mereka terlibat narkotika atau tidak, padahal mereka remaja yang sedang

kencan. Juga dilakukan protes oleh Luhut Pangaribuan, Direktur LBH

Jakarta waktu itu. Jadi, pers harus hati-hati saat  mengikuti kegiatan

polisi melakukan razia.

Jika yang tertangkap penjabat publik, apakah boleh

diberitakan?

Walaupun terjadi pelanggaran hukum, pers belum tentu

boleh memberitakan secara terbuka. Peristiwa itu sendiri

bisa diberitakan, tapi belum tentu identitas orang yang

terlibat boleh diungkapkan.

“”


Pejabat publik lain lagi. Umpamanya dia terlibat dalam penggunaan

narkotika, itu pelanggaran hukum. Tapi, kalau dia sedang berkencan dengan

bukan istrinya, seperti kasus Menteri Kesehatan Malaysia, kasusnya bisa

diberitakan atau diungkapkan tapi mitra kencannya tidak pernah diungkapkan

oleh media pers. Kalau menyangkut pembesar, apalagi yang mendapat gaji

dari rakyat, memang hak privasinya tidak sebanyak warga biasa.

Telepon

Adiansyah (Jakarta): Mengenai pemberitaan privasi di media

massa, saya melihat ada kaitannya dengan kasus yang dialami

pejabat. Ada sejenis  usaha  dari kekuatan politik yang memiliki

media massa. Jadi, media massa yang berafiliasi dengan kekuatan

politik digunakan untuk menyerang lawan politiknya dengan

mengondisikan wilayah privat seseorang.

Kalau media pers melakukan hal itu dengan sadar, saya kira itu bukan

media pers. Pasti dia media humas atau pamflet dari kekuatan politik.

Saya juga ingin mengetahui, apakah fakta buruk yang digambarkan media

pers itu benar. Umpamanya fakta buruk itu memang betul, tetap media itu

salah kalau tujuannya untuk menjatuhkan pihak lawan. Kalau fakta itu

salah, lebih buruk lagi.

Bagaimana kalau fakta buruk itu benar, misalnya tindakan

korupsi, tapi media yang memberitakan partisan dari kelompok

tertentu?

Bisa saja. Tapi saya kira media yang semata-mata untuk menjatuhkan

pihak lawan itu bukan media pers. Kecuali media itu memang sering

melakukan pembongkaran skandal politik.

Sekarang ini era bebas yang memungkinkan setiap orang

membuat media. Apalagi sekarang musim Pilkada. Ada media yang

dibeli salah satu kandidat.


Bisa kita observasi dari awal, apakah dari hari ke hari dia terus

menerus mengungkapkan hal-hal yang buruk tentang seseorang atau

sekelompok orang tanpa berusaha untuk meminta klarifikasi dari pihak

yang diserang. Media yang menyerang seseorang atau sekelompok

warga , kalau dia ingin diakui sebagai media pers, tetap harus

meminta klarifikasi dari pihak yang dirugikan. Kalau sepihak terus,

pertama-tama bisa dituntut ke pengadilan. Paling sedikit media itu harus

diingatkan, mengapa bias dan memberitakan satu sisi saja.

SMS

Seto (Jakarta): Sejauhmana pers berhak memberi sebutan

“manusia akar” pada seseorang penderita penyakit kulit di Bandung.

Apakah itu tidak melanggar -?

Kasus Dede (manusia akar) di Bandung, saya kira itu bukan julukan

atau penamaan yang buruk. Saya kira pantas saja. Biasanya ditulis dalam

tanda kutip. Dan “akar pohon” bukan satu frase yang buruk. Saya tidak

melihat julukan itu negatif.

SMS

Eni: Bagaimana kasus SBY (Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono) yang disebut-sebut pernah menikah sebelum menjadi

Taruna? Apakah itu hak privasi?

Ini susah, sebab  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seorang

pemimpin. Masalah pribadi mungkin saja diungkap kalau benar. Saya tidak

tahu, sebab  ini masih dalam proses pengadilan.

Privasi itu menyangkut sakit, perkawinan, kematian, perceraian.

Lazimnya terkait orang-orang biasa. Kalau sudah menyangkut orang

terkenal, sangat kaya, sangat berpengaruh, termasuk artis, masih mungkin

wilayah privasi mereka diungkapkan.


Adakah mekanisme mereka bisa menuntut pers saat  merasa

keberatan?

Bisa saja tapi tidak lazim. Sangat sedikit orang-orang terkemuka

melakukan tuntutan hukum saat  soal privasinya diungkapkan. Sudah

menjadi konvensi di kalangan pers bahwa masalah privasi orang terkemuka,

apalagi yang diharapkan memberi teladan pada publik, itu masih bisa

diungkapkan. Bintang film atau penyanyi wilayahnya lain, sebab  ada artis

yang mau privasinya diungkapkan, bahkan perselingkuhan sekalipun.

Ada kejadian, perusahaan swasta melakukan konferensi pers

namun tidak semua wartawan diundang. Apakah ini juga

menyangkut privasi perusahaan?

Saya rasa itu tidak ada kaitannya dengan privasi. Tapi, perusahaan

bisa memilih siapa yang akan diundang. Bisa dikatakan, wartawan kalau

diundang bisa tidak datang, maka kalau tidak diundang jangan marah.

Kalau merasa perlu menghadiri acara itu, bisa meminta “bolehkah kami

juga ikut hadir.” Mengundang atau tidak mengundang wartawan itu hak

perusahaan, lembaga, atau siapapun juga. Wartawan tidak boleh marah

kalau tidak diundang.

Kita bisa melihat apakah penyebaran undangannya dirasa wajar atau

tidak. Misalnya yang diundang hanya media pers yang memiliki ideologi

tertentu saja. Kalau begitu kita bisa kritik dan beri usulan. Walaupun

demikian, seandainya ada wartawan yang tidak masuk daftar dan ingin

meliput, harus tetap dipertimbangkan.

SMS

Anton: Pers kalau terkena kasus hukum inginnya diproses

dengan UU Pers. Tapi, pada waktu Nelu diproses tidak dengan UU

Perbankan, pers enggan bicara. Sepertinya pers takut dituduh

membela koruptor.

Oni (Depok): Pers ikut penggrebekan tidakkah mengganggu

aparat? Dan juga bagaimana wartawan yang ikut meliput kecelakaan,

seperti tahun lalu saat meliput kapal tenggelam?


Kuswandi (Pasar Baru): Sejauhmana ukuran pers meliput

pornoaksi dan bagaimana perlindungan terhadap pers?

Pers dalam meliput, misalnya penggrebekan, harus memper-

timbangkan apakah mereka tidak mengganggu kegiatan yang sedang

resmi dilakukan aparat negara.

Pers kadang-kadang mengungkapkan informasi lebih banyak daripada

yang diterangkan aparat penegak hukum. Kalau dirasa informasi yang

diperoleh dari sumber resmi kurang, pers punya tugas mencari lebih banyak

informasi. Ini penting, bukan hanya bagi publik tapi juga untuk diketahui

oleh pejabat pemerintah agar mereka mendapatkan informasi sebanyak-

banyaknya sehingga bisa membuat kebijakan yang lebih tepat dengan

informasi lebih lengkap.

Kadang-kadang pers pada awalnya memperoleh informasi atau data

yang masih meragukan. Oleh sebab  itu, penting bagi wartawan untuk

menyebutkan siapa narasumber dari informasi yang diperolehnya. Jangan

lupa harus disebutkan apabila informasi itu masih merupakan sangkaan.

Jangan pers dari awal menyebut itu “benar.” Sebab, pemberitaan pers itu

proses, seperti sejarah. Hari ini benar, besok lusa mungkin “kurang benar,”

besok lusa lagi “lebih benar.” Kalaupun tidak disebutkan narasumbernya,

wartawan harus yakin bahwa sumber yang dirahasiakan kredibel.


Jakarta (Berita Dewan Pers) - Ketua Dewan Pers, Bagir Manan,

mengingatkan pers untuk berhati-hati saat membuat berita atau

mencari informasi dari narasumber kasus tersebarnya video cabul

mirip artis Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari. Pers harus menjaga diri

sehingga tidak justru dianggap sebagai biang keladi dari persoalan

video yang menghebohkan itu.

“Jangan sampai persoalan ini bergeser menjadi persoalan pers,”

kata Bagir saat jumpa pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Jumat

(25|6|2010). Ia didampingi Anggota Dewan Pers lainnya, Agus

Sudibyo, Satria Naradha, dan M. Ridlo ‘Eisy.

Bagir meminta pers memperhatikan dengan serius pemberitaan

terkait hak privasi sebab  hal itu dapat menjadi dasar untuk

memperkarakan pers. Apalagi sejumlah media telah menampilkan

berita yang mengesampingkan - (KEJ) sebab 

memuat bagian atau potongan rekaman video cabul ini .

“Kita acap kali kehilangan kemerdekaan sebab  kita tidak bisa

memeliharanya dengan baik,” ujar Ketua Mahkamah Agung periode

2001-2008 ini.

Agus Sudibyo berharap kalangan pers menyadari pemberitaan

yang berlebihan terhadap video cabul bisa digunakan oleh pemerintah

untuk mengeluarkan produk kebijakan yang dapat mengancam

kebebasan pers. Apalagi pemerintah mulai membahas kembali

Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia yang

sebelumnya ditolak keras oleh kalangan pers.

“Dewan Pers selalu ingin memastikan apapun pengaturan itu

sejauh terkait ranah media harus kompatibel dengan kebebasan

pers,” katanya.

Dalam jumpa pers ini Dewan Pers mengeluarkan Pernyataan

Nomor 05/P-DP/VI/2010 tentang Pemberitaan dan Proses Peliputan

Kasus Video Cabul Artis.


Sejak tersebarnya video cabul yang diduga dilakukan tiga artis

yaitu Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari, media massa hingga saat ini

masih terus memberitakannya. Para jurnalis juga terus berusaha keras

untuk mendapatkan pernyataan langsung dari Ariel, Luna dan Cut Tari.

Sejumlah media massa menampilkan berita yang

mengesampingkan - (KEJ) sebab  memuat

bagian atau potongan rekaman video cabul ini . Beberapa media

massa dalam mengupas kasus ini juga terlalu jauh mengeksploitasi

aspek-aspek intimitas seksualitas dari video ini , tanpa

mempertimbangkan bahwa kupasan atau tayangan itu dapat diakses

oleh siapa saja dari segala umur. Media tidak memilah-milah benar

antara urusan publik dan urusan privat sehingga pemberitaan me-

dia sedemikian rupa didominasi oleh hal-hal yang hanya layak

didiskusikan dan dikupas di ruang privat.

Persoalan bertambah kompleks sebab  terjadi insiden saat 

jurnalis dari berbagai media meliput proses pemeriksaan Ariel dan Luna

Maya di Kepolisian. Seorang kameramen telah melaporkan Ariel ke

polisi dengan tuduhan merusak kamera. Pada proses pemeriksaan 18

Juni 2010, juga terjadi insiden saat  seorang reporter terlindas mobil

yang ditumpangi Ariel saat  hendak menjauh dari kerumunan wartawan.

Dari tayangan beberapa stasiun televisi dapat dilihat bahwa

dalam proses peliputan itu, terjadi pelanggaran kode etik dan

prinsip perlindungan privasi. Jurnalis dan kameramen beberapa

media tampak melakukan tindakan mendorong, memegang bagian

tubuh sumber berita, membenturkan kamera ke bagian tubuh,

menghalangi narasumber untuk masuk ke mobil pribadi. Bahkan

terjadi tindakan memaksa sumber berita untuk berbicara dan

Pernyataan Dewan Pers

Nomor 05/P-DP/VI/2010

Tentang

Pemberitaan dan Proses Peliputan

Kasus Video Cabul Artis



mengeluarkan kata makian saat  sumber berita tetap tidak mau

berbicara. Bisa jadi, tindakan pemaksaan atau yang menjurus

kepada kekerasan ini tidak sengaja dilakukan. Bisa jadi benar

sebelumnya memang telah ada masalah pribadi antara Ariel-Luna

Maya dengan beberapa kelompok jurnalis-kameramen. Namun

kami tegaskan bahwa jurnalis Indonesia adalah jurnalis yang

profesional, imparsial dan selalu mematuhi kode etik dalam segala

situasi. Tidak ada kondisi apapun yang dapat digunakan sebagai

pembenar akan terjadinya pelanggaran -.

Dengan mempertimbangkan kepentingan publik dan martabat

pers secara keseluruhan, Dewan Pers menyampaikan sikapnya

sebagai berikut:

 1. Jurnalis Indonesia harus secara konsisten menegakkan dan

menaati - dalam segala situasi dan semua

kasus, termasuk dalam memberitakan dan melakukan peliputan

kasus video cabul yang dimaksudkan. Pemberitaan dan proses

peliputan mutlak dilakukan dengan menghormati hak privasi dan

pengalaman traumatik narasumber dengan cara bersikap

menahan diri dan berhati-hati (Pasal 2 dan Pasal 9 KEJ). Semua

pihak boleh berharap ketiga artis itu berbicara, namun  semua

pihak tidak memiliki hak untuk memaksa mereka berbicara

atau mengakui sesuatu yang bersifat privat, apalagi jika hal itu

diharapkan dilakukan di ruang publik media.

2.  Para pemimpin redaksi media massa harus memeriksa benar

kesiapan dan kelayakan reporter dan kameramen di lapangan,

memastikan bahwa mereka secara komprehensif memahami

- dan sanggup menerapkannya dalam proses-

proses peliputan. Pemimpin redaksi juga harus mengevaluasi

atau menindak tegas jurnalis atau kameramen yang melakukan

pelanggaran - di lapangan dan oleh sebab nya

menodai nama baik komunitas pers secara keseluruhan di

hadapan sumber berita dan publik.

3.  Komunitas pers harus secara konsisten menempatkan ruang

media sebagai ruang publik sosial untuk mendiskusikan hal-hal

benar-benar yang penting, relevan atau urgen untuk kepentingan

publik. Ruang publik media harus dihindarkan dari perbincangan

atau perdebatan yang terlalu jauh memasuki ranah privat atau

domain intimitas pribadi seseorang, tanpa memperhatikan

relevansi untuk kepentingan publik.

4.   Komunitas pers harus memperhatikan benar bahwa pemberitaan

media yang berlebihan terhadap kasus video-cabul ini dan

penggunaan sudut pandang pemberitaan yang terlalu berorientasi

pada segi-segi sensualitas dapat digunakan oleh beberapa pihak

untuk membenarkan pendapat bahwa “kebebasan pers di Indone-

sia memang telah kebablasan” dan “dunia online media memang

memerlukan pengaturan atau intervensi pemerintah yang ketat”.

Persoalannya, pendapat yang demikian dapat digunakan sebagai

pembenar untuk mengintrodusir produk-produk kebijakan yang

sebagian atau seluruhnya mengancam pelembagaan kebebasan

pers dan kebebasan informasi. Orientasi jangka pendek terhadap

rating, jumlah pengakses atau oplah sudah seharusnya tidak

mengorbankan kepentingan jangka panjang yaitu iklim politik yang

kondusif bagi kebebasan pers dan berekspresi.

5.  Media massa, terutama televisi, harus sangat memperhatikan

kondisi pemirsanya terkait dampak tayangan mengenai video

cabul ini. sebab  media televisi adalah institusi sosial, maka

publik berhak atas tayangan-tayangan televisi yang

mengakomodasi kemajemukan nilai, kultur dan budaya bangsa

Indonesia. Publik juga berhak atas tayangan televisi yang

berkualitas, aman untuk anak-anak, remaja, tidak bias gender,

mengakomodasi semangat pluralisme dan “ramah keluarga”.

Dalam konteks tayangan video-cabul di atas, media harus

berempati misalnya kepada para orang tua dan guru yang panik

terhadap dampak video cabul itu kepada anak-anak mereka.

Jakarta, 25 Juni 2010

Dewan Pers

Bagir Manan

Ketua

--


Masa kampanye Pemilu telah dimulai. Kemeriahan kampanye

bisa dirasakan lewat liputan pers. Porsi pemberitaan pers tentang

Pemilu memang cukup besar. Media cetak, misalnya, rata-rata

menyisihkan dua sampai empat halaman khusus untuk liputan

Pemilu.

Pers memang turut berperan menentukan kesuksesan Pemilu,

baik dari sisi  sosial isasi maupun kuali tas. Mendorong

profesionalisme pers dalam meliput Pemilu sejalan dengan usaha 

mewujudkan Pemilu berkualitas dan demokratis. Sudahkah pers

kita memerankan fungsinya dengan baik terkait Pemilu?

Perbincangan di -- kali ini menghadirkan Wakil Ketua Dewan

Pers, Leo Batubara.

--

23 Maret 2009

Narasumber:

Leo Batubara

Wakil Ketua Dewan Pers

Host Tamu:

Bekti Nugroho

Anggota Dewan Pers

Penyiar Radio:

Budi Kurniawan

--

--


Secara umum, bagaimana anda melihat liputan pers tentang

Pemilu saat ini?

Media kita dapat dikategorikan dalam dua kelompok. Ada media main-

stream yang berkualitas dan ada yang belum berkualitas. Sepanjang terkait

media berkualitas atau mainstream, liputan mereka mengenai Pemilu

cukup konprehensif. Mereka cukup memberi edukasi, memberi pencerahan

kepada warga  calon pemilih.

Media menjadi panggung utama penyampai pesan-pesan dari KPU

dan Bawaslu. Media sekaligus memberi  feedback kepada KPU dan

Bawaslu, terutama kepada parpol, mengenai penyelenggaraan Pemilu 2009

termasuk kalau ada kendala-kendala.

Apakah Dewan Pers menemukan pers telah berpihak atau

terlalu jauh menyerang KPU terkait pelaksanaan tahapan Pemilu?

Saya kurang sependapat kalau pers dikatakan menyerang KPU. Justru

media mengemukakan berbagai kelemahan penyelenggaraan Pemilu

sesuai otoritas KPU. Maksud pemberitaan “negatif” itu bukan untuk

menyerang KPU, tapi susaha  KPU bisa merumuskan kebijakan, keputusan

dalam rangka mengatasi berbagai persoalan tadi. Sasarannya agar Pemilu

tidak tertunda, Pemilu harus berkualitas. Kendala atau  kelemahan

pelaksanaan Pemilu yang diperoleh pers dari warga  disampaikan

kepada KPU. Maksudnya susaha  diatasi oleh KPU.

Fungsi pers sebagai watch dog adalah menggonggong kalau ada

“serigala mau menangkap kambing.” Jangan anjingnya yang disalahkan.

Justru dia menggonggong sebab  ada problem.

Seperti apa peran pers dalam membantu kerja KPU?

Personil KPU jumlahnya tidak banyak, sedangkan media kita ada

banyak: 1.000 lebih media cetak, 2.000 lebih radio, dan televisi ada 200

lebih. Mereka punya jaringan dari Sabang sampai Merauke. Mereka bisa

membantu memasok informasi kepada KPU, susaha  KPU tahu persoalan

apa yang dihadapi dan segera mengatasinya.


Telepon

Bram (Cibinong): Seharusnya wartawan netral. Mereka

membantu dalam berbangsa dan bernegara. Ternyata media ada

yang berpihak, harusnya netral. Seperti lumpur Sidoarjo, itu bencana

kemanusiaan yang mustinya cepat diselesaikan, orang-orangnya

dipindah dan diberi ganti rugi. namun , mana berita suratkabar tentang

hal ini?

Apakah media cetak sama sekali tidak boleh berpihak? Seperti

apa aturannya?

warga  sudah semakin memahami media. Menurut standar

profesi, semua media baik cetak, radio, televisi harus independen. Kalau

media cetak tidak independen, berpihak, partisan, sebenarnya tidak

melanggar undang-undang. Kalau semua parpol membuat media cetak,

itu boleh. Isinya berpihak kepada masing-masing parpol. Cuma, media

seperti ini tidak laku di pasar.

Media cetak mainstream, berkualitas, dia harus independen. Kalau

dia tidak independen, besok lusa dia akan ditinggalkan oleh pembacanya,

dia terancam mati dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Berbeda dengan media radio dan televisi. Menurut Pasal 36 ayat 4

Undang-Undang Penyiaran media penyiaran harus independen dan tidak

boleh berpihak. Kalau melanggar, dia terkena sanksi, bisa didenda, dipaksa

berhenti siaran, atau ijinnya tidak diperpanjang. Malah kalau kesalahannya

berakumulasi, aturan membolehkan ijinnya dibredel dengan keputusan

pengadilan. Jadi, ada perbedaan antara media cetak dan media elektronik.

Mengapa ada perbedaan perlakuan sejenis  itu?

Kalau anda mau membuat stasiun radio atau televisi, anda harus

mengajukan kepada negara susaha  mendapat ijin frekuensi. Jumlah

frekuensi, sebagai ranah publik, sangat terbatas. sebab  jumlahnya

terbatas, maka siapa saja yang mendapat ijin frekuensi harus netral dan

tidak boleh berpihak. Sedangkan untuk media cetak, setiap orang bisa

membuatnya asal ada badan hukumnya. Ini persyaratan pertama.

--


Persyaratan kedua, kita membaca koran sebab  ada kehendak bebas

kita untuk membeli koran. Kita bawa koran itu ke rumah. Tapi, siaran

radio dan televisi bisa tanpa diundang masuk ke rumah kita. sebab  itu,

regulasinya harus lebih keras, harus netral dan tidak boleh berpihak.

Kalau media cetak boleh berpihak, apakah tidak akan

memicu  para pemilik modal dan partai politik kaya membuat

media sebanyak-banyaknya sementara partai miskin tidak bisa

banyak berkampanye lewat media?

Media cetak yang berpihak tidak banyak dan investor tidak akan mau

menanamkan modal di situ. Investor hanya mau menanamkan modal di me-

dia yang independen, sebab  media independen bisa berlanjut, sustainable.

Media punya standar profesi dan news value dalam memberitakan

parpol kecil atau besar. Kalau partai kecil, misalnya, memiliki tokoh-tokoh

yang berbobot dan informasinya memenuhi kepentingan umum, media

independen akan mengangkatnya. Sebaliknya, ada partai besar namun  yang

berbicara tidak berbobot, pasti tidak akan diliput media. Jadi, dalam

mengangkat persoalan partai besar atau kecil ditentukan oleh nilai berita

dari tokoh parpol yang bersangkutan.

Sejauh ini, apakah berita pers mengenai Pemilu sudah mampu

ikut mencerdaskan pemilih?

Pertama, selama 63 tahun merdeka, sebenarnya rakyat belum

berdaulat. Selama ini rakyat hanya memilih tanda gambar parpol. Siapa

wakil di parlemen rakyat tidak menentukan, sebab  ditentukan parpol. Tapi,

kita boleh berbangga, pada Pemilu tahun ini untuk pertama kali rakyat

berdaulat. Rakyat bisa menyontreng calon yang menurut mereka baik.

Kedua, media kita terbagi dua, ada media mainstream yang sangat

kuat dalam pencerahan, mendidik. Media seperti ini ada di setiap provinsi.

Sesuai pengamatan saya setelah roadshow ke-33 propinsi, media

berkualitas setia kepada kode etik. Dalam menyampaikan informasi

tentang penyelenggaraan Pemilu, baik bersumber dari KPU, Bawaslu, atau

tokoh politik, cukup memberi pencerahan kepada rakyat sehingga rakyat

tahu perkembangan Pemilu.


Terkait calon anggota legislatif, apakah pers sudah mampu

membuat berita yang dapat meningkatkan daya kritis pemilih

terhadap para calon?

Saya kira belum optimal. Pers selama 10 tahun ini sudah bebas

dalam banyak hal, namun  mereka masih sangat berhati-hati melakukan

kritik terhadap pejabat, perilaku parpol, apalagi legislator. Sebab, mereka

yang berpotensi dirugikan bisa memakai  KUHP. Sekarang ada 38

parpol, tidak semuanya profesional. Ada 12 ribu calon anggota legislatif,

yang akan terpilih 560. Mereka menyatakan diri sebagai “cap kelas satu”,

namun  banyak yang cap busuk. Demikian juga dengan calon presiden.

Banyak yang mencalonkan diri, tapi sebagian besar tidak berbobot.

Dalam memberitakan para calon, media berkualitas sangat berhati-

hati, padahal liputan mereka dibutuhkan oleh rakyat untuk “menguliti” calon,

apa capaian para calon selama ini, apa betul isi iklan kampanye mereka.

Di sini media terlalu berhati-hati sehingga kurang membantu rakyat. Rakyat

ingin media berkualitas “menguliti” para capres, kalau perlu mengurai dari

mana dana mereka yang banyak itu. Jangan-jangan dana mereka “bau

ikan busuk”.

Saat media “menguliti” calon anggota legislatif atau calon

presiden, mungkin media khawatir ada serangan balik dari calon

atau capres. Media bisa dituduh meliput sesuai pesanan.

Tidak perlu khawatir. Sasaran media ialah membantu rakyat memilih,

mengusaha kan informasi seutuhnya tentang kontestan Pemilu. Ini berbeda

dengan black campaign. Pers sama sekali tidak boleh memakai  bahan

yang dusta, palsu, fabrikasi, fiktif. namun , kalau pers menyampaikan fakta-

fakta temuan dari sumber yang dapat dipercaya, tidak masalah. Misalnya,

alangkah baiknya pers memberitakan caleg yang sudah empat tahun di

DPR termasuk yang rajin atau yang sering bolos. Siapa caleg yang banyak

menyumbang gagasan yang baik untuk rakyat. Berapa kekayaan caleg,

apakah mereka pernah “berurusan” dengan Komisi Pemberantasan

Korupsi. Galian informasi seperti ini dibutuhkan oleh rakyat.

--


Telepon

Drajat (Kalimantan Tengah): Saya punya pertanyaan sedikit

menyimpang, apakah Anggota DPR punya hak untuk membantu

rakyat mengurus permasalahan pertanahan?

Bekti: Salah satu tugas Anggota Dewan menyalurkan aspirasi rakyat,

apapun permasalahannya. sebab  itu, di DPR ada rapat kerja antara DPR

dan mitra atau pemerintah untuk membahas semua permasalahan

menyangkut hajat hidup orang banyak.

Telepon

Ignatius (Jakarta): Tadi Pak Leo bilang, banyak media terlalu

berhati-hati menguliti parpol, caleg, capres atau cawapres. Saya

pikir, mereka berhati-hati sebab  takut tidak kebagian kue iklan.

Dalam posisi seperti ini, media bersikap seperti apa?

Media menurut Anda cenderung berhati-hati dalam

memberitakan para calon yang bertarung dalam Pemilu, terutama

untuk menghindari tuduhan black campaign.

Media masih terkesan sangat hati-hati. Sangat hati-hati bisa terjadi

sebab  dua hal. Pertama, tekanan dari direktur keuangan media

bersangkutan. Direktur keuangan bulan-bulan terakhir ini sedang panen uang

dari iklan. Saya dengar dari orang di periklanan, sudah Rp 1 triliun dipanen

oleh media, televisi paling banyak. Belanja iklan paling banyak diserap oleh

media televisi. Rp 2 triliun lagi nanti akan masuk saat Pemilu presiden.

Jadi, ada tekanan dari direktur keuangan atas nama pemilik media.

Kedua, alasan yang paling menentukan mengapa mereka terpaksa

harus hati-hati, sebab  mereka bisa dituntut dengan KUHP. Mengungkapkan

data negatif mengenai capres yang berasal dari sumber layak dipercaya,

dilindungi oleh Undang-Undang Pers. namun  jangan lupa, selain UU Pers

ada KUHP. Di dalam KUHP, pasal buatan Belanda, mengkritik bupati,

pejabat, atau politisi bisa dianggap pencemaran nama baik. Bisa

memicu  masuk penjara empat setengah tahun.


Selama 63 tahun ini, banyak pengalaman, media susah untuk bisa

mengelak dari tuduhan pencemaran nama baik, sebab  politisi, pejabat,

atau pebisnis bermasalah selalu dilindungi KUHP. Sedangkan media hanya

dilindungi oleh UU Pers. Saat terjadi benturan antara UU Pers dengan

KUHP, fakta menunjukkan, KUHP yang sering dimenangkan.

Telepon

Samsu (Cilengsi): Peran pers dalam Pemilu sangat diharapkan.

Pemilu dapat dikatakan berkualitas jika lewat Pemilu berhasil dijaring

putra putri terbaik bangsa untuk menjalankan pemerintahan. Media

pasti tahu orang-orang yang terbaik itu. Pertanyaan saya, sejauh

mana pers berhasil mendorong orang-orang terbaik untuk tampil ke

depan? Bagaimana dengan media yang lewat iklannya justru

mendorong orang-orang terburuk atau diragukan kualitasnya?

Pak Samsu benar. Media kita, terutama yang berkualitas, sebenarnya

punya database mengenai kebolehan para kontestan, terutama capres.

Dari seluruh calon, mereka tahu siapa kira-kira yang terbaik. Cuma,

mereka sangat berhati-hati untuk mengkomunikasikannya, sebab  banyak

rambu-rambu yang bisa didakwakan kepada mereka. Salah satu kendala,

sebab  masih beroperasinya KUHP buatan Belanda yang didesain untuk

melindungi pejabat, politisi, pebisnis bermasalah.

Kita juga tahu ada media tertentu yang tidak mendukung Pemilu

2009 berkualitas. Fakta menunjukkan, ada dua kelompak media. Ada media

baik, mottonya maju tak gentar membela yang benar. Mereka mencerahkan,

mendidik, membantu rakyat susaha  bisa memilih calon terbaik. Tapi, ada

media yang mottonya maju tak gentar membela yang bayar. Jurnalisme

yang mereka gunakan adalah “jurnalisme kuda.” Artinya, isi berita sesuai

dengan pesanan penunggang kuda yaitu politisi bermasalah. Kalau jenis

media ini yang dipakai, sudah hampir pasti rakyat menjadi korban. Akhirnya

rakyat memilih capres yang banyak iklannya padahal tidak ada bukti orang

ini  sesuai dengan pesan iklannya.


Sam (Purwakarta): Siapapun warga negara Indonesia yang

berhak menjadi presiden, saya berpikiran positif. Tugas pers adalah

mencerdaskan warga . Artinya, memberi  pembelajaran

kepada warga  untuk pintar-pintar memilih. Jadi, pers harus

tetap berperan untuk mencerdaskan warga .

Penelepon tadi ingin menegaskan bahwa pers harus berperan

mencerdaskan pemilih.

Itu benar. Katakanlah sekarang ada 10 capres. Media berkualitas

harus sudah tahu, dari 10 orang yang mencalonkan diri sebagai presiden

itu, bagaimana rating mereka, ranking mereka, capaian-capaiannya, rekam

jejaknya, apakah mereka punya kinerja yang baik dalam melaksanakan

tugas pokoknya. Ada capres yang sebenarnya tidak berbuat apa-apa. Cuma

janji-janji luar biasa.

Selama kampanye, media banyak memuat iklan dari parpol

dan politikus. Bagaimana redaksi media mampu menjaga

independensi dari pemasang iklan?

Menurut standar profesi, iklan adalah peluang bagi media. Media

memerlukan iklan. Sejalan dengan itu, media terpanggil harus tetap kritis.

Saya sering mengutip ucapan Rosihan Anwar: pers yang baik ialah pers

yang selalu berpihak kepada rakyat yang dizolimi. Media yang sudah

mendapat iklan mestinya tetap bebas untuk melakukan liputan, “menguliti”

capres, sehingga warga  mendapatkan informasi yang seutuhnya.

Cuma, pers belum optimal “menguliti” parpol atau capres, sehingga apa

yang kita baca belum cerita sebenarnya mengenai capres.


Telepon

Zamzam (Lhokseumawe): Seperti yang Pak Leo sebutkan,

kalau media mau berperan aktif, mungkin negara kita bisa

terselamatkan dari anggota legislatif yang kerjanya korupsi, adu

jotos. Juga mungkin bisa terselamatkan dari capres yang kalau

terpilih nanti mau menjual negara sedikit-sedikit. Cuma, bagaimana

ruang redaksi media bisa melepaskan diri dari belenggu, misalnya

dari belenggu kelompok tertentu, sewaktu mau memberi

pencerdasan kepada bangsa ini?

 Yosi (Jakarta): Saya kurang setuju kalau dikatakan KUHP

melindungi orang-orang bermasalah. Apa benar demikian? Kalau kita

mau menuntut tanpa bukti, itu susah. Apakah kita benar atau salah,

kita juga tidak tahu. Kita tidak sempurna. Harus ada saling kontrol.

Saya setuju pers bebas, namun  tetap harus bertanggung jawab.

SMS

Yudi (Jakarta): Saya melihat pers kurang santun

menyampaikan berita. Tolong diperbaiki atau disekolahin lagi. Ada

juga media pro partai.

Farid (Jakarta Barat): Media masih belum seimbang dalam

memuat berita. Contohnya kasus Ponari.

Reda (Kalimantan Selatan): Jika untuk nyaleg saja mereka

banyak meneluarkan duit, apa nanti mereka akan memprioritaskan

kepentingan rakyat ketimbang untuk mengembalikan modal? Saya

harap media tetap memiliki idealisme mencerdaskan

warga .

Dari Kalimantan: Caleg menyuruh kampanye orang dengan

memberi  bensin 3 liter, uang Rp 25 ribu, dan kaos partai. Tapi,

begitu jadi anggota DPR, mereka cuma D4: datang, duduk, diam dan

duit.

--


Masalah pers bebas dan bertanggung jawab, saya tidak mengada-

ada, coba kita telusuri nasib bangsa ini selama 63 tahun. Di zaman

pemerintahan Presiden Soekarno, pers dipenjarakan, pers dibredel. Di

zaman Soeharto juga demikian. Apa yang terjadi saat  pers dibredel sebab 

mengkritik? Harga yang harus dibayar mahal: Presiden Soekarno berhenti

berkuasa setelah dijatuhkan oleh mahasiswa. Demikan juga zaman

Soeharto. Sekarang ini, pers yang bertanggung jawab artinya kalau ada

pejabat korup, mestinya pers boleh mengungkapkan.

Apa hasil 63 tahun kita merdeka? Hasilnya, ada sekelompok manusia

elite kaya sekian turunan, tapi banyak rakyat masih miskin. Banyak pers

belum berani ungkap sebab  ancaman dari KUHP. KUHP buatan Belanda

memang didesain untuk melindungi aparat Belanda dari kritik rakyat

terjajah. Sekarang KUHP masih digunakan dengan maksud yang sama.

Pers yang “menguliti” pejabat, politisi, pebisnis bermasalah harus siap-

siap masuk penjara. Ini fakta, tidak mengada-ada.

Pers yang setia membantu rakyat, selalu berpihak kepada rakyat

yang dizolimi, harus kita konsumsi. Ada juga media yang berpihak. Untuk

itulah kita ajari rakyat, yang berdaulat memilih media, agar tidak

mengonsumsi media sejenis  itu. Susaha  dia tidak punya hak hidup. Ini

era rakyat berdaulat. Kedaulatan kita percayakan kepada rakyat dengan

harapan hanya media yang betul-betul membela rakyat yang dipilih oleh

rakyat.

™™™


Rendah, Peran Media di Pemilu 2009

JAKARTA, KOMPAS.com — Peran media pada Pemilu 2009

dianggap tidak signifikan. Sebelum pesta demokrasi berlangsung,

jajak pendapat uang dilakukan oleh lembaga survei LSI pimpinan

Denny JA dan LSI pimpinan Saiful Mujani mengungkapkan, sekitar

60 persen pemillih telah memutuskan pilihannya.

Sementara itu, hasil Pemilu Presiden 2009 yang diumumkan

Komisi Pemilihan Umum menunjukkan, pasangan capres-cawapres

Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono memperoleh suara sebesar

60,80 persen. “Jadi, floating mass atau massa mengambang yang

menjadi target pasangan capres-cawapres melalui pemberitaan di

media tidak tercapai. Pengaruh media tidak signifikan,” ujar

wartawan senior Tempo Bambang Harymurti pada diskusi

Profesionalisme Media Massa, Selasa (4|8) di Jakarta.

Pengamat komunikasi Cipta Lesmana menegaskan, kinerja

media massa selama masa pileg dan pilpres menyedihkan. Sekitar

80 persen media, dalam pemberitaannya, mendukung pasangan

capres-cawapres tertentu. “Ini menyedihkan. Media yang seharusnya

memainkan peran mediator komunikasi antara pemerintah dan

rakyat malah menjadi aktor komunikasi politik,” ujar Cipta.

Pakar pendidikan Soegeng Santoso, yang juga guru besar tetap

Universitas Negeri Jakarta (UNJ), mengatakan, media harus dapat

menyajikan berita yang lebih akurat, berdasar fakta-fakta, dan

tidak membumbuinya dengan hal-hal yang dapat memicu 

antipati. “Media harus dapat memberi  pendidikan politik yang

benar kepada rakyat,” ujarnya. (KOMPAS/AGUS SUSANTO)


berdasar penghitungan suara Pemilu Legislatif 2009 sampai

akhir bulan April ini, dipastikan setidaknya 15 artis melenggang ke

Senayan. Jumlah ini meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan

Pemilu 2004, yang saat itu cuma meloloskan enam artis menjadi

anggota legislatif. Meskipun naik tajam jumlahnya, secara

keseluruhan persentase artis yang menjadi wakil rakyat hanya 2,6

persen dari total 560 kursi di DPR.

 Bagi kalangan yang was-was dengan agresi artis ke wilayah

politik, angka itu boleh mengundang kerisauan. Kalangan artis telah

resmi melewati angka jumlah minimal persentase suara Pemilu

(election threshold) yang ditentukan KPU, bukan mustahil populasi

mereka akan meningkat di masa depan. Kalau saja para artis

bergabung mendirikan Partai Selebritis Indonesia (PSI), pada Pemilu

2009 ini, mereka telah menjadi partai terbesar ke-10, dan boleh

langsung ikut Pemilu 2014.

 Dengan kultur politik dan politisi di Indonesia yang hampir

non-ideologis saat ini, hampir dapat dipastikan lambat laun politisi-

tulen bakal tergusur oleh politisi-selebritis. sebab  ukuran utama

keterpilihan seorang politisi akhirnya adalah pada popularitas. Darrell

West, dalam buku “Celebrity Politics”, menulis artis yang terjun ke

politik diuntungkan oleh ekspose media. Media, khususnya televisi,

merupakan medium ampuh bagi selebriti untuk menuai popularitas.

Sistem pemilihan langsung semakin menguntungkan selebriti,

sebab  publik yang abai dengan kualitas politisi, akhirnya

menjatuhkan pilihan kepada “siapa saja yang dikenal”.

Pada era Orde Baru, selebriti yang bertaburan di beberapa

parpol, semula hanya menjadi penghibur, juru kampanye, atau

votegetter. Namun pada era Reformasi, khususnya Pemilu 2009

Caleg Selebritis dan Jurnalis

Oleh Lukas Luwarso

Sekretaris Eksekutif Dewan Pers


lebih dari 60 selebritis resmi terdaftar sebagai calon legislatif nomor

jadi. Hampir semua partai besar menempatkan beberapa selebriti

sebagai caleg. Nampaknya ungkapan yang menyatakan “seorang

artis berbakat memilih memainkan peran sebagai politisi besar di

panggung, ketimbang berpolitik dengan peran kecil”, tidak berlaku

lagi. Ketatnya persaingan dalam casting sinetron, mendorong

sejumlah artis bersedia alih profesi: menjadi politisi paruh waktu

(part-time politicians).

Tidak ada masalah artis menjadi anggota legislatif, mereka

bakal dengan mudah berganti peran dari seorang aktor di layar

televisi menjadi aktor politik. Lagi pula mereka terbiasa memainkan

berbagai peran dalam dunia sinetron. Berperan sebagai wakil rakyat

tentu amat mudah bagi mereka, terutama jika mau mengamini

aksioma 3D (datang, duduk, duit) yang lazim dilakukan anggota

DPR pada umumnya. Jika terbersit ingin memperjuangkan amanat

rakyat, pastilah bukan hal sulit. Mereka cukup membaca, menghafal,

dan mengulang platform partai yang mengusung mereka dalam

setiap pidato dan sambutan, sebagaimana mereka biasa menghafal

naskah skenario film dan sinetron.

Berbeda dengan caleg selebritis yang mengundang perhatian

media dan rasa ingin tahu warga , caleg jurnalis tampaknya

sama sekali terlupakan. Bukan saja tidak ada  data seberapa

banyak caleg jurnalis yang berhasil masuk ke Senayan, namun

eksistensi jurnalis yang berhasil menjadi anggota legislatif nampaknya

juga sama sekali bukan menjadi isu yang layak dipedulikan. Memang

pada tahap awal pendaftaran calon legislatif pernah diberitakan

sedikitnya ada 100 caleg DPR berlatar belakang jurnalis. Namun

perhatian terhadap jurnalis yang nyaleg umumnya bernuansa

kecaman atau keprihatinan, sedikitnya mempertanyakan itikadnya.

Berkebalikan dari selebritis, yang memanfaatkan media serta

diuntungkan dengan ekspose media dalam Pemilu, jurnalis yang

mencoba terjun ke politik justru lazimnya “dirugikan” oleh media.

Bukan saja mereka tidak mendapat ekpose media; beberapa malah

diminta mundur atau cuti di luar tanggungan dari perusahaannya,

--

110 |  -

mereka masih harus menghadapi pandangan sinis dari rekan kerja

atau komunitas pers sebab  terjun ke politik praktis, dianggap

menggadaikan idealisme, dan sejenis nya.

Panggung politik memang kembaran dari panggung sinetron,

itu sebabnya sangat mudah bagi selebritis untuk berpolitik dan “feel

at home” (ingat ungkapan: politics is show business for ugly people).

Wajarlah kalau selebritis lebih sukses dalam merambah wilayah

yang berpameo “tidak ada kawan dan lawan abadi selain

kepentingan” itu.  Sementara itu, jurnalis kurang sukses berpolitik

sebab  terbebani pameo: “menegakkan kebenaran; menyuarakan

mereka yang tidak bisa bersuara; menjadi watchdog,” dan sejumlah

prinsip yang seram lainnya.

Lagipula, jurnalis memang lazimnya mengawasi politisi,

mempersoalkan dan membeberkan ke publik kinerja politisi tidak

beres. Secara kimiawi, ion jurnalis dan ion politisi bertentangan,

seperti air dan minyak, tidak bisa campur. Jurnalis tulen tidak tertarik

dan tidak terbersit ingin menjadi politisi. Ibarat Satpam yang bertugas

mengawasi keamanan gedung dari maling, tentu satpam tulen tidak

tertarik mencoba-coba menjadi maling. Jadi kalau dalam Pemilu

2009 caleg jurnalis banyak yang gagal menjadi politisi. Itu adalah

kabar baik dan patut disyukuri.

Tapi, sebab  menjadi politisi merupakan “hak konstitusional;”

bagi jurnalis yang tetap ingin menjadi politisi pada Pemilu 2014,

ada satu tips yang perlu dipertimbangkan: mulailah dengan menjadi

selebriti.

Sumber: Buletin ETIKA Dewan Pers, April 2009.

| 111

30 Maret 2009

Narasumber:

Wina Armada Sukardi

Anggota Dewan Pers

Host Tamu:

Bekti Nugroho

Anggota Dewan Pers

Penyiar Radio:

Budi Kurniawan

--

“--

Setelah Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers berlaku 10

tahun, masih sering ditemui orang memanfaatkan profesi wartawan

untuk kepentingan penipuan, menakut-nakuti narasumber, atau

cuma untuk gagah-gagahan. Modus pemerasan berkedok profesi

wartawan paling sering dijumpai. Orang mengaku wartawan hanya

untuk memuluskan niat jahat memeras orang lain.Dewan Pers terus

berusaha  melawan praktik penyalahgunaan profesi wartawan.

warga  yang berhadapan langsung dengan praktik sejenis 

ini diminta berani melawan atau melaporkan pelaku ke polisi.

Perbincangan kali ini membahas masalah penyalahgunaan profesi

wartawan, menghadirkan narasumber Anggota Dewan Pers, Wina

Armada Sukardi.


sejenis  apa bentuk pengaduan yang sering diterima Dewan

Pers terkait perilaku wartawan yang tidak etis?

Sebelum ke sana, saya ingin memberi  sedikit penjelasan

mengenai posisi kemerdekaan pers. Banyak yang salah menduga

kemerdekaan pers hanya semata-mata hak eksklusif atau hak istimewa

pers, khususnya wartawan. Dengan asumsi sejenis  itu, wartawan bisa

melakukan apa saja, wartawan imun terhadap hukum. Kalau sudah

mengaku sebagai wartawan, dia ada di atas hukum. Asumsi ini salah.

Kemerdekaan pers adalah milik seluruh rakyat, milik publik. sebab 

itu, kemerdekaan pers harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk

kepentingan publik. Kalau ada orang merongrong, mengganggu,

mengurangi kemerdekaan pers, dia tidak berurusan dengan hak istimewa

pers, tapi hak publik yang diganggu. Sebaliknya, pers yang tidak

menjalankan tugas dengan benar, juga mengganggu publik. sebab  itu,

kemerdekaan pers harus kita jaga benar.

Tugas utama Dewan Pers menjaga kemerdekaan pers. Kemerdekaan

pers bisa diganggu oleh pihak di luar pers, oleh publik yang menyerbu

kantor redaksi atau melakukan kekerasan terhadap wartawan, oleh

pemerintah yang tidak mau memberi  akses kepada pers. Kemerdekaan

pers juga bisa diganggu atau dirongrong oleh penumpang gelap

kemerdekaan pers, orang yang mengaku-ngaku wartawan. Mereka tidak

melakukan pekerjaan pers sebagaimana diamanatkan Undang-Undang.

Pekerjaan jurnalistik yang dilindungi UU terbatas pada 6 M yaitu

mencari, memperoleh, mengolah, menyimpan, memiliki dan menyiarkan

informasi. Dalam menjalankan tugas 6 M ini, ada pers yang profesional

ada yang tidak profesional. Pers profesional juga terkadang melakukan

kesalahan, tapi kesalahan yang tidak disengaja, tidak dilandasi itikad

buruk. Sedangkan pers tidak profesional, mereka tidak taat etika, tidak

menguasai teknis jurnalistik.

Ternyata, setelah 10 tahun UU Pers berlaku, banyak “wartawan”

gadungan, “wartawan setengah wartawan” atau “wartawan abal-abal” yang

ditangkap sebab  jadi penyalur narkoba, pencuri motor, dan sebagainya.

Murni kriminal.

| 113

Ada wartawan yang mengajukan proposal kepada perusahaan

swasta, meminta bantuan kegiatan yang bukan terkait jurnalistik.

Bagaimana menyikapi yang seperti ini?

Jangan-jangan kegiatannya tidak ada dan dia mengatasnamakan

wartawan. Namanya penumpang gelap. Dia bukan wartawan tapi

mengatasnamakan wartawan. Sama saja bukan dokter namun  mengaku

dokter. Di Yogyakarta ada seorang lulusan Fakultas Ekonomi tidak punya

pekerjaan. Dia menjadi dokter kandungan, spesialisasi menggugurkan

kandungan. Dia belajar dari internet, beli alat dan pakaian dokter. Sudah

banyak yang diaborsi oleh dia tanpa ijin dokter sampai kemudian terungkap.

Apakah dia dokter? Bukan. Dia melakukan penipuan.

Banyak orang yang sebenarnya bukan wartawan tapi mengaku

wartawan. Ini penumpang gelap. Ada lagi orang yang punya penerbitan

tapi tempo-tempo terbit. Dia menyalahgunakan penerbitannya. Ini

dinamakan wartawan tidak profesional.

Mengapa sepertinya banyak orang memakai  profesi

wartawan sebagai pekerjaan alternatif yang mudah mendatangkan

uang, padahal mereka tidak punya keterampilan jurnalistik?

Ada mitos, pekerjaan wartawan baik di dunia maupun di Indonesia,

identik dengan pencari kebenaran. Dia selalu tidak puas dengan data-

data yang diberikan secara formal. Dia ingin mencari kebenaran yang

sesungguhnya. Di Indonesia, wartawan identik dengan pejuang. Wartawan

lebih dulu menyuarakan pentingnya Indonesia, mengenai perlunya

kemerdekaan. Usia wartawan lebih tua dari usia tentara.

Kepahlawanan, etos dan segala macam mitos tentang wartawan

berlanjut sampai sekarang. Apalagi saat  reformasi, pers memperoleh

kedudukan yang demikian hebat. Dalam menjalankan tugas, pers dilindungi

oleh hukum, tidak boleh dihalang-halangi, tidak boleh dibredel, tidak boleh

disensor. Pers berperan memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

“Banyak orang yang sebenarnya bukan wartawan tapi

mengaku wartawan. Ini penumpang gelap.”

“--

114 |  -

Di lain pihak, profesi wartawan yang demikian hebat tidak disertai

kompetensi. Anda hari ini bermimpi menjadi wartawan, besok anda bisa

jadi wartawan. Bikin saja buletin, jadilah anda wartawan. Cukup dicetak

500 eksemplar, disebarkan ke kantor kecamatan atau dinas.

Dewan Pers pernah kedatangan seorang laki-laki. Dia datang dengan

penampilan lusuh, pakai sendal jepit. Dia mengatakan siap jadi wartawan.

“Bapak ini siapa?” “Saya supir truk yang baru kena PHK. Saya sudah

mengeluarkan uang 500 ribu.” “Uang buat siapa?” Disebutnya, Rp 300

ribu untuk sebuah organisasi wartawan,  Rp 100 ribu untuk mendaftar ke

pemerintah, dan Rp 100 ribu untuk menyogok Dewan Pers. Anda bisa

bayangkan, begitu banyak orang salah memahami apa itu profesi wartawan.

Di lain pihak, kita masih hidup di masa transisi. Korupsi dan

nepotisme masih banyak dilakukan pejabat. Mereka terkesan takut dengan

pers. Sehingga, bandit yang mengaku wartawan ketemu dengan bandit

yang jadi pejabat. Ditengahnya ada pengacara yang maju tak gentar

membela yang bayar.

Telepon

Anas (Kalimantan): Saya pedagang. Wartawan itu dilindungi

hukum. Nah, perlindungan hukum ini perlu dirombak susaha 

wartawan itu tidak merasa jago ataupun merasa dilindungi oleh

hukum. Mereka meliput, menanyakan masalah lingkungan, ujung-

ujungnya minta rokok. Saya kira perlu dirombak undang-undang

tentang wartawan.

Bekti Nugroho: Apa yang diceritakan Pak Anas adalah pola klasik.

Ada “wartawan” datang, pura-pura bertanya-tanya. Ngobrolnya sudah habis,

kopi sudah keluar, rokok habis, tapi belum pulang juga. Dia nunggu apa

lagi kalau bukan uang.

Ada warga  yang menganggap wartawan kebal hukum.

Bagaimana Dewan Pers menanggapinya?

| 115

Wina Armada: Kita lihat dari sejarah jurnalistik atau sosial, selalu

ada ekuilibrium antara pers dan reaksi warga . saat  pers ditindas,

dibelenggu atau kemerdekaannya dibatasi, warga  akan bereaksi

mendukung pers habis-habisan. Itu terjadi di seluruh dunia. Namun, saat 

pers melakukan tindakan yang katakanlah melampaui wewenangnya atau

tidak lagi sesuai dengan aspirasi warga , maka warga  akan

berbalik. Mereka menuntut pers kembali kepada khitoh yang sebenarnya.

Ketidakpuasan terhadap wartawan atau pers berubah-rubah sesuai dengan

peranan pers.

Di Amerika, saat  Presiden Nixon dilengserkan sebab  skandal

Watergate yang diungkap pers, dukungan warga  terhadap pers sangat

luar biasa. Tapi setelah itu, semua bilang pers agak arogan. warga 

berbalik menyerang.

Bekti: Di Indonesia pun demikian. saat  pers dibelenggu,

warga  mendukung. namun , saat banyak pers melakukan tugas yang

tidak sesuai harapan warga , banyak penumpang gelap di dunia pers,

warga  pun mengusulkan kemerdekaan pers dikurangi, perlindungan

terhadap pers perlu dihilangkan. Persepsi yang salah kalau menganggap

sebab  ada perlindungan terhadap kemerdekaan pers maka pers boleh

seenaknya.

Wina: Walaupun kemerdekaan pers harus dilindungi, namun  tidak

mudah menjadi wartawan. Dia harus tunduk dan patuh pada kode etik

jurnalistik, harus memiliki keterampilan yang bagus, dan seterusnya.

Di dalam - jelas dikatakan, wartawan harus membuat

berita berimbang, akurat, tidak boleh beritikad buruk. Dalam konteks ini,

terkadang wartawan mencari informasi tapi tidak tahu etika. Di Jakarta

ada namanya “wartawan spesialis RUPS”. Dari hotel ke hotel mereka

mendatangi rapat pemegang saham. Mereka tidak tahu apa itu rapat umum

pemegang saham. Yang penting mereka isi absen terus minta duit. Kita

harus mulai mengatakan wartawan sejenis  ini tidak perlu dilayani.

Apabila mereka minta duit, tidak perlu diberi. Jika mereka mengancam,

laporkan kepada Dewan Pers dan polisi.

“--

116 |  -

Telepon

Yatno (Banjarnegara): Untuk bisa mengenali wartawan, yang

harus kita percayai apakah surat kuasa atau surat tugas mereka?

Waktu itu ada penebangan pohon di hutan. Datang orang mengaku

wartawan dan tanya macam-macam, apakah penebangan sudah

ada izin? Saya katakan, “kalau soal izin, bapak bisa tanya kepala

desa atau yang berkompeten di bidang ini, sebab  saya tidak tahu.”

Malah dia bilang macam-macam dan mengancam.  Saya tanya,

“bapak dari wartawan apa?” Dia tidak bisa menunjukkan kartu pers,

malah marah-marah.

Apa ciri-ciri wartawan profesional? Apakah dengan punya kartu

pers atau surat tugas dia bisa disebut wartawan?

Harus disadari, narasumber atau warga  boleh dan berhak

menanyakan identitas orang yang mengaku wartawan. Menanyakan

medianya apa. Salah satu ciri wartawan tidak profesional dan tidak etis,

kalau ditanya mereka marah atau menjawab tidak jelas. “Udah, jangan

tanya-tanya, memang tidak percaya saya.”

Wartawan profesional, yang tunduk pada kode etik, harus

memperkenalkan diri kepada narasumber. Yang paling penting, wartawan

harus benar-benar melakukan kegiatan jurnalistik 6M. Orang yang punya

kartu nama, secara formal dia bisa wartawan, namun  secara substansi

belum tentu wartawan. sebab  itu, narasumber harus memperhatikan track

record wartawan.

Salah satu ciri wartawan tidak profesional

dan tidak etis, kalau ditanya mereka marah atau

menjawab tidak jelas. “Udah, jangan tanya-tanya,

memang tidak percaya saya.”

“”

| 117

Pernah kami lakukan penelitian di Sumatera Utara, ada enam wanita

tunasusila memiliki kartu pers. Anda bayangkan, bagaimana dia

memperoleh kartu pers?

SMS

Farid (Jakarta Barat): Bagaimana dengan wartawan gosip

atau infotainmen? Apa yang dilakukan oleh Dewan Pers untuk

memperbaiki kinerja mereka?

David (Jakarta Selatan): Apakah tergolong pelanggaran kode

etik kalau wartawan diundang dalam acara BUMN untuk koferensi

pers, diakhiri pembagian amplop dan semua wartawan menerima

dengan senang hati?

Cahaya (Jawa Timur): Wartawan itu pekerjaan yang mulia. namun ,

sekarang di daerah banyak wartawan bodrek alias tidak punya media.

Mereka keluar masuk memeras birokrasi. Apa ada badan atau lembaga

yang bisa menjadi naungan jika ingin menjadi wartawan yang independen?

Telepon

Drajat (Kalimantan Tengah):  Wartawan punya hak mengetahui

segala hal apa yang terjadi di tengah warga . Masalah-masalah

kongkrit akan diketahui oleh wartawan. Kalau kita ingin mengetahui

hal itu, apakah kita datang ke wartawan? Kita beri uang atau tidak?

Saya pernah didatangi wartawan yang mau membantu mengurusi sawit.

Wartawan ini menawarkan jasa mengurus sawit.

Masih banyak warga  yang bingung bagaimana

menghadapi wartawan.

Wartawan harus tunduk dan taat pada -. Di dalam

- diatur bagaimana perilaku wartawan dan bagaimana

wartawan harus melakukan pekerjaannya. Antara lain, dia tidak boleh

beritikad buruk, tidak boleh menerima suap. Beritanya harus berimbang,

akurat. Kalau wartawan beritikad buruk, membuat berita tidak akurat, tidak

“--

118 |  -

berimbang, berarti masih belum profesional. Silakan adukan kepada Dewan

Pers. Dewan Pers akan memeriksa kasus-kasus seperti ini dan meminta

wartawan ini  untuk kembali kepada -.

Wartawan dalam bekerja, walaupun dilindungi hukum, harus tetap

patuh pada aturan-aturan hukum. Membuat berita ada aturannya.

warga  tidak usah takut kepada wartawan, sepanjang wartawan

ini  melakukan pekerjaan dengan benar sesuai kode etik dan hukum

yang berlaku. Apabila wartawan tidak lagi berada di koridor kerja jurnalistik

6M, maka dia bisa ditolak. Memeras, minta duit dan menerima suap bukan

pekerjaan jurnalistik. Itu tindakan kriminal, silakan dilaporkan kepada polisi.

“Wartawan” sejenis  itu tidak dilindungi oleh hukum atau tidak dilindungi

oleh UU Pers. Dia tidak menjalankan kemerdekaan pers, justru

mengkhianati kemerdekaan pers

Dewan Pers selalu berusaha meningkatkan kemampuan jurnalistik

para wartawan dan penaatan terhadap -. Kami juga

berusaha memberi  pemahaman yang benar kepada warga 

mengenai tugas dan tanggung jawab wartawan.

Dewan Pers telah mengeluarkan pernyataan tentang praktik jurnalistik

yang tidak etis. Respon warga  bagus. Ternyata masih banyak pejabat

pemerintah di daerah atau humas belum mengetahui secara tepat tugas

wartawan, termasuk tugas Dewan Pers. Seakan-akan Dewan Pers otomatis

akan membela pers. Padahal, yang dibela adalah kemerdekaan pers.

™™™


2 Polisi & 4 Wartawan Pemeras

Pedagang Perhiasan Ditahan


Jakarta - Dua polisi dan 4 wartawan yang terlibat dalam kasus

pemerasan terhadap pedagang berlian akhirnya ditangkap. Keduanya

kini ditahan di Markas Polda Sumut di Medan.

“Para pelaku ditangkap, pada Rabu (16|5) malam menyusul

laporan Punamurti, seorang pegusaha berlian yang mengaku diperas

para pelaku,” kata Kasubdit III Reserse Kriminal Umum AKBP Andre

Setiawan, Kamis (17|5|2012).

Dua polisi yang ditangkap ini  merupakan anggota Polsek

Kutalimbaru, Polresta Medan. Mereka bernama Brigadir Syahrizal

dan Brigadir Polisi Satu (Briptu) Aza A Qoiman.

Sementara 4 pria yang mengaku sebagai wartawan itu masing-

masing bernama Zulmi Aldi, Kiki Budi, Wasis dan Agam Darmawi.

Mereka mengaku wartawan tabloid Warta Polisi terbitan Bandung, Jawa

Barat.

“Para pelaku menuding berlian yang dijual korban merupakan

barang palsu,” ujarnya.

Untuk mencegah kasusnya diproses secara hukum, para pelaku

meminta uang sebesar Rp 150 juta. sebab  berada di bawah

ancaman, korban kemudian memberi  uang Rp 8 juta.

“Uang itu diambil para tersangka. Namun sebab  dinilai tidak

cukup, 13 kantung kecil berlian milik korban juga dirampas (pelaku),”

jelasnya.

Tak lama setelah dilaporkan, polisi akhirnya menangkap para

pelaku. Sejumlah barang bukti berupa uang tunai Rp 8 juta, dan enam

bungkus berlian disita.

“Pengakuan tersangka berlian yang lainnya sudah dijual.

Kasusnya kita proses dan sudah ditetapkan sebagai tersangka,

dikenakan pasal 368 KUHP dengan ancaman hukuman hingga 10

tahun penjara,” kata Andre Setiawan.


Pada 23 September 1999, atau sembilan tahun lalu, Presiden

Bacharuddin Jusuf Habibie menandatangani Undang-Undang Nomor

40 Tahun 1999 tentang Pers. UU Pers baru ini memberi kebebasan

kepada wartawan untuk mencari dan menyampaikan informasi.

Pembredelan dan sensor terhadap pers tidak lagi diperbolehkan.

Sejak disahkan, UU Pers mendapat banyak kritik. sebab ,

misalnya, dianggap tidak mampu melindungi warga  dari praktik

penyalahgunaan profesi wartawan. Pornografi yang berkedok produk

pers bebas diperjualbelikan di pinggir jalan.

Namun, di sisi lain, kebebasan dalam sembilan tahun terakhir

telah mendorong tumbuhnya pers-pers profesional. Pers