a apa adanya berarti mengamati dunia di dalam perubahannya.
Segala sesuatu terus berubah, tanpa henti. Kita tak akan pernah
menginjakkan kaki di sungai yang sama, begitu kata Herakleitos, fi lsuf
Yunani Kuno.
Apa yang kita lihat sekarang bukanlah yang kita lihat sebelumnya.
Setiap tujuh tahun, tubuh manusia berganti sepenuhnya. Ia menjadi
manusia yang sama sekali baru. Yang sama dari manusia itu dengan
manusia sebelumnya hanyalah namanya.
Apa yang kita anggap tetap dan akan memuaskan kita pada
akhirnya akan berubah, dan lenyap dari muka bumi ini. Apa yang kita
perolah akan berubah, dan akan lenyap. Apa yang kita pegang erat-erat
juga akan berubah. Apa yang kita perjuangkan dengan seluruh hidup
kita akan hilang ditelan angin.
Memahami kenyataan di dalam perubahannya berarti juga
memahami alam di dalam keterhubungannya. Segala hal saling
terhubung satu sama lain. Hukum-hukum fi sika yang bekerja, saat
kita mengangkat tangan kita, sama dengan hukum-hukum fi sika yang
menggerakan meteor di ruang angkasa nan jauh disana. Perbedaan
hanya merupakan ilusi yang diciptakan oleh pikiran kita yang terbatas.
Kotoran bagi satu mahluk yaitu makanan bagi mahluk lain. Apa
yang dianggap menjijikan oleh manusia justru menjadi rumah bagi
peradaban serangga atau tumbuhan tertentu. Lingkaran saling keter-
hubungan yaitu bentuk dari alam semesta kita. Tidak ada yang suci
dan tidak suci, sebab semuanya saling membutuhkan satu sama lain.
Kenyataan juga tidak memiliki konsep. Kenyataan yaitu apa
adanya,just as it is. Ia tidak memiliki nama. Kata ”kenyataan” juga
sebenarnya salah kaprah. Ia membuat aliran perubahan seolah-oleh
menjadi tetap, dan bisa disebut sebagai ”kenyataan”.
Konsep membuat sesuatu tampak tetap. Padahal, sejatinya, segala
hal terus berubah, tiap detik, tanpa henti. Konsep bukanlah kenyataan.
Bahkan seringkali, ia menghalangi kita untuk memahami kenyataan.
Salah satu konsep yang paling banyak dipakai manusia yaitu
konsep ”awal dan akhir”. Di dalam alam, tidak ada awal dan tidak ada
akhir. Segalanya berubah, bergerak. Apa yang kita sebut sebagai ”awal”
dan ”akhir” juga merupakan sebuah perubahan yang tak istimewa.
Jika tak ada awal dan akhir, maka tidak ada hidup dan mati.
Hidup dan mati hanyalah sebentuk perubahan. Pikiran kitalah yang
mencapnya sebagai sesuatu yang penting. Alam semesta itu sejatinya
tidak pernah hidup dan tidak pernah mati. Ia juga tidak memiliki awal
dan tidak memiliki akhir. Ia hanya ada, dan terus ada.
”Awal-akhir”, ”hidup-mati”, itu yaitu konsep-konsep di dalam
pikiran kita. Kita lalu melekat pada konsep-konsep itu. Kebahagiaan
kita menjadi tergantung padanya. Jika sesuatu hidup atau dimulai, kita
senang. Sebaliknya, jika sesuatu berakhir atau mati, kita lalu sedih. Ini
yaitu ilusi dari pikiran kita.
saat orang mati, tubuhnya menjadi bangkai di tanah. Rumput
dan tanaman tumbuh subur di tanah yang berisi bangkai. Sapi lalu
memakan rumput itu, lalu manusia memotong mati untuk lauk pauk
di meja makannya. Inilah lingkaran kehidupan yang tak mengenal awal
dan akhir, mati dan hidup.
Dalam arti ini, dapat juga dikatakan, bahwa seluruh alam ini
yaitu satu kesatuan. Tidak ada perbedaan. Semua terhubung, dan
tidak hanya itu, semua yaitu satu. Butiran pasir di pantai dan bintang
raksasa yang berukuran ratusan kali lebih besar dari matahari yaitu
satu dan sama.
Argumen ini didukung oleh penemuan terbaru di dalam fi sika.
Komponen terkecil alam semesta yaitu satu dan sama. Antara
semut dan gajah tidak ada perbedaan, saat kita melihat komponen
terkecilnya. Perbedaan hanya tampak di mata dan pikiran kita.
Kesatuan ini ditunjang oleh harmoni di dalam alam semesta.
Harmoni berarti segala sesuatu memiliki tatanan tertentu. Ada hukum-
hukum alam yang mengatur segalanya. Tidak pernah ada chaos dan
kekacauan, sebagaimana dibayangkan oleh manusia.
Sayangnya, banyak orang tak paham akan hal ini. Mereka meng-
anggap, apa yang mereka punya akan tetap dan abadi. Mereka lalu
melekat pada harta, ambisi dan nama besar. Mereka juga mengira, diri
mereka abadi dan tetap. Tak heran, mereka hidup dalam penderitaan.
Mereka juga hidup dalam delusi. Mereka mengira, kematian yaitu
akhir. Lalu, mereka marah, takut serta sedih, saat orang yang mereka
sayangi meninggal. Mereka juga berusaha untuk bisa hidup sehat dan
awet muda, serta berusaha untuk menghindari kematian. Usaha yang
sejatinya sia-sia.
Banyak orang juga berambisi untuk memulai sesuatu. Lalu, mereka
melekat pada ambisi dan pada sesuatu itu. Ambisi membutakan mata
mereka. Padahal, itu pun juga sejatinya akan berakhir.
Orang yang hidup dalam delusi berarti hidup dalam penderitaan.
Mereka melekat dan memegang erat hal-hal yang sejatinya terus
berubah. Mereka mengira, bahwa pikiran dan konsep-konsep mereka
yaitu kenyataan. Mereka juga takut pada kematian dan usia tua.
Orang yang menderita akan cenderung membuat orang lain men-
derita. Penderitaan kolektif akan mendorong konfl ik antar kelompok.
Perang antar negara juga bisa terjadi, sebab penderitaan batin yang
amat besar dari kedua belah pihak yang berperang. Perdamaian
dunia tidak akan pernah tercapai, jika orang masih terjebak di dalam
delusinya masing-masing.
Bagaimana kita membangun sikap hidup yang tepat dengan
berpijak sebagaimana adanya? Bagaimana kita bisa melepaskan
segala harapan kosong dan pikiran-pikiran delusional yang menutupi
mata kita dari dunia apa adanya? Inilah pertanyaan yang menjadi
pergulatan fi lsafat Yunani Kuno dan fi lsafat Timur. Bagaimana kita
bisa melepaskan konsep-konsep pikiran kita, dan kemudian hidup
mengalir mengikuti perubahan semesta?
Keputusan
Hidup kita disusun oleh berbagai keputusan yang telah kita buat. Setiap harinya, kita pun diminta untuk membuat keputusan. Di
sisi lain, ke putusan-keputusan kita juga berdampak langsung pada
orang lain. Keadaan pikiran dan fi sik hidup mereka juga menerima
dampak dari keputusan yang kita buat. Pertanyaan yang patut dijawab
pada titik ini yaitu , bagaimana kita bisa membuat keputusan yang
tepat untuk hidup kita, terutama dengan mempertimbangkan keadaan
dunia yang semakin hari semakin rumit ini?
Kejernihan
Ada empat hal yang diperlukan, guna membuat keputusan,
yakni kejer nihan, dialog, keputusan dan kontrol. Kejernihan pikiran
yaitu kemampuan untuk memahami keadaan apa adanya, lepas dari
segala bentuk kotoran yang menutupi pikiran kita, seperti prasangka,
ketakutan, kecemasan dan trauma dari peristiwa masa lalu. Pikiran
yang kotor ini akan bermuara pada pertimbangan-pertimbangan yang
kacau. Ini semua akan mendorong kita membuat keputusan yang
salah, yakni keputusan yang menciptakan penderitaan bagi diri kita,
maupun orang lain.
Bagaimana cara mencapai kejernihan pikiran semacam ini? Kita
harus membersihkan kepala kita dari semua pertimbangan konseptual
abstrak, terkait dengan keputusan yang akan kita buat. Kita juga harus
melepaskan kepentingan pribadi kita. Hanya dengan begitu, pikiran
kita akan menjadi jernih seperti ruang kosong, dan bisa membuat
keputusan yang tepat, sesuai dengan keadaan yang ada di depan mata.
saat pikiran jernih, maka keadaan akan jelas. Segala hal menjadi
jelas dengan sendirinya. Kita tak lagi lagi sibuk pada apa yang kita
inginkan, melainkan pada keadaan sesungguhnya. Dengan berpijak
pada pengetahuan tentang keadaan sebagaimana adanya, kita bisa
menanggapi setiap keadaan dengan tepat. Kita menjadi pribadi yang
responsif, yakni berani dan mampu menanggapi segala keadaan yang
terjadi apa adanya.
Banyak orang tidak responsif pada keadaan sebenarnya. Mereka
bersikap reaksioner terhadap keadaan. Artinya, mereka menanggapi
keadaan tidak dengan kejernihan, melainkan dengan ketakutan,
kecemasan dan prasangka. Semua ini menghasilkan kebencian yang
akan membuat keputusan yang diambil menjadi salah, dan menciptakan
penderitaan bagi banyak orang.
Dialog, Keputusan dan Kontrol
Kejernihan lalu menjadi dasar untuk proses berikutnya, yakni
dialog. Dialog mengandaikan kerja sama antara berbagai pihak, guna
membuat sebuah keputusan yang nantinya akan mempengaruhi
kehidupan banyak orang. Segala kehendak dari semua pihak terkait dan
dampak yang timbul dari keputusan yang diambil harus diperhatikan.
Semua itu harus menjadi bahan di dalam dialog.
Namun, dialog tidak boleh berlangsung tanpa henti. Keputusan
harus dibuat, walaupun keadaan memang tak sesempurna yang
diinginkan. Sikap perfeksionis di dalam membuat keputusan haruslah
dihindari, tanpa terjatuh pada sikap sembrono. Kejernihan pikiran
menjadi dasar utama dari semua proses ini.
Setelah keputusan dibuat, ia harus dipantau terus menerus, apakah
berjalan dengan baik, atau tidak. Pemantauan ini amatlah penting.
Begitu banyak keputusan politik di buat di Indonesia, namun tidak
me miliki dampak yang diharapkan. Tanpa kontrol yang jelas, setiap
keputus an, sebagus apapun, tidak akan memberi kebaikan pada
siapapun.
Kejernihan pikiran, dialog, keputusan dan kontrol yaitu langkah-
langkah yang harus ditempuh, guna membuat keputusan yang tepat,
sesuai dengan keadaan sebagaimana adanya. Ini semua harus dilakukan
dengan kesadaran penuh, bahwa semuanya yaitu kosong, sementara
serta terus berubah. Perubahan yaitu keniscayaan di dalam hidup.
Maka, semuanya pun harus terbuka untuk perubahan yang diperlukan,
guna menanggapi keadaan yang ada.
Walaupun dibuat dengan kejernihan, pasti ada kesalahan. Itu
yaitu bagian dari hidup. Penyesalan tidaklah diperlukan. Kita hanya
perlu terus berusaha jernih, dan maju terus dalam dialog, memutuskan
apa yang perlu dilakukan, dan melakukan kontrol atasnya. Maju
terus….
Media, Citra dan Realita
Citra memang bukan realita. Namun, perannya tetaplah penting, terutama di dunia digital yang sekarang ini mengepung hidup kita.
Citra menentukan sikap orang lain pada kita. Citra juga mempengaruhi
selera massa, yang akhirnya berpengaruh langsung pada keberhasilan
ekonomi seseorang, dan bahkan satu negara.
Citra merupakan abstraksi dari realita. Ia bukanlah realita itu
sendiri. Citra dibangun di atas sekumpulan informasi yang diperoleh
dari sumber-sumber tertentu. Sayangnya, informasi-informasi ini
tidak sepenuhnya sesuai kenyataan.
Citra berpijak pada persepsi. Persepsi dibangun atas bayangan
tentang realita. Bayangan ini lalu menjadi semacam penuntun
cara berpikir dan cara bertindak yang tidak disadari. Orang menjalani
hidupnya dengan berpijak pada persepsinya atas kenyataan ini .
Realita yang sesungguhnya, dalam konteks ini, berada di luar
genggaman tangan kita. Ia berada di luar dan melampaui persepsi.
Pada titik ini, orang perlu berpikir terbalik. Persepsi justru bertentangan
dengan kenyataan. Jadi, anggapan yang ada di kepala justru harus
dilihat terbalik dari kenyataan yang ada.
Citra dan Media
Darimana persepsi muncul? Dari mana citra tercipta? Peran media
amatlah besar dalam hal ini, termasuk di dalamnya yaitu koran,
majalah, iklan, berita-berita di internet serta gosip-gosip di blog pribadi
mau pun jaringan sosial. Cara pandang kita atas dunia, perilaku kita
serta selera kita dibangun oleh media-media modern berukuran raksasa
ini.
saat media menyebarkan berita, bahwa kulit putih lebih
baik dari kulit hitam, maka kita pun lebih suka pada laki-laki atau
perempuan berikulit putih, daripada mereka yang berkulit hitam.
saat media menyebarkan informasi, bahwa Eropa itu indah, maka
orang berbondong-bondong berwisata ke Eropa, walaupun dengan
biaya yang tidak masuk akal. saat media menyebarkan berita, bahwa
pendidikan di Amerika Serikat yaitu yang terbaik di dunia, maka
orang berbondong-bondong sekolah disana, juga dengan biaya yang
amat tinggi. Jadi, apa kata media, itulah yang menjadi selera kita, dan
akhirnya menuntun hampir semua tindakan kita.
Padahal, media tidaklah pernah netral. Media selalu merupakan
corong dari kepentingan pihak tertentu. Dalam banyak hal, media
justru melestarikan keadaan sosial tertentu yang tidak adil. Dengan
kata lain, media kerap menjadi kaki tangan para penguasa yang
ingin menjaga kekuasaannya dengan cara-cara yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Media dan Realita
Media menyebarkan info dan berita yang menguntungkan
pihak tertentu. Dari pola pemberitaan semacam ini, media lalu juga
memperoleh keuntungan. Pola ini sudah kita rasakan bersama, sewaktu
Orde Baru di bawah Soeharto memerintah Indonesia. Pemberitaan
media dipelintir untuk membangun citra baik bagi pemerintah yang
berkuasa.
Dengan pola ini, media juga merugikan kepentingan pihak lainnya.
Media meminggirkan kepentingan dan aspirasi dari kelompok tertentu
di dalam warga . Kelompok-kelompok ini biasanya menjadi
kambing hitam atas segala permasalahan sosial yang ada di warga .
Mereka biasanya kaum minoritas yang tidak mendapatkan pendidikan
yang memadai, serta terjebak dalam kemiskinan.
Dengan demikian, pemberitaan media bukanlah realita. Justru
sebaliknya, kita kerap perlu membaca berita-berita media secara
terbalik, sebab ia jelas bertentangan dengan realita. Tidak ada fakta
di dalam media. Yang ada hanyalah sudut pandang yang perlu untuk
terus dibaca serta ditanggapi secara kritis.
Kritis, Kritis dan Kritis
Pada titik ini, sikap kritis mutlak diperlukan. Di tingkat pertama
dan terpenting, kita perlu kritis pada selera kita. Kita perlu sadar, selera
dan cara berpikir kita dibentuk oleh kepungan media di sekitar kita.
Dalam banyak hal, kita perlu untuk menolak selera kita, dan melihatnya
semata sebagai ilusi.
Kritis pada selera berarti juga kritis pada persepsi. Persepsi yaitu
kesan dan bayangan kita akan sesuatu yang tak selalu mencerminkan
realita. Maka, persepsi pun harus ditunda kepastiannya, dan diuji
keabsahannya. Persepsi harus dilihat sebagai salah, sampai terbukti
sebaliknya.
Pada titik ini, sikap kritis pada media pun juga mutlak ada.
Informasi-informasi dari berbagai media juga harus dilihat sebagai
salah, sampai terbukti sebaliknya. Fakta harus dilihat sebagai pendapat
yang perlu untuk dilihat dengan kaca mata kritis. Hanya dengan begini,
kita bisa lolos dari penipuan media yang mengacaukan persepsi serta
selera kita.
Dalam konteks ini, kebenaran yaitu hasil dari falsifi kasi. Ia
bukanlah hasil dari afi rmasi buta atas apa yang tertulis dan terdengar.
Hasil dari falsifi kasi berarti kebenaran itu telah lolos dari uji coba
pencarian hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran itu. saat
segala yang bertentangan telah diajukan, dan kebenaran itu tetap tegak
berdiri, maka mungkin kita bisa sedikit yakin, bahwa kita sudah tiba
di pintu gerbang kebenaran. Mungkin…
Dekonstruksi dan Kebenaran
Kebenaran merupakan hal penting dalam hidup setiap orang. Tidak ada orang yang mau hidup dalam kebohongan dan kepalsuan.
Mereka menginginkan dan mencari kebenaran. Semua keputusan
dalam hidup mereka, sedapat mungkin, didasarkan atas kebenaran.
Hal yang sama berlaku di dalam politik. Hidup bersama tentu
membutuhkan aturan. Namun, aturan ini tidak boleh berpijak
pada semata kekuasaan belaka, melainkan pada keadilan dan kebenaran.
Tanpa keadilan dan kebenaran, tata politik akan bermuara pada perang
dan kehancuran semua pihak.
Banyak orang bilang, hal terpenting dalam hidup yaitu cinta.
Banyak juga agama dan fi lsafat yang mengajarkan itu. Namun, cinta
tidak boleh disamakan melulu dengan memanjakan. Cinta juga
harus tetap berpijak pada kebenaran, yang memang seringkali perlu
disampaikan dengan cara-cara yang kurang bersahabat.
Namun, pertanyaan mendasar kemudian muncul. Mungkinkah
kita sebagai manusia memahami kebenaran? Mungkinkah pikiran dan
kemampuan kita yang terbatas memahami dan menerapkan kebenaran
di dalam hidup sehari-hari kita? Inilah salah satu pertanyaan mendasar
di dalam fi lsafat dan ilmu pengetahuan.
Dekonstruksi
Jacques Derrida, seorang fi lsuf Prancis di abad 20, mengajukan
pendapat menarik soal kebenaran. Baginya, kebenaran selalu terkait
dengan proses dekonstruksi. Kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak
dan tetap, melainkan bergerak sejalan dengan perubahan kenyataan
itu sendiri. Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa dekonstruksi
merupakan sebuah teori tentang kebenaran.
Dekonstruksi hendak mengritik tradisi Logosentrisme di dalam
fi lsafat Eropa. Logosentrisme menekankan kepastian keberadaan dari
simbol dan bahasa yang kita gunakan di dalam berpikir. Kita, dari
sudut pandang Logosentrisme, memahami dunia lewat simbol dan
kata. Simbol dan kata itu mewakili sesuatu yang nyata di dunia, yang
bisa dirumuskan dan diketahui secara pasti melalui simbol dan konsep
yang kita gunakan.
Derrida berpendapat, bahwa Logosentrisme itu salah kaprah.
Simbol dan bahasa yang kita gunakan tidak otomatis mewakili apa
yang ada secara nyata di dunia. Simbol dan bahasa ini yaitu
suatu sistem mandiri yang kita bangun lewat pikiran dan komunikasi.
Oleh sebab itu, Derrida kemudian mencoba melampaui Logosentrisme
dengan melihat ke sisi lain dari kenyataan, yakni sisi dekonstruksi.
Dekonstruksi yaitu metode yang dipakai oleh Derrida untuk
menekankan, bahwa bahasa dan simbol tidak pernah bisa mewakili
kenyataan yang ada. Keduanya bersifat ambigu dan tidak pasti.
Dekonstruksi sebenarnya sudah selalu berada di dalam teks. Ia berada
dalam bentuk ketidakpastian yang mengaburkan makna teks, dan
membuatnya terbuka untuk berbagai kemungkinan tafsiran.
Dalam arti ini, teks tidak hanya berarti tulisan, namun juga kenyataan
itu sendiri. Bahasa dan simbol yaitu alat-alat yang dipakai oleh
pikiran manusia untuk memahami kenyataan. sebab bahasa dan
simbol selalu berubah dan tidak pasti, pemahaman kita akan kenyataan
pun selalu berubah dan tidak pasti. Ketidakpastian ini sudah tertanam
di dalam bahasa dan simbol yang kita ciptakan.
Dekonstruksi bergerak dengan dua pola, yakni pembedaan dan
penundaan. Membedakan berarti mengaktivkan ketidakstabilan di
dalam teks yang menghasilkan pemahaman yang berbeda atas kata
ataupun kalimat yang sama. Satu simbol atau satu kata bisa dibaca
dengan beragam cara yang berbeda, bahkan saling bertentangan.
Dekonstruksi hendak mendorong pembedaan semacam ini.
Penundaan berarti gerak dekonstruksi yang menunda kepastian
makna yang ada. Kata dan simbol hendak digerakkan sedemikian rupa,
sehingga tidak ada kepastian yang dihasilkan dari hubungan yang ada.
Makna pun menjadi ambigu, dan terbuka untuk gerak dekonstruksi
lebih jauh. Orang berhenti merumuskan apa yang sesungguhnya tak
bisa dirumuskan, yakni kebenaran tentang teks itu sendiri.
Kebenaran
Metode dekonstruksi melihat kebenaran hanya sebagai jejak.
Manusia tak mampu memahami kebenaran mutlak pada dirinya
sendiri. Yang bisa ia capai hanya merupakan jejak-jejak kebenaran. Ia
hanya bisa mendekati kebenaran, tanpa pernah bisa meraihnya dengan
utuh dan penuh.
Dalam arti ini, setiap jejak kebenaran selalu bersifat tidak pasti
dan terbuka. Ia bisa berubah, seturut dengan perubahan waktu dan
peristiwa. Ia selalu terbuka untuk pertanyaan dan sanggahan, sampai
muncul kemungkinan lain yang dianggap lebih baik. Dekonstruksi
yaitu proses yang terus bergerak tanpa henti dari dalam diri teks itu
sendiri.
Kebenaran pun lalu dilihat sebagai tafsiran. Ia menafsirkan ulang
dirinya sendiri terus menerus, tanpa henti. Pembaca dan pengarang
hanya memainkan gerak ketegangan dan kontradiksi yang selalu
sudah hadir di dalam bahasa dan simbol yang dipakai manusia
untuk memahami kenyataan. Pada satu titik, dekonstruksi bergerak
melampaui dirinya sendiri, dan mengajak orang untuk masuk ke ranah
sebelum kata.
Filsafat dan Depresi
Banyak orang hidup dalam depresi sekarang ini. Tuntutan pekerjaan, masalah rumah tangga serta beragam tantangan hidup lainnya
mendorong orang masuk ke dalam depresi. Dalam arti ini, depresi
dapat dilihat sebagai keadaan emosional yang dipenuhi kesedihan dan
kekecewaan dalam jangka waktu lebih dari dua bulan. Ada beragam
teori tentang ini. Namun, dua bulan hidup dalam keadaan batin yang
menyakitkan, pada hemat saya, sudah menandakan, bahwa orang
masuk ke dalam depresi.
Depresi membuat orang tak bisa menikmati hidup. Segalanya
terlihat salah. Hal-hal kecil seringkali memancing beragam emosi
negatif di dalam diri. Keadaan ini berlangsung cukup lama, dan
seringkali disertai dengan gejala senang berlebihan, yang kemudian
dilanjutkan pula dengan kesedihan berlebihan.
Depresi biasanya dipicu oleh rangkaian peristiwa menyedihan dan
menyakitkan, seperti kehilangan anggota keluarga, kegagalan di dalam
karir atau sekolah, sakit berkepanjangan atau perceraian. Keadaan ini
membuat tubuh dan pikiran seseorang tertekan, jauh melampaui batas
yang mampu ditanggungnya. Pikirannya kacau, sebab selalu bergerak
ke masa lalu yang penuh penyesalan, dan masa depan yang penuh
kecemasan. Tubuhnya pun melemah, sebab dalam keadaan seperti
ini, orang tak mampu beristirahat dengan cukup, dan nafsu makan
serta minum pun menurun.
Terapi Depresi
Ada beragam terapi yang ditawarkan. Namun, pada hemat saya,
banyak hanya merupakan omong kosong. Orang diminta untuk
menghabiskan waktu dan uang hanya untuk menjalani terapi yang
dipenuhi janji palsu belaka. Akan namun , ada satu alternatif yang mung-
kin belum banyak dicoba orang, namun memiliki kemungkinan besar
untuk berhasil, yakni fi lsafat sebagai terapi.
Tidak semua jenis fi lsafat bisa berfungsi sebagai terapi. Banyak
pemikiran fi lsafat yang justru menjadi sumber depresi. Abstraksi
berlebihan justru menumpulkan kepekaan orang pada kenyataan
hidup. Jenis fi lsafat ini sungguh harus ditanggapi secara kritis.
Akan namun , ada jenis fi lsafat lainnya yang dikembangkan di
masa Yunani Kuno dan Romawi di Eropa, yakni fi lsafat Stoa. Tokoh
yang menjadi acuan saya disini yaitu seorang Kaisar Romawi
bernama Marcus Aurelius. Ia menuliskan gagasannya di dalam buku
yang berjudul Meditations. Ia bukan hanya seorang kaisar yang bijak
memimpin, namun juga seorang pemikir yang mendalam.
Kontrol dan Kesadaran
Ada dua ide darinya yang kiranya cocok menjadi dasar dari terapi
fi losofi s untuk despresi, yakni kontrol diri dan kesadaran. Kontrol
diri berarti kemampuan orang untuk mengendalikan perasaan dan
pikirannya di hadapan berbagai bentuk keadaan. Kesulitan dan
tantangan yang datang dari luar diri tidak mempengaruhi stabilitas
batinnya. Kemampuan ini tidak datang hanya dengan pengetahuan
intelektual semata, namun dengan latihan dari kegiatan sehari-hari yang
berpijak pada kesadaran.
Dalam arti ini, kesadaran merupakan kemampuan orang untuk
menjalani hidup dari saat ke saat dengan sepenuh hati dan pikirannya.
saat ia makan, maka ia sepenuhnya makan. saat ia berjalan, maka
ia sepenuhnya berjalan. Pikirannya tidak bergerak ke tempat lain.
Pikirannya juga tidak bergerak ke masa lalu, ataupun masa depan.
Dengan melatih kesadaran semacam ini, orang akan menemukan
ke damaian di dalam hatinya. Ia menjalani saat ke saat dalam hidupnya
dengan ketenangan batin. Ia pun lalu mampu mengendalikan emosi
dan pikirannya di hadapan berbagai keadaan. Kesulitan hidup tidak
membuat batinnya tergoyahkan. Ia tidak akan mengalami depresi.
Di dalam fi lsafat Yunani kuno, kaum Stoa menganjurkan setiap
orang untuk melatih kesadaran dari saat ke saat semacam ini. Filsafat
Timur sudah lama melihat kesadaran semacam ini sebagai sumber
dari segala kebijaksanaan hidup. Di dalam Zen Buddhisme dijelaskan,
bahwa kebenaran dan kesejatian hanya dapat ditemukan disini dan
saat ini, bukan di tempat atau di waktu yang lain. Ilmu pengetahuan
modern menyebut kesadaran ini sebagai Achtsamkeit, dan ia sudah
banyak diteliti sebagai salah satu bentuk terapi terbaik untuk beragam
bentuk penyakit kejiwaan.
Kontrol diri hanya bisa dibangun dengan kesadaran diri. Inilah
fi lsafat yang amat sederhana, namun banyak orang sulit menjalankannya,
sebab pikirannya terlalu rumit. Mereka mau menjalani terapi yang
mahal dan rumit, walaupun tidak banyak membuahkan hasil. Namun,
terapi yang berpijak pada pemikiran Stoa dan Marcus Aurelius ini
tidak membutuhkan biaya apapun. Anda hanya perlu mencobanya,
dan merasakan sendiri hasilnya. Jadi tunggu apa lagi?
Kenyataan dan Moralitas
Banyak orang hidup sekedar untuk mengumpulkan uang. Ia haus akan harta, guna memuaskan semua keinginannya. Orang-orang
ini juga hidup untuk memperoleh nama baik. Ia mengira, uang dan
nama baik akan memberi kepenuhan hidup baginya.
Sayangnya, orang yang telah memperoleh uang banyak dan nama
baik seringkali tidak kunjung merasa bahagia. Sebaliknya, mereka
hidup dengan rasa takut akan kehilangan uang dan nama baik ini .
Mereka melekat pada kedua benda itu. Dikiranya, tanpa kedua benda
itu, hidupnya akan hancur.
Hidup dalam Ilusi
Inilah salah satu salah paham terbesar manusia dalam hidupnya. Ia
mengira ilusi sebagai kenyataan. Akhirnya, ia hidup dalam kebohongan.
Dari kebohongan lahirlah penderitaan yang mendorong dia untuk
membuat orang-orang sekitarnya juga menderita.
Uang dan nama baik sejatinya yaitu kosong. Keduanya yaitu
ilusi. saat kita lapar, kita tidak bisa makan uang. saat kita haus,
kita tidak bisa minum nama baik. Uang dan nama baik yaitu sesuatu
yang rapuh, sementara dan, dalam banyak masalah , justru berbahaya.
Perang dan pembunuhan dilakukan demi uang dan nama baik.
Mereka yang memperolehnya menjadi tergantung padanya. Hidupnya
berada dalam keadaan kompetisi terus menerus dengan orang-orang
lain yang dianggap sebagai lawannya. Ia hidup dalam tegangan dan
penderitaan terus menerus.
Or ang yang berhasil memperoleh uang dan nama baik juga
akan tiba di tujuan yang sama dengan orang yang miskin dan me-
miliki reputasi jelek, yakni kehampaan batin. Alih-alih memberi
kebahagiaan, uang dan nama baik justru membuat mereka takut dan
agresif terhadap orang lain. Sejatinya, uang dan nama baik yaitu
sesuatu yang netral, yang bisa dipakai untuk mempertahankan hidup
dan membantu orang lain. Namun, jika orang melekatkan dirinya pada
kedua benda itu, maka masalah besar akan timbul.
Kriminalitas berakar dalam pada kelekatan manusia akan uang dan
nama baik ini . Korupsi dan penipuan lahir dari kelekatan akan
uang. Kehampaan dan ketergantungan pada narkoba serta alkohol lahir
dari kelekatan pada nama baik. Semuanya yaitu ilusi yang kosong
dan rapuh.
Orang yang hidup semata untuk uang dan nama baik berarti hidup
dalam ilusi. Mereka hidup dalam kepalsuan dan kebohongan. Justru
mereka yaitu orang-orang yang ”lari dari kenyataan”. Kenyataan
yang sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan kelekatan pada
uang dan nama baik.
Maka dari itu, orang perlu untuk keluar dari ilusi yang menceng-
kramnya. Ia perlu keluar dari kebohongan dan penipuan yang ia peluk
erat sebelumnya. Ia perlu untuk melihat dan memahami kenyataan
sebagaimana adanya. Dari pemahaman ini , ia lalu bisa menjalani
hidup yang penuh makna dan kebahagiaan.
Kenyataan Sebagaimana Adanya
Apa yang sesungguhnya nyata? Apa kenyataan sebagaimana
adanya, tanpa bumbu kelekatan yang dibuat oleh pikiran dan perasaan
manusia? Kenyataan apa adanya berarti kenyataan sebelum kita
memikirkannya dalam konsep dan bahasa. Di dalam kenyataan ini,
yang ada hanya satu hal, yakni kekosongan yang besar.
Kekosongan yang besar ini yaitu keadaan asali dari seluruh alam
semesta. Ia juga menjadi bagian tersebar dari seluruh alam semesta.
Segalanya lahir dari kekosongan besar, dan kemudian berakhir pada
kekosongan semacam itu pula. Pemahaman semacam ini merupakan
buah dari penelitian astrofi sika dan fi sika modern yang menemukan,
bahwa unsur terkecil materi yaitu kekosongan.
Dalam konteks ini, orang lalu diajak untuk hidup dengan berpijak
pada kenyataan sebagaimana adanya. Ia diajak untuk melepaskan
semua kelekatan pada uang, nama baik, pikiran maupun perasaannya.
Di dalam kekosongan yang luas ini, orang akan menemukan kejernihan
dan kedamaian. Ia lalu bisa menjalani hidupnya penuh kebahagiaan,
sekaligus membantu orang lain di dalam prosesnya.
Bagaimana cara melepaskan semua kelekatan, pikiran dan
perasaan? Yang jelas, orang perlu melepaskan semua bentuk kelekatan
pada uang dan nama baik. Setelah itu, ia perlu melepaskan semua
kelekatannya pada ide, identitas, harapan, ketakutan dan segala bentuk
perasaan maupun pikiran yang muncul di kepalanya. Ia lalu sampai
pada kekosongan itu sendiri, yakni kenyataan sebagaimana adanya.
Pada titik ini, orang menemukan kejernihan dan kedamaian.
Namun, ini belum cukup. Pada titik ini, orang justru seringkali
melekat pada kekosongan itu sendiri, yakni melekat pada ide tentang
kekosongan yang juga bisa menggiringnya pada penderitaan dan
kehampaan batin. Maka dari itu, ia harus bergerak maju dengan
melepaskan kekosongan itu sendiri, yakni melepaskan ide tentang
kekosongan.
saat ia melepaskan kelekatannya pada kekosongan, ia lalu
kembali ke dunia. Ia kembali hidup dan bergerak di dalam warga .
Namun, ia hidup dalam kebebasan yang sejati, yakni kebebasan dari
kelekatan pada apapun. Ia bisa berpikir, merasa, mencari uang, dan
memperoleh nama baik, namun semua itu dilihatnya hanya sebagai
alat untuk membantu alam semesta itu sendiri, dan bukan tujuan dari
hidup itu sendiri.
Moralitas yang Baru
Orang yang telah menyentuh kenyataan sebagaimana adanya akan
sampai pada kesadaran, bahwa segala hal di alam semesta ini satu
dan sama. Semua orang yaitu bagian dari segala sesuatu. Tidak ada
keterpisahan. Yang ada hanya kesatuan dan kesalingbergantungan
satu sama lain.
Ia lalu tidak akan berbuat jahat pada orang lain. Ia tidak akan
menyakiti apapun dan siapapun, sebab ia sepenuhnya sadar, bahwa
ia yaitu segala sesuatu, dan segala sesuatu yaitu dia. Tidak ada yang
disebut sebagai diri pribadi yang terpisah dari alam semesta dengan
segala isinya.
Inilah moralitas yang baru. Ia tidak lagi berpijak pada perintah,
himbauan, pahala ataupun hukuman, namun pada sikap batin
alamiah manusia yang berpijak pada pemahaman tentang kenyataan
sebagaimana adanya. Ia tidak lagi lari dari kenyataan, melainkan
memeluk kenyataan itu di dalam batin dan pikirannya. Ini yaitu cinta
yang sesungguhnya. Orang yang hidup dengan cara semacam ini akan
membawa kebahagiaan bagi dunia di sekitarnya.
Agama, Alam dan Alat
Laudato si yaitu salah satu teks paling indah, jujur, lugas, men-dalam, ilmiah, fi losofi s dan teologis yang pernah saya baca di
dalam hidup saya.1 Jujur saja, saat membacanya, saya menangis
terharu dan bangga. Laudato si (terjemahan: Terpujilah Engkau, Tuhan)
yaitu ensiklik2 terbaru dari Paus Fransiskus, pimpinan tertinggi
Gereja Katolik Roma. Menurut Michael Schöpf, pimpinan Institut
für Gesellschaftspolitik, Hochschule für Philosophie München, ensiklik ini
bukanlah semata tulisan resmi Gereja Katolik Roma tentang lingkungan
hidup.3 Ini yaitu tulisan tentang kaitan antara krisis lingkungan
hidup dan krisis sosial dalam bentuk ketidakadilan global. Keduanya
memiliki kaitan yang amat erat sekaligus akar yang sama. Keduanya
hanya bisa diatasi dengan kerja sama yang erat dari berbagai pihak,
mulai dari politik, agama dan ekonomi.
Johannes Wallacher, pimpinan Hochschule für Philosophie München,
melihat kritik tajam Paus Fransiskus terhadap orang-orang yang masih
menyangkal adanya perubahan iklim di dunia sekarang ini. Para
penyangkal ini yaitu orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu
di politik dan ekonomi, guna memperkaya dirinya sendiri dengan
merugikan orang lain. Wallacher menegaskan, bahwa Paus Fransiskus
amat menekankan keterhubungan antara segala sesuatu, terutama
hubungan antar manusia, dan hubungan antara manusia dan alam.
Tulisannya merumuskan fondasi yang menyeluruh dan mendalam
untuk menjadi dasar bagi perkembangan peradaban manusia secara
global. Dialog yang seimbang antara ilmu pengetahuan, politik dan
agama yaitu kuncinya.
Michael Reder, fi lsuf politik asal München, juga melihat aspek
tang gung jawab pribadi dalam kaitan dengan pelestarian lingkungan
hdup dan ketidakadilan global. Tanggung jawab pribadi ini terwujud
di dalam perubahan mendasar pola hidup sehari-hari, terutama mereka
yang hidup di negara-negara industri. Ia juga melihat pengaruh besar
tulisan Paus ini untuk pola pendidikan di sekolah-universitas dan
pola asuh orang tua di keluarga. Arahnya yaitu kesadaran ekologis
dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berpijak pada pelestarian
lingkungan hidup dan keadilan sosial. Hanya dengan jalan ini,
kemiskinan global dan pengrusakan lingkungan hidup akibat tindakan
manusia bisa diatasi.
Laudato si
Ensiklik ”Laudato si” merupakan langkah penting dalam dialog
antara agama dengan lingkungan hidup di dalam dunia berteknologi
modern sekarang ini.4 Bagian awal tulisan ini menjabarkan
tantangan manusia sekarang ini dalam hubungan dengan lingkungan
hidup. Seperti disinggung sebelumnya, tantangan ini juga tidak
bisa dilepaskan dari salah satu tantangan terbesar global sekarang ini,
yakni kemiskinan. Ada kaitan yang amat erat antara sikap melestarikan
lingkungan hidup dengan perjuangan untuk menghapuskan kemiskinan
dari muka bumi ini.
Di banyak negara, dua hal itu tampak dalam krisis air bersih dan
krisis pangan. Di dalam dua bentuk krisis ini, kemiskinan tak bisa
dipisahkan dari kerusakan lingkungan hidup, akibat pemakaian
teknologi yang tidak bertanggung jawab. Ini yaitu salah satu tantangan
terbesar umat manusia di awal abad 21 ini. Di bagian dunia lainnya,
orang hidup dengan foya-foya, seringkali tanpa pertimbangan. Inilah
yang disebut sebagai ”budaya membuang-buang” (WegwerĤ ultur).
Akibatnya, bumi dipenuhi dengan sampah yang seharusnya bisa didaur
ulang.
Maka, krisis lingkungan hidup dan kemiskinan global tak bisa juga
dipisahkan dari gaya hidup manusia. Kritik ekologis dan kritik sosial
tidak dapat dipisahkan. Agama memainkan peranan besar di dalam
gerakan sosial guna menopang kritik semacam ini, yakni kritik terhadap
kecenderungan konsumsi berlebihan dan tindakan tidak bertanggung
jawab dalam kaitan dengan lingkungan hidup dan kemiskinan global.
Teknologi, Ekologi dan Dialog
Ada beberapa konsep penting di dalam ensiklik ini. Yang
pertama yaitu konsep teknologi, atau teknik. Kata ini merujuk pada
perkembangan pesat teknologi modern yang tidak berjalan searah
dengan perkembangan kesadaran moral manusia. Akibatnya, teknologi
modern ini justru menghancurkan hidup manusia dan alam itu
sendiri.
Konsep kritik teknologis ini terkait dengan konsep kedua, yakni
kritik warga . Ensiklik tulisan Paus Fransiskus ini langsung
mengritik hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak adil, yang
menjadi dasar dari sistem politik dan sistem ekonomi dunia sekarang
ini. Dalam konteks ini, ada dua bentuk tanggung jawab yang perlu
diperhatikan, yakni tanggung jawab pribadi sebagai pelaku utama
di bidang politik dan ekonomi, dan tanggung jawab bersama dalam
bentuk solidaritas global. Fokus kepedulian dari Ensiklik ini yaitu
kehidupan orang-orang miskin di berbagai belahan dunia. Mereka
yaitu orang-orang yang kalah ataupun tak punya kesempatan
untuk menikmati kemakmuran global. Mereka yaitu korban dari
ketidakadilan sistem ekonomi dan sistem politik global.
Konsep penting kedua yaitu ekologi, yakni kesadaran akan
pelestarian lingkungan hidup sebagai rumah bagi semua kehidupan
di bumi. Ia memberi kehidupan bagi semua, tanpa kecuali. Segala
mahluk hidup berkembang di bawah naungannya. Di dalam alam
ada jaringan yang luar biasa luas dan rumit antara berbagai hal.
Tidak ada yang bisa berdiri sendiri, tanpa jaringan raksasa ini. Sebagai
keseluruhan, segalanya yaitu satu. Kita yaitu bagian dari segalanya,
dan segalanya yaitu bagian dari kita. Dengan cara berpikir ini,
kita harus hidup dan membuat keputusan di dalam politik maupun
ekonomi, yakni dari sudut pandang keseluruhan alam semesta, serta
segala isinya, dan bukan dari sudut pandang pribadi atau kelompok
kita semata.
Di dalam kerangka berpikir ini, kritik ekologi sekaligus yaitu
kritik atas ketidakadilan sosial di dalam warga , terutama dalam
bentuk kemiskinan global sekaligus kesenjangan sosial yang begitu
besar antara yang kaya dan yang miskin. Dasar dari ensiklik ini yaitu
tradisi biblis dan teologis di dalam Gereja Katolik Roma, sekaligus
penelitian-penelitian di dalam ilmu pengetahuan, terkait dengan
permasalahan lingkungan hidup dan kemiskinan global. Seruan
utamanya yaitu pembangunan bersama bumi ini sebagai rumah bagi
semua, tanpa kecuali. Kritik ekologi (Ökologie, rumah bersama) tidak
hanya berarti berpikir kritis tentang lingkungan hidup, melainkan juga
berpikir dari sudut pandang keseluruhan semesta.
Konsep penting lainnya yaitu konsep ekologi manusia
(Humanökologie). Konsep ini telah lama menjadi bagian dari seruan
Gereja Katolik Roma soal pelestarian lingkungan hidup, terutama oleh
Paus Yohanes Paulus II. Konsep ini terkait dengan konsep ekologi
budaya (Kulturökologie) yang mengacu pada arah hidup yang baik
dalam kaitan antara manusia dengan alam. Konsep ini mengalir deras
di dalam tulisan Paus Fransiskus ini. Umat manusia membutuhkan
perubahan mendasar gaya hidup, sehingga mereka bisa hidup secara
harmonis dan bertanggung jawab dengan seluruh alam ini.
Paus juga mengritik tajam soal pandangan antroposentrik yang
mengakar begitu kuat di dalam peradaban modern. Pandangan ini
melihat manusia sebagai ukuran dari segalanya. Seluruh alam dilihat
sebagai obyek untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Ini pandangan
yang salah dan merusak. Di dalam tulisannya, Paus Fransiskus
menekankan arti penting dari hewan dan tumbuhan sebagai bagian
dari semesta. Hanya dengan begini, kita bisa hidup dalam ekosistem
bersama yang lestari. Di dalam ekosistem yang lestari (nachhaltig)
semacam ini, kelestarian lingkungan hidup bisa terjaga, dan tidak
ada kemiskinan global, akibat dari kerusakan lingkungan ataupun
ketidakadilan global.
Tulisan Paus Fransiskus ini berasal dari beragam konferensi dan
penelitian yang dilakukan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Vatikan
dan Komisi Keadilan dan Perdamaian di Vatikan. Beragam konferensi
dan penelitian ini sampai pada satu kesimpulan, bahwa kesalahan tata
kelola politik dan ekonomi, terutama dalam kaitan dengan teknologi,
telah membuat perubahan iklim mendasar di bumi ini. Perubahan iklim
menciptakan banyak bencana alam, seperti krisis pangan dan krisis air
bersih, di berbagai tempat. Melalui tulisan dalam bentuk Ensiklik ini,
Paus Fransiskus ingin membangun kesadaran global akan pentingnya
mengubah seluruh tata kelola mendasar politik dan ekonomi dunia
sekarang ini. Ia juga melakukan kritik tajam pada para penyangkal
perubahan iklim (Klimaskeptiker) yang menolak adanya fenomena
perubahan iklim yang sebagian terjadi, sebab ulah manusia yang tak
bertanggung jawab.
Bumi yaitu rumah bagi semua, termasuk manusia di dalamnya.
Semua ajaran etika sosial dan fi lsafat politik berpijak pada pengandaian
mendasar ini. sebab bumi yaitu rumah bagi semua, maka yaitu
tanggung jawab kita semua untuk melestarikannya. Ini sudah selalu
menjadi bagian dari ajaran fi losofi s dan teologis di dalam Gereja
Katolik Roma. Salah satu hal nyata yang bisa dilakukan yaitu dengan
memberi perlindungan nyata bagi para pengungsi yang harus
meninggalkan kampung halamannya, sebab kerusakan lingkungan
hidup yang parah. Mereka tidak bisa mendapatkan air bersih dan
gizi yang memadai di kampung halaman mereka, akibat kerusakan
lingkungan yang terjadi.
Konsep dialog juga menjadi bagian penting dari tulisan Paus
Fransiskus. Dialog disini berarti dua hal, yakni dialog di dalam agama
dan dialog antar agama. Dialog menjadi kunci penting untuk melakukan
perubahan bersama, terutama untuk mengubah pemikiran orang-
orang yang merasa, bahwa masalah lingkungan hidup dan masalah
ketidakadilan global yaitu masalah bohongan. Dialog juga menjadi
jalan utama, supaya para penyangkal masalah global ini bisa kembali
menatap kenyataan yang ada, dan mencari jalan keluar bersama.
Beragam argumen yang diajukan di dalam Ensiklik ini juga
merupakan hasil dari dialog dengan Gereja Dunia. Paus Fransiskus
mengutip banyak sekali surat-surat dari beragam Keuskupan Gereja
Katolik Roma di berbagai tempat di dunia. Ini yaitu pertama kalinya
dalam sejarah, seorang Paus, sebagai pimpinan tertinggi lembaga
keagamaan terbesar di dunia, memberi ruang besar bagi suara-
suara di luar Vatikan dan di luar Eropa. Suara dan aspirasi dari
berbagai gereja dunia di Afrika, Asia, Amerika, Eropa dan Australia
mendapatkan tempat yang seimbang di tulisan Paus Fransiskus terbaru
ini.
Di sisi lain, Paus Fransiskus juga mengutip banyak pendapat
dari para pimpinan dan tokoh agama lain. Ini juga menjadi sejarah
baru bagi Gereja Katolik Roma. Ini menandakan adanya usaha untuk
bekerja sama dengan berbagai agama di dunia, guna menghadapi
tantangan kerusakan lingkungan hidup dan ketidakadilan global secara
bersama-sama. Inti dari dialog ini yaitu seruan untuk mengubah
pola hidup konsumtiv yang telah menciptakan begitu banyak sampah
setiap harinya, dan akibatnya membawa kerusakan lingkungan
hidup dan bencana alam lainnya di berbagai tempat di dunia. Pola
hidup konsumtiv semacam ini juga dianggap tidak pantas, terutama
mengingat masih begitu besarnya kesenjangan sosial antara si kaya
dan si miskin di berbagai belahan dunia sekarang ini.
Metode penulisan teks ini juga perlu diperhatikan. Paus Fransiskus
memakai metode melihat-menilai-bertindak. Semua analisis
dilakukan atas dasar hal-hal yang sungguh terjadi di dalam kehidupan
manusia, yakni krisis lingkungan hidup dalam kaitan dengan
ketidakadilan dan kemiskinan global. Ini membuat tulisannya menjadi
nyata dan jelas, serta tidak lagi dipenuhi dengan pesan-pesan religius
yang seringkali abstrak dan tak berguna. Paus Fransiskus juga banyak
memakai bahasa-bahasa yang indah dan jelas, sehingga tulisan
ini amat mudah dimengerti oleh semua orang. Di samping itu, ia
juga banyak mengutip dari ajaran tradisional Gereja Katolik Roma,
tanpa kehilangan pendasaran pada kenyataan konkret yang terjadi di
lapangan.
Harapan dan Spiritualitas
Tulisan Paus Fransiskus ini bukanlah sebuah ratapan. Sebaliknya,
ini yaitu seruan, bahwa perubahan ke arah yang lebih baik untuk
semua itu mungkin. Ini juga yaitu ungkapan syukur, bahwa lepas dari
segala masalah dan tantangan yang ada, banyak orang mulai terlibat
ambil bagian untuk menjadi jalan keluar dari beragam masalah dan
tantangan yang ada. Laudato si yaitu seruan perubahan yang berpijak
pada harapan.
Paus Fransiskus menjadikan spiritualitas Santo Fransiskus
Asisi sebagai dasar. Fransiskus Asisi yaitu simbol bagi kesucian,
kesederhanaan, dialog dan pelestarian lingkungan hidup di dalam
Gereja Katolik Roma. Ia yaitu orang suci yang memberi teladan
nyata bagi hidup banyak orang, tidak hanya orang Katolik. Di dalam
pandangannya, seluruh alam ini yaitu saudara. Binatang yaitu
saudara. Tumbuhan yaitu saudara. Tidak ada perbedaan dan
pertentangan antara manusia dan alam semesta.
Paus Fransiskus juga banyak mendapatkan pengaruh dari
spiritualitas alamiah dari Amerika Selatan. Di dalam spiritualitas ini,
alam dilihat sebagai ibu dan rumah untuk semua. Dari sudut pandang
ini, manusia harus membangun tata politik dan tata ekonomi yang
baru dalam kaitan dengan bumi sebagai rumah untuk semua, tanpa
kecuali. Hanya dengan ini, kehidupan yang bermutu untuk semua bisa
diwujudkan di dunia ini. Ini tidak hanya sejalan dengan ajaran Gereja
Katolik Roma, namun juga dengan ajaran semua agama dan fi lsafat yang
pernah ada di muka bumi ini. Harapannya, tulisan Paus Fransiskus ini
bisa mendorong perubahan nyata di dunia.
Kritik atas Laudato si
Ensiklik Laudato si ini merangsang banyak perdebatan di masya-
rakat luas. Beragam pujian dan kritik datang begitu cepat dan begitu
intens. Secara pribadi, saya memiliki tiga kritik atas Ensiklik ini.
Walaupun, Ensiklik ini, pada hemat saya pribadi, sungguh merupakan
pencapaian luar biasa di dalam Gereja Katolik Roma dan dunia sebagai
keseluruhan.
Pertama, agama-agama Timur Tengah (Yahudi, Kristen dan
Islam) memang memiliki akar antroposentrisme yang kuat. Manusia
dilihat sebagai titik pusat dan bahkan mahluk terpenting di seluruh
semesta. Pandangan ini begitu kuat mengakar, sehingga kerap tidak
lagi dipertanyakan secara kritis. Tulisan Paus Fransiskus ini juga tidak
lepas dari pengandaian, bahwa manusia yaitu mahluk terpenting di
dalam alam ini, walaupun ia berkata sebaliknya. Antroposentrisme
tersembunyi ini telah membawa akibat jelek untuk banyak hal, mulai
dari kerusakan alam (sebab diperas habis untuk kepentingan manusia),
egoisme ekstrem (sebab merasa paling penting dan paling berharga)
sampai dengan beragam penyakit kejiwaan (depresi dan stress akut),
akibat kesalahan berpikir. Selama Gereja Katolik Roma masih belum
sadar akan antroposentrisme tersembunyi ini, selama itu pula ia bisa
memperparah masalah, justru saat ia berusaha berbuat baik.
Kedua, kemunafi kan sering menjadi masalah bagi orang-orang
yang berusaha berbuat baik. Ada jurang besar antara kata, pikiran
dan tindakan nyata. Dalam beberapa hal, ini memang tak mungkin
dihindarkan. Kita memiliki cita-cita indah. Namun, kita seringkali
bertindak dari kebutuhan akan kekuasaan serta kenikmatan. Semua
orang di muka bumi ini pasti mengalami ini. Saya rasa, sampai
batas tertentu, jurang, atau kemunafi kan, semacam ini bisa diterima.
Namun, dalam banyak hal, jurang antara kata dan tindakan masih
begitu besar di dalam Gereja Katolik Roma. Pemerkosaan terhadap
anak kecil di berbagai belahan dunia oleh para pemuka agama Katolik
dan intoleransi terhadap perbedaan (kaum Gay, transeksual, dan
kepentingan kaum perempuan) masih menjadi masalah besar di dalam
Gereja Katolik Roma, lepas dari cita-cita indah yang mereka suarakan.
Ini tentu harus menjadi perhatian lebih jauh.
Ketiga, Gereja Katolik Roma jelas amat terlambat dalam hal
kesadaran lingkungan hidup. Terlalu lama kita melihat dalam sejarah,
Gereja Katolik Roma berpelukan dengan kekuasaan yang korup
demi uang dan kejayaan politik semata. Kita masih ingat semboyan
penjajahan dan penindasan Eropa atas seluruh dunia: Gold, Glory
and Gospel (Emas, Kejayaan dan Injil Kristiani). Ini juga memberi
pengaruh besar bagi pengrusakan lingkungan dan pelanggaran hak-
hak asasi manusia yang melahirkan ketidakadilan global. Bisa dibilang,
dalam banyak hal, Gereja Katolik Roma terkait erat dengan para pelaku
pengrusakan lingkungan hidup dan pelanggaran hak-hak asasi manusia
di masa lalu. Semua ini membuat Gereja Katolik Roma terlambat untuk
sadar akan apa yang penting dalam hidup bersama kita di dunia.
Dibandingkan dengan ajaran Filsafat Timur (Buddhisme, Taoisme dan
Hinduisme) yang selalu menekankan keterkaitan antara segala sesuatu,
Gereja Katolik Roma tertinggal jauh dalam soal kesadaran ekologis.
Namun, seperti banyak orang bilang, lebih baik terlambat, daripada
tidak sama sekali. Begitu bukan?
Satu Paket
Di dalam hidup, kita cenderung mencari senang dan nikmat. Kita berusaha menghindari semua bentuk penderitaan. Kita mau
apa yang kita anggap baik untuk hidup kita. Dan kita juga berusaha
menyingkirkan apa yang kita anggap jelek untuk kita.
Namun, hidup tidak bisa seperti itu. Hidup tidak melulu enak,
walaupun kita berusaha untuk selalu mencari yang enak dan nikmat.
Hidup juga tidak selalu susah, walaupun seringkali, kita merasa
begitu. Di dalam hidup, kita tidak bisa memperoleh kenikmatan, tanpa
penderitaan yang mengikutinya.
Satu Paket
Hidup itu satu paket. Istilahnya, kita memiliki bayi yang manis
dan cantik, namun juga gemar kencing dan berak. Ia cantik dan manis,
namun juga bau dan jorok. Ia satu paket, dan kita tidak punya pilihan
lain, selain menerimanya sebagai satu paket.
Anda ingin menjadi cerdas? Orang cerdas kerap menjadi sangat
kritis dan analitis. Dua sikap ini membuat orang kerap jatuh ke dalam
penderitaan batin, dan konfl ik dengan orang lain. Jadi, cerdas pun tidak
bisa dilepas dari penderitaan batin semacam itu. Satu paket.
Anda ingin sukses? Orang sukses kerap harus bekerja lebih
keras. Nantinya, ia juga seringkali menjadi begitu melekat dengan
kesuksesannya, dan amat kecewa, saat ia gagal. Kesuksesan dan
ketegangan batin semacam ini juga satu paket.
Anda in gin punya pacar cantik, atau ganteng? Punya pacar
ganteng atau cantik memang menyenangkan. Namun, ada resiko besar
disini, sebab anda pasti banyak saingan berat di luar sana yang juga
menyukai pacar anda. Punya pacar ganteng dan cantik pun juga diikuti
dengan ketegangan serta penderitaan tertentu. Satu paket.
Anda ingin menikah dan berkeluarga? Ini memang terdengar
indah. Namun, hidup berkeluarga kerap dipenuhi tuntutan-tuntutan.
Ia juga penuh dengan penderitaan.
Anda ingin tidak menikah? Tidak menikah memang enak, sebab
anda tidak punya banyak tanggung jawab. Namun, kesepian kerap
begitu membuat dada sesak, apalagi saat dibandingkan dengan
hidup teman-teman anda yang menikah. Jadi menderita juga bukan?
Jadi, anda ingin hidup nikmat? Jika ya, maka bersiaplah untuk
menanggung penderitaan. Nikmat dan derita itu selalu satu paket
dalam hidup. Tidak ada pilihan lain. Sengsara membawa nikmat, dan
nikmat membawa sengsara. Begitulah hidup ini, it is the way it is.
Melampaui Paket
Namun, sejatinya, sengsara atau nikmat itu ciptaan pikiran kita.
Tidak ada sengsara mutlak, dan tidak ada nikmat mutlak. Semua itu
hanya label-label yang kita tempel. Label-label itu semu.
Kalau kita sepenuhya sadar akan hal ini, hidup kita akan jernih dan
damai. Tidak ada sengsara. Tidak ada nikmat. Semuanya dilakukan,
dan kita jalan terus dalam hidup.
Semua yaitu ”apa adanya”. Tidak baik, dan tidak buruk. Tidak
benar dan tidak salah. Bukan penderitaan dan bukan juga kenikmatan.
Lakukan apa yang perlu dilakukan disini serta saat ini, dan sisanya,
jalan terus!!!! Jalan terus dalam kehidupan ini, tanpa menoleh ke
belakang,…atau ke samping. Ini yaitu kebijaksanaan tertinggi dalam
hidup.
Setuju?
Omong Kosong
Kita hidup di dalam warga yang penuh dengan omong kosong. Berita-berita di media dipelintir untuk mencipakan sensasi dan
kegelisahan sosial di warga . Dengan begitu, stasiun televisi lalu
mendapatkan pemasukan iklan yang lebih besar. Iklan dan berbagai
propaganda bohong lainnya juga memenuhi jaringan sosial kita.
Akibatnya, kita tidak bisa membedakan antara kenyataan dan
penipuan. Pikiran kita tertipu oleh fi tnah dan propaganda di berbagai
media. Uang kita juga habis, sebab sering salah ambil keputusan,
akibat kurangnya informasi yang akurat. Waktu dan tenaga kita pun
terbuang percuma untuk hal-hal yang tidak penting.
Di sisi lain, keluarga dan orang-orang yang kita sayangi terabaikan.
Kita sibuk mengejar omong kosong, dan melupakan apa yang sungguh
penting dalam hidup. Hidup kita tersesat, namun seringkali kita tidak
menyadarinya. Pada akhirnya, kita pun menderita, dan membuat
orang-orang di sekitar kita menderita.
Omong Kosong
Omong kosong yaitu kebohongan yang dibungkus dengan
cara-cara tertentu, sehingga ia tampak sebagai benar. Omong kosong
diciptakan dan disebar untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak
tertentu. Di Indonesia sekarang ini, ada dua kepentingan yang secara
langsung ditopang oleh omong kosong ini, yakni fanatisme agama
dan konsumtivisme ekonomi. Keduanya mengakar begitu dalam dan
tersebar begitu luas di Indonesia.
Agama di Indonesia, dan mungkin di seluruh dunia, menyebarkan
begitu banyak omong kosong, sehingga menutupi pesan luhur dan
sejati agama ini . Omong kosong ini lalu menciptakan fanatisme
yang akhirnya berujung pada kekerasan. Omong kosong ini juga
menciptakan pembodohan di berbagai bidang, mulai dari larangan
untuk sekolah, sampai dengan penindasan pada kaum perempuan.
Omong kosong ini juga sejatinya melestarikan tata warga feodal
yang menguntungkan segelintir kecil orang, dan merugikan warga
secara luas.
Omong ko song juga tersebar begitu luas di bidang ekonomi. Orang
dirayu untuk terus membeli barang yang ia tidak perlu, walaupun
uangnya terbatas untuk melakukan itu. Akibatnya, banyak orang hanya
hidup untuk bekerja, menabung dan membeli barang-barang lebih
banyak lagi. Mereka kehilangan kepedulian pada kehidupan bersama,
dan berubah menjadi robot-robot bodoh yang doyan berbelanja.
Yang juga menyedihkan, institusi pendidikan juga banyak menyebar
omong kosong. Mereka membalut segala bentuk omong kosong dengan
penelitian (yang juga omong kosong), sehingga tampak ilmiah dan
bisa dipercaya oleh warga . Milyaran rupiah dikeluarkan untuk
membiayai penelitian omong kosong untuk menopang omong kosong
pula. Pendidikan berubah menjadi pembodohan dan pusat penelitian
berubah menjadi pusat omong kosong.
Anti Omong Kosong
Dengan demikian, kita semua perlu belajar untuk mendeteksi
omong kosong di sekitar kita. Kita perlu melihat kotoran sebagai
kotoran, dan bukan sebagai makanan enak. Kita perlu berhenti untuk
menelan mentah-mentah omong kosong yang disebarkan oleh agama
dan ekonomi. Kita perlu kembali ke pesan asali agama dan ekonomi,
yakni untuk kesejahteraan batin dan kesejateraan sosial.
Dua hal kiranya penting disini. Pemikiran kritis yang ditawarkan
fi lsafat amat berguna untuk mendeteksi segala bentuk omong kosong
di sekitar kita. Filsafat kritis perlu diajarkan secara luas di warga .
Filsafat tidak boleh diajarkan sebagai dogma untuk membenarkan
ajaran agama tertentu, seperti yang banyak terjadi di Indonesia, dan
berbagai negara lainnya.
Namun, fi lsafat kritis harus juga diimbangi dengan pemikiran Zen
yang berkembang di dalam Filsafat Timur. Zen mengajarkan orang
untuk menyadari jati diri sejatinya, yang lebih dari sekedar pikiran
maupun emosi yang muncul di kepalanya. Dengan kata lain, Zen
mengajak orang untuk menjaga jarak dari pikirannya sendiri. Ini amat
penting, sehingga orang tidak larut dan tenggelam di dalam pikiran
kritisnya.
Hanya dengan begini, kita bisa terlindungi dari beragam omong
kosong di warga kita, dan tidak terjebak pada omong kosong di
kepala kita sendiri.
Akar dari Segala Kecanduan
Kita hidup di dunia yang penuh dengan orang yang kecanduan.
Ada orang yang kecanduan belanja. Mereka merasa hampa dan
menderita, jika tidak belanja. Ada yang kecanduan kerja. Mereka
merasa hidup mereka tak berharga, jika tak bekerja dengan rajin.
Ada orang yang kecanduan bermain, atau sekedar nongkrong,
sambil ngerokok dan minum bersama teman-temannya. Mereka merasa
kesepian dan ketinggalan berita, jika tidak rajin nongkrong. Sekarang
ini, banyak orang kecanduan internet, terutama jaringan sosial. Mereka
merasa tak bisa hidup, jika tidak mengecek situs jaringan sosial mereka.
Yang pal ing parah tentu kecanduan narkotika. Mereka merusak
dirinya sendiri dengan memakan obat-obat terlarang. Namun, mereka
merasa tak berdaya di hadapan kecanduannya ini . Akhirnya,
banyak orang menghancurkan hidupnya dan keluarganya, sebab
kecanduan narkotika semacam ini.
Ciri Kecanduan
Ciri utama dari segala bentuk kecanduan yaitu ilusi, bahwa kita
tidak dapat hidup, tanpa melakukan hal-hal tertentu, seperti belanja,
seks, nongkrong dan sebagainya. Semua itu seolah seperti udara bagi
hidup kita. Ia perlu untuk segera dipenuhi sesegera mungkin. Dengan
kata lain, kita melekat pada suatu hal, sehingga hidup kita terasa
hampa dan menderita, jika kita tidak memilikinya.
Dalam arti ini, ambisi juga yaitu suatu bentuk kecanduan. Banyak
orang dididik untuk memiliki ambisi dalam hidupnya. Sedari kecil,
mereka dilatih untuk merumuskan dan mewujudkan ambisi pribadi
mereka, seringkali dengan mengorbankan orang lain. Namun, saat
ambisi ini tidak terwujud, atau justru terwujud, yang tersisa seringkali
hanya perasaan hampa.
Ciri kedua kecanduan yaitu ia akan merusak hidup orang
ini . Hidup orang yang kecanduan akan terpaku pada satu hal,
dan melupakan banyak hal lainnya. Keseimbangan hidup pun rusak.
Akibatnya, dimensi spiritual dirinya rusak, dan akhirnya juga merusak
hubungannya dengan orang lain.
Banyak orang memutuskan untuk bunuh diri, sebab penderitaan
yang ia alami, akibat kecanduan. Banyak juga yang memutuskan untuk
membunuh orang lain, supaya bisa memenuhi kecanduannya. Pendek
kata, kecanduan membuat orang menjadi ”gila”. Mengapa orang
mengalami kecanduan ini? Apa akar penyebabnya?
Akar dari Segala Kecanduan
Akar dari segala bentuk kecanduan yaitu kecanduan untuk
berpikir. Kecanduan berpikir yaitu kecenderungan orang untuk
terus berpikir, tanpa bisa dihentikan. Ia terus menganalisis segala
sesuatu yang ada di depannya, bahkan saat ia tidur. Pada satu titik,
pikirannya hangus, dan ia jatuh ke dalam depresi, stress dan beragam
penyakit kejiwaan lainnya.
saat orang berpikir dan menganalisis berlebihan, dirinya akan
tegang. Ketidakpuasan muncul di dalam dirinya. Ada perasaan
menderita yang muncul, sebab pikiran yang tak lagi terkendali. Masa
lalu, masa kini dan masa depan tumpang tindih, dan membuatnya
segala sesuatu terlihat sulit dan membingungkan.
Ketegangan dan ketidakpuasan tentu perlu diredakan. Orang lalu
mencari cara-cara tertentu, seperti belanja, minum, nongkrong, jalan-
jalan atau seks. Namun, semua cara-cara itu tidak akan pernah bisa
meredakan ketegangan sepenuhnya. Orang pun semakin menderita,
dan justru jatuh ke dalam kecanduan-kecanduan lainnya.
Kecanduan berpikir melahirkan analisis berlebihan atas segala
sesuatu. Ini juga menciptakan kecemasan-kecemasan yang tidak perlu.
Orang lalu membayangkan hal-hal terburuk terjadi pada dirinya,
atau pada orang-orang yang ia sayangi. Disini juga sama, bahwa
hal-hal sementara, seperti belanja, seks dan nongkrong, tidak akan
menyelesaikan masalah, namun justru melahirkan kecanduan baru.
Lalu, kita harus bagaimana?
Melampaui Kecanduan
Kita hanya perlu untuk berhenti berpikir. Kita perlu melepaskan
diri dari kecanduan berpikir yang kita alami. Ini penyakit khas manusia
modern yang selalu memikirkan segala sesuatu, sampai pikirannya
pecah. Akan namun , bagaimana cara untuk berhenti berpikir?
Caranya tidak dengan mencari keluar diri, seperti belanja dan
sebagainya, namun melihat ke dalam. Kita mencoba untuk merasakan
nafas kita. saat kita merasakan nafas kita, pikiran berhenti, walaupun
sesaat. saat kita melakukannya lebih lama, maka pikiran juga akan
berhenti lebih lama.
saat pikiran berhenti, intuisi terlatih. Intuisi terbentuk melalui
persentuhan diri kita langsung dengan realitas. Jadi, misalnya. saat
kita makan, rasakan makanan kita sepenuhnya. saat itu terjadi,
pikiran kita berhenti, dan yang ada hanya persentuhan langsung
dengan makan.
Setelah beberapa melakukan ini di berbagai kegiatan, pikiran kita
akan lebih tenang. Kecanduan berpikir mulai hilang secara perlahan.
Kecanduan-kecanduan lainnya pun juga perlahan berkurang. Secara
keseluruhan, hidup kita akan membaik.
Kita lalu akan sadar, bahwa diri kita bukanlah pikiran kita. Pikiran
kita hanya bagian kecil dari diri kita. Pikiran itu seperti awan yang
berganti, walaupun langit biru tetap membentang luas di belakangnya.
Kita yaitu langit biru itu.
Ga percaya? Coba deh.
Mengapa Indonesia Miskin?
Mengapa Indonesia miskin? Padahal, jumlah rakyatnya banyak. Banyak yang berbakat, cerdas dan mau bekerja keras untuk
mengembangkan diri dan bangsanya. Kekayaan alam pun berlimpah
ruah.
Kita memiliki minyak, gas dan beragam logam sebagai sumber
daya alam yang siap untuk diolah. Kita memiliki tanah yang subur
yang siap ditanami beragam jenis tanaman. Kita memiliki hutan yang
luas yang bisa memberi udara segar tidak hanya untuk bangsa kita,
namun untuk seluruh dunia. Akan namun , mengapa kita masih miskin,
walaupun kita memiliki itu semua?
Keadaan Kita
Di satu sisi, banyak orang kesulitan untuk mencari pekerjaan yang
layak. Mereka harus menerima fakta, bahwa pekerjaan mereka bersifat
sementara. Mereka bisa dipecat sewaktu-waktu. Gajinya pun tidak
layak untuk memberi kehidupan yang layak.
Banyak juga orang yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
dasa