Tampilkan postingan dengan label jurnal 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jurnal 3. Tampilkan semua postingan

jurnal 3




 muslimat menjalankan iba-

dah puasa. Lebih dari itu yang dilakukan orang khususnya di Mesir. 

Pesta diadakan seiring dengan ibadah puasa…….”

B. Pola Rincian

 Terlepas dari bentuk lead yang akan dipakai, maka penyusunan

tubuh karangan dilihat dari pola rinciannya bisa memakai  

metode sebagai berikut. 

1. Susunan Alamiah (susunan waktu). Susunan ini dapat dikatakan 

sederhana sekali sebab  rincian bahan karangan dilakukan secara 

berurutan atau kronologis. Contoh: Mungkin ini petunjuk zaman, 

namun  setiap pelaut yang berjalan melewati kantor Pos Pusat pagi 

ini mungkin tertawa terbahak-bahak. Pukul 07.00 satpam Paijo,

yang baru saja bangun tapi masih dengan perasaan mengantuk, 

melangkah gontai menuju tiang bendera, mengikatkan sang saka 

pada tali dan mengerek setiang penuh. Sejam lalu  Paijo berlari 

terbirit-birit ke tiang bendera dan memandang sang Saka dengan 

perasaan terheran-heran: bendera dikibarkan sungsang. “Kupikir 

aku masih mengantuk,” kata Paijo sambil tertawa tersipu-sipu. “Aku 

mengetahui ada sesuatu yang keliru tatkala seorang Tamtama TNI 

AL meneleponku menanyakan apakah kantor pos karam”. Bendera 

yang dikibarkan sungsang mengisyaratkan kapal berada dalam 

keadaan bahaya.

2. Susunan Logis. Susunan Klimaks : Susunan penulisan tubuh feature

ini mengikuti jalan pikiran bahwa penempatan sesuatu di belakang 

memberikan penekanan yang paling banyak. Susunan dari Umum 

ke khusus susunan ini dimulai dengaan alur pikiran generalisasi 

atau umum (deduksi) menuju alur pikiran ke hal-hal yang khusus 

(induksi).

107

Jadi karangan dimulai dengan pernyataan yang bersifat umum 

yang boleh jadi benar atau salah.

Susunan dari Khusus ke Umum: demikian sebaliknya, karangan 

dimulai dari alur pikiran tentang yang khusus menuju ke alur 

pikiran tentang yang umum. Metode ini paling banyak dilakukan 

penulis karangan khas. Contohnya: saat  Du dayi mengetahui 

dirinya berpenyakit lepra, petani berperawakan pendek dan ber-

bicara lembut dari desa Salaksi China itu merasa risau memikirkan

tetangganya dan dirinya sendiri. Empat puluh tahun silam, pen-

duduk desa membakar hidup-hidup penyandang penyakit lepra 

dalam usaha mereka memusnahkan penyakit itu.

C. PERALIHAN

Biasa juga disebut sebagai tali sendi yang mengikat unsur-unsur 

yang memperkuat penulisan Karangan Khas. Peralihan ini seakan-

akan memberi aba-aba akan munculnya bahan baru namun  masih ber-

kaitan dengan tema karangan. Peralihan itu dapat berbentuk kata, 

frasa, kalimat maupun paragraf. Fungsi peralihan ini pertama, untuk 

memberi tahu pembaca bahwa penuturan cerita sedang beralih ke 

bahan baru; kedua untuk menyusun bahan baru dalam perspektif 

atau sudut pandang yang tepat.

 Majalah Tempo menyebut peralihan ini dengan istilah ‘Tran-

sisi” yang bisa berwujud satu kata, rangkaian kata, kalimat atau juga 

paragraf. Kata yang biasa dipakai sebagai transisi misalnya ….Kemu-

dian, Di dekat, Selama, tapi, Sebelum, namun , beberapa meter dari, 

dan sebagainya.

D. PENULISAN ENDING ATAU PENUTUP

Kebanyakan karangan Khas mutlak memiliki penutup, yaitu akhir 

dari suatu karangan menurut logika. Mengapa sebuah feature mem-

butuhkan ending atau penutup? Ada dua alasan mengapa sebuah 

feature memiliki penutup. Pertama, menghadapi sebuah feature

108

tak ada alasan untuk terburu-buru mengerjakannya dibandingkan 

penulisan berita. Justru ending atau penutup diperlukan agar tulisan 

menjadi lebih menarik. Kedua, ending bukan muncul tiba-tiba, dia 

yaitu  hasil proses penuturan unsur di atasnya yang mengalir. 

Penutup tidak sekedar layak tapi mutlak perlu bagi kebanyakan 

feature.

 Ada beberapa jenis penutup yang sering dipakai  wartawan 

untuk mengakhiri tulisan khasnya. Di antaranya yaitu :

1. Penutup Ringkasan. Penutup ini bersifat ikhtisar, yang meringkas 

dan mencoba mengikat ujung-ujung bagian cerita yang lepas-lepas 

dan menunjuk kembali ke lead. Contoh:

Lead: Keadaan hidup segan mati pun enggan menimpa perajin per-

ak di seluruh tanah air sekarang……

Penutup: Kesulitan memperoleh bahan baku bagi perajin perak 

akhirnya memiliki  akibat ganda. Sentra perajin terancam gulung

tikar di satu pihak, dan di lain pihak toko cindera mata akan tutup 

pula….

2. Penutup Klimaks: penutup yang menimbulkan kejutan, kenangan,

kengerian dan sebagainya. Penutup jenis ini biasa juga sebagai 

penutup penyengat yang bisa mengagetkan dan membuat pem-

baca seolah-olah terlonjak. Penulis hanya memakai  tubuh 

cerita untuk menyiapkan pembaca pada kesimpulan yang tidak 

terduga-duga.

Contoh: 

Lead: Keadaan hidup segan mati tak mau tengah menimpa perajin 

perak di seluruh tanah air sekarang.

Penutup: Menghadapi kenyataan getir akan langkanya bahan baku 

perak, perajin perak di Jawa Tengah tidak kehabisan akal dengan 

menjadikan alumunium sebagai bahan baku pengganti.

3. Tak Ada Penyelesaian. Penulis dengan sengaja mengakhiri cerita 

dengan menekankan pada sebuah pertanyaan pokok yang tidak

109

terjawab. Penulis sengaja  mengakhiri cerita tanpa memberi tahu 

hasil akhirnya dan semuanya diserahkan kepada pembaca untuk 

menafsirkannya.

Contoh:

Lead: keadaan hidup segan mati pun enggan menimpa perajin perak

di tanah air sekarang.

Penutup: Apakah keadaan hidup segan mati tak mau yang menimpa

perajin perak di tanah air pertanda awal akan punahnya warisan 

budaya bangsa?

Contoh Feature media popular

JANGAN BIARKAN ANAK ANDA BERMAIN GAME GTA

Oleh: Indiwan Seto Wahju Wibowo

Membiarkan anak bermain “game” sendirian tak aman, apalagi bagi 

orang tua yang lebih banyak berada di luar rumah, demikian badan 

pemeringkat perangkat lunak permainan video mengingatkan.Tidak 

semua game yang dimainkan anak-anak itu mendidik, bahkan ada 

game yang dikenal sebab  kekerasan dan tayangan “seks bebasnya”, 

seperti “Grand Theft Auto” (GTA).

 Game berlabel M, alias “mature” atau untuk usia di atas 17 

tahun. Di negara asalnya, game itu memang bukan ditujukan untuk 

anak-anak. Game itu ditujukan kepada mereka yang berusia 17 tahun,

atau orang yang sudah bisa membedakan yang baik mana dengan 

yang buruk dan menyadri GTA yaitu  karya fiksi, bukan fakta 

yang layak dicontoh.

 Presiden ESRB, badan pemeringkat perangkat lunak permainan

video, Patricia Vance mengatakan, permainan itu biasanya diminati 

mereka yang berusia 30 tahun bukan para remaja, sebab  isinya me-

mang tidak sesuai untuk remaja.

110

 Menurut pendiri “National Institute On Media and The Family” 

David Walsh Phd, GTA IV banyak berisi kekerasan, penuh pertumpah-

an darah, para tokohnya sering berbahasa kasar, dan memperlihatkan

isi yang mengarah pada seks, agak memunculkan ketelanjangan, dan 

menampilkan secara terbuka penggunaan alkhohol dan minuman 

keras. kasus nya, apakah di Indonesia katagori game berlabel M 

ini bisa dipantau?

 Apakah orang tua di Indonesia sadar bahwa anaknya kurang 

cukup umur untuk menyaksikan bahkan memainkan tokoh-tokoh 

yang aktif dalam “game” yang dikatagorikan oleh Softpedia (www.

softpedia.com) dengan nilai 9,5 atau terpuji itu “game” untuk dewasa?

 

 Menurut Patricia dan David Walsh, organisasi mereka men-

dukung dan memberikan informasi kepada orang tua sebelum membeli

game yang berlabel M. “Seharusnya orang tua mencari rating ESRB 

yang ada di kotak ’game’, yang menyediakan informasi apakah ’game’ 

ini sesuai dengan usia anaknya atau tidak, sebab  rating ESRB sendiri 

sudah menjelaskan isi dari game ini  secara rinci,” ujar Patricia.

 Kebanyakan di Amerika, GTA memang diminati oleh mereka 

yang berusia di atas 30 tahun, dan dalam banyak hal kurang cocok 

bagi anak-anak yang berusia di bawah 17 tahun. Selain itu, GTA juga 

bermasalah di mana-mana. GTA menjadi perhatian publik Inggris 

sesudah  seorang pria di Inggris kaget bukan kepalang saat  membeli 

“game” ini  untuk anak tercintanya.

 sesudah  ia membuka box GTA ternyata ia menemukan empat

butir ekstasi dalam kaset ini . Demikian dilansir Softpedia, 

Kamis, minggu lalu. “saat  saya membuka plastik bungkus ’game’ 

ini  dan membukanya, saya kaget dan tak percaya mendapati 

empat buah ekstasi. Sulit dibayangkan jika dua anak saya yang me-

nemukannya,” ujar pria ini . 

111

 sesudah  itu, pria ini  langsung melaporkan temuannya 

kepada polisi untuk menyelidiki barang ini . Polisi langsung 

memeriksa dan meminta keterangan pemilik “GameStation”, tempat 

pria ini  membeli ’game’. Pengelola “GameStation” itu menya-

takan tak mengetahui ada pil ekstasi dalam produk yang dijualnya.

Efek agresivitas

Jauh sebelumnya, distributor “game” asal Thailand menghentikan 

penjualan video game GTA sesudah  seorang remaja lokal mencoba 

melakukan perampokan dan mengamuk dengan meniru cara-cara di 

“video game” itu.

 Remaja berumur 18 tahun ini  sekarang berada dalam 

pengawasan ketat pihak berwenang. Dia telah merampok seorang 

supir taksi dan mencuri mobilnya, serta menabrak pengemudi lainnya

yang berumur 54 tahun.

 Remaja ini  mengungkapkan kepada polisi yang menang-

kapnya bahwa ia melakukan hal gila ini  disebab kan ia ingin 

mengetahui apakah merampok sebuah taksi di dunia nyata semudah 

merampok taksi di video.

 Distributor “New Era Interactive” (NEI) telah menghentikan 

penjualan video game GTA, dan menurut laporan Reuters, outlet dan 

toko di Thailand mulai menarik keluar video GTA dari peredaran. 

namun  tidak benar pihak NEI menarik semua serial GTA, serial ter-

akhir yaitu “Grand Theft Auto: IV” tetap menjadi fokus utama peru-

sahaan itu. GTA memang menarik, sebab  tampilannya yang seperti 

nyata.

 Pada edisi awalnya, “Grand Teft Auto versi San Andreas”, per-

mainan itu tampak menyenangkan untuk dimainkan sebab  inovatif 

dan memberikan kebebasan pada pemainnya untuk bereksplorasi, 

termasuk kebebasan melakukan kekerasan.

112

 Kekerasan dalam “game” ini  dibuat seolah-olah sebagai 

suatu yang menyenangkan dan memberikan efek ketagihan. Semakin 

sering pemain melakukan kekerasan, semakin banyak kebrutalan 

yang bisa dimainkan.

 Bukan hanya diizinkan mencuri mobil, menabrak polisi, atau 

melanggar aturan lalulintas, pada bagian bonusnya, sang pemain 

akan dihampiri oleh seorang gadis dan mereka akhirnya bisa pergi 

ke suatu tempat dan melakukan seks bebas.

 Bagian itu yang lalu  dikeluhkan banyak orang tua, sebab 

anak-anak akan melihat kegiatan dalam permainan itu sebagai 

sesuatu yang boleh dicontoh.

 Itu sejalan dengan pernyataan pakar Albert Bandura, yang 

menyatakan, agresi sebagai efek komunikasi massa yang secara per-

lahan merasuk kedalam benak pikiran anak-anak.

 Teori yang diangkat paka itu disebut sebagai teori belajar 

sosial yang relevan bila dikaitkan dengan pengaruh GTA bagi perkem-

bangan anak-anak. Menurut teori belajar sosial dari Bandura, orang, 

termasuk anak-anak dan remaja, cenderung meniru perilaku yang 

diamatinya. 

 Dengan kata lain rangsangan, baik yang sifatnya verbal apalagi

visual dari televisi dan “game”, bisa menjadi teladan untuk perilaku 

anak-anak yang melihatnya.

 Pakar ilmu komunikasi Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya 

“Psikologi Komunikasi” bahkan melihat bahwa teori itu menarik bila 

dikaitkan dengan konteks Indonesia.

 Menurut dia, orang bisa belajar berbahasa yang baik, atau 

bahkan yang buruk, sebab  mengamati setiap hari acara televisi yang 

ditampilkan oleh tokoh-tokoh yang mereka sukai. Proses meniru

113

terhadap tindakan agresif seperti itu yang bisa terjadi pada anak-

anak yang sering memainkan GTA.

Dimuat di Kompas.com Jumat, 12 Juni 2009 | 22.46 WIB:

http://www.tekno.kompas.com/read/2009/06/12/22460067/

kekerasan.quotgamequot.gta.perlu.diwaspadai

114

BAB X

ANALISIS ISI TEKS MEDIA

Adakah media massa di era Reformasi ini yang benar-benar netral? 

Benar-benar menyuguhkan kebenaran di atas segala-galanya? Men-

yuguhkan fakta yang benar-benar murni dan bukan hasil rekayasa? 

Masih adakah media massa yang benar-benar peduli kepada nilai-nilai 

hakiki yang diperjuangkan oleh manusia dari jaman ke jaman, dari ke 

abad?

 Pertanyaan-pertanyaan di atas memang teramat sulit untuk 

dijawab. Dan kalaupun dijawab belum tentu memberi kepuasan yang 

berarti dan menyuguhkan semua kebenaran yang memang betul-betul 

ada.

 Beberapa tahun yang lalu harian Republika memuat sebuah 

berita besar di halaman pertama menyangkut GAM dan TNI. Judul 

yang diusung cukup ‘seram’ dan dinilai amat menyudutkan posisi  TNI, 

sebab  ada kata-kata berbunyi: “TNI SIAPKAN LADANG PEMBANTAIAN 

BUAT GAM “. 

 Kata-kata ladang pembantaian yang dipakai  Republika 

membuat bulu kuduk kita berdiri, sebab  teringat kasus ‘the killing 

field’ saat segerombolan orang membunuh ribuan orang yang dianggap-

nya anti revolusi dan lawan dari gerombolan komunis. 

 Pertanyaan kita yaitu , apakah tepat penggunaan istilah 

Ladang Pembantaian dalam konteks kasus Aceh? Apakah benar sudah 

115

terjadi pembunuhan terhadap ribuan warga Aceh yang tidak berdosa.

 Yang menjadi pertanyaan lagi, apakah dalam menumpas GAM 

yang jelas-jelas tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan 

ingin mendirikan Negara merdeka TNI harus memperdulikan HAM? 

Bagaimana hukum internasional terhadap penumpasan para teroris 

yang merongrong kedaulatan sebuah Negara yang berdaulat?

 Pertanyaan lainnya, sebenarnya bagaimana dan di mana posisi

Republika di sini? Apakah dia berpihak kepada RI yang sah -yang jelas-

jelas akan mempertahankan Aceh sebagai suatu bagian integral bagi 

Indonesia dan akan menumpas segala upaya pemberontakan dan ma-

kar- atau kepada Gerakan Aceh Merdeka yang memang ingin sekali 

melepaskan diri dari Republik Indonesia? 

 Dari contoh di atas, ternyata sebuah teks berita bisa menjadi 

bahan kajian yang komprehensif tergantung dari sudut mana kita me-

lihatnya. 

 Apakah dilihat dari sudut kepentingan warga , kepenting-

an Negara atau kepentingan pihak lain yang turut bermain dalam 

pelontaran opini publik?

 Sebuah berita yang muncul di sebuah surat kabar seringkali 

diandaikan sebagai sesuatu kebenaran yang factual sebab  harus ber-

dasarkan fakta.

 Padahal tidak semua berita itu memang benar-benar ‘netral’. 

Isi media banyak dipengaruhi oleh berbagai hal, diantaranya ‘ideologi’

si wartawan, pandangan politik  organisasi media, kepentingan pe-

megang saham atau pemilik media dan system politik Negara.

 Sulit sekali menemukan sebuah teks berita benar-benar 

‘netral’ dan tidak punya ‘bias’ atau kecenderungan berpihak pada 

kepentingan-kepentingan tertentu di luar teks. 

116

 Bahkan kaum penganut aliran media kritis melihat bahwa 

adakalanya media massa yaitu  cerminan dari kekuatan-kekuatan

besar yang tengah bertarung, media sering dijadikan alat-alat bagi 

kekuasaan entah mayoritas atau minoritas untuk menciptakan 

public opini yang sesuai dengan kepentingan tertentu.

 Kalau anda beranggapan bahwa semua berita yaitu  semua 

kebenaran, mungkin anda terlalu yakin terhadap ‘fungsi & peranan’ 

ideal sebuah media massa yang punya fungsi mendidik, mencerdas-

kan kehidupan bangsa dan menjunjung tinggi etika professionalism. 

 Tapi dalam banyak hal, dalam banyak kasus, Terkadang soal 

kebenaran isi media massa masing sangat  ‘debatable’. Masih sangat 

mungkin diperdebatkan kebenarannya.

 beberapa  ahli Komunikasi seperti Gans (1979) dan Gitlin 

(1980) mengelompokkan beberapa  pendekatan terhadap isi media. 

Di antaranya yaitu :

a. Isi yaitu  refleksi dari kenyataan sosial dengan sedikit bahkan

dengan tidak adanya distorsi. Ini  disebut juga sebagai pendekatan 

‘cermin’ (the mirror approach) yang mengasumsikan bahwa apa 

yang dihasilkan oleh media (isi media) yaitu  cerminan kenyata-

an atau fakta sosial yang ada di tengah warga nya. Ini bisa 

diartikan bahwa untuk melihat apa yang tengah terjadi dan sedang 

‘in’ di tengah warga , lihat saja apa yang disiarkan di televisi, 

apa yang tengah diramaikan dalam debat-debat di radio atau ter-

cetak dalam iklan serta berita surat kabar.

b. Isi media dipengaruhi oleh pengalaman dan wawasan sosial para 

pekerja media dan sikap-sikap mereka.

c. Isi media sangat dipengaruhi oleh kebiasaan wartawan dalam 

menulis berita atau cara kerja ‘style book’ organisasi media. Istilah

yang umum dalam kajian Komunikasi yaitu  ‘media routines’. 

Pendekatan organizational routines berargumen bahwa isi media

117

dipengaruhi oleh cara-cara bagaimana pekerja media dan perusa-

haan media mengorganisasikan pekerjaan mereka. Sebagai contoh,

gaya penulisan Kompas tentu saja berbeda dengan gaya penulisan 

Rakyat Merdeka atau Lampu Merah. 

d. Isi media dipengaruhi oleh institusi sosial yang lain dan kekuatan-

kekuatan di luar media massa. Pendekatan ini melihat bahwa media

massa sangat dipengaruhi oleh beberapa  faktor eksternal atau 

faktor-faktor lain di luar organisasi media seperti kekuatan 

ekonomi & politik, serta pengaruh audiens. Pendekatan market 

misalnya, yaitu  upaya komunikator yang berupaya menyesuaikan 

isi medianya dengan apa yang dibutuhkan (sesuai kondisi pasar) 

oleh audiens yang jadi pelanggan, pembaca atau pemirsanya. 

e. Isi media sangat dipengaruhi oleh ideologi yang dianut atau 

menguasai warga  di sekitar media ini  berada. Misalnya, 

media massa yang hidup di tengah Negara yang otoriter dan sangat 

ketat dalam pengawasan media akan berbeda dalam menyajikan 

isi berita atau penampilannya. Ini terlihat di era Orde baru, yang 

sangat menjunjung tinggi kekuasaan Negara dan militer membuat 

beberapa  media massa berhati-hati dalam menulis berita-berita 

yang terkait dengan ‘Cendana’, ABRI dan penguasa lainnya. saat 

Orde Baru runtuh dan diganti dengan zaman Reformasi yang hingga

kini tak jelas juntrungannya, media massa begitu bebasnya menyu-

arakan apa saja hingga akhirnya tak ada lagi sesuatu yang diang-

gap tabu dan terlarang untuk disuarakan.25

 Mengapa penting buat kita mempelajari atau menganalisa 

isi media? Apa faedah nyata bagi mereka yang meluangkan waktu,

menganalisis Judul, lead dan makna di baliknya?

A. MENGAPA ISI MEDIA PENTING?

25  Bisa dibaca dalam buku  Mediating The Message Karya Pamela J.Shoemaker  & Stephen D Reese, 1996 

halaman 6-8

118

Isi media yaitu  dasar dari pengaruh yang kuat dari media massa. 

Isi media -sebagian terbesar- yaitu  bagian yang terbuka dan 

layak dipelajari dalam sebuah proses Komunikasi massa. 

 Isi media massa tidak hanya menarik perhatian mengingat 

siapa yang ada di balik penguasaan saham dan kepemilikannya namun 

juga apa saja yang ada dibalik tampilan isi berita, ideologi apa yang 

dominant dan latarbelakang politis, konteks actual di balik penampi-

lan fisik sebuah berita di media massa.

 Mempelajari Isi media banyak menolong kita untuk mempre-

diksi bagaimana pengaruhnya (isi media, red) terhadap khalayaknya.

Para peneliti efek media seringkali mempergunakan hasil kajian 

analisis isi ini untuk menunjang penelitian soal pengaruh media 

massa kepada khalayak pembaca atau pemirsanya.

 Analisis isi yaitu  teknik untuk mengetahui isi secara reliabel.

Isi teks (misalnya berita) memang bisa diterka-terka saat  kita 

membaca halaman suratkabar atau menonton televisi. namun  agar 

terpercaya, diperlukan sebuah teknik untuk mengetahui isi media. 

Dari hasil Analisi isi memungkinkan diambil kesimpulan yang baku 

dan ditarik generalisasi.

 Analisis isi bisa diterapkan pada semua bentuk teks. Misalnya 

berita suratkabar, kartun, surat, iklan, dokumen prospektus, pidato 

dan semua bentuk teks lain. 

 Asal terdokumentasi, semua bentuk teks bisa dianalisis lewat 

analisis isi. Analisis isi berguna bukan hanya untuk studi komunikasi 

atau studi media. Semua bidang bisa memanfaatkan analisis isi.

 Orang kedokteran bisa memakai analisis isi untuk mengetahui 

secara cermat masalah kesehatan yang paling ditakuti warga .

119

 Caranya mengidentifikasi lewat berita-berita kesehatan yang 

diberitakan media. Analisi isi bisa dipakai untuk melihat bagaimana 

masalah diberitakan oleh media. Misalnya ingin mengetahui kesala-

han yang sering dilakukan anggota polisi. Caranya mengidentifikasi 

lewat berita media.

 

 Sebelum membahas mengenai teknik analisis isi media, perlu 

diuraikan terlebih dahulu peta analisis isi media. Secara umum, ada 

dua bentuk aliran (paradigma) dalam studi isi media. Pertama, aliran 

transmisi.

 Aliran transmisi melihat komunikasi sebagai bentuk pengi-

riman pesan. Komunikasi di sini dilihat sebagai proses yang statis. 

Proses dilihat secara linear dari pengirim ke penerima. Asumsi dari 

aliran ini yaitu  adanya hubungan satu arah dari media kepada kha-

layak. Peranan dalam menyampaikan pesan digambarkan sebagai 

yang satu aktif, dan yang lain pasif. Kedua, aliran produksi dan per-

tukaran makna.Kalau aliran transmisi melihat komunikasi sebagai 

proses penyebaran (pengiriman dan penerimaan pesan), maka ali-

ran ini melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. 

Yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana seseorang mengirim-

kan pesan, namun  bagaimana masing-masing pihak dalam lalu lintas 

komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Di 

sini tidak ada pesan dalam arti yang statis yang saling dipertukarkan 

dan disebarkan. Pesan itu sendiri dibentuk secara bersama-sama 

antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi.

 Mengapa setiap media massa punya kecenderungan berbeda-

beda dalam menyajikan suatu fakta atau peristiwa yang sama? 

Mengapa Republika dan harian Kompas berbeda menggambarkan 

bagaimana AS melakukan aksi penumpasan Sadam Husein di Irak? 

Pertanyaan ini mengacu pada  ‘pelapisan-pelapisan’ yang melingkupi 

institusi media.

 Pamela Shoemaker & Stephen D.Reese ( 1996: 105-107)

120

membuat model ‘Hierarchy of influence’ yang menjelaskan ada

hiraki pengaruh terhadap teks berita yang dihasilkan oleh wartawan.

 Pengaruh pertama yaitu  pengaruh dari individu-individu 

pekerja media ( wartawan-wartawan atau pekerja pers). 

 Sebuah teks berita muncul dipengaruhi oleh kharakteristik 

pekerja Komunikasi, latar belakang professional dan personal. Artinya,

seorang wartawan yang beragama Islam tentu berbeda dengan war-

tawan yang beragama Kristen saat  meliput bentrokan antara massa

Islam dan Kristen di Ambon. Latar belakang pribadi si wartawan akan 

mempengaruhi Sudut pandangnya dalam menulis berita, pemilihan 

Judul, Lead dan bahkan pemilihan nara sumber yang sesuai dengan 

keyakinannya.

 Maka dari itu, jangan salahkan bila  kita sulit mengharap-

kan objektivitas berita dalam sebuah liputan konflik, sebab  bias 

bisa saja terjadi. 

 Begitu juga, Pendidikan serta latarbelakang social politik serta

ekonomi si wartawan akan sangat mempengaruhi berita yang 

dihasilkannya. 

 Pengaruh lain yang juga penting yaitu  pengaruh dari ‘Organi-

sasi Media’ dan pengaruh nilai-nilai atau ideologi yang  dianut oleh 

organisasi media massa dan warga  yang ada di sekitar media. 

 

 Artinya, mengapa Republika melihat kasus penyerangan 

AS ke Irak berbeda dengan Kompas atau Suara pembaruan ini bisa 

dijelaskan dengan satu kata: Ideologi mereka berbeda.

 Ideologi di sini bukan berarti bahwa Republika identik dengan 

Islam sedang  Kompas dengan Katholik atau Suara Pembaruan

dengan Kristen sehingga mereka berbeda-beda dalam memotret 

sebuah kejadian atau peristiwa. 

121

 Ideologi dalam pandangan Magnis Suseno yaitu  sebuah ke-

sadaran palsu dan berkonotasi negative sebagai klaim yang tidak 

wajar atau sebagai teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, 

melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. 

 Minimal ideologi dianggap sebagai system berpikir yang su-

dah terkena distorsi entah disadari atau tidak. Biasanya ideologi 

sekaligus dilihat sebagai sarana ‘kelas’ atau ‘gerombolan’ yang berkua-

sa untuk melegitimasikan kekuasaannya secara tidak wajar.

 Ideologi di sini yaitu  apa saja yang diyakini oleh gerombolan 

tertentu atau nilai-nilai yang dianut oleh media massa dalam mem-

posisikan dirinya. 

 Lebih jauh lagi, Althusser melihat bahwa ideologi terkadang 

menekankan bagaimana kekuasaan gerombolan dominan dalam men-

gontrol gerombolan lain. Ideologi yaitu  hasil rumusan dari indivi-

du-individu tertentu mengenai suatu hal.

 Maka jangan aneh mengapa Republika begitu mati-matian 

membela Sadam Husein dan begitu kerasnya memberi labelisasi ke-

pada Amerika yang dianggap sebagai ‘agresor’, agak berbeda dengan 

Suara Pembaruan yang kerap memilih berita-berita yang relative 

menyudutkan pihak Sadam Husein yang sama-sama bejadnya den-

gan George Bush yang menyerang Irak Meski tidak direstui PBB dan 

ditentang Negara-negara lainnya.

 Ideologi yang dianut Suara pembaruan jelas berbeda dengan 

ideologi yang dianut oleh Media-media bernafaskan Islam atau di-

duga bernafaskan Islam seperti Republika, Pelita atau majalah Sabili 

dan Panji warga .

 Dengan memahami apa yang ada di balik media massa dan fak-

tor-faktor apa yang mempengaruhi isi media kita bisa mengambil sikap, 

memilih informasi sekaligus memilahnya sesuai kepentingan kita.

122

B. ANALISIS ISI

Ada beberapa  cara atau metode menelaah isi teks media, salah satunya

dan yang masih banyak dilakukan dalam penelitian mahasiswa S1 

dan S2 Jurnalisme  yaitu  analisis isi kuantitatif. 

 Meski begitu ada juga analisa lainnya yang tak kalah popu-

lernya yakni analisis Wacana framing dan analisis Semiotikaa.

 Analisis isi kuantitatif seringkali disebut juga analisis isi tra-

disional atau konvensional. Analisis isi melihat teks berita sebagai 

kumpulan stumulus psikologis dengan makna yang dapat diidentifi-

kasi secara objektif.

 sedang  analisis wacana yaitu  bentuk analisis teks 

media yang relative baru yang berkembang terutama sejak tahun 

1970-an, seiring dengan studi mengenai struktur, fungsi dan pros-

es dari suatu teks. Analisis wacana yaitu  salah satu alternative 

dari analisis isi kuantitatif yang masih dipraktekan secara luas di ka-

langan akademisi.

 Karakteristik analisis isi kuantitatif, mengikuti Berelson ada-

lah Teknik penelitian untuk menguraikan secara objektif, sistematik 

dan kuantitatif isi Komunikasi. Pendekatan dasar dalam menerapkan 

analisis isi jelas berbeda dari analisa wacana.

 Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam teknik penelitian 

analisis isi yaitu  :

1. memilih sample dari populasi yang pada akhirnya nanti dipakai  

untuk menggeneralisir hasil penelitian

2. menetapkan kerangka konsep dan kategori yang akan diteliti. 

Misalnya bila anda ingin meneliti seberapa besar berita-berita ke-

kerasan terhadap wanita , perlu didefinisikan terlebih dahulu

apa itu kekerasan dan apa itu berita kekerasan wanita ? Atau

123

kalau meneliti ada tidaknya demokratisasi dalam pemberitaan 

bisa dijelaskan dulu apa itu demokratisasi, apa ukuran dan vari-

able untuk mengukurnya

3. memilih unit analisis yang akan dipakai dalam analisis. Apakah 

yang akan diteliti kalimat, pemakaian Judul, Lead, tubuh berita 

atau cover serta foto/gambar yang ada di media yang akan kita 

teliti

4. menyesuaikan isi dengan kerangka katagori, per satuan nit yang 

dipilih

5. mengungkapkan distribusi menyeluruh dari frekuensi yang 

telah didapat dalam penelitian. Ini umumnya ditandai dengan 

adanya tabulasi hasil penelitian menurut distribusi dan variable 

yang akan diteliti.

 Analisis Isi ini didasarkan pada paling tidak dua asumsi utama.

Pertama bahwa teks berita itu sendiri dipandang sebagai sesuatu 

yang objektif, dan dapat menangkap fakta sehingga tidak menim-

bulkan kemenduaan arti. 

 Kedua, frekuensi atau pengukuran atas teks yang dipilih terse-

but juga dapat mengungkapkan arti yang sebenarnya secara objektif.

 

 Analisis isi kuantitatif biasanya bersifat kuantitatif dan berbeda

dengan analisis wacana yang bersifat kualitatif. Analisis wacana lebih

memperhitungkan pemaknaan teks dari pada penjumlahan unit 

katagori seperti dalam analisis isi kuantitatif.

 

 Dasar analisis wacana yaitu  interpretasi sebab  analisis wa-

cana yaitu  bagian dari metode interpretative yang mengandal-

kan intepretasi & penafsiran peneliti. 

 Oleh sebab  itu dalam proses kerjanya, analisis wacana tidak 

memerlukan lembaran koding yang mengambil Beberapa item dan

124

turunan dari konsep tertentu.26

 Dalam analisis wacana, isi dipandang bukan sebagai sesuatu 

yang memiliki  penafsiran yang sama atas suatu teks.

 Justru yang terjadi sebaliknya, setiap teks pada dasarnya bisa 

dimaknai secara berbeda, dapat ditafsirkan beraneka ragam. Singkat 

kata, penelitian analisis isi lebih bersifat empiris sedang  peneli-

tian analisis wacana lebih bersifat interpretative.

 Analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya dapat dipakai  

untuk membedah muatan teks Komunikasi yang bersifat nyata (man-

ifest).

 sedang  analisis wacana justru berpretensi memfokuskan 

pada pesan yang tersembunyi (latent). 

 Sebagai contoh, sebuah gambar iklan dimana ada seorang 

wanita tengah bersandar di bahu laki-laki, dalam analisis isi, teks itu 

dipahami dari apa yang terlihat, sementara bila memakai  analisis

wacana, yang lebih dilihat yaitu  suasana dalam, makna yang tersem-

bunyi yang bisa didapatkan kalau kita menafsirkan teks ini . 

 Gambar ini  misalnya bisa ditafsirkan sebagai bentuk 

dominasi laki-laki terhadap wanita , teks itu juga menjelaskan 

bias patriarchal bahwa laki-laki kuat dan berperan sebagai pelindung,

sementara wanita terlihat lemah gemulai.

 Bahwa analisis isi hanya dapat melihat apa yang terlihat, tidak 

terlepas dari metode yang dipakai yaitu kuantitatif yang mementing-

kan objektifitas, validitas dan reliabilitas. Dalam analisis isi kuanti-

tatif tidak boleh ada penafsiran dari peneliti. Peneliti hanya boleh 

membaca apa yang disajikan dalam teks, dalam ini  yang terlihat

26  Baca di Analisis Wacana , karya Eriyanto (2001) 

125

dalam teks. Siapa sumber berita, ukuran berita, letak atau posisi ber-

ita yaitu  contoh dari elemen-elemen yang terlihat nyata ada dalam 

teks media. 

 Sebaliknya dalam analisis wacana, unsur penting dalam analisis

yaitu  penafsiran. Tanda dan elemen yang ada di dalam teks dapat 

ditafsirkan secara mendalam oleh peneliti.

 Selain itu analisis isi kuantitatif hanya dapat mempertim-

bangkan ‘apa yang dikatakan’ (what), namun  tidak dapat menyelidiki 

‘bagaimana ia dikatakan’ (how). 

 Dalam kenyataannya, yang penting bukan apa yang dikatakan 

oleh media, namun  bagaimana dan dengan cara apa pesan disam-

paikan.

 Kenapa dalam analisa wacana perlu adanya penafsiran? 

Menurut John B Thomson (Eriyanto 2001:339), kalau kita hendak 

melakukan analisis terdalam dari suatu isi, maka kita harus melaku-

kan penafsiran (interpretasi), sebab  interpretasi selalu berhubungan

dengan apa yang tidak nyata kita lihat. 

 

 Makna yang terdalam dari teks media, baru akan kita keta-

hui bila  kita melakukan analisis mendalam dengan mengkaitkan 

struktur berita dengan konteks sosial yang melingkupi teks media, 

dan proses menangkap makna terdalam dari teks itu tidak bisa hanya

dengan melihat wujud fisik berita yang bersangkutan melainkan ha-

rus lewat penafsiran-penafsiran.

 Analisis wacana berbeda dengan analisis isi kuantitatif, dia ti-

dak berpretensi melakukan generalisasi.

 ini  berbeda dengan analisis isi yang memang bertujuan 

melakukan generalisasi, bahkan melakukan prediksi. Artinya, pada 

126

saat mengambil sample, uji statistic yang biasa dilakukan dalam anal-

isis isi secara tidak langsung memang bertujuan agar hasil penelitian 

yang dilakukan dapat menggambarkan fenomena keseluruhan dari 

suatu isu atau peristiwa.

 Kalau keadaan dan kondisi yang kita teliti sama maka akan 

menghasilkan kajian yang sama pula.

C. ANALISIS FRAMING

Salah satu analisis wacana yang kini tengah naik daun yaitu  analisis 

Framing sebagai suatu alternative studi isi media. Analisis framing 

yaitu  perkembangan terbaru yang lahir dari elaborasi terus 

menerus terhadap pendekatan analisis wacana, khususnya untuk 

menghasilkan suatu metode terbaru untuk memahami fenomena-

fenomena media mutakhir.

 

 Analisis wacana framing yaitu  suatu tradisi dalam ranah

studi ilmu Komunikasi yang menonjolkan pendekatan multidisipliner

dalam menganalisis pesan-pesan tertulis maupun lisan. 

 Konsep framing sendiri bukan berasal dari ranah ilmu Komu-

nikasi melainkan berasal dari konsep ilmu psikologis kognitif. Dalam

prakteknya, analisis framing juga memungkinkan disertakannya 

konsep-konsep sosiologis, politik dan cultural untuk menganalisis 

fenomena-fenomena Komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat 

benar-benar dipahami dan diapresiasi berdasar  konteks sosio-

logis, politis atau cultural yang melingkupinya.

 Ide tentang framing pertama kali dilontarkan oleh Baterson 

pada 1955. 

 Pada awalnya frame dimaknai sebagai struktur konseptual 

atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, 

127

kebijakan dan wacana dan menyediakan katagori-katagori standar 

untuk mengapresiasi fakta. 

 Konsep ini lalu  dikembangkan oleh Goffman (1974) 

yang mengandaikan frame sebagai kepingan perilaku yang mem-

bimbing individu dalam membaca fakta.

 Contoh aktual terkait dengan framing, yaitu  saat  kita 

membaca berita seputar aksi 11 september 2001 di Amerika Serikat

yang lebih dikenal sebagai tragedi Gedung WTC di kawasan Manhattan

New York. Hampir semua media massa di dunia termasuk di Indonesia

menempatkan peristiwa ini  beserta dampak ikutannya sebagai 

sebuah headline . Tapi apakah Judul-judul harian di Indonesia seragam?

Tentu tidak, peristiwa ini  ditanggapi amat berbeda oleh sejum-

lah media massa di Indonesia. Misalnya Pikiran Rakyat malah men-

gangkat AS Gelar Serangan Kedua, Osama Bin laden: Amerika Tidak 

Akan pernah Merasa Aman”.

 Lalu bagaimana teknik framing itu dilakukan? Secara teknis 

tidak mungkin bagi seorang wartawan melakukan framing seluruh 

bagian berita, tentunya mereka akan memilih bagian-bagian terpent-

ing dari suatu berita yang paling menonjol. Paling tidak ada empat 

cara kita melakukan framing. 

 Pertama ‘Problem indentification’ atau menidentifikasikan 

masalah yaitu bagaimana peristiwa dilihat, Kedua Causal Interpre-

tation atau melihat siapa yang menjadi penyebab masalah. Ketiga, 

treatment recommendation yaitu menawarkan cara penanganan 

masalah dan kadang kala memprediksikan hasilnya, Keempat evaluasi

moral yaitu penilaian atas penyebab masalah.

 sedang  Abrar (2000:73) menyebutkan ada empat teknik 

memframing berita yang dipakai wartawan yaitu:

(1) Cognitive dissonance (ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku) 

128

(2) empati (membentuk pribadi khayal) 

(3) Packing (daya tarik yang melahirkan ketidakberdayaan dan

(4) asosiasi (menggabungkan kondisi, kebijakan, dan objek yang

sedang aktual dengan fokus berita.

 Sebagai contoh, jika misalnya seorang wartawan ingin melakukan 

framing berita kekerasan terhadap wanita  dengan berempati 

dengan korban, tidak berarti dia harus melupakan kaidah Jurnalisme  

dasar seperti nilai berita, layak berita dan bias berita.

 Artinya aturan-aturan itu harus dipatuhi baru lalu  

melakukan framing. Paling tidak ada tiga bagian berita yang bisa 

menjadi objek framing seorang wartawan yakni judul berita, fokus 

berita dan penutup berita.

 Judul berita diframing dengan memakai  teknik empati

yaitu menciptakan pribadi khayal dalam diri khalayak, sementara

khalayak diangankan menempatkan diri mereka seperti korban

kekerasan atau keluarga dari korban kekerasan, sehingga mereka 

bisa merasakan kepedihan yang luar biasa. lalu  fokus berita 

(lead) diframing dengan melakukan teknik asosiasi yaitu mengga-

bungkan kebijakan aktual dengan fokus berita. 

 Kebijakan di sini yaitu  penghormatan terhadap wanita . 

Dengan menggabungkan kebijakan itu, khalayak akan memperoleh 

kesadaran bahwa masih ada kekerasan terhadap wanita , sekali-

pun sudah banyak usaha menguranginya. 

 Kesadaran ini diharapkan bisa memicu khalayak agar mereka 

bisa berperan serta dalam mengurangi kekerasan terhadap perem-

puan.

 Penutup berita diframing dengan memakai  teknik pack-

ing, yaitu menjadikan khalayak tidak berdaya untuk menolak ajakan

129

yang dikandung berita. Apapun inti ajakan, khalayak akan menerima 

sepenuhnya.

 Untuk kepentingan analisis perlu dipakai sebuah kerangka 

yang sesuai diantaranya memakai  kerangka framing Pan dan 

Kosicki.27

 Untuk menganalisis teks media, perlu dilihat empat struktur 

sesuai dengan perangkat framing dan unit yang dianalisis.

 

 Pada tahapan Sintaksis atau bagaimana cara wartawan menyu-

sun fakta, yang diteliti yaitu  skema berita sebagai perangkat fram-

ingnya sedang  unit analisisnya headlline, lead, latar belakang

informasi, kutipan, sumber, penyataan dan penutup.

 Pada Struktur Skrip (atau bagaimana cara wartawan mengi-

sahkan fakta) perangkat framingnya yaitu  kelengkapan berita.

sedang  unit yang diamati yaitu  5 W+1H (unsur Who, what, 

when, where, why dan How).

 Pada tataran Tematik (atau bagaimana cara wartawan menu-

lis fakta) yang diangkat sebagai perangkat framing yaitu  detail, 

maksud kalimat, nominalisasi antar kalimat, koherensi, bentuk ka-

limat dan kata ganti. sedang  unit yang diamati yaitu  paragraph 

dan preposisi.

 Pada tataran retoris (atau bagaimana cara wartawan me-

nekankan fakta) yang diangkat sebagai perangkat framing yaitu  

leksikon, grafis, metaphor, pengandaian sedang  unit yang diamati 

yaitu  kata, idiom, gambar, foto dan grafik.

27  Baca lebih jelas pada buku Analisis Teks Media, Eriyanto (2001) halaman 176-177

130

D. SEMIOTIKA

Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial mema-

hami dunia sebagai suatu sistem hubungan yang memiliki unit dasar 

dengan ‘tanda’. Maka dari itu, Semiotika mempelajari hakikat tentang 

keberadaan suatu tanda. Ahli Semiotika, Umberto Eco menyebut tanda

sebagai suatu ‘kebohongan’ dan dalam tanda ada sesuatu yang 

tersembunyi di baliknya dan bukan yaitu  tanda itu sendiri.

 Saat memahami teks media, seringkali kita dihadapkan pada 

tanda-tanda semacam ini, yang perlu diinterpretasikan dan dikaji 

ada apa di balik tanda-tanda itu. 

 Tanda itu yaitu  cerminan dari fakta, yang dikon-

struksikan lewat kata-kata. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan

kita tentang fakta, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda

lain yang dipakai  dalam konteks sosial.

 Bila dikaitkan dengan perilaku media massa, konsep kebe-

naran yang dianut oleh media massa bukanlah kebenaran sejati, namun 

sesuatu yang dianggap warga  sebagai suatu kebenaran.

 Tanpa memahami konteksnya, bisa saja ‘kebenaran’ semu 

yang ditampilkan media massa seolah sebagai kebenaran sejati,

padahal bisa saja kebenaran itu subjektif atau paling tidak dianggap 

benar oleh wartawan hingga diangkat sebagai sebuah berita di hala-

man medianya.

 Lewat konteks pemberitaan inilah, pembaca bisa menyadari 

bahwa wartawan terkadang menghidangkan ‘madu’ dalam menu 

beritanya, kadang juga menanamkan ‘racun’ tanpa disadari oleh 

pembacanya. 

 Lewat cara ini, pembaca akhirnya mengerti bahwa berita yang 

buruk bisa dibungkus dengan bahasa yang manis sehingga tampak 

samar-samar dan menyenangkan begitu sebaliknya fakta yang sebe-

tulnya biasa-biasa saja bisa ditulis sebegitu mencekam, begitu mena-

kutkan lewat penggunaan kata-kata yang meresahkan.

 Pekerjaan media dan wartawan pada hakikatnya yaitu  

pekerjaan mengkonstruksikan fakta. Isi media yaitu  hasil para 

pekerja media mengkonstruksikan berbagai fakta yang dipilihnya, 

diantaranya fakta politik. 

 Dan dalam proses rekonstruksi itu, bahasa yaitu  perangkat 

dasarnya. Bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan fakta 

namun juga bahasa bisa menentukan ‘relief’ seperti apa yang akan 

diciptakan  oleh bahasa tentang fakta ini .

 Pekerjaan utama wartawan yaitu  mengisahkan hasil repor-

tasenya kepada khalayak. Dengan demikian, mereka selalu terlibat 

dengan usaha-usaha mengkonstruksikan fakta yakni menyusun 

fakta yang dikumpulkan ke dalam sebuah bentuk laporan Jurnalisme  

berupa berita, feature atau gabungan keduanya.

 Dan disinilah seringkali peran wartawan memanfaatkan

bahasa sebagai alat untuk melakukan ‘eufemisme’ atau juga ‘defem-

isme’. Kata-kata ‘penyesuaian harga’ sebagai ganti kenaikan harga, 

wanita tuna susila sebagai ganti ‘pelacur’, kata kesalahan prosedur 

sebagai ganti kesalahan bertindak hingga menimbulkan korban jiwa. 

 Itu disebut sebagai kekerasan simbolik, manakala konstruk 

media massa berbeda dengan fakta yang ada di tengah warga . 

Kekerasan simbolik tak hanya beroperasi lewat bahasa, namun juga 

terjadi pada isi bahasa itu sendiri yakni pada apa yang diucapkan, 

disampaikan atau diekspresikan.

 Semiotika dipakai  sebagai pendekatan untuk menganalisis

media dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan 

132

melalui seperangkat tanda. Teks media yang tersusun atas seperang-

kat tanda itu tidak pernah membawa makna tunggal.

 Kenyataannya teks media memiliki ideologi atau kepentingan 

tertentu, memiliki ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda 

ini . 

 ini  menunjukkan bahwa teks media membawa kepentingan-

kepentingan tertentu dan juga kesalahan-kesalahan tertentu yang 

lebih luas dan kompleks. 

 Semua media pada dasarnya membawa bias-bias tertentu 

dan setiap wartawan yang memasuki sebuah lingkungan media akan 

menyerap bias-bias media itu sebagai bagian dari kerjanya bahkan 

mengambilnya sebagai bagian dari ‘corporate culture’nya dia.

PENGERTIAN SEMIOTIKA

Secara etimologis, istilah Semiotika berasal dari kata yunani Semeion 

yang berarti tanda. 

 Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu -yang atas dasar 

konvensi sosial yang terbangun sebelumnya- dapat dianggap me-

wakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu 

hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya asap menandai 

adanya api, sirene mobil yang keras meraung-raung menandai adanya

kebakaran di sudut kota.

 

 Secara terminologis, Semiotika dapat diidentifikasikan sebagai

ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peris-

tiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.

 Batasan Semiotika yang lebih jelas dikemukakan Preminger 

(2001: 89). Menurut dia, Semiotika yaitu  ilmu tentang tanda-tanda.

133

 Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/warga  dan

kebudayaan itu yaitu  tanda-tanda. Semiotika mempelajari 

sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkin-

kan tanda-tanda itu memperoleh arti.

 Pada dasarnya, analisis Semiotika memang yaitu  sebuah

ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu 

dipertanyakan lebih lanjut-saat  kita membaca teks atau narasi/

wacana tertentu. 

 Analisisnya bersifat paradigmatic dalam arti berupaya

menemukan makna termasuk dari hal-hal yang tersembunyi di 

balik sebuah teks (Berger, 1982:30). Maka orang sering mengatakan

Semiotika yaitu  upaya menemukan makna ‘berita di balik berita’. 

 Dengan memakai  Semiotika dalam studi media massa

kita dapat mengajukan berbagai pertanyaan: Mengapa misalnya sebuah

media X selalu -untuk tidak mengatakan terus menerus- menggu-

nakan frase, istilah, kalimat atau frame tertentu manakala menggam-

barkan seseorang atau segerombolan orang?

 Apa yang sebenarnya menjadi sebab, alasan, pertimbangan, 

latar belakang dan tujuan media ini  mengambil langkah terse-

but.

 Sebagai contoh, saat  Habibie berkuasa Harian Kompas, dan 

Media Indonesia nampak sekali tidak ‘mendukung’ kepemimpinan 

pengganti Soeharto ini, berbeda sekali dengan Harian Republika 

yang seakan menjadi corong dari Habibie menyuarakan pandangan 

serta kebijakannya. 

 Penggunaan kata-kata rezim, pemerintahan sementara, Habibie

tidak legitimate yaitu  ‘tanda’ yang paling jelas bagaimana 

sikap media massa tertentu. 

 Saat Reformasi bergulir, dan Habibie akhirnya mengalah dan

Gus Dur naik menjadi presiden, kini berbalik. Republika lewat 

serangkaian berita dan tulisannya nampak sekali sikapnya yang

kurang mendukung kepemimpinan Kiai pentolan NU ini. Bila dirunut 

kebelakang, melihat ada apa di balik berita terbukalah fakta bahwa 

memang sejak awal ada friksi di antara Gus Dur dengan ICMI yang 

membidani kelahiran Republika. Gus Dur yaitu  tokoh Islam 

yang tidak setuju dibentuknya ICMI yang yaitu  upaya peme-

rintah Soeharto merangkul Islam dalam pemerintahan.

 Metode semiosis yang paling mudah dipakai  yaitu  untuk 

menganalisis ‘penjulukan’ atau labeling yang dilakukan oleh media.

 Teori ini menjelaskan, sekali seseorang dicap buruk maka cap 

buruk ini  sulit hilang begitu saja sebab  tertanam begitu dalam 

di benak warga . 

 Proses penjulukan ini dapat sedemikian hebatnya sehingga 

korban misinterpretasi tidak dapat menahan pengaruhnya, sebab  

berondongan julukan yang bertentangan dengan pandangan mereka 

sendiri, citra diri asli mereka sirna, digantikan citra diri baru yang 

diberikan oleh orang lain.

 Labeling mirip eufemisme namun  ada perbedaan yang menonjol.

bila  eufemisme yaitu  istilah inofensif sebagai pengganti

istilah yang tidak menarik (misalnya memakai  kata ‘usaha pen-

gendalian dan rehabilitasi ‘untuk pengganti kata pengucilan), labeling

yaitu  penerapan kata-kata offensive kepada individu, gerombolan 

atau kegiatan. (Dan Nimmo, 1993:108).

 Upaya menganalisis praktek-praktek penjulukan ini pernah 

dilakukan oleh farrel Corcoran terhadap liputan-liputan beberapa  

majalah yang terbit di Amerika Serikat yakni Time, Newsweek dan 

US News and World Report, saat meliput insiden penembakan pe-

sawat komersial Korea Selatan oleh tentara Soviet pada tahun 1993. 

135

Insiden ini  akhirnya menewaskan seluruh penumpang Korean 

Airlines bernomor penerbangan 007 ini .

 Corcoran dalam penelitian itu menemukan bahwa ketiga majalah

secara Semiotika telah menggambarkan atau lebih tepatnya menju-

luki Uni Soviet sebagai bangsa yang barbar, bodoh, tiranik & kacau

dan sensitive secara politik (Ignorant, drab, politically sensitive, 

Tyranical dan Barbaric). 

 Kejadian ini  dimanfaatkan media Amerika untuk meng-

hadirkan citra Uni Soviet sebagai bangsa yang jahat. sedang  seba-

liknya, media-media ini  mengklaim diri mereka sebagai wakil 

publik (warga ) Amerika, dan menjadikan diri mereka sebagai 

agen virtual dari pemerintah Amerika untuk menghadapkan dua

ideologi kebaikan dan kejahatan melalui tulisan-tulisan. 

 Tentu saja kebaikan yang dimaksud yaitu  Amerika Serikat 

sementara yang mewakili kejahatan yaitu  Uni Soviet.

 Jauh-jauh sebelumnya di jaman Jerman Nazi, golongan elit 

yang berkuasa memberi label pada golongan Yahudi dengan kata-

kata ‘parasit’, binatang pengganggu dan baksil atau kuman dan dengan

adanya kata-kata itu, mereka menetapkan golongan Yahudi bukan 

sebagai manusia melainkan sebagai hama untuk dibasmi dengan 

sedikit atau tanpa rasa berdosa.

 Di era saat ini, saat Amerika begitu kuat. Upaya-upaya negara

Muslim yang tidak setuju terhadap keinginan Amerika dianggap 

sebagai fundamentalis, ekstrimis bahkan bisa disebut sebagai pen-

dukung terorisme, sementara mereka yang mendukung kebijakan 

Amerika di Timur Tengah dianggap sebagai negara Islam yang mod-

erat.

 Begitu juga dalam kasus Palestina, setiap upaya pemerintah 

mengajukan usulan maka disebut sebagai usulan perdamaian, lain

136

halnya bila pihak Palestina atau negara Arab mengajukan usulan 

yang senada dan memperjuangkan kepentingan Palestina maka 

dianggap sebagai ‘penolakan’.

 Kata-kata berikutnya yaitu  terorisme. Terorisme pada 

mulanya berarti tindakan kekerasan disertai dengan sadisme yang 

dimaksudkan untuk menakut-nakuti lawan. 

 Dalam kamus adikuasa Amerika Serikat, terorisme bisa 

diartikan tindakan protes yang dilakukan negara-negara atau kelom-

pok kecil terhadap usulan AS. Pembunuhan tiga orang Israel di 

Lanarca yaitu  terorisme, namun  pembantaian Rakyat Irak yang tak 

berdosa dalam perang Irak 2003 lalu bukan disebut sebagai aksi 

terorisme namun  aksi menggulingkan pemerintahan sadam atau 

upaya membebaskan Rakyat Irak terhadap rezim lalim.

 Di Indonesia sendiri, rezim Orde Baru ditandai dengan ban-

yaknya melakukan aksi penjulukan terhadap pihak-pihak yang tidak 

dikehendaki atau tidak mereka sukai atau mereka yang dianggap 

bakal mengganggu status quo. Maka berhamburanlah julukan-julu-

kan seperti OTB (Organisasi tanpa Bentuk), Komunis,  anti pancasila, 

GPK, subversive, Bonek, ekstrem kanan, fundamentalis, Islam radikal,

provokator.

KERANGKA SEMIOTIKA 

Sebelum berbicara mengenai model Semiotika yang bisa dilakukan 

dalam menelaah teks media, perlu diketahui juga perbedaan men-

dasar antara analisis isi kuantitatif dengan analisis Semiotika.

 Analisis isi dan analisis Semiotika memiliki perbedaan 

sebagaiberikut: pertama, analisisi isi memakai  pendekatan 

kuantitatif untuk menganalisis isi manifest dari teks media, sementara

itu Semiotika justru melihat teks media sebagai suatu struktur

137

keseluruhan dan mencari makna yang laten atau tersembunyi dari 

sebuah teks berita.

 Dalam Semiotika, tidak ada alasan bahwa item yang paling 

sering muncul yaitu  yang paling penting atau paling signifikan, 

namun  harus dilihat secara keseluruhan.

 Analisis isi kuantitatif terlalu banyak memberikan penekanan 

pada pengulangan dari tanda (yakni frekuensi kemunculan) dan 

hanya sedikit memberi perhatian pada signifikasinya bagi khalayak. 

 Bila pembaca tidak memahami ada apa di balik teks, pengu-

langan atau kasus  beberapa kali sesuatu muncul dalam system 

pesan maka repetisi menjadi tidak relevan lagi. Dengan kata lain, bu-

kanlah signifikasi suatu repetisi yang penting melainkan repetisi dari 

signifikasi yang penting.

 Perbedaan Kedua, analisis isi tidak mampu menangkap kon-

teks makna di mana sebuah teks tertulis memiliki makna. Dalam hal 

ini, konteks dapat didefinisikan sebagai alur narasi (plot), lingkun-

gan semantic (maknawi yang paling dekat) gaya bahasa yang berlaku 

dan kaitan antara teks dan pengalaman atau pengetahuan.

 Banyak sebenarnya Kerangka analisis Semiotika namun   untuk 

lebih mudahnya bisa dipakai  kerangka analisis Semiotika sosial 

yang ditawarkan oleh Haliday dan Hassan.28

 Metode penelitian yang dipakai  dalam Semiotika yaitu  

interpretative. Secara metodelogis, kritisme yang terkandung dalam 

teori-teori interpretative memicu  cara berpikir mazhab kritis 

terbawa pula dalam kajian Semiotika ini. Aliran Frankfurt terkenal 

kritis dengan kasus  lambang atau symbol yang dipakai sebagai 

alat persekongkolan atau hegemoni.

 Kekuasaan hegemonic yaitu  kekuasaan dari satu gerombolan

warga  yang diterima atau dianggap sah oleh gerombolan-kelom-

pok warga  lainnya.

 Sesuai dengan paradigma kritis, maka analisis Semiotika ber-

sifat kualitatif. Jenis penelitian ini memberi peluang yang besar bagi 

dibuatnya interpretasi-interpretasi alternative.

 Seperti halnya dalam analisis wacana, pada umumnya ada tiga

jenis masalah yang hendak diulas dalam analisis Semiotika. 

 Pertama yaitu  masalah makna (the problem of meaning) 

bagaimana orang memahami pesan? Informasi apa yang terkandung 

dalam struktur sebuah pesan?

 Kedua, masalah tindakan atau pengetahuan tentang bagaimana

memperoleh sesuatu melalui pembicaraan. Ketiga masalah kohe-

rensi yang menggambarkan bagaimana membentuk pola pembica-

raan masuk akal dan logis dan dapat dimengerti.

 kasus  bagaimana perlakuan tertentu atas fakta diantaranya

bisa diamati dalam analisis wacana (Semiotika sosial) dari Halliday 

dan Hassan.

 Menurut mereka, dalam Semiotika sosial ada tiga unsur yang 

menjadi pusat perhatian penafsiran teks secara kontekstual yaitu:

1. Medan Wacana (field of discourse) menunjuk pada hal yang terjadi:

apa yang dijadikan wacana oleh pelaku (media massa) mengenai 

sesuatu yang sedang terjadi di lapangan peristiwa

2. Pelibat wacana (tenor of discourse) menunjuk pada orang-orang 

yang dicantumkan dalam teks (berita); sifat orang-orang itu, 

kedudukan dan peranan mereka. Dengan kata lain, siapa saja yang 

Dikutip dan bagaimana sumber itu digambarkan sifatnya.

3. Sarana wacana (mode of discourse) menunjuk pada bagian yang 

diperankan oleh bahasa: bagaimana komunikator (media massa 

memakai  gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi)

dan pelibat (orang yang dikutip) misalnya apakah memakai  

bahasa yang vulgar atau malah memakai  bahasa yang diperhalus 

atau hiperbolik atau eufemistik.

 sesudah  anda mengerti seluk beluk Semiotika dan kerangka 

analisis Semiotika serta bisa menggambarkan perbedaan yang ada 

antara analisis teks media kuantitatif dan Semiotika maka langkah 

selanjutnya yaitu  berani mencoba menganalisa teks media di era 

Reformasi ini. Bahan-bahan melimpah ruah, tinggal kemauan dan 

keuletan anda saja. 


CONTOH ARTIKEL ILMIAH POPULER

PEMIMPIN, KOMUNIKASI  POLITIK 

DAN PENGARUH SOSIAL MEDIA

Oleh

Indiwan seto wahyu wibowo

Menjadi seorang pemimpin di era reformasi ini memang gam-

pang-gampang susah. Ibarat berpakaian, pemimpin itu nampakn-

ya harus sedap dipandang baik dari belakang, depan maupun dari 

sudut-sudut yang tak terlihat. Apalagi terkait dengan peran media 

massa, sepak terjang sang pemimpin akan menjadi sorotan empuk 

media massa.

 Contoh yang paling jelas dan masih baru yaitu  kasus yang 

menimpa Wakil Ketua Ombudsman RI, Azlaini Agus. Dia akhirnya 

dibebastugaskan sementara dari jabatannya sebagai  Wakil Ketua 

Ombudsman RI terhitung sejak Rabu (30/10/2013). ini  terkait 

laporan polisi terhadap Azlaini oleh Yana Novia yang mengaku staf 

maskapai penerbangan Garuda Indonesia. “Tidak memberi penu-

gasan kepada Azlaini terkait tugas-tugas Ombudsman terhitung sejak 

keputusan Rapat Pleno ini sampai ada rapat yang menentukan kepu-

tusan lain,” ujar anggota Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan 

atau Pengaduan, Budi Santoso, di kantornya, Rabu (30/10/2013).

 Ombudsman meminta Azlaini untuk fokus menghadapi ka-

sus hukumnya. Azlaini dilaporkan oleh Yana ke Polsek Bukit Raya, 

Pekanbaru. Yana merasa ditampar oleh Azlaini. Ombudsman RI juga 

telah membentuk Majelis Kehormatan untuk memeriksa dugaan pe-

langgaran kode etiknya. (www.kompas.com, 31 oktober 2013).

 

 Sebagai figur publik, Azlaini tak bisa mengelak menjadi ba-

han sorotan media massa mengingat fungsinya sebagai tolok ukur 

bagaimana pemerintahan ini bekerja. artikel  ini hendak mengangkat

kasus  terkait dengan kepemimpinan dan komunikasi politik, 

khususnya terkait dengan penggunaan dan pengaruh media baru 

dan sosial media.

 ini  terkait dengan komunikasi politik yang dilakukan oleh 

para petinggi dan pemangku kepentingan. Komunikasi politik ada-

lah pembicaraan untuk mempengaruhi dalam kehidupan bernegara, 

Komunikasi politik dapat juga yaitu  seni mendesain apa yang 

mungkin dan bahkan dapat yaitu  seni mendesain yang tidak 

mungkin menjadi mungkin (Arifin, 2011:1).

 Jauh sebelumnya, pemimpin atau paling tidak publik figur 

sudah dan sering memanfaatkan sosial media sebagai sarana komu-

nikasi politik mereka. Contohnya Presiden SBY, memiliki akun face-

book yang bisa menampilkan sosok presiden yang non formal dan 

tidak resmi kendati sering juga menyampaikan informasi formal.

 Paling tidak, akan sulit sekali didapatkan di media formal sua-

sana keluarga SBY sehari-hari yang mungkin bisa ditolak oleh reda-

ktur media massa sebab  tidak memiliki unsur nilai-nilai berita sep-

erti significancy, magnitude atau important. Sebagai contoh, dalam 

akun facebooknya, SBY menampilkan suasana non formal saat men-

yambut pemimpin Rusia yang sedang berulang tahun. Di Facebook 

ini  nampak jelas, SBY menyanyikan lagu selamat ulang tahun 

sambil memainkan gitar.

Gambar.1 Ulang Tahun Putin, SBY bermain gitar

 

 Pencitraan yang coba dilakukan oleh Presiden SBY, seakan 

membuka mata bahwa seperti itulah kehidupan sosial seorang pres-

iden yang bisa meningkatkan posisi sosial di tengah warga .

 Tokoh-tokoh politik yang lain seperti Prabowo, Wiranto 

(keduanya mencoba mencalonkan diri sebagai Capres pada 2014), 

Gubernur Joko Widodo juga amat sering muncul di sosial media, dan

memiliki  pengikut yang cukup banyak. 

 Salah satu peserta Konvensi partai Demokrat, Pramono 

Edhi bahkan lalu  membuat sebuah akun twitter melengkapi 

keiktsertaannya maju sebagai calon presiden untuk 2014. Twitter se-

bagai salah satu media sosial dianggap bisa menjadi jembatan antara 

dirinya dengan para konstituen yang bakal memilihnya nanti.

 Bahkan dia siap menerima perlakuan tidak menyenangkan 

sebab  ‘kenekadannya’ terjun memanfaatkan sosial media.

144

“..Kalau sudah masuk hutan rimba itu ya saya harus siap. Jangan 

sampai kata-kata saya berakibat buruk ke orang lain. Andai kata 

saya dapat kata-kata buruk, itu saya terima sebagai kritik dan 

akan lebih hati-hati,” kata Pramono usai peluncuran akun twitter 

@edhiewibowo_55 di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, 

Rabu (30/10/2013). Pramono mengakui dirinya yaitu  pengguna 

baru media sosial. ini  sebab  waktu masih menjabat sebagai 

KSAD, Pramono berpikir aktivitasnya di dunia maya bisa mem-

pengaruhi putusannya sebagai petinggi militer. “Terus terang, ini 

pengalaman pertama memakai  twitter sesudah  saya tidak di 

militer. Saya berpendapat dulu kalau memakai  twitter, saat 

mengambil keputusan itu tidak mudah. Tapi satu, hutan rimba itu 

bukan satu yang menakutkan. Kalau kita berpikir positif, tentu 

akan positif,” ujar ipar SBY ini.”  (www.detik.com)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kegiatan para pemimpin politik tidak bisa dilepaskan dari kegiatan 

berpolitik. Disamping itu, para pemimpin itu memanfaatkan segala 

jenis media massa baik media tradisional maupun media baru (sosial 

media) seperti twitter, facebook, youtube .

 Kata politik memang mengandung banyak arti, begitupu-

la konsep komunikasi politik. Paling tidak kita sependapat dengan 

Lasswell (1963) yang erumuskan formula bahwa politik yaitu  siapa 

memperoleh apa,kapan dan bagaimana caranya (who gets what,when 

how). Artinya siapa yang melakukan aktivitas politik dengan maksud 

mencapai tujuan bersama pada waktu tertentu dengan cara meman-

faatkan pengaruh (influenze), wewenang, kekuasaan atau kekuatan. 

 Politik juga dipahami sebagai pembagian nilai-nilai oleh yang 

berwenang, berkuasa atau para pemegang kekuasaan. sedang  

pembicaraan politik menurut Bell , yaitu  

pembicaraan tentang kekuasaan,pembicaraan tentang pengaruh

dan pembicaraan tentang otoritas. sedang  Dan Nimmo 

menambahkan satu lagi soal pembicaraan politik yaitu pembic-

araan tentang konflik, sebab  melalui pembicaraan para komunika-

tor politik menyelesaikan perselisihan mereka kendatipun tidak 

menyeluruh.

 Sementara itu, Komunikasi politik sendiri memiliki multi-

makna dan multidefinisi, tergantung dari sudut mana kita melihat-

nya. Ilmuwan komunikasi A.Muis (1990) memberi penekanan ko-

munikasi politik pada pesan sebagai objek formalnya sehingga titik 

berat konsepnya terletak pada komunikasi dan bukan pada politik.

 sedang , mengartikan komunikasi politik se-

bagai suatu komunikasi yang diarahkan pada pencapaian pengaruh 

sedemikian rupa sehingga masalah yang dibahas dapat mengikat 

semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh 

lembaga-lembaga politik. Dengan begitu, melalui kegiatan komuni-

kasi politik terjadi pembicaraan untuk mempengaruhi kehidupan 

bernegara. 

 kasus nya yaitu  di era saat ini, beragam media komuni-

kasi bisa dipakai  untuk menyampaikan pesan-pesan politik, ter-

masuk di dalamnya media baru dengan teknologi internet sebagai 

motornya. Kemudahan akses internet di tanah air, dan makin terjang-

kaunya harga alat-alat komunikasi (handphone, tab dan notebook) 

memungkinkan sosial media berperan besar dalam proses pembic-

araan politik. Sebenarnya, apa peranan penting dari sosial media 

bagi pencitraan pemimpin politik? Merujuk pada beberapa  konsep 

tentang peranan sosial media, paling tidak sosial media bisa menjadi 

sarana penyebar informasi sebagaimana diungkapkan oleh Ingmar 

De lange di bawah ini.

 Sosial media selain bisa menjadi alat penyampaian informasi, 

bisa juga menjadi alat yang ampuh untuk melakukan promosi dan 

distribusi ‘citra’ yang menjadi  ‘jualan’ para komunikator politik.

 “…New media technologies impact our life culture by offering 

new lifestyles, creating new jobs and eliminating others, demanding 

regulations and presenting unique new social issues … ”) Pernyataan Straubhaar ini  sangat menjelaskan bahwa te-

knologi media baru yang biasa disebut sebagai sosial media sangat 

penting. Sosial media amat berpengaruh pada kehidupan budaya 

kita (dalam ini  berlaku juga dalam bidang politik). Budaya politik 

berubah gara-gara teknologi new media, sekarang orang tak lagi ter-

gantung pada media-media tradisional. Semua orang sudah terbiasa 

men (KELANJUTANNYA? TERIMA KASIH)

PEMBAHASAN

Menjadi pemimpin di era sekarang dimana sosial media sangat ber-

peran dalam proses penciptaan image membutuhkan kepiawaian 

para komunikator politik mengendalikan teknologi internet.

 

 Tak bisa lagi seorang pemimpin ‘bersembunyi’ dari kebenaran 

publik sebab  semua orang berpeluang mendapatkan informasi dari 

berbagai pihak termasuk dari  jurnalisme warga. Kemudahan perang-

kat handphne mengambil gambar, merekam kejadian pada saat keja-

dian bisa mengubah siapa saja menjadi pelapor jurnalisme warga.

Sebagai contoh dalam kasus penamparan terhadap staf lapangan di 

bandara, kendati Wakil Ketua Ombudsman RI , Azlaini Agus mem-

bantah bahwa dirinya menampar, adanya foto yang memperlihatkan

bekas tamparan di pipi Yana (korban penamparan) tak bisa 

dipungkiri.

 Sebagai pemimpin politik atau komunikator bisa saja ‘men-

yulap’ kebenaran lewat siaran berita atau bantahan yang dilakukan 

lewat media formal, tapi dalam kasus Azlaini Agus, bantahan 

ini  jadi tak bermakna apa-apa saat  warga  luas bisa 

mendapatkan informasi langsung dari lapangan, sebagai konsekuensi

adanya kemudahan berkomunikasi memakai  handphone 

“smart” yang dilengkapi kamera dan internet.

 emikian pula, SBY sebagai aktivist sosial media, tak bisa lagi 

membatasi apakah semua kirimannya lewat page atau halaman face-

book harus ditanggapi serius atau positif oleh user yang lain. Dalam 

banyak kasus, kiriman atau status yang dilontarkan SBY mendapat-

kan kritikan dan kecaman dari banyak user, meski banyak juga yang 

melakukan pembelaan secara langsung pula.

Tampak dari  gambar dibawah ini, betapa meningkatnya jumlah user 

facebook di Indonesia dari tahun ke tahun. 


 Dengan  begitu banyaknya pengguna facebook, demikian pula 

pengguna twitter, semakin cepat berita tersebar dan mendapatkan 

tanggapan dan sebab  sifatnya interaktif, bisa saja berita atau infor-

masi ini   diperbaiki, dikritik dan dilengkapi.

 Dengan demikian para pemimpin politik, para komunikator 

politik di Indonesia harus memperhitungkan peranan media sosial 

yangada, bahkan harus bisa mengendalikan informasi yang disam-

paikan lewat cara-cara yang non formal dan dekat dengan user lainnya.


CONTOH  ARTIKEL

MITOS wanita  PERKASA 

DALAM FILM INDONESIA

wanita  dalam banyak hal dianggap sebagai gula-gula, juga di 

dunia hiburan. Kehadiran sang pemanis cerita ini umum terlihat da-

lam film-film Indonesia sejak orde lama hingga orde baru bahkan 

hingga saat ini. Dari asal-usul  panjangnya, wanita  memang dita-

kdirkan sebagai pemanis dalam sebuah film. Bahkan dalam sebuah 

film horror sekalipun sebagaimana nampak dalam deretan film hor-

ror di Indonesia sejak tahun 1934-an.

  Film horor yang pertama 

kali diproduksi di Indonesia, yakni Doea 

Siloeman Oeler Poeti en Item, memiliki 

tokoh utama wanita  dan seluruh 

bangunan ceritanya berpusat pada 

wanita . Film ini diproduksi pada 

tahun 1934 oleh The Teng Cun ini san-

gat dipengaruhi legenda dari Tiongkok 

yang berkisah tentang siluman ular pu-

tih yang keluar dari gua pertapaannya 

dan lalu  menyamar menjadi seo-

rang wanita  cantik .

 Dalam perjalanan hidupnya, sang siluman ular lalu  

jatuh cinta pada seorang  pria, lalu keduanya melangsungkan per-

kawinan. Pada  tahun 1970-an, saat  genre horor mulai laku di pasa-

ran film Indonesia, sosok wanita  mulai menampakkan dominasi 

yang jelas.

 Satu nama wanita  yang tak bisa dilepaskan dari kisah 

film horor tahun 1970-an yaitu  Suzanna. Artis bernama lengkap 

Suzanna Martha Frederika van Osch ini yaitu  figur yang dijuluki

sebagai “Ratu Film Horor Indonesia” sebab  keterlibatannya dalam 

beberapa  produksi film bertema hantu yang bisa dibilang menuai 

sukses di pasaran sebagai film yang laku di jual.

 Sejak membintangi Beranak dalam Kubur tahun 1971, nama 

Suzanna memang melambung dalam jagat film horor Indonesia. Ada 

sekitar 14 film horor yang dibintanginya yang menangguk sukses 

besar. Bahkan, beberapa bulan sebelum meninggal pada 15 Oktober 

2008 lalu, Suzanna masih membintangi sebuah film horor dengan 

judul Hantu Ambulance yang dirilis pada februari 2008. Nama Su-

zanna – wanita  yang dianggap ratu dalam film-film horror mele-

gendaris dalam jagat film hantu Indonesia. Ini membuktikan betapa 

sosok wanita  memang lebih familiar dengan film horor.

 Bahkan, di Indonesia hanya mengenal Suzanna sebagai “Ratu 

Film Horor Indonesia”, tanpa pernah ribut siapa yang seharusnya 

menyandang gelar “Raja Film Horor Indonesia”. Kenyataan ini mer-

upakan bukti tak terbantahkan betapa sosok wanita  memang 

lebih akrab dengan dunia film horror dibandingkan laki-laki dalam 

film Indonesia.

 sesudah  dekade tahun 1970-an, artis wanita  masih terus 

menjadi tokoh utama dalam film-film horor. Kisah-kisah film horor 

Indonesia pada tahun-tahun berikutnya terus-menerus menjadikan 

wanita  sebagai pokok utama cerita. Tengok saja beberapa  judul 

film horor tahun 1980-an yang jelas-jelas menampilkan wanita  

sebagai tokoh utama, seperti Nyi Blorong (1982), Perkawinan Nyi 

Blorong (1983), Petualangan Cinta Nyi Blorong (1986), Ratu Buaya 

Putih (1988), Pembalasan Ratu Laut Selatan (1989) dan beberapa  

film lain, yang juga film horror.

 Pada tahun 1990-an, beberapa  film seperti Misteri Permain-

an Terlarang (1992), Kembalinya Si Janda Kembang (1992), Misteri 

di Malam Pengantin (1993), Gairah Malam (1993), Si Manis Jem-

batan Ancol (1994), dan beberapa  judul lain juga menampilkan kisah

horor dengan wanita  sebagai unsur utama. Memasuki dekade 

2000, memang film horor tak lagi selalu memakai  wanita  

sebagai pusat kisah, seperti Jelangkung (2002) dan Kafir (2002), tapi 

tetap ada film yang memanfaatkan wanita  sebagai unsur domi-

nan kisah.

Trend Baru film wanita  Indonesia?

wanita  seringkali digambarkan secara stereotype sebagai pi-

hak yang lemah, pihak yang diatur dan dikendalikan oleh laki-laki. 

Biasanya Pengungkapan masalah wanita  dengan memakai  

perspektif gender sering mengalami polemik pro dan kontra tidak 

hanya oleh laki-laki tapi bahkan wanita  itu sendiri.

 Hubungan antara film dan warga  memiliki asal-usul  yang 

panjang dalam kajian para ahli komunikasi. Oey Hong Lee  misalnya 

menyebutkan “film sebagai alat komunikasi massa yang kedua mun-

cul di dunia, memiliki  masa pertumbuhannya pada akhir abad ke-

19, dengan perkataan lain pada waktu unsur-unsur yang merintangi 

perkembangan surat kabar sudah dibikin lenyap.

 Ini berarti bahwa dari permulaan asal-usul nya film dengan 

lebih mudah dapat menjadi alat komunikasi yang sejati, sebab  ia ti-

dak mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan de-

mografi yang merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertum-

buhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19”. 

 Film, kata Oey Hong Lee mencapai puncaknya diantara perang 

dunia I dan perang dunia II, namun lalu  merosot tajam sesudah  

tahun 1945 seiring dengan munculnya medium televisi. Film selalu 

mempengaruhi dan membentuk warga  berdasar  muatan 

pesan (message) di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik 

yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bah-

wa film yaitu  potret dari warga  di mana film itu dibuat.

 Film selalu merekam fakta yang tumbuh dan berkembang 

dalam warga , dan lalu  memproyeksikannya ke atas layar. 

Graeme Turner menolak perspektif yang melihat film sebagai reflek-

si warga . Makna film sebagai representasi dari fakta mas-

yarakat, bagi turner berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi 

dari fakta. Sebagai refleksi dari fakta, film sekedar “memindah” 

fakta ke layar tanpa mengubah fakta itu. 

 Sementara itu, sebagai representasi dari fakta, film mem-

bentuk dan “menghadirkan kembali” fakta berdasar  ko-

de-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya. Lalu 

bagaimana penggambara fakta wanita  dalam film-film Indo-

nesia? Sebelum bicara film Indonesia, ada fenomena menarik dari 

penggambaran wanita  dalam film-film Amerika dalam dasawar-

sa ini.

 Danarto- seorang seniman mengatakan, ada trend baru da-

lam Film Amerika yang mempertontonkan ketegaran wanita . 

Paling tidak dalam satu dasawarsa ini, Hollywood mengembangkan 

kharakter wanita  yang lebih adil terhadap wanita . 

 Kondisi itu dimulai dengan film Fatal Attraction yang berceri-

ta tentang pemberontakan seorang wanita  mengenai perlakuan 

terhadap wanita  yang hanya dijadikan objek seks laki-laki.

 Menurut Danarto, film ini cukup mengejutkan yang berupaya 

mengingatkan laki-laki untuk berhati-hati terhadap WIL (wanita 

idaman lain). Lalu disusul film ’Basic Instinc’, dimana tokoh perem-

puannya bisa melakukan pembunuhan terhadap teman kencannya. 

Sedang dalam Film ’Disclosure’ tokoh wanita nya memperkosa 

karyawan pria bawahannya. lalu  dalam Film ’Sleepless in Se-

attle yang lebih romantis, tokoh wanitanya mampu menyelamatkan 

rumahtangga seorang ayah dengan anak laki-lakinya.

 Disusul film While You’re Sleeping yang juga romantis, dima-

na si wanita  buruh kereta api sanggup memilih lelaki idealnya 

yang berbeda dari pilihannya semula. Dan juga dalam film The Net 

yang tegang yang mengokohkan seorang wanita  ahli komput-

er yang diburu penjahat yang sama keahliannya, dan sang tokoh ini 

mampu menang.

 Sampai lalu  muncul film tentang wanita  yang cuk-

up berpengaruh di Amerika dan di dunia ’Dangerous Minds’ karya 

John Smith. Film ini kisah nyata seorang guru Lounanne Johnson di 

sebuah SMA di Amerika yang siswanya berandalan dan tak mau dia-

tur. Guru yang tegar itu dimainkan oleh Michele Pfeiffer yang digam-

barkan bisa mengendalikan keadaan lewat barisan puisi.

 Lalu Bagaimana dalam konteks Film Indonesia? Film di era 

Orde Baru banyak ditempatkan dalam konteks budaya patriarki, per-

empuan ditempatkan dalam posisi lemah sebagai objek permainan 

laki-laki khususnya dalam hal seksual. Dan film terus menerus men-

jadi lahan perjuangan kesetaraan gender khususnya di era reformasi.

 Ada yang menganggap bahwa perjuangan kesetaraan gender 

membuat sulit posisi laki-laki. Beberapa anggapan menerka bahwa 

ini  yaitu  tanggapan atau reaksi dan penjajahan atas peran 

dan kedudukan laki-laki yang selama ini selalu kuat. Padahal pema-

haman wacana gender tidak sesederhana itu.

 Kesetaraan gender memiliki definisi yang jamak, tergantung 

pada setiap pribadi yang memaknainya sesuai tujuan dan kasusnya. 

Kesetaraan bukanlah mengambil posisi suami sebagai kepala rumah 

tangga, kesetaraan bukan pula memposisikan wanita  berada di 

atas laki-laki. Kesetaraan bukan bicara ambisi perebutan kekuasaan, 

kesetaraan gender mengupas mengenai hak sebagai manusia. Sayan-

gnya ini  tidak muncul dalam sinetron-sinetron di Indonesia.

Film dan Sinetron yaitu  media hiburan yang memiliki efek

kultivasi yang sangat kuat. Terlebih lagi daerah-daerah kecil di 

Indonesia hanya bisa mengakses dua stasiun TV raksasa yang sangat 

terkenal dengan “TV sinetron” nya itu. Dengan pertimbangan hampir 

seluruh penduduk Indonesia banyak di daerah maka semakin ban-

yak terpengaruh oleh sinetron.

 Begitulah media, sadar atau tidak sering kali penontonnya 

dibius oleh konflik-konflik yang dianggap fakta sesungguhnya. 

Cerita dalam sinetron ini  menjadi ramai akan kisah poligami, 

suami yang berselingkuh, wanita  rumah tangga yang tidak pro-

duktif, wanita  yang membawa masalah, wanita  yang harus 

menerima suaminya berselingkuh dan sebagainya

         namun  kondisi ketimpangan yang biasanya melekat dalam film 

atau sinetron Indonesia ini tidak terlihat dalam film wanita  ber-

kalung Sorban dan Sinetron Suami-Suami Takut Istri ini. Sitkom yang 

digarap oleh rumah produksi Multivision Plus ini, disutradarai oleh 

Sofyan De Surza.  

          Film wanita  Berkalung Sorban ini berhasil mencuri per-

hatian Meutia Hatta. Menteri Pemberdayaan wanita  (Meneg 

PP) ini mengaku bangga dan mengutarakan apresiasinya terhadap 

film yang menceritakan permasalahan yang dihadapi wanita  

Indonesia ini . “Film yang sangat bagus, film ini perlu ditonton 

apalagi akting para pemainnya yang sangat baik, rasanya tidak kalah 

dengan film-film luar negeri,” ujar Meutia dalam konferensi pers usai 

menyaksikan film bersama para aktivis wanita  di Jakarta, awal 

2009..

 Film garapan sutradara Hanung Bramantyo ini  diproduksi 

oleh Starvision dan diangkat dari Novel karya Abidah Al Khalieqy 

yang mengisahkan perjuangan dan pengorbanan seorang muslimah 

bernama Annisa.

 Meutia mengatakan film ini berhasil mengangkat kasus 

riil warga  di mana wanita  tertindas dan mengalami 

diskriminasi akibat penafsiran ajaran agama yang salah. “wanita  

tidak boleh tertindas, sebab  saat  dia tertindas akan muncul berag-

am akibat yang sangat ekstrim,” kata Methia.

 Dalam Film ini dikisahkan Anissa (Revalina S Temat) yaitu  

putri Kyai Hanan (Joshua Pandelaky) dan hidup di lingkungan kelu-

arga pesantren Salafiyah Putri Al Huda, Jawa Timur, yang konserva-

tif. Dalam pandangan sang kyai, ilmu sejati yang benar hanyalah Al 

Quran, Hadist, dan Sunnah sedang  pengetahuan di luar ketiga itu 

seperti keinginan mendapatkan pendidikan dan buku-buku bacaan 

modern dianggap menyimpang.

 Meutia mengatakan media film yaitu  alat efektif untuk men-

yampaikan pesan-pesan positif tentang hubungan yang setara antara 

laki-laki dan wanita . Ia berharap melalui film, isu dan persoa-

lan tentang wanita  diperhatikan serius oleh banyak kalangan. 

“Dari film ini kita bisa melihat apa yang salah untuk lalu  kita 

luruskan, supaya wanita  Indonesia lebih maju da bisa bersaing 

di tingkat internasional,” katanya.

 Didukung oleh Otis Pamutih se-

bagai Sarmili (Pak RT), Aty Fathiyah se-

bagai Sarmila (Bu RT), Marissa sebagai 

Sarmilila, Irvan Penyok sebagai Karyo, 

Putty Noor sebagai Sheila, Yanda Djai-

tov sebagai Tigor, Asri Pramawati se-

bagai Welas, Ramdan Setia sebagai 

Faisal, Melvy Noviza sebagai Deswita, 

Epy Kusnandar sebagai Mang Dadang, 

Desi Novitasari sebagai Pretty dan Ady 

Irwandi sebagai Garry.


 Suami-suami Takut Istri mengangkat fenomena suami-suami 

yang tinggal di suatu area perumahan. Mereka semua memiliki kes-

amaan yaitu berada di bawah dominasi istri-istri mereka. Perasaan 

‘senasib sepenanggungan’ ini tumbuh makin kuat, sehingga mereka 

membentuk aliansi tidak resmi bagi suami-suami yang takut istri ini. 

Bila ditarik lewat konsep-konsep komunikasi, film ini  berupaya 

menampilkan fakta sosial yang ada lalu  dinterpretasi ulang 

sebagai konstruksi media, khususnya media televisi. Terkait dengan 

konsep Konstruksi fakta tidak terlepas dari pendapat Peter L Berg-

er soal itu.

KONTRUKSI fakta SOSIAL

Peter L. Berger dan Thomas Luckman memperkenalkan konsep 

konstruksionisme melalui tesisnya tentang konstruksi atas fakta. 

Teori konstruksi sosial Peter L. Berger menyatakan bahwa, fakta 

kehidupan sehari-hari memiliki dimensi subjektif dan objektif. Ma-

nusia yaitu  instrumen dalam menciptakan fakta sosial yang 

objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia mempen-

garuhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan reali-

tas subjektif). warga  yaitu  produk manusia dan manusia 

yaitu  produk warga . Baik manusia dan warga  saling 

berdialektika diantara keduanya. warga  tidak pernah sebagai 

produk akhir, namun  tetap sebagai proses yang sedang terbentuk.

 Menurut Berger dan Luckman konstruksi sosial yaitu  pem-

bentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. 

fakta sosial menurut keduanya terbentuk secara sosial dan sosi-

ologi yaitu  ilmu pengetahuan (sociology of knowlodge) untuk 

menganalisa bagaimana proses terjadinya. Dalam ini  pemahaman 

“fakta” dan “pengetahuan” dipisahkan.

 Mereka mengakui fakta objektif, dengan membatasi real-

itas sebagai “kualitas” yang berkaitan dengan fenomena yang kita

anggap berada diluar kemauan kita sebab fenomena ini  tidak 

bisa ditiadakan. sedang  pengetahuan didefinisikan sebagai ke-

pastian bahwa fenomena yaitu  riil adanya dan memiliki karakter-

istik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam kenyata-

anya, fakta sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran seseorang 

baik di dalam maupun diluar fakta ini . fakta memiliki 

makna saat  fakta sosial ini  dikonstruksi dan dimaknakan 

secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan fakta 

ini  secara objektif.

 Dari kedua film ini, sengaja hendak dikonstruksikan bahwa 

kondisi wanita  di Indonesia yaitu  kuat dan berkuasa, padahal 

dalam praktiknya kondisinya tidak seromantis itu. Kondisi di lapa-

ngan, masih banyak wanita  yang mendapat perlakuan terlece-

hkan oleh laki-laki. Begitu juga dalam film wanita  Berkalung 

Sorban, banyak kekurangan dalam film itu yang dianggap tidak bisa 

menggambarkan kondisi faktual yang ada di tengah warga .

 Kedua film itu justru mengkonstruksi fakta semu- se-

buah utopia yang hendak ditanamkan di tengah warga  bahwa 

ada kekuatan terpendam dari wanita -wanita  Indonesia 

yang tidak bisa diabaikan begitu saja. wanita  Indonesia dikon-

struksikan sebagai pihak yang mampu mengalahkan dominasi pria 

sebagai mana ditunjukan oleh peran Anisa dan beberapa  wanita  

dalam Suami-Suami Takut Istri. Sebagai produk dagangan, dimana 

ada kasus  untung rugi –baca kapitalisme--, kasus  kebutuhan 

pasar bisa menjadi pertimbangan utama ketimbang idealisme. Saat 

publik Indonesia mabuk dengan film-film yang bernafaskan Islami, 

dan memfilmkan novel-novel Islami seperti Ayat-Ayat Cinta, maka 

film wanita  Berkalung Sorban ini muncul dan terbukti sukses. 

Film ini cukup kontroversial sebab  dianggap bertentangan dengan 

dunia pesantren.

 Apakah peristiwa yang menimpa tokoh Annisa di film perem-

puan berkalung sorban yaitu  gambaran lazim kaum wanita

di lingkungan pesantren? Tentu tidak! sebab  ini   bukanlah 

kondisi umum yang dapat ditemui di pesantren. Tokoh ayah (Josh-

ua Pandelaky) dalam film ini  sangatlah berlebihan, sehingga 

memberi keraguan pemirsa apakah orang seperti itu benar ada di 

alam nyata?

 Ayah Annisa dalam film ini , sama sekali bukan tipe seo-

rang ayah Islami yang di idamkan Islam. Seorang ayah Islami harus-

nya bertutur sapa dengan lembut terhadap anak-anaknya dan mem-

bimbing keluarganya, bukan malah menjerumuskan anaknya untuk 

menikahi pemuda pemabuk yang rusak ahlak hanya demi kemajuan 

pesantrennya. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, film wanita  

berkalung sorban dalam beberapa dialog membawa dalih Islami se-

bagai jawaban terhadap protes Annisa, seperti masalah Poligami dan 

hak wanita. Seolah-olah Islam menjustifikasi penindasan yang di ala-

mi Annisa dan kaum wanita secara umum.

 Marshall Berman yang menyitir Marx, melukiskan  bahwa da-

lam wacana kapitalisme ”semua yang padat melebur di udara” art-

inya, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan 

didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya berdasar  hukum 

kemajuan dan kebaruan.

 Namun kini dalam wacana kapitalisme mutakhir yang 

didukung oleh Media, fakta-fakta diproduksi mengikuti mod-

el-model yang ditawarkan media. Film dan sinetron bahkan acara 

televisi disarati oleh muatan-muatan ’makna ideologis-ideologis 

tersembunyi’ yang menurut Theodore Adorno muncul semata-ma-

ta lewat acara atau suatu cerita memandang manusia. Pemirsa atau 

penonton dalam ini  diundang untuk melihat sebuah karakter 

dengan cara yang sama ia melihat dirinya tanpa menyadari bahwa 

sebenarnya telah terjadi indoktrinisasi. Sifat simulasi dalam film dan 

sinetron telah mampu menyuntikan makna-makna yang seolah-olah 

ada, walau  sebenarnya hanya sebuah ’fantasi’ sebuah fakta 

semu.

 Bagi Guy Debord, wacana kapitalisme mutakhir telah mengu-

bah wajah dunia menjadi tak lebih dari sebuah ’panggung tontonan 

raksasa’ yang dihuni oleh warga  yang haus tontonan -mas-

yarakat tontonan-. Semua komoditas menjadi tontonan dan tontonan 

menjadi komoditas. Rangkaian tontonan –tontonan yang disuguhkan 

film– sebagai bagian dari media mass a kapitalis mutakhir, menurut 

Baudrilard telah menyulap individu menjadi sekumpulan ’mayoritas 

yang diam’.

 Bagaikan sebuah kekuatan sihir yang sangat dhasyat, media 

menjadikan massa yang diam ini menjadi layaknya sebuah layar rak-

sasa yang segala sesuatu termasuk juga tayangan kedua film ini  

mengalir melalui mereka, segala sesuatu menarik mereka bagaikan 

sebuah magnet namun tidak ada bekas, tidak meninggalkan nilai-

nilai luhur.

 Film-film wanita  Berkalung Sorban dan Film Suami-Sua-

mi takut istri akhirnya tak lebih dari tontonan yang menawarkan 

pundi-pundi kejayaan bagi kapitalisme mutakhir, walau  ada 

nilai-nilai yang mereka coba suguhkan, namun  realita ini bukan realita 

sungguh-sungguh. Film menjadikan fenomena wanita  perkasa 

hanyalah mitos yang tidak benar-benar terjadi.