Tampilkan postingan dengan label teks 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teks 1. Tampilkan semua postingan

teks 1

 



Anekdot 1

A Pengertian

Perhatikanlah teks di bawah ini dengan cermat!

Empat Kali Tujuh

“Empat kali tujuh adalah dua puluh delapan,” kata orang yang satunya. 

“Empat kali tujuh adalah dua puluh tujuh,” kata seorang yang satunya lagi.

Dua orang itu pada akhirnya bertengkar hebat.Warga yang menyaksikan menjadi jengkel.

Keduanya akhirnya dibawa menemui hakim setempat.

Hakim memerintahkan agar orang pertama dipenjara. Orang itu berteriak memprotes, 

“Lho, kok, saya? Di mana salah saya? Omongan saya, kan, benar, Pak Hakim. Empat kali 

tujuh itu dua puluh delapan. Iya, kan?”

 “Kamu itu justru sangat bodoh,” kata hakim itu dengan tenangnya. “Mau-maunya kamu 

bertengkar dengan orang yang tolol, yang mengatakan bahwa empat kali tujuh adalah dua 

puluh tujuh. Bukankah kamu yang seharusnya dihukum?”

Orang itu akhirnya mengangguk setuju dan mengakui bahwa hakim benar.

Teks di atas berbentuk cerita. Di dalamnya ada tokoh, latar, dan alur atau rangkaian peristiwa. 

Berikut uraiannya.

1. Tokoh

a. orang I

b. orang II

c. hakim

I Anekdot

-- 2

2. Latar

di suatu tempat, di pengadilan 

3. Alur

a. Perbedaan pendapat antara orang I dan orang II tentang hasil perkalian empat kali tujuh.

b. Orang I dan orang II bertengkar hebat.

c. Kedua orang ini  dibawa ke pengadilan.

d. Orang I diputuskan bersalah.

Berbeda dengan narasi pada umumnya, dalam anekdot ada unsur lelucon dan di balik itu 

terkandung pula unsur kritik dengan maksud memberi  nasihat ataupun pelajaran.

1. Kelucuan dalam contoh itu tampak pada “nasib sial” yang dialami orang I, yang merasa 

yakin dan percaya diri pendapatnya paling benar, tetapi kemudian hatinya menjadi kecut 

gara-gara keputusan hakim yang menyatakan ia justru yang bersalah.

2. Kritik dan pesan yang terkandung yaitu jangan mudah menganggap orang lain bodoh. Boleh 

jadi diri sendiri itulah yang lebih bodoh dari orang lain. Hal ini tampak pada pernyataan 

hakim bahwa orang yang berdebat dengan orang tolol berarti ia lebih tolol karena ia sudah 

melakukan pekerjaan yang sia-sia, tidak ada gunanya.

berdasar  contoh di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan anekdot adalah 

teks yang berbentuk cerita; di dalamnya mengandung humor sekaligus kritik. Karena berisi 

kritik, anekdot sering kali bersumber dari kisah-kisah faktual dengan tokoh nyata yang terkenal. 

Anekdot tidak semata-mata menyajikan hal-hal yang lucu-lucu, guyonan, ataupun humor. Akan 

tetapi, ada  pula tujuan lain di balik cerita lucunya itu, yakni berupa pesan yang diharapkan 

bisa memberi  pelajaran kepada khalayak.

Perhatikan pula teks berikut.

Alkisah di tahun 2100 diadakan perlombaan pengetahuan ilmiah tingkat dunia di Jenewa. 

Tahap seleksi awal dilakukan tanya jawab oleh panitia penyelenggara. Berikut cuplikan tanya 

jawab ini .

(Peserta pertama dari Amerika dipanggil Panitia) 

Panitia  : Coba ceritakan siapa itu Galileo Galilei?

Si Amerika  : Fisikawan Italia zaman Reinaissance, penyempurna teleskop yang bisa 

mengamati bintang dan pendukung teori Copernicus. 

Panitia  : Kalo James Watt?

Si Amerika  : Ilmuwan Skotlandia penemu mesin uap modern yang memicu revolusi 

industri, nama belakangnya dipakai sebagai satuan daya saat ini.

Panitia  : Ok. Good. Proceed….

(Peserta kedua dari Cina dipanggil Panitia)

Panitia  :  Coba ceritakan siapa itu Archimedes?

Orang Cina : Filsuf Yunani Kuno. Penemu cara kerja tuas, sistem katrol, menyem purna kan 

nilai pi, dan kutipannya yang paling terkenal ‘Uereka, Uereka!!’.

Panitia  :  Well. Good enough, bagaimana dengan Guglielmo Marconi?

Orang Cina : Ilmuwan asal Italia pemenang nobel dan penemu sistem telegrafi tanpa 

kabel yang kemudian dikembangkan menjadi radio.

Panitia  :  Ok. Fine. Proceed…..

Anekdot 3

(Tibalah peserta ketiga dari Indonesia dipanggil Panitia)

Panitia  :  Coba ceritakan siapa itu Albert Enstein?

Orang Indonesia : (orang Indonesia itu berpikir sebentar) Em… tidak tahu tuh….

Panitia  : (heran) Kalo Sir Isaac Newton siapa? 

Orang Indonesia : (berpikir lagi) Eu, …tidak tahu juga….

Panitia  : (semakin heran dengan kebodohan peserta itu) Ok, gimana dengan 

Thomas Alva Edison. Tahu, dong?

Orang Indonesia : (malah jengkel) Ndak, tahu!

Panitia : (juga hilang kesabarannya) Huh, kamu tidak tahu siapa itu Enstein, 

Newton, Edison tapi kamu nekat mau ikut perlombaan tingkat dunia 

seperti ini? Tidak salah, tuh? (Sinis)

Orang Indonesia : (menghardik) Oh, ya? Sekarang saya balik bertanya sama Ente. Tahu tidak 

si Urip, si Raharjo, si Suprapto itu siapa?

Panitia  :  Tidak tahu. Emang siapa mereka?

Orang Indonesia : Nah, itulah….! Masing-masing orang punya kenalan sendiri-sendiri! 

Jangan paksa saya mengenal orang-orang yang Anda sebutkan tadi itu! 

Emang gue pikirin.

Berbeda dengan teks pertama, teks kedua berbentuk dialog atau percakapan. Namun, teks 

ini  memiliki persamaan karena memuat latar, beberapa tokoh, dan alur atau rangkaian 

peristiwa. Persamaan lainnya bahwa teks ini  mengandung humor atau kelucuan-kelucuan. 

Seorang peserta dari Indonesia jauh-jauh datang ke Jenewa untuk mengikuti perlombaan ilmiah 

tingkat dunia, tetapi sekadar mengenal nama-nama Enstein, Newton, atau Edison pun ia tidak tahu.

Kelucuan dalam anekdot tidak hanya untuk mengundang tawa. Di balik humornya itu ada 

pula ajakan untuk merenungkan suatu kebenaran. Adapun kebenaran yang ada di dalam teks 

itu dinyatakan secara tersurat oleh tokoh orang Indonesia, yakni bahwa setiap orang memiliki 

“kenalan” sendiri-sendiri dan jangan memaksakan kenalan itu harus diketahui juga oleh orang lain.

B Fungsi, Struktur, dan Kaidah Anekdot

1. Fungsi Anekdot

Tampak pada contoh-contoh di atas bahwa anekdot tergolong ke dalam teks berbentuk 

cerita (narasi). Di dalamnya ada tokoh, alur atau rangkaian peristiwa, serta latar. Dengan 

demikian, berdasar  fungsi umumnya, anekdot sama dengan teks-teks cerita lainnya, 

seperti cerita pendek ataupun novel. Anekdot berfungsi untuk menyampaikan sebuah cerita, 

baik fiksi ataupun nonfiksi, sehingga pembaca seolah-olah menyaksikan peristiwa yang 

diceritakan itu.

Hanya saja dibandingkan dengan teks cerita lainnya, anekdot memiliki kekhususan, yakni 

mengandung unsur lucu atau humor. Kelucuan dalam anekdot tidak sekadar untuk mengundang 

tawa. Di balik humornya itu ada pula ajakan untuk merenungkan suatu kebenaran. 

-- 4

Untuk lebih jelasnya, perhatikan pula teks berikut.

Khotbah Nasruddin 

Suatu saat , orang-orang di kota mengundang Nasruddin untuk menyampaikan 

khotbah di sebuah majelis.

saat  tiba di mimbar, dia mendapati bahwa sebagian besar hadirin dalam majelis itu 

tidak terlampau bersemangat untuk mendengarkan khotbahnya. Sesudah menyampaikan 

salam, Nasruddin bertanya kepada hadirin, “Apakah kalian tahu materi yang akan saya 

sampaikan sekarang?” 

Hadirin serempak menjawab, “Tidak!” 

Oleh karena itu, Nasruddin berkata, “Saya tidak punya keinginan untuk berbicara 

kepada orang-orang yang tidak mengetahui apa pun tentang apa yang akan saya bicarakan 

sekarang.” Kemudian, ia berjalan turun dari mimbar dan meninggalkan majelis, tanpa 

memberi  khotbah apa pun.

Orang-orang merasa tidak enak hati dan mengundang Nasruddin lagi pada keesokan 

harinya.

Pada keesokan harinya, sesampai di mimbar, Nasruddin mengulang pertanyaan yang 

sama dan hadirin pun menjawab, “Ya !”

Mendengar jawaban demikian, Nasruddin berkata, “Baiklah kalau begitu. Karena 

kalian sudah tahu apa yang akan saya sampaikan sekarang, saya tidak akan membuang 

waktu kalian yang sangat berharga karena kalian sudah mengetahui semuanya.” 

Kemudian, ia turun dari mimbar dan berjalan pulang. Kali ini orang-orang benar-

benar dibuat bingung dan akhirnya mereka memutuskan untuk mencoba sekali lagi dan 

mengundangnya agar datang lagi pada minggu depan untuk menyampaikan khotbah.

Minggu depannya, saat  naik mimbar, Nasruddin lagi-lagi bertanya yang sama, 

“Apakah kalian tahu materi yang akan saya sampaikan dalam khotbah ini?”

Kali ini hadirin sudah bersiap-siap untuk pertanyaan itu. Sebagian dari mereka 

menjawab “Tidak!” dan sebagian lagi menjawab “Ya!”

Nasruddin pun berkata lagi, “Baiklah, kalau begitu sebagian yang sudah tahu bisa 

menceritakan kepada sebagian lainnya yang belum tahu,” dan ia pun lagi-lagi kembali 

turun meninggalkan mimbar.*

Anekdot 5

Dalam contoh ini , kelucuan tampak pada sikap Nasruddin yang membuat bingung 

jamaah atau para pengundangnya. Dari tiga kali diundang, ia sama sekali tidak berkhotbah, 

melainkan cukup bertanya paham tidaknya akan materi khotbah yang akan ia sampaikan.

Adapun hikmah, pesan, ataupun pelajaran yang dapat dipetik dari anekdot itu ialah 

jamaah yang sudah mengetahui materi yang akan disampaikan Nasruddin untuk saling 

berbagi ilmu, tidak perlu mendatangkan orang lain. Dengan demikian, orang yang sudah 

mengetahui tentang suatu hal dapat mengingatkan orang lain.

2. Stuktur Anekdot

Anekdot berupa cerita, kisah, atau percakapan singkat. Di dalamnya terkandung tokoh, 

latar, dan rangkaian peristiwa. Adapun rangkaiannya itu sendiri dibentuk oleh bagian-bagian 

seperti berikut: abstraksi, orientasi, krisis, reaksi, dan koda. 

a. Abstraksi merupakan pendahuluan yang menyatakan latar belakang atau gambaran 

umum tentang isi suatu teks.

Contoh:

Rombongan jamaah haji dari Tegal tiba di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, Arab 

Saudi. Langsung saja kuli-kuli dari Yaman berebutan untuk mengangkut barang-

barang yang mereka bawa (Anekdot “Kuli dan Kiyai”). 

Gus Dur bercerita bahwa ada rombongan istri pejabat Indonesia pe lesir ke San Fransisco. 

Mereka menemani para suami yang sedang studi banding (Anekdot “DoYou Like 

Salad?”). 

Seorang dosen fakultas hukum suatu universitas sedang memberi kan kuliah hukum 

pidana (Anekdot “KUHP dalam Anekdot”). 

b. Orientasi merupakan bagian cerita yang mengarah pada terjadinya suatu krisis, konflik, 

atau peristiwa utama. Bagian inilah yang menjadi penyebab timbulnya krisis. 

Contoh:

Pada kesempatan itu, dua orang di antara kuli-kuli itu terlibat percekcokan serius 

dalam bahasa Arab (Anekdot “Kuli dan Kiyai”).

“Empat kali tujuh adalah dua puluh delapan,” kata orang yang satunya.

“Empat kali tujuh adalah dua puluh tujuh,” kata seorang yang satunya lagi

Dua orang itu pada akhirnya bertengkar hebat.Warga yang menyaksikan menjadi 

jengkel. Keduanya akhirnya dibawa menemui hakim setempat.(Anekdot “Empat Kali 

Tujuh”).

Pada suatu saat  mereka mampir ke sebuah restoran. saat  memesan makanan, 

mereka bingung dengan menu-menu makanan yang disediakan. Mereka pun tidak 

bisa berbahasa Inggris dengan baik. (Anekdot “Do You Like Salad?”).

-- 6

c. Krisis atau komplikasi merupakan bagian dari inti peristiwa suatu anekdot. Pada bagian 

itulah adanya kekonyolan yang menggelitik dan mengundang tawa. 

Contoh:

Melihat itu, rombongan jamaah haji ini  spontan merubung mereka, sambil 

berucap, “Amin, amin, amin!” seraya menengadahkan tangan. (Anekdot “Kuli dan 

Kiyai)”.

Hakim memerintahkan agar orang pertama dipenjara. Orang itu berteriak memprotes, 

“Lho, kok, saya? Di mana salah saya? Omongan saya, kan, benar, Pak Hakim. Empat 

kali tujuh itu dua puluh delapan. Iya, kan?” (Anekdot “Empat Kali Tujuh”).

KUHP dipelesetkan menjadi “Kasih Uang Habis Perkara”. (Anekdot “KUHP dalam 

Anekdot”)

d. Reaksi merupakan tanggapan atau respons atas krisis yang dinyatakan sebelumnya. 

Reaksi yang dimaksud dapat berupa sikap mencela atau menertawakan. 

Contoh:

“Kamu itu justru sangat bodoh,” kata hakim itu dengan tenangnya, “Mau-maunya 

kamu bertengkar dengan orang tolol yang mengatakan bahwa empat kali tujuh adalah 

dua puluh tujuh. Bukankah kamu yang seharusnya dihukum?” (Anekdot “Empat Kali 

Tujuh”).

Mahasiswa tercengang dan tertawa, sedangkan dosen menggeleng-gelengkan kepala. 

(Anekdot “ KUHP dalam Anekdot”).

e. Koda merupakan penutup atau kesimpulan sebagai pertanda berakhirnya cerita. Di dalam-

nya dapat berupa persetujuan, komentar, ataupun penjelasan atas maksud dari cerita 

yang dipaparkan sebelumnya. Bagian ini biasanya ditandai oleh kata-kata, seperti itulah, 

akhirnya, demikianlah. Keberadaan koda bersifat opsional; bisa ada ataupun tidak ada.

“Nah, itulah….! Masing-masing orang punya kenalan sendiri-sendiri! Jangan paksakan 

saya mengenal orang-orang yang Anda sebutkan tadi itu!” (Anekdot “Lomba Karya 

Ilmiah Tingkat Dunia”)

Orang itu akhirnya mengangguk setuju dan mengakui bahwa hakim benar. (Anekdot 

“Empat Kali Tujuh”) 

Abstrak

Orientasi

Krisis

Reaksi

Koda

Struktur Umum Anekdot

Sebagai suatu jenis teks cerita, struktur anekdot sama seperti jenis cerita (story genres) 

lainnya yang tidak harus terpaku pada struktur baku. Penulis memiliki kebebasan dalam 

Anekdot 7

menentukan strukturnya (licentia poetica). Oleh karena itu, struktur anekdot sangatlah 

beragam. Tidak sedikit anekdot yang tidak memiliki abstrak. Tiba-tiba saja dalam anekdot 

itu tersaji suatu orientasi, tanpa penjelasan situasi atau latar belakangnya. Contohnya 

anekdot “Empat Kali Tujuh” ini . Anekdot itu tiba-tiba masuk ke tahap orientasi, tanpa 

ada kejelasan abstraksinya. Demikian pula tidak sedikit anekdot yang tidak memiliki koda. 

Kesimpulan ataupun maksud anekdot itu kemudian diserahkan pada pembaca sendiri.

Perhatikan kedua contoh anekdot berikut.

Politikus Sering Bohong

Sebuah bis penuh dengan para politikus keluar dari marka jalan. Akhirnya, menabrak 

sebuah pohon besar di ladang seorang petani tua. Hampir semua penumpang menjadi 

korban dalam kecelakaan ini .

Petani tua segera memberi  bantuan. Namun, apalah daya, ia tidak bisa berbuat 

apa pun karena memang para penumpang bis itu dianggap sudah tidak bisa tertolong lagi. 

Petani tua kemudian menguburkan politikus-politikus itu di kebunnya.

Beberapa hari kemudian, petugas dari kepolisian mendatanginya dan menanyakan 

peristiwa kecelakaan itu, “Apakah benar mereka semua meninggal, Pak?”

Petani tua itu menjawab, “Mereka tampak sudah meninggal, Pak. Memang beberapa 

di antara mereka ada yang masih bergerak-gerak. Bahkan, beberapa di antara mereka ada 

yang berkata bahwa mereka belum meninggal. Tapi Anda kan tahu, betapa seringnya 

politikus itu berbohong. Saya tidak mempercayai perkataan mereka. Oleh karena itu, tetap 

saya harus menguburkannya!”

Jin dan Tiga Manusia

Ada sebuah kapal berisi penumpang berbagai bangsa yang karam. Ada tiga orang 

yang selamat, masing-masing dari Perancis, Amerika, dan Indonesia. Mereka terapung-

apung di tengah laut dengan hanya mengandalkan sekeping papan.

Tiba-tiba muncul jin yang baik hati. Dia bersimpati pada nasib ketiga bangsa manusia 

itu dan menawarkan jasa. “Kalian boleh minta apa saja, akan kupenuhi,” kata sang jin. 

Yang pertama ditanya adalah orang Perancis.

“Saya ini petugas lembaga sosial di Paris,” katanya,”tolonglah kembalikan saya ke 

negeri saya”. Dalam sekejap, orang itu lenyap, kembali ke negerinya.

“Kamu, orang Amerika, apa permintaanmu?”

-- 8

“Saya ini pejabat pemerintah. Banyak tugas saya yang terlantar karena kecelakaan ini.

Tolonglah kembalikan saya ke Washington.”

“Oke,” kata jin, sambil menjentikkan jarinya. Orang Amerika lenyap sesaat , kembali 

ke negerinya.

“Nah sekarang tinggal kamu orang Indonesia. Sebut saja apa maumu.”

“Duh, Pak Jin, sepi banget di sini,” keluh si orang Indonesia.

“Tolonglah kedua teman saya tadi dikembalikan ke sini.”

Alakazam, orang Perancis dan pria Amerika itu pun muncul lagi.

Kedua teks di atas merupakan contoh anekdot yang tidak memiliki koda. Pembaca sendiri 

yang merumuskannya. Dengan ditemukannya anekdot yang tidak selengkap itu, sumber lain 

menyatakan bahwa suatu anekdot cukup dibentuk oleh orientasi, komplikasi, dan evaluasi.

a. Orientasi merupakan bagian anekdot yang diisi oleh beberapa atau salah satu aspek 

berikut.

1) Mengenalkan kondisi atau karakter tokoh.

Contoh:

 Setelah lulus dari ujian negara di Beijing, seorang pemuda ditunjuk sebagai 

pejabat pemerintahan ibu kota provinsi. Namun, sebelum pergi, ia mengucapkan 

selamat tinggal kepada mentornya, yakni seorang pejabat senior. (Anekdot “Seratus 

Ungkapan ABS”).

2) Menceritakan hal-hal terkait dengan apa, kapan, di mana, siapa, mengapa, bagaimana.

Contoh:

a) Sebuah bus penuh dengan para politikus keluar dari marka jalan (apa, siapa).

b) Ada sebuah kapal berisi penumpang berbagai bangsa yang karam. Ada tiga 

orang yang selamat, masing-masing dari Perancis, Amerika, dan Indonesia (di 

mana, siapa).

3) Memberi gambaran tentang masalah yang akan dihadapi tokoh.

Contoh:

a) Mereka terapung-apung di tengah laut dengan hanya mengandalkan sekeping 

papan. (Anekdot “Jin dan Tiga Manusia”)

b) saat  tiba di mimbar, dia mendapati bahwa sebagian besar hadirin dalam 

majelis itu tidak terlampau bersemangat untuk mendengarkan khotbahnya. 

(Anekdot “Khotbah Nasruddin”).

b. Komplikasi merupakan bagian anekdot yang menceritakan masalah yang dihadapi tokoh. 

Bagian ini merupakan puncak cerita yang mengundang tawa sekaligus kritikan. Bagian 

ini dapat disamakan dengan krisis dan reaksi.

Contoh:

“Nah sekarang tinggal kamu orang Indonesia. Sebut saja apa maumu.”

“Duh, Pak Jin, sepi banget di sini,” keluh si orang Indonesia.

“Tolonglah kedua teman saya tadi dikembalikan ke sini.”

Alakazam, orang Perancis dan pria Amerika itu muncul lagi. (Anekdot “Jin dan Tiga 

Manusia”).

Anekdot 9

Nasruddin lalu memasukkan tongkatnya ke dalam air. Dengan hati-hati, Nasruddin 

memukul kaki-kaki mereka. Spontan mereka mengangkat kakinya dari dalam air 

karena kesakitan sehingga bisa melihat kakinya masing-masing. (Anekdot “Kaki 

yang Tertukar”).

c. Evaluasi merupakan bagian cerita yang memberi  komentar terhadap isi atau 

menjelaskan hikmah dari peristiwa yang telah diceritakan. Bagian ini dapat pula disebut 

sebagai koda.

Orientasi Komplikasi (krisis, reaksi) Evaluasi (koda)

Struktur Anekdot Lainnya

3. Kaidah Anekdot

Anekdot tergolong ke dalam teks bergenre cerita. berdasar  hal ini , secara 

kebahasaan (language features) anekdot memiliki karakteristik sebagai berikut.

a. Banyak memakai  kalimat langsung ataupun tidak langsung. Kalimat-kalimat itu 

dinyatakan dalam bentuk dialog para tokohnya. Hal itu seperti yang tampak pada anekdot 

“Lomba Karya Ilmiah Tingkat Dunia” atau “Jin dan Tiga Manusia”.

b. Banyak memakai  nama tokoh orang ketiga tunggal, baik dengan menyebutkan 

langsung nama tokoh faktual atau tokoh yang disamarkan. Contoh: Gus Dur, Nasruddin 

Hoja, Si Amerika, orang Indonesia, Pak Jin.

c. Banyak memakai  keterangan waktu. Hal ini terkait dengan bentuk anekdot yang 

berupa cerita; disajikan secara kronologis atau mengikuti urutan waktu.

Contoh:

1) Beberapa hari kemudian, petugas dari kepolisian mendatanginya dan menanyakan 

peristiwa kecelakaan itu.

2) “Nah sekarang tinggal kamu orang Indonesia. Sebut saja apa maumu.”

3) Dua orang itu pada akhirnya bertengkar hebat.

4) saat  memesan makanan, mereka bingung dengan menu-menu makanan yang 

disediakan.

d. Banyak memakai  kata kerja material, yakni kata yang menunjukkan suatu aktivitas. 

Hal ini terkait dengan tindakan para tokohnya dan alur yang membentuk rangkaian 

peristiwa ataupun kegiatan.

Contoh:

1) Petani tua segera memberi  bantuan. 

2) Petani tua kemudian menguburkan politikus-politikus itu di kebunnya.

-- 10

3) Beberapa hari kemudian, petugas dari kepolisian mendatanginya dan menanyakan 

peristiwa kecelakaan itu.

4) Keduanya akhirnya dibawa menemui hakim setempat.

5) Hakim memerintahkan agar orang pertama dipenjara.

6) Orang itu berteriak memprotes.

e. Banyak memakai  kata penghubung (konjungsi) yang bermakna kronologis 

(temporal), yakni dengan hadirnya kata-kata akhirnya, kemudian, lalu.

Contoh:

1) Akhirnya, menabrak sebuah pohon besar di ladang seorang petani tua.

2) Petani tua kemudian menguburkan politikus-politikus itu di kebunnya.

f. Banyak pula memakai  konjungsi penerang atau penjelas, seperti bahwa. Ini 

terkait dengan dialog para tokohnya yang diubah dari bentuk langsung ke kalimat tak 

langsung.

Contoh: 

1) Orang itu akhirnya mengangguk setuju dan mengakui bahwa hakim benar.

2) “Kamu itu justru sangat bodoh,” kata hakim itu dengan tenangnya. “Mau-maunya 

kamu bertengkar dengan orang tolol, yang mengatakan bahwa empat kali tujuh 

adalah dua puluh tujuh.”

3) “Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang berkata bahwa mereka belum 

meninggal.”

4) Akan tetapi, karena hakim yang mengadili adalah teman baik Si Penampar, hakim 

memutuskan bahwa hukumannya berupa tamparan lagi.

Kaidah 

Anekdot

Kalimat 

langsung, 

tak langsung

Kata kerja 

material

Konjungsi 

kronologis

Keterangan 

waktu

Konjungsi 

penerang

Bertokoh 

orang ketiga 

tunggal

Anekdot 11

C Perbandingan Anekdot

berdasar  fungsinya, teks anekdot sama-sama termasuk ke dalam teks berbentuk cerita 

(narasi, story genres) seperti halnya cerita pendek, cerita ulang, dan novel. Di dalamnya 

mengandung unsur-unsur naratif, seperti tokoh, alur, dan latar.

Perhatikan teks di bawah ini.

Kereta api Dwipangga yang membawa Lestari ke Yogyakarta pagi itu terasa berjalan 

merangkak. Lestari menatap bentangan sawah di luar yang biasanya tampak indah dan 

menenteramkan, namun kali ini terasa muram dan menggelisahkan.

Bagi Lestari, meski telah puluhan kali ke Yogyakarta, perjalanan kali ini terasa bukan 

perjalanan biasa. Inilah perjalanan yang membuat Lestari mau tak mau harus berdamai dengan 

masa lalu yang selama ini selalu ingin ia kubur dalam-dalam.

“Mbak, aku mohon, datanglah. Tengoklah aku dan anakku. Kalau Mbak tidak kersa rawuh 

mungkin Mbak tidak akan ketemu aku lagi. Sekarang ini aku merasa seperti berpacu dengan 

waktu...”

Lestari melipat kembali surat yang ditulis Menuk sepuluh hari lalu, menyusul surat-surat 

lain yang ditulis secara teratur mengabarkan keadaannya. Ia tidak tahu persis hubungan 

persaudaraannya dengan Menuk, hanya saat  kecil mereka pernah bersama-sama tinggal di 

deretan rumah petak di belakang satu rumah besar di Semarang.

Lestari tidak pernah peduli dengan surat-surat itu. Beberapa surat bahkan tidak pernah 

dibuka karena Lestari tidak ingin membacanya. Beberapa kali Lestari mengirimkan uang kalau 

surat yang dikirim Menuk sudah terasa amat mengganggunya.

“Memangnya aku bank,” pikiran itu selalu melintas di benaknya, setiap saat ia mengambil 

blanko pos wesel dan menuliskan sejumlah uang. Namun, pada banyak kali ia tidak kuasa 

menolak permintaan Menuk. Bukan karena simpati, tetapi lebih karena ia ingin memelihara 

ketenteraman hatinya sendiri.

Sering Lestari merasa Menuk menjebak Les tari untuk berbelas kasihan, sementara pada 

saat yang sama Lestari merasa tidak punya kewajiban apa pun untuk membantu Menuk. 

Hubungan me reka terpisah selama hampir tiga puluh tahun, meski dalam kurun itu dua kali 

Lestari menjumpai Menuk setelah wanita itu dengan putus asa memintanya datang. Sekali 

saat  suami Menuk ninggal karena kanker kelenjar getah bening. Dua kali, saat  Menuk 

dioperasi karena benjol di rahimnya katanya sudah tidak tertahankan sakitnya.

Lestari ingat, Menuk menatapnya dengan pandang an tidak percaya saat ia memasuki 

ruang rawat-inap tiga IRS Panti Rapi Yogyakarta itu. Lestari melihatnya sekilas dan menyadari 

betapa tuanya Menuk pada usianya yang baru 27 tahun saat itu. Lestari juga selalu ingat bagai-

mana ia berusaha meng hindar dari pelukan Menuk dan hanya menyisihkan 15 menit waktunya 

setelah mem berikan amplop berisi sejumlah uang untuk ongkos pengobatannya.

Sebenarnya Lestari tidak pernah lupa pesan Bramantyo, suami Menuk, yang baru ia kenal 

pada saat-saat terakhirnya. “Saya hanya tahu Mbak sebagai satu-satunya saudara Menuk. Saya 

me minta keikhlasan Mbak untuk membantunya ka rena rasanya hidup saya tidak akan lama.”

Lestari pun tidak pernah lupa bagaimana per lakuan keluarga Bramantyo terhadap Menuk. 

“Ka mi lebih rela ia mati daripada terus hidup dengan pelacur itu,” itu yang dia dengar langsung

-- 12

dari mulut kakak Bramantyo yang tidak tahu bahwa ia ada di tempat itu. Tetapi entah kenapa, 

Lestari tidak sedikit pun ingin melakukan pembelaan untuk Menuk yang saat itu terguguk di 

sudut ruangan dan mendengar dengan jelas ucapan iparnya.

Lestari kemudian bahkan tidak pernah berusa ha mengingat pesan Bramantyo. Ia menghilang 

begitu Bramantyo meninggal, sampai beberapa tahun kemudian saat  surat Menuk tergeletak 

di meja kerjanya. “Maaf kalau aku mengganggumu, Mbak. Aku mengikuti semua tulisanmu di surat 

itu yang ditulis Menuk pada baris per tama suratnya (Cerpen “Dua Hati”, Maria Hartiningsih).

Teks di atas dikutip dari sebuah cerpen. Di dalamnya ada penokohan, latar, dan rangkaian 

peristiwa. Namun, teks ini  tidak dikategorikan sebagai anekdot karena tidak mengandung 

unsur humor.Tidak ada kelucuan-kelucuan menggelitik di dalamnya yang mengandung kebenaran 

ataupun pelajaran tertentu.

Perhatikan pula teks berikut.

Ibu : (duduk menjahit dengan tangan, menambal celana) Ke mana Ari ...? Sudah malam 

belum kembali juga (meletakkan jahitan, pergi ke jendela). Wah..., langit mendung. 

Jangan-jangan .... (terdengar suara di luar)

Ibu : (terkejut) Ari ...!(menuju ke arah pintu)

Budi : (di luar) Saya, Bu. Budi! (Budi masuk)

Ibu : (heran, kuatir) Kau sendiri, Bud, mana Ari? Kenapa tidak pulang sama-sama?

Budi : (ragu‑ragu) Ari... ditahan polisi, Bu.

Ibu : (terkejut) Apa? Ya, Allah! Kenapa ditahan, Bud? (terduduk lemas)

Budi : Tadi kami sama-sama berjualan koran di depan bioskop. Waktu orang membeli karcis, 

ada yang kehilangan dompet. Kebetulan saya di dekatnya.

Ibu : Terus?

Budi : Sebenarnya banyak orang di situ, tetapi yang kehilangan menyangka saya. Waktu 

ramai-ramai mereka menyangka saya, Ari datang. Ia marah kepada orang yang 

kehilangan itu. Akhirnya mereka bertengkar. Ari dipukul.

Ibu : Aduuh, Ari! (hampir menangis) Lalu bagaimana, Bud? Sekarang di mana Ari? 

(berdiri).

Budi : Tidak apa-apa, Bu. Ari membalas memukul lagi. Akhir nya mereka berkelahi dan Ari 

ditahan.

Ibu :  Ayo, Bud! Kita ke kantor polisi.

Budi :  Sebentar, Bu. Saya beri tahu ibu dulu.

Ibu :  Ya. Cepatlah beri tahukan ibumu, katakan kamu akan mengantar ke sana.

Budi :  (menuju pintu, akan ke luar).

Ari :  (dari luar) “Bud, Ibu? Saya pulang!”

Ibu/Budi :  Itu Ari! (mereka bergegas ke pintu)

Ari : (memeluk ibu) Tidak apa-apa, Bu. Orang itu salah sangka. Budi disangka yang 

tidak-tidak. Mungkin karena pakaian kotor begini lalu disangka mencopet.

Ibu : (gembira) Kau tidak apa-apa, Nak?

Ari : Hanya kena pukul sedikit di pipi, Bu. Tetapi tak apa. Ternyata waktu diperiksa polisi, 

dompetnya tidak hilang. Ia lupa membawa dari rumah.

Budi : (marah) Kurang ajar! Enak saja menyangka orang.

Ari : Maka itu, aku hantam dia tadi, Bud.

Anekdot 13

Ibu : Sudahlah, Ari Budi. Lain kali kalian jangan begitu!

Ari : Habis bagaimana, Bu? Masa kita biarkan saja orang meng hina dan menuduh yang 

bukan-bukan. Apa karena kita miskin? Begitu saja disangka jahat.

Ibu : Sabarlah, Nak! Yang benar tetap benar meskipun dalam pembungkus yang jelek. 

Sabarlah memang banyak orang mengukur dari kulit luar saja.

Teks di atas juga memiliki bentuk yang sama dengan salah satu contoh anekdot yang disajikan 

sebelumnya, yakni sama-sama berbentuk dialog. Di dalamnya ada tokoh, latar, dan rangkaian 

peristiwa. Namun, teks percakapan ini  tidak berkategori sebagai anekdot. Sama seperti 

cuplikan cerpen di atas, teks ini  juga tidak mengandung unsur humor ataupun sikap kritis.

Berikut bentuk teks lainnya.

Cinta Pembawa Pesan

Apakah yang kita rasakan setelah membaca sebuah cerita fiksi? Ada sebuah atau lebih 

pesan yang ingin disampaikan oleh penulisnya.

Pesan itu bisa bermacam-macam. Kesetiaan, kemanusiaan, kepasrahan kepada Tuhan, 

cinta yang tulus, hingga pesan tentang kematian. Pesan itu bisa diramu sangat halus, sehingga 

pembaca, pada awalnya hampir tidak menyadarinya. Bisa juga disampaikan secara lebih 

terbuka, bahkan lugas.

Seorang cerpenis menulis cerita pendek bukan sekadar mengemas sebuah cerita untuk 

dihidangkan kepada pembaca. Nilai sebuah cerpen tidak hanya ditentukan oleh keindahan 

bahasa dan kompleksitas jalinan cerita, tapi juga pada pesan yang dibawanya.

Untuk apa sebuah cerpen yang mengharu biru dan membuat pembacanya bercucuran air 

mata, tapi setelah itu segalanya selesai? Tidak ada sesuatu yang dapat dipetik darinya.

Sebuah cerpen yang baik, seharusnya mengusung pesan-pesan pencerahan; sarat nilai-

nilai yang mendorong masyarakat untuk mengambil setidaknya satu atau dua butir hikmah 

untuk hidup yang lebih baik; menyadarkan manusia yang lalai akan nilai-nilai kehidupan yang 

harus dijunjung tinggi.

Tentu saja, karena ini merupakan fiksi, pesan itu harus disampaikan sehalus mungkin. Jangan 

sampai terkesan menggurui, apalagi berubah menjadi khotbah. Media untuk menyampaikan 

pesan itu bisa bermacam-macam. Bisa melalui kisah cinta, petualangan, konflik antara orangtua 

dan anak, dan lain sebagainya.

Dalam buku 20 Tahun Cinta (Senayan Abadi Publishing, 2003), misalnya, kita akan dapati 

pesan-pesan yang indah. Cerpen karya Asma Nadia yang berjudul 20 Tahun Cinta sungguh 

mengharukan. Cerpen itu mengisahkan seorang lelaki yang sudah beristri, Pras, jatuh cinta lagi 

kepada perempuan yang sudah bersuami, Ajeng.

Itu hal yang nyaris mustahil. Ajeng menolak Pras, tapi Pras mengatakan menunggu 20 tahun 

lagi. Meskipun demikian, tak ada sebersit pun niat di hati Pras untuk mengganggu rumah 

tangga Ajeng, apalagi sampai menodainya. Namun, Ajeng tetap menolaknya. Ia menggerendel 

pintu hatinya terhadap Pras. Ia berusaha setia terhadap suaminya. (Sumber: Republika)

Teks ini  merupakan contoh ulasan (faktual genres). Di dalam teks ini  banyak sekali 

pendapat dan kebenaran yang bisa kita pelajari dan kita ikuti. Dalam beberapa aspek, teks ini  

memiliki kesamaan dengan anekdot. Akan tetapi, teks ini  juga tidak terkategorikan sebagai 

anekdot. Alasannya, teks ini  tidak berbentuk cerita dan tidak mengandung unsur humor.

-- 14

Aspek

Teks Cerita (Story Genres)

Teks Faktual  

(Factual Genres)

Cerita Pendek Anekdot Ulasan

Persamaan Mengandung unsur tokoh, alur, latar Mengungkap suatu 

kebenaran faktual

Perbedaan Tidak mengandung unsur 

kelucuan, tidak selalu kritis

Selalu mengandung unsur 

kelucuan dan bersifat kritis

Tidak berbentuk cerita

D Menulis Anekdot

Penulis yang baik adalah penulis yang dapat menjadikan sesuatu yang sederhana, yang tidak 

begitu berarti, menjadi suatu karya yang menarik dan bermanfaat bagi pembacanya. Ide-ide 

penulisannya, baik itu dalam bentuk anekdot, cerpen, teks eksplanasi, serta jenis teks lainnya, 

cukup digali dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kesehariannya. Selain mudah diperoleh, 

ide-ide semacam itu mudah dikenali sehingga mudah pula untuk dikembangkan.

Perhatikan kembali contoh anekdot berikut.

Bila Prajurit Menjewer Komandan

Dalam suatu apel pagi, seorang komandan sedang mengetes anak buahnya, dengan mengajukan 

pertanyaan‑pertanyaan.

Komandan : Apa yang kamu lakukan jika kamu berhadapan dengan musuh dalam jumlah 

yang sangat besar?

Rucah  :  Langsung saya serang, Pak!

Komandan  : Salah! Kamu harus melaporkan pada pasukanmu supaya dapat menyerang 

bersama-sama. Lalu, bagaimana jika kamu berhadapan dengan seekor babi 

hutan yang jinak?

Rucah  :  Saya melaporkan pada pasukan saya supaya dapat menyerang bersama-sama 

Pak!

Komandan  :  Salah! Kamu harus menjewer kupingnya supaya tidak nakal! Lalu, apa yang 

kamu lakukan jika berhadapan dengan saya?

Rucah  :  Langsung saya jewer kupingnya, Pak, biar tidak nakal!

Komandan  :  ???

Anekdot 15

Penulis dengan leluasa menceritakan sesuatu yang diketahuinya tentang hubungan seorang 

komandan dengan anak buahnya yang bernama Rucah. Karakter Rucah yang polos digambarkan 

melalui dialognya yang lugu, namun memberi  efek lucu.

Menulis anekdot tidak memerlukan ide yang kompleks seperti halnya menulis cerpen 

ataupun novel. Hal yang penting kita mempunyai lintasan ide yang berisi kritik. Poleslah ide itu 

dengan humor-humor seperti pada contoh-contoh di atas. Anekdot bisa menjadi menarik karena 

memang idenya tidak semata-mata bersumber dari khayalan belaka. Sumber penulisannya adalah 

kehidupan orang lain atau kita sendiri. Tokohnya pun bisa diambil dari keadaan faktual ataupun 

fiktif.

Perhatikan pula contoh berikut.

Neil Amstrong Bukan Manusia Pertama ke Bulan

Neil Amstrong sering disebut-sebut sebagai manusia pertama yang menginjakkan kaki 

di bulan. Namun, ternyata predikat itu tidak benar. Buktinya, saat  Mas Amstrong sedang 

berjalan-jalan dengan bangganya di bulan, dia ketemu dengan orang dari negeri Cina dan 

seorang Indonesia. Keduanya sudah jauh lebih dulu berada di sana.

Neil Amstrong, yang terbang ke bulan dengan Apollo 11, kaget dan bertanya kepada si 

orang Cina bagaimana caranya dia bisa sampai di bulan.

“Kami bekerja sama dengan saling naik pundak seluruh penduduk Cina, akhirnya 

sampailah saya di sini,” jawab yang ditanya.

Wah, pikir Amstrong, satu miliar manusia rupanya bisa ditumpuk-tumpuk, dan akhirnya 

bisa sampai ke bulan.

“Kalau Anda, bagaimana caranya bisa sampai di sini?” tanya Amstrong kepada orang 

Indonesia.

“Saya naik tumpukan kertas-kertas seminar.”

Ha ha ha ….

Cerita di atas tentu saja bersifat fiktif karena tidak ada berita yang membuktikan ada orang 

Cina dan Indonesia pergi ke bulan. Meskipun demikian, cerita ini  memanfaatkan tokoh 

faktual, yakni Neil Amstrong agar ceritanya seolah-olah nyata. Percaya atau tidaknya pembaca 

terhadap isi cerita ini  memang tidak penting karena tujuan penulis bukanlah hal ini . 

Maksud dari anekdot ini  adalah menyindir perilaku masyarakat Indonesia yang lebih senang 

berteori di ruang-ruang seminar sehingga kertas pun menumpuk sampai-sampai bisa dipakai naik 

ke bulan.

Cerita semacam itu dapat dikarang oleh penulis. Hal ini karena dalam anekdot tidak ada 

ketentuan ceritanya harus benar-benar faktual. Seperti menulis cerpen, kita bisa memanfaatkan 

pengalaman, pengetahuan, dan imajinasi kita dalam pengembangannya. Hal yang terpenting 

yaitu kritik atau pesan yang akan disampaikan bisa terwakili oleh cerita ini . Namun, unsur 

humornya tidak terlupakan.

Adapun langkah sistematisnya adalah sebagai berikut.

1. Menentukan topik anekdot. Misalnya, turis Amerika yang merasa paling pintar.

2. Merumuskan tujuan. Misalnya, mengingatkan bahwa bangsa Indonesia pun bisa mengalah-

kannya dengan permainan kata-kata.

-- 16

3. Menghadirkan tokoh dan latar. Misalnya, sopir taksi dan turis Amerika di dalam perjalanan 

Kota Jakarta.

4. Melengkapi struktur anekdot yang terdiri atas abstrak, orientasi, krisis, reaksi, dan koda.

Struktur Pokok-pokok Anekdot

a. Abstrak Sopir taksi membawa turis Amerika, di jalanan Jakarta.

b. Orientasi Turis Amerika memerhatikan bangunan-bangunan.

c. Krisis Sang turis merasa proses pembangunan di negaranya lebih baik daripada 

yang ada di Jakarta.

d. Reaksi Sopir taksi merasa tersinggung dan mencari jalan untuk mengalahkan 

kesombongan turis Amerika.

e. Koda Kalau sekadar berkata-kata, siapa pun bisa melakukan nya.

5. Memerhatikan ketepatan penggunaan bahasa, seperti kalimat langsung dan tidak langsung, 

fungsi kalimat, kata ganti, kata kerja, dan konjungsinya.

6. Mencantumkan judul yang sesuai dengan isi anekdot.

Berikut contoh hasilnya.

Turis Amerika dan Stadion Bung Karno

Sekitar tahun 1960-an seorang sopir membawa turis Amerika keliling Jakarta. Saat 

melintas di depan Sarinah, di Jalan Thamrin, sang turis bertanya kepada sopir, “Berapa lama 

waktu yang diperlukan untuk mendirikan bangunan itu?”

“Empat tahun,” jawab Si Sopir enteng.

“Itu sih terlalu lama, makan waktu. Kalau di Amerika, paling-paling hanya butuh waktu 

dua tahun,” timpal Sang Turis.

Setibanya di Bundaran HI, turis tadi kembali bertanya, “Kalau bangunan ini, kira-kira 

berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai betul-betul berwujud hotel?”

“Dua tahun,” jawab Si Sopir mencoba memendekkan waktu.

“Ah, kalau di Amerika sih paling-paling hanya butuh waktu setahun.”

Sewaktu sampai di dekat kompleks Stadion Bung Karno atau dulu disebutnya Stadion 

Utama Senayan, Sang Turis ini pun kembali melontarkan pertanyaan yang sama. 

Tanpa memperlihatkan rasa bersalah sedikit pun Si Sopir menjawab, “Entahlah, Mister. 

Kemarin sore stadion ini belum ada di sini.”

Nah, lho. Sekadar omong-omong mah siapa takut!

Anekdot 17

Soal-soal Latihan

Pilihlah jawaban yang benar!

1. “Kamu itu justru sangat bodoh,” kata hakim itu dengan tenangnya. “Mau-maunya bertengkar 

dengan orang tolol, yang mengatakan bahwa empat kali tujuh adalah dua puluh tujuh. 

Bukankah kamu yang seharusnya dihukum?”

Peristiwa yang dialami tokoh “kamu” lebih tepat disebut ....

A. konyol D. tragis

B. ironis E. kontradiktif

C. sarkastis

2. Pelajaran yang dapat dipetik dari cuplikan anekdot pada soal nomor 1 di atas adalah ....

A. berdebatlah secara jujur

B. jangan melawan aparat hukum

C. taatilah hukum dengan sewajarnya

D. hargailah pendapat sesama dengan adil

E. uruslah sesuatu yang penting dan bermanfaat

3. Orang Indonesia : “Nah, itulah….! Masing-masing orang kan punya kenalan sendiri-

sendiri! Jangan paksakan saya mengenal orang-orang yang Anda 

sebutkan tadi itu! Emang gue pikirin”

Pesan yang ada  dalam cuplikan anekdot di atas adalah ....

A. setiap orang memiliki pendapat masing-masing

B. pengetahuan setiap orang selalu tidak sama

C. jangan memaksakan kehendak kepada orang lain

D. perlunya mengenal kebiasaan dan kemampuan orang lain dengan baik agar tidak terjadi 

konflik

E. setiap orang memiliki kenalan yang berbeda-beda dan jangan dipaksakan untuk mengenal 

orang lain

4. Kemudian, ia turun dari mimbar dan berjalan pulang. Kali ini orang-orang benar-benar dibuat 

bingung dan akhirnya mereka memutuskan untuk mencoba sekali lagi dan mengundangnya 

agar datang lagi pada minggu depan untuk menyampaikan khotbah.

Dalam struktur anekdot, bagian itu lebih tepat disebut dengan ....

A. abstrak D. reaksi

B. orientasi E. koda

C. krisis

5. Contoh bagian reaksi adalah ....

A. seorang dosen memberi  kuliah Hukum Pidana

B. suasana kelas biasa-biasa saja

C. kelas kembali berlangsung normal

D. KUHP dipelesetkan menjadi “Kasih Uang Habis Perkara” 

E. mahasiswa tercengang dan tertawa, sedangkan dosen menggeleng-gelengkan kepala

-- 18

6. Pada suatu saat  mereka mampir ke sebuah restoran. saat  memesan makanan, mereka 

bingung dengan menu-menu makanan yang disediakan. Mereka pun tidak bisa berbahasa 

Inggris dengan baik.

Bagian itu disebut sebagai orientasi anekdot karena ....

A. mengarahkan pada terjadinya krisis

B. bertokohkan antagonis

C. menjadi unsur konflik utama

D. mengandung kelucuan

E. tidak beralur maju

7. “Kamu itu justru sangat bodoh” kata hakim itu dengan tenangnya. “Mau-maunya kamu 

bertengkar dengan orang tolol, yang mengatakan bahwa empat kali tujuh adalah dua puluh 

tujuh. Bukankah kamu yang seharusnya dihukum?”

Reaksi dalam cuplikan anekdot di atas lebih bersifat ....

A. menghibur 

B. mencela 

C. menggurui 

D. mengarahkan

E. menghardik

8. “Nah, itulah….! Masing-masing, orang punya kenalan sendiri-sendiri! Jangan paksakan saya 

mengenal orang-orang yang Anda sebutkan tadi itu!”

Koda di atas lebih tepat disebut dengan ....

A. pernyataan 

B. persetujuan 

C. pembelaan

D. pengakuan

E. penjelasan

9. Sebuah bus penuh dengan (1) para politikus keluar (2) dari marka jalan. Akhirnya (3), 

menabrak (4) sebuah pohon besar di ladang seorang petani tua. Hampir semua (5) penumpang 

menjadi korban dalam kecelakaan ini .

Kata yang bermakna kronologis ditandai dengan nomor ....

A. (1) D. (4)

B. (2) E. (5)

C. (3)

10. Petani tua segera memberi  bantuan (1). Namun, apalah daya, (2) ia tidak bisa berbuat apa 

pun (3) karena memang para penumpang bus itu dianggap sudah tidak bisa tertolong lagi (4). 

Petani tua kemudian menguburkan politikus-politikus itu di kebunnya. (5)

Kalimat yang mengandung konjungsi kronologis adalah nomor ....

A. (1) D. (4)

B. (2) E. (5)

C. (3)

Anekdot 19

11. Berikut ini yang tidak termasuk kalimat yang memakai  keterangan waktu, yaitu ....

A. “Duh, Pak Jin, sepi banget di sini,” keluh orang Indonesia.

B. Dua orang itu pada akhirnya bertengkar hebat.

C. “Nah, sekarang tinggal kamu orang Indonesia. Sebut saja apa maumu.”

D. saat  memesan makanan, mereka bingung dengan menu-menu makanan yang disediakan.

E. Beberapa hari kemudian, petugas dari kepolisian mendatanginya dan menanyakan 

peristiwa kecelakaan itu.

12. Contoh penggunaan kalimat tak langsung yang benar ....

A. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang berkata bahwa mereka belum meninggal.

B. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang berkata, “Mereka belum meninggal.”

C. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang berkata, Mereka belum meninggal!

D. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang mengatakan mereka belum meninggal.

E. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang berkata, “Bahwa mereka belum meninggal!”

13. Kalimat yang tidak memakai  kata kerja material ...

A. Petani tua segera memberi  bantuan. 

B. Mereka merasa seorang diri di tempat itu.

C. Keduanya akhirnya dibawa menemui hakim setempat.

D. Petani tua kemudian menguburkan politikus-politikus itu di kebunnya.

E. Beberapa hari kemudian, petugas dari kepolisian mendatanginya dan menanyakan 

peristiwa kecelakaan itu.

14. (1) Pada zaman dahulu di suatu negara (yang pasti bukan negara kita) ada seorang tukang 

pedati yang rajin dan tekun. (2) Setiap pagi dia membawa barang dagangan ke pasar dengan 

pedatinya. (3) Suatu pagi dia melewati jembatan yang baru dibangun. (4) Namun sayang, 

ternyata kayu yang dibuat untuk jembatan ini  tidak kuat. (5) Akhirnya, tukang pedati itu 

jatuh ke sungai. (6) Kuda beserta dagangannya hanyut.

Cuplikan anekdot di atas disusun dengan pola ....

A. kronologis 

B. komparatif 

C. kausalitas

D. spasial

E. umum khusus

15. Kalimat yang tidak memakai  kata penunjuk keterangan waktu pada soal nomor 14 

ditandai dengan nomor ....

A. (1), (2) 

B. (2), (3) 

C. (3), (4)

D. (4), (6)

E. (5), (6)

-- 20

Perhatikan kutipan teks anekdot di bawah ini untuk menjawab soal nomor 16 dan 17!

Kemudian Si Pembantu yang berbadan pendek, kurus, dan punya uang bertanya kepada hakim, 

“Wahai, Yang Mulia Hakim. Apa kesalahan hamba sehingga harus dipenjara?” Dengan entengnya 

Sang Hakim menjawab, “Kesalahanmu adalah pendek, kurus, dan punya uaaaaang!!!!”

16. berdasar  kaidah kebahasaannya, teks di atas memiliki karakteristik sebagai anekdot 

karena ....

A. mengandung kalimat langsung

B. banyak memakai  kata benda

C. adanya humor yang menggelitik

D. memakai  kata bermakna penyebaban

E. diakhiri dengan suatu koda

17. Konjungsi bermakna urutan waktu di dalam cuplikan anekdot di atas adalah ....

A. kemudian D. adalah

B. kepada E. sehingga

C. dengan

Perhatikan cuplikan teks anekdot di bawah ini untuk menjawab soal nomor 18 dan 19!

Setelah Si Pembantu yang berbadan pendek, kurus, dan punya uang itu dimasukkan ke penjara 

dan uangnya disita, Sang Hakim bertanya kepada khalayak ramai yang menyaksikan pengadilan 

ini , “Saudara-saudara semua, bagaimanakah menurut pandangan kalian, peradilan ini sudah 

adil?” Masyarakat yang ada serempak menjawab, “Adiiill!!!”

18. Cuplikan teks anekdot di atas termasuk ke dalam ....

A. koda D. orientasi

B. reaksi E. abstrak

C. krisis

19. Fungsi keterangan pada cuplikan anekdot di atas diawali dengan penggunaan kata ....

A. setelah D. kepada khalayak

B. sang hakim E. sudah adil

C. ke penjara

20. Pemuda itu menjawab lagi, “Sayangnya, pada kenyataannya kebanyakan orang senang 

disanjung, Pak. Hanya beberapa pria yang benar-benar sejati seperti Anda yang tidak 

menyukai sanjungan.”

 “Mungkin kamu benar,” pejabat senior itu mengangguk sambil ter senyum. 

 Kemudian, pemuda ini  menceritakan pengalaman itu kepada temannya, “saya sudah 

memakai  satu dari persediaanku. Sekarang saya memiliki sembilan puluh sembilan 

ungkapan ABS yang tersisa.”

Pelajaran yang dapat dipetik dari cuplikan anekdot itu adalah ….

A. betapa susahnya melihat kelemahan diri sendiri

B. banyak kesalahan pada diri orang lain yang mudah kita lihat

C. tidak ada orang di dunia ini yang mau mengakui kelemahannya

D. perlu ada saling menghargai antara orang yang satu dengan orang lain

E. setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda di dalam memahami sesuatu

Eksposisi 21

A Pengertian

Perhatikanlah teks berikut.

Generasi Galau

oleh Dr. E. Kosasih, M.Pd.

Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air yang satu, tanah air Indonesia

Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Ikrar Sumpah Pemuda ini  berkumandang pada tanggal 28 Oktober 1928. Itulah 

peristiwa yang menjadi bukti nyata besarnya rasa bangga pemuda pemudi masa lampau 

terhadap tanah air, bangsa, dan bahasanya. Juga menunjukkan kuatnya rasa percaya diri mereka 

terhadap suatu negeri yang bernama “Indonesia”. 

Pemuda-pemudi pada masa lalu dengan gagahnya telah menyatakan diri sebagai pemuda 

dan pemudi yang memiliki jati diri: yang bertanah air dan bangsa yang satu. Dengan penuh 

kebanggaan, mereka pun bertekad untuk selalu menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa 

persatuan; memakai  bahasa Indonesia di dalam segenap pergaulan mereka; bukan bahasa 

Inggris, Belanda, dan bahasa asing lainnya.

Bayangkan! Peristiwa heroik itu terjadi di dalam kondisi yang serba darurat, kritis; di 

tengah-tengah cengkraman bangsa lain. Mereka berada di dalam belenggu dan kebengisan 

bangsa penjajah. Akan tetapi, mereka bisa melahirkan peristiwa bersejarah yang sanggup 

mengguncang seantero negeri.

Padahal tindakan itu penuh risiko. Kematian sewaktu-waktu siap merenggut nyawa. 

Desingan peluru dari ujung-ujung senapan balatentara penjajah sewaktu-waktu bisa mengoyak-

ngoyak raga mereka. Jeruji besi telah menganga untuk memenjarakannya dan kapal-kapal perang 

telah siaga pula untuk membuang mereka ke pulau-pulau terpencil di ujung negeri sebagaimana 

yang dialami oleh pemimpin mereka sebelumnya.

Semua ancaman dan bahaya itu tidak menyurutkan semangat dan tekad mereka untuk 

merdeka. Satu Indonesia, itulah yang menjadi impian mereka. Mimpi itu tujuh belas tahun kemudian 

terwujud, dengan diproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

II Eksposisi

-- 22

Delapan puluh empat tahun lamanya, kumandang Sumpah Pemuda itu telah berlalu.Waktu 

yang telah begitu lama itu memang layak disebut zaman baheula. Dibandingkan dengan era 

sekarang, peradaban pada waktu itu juga bisa dipandang sudah kolot. Kehidupannya masih 

sangat tradisional. Akan tetapi, apabila dilihat dari mentalitasnya, mereka jauh lebih modern. 

Mereka tahu betul akan pentingnya eksistensi dan berartinya harga diri bangsa.  

Memang sangatlah layak apabila peristiwa yang sungguh-sungguh luar biasa itu selalu 

diperingati oleh kita pada era kekinian. Peringatan yang sejati tentu saja tidak sekadar baris 

di lapangan terbuka, menengadah dan menghormati bendera, kemudian mengeja kembali teks 

Sumpah Pemuda dengan suara lantang. Kegiatan upacara dan beragam kegiatan seremonial 

lainnya belum bisa menandingi peristiwa yang sesungguhnya terjadi pada masa itu.

Begitu kontrasnya mentalitas anak-anak generasi kita sekarang dengan para pemuda era 

zaman baheula. Kebanggaan atas negeri dan bahasa sendiri begitu bergeloranya pada dada-

dada mereka. Semangat itulah yang mengharu-biru sepanjang sejarah perjuangan bangsa ini, 

yang puncaknya ditandai dengan terkoyaknya rantai penjajahan yang membelenggu bangsa 

ini selama ratusan tahun, pada 17 Agustus 1945. Itulah buah dari gelora untuk menjadi bangsa 

besar dan mandiri.

Namun, mimpi agung itu kini semakin memudar, tergerus tipu daya dan peradaban bangsa 

lain yang seolah-olah lebih kemilau. Gambaran bahwa negeri lain lebih indah dan bangsa lain 

lebih hebat itulah yang telah menjejali alam pikiran kita sekarang. Kita pada era kekinian justru 

lebih bangga memakai  atribut-atribut asing. Bangga sekali saat  bisa makan dan minum 

buatan orang luar ketimbang bandrek dan bajigur. Seolah-olah menjadi manusia paling modern 

saat  sudah bisa cas-cis-cus berbahasa asing padahal yang diajak bicara adalah tetangga dari 

Ciharupat atau Bojongkoneng. Kita sangat berbahagia pula saat  sudah akrab dengan lagu 

brang-breng-brong dari negeri seberang sana daripada lagu syahdu cianjuran ataupun pentas 

wayang golek.

Bahasa, seni, dan hasil-hasil budaya dari bangsanya sendiri dianggap kolot, ketinggalan 

zaman. Bahkan, anugerah langsung dari Tuhan pun sering kali dicampakkan karena dianggap 

tidak ideal. Kulit sawo matang sebagai ciri khas lain dari bangsa ini harus memutih atau kuning 

langsat. Hidung harus mancung, warna mata biru, rambut harus pirang atau kriwil-kriwil.

Tidak sadarkah bahwa kita terlahir secara kodrati seperti itulah adanya. Darah dan daging 

kita berasal dari saripati tanah dan air yang ada di bumi Indonesia. Sehari-harinya pun kita 

bergaul, bertegur sapa, dan hidup di tengah-tengah orang Indonesia. Akan tetapi, mengapa 

kemudian kita lebih bangga dengan yang dimiliki oleh orang luar; dalam bergaul lebih memilih 

gaya hidup bangsa lain? Walaupun begitu fasih berbahasa asing, bergaya hidup sudah seperti 

bangsa luar, tidak akan menjadikan kita lebih hebat. Sampai kapan pun tetaplah kita akan 

menjadi pecundang, yang berada di bawah ketiak dan kendali bangsa lain. 

Kita akan menjadi pemenang manakala kita bisa eksis dengan jati diri bangsa sendiri. 

Bangsa lain pun memandang hormat. Keadaan itu bisa menjadi kenyataan manakala kita bisa 

mensyukuri semua anugerah Tuhan dan merasa bahagia atas potensi bangsa sendiri.

Sekalipun peristiwa Sumpah Pemuda selalu kita peringati dari tahun ke tahun, makna dari 

peristiwa itu tidak akan berbekas. Mental baja yang ada pada pemuda-pemudi pada masa itu 

tidak memberi dampak berarti kalau kemandirian ataupun kepercayaan diri bangsa tidak kita 

pelihara.

Eksposisi 23

Kalau masih terus heboh begitu ada artis asing, memuja-muja pesepakbola negeri lain, dan 

bersikap dingin terhadap orang Indonesia sendiri, berarti rasa nasionalisme kita berada pada 

titik terendah. Kalau dibandingkan dengan pemuda-pemudi era tahun 20-an itu, kepercayaan 

diri kita sedang ada masalah. Padahal, kalau merasa diri sebagai bangsa maju dan berperadaban 

tinggi, harus semakin hebat pula mentalitas kita. Kenyataannya tidaklah demikian, generasi 

bangsa ini sedang galau kalau begitu. Sungguh! (Penulis, dosen pada Jurusan Pendidikan 

Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, Universitas Pendidikan Indonesia.)

Teks di atas mengungkapkan sejumlah argumen seorang penulis tentang sikap generasi 

muda sekarang. Menurut penulis, generasi muda sekarang jauh berbeda dengan para pemuda 

angkatan 1928 yang dipandangnya memiliki nasionalisme yang tinggi dan bangga atas bangsa 

dan negaranya. 

Secara umum, teks itu diawali dengan pengenalan isu dan pendapat umum penulis. Isu yang 

dimaksud adalah peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928 sebagai bukti nyata besarnya rasa bangga 

pemuda-pemudi masa lampau terhadap tanah air, bangsa, dan bahasanya. Juga menunjukkan 

kuatnya rasa percaya diri mereka terhadap suatu negeri yang bernama “Indonesia”. Bagian ini 

lazim disebut dengan tesis.

Bagian berikutnya diisi dengan sejumlah argumen yang mendukung tesis di atas. Pada 

bagian ini  terkandung pula informasi faktual, serta bukti, gambaran, atau penjelasan yang 

mendukung tesis. Argumen dan fakta yang dikemukakan penulis dalam bagian ini, antara lain, 

sebagai berikut.

Argumen Fakta

1. Peristiwa heroik itu terjadi di dalam kondisi 

yang serba darurat, kritis; di tengah-tengah 

cengkeraman bangsa lain.

2. Padahal tindakan itu penuh risiko.

3. Desingan peluru dari ujung-ujung senapan 

balatentara penjajah sewaktu-waktu bisa 

mengoyak-ngoyak raga mereka.

1. Mereka berada di dalam belenggu dan 

kebengisan bangsa penjajah.

2. Mimpi itu tujuh belas tahun kemudian 

terwujud, dengan diproklamasikan ke mer -

dekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. 

3. Delapan puluh empat tahun lamanya, ku-

mandang Sumpah Pemuda itu telah berlalu.

Teks ini  kemudian diakhiri dengan penegasan kembali terhadap tesis yang telah 

diungkapkan di bagian awal. Pernyataan pada bagian ini lebih kuat dan langsung daripada 

pernyataan yang disampaikan dalam tesis. Dalam teks berjudul “Generasi Galau” di atas, 

penegasan yang dimaksud dinyatakan dalam paragraf berikut.

…rasa nasionalisme kita berada pada titik terendah. Kalau dibandingkan dengan pemuda‑

pemuda era tahun 20‑an itu, kepercayaan diri kita sedang ada masalah. Padahal, kalau merasa 

diri sebagai bangsa maju dan berperadaban tinggi, harus semakin hebat pula mentalitas kita.

Kenyataannya tidaklah demikian, generasi bangsa ini sedang galau kalau begitu. Sungguh!

Teks yang berkarakteristik itulah yang dimaksud dengan eksposisi. Istilah eskposisi berasal 

dari kata ekspos yang berarti ‘memberitakan disertai dengan analisis dan penjelasan’. Adapun 

sebagai suatu teks, eksposisi dapat diartikan sebagai karangan yang menyampaikan argumentasi 

dengan tujuan untuk meyakinkan orang lain. Dalam pengembangannya, teks eksposisi dapat 

-- 24

memakai  fakta, contoh-contoh, gagasan-gagasan penulisnya, ataupun pendapat-pendapat 

para ahli. Bahkan, teks itu dapat dilengkapi dengan media-media visual, seperti tabel, grafik, 

peta, dan yang lainnya.

Teks eksposisi mengemukakan suatu persoalan tertentu berdasar  sudut pandang penulisnya. 

Hal ini  menyebabkan bahasan teks eksposisi cenderung subjektif. Hal itu sebagaimana yang 

tampak dalam contoh tulisan di atas. Penulis mengemukakan gagasan atau pendapat-pendapat 

pribadinya tentang sikap dan peran generasi muda sekarang yang menurutnya sudah jauh berbeda 

dengan generasi muda pada masa silam.

Pengertian eksposisi sebagai teks yang bersifat argumentatif ini  berbeda dengan konsep 

teks eksposisi yang dikenal dalam beberapa literatur lainnya. Dalam literatur ini  eksposisi 

didefinisikan sebagai teks yang berupa paparan sama seperti halnya dengan teks laporan, teks 

prosedur, teks eksplanasi, teks berita, dan teks-teks jenis lainnya. Teks eksposisi sebagai paparan 

merupakan definisi teks (karangan) berdasar  tujuannya. Pendefinisian ini  ditinjau 

berdasar  karakteristik isinya. Di samping eksposisi, dikenal pula jenis karangan narasi, 

deskripsi, argumentasi, dan persuasi. Kelima jenis karangan ini  dikelompokkan berdasar  

tujuannya, yakni (1) karangan yang bertujuan untuk menceritakan--narasi, (2) bertujuan untuk 

menggambarkan--deskripsi, (3) bertujuan untuk memaparkan--eksposisi, (4) bertujuan untuk 

meyakinkan--argumentasi, dan (4) bertujuan untuk menyampaikan bujukan--persuasi.

Adapun eksposisi sebagai suatu teks yang bersifat argumentatif merupakan pengategorian 

yang lebih berfokus pada struktur dan kaidah kebahasaannya. Oleh karena itu, jenisnya pun lebih 

banyak dan beragam.Hal ini terkait dengan pola pengembangan teks serta aspek kebahasaan suatu 

teks yang bisa sangat bervariatif yang mungkin dikembangkan oleh seseorang.

B Fungsi, Struktur, dan Kaidah Teks Eksposisi

1. Fungsi Teks Eksposisi

berdasar  fungsi atau tujuan penyampaiannya, eksposisi tergolong ke dalam jenis 

teks yang argumentatif. Pembaca ataupun pendengarnya diharapkan mendapatkan pengertian 

ataupun kesadaran tertentu dari teks ini . Tidak sekadar pengetahuan ataupun wawasan 

baru, tetapi lebih dari itu, yakni berupa perubahan sikap atau sekurang-kurangnya berupa 

persetujuan atas pernyataan-pernyataan di dalam teks ini .

Sebagaimana yang dicontohkan di atas bahwa teks yang berjudul “Generasi Galau” 

ini  didominasi oleh sejumlah pendapat penulisnya. Begitu berhadapan dengan paragraf 

pertama, pembaca sudah disajikan suatu pendapat, yang dalam hal ini lazim disebut sebagai 

tesis. Berikutnya berupa rangkaian argumentasi penulis yang bertujuan memperkuat tesis yang 

disampaikan dan diakhiri dengan kesimpulan atau penegasan kembali. Dengan demikian, 

dari sejumlah argumentasi ini  khalayak dapat pula membenarkan bahwa generasi muda 

sekarang memang sedang galau.

2. Struktur Teks Eksposisi

Teks eksposisi dibentuk oleh tiga bagian, yakni sebagai berikut.

a. Tesis, bagian yang memperkenalkan persoalan, isu, atau pendapat umum yang merangkum 

keseluruhan isi tulisan. Pendapat ini  biasanya sudah menjadi kebenaran umum yang 

tidak terbantahkan lagi.

Eksposisi 25

b. Rangkaian argumen, yang berisi sejumlah pendapat dan fakta-fakta yang mendukung 

tesis.

c. Kesimpulan, yang berisi penegasan kembali tesis yang diungkapkan pada bagian awal.

S

tru

kt

ur

 T

ek

E

ks

po

si

si Tesis

Rangkaian 

Argumentasi

Kesimpulan

Argumentasi I

Argumentasi II

Argumentasi III

3. Kaidah Teks Eksposisi

Teks eksposisi merupakan teks yang menyajikan pendapat atau gagasan yang dilihat 

dari sudut pandang penulisnya dan berfungsi untuk meyakinkan pihak lain bahwa argumen-

argumen yang disampaikannya itu benar dan berdasar  fakta-fakta. Konsekuensinya, di 

dalam teks ini  ada satu topik tertentu yang menjadi perhatian penulisnya, yang dikupas 

secara spesifik. Karena pendapat-pendapat itu berupa pandangan-pandangan penulisnya, 

di dalam teks eksposisi mungkin pula dijumpai ungkapan subjektif penulisnya, seperti 

sepertinya, saya anggap, saya duga, dimungkinkan, dan kata-kata sejenis lainnya.

Namun, mungkin pula subjek penulis termasuk kata ganti persona lainnya disampaikan 

secara tersirat, yakni dengan mengubahnya ke dalam bentuk pasif, seperti dalam kalimat-

kalimat berikut.

a. Akan tetapi, apabila dilihat dari mentalitasnya, mereka jauh lebih modern. Mereka tahu 

betul akan pentingnya eksistensi dan berartinya harga diri bangsa.  

b. Dibandingkan dengan era sekarang, peradaban pada waktu itu juga bisa dipandang sudah 

kolot.

c. Satu Indonesia, itulah yang menjadi impian mereka. Mimpi itu tujuh belas tahun kemudian 

terwujud, dengan diproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Kaidah kebahasaan lainnya dari teks eksposisi adalah sebagai berikut.

a. Banyak memakai  pernyataan-pernyataan persuasif. 

Contoh:

1) Itulah buah dari gelora untuk menjadi bangsa besar dan mandiri.

2) Akan tetapi, mengapa kemudian kita lebih bangga dengan yang dimiliki oleh orang 

luar; dalam bergaul lebih memilih gaya hidup bangsa lain? 

3) Walaupun begitu fasih berbahasa asing, bergaya hidup sudah seperti bangsa luar, 

tidak akan menjadikan kita lebih hebat. 

4) Sampai kapan pun tetaplah kita akan menjadi pecundang, yang berada di bawah 

ketiak dan kendali bangsa lain.

-- 26

b. Banyak memakai  pernyataan yang menyatakan fakta untuk mendukung atau 

membuktikan kebenaran argumentasi penulis/penuturnya. Mungkin pula diperkuat oleh 

pendapat ahli yang dikutipnya ataupun pernyataan-pernyataan pendukung lainnya yang 

bersifat menguatkan. Dalam contoh di atas, kutipan tampak pada ikrar Sumpah Pemuda.

c. Banyak memakai  pernyataan atau ungkapan yang bersifat menilai atau mengomentari.

Contoh:

1) Begitu kontrasnya mentalitas anak-anak generasi kita sekarang dengan para pemuda 

era zaman baheula. Kebanggaan atas negeri dan bahasa sendiri begitu bergeloranya 

pada dada-dada mereka.

2) Namun, mimpi agung itu kini semakin memudar, tergerus tipu daya, dan peradaban 

bangsa lain yang seolah-olah lebih kemilau.

3) Sekalipun peristiwa Sumpah Pemuda selalu kita peringati dari tahun ke tahun, 

makna dari peristiwa itu tidak akan berbekas. Mental baja yang ada pada pemuda-

pemudi pada masa itu tidak memberi dampak berarti kalau kemandirian ataupun 

kepercayaan diri bangsa tidak kita pelihara. 

d. Banyak memakai  istilah teknis berkaitan dengan topik yang dibahasnya. Topik 

contoh teks di atas adalah tentang generasi muda dan kebangsaan. Adapun istilah-istilah 

teknis yang terkait dengan topik itu, antara lain, Sumpah Pemuda, heroik, peradaban, 

proklamasi, tradisional, mentalitas, nasionalisme.

e. Banyak memakai  konjungsi yang berkaitan dengan sifat dari isi teks itu sendiri. 

Contoh teks di atas bersifat mempertentangkan atau mengontraskan, yakni antara 

generasi muda masa lalu dan generasi muda sekarang. Konjungsi-konjungsi yang 

dipakai  adalah akan tetapi, namun, walaupun, padahal.

f. Banyak memakai  kata kerja mental. Hal ini terkait dengan karakteristik teks 

eksposisi yang bersifat argumentatif dan bertujuan mengemukakan sejumlah pendapat. 

Kata kerja yang dimaksud, antara lain, menyatakan, mengetahui, memuja, merasa, 

berbahagia, bersikap, membayangkan, dipandang, dianggap, menduga, diperkirakan.

Contoh:

1) Bahasa, seni, dan hasil-hasil budaya dari bangsanya sendiri dianggap kolot, 

ketinggalan zaman. 

2) Kalau masih terus heboh begitu ada artis asing, memuja-muja pesepakbola negeri 

lain dan bersikap dingin terhadap orang Indonesia sendiri, berarti rasa nasionalisme 

kita berada pada titik terendah.

3) Kita sangat berbahagia pula saat  sudah akrab dengan lagu brang-breng-brong dari 

negeri seberang.

4) Dibandingkan dengan era sekarang, peradaban pada waktu itu juga bisa dipandang 

sudah kolot. 

5) Mereka tahu betul akan pentingnya eksistensi dan berartinya harga diri bangsa. 

6) Memang sangatlah layak apabila peristiwa yang sungguh-sungguh luar biasa itu 

selalu diperingati oleh kita pada era kekinian.

7) Padahal, kalau merasa diri sebagai bangsa maju dan beperadaban tinggi, harus 

semakin hebat pula mentalitas kita. 

Eksposisi 27

Perhatikanlah pula teks eksposisi lainnya di bawah ini.

Ironisme: Sandal Jepit untuk Ketidakadilan

Seorang remaja berinisial AAL, gara-gara mencuri sandal, ia harus dimejahijaukan, 

kemudian divonis bersalah. Masyarakat memandang bahwa aparat penegak hukum sudah 

keterlaluan, berlaku sistem tebang pilih. Kasus hukum yang ecek‑ecek diperkarakan, 

sementara masih banyak kejahatan serius yang dipandang sebelah mata. Koruptor yang 

menggasak uang negara miliaran, bahkan triliunan rupiah, dibiarkan melenggang bebas, 

tidak diotak-atik, tanpa tersentuh hukum.

Polisi dan jaksa disibukkan oleh kasus-kasus sepele, seakan-akan tidak ada kasus 

lain yang jauh lebih urgen. Kasus pencurian sandal butut dan uang yang hanya seribu 

perak, sebenarnya bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah. Logikanya kalau segala 

kenakalan remaja itu diperkarakan, penjara akan penuh dengan manusia-manusia belia. 

Bisa jadi nanti semacam kasus nyolong permen kena penjara, menghilangkan buku 

perpustakaan dibui, mematahkan pagar bambu balai kelurahan didakwa, menginjak sepatu 

tentara disidangkan.

Cara kerja mereka seperti dipandang tidak punya arti apa pun bagi kepentingan 

negara dan rakyat secara luas. Perlakuan itu hanya memenuhi syahwat dan arogansi para 

penguasa. Padahal keberadaan aparat penegak hukum adalah untuk menjadikan negara 

dan rakyatnya memperoleh rasa aman dan sejahtera. Sementara itu, keamanan dan 

kesejahteraan di mana-mana sedang dikuasai oleh mafia-mafia dan para koruptor. Hampir 

setiap waktu masyarakat mengeluhkan fasilitas umum yang rusak, pelayanan publik yang 

tidak profesional dan sarat pungli, serta sistem peradilan yang memihak.

Persoalan-persoalan itulah yang seharusnya menjadi perkara utama aparat penegak 

hukum. Hal ini karena negara telah mengeluarkan dana sangat besar untuk belanja berbagai 

sarana dan fasilitas umum; menggaji jutaan pegawai. Namun, kinerja mereka sangat jauh 

dari harapan.

Harapan rakyat, keberadaan para pengadil itu bukan untuk mengurus perkara yang 

ecek‑ecek. Mencuri tetap merupakan perbuatan salah. Akan tetapi, mereka haruslah 

memiliki prioritas dan nurani. Kasus-kasus berkelas kakap semestinya menjadi sasaran 

utama. Korupsi besar-besaran diindikasikan hampir terjadi di setiap instansi, tetapi yang 

terjadi kemudian hanya satu-dua kasus yang terungkap. Itu pun saat  sampai di meja 

pengadilan banyak yang lolos, tidak masuk bui.

Aparat penegak hukum beraninya terhadap kaum sandal jepit, orang-orang miskin 

papa. Namun, mereka loyo saat  berhadapan dengan perkara para penguasa dan orang-

orang kaya. Dalam perhitungan ilmu ekonomi, apa yang mereka perbuat, jauh dari 

harapan untuk bisa break event point antara pemasukan dengan pengeluaran masih sangat 

timpang. Rakyat akhirnya tekor. Mereka dihidupi dan dibiayai dengan “modal” besar. 

Harusnya mereka bisa membayarnya dengan kejujuran dan kerja keras, yakni dengan 

memenjarakan penjahat-penjahat kelas kakap sehingga uang negara, yang mereka gasak 

itu bisa dikembalikan. Kesejahteraan dan keamanan negara pun bisa diwujudkan.

-- 28

Namun, harapan tinggallah kenangan. Sudah belasan tahun berlalu, sejak reformasi 

bergulir pada tahun 2008, harapan itu belum juga menjadi kenyataan. Ketidakadilan 

bahkan semakin mewabah di berbagai lini kehidupan. Korupsi tetap mewabah di mana-

mana. Rakyat kian termarginalkan. Dibuai janji-janji manis alam demokrasi, seolah-olah 

rakyat punya kuasa, padahal semuanya semu. 

saat  mereka menyuarakan hak-haknya atau melaporkan bentuk-bentuk ketidakadilan 

yang dialaminya baik itu dari pihak penguasa maupun orang-orang kaya, mereka malah 

terkerangkeng oleh tuduhan pen ce maran nama baik. Begitu giliran rakyat berbuat salah 

walaupun secuil, pengadilan dan hukuman penjara dengan enteng saja segera mereka dapatkan. 

Rakyat, sebagai pemilik sah negeri ini, tentu saja menjadi frustrasi. Entah bagaimana 

caranya untuk menumpahkan kekecewaan itu. Mengadu kepada anggota dewan pun 

sering kali rontok di tengah jalan: aspirasi rakyat sekadar ditampung, penindaklanjutannya 

perkara belakangan. Berbagai pengaduan jarang membuahkan hasil karena mereka sudah 

terlena dengan berbagai fasilitas dan kemewahan. Kemudian, muncullah inisiatif untuk 

memberi  “sumbangan rasa simpati” berupa sandal jepit, sebagai bentuk sindiran atas 

tindakan para pengadil yang mengada-ada alias kurang kerjaan itu.

Tindakan “utang sandal dibayar sandal” dalam kasus AAL memiliki makna sindiran.

Tindakan ini  berarti segala perbuatan salah harus dibayar dengan setimpal, sesuai 

dengan bentuk kejahatannya. Dalam tata kehidupan masyarakat tempo dulu, cara-cara 

ini  bisa dianggap wajar dan masuk akal. Namun, dalam kehidupan masyarakat modern, 

yakni saat  sistem sosial budayanya sudah tertata dengan baik, cara penghukuman harus 

pula mempertimbangkan hati nurani, motif, dan aspek-aspek lainnya.

Sayangnya, dalam masyarakat modern pun, tata laksana hukum itu ternyata tidak 

serta merta berjalan dengan baik. saat  hukum tidak berjalan dengan semestinya, pada 

akhirnya masyarakat tidak akan mempercayai negara sebagai penyelenggara hukum 

yang kredibel. Masyarakat membuat tindakan penghukuman dengan caranya sendiri. 

Masyarakat menggugat terhadap ketidakadilan aparat penegak hukum, antara lain, dalam 

bentuk sindiran itulah. 

Tindakan masyarakat seperti itu dalam ilmu bahasa disebut dengan ironi, yakni 

pernyataan, tindakan, atau keadaan yang bertentangan dengan maksud yang sesungguhnya. 

Masyarakat memberi  “kado istimewa” atas kinerja aparat penegak hukum, berupa sandal 

dan uang recehan. Dengan tindakan itu bukan berarti masyarakat memiliki rasa kasihan 

ataupun ingin membantu. Akan tetapi, tindakan itu mengandung makna sebaliknya, yakni 

sikap tidak suka. “Kalau Anda begitu sayang terhadap sandal jepit atau uang seribuan 

sehingga begitu teganya Anda menghukum orang, biarlah kami kasih Anda jauh lebih 

banyak dari itu!” Begitulah kira-kira pesan yang terkandung di dalam pemberian sandal 

jepit dan uang recehan itu.

Sindir-menyindir lazim pula terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan ini  

dilakukan saat  seseorang melakukan kritik secara tidak langsung kepada pihak lain. 

saat  seorang siswa datang terlambat, gurunya sering kali menyampaikan sindirian, 

“Pagi-pagi benar kamu datang ke sekolah, apa tidak sekalian saja nanti saat  orang lain 

sudah bubar?” Seorang suami menyindir sang istri setelah melihat rumahnya berantakan, 

“Wah, rapi sekali rumah kita, ya, Mah. Pasti kecoa dan tikus-tikus bakal betah juga tinggal 

di sini!” Pernyataan-pernyataan itu sebenarnya menyatakan maksud yang sebaliknya. 

Eksposisi 29

Dengan maksud yang sama, cara ini  dilakukan pula oleh masyarakat dengan pe-

nyerahan ratusan sandal jepit. Mereka menyindir aparat penegak hukum atas tindakannya 

yang berlebihan itu, supaya mereka nyadar.

Namun, karena ironisme merupakan sindiran yang bersifat tidak langsung, bisa jadi 

orang yang ditujunya tidak merasa sedang dikritik. Siswa yang disindir gurunya itu, boleh 

jadi malah nyengir atau sang istri itu pun menjadi bangga, ia berpikir dipuji suaminya. 

Padahal bagi orang yang punya rasa, mendapat sindiran seperti itu tentunya bakal 

tersinggung, setidaknya menyadari akan kesalahannya. 

Menyindir dengan gaya ironisme memang tampak halus karena dilakukan secara tidak 

langsung, tidak vulgar, tidak pula kasar. Namun, sindiran itu sebenarnya sangat tajam dan 

menghinakan. Bagaimana tidak, seseorang yang sesungguhnya tidak perlu‑perlu amat 

dengan sandal jepit karena memang ia berkecukupan, kemudian mendapat sumbangan 

sandal jepit. Harusnya ia merasa terhina karena memang malu‑maluin, seolah-olah ia orang 

yang ‘miskin papa’. Seseorang yang sebenarnya kaya, kemudian diberi uang recehan.

Tentu saja orang itu harusnya merasa tersinggung.

Menggugat kesewenang-wenangan aparat ataupun penguasa dengan gaya ironisme 

tidak selalu bisa dilakukan. Hanya kasus tertentu yang mudah disindir seperti itu. 

Misalnya, polisi yang memenjarakan seseorang yang mencuri anak ayam, tentunya sulit 

untuk disindir dengan pengumpulan anak ayam lagi. Kalaupun dipaksakan, yang repot 

adalah pihak pengumpulnya. Ia harus memberi makan, membuat kandang, dan urusan-

urusan lainnya.

Yang pasti bahwa dalam kasus sandal jepit dan uang recehan, ko notasinya sangat 

pas. Kedua benda ini  merupakan simbol perjuangan rakyat miskin atau mereka yang 

termarginalkan. Harusnya aparatur negara, khususnya para penegak hukum, merasa malu 

dengan memperoleh persembahan barang-barang seperti itu. Namun, kalaulah nuraninya 

sudah begitu haus kekayaan dan tertutup dengan arogansi kekuasaan, tidak ada dalam 

kamusnya untuk menjadi malu. Begitu mendapat “hadiah” ratusan sandal, boleh jadi mereka 

malah senang: Lumayan tuk pergi ke kamar mandi! Begitu mendapat “sumbangan” uang 

recehan, senang juga karena bisa mengisi kotak amal masjid! Begitulah “nasib” si muka 

badak, jangankan disindir-sindir atau diteriaki. Dimaki-maki juga sepertinya tidak bakal 

berubah. Kecuali langit sudah runtuh, barulah mereka bisa bilang innalilah! (Dokumentasi 

penulis)***

Teks di atas mengungkapkan pendapat penulisnya tentang ketidakadilan hukum yang 

terjadi di negeri ini. Tulisan itu diawali sajian tesis tentang pandangan masyarakat terhadap 

peristiwa hukum yang terjadi di Indonesia, yakni berupa vonis yang menimpa seorang pencuri 

sandal jepit. Peristiwa itu kemudian menjadi dasar bagi argumen penulis bahwa telah terjadi 

ketidakadilan hukum. Argumen ini  kemudian diperkuat oleh argumen-argumen lainnya 

dan ditunjang pula oleh sejumlah fakta.

Tulisan itu pun diakhiri dengan penegasan kembali bahwa sandal jepit merupakan simbol 

rakyat kecil dalam memperjuangkan hak-haknya, melawan ketidakadilan yang menimpa 

dirinya, walaupun perjuangan itu sering kali tidak membuahkan hasil karena sedemikian 

bebalnya pihak-pihak yang mereka lawan itu.

berdasar  kaidah-kaidah kebahasaannya, teks ini  memiliki karakteristik sebagai 

berikut.

-- 30

1. memakai  pernyataan-pernyataan persuasif.

Contoh:

a. Harusnya ia merasa terhina karena memang malu‑maluin, seolah-olah ia orang yang 

‘miskin papa’.

b. Persoalan-persoalan itulah yang seharusnya menjadi perkara utama aparat penegak 

hukum. 

2. Menyampaikan pernyataan yang bersifat menilai.

Contoh:

a. Kasus hukum yang ecek‑ecek diperkarakan, sementara masih banyak kejahatan 

serius yang dipandang sebelah mata.

b. Namun, harapan tinggallah kenangan. Sudah belasan tahun berlalu, sejak reformasi 

bergulir pada tahun 2008, harapan itu belum juga menjadi kenyataan. Ketidakadilan 

bahkan semakin mewabah di berbagai lini kehidupan. Korupsi tetap mewabah di 

mana-mana. Rakyat kian termarginalkan. Dibuai janji-janji manis alam demokrasi, 

seolah-olah rakyat punya kuasa, padahal semuanya semu.

3. memakai  fakta untuk menguatkan argumentasi.

Contoh:

 Seorang remaja berinisial AAL, gara-gara mencuri sandal, ia harus dimejahijaukan, 

kemudian divonis bersalah.

4. memakai  istilah-istilah teknis. Karena berkaitan dengan topik hukum, istilah-

istilah teknis yang dipakai  antara lain, vonis, penegak hukum, kasus hukum, koruptor, 

mafia.

5. Banyaknya penggunaan kata kerja mental, seperti memandang, di per kirakan, dianggap, 

mempercayai, menyindir, menyatakan, tersinggung, merasa malu. 

C Perbandingan Teks Ekpsosisi

1. Teks Eksposisi dengan Teks Eksposisi Lainnya

Teks eksposisi mudah kita temukan di berbagai media (surat kabar). Wujudnya bisa 

berupa berita ataupun artikel, esai, editorial. Dalam bentuk lisan, mudah pula dijumpai dalam 

acara-acara debat atau berbentuk komentar-komentar.

Apabila dicermati secara lebih mendalam, walapun masih sejenis, teks-teks itu memiliki 

beberapa perbedaan di samping persamaan-persamaannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan 

kedua teks di bawah ini.

Teks I

Begini Aktifnya Otak Saat Kita Membaca

Jika Anda hobi membaca tentu membaca sebuah novel yang disukai adalah hal yang 

menyenangkan. Apalagi dengan menyelami isi cerita sehingga membuat otak menjadi 

hidup dengan terbawa emosi dan bahkan mengaktifkan indra.

Dilansir dari laman Fitnea, para peneliti menemukan bahwa penggam baran visual 

terjadi secara otomatis.Orang-orang mampu mengidentifikasi penggambaran objek lebih

Eksposisi 31

cepat jika mereka hanya membaca kalimat yang menggambarkan objek secara visual.

Dengan begitu, saat  membaca kalimat, Anda secara otomatis memunculkan gambar 

objek dalam pikiran Anda.

Selain itu, setiap kata yang diucapkan membuat otak bekerja. Penelitian telah 

menunjukkan bahwa tindakan mendengarkan cerita dapat menghidupkan otak. saat  

Anda menceritakan sebuah cerita, tidak hanya bagian pengolahan bahasa otak Anda yang 

aktif, tapi bagian pengalaman otak Anda menjadi hidup juga.

Bila Anda mendengar tentang makanan, korteks sensorik Anda akan terangsang, 

sementara gerakan mengaktifkan korteks yang bertanggung jawab atas tindakan. Anda 

bisa mendengarkan cerita panjang teman Anda yang membosankan tentang liburannya 

atau mendengarkan buku audio untuk melatih otak Anda menjadi lebih baik (Republika, 

26 November 2013)

Teks II

Analisa Otak, Peneliti Ungkap Alasan Albert Einstein Jenius

Albert Einstein, ilmuwan fisika dan penemu teori relativitas ini, dipandang sebagai 

ilmuwan terbesar dalam abad ke-20. Dilansir News Max Health, Rabu (9/10/2013), dari 

otak Einstein yang diambil tujuh jam setelah kematiannya pada tahun 1955, ditemukan 

bahwa belahan bagian kiri dan kanannya terhubung dengan sangat baik. Sesuai dengan 

temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Brain, otak kedua sisi otak Einstein bersinergi 

dengan baik satu sama lain. 

“Studi kali ini dilakukan lebih detail, kami benar-benar mencoba untuk meneliti 

bagian dalam otak Einstein. Penelitian ini menyediakan informasi baru untuk membantu 

kita memahami secara lengkap permukaan otak Einstein,” ujar penulis studi, Dean Falk, 

seorang antropolog evolusi di Florida State University, AS.

Pemimpin peneliti, Weiwei Men, dari East China Normal University, juga 

mengungkapkan telah mengembangkan teknik analisis otak terbaru dalam studi ini. Ia 

mengatakan telah memeriksa bagian corpus callosum pada otak Einstein, yaitu bagian 

terbesar dari serat otak yang menghubungkan dua sisi belahan. Untuk penelitian ini, 

Weiwei memakai  foto resolusi tinggi dari otak Einstein yang telah diterbitkan oleh 

Falk pada tahun 2012.

Teknik Weiwei mengungkapkan adanya variasi ketebalan dari bagian corpus 

callosum pada otak Einstein, di mana serabut saraf yang ada memungkinkan aktivitas otak 

‘menyeberang’ secara sempurna dari satu belahan ke belahan otak yang lain. Ketebalan ini 

menunjukkan jumlah saraf yang melintas di daerah tertentu.

Para peneliti kemudian membandingkan otak Einstein dengan 15 pria tua dan 52 

pria muda. Dari hasil perbandingan ini ditemukan bahwa Einstein memiliki hubungan yang 

lebih luas pada bagian-bagian tertentu dari belahan otaknya, jika dibandingkan dengan 

otak seluruh responden. Inilah sebabnya hingga saat ini Einstein masih dianggap sebagai 

seseorang yang jenius dan belum ada yang bisa menyamainya. (detikcom, 9 Oktober 2013).

Kedua teks di atas sama-sama berjenis eksposisi. Keduanya membahas tentang otak. Kedua 

teks ini  memanfaatkan hasil penelitian untuk memperkuat pembahasan itu. Di dalamnya 

memakai  banyak pendapat, bahkan mengutip sumber tertentu untuk menguatkan 

argumen-argumen penulisnya.

-- 32

Persamaan lainnya, tampak pada kedua teks ini  yang didominasi dengan kata 

kerja mental, seperti membaca, mendengarkan, mengidentifikasi, melatih, mengungkapkan, 

membedakan, meneliti, membosankan, menye nangkan. Kata-kata teknis juga bayak dijumpai 

di dalamnya, seperti korteks sensorik, buku audio, jurnal, antropologi evolusi, corpus 

callosum, responden, foto resolusi.

Adapun perbedaannya, pembahasan teks I difokuskan pada kerja otak saat  membaca.

Sementara itu, teks II lebih membahas tentang penyebab kecerdasan Albert Einstein. Perbedaan 

lainnya tampak pada gaya penyampaiannya. Teks I langsung menyapa pembacanya dengan kata 

ganti Anda, sedangkan teks II lebih netral, tidak tertuju pada pembacanya secara jelas.

berdasar  pola pengembangannya, teks I disusun dengan pola kausalitas. Hal itu 

tampak dari konjungsi korelatif… jika,… maka yang dipakai  di dalamnya beberapa kali. 

Adapun teks II lebih banyak memakai  pola perbandingan yang dipadukan dengan pola 

kronologis. Hal itu sebagaimana yang tampak pada konjungsi pada penggunaan konjungsi 

kemudian dan ungkapan-ungkapan perbandingan.

Bagaimana halnya dengan perbandingan kedua teks di bawah ini?

Teks I 

Siswa SMK bisa membuat mobil dan pesawat terbang! Berita-berita itu beberapa 

minggu terakhir menjadi headline banyak media massa nasional, baik cetak maupun 

elektronik. Sangat luar biasa memang di tengah-tengah pemberitaan yang lebih banyak 

menyoroti masalah tawuran para pelajar dan aneka perbuatan onar lainnya. Bahkan, 

seminar-seminar juga banyak membahas tingkah mereka dari sisi kenakalannya.

Kemampuan para siswa SMK yang mampu membuat mobil telah membuat banyak 

orang terpesona. Para pejabat berlomba mengajukan pesanan untuk menunjukkan rasa 

peduli terhadap prestasi mereka dan juga cinta terhadap produk dalam negeri. Berbagai 

pujian dan decak kagum pun mengalir dari berbagai lapisan masyarakat. Kok bisa siswa 

SMK membuat karya yang prestisius seperti itu?

Wajar apabila banyak kalangan terkagum-kagum. Membuat mobil memang masih 

dianggap prestasi yang sangat prestisius, mengingat di negeri ini untuk membuat karya 

sederhana saja seperti tabung gas masih mengandalkan kemampuan orang luar. Pemerintah 

masih harus mengimpor.

Juga bagaimana tidak kagum, pemerintah sendiri yang punya kekuatan modal, 

kebijakan, dan memiliki banyak ahli, masih belum berhasil mewujudkannya.Hanya tergelar 

di meja wacana saja, realisasinya entah kapan.Tudingan miring kemudian beralih pada 

pihak-pihak yang seharusnya lebih mumpuni di bidang itu. BPPT merupakan salah satu 

pihak yang kena imbasnya. Menurut beberapa kalangan, justru BPPT-lah yang seharusnya 

menjadi motor penggerak bagi kebangkitan industri mobil nasional.

Perguruan tinggi yang membuka jurusan teknik mesin/otomotif juga tak luput dari 

rasa penyesalan itu. Masyarakat berpandangan bahwa lulusan perguruan tinggi justru lebih 

jago ketimbang siswa SMK. Harapannya, merekalah yang terdepan dalam melahirkan 

karya-karya inovatif. Karya prestisius anak bangsa itu seharusnya dari tangan-tangan 

mereka yang dari segi pendidikan jauh lebih tinggi, tetapi nyatanya siswa SMK-lah yang 

lebih bisa.

Eksposisi 33

Memang, dalam berkarya pada akhirnya tidak bisa memandang status ataupun tingkat 

pendidikan. Siapa pun yang punya kemauan, bekerja keras, dan memiliki kreativitas 

tinggi, itulah yang berhak meraih prestasi. Tidak terkecuali remaja-remaja yang masih 

berpendidikan SMK itu, dari segi usia tentu saja tergolong sangat muda, berkisar 16-

17 tahun, dari segi pengetahuan pun masih mendasar. Mereka intensif memperoleh 

pengetahuan tentang keotomotifan tidak kurang dari 1-2 tahun. Akan tetapi, mereka 

berhasil membuat suatu karya yang mengagumkan masyarakat luas.

Tentu saja tidaklah adil apabila karya mereka dibandingkan dengan produk-produk 

Eropa ataupun Jepang yang telah lebih dulu ada. Produk mereka memakai  teknologi 

mutakhir dengan sumber daya yang jauh berpengalaman dan dari berbagai keahlian. Modal 

mereka pun berlipat-lipat untuk bisa memproduksi mobil yang berkualitas tangguh.

Namun, apabila dilihat dari berbagai keterbatasannya, pujian dan kekaguman lebih 

pantas dialamatkan pada mereka. Tidak semata-mata pada produknya--kalaulah memang 

masih banyak kekurangan--acungan jempol lebih pantas lagi dialamatkan pada pola 

pendidikan yang diterapkan di SMK ini . Guru-guru dan jajarannya berhasil mengantar 

siswa-siswa mereka di gerbang prestasi nasional. Di tengah-tengah kemuraman dunia 

pendidikan di Tanah Air, mereka berhasil mengukir prestasi. Keterbatasan fasilitas belajar 

dan carut-marutnya sistem pendidikan nasional, ternyata tidaklah menjadi kendala berarti 

bagi SMK yang bersangkutan untuk bisa mencetak siswa-siswa berprestasi.

Banyak pejabat daerah, bahkan anggota dewan, tampak berlomba-lomba ingin 

menunjukkan perhatian terhadap prestasi mereka. Itulah hal yang diberitakan banyak 

media akhir-akhir ini. Namun, sayangnya sangat kurang pemberitaan yang menyoroti 

pola pendidikan yang diterapkan di SMK ini  selama ini. Seberapa besar pula biaya 

yang dipungut sekolah pada para siswanya? Masyarakat tentunya sangat penasaran 

dengan semua itu. Penularan pola pendidikan yang berlaku di sana sangat penting agar 

terjadi penyebaran prestasi dan kreativitas. Kalau toh kurikulumnya sama, fasilitas dan 

kompetensi gurunya juga tidak jauh berbeda, seharusnya prestasi seperti itu muncul juga 

dari sekolah-sekolah menengah atas (SLTA) lainnya (Sumber: dokumen penulis).

Teks II

Dalam beberapa hari terakhir demonstrasi penolakan atas ren cana pemerintah untuk 

menaikkan harga BBM marak di berbagai pelosok tanah air. Tidak hanya teriakan untuk 

meminta pemerintah mengu rungkan rencananya itu, demonstrasi ini  disertai pula 

dengan perusakan fasilitas umum, kendaraan pribadi, bahkan beberapa di antaranya 

berupa penyerangan fisik terhadap aparat. Menanggapi peristiwa-peristiwa semacam itu, 

beberapa pihak menyatakan bahwa penyebab demonstrasi dan anarkisme tidak lain adalah 

faktor laparnya masyarakat dan pengangguran. Lantas, seorang pengamat mencontohkan 

rakyat Malaysia dan Brunei yang adem ayem, tanpa sering berdemonstrasi apalagi melakukan 

anarkisme, lantaran kesejahteraan mereka terpenuhi.

Pendapat ini  tentu saja bertentangan dengan pendapat para demonstran itu 

sendiri. Mereka tidak berterima dan tidak merasa me miliki motif serendah itu. Mereka 

berpendirian bahwa demonstrasi yang biasa mereka lakukan murni untuk memperjuangkan 

kebenaran dan melawan kemungkaran yang terjadi di hadapannya.

-- 34

Persoalannya kemudian, pendapat manakah yang benar? Barangkali logika sang 

pengamat dikaitkan dengan kebiasaan bayi atau anak kecil yang memang begitu adanya. 

Kalau seorang bayi merasa lapar, ia akan ngamuk: menangis dan meronta-ronta. Namun, 

apabila logika itu dibawa pada konteks yang lebih luas, jelaslah tidak relevan,  misalnya 

membandingkan dengan kondisi rakyat di Malaysia ataupun Brunei yang adem-ayem, 

tidak seperti halnya rakyat Indonesia yang gampangan.

Demonstrasi massa tidak selalu disebabkan oleh urusan perut, bahkan banyak peristiwa 

yang sama sekali tidak didasari oleh motif itu. Dalam kaitannya dengan kebutuhan 

manusia, Abraham Maslow membaginya ke dalam beberapa tingkatan. Kebutuhan yang 

paling mendasar adalah makan dan minum. Sementara itu, yang paling puncak adalah 

kebutuhan akan aktualisasi diri.

Menurut hemat penulis, demonstrasi massa justru lebih didasari oleh kebutuhan 

tingkatan akhir itu. Masyarakat berdemonstrasi karena membutuhkan pengakuan dari 

pemerintah ataupun pihak-pihak lain berkenaan hak-hak dan eksistensi mereka. Karena 

merasa dibiarkan, hak-haknya diingkari, bahkan dinistakan, kemudian mereka berusaha 

untuk menunjukkan jati dirinya dengan berdemonstrasi.

Banyak fakta untuk membuktikannya. Demonstrasi yang dilakukan massa anti 

kenaikan BBM pada umumnya adalah para mahasiswa, termasuk demonstrasi besar-

besaran pada awal-awal reformasi di negeri ini pada tahun 1997-1998. Mereka tentu 

bukan dari kalangan rakyat miskin ataupun orang-orang lapar. Justru hal itu dilakukan 

oleh warga dari kalangan menengah ke atas, dalam hal ini adalah mahasiswa dan golongan 

intelektual. Belum lagi kalau merujuk pada kasus-kasus yang terjadi di luar negeri. Dalam 

beragam skala (besar atau kecil), demonstrasi bukan hal aneh lagi di negara-negara Eropa. 

Demonstrasi yang mereka lakukan sudah barang tentu tidak didorong oleh kondisi perut 

yang lapar karena mereka pada umumnya dalam kondisi yang sangat makmur.

Perbandingan yang cukup kontras dengan melihat peristiwa terbaru di Korea Utara. 

Kondisi sosial ekonomi warga negaranya sangat jauh terbelakang. Kemiskinan menjadi 

pemandangan umum hampir melanda di seluruh pelosok negeri. Akan tetapi, saat  Kim 

Jong-Il, pimpinannya itu meninggal, tak ada upaya penggulingan kekuasaan ataupun 

demonstrasi untuk menuntut perubahan politik di negerinya. Padahal peluang untuk itu 

lebih terbuka. Justru yang terjadi kemudian, hampir seluruh warganya menunduk khidmat, 

mengantar jenazah pimpinannya ke liang lahat.

Juga apabila kembali melihat kondisi warga di negeri ini. Kemiskinan sangat akrab 

di pinggiran kota dan di sudut-sudut desa di berbagai pelosok. Akan tetapi, mereka jarang 

melakukan demonstrasi: hanya satu-dua peristiwa. Justru yang jauh lebih getol melakukan 

hal itu adalah warga yang tinggal di pusat-pusat kota, yang secara umum mereka lebih makmur.

Dengan fakta-fakta semacam itu, nyatalah bahwa kemiskinan bukanlah penyebab 

utama untuk terjadinya gelombang demonstrasi. Akan tetapi, fenomena ini  lebih 

disebabkan oleh kemampuan berpikir kritis dari warga masyarakat. Karena tahu akan hak-

haknya, mengerti pula bahwa di sekitarnya telah terjadi pelanggaran dan kesewenang-

wenangan, mereka kemudian melakukan protes dan sejumlah tuntutan. Apabila faktor-

faktor itu tidak ada di dalam diri mereka, apa pun yang terjadi di sekitarnya, mereka akan 

seperti kerbau dicocok hidung: manggut-manggut, manut, berkata “ya” pada apa pun 

tindakan dari pimpinannya. (Sumber: dokumentasi penulis).

Eksposisi 35

2. Perbandingan Teks Eksposisi dengan Teks Prosedur Kompleks

Kedua jenis teks ini  tergolong ke dalam genre faktual. Keduanya memerlukan 

fakta. Keberadaan fakta pada kedua jenis teks ini  berfungsi untuk menguatkan atau 

meyakinkan pembaca/pendengar.

Contoh:

a. Perlu ada pembuatan saluran irigasi yang bisa mengalirkan air ke sawah-sawah warga 

sekitar. Hal ini karena ratusan hektare sawah mereka hampir kekeringan (teks eksposisi, 

fakta).

b. Cobalah bicara baik-baik dengan orang tuamu, berikanlah penjelasan sehingga mereka 

menjadi tahu dan mengerti akar permasalahannya. Dari penelitian-penelitian yang 

dilakukan para pakar komunikasi, ternyata cara seperti itu efektif dalam menyelesaikan 

masalah seperti yang kamu alami itu. (prosedur kompleks, fakta).

Persamaan lainnya bahwa di dalam kedua jenis teks ini  memungkinkan penggunaan 

kalimat-kalimat imperatif, yakni kalimat yang mendorong atau meminta seseorang untuk 

berbuat sesuatu. Hanya saja dorongan (perintah) dalam teks eksposisi tidak tersusun secara 

sistematis sebagaimana yang ada  dalam teks prosedur kompleks.

Contoh:

a. Namun, apabila dilihat dari berbagai keterbatasannya, pujian dan kekaguman lebih pantas 

dialamatkan pada mereka. Tidak semata-mata pada produknya--kalaulah memang masih 

banyak kekurangan--acungan jempol lebih pantas lagi dialamatkan pada pola pendidikan 

yang diterapakan di SMK ini . Guru-guru dan jajarannya berhasil mengantar siswa-

siswa mereka di gerbang prestasi nasional. (dorongan untuk memberi  pujian kepada 

sekolah dan guru-guru pada teks eksposisi).

b. Belajar kelompok ada baiknya mengajak teman yang pandai dan rajin belajar agar yang 

lebih pandai ini bisa membantu menjelaskan materi pelajaran kepada teman-temannya 

yang lain. Mengajari teman lain tentang materi yang baru diulang bisa membuatmu selalu 

ingat akan materi ini . Kamu pun akan menjadi lebih paham akan materi ini . 

(dorongan untuk mengajak teman yang pandai dan rajin dalam belajar berkelompok 

pada teks prosedur kompleks)

Perhatikan pula penggalan teks berikut!

Untuk memperkuat dunia pendidikan dalam proses perubahan (baca: reformasi), 

diperlukan informasi internal dunia pendidikan itu sendiri. Namun, untuk itu tidaklah mudah. 

Hal ini karena dunia pendidikan memiliki kompleksitas tersendiri. Dunia pendidikan tentu 

tidak semata-mata menyangkut pendidikan formal, tetapi juga nonformal yang kedua-

duanya sangat penting dalam character building. Begitu pula dunia pendidikan, tidak 

semata pendidikan tinggi, tetapi juga pendidikan dasar dan menengah, dengan berbagai 

bentuk variasinya.Tidaklah cukup untuk mengkaji seluruh kompleksitas pendidikan itu 

sehingga gagasan reformasi pendidikan dalam tulisan ini hanya dibatasi pada pendidikan 

formal.

Dalam reformasi pendidikan formal, sentuhan reformasi tidak mungkin hanya 

pada pendidikan tinggi, tetapi juga pendidikan dasar dan menengah. Ini terjadi karena 

antarjenjang pendidikan formal ini  memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Jadi, jelas

-- 36

output pendidikan dasar merupakan input bagi pendidikan menengah. Juga selanjutnya, 

output pendidikan menengah merupakan input bagi pendidikan tinggi. Mengingat 

keterkaitan inilah kita sampai pada kesimpulan bahwa reformasi untuk dunia pendidikan 

haruslah bersifat total (Soleh Solahuddin, “Úrgensi Reformasi Pendidikan”).

Penggalan teks membahas tentang perlunya reformasi di bidang pendidikan. Pada 

beberapa bagian ada kesamaan pula dengan teks prosedur kompleks, yakni adanya pernyataan 

yang berupa arahan, ajakan, ataupun bujukan. Namun, teks ini  tidak dapat dikategorikan 

sebagai teks prosedur kompleks. Teks ini  termasuk ke dalam jenis eksposisi dengan 

bentuk esai. Kalimat-kalimatnya banyak yang berupa pendapat dan tidak pula disusun secara 

sistematis, melainkan muncul hanya pada beberapa bagian dan tidak berupa urutan kegiatan 

seperti halnya pada teks prosedur kompleks.

Perbandingan Teks Prosedur dengan Teks Eksposisi

Aspek

Jenis Teks

Teks Prosedur Teks Eksposisi

Persamaan • Memerlukan fakta-fakta

• Mengandung arahan, ajakan, bujukan.

Perbedaan ada  perincian langkah-langkah se-

cara sistematis; berupa kalimat perintah.

Lebih banyak berupa pendapat.

D Menulis Teks Eksposisi

Sebagaimana yang telah dipaparkan terdahulu bahwa teks eksposisi adalah teks yang 

bersifat argumentatif. Di dalamnya dikemukakan sejumlah argumen dan diperkuat pula oleh 

fakta-fakta sehingga bisa meyakinkan khalayak.Teks eksposisi banyak memakai  fakta dan 

argumentasi-argumentasi berdasar  pendirian dan sudut pandang penulis ataupun penuturnya. 

Luasnya wawasan, kuatnya pendirian, serta keyakinan akan kebenaran atas topik yang akan 

kita kemukakan sangatlah utama dalam teks eksposisi. Kita harus menyiapkan berbagai sumber 

untuk bisa mengembangkan topik yang dipilih secara mendalam. Dengan demikian, khalayak 

diharapkan dapat memperoleh pencerahan, keyakinan, bahkan dapat terbujuk untuk melakukan 

sesuatu yang kita harapkan dalam teks ini .

berdasar  hal itu, langkah penulisan teks eksposisi adalah sebagai berikut.

a. Menentukan topik, yakni suatu hal yang memerlukan pemecahan masalah atau sesuatu yang 

mengandung problematika di masyarakat. Hal itu, mungkin berkenaan dengan masalah 

sosial, budaya, pendidikan, agama, bahasa, sastra, politik.

Contoh:

1) kehidupan anak-anak jalanan di ibu kota besar;

2) perubahan perilaku masyarakat pedesaan oleh faktor media massa;

3) pendidikan bagi anak-anak terlantar;

4) perkawinan beda agama;

Eksposisi 37

5) ragam bahasa anak baru gede;

6) sastra lisan dari kawasan Indonesia timur;

7) pemilihan kepala daerah secara langsung atau melalui perwakilan.

b. Mengumpulkan bahan dan data untuk memperkuat argumen, baik dengan membaca-baca 

surat kabar, majalah, buku, ataupun internet. Data itu dapat diperoleh melalui pengamatan 

ke lapangan atau dengan melakukan wawancara. Misalnya, untuk menulis teks bertopik 

kehidupan anak-anak jalanan. Kita harus (1) membaca-baca buku, artikel, berita tentang 

kondisi dan karakteristik anak-anak jalanan; (2) mengobservasi/penelitian terhadap perilaku 

anak-anak jalanan; atau (3) melakukan wawancara dengan pihak pemerintah, warga 

masyarakat, atau bahkan dengan para anak jalanan itu sendiri.

c. Membuat kerangka tulisan berkenaan dengan topik yang akan kita tulis, yang mencakup tesis, 

argumen, dan penegasan (kesimpulan). Langkah ini penting agar tulisan kita itu tersusun 

secara lebih sistematis, lengkap, dan tidak tumpang tindih. 

d. Mengembangkan tulisan sesuai dengan kerangka yang telah kita buat. Argumentasi dan fakta 

yang telah dikumpulkan, kita masukkan ke dalam tulisan itu secara padu sehingga teks itu 

bisa meyakinkan khalayak.

Pada akhir kegiatan, lakukanlah evaluasi dan penyuntingan terhadap teks yang telah kita susun 

ini , baik berkenaan dengan isi, struktur, ataupun kaidah bahasanya. Kita dapat mengajukan 

pertanyaan-pertanyaan berikut sebagai panduannya.

a. Apakah judulnya menarik?

b. Apakah judulnya sesuai dengan isi teks?

c. Apakah isi teks itu jelas?

d. Apakah fakta yang dikemukakannya lengkap?

e. Apakah argumentasinya benar?

f. Apakah paparannya itu bermanfaat?

g. Apakah bagian-bagiannya tersusun secara lengkap?

h. Apakah kalimat-kalimatnya sudah efektif?

i. Apakah penggunaan konjungsi dan kata-kata lainnya sudah tepat dan mudah dipahami?

j. Apakah ejaan dan tanda bacanya sudah benar?

-- 38

Soal-soal Latihan

Pilihlah jawaban yang paling benar!

(Cuplikan di bawah ini dipakai  untuk menjawab soal nomor 1‑3)

Prasangka baik saya, bukannya mereka tidak memahami akan perlunya ketertiban berbahasa 

di lingkungan sekolah. Saya berkeyakinan bahwa doktrin tentang “berbahasa Indonesialah 

yang baik dan benar” telah mereka peroleh jauh-jauh sebelumnya, sejak SLTP atau bahkan 

sejak mereka SD. Saya melihat ketidakberesan mereka berbahasa, antara lain, disebabkan oleh 

kekurangwibawaan bahasa Indonesia itu sendiri di mata mereka.

1. Teks ini  digolongkan ke dalam jenis eksposisi karena ....

A. menceritakan proses terjadinya cara berbahasa siswa

B. menjelaskan ihwal terjadinya kekurangwibawaan berbahasa

C. menggambarkan keadaan kemampuan berbahasa siswa

D. meyakinkan pembaca tentang perlunya berbahasa baik dan benar

E. mendorong pembaca untuk selalu mencintai bahasa Indonesia 

2. Pernyataan yang sesuai dengan teks ini  adalah ....

A. semua pernyataan di dalam teks ini  berdasar  pendapat pribadi

B. gagasan dalam teks ini  sangat jelas dan meyakinkan

C. perlu ditunjang oleh tabel untuk menjelaskan informasi itu

D. banyak memakai  istilah pendidikan di dalam cuplikan itu

E. teks itu tergolong ke dalam jenis berita

3. Contoh konjungsi yang ada dalam cuplikan di atas adalah ....

A.  bahwa D.  bukan  

B.  oleh E.  disebabkan

C.  tentang

(Cuplikan di bawah ini dipakai  untuk menjawab soal nomor 4‑6)

(1) Makin maraknya tawuran di dunia pendidikan ini tentu menambah berat beban kerja polisi 

yang sudah menggunung. (2) Bagi aparat terdepan penegak hukum ini, fenomena tawuran 

pelajar yang makin deras juga membuat korps polisi ekstra hati-hati jangan sampai dijadikan 

kambing hitam dan dinilai tidak mampu menangani. (3) Sementara itu, banyak sekali kasus 

lain yang juga harus mendapat prioritas. (4) Hal itu ditegaskan Kepala Kepolisian Daerah 

Metro Jaya Inspektur Jenderal Untung S Radjab, Rabu lalu.

4. Kata teknis dalam cuplikan ini  adalah ….

A. tawuran 

B. fenomena 

C. beban kerja

D. kambing hitam

E. mendapat prioritas

Eksposisi 39

5. Tesis dalam cuplikan teks di atas dinyatakan dalam kalimat bernomor ….

A. (1) 

B. (2) 

C.  (3)

D.  (4)

E.  (1), (4)

6. Fakta dinyatakan dalam kalimat bernomor ….

A. (4)  

B.  (2)  

C.  (3) 

D.  (1)

E.  (5) 

(Cuplikan di bawah ini dipakai  untuk menjawab soal nomor 7‑9)

Jika Anda hobi membaca tentu membaca sebuah novel yang disukai adalah hal yang 

menyenangkan. Apalagi dengan menyelami isi cerita sehingga membuat otak menjadi hidup 

dengan terbawa emosi dan bahkan mengaktifkan indra.

Dilansir dari laman Fitnea, para peneliti menemukan bahwa penggambaran visual terjadi 

secara otomatis. Orang-orang mampu mengidentifikasi peng gam baran objek lebih cepat jika 

mereka hanya membaca kalimat yang menggambarkan objek secara visual. Dengan begitu, 

saat  membaca kalimat, Anda secara otomatis memunculkan gambar objek dalam pikiran 

Anda.

7. Teks di atas dapat digolongkan ke dalam teks eksposisi karena ….

A. mengandung imajinasi yang meyakinkan

B. mengungkap masalah yang faktual

C. menyajikan pendapat-pendapat penulis

D. memakai  fakta yang jelas

E. mengungkapkan fakta tentang suatu peristiwa

8. Sumber informasi yang dipakai  dalam teks di atas berupa ….

A. hasil observasi

B. penelitian para ahli

C. kesimpulan dari wawancara

D. penyebaran angket

E. pendapat pribadi

9. Cuplikan di atas disusun dengan pola ….

A. kausalitas   

B. generalisasi   

C. komparasi

D.  kronologis 

E.  spasial  

-- 40

(Cuplikan di bawah ini dipakai  untuk menjawab soal nomor 10‑12)

Olahraga dirgantara termasuk olahraga mahal. Inilah barangkali salah satu kendala dalam 

mengembangkan olahraga dirgantara di negara kita. Untuk melakukan olahraga terjun payung 

diperlukan payung atau parasut. Harga sebuah parasut bisa mencapai lima juta rupiah. Untuk 

terjun dari udara diperlukan pesawat terbang yang menerbangkan para penerjun ke ketinggian. 

Penerbangan pesawat udara ini memerlukan biaya yang mahal. Walaupun tidak semahal 

olahraga terjun payung, olahraga layang gantung juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. 

Sebuah layang gantung berharga ratusan ribu rupiah. Bahkan, ada yang berharga di atas satu 

juta rupiah.

10. Teks di atas mengandung argumen tentang ....

A. mahalnya olahraga dirgantara

B. usaha pengembangan olahraga dirgantara

C. tujuan olahraga dirgantara

D. biaya untuk menjadi seorang penerjun 

E. perangkat yang dipakai  untuk terjun payung

11. Konjungsi yang berfungsi memperjelas dalam cuplikan ini  adalah ….

A. walaupun 

B. bahkan 

C. atau

D. juga

E. untuk

12. Tesis dinyatakan dalam kalimat .....

A.  pertama    

B.  kedua 

C. keempat

D.  kelima 

E.  ketujuh 

(Cuplikan di bawah ini dipakai  untuk menjawab soal nomor 13‑14)

Memang sangatlah layak apabila peristiwa yang sungguh-sungguh luar biasa itu selalu 

diperingati oleh kita pada era kekinian. Peringatan yang sejati tentu saja tidak sekadar baris 

di lapangan terbuka, menengadah dan menghormati bendera, kemudian mengeja kembali teks 

Sumpah Pemuda dengan suara lantang. Kegiatan upacara dan beragam kegiatan seremonial 

lainnya belum bisa menandingi peristiwa yang sesungguhnya terjadi pada masa itu.

13. Kesimpulan cuplikan di atas adalah ....

A. peristiwa Sumpah Pemuda merupakan peristiwa yang sangat luar biasa

B. upacara tidak cukup dengan hanya menghormati bendera

C. tidak perlu lagi ada kegiatan seremonial di era sekarang

D. perlu ada perubahan dalam tata acara upacara bendera

E. teks Sumpah Pemuda tidak perlu dibacakan, tapi dilaksanakan

Eksposisi 41

14. Fakta dalam cuplikan ini  dinyatakan dalam kalimat ….

A. pertama D. kesatu dan kedua

B. kedua E. kedua dan ketiga

C. ketiga

(Cuplikan di bawah ini dipakai  untuk menjawab soal nomor 15‑16)

Bahasa, seni, dan hasil-hasil budaya dari bangsanya sendiri dianggap kolot, ketinggalan zaman.

Bahkan, anugerah langsung dari Tuhan pun sering kali dicampakkan karena dianggap tidak 

ideal. Kulit sawo matang sebagai ciri khas lain dari bangsa ini harus memutih atau kuning 

langsat. Hidung harus mancung, warna mata biru, rambut harus pirang atau kriwil-kriwil.

15. Konjungsi bahkan dalam cuplikan di atas b