Anekdot 1
A Pengertian
Perhatikanlah teks di bawah ini dengan cermat!
Empat Kali Tujuh
“Empat kali tujuh adalah dua puluh delapan,” kata orang yang satunya.
“Empat kali tujuh adalah dua puluh tujuh,” kata seorang yang satunya lagi.
Dua orang itu pada akhirnya bertengkar hebat.Warga yang menyaksikan menjadi jengkel.
Keduanya akhirnya dibawa menemui hakim setempat.
Hakim memerintahkan agar orang pertama dipenjara. Orang itu berteriak memprotes,
“Lho, kok, saya? Di mana salah saya? Omongan saya, kan, benar, Pak Hakim. Empat kali
tujuh itu dua puluh delapan. Iya, kan?”
“Kamu itu justru sangat bodoh,” kata hakim itu dengan tenangnya. “Mau-maunya kamu
bertengkar dengan orang yang tolol, yang mengatakan bahwa empat kali tujuh adalah dua
puluh tujuh. Bukankah kamu yang seharusnya dihukum?”
Orang itu akhirnya mengangguk setuju dan mengakui bahwa hakim benar.
Teks di atas berbentuk cerita. Di dalamnya ada tokoh, latar, dan alur atau rangkaian peristiwa.
Berikut uraiannya.
1. Tokoh
a. orang I
b. orang II
c. hakim
I Anekdot
-- 2
2. Latar
di suatu tempat, di pengadilan
3. Alur
a. Perbedaan pendapat antara orang I dan orang II tentang hasil perkalian empat kali tujuh.
b. Orang I dan orang II bertengkar hebat.
c. Kedua orang ini dibawa ke pengadilan.
d. Orang I diputuskan bersalah.
Berbeda dengan narasi pada umumnya, dalam anekdot ada unsur lelucon dan di balik itu
terkandung pula unsur kritik dengan maksud memberi nasihat ataupun pelajaran.
1. Kelucuan dalam contoh itu tampak pada “nasib sial” yang dialami orang I, yang merasa
yakin dan percaya diri pendapatnya paling benar, tetapi kemudian hatinya menjadi kecut
gara-gara keputusan hakim yang menyatakan ia justru yang bersalah.
2. Kritik dan pesan yang terkandung yaitu jangan mudah menganggap orang lain bodoh. Boleh
jadi diri sendiri itulah yang lebih bodoh dari orang lain. Hal ini tampak pada pernyataan
hakim bahwa orang yang berdebat dengan orang tolol berarti ia lebih tolol karena ia sudah
melakukan pekerjaan yang sia-sia, tidak ada gunanya.
berdasar contoh di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan anekdot adalah
teks yang berbentuk cerita; di dalamnya mengandung humor sekaligus kritik. Karena berisi
kritik, anekdot sering kali bersumber dari kisah-kisah faktual dengan tokoh nyata yang terkenal.
Anekdot tidak semata-mata menyajikan hal-hal yang lucu-lucu, guyonan, ataupun humor. Akan
tetapi, ada pula tujuan lain di balik cerita lucunya itu, yakni berupa pesan yang diharapkan
bisa memberi pelajaran kepada khalayak.
Perhatikan pula teks berikut.
Alkisah di tahun 2100 diadakan perlombaan pengetahuan ilmiah tingkat dunia di Jenewa.
Tahap seleksi awal dilakukan tanya jawab oleh panitia penyelenggara. Berikut cuplikan tanya
jawab ini .
(Peserta pertama dari Amerika dipanggil Panitia)
Panitia : Coba ceritakan siapa itu Galileo Galilei?
Si Amerika : Fisikawan Italia zaman Reinaissance, penyempurna teleskop yang bisa
mengamati bintang dan pendukung teori Copernicus.
Panitia : Kalo James Watt?
Si Amerika : Ilmuwan Skotlandia penemu mesin uap modern yang memicu revolusi
industri, nama belakangnya dipakai sebagai satuan daya saat ini.
Panitia : Ok. Good. Proceed….
(Peserta kedua dari Cina dipanggil Panitia)
Panitia : Coba ceritakan siapa itu Archimedes?
Orang Cina : Filsuf Yunani Kuno. Penemu cara kerja tuas, sistem katrol, menyem purna kan
nilai pi, dan kutipannya yang paling terkenal ‘Uereka, Uereka!!’.
Panitia : Well. Good enough, bagaimana dengan Guglielmo Marconi?
Orang Cina : Ilmuwan asal Italia pemenang nobel dan penemu sistem telegrafi tanpa
kabel yang kemudian dikembangkan menjadi radio.
Panitia : Ok. Fine. Proceed…..
Anekdot 3
(Tibalah peserta ketiga dari Indonesia dipanggil Panitia)
Panitia : Coba ceritakan siapa itu Albert Enstein?
Orang Indonesia : (orang Indonesia itu berpikir sebentar) Em… tidak tahu tuh….
Panitia : (heran) Kalo Sir Isaac Newton siapa?
Orang Indonesia : (berpikir lagi) Eu, …tidak tahu juga….
Panitia : (semakin heran dengan kebodohan peserta itu) Ok, gimana dengan
Thomas Alva Edison. Tahu, dong?
Orang Indonesia : (malah jengkel) Ndak, tahu!
Panitia : (juga hilang kesabarannya) Huh, kamu tidak tahu siapa itu Enstein,
Newton, Edison tapi kamu nekat mau ikut perlombaan tingkat dunia
seperti ini? Tidak salah, tuh? (Sinis)
Orang Indonesia : (menghardik) Oh, ya? Sekarang saya balik bertanya sama Ente. Tahu tidak
si Urip, si Raharjo, si Suprapto itu siapa?
Panitia : Tidak tahu. Emang siapa mereka?
Orang Indonesia : Nah, itulah….! Masing-masing orang punya kenalan sendiri-sendiri!
Jangan paksa saya mengenal orang-orang yang Anda sebutkan tadi itu!
Emang gue pikirin.
Berbeda dengan teks pertama, teks kedua berbentuk dialog atau percakapan. Namun, teks
ini memiliki persamaan karena memuat latar, beberapa tokoh, dan alur atau rangkaian
peristiwa. Persamaan lainnya bahwa teks ini mengandung humor atau kelucuan-kelucuan.
Seorang peserta dari Indonesia jauh-jauh datang ke Jenewa untuk mengikuti perlombaan ilmiah
tingkat dunia, tetapi sekadar mengenal nama-nama Enstein, Newton, atau Edison pun ia tidak tahu.
Kelucuan dalam anekdot tidak hanya untuk mengundang tawa. Di balik humornya itu ada
pula ajakan untuk merenungkan suatu kebenaran. Adapun kebenaran yang ada di dalam teks
itu dinyatakan secara tersurat oleh tokoh orang Indonesia, yakni bahwa setiap orang memiliki
“kenalan” sendiri-sendiri dan jangan memaksakan kenalan itu harus diketahui juga oleh orang lain.
B Fungsi, Struktur, dan Kaidah Anekdot
1. Fungsi Anekdot
Tampak pada contoh-contoh di atas bahwa anekdot tergolong ke dalam teks berbentuk
cerita (narasi). Di dalamnya ada tokoh, alur atau rangkaian peristiwa, serta latar. Dengan
demikian, berdasar fungsi umumnya, anekdot sama dengan teks-teks cerita lainnya,
seperti cerita pendek ataupun novel. Anekdot berfungsi untuk menyampaikan sebuah cerita,
baik fiksi ataupun nonfiksi, sehingga pembaca seolah-olah menyaksikan peristiwa yang
diceritakan itu.
Hanya saja dibandingkan dengan teks cerita lainnya, anekdot memiliki kekhususan, yakni
mengandung unsur lucu atau humor. Kelucuan dalam anekdot tidak sekadar untuk mengundang
tawa. Di balik humornya itu ada pula ajakan untuk merenungkan suatu kebenaran.
-- 4
Untuk lebih jelasnya, perhatikan pula teks berikut.
Khotbah Nasruddin
Suatu saat , orang-orang di kota mengundang Nasruddin untuk menyampaikan
khotbah di sebuah majelis.
saat tiba di mimbar, dia mendapati bahwa sebagian besar hadirin dalam majelis itu
tidak terlampau bersemangat untuk mendengarkan khotbahnya. Sesudah menyampaikan
salam, Nasruddin bertanya kepada hadirin, “Apakah kalian tahu materi yang akan saya
sampaikan sekarang?”
Hadirin serempak menjawab, “Tidak!”
Oleh karena itu, Nasruddin berkata, “Saya tidak punya keinginan untuk berbicara
kepada orang-orang yang tidak mengetahui apa pun tentang apa yang akan saya bicarakan
sekarang.” Kemudian, ia berjalan turun dari mimbar dan meninggalkan majelis, tanpa
memberi khotbah apa pun.
Orang-orang merasa tidak enak hati dan mengundang Nasruddin lagi pada keesokan
harinya.
Pada keesokan harinya, sesampai di mimbar, Nasruddin mengulang pertanyaan yang
sama dan hadirin pun menjawab, “Ya !”
Mendengar jawaban demikian, Nasruddin berkata, “Baiklah kalau begitu. Karena
kalian sudah tahu apa yang akan saya sampaikan sekarang, saya tidak akan membuang
waktu kalian yang sangat berharga karena kalian sudah mengetahui semuanya.”
Kemudian, ia turun dari mimbar dan berjalan pulang. Kali ini orang-orang benar-
benar dibuat bingung dan akhirnya mereka memutuskan untuk mencoba sekali lagi dan
mengundangnya agar datang lagi pada minggu depan untuk menyampaikan khotbah.
Minggu depannya, saat naik mimbar, Nasruddin lagi-lagi bertanya yang sama,
“Apakah kalian tahu materi yang akan saya sampaikan dalam khotbah ini?”
Kali ini hadirin sudah bersiap-siap untuk pertanyaan itu. Sebagian dari mereka
menjawab “Tidak!” dan sebagian lagi menjawab “Ya!”
Nasruddin pun berkata lagi, “Baiklah, kalau begitu sebagian yang sudah tahu bisa
menceritakan kepada sebagian lainnya yang belum tahu,” dan ia pun lagi-lagi kembali
turun meninggalkan mimbar.*
Anekdot 5
Dalam contoh ini , kelucuan tampak pada sikap Nasruddin yang membuat bingung
jamaah atau para pengundangnya. Dari tiga kali diundang, ia sama sekali tidak berkhotbah,
melainkan cukup bertanya paham tidaknya akan materi khotbah yang akan ia sampaikan.
Adapun hikmah, pesan, ataupun pelajaran yang dapat dipetik dari anekdot itu ialah
jamaah yang sudah mengetahui materi yang akan disampaikan Nasruddin untuk saling
berbagi ilmu, tidak perlu mendatangkan orang lain. Dengan demikian, orang yang sudah
mengetahui tentang suatu hal dapat mengingatkan orang lain.
2. Stuktur Anekdot
Anekdot berupa cerita, kisah, atau percakapan singkat. Di dalamnya terkandung tokoh,
latar, dan rangkaian peristiwa. Adapun rangkaiannya itu sendiri dibentuk oleh bagian-bagian
seperti berikut: abstraksi, orientasi, krisis, reaksi, dan koda.
a. Abstraksi merupakan pendahuluan yang menyatakan latar belakang atau gambaran
umum tentang isi suatu teks.
Contoh:
Rombongan jamaah haji dari Tegal tiba di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, Arab
Saudi. Langsung saja kuli-kuli dari Yaman berebutan untuk mengangkut barang-
barang yang mereka bawa (Anekdot “Kuli dan Kiyai”).
Gus Dur bercerita bahwa ada rombongan istri pejabat Indonesia pe lesir ke San Fransisco.
Mereka menemani para suami yang sedang studi banding (Anekdot “DoYou Like
Salad?”).
Seorang dosen fakultas hukum suatu universitas sedang memberi kan kuliah hukum
pidana (Anekdot “KUHP dalam Anekdot”).
b. Orientasi merupakan bagian cerita yang mengarah pada terjadinya suatu krisis, konflik,
atau peristiwa utama. Bagian inilah yang menjadi penyebab timbulnya krisis.
Contoh:
Pada kesempatan itu, dua orang di antara kuli-kuli itu terlibat percekcokan serius
dalam bahasa Arab (Anekdot “Kuli dan Kiyai”).
“Empat kali tujuh adalah dua puluh delapan,” kata orang yang satunya.
“Empat kali tujuh adalah dua puluh tujuh,” kata seorang yang satunya lagi
Dua orang itu pada akhirnya bertengkar hebat.Warga yang menyaksikan menjadi
jengkel. Keduanya akhirnya dibawa menemui hakim setempat.(Anekdot “Empat Kali
Tujuh”).
Pada suatu saat mereka mampir ke sebuah restoran. saat memesan makanan,
mereka bingung dengan menu-menu makanan yang disediakan. Mereka pun tidak
bisa berbahasa Inggris dengan baik. (Anekdot “Do You Like Salad?”).
-- 6
c. Krisis atau komplikasi merupakan bagian dari inti peristiwa suatu anekdot. Pada bagian
itulah adanya kekonyolan yang menggelitik dan mengundang tawa.
Contoh:
Melihat itu, rombongan jamaah haji ini spontan merubung mereka, sambil
berucap, “Amin, amin, amin!” seraya menengadahkan tangan. (Anekdot “Kuli dan
Kiyai)”.
Hakim memerintahkan agar orang pertama dipenjara. Orang itu berteriak memprotes,
“Lho, kok, saya? Di mana salah saya? Omongan saya, kan, benar, Pak Hakim. Empat
kali tujuh itu dua puluh delapan. Iya, kan?” (Anekdot “Empat Kali Tujuh”).
KUHP dipelesetkan menjadi “Kasih Uang Habis Perkara”. (Anekdot “KUHP dalam
Anekdot”)
d. Reaksi merupakan tanggapan atau respons atas krisis yang dinyatakan sebelumnya.
Reaksi yang dimaksud dapat berupa sikap mencela atau menertawakan.
Contoh:
“Kamu itu justru sangat bodoh,” kata hakim itu dengan tenangnya, “Mau-maunya
kamu bertengkar dengan orang tolol yang mengatakan bahwa empat kali tujuh adalah
dua puluh tujuh. Bukankah kamu yang seharusnya dihukum?” (Anekdot “Empat Kali
Tujuh”).
Mahasiswa tercengang dan tertawa, sedangkan dosen menggeleng-gelengkan kepala.
(Anekdot “ KUHP dalam Anekdot”).
e. Koda merupakan penutup atau kesimpulan sebagai pertanda berakhirnya cerita. Di dalam-
nya dapat berupa persetujuan, komentar, ataupun penjelasan atas maksud dari cerita
yang dipaparkan sebelumnya. Bagian ini biasanya ditandai oleh kata-kata, seperti itulah,
akhirnya, demikianlah. Keberadaan koda bersifat opsional; bisa ada ataupun tidak ada.
“Nah, itulah….! Masing-masing orang punya kenalan sendiri-sendiri! Jangan paksakan
saya mengenal orang-orang yang Anda sebutkan tadi itu!” (Anekdot “Lomba Karya
Ilmiah Tingkat Dunia”)
Orang itu akhirnya mengangguk setuju dan mengakui bahwa hakim benar. (Anekdot
“Empat Kali Tujuh”)
Abstrak
Orientasi
Krisis
Reaksi
Koda
Struktur Umum Anekdot
Sebagai suatu jenis teks cerita, struktur anekdot sama seperti jenis cerita (story genres)
lainnya yang tidak harus terpaku pada struktur baku. Penulis memiliki kebebasan dalam
Anekdot 7
menentukan strukturnya (licentia poetica). Oleh karena itu, struktur anekdot sangatlah
beragam. Tidak sedikit anekdot yang tidak memiliki abstrak. Tiba-tiba saja dalam anekdot
itu tersaji suatu orientasi, tanpa penjelasan situasi atau latar belakangnya. Contohnya
anekdot “Empat Kali Tujuh” ini . Anekdot itu tiba-tiba masuk ke tahap orientasi, tanpa
ada kejelasan abstraksinya. Demikian pula tidak sedikit anekdot yang tidak memiliki koda.
Kesimpulan ataupun maksud anekdot itu kemudian diserahkan pada pembaca sendiri.
Perhatikan kedua contoh anekdot berikut.
Politikus Sering Bohong
Sebuah bis penuh dengan para politikus keluar dari marka jalan. Akhirnya, menabrak
sebuah pohon besar di ladang seorang petani tua. Hampir semua penumpang menjadi
korban dalam kecelakaan ini .
Petani tua segera memberi bantuan. Namun, apalah daya, ia tidak bisa berbuat
apa pun karena memang para penumpang bis itu dianggap sudah tidak bisa tertolong lagi.
Petani tua kemudian menguburkan politikus-politikus itu di kebunnya.
Beberapa hari kemudian, petugas dari kepolisian mendatanginya dan menanyakan
peristiwa kecelakaan itu, “Apakah benar mereka semua meninggal, Pak?”
Petani tua itu menjawab, “Mereka tampak sudah meninggal, Pak. Memang beberapa
di antara mereka ada yang masih bergerak-gerak. Bahkan, beberapa di antara mereka ada
yang berkata bahwa mereka belum meninggal. Tapi Anda kan tahu, betapa seringnya
politikus itu berbohong. Saya tidak mempercayai perkataan mereka. Oleh karena itu, tetap
saya harus menguburkannya!”
Jin dan Tiga Manusia
Ada sebuah kapal berisi penumpang berbagai bangsa yang karam. Ada tiga orang
yang selamat, masing-masing dari Perancis, Amerika, dan Indonesia. Mereka terapung-
apung di tengah laut dengan hanya mengandalkan sekeping papan.
Tiba-tiba muncul jin yang baik hati. Dia bersimpati pada nasib ketiga bangsa manusia
itu dan menawarkan jasa. “Kalian boleh minta apa saja, akan kupenuhi,” kata sang jin.
Yang pertama ditanya adalah orang Perancis.
“Saya ini petugas lembaga sosial di Paris,” katanya,”tolonglah kembalikan saya ke
negeri saya”. Dalam sekejap, orang itu lenyap, kembali ke negerinya.
“Kamu, orang Amerika, apa permintaanmu?”
-- 8
“Saya ini pejabat pemerintah. Banyak tugas saya yang terlantar karena kecelakaan ini.
Tolonglah kembalikan saya ke Washington.”
“Oke,” kata jin, sambil menjentikkan jarinya. Orang Amerika lenyap sesaat , kembali
ke negerinya.
“Nah sekarang tinggal kamu orang Indonesia. Sebut saja apa maumu.”
“Duh, Pak Jin, sepi banget di sini,” keluh si orang Indonesia.
“Tolonglah kedua teman saya tadi dikembalikan ke sini.”
Alakazam, orang Perancis dan pria Amerika itu pun muncul lagi.
Kedua teks di atas merupakan contoh anekdot yang tidak memiliki koda. Pembaca sendiri
yang merumuskannya. Dengan ditemukannya anekdot yang tidak selengkap itu, sumber lain
menyatakan bahwa suatu anekdot cukup dibentuk oleh orientasi, komplikasi, dan evaluasi.
a. Orientasi merupakan bagian anekdot yang diisi oleh beberapa atau salah satu aspek
berikut.
1) Mengenalkan kondisi atau karakter tokoh.
Contoh:
Setelah lulus dari ujian negara di Beijing, seorang pemuda ditunjuk sebagai
pejabat pemerintahan ibu kota provinsi. Namun, sebelum pergi, ia mengucapkan
selamat tinggal kepada mentornya, yakni seorang pejabat senior. (Anekdot “Seratus
Ungkapan ABS”).
2) Menceritakan hal-hal terkait dengan apa, kapan, di mana, siapa, mengapa, bagaimana.
Contoh:
a) Sebuah bus penuh dengan para politikus keluar dari marka jalan (apa, siapa).
b) Ada sebuah kapal berisi penumpang berbagai bangsa yang karam. Ada tiga
orang yang selamat, masing-masing dari Perancis, Amerika, dan Indonesia (di
mana, siapa).
3) Memberi gambaran tentang masalah yang akan dihadapi tokoh.
Contoh:
a) Mereka terapung-apung di tengah laut dengan hanya mengandalkan sekeping
papan. (Anekdot “Jin dan Tiga Manusia”)
b) saat tiba di mimbar, dia mendapati bahwa sebagian besar hadirin dalam
majelis itu tidak terlampau bersemangat untuk mendengarkan khotbahnya.
(Anekdot “Khotbah Nasruddin”).
b. Komplikasi merupakan bagian anekdot yang menceritakan masalah yang dihadapi tokoh.
Bagian ini merupakan puncak cerita yang mengundang tawa sekaligus kritikan. Bagian
ini dapat disamakan dengan krisis dan reaksi.
Contoh:
“Nah sekarang tinggal kamu orang Indonesia. Sebut saja apa maumu.”
“Duh, Pak Jin, sepi banget di sini,” keluh si orang Indonesia.
“Tolonglah kedua teman saya tadi dikembalikan ke sini.”
Alakazam, orang Perancis dan pria Amerika itu muncul lagi. (Anekdot “Jin dan Tiga
Manusia”).
Anekdot 9
Nasruddin lalu memasukkan tongkatnya ke dalam air. Dengan hati-hati, Nasruddin
memukul kaki-kaki mereka. Spontan mereka mengangkat kakinya dari dalam air
karena kesakitan sehingga bisa melihat kakinya masing-masing. (Anekdot “Kaki
yang Tertukar”).
c. Evaluasi merupakan bagian cerita yang memberi komentar terhadap isi atau
menjelaskan hikmah dari peristiwa yang telah diceritakan. Bagian ini dapat pula disebut
sebagai koda.
Orientasi Komplikasi (krisis, reaksi) Evaluasi (koda)
Struktur Anekdot Lainnya
3. Kaidah Anekdot
Anekdot tergolong ke dalam teks bergenre cerita. berdasar hal ini , secara
kebahasaan (language features) anekdot memiliki karakteristik sebagai berikut.
a. Banyak memakai kalimat langsung ataupun tidak langsung. Kalimat-kalimat itu
dinyatakan dalam bentuk dialog para tokohnya. Hal itu seperti yang tampak pada anekdot
“Lomba Karya Ilmiah Tingkat Dunia” atau “Jin dan Tiga Manusia”.
b. Banyak memakai nama tokoh orang ketiga tunggal, baik dengan menyebutkan
langsung nama tokoh faktual atau tokoh yang disamarkan. Contoh: Gus Dur, Nasruddin
Hoja, Si Amerika, orang Indonesia, Pak Jin.
c. Banyak memakai keterangan waktu. Hal ini terkait dengan bentuk anekdot yang
berupa cerita; disajikan secara kronologis atau mengikuti urutan waktu.
Contoh:
1) Beberapa hari kemudian, petugas dari kepolisian mendatanginya dan menanyakan
peristiwa kecelakaan itu.
2) “Nah sekarang tinggal kamu orang Indonesia. Sebut saja apa maumu.”
3) Dua orang itu pada akhirnya bertengkar hebat.
4) saat memesan makanan, mereka bingung dengan menu-menu makanan yang
disediakan.
d. Banyak memakai kata kerja material, yakni kata yang menunjukkan suatu aktivitas.
Hal ini terkait dengan tindakan para tokohnya dan alur yang membentuk rangkaian
peristiwa ataupun kegiatan.
Contoh:
1) Petani tua segera memberi bantuan.
2) Petani tua kemudian menguburkan politikus-politikus itu di kebunnya.
-- 10
3) Beberapa hari kemudian, petugas dari kepolisian mendatanginya dan menanyakan
peristiwa kecelakaan itu.
4) Keduanya akhirnya dibawa menemui hakim setempat.
5) Hakim memerintahkan agar orang pertama dipenjara.
6) Orang itu berteriak memprotes.
e. Banyak memakai kata penghubung (konjungsi) yang bermakna kronologis
(temporal), yakni dengan hadirnya kata-kata akhirnya, kemudian, lalu.
Contoh:
1) Akhirnya, menabrak sebuah pohon besar di ladang seorang petani tua.
2) Petani tua kemudian menguburkan politikus-politikus itu di kebunnya.
f. Banyak pula memakai konjungsi penerang atau penjelas, seperti bahwa. Ini
terkait dengan dialog para tokohnya yang diubah dari bentuk langsung ke kalimat tak
langsung.
Contoh:
1) Orang itu akhirnya mengangguk setuju dan mengakui bahwa hakim benar.
2) “Kamu itu justru sangat bodoh,” kata hakim itu dengan tenangnya. “Mau-maunya
kamu bertengkar dengan orang tolol, yang mengatakan bahwa empat kali tujuh
adalah dua puluh tujuh.”
3) “Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang berkata bahwa mereka belum
meninggal.”
4) Akan tetapi, karena hakim yang mengadili adalah teman baik Si Penampar, hakim
memutuskan bahwa hukumannya berupa tamparan lagi.
Kaidah
Anekdot
Kalimat
langsung,
tak langsung
Kata kerja
material
Konjungsi
kronologis
Keterangan
waktu
Konjungsi
penerang
Bertokoh
orang ketiga
tunggal
Anekdot 11
C Perbandingan Anekdot
berdasar fungsinya, teks anekdot sama-sama termasuk ke dalam teks berbentuk cerita
(narasi, story genres) seperti halnya cerita pendek, cerita ulang, dan novel. Di dalamnya
mengandung unsur-unsur naratif, seperti tokoh, alur, dan latar.
Perhatikan teks di bawah ini.
Kereta api Dwipangga yang membawa Lestari ke Yogyakarta pagi itu terasa berjalan
merangkak. Lestari menatap bentangan sawah di luar yang biasanya tampak indah dan
menenteramkan, namun kali ini terasa muram dan menggelisahkan.
Bagi Lestari, meski telah puluhan kali ke Yogyakarta, perjalanan kali ini terasa bukan
perjalanan biasa. Inilah perjalanan yang membuat Lestari mau tak mau harus berdamai dengan
masa lalu yang selama ini selalu ingin ia kubur dalam-dalam.
“Mbak, aku mohon, datanglah. Tengoklah aku dan anakku. Kalau Mbak tidak kersa rawuh
mungkin Mbak tidak akan ketemu aku lagi. Sekarang ini aku merasa seperti berpacu dengan
waktu...”
Lestari melipat kembali surat yang ditulis Menuk sepuluh hari lalu, menyusul surat-surat
lain yang ditulis secara teratur mengabarkan keadaannya. Ia tidak tahu persis hubungan
persaudaraannya dengan Menuk, hanya saat kecil mereka pernah bersama-sama tinggal di
deretan rumah petak di belakang satu rumah besar di Semarang.
Lestari tidak pernah peduli dengan surat-surat itu. Beberapa surat bahkan tidak pernah
dibuka karena Lestari tidak ingin membacanya. Beberapa kali Lestari mengirimkan uang kalau
surat yang dikirim Menuk sudah terasa amat mengganggunya.
“Memangnya aku bank,” pikiran itu selalu melintas di benaknya, setiap saat ia mengambil
blanko pos wesel dan menuliskan sejumlah uang. Namun, pada banyak kali ia tidak kuasa
menolak permintaan Menuk. Bukan karena simpati, tetapi lebih karena ia ingin memelihara
ketenteraman hatinya sendiri.
Sering Lestari merasa Menuk menjebak Les tari untuk berbelas kasihan, sementara pada
saat yang sama Lestari merasa tidak punya kewajiban apa pun untuk membantu Menuk.
Hubungan me reka terpisah selama hampir tiga puluh tahun, meski dalam kurun itu dua kali
Lestari menjumpai Menuk setelah wanita itu dengan putus asa memintanya datang. Sekali
saat suami Menuk ninggal karena kanker kelenjar getah bening. Dua kali, saat Menuk
dioperasi karena benjol di rahimnya katanya sudah tidak tertahankan sakitnya.
Lestari ingat, Menuk menatapnya dengan pandang an tidak percaya saat ia memasuki
ruang rawat-inap tiga IRS Panti Rapi Yogyakarta itu. Lestari melihatnya sekilas dan menyadari
betapa tuanya Menuk pada usianya yang baru 27 tahun saat itu. Lestari juga selalu ingat bagai-
mana ia berusaha meng hindar dari pelukan Menuk dan hanya menyisihkan 15 menit waktunya
setelah mem berikan amplop berisi sejumlah uang untuk ongkos pengobatannya.
Sebenarnya Lestari tidak pernah lupa pesan Bramantyo, suami Menuk, yang baru ia kenal
pada saat-saat terakhirnya. “Saya hanya tahu Mbak sebagai satu-satunya saudara Menuk. Saya
me minta keikhlasan Mbak untuk membantunya ka rena rasanya hidup saya tidak akan lama.”
Lestari pun tidak pernah lupa bagaimana per lakuan keluarga Bramantyo terhadap Menuk.
“Ka mi lebih rela ia mati daripada terus hidup dengan pelacur itu,” itu yang dia dengar langsung
-- 12
dari mulut kakak Bramantyo yang tidak tahu bahwa ia ada di tempat itu. Tetapi entah kenapa,
Lestari tidak sedikit pun ingin melakukan pembelaan untuk Menuk yang saat itu terguguk di
sudut ruangan dan mendengar dengan jelas ucapan iparnya.
Lestari kemudian bahkan tidak pernah berusa ha mengingat pesan Bramantyo. Ia menghilang
begitu Bramantyo meninggal, sampai beberapa tahun kemudian saat surat Menuk tergeletak
di meja kerjanya. “Maaf kalau aku mengganggumu, Mbak. Aku mengikuti semua tulisanmu di surat
itu yang ditulis Menuk pada baris per tama suratnya (Cerpen “Dua Hati”, Maria Hartiningsih).
Teks di atas dikutip dari sebuah cerpen. Di dalamnya ada penokohan, latar, dan rangkaian
peristiwa. Namun, teks ini tidak dikategorikan sebagai anekdot karena tidak mengandung
unsur humor.Tidak ada kelucuan-kelucuan menggelitik di dalamnya yang mengandung kebenaran
ataupun pelajaran tertentu.
Perhatikan pula teks berikut.
Ibu : (duduk menjahit dengan tangan, menambal celana) Ke mana Ari ...? Sudah malam
belum kembali juga (meletakkan jahitan, pergi ke jendela). Wah..., langit mendung.
Jangan-jangan .... (terdengar suara di luar)
Ibu : (terkejut) Ari ...!(menuju ke arah pintu)
Budi : (di luar) Saya, Bu. Budi! (Budi masuk)
Ibu : (heran, kuatir) Kau sendiri, Bud, mana Ari? Kenapa tidak pulang sama-sama?
Budi : (ragu‑ragu) Ari... ditahan polisi, Bu.
Ibu : (terkejut) Apa? Ya, Allah! Kenapa ditahan, Bud? (terduduk lemas)
Budi : Tadi kami sama-sama berjualan koran di depan bioskop. Waktu orang membeli karcis,
ada yang kehilangan dompet. Kebetulan saya di dekatnya.
Ibu : Terus?
Budi : Sebenarnya banyak orang di situ, tetapi yang kehilangan menyangka saya. Waktu
ramai-ramai mereka menyangka saya, Ari datang. Ia marah kepada orang yang
kehilangan itu. Akhirnya mereka bertengkar. Ari dipukul.
Ibu : Aduuh, Ari! (hampir menangis) Lalu bagaimana, Bud? Sekarang di mana Ari?
(berdiri).
Budi : Tidak apa-apa, Bu. Ari membalas memukul lagi. Akhir nya mereka berkelahi dan Ari
ditahan.
Ibu : Ayo, Bud! Kita ke kantor polisi.
Budi : Sebentar, Bu. Saya beri tahu ibu dulu.
Ibu : Ya. Cepatlah beri tahukan ibumu, katakan kamu akan mengantar ke sana.
Budi : (menuju pintu, akan ke luar).
Ari : (dari luar) “Bud, Ibu? Saya pulang!”
Ibu/Budi : Itu Ari! (mereka bergegas ke pintu)
Ari : (memeluk ibu) Tidak apa-apa, Bu. Orang itu salah sangka. Budi disangka yang
tidak-tidak. Mungkin karena pakaian kotor begini lalu disangka mencopet.
Ibu : (gembira) Kau tidak apa-apa, Nak?
Ari : Hanya kena pukul sedikit di pipi, Bu. Tetapi tak apa. Ternyata waktu diperiksa polisi,
dompetnya tidak hilang. Ia lupa membawa dari rumah.
Budi : (marah) Kurang ajar! Enak saja menyangka orang.
Ari : Maka itu, aku hantam dia tadi, Bud.
Anekdot 13
Ibu : Sudahlah, Ari Budi. Lain kali kalian jangan begitu!
Ari : Habis bagaimana, Bu? Masa kita biarkan saja orang meng hina dan menuduh yang
bukan-bukan. Apa karena kita miskin? Begitu saja disangka jahat.
Ibu : Sabarlah, Nak! Yang benar tetap benar meskipun dalam pembungkus yang jelek.
Sabarlah memang banyak orang mengukur dari kulit luar saja.
Teks di atas juga memiliki bentuk yang sama dengan salah satu contoh anekdot yang disajikan
sebelumnya, yakni sama-sama berbentuk dialog. Di dalamnya ada tokoh, latar, dan rangkaian
peristiwa. Namun, teks percakapan ini tidak berkategori sebagai anekdot. Sama seperti
cuplikan cerpen di atas, teks ini juga tidak mengandung unsur humor ataupun sikap kritis.
Berikut bentuk teks lainnya.
Cinta Pembawa Pesan
Apakah yang kita rasakan setelah membaca sebuah cerita fiksi? Ada sebuah atau lebih
pesan yang ingin disampaikan oleh penulisnya.
Pesan itu bisa bermacam-macam. Kesetiaan, kemanusiaan, kepasrahan kepada Tuhan,
cinta yang tulus, hingga pesan tentang kematian. Pesan itu bisa diramu sangat halus, sehingga
pembaca, pada awalnya hampir tidak menyadarinya. Bisa juga disampaikan secara lebih
terbuka, bahkan lugas.
Seorang cerpenis menulis cerita pendek bukan sekadar mengemas sebuah cerita untuk
dihidangkan kepada pembaca. Nilai sebuah cerpen tidak hanya ditentukan oleh keindahan
bahasa dan kompleksitas jalinan cerita, tapi juga pada pesan yang dibawanya.
Untuk apa sebuah cerpen yang mengharu biru dan membuat pembacanya bercucuran air
mata, tapi setelah itu segalanya selesai? Tidak ada sesuatu yang dapat dipetik darinya.
Sebuah cerpen yang baik, seharusnya mengusung pesan-pesan pencerahan; sarat nilai-
nilai yang mendorong masyarakat untuk mengambil setidaknya satu atau dua butir hikmah
untuk hidup yang lebih baik; menyadarkan manusia yang lalai akan nilai-nilai kehidupan yang
harus dijunjung tinggi.
Tentu saja, karena ini merupakan fiksi, pesan itu harus disampaikan sehalus mungkin. Jangan
sampai terkesan menggurui, apalagi berubah menjadi khotbah. Media untuk menyampaikan
pesan itu bisa bermacam-macam. Bisa melalui kisah cinta, petualangan, konflik antara orangtua
dan anak, dan lain sebagainya.
Dalam buku 20 Tahun Cinta (Senayan Abadi Publishing, 2003), misalnya, kita akan dapati
pesan-pesan yang indah. Cerpen karya Asma Nadia yang berjudul 20 Tahun Cinta sungguh
mengharukan. Cerpen itu mengisahkan seorang lelaki yang sudah beristri, Pras, jatuh cinta lagi
kepada perempuan yang sudah bersuami, Ajeng.
Itu hal yang nyaris mustahil. Ajeng menolak Pras, tapi Pras mengatakan menunggu 20 tahun
lagi. Meskipun demikian, tak ada sebersit pun niat di hati Pras untuk mengganggu rumah
tangga Ajeng, apalagi sampai menodainya. Namun, Ajeng tetap menolaknya. Ia menggerendel
pintu hatinya terhadap Pras. Ia berusaha setia terhadap suaminya. (Sumber: Republika)
Teks ini merupakan contoh ulasan (faktual genres). Di dalam teks ini banyak sekali
pendapat dan kebenaran yang bisa kita pelajari dan kita ikuti. Dalam beberapa aspek, teks ini
memiliki kesamaan dengan anekdot. Akan tetapi, teks ini juga tidak terkategorikan sebagai
anekdot. Alasannya, teks ini tidak berbentuk cerita dan tidak mengandung unsur humor.
-- 14
Aspek
Teks Cerita (Story Genres)
Teks Faktual
(Factual Genres)
Cerita Pendek Anekdot Ulasan
Persamaan Mengandung unsur tokoh, alur, latar Mengungkap suatu
kebenaran faktual
Perbedaan Tidak mengandung unsur
kelucuan, tidak selalu kritis
Selalu mengandung unsur
kelucuan dan bersifat kritis
Tidak berbentuk cerita
D Menulis Anekdot
Penulis yang baik adalah penulis yang dapat menjadikan sesuatu yang sederhana, yang tidak
begitu berarti, menjadi suatu karya yang menarik dan bermanfaat bagi pembacanya. Ide-ide
penulisannya, baik itu dalam bentuk anekdot, cerpen, teks eksplanasi, serta jenis teks lainnya,
cukup digali dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada kesehariannya. Selain mudah diperoleh,
ide-ide semacam itu mudah dikenali sehingga mudah pula untuk dikembangkan.
Perhatikan kembali contoh anekdot berikut.
Bila Prajurit Menjewer Komandan
Dalam suatu apel pagi, seorang komandan sedang mengetes anak buahnya, dengan mengajukan
pertanyaan‑pertanyaan.
Komandan : Apa yang kamu lakukan jika kamu berhadapan dengan musuh dalam jumlah
yang sangat besar?
Rucah : Langsung saya serang, Pak!
Komandan : Salah! Kamu harus melaporkan pada pasukanmu supaya dapat menyerang
bersama-sama. Lalu, bagaimana jika kamu berhadapan dengan seekor babi
hutan yang jinak?
Rucah : Saya melaporkan pada pasukan saya supaya dapat menyerang bersama-sama
Pak!
Komandan : Salah! Kamu harus menjewer kupingnya supaya tidak nakal! Lalu, apa yang
kamu lakukan jika berhadapan dengan saya?
Rucah : Langsung saya jewer kupingnya, Pak, biar tidak nakal!
Komandan : ???
Anekdot 15
Penulis dengan leluasa menceritakan sesuatu yang diketahuinya tentang hubungan seorang
komandan dengan anak buahnya yang bernama Rucah. Karakter Rucah yang polos digambarkan
melalui dialognya yang lugu, namun memberi efek lucu.
Menulis anekdot tidak memerlukan ide yang kompleks seperti halnya menulis cerpen
ataupun novel. Hal yang penting kita mempunyai lintasan ide yang berisi kritik. Poleslah ide itu
dengan humor-humor seperti pada contoh-contoh di atas. Anekdot bisa menjadi menarik karena
memang idenya tidak semata-mata bersumber dari khayalan belaka. Sumber penulisannya adalah
kehidupan orang lain atau kita sendiri. Tokohnya pun bisa diambil dari keadaan faktual ataupun
fiktif.
Perhatikan pula contoh berikut.
Neil Amstrong Bukan Manusia Pertama ke Bulan
Neil Amstrong sering disebut-sebut sebagai manusia pertama yang menginjakkan kaki
di bulan. Namun, ternyata predikat itu tidak benar. Buktinya, saat Mas Amstrong sedang
berjalan-jalan dengan bangganya di bulan, dia ketemu dengan orang dari negeri Cina dan
seorang Indonesia. Keduanya sudah jauh lebih dulu berada di sana.
Neil Amstrong, yang terbang ke bulan dengan Apollo 11, kaget dan bertanya kepada si
orang Cina bagaimana caranya dia bisa sampai di bulan.
“Kami bekerja sama dengan saling naik pundak seluruh penduduk Cina, akhirnya
sampailah saya di sini,” jawab yang ditanya.
Wah, pikir Amstrong, satu miliar manusia rupanya bisa ditumpuk-tumpuk, dan akhirnya
bisa sampai ke bulan.
“Kalau Anda, bagaimana caranya bisa sampai di sini?” tanya Amstrong kepada orang
Indonesia.
“Saya naik tumpukan kertas-kertas seminar.”
Ha ha ha ….
Cerita di atas tentu saja bersifat fiktif karena tidak ada berita yang membuktikan ada orang
Cina dan Indonesia pergi ke bulan. Meskipun demikian, cerita ini memanfaatkan tokoh
faktual, yakni Neil Amstrong agar ceritanya seolah-olah nyata. Percaya atau tidaknya pembaca
terhadap isi cerita ini memang tidak penting karena tujuan penulis bukanlah hal ini .
Maksud dari anekdot ini adalah menyindir perilaku masyarakat Indonesia yang lebih senang
berteori di ruang-ruang seminar sehingga kertas pun menumpuk sampai-sampai bisa dipakai naik
ke bulan.
Cerita semacam itu dapat dikarang oleh penulis. Hal ini karena dalam anekdot tidak ada
ketentuan ceritanya harus benar-benar faktual. Seperti menulis cerpen, kita bisa memanfaatkan
pengalaman, pengetahuan, dan imajinasi kita dalam pengembangannya. Hal yang terpenting
yaitu kritik atau pesan yang akan disampaikan bisa terwakili oleh cerita ini . Namun, unsur
humornya tidak terlupakan.
Adapun langkah sistematisnya adalah sebagai berikut.
1. Menentukan topik anekdot. Misalnya, turis Amerika yang merasa paling pintar.
2. Merumuskan tujuan. Misalnya, mengingatkan bahwa bangsa Indonesia pun bisa mengalah-
kannya dengan permainan kata-kata.
-- 16
3. Menghadirkan tokoh dan latar. Misalnya, sopir taksi dan turis Amerika di dalam perjalanan
Kota Jakarta.
4. Melengkapi struktur anekdot yang terdiri atas abstrak, orientasi, krisis, reaksi, dan koda.
Struktur Pokok-pokok Anekdot
a. Abstrak Sopir taksi membawa turis Amerika, di jalanan Jakarta.
b. Orientasi Turis Amerika memerhatikan bangunan-bangunan.
c. Krisis Sang turis merasa proses pembangunan di negaranya lebih baik daripada
yang ada di Jakarta.
d. Reaksi Sopir taksi merasa tersinggung dan mencari jalan untuk mengalahkan
kesombongan turis Amerika.
e. Koda Kalau sekadar berkata-kata, siapa pun bisa melakukan nya.
5. Memerhatikan ketepatan penggunaan bahasa, seperti kalimat langsung dan tidak langsung,
fungsi kalimat, kata ganti, kata kerja, dan konjungsinya.
6. Mencantumkan judul yang sesuai dengan isi anekdot.
Berikut contoh hasilnya.
Turis Amerika dan Stadion Bung Karno
Sekitar tahun 1960-an seorang sopir membawa turis Amerika keliling Jakarta. Saat
melintas di depan Sarinah, di Jalan Thamrin, sang turis bertanya kepada sopir, “Berapa lama
waktu yang diperlukan untuk mendirikan bangunan itu?”
“Empat tahun,” jawab Si Sopir enteng.
“Itu sih terlalu lama, makan waktu. Kalau di Amerika, paling-paling hanya butuh waktu
dua tahun,” timpal Sang Turis.
Setibanya di Bundaran HI, turis tadi kembali bertanya, “Kalau bangunan ini, kira-kira
berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai betul-betul berwujud hotel?”
“Dua tahun,” jawab Si Sopir mencoba memendekkan waktu.
“Ah, kalau di Amerika sih paling-paling hanya butuh waktu setahun.”
Sewaktu sampai di dekat kompleks Stadion Bung Karno atau dulu disebutnya Stadion
Utama Senayan, Sang Turis ini pun kembali melontarkan pertanyaan yang sama.
Tanpa memperlihatkan rasa bersalah sedikit pun Si Sopir menjawab, “Entahlah, Mister.
Kemarin sore stadion ini belum ada di sini.”
Nah, lho. Sekadar omong-omong mah siapa takut!
Anekdot 17
Soal-soal Latihan
Pilihlah jawaban yang benar!
1. “Kamu itu justru sangat bodoh,” kata hakim itu dengan tenangnya. “Mau-maunya bertengkar
dengan orang tolol, yang mengatakan bahwa empat kali tujuh adalah dua puluh tujuh.
Bukankah kamu yang seharusnya dihukum?”
Peristiwa yang dialami tokoh “kamu” lebih tepat disebut ....
A. konyol D. tragis
B. ironis E. kontradiktif
C. sarkastis
2. Pelajaran yang dapat dipetik dari cuplikan anekdot pada soal nomor 1 di atas adalah ....
A. berdebatlah secara jujur
B. jangan melawan aparat hukum
C. taatilah hukum dengan sewajarnya
D. hargailah pendapat sesama dengan adil
E. uruslah sesuatu yang penting dan bermanfaat
3. Orang Indonesia : “Nah, itulah….! Masing-masing orang kan punya kenalan sendiri-
sendiri! Jangan paksakan saya mengenal orang-orang yang Anda
sebutkan tadi itu! Emang gue pikirin”
Pesan yang ada dalam cuplikan anekdot di atas adalah ....
A. setiap orang memiliki pendapat masing-masing
B. pengetahuan setiap orang selalu tidak sama
C. jangan memaksakan kehendak kepada orang lain
D. perlunya mengenal kebiasaan dan kemampuan orang lain dengan baik agar tidak terjadi
konflik
E. setiap orang memiliki kenalan yang berbeda-beda dan jangan dipaksakan untuk mengenal
orang lain
4. Kemudian, ia turun dari mimbar dan berjalan pulang. Kali ini orang-orang benar-benar dibuat
bingung dan akhirnya mereka memutuskan untuk mencoba sekali lagi dan mengundangnya
agar datang lagi pada minggu depan untuk menyampaikan khotbah.
Dalam struktur anekdot, bagian itu lebih tepat disebut dengan ....
A. abstrak D. reaksi
B. orientasi E. koda
C. krisis
5. Contoh bagian reaksi adalah ....
A. seorang dosen memberi kuliah Hukum Pidana
B. suasana kelas biasa-biasa saja
C. kelas kembali berlangsung normal
D. KUHP dipelesetkan menjadi “Kasih Uang Habis Perkara”
E. mahasiswa tercengang dan tertawa, sedangkan dosen menggeleng-gelengkan kepala
-- 18
6. Pada suatu saat mereka mampir ke sebuah restoran. saat memesan makanan, mereka
bingung dengan menu-menu makanan yang disediakan. Mereka pun tidak bisa berbahasa
Inggris dengan baik.
Bagian itu disebut sebagai orientasi anekdot karena ....
A. mengarahkan pada terjadinya krisis
B. bertokohkan antagonis
C. menjadi unsur konflik utama
D. mengandung kelucuan
E. tidak beralur maju
7. “Kamu itu justru sangat bodoh” kata hakim itu dengan tenangnya. “Mau-maunya kamu
bertengkar dengan orang tolol, yang mengatakan bahwa empat kali tujuh adalah dua puluh
tujuh. Bukankah kamu yang seharusnya dihukum?”
Reaksi dalam cuplikan anekdot di atas lebih bersifat ....
A. menghibur
B. mencela
C. menggurui
D. mengarahkan
E. menghardik
8. “Nah, itulah….! Masing-masing, orang punya kenalan sendiri-sendiri! Jangan paksakan saya
mengenal orang-orang yang Anda sebutkan tadi itu!”
Koda di atas lebih tepat disebut dengan ....
A. pernyataan
B. persetujuan
C. pembelaan
D. pengakuan
E. penjelasan
9. Sebuah bus penuh dengan (1) para politikus keluar (2) dari marka jalan. Akhirnya (3),
menabrak (4) sebuah pohon besar di ladang seorang petani tua. Hampir semua (5) penumpang
menjadi korban dalam kecelakaan ini .
Kata yang bermakna kronologis ditandai dengan nomor ....
A. (1) D. (4)
B. (2) E. (5)
C. (3)
10. Petani tua segera memberi bantuan (1). Namun, apalah daya, (2) ia tidak bisa berbuat apa
pun (3) karena memang para penumpang bus itu dianggap sudah tidak bisa tertolong lagi (4).
Petani tua kemudian menguburkan politikus-politikus itu di kebunnya. (5)
Kalimat yang mengandung konjungsi kronologis adalah nomor ....
A. (1) D. (4)
B. (2) E. (5)
C. (3)
Anekdot 19
11. Berikut ini yang tidak termasuk kalimat yang memakai keterangan waktu, yaitu ....
A. “Duh, Pak Jin, sepi banget di sini,” keluh orang Indonesia.
B. Dua orang itu pada akhirnya bertengkar hebat.
C. “Nah, sekarang tinggal kamu orang Indonesia. Sebut saja apa maumu.”
D. saat memesan makanan, mereka bingung dengan menu-menu makanan yang disediakan.
E. Beberapa hari kemudian, petugas dari kepolisian mendatanginya dan menanyakan
peristiwa kecelakaan itu.
12. Contoh penggunaan kalimat tak langsung yang benar ....
A. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang berkata bahwa mereka belum meninggal.
B. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang berkata, “Mereka belum meninggal.”
C. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang berkata, Mereka belum meninggal!
D. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang mengatakan mereka belum meninggal.
E. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang berkata, “Bahwa mereka belum meninggal!”
13. Kalimat yang tidak memakai kata kerja material ...
A. Petani tua segera memberi bantuan.
B. Mereka merasa seorang diri di tempat itu.
C. Keduanya akhirnya dibawa menemui hakim setempat.
D. Petani tua kemudian menguburkan politikus-politikus itu di kebunnya.
E. Beberapa hari kemudian, petugas dari kepolisian mendatanginya dan menanyakan
peristiwa kecelakaan itu.
14. (1) Pada zaman dahulu di suatu negara (yang pasti bukan negara kita) ada seorang tukang
pedati yang rajin dan tekun. (2) Setiap pagi dia membawa barang dagangan ke pasar dengan
pedatinya. (3) Suatu pagi dia melewati jembatan yang baru dibangun. (4) Namun sayang,
ternyata kayu yang dibuat untuk jembatan ini tidak kuat. (5) Akhirnya, tukang pedati itu
jatuh ke sungai. (6) Kuda beserta dagangannya hanyut.
Cuplikan anekdot di atas disusun dengan pola ....
A. kronologis
B. komparatif
C. kausalitas
D. spasial
E. umum khusus
15. Kalimat yang tidak memakai kata penunjuk keterangan waktu pada soal nomor 14
ditandai dengan nomor ....
A. (1), (2)
B. (2), (3)
C. (3), (4)
D. (4), (6)
E. (5), (6)
-- 20
Perhatikan kutipan teks anekdot di bawah ini untuk menjawab soal nomor 16 dan 17!
Kemudian Si Pembantu yang berbadan pendek, kurus, dan punya uang bertanya kepada hakim,
“Wahai, Yang Mulia Hakim. Apa kesalahan hamba sehingga harus dipenjara?” Dengan entengnya
Sang Hakim menjawab, “Kesalahanmu adalah pendek, kurus, dan punya uaaaaang!!!!”
16. berdasar kaidah kebahasaannya, teks di atas memiliki karakteristik sebagai anekdot
karena ....
A. mengandung kalimat langsung
B. banyak memakai kata benda
C. adanya humor yang menggelitik
D. memakai kata bermakna penyebaban
E. diakhiri dengan suatu koda
17. Konjungsi bermakna urutan waktu di dalam cuplikan anekdot di atas adalah ....
A. kemudian D. adalah
B. kepada E. sehingga
C. dengan
Perhatikan cuplikan teks anekdot di bawah ini untuk menjawab soal nomor 18 dan 19!
Setelah Si Pembantu yang berbadan pendek, kurus, dan punya uang itu dimasukkan ke penjara
dan uangnya disita, Sang Hakim bertanya kepada khalayak ramai yang menyaksikan pengadilan
ini , “Saudara-saudara semua, bagaimanakah menurut pandangan kalian, peradilan ini sudah
adil?” Masyarakat yang ada serempak menjawab, “Adiiill!!!”
18. Cuplikan teks anekdot di atas termasuk ke dalam ....
A. koda D. orientasi
B. reaksi E. abstrak
C. krisis
19. Fungsi keterangan pada cuplikan anekdot di atas diawali dengan penggunaan kata ....
A. setelah D. kepada khalayak
B. sang hakim E. sudah adil
C. ke penjara
20. Pemuda itu menjawab lagi, “Sayangnya, pada kenyataannya kebanyakan orang senang
disanjung, Pak. Hanya beberapa pria yang benar-benar sejati seperti Anda yang tidak
menyukai sanjungan.”
“Mungkin kamu benar,” pejabat senior itu mengangguk sambil ter senyum.
Kemudian, pemuda ini menceritakan pengalaman itu kepada temannya, “saya sudah
memakai satu dari persediaanku. Sekarang saya memiliki sembilan puluh sembilan
ungkapan ABS yang tersisa.”
Pelajaran yang dapat dipetik dari cuplikan anekdot itu adalah ….
A. betapa susahnya melihat kelemahan diri sendiri
B. banyak kesalahan pada diri orang lain yang mudah kita lihat
C. tidak ada orang di dunia ini yang mau mengakui kelemahannya
D. perlu ada saling menghargai antara orang yang satu dengan orang lain
E. setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda di dalam memahami sesuatu
Eksposisi 21
A Pengertian
Perhatikanlah teks berikut.
Generasi Galau
oleh Dr. E. Kosasih, M.Pd.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air yang satu, tanah air Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Ikrar Sumpah Pemuda ini berkumandang pada tanggal 28 Oktober 1928. Itulah
peristiwa yang menjadi bukti nyata besarnya rasa bangga pemuda pemudi masa lampau
terhadap tanah air, bangsa, dan bahasanya. Juga menunjukkan kuatnya rasa percaya diri mereka
terhadap suatu negeri yang bernama “Indonesia”.
Pemuda-pemudi pada masa lalu dengan gagahnya telah menyatakan diri sebagai pemuda
dan pemudi yang memiliki jati diri: yang bertanah air dan bangsa yang satu. Dengan penuh
kebanggaan, mereka pun bertekad untuk selalu menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan; memakai bahasa Indonesia di dalam segenap pergaulan mereka; bukan bahasa
Inggris, Belanda, dan bahasa asing lainnya.
Bayangkan! Peristiwa heroik itu terjadi di dalam kondisi yang serba darurat, kritis; di
tengah-tengah cengkraman bangsa lain. Mereka berada di dalam belenggu dan kebengisan
bangsa penjajah. Akan tetapi, mereka bisa melahirkan peristiwa bersejarah yang sanggup
mengguncang seantero negeri.
Padahal tindakan itu penuh risiko. Kematian sewaktu-waktu siap merenggut nyawa.
Desingan peluru dari ujung-ujung senapan balatentara penjajah sewaktu-waktu bisa mengoyak-
ngoyak raga mereka. Jeruji besi telah menganga untuk memenjarakannya dan kapal-kapal perang
telah siaga pula untuk membuang mereka ke pulau-pulau terpencil di ujung negeri sebagaimana
yang dialami oleh pemimpin mereka sebelumnya.
Semua ancaman dan bahaya itu tidak menyurutkan semangat dan tekad mereka untuk
merdeka. Satu Indonesia, itulah yang menjadi impian mereka. Mimpi itu tujuh belas tahun kemudian
terwujud, dengan diproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
II Eksposisi
-- 22
Delapan puluh empat tahun lamanya, kumandang Sumpah Pemuda itu telah berlalu.Waktu
yang telah begitu lama itu memang layak disebut zaman baheula. Dibandingkan dengan era
sekarang, peradaban pada waktu itu juga bisa dipandang sudah kolot. Kehidupannya masih
sangat tradisional. Akan tetapi, apabila dilihat dari mentalitasnya, mereka jauh lebih modern.
Mereka tahu betul akan pentingnya eksistensi dan berartinya harga diri bangsa.
Memang sangatlah layak apabila peristiwa yang sungguh-sungguh luar biasa itu selalu
diperingati oleh kita pada era kekinian. Peringatan yang sejati tentu saja tidak sekadar baris
di lapangan terbuka, menengadah dan menghormati bendera, kemudian mengeja kembali teks
Sumpah Pemuda dengan suara lantang. Kegiatan upacara dan beragam kegiatan seremonial
lainnya belum bisa menandingi peristiwa yang sesungguhnya terjadi pada masa itu.
Begitu kontrasnya mentalitas anak-anak generasi kita sekarang dengan para pemuda era
zaman baheula. Kebanggaan atas negeri dan bahasa sendiri begitu bergeloranya pada dada-
dada mereka. Semangat itulah yang mengharu-biru sepanjang sejarah perjuangan bangsa ini,
yang puncaknya ditandai dengan terkoyaknya rantai penjajahan yang membelenggu bangsa
ini selama ratusan tahun, pada 17 Agustus 1945. Itulah buah dari gelora untuk menjadi bangsa
besar dan mandiri.
Namun, mimpi agung itu kini semakin memudar, tergerus tipu daya dan peradaban bangsa
lain yang seolah-olah lebih kemilau. Gambaran bahwa negeri lain lebih indah dan bangsa lain
lebih hebat itulah yang telah menjejali alam pikiran kita sekarang. Kita pada era kekinian justru
lebih bangga memakai atribut-atribut asing. Bangga sekali saat bisa makan dan minum
buatan orang luar ketimbang bandrek dan bajigur. Seolah-olah menjadi manusia paling modern
saat sudah bisa cas-cis-cus berbahasa asing padahal yang diajak bicara adalah tetangga dari
Ciharupat atau Bojongkoneng. Kita sangat berbahagia pula saat sudah akrab dengan lagu
brang-breng-brong dari negeri seberang sana daripada lagu syahdu cianjuran ataupun pentas
wayang golek.
Bahasa, seni, dan hasil-hasil budaya dari bangsanya sendiri dianggap kolot, ketinggalan
zaman. Bahkan, anugerah langsung dari Tuhan pun sering kali dicampakkan karena dianggap
tidak ideal. Kulit sawo matang sebagai ciri khas lain dari bangsa ini harus memutih atau kuning
langsat. Hidung harus mancung, warna mata biru, rambut harus pirang atau kriwil-kriwil.
Tidak sadarkah bahwa kita terlahir secara kodrati seperti itulah adanya. Darah dan daging
kita berasal dari saripati tanah dan air yang ada di bumi Indonesia. Sehari-harinya pun kita
bergaul, bertegur sapa, dan hidup di tengah-tengah orang Indonesia. Akan tetapi, mengapa
kemudian kita lebih bangga dengan yang dimiliki oleh orang luar; dalam bergaul lebih memilih
gaya hidup bangsa lain? Walaupun begitu fasih berbahasa asing, bergaya hidup sudah seperti
bangsa luar, tidak akan menjadikan kita lebih hebat. Sampai kapan pun tetaplah kita akan
menjadi pecundang, yang berada di bawah ketiak dan kendali bangsa lain.
Kita akan menjadi pemenang manakala kita bisa eksis dengan jati diri bangsa sendiri.
Bangsa lain pun memandang hormat. Keadaan itu bisa menjadi kenyataan manakala kita bisa
mensyukuri semua anugerah Tuhan dan merasa bahagia atas potensi bangsa sendiri.
Sekalipun peristiwa Sumpah Pemuda selalu kita peringati dari tahun ke tahun, makna dari
peristiwa itu tidak akan berbekas. Mental baja yang ada pada pemuda-pemudi pada masa itu
tidak memberi dampak berarti kalau kemandirian ataupun kepercayaan diri bangsa tidak kita
pelihara.
Eksposisi 23
Kalau masih terus heboh begitu ada artis asing, memuja-muja pesepakbola negeri lain, dan
bersikap dingin terhadap orang Indonesia sendiri, berarti rasa nasionalisme kita berada pada
titik terendah. Kalau dibandingkan dengan pemuda-pemudi era tahun 20-an itu, kepercayaan
diri kita sedang ada masalah. Padahal, kalau merasa diri sebagai bangsa maju dan berperadaban
tinggi, harus semakin hebat pula mentalitas kita. Kenyataannya tidaklah demikian, generasi
bangsa ini sedang galau kalau begitu. Sungguh! (Penulis, dosen pada Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, Universitas Pendidikan Indonesia.)
Teks di atas mengungkapkan sejumlah argumen seorang penulis tentang sikap generasi
muda sekarang. Menurut penulis, generasi muda sekarang jauh berbeda dengan para pemuda
angkatan 1928 yang dipandangnya memiliki nasionalisme yang tinggi dan bangga atas bangsa
dan negaranya.
Secara umum, teks itu diawali dengan pengenalan isu dan pendapat umum penulis. Isu yang
dimaksud adalah peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928 sebagai bukti nyata besarnya rasa bangga
pemuda-pemudi masa lampau terhadap tanah air, bangsa, dan bahasanya. Juga menunjukkan
kuatnya rasa percaya diri mereka terhadap suatu negeri yang bernama “Indonesia”. Bagian ini
lazim disebut dengan tesis.
Bagian berikutnya diisi dengan sejumlah argumen yang mendukung tesis di atas. Pada
bagian ini terkandung pula informasi faktual, serta bukti, gambaran, atau penjelasan yang
mendukung tesis. Argumen dan fakta yang dikemukakan penulis dalam bagian ini, antara lain,
sebagai berikut.
Argumen Fakta
1. Peristiwa heroik itu terjadi di dalam kondisi
yang serba darurat, kritis; di tengah-tengah
cengkeraman bangsa lain.
2. Padahal tindakan itu penuh risiko.
3. Desingan peluru dari ujung-ujung senapan
balatentara penjajah sewaktu-waktu bisa
mengoyak-ngoyak raga mereka.
1. Mereka berada di dalam belenggu dan
kebengisan bangsa penjajah.
2. Mimpi itu tujuh belas tahun kemudian
terwujud, dengan diproklamasikan ke mer -
dekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
3. Delapan puluh empat tahun lamanya, ku-
mandang Sumpah Pemuda itu telah berlalu.
Teks ini kemudian diakhiri dengan penegasan kembali terhadap tesis yang telah
diungkapkan di bagian awal. Pernyataan pada bagian ini lebih kuat dan langsung daripada
pernyataan yang disampaikan dalam tesis. Dalam teks berjudul “Generasi Galau” di atas,
penegasan yang dimaksud dinyatakan dalam paragraf berikut.
…rasa nasionalisme kita berada pada titik terendah. Kalau dibandingkan dengan pemuda‑
pemuda era tahun 20‑an itu, kepercayaan diri kita sedang ada masalah. Padahal, kalau merasa
diri sebagai bangsa maju dan berperadaban tinggi, harus semakin hebat pula mentalitas kita.
Kenyataannya tidaklah demikian, generasi bangsa ini sedang galau kalau begitu. Sungguh!
Teks yang berkarakteristik itulah yang dimaksud dengan eksposisi. Istilah eskposisi berasal
dari kata ekspos yang berarti ‘memberitakan disertai dengan analisis dan penjelasan’. Adapun
sebagai suatu teks, eksposisi dapat diartikan sebagai karangan yang menyampaikan argumentasi
dengan tujuan untuk meyakinkan orang lain. Dalam pengembangannya, teks eksposisi dapat
-- 24
memakai fakta, contoh-contoh, gagasan-gagasan penulisnya, ataupun pendapat-pendapat
para ahli. Bahkan, teks itu dapat dilengkapi dengan media-media visual, seperti tabel, grafik,
peta, dan yang lainnya.
Teks eksposisi mengemukakan suatu persoalan tertentu berdasar sudut pandang penulisnya.
Hal ini menyebabkan bahasan teks eksposisi cenderung subjektif. Hal itu sebagaimana yang
tampak dalam contoh tulisan di atas. Penulis mengemukakan gagasan atau pendapat-pendapat
pribadinya tentang sikap dan peran generasi muda sekarang yang menurutnya sudah jauh berbeda
dengan generasi muda pada masa silam.
Pengertian eksposisi sebagai teks yang bersifat argumentatif ini berbeda dengan konsep
teks eksposisi yang dikenal dalam beberapa literatur lainnya. Dalam literatur ini eksposisi
didefinisikan sebagai teks yang berupa paparan sama seperti halnya dengan teks laporan, teks
prosedur, teks eksplanasi, teks berita, dan teks-teks jenis lainnya. Teks eksposisi sebagai paparan
merupakan definisi teks (karangan) berdasar tujuannya. Pendefinisian ini ditinjau
berdasar karakteristik isinya. Di samping eksposisi, dikenal pula jenis karangan narasi,
deskripsi, argumentasi, dan persuasi. Kelima jenis karangan ini dikelompokkan berdasar
tujuannya, yakni (1) karangan yang bertujuan untuk menceritakan--narasi, (2) bertujuan untuk
menggambarkan--deskripsi, (3) bertujuan untuk memaparkan--eksposisi, (4) bertujuan untuk
meyakinkan--argumentasi, dan (4) bertujuan untuk menyampaikan bujukan--persuasi.
Adapun eksposisi sebagai suatu teks yang bersifat argumentatif merupakan pengategorian
yang lebih berfokus pada struktur dan kaidah kebahasaannya. Oleh karena itu, jenisnya pun lebih
banyak dan beragam.Hal ini terkait dengan pola pengembangan teks serta aspek kebahasaan suatu
teks yang bisa sangat bervariatif yang mungkin dikembangkan oleh seseorang.
B Fungsi, Struktur, dan Kaidah Teks Eksposisi
1. Fungsi Teks Eksposisi
berdasar fungsi atau tujuan penyampaiannya, eksposisi tergolong ke dalam jenis
teks yang argumentatif. Pembaca ataupun pendengarnya diharapkan mendapatkan pengertian
ataupun kesadaran tertentu dari teks ini . Tidak sekadar pengetahuan ataupun wawasan
baru, tetapi lebih dari itu, yakni berupa perubahan sikap atau sekurang-kurangnya berupa
persetujuan atas pernyataan-pernyataan di dalam teks ini .
Sebagaimana yang dicontohkan di atas bahwa teks yang berjudul “Generasi Galau”
ini didominasi oleh sejumlah pendapat penulisnya. Begitu berhadapan dengan paragraf
pertama, pembaca sudah disajikan suatu pendapat, yang dalam hal ini lazim disebut sebagai
tesis. Berikutnya berupa rangkaian argumentasi penulis yang bertujuan memperkuat tesis yang
disampaikan dan diakhiri dengan kesimpulan atau penegasan kembali. Dengan demikian,
dari sejumlah argumentasi ini khalayak dapat pula membenarkan bahwa generasi muda
sekarang memang sedang galau.
2. Struktur Teks Eksposisi
Teks eksposisi dibentuk oleh tiga bagian, yakni sebagai berikut.
a. Tesis, bagian yang memperkenalkan persoalan, isu, atau pendapat umum yang merangkum
keseluruhan isi tulisan. Pendapat ini biasanya sudah menjadi kebenaran umum yang
tidak terbantahkan lagi.
Eksposisi 25
b. Rangkaian argumen, yang berisi sejumlah pendapat dan fakta-fakta yang mendukung
tesis.
c. Kesimpulan, yang berisi penegasan kembali tesis yang diungkapkan pada bagian awal.
S
tru
kt
ur
T
ek
s
E
ks
po
si
si Tesis
Rangkaian
Argumentasi
Kesimpulan
Argumentasi I
Argumentasi II
Argumentasi III
3. Kaidah Teks Eksposisi
Teks eksposisi merupakan teks yang menyajikan pendapat atau gagasan yang dilihat
dari sudut pandang penulisnya dan berfungsi untuk meyakinkan pihak lain bahwa argumen-
argumen yang disampaikannya itu benar dan berdasar fakta-fakta. Konsekuensinya, di
dalam teks ini ada satu topik tertentu yang menjadi perhatian penulisnya, yang dikupas
secara spesifik. Karena pendapat-pendapat itu berupa pandangan-pandangan penulisnya,
di dalam teks eksposisi mungkin pula dijumpai ungkapan subjektif penulisnya, seperti
sepertinya, saya anggap, saya duga, dimungkinkan, dan kata-kata sejenis lainnya.
Namun, mungkin pula subjek penulis termasuk kata ganti persona lainnya disampaikan
secara tersirat, yakni dengan mengubahnya ke dalam bentuk pasif, seperti dalam kalimat-
kalimat berikut.
a. Akan tetapi, apabila dilihat dari mentalitasnya, mereka jauh lebih modern. Mereka tahu
betul akan pentingnya eksistensi dan berartinya harga diri bangsa.
b. Dibandingkan dengan era sekarang, peradaban pada waktu itu juga bisa dipandang sudah
kolot.
c. Satu Indonesia, itulah yang menjadi impian mereka. Mimpi itu tujuh belas tahun kemudian
terwujud, dengan diproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Kaidah kebahasaan lainnya dari teks eksposisi adalah sebagai berikut.
a. Banyak memakai pernyataan-pernyataan persuasif.
Contoh:
1) Itulah buah dari gelora untuk menjadi bangsa besar dan mandiri.
2) Akan tetapi, mengapa kemudian kita lebih bangga dengan yang dimiliki oleh orang
luar; dalam bergaul lebih memilih gaya hidup bangsa lain?
3) Walaupun begitu fasih berbahasa asing, bergaya hidup sudah seperti bangsa luar,
tidak akan menjadikan kita lebih hebat.
4) Sampai kapan pun tetaplah kita akan menjadi pecundang, yang berada di bawah
ketiak dan kendali bangsa lain.
-- 26
b. Banyak memakai pernyataan yang menyatakan fakta untuk mendukung atau
membuktikan kebenaran argumentasi penulis/penuturnya. Mungkin pula diperkuat oleh
pendapat ahli yang dikutipnya ataupun pernyataan-pernyataan pendukung lainnya yang
bersifat menguatkan. Dalam contoh di atas, kutipan tampak pada ikrar Sumpah Pemuda.
c. Banyak memakai pernyataan atau ungkapan yang bersifat menilai atau mengomentari.
Contoh:
1) Begitu kontrasnya mentalitas anak-anak generasi kita sekarang dengan para pemuda
era zaman baheula. Kebanggaan atas negeri dan bahasa sendiri begitu bergeloranya
pada dada-dada mereka.
2) Namun, mimpi agung itu kini semakin memudar, tergerus tipu daya, dan peradaban
bangsa lain yang seolah-olah lebih kemilau.
3) Sekalipun peristiwa Sumpah Pemuda selalu kita peringati dari tahun ke tahun,
makna dari peristiwa itu tidak akan berbekas. Mental baja yang ada pada pemuda-
pemudi pada masa itu tidak memberi dampak berarti kalau kemandirian ataupun
kepercayaan diri bangsa tidak kita pelihara.
d. Banyak memakai istilah teknis berkaitan dengan topik yang dibahasnya. Topik
contoh teks di atas adalah tentang generasi muda dan kebangsaan. Adapun istilah-istilah
teknis yang terkait dengan topik itu, antara lain, Sumpah Pemuda, heroik, peradaban,
proklamasi, tradisional, mentalitas, nasionalisme.
e. Banyak memakai konjungsi yang berkaitan dengan sifat dari isi teks itu sendiri.
Contoh teks di atas bersifat mempertentangkan atau mengontraskan, yakni antara
generasi muda masa lalu dan generasi muda sekarang. Konjungsi-konjungsi yang
dipakai adalah akan tetapi, namun, walaupun, padahal.
f. Banyak memakai kata kerja mental. Hal ini terkait dengan karakteristik teks
eksposisi yang bersifat argumentatif dan bertujuan mengemukakan sejumlah pendapat.
Kata kerja yang dimaksud, antara lain, menyatakan, mengetahui, memuja, merasa,
berbahagia, bersikap, membayangkan, dipandang, dianggap, menduga, diperkirakan.
Contoh:
1) Bahasa, seni, dan hasil-hasil budaya dari bangsanya sendiri dianggap kolot,
ketinggalan zaman.
2) Kalau masih terus heboh begitu ada artis asing, memuja-muja pesepakbola negeri
lain dan bersikap dingin terhadap orang Indonesia sendiri, berarti rasa nasionalisme
kita berada pada titik terendah.
3) Kita sangat berbahagia pula saat sudah akrab dengan lagu brang-breng-brong dari
negeri seberang.
4) Dibandingkan dengan era sekarang, peradaban pada waktu itu juga bisa dipandang
sudah kolot.
5) Mereka tahu betul akan pentingnya eksistensi dan berartinya harga diri bangsa.
6) Memang sangatlah layak apabila peristiwa yang sungguh-sungguh luar biasa itu
selalu diperingati oleh kita pada era kekinian.
7) Padahal, kalau merasa diri sebagai bangsa maju dan beperadaban tinggi, harus
semakin hebat pula mentalitas kita.
Eksposisi 27
Perhatikanlah pula teks eksposisi lainnya di bawah ini.
Ironisme: Sandal Jepit untuk Ketidakadilan
Seorang remaja berinisial AAL, gara-gara mencuri sandal, ia harus dimejahijaukan,
kemudian divonis bersalah. Masyarakat memandang bahwa aparat penegak hukum sudah
keterlaluan, berlaku sistem tebang pilih. Kasus hukum yang ecek‑ecek diperkarakan,
sementara masih banyak kejahatan serius yang dipandang sebelah mata. Koruptor yang
menggasak uang negara miliaran, bahkan triliunan rupiah, dibiarkan melenggang bebas,
tidak diotak-atik, tanpa tersentuh hukum.
Polisi dan jaksa disibukkan oleh kasus-kasus sepele, seakan-akan tidak ada kasus
lain yang jauh lebih urgen. Kasus pencurian sandal butut dan uang yang hanya seribu
perak, sebenarnya bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah. Logikanya kalau segala
kenakalan remaja itu diperkarakan, penjara akan penuh dengan manusia-manusia belia.
Bisa jadi nanti semacam kasus nyolong permen kena penjara, menghilangkan buku
perpustakaan dibui, mematahkan pagar bambu balai kelurahan didakwa, menginjak sepatu
tentara disidangkan.
Cara kerja mereka seperti dipandang tidak punya arti apa pun bagi kepentingan
negara dan rakyat secara luas. Perlakuan itu hanya memenuhi syahwat dan arogansi para
penguasa. Padahal keberadaan aparat penegak hukum adalah untuk menjadikan negara
dan rakyatnya memperoleh rasa aman dan sejahtera. Sementara itu, keamanan dan
kesejahteraan di mana-mana sedang dikuasai oleh mafia-mafia dan para koruptor. Hampir
setiap waktu masyarakat mengeluhkan fasilitas umum yang rusak, pelayanan publik yang
tidak profesional dan sarat pungli, serta sistem peradilan yang memihak.
Persoalan-persoalan itulah yang seharusnya menjadi perkara utama aparat penegak
hukum. Hal ini karena negara telah mengeluarkan dana sangat besar untuk belanja berbagai
sarana dan fasilitas umum; menggaji jutaan pegawai. Namun, kinerja mereka sangat jauh
dari harapan.
Harapan rakyat, keberadaan para pengadil itu bukan untuk mengurus perkara yang
ecek‑ecek. Mencuri tetap merupakan perbuatan salah. Akan tetapi, mereka haruslah
memiliki prioritas dan nurani. Kasus-kasus berkelas kakap semestinya menjadi sasaran
utama. Korupsi besar-besaran diindikasikan hampir terjadi di setiap instansi, tetapi yang
terjadi kemudian hanya satu-dua kasus yang terungkap. Itu pun saat sampai di meja
pengadilan banyak yang lolos, tidak masuk bui.
Aparat penegak hukum beraninya terhadap kaum sandal jepit, orang-orang miskin
papa. Namun, mereka loyo saat berhadapan dengan perkara para penguasa dan orang-
orang kaya. Dalam perhitungan ilmu ekonomi, apa yang mereka perbuat, jauh dari
harapan untuk bisa break event point antara pemasukan dengan pengeluaran masih sangat
timpang. Rakyat akhirnya tekor. Mereka dihidupi dan dibiayai dengan “modal” besar.
Harusnya mereka bisa membayarnya dengan kejujuran dan kerja keras, yakni dengan
memenjarakan penjahat-penjahat kelas kakap sehingga uang negara, yang mereka gasak
itu bisa dikembalikan. Kesejahteraan dan keamanan negara pun bisa diwujudkan.
-- 28
Namun, harapan tinggallah kenangan. Sudah belasan tahun berlalu, sejak reformasi
bergulir pada tahun 2008, harapan itu belum juga menjadi kenyataan. Ketidakadilan
bahkan semakin mewabah di berbagai lini kehidupan. Korupsi tetap mewabah di mana-
mana. Rakyat kian termarginalkan. Dibuai janji-janji manis alam demokrasi, seolah-olah
rakyat punya kuasa, padahal semuanya semu.
saat mereka menyuarakan hak-haknya atau melaporkan bentuk-bentuk ketidakadilan
yang dialaminya baik itu dari pihak penguasa maupun orang-orang kaya, mereka malah
terkerangkeng oleh tuduhan pen ce maran nama baik. Begitu giliran rakyat berbuat salah
walaupun secuil, pengadilan dan hukuman penjara dengan enteng saja segera mereka dapatkan.
Rakyat, sebagai pemilik sah negeri ini, tentu saja menjadi frustrasi. Entah bagaimana
caranya untuk menumpahkan kekecewaan itu. Mengadu kepada anggota dewan pun
sering kali rontok di tengah jalan: aspirasi rakyat sekadar ditampung, penindaklanjutannya
perkara belakangan. Berbagai pengaduan jarang membuahkan hasil karena mereka sudah
terlena dengan berbagai fasilitas dan kemewahan. Kemudian, muncullah inisiatif untuk
memberi “sumbangan rasa simpati” berupa sandal jepit, sebagai bentuk sindiran atas
tindakan para pengadil yang mengada-ada alias kurang kerjaan itu.
Tindakan “utang sandal dibayar sandal” dalam kasus AAL memiliki makna sindiran.
Tindakan ini berarti segala perbuatan salah harus dibayar dengan setimpal, sesuai
dengan bentuk kejahatannya. Dalam tata kehidupan masyarakat tempo dulu, cara-cara
ini bisa dianggap wajar dan masuk akal. Namun, dalam kehidupan masyarakat modern,
yakni saat sistem sosial budayanya sudah tertata dengan baik, cara penghukuman harus
pula mempertimbangkan hati nurani, motif, dan aspek-aspek lainnya.
Sayangnya, dalam masyarakat modern pun, tata laksana hukum itu ternyata tidak
serta merta berjalan dengan baik. saat hukum tidak berjalan dengan semestinya, pada
akhirnya masyarakat tidak akan mempercayai negara sebagai penyelenggara hukum
yang kredibel. Masyarakat membuat tindakan penghukuman dengan caranya sendiri.
Masyarakat menggugat terhadap ketidakadilan aparat penegak hukum, antara lain, dalam
bentuk sindiran itulah.
Tindakan masyarakat seperti itu dalam ilmu bahasa disebut dengan ironi, yakni
pernyataan, tindakan, atau keadaan yang bertentangan dengan maksud yang sesungguhnya.
Masyarakat memberi “kado istimewa” atas kinerja aparat penegak hukum, berupa sandal
dan uang recehan. Dengan tindakan itu bukan berarti masyarakat memiliki rasa kasihan
ataupun ingin membantu. Akan tetapi, tindakan itu mengandung makna sebaliknya, yakni
sikap tidak suka. “Kalau Anda begitu sayang terhadap sandal jepit atau uang seribuan
sehingga begitu teganya Anda menghukum orang, biarlah kami kasih Anda jauh lebih
banyak dari itu!” Begitulah kira-kira pesan yang terkandung di dalam pemberian sandal
jepit dan uang recehan itu.
Sindir-menyindir lazim pula terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan ini
dilakukan saat seseorang melakukan kritik secara tidak langsung kepada pihak lain.
saat seorang siswa datang terlambat, gurunya sering kali menyampaikan sindirian,
“Pagi-pagi benar kamu datang ke sekolah, apa tidak sekalian saja nanti saat orang lain
sudah bubar?” Seorang suami menyindir sang istri setelah melihat rumahnya berantakan,
“Wah, rapi sekali rumah kita, ya, Mah. Pasti kecoa dan tikus-tikus bakal betah juga tinggal
di sini!” Pernyataan-pernyataan itu sebenarnya menyatakan maksud yang sebaliknya.
Eksposisi 29
Dengan maksud yang sama, cara ini dilakukan pula oleh masyarakat dengan pe-
nyerahan ratusan sandal jepit. Mereka menyindir aparat penegak hukum atas tindakannya
yang berlebihan itu, supaya mereka nyadar.
Namun, karena ironisme merupakan sindiran yang bersifat tidak langsung, bisa jadi
orang yang ditujunya tidak merasa sedang dikritik. Siswa yang disindir gurunya itu, boleh
jadi malah nyengir atau sang istri itu pun menjadi bangga, ia berpikir dipuji suaminya.
Padahal bagi orang yang punya rasa, mendapat sindiran seperti itu tentunya bakal
tersinggung, setidaknya menyadari akan kesalahannya.
Menyindir dengan gaya ironisme memang tampak halus karena dilakukan secara tidak
langsung, tidak vulgar, tidak pula kasar. Namun, sindiran itu sebenarnya sangat tajam dan
menghinakan. Bagaimana tidak, seseorang yang sesungguhnya tidak perlu‑perlu amat
dengan sandal jepit karena memang ia berkecukupan, kemudian mendapat sumbangan
sandal jepit. Harusnya ia merasa terhina karena memang malu‑maluin, seolah-olah ia orang
yang ‘miskin papa’. Seseorang yang sebenarnya kaya, kemudian diberi uang recehan.
Tentu saja orang itu harusnya merasa tersinggung.
Menggugat kesewenang-wenangan aparat ataupun penguasa dengan gaya ironisme
tidak selalu bisa dilakukan. Hanya kasus tertentu yang mudah disindir seperti itu.
Misalnya, polisi yang memenjarakan seseorang yang mencuri anak ayam, tentunya sulit
untuk disindir dengan pengumpulan anak ayam lagi. Kalaupun dipaksakan, yang repot
adalah pihak pengumpulnya. Ia harus memberi makan, membuat kandang, dan urusan-
urusan lainnya.
Yang pasti bahwa dalam kasus sandal jepit dan uang recehan, ko notasinya sangat
pas. Kedua benda ini merupakan simbol perjuangan rakyat miskin atau mereka yang
termarginalkan. Harusnya aparatur negara, khususnya para penegak hukum, merasa malu
dengan memperoleh persembahan barang-barang seperti itu. Namun, kalaulah nuraninya
sudah begitu haus kekayaan dan tertutup dengan arogansi kekuasaan, tidak ada dalam
kamusnya untuk menjadi malu. Begitu mendapat “hadiah” ratusan sandal, boleh jadi mereka
malah senang: Lumayan tuk pergi ke kamar mandi! Begitu mendapat “sumbangan” uang
recehan, senang juga karena bisa mengisi kotak amal masjid! Begitulah “nasib” si muka
badak, jangankan disindir-sindir atau diteriaki. Dimaki-maki juga sepertinya tidak bakal
berubah. Kecuali langit sudah runtuh, barulah mereka bisa bilang innalilah! (Dokumentasi
penulis)***
Teks di atas mengungkapkan pendapat penulisnya tentang ketidakadilan hukum yang
terjadi di negeri ini. Tulisan itu diawali sajian tesis tentang pandangan masyarakat terhadap
peristiwa hukum yang terjadi di Indonesia, yakni berupa vonis yang menimpa seorang pencuri
sandal jepit. Peristiwa itu kemudian menjadi dasar bagi argumen penulis bahwa telah terjadi
ketidakadilan hukum. Argumen ini kemudian diperkuat oleh argumen-argumen lainnya
dan ditunjang pula oleh sejumlah fakta.
Tulisan itu pun diakhiri dengan penegasan kembali bahwa sandal jepit merupakan simbol
rakyat kecil dalam memperjuangkan hak-haknya, melawan ketidakadilan yang menimpa
dirinya, walaupun perjuangan itu sering kali tidak membuahkan hasil karena sedemikian
bebalnya pihak-pihak yang mereka lawan itu.
berdasar kaidah-kaidah kebahasaannya, teks ini memiliki karakteristik sebagai
berikut.
-- 30
1. memakai pernyataan-pernyataan persuasif.
Contoh:
a. Harusnya ia merasa terhina karena memang malu‑maluin, seolah-olah ia orang yang
‘miskin papa’.
b. Persoalan-persoalan itulah yang seharusnya menjadi perkara utama aparat penegak
hukum.
2. Menyampaikan pernyataan yang bersifat menilai.
Contoh:
a. Kasus hukum yang ecek‑ecek diperkarakan, sementara masih banyak kejahatan
serius yang dipandang sebelah mata.
b. Namun, harapan tinggallah kenangan. Sudah belasan tahun berlalu, sejak reformasi
bergulir pada tahun 2008, harapan itu belum juga menjadi kenyataan. Ketidakadilan
bahkan semakin mewabah di berbagai lini kehidupan. Korupsi tetap mewabah di
mana-mana. Rakyat kian termarginalkan. Dibuai janji-janji manis alam demokrasi,
seolah-olah rakyat punya kuasa, padahal semuanya semu.
3. memakai fakta untuk menguatkan argumentasi.
Contoh:
Seorang remaja berinisial AAL, gara-gara mencuri sandal, ia harus dimejahijaukan,
kemudian divonis bersalah.
4. memakai istilah-istilah teknis. Karena berkaitan dengan topik hukum, istilah-
istilah teknis yang dipakai antara lain, vonis, penegak hukum, kasus hukum, koruptor,
mafia.
5. Banyaknya penggunaan kata kerja mental, seperti memandang, di per kirakan, dianggap,
mempercayai, menyindir, menyatakan, tersinggung, merasa malu.
C Perbandingan Teks Ekpsosisi
1. Teks Eksposisi dengan Teks Eksposisi Lainnya
Teks eksposisi mudah kita temukan di berbagai media (surat kabar). Wujudnya bisa
berupa berita ataupun artikel, esai, editorial. Dalam bentuk lisan, mudah pula dijumpai dalam
acara-acara debat atau berbentuk komentar-komentar.
Apabila dicermati secara lebih mendalam, walapun masih sejenis, teks-teks itu memiliki
beberapa perbedaan di samping persamaan-persamaannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikan
kedua teks di bawah ini.
Teks I
Begini Aktifnya Otak Saat Kita Membaca
Jika Anda hobi membaca tentu membaca sebuah novel yang disukai adalah hal yang
menyenangkan. Apalagi dengan menyelami isi cerita sehingga membuat otak menjadi
hidup dengan terbawa emosi dan bahkan mengaktifkan indra.
Dilansir dari laman Fitnea, para peneliti menemukan bahwa penggam baran visual
terjadi secara otomatis.Orang-orang mampu mengidentifikasi penggambaran objek lebih
Eksposisi 31
cepat jika mereka hanya membaca kalimat yang menggambarkan objek secara visual.
Dengan begitu, saat membaca kalimat, Anda secara otomatis memunculkan gambar
objek dalam pikiran Anda.
Selain itu, setiap kata yang diucapkan membuat otak bekerja. Penelitian telah
menunjukkan bahwa tindakan mendengarkan cerita dapat menghidupkan otak. saat
Anda menceritakan sebuah cerita, tidak hanya bagian pengolahan bahasa otak Anda yang
aktif, tapi bagian pengalaman otak Anda menjadi hidup juga.
Bila Anda mendengar tentang makanan, korteks sensorik Anda akan terangsang,
sementara gerakan mengaktifkan korteks yang bertanggung jawab atas tindakan. Anda
bisa mendengarkan cerita panjang teman Anda yang membosankan tentang liburannya
atau mendengarkan buku audio untuk melatih otak Anda menjadi lebih baik (Republika,
26 November 2013)
Teks II
Analisa Otak, Peneliti Ungkap Alasan Albert Einstein Jenius
Albert Einstein, ilmuwan fisika dan penemu teori relativitas ini, dipandang sebagai
ilmuwan terbesar dalam abad ke-20. Dilansir News Max Health, Rabu (9/10/2013), dari
otak Einstein yang diambil tujuh jam setelah kematiannya pada tahun 1955, ditemukan
bahwa belahan bagian kiri dan kanannya terhubung dengan sangat baik. Sesuai dengan
temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Brain, otak kedua sisi otak Einstein bersinergi
dengan baik satu sama lain.
“Studi kali ini dilakukan lebih detail, kami benar-benar mencoba untuk meneliti
bagian dalam otak Einstein. Penelitian ini menyediakan informasi baru untuk membantu
kita memahami secara lengkap permukaan otak Einstein,” ujar penulis studi, Dean Falk,
seorang antropolog evolusi di Florida State University, AS.
Pemimpin peneliti, Weiwei Men, dari East China Normal University, juga
mengungkapkan telah mengembangkan teknik analisis otak terbaru dalam studi ini. Ia
mengatakan telah memeriksa bagian corpus callosum pada otak Einstein, yaitu bagian
terbesar dari serat otak yang menghubungkan dua sisi belahan. Untuk penelitian ini,
Weiwei memakai foto resolusi tinggi dari otak Einstein yang telah diterbitkan oleh
Falk pada tahun 2012.
Teknik Weiwei mengungkapkan adanya variasi ketebalan dari bagian corpus
callosum pada otak Einstein, di mana serabut saraf yang ada memungkinkan aktivitas otak
‘menyeberang’ secara sempurna dari satu belahan ke belahan otak yang lain. Ketebalan ini
menunjukkan jumlah saraf yang melintas di daerah tertentu.
Para peneliti kemudian membandingkan otak Einstein dengan 15 pria tua dan 52
pria muda. Dari hasil perbandingan ini ditemukan bahwa Einstein memiliki hubungan yang
lebih luas pada bagian-bagian tertentu dari belahan otaknya, jika dibandingkan dengan
otak seluruh responden. Inilah sebabnya hingga saat ini Einstein masih dianggap sebagai
seseorang yang jenius dan belum ada yang bisa menyamainya. (detikcom, 9 Oktober 2013).
Kedua teks di atas sama-sama berjenis eksposisi. Keduanya membahas tentang otak. Kedua
teks ini memanfaatkan hasil penelitian untuk memperkuat pembahasan itu. Di dalamnya
memakai banyak pendapat, bahkan mengutip sumber tertentu untuk menguatkan
argumen-argumen penulisnya.
-- 32
Persamaan lainnya, tampak pada kedua teks ini yang didominasi dengan kata
kerja mental, seperti membaca, mendengarkan, mengidentifikasi, melatih, mengungkapkan,
membedakan, meneliti, membosankan, menye nangkan. Kata-kata teknis juga bayak dijumpai
di dalamnya, seperti korteks sensorik, buku audio, jurnal, antropologi evolusi, corpus
callosum, responden, foto resolusi.
Adapun perbedaannya, pembahasan teks I difokuskan pada kerja otak saat membaca.
Sementara itu, teks II lebih membahas tentang penyebab kecerdasan Albert Einstein. Perbedaan
lainnya tampak pada gaya penyampaiannya. Teks I langsung menyapa pembacanya dengan kata
ganti Anda, sedangkan teks II lebih netral, tidak tertuju pada pembacanya secara jelas.
berdasar pola pengembangannya, teks I disusun dengan pola kausalitas. Hal itu
tampak dari konjungsi korelatif… jika,… maka yang dipakai di dalamnya beberapa kali.
Adapun teks II lebih banyak memakai pola perbandingan yang dipadukan dengan pola
kronologis. Hal itu sebagaimana yang tampak pada konjungsi pada penggunaan konjungsi
kemudian dan ungkapan-ungkapan perbandingan.
Bagaimana halnya dengan perbandingan kedua teks di bawah ini?
Teks I
Siswa SMK bisa membuat mobil dan pesawat terbang! Berita-berita itu beberapa
minggu terakhir menjadi headline banyak media massa nasional, baik cetak maupun
elektronik. Sangat luar biasa memang di tengah-tengah pemberitaan yang lebih banyak
menyoroti masalah tawuran para pelajar dan aneka perbuatan onar lainnya. Bahkan,
seminar-seminar juga banyak membahas tingkah mereka dari sisi kenakalannya.
Kemampuan para siswa SMK yang mampu membuat mobil telah membuat banyak
orang terpesona. Para pejabat berlomba mengajukan pesanan untuk menunjukkan rasa
peduli terhadap prestasi mereka dan juga cinta terhadap produk dalam negeri. Berbagai
pujian dan decak kagum pun mengalir dari berbagai lapisan masyarakat. Kok bisa siswa
SMK membuat karya yang prestisius seperti itu?
Wajar apabila banyak kalangan terkagum-kagum. Membuat mobil memang masih
dianggap prestasi yang sangat prestisius, mengingat di negeri ini untuk membuat karya
sederhana saja seperti tabung gas masih mengandalkan kemampuan orang luar. Pemerintah
masih harus mengimpor.
Juga bagaimana tidak kagum, pemerintah sendiri yang punya kekuatan modal,
kebijakan, dan memiliki banyak ahli, masih belum berhasil mewujudkannya.Hanya tergelar
di meja wacana saja, realisasinya entah kapan.Tudingan miring kemudian beralih pada
pihak-pihak yang seharusnya lebih mumpuni di bidang itu. BPPT merupakan salah satu
pihak yang kena imbasnya. Menurut beberapa kalangan, justru BPPT-lah yang seharusnya
menjadi motor penggerak bagi kebangkitan industri mobil nasional.
Perguruan tinggi yang membuka jurusan teknik mesin/otomotif juga tak luput dari
rasa penyesalan itu. Masyarakat berpandangan bahwa lulusan perguruan tinggi justru lebih
jago ketimbang siswa SMK. Harapannya, merekalah yang terdepan dalam melahirkan
karya-karya inovatif. Karya prestisius anak bangsa itu seharusnya dari tangan-tangan
mereka yang dari segi pendidikan jauh lebih tinggi, tetapi nyatanya siswa SMK-lah yang
lebih bisa.
Eksposisi 33
Memang, dalam berkarya pada akhirnya tidak bisa memandang status ataupun tingkat
pendidikan. Siapa pun yang punya kemauan, bekerja keras, dan memiliki kreativitas
tinggi, itulah yang berhak meraih prestasi. Tidak terkecuali remaja-remaja yang masih
berpendidikan SMK itu, dari segi usia tentu saja tergolong sangat muda, berkisar 16-
17 tahun, dari segi pengetahuan pun masih mendasar. Mereka intensif memperoleh
pengetahuan tentang keotomotifan tidak kurang dari 1-2 tahun. Akan tetapi, mereka
berhasil membuat suatu karya yang mengagumkan masyarakat luas.
Tentu saja tidaklah adil apabila karya mereka dibandingkan dengan produk-produk
Eropa ataupun Jepang yang telah lebih dulu ada. Produk mereka memakai teknologi
mutakhir dengan sumber daya yang jauh berpengalaman dan dari berbagai keahlian. Modal
mereka pun berlipat-lipat untuk bisa memproduksi mobil yang berkualitas tangguh.
Namun, apabila dilihat dari berbagai keterbatasannya, pujian dan kekaguman lebih
pantas dialamatkan pada mereka. Tidak semata-mata pada produknya--kalaulah memang
masih banyak kekurangan--acungan jempol lebih pantas lagi dialamatkan pada pola
pendidikan yang diterapkan di SMK ini . Guru-guru dan jajarannya berhasil mengantar
siswa-siswa mereka di gerbang prestasi nasional. Di tengah-tengah kemuraman dunia
pendidikan di Tanah Air, mereka berhasil mengukir prestasi. Keterbatasan fasilitas belajar
dan carut-marutnya sistem pendidikan nasional, ternyata tidaklah menjadi kendala berarti
bagi SMK yang bersangkutan untuk bisa mencetak siswa-siswa berprestasi.
Banyak pejabat daerah, bahkan anggota dewan, tampak berlomba-lomba ingin
menunjukkan perhatian terhadap prestasi mereka. Itulah hal yang diberitakan banyak
media akhir-akhir ini. Namun, sayangnya sangat kurang pemberitaan yang menyoroti
pola pendidikan yang diterapkan di SMK ini selama ini. Seberapa besar pula biaya
yang dipungut sekolah pada para siswanya? Masyarakat tentunya sangat penasaran
dengan semua itu. Penularan pola pendidikan yang berlaku di sana sangat penting agar
terjadi penyebaran prestasi dan kreativitas. Kalau toh kurikulumnya sama, fasilitas dan
kompetensi gurunya juga tidak jauh berbeda, seharusnya prestasi seperti itu muncul juga
dari sekolah-sekolah menengah atas (SLTA) lainnya (Sumber: dokumen penulis).
Teks II
Dalam beberapa hari terakhir demonstrasi penolakan atas ren cana pemerintah untuk
menaikkan harga BBM marak di berbagai pelosok tanah air. Tidak hanya teriakan untuk
meminta pemerintah mengu rungkan rencananya itu, demonstrasi ini disertai pula
dengan perusakan fasilitas umum, kendaraan pribadi, bahkan beberapa di antaranya
berupa penyerangan fisik terhadap aparat. Menanggapi peristiwa-peristiwa semacam itu,
beberapa pihak menyatakan bahwa penyebab demonstrasi dan anarkisme tidak lain adalah
faktor laparnya masyarakat dan pengangguran. Lantas, seorang pengamat mencontohkan
rakyat Malaysia dan Brunei yang adem ayem, tanpa sering berdemonstrasi apalagi melakukan
anarkisme, lantaran kesejahteraan mereka terpenuhi.
Pendapat ini tentu saja bertentangan dengan pendapat para demonstran itu
sendiri. Mereka tidak berterima dan tidak merasa me miliki motif serendah itu. Mereka
berpendirian bahwa demonstrasi yang biasa mereka lakukan murni untuk memperjuangkan
kebenaran dan melawan kemungkaran yang terjadi di hadapannya.
-- 34
Persoalannya kemudian, pendapat manakah yang benar? Barangkali logika sang
pengamat dikaitkan dengan kebiasaan bayi atau anak kecil yang memang begitu adanya.
Kalau seorang bayi merasa lapar, ia akan ngamuk: menangis dan meronta-ronta. Namun,
apabila logika itu dibawa pada konteks yang lebih luas, jelaslah tidak relevan, misalnya
membandingkan dengan kondisi rakyat di Malaysia ataupun Brunei yang adem-ayem,
tidak seperti halnya rakyat Indonesia yang gampangan.
Demonstrasi massa tidak selalu disebabkan oleh urusan perut, bahkan banyak peristiwa
yang sama sekali tidak didasari oleh motif itu. Dalam kaitannya dengan kebutuhan
manusia, Abraham Maslow membaginya ke dalam beberapa tingkatan. Kebutuhan yang
paling mendasar adalah makan dan minum. Sementara itu, yang paling puncak adalah
kebutuhan akan aktualisasi diri.
Menurut hemat penulis, demonstrasi massa justru lebih didasari oleh kebutuhan
tingkatan akhir itu. Masyarakat berdemonstrasi karena membutuhkan pengakuan dari
pemerintah ataupun pihak-pihak lain berkenaan hak-hak dan eksistensi mereka. Karena
merasa dibiarkan, hak-haknya diingkari, bahkan dinistakan, kemudian mereka berusaha
untuk menunjukkan jati dirinya dengan berdemonstrasi.
Banyak fakta untuk membuktikannya. Demonstrasi yang dilakukan massa anti
kenaikan BBM pada umumnya adalah para mahasiswa, termasuk demonstrasi besar-
besaran pada awal-awal reformasi di negeri ini pada tahun 1997-1998. Mereka tentu
bukan dari kalangan rakyat miskin ataupun orang-orang lapar. Justru hal itu dilakukan
oleh warga dari kalangan menengah ke atas, dalam hal ini adalah mahasiswa dan golongan
intelektual. Belum lagi kalau merujuk pada kasus-kasus yang terjadi di luar negeri. Dalam
beragam skala (besar atau kecil), demonstrasi bukan hal aneh lagi di negara-negara Eropa.
Demonstrasi yang mereka lakukan sudah barang tentu tidak didorong oleh kondisi perut
yang lapar karena mereka pada umumnya dalam kondisi yang sangat makmur.
Perbandingan yang cukup kontras dengan melihat peristiwa terbaru di Korea Utara.
Kondisi sosial ekonomi warga negaranya sangat jauh terbelakang. Kemiskinan menjadi
pemandangan umum hampir melanda di seluruh pelosok negeri. Akan tetapi, saat Kim
Jong-Il, pimpinannya itu meninggal, tak ada upaya penggulingan kekuasaan ataupun
demonstrasi untuk menuntut perubahan politik di negerinya. Padahal peluang untuk itu
lebih terbuka. Justru yang terjadi kemudian, hampir seluruh warganya menunduk khidmat,
mengantar jenazah pimpinannya ke liang lahat.
Juga apabila kembali melihat kondisi warga di negeri ini. Kemiskinan sangat akrab
di pinggiran kota dan di sudut-sudut desa di berbagai pelosok. Akan tetapi, mereka jarang
melakukan demonstrasi: hanya satu-dua peristiwa. Justru yang jauh lebih getol melakukan
hal itu adalah warga yang tinggal di pusat-pusat kota, yang secara umum mereka lebih makmur.
Dengan fakta-fakta semacam itu, nyatalah bahwa kemiskinan bukanlah penyebab
utama untuk terjadinya gelombang demonstrasi. Akan tetapi, fenomena ini lebih
disebabkan oleh kemampuan berpikir kritis dari warga masyarakat. Karena tahu akan hak-
haknya, mengerti pula bahwa di sekitarnya telah terjadi pelanggaran dan kesewenang-
wenangan, mereka kemudian melakukan protes dan sejumlah tuntutan. Apabila faktor-
faktor itu tidak ada di dalam diri mereka, apa pun yang terjadi di sekitarnya, mereka akan
seperti kerbau dicocok hidung: manggut-manggut, manut, berkata “ya” pada apa pun
tindakan dari pimpinannya. (Sumber: dokumentasi penulis).
Eksposisi 35
2. Perbandingan Teks Eksposisi dengan Teks Prosedur Kompleks
Kedua jenis teks ini tergolong ke dalam genre faktual. Keduanya memerlukan
fakta. Keberadaan fakta pada kedua jenis teks ini berfungsi untuk menguatkan atau
meyakinkan pembaca/pendengar.
Contoh:
a. Perlu ada pembuatan saluran irigasi yang bisa mengalirkan air ke sawah-sawah warga
sekitar. Hal ini karena ratusan hektare sawah mereka hampir kekeringan (teks eksposisi,
fakta).
b. Cobalah bicara baik-baik dengan orang tuamu, berikanlah penjelasan sehingga mereka
menjadi tahu dan mengerti akar permasalahannya. Dari penelitian-penelitian yang
dilakukan para pakar komunikasi, ternyata cara seperti itu efektif dalam menyelesaikan
masalah seperti yang kamu alami itu. (prosedur kompleks, fakta).
Persamaan lainnya bahwa di dalam kedua jenis teks ini memungkinkan penggunaan
kalimat-kalimat imperatif, yakni kalimat yang mendorong atau meminta seseorang untuk
berbuat sesuatu. Hanya saja dorongan (perintah) dalam teks eksposisi tidak tersusun secara
sistematis sebagaimana yang ada dalam teks prosedur kompleks.
Contoh:
a. Namun, apabila dilihat dari berbagai keterbatasannya, pujian dan kekaguman lebih pantas
dialamatkan pada mereka. Tidak semata-mata pada produknya--kalaulah memang masih
banyak kekurangan--acungan jempol lebih pantas lagi dialamatkan pada pola pendidikan
yang diterapakan di SMK ini . Guru-guru dan jajarannya berhasil mengantar siswa-
siswa mereka di gerbang prestasi nasional. (dorongan untuk memberi pujian kepada
sekolah dan guru-guru pada teks eksposisi).
b. Belajar kelompok ada baiknya mengajak teman yang pandai dan rajin belajar agar yang
lebih pandai ini bisa membantu menjelaskan materi pelajaran kepada teman-temannya
yang lain. Mengajari teman lain tentang materi yang baru diulang bisa membuatmu selalu
ingat akan materi ini . Kamu pun akan menjadi lebih paham akan materi ini .
(dorongan untuk mengajak teman yang pandai dan rajin dalam belajar berkelompok
pada teks prosedur kompleks)
Perhatikan pula penggalan teks berikut!
Untuk memperkuat dunia pendidikan dalam proses perubahan (baca: reformasi),
diperlukan informasi internal dunia pendidikan itu sendiri. Namun, untuk itu tidaklah mudah.
Hal ini karena dunia pendidikan memiliki kompleksitas tersendiri. Dunia pendidikan tentu
tidak semata-mata menyangkut pendidikan formal, tetapi juga nonformal yang kedua-
duanya sangat penting dalam character building. Begitu pula dunia pendidikan, tidak
semata pendidikan tinggi, tetapi juga pendidikan dasar dan menengah, dengan berbagai
bentuk variasinya.Tidaklah cukup untuk mengkaji seluruh kompleksitas pendidikan itu
sehingga gagasan reformasi pendidikan dalam tulisan ini hanya dibatasi pada pendidikan
formal.
Dalam reformasi pendidikan formal, sentuhan reformasi tidak mungkin hanya
pada pendidikan tinggi, tetapi juga pendidikan dasar dan menengah. Ini terjadi karena
antarjenjang pendidikan formal ini memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Jadi, jelas
-- 36
output pendidikan dasar merupakan input bagi pendidikan menengah. Juga selanjutnya,
output pendidikan menengah merupakan input bagi pendidikan tinggi. Mengingat
keterkaitan inilah kita sampai pada kesimpulan bahwa reformasi untuk dunia pendidikan
haruslah bersifat total (Soleh Solahuddin, “Úrgensi Reformasi Pendidikan”).
Penggalan teks membahas tentang perlunya reformasi di bidang pendidikan. Pada
beberapa bagian ada kesamaan pula dengan teks prosedur kompleks, yakni adanya pernyataan
yang berupa arahan, ajakan, ataupun bujukan. Namun, teks ini tidak dapat dikategorikan
sebagai teks prosedur kompleks. Teks ini termasuk ke dalam jenis eksposisi dengan
bentuk esai. Kalimat-kalimatnya banyak yang berupa pendapat dan tidak pula disusun secara
sistematis, melainkan muncul hanya pada beberapa bagian dan tidak berupa urutan kegiatan
seperti halnya pada teks prosedur kompleks.
Perbandingan Teks Prosedur dengan Teks Eksposisi
Aspek
Jenis Teks
Teks Prosedur Teks Eksposisi
Persamaan • Memerlukan fakta-fakta
• Mengandung arahan, ajakan, bujukan.
Perbedaan ada perincian langkah-langkah se-
cara sistematis; berupa kalimat perintah.
Lebih banyak berupa pendapat.
D Menulis Teks Eksposisi
Sebagaimana yang telah dipaparkan terdahulu bahwa teks eksposisi adalah teks yang
bersifat argumentatif. Di dalamnya dikemukakan sejumlah argumen dan diperkuat pula oleh
fakta-fakta sehingga bisa meyakinkan khalayak.Teks eksposisi banyak memakai fakta dan
argumentasi-argumentasi berdasar pendirian dan sudut pandang penulis ataupun penuturnya.
Luasnya wawasan, kuatnya pendirian, serta keyakinan akan kebenaran atas topik yang akan
kita kemukakan sangatlah utama dalam teks eksposisi. Kita harus menyiapkan berbagai sumber
untuk bisa mengembangkan topik yang dipilih secara mendalam. Dengan demikian, khalayak
diharapkan dapat memperoleh pencerahan, keyakinan, bahkan dapat terbujuk untuk melakukan
sesuatu yang kita harapkan dalam teks ini .
berdasar hal itu, langkah penulisan teks eksposisi adalah sebagai berikut.
a. Menentukan topik, yakni suatu hal yang memerlukan pemecahan masalah atau sesuatu yang
mengandung problematika di masyarakat. Hal itu, mungkin berkenaan dengan masalah
sosial, budaya, pendidikan, agama, bahasa, sastra, politik.
Contoh:
1) kehidupan anak-anak jalanan di ibu kota besar;
2) perubahan perilaku masyarakat pedesaan oleh faktor media massa;
3) pendidikan bagi anak-anak terlantar;
4) perkawinan beda agama;
Eksposisi 37
5) ragam bahasa anak baru gede;
6) sastra lisan dari kawasan Indonesia timur;
7) pemilihan kepala daerah secara langsung atau melalui perwakilan.
b. Mengumpulkan bahan dan data untuk memperkuat argumen, baik dengan membaca-baca
surat kabar, majalah, buku, ataupun internet. Data itu dapat diperoleh melalui pengamatan
ke lapangan atau dengan melakukan wawancara. Misalnya, untuk menulis teks bertopik
kehidupan anak-anak jalanan. Kita harus (1) membaca-baca buku, artikel, berita tentang
kondisi dan karakteristik anak-anak jalanan; (2) mengobservasi/penelitian terhadap perilaku
anak-anak jalanan; atau (3) melakukan wawancara dengan pihak pemerintah, warga
masyarakat, atau bahkan dengan para anak jalanan itu sendiri.
c. Membuat kerangka tulisan berkenaan dengan topik yang akan kita tulis, yang mencakup tesis,
argumen, dan penegasan (kesimpulan). Langkah ini penting agar tulisan kita itu tersusun
secara lebih sistematis, lengkap, dan tidak tumpang tindih.
d. Mengembangkan tulisan sesuai dengan kerangka yang telah kita buat. Argumentasi dan fakta
yang telah dikumpulkan, kita masukkan ke dalam tulisan itu secara padu sehingga teks itu
bisa meyakinkan khalayak.
Pada akhir kegiatan, lakukanlah evaluasi dan penyuntingan terhadap teks yang telah kita susun
ini , baik berkenaan dengan isi, struktur, ataupun kaidah bahasanya. Kita dapat mengajukan
pertanyaan-pertanyaan berikut sebagai panduannya.
a. Apakah judulnya menarik?
b. Apakah judulnya sesuai dengan isi teks?
c. Apakah isi teks itu jelas?
d. Apakah fakta yang dikemukakannya lengkap?
e. Apakah argumentasinya benar?
f. Apakah paparannya itu bermanfaat?
g. Apakah bagian-bagiannya tersusun secara lengkap?
h. Apakah kalimat-kalimatnya sudah efektif?
i. Apakah penggunaan konjungsi dan kata-kata lainnya sudah tepat dan mudah dipahami?
j. Apakah ejaan dan tanda bacanya sudah benar?
-- 38
Soal-soal Latihan
Pilihlah jawaban yang paling benar!
(Cuplikan di bawah ini dipakai untuk menjawab soal nomor 1‑3)
Prasangka baik saya, bukannya mereka tidak memahami akan perlunya ketertiban berbahasa
di lingkungan sekolah. Saya berkeyakinan bahwa doktrin tentang “berbahasa Indonesialah
yang baik dan benar” telah mereka peroleh jauh-jauh sebelumnya, sejak SLTP atau bahkan
sejak mereka SD. Saya melihat ketidakberesan mereka berbahasa, antara lain, disebabkan oleh
kekurangwibawaan bahasa Indonesia itu sendiri di mata mereka.
1. Teks ini digolongkan ke dalam jenis eksposisi karena ....
A. menceritakan proses terjadinya cara berbahasa siswa
B. menjelaskan ihwal terjadinya kekurangwibawaan berbahasa
C. menggambarkan keadaan kemampuan berbahasa siswa
D. meyakinkan pembaca tentang perlunya berbahasa baik dan benar
E. mendorong pembaca untuk selalu mencintai bahasa Indonesia
2. Pernyataan yang sesuai dengan teks ini adalah ....
A. semua pernyataan di dalam teks ini berdasar pendapat pribadi
B. gagasan dalam teks ini sangat jelas dan meyakinkan
C. perlu ditunjang oleh tabel untuk menjelaskan informasi itu
D. banyak memakai istilah pendidikan di dalam cuplikan itu
E. teks itu tergolong ke dalam jenis berita
3. Contoh konjungsi yang ada dalam cuplikan di atas adalah ....
A. bahwa D. bukan
B. oleh E. disebabkan
C. tentang
(Cuplikan di bawah ini dipakai untuk menjawab soal nomor 4‑6)
(1) Makin maraknya tawuran di dunia pendidikan ini tentu menambah berat beban kerja polisi
yang sudah menggunung. (2) Bagi aparat terdepan penegak hukum ini, fenomena tawuran
pelajar yang makin deras juga membuat korps polisi ekstra hati-hati jangan sampai dijadikan
kambing hitam dan dinilai tidak mampu menangani. (3) Sementara itu, banyak sekali kasus
lain yang juga harus mendapat prioritas. (4) Hal itu ditegaskan Kepala Kepolisian Daerah
Metro Jaya Inspektur Jenderal Untung S Radjab, Rabu lalu.
4. Kata teknis dalam cuplikan ini adalah ….
A. tawuran
B. fenomena
C. beban kerja
D. kambing hitam
E. mendapat prioritas
Eksposisi 39
5. Tesis dalam cuplikan teks di atas dinyatakan dalam kalimat bernomor ….
A. (1)
B. (2)
C. (3)
D. (4)
E. (1), (4)
6. Fakta dinyatakan dalam kalimat bernomor ….
A. (4)
B. (2)
C. (3)
D. (1)
E. (5)
(Cuplikan di bawah ini dipakai untuk menjawab soal nomor 7‑9)
Jika Anda hobi membaca tentu membaca sebuah novel yang disukai adalah hal yang
menyenangkan. Apalagi dengan menyelami isi cerita sehingga membuat otak menjadi hidup
dengan terbawa emosi dan bahkan mengaktifkan indra.
Dilansir dari laman Fitnea, para peneliti menemukan bahwa penggambaran visual terjadi
secara otomatis. Orang-orang mampu mengidentifikasi peng gam baran objek lebih cepat jika
mereka hanya membaca kalimat yang menggambarkan objek secara visual. Dengan begitu,
saat membaca kalimat, Anda secara otomatis memunculkan gambar objek dalam pikiran
Anda.
7. Teks di atas dapat digolongkan ke dalam teks eksposisi karena ….
A. mengandung imajinasi yang meyakinkan
B. mengungkap masalah yang faktual
C. menyajikan pendapat-pendapat penulis
D. memakai fakta yang jelas
E. mengungkapkan fakta tentang suatu peristiwa
8. Sumber informasi yang dipakai dalam teks di atas berupa ….
A. hasil observasi
B. penelitian para ahli
C. kesimpulan dari wawancara
D. penyebaran angket
E. pendapat pribadi
9. Cuplikan di atas disusun dengan pola ….
A. kausalitas
B. generalisasi
C. komparasi
D. kronologis
E. spasial
-- 40
(Cuplikan di bawah ini dipakai untuk menjawab soal nomor 10‑12)
Olahraga dirgantara termasuk olahraga mahal. Inilah barangkali salah satu kendala dalam
mengembangkan olahraga dirgantara di negara kita. Untuk melakukan olahraga terjun payung
diperlukan payung atau parasut. Harga sebuah parasut bisa mencapai lima juta rupiah. Untuk
terjun dari udara diperlukan pesawat terbang yang menerbangkan para penerjun ke ketinggian.
Penerbangan pesawat udara ini memerlukan biaya yang mahal. Walaupun tidak semahal
olahraga terjun payung, olahraga layang gantung juga memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Sebuah layang gantung berharga ratusan ribu rupiah. Bahkan, ada yang berharga di atas satu
juta rupiah.
10. Teks di atas mengandung argumen tentang ....
A. mahalnya olahraga dirgantara
B. usaha pengembangan olahraga dirgantara
C. tujuan olahraga dirgantara
D. biaya untuk menjadi seorang penerjun
E. perangkat yang dipakai untuk terjun payung
11. Konjungsi yang berfungsi memperjelas dalam cuplikan ini adalah ….
A. walaupun
B. bahkan
C. atau
D. juga
E. untuk
12. Tesis dinyatakan dalam kalimat .....
A. pertama
B. kedua
C. keempat
D. kelima
E. ketujuh
(Cuplikan di bawah ini dipakai untuk menjawab soal nomor 13‑14)
Memang sangatlah layak apabila peristiwa yang sungguh-sungguh luar biasa itu selalu
diperingati oleh kita pada era kekinian. Peringatan yang sejati tentu saja tidak sekadar baris
di lapangan terbuka, menengadah dan menghormati bendera, kemudian mengeja kembali teks
Sumpah Pemuda dengan suara lantang. Kegiatan upacara dan beragam kegiatan seremonial
lainnya belum bisa menandingi peristiwa yang sesungguhnya terjadi pada masa itu.
13. Kesimpulan cuplikan di atas adalah ....
A. peristiwa Sumpah Pemuda merupakan peristiwa yang sangat luar biasa
B. upacara tidak cukup dengan hanya menghormati bendera
C. tidak perlu lagi ada kegiatan seremonial di era sekarang
D. perlu ada perubahan dalam tata acara upacara bendera
E. teks Sumpah Pemuda tidak perlu dibacakan, tapi dilaksanakan
Eksposisi 41
14. Fakta dalam cuplikan ini dinyatakan dalam kalimat ….
A. pertama D. kesatu dan kedua
B. kedua E. kedua dan ketiga
C. ketiga
(Cuplikan di bawah ini dipakai untuk menjawab soal nomor 15‑16)
Bahasa, seni, dan hasil-hasil budaya dari bangsanya sendiri dianggap kolot, ketinggalan zaman.
Bahkan, anugerah langsung dari Tuhan pun sering kali dicampakkan karena dianggap tidak
ideal. Kulit sawo matang sebagai ciri khas lain dari bangsa ini harus memutih atau kuning
langsat. Hidung harus mancung, warna mata biru, rambut harus pirang atau kriwil-kriwil.
15. Konjungsi bahkan dalam cuplikan di atas b