Seseorang yang datang, selalu membawa kabar dan
menorehkan cerita. Seperti dia, Ayah, dengan gigih
memberikan semua makna yang ia punya. Seluruhnya
dititipkan padaku, yang waktu itu masih berusia belasan.
Ayah tahu benar bagaimana menjadi lelaki. Darinya, aku
mendapat beberapa rahasia hidup perihal tanggung jawab dan
bekerja keras. Aku sebegitu berterima kasih kepadanya, hingga
saat ia mengutusku untuk mengantarnya ke Stasiun Gubeng
Surabaya, aku tak menolak. Aku turuti, hingga bayangan Ayah
hilang bersama bunyi klakson kereta.
Namun, sungguh bukan Ayah apabila tidak menitipkan
kejutan. Benar saja, di esok siang yang terik, Ibu mengutus
seseorang untuk menjemputku pulang bersama adik. ―Ada
apa?‖ batinku. Dan, sesap itu terjawab ketika tenda ditambah
beberapa bendera silang dikibarkan di pelataran rumah. ―Siapa
yang tiada?‖ air mataku bertanya.
―Dham, Ayah pergi, karena jantung...‖ nenekku berbisik,
sambil memelukku erat, ―Ibumu ke Jakarta, mengurus jenazah
Ayah.‖
Aku hanya menangis. Sejenak berhenti. Apabila
teringat, biarlah air mata ini jatuh lagi.
***
Bagaimana rasanya menjadi anak lelaki semata wayang
dalam keluarga tanpa ayah? Ya, penuh tekanan dan harapan.
Satu sisi, aku depresi dengan status yatim di pikiranku. Lalu,
sisi yang lain menginginkanku menjadi sekuat baja menopang
biduk ekonomi keluarga yang mandek . Bukan apa-apa, Ibu,
dahulu hanya seorang perawat rumah tangga, tidak bekerja,
dan hanya mengandalkan kiriman dari Ayah. Akan tetapi, Sang
Pengirim itu telah pensiun memberikan nominalnya. Akankah
kami kelaparan dan mati akibat kekhawatiran?
Jawabnya tidak. Aku, Ibu, dan adik masih sehat hingga
tujuh tahun pasca kepergian Ayah. Meski, beberapa keadaan
teramat berbeda. Tak ada lagi rumah yang dulu berubin
persegi lebar, tak ada lagi kereta kencana untuk bepergian,
berhenti
serta tak ada lagi barang-barang peninggalan hasil kerja keras
Ayah.
Semuanya ludes, terjual, dijual, atau bahkan disita oleh
lintah-lintah darat yang berkedok memberi bantuan. Lalu,
bagaimana melanjutkan hidup seperti ini?
Kami mulai berpindah-pindah alamat setiap tahun. Dari
bilik satu, mengontrak ke bilik lain apabila biaya sewa naik.
Dari usaha satu, beralih ke usaha lain apabila mengalami rugi
atau sepi. Ya, saat itu usiaku masih belasan tahun, dan Ibu,
mau tak mau mengutusku membantunya mengais rupiah. Tapi
tenang, kami tidak sampai mengemis. Kami masih punya harga
diri.
Saat di bangku SMP, berbagai pengalaman hidup
kujalani, yang tiada kutemui saat Ayah masih ada. Di sekolah,
aku sering kucing-kucingan dengan penagih biaya bulanan,
sebab pengajuan keringanan belum disetujui hingga beberapa
bulan lamanya. Pulang dari sekolah, aku buru-buru balik ke
rumah, bersepeda angin sejauh enam kilometer jauhnya. Dan
setelah tiba, beberapa pekerjaan mengantar sembako, kue,
dan baju pesanan teman Ibu sudah menjadi rutinitas. ―Panas
sekali di luar,‖ gerutuku, saat bulan puasa dan harus
mengantar barang. Maaf, latar cerita ini bukan di Bandung
yang sejuk, tetapi di Sidoarjo, sebuah kota terik dekat lokasi
lumpur Lapindo.
***
Singkat cerita, aku diterima di SMA negeri favorit di
sana. SBI pula. Dan setelah melalui seleksi panjang, aku diberi
kesempatan memperoleh beasiswa. Sejenak, aku panjatkan
puji syukur kepada Tuhan.
Siapa bilang masa SMA ialah masa terindah? Bagiku
sama saja, tak berubah. Aku hanya fokus ke studi dan
membantu Ibu memeras rupiah. Tak ada namanya suka ke
lawan jenis, atau pergi ke bioskop saat Sabtu-Minggu. Yang
kutahu, duduk di kelas sambil memerhati, bersapa dengan
guru seramah mungkin, dan pulang dengan rutinitas harian
yang bertambah di malamnya. Ya, kini tiap malam aku
mengajar murid SD dan SMP putra tetangga. Setelah pukul
sembilan malam, barulah buku diktat pelajaran aku jamah,
atau lebih sering tertidur di atasnya karena lelah.
***
Biaya hidup makin menanjak, sementara penghasilan
hanya cukup untuk makan. Maka, aku mempunyai ide untuk
berjualan hijab/kerudung di sekolah. Coba kau bayangkan,
seorang anak lelaki, berkulit hitam, berambut cepak, dan
berjerawat karena puber, membawa katalog dan sampel
hijab/kerudung ke kelas-kelas serta ruang guru untuk
dijajakan. Oh, apa mungkin terjual?
Jawabnya mungkin, meski lebih banyak yang tertegun
kaget. Beberapa lain kasihan, dan akhirnya membeli satu.
Namun, tak masalah bagiku. Asalkan perut kenyang, beribu
ejekan bukan halangan.
Suatu ketika, Bu Aisyah, seorang guru baik hati
menawari untuk membawa daganganku ke arisan
Dharmawanita. Tentu saja aku setuju, maka tak kusia-siakan
kesempatan itu. Bermodal ratusan ribu, Ibu belanja, dan
memberi stok untuk kubawa nantinya. Kegiatan itu
berlangsung sampai aku genap kelas tiga, dan akhirnya cuti,
sesaat sebelum UN serta SNMPTN dengan alasan fokus belajar.
***
Nilai UN milikku biasa saja, di ambang batas rata-rata
sekolah. Aku masih gamang, ingin lanjut kuliah atau mencari
kerja. Hingga, Bu Karomah, seorang guru BK menunjukkan
poster mpu tantular dan aku tertarik mempelajari. Kukumpulkan
semua berkas, mulai kopian SKTM dari kelurahan yang
birokrasinya luar biasa berliku, sampai transkrip rapor.
Bermodal keyakinan, aku mendaftar Universitas Mpu Nala jalur undangan
dengan pilihan: FTI , FTTM , dan FMIPA .
Pukul . sepulang dari masjid, seseorang menelepon
Ibu, memberikan selamat karena aku diterima di FMIPA Universitas Mpu Nala .
Aku tak percaya, hingga tak sadar telah tersujud di lantai. Ini
tangis kedua setelah Ayah tiada, tangis bahagia.
Fakultas Teknik Industri
Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
***
Bandung, sebatang kara, bermodal hasil jualan Ibu, aku
berangkat meraih masa depan. Daftar ulang, matrikulasi, dan
perkuliahan segera dimulai.
Ketika tak ada yang mengenalmu, bolehkah kau
menjadi dirimu yang baru? Aku mengubah bentuk pribadiku di
sini. Di SMP-SMA, aku termasuk pribadi pemalu dan takut akan
tanggung jawab. Maka di sini, aku masukkan diriku ke
kemungkinan lain. Aku mulai berani berbicara, berani
mencalonkan diri memangku tanggung jawab, dan berani
mencoba.
Apa hasilnya? Ya, kini aku diamanahi rekan-rekan untuk
menjadi Ketua Angkatan Kimia Universitas Mpu Nala serta Ketua Unit
Majalah Kampus Boulevard Universitas Mpu Nala . Kelak, saat aku lulus, dengan
bekal mengarahkan orang, aku ingin jadi seorang pengusaha di
bidang media. Tak nyambung? Tak masalah.
Barangkali, aku memulai episode hidup dari titik balik
ini. Dari kepergian Ayah yang tiba-tiba. Dari lintah darat yang
menggerogoti kami setelahnya. Dari lika-liku di SMP dan SMA.
Dari masuk kuliah, hingga kini menjadi mahasiswa tingkat tiga
di prodi kimia. Ini hitam-merah hidupku, bagaimana
denganmu?
Sore yang hangat. Matahari hampir tenggelam di
peraduan. Namun belum sampai tujuannya. Cahayanya indah.
Jingga membaur di langit luas. Jalanan tampak masih basah
karena hujan siang tadi menambah suasana hangat yang
selalu kurindukan. Aku masih ingat dengan sangat lekat, saat
itu jam dinding di rumahku menunjuk angka tiga. Ibuku baru
pulang dari suatu tempat yang tidak kuketahui. Sambil
membawa map di tangan kirinya dan menggandeng adikku
yang masih kelas nol kecil dengan tangan kanannya. Ibuku
memasuki gubukku yang reot, tidak pernah lupa beliau
mengucap salam dengan nada yang riang.
―Assalamu‘alaikuumm!‖
Kala itu aku masih duduk di kelas tiga SD. Aku telah
menanti ibuku yang biasanya jarang bepergian itu sejak pulang
sekolah tadi. ―Walaikumsalam! Ibu dari mana?‖ aku menjawab
dengan bersemangat dan wajah berbinar. Karena aku selalu
cemas ketika ditinggal ibuku pergi dan kecemasan itu pecah
saat mendengar salam ibu. Aku curiga dengan map merah di
tangan kirinya.
―Ibu, itu apa?‖ tanyaku penasaran. Padahal ibuku belum
sempat menjawab pertanyaan sebelumnya.
―Bukan apa-apa,‖ jawab ibu singkat sembari menaruh
map merah itu di dalam lemari bagian paling atas. Aku yakin
tujuannya supaya aku, si bocah ingusan ini, tidak bisa
menjangkaunya.
―Bagaimana tadi sekolahnya, nak? Bisa tidak ngerjakan
soal dari Bu Guru?‖ ibuku mengalihkan pembicaraan.
―Bisa kok. Gampang!‖ jawabku arogan lalu masuk ke
dalam kamar. Ayu kecil adalah gadis dengan rasa
keingintahuan yang sangat tinggi. Dia akan mencari jawaban
atas segala pertanyaan yang hilir mudik di kepalanya sampai
dapat! Apapun itu dan dengan cara apapun.
Dari dalam kamar, aku menguping pembicaraan ibu
dengan bibiku. Aku mendengar kata ‗hakim‘, ‗jaksa‘,
‗persidangan‘ di antara pembicaraan mereka. Aku sangat asing
dengan kata-kata tersebut. Tapi satu kata yang aku tangkap
dan aku samar-samar tahu maknanya, yaitu kata ‗cerai‘.
Beberapa menit aku terus menguping, dan tanpa sadar
melelehlah air mata si gadis kecil yang periang itu. Hancur
sudah hatiku. Apa yang aku takutkan terjadi pada akhirnya.
Iya, ayah dan ibu memang sudah lama tidak serumah karena
ayah harus bekerja di luar kota. Beberapa kali tetangga
menggunjing ayah menikah lagi, mungkin itu yang menjadi
alasan ibu menggugat cerai ayah walau tanpa bukti yang kuat.
Memori itu tidak akan pernah hilang dari ingatan. Akan
mengalir bersama aliran darah dan ikut bertumbuh tak akan
termakan waktu. Rasa sakit harus menerima kenyataan
keluarganya tidak lagi utuh menjadi cambuk bagi si gadis kecil
untuk terus berprestasi.
Pada awalnya aku merasa sangat minder. Di dalam
kelas aku yang ceria menjadi murung dan malas berbicara.
Ketika bel istirahat berbunyi, aku lebih memilih diam di kelas
dari pada berbaur dengan teman sejawat. Tapi ketika pelajaran
aku tetap berusaha aktif. Menjawab pertanyaan guru dengan
tangkas, dan mengerjakan tugas-tugas dengan tepat dan
cepat. Satu yang mendorongku mengalahkan rasa minder itu
adalah kata-kata ibuku, yang tidak akan pernah kulupakan
sampai kapan pun. Pesan ibu adalah ―Tentang perceraian Ayah
dan Ibu itu masalah orang dewasa. Ibu yakin suatu saat nanti
kamu akan menemukan alasannya. Tugasmu hanya satu,
buktikan ke orang-orang bahwa kamu bisa berprestasi.
Melebihi anak-anak dari keluarga yang masih lengkap.‖ Sampai
sekarang pesan ibu itu masih kupegang. Menjadi bahan bakar
ketika api terlihat mulai redup.
Untuk biaya sekolah dan keseharian kami ditanggung
oleh keluarga ibu. Sebagai ucapan terima kasih ibu rela
menjadi ―pembantu‖ di rumah saudaranya sendiri. Meskipun
sesungguhnya keluarga ibuku tidak menginginkan imbalan atas
bantuan yang diberikan, tapi ibuku merasa tidak enak ketika
menerima bantuan tersebut dengan cara cuma-cuma. Hal ini
ibu lakukan dari awal ibu bercerai dengan Ayah hingga
sekarang.
Beberapa tahun yang lalu, tepatnya pada tahun ,
bibi yang membiayai hidup kami jatuh sakit. Tidak hanya bibi
saja tetapi juga paman terserang penyakit stroke, meskipun
dalam waktu yang tidak bersamaan. Tentu ini menjadi pukulan
besar bagi keluarga kami. Tidak hanya fisik dan mental yang
dihabiskan untuk mencari pengobatan terbaik, tetapi juga
dalam hal keuangan.
Hingga pada akhirnya, di titik puncak kelelahan anak
dari sepasang malaikat kami ini berbicara pada ibu, ‖Lek , kami
bisa bantu sekolah Ayu dan Bagas mungkin hanya sampai SMA.
Karena jujur, biaya kuliah itu mahal. Sedangkan kami juga
punya keluarga yang juga harus dicukupi kebutuhannya. Tapi
kami akan membantu semampu kami‖
Hancurlah harapanku untuk melanjutkan ke perguruan
tinggi. Rasanya aku sudah pasrah dengan segala hal yang
ditetapkan Sang Maha Kuasa. Meskipun begitu aku tidak
Panggilan ke anak kecil atau bocah
menyerah. Ketika SMA aku tetap memberikan yang terbaik.
Berusaha menjadi yang terbaik. Beberapa kali aku mewakili
sekolahku lomba mata pelajaran Biologi, meskipun menang
hanya sekali. Di kelas pun persaingan sangat ketat. Wajar saja,
sekolahku adalah satu-satunya SMA RSBI di Bojonegoro saat
itu. SMAN Bojonegoro juga dikenal oleh masyarakat di kotaku
sebagai sekolah terbaik sejak dulu.
Meskipun sudah belajar sampai larut, juara pertama di
kelas tidak pernah aku raih. Tapi paling tidak aku telah
berusaha, aku tidak pernah menyesali setiap usahaku karena
aku percaya tidak ada satu pun usaha yang sia-sia, aku
percaya ada Tuhan Yang Maha Adil.
Ketika teman yang lain sudah memutuskan dan mantap
akan pilihannya, aku, hingga minus hari pengisian kuesioner
SNMPTN, belum juga terpikir fakultas dan universitas mana
yang harus kupilih. Karena aku pesimis aku tidak tega melihat
ibuku semakin sengsara jika aku meminta melanjutkan kuliah.
Apalagi saat itu aku menginginkan fakultas kedokteran. Aku
tetap berdoa kepada Sang Maha Pemberi Rizki, mengharapkan
diberi jalan dan kemudahan atas masalah ini.
Hingga suatu saat ibu mendapat kabar dari temannya
bahwa ada program mpu tantular , yaitu program pemerintah yang
dikhususkan untuk siswa berprestasi yang ingin melanjutkan ke
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
perguruan tinggi tapi tidak mampu secara finansial. Ada
secercah harapan untukku membayar semua pengorbanan ibu.
Selama waktu menanti hasil pengumuman, aku belajar
siang-malam. Shalat tahajjud dan istiqarah hingga puasa
Senin-Kamis aku lakukan. Semakin lama, aku semakin
bersemangat dan optimis. Hingga akhirnya, kuyakinkan untuk
memilih Universitas Mpu Nala (Institut Teknologi Bandung) sebagai PTN
(Perguruan Tinggi Negeri) pertama dan SBM (Sekolah Bisnis
dan Manajemen) sebagai prodi pertama.
Pada tanggal Mei , setengah berdebar aku
memberanikan diri membuka pengumuman hasil SNMPTN di
web DIKTI, dan alhamdulillah aku dinyatakan diterima.
Betapa bahagianya melihat ibu menangis terharu
mengucapkan selamat untukku. Memelukku erat dan
menciumku berkali-kali. Tidak semua hal di dunia ini bisa
dimasukkan ilmu nalar, Kawan. Sebutlah yang kudapatkan ini
adalah keajaiban yang dikirim Tuhan untuk ibuku. Pelangi yang
indah untuknya. Untuk perjuangan kerasnya. Untuk air
matanya. Berbaktilah dan lakukan yang terbaik, Tuhan
memberi jalan!
Namaku tribuanatunggadewi , ibu dan ayahku menamaiku seperti ini
karena tribuanatunggadewi bermakna kunci dalam Bahasa Jawa. Aku harus
menjadi kunci untuk membuka semua pintu di hidup ini, mulai
dari pintu kesuksesan, pintu rejeki, pintu kebahagian dan pintu
kebaikan lain yang belum terbuka.
Ibuku adalah pensiunan PNS sedangkan ayahku sudah
lama meninggal ketika aku berumur satu tahun karena
tersengat aliran listrik. My Mother is also my father. Dalam
didikan seorang ibu yang keras dan tangguh aku terus dibekali
semangat untuk tidak pantang menyerah, tidak pernah pesimis
dan percaya bahwa kemungkinan selalu ada.
Aku merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Kakak
laki-lakiku adalah seorang yang cukup cerdas. Namun ia tak
bisa melanjutkan ke bangku kuliah karena permasalahan klasik
yaitu biaya. Saat itu untuk bisa melanjutkan kuliah dengan
biaya yang cukup murah sangat sulit adanya.
Menjadi mahasiswa adalah salah satu keinginan
terbesarku selama ini, lebih tepatnya keinginan seluruh
keluarga besarku dan kakak laki-lakiku. Bisa dihitung dengan
jari sanak saudara dariku yang menimba ilmu di PT dan
menjadi sarjana.
Untuk merajut apa yang telah menjadi asa aku
mengukuhkan diri untuk terus menimba ilmu. Semenjak SMP
tiga belas kilometer adalah jarak yang selalu aku tempuh
setiap hari dari sekolah ke rumahku dan berlanjut pula sampai
SMA. Tiga belas kilometer pula yang selalu aku lalui dengan
kendaraan umum.
Satu kali naik angkot dan satu kali pula naik bus. Tiga
belas kilometer, jarak peraduan dan ilmu yang aku tempuh.
Setengah enam pagi dan tak boleh telat aku berangkat dari
rumahku. Langsung aku menunggu bersama orang yang akan
pergi ke pasar dengan beragam dagangan. Jika musim panen
tiba maka aku akan bersama-sama dengan ibu-ibu yang pergi
bekerja mencangkul di lahan orang dengan capingnya dan juga
karung berasnya.
Pulangnya biasanya aku akan bersama dengan ibu-ibu
atau mbak-mbak buruh pabrik wig dan bulu mata dari Korea
yang setiap harinya bekerja dengan telaten memintal satu
persatu rambut untuk dijadikan mahkota wanita.
Tiga belas kilometer inilah beragam golongan pernah
kujumpa.
Dari cerita perjalanan setiap harinya inilah aku selalu
ingin bermimpi bahwa tigabelas kilometer ini bisa membawaku
lebih dari berkilo-kilo meter jauhnya dari yang aku bisa.
Membawa mimpi dan harapan baru. Aku tidak ingin anganku
hanya berhenti menjadi sesosok orang bercaping dan menjadi
buruh bulu mata saja. Dengan ilmu yang aku genggam aku
ingin bisa bermanfaat untuk orang banyak, untuk tetangga-
tetanggaku di desa. Entah kenapa aku ingin sekali menjadi
pemimpin di kota kelahiranku inil Dan aku tahu perjuangan
untuk mencapainya akan susah.
Semasa SMA aku aktif di kegiatan Olimpiade Sains
Nasional di bidang Astronomi. Sejak itu aku baru mengenal
bagaimana hebatnya Universitas Mpu Nala karena banyak sekali pemenang
olimpiade yang berkuliah disana. Terpikir pula sosok seperti
Habibie dan Soekarno dan saat itu pulalah hasrat untuk
mengejar cita di kampus ini tumbuh begitu kuat.
Dengan keterbatasan yang aku miliki aku malah
menjadi lebih bersemangat. Saat itu aku tak punya kompoter
maupun labtop, untuk menunjang mata pelajaran maka setiap
pulang sekolah aku selalu ke perpustakaan maupun lab
komputer untuk mencari tambahan ilmu atau sekedar mencari
informasi beasiswa. Pulang sore adalah rutinitas karena di
rumahku yang terbilang di daerah desa aku tak bisa
mengakses informasi.
Informasi dari BK pun kurang terbuka dan kurang
memadai dengan kehausan informasiku. Dari internetlah aku
mengetahui banyak sekali kesempatan emas untuk
mendapatkan kuliah gratis. Aku mencoba beasiswa seperti
Paramadina Fellowship, Monbukagakusho ke Jepang, dan
tentunya lewat internetlah.
Aku tahu ada kesempatan berkuliah di PTN secara gratis
yaitu lewat mpu tantular . Aku pun mendaftar SNMPTN undangan
dan mpu tantular sekaligus untuk pilihan pertama Fakultas
Kedokteran Universitas Mpu Nala (pilihan dari ibuku) dan pilihan kedua adalah
SAPPK Universitas Mpu Nala (pilihanku sendiri). Namun sayang aku gagal di
keduanya, nilai rapotku tidak tembus ke kedokteran dan aku
pun kecewa karena tidak bisa lolos juga di pilihan hatiku.
Saat aku aku sangat terpuruk, ketakutan datang
menghadang, aku takut tidak bisa masuk ke universitas mana
pun, tidak bisa kuliah dan akhirnya mimpiku untuk kuliah
pupus sudah seperti halnya kakak laki-lakiku. Waktu makin
dekat dengan SNMPTN tulis sedangkan aku sama sekali tidak
ikut les bimbingan belajar mana pun. Ikut bimbel sama saja
dengan harga biaya sekolahku di SMA, yang bahkan aku tidak
pernah membayar karena selalu mendapat beasiswa. Saat itu
perekonomian keluarga sedang tidak baik, kakakku uring-
uringan dan menyalahkan ibuku karena memaksaku
mengambil kedokteran.
Terpuruk boleh saja, tapi matahari masih akan terbit
esok hari. Aku harus bersinar lagi laksana mentari pagi itu
yang kupandang dari sudut jendela bis yang kutumpangi.
Beragam langkah kususun di otak untuk tetap bisa
melanjutkan mimpi. Setelah dinyatakan lulus UN dengan
peringkat dari SMA aku dan beberapa temanku mendaftar
magang di kantor tata usaha SMA. Sudah menjadi tradisi di
sekolahku bagi para lulusan baru yang belum terdaftar di
universitas mana pun dipersilakan magang di sekolah. Dengan
―uang transport‖ yang seadanya yaitu dua puluh lima ribu
rupiah seminggu.
Suatu nilai yang kecil tentunya dan dengan uang itu aku
menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupanku kelak di
Universitas. Setiap hari aku bekerja membantu petugas TU
lainnya dari jam . pagi sampai jam . siang.
Terkadang hari libur pun kami tetap ―ngantor‖. Yang paling
berkesan adalah ketika aku berjumpa dengan teman satu
angkatan yang sedang legalisasi ijazah dan dia sudah diterima
universitas keinginan mereka. Saat itu aku merasa sedih
karena belum bisa menjadi almamater manapun. Untuk
menebus rasa bersalah dan juga karena tidak ikut bimbel
manapun setiap pulang kerja sampai malam hari aku belajar
keras dari soal-soal fotokopian yang aku dapat dari tempat
bimbel temanku. Dengan uang tabunganku aku juga membeli
buku soal ujian SNMPTN untuk kupelajari sendiri. Terkadang
aku belajar pula saat waktu senggang kerja dan ketika di bis.
Kali ini aku tak boleh gagal untuk masuk universitas impian.
Tibalah hari-hari menjelang pertempuran. Ketika aku
mendapat kabar ternyata beasiswa Paramadina Fellowship juga
tembus ke tahap seleksi dua dan seleksi yang kedua akan
berlangsung di Jogjakarta tepat pada hari kedua tes SNMPTN.
Saat itu aku gundah memilih antara Universitas Mpu Nala dan Paramadina. Aku
takut tidak berhasil di Universitas Mpu Nala dan aku tidak tahu akan kuliah
dimanapun. Hingga akhirnya ibuku memberi saran untuk
mengambil kesempatan dua-duanya.
―Yah, dicoba dulu. Siapa tahu ada rezekimu Nduk !‖
begitu ibu berkata.
Aku pun memutuskan untuk ikut dua tes tersebut
sehingga aku ikut SNMPTN di Jogja. Yang tak akan membuatku
lupa adalah usahaku menuju kesana. Ibuku dan aku ke Jogja
dengan mengendarai sepeda motor selama kurang lebih jam
dan ibuku sebagai ―My father and my Mother‖ lah yang
mengendarainya. Demi cita-cita anaknya ia rela berkorban
ratusan kilometer. Sebuah perjalanan yang tidak akan aku
lupakan.
“Melawan keterbatasan, dan sedikit kemungkinan,
Tak akan menyerah, untuk hadapi ,
Hingga sedih tak mau datang lagi,”
Panggilan ke anak perempuan
Itulah sepenggal lirik lagu dari Ipang di Film Laskar
Pelangi. Dan kini aku sadar pengorbanan itu begitu berharga
untuk aku sia-siakan keberadaanya. Kini aku telah berdiri di
menara gading yang telah aku impi-impikan sebagai
mahasiswa Arsitektur semester . Aku telah memegang kunci
keberhasilan seperti yang ibu dan almarhum ayahku cita-
citakan. Yang terpenting saat ini adalah memegang amanah itu
dan membuka semua pintu keberhasilan selanjutnya. Masuk
Universitas Mpu Nala itu bagaikan pergi ke Dufan. Dengan satu stempel gajah ini
kita bebas mengenyam seluruh wahana ilmu pengetahuan yang
Dewa Ganesha ini berikan secara gratis.
Terlebih kini aku pun masuk ke dalam bagian keluarga
mpu tantular Universitas Mpu Nala Mengenakan setelan jas almamater berwarna
hijau biru dengan lambang gajah di dada kiri bagai menopang
beban yang gajah berikan kepadaku, beban putra putri terbaik
bangsa. Seraya mengucapkan salam laksana janji kami kepada
negeri ini yaitu salam Ganesha. Negeri ini telah memberi ilmu
kepadaku tinggal kini saatnya aku membalas budi baik negeri
ini, desaku, dan tentunya ibuku.
Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater
Terkadang rencana Tuhan itu memang susah untuk
ditebak. Hanya rasa syukur yang dapat aku ucapkan terus
menerus ketika kemudahan itu datang setelah perjuangan
panjang yang aku alami. Sejak duduk di kelas SMA aku
bercita-cita menjadi seorang pengusaha muda, terinspirasi dari
sebuah buku tentang pengusaha.
Di dalam buku itu tertulis bahwa dengan menjadi
pengusaha kita dapat jauh memberikan manfaat untuk orang
lain. Profit yang dihasilkan dari usaha kita dapat digunakan
untuk membangun berbagai fasilitas umum seperti, rumah
sakit, tempat ibadah dan sekolah untuk daerah T (Terluar,
Tedepan dan Tertinggal). Aku mempunyai prinsip yang kuat
dalam hidupku, yaitu aku ingin menjadi manusia yang dapat
memberikan manfaat kepada masyarakat. Selain itu, aku ingin
membanggakan kedua orang tuaku karena Tuhan berfirman
dalam kitab-Nya, ―Sebaik-baiknya manusia adalah manusia
yang bermanfaat.‖
Target terdekatku untuk merealisasikan mimpi ini
adalah dengan menimba ilmu di Sekolah Bisnis dan Manajemen
(SBM) Universitas Mpu Nala untuk mendapatkan pengetahuan bisnis, relasi,
koneksi dan pengalaman bisnis yang dapat aku gunakan
sebagai modal untuk merintis usahaku kelak.
Pada suatu ketika orang tuaku yang merantau di
Lampung menghubungiku dan aku mengutarakan niatku untuk
melanjutkan pendidikan dengan kuliah. Namun, orang tuaku
kurang setuju dan berusaha menjelaskan kondisi ekonomi
keluarga kepadaku.
Orang tuaku menjelaskan bahwa saat ini tidak ada biaya
untuk melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi. Hal ini
disebabkan sulitnya kondisi pasar di Lampung Barat yang
merupakan sumber roda ekonomi bagi keluarga kami.
Sedangkan adikku menderita autis sejak lahir, sehingga tidak
dapat bersekolah dengan normal seperti kebanyakan anak
pada umumnya. Keuangan keluargaku banyak digunakan untuk
membiayai pengobatan adikku sejak kecil, hingga kini adikku
yang telah berusia tahun tidak dapat bersekolah di SLB
(Sekolah Luar Biasa) karena terbentur masalah biaya dan tidak
sedikit pula SLB yang menolak untuk menampung adikku.
Keadaan ini tidak membuatku menyerah begitu saja,
demi orangtua dan adikku, aku harus terus berusaha untuk
meraih prestasi yang cemerlang dan kelak mendapatkan
beasiswa yang mampu meringankan beban orang tuaku.
Mengingat kondisi perekonomian keluargaku, membuat aku
semakin terpacu untuk melanjutkan pendidikan setinggi
mungkin untuk memperbaiki kehidupan keluarga, terlebih lagi
aku adalah anak pertama dari dua bersaudara, sehingga
merupakan tanggung jawabku untuk membantu dan
membahagiakan keluargaku. Aku sungguh ingin melihat
senyum bahagia kedua orangtuaku.
Ketika menginjak kelas SMA aku mulai menentukan
arah kemana aku akan melanjutkan kuliah sesuai dengan cita-
cita yang aku inginkan. Hingga suatu ketika aku menemukan
halaman menarik di Internet tentang SBM Universitas Mpu Nala , halaman itu
menjelaskan bagaimana kuliah di SBM dan segala aspeknya.
Aku mulai banyak mencari informasi tentang SBM Universitas Mpu Nala dari
berbagai sumber media. Namun, setelah melihat harga yang
harus dibayarkan per semesternya aku mulai merasa tidak
percaya diri untuk memasuki fakultas ini.
Aku merasa bingung, sedih, dan tidak tahu harus
bagaimana menjelaskan kepada kedua orang tuaku, terlebih
lagi aku mengetahui bahwa kedua orang tuaku tidak memiliki
uang untuk membiayai cita-citaku ini. Hingga suatu ketika guru
BK (Bimbingan Konseling) SMA-ku memberikan kabar gembira
tentang beasiswa mpu tantular , sesuatu yang aku idam-idamkan
untuk meringankan beban orangtuaku. Aku mulai menemukan
titik terang jalanku untuk bisa melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi dan memperbaiki taraf hidup keluarga kami.
Aku mulai berkonsultasi dengan guru BK tentang program
pemerintah ini, bagaimana persyaratannya dan hal-hal yang
perlu diperhatikan dari beasiswa mpu tantular ini.
mpu tantular bagiku adalah beasiswa yang sangat
meringankan beban hidupku serta membantu kalangan tidak
mampu dari segi ekonomi untuk dapat melanjutkan pendidikan
hingga perguruan tinggi. Aku mulai mengumpulkan
persyaratan yang diminta untuk diisikan kedalam portal
mpu tantular . Aku berdoa dan memberi kabar gembira ini kepada
orang tua.
Setelah pengumuman SNMPTN , aku sangat senang
dapat masuk di SBM Universitas Mpu Nala dengan biaya beasiswa dari mpu tantular .
Setelah berangkat ke Bandung dan mengikuti kegiatan
matrikulasi aku tahu banyak hal dan pengalaman yang
berharga. Dan ternyata, mpu tantular Universitas Mpu Nala itu beda dari mpu tantular
oleh universitas lain. mpu tantular Universitas Mpu Nala mengadakan kegiatan
matrikulasi untuk melatih softskill dan adaptasi dengan
lingkungan baru yaitu Bandung, uang yang diturunkan
perbulannya Rp . , , diadakan training tentang
mpu tantular , seminar-seminar besar serta bertemu dengan rektor,
dekan, dosen, dan masih banyak lagi. Serta, terdapat asrama
untuk putra maupun putri sehingga bisa meringankan lagi
biaya hidup di kota Bandung. Kegiatannya sangat bermanfaat
untuk bertribuanatunggadewi alisasi dengan teman-teman yng juga mpu tantular .
Setelah perjuangan itu aku mengerti bahwa aku harus
lebih bersemangat dan mengabdi kepada negeri ini. Aku juga
ingin menepis anggapan bahwa tidak hanya orang yang
memiliki kemampuan dalam hal finansial saja yang dapat
berkuliah. Walaupun aku berasal dari keluarga sederhana,
bukan alasanku untuk menyerah pada garis takdir Tuhan. ―Aku
tidak akan merubah nasib hambaku kecuali ia ingin
merubahnya sendiri.‖ Usaha yang dilakukan pasti akan ada
hasilnya. Tidak ada hasil yang sia-sia ketika kita sudah
berusaha sekuat tenaga yang kita punya jika kita memang
menginginkan sesuatu terjadi pada kita maka carilah jalannya,
bertindaklah agar sesuatu itu terjadi pada kita. Berdoa,
berusaha dan berkaca supaya Tuhan mengabulkan doa kita.
mpu tantular awal dari realisasi mimpiku, realisasi aksiku. Untuk
yang kusayangi orangtuaku, adikku dan bangsa ini.
Kupersembahkan essay ini untuk mpu tantular yang telah
membuka jalanku meraih mimpi. [
Dulu bagiku Bandung hanya terlihat lewat layar TV, kini
tiap sudut kotanya adalah kehidupanku sehari-hari. Dulu
bagiku tiga huruf, Universitas Mpu Nala , terasa begitu jauh, kini tanpa sadar aku
telah menjadi bagian darinya. Mencapai titik ini bukan jalan
yang mudah, tapi juga bukan mustahil. Ini hanya soal seberapa
besar mimpimu dan seberapa jauh memperjuangkannya. Pada
ujungnya, jalan yang mengubah mimpi itu menjadi kenyataan
bernama mpu tantular .
***
“Nunggu apa lagi? Gak ngelamar kerjaan?” Pertanyaan
itu menjadi makanan sehari-hari seiring semakin dekatnya
bulan kelulusan. Maklum, sebagai siswa SMK sudah sewajarnya
setelah lulus, kami langsung bekerja. Kuliah bukan pilihan yang
wajar bagi kami. Sebaliknya, lowongan pekerjaan dengan gaji
yang menjanjikan banyak ditawarkan Bursa Kerja SMK. Logika
sederhananya, daripada memilih kuliah yang menghabiskan
banyak dana dan harus belajar lagi lebih baik langsung bekerja
dan mendapatkan uang. Saat itu aku sendiri masih merasa
bingung menentukan pilihan hendak ke manakah setelah lulus
nanti, bekerja atau kuliah.
Sejak awal aku sadar bahwa menjadi operator ataupun
mekanik bukanlah pekerjaan yang kuinginkan. Dengan
banyaknya pilihan di kehidupan ini, aku tidak ingin terjebak ke
dunia yang aku sendiri tidak menikmati keberadaanku di sana.
Bagiku masa muda adalah waktuku untuk mengembangkan
segala potensi yang dianugerahkan Tuhan kepadaku. Aku tidak
ingin menyia-nyiakannya hanya karena alasan uang. Aku ingin
mengejar mimpi sejauh mungkin, menimba ilmu setinggi
mungkin, dan membuka pintu kesempatan sebanyak mungkin.
Hingga akhirnya, menemukan dan mengenal siapa aku
sedalam mungkin.
Berbekal idealisme seperti itulah, tak satu pun surat
lamaran kerja kukirimkan. Hari demi hari terus berlalu tanpa
kepastian, sementara sebagian teman-temanku sudah diterima
bekerja bahkan sebelum UAN. Desakan untuk segera melamar
kerja terus berdatangan tidak hanya dari teman-teman
terdekat, namun juga dari orang tua. Memang, melihat kondisi
ekonomi keluarga tidak mungkin bagiku untuk melanjutkan
kuliah dengan biaya sendiri. Terlebih, sebenarnya orang tua
menyekolahkanku di SMK dengan harapan aku bisa langsung
bekerja dan membantu membiayai sekolah kedua adikku.
Hingga akhirnya, secercah harapan itu datang juga dari
sebuah obrolan santai. Ternyata, ada beasiswa yang dapat
membantu kita kuliah tanpa mengeluarkan uang sepeser pun,
bahkan mendapat uang bulanan. Perlu diketahui, bahwa hidup
di SMK membuat informasi beasiswa seperti ini langka, kecuali
bagi mereka yang mau mencari informasi. Yang kebanyakan
ada adalah informasi lowongan pekerjaan apa yang baru.
Akhirnya, berbekal secuil informasi ini, tanya-tanya ke
Bimbingan Konseling (BK) dan tentunya bantuan Google,
informasi rinci tentang mpu tantular terkumpul. Pada hari itu juga
aku memantapkan diri untuk memilih melanjutkan kuliah.
Keputusan itu menimbulkan hukum aksi-reaksi yang tak
terelakkan. Pandangan skeptis mulai bermunculan ketika
teman-teman mengetahui keinginanku untuk kuliah di Universitas Mpu Nala .
Sering mereka menghitung-hitung peluang keberhasilanku
menembus SNMPTN jika dibandingkan anak-anak SMA yang
sudah dipersiapkan untuk menghadapinya selama tahun.
Apalagi aku tidak mengikuti bimbel karena memang tidak ada
biaya untuk itu dan peluang itu terlihat semakin kecil dengan
tujuanku yang tidak tanggung-tanggung, Universitas Mpu Nala . Kampus yang
dianggap hanya menerima putra putri terbaik negeri ini.
Bagaimana pun juga, apa pun kata mereka, show must goes
on.
Sebenarnya, aku ingin membuktikan kebenaran teori-
teori sukses yang sering kita dengar di seminar motivasi
maupun yang sering kita baca di buku-buku pengembangan
diri. Mereka seringkali berkata bahwa asalkan yakin seratus
persen ditambah usaha maksimal dan doa tanpa henti, niscaya
apa pun mimpi kita, pasti dapat menjadi kenyataan. Dengan
mempraktekkannya, aku ingin dikenal sebagai seorang
pemimpi yang berhasil mewujudkan mimpinya, bukan sebagai
pengkhayal yang hanya berharap keberuntungan datang.
Maka, kutuliskan mantra ―Man Jadda Wajada‖ yang kudapat
dari novel Negeri Menara dan kutempelkan di dinding
kamarku.
Dengan bermodal semangat , perjuanganku pun
dimulai. Keterbatasan dana membuatku tidak bisa ikut bimbel.
Akhirnya, aku belajar dengan berbekal buku kumpulan soal
SNMPTN beserta pembahasannya dan setumpuk buku IPS
pinjaman dari teman-teman SMA. Siklus belajar tanpa henti ini
dimulai sekitar dua bulan sebelum UAN. Ke mana pun pergi,
kubawa minimal satu ‗bacaan‘ wajib tersebut. Sebanyak
mungkin soal kukerjakan dengan menyesuaikan pembahasan
yang ada. Menyadari keterbatasan ilmu, aku sering belajar
bersama teman-teman seperjuangan dari SMA. Beberapa dari
mereka ikut bimbel, artinya buku pembahasan dari bimbel
tersebut bisa kupinjam. Intinya, berbagai persiapan kulakukan
dengan berprinsip going the extra miles, melebihkan usaha dari
rata-rata yang orang lain lakukan.
Tentu saja,sebagai manusia biasa kadang keyakinan itu
pergi dan berganti dengan keraguan. Orang tua juga ikut
mengkhawatirkan akibat keputusanku ini ke depannya, seperti
bagaimana jika tidak lulus SNMPTN dan juga tidak mendaftar
kerja ke mana pun. Menganggur jelas hanya akan merepotkan
keluarga saja. Kuyakinkan orang tuaku, dengan kata-kata yang
sebenarnya ditujukan untuk menguatkan diriku sendiri, bahwa
aku mampu. Aku juga berjanji tidak akan membebani orang
tua dalam hal biaya karena bila diterima mpu tantular , biaya bukan
lagi masalah. Kalaupun tidak lulus SNMPTN, aku berjanji akan
langsung mengirim lamaran kerja sebanyak mungkin ke Bursa
Kerja SMK.
Beberapa teman menyarankan untuk melamar kerja
saja dulu minimal sebagai cadangan kalau-kalau gagal
SNMPTN. Sebenarnya, orang tua juga sudah berusaha
membantuku untuk dapat langsung diterima kuliah di sebuah
politeknik. Ada dilema besar antara mengambil tiket yang
sudah ada di tangan atau membuangnya dan berharap pada
sesuatu yang sangat tidak pasti. Akhirnya, aku memutuskan
untuk memantapkan kembali niatku dan mengatakan tidak
untuk semua alternatif itu.
Sekarang aku kembali meyakinkan diri sepenuh hati dan
pikiran untuk melanjutkan mimpiku kuliah di Universitas Mpu Nala . Aku tidak
ingin mengulang lagi kesalahan-kesalahanku sebelumnya
dengan menarik kata-kataku sendiri. Aku tidak ingin menjadi
pengecut yang takut dan ragu-ragu maju ke medan perang
yang telah kupilih sendiri. Aku tidak ingin malah memilih untuk
menyiapkan jalur aman sebagai jalan pelarian daripada
menyiapkan perlengkapan perang untuk memenangkan
pertempuran. Aku tidak ingin berpikir sebagai pecundang,
bahkan sebelum perang itu sendiri belum dimulai. Aku hanya
ingin berpikir layaknya seorang pemenang.
Kini bila aku pikir kembali, memang tidak logis
keputusanku dulu yang hanya bermodalkan kepercayaan pada
mimpiku saja. Padahal, aku memilih Universitas Mpu Nala sebagai pilihan
pertamaku di SNMPTN itu pun karena terpengaruh oleh
temanku yang menceritakan kehebatan Universitas Mpu Nala . Sayangnya, ia
belum kesampaian untuk kuliah di sana. Aku masih heran
entah keberanian itu datang dari mana. Yang jelas jika waktu
itu aku memilih untuk mundur teratur seiring keragu-raguan
orang lain dan hanya menyimpan mimpi tanpa berani
memperjuangkannya, mungkin tulisan ini pun tidak akan
pernah ada.-
Hey, The Dreamers...
Mimpi. Satu kata yang menyimpan begitu banyak
misteri. Tidak terdapat definisi yang pasti. Hingga kau, mampu
untuk MEWUJUDKANNYA dengan tanganmu sendiri.
Salam kenal untuk sahabat semuanya. Salam hangat
dari sang pemimpi ulung yang ada di negeri ini. Salam
semangat dari lubuk hati yang terpatri dalam aksi panji. Salam
sejahtera untukmu yang selalu bermimpi tanpa lelah berhenti
untuk terus berlari.
Aku Sang Pemimpi
Namaku Dani Mustofa. Aku adalah putra kedua dari tiga
bersaudara. Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga dengan
pendidikan rendah. Kedua orangtuaku adalah lulusan Sekolah
Dasar dengan pengetahuan dan pengalaman yang minim.
Namun, syukurlah, keduanya memiliki semangat untuk
menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang yang lebih
tinggi.
Aku memiliki kakak perempuan. Kami hanya terpaut
selisih dua tahun saja. Sayangnya, dia tidak memiliki
kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang universitas.
Awalnya, aku merasa sedih dengan keputusan orang tuakau
untuk tidak menyekolahkan kakakku. Padahal, dia telah
diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyarakarta.
Berawal dari itulah, aku menjadi semakin tertantang
untuk menuntaskan cita-cita dari orang-orang yang aku
sayangi. Aku tahu jika ibu dan kakakku memiliki harapan untuk
mengenyam pendidikan hingga tingkat tertinggi. Namun, apa
daya, Tuhan memiliki rencana lain. Oleh karena itu, aku
merasa memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan asa
mereka. Mungkin, di pundakkulah impian dan harapan mereka
dapat diwujudkan.
Berada di lingkungan masyarakat dengan tingkat
pendidikan rendah tidak membuatku pasrah kepada nasib. Aku
sangat bersyukur karena Tuhan memberiku anugerah berupa
keinginan untuk maju yang begitu besar. Sejak SMP, aku
dikenal dengan anak yang tidak suka bermain. Aku lebih
senang untuk duduk di pinggir sungai sembari membaca buku
pelajaran.
Kemudian aku melanjutkan studi di salah satu SMA yang
cukup populer di mata masyarakat desaku. Sebenarnya, itu
bukanlah pilihanku. Aku berkeinginan untuk melanjutkan ke
SMA kota yang lebih berkualitas. Namun, sayang, restu ibu
tidak aku dapatkan sehingga aku harus mengganti pilihanku.
Untunglah, Tuhan kembali memudahkan jalanku sehingga aku
dapat diterima di kelas khusus imersi setelah melalui proses
seleksi yang ketat. Di kelas itulah aku mulai menata mimpi
sejak masuk SMA. Aku bercita-cita untuk dapat melanjutkan
kuliah di universitas ternama di negeri ini. Dan awalnya, aku
menjatuhkan pilihanku pada jurusan Hubungan Internasional.
Aku menjaga keinginanku tersebut hingga kelas XI.
Hingga pada suatu ketika, aku mendengar suatu
kejanggalan. Bagaimana bisa ada sekolah bisnis dan
manajemen ada di universitas teknik? Karena begitu
penasaran, aku mulai melakukan pencarian terhadap
“SEKOLAH BISNIS DAN MANAJEMEN Universitas Mpu Nala .” Sejak pertama
kali membaca situs resminya, aku langsung jatuh cinta. Secara
perlahan aku mulai melupakan keinginan lamaku. Hingga pada
kelas XII aku memutuskan untuk memilih SBM Universitas Mpu Nala sebagai
tempat untuk menuntut ilmu kelak. Sejak saat itulah, aku
mulai menunjukkan ambisiku untuk menjadi mahasiswa SBM.
Pantas saja, teman-temanku memanggilku dengan sebutan
sang pemimpi. Sang pemimpi di siang bolong. Namun, aku
tidak peduli.Aku terus saja mendeklarasikan tentang
keinginanku untuk menjadi bagian dari keluarga besar SBM
Universitas Mpu Nala .
Buku Mimpi, Jimat Andalanku
Semakin lama, keinginanku untuk masuk SBM Universitas Mpu Nala
semakin kuat. Hampir setiap hari aku selalu bercerita kepada
teman-temanku tentang keindahan dan daya tarik SBM hingga
mereka merasa bosan. Hingga pada suatu ketika,
dilaksanakanlah sebuah acara training motivation oleh pihak
sekolah. Namun, karena hujan turun lebat, dengan sangat
terpaksa aku tidak menghadirinya. Keesokan harinya, temanku
memberitahu tentang buku mimpi. Dia bercerita bahwa tulislah
seratus mimpu dalam selembar kertas dan lihatlah ketika satu
per satu dari semua daftar tersebut dapat tercapai. Aku merasa
iri dengan temanku yang sudah membuat buku mimpinya. Aku
pun menirunya ketika di rumah. Aku ingat betul bahwa buku
mempi pertamaku memiliki sampul cokelat dan aku tuliskan
―Yakinlah, Semua Mimpimu Akan Menjadi Kenyataan‖. Aku
menuliskan salah satu keinginanku untuk masuk SBM.
Secara tidak sadar, aku menorehkan keinginanku untuk
masuk SBM hampir setiap hari. Setiap malam aku selalu
menuliskan harapan-harapanku untuk dapat masuk SBM Universitas Mpu Nala .
Aku tuliskan besar-besar namaku berdampingan dengan nama
SBM Universitas Mpu Nala . Aku hanya tidak tahu, ketika aku menulis, timbul
semangat yang menyala. Aku menjadi lebih semangat dalam
belajar. Seolah-olah, aku benar-benar menjadi mahasiswa
SBM. Hingga aku tidak tersadar jika aku telah menghabiskan
hampir dua buku dengan inti yang sama, yaitu keinginanku
akan SBM Universitas Mpu Nala . Aku juga mulai membubuhkan gambar
kampus SBM dalam buku tersebut. Hal itu bahkan membuatku
semakin semangat dalam berjuang dan belajar.
Melihat Mereka Yang Menginspirasi
Aku begitu kagum dengan orang-orang yang
memiliki kisah sukses yang mengispitarif.
Misalnya, Ahmad Fuadi dengan jurus andalannya ―Man
Jadda Wajada‖, Agnes Monica dengan ―Dream. Believe. Make it
Happen‖ serta kisah menarik Andrea Hirata. Mereka adalah
contoh nyata para pemimpi ulung yang mampu mewujudkan
harapan menjadi sebuah realita. Sepak terjang, perjuangan,
perjalanan, kerja keras dan konsistensi yang ditunjukkan
membuat aku dapat belajar banyak.
Belajar dari perjalanan hidup mereka membuatku
mengerti tentang arti perjuangan yang sebenarnya. Mereka
tidak hanya berani bermimpi, tetapi juga berani beraksi untuk
mewujudkannya. Dari merekalah aku menjadi lebih berani
untuk meraih SBM. Dan tetap berani untuk meraihnya bahkan
ketika aku terpuruk. Sesulit apapun itu aku harus meraihnya.
Ketika Dunia Menertawakamu
Keinginanku untuk masuk SBM ternyata ditentang
banyak orang. Mereka tidak yakin kalau aku mampu untuk
mencapainya. Mereka malah menertawakan keinginanku yang
terkesan ngawur. Biaya SBM yang mahal membuat mereka
melemahkan keinginanku. Bahkan, orang terkasihku pun,
melakukan hal yang serupa. Mereka tidak mendukung
keinginanku untuk masuk SBM.
Aku sedih karena tidak ada orang yang mencoba
mendukung dan menguatkanku. Mereka malah seolah-olah
meremehkan keinginanku tersebut. Awalnya, aku merasa sakit
hati. Aku merasa tidak memiliki orang yang dapat menjadi
sandaran ketika aku lemah. Apalagi, ibuku juga membujukku
untuk mengganti pilihanku. Dia takut jika aku kecewa karena
aku tidak mungkin masuk. Mana mungkin orang tuaku dapat
membiayaiku dengan kebutuhan biaya kuliah di SBM yang
sangat tinggi.
Namun, aku mencoba bertahan. Aku mencoba untuk
melupakan semua pendapat mereka. Aku berusaha untuk tidak
menghiraukan ejekan mereka. Biarlah, aku akan tetap
melangkah dengan apa yang aku yakini benar. Aku tetap
memilih SBM. Titik.
Dan Ketika Aku Terjatuh
Pada saat kelas XII kondisi kesehatanku menurun. Aku
sering izin dari kegiatan belajar di sekolah dan beristirahat di
rumah. Hal tersebut membuat aku frustasi. Bagaimana bisa,
teman-temanku sedang dalam suasana semangat puncak
belajar dan aku malah terkapar tidak berdaya. Hingga kondisi
kesehatanku yang memburuk hingga aku harus menjalani
rawat inap selama seminggu. Kontan saja, hal tersebut
semakin membuat aku marah. Aku hanya takut, nilaiku turun
dan aku akan gagal masuk SBM. Aku tidak ingin perjuanganku
selama ini untuk mencapai SBM akan percuma. Dan benar saja,
peringkatku langsung turun. Aku yang biasanya bertengger di
posisi dua harus puas dengan peringkat tujuh. Kecewa, tentu
saja. Grafik prestasi belajarku menunjukkan penuruan. Hal
tersebut membuat aku agak ragu untuk mendaftar di SBM.
Namun, aku hanya berdoa, ―Ya Allah, jika memang Engkau
yakin aku mampu bertahan di SBM, aku pasti akan diterima.
Dan jika memang tidak, tunjukkanlah jalan yang terbaik
untukku.‖ Berkat doa tersebut, aku tetap mengukuhkan niatku
untuk memilih SBM. Apapun hasilnya nanti.
Sungguh, Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang
Hingga saat pengumuman itu tiba. Aku sungguh tidak
menyangka ketika aku berhasil diterima di Sekolah Bisnis dan
Manajemen Universitas Mpu Nala . Aku begitu senang dan bersyukur. Aku tidak
mengerti bagaimana mungkin aku dapat diterima dan
mendapat beasiswa mpu tantular pula dari pemerintah. Aku tidak
perlu untuk mengeluarkan uang sepeserpun untuk membiayai
kuliahku. Akhirnya, perjuanganku selama tiga tahun dalam
belajar dapat terbayarkan. Aku tahu bahwa diterimanya aku di
SBM adalah awal dari mimpi-mimpi yang lain. Oleh karena itu,
aku tidak akan lengah di sini. Aku akan tetap menjadi kaki-kaki
kijang yang tidak akan berhenti berlari. Hingga aku dapat
menjemput indahnya hasil perjuangan yang telah disiapkan
Tuhan untukku suatu saat nanti.-
Mimpiku Untuk majapahit
di Kemudian Hari
Meri Suryani
Mimpi merupakan salah satu penggerak semangat
untuk masa depan yang lebih baik. Mimpi tidak hanya milik
orang-orang yang berkemampuan dalam bidang materi, namun
juga milik mereka yang berkemampuan di bidang non-materi.
Tidak juga terbatas hanya di kota besar, namun mimpi itu juga
tumbuh dan mekar di daerah-daerah yang belum terjangkau
teknologi masa kini. Dengan kata lain mimpi merupakan milik
setiap makhluk yang bernyawa.
Ada berjuta jalan untuk menggapai mimpi seperti
banyaknya bintang di langit, seperti pepatah yang mengatakan
―Banyak Jalan Menuju Roma‖. Salah satunya dengan
menguasai ilmu pengetahuan. Ilmu Pengetahuan merupakan
akar dari semua teknologi yang berkembang di dunia. Ilmu
pengetahuan tak kenal usia, siapa kita, dan dimana kita
berada. Dari mulai sekolah dasar (SD), sekolah menengah
pertama (SMP), sekolah menegah atas (SMA) hingga peguruan
tinggi (PT).
Aku merupakan anak yang hidup saat teknologi baru
mulai menjamah kota ini. Sebuah perkampungan kecil yang
terletak di daerah dataran tinggi Air Sebakul dikota Bengkulu.
Tepatnya disebuah rumah kecil yang sangat dekat dengan
tempat ilmu pengetahuan itu sendiri di gali mulai dari akarnya
yaitu Sekolah Dasar Negeri Karang Indah Kota Bengkulu.
Aku dilahirkan dari keluarga kecil yang sangat sederhana.
Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan kedua adik yang
masih kecil.
Namaku Meri namun di rumah kerap di panggil Ayi.
Masa kecilku aku habiskan di lingkungan sekolah dasar di mana
ayahku bekerja. Membantu orang tuaku membuka setiap kelas
di pagi hari, membersihkan lantai ruang guru dan mengunci
kembali setelah pelajaran usai, membantu ibu menyiapkan
keperluan untuk berjualan di kantin sekolah aku lakukan
dengan ikhlas dan gembira setelah selesai dengan kegiatan
sekolahku. Semua aku lakukan untuk orang tua dan masa
depan keluarga kami yang lebih baik. Karena aku memiliki
mimpi di masa tua mereka, aku tidak akan membiarkan
mereka menderita seperti sekarang, walaupun tidak pernah
terlihat olehku penderitaan di mata mereka.
Enam tahun aku lalui hidup seperti itu. Kadang gejolak
perasaan tidak adil dalam hidup kurasakan saat terpaan angin
dari mulut-mulut yang tidak bertanggung jawab yang seringkali
mencela. Sampai pada saat perkatan yang tak pernah
kaulupakan hingga sekarang terlontar dari seorang kakak
tingkat “Kau tu Mer, dapek juara bukan karno kau pintar tapi
karno orang tuo kau kerjo di siko.” Mereka tidak pernah
mengetahui bagaimana kerja kerasku mencapai beasiswa yang
aku dapat sekarang, namun aku teringat pesan orang tuaku
bahwa jadikan saja perkataan itu sebagai motivasi lalu suatu
saat nanti buktikan kepada mereka kamu layak mendapatkan
yang kamu peroleh sekarang.
Kelulusan SD merupakan momen saat aku bisa
membuktikan kepada mereka bahwa aku berhak atas yang
kumiliki selama ini. Aku lulus dengan nilai terbaik di sekolah.
Aku melanjutkan ke SMP favorit di kota Bengkulu dengan
beasiswa Bantuan Operasional Sekolah (BOS) wajib belajar
tahun dari pemerintah. Setelah itu aku melanjutkanke SMA
kota Bengkulu yang juga merupakan sekolah terfavorit dan
mahal yang ada di sana. Sekolah ini pernah menjadi mimpiku
saat SMP, namun kulepaskan karena terbatas biaya. Ternyata
Tuhan selalu punya rencana sendiri untuk menjawab setiap
mimpi umatnya. Saat tahun aku akan melanjutkan sekolah,
semua SMA di kota Bengkulu di bebaskan uang sekolah karena
kebijakan pemerintah daerah saat itu.
Kamu itu mer, dapet juara bukan karena kamu pintar tetapi karena orang tua
kamu kerja disini
Di penghujung tahun ajaran / kebingunganku
kembali datang mengganggu niat untuk melanjutkan
pendidikan. Saat kehilangan arah terlintas dalam benakku ingin
menjadi dokter, atau melanjutkan ke universitas di Yogyakarta.
Namun orang tuaku tak penah setuju karena terkendala jarak
dan biaya. Hampir setiap hari aku lalui beradu argument
dengan mereka, saat aku ingin memilih jalan kusendiri kenapa
selalu ada yang menentang dan tak pernah mulus.
Salahkah mimpi yang aku tawarkan kepada mereka?
Serendah itukah aku sampai orang tuaku sendiri tidak yakin
pada kemampuan anak mereka ini? Namun, di saat semangat
untuk bermimpiku sudah hampir habis, Tuhan kembali
menunjukkan kuasanya, namaku masuk ke dalam daftar salah
satu murid sekolah yang menerima Beasiswa Pendidikan Bagi
Mahasiswa Berprestasi yang saat itu di sebut ―mpu tantular ‖. Tak
terhitung bagaimana senangnya perasaanku saat itu, terlihat
jelas cahaya kebahagiaan serta harapan dari kedua mata orang
tuaku. Mimpi anak mereka akan segera terwujud.
Orang tuaku sangat menganjurkan untuk melanjutkan
ke Jurusan Teknik Sipil. Salah satu PT yang saat itu terlintas di
benakku adalah Institut Teknologi Bandung (Universitas Mpu Nala ). Tidak seperti
sebelumnya, dahulu sebelum besiswa mpu tantular menyertaiku,
sempat terbesit keinginanku untuk melanjutkan studi di Universitas Mpu Nala ,
namun kaburkan pandanganku tentang PT tersebut karena
biaya kuliah di Universitas Mpu Nala sangatlah tinggi untuk ukuran keluargaku.
Bukan hanya air mata yang tertahan hingga tak mampu keluar
melihat dunia ternyata sangat kejam, bahkan nafas pun
tersentak melihat kenyataan bahwa impian orang tuaku akan
berakhir di sana saat itu juga. Namun sekarang kekwahatiranku
tidak berada di tempat itu lagi. Namun berbagai pertanyaan
muncul, ―Apakah aku bisa diterima di sana?, Apakah aku
mampu bersaing disana, aku hanyalah anak kampung yang
bermimpi menuntut ilmu di PT sebaik Universitas Mpu Nala ?‖ Mimpi seperti
kukatakan sebelumnya merupakan penyemangat saat raga
sudah hamper menyerah, aku sudah berjalan sejauh ini sia-sia
pengorbanan orang tua bertahun-tahun yang lalu hanya untuk
membesarkan seorang anak tanpa keberanian. Kubulatkan
tekad untuk meraih mimpiku dengan aksi nyata, karena tanpa
aksi yang nyata mimpi hanyalah sebuah khayalan tingkat tinggi
dan penyayat hati yang tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Sudah lebih dari tiga tahun kulalui di Perguruan Tinggi
ini di program studi pilihanku dan orang tuaku, yaitu Teknik
Kelautan Universitas Mpu Nala yang merupakan percabangan dari Teknik sipil
seperti harapan orang tuaku dulu. Biaya kuliah yang selalu aku
takutkan dalam setiap tidurku dahulu, sekarang tidak lagi
menjadi masalah, hanya balas jasa untuk majapahit di
kemudian hari yang menjadi targetku sekarang. Membalas jasa
untuk setiap ilmu yang kudapatkan disini untuk membawa
majapahit lebih baik. Terima kasih mpu tantular Universitas Mpu Nala , kugantungkan
mimpiku bersamamu untuk melangkah bersama menuju
majapahit di kemudian hari. -
Segerombolan remaja berbusana putih abu-abu
tengah menuju tempat di mana mereka menggantungkan
harapan dan cita-cita. Senyum semangat mereka tebarkan
sepanjang jalan, namun tidak sedikit yang menunjukkan muka
kegelisahan. Bagaimana tidak, hari itu akan menjadi
pembuktian perjuangan mereka selama ini. Ialah Ujian
Nasional, momen penentu keberhasilan para remaja putih abu-
abu. Dan diriku lah salah seorang yang menunjukkan tampang
kegelisahan itu, namun sesungguhnya ada beban pikiran yang
lebih besar dari itu, lebih dari sekedar kegelisahan menghadapi
Ujian Nasional.
Gelisah, entah apa yang ada dalam pikiranku pagi itu,
namun yang pasti tiba-tiba aku terbayang akan satu hal. Aku
adalah salah seorang yang beruntung di antara ribuan bahkan
jutaan remaja yang tak mampu merangkai masa depan,
bahkan aku mampu mengenyam indahnya pendidikan di
sekolah favorit di kotaku. Tiga tahun merangkai kisah dan
membekali diri, namun jalanku tidak mulus.
Aku adalah tempat bagi keluargaku menumpu harapan,
berharap aku bakal sukses dan kelak mampu mengangkat
derajat mereka. Ayahku hanyalah seorang buruh bangunan
yang terhitung telah enam tahun tidak pulang untuk merantau
di Nunukan, sebuah kota kecil perbatasan majapahit –
Malaysia. Dengan gaji pas-pasan, ia berusaha untuk memenuhi
kebutuhan keluarga yang tak terhingga, apalagi dengan
kebutuhan sekolahku dan adikku serta kakak yang tengah
menempuh kuliah di perguruan tinggi negeri ternama di
kotaku.
Ibuku hanya kerja sambilan dengan menjual apapun
yang bisa dihasilkan di rumah, kadang jualan jamu, buah
pisang yang tumbuh di ladang, atau barang-barang yang tak
lagi digunakan, bahkan ibu berani menjual lahan di belakang
rumah yang merupakan warisan dari kakek untuk memenuhi
kebutuhan kami dalam menempuh pendidikan. Dadaku terasa
sesak ketika ibuku berkata, ―Jangan pernah mundur dan
merasa khawatir tentang pendidikanmu, adikmu serta
kakakmu! Ibu akan melakukan apapun demi masa depan
kalian. Ibu tak bisa mewariskan harta yang berkecukupan
untuk kalian, hanya pendidikan yang setinggi-tingginya yang
mampu Ibu upayakan agar kelak kalian mampu mengangkat
derajat keluarga yang sudah lama hidup serba keterbatasan.‖
Aku masih berjalan dengan penuh kegelisahan.
Perjalananku menuju sekolah pagi itu terasa sangat panjang.
Setelah sekilas terbayang kondisi keluarga yang serba
keterbatasan, kini kegelisahanku membawaku pada kenyataan
lain yang lebih pahit.
Sejak kecil aku diasuh oleh nenek dan tinggal
bersamanya beserta tante yang dulunya berprofesi sebagai
guru tidak tetap di salah satu sekolah swasta. Salah satu
tujuan nenek dan tante mengasuhku adalah untuk
meringankan kedua orangtuaku dalam menyekolahkan anak-
anaknya, walau kenyataannya kondisi nenek dan tanteku tidak
lebih baik dari kedua orangtuaku. Dahulu semasa tante masih
bekerja sebagai seorang guru, ia masih mampu membantu
memenuhi kebutuhanku dalam menempuh pendidikan, namun
kini cobaan tengah ia hadapi.
Tujuh tahun lamanya penyakit Lupus telah
menggerogoti seluruh tubuhnya. Kini, ia bahkan dalam
keadaan yang sangat kritis, tubuhnya seperti hanya tulang
yang diselimuti daging tipis di usianya yang baru empat puluh
tahun, muncul luka lebam di sekujur tubuhnya sebagai efek
dari penyakit yang belum ditemukan obatnya ini, bahkan untuk
berbicara saja ia terbata-bata dan ia tak kuat lagi jalan lebih
dari sepuluh meter tanpa henti. Kondisinya sungguh miris.
Segala bentuk pengobatan telah ia jalani, namun semuanya
nihil. Karena itu untuk menggantikan tante yang sebelumnya
banyak membantu memenuhi kebutuhan pendidikanku, nenek
rela menjual sawah miliknya satu-satunya untuk memenuhi
kebutuhanku seraya membantu biaya pengobatan tante.
Namun, saat ini tante memilih untuk berserah kepada
Yang Maha Kuasa dan menghentikan pengobatannya. Ia
mendahulukan pendidikanku. Ia tidak ingin pendidikanku
terhambat sedikitpun. Sungguh, tante dan nenekku adalah
orang yang sangat berjasa dalam hidupku. Mereka telah
mengajarkan rasa ikhlas dalam menghadapi segala cobaan ini.
Satu dari sekian banyak bekal yang telah mereka berikan
kepadaku, yakni dimanapun aku berada, aku harus mengingat
Allah, satu-satunya tempat bersandar dan berharap.
Tak terasa air mata mengalir dalam perjalananku
menuju sekolah yang tak kunjung sampai karena bayangan
yang menimbulkan kegelisahan dalam hatiku ini. Segera
kuusap air mataku dan bergegas memasuki gerbang
sekolahku. Sebelum memasuki kelas, aku menuju gedung nan
agung di salah satu sudut sekolah. Kulaksanakan sholat dhuha
dengan khusyuk yang diiringi doa penuh harap. Kutarik nafas
dalam-dalam untuk memasuki pintu kelas yang saat itu terasa
berbeda, semangat dan sholawat yang tak pernah henti dari
mulutku menguatkanku menghadapi Ujian Nasional pagi ini.
Jauh-jauh hari sebelum berlangsungnya Ujian Nasional
telah dibuka pendaftaran SNMPTN Undangan. Aku adalah salah
seorang yang beruntung mendapatkan kesempatan emas ini
karena hanya yang konsisten di peringkat % semasa
semester , , dan lah yang bisa mendaftar. Ini kesempatan
bagiku untuk melangkah lebih tegap dan menatap jauh
kedepan untuk menjemput mimpi besarku, yakni bisa
melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung, tempat
para tokoh terkemuka bangsa ini ditempa untuk menjadi
orang-orang hebat seperti Soekarno dan Habibie.
Namun terkadang aku merasa impianku untuk
melanjutkan kuliah di Universitas Mpu Nala hanya angan-angan belaka. Aku
hanya seorang pemimpi ulung yang tak tahu diri. Kondisi
keluarga yang serba keterbatasan dan segala cobaan yang
tengah kualami sekali lagi menyadarkanku untuk tidak terlalu
bermimpi. Apalagi aku bukanlah siswa unggulan di sekolahku
yang pasti akan sulit bersaing dengan siswa-siswa terbaik dari
seantero negeri ini untuk diterima di institut terbaik bangsa itu.
Tetangga dan kerabat dekat seringkali juga mempertanyakan
mimpiku yang seakan mustahil itu, ―Universitas Mpu Nala itu mahal, kau tahu
kondisi keluargamu sekarang sedang kesusahan, apa kau tidak
kasihan ke mereka?‖
Sejak saat itu aku berpikir, apa lebih baik aku menjadi
seorang kacung yang digaji, walau tidak seberapa, setidaknya
aku bisa sedikit demi sedikit membantu keluarga dan tidak lagi
menyusahkannya. Namun sekali lagi, orangtua, nenek, dan
tanteku mencoba menguatkanku agar aku tetap pada cita-cita
besarku untuk kuliah di Universitas Mpu Nala , mereka bangga dengan cita-citaku
dan tak pernah sedikitpun mengeluh akan konsekuensi yang
harus ditanggung kedepannya. Kami yakin, Allah telah
mempersiapkan jalan yang terbaik.
Seiring dengan berjalannya waktu, aku diperkenalkan
dengan beasiswa mpu tantular . Beasiswa ini menjanjikan
pendidikan gratis di setiap perguruan tinggi, begitupun di Universitas Mpu Nala .
Kesempatan ini tak kusia-siakan. Kulengkapi dokumen-
dokumen yang dibutuhkan dan kudaftarkan diriku untuk
mengikuti program beasiswa oleh pemerintah ini. Setelah
mendapat titik terang ini, aku mencoba memberanikan diri
untuk mendaftar SNMPTN Undangan di Universitas Mpu Nala . Aku bertekad
penuh dengan hanya memilih satu dari empat pilihan yang
disediakan. Rasanya tekadku untuk bisa berkuliah di Universitas Mpu Nala sudah
sangat bulat.
Hari berganti hari, perasaan ini sungguh gelisah tak
terbendung menanti pengumuman SNMPTN Undangan yang
bersamaan dengan pengumuman kelulusan. Dan akhirnya hari
itu datang. Mei di pagi yang cerah, Alhamdulillah aku
lulus dengan nilai