Tampilkan postingan dengan label sampah 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sampah 3. Tampilkan semua postingan

sampah 3



 Peran pemerintah tentu tetap dibutuhkan. 

 Di Sumatra Barat, kehadiran pemerintah untuk bisa 

menampung hasil kerajinan daur ulang sampah yang 

dibikin pengurus bank sampah, menjadi salah satu faktor 

penting. Sayangnya, peran itu belum sepenuhnya tampak. 

Setidaknya, bisa terlihat dari kerajinan daur ulang sampah 

yang menumpuk di bank sampah yang dikelola Ibu Os di 

Sijunjung.


Sebuah truk tiba. Di depan Pasar Panakkukang. Di Jalan Toddopuli Raya. Perlahan, truk itu bergerak mundur. Masuk ke pekarangan sebuah bangunan. 

Di dalam pekarangan, beberapa orang sudah menanti. 

Ada yang memanggul tumpukan kardus. Ada yang 

mengangkat tumpukan plastik. Begitulah kesibukan 

pada sebuah pagi jelang siang di salah satu sudut Kota 

Makassar, Sulawesi Selatan. Orang-orang yang sudah 

menunggu kedatangan truk adalah beberapa  petugas 

Bank Sampah Pusat Kota Makassar. 

SIBUK. Petugas Bank 

Sampah Makassar 

tengah menaikkan 

sampah ke dalam truk. 

 Dengan cekatan, mereka masukkan sampah tadi 

ke dalam bak truk. “Setiap hari selalu begini. Nanti 

sampah-sampah itu akan diangkut ke pelabuhan, lalu 

dibawa dengan kapal ke pabrik daur ulang di Surabaya,” 

kata Saharuddin Ridwan. Pria kelahiran Oktober 1975 ini 

adalah dedengkot bank sampah di Sulawesi Selatan. 

Bank Sampah Makassar adalah salah satu hasil jerih 

payahnya “bergumul” dengan sampah. Sudah lebih 

dari sepuluh tahun. Sejak dia masih menjadi jurnalis di 

Makassar.


Sahar geram. Beruntung, dia memegang kamera. Dia 

ambil gambar serakan sampah. Dibuatnya video semi 

dokumenter. Lalu, dia datangi para produsen yang 

menghasilkan sampah. Yang menumpuk di kanal. Sahar 

berusaha menyadarkan mereka. “Bahwa perusahaan-

perusahaan itu harus ikut bertanggung jawab juga 

terhadap persoalan sampah,” ujarnya. 


 usaha nya didengar. Dia diminta ikut memikirkan 

kegiatan untuk membersihkan sampah di Makassar. Dia 

kumpulkan rekan-rekannya sesama jurnalis. Sahar lalu 

menggagas sebuah kegiatan bernama “Bersih Kanal”. 

Sahar menyodorkan proposal kegiatan kepada Walikota 

Makassar saat  itu, Ilham Arief Sirajuddin. Dia tak minta 

bantuan dana. Cuma butuh restu walikota. 

 Restu dia peroleh. Tapi, Sahar masih bingung. Dia 

perlu media untuk mengampanyekan rencana kegiatan 

itu. Agar kegiatannya bisa bergaung. Untung, dia pernah 

bekerja di Harian Fajar, koran terbesar di Sulawesi Selatan. 

Sahar bisa mendapatkan ruang iklan gratis di Harian Fajar. 

 Lalu, dia datangi pimpinan sebuah bank swasta di 

Makassar. Semula, dia akan diberikan dana oleh bank itu. 

Tapi, Sahar menolak. Dia minta kepada sang pimpinan, 

agar staf bank itu saja yang membelikan peralatan yang 

mereka butuhkan. 

 Semua persiapan acara Bersih Kanal sudah rampung. 

Kebingungan berikut masih menyergap Sahar. “Siapa yang 

akan membersihkan kanal?” ucapnya. Untunglah, sebagai 

jurnalis, dia punya banyak koneksi. Lalu, Sahar mengontak 

Pangdam Hasanuddin. Pangdam menjanjikan empat ribu 

prajurit TNI untuk membersihkan kanal. Kapolda Sulawesi 

Selatan juga dia hubungi. Kapolda akan menyiapkan 

seribu anggota Brigade Mobil (Brimob). 

 Singkat kisah, berduyun-duyunlah warga Makassar, 

prajurit TNI, dan anggota Brimob turun ke beberapa  kanal. Itu 

pada Oktober 2008. Hasilnya, kanal di Makassar bersih dari 

sampah. Kegiatan Bersih Kanal dinilai sukses. Sahar gembira. 

 Lalu, Sahar dan rekan-rekan jurnalisnya mendirikan 

sebuah forum. Sebagai wadah melanjutkan kiprah 

di bidang lingkungan. Yayasan Peduli Negeri (YPN) 

namanya. Lewat YPN, Sahar dan kawan-kawan memantau 

perkembangan pengelolaan sampah di Makassar.

Ketimbang Bicara, Warga Lebih Butuh Uang

 Enam bulan usai kegiatan Bersih Kanal. Ternyata, 

kebiasaan warga membuang sampah ke kanal kembali 

berulang. Kanal yang sudah bersih, jadi kumuh lagi. Sampah 

berserakan. “Sedih sekali rasanya saya menyaksikan kanal-

kanal di Makassar balik kotor lagi,” kata Sahar mengenang.

 Dari situlah dia sadar. Mengelola sampah ternyata tak 

mudah. Tak cukup dengan sekali kegiatan, lantas selesai. 

Sahar tergerak. Dia ingin menggugah kesadaran warga . 

Untuk mengubah perilaku hidup. Utamanya soal sampah.

 Sahar tak mau capek sendirian. Dia ajak beberapa  

mahasiswa di Makassar untuk jadi motivator lingkungan. 

Sahar berhasil mengumpulkan sepuluh mahasiswa. Dia 

beri pelatihan. Setelah sepuluh motivator ini memahami 

soal pengelolaan sampah, barulah dia lepas ke warga . 

Sahar menugaskan para mahasiswa untuk memengaruhi 

tokoh warga . Para tokoh ini lalu dijadikan fasilitator. 

Tugasnya merekrut 50 orang kader lingkungan di daerah 

mereka tinggal. 

 Sahar lalu menyadari, mengubah perilaku warga  

butuh sosialisasi terus-menerus. Dan, itu tak gampang. 

Pernah suatu saat  dia masuk ke sebuah gang sempit 

di Makassar. Daerah kumuh dan banyak preman. 

Sebelumnya, seorang kawan mengingatkan Sahar agar 

tidak ke daerah itu. Tapi, Sahar tak hirau. Dia berpikir, 

sebagai jurnalis tak pernah gentar masuk ke daerah 

konflik. “Masak saya ndak berani masuk ke daerah yang 

banyak preman dan orang mabuk,” ujar Sahar terkekeh. 

 Bercuap-cuaplah Sahar tentang pentingnya warga 

mengelola sampah. Tapi, nada miring yang dia peroleh. 

Warga bilang, mereka tak perlu orang yang banyak bicara. 

Yang mereka butuhkan adalah uang. 

 Sahar sedih. Tapi, mau bagaimana lagi. Dia menyadari, 

warga tak sepenuhnya salah. Selama ini, mereka lebih 

sering mendapatkan bantuan berupa uang. Ketimbang 

edukasi berupa penyadaran tentang pentingnya menjaga 

kebersihan lingkungan. 

Eksperimen Tengah Malam

 Sahar tak patah semangat. Dia tetap menjalankan 

misinya: menyadarkan warga agar mau mengelola sampah 

secara mandiri. Pelan-pelan, warga di banyak daerah 

mulai sadar. Orang yang tadi pernah memintanya tak 

usah banyak cakap, akhirnya malah menjadi penggerak 

utama pengelolaan sampah di wilayahnya. 

 Pernah suatu saat , Sahar sengaja bereksperimen. 

Dia menjanjikan membawa tanah dan kompos dari TPA 

ke sebuah wilayah. Tapi, waktunya tengah malam. Dia 

ingin tahu, adakah warga yang bersedia menunggunya 

di tengah malam buta. Eh, ternyata ada. beberapa  warga 

menanti Sahar tepat di depan gang wilayah mereka. 

“Saya sempat mau menangis. Yang saya bawa kan bukan 

sembako, melainkan tanah dan pupuk. Tapi, warga tetap 

menunggu saya tiba,” ucap Sahar. 

 Sahar dan YPN mengajak warga memilah sampah. 

Organik dijadikan kompos. Sampah nonorganik 

dikumpulkan di sebuah tempat. Lalu diangkut ke TPA. 

Memang, saat  itu, Sahar belum mengenal konsep bank 

sampah. 

 Sampailah pada 2011. Sahar ikut kegiatan rapat 

koordinasi bank sampah di Bantul, Yogyakarta. Dia pun 

berjumpa dengan pencetus gagasan bank sampah, 

Bambang Suwerda. Sahar belajar. Langsung dari suhu 

bank sampah.

 Tiba di Makassar, Sahar kumpulkan beberapa  cikal 

bakal bank sampah yang sudah ada di Makassar. Dia ajak 

juga para pengepul dan pelapak sampah. Tercapailah 

kesepakatan. Pengepul dan pelapak bersedia membeli 

sampah di bank sampah. 

Anak Lorong Mengurus Sampah

 Enam bulan kemudian mulai muncul masalah. Banyak 

bank sampah mengeluh. Pengepul baru datang membeli 

sampah setiap tiga pekan. Sampah menumpuk. Juga ada 

selisih timbangan antara di bank sampah dan pengepul. 

Pun, tidak semua jenis sampah dibeli pengepul. Sahar tak 

bisa intervensi. Dia sadar, pengepul orientasinya bisnis. 

Sahar pun berpikir keras. Dibacanya berbagai literatur 

tentang pengelolaan sampah. Sampailah Sahar pada 

sebuah kesimpulan: pemerintah harus hadir. 

 Bersama rekan-rekannya di YPN, Sahar lalu menggodok 

sebuah konsep. Setelah rampung, dia ajak pengurus bank 

sampah menemui Walikota Makassar, Mohammad Ramdhan 

Pomanto. Dia bilang ke pengurus bank sampah, bicaralah 

yang bisa menyentuh sisi kemanusiaan sang walikota. 

 Singkat kisah, walikota paham. Bahwa pemerintah kota 

Makassar harus hadir, menyokong pengelolaan sampah. 

Sahar pun menyodorkan konsep skema bank sampah 

yang berada di bawah Pemkot Makassar. Bentuknya 

berupa Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Walikota 

sepakat. Didapatlah nama Bank Sampah Tangkasarong. 

Tangkasarong singkatan dari “tabungan bank sampah 

anak lorong”. “Cikal bakal bank sampah ini kebanyakan 

memang berasal dari lorong-lorong yang ada di daerah 

pelabuhan,” kata Sahar, yang juga menjadi Ketua Umum 

Asosdiasi Bank Sampah negara kita  (ASOBSI). 

 Pada 2015, keluar peraturan walikota Makassar tentang 

UPTD pengelolaan daur ulang sampah. Dengan peraturan 

itu, pemkot Makassar-lah yang akan membeli sampah 

warga di bank sampah unit. Dananya disalurkan melalui 

Bank Sampah Pusat Makassar. 

 Sahar menilai, sudah sewajarnya pemerintah daerah 

memberikan bantuan anggaran kepada bank sampah. 

Prinsipnya sederhana. Dengan bank sampah, jumlah 

timbulan sampah di warga  akan berkurang. 

Ada prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) di situ. Artinya, 

biaya operasional yang dikeluarkan pemerintah untuk 

mengelola sampah ikut berkurang. 

 Di Makasasar, kata Sahar, untuk mengangkut sampah 

ke TPA membutuhkan biaya 180 ribu rupiah per ton. 

SETOR. Nasabah Bank Sampah 

Makassar yang sudah berusia 

lanjut. Tetap semangat dan peduli 

menyetor sampah ke bank sampah.

Pada 2019, warga  Makassar menghasilkan sampah 

lebih dari seribu ton per hari. Katakanlah sampah per hari 

seribu ton. Total biaya untuk mengangkut sampah per 

hari sebesar 180 juta rupiah per hari. Setahun mencapai 65 

miliar rupiah. 

 Pada 2019, Pemkot Makassar mengeluarkan anggaran 

sebesar 1,7 miliar rupiah untuk membeli sampah warga. 

Pemkot Makassar menyalurkan anggaran pembelian 

sampah ini melalui Bank Sampah Makassar. Keberadaan 

bank sampah di Makassar kini bisa mengurangi sekitar 

lima persen sampah yang dibuang ke TPA Antang. 

 Sahar kini bisa sumringah. Capeknya terbayar 

lunas. Geliat bank sampah di Makassar sudah luar biasa. 

Tercatat, ada lebih dari 800 bank sampah di seantero 

Makassar. Kesadaran warga Makassar akan pentingnya 

bank sampah juga kian meningkat. Salah satu warga, 

Hadriah, merasakan betul manfaat bank sampah. Dia 

adalah pengurus Bank Sampah Unit Anugrah. Letaknya di 

sebuah komplek perumahan di Makassar.

 Sosialisasi pentingnya 

bank sampah acap digelar 

pada saat pelaksanaan 

kegiatan pos pelayanan 

terpadu (Posyandu) di 

lokasi perumahan Hadriah 

bermukim. Perempuan 

berusia kepala enam ini 

masih enerjik. Hadriah 

menjadi Ketua RT di 

lingkungannya bermukim. 

Pun, Hadriah masih 

bertugas di rumah jabatan 

Gubernur Sulawesi 

Selatan. “Selain sampah 

di komplek perumahan, saya juga biasa memungut 

sampah – biasanya berupa kertas dan kardus – di rumah 

gubernur,” ujarnya. Sepekan sekali, Hadriah menyetorkan 

sendiri sampah dari Bank Sampah Unit Anugrah ke Bank 

Sampah Pusat Makassar. 

Sekadar Syarat Adipura

 Geliat bank sampah di Sulawesi Selatan juga sudah 

merambah ke banyak wilayah. Tak hanya di Makassar. 

Sahar dan YPN banyak berperan dalam perintisannya. 

Salah satunya adalah Bank Sampah Induk Turikale di 

Kabupaten Maros. 

 BSI Turikale berdiri sejak 2010. Namun, kala itu 

keberadaan BSI Turikale hanya sebatas persyaratan untuk 

mendapatkan Adipura. Sejak 2015, konsep bank sampah 

mulai diperbaharui. Tidak lagi sekadar syarat memperoleh 

Adipura. “Kami perlu bank sampah agar Kabupaten Maros 

selalu terjaga kebersihannya. Tidak cuma saat ada inspeksi 

menjelang Adipura saja,” kata Hasrullah, Direktur BSI 

Turikale. 

RAJIN. Petugas Bank Sampah 

Turikale, Kabupaten Maros, 

Sulawesi Selatan, tengah 

memilah sampah di gudang.

 BSI Turikale berbentuk koperasi. Berbeda dengan Bank 

Sampah Pusat Makassar yang berbentuk UPTD. Namun, 

BSI Turikale juga mendapatkan perhadian cukup besar 

dari Pemkab Maros. Salah satunya berupa penyediaan 

lahan kantor dan gudang sampah. 

 Kini, BSI Turikale mempunyai lebih dari 500 nasabah. 

Terdiri dari perkantoran, sekolah, dan perorangan. Dalam 

sehari, BSI Turikale bisa mengelola sampah mencapai dua 

ton. Omset BSI Turikale rata-rata 50 juta rupiah per bulan. 

“Ada 15 karyawan. Kisaran gaji 1,5 juta sampai 2,5 juta rupiah 

per bulan,” tutur Irawady, pengurus BSI Turikale. 

 Bank sampah juga sudah menjadi bagian penting 

bagi warga Kabupaten Luwu Timur (Lutim). Daerah 

ini berjarak lebih dari 500 kilometer dari Makassar. 

Berkendaraan mobil, bisa ditempuh selama delapan 

sampai sepuluh jam perjalanan. Di sana ada Bank 

Sampah Induk Luwu Timur. Bank Sampah Luwu Timur 

berdiri sejak Februari 2015. Pada 2017, berubah menjadi 

bank sampah induk.

 Sejak 2017 sampai 2019, BSI Luwu Timur berhasil 

meraup omset lebih dari 200 juta rupiah. Nasabah 

mencapai 71 bank sampah cabang dan bank sampah 

unit. BSI Luwu Timur memang tidak menerima nasabah 

perseorangan. Hanya bank sampah unit yang nasabahnya 

perseorangan. Bank sampah unit ini didirikan di 

setiap desa di Kabupaten Luwu Timur. Total nasabah 

perseorangan di bank sampah unit kini mencapai hampir 

lima ribu orang. 

 Perkembangan bank sampah di Kabupaten Luwu 

Timur cukup menggembirakan. Total kini ada 95 bank 

sampah di Luwu Timur. Dari 95 bank sampah itu , 72 

bank sampah masih aktif bergiat sampai kini. Sayangnya, 

pengurangan sampah yang bisa dilakukan bank sampah 

baru sebesar dua persen. 

 Perhatian pemerintah Kabupaten Luwu Timur ikut 

mendorong tumbuhnya kepedulian dan kesadaran warga. 

Salah satu wujud perhatian itu adalah mengeluarkan 

surat edaran kewajiban bagi seluruh aparat sipil negara 

(ASN) di Kabupaten Luwu Timur menjadi nasabah bank 

sampah. “Surat edaran ini dikeluarkan Bupati Luwu 

Timur pada 2017 lalu,” ujar Abshar Abdur Razak, Direktur 

BSI Luwu Timur. 

 Geliat bank sampah di beberapa wilayah di Sulawesi 

Selatan kini memang kian terasa. Jamak terlihat, truk 

sampah masuk ke lahan bank sampah. Juga, truk milik 

pelapak yang akan membeli sampah. Seperti yang terjadi 

pada sebuah pagi jelang siang di Bank Sampah Makassar. 

Semua demi mengurangi timbulan sampah. Semua demi 

lingkungan yang lebih sehat dan asri. 


Hari menjelang siang. Matahari lumayan terik. Sebuah mobil bak terbuka berwarna hitam baru saja keluar dari pekarangan bangunan di Jalan 

Merdeka, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat. 

Bak mobil berisi tumpukan sampah kertas dan plastik. 

Semua sudah dikemas lumayan rapi. Sementara, di 

dekat tumpukan sampah, seorang lelaki berkaos singlet, 

terlihat bersemangat membereskan serakan sampah. 

Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Lelaki itu bernama 

Hermansyah. Dia adalah Direktur Bank Sampah Induk 

(BSI) Rumah Harum. Sejak 2013, Hermansyah sudah 

bergelut dengan urusan sampah di Kota Depok. 

 BSI Rumah Harum awalnya menempati sebidang 

lahan sewaan di Kecamatan Cilodong. Lalu, pada 2017, 

Pemerintah Kota Depok meminjamkan lahan seluas 400 

meter persegi di Jalan Merdeka. “Sejak itulah kami pindah 

ke sini,” kata Hermansyah. 

NOL. Hermansyah dibantu 

istrinya mengelola BSI Rumah 

Harum Depok. Mereka 

memulai bank sampah dari 

nol pengetahuan tentang 

sampah.

 Kepindahan BSI Rumah Harum dari Cilodong ke 

Sukmajaya, ternyata membawa imbas positif. Banyak 

bank sampah unit di Kota Depok yang mendaftar 

menjadi nasabah BSI Rumah Harum. Pada 2017 itu, BSI 

Rumah Harum setidaknya punya 300 nasabah bank 

sampah unit. Wajar saja, sebab saat  itu BSI Rumah 

Harum adalah satu-satunya bank sampah induk di Kota 

Depok. 

 BSI Rumah Harum keteteran. Maklum, lahan terbatas. 

Sementara, nasabah bank sampah unit membengkak. 

Dalam sehari, BSI Rumah Harum bisa menerima sampai 

dua ton sampah. Akibatnya, sampah menumpuk. Empat 

belas orang karyawan BSI Rumah Harum kewalahan. 

Namun, BSI Rumah Harum sudah berkomitmen kepada 

nasabah bank sampah unit. Berapa pun banyaknya 

sampah di bank sampah unit, BSI Rumah Harum tetap akan 

menimbang dan mengangkutnya ke gudang sampah. 

Begitulah cara BSI Rumah Harum untuk membuat bank 

sampah unit di Kota Depok tumbuh dan berkembang.

PILAH. Petugas BSI Rumah 

Harum Depok sedang 

memilah sampah.

 usaha  itu memang menampakkan hasil. Bank sampah 

unit bertumbuhan di Kota Depok. Tapi, Hermansyah dan 

pengurus BSI Rumah Harum kelabakan. Untunglah, kondisi 

itu hanya berlangsung setahun. Sejak 2018, muncullah 

beberapa bank sampah unit di Kota Depok. Nasabah 

bank sampah unit di BSI Rumah Harum banyak pula yang 

pindah menjadi nasabah BSI lain yang baru berdiri. 

dibandingkan  Hanya Menjadi Sarang Kobra

 Bagi Hermansyah, berkurangnya nasabah bank 

sampah unit di BSI Rumah Harum ibarat dua sisi mata 

uang. Pada satu sisi, BSI Rumah Harum akan kehilangan 

omset sampah. Penghasilan niscaya berkurang. 

Akibatnya, Hermansyah harus mengurangi karyawan. 

Sejak 2018, karyawan BSI Rumah Harum hanya tersisa 

lima orang. 

 Persoalan karyawan bank sampah ini juga cukup unik 

dan gampang-gampang susah. “Dibilang formal, tapi 

kenyataannya kan nggak begitu. Dibilang tidak formal, 

tapi mereka digaji. Juga ada masalah attitude karyawan 

yang kadang susah saya kontrol,” kata Hermansyah. 

 Namun, pada sisi lain, berkurangnya nasabah BSI 

Rumah Harum membuat Hermansyah bisa bernafas 

sedikit lega. “Saya bisa punya waktu berpikir, mau 

diapakan BSI Rumah Harum ini. Bolehlah ini dibilang 

sedikit mundur. Tapi, mundur untuk lebih maju,” tuturnya. 

Salah satu yang dia lakukan adalah memperbaiki sistem 

dan tata kelola. 

pengelolaannya bukan lagi pada produksi pupuk kompos 

dan maggot. Sampah organik akan diolah menjadi makanan 

hewan ternak. Untuk itu, Hermansyah membagi sampah 

organik menjadi tiga jenis: mentah segar, matang segar, dan 

basi. Untuk menyokong ide ini, Hermansyah menjajaki kerja 

sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB). 

 Inovasi sampah organik dijadikan makanan 

hewan ternak tentu saja butuh lahan. Karenanya, BSI 

Rumah Harum sudah menyambangi banyak komplek 

perumahan di Kota Depok yang memiliki “lahan tidur”. 

Kata Hermansyah, “dibandingkan  lahannya hanya jadi sarang 

ular kobra. Hehehe....”. 

 Hermansyah amat yakin terobosan pengelolaan 

sampah organik bekerja sama dengan komplek 

perumahan ini akan berhasil. Apalagi, dalam konsepnya, 

petugas BSI Rumah Harum akan mendampingi warga 

komplek perumahan yang mau bekerja sama. Bentuknya 

berupa pelatihan mengolah sampah organik menjadi 

makanan hewan ternak. 

 Selain hewan ternak, BSI Rumah Harum juga akan 

mendorong warga komplek perumahan menanam 

sayuran di pekarangan rumah. Jika panen, BSI Rumah 

Harum yang akan membeli sayuran itu . Pun, 

urusan benih dan pupuk, akan ditanggung BSI Rumah 

Harum. 

Tukar Jelantah dengan Minyak Goreng

 Kepala Hermansyah agaknya memang penuh dengan 

segudang ide. Yang benar-benar sudah terwujud di BSI 

Rumah Harum sekarang adalah sedekah minyak jelantah. 

Program ini sudah berjalan sejak awal 2019. BSI Rumah 

Harum bekerja sama dengan lembaga zakat yang ada 

di Kota Depok. Lembaga zakat inilah yang menyediakan 

wadah penampungan minyak jelantah. 

 Warga yang menyetorkan 

lima liter minyak jelantah 

ke BSI Rumah Harum, akan 

mendapatkan satu liter minyak 

goreng kemasan. Bukan 

minyak goreng curah. BSI 

Rumah Harum akan mengolah 

jelantah menjadi sabun. Para 

perempuan ibu rumah tangga 

di sekitar lokasi BSI Rumah 

Harum yang mengerjakannya. 

Namun, pengolahan jelantah 

menjadi sabun baru mencapai 

sepuluh persen. “Pemasaran 

sabun dari minyak jelantah ini 

yang masih cukup susah,” tutur 

Hermansyah. Serapan terbesar 

dari jelantah setoran para nasabah ke BSI Rumah Harum 

adalah untuk bahan baku biodiesel. Sebuah perusahaan 

produsen biodiesel siap menyerap jelantah dari BSI Rumah 

Harum.

 BSI Rumah Harum juga punya program Rumah Kreasi 

Daur Ulang (RKDU). Mirip dengan pengolahan minyak 

jelantah menjadi sabun, RKDU ini juga menjadi wadah 

para ibu rumah tangga untuk berkreasi menghasilkan 

produk kerajinan dari sampah. Dulu, RKDU menyewa 

rumah di kawasan Kalibaru. Tapi, penyewaan rumah 

terpaksa disudahi lantaran keterbasan dana. Hermansyah 

menyimpan semua peralatan untuk memproduksi 

kerajinan di rumahnya. Jika ada kegiatan pelatihan, 

barulah alat-alat itu digunakan. 

 Satu program lain di BSI Rumah Harum adalah 

bank sampah keliling. Program ini bermula dari cukup 

banyaknya bank sampah unit yang tutup. Sementara, 

nasabahnya masih keukeuh memilah sampah. BSI Rumah 

Harum-lah yang akan menimbang dan menjemput 

sampah di satu titik lokasi yang sudah disepakati dengan 

bekas nasabah bank sampah unit. Satu unit mobil bak dan 

dua unit kendaraan roda tiga milik BSI Rumah Harum siap 

menyambangi warga. 

Menguntit Truk Sampah

 Begitulah Hermansyah. Lelaki yang tidak sampai 

menyelesaikan kuliahnya ini tak pernah lelah mencari 

berbagai terobosan. Terutama dalam hal memberdayakan 

warga  agar peduli dengan sampah. Soal 

pemberdayaan warga , agaknya memang sudah 

menjadi darah bagi Hermansyah. Maklum, dia pernah 

bekerja cukup lama di sebuah Lembaga Swadaya 

warga  (LSM) asing yang berlokasi di Aceh. 

 Ketertarikannya kepada bank sampah muncul karena 

dia melihat ada proses pemberdayaan warga  

dalam program bank sampah. Jadi, kecemplung-lah 

Hermansyah dengan urusan bank sampah. “Padahal, 

waktu itu saya sama sekali tidak mengerti urusan sampah. 

Apalagi mengelola bank sampah,” kata Hermansyah 

tergelak. 

 Dengan modal nekat, Hermansyah mendirikan bank 

sampah. Alhasil, selama enam bulan, sampah menumpuk 

di lokasi bank sampah yang didirikannya. Dia tak punya 

tempat bertanya. Tak kehilangan akal, Hermansyah lalu 

menguntit mobil truk pengangkut sampah. Dia ingin 

tahu, ke mana sampah itu dijual. Dari situlah, Hermansyah 

berkenalan dengan pelapak sampah. Dia bertanya soal 

sampah apa saja yang laku dijual dan berapa harganya. 

Pun, seperti apa pengemasan sampah yang diterima 

pelapak. 

 Tahu dan kenal pelapak, ternyata belum cukup bagi 

Hermansyah menguasai penuh urusan bank sampah. 

Dia harus pula berhadapan dengan warga sekitar lokasi 

bank sampah yang menolak keberadaan bank sampah. 

Akhirnya, Hermansyah meminta bantuan seseorang yang 

dia kenal di TPA Bantargebang. Urusan pun beres. “Tapi, 

uangnya pun beres dengan dia. Alias, kami sama sekali 

tidak mendapatkan bagian dari penjualan sampahnya,” 

ucap Hermansyah terkekeh. 

 Hermansyah tak menyerah. Apalagi dia menyadari, 

mengelola bank sampah lebih banyak unsur sosialnya. Dia 

juga meyakini, segala masalah bisa diselesaikan. Kuncinya 

komunikasi. Itulah yang diterapkannya saat harus 

membayar harga sampah ke bank sampah unit. Di masa 

awal dulu, ada pengurus bank sampah unit yang tak berani 

keluar rumah karena belum membayar harga sampah 

kepada nasabah. “Untuk bank sampah unit yang seperti 

itu, pembayarannya kami dahulukan,” ucap Hermansyah. 

 Kini, tentu saja Hermansyah tak lagi dipeningkan 

dengan urusan pembayaran sampah kepada para nasabah. 

Bahkan, dia berani memberikan harga tetap selama tiga 

bulan. Kepastian harga ini, menurut Hermansyah, amat 

diperlukan nasabah bank sampah unit. Padahal, harga 

sampah amat fluktuatif. Rupanya, pengalaman tujuh tahun 

mengelola bank sampah, membuat Hermansyah punya 

kiat agar bank sampah yang dia kelola tidak sampai tekor. 

 Omset BSI Rumah Harum sekarang bisa mencapai 

80 juta rupiah per bulan. Memang berkurang hampir 

separuh dari saat  BSI Rumah Harum masih memiliki 

300-an nasabah bank sampah unit. Tapi, pengeluaran pun 

saat  itu juga lumayan besar. Biaya total gaji karyawan 14 

orang tentu berbeda dengan lima orang. “Gaji tertinggi 

karyawan kami 125 ribu rupiah per hari, terendah 80 ribu 

rupiah per hari,” ujar Hermansyah. 

 BSI Rumah Harum kini 

menerima 40 jenis sampah. 

Mereka juga sudah menjalin 

kerja sama dengan produsen 

makanan dan minuman seperti 

Nutrifood dan Tetra Pak. Tapi, 

semua kemajuan BSI Rumah 

Harum belum membuat 

Hermansyah bisa berdiam diri. 

Masih cukup banyak gagasan 

yang ada di benaknya untuk 

membuat Kota Depok terbebas 

dari masalah sampah. 

Gunung Sampah 30 Meter

 Persoalan sampah di 

negara kita  memang sudah 

memasuki fase mencemaskan. Termasuk di Kota Depok. 

Dalam sehari, produksi sampah di Kota Depok mencapai 

1.500 ton. Sampah yang dibuang ke TPA Cipayung 

mencapai 870 ton per hari. Bank sampah bisa menjadi 

salah satu solusi mengurangi jumlah timbulan sampah 

yang dibuang ke TPA Cipayung. 

JENIS. Untuk memudahkan 

nasabah, dibuatkan poster 

besar jenis sampah yang 

diterima BSI Rumah Harum 

Depok.

 Pada 2019, angka pengurangannya memang masih 

relatif kecil. Hanya sekitar enam persen. Dari total produksi 

sampah sebesar 318 ribu ton per tahun, bank sampah 

hanya mampu menyerap sampah sebesar 20 ribu ton. 

Total jumlah bank sampah di Kota Depok sebanyak 315, 

dua di antaranya adalah bank sampah induk. 

 Namun, Kota Depok tak hanya mengandalkan bank 

sampah. Ada juga Unit Pengolahan Sampah (UPS). Jumlahnya 

31 unit. Sampah yang diolah di UPS berupa sampah organik. 

Salah satu UPS yang cukup besar di Kota Depok adalah UPS 

Merdeka 2. Lokasinya berdekatan dengan BSI Rumah Harum. 

UPS. Petugas UPS Merdeka 

2 Depok mengolah sampah 

organik. UPS menjadi salah 

satu solusi Pemkot Depok 

mengatasi persoalan sampah.

 Berdiri sejak 2006, UPS Merdeka 2 kini sanggup 

mengolah sampah organik mencapai tiga ton per hari. 

Ada dua sistem yang dipakai: open window dan maggot 

(black soldier fly). Sampah organik yang diolah melalui 

sistem open window akan menghasilkan pupuk kompos. 

Sedangkan maggot akan menghasilkan pakan ternak. 

 Heriyanto, koordinator UPS Merdeka 2, amat 

sumringah memperlihatkan proses pengolahan sampah 

organik oleh maggot. beberapa  bak pengembangbiakan 

maggot berderet di bagian belakang bangunan UPS. 

“Kami sering melakukan sosialisasi ke warga atau ke 

sekolah bagaimana cara mengolah sampah organik 

dengan maggot,” ujar Heriyanto. 

 Peran UPS di Kota Depok 

setali tiga uang dengan peran 

bank sampah. UPS sanggup 

mengolah sampah di Kota 

Depok sebesar 41 ribu ton 

per tahun. Secara persentase, 

pengolahan sampah oleh UPS 

mencapai 13 persen per tahun. 

Dua kali lipat dari yang diolah 

melalui bank sampah. 

 Keberadaan bank sampah 

dan UPS di Kota Depok, 

setidaknya mampu membuat 

gunungan sampah di TPA Cipayung tidak terus meninggi 

secara dahsyat. Memang, kondisi TPA Cipayung kini 

cukup memprihatinkan. Tinggi gunungan sampah sudah 

mencapai 30 meter. Sejatinya, sejak 2013, TPA Cipayung 

sudah kelebihan kapasitas daya tampung sampah. 

MENGGUNUNG. Tumpukan 

sampah di TPA Cipayung 

Depok. Ketinggiannya sudah 

mencapai lebih dari 30 meter.

 Kondisi TPA Cipayung memang mengkhawatirkan. 

Inilah yang membuat Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan 

Kebersihan (DLHK) Kota Depok, Ety Suryahati, tak henti 

mengimbau agar warga Depok mau memilah sampah 

sejak dari rumah. “Sampah yang sudah dipilah itu, bisa 

disetor ke bank sampah. Itu untuk sampah nonorganik,” 

kata Ety. Sementara, sampah organik bisa diolah sendiri 

oleh warga, atau disetor ke UPS. 

 Ety memang terus berusaha  menumbuhkan 

kesadaran warga Kota Depok dalam urusan pengelolaan 

sampah. Target menjadikan Kota Depok sebagai zero 

waste city, kini terus didengungkan. Ety menyadari, 

keberadaan bank sampah menjadi amat penting. “Kami 

akan optimalkan bank sampah. Begitu pun para kader 

bank sampah. Dari sampah, mereka bisa memproduksi 

barang bernilai jual. Dengan begitu, bisa meningkatkan 

ekonomi keluarga,” ujar mantan Sekda Kota Depok ini. 

 Optimalisasi keberadaan bank sampah itulah yang kini 

terus digeber. Salah satunya oleh BSI Rumah Harum. Jadi, 

tak tertutup kemungkinan, beberapa waktu ke depan, 

hilir mudik mobil bak mengangkut sampah dari sebuah 

bangunan di Jalan Merdeka Kota Depok, akan lebih kerap 

terlihat.

Dua orang pria bertopi terlihat sibuk. Mereka keluar masuk ke sebuah bangunan serupa gudang. Ada saja yang keduanya angkut. Lalu, memasukkannya 

ke dalam bak sebuah kendaraan roda tiga yang terparkir 

di halaman. Keringat membasahi wajah keduanya, pada 

sebuah siang yang lumayan terik di Kota Surabaya, Jawa 

Timur. 

 Halaman yang tak seberapa luas di sebuah bangunan 

di Jalan Ngagel Timur Surabaya pada siang itu cukup 

ramai. Itulah halaman Bank Sampah Induk (BSI) Surabaya. 

Beberapa karyawan BSI Surabaya terlihat sedang sibuk 

bekerja. Selain mengangkut sampah ke dalam bak 

kendaraan roda tiga, ada pula beberapa orang perempuan 

yang tengah memilah sampah. 

ANGKUT. Karyawan BSI 

Surabaya memasukkan 

sampah ke dalam kendaraan 

roda tiga. BSI Surabaya 

berkembang pesat.

 BSI Surabaya sebenarnya sudah berdiri sejak 2010 

silam. Tapi, saat  itu namanya masih Bank Sampah Bina 

Mandiri (BSBM). Pada 2017, Kementerian Lingkungan 

Hidup dan Kehutanan menobatkan BSBM sebagai bank 

sampah terbaik di seluruh negara kita . Atas prestasi itulah, 

Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya mengubah nama 

BSBM menjadi Bank Sampah Induk Surabaya. 

 Kendati baru pada 2017 berubah wujud menjadi bank 

sampah induk, sejatinya sejak awal berdiri, BSI Surabaya 

sudah menerapkan konsep sebagai BSI. Petugas BSBM 

mengambil sampah dari bank sampah unit yang ada di 

tingkat RT atau RW di Kota Surabaya. Pun, “Sejak awal 

berdiri, kami sudah memotivasi warga di banyak tempat 

di Surabaya untuk membuat bank sampah unit,” kata 

Nurul Chasanah, pengurus BSIS. 

GUDANG. Tumpukan sampah 

di gudang sampah BSI 

Surabaya. Petugas BSIS acap 

memotivasi warga untuk 

menjadi nasabah. 

 Tak cuma mengajak warga mendirikan bank sampah 

unit. BSI Surabaya – saat  masih bernama BSBM – juga 

mengajak banyak bank sampah unit menjual sampahnya 

ke pabrik-pabrik daur ulang sampah yang ada di sekitar 

Surabaya. 

Iming-iming Uang sebagai Pemikat 

 Memang tak mudah mengajak warga mendirikan bank 

sampah. Juga untuk meminta warga memilah sampah 

sejak dari rumah. Tak jarang petugas BSBM mendapatkan 

penolakan dari warga. Alasannya nyaris serupa: memilah 

sampah di rumah malah membuat rumah jadi kotor. 

“Banyak yang merasa jijik. Mereka ndak mau dianggap 

kayak pemulung sampah karena merasa itu pekerjaan 

yang memalukan,” ujar Nurul. Untuk mengajak warga 

mendirikan bank sampah, BSBM menyampaikan filosofi 

di balik sampah ada uang. Iming-iming uang inilah yang 

akhirnya sanggup mengajak warga mulai peduli dengan 

urusan sampah. 


 Lalu, pada 2017 – saat  sudah berubah nama menjadi 

BSI Surabaya – walikota Surabaya, Tri Rismaharini, mulai 

gencar mengajak warganya memilah sampah sejak 

dari rumah. Momentum ini akhirnya secara perlahan 

menggugah kesadaran warga Surabaya dalam urusan 

pengelolaan sampah. Bahkan, sejak itu, banyak pula warga 

Surabaya yang mulai menerapkan gaya hidup zero waste. 

BSI Surabaya pun terbantu dengan kondisi ini. Banyak 

warga yang akhirnya mendirikan bank sampah unit dan 

menjadi nasabah BSI Surabaya. “Malah, banyak juga anak 

muda yang menyetorkan langsung sampahnya ke sini, jika 

di lingkungannya ndak ada bank sampah unit,” tutur Nurul.

MILENIAL. Sebagian nasabah 

BSI Surabaya adalah para 

remaja. Ini membuktikan 

mulai tumbuhnya tingkat 

kesadaran warga milenial 

Surabay akan pentingnya 

mengelola sampah.

 Warga memang sudah banyak yang sadar pentingnya 

mendirikan bank sampah unit. Namun, kendala tetap saja 

mengadang. Salah satunya adalah mencari pengurus 

atau pengelola bank sampah unit. Tak banyak warga yang 

bersedia menjadi pengurus. Untuk menyiasati hal itu, 

BSI Surabaya punya strategi jitu. Mereka menggandeng 

mahasiswa menjadi pengurus. Banyak mahasiswa yang 

bersedia karena menjadi pengurus bank sampah unit 

adalah salah satu bentuk pengabdian warga . 

 Bank sampah unit sudah berdiri. Tapi, belum semua 

warga di lokasi bank sampah unit itu mau memilah 

sampah sejak dari rumah. Mereka tidak mau ribet. Alhasil, 



pengelola bank sampah unitlah yang ketiban pekerjaan 

memilah. Agar warga bersedia memilah sampah sejak 

dari rumah, pengurus BSI Surabaya meminta pengelola 

bank sampah unit memakai  harga sebagai 

“senjata”. Sampah nonorganik yang masih tercampur, 

dihargai lebih rendah ketimbang yang sudah dipilah. 

Misalnya, dalam satu kantong sampah tercampur unsur 

dupleks, gelas bekas minuman kemasan, dan botol. 

Bank sampah unit akan menghargai sampah itu  

seharga dupleks. Sebab, “Dupleks itu harga paling 

murah,” kata Nurul. 

Keteteran Memberikan Upah yang Layak

 BSI Surabaya kini memiliki lebih dari 300 nasabah bank 

sampah unit. Sedangkan nasabah individu mencapai 12 

ribu orang. Memang, tak semua nasabah itu  masih 

aktif hingga sekarang. Nasabah bank sampah unit yang 

aktif sebanyak 220. Nasabah individu aktif mencapai enam 

ribu orang.

 Dengan jumlah 

nasabah sebanyak itu, 

omset BSI Surabaya 

bisa mencapai 100 juta 

rupiah per bulan. BSI 

Surabaya memperoleh 

omset itu  dari 

hasil menjual sampah 

ke pelapak yang bekerja 

sama dengan BSI 

Surabaya. Pelapaknya 

antara lain berlokasi di 

Mojokerto dan Krian. 

 Dari omset sekitar 

100 juta rupiah per bulan 

SALDO. Buku tabungan BSI Surabaya 

ini menjadi salah satu bukti kepedulian 

warga Surabaya mengelola sampah di 

lingkungannya.



itu, BSI Surabaya “mengutip” sebesar 20 persen sampai 30 

persen. “Selisih harga itulah yang kami gunakan sebagai 

biaya operasional,” ucap Nurul. Salah satu komponen 

biaya operasional BSIS adalah membayar gaji 14 orang 

karyawan.

 Namun, Nurul mengakui, BSI Surabaya cukup 

keteteran untuk memberikan upah yang layak bagi 

karyawannya. Dana operasional yang didapat BSI 

Surabaya dari selisih harga sampah yang dijual ke pelapak, 

tak cuma digunakan untuk membayar gaji karyawan dan 

operasional kendaraan. BSI Surabaya ternyata juga harus 

membayar sewa lahan dan gudang yang mereka tempati 

sekarang. Padahal, sebagian besar karyawan BSI Surabaya 

amat menggantungkan hidup mereka dari pekerjaan di 

BSI Surabaya. Terutama, “Karyawan di bagian sortir. SD 

saja mereka ndak selesai. Bisanya hanya ngurus sampah,” 

ujar Nurul. 

ANDALAN. BSI Surabaya 

benar-benar menjadi 

andalan karyawannya. 

Banyak karyawan yang 

tak tamat SD.

 Karena itu, BSI Surabaya sangat berharap pemerintah 

Kota Surabaya bisa memberikan dukungan. Salah satunya 

berupa lahan dan gudang. Jika BSI Surabaya tidak lagi 

harus membayar sewa lahan dan gudang, BSI Surabaya 

bisa mengalihkan dana penyewaan lahan menjadi 

tambahan upah karyawan. 

147


Batu Sandungan karena Bersaing

 BSI Surabaya kini memiliki tiga kendaraan, terdiri 

dari satu unit mobil bak dan dua unit kendaraan roda 

tiga. Semua kendaraan itu merupakan bantuan dari 

Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ketiga kendaran itulah 

yang setiap hari mengambil sampah dari seluruh nasabah 

bank sampah unit. Dalam sehari, petugas BSI Surabaya 

bisa mengangkut sampah dari enam lokasi di seluruh 

Kota Surabaya. 

SEMPIT. Lahan BSI Surabaya 

tak seberapa besar. Karung 

sampah terpaksa ditumpuk 

cukup tinggi.

 Hubungan baik BSI Surabaya dengan bank sampah 

unit ini memang menjadi modal utama mengembangkan 

bank sampah induk. Tapi, hubungan baik kadang menjadi 

batu sandungan dengan pengepul sampah di sekitar Kota 

Surabaya. BSI Surabaya dipandang sebagai saingan para 

pengepul. Padahal, BSI Surabaya memberikan kebebasan 

kepada bank sampah unit untuk menjual juga sampah 

mereka ke pengepul. “Kami ndak mau mengambil rezeki 

para pengepul,” kata Nurul. 

 Prinsip tidak mau mengambil rezeki para pengepul 

membuat beberapa nasabah bank sampah unit BSI 

Surabaya pernah menjual langsung sampah mereka ke 

pengepul. Tapi, itu tak bertahan lama. Akhirnya, bank 

sampah unit kembali menjual sampahnya ke BSI Surabaya. 

Alasan profesionalisme yang menjadi penyebabnya. Jika 

148


bank sampah unit menjual ke pengepul, sampah diambil 

secara tidak teratur. Belum lagi ihwal pembayaran yang 

sering tak lancar. Sementara, BSI Surabaya menerapkan 

sistem harga sampah yang relatif tak berubah. Evaluasi 

harga sampah memang dilakukan. Tapi, dalam setahun, 

maksimal hanya tiga kali BSI Surabaya melakukan 

penyesuaian harga sampah. 

 Dengan menerapkan harga tetap kepada nasabah, 

tak jarang BSI Surabaya harus nombok. Sebab, harga jual 

sampah ke pelapak biasanya sangat fluktuatif. Jika harga 

jenis sampah tertentu di pelapak sedang anjlok, otomatis 

BSI Surabaya merugi. Namun, “Kami ndak masalah. Bank 

sampah kan juga punya fungsi sosial,” tutur Nurul. 

Bayar Listrik Pakai Sampah 

 BSI Surabaya kini memang hanya fokus kepada 

menjual sampah ke pelapak. Dulu, sebenarnya BSI 

Surabaya pernah mencoba membuat kerajinan daur 

ulang sampah. Mereka bahkan mempunyai mesin press 

untuk membuat sandal dari sampah daur ulang. Namun, 

usaha itu akhirnya terpaksa dihentikan. Penyebabnya 

mirip seperti kebanyakan bank sampah di daerah lain: 

susah memasarkan produk kerajinan dari daur ulang 

sampah. “Bikin kerajinan daur ulang sampah, tapi ndak 

bisa dijual, nanti malah hanya akan jadi sampah baru,” 

ujar Nurul. 

 BSI Surabaya kini juga punya inovasi pembayaran 

listrik melalui tabungan sampah. Banyak nasabah yang 

sudah memanfaatkan layanan ini. Salah satunya adalah 

Sucipto. Pria yang juga bekerja di BSI Surabaya sejak 2016 

ini, merasakan betul manfaat layanan pembayaran listrik di 

BSI Surabaya. “Biasanya saya membeli token listrik sebesar 

lima puluh ribu rupiah dari saldo saya di BSI Surabaya,” 

ujarnya.

149


LISTRIK. Tak sedikit nasabah 

BSI Surabaya memanfaatkan 

layanan pembayaran listrik 

atau pembelian token listrik 

di BSI Surabaya.

 Nasabah yang juga pernah melakukan pembayaran 

listrik di BSI Surabaya adalah Femy. Namun, ia cuma sekali 

memanfaatkan saldonya untuk membayar listrik. Femy 

adalah konsumen pasca bayar PLN. Tagihan listriknya 

bisa mencapai 500 ribu rupiah per bulan. “Pernah sekali 

bayar listrik di BSI Surabaya. Saldo tabungan sampah saya 

terkuras habis,” kata Femy terkekeh.

 Warga Kota Surabaya kini banyak yang merasakan 

manfaat kehadiran BSI Surabaya. Kesadaran yang terus 

tumbuh dalam hal pengelolaan sampah, membuat Kota 

Surabaya kian indah. Dan, BSI Surabaya punya peran 

penting dalam terus menjaga Kota Surabaya tetap sehat 

dan asri. 

150


151



BANK SAMPAH INDUK GESIT JAKARTA

GERAK LINCAH

SI GESIT

Empat srikandi tanpa gaji. Itulah para 

pengurus BSI Gesit, Jakarta. Hanya lantaran 

peduli terhadap persoalan sampah, keempat 

srikandi itu ikhlas. Kini, BSI Gesit terus 

berkembang dan bergerak semakin lincah.

152


Seorang perempuan paruh baya memasuki halaman sebuah bangunan. Kedua tangannya menenteng dua kantong plastik berukuran besar. Kantong plastik 

itu berisi beragam jenis sampah, di antaranya sampah 

plastik bekas bungkus produk makanan. Perempuan asli 

Minang itu bernama Syamsuriati. Dia adalah salah seorang 

pengurus Bank Sampah Induk (BSI) Gesit. Bank sampah 

ini berlokasi di kawasan Menteng Pulo, Jakarta Selatan.

 Ibu Syam bukan lagi iseng. Sesekali dia memang 

sengaja menyambangi beberapa warung yang terletak di 

sekitar BSI Gesit. Yang dilakukan ibu Syam adalah bentuk 

kecil edukasi pengelolaan sampah kepada warga sekitar 

BSI Gesit. Sebagai salah seorang pengurus BSI Gesit, 

ibu Syam merasa punya tanggung jawab sosial untuk 

menularkan virus kebaikan kepada warga. “Tadi saya 

membeli sesuatu ke warung. Lalu, saya tanya, ada sampah 

nggak. Dan, inilah sampah plastik yang saya ambil dari 

warung tempat saya belanja,” kata ibu Syam. 

PERTAMA. BSI Gesit adalah 

bank sampah induk pertama 

di Provinsi DKI Jakarta. Bank 

sampah ini bermula dari 

sebuah bank sampah unit di 

Rawajati.

 BSI Gesit berdiri pada 2017. Namun sejatinya, cikal 

bakal BSI Gesit sudah ada sejak 2008. Itulah Bank 

Sampah Rawajati. Lokasinya di dekat Taman Makam 

Pahlawan Kalibata. Adalah Ninik Nuryanto, yang pertama 

kali memelopori pembentukan Bank Sampah Rawajati. 

Sebagai warga Rawajati, Ninik merasa harus melakukan 

153


sesuatu terhadap sampah yang timbul di lingkungannya. 

Serakan sampah sudah mulai mengganggu. Salah satunya 

adalah sampah organik. Sebagian besar sampah organik 

berasal dari sisa masakan dan pekerjaan dapur. Ninik lalu 

mengolah sampah organik ini menjadi kompos. Dia ajak 

juga tetangganya. Perlahan, persoalan sampah organik 

bisa teratasi. 

 Lalu, bagaimana dengan sampah nonorganik? 

Ninik putar otak. Akhirnya, ketemulah ide membuat 

tabungan sampah kering. Disingkat TASAKE. “Lalu, 

saya adakan sosialisasi kepada warga agar ikut Tasake. 

Akhirnya, lumayan banyak warga yang mau terlibat,” 

ujar Ninik. Butuh waktu hampir tiga tahun bagi Ninik 

bergelut membesarkan Tasake. Pada akhir 2010, Ninik 

pun mengubah nama Tasake Rawajati menjadi Bank 

Sampah Rawajati. Pada 11 Januari 2011, Nyonya Fauzi Bowo, 

istri Gubernur DKI Jakarta saat  itu, meresmikan Bank 

Sampah Rawajati. 

TASAKE. Bermula dari 

Tabungan Sampah Kering 

(Tasake), pada 2011 berdirilah 

Bank Sampah Rawajati, di 

Jakarta Selatan.

Janji Mengirim Satu Truk Sampah 

 Bank Sampah Rawajati menjadi bank sampah yang 

pertama kali berdiri di Jakarta. Ninik pun sumringah. 

Idenya mengelola sampah dalam bentuk tabungan 

sampah kering dilirik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 

Bahkan, “Pada saat peresmian, pak Foke sampai bercanda 

154


kepada saya. Dia bilang, nanti akan mengirimkan satu truk 

sampah ke Bank Sampah Rawajati,” tutur Ninik terkekeh, 

mengenang kejadian beberapa tahun lampau. 

 Bank Sampah Rawajati pun resmi beroperasi. 

Perhatian dari pemerintah daerah mulai mengalir. 

Suku Dinas Kebersihan Jakarta Selatan ikut membantu 

melakukan sosialisasi kepada warga  di Kota Jakarta 

Selatan untuk membuat bank sampah. Dalam waktu 

relatif singkat, puluhan bank sampah berdiri di Jakarta 

Selatan. 

 Ninik dan pengurus bank sampah se-Jakarta Selatan 

sepakat membentuk paguyuban bank sampah Jakarta 

Selatan. Setiap bulan, para pengurus bank sampah ini 

berkumpul. Suku Dinas Kebersihan Jakarta Selatan yang 

menjadi fasilitatornya. 

PERJUANGAN. Ninik Nuryanto berjuang 

tak kenal lelah mengampanyekan 

pentingnya bank sampah. Dia juga 

memelopori pendirian bank sampah 

induk.

 Salah satu tema obrolan dalam paguyuban bank 

sampah adalah soal harga jual sampah. Banyak pengurus 

bank sampah mengeluhkan ketidakseragaman harga 

jual ke pelapak-pelapak sampah. Harga jual sampah 

bank sampah memang amat tergantung kepada harga 

yang disodorkan para pelapak. “Ketidaksamaan harga 

ini membuat kami sulit mengukur tingkat keberhasilan 

sebuah bank sampah,” ucap Ninik. 

 Kondisi inilah yang lantas melahirkan gagasan perlunya 

155


bank sampah di Jakarta Selatan punya wadah khusus 

bernama bank sampah induk (BSI). Harapannya, BSI 

akan membeli sampah dari bank sampah dengan harga 

seragam. Dengan kehadiran BSI, para pengurus bank 

sampah meyakini bakal bisa lebih mudah menetapkan 

harga standar untuk semua jenis sampah. 

 Bersama pejabat di kantor Walikota Jakarta Selatan 

dan Suku Dinas Kebersihan Jakarta Selatan, para pengurus 

bank sampah mulai menggodok konsep pendirian 

BSI. Tapi, ternyata tak mudah mewujudkan gagasan 

mendirikan BSI. Salah satu kendalanya adalah ketersediaan 

lahan yang akan digunakan sebagai kantor dan gudang 

BSI. Pun, “Kami juga kepentok dengan kendaraan yang 

akan digunakan untuk mengangkut sampah dari bank 

sampah unit ke BSI,” kata Ninik. 

KONSEP. Harga beli sampah 

oleh pelapak tidak seragam. 

Pengurus bank sampah 

se-Jakarta Selatan pun 

membentuk bank sampah 

induk.

 Tapi, semangat mendirikan BSI tak pernah padam. 

Lalu, pada 2016, pengurus bank sampah unit di Jakarta 

Selatan mendapatkan informasi ihwal pengadaan mobil 

truk pengangkut sampah. Dinas Lingkungan Hidup DKI 

Jakarta memberikan satu unit mobil truk untuk satu 

kecamatan di seluruh Jakarta.

  Setelah masing-masing kecamatan mendapatkan 

mobil truk, para pengurus bank sampah unit di Jakarta 

Selatan pun bersepakat mendirikan bank sampah induk. 

156


Dan, pada 23 Februari 2017, BSI Gesit resmi berdiri. BSI 

Gesit mendapat jatah dua mobil truk. “Kami adalah bank 

sampah induk pertama di Jakarta,” kata Ninik.

Awal Yang Tak Begitu Indah

 BSI Gesit sudah resmi berdiri. Urusan kendaraan 

pengangkut sampah dari bank sampah unit bisa 

terselesaikan. Namun, BSI Gesit belum punya lahan. 

Semula, pengurus BSI Gesit ingin menjadikan Bank 

Sampah Rawajati sebagai lokasi BSI. Alasannya, bank 

sampah itulah yang pertama kali berdiri di Jakarta. Tapi, 

keinginan itu terhalang lantaran akses jalan menuju BS 

Rawajati terlalu sempit. Mobil truk tidak bisa masuk.

 Pengurus BSI Gesit mencari alternatif lain sebagai 

lokasi BSI. Ada satu bank sampah unit di wilayah 

Pesanggrahan yang bersedia menjadi lokasi BSI. Tapi, 

lokasi itu dinilai terlalu jauh dari bank sampah unit yang 

menjadi nasabah BSI. 

 Untunglah, ada bank sampah Marisa. Lokasinya di 

kawasan Menteng Pulo. Dan, kebetulan pula ada pengurus 

BSI Gesit yang berasal dari Bank Sampah Marisa. Sang 

pengurus inilah yang menawarkan lahan BS Marisa menajdi 

lokasi BSI Gesit. Walikota Jakarta Selatan juga mendukung 

digunakannya lahan BS Marisa sebagai lokasi BSI Gesit. 

SETOR. Petugas BSI Gesit 

sedang mencatat setoran 

sampah nasabah. Kerja 

keras pengurus BSI Gesit 

membuahkan hasil. Nasabah 

terus bertambah.

157


 Terpecahkannya masalah kendaraan pengangkut 

sampah dan lahan membuat urusan BSI Gesit menjadi 

lebih mudah. BSI Gesit tak susah mencari nasabah. Semua 

bank sampah unit yang tergabung di dalam paguyuban 

bersepakat menjadi nasabah BSI Gesit. Pada masa awal 

bediri, ada 60 bank sampah unit yang menjadi nasabah 

BSI Gesit. Kini, nasabahnya sudah bertumbuh lebih dari 

enam kali lipat. Tercatat sekarang ada 410 nasabah bank 

sampah unit, bank sampah instansi, dan bank sampah 

sekolah. 

DIPILAH. Tumpukan 

sampah yang sudah 

dipilah, tergeletak di 

hanggar BSI Gesit. Siap 

diangkut ke pelapak.

 Lantas, dimulailah sebuah pekerjaan besar Ninik dan 

rekan-rekannya. Pekerjaan itu bernama Bank Sampah 

Induk Gesit. Namun, memang tak ada yang selalu indah 

di awal sebuah perjuangan. Kondisi kumuh menjadi 

pemandangan yang harus didapati Ninik dan rekan-

rekannya. Tak ingin melihat lahan BSI Gesit berantakan, 

Ninik pun akhirnya terpaksa merogoh koceknya sendiri. 

beberapa  uang dia keluarkan untuk membersihkan 

lahan. “Bismillah. Namanya juga babat alas, tentu 

perlu dana,” tutur Ninik. Selain Ninik, Kepala Suku Dinas 

Kebersihan Jakarta Selatan pun ikut bantingan. Sang 

Kepala Sudin mengeluarkan uang pribadi membeli 

tegel lantai kantor.

158


Tak Terima Gaji Sepeser Pun

 Ninik memang menjadi pelopor berdirinya BSI Gesit. 

Namun, dia merelakan dirinya untuk tidak menjadi ketua 

BSI Gesit. Salah satu alasannya karena dia masih sering 

keliling negara kita , menjadi pembicara edukasi bank 

sampah. Tiga bulan sejak BSI Gesit berdiri, Ninik hanya 

memantau perkembangan BSI Gesit dari kejauhan. 

 Setelah Lebaran 2017, Ninik pun akhirnya diminta Suku 

Dinas Kebersihan Jakarta Selatan untuk terlibat dalam 

urusan keseharian BSI Gesit. saat  pertama menjadi 

Ketua, Ninik melihat ada mekanisme yang kurang pas di 

dalam operasional BSI Gesit. Bersama pengurus lainnya, 

Ninik pun pelan-pelan mulai membenahi beberapa 

kekurangan itu . 

 Untunglah, Suku Dinas Kebersihan Jakarta Selatan 

memberikan sokongan besar terhadap perkembangan 

BSI Gesit. Salah satunya adalah menyediakan tenaga 

pekerja yang melakukan pemilahan di BSI Gesit. Di masa 

awal, ada 10 orang dari Suku Dinas Kebersihan Jakarta 

Selatan yang bekerja di BSI Gesit. Tapi, kini hanya tersisa 

lima orang, terdiri dari tiga petugas pemilah sampah, dan 

dua orang pengemudi. 

 Selain kelima petugas dari Suku Dinas Kebersihan 

Jakarta Selatan itu , BSI Gesit hanya punya lima 

orang pengurus, plus satu orang tenaga administrasi. 

Kelima orang pengurus itu semuanya perempuan. Dan, 

semua pengurus sama sekali tidak mendapatkan gaji. 

“Itulah kenapa pengurusnya semua perempuan. Kalau 

pria, kan biasanya kepala keluarga. Biasanya berharap 

dapat gaji dari pekerjaan ini. Padahal, mengurus bank 

sampah ini kan lebih banyak kepada kerja sosial,” kata 

Ninik. 

 Pengurus memang tak mendapatkan gaji sepeser pun. 

Sedangkan kelima petugas dari Suku Dinas Kebersihan 

159


Jakarta Selatan digaji oleh Sudin Jakarta Selatan. Dan, 

seorang petugas administrasi digaji oleh BSI Gesit. 

SRIKANDI. Ellen de Wilde 

(kiri, Ketua BSI Gesit) dan 

Ninik Nuryanto (kanan, Wakil 

Ketua BSI Gesit). Lima orang 

pengurus BSI Gesit semuanya 

perempuan.

 Selain mendapatkan bantuan petugas dari Sudin 

Kebersihan Jakarta Selatan, BSI Gesit juga menerima 

bantuan berupa kendaraan operasional. Tapi, sama sekali 

tidak ada sokongan dalam bentuk dana operasional. 

Pengurus BSI Gesit terpaksa mencari sendiri dana 

operasional itu . 

 Salah satu pemasukan untuk biaya operasional 

adalah melalui penjualan sampah ke pelapak. BSI Gesit 

mengutip selisih harga jual sampah dengan pembelian 

sampah dari BSU sebesar 10 sampai 15 persen. Selisih itu, 

“Insya Allah cukup untuk biaya operasional. Bayar listrik, 

internet, bahan bakar kendaraan operasional, dan makan 

petugas kami,” ujar Ninik. BSI Gesit mengeluarkan dana 

operasinal sebesar 8 juta rupiah hingga 12 juta rupiah per 

bulan.

 BSI Gesit juga menerima bantuan dari pihak swasta. 

Setidaknya, ada perusahaan swasta yang sedari awal cukup 

getol membantu BSI Gesit: Danone dan Unilever. Danone 

pernah memberikan bantuan berupa uang sebesar 10 juta 

rupiah, laptop, dan mesin press sampah kertas. Sementara, 

Unilever – bersama Danone – membantu pengadaan 

hanggar sampah, pada awal 2018. 

160


HANGGAR. BSI Gesit 

menerima bantuan 

dari pihak swasta. 

Salah satunya berupa 

hanggar.

 

 Tak hanya pihak swasta yang membantu BSI Gesit. 

Bantuan juga berasal dari PLN, dalam bentuk dana 

corporate social responsibility (CSR). Wujud bantuannya 

berupa satu unit mobil bak, mesin press sampah kertas, 

laptop, dan televisi. “PLN juga merenovasi bangunan 

kantor kami, sehingga jadi lebih bagus seperti sekarang,” 

kata Ninik. 

Terbentur Standar dari Pabrik

 Sebagai bank sampah induk pertama di Jakarta, BSI 

pernah mencatatkan omset mencapai 150 juta rupiah 

per bulan. Itu terjadi pada 2018. Namun, pada 2019, omset 

turun menjadi rata-rata 80 juta rupiah per bulan. Salah 

satu penyebabnya, banyak BSU yang langsung menjual 

sampah ke pelapak, untuk mendapatkan harga jual yang 

lebih tinggi. 

 BSI Gesit kini menjual sampah ke vendor besar yang 

berlokasi di sekitar pabrik pengolahan sampah. Semula, 

BSI Gesit memang berencana menjual langsung sampah 

ke pabrik. Namun, rencana ini tak berjalan lantaran sudah 

ada vendor yang bekerja sama dengan pabrik. Jadi, “Kami 

terpaksa menjual sampah ke vendor-vendor itu,” tutur 

Ellen de Wilde, Ketua BSI Gesit. 

 Pabrik pengolahan sampah ternyata sudah 

mempunyai standar sampah yang bisa mereka beli. Antara 

161


lain, ada jenis sampah yang harus digiling terlebih dulu. 

Atau, pabrik membeli sampah dengan jumlah minimal 

tertentu. BSI Gesit sulit memenuhi syarat kondisi sampah 

seperti yang diinginkan pabrik pengolahan. Karenanya, BSI 

Gesit pun menjual ke vendor yang berlokasi di Kalimalang, 

Depok, Serpong, dan Kebayoran Lama. 

 BSI Gesit kini memiliki tiga unit kendaraan operasional, 

terdiri dari dua unit truk dan satu unit mobil bak. Kendaraan 

operasional ini mengangkut sampah yang dijual ke vendor 

atau pelapak sampah. Petugas BSI Gesit tidak mengambil 

sampah dari para nasabah. BSU menyetorkan sendiri 

sampah mereka ke BSI Gesit. 

TRUK. BSI Gesit memiliki 

tiga unit kendaraan 

operasional. Digunakan untuk 

mengangkut sampah yang 

akan dijual ke vendor.

 Saat ini, tercatat ada 410 nasabah BSI Gesit yang berasal 

dari bank sampah unit di Jakarta Selatan. Lalu, ada pula 

sekitar 20 nasabah individu. “Nasabah individu kami ini 

biasanya tinggal di apartemen di sekitar BSI Gesit. Bahkan, 

ada tiga orang asing nasabah individu kami,” ujar Ellen. 

 BSI Gesit kini menerima 47 jenis sampah. Harga beli 

sampah dari nasabah biasanya dievaluasi sebulan sekali. 

Ini menyesuaikan harga jual sampah ke para vendor atau 

pelapak. Memang, harga jual sampah biasanya fluktuatif. 

Ada bulan-bulan tertentu yang harga jual sampahnya 

cukup tinggi. Beruntung, nasabah BSI Gesit memahami 

soal fluktuasi harga jual ini. 

162


MENYADARKAN. Syamsuriati 

tak pernah lelah mengajak 

warga untuk memilah sampah. 

Termasuk warga di sekitar BSI 

Gesit.

 Pemahaman para nasabah tentu tak lepas dari 

sosialisasi yang terus menerus dilakukan BSI Gesit. Tak 

cuma kepada nasabah lama saja pengurus BSI Gesit 

melakukan sosialisasi. Tapi juga kepada warga di sekitar BSI 

Gesit. Seperti yang diperbuat Syamsuriati, saat membawa 

sampah plastik dari warung tempat dia berbelanja. 

Warung di dekat BSI Gesit. Perempuan tangguh ini tentu 

tak kenal lelah menyampaikan kepada warga di sekitar BSI 

Gesit, betapa pentingnya memupuk kepedulian terhadap 

persoalan sampah. 

163


BANK SAMPAH NUSANTARA

NGAJI PLASTIK

BARENG NU

Sebagai organisasi massa Islam terbesar di 

negara kita , Nahdatul Ulama (NU) tak mau 

berdiam diri melihat peliknya persoalan 

penanganan sampah. Melalui Bank Sampah 

Nusantara, NU ingin berperan mengubah 

perilaku warga . Bahkan, NU pun 

sudah menerbitkan buku fiqih pengelolaan 

sampah plastik.


164


Siti Nurbaya sumringah. Senyum lebar mengembang di bibir Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini. Cindera mata yang diterimanya dari Ketua 

Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Said 

Aqil Siradj, membuat sang menteri terkesima. Boleh jadi, 

bukan lantaran nilai atau harga cindera mata itu yang 

membuat Siti Nurbaya bahagia. Namun, cindera mata 

itu  sungguh istimewa: terbuat dari sampah daur 

ulang. Lukisan abstrak pada cindera mata itu memang 

dibuat dari lintingan kertas koran bekas.

 Kejadian pada Desember 2017 silam itu, seakan menjadi 

penguat kehadiran Bank Sampah Nusantara. Cindera mata 

yang diberikan Kiai Said Aqil kepada Menteri Siti Nurbaya 

adalah hasil karya kerajinan Bank Sampah Nusantara. 

Untuk kali ke sekian, PBNU memberikan kepada tamunya 

cindera mata dari produk bank sampah yang berada di 

bawah naungan Lembaga Penanggulangan Bencana dan 

Perubahan Iklim (LPBI) NU itu . Sebelumnya, pada 

April 2016, PBNU juga memberikan produk kerajinan Bank 

Sampah Nusantara kepada Duta Besar Inggris, Moazzam 

Malik.

DAUR ULANG. Menteri 

KLHK, Siti Nurbaya, 

sumringah saat 

menerima cindera 

mata dari daur ulang 

sampah karya Bank 

Sampah Nusantara.

 Pengelola Bank Sampah Nusantara mendengar 

kabar Dubes Inggris akan berkunjung ke kantor PBNU di 

kawasan Matraman, Jakarta. Mereka ingin memberikan 

165


cindera mata berupa kerajinan yang berasal dari sampah 

daur ulang kepada sang dubes. Namun, niat Bank Sampah 

Nusantara memberikan cindera mata kepada Dubes 

Inggris itu, awalnya sempat mendapatkan pertanyaan 

serius dari beberapa pengurus PBNU. “Masak iya, tamu 

sekelas dubes diberikan cindera mata dari daur ulang 

sampah. Kira-kira begitu pertanyaan dari beberapa orang 

pengurus PBNU,” kata Fitria Ariyani, Direktur Bank Sampah 

Nusantara. 

 Keraguan itu mengusik hati Fitria. Dia mewanti-wanti 

kepada rekan-rekannya di Bank Sampah Nusantara agar 

bisa membuat cindera mata yang bagus dan layak. Fitria 

mengajak pengelola Bank Sampah Nusantara menjadikan 

keraguan itu  sebagai sebuah tantangan. Dia ingin 

membuktikan, Bank Sampah Nusantara dan produk yang 

dihasilkannya bisa membanggakan PBNU. 

KALIGRAFI. Duta Besar 

Inggris, Moazzam Malik, 

menerima cindera mata 

berupa kaligrafi Arab. Kaligrafi 

ini dibuat dari kertas koran.

 Seperti berburu dengan tenggat waktu, Fitria dan 

pengelola Bank Sampah Nusantara pun akhirnya berhasil 

menyelesaikan cindera mata berupa kaligrafi tulisan 

Arab. Cindera mata itu juga dibuat dari lintingan kertas 

koran bekas. Kiai Aqil Siradj yang memberikannya kepada 

Dubes Moazzam. Sang Dubes yang masa jabatannya di 

negara kita  berakhir pada 2019 lampau, menerima cindera 

mata itu  dengan suka cita. Apalagi setelah Dubes 

166


Moazzam diberi tahu bahwa cindera mata itu dibuat dari 

sampah daur ulang yang dikelola bank sampah milik 

PBNU.

Dukungan Penuh Sang Kiai

 Keraguan dan pertanyaan ihwal keberadaan bank 

sampah di gedung PBNU memang menjadi sebuah 

muasal bagi keberadaan Bank Sampah Nusantara. 

Diresmikan persis pada Hari Peduli Sampah Nasional, 

21 Februari 2016, ada penghuni gedung PBNU yang 

mempertanyakan keberadaan bank sampah di gedung 

itu . “Mendengar kata-kata sampah, kan konotasinya 

jorok ya. Jadi, mungkin itulah yang membuat rasa kurang 

nyaman bagi sebagian penghuni gedung PBNU,” ujar 

Fitria.

 Namun, dukungan penuh dari Kiai Aqil Siradj, membuat 

Fitria dan teman-temannya tetap memelihara asa. Apalagi, 

PBNU memberikan sebuah ruangan berukuran tiga kali 

lima meter di gedung PBNU. Bank Sampah Nusantara 

memakai  ruangan itu  sebagai kantor, sekaligus 

gudang sampah. Itulah yang membuat Fitria yakin bahwa 

kehadiran Bank Sampah Nusantara akan menjadi sebuah 

kebanggaan bagi PBNU. 

 Memang bukan ujug-ujug Bank Sampah Nusantara 

berdiri. Sebelumnya, pengurus Lembaga Penanggulangan 

Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) NU sudah cukup 

sering mengedukasi warga NU soal pengelolaan sampah. 

Salah satu fokus LPBI NU adalah isu pengelolaan lingkungan 

hidup. Dan, pengelolaan sampah menjadi bagiannya.

 LPBI NU sudah pernah mendampingi cukup banyak 

bank sampah. Namun, tak sedikit bank sampah binaan 

LPBI NU yang mandeg dan akhirnya menghentikan 

kegiatan mereka. Inilah yang memicu LPBI NU untuk 

memiliki bank sampah sendiri. “Pendampingan kami 

167


hanya bersifat teoritis. Jadi, kami bertekad untuk langsung 

terjun ke lapangan, dengan cara membentuk bank 

sampah,” ucap Fitria. 

 Dua tahun pertama sejak Bank Sampah Nusantara 

berdiri, Fitria dan kawan-kawannya lebih banyak 

mengedukasi para pengguna gedung PBNU. Ternyata, 

proses itu tak semudah yang mereka bayangkan. saat  

itu, paradigma kebanyakan orang tentang sampah 

masih belum berubah. Slogan “buanglah sampah pada 

tempatnya” tetap menjadi yang utama. Memilah sampah? 

Nanti dulu. Yang penting, buang sampah ke tong sampah, 

lalu akan ada petugas yang mengangkut sampah. 

TIMBANG. Petugas 

Bank Sampah Nusantara 

menimbang sampah yang 

disetorkan nasabah. BSN 

terus mengedukasi penghuni 

gedung PBNU. 

 Selain terlibat dalam proses mengedukasi penghuni 

gedung PBNU, pengelola Bank Sampah Nusantara juga 

belajar banyak ihwal bank sampah. Setelah memahami 

seluk-beluk pengelolaan bank sampah, mereka lantas 

merekrut seniman di lingkungan NU untuk menjadi 

bagian Bank Sampah Nusantara. 

 Pengelola Bank Sampah Nusantara meyakini, sampah 

yang mereka urus bisa bernilai jual lebih jika diubah 

menjadi bentuk lain. Inilah konsep daur ulang yang 

dipahami Fitria dan rekan-rekannya. “Kami minta para 

168


seniman yang bergabung dengan kami untuk mengubah 

mindset. Selama ini, mereka menghasilkan produk dari 

bahan baru. Lalu, kami ajak mereka membuat produk dari 

sampah,” kata Fitria. 

Buku Fiqih Sebagai Bukti

 Keterlibatan para seniman itu ternyata memang 

banyak membantu Bank Sampah Nusantara. Beragam 

produk kerajinan bisa mereka hasilkan. Dan, pemberian 

cindera mata kepada Dubes Moazzam menjadi tonggak 

pengakuan keberadaan Bank Sampah Nusantara. Setiap 

kali ada tamu yang akan berkunjung ke PBNU, Kiai Aqil 

Siradj selalu bertanya kepada pengurus Bank Sampah 

Nusantara: cindera mata apa yang tersimpan di ruangan 

Bank Sampah Nusantara. 

 Bank Sampah 

Nusantara melakukan 

transaksi setiap hari 

Jumat. Biasanya, 

usai solat Jumat di 

gedung PBNU, akan 

ada pengumuman 

bahwa Bank Sampah 

Nusantara sudah buka. 

Pada masa-masa 

awal berdirinya Bank 

Sampah Nusantara, 

pengumuman itu 

terdengar cukup aneh. 

“Masak iya, di gedung 

PBNU ada kegiatan 

menyetorkan sampah,” tutur Fitria tersenyum.

 Namun, lama kelamaan pengumuman setiap hari 

Jumat itu sudah menjadi lumrah. Bahkan, jika sehabis solat 

JOKOWI. Salah satu hasil kerajinan 

daur ulang Bank Sampah Nusantara, 

berupa foto Presiden Jokowi. Kreasi 

seniman yang luar biasa.

169


Jumat tak terdengar pengumuman soal menyetorkan 

sampah ke Bank Sampah Nusantara, banyak penghuni 

gedung PBNU yang merasa kehilangan. Ada yang sampai 

menghubungi Fitria melalui pesan singkat dan bertanya 

kenapa Bank Sampah Nusantara tutup. 

 Keinginan Fitria dan pengurus Bank Sampah Nusantara 

menjadikan bank sampah mereka sebagai kebanggan NU 

kian menampakkan wujudnya. Pada Munas Alim Ulama dan 

Konferensi Besar NU 2019, pengelolaan sampah menjadi 

salah satu perhatian penting PBNU. Untuk menunjukkan 

keseriusannya, PBNU akhirnya mengeluarkan sebuah 

buku tentang