Bank sampah sebagai tema utama buku ini, merupakan salah satu bentuk konkret inovasi dan kontribusi warga dalam pengelolaan sampah
dan menjadi bagian penting dalam implementasi ekonomi
sirkular (circular economy). Data BPS (2019) menunjukkan
pertumbuhan bank sampah yang mengalami peningkatan
signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dari 1.172 unit di
tahun 2014, 3.075 unit di tahun 2015, 4.280 unit di tahun
2016, 5.244 unit dan mempekerjakan 163.128 orang di tahun
2017, menjadi 7.488 di akhir tahun 2018 yang tersebar di
34 provinsi dan 219 kabupaten/kota di negara kita . Sampai
dengan bulan Juli tahun 2020 ada 11.330 bank sampah
yang terdiri dari bank sampah unit dan bank sampah
induk.
Kehadiran bank sampah terbukti memberikan
dampak positif bukan saja terhadap lingkungan, namun
juga dari sisi sosial dan ekonomi melalui penyediaan
lapangan pekerjaan baru, serta memberikan penghasilan
tambahan bagi warga . Untuk menumbuhkan,
menggerakkan, dan mengelola bank sampah tidaklah
mudah. Diperlukan visi dan komitmen yang kuat dari para
pengelolanya, terutama para inisiator atau pendirinya.
Merekalah para champion dan pahlawan nyata di masa
kini, yang berkontribusi dalam mewujudkan negara kita
yang lebih bersih.
Sebagai bagian penting dari ekonomi sirkular, bank
sampah mampu menggerakkan peran serta warga
dalam memilah dan mengelola sampah melalui mekanisme
reduce, reuse, dan recycle (3R), yang dihasilkan sejak dari
rumah. Kepedulian warga ini sangat diperlukan
karena persoalan sampah di negara kita yang semakin
mencemaskan. Peningkatan jumlah sampah plastik
dan potensi kebocoran sampah plastik yang masuk ke
lingkungan dan berakhir di lautan, telah mengancam
ekosistem dan kesehatan manusia. Padahal, negara kita
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang
dianugerahi melimpahnya keanekaragaman ekosistem
pesisir dan laut.
Pemerintah telah menerbitkan Kebijakan dan Strategi
Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Rumah Tangga melalui Peraturan
Presiden Nomor 97 Tahun 2017 dan menargetkan
pengurangan 30 persen sampah rumah tangga dan
penanganannya hingga 70 persen pada tahun 2025.
Khusus untuk menangani sampah plastik laut, pemerintah
telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun
2018 tentang Penanganan Sampah Laut yang didalamnya
juga memuat Rencana Aksi Pengurangan Sampah Plastik
di Laut Tahun 2018 –2025. Berbagai kebijakan itu
menjadi bukti bahwa Pemerintah negara kita serius dalam
menghadapi persoalan sampah di tanah air. usaha keras
pemerintah ini tentu saja tidak akan berhasil optimal jika
tidak dibarengi dengan sinergi berbagai pihak dan adanya
peran aktif warga . Hal ini tercermin dalam konsep
dan sistem yang ada dalam pengelolaan bank sampah.
Buku “Sampah, Amanah, Rupiah” ini menggambarkan
peran bank sampah dalam mengatasi persoalan sampah
di negara kita , serta menampilkan sosok-sosok penting yang
telah bekerja keras untuk mewujudkannya. Pengalaman
para pendiri dan pengelola bank sampah yang dihadirkan
dalam buku ini diharapkan dapat memberikan motivasi
bagi warga untuk berperan aktif mengelola dan
berkontribusi pada pengurangan sampah. Dengan gaya
penulisan bertutur, membaca buku ini membawa kita
kepada banyak kisah inspiratif pendiri dan pengelola bank
sampah. Kisah inilah yang diharapkan akan mengajak dan
menggerakkan warga untuk semakin peduli dengan
persoalan sampah.
Pelaksanaan bank sampah di negara kita menunjukkan
hasil yang sangat positif. Dari tahun ke tahun, bank
sampah terus bertumbuh dan berkembang di se-antero
negara kita . Hingga Juli 2020, jumlah bank sampah di
negara kita mencapai 11.330, terdiri dari 11.088 bank sampah
unit dan 242 bank sampah induk.
Perkembangan menggembirakan ini tentu saja
membawa sebuah harapan besar, yakni pada 2025
bank sampah dapat menjadi kontribusi terbesar dalam
pengurangan sampah di negara kita . Pengelolaan sampah
di bank sampah juga dapat memberdayakan warga
di sekitar lokasi bank sampah, dalam mengurangi sampah
rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga.
Kehadiran buku bank sampah ini juga tak lepas dari
prakarsa dan peran Kementerian Koordinar Kemaritiman
dan Investasi, serta dukungan program Multi Donor Trust
Fund (MDTF) World Bank. Untuk itu, kami mengucapkan
terima kasih kepada Kementerian Koordinator Maritim
dan Investasi, serta World Bank. Ucapan terima kasih
juga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya sehingga
penyusunan buku ini dapat terlaksana sesuai rencana.
Besar harapan kami bahwa buku ini dapat menjadi
pembelajaran dan kebanggaan bagi bangsa negara kita
dan dunia terhadap ide orisinal “Bank Sampah”, serta
berbagai proses sejarah yang melatarbelakangi kehadiran
bank sampah di negara kita . Insya Allah kekuatan gerakan
partisipasi publik ini dapat menjadi modal sosial yang
sangat kuat untuk mencapai negara kita bersih dan bebas
sampah pada 2025.
Selama setengah abad terakhir, pertumbuhan produksi plastik telah jauh melampaui pertumbuhan bahan manufaktur lainnya. Lima tahun setelah
terbitnya artikel ilmiah penting berjudul “Input Limbah
Plastik dari Daratan ke Laut” oleh Jenna Jambeck et al.
(Science, 347, 768-771, 2015), peningkatan jumlah dan
ragam produk-produk plastik sekali pakai masih terjadi di
dunia. Hal ini berdampak negatif pada ekosistem darat,
air tawar, dan laut, serta bagi sektor perekonomian utama
yang bergantung kepada masing-masing ekosistem
tesebut, termasuk pariwisata dan perikanan.
Di negara kita , Bank Dunia memperkirakan saat ini
beberapa 4,5 juta ton sampah plastik tidak tertangani
setiap tahunnya – yang akhirnya dibakar, dikubur, dan/
atau dibuang ke saluran air dan pada akhirnya sampai
ke lautan. Tidak ada solusi tunggal untuk mengatasi
masalah ini. Kita membutuhkan serangkaian solusi
inovatif untuk mengatasi permasalahan sampah plastik,
seperti misalnya lewat peningkatan pengelolaan limbah
padat (pengumpulan dan implementasi Reduce, Reuse
and Recycle-3R), pengembangan bahan dan teknologi
alternatif, penyusunan kebijakan dan insentif (misalnya
pajak plastik), perubahan perilaku, penerapan standar
Perluasan Tanggung Jawab Produsen/ Extended Producers
Responsibility, dan penegakan hukum. Sudah jelas
bahwa solusi-solusi itu sangat dibutuhkan untuk
mengurangi sampah plastik, termasuk komitmen untuk
berubah dari semua pemangku kepentingan utama,
termasuk pembuat kebijakan, produsen, dan konsumen.
Meskipun permasalahan polusi plastik merupakan
tantangan besar, saya telah melihat secara langsung
dedikasi dan tekad Pemerintah negara kita untuk mengatasi
hal ini. Pada tahun 2018, Kementerian Koordinator
Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves)
mengumumkan target ambisius untuk mengurangi
sampah plastik di laut negara kita hingga 70 persen pada
tahun 2025. Pada World Economic Forum 2020, Menteri
Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut
Binsar Pandjaitan berkomitmen untuk meningkatkan
target itu dengan rencana menjadikan negara kita
sebagai negara yang bebas dari polusi plastik pada tahun
2040. Selain itu, kami telah melihat bagaimana para
pembuat perubahan dan berbagai komunitas saling
bekerja sama untuk memastikan bahwa perubahan
juga terjadi di tingkat akar rumput melalui inisiatif bank
sampah 3R berbasis komunitas, seperti yang diceritakan
oleh Teguh Usis melalui sebuah buku.
Buku yang ditulis oleh Teguh Usis berjudul “Sampah,
Amanah, Rupiah” ini menjadikan bincang-bincang tentang
sampah menyenangkan, mencerahkan, menginspirasi, dan
bahkan menghangatkan hati. Beliau langsung menyasar
kepada inti dari solusi untuk mengatasi permasalahan
polusi plastik, yaitu dengan menyajikan gambaran
warga sebagai pendorong di balik inovasi bank
sampah. Beliau memperkenalkan kita kepada para
pelopor yang berada di garis depan dalam mengatasi
permasalahan ini, serta berbagai kisah perjuangan mereka
untuk memulai perubahan dari nol dan menciptakan
lingkungan yang lebih baik di negara kepulauan negara kita .
Yang terpenting, Teguh Usis menyoroti semangat para
pembuat perubahan ini untuk melangkah lebih jauh dari
mendirikan bank sampah dan menemukan cara yang
lebih berkelanjutan untuk menyelesaikan tantangan
terkait polusi plastik.
Plastik, yang dulunya sempat menjadi bahan yang
dipandang modern, kini membutuhkan inovasi yang
dibuat oleh generasi saat ini untuk membantu mengatasi
dampak yang ditimbulkannya. Buku ini adalah salah
satu langkah penting untuk mengakui berbagai inovasi
yang terjadi di negara kita yang telah nyata membantu
mengatasi masalah polusi plastik, serta masih banyak lagi
yang dapat kita lakukan di tahun-tahun mendatang.
T he negara kita Oceans, Marine Debris and Coastal Resources Multi-Donor Trust Fund (Oceans-MDTF) adalah sebuah program yang dibentuk atas dasar
masukan Pemerintah negara kita untuk mendukung
kebijakan kelautan negara kita . negara kita Oceans-
MDTF bertujuan untuk memperdalam pengetahuan,
memperbaiki kesadaran, dan memperkuat koordinasi
dalam bentuk strategi dan rencana pengelolaan laut
negara kita secara berkelanjutan, pengurangan sampah
plastik, serta penguatan sumber daya pesisir.
Program negara kita Oceans-MDTF berjalan pada
tahun 2017-2022, dan saat ini beroperasi dengan kontribusi
dana yang berasal dari berbagai negara yaitu Pemerintah
Norwegia sebesar 2,54 juta dolar AS dan Pemerintah
Denmark sebesar 1,93 juta dolar AS. Dana hibah ini
disalurkan melalui Bank Dunia.
Adapun steering committee negara kita Oceans-MDTF
terdiri dari Bank Dunia dan Kementerian Koordinator
Bidang Kemaritiman dan Investasi sebagai co-chair.
Sedangkan kementerian/lembaga utama yang menjadi
technical committee pada negara kita Oceans-MDTF
adalah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan
Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
negara kita Oceans-MDTF berfokus pada tiga
komponen teknis prioritas Pemerintah negara kita . Pertama,
mendukung kebijakan kelautan negara kita dengan
meningkatkan kepedulian, perencanaan, koordinasi,
kebijakan, dan pembiayaan untuk mendukung strategi
kelautan yang lebih luas, termasuk elemen hayati dan
non-hayati dalam perekonomian maritim.
Kedua, mengurangi sampah laut melalui usaha yang
sedang berjalan untuk meningkatkan pengelolaan limbah
padat di kota-kota pesisir dan pada badan air untuk
meningkatkan pengaruh dari usaha meminimalisasi
kebocoran sampah plastik.
Ketiga, meningkatkan ketahanan dan sumber
daya pesisir, dengan tujuan untuk memperkuat usaha
konservasi dan pemanfaatan ekosistem pesisir dan laut
secara berkelanjutan. Hal ini juga berkaitan dengan mata
pencaharian melalui peningkatan pengelolaan, inovasi
aktivitas dan pendanaan, serta insentif.
Buku “Sampah, Amanah, Rupiah” ini merupakan salah
satu usaha negara kita Oceans-MDTF melakukan sosialisasi
tiga komponen teknis yang menjadi fokus Pemerintah
negara kita . Buku ini berisi kisah para pejuang di bidang
pengelolaan sampah untuk mengurangi jumlah timbulan
sampah yang dihasilkan warga . Salah satu caranya
adalah melalui bank sampah.
Pengerjaan buku ini sepenuhnya dibiayai melalui dana
negara kita Oceans-MDTF, yang disalurkan oleh Bank Dunia.
Namun, seluruh hasil temuan, interpretasi, dan kesimpulan
yang disampaikan di dalam buku ini, sepenuhnya adalah
milik penulisnya. Yang disampaikan di dalam buku ini
tidak serta-merta mewakili pandangan Bank Internasional
untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International
Bank of Reconstruction and Development – IBRD) / Bank
Dunia, maupun organisasi-organisasi yang berafiliasi
dengannya, ataupun pandangan Dewan Direktur
Eksekutif Bank Dunia, maupun seluruh pemerintah yang
diwakilinya. Bank Dunia tidak menjamin akurasi data yang
tercantum di dalam publikasi ini.
Persoalan sampah di negara kita sudah dalam taraf
mengkhawatirkan. Dalam setahun, penduduk
negara kita menghasilkan sedikitnya 65 juta sampah.
TPA Bantargebang dalam kondisi kritis.
T ak cuma sekali Leonardo DiCaprio menunjukkan keprihatinannya terhadap persoalan lingkungan hidup di negara kita . Aktor kondang Hollywood itu
setidaknya pernah dua kali menyoroti kondisi Tempat
Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Pada
Maret 2019, DiCaprio mengunggah ulang sebuah foto di
akun instagramnya. Dia menulis: “Beberapa pria, dari Desa
Cikiwul, menangkap ikan di perairan berlumpur yang
sangat tercemar yang merembes dari zona pembuangan
terbesar Bantar Gebang”.
Lantas, pada September 2019, peraih Piala Oscar lewat
film “The Revenant” ini kembali sebuah mengunggah
sebuah foto. Lagi-lagi, kondisi TPST Bantargebang yang
menjadi perhatiannya. “Tempat ini dianggap sebagai
tempat pembuangan sampah terbesar di negara kita ,”
begitu yang dia tulis di instagramnya.
TPST Bantargebang terletak di Kota Bekasi, Jawa Barat.
Namun, tanah tempat TPST Bantargebang itu dimiliki oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Semula bernama Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA) sampah Bantargebang, TPST ini
sudah beroperasi sejak 1986. Luasnya mencapai 110 hektar.
Setiap hari, sekitar tujuh ribu ton sampah warga
Jakarta yang dibuang ke TPST Bantargebang. Maka,
tak heran jika sampah di TPST Bantargebang kini sudah
menyerupai gunung. Tinggi gunungan sampah sudah
mencapai 40 meter. Dengan tumpukan sampah yang
menggunung, diperkirakan TPST Bantargebang hanya
sanggup beroperasi sampai 2021.
Tak hanya TPST Bantargebang yang berada dalam
kondisi memprihatinkan. Sebagian besar TPA dan TPST
di negara kita kini sudah kewalahan menampung sampah.
Selain itu, bencana pun pernah terjadi di TPA.
Pada 21 Februari 2005, hujan lebat mengguyur
Kampung Cilimus dan Kampung Pojok, Cimahi, Jawa
Barat. Kedua kampung itu berdekatan lokasinya dengan
TPA Leuwigajah. Saat, hujan datang, gunungan sampah
setinggi 60 meter tak sanggup lagi menahan derasnya
air hujan. Sesaat , gunungan sampah itu longsor dan
menghantam permukiman di Kampung Cilimus dan
Kampung Pojok. Sebanyak 157 warga kedua kampung
itu tewas.
Bule yang peduli terhadap persoalan sampah di
negara kita , ternyata tak hanya Leonardo DiCaprio. Dua
orang kakak beradik warga Prancis - Gary Bencheghib dan
Sam Bencheghib – malah sudah melakukan aksi nyata di
sepanjang aliran Sungai Citarum. Pada 30 Agustus 2017,
keduanya mengunggah sebuah video di kanal YouTube
“Make A Change World”.
Gary dan Sam menyusuri aliran Sungai Citarum sambil
membersihkan sampah. Dramatisnya, mereka menaiki
sampan berkerangka bambu dan terbuat dari 300 ratusan
botol plastik bekas minuman dalam kemasan. Dengan
kayak itu, mereka mengarungi aliran Sungai Citarum
selama dua pekan. Dari Majalaya hingga Bekasi.
Keduanya menjumpai banyak pengalaman saat
“berlayar” di Sungai Citarum dengan kayak dari botol
plastik. Dayung yang mereka gunakan berkali-kali
tersangkut sampah kantong plastik. “Kami mendayung
kayak di samping bangkai anjing, atau babi. Dan, baunya
amat tak sedap,” kata Sam.
Aksi dua bule kakak beradik ini ternyata langsung
mendapatkan respon dari pemerintah negara kita .
Bahkan, Presiden Joko Widodo pun menanggapi serius
video viral itu . Jokowi berjanji, Citarum akan bersih
dalam waktu tujuh tahun. “Gary, nanti kamu akan lihat
bahwa dalam tujuh tahun, Citarum akan menjadi sungai
paling bersih,” ujar Jokowi dalam video yang diunggah
“Make A Change World”, halaman Facebook milik Gary
dan Sam.
Dan, janji Jokowi itu terlaksana pada 22 Februari
2018. Jokowi mencanangkan dimulainya program
“Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Daerah
Aliran Sungai Citarum”. Program ini dikenal pula dengan
nama Citarum Harum.
Paradigma Lama vs Paradigma Baru
Kondisi memprihatinkan TPST Bantargebang dan
sebagian besar TPST atau TPA lain di negara kita , hanyalah
puncak gunung es dari pengelolaan sampah di negara kita .
Problematika persampahan di negara kita kini sudah
memasuki kondisi yang mengkhawatirkan.
Pada 2017, Sustainable Waste negara kita (SWI)
melalukan penelitian ihwal persampahan di negara kita .
Datanya cukup mencengangkan. Produksi limbah padat
di negara kita mencapai 65 juta ton per tahun. Dari angka
itu, hanya tujuh persen yang didaur ulang. Lebih gawatnya
lagi, 24 persen dari total limbah padat yang dihasilkan,
tidak dapat terkelola dengan baik. Pada ujungnya, 24
persen sampah ini akan mencemari ekosistem dan
lingkungan.
Dari total 65 juta ton limbah padat per tahun itu, 65
persen berupa sampah organik. Sisanya adalah plastik (14
persen), kertas (9 persen), logam (4,3 persen), kaca, kayu,
dan bahan lainnya (12,7 persen). Tingginya angka timbulan
sampah plastik jelas saja amat mencemaskan. Apalagi,
sekitar 1,3 juta ton sampah plastik itu tidak terkelola
dengan baik. Diperkirakan, setiap tahun ada sekitar 800
ribu ton sampah plastik yang masuk ke laut.
Pemerintah negara kita tentu saja tidak berdiam diri dan
berpangku tangan menyikapi kondisi ini. Berbagai usaha
dan kebijakan sudah dijalankan. Perangkat hukum yang
mengatur ihwal persampahan pun sudah ada: Undang-
undang nomor 18 tahun 2008.
Namun, pengelolaan sampah sejatinya tak bisa hanya
mengandalkan kerja pemerintah belaka. Peran serta
warga menjadi kunci penting. warga harus
ditumbuhkan kesadarannya untuk peduli dengan urusan
sampah. Salah satunya melalui gerakan bank sampah.
Pemerintah sudah mengeluarkan regulasi soal bank
sampah, yakni Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 13 Tahun 2012, tentang Pedoman Pelaksanaan
Reduce, Reuse, dan Recycle Melalui Bank Sampah.
Bank sampah diharapkan menjadi sebuah gerakan
dari warga untuk mengelola sampah. Melalui bank
sampah, potensi timbulan sampah sudah bisa dikurangi
sejak dari rumah tangga. Prinsip dasar bank sampah berupa
kegiatan 3R (reduce, reuse, recycle - batasi sampah, guna
ulang sampah, daur ulang sampah). Untuk menjalankan
prinsip 3R, warga harus memiliki kesadaran memilah
sampah sejak dari rumah. Sampah yang sudah terpilah itu
lalu disetorkan ke bank sampah.
Bank sampah sejatinya merupakan salah satu sarana
perubahan paradigma dalam pengelolaan sampah.
Paradigma lama menganut konsep sampah dibuang,
ditimbun, atau dibakar. TPA atau TPST menjadi bagian
paling akhir dari proses ini. Sementara, pada paradigma
baru, pengeloaan sampah dilakukan dengan cara
mengurangi sampah. warga diharapkan bisa
memakai kembali barang yang biasanya dibuang menjadi
sampah. Atau, jika pun sudah menjadi sampah, warga
masih bisa memanfaatkannya menjadi barang jenis lain.
Gara-gara Demam Berdarah
Adalah Bambang Suwerda yang pertama kali
memperkenalkan istilah bank sampah di negara kita . Dosen
Politeknik Kesehatan (Poltekes) Yogyakarta warga Dusun
Badegan, Bantul, ini awalnya merasa prihatin dengan
kondisi lingkungan tempatnya bermukim. Saat itu, usai
gempa bumi hebat meluluhlantakan Yogya, penyakit
demam berdarah mengganas. Penyebabnya adalah
tumpukan sampah warga Badegan yang dibiarkan begitu
saja, lalu menjadi tempat nyaman bagi nyamuk bersarang.
Bambang tak mau tinggal diam. Bersama warga
Badegan yang peduli, dia pun mulai berikhtiar mengelola
sampah. Bambang mengawalinya dengan membuka
bengkel kerja. Dia ajak tetangganya, seorang seniman
di Bantul. Lalu, mereka mengolah sampah styrofoam
menjadi dudukan bendera. Inilah cikal bakal tegaknya
sebuah bank sampah bernama Gemah Ripah, pada 2008.
Sejatinya, Bambang Suwerda tidak punya tujuan
muluk. Ia hanya ingin kondisi lingkungannya bersih dan
bebas dari penyakit. Bambang meyakini, salah satu cara
yang akan membawa hasil nyata adalah menyadarkan
warga untuk memilah sampah dari rumah. Prinsipnya
amat sederhana: memilah dan memisahkan sampah
kering (nonorganik) dan sampah basah (organik).
Warga memilah sampah, lalu menyetorkan sampah
kering ke bank sampah. Sesampainya di bank sampah,
petugas kembali memilah sampah. Lantas, menimbang
sampah yang bernilai ekonomis. Bank sampah menghargai
sampah itu sesuai dengan harga yang sudah
ditentukan. Petugas mencatat jumlah uang yang menjadi
hak nasabah ke dalam buku tabungan. Jadi, prinsip bank
sampah ini tak ubahnya seperti bank secara umum yang
menjadi tempat menabung uang.
Sejak 2008, bank sampah terus berkembang. Patutlah
Bambang Suwerda mendapatkan acungan jempol untuk
gagasannya mendirikan bank sampah. Bambang tak
hanya seorang pendekar sampah. Dalam dunia silat, para
pendekar berguru kepada seorang suhu. Dan, Bambang
Suwerda adalah Sang Suhu. Begitu banyak orang yang
kini bisa dianggap sebagai “pendekar sampah” menuntut
ilmu soal pengelolaan sampah kepada Bambang.
Banyak orang di berbagai daerah di negara kita yang kini
mereplikasi ide cemerlang Bambang Suwerda. Bentuknya
beragam. Ada bank sampah yang murni didirikan oleh
warga, sama sekali tanpa campur tangan pemerintah. Ada
juga bank sampah yang diinisiasi oleh pemerintah daerah,
seperti Bank Sampah Malang dan Bank Sampah Makassar.
Organisasi warga (ormas) pun tak mau ketinggalan
mengelola bank sampah. Nahdatul Ulama, ormas Islam
dengan jumlah anggota hampir 100 juta orang, punya Bank
Sampah Nusantara di Jakarta. Lebih dari 100 pesantren di
seluruh negara kita menjadi cabang Bank Sampah Nusantara.
Muhammadiyah memiliki gerakan sedekah sampah.
Lewat gerakan inilah, Muhammadiyah mengelola sampah,
sekaligus menyantuni orang tak mampu.
Dalam perkembangannya, tak sedikit pula bank
sampah yang ambruk. Salah satunya adalah bank sampah
Barokah Assalam di Padang, Sumatra Barat. Padahal, bank
sampah ini diresmikan Menteri Lingkungan Hidup, Gusti
Mohammad Hatta, dalam sebuah acara yang meriah.
Banyak faktor yang memicu bank sampah
mandeg, bahkan tak sedikit yang mati suri. Mengelola
bank sampah sebetulnya gampang-gampang susah.
Yang jelas, dibutuhkan komitmen dan jiwa melayani yang
tinggi. Dalam mengelola sampah, ada tiga unsur penting:
lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi. Bank sampah
lebih menitikberatkan ke unsur lingkungan hidup dan
sosial. Betul memang, ada uang di balik pengelolaan
bank sampah. Namun, jumlahnya tidaklah seberapa jika
dibandingkan dengan unsur lingkungan dan nilai sosialnya.
Jalan Sunyi Pendekar Sampah
Bank sampah sejatinya hanya sebuah usaha
sederhana pengelolaan sampah berbasiskan kemandirian
warga . Selain bank sampah, masih cukup banyak ide
cemerlang yang berasal dari beberapa orang. Di Surabaya,
ada Walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Risma, sapaan
akrab Sang Walikota, melakukan beberapa terobosan
untuk mengubah wajah Surabaya menjadi jauh lebih
bersih dan indah. Risma juga mengolah sampah menjadi
listrik, melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Di Malang, ada dokter Gamal Albinsaid. Dialah yang
mencetuskan ide mendirikan klinik asuransi sampah.
Gamal mewakafkan dirinya membantu orang kecil yang
tak punya akses kepada layanan kesehatan. Padahal, jika
ingin kaya, Gamal tinggal membuka praktik dokter, lalu
memasang tarif kepada pasien yang berobat. Jerih payah
Gamal sampai mendapat penghargaan dari Pangeran
Charles dan Vladimir Putin.
Ada juga DK Wardhani, seorang arsitek yang akhirnya
menjadi pegiat lingkungan, antara lain melalui gerakan
sedekah minyak jelantah. Warga Kota Malang, Jawa
Timur ini juga memelopori gerakan hidup minim sampah.
Dini, demikian dia biasa disapa, bahkan tak sungkan
membawa rantang sendiri jika ingin membeli makanan
ke rumah makan.
Di Kabupaten Malang, ada seorang yang dijuluki Kiai
Sampah. Namanya Fadil Supandi. Dia merintis, mengelola,
dan menggerakkan TPST Mulyoagung Bersatu. Tak ada
bantuan dalam bentuk uang kepada TPST Mulyoagung.
Karenanya, banyak pihak yang menjadikan TPST ini
sebagai percontohan pengelolaan sampah secara mandiri.
Di Jakarta, ada Bijaksana Junerosano, seorang pemuda
yang dijuluki “pemulung berdasi”. Anak muda yang biasa
disapa Sano ini, memiliki perusahaan pengelolaan sampah
berbasiskan teknologi informasi. Melalui Waste4Change,
Sano bermimpi membantu kota dan kabupaten di
negara kita untuk menerapkan tata kelola pengelolaan
sampah yang terpadu dan menyeluruh.
Masih di Jakarta, ada seorang perempuan enerjik
bernama Wilda Yanti. “Ratu Sampah” adalah julukan
yang melekat pada Wilda. Maklum, bisnisnya di bidang
pengolahan sampah kini sudah menggurita. Omset
perusahaannya sudah melewati angka 50 miliar rupiah
per bulan. Wilda Yanti menempuh jalan berliku, sampai
bisa mencapai tahap seperti sekarang. Bahkan, dia pernah
ditodong sepucuk pistol oleh pihak yang merasa terusik
dengan kiprahnya mengolah sampah.
Di Padang, Sumatra Barat, ada Syaifuddin Islami.
Soal bank sampah, dia berguru langsung ke suhu bank
sampah, Bambang Suwerda. Kendati acap mendapatkan
penolakan dari warga saat mengampanyekan bank
sampah, Ilam, sapaan Syaifuddin, tak pernah menyerah.
Dia mendapatkan semangat ini dari Bambang Suwerda.
Di Yogyakarta, ada Ananto Isworo. Dia menggagas
Gerakan Shadaqah Sampah (GSS) di Dusun Brajan,
Bantul. Tak hanya mengelola sampah. Ananto juga
berhasil mengubah wajah Brajan. Dulu, Brajan dikenal
sebagai wilayah yang sarat aksi premanisme. Kini, Brajan
menjadi rujukan gerakan mengolah sampah dengan cara
bersedekah.
Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, ada Syawaludin dan
Febriarti Khairunnisa. Pasangan suami istri ini mendirikan
Bank Sampah Bintang Sejahtera dengan modal hasil
menjual mas kawin. Saat sedang di puncak kejayaan,
mereka terbuai janji manis seorang bule. Harta pun ludes.
Febriarti bahkan sempat terserang lumpuh otak. Dengan
tekad dan semangat, keduanya berhasil bangkit.
Di era kepesatan perkembangan teknologi informasi
seperti sekarang, bank sampah pun mau tak harus
bersentuhan dengannya. Perusahaan rintisan (start up) di
bidang persampahan pun bermunculan. Start up ini lalu
membuat aplikasi yang memudahkan warga atau pihak
pengelola sampah menangani persoalan sampah.
Di Bandung, ada Putra Fajar Alam dengan SMASH-
nya. SMASH membuat beberapa aplikasi yang banyak
dipakai bank sampah di negara kita . Beragam aplikasi ini
memudahkan pengelola bank sampah. Misalnya, dalam
urusan pencatatan dan pemantauan kinerja bank sampah.
Sementara di Makassar, ada seorang mahasiswa
bernama Adi Saifullah Putra. Awalnya, Adi merasa tak
nyaman dengan bau busuk sampah dari TPS liar di
dekat kost-nya. Dari situlah dia menggagas sebuah
aplikasi bernama MallSampah Makassar. Aplikasi ini mirip
e-commerce. Tapi, produk yang dijual adalah sampah.
Berbagai cerita inspiratif tentang jatuh bangun bank
sampah, atau perjuangan para “pendekar sampah” yang
tak pernah menyerah mengurus sampah, akan menjadi
bagian buku ini. Ada drama dan air mata. Ada pula
pengkhianatan. Dan, tentu ada juga kelucuan dari kisah-
kisah menarik dalam buku ini.
Tentu saja masih banyak jurus mumpuni lain dalam
mengelola sampah. Pun, masih berserakan pula orang-
orang yang mencurahkan hidupnya mengurus sampah.
Buku ini niscaya tak akan mampu menampung semuanya.
Buku ini hanyalah sebuah potret kecil betapa kepedulian
terhadap pengelolaan sampah memegang peran penting
mengubah sebuah lingkungan.
Dengan sengaja, gaya penulisan buku ini memilih
cara bertutur (storytelling). Kisahnya dilengkapi dengan
reportase. Alur ceritanya tak baku. Kadang runtun, kadang
pula memakai cara flashback. Atau, gabungan dari
keduanya. Dengan ramuan itu, diharapkan buku ini akan
memiliki daya tarik, karena dikemas dan ditulis dengan
gaya penulisan populis.
Secara umum, sampah rumah tangga terbagi
menjadi sampah organik dan sampah nonorganik.
Jika dikelola dengan tepat, kedua jenis sampah
ini bisa dimanfaatkan lagi. Bahkan, ada nilai
rupiah di dalam semua sampah.
S eorang perempuan muda berjalan tergesa-gesa. Tangan kanannya mencekal kantong plastik ukuran besar berwarna hitam. Dia memasuki halaman
sebuah bangunan yang banyak tumpukan sampah.
Tak sampai sepuluh menit, perempuan itu kembali
menuju sebuah mobil yang sedang menunggunya. “Saya
menyetorkan sampah ke bank sampah. Musti buru-
buru karena sudah ditunggu rapat di kantor,” ujar Rosa,
perempuan enerjik yang tinggal di sebuah komplek
perumahan di perbatasan Depok dan Jakarta.
Rosa adalah sosok perempuan perkotaan yang peduli
dengan sampah. Padahal, dia bisa saja meletakkan sampah
rumah tangganya di tong sampah di muka rumahnya.
Dibiarkan teronggok begitu saja. Toh, nanti juga akan
diangkut petugas kebersihan komplek perumahannya.
Tak banyak warga seperti Rosa. Terlebih lagi warga
yang bermukim di kawasan perkotaan. Kesadaran bahwa
urusan sampah sejatinya juga harus menjadi urusan
warga , ternyata masih amat rendah. Statistik
Lingkungan Hidup negara kita tahun 2018 yang dirilis
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka yang
memprihatinkan. Sebanyak 66,8 persen rumah tangga di
negara kita menangani sampah yang dihasilkan dengan
cara dibakar. Sedangkan 32 persen menangani sampah
dengan cara lainnya. Hanya 1,2 persen rumah tangga di
negara kita yang mendaur ulang sampah secara mandiri.
Dan, Rosa termasuk ke dalam angka 32 persen tadi.
Hanya saja, tak banyak yang seperti Rosa,
memanfaatkan bank sampah sebagai sarana mengelola
sampah yang dihasilkan rumah tangga. Lebih dari 90
persen rumah tangga di negara kita , mengandalkan
petugas kebersihan sampah yang mengangkut sampah,
ketimbang menyetorkan sampah ke bank sampah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, beberapa kota
besar di negara kita menghasilkan sampah dalam jumlah
yang cukup tinggi. Pada 2017, Surabaya menghasilkan
sampah sebanyak 9.896,78 meter kubik per hari. Jakarta
sebanyak 7.164,53 meter kubik sampah per hari. Makassar
menghasilkan sampah 6.485,65 meter kubik per hari.
Tiga kota lain berikutnya adalah Denpasar, Manado, dan
Medan, yang secara berurutan menghasilkan sampah per
hari sebanyak 3.657,20 meter kubik, 2.064 meter kubik,
dan 1.892 meter kubik.
Jumlah Sampah Kota Besar 2017
No Kota Jumlah sampah/hari (m3)
1. Surabaya 9.896,70
2. Jakarta 7.164,53
3. Makassar 6.485,65
4. Denpasar 3.657,20
5. Manado 2.064,00
6. Medan 1.892,00
Masih tingginya angka timbulan sampah di banyak
kota besar di negara kita tentu tak lepas dari perilaku
warganya. Kesadaran memilah sampah sejak dari rumah
masih terbilang rendah. Proses memisahkan sampah
organik dan sampah nonorganik kadang dianggap
sebagai sebuah pekerjaan yang menjijikkan dan hanya
membuang waktu.
Selama ini, warga memang sudah dimanjakan
dengan kehadiran petugas pengangkut sampah. Tentu
saja, warga harus membayar iuran sampah. Namun,
besaran iuran itu masih tak sebanding dengan produksi
sampah yang dihasilkan.
Untung Ada Bank Sampah
Menurut Undang-Undang nomor 18 tahun 2018 tentang
Pengelolaan Sampah, definisi sampah adalah sisa kegiatan
sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk
padat. Undang-Undang ini menyebutkan tiga jenis sampah
yang harus dikelola: sampah rumah tangga, sampah sejenis
sampah rumah tangga, dan sampah spesifik.
Sampah rumah tangga berasal dari kegiatan sehari-
hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah
spesifik. Sampah sejenis sampah rumah tangga berasal
dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus,
fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya.
Sedangkan sampah spesifik antara lain berupa sampah
yang mengandung bahan berbahaya dan beracun.
Secara umum, sampah rumah tangga terdiri dari
sampah organik dan sampah nonorganik. Sampah
organik adalah sampah yang berasal dari sisa mahluk
hidup dan dapat terurai secara alami. Sampah organik dari
rumah tangga biasanya berupa sisa makanan dan proses
memasak di dapur. Sampah organik bisa diolah menjadi
pupuk kompos.
Sedangkan sampah nonorganik adalah sampah yang
dihasilkan dari bahan-bahan non hayati, baik berupa
produk sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan
bahan tambang atau sumber daya alam lain. Sampah
nonorganik ini amat sulit terurai secara alami. Sampah
nonorganik dari rumah tangga antara lain berupa plastik,
kertas, besi atau logam, kaca, dan styrofoam.
Bank sampah menjadi titik simpul penting guna
mengurangi timbulan sampah. Bank sampah akan
mereduksi jumlah sampah yang dibuang ke tempat
pemrosesan akhir (TPA) sampah. Bank sampah menjadi
penggerak mekanisme reduce, reuse, dan recycle (3R).
Bank sampah mampu mengolah sampah nonorganik
rumah tangga menjadi produk baru, misalnya berupa
kerajinan tangan. Inilah konsep daur ulang. Kerajinan
tangan itu bisa menjadi cindera mata yang laku dijual.
Banyak bank sampah yang mendaur ulang sampah
plastik menjadi tas, tempat minuman, atau tempat tisu.
Ada pula bank sampah yang membuat ecobrick dari botol
bekas kemasan minuman.
Memang, bank sampah tak bisa mengolah semua
jenis sampah yang disetorkan nasabah. Bank sampah akan
menjual sampah ini ke pengepul atau pelapak sampah.
Oleh pengepul atau pelapak, sampah itu dijual ke
pabrik daur ulang. Mekanisme ini bisa mengurangi jumlah
sampah yang dibuang ke TPA.
Perjalanan Menuju Bank Sampah
Menangani sampah rumah tangga secara benar
tentu butuh kesadaran, serta sedikit tambahan waktu dan
tenaga. Proses memilah sampah menjadi kunci penting.
Setidaknya, pisahkanlah sampah kering dan sampah
basah. Sampah basah bisa diproses menjadi kompos.
Caranya beragam. Bisa memakai takakura. Bisa
pula ditimbun ke dalam lubang biopori. Kalau mau agak
moderen sedikit, bisa gunakan biodigister.
Sampah kering bisa dijual ke bank sampah. Bawa
sampah ke bank sampah. Lalu, petugas bank sampah akan
menimbang sampah. Proses berikutnya adalah mencatat
tabungan sampah nasabah. Setelah semua selesai,
nasabah akan mendapatkan beberapa uang. Nasabah
bank sampah bisa langsung membawa pulang uang
hasil penjualan sampah. Atau, nasabah bisa menabung
uangnya di bank sampah. Nasabah tak perlu khawatir
uangnya akan lenyap. Namanya juga bank. Uang nasabah
akan disimpan dengan aman. Dan, semua tercatat di
dalam buku rekening nasabah bank sampah.
Bank adalah tempat menabung uang. Itu bank
konvensional. Nah, kalau bank sampah, adalah
tempat menabung sampah. Pola kerjanya mirip
dengan bank benaran. Di bank sampah, warga
bisa mendapatkan uang dengan menjual sampah
yang dihasilkan dari rumah tangga.
Jadi, ibu-ibu.... Sekarang bank itu bukan cuma tempat menyimpan uang saja, lho. Sekarang sudah ada yang namanya bank sampah. Kalau ibu-ibu punya sampah
di rumah, jangan dibuang seperti selama ini. Ibu-ibu pilah.
Pisahkan sampah kering dan sampah basah. Sampah
basah ibu-ibu jadikan kompos. Gampang kok caranya.
Sedangkan sampah kering bisa ibu-ibu setor ke bank
sampah, lalu ditimbang di bank sampah. Trus, sampah itu
dihargai oleh bank sampah. Jadi, ibu-ibu sekarang harus
sadar bahwa sampah itu juga bisa dijadikan uang”.
Perempuan berkerudung itu bicara cukup panjang.
Agaknya, dia terkesima dengan sebuah bentuk baru
pengelolaan sampah bernama bank sampah. Betapa tidak.
Selama ini orang mengenal bank sebagai tempat menabung
uang. Pokoknya, bank adalah tempat segala macam lalu
lintas transaksi keuangan. Eh, tiba-tiba kini ada bank sampah.
Perempuan itu bernama lengkap Tri Rismaharini.
Orang lebih mengenalnya dengan panggilan Bu Risma.
Ya, dia adalah Walikota Surabaya, Jawa Timur. Dengan
antusias, Risma mengajak warga Surabaya mulai
memanfaatkan keberadaan bank sampah sebagai sarana
mengelola sampah. Risma menyampaikan hal itu saat
meresmikan bank sampah di Jalan Simo Jawar, Surabaya,
pada Agustus 2018.
Risma membeberkan dengan sederhana ihwal
bank sampah. Uraian Risma itu amat mengena. Sebab,
memang seperti itulah konsep bank sampah. Fungsi
bank sampah adalah untuk menampung sampah
dari rumah, lalu memanfaatkan kembali atau menjual
sampah itu .
Ada satu ketentuan hukum yang mengatur ihwal
bank sampah. Ketentuan itu berupa Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2012,
tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, dan
Recycle Melalui Bank Sampah. Konsep 3R (reduce, reuse,
recycle) menjadi kata kunci penting dalam Permen
itu . Dalam bahasa negara kita , istilah 3R menjadi
“batasi sampah”, “guna ulang sampah”, dan “daur ulang
sampah”.
Definisi kegiatan 3R dalam Permen itu adalah
“segala aktivitas yang mampu mengurangi segala
sesuatu yang dapat menimbulkan sampah, kegiatan
penggunaan kembali sampah yang layak pakai untuk
fungsi yang sama atau fungsi yang lain, dan kegiatan
mengolah sampah untuk dijadikan produk baru”. Dalam
Permen itu, definisi bank sampah adalah “tempat
pemilahan dan pengumpulan sampah yang dapat
didaur ulang dan/atau diguna ulang yang memiliki nilai
ekonomi”.
Permen No. 13/2012 ini mengatur cukup detil
tentang bank sampah. Bank sampah harus memiliki
konstruksi bangunan dan sistem manajemen bank
sampah. Konstruksi bangunan yang dipersyaratkan
dalam Permen memiliki luas lantai lebih kurang atau
sama dengan 40 meter persegi. Juga diatur mengenai
dinding, pintu, pagar, atap, dan berbagai komponen
bangunan lainnya. Aturan ini ada pada Lampiran I
Permen No. 13/2012.
Selain mengatur soal bangunan, Permen No. 13/2012
juga mengatur ihwal manajemen bank sampah. Salah
satunya adalah ketentuan mengenai pendidikan paling
rendah yang harus dimiliki direktur bank sampah, yakni
minimal SMA atau sederajat.
Ada pula klausul tentang bentuk bank sampah. Pada
Permen No. 13/2012, bank sampah bisa berbentuk koperasi
atau yayasan. Sebagian besar bank sampah di negara kita
memiliki badan hukum berupa koperasi atau yayasan.
Namun, ada pula bank sampah yang tidak memakai
badan hukum koperasi atau yayasan. Bank Sampah
Makassar memakai bentuk lain, yakni berupa Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Karenanya, Bank Sampah
Makassar berada di bawah pemerintahan kota Makassar.
TABEL 2. Standar manajemen bank sampah dalam Permen LH No. 13/2012.
Uang Sebagai Biaya Operasional
Prinsip dasar bank sampah adalah melibatkan peran
serta warga dalam pengelolaan sampah. warga
harus dibangun kesadarannya bahwa persoalan sampah
adalah persoalan bersama. Bank sampah hanyalah sebuah
titik simpul bagi warga untuk mengumpulkan
sampah. warga diharapkan dengan sadar dan
sukarela menyetorkan sampah yang dihasilkannya ke
bank sampah.
Tentu saja tak hanya sekadar menyetor sampah. Yang
jauh lebih penting adalah menggerakkan warga
agar bersedia memilah sampah sejak dari rumah. Minimal,
sampah yang disetorkan ke bank sampah sudah terpilah
antara sampah organik dan sampah nonorganik.
Sebagian besar bank sampah di negara kita hanya
menerima sampah nonorganik. Pengelola bank sampah
lantas mengolah sampah nonorganik menjadi produk
kerajinan. Bank Sampah Sukunan, Sleman, Yogyakarta,
bahkan sudah bisa menghasilkan batako tahan gempa
yang dibuat dari sampah plastik atau kaca.
Memang, tak semua bank sampah berhasil menjajakan
produk kerajinan dari sampah daur ulang. Biasanya, harga
kerajinan daur ulang sampah ini lebih mahal ketimbang
produk sejenis yang berasal dari pabrik. Inilah yang
membuat hasil kerajinan bank sampah kalah bersaing.
Kondisi ini membuat sebagian bank sampah enggan
mendaur ulang sampah menjadi produk kerajinan.
Mereka lebih memilih menjual langsung sampah kepada
pengepul atau pelapak.
Ada pula bank sampah yang juga menerima sampah
organik. Sampah organik berasal dari sisa makanan atau
sisa hasil memasak di dapur. Sampah ini bisa dijadikan
pupuk kompos. Bank Sampah Induk Gemah Ripah di
Bantul, Yogyakarta, misalnya, bahkan sudah memiliki
gudang luas sebagai tempat pengomposan.
Kini, ada pula bank sampah yang juga menerima
minyak jelantah. Biasanya, warga membuang
minyak jelantah ini ke saluran pembuangan air. Tentu
saja, hal ini dapat memicu pencemaran lingkungan.
Salah satu bank sampah yang menerima minyak jelantah
adalah Bank Sampah Rumah Harum di Depok, Jawa Barat.
Bank Sampah Rumah Harum menjual minyak jelantah ke
pabrik yang memproduksi bahan baku biodiesel.
Dari hasil mengelola sampah, bank sampah tentu
saja memperoleh beberapa uang. Ada bank sampah yang
memiliki omset sampai miliaran rupiah dalam setahun.
Tentu saja keuntungannya lumayan besar. Tapi, tak
sedikit pula bank sampah yang beromset kecil. Sebagian
pengelola bank sampah yang beromset kecil ini tak lantas
berkecil hati. Mereka menyadari bahwa pengelolaan
sampah bukan semata urusan uang belaka. Ada nilai
sosial dan cinta lingkungan di balik pengelolaan sampah.
Sebagian besar bank sampah di negara kita
menggantungkan biaya operasionalnya dari selisih
harga membeli sampah nasabah dan menjual sampah
ke pelapak. Ada pula yang sebagian penghasilannya
diperoleh dari menjual produk kerajinan daur ulang
sampah. Mereka mengelola bank sampah secara mandiri,
tanpa mendapatkan bantuan dari pihak mana pun.
Letih? Pasti Iya...
Bank sampah akan membantu membangun kesadaran
warga agar peduli dengan urusan pengelolaan
sampah. Bambang Suwerda menyematkan filosofi penting
dalam pengelolaan bank sampah: memilah sampah. Proses
pemilahan dilakukan secara berjenjang. Nasabah bank
sampah memilah sampah di rumah. Minimal memilah dan
memisahkan sampah organik dan sampah nonorganik.
Nasabah lalu menyetorkan sampah ke bank sampah.
Kebanyakan bank sampah hanya menerima sampah
nonorganik.
Proses pemilahan sampah tidak berhenti sampai di
situ saja. Setibanya di bank sampah, petugas bank sampah
kembali memilah sampah nonorganik. Pemilahannya
berdasarkan jenis sampah nonorganik yang laku dijual.
Setiap bank sampah memiliki kategori jenis sampah yang
mereka terima dari nasabah.
Bank sampah membeli sampah nasabah dengan
harga fluktuatif. Harga sampah ini tergantu dari harga
jual sampah kepada pengepul atau pelapak. Yang jelas,
harga jual sampah ke pengepul atau pelapak ini harus
lebih besar ketimbang harga beli bank sampah kepada
para nasabahnya. Pengelola bank sampah mendapatkan
selisih harga. Inilah yang digunakan pengelola bank
sampah sebagai dana operasional.
Filosofi memilah sampah terkadang sulit diterima
warga . Utamanya warga perkotaan yang
mengaku tak punya waktu memilah sampah. Memang,
ada nilai ekonomis yang bisa didapat warga dari
proses pemilahan, lalu menyetorkan sampah ke bank
sampah. Tapi, iming-iming uang ini biasanya tak mempan
membujuk warga untuk mulai memilah sampah sejak
dari rumah. Apalagi, nilai rupiahnya sesungguhnya tak
seberapa besar.
Karenanya, tak jarang warga menolak konsep
bank sampah. Syaifuddin Islami, seorang pegiat bank
sampah di Padang, Sumatra Barat, tahu persis ihwal
penolakan ini. Saat mengampanyekan bank sampah,
Syaifuddin kerap membentur tembok. “saat saya
sampaikan jumlah uangnya segini, banyak kok warga
yang mencibir,” ujar Ilam, sapaan Syaifuddin Islami.
Saharuddin Ridwan, penggagas Bank Sampah
Makassar, juga mengalami hal yang sama. Mantan jurnalis
televisi ini bahkan pernah diancam saat melakukan
sosialisasi bank sampah di salah satu sudut Kota Makassar.
saat masuk ke sebuah kawasan, beberapa preman
mengadang Sahar. “Mereka tak butuh sosialisasi bank
sampah. Mereka butuhnya bantuan uang,” kata Sahar
mengenang kejadian sekian tahun silam.
Pengalaman nol dalam urusan pengelolaan sampah,
juga kadang menjadi kendala. Kisah Hermansyah,
pengelola Bank Sampah Rumah Harum Depok, Jawa Barat,
cukup miris. Lantaran tak punya banyak pengetahuan, dia
pun mengajak seseorang yang dikenalnya di TPA Bantar
Gebang untuk membantunya. “Eh, saya malah ditipu,” ucap
Hermansyah tersenyum, mengingat pengalamannya itu.
Banyak suka duka para pengelola bank sampah
dalam mengajak warga untuk peduli dengan pengelolaan
sampah. Tak jarang, para pelopor bank sampah ini harus
menempuh jalan sunyi, bahkan berjuang seorang diri.
Letih? Tentu saja iya.... Tapi, mereka tetap bertahan
mengelola bank sampah. Semangat tak pernah patah.
Mereka meyakini, bank sampah bisa menjadi tumpuan
mengatasi persoalan sampah.
Rata-rata mereka menyadari, bukan perkara mudah
mengubah kebiasaan warga dalam menangani
urusan sampah. Selama ini, layanan pengangkutan sampah
yang dilakukan pemerintah daerah setempat sudah
memanjakan warga . Tapi, proses pengangkutan
sampah dari sumber sampah ke TPA sampah sudah tak
bisa lagi dijadikan solusi. Tumpukan sampah di banyak
TPA di negara kita kini sudah menggunung. Apalagi jika
TPA-nya hanya memakai sistem open dumping.
Bank sampah diharapkan bisa menjadi solusi
mengatasi persoalan sampah. Seperti kata Bu Risma,
Walikota Surabaya, dibandingkan sampah dibuang, lebih baik
dipilah. Lalu disetorkan ke bank sampah. Sampah tak
cuma menjijikkan. Di balik sampah, ada beberapa rupiah.
Dan, warga bisa memperoleh rupiah itu dari bank
sampah.
Jika tak ada Bambang Suwerda, boleh jadi
negara kita tak mengenal bank sampah. Bambang
Suwerda tak hanya seorang “pendekar sampah”.
Rasanya, “maqam”-nya sudah melebihi itu. Dia
juga sosok yang menjadi acuan banyak pihak
dalam urusan mengelola sampah. Begitu pula
pasangan suami istri – Iswanto dan Endah –
tempat Bambang banyak berdiskusi dan berbagi
pengalaman soal pengelolaan sampah.
Sabtu, 27 Mei 2006. Matahari belum lagi menyembul sempurna dari balik peraduannya. Hari masih terbilang pagi, pukul enam kurang. Tapi, guncangan
gempa dahsyat begitu mengejutkan warga Yogyakarta
dan sekitarnya. Gempa membangunkan sebagian warga
yang masih tertidur pulas. Yogyakarta pun luluh lantak oleh
bumi bergetar dengan kekuatan 5,9 pada Skala Richter.
Tak terkecuali di Pedukuhan Badegan, Kabupaten
Bantul. Warga berhamburan keluar rumah. Hiruk-pikuk
tak karuan. Semua berlarian menyelamatkan diri. Namun,
korban tetap saja tak bisa terelakkan. Lebih dari empat ribu
orang meninggal di Kabupaten Bantul, termasuk warga di
Badegan.
Pasca gempa, warga Yogya pun mulai kembali menata
kehidupan. Pemerintah pusat mengucurkan bantuan
bagi warga terdampak gempa. Bantuan itu menjadi
modal warga menata kembali kehidupan mereka. Warga
membangun rumah yang hancur atau rubuh. Secara
perlahan, kehidupan di Badegan kembali pulih.
Ibarat dua sisi mata uang, bencana tak hanya
menyisakan kedukaan. Ada hikmah yang terselip di balik
bencana. Salah satu hikmah pasca gempa adalah semakin
guyub-nya kehidupan warga. Perasaan senasib sebagai
korban gempa mempererat tali silaturahmi antarwarga.
Sebelum gempa, obrolan antarwarga hanya terjadi
sesekali. Semua warga sibuk dengan urusan masing-
masing. Tapi setelah gempa, ada satu titik yang membuat
interaksi antarwarga menjadi lebih intensif: dapur umum.
Mereka saling bertukar sapa dan berbagi cerita, di sela-
sela menyiapkan ransum bagi warga.
Dapur umum memang semakin mempererat
silaturahmi antarwarga. Namun, dapur umum pun
memunculkan sisi negatif: sampah berserakan. Bekas
kaleng makanan salah satunya. Akibatnya, penyakit
mulai berdatangan. Yang paling parah adalah demam
berdarah.
Kondisi inilah yang akhirnya memicu seorang warga
Badegan bernama Bambang Suwerda. Sebagai dosen
kesehatan lingkungan di Politeknik Kesehatan (Poltekes)
Yogyakarta, Bambang prihatin dengan kumuhnya
lingkungan tempatnya bermukim. Sampah berserakan.
Nyamuk pembawa penyakit demam berdarah begitu anteng
berkembang biak dalam lingkungan seperti itu. Bambang
mendapatkan data dari Puskesmas 2 Kabupaten Bantul. Dia
cukup kaget karena ternyata cukup banyak warga Dusun
Badegan yang terserang penyakit demam berdarah.
Tak hendak hanya berdiam diri, Bambang pun bergerak
cepat. Dua tahun setelah gempa, tepatnya pada Februari
2008, Bambang menginisiasi berdirinya Bengkel Kerja
Kesehatan Lingkungan. Kala itu, bengkel kerja baru sebatas
lingkup RT 12, tempat Bambang tinggal. Bambang sengaja
menamakannya dengan embel-embel kata “bengkel kerja”.
Dia ingin aktivitas di tempat yang didirikannya itu bisa
menghasilkan pekerjaan pula bagi warga.
Singkat cerita, Bambang pun lalu disibukkan dengan
kegiatan di bengkel kerja itu . Salah satu yang menjadi
fokus perhatian Bambang adalah sampah styrofoam
yang berasal dari kemasan peralatan elektronik. saat itu,
setiap keluarga memperoleh bantuan uang tunai sebesar
15 juta rupiah. Sebagian warga membelanjakan uang
itu untuk membeli kulkas atau televisi. Styrofoam itu
berasal dari kardus pembungkus barang elektronik yang
dibeli warga.
Kebetulan, di depan rumah Bambang bermukim
seorang seniman Bantul bernama Nursahid. Bambang
menantang Nursahid untuk berkreasi menciptakan
karya seni dengan bahan baku styrofoam, melalui proses
solidifikasi. Styrofoam diparut, lalu dicampur dengan pasir
dan semen. “Tahun 2008 itu kan menjelang pemilu. Jadi,
banyak calon legislatif (caleg) yang butuh dudukan bendera
untuk dijadikan suvenir dan dibagikan ke warga,” kata
Bambang. Dan, akhirnya berhasillah Nursahid menciptakan
dudukan bendera dari bahan baku styrofoam. Banyak
caleg yang tertarik dengan suvenir buatan Nursahid. Hasil
penjualan dudukan bendera itu sebagian untuk Nursahid,
sebagian lagi masuk ke kas bengkel kerja.
ATM tanpa Uang dan Mesin
Perlahan, sampah styrofoam berkurang. Tapi,
Bambang masih melihat banyak sampah lain yang belum
tertangani. Salah satunya adalah kemasan plastik yang
mengandung aluminium foil. Jika dijual, sampah jenis
ini nilai rupiahnya tidak seberapa. Tak banyak pemulung
yang bersedia memungutnya.
Beruntung, Bambang mempunyai kenalan di Desa
Sukunan, Sleman. Sepasang suami istri – Iswanto dan
Endah – sejak 2001 sudah berinisiatif melakukan aktivitas
pengurangan sampah di Sukunan. Iswanto adalah kolega
Bambang sesama dosen di Poltekes Yogyakarta. Bambang
ikut andil membantu Iswanto dan Endah membina
warga Sukunan mengelola sampah secara mandiri. Salah
satu kegiatannya adalah mendaur ulang sampah plastik
menjadi berbagai macam produk. “Jadi, saya minta tolong
ke pak Iswanto dan bu Endah untuk mengajari warga
Badegan membuat produk yang berasal dari sampah
plastik,” ujar Bambang.
Dengan senang hati, Iswanto dan Endah lalu
memberikan pelatihan singkat bagi warga Badegan.
Dari situlah, warga kemudian bisa membuat beraneka
kerajinan dari daur ulang sampah plastik. Mereka mampu
menghasilkan berbagai produk seperti tas, bunga imitasi,
atau rompi.
Bambang tak segan menjelaskan bahwa ide
bengkel kerja yang dia dirikan di Badegan terinspirasi
dari pengelolaan sampah yang dilakukan Iswanto dan
Endah di Sukunan. Namun, Bambang menyadari, konsep
pengelolaan sampah secara mandiri seperti yang dilakukan
di Sukunan, rasanya bakal sulit dia terapkan di Badegan.
Ada perbedaan yang cukup mencolok antara
warga di Sukunan dan di Badegan. Di Sukunan,
ikatan sosial antarwarga masih sangat erat. Sementara, “Di
Badegan, karena wilayah ini desa ndak, kota pun belum
– saya menyebutnya sub-urban transisi – ikatan sosial
antarwarga tak sekuat di Sukunan. Jadi, bakal susah kalau
saya mencontoh mentah-mentah konsep di Sukunan,”
tutur Bambang.
Bambang melihat bahwa gerakan pengelolaan
sampah di Sukunan sudah berhasil. Karenanya, ia pun
meminta izin kepada Iswanto dan Endah untuk mulai
melakukan gerakan pengelolaan sampah secara swadaya
di wilayahnya di Badegan. Menyadari perbedaan cara
hidup warga Badegan dan Sukunan, Bambang pun
menerapkan konsep ATM: amati, tiru, dan modifikasi,
untuk memulai gerakan pengelolaan sampah di Badegan.
Akhirnya lahirlah Bengkel Kerja Kesehatan Lingkungan
pada Februari 2008.
Bambang merasa ikatan pertemanannya dengan
Iswanto dan Endah sudah menjurus layaknya saudara.
Itulah yang membuatnya tak segan meminta bantuan
pasangan suami istri itu . Salah satu bentuk bantuan
yang Bambang peroleh berupa pelatihan membuat
kerajinan dari daur ulang sampah.
Lalu, Bambang berjumpa Sri Hartini, seorang pengrajin
di Bantul. Sama seperti saat Bambang bertemu
dengan Nursahid dan mengajaknya mengolah sampah
styrofoam, dia pun menyodorkan tawaran kerja sama
dengan Sri Hartini. Sebagai seorang pengrajin, Sri Hartini
tak menampik ajakan Bambang. Dan, bertambahlah
lagi produk bengkel kerja kesehatan lingkungan dengan
memanfaatkan sampah plastik berupa hasil karya Sri
Hartini.
Buku Tabungan Pembawa Ide
Pada suatu malam di tahun 2008 itu juga, Bambang
tengah melamun di teras rumahnya. Dia berpikir keras,
bagaimana cara melibatkan semakin banyak warga
Badegan untuk peduli mengelola sampah. Sebab,
dengan mendaur ulang sampah styrofoam dan plastik
saja, masih sedikit warga yang menunjukkan antusiasme.
Entah kenapa, pikirannya membawa Bambang ke
buku tabungannya. Setiap bulan, gajinya sebagai dosen
Poltekes Yogyakarta selalu ditransfer ke bank. Setiap kali
akan mengambil gaji, Bambang pasti membawa buku
tabungannya.
Dan, eureka! Bambang pun mendapatkan ilham:
membuat bank sampah. “Salah satu konsep bank itu
kan adalah tempat menabung. Jadi, saya pun terinspirasi
membuat bank sampah. Cuma, kalau di bank sampah,
bukan uang yang ditabung, melainkan sampah,” ujar
Bambang.
Keesokan harinya, sepulang dari kampus, Bambang
singgah di sebuah toko buku. Dia membeli notes kecil yang
ada kolom-kolomnya. “Seperti buku saku pramuka zaman
dulu,” kata Bambang. Setibanya di rumah, Bambang
mengajak pengurus bengkel kerja mendiskusikan ide
pembentukan bank sampah. Bambang akan menjadikan
notes kecil yang dibelinya sebagai buku tabungan
nasabah bank sampah. Itulah awal mula terbentuknya
Bank Sampah Gemah Ripah.
Kini, buku tabungan nasabah Bank Sampah Gemah
Ripah sudah bukan lagi notes kecil seperti yang dulu
dibeli Bambang. Buku tabungannya sudah menyerupai
buku tabungan bank. Semua uang hasil setoran sampah
nasabah Bank Sampah Gemah Ripah, dicatat pada buku
itu. Nasabah bisa tahu berapa jumlah saldo yang dimiliki.
Bambang tak asal ngecap soal idenya mendirikan bank
sampah. Kepada rekan-rekannya pengelola bengkel kerja,
Bambang menyampaikan kalau dia sudah menghubungi
seorang pelapak sampah di kampung sebelah Badegan.
Pelapak itu bernama Nasrullah. Bambang menanyakan
sampah jenis apa saja yang laku dijual ke Nasrullah dan
berapa harganya.
Gagasan bank sampah pun diterima teman-
temannya. Pertama kali menggagas bank sampah,
bengkel kerja kesehatan lingkungan belum memiliki
modal. Mereka belum berani membeli sampah dari warga.
Yang dilakukan saat itu hanya menimbang sampah
yang disetor warga. Setelah ditimbang, sampah warga
dibawa ke lapak Nasrullah. Lalu, ditimbang ulang lagi,
untuk menentukan harga jual sampah. Harga itulah yang
disampaikan ke warga yang sudah menyetorkan sampah.
“Kami meminta keikhlasan warga untuk memberikan 15
persen dari harga sampah, sebagai kas bank sampah. Dan,
semua kami lakukan secara transparan. Soal uang kan
biasanya sensitif,” ujar Bambang.
Anget-anget Tahi Ayam
Dimulailah operasional Bank Sapah Gemah Ripah di
Dusun Badegan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Bambang
sengaja memilih nama Gemah Ripah. Selain mengandung
makna simbolisasi kesejahteraan dan kemakmuran,
ternyata Gemah Ripah juga merupakan singkatan dari
gerakan memilah dan me-reduce sampah.
Di masa awal berdiri, nasabah Bank Sampah Gemah
Ripah masih amat sedikit. Jumlah kepala keluarga di
Badegan saat itu sebanyak 600 kepala keluarga. Yang
tertarik menjadi nasabah Bank Sampah Gemah Ripah
hanya 20-an keluarga. Karena itu, Bank Sampah Gemah
Ripah hanya buka sekali sepekan. Setiap Jumat. Itu pun
hanya buka dari selepas salat asar dan tutup menjelang
salat magrib. “Saat salat asar di masjid, saya atau pak RT
mengumumkan kepada warga melalui pengeras suara
bahwa bank sampah sebentar lagi akan dibuka,” kata
Bambang mengenang kejadian tahun 2008 lampau. Bank
Sampah Gemah Ripah pun saat itu menjual sampah ke
pelapak hanya setiap tiga bulan sekali.
Menjelang Hari Lingkungan Hidup sedunia, 5 Juni 2008,
Bambang dan kawan-kawan pun ngebut mencari warga
yang mau diajak menabung sampah di bank sampah.
Bambang juga menyambangi Dinas Lingkungan Hidup
Bantul, menyodorkan proposal bank sampah. Sayang,
respon Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bantul tak
seindah harapannya. Pejabat di sana malah menggelari
Bambang sebagai “orang gila”. “Mereka terheran-heran,
kok yang ditabung bukan uang, tapi sampah. Mereka
merasa bahwa gerakan ini ndak akan berhasil. Ibarat
kata, gerakan kami cuma anget-anget tahi ayam,” kata
Bambang terkekeh.
Mendapat julukan miring sebagai “orang gila”, tak
membuat Bambang patah arang. Dia yakin, kegilaannya
akan berbuah hasil. Pun, Bambang menyadari tantangan
dan kendala yang bakal dia hadapi di depan. Termasuk
tudingan bahwa Bambang akan menjadikan bank
sampah sebagai kendaraan mendongkrak popularitas
untuk meningkatkan karirnya sebagai dosen Poltekes
Yogyakarta.
Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Prinsip itulah
yang dipakai Bambang. Dia mulai memikirkan konsep
bank sampah gagasannya itu . Yang Bambang tahu,
bank sebagai tempat menabung uang memiliki struktrur
organisasi yang jelas. Bambang mau bank sampah
gagasannya ini harus pula memiliki struktur organisasi.
“Inti dari sebuah bank adalah manajemen. Jadi, bank
sampah ini juga harus mempunyai manajemen, seperti
halnya bank tempat menabung uang,” ujar Bambang.
Struktur Bank Sampah Gemah Ripah pun mengikuti
struktur manajemen modern. Ada jabatan direktur utama,
direktur, dan jabatan lain. Bahkan, Bank Sampah Gemah
Ripah juga memiliki teller.
Bambang optimis Bank Sampah Gemah Ripah bisa
menjaring separuh dari total 600 keluarga di Badegan.
Namun, kenyataan pahit harus dia hadapi lantaran hanya
mampu mengajak 20 keluarga. Bambang menyadari, tak
gampang mengubah kenyamanan seseorang. Selama ini,
warga Badegan sudah terbiasa dengan cara membuang
atau membakar sampah. Atau, membiarkan petugas
pengangkut sampah mengambil sampah mereka,
meskipun harus membayar iuran.
Belum lagi potongan 15 persen yang dibebankan
kepada para nasabah dari harga sampah yang dibeli bank
sampah. Susah payah Bambang menjelaskan kepada
nasabah bahwa potongan 15 persen itu akan dipakai bank
sampah sebagai biaya operasional.
Bagi orang kebanyakan, kondisi seperti itu mungkin
bisa membuat menyerah. Tapi, tidak bagi Bambang. Dia
kembali “menggila”. Lalu, muncullah sebuah prinsip.
“Saya melihat yang mau jadi nasabah bank sampah. Saya
tidak melihat warga yang menolak jadi nasabah. Dengan
begitu, saya tetap punya semangat membesarkan bank
sampah ini,” kata Bambang.
Bambang lalu menyambangi dusun lain di sekitar
Badegan. Dia berkeyakinan, bakal ada warga yang
tertarik menjadi nasabah bank sampah. Sekecil apa pun
jumlahnya, Bambang tak peduli. Dia datangi beberapa
arisan warga, meminta waktu untuk menyampaikan
ihwal bank sampah. Betul memang, ada saja warga yang
tertarik jadi nasabah. Kendati hanya satu atau dua warga.
Bagi Bambang, satu atau dua warga itu sudah cukup.
Setidaknya bisa menjadi magnet penarik warga lain
bergabung menjadi nasabah.
Bermula dari dua puluh keluarga pada 2008, dua
tahun kemudian nasabah Bank Sampah Gemah Ripah
meningkat menjadi seratus keluarga. Peningkatan itu
memang tak secepat yang dibayangkan Bambang. Dia
menyadari, butuh kerja keras lagi untuk membujuk
warga. Dan, usaha itu berbuah hasil manis. Pada 2012,
nasabah Bank Sampah Gemah Ripah sudah mencapai
500 keluarga.
Bocah yang Tergopoh-gopoh
Untuk menarik nasabah, Bambang memberikan
apresiasi. Nilainya memang tak seberapa. Tapi, bagi
Bambang, kesungguhan dari nasabah Bank Sampah
Gemah Ripah-lah yang menjadi arti penting dari
pemberian apresiasi ini. Hebatnya, apresiasi diberikan
kepada anak-anak nasabah, berupa buku dan alat tulis.
Ternyata, perhatian kepada anak-anak ini bukan
sekadar sebuah kebetulan. Sedari awal, Bambang
memang sudah memikirkan konsep bank sampah
dikaitkan dengan anak-anak. Buku tabungan nasabah
diwajibkan atas nama anak, jika nasabah memiliki ana