inspiratif 2

 


yang cukup memuaskan. Semua siswa 

menunjukkan muka keceriaan menyambut kelulusan tersebut, 

walau demikian tak dapat dipungkiri bahwa mereka mencoba 

menyembunyikan muka kegelisahannya saat itu, begitupun 

denganku. Kegelisahan ini masih ada karena hasil SNMPTN 

Undangan baru diumumkan pukul   .  . Malam itu akan 

berlangsung malam perpisahan di sekolahku. Aku bersama 

kawan-kawan sekelas sejak awal berencana untuk melihat 

pengumuman hasil SNMPTN Undangan setelah malam 

   

 

perpisahan selesai agar apapun hasilnya tidak merusak 

suasana.  

Malam perpisahan telah usai, kini waktu yang paling 

mendebarkan bagiku dan teman-teman sekelasku. Kami 

melihat pengumuman hasil SNMPTN Undangan bersama-sama. 

Dan ternyata Allah berkehendak lain. Sesak dadaku membaca 

pengumuman yang tidak meloloskanku dalam SNMPTN 

Undangan. Aku melihat sebagian temanku meluapkan 

kegembiraannya karena diterima, dan ada pula yang menangis 

karena kegagalannya. Aku mencoba menguatkan diri, tegar 

menghadapi kenyataan yang pahit ini. Namun sesungguhnya 

aku tengah dalam keterpurukan yang luar biasa hingga tiga 

hari lamanya. Sungguh pahit menceritakan kenyataan ini 

kepada keluargaku yang berharap penuh akan keberhasilanku 

di SNMPTN Undangan ini, namun mereka mencoba 

menguatkanku dengan segala upaya karena masih ada 

kesempatan di SNMPTN Tulis yang harus kuambil walau dengan 

kemungkinan keberhasilan yang lebih kecil. 

Pasca dalam keterpurukan, aku mencoba bangkit. Aku 

memberanikan diri mendaftar SNMPTN Tulis. Aku hanya bisa 

berusaha mandiri dan belajar secara otodidag mengenai 

materi-materi yang bakal diujikan dalam SNMPTN Tulis. 

Padahal orangtua telah membujukku untuk mengikuti program 

bimbingan belajar, namun aku tahu daripada biaya keluar 

untuk itu lebih baik digunakan untuk memenuhi kebutuhan 

   

 

yang lain, terutama kebutuhan sekolah adik dan kuliah kakak. 

Aku tidak ingin terlalu membebani dengan keinginanku.  

Hari-hari menjelang SNMPTN Tulis kulalui tanpa 

sesaatpun meninggalkan buku-buku yang menjadi senjata 

bagiku untuk belajar secara mandiri. Walau sekolah telah sepi 

karena kegiatan akademik telah usai bagi kelas XII, aku 

menyempatkan diri untuk berkunjung ke sekolah setiap hari 

untuk belajar dan sekedar bertanya soal ke guru-guru yang 

luang pada waktu itu. Dan Bu Puspa adalah guru teladan 

bagiku. Ia bahkan menyisikan waktunya di sela-sela 

kesibukannya mengajar untuk mengajariku. Banyak hal yang 

kudapatkan dari beliau, termasuk dukungan moriil dalam 

menghadapi SNMPTN Tulis yang sangat berat. Dan atas petuah 

beliau pula, aku tak pernah meninggalkan sholat dhuha dan 

tahajjud untuk memohon petunjuk yang terbaik dari Yang 

Maha Kuasa. 

   Juni     , akhirnya hari itu datang juga, hari dimana 

perjuanganku meraih mimpi besarku dipertaruhkan. Sebelum 

berangkat menuju tempat ujian, aku menghubungi ibuku untuk 

memohon doa restu karena selama ini aku tinggal jauh dari 

keluarga, aku tinggal di kos karena sekolahku berada di pusat 

kota yang notabene jauh dari tempat tinggalku dan keluargaku. 

Setelah mendapat restu, tak sedikitpun kulewatkan sholawat 

dalam bibirku sepanjang perjalanan menuju tempat ujian. Kini 

tengah menjadi kebiasaanku untuk mengucap sholawat 

dimanapun aku berada karena aku yakin Allah akan 

   

 

menjanjikan masa depan yang terbaik bagi hamba-Nya yang 

bertaqwa. Dan benar saja, Allah memudahkan jalanku 

menjalani ujian pagi itu. Aku serasa mendapatkan hidayah 

yang tak terkira, ketenangan hati dalam menjawab setiap soal 

membuatku semakin bersyukur atas nikmat yang 

dikaruniakan-Nya. 

SNMPTN Tulis pun berlalu. Hari-hari pasca ujian kulalui 

hanya di rumah, membantu aktivitas keluarga seraya taqorrub 

(mendekatkan diri kepada Allah) menanti pengumuman hasil 

SNMPTN Tulis. Satu bulan lamanya kulalui tanpa sekalipun 

kutinggalkan dhuha dan tahajjud. Aku merasakan kehadiran 

Allah, Tuhan Semesta Alam, di sepertiga malam aku terjaga 

dalam kekhusyukan sholat malamku. Sudah tak terhitung lagi 

berapa sholawat dan bacaan tasbih yang kupanjatkan dalam 

sujudku di malam yang sunyi itu. Memang cita-citaku untuk 

bisa diterima di Universitas Mpu Nala  sangat kuat, namun dikala aku bimbang 

menanti pengumuman penentu masa depanku itu, aku hanya 

berdoa kepada-Nya bahwa semoga apapun hasilnya nanti, 

itulah yang terbaik bagiku dan aku menerimanya dengan 

ikhlas.  

Tak jarang kuteteskan air mata saat kutahu betapa 

pedulinya keluarga akan cita-citaku ini. Betapa tidak, Ibu dan 

adikku tak lupa turut mendoakan agar impianku untuk bisa 

diterima di Universitas Mpu Nala  dalam sholat malamnya, begitupun dengan 

nenekku yang selalu mendampingiku saat sholat malam. Ia 

yang selalu membangunkan, mengingatkan, serta bersamaku 

   

 

dalam menjalankan sholat malam, bahkan tak jarang tanteku 

juga turut dalam sholat yang penuh hidayah itu setiap harinya. 

Kami menyambut kehadiran Allah dalam sepertiga malam 

dengan penuh harapan, harapan agar Allah senantiasa 

memberikan petunjuk kepada kami. 

 Hari berganti hari, tak terasa hari itu datang juga.   

Juni     , semua perhatian tertuju pada pengumuman hasil 

SNMPTN Tulis. Pertaruhan perjuangan panjang demi masa 

depan kini akan dibuktikan, aku hanya bisa terpangku di rumah 

dengan penuh kegelisahan. Degup jantung terasa kencang. Aku 

takut akan segala kenyataan yang akan kuterima, aku ragu 

untuk melangkahkan kaki untuk mengunjungi warung internet 

(warnet) dekat rumah untuk menyaksikan pengumuman. Hasil 

SNMPTN Tulis diumumkan pukul   .   di situs resmi 

Kemendikbud.  

Aku berjalan dalam gulita malam menuju warnet dekat 

rumah. Sampai di tempat pun, jantungku dibuat semakin 

berdebar-debar karena situs resmi Kemendikbud sulit diakses. 

Aku yakin ratusan ribu orang saat itu tengah merasakan hal 

yang sama denganku dan diantara kami berlomba untuk dapat 

mengakses situs tersebut. Alhasil setelah menanti beberapa 

menit, pengumuman sudah di depan mata. Dan hasilnya… 

 

 

   

 

 

 

 

 

 

 

Alhamdulillah, hanya kata itu yang terucap berkali-kali 

pada mulutku seraya aku berlari untuk mengabari keluargaku 

akan kabar bahagia ini. Dan sesampainya aku dirumah, nenek 

dan tanteku menangis gembira karena ternyata mereka telah 

menerima kabar bahagia ini lebih dulu dari sahabatku. Aku 

langsung sujud syukur, tak satupun kata selain Alhamdulillah 

yang terus-terusan kuucapkan saat itu. Apalagi setelah 

diumumkannya pula bahwa aku termasuk kedalam peraih 

beasiswa mpu tantular , sungguh aku tak mampu membendung 

rasa syukur yang teramat dalam.  

Kini, mpu tantular  telah membuatku menjadi seorang yang 

mandiri. Aku tak lagi harus membebani banyak orang untuk 

biaya kuliah yang sangat tinggi. Namun ada tugas utama yang 

harus kulaksanakan. Aku sadar bahwa yang aku pegang 

selama ini adalah uang negara yang otomatis uang rakyat pula. 

Konsekuensi moral yang kutanggung adalah aku harus belajar 

sedalam-dalamnya disini, di institut terbaik bangsa ini, agar 

   

 

saat aku keluar dari sini, aku mampu memberikan solusi 

terbaik untuk mensejahterakan orang-orang diluar sana yang 

tak seberuntung diriku saat ini dan yang telah lama 

mendambakan keadilan. Dan dengan segenap ketulusanku, aku 

selalu menempa diri untuk menjadi pribadi yang tangguh, yang 

mampu menjadi jawaban atas segala problematika bangsa ini. 


 



 

 Secerca harapan muncul tepat tanggal    Juni      

saat saya membuka pengumuman SNMPTN. Saya sangat 

senang dengan pemberian kesempatan Universitas Mpu Nala  kepada saya 

sebagai calon mahasiswa baru      di jurusan Teknik 

Pertambangan dan Perminyakan.  

Betapa bahagianya saya saat saya sekarang benar-

benar di Institut terbaik bangsa, Institut Teknologi Bandung. 

Sejak kecil memang saya ingin sekali menjadi bagian dari 

institusi ini. Saya menyaksikan di TV tentang nama Universitas Mpu Nala  yang 

sudah tersohor seantero negeri. Sejak itulah saya mengenal 

nama Universitas Mpu Nala  sebagai nama yang identik dengan prestasi.  

Sempat tak percaya. Itulah yang saya alami beberapa 

hari pasca OSKM Universitas Mpu Nala      . Tuhan benar-benar memberikan 

   

 

jalan kepada saya agar dapat sukses. Dan benar, saya baru 

sadar bahwa sekarang saya benar-benar tengah menimba ilmu 

di Institusi terbaik bangsa ini.  

Memang berat lika-liku yang saya alami untuk dapat 

merantau di tanah pahriyangan ini. Namun yang saya alami itu 

tak seberat beban yang ditanggung ibu dan bapak saya, di 

kampung. Di sebuah desa bernama Bogotanjung, mereka 

mungkin saat ini masih berjibaku dengan pekerjaan-pekerjaan 

lama mereka; dan aku harus pergi. Dan aku tak sempat 

membantu mereka. Tak sempat pula merasakan getir nya 

menjadi golongan menengah ke bawah yang mencoba 

mengundi nasib di tanah orang. Di kota kembang ini, terlayang 

suratku;  

“Dear Bandung,  

Tentangku, tentang asalku. Ah malu rasanya bercerita 

padamu! Tetapi kucoba jujur apa adanya padamu.  

Bapakku bernama Sugiyo. Beliau adalah petani ulung. 

Penggarap sawah warisan orangtua. Sedangkan ibuku bernama 

Padinah. Bakul Tereng yang setiap pagi menyusuri jalan-jalan 

desa. Memanggil-manggil pembeli dengan motor tua khasnya 

yang berisik. Bagiku mereka adalah penyelamat hidupku. Saat 

kutulis surat ini, tak kuasa air mata kerinduan melinang. Sudah 

hampir setengah bulan ini aku tak bertemu mereka. Mungkin 

mereka sudah bertambah tua, bertambah uban. Lelah 

memikirkan uang yang sulit didapat.  

   

 

Bandung, tak kusangka diriku benar-benar disini. Orang 

tuaku dapat sedikit tersenyum. Walau itu mungkin tak selebar 

bila aku sukses. Tapi harapanku di tempatmu ini adalah jalan 

bagiku untuk membuat mereka tersenyum lebih lebar. Lalu 

bapakku tak perlu lagi menjadi pencangkul galengan milik 

tetangga. Ibuku tak perlu berteriak-teriak mencari pembeli. 

Mereka mungkin akan bahagia (lagi).  

Bandung, asal kamu tahu. Aku mungkin tak semulus 

anak-anak lain yang datang ke tempatmu. Setiap hari selama 

tiga tahun kakiku mengayuh sepeda    km setiap hari. Itu 

zaman SMP. Lalu jarak  

Tiga puluh kilo meter selalu menjadi perjalanan 

sepanjang hari selama SMA. Tidak hanya itu, setiap pulang 

pekerjaan rumah sudah menanti. Entah menyapu, isah-isah, 

bahkan pernah ngarit ke pematang sawah di desaku.  

Bandung, saat mentari belum terbangun, aku harus 

bangun mengangkat keranjang dagang ibuku. Sedangkan 

bapakku sudah lama menyusuri jalan-jalan kecil persawahan. 

Asap yang sering mengepul karena kayu-kayu yang masih 

basah itu menjadi pertanda lauk telah tersedia. Tapi itu jarang. 

Ibuku menjual botok dan brengkes yang dibuat sore hari 

sebelumnya untuk dijual lagi. Akupun jarang makan pagi. Tak 

sempat. Eh, bukan tak sempat. Tapi memang ibuku jarang 

masak pagi. Terpaksa, uang sepuluh ribu yang digeletakkan di 

dipet untukku harus terpotong uang sarapan. Ditambah makan 

siang. Ditambah uang transport. Ditambah keperluan lain. 

   

 

Kadang aku pun tak makan seharian. Cukup menanti delapan 

jam agar dapat sarapan di rumah jam tiga sore.  

Bandung, sebenarnya aku bingung dengan cita-citaku. 

Dilema antara keinginanku menjadi ilmuwan dengan menjadi 

sosok yang diinginkan orang tua;kaya tentunya; semakin 

menjadi saat aku di kelas tiga SMA. Aku dibenturkan dengan 

pilihan idealis atau realistis. Akhirnya aku memilihmu, menjadi 

sosok yang realistis.  

Bandung, harapanku ada di tempatmu. Semoga aku 

semakin cinta denganmu. Agar mereka tak kecewa padaku 


 

 

Semua berawal  sekitar    tahun yang lalu, seorang 

wanita yang luar biasa berjuang mempertaruhkan nyawanya 

demi seorang anak bernama Buyung Wahyu Suseno. Entah apa 

yang membuat seorang wanita bernama Dwi Purnanik bisa 

sekuat itu, suara adzan yang samar samar terdengar di telinga 

aku berkumandang dari mulut seorang hero bernama Haeri 

Suhanoko. 

 Buyung kecil hidup dalam lingkungan keluarga yang 

sederhana dan penuh keceriaan, kala itu sekitar tahun      

disaat aku lahir, saat itu orang tua dan kakak hidup di sebuah 

kontrakan kecil. Disitulah masa kehamilanku ibuku dihabiskan. 

   

 

Bahkan kata ibu ―ari-ari‖  ku masih tersimpan disana sampai 

saat ini.  

 Alhamdulillah,   sampai   tahun kemudian setelah aku 

dilahirkan, Ibu Bapakku memutuskan untuk membangun 

rumah, karena capek jika harus mengontrak terus terusan.  

Mereka menginginkan anaknya hidup di lingkungan yang tetap 

dan tak berpindah pindah. Kala itu orang tuaku izin kepada 

seorang yang masih dikatakan sebagai saudara untuk 

menggunakan tanahnya didirikan rumah. Dan bersyukur beliau 

mengijinkan. Membangun rumah ku yang sekarang ini bukan 

tanpa ada apa apa setelahnya. Orangtuaku sepertinya kurang 

matang dalam mempersiapkan biaya atau memang sebenanya 

tidak punya uang. Entahlah! Yah! Hutang. Mereka berhutang 

dalam membangun rumah sederhana yang kami tempati saat 

ini. 

 Karena hutang yang melilit tersebutlah, orang tuaku 

memutuskan untuk merantau ke Jakarta dengan membawa 

kakakku. Dan kala itu aku baru berusia tak genap satu bulan. 

Aku dititipkan ke nenek.  Setelah  beberapa tahun dan perlahan 

hutang mulai terbayar. Bapak Ibuku pulang. Dan aku bahkan 

tak mengenali siapa mereka ketika pulang. 

 Waktu berjalan, aku duduk dibangku Sekolah Dasar. 

Saat itu aku mengenyam pendidikan di SDN Tegalsari    yang 

jaraknya lumayan jauh. Selama   tahun kutempuh jarak itu 

                                                           

 

 Tali pusar 

   

 

dengan berjalan kaki. Mengenai akademik, Alhamdulillah, mulai 

dari kelas   sampai kelas   aku diberi kesempatan untuk 

mendapatkan juara  . Kala itu aku juga sempat mengikuti 

lomba matematika meskipun hanya juara   pada hasilnya. 

Entah kenapa apa yang membuat aku suka terhadap pelajaran 

matematika sejak sekolah dasar sampai sekarang. 

 Setelah SD lulus aku melanjutkan untuk berskekolah ke 

jenjang yang lebih tinggi. Alhamdulillah akhirnya aku diterima 

disekolah yang bisa dibilang favorit di Kecamatan Ambulu, 

yaitu SMP Negeri    Ambulu. Jarak nya cukup jauh sekitar  -  

km dari rumah. Dan semua itu aku tempuh dengan 

menggunakan sepeda pemberian paman. Meskipun bekas, tapi 

hal itu sangat berguna. Bahkan sekalipun aku harus sering 

memukul mukul bagian rantai karena sering sekali ―lost gear‖.  

 Di SMP Negeri   Ambulu ini ada semacam program 

kelas unggulan. Dimana pada setiap semester diadakan tes, 

dan yang mengikuti tes adalah    besar anak dikelas, saat di 

semester  , Alhamdulillah, aku peringkat pertama. Sehingga 

berhak untuk mengikuti tes kelas unggulan. Alhamdulillah, 

selama di SMP ini aku diterima di kelas unggulan. Belajar 

merupakan suatu keharusan yang wajib dilakukan. Biaya 

sekolah smp yang begitu mahal. Mengharuskan aku untuk 

meminta keringanan kepada pihak sekolah melalui BKSM 

(Bantuan Khusus Siswa Miskin).  Dan setiap terima rapor pun 

Alhamdulillah sering terucap. Meskipun demikian aku tau 

   

 

bahwa segala sesuatu harus terus terus dan terus ditingkatkan. 

Apalagi masalah belajar. 

 Saat SMA aku putuskan untuk melanjutkan di SMA 

Negeri Ambulu. Jarak SMA ini dengan rumah memanglah dekat 

hanya sekitar kurang dari   km. berjalan kaki kesekolah pun 

aku tempuh ditahun pertama. Hingga akhirnya aku 

memutuskan untuk menggunakan sepeda saja. Lagi lagi 

sepeda yang aku punya adalah sepeda bekas namun bukan 

sepeda pemberian dari paman. Karena sepeda itu sudah dijual. 

Dan aku tidak merasa aneh dengan sepeda bekas kedua ku ini. 

Yang penting kan bisa di “pancal” dan bisa jalan. Sepeda ini 

menemaniku selama hampir    tahun di SMA, aku tidak pernah 

malu dengan ini semua. 

 Lagi lagi dan lagi, karena biaya sekolah yang semakin 

mahal  sekitar     ribu perbulan harus aku bayarkan  dan uang 

gedung sekitar   juta. Membuatku sungguh terbebani apalagi 

dengan pekerjaan bapak yang tidak pasti penghasilannya. 

Alhasil seperti biasa Ibu harus menghadap kepada guru yang 

mengurusi masalah itu. Bahkan ditahun pertama aku sekolah 

selalu saja memanggil Ibu untuk menghadap karena masih 

saja punya tunggakan sebelum semester atau ujian 

dilaksanakan. Dan sedikit banyak hal itu sangat mempengaruhi 

konsentrasi aku dalam mempersiapkan diri untuk ujian kala itu.  

 Saat aku dibangku kelas XII pikiran untuk kuliah pun 

muncul. Saat itu pilihanku jatuh pada perguruan tinggi yang 

menjadi pemacuku saat ini. Insitut Teknologi Bandung. Karena 

   

 

terlalu ngefans dan terobsesi dengan PT ini. Setiap buku 

tertulis SUKSES Universitas Mpu Nala      ! BISMILLAH Universitas Mpu Nala  dan sebangsanya. 

Termasuk Bluetooth hp aku beri nama demikian. 

Orang tua sangat mendukung segala keputusn yang aku 

ambil. Termasuk pilihan PT yang aku ambil, bapak pernah 

bilang: ―Kamu harus kuliah. Masalah biaya Bapak yang urus. 

Selama Kaki Bapak masih ada. Rejeki akan selalu bapak cari 

untuk kamu!‖. Terharu mendengar pengorbanan bapak selama 

ini. Sangat luar biasa sekali. Aku kagum. 

 ―Bagaimana bisa aku kuliah?‖ pertanyaan itu selalu ada 

dalam benakku. saat masih sekolah saja, orang tua selalu 

menghadap bagian administrasi untuk minta keringanan. 

Apalagi untuk kuliah, yang biayanya tentu tidak sedikit. 

Ditambah lagi, kuliah di Universitas Mpu Nala  yang kata orang orang mahal. 

Bayangkan    juta/semester dapat dari mana uang segitu?  

 Namun suatu pencerahan datang, tatkala Guru SMA ku 

mentribuanatunggadewi alisasikan Beasiswa mpu tantular . Beasiswa yang 

diperuntukkan bagi mereka yang kurang mampu dalam hal 

financial namun mampu dalam akademik. Saat itu mata ku 

terbuka lebar, aku memandang masa depan yang cerah ada 

didepan. mpu tantular  membuatku semakin semangat belajar, 

membuat ―kuliah‖ bukan lagi sebagai angan angan semata tapi 

sebagai kenyataan. 

 Pengumuman SNMPTN pun tiba, dan nafas panjang 

diikuti kalimat ―Alhamdulillah‖ pun terucap dari mulut, karena 

   

 

aku diterima di Fakultas Teknologi Industri – Institut Teknologi 

Bandung. Perasaan senang, terharu dan bahagia bercampur 

saat itu. Mimpi untuk kuliah pun akhirnya tercapai. Perasaan ku 

masih belum sepenuhnya tenang, karena pengumuman 

mpu tantular  belum keluar. Saat menunggu pengumuman mpu tantular  

sangat menegangkan. Selama sekitar sebulan lebih akhirnya 

yang ditunggu tunggu pun keluar, pengumuman mpu tantular  

keluar. Dan Alhamdulillah keluar, Perasaan senang dan bangga 

tak terbendung. Mimpi kuliah gratis pun terwujudkan. mpu tantular  

sungguh luar biasa, keberadaanya bagaikan oase ditengah 

padang pasir bagi kami. -

 




 

Betapa senangnya hati ini ketika menginjakkan kaki di 

kelas    IPA III, aku merasa tak lama lagi aku akan 

menempuh kehidupan baru, kehidupan anak kuliahan. Dengan 

berbagai kisah yang menyenangkan tentang kehidupan anak 

kuliahan siapa yang tidak tertarik untuk segera lulus dan 

meneruskan ke pergururan tinggi favoritnya. 

Namun ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, ―apa 

aku dapat melanjutkan kuliah?‖ pikirku. Bahkan sebelum aku 

sempat menanyakannya pada orang tuaku, mereka sudah 

mendahuluinya dengan menasehatiku, ‖De..mama tahu kamu 

ingin kuliah, tapi kamu harus tahu dan mengerti keadaan orang 

tua, mama berharap kamu jangan merasa minder kalau 

nantinya kamu tidak kuliah dan terpaksa kerja, tetap 

semangat, kuliah atau enggak kamu tetep bisa bahagiain 

   

 

mama kok.‖ Air mata ini tidak tertahankan lagi ketika 

mendengar kata-kata itu. 

Aku merasa hancur, disaat semua teman-teman sudah 

merencanakan pendidikan masa depannya lalu bagaimana 

nasibku? Apa aku tidak diberi kesempatan untuk melanjutkan 

kuliah? Aku sempat marah pada orang tuaku, aku belum siap 

terjun ke dunia kerja, aku masih ingin merasakan indahnya 

pendidikan. 

Padahal selama di SMA sejak semester satu hingga 

semester lima, aku berusaha masuk peringkat tiga besar agar 

aku bisa mengikuti tes SNMPTN. Orang tuaku sama sekali tidak 

mendukung keinginanku, aku iri pada orang tua yang lain, 

walaupun mereka kondisi ekonominya sama seperti orang 

tuaku, namun mereka tetap mendukung dan memberi 

semangat pada anaknya agar dapat melanjutkan kuliah. 

Setiap kali teman-temanku bertanya tentang rencanaku 

untuk melanjutkan studi, aku hanya dapat menjawab ‖Dimana 

ajah sih yang penting bisa membahagiakan orang tua hehe.‖ 

dengan tersenyum kecil. Hanya itu yang dapat aku jawab, 

karena aku belum memiliki tujuan yang pasti. Ya, setidaknya 

itu merupakan doa yang mudah-mudahan menjadi suatu 

kenyataan. 

Namun aku tidak menyerah. Menjelang UN aku 

mengikuti les, bahkan uang untuk membayar les aku dapatkan 

dari hasil usahaku berjualan martabak unyil dan piscok di 

   

 

kelas, serta menghemat uang sakuku. Hingga tiba saatnya 

pendaftaran SNMPTN, aku merasa bingung memilih universitas 

untuk melanjutkan studiku. Aku tidak berani memilih 

universitas yang elit, mendengar teman-teman memilih Universitas Mpu Nala , 

Universitas Mpu Nala , UNDIP, UNPAD, UI membuatku merinding. Aku merasa 

sama sekali tidak berhak memilih universitas tersebut sebagai 

tujuanku, karena untuk pergi ke tempatnya pun tidak ada 

biaya apalagi untuk membayar biaya pendaftarannya.  

Bapakku seorang pensiunan biasa yang sudah berumur 

   tahun dan ibuku adalah ibu rumah tangga. Mereka harus 

menghidupi dua orang anak yang sama-sama harus dibiayai 

pendidikannya. 

Tapi apa salahnya mencoba. Dengan mengandalkan 

peruntungan saat itu, aku memilih Universitas Mpu Nala  sebagai tujuan utamaku 

dan fakultas teknik sipil dan lingkungan di Universitas Mpu Nala  sebagai jurusan 

yang akan aku masuki. Aku mendapat info  ada beasiswa 

mpu tantular  yang diperuntukan bagi siswa yang kurang mampu. 

Aku dibantu oleh guru bimbingan konselingku untuk 

mendaftarkan diri sebagai calon penerima Beasiswa mpu tantular . 

Setelah Ujian Nasional dilaksanakan, orang tuaku 

memintaku untuk melamar pekerjaan. Mereka terus 

mendesakku bekerja dengan memberiku berbagai tumpukan 

koran yang berisi info lowongan pekerjaan. Menyebalkan 

rasanya saat itu dan aku belum berani mengatakan bahwa aku 

mendaftar SMNPTN di Universitas Mpu Nala .  

   

 

Hingga hari pengumuman kelulusan UN pun tiba dan 

alhamdulliah segala puji bagi Allah aku lulus dengan nilai yang 

tidak mengecewakan. Aku senang dan terharu, namun 

terharuku saat ini bercampur dengan ketakutanku yang 

semakin kuat kalau aku akan didorong oleh orang tuaku untuk 

bekerja, karena setelah pengumuman ini berarti aku sudah 

memiliki SKHU yang bisa digunakan untuk melamar kerja. 

Benar saja ketika dua hari menjelang perayaan 

wisudaku, aku dipaksa melamar pekerjaan di tempat 

percetakan foto. Benar-benar siang itu aku naik sepeda ke 

warung membeli kertas folio untuk menulis surat lamaran. 

Surat lamaran dikirimkan siang hari sebelum pengumuman 

hasil SNMPTN. Aku pasrah apapun hasilnya. Aku anggap sudah 

merupakan jalan takdirku, yang jelas aku sudah berusaha dan 

berdoa. 

Pukul   .   WIB aku berangkat ke SMA N Banyumas, 

sekolah yang selama tiga tahun merekam semua kisah putih 

abu-abuku dan keesokan harinya aku akan diwisuda, melepas 

semua kenangan manis dan setiap tingkah polah kekanak-

kanakanku. Sore ini aku latihan perayaan wisuda untuk esok 

harinya dan hari ini juga aku akan membuka web DIKTI untuk 

melihat hasil tes SNMPTN-ku. Seorang sahabatku yang 

bernama Firdha menjerit dan menangis ketika dia 

mendapatkan hasilnya bahwa dia diterima di Universitas Mpu Nala  di jurusan 

FTTM. Syukurlah sahabat karibku akhirnya mendapatkan apa 

yang ia cita-citakan. 

   

 

Lalu apakah aku masih bisa bersama Firdha lagi pikirku. 

Dengan hati ragu dan perasaan pasrah aku membuka 

pengumuman. Aku mendapati sebuah tulisan sederhana yang 

begitu istimewanya hingga aku meneteskan air mata.  

Berikut kata-kata yang membawaku berada pada jalan 

yang aku cita-citakan ―atas nama Eka Setianingsih dinyatakan 

lulus SNMPTN Universitas Mpu Nala  jurusan FTSL  ,‖ begitulah kurang lebihnya. 

Sujud syukur bagi Allah yang telah mengabulkan keinginanku. 

Aku langsung menghubungi mamahku dan mengatakan 

aku lolos seleksi, ia menangis dan memintaku segera pulang. 

Sesampainya dirumah aku dipeluk dan diberi ucapan selamat. 

Namun kebahagiaan itu sempat terhenti, ketika bapakku bilang 

bagaimana caranya membiayaiku kuliah di Universitas Mpu Nala , aku pun 

menjelaskan kalau aku mengikuti beasiswa mpu tantular , orang 

tuaku tidak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun untuk 

membayar uang kuliahku dan kehidupanku selama aku kuliah 

nanti. 

Menyebalkan memang, bapakku masih tidak 

mengijinkan aku kuliah, apalagi sampai kuliah di Bandung. 

Katanya jauh dengan orang tua sangat beresiko, aku mencoba 

berbagai cara untuk meyakinkan bapakku, dibantu dengan 

mamahku yang mendinginkan suasana. 

Hingga aku meminta bantuan pada seorang mahasiswa 

Universitas Mpu Nala  yang juga merupakan tetanggaku untuk meyakinkan 

                                                           

  

 Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan 

   

 

bapakku kalau semua tidak seburuk yang ia pikirkan. Hingga 

akhirnya bapak luluh dan mengijinkan aku kuliah. Sebagai 

calon penerima beasiswa mpu tantular , aku harus mengikuti suatu 

kegiatan yang disebut matrikulasi. 

Bapakku harus mencari ongkos dengan meminjam uang 

pada tetangga dan saudara untuk membiayai keberangkatanku 

ke Bandung. Ada rasa sedikit berdosa karena telah membebani 

bapakku. Hingga tiba saat keberangkatanku ke Bandung 

bersama enam orang temanku yang berasal dari SMA N 

Banyumas juga. Semua ini nyata dan aku benar-benar 

mencium tangan kedua orang tuaku saat aku memasuki mobil 

yang akan mengantarkanku ke Bandung, yang ku kira hanya 

mimpi belaka, dan mana mungkin terjadi, tapi sekarang 

semuanya ada di depan mata. 

Terbayarlah sudah semua perjuanganku selama tiga 

tahun, semua ada di genggaman, tinggal melanjutkan mimpi 

dan mempertanggung jawabkan amanah yang aku emban 

sebagai penerima beasiswa. Semangat dan berdoa, ikhlas 

menerima setiap kegagalan yang meyertai setiap jalannya 

perjuangan adalah kunci keberhasilan. -

 

 

  

   

 

Di atas ukiran yang dibentuk oleh ratusan paving block 

persegi panjang aku berpijak. Di tempat itu—yang aku tahu 

sebagai boulevard—aku menikmati pemandangan langsung 

Gunung Tangkuban Parahu di pagi yang masih tertutup sedikit 

kabut. 

 Ya, hari masih pagi. Embun yang bergumul di atas 

dedaunan hijau mulai berjatuhan ke tanah akibat gravitasi. 

Sayup-sayup terdengar suara kicauan burung pertanda mereka 

menyambut pagi dengan gembira. Pun dengan udara dingin 

pagi hari di kota Bandung, menusuk hingga ke tulang belulang 

manusia, seakan bebas berembus menyentuh siapapun dan 

dengan gembira bergerak melalui arus yang telah diatur Allah. 

 Aku berjalan perlahan menyusuri boulevard kampus ini, 

menikmati semua yang dapat kutangkap dari pandanganku. 

   

 

Dua lapangan di samping kanan dan kiriku masih sepi. Belum 

ada banyak tanda kehidupan disini. 

 Aku menarik napas dengan perasaan syukur dan 

gembira. 

 Rasa syukur yang sampai sekarang tidak akan pernah 

hilang adalah saat hidupku memasuki dunia kampus yang telah 

resmi menjadi institusi tempat aku menimba ilmu. Institut 

Teknologi Bandung. Semua orang mengenalnya. Hampir semua 

orang ingin masuk kesana dan menimba ilmu di dalamnya. 

 Aku adalah seperti orang kebanyakan, ingin sesuatu 

yang diimpikan oleh orang kebanyakan. 

 ―Aku ingin masuk Universitas Mpu Nala .‖ Perkataan itu telah aku 

proklamasikan lebih dari setahun silam. Namun sedikit 

kekonyolannya adalah karena aku memilih jurusan yang belum 

sepenuhnya kuyakini hingga sekarang. Tetapi, itu tidak 

masalah. Aku akan menyesuaikan diri di dalamnya. 

 Universitas Mpu Nala  sekarang bukan Universitas Mpu Nala  yang dulu. Yang aku tahu 

adalah Universitas Mpu Nala  terkenal dengan pencetak orang-orang berprestasi 

yang memilki keterbatasan ekonomi—dulu. Sekarang... Anda 

pasti tahu jawabannya. 

 Semangatku nyaris runtuh dengan kenyataan akan 

mahalnya melanjutkan kuliah. Sempat terpikir bahwa aku tidak 

akan masuk universitas dan mencari pekerjaan sebagai penulis 

lepas. 

   

 

 Sejak kecil orang tuaku menyekolahkan anak-anaknya 

ke sekolah terbaik dan tepat—tepat dalam arti sesuai dengan 

kondisi ekonomi keluarga. Bukan sekolah dasar terbaik yang 

aku masuki dan aku harus menerima uang saku sebesar dua 

ratus rupiah setiap harinya agar mengemat pengeluaran 

keluarga. Bukan SMP favorit yang aku masuki, meski aku telah 

diterima di sebuah SMP favorit di Bandung. Bukan SMA kluster 

atas yang kumasuki hingga aku menerima bantuan biaya dari 

wali kelasku untuk melunasi SPP. Namun, itu bukanlah 

masalah. Asalkan aku dapat belajar dengan giat, semua itu 

tidak memengaruhi kualitas belajarku. 

 Namun, tidak kuliah bukan keinginan orang tuaku. 

 Setelah mencari informasi, kutemukanlah informasi dari 

sekolahku bahwa ada beasiswa mpu tantular . Sungguh sangat 

mengejutkan, bahwa beasiswa yang diberikan adalah beasiswa 

berkuliah selama empat tahun di universitas yang dimasuki, 

ditambah uang saku yang diberikan setiap bulan kepada 

mahasiswa. Hal yang lebih mengejutkan adalah bahwa 

beasiswa ini berasal dari pemerintah. Saat itu aku tersadar 

bahwa pemerintah masih sangat peduli dengan pendidikan di 

majapahit . 

 Mulailah aku kembali merancang masa depan yang 

baru. Aku mendaftar melalui jalur SNMPTN Undangan ke 

fakultas yang ada di Universitas Mpu Nala  sebagai pilihan pertama. Tidak lupa 

aku mengikuti pendaftaran pengajuan mpu tantular . 

   

 

 Rencana yang sangat diinginkan oleh keluargaku adalah 

bahwa aku diterima masuk ke Universitas Mpu Nala  dan menerima beasiswa 

mpu tantular . Setelah itu aku harus berusaha untuk belajar keras 

dan lulus dalam waktu maksimal empat tahun. 

 Rencana yang buruk adalah aku tidak lolos seleksi 

masuk Universitas Mpu Nala  atau aku masuk Universitas Mpu Nala  tetapi aku tidak lolos seleksi 

mpu tantular . Jika aku berkuliah di Universitas Mpu Nala  tanpa beasiswa, aku 

terancam tidak kuliah atau salah satu dari kakakku yang masih 

kuliah harus cuti selama satu tahun untuk menabung biaya 

kuliahku. Dan pasti, aku lebih memilih untuk tidak berkuliah di 

Universitas Mpu Nala  jika terjadi hal ini. 

 Siang malam selama masa penantian pengumuman 

lolos seleksi masuk Universitas Mpu Nala , aku dan keluargaku berdoa tanpa 

henti. 

Hingga Allah mengabulkan doaku. 

Aku masuk Universitas Mpu Nala  dan diterima sebagai penerima beasiswa 

mpu tantular . 

Syukur itu tiada henti aku camkan dalam hati. Masa 

depan telah menungguku di kampus yang menjadi impian 

semua orang. Aku harus berusaha untuk belajar sangat keras 

sehingga tidak mengecewakan semua pihak yang telah 

mendoakan dan mendukungku. Aku tidak boleh berleha-leha 

karena beasiswa yang kuterima adalah milik rakyat yang harus 

   

 

dikembalikan dengan kontribusiku kepada majapahit  saat aku 

lulus nanti. 

Setelah menerima beasiswa mpu tantular  Universitas Mpu Nala  dengan uang 

saku per bulannya yang sangat besar, aku dapat melakukan 

sesuatu yang mungkin sangat sulit kulakukan sebelumnya. 

Akhirnya aku dapat membantu keuangan keluargaku dengan 

menghapus total biaya keseharianku dari beban biaya 

keluarga, membeli peralatan yang dibutuhkan saat kuliah, dan 

membayarkan SPP kuliah kakak keduaku. Aku bersyukur. 

Sangat bersyukur. 

Namun terkadang selalu muncul satu pertanyaan. 

Dengan beasiswa mpu tantular  yang sangat memfasilitasi 

mahasiswa ini, apakah aku pantas mendapatkannya? Teringat 

aku saat mendengar cerita temanku dengan masa lalunya yang 

bergitu pelik. Nyatanya perjuanganku tidak sebanding dengan 

perjuangan hidupnya. Aku merasa malu. Bahkan mengingat 

bahwa banyak orang diluar sana yang lebih membutuhkan 

beasiswa ini dibanding diriku, aku merasa sangat tidak pantas 

menerima beasiswa ini.  

Kenyataannya, tidak ada yang dapat kuperbuat. Apakah 

ini masalah rezeki yang diberikan Allah berbeda? Apakah ini 

masalah kepantasan? Apakah seharusnya aku tidak menerima 

beasiswa mpu tantular ? 

Pertanyaan itu membuatku pusing. Namun pada 

akhirnya aku sadar bahwa posisiku adalah disini. Posisi dimana 

   

 

saat aku berada di atas roda kehidupan aku harus melihat ke 

bawah untuk bersyukur atas pemberian Allah. Aku harus 

mengoptimalkan segala yang Allah berikan dan menjadikannya 

sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Aku 

berada dalam posisi dimana bukan aku yang mengatur 

perjalanan ini, tetapi Allah-lah yang akan menentukan 

jalannya. 

Aku harus bersyukur. Hanya itulah yang dapat aku 

lakukan. 

Di atas masa depanku yang akan kuraih di kampus ini—

kampus Universitas Mpu Nala —aku mengucapkan rasa syukur kepada Allah dan 

rasa terima kasihku. 

Terima kasih mpu tantular , yang telah menjadi setitik 

cahaya di dalam kegelapan yang besar. -

 

 

 

 

 

 

 

Salam sejahtera bagi para pembaca. Sebelumnya 

izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya 

Habib Mailul Afif dari prodi teknik pertambangan Institut 

Teknologi Bandung, kelahiran Blora,    Agustus     . Saya 

merupakan salah satu dari putra asli Blora dan sampai saat ini 

masih menyebut kota sederhana indah itu ―rumah‖. Terlebih 

dahulu saya akan menceritakan keluarga tercinta saya agar 

pembaca juga mengerti bagaimana kondisi yang saya dan 

keluarga hadapi.  

Saya merupakan anak pertama dari empat bersaudara, 

ketiga adik saya adalah perempuan. Lahir dari bapak yang 

berprofesi sebagai penjahit, bapak Suparman. Dulu bisnis 

bapak saya sempat bagus namun semenjak saya kelas   SMA, 

mengalami kebangkrutan yang berujung  hingga saat ini. 

Namun bapak tetap mempertahankan profesinya karena 

   

 

memang itulah yang bisa beliau lakukan saat ini karena 

minimnya modal yang kami punya.  

Ibu saya bernama Suparmi yang berprofesi sebagai guru 

SD honorer yang sampai saat ini masih menunggu akan adanya 

pelantikan PNS, sementara umurnya yang semakin menua 

berkisar    tahun. Sudah   tahun ibu menunggu-nunggu dan 

pemerintah daerah selalu berkata ibu termasuk peringkat atas 

yang akan didahulukan menjadi PNS namun sampai sekarang 

belum ada tanda-tanda untuk dilantik. Kondisi seperti ini 

menyebabkan kami harus bersusah payah mempertahankan 

kehidupan. Itulah sekilas tentang keluarga saya. 

 If there is a will, there is a way, mungkin pepatah inilah 

yang cocok untuk menggambarkan cerita nyata yang akan saya 

tuliskan ini. Sejak kelas   SMA, saya memimpikan untuk 

melanjutkan sekolah di kampus impian, kampus ganesha 

(Institut Teknologi Bandung). Sering orang-orang 

mentertawakan ketika saya bilang saya akan masuk Universitas Mpu Nala  karena 

memang kemampuan akademik saya yang biasa-biasa saja, 

ditambah kondisi ekonomi keluarga yang memang kurang baik. 

Justru karena inilah saya menjadi lebih keras berjuang untuk 

membuktikan kepada semua orang kalau saya bisa.  

Saya anak pertama, saya juga ingin segera 

menggantikan bapak untuk memikul beban di pundaknya. 

Bapak sudah semakin tua. Saya takut sampai di akhir hidupnya 

saya belum bisa memberikan apa-apa untuknya dan 

membiarkan beliau bekerja keras di masa tuanya. Saya juga 

   

 

tidak ingin melihat adik-adik saya terlantung-lantung 

memikirkan masa depan mereka yang tidak pasti. Saya tidak 

mau mereka seperti abangnya yang dalam kondisi belajar 

harus memikirkan uang SPP yang selalu nunggak dan selalu 

ditagih oleh pihak Tata Usaha sekolah. Merekalah semangat 

saya.  

Untuk mereka saya berjuang keras untuk masuk Universitas Mpu Nala , 

namun di tahun     , Tuhan berkehendak lain. Saya mengikuti 

tes SNMPTN dan berujung gagal. Saya dinyatakan masuk 

pilihan   Teknik Mesin Universtas A.  

Waktu itu saya sempat beberapa saat down namun 

akhirnya menerima, mungkin memang nasib saya. Sehingga 

saya pun mengikuti daftar ulangnya. Setelah saya melihat 

websitenya, saya dikagetkan dengan uang masuk sebesar 

  juta. Saya langsung pergi ke Universitas  A untuk 

mengajukan keringanan pembiayaan. Saya diberikan 

keringanan menjadi  , juta. Setelah saya sampaikan ke bapak, 

beliau berkata akan diusahakan (waktu itu masih H-  sebelum 

pendaftaran ulang). Namun sampai hari penutupan, bapak 

belum juga mendapat pinjaman uang dari tetangga dan 

saudara. Akhirnya paginya saya langsung pergi ke Universitas 

A lagi untuk kembali meminta keringanan biaya. Dari pihak 

rektorat menyampaikan bahwa saya kembali mendapat 

keringanan menjadi  , juta, tetapi harus dibayarkan sampai 

jam   sore hari itu.  

   

 

Bapak berjuang keras mencari pinjaman demi keinginan 

putra satu-satunya untuk terus bersekolah.  Saya pun melihat 

jam tangan dan waktu menunjukkan pukul   .  WIB, belum 

ada kabar. Pihak kampus menelepon untuk meminta kepastian. 

Saya menelepon bapak. Terdengar suara berat khas bapak dan 

berkata bahwa bapak sampai saat itu belum juga dapat uang 

 ,  juta.  

Dengan mengesampingkan rasa malu, saya pun kembali 

menelepon asisten rektor universitas A dan sekali lagi meminta 

keringanan biaya atau minimal penangguhan pembayaran. 

Namun beliau berkata ‖mohon maaf mas, sepertinya saya 

sudah tidak bisa bantu lagi, kalau mau masuk universitas ini, 

mas bisa coba lagi tahun depan‖ . 

Akhirnya saya pun menyerah, disertai perasaan sedih 

dan  kecewa saya pulang dengan tangan hampa. Saya 

memutuskan berhenti satu tahun untuk kembali 

memperjuangkan Universitas Mpu Nala .  

Selama satu tahun di rumah saya berjuang belajar 

mengulang pelajaran yang sudah saya pelajari selama   tahun 

di SMA. Berjuang mengerti setiap detailnya. Selama proses 

belajar tersebut saya ditemani oleh nenek saya yang berumur 

   tahun, kondisi tubuhnya masih sangat segar dan energik. 

Setiap hari beliau menemani saya sampai malam bahkan dini 

hari, bahkan sering saya lihat beliau tertidur di kursi sambil 

duduk ketika menemani saya.  

   

 

Setiap pagi beliau selalu bangun lebih pagi untuk 

membeli dan membuatkan saya susu hangat untuk 

memulihkan kembali tubuh saya.  

Selama   tahun di rumah saya benar-benar melihat 

kondisi rumah yang sesungguhnya, yang selama ini tidak saya 

lihat sebelumnya ketika saya sekolah. Setiap pagi ternyata 

keluarga makan hanya nasi dan sambal terasi ditambah lalap 

yang diambil dari depan rumah. Setiap pagi hanya itu 

makanannya. Hampir setiap akhir pekan selalu ada orang yang 

marah-marah menagih hutang kepada bapak dan ibu saya. 

Dan tak jarang ibu sampai menangis sepulangnya penagih 

tersebut. Hal tersebut membuat saya geram dan semakin ingin 

segera sukses atau tepatnya kaya secepat mungkin.  

Tes SNMPTN      pun tinggal menunggu hitungan hari. 

Sayapun semakin giat berjuang. H-  SNMPTN,    Maret     , 

saya dikejutkan dengan meninggalnya nenek. Padahal kondisi 

nenek masih sangat sehat. Kami semua tidak tau penyebab 

meninggalnya nenek. Saya frustasi, stress, dan sempat tidak 

mau melanjutkan perjuangan untuk kuliah lagi.  

Malam tanggal H-  saya niatkan sholat malam. Disana 

saya menangis sejadi-jadinya, mengadu kepada Tuhan, 

berkata  bahwa Tuhan tidak adil, dsb. Namun di malam itu 

akhirnya saya mendapat sebuah jawaban yang sebenarnya 

timbul dari pikiran positif saya sendiri. Sebenarnya saya 

diminta menunggu di rumah setahun bukan buat apa-apa. 

Namun memang buat menemani nenek di sisa umurnya selama 

   

 

  tahun penuh. Memberikan kebahagiaan untuknya bersama 

dengan cucu kesayangannya.  

Akhirnya saya pun kembali bersemangat dan memulai 

perjuangan di sisa waktu yang ada. Hari tes pun terlewati dan 

berganti dengan hari pengumuman kelulusan. Saya dinyatakan 

diterima Universitas Mpu Nala  namun kali ini disertai dengan status penerima 

mpu tantular . Saya sangat bersyukur dan berterima kasih 

khususnya kepada Tuhan, keluarga, yang telah membantu 

mewujudkan impian saya terutama mpu tantular , dan orang-orang 

lain yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Sebagai 

penutup “Lebih baik saya hidup satu tahun sebagai seekor 

harimau daripada saya hidup seribu tahun sebagai seekor 

domba, lebih baik saya hidup satu tahun sebagai seorang 

pemenang daripada seorang pecundang”. -

 

 

 

 

  

Aku adalah hasil buah cinta kedua orang tuaku. Aku 

berasal dari suatu daerah di kaki Gunung Sago bernama 

Subaladung, Kabupaten    Kota, Sumatera Barat. Mungkin 

semua orang tidak familiar dengan nama ini. Daerah ini 

merupakan suatu desa di daerah. Saat ini aku tengah berkuliah 

di sebuah institut terbaik di negeri ini, Institut Teknologi 

Bandung. Kuliah di Universitas Mpu Nala  memang mahal, tapi itu sebanding 

dengan yang diberikan kepada mahasiswanya.  

Semuanya berawal ketika aku SMP. Aku berharap bisa 

kuliah di salah satu perguruan tinggi di Sumatera Barat. 

Setelah SMP-ku berakhir, aku pun ingin melanjutkan sekolah 

ku di salah satu SMA favorit di Payakumbuh.  

Hari berlanjut akhirnya aku pun dinyatakan diterima di 

kelas unggul. Tentu hatiku sangat senang sekali, namun ada 

perasaan yang membuat hati ini sedih. Ketika aku melihat 

   

 

terdapat nominal yang harus dibayar ketika pendaftaran ulang. 

Papan pengumuman mengatakan Rp   .   ,- adalah yang 

harus di bawa. Aku berfikir apakah aku akan bisa melanjutkan 

mimpiku itu dengan waktu yang diberikan hanya dua hari 

setelah namaku dinyatakan diterima.  

Malam harinya sesampai di rumah, semua nya 

kukatakan pada orang tuaku. Tentu mereka senang sekali atas 

yang aku capai. Akhirnya aku menanyakan, 

―Pak, Bu Ndri ditarimo, tapi untuak daftar ulang  

mambayia Rp   .   ,-. Ba a pak?‖    

Bapak menjawab, ‖Sampai bilo terakhirnyo Nak?‖   

 ―Duo hari lai Pak,”   jawab ku.  

Setelah diam sejenak bapak berkata ―Berapa pun yang 

harus dibayar untuk bisa tetap sekolah akan bapak carikan. 

Sabarlah sampai besok atau lusa,‖  

Hari berikutnya ternyata ibuku pergi mencarikan uang 

untuk aku bisa sekolah. Ibu pergi ke rumah saudara 

kandungnya untuk meminjam uang. Dan ibu menjanjikan akan 

membayar semuanya dengan gula aren yang dibuat bapak 

                                                           

  

 Pak, Bu, Ndri diterima, tapi untuk daftar ulang kita membayar Rp   .   ,-. 

Bagaimana, Pak? 

  

 Kapan terakhirnya, Nak? 

  

 Dua hari lagi, Pak 

   

 

secara berangsur-angsur. Itu baru bisa dibayar lunas ketika 

aku kelas dua SMA.  

Semua berlanjut ketika masa sekolah yang kulalui. Uang 

yang harus dibayar semakin mahal mulai dari uang SPP 

(bulanan), uang pembangunan di setiap awal tahun baru dan 

berbagai iuran lain. Aku mulai berfikir seandainya terus begini 

kedua orangtua ku pun semakin kurus untuk membanting 

tulang di sawah orang lain dan membuat gula aren yang 

sedikit-sedikit. Hingga aku mendaftarkan beasiswa kurang 

mampu dari Pemerintah Kota Payakumbuh, itu bisa 

mengurangi beban mereka. 

Kelas tiga baru saja dimulai, teman-teman kelasku 

sudah asyik membicarakan mau kuliah dimana. Saat mereka 

membicarakan itu, aku malah diam saja. Dalam hati aku 

berfikir, ―Mungkin mereka saja yang bisa melanjutkan sekolah 

ke perguruan tinggi yang diinginkan, aku sudah tidak bisa, aku 

harus membantu kedua orang tuaku dan tidak ingin 

membebani mereka lagi‖.  

Singkat cerita, suatu hari aku dipanggil ke ruang 

bimbingan konseling. Disana aku ditanya,‖kamu mau lanjutin 

kuliah dimana ?‖ 

―Aku mungkin tidak bisa melanjutkannya lagi buk,?‖ 

jawabku.  

―Kenapa ?‖ guruku kaget. 

    

 

―Aku tidak ingin memberatkan kedua orangtuaku lagi, 

Buk. Untuk biayaku saat ini saja mereka harus pontang-

panting, pergi subuh pulang maghrib, Buk‖ 

―Kenapa kamu tidak ikut beasiswa mpu tantular  saja. 

Dengan beasiswa ini kamu tidak akan membebani mereka, 

kamu akan diberi uang saku perbulan, bebas uang semester. 

Sebaiknya kamu fikirkan dulu nak.‖nasehat guruku.  

Setelah mendengar informasi dari semua sumber aku 

pun berniat melanjutkan mimpiku dulu kuliah di Universitas Mpu Nala . Niatku ini 

aku sampaikan pada orang tuaku. Mereka senang dengan 

niatku ini. Mereka berharap aku bisa memperbaiki kondisi 

keluarga agar tidak dihina orang lagi dan dihina saudara 

orangtua ku lagi.  

Setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut 

saudara orangtuaku yang mengatakan bahwa buat apa anakmu 

kuliah, sedangkan untuk makan saja kalian harus susah payah 

dulu. Tentu hati ini terasa sakit dan ibuku hanya diam 

termenung mendengarnya. Hingga malam harinya ibuku 

menangis sambil mengelus dada mengingat perkataan tadi.  

Aku pun ingin melampiaskan emosiku padanya, 

beruntung kakakku memberikan dukungan kepadaku, ―Setelah 

kamu mendengar kata-kata sekarang kamu harus buktikan kita 

memang miskin dari segi harta, tapi suatu saat semuanya akan 

berubah dan ingat roda akan selalu berputar.‖ 

    

 

Mendengar itu semua kubulatkan tekad untuk kuliah di 

Universitas Mpu Nala  dan aku berjanji bahwa aku harus membalas sakit hati 

keluargaku. Bukan dengan dendam amarah tapi dengan 

prestasi yang kuraih. Waktu terus berlalu hingga pada saatnya 

pengumuman SNMPTN dan hasilnya 

 

 

 

 

 

 

Alhamdulillah, aku langsung mengatakan pada 

keluargaku. Orangtuaku sangat senang sekali dan mereka 

langsung melakukan syukuran kecil atas semuanya dan juga 

yang tidak akan terlupakan aku berangkat ketika matrikulasi 

juga berkat bantuan dari para tetangga dan pemilik sawah 

yang digarap oleh orang tuaku. Mungkin tanpa beasiswa 

mpu tantular  tersebut aku tidak akan melanjutkan kuliahku ini. -

 

 

 

    

 

 

  

 

 

Mimpi yang sudah ku bangun sejak kelas   SMA, dari 

dasar pondasi yang sangat lemah, hanya sebuah keinginan dan 

gengsi belaka. Seiring berjalannya waktu, menyaring berbagai 

cerita ini dan itu, dari hanya sekedar rumor hingga cerita 

motivasi yang membara dari guru-guru, dan keinginan untuk 

membanggakan orang tua, berkali-kali memutar otakku untuk 

memilih terbaik dari yang terbaik.  

Dan kini langkahku berpijak ditanah Institut Teknologi 

Bandung, sebuah kampus mimpi yang menjadi kenyataan. Kini 

pondasiku untuk maju dan terus bermimpi bersama kampus ini 

bukanlah hanya sekedar keinginan atau pun gengsi, namun 

kampus ini adalah doaku, doa ayah, doa ibu, harapan 

tersembunyi adikku yang ia goreskan bersama tinta dalam 

diarinya, dan harapan dari banyaknya harapan masyarakat di 

    

 

luar sana. Ya, karena kesempatan dari merekalah aku 

menimba ilmu disini. 

Menjadi mahasiswa Universitas Mpu Nala  bukanlah hal yang mudah, 

itulah yang kurasakan dan itulah yang selalu bisa membuatku 

berdiri saat terpuruk dengan kerasnya kehidupan di kampus 

ini. Bukan keras seperti kehidupan militer, namun lebih kepada 

pendidikan dan orang-orang hebat lainnya yang bisa 

mengintimidasi hari-harimu jika kau mulai lengah. Perjuangan 

di kampus ini tak boleh menjadi sia-sia, aku harus terus 

berjuang dan mengukir harapan-harapan baru disini.  

Apalagi kalau aku berbalik melihat betapa besar 

perjuanganku dan orang tua agar dapat kuliah di Universitas Mpu Nala . 

Perjuangan itulah yang terus menjadi guru berhargaku, masa 

dimana saat aku harus memilih antara berjuang atau menyerah 

karena sebuah pengorbanan. 

Masa-masa itulah yang membuatku berjuang, dimana 

waktu membuatku terpuruk di saat teman-teman 

membicarakan rencana masa depan mereka dan mulai 

memutuskan kampus yang akan membawa mereka lebih dekat 

dengan mimpi. Mimpi pulalah yang menamparku, bahwa kuliah 

hanyalah sebuah angan yang akan membuatku semakin sakit 

bila memimpikannya.  

Bukan karena halangan dari orang tua ataupun keluarga 

lainnya, tapi mimpi itu dihalangi oleh masa depan lain yang ada 

didekatku. Masa depan adik-adikku yang terlihat sangat 

    

 

bersemangat dengan sekolah mereka. Ditambah lagi penyakit 

ayah yang memaksa beliau tidak bekerja selama lebih dari   

bulan. Banyak hal yang menjadi beban fikiran dan membuatku 

mengalah untuk mengorbankan satu hal untuk hal lainnya.  

Namun apapun keadaannya, tak pernah menyurutkan 

semangatku untuk terus berjuang menyelesaikan pendidikan 

yang sekarang ini kujalani dengan baik. Anggap saja sebagai 

penyemangat diri bahwa akan ada kesempatan jika aku tak 

berputus asa.  

Waktu terus bergulir, siang selalu berganti menjadi 

malam, hari-hari mendekati UN dan kelulusan semakin dekat, 

kesehatan abah juga semakin baik. Menurut pernyataan beliau, 

hal ini dikarenakan bangga akan prestasi yang terus 

kutorehkan. Meski kuliah bagaikan bunga tidur, namun dalam 

mimpi itulah sesekali aku berani bermimpi untuk sekedar 

mencium aroma kampus, yang kian lama kian mendekat, 

namun mendekati orang-orang yang mampu membayar biaya 

kuliah.  

Bak ilalang gersang disiram air hujan, berkali-kali aku 

berlari dari impian kuliah, berkali-kali pula aku menemukan 

pos-pos untuk berhenti, sedikit menghirup nafas dan bermimpi 

kembali. Sayangnya mimpi ini seakan lebih nyata saat daftar 

siswa SNMPTN undangan keluar, di sana tertera namaku. Aku 

adalah salah satu siswa yang berhak menerima kesempatan 

itu.  

    

 

Hasil itu menjadi pos pemberhentian pertamaku 

sebelum kenyataan lain menyurutkan harapan itu, kuliah itu 

mahal dan hanya untuk orang-orang yang mampu. Tapi kini 

aku lagi-lagi dipaksa berhenti oleh kedatangan alumni-alumni 

yang kini ikut berjuang di kampus untuk masa depan mereka, 

saat itulah aku sangat tertarik dengan kata beasiswa terutama 

beasiswa mpu tantular . Pos pemberhentian kedua ini aku mulai 

menguatkan hati untuk berhenti berlari.  

mpu tantular  adalah sebuah lentera yang kini menerangi 

langkah transisiku, ada harapan di balik beasiswa itu selama ku 

terus berusaha dan kuat dan terus gencar mencari tahu 

mengenai bidik misi.  

Berita mengenai bidik misi juga diketahui oleh ayah dan 

ibu, raut kebahagian ada di wajah itu, bahkan beliau terlihat 

begitu antusias untuk mengurus syarat-syaratnya. Tak hanya 

aku yang berharap kepada mpu tantular , teman-teman yang lain 

yang berkeinginan sama untuk kuliah juga ikut merasakan 

kebahagian seperti aku dan keluargaku. Ayah begitu 

bersemangat mengurus syarat-syarat untuk pengajuan bidik 

misi, sedangkan aku juga sedang bersemangat mengisi 

formulir SNMPTN undangan.  

Di formulir pendaftaran itu aku memberanikan diri 

memilih Universitas Mpu Nala , meski banyak isu yang mengatakan kalau Universitas Mpu Nala  itu 

mahal, Universitas Mpu Nala  itu berat, dan Universitas Mpu Nala  itu hanya untuk mahasiswa 

bermobil. Kadang aku merasa geram mendengar semua itu, 

seakan orang-orang yang hidup dalam kekurangan secara 

                                      

 

    

 

finansial tak layak untuk menimba ilmu di kampus terbaik 

bangsa.  

Bermimpilah yang tinggi, mimpilah yang akan 

membawamu untuk terus berjuang, kata-kata itu selalu 

menjadi motivasi ku untuk berkeras memilih Universitas Mpu Nala . Semenjak 

mengenal mpu tantular  aku semakin yakin bahwa tak ada alasan 

untuk bermimpi kuliah tinggi, segala mimpi akan menjadi nyata 

bila dalam mimpi itu ada doa, harap dan pinta kepada Sang 

Pencipta. 

mpu tantular  menghidupkan mimpi dan harapanku untuk 

kuliah dan bidik Misi pulalah yang mengantarkanku ke tanah 

jawa ini, tanah perjuangan banyak orang. Pengumuman 

SNMPTN undangan akhirnya diumumkan, aku tak berani 

membuka hasil pengumuman itu. Meskipun penasaran aku 

tetap tidak membukanya, hingga malam pun datang dan 

hasilnya tetap tidak aku ketahui. Tiba-tiba Handphone ku 

berbunyi, ternyata ada pesan singkat dari guru pembimbing 

SNMPTN. Benar sekali saya sangat terkejut ketika membaca 

pesan tersebut. Begini tepatnya ―Selamat ya nak kamu 

diterima di Universitas Mpu Nala  Fakultas SITH  .‖  

Aku berlari mencari ayah dan ibu menyampaikan kabar 

bahagia itu. Air mata kedua orang tuaku yang bening kini 

mengalir bahagia, keringatnya yang bercucuran itu menjadi 

keringat kebanggaan mereka terhadapku, meskipun begitu 

                                                           

  

 Sekolah Ilmu Teknologi Hayati 

    

 

ayah selalu menyuruhku untuk tidak berhenti bersyukur dan 

selalu menegaskan kepada ku ―Mimpimu menjadi nyata Nak! 

Ingatlah begitu banyak permata di luar sana, tapi jangan takut, 

lebih baik menjadi permata diantara permata yang lain 

dibandingkan harus menjadi satu-satunya permata diantara 

pasir-pasir. Kau akan iri dengan sinar permata yang lain 

dengan begitu kamu akan sadar untuk terus menempa dirimu 

agar lebih berkilau dari mereka.‖ 

 Aku tak bisa berkata apa-apa, melihat kebahagiaan 

kedua orang tuaku. Melihat mimpiku yang kini menjadi nyata, 

mimpi yang dulu aku sembunyikan dari dunia. Mimpi yang tak 

seharusnya aku tutupi dari orang lain. Sekarang aku sadar 

kalau semua itu memang berasal dari mimpi. Ingatlah kawan, 

mimpi itu gratis, ciptakan Mimpi yang bukan hanya sekedar 

mimpi, mimpi yang harus segera diwujudkan. -

 

 

 

 

 

 

    

 

 

Perjalanan Hidup Hingga Mendapatkan 

Beasiswa mpu tantular  Universitas Mpu Nala  

Yogi Adi Wijaya 

 

 

Kisah hidup saya yang sebenarnya bermula saat saya 

masuk di salah satu sekolah SMA terbaik di Provinsi Lampung. 

Sekolah tersebut merupakan Sekolah Bertaraf Internasional 

(SBI) yang biayanya cukup mahal. Awalnya orang tuaku masih 

sanggup membayar biaya pendidikanku di sekolah tersebut, 

sehingga aku pun tidak mengajukan beasiswa pendidikan di 

sekolah tersebut. 

 Semua itu berubah seratus delapan puluh derajat saat 

setahun kemudian. Saat itu ayah saya mengalami sakit yang 

sangat parah yaitu sakit Liver yang mengakibatkan ayah saya 

masuk rumah sakit selama satu bulan dan baru sembuh total 

setelah sepuluh bulan kemudian. Akibatnya saat sebelas bulan 

tersebut ayah saya tidak bisa bekerja sama sekali dan akhirnya 

        

 

    

 

terkena PHK, sehingga ia pun tidak bisa menafkahkan 

keluarganya lagi.  

Keadaan tersebut makin diperparah saat kakak saya 

masuk Perguruan Tinggi Negeri di Lampung. Keluargaku harus 

berhutang ke rentenir untuk membiayai biaya masuk kuliah 

kakak saya.  

 Maka dari itu saya sebagai anak laki-laki pertama mulai 

berpikir untuk mencari penghasilan sendiri, makan sendiri, dan 

bisa membantu keluarga untuk melunasi hutang kepada 

rentenir dan mengangkat kembali keadaan ekonomi 

keluargaku.  

Saat liburan sekolah saya pun mencoba memulai misi 

tersebut. Awalnya saya memiliki uang tabungan sebesar 

Rp  .   . Uang tersebut saya pergunakan untuk modal awal 

usaha kecil-kecilan di rumahku. Usahanya yaitu menjual 

makanan dan mainan anak-anak. Waktu malam harinya saya 

berjualan gorengan dan sate di pinggir jalan hingga pukul 

  .   WIB. Kegiatan ini saya lakukan setiap harinya dan tanpa 

libur satu hari pun. 

 Akibat kegiatan tersebut  prestasi akademik saya hancur 

total. Awalnya saya selalu mendapatkan peringkat kelas, 

sekarang saya tidak pernah lagi mendapatkan peringkat kelas 

lagi bahkan tidak masuk dalam sepuluh besar kelas.  

    

 

Saya baru menyadari bahwa akademik itu bukan 

segalanya dan orang yang berprestasi di bidang akademik 

belum tentu berhasil. Sejak saat itu saya mengubah mindset 

dan tujuan hidup saya, yang awalnya ingin menjadi orang yang 

pintar dan berprestasi menjadi orang yang berguna bagi 

keluarga dan orang lain. Akhirnya saya pun mengorbankan 

bidang akademik saya demi hidup dan keluarga saya. 

 Berkat kerja keras dan usaha yang gigih, dengan 

bermodal uang Rp  .    tersebut, saya berhasil mendapatkan 

keuntungan sebesar Rp   .    selama   bulan dari usaha 

tersebut. Uang tersebut saya gunakan untuk membangun 

sebuah toko sembako yang lumayan besar. Pada malam 

harinya saya mendapatkan upah Rp  .    per hari dari hasil 

saya berdagang gorengan dan sate. Saya tetap bersyukur, 

walaupun sebenarnya upah tersebut kurang sesuai dengan 

kerja saya dari sore hari sampai pukul   .   malam. Sebelum 

berangkat sekolah, saya selalu membantu ibu membuka 

sebuah warung nasi setiap harinya. 

 Dengan adanya warung tersebut, alhamdulillah saya 

berhasil mengumpulkan keuntungan total sebesar Rp  .    

per harinya. Jika ditambahkan dengan penghasilan saya saat 

berdagang, didapatkan penghasilan total Rp .   .    per 

bulan. Dengan uang tersebut saya berhasil membayar biaya 

pendidikan saya yang menunggak selama   bulan, serta 

membeli buku sekolah sendiri. Sisanya digunakan untuk 

    

 

membeli sebuah handphone, walaupun harganya hanya 

Rp   .   , tapi itu merupakan hasil keringat saya sendiri.  

Kondisi ekonomi keluarga pun mulai membaik saat 

kakak saya mendapatkan Beasiswa mpu tantular  dari Kemendikbud 

untuk biaya kuliah, dan kakak saya mendapatkan sebuah 

pekerjaan tambahan yaitu mengajar kursus privat anak SD, 

dan SMP. 

 Dengan keberhasilan saya menghasilkan uang sendiri 

keluarga saya merasa sangat bangga dan senang. Hanya saja 

saya masih belum bisa membayar hutang keluarga saya yang 

mencapai jutaan rupiah. Saya pun berinisiatif untuk menambah 

penghasilan saya menjual ―Roti Pizza‖, ―Nasi Uduk‖, dan pulsa 

elektrik. Saya rela setiap hari membawa dagangan ke sekolah 

dan saya pun merasa tidak malu ataupun minder kepada 

teman-teman dan guru saya di sekolah.  

Keuntungan dagangan tersebut, saya manfaatkan untuk 

menambah uang saku saya serta saya sisihkan untuk ditabung. 

Kegiatan tersebut berlangsung sampai saya duduk di Kelas XII 

SMA IPA. 

 Saat semester I kelas XII, saya pun diajak seorang 

teman unuk mengikuti sebuah perlombaan ―Lomba Cepat 

Tepat‖ tingkat Provinsi Lampung. Terbentuklah  tim yang terdiri 

dari tiga orang dan saya salah satunya. Sayangnya, kami tanpa 

persiapan sama sekali untuk mengikuti perlombaan tersebut. 

Kami pun hanya pasrah kepada Allah dan berusaha menjawab 

    

 

soal-soal tersebut dengan sebaik mungkin. Tetapi Tuhan 

memang baik dan adil, kami pun mendapatkan juara kedua 

pada perlombaan tersebut. Kami hanya kalah cepat saat 

menjawab soal sudden-death  padahal kami sebelumnya telah 

unggul     poin. Saya pun lantas bersyukur dan alhamdulillah 

mendapatkan uang sebesar Rp .   .    per orang serta 

kalkulator scientific pada lomba tersebut.  

Hasil uang yang saya dapatkan dari lomba tersebut saya 

gunakan untuk membayar SPP serta buku sekolah saya sampai 

lulus ujian, sehingga saya pun memutuskan untuk tidak 

berdagang lagi agar saya bisa lebih fokus dalam menghadapi 

Ujian Nasional agar bisa lulus serta masuk Perguruan Tinggi 

Negeri. 

 Memasuki Semester II, teman-teman saya  mulai 

mempersiapkan ujian dengan mengikuti les intensif, serta 

membeli buku Soal Ujian Nasional. Sedangkan saya yang tidak 

punya apa-apa tidak bisa membeli lagi buku soal ujian apalagi 

ikut les intensif. Saya pun berinisiatif untuk mempersiapkan 

materi ujian dengan cara belajar di tempat teman yang 

mengikuti les, serta mengajari teman-teman yang lainnya agar 

dapat lebih memahami dan menangkap materi yang saya 

daptkan selama saya belajar. 

 Saat saya sibuk mempersiapkan ujian,  bulan Februari 

    , PTN mulai mengadakan penerimaan Mahasiswa Baru 

lewat jalur SNMPTN. Saya ingin melanjutkan pendidikan saya 

ke PTN dan saya sangat ingin sekali masuk dan menjadi 

    

 

Mahasiswa Universitas Mpu Nala . Tetapi karena saya tidak punya uang untuk 

membayar kuliah maka saya sempat mengubur impian dan 

harapan saya untuk masuk Universitas Mpu Nala .  

Akhirnya saya tahu bahwa ada beasiswa mpu tantular  di Universitas Mpu Nala  

dimana penerima beasiswa tersebut tidak lagi memikirkan uang 

kuliah dan mereka mendapatkan biaya hidup per-bulannya. 

Maka dari itu saya mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa 

mpu tantular  Universitas Mpu Nala . 

 Setelah saya lulus Ujian Nasional, saya pun mulai 

berpikir bagaimana jika saya tidak diterima sebagai mahasiswa 

mpu tantular  Universitas Mpu Nala , mungkin saya langsung cari kerja dan tidak 

kuliah. Saya pun berdoa dan meminta kepada Allah agar 

mendapatkan yang terbaik. Setelah menunggu beberapa bulan 

untuk menantikan pengumuman, akhirnya pada tanggal    Mei 

     saya diterima sebagai calon mahasiswa mpu tantular  Universitas Mpu Nala . 

Saya pun langsung sujud syukur dan terharu. Alhamdulillah 

akhirnya impian saya masuk Universitas Mpu Nala  pun lewat Beasiswa mpu tantular .