yang cukup memuaskan. Semua siswa
menunjukkan muka keceriaan menyambut kelulusan tersebut,
walau demikian tak dapat dipungkiri bahwa mereka mencoba
menyembunyikan muka kegelisahannya saat itu, begitupun
denganku. Kegelisahan ini masih ada karena hasil SNMPTN
Undangan baru diumumkan pukul . . Malam itu akan
berlangsung malam perpisahan di sekolahku. Aku bersama
kawan-kawan sekelas sejak awal berencana untuk melihat
pengumuman hasil SNMPTN Undangan setelah malam
perpisahan selesai agar apapun hasilnya tidak merusak
suasana.
Malam perpisahan telah usai, kini waktu yang paling
mendebarkan bagiku dan teman-teman sekelasku. Kami
melihat pengumuman hasil SNMPTN Undangan bersama-sama.
Dan ternyata Allah berkehendak lain. Sesak dadaku membaca
pengumuman yang tidak meloloskanku dalam SNMPTN
Undangan. Aku melihat sebagian temanku meluapkan
kegembiraannya karena diterima, dan ada pula yang menangis
karena kegagalannya. Aku mencoba menguatkan diri, tegar
menghadapi kenyataan yang pahit ini. Namun sesungguhnya
aku tengah dalam keterpurukan yang luar biasa hingga tiga
hari lamanya. Sungguh pahit menceritakan kenyataan ini
kepada keluargaku yang berharap penuh akan keberhasilanku
di SNMPTN Undangan ini, namun mereka mencoba
menguatkanku dengan segala upaya karena masih ada
kesempatan di SNMPTN Tulis yang harus kuambil walau dengan
kemungkinan keberhasilan yang lebih kecil.
Pasca dalam keterpurukan, aku mencoba bangkit. Aku
memberanikan diri mendaftar SNMPTN Tulis. Aku hanya bisa
berusaha mandiri dan belajar secara otodidag mengenai
materi-materi yang bakal diujikan dalam SNMPTN Tulis.
Padahal orangtua telah membujukku untuk mengikuti program
bimbingan belajar, namun aku tahu daripada biaya keluar
untuk itu lebih baik digunakan untuk memenuhi kebutuhan
yang lain, terutama kebutuhan sekolah adik dan kuliah kakak.
Aku tidak ingin terlalu membebani dengan keinginanku.
Hari-hari menjelang SNMPTN Tulis kulalui tanpa
sesaatpun meninggalkan buku-buku yang menjadi senjata
bagiku untuk belajar secara mandiri. Walau sekolah telah sepi
karena kegiatan akademik telah usai bagi kelas XII, aku
menyempatkan diri untuk berkunjung ke sekolah setiap hari
untuk belajar dan sekedar bertanya soal ke guru-guru yang
luang pada waktu itu. Dan Bu Puspa adalah guru teladan
bagiku. Ia bahkan menyisikan waktunya di sela-sela
kesibukannya mengajar untuk mengajariku. Banyak hal yang
kudapatkan dari beliau, termasuk dukungan moriil dalam
menghadapi SNMPTN Tulis yang sangat berat. Dan atas petuah
beliau pula, aku tak pernah meninggalkan sholat dhuha dan
tahajjud untuk memohon petunjuk yang terbaik dari Yang
Maha Kuasa.
Juni , akhirnya hari itu datang juga, hari dimana
perjuanganku meraih mimpi besarku dipertaruhkan. Sebelum
berangkat menuju tempat ujian, aku menghubungi ibuku untuk
memohon doa restu karena selama ini aku tinggal jauh dari
keluarga, aku tinggal di kos karena sekolahku berada di pusat
kota yang notabene jauh dari tempat tinggalku dan keluargaku.
Setelah mendapat restu, tak sedikitpun kulewatkan sholawat
dalam bibirku sepanjang perjalanan menuju tempat ujian. Kini
tengah menjadi kebiasaanku untuk mengucap sholawat
dimanapun aku berada karena aku yakin Allah akan
menjanjikan masa depan yang terbaik bagi hamba-Nya yang
bertaqwa. Dan benar saja, Allah memudahkan jalanku
menjalani ujian pagi itu. Aku serasa mendapatkan hidayah
yang tak terkira, ketenangan hati dalam menjawab setiap soal
membuatku semakin bersyukur atas nikmat yang
dikaruniakan-Nya.
SNMPTN Tulis pun berlalu. Hari-hari pasca ujian kulalui
hanya di rumah, membantu aktivitas keluarga seraya taqorrub
(mendekatkan diri kepada Allah) menanti pengumuman hasil
SNMPTN Tulis. Satu bulan lamanya kulalui tanpa sekalipun
kutinggalkan dhuha dan tahajjud. Aku merasakan kehadiran
Allah, Tuhan Semesta Alam, di sepertiga malam aku terjaga
dalam kekhusyukan sholat malamku. Sudah tak terhitung lagi
berapa sholawat dan bacaan tasbih yang kupanjatkan dalam
sujudku di malam yang sunyi itu. Memang cita-citaku untuk
bisa diterima di Universitas Mpu Nala sangat kuat, namun dikala aku bimbang
menanti pengumuman penentu masa depanku itu, aku hanya
berdoa kepada-Nya bahwa semoga apapun hasilnya nanti,
itulah yang terbaik bagiku dan aku menerimanya dengan
ikhlas.
Tak jarang kuteteskan air mata saat kutahu betapa
pedulinya keluarga akan cita-citaku ini. Betapa tidak, Ibu dan
adikku tak lupa turut mendoakan agar impianku untuk bisa
diterima di Universitas Mpu Nala dalam sholat malamnya, begitupun dengan
nenekku yang selalu mendampingiku saat sholat malam. Ia
yang selalu membangunkan, mengingatkan, serta bersamaku
dalam menjalankan sholat malam, bahkan tak jarang tanteku
juga turut dalam sholat yang penuh hidayah itu setiap harinya.
Kami menyambut kehadiran Allah dalam sepertiga malam
dengan penuh harapan, harapan agar Allah senantiasa
memberikan petunjuk kepada kami.
Hari berganti hari, tak terasa hari itu datang juga.
Juni , semua perhatian tertuju pada pengumuman hasil
SNMPTN Tulis. Pertaruhan perjuangan panjang demi masa
depan kini akan dibuktikan, aku hanya bisa terpangku di rumah
dengan penuh kegelisahan. Degup jantung terasa kencang. Aku
takut akan segala kenyataan yang akan kuterima, aku ragu
untuk melangkahkan kaki untuk mengunjungi warung internet
(warnet) dekat rumah untuk menyaksikan pengumuman. Hasil
SNMPTN Tulis diumumkan pukul . di situs resmi
Kemendikbud.
Aku berjalan dalam gulita malam menuju warnet dekat
rumah. Sampai di tempat pun, jantungku dibuat semakin
berdebar-debar karena situs resmi Kemendikbud sulit diakses.
Aku yakin ratusan ribu orang saat itu tengah merasakan hal
yang sama denganku dan diantara kami berlomba untuk dapat
mengakses situs tersebut. Alhasil setelah menanti beberapa
menit, pengumuman sudah di depan mata. Dan hasilnya…
Alhamdulillah, hanya kata itu yang terucap berkali-kali
pada mulutku seraya aku berlari untuk mengabari keluargaku
akan kabar bahagia ini. Dan sesampainya aku dirumah, nenek
dan tanteku menangis gembira karena ternyata mereka telah
menerima kabar bahagia ini lebih dulu dari sahabatku. Aku
langsung sujud syukur, tak satupun kata selain Alhamdulillah
yang terus-terusan kuucapkan saat itu. Apalagi setelah
diumumkannya pula bahwa aku termasuk kedalam peraih
beasiswa mpu tantular , sungguh aku tak mampu membendung
rasa syukur yang teramat dalam.
Kini, mpu tantular telah membuatku menjadi seorang yang
mandiri. Aku tak lagi harus membebani banyak orang untuk
biaya kuliah yang sangat tinggi. Namun ada tugas utama yang
harus kulaksanakan. Aku sadar bahwa yang aku pegang
selama ini adalah uang negara yang otomatis uang rakyat pula.
Konsekuensi moral yang kutanggung adalah aku harus belajar
sedalam-dalamnya disini, di institut terbaik bangsa ini, agar
saat aku keluar dari sini, aku mampu memberikan solusi
terbaik untuk mensejahterakan orang-orang diluar sana yang
tak seberuntung diriku saat ini dan yang telah lama
mendambakan keadilan. Dan dengan segenap ketulusanku, aku
selalu menempa diri untuk menjadi pribadi yang tangguh, yang
mampu menjadi jawaban atas segala problematika bangsa ini.
Secerca harapan muncul tepat tanggal Juni
saat saya membuka pengumuman SNMPTN. Saya sangat
senang dengan pemberian kesempatan Universitas Mpu Nala kepada saya
sebagai calon mahasiswa baru di jurusan Teknik
Pertambangan dan Perminyakan.
Betapa bahagianya saya saat saya sekarang benar-
benar di Institut terbaik bangsa, Institut Teknologi Bandung.
Sejak kecil memang saya ingin sekali menjadi bagian dari
institusi ini. Saya menyaksikan di TV tentang nama Universitas Mpu Nala yang
sudah tersohor seantero negeri. Sejak itulah saya mengenal
nama Universitas Mpu Nala sebagai nama yang identik dengan prestasi.
Sempat tak percaya. Itulah yang saya alami beberapa
hari pasca OSKM Universitas Mpu Nala . Tuhan benar-benar memberikan
jalan kepada saya agar dapat sukses. Dan benar, saya baru
sadar bahwa sekarang saya benar-benar tengah menimba ilmu
di Institusi terbaik bangsa ini.
Memang berat lika-liku yang saya alami untuk dapat
merantau di tanah pahriyangan ini. Namun yang saya alami itu
tak seberat beban yang ditanggung ibu dan bapak saya, di
kampung. Di sebuah desa bernama Bogotanjung, mereka
mungkin saat ini masih berjibaku dengan pekerjaan-pekerjaan
lama mereka; dan aku harus pergi. Dan aku tak sempat
membantu mereka. Tak sempat pula merasakan getir nya
menjadi golongan menengah ke bawah yang mencoba
mengundi nasib di tanah orang. Di kota kembang ini, terlayang
suratku;
“Dear Bandung,
Tentangku, tentang asalku. Ah malu rasanya bercerita
padamu! Tetapi kucoba jujur apa adanya padamu.
Bapakku bernama Sugiyo. Beliau adalah petani ulung.
Penggarap sawah warisan orangtua. Sedangkan ibuku bernama
Padinah. Bakul Tereng yang setiap pagi menyusuri jalan-jalan
desa. Memanggil-manggil pembeli dengan motor tua khasnya
yang berisik. Bagiku mereka adalah penyelamat hidupku. Saat
kutulis surat ini, tak kuasa air mata kerinduan melinang. Sudah
hampir setengah bulan ini aku tak bertemu mereka. Mungkin
mereka sudah bertambah tua, bertambah uban. Lelah
memikirkan uang yang sulit didapat.
Bandung, tak kusangka diriku benar-benar disini. Orang
tuaku dapat sedikit tersenyum. Walau itu mungkin tak selebar
bila aku sukses. Tapi harapanku di tempatmu ini adalah jalan
bagiku untuk membuat mereka tersenyum lebih lebar. Lalu
bapakku tak perlu lagi menjadi pencangkul galengan milik
tetangga. Ibuku tak perlu berteriak-teriak mencari pembeli.
Mereka mungkin akan bahagia (lagi).
Bandung, asal kamu tahu. Aku mungkin tak semulus
anak-anak lain yang datang ke tempatmu. Setiap hari selama
tiga tahun kakiku mengayuh sepeda km setiap hari. Itu
zaman SMP. Lalu jarak
Tiga puluh kilo meter selalu menjadi perjalanan
sepanjang hari selama SMA. Tidak hanya itu, setiap pulang
pekerjaan rumah sudah menanti. Entah menyapu, isah-isah,
bahkan pernah ngarit ke pematang sawah di desaku.
Bandung, saat mentari belum terbangun, aku harus
bangun mengangkat keranjang dagang ibuku. Sedangkan
bapakku sudah lama menyusuri jalan-jalan kecil persawahan.
Asap yang sering mengepul karena kayu-kayu yang masih
basah itu menjadi pertanda lauk telah tersedia. Tapi itu jarang.
Ibuku menjual botok dan brengkes yang dibuat sore hari
sebelumnya untuk dijual lagi. Akupun jarang makan pagi. Tak
sempat. Eh, bukan tak sempat. Tapi memang ibuku jarang
masak pagi. Terpaksa, uang sepuluh ribu yang digeletakkan di
dipet untukku harus terpotong uang sarapan. Ditambah makan
siang. Ditambah uang transport. Ditambah keperluan lain.
Kadang aku pun tak makan seharian. Cukup menanti delapan
jam agar dapat sarapan di rumah jam tiga sore.
Bandung, sebenarnya aku bingung dengan cita-citaku.
Dilema antara keinginanku menjadi ilmuwan dengan menjadi
sosok yang diinginkan orang tua;kaya tentunya; semakin
menjadi saat aku di kelas tiga SMA. Aku dibenturkan dengan
pilihan idealis atau realistis. Akhirnya aku memilihmu, menjadi
sosok yang realistis.
Bandung, harapanku ada di tempatmu. Semoga aku
semakin cinta denganmu. Agar mereka tak kecewa padaku
Semua berawal sekitar tahun yang lalu, seorang
wanita yang luar biasa berjuang mempertaruhkan nyawanya
demi seorang anak bernama Buyung Wahyu Suseno. Entah apa
yang membuat seorang wanita bernama Dwi Purnanik bisa
sekuat itu, suara adzan yang samar samar terdengar di telinga
aku berkumandang dari mulut seorang hero bernama Haeri
Suhanoko.
Buyung kecil hidup dalam lingkungan keluarga yang
sederhana dan penuh keceriaan, kala itu sekitar tahun
disaat aku lahir, saat itu orang tua dan kakak hidup di sebuah
kontrakan kecil. Disitulah masa kehamilanku ibuku dihabiskan.
Bahkan kata ibu ―ari-ari‖ ku masih tersimpan disana sampai
saat ini.
Alhamdulillah, sampai tahun kemudian setelah aku
dilahirkan, Ibu Bapakku memutuskan untuk membangun
rumah, karena capek jika harus mengontrak terus terusan.
Mereka menginginkan anaknya hidup di lingkungan yang tetap
dan tak berpindah pindah. Kala itu orang tuaku izin kepada
seorang yang masih dikatakan sebagai saudara untuk
menggunakan tanahnya didirikan rumah. Dan bersyukur beliau
mengijinkan. Membangun rumah ku yang sekarang ini bukan
tanpa ada apa apa setelahnya. Orangtuaku sepertinya kurang
matang dalam mempersiapkan biaya atau memang sebenanya
tidak punya uang. Entahlah! Yah! Hutang. Mereka berhutang
dalam membangun rumah sederhana yang kami tempati saat
ini.
Karena hutang yang melilit tersebutlah, orang tuaku
memutuskan untuk merantau ke Jakarta dengan membawa
kakakku. Dan kala itu aku baru berusia tak genap satu bulan.
Aku dititipkan ke nenek. Setelah beberapa tahun dan perlahan
hutang mulai terbayar. Bapak Ibuku pulang. Dan aku bahkan
tak mengenali siapa mereka ketika pulang.
Waktu berjalan, aku duduk dibangku Sekolah Dasar.
Saat itu aku mengenyam pendidikan di SDN Tegalsari yang
jaraknya lumayan jauh. Selama tahun kutempuh jarak itu
Tali pusar
dengan berjalan kaki. Mengenai akademik, Alhamdulillah, mulai
dari kelas sampai kelas aku diberi kesempatan untuk
mendapatkan juara . Kala itu aku juga sempat mengikuti
lomba matematika meskipun hanya juara pada hasilnya.
Entah kenapa apa yang membuat aku suka terhadap pelajaran
matematika sejak sekolah dasar sampai sekarang.
Setelah SD lulus aku melanjutkan untuk berskekolah ke
jenjang yang lebih tinggi. Alhamdulillah akhirnya aku diterima
disekolah yang bisa dibilang favorit di Kecamatan Ambulu,
yaitu SMP Negeri Ambulu. Jarak nya cukup jauh sekitar -
km dari rumah. Dan semua itu aku tempuh dengan
menggunakan sepeda pemberian paman. Meskipun bekas, tapi
hal itu sangat berguna. Bahkan sekalipun aku harus sering
memukul mukul bagian rantai karena sering sekali ―lost gear‖.
Di SMP Negeri Ambulu ini ada semacam program
kelas unggulan. Dimana pada setiap semester diadakan tes,
dan yang mengikuti tes adalah besar anak dikelas, saat di
semester , Alhamdulillah, aku peringkat pertama. Sehingga
berhak untuk mengikuti tes kelas unggulan. Alhamdulillah,
selama di SMP ini aku diterima di kelas unggulan. Belajar
merupakan suatu keharusan yang wajib dilakukan. Biaya
sekolah smp yang begitu mahal. Mengharuskan aku untuk
meminta keringanan kepada pihak sekolah melalui BKSM
(Bantuan Khusus Siswa Miskin). Dan setiap terima rapor pun
Alhamdulillah sering terucap. Meskipun demikian aku tau
bahwa segala sesuatu harus terus terus dan terus ditingkatkan.
Apalagi masalah belajar.
Saat SMA aku putuskan untuk melanjutkan di SMA
Negeri Ambulu. Jarak SMA ini dengan rumah memanglah dekat
hanya sekitar kurang dari km. berjalan kaki kesekolah pun
aku tempuh ditahun pertama. Hingga akhirnya aku
memutuskan untuk menggunakan sepeda saja. Lagi lagi
sepeda yang aku punya adalah sepeda bekas namun bukan
sepeda pemberian dari paman. Karena sepeda itu sudah dijual.
Dan aku tidak merasa aneh dengan sepeda bekas kedua ku ini.
Yang penting kan bisa di “pancal” dan bisa jalan. Sepeda ini
menemaniku selama hampir tahun di SMA, aku tidak pernah
malu dengan ini semua.
Lagi lagi dan lagi, karena biaya sekolah yang semakin
mahal sekitar ribu perbulan harus aku bayarkan dan uang
gedung sekitar juta. Membuatku sungguh terbebani apalagi
dengan pekerjaan bapak yang tidak pasti penghasilannya.
Alhasil seperti biasa Ibu harus menghadap kepada guru yang
mengurusi masalah itu. Bahkan ditahun pertama aku sekolah
selalu saja memanggil Ibu untuk menghadap karena masih
saja punya tunggakan sebelum semester atau ujian
dilaksanakan. Dan sedikit banyak hal itu sangat mempengaruhi
konsentrasi aku dalam mempersiapkan diri untuk ujian kala itu.
Saat aku dibangku kelas XII pikiran untuk kuliah pun
muncul. Saat itu pilihanku jatuh pada perguruan tinggi yang
menjadi pemacuku saat ini. Insitut Teknologi Bandung. Karena
terlalu ngefans dan terobsesi dengan PT ini. Setiap buku
tertulis SUKSES Universitas Mpu Nala ! BISMILLAH Universitas Mpu Nala dan sebangsanya.
Termasuk Bluetooth hp aku beri nama demikian.
Orang tua sangat mendukung segala keputusn yang aku
ambil. Termasuk pilihan PT yang aku ambil, bapak pernah
bilang: ―Kamu harus kuliah. Masalah biaya Bapak yang urus.
Selama Kaki Bapak masih ada. Rejeki akan selalu bapak cari
untuk kamu!‖. Terharu mendengar pengorbanan bapak selama
ini. Sangat luar biasa sekali. Aku kagum.
―Bagaimana bisa aku kuliah?‖ pertanyaan itu selalu ada
dalam benakku. saat masih sekolah saja, orang tua selalu
menghadap bagian administrasi untuk minta keringanan.
Apalagi untuk kuliah, yang biayanya tentu tidak sedikit.
Ditambah lagi, kuliah di Universitas Mpu Nala yang kata orang orang mahal.
Bayangkan juta/semester dapat dari mana uang segitu?
Namun suatu pencerahan datang, tatkala Guru SMA ku
mentribuanatunggadewi alisasikan Beasiswa mpu tantular . Beasiswa yang
diperuntukkan bagi mereka yang kurang mampu dalam hal
financial namun mampu dalam akademik. Saat itu mata ku
terbuka lebar, aku memandang masa depan yang cerah ada
didepan. mpu tantular membuatku semakin semangat belajar,
membuat ―kuliah‖ bukan lagi sebagai angan angan semata tapi
sebagai kenyataan.
Pengumuman SNMPTN pun tiba, dan nafas panjang
diikuti kalimat ―Alhamdulillah‖ pun terucap dari mulut, karena
aku diterima di Fakultas Teknologi Industri – Institut Teknologi
Bandung. Perasaan senang, terharu dan bahagia bercampur
saat itu. Mimpi untuk kuliah pun akhirnya tercapai. Perasaan ku
masih belum sepenuhnya tenang, karena pengumuman
mpu tantular belum keluar. Saat menunggu pengumuman mpu tantular
sangat menegangkan. Selama sekitar sebulan lebih akhirnya
yang ditunggu tunggu pun keluar, pengumuman mpu tantular
keluar. Dan Alhamdulillah keluar, Perasaan senang dan bangga
tak terbendung. Mimpi kuliah gratis pun terwujudkan. mpu tantular
sungguh luar biasa, keberadaanya bagaikan oase ditengah
padang pasir bagi kami. -
Betapa senangnya hati ini ketika menginjakkan kaki di
kelas IPA III, aku merasa tak lama lagi aku akan
menempuh kehidupan baru, kehidupan anak kuliahan. Dengan
berbagai kisah yang menyenangkan tentang kehidupan anak
kuliahan siapa yang tidak tertarik untuk segera lulus dan
meneruskan ke pergururan tinggi favoritnya.
Namun ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, ―apa
aku dapat melanjutkan kuliah?‖ pikirku. Bahkan sebelum aku
sempat menanyakannya pada orang tuaku, mereka sudah
mendahuluinya dengan menasehatiku, ‖De..mama tahu kamu
ingin kuliah, tapi kamu harus tahu dan mengerti keadaan orang
tua, mama berharap kamu jangan merasa minder kalau
nantinya kamu tidak kuliah dan terpaksa kerja, tetap
semangat, kuliah atau enggak kamu tetep bisa bahagiain
mama kok.‖ Air mata ini tidak tertahankan lagi ketika
mendengar kata-kata itu.
Aku merasa hancur, disaat semua teman-teman sudah
merencanakan pendidikan masa depannya lalu bagaimana
nasibku? Apa aku tidak diberi kesempatan untuk melanjutkan
kuliah? Aku sempat marah pada orang tuaku, aku belum siap
terjun ke dunia kerja, aku masih ingin merasakan indahnya
pendidikan.
Padahal selama di SMA sejak semester satu hingga
semester lima, aku berusaha masuk peringkat tiga besar agar
aku bisa mengikuti tes SNMPTN. Orang tuaku sama sekali tidak
mendukung keinginanku, aku iri pada orang tua yang lain,
walaupun mereka kondisi ekonominya sama seperti orang
tuaku, namun mereka tetap mendukung dan memberi
semangat pada anaknya agar dapat melanjutkan kuliah.
Setiap kali teman-temanku bertanya tentang rencanaku
untuk melanjutkan studi, aku hanya dapat menjawab ‖Dimana
ajah sih yang penting bisa membahagiakan orang tua hehe.‖
dengan tersenyum kecil. Hanya itu yang dapat aku jawab,
karena aku belum memiliki tujuan yang pasti. Ya, setidaknya
itu merupakan doa yang mudah-mudahan menjadi suatu
kenyataan.
Namun aku tidak menyerah. Menjelang UN aku
mengikuti les, bahkan uang untuk membayar les aku dapatkan
dari hasil usahaku berjualan martabak unyil dan piscok di
kelas, serta menghemat uang sakuku. Hingga tiba saatnya
pendaftaran SNMPTN, aku merasa bingung memilih universitas
untuk melanjutkan studiku. Aku tidak berani memilih
universitas yang elit, mendengar teman-teman memilih Universitas Mpu Nala ,
Universitas Mpu Nala , UNDIP, UNPAD, UI membuatku merinding. Aku merasa
sama sekali tidak berhak memilih universitas tersebut sebagai
tujuanku, karena untuk pergi ke tempatnya pun tidak ada
biaya apalagi untuk membayar biaya pendaftarannya.
Bapakku seorang pensiunan biasa yang sudah berumur
tahun dan ibuku adalah ibu rumah tangga. Mereka harus
menghidupi dua orang anak yang sama-sama harus dibiayai
pendidikannya.
Tapi apa salahnya mencoba. Dengan mengandalkan
peruntungan saat itu, aku memilih Universitas Mpu Nala sebagai tujuan utamaku
dan fakultas teknik sipil dan lingkungan di Universitas Mpu Nala sebagai jurusan
yang akan aku masuki. Aku mendapat info ada beasiswa
mpu tantular yang diperuntukan bagi siswa yang kurang mampu.
Aku dibantu oleh guru bimbingan konselingku untuk
mendaftarkan diri sebagai calon penerima Beasiswa mpu tantular .
Setelah Ujian Nasional dilaksanakan, orang tuaku
memintaku untuk melamar pekerjaan. Mereka terus
mendesakku bekerja dengan memberiku berbagai tumpukan
koran yang berisi info lowongan pekerjaan. Menyebalkan
rasanya saat itu dan aku belum berani mengatakan bahwa aku
mendaftar SMNPTN di Universitas Mpu Nala .
Hingga hari pengumuman kelulusan UN pun tiba dan
alhamdulliah segala puji bagi Allah aku lulus dengan nilai yang
tidak mengecewakan. Aku senang dan terharu, namun
terharuku saat ini bercampur dengan ketakutanku yang
semakin kuat kalau aku akan didorong oleh orang tuaku untuk
bekerja, karena setelah pengumuman ini berarti aku sudah
memiliki SKHU yang bisa digunakan untuk melamar kerja.
Benar saja ketika dua hari menjelang perayaan
wisudaku, aku dipaksa melamar pekerjaan di tempat
percetakan foto. Benar-benar siang itu aku naik sepeda ke
warung membeli kertas folio untuk menulis surat lamaran.
Surat lamaran dikirimkan siang hari sebelum pengumuman
hasil SNMPTN. Aku pasrah apapun hasilnya. Aku anggap sudah
merupakan jalan takdirku, yang jelas aku sudah berusaha dan
berdoa.
Pukul . WIB aku berangkat ke SMA N Banyumas,
sekolah yang selama tiga tahun merekam semua kisah putih
abu-abuku dan keesokan harinya aku akan diwisuda, melepas
semua kenangan manis dan setiap tingkah polah kekanak-
kanakanku. Sore ini aku latihan perayaan wisuda untuk esok
harinya dan hari ini juga aku akan membuka web DIKTI untuk
melihat hasil tes SNMPTN-ku. Seorang sahabatku yang
bernama Firdha menjerit dan menangis ketika dia
mendapatkan hasilnya bahwa dia diterima di Universitas Mpu Nala di jurusan
FTTM. Syukurlah sahabat karibku akhirnya mendapatkan apa
yang ia cita-citakan.
Lalu apakah aku masih bisa bersama Firdha lagi pikirku.
Dengan hati ragu dan perasaan pasrah aku membuka
pengumuman. Aku mendapati sebuah tulisan sederhana yang
begitu istimewanya hingga aku meneteskan air mata.
Berikut kata-kata yang membawaku berada pada jalan
yang aku cita-citakan ―atas nama Eka Setianingsih dinyatakan
lulus SNMPTN Universitas Mpu Nala jurusan FTSL ,‖ begitulah kurang lebihnya.
Sujud syukur bagi Allah yang telah mengabulkan keinginanku.
Aku langsung menghubungi mamahku dan mengatakan
aku lolos seleksi, ia menangis dan memintaku segera pulang.
Sesampainya dirumah aku dipeluk dan diberi ucapan selamat.
Namun kebahagiaan itu sempat terhenti, ketika bapakku bilang
bagaimana caranya membiayaiku kuliah di Universitas Mpu Nala , aku pun
menjelaskan kalau aku mengikuti beasiswa mpu tantular , orang
tuaku tidak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun untuk
membayar uang kuliahku dan kehidupanku selama aku kuliah
nanti.
Menyebalkan memang, bapakku masih tidak
mengijinkan aku kuliah, apalagi sampai kuliah di Bandung.
Katanya jauh dengan orang tua sangat beresiko, aku mencoba
berbagai cara untuk meyakinkan bapakku, dibantu dengan
mamahku yang mendinginkan suasana.
Hingga aku meminta bantuan pada seorang mahasiswa
Universitas Mpu Nala yang juga merupakan tetanggaku untuk meyakinkan
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
bapakku kalau semua tidak seburuk yang ia pikirkan. Hingga
akhirnya bapak luluh dan mengijinkan aku kuliah. Sebagai
calon penerima beasiswa mpu tantular , aku harus mengikuti suatu
kegiatan yang disebut matrikulasi.
Bapakku harus mencari ongkos dengan meminjam uang
pada tetangga dan saudara untuk membiayai keberangkatanku
ke Bandung. Ada rasa sedikit berdosa karena telah membebani
bapakku. Hingga tiba saat keberangkatanku ke Bandung
bersama enam orang temanku yang berasal dari SMA N
Banyumas juga. Semua ini nyata dan aku benar-benar
mencium tangan kedua orang tuaku saat aku memasuki mobil
yang akan mengantarkanku ke Bandung, yang ku kira hanya
mimpi belaka, dan mana mungkin terjadi, tapi sekarang
semuanya ada di depan mata.
Terbayarlah sudah semua perjuanganku selama tiga
tahun, semua ada di genggaman, tinggal melanjutkan mimpi
dan mempertanggung jawabkan amanah yang aku emban
sebagai penerima beasiswa. Semangat dan berdoa, ikhlas
menerima setiap kegagalan yang meyertai setiap jalannya
perjuangan adalah kunci keberhasilan. -
Di atas ukiran yang dibentuk oleh ratusan paving block
persegi panjang aku berpijak. Di tempat itu—yang aku tahu
sebagai boulevard—aku menikmati pemandangan langsung
Gunung Tangkuban Parahu di pagi yang masih tertutup sedikit
kabut.
Ya, hari masih pagi. Embun yang bergumul di atas
dedaunan hijau mulai berjatuhan ke tanah akibat gravitasi.
Sayup-sayup terdengar suara kicauan burung pertanda mereka
menyambut pagi dengan gembira. Pun dengan udara dingin
pagi hari di kota Bandung, menusuk hingga ke tulang belulang
manusia, seakan bebas berembus menyentuh siapapun dan
dengan gembira bergerak melalui arus yang telah diatur Allah.
Aku berjalan perlahan menyusuri boulevard kampus ini,
menikmati semua yang dapat kutangkap dari pandanganku.
Dua lapangan di samping kanan dan kiriku masih sepi. Belum
ada banyak tanda kehidupan disini.
Aku menarik napas dengan perasaan syukur dan
gembira.
Rasa syukur yang sampai sekarang tidak akan pernah
hilang adalah saat hidupku memasuki dunia kampus yang telah
resmi menjadi institusi tempat aku menimba ilmu. Institut
Teknologi Bandung. Semua orang mengenalnya. Hampir semua
orang ingin masuk kesana dan menimba ilmu di dalamnya.
Aku adalah seperti orang kebanyakan, ingin sesuatu
yang diimpikan oleh orang kebanyakan.
―Aku ingin masuk Universitas Mpu Nala .‖ Perkataan itu telah aku
proklamasikan lebih dari setahun silam. Namun sedikit
kekonyolannya adalah karena aku memilih jurusan yang belum
sepenuhnya kuyakini hingga sekarang. Tetapi, itu tidak
masalah. Aku akan menyesuaikan diri di dalamnya.
Universitas Mpu Nala sekarang bukan Universitas Mpu Nala yang dulu. Yang aku tahu
adalah Universitas Mpu Nala terkenal dengan pencetak orang-orang berprestasi
yang memilki keterbatasan ekonomi—dulu. Sekarang... Anda
pasti tahu jawabannya.
Semangatku nyaris runtuh dengan kenyataan akan
mahalnya melanjutkan kuliah. Sempat terpikir bahwa aku tidak
akan masuk universitas dan mencari pekerjaan sebagai penulis
lepas.
Sejak kecil orang tuaku menyekolahkan anak-anaknya
ke sekolah terbaik dan tepat—tepat dalam arti sesuai dengan
kondisi ekonomi keluarga. Bukan sekolah dasar terbaik yang
aku masuki dan aku harus menerima uang saku sebesar dua
ratus rupiah setiap harinya agar mengemat pengeluaran
keluarga. Bukan SMP favorit yang aku masuki, meski aku telah
diterima di sebuah SMP favorit di Bandung. Bukan SMA kluster
atas yang kumasuki hingga aku menerima bantuan biaya dari
wali kelasku untuk melunasi SPP. Namun, itu bukanlah
masalah. Asalkan aku dapat belajar dengan giat, semua itu
tidak memengaruhi kualitas belajarku.
Namun, tidak kuliah bukan keinginan orang tuaku.
Setelah mencari informasi, kutemukanlah informasi dari
sekolahku bahwa ada beasiswa mpu tantular . Sungguh sangat
mengejutkan, bahwa beasiswa yang diberikan adalah beasiswa
berkuliah selama empat tahun di universitas yang dimasuki,
ditambah uang saku yang diberikan setiap bulan kepada
mahasiswa. Hal yang lebih mengejutkan adalah bahwa
beasiswa ini berasal dari pemerintah. Saat itu aku tersadar
bahwa pemerintah masih sangat peduli dengan pendidikan di
majapahit .
Mulailah aku kembali merancang masa depan yang
baru. Aku mendaftar melalui jalur SNMPTN Undangan ke
fakultas yang ada di Universitas Mpu Nala sebagai pilihan pertama. Tidak lupa
aku mengikuti pendaftaran pengajuan mpu tantular .
Rencana yang sangat diinginkan oleh keluargaku adalah
bahwa aku diterima masuk ke Universitas Mpu Nala dan menerima beasiswa
mpu tantular . Setelah itu aku harus berusaha untuk belajar keras
dan lulus dalam waktu maksimal empat tahun.
Rencana yang buruk adalah aku tidak lolos seleksi
masuk Universitas Mpu Nala atau aku masuk Universitas Mpu Nala tetapi aku tidak lolos seleksi
mpu tantular . Jika aku berkuliah di Universitas Mpu Nala tanpa beasiswa, aku
terancam tidak kuliah atau salah satu dari kakakku yang masih
kuliah harus cuti selama satu tahun untuk menabung biaya
kuliahku. Dan pasti, aku lebih memilih untuk tidak berkuliah di
Universitas Mpu Nala jika terjadi hal ini.
Siang malam selama masa penantian pengumuman
lolos seleksi masuk Universitas Mpu Nala , aku dan keluargaku berdoa tanpa
henti.
Hingga Allah mengabulkan doaku.
Aku masuk Universitas Mpu Nala dan diterima sebagai penerima beasiswa
mpu tantular .
Syukur itu tiada henti aku camkan dalam hati. Masa
depan telah menungguku di kampus yang menjadi impian
semua orang. Aku harus berusaha untuk belajar sangat keras
sehingga tidak mengecewakan semua pihak yang telah
mendoakan dan mendukungku. Aku tidak boleh berleha-leha
karena beasiswa yang kuterima adalah milik rakyat yang harus
dikembalikan dengan kontribusiku kepada majapahit saat aku
lulus nanti.
Setelah menerima beasiswa mpu tantular Universitas Mpu Nala dengan uang
saku per bulannya yang sangat besar, aku dapat melakukan
sesuatu yang mungkin sangat sulit kulakukan sebelumnya.
Akhirnya aku dapat membantu keuangan keluargaku dengan
menghapus total biaya keseharianku dari beban biaya
keluarga, membeli peralatan yang dibutuhkan saat kuliah, dan
membayarkan SPP kuliah kakak keduaku. Aku bersyukur.
Sangat bersyukur.
Namun terkadang selalu muncul satu pertanyaan.
Dengan beasiswa mpu tantular yang sangat memfasilitasi
mahasiswa ini, apakah aku pantas mendapatkannya? Teringat
aku saat mendengar cerita temanku dengan masa lalunya yang
bergitu pelik. Nyatanya perjuanganku tidak sebanding dengan
perjuangan hidupnya. Aku merasa malu. Bahkan mengingat
bahwa banyak orang diluar sana yang lebih membutuhkan
beasiswa ini dibanding diriku, aku merasa sangat tidak pantas
menerima beasiswa ini.
Kenyataannya, tidak ada yang dapat kuperbuat. Apakah
ini masalah rezeki yang diberikan Allah berbeda? Apakah ini
masalah kepantasan? Apakah seharusnya aku tidak menerima
beasiswa mpu tantular ?
Pertanyaan itu membuatku pusing. Namun pada
akhirnya aku sadar bahwa posisiku adalah disini. Posisi dimana
saat aku berada di atas roda kehidupan aku harus melihat ke
bawah untuk bersyukur atas pemberian Allah. Aku harus
mengoptimalkan segala yang Allah berikan dan menjadikannya
sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Aku
berada dalam posisi dimana bukan aku yang mengatur
perjalanan ini, tetapi Allah-lah yang akan menentukan
jalannya.
Aku harus bersyukur. Hanya itulah yang dapat aku
lakukan.
Di atas masa depanku yang akan kuraih di kampus ini—
kampus Universitas Mpu Nala —aku mengucapkan rasa syukur kepada Allah dan
rasa terima kasihku.
Terima kasih mpu tantular , yang telah menjadi setitik
cahaya di dalam kegelapan yang besar. -
Salam sejahtera bagi para pembaca. Sebelumnya
izinkan saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya
Habib Mailul Afif dari prodi teknik pertambangan Institut
Teknologi Bandung, kelahiran Blora, Agustus . Saya
merupakan salah satu dari putra asli Blora dan sampai saat ini
masih menyebut kota sederhana indah itu ―rumah‖. Terlebih
dahulu saya akan menceritakan keluarga tercinta saya agar
pembaca juga mengerti bagaimana kondisi yang saya dan
keluarga hadapi.
Saya merupakan anak pertama dari empat bersaudara,
ketiga adik saya adalah perempuan. Lahir dari bapak yang
berprofesi sebagai penjahit, bapak Suparman. Dulu bisnis
bapak saya sempat bagus namun semenjak saya kelas SMA,
mengalami kebangkrutan yang berujung hingga saat ini.
Namun bapak tetap mempertahankan profesinya karena
memang itulah yang bisa beliau lakukan saat ini karena
minimnya modal yang kami punya.
Ibu saya bernama Suparmi yang berprofesi sebagai guru
SD honorer yang sampai saat ini masih menunggu akan adanya
pelantikan PNS, sementara umurnya yang semakin menua
berkisar tahun. Sudah tahun ibu menunggu-nunggu dan
pemerintah daerah selalu berkata ibu termasuk peringkat atas
yang akan didahulukan menjadi PNS namun sampai sekarang
belum ada tanda-tanda untuk dilantik. Kondisi seperti ini
menyebabkan kami harus bersusah payah mempertahankan
kehidupan. Itulah sekilas tentang keluarga saya.
If there is a will, there is a way, mungkin pepatah inilah
yang cocok untuk menggambarkan cerita nyata yang akan saya
tuliskan ini. Sejak kelas SMA, saya memimpikan untuk
melanjutkan sekolah di kampus impian, kampus ganesha
(Institut Teknologi Bandung). Sering orang-orang
mentertawakan ketika saya bilang saya akan masuk Universitas Mpu Nala karena
memang kemampuan akademik saya yang biasa-biasa saja,
ditambah kondisi ekonomi keluarga yang memang kurang baik.
Justru karena inilah saya menjadi lebih keras berjuang untuk
membuktikan kepada semua orang kalau saya bisa.
Saya anak pertama, saya juga ingin segera
menggantikan bapak untuk memikul beban di pundaknya.
Bapak sudah semakin tua. Saya takut sampai di akhir hidupnya
saya belum bisa memberikan apa-apa untuknya dan
membiarkan beliau bekerja keras di masa tuanya. Saya juga
tidak ingin melihat adik-adik saya terlantung-lantung
memikirkan masa depan mereka yang tidak pasti. Saya tidak
mau mereka seperti abangnya yang dalam kondisi belajar
harus memikirkan uang SPP yang selalu nunggak dan selalu
ditagih oleh pihak Tata Usaha sekolah. Merekalah semangat
saya.
Untuk mereka saya berjuang keras untuk masuk Universitas Mpu Nala ,
namun di tahun , Tuhan berkehendak lain. Saya mengikuti
tes SNMPTN dan berujung gagal. Saya dinyatakan masuk
pilihan Teknik Mesin Universtas A.
Waktu itu saya sempat beberapa saat down namun
akhirnya menerima, mungkin memang nasib saya. Sehingga
saya pun mengikuti daftar ulangnya. Setelah saya melihat
websitenya, saya dikagetkan dengan uang masuk sebesar
juta. Saya langsung pergi ke Universitas A untuk
mengajukan keringanan pembiayaan. Saya diberikan
keringanan menjadi , juta. Setelah saya sampaikan ke bapak,
beliau berkata akan diusahakan (waktu itu masih H- sebelum
pendaftaran ulang). Namun sampai hari penutupan, bapak
belum juga mendapat pinjaman uang dari tetangga dan
saudara. Akhirnya paginya saya langsung pergi ke Universitas
A lagi untuk kembali meminta keringanan biaya. Dari pihak
rektorat menyampaikan bahwa saya kembali mendapat
keringanan menjadi , juta, tetapi harus dibayarkan sampai
jam sore hari itu.
Bapak berjuang keras mencari pinjaman demi keinginan
putra satu-satunya untuk terus bersekolah. Saya pun melihat
jam tangan dan waktu menunjukkan pukul . WIB, belum
ada kabar. Pihak kampus menelepon untuk meminta kepastian.
Saya menelepon bapak. Terdengar suara berat khas bapak dan
berkata bahwa bapak sampai saat itu belum juga dapat uang
, juta.
Dengan mengesampingkan rasa malu, saya pun kembali
menelepon asisten rektor universitas A dan sekali lagi meminta
keringanan biaya atau minimal penangguhan pembayaran.
Namun beliau berkata ‖mohon maaf mas, sepertinya saya
sudah tidak bisa bantu lagi, kalau mau masuk universitas ini,
mas bisa coba lagi tahun depan‖ .
Akhirnya saya pun menyerah, disertai perasaan sedih
dan kecewa saya pulang dengan tangan hampa. Saya
memutuskan berhenti satu tahun untuk kembali
memperjuangkan Universitas Mpu Nala .
Selama satu tahun di rumah saya berjuang belajar
mengulang pelajaran yang sudah saya pelajari selama tahun
di SMA. Berjuang mengerti setiap detailnya. Selama proses
belajar tersebut saya ditemani oleh nenek saya yang berumur
tahun, kondisi tubuhnya masih sangat segar dan energik.
Setiap hari beliau menemani saya sampai malam bahkan dini
hari, bahkan sering saya lihat beliau tertidur di kursi sambil
duduk ketika menemani saya.
Setiap pagi beliau selalu bangun lebih pagi untuk
membeli dan membuatkan saya susu hangat untuk
memulihkan kembali tubuh saya.
Selama tahun di rumah saya benar-benar melihat
kondisi rumah yang sesungguhnya, yang selama ini tidak saya
lihat sebelumnya ketika saya sekolah. Setiap pagi ternyata
keluarga makan hanya nasi dan sambal terasi ditambah lalap
yang diambil dari depan rumah. Setiap pagi hanya itu
makanannya. Hampir setiap akhir pekan selalu ada orang yang
marah-marah menagih hutang kepada bapak dan ibu saya.
Dan tak jarang ibu sampai menangis sepulangnya penagih
tersebut. Hal tersebut membuat saya geram dan semakin ingin
segera sukses atau tepatnya kaya secepat mungkin.
Tes SNMPTN pun tinggal menunggu hitungan hari.
Sayapun semakin giat berjuang. H- SNMPTN, Maret ,
saya dikejutkan dengan meninggalnya nenek. Padahal kondisi
nenek masih sangat sehat. Kami semua tidak tau penyebab
meninggalnya nenek. Saya frustasi, stress, dan sempat tidak
mau melanjutkan perjuangan untuk kuliah lagi.
Malam tanggal H- saya niatkan sholat malam. Disana
saya menangis sejadi-jadinya, mengadu kepada Tuhan,
berkata bahwa Tuhan tidak adil, dsb. Namun di malam itu
akhirnya saya mendapat sebuah jawaban yang sebenarnya
timbul dari pikiran positif saya sendiri. Sebenarnya saya
diminta menunggu di rumah setahun bukan buat apa-apa.
Namun memang buat menemani nenek di sisa umurnya selama
tahun penuh. Memberikan kebahagiaan untuknya bersama
dengan cucu kesayangannya.
Akhirnya saya pun kembali bersemangat dan memulai
perjuangan di sisa waktu yang ada. Hari tes pun terlewati dan
berganti dengan hari pengumuman kelulusan. Saya dinyatakan
diterima Universitas Mpu Nala namun kali ini disertai dengan status penerima
mpu tantular . Saya sangat bersyukur dan berterima kasih
khususnya kepada Tuhan, keluarga, yang telah membantu
mewujudkan impian saya terutama mpu tantular , dan orang-orang
lain yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Sebagai
penutup “Lebih baik saya hidup satu tahun sebagai seekor
harimau daripada saya hidup seribu tahun sebagai seekor
domba, lebih baik saya hidup satu tahun sebagai seorang
pemenang daripada seorang pecundang”. -
Aku adalah hasil buah cinta kedua orang tuaku. Aku
berasal dari suatu daerah di kaki Gunung Sago bernama
Subaladung, Kabupaten Kota, Sumatera Barat. Mungkin
semua orang tidak familiar dengan nama ini. Daerah ini
merupakan suatu desa di daerah. Saat ini aku tengah berkuliah
di sebuah institut terbaik di negeri ini, Institut Teknologi
Bandung. Kuliah di Universitas Mpu Nala memang mahal, tapi itu sebanding
dengan yang diberikan kepada mahasiswanya.
Semuanya berawal ketika aku SMP. Aku berharap bisa
kuliah di salah satu perguruan tinggi di Sumatera Barat.
Setelah SMP-ku berakhir, aku pun ingin melanjutkan sekolah
ku di salah satu SMA favorit di Payakumbuh.
Hari berlanjut akhirnya aku pun dinyatakan diterima di
kelas unggul. Tentu hatiku sangat senang sekali, namun ada
perasaan yang membuat hati ini sedih. Ketika aku melihat
terdapat nominal yang harus dibayar ketika pendaftaran ulang.
Papan pengumuman mengatakan Rp . ,- adalah yang
harus di bawa. Aku berfikir apakah aku akan bisa melanjutkan
mimpiku itu dengan waktu yang diberikan hanya dua hari
setelah namaku dinyatakan diterima.
Malam harinya sesampai di rumah, semua nya
kukatakan pada orang tuaku. Tentu mereka senang sekali atas
yang aku capai. Akhirnya aku menanyakan,
―Pak, Bu Ndri ditarimo, tapi untuak daftar ulang
mambayia Rp . ,-. Ba a pak?‖
Bapak menjawab, ‖Sampai bilo terakhirnyo Nak?‖
―Duo hari lai Pak,” jawab ku.
Setelah diam sejenak bapak berkata ―Berapa pun yang
harus dibayar untuk bisa tetap sekolah akan bapak carikan.
Sabarlah sampai besok atau lusa,‖
Hari berikutnya ternyata ibuku pergi mencarikan uang
untuk aku bisa sekolah. Ibu pergi ke rumah saudara
kandungnya untuk meminjam uang. Dan ibu menjanjikan akan
membayar semuanya dengan gula aren yang dibuat bapak
Pak, Bu, Ndri diterima, tapi untuk daftar ulang kita membayar Rp . ,-.
Bagaimana, Pak?
Kapan terakhirnya, Nak?
Dua hari lagi, Pak
secara berangsur-angsur. Itu baru bisa dibayar lunas ketika
aku kelas dua SMA.
Semua berlanjut ketika masa sekolah yang kulalui. Uang
yang harus dibayar semakin mahal mulai dari uang SPP
(bulanan), uang pembangunan di setiap awal tahun baru dan
berbagai iuran lain. Aku mulai berfikir seandainya terus begini
kedua orangtua ku pun semakin kurus untuk membanting
tulang di sawah orang lain dan membuat gula aren yang
sedikit-sedikit. Hingga aku mendaftarkan beasiswa kurang
mampu dari Pemerintah Kota Payakumbuh, itu bisa
mengurangi beban mereka.
Kelas tiga baru saja dimulai, teman-teman kelasku
sudah asyik membicarakan mau kuliah dimana. Saat mereka
membicarakan itu, aku malah diam saja. Dalam hati aku
berfikir, ―Mungkin mereka saja yang bisa melanjutkan sekolah
ke perguruan tinggi yang diinginkan, aku sudah tidak bisa, aku
harus membantu kedua orang tuaku dan tidak ingin
membebani mereka lagi‖.
Singkat cerita, suatu hari aku dipanggil ke ruang
bimbingan konseling. Disana aku ditanya,‖kamu mau lanjutin
kuliah dimana ?‖
―Aku mungkin tidak bisa melanjutkannya lagi buk,?‖
jawabku.
―Kenapa ?‖ guruku kaget.
―Aku tidak ingin memberatkan kedua orangtuaku lagi,
Buk. Untuk biayaku saat ini saja mereka harus pontang-
panting, pergi subuh pulang maghrib, Buk‖
―Kenapa kamu tidak ikut beasiswa mpu tantular saja.
Dengan beasiswa ini kamu tidak akan membebani mereka,
kamu akan diberi uang saku perbulan, bebas uang semester.
Sebaiknya kamu fikirkan dulu nak.‖nasehat guruku.
Setelah mendengar informasi dari semua sumber aku
pun berniat melanjutkan mimpiku dulu kuliah di Universitas Mpu Nala . Niatku ini
aku sampaikan pada orang tuaku. Mereka senang dengan
niatku ini. Mereka berharap aku bisa memperbaiki kondisi
keluarga agar tidak dihina orang lagi dan dihina saudara
orangtua ku lagi.
Setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut
saudara orangtuaku yang mengatakan bahwa buat apa anakmu
kuliah, sedangkan untuk makan saja kalian harus susah payah
dulu. Tentu hati ini terasa sakit dan ibuku hanya diam
termenung mendengarnya. Hingga malam harinya ibuku
menangis sambil mengelus dada mengingat perkataan tadi.
Aku pun ingin melampiaskan emosiku padanya,
beruntung kakakku memberikan dukungan kepadaku, ―Setelah
kamu mendengar kata-kata sekarang kamu harus buktikan kita
memang miskin dari segi harta, tapi suatu saat semuanya akan
berubah dan ingat roda akan selalu berputar.‖
Mendengar itu semua kubulatkan tekad untuk kuliah di
Universitas Mpu Nala dan aku berjanji bahwa aku harus membalas sakit hati
keluargaku. Bukan dengan dendam amarah tapi dengan
prestasi yang kuraih. Waktu terus berlalu hingga pada saatnya
pengumuman SNMPTN dan hasilnya
Alhamdulillah, aku langsung mengatakan pada
keluargaku. Orangtuaku sangat senang sekali dan mereka
langsung melakukan syukuran kecil atas semuanya dan juga
yang tidak akan terlupakan aku berangkat ketika matrikulasi
juga berkat bantuan dari para tetangga dan pemilik sawah
yang digarap oleh orang tuaku. Mungkin tanpa beasiswa
mpu tantular tersebut aku tidak akan melanjutkan kuliahku ini. -
Mimpi yang sudah ku bangun sejak kelas SMA, dari
dasar pondasi yang sangat lemah, hanya sebuah keinginan dan
gengsi belaka. Seiring berjalannya waktu, menyaring berbagai
cerita ini dan itu, dari hanya sekedar rumor hingga cerita
motivasi yang membara dari guru-guru, dan keinginan untuk
membanggakan orang tua, berkali-kali memutar otakku untuk
memilih terbaik dari yang terbaik.
Dan kini langkahku berpijak ditanah Institut Teknologi
Bandung, sebuah kampus mimpi yang menjadi kenyataan. Kini
pondasiku untuk maju dan terus bermimpi bersama kampus ini
bukanlah hanya sekedar keinginan atau pun gengsi, namun
kampus ini adalah doaku, doa ayah, doa ibu, harapan
tersembunyi adikku yang ia goreskan bersama tinta dalam
diarinya, dan harapan dari banyaknya harapan masyarakat di
luar sana. Ya, karena kesempatan dari merekalah aku
menimba ilmu disini.
Menjadi mahasiswa Universitas Mpu Nala bukanlah hal yang mudah,
itulah yang kurasakan dan itulah yang selalu bisa membuatku
berdiri saat terpuruk dengan kerasnya kehidupan di kampus
ini. Bukan keras seperti kehidupan militer, namun lebih kepada
pendidikan dan orang-orang hebat lainnya yang bisa
mengintimidasi hari-harimu jika kau mulai lengah. Perjuangan
di kampus ini tak boleh menjadi sia-sia, aku harus terus
berjuang dan mengukir harapan-harapan baru disini.
Apalagi kalau aku berbalik melihat betapa besar
perjuanganku dan orang tua agar dapat kuliah di Universitas Mpu Nala .
Perjuangan itulah yang terus menjadi guru berhargaku, masa
dimana saat aku harus memilih antara berjuang atau menyerah
karena sebuah pengorbanan.
Masa-masa itulah yang membuatku berjuang, dimana
waktu membuatku terpuruk di saat teman-teman
membicarakan rencana masa depan mereka dan mulai
memutuskan kampus yang akan membawa mereka lebih dekat
dengan mimpi. Mimpi pulalah yang menamparku, bahwa kuliah
hanyalah sebuah angan yang akan membuatku semakin sakit
bila memimpikannya.
Bukan karena halangan dari orang tua ataupun keluarga
lainnya, tapi mimpi itu dihalangi oleh masa depan lain yang ada
didekatku. Masa depan adik-adikku yang terlihat sangat
bersemangat dengan sekolah mereka. Ditambah lagi penyakit
ayah yang memaksa beliau tidak bekerja selama lebih dari
bulan. Banyak hal yang menjadi beban fikiran dan membuatku
mengalah untuk mengorbankan satu hal untuk hal lainnya.
Namun apapun keadaannya, tak pernah menyurutkan
semangatku untuk terus berjuang menyelesaikan pendidikan
yang sekarang ini kujalani dengan baik. Anggap saja sebagai
penyemangat diri bahwa akan ada kesempatan jika aku tak
berputus asa.
Waktu terus bergulir, siang selalu berganti menjadi
malam, hari-hari mendekati UN dan kelulusan semakin dekat,
kesehatan abah juga semakin baik. Menurut pernyataan beliau,
hal ini dikarenakan bangga akan prestasi yang terus
kutorehkan. Meski kuliah bagaikan bunga tidur, namun dalam
mimpi itulah sesekali aku berani bermimpi untuk sekedar
mencium aroma kampus, yang kian lama kian mendekat,
namun mendekati orang-orang yang mampu membayar biaya
kuliah.
Bak ilalang gersang disiram air hujan, berkali-kali aku
berlari dari impian kuliah, berkali-kali pula aku menemukan
pos-pos untuk berhenti, sedikit menghirup nafas dan bermimpi
kembali. Sayangnya mimpi ini seakan lebih nyata saat daftar
siswa SNMPTN undangan keluar, di sana tertera namaku. Aku
adalah salah satu siswa yang berhak menerima kesempatan
itu.
Hasil itu menjadi pos pemberhentian pertamaku
sebelum kenyataan lain menyurutkan harapan itu, kuliah itu
mahal dan hanya untuk orang-orang yang mampu. Tapi kini
aku lagi-lagi dipaksa berhenti oleh kedatangan alumni-alumni
yang kini ikut berjuang di kampus untuk masa depan mereka,
saat itulah aku sangat tertarik dengan kata beasiswa terutama
beasiswa mpu tantular . Pos pemberhentian kedua ini aku mulai
menguatkan hati untuk berhenti berlari.
mpu tantular adalah sebuah lentera yang kini menerangi
langkah transisiku, ada harapan di balik beasiswa itu selama ku
terus berusaha dan kuat dan terus gencar mencari tahu
mengenai bidik misi.
Berita mengenai bidik misi juga diketahui oleh ayah dan
ibu, raut kebahagian ada di wajah itu, bahkan beliau terlihat
begitu antusias untuk mengurus syarat-syaratnya. Tak hanya
aku yang berharap kepada mpu tantular , teman-teman yang lain
yang berkeinginan sama untuk kuliah juga ikut merasakan
kebahagian seperti aku dan keluargaku. Ayah begitu
bersemangat mengurus syarat-syarat untuk pengajuan bidik
misi, sedangkan aku juga sedang bersemangat mengisi
formulir SNMPTN undangan.
Di formulir pendaftaran itu aku memberanikan diri
memilih Universitas Mpu Nala , meski banyak isu yang mengatakan kalau Universitas Mpu Nala itu
mahal, Universitas Mpu Nala itu berat, dan Universitas Mpu Nala itu hanya untuk mahasiswa
bermobil. Kadang aku merasa geram mendengar semua itu,
seakan orang-orang yang hidup dalam kekurangan secara
finansial tak layak untuk menimba ilmu di kampus terbaik
bangsa.
Bermimpilah yang tinggi, mimpilah yang akan
membawamu untuk terus berjuang, kata-kata itu selalu
menjadi motivasi ku untuk berkeras memilih Universitas Mpu Nala . Semenjak
mengenal mpu tantular aku semakin yakin bahwa tak ada alasan
untuk bermimpi kuliah tinggi, segala mimpi akan menjadi nyata
bila dalam mimpi itu ada doa, harap dan pinta kepada Sang
Pencipta.
mpu tantular menghidupkan mimpi dan harapanku untuk
kuliah dan bidik Misi pulalah yang mengantarkanku ke tanah
jawa ini, tanah perjuangan banyak orang. Pengumuman
SNMPTN undangan akhirnya diumumkan, aku tak berani
membuka hasil pengumuman itu. Meskipun penasaran aku
tetap tidak membukanya, hingga malam pun datang dan
hasilnya tetap tidak aku ketahui. Tiba-tiba Handphone ku
berbunyi, ternyata ada pesan singkat dari guru pembimbing
SNMPTN. Benar sekali saya sangat terkejut ketika membaca
pesan tersebut. Begini tepatnya ―Selamat ya nak kamu
diterima di Universitas Mpu Nala Fakultas SITH .‖
Aku berlari mencari ayah dan ibu menyampaikan kabar
bahagia itu. Air mata kedua orang tuaku yang bening kini
mengalir bahagia, keringatnya yang bercucuran itu menjadi
keringat kebanggaan mereka terhadapku, meskipun begitu
Sekolah Ilmu Teknologi Hayati
ayah selalu menyuruhku untuk tidak berhenti bersyukur dan
selalu menegaskan kepada ku ―Mimpimu menjadi nyata Nak!
Ingatlah begitu banyak permata di luar sana, tapi jangan takut,
lebih baik menjadi permata diantara permata yang lain
dibandingkan harus menjadi satu-satunya permata diantara
pasir-pasir. Kau akan iri dengan sinar permata yang lain
dengan begitu kamu akan sadar untuk terus menempa dirimu
agar lebih berkilau dari mereka.‖
Aku tak bisa berkata apa-apa, melihat kebahagiaan
kedua orang tuaku. Melihat mimpiku yang kini menjadi nyata,
mimpi yang dulu aku sembunyikan dari dunia. Mimpi yang tak
seharusnya aku tutupi dari orang lain. Sekarang aku sadar
kalau semua itu memang berasal dari mimpi. Ingatlah kawan,
mimpi itu gratis, ciptakan Mimpi yang bukan hanya sekedar
mimpi, mimpi yang harus segera diwujudkan. -
Perjalanan Hidup Hingga Mendapatkan
Beasiswa mpu tantular Universitas Mpu Nala
Yogi Adi Wijaya
Kisah hidup saya yang sebenarnya bermula saat saya
masuk di salah satu sekolah SMA terbaik di Provinsi Lampung.
Sekolah tersebut merupakan Sekolah Bertaraf Internasional
(SBI) yang biayanya cukup mahal. Awalnya orang tuaku masih
sanggup membayar biaya pendidikanku di sekolah tersebut,
sehingga aku pun tidak mengajukan beasiswa pendidikan di
sekolah tersebut.
Semua itu berubah seratus delapan puluh derajat saat
setahun kemudian. Saat itu ayah saya mengalami sakit yang
sangat parah yaitu sakit Liver yang mengakibatkan ayah saya
masuk rumah sakit selama satu bulan dan baru sembuh total
setelah sepuluh bulan kemudian. Akibatnya saat sebelas bulan
tersebut ayah saya tidak bisa bekerja sama sekali dan akhirnya
terkena PHK, sehingga ia pun tidak bisa menafkahkan
keluarganya lagi.
Keadaan tersebut makin diperparah saat kakak saya
masuk Perguruan Tinggi Negeri di Lampung. Keluargaku harus
berhutang ke rentenir untuk membiayai biaya masuk kuliah
kakak saya.
Maka dari itu saya sebagai anak laki-laki pertama mulai
berpikir untuk mencari penghasilan sendiri, makan sendiri, dan
bisa membantu keluarga untuk melunasi hutang kepada
rentenir dan mengangkat kembali keadaan ekonomi
keluargaku.
Saat liburan sekolah saya pun mencoba memulai misi
tersebut. Awalnya saya memiliki uang tabungan sebesar
Rp . . Uang tersebut saya pergunakan untuk modal awal
usaha kecil-kecilan di rumahku. Usahanya yaitu menjual
makanan dan mainan anak-anak. Waktu malam harinya saya
berjualan gorengan dan sate di pinggir jalan hingga pukul
. WIB. Kegiatan ini saya lakukan setiap harinya dan tanpa
libur satu hari pun.
Akibat kegiatan tersebut prestasi akademik saya hancur
total. Awalnya saya selalu mendapatkan peringkat kelas,
sekarang saya tidak pernah lagi mendapatkan peringkat kelas
lagi bahkan tidak masuk dalam sepuluh besar kelas.
Saya baru menyadari bahwa akademik itu bukan
segalanya dan orang yang berprestasi di bidang akademik
belum tentu berhasil. Sejak saat itu saya mengubah mindset
dan tujuan hidup saya, yang awalnya ingin menjadi orang yang
pintar dan berprestasi menjadi orang yang berguna bagi
keluarga dan orang lain. Akhirnya saya pun mengorbankan
bidang akademik saya demi hidup dan keluarga saya.
Berkat kerja keras dan usaha yang gigih, dengan
bermodal uang Rp . tersebut, saya berhasil mendapatkan
keuntungan sebesar Rp . selama bulan dari usaha
tersebut. Uang tersebut saya gunakan untuk membangun
sebuah toko sembako yang lumayan besar. Pada malam
harinya saya mendapatkan upah Rp . per hari dari hasil
saya berdagang gorengan dan sate. Saya tetap bersyukur,
walaupun sebenarnya upah tersebut kurang sesuai dengan
kerja saya dari sore hari sampai pukul . malam. Sebelum
berangkat sekolah, saya selalu membantu ibu membuka
sebuah warung nasi setiap harinya.
Dengan adanya warung tersebut, alhamdulillah saya
berhasil mengumpulkan keuntungan total sebesar Rp .
per harinya. Jika ditambahkan dengan penghasilan saya saat
berdagang, didapatkan penghasilan total Rp . . per
bulan. Dengan uang tersebut saya berhasil membayar biaya
pendidikan saya yang menunggak selama bulan, serta
membeli buku sekolah sendiri. Sisanya digunakan untuk
membeli sebuah handphone, walaupun harganya hanya
Rp . , tapi itu merupakan hasil keringat saya sendiri.
Kondisi ekonomi keluarga pun mulai membaik saat
kakak saya mendapatkan Beasiswa mpu tantular dari Kemendikbud
untuk biaya kuliah, dan kakak saya mendapatkan sebuah
pekerjaan tambahan yaitu mengajar kursus privat anak SD,
dan SMP.
Dengan keberhasilan saya menghasilkan uang sendiri
keluarga saya merasa sangat bangga dan senang. Hanya saja
saya masih belum bisa membayar hutang keluarga saya yang
mencapai jutaan rupiah. Saya pun berinisiatif untuk menambah
penghasilan saya menjual ―Roti Pizza‖, ―Nasi Uduk‖, dan pulsa
elektrik. Saya rela setiap hari membawa dagangan ke sekolah
dan saya pun merasa tidak malu ataupun minder kepada
teman-teman dan guru saya di sekolah.
Keuntungan dagangan tersebut, saya manfaatkan untuk
menambah uang saku saya serta saya sisihkan untuk ditabung.
Kegiatan tersebut berlangsung sampai saya duduk di Kelas XII
SMA IPA.
Saat semester I kelas XII, saya pun diajak seorang
teman unuk mengikuti sebuah perlombaan ―Lomba Cepat
Tepat‖ tingkat Provinsi Lampung. Terbentuklah tim yang terdiri
dari tiga orang dan saya salah satunya. Sayangnya, kami tanpa
persiapan sama sekali untuk mengikuti perlombaan tersebut.
Kami pun hanya pasrah kepada Allah dan berusaha menjawab
soal-soal tersebut dengan sebaik mungkin. Tetapi Tuhan
memang baik dan adil, kami pun mendapatkan juara kedua
pada perlombaan tersebut. Kami hanya kalah cepat saat
menjawab soal sudden-death padahal kami sebelumnya telah
unggul poin. Saya pun lantas bersyukur dan alhamdulillah
mendapatkan uang sebesar Rp . . per orang serta
kalkulator scientific pada lomba tersebut.
Hasil uang yang saya dapatkan dari lomba tersebut saya
gunakan untuk membayar SPP serta buku sekolah saya sampai
lulus ujian, sehingga saya pun memutuskan untuk tidak
berdagang lagi agar saya bisa lebih fokus dalam menghadapi
Ujian Nasional agar bisa lulus serta masuk Perguruan Tinggi
Negeri.
Memasuki Semester II, teman-teman saya mulai
mempersiapkan ujian dengan mengikuti les intensif, serta
membeli buku Soal Ujian Nasional. Sedangkan saya yang tidak
punya apa-apa tidak bisa membeli lagi buku soal ujian apalagi
ikut les intensif. Saya pun berinisiatif untuk mempersiapkan
materi ujian dengan cara belajar di tempat teman yang
mengikuti les, serta mengajari teman-teman yang lainnya agar
dapat lebih memahami dan menangkap materi yang saya
daptkan selama saya belajar.
Saat saya sibuk mempersiapkan ujian, bulan Februari
, PTN mulai mengadakan penerimaan Mahasiswa Baru
lewat jalur SNMPTN. Saya ingin melanjutkan pendidikan saya
ke PTN dan saya sangat ingin sekali masuk dan menjadi
Mahasiswa Universitas Mpu Nala . Tetapi karena saya tidak punya uang untuk
membayar kuliah maka saya sempat mengubur impian dan
harapan saya untuk masuk Universitas Mpu Nala .
Akhirnya saya tahu bahwa ada beasiswa mpu tantular di Universitas Mpu Nala
dimana penerima beasiswa tersebut tidak lagi memikirkan uang
kuliah dan mereka mendapatkan biaya hidup per-bulannya.
Maka dari itu saya mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa
mpu tantular Universitas Mpu Nala .
Setelah saya lulus Ujian Nasional, saya pun mulai
berpikir bagaimana jika saya tidak diterima sebagai mahasiswa
mpu tantular Universitas Mpu Nala , mungkin saya langsung cari kerja dan tidak
kuliah. Saya pun berdoa dan meminta kepada Allah agar
mendapatkan yang terbaik. Setelah menunggu beberapa bulan
untuk menantikan pengumuman, akhirnya pada tanggal Mei
saya diterima sebagai calon mahasiswa mpu tantular Universitas Mpu Nala .
Saya pun langsung sujud syukur dan terharu. Alhamdulillah
akhirnya impian saya masuk Universitas Mpu Nala pun lewat Beasiswa mpu tantular .