Tampilkan postingan dengan label sampah 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sampah 2. Tampilkan semua postingan

sampah 2



 k.

 Bambang ingin menanamkan kesadaran pengelolaan 

sampah sejak usia dini. Dia ingin menyiapkan generasi 

mendatang menjadi generasi pecinta lingkungan dan 

punya kepedulian tinggi terhadap masalah sampah. 

“Suatu saat energi saya habis, insya Allah masih tetap 

ada yang akan meneruskan gagasan ini. Mereka adalah 

anak-anak yang sedari kecil sudah terbiasa mengelola 

sampah dengan cara menabung di bank sampah,” tutur 

Bambang.  

 Bambang membayangkan, suatu hari kelak, anak-anak 

yang sudah memiliki kesadaran mengelola sampah, akan 

menjadi pejabat. Entah itu di tingkat daerah atau bahkan 

di level pusat. Para pejabat inilah yang akan mempunyai 

kepedulian mengelola sampah. Sedari kecil mereka sudah 

terbiasa dengan pola hidup peduli lingkungan. Bambang 

memang menekankan prinsip mencetak generasi penerus 

yang punya kepedulian terhadap lingkungan. “Saya ingin 

anak-anak kita memahami betul prinsip bahwa sampah 

itu di bank sampah, bukan di bak sampah,” ujarnya. 

 Bagi Bambang, konsep dasar bank sampah adalah 

membenahi software alias perangkat lunak. Bukan 

hardware atau perangkat keras. Pendekatan yang 

dibutuhkan untuk melakukan ini adalah melalui anak-

anak. saat  mengadakan sosialisasi, Bambang tak 

pernah mengajak warga menjadi nasabah bank sampah 

dengan iming-iming uang jika menyetorkan sampah ke 

bank sampah. Betul memang ada uang yang diperoleh 

nasabah dari menjual sampah ke bank sampah. Tapi, 

uang itu hanya sebagai dampak tambahan. Sementara, 

ruh bank sampah adalah menciptakan generasi penerus 

yang peduli terhadap lingkungan. 

 Bambang pernah menitikkan air matanya saat melihat 

seorang anak dengan tergopoh-gopoh namun tetap 

bersemangat membawa sampah ke Bank Sampah Gemah 

Ripah. Ayah sang anak mengiringi dan menemaninya. 

“Bagaimana saya ndak terharu. Padahal, waktu itu, harga 

sampah lagi turun. Tapi, orang tua anak itu  ndak 

mempermasalahkannya. Dia bilang ke saya, yang penting 

anaknya tetap semangat menyetor sampah ke bank 

sampah,” kata Bambang. 

  

Ada Gula Ada Semut

 Perlahan, Bank Sampah Gemah Ripah mulai 

menggeliat. Banyak warga yang mendengar rintisan 

Bambang Suwerda ini dari mulut ke mulut. Lalu, pada 

suatu saat, Bambang didatangi kru Jogja TV, sebuah 

televisi lokal di Yogyakarta. Tak lama kemudian, muncullah 

Bambang dan Bank Sampah Gemah Ripah di layar kaca.

 Ibarat gula yang selalu dikerubungi semut, banyak 

media, termasuk media nasional di Jakarta, yang 

mendatangi Bank Sampah Gemah Ripah. Mereka meliput 

kiprah Bambang Suwerda mengelola bank sampah. 

Bambang menjadi kesohor. Namun, dia tak ingin mabuk 

kepayang. “Sebenarnya bukan karena saya. Tapi, saya 

meyakini nama bank sampah inilah yang menjadi magnet. 

Masak iya ada bank tapi dengan embel-embel sampah,” 

ucap Bambang sambil tergelak.

 Pada 2010, seorang pejabat di Kementerian 

Lingkungan Hidup menghubungi Bambang. Pejabat itu 

adalah Direktur Pengelolaan Sampah, Sudirman. Sang 

pejabat ingin bertemu langsung dengan Bambang, 

sekaligus melihat Bank Sampah Gemah Ripah.  Bambang 

tak menyangka, pejabat di pusat pemerintah di Jakarta 

ternyata melirik gerakan bank sampah di Bantul.

 Kedatangan Sudirman ke Bantul membuat Bambang 

terharu. Bank sampah ternyata diyakini bisa menjadi 

kendaraan untuk mewujudkan gerakan 3R (reduce, reuse, 

recycle) yang sudah ada pada Undang-Undang Nomor 18 

tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. 

 Ketertarikan pemerintah pusat terhadap bank 

sampah memang tak tanggung-tanggung. Pejabat 

setingkat di atas Sudirman, Masnellyarti Hilman, Deputi 

IV Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Berancun 

Kementerian Lingkungan Hidup, ikut dalam rombongan 

ke Bantul. Kepada pejabat KLH, Bambang bercerita dari A 

sampai Z ihwal bank sampah gagasannya itu . Semua 

dicatat tim KLH.

 Singkat cerita, semua kisah Bambang tentang 

pendirian Bank Sampah Gemah Ripah dijadikan rujukan 

pemerintah pusat untuk menyusun rujukan mengenai 

bank sampah. Bambang pun dapat memantaunya melalui 

situs KLH. 

 Bambang tentu saja bangga. Pemerintah pusat 

mengapresiasi usaha nya merintis dan mengelola bank 

sampah. Namun, dia menyadari, Bank Sampah Gemah 

Ripah harus terus maju dan tak boleh lengah. “Saya 

minta teman-teman supaya   bisa lari kencang. Gagasan 

kami sudah dipetakan secara nasional. Kalau kami 

mandeg, malu-maluin saja. Kami sudah kepalang basah 

nyemplung,” kata Bambang. 

Jaringan Adalah Kunci

 Bambang Suwerda memang penganut prinsip ATM 

sejati. Tak hanya mengamati, meniru, lalu memodifikasi 

cara-cara Iswanto dan Endah di Sukunan, Sleman, 

mengelola sampah. Atau, menjadikan buku rekening 

tabungannya di bank sebagai referensi untuk buku 

tabungan nasabah bank sampah. Setelah Bank Sampah 

Gemah Ripah menunjukkan tanda-tanda keberhasilan, 

Bambang pun menyerap konsep ATM lain: multilevel 

science. Dia terilhami dari praktek multilevel marketing 

yang biasa dilakukan dalam pemasaran sebuah produk.  

 Inti dari multilevel science ala Bambang ini adalah 

konsep berjejaring. Setiap kali Bambang diminta 

melatih calon pengurus bank sampah di suatu daerah, 

dia menyerahkan semua materi pelatihannya untuk 

diperbanyak. “Saya menjadikan orang yang ikut pelatihan 

itu sebagai kepanjangan tangan saya,” katanya. 

 Dengan cara ini, Bambang yakin dia tak akan 

kehabisan energi untuk terus memperkenalkan konsep 

bank sampah ke seantero negeri.  Peserta pelatihan yang 

sudah mendapatkan pengetahuan tentang mengelola 

bank sampah, bisa menjadi pelopor pendirian bank 

sampah di banyak tempat. 

 Bambang mencontohkan Bank Sampah Makassar 

yang berkembang pesat dan kini menjadi Unit Pelaksana 

Teknis Daerah (UPTD). Bank sampah itu rupanya tidak 

secara langsung mendapatkan ilmu tentang pengelolan 

bank sampah dari Bambang Suwerda. Pengurus Bank 

Sampah Makassar belajar dari Bank Sampah Malang. 

Nah, Bank Sampah Malang inilah yang sebelumnya 

berguru kepada Bambang. Begitulah konsep multilevel 

science yang dimaksud Bambang. “Tapi, konsep ini tidak 

memberikan keuntungan seperak pun buat saya. Saya 

hanya ingin berbagi ilmu ke banyak orang,” tuturnya. 

 Jika sebuah bank sampah berdiri dan 

perkembangannya bagus, Bambang merasa amat 

senang. Kendati begitu, Bambang tak mempersoalkan jika 

bank sampah yang berdiri di berbagai daerah, mengubah 

konsep dasar seperti yang ia terapkan pada Bank Sampah 

Gemah Ripah. Intinya, Bambang mempersilakan mereka 

meng-ATM konsep Bank Sampah Gemah Ripah, untuk 

disesuaikan dengan ciri khas suatu daerah.

 Konsep berjejaring ini juga Bambang terapkan kepada 

para mahasiswanya di Poltekes Yogyakarta. Dinding 

pagar kampus Poltekes Yogyakarta menjadi saksi usaha  

Bambang. Terpampang jelas lewat mural, bagaimana 

konsep dasar bank sampah dijalankan. 

 Bambang menyediakan lokasi Bank Sampah 

Gemah Ripah di Bantul sebagai tempat magang para 

mahasiswanya yang tertarik dengan bank sampah. 

Setelah lulus kuliah, tapi belum mendapatkan pekerjaan, 

tak sedikit mahasiswa Bambang magang di Bank Sampah 

Gemah Ripah. Dan, setelah para mahasiswanya ini bekerja, 

Bambang pun dengan gampang bisa memanggil mereka 

untuk membantu pelatihan yang diadakan oleh Bank 

Sampah Gemah Ripah. 

Duit dari Kocek Pribadi

 Pengorbanan Bambang Suwerda dalam urusan 

bank sampah ternyata tak sedikit. Lahan pertama yang 

ditempati Bank Sampah Gemah Ripah diambil alih 

sang pemilik lahan. Bambang pun mau tak mau harus 

memutar otak, memindahkan lokasi Bank Sampah 

Gemah Ripah.

 Setelah mendapatkan izin dari istrinya, Bambang 

memberanikan diri membeli sebuah lahan seluas 514 

meter persegi, sebagai kantor dan gudang Bank Sampah 

Gemah Ripah. Uangnya tentu dari kocek pribadinya. 

“Harga lahan ini pada 2010 totalnya 65 juta rupiah. Saya 

minta izin istri untuk memakai uang tabungan kami. 

Alhamdulillah istri mengizinkan. Saya merasa sudah 

kepalang basah mengurus bank sampah. Saya tidak mau 

setengah-setengah,” kata Bambang. 

 Lalu, pada 2011, ada mahasiswa Universitas Gajah 

Mada yang sedang magang di Bank Sampah Gemah 

Ripah, mengajak Bambang mengikuti kompetisi United 

Nation Habitat. Proposal pun Bambang kirim ke panitia. 

Tak dinyana, Bambang mendapatkan kesempatan 

mempresentasikan proposalnya di Nepal. Konsep 

bank sampah yang digagas Bambang mendapatkan 

apresiasi dalam kompetisi itu . Panitia dari PBB akan 

mengganti uang Bambang yang dipakai untuk membeli 

lahan seluas 514 meter persegi itu .

 Semua jerih payah Bambang mendirikan bank sampah 

kini memperlihatkan hasil nyata. Lahan yang semula 

hanya seluas 40 meter persegi dan disewa seharga 600 

ribu rupiah per tahun, kini sudah berganti menjadi lahan 

lebih dari 500 meter persegi. Di bagian belakang gedung 

Bank Sampah Gemah Ripah, Bambang mendirikan 

bangunan dua lantai. Lantai satu digunakan sebagai 

tempat pengomposan sampah organik. Sementara lantai 

dua dijadikan tempat pelatihan. 

 Pun dengan jumlah nasabah. Semula hanya mampu 

mengajak dua puluh keluarga. Kini, nasabah Bank Sampah 

Gemah Ripah sudah berjumlah lebih dari 1.500 keluarga. 

Jumlah tabungan terbesar nasabah bisa mencapai 

satu setengah juta rupiah. Nasabah bisa mengambil 

tabungannya kapan saja, asalkan sudah terdaftar minimal 

tiga bulan sebagai nasabah. 

 Salah satu nasabah Bank Sampah Gemah Ripah adalah 

RT 07 Dusun Karanggayam, Kabupaten Bantul. Warga di RT 

ini punya kiat tersendiri. Slamet, warga RT 07, mengisahkan, 

warga menunjuk secara bergiliran petugas pengumpul 

sampah yang berasal dari rumah warga. Lalu, warga juga 

menunjuk petugas yang akan mengantarkan sampah ke 

Bank Sampah Gemah Ripah, setiap sepekan sekali. 

 Kebetulan, Slamet lah yang sedang kebagian tugas 

menyetor sampah memakai  gerobak sampah. “Kami 

sudah tiga tahun menjadi nasabah. Alhamdulillah, uang 

hasil penjualan sampah RT kami bisa digunakan untuk 

membantu kegiatan warga,” kata Slamet. 

 Ihwal membantu kegiatan warga ini juga dirasakan 

oleh Solihah, warga Dukuh Bogoran, Kabupaten Bantul. 

Perempuan paruh baya ini menabung sampah atas nama 

Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Solihah 

menyetorkan minyak jelantah sisa penggorengan warga 

Bogoran. Uang hasil penjualan minyak jelantah akan 

ditabung menjadi uang kas untuk kegiatan pemuda di 

Bogoran. 

 Pada awal berdiri, Bank Sampah Gemah Ripah hanya 

buka sepekan sekali setiap hari Jumat. Itu pun hanya 

selepas waktu asar. Kini, Bank Sampah Gemah Ripah 

buka setiap hari. Selalu saja ada nasabah yang datang 

menyetorkan sampah. 

 Sampah yang sudah terkumpul di Bank Sampah 

Gemah Ripah dijual ke pelapak. Kini, ada empat pelapak 

di Bantul yang menjadi mitra. Bambang sengaja bermitra 

dengan lebih dari satu pelapak, karena ingin memastikan 

harga sampah yang dijual ke pelapak bisa bersaing. 

  Gagasan Bambang Suwerda mendirikan bank 

sampah, membuatnya layak ditempatkan sebagai 

referensi pengelolaan bank sampah di Tanah Air. 

Bambang tak hanya seorang pendekar sampah. Dia 

sudah menjadi suhu bagi banyak pendekar sampah di 

negara kita . Ada yang langsung berguru kepada Bambang 

di Bantul, seperti Rahmat Hidayat, pendiri Bank Sampah 

Malang. Juga Syaifuddin Islami, penggerak bank sampah 

di Sumatra Barat. Bahkan, Dokter Gamal Albinsaid, pendiri 

Klinik Asuransi Sampah di Malang, juga belajar dari 

Bambang. 

 Dan, usaha  tak kenal lelah dari Bambang, kini sudah 

berwujud. Terasa memang, sejak kehadiran Bank Sampah 

Gemah Ripah di Bantul, kepedulian warga terhadap 

pengelolaan sampah semakin bertambah. Bantul kini 

lebih bersih. Di Kabupaten Bantul kini sudah tak tersisa 

lagi bekas-bekas gempa 2006 yang meluluhlantakkan 

bumi Bantul. Juga, tak tampak lagi secara mencolok 

serakan sampah yang mengganggu keindahan mata dan 

berpotensi menjadi penyakit. 


Bambang Suwerda memang dikenal sebagai penggagas bank sampah di negara kita . Namun, sejatinya Bambang tidaklah memulai gagasan 

itu benar-benar dari nol. Dan, ini pun diakui sendiri oleh 

Bambang. Adalah pasangan suami istri, Iswanto Noto dan 

Endah Suwarni, yang mengilhami Bambang Suwerda 

menggagas bank sampah. Sejak 2001, Bambang terlibat 

membantu Iswanto dan Endah menjadi penggerak 

pengelolaan sampah di Sukunan, Sleman, Yogyakarta.

 Iswanto bukan orang asing bagi Bambang. Dia adalah 

kolega sesama dosen di Politeknik Kesehatan Yogyakarta. 

Iswanto dan Endah bukan penduduk asli Sukunan. Pada 

1997, Iswanto dan Endah hijrah dari Gunung Kidul ke 

Sukunan. Sebagai pendatang, Iswanto dan Endah awalnya 

merasa biasa-biasa saja bermukim di Sukunan. 

 Namun, pasangan suami istri kebingungan menangani 

sampah yang dihasilkan dari dapur rumah mereka. 

Terpaksalah keduanya membawa sampah ke kantor. 

Sedari awal bermukim di Sukunan, Iswanto dan Endah 

memang sudah bertekad tak mau membuang sampah 

di lahan-lahan kosong. Pun, membakar sampah. Padahal, 

warga Sukunan sudah lama melakukan kebiasaan itu.

 Tanpa terasa, sebagian warga yang menjadi petani 

dan menggantungkan hidupnya pada sepetak lahan 

sawah, mulai menjerit. Air yang mengaliri sawah mereka 

mulai tercemar oleh sampah yang ditimbun begitu saja 

di lahan kosong. Plastik menjadi sampah paling dominan 

yang mencemari sawah warga. Setiap hari, petani harus 

turun ke sawah untuk membersihkan sampah plastik. 

 Komplain para petani itu membuat Iswanto dan 

Endah masygul. Mereka lalu putar otak, mencoba mencari 

solusi mengatasi masalah yang dialami para petani. Yang 

jelas, tak mungkin meminta warga membayar iuran agar 

petugas kebersihan Kabupaten Sleman mengangkut 

sampah mereka. Pilihan itu sudah pernah diberikan 

kepada warga. Mereka menolak.

 Tak kehilangan akal, Iswanto dan Endah lalu belajar 

mengelola sampah dari para pemulung yang ada di 

kawasan Sleman. Mereka melihat langsung cara kerja 

pemulung, yang memungut sampah dari rumah ke rumah. 

“Para pemulung itu memungut sampah yang laku dijual, 

seperti kardus dan kemasan air mineral,” tutur Endah. 

 Pasangan suami istri juga mendatangi tempat 

penampungan sampah. Mereka makin takjub karena 

ternyata di situ jumlah pemulung amat banyak. Jumlahnya 

bisa ratusan oang. Ya, para pemulung itu  memungut 

sampah, lalu memilahnya. Pemulung lalu menjual sampah 

yang sudah dipilah. 

 Tiga bulan lamanya Iswanto dan Endah menjadi 

pengamat pemulung. Lalu, sampailah mereka kepada 

kesimpulan bahwa sebagian besar sampah, khususnya 

sampah nonorganik, memiliki nilai ekonmis. Dan, yang 

dilakukan para pemulung sebenarnya amat sederhana: 

memungut, memilah, mengumpulkan sampah yang laku 

dijual. Mereka kemudian menjual sampah ke pelapak. 

 Menyaksikan para pemulung ternyata tak rumit-

rumit amat dalam memroses sampah, Iswanto dan Endah 

bertekad melakukannya sendiri di rumah mereka. “Yang 

laku dijual, akan kami jual. Otomatis, jumlah sampah yang 

terbuang bisa berkurang,” ujar Iswanto. 

Pemungut Sampah Kala Subuh 

 Sejak akhir 2002, Iswanto dan Endah pun mulai 

meyakini bahwa proses pemilahan sampah menjadi kata 

kunci guna mengurangi sampah di Sukunan. Namun, 

mereka belum ingin mengajak warga melakukan 

pemilahan. Bahkan, Iswanto dan Endah melakukan 

pengelolaan sampah secara diam-diam. “Dulu, setiap 

kali selesai salat Subuh, kami keluar rumah, memungut 

sampah warga yang berserakan di sepanjang jalan,” kata 

Endah terkekeh, mengingat masa lalu. 

 Iswanto dan Endah tak ingin kegiatannya dipandang 

warga sebagai bentuk cari muka. Maklum, mereka 

adalah warga pendatang. Tapi, keduanya meyakini prinsip 

satu keteladanan lebih berarti dibandingkan  seribu nasihat. 

Mereka akan memberikan bukti dulu kepada warga 

Sukunan.

 Endah tak ingin setegah-setengah. Dia pun lalu belajar 

menjahit. Tak punya mesin jahit, Endah lantas meminjam 

dari kakaknya.  “Saya ingin membuat kerajinan dari daur 

ulang sampah. Jadi, saya akan memberikan contoh 

kepada warga Sukunan, bahwa sampah pun bisa didaur 

ulang dan menghasilkan produk kerajinan yang bagus,” 

ujar Endah. Dia juga mulai belajar proses mengompos 

sampah organik. 

 Satu setengah tahun pasangan suami istri ini bergerak 

sendiri mengelola sampah. Memang baru sebatas sampah 

dari rumah mereka. Setelah memperoleh hasil, baru pada 

medio 2003, Iswanto menyampaikan kegiatan mereka 

mengelola sampah kepada warga. Itu pun belum secara 

resmi, dan baru sebatas obrolan ringan dengan warga 

saat dia kebagian tugas ronda malam. 

 Obrolan pos ronda itu berbuah hasil. Dari 24 orang 

yang biasa melakukan ronda, ada empat warga yang 

tertarik untuk memulai proses pemilahan sampah dari 

rumah mereka. Tak menunggu waktu lama, keempat 

warga itu  mulai membuat kompos atau membuat 

kerajinan dari sampah. 

 Iswanto merasa provokasinya mulai membuahkan 

hasil. Dia lalu mendekati ketua RW dan beberapa tokoh 

warga di Sukunan. “Saya mencoba meyakini mereka 

bahwa mengelola sampah secara mandiri itu tidak susah. 

Alhamdulillah, ketua RW menyokong dan menjadikan 

program pengelolaan sampah mandiri sebagai program 

kampung,” tutur Iswanto.

 Usaha Iswanto dan Endah tak percuma. Warga 

Sukunan akhirnya melek dan memahami bahwa persoalan 

sampah harus mereka pecahkan sendiri. Lalu, warga 

membentuk kepengurusan dengan struktur berisikan 

ketua, bendahara, dan sekretaris. Warga menamakan 

organisasi itu Paguyuban Sukun Bersemi. 

 Sosialisasi pun kian gencar. Tapi, mereka tak 

mungkin secara khusus mengumpulkan warga hanya 

untuk menyebarkan pengetahuan tentang pengelolaan 

sampah. “Kan butuh biaya untuk bikin acara seperti itu,” 

kata Endah. Acara rutin warga semisal pengajian atau 

arisan PKK akhirnya dipilih sebagai ajang sosialisasi. 

 Selain itu, mereka pun melakukan teknik door to 

door, mendatangi langsung rumah warga. Pengurus 

paguyuban yang datang ke rumah warga diwajibkan 

bertemu dengan penghuni rumah, meskipun hanya 

dengan seorang penghuni. Dan, satu orang penghuni 

itu wajib menyampaikan perihal pengelolaan sampah 

di Sukunan, yang sudah disahkan menjadi program 

kampung. 

Sedekah Bagi yang Tak Hirau

 Pola hidup warga Sukunan pun berubah. Sejak 

dicanangkan program pengelolaan sampah secara 

mandiri, warga tak lagi membuang sampah di lahan 

kosong, atau membakar sampah. Iswanto dan Endah 

lebih menekankan konsep sedekah sampah bagi warga 

Sukunan. 

 Sedekah sampah ini biasanya disenangi warga yang 

tidak begitu hirau dengan urusan ekonomi rumah tangga. 

“Ketimbang warga mengeluarkan iuran pengambilan 

sampah, mendingan mereka memilah sampah dari 

rumah, lalu menyedekahkannya kepada paguyuban,” kata 

Endah. Warga Sukunan yang mengikuti program sedekah 

sampah mencapai tujuh puluh persen. 

 Khusus bagi warga yang keberatan menyedekahkan 

sampah, paguyuban membentuk bank sampah, pada 

2016. Nasabah bank sampah sebesar sepuluh persen. 

Sedangkan warga yang tidak ikut sedekah sampah atau 

menjadi nasabah bank sampah, paguyuban menyediakan 

gerobak sampah untuk memungut sampah warga. Tentu 

saja, warga harus mengeluarkan sejumah uang sebagai 

iuran pengelolaan sampah.  

 Persoalan sampah nonorganik di Sukunan pelan-

pelan mulai bisa teratasi. Dengan kesadaran tinggi, warga 

memilah sampah sejak dari rumah. Warga mengangkut 

sampah yang sudah terkumpul, lalu meletakkannya 

ke dalam tiga jenis drum. Masing-masing drum untuk 

tempat tiga jenis sampah: kertas, plastik, dan logam. Drum 

ini tersebar di beberapa titik. 

 Satu drum bisa digunakan oleh delapan sampai lima 

belas rumah. Setelah drum penuh, pengurus paguyuban 

akan membawa sampah itu  ke lumbung sampah. 

Dan, jika sampah sudah menumpuk di lumbung sampah, 

pengurus akan menghubungi pelapak untuk membeli 

sampah. 

 Itu untuk sampah nonorganik. Sedangkan sampah 

organik akan diproses menjadi kompos oleh warga di 

rumah masing-masing. Warga memakai  komposter, 

biopot, biopori, dan bak kompos komunal. Setelah jadi, 

warga akan memakai  pupuk kompos untuk tanaman 

di rumah mereka. Ada pula warga yang menjual pupuk 

kompos.

 Selain mengolah sampah organik menjadi kompos, 

warga Sukunan juga menjadikannya briket bioarang dan 

biogas. Sampah organik yang diolah menjadi briket ini 

antara lain tempurung kelapa, ranting, dan kulit kacang. 

Warga memakai  pirolisis sebagai alat membuat 

bioarang. “Arang sampah dihaluskan menjadi tepung, 

lalu dicampur lem kanji. Setelah itu, kami cerak jadi 

briket bioarang,” kata Iswanto. Warga menjadikan briket 

bioarang itu  sebagai bahan bakar memasak. 

 Urusan sampah organik dan nonorganik terselesaikan. 

Namun, ada pula sampah jenis lain yang mulai 

meresahkan warga Sukunan. Sampah itu adalah kotoran 

ternak peliharaan beberapa warga. Sebagian warga mulai 

mengeluh lantaran kotoran ternak menyebarkan aroma 

tak sedap. Warga berembuk, lalu mendapatkan sebuah 

solusi: membuat kandang ternak secara berkelompok. 

Warga mengumpulkan semua hewan ternak di satu 

kandang besar. Lalu, mereka mengolah kotoran ternak 

menjadi biogas, lalu dimanfaatkan di kandang sebagai 

penerangan dan bahan bakar untuk memasak. 

 Masih masalah kotoran. Ternyata, cukup banyak 

warga Sukunan yang tidak memiliki septic tank di rumah. 

Beruntung, pemerintah kabupaten Sleman bekerja 

sama dengan pemerintah Jepang memberikan bantuan 

instalasi pengolah air limbah (IPAL) komunal. Kini, ada 

lima titik IPAL komunal di Sukunan. 

Batako Tahan Gempa 

 Selesaikah persoalan? Ternyata belum. Masih ada jenis 

sampah yang tidak laku dijual dan tidak gampang diolah 

kembali. Sampah itu biasa disebut residu. Jenisnya antara 

lain berupa styrofoam dan kaca. Warga Sukunan kembali 

memutar otak. Melalui proses coba-coba, akhirnya mereka 

menemukan resep ampuh: mengolah styrofoam menjadi 

batako. 

 Styrofoam dicacah kecil-kecil, kemudian dimasukkan 

ke dalam mesin parut khusus. Lalu dicampur dengan 

semen dan pasir. Perbandingan campurannya adalah lima 

puluh persen cacahan styrofoam, empat puluh persen 

pasir, dan sepuluh persen semen. 

 Batako styrofoam ini ternyata punya keunggulan 

ketimbang batako biasa. Universitas Gajah Mada sudah 

mengujinya dan mendapatkan hasil bahwa batako 

styrofoam tahan gempa. “Pasca gempa 2006, ada lima 

warga kami yang membangun rumah dengan batako 

styrofoam,” kata Endah. Selain dari styrofoam, warga 

Sukunan juga membuat batako dari kaca. 

 Memang tidak semua jenis styrofoam bisa diolah 

menjadi batako. Hanya styrofoam tebal yang dipakai warga 

Sukunan. Karena itu, warga Sukunan mengharamkan 

penggunaan styrofoam tipis yang biasa dipakai sebagai 

kemasan makanan. 

Tak Kuno Meski Bernama Sukuno

 Inovasi Iswanto, Endah, dan warga Sukunan ternyata 

tidak berhenti sampai di situ saja. Hampir semua jenis 

sampah, termasuk residu seperti styrofoam dan kaca, 

sudah bisa mereka olah. Namun, masih saja ada residu 

sampah lain, seperti pembalut dan popok sekali pakai. 

Endah pun tak kehilangan akal. Prinsip coba-coba kembali 

dia lakukan. Dan, muncullah ide membuat pembalut yang 

bisa dipakai berkali-kali.

 Endah mendapatkan ide itu dari kisah orang tuanya. 

Di masa lalu, saat  pembalut belum diproduksi seperti 

sekarang, para perempuan biasa memakai  kain saat 

mereka sedang haid. Itulah yang mengilhami Endah. Dan, 

pada 2009, dia pun mulai mencoba membuat pembalut 

dan popok yang bisa dipakai berkali-kali. 

 Endah membuatnya dari kain yang bisa dipakai 

kembali setelah dicuci. Dia ukur pembalut yang biasa dijual 

di pasar. Ukuran itu lalu dijadikannya acuan dan digambar 

di kertas. Setelah itu, Endah memotong kain sesuai acuan. 

Dan, jadilah pembalut. “Saya beri nama Sukuno,” kata 

Endah. Sukuno tak ubahnya pembalut biasa. Ada sayap 

dan perekat yang terbuat dari kancing. 

 Endah ternyata tidak mematenkan pembalut dan 

popok ciptaannya. Alasannya sungguh mulia. Endah 

tak ingin ada orang yang terhalang membikin ulang 

produk kreasinya, bahkan meniru sama persis. Baginya, 

jika ada orang yang membuat produk itu , secara 

tak langsung orang itu sudah berkontribusi mengurangi 

sampah, karena memakai  pembalut yang bisa 

dipakai ulang. 

 Urusan mengelola lingkungan di Sukunan ternyata 

tak sebatas pada sampah. Iswanto dan Endah juga 

prihatin dengan kondisi alam Sukunan. Secara perlahan, 

pohon mulai berkurang. Untuk itu, mereka pun meminta 

warga menanam tanaman. Bagi warga yang tidak 

memiliki pekarangan, tanaman bisa ditanam di dalam 

pot. “Tanaman kan menghasilkan oksigen. Saya bilang 

ke warga, jangan sampai berutang oksigen ke tetangga,” 

ucap Iswanto sembari tersenyum. 

 Semua jerih payah Iswanto dan Endah sudah berbuah 

manis. Lingkungan Sukunan menjadi asri. Bahkan, pada 

2009, Pemerintah Kabupaten Sleman menetapkan 

Sukunan menjadi desa wisata. Yang mereka jual adalah 

kelestarian lingkungan, antara lain berupa pengelolaan 

sampah secara mandiri.  

 Label sebagai desa wisata membuat banyak kalangan 

mengunjungi Sukunan. Beragam jenis paket wisata 

ditawarkan. Antara lain pelatihan edukatif dan rekreatif 

berbasis lingkungan. Untuk paket ini, peserta pelatihan 

mendapatkan edukasi mengelola sampah secara mandiri, 

pembuatan kerajinan dari sampah daur ulang, atau 

pembuatan kompos. 

 Pada 2012, Sukunan kembali mendapatkan 

penghargaan. Kali ini menjadi juara satu Kampung 

Iklim tingkat nasional. Salah satu inovasi yang membuat 

Sukunan meraih gelar itu adalah pemanfaatan air hujan. 

Jadi, saat kemarau tiba, warga Sukunan tak pernah 

kekurangan air.

 Prestasi lain yang membanggakan Iswanto dan Endah 

adalah saat menjadi juara pertama lomba kreasi daur ulang 

tingkat nasional 2004. “Dua kali kami diundang ke istana 

presiden. Bangga betul bisa bersalaman dengan Presiden 

Susilo Bambang Yudhoyono,” ujar Endah mengingat 

kejadian sekian tahun silam. 

 Mengenang semua peristiwa lampau, saat mereka 

baru datang ke Sukunan, tentu menjadi bagian 

kehidupan Iswanto dan Endah kini. usaha  mereka 

tak sia-sia. Pun, tak percuma Endah meninggalkan 

pekerjaannya sebagai karyawan bank di Yogyakarta pada 

2014 silam. Padahal, sudah dua puluh tiga tahun Endah 

bekerja di sana. Kini, Endah bisa semakin punya banyak 

waktu mencurahkan pikirannya mengembangkan 

berbagai inovasi di Sukunan. 


Sejatinya, bank sampah dapat menjadi simpul 

mengurangi timbulan sampah. Sayangnya, 

pengelola bank sampah kerap menemui kendala. 

Salah satunya adalah tingkat kepedulian 

warga  yang masih rendah.

BANK SAMPAH MALANG

DUA KALI BOBOL,

LALU BANGKIT

Kisah jatuh bangun Bank Sampah Malang 

amat menarik. Pernah dua kali hampir 

gulung tikar. Beruntung, Bank Sampah 

Malang memiliki seorang Rahmat Hidayat. 

Sang penggagas Bank Sampah Malang ini 

tak kenal lelah membangun Bank Sampah 

Malang dari keterpurukan. 

B angunan bercat putih itu tadinya ruang persemayaman mayat. Dulu, banyak peti mati berhamparan di sana. Suasananya lumayan horor. 

Bangunan itu berdiri tegak di belakang stasiun pengisian 

bahan bakar umum (SPBU) Sukun, Jalan S. Supriyadi, Kota 

Malang, Jawa Timur. Arsitekturnya bergaya peninggalan 

zaman Belanda. Jendelanya tinggi. Gedung kuno itu 

menjadi bagian dari pemakaman umat Nasrani di Kota 

Malang. 

 Sejak 2011 silam, bangunan tua itu  berubah 

fungsi. Dia menjadi bank sampah. Adalah Rahmat Hidayat, 

seorang karyawan Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang 

yang menyulapnya menjadi Bank Sampah Malang. Kini, 

gedung itu menjadi saksi jatuh bangunnya Bank Sampah 

Malang. 

 Kisah Bank Sampah Malang bermula dari kegelisahan 

Rahmat Hidayat. Dia menyaksikan betapa masalah 

sampah di Kota Malang sudah menjadi persoalan pelik. 

Pada 2010, Rahmat adalah staf di Dinas Kebersihan dan 

Pertamanan Kota Malang. Dia sebenarnya merasa awam 

dan minim pengetahuan ihwal pengelolaan sampah. 

Maklum, latar belakang pendidikannya adalah sarjana 

planologi. 

 Sebagai staf Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota 

Malang, Rahmat merasa jenuh dan kurang mendapatkan 

peran. Urusannya sehari-hari hanya menjadi tukang ketik 

dan antar surat. Energinya banyak terbuang. Dia lalu 

memberanikan diri menghadap Kepala Dinas Kebersihan 

dan Pertamanan, Wasto. Rahmat ingin berhenti. Atau, dia 

katakan kepada Wasto, supaya   dirinya dikaryakan di mana 

saja, asalkan jangan cuma jadi tukang ketik dan antar surat. 

Belajar Langsung dari Suhu

 Rupanya, sikap nekatnya itu mendapatkan respon 

positif dari atasannya. “Saya dijadikan semacam staf 

khususnya pak Wasto,” kata Rahmat. Secara kepegawaian, 

Rahmat dimasukkan ke Bagian Penyusunan Program. 

Dari situlah Rahmat memulai “petualangannya” bersama 

sampah. Salah satunya, dia dilibatkan dalam penyusunan 

program Peraturan Daerah Kota Malang tentang sampah. 

Itu pada 2010.

 Lalu, Rahmat mendengar bahwa di Bantul, Yogyakarta, 

ada sebuah bank sampah. Penggagasnya bernama Bambang 

Suwerda. Pada 2010 itu juga, Rahmat berkesempatan 

mengunjungi Bank Sampah Gemah Ripah di Bantul, 

Yogyakarta. Dia pun berjumpa dengan Bambang Suwerda. 

Belajar banyak dari Bambang. Tentang bank sampah.

 Ilmu bank sampah sudah dia peroleh. Langsung 

dari suhunya. Maka, saat  kembali ke Malang, Rahmat 

pun menyodorkan konsep bank sampah kepada Wasto. 

Diterima. Semula, Wasto meminta Rahmat membuat 

bank sampah skala kampung. Namun, Rahmat 

mengusulkan lain. Dia bilang ke Wasto, sebaiknya bikin 

bank sampah yang besar sekalian. Berskala kota. “Entah 

kenapa, beliau manut saja dengan saran saya itu,” ujar 

Rahmat terkekeh. 

 Rahmat sudah mendapatkan lampu hijau dari atasan 

tertingginya, seorang kepala dinas. Maka, bermodalkan 

nekat, dia memutuskan untuk terjun secara penuh 

mendirikan bank sampah di Kota Malang. Awalnya Rahmat 

sempat bingung. Dari mana akan memulai. 

 Lantas, tercetuslah pemikiran, dia harus berkeliling 

Kota Malang. Salah satu tujuannya mendatangi pengepul 

dan pelapak sampah. Dari mereka, Rahmat belajar 

mengidentifikasi jenis sampah yang laku dijual ke 

pengepul dan pelapak. Lalu, dia buat katalog jenis sampah 

yang laku jual. 

 Merasa sudah punya sedikit pengetahuan tentang 

sampah, Rahmat pun langsung membuat konsep bank 

sampah. Dia serahkan ke Wasto. Lagi-lagi, atasannya itu 

setuju. Sayangnya, anggaran sudah berjalan. Tak mungkin 

diubah lagi. Untung, Wasto bersedia mengeluarkan 

beberapa  uang dari kocek pribadi. 

Berkawan Dengan Penghuni Makam

 Tepat pada Hari Kemerdekaan Republik negara kita  

pada 2011, Walikota Malang mengumumkan secara 

resmi berdirinya Bank Sampah Malang. Momennya pada 

upacara 17 Agustus. “Banyak warga Malang yang kaget. 

Mereka belum tahu apa itu bank sampah,” tutur Rahmat 

mengenang peristiwa sekian tahun lampau. 

 Berdirinya bank sampah di Kota Malang sudah 

terlanjur diumumkan. Tapi, kantor dan gudang belum 

ada. Rahmat sempat kebingungan. Dia tak menyangka 

warga Kota Malang antusias menyambut berdirinya bank 

sampah. Banyak warga yang ingin meminta Bank Sampah 

Malang mengambil sampah di rumah mereka.

 Memang, semula Rahmat mendapatkan lokasi bank 

sampah di kawasan Sawojajar, Kota Malang. Bangunan itu 

adalah bekas kantor Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). 

Tapi, warga di sekitarnya menolak bangunan itu  

dijadikan bank sampah. Mungkin karena menganggap 

bank sampah identik dengan bau sampah. Kalau Rahmat 

nekat, warga sudah siap berunjuk rasa. 

 Selagi Rahmat kebingungan dengan lokasi bank 

sampah, warga di Kota Malang sudah meneleponnya. 

Mereka sudah memilah sampah di rumah. Lalu, meminta 

Bank Sampah Malang mengambil sampah. Tak banyak 

berpikir, Rahmat meminjam sebuah mobil truk milik 

Pemkot Malang. 

 Dia jemput sampah ke rumah warga. Ditimbangnya. 

Dia bayar beberapa  uang kepada warga. Lalu, dia bawa 

ke pelapak. Untuk dijual. Eh, ternyata banyak sampah 

yang tidak laku dijual. “Kami sempat tekor saat  itu,” ujar 

Rahmat. Rupanya, katalog sampah yang sempat dia buat, 

tak sepenuhnya akurat. 

 Satu urusan selesai. Tapi, urusan kantor dan gudang 

bank sampah tetap menggantung. Rahmat kembali 

berkeliling Kota Malang. Akhirnya, dia temukan sebuah 

bangunan di belakang SPBU Sukun. Gedung tua. Isinya 

peti mayat dan batu nisan. Puluhan tahun tak terpakai. 

Berkesan angker. 

 Rahmat tak peduli. Dia beranikan diri menjadikan 

bangunan bagian dari pemakaman umat Nasrani Kota 

Malang itu sebagai kantor dan gudang Bank Sampah 

Malang. Rahmat turun tangan sendiri membersihkan 

bangunan itu. Bersama tiga kader lingkungan di Kota 

Malang. Pikiran Rahmat sederhana saja. “Kan ndak 

mungkin penghuni makam menolak bank sampah, 

karena mencium bau sampah. Jadi, kami berkawan 

saja dengan para penghuni makam,” katanya sembari 

tergelak. 

Bobol Jilid Satu

 1 Oktober 2011 Bank Sampah Malang resmi dibuka. 

Lokasinya di pekuburan. Tapi, warga Kota Malang tak 

peduli. Tetap antusias. Apalagi, Bank Sampah Malang 

mendapat sokongan penuh dari istri walikota Malang. 

Sang istri walikota dengan gampang menggerakkan 

anggota Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) 

Kota Malang. 

 Bank Sampah Malang sudah dibuka. Tapi, belum 

diresmikan. Pemkot Malang lantas bersurat kepada 

Kementerian Lingkungan Hidup. Tak dinyana, mendapat 

respon positif dari Kementerian. Menteri Lingkungan 

Hidup berkenan meresmikan. Pada 15 November 2011, 

Menteri Balthasar Kambuaya datang ke Kota Malang. Sang 

menteri meresmikan Bank Sampah Malang. Hebatnya, 

saat  diresmikan, nasabah Bank Sampah Malang sudah 

mencapai lima ribu orang. Semua berkat sokongan 

Pemkot Malang. 

Kota Malang, kian memacu semangat Rahmat. Dia terus 

berkeliling. Mengampanyekan Bank Sampah Malang. 

Juga memberdayakan dan mengedukasi warga soal 

pentingnya bank sampah. Alhasil, Bank Sampah Malang 

tak terurus. Sampah menumpuk. 

 Rahmat lalu mencari orang yang bisa mengurus 

Bank Sampah Malang. Harus profesional. Harus mau 

setiap hari nongkrongin bank sampah. Dia pekerjakan 

temannya yang punya perusahaan di bidang 

persampahan. Dengan sang teman, total ada empat 

karyawan. 

 Tapi, itulah awal kehancuran Bank Sampah Malang. 

Kebobolan jilid satu. Rahmat diperdaya sang teman. Bank 

Sampah Malang terus membeli sampah dari nasabah. 

Namun, sampah itu tidak segera dijual ke pelapak. 

Menumpuklah jadinya di gudang. Rahmat pun pusing. 

Setelah Lebaran 2012, dia pecat seluruh karyawan. Dia 

putuskan kontrak dengan sang teman. “Kami tekor 180 

juta rupiah kala itu. Itu pun masih ditambah dengan 

utang,” ujar Rahmat getir. 

orang teller. Rahmat kembali ke kandang. Dia benahi 

manajemen. Seluruh sampah yang menumpuk dia 

perintahkan untuk segera dijual ke pelapak. 

 Pada 2013, Pemkot Malang memberikan bantuan 

sebesar 150 juta kepada Bank Sampah Malang. Rahmat 

tak mau percaya lagi kepada orang lain. Dia langsung 

terjun mengelola bank sampah. Dia cari orang yang bisa 

membuatkan software di komputer untuk mencatat 

jumlah sampah yang disetor nasabah. Dan, pada 2014, 

Bank Sampah Malang terbebas dari utang. 

Supir Main Gila (Bobol Jilid Dua)

 Rahmat bisa bernafas lega. Apalagi, pada 2015, istrinya, 

Kartika, ditunjuk menjadi Direktur Bank Sampah Malang. 

Sampai 2017, Rahmat bisa lebih fokus berdinas sebagai 

karyawan Pemkot Malang. Dia juga melanjutkan kuliah 

sarjana strata dua di Universitas Brawijaya. 

 Selesai kuliah di Universitas Brawijaya, Rahmat lagi-

lagi kecele. Dia kembali ke Bank Sampah Malang untuk 

melihat perkembangannya. saat  disodorkan buku 

keuangan, Rahmat terbelalak. Ada kerugian. Jumlahnya 

mencapai 120 juta rupiah. Inilah kebobolan jilid dua.

 Selidik punya selidik, ternyata ada permainan 

orang dalam. Supir gudang pelakunya. Mereka bertiga. 

Semuanya main gila. Modusnya, menjual terlebih dulu 

sampah yang diangkut dari nasabah ke pelapak, sebelum 

dibawa ke Bank Sampah Malang. Jadi, jumlah uang yang 

dibayarkan untuk membeli sampah dari nasabah, lebih 

besar ketimbang jumlah uang yang didapat dari hasil 

menjual sampah ke pelapak. 

 Rahmat memecat ketiga orang supir Bank Sampah 

Malang yang menggelapkan uang. Dia pun kembali 

memelototi laporan keuangan. “Alhamdulillah, pada 2019 

lalu, kerugian itu sudah bisa kami tutup,” katanya. 

 Memang tak mudah mengelola bank sampah. 

Manajemen harus benar. Karyawan harus jujur. Dua kali 

kebobolan yang berakibat kerugian pada Bank Sampah 

Malang, menjadi sebuah pelajaran penting. 

 Kini, Bank Sampah Malang sudah jauh lebih baik. 

Nasabah pun kian bertambah. Pada akhir 2019, tercatat 

ada 625 bank unit di Kota Malang yang menjadi nasabah. 

Nasabah perorangan lebih dari 1.700. Instansi ada 104 unit. 

Sekolah sebanyak 279 unit. 

 Dalam sehari, Bank Sampah Malang memungut 

sekitar lima ton sampah di Kota Malang. Jika sampah 

nasabah mencapai 50 kilogram, petugas Bank Sampah 

Malang yang akan menjemputnya. “Kalau di bawah itu, 

nasabah sendiri yang akan mengantar sampah mereka,” 

ujar Mega, karyawan Bank Sampah Malang. 

 Bank Sampah Malang menerima 72 jenis sampah. 

Omsetnya mencapai 30 juta rupiah per bulan. Karyawan 

kini ada 15 orang. Rini, petugas pemilah plastik di Bank 

Sampah Malang, sudah empat tahun bekerja di Bank 

Sampah Malang. Botol plastik bersih yang sudah Rini pilah, 

akan masuk ke mesin pencacah plastik. “Harga cacahan 

plastik lebih malah dibandingkan  harga botol plastik utuh,” 

tutur Rini. 

 warga  Kota Malang merasakan manfaat bank 

sampah. Salah seorang warga, Yeni Kristyowati, sudah tiga 

tahun menjadi nasabah. Dia jadi paham, sampah harus 

diolah. Sedari rumah, dia sudah memilah sampah. Lalu, 

dia setor ke Bank Sampah Malang. “Uangnya saya tabung 

saja dulu di bank sampah. Kalau perlu, baru saya ambil,” 

kata Yeni.

Rata-rata setiap akhir pekan, mereka mendatangi sebuah 

bangunan tua di belakang SPBU Sukun. 

 Bangunan yang dulu identik dengan pemakaman, kini 

sudah berubah wujud. Dan, sudah memberikan kontribusi 

banyak kepada warga Kota Malang. Sumbangsih 

membuat Kota Malang jauh lebih bersih. Gedung putih 

bekas penyimpanan peti mati dan batu nisan itu sekarang 

dikenal warga Malang sebagai bangunan bank sampah. 

Berbalut jaket tipis warna hijau muda, perempuan itu terlihat tak sungkan mengambil sampah. Dengan tangannya yang memakai sarung tangan, 

dipilahnya sampah sesuai jenis. Lalu, dia memasukkan 

sampah ke dalam wadah yang sudah tersedia. Perempuan 

berkerudung hitam itu bernama Atalia Praratya. Warga 

Bandung dan Jawa Barat lebih mengenalnya dengan 

nama Atalia Ridwan Kamil. Ya, dia adalah istri Gubernur 

Jawa Barat, Ridwan Kamil. 

 Pada sebuah siang yang cerah di awal 2020, Atalia 

tengah berada di Bank Sampah Bersinar, Bandung. Dia 

hadir sebagai Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan 

Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Provinsi Jawa Barat. 

 Atalia memuji segala usaha  yang sudah dilakukan 

Bank Sampah Bersinar. Utamanya dalam urusan edukasi. 

“Penting bagi warga untuk mengetahui bahwa dengan 

memilah sampah, maka harga sampah akan menjadi 

lebih mahal,” ujar Atalia. Karena itu, Atalia berharap, 

banyak warga Jawa Barat yang bisa meniru kegiatan Bank 

Sampah Bersinar. 

 Bank Sampah Bersinar berdiri pada 27 September 

2014, di Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. 

Johnny Sumual adalah salah seorang pendirinya. 

Semua berangkat dari rasa prihatin Johnny terhadap 

bencana banjir yang kerap melanda tiga kecamatan di 

Kabupaten Bandung, yakni Bojongsoang, Baleendah, 

dan Dayeuhkolot. Johnny dan rekan-rekannya kerap 

membantu pemerintah Kabupaten Bandung, antara 

lain dengan mendirikan dapur umum bagi warga yang 

terdampak banjir. 

 Tidak hanya ingin berhenti sampai sebatas bantuan 

pada saat banjir melanda, Johnny pun lantas berpikir 

mencari solusi agar banjir bisa berkurang. Sebagai aktivis 

gereja, Johnny merasa tak elok membantu pemerintah 

dan warga  hanya pada saat terjadi musibah banjir. 

Dia ingin secara reguler bisa berkontribusi mengatasi 

persoalan banjir. Johnny meyakini, salah satu penyebab 

banjir adalah sampah yang tidak terkelola dengan baik. 

Bersama rekan-rekannya, Johnny lalu mendirikan sekolah 

yang dibayar memakai  sampah. Sayang, “Sekolah itu 

tidak berjalan lama karena beberapa kendala,” ujarnya.

 Tak lama sekolah berbayar sampah itu tutup, Johnny 

mendengar informasi tentang keberadaan sebuah bank 

sampah di Kota Malang, Jawa Timur. Dia lalu mengundang 

Rahmat Hidayat, pendiri Bank Sampah Malang, ke 

Bandung. Setelah Rahmat membeberkan keberhasilan 

Bank Sampah Malang, Johnny dan rekan-rekannya 

bersepakat mendirikan bank sampah. Dibentuklah 

sebuah tim. Dan, tim inilah yang berkunjung ke Bank 

Sampah Malang, untuk belajar mengelola bank sampah. 

 Sekembalinya dari Malang, Johnny dan tim mendirikan 

Bank Sampah Bersinar. Beruntung, Johnny mempunyai 

seorang teman pengusaha di Bandung, bernama Fifie 

Rahardja. Mereka lalu membentuk Yayasan Solusi Bersinar 

negara kita . Yayasan inilah yang menaungi Bank Sampah 

Bersinar. “Ibu Fifie meminjamkan kami tempat sebagai 

lokasi Bank Sampah Bersinar,” tutur Johnny. 

Ditanya: Wani Piro?

 Pada masa awal Bank Sampah Bersinar berdiri, tak 

mudah mencari nasabah. Apalagi, Johnny menyadari, 

kesadaran dan kepedulian warga  memilah sampah, lalu 

menyetorkannya ke bank sampah, membutuhkan proses. 

Sebab, “Itu kan sama saja dengan mengubah mindset 

orang. Sebelumnya kan warga sudah terbiasa dilayani. Atau, 

malah membuang sampah ke sungai,” kata Johnny.

 Johnny tentu saja harus memutar otak meyakinkan 

warga agar mau menjadi nasabah bank sampah. Sosialisasi 

terus digeber. Kunjungan ke kelompok warga terus 

dilakukan. Usai mendengarkan sosialisasi, kebanyakan warga 

bersepakat mendirikan bank sampah di lingkungannya.

 Salah satu kunci keberhasilan mengajak warga supaya   

peduli dengan sampah adalah iming-iming rupiah. Johnny 

dan pengurus Bank Sampah Bersinar selalu menyampaikan 

kepada warga bahwa membuang sampah sama artinya 

dengan membuang uang. Mereka terpaksa memakai  

cara ini karena, “Di warga  kita ini kan masih kental budaya 

wani piro. Kalau iming-iming uang ini tidak kami sampaikan 

di awal, sulit sekali mengajak warga untuk mengelola 

sampah,” ucap Johnny tersenyum. Iming-iming uang, bagi 

Johnny, adalah sebagai pembuka jalan agar warga  mau 

mendengarkan pemaparan akan pentingnya bank sampah.

SOSIALISASI. 

Menyadarkan warga 

butuh sosialisasi terus 

menerus.

 Perlahan, makin banyak warga yang merasa perlu 

mengelola sampah, lalu mendirikan bank sampah unit 

di lingkungannya. Mereka pun menjadi nasabah Bank 

Sampah Bersinar. Kini, nasabah Bank Sampah Bersinar 

tercatat sekitar 8 ribu, terdiri dari nasabah individu dan 

bank sampah unit. 

Ngapain Capek-capek

 Semua capaian itu tentu tak lepas dari kerja keras 

pantang menyerah Johnny dan para pengurus Bank 

Sampah Bersinar. Kendati begitu, tetap saja ada nasabah 

yang kecewa. Mereka merasa jumlah uang yang didapat 

dari mengelola sampah tidak sesuai harapan. Ada 

ketidaksesuaian antara sosialisasi dan fakta. 

 Kondisi ini terkadang membuat nasabah mengeluh. 

Itulah yang menjadi salah satu perhatian Johnny dan 

pengurus Bank Sampah Bersinar. “Ngapain sih capek-

capek ngurusin sampah kalau uangnya cuma segini 

doang,” kata Johnny menirukan keluhan nasabah. 

 Kunci mengatasi persoalan seperti itu adalah 

pendampingan. Johnny dan pengurus Bank Sampah 

Bersinar akan mendatangi nasabah yang punya keluhan 

seperti itu. Mereka menyampaikan kepada nasabah 

bahwa uang yang dia dapat hanyalah sebagai bonus dari 

mengelola sampah. Tujuan utamanya adalah membuat 

lingkungan menjadi bersih dan sehat. Tapi, ihwal ada uang 

di balik sampah itu, diyakini Johnny benar adanya. Dan, 

itu menjadi bagian cukup penting untuk disampaikan 

kepada warga .

 Salah seorang warga yang merasakan manfaat 

kehadiran Bank Sampah Bersinar adalah Ismail. Warga RW 

09 Kelurahan Manggahang, Kecamatan Baleendah, itu, 

kini mengelola sampah di lingkungannya. Semua berawal 

dari sosialisasi yang dilakukan Bank Sampah Bersinar di 

tempat Ismail menjadi guru, di SD Baleendah 4. 

 Setiap dua pekan, Ismail dan timnya memilah sampah 

yang dikumpulkan warga RW 09. Setelah sampah 

nonorganik terkumpul, mereka mengontak pengurus 

Bank Sampah Bersinar. Tak lama kemudian, tibalah mobil 

operasional Bank Sampah Bersinar untuk menjemput 

sampah. “Hasil pengelolaan sampah di lingkungan kami 

ini bisa membiayai anak yatim di sini,” ujar Ismail. 

Naik Haji Pakai Sampah

 Filosofi di balik sampah sampah ada uang, ternyata tak 

hanya dijadikan Johnny sebatas cara mengiming-imingi 

warga  agar mau mengelola sampah. Bank Sampah 

Bersinar terus membuat terobosan sebagai bukti filosofi 

itu. Salah satunya adalah belanja di minimarket cukup 

bayar pakai sampah.

 Sejak 2015, sebuah minimarket memang sudah 

berdiri di lokasi Bank Sampah Bersinar. beberapa  bahan 

kebutuhan pokok semisal gula, minyak goreng, telur, atau 

beras, bisa dibeli di minimarket itu tanpa memakai  

uang. Cukup membayar dengan sampah. 

 Inovasi lain dari Bank Sampah Bersinar adalah 

membayar uang kuliah memakai  sampah. Saat ini, 

setidaknya ada dua perguruan tinggi – Sekolah Tinggi 

Teknologi Bandung (STTB) dan Sekolah Tinggi Ilmu 

Ekonomi (STIE) Cileunyi – yang sudah bekerja sama dengan 

Bank Sampah Bersinar. Mahasiswa di kedua perguruan 

tinggi itu  bisa membayar uang kuliah dalam bentuk 

sampah.

  Sejak 2017, Bank Sampah Bersinar bekerja sama 

dengan Bank BNI. Setiap ada nasabah baru, langsung 

mendapatkan buku rekening dan kartu ATM BNI. Jika 

nasabah biasa selalu dikenakan biaya administrasi setiap 

bulan, maka nasabah Bank Sampah Bersinar terbebas dari 

kewajiban tesebut. Dan, “Uang hasil penjualan sampah 

nasabah ke kami langsung masuk ke rekening BNI 

nasabah,” kata Johnny. 

 Pada 2019, Bank Sampah Bersinar menjalin kerja 

sama dengan PT Pegadaian. Ada tiga program yang 

sudah dijalankan. Pertama, membeli emas memakai  

sampah. Nasabah Bank Sampah Bersinar yang tertarik 

mengikuti program ini, dapat membeli 0,01 gram emas 

dengan menyetorkan sampah senilai tujuh ribu rupiah. 

 Program kedua dengan Pegadaian adalah membeli 

sepeda motor secara kredit. Nasabah bisa mencicil sepeda 

motor dengan uang cicilan lebih murah ketimbang 

mencicil di perusahaan pembiayaan. “Lebih murah 100 

sampai 200 ribu rupiah. Kami bekerja sama dengan 

Yamaha,” kata Johnny. 

 Program ketiga adalah tabung sampah naik haji. 

Program ini diselaraskan dengan program beli emas 

dengan sampah. Jadi, bagi nasabah Bank Sampah 

Bersinar yang sudah memiliki tabungan emas dalam 

jumlah tertentu, dapat menukarkannya dengan beberapa  

uang yang akan ditabung sebagai biaya haji. 

 Lalu, ada pula program diskon yang bekerja sama 

dengan produsen tempat makanan dan minuman. 

Nasabah yang menyetor sampah berupa sepuluh botol 

kemasan air mineral atau 20 gelas bekas air mineral 

atau 25 lembar kantong plastik atau setengah kilogram 

kertas/kardus, akan mendapatkan satu poin. Nasabah 

bisa menukarkan poin itu  dengan produk kemasan 

makanan atau minuman, dan mendapatkan potongan 

harga sebesar lima puluh persen. 

 Yang cukup spektakuler adalah program membeli 

rumah dengan sampah. Kata Johnny, program ini akan 

dimulai pada 2020. Nasabah cukup membayar uang muka 

sebesar 500 ribu rupiah, untuk mendapatkan rumah 

dengan dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu dapur, 

dan satu kamar mandi. Cicilan per bulannya hanya sebesar 

900 ribu rupiah dan itu bisa dibayar dengan sampah. 

Ke Denmark Belajar Sampah

 Segala terobosoan yang dilakukan Bank Sampah 

Bersinar itu adalah sebagai bentuk terus menjaga motivasi 

para nasabahnya. Bagi Johnny, semangat para nasabah 

ini harus terus dipertahankan, lantaran bank sampah 

memang mengandalkan peran serta warga . Dengan 

nasabah mencapai delapan ribu, Bank Sampah Bersinar 

kini mempekerjakan 12 orang karyawan. Omset per bulan 

bisa mencapai 30 ton sampah, setara dengan uang senilai 

60 juta rupiah. 

 Peran masyakarat inilah yang juga membuat Bank 

Sampah Bersinar membuka cabang di wilayah Dago, 

sejak September 2019. Tujuannya agar warga  di 

wilayah timur dan utara Bandung semakin dekat untuk 

menyetorkan sampah yang sudah dipilah.

 Namun, Johnny juga berharap tak hanya warga  

yang tak boleh kendur semangatnya. Dia juga terus 

menunggu peran pemerintah dalam menyokong kegiatan 

bank sampah. Johnny amat terkesan dengan pengelolaan 

sampah di Denmark. Pada Agustus 2019, Johnny – 

dalam kapasitas sebagai Bendahara Umum Asosiasi 

Bank Sampah negara kita  (ASOBSI) – diajak Kementerian 

Lingkungan Hidup dan Kehutanan melihat pengelolaan 

sampah di negara Skandinavia itu . 

 Yang menarik perhatian Johnny terhadap pengelolaan 

sampah di Denmark adalah sokongan penuh dari 

pemerintah lokalnya. Di sana, kata Johnny, ada lembaga 

yang mirip bank sampah. Pengelolanya adalah warga . 

Tapi, “Semua pembiayaan berasal dari pemerintah lokal,” 

ucapnya. 

 Dukungan dana itu, menurut Johnny, diperlukan 

agar bank sampah bisa terus hidup dan berkembang. 

Sebab, bank sampah sejatinya lebih menekankan kepada 

urusan pelayanan sosial. Unsur komersial bukanlah tujuan 

utamanya. Sementara, bank sampah tetap membutuhkan 

biaya operasional, misalnya untuk menggaji karyawan dan 

mengoperasikan kendaraan pengangkut sampah. 

 Selain dukungan pemerintah, Johnny juga belajar 

ihwal edukasi di Denmark. Kepedulian terhadap pengelolaan 

sampah di Denmark sudah ditekankan sejak usia dini. 

Pemerintah lokal di sana membuat kurikulum untuk 

anak-anak. Salah satunya melalui piktogram – kartu 

bergambarkan jenis sampah yang bisa disetorkan ke 

semacam bank sampah di Denmark. Bank Sampah 

Bersinar akan menerapkan ihwal edukasi sejak dini 

itu . Bekerja sama dengan sebuah perguruan tinggi 

di Bandung, Johnny sudah menyiapkan piktogram. “Nanti 

akan kami bagikan kepada anak-anak di sekolah,” katanya. 

 Tujuannya adalah untuk mengenalkan kepada anak-

anak usia dini, betapa urusan mengelola sampah menjadi 

begitu penting. Sepenting imbauan Atalia Ridwan Kamil, 

istri Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, saat berkunjung 

ke Bank Sampah Bersinar, pada sebuah siang di bulan 

Januari 2020. 

Dengan cekatan, perempuan paruh baya itu keluar masuk ke dalam rumahnya. Dia bawa beberapa  barang hasil kerajinan. Macam-macam rupanya. 

Ada tas tangan, tas jinjing, tempat tisu, dan tempat gelas 

air dalam kemasan. Bicara sebentar, sekejap kemudian 

perempuan itu bergegas masuk kembali ke dalam 

rumah. Ternyata, masih ada barang tertinggal. Tak lama, 

dia kembali ke bangku di bawah sebatang pohon di 

pekarangan rumahnya.

 Perempuan itu bernama Sri Dewi Muftiza Roza. Nama 

yang panjang. Orang di kampungnya, sebuah pelosok 

bernama Dusun Muaro Gambok, di Kabupaten Sijunjung, 

Sumatra Barat, biasa mengimbaunya dengan panggilan 

Ibu Os. Dia adalah pengelola Bank Sampah Kawasan 

Rumah Pangan Lestari (KRPL) Bunga Tanjung. 

 Sejak November 2018, Os dan warga di sekitar 

rumahnya di Jorong (setingkat desa) Muaro Gambok, 

memantapkan hati mendirikan bank sampah. “Jujur saja, 

yang pertama kali membuat kami tertarik mengelola 

sampah melalui bank sampah, ya karena ada uangnya,” 

kata Os berterus terang. Ketertarikan awal itu, lantas kini 

menjadi sebuah kebiasaan. Melihat sampah tergeletak di 

jalan, Os langsung memungutnya. 

 Adalah Roni Sudirman, seorang pegawai di Dinas 

Permukiman dan Lingkungan Hidup Kabupaten Sijunjung 

yang mengompori Os dan warga di desanya. Roni risau. Dia 

semakin sering melihat sampah berserakan dan tergeletak 

begitu saja di jalan. Roni berkeyakinan, untuk mengelola 

sampah di Sijunjung, tak cukup hanya pemerintah daerah 

saja yang terlibat. “warga  harus dilibatkan. Mereka harus 

disadarkan betapa pentingnya mengelola sampah,” ujar Roni.

 Waktu Roni pertama masuk Dinas Permukiman dan 

Lingkungan Hidup, pada 2016, sebenarnya sudah ada bank 

sampah di Sijunjung. Tapi, jumlahnya baru dua unit. Karenanya, 

Roni pun bergerak cepat, setelah mendapatkan lampu hijau 

dari atasannya. Salah satu yang dia garap adalah di Dusun 

Muaro Gambok. Di situlah dia berjumpa dengan Ibu Os. 

TERLIBAT. Roni Sudirman, penggerak bank 

sampah di Sijunjung, Sumatra Barat. Roni 

mengajak warga Sijunjung untuk terlibat 

mengelola sampah.

Siasat Mengajak Warga Peduli

 Rupanya, tak sulit-sulit amat memberikan 

pemahaman kepada warga . Termasuk kepada Os 

dan warga di sekitarnya. Roni bersiasat. Dia melakukan 

sosialisasi melalui kelompok warga  yang sudah 

terlebih dulu ada. Misalnya, melalui PKK, Dasa Wisma, atau 

KRPL. Memang, awalnya ada iming-iming beberapa  uang 

yang bisa didapat warga dari mengelola sampah melalui 

bank sampah. “Tapi, setelah menjadi kebiasaan, uang kan 

hanya jadi faktor pengikut saja,” tutur Roni. 

 Ucapan Roni itu memang terbukti. Ibu Os dan Bank 

Sampah Bunga Tanjung, misalnya. Sudah cukup banyak 

kerajinan hasil daur ulang sampah yang mereka bikin. 

Tapi, tak mudah memasarkan hasil kerajinan itu. Harga 

yang kalah bersaing dengan produk sejenis buatan 

pabrik, menjadi kendalanya. Meski begitu, Os dan rekan-

rekannya tak kapok untuk terus membuat kerajinan daur 

ulang dari sampah. 

 Jika hasil kerajinan susah dijual, lantas dari mana Bank 

Sampah Bunga Tanjung memperoleh biaya menjalankan 

bank sampah? Hakikat sebuah bank sampah adalah 

menjual sampah yang sudah dipilah warga. Bisa ke 

pelapak. Bisa pula ke bank sampah induk. Nah, Bank 

Sampah Bunga Tanjung menjual sampah nasabahnya ke 

Bank Sampah Induk (BSI) Lansek Manih.

 Sebelum ada BSI Lansek Manih, mereka menjual ke 

pengepul. “Tapi, pengepul tidak mau membeli semua 

jenis sampah yang kami terima dari nasabah. Kalau di 

BSI Lansek Manih, semua jenis sampah bisa dibeli,” ucap 

Os. Nasabah Bank Sampah Bunga Tanjung sebanyak 25 

keluarga. Mereka melakukan penimbangan setiap dua 

pekan sekali.

Berawal dari Sebuah Becak Motor

 Bank Sampah Bunga Tanjung hanya salah satu bukti 

geliat perkembangan pengelolaan sampah di Kabupaten 

Sijunjung. Masih di Sijunjung, ada Bank Sampah Ladang 

Kapeh. Bank sampah ini terletak di Jorong Ladang Kapeh. 

Berdiri pada Mei 2018.

 Adalah Aprizaldi, orang pertama yang memulai 

pendirian Bank Sampah Ladang Kapeh. Waktu itu, dia 

adalah Kepala Jorong Ladang Kapeh. Atas usaha nya 

sebagai kepala jorong, perumahan mantan karyawan 

PT Bukit Asam di Ladang Kapeh mendapatkan bantuan 

dana aspirasi DPRD Kabupaten Sijunjung. Wujud 

bantuannya berupa sebuah becak motor. Inilah yang 

menjadi pemicu awal pembentukan bank sampah di 

Ladang Kapeh. 

 Nasabah Bank Sampah Ladang Kapeh kini sebanyak 

42 keluarga. Mereka menimbang sampah dua kali dalam 

sebulan. Memang tak sering. Sebab, “Masih banyak warga 

di komplek kami ini yang enggan memilah sampah sejak 

dari rumah,” kata Zuhasni, pengurus Bank Sampah Ladang 

Kapeh. 

 Zuhasni dan pengurus lainnya tak pernah lelah 

menyadarkan warga di lingkungannya. Apalagi, Zuhasni 

kini bisa membanggakan jerih payah mereka kepada 

warga. Pada 2019, Bank Sampah Ladang Kapeh menjadi 

juara kedua lomba bank sampah se-kabupaten Sijunjung. 

Tentu ini prestasi yang membanggakan. Dan, bisa menjadi 

magnet bagi warga untuk terlibat dalam pengelolaan 

sampah melalui bank sampah.

 warga  Sijunjung kini memang kian peduli 

mengelola sampah. Itulah yang juga membuat Roni 

Sudirman tambah sumringah. usaha nya membuahkan 

hasil. Banyak kelompok warga yang antusias mendirikan 

bank sampah. Sampai akhir 2019, di Kabupaten Sijunjung 

sudah berdiri 14 bank sampah. Roni juga mempelopori 

gerakan pengelolaan sampah bernama GPS 3R (Gerakan 

Pengurangan Sampah melalui 3R – Reduce, Reuse, 

Recycle). Pada Oktober 2017, Bupati Sijunjung meresmikan 

GPS 3R ini. 

Harus Berani Nyinyir

 Geliat perkembangan bank sampah juga terjadi di Kota 

Bukittinggi. Setiap kelurahan di Kota Jam Gadang itu  

sudah memiliki bank sampah. Setidaknya ada satu unit. 

Rata-rata, bank sampah di Bukittinggi berdiri sejak 2017. 

Bank sampah yang pertama kali ada di Bukittinggi adalah 

Bank Sampah Induk Mutiara Indah. Berdiri sejak 2016. 

 BSI Mutiara Indah terletak di Kelurahan Aur Tajungkang 

Tengah Sawah. Nasabahnya kini ada 60 keluarga. Semula, 

warga membuang sampah ke kali yang mengalir 

melewati daerah mereka. Akibatnya, Sungai Batang Agam 

tercemar. Begitu pula lokasi tempat pembuangan sampah 

sementara. Kondisinya jorok. Sampah berserakan. 

 BSI Mutiara Indah bermula dari tawaran Dinas 

Lingkungan Hidup Provinsi Sumatra Barat kepada Suryadi. 

Dia adalah seorang tokoh warga  di kelurahan Aur 

Tajungkang Tengah Sawah. Suryadi menyambut ajakan 

mendirikan bank sampah itu  dengan suka cita.

NYINYIR. Suryadi, pendiri BS Mutiara 

Indah, Bukittinggi, Sumatra Barat, 

harus nyinyir ke warga supaya   mau 

menjadi nasabah bank sampah.

 Lalu, digelarlah sosialisasi kepada warga sekitar. 

Syaifuddin Islami, penggerak dan pendamping bank 

sampah di Sumatra Barat, mendapatkan kepercayaan 

untuk mendampingi warga mendirikan bank sampah. 

“Jadi, bank sampah kami ini dibentuk oleh Dinas 

Lingkungan Hidup Provinsi Sumbar. Bukan oleh Pemkot 

Bukittinggi,” kata Suryadi, Direktur Bank Sampah Induk 

Mutiara Indah. 

 Suryadi memiliki kiat agar bank sampah yang 

dikelolanya tetap berjalan. Dia memanfaatkan kegiatan 

arisan PKK. Setiap Ahad, BSI Mutiara Indah buka dan 

menerima penimbangan sampah dari nasabahnya. Yang 

mengurus bank sampah pun, Suryadi gilir. Setiap Ahad, 

petugasnya pasti berganti. Agar tidak jenuh, begitu 

alasannya. 

 BSI Mutiara Indah memiliki lima bank sampah unit 

yang menjadi nasabahnya. Kelima bank sampah itu 

sempat beroperasi selama beberapa waktu. Namun, 

belakangan kegiatannya terhenti lantaran tidak memiliki 

lahan untuk menampung sampah dari warga.

 Kini, BSI Mutiara Indah hanya mengandalkan setoran 

sampah dari para nasabah.. Nasabah akan menerima 70 

persen hasil penjualan sampah. BSI memungut 25 persen 

sebagai dana operasional. Sedangkan sisa lima persen lagi 

digunakan untuk kegiatan sosial. 

 Suryadi belum merasa puas dengan perkembangan 

bank sampah di Bukittinggi. Apalagi, kepedulian dan 

kesadaran warga untuk mengelola sampah, dia rasakan 

masih kurang. Itulah yang sering menjadi kendala yang 

dihadapi banyak bank sampah di Bukittinggi. “Saya 

harus berani nyinyir ke warga. Menggugah kesadaran 

mereka agar mau memilah sampah sejak dari rumah, dan 

menyetorkannya ke bank sampah,” tutur lelaki kelahiran 

1969 ini. 

Pengepul Menjadi Ujung Tombak

 Urusan menggugah kesadaran warga ternyata juga 

terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan. Meski sudah sering 

diingatkan agar memilah sampah sejak dari rumah, 

tak jarang warga abai dengan urusan ini. Apalagi kalau 

meminta warga menyetorkan sampah yang sudah dipilah 

ke bank sampah.

 Kondisi inilah yang memicu Jumsu Trisno, Kepala 

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pesisir 

Selatan memutar otak. Ia melihat ada potensi besar 

dari kegiatan para pengepul sampah di Pesisir Selatan 

yang bisa dimanfaatkan. DLH Kabupaten Pesisir Selatan 

lalu mengajak para pengepul menjadi “petugas” yang 

memungut sampah dari rumah warga. “Kami memfasilitasi 

mereka dengan kendaraan bermotor agar mobilitas para 

pengepul lebih tinggi,” kata Jumsu.

 Pada 2019, DLH Pesisir Selatan sudah mengeluarkan 

surat keputusan kerja sama dengan pengepul. Ada 

tiga pengepul yang diajak. Pada 2020, DLH berencana 

menambah 12 pengepul lagi, di 12 kecamatan sisa yang 

belum bekerja sama dengan pengepul sampah. 

 Kendati menjalin kerja sama dengan pengepul, 

bukan berarti Pemkab Pesisir Selatan abai terhadap 

perkembangan bank sampah. Setidaknya, satu bank 

sampah induk sudah ada di Painan, ibukota Pesisir 

Selatan. Namanya Bank Sampah Induk (BSI) Higempama. 

Berdiri sejak awal 2018. BSI Higempama memiliki satu 

mesin pencacah plastik dan satu mesin press kertas.

SEPI. Di pengujung tahun, 

Bank Sampah Induk 

Higempama, Painan, 

Kabupaten Pesisir Selatan, 

Sumatra Barat, terlihat sepi. 

Aktivitas stop, karena harga 

jual sampah sedang rendah.

 BSI Higempama akan menjemput sampah ke rumah 

atau warung para nasabahnya. Namun, biasanya pada 

akhir tahun, kegiatan operasional BSI Higempama agak 

tersendat. “Kami susah menjual sampah pada akhir tahun. 

Biasanya, mulai menggeliat lagi pada Februari,” kata Asni, 

pengurus BSI Higempama.

 Dengan bank sampah dan memberdayakan para 

pengepul sampah, pengelolaan sampah di Pesisir Selatan 

relatif berhasil. Salah satu indikator keberhasilan adalah 

berkurangnya jumlah sampah yang dibuang ke TPA. Pada 

2018, angkanya mencapai 18 persen. 

 Memang sungguh tak mudah menggerakkan 

warga  agar peduli mengelola sampah dengan 

cara memilah sampah sejak dari rumah. Padahal, proses 

pemilahan inilah yang membuat sebuah bank sampah 

bisa hidup. Tapi, sejatinya tak pula bisa dibebankan seluruh 

persoalan bank sampah ini hanya kepada warga .