k.
Bambang ingin menanamkan kesadaran pengelolaan
sampah sejak usia dini. Dia ingin menyiapkan generasi
mendatang menjadi generasi pecinta lingkungan dan
punya kepedulian tinggi terhadap masalah sampah.
“Suatu saat energi saya habis, insya Allah masih tetap
ada yang akan meneruskan gagasan ini. Mereka adalah
anak-anak yang sedari kecil sudah terbiasa mengelola
sampah dengan cara menabung di bank sampah,” tutur
Bambang.
Bambang membayangkan, suatu hari kelak, anak-anak
yang sudah memiliki kesadaran mengelola sampah, akan
menjadi pejabat. Entah itu di tingkat daerah atau bahkan
di level pusat. Para pejabat inilah yang akan mempunyai
kepedulian mengelola sampah. Sedari kecil mereka sudah
terbiasa dengan pola hidup peduli lingkungan. Bambang
memang menekankan prinsip mencetak generasi penerus
yang punya kepedulian terhadap lingkungan. “Saya ingin
anak-anak kita memahami betul prinsip bahwa sampah
itu di bank sampah, bukan di bak sampah,” ujarnya.
Bagi Bambang, konsep dasar bank sampah adalah
membenahi software alias perangkat lunak. Bukan
hardware atau perangkat keras. Pendekatan yang
dibutuhkan untuk melakukan ini adalah melalui anak-
anak. saat mengadakan sosialisasi, Bambang tak
pernah mengajak warga menjadi nasabah bank sampah
dengan iming-iming uang jika menyetorkan sampah ke
bank sampah. Betul memang ada uang yang diperoleh
nasabah dari menjual sampah ke bank sampah. Tapi,
uang itu hanya sebagai dampak tambahan. Sementara,
ruh bank sampah adalah menciptakan generasi penerus
yang peduli terhadap lingkungan.
Bambang pernah menitikkan air matanya saat melihat
seorang anak dengan tergopoh-gopoh namun tetap
bersemangat membawa sampah ke Bank Sampah Gemah
Ripah. Ayah sang anak mengiringi dan menemaninya.
“Bagaimana saya ndak terharu. Padahal, waktu itu, harga
sampah lagi turun. Tapi, orang tua anak itu ndak
mempermasalahkannya. Dia bilang ke saya, yang penting
anaknya tetap semangat menyetor sampah ke bank
sampah,” kata Bambang.
Ada Gula Ada Semut
Perlahan, Bank Sampah Gemah Ripah mulai
menggeliat. Banyak warga yang mendengar rintisan
Bambang Suwerda ini dari mulut ke mulut. Lalu, pada
suatu saat, Bambang didatangi kru Jogja TV, sebuah
televisi lokal di Yogyakarta. Tak lama kemudian, muncullah
Bambang dan Bank Sampah Gemah Ripah di layar kaca.
Ibarat gula yang selalu dikerubungi semut, banyak
media, termasuk media nasional di Jakarta, yang
mendatangi Bank Sampah Gemah Ripah. Mereka meliput
kiprah Bambang Suwerda mengelola bank sampah.
Bambang menjadi kesohor. Namun, dia tak ingin mabuk
kepayang. “Sebenarnya bukan karena saya. Tapi, saya
meyakini nama bank sampah inilah yang menjadi magnet.
Masak iya ada bank tapi dengan embel-embel sampah,”
ucap Bambang sambil tergelak.
Pada 2010, seorang pejabat di Kementerian
Lingkungan Hidup menghubungi Bambang. Pejabat itu
adalah Direktur Pengelolaan Sampah, Sudirman. Sang
pejabat ingin bertemu langsung dengan Bambang,
sekaligus melihat Bank Sampah Gemah Ripah. Bambang
tak menyangka, pejabat di pusat pemerintah di Jakarta
ternyata melirik gerakan bank sampah di Bantul.
Kedatangan Sudirman ke Bantul membuat Bambang
terharu. Bank sampah ternyata diyakini bisa menjadi
kendaraan untuk mewujudkan gerakan 3R (reduce, reuse,
recycle) yang sudah ada pada Undang-Undang Nomor 18
tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Ketertarikan pemerintah pusat terhadap bank
sampah memang tak tanggung-tanggung. Pejabat
setingkat di atas Sudirman, Masnellyarti Hilman, Deputi
IV Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Berancun
Kementerian Lingkungan Hidup, ikut dalam rombongan
ke Bantul. Kepada pejabat KLH, Bambang bercerita dari A
sampai Z ihwal bank sampah gagasannya itu . Semua
dicatat tim KLH.
Singkat cerita, semua kisah Bambang tentang
pendirian Bank Sampah Gemah Ripah dijadikan rujukan
pemerintah pusat untuk menyusun rujukan mengenai
bank sampah. Bambang pun dapat memantaunya melalui
situs KLH.
Bambang tentu saja bangga. Pemerintah pusat
mengapresiasi usaha nya merintis dan mengelola bank
sampah. Namun, dia menyadari, Bank Sampah Gemah
Ripah harus terus maju dan tak boleh lengah. “Saya
minta teman-teman supaya bisa lari kencang. Gagasan
kami sudah dipetakan secara nasional. Kalau kami
mandeg, malu-maluin saja. Kami sudah kepalang basah
nyemplung,” kata Bambang.
Jaringan Adalah Kunci
Bambang Suwerda memang penganut prinsip ATM
sejati. Tak hanya mengamati, meniru, lalu memodifikasi
cara-cara Iswanto dan Endah di Sukunan, Sleman,
mengelola sampah. Atau, menjadikan buku rekening
tabungannya di bank sebagai referensi untuk buku
tabungan nasabah bank sampah. Setelah Bank Sampah
Gemah Ripah menunjukkan tanda-tanda keberhasilan,
Bambang pun menyerap konsep ATM lain: multilevel
science. Dia terilhami dari praktek multilevel marketing
yang biasa dilakukan dalam pemasaran sebuah produk.
Inti dari multilevel science ala Bambang ini adalah
konsep berjejaring. Setiap kali Bambang diminta
melatih calon pengurus bank sampah di suatu daerah,
dia menyerahkan semua materi pelatihannya untuk
diperbanyak. “Saya menjadikan orang yang ikut pelatihan
itu sebagai kepanjangan tangan saya,” katanya.
Dengan cara ini, Bambang yakin dia tak akan
kehabisan energi untuk terus memperkenalkan konsep
bank sampah ke seantero negeri. Peserta pelatihan yang
sudah mendapatkan pengetahuan tentang mengelola
bank sampah, bisa menjadi pelopor pendirian bank
sampah di banyak tempat.
Bambang mencontohkan Bank Sampah Makassar
yang berkembang pesat dan kini menjadi Unit Pelaksana
Teknis Daerah (UPTD). Bank sampah itu rupanya tidak
secara langsung mendapatkan ilmu tentang pengelolan
bank sampah dari Bambang Suwerda. Pengurus Bank
Sampah Makassar belajar dari Bank Sampah Malang.
Nah, Bank Sampah Malang inilah yang sebelumnya
berguru kepada Bambang. Begitulah konsep multilevel
science yang dimaksud Bambang. “Tapi, konsep ini tidak
memberikan keuntungan seperak pun buat saya. Saya
hanya ingin berbagi ilmu ke banyak orang,” tuturnya.
Jika sebuah bank sampah berdiri dan
perkembangannya bagus, Bambang merasa amat
senang. Kendati begitu, Bambang tak mempersoalkan jika
bank sampah yang berdiri di berbagai daerah, mengubah
konsep dasar seperti yang ia terapkan pada Bank Sampah
Gemah Ripah. Intinya, Bambang mempersilakan mereka
meng-ATM konsep Bank Sampah Gemah Ripah, untuk
disesuaikan dengan ciri khas suatu daerah.
Konsep berjejaring ini juga Bambang terapkan kepada
para mahasiswanya di Poltekes Yogyakarta. Dinding
pagar kampus Poltekes Yogyakarta menjadi saksi usaha
Bambang. Terpampang jelas lewat mural, bagaimana
konsep dasar bank sampah dijalankan.
Bambang menyediakan lokasi Bank Sampah
Gemah Ripah di Bantul sebagai tempat magang para
mahasiswanya yang tertarik dengan bank sampah.
Setelah lulus kuliah, tapi belum mendapatkan pekerjaan,
tak sedikit mahasiswa Bambang magang di Bank Sampah
Gemah Ripah. Dan, setelah para mahasiswanya ini bekerja,
Bambang pun dengan gampang bisa memanggil mereka
untuk membantu pelatihan yang diadakan oleh Bank
Sampah Gemah Ripah.
Duit dari Kocek Pribadi
Pengorbanan Bambang Suwerda dalam urusan
bank sampah ternyata tak sedikit. Lahan pertama yang
ditempati Bank Sampah Gemah Ripah diambil alih
sang pemilik lahan. Bambang pun mau tak mau harus
memutar otak, memindahkan lokasi Bank Sampah
Gemah Ripah.
Setelah mendapatkan izin dari istrinya, Bambang
memberanikan diri membeli sebuah lahan seluas 514
meter persegi, sebagai kantor dan gudang Bank Sampah
Gemah Ripah. Uangnya tentu dari kocek pribadinya.
“Harga lahan ini pada 2010 totalnya 65 juta rupiah. Saya
minta izin istri untuk memakai uang tabungan kami.
Alhamdulillah istri mengizinkan. Saya merasa sudah
kepalang basah mengurus bank sampah. Saya tidak mau
setengah-setengah,” kata Bambang.
Lalu, pada 2011, ada mahasiswa Universitas Gajah
Mada yang sedang magang di Bank Sampah Gemah
Ripah, mengajak Bambang mengikuti kompetisi United
Nation Habitat. Proposal pun Bambang kirim ke panitia.
Tak dinyana, Bambang mendapatkan kesempatan
mempresentasikan proposalnya di Nepal. Konsep
bank sampah yang digagas Bambang mendapatkan
apresiasi dalam kompetisi itu . Panitia dari PBB akan
mengganti uang Bambang yang dipakai untuk membeli
lahan seluas 514 meter persegi itu .
Semua jerih payah Bambang mendirikan bank sampah
kini memperlihatkan hasil nyata. Lahan yang semula
hanya seluas 40 meter persegi dan disewa seharga 600
ribu rupiah per tahun, kini sudah berganti menjadi lahan
lebih dari 500 meter persegi. Di bagian belakang gedung
Bank Sampah Gemah Ripah, Bambang mendirikan
bangunan dua lantai. Lantai satu digunakan sebagai
tempat pengomposan sampah organik. Sementara lantai
dua dijadikan tempat pelatihan.
Pun dengan jumlah nasabah. Semula hanya mampu
mengajak dua puluh keluarga. Kini, nasabah Bank Sampah
Gemah Ripah sudah berjumlah lebih dari 1.500 keluarga.
Jumlah tabungan terbesar nasabah bisa mencapai
satu setengah juta rupiah. Nasabah bisa mengambil
tabungannya kapan saja, asalkan sudah terdaftar minimal
tiga bulan sebagai nasabah.
Salah satu nasabah Bank Sampah Gemah Ripah adalah
RT 07 Dusun Karanggayam, Kabupaten Bantul. Warga di RT
ini punya kiat tersendiri. Slamet, warga RT 07, mengisahkan,
warga menunjuk secara bergiliran petugas pengumpul
sampah yang berasal dari rumah warga. Lalu, warga juga
menunjuk petugas yang akan mengantarkan sampah ke
Bank Sampah Gemah Ripah, setiap sepekan sekali.
Kebetulan, Slamet lah yang sedang kebagian tugas
menyetor sampah memakai gerobak sampah. “Kami
sudah tiga tahun menjadi nasabah. Alhamdulillah, uang
hasil penjualan sampah RT kami bisa digunakan untuk
membantu kegiatan warga,” kata Slamet.
Ihwal membantu kegiatan warga ini juga dirasakan
oleh Solihah, warga Dukuh Bogoran, Kabupaten Bantul.
Perempuan paruh baya ini menabung sampah atas nama
Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Solihah
menyetorkan minyak jelantah sisa penggorengan warga
Bogoran. Uang hasil penjualan minyak jelantah akan
ditabung menjadi uang kas untuk kegiatan pemuda di
Bogoran.
Pada awal berdiri, Bank Sampah Gemah Ripah hanya
buka sepekan sekali setiap hari Jumat. Itu pun hanya
selepas waktu asar. Kini, Bank Sampah Gemah Ripah
buka setiap hari. Selalu saja ada nasabah yang datang
menyetorkan sampah.
Sampah yang sudah terkumpul di Bank Sampah
Gemah Ripah dijual ke pelapak. Kini, ada empat pelapak
di Bantul yang menjadi mitra. Bambang sengaja bermitra
dengan lebih dari satu pelapak, karena ingin memastikan
harga sampah yang dijual ke pelapak bisa bersaing.
Gagasan Bambang Suwerda mendirikan bank
sampah, membuatnya layak ditempatkan sebagai
referensi pengelolaan bank sampah di Tanah Air.
Bambang tak hanya seorang pendekar sampah. Dia
sudah menjadi suhu bagi banyak pendekar sampah di
negara kita . Ada yang langsung berguru kepada Bambang
di Bantul, seperti Rahmat Hidayat, pendiri Bank Sampah
Malang. Juga Syaifuddin Islami, penggerak bank sampah
di Sumatra Barat. Bahkan, Dokter Gamal Albinsaid, pendiri
Klinik Asuransi Sampah di Malang, juga belajar dari
Bambang.
Dan, usaha tak kenal lelah dari Bambang, kini sudah
berwujud. Terasa memang, sejak kehadiran Bank Sampah
Gemah Ripah di Bantul, kepedulian warga terhadap
pengelolaan sampah semakin bertambah. Bantul kini
lebih bersih. Di Kabupaten Bantul kini sudah tak tersisa
lagi bekas-bekas gempa 2006 yang meluluhlantakkan
bumi Bantul. Juga, tak tampak lagi secara mencolok
serakan sampah yang mengganggu keindahan mata dan
berpotensi menjadi penyakit.
Bambang Suwerda memang dikenal sebagai penggagas bank sampah di negara kita . Namun, sejatinya Bambang tidaklah memulai gagasan
itu benar-benar dari nol. Dan, ini pun diakui sendiri oleh
Bambang. Adalah pasangan suami istri, Iswanto Noto dan
Endah Suwarni, yang mengilhami Bambang Suwerda
menggagas bank sampah. Sejak 2001, Bambang terlibat
membantu Iswanto dan Endah menjadi penggerak
pengelolaan sampah di Sukunan, Sleman, Yogyakarta.
Iswanto bukan orang asing bagi Bambang. Dia adalah
kolega sesama dosen di Politeknik Kesehatan Yogyakarta.
Iswanto dan Endah bukan penduduk asli Sukunan. Pada
1997, Iswanto dan Endah hijrah dari Gunung Kidul ke
Sukunan. Sebagai pendatang, Iswanto dan Endah awalnya
merasa biasa-biasa saja bermukim di Sukunan.
Namun, pasangan suami istri kebingungan menangani
sampah yang dihasilkan dari dapur rumah mereka.
Terpaksalah keduanya membawa sampah ke kantor.
Sedari awal bermukim di Sukunan, Iswanto dan Endah
memang sudah bertekad tak mau membuang sampah
di lahan-lahan kosong. Pun, membakar sampah. Padahal,
warga Sukunan sudah lama melakukan kebiasaan itu.
Tanpa terasa, sebagian warga yang menjadi petani
dan menggantungkan hidupnya pada sepetak lahan
sawah, mulai menjerit. Air yang mengaliri sawah mereka
mulai tercemar oleh sampah yang ditimbun begitu saja
di lahan kosong. Plastik menjadi sampah paling dominan
yang mencemari sawah warga. Setiap hari, petani harus
turun ke sawah untuk membersihkan sampah plastik.
Komplain para petani itu membuat Iswanto dan
Endah masygul. Mereka lalu putar otak, mencoba mencari
solusi mengatasi masalah yang dialami para petani. Yang
jelas, tak mungkin meminta warga membayar iuran agar
petugas kebersihan Kabupaten Sleman mengangkut
sampah mereka. Pilihan itu sudah pernah diberikan
kepada warga. Mereka menolak.
Tak kehilangan akal, Iswanto dan Endah lalu belajar
mengelola sampah dari para pemulung yang ada di
kawasan Sleman. Mereka melihat langsung cara kerja
pemulung, yang memungut sampah dari rumah ke rumah.
“Para pemulung itu memungut sampah yang laku dijual,
seperti kardus dan kemasan air mineral,” tutur Endah.
Pasangan suami istri juga mendatangi tempat
penampungan sampah. Mereka makin takjub karena
ternyata di situ jumlah pemulung amat banyak. Jumlahnya
bisa ratusan oang. Ya, para pemulung itu memungut
sampah, lalu memilahnya. Pemulung lalu menjual sampah
yang sudah dipilah.
Tiga bulan lamanya Iswanto dan Endah menjadi
pengamat pemulung. Lalu, sampailah mereka kepada
kesimpulan bahwa sebagian besar sampah, khususnya
sampah nonorganik, memiliki nilai ekonmis. Dan, yang
dilakukan para pemulung sebenarnya amat sederhana:
memungut, memilah, mengumpulkan sampah yang laku
dijual. Mereka kemudian menjual sampah ke pelapak.
Menyaksikan para pemulung ternyata tak rumit-
rumit amat dalam memroses sampah, Iswanto dan Endah
bertekad melakukannya sendiri di rumah mereka. “Yang
laku dijual, akan kami jual. Otomatis, jumlah sampah yang
terbuang bisa berkurang,” ujar Iswanto.
Pemungut Sampah Kala Subuh
Sejak akhir 2002, Iswanto dan Endah pun mulai
meyakini bahwa proses pemilahan sampah menjadi kata
kunci guna mengurangi sampah di Sukunan. Namun,
mereka belum ingin mengajak warga melakukan
pemilahan. Bahkan, Iswanto dan Endah melakukan
pengelolaan sampah secara diam-diam. “Dulu, setiap
kali selesai salat Subuh, kami keluar rumah, memungut
sampah warga yang berserakan di sepanjang jalan,” kata
Endah terkekeh, mengingat masa lalu.
Iswanto dan Endah tak ingin kegiatannya dipandang
warga sebagai bentuk cari muka. Maklum, mereka
adalah warga pendatang. Tapi, keduanya meyakini prinsip
satu keteladanan lebih berarti dibandingkan seribu nasihat.
Mereka akan memberikan bukti dulu kepada warga
Sukunan.
Endah tak ingin setegah-setengah. Dia pun lalu belajar
menjahit. Tak punya mesin jahit, Endah lantas meminjam
dari kakaknya. “Saya ingin membuat kerajinan dari daur
ulang sampah. Jadi, saya akan memberikan contoh
kepada warga Sukunan, bahwa sampah pun bisa didaur
ulang dan menghasilkan produk kerajinan yang bagus,”
ujar Endah. Dia juga mulai belajar proses mengompos
sampah organik.
Satu setengah tahun pasangan suami istri ini bergerak
sendiri mengelola sampah. Memang baru sebatas sampah
dari rumah mereka. Setelah memperoleh hasil, baru pada
medio 2003, Iswanto menyampaikan kegiatan mereka
mengelola sampah kepada warga. Itu pun belum secara
resmi, dan baru sebatas obrolan ringan dengan warga
saat dia kebagian tugas ronda malam.
Obrolan pos ronda itu berbuah hasil. Dari 24 orang
yang biasa melakukan ronda, ada empat warga yang
tertarik untuk memulai proses pemilahan sampah dari
rumah mereka. Tak menunggu waktu lama, keempat
warga itu mulai membuat kompos atau membuat
kerajinan dari sampah.
Iswanto merasa provokasinya mulai membuahkan
hasil. Dia lalu mendekati ketua RW dan beberapa tokoh
warga di Sukunan. “Saya mencoba meyakini mereka
bahwa mengelola sampah secara mandiri itu tidak susah.
Alhamdulillah, ketua RW menyokong dan menjadikan
program pengelolaan sampah mandiri sebagai program
kampung,” tutur Iswanto.
Usaha Iswanto dan Endah tak percuma. Warga
Sukunan akhirnya melek dan memahami bahwa persoalan
sampah harus mereka pecahkan sendiri. Lalu, warga
membentuk kepengurusan dengan struktur berisikan
ketua, bendahara, dan sekretaris. Warga menamakan
organisasi itu Paguyuban Sukun Bersemi.
Sosialisasi pun kian gencar. Tapi, mereka tak
mungkin secara khusus mengumpulkan warga hanya
untuk menyebarkan pengetahuan tentang pengelolaan
sampah. “Kan butuh biaya untuk bikin acara seperti itu,”
kata Endah. Acara rutin warga semisal pengajian atau
arisan PKK akhirnya dipilih sebagai ajang sosialisasi.
Selain itu, mereka pun melakukan teknik door to
door, mendatangi langsung rumah warga. Pengurus
paguyuban yang datang ke rumah warga diwajibkan
bertemu dengan penghuni rumah, meskipun hanya
dengan seorang penghuni. Dan, satu orang penghuni
itu wajib menyampaikan perihal pengelolaan sampah
di Sukunan, yang sudah disahkan menjadi program
kampung.
Sedekah Bagi yang Tak Hirau
Pola hidup warga Sukunan pun berubah. Sejak
dicanangkan program pengelolaan sampah secara
mandiri, warga tak lagi membuang sampah di lahan
kosong, atau membakar sampah. Iswanto dan Endah
lebih menekankan konsep sedekah sampah bagi warga
Sukunan.
Sedekah sampah ini biasanya disenangi warga yang
tidak begitu hirau dengan urusan ekonomi rumah tangga.
“Ketimbang warga mengeluarkan iuran pengambilan
sampah, mendingan mereka memilah sampah dari
rumah, lalu menyedekahkannya kepada paguyuban,” kata
Endah. Warga Sukunan yang mengikuti program sedekah
sampah mencapai tujuh puluh persen.
Khusus bagi warga yang keberatan menyedekahkan
sampah, paguyuban membentuk bank sampah, pada
2016. Nasabah bank sampah sebesar sepuluh persen.
Sedangkan warga yang tidak ikut sedekah sampah atau
menjadi nasabah bank sampah, paguyuban menyediakan
gerobak sampah untuk memungut sampah warga. Tentu
saja, warga harus mengeluarkan sejumah uang sebagai
iuran pengelolaan sampah.
Persoalan sampah nonorganik di Sukunan pelan-
pelan mulai bisa teratasi. Dengan kesadaran tinggi, warga
memilah sampah sejak dari rumah. Warga mengangkut
sampah yang sudah terkumpul, lalu meletakkannya
ke dalam tiga jenis drum. Masing-masing drum untuk
tempat tiga jenis sampah: kertas, plastik, dan logam. Drum
ini tersebar di beberapa titik.
Satu drum bisa digunakan oleh delapan sampai lima
belas rumah. Setelah drum penuh, pengurus paguyuban
akan membawa sampah itu ke lumbung sampah.
Dan, jika sampah sudah menumpuk di lumbung sampah,
pengurus akan menghubungi pelapak untuk membeli
sampah.
Itu untuk sampah nonorganik. Sedangkan sampah
organik akan diproses menjadi kompos oleh warga di
rumah masing-masing. Warga memakai komposter,
biopot, biopori, dan bak kompos komunal. Setelah jadi,
warga akan memakai pupuk kompos untuk tanaman
di rumah mereka. Ada pula warga yang menjual pupuk
kompos.
Selain mengolah sampah organik menjadi kompos,
warga Sukunan juga menjadikannya briket bioarang dan
biogas. Sampah organik yang diolah menjadi briket ini
antara lain tempurung kelapa, ranting, dan kulit kacang.
Warga memakai pirolisis sebagai alat membuat
bioarang. “Arang sampah dihaluskan menjadi tepung,
lalu dicampur lem kanji. Setelah itu, kami cerak jadi
briket bioarang,” kata Iswanto. Warga menjadikan briket
bioarang itu sebagai bahan bakar memasak.
Urusan sampah organik dan nonorganik terselesaikan.
Namun, ada pula sampah jenis lain yang mulai
meresahkan warga Sukunan. Sampah itu adalah kotoran
ternak peliharaan beberapa warga. Sebagian warga mulai
mengeluh lantaran kotoran ternak menyebarkan aroma
tak sedap. Warga berembuk, lalu mendapatkan sebuah
solusi: membuat kandang ternak secara berkelompok.
Warga mengumpulkan semua hewan ternak di satu
kandang besar. Lalu, mereka mengolah kotoran ternak
menjadi biogas, lalu dimanfaatkan di kandang sebagai
penerangan dan bahan bakar untuk memasak.
Masih masalah kotoran. Ternyata, cukup banyak
warga Sukunan yang tidak memiliki septic tank di rumah.
Beruntung, pemerintah kabupaten Sleman bekerja
sama dengan pemerintah Jepang memberikan bantuan
instalasi pengolah air limbah (IPAL) komunal. Kini, ada
lima titik IPAL komunal di Sukunan.
Batako Tahan Gempa
Selesaikah persoalan? Ternyata belum. Masih ada jenis
sampah yang tidak laku dijual dan tidak gampang diolah
kembali. Sampah itu biasa disebut residu. Jenisnya antara
lain berupa styrofoam dan kaca. Warga Sukunan kembali
memutar otak. Melalui proses coba-coba, akhirnya mereka
menemukan resep ampuh: mengolah styrofoam menjadi
batako.
Styrofoam dicacah kecil-kecil, kemudian dimasukkan
ke dalam mesin parut khusus. Lalu dicampur dengan
semen dan pasir. Perbandingan campurannya adalah lima
puluh persen cacahan styrofoam, empat puluh persen
pasir, dan sepuluh persen semen.
Batako styrofoam ini ternyata punya keunggulan
ketimbang batako biasa. Universitas Gajah Mada sudah
mengujinya dan mendapatkan hasil bahwa batako
styrofoam tahan gempa. “Pasca gempa 2006, ada lima
warga kami yang membangun rumah dengan batako
styrofoam,” kata Endah. Selain dari styrofoam, warga
Sukunan juga membuat batako dari kaca.
Memang tidak semua jenis styrofoam bisa diolah
menjadi batako. Hanya styrofoam tebal yang dipakai warga
Sukunan. Karena itu, warga Sukunan mengharamkan
penggunaan styrofoam tipis yang biasa dipakai sebagai
kemasan makanan.
Tak Kuno Meski Bernama Sukuno
Inovasi Iswanto, Endah, dan warga Sukunan ternyata
tidak berhenti sampai di situ saja. Hampir semua jenis
sampah, termasuk residu seperti styrofoam dan kaca,
sudah bisa mereka olah. Namun, masih saja ada residu
sampah lain, seperti pembalut dan popok sekali pakai.
Endah pun tak kehilangan akal. Prinsip coba-coba kembali
dia lakukan. Dan, muncullah ide membuat pembalut yang
bisa dipakai berkali-kali.
Endah mendapatkan ide itu dari kisah orang tuanya.
Di masa lalu, saat pembalut belum diproduksi seperti
sekarang, para perempuan biasa memakai kain saat
mereka sedang haid. Itulah yang mengilhami Endah. Dan,
pada 2009, dia pun mulai mencoba membuat pembalut
dan popok yang bisa dipakai berkali-kali.
Endah membuatnya dari kain yang bisa dipakai
kembali setelah dicuci. Dia ukur pembalut yang biasa dijual
di pasar. Ukuran itu lalu dijadikannya acuan dan digambar
di kertas. Setelah itu, Endah memotong kain sesuai acuan.
Dan, jadilah pembalut. “Saya beri nama Sukuno,” kata
Endah. Sukuno tak ubahnya pembalut biasa. Ada sayap
dan perekat yang terbuat dari kancing.
Endah ternyata tidak mematenkan pembalut dan
popok ciptaannya. Alasannya sungguh mulia. Endah
tak ingin ada orang yang terhalang membikin ulang
produk kreasinya, bahkan meniru sama persis. Baginya,
jika ada orang yang membuat produk itu , secara
tak langsung orang itu sudah berkontribusi mengurangi
sampah, karena memakai pembalut yang bisa
dipakai ulang.
Urusan mengelola lingkungan di Sukunan ternyata
tak sebatas pada sampah. Iswanto dan Endah juga
prihatin dengan kondisi alam Sukunan. Secara perlahan,
pohon mulai berkurang. Untuk itu, mereka pun meminta
warga menanam tanaman. Bagi warga yang tidak
memiliki pekarangan, tanaman bisa ditanam di dalam
pot. “Tanaman kan menghasilkan oksigen. Saya bilang
ke warga, jangan sampai berutang oksigen ke tetangga,”
ucap Iswanto sembari tersenyum.
Semua jerih payah Iswanto dan Endah sudah berbuah
manis. Lingkungan Sukunan menjadi asri. Bahkan, pada
2009, Pemerintah Kabupaten Sleman menetapkan
Sukunan menjadi desa wisata. Yang mereka jual adalah
kelestarian lingkungan, antara lain berupa pengelolaan
sampah secara mandiri.
Label sebagai desa wisata membuat banyak kalangan
mengunjungi Sukunan. Beragam jenis paket wisata
ditawarkan. Antara lain pelatihan edukatif dan rekreatif
berbasis lingkungan. Untuk paket ini, peserta pelatihan
mendapatkan edukasi mengelola sampah secara mandiri,
pembuatan kerajinan dari sampah daur ulang, atau
pembuatan kompos.
Pada 2012, Sukunan kembali mendapatkan
penghargaan. Kali ini menjadi juara satu Kampung
Iklim tingkat nasional. Salah satu inovasi yang membuat
Sukunan meraih gelar itu adalah pemanfaatan air hujan.
Jadi, saat kemarau tiba, warga Sukunan tak pernah
kekurangan air.
Prestasi lain yang membanggakan Iswanto dan Endah
adalah saat menjadi juara pertama lomba kreasi daur ulang
tingkat nasional 2004. “Dua kali kami diundang ke istana
presiden. Bangga betul bisa bersalaman dengan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono,” ujar Endah mengingat
kejadian sekian tahun silam.
Mengenang semua peristiwa lampau, saat mereka
baru datang ke Sukunan, tentu menjadi bagian
kehidupan Iswanto dan Endah kini. usaha mereka
tak sia-sia. Pun, tak percuma Endah meninggalkan
pekerjaannya sebagai karyawan bank di Yogyakarta pada
2014 silam. Padahal, sudah dua puluh tiga tahun Endah
bekerja di sana. Kini, Endah bisa semakin punya banyak
waktu mencurahkan pikirannya mengembangkan
berbagai inovasi di Sukunan.
Sejatinya, bank sampah dapat menjadi simpul
mengurangi timbulan sampah. Sayangnya,
pengelola bank sampah kerap menemui kendala.
Salah satunya adalah tingkat kepedulian
warga yang masih rendah.
BANK SAMPAH MALANG
DUA KALI BOBOL,
LALU BANGKIT
Kisah jatuh bangun Bank Sampah Malang
amat menarik. Pernah dua kali hampir
gulung tikar. Beruntung, Bank Sampah
Malang memiliki seorang Rahmat Hidayat.
Sang penggagas Bank Sampah Malang ini
tak kenal lelah membangun Bank Sampah
Malang dari keterpurukan.
B angunan bercat putih itu tadinya ruang persemayaman mayat. Dulu, banyak peti mati berhamparan di sana. Suasananya lumayan horor.
Bangunan itu berdiri tegak di belakang stasiun pengisian
bahan bakar umum (SPBU) Sukun, Jalan S. Supriyadi, Kota
Malang, Jawa Timur. Arsitekturnya bergaya peninggalan
zaman Belanda. Jendelanya tinggi. Gedung kuno itu
menjadi bagian dari pemakaman umat Nasrani di Kota
Malang.
Sejak 2011 silam, bangunan tua itu berubah
fungsi. Dia menjadi bank sampah. Adalah Rahmat Hidayat,
seorang karyawan Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang
yang menyulapnya menjadi Bank Sampah Malang. Kini,
gedung itu menjadi saksi jatuh bangunnya Bank Sampah
Malang.
Kisah Bank Sampah Malang bermula dari kegelisahan
Rahmat Hidayat. Dia menyaksikan betapa masalah
sampah di Kota Malang sudah menjadi persoalan pelik.
Pada 2010, Rahmat adalah staf di Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Malang. Dia sebenarnya merasa awam
dan minim pengetahuan ihwal pengelolaan sampah.
Maklum, latar belakang pendidikannya adalah sarjana
planologi.
Sebagai staf Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota
Malang, Rahmat merasa jenuh dan kurang mendapatkan
peran. Urusannya sehari-hari hanya menjadi tukang ketik
dan antar surat. Energinya banyak terbuang. Dia lalu
memberanikan diri menghadap Kepala Dinas Kebersihan
dan Pertamanan, Wasto. Rahmat ingin berhenti. Atau, dia
katakan kepada Wasto, supaya dirinya dikaryakan di mana
saja, asalkan jangan cuma jadi tukang ketik dan antar surat.
Belajar Langsung dari Suhu
Rupanya, sikap nekatnya itu mendapatkan respon
positif dari atasannya. “Saya dijadikan semacam staf
khususnya pak Wasto,” kata Rahmat. Secara kepegawaian,
Rahmat dimasukkan ke Bagian Penyusunan Program.
Dari situlah Rahmat memulai “petualangannya” bersama
sampah. Salah satunya, dia dilibatkan dalam penyusunan
program Peraturan Daerah Kota Malang tentang sampah.
Itu pada 2010.
Lalu, Rahmat mendengar bahwa di Bantul, Yogyakarta,
ada sebuah bank sampah. Penggagasnya bernama Bambang
Suwerda. Pada 2010 itu juga, Rahmat berkesempatan
mengunjungi Bank Sampah Gemah Ripah di Bantul,
Yogyakarta. Dia pun berjumpa dengan Bambang Suwerda.
Belajar banyak dari Bambang. Tentang bank sampah.
Ilmu bank sampah sudah dia peroleh. Langsung
dari suhunya. Maka, saat kembali ke Malang, Rahmat
pun menyodorkan konsep bank sampah kepada Wasto.
Diterima. Semula, Wasto meminta Rahmat membuat
bank sampah skala kampung. Namun, Rahmat
mengusulkan lain. Dia bilang ke Wasto, sebaiknya bikin
bank sampah yang besar sekalian. Berskala kota. “Entah
kenapa, beliau manut saja dengan saran saya itu,” ujar
Rahmat terkekeh.
Rahmat sudah mendapatkan lampu hijau dari atasan
tertingginya, seorang kepala dinas. Maka, bermodalkan
nekat, dia memutuskan untuk terjun secara penuh
mendirikan bank sampah di Kota Malang. Awalnya Rahmat
sempat bingung. Dari mana akan memulai.
Lantas, tercetuslah pemikiran, dia harus berkeliling
Kota Malang. Salah satu tujuannya mendatangi pengepul
dan pelapak sampah. Dari mereka, Rahmat belajar
mengidentifikasi jenis sampah yang laku dijual ke
pengepul dan pelapak. Lalu, dia buat katalog jenis sampah
yang laku jual.
Merasa sudah punya sedikit pengetahuan tentang
sampah, Rahmat pun langsung membuat konsep bank
sampah. Dia serahkan ke Wasto. Lagi-lagi, atasannya itu
setuju. Sayangnya, anggaran sudah berjalan. Tak mungkin
diubah lagi. Untung, Wasto bersedia mengeluarkan
beberapa uang dari kocek pribadi.
Berkawan Dengan Penghuni Makam
Tepat pada Hari Kemerdekaan Republik negara kita
pada 2011, Walikota Malang mengumumkan secara
resmi berdirinya Bank Sampah Malang. Momennya pada
upacara 17 Agustus. “Banyak warga Malang yang kaget.
Mereka belum tahu apa itu bank sampah,” tutur Rahmat
mengenang peristiwa sekian tahun lampau.
Berdirinya bank sampah di Kota Malang sudah
terlanjur diumumkan. Tapi, kantor dan gudang belum
ada. Rahmat sempat kebingungan. Dia tak menyangka
warga Kota Malang antusias menyambut berdirinya bank
sampah. Banyak warga yang ingin meminta Bank Sampah
Malang mengambil sampah di rumah mereka.
Memang, semula Rahmat mendapatkan lokasi bank
sampah di kawasan Sawojajar, Kota Malang. Bangunan itu
adalah bekas kantor Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Tapi, warga di sekitarnya menolak bangunan itu
dijadikan bank sampah. Mungkin karena menganggap
bank sampah identik dengan bau sampah. Kalau Rahmat
nekat, warga sudah siap berunjuk rasa.
Selagi Rahmat kebingungan dengan lokasi bank
sampah, warga di Kota Malang sudah meneleponnya.
Mereka sudah memilah sampah di rumah. Lalu, meminta
Bank Sampah Malang mengambil sampah. Tak banyak
berpikir, Rahmat meminjam sebuah mobil truk milik
Pemkot Malang.
Dia jemput sampah ke rumah warga. Ditimbangnya.
Dia bayar beberapa uang kepada warga. Lalu, dia bawa
ke pelapak. Untuk dijual. Eh, ternyata banyak sampah
yang tidak laku dijual. “Kami sempat tekor saat itu,” ujar
Rahmat. Rupanya, katalog sampah yang sempat dia buat,
tak sepenuhnya akurat.
Satu urusan selesai. Tapi, urusan kantor dan gudang
bank sampah tetap menggantung. Rahmat kembali
berkeliling Kota Malang. Akhirnya, dia temukan sebuah
bangunan di belakang SPBU Sukun. Gedung tua. Isinya
peti mayat dan batu nisan. Puluhan tahun tak terpakai.
Berkesan angker.
Rahmat tak peduli. Dia beranikan diri menjadikan
bangunan bagian dari pemakaman umat Nasrani Kota
Malang itu sebagai kantor dan gudang Bank Sampah
Malang. Rahmat turun tangan sendiri membersihkan
bangunan itu. Bersama tiga kader lingkungan di Kota
Malang. Pikiran Rahmat sederhana saja. “Kan ndak
mungkin penghuni makam menolak bank sampah,
karena mencium bau sampah. Jadi, kami berkawan
saja dengan para penghuni makam,” katanya sembari
tergelak.
Bobol Jilid Satu
1 Oktober 2011 Bank Sampah Malang resmi dibuka.
Lokasinya di pekuburan. Tapi, warga Kota Malang tak
peduli. Tetap antusias. Apalagi, Bank Sampah Malang
mendapat sokongan penuh dari istri walikota Malang.
Sang istri walikota dengan gampang menggerakkan
anggota Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)
Kota Malang.
Bank Sampah Malang sudah dibuka. Tapi, belum
diresmikan. Pemkot Malang lantas bersurat kepada
Kementerian Lingkungan Hidup. Tak dinyana, mendapat
respon positif dari Kementerian. Menteri Lingkungan
Hidup berkenan meresmikan. Pada 15 November 2011,
Menteri Balthasar Kambuaya datang ke Kota Malang. Sang
menteri meresmikan Bank Sampah Malang. Hebatnya,
saat diresmikan, nasabah Bank Sampah Malang sudah
mencapai lima ribu orang. Semua berkat sokongan
Pemkot Malang.
Kota Malang, kian memacu semangat Rahmat. Dia terus
berkeliling. Mengampanyekan Bank Sampah Malang.
Juga memberdayakan dan mengedukasi warga soal
pentingnya bank sampah. Alhasil, Bank Sampah Malang
tak terurus. Sampah menumpuk.
Rahmat lalu mencari orang yang bisa mengurus
Bank Sampah Malang. Harus profesional. Harus mau
setiap hari nongkrongin bank sampah. Dia pekerjakan
temannya yang punya perusahaan di bidang
persampahan. Dengan sang teman, total ada empat
karyawan.
Tapi, itulah awal kehancuran Bank Sampah Malang.
Kebobolan jilid satu. Rahmat diperdaya sang teman. Bank
Sampah Malang terus membeli sampah dari nasabah.
Namun, sampah itu tidak segera dijual ke pelapak.
Menumpuklah jadinya di gudang. Rahmat pun pusing.
Setelah Lebaran 2012, dia pecat seluruh karyawan. Dia
putuskan kontrak dengan sang teman. “Kami tekor 180
juta rupiah kala itu. Itu pun masih ditambah dengan
utang,” ujar Rahmat getir.
orang teller. Rahmat kembali ke kandang. Dia benahi
manajemen. Seluruh sampah yang menumpuk dia
perintahkan untuk segera dijual ke pelapak.
Pada 2013, Pemkot Malang memberikan bantuan
sebesar 150 juta kepada Bank Sampah Malang. Rahmat
tak mau percaya lagi kepada orang lain. Dia langsung
terjun mengelola bank sampah. Dia cari orang yang bisa
membuatkan software di komputer untuk mencatat
jumlah sampah yang disetor nasabah. Dan, pada 2014,
Bank Sampah Malang terbebas dari utang.
Supir Main Gila (Bobol Jilid Dua)
Rahmat bisa bernafas lega. Apalagi, pada 2015, istrinya,
Kartika, ditunjuk menjadi Direktur Bank Sampah Malang.
Sampai 2017, Rahmat bisa lebih fokus berdinas sebagai
karyawan Pemkot Malang. Dia juga melanjutkan kuliah
sarjana strata dua di Universitas Brawijaya.
Selesai kuliah di Universitas Brawijaya, Rahmat lagi-
lagi kecele. Dia kembali ke Bank Sampah Malang untuk
melihat perkembangannya. saat disodorkan buku
keuangan, Rahmat terbelalak. Ada kerugian. Jumlahnya
mencapai 120 juta rupiah. Inilah kebobolan jilid dua.
Selidik punya selidik, ternyata ada permainan
orang dalam. Supir gudang pelakunya. Mereka bertiga.
Semuanya main gila. Modusnya, menjual terlebih dulu
sampah yang diangkut dari nasabah ke pelapak, sebelum
dibawa ke Bank Sampah Malang. Jadi, jumlah uang yang
dibayarkan untuk membeli sampah dari nasabah, lebih
besar ketimbang jumlah uang yang didapat dari hasil
menjual sampah ke pelapak.
Rahmat memecat ketiga orang supir Bank Sampah
Malang yang menggelapkan uang. Dia pun kembali
memelototi laporan keuangan. “Alhamdulillah, pada 2019
lalu, kerugian itu sudah bisa kami tutup,” katanya.
Memang tak mudah mengelola bank sampah.
Manajemen harus benar. Karyawan harus jujur. Dua kali
kebobolan yang berakibat kerugian pada Bank Sampah
Malang, menjadi sebuah pelajaran penting.
Kini, Bank Sampah Malang sudah jauh lebih baik.
Nasabah pun kian bertambah. Pada akhir 2019, tercatat
ada 625 bank unit di Kota Malang yang menjadi nasabah.
Nasabah perorangan lebih dari 1.700. Instansi ada 104 unit.
Sekolah sebanyak 279 unit.
Dalam sehari, Bank Sampah Malang memungut
sekitar lima ton sampah di Kota Malang. Jika sampah
nasabah mencapai 50 kilogram, petugas Bank Sampah
Malang yang akan menjemputnya. “Kalau di bawah itu,
nasabah sendiri yang akan mengantar sampah mereka,”
ujar Mega, karyawan Bank Sampah Malang.
Bank Sampah Malang menerima 72 jenis sampah.
Omsetnya mencapai 30 juta rupiah per bulan. Karyawan
kini ada 15 orang. Rini, petugas pemilah plastik di Bank
Sampah Malang, sudah empat tahun bekerja di Bank
Sampah Malang. Botol plastik bersih yang sudah Rini pilah,
akan masuk ke mesin pencacah plastik. “Harga cacahan
plastik lebih malah dibandingkan harga botol plastik utuh,”
tutur Rini.
warga Kota Malang merasakan manfaat bank
sampah. Salah seorang warga, Yeni Kristyowati, sudah tiga
tahun menjadi nasabah. Dia jadi paham, sampah harus
diolah. Sedari rumah, dia sudah memilah sampah. Lalu,
dia setor ke Bank Sampah Malang. “Uangnya saya tabung
saja dulu di bank sampah. Kalau perlu, baru saya ambil,”
kata Yeni.
Rata-rata setiap akhir pekan, mereka mendatangi sebuah
bangunan tua di belakang SPBU Sukun.
Bangunan yang dulu identik dengan pemakaman, kini
sudah berubah wujud. Dan, sudah memberikan kontribusi
banyak kepada warga Kota Malang. Sumbangsih
membuat Kota Malang jauh lebih bersih. Gedung putih
bekas penyimpanan peti mati dan batu nisan itu sekarang
dikenal warga Malang sebagai bangunan bank sampah.
Berbalut jaket tipis warna hijau muda, perempuan itu terlihat tak sungkan mengambil sampah. Dengan tangannya yang memakai sarung tangan,
dipilahnya sampah sesuai jenis. Lalu, dia memasukkan
sampah ke dalam wadah yang sudah tersedia. Perempuan
berkerudung hitam itu bernama Atalia Praratya. Warga
Bandung dan Jawa Barat lebih mengenalnya dengan
nama Atalia Ridwan Kamil. Ya, dia adalah istri Gubernur
Jawa Barat, Ridwan Kamil.
Pada sebuah siang yang cerah di awal 2020, Atalia
tengah berada di Bank Sampah Bersinar, Bandung. Dia
hadir sebagai Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan dan
Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Provinsi Jawa Barat.
Atalia memuji segala usaha yang sudah dilakukan
Bank Sampah Bersinar. Utamanya dalam urusan edukasi.
“Penting bagi warga untuk mengetahui bahwa dengan
memilah sampah, maka harga sampah akan menjadi
lebih mahal,” ujar Atalia. Karena itu, Atalia berharap,
banyak warga Jawa Barat yang bisa meniru kegiatan Bank
Sampah Bersinar.
Bank Sampah Bersinar berdiri pada 27 September
2014, di Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung.
Johnny Sumual adalah salah seorang pendirinya.
Semua berangkat dari rasa prihatin Johnny terhadap
bencana banjir yang kerap melanda tiga kecamatan di
Kabupaten Bandung, yakni Bojongsoang, Baleendah,
dan Dayeuhkolot. Johnny dan rekan-rekannya kerap
membantu pemerintah Kabupaten Bandung, antara
lain dengan mendirikan dapur umum bagi warga yang
terdampak banjir.
Tidak hanya ingin berhenti sampai sebatas bantuan
pada saat banjir melanda, Johnny pun lantas berpikir
mencari solusi agar banjir bisa berkurang. Sebagai aktivis
gereja, Johnny merasa tak elok membantu pemerintah
dan warga hanya pada saat terjadi musibah banjir.
Dia ingin secara reguler bisa berkontribusi mengatasi
persoalan banjir. Johnny meyakini, salah satu penyebab
banjir adalah sampah yang tidak terkelola dengan baik.
Bersama rekan-rekannya, Johnny lalu mendirikan sekolah
yang dibayar memakai sampah. Sayang, “Sekolah itu
tidak berjalan lama karena beberapa kendala,” ujarnya.
Tak lama sekolah berbayar sampah itu tutup, Johnny
mendengar informasi tentang keberadaan sebuah bank
sampah di Kota Malang, Jawa Timur. Dia lalu mengundang
Rahmat Hidayat, pendiri Bank Sampah Malang, ke
Bandung. Setelah Rahmat membeberkan keberhasilan
Bank Sampah Malang, Johnny dan rekan-rekannya
bersepakat mendirikan bank sampah. Dibentuklah
sebuah tim. Dan, tim inilah yang berkunjung ke Bank
Sampah Malang, untuk belajar mengelola bank sampah.
Sekembalinya dari Malang, Johnny dan tim mendirikan
Bank Sampah Bersinar. Beruntung, Johnny mempunyai
seorang teman pengusaha di Bandung, bernama Fifie
Rahardja. Mereka lalu membentuk Yayasan Solusi Bersinar
negara kita . Yayasan inilah yang menaungi Bank Sampah
Bersinar. “Ibu Fifie meminjamkan kami tempat sebagai
lokasi Bank Sampah Bersinar,” tutur Johnny.
Ditanya: Wani Piro?
Pada masa awal Bank Sampah Bersinar berdiri, tak
mudah mencari nasabah. Apalagi, Johnny menyadari,
kesadaran dan kepedulian warga memilah sampah, lalu
menyetorkannya ke bank sampah, membutuhkan proses.
Sebab, “Itu kan sama saja dengan mengubah mindset
orang. Sebelumnya kan warga sudah terbiasa dilayani. Atau,
malah membuang sampah ke sungai,” kata Johnny.
Johnny tentu saja harus memutar otak meyakinkan
warga agar mau menjadi nasabah bank sampah. Sosialisasi
terus digeber. Kunjungan ke kelompok warga terus
dilakukan. Usai mendengarkan sosialisasi, kebanyakan warga
bersepakat mendirikan bank sampah di lingkungannya.
Salah satu kunci keberhasilan mengajak warga supaya
peduli dengan sampah adalah iming-iming rupiah. Johnny
dan pengurus Bank Sampah Bersinar selalu menyampaikan
kepada warga bahwa membuang sampah sama artinya
dengan membuang uang. Mereka terpaksa memakai
cara ini karena, “Di warga kita ini kan masih kental budaya
wani piro. Kalau iming-iming uang ini tidak kami sampaikan
di awal, sulit sekali mengajak warga untuk mengelola
sampah,” ucap Johnny tersenyum. Iming-iming uang, bagi
Johnny, adalah sebagai pembuka jalan agar warga mau
mendengarkan pemaparan akan pentingnya bank sampah.
SOSIALISASI.
Menyadarkan warga
butuh sosialisasi terus
menerus.
Perlahan, makin banyak warga yang merasa perlu
mengelola sampah, lalu mendirikan bank sampah unit
di lingkungannya. Mereka pun menjadi nasabah Bank
Sampah Bersinar. Kini, nasabah Bank Sampah Bersinar
tercatat sekitar 8 ribu, terdiri dari nasabah individu dan
bank sampah unit.
Ngapain Capek-capek
Semua capaian itu tentu tak lepas dari kerja keras
pantang menyerah Johnny dan para pengurus Bank
Sampah Bersinar. Kendati begitu, tetap saja ada nasabah
yang kecewa. Mereka merasa jumlah uang yang didapat
dari mengelola sampah tidak sesuai harapan. Ada
ketidaksesuaian antara sosialisasi dan fakta.
Kondisi ini terkadang membuat nasabah mengeluh.
Itulah yang menjadi salah satu perhatian Johnny dan
pengurus Bank Sampah Bersinar. “Ngapain sih capek-
capek ngurusin sampah kalau uangnya cuma segini
doang,” kata Johnny menirukan keluhan nasabah.
Kunci mengatasi persoalan seperti itu adalah
pendampingan. Johnny dan pengurus Bank Sampah
Bersinar akan mendatangi nasabah yang punya keluhan
seperti itu. Mereka menyampaikan kepada nasabah
bahwa uang yang dia dapat hanyalah sebagai bonus dari
mengelola sampah. Tujuan utamanya adalah membuat
lingkungan menjadi bersih dan sehat. Tapi, ihwal ada uang
di balik sampah itu, diyakini Johnny benar adanya. Dan,
itu menjadi bagian cukup penting untuk disampaikan
kepada warga .
Salah seorang warga yang merasakan manfaat
kehadiran Bank Sampah Bersinar adalah Ismail. Warga RW
09 Kelurahan Manggahang, Kecamatan Baleendah, itu,
kini mengelola sampah di lingkungannya. Semua berawal
dari sosialisasi yang dilakukan Bank Sampah Bersinar di
tempat Ismail menjadi guru, di SD Baleendah 4.
Setiap dua pekan, Ismail dan timnya memilah sampah
yang dikumpulkan warga RW 09. Setelah sampah
nonorganik terkumpul, mereka mengontak pengurus
Bank Sampah Bersinar. Tak lama kemudian, tibalah mobil
operasional Bank Sampah Bersinar untuk menjemput
sampah. “Hasil pengelolaan sampah di lingkungan kami
ini bisa membiayai anak yatim di sini,” ujar Ismail.
Naik Haji Pakai Sampah
Filosofi di balik sampah sampah ada uang, ternyata tak
hanya dijadikan Johnny sebatas cara mengiming-imingi
warga agar mau mengelola sampah. Bank Sampah
Bersinar terus membuat terobosan sebagai bukti filosofi
itu. Salah satunya adalah belanja di minimarket cukup
bayar pakai sampah.
Sejak 2015, sebuah minimarket memang sudah
berdiri di lokasi Bank Sampah Bersinar. beberapa bahan
kebutuhan pokok semisal gula, minyak goreng, telur, atau
beras, bisa dibeli di minimarket itu tanpa memakai
uang. Cukup membayar dengan sampah.
Inovasi lain dari Bank Sampah Bersinar adalah
membayar uang kuliah memakai sampah. Saat ini,
setidaknya ada dua perguruan tinggi – Sekolah Tinggi
Teknologi Bandung (STTB) dan Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi (STIE) Cileunyi – yang sudah bekerja sama dengan
Bank Sampah Bersinar. Mahasiswa di kedua perguruan
tinggi itu bisa membayar uang kuliah dalam bentuk
sampah.
Sejak 2017, Bank Sampah Bersinar bekerja sama
dengan Bank BNI. Setiap ada nasabah baru, langsung
mendapatkan buku rekening dan kartu ATM BNI. Jika
nasabah biasa selalu dikenakan biaya administrasi setiap
bulan, maka nasabah Bank Sampah Bersinar terbebas dari
kewajiban tesebut. Dan, “Uang hasil penjualan sampah
nasabah ke kami langsung masuk ke rekening BNI
nasabah,” kata Johnny.
Pada 2019, Bank Sampah Bersinar menjalin kerja
sama dengan PT Pegadaian. Ada tiga program yang
sudah dijalankan. Pertama, membeli emas memakai
sampah. Nasabah Bank Sampah Bersinar yang tertarik
mengikuti program ini, dapat membeli 0,01 gram emas
dengan menyetorkan sampah senilai tujuh ribu rupiah.
Program kedua dengan Pegadaian adalah membeli
sepeda motor secara kredit. Nasabah bisa mencicil sepeda
motor dengan uang cicilan lebih murah ketimbang
mencicil di perusahaan pembiayaan. “Lebih murah 100
sampai 200 ribu rupiah. Kami bekerja sama dengan
Yamaha,” kata Johnny.
Program ketiga adalah tabung sampah naik haji.
Program ini diselaraskan dengan program beli emas
dengan sampah. Jadi, bagi nasabah Bank Sampah
Bersinar yang sudah memiliki tabungan emas dalam
jumlah tertentu, dapat menukarkannya dengan beberapa
uang yang akan ditabung sebagai biaya haji.
Lalu, ada pula program diskon yang bekerja sama
dengan produsen tempat makanan dan minuman.
Nasabah yang menyetor sampah berupa sepuluh botol
kemasan air mineral atau 20 gelas bekas air mineral
atau 25 lembar kantong plastik atau setengah kilogram
kertas/kardus, akan mendapatkan satu poin. Nasabah
bisa menukarkan poin itu dengan produk kemasan
makanan atau minuman, dan mendapatkan potongan
harga sebesar lima puluh persen.
Yang cukup spektakuler adalah program membeli
rumah dengan sampah. Kata Johnny, program ini akan
dimulai pada 2020. Nasabah cukup membayar uang muka
sebesar 500 ribu rupiah, untuk mendapatkan rumah
dengan dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu dapur,
dan satu kamar mandi. Cicilan per bulannya hanya sebesar
900 ribu rupiah dan itu bisa dibayar dengan sampah.
Ke Denmark Belajar Sampah
Segala terobosoan yang dilakukan Bank Sampah
Bersinar itu adalah sebagai bentuk terus menjaga motivasi
para nasabahnya. Bagi Johnny, semangat para nasabah
ini harus terus dipertahankan, lantaran bank sampah
memang mengandalkan peran serta warga . Dengan
nasabah mencapai delapan ribu, Bank Sampah Bersinar
kini mempekerjakan 12 orang karyawan. Omset per bulan
bisa mencapai 30 ton sampah, setara dengan uang senilai
60 juta rupiah.
Peran masyakarat inilah yang juga membuat Bank
Sampah Bersinar membuka cabang di wilayah Dago,
sejak September 2019. Tujuannya agar warga di
wilayah timur dan utara Bandung semakin dekat untuk
menyetorkan sampah yang sudah dipilah.
Namun, Johnny juga berharap tak hanya warga
yang tak boleh kendur semangatnya. Dia juga terus
menunggu peran pemerintah dalam menyokong kegiatan
bank sampah. Johnny amat terkesan dengan pengelolaan
sampah di Denmark. Pada Agustus 2019, Johnny –
dalam kapasitas sebagai Bendahara Umum Asosiasi
Bank Sampah negara kita (ASOBSI) – diajak Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan melihat pengelolaan
sampah di negara Skandinavia itu .
Yang menarik perhatian Johnny terhadap pengelolaan
sampah di Denmark adalah sokongan penuh dari
pemerintah lokalnya. Di sana, kata Johnny, ada lembaga
yang mirip bank sampah. Pengelolanya adalah warga .
Tapi, “Semua pembiayaan berasal dari pemerintah lokal,”
ucapnya.
Dukungan dana itu, menurut Johnny, diperlukan
agar bank sampah bisa terus hidup dan berkembang.
Sebab, bank sampah sejatinya lebih menekankan kepada
urusan pelayanan sosial. Unsur komersial bukanlah tujuan
utamanya. Sementara, bank sampah tetap membutuhkan
biaya operasional, misalnya untuk menggaji karyawan dan
mengoperasikan kendaraan pengangkut sampah.
Selain dukungan pemerintah, Johnny juga belajar
ihwal edukasi di Denmark. Kepedulian terhadap pengelolaan
sampah di Denmark sudah ditekankan sejak usia dini.
Pemerintah lokal di sana membuat kurikulum untuk
anak-anak. Salah satunya melalui piktogram – kartu
bergambarkan jenis sampah yang bisa disetorkan ke
semacam bank sampah di Denmark. Bank Sampah
Bersinar akan menerapkan ihwal edukasi sejak dini
itu . Bekerja sama dengan sebuah perguruan tinggi
di Bandung, Johnny sudah menyiapkan piktogram. “Nanti
akan kami bagikan kepada anak-anak di sekolah,” katanya.
Tujuannya adalah untuk mengenalkan kepada anak-
anak usia dini, betapa urusan mengelola sampah menjadi
begitu penting. Sepenting imbauan Atalia Ridwan Kamil,
istri Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, saat berkunjung
ke Bank Sampah Bersinar, pada sebuah siang di bulan
Januari 2020.
Dengan cekatan, perempuan paruh baya itu keluar masuk ke dalam rumahnya. Dia bawa beberapa barang hasil kerajinan. Macam-macam rupanya.
Ada tas tangan, tas jinjing, tempat tisu, dan tempat gelas
air dalam kemasan. Bicara sebentar, sekejap kemudian
perempuan itu bergegas masuk kembali ke dalam
rumah. Ternyata, masih ada barang tertinggal. Tak lama,
dia kembali ke bangku di bawah sebatang pohon di
pekarangan rumahnya.
Perempuan itu bernama Sri Dewi Muftiza Roza. Nama
yang panjang. Orang di kampungnya, sebuah pelosok
bernama Dusun Muaro Gambok, di Kabupaten Sijunjung,
Sumatra Barat, biasa mengimbaunya dengan panggilan
Ibu Os. Dia adalah pengelola Bank Sampah Kawasan
Rumah Pangan Lestari (KRPL) Bunga Tanjung.
Sejak November 2018, Os dan warga di sekitar
rumahnya di Jorong (setingkat desa) Muaro Gambok,
memantapkan hati mendirikan bank sampah. “Jujur saja,
yang pertama kali membuat kami tertarik mengelola
sampah melalui bank sampah, ya karena ada uangnya,”
kata Os berterus terang. Ketertarikan awal itu, lantas kini
menjadi sebuah kebiasaan. Melihat sampah tergeletak di
jalan, Os langsung memungutnya.
Adalah Roni Sudirman, seorang pegawai di Dinas
Permukiman dan Lingkungan Hidup Kabupaten Sijunjung
yang mengompori Os dan warga di desanya. Roni risau. Dia
semakin sering melihat sampah berserakan dan tergeletak
begitu saja di jalan. Roni berkeyakinan, untuk mengelola
sampah di Sijunjung, tak cukup hanya pemerintah daerah
saja yang terlibat. “warga harus dilibatkan. Mereka harus
disadarkan betapa pentingnya mengelola sampah,” ujar Roni.
Waktu Roni pertama masuk Dinas Permukiman dan
Lingkungan Hidup, pada 2016, sebenarnya sudah ada bank
sampah di Sijunjung. Tapi, jumlahnya baru dua unit. Karenanya,
Roni pun bergerak cepat, setelah mendapatkan lampu hijau
dari atasannya. Salah satu yang dia garap adalah di Dusun
Muaro Gambok. Di situlah dia berjumpa dengan Ibu Os.
TERLIBAT. Roni Sudirman, penggerak bank
sampah di Sijunjung, Sumatra Barat. Roni
mengajak warga Sijunjung untuk terlibat
mengelola sampah.
Siasat Mengajak Warga Peduli
Rupanya, tak sulit-sulit amat memberikan
pemahaman kepada warga . Termasuk kepada Os
dan warga di sekitarnya. Roni bersiasat. Dia melakukan
sosialisasi melalui kelompok warga yang sudah
terlebih dulu ada. Misalnya, melalui PKK, Dasa Wisma, atau
KRPL. Memang, awalnya ada iming-iming beberapa uang
yang bisa didapat warga dari mengelola sampah melalui
bank sampah. “Tapi, setelah menjadi kebiasaan, uang kan
hanya jadi faktor pengikut saja,” tutur Roni.
Ucapan Roni itu memang terbukti. Ibu Os dan Bank
Sampah Bunga Tanjung, misalnya. Sudah cukup banyak
kerajinan hasil daur ulang sampah yang mereka bikin.
Tapi, tak mudah memasarkan hasil kerajinan itu. Harga
yang kalah bersaing dengan produk sejenis buatan
pabrik, menjadi kendalanya. Meski begitu, Os dan rekan-
rekannya tak kapok untuk terus membuat kerajinan daur
ulang dari sampah.
Jika hasil kerajinan susah dijual, lantas dari mana Bank
Sampah Bunga Tanjung memperoleh biaya menjalankan
bank sampah? Hakikat sebuah bank sampah adalah
menjual sampah yang sudah dipilah warga. Bisa ke
pelapak. Bisa pula ke bank sampah induk. Nah, Bank
Sampah Bunga Tanjung menjual sampah nasabahnya ke
Bank Sampah Induk (BSI) Lansek Manih.
Sebelum ada BSI Lansek Manih, mereka menjual ke
pengepul. “Tapi, pengepul tidak mau membeli semua
jenis sampah yang kami terima dari nasabah. Kalau di
BSI Lansek Manih, semua jenis sampah bisa dibeli,” ucap
Os. Nasabah Bank Sampah Bunga Tanjung sebanyak 25
keluarga. Mereka melakukan penimbangan setiap dua
pekan sekali.
Berawal dari Sebuah Becak Motor
Bank Sampah Bunga Tanjung hanya salah satu bukti
geliat perkembangan pengelolaan sampah di Kabupaten
Sijunjung. Masih di Sijunjung, ada Bank Sampah Ladang
Kapeh. Bank sampah ini terletak di Jorong Ladang Kapeh.
Berdiri pada Mei 2018.
Adalah Aprizaldi, orang pertama yang memulai
pendirian Bank Sampah Ladang Kapeh. Waktu itu, dia
adalah Kepala Jorong Ladang Kapeh. Atas usaha nya
sebagai kepala jorong, perumahan mantan karyawan
PT Bukit Asam di Ladang Kapeh mendapatkan bantuan
dana aspirasi DPRD Kabupaten Sijunjung. Wujud
bantuannya berupa sebuah becak motor. Inilah yang
menjadi pemicu awal pembentukan bank sampah di
Ladang Kapeh.
Nasabah Bank Sampah Ladang Kapeh kini sebanyak
42 keluarga. Mereka menimbang sampah dua kali dalam
sebulan. Memang tak sering. Sebab, “Masih banyak warga
di komplek kami ini yang enggan memilah sampah sejak
dari rumah,” kata Zuhasni, pengurus Bank Sampah Ladang
Kapeh.
Zuhasni dan pengurus lainnya tak pernah lelah
menyadarkan warga di lingkungannya. Apalagi, Zuhasni
kini bisa membanggakan jerih payah mereka kepada
warga. Pada 2019, Bank Sampah Ladang Kapeh menjadi
juara kedua lomba bank sampah se-kabupaten Sijunjung.
Tentu ini prestasi yang membanggakan. Dan, bisa menjadi
magnet bagi warga untuk terlibat dalam pengelolaan
sampah melalui bank sampah.
warga Sijunjung kini memang kian peduli
mengelola sampah. Itulah yang juga membuat Roni
Sudirman tambah sumringah. usaha nya membuahkan
hasil. Banyak kelompok warga yang antusias mendirikan
bank sampah. Sampai akhir 2019, di Kabupaten Sijunjung
sudah berdiri 14 bank sampah. Roni juga mempelopori
gerakan pengelolaan sampah bernama GPS 3R (Gerakan
Pengurangan Sampah melalui 3R – Reduce, Reuse,
Recycle). Pada Oktober 2017, Bupati Sijunjung meresmikan
GPS 3R ini.
Harus Berani Nyinyir
Geliat perkembangan bank sampah juga terjadi di Kota
Bukittinggi. Setiap kelurahan di Kota Jam Gadang itu
sudah memiliki bank sampah. Setidaknya ada satu unit.
Rata-rata, bank sampah di Bukittinggi berdiri sejak 2017.
Bank sampah yang pertama kali ada di Bukittinggi adalah
Bank Sampah Induk Mutiara Indah. Berdiri sejak 2016.
BSI Mutiara Indah terletak di Kelurahan Aur Tajungkang
Tengah Sawah. Nasabahnya kini ada 60 keluarga. Semula,
warga membuang sampah ke kali yang mengalir
melewati daerah mereka. Akibatnya, Sungai Batang Agam
tercemar. Begitu pula lokasi tempat pembuangan sampah
sementara. Kondisinya jorok. Sampah berserakan.
BSI Mutiara Indah bermula dari tawaran Dinas
Lingkungan Hidup Provinsi Sumatra Barat kepada Suryadi.
Dia adalah seorang tokoh warga di kelurahan Aur
Tajungkang Tengah Sawah. Suryadi menyambut ajakan
mendirikan bank sampah itu dengan suka cita.
NYINYIR. Suryadi, pendiri BS Mutiara
Indah, Bukittinggi, Sumatra Barat,
harus nyinyir ke warga supaya mau
menjadi nasabah bank sampah.
Lalu, digelarlah sosialisasi kepada warga sekitar.
Syaifuddin Islami, penggerak dan pendamping bank
sampah di Sumatra Barat, mendapatkan kepercayaan
untuk mendampingi warga mendirikan bank sampah.
“Jadi, bank sampah kami ini dibentuk oleh Dinas
Lingkungan Hidup Provinsi Sumbar. Bukan oleh Pemkot
Bukittinggi,” kata Suryadi, Direktur Bank Sampah Induk
Mutiara Indah.
Suryadi memiliki kiat agar bank sampah yang
dikelolanya tetap berjalan. Dia memanfaatkan kegiatan
arisan PKK. Setiap Ahad, BSI Mutiara Indah buka dan
menerima penimbangan sampah dari nasabahnya. Yang
mengurus bank sampah pun, Suryadi gilir. Setiap Ahad,
petugasnya pasti berganti. Agar tidak jenuh, begitu
alasannya.
BSI Mutiara Indah memiliki lima bank sampah unit
yang menjadi nasabahnya. Kelima bank sampah itu
sempat beroperasi selama beberapa waktu. Namun,
belakangan kegiatannya terhenti lantaran tidak memiliki
lahan untuk menampung sampah dari warga.
Kini, BSI Mutiara Indah hanya mengandalkan setoran
sampah dari para nasabah.. Nasabah akan menerima 70
persen hasil penjualan sampah. BSI memungut 25 persen
sebagai dana operasional. Sedangkan sisa lima persen lagi
digunakan untuk kegiatan sosial.
Suryadi belum merasa puas dengan perkembangan
bank sampah di Bukittinggi. Apalagi, kepedulian dan
kesadaran warga untuk mengelola sampah, dia rasakan
masih kurang. Itulah yang sering menjadi kendala yang
dihadapi banyak bank sampah di Bukittinggi. “Saya
harus berani nyinyir ke warga. Menggugah kesadaran
mereka agar mau memilah sampah sejak dari rumah, dan
menyetorkannya ke bank sampah,” tutur lelaki kelahiran
1969 ini.
Pengepul Menjadi Ujung Tombak
Urusan menggugah kesadaran warga ternyata juga
terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan. Meski sudah sering
diingatkan agar memilah sampah sejak dari rumah,
tak jarang warga abai dengan urusan ini. Apalagi kalau
meminta warga menyetorkan sampah yang sudah dipilah
ke bank sampah.
Kondisi inilah yang memicu Jumsu Trisno, Kepala
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pesisir
Selatan memutar otak. Ia melihat ada potensi besar
dari kegiatan para pengepul sampah di Pesisir Selatan
yang bisa dimanfaatkan. DLH Kabupaten Pesisir Selatan
lalu mengajak para pengepul menjadi “petugas” yang
memungut sampah dari rumah warga. “Kami memfasilitasi
mereka dengan kendaraan bermotor agar mobilitas para
pengepul lebih tinggi,” kata Jumsu.
Pada 2019, DLH Pesisir Selatan sudah mengeluarkan
surat keputusan kerja sama dengan pengepul. Ada
tiga pengepul yang diajak. Pada 2020, DLH berencana
menambah 12 pengepul lagi, di 12 kecamatan sisa yang
belum bekerja sama dengan pengepul sampah.
Kendati menjalin kerja sama dengan pengepul,
bukan berarti Pemkab Pesisir Selatan abai terhadap
perkembangan bank sampah. Setidaknya, satu bank
sampah induk sudah ada di Painan, ibukota Pesisir
Selatan. Namanya Bank Sampah Induk (BSI) Higempama.
Berdiri sejak awal 2018. BSI Higempama memiliki satu
mesin pencacah plastik dan satu mesin press kertas.
SEPI. Di pengujung tahun,
Bank Sampah Induk
Higempama, Painan,
Kabupaten Pesisir Selatan,
Sumatra Barat, terlihat sepi.
Aktivitas stop, karena harga
jual sampah sedang rendah.
BSI Higempama akan menjemput sampah ke rumah
atau warung para nasabahnya. Namun, biasanya pada
akhir tahun, kegiatan operasional BSI Higempama agak
tersendat. “Kami susah menjual sampah pada akhir tahun.
Biasanya, mulai menggeliat lagi pada Februari,” kata Asni,
pengurus BSI Higempama.
Dengan bank sampah dan memberdayakan para
pengepul sampah, pengelolaan sampah di Pesisir Selatan
relatif berhasil. Salah satu indikator keberhasilan adalah
berkurangnya jumlah sampah yang dibuang ke TPA. Pada
2018, angkanya mencapai 18 persen.
Memang sungguh tak mudah menggerakkan
warga agar peduli mengelola sampah dengan
cara memilah sampah sejak dari rumah. Padahal, proses
pemilahan inilah yang membuat sebuah bank sampah
bisa hidup. Tapi, sejatinya tak pula bisa dibebankan seluruh
persoalan bank sampah ini hanya kepada warga .