Tampilkan postingan dengan label pers 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pers 2. Tampilkan semua postingan

pers 2




 perselisihan antara PT

Asian Agri dan Majalah Tempo. Mudah-mudahan dalam waktu tidak lama

kita bisa pertemukan mereka atau mencari penyelesaian. Tugas utama

Dewan Pers adalah mencari penyelesaian damai, win-win solution. Yang

merasa dirugikan kita tunjukkan bahwa kerugiannya tidak sebesar mereka

duga. Sedangkan bagi media yang melakukan pencemaran kita imbau

tidak melakukannya lagi. Mudah-mudahan dari situ kita bisa menemukan

jalan tengah. Misalnya, media meralat berita, meminta maaf dan membuat

pernyataan dengan disaksikan Dewan Pers.

Bagaimana kalau jalan damai tidak tercapai?

Jika media bersangkutan salah, maka Dewan Pers membuat

pernyataan penilaian. Pernyataan penilaian itu menunjukkan kalimat atau

berita yang melanggar kode etik. sesudah  itu kita umumkan kepada

warga . Itu bisa dibaca di website Dewan Pers, atau media lainnya.

 

VIVAnews - Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, mengimbau

tvOne melaporkan kasus kekerasan yang menimpa wartawan tvOne

Yogyakarta kepada Dewan Pers. Pengaduan ini susaha  Dewan Pers

bisa menentukan langkah yang akan diambil untuk advokasi kasus

pemukulan atas wartawan tvOne Yogya, Nuryanto, saat terjadi

bentrokan antara massa Front Pembela Islam dan Front Jihad Is-

lam (FJI) di kantor Pengadilan Kota Yogya, Selasa 28 Februari lalu.

“Saya minta agar media yang bersangkutan tempat wartawan

bekerja melaporkan kasus itu kepada Dewan Pers, agar kami dapat

menentukan langkah-langkahnya,” kata Bagir Manan, saat ditemui

Vivanews.com, Sabtu dini hari, 3 Maret 2012.

Hal pertama yang harus dilakukan, media yang bersangkutan

harus terlebih dulu mengambil langkah-langkah cepat untuk

melindungi wartawannya. Bagir menjelaskan, jadi pihaknya harus

melakukan proses mengumpulkan keterangan yang utuh dari Me-

dia bersangkutan terlebih dulu untuk menentukan tindakan apa yang

tepat untuk dilakukan oleh Dewan Pers.

“Sebab dalam kerusuhan massal seperti itu, sulit mencari siapa

pelakunya. Itu kan tidak mudah. Tapi paling tidak warga  tahu

persis sikap kita,” tuturnya. “Kita tidak membiarkan kekerasan

terjadi terhadap siapapun tidak hanya wartawan,” kata mantan Ketua

Mahkamah Agung itu.

Ia menambahkan, Dewan Pers tidak mentoleransi segala

bentuk kekerasan yang terjadi di Indonesia, sebab sikap kekerasan

yang di lakukan oleh kelompok warga  itu adalah peradaban

yang buruk. Sedangkan demokrasi itu, kata Bagir, merupakan suatu

proses kehidupan manusia untuk mencapai kehidupan yang beradab.


INILAH.COM, Jakarta - warga  yang bermasalah dengan

pemberitaan media massa didorong untuk tidak langsung melapor ke

polisi. warga  bisa mengadukan keluhannya ke Dewan Pers

sebelum membawanya ke ranah hukum.

“Apabila kita menerima laporan aduan warga  tentang aktivitas

kegiatan pers yang berakibat orang lain merasa dirugikan, pertama kita

akan imbaukan kepada yang bersangkutan untuk bertanya kepada Dewan

Pers. Nanti Dewan Pers akan menanganinya,” ujar Kepala Divisi Humas

Mabes Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution, Jumat (10|2|2012).

Seperti diungkapkan Saud, dalam momentum peringatan Hari Pers

Nasional ke 64, Kamis (9|2|2012) kemarin, Kapolri Jenderal Timur Pradopo

telah menandatangai kesepahaman atau Memorandum of Understanding

(MoU) dengan Ketua Dewan Pers Bagir Manan. Kesepahaman ini dibuat

untuk melindungi tugas-tugas jurnalis dan polisi sebagai penegak hukum.

Menurut Saud, kesepahaman itu juga akan mengarahkan

warga  melakukan gugatan secara perdata.

“Jika memang ada yang merasa keberatan. Akan namun  jika

warga  itu tetap tidak bersedia dan tetap ingin memproses secara

pidana, kepada yang bersangkutan kita mintakan membuat pernyataan

tertulis di atas materai, bahwa dia sudah kita arahkan untuk menempuh

jalur ini . Jadi itu alternatif terakhir, sebelum kita menerima laporan

aduannya,” tegasnya.

Saud menegaskan, dengan adanya MoU itu maka semua kasus

hukum yang berhubungan dengan pers diprioritaskan akan diselesaikan

di Dewan Pers. “Sehingga nantinya akan betul-betul rekan-rekan dalam

melaksanakan aktivitasnya dapat terlindungi secara hukum dan juga

dalam rangka untuk menjamin kebebsan dalam menyampaikan aspirasi

dan pendapat,” terangnya. [mvi]


Hari Pers Nasional, 9 Februari 2008, diperingati di Semarang,

Jawa Tengah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan

sambutan pada puncak acara serta mencanangkan program Gemar

Membaca Koran. Dalam sambutannya, Presiden SBY melontarkan

tentang perlunya self-censorship bagi wartawan dalam makna positif.

Tampaknya Presiden berharap pers mempertimbangkan dengan

cermat dan sungguh-sungguh setiap informasi yang akan

dipublikasikan. Kebebasan pers dapat menciderai publik apabila

pers mengabaikan prinsip self-censorship ini.Dialog ini membahas

masalah pers yang muncul selama peringatan Hari Pers Nasional

2008. Juga usaha  apa saja yang dilakukan Dewan Pers untuk

mendorong profesionalisme pers. Narasumber dialog, Leo Batubara

(Wakil Ketua Dewan Pers), telah malang melintang di dunia pers

selama tiga zaman: di masa pemerintah Soekarno, Soeharto, dan

sekarang ini.

11 Februari 2008

Narasumber:

Leo Batubara

Wakil Ketua Dewan Pers

Host Tamu:

Bekti Nugroho

Anggota Dewan Pers

Penyiar Radio:

Budi Kurniawan

--


Apa makna dari pernyataan Presiden mengenai self-censorship

oleh wartawan?

Sebenarnya yang paling tepat mengungkapkan hal itu kalangan pers

sendiri. Presiden mengungkapkan hal itu juga harus kita apresiasi. Seorang

wartawan profesional memang harus ketat dalam self-censorship.

Wartawan media cetak, sebelum menyerahkan berita kepada redaktur

pelaksananya, tanya dulu kepada dirinya: “Apa ini sudah patut atau tidak

untuk diterbitkan?” Kalau dia wartawan radio-televisi, pertanyaannya

“Apakah gambar ini sudah patut disiarkan?”

Alat ukurnya adalah kode etik. Artinya, pertama, informasinya sudah

sesuai fakta dan kebenaran, sebab  tugas pers profesional hanya

mengemukakan fakta dan kebenaran. Sudahkah yakin beritanya sesuai

fakta dan kebenaran. Sudahkah memakai  sumber yang layak

dipercaya? Sumber itu sudah berimbang atau tidak? Fakta-fakta yang

diterima, apakah sudah diuji kebenarannya atau diverifikasi? Kemudian,

terakhir, berita itu untuk kepentingan umum atau tidak? Wartawan

profesional harus bertanya dulu kepada dirinya, apakah beritanya sudah

patut. Alat ukurnya adalah hal-hal elemen dari -.

Dengan menyatakan soal self-censorship, apakah artinya

Presiden melihat tidak ada self-censorship di media kita sehingga

ia merasa perlu mengungkapkan?

Pernyataan Presiden itu sebenarnya kurang tajam. Kita ingin pejabat

atau pemerintah, misalnya menteri, gubernur, atau polisi, berani

mengatakan media mana yang bermasalah. Dewan Pers independen sudah

menerima kurang lebih 2.700 pengaduan. Sebagian besar media yang

diadukan melanggar kode etik, terutama media yang tidak berkualitas.

Pelanggarannya mendasar. Misalnya, mereka menulis pejabat A korupsi.

Itu menghakimi. Menurut Pasal 5 ayat (1) UU Pers dan Kode Etik

Jurnalistik, wartawan tidak boleh menulis begitu. Kasus ini sering terjadi

pada “media kelas dua” yang banyak beroperasi di tingkat kabupaten.

Yang menjadi korban, misalnya, Dinas Pendidikan atau instansi yang

memegang perizinan. Media seperti itu isinya tidak mencerahkan.


Presiden SBY, saat memberi sambutan, mengajak pers Indo-

nesia melakukan refleksi, benarkah kemerdekaan pers sekarang

sudah tepat dan bermanfaat bagi warga ? Presiden juga

menyatakan dukungan kepada kemerdekaan pers.

Kita diajak melakukan refleksi apakah kemerdekaan pers yang kita

dapat selama masa reformasi sudah memberi manfaat. Temuan saya,

kalau kita membaca koran-koran berkualitas, kemerdekaan pers memberi

banyak pencerahan pada warga . Baca tajuknya, halaman opini.

Media sejenis  itu rata-rata berkualitas, bermanfaat, dan memberi

pencerahan. namun , kalau yang dibaca seperti “koran kuning” yang ada di

terminal-terminal, bisa muncul anggapan seolah kemerdekaan pers

sekarang digunakan secara salah atau kebablasan.

Hasil temuan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), jumlah media

berkualitas di setiap provinsi ada satu atau dua. Di Jakarta ada tujuh sampai

delapan. Jumlahnya lebih sedikit. Tapi, dari segi tiras suratkabar yang

jumlahnya 7 juta eksemplar di Indonesia, sebagian besar milik media

berkualitas. Sedangkan media tidak berkualitas—sebagian orang

mengatakan kebablasan—jumlahnya banyak tapi tirasnya sedikit sekali,

sehingga hampir tidak ada pengaruh terhadap pembentukan opini publik.

Apakah pernyataan Presiden SBY menunjukkan tidak tahan

terhadap kritik? Menurut Presiden, kritik boleh asal tidak over dosis.

Media dituntut oleh UU untuk memberi  informasi yang tepat,

akurat, dan benar. Pejabat juga harus belajar menilai media secara benar.

Media mana yang dituduh over dosis. Saya khawatir media-media yang

dituduh itu justru yang profesional, yang melakukan kontrol dan investigasi,

“Media dituntut oleh UU untuk memberi  informasi yang

tepat, akurat, dan benar. Pejabat juga harus belajar menilai

media secara benar. Media mana yang dituduh over dosis.

Saya khawatir media-media yang dituduh itu justru yang

profesional, yang melakukan kontrol dan investigasi,”

--

yang banyak mengemukakan penyimpangan-penyimpangan di DPR

maupun di BUMN. Temuan media-media profesional ini sesuai kode etik

jurnalistik. Barangkali kritik dari media-media sejenis  ini yang sudah

tidak tahan lagi diterima oleh pejabat.

Presiden SBY di akhir pidatonya mengutip sebuah judul berita

mengenai bupati di sebuah daerah melakukan korupsi Rp 30 miliar.

Padahal proses hukum masih berjalan.

Kalau itu yang dimaksud, ada satu tabloid di Jakarta diadukan Menteri

Agama. Beliau datang ke Dewan Pers. Judul berita tabloid itu “Menteri

Agama terdahulu korupsi, menteri yang sekarang korupsi.” Dewan Pers

memanggil tabloid itu. Berita itu menghakimi. Yang bisa menghakimi hanya

hakim. Pers paling hanya menduga korupsi, itupun didukung bahan

keterangan yang berasal dari sumber layak dipercaya.

Memang sejumlah daerah—terutama daerah “mata air” yang banyak

anggaran belanjanya—diserbu oleh media yang tidak berkualitas. Model

beritanya menghakimi, langsung menyebut bupati korupsi. Kalau diadukan

ke Dewan Pers, kita tegur keras sebab  merusak public trust.

Bukankah pers wajib menyampaikan fakta yang ada? Tentunya

pers tidak asal mengatakan bupati korupsi tanpa ada data.

Pasal 5 ayat (1) UU Pers mengingatkan agar pers nasional

menghormati asas praduga tak bersalah. Seorang koruptor pun kalau belum

divonis oleh hakim, hanya boleh disebut “diduga.” Yang berhak memutuskan

seseorang bersalah adalah hakim. Itu harus dihormati.

Banyak pejabat yang jengkel dengan pers. Bagaimana

sebenarnya kondisi pers kita secara umum?

Kejengkelan itu sebab  tidak siap dikritik. Temuan saya, dalam

delapan tahun terakhir, pers secara umum keadaannya baik. Sama seperti

kalau saya ke dokter, diperiksa di laboratorium, dokter mengatakan “Leo,

keadaan umummu baik. Jantungmu baik. Ginjal baik. Otak baik. Cuma

kakimu kudis-kudisan.” Pers kita kurang lebih juga begitu.

Sejumlah pers kudis-kudisan, melanggar kode etik. Tapi, koran yang

berkualitas–tajuknya, opininya, halaman satunya—juga banyak. Di sinilah

jantung pers kita. Keadaan umum pers kita baik, media yang berkualitas

melakukan kritik yang profesional. Cuma banyak pejabat tidak siap dikritik.

Contohnya, salah satu petinggi negara marah kepada pers sebab  pers

banyak mengemukakan demo. Dianggapnya, semakin banyak demo

diberitakan, para investor lari. Saya kira investor datang atau lari bukan

sebab  berita demo, tapi sebab  iklim investasi dan kepastian hukum

sangat jelek.

Apakah kualitas pers kita saat ini sudah baik atau masih

memprihatinkan?

Saya lama di Serikat Penerbit Suratkabar (sekarang menjadi Serikat

Perusahaan Pers-SPS). Kajian SPS, dari 850-an media cetak, 30 persennya

sehat bisnis. Perusahaan pers yang sehat bisnis mengoperasikan

wartawan yang memenuhi kompetensi profesional. Mereka mampu

membuat berita yang atraktif, mencerahkan, taat kode etik, dan terutama

dibutuhkan warga . sebab  itu, penetrasinya berkembang. Tapi, 70

persen dari 850 itu berkatagori belum sehat bisnis. Wartawan yang mereka

operasikan banyak yang belum memenuhi kompetensi. Tidak bisa

membuat berita yang atraktif, tidak mampu mencerahkan, dan tidak taat

kode etik. Medianya tidak dibutuhkan warga . Mereka bisa hidup

sebagian besar ditopang oleh amplop dari pejabat. sebab  mereka dihidupi

dari amplop maka pemain baru bermunculan. Preman atau tukang tambal

ban ikut nimbrung. Modalnya membuat berita jelek dan ditawarkan kepada

pejabat.

Telepon

Bambang (Surakarta): di Purwakarta ada media radio sudah

melakukan penetrasi kepada warga  secara interaktif. Para

pejabat Surakarta merespon positif. Hanya saja saya prihatin,

banyak wartawan tanpa suratkabar dan bodrek gentayangan mencari

amplop. Mereka tidak membuat berita.

--

Masalah klasik soal wartawan bodrek dan amplop. Mereka tadi

diibaratkan seperti penyakit kudis. Apa usaha  Dewan Pers untuk

mengatasinya?

Enam bulan terakhir Dewan Pers mengadakan roadshow ke beberapa

provinsi. Sasaran peserta adalah pejabat. Kita sampaikan, kalau mau

berinteraksi dengan pers, tidak cukup dengan kartu pers. Kartu pers itu

hanya paspor untuk masuk ke wilayah instansi. Tapi, kalau wartawannya

tidak dikenal, tanya di media apa dia bekerja? Mana bukti penerbitan tiga

bulan terakhir? Ada tidak berita yang dibuatnya? Kalau medianya tidak

teratur terbit, atau si wartawan tidak pernah membuat berita, saya katakan:

usir saja dari kantor. Mereka bukan lagi wartawan, mereka penumpang

gelap yang merusak kredibilitas pers.

Di beberapa kabupaten, wartawan yang serius mencari berita tidak

berani lagi duduk di media center. Media center sudah dikuasai oleh

wartawan yang tidak jelas dan yang tidak pernah membuat berita. Yang

saya khawatirkan, mereka itu peliharaan pejabat.

Telepon

Yogi (Jakarta): Saya beranggapan pers tidak kebablasan.

warga  lebih senang dengan pers yang berani mengungkap

dan berani mengatakan bahwa pejabat itu korupsi. Kalau hanya

mengatakan “diduga korupsi”, ujung-ujungnya tidak akan terungkap.

Tapi, pers yang seperti itu biasanya tidak disukai para elit eksekutif,

legislatif, dan yudikatif termasuk elit pers sendiri. Yang kebablasan

justru para elit, sebab  kebijakannya hanya untuk kepentingan

sendiri. Maka diperlukan pers yang berani mengungkap dan terbuka.

Itu yang diharapkan warga . Di negara yang serba terpuruk di

segala bidang ini, dibutuhkan pers yang dianggap “kebablasan” itu.

Pak Yogi mencoba memberi aksentuasi bahwa dia setuju dengan

kebebasan pers yang sejalan dengan Dewan Pers. Hanya sedikit elite

yang mengatakan pers kebablasan sehingga sempat muncul ide revisi

UU Pers. Dari beberapa daerah juga muncul pendapat Dewan Pers

dibubarkan saja sebab  dianggap tidak efektif. Bisa dijelaskan

korelasinya dan apa yang sedang terjadi?

| 29

Tepat apa yang dikatakan Pak Yogi. Media yang kritis sebenarnya

disenangi oleh rakyat. Amerika semakin besar sebab  medianya kritis.

Hasil temuan media digunakan oleh pejabat pengambil kebijakan untuk

memperbaiki keadaan. Demikian juga di Korea Selatan. Media yang kritis

didengar oleh parlemen, eksekutif, terutama penegak hukum dalam rangka

pemerintahan yang baik.

Di Indonesia walaupun media kritis disenangi rakyat, tapi elite bangsa

yang bermasalah dan menjadi obyek liputan, tidak senang. sebab  tidak

senang, saya khawatir, daur kehidupan pers bisa terulang. Dulu di zaman

Presiden Soekarno ada euforia. saat  pemerintah gagal melaksanakan

janji memajukan kesejahteraan rakyat dan pers mulai mengkritik, maka

pejabat mulai represif. Di zaman Presiden Soeharto juga begitu. Dimulai

tahun 1966 sampai peristiwa Malari, pers bebas. Tapi, sebab  penguasa

semakin solid, lalu pencapaian tujuan nasional masih terkendala,

pemerintah mulai represif. Itulah yang kita khawatirkan sekarang.

Pemerintah dalam rangka memakmurkan rakyat ternyata masih jauh dari

harapan, lalu pers meningkatkan kritiknya, di situ elit bangsa mulai mencari

kesalahan pers. Pers dianggap kebablasan, melupakan tanggung jawab,

akhirnya mereka berbicara mengenai revisi UU Pers.

Dari pejabat yang mengemukakan revisi UU Pers, seperti Menteri

Syamsul Muarif, diperkuat Menteri Sofyan Djalil, sasaran revisi itu susaha 

pemerintah kembali mengontrol pers. Padahal nalarnya, pemerintah digaji

oleh rakyat masak mereka juga yang mengontrol rakyat atau pers. Mereka

ingin merevisi susaha , misalnya, ada wakil pemerintah di Dewan Pers.

Sampai sekarang hal itu kita lawan. Sekali draft revisi dikirim ke DPR,

pasti kita kehilangan kemerdekaan pers.

Telepon

Abu (Purwakarta): Di Purwakarta, Jawa Tengah, warga 

memberi  komentar melalui radio. Mereka seolah-olah jadi wartawan.

Mereka memberi  solusi kepada para pejabat yang dikritik. Ada

interaksi positif. Sekarang warga  menjadi cerdas, sampai-sampai

yang di gunung pun berani telepon dan berbicara dengan pejabat.

--

30 |  -

Itu pengalaman yang sangat baik. Di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan

Jawa Timur, ada beberapa bupati yang bekerjasama dengan media,

terutama radio. Mereka meluangkan waktu untuk berdialog dengan

warga . Mereka terbuka.

Ada salah satu dalil: kalau ada bupati atau walikota berani terbuka,

itu sebab  dia bersih. Kalau ada bejabat tidak berani terbuka, orang bilang

“ada bau-bau masalah”.

Pengalaman di Purwakarta tadi—warga  berkomentar

mengemukakan permasalahan melalui radio dan pejabatnya menjelaskan—

akhirnya pejabat itu menjadi terbuka dan semakin baik. Rakyat menjadi

well informed society yaitu warga  yang mendapat informasi tepat

dan benar. Inilah persyaratan menuju clean and good governance. Hal

sejenis  ini harus diperjuangkan. Media dapat menjadi motor lokomotif

agar terjadi perlombaan: bupati mana yang paling terbuka dan bersih. Bupati

yang paling terbuka dan bersih itulah yang dipromosikan menjadi gubernur.

Gubernur yang paling memajukan kesejahteraan rakyat, yang dapat diukur,

dapat meraih jabatan yang lebih tinggi.

Apa makna Hari Pers Nasional bagi pers Indonesia?

Ada dua segi, pertama, maknanya hari ulang tahun salah satu asosiasi

wartawan, PWI, yang lahir pada 9 Februari 1946. Itulah yang diperingati.

Ada Hari Pers Sedunia, 3 Mei, dan AJI memperingatinya. SPS (dulu

Serikat Perusahaan Pers, sekarang Serikat Perusahaan Pers-red) lebih

senang memperingati Hari Kemerdekaan Pers yaitu hari saat  UU No.40/

1999 tentang Pers diundangkan, 23 September, sebab  UU Pers menjadi

UU pertama yang memerdekakan pers.

Saya telusuri, seorang profesor dari Universitas Padjadjaran

menemukan bahwa mulainya pers nasional itu pada 1 Januari 1907 saat 

Raden Mas Tirtoadisuryo menerbitkan media Medan Prijaji di Bandung.

Inilah pers pertama yang menyuarakan kita sebagai bangsa Indonesia.

Apakah ada kemungkinan Dewan Pers membuat studi tentang

hari pers di Indonesia?

| 31

Saya kira itu baik sekali, sebab  lahirnya konsep Indonesia—kita

merasa sebagai Indonesia—diajari oleh pers yang lahir pada 1907. Orang

pergerakan dan orang pers dalam tulisannya saling menguatkan bahwa kita

orang Indonesia. Kemudian Sumpah Pemuda menjadi embrio dari proklamasi

kemerdekaan dimana kontributornya ialah orang-orang pergerakan dan pers.

Kalau begitu, pemerintah dan pejabat negara mestinya

berterimakasih kepada pers?

Kalau ada pertemuan besar konvensi nasional, kalau semangat bahwa

perslah yang melahirkan Indonesia, mestinya pejabat tahu bahwa perslah

yang paling patriot. Kita menjadi orang Indonesia sebab  pers dulu

mengajari kita. Patriotisme pers tidak diragukan.

SMS

Tarno (Jakarta): Televisi menyebut “manusia akar”. Sebutan

manusia akar apakah sesuai -?

Pers tidak menciptakan sebutan “manusia akar” (penderita kutil yang

menyerupai akar di sekujur tubuh). Rumah sakit atau lingkungan penderita

menyebut “manusia akar”, maka pers ikut mengatakan begitu. Itu bukan

ciptaan pers. Saya kira tidak menyalahi kode etik. Itikadnya tidak buruk.

SMS

Abah (Tangerang): Apa sekarang tidak ada razia “koran

cemeng” di terminal?

Irwan: Koran besar bagus muatannya, namun  saya sesalkan

tabloid atau koran kecil yang isinya tidak bermutu seperti diisi

gambar seronok dan kriminalitas yang tidak mendidik.

Erwin (Jakarta): Apa kriteria pers nasional yang ideal? Apakah

pers kita sudah mendekati ideal atau justru menjauh?

Nita (Pamulang): Saya seorang wartawan. Pada masa revolusi

saya percaya pada koran dan selalu percaya.

--

32 |  -

Yanto (Jakarta): Pers yang kritis itu bagus, tapi di daerah

kebanjikan wartawan-wartawan yang kerjanya minta amplop ke

pejabat dan mengancam, sehingga serba tidak tenang.

Sukma (Bekasi): Ketidakberanian pemimpin menegakkan

kebenaran hanya melepas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan

rakyat. Kebebasan menerima informasi adalah salah satunya.

Mengenai pers ideal, pers yang jelek, harus jangan dilupakan apa itu

reformasi. Reformasi artinya rakyat yang berdaulat. Sebelum reformasi

yang berdaulat adalah penguasa rezim. Sekarang rakyat yang memilih

presiden, walikota, bupati, gubernur. Demikian juga media. Nasib media

di tangan rakyat. Radio, televisi, dan suratkabar bisa hidup kalau rakyat

mendukungnya. sebab  itu, kalau kita perhatikan, media bisa berkembang

semakin baik sebab  diterima warga . Kalau pers jelek, rakyat jangan

beli, susaha  pers itu cepat mati.

Kita juga harus bersabar. warga  kita ada yang “sakit.”

Kebutuhannya media yang sakit pula. Dari segi HAM, kondisi itu harus

dipahami. Itulah demokrasi.

Pers yang ideal (1) beritanya atraktif sebagai hasil dari wartawan

yang cerdas. Atraktif artinya beritanya ringkas, gampang dimengerti, tidak

bertele-tele, memenuhi rumus berita. (2) Isinya mencerahkan. Dia

mengungkap problema bangsa. Selalu menawarkan jalan keluar. Orang

yang membaca atau mendengar semakin cerdas. Ada berita kalau dibaca

membuat kita marah, menjadi bodoh. Sama seperti sinetron, kita tonton

kita menjadi semakin bodoh. (3) Berikutnya taat kode etik. Sekarang ini

global formula. Rumus penyelenggaraan media di dunia sekarang ialah

public trust. Apakah media saudara dipercaya oleh publik? Apakah punya

kredibilitas? Kredibilitas artinya taat kepada kode etik. Bisnis pers sekarang

milik pers yang taat kode etik. Pers ideal ialah yang diterima warga .

Jadi, ada empat syarat pers ideal: atraktif, mencerahkan, taat kode

etik, dan diterima pasar. Ada media melanggar keempat hal tadi dan dia

bisa hidup juga, bukan sebab  diterima pasar, tapi sebab  hidup dari amplop.

Saya ini mengemukakan kenyataan.

| 33

Apa yang menghambat kemerdekaan pers sekarang ini?

Kalau berbicara undang-undang, saya melihat, media kita masih di

antara madu dan racun. Madunya yaitu UU No.40/1999 tentang Pers dan

Pasal 28F UUD Amandemen Kedua yang melindungi kemerdekaan pers.

Berkomunikasi, menyampaikan informasi itu hak warga negara merdeka.

namun , ada KUHP. Kalau ada pejabat tersinggung kemudian mengadu dan

penegak hukum memakai  KUHP, wartawan bisa masuk penjara.

Buktinya,  sejumlah wartawan kita masuk penjara.Misalnya, koran Kompas

dan Koran Tempo pernah menulis tentang kinerja perusahaan Texmaco.

Texmaco kemudian menuntut triliunan rupiah. Kalau hakim memutuskan

menghukum triliunan rupiah, mati koran-koran itu. Artinya, koran yang

melakukan jurnalisme investigasi dan kontrol nasibnya masih ditentukan

penegak hukum. Kalau memakai  UU Pers, kemerdekaan pers aman.

Kalau dipakai KUHP, kemerdekaan pers mati.

Dari segi perundang-undangan, itulah yang saya katakan tadi: nasib

kemerdekaan pers masih di antara madu dan racun. UU Pers dan Pasal

28 Konstitusi melindungi, namun  ada UU buatan Belanda sangat

mengancam.

Apa saran untuk warga  agar bisa bersama dengan Dewan

Pers meningkatkan kualitas pers Indonesia?

Pertama, warga  hanya mengonsumsi pers berkualitas. Pers

yang melanggar kode etik jangan dikonsumsi. Kedua, warga  perlu

mendorong agar negara peduli membangun school of journalism. Sebanyak

30 persen media cetak mampu melatih wartawannya untuk kompeten,

namun  70 persen pers yang tidak sehat tidak mampu. Itu menjadi tugas

negara, membangun school of journalism.

“Dari segi perundang-undangan, itulah yang saya katakan tadi:

nasib kemerdekaan pers masih di antara madu dan racun.

UU Pers dan Pasal 28 Konstitusi melindungi,

namun  ada UU buatan Belanda sangat mengancam.”

--

34 |  -

Sekarang Dewan Pers sedang membangun satu school of journal-

ism sebagai model. Kalau berhasil, bisa menjadi model susaha  fakultas

komunikasi di berbagai provinsi meniru. Hasilnya adalah wartawan yang

memenuhi kompetensi.

Sekarang jumlah media meledak, bahkan di tingkat kabupaten, yang

sangat membutuhkan wartawan yang cerdas. Mereka tidak ada di pasar kerja.

Apakah ada studi banding mengenai hubungan antara sekolah

jurnalistik dan kualitas pers?

Iya. Saya ingin wartawan memiliki sertifikat. Sama seperti pengacara

atau dokter. Seorang yang sudah lulus S1, dilatih selama satu tahun tentang

bagaimana menulis, kemudian diberi sertifikat. Sekarang, tukang tambal

ban bisa jadi pemimpin redaksi. Siapa yang mengeluarkan sertifikat? Tidak

boleh pemerintah atau Dewan Pers, tapi sekolah jurnalistik itu.

SMS

Jodak (Jakarta): Elit politik yang menghambat pers jangan

dipilih lagi dalam pemilu nanti.

Ahwan (Jakarta): Kenapa masih ada wartawan yang

menodong minta duit.

Anton (Bekasi, Jawa Barat): Kalau warga nya sakit,

jangan diberi media yang sakit, tapi media yang menyehatkan.

Saya ingin menggarisbawahi mengenai warga  yang sakit. For-

mula global yang terjadi sekarang, pada warga  yang semakin cerdas–

warga  Indonesia semakin cerdas—mereka membutuhkan media yang

mencerdaskan. Media mencerdaskan hanya mungkin kalau diawaki

wartawan yang cerdas, tugasnya mendidik dan mengontrol. Kalau wartawan

pendidik dan pengontrol pengetahuannya di bawah rata-rata pejabat, mana

mungkin bisa.

| 35

Sekarang kita membutuhkan wartawan yang cerdas susaha  produknya

menjadi cerdas. Sama seperti di sepakbola. Kesebelasan Chelsea dan

MU menarik ditonton—di Indonesia juga ada penggemarnya—sebab  para

pemainnya profesional. Pers juga begitu.

Media sekarang gabungan antara misi ideal dan misi bisnis. Itu harus

dipaket, dikemas. Sebab, kalau hanya mengedepankan misi bisnis,

menyebabkan sering terjadi pelanggaran terhadap norma susila dan tata

nilai kita.

Di beberapa daerah ada koran yang untuk bertahan hidup

melakukan kontrak kerja dengan Pemda. Apakah itu sehat?

Itu tidak sehat. Media fungsinya melakukan kontrol. Kalau media

sebagai tukang kontrol menjalin kontrak dengan pejabat yang seharusnya

dikontrol, matilah kontrol. Dia sebenarnya tidak boleh lagi disebut koran,

tapi buletin. Kalau misalnya kontraknya hanya memuat sekali setahun

sebanyak beberapa halaman untuk ulang tahun kabupaten, itu tidak

masalah.

™™™

--

36 |  -

Transkripsi

Sambutan Presiden Republik Indonesia

Pada Acara Puncak Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Tahun

2008

Semarang, 9 Februari 2008

Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Selamat pagi,

Salam sejahtera untuk kita semua,

Yang saya hormati Saudara Menteri Komunikasi dan Informatika

dan para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, para Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, para Pimpinan dan Pejabat

Negara yang bertugas di Jawa Tengah, baik dari unsur Eksekutif,

Legislatif dan Yudikatif maupun TNI dan Polri, Saudara Ketua Umum

Persatuan Wartawan Indonesia dalam kapasitas Ketua Umum Hari

Pers Nasional Tahun 2008 ini, Saudara Gubernur Jawa Tengah, para

Pimpinan Organisasi Pers, Pimpinan Perusahaan Media

Massa,Yang saya muliakan para Wartawan Senior yang banyak

hadir dalam acara hari ini, Keluarga Besar Pers Indonesia yang

saya cintai,

Hadirin sekalian yang saya muliakan,Marilah sekali lagi kita

panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,

sebab  kepada kita masih diberi kesempatan, kekuatan dan insya

Allah kesehatan untuk melanjutkan ibadah kita, karya kita, serta

tugas dan pengabdian kita kepada bangsa dan negara tercinta. Kita

juga bersyukur hari ini dapat bersama-sama menghadiri Hari Pers

Nasional Tahun 2008 dan Hari Ulang Tahun ke-62 Persatuan

Wartawan Indonesia.

Atas nama Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, saya

mengucapkan selamat kepada seluruh insan pers di tanah air,

semoga ke depan pers kita semakin berjaya, semakin maju, dan

| 37

semakin kontributif untuk kemajuan bangsa dan negara kita menuju

masa depan yang kita cita-citakan bersama.

Saudara-saudara,

Saya juga mengajak Saudara semuanya untuk senantiasa

bersyukur dan berterima kasih. Pertama-tama kita perlu bersyukur

bahwa dalam perjalanannya yang mengalami berbagai dinamika dan

pasang surut, pers nasional kita sekarang ini makin maju dan makin

kuat. Kebebasan pers kita rasakan, demokrasi dimana pers

memberi  peran dan andil yang besar juga semakin mekar, ini

patut kita syukuri.

Yang kedua, saya juga mengajak semua pihak untuk

mengucapkan terima kasih kepada para pejuang pers sejak era

Kebangkitan Nasional 100 tahun yang lalu hingga hari ini, yang ikut

mengukir sejarah bagi perkembangan pers maupun perkembangan

demokrasi di negeri kita. Kita juga jangan lupa untuk mengucapkan

terima kasih kepada rakyat Indonesia, terutama pada era reformasi

ini, 10 tahun terakhir ini juga telah berhasil meningkatkan kebebasan

pers yang sama-sama kita harapkan eksis, tumbuh dan berkembang

di negara tercinta ini.

Saudara-saudara,

Atas semuanya itu, saya berpendapat bahwa insan pers

sekarang ini patut membalas jasa baik beliau-beliau semua, baik

itu para pejuang pers, para senior-senior kita maupun kepada rakyat

yang juga ikut berjuang bagi demokrasi dan kebebasan pers yang

kita rasakan dewasa ini. Dalam kaitan ini, ijinkan saya pada

kesempatan yang baik ini, untuk juga menyampaikan pandangan-

pandangan dan pikiran saya, tiada lain sekali lagi untuk membangun

kehidupan pers yang betul-betul kontributif untuk pembangunan

bangsanya.

Seringkali saat  kita berbicara tentang pers, kita melakukan

kesalahan. Kesalahan pertama adalah kita mengkritik pers pada

sesuatu yang tidak perlu dikritik lagi, sebab  sesungguhnya sudah

benar, sudah tepat. sebab  generalisasi, seolah-olah ada

--

38 |  -

kekurangtepatan satu, dua berita dianggap berita pers seluruhnya,

tidak tepat, ini kesalahan pertama.

Kesalahan kedua, kita juga sering tidak sadar, ada satu, dua

insan pers yang tidak proper di dalam mengemban misinya

sebagaimana pihak yang lain, pihak Pemerintah, pihak penegak

hukum, parlemen, siapa saja yang mengemban tugas di negeri ini,

lantas dianggap seluruhnya juga melakukan kegiatan atau peran

yang tidak benar. Ini juga kesalahan dari mudahnya kita

mengeneralisasi dalam melihat sesuatu. Saya ingin terbebas dari

seperti-seperti itu. Oleh sebab  itu, kalau saya nanti memberi 

pujian kepada pers atau memberi  kritik kepada pers,

sebagaimana saya menerima kritik, saya menerima dukungan, saya

menerima cercaan, saya lihat secara utuh untuk kepentingan yang

lebih baik.

Saudara-saudara,

Yang perlu dibalas oleh kita, oleh para insan pers kepada para

pejuang pers adalah mereka semua berjuang untuk sebuah

idealisme di negeri ini. Sebagai penggerak, sebagai driving force

dalam membangun bangsa mengembangkan demokrasi, idealisme.

Mari kita pertahankan, idealisme yang puluhan tahun diperjuangkan

oleh para senior kita, para pejuang pers di negeri ini. Jangan sampai

idealisme ini luntur sebab  godaan kompetisi atau persaingan dalam

bisnis media. Jangan pula idealisme ini juga luntur, barangkali tidak

disadari ada sebagian pers kita juga ada di negara yang lain, yang

sangat partisan atau sangat menuju kepada kepentingan yang

praktis. Tentu ada saja keperpihakan pers, tentu ada saja

kepentingan praktis, namun  tolong tidak dibubuhi kata-kata sangat

atau terlalu, sebab kalau terlalu itu konotasinya tidak baik.

Saya juga mengajak, kita semua membalas budi baik rakyat

kita, termasuk pers kita, sebab  sesudah  berjuang untuk kebebasan

pers, alhamdullilah maka mereka juga ingin pers kita sebagai bagian

dari yang sedang mengemban tugas di negeri ini, ikut membawa

manfaat bagi mereka, mendidik mereka, sehingga mereka

| 39

mendapatkan sesuatu untuk masa depannya yang lebih baik.

Tantangan ini tidaklah ringan, dihadapi oleh pers, dihadapi oleh or-

ang seperti saya yang sedang mengemban amanah dan pihak-pihak

lain untuk memajukan bangsa dan negara kita.

Saya sungguh ingin menggarisbawahi hal-hal seperti itu,

mengapa rakyat ingin sekali mendapatkan manfaat yang baik dari

apa yang dilakukan oleh insan pers. Yang pertama, rakyat ingin

mendapatkan berita, sedang terjadi apa saja di negeri ini, di dunia

ini, ingin mendapatkan informasi, semua mereka paham tentang

dinamika kehidupan bangsanya. Tentu saja mereka berharap

informasi atau berita itu adalah berita yang benar, berita yang akurat

dan berita yang objektif. The right to know harus diberikan kepada

rakyat kita.

Yang kedua, rakyat juga ingin melalui media massa yang

Saudara-saudara kelola menyampaikan pandangannya, pikirannya,

pendapatnya, respon terhadap berbagai masalah yang ada di negeri

kita. Tentu agar interaksi di antara rakyat dengan rakyat yang lain,

sesama komponen bangsa melalui media massa, through media

itu berjalan secara sehat dan konstruktif, maka sekali lagi harus

berangkat dari fakta yang benar, berita yang benar dan kemudian

semua diberikan ruang yang seimbang. Inilah cikal bakal dari the

principle of balance, inilah embrio dari cover both sides. Saya sudah

menemukan di berbagai media yang menghormati the principle of

balance dan juga cover both sides. Bagi yang sering atau kadang-

kadang lupa pastikan bahwa itu hadir. Dengan demikian, interaksi

ini menjadi berkualitas, sungguh konstruktif dan membawa manfaat

dan kebaikan.

Yang ketiga, rakyat juga ingin yang berjuang untuk kebebasan

pers ini melalui pemberitaan yang Saudara-saudara berikan melalui

media massa ingin memiliki pengetahuan yang menjangkau, ingin

memiliki optimisme dan bahkan mereka ingin juga berpartisipasi

dalam gerak pembangunan bangsa. Saya menggarisbawahi apa

yang disampaikan oleh Saudara Tarman Azzam tadi, bahwa Konvensi

--

40 |  -

Nasional juga mengangkat perlunya membangun optimisme bangsa

kita. Kalau kita optimis, seberat apapun yang kita hadapi insya

Allah ada jalan, ada solusi. Kalau kita pesimis, kita sudah kalah

sekarang, kita sudah kalah di Semarang ini dan tidak pernah akan

bisa bersaing dengan bangsa lain, termasuk tetangga-tetangga kita.

Saya hormat kepada pers yang menggarisbawahi, mari kita tetap

optimis, tegar, percaya bangsa Indonesia akan bisa mengatasi

semua permasalahan dan tantangan yang dihadapi.

Saudara-saudara,

Hari ini kita berada di Semarang ini untuk memperkuat

komitmen dan tanggung jawab kita, termasuk Saudara-saudara insan

pers agar kita berbuat bisa berbuat lebih baik lagi kepada rakyat,

agar bisa berkontribusi lebih banyak lagi dalam pembangunan yang

kita lakukan dewasa ini, terlebih saat  kita harus membangun

kembali negeri kita pasca krisis.

Setiap hari jadi Saudara-saudara, HUT ke-62 PWI, Hari Pers

Nasional 2008 baik kalau kita melakukan refleksi, refleksi kritis.

Apakah dengan kebebasan pers yang kita syukuri dewasa ini dan

harus kita pertahankan ke depan melalui refleksi? Sudahkah semua

yang diperankan oleh pers di negeri ini tepat dan betul-betul

membawa manfaat? Mana yang sudah tepat dan baik untuk kita

pertahankan, mana yang belum tepat dan belum baik untuk sama-

sama kita perbaiki?

Saudara-saudara,

Ini tahun keempat saya mengemban amanah. Tinggal setahun

lagi saya mengemban tugas sebagai Presiden, sebab  2009 adalah

batas akhir masa bhakti saya sebagai Presiden yang dipilih rakyat

pada tahun 2004 yang lalu. Saya pun bersama pemerintahan yang

saya pimpin terus-menerus melakukan refleksi, bahkan dalam

Sidang-sidang Kabinet para Menteri juga ada, selalu dengarkan,

ada pandangan rakyat seperti ini, dari pers seperti ini, apa, mari

kita lihat. Mana yang kurang tepat, mana yang sudah tepat, mana

yang benar, mana yang belum mantap untuk perbaikan, untuk

| 41

koreksi. Hanya dengan begitu kita selalu mengorientasikan diri kita

dalam konteks yang tentunya semua berharap Pemerintah pun bisa

makin ke depan, makin mampu menjalankan tugasnya secara efektif,

mengatasi permasalahan bangsa yang begini kompleks, yang begini

fundamental dan terkait satu sama yang lain.

Analog dengan itu, saya juga mengajak semua komponen

bangsa di negeri ini, termasuk pers untuk juga melakukan refleksi,

introspeksi dan koreksi. Dan itu lebih sahih, lebih tepat, lebih

cespleng kalau dilakukan oleh insan pers sendiri. Sebab kalau or-

ang lain yang mengoreksi belum tentu tepat. Tapi kalau dengan

jiwa besar, mari kita duduk bersama-sama, ada Dewan Pers, saya

lupa menyebut tadi, Pimpinan Dewan dengan Anggota Dewan Pers,

dengan semua bersama-sama otokritik itu luar biasa manfaatnya.

Saya juga berfikir insan pers bisa menjawab pertanyaan-

pertanyaan kritis di bawah ini. Sejauh mana pers dan media di negeri

ini makin kontributif, bisa memberi  sumbangan yang lebih besar

lagi bagi mapannya demokrasi? Mapan dalam arti established,

dalam arti consolidated, bukan mapan dalam arti atau berkonotasi

otoritarian, dikontrol, ditata bukan. Demokrasi yang mapan dalam

arti consolidated democracy, established democracy dengan rules

of the games, dengan etika yang dianut sebagaimana negara-negara

demokrasi di dunia ini.

Yang kedua, juga sejauh mana pers bisa berkontribusi bersama-

sama kita semua untuk memastikan demokrasi dan kebebasan

terus berkembang, terus mekar, berpasangan, bergandengan dengan

kepatuhan pada pranata oleh warga  kita, rule of law dan

harmoni dalam kehidupan bangsa ini? Demokrasi dan kebebasan

seperti itu yang hendak kita bangun. Kita juga harus melakukan,

merefleksi sejauh mana pers ikut membangun karakter, tepat tadi

Menteri Komunikasi dan Informatika, membangun optimisme

bangsa. Meskipun negerinya masih menghadapi banyak persoalan

dan tantangan, tapi optimis, siap bersatu, dan siap bekerja keras

untuk mengatasi masalah-masalah itu menuju masa depan.

--

42 |  -

Sejauh mana pula pers ikut membangun warga  yang

tertib, warga  yang civilly dalam arti good society? Tujuan semua

bangsa di dunia ini to build a good society, warga  yang baik,

jauh dari ekstrimitas, jauh dari perilaku-perilaku kekerasan, yang

akhirnya mencirikan peradaban yang tinggi. Peradaban bangsa In-

donesia yang ingin kita bangun sehingga kita tampil terhormat pada

era global.

Sejauh mana pula self sensoring yang saya anjurkan berkali-

kali sejak saya datang dalam Hari Pers Nasional di Pekanbaru,

Pak Tarman Azam, saya kira tahun 2005, saya datang kembali Hari

Pers Nasional di Bandung pada tahun 2006. Tahun lalu saya absen

di Samarinda sebab  saya harus mengikuti kegiatan yang tidak bisa

saya tinggalkan. Alhamdulillah, saya datang lagi pada Hari Pers

Nasional Tahun 2008 ini.

Saya katakan, saya termasuk believer, orang yang percaya,

lebih bagus kalau kita bicara sensor mana yang patut dan tidak

patut untuk diberitakan, itu pers sendiri, self sensoring. Mengapa

era kontrol terhadap pers, era bredel, era ditahan tanpa proses

pengadilan sudah usai, dan tidak boleh terjadi lagi di negeri kita

ini? Namun perlu ada kepatutan oleh pers sendiri. Pelajaran sangat

berharga oleh media massa di Denmark, masih ingat karikatur Nabi

Muhammad. Pelajaran besar yang kita petik ternyata, kebebasan

pers sebagaimana kebebasan yang dimiliki oleh siapa pun itu tidak

absolut selalu ada pagar-pagarnya. Demikian konstitusi kita, Undang

Undang Dasar 1945 pasal 28 J, demikian juga the universal of dec-

larations of human right selalu ada pagar. Pagar untuk kebaikan

kita, kebaikan manusia kebaikan bangsa. Saya ingin betul self

sensoring dihidupkan. Saya menaruh harapan pada Dewan Pers,

saya menaruh harapan pada para Wartawan Senior, saya berharap

pada Pimpinan Organisasi Kewartawanan, Organisasi Media Massa,

Pemerhati Pers untuk mendorong dengan prinsip teori kepatutan.

Patut atau tidak patut? Silakan.

Berikutnya lagi, kita sering mendengar bahasa menunjukkan

bangsa. Sejauh mana mari kita telaah baik-baik, jernih-jernih, baik

| 43

apa namanya dengan tenang. Sejauh mana bahasa media itu betul-

betul bagian dari character building. Media, bahasa media memang

harus tajam, harus menarik, harus writeable, harus marketable.

Kalau tidak, tidak mungkin bisa survive dalam kompetisi antar

perusahaan media massa yang sangat keras dewasa ini di dalam

negeri maupun pada tingkat global. Namun, bahasa itu, sebagaimana

tadi bahasa menunjukkan bangsa, janganlah memakai  bahasa

yang kasar, bahasa yang mudah sekali mencaci maki, sebab  itu

bisa merusak jiwa, apalagi anak-anak remaja kita. Sebentar lagi

kita akan melihat putra putri kita, pelajar SMP, SMA membaca koran

dan akan saya canangkan dari Semarang ini “Gerakan Gemar

Membaca Koran Seluruh Indonesia” mulai sekarang.

Pesan saya sebagai yang sedang mengemban amanah, mari

kita jaga bahasa itu, kita jaga content itu, agar demikian mereka

merasa Alhamdulillah, saya sekarang sudah bisa membaca koran

banyak yang saya dapatkan. Orang tua pun, waduh senang anak-

anak saya sudah gemar membaca koran. Jangan sampai nanti

sebab  ada satu, dua bahasa yang tidak proper, isi yang tidak proper,

orang tua malah cemas, wah, jangan-jangan ini terpengaruh, jangan-

jangan ini begitu begini. Kita jaga bersama-sama insya Allah bisa

untuk mengembangkan ini semua.

Saya ingin tentu bisnis media massa tumbuh untuk ekonomi,

untuk lapangan pekerjaan, untuk saudara-saudara kita. Bisnis

tumbuh, Saudara membayar pajak, pajak untuk pendidikan,

kesehatan. Kita untung, kita ingin sekaligus dengan tampilan yang

tepat tadi, rakyat kita makin cerdas, sesuai dengan amanah

konstitusi, mencerdaskan kehidupan bangsa. Twin objective,

kebutuhan kembar harus sama-sama kita wujudkan, kita capai.

Saudara-saudara,

Kalau saya harus memilih, memilih pers yang bebas atau pers

yang dikontrol atau dipasung, tentu saya, kita semua memilih pers

yang bebas. Sepuluh tahun yang lalu, 1998, awal reformasi, bahkan

Pak Harto waktu itu masih menjadi Presiden. Saya ditugasi untuk

memimpin perumusan cetak biru reformasi TNI waktu itu, saya juga

--

44 |  -

menjadi Ketua Fraksi TNI di MPR waktu itu. Saya berpendapat

sangat bulat bahwa kebebasan pers harus diperjuangkan dan harus

hadir di negeri ini. Tidak sendiri Saudara-saudara, banyak putra-

putri bangsa, dari manapun, apapun profesinya diawal reformasi

atau jauh sebelum reformasi dulu ingin melihat kehidupan pers yang

baik di negeri ini. Jangan sanksikan itu. Pilihan kita adalah

kebebasan pers.

Kalau kita turunkan lagi derivasi dari itu, memilih yang mana

kebebasan pers yang membawa manfaat dan bertanggung jawab

atau sebaliknya? Saya pilih tentunya kebebasan pers disertai

dengan akhlak, disertai dengan manfaat dan tanggung jawab kita

semua. Mesti bisa, sekarang kita sedang menuju ke situ. Saya

senang bahwa kita sudah menuju ke situ untuk melakukan reformasi,

betul-betul kita ingin menghidupkan kebebasan pers yang membawa

manfaat, disertai dengan akhlak tadi,  dan dapat kita

pertanggungjawabkan.

Kita tentu melakukan koreksi apabila ada satu, dua yang tidak

pada pers itu, pada jalur itu. Teruslah mengembangkan positive jour-

nalism, constructive journalism. Teruslah menjunjung tinggi

idealisme dan etika jurnalisme. Teruslah membangun media,

perusahaan atau bisnis media massa yang tangguh, sebagaimana

saya sampaikan tadi, terus berkembang dan saya titip perhatikan

kesejahteraan para karyawan. Karyawan yang bertugas di

perusahaan-perusahaan media massa, mereka pahlawan di

belakang layar. Lakukan pula investasi, pendidikan, pelatihan kepada

para wartawan, wartawan muda utamanya agar terus meningkat

kemampuannya, terus meningkat profesionalitasnya. Dengan

demikian, cita-cita bersama kita, kehidupan di negeri ini, termasuk

kehidupan pers yang semakin berkualitas akan dapat kita wujudkan.

Keluarga Besar Insan Pers yang saya cintai,

Saudara-saudara,

Tadi Pimpinan PWI, Pak Tarman Azzam menyampaikan dan

saya senang sebab  sudah mendiskusikan melalui Konvensi Nasional

kemarin. Indonesia 2030, Indonesia twenty thirty, saya selalu

| 45

mengundang, saya menyambut baik pikiran darimana pun yang

memikirkan masa depan negaranya, apakah forum Indonesia, siapa

pun harus kita berikan ruang, jangan buru-buru lantas dimatikan

idenya, pikirannya. Siapa pun, boleh sesudah  itu dikritik, dikoreksi,

dibenahi, namun  biarkan mekar di negeri ini, orang yang memiliki

optimisme, mereka yang menginginkan negerinya berkembang lebih

baik dengan pikiran-pikiran yang segar dan menjangkau.

Visi kita adalah 2030, 2050, insya Allah Indonesia akan menjadi

negara yang makin maju, makin maju. Apakah bisa? Bisa. Kita

punya capital, kita punya resources, kita punya jalan. Krisis pun

bisa kita lewati dengan persatuan, dengan optimisme dan dengan

kerja keras, insya Allah bisa. Tentu, saat  anak-anak kita, mungkin

cucu-cucu kita memimpin negeri ini.

Saudara-saudara,

Saya meminta memang jangan terlalu mudah kita memperolok-

olok diri sendiri, terlalu merendahkan diri sendiri, merasa kita ini

terpuruk terus, merasa kita ini gagal terus, sebab  sesungguhnya

dari periode ke periode selalu ada perbaikan dan kemajuan. Kalau

negara lain saja dengan ukuran yang objektif, secara rasional

memberi  apresiasi kepada kita, mengapa kita sendiri melukai

diri kita, tidak bersyukur.

Bulan Juli saya diundang oleh G8 di Tokyo. Saudara tahu G8?

Mengapa diundang? Akan mengundang beberapa negara, yaitu

China, India, Afrika Selatan, Indonesia, Australia. Undangan ini

sendiri sesungguhnya sudah merupakan kehormatan bagi Indone-

sia, sebab  kita masuk radar, sebab  kita dianggap sebagai emerg-

ing economies. Meskipun masih panjang yang harus kita lalui.

Meskipun baru sedikit anak tangga pertama dan kedua, tidakkah

itu optimisme, tidakkah itu sinar yang terang di masa depan. Jangan

kita sia-siakan, jangan kita menganggap kita ini bangsa yang pal-

ing handap, paling bawah, paling rendah. Keliru, kalau kita berpikir

kerdil, kerdil betul, kalau kita merasa jelek kalah terus, jelek dan

kalah betul. Kalau kita optimis, bersatu bersama-sama mengatasi

semuanya itu, jadi betul, bangsa yang maju, saya yakin itu.

--

46 |  -

Yang kedua, terima kasih PWI, terima kasih Insan Pers,

Saudara akan memberi  dukungan kritis terhadap Pemerintah.

Kritik itu obat, kalau kita sakit dikritik obatnya pas, bikin sembuh,

asalkan dosisnya pas. Kalau semuanya memuji, kalau semuanya

memuji berarti nggak ada obat, nggak akan sembuh. Kalau obatnya

salah, dosisnya yang harusnya tiga kali sehari, dua belas kali sehari,

collapse, pas. Senang saya. Berikan kritik kepada Pemerintah. Dan

jangan hanya kepada pemerintahan saya, pemerintahan-

pemerintahan yang akan datang pun dukungan perlu diberikan

secara kristis. Ini berarti pendidikan kebangsaan yang baik. Siapa

pun yang dipilih oleh rakyat, siapa pun, Pemerintah mana pun, tentu

Presiden yang dipilih rakyat itu, perlakukan secara sama, dukungan

yang kritis dan bertanggung jawab, itu maju.

Pemimpin yang terninabobokan barangkali tidak sadar bahwa

ternyata keliru jalannya. Jadi setiap saya mendapatkan kritik,

cercaan, kadang-kadang makian, saya dengan istri sebagai manusia

biasa, saya ambil hikmahnya, ya Allah mudah-mudahan saya tidak

pada jalan yang salah, saya diingatkan, saya dibegitukan dan

sebagainya. Sambil membangun nilai yang baik di negeri ini, saling

ya paling tidak, kalau tidak untuk hormat-menghormati, saling

memelihara tali silaturahim. Berkali-kali saya katakan, politik bisa

berbeda dan perbedaan itu indah, namun  tali silaturahim jangan

diputus di antara kita, diantara pemimpin, diantara elit bangsa. Itu

harus kita pertahankan.

Dan apresiasi saya, gerakan wartawan menanam, saya

sungguh bergembira. Tolong Bapak, Ibu sukseskan. Tidak usah

terlalu banyak teori, kalau dunia kita mau selamat, Indonesia kita

mau selamat, lingkungan kita mau baik, mari kita rawat baik-baik,

termasuk gerakan menanam yang harus kita sukseskan.

Banjir terjadi dimana-mana, di Bangladesh. Amerika

terguncang 60 orang diperkirakan tewas. Bolivia, China yang terburuk

dalam 50 tahun terakhir badai selama tiga minggu, orang

mempercayai sebab  climate change, sebab  global warming. Mari

mulai sekarang tidak perlu melihat ke belakang, kita pelihara bumi

| 47

kita, tanah air kita, Indonesia kita, contoh yang konkret, gerakan

wartawan menanam.

Dan yang terakhir sekali, begini, ini pelajaran yang sangat

berharga. Ada suatu era di negeri ini, insan pers merasa sangat

sakit sebab  kekuasaan politik dibredel, ditahan, dipenjarakan tanpa

proses hukum. Penderitaan itu barangkali tidak terbayarkan. Menjadi

catatan sejarah dan Tuhan Maha Besar, bangsa ini sadar itu tidak

sepatutnya terus terjadi di negeri kita ini, terjadilah reformasi,

transformasi.

Sekarang pers memiliki kekuasaan yang besar. Ambil

pelajaran, jangan sampai sebab  kecerobohan dalam pemberitaan,

ada orang-orang yang merasa sakit, sakit sekali dan mereka tidak

berdaya untuk bagaimana menghilangkan sakitnya. Sebagai contoh,

susaha  saya bisa memakai  bahasa terang, kalau ada judul

besar-besar Bupati X korupsi Rp 30 miliar, judul besar. Tujuh turunan,

anak istri mungkin seminggu menangis, padahal belum tentu. Proses

hukum pun belum, baru informasi awal. Proses hukum pun akhirnya

nanti pengadilan yang memutuskan bersalah atau tidak bersalah.

Ini contoh dan banyak lagi barangkali yang mungkin tidak disadari,

menyakitkan sebagian dari kita.

Secara moral saya mengajak insan pers, mari kita lakukan

satu interaksi yang baik ke depan, mengambil manfaat di waktu

yang lalu. namun  saya juga memuji apa yang saya ikuti sudah banyak

cara Saudara meliput, memberitakan yang konstruktif, yang

mendidik, yang membawa manfaat, mari kita pertahankan dan mari

kita lanjutkan.

Demikianlah Saudara-saudara, yang ingin saya sampaikan dan

akhirnya dengan memohon ridho Tuhan Yang Kuasa, saya

mengucapkan ”Bismillahirrahmanirrahim” Gerakan Gemar Membaca

Koran di Seluruh Tanah Air dengan resmi saya nyatakan dimulai.


Kebebasan pers di Indonesia sering kali dipersoalkan. Ada

yang menilai pers telah kebablasan dan terkesan tanpa rambu-

rambu. Ada juga yang menilai pers menolak kontrol dari hukum dan

mengabaikan budaya warga . Kebebasan pers hanya dianggap

menguntungkan komunitas pers. Pers leluasa mengeksploitasi

kebebasan tapi lalai menyuarakan kepentingan warga .

Ujungnya, ada desakan merevisi UU Pers Nomor 40 tahun 1999.

Untuk mengetahui sejauh mana persepsi warga  terhadap

kebebasan pers, pada awal April 2008, Dewan Pers melakukan survei

dengan metode wawancara jarak jauh. Survei mencakup 305

reponden di enam kota yakni Jakarta, Makassar, Medan, Pontianak,

Jayapura, dan Surabaya. Apa hasil dan kesimpulan dari survei

ini ? Berikut perbincangan dengan anggota Dewan Pers,

Satria Naradha.

--

28 April 2008

Narasumber:

Satria Naradha

Anggota Dewan Pers

Host Tamu:

Bekti Nugroho

Anggota Dewan Pers

Penyiar Radio:

Budi Kurniawan

--

--

50 |  -

Apa maksud dan tujuan riset tentang persepsi warga 

terhadap kebebasan pers ini?

Riset ini untuk mencari tahu persepsi warga  tentang kebebasan

pers, sebab  ada yang menilai pers selama ini telah kebablasan. Pers

sesudah  adanya UU Pers telah kebablasan. Tapi ternyata, hasil yang

ditemukan tidak demikian.

Apa saja hasilnya?

Sebagian responden menilai pers kita masih berada pada posisi yang

sebenarnya. Sebanyak 54 persen responden menilai pers telah bebas

memberitakan apa saja tanpa ditekan pihak manapun. Sebesar 63 persen

tidak setuju dengan pernyataan bahwa media Indonesia saat ini sudah

kebablasan. Dan 26 persen setuju dengan pernyataan media saat ini sudah

terlalu bebas. Hasil ini menarik sebab  ke depan, kita harus lebih menjaga

peran pers pada posisi yang diharapkan warga  agar dapat menjadi

pilar yang mencerahkan. namun , ada hal yang mungkin bisa menjadi

keprihatinan kita. sebab , di sisi lain warga  kita masih belum paham

bagaimana mengatasi sengketa yang ditimbulkan oleh pemberitaan pers.

Ternyata, sebagian besar responden, 45 persen, menyatakan menempuh

jalan melalui polisi. Sedangkan 35 persen memilih melakukan hak jawab

kepada media. Data ini menunjukkan pemahaman warga  tentang

sengketa pers masih kurang. Yang lainnya adalah soal pembredelan.

Sebanyak 42,3 persen responden tidak setuju jika pemerintah membredel

pers. Tapi 33,4 persen setuju kalau pemerintah melakukan pembredelan.

Sekitar 45 persen menyatakan sengketa pers dibawa ke polisi.

Kesimpulan apa yang Anda tarik?

Saya kira perlu ada kesepahaman semua pihak bahwa apa yang

dilakukan oleh pers adalah menjalankan fungsi sesuai yang diharapkan

“Sebesar 63 persen tidak setuju dengan pernyataan bahwa

media Indonesia saat ini sudah kebablasan.”

| 51

warga . Jangan sampai, saat  pers melakukan kesalahan, langsung

dituduh atau dianggap sebagai musuh. Kita meminta agar media

ditempatkan pada porsi dan posisi yang sebenarnya. saat  ada kesalahan,

atau pelanggaran etika pers, sebaiknya yang dilakukan adalah melalui

komunikasi dengan media. Dan tentunya juga salurannya adalah melalui

Dewan Pers. Kalau hal ini dilakukan, saya kira pers kita akan menjadi lebih

baik dan dewasa. Tapi saya kira, apa yang terjadi saat ini, misalnya maraknya

tuntutan kepada pers, merupakan gejolak yang terjadi di tengah warga .

Akhir-akhir ini muncul demonstrasi terhadap media, terutama

media lokal. namun , mengapa 66 persen responden tidak setuju

dengan cara demonstrasi itu?

Saya kira sangat bergantung pada situasi politik di daerah, dan

bagaimana media bisa menempatkan diri di daerah ini . Media kita

harapkan bisa berdiri di tengah. saat  pers di suatu tempat bisa berinteraksi

secara adil baik dengan pemerintah maupun warga , demonstrasi bisa

dieliminasi. Namun, warga  juga harus terus disadarkan bahwa fungsi

pers adalah melakukan kontrol terhadap pemerintah dan publik. Dengan

kesadaran itu, keharmonisan bisa terjalin. Keharmonisan inilah yang perlu

terus dibina. Ke depan Dewan Pers akan menyosialisasikan segala peraturan

berdasar hasil dari riset yang kita lakukan itu.

Muncul wacana revisi UU Pers. Apa pendapat Anda?

UU Pers yang ada sudah cukup bagus dan masih relevan menjaga

kebebasan pers, menjaga hubungan harmonis antara pers dan berbagai

pihak. sebab  itu, hemat saya, UU Pers tidak perlu direvisi. Sikap ini juga

telah diungkapkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Muhamad Nuh).

saat  direvisi, bisa muncul trauma seperti masa lalu yakni pers dikontrol

dan dikendalikan pemerintah. Saat wacana revisi UU Pers muncul,

pemerintah saat ini akan dinilai hendak mengembalikan kondisi masa lalu

yakni kembali mengontrol pers. sebab  itu, dengan data survei ini, revisi

itu tidak perlu dilakukan. Tapi persoalannya, wacana revisi itu bisa muncul

sebagai hak inisiatif dari DPR.

--

52 |  -

Mengapa usulan itu muncul dari DPR?

Bisa jadi ada anggota DPR merasa terganggu oleh kemerdekaan

pers. Mereka tidak sadar bisa menduduki kursi DPR sebab  ada

kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers yang membuat warga 

menjatuhkan pilihan kepada mereka dalam Pemilu. Tapi, saat  mereka

duduk di kursi kekuasaan, malah hendak mengembalikan iklim represif.

Ini kan ironis.

Apa yang dilakukan Dewan Pers ke depan?

Dari hasil survei ini, saya kira, yang menjadi tugas Dewan Pers ke

depan adalah melakukan sosialisasi kepada warga , misalnya terkait

sengketa dengan media. Dewan Pers akan melakukan sosialisasi kepada

warga  luas agar mereka memakai  koridor melalui Dewan Pers.

Diolah dari: Harian Jurnal Nasional | Jum’at, 2 Mei 2008

(Fransiskus Saverius Herdiman)

™™™

| 53

Penelitian ini memakai  metode survei (survey research).

Survei ini dilakukan di 6 kota di Indonesia —masing-masing Jakarta,

Surabaya, Medan, Pontianak, Makasar, dan Jayapura pada Maret-

April 2008. Di masing-masing kota, diwawancarai 50 orang

responden. Total responden yang diwawancarai sebanyak 305 or-

ang responden. Dengan jumlah sampel sebesar ini, kesalahan sampel

(sampling error) dalam survei  ini adalah plus minus 5,7% pada

tingkat kepercayaan 95%.

Wawancara dilakukan dengan memakai  telepon

(telepolling). Populasi dari survei adalah semua pemilik telepon di 6

kota (Jakarta, Surabaya, Medan, Pontianak, Makassar, dan

Jayapura). Kerangka sampel yang dipakai adalah Petunjuk Buku

telepon 2007 dan sampel diambil dengan memakai  metode

sampel acak sistematis (systematic random sampling). Responden

dalam survei ini mencerminkan (representasi) suara dari pemilik

telepon di 6 kota ini  —yang bisa disimpulkan sebagai suara

kelas menengah di 6 kota. sebab  survei ini hanya menyertakan

warga  pemilik telepon, survei ini tidak lah mencerminkan suara

dari semua lapisan warga . Tabel 1.1 menunjukkan karakteristik

dari responden survei. Dari tabel ini terlihat, responden dalam survei

ini menyertakan responden dengan pendidikan dan akses media

yang relatif tinggi.

Kondisi kebebasan pers

Sejauh mana warga  menilai kondisi kebebasan media.

Apakah warga  juga menilai media saat ini “kebablasan”? Survei

yang dilakukan oleh Dewan Pers menunjukkan sebagian besar

(63%) responden tidak setuju dengan pernyataan yang menyebut

media di Indonesia saat ini sudah ”kebablasan”. Sebanyak 26%

setuju dengan pernyataan bahwa media saat ini sudah terlalu bebas.

Pendapat Publik Terhadap Kebebasan Pers

--

54 |  -

Tekanan

Survei ini juga menanyakan kepada responden penilaian atas

kemandirian media dalam menghadapi tekanan eksternal. Tekanan

eksternal di luar media ini bisa berupa tekanan pemilik, organisasi

massa, pengusaha dan pemerintah. Mayoritas (68%) menilai me-

dia saat ini sudah bebas dari pengaruh atau tekanan pemerintah.

Responden sebagian besar (56%) juga menilai media saat ini sudah

bebas dari pengaruh pihak pengusaha. Yang menarik, hanya 29%

saja responden yanh menilai media saat ini sudah bebas dari tekanan

kelompok massa dan pemilik media (

Pertemuan Dewan Pers dengan perwakilan komunitas pers

dan warga  pada akhir Oktober 2008, berhasil menyelesaikan

penyusunan Pedoman Hak Jawab. Pada hari yang sama Ketua

Dewan Pers, Prof. Dr. Ichlasul Amal, mengesahkan Pedoman

ini  sebagai Peraturan yang berlaku bagi pers nasional.

Penyusunan Pedoman Hak Jawab dimulai sejak April 2008.

Sebelas pertemuan digelar untuk menampung masukan, membahas

draft, dan akhirnya mengesahkannya. Dengan telah tersusunnya

Pedoman ini, warga  yang merasa dirugikan akibat berita pers

terbantu untuk memahami dan memakai  Hak Jawab. Sedangkan

bagi redaksi pers, Pedoman ini merupakan petunjuk mengenai

bagaimana melayani Hak Jawab yang diajukan warga .

Mengapa Pedoman Hak Jawab perlu disusun? Apa saja isi

dari Pedoman ini ? Berikut ini perbincangan dalam program

Sarapan Pagi KBR 68 dengan narasumber Anggota Dewan Pers,


--

Melaksanakan Hak Jawab untuk Menjaga Kemerdekaan Pers

Ada sebelas kali pertemuan digelar. Sepertinya pembahasan

Pedoman Hak Jawab alot?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya akan mulai dari awal. Salah

satu tugas dari Dewan Pers adalah memfasilitasi pembuatan peraturan-

peraturan di bidang pers. Kenapa harus memfasilitasi? Pada konsep awal

perumusan UU Pers disebutkan “Dewan Pers membuat peraturan-peraturan

di bidang pers”. Namun, pengalaman masa lalu menunjukkan—khususnya

Departemen Penerangan sebagai instansi yang membuat peraturan di

bidang pers—cenderung menghasilkan peraturan-peraturan ke arah otoriter,

tidak demokratis. sebab  itu, pembuat UU Pers khawatir, kalau

kewenangan serupa diberikan kepada Dewan Pers, maka akan terulang

kesalahan yang sama. Sehingga, rumusan dalam UU Pers menjadi “Dewan

Pers memfasilitasi pembuatan peraturan-peraturan di bidang pers.”

Sesuai dengan fungsi itu, Dewan Pers kemudian mulai memfasilitasi

pembuatan peraturan di bidang pers, termasuk mengenai Hak Jawab.

Mengapa Dewan Pers memfasilitasi pembuatan pedoman mengenai Hak

Jawab? UU No.40/1999 tentang Pers, meskipun tidak dinamakan UU

pokok, namun  berisi pokok-pokok. Banyak hal yang penjabarannya menjadi

perdebatan. Salah satu di antaranya masalah Hak Jawab. Misalnya timbul

persoalan, bagaimana dan kapan Hak Jawab dilaksanakan.

Apa urgensi dari Pedoman ini? Apakah ada kaitannya dengan

kasus pers yang muncul belakangan, misalnya kasus Asian Agri

dengan majalah Tempo yang berujung di pengadilan?

Kita tidak melihat kasus-perkasus. Kalau kita lihat secara

keseluruhan, Hak Jawab menjadi persoalan yang sangat penting.

Persoalan antara pers dengan warga  sering timbul sebab 

pelaksanaan Hak Jawab. Masing-masing pihak berpegang pada

pendapatnya sendiri sehingga timbul berbagai sengketa dan kontroversi.

Di lain pihak UU Pers menyebutkan, kemerdekaan pers merupakan

hak warga , bukan milik atau hak eksklusif pers. sebab  itu, semua

pihak harus menikmati kemerdekaan pers. Salah satu caranya dengan

memberi kepada warga  Hak Jawab yang proporsional. Dalam hal ini

Di lain pihak UU Pers menyebutkan, kemerdekaan pers

merupakan hak warga , bukan milik atau hak eksklusif pers.

sebab  itu, semua pihak harus menikmati kemerdekaan pers.

Salah satu caranya dengan memberi kepada warga 

Hak Jawab yang proporsional.

“”

wartawan dituntut untuk membuat berita yang profesional. Dan saat  pers

melakukan kekeliruan, warga  yang dirugikan memiliki hak untuk

membenarkan. warga  luas juga berhak memperoleh informasi yang

benar. Di sini terjadi suasana dialogis antara pers sebagai penegak amanah

kemerdekaan pers dengan warga  sebagai pemilik kemerdekaan pers.

Dan Hak Jawab dapat menjaga kemerdekaan pers agar berjalan dengan

benar.

Seperti apa contoh kasus sengketa Hak Jawab?

Ada banyak kasus yang timbul sebab  Hak Jawab. Komplainnya,

misalnya, kenapa Hak Jawab tidak dimuat sesuai dengan berita yang

ada. Contohnya, berita yang menjadi headline atau berita pertama radio

atau televisi. Hak Jawab untuk berita ini  hanya dimuat sedikit, padahal

beritanya dianggap sudah memicu  kerugian besar. Hal-hal sejenis 

ini kalau dibiarkan terus akan menyebabkan persoalan Hak Jawab

menggunung dan dapat menganggu kemerdekaan pers.

Apakah tujuan pembuatan Pedoman Hak Jawab untuk memberi

kepastian hukum agar hanya sedikit celah kasus pers dibawa ke

pengadilan?

Itu hanya satu tujuan. Kita mendasari kemerdekaan pers berasaskan

demokrasi, supremasi hukum. Di situ juga harus ada keseimbangan antara

pers dengan warga . Inilah yang utama. Bila sesudah  hak diberikan

secara seimbang dan proporsional kasusnya tidak ke pengadian, itu

Melaksanakan Hak Jawab untuk Menjaga Kemerdekaan Pers


konsekwensi logis. Tujuan utamanya bukan semata-mata mencegah kasus

pers ke pengadilan, tapi lebih memberi rasa keadilan kepada semua pihak,

memberi informasi yang beraneka ragam dan berimbang untuk warga 

luas.

Apa saja yang diatur di dalam Pedoman ini?

Pedoman Hak Jawab memuat 17 poin ditambah sub-sub poin.

Pengaturannya dimulai dari pengertian Hak Jawab. Pengertian Hak Jawab

yang sudah ada di UU Pers dan - (KEJ) diperjelas.

Misalnya, apa yang dimaksud “kelompok warga ”? Siapa yang dapat

mewakili “kelompok warga ”?

Juga diatur, dimana Hak Jawab harus dimuat dan dalam bentuk apa.

sesudah  melalui 11 kali pertemuan dan perdebatan sengit—kadang-kadang

satu bagian membutuhkan perdebatan setengah hari—akhir disepakati,

Hak Jawab dimuat pada tempat yang sama dimana kesalahan itu terjadi.

Ini prinsip utamanya.

Mengenai persoalan pemuatan Hak Jawab sebenarnya ada dua

mazhab, yaitu mazhab Prancis dan Amerika. Mazhab Amerika bersifat

fleksibel, mengutamakan independensi redaksi. Jadi terserah redaksi mau

menempatkan Hak Jawab di mana. Sedang mazhab Prancis lebih rigit.

Indonesia, seperti biasanya, menganut jalan tengah.

Bukankah jalan tengah itu berarti tidak jelas?

Sebenarnya jelas. Pada prinsipnya Hak Jawab harus dimuat pada

tempat yang sama dengan berita sebelumnya. namun , jika disepakati lain

oleh para pihak maka boleh di tempat lain.

Selama ini warga  banyak mengeluhkan pers yang hanya

mau memuat Hak Jawab dengan ukuran kecil, sehingga mereka

memilih ke pengadilan. Apakah Pedoman ini telah dikomuni-

kasikan dengan pers sehingga tidak memicu  masalah?

| 61

Pembuatan Pedoman ini dilakukan oleh hampir semua bagian

warga  yang berhubungan dengan Hak Jawab. Tentu yang pertama-

tama adalah pers sendiri yang terdiri atas bagian redaksi dan perusahaan.

Kita juga melibatkan para penegak hukum, hakim, jaksa, para pembela,

Humas, akademisi, dan tokoh warga . Semua pihak terlibat dalam

pembuatannya, sehingga timbul banyak aspirasi dan pandangan. Akibatnya

muncul perdebatan yang cukup alot, sampai ada 11 kali pertemuan.

Perumusan Pedoman ini bisa dibilang lama bisa juga dibilang cepat.

Materinya banyak serta substansinya berat. Kalau di-compare dengan

masa lalu, 30 tahun Orde Baru gagal membuat Pedoman Hak Jawab ini.

Kalau mau otoriter, Dewan Pers cukup menggelar sekali atau dua

kali pertemuan. Namun, Dewan Pers memberi kesempatan munculnya

perdebatan. Misalnya soal penempatan Hak Jawab, ada yang berpendapat

Hak Jawab bisa dimuat di tempat atau acara yang sama dengan berita

sebelumnya. Pendapat lain menyatakan “tidak.” Kemudian, dengan alasan

untuk kepentingan pers sendiri, disepakati pada prinsipnya Hak Jawab

dimuat di tempat yang sama dengan berita sebelumnya. Dengan begitu

pers semakin berhati-hati dalam menulis berita terkait fakta-fakta. Memicu

pers untuk memperbaiki diri.

Hak Jawab bisa dimuat di tempat yang lain asal disepakati oleh para

pihak. Exception ini dimungkinkan. Misalnya ada kesalahan pada cover,

apakah Hak Jawabnya juga di cover? Kalau kesalahannya berat, bisa saja

Hak Jawab juga dimuat di cover. Dapat juga dimuat di dalam dengan for-

mat seperti cover atau lainnya.

Seperti itukah yang disebut jalan tengah?

Ia. Tapi harus ada persetujuan para pihak.

Kalau mau otoriter, Dewan Pers cukup menggelar sekali atau

dua kali pertemuan. Namun, Dewan Pers memberi kesempatan

munculnya perdebatan.

“”

Melaksanakan Hak Jawab untuk Menjaga Kemerdekaan Pers

Kalau media cetak Hak Jawab dimuat di halaman yang sama,

bagaimana dengan pemuatan di media elektronik?

Pada prinsipnya sama, yaitu Hak Jawab dimuat pada kesempatan

pertama yang memungkinkan dan pada program yang sama. Kalau di

televisi bisa dilakukan pada program berita berikutnya yang sesuai. Bisa

juga sesuai kesepakatan para pihak. Hak Jawab dapat dimuat dalam for-

mat lain seperti running text, wawancara, feature, talkshow, dan lainnya

sesuai kesepakatan.

Hal penting lainnya, Hak Jawab hanya ditujukan kepada pers yang me-

nyiarkan atau memublikasikan dan dimuat tidak dalam bentuk iklan. Se-

karang ini banyak pengacara minta Hak Jawab juga dimuat di media-media

lain yang jumlahnya banyak. Pedoman ini meluruskan pandangan itu.

Sebelum Dewan Pers mengeluarkan Pedoman ini, sulit menjawab

pertanyaan mengenai Hak Jawab sebab  yang diminta aturan pastinya.

Dengan Pedoman ini Dewan Pers bisa lebih jelas memberi rujukan. Pedoman

ini diharapkan bisa memecahkan sebagian dari persoalan Hak Jawab.

Apakah bisa kesalahan yang ada di program berita kemudian

Hak Jawabnya dimuat di program non berita?

Prinsipnya bisa. Namun, sebaiknya Hak Jawab dimuat pada pro-

gram yang sesuai. Misalnya kesalahan menyangkut berita politik dan Hak

Jawabnya dimuat di program anak-anak, tentunya tidak sesuai. Tapi, kalau

pihak yang mengajukan Hak Jawab setuju tidak akan jadi masalah.

Ada warga  yang dirugikan oleh pers kemudian mengirim

Hak Jawab dalam format Surat Pembaca. Apakah Surat Pembaca

ini  perlu ditampilkan lagi di tempat berita yang salah?

Kalau pengguna Hak Jawab merasa di Surat Pembaca sudah cukup,

tidak jadi masalah lagi. Dan perlu diingat, Surat Pembaca bukan rubrik

buangan. Menurut survei, Surat Pembaca menempati posisi yang relatif

tinggi ratingnya. Artinya diminati. Kalau kita ingin mendengar suara

warga  maka seringkali tidak lagi Tajuk yang dibaca tapi Surat


Pembaca. Ada kesalahpahaman di warga  seolah-olah Surat Pembaca

adalah rubrik buangan yang tidak penting.

Saya perlu bacakan fungsi dari Hak Jawab yang dimuat dalam

Pedoman ini. Pertama, memenuhi hak warga  untuk mendapatkan

informasi yang akurat. Kedua, menghargai dan menghormati martabat

orang lain yang merasa dirugikan akibat pemberitaan. Ketiga, mencegah

atau mengurangi munculnya kerugian yang lebih besar bagi warga 

dan pers. Keempat, untuk pengawasan warga  terhadap pers.

Sedangkan tujuan Hak Jawab susaha  ada pemberitaan yang adil dan

berimbang, tanggung jawab pers kepada warga , dan yang tidak kalah

pentingnya adalah menyelesaikan sengketa akibat pemberitaan pers, serta

wujud dari itikad baik pers.

Surat Pembaca umumnya tidak ditempatkan di halaman yang

mencolok. Apa ini indikasi kalau Surat Pembaca tidak penting

sebab  ditempatkan di tempat yang tidak mudah dilihat?

Dalam jurnalistik ada pembagian rubrik dan segmen. Surat Pembaca

merupakan bagian dari opini. Dia selalu diletakkan di bagian opini, dekat

dengan tajuk dan opini yang lain. Jadi, bukan sebab  dia tidak terhormat

kemudian tidak ditempatkan di depan.

Apakah Pedoman ini juga memberi batasan waktu bagi

seseorang untuk memakai  Hak Jawab?

Orang yang merasa dirugikan, kalau dia memang memiliki niat untuk

memperbaiki, dia akan segera bereaksi dalam batas yang wajar. Katakanlah

sesegera mungkin mengirim Hak Jawab. Akhirnya kita bersepakat, kalau

reaksi itu lebih dari dua bulan maka itu sudah tidak wajar. sebab  itu, Hak

Jawab ada kadaluarsanya yaitu dua bulan sejak terbitnya karya jurnalistik

ini . Lebih dari dua bulan prinsipnya Hak Jawab tidak bisa diajukan.

Meski demikian pers juga memiliki moralitas yang tinggi. Apabila redaksi

merasa ada hal yang sangat penting dari Hak Jawab itu, batas dua bulan

bisa diterobos, dengan syarat redaksi pers bersedia.

Melaksanakan Hak Jawab untuk Menjaga Kemerdekaan Pers


Dengan adanya kadaluarsa dua bulan, bukankah memberi

peluang warga  untuk langsung membawa kasus pers ke

pengadilan?

UU Pers itu bersifat prima. Artinya, sepanjang ada mekanisme

penyelesaian melalui UU Pers, maka itu harus ditempuh dulu, termasuk

dalam mekanisme Hak Jawab. Kode etik kemudian memperjelas hal ini.

Masalahnya, pihak yang dirugikan sudah diberikan kesempatan untuk me-

nyampaikan Hak Jawab dan dia tidak gunakan. Di sini berlaku “orang yang

mengetahui adanya kesalahan tidak membantah kesalahan itu dianggap

membenarkan adanya kesalahan itu.” Jadi, kalaupun ke pengadilan, pe-

ngadilan akan mengatakan, mengapa tidak memakai  Hak Jawab dulu?

Bagaimana Dewan Pers ikut memberi perlindungan agar or-

ang atau perusahaan besar tidak bisa memainkan kasus pers semau

mereka di pengadilan?

Sistem pengadilan kita terbuka, siapapun yang menggugat harus

diterima. Bahwa nanti dikalahkan, itu lain soal. Namun, kita sudah

meletakkan dasar-dasar bahwa kalau ada orang membiarkan kesalahan

berita berarti ada hal yang tidak benar.

Mengenai permintaan kepada pers untuk merahasiakan penulis

Surat Pembaca, apakah pers bisa dipercaya?

Kalau redaksi memuat Surat Pembaca dengan tidak menyebut nama

dan alamat penulisnya, seluruh tanggung jawab terhadap isi Surat Pembaca

itu ada di redaksi. Redaksi tidak boleh membocorkan identitas penulisnya.

Kalau membocorkan bisa dihukum, baik secara kode etik (sebab 

melanggar etika untuk merahasiakan sumber informasi), maupun secara

yuridis. Orang yang sebab  profesinya harus merahasiakan sesuatu

kemudian membocorkan, bisa dihukum.

Dalam Pedoman ini, apakah permintaan maaf dari media wajib

dilakukan?

Tidak, kecuali untuk kesalahan yang bersifat berat, terutama berisi

opini yang menghakimi. Sebenarnya, pers kalau salah wajib meminta maaf,

apalagi ada permintaan dari pihak lain.

Perlu diingatkan kepada warga  apabila dirugikan oleh pemberitaan

pers silakan gunakan Hak Jawab dan tembuskan Hak Jawab itu ke Dewan

Pers. Apabila Hak Jawab itu tetap tidak diproses, adukan ke Dewan Pers.

Sumber: Diolah dari Harian Jurnal Nasional | 10 Desember 2008

Dewan Pers Berlakukan Hak Jawab

Rapat Pleno Dewan Pers yang digelar Rabu, (29/10/2008)

memutuskan untuk memberlakukan Pedoman Hak Jawab sebagai

peraturan yang berlaku bagi pers Indonesia. Ketua Dewan Pers,

Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA., telah menandatangani Pedoman

ini  dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 9/Peraturan-DP/X/

2008 tentang Pedoman Hak Jawab.Keputusan ini diambil menyusul

telah disetujuinya Pedoman Hak jawab oleh perwakilan warga 

dan komunitas pers dalam pertemuan yang digelar Dewan Pers di

Jakarta, Rabu, (29/10/2008).Pedoman Hak Jawab memuat 17 poin.

Penyusunannya dimulai sejak April 2008. Sebelas kali pertemuan

digelar untuk menampung masukan, membahas draft, dan akhirnya

mengesahkannya.Ketua Dewan Pers mengakui sul i tnya

merumuskan Pedoman Hak Jawab sebab  persoalannya kompleks.

“Persoalan ini sangat rumit. Padahal kita tahu Hak Jawab ini hal

penting sebagai ukuran salah satu cara mengekspresikan kebebasan

pers,” katanya.


Sesuai UU No. 40/1999 tentang Pers salah satu fungsi Dewan

Pers adalah ”memberi  pertimbangan dan mengusaha kan

penyelesaian pengaduan warga  atas kasus-kasus yang

berhubungan dengan pemberitaan pers.” Tahun 2008 lalu Dewan

Pers menerima 424 pengaduan atau rata-rata 35 kasus setiap

bulannya.

Terkait dengan Pemilu 1999, Dewan Pers telah menerima dua

pengaduan yang terkait calon anggota legislatif, yaitu dari Padang

dan Batam.

Menerima dan mengusaha kan penyelesaian pengaduan

merupakan aktivitas utama Dewan Pers. Dalam banyak kasus, pers

yang diadukan memang terbukti bersalah sehingga harus memuat

Hak Jawab disertai permohonan maaf. Kali ini, Anggota Dewan Pers,

Abdullah Alamudi, menjadi pembicara untuk membahas secara

mendalam kasus-kasus pengaduan.



Tugas Dewan Pers menyelesaikan sengketa pemberitaan.

Masih banyak yang mengadukan pers. Terbaru, penulis surat

pembaca diadili. Di Makassar, koresponden Metro TV yang

mempersoalkan pernyataan Kapolda yang mendukung KUHP juga

diadili. Dalam dua tahun terakhir, apa pengaduan yang menonjol

dan menarik yang diterima Dewan Pers?

Dalam dua tahun terakhir ini, jumlah pengaduan ke Dewan Pers

meningkat. Sejak tahun 2000, sejak Dewan Pers didirikan, sudah lebih

dari 2000 pengaduan yang masuk. Tahun 2007 lalu ada 424 pengaduan

yang masuk. Tahun sebelumnya ada 319.

Data ini  menunjukkan warga  semakin tahu hak mereka

dan memakai  UU Pers bila merasa dicederai nama baiknya. Itu

merupakan perkembangan yang sangat baik. Memang sebaiknya

warga  memakai  UU Pers jika mereka menghadapi masalah atau

perselisihan dengan media massa.

Kita harapkan polisi apabila menerima pengaduan dapat melihat

apakah pengaduan itu menyangkut pidana—kita tahu polisi tidak bisa

menolak pengaduan. Kalau terkait pidana, silakan memakai  hukum

pidana. Kalau soal pemberitaan, hendaknya dilihat dulu apakah menyang-

kut etika dan UU Pers. Bila perlu mintalah pertimbangan dari Dewan Pers.

MA sudah mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) kepada semua hakim

dan jajarannya, kalau pengadilan menangani perkara pers hendaknya

meminta pertimbangan Dewan Pers, untuk melihat apakah ada pelanggaran

etika. Bahkan sejauh mungkin, kalau ada pengaduan, kita harapkan polisi

mendahulukan UU Pers sebelum UU pidana.

Apa jenis pelanggaran terbanyak dari pengaduan yang diterima

Dewan Pers?

Terbanyak adalah pelanggaran -. Banyak media

pers tidak memahami kaidah-kaidah jurnalistik sehingga mereka menulis

tanpa verifikasi kebenaran beritanya. Beritanya sepihak. Orang yang

bersangkutan tidak diminta pendapatnya, versinya tidak dikemukakan. Ini

yang paling banyak.


Di masa Pilkada, banyak kasus calon kepala daerah memakai 

media untuk merusak atau menghancurkan lawan politiknya. Banyak juga

media yang membiarkan dirinya menjadi “kuda tunggangan.” Kita sangat

sesalkan, sebab  mereka tidak melakukan kegiatan jurnalistik sebagaimana

seharusnya, membiarkan diri mereka menjadi bagian dari pihak tertentu,

diperalat pihak tertentu.

Di Jakarta banyak media yang didirikan sebagai alat untuk memeras.

Di Jakarta ada l ima media menyebut diri KPK, bukan Komisi

Pemberantasan Korupsi namun  Koran Pemberantas Korupsi, Koran

Pemantau Korupsi dan lain sebagainya. Semua itu tidak boleh. Dewan

Pers sudah melarang media memakai  nama yang sama atau mirip

dengan lembaga negara, sebab  bisa merisaukan warga . Tidak hanya

memakai  nama KPK, mereka juga memasang nama Antasari Azhar

dan Kapolri sebagai pelindung, padahal kedua lembaga itu telah menulis

surat bahwa mereka tidak ada kaitannya dengan pers bersangkutan.

Ada pengaduan dari Batam dan Padang terkait Pemilu. Apa

saja kasusnya?

Di Batam ada koran investigasi yang memuat berita yang melanggar

KEJ, sebab  langsung menghakimi orang. Judulnya “Caleg PPP Bohongi

Warga, Terima Puluhan Rupiah Urusan Tak Selesai.” Berita sejenis  ini

jelas menghakimi, melanggar -. Penggunaan kata

“membohongi” jelas menghakimi dan bisa dipidana Rp 500 juta.

Apa yang dilakukan Dewan Pers?

Dewan Pers menilai berita itu menghakimi orang. Kita menyalahkan

tabloid itu dan mewajibkan dia minta maaf sesuai Pasal 10 Kode Etik

Jurnalistik. Media itu wajib memuat Hak Jawab. Jika tidak mau, orang yang

dirugikan bisa memakai  jalur hukum menuntut denda Rp. 500 juta.

Kasus di Ambon mengenai anggota DPD yang diberitakan bahwa dia

tidak dikenal oleh warga nya. Pengadu kebetulan wartawan senior.

Kita sudah periksa beritanya dan menemukan pelanggaran, sebab  si

senator sama sekali tidak diwawancarai. Beritanya diambil dari pendapat

orang lain. Sifatnya menghakimi dan sepihak. Dewan Pers menyatakan

tabloid itu bersalah dan harus minta maaf dua kali.

sesudah  diselesaikan di Dewan Pers, sempat ada miskomunikasi di

antara pengadu dan media yang diadukan. Sebab, Hak Jawab yang dimuat

tidak memenuhi apa yang diminta. Media itu mengedit Hak Jawab sehingga

esensinya tidak termuat. Kita panggil lagi, kita anjurkan susaha  medianya

melayani Hak Jawab sebagaimana mestinya atau, kalau tidak mau, akan

diadukan ke polisi. Akhirnya, Hak Jawab dari pengadu dimuat lagi.

Kalau warga  mengadu ke Dewan Pers dan tetap tidak

puas, apakah Dewan Pers tidak bisa menghalangi orang ini 

mengadu ke polisi atau pengadilan?

Kita tidak bisa menghalangi. saat  ada perdamaian di Dewan Pers,

kedua pihak menandatangani kesepakatan bahwa kasusnya akan selesai

di Dewan Pers. Ini bisa menjadi bukti bahwa pengadu tidak bisa membawa

kasusnya ke pengadilan. namun  dalam beberapa hal ada yang tetap

mengadu ke polisi.

Telepon

Yos (Jakarta): Untuk berita rad8o