Tampilkan postingan dengan label sampah 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sampah 6. Tampilkan semua postingan

sampah 6



 man curhatnya 

dalam urusan sampah, Kristien Yuliarti

 Pengalaman tak mengenakkan seperti itu tidak lantas 

membuat perempuan tangguh seperti Dini dan Kristien 

menyerah. Mereka melakukan pola hidup minim sampah 

sebagai usaha  membayar utang kepada bumi yang 

sudah memberikan begitu berlimpah nikmat bagi umat 

manusia. Salah satu bukti bahwa mereka tidak mengenal 

capek adalah deretan jerigen jelantah yang masih tetap 

teronggok di salah satu pojok rumah Dini Wardhani. 

L elaki itu hendak bersicepat. Usai sarapan, dia bergegas keluar rumah. Sepeda motor dinyalakannya. Begitu keluar halaman rumah, alangkah kagetnya dia. 

Beberapa remaja tergeletak di jalanan depan rumahnya. 

Dari mulut mereka keluar cairan berbusa. Botol minuman 

keras tergolek di samping para remaja itu. Mereka teler.

 Lelaki itu masygul. Dipacunya sepeda motornya 

menuju kantor. Dia membayangkan bakal mendapatkan 

banyak pengalaman tak mengenakkan di rumah yang 

baru ditempatinya. Malam pertama bermukim di Dusun 

Brajan, Bantul, Yogyakarta, saja, dia dan keluarganya sudah 

disuguhkan hentakan musik berisik yang mengiringi 

latihan kuda lumping. Suaranya memekakkan telinga. 

Waktunya pun cukup panjang: dari pukul satu siang 

hingga pukul satu tengah malam.

 Tapi, Ananto Isworo, lelaki warga baru di Dusun Brajan 

itu, tak punya pilihan lain. Pada 2005 itu, dia baru saja pindah 

dari Dusun Peleman – tak jauh sebenarnya dari Dusun Brajan. 

Namun, Ananto sama sekali tidak mengetahui seluk-beluk 

Dusun Brajan. saat  dia sudah membeli sebuah rumah 

sederhana di Brajan, banyak sesepuh di Peleman yang 

marah. Dari situlah Ananto baru mengetahui bahwa Brajan 

adalah sebuah dusun di Bantul 

yang terkenal dengan premanisme. 

 Istrinya memang sempat 

merengek untuk pindah. Lantaran 

uang sudah kepalang habis 

membeli rumah di Brajan, Ananto 

hanya bisa menabahkan sang 

istri. “Saya bilang ke istri, kalau kita 

belum bisa mengubah perilaku 

warga, setidaknya kita ubah saja 

dulu cara pandang kita terhadap 

mereka,” ucap Ananto.

KAGET. Pertama kali pindah 

ke Dusun Brajan, pada 2005, 

Ananto Isworo sudah harus 

berhadapan dengan perilaku 

warga. Banyak pemuda yang 

mabuk.



 Mengubah cara pandang itulah yang akhirnya Ananto 

lakukan. Memang tak gampang. Bahkan, selama dua 

tahun, dia dan keluarganya “dimusuhi” warga Brajan. 

Apalagi, embel-embel sebagai kader Muhammadiyah 

melekat pada diri Ananto. Baru empat hari bermukim di 

Brajan, warga sudah menegur Ananto agar tak macam-

macam. “Kalau mau ke masjid, ya ke masjid saja. Tak perlu 

mencampuri kesenangan warga. Begitu kata sesepuh 

warga Brajan ke saya,” kata Ananto mengenang. 

Beri Aku Lima Pemuda

 Ananto tak menyerah begitu saja. Memang, selama lebih 

kurang dua tahun, dia sama sekali tak mengusik kesenangan 

warga Brajan. Ananto paling hanya bisa mengelus dada, 

saat  hampir setiap pagi dia menyaksikan para pemuda 

tergelepar di depan rumahnya. Dalam keadaan mabuk. 

Selama dua tahun, Ananto mencoba memetakan kondisi 

Brajan. Dia mulai meriset kecil-kecilan. Ananto mempelajari 

sosio kultural warga  di Brajan. Juga mencari tahu ihwal 

latar belakang pendidikan dan tingkat ekonomi warga. 

 Dari pengamatannya itu, Ananto mendapatkan 

gambaran lebih utuh tentang kondisi kehidupan warga 

Brajan. Semua warga mengalami kesulitan hidup. Kala itu, 

rata-rata warga bermatapencarian sebagai buruh pabrik 

batu bata. Tingkat ekonomi warga amat rendah. Begitu 

pula dengan tingkat pendidikan. 

 Sampailah pada suatu hari tahun 2007. Ananto 

terkenang ucapan Bung Karno yang amat terkenal: “Beri 

aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia”. 

Ananto pun memberanikan diri mendekati para pemuda 

di Brajan. “Kalau Pak Karno butuh sepuluh pemuda, saya 

cukup lima pemuda saja. Insya Allah saya akan mampu 

mengubah Brajan,” tutur Ananto mengenang awal mula 

dia mulai berani “merecoki” warga Brajan. 



 Ananto lalu mulai membuka percakapan dengan para 

pemuda Brajan. Awalnya memang terasa susah dan janggal. 

Tapi, lambat laun para pemuda Brajan mulai mau ngobrol 

dengan Ananto. saat  merasa sudah mulai dipercaya, 

Ananto mengajak mereka berkunjung ke rumahnya. Tak 

dinyana, ada 15 remaja Brajan yang tertarik dengan ajakan 

Ananto itu. Di rumahnya, Ananto menyuguhkan tontonan 

film tentang kehidupan kepada para pemuda. Kudapan 

ringan menemani mereka. Usai menonton film, Ananto 

mulai membuka diskusi. Saat itulah dia bisa menyelipkan 

beberapa “petuah” keagamaan.

 Menonton film, diskusi, dan menyantap kudapan 

ringan inilah yang menjadi awal mula usaha  sistematis 

Ananto mengubah wajah Dusun Brajan. Terlebih lagi, 

saat itu Brajan menjadi salah satu wilayah di Yogyakarta 

yang porak poranda diamuk gempa bumi pada Mei 2006. 

Bersama lima belas orang pemuda, Ananto membantu 

warga yang terkena dampak gempa. Selain di rumah 

Ananto, pusat kegiatan membantu warga itu juga ada di 

Masjid Al Muharram, Brajan. 

Kotak Nasi Bekas Berharga 500 Ribu Rupiah

 Pelan namun pasti, warga Brajan mulai menyadari 

kehadiran Ananto. Lalu, tibalah sebuah kejadian pada 



bulan Ramadan 2013. Selama bulan puasa, warga Brajan 

memang kerap mengadakan buka puasa bersama di 

Masjid Al Muharram. Menjelang salat Tarawih, Ananto 

gusar. Dia masygul melihat kotak nasi berserakan. Ananto 

lalu mengajak warga untuk membersihkan kotak nasi dan 

memasukkannya ke dalam karung yang sudah disiapkan. 

Dia sampaikan ke warga, membereskan sampah 

berupa kotak nasi itu bisa menjadi pahala dan dianggap 

bersedekah. 

 Nahas, tanggapan warga tak begitu bagus. Iming-

iming pahala lantaran sudah bersedekah, dianggap angin 

lalu oleh warga. “Sedekah dari mana, tanya warga. Mereka 

berpikir, itu kan sampah. Dibiarkan sajalah. Toh, nanti 

pasti ada yang membersihkannya,” ujar Ananto. Akhirnya, 

Ananto sendiri yang mengumpulkan kotak bekas nasi itu. 

Tiap kali selesai salat Subuh dan memberikan pengajian 

di masjid di luar Brajan, Ananto pasti kembali ke Masjid Al 

Muharram. Dia punguti dan kumpulkan sampah sisa buka 

puasa bersama. 

 Selama sepekan Ananto melakukan kegiatan itu. 

Terkumpul cukup banyak sampah. Mayoritas berupa kotak 

bekas nasi. Sisa nasi dan lauk yang ada di kotak, Ananto 

pisahkan. Kotak bekas nasi itu dia jual. Ananto memperoleh 

uang 500 ribu rupiah dari hasil menjual kotak bekas nasi. 

Ananto mengumumkan hasil menjual sampah itu kepada 

warga. Dia bilang, warga bisa memakai  uang 500 ribu 

rupiah itu untuk membayar SPP tujuh murid di Brajan. 

Rata-rata SPP murid sebesar 60 ribu rupiah. Ananto pun 

menegaskan lagi kepada warga, itulah bentuk sedekah 

sampah. Dan, semua warga bisa melakukannya. 

 Pengumuman itu membuat warga Brajan tersentak. 

Mereka sama sekali tak menyangka sampah ternyata bisa 

menghasilkan uang. Pun, bisa dijadikan sedekah. “Selama 

ini kan warga tahunya bersedekah itu hanya dengan uang. 

Mereka tak mampu bersedekah uang karena tingkat 

ekonomi warga di Brajan di bawah rata-rata,” kata Ananto. 

 Warga pun bersemangat. Ananto lalu menggagas 

sebuah gerakan. Dia namakan Gerakan Shadaqah Sampah 

(GSS). Pusatnya di Masjid Al Muharram. Secara prinsip, GSS 

sejatinya mirip dengan bank sampah. Hanya saja, GSS tak 

membutuhkan berbagai printilan seperti halnya bank 

sampah. Warga yang ingin menyedekahkan sampahnya, 

bisa langsung datang ke markas GSS. Berapa pun berat 

sampah yang ingin disedekahkan warga, pengelola GSS 

akan menerimanya. Asalkan sampahnya berjenis sampah 

kering alias nonorganik. Jadi, GSS tak perlu memiliki 

struktur organisasi dan manajemen layaknya bank 

sampah. 



 GSS menerima sampah dari warga setiap hari Ahad 

pertama dan ketiga. Pada Senin atau Selasa pekan 

pertama dan ketiga, pengepul atau pelapak akan datang 

ke Masjid Al Muharram untuk membeli sampah GSS. Uang 

hasil penjualan sampah itulah yang lantas akan dikelola 

GSS untuk berbagai kebutuhan warga Brajan. 

MBAH MITO. Usianya boleh 

uzur. Tapi, soal semangat 

bersedekah sampah jangan 

ditanya kepada Mbah Minto.

 Mbah Minto adalah salah seorang warga Brajan yang 

tak pernah lelah bersedekah sampah. Perempuan berusia 

lebih dari 60 tahun ini, merasakan betul kondisi lingkungan 

Brajan yang sudah jauh berubah, sejak GSS hadir. “Setiap 

masjid buka untuk menerima sedekah sampah, saya selalu 

datang bawa sampah. Berapa pun sampah yang ada, saya 

sedekahkan,” tutur Mbah Minto. 

PENDIDIKAN. Pemberian 

donasi pendidikan dari GSS 

untuk warga Brajan yang 

kurang mampu. Donasi juga 

diberikan untuk anak yatim.

 Setelah GSS berdiri, warga Brajan pun mulai merasakan 

dampaknya. Saban bulan, GSS memberikan sembako bagi 

sekitar 80 janda atau anak yatim di Brajan. Setiap tiga bulan,

GSS mendonasikan dananya untuk membayar SPP 16 murid 

yang tinggal di Brajan. GSS juga menyantuni pasien warga 

Brajan yang harus dirawat di rumah sakit. Pada 2017, penyakit 

demam berdarah mengganas di Brajan. Untunglah, saat  

itu uang yang ada di kas GSS masih mampu memberikan 

bantuan sebesar 500 ribu rupiah untuk setiap pasien DBD 

warga Brajan yang dirawat di rumah sakit.

Memulung Sepeda Motor

 Pasca DBD, keuangan GSS melorot tajam. Itulah yang 

akhirnya membuat Ananto menyosialisasikan GSS kepada 

warga di luar Brajan. Tiap kali memberikan pengajian di 

luar Brajan, Ananto tak lupa menceritakan kegiatan yang 

dilakukannya bersama GSS. “Alhamdulillah, usai pengajian, 

banyak jemaah yang menghubungi saya. Mereka minta 

saya singgah ke rumahnya, untuk mengambil beragam 

barang bekas yang tak lagi terpakai,” kata Ananto.

 Sejak itulah, GSS tak hanya menerima sampah kering 

seperti plastik, kardus, kaca, atau seng. Banyak warga di 

luar GSS yang menyedekahkan barang-barang rongsokan 

semisal kulkas, mesin cuci, televisi, magic jar, dan lain-lain. 

Bahkan, ada pula yang menyedekahkan keyboard merek 

terkenal. Keyboard itu sebenarnya masih berfungsi bagus. 

Si empunya merelakannya menyedekahkan kepada GSS. 

Kini, keyboard itu  digunakan di sekolah Pendidikan 

Anak Usia Dini (PAUD) yang didirikan Ananto dan istrinya. 

 Jadi, jangan heran jika melihat di dalam mobil Ananto 

ada barang-barang itu . Malah, ada juga yang 

menyedekahkan sepeda motor. Menurut pemiliknya, 

sepeda motor itu sudah coba diperbaiki. Namun, tak juga 

bisa berfungsi. “Eh, begitu sampai di masjid, diutak-atik 

sedikit oleh relawan yang ngerti mesin, sepeda motornya 

bisa hidup,” ujar Ananto terkekeh. 

ANGKUT. Petugas GSS mengangkut 

sepeda motor yang disedekahkan 

pemiliknya ke GSS. Motor itu kini 

masih dipakai relawan GSS.

 GSS kini memiliki 35 orang relawan. Hebatnya, tak 

satu pun dari mereka yang digaji. GSS hanya menyiapkan 

makan siang, saat di Masjid Al Muharram sedang ada 

kegiatan mengumpulkan sampah. GSS juga memberikan 

bantuan biaya pendidikan bagi beberapa orang relawan. 

Jangan Berutang Oksigen Ke Tetangga

 GSS melakukan semua kegiatannya di Masjid Al 

Muharram. Selain GSS, ada lima aktivitas lagi yang 

terpadu dalam eco-masjid: arsitektur masjid yang ramah 

lingkungan, sumur resapan untuk memanen air hujan dan 

air wudhu, penghijauan, masjid ramah anak, dan energi 

terbarukan. Ananto menamakan semua kegiatan yang 

berpusat di masjid Al Muharram ini sebagai eco-masjid. 

 Ananto menjadikan basis eco-masjid untuk 

menjalankan konsep tauhid sosial yang dulu pernah 

digagas Amien Rais, mantan Ketua Umum PP 

Muhammdiyah. Dia mencoba memaknai sebuah perintah 

dalam Al Quran, agar kaum muslim bertebaran di muka 

bumi usai mengucap salam sehabis melakukan salat. Bagi 

Ananto, “bertebaran di muka bumi” itu tak hanya untuk 

mencari rezeki. Tapi, juga menoleh ke kanan dan ke kiri, 

untuk melihat banyak persoalan di sekitar. Persoalan 

itu antara lain berupa tetangga yang hidupnya serba 

kekurangan, atau masalah lingkungan yang belum ada 

solusinya. “Itu dalam rangka mengamalkan kesalehan 

pribadi, berlanjut ke kesalehan sosial, dan berujung pada 

kesalehan alam atau lingkungan,” kata Ananto. 

 Ananto menilai, konsep eco-masjid bisa menjadi 

solusi mengatasi persoalan lingkungan. Penghijauan, 

yang menjadi salah satu kegiatan Masjid Al Muharram, 

bertujuan membuat warga dan jamaah masjid bisa 

beribadah dengan khusyuk. Siklus oksigen menjadi lebih 

baik dengan banyaknya pohon. 

ECO-MASJID. Masjid Al 

Muharram menjadi pusat 

kegiatan berbagai aktivitas 

warga Brajan. Masjid ini 

menerapkan prinsip eco-masjid.

 Ananto pun setengah “memaksa” warga Brajan untuk 

menanam pohon. “Saya sering berkelakar ke warga, kalau 

mereka ndak punya pohon di rumahnya, itu sama artinya 

mereka berutang oksigen ke tetangganya yang punya 

pohon,” kata Ananto tergelak. 

 Sejatinya, konsep sedekah sampah bermula dari 

gerakan yang digulirkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 

pada 2011. Kendati Ananto kader Muhammadiyah, dia 

tidak mengetahui gerakan itu . “Padahal, saya kan 

bekerja di PP Muhammadiyah,” kata Ananto, yang kini 

menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Majelis Tabligh PP 

Muhammadiyah. 

 Menurut Ananto, ada sedikit perbedaan antara yang 

dia lakukan di Brajan dengan GSS secara keseluruhan yang 

diinisiasi PP Muhammadiyah. Perbedaan itu terletak pada 

basis pelaksanaan GSS. PP Muhammadiyah berbasiskan 

ranting atau cabang, alias setingkat kelurahan atau 

kecamatan. Sementara, GSS-nya Ananto menyandarkan 

kegiatannya berpadu dengan konsep eco-masjid.

 Beberapa waktu lalu, GSS bisa meraup uang sebesar 

tiga juta rupiah dalam sebulan. Artinya, sekali pengepul 

atau pelapak datang membeli sampah, GSS menerima 

sekitar satu setengah juta rupiah. Namun, penghasilan 

GSS kini sudah berkurang. Sebulan hanya sanggup 

memperoleh uang dari penjualan sampah sebanyak 

delapan ratus ribu rupiah.

 Tentu, kondisi itu seharusnya membuat pengelola 

sampah seperti Ananto kelabakan. Omset terus turun, 

sedangkan pengeluaran tak berkurang. Namun, tidak bagi 

Ananto. Dia malah bersyukur dengan kondisi itu . 

“Itu kan sama saja artinya dengan terus meningkatnya 

kesadaran orang untuk tidak lagi memakai  barang 

sekali pakai yang berujung menjadi sampah,” ucap Ananto. 

MUDA. Relawan termuda GSS ini bernama 

Abi. Dia baru duduk di kelas 3 SD. Tapi, 

semangatnya menjadi relawan patut 

diacungi jempol.



 Kenyataan seperti itulah yang membuat Ananto 

selalu optimis bahwa urusan sampah di negara kita  suatu 

saat nanti akan tertanggulangi dengan baik. Berulang 

kali dia katakan kepada para relawan GSS agar tak perlu 

risau dengan penghasilan GSS yang turun. Toh, menurut 

Ananto, sedekah sampah suatu waktu nanti akan 

digantikan dengan sedekah berupa uang.

 Relawan GSS tentu saja terkesima dengan penuturan 

Ananto ini. Boleh jadi, mereka tak terpikir untuk hal-hal 

seperti ini. Namun, yang jelas, sebagian besar relawan GSS 

ini adalah para remaja yang dulunya pernah tergeletak 

sehabis mabuk di depan rumah Ananto. Mereka dulu 

membuat Ananto mengelus dada. Kini, mereka menjadi 

kebanggaan Ananto dan seluruh warga di Dusun Brajan, 

Bantul, Yogyakarta.


T iga lelaki terkesiap. Mata mereka terbelalak, tak percaya mendengar ketegasan sikap dari tiga perempuan yang menemani mereka. Sementara, 

enam mangkuk mie ayam sudah kosong. Disantap 

sembari bergurau, menemani canda mereka berenam. 

Obrolan ringan yang semula terjadi, lalu menjurus ke 

sebuah pembicaraan serius. Pembicaraan yang akan 

mengubah jalan hidup beberapa orang di antara mereka. 

 Hari itu, pada suatu malam di bulan Februari 

2010, Syawaludin dan istrinya – Febriarti Khairunnisa – 

bertandang ke rumah temannya, Lalu Wire Ilham, di 

kawasan Jempong, Mataram, Nusa Tenggara Barat. 

Ikut pula bersilaturahmi Lalu Ruslan Abdul Gani dan 

istrinya. Syawal memang meniatkan pertemuan itu 

untuk menyampaikan sebuah hal penting: dia dan kedua 

temannya meminta izin kepada para istri mereka untuk 

bergumul dengan sampah!

 Ya, sampah! Syawal, Ilham, dan Ruslan sudah 

bersepakat mendirikan bank sampah di Mataram. Tapi, 

mereka tak ingin para istri terkejut dan menjadi malu 

dengan pilihan jalan hidup itu . Restu dari istri harus 

mereka peroleh. “Dan, tak hanya restu yang kami dapatkan. 

Para istri pun sepakat menjual mas kawin mereka,” kata 

Syawal dengan mata berkaca-kaca mengenang kejadian 

sekian tahun silam.

 Ketiga istri mereka sepakat menjual mas kawin 

sebagai modal mendirikan bank sampah. Syawal dan 

dua rekannya memang butuh modal. Sebab, konsep 

bank sampah yang akan mereka dirikan berbentuk 

usaha simpan pinjam. Nasabah meminjam uang ke bank 

sampah. Untuk membayar pinjaman, nasabah cukup 

menyetorkan sampah ke bank sampah. 

 Itulah awal mula Syawal menjadi pegiat sampah 

di NTB. Bermodalkan hasil menjual mas kawin, Syawal 

memperoleh tujuh setengah juta rupiah. Untuk 

menghargai kemuliaan para istri mereka, Syawal dan 

kedua rekannya sepakat menamakan bank sampah 

mereka yang mereka bentuk sebagai Bank Sampah 

Tiga Bintang. “Ketiga istri kami ini ibarat bintang yang 

memberikan cahaya kepada kami,” kata Syawal. 

Mungkin Dia Sedang Lupa

 Pilihan hidup bergelut dengan sampah sejatinya 

bukan datang dengan tiba-tiba. Sebagai pemuda rantau 

dari Lombok Tengah, Syawal merasakan betul pahit getir 

kehidupan. Sebagai buruh tani, ayahnya terpaksa mencari 

penghasilan tambahan menjadi pemulung. Di Mataram, 

pemulung disebut tukang panci robek. Soalnya, zaman 

dulu belum banyak sampah plastik dan kertas. Pemulung 

biasanya mencari peralatan dapur yang rusak. Salah satu 

yang biasa pemulung peroleh adalah panci yang sudah 

robek.

 Kemelaratan hidup tak membuat Syawal patah 

semangat. Dia bertekad meneruskan kuliah ke Mataram. 

Pada 2002, Syawal diterima menjadi mahasiswa Fakultas 

Ekonomi Universitas Mataram (Unram). Penghasilan 

ayahnya sebagai buruh tani dan pemulung tak bisa 

membiayai hidup Syawal sebagai mahasiswa. Syawal pun 

harus putar otak, mencari tambahan uang untuk makan. 

Jadilah Syawal “pemulung” di asrama mahasiswa Unram. 

Syawal memungut kertas bekas yang banyak berserakan 

di asrama. Kertas itu dijualnya, untuk dijadikan uang.

 Kendati harus banting tulang membiayai kuliah, Syawal 

tak pernah menyerah. Dia juga tak pernah malu menjalani 

profesi sebagai pemulung. Saat lulus pada 2008, Syawal 

pun mendapatkan julukan dari teman-temannya sebagai 

sarjana sampah. Setamat kuliah, Syawal mulai mencari 

kerja. Cita-citanya sederhana: ingin menjadi karyawan 

bank. Namun, tak gampang bagi Syawal mewujudkan 

cita-citanya itu. Semua lamarannya ditolak. Padahal, dia 

sudah menikahi seorang perempuan lulusan Bahasa 

Inggris Unram bernama Febriarti Khairunnisa. Untunglah, 

seorang temannya membantu Syawal untuk bisa menjadi 

staf di sebuah fraksi partai politik di DPRD NTB.

 Ihwal pernikahannya dengan Febriarti, Syawal punya 

kisah unik. “Saya heran, kok ada perempuan yang mau 

menikah dengan tukang sampah. Saya sering bilang ke 

istri, mungkin waktu menerima lamaran saya, dia sedang 

dalam keadaan lupa,” ucap Syawal terkekeh. 

 Saat bekerja di DPRD NTB itulah Syawal kembali 

mengenang seluruh kehidupannya. Dia tersadar, sampah 

ternyata banyak berperan dalam membesarkannya. 

Syawal pun lantas mencari tahu lebih dalam tentang 

bisnis sampah. Melalui penelusuran di internet, Syawal 

memperoleh informasi mengenai bank sampah yang 

didirikan Bambang Suwerda di Bantul, Yogyakarta. 

 Syawal bertekad menjadikan sampah sebagai 

penghidupannya. Dia tak ingin ide itu mengendap 

begitu saja. Diajaknyalah beberapa temannya berdiskusi 

mewujudkan gagasan itu . Bertemulah Syawal 

dengan Ilham dan Ruslan, dua orang temannya semasa 

kuliah, yang menangkap ide Syawal sebagai peluang 

bisnis. 

Syawal berangkat dari sebuah kenyataan bahwa persoalan 

sampah sudah menjadi isu penting di NTB. Di banyak 

tempat objek wisata di NTB, sampah berserakan. Sebut 

saja di Gunung Rinjani, atau di banyak pantai di NTB. Bagi 

Syawal, serakan sampah ini berpotensi diolah menjadi 

sumber daya ekonomi. Syawal sudah membuktikannya. 

Saat masih menjadi mahasiswa, dengan sampah dia bisa 

membiayai kuliahnya. Dia juga mampu membiayai tujuh 

orang anak binaannya mengikuti kursus komputer dari 

berjualan sampah. 

 Dari pengalamannya bergelut dengan sampah 

itulah, akhirnya Syawal menyusun konsep Bank Sampah 

Tiga Bintang. Yang terlintas di benaknya saat  itu 

adalah usaha simpan pinjam. Dan, bergeraklah Syawal 

mencari nasabah. Target utamanya adalah para pekerja 

kebersihan di sekitar kampus Unram. Kepada mereka, 

Syawal menawarkan pinjaman uang sebagai tambahan 

penghasilan.Untuk membayar pinjaman itu, nasabah 

cukup menyetorkan sampah yang mereka pungut 

kepada Bank Sampah Tiga Bintang. “Bergerak pertama 

kali, saya bisa mendapatkan dua belas orang nasabah,” 

ujar Syawal. 

 Respon positif calon nasabah membuat Syawal 

kian semangat. Dia mendatangi petugas kebersihan di 

seantero Kota Mataram. Iming-iming pinjaman uang 

agaknya membuat banyak yang tertarik dan bergabung 

menjadi nasabah Bank Sampah Tiga Bintang. Alhasil, 

rumah kontrakan Syawal tak mampu lagi menampung 

tumpukan sampah yang disetor nasabah. 

 Pada akhir 2010, Syawal memutuskan menyewa lahan 

sebagai gudang sampah. Beruntung, karena pemilik 

lahan adalah temannya, Syawal pun mendapatkan biaya 

sewa yang terbilang murah. Sewa tanah seluas 350 meter 

persegi hanya tiga juta rupiah per tahun. “Bayarnya boleh 

nyicil. Maklum, yang punya senior saya dulu di kampus,” 

ucap Syawal. 

Cacah Plastik? Pakai Parang Saja 

 Bank Sampah Tiga Bintang terus menggeliat. Nasabah 

semakin banyak. Omset penjualan sampah ke pelapak 

juga terus meningkat. Namun, otak bisnis Syawal terus 

berputar. Dia mengenal konsep ekonomi bernama rantai 

pemasaran. Syawal berpikir, jika dia mampu menjual 

langsung sampah setoran nasabah ke pabrik pengolah 

sampah, tentu harganya bisa lebih mahal.

 Syawal lantas mencari tahu di internet keberadaan 

pabrik pengolah sampah. Beberapa pabrik ada di Jawa 

Timur, antara lain di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. 

Bermodalkan nekat, Syawal lalu mengontak pabrik 

itu . Dia sampaikan niatnya untuk menjual sampah 

langsung ke pabrik. Setelah berembuk dengan Ilham dan 

Ruslan, diputuskanlah Syawal akan berangkat ke Surabaya. 

 Informasi yang diperoleh Syawal dari pabrik, sampah 

plastik yang bisa dibeli pabrik adalah plastik yang 

sudah dicacah. Harganya lebih tinggi ketimbang plastik 

utuh. “Sampah plastiknya kami gunting, kami cacah 

memakai  parang dan pisau,” kata Syawal.

 Setiba di Surabaya, Syawal pun menyerahkan contoh 

sampah plastik yang diolah Bank Sampah Tiga Bintang. 

Pihak pabrik merespon positif dan menanyakan soal 

mesin pencacah yang dimiliki Bank Sampah Tiga Bintang. 

“Saya kan ndak tahu kalau ada mesin pencacah plastik. 

supaya   terkesan kami sudah profesional, saya bilang saja 

kalau kami punya mesin pencacah,” kata Syawal tergelak. 

 Singkat kisah, pabrik pengolah sampah plastik di 

Surabaya pun sepakat membeli sampah dari Bank Sampah 

Tiga Bintang. Syawal kembali ke Mataram dengan hati 

riang. Dia sampaikan kepada pengurus Bank Sampah Tiga 

Bintang kesepakatannya dengan pabrik di Surabaya. 

 Juga soal mesin pencacah. Mereka bertekad punya 

mesin pencacah. Cuma, saat itu kondisi keuangan 

Bank Sampah Tiga Bintang sedang cekak. Syawal 

memberanikan diri meminjam uang kepada temannya. 

Berbekal pinjaman 15 juta rupiah, Syawal menemui 

seorang kawannya pemilik bengkel untuk memesan 

mesin pencacah. “Mesin pencacah selesai dibuat. Tapi 

kapasitasnya kecil. Jauh di bawah mesin pencacah di 

pabrik di Surabaya,” ucap Syawal. 

 Kerja sama dengan pabrik pengolah sampah di 

Surabaya membuat Bank Sampah Tiga Bintang semakin 

moncer. Namun, pada 2011, Syawal harus merelakan 

kedua rekannya – Ilham dan Ruslan – meninggalkan Bank 

Sampah Tiga Bintang. Ilham ingin fokus menekuni profesi 

sebagai pegawai negeri. Sedangkan Ruslan bekerja di 

sebuah perusahaan swasta di Mataram. 

Kepergian dua sahabat yang bersama-sama 

membesarkan Bank Sampah Tiga Bintang tak lantas 

membuat semangat Syawal mengendur. Apalagi, kedua 

rekannya tidak meminta kembali modal awal yang sudah 

mereka setor. Mereka juga berjanji akan terus mendukung 

bank sampah. Karena kedua rekannya hengkang, Syawal 

meminta izin mengubah nama bank sampah. Dengan 

izin Ilham dan Ruslan, pada 2011 itu, Bank Sampah 

Tiga Bintang berubah menjadi Bank Sampah Bintang 

Sejahtera. 

 Ditinggal dua sahabat, Syawal malah kian gencar 

mencari nasabah. Tak hanya di Mataram, Syawal juga 

menyasar ke Lombok Tengah dan Lombok Barat. Banyak 

petugas kebersihan yang tertarik dengan konsep simpan 

pinjam yang dijalankan bank sampah. Mereka pun 

bersedia menjadi nasabah. 

 Namun, jumlah nasabah yang semakin banyak itu 

jugalah yang akhirnya menjadi petaka. Pinjaman nasabah 

terus meningkat. Satu orang nasabah bisa meminjam 

uang sampai 600 ribu rupiah. Semula, nasabah lancar 

menyetorkan sampahnya. Setidaknya sepekan sekali. 

Namun, lama-lama banyak nasabah yang nakal. Mereka 

menjual langsung sampahnya ke pelapak. Harga jual ke 

pelapak yang lebih mahal menjadi alasannya. 

 Tentu saja Syawal tak berdiam diri. Dengan segala 

usaha , dia menagih pembayaran pinjaman ke nasabah. 

Tapi, jawaban yang didapatkannya sungguh membuatnya 

kecewa. “Mereka bilang tak punya uang. Kalau mau 

dipenjarakan, silakan saja. Toh, nanti kami akan dikasih 

makan oleh negara di dalam penjara,” kata Syawal 

menirukan jawaban nasabah bandel. 

 Cukup banyak pinjaman nasabah yang tak bisa ditagih 

Syawal. Jumlahnya mencapai 100 juta rupiah. Syawal pun 

jadi pening dibuatnya. Tapi, momen itu menjadi titik balik 

bagi Syawal. Dia pun akhirnya mencapai sebuah keputusan: 

memaafkan dan mengiklhaskan uangnya tak kembali. 

Dari hasil perenungannya, Syawal juga merasa ada yang 

salah dengan konsep bank sampah yang dikelolanya. 

Dia cari tahu lagi secara lebih detil konsep bank sampah 

yang digagas Bambang Suwerda. Kata kunci menabung 

sampah langsung hinggap di benaknya. 

 Dari situlah, Syawal mengembangkan Bank 

Sampah Bintang Sejahtera ke ranah yang lebih luas. Dia 

mendatangi banyak komplek perumahan di Mataram. 

Syawal mengajak warga komplek memilah sampah 

sejak dari rumah. Sampah yang sudah terpilah itu lalu 

dikumpulkan di satu titik di lokasi perumahan. Setelah 

sampah terkumpul cukup banyak, petugas Bank Sampah 

Bintang Sejahtera datang untuk mengangkut dan 

membayar harga sampah. 

 Syawal juga menyambangi sekolah di Mataram. 

Beruntung, dia punya seorang kawan yang punya lembaga 

bernama Kerajaan Dongeng. “Saya ikut nimbrung ke 

sekolah-sekolah. Bersama Kerajaan Dongeng, kami 

memberikan edukasi pentingnya memilah sampah 

kepada siswa,” kata Syawal. Bahkan, Kerajaan Dongeng ini 

dulu sempat memiliki program khusus di stasiun televisi 

lokal. 

 Nasabah Bank Sampah Bintang Sejahtera kian banyak. 

Namun, cobaan bagi Syawal dan istrinya kembali datang. 

Semua bermula dari perkenalannya dengan seorang bule 

yang menetap di Denpasar, Bali, pada 2014. Sang bule 

punya pabrik pengolahan sampah di Bali. 

 saat  berkunjung ke Mataram dan melihat geliat Bank 

Sampah Bintang Sejahtera, sang bule bersedia membeli 

semua residu sampah yang ada di gudang bank sampah. 

Syawal bersemangat. Dia sampai menyewa truk untuk 

membawa residu sampah ke Bali. “Nama dan asal negara 

bulenya mohon izin saya rahasiakan ya. Yang jelas, kerja 

sama itu membuat kami makin gencar mengumpulkan 

sampah di Mataram dan sekitarnya,” ujar Syawal. 

 Singkat kisah, terjalinnya kerja sama Bank Sampah 

Bintang Sejahtera dengan sang bule. Kata Syawal, dalam 

sehari dia bisa mengirimkan sampah sampai lima truk 

fuso ke Bali. Syawal bahkan membuat baliho besar yang 

bertuliskan menerima residu sampah. 

 Namun, malang tak dapat ditolak. Hampir setahun 

menjalin kerja sama, Syawal lalu mendapatkan kenyataan 

pabrik si bule tak lagi bisa menerima residu sampah. 

Padahal, saat itu Syawal sudah mempekerjakan lima 

puluh orang. Sang bule pun tak bisa dihubungi lagi.

 Cobaan tak hanya sampai di situ. Pada suatu malam, 

lantaran memikirkan reputasinya yang bakal hancur 

gara-gara si bule, Syawal terjatuh dari sepeda motornya. 

Istrinya terkena penyakit selebral palsi alias lumpuh 

otak. Uang sudah habis untuk membayar pekerja yang 

mengumpulkan residu sampah. “Kami sampai menjual 

kasur, ranjang, kulkas, dan isi rumah yang lain,” tutur 

Syawal dengan mata berkaca-kaca. 

 Untunglah, di saat cobaan menimpa, ada kabar baik 

yang diterima Syawal dan Febriarti. Sang istri dinominasikan 

mendapatkan penghargaan dari Kedutaan Besar Amerika 

Serikat di Jakarta. Dan, pada 2015, Febri akhirnya terpilih 

sebagai Women of Change dari Kedutaan Besar Amerika 

Serikat. 

 Untuk berangkat ke Jakarta menerima penghargaan 

itu, Syawal dan Febri tak punya uang. Untunglah, gubernur 

NTB saat  itu, Tuanku Guru Bajang Muhammad Zainul 

Majdi, berkenan mengongkosi Syawal dan Febri ke Jakarta. 

 Tapi, cobaan bagi pasangan ini belumlah berakhir. 

Saat hendak pamit berangkat ke Jakarta, ayah Febri 

terkena serangan jantung dan meninggal. Berita duka 

itu disampaikan Syawal kepada panitia penghargaan di 

Jakarta. Mereka pun membatalkan keberangkatan ke 

Jakarta. 

 Saat mencoba tidur pada subuh meninggalnya 

ayah mertua, Syawal bermimpi: ayah mertuanya 

mendatanginya. Ayah mertuanya menyuruh Syawal dan 

Febri tetap berangkat ke Jakarta. Syawal menceritakan 

isi mimpi itu kepada kakak iparnya. “Akhirnya, kami pun 

memaksakan diri berangkat ke Jakarta,” kata Syawal.

Apresiasi Tinggi dari Pak Luhut

 Dalam keadaan sedang berduka, Syawal dan Febri 

pun menghadiri pemberian penghargaan oleh Kedutaan 

Besar Amerika Serikat di Jakarta. Dengan sesekali berurai 

air mata, Febri mengisahkan jatuh bangunnya mengelola 

bank sampah di Lombok. Momen itu menjadi sebuah titik 

balik baru bagi perkembangan Bank Sampah Bintang 

Sejahtera. Kiprah Syawal dan Febri terekspos ke seluruh 

negara kita  melalui pemberitaan media massa. 

 Jatuh bangun dan suka duka membesarkan Bank 

Sampah Bintang Sejahtera memang sudah dilakoni Syawal 

dan Febri. Letih? Tentu saja iya. Pun, “dikerjai” nasabah 

pernah mereka rasakan. “Sebelas tahun menikah, kami 

belum dikarunia keturunan. Mungkin karena kami terlalu 

capek mengurus bank sampah,” ujar Syawal, diamini sang 

istri. 

 Semangat pantang menyerah menjadi kata kunci. 

Kini, Bank Sampah Bintang Sejahtera menjadi salah satu 

ikon pengelolaan sampah di NTB. Banyak bank sampah 

unit yang bekerja sama dengan mereka. Bahkan, pada 

Maret 2020, Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar 

Pandjaitan, sengaja berkunjung ke Bank Sampah Bintang 

Sejahtera. Menko Luhut memberikan apresiasi tinggi atas 

kerja keras Syawal dan tim mengelola bank sampah di 

Mataram. 

 Pada 2018, Syawal membenahi organisasi dan 

manajemen Bank Sampah Bintang Sejahtera. Kini, Bank 

Sampah Bintang Sejahtera menaungi dua divisi: Usaha 



Dagang (UD) Bintang Sejahtera, yang berfokus pada jual 

beli sampah, dan Lembaga Generasi Bintang Sejahtera, 

yang mengurusi edukasi dan pendampingan. 

 Bank Sampah Bintang Sejahtera menerima 69 jenis 

sampah nonorganik. Omsetnya mencapai 160 juta rupiah 

per bulan. Statusnya pun kini berubah menjadi pusat daur 

ulang sampah. Syawal menamakannya sebagai Recycle 

Learning and Development Center for Community Based 

Management. 

 Dan, yang jelas, Syawal kini tak lagi terkesiap seperti 

pada 2010 silam. Dia tak lagi terkejut dengan keikhlasan 

sang istri menjual mas kawin mereka. Sebab, Febriarti 

Khairunnisa, kini menjadi duet maut Syawal mengelola 

sampah di Lombok. 


Perkembangan teknologi informasi begitu 

cepat. Banyak bermunculan perusahaan rintisan. 

SMASH memudahkan bank sampah memantau 

nasabahnya. MallSampah menghubungkan warga 

dengan pemulung atau pengepul, untuk membeli 

sampah.


Sebuah panggilan telepon di pengujung 2012 sedikit banyak telah mengubah jalan hidup pemuda kurus tinggi itu. Panggilan itu  berasal dari 

sang bapak, seorang prajurit TNI-AD yang bertugas di 

Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Pemuda itu bernama 

Putra Fajar Alam. Dia adalah mahasiswa jurusan Teknologi 

Informasi Universitas Telkom Bandung. Sejak 2010, Fajar – 

demikian dia biasa disapa – memang sudah kerap diajak 

dosen Universitas Telkom mengerjakan berbagai proyek 

berbasis teknologi informasi. Bapaknya tahu akan hal 

itu. Dan, pada akhir 2012 itu, sang bapak ternyata sedang 

membuat bank sampah di daerahnya bertugas. 

NYEMPLUNG. Putra Fajar 

secara tak sengaja menjadi 

salah seorang pebisnis yang 

bergerak di usaha rintisan 

bidang persampahan.

 Sang Bapak meminta Fajar membuat aplikasi 

sederhana. Aplikasi itu akan digunakan untuk membantu 

bank sampah yang akan didirikan. “Lalu, saya buatlah 

aplikasi sederhana. Ada menu untuk nasabah, kategori 

sampah, laporan, dan dashboard,” kata Fajar. Dengan 

aplikasi sederhana itu, pengelola bank sampah bisa 

mengetahui berapa jumlah timbangan sampah, atau 

berapa hasil konversi sampah menjadi rupiah. 

 Bank sampah bentukan sang bapak di Pangkalan 

Bun lantas memakai  aplikasi buatan Fajar itu . 

Kendati sederhana, ternyata aplikasi itu bisa membantu 

proses pengelolaan bank sampah. “Jadi, pada 2012 itu, 

mungkin bank sampah yang dirintis bapak saya di 

Pangkalan Bun adalah satu-satunya bank sampah di 

negara kita  yang sudah memanfaatkan teknologi komputer 

dalam bentuk aplikasi,” ujar Fajar sumringah. 

 Aplikasi itu pulalah yang akhirnya membawa Fajar 

menyelami seluk-beluk bank sampah. Bahkan, dia 

berkesempatan bertemu langsung dengan Bambang 

Suwerda, penggagas bank sampah di negara kita . Adalah 

sang bapak juga yang memperkenalkan nama Bambang 

Suwerda kepada Fajar. 

 Fajar segera mencari tahu siapa Bambang Suwerda. 

Dari hasil pencariannya, dia merasa harus bisa segera 

bertemu dan bertatap muka dengan Bambang Suwerda. 

Pada Februari 2013, keinginan berjumpa langsung dengan 

Bambang Suwerda terlaksana. Saat itu, Bambang Suwerda 

tengah berada di Bandung, dalam rangka sosialisasi dan 

pengenalan konsep bank sampah. “Kesan pertama saya 

waktu jumpa beliau, orangnya amat mempesona. Rendah 

hati. Santunnya pun luar biasa,” tutur Fajar mengenang 

pertemuan pertamanya dengan sang inisiator bank 

sampah di negara kita . 

Bertemu Punggawa, Belajar Banyak

 Bambang Suwerda lalu mengajak Fajar berkunjung ke 

Bank Sampah Gemah Ripah di Bantul, Yogyakarta. Pada 

2013 itu juga, Fajar bertandang ke Bantul. Dia mempelajari 

seluk-beluk pengelolaan bank sampah langsung dari 

penggagas bank sampah. Dengan niat iseng belaka, Fajar 

membuat video sederhana memakai  gawainya. 

Videonya tentang proses kerja Bank Sampah Gemah 

Ripah. 

BERGURU. Fajar banyak 

belajar seluk-beluk bank 

sampah langsung dari sang 

suhu, Bambang Suwerda.

 Fajar lalu merlihatkan video bikinannya kepada 

Bambang. “Beliau terkesan dengan video yang saya 

buat. Pak Bambang mengajak saya untuk mencari tahu 

lebih dalam tentang bank sampah,” kata Fajar. Memang, 

pada 2013 itu, bank sampah di negara kita  belum semarak 

sekarang, meski Bank Sampah Gemah Ripah sudah 

berdiri sejak 2008. Akhirnya, Fajar menemukan sebuah 

materi tentang bank sampah di internet. Materi itu dibuat 

oleh Unilever negara kita . Dari situlah, Fajar mendapatkan 

kontak bank sampah yang tersebar di beberapa wilayah di 

negara kita . 

 Perkenalan dengan Bambang Suwerda, plus ilmu 

tentang bank sampah yang diperolehnya langsung 

dari Bambang Suwerda, membuat semangat Fajar 

menggebu-gebu. Dia menawarkan aplikasi bikinannya 

untuk bank sampah di Pangkalan Bun kepada beberapa 

bank sampah. Waktu itu, Fajar menamakan aplikasinya 

Waste Bank Management System (WBMS). “Sayangnya, 

dari beberapa bank sampah yang saya tawarkan aplikasi 

WBMS, hanya dua bank sampah yang mau mencobanya. 

Bank Sampah Gemah Ripah dan Bank Sampah Pangkalan 

Bun,” ujar Fajar terkekeh. 

 Kenyataan itu membuat semangat Fajar sedikit 

mengendur. Apalagi saat itu dia juga tengah berkutat 

dengan perkuliahan strata duanya di Institut Teknologi 

Bandung (ITB). Jadi, mengendaplah dulu segala gegap-

gempita idealisme dalam diri Fajar untuk membantu 

pengelolaan bank sampah. 

 Pengendapan itu ternyata tak berlangsung lama. 

Setahun berkuliah di ITB, Fajar mengikuti mata kuliah 

kewirausahaan. Salah satu syarat mengambil mata kuliah 

itu  adalah sang mahasiswa diwajibkan membawa 

produk yang bisa dipasarkan. Fajar beruntung. Dia sudah 

memiliki aplikasi WBMS. Fajar menjadi pede. Apalagi saat 

berkuliah di ITB, Fajar mempunyai seorang kawan bernama 

Addin Gama. Fajar mengenal pemuda asal Mataram, Nusa 

Tenggara Barat, ini sebagai mahasiswa yang jago urusan 

teknis sebuah aplikasi. 

 Pada saat akhir mata kuliah kewirausahaan, para 

mahasiswa diwajibkan mengikuti pameran kecil sebagai 

ajang memperlihatkan produk yang disertakan untuk 

mata kuliah itu . Fajar mengajak Addin bergabung 

mengikuti expo mahasiswa itu. Dan, dari belasan produk 

yang ditampilkan, aplikasi WBMS menjadi juara kedua. 

“Dari situlah, saya dan Addin meyakini bahwa aplikasi kami 

memiliki prospek yang bagus,” ucap Fajar. 

Disangka Jelmaan Boy Band

 Duo Fajar – Addin pun menekuni dengan serius 



aplikasi pengelolaan bank sampah itu. Mereka lalu 

sepakat untuk mengubah namanya, agar menjadi lebih 

sedap didengar telinga. Menjelmalah nama Sistem Online 

Manajemen Bank Sampah. Mereka lalu mencari singkatan 

yang pas dan gampang diingat. Ketemulah nama SMASH. 

“Ada yang meledek kami, kok singkatan namanya mirip 

dengan grup boy band yang lagi ngetop di negara kita ,” 

kata Fajar tergelak. 

 Awal 2015, Fajar dan Addin meluncurkan SMASH. Tentu 

dengan pembaruan dari aplikasi saat  masih bernama 

WBMS. Yang paling mendasar adalah mengubah 

sistem dari per satuan bank sampah menjadi sebuah 

sistem induk. Pada WBMS, aplikasi untuk satu bank 

sampah terpisah dengan aplikasi bank sampah lainnya. 

SMASH menyatukan aplikasi seluruh bank sampah yang 

menjadi anggotanya ke dalam satu sistem terintegrasi 

dan terpusat. SMASH juga membantu bank sampah 

anggotanya memakai  search engine optimization 

(SEO). Dengan SEO, bank sampah bisa menempati 

peringkat atas pada mesin pencarian di internet seperti 

Google. 

 Pembaruan sudah dilakukan. Namun, masih saja ada 

beberapa  kendala. Di antaranya soal penggunaan laptop 

untuk menjalankan SMASH. “Kami dapat masukan dari 

bank sampah di Kalimantan Utara dan Sorong, Papua. 

Mereka tertarik dengan SMASH, tapi terkendala lantaran 

tidak memiliki laptop,” tutur Fajar. 

 Fajar dan Addin lalu putar otak. Addin – yang 

memang diandalkan untuk urusan mengoprek 

masalah teknik – lalu menyodorkan ide membuat 

aplikasi mobile. Dengan aplikasi ini, anggota SMASH 

tak lagi perlu laptop. Untuk menjalankan SMASH hanya 

membutuhkan gawai. Pada Maret 2015, mobile apps 

SMASH pun dirilis. 



 Fajar lalu memperlihatkan aplikasi gawai SMASH 

kepada Bambang Suwerda. “Pak Bambang bilang keren,” 

ucap Fajar. Lalu, pada rapat koordinasi nasional (rakornas) 

bank sampah di Makassar pada 2015, Bambang Suwerda 

menyampaikan konsep SMASH kepada pengelola bank 

sampah peserta rakornas. Sang inisiator bank sampah di 

negara kita  mengajak para pengelola bank sampah untuk 

mulai merambah dunia online atau digital. 

 Rakornas bank sampah 2015 dihadiri sekitar 300 

pengelola bank sampah dari seluruh wilayah di negara kita . 

Mereka menyambut antusias ajakan Bambang Suwerda 

agar bank sampah melirik cara kerja digital. Nama SMASH 

berkibar pada rakornas itu . Banyak bank sampah 

yang mendaftar menjadi anggota SMASH. 

 Sayangnya, bulan madu SMASH dengan pengelola 

bank sampah tak berjalan lama. Beberapa waktu usai 

rakornas bank sampah, banyak bank sampah yang mundur 

dari keanggotaan SMASH. Penyebabnya antara lain terletak 

pada kondisi nasabah bank sampah yang aktif menabung 

sampah di bank sampah. SMASH memang “mengutip” 

uang langganan kepada bank sampah yang menjadi 

pelanggannya. Setiap bulan, bank sampah membayar 

beberapa  uang, berdasarkan jumlah nasabah aktif pada 

bank sampah bersangkutan. Setiap satu nasabah aktif, 

SMASH mendapatkan monetisasi sebesar seribu rupiah. 

 Salah satu pelanggan SMASH adalah Bank Sampah 

Bersinar Bandung. Namun, Bank Sampah Bersinar hanya 

berlangganan selama dua bulan. Selama kurun waktu dua 

bulan itu, SMASH hanya mendapatkan monetisasi sebesar 

110 ribu rupiah dan 160 ribu rupiah. Jumlah nasabah aktif 

yang sedikit menjadi penyebab kecilnya nilai rupiah yang 

diperoleh SMASH. 

Titik Balik yang Mengubah Segalanya

 Sedari awal meluncurkan SMASH, Fajar sudah 

menyadari bahwa isu krusialnya adalah masalah 

pendanaan. Tak jarang Fajar harus merogeh kocek sendiri 

untuk membiayai SMASH. Dia pernah menggelontorkan 

uang simpanannya sebesar 30 juta rupiah. Namun, lama-

lama Fajar tak kuat juga. “Kan nggak mungkin selama 

dua sampai tiga tahun kami mengeluarkan uang sendiri 

untuk membesarkan SMASH,” katanya. 

 Pengujung 2015 itu adalah masa-masa saat 

semangat Fajar dan Addin benar-benar terjun bebas. 

Keduanya merasa tak tahu akan dibawa ke mana 

aplikasi bank sampah beranama SMASH ini. Melalui 

sebuah perenungan panjang, Fajar dan Addin akhirnya 

tiba pada sebuah kesimpulan: niat awal mereka sudah 

bergeser. Tujuan awal mereka membangun SMASH 

adalah untuk membantu bank sampah. Tapi, lama-

kelamaan keduanya malah lebih fokus mencari duit dari 

SMASH. 

 Titik balik itulah yang membuat Fajar dan Addin 

akhirnya tak lagi begitu hirau dengan urusan monetisasi 

yang bisa mereka kutip dari bank sampah. Tujuan 

dikembalikan ke awal. Keduanya tak lagi gundah karena 

tidak bisa mendapat uang banyak dari bank sampah. Fajar 

ingin menjadikan SMASH sebagai social enterpreneur 

alias bisnis yang juga punya misi sosial.



 Laksana mukjizat, ketulusan sikap mereka membantu 

bank sampah dengan ikhlas, langsung dijawab Yang 

Maha Kuasa. Fajar mendapat informasi dari seorang 

temannya tentang lomba aplikasi yang diselenggarakan 

oleh Asia Foundation. SMASH mendaftarkan diri pada 

ajang di bulan Februari 2016 itu. Nama gelarannya 

adalah Innovation and Colaboration Development. 

Tanpa dinyana, SMASH menjadi juara pertama. SMASH 

menerima hadiah sebesar sepuluh ribu dolar Australia. 

Jika dirupiahkan saat  itu, jumlahnya mendekati 100 

juta rupiah.  Hadiah itu langsung mereka pakai untuk 

memperbaiki infrastruktur aplikasi SMASH. Salah satu 

investasi yang cukup mahal adalah menyewa cloud untuk 

SMASH. Jumlahnya mencapai setengah dari hadiah yang 

mereka terima. 

 Sisa hadiah lomba itu dipakai untuk berbagai keperluan 

lain. Termasuk untuk mengganti uang pribadi Fajar yang 

terpakai dalam rangka pengembangan SMASH. “Saya 

terharu saat  Addin bilang ke saya, tiga puluh juta rupiah 

sisa hadiahnya bisa saya ambil sebagai pengganti uang 

saya,” kata Fajar dengan mata berkaca-kaca, mengenang 

ketulusan persahabatannya dengan Addin. 

Nyesek Ibarat Ditolak Cewek

 Keberhasilan SMASH menjuarai ajang bergengsi 

SOSIAL. Setelah merenung, 

Fajar memutuskan untuk 

mengembalikan ruh SMASH 

lebih banyak sebagai bisnis 

yang bergerak di bidang 

sosial.



itu  ternyata berimbas positif. SMASH menerima 

proposal pendaftaran menjadi anggota inkubasi bisnis 

milik PT Telkom. Padahal, pada 2014 dan 2015, SMASH 

mendaftar sendiri. Tapi, mereka gagal diterima. Lucunya, 

saat  ada penawaran menjadi inkubasi bisnis Telkom 

itu, Fajar awalnya sempat ogah-ogahan. Jiwa muda Fajar 

yang membuatnya merasa “dendam” karena pernah 

ditolak. “Ibarat anak muda yang ditolak cewek, kan nyesek 

banget tuh,” ujar Fajar terkekeh. 

 Untunglah Fajar segera sadar. Tak ada gunanya juga 

dia melampiaskan dendamnya yang hanya seujung 

kuku itu. Fajar mendaftarkan SMASH ke Telkom. Kali ini 

lolos. SMASH memperoleh dana inkubasi sebesar 120 juta 

rupiah. Fajar akhirnya bisa menggaji dirinya dan Addin 

dari dana inkubasi itu. Masing-masing menerima gaji tiga 

juta rupiah per bulan. 

 Pada 2017, SMASH mengikuti program perusahaan 

pemula berbasis teknologi yang diadakan oleh 

Kementerian Ristek. Mereka memperoleh dana hibah 

sebesar 350 juta rupiah, tanpa harus melepas kepemilikan 

saham. Memang, dana itu tak semuanya masuk ke 

kocek SMASH. Sebesar 25 persen diberikan kepada pihak 

inkubator – Bandung Techno Park – yang sudah membina 

SMASH. 

 Program Kementerian Ristek ini pulalah yang 

akhirnya mengubah sedikit nama SMASH. Salah 

seorang tim Kemenristek mengusulkan kepada Fajar 

agar kata “bank” pada kepanjangan SMASH dihilangkan 

saja. Alasannya, aplikasi SMASH harus bisa menjangkau 

lebih banyak stake holders yang berkaitan dengan 

pengelolaan persampahan. Lalu, menjelmalah SMASH 

menjadi Sistem Manajemen Online Sampah. Tanpa ada 

kata “bank”. 



CLOUD. Hadiah dari 

berbagai ajang lomba yang 

diikuti SMASH, dipakai 

untuk memperbaiki sistem 

infrastruktur aplikasi SMASH.

 Sebagai sebuah usaha rintisan, Fajar menyadari jika 

kondisi saat ini adalah fase rawan bagi SMASH. Produk 

sudah berjalan beberapa tahun, tapi model bisnis yang 

ajek belum mereka dapatkan. Karena itu, ke depan Fajar 

mulai memfokuskan diri mengejar investor. Salah satu 

investor yang tertarik untuk memodali pengembangan 

SMASH adalah Alba Group, sebuah perusahaan daur ulang 

sampah terkemuka dari Jerman. Pada September 2019, 

Fajar diundang Alba Group menghadiri groundbreaking 

pabrik pengolahan plastik di Hongkong. 

INVESTOR. Fajar 

mempresentasikan SMASH 

di hadapan calon investor di 

Hongkong.

 usaha  SMASH membantu bank sampah di negara kita  

kini mulai berbuah hasil. Bank Sampah Bersinar Bandung 

kembali berlangganan SMASH. Menurut Johnny Sumual, 

pengelola Bank Sampah Bersinar, aplikasi SMASH sangat 

memudahkan para pengelola bank sampah. “Kami 

gampang mendata dan melihat keaktifan nasabah kami,” 

kata Johnny sambil memperlihatkan layar komputer yang 

sedang menampilkan aplikasi SMASH. 



 Aplikasi SMASH bisa memantau pergerakan nasabah 

aktif pada sebuah bank sampah. Dari pemantauan itu 

dapat diketahui bahwa nasabah aktif bank sampah di 

negara kita  memang masih kurang. Data SMASH mencatat, 

“Rata-rata hanya sepuluh persen nasabah aktif pada 

sebuah bank sampah,” tutur Fajar. Tapi, Fajar menyadari, 

boleh jadi tingkat keaktifan itu berbeda dengan kenyataan 

sesungguhnya di lapangan. Kebanyakan bank sampah 

mengalami kendala memakai  aplikasi SMASH. 

 Pengelola bank sampah juga menemui kendala belum 

meratanya koneksi internet di banyak wilayah negara kita . 

saat  ada pengelola yang meminta agar SMASH bisa 

dipakai pada saat tidak tersedia koneksi internet, Fajar 

menyanggupinya. Sekarang pengelola bisa memasukkan 

data terlebih dulu tanpa koneksi internet. saat  sudah 

terkoneksi dengan internet, barulah data itu  

langsung masuk ke server SMASH. SMASH mencatat 

nasabah kumulatif bank sampah yang terhubung dengan 

SMASH sebanyak 33 ribu 

nasabah. Semuanya berasal 

dari 5.100 bank sampah yang 

berlangganan SMASH. 

CEO = Chief Everything 

Officer

 Melalui SMASH, Fajar tak 

hanya terfokus pada aplikasi 

belaka. Dia membuat tong 

sampah pintar. Namanya 

smart drop box (SDB). SDB 

dilengkapi sistem pemindai 

barcode botol plastik, 

dan terbubung dengan 

mySmash. Pemilik akun 

MYSMASH. mySmash akan 

menghubungkan pengguna aplikasi 

dengan bank sampah terdekat.



mySmash bisa mencatatkan botol bekas yang dibuangnya 

ke dalam SDB. Setiap botol yang dibuang ke dalam SDB 

akan mendapatkan poin dari T-Cash. Pembuatan SDB ini 

bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup 

dan Kehutanan, Danone, Telkomsel, dan Alfamart. “Ada 

70 tong sampah yang disiapkan sebagai SDB. Kami baru 

membuat 30 sensor,” kata Fajar. 

PINTAR. Tong sampah pintar 

alias smart drop box (SDB). 

Botol bekas yang dibuang 

ke dalam SDB akan dihargai 

dengan beberapa  rupiah. – 

dok. aqua.co.id.

 Rencananya, SDB akan diletakkan di berbagai gerai 

ritel di negara kita . Satu botol plastik dihargai 50 – 60 rupiah. 

Sayangnya, ada kendala mengembangkan SDB. Salah 

satunya adalah pengawasan tong sampah yang diletakkan 

di gerai ritel. Ada saja tangan-tangan usil yang memotong 

kabel sensor SDB. Padahal, satu sensor SDB yang dibuat 

SMASH, harganya cukup lumayan: 4 juta rupiah. 

 Begitulah Fajar. Pemuda yang tak terlalu banyak hirau 

dengan urusan materi. Boleh jadi, titik balik pada 2017 

silam, membuat Fajar kini bisa lebih ringan menjalankan 

bisnisnya di bawah payung SMASH. Fajar kini memiki 

delapan orang karyawan. Hebatnya, sebagian besar 

karyawannya dengan suka rela tidak mendapatkan gaji. 

Namun, dalam hati kecilnya, Fajar sudah berjanji, jika 

suatu saat SMASH mendapatkan investor kakap, karyawan 

tanpa gaji inilah yang akan didahulukan Fajar menerima 

uang hasil keringat mereka membesarkan SMASH. 


 Dalam perjalanan SMASH, Fajar merasa, enam puluh 

persen keberadaan SMASH lebih banyak berurusan 

dengan ranah sosial. Sedangkan sisi bisnisnya hanya 

sebesar empat puluh persen. Dia pun memang sudah 

menetapkan tekad untuk terus menjaga porsi 60 : 40 itu 

sebagai koridor perjalanan SMASH ke depan. “Biarlah ini 

menjadi ladang amal bagi saya,” ujar sang CEO SMASH.

 Oya, bicara soal CEO, Fajar sempat tergelak sejenak. 

“Saya ini kan jadi CEO karena terpaksa. Jadi, bagi saya, CEO 

saya ini kepanjangannya adalah Chief Everything Officer,” 

katanya sambil terkekeh. 

 Sebuah panggilan telepon di pengujung 2012 silam 

yang membuat Fajar menjadi CEO, dengan huruf E kapital 

sebagai “everything”. Panggilan telepon dari sang bapak 

itu pulalah yang meluruskan jalan hidup Fajar menjadi 

lebih mementingkan ladang amal, ketimbang ladang 

harta.





Bau sampah menyengat. Sebuah tempat penampungan sementara (TPS) sampah liar dibiarkan begitu saja. Timbunan sampah yang 

sudah menggunung tak pernah dihiraukan. Alih-alih 

peduli dengan kondisi TPS liar itu, warga setempat malah 

tetap saja membuang sampah. Jika musim hujan tiba, bau 

busuk sampah bertambah menyengat hidung. Belum lagi 

aliran air hujan yang mengalir dari TPS, membuat suasana 

lingkungan menjadi amat tak nyaman. 

 Sudah bertahun-tahun TPS liar itu ada di sebuah gang 

pemukiman di kawasan Jalan Perintis, Kota Makassar, 

Sulawesi Selatan. Sudah bertahun-tahun pula warga 

di sekitar TPS itu hidup dengan bau sampah. Padahal, 

kawasan itu  boleh dibilang salah satu kawasan elite 

di Makassar. Kampus Universitas Hasanuddin terletak di 

sini. 

 Tak mau terus menerus hidup dalam kondisi 

lingkungan yang tak sehat, Adi Saifullah Putra lalu berpikir 

keras. Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Muslim 

negara kita  (UMI) Makassar itu merasa harus bisa berbuat 

sesuatu agar lingkungan tempatnya kost bisa jauh lebih 

nyaman. Apalagi, selama ini Adi sudah menjalani lakunya 

di kampus sebagai seorang aktivis sosial. Jiwanya merasa 

terpanggil untuk mengatasi persoalan itu .



AKTIVIS. Sebagai aktvis sosial di kampusnya, Adi 

Saifullah Putra merasa tidak nyaman dengan 

keberadaan TPS liar di dekat tempatnya kost.

 Pada suatu malam tahun 2015, saat hujan sedang 

turun deras mengguyur Makassar, Adi tengah termenung. 

Dan, eureka! Bak sebuah lampu terang yang hadir tiba-

tiba menghiasi otaknya, muncullah ide untuk membuat 

sebuah e-commerce khusus mengurus sampah. “Saat 

itu kan e-commerce seperti Tokopedia atau Bukalapak 

sedang berkembang pesat. Saya melihat, sampah ini bisa 

juga masuk ke ranah e-commerce,” ujar Adi, menyebut 

dua perusahaan e-commerce besar di negara kita .

 Adi melihat ada kebutuhan warga Makassar yang 

cukup tinggi untuk mengelola sampah rumah tangga. 

Tak sedikit rumah tangga di Makassar yang berada di 

kawasan dengan kondisi jalan masuk yang sempit. Mobil 

pengangkut sampah tak bisa masuk ke kawasan seperti 

itu. Hanya kendaraan pengangkut roda tiga yang mampu 

menembus jalan sempit itu . 

 Adi bersicepat. Dia tak ingin idenya mengendap lama di 

dalam benaknya, dan berlalu begitu saja. Pengalamannya 

mengikuti unit kegiatan mahasiswa bidang kewirausahaan 

di kampusnya, membuatnya mampu melihat peluang 

bisnis dari idenya itu . Lalu, dia ajak dua orang rekannya 

sesama mahasiswa di Makassar. Satu rekan mumpuni di 

bidang teknologi informasi dan sudah menjadi programmer. 

Seorang lainnya trengginas dalam urusan desain. Mulailah 

mereka bertiga berdiskusi mematangkan gagasan. 



Bicara Setara Adalah Kunci

 Nama sudah didapat: MallSampah Makassar. 

Konsepnya adalah menghubungkan pemulung atau 

pengepul sampah dengan rumah tangga penghasil 

sampah. Sesederhana itu memang. Tapi, ternyata kerja 

awalnya tak sederhana. Adi harus berjibaku mendekati 

para pemulung dan pengepul sampah. Adi harus 

meyakinkan pemulung dan pengepul mau bergabung 

dan menjadi mitra MallSampah.

 Beruntung Adi mempunyai pergaulan yang luas. 

Dia juga cukup luwes. Pengalamannya sebagai aktivis 

sosial kampus banyak membantunya mendekati para 

pemulung dan pengepul sampah. “Saya pernah satu tahun 

mengajari anak-anak di pemukiman kumuh mengaji. Itu 

jadi modal saya untuk bisa berbahasa yang setara dengan 

bahasa para pemulung dan pengepul. Rata-rata mereka 

kan berasal dari kawasan seperti itu,” kata Adi.

 Bersama dua rekannya, Adi melakukan berbagai 

cara mendekati para pemulung dan pengepul sampah. 

Tak jarang mereka ikut nongkrong, sambil menyeruput 

kopi, dengan para pemulung dan pengepul. Dengan 

bahasa yang setara itulah, Adi berhasil meyakinkan para 

pemulung dan pengepul. 

 Adakah iming-iming uang dari obrolan dengan para 

pemulung dan pengepul itu? Ternyata tidak. “saat  kami 

sampaikan ada manfaat ekonomis jika mereka menjadi 

mitra MallSampah, mereka malah tak hirau. Jadi, mereka 

mau bergabung semata-mata karena mereka percaya 

dengan kami,” ucap Adi tersenyum. Hasil gerilya dengan 

pendekatan kepercayaan itu membuat sekitar 60 pemulung 

dan pengepul bersedia menjadi mitra MallSampah. Angka 

itu baru bisa tercapai setelah setahun Adi dan dua rekannya 

mendekati para pemulung dan pengepul sampah. 

SEMPIT. Jalanan sempit 

menuju lokasi permukiman, 

menjadi lahan basah bagi 

para pemulung untuk 

mengumpulkan sampah.

 Para pemulung dan pengepul sampah selama ini 

memang menjadi tumpuan warga yang tinggal di lokasi 

berjalan sempit. Ibarat kata, mereka ada di lorong-lorong 

atau gang yang amat jarang terjangkau oleh mobil 

pengangkut sampah milik pemerintah. MallSampah 

akan menjadi penghubung antara warga dan pemulung 

atau pengepul sampah. Warga tinggal membuka aplikasi 

di gawai mereka, lalu meminta mitra MallSampah 

menjemput sampah.

Ditertawakan Lantaran Bakar Uang

 Sembari mencari mitra pemulung dan pengepul, Adi 

dan tim terus berusaha  menemukan format teknologi 

yang pas bagi MallSampah. Wujud awal MallSampah 

baru berupa website dalam versi beta. Belum berbentuk 

aplikasi yang bisa diunduh di gawai. Warga yang menjadi 

user bisa langsung menelepon pemulung atau pengepul, 

untuk dibeli dan diangkut sampahnya. 

 Kendati baru berupa web, Adi dan tim terus memacu 

langkah. Tak mulus-mulus amat memang. Banyak cibiran 

yang mereka terima. Banyak pula yang meragukan 

keberhasilan MallSampah. “Tahun 2015 – 2018 itu menjadi 

masa-masa sulit bagi kami. Tak jarang, semangat kami 

turun drastis dan hendak menyerah saja,” tutur Adi. 

 Salah satu cibiran itu adalah soal “bakar-bakar 

uang” yang dilakukan MallSampah. Pada periode 2015 

– 2018, tak sedikit uang yang mereka keluarkan untuk 

terus mengembangkan MallSampah. Dalam hitungan 

Adi, sekurangnya 500 juta rupiah uang sudah mereka 

gelontorkan. Sebagian besar uang mereka gunakan untuk 

melakukan riset dan pengembangan. Uangnya berasal 

dari beberapa investor dan dana hibah. 

 Pada periode itu, Adi berkenalan dengan seorang 

mahasiswa programmer dari Universitas Hasanuddin. 

Namanya Andri Dwi Utomo. Bertambahlah kekuatan 

untuk mengembangkan MallSampah. Pada 2019, Adi 

dan tim berhasil merampungkan format MallSampah 

berupa aplikasi yang bisa diunduh di gawai. Biaya 

pengembangannya pun tergolong murah. Hanya sekitar 

100 juta rupiah. Ini bisa terjadi lantaran pergaulan luas 

Andri dengan komunitas programmer di Makassar. Lewat 

komunitas inilah, banyak uluran tangan berdatangan. 

 Segala keribetan dan cibiran yang diterima Adi 

dan tim agaknya malah menjadi vitamin bagi mereka. 

Buktinya, pada Agustus 2019, meluncurlah aplikasi 

MallSampah untuk pengguna gawai android dan IOS. Para 

user MallSampah dan pengepul menyambut gembira 

perubahan bentuk dari web menjadi aplikasi. 



 Aplikasi MallSampah kini sudah tersedia untuk gawai 

berbasis android maupun iOS. Tinggal diunduh, lalu 

aplikasinya bisa dipakai. Dengan disain interface yang 

cukup bersahabat, pengguna MallSampah tentu akan 

amat mudah melakukan transaksi jual beli sampah daur 

ulang.

 Prinsip kerja MallSampah sejatinya mirip dengan 

bank sampah. Hanya saja, pada bank sampah, nasabah 

yang mendatangi bank sampah untuk menyetorkan 

sampahnya. Sementara, pengguna MallSampah tidak 

perlu bersusah payah mencari bank sampah terdekat 

di lingkungannya. Cukup klik MallSampah di gawai, lalu 

terhubung dengan mitra pemulung atau pengepul. Tak 

butuh waktu lama, pemulung atau pengepul akan tiba, 

membawa timbangan dan uang tunai untuk membeli 

sampah pengguna MallSampah. 

 Warga yang menjual sampah di MallSampah bisa 

langsung dibayar dengan uang tunai. Atau, tersedia pula 

fitur MS Koin. Ini adalah uang elektronik di MallSampah. 

Koin itu  nanti bisa digunakan untuk membeli 

berbagai hasil kerajinan daur ulang yang tersedia di 

MallSampah. Atau, bisa pula dikonversi menjadi uang 

elektronik lain seperti GoPay atau OVO. 

 Pengepul mitra MallSampah membeli sampah yang 

bisa didaur ulang. Dalam sebulan, rata-rata transaksi jual 

beli sampah di MallSampah mencapai 30 ton sampah 

daur ulang. Aplikasi MallSampah menyediakan fitur 

verifikasi jenis sampah. Jadi, pengguna bisa mengetahui 

dan memastikan bahwa sampah yang akan dijual 

masuk dalam kategori sampah daur ulang yang berlaku 

di MallSampah. Pengepul menjual sampah ke pelapak 

material daur ulang sampah di sekitar Kota Makassar. Ada 

juga yang menjualnya ke produsen yang membutuhkan 

material plastik, semisal produsen tali rafia atau karung 

plastik.

 Pada setiap transaksi, MallSampah mengutip 10 hingga 

15 persen dari nilai transaksi. Untuk sampah domestik 

rumah tangga, biayanya 10 persen dari nilai transaksi. 

Sedangkan untuk sampah di kawasan komersial seperti 

hotel, restoran, atau kafe, MallSampah mengutip sebesar 

15 persen. MallSampah memang lebih memfokuskan 

pelayanannya pada sampah domestik rumah tangga. 

“Kami ini kan sebenarnya bersifat social enterpreneur. 

Sekarang, pengguna MallSampah dari kawasan komersial 

cuma ada seratus user,” ucap Adi. 

Mengubah Hidup Pemulung

 MallSampah kini terus menggeliat. beberapa  investor 

asing sudah tertarik untuk mengguyurkan uangnya, 

membesarkan MallSampah Makassar. Ketertarikan 

investor asing ini salah satunya lantaran semakin banyak 

warga Makassar dan sekitarnya yang menjadi pengguna 

MallSampah. 

 Perlahan tapi pasti, pengguna MallSampah terus 

bertambah. Sampai Mei 2020, tercatat sudah lebih dari 

13 ribu warga Makassar dan sekitarnya yang mengunduh 

aplikasi ini. Selain warga Makassar, pengguna MallSampah 

juga tersebar sampai ke Kabupaten Gowa, Maros, dan 

Parepare. Mitra pemulung dan pengepul pun kini sudah 

mencapai 200 orang. 

 Salah seorang pengepul mitra MallSampah adalah 

Hermanto. Pria 46 tahun ini sudah bergabung dengan 

MallSampah sejak 2016. Sebelum menjadi mitra 

MallSampah, Hermanto hanya berkeliling Kota Makassar 

dari pagi hingga sore hari. Dia mendatangi rumah warga, 

mencari sampah daur ulang atau barang bekas yang 

hendak dijual. Dalam sehari, belum tentu Hermanto 

mendapatkan barang atau sampah yang masih layak 

dijual kembali.

 Kesetiaan Hermanto menjadi mitra MallSampah, 

membuatnya diganjar apresiasi oleh MallSampah. Kini, 

MallSampah mempercayakan kepada Hermanto untuk 

membeli dan mengangkut sampah daur ulang di 

kawasan komersial Kota Makassar. Ada sepuluh sampai 

tiga belas tempat komersial yang “dikuasai” Hermanto. 

“Alhamdulillah, sekarang saya bisa mendapatkan 

penghasilan minimal 10 juta rupiah setiap bulan. Sebelum 

bergabung dengan MallSampah, dalam sehari saya bisa 

ndak dapat apa-apa,” kata Hermanto mengenang masa 

sulitnya dulu. 

 Ya, memang sejak bergabung dengan MallSampah, 

kehidupan Hermanto berubah. Dia hanya duduk manis 

di rumah, sambil terus mengawasi gawainya. Jika ada 

pengguna MallSampah yang ingin menjual sampahnya, 

barulah Hermanto bergegas dan beranjak dari rumahnya, 

di kawasan Panakkukang, Makassar. 

 Kehadiran MallSampah dengan pasukan pemulung 

dan pengepul seperti Hermanto, dirasakan betul 

manfaatnya oleh pengguna MallSampah. Salah satunya 

adalah Heridah. Ibu rumah tangga berusia 56 tahun ini 

menjadi pengguna MallSampah sejak Maret 2020. Belum 

lama memang. 

 Warga Kompelks Graha Cendikia ICMI, Makassar ini, 

dalam sebulan bisa menjual sampah daur ulang lumayan 

banyak. “Bisalah saya memperoleh uang dari menjual 

sampah sebesar 100 ribu rupiah,” ujarnya. Heridah dan 

lebih dari 13 ribu warga Makassar dan sekitarnya, kini tak 

perlu bingung lagi mengurus sampah mereka. Selain 

kebersihan lingkungan terjaga, uang pun bisa mereka 

dapatkan dari hasil menjual sampah daur ulang. 

 Tak ada lagi bau menyengat yang berasal dari 

tumpukan sampah. Begitu pun bau busuk yang tercium 

Adi Saifullah Putra, pada suatu malam musim penghujan, 

2015 silam. Semua sudah berganti dengan rasa nyaman. 

Tak hanya di lingkungan sekitar tempat kost Adi. Juga 

sudah merambah ke banyak pelosok di Makassar. 

MallSampah ikut memberikan kontribusi.


Sampah harus menjadi tanggung jawab si 

penghasil sampah. Prinsip ini mensyaratkan 

perilaku batasi dan kurangi sampah. Jadi, sampah 

yang berakhir di TPA benar-benar sampah residu 

yang sudah tak bisa diapa-apakan lagi.

Rangga kini sudah banyak berubah. Usai memakan pisang di taman perumahan saat bermain dengan teman-temannya, Rangga segera menuju tong 

sampah. Dia masukkan kulit pisang ke dalam tong sampah 

bertuliskan “sampah basah”. Ya, siswa sekolah dasar di 

di Depok, Jawa Barat, itu tak lagi membuang sampah 

sembarangan. “Aku diajari mama agar membuang 

sampah pada tempatnya,” ujar Rangga polos. 

 Kesadaran yang dimiliki Rangga tentulah cukup 

menggembirakan. Sejak dini, memang sudah sepatutnya 

orang tua menanamkan kesadaran kepada anaknya agar 

peduli terhadap lingkungan dan kebersihan. Salah satunya 

seperti polah Rangga. 

 Tapi, konsep membuang sampah pada tempatnya 

belumlah cukup mengatasi persoalan sampah yang 

kini kian perlu mendapat perhatian serius. Membuang 

sampah pada tempatnya adalah paradigma lama. 

Sampah yang ada di tempat sampah bisa diperlakukan 

dengan berbagai cara. Ada yang menimbunnya begitu 

saja di lahan kosong. Tentu saja lahan kosong ini lama 

kelamaan akan berubah menjadi TPS liar. Aroma busuk 

sampah dipastikan akan menyengat. Sementara, cairan 

yang berasal dari sampah akan merembes ke dalam 

tanah dan mencemari air tanah. 

 Ada pula yang membakar sampah. Gampang 

memang. Kumpulkan sampah, siram dengan minyak atau 

bensin. Lalu, nyalakan korek api, sulutkan ke tumpukan 

sampah. Selesai urusan. Tapi, cara ini akan menghasilkan 

asap yang mengandung karbon monoksida dan formalin. 

Ini adalah dua zat utama hasil pembakaran sampah yang 

paling banyak memicu penyakit pernapasan. 


 Pada ujungnya, sampah yang sudah berada di 

tong sampah, sebagian besar tetap akan masuk ke TPA 

sampah. Padahal kondisi sebagian besar TPA di negara kita  

kini cukup mencemaskan. Tumpukan sampah sudah 

meninggi bak gunung menjulang. 

Kertas Bungkus Nasi Padang

 Jika perilaku membuang sampah pada tempatnya 

tidaklah lagi cukup, apa yang bisa diperbuat lebih jauh? 

“warga  seharusnya mulai menerapkan konsep 

‘kurangi sampah’. Dengan begitu, jumlah timbulan 

sampah, utamanya sampah rumah tangga, bisa berkurang. 

Dan, itu akan mengurangi jumlah sampah yang masuk ke 

TPA,” kata Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah, 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI.

 Novrizal mengajak warga  agar sampah yang 

dibuang ke tong sampah adalah sampah residu. Artinya, 

sampah itu tak bisa diolah lagi menjadi sesuatu. “Misalnya, 

kertas pembungkus nasi padang. Itu kan susah diapa-

apain lagi. Itu namanya sampah residu,” tutur Novrizal. 

 Pemerintah terus melakukan berbagai usaha  

mengurangi sampah. Bank sampah bisa menjadi salah 

satu simpul penting. Sebelum menyetorkan sampah dari 

rumah ke bank sampah, warga terlebih dulu memilah 

sampah di rumah masing-masing. Pada September 

2019, KLHK mencanangkan program “pilah sampah dari 

rumah”. Prinsip yang digunakan untuk mengurangi 

timbulan sampah adalah melalui pembatasan dan 

pencegahan munculnya timbulan sampah. “Jadi, mulailah 

membudayakan hidup minim sampah. Misalnya, bawa 

tumbler, ketimbang beli air minum dalam kemasan botol 

plastik,” kata Novrizal. 

 Menurut Novrizal, alangkah eloknya jika warga  

membudayakan filosofi “sampahku adalah tanggung 

jawabku”. Jika filosofi ini sudah menjadi sebuah prinsip 

hidup, niscaya akan tumbuh kesadaran untuk membatasi 

dan mengurangi sampah. Yang akhirnya dibuang ke TPA 

adalah residu sampah yang tak bisa dimanfaatkan lagi. 

Sementara, barang sekali pakai bisa dipilah, lalu disetor ke 

bank sampah.

 Keberadaan bank sampah tak lepas dari gerakan 3R 

(reduce, reuse, recycle). Melalui gerakan 3R ini, warga  

diajak untuk mengurangi atau membatasi sampah, 

memakai  ulang sampah, dan mendaur ulang sampah. 

 Kehadiran bank sampah di negara kita  secara perlahan 

sudah mulai memberikan kontribusi. Memang, angkanya 

belum terlampau besar. Untuk pengurangan sampah 

secara nasional, bank sampah sudah menyumbang angka 

sebesar 1,7 persen. Angka ini sama dengan mengurangi 

sampah sekitar 2,1 juta ton per tahun. 

Dengan Cinta, Sampah Menjadi Jernih

 Semakin meningkatnya kesadaran warga  akan 

pentingnya mengelola sampah membuat keberadaan 

bank sampah akan menjadi sebuah keniscayaan. Bank 

sampah akan menerima sampah yang tak lagi bisa 

dimanfaatkan warga, kemudian mengolahnya menjadi 

beragam bentuk. Atau, bank sampah menjual sampah 

itu  ke pelapak atau ke pabrik daur ulang. 

 Selain keberadaan bank sampah, kehadiran banyak 

orang yang punya kepedulian terhadap persoalan 

sampah juga menjanjikan sebuah harapan. Mereka sudah 

melakukan banyak hal untuk mengatasi masalah sampah. 

Tak cuma melalui bank sampah. Mereka menawarkan 

berbagai inovasi dan terobosan. Mereka tak pernah surut 

berjuang, kendati harus menghadapi tantangan yang tak 

mudah. Mereka layak mendapat julukan sebagai “para 

pendekar sampah”.

 Kenyataan ini tentu akan membawa kita kepada 

sebuah optimisme: persoalan sampah di negara kita  bisa 

teratasi. Kehadiran bank sampah dan “para pendekar 

sampah” ini akan terus menggugah kesadaran warga . 

Ibarat penggedor, dua elemen ini menjadi kekuatan 

penting mengetuk pintu nurani warga . 

 Bila warga  sudah memahami betapa pentingnya 

mengelola sampah, mereka akan dengan senang hati 

membatasi dan mengurangi sampah. Apalagi, jika 

warga  melakukannya dengan sepenuh cinta. Seperti 

kata penyair sufi Jalaluddin Rumi: dengan cinta, sampah 

menjadi jernih.

Semua bermula dari sebuah panggilan telepon yang masuk ke gawai saya. Kejadiannya Maret 2019. Saat itu, saya tengah berada di sebuah daerah di 

Provinsi Jambi. Sore saat  tengah merebahkan badan 

sebentar, setelah perjalanan cukup jauh dari Jakarta, saya 

dihubungi Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian 

Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bapak Novrizal 

Tahar. Percakapan itu tak lama. Intinya, saya diminta 

menulis buku tentang pengelolaan sampah, utamanya 

yang berkaitan dengan bank sampah dan partisipasi 

warga  mengurangi sampah.

Tanpa berpikir panjang, saya segera menyanggupi 

permintaan itu . Ini tentu saja sebuah kesempatan 

berharga. Sebagai seorang sarjana Teknik Lingkungan, 

saya punya semacam “utang” kepada almamater saya, 

Institut Teknologi Bandung (ITB). Maklum, sejak lulus 

kuliah, saya sama sekali tak pernah bergelut di pekerjaan 

yang sesuai dengan latar pendidikan saya. Malah, sebelum 

menamatkan kuliah, saya sudah lebih dulu menjadi 

seorang jurnalis. 

Jika bisa membuat sebuah buku tentang pengelolaan 

sampah di negara kita , saya amat berharap buku itu  

akan menjadi sedikit sumbangsih saya sebagai seorang 

sarjana Teknik Lingkungan. Setidaknya, buku itu bisa 

mendatangkan inspirasi bagi banyak orang untuk 

mengenali dan memahami persoalan sampah di Tanah 

Air. Dari situ diharapkan muncul aksi nyata untuk 

mengurangi sampah di negara kita , yang jumlahnya 

semakin mengkhawatirkan.

Singkat kisah, dimulailah penulisan buku ini. Setelah 

melakukan riset, saya menemui beberapa  orang. Mereka 

tersebar di banyak wilayah di negara kita . Saya melakukan