man curhatnya
dalam urusan sampah, Kristien Yuliarti
Pengalaman tak mengenakkan seperti itu tidak lantas
membuat perempuan tangguh seperti Dini dan Kristien
menyerah. Mereka melakukan pola hidup minim sampah
sebagai usaha membayar utang kepada bumi yang
sudah memberikan begitu berlimpah nikmat bagi umat
manusia. Salah satu bukti bahwa mereka tidak mengenal
capek adalah deretan jerigen jelantah yang masih tetap
teronggok di salah satu pojok rumah Dini Wardhani.
L elaki itu hendak bersicepat. Usai sarapan, dia bergegas keluar rumah. Sepeda motor dinyalakannya. Begitu keluar halaman rumah, alangkah kagetnya dia.
Beberapa remaja tergeletak di jalanan depan rumahnya.
Dari mulut mereka keluar cairan berbusa. Botol minuman
keras tergolek di samping para remaja itu. Mereka teler.
Lelaki itu masygul. Dipacunya sepeda motornya
menuju kantor. Dia membayangkan bakal mendapatkan
banyak pengalaman tak mengenakkan di rumah yang
baru ditempatinya. Malam pertama bermukim di Dusun
Brajan, Bantul, Yogyakarta, saja, dia dan keluarganya sudah
disuguhkan hentakan musik berisik yang mengiringi
latihan kuda lumping. Suaranya memekakkan telinga.
Waktunya pun cukup panjang: dari pukul satu siang
hingga pukul satu tengah malam.
Tapi, Ananto Isworo, lelaki warga baru di Dusun Brajan
itu, tak punya pilihan lain. Pada 2005 itu, dia baru saja pindah
dari Dusun Peleman – tak jauh sebenarnya dari Dusun Brajan.
Namun, Ananto sama sekali tidak mengetahui seluk-beluk
Dusun Brajan. saat dia sudah membeli sebuah rumah
sederhana di Brajan, banyak sesepuh di Peleman yang
marah. Dari situlah Ananto baru mengetahui bahwa Brajan
adalah sebuah dusun di Bantul
yang terkenal dengan premanisme.
Istrinya memang sempat
merengek untuk pindah. Lantaran
uang sudah kepalang habis
membeli rumah di Brajan, Ananto
hanya bisa menabahkan sang
istri. “Saya bilang ke istri, kalau kita
belum bisa mengubah perilaku
warga, setidaknya kita ubah saja
dulu cara pandang kita terhadap
mereka,” ucap Ananto.
KAGET. Pertama kali pindah
ke Dusun Brajan, pada 2005,
Ananto Isworo sudah harus
berhadapan dengan perilaku
warga. Banyak pemuda yang
mabuk.
Mengubah cara pandang itulah yang akhirnya Ananto
lakukan. Memang tak gampang. Bahkan, selama dua
tahun, dia dan keluarganya “dimusuhi” warga Brajan.
Apalagi, embel-embel sebagai kader Muhammadiyah
melekat pada diri Ananto. Baru empat hari bermukim di
Brajan, warga sudah menegur Ananto agar tak macam-
macam. “Kalau mau ke masjid, ya ke masjid saja. Tak perlu
mencampuri kesenangan warga. Begitu kata sesepuh
warga Brajan ke saya,” kata Ananto mengenang.
Beri Aku Lima Pemuda
Ananto tak menyerah begitu saja. Memang, selama lebih
kurang dua tahun, dia sama sekali tak mengusik kesenangan
warga Brajan. Ananto paling hanya bisa mengelus dada,
saat hampir setiap pagi dia menyaksikan para pemuda
tergelepar di depan rumahnya. Dalam keadaan mabuk.
Selama dua tahun, Ananto mencoba memetakan kondisi
Brajan. Dia mulai meriset kecil-kecilan. Ananto mempelajari
sosio kultural warga di Brajan. Juga mencari tahu ihwal
latar belakang pendidikan dan tingkat ekonomi warga.
Dari pengamatannya itu, Ananto mendapatkan
gambaran lebih utuh tentang kondisi kehidupan warga
Brajan. Semua warga mengalami kesulitan hidup. Kala itu,
rata-rata warga bermatapencarian sebagai buruh pabrik
batu bata. Tingkat ekonomi warga amat rendah. Begitu
pula dengan tingkat pendidikan.
Sampailah pada suatu hari tahun 2007. Ananto
terkenang ucapan Bung Karno yang amat terkenal: “Beri
aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncang dunia”.
Ananto pun memberanikan diri mendekati para pemuda
di Brajan. “Kalau Pak Karno butuh sepuluh pemuda, saya
cukup lima pemuda saja. Insya Allah saya akan mampu
mengubah Brajan,” tutur Ananto mengenang awal mula
dia mulai berani “merecoki” warga Brajan.
Ananto lalu mulai membuka percakapan dengan para
pemuda Brajan. Awalnya memang terasa susah dan janggal.
Tapi, lambat laun para pemuda Brajan mulai mau ngobrol
dengan Ananto. saat merasa sudah mulai dipercaya,
Ananto mengajak mereka berkunjung ke rumahnya. Tak
dinyana, ada 15 remaja Brajan yang tertarik dengan ajakan
Ananto itu. Di rumahnya, Ananto menyuguhkan tontonan
film tentang kehidupan kepada para pemuda. Kudapan
ringan menemani mereka. Usai menonton film, Ananto
mulai membuka diskusi. Saat itulah dia bisa menyelipkan
beberapa “petuah” keagamaan.
Menonton film, diskusi, dan menyantap kudapan
ringan inilah yang menjadi awal mula usaha sistematis
Ananto mengubah wajah Dusun Brajan. Terlebih lagi,
saat itu Brajan menjadi salah satu wilayah di Yogyakarta
yang porak poranda diamuk gempa bumi pada Mei 2006.
Bersama lima belas orang pemuda, Ananto membantu
warga yang terkena dampak gempa. Selain di rumah
Ananto, pusat kegiatan membantu warga itu juga ada di
Masjid Al Muharram, Brajan.
Kotak Nasi Bekas Berharga 500 Ribu Rupiah
Pelan namun pasti, warga Brajan mulai menyadari
kehadiran Ananto. Lalu, tibalah sebuah kejadian pada
bulan Ramadan 2013. Selama bulan puasa, warga Brajan
memang kerap mengadakan buka puasa bersama di
Masjid Al Muharram. Menjelang salat Tarawih, Ananto
gusar. Dia masygul melihat kotak nasi berserakan. Ananto
lalu mengajak warga untuk membersihkan kotak nasi dan
memasukkannya ke dalam karung yang sudah disiapkan.
Dia sampaikan ke warga, membereskan sampah
berupa kotak nasi itu bisa menjadi pahala dan dianggap
bersedekah.
Nahas, tanggapan warga tak begitu bagus. Iming-
iming pahala lantaran sudah bersedekah, dianggap angin
lalu oleh warga. “Sedekah dari mana, tanya warga. Mereka
berpikir, itu kan sampah. Dibiarkan sajalah. Toh, nanti
pasti ada yang membersihkannya,” ujar Ananto. Akhirnya,
Ananto sendiri yang mengumpulkan kotak bekas nasi itu.
Tiap kali selesai salat Subuh dan memberikan pengajian
di masjid di luar Brajan, Ananto pasti kembali ke Masjid Al
Muharram. Dia punguti dan kumpulkan sampah sisa buka
puasa bersama.
Selama sepekan Ananto melakukan kegiatan itu.
Terkumpul cukup banyak sampah. Mayoritas berupa kotak
bekas nasi. Sisa nasi dan lauk yang ada di kotak, Ananto
pisahkan. Kotak bekas nasi itu dia jual. Ananto memperoleh
uang 500 ribu rupiah dari hasil menjual kotak bekas nasi.
Ananto mengumumkan hasil menjual sampah itu kepada
warga. Dia bilang, warga bisa memakai uang 500 ribu
rupiah itu untuk membayar SPP tujuh murid di Brajan.
Rata-rata SPP murid sebesar 60 ribu rupiah. Ananto pun
menegaskan lagi kepada warga, itulah bentuk sedekah
sampah. Dan, semua warga bisa melakukannya.
Pengumuman itu membuat warga Brajan tersentak.
Mereka sama sekali tak menyangka sampah ternyata bisa
menghasilkan uang. Pun, bisa dijadikan sedekah. “Selama
ini kan warga tahunya bersedekah itu hanya dengan uang.
Mereka tak mampu bersedekah uang karena tingkat
ekonomi warga di Brajan di bawah rata-rata,” kata Ananto.
Warga pun bersemangat. Ananto lalu menggagas
sebuah gerakan. Dia namakan Gerakan Shadaqah Sampah
(GSS). Pusatnya di Masjid Al Muharram. Secara prinsip, GSS
sejatinya mirip dengan bank sampah. Hanya saja, GSS tak
membutuhkan berbagai printilan seperti halnya bank
sampah. Warga yang ingin menyedekahkan sampahnya,
bisa langsung datang ke markas GSS. Berapa pun berat
sampah yang ingin disedekahkan warga, pengelola GSS
akan menerimanya. Asalkan sampahnya berjenis sampah
kering alias nonorganik. Jadi, GSS tak perlu memiliki
struktur organisasi dan manajemen layaknya bank
sampah.
GSS menerima sampah dari warga setiap hari Ahad
pertama dan ketiga. Pada Senin atau Selasa pekan
pertama dan ketiga, pengepul atau pelapak akan datang
ke Masjid Al Muharram untuk membeli sampah GSS. Uang
hasil penjualan sampah itulah yang lantas akan dikelola
GSS untuk berbagai kebutuhan warga Brajan.
MBAH MITO. Usianya boleh
uzur. Tapi, soal semangat
bersedekah sampah jangan
ditanya kepada Mbah Minto.
Mbah Minto adalah salah seorang warga Brajan yang
tak pernah lelah bersedekah sampah. Perempuan berusia
lebih dari 60 tahun ini, merasakan betul kondisi lingkungan
Brajan yang sudah jauh berubah, sejak GSS hadir. “Setiap
masjid buka untuk menerima sedekah sampah, saya selalu
datang bawa sampah. Berapa pun sampah yang ada, saya
sedekahkan,” tutur Mbah Minto.
PENDIDIKAN. Pemberian
donasi pendidikan dari GSS
untuk warga Brajan yang
kurang mampu. Donasi juga
diberikan untuk anak yatim.
Setelah GSS berdiri, warga Brajan pun mulai merasakan
dampaknya. Saban bulan, GSS memberikan sembako bagi
sekitar 80 janda atau anak yatim di Brajan. Setiap tiga bulan,
GSS mendonasikan dananya untuk membayar SPP 16 murid
yang tinggal di Brajan. GSS juga menyantuni pasien warga
Brajan yang harus dirawat di rumah sakit. Pada 2017, penyakit
demam berdarah mengganas di Brajan. Untunglah, saat
itu uang yang ada di kas GSS masih mampu memberikan
bantuan sebesar 500 ribu rupiah untuk setiap pasien DBD
warga Brajan yang dirawat di rumah sakit.
Memulung Sepeda Motor
Pasca DBD, keuangan GSS melorot tajam. Itulah yang
akhirnya membuat Ananto menyosialisasikan GSS kepada
warga di luar Brajan. Tiap kali memberikan pengajian di
luar Brajan, Ananto tak lupa menceritakan kegiatan yang
dilakukannya bersama GSS. “Alhamdulillah, usai pengajian,
banyak jemaah yang menghubungi saya. Mereka minta
saya singgah ke rumahnya, untuk mengambil beragam
barang bekas yang tak lagi terpakai,” kata Ananto.
Sejak itulah, GSS tak hanya menerima sampah kering
seperti plastik, kardus, kaca, atau seng. Banyak warga di
luar GSS yang menyedekahkan barang-barang rongsokan
semisal kulkas, mesin cuci, televisi, magic jar, dan lain-lain.
Bahkan, ada pula yang menyedekahkan keyboard merek
terkenal. Keyboard itu sebenarnya masih berfungsi bagus.
Si empunya merelakannya menyedekahkan kepada GSS.
Kini, keyboard itu digunakan di sekolah Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) yang didirikan Ananto dan istrinya.
Jadi, jangan heran jika melihat di dalam mobil Ananto
ada barang-barang itu . Malah, ada juga yang
menyedekahkan sepeda motor. Menurut pemiliknya,
sepeda motor itu sudah coba diperbaiki. Namun, tak juga
bisa berfungsi. “Eh, begitu sampai di masjid, diutak-atik
sedikit oleh relawan yang ngerti mesin, sepeda motornya
bisa hidup,” ujar Ananto terkekeh.
ANGKUT. Petugas GSS mengangkut
sepeda motor yang disedekahkan
pemiliknya ke GSS. Motor itu kini
masih dipakai relawan GSS.
GSS kini memiliki 35 orang relawan. Hebatnya, tak
satu pun dari mereka yang digaji. GSS hanya menyiapkan
makan siang, saat di Masjid Al Muharram sedang ada
kegiatan mengumpulkan sampah. GSS juga memberikan
bantuan biaya pendidikan bagi beberapa orang relawan.
Jangan Berutang Oksigen Ke Tetangga
GSS melakukan semua kegiatannya di Masjid Al
Muharram. Selain GSS, ada lima aktivitas lagi yang
terpadu dalam eco-masjid: arsitektur masjid yang ramah
lingkungan, sumur resapan untuk memanen air hujan dan
air wudhu, penghijauan, masjid ramah anak, dan energi
terbarukan. Ananto menamakan semua kegiatan yang
berpusat di masjid Al Muharram ini sebagai eco-masjid.
Ananto menjadikan basis eco-masjid untuk
menjalankan konsep tauhid sosial yang dulu pernah
digagas Amien Rais, mantan Ketua Umum PP
Muhammdiyah. Dia mencoba memaknai sebuah perintah
dalam Al Quran, agar kaum muslim bertebaran di muka
bumi usai mengucap salam sehabis melakukan salat. Bagi
Ananto, “bertebaran di muka bumi” itu tak hanya untuk
mencari rezeki. Tapi, juga menoleh ke kanan dan ke kiri,
untuk melihat banyak persoalan di sekitar. Persoalan
itu antara lain berupa tetangga yang hidupnya serba
kekurangan, atau masalah lingkungan yang belum ada
solusinya. “Itu dalam rangka mengamalkan kesalehan
pribadi, berlanjut ke kesalehan sosial, dan berujung pada
kesalehan alam atau lingkungan,” kata Ananto.
Ananto menilai, konsep eco-masjid bisa menjadi
solusi mengatasi persoalan lingkungan. Penghijauan,
yang menjadi salah satu kegiatan Masjid Al Muharram,
bertujuan membuat warga dan jamaah masjid bisa
beribadah dengan khusyuk. Siklus oksigen menjadi lebih
baik dengan banyaknya pohon.
ECO-MASJID. Masjid Al
Muharram menjadi pusat
kegiatan berbagai aktivitas
warga Brajan. Masjid ini
menerapkan prinsip eco-masjid.
Ananto pun setengah “memaksa” warga Brajan untuk
menanam pohon. “Saya sering berkelakar ke warga, kalau
mereka ndak punya pohon di rumahnya, itu sama artinya
mereka berutang oksigen ke tetangganya yang punya
pohon,” kata Ananto tergelak.
Sejatinya, konsep sedekah sampah bermula dari
gerakan yang digulirkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah
pada 2011. Kendati Ananto kader Muhammadiyah, dia
tidak mengetahui gerakan itu . “Padahal, saya kan
bekerja di PP Muhammadiyah,” kata Ananto, yang kini
menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Majelis Tabligh PP
Muhammadiyah.
Menurut Ananto, ada sedikit perbedaan antara yang
dia lakukan di Brajan dengan GSS secara keseluruhan yang
diinisiasi PP Muhammadiyah. Perbedaan itu terletak pada
basis pelaksanaan GSS. PP Muhammadiyah berbasiskan
ranting atau cabang, alias setingkat kelurahan atau
kecamatan. Sementara, GSS-nya Ananto menyandarkan
kegiatannya berpadu dengan konsep eco-masjid.
Beberapa waktu lalu, GSS bisa meraup uang sebesar
tiga juta rupiah dalam sebulan. Artinya, sekali pengepul
atau pelapak datang membeli sampah, GSS menerima
sekitar satu setengah juta rupiah. Namun, penghasilan
GSS kini sudah berkurang. Sebulan hanya sanggup
memperoleh uang dari penjualan sampah sebanyak
delapan ratus ribu rupiah.
Tentu, kondisi itu seharusnya membuat pengelola
sampah seperti Ananto kelabakan. Omset terus turun,
sedangkan pengeluaran tak berkurang. Namun, tidak bagi
Ananto. Dia malah bersyukur dengan kondisi itu .
“Itu kan sama saja artinya dengan terus meningkatnya
kesadaran orang untuk tidak lagi memakai barang
sekali pakai yang berujung menjadi sampah,” ucap Ananto.
MUDA. Relawan termuda GSS ini bernama
Abi. Dia baru duduk di kelas 3 SD. Tapi,
semangatnya menjadi relawan patut
diacungi jempol.
Kenyataan seperti itulah yang membuat Ananto
selalu optimis bahwa urusan sampah di negara kita suatu
saat nanti akan tertanggulangi dengan baik. Berulang
kali dia katakan kepada para relawan GSS agar tak perlu
risau dengan penghasilan GSS yang turun. Toh, menurut
Ananto, sedekah sampah suatu waktu nanti akan
digantikan dengan sedekah berupa uang.
Relawan GSS tentu saja terkesima dengan penuturan
Ananto ini. Boleh jadi, mereka tak terpikir untuk hal-hal
seperti ini. Namun, yang jelas, sebagian besar relawan GSS
ini adalah para remaja yang dulunya pernah tergeletak
sehabis mabuk di depan rumah Ananto. Mereka dulu
membuat Ananto mengelus dada. Kini, mereka menjadi
kebanggaan Ananto dan seluruh warga di Dusun Brajan,
Bantul, Yogyakarta.
T iga lelaki terkesiap. Mata mereka terbelalak, tak percaya mendengar ketegasan sikap dari tiga perempuan yang menemani mereka. Sementara,
enam mangkuk mie ayam sudah kosong. Disantap
sembari bergurau, menemani canda mereka berenam.
Obrolan ringan yang semula terjadi, lalu menjurus ke
sebuah pembicaraan serius. Pembicaraan yang akan
mengubah jalan hidup beberapa orang di antara mereka.
Hari itu, pada suatu malam di bulan Februari
2010, Syawaludin dan istrinya – Febriarti Khairunnisa –
bertandang ke rumah temannya, Lalu Wire Ilham, di
kawasan Jempong, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Ikut pula bersilaturahmi Lalu Ruslan Abdul Gani dan
istrinya. Syawal memang meniatkan pertemuan itu
untuk menyampaikan sebuah hal penting: dia dan kedua
temannya meminta izin kepada para istri mereka untuk
bergumul dengan sampah!
Ya, sampah! Syawal, Ilham, dan Ruslan sudah
bersepakat mendirikan bank sampah di Mataram. Tapi,
mereka tak ingin para istri terkejut dan menjadi malu
dengan pilihan jalan hidup itu . Restu dari istri harus
mereka peroleh. “Dan, tak hanya restu yang kami dapatkan.
Para istri pun sepakat menjual mas kawin mereka,” kata
Syawal dengan mata berkaca-kaca mengenang kejadian
sekian tahun silam.
Ketiga istri mereka sepakat menjual mas kawin
sebagai modal mendirikan bank sampah. Syawal dan
dua rekannya memang butuh modal. Sebab, konsep
bank sampah yang akan mereka dirikan berbentuk
usaha simpan pinjam. Nasabah meminjam uang ke bank
sampah. Untuk membayar pinjaman, nasabah cukup
menyetorkan sampah ke bank sampah.
Itulah awal mula Syawal menjadi pegiat sampah
di NTB. Bermodalkan hasil menjual mas kawin, Syawal
memperoleh tujuh setengah juta rupiah. Untuk
menghargai kemuliaan para istri mereka, Syawal dan
kedua rekannya sepakat menamakan bank sampah
mereka yang mereka bentuk sebagai Bank Sampah
Tiga Bintang. “Ketiga istri kami ini ibarat bintang yang
memberikan cahaya kepada kami,” kata Syawal.
Mungkin Dia Sedang Lupa
Pilihan hidup bergelut dengan sampah sejatinya
bukan datang dengan tiba-tiba. Sebagai pemuda rantau
dari Lombok Tengah, Syawal merasakan betul pahit getir
kehidupan. Sebagai buruh tani, ayahnya terpaksa mencari
penghasilan tambahan menjadi pemulung. Di Mataram,
pemulung disebut tukang panci robek. Soalnya, zaman
dulu belum banyak sampah plastik dan kertas. Pemulung
biasanya mencari peralatan dapur yang rusak. Salah satu
yang biasa pemulung peroleh adalah panci yang sudah
robek.
Kemelaratan hidup tak membuat Syawal patah
semangat. Dia bertekad meneruskan kuliah ke Mataram.
Pada 2002, Syawal diterima menjadi mahasiswa Fakultas
Ekonomi Universitas Mataram (Unram). Penghasilan
ayahnya sebagai buruh tani dan pemulung tak bisa
membiayai hidup Syawal sebagai mahasiswa. Syawal pun
harus putar otak, mencari tambahan uang untuk makan.
Jadilah Syawal “pemulung” di asrama mahasiswa Unram.
Syawal memungut kertas bekas yang banyak berserakan
di asrama. Kertas itu dijualnya, untuk dijadikan uang.
Kendati harus banting tulang membiayai kuliah, Syawal
tak pernah menyerah. Dia juga tak pernah malu menjalani
profesi sebagai pemulung. Saat lulus pada 2008, Syawal
pun mendapatkan julukan dari teman-temannya sebagai
sarjana sampah. Setamat kuliah, Syawal mulai mencari
kerja. Cita-citanya sederhana: ingin menjadi karyawan
bank. Namun, tak gampang bagi Syawal mewujudkan
cita-citanya itu. Semua lamarannya ditolak. Padahal, dia
sudah menikahi seorang perempuan lulusan Bahasa
Inggris Unram bernama Febriarti Khairunnisa. Untunglah,
seorang temannya membantu Syawal untuk bisa menjadi
staf di sebuah fraksi partai politik di DPRD NTB.
Ihwal pernikahannya dengan Febriarti, Syawal punya
kisah unik. “Saya heran, kok ada perempuan yang mau
menikah dengan tukang sampah. Saya sering bilang ke
istri, mungkin waktu menerima lamaran saya, dia sedang
dalam keadaan lupa,” ucap Syawal terkekeh.
Saat bekerja di DPRD NTB itulah Syawal kembali
mengenang seluruh kehidupannya. Dia tersadar, sampah
ternyata banyak berperan dalam membesarkannya.
Syawal pun lantas mencari tahu lebih dalam tentang
bisnis sampah. Melalui penelusuran di internet, Syawal
memperoleh informasi mengenai bank sampah yang
didirikan Bambang Suwerda di Bantul, Yogyakarta.
Syawal bertekad menjadikan sampah sebagai
penghidupannya. Dia tak ingin ide itu mengendap
begitu saja. Diajaknyalah beberapa temannya berdiskusi
mewujudkan gagasan itu . Bertemulah Syawal
dengan Ilham dan Ruslan, dua orang temannya semasa
kuliah, yang menangkap ide Syawal sebagai peluang
bisnis.
Syawal berangkat dari sebuah kenyataan bahwa persoalan
sampah sudah menjadi isu penting di NTB. Di banyak
tempat objek wisata di NTB, sampah berserakan. Sebut
saja di Gunung Rinjani, atau di banyak pantai di NTB. Bagi
Syawal, serakan sampah ini berpotensi diolah menjadi
sumber daya ekonomi. Syawal sudah membuktikannya.
Saat masih menjadi mahasiswa, dengan sampah dia bisa
membiayai kuliahnya. Dia juga mampu membiayai tujuh
orang anak binaannya mengikuti kursus komputer dari
berjualan sampah.
Dari pengalamannya bergelut dengan sampah
itulah, akhirnya Syawal menyusun konsep Bank Sampah
Tiga Bintang. Yang terlintas di benaknya saat itu
adalah usaha simpan pinjam. Dan, bergeraklah Syawal
mencari nasabah. Target utamanya adalah para pekerja
kebersihan di sekitar kampus Unram. Kepada mereka,
Syawal menawarkan pinjaman uang sebagai tambahan
penghasilan.Untuk membayar pinjaman itu, nasabah
cukup menyetorkan sampah yang mereka pungut
kepada Bank Sampah Tiga Bintang. “Bergerak pertama
kali, saya bisa mendapatkan dua belas orang nasabah,”
ujar Syawal.
Respon positif calon nasabah membuat Syawal
kian semangat. Dia mendatangi petugas kebersihan di
seantero Kota Mataram. Iming-iming pinjaman uang
agaknya membuat banyak yang tertarik dan bergabung
menjadi nasabah Bank Sampah Tiga Bintang. Alhasil,
rumah kontrakan Syawal tak mampu lagi menampung
tumpukan sampah yang disetor nasabah.
Pada akhir 2010, Syawal memutuskan menyewa lahan
sebagai gudang sampah. Beruntung, karena pemilik
lahan adalah temannya, Syawal pun mendapatkan biaya
sewa yang terbilang murah. Sewa tanah seluas 350 meter
persegi hanya tiga juta rupiah per tahun. “Bayarnya boleh
nyicil. Maklum, yang punya senior saya dulu di kampus,”
ucap Syawal.
Cacah Plastik? Pakai Parang Saja
Bank Sampah Tiga Bintang terus menggeliat. Nasabah
semakin banyak. Omset penjualan sampah ke pelapak
juga terus meningkat. Namun, otak bisnis Syawal terus
berputar. Dia mengenal konsep ekonomi bernama rantai
pemasaran. Syawal berpikir, jika dia mampu menjual
langsung sampah setoran nasabah ke pabrik pengolah
sampah, tentu harganya bisa lebih mahal.
Syawal lantas mencari tahu di internet keberadaan
pabrik pengolah sampah. Beberapa pabrik ada di Jawa
Timur, antara lain di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik.
Bermodalkan nekat, Syawal lalu mengontak pabrik
itu . Dia sampaikan niatnya untuk menjual sampah
langsung ke pabrik. Setelah berembuk dengan Ilham dan
Ruslan, diputuskanlah Syawal akan berangkat ke Surabaya.
Informasi yang diperoleh Syawal dari pabrik, sampah
plastik yang bisa dibeli pabrik adalah plastik yang
sudah dicacah. Harganya lebih tinggi ketimbang plastik
utuh. “Sampah plastiknya kami gunting, kami cacah
memakai parang dan pisau,” kata Syawal.
Setiba di Surabaya, Syawal pun menyerahkan contoh
sampah plastik yang diolah Bank Sampah Tiga Bintang.
Pihak pabrik merespon positif dan menanyakan soal
mesin pencacah yang dimiliki Bank Sampah Tiga Bintang.
“Saya kan ndak tahu kalau ada mesin pencacah plastik.
supaya terkesan kami sudah profesional, saya bilang saja
kalau kami punya mesin pencacah,” kata Syawal tergelak.
Singkat kisah, pabrik pengolah sampah plastik di
Surabaya pun sepakat membeli sampah dari Bank Sampah
Tiga Bintang. Syawal kembali ke Mataram dengan hati
riang. Dia sampaikan kepada pengurus Bank Sampah Tiga
Bintang kesepakatannya dengan pabrik di Surabaya.
Juga soal mesin pencacah. Mereka bertekad punya
mesin pencacah. Cuma, saat itu kondisi keuangan
Bank Sampah Tiga Bintang sedang cekak. Syawal
memberanikan diri meminjam uang kepada temannya.
Berbekal pinjaman 15 juta rupiah, Syawal menemui
seorang kawannya pemilik bengkel untuk memesan
mesin pencacah. “Mesin pencacah selesai dibuat. Tapi
kapasitasnya kecil. Jauh di bawah mesin pencacah di
pabrik di Surabaya,” ucap Syawal.
Kerja sama dengan pabrik pengolah sampah di
Surabaya membuat Bank Sampah Tiga Bintang semakin
moncer. Namun, pada 2011, Syawal harus merelakan
kedua rekannya – Ilham dan Ruslan – meninggalkan Bank
Sampah Tiga Bintang. Ilham ingin fokus menekuni profesi
sebagai pegawai negeri. Sedangkan Ruslan bekerja di
sebuah perusahaan swasta di Mataram.
Kepergian dua sahabat yang bersama-sama
membesarkan Bank Sampah Tiga Bintang tak lantas
membuat semangat Syawal mengendur. Apalagi, kedua
rekannya tidak meminta kembali modal awal yang sudah
mereka setor. Mereka juga berjanji akan terus mendukung
bank sampah. Karena kedua rekannya hengkang, Syawal
meminta izin mengubah nama bank sampah. Dengan
izin Ilham dan Ruslan, pada 2011 itu, Bank Sampah
Tiga Bintang berubah menjadi Bank Sampah Bintang
Sejahtera.
Ditinggal dua sahabat, Syawal malah kian gencar
mencari nasabah. Tak hanya di Mataram, Syawal juga
menyasar ke Lombok Tengah dan Lombok Barat. Banyak
petugas kebersihan yang tertarik dengan konsep simpan
pinjam yang dijalankan bank sampah. Mereka pun
bersedia menjadi nasabah.
Namun, jumlah nasabah yang semakin banyak itu
jugalah yang akhirnya menjadi petaka. Pinjaman nasabah
terus meningkat. Satu orang nasabah bisa meminjam
uang sampai 600 ribu rupiah. Semula, nasabah lancar
menyetorkan sampahnya. Setidaknya sepekan sekali.
Namun, lama-lama banyak nasabah yang nakal. Mereka
menjual langsung sampahnya ke pelapak. Harga jual ke
pelapak yang lebih mahal menjadi alasannya.
Tentu saja Syawal tak berdiam diri. Dengan segala
usaha , dia menagih pembayaran pinjaman ke nasabah.
Tapi, jawaban yang didapatkannya sungguh membuatnya
kecewa. “Mereka bilang tak punya uang. Kalau mau
dipenjarakan, silakan saja. Toh, nanti kami akan dikasih
makan oleh negara di dalam penjara,” kata Syawal
menirukan jawaban nasabah bandel.
Cukup banyak pinjaman nasabah yang tak bisa ditagih
Syawal. Jumlahnya mencapai 100 juta rupiah. Syawal pun
jadi pening dibuatnya. Tapi, momen itu menjadi titik balik
bagi Syawal. Dia pun akhirnya mencapai sebuah keputusan:
memaafkan dan mengiklhaskan uangnya tak kembali.
Dari hasil perenungannya, Syawal juga merasa ada yang
salah dengan konsep bank sampah yang dikelolanya.
Dia cari tahu lagi secara lebih detil konsep bank sampah
yang digagas Bambang Suwerda. Kata kunci menabung
sampah langsung hinggap di benaknya.
Dari situlah, Syawal mengembangkan Bank
Sampah Bintang Sejahtera ke ranah yang lebih luas. Dia
mendatangi banyak komplek perumahan di Mataram.
Syawal mengajak warga komplek memilah sampah
sejak dari rumah. Sampah yang sudah terpilah itu lalu
dikumpulkan di satu titik di lokasi perumahan. Setelah
sampah terkumpul cukup banyak, petugas Bank Sampah
Bintang Sejahtera datang untuk mengangkut dan
membayar harga sampah.
Syawal juga menyambangi sekolah di Mataram.
Beruntung, dia punya seorang kawan yang punya lembaga
bernama Kerajaan Dongeng. “Saya ikut nimbrung ke
sekolah-sekolah. Bersama Kerajaan Dongeng, kami
memberikan edukasi pentingnya memilah sampah
kepada siswa,” kata Syawal. Bahkan, Kerajaan Dongeng ini
dulu sempat memiliki program khusus di stasiun televisi
lokal.
Nasabah Bank Sampah Bintang Sejahtera kian banyak.
Namun, cobaan bagi Syawal dan istrinya kembali datang.
Semua bermula dari perkenalannya dengan seorang bule
yang menetap di Denpasar, Bali, pada 2014. Sang bule
punya pabrik pengolahan sampah di Bali.
saat berkunjung ke Mataram dan melihat geliat Bank
Sampah Bintang Sejahtera, sang bule bersedia membeli
semua residu sampah yang ada di gudang bank sampah.
Syawal bersemangat. Dia sampai menyewa truk untuk
membawa residu sampah ke Bali. “Nama dan asal negara
bulenya mohon izin saya rahasiakan ya. Yang jelas, kerja
sama itu membuat kami makin gencar mengumpulkan
sampah di Mataram dan sekitarnya,” ujar Syawal.
Singkat kisah, terjalinnya kerja sama Bank Sampah
Bintang Sejahtera dengan sang bule. Kata Syawal, dalam
sehari dia bisa mengirimkan sampah sampai lima truk
fuso ke Bali. Syawal bahkan membuat baliho besar yang
bertuliskan menerima residu sampah.
Namun, malang tak dapat ditolak. Hampir setahun
menjalin kerja sama, Syawal lalu mendapatkan kenyataan
pabrik si bule tak lagi bisa menerima residu sampah.
Padahal, saat itu Syawal sudah mempekerjakan lima
puluh orang. Sang bule pun tak bisa dihubungi lagi.
Cobaan tak hanya sampai di situ. Pada suatu malam,
lantaran memikirkan reputasinya yang bakal hancur
gara-gara si bule, Syawal terjatuh dari sepeda motornya.
Istrinya terkena penyakit selebral palsi alias lumpuh
otak. Uang sudah habis untuk membayar pekerja yang
mengumpulkan residu sampah. “Kami sampai menjual
kasur, ranjang, kulkas, dan isi rumah yang lain,” tutur
Syawal dengan mata berkaca-kaca.
Untunglah, di saat cobaan menimpa, ada kabar baik
yang diterima Syawal dan Febriarti. Sang istri dinominasikan
mendapatkan penghargaan dari Kedutaan Besar Amerika
Serikat di Jakarta. Dan, pada 2015, Febri akhirnya terpilih
sebagai Women of Change dari Kedutaan Besar Amerika
Serikat.
Untuk berangkat ke Jakarta menerima penghargaan
itu, Syawal dan Febri tak punya uang. Untunglah, gubernur
NTB saat itu, Tuanku Guru Bajang Muhammad Zainul
Majdi, berkenan mengongkosi Syawal dan Febri ke Jakarta.
Tapi, cobaan bagi pasangan ini belumlah berakhir.
Saat hendak pamit berangkat ke Jakarta, ayah Febri
terkena serangan jantung dan meninggal. Berita duka
itu disampaikan Syawal kepada panitia penghargaan di
Jakarta. Mereka pun membatalkan keberangkatan ke
Jakarta.
Saat mencoba tidur pada subuh meninggalnya
ayah mertua, Syawal bermimpi: ayah mertuanya
mendatanginya. Ayah mertuanya menyuruh Syawal dan
Febri tetap berangkat ke Jakarta. Syawal menceritakan
isi mimpi itu kepada kakak iparnya. “Akhirnya, kami pun
memaksakan diri berangkat ke Jakarta,” kata Syawal.
Apresiasi Tinggi dari Pak Luhut
Dalam keadaan sedang berduka, Syawal dan Febri
pun menghadiri pemberian penghargaan oleh Kedutaan
Besar Amerika Serikat di Jakarta. Dengan sesekali berurai
air mata, Febri mengisahkan jatuh bangunnya mengelola
bank sampah di Lombok. Momen itu menjadi sebuah titik
balik baru bagi perkembangan Bank Sampah Bintang
Sejahtera. Kiprah Syawal dan Febri terekspos ke seluruh
negara kita melalui pemberitaan media massa.
Jatuh bangun dan suka duka membesarkan Bank
Sampah Bintang Sejahtera memang sudah dilakoni Syawal
dan Febri. Letih? Tentu saja iya. Pun, “dikerjai” nasabah
pernah mereka rasakan. “Sebelas tahun menikah, kami
belum dikarunia keturunan. Mungkin karena kami terlalu
capek mengurus bank sampah,” ujar Syawal, diamini sang
istri.
Semangat pantang menyerah menjadi kata kunci.
Kini, Bank Sampah Bintang Sejahtera menjadi salah satu
ikon pengelolaan sampah di NTB. Banyak bank sampah
unit yang bekerja sama dengan mereka. Bahkan, pada
Maret 2020, Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar
Pandjaitan, sengaja berkunjung ke Bank Sampah Bintang
Sejahtera. Menko Luhut memberikan apresiasi tinggi atas
kerja keras Syawal dan tim mengelola bank sampah di
Mataram.
Pada 2018, Syawal membenahi organisasi dan
manajemen Bank Sampah Bintang Sejahtera. Kini, Bank
Sampah Bintang Sejahtera menaungi dua divisi: Usaha
Dagang (UD) Bintang Sejahtera, yang berfokus pada jual
beli sampah, dan Lembaga Generasi Bintang Sejahtera,
yang mengurusi edukasi dan pendampingan.
Bank Sampah Bintang Sejahtera menerima 69 jenis
sampah nonorganik. Omsetnya mencapai 160 juta rupiah
per bulan. Statusnya pun kini berubah menjadi pusat daur
ulang sampah. Syawal menamakannya sebagai Recycle
Learning and Development Center for Community Based
Management.
Dan, yang jelas, Syawal kini tak lagi terkesiap seperti
pada 2010 silam. Dia tak lagi terkejut dengan keikhlasan
sang istri menjual mas kawin mereka. Sebab, Febriarti
Khairunnisa, kini menjadi duet maut Syawal mengelola
sampah di Lombok.
Perkembangan teknologi informasi begitu
cepat. Banyak bermunculan perusahaan rintisan.
SMASH memudahkan bank sampah memantau
nasabahnya. MallSampah menghubungkan warga
dengan pemulung atau pengepul, untuk membeli
sampah.
Sebuah panggilan telepon di pengujung 2012 sedikit banyak telah mengubah jalan hidup pemuda kurus tinggi itu. Panggilan itu berasal dari
sang bapak, seorang prajurit TNI-AD yang bertugas di
Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Pemuda itu bernama
Putra Fajar Alam. Dia adalah mahasiswa jurusan Teknologi
Informasi Universitas Telkom Bandung. Sejak 2010, Fajar –
demikian dia biasa disapa – memang sudah kerap diajak
dosen Universitas Telkom mengerjakan berbagai proyek
berbasis teknologi informasi. Bapaknya tahu akan hal
itu. Dan, pada akhir 2012 itu, sang bapak ternyata sedang
membuat bank sampah di daerahnya bertugas.
NYEMPLUNG. Putra Fajar
secara tak sengaja menjadi
salah seorang pebisnis yang
bergerak di usaha rintisan
bidang persampahan.
Sang Bapak meminta Fajar membuat aplikasi
sederhana. Aplikasi itu akan digunakan untuk membantu
bank sampah yang akan didirikan. “Lalu, saya buatlah
aplikasi sederhana. Ada menu untuk nasabah, kategori
sampah, laporan, dan dashboard,” kata Fajar. Dengan
aplikasi sederhana itu, pengelola bank sampah bisa
mengetahui berapa jumlah timbangan sampah, atau
berapa hasil konversi sampah menjadi rupiah.
Bank sampah bentukan sang bapak di Pangkalan
Bun lantas memakai aplikasi buatan Fajar itu .
Kendati sederhana, ternyata aplikasi itu bisa membantu
proses pengelolaan bank sampah. “Jadi, pada 2012 itu,
mungkin bank sampah yang dirintis bapak saya di
Pangkalan Bun adalah satu-satunya bank sampah di
negara kita yang sudah memanfaatkan teknologi komputer
dalam bentuk aplikasi,” ujar Fajar sumringah.
Aplikasi itu pulalah yang akhirnya membawa Fajar
menyelami seluk-beluk bank sampah. Bahkan, dia
berkesempatan bertemu langsung dengan Bambang
Suwerda, penggagas bank sampah di negara kita . Adalah
sang bapak juga yang memperkenalkan nama Bambang
Suwerda kepada Fajar.
Fajar segera mencari tahu siapa Bambang Suwerda.
Dari hasil pencariannya, dia merasa harus bisa segera
bertemu dan bertatap muka dengan Bambang Suwerda.
Pada Februari 2013, keinginan berjumpa langsung dengan
Bambang Suwerda terlaksana. Saat itu, Bambang Suwerda
tengah berada di Bandung, dalam rangka sosialisasi dan
pengenalan konsep bank sampah. “Kesan pertama saya
waktu jumpa beliau, orangnya amat mempesona. Rendah
hati. Santunnya pun luar biasa,” tutur Fajar mengenang
pertemuan pertamanya dengan sang inisiator bank
sampah di negara kita .
Bertemu Punggawa, Belajar Banyak
Bambang Suwerda lalu mengajak Fajar berkunjung ke
Bank Sampah Gemah Ripah di Bantul, Yogyakarta. Pada
2013 itu juga, Fajar bertandang ke Bantul. Dia mempelajari
seluk-beluk pengelolaan bank sampah langsung dari
penggagas bank sampah. Dengan niat iseng belaka, Fajar
membuat video sederhana memakai gawainya.
Videonya tentang proses kerja Bank Sampah Gemah
Ripah.
BERGURU. Fajar banyak
belajar seluk-beluk bank
sampah langsung dari sang
suhu, Bambang Suwerda.
Fajar lalu merlihatkan video bikinannya kepada
Bambang. “Beliau terkesan dengan video yang saya
buat. Pak Bambang mengajak saya untuk mencari tahu
lebih dalam tentang bank sampah,” kata Fajar. Memang,
pada 2013 itu, bank sampah di negara kita belum semarak
sekarang, meski Bank Sampah Gemah Ripah sudah
berdiri sejak 2008. Akhirnya, Fajar menemukan sebuah
materi tentang bank sampah di internet. Materi itu dibuat
oleh Unilever negara kita . Dari situlah, Fajar mendapatkan
kontak bank sampah yang tersebar di beberapa wilayah di
negara kita .
Perkenalan dengan Bambang Suwerda, plus ilmu
tentang bank sampah yang diperolehnya langsung
dari Bambang Suwerda, membuat semangat Fajar
menggebu-gebu. Dia menawarkan aplikasi bikinannya
untuk bank sampah di Pangkalan Bun kepada beberapa
bank sampah. Waktu itu, Fajar menamakan aplikasinya
Waste Bank Management System (WBMS). “Sayangnya,
dari beberapa bank sampah yang saya tawarkan aplikasi
WBMS, hanya dua bank sampah yang mau mencobanya.
Bank Sampah Gemah Ripah dan Bank Sampah Pangkalan
Bun,” ujar Fajar terkekeh.
Kenyataan itu membuat semangat Fajar sedikit
mengendur. Apalagi saat itu dia juga tengah berkutat
dengan perkuliahan strata duanya di Institut Teknologi
Bandung (ITB). Jadi, mengendaplah dulu segala gegap-
gempita idealisme dalam diri Fajar untuk membantu
pengelolaan bank sampah.
Pengendapan itu ternyata tak berlangsung lama.
Setahun berkuliah di ITB, Fajar mengikuti mata kuliah
kewirausahaan. Salah satu syarat mengambil mata kuliah
itu adalah sang mahasiswa diwajibkan membawa
produk yang bisa dipasarkan. Fajar beruntung. Dia sudah
memiliki aplikasi WBMS. Fajar menjadi pede. Apalagi saat
berkuliah di ITB, Fajar mempunyai seorang kawan bernama
Addin Gama. Fajar mengenal pemuda asal Mataram, Nusa
Tenggara Barat, ini sebagai mahasiswa yang jago urusan
teknis sebuah aplikasi.
Pada saat akhir mata kuliah kewirausahaan, para
mahasiswa diwajibkan mengikuti pameran kecil sebagai
ajang memperlihatkan produk yang disertakan untuk
mata kuliah itu . Fajar mengajak Addin bergabung
mengikuti expo mahasiswa itu. Dan, dari belasan produk
yang ditampilkan, aplikasi WBMS menjadi juara kedua.
“Dari situlah, saya dan Addin meyakini bahwa aplikasi kami
memiliki prospek yang bagus,” ucap Fajar.
Disangka Jelmaan Boy Band
Duo Fajar – Addin pun menekuni dengan serius
aplikasi pengelolaan bank sampah itu. Mereka lalu
sepakat untuk mengubah namanya, agar menjadi lebih
sedap didengar telinga. Menjelmalah nama Sistem Online
Manajemen Bank Sampah. Mereka lalu mencari singkatan
yang pas dan gampang diingat. Ketemulah nama SMASH.
“Ada yang meledek kami, kok singkatan namanya mirip
dengan grup boy band yang lagi ngetop di negara kita ,”
kata Fajar tergelak.
Awal 2015, Fajar dan Addin meluncurkan SMASH. Tentu
dengan pembaruan dari aplikasi saat masih bernama
WBMS. Yang paling mendasar adalah mengubah
sistem dari per satuan bank sampah menjadi sebuah
sistem induk. Pada WBMS, aplikasi untuk satu bank
sampah terpisah dengan aplikasi bank sampah lainnya.
SMASH menyatukan aplikasi seluruh bank sampah yang
menjadi anggotanya ke dalam satu sistem terintegrasi
dan terpusat. SMASH juga membantu bank sampah
anggotanya memakai search engine optimization
(SEO). Dengan SEO, bank sampah bisa menempati
peringkat atas pada mesin pencarian di internet seperti
Google.
Pembaruan sudah dilakukan. Namun, masih saja ada
beberapa kendala. Di antaranya soal penggunaan laptop
untuk menjalankan SMASH. “Kami dapat masukan dari
bank sampah di Kalimantan Utara dan Sorong, Papua.
Mereka tertarik dengan SMASH, tapi terkendala lantaran
tidak memiliki laptop,” tutur Fajar.
Fajar dan Addin lalu putar otak. Addin – yang
memang diandalkan untuk urusan mengoprek
masalah teknik – lalu menyodorkan ide membuat
aplikasi mobile. Dengan aplikasi ini, anggota SMASH
tak lagi perlu laptop. Untuk menjalankan SMASH hanya
membutuhkan gawai. Pada Maret 2015, mobile apps
SMASH pun dirilis.
Fajar lalu memperlihatkan aplikasi gawai SMASH
kepada Bambang Suwerda. “Pak Bambang bilang keren,”
ucap Fajar. Lalu, pada rapat koordinasi nasional (rakornas)
bank sampah di Makassar pada 2015, Bambang Suwerda
menyampaikan konsep SMASH kepada pengelola bank
sampah peserta rakornas. Sang inisiator bank sampah di
negara kita mengajak para pengelola bank sampah untuk
mulai merambah dunia online atau digital.
Rakornas bank sampah 2015 dihadiri sekitar 300
pengelola bank sampah dari seluruh wilayah di negara kita .
Mereka menyambut antusias ajakan Bambang Suwerda
agar bank sampah melirik cara kerja digital. Nama SMASH
berkibar pada rakornas itu . Banyak bank sampah
yang mendaftar menjadi anggota SMASH.
Sayangnya, bulan madu SMASH dengan pengelola
bank sampah tak berjalan lama. Beberapa waktu usai
rakornas bank sampah, banyak bank sampah yang mundur
dari keanggotaan SMASH. Penyebabnya antara lain terletak
pada kondisi nasabah bank sampah yang aktif menabung
sampah di bank sampah. SMASH memang “mengutip”
uang langganan kepada bank sampah yang menjadi
pelanggannya. Setiap bulan, bank sampah membayar
beberapa uang, berdasarkan jumlah nasabah aktif pada
bank sampah bersangkutan. Setiap satu nasabah aktif,
SMASH mendapatkan monetisasi sebesar seribu rupiah.
Salah satu pelanggan SMASH adalah Bank Sampah
Bersinar Bandung. Namun, Bank Sampah Bersinar hanya
berlangganan selama dua bulan. Selama kurun waktu dua
bulan itu, SMASH hanya mendapatkan monetisasi sebesar
110 ribu rupiah dan 160 ribu rupiah. Jumlah nasabah aktif
yang sedikit menjadi penyebab kecilnya nilai rupiah yang
diperoleh SMASH.
Titik Balik yang Mengubah Segalanya
Sedari awal meluncurkan SMASH, Fajar sudah
menyadari bahwa isu krusialnya adalah masalah
pendanaan. Tak jarang Fajar harus merogeh kocek sendiri
untuk membiayai SMASH. Dia pernah menggelontorkan
uang simpanannya sebesar 30 juta rupiah. Namun, lama-
lama Fajar tak kuat juga. “Kan nggak mungkin selama
dua sampai tiga tahun kami mengeluarkan uang sendiri
untuk membesarkan SMASH,” katanya.
Pengujung 2015 itu adalah masa-masa saat
semangat Fajar dan Addin benar-benar terjun bebas.
Keduanya merasa tak tahu akan dibawa ke mana
aplikasi bank sampah beranama SMASH ini. Melalui
sebuah perenungan panjang, Fajar dan Addin akhirnya
tiba pada sebuah kesimpulan: niat awal mereka sudah
bergeser. Tujuan awal mereka membangun SMASH
adalah untuk membantu bank sampah. Tapi, lama-
kelamaan keduanya malah lebih fokus mencari duit dari
SMASH.
Titik balik itulah yang membuat Fajar dan Addin
akhirnya tak lagi begitu hirau dengan urusan monetisasi
yang bisa mereka kutip dari bank sampah. Tujuan
dikembalikan ke awal. Keduanya tak lagi gundah karena
tidak bisa mendapat uang banyak dari bank sampah. Fajar
ingin menjadikan SMASH sebagai social enterpreneur
alias bisnis yang juga punya misi sosial.
Laksana mukjizat, ketulusan sikap mereka membantu
bank sampah dengan ikhlas, langsung dijawab Yang
Maha Kuasa. Fajar mendapat informasi dari seorang
temannya tentang lomba aplikasi yang diselenggarakan
oleh Asia Foundation. SMASH mendaftarkan diri pada
ajang di bulan Februari 2016 itu. Nama gelarannya
adalah Innovation and Colaboration Development.
Tanpa dinyana, SMASH menjadi juara pertama. SMASH
menerima hadiah sebesar sepuluh ribu dolar Australia.
Jika dirupiahkan saat itu, jumlahnya mendekati 100
juta rupiah. Hadiah itu langsung mereka pakai untuk
memperbaiki infrastruktur aplikasi SMASH. Salah satu
investasi yang cukup mahal adalah menyewa cloud untuk
SMASH. Jumlahnya mencapai setengah dari hadiah yang
mereka terima.
Sisa hadiah lomba itu dipakai untuk berbagai keperluan
lain. Termasuk untuk mengganti uang pribadi Fajar yang
terpakai dalam rangka pengembangan SMASH. “Saya
terharu saat Addin bilang ke saya, tiga puluh juta rupiah
sisa hadiahnya bisa saya ambil sebagai pengganti uang
saya,” kata Fajar dengan mata berkaca-kaca, mengenang
ketulusan persahabatannya dengan Addin.
Nyesek Ibarat Ditolak Cewek
Keberhasilan SMASH menjuarai ajang bergengsi
SOSIAL. Setelah merenung,
Fajar memutuskan untuk
mengembalikan ruh SMASH
lebih banyak sebagai bisnis
yang bergerak di bidang
sosial.
itu ternyata berimbas positif. SMASH menerima
proposal pendaftaran menjadi anggota inkubasi bisnis
milik PT Telkom. Padahal, pada 2014 dan 2015, SMASH
mendaftar sendiri. Tapi, mereka gagal diterima. Lucunya,
saat ada penawaran menjadi inkubasi bisnis Telkom
itu, Fajar awalnya sempat ogah-ogahan. Jiwa muda Fajar
yang membuatnya merasa “dendam” karena pernah
ditolak. “Ibarat anak muda yang ditolak cewek, kan nyesek
banget tuh,” ujar Fajar terkekeh.
Untunglah Fajar segera sadar. Tak ada gunanya juga
dia melampiaskan dendamnya yang hanya seujung
kuku itu. Fajar mendaftarkan SMASH ke Telkom. Kali ini
lolos. SMASH memperoleh dana inkubasi sebesar 120 juta
rupiah. Fajar akhirnya bisa menggaji dirinya dan Addin
dari dana inkubasi itu. Masing-masing menerima gaji tiga
juta rupiah per bulan.
Pada 2017, SMASH mengikuti program perusahaan
pemula berbasis teknologi yang diadakan oleh
Kementerian Ristek. Mereka memperoleh dana hibah
sebesar 350 juta rupiah, tanpa harus melepas kepemilikan
saham. Memang, dana itu tak semuanya masuk ke
kocek SMASH. Sebesar 25 persen diberikan kepada pihak
inkubator – Bandung Techno Park – yang sudah membina
SMASH.
Program Kementerian Ristek ini pulalah yang
akhirnya mengubah sedikit nama SMASH. Salah
seorang tim Kemenristek mengusulkan kepada Fajar
agar kata “bank” pada kepanjangan SMASH dihilangkan
saja. Alasannya, aplikasi SMASH harus bisa menjangkau
lebih banyak stake holders yang berkaitan dengan
pengelolaan persampahan. Lalu, menjelmalah SMASH
menjadi Sistem Manajemen Online Sampah. Tanpa ada
kata “bank”.
CLOUD. Hadiah dari
berbagai ajang lomba yang
diikuti SMASH, dipakai
untuk memperbaiki sistem
infrastruktur aplikasi SMASH.
Sebagai sebuah usaha rintisan, Fajar menyadari jika
kondisi saat ini adalah fase rawan bagi SMASH. Produk
sudah berjalan beberapa tahun, tapi model bisnis yang
ajek belum mereka dapatkan. Karena itu, ke depan Fajar
mulai memfokuskan diri mengejar investor. Salah satu
investor yang tertarik untuk memodali pengembangan
SMASH adalah Alba Group, sebuah perusahaan daur ulang
sampah terkemuka dari Jerman. Pada September 2019,
Fajar diundang Alba Group menghadiri groundbreaking
pabrik pengolahan plastik di Hongkong.
INVESTOR. Fajar
mempresentasikan SMASH
di hadapan calon investor di
Hongkong.
usaha SMASH membantu bank sampah di negara kita
kini mulai berbuah hasil. Bank Sampah Bersinar Bandung
kembali berlangganan SMASH. Menurut Johnny Sumual,
pengelola Bank Sampah Bersinar, aplikasi SMASH sangat
memudahkan para pengelola bank sampah. “Kami
gampang mendata dan melihat keaktifan nasabah kami,”
kata Johnny sambil memperlihatkan layar komputer yang
sedang menampilkan aplikasi SMASH.
Aplikasi SMASH bisa memantau pergerakan nasabah
aktif pada sebuah bank sampah. Dari pemantauan itu
dapat diketahui bahwa nasabah aktif bank sampah di
negara kita memang masih kurang. Data SMASH mencatat,
“Rata-rata hanya sepuluh persen nasabah aktif pada
sebuah bank sampah,” tutur Fajar. Tapi, Fajar menyadari,
boleh jadi tingkat keaktifan itu berbeda dengan kenyataan
sesungguhnya di lapangan. Kebanyakan bank sampah
mengalami kendala memakai aplikasi SMASH.
Pengelola bank sampah juga menemui kendala belum
meratanya koneksi internet di banyak wilayah negara kita .
saat ada pengelola yang meminta agar SMASH bisa
dipakai pada saat tidak tersedia koneksi internet, Fajar
menyanggupinya. Sekarang pengelola bisa memasukkan
data terlebih dulu tanpa koneksi internet. saat sudah
terkoneksi dengan internet, barulah data itu
langsung masuk ke server SMASH. SMASH mencatat
nasabah kumulatif bank sampah yang terhubung dengan
SMASH sebanyak 33 ribu
nasabah. Semuanya berasal
dari 5.100 bank sampah yang
berlangganan SMASH.
CEO = Chief Everything
Officer
Melalui SMASH, Fajar tak
hanya terfokus pada aplikasi
belaka. Dia membuat tong
sampah pintar. Namanya
smart drop box (SDB). SDB
dilengkapi sistem pemindai
barcode botol plastik,
dan terbubung dengan
mySmash. Pemilik akun
MYSMASH. mySmash akan
menghubungkan pengguna aplikasi
dengan bank sampah terdekat.
mySmash bisa mencatatkan botol bekas yang dibuangnya
ke dalam SDB. Setiap botol yang dibuang ke dalam SDB
akan mendapatkan poin dari T-Cash. Pembuatan SDB ini
bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Danone, Telkomsel, dan Alfamart. “Ada
70 tong sampah yang disiapkan sebagai SDB. Kami baru
membuat 30 sensor,” kata Fajar.
PINTAR. Tong sampah pintar
alias smart drop box (SDB).
Botol bekas yang dibuang
ke dalam SDB akan dihargai
dengan beberapa rupiah. –
dok. aqua.co.id.
Rencananya, SDB akan diletakkan di berbagai gerai
ritel di negara kita . Satu botol plastik dihargai 50 – 60 rupiah.
Sayangnya, ada kendala mengembangkan SDB. Salah
satunya adalah pengawasan tong sampah yang diletakkan
di gerai ritel. Ada saja tangan-tangan usil yang memotong
kabel sensor SDB. Padahal, satu sensor SDB yang dibuat
SMASH, harganya cukup lumayan: 4 juta rupiah.
Begitulah Fajar. Pemuda yang tak terlalu banyak hirau
dengan urusan materi. Boleh jadi, titik balik pada 2017
silam, membuat Fajar kini bisa lebih ringan menjalankan
bisnisnya di bawah payung SMASH. Fajar kini memiki
delapan orang karyawan. Hebatnya, sebagian besar
karyawannya dengan suka rela tidak mendapatkan gaji.
Namun, dalam hati kecilnya, Fajar sudah berjanji, jika
suatu saat SMASH mendapatkan investor kakap, karyawan
tanpa gaji inilah yang akan didahulukan Fajar menerima
uang hasil keringat mereka membesarkan SMASH.
Dalam perjalanan SMASH, Fajar merasa, enam puluh
persen keberadaan SMASH lebih banyak berurusan
dengan ranah sosial. Sedangkan sisi bisnisnya hanya
sebesar empat puluh persen. Dia pun memang sudah
menetapkan tekad untuk terus menjaga porsi 60 : 40 itu
sebagai koridor perjalanan SMASH ke depan. “Biarlah ini
menjadi ladang amal bagi saya,” ujar sang CEO SMASH.
Oya, bicara soal CEO, Fajar sempat tergelak sejenak.
“Saya ini kan jadi CEO karena terpaksa. Jadi, bagi saya, CEO
saya ini kepanjangannya adalah Chief Everything Officer,”
katanya sambil terkekeh.
Sebuah panggilan telepon di pengujung 2012 silam
yang membuat Fajar menjadi CEO, dengan huruf E kapital
sebagai “everything”. Panggilan telepon dari sang bapak
itu pulalah yang meluruskan jalan hidup Fajar menjadi
lebih mementingkan ladang amal, ketimbang ladang
harta.
Bau sampah menyengat. Sebuah tempat penampungan sementara (TPS) sampah liar dibiarkan begitu saja. Timbunan sampah yang
sudah menggunung tak pernah dihiraukan. Alih-alih
peduli dengan kondisi TPS liar itu, warga setempat malah
tetap saja membuang sampah. Jika musim hujan tiba, bau
busuk sampah bertambah menyengat hidung. Belum lagi
aliran air hujan yang mengalir dari TPS, membuat suasana
lingkungan menjadi amat tak nyaman.
Sudah bertahun-tahun TPS liar itu ada di sebuah gang
pemukiman di kawasan Jalan Perintis, Kota Makassar,
Sulawesi Selatan. Sudah bertahun-tahun pula warga
di sekitar TPS itu hidup dengan bau sampah. Padahal,
kawasan itu boleh dibilang salah satu kawasan elite
di Makassar. Kampus Universitas Hasanuddin terletak di
sini.
Tak mau terus menerus hidup dalam kondisi
lingkungan yang tak sehat, Adi Saifullah Putra lalu berpikir
keras. Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Muslim
negara kita (UMI) Makassar itu merasa harus bisa berbuat
sesuatu agar lingkungan tempatnya kost bisa jauh lebih
nyaman. Apalagi, selama ini Adi sudah menjalani lakunya
di kampus sebagai seorang aktivis sosial. Jiwanya merasa
terpanggil untuk mengatasi persoalan itu .
AKTIVIS. Sebagai aktvis sosial di kampusnya, Adi
Saifullah Putra merasa tidak nyaman dengan
keberadaan TPS liar di dekat tempatnya kost.
Pada suatu malam tahun 2015, saat hujan sedang
turun deras mengguyur Makassar, Adi tengah termenung.
Dan, eureka! Bak sebuah lampu terang yang hadir tiba-
tiba menghiasi otaknya, muncullah ide untuk membuat
sebuah e-commerce khusus mengurus sampah. “Saat
itu kan e-commerce seperti Tokopedia atau Bukalapak
sedang berkembang pesat. Saya melihat, sampah ini bisa
juga masuk ke ranah e-commerce,” ujar Adi, menyebut
dua perusahaan e-commerce besar di negara kita .
Adi melihat ada kebutuhan warga Makassar yang
cukup tinggi untuk mengelola sampah rumah tangga.
Tak sedikit rumah tangga di Makassar yang berada di
kawasan dengan kondisi jalan masuk yang sempit. Mobil
pengangkut sampah tak bisa masuk ke kawasan seperti
itu. Hanya kendaraan pengangkut roda tiga yang mampu
menembus jalan sempit itu .
Adi bersicepat. Dia tak ingin idenya mengendap lama di
dalam benaknya, dan berlalu begitu saja. Pengalamannya
mengikuti unit kegiatan mahasiswa bidang kewirausahaan
di kampusnya, membuatnya mampu melihat peluang
bisnis dari idenya itu . Lalu, dia ajak dua orang rekannya
sesama mahasiswa di Makassar. Satu rekan mumpuni di
bidang teknologi informasi dan sudah menjadi programmer.
Seorang lainnya trengginas dalam urusan desain. Mulailah
mereka bertiga berdiskusi mematangkan gagasan.
Bicara Setara Adalah Kunci
Nama sudah didapat: MallSampah Makassar.
Konsepnya adalah menghubungkan pemulung atau
pengepul sampah dengan rumah tangga penghasil
sampah. Sesederhana itu memang. Tapi, ternyata kerja
awalnya tak sederhana. Adi harus berjibaku mendekati
para pemulung dan pengepul sampah. Adi harus
meyakinkan pemulung dan pengepul mau bergabung
dan menjadi mitra MallSampah.
Beruntung Adi mempunyai pergaulan yang luas.
Dia juga cukup luwes. Pengalamannya sebagai aktivis
sosial kampus banyak membantunya mendekati para
pemulung dan pengepul sampah. “Saya pernah satu tahun
mengajari anak-anak di pemukiman kumuh mengaji. Itu
jadi modal saya untuk bisa berbahasa yang setara dengan
bahasa para pemulung dan pengepul. Rata-rata mereka
kan berasal dari kawasan seperti itu,” kata Adi.
Bersama dua rekannya, Adi melakukan berbagai
cara mendekati para pemulung dan pengepul sampah.
Tak jarang mereka ikut nongkrong, sambil menyeruput
kopi, dengan para pemulung dan pengepul. Dengan
bahasa yang setara itulah, Adi berhasil meyakinkan para
pemulung dan pengepul.
Adakah iming-iming uang dari obrolan dengan para
pemulung dan pengepul itu? Ternyata tidak. “saat kami
sampaikan ada manfaat ekonomis jika mereka menjadi
mitra MallSampah, mereka malah tak hirau. Jadi, mereka
mau bergabung semata-mata karena mereka percaya
dengan kami,” ucap Adi tersenyum. Hasil gerilya dengan
pendekatan kepercayaan itu membuat sekitar 60 pemulung
dan pengepul bersedia menjadi mitra MallSampah. Angka
itu baru bisa tercapai setelah setahun Adi dan dua rekannya
mendekati para pemulung dan pengepul sampah.
SEMPIT. Jalanan sempit
menuju lokasi permukiman,
menjadi lahan basah bagi
para pemulung untuk
mengumpulkan sampah.
Para pemulung dan pengepul sampah selama ini
memang menjadi tumpuan warga yang tinggal di lokasi
berjalan sempit. Ibarat kata, mereka ada di lorong-lorong
atau gang yang amat jarang terjangkau oleh mobil
pengangkut sampah milik pemerintah. MallSampah
akan menjadi penghubung antara warga dan pemulung
atau pengepul sampah. Warga tinggal membuka aplikasi
di gawai mereka, lalu meminta mitra MallSampah
menjemput sampah.
Ditertawakan Lantaran Bakar Uang
Sembari mencari mitra pemulung dan pengepul, Adi
dan tim terus berusaha menemukan format teknologi
yang pas bagi MallSampah. Wujud awal MallSampah
baru berupa website dalam versi beta. Belum berbentuk
aplikasi yang bisa diunduh di gawai. Warga yang menjadi
user bisa langsung menelepon pemulung atau pengepul,
untuk dibeli dan diangkut sampahnya.
Kendati baru berupa web, Adi dan tim terus memacu
langkah. Tak mulus-mulus amat memang. Banyak cibiran
yang mereka terima. Banyak pula yang meragukan
keberhasilan MallSampah. “Tahun 2015 – 2018 itu menjadi
masa-masa sulit bagi kami. Tak jarang, semangat kami
turun drastis dan hendak menyerah saja,” tutur Adi.
Salah satu cibiran itu adalah soal “bakar-bakar
uang” yang dilakukan MallSampah. Pada periode 2015
– 2018, tak sedikit uang yang mereka keluarkan untuk
terus mengembangkan MallSampah. Dalam hitungan
Adi, sekurangnya 500 juta rupiah uang sudah mereka
gelontorkan. Sebagian besar uang mereka gunakan untuk
melakukan riset dan pengembangan. Uangnya berasal
dari beberapa investor dan dana hibah.
Pada periode itu, Adi berkenalan dengan seorang
mahasiswa programmer dari Universitas Hasanuddin.
Namanya Andri Dwi Utomo. Bertambahlah kekuatan
untuk mengembangkan MallSampah. Pada 2019, Adi
dan tim berhasil merampungkan format MallSampah
berupa aplikasi yang bisa diunduh di gawai. Biaya
pengembangannya pun tergolong murah. Hanya sekitar
100 juta rupiah. Ini bisa terjadi lantaran pergaulan luas
Andri dengan komunitas programmer di Makassar. Lewat
komunitas inilah, banyak uluran tangan berdatangan.
Segala keribetan dan cibiran yang diterima Adi
dan tim agaknya malah menjadi vitamin bagi mereka.
Buktinya, pada Agustus 2019, meluncurlah aplikasi
MallSampah untuk pengguna gawai android dan IOS. Para
user MallSampah dan pengepul menyambut gembira
perubahan bentuk dari web menjadi aplikasi.
Aplikasi MallSampah kini sudah tersedia untuk gawai
berbasis android maupun iOS. Tinggal diunduh, lalu
aplikasinya bisa dipakai. Dengan disain interface yang
cukup bersahabat, pengguna MallSampah tentu akan
amat mudah melakukan transaksi jual beli sampah daur
ulang.
Prinsip kerja MallSampah sejatinya mirip dengan
bank sampah. Hanya saja, pada bank sampah, nasabah
yang mendatangi bank sampah untuk menyetorkan
sampahnya. Sementara, pengguna MallSampah tidak
perlu bersusah payah mencari bank sampah terdekat
di lingkungannya. Cukup klik MallSampah di gawai, lalu
terhubung dengan mitra pemulung atau pengepul. Tak
butuh waktu lama, pemulung atau pengepul akan tiba,
membawa timbangan dan uang tunai untuk membeli
sampah pengguna MallSampah.
Warga yang menjual sampah di MallSampah bisa
langsung dibayar dengan uang tunai. Atau, tersedia pula
fitur MS Koin. Ini adalah uang elektronik di MallSampah.
Koin itu nanti bisa digunakan untuk membeli
berbagai hasil kerajinan daur ulang yang tersedia di
MallSampah. Atau, bisa pula dikonversi menjadi uang
elektronik lain seperti GoPay atau OVO.
Pengepul mitra MallSampah membeli sampah yang
bisa didaur ulang. Dalam sebulan, rata-rata transaksi jual
beli sampah di MallSampah mencapai 30 ton sampah
daur ulang. Aplikasi MallSampah menyediakan fitur
verifikasi jenis sampah. Jadi, pengguna bisa mengetahui
dan memastikan bahwa sampah yang akan dijual
masuk dalam kategori sampah daur ulang yang berlaku
di MallSampah. Pengepul menjual sampah ke pelapak
material daur ulang sampah di sekitar Kota Makassar. Ada
juga yang menjualnya ke produsen yang membutuhkan
material plastik, semisal produsen tali rafia atau karung
plastik.
Pada setiap transaksi, MallSampah mengutip 10 hingga
15 persen dari nilai transaksi. Untuk sampah domestik
rumah tangga, biayanya 10 persen dari nilai transaksi.
Sedangkan untuk sampah di kawasan komersial seperti
hotel, restoran, atau kafe, MallSampah mengutip sebesar
15 persen. MallSampah memang lebih memfokuskan
pelayanannya pada sampah domestik rumah tangga.
“Kami ini kan sebenarnya bersifat social enterpreneur.
Sekarang, pengguna MallSampah dari kawasan komersial
cuma ada seratus user,” ucap Adi.
Mengubah Hidup Pemulung
MallSampah kini terus menggeliat. beberapa investor
asing sudah tertarik untuk mengguyurkan uangnya,
membesarkan MallSampah Makassar. Ketertarikan
investor asing ini salah satunya lantaran semakin banyak
warga Makassar dan sekitarnya yang menjadi pengguna
MallSampah.
Perlahan tapi pasti, pengguna MallSampah terus
bertambah. Sampai Mei 2020, tercatat sudah lebih dari
13 ribu warga Makassar dan sekitarnya yang mengunduh
aplikasi ini. Selain warga Makassar, pengguna MallSampah
juga tersebar sampai ke Kabupaten Gowa, Maros, dan
Parepare. Mitra pemulung dan pengepul pun kini sudah
mencapai 200 orang.
Salah seorang pengepul mitra MallSampah adalah
Hermanto. Pria 46 tahun ini sudah bergabung dengan
MallSampah sejak 2016. Sebelum menjadi mitra
MallSampah, Hermanto hanya berkeliling Kota Makassar
dari pagi hingga sore hari. Dia mendatangi rumah warga,
mencari sampah daur ulang atau barang bekas yang
hendak dijual. Dalam sehari, belum tentu Hermanto
mendapatkan barang atau sampah yang masih layak
dijual kembali.
Kesetiaan Hermanto menjadi mitra MallSampah,
membuatnya diganjar apresiasi oleh MallSampah. Kini,
MallSampah mempercayakan kepada Hermanto untuk
membeli dan mengangkut sampah daur ulang di
kawasan komersial Kota Makassar. Ada sepuluh sampai
tiga belas tempat komersial yang “dikuasai” Hermanto.
“Alhamdulillah, sekarang saya bisa mendapatkan
penghasilan minimal 10 juta rupiah setiap bulan. Sebelum
bergabung dengan MallSampah, dalam sehari saya bisa
ndak dapat apa-apa,” kata Hermanto mengenang masa
sulitnya dulu.
Ya, memang sejak bergabung dengan MallSampah,
kehidupan Hermanto berubah. Dia hanya duduk manis
di rumah, sambil terus mengawasi gawainya. Jika ada
pengguna MallSampah yang ingin menjual sampahnya,
barulah Hermanto bergegas dan beranjak dari rumahnya,
di kawasan Panakkukang, Makassar.
Kehadiran MallSampah dengan pasukan pemulung
dan pengepul seperti Hermanto, dirasakan betul
manfaatnya oleh pengguna MallSampah. Salah satunya
adalah Heridah. Ibu rumah tangga berusia 56 tahun ini
menjadi pengguna MallSampah sejak Maret 2020. Belum
lama memang.
Warga Kompelks Graha Cendikia ICMI, Makassar ini,
dalam sebulan bisa menjual sampah daur ulang lumayan
banyak. “Bisalah saya memperoleh uang dari menjual
sampah sebesar 100 ribu rupiah,” ujarnya. Heridah dan
lebih dari 13 ribu warga Makassar dan sekitarnya, kini tak
perlu bingung lagi mengurus sampah mereka. Selain
kebersihan lingkungan terjaga, uang pun bisa mereka
dapatkan dari hasil menjual sampah daur ulang.
Tak ada lagi bau menyengat yang berasal dari
tumpukan sampah. Begitu pun bau busuk yang tercium
Adi Saifullah Putra, pada suatu malam musim penghujan,
2015 silam. Semua sudah berganti dengan rasa nyaman.
Tak hanya di lingkungan sekitar tempat kost Adi. Juga
sudah merambah ke banyak pelosok di Makassar.
MallSampah ikut memberikan kontribusi.
Sampah harus menjadi tanggung jawab si
penghasil sampah. Prinsip ini mensyaratkan
perilaku batasi dan kurangi sampah. Jadi, sampah
yang berakhir di TPA benar-benar sampah residu
yang sudah tak bisa diapa-apakan lagi.
Rangga kini sudah banyak berubah. Usai memakan pisang di taman perumahan saat bermain dengan teman-temannya, Rangga segera menuju tong
sampah. Dia masukkan kulit pisang ke dalam tong sampah
bertuliskan “sampah basah”. Ya, siswa sekolah dasar di
di Depok, Jawa Barat, itu tak lagi membuang sampah
sembarangan. “Aku diajari mama agar membuang
sampah pada tempatnya,” ujar Rangga polos.
Kesadaran yang dimiliki Rangga tentulah cukup
menggembirakan. Sejak dini, memang sudah sepatutnya
orang tua menanamkan kesadaran kepada anaknya agar
peduli terhadap lingkungan dan kebersihan. Salah satunya
seperti polah Rangga.
Tapi, konsep membuang sampah pada tempatnya
belumlah cukup mengatasi persoalan sampah yang
kini kian perlu mendapat perhatian serius. Membuang
sampah pada tempatnya adalah paradigma lama.
Sampah yang ada di tempat sampah bisa diperlakukan
dengan berbagai cara. Ada yang menimbunnya begitu
saja di lahan kosong. Tentu saja lahan kosong ini lama
kelamaan akan berubah menjadi TPS liar. Aroma busuk
sampah dipastikan akan menyengat. Sementara, cairan
yang berasal dari sampah akan merembes ke dalam
tanah dan mencemari air tanah.
Ada pula yang membakar sampah. Gampang
memang. Kumpulkan sampah, siram dengan minyak atau
bensin. Lalu, nyalakan korek api, sulutkan ke tumpukan
sampah. Selesai urusan. Tapi, cara ini akan menghasilkan
asap yang mengandung karbon monoksida dan formalin.
Ini adalah dua zat utama hasil pembakaran sampah yang
paling banyak memicu penyakit pernapasan.
Pada ujungnya, sampah yang sudah berada di
tong sampah, sebagian besar tetap akan masuk ke TPA
sampah. Padahal kondisi sebagian besar TPA di negara kita
kini cukup mencemaskan. Tumpukan sampah sudah
meninggi bak gunung menjulang.
Kertas Bungkus Nasi Padang
Jika perilaku membuang sampah pada tempatnya
tidaklah lagi cukup, apa yang bisa diperbuat lebih jauh?
“warga seharusnya mulai menerapkan konsep
‘kurangi sampah’. Dengan begitu, jumlah timbulan
sampah, utamanya sampah rumah tangga, bisa berkurang.
Dan, itu akan mengurangi jumlah sampah yang masuk ke
TPA,” kata Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI.
Novrizal mengajak warga agar sampah yang
dibuang ke tong sampah adalah sampah residu. Artinya,
sampah itu tak bisa diolah lagi menjadi sesuatu. “Misalnya,
kertas pembungkus nasi padang. Itu kan susah diapa-
apain lagi. Itu namanya sampah residu,” tutur Novrizal.
Pemerintah terus melakukan berbagai usaha
mengurangi sampah. Bank sampah bisa menjadi salah
satu simpul penting. Sebelum menyetorkan sampah dari
rumah ke bank sampah, warga terlebih dulu memilah
sampah di rumah masing-masing. Pada September
2019, KLHK mencanangkan program “pilah sampah dari
rumah”. Prinsip yang digunakan untuk mengurangi
timbulan sampah adalah melalui pembatasan dan
pencegahan munculnya timbulan sampah. “Jadi, mulailah
membudayakan hidup minim sampah. Misalnya, bawa
tumbler, ketimbang beli air minum dalam kemasan botol
plastik,” kata Novrizal.
Menurut Novrizal, alangkah eloknya jika warga
membudayakan filosofi “sampahku adalah tanggung
jawabku”. Jika filosofi ini sudah menjadi sebuah prinsip
hidup, niscaya akan tumbuh kesadaran untuk membatasi
dan mengurangi sampah. Yang akhirnya dibuang ke TPA
adalah residu sampah yang tak bisa dimanfaatkan lagi.
Sementara, barang sekali pakai bisa dipilah, lalu disetor ke
bank sampah.
Keberadaan bank sampah tak lepas dari gerakan 3R
(reduce, reuse, recycle). Melalui gerakan 3R ini, warga
diajak untuk mengurangi atau membatasi sampah,
memakai ulang sampah, dan mendaur ulang sampah.
Kehadiran bank sampah di negara kita secara perlahan
sudah mulai memberikan kontribusi. Memang, angkanya
belum terlampau besar. Untuk pengurangan sampah
secara nasional, bank sampah sudah menyumbang angka
sebesar 1,7 persen. Angka ini sama dengan mengurangi
sampah sekitar 2,1 juta ton per tahun.
Dengan Cinta, Sampah Menjadi Jernih
Semakin meningkatnya kesadaran warga akan
pentingnya mengelola sampah membuat keberadaan
bank sampah akan menjadi sebuah keniscayaan. Bank
sampah akan menerima sampah yang tak lagi bisa
dimanfaatkan warga, kemudian mengolahnya menjadi
beragam bentuk. Atau, bank sampah menjual sampah
itu ke pelapak atau ke pabrik daur ulang.
Selain keberadaan bank sampah, kehadiran banyak
orang yang punya kepedulian terhadap persoalan
sampah juga menjanjikan sebuah harapan. Mereka sudah
melakukan banyak hal untuk mengatasi masalah sampah.
Tak cuma melalui bank sampah. Mereka menawarkan
berbagai inovasi dan terobosan. Mereka tak pernah surut
berjuang, kendati harus menghadapi tantangan yang tak
mudah. Mereka layak mendapat julukan sebagai “para
pendekar sampah”.
Kenyataan ini tentu akan membawa kita kepada
sebuah optimisme: persoalan sampah di negara kita bisa
teratasi. Kehadiran bank sampah dan “para pendekar
sampah” ini akan terus menggugah kesadaran warga .
Ibarat penggedor, dua elemen ini menjadi kekuatan
penting mengetuk pintu nurani warga .
Bila warga sudah memahami betapa pentingnya
mengelola sampah, mereka akan dengan senang hati
membatasi dan mengurangi sampah. Apalagi, jika
warga melakukannya dengan sepenuh cinta. Seperti
kata penyair sufi Jalaluddin Rumi: dengan cinta, sampah
menjadi jernih.
Semua bermula dari sebuah panggilan telepon yang masuk ke gawai saya. Kejadiannya Maret 2019. Saat itu, saya tengah berada di sebuah daerah di
Provinsi Jambi. Sore saat tengah merebahkan badan
sebentar, setelah perjalanan cukup jauh dari Jakarta, saya
dihubungi Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bapak Novrizal
Tahar. Percakapan itu tak lama. Intinya, saya diminta
menulis buku tentang pengelolaan sampah, utamanya
yang berkaitan dengan bank sampah dan partisipasi
warga mengurangi sampah.
Tanpa berpikir panjang, saya segera menyanggupi
permintaan itu . Ini tentu saja sebuah kesempatan
berharga. Sebagai seorang sarjana Teknik Lingkungan,
saya punya semacam “utang” kepada almamater saya,
Institut Teknologi Bandung (ITB). Maklum, sejak lulus
kuliah, saya sama sekali tak pernah bergelut di pekerjaan
yang sesuai dengan latar pendidikan saya. Malah, sebelum
menamatkan kuliah, saya sudah lebih dulu menjadi
seorang jurnalis.
Jika bisa membuat sebuah buku tentang pengelolaan
sampah di negara kita , saya amat berharap buku itu
akan menjadi sedikit sumbangsih saya sebagai seorang
sarjana Teknik Lingkungan. Setidaknya, buku itu bisa
mendatangkan inspirasi bagi banyak orang untuk
mengenali dan memahami persoalan sampah di Tanah
Air. Dari situ diharapkan muncul aksi nyata untuk
mengurangi sampah di negara kita , yang jumlahnya
semakin mengkhawatirkan.
Singkat kisah, dimulailah penulisan buku ini. Setelah
melakukan riset, saya menemui beberapa orang. Mereka
tersebar di banyak wilayah di negara kita . Saya melakukan