babat untuk membangun perumahan mewah. Gunung
diratakan untuk memperoleh emas. Manusia juga lalu melihat dirinya
sebagai sesuatu yang terpisah sekaligus lebih tinggi dari alam dan
semua mahluk hidup lainnya. Ia merasa punya hak untuk menguasai
dan menghancurkan semuanya, guna memenuhi keinginan dan
kerakusannya.
saat alam rusak, maka seluruh kehidupan terancam. Hewan
punah. Hutan dan berbagai sistem ekologi alamiah lainnya juga hancur,
akibat ulah manusia. Di dalam keadaan semacam ini, manusia justru
semakin dalam terjebak dalam rasa takut, kesepian dan penderitaan.
Mencari Ke Dalam
Jadi, akar dari segala kejahatan yaitu dua delusi mendasar. Yang
pertama yaitu delusi, bahwa orang bisa mencapai kebahagiaan dengan
mencari serta mengumpulkan hal-hal dari luar dirinya, seperti nama
baik, kehormatan, uang, harta dan sebagainya. Yang kedua yaitu
delusi, bahwa manusia yaitu mahluk individual yang terpisah dengan
manusia-manusia lainnya, dan juga terpisah dari alam. Dua delusi ini
menciptakan penderitaan batin yang amat dalam bagi manusia, baik
dalam lingkup hidup pribadinya, maupun dalam hubungan-hubungan
sosialnya.
Jalan keluar dari dua delusi ini sebenarnya sederhana, yakni
kita harus mulai melihat ke dalam diri kita sendiri, dan mencoba
menemukan kepenuhan hidup disana. Kita harus berhenti mencoba
mengisi kekosongan batin kita dengan hal-hal eksternal, seperti uang,
nama besar, barang-barang dan lainnya. saat kita menengok ke
dalam, kita akan menyadari, siapa diri kita sebenarnya. Di dalam
proses menyadari diri kita yang sejati, kita pun lalu akan sampai pada
kesadaran, bahwa segala hal di alam semesta ini yaitu kesatuan dari
jaringan yang tak terpisahkan.
Kita dan orang lain yaitu satu. Kita dan alam yaitu satu.
Penderitaan mereka yaitu penderitaan kita sendiri. Kebahagiaan
mereka yaitu kebaha giaan kita sendiri.
Pemahaman ini tidak boleh hanya menjadi pemahaman intelektual
semata. Ia harus sungguh menjadi bagian dari kesadaran kita sehari-
hari. saat kita bertindak dari kesadaran mendasar, bahwa apa yang
kita cari sudah selalu tertanam di dalam diri kita sendiri, dan bahwa
segala hal di dunia ini yaitu satu kesatuan dan saling terhubung
satu sama lain, maka segala yang kita alami dan lakukan akan selalu
bisa membantu diri kita sendiri dan orang lain. Di dalam kesenangan,
tindakan kita akan membantu diri kita, orang lain, semua mahluk
hidup dan alam sebagai keseluruhan. Bahkan di dalam penderitaan
dan kesedihan berat, tindakan kita juga bisa membantu mereka semua.
Tidak ada perbedaan antara kita dan mahluk hidup lainnya.
Tidak ada perbedaan antara kita dan alam. Semua perbedaan yang
tampak hanya muncul dari panca indera dan pikiran kita yang rapuh.
Perbedaan ini lahir dari delusi, yakni dari kesalahan berpikir yang
mendasar tentang kehidupan.
Delusi hanya menciptakan penderitaan di dalam hati kita. saat
hati kita menderita, kita pun lalu dengan mudah menyakiti orang lain.
Kita juga dengan mudah menghancurkan kehidupan lain dan alam ini,
demi memuaskan delusi kita. Delusi inilah akar dari segala kejahatan.
Mau sampai kapan kita hidup seperti ini?
46 —
Moralitas Itu Berbahaya
Ada satu pola menarik di dalam sejarah. Para pelaku kejahatan terbesar justru yaitu orang-orang yang hidup dalam bayang-
bayang moralitas. Para penguasa Persia di masa lalu merasa bermoral
tinggi, dan melakukan penaklukan ke berbagai penjuru Timur Tengah.
Para penguasa Mesir di masa lalu merasa bermoral tinggi, dan
memperbudak penduduknya sendiri untuk membangun Piramid.
Orang-orang Yahudi mengaku bangsa bermoral dan bertuhan.
Namun, mereka yang menyalibkan Yesus, tanpa alasan yang bisa
dipertanggungjawabkan. Kekaisaran OĴ oman Turki mengaku bermoral
dan bertuhan. Namun, mereka melakukan penaklukan berdarah ke
berbagai penjuru negara Timur Tengah.
Eropa mengaku sebagai benua yang beradab dan bertuhan.
Namun, mereka memperbudak dan menjajah begitu banyak bangsa
selama kurang lebih 500 tahun. Hitler hidup dalam panduan moral
yang tinggi. Ia menjadi otak sekaligus pelaksana pembantaian orang-
orang Yahudi di masa perang dunia kedua.
Amerika Serikat mengaku bangsa yang bermoral dan bertuhan.
Namun, mereka menjadi otak dari begitu banyak pembantaian massal
di berbagai pen juru dunia di abad 20. Kini, para teroris dengan
pandangan Islam ekstrimisnya menjadi pelaku kekerasan di berbagai
penjuru dunia. Mereka juga mengaku bermoral dan bertuhan.
Mengapa ini terjadi? Mengapa orang-orang yang mengaku
bermoral, bertuhan dan beragama justru menjadi pelaku kejahatan-
kejahatan terbesar di dalam sejarah? Saya berpendapat, bahwa sumber
dari segala kejahatan ini justru lahir dari moralitas itu sendiri. Moralitas
bukanlah solusi atas kejahatan, melainkan justru akar dari kejahatan
itu sendiri.
Moralitas
Moralitas yaitu pertimbangan baik dan buruk. Apakah suatu
tindakan baik? Apakah suatu tindakan buruk? Keputusan apa yang
baik untuk saya ambil? Inilah kiranya pertanyaan-pertanyaan terkait
dengan moralitas.
Kita juga seringkali memakai pertimbangan moral dalam
membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup. Apakah
pernikahan baik untuk saya? Pekerjaan mana yang baik untuk saya?
Jahatkah saya, jika saya mengambil keputusan ini?
Satu hal yang pasti yaitu , bahwa moralitas yaitu pertimbangan
pikiran. Ia terjadi di dalam pikiran manusia. Ia tidak ada secara nyata
dan empiris di dalam kenyataan sehari-hari. Moralitas bukanlah
kenyataan alamiah.
Apa itu kenyataan alamiah? Sesungguhnya, kenyataan alamiah
tidak memiliki konsep atau kata untuk menjelaskannya. Ia yaitu
”sesuatu”. Para fi lsuf Eropa menyebutnya sebagai ”Ada” (Being, Sein, to
on). Para mistikus India menyebutnya sebagai ”Diri” (the Self). Namun,
sejatinya, ia tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Moralitas itu Berbahaya
Lalu, mengapa moralitas itu berbahaya? Moralitas, seperti saya
jelaskan sebelumnya, selalu terkait dengan baik dan buruk. Jika
sebuah pertimbangan dianggap buruk secara moral, maka orang akan
menjauhinya. Jika sebuah pertimbangan dianggap baik secara moral,
maka orang akan mengikutinya.
Namun, hidup tidak sesederhana itu. Apa yang buruk biasanya
memikat. Apa yang baik biasanya membosankan. Inilah yang sekarang
ini banyak terjadi.
saat orang melakukan yang buruk, maka ia akan memperoleh
kenik matan sementara. Namun, semua itu akan berakhir pada
penyesalan dan penderitaan. Orang akan merasa bersalah, sebab ia
telah bertindak jahat. Tindakan ini telah menyakiti dirinya dan
orang lain.
Orang yang suka berbohong memang kelihatan berhasil pada
awalnya. Namun, semakin lama, jika ia terus berbohong, ia akan
tenggelam di dalam kebohongannya. Ia tidak bisa lagi membedakan
kenyataan dan kebohongan yang ia bangun sendiri. Ia pun hidup
dalam penderitaan.
Sebaliknya, saat orang bertindak baik, maka ia akan berusaha
untuk mempertahankan tindakannya ini . Ia lalu melekat dan
terikat dengan tindakan ini . Ia tergantung secara emosional
dengan tindakan itu. Dalam perjalanan waktu, tindakan baik itu
menghasilkan banyak tegangan batin di dalam dirinya.
Tegangan batin, pada akhirnya, akan menghancurkan tindakan
baik ini . Yang muncul kemudian yaitu perasaan bersalah, sebab
orang tak lagi mampu mempertahankan tindakan baik itu. Orang
merasa munafi k atau justru menjadi orang yang munafi k. Ia justru
malah menjadi kejam pada sesamanya dan dirinya sendiri. Tak heran,
banyak pelaku kejahatan kejam di dalam sejarah justru yaitu orang
yang memiliki prinsip moral tinggi, atau bahkan amat religius.
Orang yang memegang erat prinsip jujur akan mengalami
ketenangan batin pada awalnya. Namun, ia hanyalah manusia. Ia
tidak bisa jujur setiap saat dan setiap waktu. Ada waktunya, ia perlu
berbohong, seringkali dengan alasan-alasan yang masuk akal. Orang
yang memegang erat prinsip jujur juga pada akhirnya akan berbohong
juga. Ini akan melahirkan perasaan bersalah dan penderitaan yang amat
dalam pada orang ini .
Jadi, tindakan buruk menghasilkan tegangan dan penderitaan.
Tindakan baik juga menghasilkan ketegangan dan penderitaan.
Keduanya melahirkan tegangan dan ketakutan di dalam batin. Dari
tegangan, penderitaan dan ketakutan batin ini , orang justru malah
menjadi kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri. Ini seperti
lingkaran setan yang tak bisa diputuskan.
Moralitas menghasikan semacam keterpecahan kepribadian di
dalam diri manusia. Ia terbelah antara harapan tentang dirinya sendiri,
dan keadaan nyata di depan matanya tentang dirinya sendiri. Moralitas
menghasilkan semacam neurosis di dalam pikiran manusia. Ia memiliki
fungsi terbalik, yakni justru mendorong orang untuk menjadi tidak
bermoral.
Moral dan keputusan
Sayangnya, kita seringkali memakai pertimbangan moral
di dalam membuat keputusan. Pertimbangan moral, dan tindakan
yang lahir darinya, selalu melahirkan ketegangan di dalam batin.
Ketegangan batin berujung pada penderitaan batin. Banyak orang tak
kuat menanggung tegangan dan penderitaan batin ini . Mereka
justru menjadi orang yang paling kejam.
Maka, menurut saya, moralitas itu berbahaya. Ia mencoba
menyelesaikan sebuah masalah dengan menciptakan masalah-masalah
baru. Banyak negara yang mengaku bermoral justru bertindak kejam
terhadap warganya dan terhadap negara lain. Ini lahir dari tegangan
dan penderitaan yang sudah selalu tertanam di dalam moralitas itu
sendiri.
Indonesia mengaku sebagai negara bermoral dan beragama.
Semua orang berteriak soal moral dan agama. Namun, korupsi dan
kebohongan menyelubungi dunia politik kita. Diskriminasi dan
kebencian mewarnai hidup berwarga kita. Kita pun gemar
menghukum mati orang-orang yang kita anggap tak layak hidup. Ini
contoh yang amat pas untuk menggambarkan bahaya dari moralitas
yang justru menghasilkan kemunafi kan dan kekejaman.
Panduan Baru: Kejernihan Berpikir
Yang jelas, kita membutuhkan panduan lain dalam hidup kita,
selain mo ralitas. Kita membutuhkan pijakan lain untuk membuat
keputusan. Moralitas seolah menjadi jawaban, namun ia seringkali
justru melahirkan masalah-masalah baru yang lebih besar. Moralitas
yaitu sesuatu yang harus dilampaui.
Saya menawarkan panduan lain, yakni kejernihan berpikir.
Pertanyaan yang harus diajukan bukanlah ”Apakah ini baik atau
buruk?”, melainkan ”Apakah ini lahir dari kejernihan berpikir, atau
tidak?” Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan baik dan
buruk. Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan untuk dan
rugi.
Pikiran yang jernih bersifat alamiah. Ia muncul dari kesadaran diri
manusia, dan bukan dari pertimbangan akal budi, baik-buruk atau
untung-rugi. Pikiran yang jernih melihat situasi nyata. Ia bersikap tepat
pada setiap keadaan yang terjadi.
Pikiran yang jernih tidak sibuk dengan masa lalu. Pikiran yang
jernih menolak untuk melompat ke masa depan. Ia berfokus pada
situasi disini dan saat ini. Ia memecahkan masalah sesuai dengan
konteksnya masing-masing.
Bagaimana melahirkan kejernihan berpikir? Caranya sederhana:
stop melakukan analisis dan stop berpikir! Lakukan apa yang mesti
dilakukan disini dan saat ini. Bertindaklah mengalir secara alamiah
dari saat ke saat.
Berbohong bukanlah baik atau buruk. Ia amat tergantung pada
konteks. Berbohong untuk menyelamatkan nyawa orang lain yaitu
tindakan yang lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh untuk
mempertahankan diri dan keluarga dari serangan perampok yaitu
tindakan yang juga lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh dan
berbohong yaitu tindakan yang jernih, jika dilakukan secara tepat
pada keadaan-keadaan tertentu.
Melampaui Moralitas
saat pertimbangan akal budi masuk, maka kejernihan hilang.
saat orang sibuk memikirkan baik dan buruk, maka kejernihan
hilang. saat orang sibuk memikirkan untung dan rugi, maka
kejernihan hilang. Orang yang sibuk memikirkan baik dan buruk akan
terus mengalami ketegangan di dalam hatinya.
Ia seperti hidup dalam penjara yang dibangun oleh pikirannya
sendiri. Hal yang sama terjadi dengan orang yang selalu sibuk
melakukan pertimbangan untuk dan rugi di dalam hidupnya. Hidupnya
tidak akan pernah lepas dari kecemasan. Dari kecemasan itu, ia bisa
bertindak kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri.
Moralitas melahirkan ketegangan. Ketegangan mendorong sikap
agresif. Sikap agresif lahir bisa diarahkan pada orang lain, atau pada
diri sendiri. Selama orang masih melekat pada moralitas, selamanya ia
akan terjebak pada lingkaran setan ketegangan dan penderitaan hidup.
Jalan keluar dari masalah ini hanya satu: kejernihan berpikir. Orang
yang hidup dengan kejernihan pikiran tidak hanya berhasil dalam karir,
namun juga menemukan kebahagiaan dan kedamaian sejati di dalam
batinnya. Ia keluar dari lingkaran setan kehidupan yang dibangun oleh
moralitas. Jadi, apakah pikiranmu sudah jernih?
Agama dan Kekerasan
Ada pepatah Cina kuno yang mengatakan, ”Alat yang baik di tangan orang jahat akan menjadi alat yang jahat.” Sebaik apapun
ajaran suatu agama, jika dianut oleh sekumpulan orang yang menderita
dan tersesat, maka agama itu akan menjadi jahat yang menghasilkan
penderitaan bagi banyak orang.
Pembunuhan wartawan-wartawan Charlie Ebdo di Paris sungguh
meng getarkan hati dunia. Lagi-lagi, agama dipakai untuk
membenarkan kekerasan. Sungguh menjijikan. Peristiwa ini terangkai
erat dengan pelbagai peristiwa kekerasan atas nama agama lainnya,
seperti ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang terus melakukan
pembunuhan massal di Irak dan mengancam negara-negara di Timur
Tengah lainnya.
Di Nigeria, kelompok Islam ekstrimis Boko Haram juga melakukan
pem bunuhan massal. Beberapa waktu lalu, kelompok Islam ekstrimis
juga melakukan pembunuhan massal terhadap anak-anak di Pakistan.
Di Israel, agama Yahudi dijadikan dasar sekaligus pembenaran
untuk melakukan penin dasan nyaris tanpa henti kepada Palestina.
Di Indonesia, diskriminasi terhadap agama minoritas nyaris menjadi
makanan sehari-hari.
Tak jauh dari ingatan kita sebagai bangsa Indonesia, Kristianitas
dipakai untuk pembenaran bagi proses penjajahan Eropa atas
seluruh dunia. Jutaan manusia manusia dari berbagai belahan dunia
mati dalam rentang waktu lebih dari 300 tahun, akibat peristiwa ini.
Sumber daya alam dikeruk demi kekayaan bangsa-bangsa Eropa.
Beragam budaya dan cara hidup hancur di dalam proses penjajahan
yang juga memiliki motif Kristenisasi seluruh dunia itu.
Di India, sebelum Natal 2014, sekitar 5000 keluarga diminta untuk
memeluk kembali Hinduisme. Mereka yang tidak mau mengubah
agama diminta untuk keluar dari India. Sebagai bangsa, India juga
terus dikepung oleh konfl ik yang terkait dengan agama. Fenomena
yang sama berulang kembali: agama dipakai untuk membenarkan
tindak kekerasan, guna membela kepentingan ekonomi dan politik
yang tersembunyi.
Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa peristiwa dengan pola semacam
ini terus berulang? Mengapa agama, yang konon mengajarkan kebaikan
universal dalam hubungan dengan yang transenden, terus menerus
dipelintir untuk membenarkan tindakan biadab? Mengapa hubungan
agama dan kekerasan tidak juga bisa diputus? Mengapa kita nyaris
tidak belajar apapun dari pelbagai peristiwa biadab ini?
Berpikir Dualistik
Akar dari segala kejahatan dan kekerasan yaitu pikiran. Semua
tindakan dimulai dari pikiran. Semua penilaian dan analisis mulai
dari pikiran. Maka, kita pun harus masuk ke ranah pikiran, guna
membongkar akar kekerasan.
Pada hemat saya, akar dari segala kejahatan yaitu pola pikir
dualistik. Apa itu? Pola pikir dualistik selalu melihat dunia dalam dua
kutub yang bertentangan, yakni benar-salah, baik-buruk, suci-tidak
suci, beriman-kafi r, serta dosa-tidak dosa. Dengan pembedaan ini, kita
lalu terdorong selangkah lebih jauh untuk melihat orang lain sebagai
musuh (yang berdosa, kafi r, salah, dan buruk) yang harus dihancurkan.
Padahal, jika ditelaah lebih dalam, pola berpikir dualistik pada
dasarnya yaitu salah. Tidak ada dualisme. Dualisme hanya ada di
dalam pikiran. Tidak ada perbedaan. Perbedaan hanya tampilan kulit
yang menutupi esensi yang sama dari segala hal.
Segala bentuk kekerasan dan kejahatan bisa dilenyapkan, jika kita
melepaskan pola berpikir dualistik. Kita lalu melihat diri kita sendiri
satu dan sama dengan segala hal, termasuk dengan alam, hewan dan
tumbuhan. Kita tidak lagi memiliki dorongan untuk mencap atau
menyakiti apapun atau siapapun, sebab kita semua, sejatinya, yaitu
satu dan sama. Bahkan, pada situasi yang paling ekstrem, kita lebih
memilih untuk disakiti, daripada menyakiti orang lain.
Dualistik dan Kekerasan
Namun, pola berpikir dualistik tidak otomatis langsung menciptakan
kekerasan. Setidaknya, saya melihat dua hal yang mendorong pola
berpikir dualistik menjadi kekerasan. Yang pertama yaitu kesenjangan
ekonomi yang besar antara orang kaya dan orang miskin. saat
sekelompok orang hidup dalam kemiskinan yang besar, sementara
mereka harus menyaksikan orang-orang kaya bergaya hidup mewah
setiap harinya, pola berpikir dualistik akan mendorong terciptanya
tindakan kekerasan.
Yang kedua yaitu konfl ik masa lalu yang belum mengalami
rekonsiliasi, dan menjadi dendam. saat orang hidup dalam dendam,
segala hal akan tampak jelek di matanya. Ia akan bersikap jahat, sering-
kali tanpa alasan. Maka, segala konfl ik di masa lalu harus menjalani
proses rekonsiliasi, supaya ia tidak berubah menjadi trauma kolektif
dan dendam yang mendorong terciptanya kekerasan.
Sebagai manusia, kita perlu untuk memutus rantai pikiran yang
memisahkan. Kita perlu melihat dunia apa adanya, tanpa perbedaan.
Kita perlu sadar, bahwa segalanya yaitu satu dan sama. Kita juga
perlu sadar, bahwa kita semua hidup dalam kesatuan jaringan yang
tak bisa dipisahkan. Pola berpikir dualistik haruslah dilampaui.
Di sisi lain, kita juga harus berusaha membangun warga
tanpa kesenjangan sosial. Tidak boleh ada kesenjangan antara si kaya
dan si miskin. Semua harus mendapat hak yang sama sebagai manusia
yang bermartabat. Semua juga harus diberikan kesempatan untuk
membangun hidupnya secara bermartabat.
Berbagai konfl ik di masa lalu juga harus diakui dan menjalani
proses rekonsiliasi. Rekonsiliasi disini terkait dengan usaha untuk
memperbaiki hidup korban dari konfl ik di masa lalu. Ia juga terkait
dengan mencari tahu, apa yang menjadi akar dan pola konfl ik yang
terjadi di masa lalu itu. Rekonsiliasi akan mengurangi kemungkinan
terjadinya konfl ik dengan pola yang sama di masa depan.
Agama dan Pengalaman Mistik
Setiap agama berawal dari pengalaman mistik manusia. Pengalam-
an mistik yaitu pengalaman kesatuan dengan sesuatu yang lebih
tinggi dari manusia, entah itu alam, roh, Tuhan, Allah dan sebagainya.
Pengalaman mistik itu lalu dibagikan kepada orang lain, lalu
berkembang menjadi agama. Agama lalu menjadi bagian dari cara
hidup warga tertentu.
Pengalaman mistik yaitu inti dari semua agama. Agama tanpa
pengalaman mistik hanya seperti organisasi biasa. Di dalam pengalaman
mistik, orang melihat dirinya sebagai bagian dari kesatuan dengan
segalanya. Pengalaman ini lalu coba disampaikan seturut dengan cara-
cara kultural yang ia miliki.
Sejatinya, pengalaman mistik tidak bisa dibagikan. Ia yaitu
pengalaman kesatuan dengan segala hal, yakni pengalaman non-
dual. saat dibagikan atau disampaikan kepada orang lain, ia lalu
berubah menjadi pengalaman dualistik dan pola pikir dualistik. Pola
pikir dualistik ditambah dengan berbagai masalah sosial lainnya akan
berujung pada kekerasan. Inilah mengapa agama-agama sekarang
begitu mudah dipelintir dan bahkan menjadi motif utama terjadinya
kekerasan.
Dengan pola berpikir dualistik, setiap agama menulis kitab suci
dan merumuskan teologinya masing-masing. Namun, kitab sucii dan
teologi justru hanya menciptakan jurang yang lebih dalam, baik di
antara penganut agama ini , maupun dengan penganut agama
lainnya. Terciptalah kelompok-kelom pok, seperti kelompok pendosa,
kelompok suci, kelompok kafi r, kelom pok taat, kelompok progresif,
kelompok konservatif dan sebagainya. Mereka lalu saling berperang
satu sama lain. Inilah hasil dari pola berpikir dualistik.
Maka dari itu, agama-agama sekarang ini haruslah melihat
kitab suci dan teologinya masing-masing tidak sebagai kebenaran
mutlak. Semuanya lahir dari pola berpikir dualistik yang tidak sesuai
dengan kenyataan dan kebenaran alamiah semesta. Agama-agama
harus kembali ke akarnya masing-masing, yakni pengalaman mistik.
Pengalaman mistik melampaui pola berpikir dualistik, dan masuk ke
ranah tanpa pembedaan.
Pola berpikir mistik menghasilkan kedamaian hati. Kedamaian hati
mendorong kedamaian sosial. Para teolog dari berbagai agama berdebat
dan bertengkar. Namun, para mistikus dari berbagai agama berjumpa
dalam diam, sebab mereka tahu, mereka semua satu dan sama. Jadi,
agama-agama harus melihat tradisi, teologi dan kitab sucinya masing-
masing hanya sebagai alat, dan bukan tujuan pada dirinya sendiri.
saat agama kembali ke akarnya masing-masing, yakni pengalaman
mistik kesatuan dengan segalanya, maka dunia akan damai. saat
agama tidak memutlakan ajaran-ajarannya masing, dan melihat
segalanya sebagai satu dan sama dalam jaringan yang tak terpisahkan,
maka akan tercipta kedamaian yang sejati. Agama tanpa kekerasan
hanya bisa dicapai dengan menyentuh pengalaman mistik kesatuan
batin manusia dengan semesta. Di ranah itu, kita tidak berjumpa dalam
perbedaan, melainkan dalam kesatuan.
Artinya, kita berjumpa dalam cinta… cinta yang sejati.
Anatomi Rasa Takut
”Dibalik segala kekerasan dan kejahatan, ada rasa takut bersembunyi…”
Awal Maret 2015, Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, berpidato di depan Konggres Amerika Serikat di Washington.
Ia berbicara soal bahaya dari negara Iran yang kemungkinan akan
memiliki senjata nuklir dalam waktu dekat. Netanyahu ingin menebar
rasa takut di kalangan Konggres Amerika Serikat, supaya AS turun
tangan langsung untuk berperang melawan Iran. Ia ingin menyuntikkan
rasa takut ke dalam politik luar negeri AS.
Sebagai sebuah negara, AS memang didirikan dari rasa takut terha-
dap tirani Kerajaan Inggris. Hampir sepanjang sejarahnya, AS hidup
sebagai sebuah negara yang dipenuhi kegelisahan dan rasa takut atas
musuh dari luar. Pada masa perang dunia kedua, Hitler dan Jerman
menjadi musuh. Pada masa perang dingin dan di awal abad 21, Uni
Soviet dan kelompok teroris Islam ekstrimis menjadi musuh. sebab
rasa takut ini, AS sering terlibat di dalam berbagai perang yang sia-sia.
Politik yang didorong oleh rasa takut juga bukan hal baru di
Indonesia. Sejak awal, Indonesia takut akan kembalinya pasukan kolo-
nial Belanda dan Inggris. Seluruh politik Sukarno juga diarahkan untuk
menumpas segala bentuk neokolonialisme yang dibawah oleh negara-
negara Barat. Pada masa Orde Baru, politik Indonesia didorong oleh
rasa takut terhadap komunisme. Jejak-jejaknya masih terasa sampai
saat ini.
Kita pun seringkali diselimuti rasa takut. Kita takut akan
ketidakpastian masa depan dan keluarga kita. Apakah kita akan sukses
di kemudian hari? Apakah kita akan hidup sehat sampai usia tua?
Pertanyaan-pertanyaan ini menciptakan harapan sekaligus rasa takut
di dalam hidup kita.
Di sisi lain, banyak orang juga takut akan masa lalunya. Mereka
menyesal telah berbuat kesalahan di masa lalu. Di masa kini, mereka
menanggung akibat dari kesalahan masa lalu mereka. Hari-hari mereka
dipenuhi dengan campuran antara rasa takut, cemas dan menyesal.
Namun, kita semua tahu, ketakutan terbesar kita yaitu kematian.
Kita takut berpisah dengan keluarga dan orang-orang yang kita cintai,
saat kita meninggal. Kita juga takut apa yang ada di kehidupan
berikutnya, setelah kita mati. Kita juga takut, saat orang yang kita
cintai meninggalkan kita terlebih dahulu.
Ada masalah besar disini. saat kita takut, pikiran kita kacau.
Kita jadi melihat hal-hal yang tak ada. Sebaliknya, kita justru jadi
tidak menghargai hal-hal baik yang sudah ada. Rasa takut membuat
kita buta.
Pikiran yang kacau memicu penderitaan di dalam hati kita.
saat kita menderita, maka tindakan kita juga kacau. Kita pun bisa
memicu penderitaan bagi orang lain. Kebutaan akibat rasa takut
dan penderitaan yang menggerogoti hati kita mendorong kita untuk
berbuat jahat.
Pertimbangan-pertimbangan kita pun juga kacau, sebab pikiran
yang kacau. Keputusan yang kita ambil banyak merugikan diri kita
sendiri. Orang lain pun juga terkena dampaknya. Orang-orang yang
hidup dengan kebutaan dan penderitaan akibat rasa takut, namun
memiliki kekuasaan politik yang besar, seperti George W. Bush dan
Benyamin Netanyahu, juga akan membawa penderitaan besar bagi
banyak orang.
Pada tingkat pribadi, rasa takut bisa memberi penderitaan
batin yang besar. Banyak orang mengalami depresi, sebab rasa takut
yang begitu besar di dalam dirinya. Mereka tidak bisa menemukan
kebahagiaan dan kedamaian di dalam hidupnya. Pada keadaan yang
sangat parah, orang memilih untuk bunuh diri, sebab tak kuat lagi
menahan rasa takutnya.
Mengapa kita merasa takut? Apa itu ketakutan? Mengapa ia bisa
menjadi daya dorong yang besar, bahkan bisa mendorong terciptanya
perang besar antara berbagai negara? Bisakah kita melampaui rasa
takut yang bercokol di dalam diri kita?
Ketakutan dan Akarnya
Ketakutan yaitu antisipasi berlebihan terhadap apa yang akan
terjadi. Fokus dari ketakutan yaitu masa depan. Ia belum terjadi,
namun kemungkinan akan terjadi. Kemungkinan ini didasarkan pada
pengalaman pahit diri sendiri maupun orang lain di masa lalunya.
Sumber dari rasa takut yaitu pikiran kita. Kita membangun
bayangan atas apa yang akan terjadi pada diri kita. Bayangan ini
menghantui kita, dan membuat pikiran kita menjadi kacau. Pikiran
kacau juga akan menciptakan hidup yang kacau.
Jadi, rasa takut yaitu bayangan. Ia belum terjadi. Kemungkinan
juga, ia tidak akan pernah terjadi. Rasa takut tidak ada pada dirinya
sendiri, melainkan sangat tergantung dari cara berpikir dan keadaan
pikiran kita.
Darimana bayangan yang menciptakan rasa takut ini muncul?
Hubungan kita dengan orang lain dan dengan kenyataan itu sendiri
melahirkan rasa takut dalam diri kita. Kita mendengar cerita dari orang
lain yang mengalami pengalaman jelek, lalu kita menjadikan cerita jelek
itu sebagai bagian dari bayangan kita. Rasa takut pun kemudian lahir.
Pengalaman pribadi kita sendiri di masa lalu juga menciptakan rasa
takut. Kita mengalami pengalaman pahit di masa lalu. Lalu, kita takut,
andaikan pengalaman itu terulang kembali. Kita pun melakukan segala
hal untuk mencegahnya. usaha pencegahan ini seringkali melahirkan
rasa tegang dan rasa takut di dalam batin kita.
saat kita mendengar cerita pahit tentang hidup orang lain, kita
seringkali menerimanya begitu saja sebagai kebenaran. Kita tidak
memakai pikiran kritis untuk bertanya, apakah cerita itu benar,
atau tidak. Jadi, ketakutan juga bisa lahir dari pikiran yang tidak kritis,
yakni pikiran yang gampang percaya. Orang semacam ini gampang
sekali menjadi korban adu domba dan provokasi orang lain.
Pikiran yang tidak kritis menciptakan delusi di dalam pikiran kita.
Delusi, dalam arti ini, berarti kesalahan berpikir tentang kehidupan dan
kenyataan itu sendiri. Delusi membuat kita memiliki rasa takut yang
akhirnya membuat kita hidup menderita. Kita tidak bisa menemukan
kedamaian dan kebahagiaan di dalam hati kita.
Melampaui Rasa Takut
Di dalam tradisi Zen Buddhisme, tugas utama setiap manusia
yaitu memahami pikirannya. Memahami pikiran berarti memahami
jati diri asali setiap orang, sebelum ia masuk ke dalam dunia sosial.
Memahami pikiran juga berarti menyadari, bahwa pikiran itu tidak
ada. Memahami jati diri asali manusia berarti juga menyadari, bahwa
”jati diri” itu tidak ada.
saat diri dan pikiran disadari sebagai tidak ada, maka orang
tidak akan pernah merasa takut lagi dalam hidupnya. Semua peristiwa
yang menimpanya dianggap sebagai peristiwa biasa, yakni bagian kecil
dari jagad semesta ini. Orang lalu tidak lagi hidup dengan pikirannya,
melainkan dengan kesadarannya. Ia menjadi pribadi yang peka, peduli
dan terlibat untuk membantu orang-orang di sekitarnya yang kesulitan.
Eckhart Tolle di dalam bukunya yang berjudul Jeĵ t! Die Kraft der
Gegenwart juga menegaskan, bahwa masa lalu itu tidak ada. Masa lalu
itu hanyalah bayangan semata yang tidak punya objek yang konkret.
Rasa takut akibat dari kesalahan masa lalu juga hanyalah bayangan
semata yang rapuh dan fana. Yang sesungguhnya ada hanyalah masa
kini.
Jika masa lalu itu hanya bayangan, bagaimana dengan masa depan?
Masa depan pun juga merupakan bayangan. Rasa takut akan masa
depan, menurut Hinnerk Polenski dalam bukunya Hör auf zu denken,
sein einfach glücklich, yaitu ilusi atau bayangan yang mengacaukan
pikiran manusia. Ia tidak ada pada dirinya sendiri, melainkan hanya
muncul dari pikiran manusia.
Kematian pun juga sejatinya tidak ada. Ia hanya bagian dari
proses perubahan semesta. Mistikus Islam, Rumi, menegaskan, bahwa
kematian hanya merupakan tipuan dari mata. Seluruh panca indera kita
menipu kita dengan memberi kesan perpisahan yang sesungguhnya
tak ada.
Jika kematian tak ada, maka kehidupan pun juga tak pernah ada.
Kita semua hanya numpang lewat minum teh di dunia ini, begitu kata
kebijaksanaan kuno Jawa. Kita hanya perlu hidup sesederhana dan
sebaik mungkin, supaya kita bisa memberi kebahagiaan pada diri
kita sendiri, dan pada orang lain. Sisanya hanya sementara dan fana,
maka kita tidak perlu terlalu serius dan ambisius dalam hidup ini.
Segala hal yaitu lahir dari pikiran manusia. Rasa takut juga lahir
dari pikiran kita. Kematian dan kehidupan juga yaitu konsep hasil
ciptaan pikiran kita. Namun, pikiran kita bersandar pada panca indera
kita yang sesungguhnya rapuh. Maka, pikiran kita pun rapuh. Jangan
percaya dengan pikiran yang muncul di kepalamu, begitu kata Seung
Sahn, Zen Master dari Korea dalam bukunya The Compass of Zen.
saat pikiran dilepas, kita akan menemukan kedamaian. saat
pikiran dilepas, maka kematian, kehidupan, masa lalu, masa depan
dan segala bentuk ketakutan akan lenyap dalam sekejap mata. Kita
pun bisa hidup dengan kesadaran penuh yang melahirkan kedamaian
dan kebahagiaan di dalam hati. Kita pun lalu bisa menolong orang lain
yang membutuhkan kita.
Hidup ini tidak sulit. Hidup ini juga tidak mudah. Hidup ini hanya
perlu dijalani apa adanya. Para fi lsuf Stoa mengajarkan kita untuk tidak
membuat penilaian dalam hidup ini. Kita hanya perlu hidup dari saat
ke saat.
Hidup dari saat ke saat yaitu hidup yang sempurna. Rasa takut
tidak ada. Masa lalu dan masa depan tidak ada. Kehidupan dan
kematian juga tidak ada. Yang ada hanya satu: kedamaian sejati.
Para politikus kita perlu sampai pada kesadaran ini. Hanya dengan
cara ini, politik kita di Indonesia bisa berkembang untuk memajukan
keadilan dan kesejahteraan bersama. Sistem raksasa dengan aturan
hukum yang banyak akan percuma, jika manusia-manusia pelaksananya
diselubungi rasa takut dan penderitaan. Itu hanya menciptakan sistem
politik yang mahal, namun tanpa hasil nyata.
Benyamin Netanyahu juga perlu untuk keluar dari rasa takutnya,
supaya ia bisa melihat keadaan dengan lebih jernih, dan membuat
keputusan dengan lebih bijak. Sudah waktunya pula Indonesia
melepaskan ketakutannya pada komunisme. Kita harus meninggalkan
politik rasa takut dengan terlebih dahulu melampaui rasa takut yang
bercokol di dalam hati kita. Suatu saat, kita akan bisa berkata, ”Masih
takut? Harigeneee?”
Rasa Takut
Semua orang pasti pernah merasa takut. Saya pernah merasa takut. Anda juga pasti pernah merasa takut. Takut menjadi bagian hidup
manusia dari seluruh jaman.
Padahal, rasa takut yaitu benda paling jahat di dunia. Ia membuat
orang khawatir berlebihan akan hidupnya. Pikirannya kacau. Badannya
pun juga ikut sakit.
Orang menderita, sebab diterkam rasa takut. Hidupnya bagai di
neraka. Orang yang merasa takut juga cenderung jahat pada orang
lain. Ia gampang marah, dan gampang berbuat kasar.
Pada tingkat yang lebih tinggi, rasa takut juga menciptakan
perang. Kelompok yang satu khawatir, bahwa kelompok lainnya akan
menyerang dia. Maka, ia menyerang duluan. Perang pun meletus.
Pada tingkat pribadi, rasa takut menciptakan penyakit jiwa.
Deretan penyakit jiwa muncul, sebab orang merasa takut. Rasa takut
juga mendorong orang berbuat yang aneh-aneh. Pada masalah yang parah,
rasa takut mendorong orang untuk melakukan bunuh diri.
Apa it u rasa takut? Mengapa orang merasa takut? Bagaimana cara
melampaui rasa takut? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting untuk
hidup setiap orang.
Rasa Takut
Rasa takut yaitu perasaan tegang di dalam pikiran, sebab
kemungkinan akan kehilangan sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa harta,
reputasi atau hidup. Rasa takut biasanya timbul, sebab perasaan
terancam. Ada yang mengancam harta kita, reputasi kita atau hidup
kita, sehingga kita lalu merasa takut.
Akar rasa takut, sejatinya, yaitu kesalahan berpikir. Kita mengira,
sesuatu itu abadi. Maka, kita lalu menggantungkan hidup kita pada
sesuatu itu, entah uang, reputasi atau pekerjaan kita. Kita mengira,
semua itu yaitu kebenaran sejati yang akan ada selamanya.
Kita mengira, dunia itu ada. Kita mengira, uang itu ada. Kita
mengira, reputasi itu ada. Padahal, jika dipikirkan lebih dalam, segala
sesuatu itu kosong. Ia ada, sebab pikiran kita semata.
Kita juga mengira, kita ini ada. Kita mengira, reputasi kita yaitu
segalanya. Kita mengira, karir kita yaitu segalanya. Padahal, jika
dicari lebih dalam, kita tidak akan menemukan sesuatu yang utuh dan
abadi di dalam diri, reputasi ataupun karir kita. Semuanya fana dan
sementara, bagaikan bayangan.
Kita ditipu oleh pikiran kita sendiri. Pikiran kita menciptakan
segalanya, dan kita mengira, itu semua sebagai benar, utuh dan abadi.
Padahal, pikiran kita itu rapuh. Ia bisa berubah, dan bahkan lenyap.
Melampaui Rasa Takut
Obat paling manjur untuk rasa takut yaitu dengan menyadari,
bahwa segala sesuatu itu kosong, bagaikan bayangan. Dunia itu kosong.
Diri kita itu kosong. Yang ada hanyalah ruang hampa yang besar dan
mencakup semuanya.
Tidak ada yang perlu ditakutkan. Tidak ada yang perlu dicemaskan.
Semuanya yaitu ”apa adanya”. Tidak baik, tidak buruk, tidak benar,
tidak salah, semuanya hanya ”apa adanya”.
Jika obat ”kekosongan” ini diminum, kita akan bebas dari rasa
takut. Kita tidak akan menderita secara batin ataupun badan. Kita juga
tidak akan membuat orang lain susah. Kita hanya hidup saat demi saat
dengan kejernihan dan kedamaian hati.
Jika lapar, maka kita makan. Jika haus, maka minum. Jika lelah,
maka tidur. Semuanya dilakukan dengan kesederhanaan, tanpa rasa
takut.
Kesadaran akan kekosongan dari segala sesuatu yaitu
kebijaksanaan tertinggi. Orang yang menyadarinya akan bebas dari rasa
takut. Bebas dari rasa takut berarti bebas dari penderitaan. Bebas dari
penderitaan berarti hidup yang penuh dengan kedamaian, kejernihan
dan cinta untuk semua.
Jadi, tunggu apa lagi?
Identitas Itu Ilusi
Begitu banyak konfl ik terjadi dengan latar belakang perbedaan identitas. Perbedaan ras, suku, agama dan pemikiran dijadikan
pembenaran untuk menyerang dan menaklukan kelompok lain.
Darah bertumpahan, akibat konfl ik identitas semacam ini. Lingkaran
kekerasan yang semakin memperbesar kebencian dan dendam pun
terus berputar, tanpa henti.
Namun, kita sebagai manusia nyaris tak pernah belajar dari beragam
konfl ik berdarah ini. Sampai sekarang, kita masih menyaksikan perang
di berbagai tempat, akibat perbedaan identitas. Ketegangan antara ISIS
(Negara Islam Irak dan Suriah) dengan negara-negara di sekitarnya
memuncak pada jatuhnya banyak korban tak bersalah. Amerika Serikat
masih merasa sebagai satu-satunya negara yang memiliki identitas
khusus, sehingga berhak melakukan apapun di dunia, tanpa ada yang
bisa melarang.
Indonesia juga memiliki sejarah panjang terkait dengan konfl ik
sebab perbedaan identitas. Konfl ik Sampit sampai dengan tawuran
pelajar terjadi, akibat perbedaan identitas. Pasangan yang saling men-
cintai terpisah, sebab perbedaan identitas. Orang tak boleh bekerja di
pemerintahan, sebab identitasnya berbeda dengan identitas mayoritas.
Diskriminasi pun juga lahir, sebab pemahaman yang salah tentang
identitas. Kebijakan Apartheid di Afrika Selatan yang memisahkan
orang berkulit hitam dan putih masih segar di ingatan kita. Jejak-
jejak dari kebijakan ini masih bisa dirasakan di banyak negara.
Perlakuan istimewa masih diberikan kepada orang-orang berkulit putih
di berbagai negara, tanpa dasar yang masuk akal.
Mengapa perbedaan identitas begitu mudah dipelintir untuk
membenarkan tindak kejahatan tertentu? Apa itu sebenarnya identitas?
Adakah sesungguhnya yang disebut dengan identitas? Ataukah kita
hanya saling konfl ik satu sama lain, tanpa alasan yang jelas?
Identitas dan Kemelekatan
Identitas yaitu label sosial yang ditempelkan kepada kita, sebab
kita menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu. Ada beragam bentuk
identitas yang berpijak pada kelompok tertentu, mulai dari ras, agama,
suku, negara, aliran pemikiran sampai dengan gender. Kita menerima
identitas kita dari tempat dan kelompok, dimana kita lahir. Identitas itu
berubah, sejalan dengan meluasnya hubungan kita dengan kelompok-
kelompok lainnya.
Ketegangan biasanya terjadi, sebab orang merasa identitasnya
dihina oleh orang lain. Orang menyamakan dirinya dengan identitas
kelompoknya. saat kelompoknya dihina, maka ia akan juga merasa
terhina. Inilah yang disebut sebagai kemelekatan pada identitas, yang
menjadi akar dari banyak konfl ik di dunia ini.
Namun, identitas tidak hanya terkait dengan kelompok, namun
dengan setiap label yang kita lekatkan pada diri kita masing-masing.
Sejak kita lahir, kita sudah diberi nama. Kita pun menyamakan diri
kita dengan nama ini . Kita melekatkan diri kita pada nama yang
diberikan oleh orang tua kita. saat nama itu dihina, kita pun akan
merasa terhina.
saat kita lahir, kita sudah langsung masuk ke dalam kelompok
suku tertentu. Kita tidak bisa memilih. Kemudian, kita menyamakan
diri kita dengan kelompok suku kita. saat kelompok suku itu dihina,
kita pun merasa terhina.
Kelompok suku tertentu biasanya sudah selalu terkait dengan ras
tertentu. Ras tentunya memiliki lingkup lebih luas, daripada suku.
Namun, sifatnya sama, kita seringkali menyamakan diri kita dengan
ras kita. Kita melekat padanya, seringkali tanpa bisa memilih.
Hal yang terjadi terkait dengan soal agama. Kita menyamakan diri
kita dengan agama kita. Kita melekat pada agama yang seringkali telah
dipilihkan oleh orang tua untuk kita. Kita bahkan seringkali tidak bisa
memilih agama kita sendiri.
Nasionalisme yaitu kesetiaan pada identitas nasional, yakni
negara dan bangsa. Kita menyamakan diri kita dengan bangsa dan
negara, tempat kita dilahirkan. Dalam arti ini, kita juga melekatkan diri
kita pada tata politik, tempat kita dilahirkan. saat negara dan bangsa
kita dihina, maka kita pun, sebagai pribadi, juga ikut merasa terhina.
Banyak orang juga melekatkan diri pada aliran pemikiran tertentu.
Mereka menyamakan diri mereka dengan aliran berpikir tertentu,
misalnya aliran progresif, nasionalis, dan sebagainya. saat aliran
itu dikritik, maka mereka merasa, bahwa pribadi mereka pun dikritik.
Kelekatan pada aliran pemikiran ini juga menciptakan konfl ik antar
manusia.
Di era sekarang ini, banyak orang menyamakan diri mereka dengan
pekerjaan mereka. Mereka biasanya yaitu para profesional yang telah
mendapat pendidikan di satu bidang tertentu, dan kemudian bekerja di
bidang itu. Mereka begitu melekat pada profesi mereka. saat mereka
mengalami masalah dengan pekerjaan mereka, stress dan depresi berat
pun seringkali datang melanda.
Ada begitu banyak label identitas yang kita lekatkan pada diri kita.
saat salah satu label itu bermasalah, kita menderita. saat salah satu
label itu dihina, kita pun merasa terhina. Konfl ik antar manusia banyak
terjadi, sebab orang menyamakan dirinya begitu saja pada label
identitasnya. Dengan kata lain, orang melekat pada label identitasnya.
Hakekat Identitas
Namun, apakah label identitas itu sungguh nyata? Ataukah,
ia hanya label sementara yang ditempelkan kepada kita sejak kita
kecil, tanpa kita punya pilihan untuk mengubahnya? Saya melihat
dua karakter dasar dari label identitas, yakni kesementaraan dan
kerapuhan. Orang yang melekatkan dirinya pada identitasnya artinya
ia melekatkan dirinya pada sesuatu yang sementara dan rapuh.
Identitas itu sementara, sebab ia akan berubah. Konsep-konsep
identitas, seperti ras, suku, agama, profesi dan aliran pemikiran, yaitu
ciptaan dari pikiran manusia. Orang bisa menjadi bagian dari suatu ras,
suku atau agama, namun ia juga bisa melepaskan diri dari semua label
ini , jika ia mau. Bahkan, sebab luasnya pergaulan seseorang, ia
bisa begitu saja mengubah seluruh identitasnya.
Identitas juga rapuh. Ia begitu mudah berubah. Ia amat sementara.
Berbagai hal bisa mendorong orang mengubah identitasnya, atau
bahkan melepasnya sama sekali.
Kemelakatan pada identitas membuat orang jadi gampang merasa
terhina. Mereka gampang terprovokasi. Mereka juga gampang dipecah
belah, sehingga saling berkonfl ik satu sama lain. Identitas juga
menciptakan perbedaan-perbedaan palsu antar manusia.
Perbedaan ini begitu mudah dijadikan sebagai alasan untuk
diskriminasi, konfl ik maupun kejahatan-kejahatan lainnya. Perbedaan
ini menciptakan penderitaan batin, misalnya dalam bentuk kesepian.
Padahal, sejatinya, identitas itu ilusi, sebab ia amat sementara dan
begitu rapuh. Dunia akan jauh lebih baik, jika orang tidak melekatkan
diri pada label-label identitas yang diciptakan warga .
Beberapa ahli berpendapat, bahwa akar dari konfl ik bukanlah
perbedaan identitas, namun kesalahan di dalam memahami perbedaan
identitas. Namun, saya berpendapat, bahwa kesalahpahaman ini tidak
perlu terjadi, jika orang sudah sejak awal tidak melekatkan dirinya
pada label identitas tertentu. Sejauh manusia masih melihat dirinya
di dalam kotak-kotak label identitas, selama itu pula bayang-bayang
konfl ik akan terus menghantui.
Melampaui Identitas
Jika identitas yaitu sementara dan rapuh, maka sebaiknya, kita
tidak menyamakan diri kita dengan identitas kita. Kita tidak boleh
melekat padanya. Kita boleh memakai nya, guna membantu orang
lain. Namun, kita tidak pernah boleh terjebak di dalamnya.
Banyak orang takut untuk melepas identitasnya. Mereka berpegang
begitu erat padanya, misalnya pada tradisinya, pada agamanya dan
pada aliran pemikirannya. Mereka mengira, jika identitas dilepas,
maka mereka akan mengalami kehampaan hidup. Inilah salah satu
cara berpikir yang salah yang tersebar di warga kita.
Padahal, jika kita tidak melekat pada identitas kita, kita lalu
menjadi manusia merdeka. Kita tidak gampang diprovokasi. Kita pun
tidak punya alasan untuk merasa terhina, saat orang lain menghina
salah satu label identitas kita. Kita tidak mudah terdorong untuk
berkonfl ik dengan orang lain, sebab alasan yang tidak masuk akal,
misalnya penghinaan pada salah satu label identitas kita.
saat sadar, bahwa identitas kita yaitu ilusi, kita pun otomatis
menjaga jarak darinya. Pada titik ini, kita tidak lagi stress atau depresi,
jika pekerjaan kita gagal, atau saat agama, ras, suku, negara dan
profesi kita dihina orang lain. Kita akan lebih tenang menyingkapi
segala tantangan yang ada. Segala tantangan hidup pun lalu bisa
dilampaui dengan ketenangan batin.
Mau sampai kapan kita jadi manusia sensitif, yang begitu cepat
marah, saat salah satu label identitas ilusif kita dihina orang lain?
Mau sampai kapan kita stress, depresi dan menderita, saat salah
satu label identitas kita mengalami kegagalan, misalnya gagal dalam
pekerjaan dan gagal dalam ujian? Mau sampai kapan kita diombang
ambingkan oleh kesementaraan dan kerapuhan label identitas kita?
Mau sampai kapan…?
Tidak Tahu
Sokrates dikenal sebagai bapak dari fi lsafat barat. Ia hidup sekitar 470 tahun sebelum Masehi. Ia memiliki cara berfi lsafat yang unik. Ia
tidak berfi lsafat di kelas atau ruang-ruang tertutup lainnya, melainkan
di pasar di kota Athena.
Ia berjalan berkeliling di pasar. Ia pun berteriak kepada banyak
orang, ”Kamu harus mengenal dirimu sendiri! Kamu sungguh harus
mengenal dirimu sendiri!” saat ada orang bertanya kepadanya, ”Hai
Sokrates, apakah kamu mengenal dirimu sendiri?” Sokrates hanya
menjawab, ”Saya tidak tahu, namun saya tahu, bahwa saya tidak tahu!”
Bodhidharma dikenal sebagai orang yang membawa Zen Buddhisme
dari India ke Cina. Di India sendiri, Buddhisme sudah berkembang dari
sekitar tahun 680 sebelum Masehi. Di Cina, Buddhisme sudah ada
mulai dari sekitar tahun 200 setelah Masehi. Kehadiran Bodhidharma
mengundang takut sekaligus kagum dari para biksu Buddhis yang
sudah ada Cina pada masa itu.
Suatu hari, Bodhidharma diundang oleh penguasa setempat untuk
makan bersama. Sang penguasa bertanya, ”Saya sudah membangun
banyak biara Buddhis. Apa yang akan saya dapatkan?” Bodhidharma
menjawab, ”Tidak ada.” Sang penguasa pun marah mendengar jawaban
itu. Ia berkata, ”Kurang ajar! Siapa kamu?” Jawab Bodhidharma, ”Saya
tidak tahu.”
Tidak Tahu
Apa yang sama dari jawaban Sokrates dan Bodhidharma? Keduanya
sama-sama mengatakan, bahwa mereka tidak tahu. Apa maksud dari
jawaban ini? Apakah ini sungguh ketidaktahuan, ataukah ada maksud
lain yang ingin mereka sampaikan?
Kita hidup di era, dimana semua orang merasa tahu. Ilmu
pengetahuan dan fi lsafat merasa bisa menjelaskan tentang hakekat dari
kenyataan dan kehidupan. Berbagai agama merasa bisa menjelaskan
tentang hakekat Tuhan dan apa yang terjadi setelah mati. Namun,
sesungguhnya, apakah mereka sungguh tahu, atau hanya mengira-
ngira saja?
Ilmu pengetahuan, fi lsafat dan agama mengandalkan satu
hal, yakni bahasa. Mereka menjelaskan segala hal dengan bahasa.
Pengetahuan dan pikiran mereka dirumuskan dan disebarkan dengan
memakai bahasa sebagai alat utamanya. Namun, mampukah
bahasa menggambarkan kerumitan dari segala kenyataan yang ada?
Mampukah bahasa menggambarkan pikiran manusia?
Coba kita lakukan sedikit eksperimen. Bisakah anda melukiskan
dengan jelas tindakan membuka kepalan tangan? Sulit bukan? Jika
untuk kegiatan sesederhana ini, bahasa sudah mengalami kesulitan,
bagaimana mungkin bahasa mampu menggambarkan segala kenyataan
yang ada? Bagaimana mungkin, bahasa mampu menggambarkan secara
tepat isi dari pikiran manusia?
Dengan demikian, bisa dikatakan, setiap teori ilmu pengetahuan
dan fi lsafat selalu bersifat terbatas. Keduanya tak mampu menjelaskan
secara utuh apa yang ingin mereka jelaskan. Agama-agama juga
tidak mampu menggambarkan secara utuh apa yang ingin mereka
gambarkan. Semua penjelasan selalu bersifat terbatas, dan, pada
akhirnya, salah.
Kita semua harus jujur, bahwa kita tidak tahu. Sama seperti
Sokrates dan Bodhidharma, kita harus belajar untuk sadar, bahwa
kita tidak tahu. Pengetahuan yang tertinggi, dalam arti ini, yaitu
ketidaktahuan. Jika sama-sama tidak tahu, kenapa kita bertengkar
satu sama lain, dan merasa lebih benar dari orang lain? Arogansi?
Kebodohan?
Ketidaktahuan yaitu kondisi asali manusia. Artinya, manusia
sejatinya yaitu mahluk yang tidak tahu. saat lahir ke dunia, ia tidak
tahu. Maka, ia lalu mencoba untuk melakukan segalanya. Kita sering
lihat, bagaimana anak kecil dengan ringannya mengambil kotoran di
tanah, dan kemudian menjilatnya bukan?
Pikiran-Tidak-Tahu
saat kita hidup dengan pikiran-tidak-tahu semacam ini, kita
akan menjadi terbuka pada segala kenyataan yang ada. Kita akan juga
terbuka pada segala kemungkinan yang ada. Kita tidak terjebak pada
kepastian-kepastian palsu. Kita juga tidak terjebak pada segala bentuk
ilusi yang diajarkan oleh tradisi yang ada sebelum kita.
saat kita hidup dengan pikiran-tidak-tahu, kita akan menghadapi
setiap keadaan apa adanya. Kita tidak dibebani dengan masa lalu yang
kerap kali memberi pengetahuan palsu. Kita juga tidak dibebani
oleh harapan akan masa depan yang kerap kali hanya berupa impian
semu belaka. Setiap detik yaitu suatu keadaan baru dalam hidup kita.
Bagaimana supaya kita bisa mewujudkan pikiran-tidak-tahu
semacam ini dalam hidup kita? Hanya ada satu cara yang mungkin,
yakni berhenti berpikir. saat orang berpikir, ia mulai membuat
pembedaan. Ia membuat kategori antara aku dan kamu, kami dan
mereka. Dari pikiran, lahirlah pembedaan, dan dari pembedaan lahirlah
segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan.
Perhatikan corak warga modern sekarang. Orang hidup
dalam kotaknya masing-masing. Mereka merasa dirinya berbeda
dengan komunitas mereka. Mereka hidup dalam kesendirian, kesepian,
keterasingan dan akhirnya penderitaan.
Hasilnya yaitu individualisme dan egoisme ekstrem. Orang hanya
hidup untuk dirinya sendiri. Mereka hanya sibuk untuk memenuhi
kepentingan dan kenikmatan mereka. Solidaritas dan komunitas hanya
menjadi slogan papan iklan yang hampir tak memiliki makna.
Ini semua yaitu hasil dari pikiran yang memisahkan manusia
yang satu dengan manusia yang lain, dan memisahkan manusia dari
alam sekitarnya. saat pikiran yang memisahkan ini hilang, maka
perbedaan akan hilang. Jarak akan hilang. Kita pun akan merasa satu
tidak hanya dengan orang lain, namun juga dengan seluruh alam.
Kita tidak akan menyakiti orang lain, jika kita sadar, bahwa mereka
dan kita yaitu satu dan sama. Perasaan kesatuan ini yaitu inti utama
dari cinta. Dalam arti ini, cinta bukanlah emosi atau tindakan belaka,
melainkan inti dari diri seseorang. saat orang sudah menjadi cinta itu
sendiri, semua tindakannya akan mencerminkan cinta secara otomatis.
Bagaimana mungkin kita hidup, jika tidak berpikir? Pikiran yaitu
alat. Ia harus diatur dan ditata oleh manusia, dan bukan sebaliknya.
Pikiran yang sebaiknya dipakai yaitu pikiran ala Sokrates dan
Bodhidharma, yakni pikiran-tidak-tahu.
Pikiran-tidak-tahu memecahkan masalah dengan berpijak pada
masalah itu sendiri, bukan dengan ketakutan ataupun harapan palsu.
Pikiran-tidak-tahu bergerak dari saat ke saat, dan tidak dibebani
dengan pengetahuan palsu yang berasal dari masa lampau. Ia bersifat
spontan dan alamiah. Ia melampaui bahasa dan rumusan.
Namun, pikiran-tidak-tahu tidak boleh menjadi ajaran mutlak
yang baru. Ketidaktahuan bukanlah suatu keadaan mutlak, melainkan
cair. Ia tidak boleh jatuh hanya pada pengetahuan intelektual belaka,
melainkan harus menjadi cara hidup yang menetap menjadi kebiasaan.
Yuk, mari belajar untuk menjadi tidak tahu!
Lupa
Ada satu band yang cukup menarik dari Indonesia. Nama bandnya yaitu Kuburan. Mereka punya satu lagu yang cukup terkenal
di Indonesia. Judulnya ”Lupa”.
Syairnya menarik perhatian saya. Begini bunyinya: ”lupa..lupa..
lupa… lupa lagi syairnya. Ingat… ingat.. ingat cuma kuncinya.”
Bagaimana mungkin seorang musisi menyanyi lagu ciptaannya sendiri,
namun lupa syairnya? Mungkin, ini mirip seperti keadaan kita sekarang
ini. Kita manusia, namun lupa, apa artinya menjadi manusia.
Kita bekerja. Kita belajar. Kita bercinta. Kita berkeluarga. Namun,
semuanya itu terjadi secara begitu saja, seringkali tanpa kesadaran,
sebab kita hanya mengikuti apa yang diinginkan oleh warga
dan keluarga kita. Kita lebih mirip robot, dan kehilangan kesadaran
kita sebagai manusia.
Kelupaan Kita
Martin Heidegger, fi lsuf Jerman di awal abad 20, menyebut
keadaan ini sebagai ”kelupaan akan ada” (Seinsvergessenheit). Orang
sibuk mencari dan melakukan apa yang tidak penting, dan pada waktu
yang sama, mereka lupa akan inti yang terpenting dari segala sesuatu.
Di dalam tradisi Buddhisme, ini juga disebut sebagai keadaan ”tidak
melihat” (avidya). Orang hidup dengan segala kesibukannya, namun
tidak melihat apa yang sungguh penting, dan juga melupakan inti dari
segala sesuatu.
Di dalam tradisi fi lsafat Yunani Kuno, Plato juga melihat keadaan
yang sama. saat manusia lahir, ia melupakan segala pengetahuan
yang ia punya, lalu harus mulai belajar segalanya dari awal lagi.
Pendidikan, bagi Plato, yaitu proses mengingat kembali (anamnesis)
apa yang sudah diketahui sebelumnya, namun terlupakan. Sumber
dari pengetahuan itu yaitu Dunia Ide, tempat model dan eseni dari
segala sesuatu berada.
Saya juga melihat gejala yang sama. Jade Small menyebut kelupaan
sebagai ciri utama dari manusia modern. Ia terjadi di semua tindakan
manusia, baik secara pribadi, kolektif, kultural dan politis. MoĴ o
berikut ini mungkin bisa memberi penjelasan: aku lupa, maka aku
ada (oblivisco ergo sum).
Kelupaan Multidimensional
Small juga menjelaskan, bahwa kelupaan ini terjadi di dua tingkat.
Yang pertama yaitu , kita lupa akan tempat kita dalam hubungan
dengan alam di dunia ini. Kita lebih nyaman hidup dalam kurungan
beton dan semen, daripada berhubungan langsung dengan hewan dan
tumbuhan yang justru menjadi sumber kehidupan kita. sebab merasa
terasing dari alam, kita pun mulai melihat alam sebagai obyek untuk
kepentingan kita semata, dan akhirnya justru menghancurkannya
dengan kerakusan dan kebodohan kita.
saat alam hancur, anak cucu kita di masa depan juga akan hidup
dengan alam yang sudah rusak, akibat perbuatan kita. Artinya, kita
juga melupakan tanggung jawab kita pada masa depan, yakni pada
kehidupan anak cucu kita. Dengan hidup dalam keadaan lupa semacam
ini, kita lupa akan keterhubungan diri kita dengan segala yang ada,
dan akhirnya menderita di dalam kesepian hati.
Kita pun menolak untuk menyadari kelupaan kita. Sebaliknya, kita
justru terjebak dalam hidup yang hanya berfokus pada kenikmatan
sesaat semata. Kita sibuk menimbun barang, guna menutupi kekosongan
hati kita, akibat kesepian dan keterputusan hubungan dengan alam.
Hidup kita pun hanya berfokus pada pencarian uang semata, guna
memenuhi keinginan kita akan kenikmatan sesaat semata.
Yang pertama dan terutama yaitu , kita lupa akan tempat kita
di alam ini. Kita tidak lagi mengerti, bagaimana hidup sejalan dan
seimbang dengan alam. Kita justru melihat alam sebagai benda
semata yang bisa dipakai , lalu dibuang, setelah habis terpakai.
Kita lupa, bagaimana cara melihat dan memahami tanda-tanda alam,
dan kehilangan hubungan dekat dengan tumbuhan dan hewan yang
menjadi sumber bagi kehidupan kita.
Kita juga menyepelekan ajaran nenek moyang kita. Kita lupa
akan kebijaksanaan para leluhur kita. Mereka memang tidak punya
teknologi tinggi. Namun, selama ribuan tahun, mereka hidup dalam
hubungan yang dekat dan seimbang dengan alam. Dan itu, menurut
saya, jauh lebih berharga, daripada teknologi tinggi, seperti yang kita
punya sekarang ini.
Di sisi lain, kita juga lupa akan tujuan hidup kita yang sejati. Kita
hidup dalam suasana banjir informasi yang mengaburkan kejernihan
pikiran kita. Kita sibuk mencari uang dan nama baik, sehingga lupa,
mengapa dua hal itu penting bagi kita. Kita bahkan lupa dengan jati
diri sejati kita, dan hidup justru hanya untuk mengikuti apa kata orang.
Dengan kelupaan ini, kita pun lalu hidup dalam penderitaan batin.
Uang boleh banyak. Orang juga bisa memiliki nama besar. Namun,
banyak diantara mereka justru amat menderita secara batiniah.
Mereka hidup dalam penjajahan warga . Mereka juga
diperbudak oleh ambisi mereka sendiri. Mereka lupa, bahwa manusia
itu sejatinya bebas. Keterjajahan oleh aturan-aturan warga dan
oleh ambisi pribadilah yang membuat manusia menderita, dan akhirnya
bertindak jahat pada orang lain.
Kita juga melupakan pelajaran dari sejarah kita sendiri. Kita
mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Konfl ik dan perang
berulang dengan pola yang sama. Hanya pelakunya yang berbeda.
Dan yang terlebih menyedihkan, kita lupa, bagaimana caranya
untuk hidup sederhana dan bermakna. Kita mempersulit segala
sesuatu dengan ambisi pribadi kita. Kita menimbun harta untuk
mencari kebahagiaan, walaupun tetap kecewa di akhir perjalanan.
Hidup sederhana berarti menyingkirkan segala hal yang tidak sungguh
diperlukan, dan mencoba untuk fokus pada apa yang sungguh penting
di dalam hidup ini.
Banyak orang lupa, sebab mereka tidak tahu. Akar dari lupa yaitu
ketidaktahuan. Ini dengan mudah dilampaui, jika kita mau sedikit
melihat dengan jeli segala hal yang ada di dalam hidup ini. Melihat
sebenarnya tindakan yang amat sederhana dan membahagiakan.
Namun, banyak orang lupa dengan hal ini, sebab matanya tertutup
oleh ambisi pribadi dan ketakutan yang dibuatnya sendiri.
Mau sampai kapan?
Menuju Saat ini
Eckhart Tolle menulis buku berjudul Jeĵ t, die Kraft der Gegenwart pada 2010 lalu. Tolle mengajak kita untuk kembali ke ”saat ini”, yakni
sepenuhnya berada pada momen, dimana kita ada sekarang. Di dalam
”saat ini”, kita akan menemukan kebahagiaan, kebenaran, cinta,
kedamaian, Tuhan, kebebasan. Di ”saat ini”, kita akan menemukan
semua tujuan hidup kita. saat orang meninggalkan ”saat ini”, maka
ia masuk kembali ke dalam lingkaran penderitaan, kecemasan dan
ketakutan dalam hidupnya.
Jika kita berpikir secara jernih, kita akan sadar, bahwa yang ada
hanyalah saat ini. Tidak ada masa lalu dan tidak ada masa depan.
Masa lalu hanya merupakan kenangan. Masa depan hanya merupakan
harapan. Keduanya tidak nyata.
Masa lalu memberi identitas pada diri kita. Masa depan
memberi janji tentang hidup yang lebih baik. Namun, jika
dipikirkan secara jernih dan mendalam, keduanya tidak ada. Keduanya
yaitu ilusi.
Banyak orang mengira, bahwa waktu yaitu uang. Mereka juga
mengira, bahwa waktu yaitu hal yang amat berharga. Namun,
sejatinya, waktu yaitu ilusi. Ia tidak memiliki nilai pada dirinya
sendiri.
Ya ng justru amat berharga, menurut Tolle, adaah ”saat ini”.
”Saat ini” yaitu suatu keadaan yang lepas dari waktu. saat kita
memikirkan waktu, berarti juga memikirkan masa lalu dan masa
depan, kita akan kehilangan ”saat ini”. Kita akan kehilangan sesuatu
yang amat berharga.
Banyak orang juga mengira, bahwa sukses itu ada di masa depan.
Jika kita belajar dan bekerja keras saat ini, maka kita akan sukses di
masa depan. Kita akan bahagia di masa depan. Ini yaitu pikiran yang
salah. Ini hanya menciptakan kecemasan dan penderitaan hidup.
Sukses hidup yang sejati yaitu dengan menyadari ”saat ini”.
Kebahagiaan hidup yang tak akan goyah yaitu dengan menyadari
”saat ini”. Orang yang kehilangan ”saat ini” akan kembali masuk ke
dalam kecemasan dan penderitaan hidup. Padahal, yang ada sejatinya
hanyalah ”saat ini”. Yang lain hanya ilusi.
Orang yang pikirannya dilempar antara masa lalu dan masa depan
tidak akan pernah menemukan kebahagiaan yang sejati. Sayangnya,
banyak orang hidup dengan pola semacam ini. Hampir setiap detik,
pikiran mereka dibuat cemas oleh apa yang telah terjadi. Mereka juga
terus memutar otak untuk merencanakan masa depan.
Mereka hidup dalam tegangan. Stress dan depresi pun akhirnya
menimpa mereka. Namun, saat mereka melepaskan keterikatan pada
masa lalu dan masa depan, mereka lalu bisa kembali ke ”saat ini”. Lalu,
mereka akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang sejati.
Dengan hati yang damai dan bahagia, mereka bisa memberi cinta
dan perhatian kepada orang lain melalui tindakannya.
Berada ”disini” juga amatlah penting. saat kita berada di satu
tempat, kita harus berusaha untuk berada di tempat itu sepenuhnya.
Namun, seringkali, sebab berbagai alasan, kita tidak suka pada tempat
kita berada. Ada tiga pilihan: pindah tempat, ubah situasi yang ada
semampunya, atau tinggalkan tempat itu. Mudah bukan?
Berada ”disini” berarti juga berada di ”saat ini”. Ini membutuhkan
pene rimaan atas apa yang ada sekarang ini. Apakah menerima berari
pasrah dan menyerah pada keadaan? Apakah berarti kita menjadi
pengecut?
saat kita menerima keadaan sepenuhnya, segala pikiran cemas
dan takut lenyap. Kita lalu bisa tenang dan damai mengalami apa
yang terjadi. Pada titik ini,