Tampilkan postingan dengan label tentang manusia 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tentang manusia 2. Tampilkan semua postingan

tentang manusia 2



 babat untuk membangun perumahan mewah. Gunung 

diratakan untuk memperoleh emas. Manusia juga lalu melihat dirinya 

sebagai sesuatu yang terpisah sekaligus lebih tinggi dari alam dan 

semua mahluk hidup lainnya. Ia merasa punya hak untuk menguasai 

dan menghancurkan semuanya, guna memenuhi keinginan dan 

kerakusannya.

saat  alam rusak, maka seluruh kehidupan terancam. Hewan 

punah. Hutan dan berbagai sistem ekologi alamiah lainnya juga hancur, 

akibat ulah manusia. Di dalam keadaan semacam ini, manusia justru 

semakin dalam terjebak dalam rasa takut, kesepian dan penderitaan.

Mencari Ke Dalam

Jadi, akar dari segala kejahatan yaitu  dua delusi mendasar. Yang 

pertama yaitu  delusi, bahwa orang bisa mencapai kebahagiaan dengan 

mencari serta mengumpulkan hal-hal dari luar dirinya, seperti nama 

baik, kehormatan, uang, harta dan sebagainya. Yang kedua yaitu  

delusi, bahwa manusia yaitu  mahluk individual yang terpisah dengan 

manusia-manusia lainnya, dan juga terpisah dari alam. Dua delusi ini 

menciptakan penderitaan batin yang amat dalam bagi manusia, baik 

dalam lingkup hidup pribadinya, maupun dalam hubungan-hubungan 

sosialnya.

Jalan keluar dari dua delusi ini sebenarnya sederhana, yakni 

kita harus mulai melihat ke dalam diri kita sendiri, dan mencoba 

menemukan kepenuhan hidup disana. Kita harus berhenti mencoba 

mengisi kekosongan batin kita dengan hal-hal eksternal, seperti uang, 

nama besar, barang-barang dan lainnya. saat  kita menengok ke 

dalam, kita akan menyadari, siapa diri kita sebenarnya. Di dalam 

proses menyadari diri kita yang sejati, kita pun lalu akan sampai pada 

kesadaran, bahwa segala hal di alam semesta ini yaitu  kesatuan dari 

jaringan yang tak terpisahkan.

Kita dan orang lain yaitu  satu. Kita dan alam yaitu  satu. 

Penderitaan mereka yaitu  penderitaan kita sendiri. Kebahagiaan 

mereka yaitu  kebaha giaan kita sendiri.

Pemahaman ini tidak boleh hanya menjadi pemahaman intelektual 

semata. Ia harus sungguh menjadi bagian dari kesadaran kita sehari-

hari. saat  kita bertindak dari kesadaran mendasar, bahwa apa yang 

kita cari sudah selalu tertanam di dalam diri kita sendiri, dan bahwa 

segala hal di dunia ini yaitu  satu kesatuan dan saling terhubung 

satu sama lain, maka segala yang kita alami dan lakukan akan selalu 

bisa membantu diri kita sendiri dan orang lain. Di dalam kesenangan, 

tindakan kita akan membantu diri kita, orang lain, semua mahluk 

hidup dan alam sebagai keseluruhan. Bahkan di dalam penderitaan 

dan kesedihan berat, tindakan kita juga bisa membantu mereka semua.

Tidak ada perbedaan antara kita dan mahluk hidup lainnya. 

Tidak ada perbedaan antara kita dan alam. Semua perbedaan yang 

tampak hanya muncul dari panca indera dan pikiran kita yang rapuh. 

Perbedaan ini  lahir dari delusi, yakni dari kesalahan berpikir yang 

mendasar tentang kehidupan.

Delusi hanya menciptakan penderitaan di dalam hati kita. saat  

hati kita menderita, kita pun lalu dengan mudah menyakiti orang lain. 

Kita juga dengan mudah menghancurkan kehidupan lain dan alam ini, 

demi memuaskan delusi kita. Delusi inilah akar dari segala kejahatan. 

Mau sampai kapan kita hidup seperti ini?

46 —  

Moralitas Itu Berbahaya

Ada satu pola menarik di dalam sejarah. Para pelaku kejahatan terbesar justru yaitu  orang-orang yang hidup dalam bayang-

bayang moralitas. Para penguasa Persia di masa lalu merasa bermoral 

tinggi, dan melakukan penaklukan ke berbagai penjuru Timur Tengah. 

Para penguasa Mesir di masa lalu merasa bermoral tinggi, dan 

memperbudak penduduknya sendiri untuk membangun Piramid.

Orang-orang Yahudi mengaku bangsa bermoral dan bertuhan. 

Namun, mereka yang menyalibkan Yesus, tanpa alasan yang bisa 

dipertanggungjawabkan. Kekaisaran OĴ oman Turki mengaku bermoral 

dan bertuhan. Namun, mereka melakukan penaklukan berdarah ke 

berbagai penjuru negara Timur Tengah.

Eropa mengaku sebagai benua yang beradab dan bertuhan. 

Namun, mereka memperbudak dan menjajah begitu banyak bangsa 

selama kurang lebih 500 tahun. Hitler hidup dalam panduan moral 

yang tinggi. Ia menjadi otak sekaligus pelaksana pembantaian orang-

orang Yahudi di masa perang dunia kedua.

Amerika Serikat mengaku bangsa yang bermoral dan bertuhan. 

Namun, mereka menjadi otak dari begitu banyak pembantaian massal 

di berbagai pen juru dunia di abad 20. Kini, para teroris dengan 

pandangan Islam ekstrimisnya menjadi pelaku kekerasan di berbagai 

penjuru dunia. Mereka juga mengaku bermoral dan bertuhan. 

Mengapa ini terjadi? Mengapa orang-orang yang mengaku 

bermoral, bertuhan dan beragama justru menjadi pelaku kejahatan-

kejahatan terbesar di dalam sejarah? Saya berpendapat, bahwa sumber 

dari segala kejahatan ini justru lahir dari moralitas itu sendiri. Moralitas 

bukanlah solusi atas kejahatan, melainkan justru akar dari kejahatan 

itu sendiri.


Moralitas

Moralitas yaitu  pertimbangan baik dan buruk. Apakah suatu 

tindakan baik? Apakah suatu tindakan buruk? Keputusan apa yang 

baik untuk saya ambil? Inilah kiranya pertanyaan-pertanyaan terkait 

dengan moralitas.

Kita juga seringkali memakai  pertimbangan moral dalam 

membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup. Apakah 

pernikahan baik untuk saya? Pekerjaan mana yang baik untuk saya? 

Jahatkah saya, jika saya mengambil keputusan ini?

Satu hal yang pasti yaitu , bahwa moralitas yaitu  pertimbangan 

pikiran. Ia terjadi di dalam pikiran manusia. Ia tidak ada secara nyata 

dan empiris di dalam kenyataan sehari-hari. Moralitas bukanlah 

kenyataan alamiah.

Apa itu kenyataan alamiah? Sesungguhnya, kenyataan alamiah 

tidak memiliki konsep atau kata untuk menjelaskannya. Ia yaitu  

”sesuatu”. Para fi lsuf Eropa menyebutnya sebagai ”Ada” (Being, Sein, to 

on). Para mistikus India menyebutnya sebagai ”Diri” (the Self). Namun, 

sejatinya, ia tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Moralitas itu Berbahaya

Lalu, mengapa moralitas itu berbahaya? Moralitas, seperti saya 

jelaskan sebelumnya, selalu terkait dengan baik dan buruk. Jika 

sebuah pertimbangan dianggap buruk secara moral, maka orang akan 

menjauhinya. Jika sebuah pertimbangan dianggap baik secara moral, 

maka orang akan mengikutinya.

Namun, hidup tidak sesederhana itu. Apa yang buruk biasanya 

memikat. Apa yang baik biasanya membosankan. Inilah yang sekarang 

ini banyak terjadi.

saat  orang melakukan yang buruk, maka ia akan memperoleh 

kenik matan sementara. Namun, semua itu akan berakhir pada 

penyesalan dan penderitaan. Orang akan merasa bersalah, sebab  ia 

telah bertindak jahat. Tindakan ini  telah menyakiti dirinya dan 

orang lain.

Orang yang suka berbohong memang kelihatan berhasil pada 

awalnya. Namun, semakin lama, jika ia terus berbohong, ia akan 

tenggelam di dalam kebohongannya. Ia tidak bisa lagi membedakan 

kenyataan dan kebohongan yang ia bangun sendiri. Ia pun hidup 

dalam penderitaan.

Sebaliknya, saat  orang bertindak baik, maka ia akan berusaha 

untuk mempertahankan tindakannya ini . Ia lalu melekat dan 

terikat dengan tindakan ini . Ia tergantung secara emosional 

dengan tindakan itu. Dalam perjalanan waktu, tindakan baik itu 

menghasilkan banyak tegangan batin di dalam dirinya.

Tegangan batin, pada akhirnya, akan menghancurkan tindakan 

baik ini . Yang muncul kemudian yaitu  perasaan bersalah, sebab  

orang tak lagi mampu mempertahankan tindakan baik itu. Orang 

merasa munafi k atau justru menjadi orang yang munafi k. Ia justru 

malah menjadi kejam pada sesamanya dan dirinya sendiri. Tak heran, 

banyak pelaku kejahatan kejam di dalam sejarah justru yaitu  orang 

yang memiliki prinsip moral tinggi, atau bahkan amat religius.

Orang yang memegang erat prinsip jujur akan mengalami 

ketenangan batin pada awalnya. Namun, ia hanyalah manusia. Ia 

tidak bisa jujur setiap saat dan setiap waktu. Ada waktunya, ia perlu 

berbohong, seringkali dengan alasan-alasan yang masuk akal. Orang 

yang memegang erat prinsip jujur juga pada akhirnya akan berbohong 

juga. Ini akan melahirkan perasaan bersalah dan penderitaan yang amat 

dalam pada orang ini .

Jadi, tindakan buruk menghasilkan tegangan dan penderitaan. 

Tindakan baik juga menghasilkan ketegangan dan penderitaan. 

Keduanya melahirkan tegangan dan ketakutan di dalam batin. Dari 

tegangan, penderitaan dan ketakutan batin ini , orang justru malah 

menjadi kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri. Ini seperti 

lingkaran setan yang tak bisa diputuskan.

Moralitas menghasikan semacam keterpecahan kepribadian di 

dalam diri manusia. Ia terbelah antara harapan tentang dirinya sendiri, 

dan keadaan nyata di depan matanya tentang dirinya sendiri. Moralitas 

menghasilkan semacam neurosis di dalam pikiran manusia. Ia memiliki 

fungsi terbalik, yakni justru mendorong orang untuk menjadi tidak 

bermoral.

Moral dan keputusan

Sayangnya, kita seringkali memakai  pertimbangan moral 

di dalam membuat keputusan. Pertimbangan moral, dan tindakan 

yang lahir darinya, selalu melahirkan ketegangan di dalam batin. 

Ketegangan batin berujung pada penderitaan batin. Banyak orang tak 

kuat menanggung tegangan dan penderitaan batin ini . Mereka 

justru menjadi orang yang paling kejam.

Maka, menurut saya, moralitas itu berbahaya. Ia mencoba 

menyelesaikan sebuah masalah dengan menciptakan masalah-masalah 

baru. Banyak negara yang mengaku bermoral justru bertindak kejam 

terhadap warganya dan terhadap negara lain. Ini lahir dari tegangan 

dan penderitaan yang sudah selalu tertanam di dalam moralitas itu 

sendiri.

Indonesia mengaku sebagai negara bermoral dan beragama. 

Semua orang berteriak soal moral dan agama. Namun, korupsi dan 

kebohongan menyelubungi dunia politik kita. Diskriminasi dan 

kebencian mewarnai hidup berwarga  kita. Kita pun gemar 

menghukum mati orang-orang yang kita anggap tak layak hidup. Ini 

contoh yang amat pas untuk menggambarkan bahaya dari moralitas 

yang justru menghasilkan kemunafi kan dan kekejaman.

Panduan Baru: Kejernihan Berpikir

Yang jelas, kita membutuhkan panduan lain dalam hidup kita, 

selain mo ralitas. Kita membutuhkan pijakan lain untuk membuat 

keputusan. Moralitas seolah menjadi jawaban, namun ia seringkali 

justru melahirkan masalah-masalah baru yang lebih besar. Moralitas 

yaitu  sesuatu yang harus dilampaui.

Saya menawarkan panduan lain, yakni kejernihan berpikir. 

Pertanyaan yang harus diajukan bukanlah ”Apakah ini baik atau 

buruk?”, melainkan ”Apakah ini lahir dari kejernihan berpikir, atau 

tidak?” Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan baik dan 

buruk. Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan untuk dan 

rugi.

Pikiran yang jernih bersifat alamiah. Ia muncul dari kesadaran diri 

manusia, dan bukan dari pertimbangan akal budi, baik-buruk atau 

untung-rugi. Pikiran yang jernih melihat situasi nyata. Ia bersikap tepat 

pada setiap keadaan yang terjadi.

Pikiran yang jernih tidak sibuk dengan masa lalu. Pikiran yang 

jernih menolak untuk melompat ke masa depan. Ia berfokus pada 

situasi disini dan saat ini. Ia memecahkan masalah sesuai dengan 

konteksnya masing-masing.

Bagaimana melahirkan kejernihan berpikir? Caranya sederhana: 

stop melakukan analisis dan stop berpikir! Lakukan apa yang mesti 

dilakukan disini dan saat ini. Bertindaklah mengalir secara alamiah 

dari saat ke saat.

Berbohong bukanlah baik atau buruk. Ia amat tergantung pada 

konteks. Berbohong untuk menyelamatkan nyawa orang lain yaitu  

tindakan yang lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh untuk 

mempertahankan diri dan keluarga dari serangan perampok yaitu  

tindakan yang juga lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh dan 

berbohong yaitu  tindakan yang jernih, jika dilakukan secara tepat 

pada keadaan-keadaan tertentu.

Melampaui Moralitas

saat  pertimbangan akal budi masuk, maka kejernihan hilang. 

saat  orang sibuk memikirkan baik dan buruk, maka kejernihan 

hilang. saat  orang sibuk memikirkan untung dan rugi, maka 

kejernihan hilang. Orang yang sibuk memikirkan baik dan buruk akan 

terus mengalami ketegangan di dalam hatinya.

Ia seperti hidup dalam penjara yang dibangun oleh pikirannya 

sendiri. Hal yang sama terjadi dengan orang yang selalu sibuk 

melakukan pertimbangan untuk dan rugi di dalam hidupnya. Hidupnya 

tidak akan pernah lepas dari kecemasan. Dari kecemasan itu, ia bisa 

bertindak kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri.

Moralitas melahirkan ketegangan. Ketegangan mendorong sikap 

agresif. Sikap agresif lahir bisa diarahkan pada orang lain, atau pada 

diri sendiri. Selama orang masih melekat pada moralitas, selamanya ia 

akan terjebak pada lingkaran setan ketegangan dan penderitaan hidup.

Jalan keluar dari masalah ini hanya satu: kejernihan berpikir. Orang 

yang hidup dengan kejernihan pikiran tidak hanya berhasil dalam karir, 

namun  juga menemukan kebahagiaan dan kedamaian sejati di dalam 

batinnya. Ia keluar dari lingkaran setan kehidupan yang dibangun oleh 

moralitas. Jadi, apakah pikiranmu sudah jernih?

Agama dan Kekerasan

Ada pepatah Cina kuno yang mengatakan, ”Alat yang baik di tangan orang jahat akan menjadi alat yang jahat.” Sebaik apapun 

ajaran suatu agama, jika dianut oleh sekumpulan orang yang menderita 

dan tersesat, maka agama itu akan menjadi jahat yang menghasilkan 

penderitaan bagi banyak orang.

Pembunuhan wartawan-wartawan Charlie Ebdo di Paris sungguh 

meng getarkan hati dunia. Lagi-lagi, agama dipakai  untuk 

membenarkan kekerasan. Sungguh menjijikan. Peristiwa ini terangkai 

erat dengan pelbagai peristiwa kekerasan atas nama agama lainnya, 

seperti ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang terus melakukan 

pembunuhan massal di Irak dan mengancam negara-negara di Timur 

Tengah lainnya.

Di Nigeria, kelompok Islam ekstrimis Boko Haram juga melakukan 

pem bunuhan massal. Beberapa waktu lalu, kelompok Islam ekstrimis 

juga melakukan pembunuhan massal terhadap anak-anak di Pakistan. 

Di Israel, agama Yahudi dijadikan dasar sekaligus pembenaran 

untuk melakukan penin dasan nyaris tanpa henti kepada Palestina. 

Di Indonesia, diskriminasi terhadap agama minoritas nyaris menjadi 

makanan sehari-hari.

Tak jauh dari ingatan kita sebagai bangsa Indonesia, Kristianitas 

dipakai  untuk pembenaran bagi proses penjajahan Eropa atas 

seluruh dunia. Jutaan manusia manusia dari berbagai belahan dunia 

mati dalam rentang waktu lebih dari 300 tahun, akibat peristiwa ini. 

Sumber daya alam dikeruk demi kekayaan bangsa-bangsa Eropa. 

Beragam budaya dan cara hidup hancur di dalam proses penjajahan 

yang juga memiliki motif Kristenisasi seluruh dunia itu.

 Di India, sebelum Natal 2014, sekitar 5000 keluarga diminta untuk 

memeluk kembali Hinduisme. Mereka yang tidak mau mengubah 

agama diminta untuk keluar dari India. Sebagai bangsa, India juga 

terus dikepung oleh konfl ik yang terkait dengan agama. Fenomena 

yang sama berulang kembali: agama dipakai  untuk membenarkan 

tindak kekerasan, guna membela kepentingan ekonomi dan politik 

yang tersembunyi.

Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa peristiwa dengan pola semacam 

ini terus berulang? Mengapa agama, yang konon mengajarkan kebaikan 

universal dalam hubungan dengan yang transenden, terus menerus 

dipelintir untuk membenarkan tindakan biadab? Mengapa hubungan 

agama dan kekerasan tidak juga bisa diputus? Mengapa kita nyaris 

tidak belajar apapun dari pelbagai peristiwa biadab ini?

Berpikir Dualistik

Akar dari segala kejahatan dan kekerasan yaitu  pikiran. Semua 

tindakan dimulai dari pikiran. Semua penilaian dan analisis mulai 

dari pikiran. Maka, kita pun harus masuk ke ranah pikiran, guna 

membongkar akar kekerasan.

Pada hemat saya, akar dari segala kejahatan yaitu  pola pikir 

dualistik. Apa itu? Pola pikir dualistik selalu melihat dunia dalam dua 

kutub yang bertentangan, yakni benar-salah, baik-buruk, suci-tidak 

suci, beriman-kafi r, serta dosa-tidak dosa. Dengan pembedaan ini, kita 

lalu terdorong selangkah lebih jauh untuk melihat orang lain sebagai 

musuh (yang berdosa, kafi r, salah, dan buruk) yang harus dihancurkan.

Padahal, jika ditelaah lebih dalam, pola berpikir dualistik pada 

dasarnya yaitu  salah. Tidak ada dualisme. Dualisme hanya ada di 

dalam pikiran. Tidak ada perbedaan. Perbedaan hanya tampilan kulit 

yang menutupi esensi yang sama dari segala hal.

Segala bentuk kekerasan dan kejahatan bisa dilenyapkan, jika kita 

melepaskan pola berpikir dualistik. Kita lalu melihat diri kita sendiri 

satu dan sama dengan segala hal, termasuk dengan alam, hewan dan 

tumbuhan. Kita tidak lagi memiliki dorongan untuk mencap atau 

menyakiti apapun atau siapapun, sebab  kita semua, sejatinya, yaitu  

satu dan sama. Bahkan, pada situasi yang paling ekstrem, kita lebih 

memilih untuk disakiti, daripada menyakiti orang lain.

Dualistik dan Kekerasan

Namun, pola berpikir dualistik tidak otomatis langsung menciptakan 

kekerasan. Setidaknya, saya melihat dua hal yang mendorong pola 

berpikir dualistik menjadi kekerasan. Yang pertama yaitu  kesenjangan 

ekonomi yang besar antara orang kaya dan orang miskin. saat  

sekelompok orang hidup dalam kemiskinan yang besar, sementara 

mereka harus menyaksikan orang-orang kaya bergaya hidup mewah 

setiap harinya, pola berpikir dualistik akan mendorong terciptanya 

tindakan kekerasan.

Yang kedua yaitu  konfl ik masa lalu yang belum mengalami 

rekonsiliasi, dan menjadi dendam. saat  orang hidup dalam dendam, 

segala hal akan tampak jelek di matanya. Ia akan bersikap jahat, sering-

kali tanpa alasan. Maka, segala konfl ik di masa lalu harus menjalani 

proses rekonsiliasi, supaya   ia tidak berubah menjadi trauma kolektif 

dan dendam yang mendorong terciptanya kekerasan.

Sebagai manusia, kita perlu untuk memutus rantai pikiran yang 

memisahkan. Kita perlu melihat dunia apa adanya, tanpa perbedaan. 

Kita perlu sadar, bahwa segalanya yaitu  satu dan sama. Kita juga 

perlu sadar, bahwa kita semua hidup dalam kesatuan jaringan yang 

tak bisa dipisahkan. Pola berpikir dualistik haruslah dilampaui.

Di sisi lain, kita juga harus berusaha membangun warga  

tanpa kesenjangan sosial. Tidak boleh ada kesenjangan antara si kaya 

dan si miskin. Semua harus mendapat hak yang sama sebagai manusia 

yang bermartabat. Semua juga harus diberikan kesempatan untuk 

membangun hidupnya secara bermartabat.

Berbagai konfl ik di masa lalu juga harus diakui dan menjalani 

proses rekonsiliasi. Rekonsiliasi disini terkait dengan usaha  untuk 

memperbaiki hidup korban dari konfl ik di masa lalu. Ia juga terkait 

dengan mencari tahu, apa yang menjadi akar dan pola konfl ik yang 

terjadi di masa lalu itu. Rekonsiliasi akan mengurangi kemungkinan 

terjadinya konfl ik dengan pola yang sama di masa depan.

Agama dan Pengalaman Mistik

Setiap agama berawal dari pengalaman mistik manusia. Pengalam-

an mistik yaitu  pengalaman kesatuan dengan sesuatu yang lebih 

tinggi dari manusia, entah itu alam, roh, Tuhan, Allah dan sebagainya. 

Pengalaman mistik itu lalu dibagikan kepada orang lain, lalu 

berkembang menjadi agama. Agama lalu menjadi bagian dari cara 

hidup warga  tertentu.

Pengalaman mistik yaitu  inti dari semua agama. Agama tanpa 

pengalaman mistik hanya seperti organisasi biasa. Di dalam pengalaman 

mistik, orang melihat dirinya sebagai bagian dari kesatuan dengan 

segalanya. Pengalaman ini lalu coba disampaikan seturut dengan cara-

cara kultural yang ia miliki.

Sejatinya, pengalaman mistik tidak bisa dibagikan. Ia yaitu  

pengalaman kesatuan dengan segala hal, yakni pengalaman non-

dual. saat  dibagikan atau disampaikan kepada orang lain, ia lalu 

berubah menjadi pengalaman dualistik dan pola pikir dualistik. Pola 

pikir dualistik ditambah dengan berbagai masalah sosial lainnya akan 

berujung pada kekerasan. Inilah mengapa agama-agama sekarang 

begitu mudah dipelintir dan bahkan menjadi motif utama terjadinya 

kekerasan.

Dengan pola berpikir dualistik, setiap agama menulis kitab suci 

dan merumuskan teologinya masing-masing. Namun, kitab sucii dan 

teologi justru hanya menciptakan jurang yang lebih dalam, baik di 

antara penganut agama ini , maupun dengan penganut agama 

lainnya. Terciptalah kelompok-kelom pok, seperti kelompok pendosa, 

kelompok suci, kelompok kafi r, kelom pok taat, kelompok progresif, 

kelompok konservatif dan sebagainya. Mereka lalu saling berperang 

satu sama lain. Inilah hasil dari pola berpikir dualistik.

Maka dari itu, agama-agama sekarang ini haruslah melihat 

kitab suci dan teologinya masing-masing tidak sebagai kebenaran 

mutlak. Semuanya lahir dari pola berpikir dualistik yang tidak sesuai 

dengan kenyataan dan kebenaran alamiah semesta. Agama-agama 

harus kembali ke akarnya masing-masing, yakni pengalaman mistik. 

Pengalaman mistik melampaui pola berpikir dualistik, dan masuk ke 

ranah tanpa pembedaan.

Pola berpikir mistik menghasilkan kedamaian hati. Kedamaian hati 

mendorong kedamaian sosial. Para teolog dari berbagai agama berdebat 

dan bertengkar. Namun, para mistikus dari berbagai agama berjumpa 

dalam diam, sebab  mereka tahu, mereka semua satu dan sama. Jadi, 

agama-agama harus melihat tradisi, teologi dan kitab sucinya masing-

masing hanya sebagai alat, dan bukan tujuan pada dirinya sendiri.

saat  agama kembali ke akarnya masing-masing, yakni pengalaman 

mistik kesatuan dengan segalanya, maka dunia akan damai. saat  

agama tidak memutlakan ajaran-ajarannya masing, dan melihat 

segalanya sebagai satu dan sama dalam jaringan yang tak terpisahkan, 

maka akan tercipta kedamaian yang sejati. Agama tanpa kekerasan 

hanya bisa dicapai dengan menyentuh pengalaman mistik kesatuan 

batin manusia dengan semesta. Di ranah itu, kita tidak berjumpa dalam 

perbedaan, melainkan dalam kesatuan.

Artinya, kita berjumpa dalam cinta… cinta yang sejati.

Anatomi Rasa Takut

”Dibalik segala kekerasan dan kejahatan, ada rasa takut bersembunyi…”

Awal Maret 2015, Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, berpidato di depan Konggres Amerika Serikat di Washington. 

Ia berbicara soal bahaya dari negara Iran yang kemungkinan akan 

memiliki senjata nuklir dalam waktu dekat. Netanyahu ingin menebar 

rasa takut di kalangan Konggres Amerika Serikat, supaya   AS turun 

tangan langsung untuk berperang melawan Iran. Ia ingin menyuntikkan 

rasa takut ke dalam politik luar negeri AS.

Sebagai sebuah negara, AS memang didirikan dari rasa takut terha-

dap tirani Kerajaan Inggris. Hampir sepanjang sejarahnya, AS hidup 

sebagai sebuah negara yang dipenuhi kegelisahan dan rasa takut atas 

musuh dari luar. Pada masa perang dunia kedua, Hitler dan Jerman 

menjadi musuh. Pada masa perang dingin dan di awal abad 21, Uni 

Soviet dan kelompok teroris Islam ekstrimis menjadi musuh. sebab  

rasa takut ini, AS sering terlibat di dalam berbagai perang yang sia-sia.

Politik yang didorong oleh rasa takut juga bukan hal baru di 

Indonesia. Sejak awal, Indonesia takut akan kembalinya pasukan kolo-

nial Belanda dan Inggris. Seluruh politik Sukarno juga diarahkan untuk 

menumpas segala bentuk neokolonialisme yang dibawah oleh negara-

negara Barat. Pada masa Orde Baru, politik Indonesia didorong oleh 

rasa takut terhadap komunisme. Jejak-jejaknya masih terasa sampai 

saat ini.

Kita pun seringkali diselimuti rasa takut. Kita takut akan 

ketidakpastian masa depan dan keluarga kita. Apakah kita akan sukses 

di kemudian hari? Apakah kita akan hidup sehat sampai usia tua? 

Pertanyaan-pertanyaan ini menciptakan harapan sekaligus rasa takut 

di dalam hidup kita. 

Di sisi lain, banyak orang juga takut akan masa lalunya. Mereka 

menyesal telah berbuat kesalahan di masa lalu. Di masa kini, mereka 

menanggung akibat dari kesalahan masa lalu mereka. Hari-hari mereka 

dipenuhi dengan campuran antara rasa takut, cemas dan menyesal.

Namun, kita semua tahu, ketakutan terbesar kita yaitu  kematian. 

Kita takut berpisah dengan keluarga dan orang-orang yang kita cintai, 

saat  kita meninggal. Kita juga takut apa yang ada di kehidupan 

berikutnya, setelah kita mati. Kita juga takut, saat  orang yang kita 

cintai meninggalkan kita terlebih dahulu.

Ada masalah besar disini. saat  kita takut, pikiran kita kacau. 

Kita jadi melihat hal-hal yang tak ada. Sebaliknya, kita justru jadi 

tidak menghargai hal-hal baik yang sudah ada. Rasa takut membuat 

kita buta.

Pikiran yang kacau memicu penderitaan di dalam hati kita. 

saat  kita menderita, maka tindakan kita juga kacau. Kita pun bisa 

memicu penderitaan bagi orang lain. Kebutaan akibat rasa takut 

dan penderitaan yang menggerogoti hati kita mendorong kita untuk 

berbuat jahat.

Pertimbangan-pertimbangan kita pun juga kacau, sebab  pikiran 

yang kacau. Keputusan yang kita ambil banyak merugikan diri kita 

sendiri. Orang lain pun juga terkena dampaknya. Orang-orang yang 

hidup dengan kebutaan dan penderitaan akibat rasa takut, namun 

memiliki kekuasaan politik yang besar, seperti George W. Bush dan 

Benyamin Netanyahu, juga akan membawa penderitaan besar bagi 

banyak orang.

Pada tingkat pribadi, rasa takut bisa memberi  penderitaan 

batin yang besar. Banyak orang mengalami depresi, sebab  rasa takut 

yang begitu besar di dalam dirinya. Mereka tidak bisa menemukan 

kebahagiaan dan kedamaian di dalam hidupnya. Pada keadaan yang 

sangat parah, orang memilih untuk bunuh diri, sebab  tak kuat lagi 

menahan rasa takutnya.

Mengapa kita merasa takut? Apa itu ketakutan? Mengapa ia bisa 

menjadi daya dorong yang besar, bahkan bisa mendorong terciptanya 

perang besar antara berbagai negara? Bisakah kita melampaui rasa 

takut yang bercokol di dalam diri kita?

Ketakutan dan Akarnya

Ketakutan yaitu  antisipasi berlebihan terhadap apa yang akan 

terjadi. Fokus dari ketakutan yaitu  masa depan. Ia belum terjadi, 

namun kemungkinan akan terjadi. Kemungkinan ini didasarkan pada 

pengalaman pahit diri sendiri maupun orang lain di masa lalunya.

Sumber dari rasa takut yaitu  pikiran kita. Kita membangun 

bayangan atas apa yang akan terjadi pada diri kita. Bayangan ini  

menghantui kita, dan membuat pikiran kita menjadi kacau. Pikiran 

kacau juga akan menciptakan hidup yang kacau.

Jadi, rasa takut yaitu  bayangan. Ia belum terjadi. Kemungkinan 

juga, ia tidak akan pernah terjadi. Rasa takut tidak ada pada dirinya 

sendiri, melainkan sangat tergantung dari cara berpikir dan keadaan 

pikiran kita.

Darimana bayangan yang menciptakan rasa takut ini muncul? 

Hubungan kita dengan orang lain dan dengan kenyataan itu sendiri 

melahirkan rasa takut dalam diri kita. Kita mendengar cerita dari orang 

lain yang mengalami pengalaman jelek, lalu kita menjadikan cerita jelek 

itu sebagai bagian dari bayangan kita. Rasa takut pun kemudian lahir.

Pengalaman pribadi kita sendiri di masa lalu juga menciptakan rasa 

takut. Kita mengalami pengalaman pahit di masa lalu. Lalu, kita takut, 

andaikan pengalaman itu terulang kembali. Kita pun melakukan segala 

hal untuk mencegahnya. usaha  pencegahan ini seringkali melahirkan 

rasa tegang dan rasa takut di dalam batin kita.

saat  kita mendengar cerita pahit tentang hidup orang lain, kita 

seringkali menerimanya begitu saja sebagai kebenaran. Kita tidak 

memakai  pikiran kritis untuk bertanya, apakah cerita itu benar, 

atau tidak. Jadi, ketakutan juga bisa lahir dari pikiran yang tidak kritis, 

yakni pikiran yang gampang percaya. Orang semacam ini gampang 

sekali menjadi korban adu domba dan provokasi orang lain.

Pikiran yang tidak kritis menciptakan delusi di dalam pikiran kita. 

Delusi, dalam arti ini, berarti kesalahan berpikir tentang kehidupan dan 

kenyataan itu sendiri. Delusi membuat kita memiliki rasa takut yang 

akhirnya membuat kita hidup menderita. Kita tidak bisa menemukan 

kedamaian dan kebahagiaan di dalam hati kita.

Melampaui Rasa Takut

Di dalam tradisi Zen Buddhisme, tugas utama setiap manusia 

yaitu  memahami pikirannya. Memahami pikiran berarti memahami 

jati diri asali setiap orang, sebelum ia masuk ke dalam dunia sosial. 

Memahami pikiran juga berarti menyadari, bahwa pikiran itu tidak 

ada. Memahami jati diri asali manusia berarti juga menyadari, bahwa 

”jati diri” itu tidak ada.

saat  diri dan pikiran disadari sebagai tidak ada, maka orang 

tidak akan pernah merasa takut lagi dalam hidupnya. Semua peristiwa 

yang menimpanya dianggap sebagai peristiwa biasa, yakni bagian kecil 

dari jagad semesta ini. Orang lalu tidak lagi hidup dengan pikirannya, 

melainkan dengan kesadarannya. Ia menjadi pribadi yang peka, peduli 

dan terlibat untuk membantu orang-orang di sekitarnya yang kesulitan.

Eckhart Tolle di dalam bukunya yang berjudul Jeĵ t! Die Kraft der 

Gegenwart juga menegaskan, bahwa masa lalu itu tidak ada. Masa lalu 

itu hanyalah bayangan semata yang tidak punya objek yang konkret. 

Rasa takut akibat dari kesalahan masa lalu juga hanyalah bayangan 

semata yang rapuh dan fana. Yang sesungguhnya ada hanyalah masa 

kini.

Jika masa lalu itu hanya bayangan, bagaimana dengan masa depan? 

Masa depan pun juga merupakan bayangan. Rasa takut akan masa 

depan, menurut Hinnerk Polenski dalam bukunya Hör auf zu denken, 

sein einfach glücklich, yaitu  ilusi atau bayangan yang mengacaukan 

pikiran manusia. Ia tidak ada pada dirinya sendiri, melainkan hanya 

muncul dari pikiran manusia.

Kematian pun juga sejatinya tidak ada. Ia hanya bagian dari 

proses perubahan semesta. Mistikus Islam, Rumi, menegaskan, bahwa 

kematian hanya merupakan tipuan dari mata. Seluruh panca indera kita 

menipu kita dengan memberi  kesan perpisahan yang sesungguhnya 

tak ada.

Jika kematian tak ada, maka kehidupan pun juga tak pernah ada. 

Kita semua hanya numpang lewat minum teh di dunia ini, begitu kata 

kebijaksanaan kuno Jawa. Kita hanya perlu hidup sesederhana dan 

sebaik mungkin, supaya   kita bisa memberi  kebahagiaan pada diri 

kita sendiri, dan pada orang lain. Sisanya hanya sementara dan fana, 

maka kita tidak perlu terlalu serius dan ambisius dalam hidup ini.

Segala hal yaitu  lahir dari pikiran manusia. Rasa takut juga lahir 

dari pikiran kita. Kematian dan kehidupan juga yaitu  konsep hasil 

ciptaan pikiran kita. Namun, pikiran kita bersandar pada panca indera 

kita yang sesungguhnya rapuh. Maka, pikiran kita pun rapuh. Jangan 

percaya dengan pikiran yang muncul di kepalamu, begitu kata Seung 

Sahn, Zen Master dari Korea dalam bukunya The Compass of Zen.

saat  pikiran dilepas, kita akan menemukan kedamaian. saat  

pikiran dilepas, maka kematian, kehidupan, masa lalu, masa depan 

dan segala bentuk ketakutan akan lenyap dalam sekejap mata. Kita 

pun bisa hidup dengan kesadaran penuh yang melahirkan kedamaian 

dan kebahagiaan di dalam hati. Kita pun lalu bisa menolong orang lain 

yang membutuhkan kita.

Hidup ini tidak sulit. Hidup ini juga tidak mudah. Hidup ini hanya 

perlu dijalani apa adanya. Para fi lsuf Stoa mengajarkan kita untuk tidak 

membuat penilaian dalam hidup ini. Kita hanya perlu hidup dari saat 

ke saat.

Hidup dari saat ke saat yaitu  hidup yang sempurna. Rasa takut 

tidak ada. Masa lalu dan masa depan tidak ada. Kehidupan dan 

kematian juga tidak ada. Yang ada hanya satu: kedamaian sejati.

Para politikus kita perlu sampai pada kesadaran ini. Hanya dengan 

cara ini, politik kita di Indonesia bisa berkembang untuk memajukan 

keadilan dan kesejahteraan bersama. Sistem raksasa dengan aturan 

hukum yang banyak akan percuma, jika manusia-manusia pelaksananya 

diselubungi rasa takut dan penderitaan. Itu hanya menciptakan sistem 

politik yang mahal, namun tanpa hasil nyata.

Benyamin Netanyahu juga perlu untuk keluar dari rasa takutnya, 

supaya   ia bisa melihat keadaan dengan lebih jernih, dan membuat 

keputusan dengan lebih bijak. Sudah waktunya pula Indonesia 

melepaskan ketakutannya pada komunisme. Kita harus meninggalkan 

politik rasa takut dengan terlebih dahulu melampaui rasa takut yang 

bercokol di dalam hati kita. Suatu saat, kita akan bisa berkata, ”Masih 

takut? Harigeneee?”

Rasa Takut

Semua orang pasti pernah merasa takut. Saya pernah merasa takut. Anda juga pasti pernah merasa takut. Takut menjadi bagian hidup 

manusia dari seluruh jaman.

Padahal, rasa takut yaitu  benda paling jahat di dunia. Ia membuat 

orang khawatir berlebihan akan hidupnya. Pikirannya kacau. Badannya 

pun juga ikut sakit.

Orang menderita, sebab  diterkam rasa takut. Hidupnya bagai di 

neraka. Orang yang merasa takut juga cenderung jahat pada orang 

lain. Ia gampang marah, dan gampang berbuat kasar.

Pada tingkat yang lebih tinggi, rasa takut juga menciptakan 

perang. Kelompok yang satu khawatir, bahwa kelompok lainnya akan 

menyerang dia. Maka, ia menyerang duluan. Perang pun meletus.

Pada tingkat pribadi, rasa takut menciptakan penyakit jiwa. 

Deretan penyakit jiwa muncul, sebab  orang merasa takut. Rasa takut 

juga mendorong orang berbuat yang aneh-aneh. Pada masalah  yang parah, 

rasa takut mendorong orang untuk melakukan bunuh diri.

Apa it u rasa takut? Mengapa orang merasa takut? Bagaimana cara 

melampaui rasa takut? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting untuk 

hidup setiap orang.

Rasa Takut

Rasa takut yaitu  perasaan tegang di dalam pikiran, sebab  

kemungkinan akan kehilangan sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa harta, 

reputasi atau hidup. Rasa takut biasanya timbul, sebab  perasaan 

terancam. Ada yang mengancam harta kita, reputasi kita atau hidup 

kita, sehingga kita lalu merasa takut.

Akar rasa takut, sejatinya, yaitu  kesalahan berpikir. Kita mengira, 

sesuatu itu abadi. Maka, kita lalu menggantungkan hidup kita pada 

sesuatu itu, entah uang, reputasi atau pekerjaan kita. Kita mengira, 

semua itu yaitu  kebenaran sejati yang akan ada selamanya.

Kita mengira, dunia itu ada. Kita mengira, uang itu ada. Kita 

mengira, reputasi itu ada. Padahal, jika dipikirkan lebih dalam, segala 

sesuatu itu kosong. Ia ada, sebab  pikiran kita semata.

Kita juga mengira, kita ini ada. Kita mengira, reputasi kita yaitu  

segalanya. Kita mengira, karir kita yaitu  segalanya. Padahal, jika 

dicari lebih dalam, kita tidak akan menemukan sesuatu yang utuh dan 

abadi di dalam diri, reputasi ataupun karir kita. Semuanya fana dan 

sementara, bagaikan bayangan.

Kita ditipu oleh pikiran kita sendiri. Pikiran kita menciptakan 

segalanya, dan kita mengira, itu semua sebagai benar, utuh dan abadi. 

Padahal, pikiran kita itu rapuh. Ia bisa berubah, dan bahkan lenyap.

Melampaui Rasa Takut

Obat paling manjur untuk rasa takut yaitu  dengan menyadari, 

bahwa segala sesuatu itu kosong, bagaikan bayangan. Dunia itu kosong. 

Diri kita itu kosong. Yang ada hanyalah ruang hampa yang besar dan 

mencakup semuanya.

Tidak ada yang perlu ditakutkan. Tidak ada yang perlu dicemaskan. 

Semuanya yaitu  ”apa adanya”. Tidak baik, tidak buruk, tidak benar, 

tidak salah, semuanya hanya ”apa adanya”.

Jika obat ”kekosongan” ini diminum, kita akan bebas dari rasa 

takut. Kita tidak akan menderita secara batin ataupun badan. Kita juga 

tidak akan membuat orang lain susah. Kita hanya hidup saat demi saat 

dengan kejernihan dan kedamaian hati.

Jika lapar, maka kita makan. Jika haus, maka minum. Jika lelah, 

maka tidur. Semuanya dilakukan dengan kesederhanaan, tanpa rasa 

takut.

Kesadaran akan kekosongan dari segala sesuatu yaitu  

kebijaksanaan tertinggi. Orang yang menyadarinya akan bebas dari rasa 

takut. Bebas dari rasa takut berarti bebas dari penderitaan. Bebas dari 

penderitaan berarti hidup yang penuh dengan kedamaian, kejernihan 

dan cinta untuk semua.

Jadi, tunggu apa lagi?

Identitas Itu Ilusi

Begitu banyak konfl ik terjadi dengan latar belakang perbedaan identitas. Perbedaan ras, suku, agama dan pemikiran dijadikan 

pembenaran untuk menyerang dan menaklukan kelompok lain. 

Darah bertumpahan, akibat konfl ik identitas semacam ini. Lingkaran 

kekerasan yang semakin memperbesar kebencian dan dendam pun 

terus berputar, tanpa henti.

Namun, kita sebagai manusia nyaris tak pernah belajar dari beragam 

konfl ik berdarah ini. Sampai sekarang, kita masih menyaksikan perang 

di berbagai tempat, akibat perbedaan identitas. Ketegangan antara ISIS 

(Negara Islam Irak dan Suriah) dengan negara-negara di sekitarnya 

memuncak pada jatuhnya banyak korban tak bersalah. Amerika Serikat 

masih merasa sebagai satu-satunya negara yang memiliki identitas 

khusus, sehingga berhak melakukan apapun di dunia, tanpa ada yang 

bisa melarang.

Indonesia juga memiliki sejarah panjang terkait dengan konfl ik 

sebab  perbedaan identitas. Konfl ik Sampit sampai dengan tawuran 

pelajar terjadi, akibat perbedaan identitas. Pasangan yang saling men-

cintai terpisah, sebab  perbedaan identitas. Orang tak boleh bekerja di 

pemerintahan, sebab  identitasnya berbeda dengan identitas mayoritas.

Diskriminasi pun juga lahir, sebab  pemahaman yang salah tentang 

identitas. Kebijakan Apartheid di Afrika Selatan yang memisahkan 

orang berkulit hitam dan putih masih segar di ingatan kita. Jejak-

jejak dari kebijakan ini  masih bisa dirasakan di banyak negara. 

Perlakuan istimewa masih diberikan kepada orang-orang berkulit putih 

di berbagai negara, tanpa dasar yang masuk akal.

Mengapa perbedaan identitas begitu mudah dipelintir untuk 

membenarkan tindak kejahatan tertentu? Apa itu sebenarnya identitas? 

Adakah sesungguhnya yang disebut dengan identitas? Ataukah kita 

hanya saling konfl ik satu sama lain, tanpa alasan yang jelas?

Identitas dan Kemelekatan

Identitas yaitu  label sosial yang ditempelkan kepada kita, sebab  

kita menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu. Ada beragam bentuk 

identitas yang berpijak pada kelompok tertentu, mulai dari ras, agama, 

suku, negara, aliran pemikiran sampai dengan gender. Kita menerima 

identitas kita dari tempat dan kelompok, dimana kita lahir. Identitas itu 

berubah, sejalan dengan meluasnya hubungan kita dengan kelompok-

kelompok lainnya.

Ketegangan biasanya terjadi, sebab  orang merasa identitasnya 

dihina oleh orang lain. Orang menyamakan dirinya dengan identitas 

kelompoknya. saat  kelompoknya dihina, maka ia akan juga merasa 

terhina. Inilah yang disebut sebagai kemelekatan pada identitas, yang 

menjadi akar dari banyak konfl ik di dunia ini.

Namun, identitas tidak hanya terkait dengan kelompok, namun  

dengan setiap label yang kita lekatkan pada diri kita masing-masing. 

Sejak kita lahir, kita sudah diberi nama. Kita pun menyamakan diri 

kita dengan nama ini . Kita melekatkan diri kita pada nama yang 

diberikan oleh orang tua kita. saat  nama itu dihina, kita pun akan 

merasa terhina.

saat  kita lahir, kita sudah langsung masuk ke dalam kelompok 

suku tertentu. Kita tidak bisa memilih. Kemudian, kita menyamakan 

diri kita dengan kelompok suku kita. saat  kelompok suku itu dihina, 

kita pun merasa terhina.

Kelompok suku tertentu biasanya sudah selalu terkait dengan ras 

tertentu. Ras tentunya memiliki lingkup lebih luas, daripada suku. 

Namun, sifatnya sama, kita seringkali menyamakan diri kita dengan 

ras kita. Kita melekat padanya, seringkali tanpa bisa memilih.

Hal yang terjadi terkait dengan soal agama. Kita menyamakan diri 

kita dengan agama kita. Kita melekat pada agama yang seringkali telah 

dipilihkan oleh orang tua untuk kita. Kita bahkan seringkali tidak bisa 

memilih agama kita sendiri.

Nasionalisme yaitu  kesetiaan pada identitas nasional, yakni 

negara dan bangsa. Kita menyamakan diri kita dengan bangsa dan 

negara, tempat kita dilahirkan. Dalam arti ini, kita juga melekatkan diri 

kita pada tata politik, tempat kita dilahirkan. saat  negara dan bangsa 

kita dihina, maka kita pun, sebagai pribadi, juga ikut merasa terhina.

Banyak orang juga melekatkan diri pada aliran pemikiran tertentu. 

Mereka menyamakan diri mereka dengan aliran berpikir tertentu, 

misalnya aliran progresif, nasionalis, dan sebagainya. saat  aliran 

itu dikritik, maka mereka merasa, bahwa pribadi mereka pun dikritik. 

Kelekatan pada aliran pemikiran ini juga menciptakan konfl ik antar 

manusia.

Di era sekarang ini, banyak orang menyamakan diri mereka dengan 

pekerjaan mereka. Mereka biasanya yaitu  para profesional yang telah 

mendapat pendidikan di satu bidang tertentu, dan kemudian bekerja di 

bidang itu. Mereka begitu melekat pada profesi mereka. saat  mereka 

mengalami masalah dengan pekerjaan mereka, stress dan depresi berat 

pun seringkali datang melanda.

Ada begitu banyak label identitas yang kita lekatkan pada diri kita. 

saat  salah satu label itu bermasalah, kita menderita. saat  salah satu 

label itu dihina, kita pun merasa terhina. Konfl ik antar manusia banyak 

terjadi, sebab  orang menyamakan dirinya begitu saja pada label 

identitasnya. Dengan kata lain, orang melekat pada label identitasnya.

Hakekat Identitas

Namun, apakah label identitas itu sungguh nyata? Ataukah, 

ia hanya label sementara yang ditempelkan kepada kita sejak kita 

kecil, tanpa kita punya pilihan untuk mengubahnya? Saya melihat 

dua karakter dasar dari label identitas, yakni kesementaraan dan 

kerapuhan. Orang yang melekatkan dirinya pada identitasnya artinya 

ia melekatkan dirinya pada sesuatu yang sementara dan rapuh.

Identitas itu sementara, sebab  ia akan berubah. Konsep-konsep 

identitas, seperti ras, suku, agama, profesi dan aliran pemikiran, yaitu  

ciptaan dari pikiran manusia. Orang bisa menjadi bagian dari suatu ras, 

suku atau agama, namun  ia juga bisa melepaskan diri dari semua label 

ini , jika ia mau. Bahkan, sebab  luasnya pergaulan seseorang, ia 

bisa begitu saja mengubah seluruh identitasnya.

Identitas juga rapuh. Ia begitu mudah berubah. Ia amat sementara. 

Berbagai hal bisa mendorong orang mengubah identitasnya, atau 

bahkan melepasnya sama sekali.

Kemelakatan pada identitas membuat orang jadi gampang merasa 

terhina. Mereka gampang terprovokasi. Mereka juga gampang dipecah 

belah, sehingga saling berkonfl ik satu sama lain. Identitas juga 

menciptakan perbedaan-perbedaan palsu antar manusia.

Perbedaan ini begitu mudah dijadikan sebagai alasan untuk 

diskriminasi, konfl ik maupun kejahatan-kejahatan lainnya. Perbedaan 

ini menciptakan penderitaan batin, misalnya dalam bentuk kesepian. 

Padahal, sejatinya, identitas itu ilusi, sebab  ia amat sementara dan 

begitu rapuh. Dunia akan jauh lebih baik, jika orang tidak melekatkan 

diri pada label-label identitas yang diciptakan warga .

Beberapa ahli berpendapat, bahwa akar dari konfl ik bukanlah 

perbedaan identitas, namun  kesalahan di dalam memahami perbedaan 

identitas. Namun, saya berpendapat, bahwa kesalahpahaman ini tidak 

perlu terjadi, jika orang sudah sejak awal tidak melekatkan dirinya 

pada label identitas tertentu. Sejauh manusia masih melihat dirinya 

di dalam kotak-kotak label identitas, selama itu pula bayang-bayang 

konfl ik akan terus menghantui.

Melampaui Identitas

Jika identitas yaitu  sementara dan rapuh, maka sebaiknya, kita 

tidak menyamakan diri kita dengan identitas kita. Kita tidak boleh 

melekat padanya. Kita boleh memakai nya, guna membantu orang 

lain. Namun, kita tidak pernah boleh terjebak di dalamnya.

Banyak orang takut untuk melepas identitasnya. Mereka berpegang 

begitu erat padanya, misalnya pada tradisinya, pada agamanya dan 

pada aliran pemikirannya. Mereka mengira, jika identitas dilepas, 

maka mereka akan mengalami kehampaan hidup. Inilah salah satu 

cara berpikir yang salah yang tersebar di warga  kita.

Padahal, jika kita tidak melekat pada identitas kita, kita lalu 

menjadi manusia merdeka. Kita tidak gampang diprovokasi. Kita pun 

tidak punya alasan untuk merasa terhina, saat  orang lain menghina 

salah satu label identitas kita. Kita tidak mudah terdorong untuk 

berkonfl ik dengan orang lain, sebab  alasan yang tidak masuk akal, 

misalnya penghinaan pada salah satu label identitas kita.

saat  sadar, bahwa identitas kita yaitu  ilusi, kita pun otomatis 

menjaga jarak darinya. Pada titik ini, kita tidak lagi stress atau depresi, 

jika pekerjaan kita gagal, atau saat  agama, ras, suku, negara dan 

profesi kita dihina orang lain. Kita akan lebih tenang menyingkapi 

segala tantangan yang ada. Segala tantangan hidup pun lalu bisa 

dilampaui dengan ketenangan batin.

Mau sampai kapan kita jadi manusia sensitif, yang begitu cepat 

marah, saat  salah satu label identitas ilusif kita dihina orang lain? 

Mau sampai kapan kita stress, depresi dan menderita, saat  salah 

satu label identitas kita mengalami kegagalan, misalnya gagal dalam 

pekerjaan dan gagal dalam ujian? Mau sampai kapan kita diombang 

ambingkan oleh kesementaraan dan kerapuhan label identitas kita? 

Mau sampai kapan…?

Tidak Tahu

Sokrates dikenal sebagai bapak dari fi lsafat barat. Ia hidup sekitar 470 tahun sebelum Masehi. Ia memiliki cara berfi lsafat yang unik. Ia 

tidak berfi lsafat di kelas atau ruang-ruang tertutup lainnya, melainkan 

di pasar di kota Athena.

Ia berjalan berkeliling di pasar. Ia pun berteriak kepada banyak 

orang, ”Kamu harus mengenal dirimu sendiri! Kamu sungguh harus 

mengenal dirimu sendiri!” saat  ada orang bertanya kepadanya, ”Hai 

Sokrates, apakah kamu mengenal dirimu sendiri?” Sokrates hanya 

menjawab, ”Saya tidak tahu, namun saya tahu, bahwa saya tidak tahu!”

Bodhidharma dikenal sebagai orang yang membawa Zen Buddhisme 

dari India ke Cina. Di India sendiri, Buddhisme sudah berkembang dari 

sekitar tahun 680 sebelum Masehi. Di Cina, Buddhisme sudah ada 

mulai dari sekitar tahun 200 setelah Masehi. Kehadiran Bodhidharma 

mengundang takut sekaligus kagum dari para biksu Buddhis yang 

sudah ada Cina pada masa itu.

Suatu hari, Bodhidharma diundang oleh penguasa setempat untuk 

makan bersama. Sang penguasa bertanya, ”Saya sudah membangun 

banyak biara Buddhis. Apa yang akan saya dapatkan?” Bodhidharma 

menjawab, ”Tidak ada.” Sang penguasa pun marah mendengar jawaban 

itu. Ia berkata, ”Kurang ajar! Siapa kamu?” Jawab Bodhidharma, ”Saya 

tidak tahu.”

Tidak Tahu

Apa yang sama dari jawaban Sokrates dan Bodhidharma? Keduanya 

sama-sama mengatakan, bahwa mereka tidak tahu. Apa maksud dari 

jawaban ini? Apakah ini sungguh ketidaktahuan, ataukah ada maksud 

lain yang ingin mereka sampaikan? 

Kita hidup di era, dimana semua orang merasa tahu. Ilmu 

pengetahuan dan fi lsafat merasa bisa menjelaskan tentang hakekat dari 

kenyataan dan kehidupan. Berbagai agama merasa bisa menjelaskan 

tentang hakekat Tuhan dan apa yang terjadi setelah mati. Namun, 

sesungguhnya, apakah mereka sungguh tahu, atau hanya mengira-

ngira saja?

Ilmu pengetahuan, fi lsafat dan agama mengandalkan satu 

hal, yakni bahasa. Mereka menjelaskan segala hal dengan bahasa. 

Pengetahuan dan pikiran mereka dirumuskan dan disebarkan dengan 

memakai  bahasa sebagai alat utamanya. Namun, mampukah 

bahasa menggambarkan kerumitan dari segala kenyataan yang ada? 

Mampukah bahasa menggambarkan pikiran manusia?

Coba kita lakukan sedikit eksperimen. Bisakah anda melukiskan 

dengan jelas tindakan membuka kepalan tangan? Sulit bukan? Jika 

untuk kegiatan sesederhana ini, bahasa sudah mengalami kesulitan, 

bagaimana mungkin bahasa mampu menggambarkan segala kenyataan 

yang ada? Bagaimana mungkin, bahasa mampu menggambarkan secara 

tepat isi dari pikiran manusia?

Dengan demikian, bisa dikatakan, setiap teori ilmu pengetahuan 

dan fi lsafat selalu bersifat terbatas. Keduanya tak mampu menjelaskan 

secara utuh apa yang ingin mereka jelaskan. Agama-agama juga 

tidak mampu menggambarkan secara utuh apa yang ingin mereka 

gambarkan. Semua penjelasan selalu bersifat terbatas, dan, pada 

akhirnya, salah.

Kita semua harus jujur, bahwa kita tidak tahu. Sama seperti 

Sokrates dan Bodhidharma, kita harus belajar untuk sadar, bahwa 

kita tidak tahu. Pengetahuan yang tertinggi, dalam arti ini, yaitu  

ketidaktahuan. Jika sama-sama tidak tahu, kenapa kita bertengkar 

satu sama lain, dan merasa lebih benar dari orang lain? Arogansi? 

Kebodohan?

Ketidaktahuan yaitu  kondisi asali manusia. Artinya, manusia 

sejatinya yaitu  mahluk yang tidak tahu. saat  lahir ke dunia, ia tidak 

tahu. Maka, ia lalu mencoba untuk melakukan segalanya. Kita sering 

lihat, bagaimana anak kecil dengan ringannya mengambil kotoran di 

tanah, dan kemudian menjilatnya bukan?

Pikiran-Tidak-Tahu

saat  kita hidup dengan pikiran-tidak-tahu semacam ini, kita 

akan menjadi terbuka pada segala kenyataan yang ada. Kita akan juga 

terbuka pada segala kemungkinan yang ada. Kita tidak terjebak pada 

kepastian-kepastian palsu. Kita juga tidak terjebak pada segala bentuk 

ilusi yang diajarkan oleh tradisi yang ada sebelum kita.

saat  kita hidup dengan pikiran-tidak-tahu, kita akan menghadapi 

setiap keadaan apa adanya. Kita tidak dibebani dengan masa lalu yang 

kerap kali memberi  pengetahuan palsu. Kita juga tidak dibebani 

oleh harapan akan masa depan yang kerap kali hanya berupa impian 

semu belaka. Setiap detik yaitu  suatu keadaan baru dalam hidup kita.

Bagaimana supaya   kita bisa mewujudkan pikiran-tidak-tahu 

semacam ini dalam hidup kita? Hanya ada satu cara yang mungkin, 

yakni berhenti berpikir. saat  orang berpikir, ia mulai membuat 

pembedaan. Ia membuat kategori antara aku dan kamu, kami dan 

mereka. Dari pikiran, lahirlah pembedaan, dan dari pembedaan lahirlah 

segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan.

Perhatikan corak warga  modern sekarang. Orang hidup 

dalam kotaknya masing-masing. Mereka merasa dirinya berbeda 

dengan komunitas mereka. Mereka hidup dalam kesendirian, kesepian, 

keterasingan dan akhirnya penderitaan.

Hasilnya yaitu  individualisme dan egoisme ekstrem. Orang hanya 

hidup untuk dirinya sendiri. Mereka hanya sibuk untuk memenuhi 

kepentingan dan kenikmatan mereka. Solidaritas dan komunitas hanya 

menjadi slogan papan iklan yang hampir tak memiliki makna.

Ini semua yaitu  hasil dari pikiran yang memisahkan manusia 

yang satu dengan manusia yang lain, dan memisahkan manusia dari 

alam sekitarnya. saat  pikiran yang memisahkan ini hilang, maka 

perbedaan akan hilang. Jarak akan hilang. Kita pun akan merasa satu 

tidak hanya dengan orang lain, namun  juga dengan seluruh alam.

Kita tidak akan menyakiti orang lain, jika kita sadar, bahwa mereka 

dan kita yaitu  satu dan sama. Perasaan kesatuan ini yaitu  inti utama 

dari cinta. Dalam arti ini, cinta bukanlah emosi atau tindakan belaka, 

melainkan inti dari diri seseorang. saat  orang sudah menjadi cinta itu 

sendiri, semua tindakannya akan mencerminkan cinta secara otomatis.

Bagaimana mungkin kita hidup, jika tidak berpikir? Pikiran yaitu  

alat. Ia harus diatur dan ditata oleh manusia, dan bukan sebaliknya. 

Pikiran yang sebaiknya dipakai  yaitu  pikiran ala Sokrates dan 

Bodhidharma, yakni pikiran-tidak-tahu.

Pikiran-tidak-tahu memecahkan masalah dengan berpijak pada 

masalah itu sendiri, bukan dengan ketakutan ataupun harapan palsu. 

Pikiran-tidak-tahu bergerak dari saat ke saat, dan tidak dibebani 

dengan pengetahuan palsu yang berasal dari masa lampau. Ia bersifat 

spontan dan alamiah. Ia melampaui bahasa dan rumusan.

Namun, pikiran-tidak-tahu tidak boleh menjadi ajaran mutlak 

yang baru. Ketidaktahuan bukanlah suatu keadaan mutlak, melainkan 

cair. Ia tidak boleh jatuh hanya pada pengetahuan intelektual belaka, 

melainkan harus menjadi cara hidup yang menetap menjadi kebiasaan. 

Yuk, mari belajar untuk menjadi tidak tahu!

Lupa

Ada satu band yang cukup menarik dari Indonesia. Nama bandnya yaitu  Kuburan. Mereka punya satu lagu yang cukup terkenal 

di Indonesia. Judulnya ”Lupa”.

Syairnya menarik perhatian saya. Begini bunyinya: ”lupa..lupa..

lupa… lupa lagi syairnya. Ingat… ingat.. ingat cuma kuncinya.” 

Bagaimana mungkin seorang musisi menyanyi lagu ciptaannya sendiri, 

namun  lupa syairnya? Mungkin, ini mirip seperti keadaan kita sekarang 

ini. Kita manusia, namun  lupa, apa artinya menjadi manusia.

Kita bekerja. Kita belajar. Kita bercinta. Kita berkeluarga. Namun, 

semuanya itu terjadi secara begitu saja, seringkali tanpa kesadaran, 

sebab  kita hanya mengikuti apa yang diinginkan oleh warga  

dan keluarga kita. Kita lebih mirip robot, dan kehilangan kesadaran 

kita sebagai manusia.

Kelupaan Kita

Martin Heidegger, fi lsuf Jerman di awal abad 20, menyebut 

keadaan ini sebagai ”kelupaan akan ada” (Seinsvergessenheit). Orang 

sibuk mencari dan melakukan apa yang tidak penting, dan pada waktu 

yang sama, mereka lupa akan inti yang terpenting dari segala sesuatu. 

Di dalam tradisi Buddhisme, ini juga disebut sebagai keadaan ”tidak 

melihat” (avidya). Orang hidup dengan segala kesibukannya, namun  

tidak melihat apa yang sungguh penting, dan juga melupakan inti dari 

segala sesuatu.

Di dalam tradisi fi lsafat Yunani Kuno, Plato juga melihat keadaan 

yang sama. saat  manusia lahir, ia melupakan segala pengetahuan 

yang ia punya, lalu harus mulai belajar segalanya dari awal lagi. 

Pendidikan, bagi Plato, yaitu  proses mengingat kembali (anamnesis) 

apa yang sudah diketahui sebelumnya, namun terlupakan. Sumber 

dari pengetahuan itu yaitu  Dunia Ide, tempat model dan eseni dari 

segala sesuatu berada.

 Saya juga melihat gejala yang sama. Jade Small menyebut kelupaan 

sebagai ciri utama dari manusia modern. Ia terjadi di semua tindakan 

manusia, baik secara pribadi, kolektif, kultural dan politis. MoĴ o 

berikut ini mungkin bisa memberi  penjelasan: aku lupa, maka aku 

ada (oblivisco ergo sum).

Kelupaan Multidimensional

Small juga menjelaskan, bahwa kelupaan ini terjadi di dua tingkat. 

Yang pertama yaitu , kita lupa akan tempat kita dalam hubungan 

dengan alam di dunia ini. Kita lebih nyaman hidup dalam kurungan 

beton dan semen, daripada berhubungan langsung dengan hewan dan 

tumbuhan yang justru menjadi sumber kehidupan kita. sebab  merasa 

terasing dari alam, kita pun mulai melihat alam sebagai obyek untuk 

kepentingan kita semata, dan akhirnya justru menghancurkannya 

dengan kerakusan dan kebodohan kita.

saat  alam hancur, anak cucu kita di masa depan juga akan hidup 

dengan alam yang sudah rusak, akibat perbuatan kita. Artinya, kita 

juga melupakan tanggung jawab kita pada masa depan, yakni pada 

kehidupan anak cucu kita. Dengan hidup dalam keadaan lupa semacam 

ini, kita lupa akan keterhubungan diri kita dengan segala yang ada, 

dan akhirnya menderita di dalam kesepian hati.

Kita pun menolak untuk menyadari kelupaan kita. Sebaliknya, kita 

justru terjebak dalam hidup yang hanya berfokus pada kenikmatan 

sesaat semata. Kita sibuk menimbun barang, guna menutupi kekosongan 

hati kita, akibat kesepian dan keterputusan hubungan dengan alam. 

Hidup kita pun hanya berfokus pada pencarian uang semata, guna 

memenuhi keinginan kita akan kenikmatan sesaat semata.

Yang pertama dan terutama yaitu , kita lupa akan tempat kita 

di alam ini. Kita tidak lagi mengerti, bagaimana hidup sejalan dan 

seimbang dengan alam. Kita justru melihat alam sebagai benda 

semata yang bisa dipakai , lalu dibuang, setelah habis terpakai. 

Kita lupa, bagaimana cara melihat dan memahami tanda-tanda alam, 

dan kehilangan hubungan dekat dengan tumbuhan dan hewan yang 

menjadi sumber bagi kehidupan kita.

Kita juga menyepelekan ajaran nenek moyang kita. Kita lupa 

akan kebijaksanaan para leluhur kita. Mereka memang tidak punya 

teknologi tinggi. Namun, selama ribuan tahun, mereka hidup dalam 

hubungan yang dekat dan seimbang dengan alam. Dan itu, menurut 

saya, jauh lebih berharga, daripada teknologi tinggi, seperti yang kita 

punya sekarang ini.

Di sisi lain, kita juga lupa akan tujuan hidup kita yang sejati. Kita 

hidup dalam suasana banjir informasi yang mengaburkan kejernihan 

pikiran kita. Kita sibuk mencari uang dan nama baik, sehingga lupa, 

mengapa dua hal itu penting bagi kita. Kita bahkan lupa dengan jati 

diri sejati kita, dan hidup justru hanya untuk mengikuti apa kata orang.

Dengan kelupaan ini, kita pun lalu hidup dalam penderitaan batin. 

Uang boleh banyak. Orang juga bisa memiliki nama besar. Namun, 

banyak diantara mereka justru amat menderita secara batiniah.

Mereka hidup dalam penjajahan warga . Mereka juga 

diperbudak oleh ambisi mereka sendiri. Mereka lupa, bahwa manusia 

itu sejatinya bebas. Keterjajahan oleh aturan-aturan warga  dan 

oleh ambisi pribadilah yang membuat manusia menderita, dan akhirnya 

bertindak jahat pada orang lain.

Kita juga melupakan pelajaran dari sejarah kita sendiri. Kita 

mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Konfl ik dan perang 

berulang dengan pola yang sama. Hanya pelakunya yang berbeda.

Dan yang terlebih menyedihkan, kita lupa, bagaimana caranya 

untuk hidup sederhana dan bermakna. Kita mempersulit segala 

sesuatu dengan ambisi pribadi kita. Kita menimbun harta untuk 

mencari kebahagiaan, walaupun tetap kecewa di akhir perjalanan. 

Hidup sederhana berarti menyingkirkan segala hal yang tidak sungguh 

diperlukan, dan mencoba untuk fokus pada apa yang sungguh penting 

di dalam hidup ini.

Banyak orang lupa, sebab  mereka tidak tahu. Akar dari lupa yaitu  

ketidaktahuan. Ini dengan mudah dilampaui, jika kita mau sedikit 

melihat dengan jeli segala hal yang ada di dalam hidup ini. Melihat 

sebenarnya tindakan yang amat sederhana dan membahagiakan. 

Namun, banyak orang lupa dengan hal ini, sebab  matanya tertutup 

oleh ambisi pribadi dan ketakutan yang dibuatnya sendiri.

Mau sampai kapan?

Menuju Saat ini

Eckhart Tolle menulis buku berjudul Jeĵ t, die Kraft der Gegenwart pada 2010 lalu. Tolle mengajak kita untuk kembali ke ”saat ini”, yakni 

sepenuhnya berada pada momen, dimana kita ada sekarang. Di dalam 

”saat ini”, kita akan menemukan kebahagiaan, kebenaran, cinta, 

kedamaian, Tuhan, kebebasan. Di ”saat ini”, kita akan menemukan 

semua tujuan hidup kita. saat  orang meninggalkan ”saat ini”, maka 

ia masuk kembali ke dalam lingkaran penderitaan, kecemasan dan 

ketakutan dalam hidupnya.

Jika kita berpikir secara jernih, kita akan sadar, bahwa yang ada 

hanyalah saat ini. Tidak ada masa lalu dan tidak ada masa depan. 

Masa lalu hanya merupakan kenangan. Masa depan hanya merupakan 

harapan. Keduanya tidak nyata.

Masa lalu memberi  identitas pada diri kita. Masa depan 

memberi  janji tentang hidup yang lebih baik. Namun, jika 

dipikirkan secara jernih dan mendalam, keduanya tidak ada. Keduanya 

yaitu  ilusi.

Banyak orang mengira, bahwa waktu yaitu  uang. Mereka juga 

mengira, bahwa waktu yaitu  hal yang amat berharga. Namun, 

sejatinya, waktu yaitu  ilusi. Ia tidak memiliki nilai pada dirinya 

sendiri.

Ya ng justru amat berharga, menurut Tolle, adaah ”saat ini”. 

”Saat ini” yaitu  suatu keadaan yang lepas dari waktu. saat  kita 

memikirkan waktu, berarti juga memikirkan masa lalu dan masa 

depan, kita akan kehilangan ”saat ini”. Kita akan kehilangan sesuatu 

yang amat berharga.

Banyak orang juga mengira, bahwa sukses itu ada di masa depan. 

Jika kita belajar dan bekerja keras saat ini, maka kita akan sukses di 

masa depan. Kita akan bahagia di masa depan. Ini yaitu  pikiran yang 

salah. Ini hanya menciptakan kecemasan dan penderitaan hidup.

Sukses hidup yang sejati yaitu  dengan menyadari ”saat ini”. 

Kebahagiaan hidup yang tak akan goyah yaitu  dengan menyadari 

”saat ini”. Orang yang kehilangan ”saat ini” akan kembali masuk ke 

dalam kecemasan dan penderitaan hidup. Padahal, yang ada sejatinya 

hanyalah ”saat ini”. Yang lain hanya ilusi.

Orang yang pikirannya dilempar antara masa lalu dan masa depan 

tidak akan pernah menemukan kebahagiaan yang sejati. Sayangnya, 

banyak orang hidup dengan pola semacam ini. Hampir setiap detik, 

pikiran mereka dibuat cemas oleh apa yang telah terjadi. Mereka juga 

terus memutar otak untuk merencanakan masa depan.

Mereka hidup dalam tegangan. Stress dan depresi pun akhirnya 

menimpa mereka. Namun, saat  mereka melepaskan keterikatan pada 

masa lalu dan masa depan, mereka lalu bisa kembali ke ”saat ini”. Lalu, 

mereka akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. 

Dengan hati yang damai dan bahagia, mereka bisa memberi  cinta 

dan perhatian kepada orang lain melalui tindakannya.

Berada ”disini” juga amatlah penting. saat  kita berada di satu 

tempat, kita harus berusaha untuk berada di tempat itu sepenuhnya. 

Namun, seringkali, sebab  berbagai alasan, kita tidak suka pada tempat 

kita berada. Ada tiga pilihan: pindah tempat, ubah situasi yang ada 

semampunya, atau tinggalkan tempat itu. Mudah bukan?

Berada ”disini” berarti juga berada di ”saat ini”. Ini membutuhkan 

pene rimaan atas apa yang ada sekarang ini. Apakah menerima berari 

pasrah dan menyerah pada keadaan? Apakah berarti kita menjadi 

pengecut?

saat  kita menerima keadaan sepenuhnya, segala pikiran cemas 

dan takut lenyap. Kita lalu bisa tenang dan damai mengalami apa 

yang terjadi. Pada titik ini,