sampah 4



 fiqih penanggulangan sampah plastik. 

NU PEDULI. Buku fiqih 

sampah plastik sebagai 

bentuk kepedulian NU 

terhadap persoalan sampah 

plastik di negara kita .

 Bank Sampah Nusantara membuat buku itu  

dengan sebuah kenyataan bahwa NU adalah organisasi 

keagamaan. “Jadi, pendekatan yang kami lakukan untuk 

mengelola sampah harus pula memasukkan pendekatan 

keagamaan,” ucap Fitria. Lewat pendekataan keagamaan 

itulah, Bank Sampah Nusantara ingin mendapatkan ciri 

khas tertentu, yang bisa membedakannya dengan bank 

sampah lain.

Sampah Plastik dan Kisah Nabi

 Edukasi dan pendampingan menjadi karakter 

menonjol yang dimiliki Bank Sampah Nusantara. Sejak 

170


2018, Fitria dan rekan-rekannya begitu getol membentuk 

bank sampah di pesantren, sekolah-sekolah yang dimiliki 

NU, atau di wilayah dan cabang NU. Sebarannya meliputi 

seluruh wilayah negara kita . 

 Salah satu kegiatan edukasi mereka namakan “Ngaji 

Plastik”. Kegiatan ini memberikan pemahaman kepada 

pengasuh pesantren dan para santri untuk peduli 

terhadap pengelolaan sampah, khususnya sampah plastik. 

Kata “ngaji” memang sengaja dipakai. Sebab, “Kalau pakai 

kata sosialisasi, kami meyakini kurang bisa membangun 

kesadaran mereka,” ujar Fitria. Kegiatan ini mendapatkan 

sokongan penuh dari Kementerian Lingkungan Hidup 

dan Kehutanan.

NGAJI PLASTIK. Bank 

Sampah Nusantara 

lebih memilih kata 

“ngaji” sebagai bentuk 

sosialisasi pengelolaan 

sampah plastik.

 Pada “Ngaji Plastik”, pengurus Bank Sampah 

Nusantara pusat menyelipkan beragam kisah yang 

diangkat dari khasanah Islam ihwal pengelolaan sampah. 

Misalnya, cara Nabi Muhammad mengelola sampah. 

Pun, tak lupa menyampaikan beberapa  ayat Al Quran 

atau hadis nabi yang berkaitan dengan kebersihan dan 

lingkungan hidup.

 Agar tak keliru memakai  kisah, ayat Al Quran, 

atau hadis, Bank Sampah Nusantara menjalin kerja sama 

dengan Bahtsul Masail PBNU. Ini adalah lembaga forum 

diskusi keagamaan di NU yang biasa mendiskusikan 

171


banyak hal untuk merespon dan meberikan solusi atas 

problematika aktual yang muncul dalam kehidupan 

warga . Dan, saat  isu sampah menjadi pembicaraan 

hangat di kalangan warga , tentulah Bahtsul Masail 

ikut pula mengkajinya. 

 Berkat kegiatan “Ngaji Plastik”, kini sudah cukup 

banyak pesantren yang memiliki program Pesantren 

Hijau. Bank Sampah Nusantara memberikan kontrubusi 

penting dalam program itu . Setidaknya, Bank 

Sampah Nusantara sudah membentuk 125 bank sampah 

di berbagai wilayah. 

PENDAMPINGAN. Bank 

Sampah Nusantara selalu 

mendampingi warga yang 

ingin membentuk bank 

sampah.

 Namun, Bank Sampah Nusantara tidak mau begitu 

saja menyetujui proposal pembentukan bank sampah di 

pesantren atau pengurus cabang NU. Ada proses penilaian 

yang terlebih dulu harus ditempuh. Beberapa indikator 

dijadikan acuan. Misalnya, luas lahan bakal bank sampah, 

atau sumber daya manusia pengelola bank sampah. 

“Memang lumayan ribet. Tapi, ini kami lakukan agar bank 

sampah yang terbentuk benar-benar punya komitmen 

menjalankan bank sampah,” kata Fitria. 

Melebarkan Sayap, Menebar Kebaikan

 Komitmen memang menjadi kata kunci mengelola 

bank sampah. Komitmen itu pulalah yang membuat Bank 

172


Sampah Nusantara secara perlahan mengembangkan 

sayapnya. Selama ini, nasabah Bank Sampah Nusantara 

adalah petugas kebersihan di gedung PBNU. Petugas 

kebersihan ini sengaja dijadikan sebagai nasabah, 

agar mereka tidak merasa kehadiran Bank Sampah 

Nusantara sebagai saingan. Sebelum ada bank sampah, 

petugas kebersihan sudah mendapatkan penghasilan 

tambahan dari menjual sampah ke pemulung atau 

pengepul. 

 Selain petugas kebersihan, beberapa penghuni 

gedung PBNU juga menjadi nasabah Bank Sampah 

Nusantara. Biasanya, mereka memilah sampah sejak dari 

rumah. Setelah itu, sampah dibawa ke gedung PBNU, 

untuk disetorkan ke bank sampah. 

 Sejak 2018, Bank Sampah Nusantara mulai 

melebarkan sayap dan “keluar gedung”. warga  di 

belakang gedung PBNU mereka ajak menjadi nasabah. 

Kini, jumlah nasabah Bank Sampah Nusantara sudah 

mencapi 150 nasabah. Selain warga di belakang gedung 

PBNU, beberapa perkantoran di sekitar gedung PBNU pun 

tertarik menjadi nasabah. Juga beberapa kantor kedutaan 

besar yang ada pegawainya merupakan kader NU. 

SETOR. Nasabah Bank 

Sampah Nusantara 

menyetorkan sampah 

setiap usai solat Jumat. 

Kini, nasabah juga 

berasal dari warga di 

belakang gedung PBNU.

 Sampah yang sudah terkumpul di Bank Sampah 

Nusantara lalu dijual ke Suku Dinas Lingkungan Hidup 

173


Jakarta Pusat. Omset penjualan sampah kini mencapai 

300 kilogram sampai 500 kilogram per pekan. Memang, 

Fitria mengakui, uang yang mereka peroleh dari penjualan 

sampah tidaklah seberapa. Dan, uang penjualan sampah 

itu bukanlah satu-satunya pemasukan Bank Sampah 

Nusantara.

 Pemasukan lain berasal dari memberikan pelatihan 

pengelolaan bank sampah. Cukup banyak kementerian 

yang meminta pengelola Bank Sampah Nusantara 

mengedukasi mereka. Begitu pula dengan perusahaan 

swasta. Bagi Fitria, peran mengedukasi ini sudah sejalan 

dengan kehadiran NU yang selama ini memang lebih 

banyak berkutat kepada kegiatan untuk mengubah 

perilaku. 

SOKONGAN. KLHK 

mendukung penuh 

berbagai kegiatan 

Bank Sampah 

Nusantara. Salah 

satunya adalah 

penyelenggaraan 

Training of Trainer.

 Kegiatan pelatihan ini mendapatkan sokongan 

penuh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan 

Kehutanan. Salah satu contoh wujud nyata dukungan 

KLHK adalah penyelenggaraan kegiatan Training of 

Trainer (ToT) tentang manajemen bank sampah berbasis 

lingkungan, pada Agustus 2018. Dua pejabat tinggi 

KLHK – Dirjen Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan 

Berancun Berbahaya, Rosa Vivien Ratnawati, dan Direktur 

Pengelolaan Sampah, Novrizal Tahar – hadir dalam acara 

itu . 

174


PATUNG. Fitria 

Ariyani, Direktur Bank 

Sampah Nusantara, 

memamerkan 

kerajinan hasil daur 

ulang sampah. 

Kerajinan ini 

menghasilkan uang 

bagi bank sampah.

 Dan, pemasukan yang bernilai cukup penting bagi 

Bank Sampah Nusantara adalah “berjualan” produk 

kerajinan dari daur ulang sampah. Keterlibatan para 

seniman kader NU di Bank Sampah Nusantara amat 

menyokong lini usaha ini. Cindera mata yang dihasilkan 

Bank Sampah Nusantara memang bukan cindera mata 

kaleng-kaleng. Cindera matanya sudah terbukti mampu 

membuat Menteri Siti Nurbaya dan Dubes Moazzam Malik 

sumringah. 

175


BANK SAMPAH BAROKAH AS-SALAM PADANG

BERKIBAR, LALU LAYU

Tak sedikit bank sampah yang mati suri. 

Ada bank sampah yang diresmikan Menteri 

Lingkungan Hidup pada 2011, kini layu. Ada 

juga bank sampah yang sempat hampir 

ambruk, tapi bisa bangkit kembali. Banyak 

penyebab kegagalan sebuah bank sampah. 


176


Dari kejauhan, bangunan permanen berkelir abu-abu itu masih terlihat kokoh. Hanya saja, beberapa plang kayu berwarna putih penyangga genting, 

sudah mulai tampak lapuk. Saat didekati, kesan dingin 

bangunan berbentuk huruf L itu benar-benar terasa. 

Maklum, sudah sejak beberapa tahun, tak ada kegiatan 

di dalam bangunan itu. Padahal, bangunan yang terletak 

persis di depan Masjid As-Salaam itu tadinya adalah sebuah 

bank sampah. Namanya Bank Sampah Barokah As-salam. 

Lokasinya di Perumahan Dangau Teduh, Kecamatan 

Lubuk Begalung, Kota Padang, Sumatra Barat. 

 Kehadiran Bank Sampah Barokah As-salam sejatinya 

sempat menghentak pemerhati masalah persampahan di 

negara kita . Maklum, Menteri Lingkungan Hidup saat  itu, 

Gusti Muhammad Hatta, yang meresmikan Bank Sampah 

Barokah As-salam, pada 28 Februari 2011. 

 Saat itu, bank sampah mulai banyak bermunculan di 

daerah-daerah negara kita . Momentumnya adalah pendirian 

Bank Sampah Gemah Ripah di Bantul, Yogyakarta, pada 

2008, oleh Bambang Suwerda. Bambang Suwerda punya 

peran penting dalam mewujudkan berdirinya Bank 

Sampah Barokah As-salam di Padang. Adalah Syaifuddin 

Islami, seorang aktivis lingkungan di Padang, yang awalnya 

belajar manajemen bank sampah ke Bantul. Sepulang 

dari Bantul, Syaifuddin memulai kerja blusukan di banyak 

kawasan di Padang. 

KOSONG. Bekas 

kantor dan gudang 

Bank Sampah Barokah 

As-salam, Padang. 

Sejak 2014, tidak ada 

lagi kegiatan menyetor 

dan menimbang 

sampah.

177


 Pada Desember 2010, Ilam, sapaan Syaifuddin Islami, 

mendapat tantangan dari pejabat tinggi Kementerian 

Lingkungan Hidup. Dia diminta untuk memelopori 

pembentukan bank sampah di Padang. Saat itu, memang 

sedang ada kunjungan pejabat tinggi kementerian ke 

Padang. 

Ya Rumah, Ya Bank

 Dengan semangat menggebu, Ilam mengajak warga 

Padang mendirikan bank sampah. Namun, tak banyak 

warga yang menyambut gagasan Ilam itu. Ilam tak patah 

arang. Sampailah pada lokasi blusukan-nya ke delapan, 

Ilam bertemu dengan warga yang menyambut antusias 

gagasan mendirikan bank sampah. Lokasi ke delapan 

itu adalah sebuah komplek perumahan. Kebanyakan 

penghuninya adalah karyawan PT Semen Padang. Itulah 

komplek Perumahan Dangau Teduh. 

 Ilam merasa cukup gampang meyakinkan warga 

perumahan lantaran ada seorang perempuan bernama 

Siti Aisyah. Pada awal 2011 itu, Icha, panggilan akrab Siti 

Aisyah, adalah salah seorang kepala bidang di Badan 

Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) 

Sumatra Barat. Dan, kebetulan pula, Icha adalah penghuni 

komplek perumahan itu . 

 Ilam lalu mendampingi rombongan emak-emak 

warga perumahan menyiapkan pendirian bank sampah. 

Icha juga ikut berperan aktif. Apalagi, Icha adalah pejabat 

di bidang lingkungan hidup. Malah, “Rumah saya yang 

awalnya dijadikan markas para ibu menyiapkan pendirian 

bank sampah,” ujar Icha, yang kini menjabat sebagai 

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatra Barat. 

 Karena sudah mengenal Bambang Suwerda, Ilam lalu 

mengundang dosen Politeknik Kesehatan Yogyakarta itu 

ke Padang. Bambang pun lantas ikut pula pendampingi 

178


warga perumahan menyiapkan manajemen bank sampah. 

Berkat Bambang dan Ilam, pengurus bank sampah pun 

terbentuk. 

 Tak butuh waktu lama, akhirnya bank sampah berdiri. 

Warga sepakat menamakannya Bank Sampah Barokah 

As-salam. Boleh jadi, penamaan itu lantaran di komplek 

perumahan sudah berdiri masjid As-Salaam. Rumah Icha-

lah yang dijadikan kantor dan gudang bank sampah. 

 Warga perumahan pun antusias menyambut kehadiran 

Bank Sampah Barokah As-salam. Berbondong-bondong 

warga menyetorkan sampahnya. Awalnya, pengurus bank 

sampah lumayan kelimpungan. Beruntung, cukup banyak 

pengepul dan pelapak sampah yang bersedia menjemput 

sampah ke Bank Sampah Barokah As-salam. 

 Agar gaung Bank Sampah Barokah As-salam lebih 

nyaring terdengar, pengurus memberanikan diri menyurati 

Kementerian Lingkungan Hidup. Tak dinyana, surat itu  

direspon baik. Dan, datanglah Menteri Lingkungan Hidup, 

Gusti Muhammad Hatta, ke Padang, untuk meresmikan 

Bank Sampah Barokah As-salam. Pada 28 Februari 2011, 

Bank Sampah Barokah As-salam resmi berdiri. “Inginnya 

sih peresmiannya pas pada Hari Peduli Sampah Nasional 

(HPSN), 21 Februari 2011. Tapi, pak Menteri bisanya sepekan 

setelahnya. Ya, nggak apa-apa juga,” ujar Icha. 

MENTERI. Bank 

Sampah Barokah 

As-salam diresmikan 

Menteri Lingkungan 

Hidup, Gusti 

Muhammad Hatta 

(kanan, berbaju safari 

coklat), pada 28 

Februari 2011. – dok: 

antarafoto

179


 Peresmian oleh menteri itu, agaknya memudahkan 

langkah Bank Sampah Barokah As-salam. Terbukti, PT 

Semen Padang dan PT Pelindo II, memberikan dana 

corporate social responsibility (CSR) kepada Bank Sampah 

Barokah As-salam. Dari dana CSR itulah, pengurus akhirnya 

bisa mendirikan kantor dan gudang permanen, persis di 

depan masjid As-Salaam.

 Bank Sampah Barokah As-salam buka setiap hari 

Minggu, usai salat Asar. Menurut Icha, frekuensi buka itu 

dirasakan terlalu pendek. Untuk kawasan perumahan 

seperti lokasi Bank Sampah Barokah As-salam, “Harusnya 

bukanya satu kali saja dalam sebulan, supaya   sampah 

yang disetor nasabah ke bank sampah jumlahnya banyak,” 

tutur Icha. 

Jenuh yang Sudah di Puncak

 Dua tahun setelah diresmikan Menteri Lingkungan 

Hidup, pengurus Bank Sampah Barokah As-salam mulai 

merasakan kejenuhan. Hal itu diakui sendiri oleh Icha. 

“Kayaknya, bosan juga ya orang menjaga bank sampah,” 

katanya. 

 Akhirnya, mekanisme penyetoran sampah pun 

berubah. Tidak ada lagi petugas yang menerima setoran 

nasabah. Karena para nasabah mengetahui tempat 

penyimpanan kunci gudang sampah, nasabah sendirilah 

yang meletakkan sampahnya di gudang. Jika sampah 

di gudang mulai menumpuk, pengurus menelepon 

pengepul agar datang untuk menimbang dan menjemput 

sampah. 

 Lalu, tibalah tahun 2014. Kejenuhan pengurus Bank 

Sampah Barokah As-salam agaknya sudah sampai di 

titik puncak. Kantor dan gudang sampah diambil alih 

para pemuda warga perumahan. Lalu, dijadikan tempat 

180


mereka berkegiatan. Sejak itulah, Bank Sampah Barokah 

As-salam stagnan. 

TERONGGOK. Mesin 

pencacah plastik 

teronggok begitu 

saja di gudang Bank 

Sampah Barokah 

As-salam. Hanya jadi 

saksi bisu bahwa di 

situ pernah ada bank 

sampah.

 Memang, penghasilan dari transaksi sampah di bank 

sampah tidak bisa menjadi pegangan bagi pengurus 

bank sampah. Nilainya tak seberapa. Apalagi sejatinya 

bank sampah lebih banyak menitikberatkan pada unsur 

sosial, ketimbang unsur komersial. Kebanyakan pengurus 

Bank Sampah Barokah As-salam adalah para pemuda di 

komplek perumahan. Nah, bagi para pemuda, penghasilan 

mereka sebagai pengurus Bank Sampah Barokah As-

salam tidak terlalu menjanjikan. “Akhirnya mereka kabur 

dan mencari pekerjaan lain,” ucap Icha. 

Tadinya Juara Pertama

 Kisah mati suri bank sampah di Kota Padang, juga 

dialami Bank Sampah Limpapeh Minang. Bank sampah 

ini berlokasi di Komplek Indah Tarok Permai I, Kelurahan 

Gunuang Sarik, Kecamatan Kuranji, Kota Padang. Kini 

tak lagi terdengar kiprahnya. Padahal, bank sampah 

yang berdiri pada Oktober 2011 ini, pernah membawa 

Kelurahan Gunuang Sarik menjadi juara nasional Lomba 

Lingkungan Bersih dan Sehat se-negara kita  pada Juni 

2012. 

181


 Jika Bank Sampah Barokah As-salam mendapatkan 

dana CSR, beda halnya dengan Bank Sampah Limpapeh 

Minang. Bank sampah ini sepenuhnya mengandalkan 

swadaya warga . Warga empat Rukun Tetangga (RT) 

di Tarok Permai I menanamkan saham di Bank Sampah 

Limpapeh Minang. 

 Pendapatan Bank Sampah Limpapeh Minang juga 

berasal dari penjualan produk kerajinan daur ulang sampah. 

Konsumennya cukup beragam. Bahkan, pada Januari 

2013, bank sampah ini pernah mendapat kunjungan ahli 

penyakit demam berdarah dari Singapura dan Malaysia. 

Pada kunjungan itu , orang-orang negeri jiran itu tak 

lupa membeli produk kerajinan daur ulang sampah hasil 

karya pengurus Bank Sampah Limpapeh Minang. 

 Bank Sampah Limpapeh Minang dulu juga pernah 

mengembangkan produk aerobic composter. Alat ini 

berguna untuk menguraikan sampah organik rumah 

tangga. saat  itu, aerobic composter ini dijual seharga 

300 ribu rupiah per unit. Pupuk cair yang dihasilkan dari 

proses penguraian sampah dengan aerobic composter ini 

juga dijual seharga 12 ribu rupiah per liter. 

KOMPOS. Bank Sampah 

Limpapeh Minang dulu 

memproduksi aerobic 

composter. Alat ini bisa 

menghasilkan pupuk kompos.

 Sayang, semua keberhasilan itu kini hanya 

tinggal kenangan. Menurut Syaifuddin Islami, pegiat 

182


lingkungan dan penggagas banyak bank sampah di 

Sumatra Barat, stagnan-nya Bank Sampah Limpapeh 

Minang disebabkan hal sepele. “Setahu saya, Bank 

Sampah Limpapeh mulai stag saat  terjadi pergantian 

pengurus Rukun Warga (RW). Pengurus baru menutup 

kantor dan gudang bank sampah,” kata Ilam, sapaan 

akrab Syaifuddin Islami. 

Bangkit Usai Terjatuh

 Jatuh bangun bank sampah memang kerap terjadi. 

Ada yang ambruk, lalu berhasil bangkit kembali. Ada pula 

yang jatuh, lalu tak terdengar lagi kiprahnya. Bank Sampah 

Malang bisa dijadikan contoh kebangkitan kembali sebuah 

bank sampah. Dua kali Bank Sampah Malang mengalami 

kondisi menyesakkan. Pertama, lantaran dibohongi oleh 

mitra yang diajak mengoperasikan Bank Sampah Malang. 

Kedua, gara-gara pengemudi mobil pengangkut sampah 

menilep uang hasil penjualan sampah. 

 Namun, Rahmat Hidayat, pendiri Bank Sampah 

Malang, pantang menyerah. Dua kali kebobolan itu malah 

menjadi pelajaran berharga baginya. Kini, Bank Sampah 

Malang terus moncer dan menjadi salah satu solusi 

unggulan Kota Malang mengatasi persoalan sampah. 

“Manajemen bank sampah itu harus benar-benar serius. 

Layaknya bank benaran lah,” tutur Rahmat. 

BANGKIT. Hanggar 

tempat menggiling 

plastik di Bank 

Sampah Malang. 

Sempat jatuh, BS 

Malang berhasil 

bangkit.

183


 Tak gampang bagi sebuah bank sampah yang 

sudah sempat loyo, bisa bangkit kembali. Dibutuhkan 

visi dan kepemimpinan yang tegas untuk membenahi 

manajemen sebuah bank sampah yang sempat terpuruk. 

Tak kalah penting juga adalah pengurus bank sampah 

harus memiliki jiwa sosial yang tinggi. Sebab, bank sampah 

labih banyak menyentuh urusan sosial kewarga an, 

ketimbang urusan komersial berbau kemewahan. 

 Dan, Rahmat agaknya memiliki unsur-unsur itu . 

Dia pun akhirnya memutuskan untuk lebih ketat dalam 

urusan mengontrol Bank Sampah Malang. Di sela-sela 

kesibukannya sebagai seorang aparat sipil negara (ASN) 

di Kota Malang, Rahmat tetap meluangkan waktunya 

mengurus Bank Sampah Malang. Dia kapok dan tak mau 

kecolongan lagi.

Semangat yang Perlahan Meredup

 Praktik yang dilakukan Rahmat ini bukanlah perkara 

mudah. Keseriusan mengelola bank sampah menjadi 

keharusan. Dan, kata kunci penting adalah manajemen 

yang bagus. Ihwal kepengurusan dan manajemen bank 

sampah yang buruk, ditambah dengan ketidakpedulian 

banyak pihak, membuat bank sampah terkadang jadi tak 

berdaya. Semangat yang menggebu di awal pendirian, 

perlahan redup. Inilah salah satu penyebab banyaknya 

bank sampah di negara kita  yang kini mati suri. 

 Data di Kementerian Lingkungan Hidup dan 

Kehutanan (KLHK) per Juni 2019 mencatat jumlah bank 

sampah di seluruh negara kita  sebanyak 8.036 unit. Total 

nasabah berjumlah 246 ribu nasabah. 

 Selain soal manajemen, peran pemerintah juga 

menjadi isu krusial. Bambang Suwerda, penggagas bank 

sampah di negara kita , menyodorkan data yang cukup 

mengejutkan. Bambang mencontohkan keberadaan 

184


bank sampah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Lebih dari 1.500 unit bank sampah berdiri di Yogyakarta. 

Namun, kurang dari separuhnya yang sanggup bertahan.

 Bambang menyoroti peran pemerintah di balik mati 

surinya bank sampah. Seharusnya, pemerintah daerah 

memberikan perhatian lebih kepada bentuk usaha  

warga  mengelola sampah melalui bank sampah. 

“dibandingkan  dana 50 juta rupiah dipakai untuk menggelar 

wayang semalam suntuk, lebih baik dananya dipakai 

untuk mengelola sampah,” ujar Bambang.

PERHATIAN. Bambang 

Suwerda menghadiri rapat 

dengan DPRD Yogyakarta. 

Bambang menyoroti 

kurangnya perhatian 

pemerintah daerah kepada 

bank sampah.

 Memang tak gampang mengelola sampah. Padahal, 

bank sampah sejatinya bisa menjadi salah satu solusi 

menangani masalah persampahan di negara kita . Kesadaran 

warga  menyetorkan sampahnya ke bank sampah, 

sesungguhnya sudah cukup tinggi. Alangkah sayangnya 

jika tingkat kesadaran itu bertepuk sebelah tangan, karena 

bank sampah yang hendak dituju warga  sudah tidak 

lagi beroperasi. 

 Bangunan kantor dan gudang bank sampah memang 

bisa saja masih ada. Seperti bekas bangunan Bank Sampah 

Barokah As-salam, Kota Padang. Namun, tak lagi tersisa 

kegiatan menyetor dan menimbang di sana. Bangunan 

abu-abu itu kini hanya menjadi perlambang, bahwa 

sesungguhnya warga  tetap punya niat mengelola 

sampah yang mereka hasilkan.

185


186


KISAH PARA 

PENDEKAR

BAB

5

Sepuluh orang yang patut disebut sebagai 

“pendekar sampah”. Mereka bergelut dengan 

urusan sampah. Dan, ada di antaranya yang 

melakoni hidup dalam jalan sunyi. Sepuluh orang 

ini memang hanya segelintir manusia negara kita  

yang peduli dengan sampah. Tentu, masih banyak 

“para pendekar sampah” lainnya yang juga 

berjuang demi masa depan bumi yang lebih cerah.

187


TRI RISMAHARINI

DIA YANG MENJADI 

TELADAN

Risma adalah sosok pejabat yang tak segan 

turun langsung memberikan contoh kepada 

warganya. Risma juga kerap berang kepada 

warga Surabaya yang tak peduli dengan 

urusan sampah. Seabrek gebrakan Risma 

kini sudah terbukti. Surabaya menjadi kota 

yang nyaman dihuni.


188


Perempuan berkerudung itu mengambil sapu yang disodorkan ajudannya. Sepatu boots memang telah dia kenakan semenjak di dalam mobil. Tanpa ragu, 

Tri Rismaharini, sang perempuan berkerudung yang akrab 

disapa Risma, langsung menyapu sampah di salah pojok 

jalan Kota Surabaya. 

 Warga Kota Surabaya amat sering menyaksikan 

pemandangan seperti itu. Mereka memang mengenal 

Risma sebagai orang yang amat peduli dengan kebersihan. 

Maka, jangan heran jika di mobil dinasnya, Risma selalu 

menyiapkan sapu, sepatu boots, dan beragam alat 

kebersihan lain. Risma memang memiliki kepedulian yang 

luar biasa terhadap persoalan sampah di Surabaya. Risma 

paham betul seluk-beluk urusan sampah di Surabaya. 

Pada 2005, dia pernah menjadi Kepala Dinas Kebersihan 

dan Pertamanan Kota Surabaya. 

 Sebuah kenyataan pahit sempat Risma alami saat 

menjadi Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan. 

Bahkan, dia pun pernah menangis, di awal masa 

jabatannya itu. Penyebabnya adalah kelakuan nyeleneh 

warga Kota Surabaya. “Awal jadi kepala Dinas Kebersihan 

dan Pertamanan, saya pernah nangis lho. Lah yok opo, pas 

bongkar sampah di Jalan Pemuda, aku nemu kresek isinya 

kotoran manusia,” tutur Risma tersenyum mengingat 

kejadian sekian tahun lampau itu. Dia membayangkan 

bagaimana perilaku warga Surabaya di pinggiran kota. 

MENANGIS. Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, 

pernah menangis di saat awal menjadi Kepala 

Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota 

Surabaya.

189


 Peristiwa itu menjadi sebuah pengingat penting bagi 

Risma, betapa urusan mengubah perilaku warga  

tak segampang membalik telapak tangan. Saat menjabat 

sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan inilah, 

Risma memanfaatkan betul segala ruang yang dia 

miliki untuk mengubah perilaku warga Surabaya. Risma 

meyakini prinsip keteladanan. Karenanya, dia bertekad 

menunjukkan keteladanan itu  kepada warga 

Surabaya. Berangkat pagi-pagi dari rumah, Risma tak 

langsung menuju kantor. Dia minta supirnya membawanya 

keliling Kota Surabaya. Risma ingin mengawasi langsung 

kerja petugas kebersihan menyapu jalan. 

MENYAPU. Walikota Risma 

tak segan langsung turun 

menyapu jalanan Kota 

Surabaya. Di dalam mobilnya 

selalu tersedia peralatan 

kebersihan.

 Tak jarang, Risma turun dari mobilnya, mengambil 

sapu, lalu ikut menyapu. “Mengubah perilaku orang 

itu tak mudah. Jadi, saya harus menunjukkan kepada 

warga Surabaya lewat perilaku saya sendiri,” ujar Risma 

menyodorkan filosofi hidupnya. 

 Selain menunjukkan dengan perilaku, Risma pun 

meminta warga Surabaya untuk mulai peduli mengelola 

sampah. Dia mengajak warga memilah sampah sejak 

190


dari rumah. Sampah yang laku dijual, bisa dijual dan 

menghasilkan uang. Sampah yang bisa didaur ulang, 

dapat diubah menjadi kerajinan. Dengan begitu, sampah 

yang terpaksa dibuang ke TPA pun bisa berkurang. 

Apalagi, saat menjabat sebagai Kepala Dinas Kebersihan 

dan Pertamanan, TPA Keputih sudah ditutup sejak 2001. 

Mosok Cuma Nonton Walikota

 Pada 2010, Risma terpilih menjadi Walikota Surabaya. 

Dia merasa memiliki kekuatan lebih besar lagi untuk 

mengelola sampah di kotanya. Namun, tetap saja 

beberapa  persoalan mengadangnya. Jumlah penduduk 

Surabaya terus bertambah. Akibatnya, sampah yang 

dihasilkan pun kian meningkat. Sebagai walikota, Risma 

tentu saja masygul. “Kalau Surabaya kotor dan kumuh, 

siapa yang mau tinggal di sini,” ucap perempuan kelahiran 

Kediri, November 1961 ini. 

 Risma juga menghadapi kendala lain: anggaran yang 

terbatas. Kota Surabaya tidak mempunyai keleluasaan 

anggaran dalam urusan pengelolaan sampah. Karena 

itu, Risma amat menyadari pentingnya melibatkan 

warga  untuk mengelola sampah, utamanya dengan 

memilah sampah sejak dari rumah. 

 Kendati sudah menjabat sebagai Walikota Surabaya, 

tetap saja Risma tak mudah menggugah kesadaran 

warganya untuk memilah sampah. “Banyak warga yang 

ndak ngerti apa yang harus mereka lakukan untuk 

mengelola sampah,” tutur Risma. 

 Untunglah, filosofi keteladanan yang dianut penuh 

oleh Risma, membuatnya bisa langsung terjun ke 

warga  dan memberikan contoh. “Mosok iyo warga 

saya cuma nonton saja saat  walikotanya turun langsung 

membersihkan sampah, atau memilah sampah,” katanya 

sembari tergelak. 

191


 Di masa awal menjabat sebagai walikota, Risma belum 

mendengar konsep bank sampah. Karena itu, langkah 

pengelolaan sampah sejak dari rumah yang dia contohkan 

kepada warga hanya memisahkan sampah organik 

dan nonorganik. Sampah organik dijadikan kompos. 

Sedangkan sampah nonorganik dijual ke pelapak. 

BANK SAMPAH. Tri 

Rismaharini meresmikan 

sebuah bank sampah di Kota 

Surabaya.

 Setelah Risma mengetahui ada bank sampah, dia 

pun segera bergerak cepat. Di beberapa wilayah yang 

akan mendirikan bank sampah, Risma hadir dalam 

peresmiannya. Salah satunya adalah bank sampah di 

Simo Jawar, yang berdiri pada Agustus 2018 silam. Kepada 

warga yang hadir dalam peresmian bank sampah, Risma 

berkata, “Panjenengan bisa nabung tidak hanya dengan 

uang. Panjenengan sekarang bisa juga nabung dengan 

sampah. Nanti sampahnya disetor ke bank sampah, 

ditimbang, lalu dijual. Panjenengan akan dapat uang dari 

hasil penjualan sampah itu”. 

 Risma gembira terhadap antusiasme warga Kota 

Surabaya untuk menyetorkan sampah yang sudah 

mereka pilah dari rumah ke bank sampah. Risma merasa 

dipermudah dengan keberadaan bank sampah. Dengan 

percaya diri, dia bisa menyampaikan kepada warga bahwa 

sampah sudah tidak lagi dipandang sebagai barang tak 

192


berguna dan harus dibuang. Sebab, ternyata sampah juga 

memiliki nilai ekonomis. Kini, jumlah bank sampah di Kota 

Surabaya sudah hampir 300 unit. 

Mengubah Sampah Jadi Listrik

 Terobosan Risma tak berhenti hanya sampai di bank 

sampah. Dia masih menyimpan kerisauan terhadap 

sampah selain organik dan nonorganik yang tak bisa diolah, 

alias sampah residu. Satu-satunya jalan hanya membuang 

sampah itu  ke TPA. Padahal, saat  itu Kota Surabaya 

belum memiliki TPA yang terkelola dengan baik. 

 Lantas, terpikirlah oleh Risma tenaga listrik yang 

berasal dari sampah. Sebagai insinyur elektro lulusan 

Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS), Risma 

tentu cukup paham dengan urusan tenaga listrik. Dia 

pun menyampaikan gagasannya itu ke pihak ITS. Gayung 

bersambut. ITS bersedia membuat Pembangkit Listrik 

Tenaga Sampah (PLTSa). Dan, berdirilah PLTSa Benowo, di 

dekat TPA Benowo, Surabaya. “Itu adalah PLTSa pertama 

di negara kita ,” ucap Risma sumringah. 

LISTRIK. Risma bangga akan 

keberhasilan kota Surabaya 

memproduksi listrik dari 

sampah melalui Pembangkit 

Listrik Tenaga Sampah (PLSa).

 PLTSa Benowo setiap hari mampu mengolah sampai 

1.400 ton sampah di TPA Benowo menjadi tenaga listrik. 

Dari mengolah sampah sebesar itu, PLTSa Benowo sanggup 

menghasilkan listrik sebesar sebelas megawatt. PLN akan 

membeli listrik yang dihasilkan PLTSa Benowo. Dan, uang 

hasil penjualan listrik masuk ke kas Pemkot Surabaya. 

193


 Keberhasilan PLTSa Benowo membuat Risma 

berkeinginan memperbanyak PLTSa di Kota Surabaya. 

Risma yakin, PLTSa ini akan semakin mengurangi jumlah 

sampah di Surabaya. “Sebenarnya tujuan membuat PLTSa 

ini bukan untuk mendapatkan listrik yang dihasilkan dari 

sampah. Tapi, lebih bertujuan menangani sampah di 

Surabaya yang tidak bisa diapa-apakan itu,” kata Risma. 

 Selain di Benowo, di Surabaya sebenarnya juga sudah 

ada beberapa PLTSa. Misalnya, di Tempat Pengolahan 

Sampah Taman Bibit Wonorejo, di Jambangan, dan 

di Bratang. Hanya saja, energi listrik yang dihasilkan 

oleh beberapa PLTSa itu  maksimal cuma empat 

kilowatt. 

Naik Bus Bayar Pakai Sampah 

 PLTSa hanya salah satu dari inovasi Pemerintah 

Kota Surabaya mengelola sampah. Teroboson lain yang 

juga cukup unik adalah membayar bus dengan botol 

atau gelas plastik air mineral. Namanya Suroboyo Bus. 

Pada April 2018, Risma meresmikan program ini. “Ide 

naik bus dengan bayaran sampah ini terlintas begitu 

saja. Alhamdulillah sampai sekarang programnya masih 

berjalan,” kata Risma.

 Penumpang Suroboyo Bus tak perlu mengeluarkan 

uang untuk naik bus mewah itu , dan mengelilingi 

kota Surabaya selama dua jam. Mereka cukup membayar 

ongkos bus dengan lima botol plastik bekas air minum 

ukuran tanggung, atau tiga botol plastik besar, atau 10 

gelas plastik air mineral, kantong plastik, dan kemasan 

plastik lainnya. 

 Bagi calon penumpang yang tak ingin membawa 

sampah plastik, mereka bisa menukarkan jenis sampah 

yang diterima bank sampah. Sampah itu bisa ditukarkan 

dengan tiket bus, di bank sampah, drop box halte, atau 

194


drop box Terminal Purabaya. Setelah menyetorkan 

sampah, calon penumpang akan mendapatkan tiket bus. 

Saat ini, sudah ada tiga bank sampah di Kota Surabaya 

yang bekerja sama dengan Suroboyo Bus. 

BUS SAMPAH. Tri Rismaharini 

menggagas sebuah bus 

mengelilingi Kota Surabaya. 

Penumpang cukup 

membayar dengan sampah.

 Alat bayar bus boleh hanya dengan sampah. Tapi, 

jangan diragukan kecanggihan Suroboyo Bus ini. 

Delapan armadanya sengaja didesain sangat bagus 

dan canggih. Untuk menjamin keamanan penumpang 

bus berukuran panjang 12 meter dan lebar 2,8 meter 

ini, terpasang 12 kamera CCTV pada bagian dalam, dan 

tiga kamera CCTV pada bagian luar. Pintu bus juga 

dilengkapi sensor. Jadi, jika ada penumpang yang 

menghalangi, pintu bus tidak akan menutup dan bus 

tidak akan berjalan. 

 beberapa  inovasi pengelolaan sampah di Surabaya, 

membuat Risma diganjar berbagai penghargaan, 

termasuk untuk level dunia. Pada 2012, Risma berhasil 

mengantarkan Kota Surabaya sebagai kota terbaik tingkat 

partisipasi warganya dalam mengelola lingkungan se-Asia 

Pasifik versi Citynet. Lalu, pada 2015, Risma dinobatkan 

sebagai walikota terbaik ketiga dunia versi World City 

Mayors Foundation. Risma dinilai berhasil mengubah 

wajah Kota Surabaya dari kota kumuh menjadi kota hijau 

dan tertata rapi. 

195


INTERNASIONAL. Tri 

Rismaharini menjadi salah 

seorang pembicara pada 

sebuah forum internasional 

di Turki.

 beberapa  penghargaan itu diperuntukkan oleh 

Risma bagi warga Kota Surabaya. Setiap kali berpidato di 

forum internasional, Risma selalu membanggakan warga 

kotanya. “Semua penghargaan itu bukan untuk seorang 

Risma. Tapi, itu adalah penghargaan untuk seluruh warga 

Kota Surabaya,” ucapnya. 

Kim Jong Un pun Diem

 Risma memang sudah menyerahkan hidupnya 

mengabdi kepada warga Kota Surabaya. Dia tak kenal lelah 

memberikan yang terbaik bagi kotanya. Bahkan, dalam 

kondisi sakit pun, Risma tetap memikirkan warganya. 

Karena itu, tak jarang Risma harus menumpahkan 

amarahnya di saat dia menyaksikan ada yang tidak 

menghargai partisipasi warga Surabaya menjaga 

keindahan dan kebersihan lingkungan. 

 Insiden Taman Bungkul pada 2014 menjadi salah satu 

catatan pengingat ihwal ketegasan sikap Risma. Pada 

Ahad, 11 Mei 2014, sebuah perusahaan es krim menggelar 

acara bagi-bagi es krim gratis di Taman Bungkul. Warga 

menyerbu Taman Bungkul, untuk mendapatkan es 

krim gratis. Akibatnya bisa ditebak: taman rusak parah. 

Mendapatkan laporan kejadian di Taman Bungkul, Ahad 

pagi itu juga Risma segera bergegas menuju Taman 

196


Bungkul. Betapa tercengangnya Risma mendapati taman 

yang pernah diberikan penghargaan dari Perserikatan 

Bangsa-Bangsa itu dalam kondisi poranda. 

 Risma lalu mendatangi panitia. Dengan nada tinggi, 

dia berkata kepada panitia, “Kalian lihat ini, semuanya 

rusak. Kami bangun ini bersama warga dengan biaya 

ndak sedikit. Kalian seenaknya saja merusak”. Risma 

memang patut berang. Jerih payahnya menata Kota 

Surabaya, termasuk salah satunya Taman Bungkul, 

diciderai begitu saja. Tapi, bagi Risma, kemarahan itu 

adalah bentuk ketegasan. Dan, warga Surabaya sudah 

amat mafhum dengan ketegasan Risma. Warga bangga 

dengan walikotanya itu. 

 Sebuah peristiwa cukup unik terjadi pada 

September 2019 lalu. Saat itu, mahasiswa di seluruh 

negara kita  bergerak, menentang revisi undang-undang 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di Surabaya, 

aksi unjuk rasa mahasiswa dihiasi dengan hashtag 

#SurabayaMenggugat. Media sosial pun saat  itu 

diwarnai dengan ingatan warganet terhadap peristiwa 

Taman Bungkul. Mahasiswa diingatkan agar berunjuk 

rasa secara tertib dan tidak merusak taman. Lucunya, 

ada warganet yang mencuit begini: “Bu Risma kalau 

marah, Kim Jong Un diem”. Padahal, semua tahu bahwa 

Kim Jong Un adalah pemimpin Korea Utara yang dikenal 

bertemperamen tinggi.

 Kelakar model itu sebenarnya hanyalah cerminan 

betapa warga Surabaya amat mencintai Risma. Mereka 

tahu, berkat kerja keras dan kedisiplinan Risma-lah, Kota 

Surabaya menjadi seperti sekarang. “Ini kota yang benar-

benar layak huni. Lihat saja, trotoar lebar dan memanjakan 

para pejalan kaki. Belum lagi bunga tabebuya yang kini 

sedang mekar. Ini semua kami yakini berkat kerja keras Bu 

Risma,” ujar Sumedi, seorang warga Surabaya. 

197


TABEBUYA. Risma 

memperindah kota Surabaya. 

Trotoar diperlebar. Bunga 

tabebuya saat sedang 

mekar, menambah indah 

pemandangan.

Semua Demi Keteladanan

 Kerja keras memang menjadi kata kunci bagi Risma. 

Pun, kedisiplinan. Dari keduanyalah Risma meyakini akan 

muncul berbagai terobosan dan inovasi untuk membuat 

Kota Surabaya terus menata diri. Dan, Risma menyadari, 

berbagai inovasi dan terobosan pengelolaan sampah 

di Kota Surabaya, akhirnya mampu mengubah perilaku 

warga secara signifikan. Dia mengenang, pada masa 

lalu Kota Surabaya juga sudah mencoba membangun 

infrastruktur pengolahan sampah secara masif. 

 Sayangnya, menurut Risma, usaha  itu semata 

dilakukan hanya untuk mengejar penghargaan Adipura. 

Karena warga tidak diajak berpartisipasi, kebijakan itu 

pada ujungnya tidak bakal bertahan. “saat  walikota 

berganti, warga  kembali lagi tak peduli dengan 

urusan sampah,” ucap Risma. 

TELADAN. Tri Rismaharini 

menganut prinsip 

keteladanan. Dia memberikan 

contoh secara langsung agar 

warga Surabaya peduli.

198


 Karena itu, Risma tak ingin semua kebijakannya dalam 

urusan sampah akan tinggal kenangan pada saat dia tak 

lagi menjabat sebagai walikota. Lagi-lagi, Risma meyakini 

filosofi keteladanan akan mampu membuat berbagai 

terobosannya dalam mengelola sampah bisa bertahan 

untuk jangka waktu lama. 

 Jadi, jangan heran jika sang walikota perempuan 

pertama sepanjang sejarah Kota Surabaya ini tak segan 

memakai sepatu boots-nya. Lalu, bersama pasukan 

kuning, Risma pun menyapu jalan di Surabaya. Tanpa 

sungkan. Semua demi keteladanan. 

199


BIJAKSANA JUNEROSANO

MIMPI BESAR SANG 

PEMBAHARU

Sano punya segudang gagasan. Lepas 

kuliah di ITB, dia membuat kantong 

belanjaan pakai ulang. Lalu, dia mendirikan 

Waste4Change. Perusahaan ini berorientasi 

informasi teknologi, sebagai solusi 

pengolahan sampah.


200


Pemuda itu sedang galau. Pendidikan SMA-nya di Banyuwangi, Jawa Timur hampir rampung. Tapi, dia masih belum bisa memutuskan hendak 

melangkahkan kakinya ke bangku kuliah di mana. Saat itu 

bertarikh tahun 2000. Lewat tengah malam, sang pemuda 

terbangun dari lelapnya. Diambilnya air wudhu, lalu dia 

bentangkan sajadah. Dengan khusyuk, dia lalu menemui 

Sang Pencipta, lewat salat Istikharah.

 Pagi hari seusai salat tengah malamnya, sang pemuda 

melihat tayangan di televisi yang menggambarkan 

betapa parahnya persoalan sampah di Jakarta. Perpaduan 

doa yang dia panjatkan kepada Sang Ilahi, plus tayangan 

di televisi, membuatnya tertarik ingin menyelami dunia 

persampahan. 

 Itulah yang akhirnya membuatnya berketetapan hati 

memilih Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi 

Bandung (ITB) sebagai pijakan pendidikan berikutnya. 

Dan, segala rapalan doa yang ditujukannya kepada Tuhan, 

berbuah manis. Dia diterima menjadi mahasiswa ITB, 

Jurusan Teknik Lingkungan.

MIRIS. Bijaksana Junerosano 

amat peduli dengan 

lingkungan. Dia masuk ITB 

pun karena miris melihat 

sampah di Jakarta.

 Pemuda itu bernama Bijaksana Junerosano. “Panggil 

saya Sano saja,” ujarnya. Boleh jadi, lantaran namanya 

yang tak biasa, membuatnya lebih suka dipanggil Sano. 

Dua suku kata terakhir pada kata kedua namanya. 

201


 Medio 2000, mulailah Sano mengembara ke Bandung. 

Sebagai mahasiswa ITB, Sano tentu banyak mendapatkan 

pengalaman. Tak hanya pengalaman dari sisi pendidikan, 

Sano juga mengasah kemampuannya berorganisasi. Bagi 

Sano, kampus ITB menjadi tempat paling asyik dalam 

membenturkan dan mengadu banyak hal dan argumentasi.

MAHASISWA. Di Kampus ITB, 

Sano mendapatkan banyak 

hal. Salah satunya adalah 

perbenturan gagasan yang 

acap terjadi.

 Pada 2006, Sano mulai memikirkan ide untuk 

berkiprah di bidang lingkungan. Muncullah gagasannya 

membentuk Yayasan Greenaration. Nama Greenaration 

tentulah didapat dari perpaduan green (hijau) dan 

generation (generasi). Sebuah nama yang cukup unik 

untuk menggambarkan generasi hijau yang berkonotasi 

dengan lingkungan hidup. 

Tak Sengaja, Tapi Harus Punya

 Sampai 2008, Sano masih meraba-raba format 

dan konsep yayasan. Fase itu juga ditandai dengan 

pembentukan tim. Lalu, pada 2008, Sano dan tim 

membuat kantong belanja yang bisa dipakai ulang. 

Namanya baGoes. Tak berhenti sampai di situ, pada 2009, 

Sano dan tim juga menggagas edukasi untuk anak-anak 

melalui media kreatif. Mereka namakan programnya 

“Petualangan Banyu”. 

202


 Senyampang itu, kantong belanja baGoes terus 

disosialisasikan. Akhirnya, pada 2020, Circle-K, sebuah 

minimarket yang banyak tersebar di kota Bandung, 

tertarik memakai  kantong belanja baGoes. Pada 

2011, berdirilah PT Greenaration negara kita . “Ini sebenarnya 

nggak sengaja. Circle-K yang mewajibkan kami punya 

perusahaan untuk urusan pajak dan lain-lain,” ujar Sano. 

IDE. Sebagai pemuda enerjik, 

Sano punya cukup banyak 

ide. Salah satunya membuat 

kantung sampah yang bisa 

dipakai ulang.

 Jadilah Sano memiliki sebuah perusahaan. Padahal, 

ide awalnya adalah membuat yayasan. Jika perusahaan 

berorientasi profit, maka yayasan lebih kepada urusan 

sosial. Sano tetap tak melupakan filosofi itu. Dia menyadari 

bahwa ada bagian dari Greenaration yang harus 

mengusung semangat dan jiwa sosial. Karena itu, pada 

2014, Sano pun membentuk Greenaration Foundation. 

 Satu perusahaan sudah Sano miliki. Tapi, dia merasa 

masih ada yang belum pas dengan idealismenya. 

Apalagi kalau bukan urusan pengelolaan sampah. Sano 

menganggap, pengelolaan sampah di negara kita  belumlah 

menyentuh akar persoalan sesungguhnya. “Selama ini, 

banyak perusahaan di negara kita  yang bergerak di bidang 

persampahan, hanya menawarkan sesuatu yang masih di 

203


permukaan,” kata Sano. Dia lalu memberikan contoh jenis 

usaha di bidang persampahan yang membuat sampah 

menjadi kompos atau mengubah sampah menjadi energi.

 Pengalaman sepuluh tahun bergelut di bisnis 

persampahan, membuat Sano dan timnya menemukan 

inti persoalan: tata kelola pengelolaan sampah yang 

masih belum tepat. Penyebabnya ada tiga hal. Satu, belum 

tegaknya secara benar regulasi yang dibuat pemerintah. 

“Kita sama-sama tahulah, banyak regulasi dan kebijakan 

di bidang persamapahan yang hanya ada di atas kertas. 

Implementasinya kurang,” tutur Sano.

KEMITRAAN. Sano 

dengan seorang karyawan 

Waste4Change. Konsep 

kemitraan dengan banyak 

pihak, menjadi kunci penting 

keberhasilan pengelolaan 

sampah.

 Dua, kemitraan yang belum diletakkan pada posisi 

yang tepat. Sano melihat, banyak pemerintah daerah yang 

gagap jika ada investor yang ingin menamakan modalnya 

di bidang persampahan. Beda halnya dengan investasi 

di bidang perhotelan atau restoran. “Malah, ada sebagian 

pemda yang menganggap calon investor di bidang 

persampahan itu akan menyaingi keberadaan dinas 

kebersihan atau dinas lingkungan hidup,” ucap Sano. 

 Tiga, pendanaan yang masih belum menjadi prioritas 

utama. Pengelolaan sampah di negara kita  selama ini lebih 

mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 

(APBD). Padahal, menurut Sano, anggaran untuk urusan 

sampah di APBD ini jumlahnya amat kecil. “Tidak pernah ada 

usaha  mereformasi dan merestrukturisasi ihwal pendanaan 

ini, khususnya dengan menerapkan prinsip “siapa yang 

menghasilkan sampah harus membayar”,” kata Sano. 

Bayar Dulu, Baru Angkut

 Hasil studi yang dilakukan Sano dan timnya 

menunjukkan bahwa retribusi persampahan yang 

terkumpul di kota atau kabupaten, hanya mencapai 

30 persen dari yang seharusnya bisa diperoleh. Sisanya 

menguap lantaran warga  tidak mau membayar 

retribusi sampah. Atau, yang lebih naif, uang retribusi itu 

bocor di tengah jalan, alias dikorupsi. 

 Ketiga hal pokok itulah yang membuat Sano merasa 

yakin untuk mendirikan sebuah perusahaan baru, khusus 

berbisnis di bidang pengelolaan sampah. Dan, pada 2014, 

Sano pun mendirikan PT Waste4Change Alam negara kita . 

Dengan masalah yang sudah terpetakan, Sano merasa 

lebih gampang mengarahkan perahu bisnis barunya ini. 

Waste4Change menerapkan sistem teknologi informasi 

untuk mengelola sampah. Bentuknya berupa smart city 

alias kota pintar. Ini adalah kerja sama Waste4Change 

dengan kota atau kabupaten dalam bentuk Kerjasama 

Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). 

 Salah satu yang akan dilakukan Waste4Change adalah 

memasang rekening persampahan di setiap rumah. 

Tujuannya agar pemerintah gampang memonitor rumah 

mana yang sudah bayar retribusi sampah, dan rumah 

mana yang belum bayar. “Prinsipnya, bayar dulu, baru 

sampah diangkut,” ucap Sano. 

 Kota Bekasi, Jawa Barat, menjadi pilot project 

Waste4Change. Tapi, tak mudah bagi Sano meyakinkan 

pemangku kebijakan di Kota Bekasi untuk menerima 

proposal mereka. Butuh waktu lebih dari dua tahun, 

sampai akhirnya kesepakatan bisa ditandatangani. 

 Waste4Change kini memiliki 150 orang karyawan. 

Bersama timnya inilah Sano bermimpi bisa terbang 

setinggi awan, membawa Waste4Change menjadi sebuah 

perusahaan besar dan disegani di Tanah Air. 

 Perlahan, impian besar itu mulai dilirik banyak pihak. 

Pada Desember 2019, Waste4Change mendapatkan suntikan 

dana lumayan besar dari beberapa  investor. “Investor tertarik 

karena kami akan mengembangkan sistem teknologi 

informasi dalam pengelolaan sampah,” tutur Sano. 

 Pada 2020, Sano akan lebih getol mencari investor. 

Hal itu dia lakukan karena ingin mengembangkan konsep 

smart city di bidang persampahan secara lebih agresif. 

Tujuannya tentu saja mulia: membantu banyak kota dan 

kabupaten di negara kita  mengelola sampah. 

INVESTOR. Sano kini 

tengah ngebut mencari 

investor tambahan. Dia 

meyakini, perusahaan seperti 

Waste4Change butuh modal 

kuat untuk berkembang.

 Sano meyakini, teknologi informasi akan menjadi 

kunci dalam urusan pengelolaan sampah. Keyakinan itu 

dia peroleh dari blusukannya bersama tim ke banyak kota 

dan kabupaten di negara kita . Juga ke beberapa negara 

semisal Amerika Serikat, Belanda, dan Inggris. Teknologi 

informasi akan menjadi perangkat utama mengurai tiga 

persoalan utama – penegakkan regulasi, kemitraan, dan 

pendanaan – penyebab masih amburadulnya tata kelola 

persampahan di negeri ini.

Tak Ingin Ikut Gila

 Sano menempatkan Waste4Change sebagai perusahaan 

rintisan (start up) yang bergerak di bidang pengelolaan 

sampah. Kerjanya mulai dari mengangkut sampah, 

memilah sampah, sampai memastikan sampah yang 

sudah dipilah itu dikelola dengan baik dan benar. “Di 

luar negeri, perusahaan seperti ini dinamakan waste 

management industry,” ujar Sano. 

 Dan, Sano merasa amat yakin, Waste4Change akan 

berkembang dengan baik lantaran belum ada perusahaan 

di negara kita  yang bisnis intinya seperti Waste4Change. 

Perusahaan yang mengelola sampah spesifik, seperti sampah 

bahan beracun dan berbahaya (B3), sudah lumayan banyak di 

negara kita . Sano melihat, hal ini terjadi lantaran penegakkan 

hukum yang cukup bagus untuk urusan sampah B3. 

 Lain halnya dengan sampah rumah tangga atau 

domestik. Perusahaan yang ada di negara kita  kebanyakan 

bersifat parsial. Ada yang bergerak khusus di pengangkutan 

sampah. Atau, ada juga yang bermain di urusan daur ulang 

sampah. Namun, menurut Sano, kendati perusahaan-

perusahaan itu sudah lama berbisnis, sampah domestik 

tetap saja menjadi masalah serius hingga saat ini. 

 Sano tentu tak ingin mencontoh perusahaan-

perusahaan yang sudah lama berbisnis sampah itu . 

Dia menyitir kata-kata Albert Einstein. “Einstein bilang, 

melakukan hal yang sama berulang kali adalah sebuah 

kegilaan,” kata Sano. Maka, Sano pun tak ingin membawa 

Waste4Change terjerumus dalam kegilaan yang sama. 

 Kendati begitu, Sano tetap menyadari akan ada titik 

buta (blind spot) yang bakal ditemuinya ke depan karena 

boleh jadi ada yang luput dari pengamatannya. Untuk itu, 

Sano amat berharap semua stakeholders yang terlibat 

dalam pengelolaan sampah memiliki visi yang sama. Sano 

hanya meminta diberi kesempatan dan kepercayaan agar 

peluang keberhasilannya lebih besar, ketimbang terus 

melakukan pola yang sama dengan yang sudah dilakukan 

selama ini. 

Tak Bisa Tiap Bulan Pulang Bawa Gaji

 Sano memang memiliki kepercayaan diri yang tinggi. 

Salah satu tempat yang mengasah ke-pede-an Sano adalah 

Ashoka Foundation. Ya, Sano memang pernah terpilih 

menjadi Young Changemaker Ashoka 2007. Dan, Sano pun 

lebih senang dianggap sebagai pembaharu (changemaker), 

ketimbang dipandang sebagai aktivis lingkungan. Sebab, 

Sano menekuni dua jalur jalan: sebagai aktivis, juga sebagai 

pebisnis. “Saya selalu ingin menawarkan sesuatu yang baru 

sebagai sebuah jalan keluar,” kata Sano. 

 Pengalaman 2007 saat mengikuti program Ashoka, 

ternyata meninggalkan banyak bekas pada diri Sano. 

Dia mendapatkan banyak ilmu, wawasan, dan referensi 

bagaimana perjuangan para pembaharu di dunia. Itu 

menjadi bekal amat penting bagi Sano menapaki jejaknya 

sampai sejauh ini. 

 Tak ketinggalan pula peran orang tua dan keluarganya. 

Sano bersyukur memiliki orang tua yang mampu 

menyekolahannya sampai menjadi seorang sarjana Teknik 

Lingkungan ITB. Begitu pula peran istri dan mertuanya. 

“Kalau istri saya tipe yang menuntut saya pulang ke 

rumah tiap akhir bulan dengan membawa beberapa  uang 

sebagai gaji saya, tentu saya tak bisa menjadi seperti 

sekarang,” kata Sano tergelak. 



Apakah kini Sano masih tetap galau, seperti halnya kejadian 

pada tahun 2000 silam? Boleh jadi iya. Namun, kegalauan 

Sano saat ini bukan lagi dalam urusan menentukan ke 

mana akan melanjutkan pendidikan. Agaknya, Sano 

kini galau dengan seabrek gagasan di kepalanya untuk 

menjadikan negara kita  mengelola sampah secara lebih 

baik. Hanya saja, saluran kegalauan Sano kini sudah dia 

miliki: Waste4Change dan Greenaration negara kita .


Dia selalu ingin datang ke negara kita . Tapi, dia tak sedang hendak melancong. Pada 1990, dia pertama kali menginjakkan kakinya di Bumi 

Pertiwi. Di tanah Papua dia berlabuh. Dan menjadikannya 

jatuh cinta kepada negara kita . Dua setengah tahun 

lamanya dia di Papua. Menjadi konsultan konservasi alam 

di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 

Lalu, dia kembali ke kota asalnya di Roma, Italia. Pada 

1994, dia kembali ke negara kita . Kali ini, tanah Sumatra 

yang dijejaknya. Lebih lama dari Papua. Sembilan tahun 

dia bekerja di Batam.

 Dia adalah Paola Cannucciari. Perempuan Italia yang 

mencintai negara kita . Saking cintanya kepada negara kita , 

Paola memutuskan menetap di Bali, bersama suaminya, 

I Ketut Mertaadi, seorang pria asal Pulau Dewata. “Saya 

datang ke negara kita  bukan untuk jalan-jalan sebagai 

turis. Tapi saya datang untuk bekerja,” kata Paola dengan 

bahasa negara kita  yang fasih. 

CINTA. Paola Cannucciari bersama suami, I Ketut 

Mertaadi. Cinta orang Bali, cinta negara kita , cinta 

lingkungan bersih.

 Kecintaannya kepada lingkungan hidup, membuatnya 

ingin mengembangkan hal lain yang bersinggungan 

dengan urusan lingkungan. Pada 2006, muncullah 

gagasannya bersama sang suami, dan dua orang teman 

– Gianpaolo Righetti dan Ibu Can – untuk mengelola 

sampah di Bali. Ide awalnya datang dari teman-temannya 

sesama expatriat di Bali. “Mereka memberikan inspirasi ke 

kami, masalah sampah di Bali akan menjadi besar pada 

beberapa waktu ke depan, jika tidak ditangani dengan 

baik,” ujar Paola. 

Menolak Jika Tak Dipilah

 Dengan bermodalkan keyakinan, Paola dan Ketut 

pun mendirikan ecoBali Recycling. “Waktu memulai 

ecoBali Recycling, kami sama sekali tidak punya business 

plan. Modalnya hanya nekat,” kata Paola. Tapi, berbekal 

pengalaman dan pengetahuan mengelola sampah 

selama menjadi konsultan di luar negeri, Paola meyakini 

usahanya bakal berhasil. 

 Prinsip dasar yang mereka kembangkan sebenarnya 

amat sederhana: membuang sampah ke dua tong sampah 

berbeda. Satu tong sampah untuk sampah kertas, satu 

tong lain untuk sampah plastik, gelas, dan metal. Secara 

konsep memang sederhana. Namun, pelaksanaannya 

tak gampang. “Itu kan harus mengubah mindset orang. 

Biasanya, mereka hanya membuang ke satu tong sampah 

nonorganik saja,” tutur Ketut. 

cuma mengangkut sampah, tapi juga mengembangkan 

unsur edukasi dan inovasi. Kepada calon pelanggan, 

ecoBali Recycling akan memberikan edukasi terlebih 

dulu. Calon pelanggan harus paham kenapa mereka 

diwajibkan memilah sampah. EcoBali Recycling tak akan 

segan menolak calon konsumen yang tak mau memilah 

sampah. Mereka juga akan memperoleh penjelasan 

tentang bahaya sampah plastik. 

 Secara teori, sampah plastik merupakan jenis sampah 

yang susah terurai. Dibutuhkan waktu puluhan tahun 

agar alam bisa menguraikan atau menghancurkan 

sampah plastik. Jadi, calon pelanggan ecoBali Recycling 

harus meyakini bahwa memilah sampah bukanlah untuk 

menambah pekerjaan. 

EDUKASI. Paola Cannucciari 

dan tim ecoBali sering 

mendatangi sekolah-sekolah, 

untuk memberikan edukasi 

tentang pengelolaan sampah.

 EcoBali Recycling juga melakukan edukasi ke banyak 

sekolah di Bali. Juga menggandeng industri perhotelan. 

Kegiatan ini bertujuan mengampanyekan pola hidup 

zero waste di Bali. Sejak berdiri, ecoBali Recycling sudah 

melibatkan lebih dari 18 ribu siswa sekolah, lebih dari 

seribu guru, dan 1.500 pelaku perhotelan di Bali dalam aksi 

peduli kebersihan.

Mobil Saja Menyewa

Di awal berdiri, ecoBali Recycling hanya bisa menjaring 

empat orang pelanggan. Itu pun semua dari kalangan 

expatriat. EcoBali Recycling menyediakan dua kantong 

sampah untuk pelanggannya. Kantongnya terbuat dari 

parasut. Kantong berwarna hijau untuk sampah kertas. 

Kantong berkelir merah untuk plastik, gelas, dan metal. 


 Paola dan Ketut mengenang masa-masa awal 

berdirinya EcoBali Recycling. Belum memiliki kantor, 

pasangan suami istri menjalankan usahanya dari rumah 

mereka. “Mobil saja kami sewa sepekan sekali,” tutur 

Paola. Mobil sewaan itulah yang setiap pekan mengambil 

sampah ke rumah para pelanggan EcoBali Recycling. 

menjadi pelanggan mereka adalah orang yang punya 

kepedulian tinggi terhadap pengelolaan sampah. Kalau 

calon pelanggan tak bersedia memisahkan dan memilah 

sampah, ecoBali Recycling akan menolak. 

 Dari iklan mulut ke mulut itulah, ecoBali Recycling kini 

punya lebih dari seribu pelanggan. Biaya yang dibebankan 

kepada pelanggan sebesar 100 ribu rupiah sampai 115 ribu 

rupiah. Biaya itu sudah termasuk dua kantong sampah 

dan layanan penjemputan ke rumah pelanggan. 

PILAH. Petugas ecoBali 

Recycling sedang memilah 

sampah. EcoBali kini juga 

sudah memiliki bank sampah.

 Setelah sampah pelanggan sampai di lokasi ecoBali 

Recycling di kawasan Kabupaten Badung, beberapa  

petugas akan kembali memilah sampah. Pemilahan itu 

berdasarkan kategori sampah yang dibutuhkan oleh 

pabrik tempat ecoBali Recycling menjual sampah dari 

pelanggan. “Pabrik kan ndak mau menerima sampah 

campuran,” kata Ketut. 

Tak Akan Pernah Menyerah 

 Pelanggan ecoBali Recycling kini sudah tersebar di 

seantero Bali. Tak hanya di kawasan Kabupaten Badung 

– lokasi ecoBali Recycling berada. Pencapaian ini tentu 

tak lepas dari jerih payah Paola dan Ketut. Kendati 

begitu, pasangan suami istri ini tak mau disebut sebagai 

pengusaha di bidang sampah.

 Menurut Ketut, pengusaha menitikberatkan kepada 

orientasi bisnis. EcoBali Recycling memang sudah berbentuk 

perseroan terbatas (PT). Namun, ecoBali Recycling tetap 

menjalankan kerja sosial, seperti menggelar kegiatan 

bersama komunitas pro lingkungan. Kegiatannya, misalnya, 

bersih-bersih pantai. 

 Paola dan Ketut bisa berbesar hati melihat kemajuan 

yang sudah dicapai ecoBali Recycling. Terselip pula 

rasa bangga dalam diri mereka karena sudah bisa 

berkontribusi mengurangi sampah di Bali. “Yang kami 

perbuat sekarang ini tidak semata-mata karena uang. 

Dan, kami meyakini bahwa kami tidak akan menyerah, 

sesulit apa pun situasi ke depan yang bakal kami hadapi,” 

kata Ketut. 

 Sebagai sebuah perusahaan, Paola dan Ketut 

tetap menjalankan ecoBali Recycling seperti layaknya 

sebuah entitas bisnis. Perusahaannya harus bisa meraih 

keuntungan. Ada unsur ekonomi di dalamnya, agar 

perusahaan bisa bertahan dan terus berkembang. Mereka 

pun harus menggaji 35 orang karyawan. Tapi, bagi Paola 

dan Ketut, persoalan ekonomi bukan prioritas nomor satu. 

Membuat lingkungan menjadi lebih baik adalah tujuan 

utama mereka. 

 Apalagi, Paola menyadari betul bahwa pemerintah 

Kabupaten Badung sudah memberikan perhatian cukup 

besar bagi perkembangan ecoBali Recycling. “Tidak ada 

alasan bagi kami untuk menyerah. Kecuali kalau kami 

bangkrut,” ujar Paola. Ketut menimpali, “Kami baru akan 

berhenti jika Bali benar-benar sudah terbebas dari masalah 

sampah”. 

Menjadi Lebih Mudah

 Salah satu bentuk perhatian 

Pemerintah Kabupaten Badung 

adalah dalam wujud bank 

sampah. Ya, memang sejak tiga 

tahun silam, ecoBali Recycling 

mulai mengembangkan bank 

sampah. Di Badung, bank 

sampah yang dikelola ecoBali 

Recycling berbentuk bank 

sampah mandiri utama. Di 

atasnya, ada Bank Sampah 

Sentra Badung, yang dikelola 

Dinas Lingkungan Hidup 

Kabupaten Badung. Sedangkan 

di bawah Bank Sampah Mandiri Utama, ada beberapa  bank 

sampah unit yang berlokasi di setiap banjar. 

 Bank Sampah Mandiri Utama yang dikelola ecoBali 

Recycling akan membeli sampah dari bank sampah unit. 

Setiap hari petugas dari ecoBali Recycling mengambil 

sampah memakai  tujuh mobil bak yang mereka 

miliki. Sampah itu lalu mereka jual kepada Bank Sampah 

Sentra Badung, dan dibayar di muka. “Itulah salah satu 

bentuk kepedulian Pemerintah Kabupaten Badung dalam 

hal pengelolaan sampah,” kata Paola. 

 Paola dan Ketut kini merasa lebih dimudahkan dalam 

urusan pengelolaan sampah. Cara pikir warga di Bali - 

khususnya di Kabupaten Badung - terhadap persoalan sampah, 

kini memang telah banyak berubah. Warga bersemangat 

menyetorkan sampah ke bank sampah unit, misalnya melalui 

kegiatan arisan para ibu yang tergabung ke dalam program 

Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

 Selain mengelola bank sampah, ecoBali Recycling 

juga menjalin kerja sama dengan Tetra Pak negara kita , 

sebuah perusahaan kemasan makanan dan minuman. 

Ketut mengenang, di awal masa berdiri ecoBali Recycling, 

setiap pagi dia mengantarkan minuman susu kemasan 

yang memakai  produk Tetra Pak ke lapangan kriket 

di Gianyar. Ketut menjelaskan kepada para pemain kriket, 

kemasan susu yang diminum para pemain itu bisa didaur 

ulang. “Saya memberikan pengertian kepada mereka 

bahwa persoalan sampah salah satunya bisa muncul dari 

kemasan susu yang mereka minum,” tutur Ketut. 

 Sejak 2007, ecoBali Recycling bekerja sama dengan 

Tetra Pak. Setiap tahun, ecoBali Recycling sanggup 

mengumpulkan 300 ton kemasan minuman dan makanan 

produk Tetra Pak. Sampah kemasan itu lalu dikirim ke 

perusahaan daur ulang di Mojokerto, Jawa Timur. 

 Paola dan Ketut masih tetap terlihat enerjik. Padahal, 

usia keduanya sudah menjelang kepala enam. Dan, sudah 

lebih dari satu dekade mereka mencurahkan perhatiannya 

terhadap persoalan sampah di Bali, lewat ecoBali Recycling. 

Paola meyakini, akan ada yang meneruskan usaha mereka 

ini. “Kami sekarang sudah melakukan kaderisasi. Suatu 

saat nanti, tentu kami juga ingin menikmati hari tua kami, 

misalnya dengan melancong ke berbagai negara,” ujar 

Paola tersenyum. 

 Ke berbagai negara itu tentulah Paola akan menjadi 

turis. Tapi, hanya ke negara kita -lah dia ingin selalu datang. 

Sebab, Paola adalah seorang perempuan Italia yang 

mencintai negara kita . 


Dokter Gamal Albinsaid teringat betul kisah 

seorang bocah yang meninggal di dalam 

gerobak sampah. Ayah Khairunissa, nama 

sang bocah, tak punya uang mengobati 

anaknya ke dokter. Dari kisah itulah, Gamal 

bertekad membuat sebuah klinik kesehatan 

yang bayarnya cukup pakai sampah. 

Jakarta, Juni 2005. Seorang bocah perempuan meninggal di dalam gerobak sampah ayahnya. Khairunissa namanya. Baru tiga tahun usianya. Diare 

menjemput ajal Nissa. Ayahnya hanya seorang pemulung 

berpenghasilan 10 ribu rupiah per hari. Tak mampu sang 

ayah membawa Nissa berobat ke dokter. Bahkan, untuk 

menguburkan jasad putri tercinta di Bogor, sang ayah 

terpaksa harus berjalan kaki dari Jakarta. Menggendong 

Nissa yang sudah tiada.

 Beberapa tahun setelah kejadian mengenaskan 

yang menimpa Khairunissa, seorang dosen Fakultas 

Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, 

menceritakannya kepada para mahasiswanya. Dan, di 

kelas itulah Gamal Albinsaid mendengarkan kisah pilu 

tesebut. Nestapa Nissa ternyata begitu membekas di 

ingatan Gamal. 

 Selang beberapa waktu kemudian, seorang dosen lain 

berkisah pula tentang sebuah inspirasi dari semangkuk 

bakso. Nama dosen itu dokter Rita Rosita. Sang dosen 

bercerita tentang seorang dokter yang mengembangkan 

layanan kesehatan dengan harga semangkuk bakso. 

“Bubar kelas dokter Rita, saya dan seorang teman, 

namanya Maulana, mendatangi ruangan dokter Rita. 

Kami berdiskusi untuk mulai mengembangkan sebuah 

klinik kesehatan yang terjangkau bagi warga ,” kata 

Gamal.

 Dua peristiwa penting itulah yang menjadi peletak 

dasar Gamal Albinsaid menyediakan layanan kesehatan 

yang bisa dijangkau kalangan tak mampu. Hatinya begitu 

trenyuh mendengarkan penderitaan Khairunissa. Pun, 

dia tertantang dengan layanan kesehatan hanya seharga 

semangkuk bakso. 

 Gamal dan Maulana berkesempatan mengikuti 

Program Kreativitas Mahasiswa (PMK) untuk 

mengembangkan klinik kesehatan mereka. Sayang, 

lantaran kehabisan dana, klinik itu  jalannya terseok-

seok. Kendati kehabisan dana, Gamal tetap menitipkan 

programnya ke senat mahasiswa kedokteran Universitas 

Brawijaya. Namun, program itu tak bisa berjalan mulus. 

 Tak hendak idenya kandas begitu saja, Gamal pun 

mengambil alih program yang sempat dia titipkan ke senat 

mahasiswa. Pada 2013, Gamal mengajak seorang direktur 

rumah sakit di Malang, seorang dosen, dan seorang 

pemilik tempat, untuk bantingan modal menghidupkan 

kembali kliniknya. 

 Klinik kesehatan kembali menggeliat. Tapi, tetap saja 

beberapa  kendala membentang. “Waktu itu saya kan 

masih berstatus mahasiswa. Saya membayar uang kuliah 

sendiri,” tutur Gamal mengenang masa-masa sulit dahulu. 

Untunglah, karena dia mengajak seseorang yang memiliki 

tempat klinik dalam skema kerja sama, Gamal tak harus 

memikirkan uang sewa. 

 Ketetapan hati Gamal untuk membesarkan kliniknya 

kian menjadi-jadi. Itu terjadi saat  dia sedang dalam 

perjalanan dari Surabaya ke Malang memakai  bus. 

Gamal mengingat kembali kisah pilu Khairunissa. Dalam 

merenung, Gamal berpikir keras tentang usaha  yang 

bisa dia lakukan agar kejadian seperti Khairunissa itu 

tak kembali berulang. “saat  itu saya berpikir, skema 

keuangan seperti apa yang memungkinkan warga  

tak mampu bisa mendapatkan layanan kesehatan yang 

bermutu,” ujar Gamal. 

Izinkan Kami Memungut Sampah Anda

 Sekelebat, muncullah idenya untuk memanfaatkan 

sampah. Kenapa sampah? Sebab, Gamal menyadari bahwa 

sampah adalah urusan sehari-hari dalam hidup manusia. 

Setiap orang atau rumah tangga pasti menghasilkan 

sampah. Dan, sampah itulah yang pada akhirnya akan 

dipakai warga sebag