Peran pemerintah tentu tetap dibutuhkan.
Di Sumatra Barat, kehadiran pemerintah untuk bisa
menampung hasil kerajinan daur ulang sampah yang
dibikin pengurus bank sampah, menjadi salah satu faktor
penting. Sayangnya, peran itu belum sepenuhnya tampak.
Setidaknya, bisa terlihat dari kerajinan daur ulang sampah
yang menumpuk di bank sampah yang dikelola Ibu Os di
Sijunjung.
Sebuah truk tiba. Di depan Pasar Panakkukang. Di Jalan Toddopuli Raya. Perlahan, truk itu bergerak mundur. Masuk ke pekarangan sebuah bangunan.
Di dalam pekarangan, beberapa orang sudah menanti.
Ada yang memanggul tumpukan kardus. Ada yang
mengangkat tumpukan plastik. Begitulah kesibukan
pada sebuah pagi jelang siang di salah satu sudut Kota
Makassar, Sulawesi Selatan. Orang-orang yang sudah
menunggu kedatangan truk adalah beberapa petugas
Bank Sampah Pusat Kota Makassar.
SIBUK. Petugas Bank
Sampah Makassar
tengah menaikkan
sampah ke dalam truk.
Dengan cekatan, mereka masukkan sampah tadi
ke dalam bak truk. “Setiap hari selalu begini. Nanti
sampah-sampah itu akan diangkut ke pelabuhan, lalu
dibawa dengan kapal ke pabrik daur ulang di Surabaya,”
kata Saharuddin Ridwan. Pria kelahiran Oktober 1975 ini
adalah dedengkot bank sampah di Sulawesi Selatan.
Bank Sampah Makassar adalah salah satu hasil jerih
payahnya “bergumul” dengan sampah. Sudah lebih
dari sepuluh tahun. Sejak dia masih menjadi jurnalis di
Makassar.
Sahar geram. Beruntung, dia memegang kamera. Dia
ambil gambar serakan sampah. Dibuatnya video semi
dokumenter. Lalu, dia datangi para produsen yang
menghasilkan sampah. Yang menumpuk di kanal. Sahar
berusaha menyadarkan mereka. “Bahwa perusahaan-
perusahaan itu harus ikut bertanggung jawab juga
terhadap persoalan sampah,” ujarnya.
usaha nya didengar. Dia diminta ikut memikirkan
kegiatan untuk membersihkan sampah di Makassar. Dia
kumpulkan rekan-rekannya sesama jurnalis. Sahar lalu
menggagas sebuah kegiatan bernama “Bersih Kanal”.
Sahar menyodorkan proposal kegiatan kepada Walikota
Makassar saat itu, Ilham Arief Sirajuddin. Dia tak minta
bantuan dana. Cuma butuh restu walikota.
Restu dia peroleh. Tapi, Sahar masih bingung. Dia
perlu media untuk mengampanyekan rencana kegiatan
itu. Agar kegiatannya bisa bergaung. Untung, dia pernah
bekerja di Harian Fajar, koran terbesar di Sulawesi Selatan.
Sahar bisa mendapatkan ruang iklan gratis di Harian Fajar.
Lalu, dia datangi pimpinan sebuah bank swasta di
Makassar. Semula, dia akan diberikan dana oleh bank itu.
Tapi, Sahar menolak. Dia minta kepada sang pimpinan,
agar staf bank itu saja yang membelikan peralatan yang
mereka butuhkan.
Semua persiapan acara Bersih Kanal sudah rampung.
Kebingungan berikut masih menyergap Sahar. “Siapa yang
akan membersihkan kanal?” ucapnya. Untunglah, sebagai
jurnalis, dia punya banyak koneksi. Lalu, Sahar mengontak
Pangdam Hasanuddin. Pangdam menjanjikan empat ribu
prajurit TNI untuk membersihkan kanal. Kapolda Sulawesi
Selatan juga dia hubungi. Kapolda akan menyiapkan
seribu anggota Brigade Mobil (Brimob).
Singkat kisah, berduyun-duyunlah warga Makassar,
prajurit TNI, dan anggota Brimob turun ke beberapa kanal. Itu
pada Oktober 2008. Hasilnya, kanal di Makassar bersih dari
sampah. Kegiatan Bersih Kanal dinilai sukses. Sahar gembira.
Lalu, Sahar dan rekan-rekan jurnalisnya mendirikan
sebuah forum. Sebagai wadah melanjutkan kiprah
di bidang lingkungan. Yayasan Peduli Negeri (YPN)
namanya. Lewat YPN, Sahar dan kawan-kawan memantau
perkembangan pengelolaan sampah di Makassar.
Ketimbang Bicara, Warga Lebih Butuh Uang
Enam bulan usai kegiatan Bersih Kanal. Ternyata,
kebiasaan warga membuang sampah ke kanal kembali
berulang. Kanal yang sudah bersih, jadi kumuh lagi. Sampah
berserakan. “Sedih sekali rasanya saya menyaksikan kanal-
kanal di Makassar balik kotor lagi,” kata Sahar mengenang.
Dari situlah dia sadar. Mengelola sampah ternyata tak
mudah. Tak cukup dengan sekali kegiatan, lantas selesai.
Sahar tergerak. Dia ingin menggugah kesadaran warga .
Untuk mengubah perilaku hidup. Utamanya soal sampah.
Sahar tak mau capek sendirian. Dia ajak beberapa
mahasiswa di Makassar untuk jadi motivator lingkungan.
Sahar berhasil mengumpulkan sepuluh mahasiswa. Dia
beri pelatihan. Setelah sepuluh motivator ini memahami
soal pengelolaan sampah, barulah dia lepas ke warga .
Sahar menugaskan para mahasiswa untuk memengaruhi
tokoh warga . Para tokoh ini lalu dijadikan fasilitator.
Tugasnya merekrut 50 orang kader lingkungan di daerah
mereka tinggal.
Sahar lalu menyadari, mengubah perilaku warga
butuh sosialisasi terus-menerus. Dan, itu tak gampang.
Pernah suatu saat dia masuk ke sebuah gang sempit
di Makassar. Daerah kumuh dan banyak preman.
Sebelumnya, seorang kawan mengingatkan Sahar agar
tidak ke daerah itu. Tapi, Sahar tak hirau. Dia berpikir,
sebagai jurnalis tak pernah gentar masuk ke daerah
konflik. “Masak saya ndak berani masuk ke daerah yang
banyak preman dan orang mabuk,” ujar Sahar terkekeh.
Bercuap-cuaplah Sahar tentang pentingnya warga
mengelola sampah. Tapi, nada miring yang dia peroleh.
Warga bilang, mereka tak perlu orang yang banyak bicara.
Yang mereka butuhkan adalah uang.
Sahar sedih. Tapi, mau bagaimana lagi. Dia menyadari,
warga tak sepenuhnya salah. Selama ini, mereka lebih
sering mendapatkan bantuan berupa uang. Ketimbang
edukasi berupa penyadaran tentang pentingnya menjaga
kebersihan lingkungan.
Eksperimen Tengah Malam
Sahar tak patah semangat. Dia tetap menjalankan
misinya: menyadarkan warga agar mau mengelola sampah
secara mandiri. Pelan-pelan, warga di banyak daerah
mulai sadar. Orang yang tadi pernah memintanya tak
usah banyak cakap, akhirnya malah menjadi penggerak
utama pengelolaan sampah di wilayahnya.
Pernah suatu saat , Sahar sengaja bereksperimen.
Dia menjanjikan membawa tanah dan kompos dari TPA
ke sebuah wilayah. Tapi, waktunya tengah malam. Dia
ingin tahu, adakah warga yang bersedia menunggunya
di tengah malam buta. Eh, ternyata ada. beberapa warga
menanti Sahar tepat di depan gang wilayah mereka.
“Saya sempat mau menangis. Yang saya bawa kan bukan
sembako, melainkan tanah dan pupuk. Tapi, warga tetap
menunggu saya tiba,” ucap Sahar.
Sahar dan YPN mengajak warga memilah sampah.
Organik dijadikan kompos. Sampah nonorganik
dikumpulkan di sebuah tempat. Lalu diangkut ke TPA.
Memang, saat itu, Sahar belum mengenal konsep bank
sampah.
Sampailah pada 2011. Sahar ikut kegiatan rapat
koordinasi bank sampah di Bantul, Yogyakarta. Dia pun
berjumpa dengan pencetus gagasan bank sampah,
Bambang Suwerda. Sahar belajar. Langsung dari suhu
bank sampah.
Tiba di Makassar, Sahar kumpulkan beberapa cikal
bakal bank sampah yang sudah ada di Makassar. Dia ajak
juga para pengepul dan pelapak sampah. Tercapailah
kesepakatan. Pengepul dan pelapak bersedia membeli
sampah di bank sampah.
Anak Lorong Mengurus Sampah
Enam bulan kemudian mulai muncul masalah. Banyak
bank sampah mengeluh. Pengepul baru datang membeli
sampah setiap tiga pekan. Sampah menumpuk. Juga ada
selisih timbangan antara di bank sampah dan pengepul.
Pun, tidak semua jenis sampah dibeli pengepul. Sahar tak
bisa intervensi. Dia sadar, pengepul orientasinya bisnis.
Sahar pun berpikir keras. Dibacanya berbagai literatur
tentang pengelolaan sampah. Sampailah Sahar pada
sebuah kesimpulan: pemerintah harus hadir.
Bersama rekan-rekannya di YPN, Sahar lalu menggodok
sebuah konsep. Setelah rampung, dia ajak pengurus bank
sampah menemui Walikota Makassar, Mohammad Ramdhan
Pomanto. Dia bilang ke pengurus bank sampah, bicaralah
yang bisa menyentuh sisi kemanusiaan sang walikota.
Singkat kisah, walikota paham. Bahwa pemerintah kota
Makassar harus hadir, menyokong pengelolaan sampah.
Sahar pun menyodorkan konsep skema bank sampah
yang berada di bawah Pemkot Makassar. Bentuknya
berupa Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Walikota
sepakat. Didapatlah nama Bank Sampah Tangkasarong.
Tangkasarong singkatan dari “tabungan bank sampah
anak lorong”. “Cikal bakal bank sampah ini kebanyakan
memang berasal dari lorong-lorong yang ada di daerah
pelabuhan,” kata Sahar, yang juga menjadi Ketua Umum
Asosdiasi Bank Sampah negara kita (ASOBSI).
Pada 2015, keluar peraturan walikota Makassar tentang
UPTD pengelolaan daur ulang sampah. Dengan peraturan
itu, pemkot Makassar-lah yang akan membeli sampah
warga di bank sampah unit. Dananya disalurkan melalui
Bank Sampah Pusat Makassar.
Sahar menilai, sudah sewajarnya pemerintah daerah
memberikan bantuan anggaran kepada bank sampah.
Prinsipnya sederhana. Dengan bank sampah, jumlah
timbulan sampah di warga akan berkurang.
Ada prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) di situ. Artinya,
biaya operasional yang dikeluarkan pemerintah untuk
mengelola sampah ikut berkurang.
Di Makasasar, kata Sahar, untuk mengangkut sampah
ke TPA membutuhkan biaya 180 ribu rupiah per ton.
SETOR. Nasabah Bank Sampah
Makassar yang sudah berusia
lanjut. Tetap semangat dan peduli
menyetor sampah ke bank sampah.
Pada 2019, warga Makassar menghasilkan sampah
lebih dari seribu ton per hari. Katakanlah sampah per hari
seribu ton. Total biaya untuk mengangkut sampah per
hari sebesar 180 juta rupiah per hari. Setahun mencapai 65
miliar rupiah.
Pada 2019, Pemkot Makassar mengeluarkan anggaran
sebesar 1,7 miliar rupiah untuk membeli sampah warga.
Pemkot Makassar menyalurkan anggaran pembelian
sampah ini melalui Bank Sampah Makassar. Keberadaan
bank sampah di Makassar kini bisa mengurangi sekitar
lima persen sampah yang dibuang ke TPA Antang.
Sahar kini bisa sumringah. Capeknya terbayar
lunas. Geliat bank sampah di Makassar sudah luar biasa.
Tercatat, ada lebih dari 800 bank sampah di seantero
Makassar. Kesadaran warga Makassar akan pentingnya
bank sampah juga kian meningkat. Salah satu warga,
Hadriah, merasakan betul manfaat bank sampah. Dia
adalah pengurus Bank Sampah Unit Anugrah. Letaknya di
sebuah komplek perumahan di Makassar.
Sosialisasi pentingnya
bank sampah acap digelar
pada saat pelaksanaan
kegiatan pos pelayanan
terpadu (Posyandu) di
lokasi perumahan Hadriah
bermukim. Perempuan
berusia kepala enam ini
masih enerjik. Hadriah
menjadi Ketua RT di
lingkungannya bermukim.
Pun, Hadriah masih
bertugas di rumah jabatan
Gubernur Sulawesi
Selatan. “Selain sampah
di komplek perumahan, saya juga biasa memungut
sampah – biasanya berupa kertas dan kardus – di rumah
gubernur,” ujarnya. Sepekan sekali, Hadriah menyetorkan
sendiri sampah dari Bank Sampah Unit Anugrah ke Bank
Sampah Pusat Makassar.
Sekadar Syarat Adipura
Geliat bank sampah di Sulawesi Selatan juga sudah
merambah ke banyak wilayah. Tak hanya di Makassar.
Sahar dan YPN banyak berperan dalam perintisannya.
Salah satunya adalah Bank Sampah Induk Turikale di
Kabupaten Maros.
BSI Turikale berdiri sejak 2010. Namun, kala itu
keberadaan BSI Turikale hanya sebatas persyaratan untuk
mendapatkan Adipura. Sejak 2015, konsep bank sampah
mulai diperbaharui. Tidak lagi sekadar syarat memperoleh
Adipura. “Kami perlu bank sampah agar Kabupaten Maros
selalu terjaga kebersihannya. Tidak cuma saat ada inspeksi
menjelang Adipura saja,” kata Hasrullah, Direktur BSI
Turikale.
RAJIN. Petugas Bank Sampah
Turikale, Kabupaten Maros,
Sulawesi Selatan, tengah
memilah sampah di gudang.
BSI Turikale berbentuk koperasi. Berbeda dengan Bank
Sampah Pusat Makassar yang berbentuk UPTD. Namun,
BSI Turikale juga mendapatkan perhadian cukup besar
dari Pemkab Maros. Salah satunya berupa penyediaan
lahan kantor dan gudang sampah.
Kini, BSI Turikale mempunyai lebih dari 500 nasabah.
Terdiri dari perkantoran, sekolah, dan perorangan. Dalam
sehari, BSI Turikale bisa mengelola sampah mencapai dua
ton. Omset BSI Turikale rata-rata 50 juta rupiah per bulan.
“Ada 15 karyawan. Kisaran gaji 1,5 juta sampai 2,5 juta rupiah
per bulan,” tutur Irawady, pengurus BSI Turikale.
Bank sampah juga sudah menjadi bagian penting
bagi warga Kabupaten Luwu Timur (Lutim). Daerah
ini berjarak lebih dari 500 kilometer dari Makassar.
Berkendaraan mobil, bisa ditempuh selama delapan
sampai sepuluh jam perjalanan. Di sana ada Bank
Sampah Induk Luwu Timur. Bank Sampah Luwu Timur
berdiri sejak Februari 2015. Pada 2017, berubah menjadi
bank sampah induk.
Sejak 2017 sampai 2019, BSI Luwu Timur berhasil
meraup omset lebih dari 200 juta rupiah. Nasabah
mencapai 71 bank sampah cabang dan bank sampah
unit. BSI Luwu Timur memang tidak menerima nasabah
perseorangan. Hanya bank sampah unit yang nasabahnya
perseorangan. Bank sampah unit ini didirikan di
setiap desa di Kabupaten Luwu Timur. Total nasabah
perseorangan di bank sampah unit kini mencapai hampir
lima ribu orang.
Perkembangan bank sampah di Kabupaten Luwu
Timur cukup menggembirakan. Total kini ada 95 bank
sampah di Luwu Timur. Dari 95 bank sampah itu , 72
bank sampah masih aktif bergiat sampai kini. Sayangnya,
pengurangan sampah yang bisa dilakukan bank sampah
baru sebesar dua persen.
Perhatian pemerintah Kabupaten Luwu Timur ikut
mendorong tumbuhnya kepedulian dan kesadaran warga.
Salah satu wujud perhatian itu adalah mengeluarkan
surat edaran kewajiban bagi seluruh aparat sipil negara
(ASN) di Kabupaten Luwu Timur menjadi nasabah bank
sampah. “Surat edaran ini dikeluarkan Bupati Luwu
Timur pada 2017 lalu,” ujar Abshar Abdur Razak, Direktur
BSI Luwu Timur.
Geliat bank sampah di beberapa wilayah di Sulawesi
Selatan kini memang kian terasa. Jamak terlihat, truk
sampah masuk ke lahan bank sampah. Juga, truk milik
pelapak yang akan membeli sampah. Seperti yang terjadi
pada sebuah pagi jelang siang di Bank Sampah Makassar.
Semua demi mengurangi timbulan sampah. Semua demi
lingkungan yang lebih sehat dan asri.
Hari menjelang siang. Matahari lumayan terik. Sebuah mobil bak terbuka berwarna hitam baru saja keluar dari pekarangan bangunan di Jalan
Merdeka, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat.
Bak mobil berisi tumpukan sampah kertas dan plastik.
Semua sudah dikemas lumayan rapi. Sementara, di
dekat tumpukan sampah, seorang lelaki berkaos singlet,
terlihat bersemangat membereskan serakan sampah.
Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Lelaki itu bernama
Hermansyah. Dia adalah Direktur Bank Sampah Induk
(BSI) Rumah Harum. Sejak 2013, Hermansyah sudah
bergelut dengan urusan sampah di Kota Depok.
BSI Rumah Harum awalnya menempati sebidang
lahan sewaan di Kecamatan Cilodong. Lalu, pada 2017,
Pemerintah Kota Depok meminjamkan lahan seluas 400
meter persegi di Jalan Merdeka. “Sejak itulah kami pindah
ke sini,” kata Hermansyah.
NOL. Hermansyah dibantu
istrinya mengelola BSI Rumah
Harum Depok. Mereka
memulai bank sampah dari
nol pengetahuan tentang
sampah.
Kepindahan BSI Rumah Harum dari Cilodong ke
Sukmajaya, ternyata membawa imbas positif. Banyak
bank sampah unit di Kota Depok yang mendaftar
menjadi nasabah BSI Rumah Harum. Pada 2017 itu, BSI
Rumah Harum setidaknya punya 300 nasabah bank
sampah unit. Wajar saja, sebab saat itu BSI Rumah
Harum adalah satu-satunya bank sampah induk di Kota
Depok.
BSI Rumah Harum keteteran. Maklum, lahan terbatas.
Sementara, nasabah bank sampah unit membengkak.
Dalam sehari, BSI Rumah Harum bisa menerima sampai
dua ton sampah. Akibatnya, sampah menumpuk. Empat
belas orang karyawan BSI Rumah Harum kewalahan.
Namun, BSI Rumah Harum sudah berkomitmen kepada
nasabah bank sampah unit. Berapa pun banyaknya
sampah di bank sampah unit, BSI Rumah Harum tetap akan
menimbang dan mengangkutnya ke gudang sampah.
Begitulah cara BSI Rumah Harum untuk membuat bank
sampah unit di Kota Depok tumbuh dan berkembang.
PILAH. Petugas BSI Rumah
Harum Depok sedang
memilah sampah.
usaha itu memang menampakkan hasil. Bank sampah
unit bertumbuhan di Kota Depok. Tapi, Hermansyah dan
pengurus BSI Rumah Harum kelabakan. Untunglah, kondisi
itu hanya berlangsung setahun. Sejak 2018, muncullah
beberapa bank sampah unit di Kota Depok. Nasabah
bank sampah unit di BSI Rumah Harum banyak pula yang
pindah menjadi nasabah BSI lain yang baru berdiri.
dibandingkan Hanya Menjadi Sarang Kobra
Bagi Hermansyah, berkurangnya nasabah bank
sampah unit di BSI Rumah Harum ibarat dua sisi mata
uang. Pada satu sisi, BSI Rumah Harum akan kehilangan
omset sampah. Penghasilan niscaya berkurang.
Akibatnya, Hermansyah harus mengurangi karyawan.
Sejak 2018, karyawan BSI Rumah Harum hanya tersisa
lima orang.
Persoalan karyawan bank sampah ini juga cukup unik
dan gampang-gampang susah. “Dibilang formal, tapi
kenyataannya kan nggak begitu. Dibilang tidak formal,
tapi mereka digaji. Juga ada masalah attitude karyawan
yang kadang susah saya kontrol,” kata Hermansyah.
Namun, pada sisi lain, berkurangnya nasabah BSI
Rumah Harum membuat Hermansyah bisa bernafas
sedikit lega. “Saya bisa punya waktu berpikir, mau
diapakan BSI Rumah Harum ini. Bolehlah ini dibilang
sedikit mundur. Tapi, mundur untuk lebih maju,” tuturnya.
Salah satu yang dia lakukan adalah memperbaiki sistem
dan tata kelola.
pengelolaannya bukan lagi pada produksi pupuk kompos
dan maggot. Sampah organik akan diolah menjadi makanan
hewan ternak. Untuk itu, Hermansyah membagi sampah
organik menjadi tiga jenis: mentah segar, matang segar, dan
basi. Untuk menyokong ide ini, Hermansyah menjajaki kerja
sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Inovasi sampah organik dijadikan makanan
hewan ternak tentu saja butuh lahan. Karenanya, BSI
Rumah Harum sudah menyambangi banyak komplek
perumahan di Kota Depok yang memiliki “lahan tidur”.
Kata Hermansyah, “dibandingkan lahannya hanya jadi sarang
ular kobra. Hehehe....”.
Hermansyah amat yakin terobosan pengelolaan
sampah organik bekerja sama dengan komplek
perumahan ini akan berhasil. Apalagi, dalam konsepnya,
petugas BSI Rumah Harum akan mendampingi warga
komplek perumahan yang mau bekerja sama. Bentuknya
berupa pelatihan mengolah sampah organik menjadi
makanan hewan ternak.
Selain hewan ternak, BSI Rumah Harum juga akan
mendorong warga komplek perumahan menanam
sayuran di pekarangan rumah. Jika panen, BSI Rumah
Harum yang akan membeli sayuran itu . Pun,
urusan benih dan pupuk, akan ditanggung BSI Rumah
Harum.
Tukar Jelantah dengan Minyak Goreng
Kepala Hermansyah agaknya memang penuh dengan
segudang ide. Yang benar-benar sudah terwujud di BSI
Rumah Harum sekarang adalah sedekah minyak jelantah.
Program ini sudah berjalan sejak awal 2019. BSI Rumah
Harum bekerja sama dengan lembaga zakat yang ada
di Kota Depok. Lembaga zakat inilah yang menyediakan
wadah penampungan minyak jelantah.
Warga yang menyetorkan
lima liter minyak jelantah
ke BSI Rumah Harum, akan
mendapatkan satu liter minyak
goreng kemasan. Bukan
minyak goreng curah. BSI
Rumah Harum akan mengolah
jelantah menjadi sabun. Para
perempuan ibu rumah tangga
di sekitar lokasi BSI Rumah
Harum yang mengerjakannya.
Namun, pengolahan jelantah
menjadi sabun baru mencapai
sepuluh persen. “Pemasaran
sabun dari minyak jelantah ini
yang masih cukup susah,” tutur
Hermansyah. Serapan terbesar
dari jelantah setoran para nasabah ke BSI Rumah Harum
adalah untuk bahan baku biodiesel. Sebuah perusahaan
produsen biodiesel siap menyerap jelantah dari BSI Rumah
Harum.
BSI Rumah Harum juga punya program Rumah Kreasi
Daur Ulang (RKDU). Mirip dengan pengolahan minyak
jelantah menjadi sabun, RKDU ini juga menjadi wadah
para ibu rumah tangga untuk berkreasi menghasilkan
produk kerajinan dari sampah. Dulu, RKDU menyewa
rumah di kawasan Kalibaru. Tapi, penyewaan rumah
terpaksa disudahi lantaran keterbasan dana. Hermansyah
menyimpan semua peralatan untuk memproduksi
kerajinan di rumahnya. Jika ada kegiatan pelatihan,
barulah alat-alat itu digunakan.
Satu program lain di BSI Rumah Harum adalah
bank sampah keliling. Program ini bermula dari cukup
banyaknya bank sampah unit yang tutup. Sementara,
nasabahnya masih keukeuh memilah sampah. BSI Rumah
Harum-lah yang akan menimbang dan menjemput
sampah di satu titik lokasi yang sudah disepakati dengan
bekas nasabah bank sampah unit. Satu unit mobil bak dan
dua unit kendaraan roda tiga milik BSI Rumah Harum siap
menyambangi warga.
Menguntit Truk Sampah
Begitulah Hermansyah. Lelaki yang tidak sampai
menyelesaikan kuliahnya ini tak pernah lelah mencari
berbagai terobosan. Terutama dalam hal memberdayakan
warga agar peduli dengan sampah. Soal
pemberdayaan warga , agaknya memang sudah
menjadi darah bagi Hermansyah. Maklum, dia pernah
bekerja cukup lama di sebuah Lembaga Swadaya
warga (LSM) asing yang berlokasi di Aceh.
Ketertarikannya kepada bank sampah muncul karena
dia melihat ada proses pemberdayaan warga
dalam program bank sampah. Jadi, kecemplung-lah
Hermansyah dengan urusan bank sampah. “Padahal,
waktu itu saya sama sekali tidak mengerti urusan sampah.
Apalagi mengelola bank sampah,” kata Hermansyah
tergelak.
Dengan modal nekat, Hermansyah mendirikan bank
sampah. Alhasil, selama enam bulan, sampah menumpuk
di lokasi bank sampah yang didirikannya. Dia tak punya
tempat bertanya. Tak kehilangan akal, Hermansyah lalu
menguntit mobil truk pengangkut sampah. Dia ingin
tahu, ke mana sampah itu dijual. Dari situlah, Hermansyah
berkenalan dengan pelapak sampah. Dia bertanya soal
sampah apa saja yang laku dijual dan berapa harganya.
Pun, seperti apa pengemasan sampah yang diterima
pelapak.
Tahu dan kenal pelapak, ternyata belum cukup bagi
Hermansyah menguasai penuh urusan bank sampah.
Dia harus pula berhadapan dengan warga sekitar lokasi
bank sampah yang menolak keberadaan bank sampah.
Akhirnya, Hermansyah meminta bantuan seseorang yang
dia kenal di TPA Bantargebang. Urusan pun beres. “Tapi,
uangnya pun beres dengan dia. Alias, kami sama sekali
tidak mendapatkan bagian dari penjualan sampahnya,”
ucap Hermansyah terkekeh.
Hermansyah tak menyerah. Apalagi dia menyadari,
mengelola bank sampah lebih banyak unsur sosialnya. Dia
juga meyakini, segala masalah bisa diselesaikan. Kuncinya
komunikasi. Itulah yang diterapkannya saat harus
membayar harga sampah ke bank sampah unit. Di masa
awal dulu, ada pengurus bank sampah unit yang tak berani
keluar rumah karena belum membayar harga sampah
kepada nasabah. “Untuk bank sampah unit yang seperti
itu, pembayarannya kami dahulukan,” ucap Hermansyah.
Kini, tentu saja Hermansyah tak lagi dipeningkan
dengan urusan pembayaran sampah kepada para nasabah.
Bahkan, dia berani memberikan harga tetap selama tiga
bulan. Kepastian harga ini, menurut Hermansyah, amat
diperlukan nasabah bank sampah unit. Padahal, harga
sampah amat fluktuatif. Rupanya, pengalaman tujuh tahun
mengelola bank sampah, membuat Hermansyah punya
kiat agar bank sampah yang dia kelola tidak sampai tekor.
Omset BSI Rumah Harum sekarang bisa mencapai
80 juta rupiah per bulan. Memang berkurang hampir
separuh dari saat BSI Rumah Harum masih memiliki
300-an nasabah bank sampah unit. Tapi, pengeluaran pun
saat itu juga lumayan besar. Biaya total gaji karyawan 14
orang tentu berbeda dengan lima orang. “Gaji tertinggi
karyawan kami 125 ribu rupiah per hari, terendah 80 ribu
rupiah per hari,” ujar Hermansyah.
BSI Rumah Harum kini
menerima 40 jenis sampah.
Mereka juga sudah menjalin
kerja sama dengan produsen
makanan dan minuman seperti
Nutrifood dan Tetra Pak. Tapi,
semua kemajuan BSI Rumah
Harum belum membuat
Hermansyah bisa berdiam diri.
Masih cukup banyak gagasan
yang ada di benaknya untuk
membuat Kota Depok terbebas
dari masalah sampah.
Gunung Sampah 30 Meter
Persoalan sampah di
negara kita memang sudah
memasuki fase mencemaskan. Termasuk di Kota Depok.
Dalam sehari, produksi sampah di Kota Depok mencapai
1.500 ton. Sampah yang dibuang ke TPA Cipayung
mencapai 870 ton per hari. Bank sampah bisa menjadi
salah satu solusi mengurangi jumlah timbulan sampah
yang dibuang ke TPA Cipayung.
JENIS. Untuk memudahkan
nasabah, dibuatkan poster
besar jenis sampah yang
diterima BSI Rumah Harum
Depok.
Pada 2019, angka pengurangannya memang masih
relatif kecil. Hanya sekitar enam persen. Dari total produksi
sampah sebesar 318 ribu ton per tahun, bank sampah
hanya mampu menyerap sampah sebesar 20 ribu ton.
Total jumlah bank sampah di Kota Depok sebanyak 315,
dua di antaranya adalah bank sampah induk.
Namun, Kota Depok tak hanya mengandalkan bank
sampah. Ada juga Unit Pengolahan Sampah (UPS). Jumlahnya
31 unit. Sampah yang diolah di UPS berupa sampah organik.
Salah satu UPS yang cukup besar di Kota Depok adalah UPS
Merdeka 2. Lokasinya berdekatan dengan BSI Rumah Harum.
UPS. Petugas UPS Merdeka
2 Depok mengolah sampah
organik. UPS menjadi salah
satu solusi Pemkot Depok
mengatasi persoalan sampah.
Berdiri sejak 2006, UPS Merdeka 2 kini sanggup
mengolah sampah organik mencapai tiga ton per hari.
Ada dua sistem yang dipakai: open window dan maggot
(black soldier fly). Sampah organik yang diolah melalui
sistem open window akan menghasilkan pupuk kompos.
Sedangkan maggot akan menghasilkan pakan ternak.
Heriyanto, koordinator UPS Merdeka 2, amat
sumringah memperlihatkan proses pengolahan sampah
organik oleh maggot. beberapa bak pengembangbiakan
maggot berderet di bagian belakang bangunan UPS.
“Kami sering melakukan sosialisasi ke warga atau ke
sekolah bagaimana cara mengolah sampah organik
dengan maggot,” ujar Heriyanto.
Peran UPS di Kota Depok
setali tiga uang dengan peran
bank sampah. UPS sanggup
mengolah sampah di Kota
Depok sebesar 41 ribu ton
per tahun. Secara persentase,
pengolahan sampah oleh UPS
mencapai 13 persen per tahun.
Dua kali lipat dari yang diolah
melalui bank sampah.
Keberadaan bank sampah
dan UPS di Kota Depok,
setidaknya mampu membuat
gunungan sampah di TPA Cipayung tidak terus meninggi
secara dahsyat. Memang, kondisi TPA Cipayung kini
cukup memprihatinkan. Tinggi gunungan sampah sudah
mencapai 30 meter. Sejatinya, sejak 2013, TPA Cipayung
sudah kelebihan kapasitas daya tampung sampah.
MENGGUNUNG. Tumpukan
sampah di TPA Cipayung
Depok. Ketinggiannya sudah
mencapai lebih dari 30 meter.
Kondisi TPA Cipayung memang mengkhawatirkan.
Inilah yang membuat Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan
Kebersihan (DLHK) Kota Depok, Ety Suryahati, tak henti
mengimbau agar warga Depok mau memilah sampah
sejak dari rumah. “Sampah yang sudah dipilah itu, bisa
disetor ke bank sampah. Itu untuk sampah nonorganik,”
kata Ety. Sementara, sampah organik bisa diolah sendiri
oleh warga, atau disetor ke UPS.
Ety memang terus berusaha menumbuhkan
kesadaran warga Kota Depok dalam urusan pengelolaan
sampah. Target menjadikan Kota Depok sebagai zero
waste city, kini terus didengungkan. Ety menyadari,
keberadaan bank sampah menjadi amat penting. “Kami
akan optimalkan bank sampah. Begitu pun para kader
bank sampah. Dari sampah, mereka bisa memproduksi
barang bernilai jual. Dengan begitu, bisa meningkatkan
ekonomi keluarga,” ujar mantan Sekda Kota Depok ini.
Optimalisasi keberadaan bank sampah itulah yang kini
terus digeber. Salah satunya oleh BSI Rumah Harum. Jadi,
tak tertutup kemungkinan, beberapa waktu ke depan,
hilir mudik mobil bak mengangkut sampah dari sebuah
bangunan di Jalan Merdeka Kota Depok, akan lebih kerap
terlihat.
Dua orang pria bertopi terlihat sibuk. Mereka keluar masuk ke sebuah bangunan serupa gudang. Ada saja yang keduanya angkut. Lalu, memasukkannya
ke dalam bak sebuah kendaraan roda tiga yang terparkir
di halaman. Keringat membasahi wajah keduanya, pada
sebuah siang yang lumayan terik di Kota Surabaya, Jawa
Timur.
Halaman yang tak seberapa luas di sebuah bangunan
di Jalan Ngagel Timur Surabaya pada siang itu cukup
ramai. Itulah halaman Bank Sampah Induk (BSI) Surabaya.
Beberapa karyawan BSI Surabaya terlihat sedang sibuk
bekerja. Selain mengangkut sampah ke dalam bak
kendaraan roda tiga, ada pula beberapa orang perempuan
yang tengah memilah sampah.
ANGKUT. Karyawan BSI
Surabaya memasukkan
sampah ke dalam kendaraan
roda tiga. BSI Surabaya
berkembang pesat.
BSI Surabaya sebenarnya sudah berdiri sejak 2010
silam. Tapi, saat itu namanya masih Bank Sampah Bina
Mandiri (BSBM). Pada 2017, Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan menobatkan BSBM sebagai bank
sampah terbaik di seluruh negara kita . Atas prestasi itulah,
Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya mengubah nama
BSBM menjadi Bank Sampah Induk Surabaya.
Kendati baru pada 2017 berubah wujud menjadi bank
sampah induk, sejatinya sejak awal berdiri, BSI Surabaya
sudah menerapkan konsep sebagai BSI. Petugas BSBM
mengambil sampah dari bank sampah unit yang ada di
tingkat RT atau RW di Kota Surabaya. Pun, “Sejak awal
berdiri, kami sudah memotivasi warga di banyak tempat
di Surabaya untuk membuat bank sampah unit,” kata
Nurul Chasanah, pengurus BSIS.
GUDANG. Tumpukan sampah
di gudang sampah BSI
Surabaya. Petugas BSIS acap
memotivasi warga untuk
menjadi nasabah.
Tak cuma mengajak warga mendirikan bank sampah
unit. BSI Surabaya – saat masih bernama BSBM – juga
mengajak banyak bank sampah unit menjual sampahnya
ke pabrik-pabrik daur ulang sampah yang ada di sekitar
Surabaya.
Iming-iming Uang sebagai Pemikat
Memang tak mudah mengajak warga mendirikan bank
sampah. Juga untuk meminta warga memilah sampah
sejak dari rumah. Tak jarang petugas BSBM mendapatkan
penolakan dari warga. Alasannya nyaris serupa: memilah
sampah di rumah malah membuat rumah jadi kotor.
“Banyak yang merasa jijik. Mereka ndak mau dianggap
kayak pemulung sampah karena merasa itu pekerjaan
yang memalukan,” ujar Nurul. Untuk mengajak warga
mendirikan bank sampah, BSBM menyampaikan filosofi
di balik sampah ada uang. Iming-iming uang inilah yang
akhirnya sanggup mengajak warga mulai peduli dengan
urusan sampah.
Lalu, pada 2017 – saat sudah berubah nama menjadi
BSI Surabaya – walikota Surabaya, Tri Rismaharini, mulai
gencar mengajak warganya memilah sampah sejak
dari rumah. Momentum ini akhirnya secara perlahan
menggugah kesadaran warga Surabaya dalam urusan
pengelolaan sampah. Bahkan, sejak itu, banyak pula warga
Surabaya yang mulai menerapkan gaya hidup zero waste.
BSI Surabaya pun terbantu dengan kondisi ini. Banyak
warga yang akhirnya mendirikan bank sampah unit dan
menjadi nasabah BSI Surabaya. “Malah, banyak juga anak
muda yang menyetorkan langsung sampahnya ke sini, jika
di lingkungannya ndak ada bank sampah unit,” tutur Nurul.
MILENIAL. Sebagian nasabah
BSI Surabaya adalah para
remaja. Ini membuktikan
mulai tumbuhnya tingkat
kesadaran warga milenial
Surabay akan pentingnya
mengelola sampah.
Warga memang sudah banyak yang sadar pentingnya
mendirikan bank sampah unit. Namun, kendala tetap saja
mengadang. Salah satunya adalah mencari pengurus
atau pengelola bank sampah unit. Tak banyak warga yang
bersedia menjadi pengurus. Untuk menyiasati hal itu,
BSI Surabaya punya strategi jitu. Mereka menggandeng
mahasiswa menjadi pengurus. Banyak mahasiswa yang
bersedia karena menjadi pengurus bank sampah unit
adalah salah satu bentuk pengabdian warga .
Bank sampah unit sudah berdiri. Tapi, belum semua
warga di lokasi bank sampah unit itu mau memilah
sampah sejak dari rumah. Mereka tidak mau ribet. Alhasil,
pengelola bank sampah unitlah yang ketiban pekerjaan
memilah. Agar warga bersedia memilah sampah sejak
dari rumah, pengurus BSI Surabaya meminta pengelola
bank sampah unit memakai harga sebagai
“senjata”. Sampah nonorganik yang masih tercampur,
dihargai lebih rendah ketimbang yang sudah dipilah.
Misalnya, dalam satu kantong sampah tercampur unsur
dupleks, gelas bekas minuman kemasan, dan botol.
Bank sampah unit akan menghargai sampah itu
seharga dupleks. Sebab, “Dupleks itu harga paling
murah,” kata Nurul.
Keteteran Memberikan Upah yang Layak
BSI Surabaya kini memiliki lebih dari 300 nasabah bank
sampah unit. Sedangkan nasabah individu mencapai 12
ribu orang. Memang, tak semua nasabah itu masih
aktif hingga sekarang. Nasabah bank sampah unit yang
aktif sebanyak 220. Nasabah individu aktif mencapai enam
ribu orang.
Dengan jumlah
nasabah sebanyak itu,
omset BSI Surabaya
bisa mencapai 100 juta
rupiah per bulan. BSI
Surabaya memperoleh
omset itu dari
hasil menjual sampah
ke pelapak yang bekerja
sama dengan BSI
Surabaya. Pelapaknya
antara lain berlokasi di
Mojokerto dan Krian.
Dari omset sekitar
100 juta rupiah per bulan
SALDO. Buku tabungan BSI Surabaya
ini menjadi salah satu bukti kepedulian
warga Surabaya mengelola sampah di
lingkungannya.
itu, BSI Surabaya “mengutip” sebesar 20 persen sampai 30
persen. “Selisih harga itulah yang kami gunakan sebagai
biaya operasional,” ucap Nurul. Salah satu komponen
biaya operasional BSIS adalah membayar gaji 14 orang
karyawan.
Namun, Nurul mengakui, BSI Surabaya cukup
keteteran untuk memberikan upah yang layak bagi
karyawannya. Dana operasional yang didapat BSI
Surabaya dari selisih harga sampah yang dijual ke pelapak,
tak cuma digunakan untuk membayar gaji karyawan dan
operasional kendaraan. BSI Surabaya ternyata juga harus
membayar sewa lahan dan gudang yang mereka tempati
sekarang. Padahal, sebagian besar karyawan BSI Surabaya
amat menggantungkan hidup mereka dari pekerjaan di
BSI Surabaya. Terutama, “Karyawan di bagian sortir. SD
saja mereka ndak selesai. Bisanya hanya ngurus sampah,”
ujar Nurul.
ANDALAN. BSI Surabaya
benar-benar menjadi
andalan karyawannya.
Banyak karyawan yang
tak tamat SD.
Karena itu, BSI Surabaya sangat berharap pemerintah
Kota Surabaya bisa memberikan dukungan. Salah satunya
berupa lahan dan gudang. Jika BSI Surabaya tidak lagi
harus membayar sewa lahan dan gudang, BSI Surabaya
bisa mengalihkan dana penyewaan lahan menjadi
tambahan upah karyawan.
147
Batu Sandungan karena Bersaing
BSI Surabaya kini memiliki tiga kendaraan, terdiri
dari satu unit mobil bak dan dua unit kendaraan roda
tiga. Semua kendaraan itu merupakan bantuan dari
Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ketiga kendaran itulah
yang setiap hari mengambil sampah dari seluruh nasabah
bank sampah unit. Dalam sehari, petugas BSI Surabaya
bisa mengangkut sampah dari enam lokasi di seluruh
Kota Surabaya.
SEMPIT. Lahan BSI Surabaya
tak seberapa besar. Karung
sampah terpaksa ditumpuk
cukup tinggi.
Hubungan baik BSI Surabaya dengan bank sampah
unit ini memang menjadi modal utama mengembangkan
bank sampah induk. Tapi, hubungan baik kadang menjadi
batu sandungan dengan pengepul sampah di sekitar Kota
Surabaya. BSI Surabaya dipandang sebagai saingan para
pengepul. Padahal, BSI Surabaya memberikan kebebasan
kepada bank sampah unit untuk menjual juga sampah
mereka ke pengepul. “Kami ndak mau mengambil rezeki
para pengepul,” kata Nurul.
Prinsip tidak mau mengambil rezeki para pengepul
membuat beberapa nasabah bank sampah unit BSI
Surabaya pernah menjual langsung sampah mereka ke
pengepul. Tapi, itu tak bertahan lama. Akhirnya, bank
sampah unit kembali menjual sampahnya ke BSI Surabaya.
Alasan profesionalisme yang menjadi penyebabnya. Jika
148
bank sampah unit menjual ke pengepul, sampah diambil
secara tidak teratur. Belum lagi ihwal pembayaran yang
sering tak lancar. Sementara, BSI Surabaya menerapkan
sistem harga sampah yang relatif tak berubah. Evaluasi
harga sampah memang dilakukan. Tapi, dalam setahun,
maksimal hanya tiga kali BSI Surabaya melakukan
penyesuaian harga sampah.
Dengan menerapkan harga tetap kepada nasabah,
tak jarang BSI Surabaya harus nombok. Sebab, harga jual
sampah ke pelapak biasanya sangat fluktuatif. Jika harga
jenis sampah tertentu di pelapak sedang anjlok, otomatis
BSI Surabaya merugi. Namun, “Kami ndak masalah. Bank
sampah kan juga punya fungsi sosial,” tutur Nurul.
Bayar Listrik Pakai Sampah
BSI Surabaya kini memang hanya fokus kepada
menjual sampah ke pelapak. Dulu, sebenarnya BSI
Surabaya pernah mencoba membuat kerajinan daur
ulang sampah. Mereka bahkan mempunyai mesin press
untuk membuat sandal dari sampah daur ulang. Namun,
usaha itu akhirnya terpaksa dihentikan. Penyebabnya
mirip seperti kebanyakan bank sampah di daerah lain:
susah memasarkan produk kerajinan dari daur ulang
sampah. “Bikin kerajinan daur ulang sampah, tapi ndak
bisa dijual, nanti malah hanya akan jadi sampah baru,”
ujar Nurul.
BSI Surabaya kini juga punya inovasi pembayaran
listrik melalui tabungan sampah. Banyak nasabah yang
sudah memanfaatkan layanan ini. Salah satunya adalah
Sucipto. Pria yang juga bekerja di BSI Surabaya sejak 2016
ini, merasakan betul manfaat layanan pembayaran listrik di
BSI Surabaya. “Biasanya saya membeli token listrik sebesar
lima puluh ribu rupiah dari saldo saya di BSI Surabaya,”
ujarnya.
149
LISTRIK. Tak sedikit nasabah
BSI Surabaya memanfaatkan
layanan pembayaran listrik
atau pembelian token listrik
di BSI Surabaya.
Nasabah yang juga pernah melakukan pembayaran
listrik di BSI Surabaya adalah Femy. Namun, ia cuma sekali
memanfaatkan saldonya untuk membayar listrik. Femy
adalah konsumen pasca bayar PLN. Tagihan listriknya
bisa mencapai 500 ribu rupiah per bulan. “Pernah sekali
bayar listrik di BSI Surabaya. Saldo tabungan sampah saya
terkuras habis,” kata Femy terkekeh.
Warga Kota Surabaya kini banyak yang merasakan
manfaat kehadiran BSI Surabaya. Kesadaran yang terus
tumbuh dalam hal pengelolaan sampah, membuat Kota
Surabaya kian indah. Dan, BSI Surabaya punya peran
penting dalam terus menjaga Kota Surabaya tetap sehat
dan asri.
150
151
BANK SAMPAH INDUK GESIT JAKARTA
GERAK LINCAH
SI GESIT
Empat srikandi tanpa gaji. Itulah para
pengurus BSI Gesit, Jakarta. Hanya lantaran
peduli terhadap persoalan sampah, keempat
srikandi itu ikhlas. Kini, BSI Gesit terus
berkembang dan bergerak semakin lincah.
152
Seorang perempuan paruh baya memasuki halaman sebuah bangunan. Kedua tangannya menenteng dua kantong plastik berukuran besar. Kantong plastik
itu berisi beragam jenis sampah, di antaranya sampah
plastik bekas bungkus produk makanan. Perempuan asli
Minang itu bernama Syamsuriati. Dia adalah salah seorang
pengurus Bank Sampah Induk (BSI) Gesit. Bank sampah
ini berlokasi di kawasan Menteng Pulo, Jakarta Selatan.
Ibu Syam bukan lagi iseng. Sesekali dia memang
sengaja menyambangi beberapa warung yang terletak di
sekitar BSI Gesit. Yang dilakukan ibu Syam adalah bentuk
kecil edukasi pengelolaan sampah kepada warga sekitar
BSI Gesit. Sebagai salah seorang pengurus BSI Gesit,
ibu Syam merasa punya tanggung jawab sosial untuk
menularkan virus kebaikan kepada warga. “Tadi saya
membeli sesuatu ke warung. Lalu, saya tanya, ada sampah
nggak. Dan, inilah sampah plastik yang saya ambil dari
warung tempat saya belanja,” kata ibu Syam.
PERTAMA. BSI Gesit adalah
bank sampah induk pertama
di Provinsi DKI Jakarta. Bank
sampah ini bermula dari
sebuah bank sampah unit di
Rawajati.
BSI Gesit berdiri pada 2017. Namun sejatinya, cikal
bakal BSI Gesit sudah ada sejak 2008. Itulah Bank
Sampah Rawajati. Lokasinya di dekat Taman Makam
Pahlawan Kalibata. Adalah Ninik Nuryanto, yang pertama
kali memelopori pembentukan Bank Sampah Rawajati.
Sebagai warga Rawajati, Ninik merasa harus melakukan
153
sesuatu terhadap sampah yang timbul di lingkungannya.
Serakan sampah sudah mulai mengganggu. Salah satunya
adalah sampah organik. Sebagian besar sampah organik
berasal dari sisa masakan dan pekerjaan dapur. Ninik lalu
mengolah sampah organik ini menjadi kompos. Dia ajak
juga tetangganya. Perlahan, persoalan sampah organik
bisa teratasi.
Lalu, bagaimana dengan sampah nonorganik?
Ninik putar otak. Akhirnya, ketemulah ide membuat
tabungan sampah kering. Disingkat TASAKE. “Lalu,
saya adakan sosialisasi kepada warga agar ikut Tasake.
Akhirnya, lumayan banyak warga yang mau terlibat,”
ujar Ninik. Butuh waktu hampir tiga tahun bagi Ninik
bergelut membesarkan Tasake. Pada akhir 2010, Ninik
pun mengubah nama Tasake Rawajati menjadi Bank
Sampah Rawajati. Pada 11 Januari 2011, Nyonya Fauzi Bowo,
istri Gubernur DKI Jakarta saat itu, meresmikan Bank
Sampah Rawajati.
TASAKE. Bermula dari
Tabungan Sampah Kering
(Tasake), pada 2011 berdirilah
Bank Sampah Rawajati, di
Jakarta Selatan.
Janji Mengirim Satu Truk Sampah
Bank Sampah Rawajati menjadi bank sampah yang
pertama kali berdiri di Jakarta. Ninik pun sumringah.
Idenya mengelola sampah dalam bentuk tabungan
sampah kering dilirik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Bahkan, “Pada saat peresmian, pak Foke sampai bercanda
154
kepada saya. Dia bilang, nanti akan mengirimkan satu truk
sampah ke Bank Sampah Rawajati,” tutur Ninik terkekeh,
mengenang kejadian beberapa tahun lampau.
Bank Sampah Rawajati pun resmi beroperasi.
Perhatian dari pemerintah daerah mulai mengalir.
Suku Dinas Kebersihan Jakarta Selatan ikut membantu
melakukan sosialisasi kepada warga di Kota Jakarta
Selatan untuk membuat bank sampah. Dalam waktu
relatif singkat, puluhan bank sampah berdiri di Jakarta
Selatan.
Ninik dan pengurus bank sampah se-Jakarta Selatan
sepakat membentuk paguyuban bank sampah Jakarta
Selatan. Setiap bulan, para pengurus bank sampah ini
berkumpul. Suku Dinas Kebersihan Jakarta Selatan yang
menjadi fasilitatornya.
PERJUANGAN. Ninik Nuryanto berjuang
tak kenal lelah mengampanyekan
pentingnya bank sampah. Dia juga
memelopori pendirian bank sampah
induk.
Salah satu tema obrolan dalam paguyuban bank
sampah adalah soal harga jual sampah. Banyak pengurus
bank sampah mengeluhkan ketidakseragaman harga
jual ke pelapak-pelapak sampah. Harga jual sampah
bank sampah memang amat tergantung kepada harga
yang disodorkan para pelapak. “Ketidaksamaan harga
ini membuat kami sulit mengukur tingkat keberhasilan
sebuah bank sampah,” ucap Ninik.
Kondisi inilah yang lantas melahirkan gagasan perlunya
155
bank sampah di Jakarta Selatan punya wadah khusus
bernama bank sampah induk (BSI). Harapannya, BSI
akan membeli sampah dari bank sampah dengan harga
seragam. Dengan kehadiran BSI, para pengurus bank
sampah meyakini bakal bisa lebih mudah menetapkan
harga standar untuk semua jenis sampah.
Bersama pejabat di kantor Walikota Jakarta Selatan
dan Suku Dinas Kebersihan Jakarta Selatan, para pengurus
bank sampah mulai menggodok konsep pendirian
BSI. Tapi, ternyata tak mudah mewujudkan gagasan
mendirikan BSI. Salah satu kendalanya adalah ketersediaan
lahan yang akan digunakan sebagai kantor dan gudang
BSI. Pun, “Kami juga kepentok dengan kendaraan yang
akan digunakan untuk mengangkut sampah dari bank
sampah unit ke BSI,” kata Ninik.
KONSEP. Harga beli sampah
oleh pelapak tidak seragam.
Pengurus bank sampah
se-Jakarta Selatan pun
membentuk bank sampah
induk.
Tapi, semangat mendirikan BSI tak pernah padam.
Lalu, pada 2016, pengurus bank sampah unit di Jakarta
Selatan mendapatkan informasi ihwal pengadaan mobil
truk pengangkut sampah. Dinas Lingkungan Hidup DKI
Jakarta memberikan satu unit mobil truk untuk satu
kecamatan di seluruh Jakarta.
Setelah masing-masing kecamatan mendapatkan
mobil truk, para pengurus bank sampah unit di Jakarta
Selatan pun bersepakat mendirikan bank sampah induk.
156
Dan, pada 23 Februari 2017, BSI Gesit resmi berdiri. BSI
Gesit mendapat jatah dua mobil truk. “Kami adalah bank
sampah induk pertama di Jakarta,” kata Ninik.
Awal Yang Tak Begitu Indah
BSI Gesit sudah resmi berdiri. Urusan kendaraan
pengangkut sampah dari bank sampah unit bisa
terselesaikan. Namun, BSI Gesit belum punya lahan.
Semula, pengurus BSI Gesit ingin menjadikan Bank
Sampah Rawajati sebagai lokasi BSI. Alasannya, bank
sampah itulah yang pertama kali berdiri di Jakarta. Tapi,
keinginan itu terhalang lantaran akses jalan menuju BS
Rawajati terlalu sempit. Mobil truk tidak bisa masuk.
Pengurus BSI Gesit mencari alternatif lain sebagai
lokasi BSI. Ada satu bank sampah unit di wilayah
Pesanggrahan yang bersedia menjadi lokasi BSI. Tapi,
lokasi itu dinilai terlalu jauh dari bank sampah unit yang
menjadi nasabah BSI.
Untunglah, ada bank sampah Marisa. Lokasinya di
kawasan Menteng Pulo. Dan, kebetulan pula ada pengurus
BSI Gesit yang berasal dari Bank Sampah Marisa. Sang
pengurus inilah yang menawarkan lahan BS Marisa menajdi
lokasi BSI Gesit. Walikota Jakarta Selatan juga mendukung
digunakannya lahan BS Marisa sebagai lokasi BSI Gesit.
SETOR. Petugas BSI Gesit
sedang mencatat setoran
sampah nasabah. Kerja
keras pengurus BSI Gesit
membuahkan hasil. Nasabah
terus bertambah.
157
Terpecahkannya masalah kendaraan pengangkut
sampah dan lahan membuat urusan BSI Gesit menjadi
lebih mudah. BSI Gesit tak susah mencari nasabah. Semua
bank sampah unit yang tergabung di dalam paguyuban
bersepakat menjadi nasabah BSI Gesit. Pada masa awal
bediri, ada 60 bank sampah unit yang menjadi nasabah
BSI Gesit. Kini, nasabahnya sudah bertumbuh lebih dari
enam kali lipat. Tercatat sekarang ada 410 nasabah bank
sampah unit, bank sampah instansi, dan bank sampah
sekolah.
DIPILAH. Tumpukan
sampah yang sudah
dipilah, tergeletak di
hanggar BSI Gesit. Siap
diangkut ke pelapak.
Lantas, dimulailah sebuah pekerjaan besar Ninik dan
rekan-rekannya. Pekerjaan itu bernama Bank Sampah
Induk Gesit. Namun, memang tak ada yang selalu indah
di awal sebuah perjuangan. Kondisi kumuh menjadi
pemandangan yang harus didapati Ninik dan rekan-
rekannya. Tak ingin melihat lahan BSI Gesit berantakan,
Ninik pun akhirnya terpaksa merogoh koceknya sendiri.
beberapa uang dia keluarkan untuk membersihkan
lahan. “Bismillah. Namanya juga babat alas, tentu
perlu dana,” tutur Ninik. Selain Ninik, Kepala Suku Dinas
Kebersihan Jakarta Selatan pun ikut bantingan. Sang
Kepala Sudin mengeluarkan uang pribadi membeli
tegel lantai kantor.
158
Tak Terima Gaji Sepeser Pun
Ninik memang menjadi pelopor berdirinya BSI Gesit.
Namun, dia merelakan dirinya untuk tidak menjadi ketua
BSI Gesit. Salah satu alasannya karena dia masih sering
keliling negara kita , menjadi pembicara edukasi bank
sampah. Tiga bulan sejak BSI Gesit berdiri, Ninik hanya
memantau perkembangan BSI Gesit dari kejauhan.
Setelah Lebaran 2017, Ninik pun akhirnya diminta Suku
Dinas Kebersihan Jakarta Selatan untuk terlibat dalam
urusan keseharian BSI Gesit. saat pertama menjadi
Ketua, Ninik melihat ada mekanisme yang kurang pas di
dalam operasional BSI Gesit. Bersama pengurus lainnya,
Ninik pun pelan-pelan mulai membenahi beberapa
kekurangan itu .
Untunglah, Suku Dinas Kebersihan Jakarta Selatan
memberikan sokongan besar terhadap perkembangan
BSI Gesit. Salah satunya adalah menyediakan tenaga
pekerja yang melakukan pemilahan di BSI Gesit. Di masa
awal, ada 10 orang dari Suku Dinas Kebersihan Jakarta
Selatan yang bekerja di BSI Gesit. Tapi, kini hanya tersisa
lima orang, terdiri dari tiga petugas pemilah sampah, dan
dua orang pengemudi.
Selain kelima petugas dari Suku Dinas Kebersihan
Jakarta Selatan itu , BSI Gesit hanya punya lima
orang pengurus, plus satu orang tenaga administrasi.
Kelima orang pengurus itu semuanya perempuan. Dan,
semua pengurus sama sekali tidak mendapatkan gaji.
“Itulah kenapa pengurusnya semua perempuan. Kalau
pria, kan biasanya kepala keluarga. Biasanya berharap
dapat gaji dari pekerjaan ini. Padahal, mengurus bank
sampah ini kan lebih banyak kepada kerja sosial,” kata
Ninik.
Pengurus memang tak mendapatkan gaji sepeser pun.
Sedangkan kelima petugas dari Suku Dinas Kebersihan
159
Jakarta Selatan digaji oleh Sudin Jakarta Selatan. Dan,
seorang petugas administrasi digaji oleh BSI Gesit.
SRIKANDI. Ellen de Wilde
(kiri, Ketua BSI Gesit) dan
Ninik Nuryanto (kanan, Wakil
Ketua BSI Gesit). Lima orang
pengurus BSI Gesit semuanya
perempuan.
Selain mendapatkan bantuan petugas dari Sudin
Kebersihan Jakarta Selatan, BSI Gesit juga menerima
bantuan berupa kendaraan operasional. Tapi, sama sekali
tidak ada sokongan dalam bentuk dana operasional.
Pengurus BSI Gesit terpaksa mencari sendiri dana
operasional itu .
Salah satu pemasukan untuk biaya operasional
adalah melalui penjualan sampah ke pelapak. BSI Gesit
mengutip selisih harga jual sampah dengan pembelian
sampah dari BSU sebesar 10 sampai 15 persen. Selisih itu,
“Insya Allah cukup untuk biaya operasional. Bayar listrik,
internet, bahan bakar kendaraan operasional, dan makan
petugas kami,” ujar Ninik. BSI Gesit mengeluarkan dana
operasinal sebesar 8 juta rupiah hingga 12 juta rupiah per
bulan.
BSI Gesit juga menerima bantuan dari pihak swasta.
Setidaknya, ada perusahaan swasta yang sedari awal cukup
getol membantu BSI Gesit: Danone dan Unilever. Danone
pernah memberikan bantuan berupa uang sebesar 10 juta
rupiah, laptop, dan mesin press sampah kertas. Sementara,
Unilever – bersama Danone – membantu pengadaan
hanggar sampah, pada awal 2018.
160
HANGGAR. BSI Gesit
menerima bantuan
dari pihak swasta.
Salah satunya berupa
hanggar.
Tak hanya pihak swasta yang membantu BSI Gesit.
Bantuan juga berasal dari PLN, dalam bentuk dana
corporate social responsibility (CSR). Wujud bantuannya
berupa satu unit mobil bak, mesin press sampah kertas,
laptop, dan televisi. “PLN juga merenovasi bangunan
kantor kami, sehingga jadi lebih bagus seperti sekarang,”
kata Ninik.
Terbentur Standar dari Pabrik
Sebagai bank sampah induk pertama di Jakarta, BSI
pernah mencatatkan omset mencapai 150 juta rupiah
per bulan. Itu terjadi pada 2018. Namun, pada 2019, omset
turun menjadi rata-rata 80 juta rupiah per bulan. Salah
satu penyebabnya, banyak BSU yang langsung menjual
sampah ke pelapak, untuk mendapatkan harga jual yang
lebih tinggi.
BSI Gesit kini menjual sampah ke vendor besar yang
berlokasi di sekitar pabrik pengolahan sampah. Semula,
BSI Gesit memang berencana menjual langsung sampah
ke pabrik. Namun, rencana ini tak berjalan lantaran sudah
ada vendor yang bekerja sama dengan pabrik. Jadi, “Kami
terpaksa menjual sampah ke vendor-vendor itu,” tutur
Ellen de Wilde, Ketua BSI Gesit.
Pabrik pengolahan sampah ternyata sudah
mempunyai standar sampah yang bisa mereka beli. Antara
161
lain, ada jenis sampah yang harus digiling terlebih dulu.
Atau, pabrik membeli sampah dengan jumlah minimal
tertentu. BSI Gesit sulit memenuhi syarat kondisi sampah
seperti yang diinginkan pabrik pengolahan. Karenanya, BSI
Gesit pun menjual ke vendor yang berlokasi di Kalimalang,
Depok, Serpong, dan Kebayoran Lama.
BSI Gesit kini memiliki tiga unit kendaraan operasional,
terdiri dari dua unit truk dan satu unit mobil bak. Kendaraan
operasional ini mengangkut sampah yang dijual ke vendor
atau pelapak sampah. Petugas BSI Gesit tidak mengambil
sampah dari para nasabah. BSU menyetorkan sendiri
sampah mereka ke BSI Gesit.
TRUK. BSI Gesit memiliki
tiga unit kendaraan
operasional. Digunakan untuk
mengangkut sampah yang
akan dijual ke vendor.
Saat ini, tercatat ada 410 nasabah BSI Gesit yang berasal
dari bank sampah unit di Jakarta Selatan. Lalu, ada pula
sekitar 20 nasabah individu. “Nasabah individu kami ini
biasanya tinggal di apartemen di sekitar BSI Gesit. Bahkan,
ada tiga orang asing nasabah individu kami,” ujar Ellen.
BSI Gesit kini menerima 47 jenis sampah. Harga beli
sampah dari nasabah biasanya dievaluasi sebulan sekali.
Ini menyesuaikan harga jual sampah ke para vendor atau
pelapak. Memang, harga jual sampah biasanya fluktuatif.
Ada bulan-bulan tertentu yang harga jual sampahnya
cukup tinggi. Beruntung, nasabah BSI Gesit memahami
soal fluktuasi harga jual ini.
162
MENYADARKAN. Syamsuriati
tak pernah lelah mengajak
warga untuk memilah sampah.
Termasuk warga di sekitar BSI
Gesit.
Pemahaman para nasabah tentu tak lepas dari
sosialisasi yang terus menerus dilakukan BSI Gesit. Tak
cuma kepada nasabah lama saja pengurus BSI Gesit
melakukan sosialisasi. Tapi juga kepada warga di sekitar BSI
Gesit. Seperti yang diperbuat Syamsuriati, saat membawa
sampah plastik dari warung tempat dia berbelanja.
Warung di dekat BSI Gesit. Perempuan tangguh ini tentu
tak kenal lelah menyampaikan kepada warga di sekitar BSI
Gesit, betapa pentingnya memupuk kepedulian terhadap
persoalan sampah.
163
BANK SAMPAH NUSANTARA
NGAJI PLASTIK
BARENG NU
Sebagai organisasi massa Islam terbesar di
negara kita , Nahdatul Ulama (NU) tak mau
berdiam diri melihat peliknya persoalan
penanganan sampah. Melalui Bank Sampah
Nusantara, NU ingin berperan mengubah
perilaku warga . Bahkan, NU pun
sudah menerbitkan buku fiqih pengelolaan
sampah plastik.
164
Siti Nurbaya sumringah. Senyum lebar mengembang di bibir Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini. Cindera mata yang diterimanya dari Ketua
Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Said
Aqil Siradj, membuat sang menteri terkesima. Boleh jadi,
bukan lantaran nilai atau harga cindera mata itu yang
membuat Siti Nurbaya bahagia. Namun, cindera mata
itu sungguh istimewa: terbuat dari sampah daur
ulang. Lukisan abstrak pada cindera mata itu memang
dibuat dari lintingan kertas koran bekas.
Kejadian pada Desember 2017 silam itu, seakan menjadi
penguat kehadiran Bank Sampah Nusantara. Cindera mata
yang diberikan Kiai Said Aqil kepada Menteri Siti Nurbaya
adalah hasil karya kerajinan Bank Sampah Nusantara.
Untuk kali ke sekian, PBNU memberikan kepada tamunya
cindera mata dari produk bank sampah yang berada di
bawah naungan Lembaga Penanggulangan Bencana dan
Perubahan Iklim (LPBI) NU itu . Sebelumnya, pada
April 2016, PBNU juga memberikan produk kerajinan Bank
Sampah Nusantara kepada Duta Besar Inggris, Moazzam
Malik.
DAUR ULANG. Menteri
KLHK, Siti Nurbaya,
sumringah saat
menerima cindera
mata dari daur ulang
sampah karya Bank
Sampah Nusantara.
Pengelola Bank Sampah Nusantara mendengar
kabar Dubes Inggris akan berkunjung ke kantor PBNU di
kawasan Matraman, Jakarta. Mereka ingin memberikan
165
cindera mata berupa kerajinan yang berasal dari sampah
daur ulang kepada sang dubes. Namun, niat Bank Sampah
Nusantara memberikan cindera mata kepada Dubes
Inggris itu, awalnya sempat mendapatkan pertanyaan
serius dari beberapa pengurus PBNU. “Masak iya, tamu
sekelas dubes diberikan cindera mata dari daur ulang
sampah. Kira-kira begitu pertanyaan dari beberapa orang
pengurus PBNU,” kata Fitria Ariyani, Direktur Bank Sampah
Nusantara.
Keraguan itu mengusik hati Fitria. Dia mewanti-wanti
kepada rekan-rekannya di Bank Sampah Nusantara agar
bisa membuat cindera mata yang bagus dan layak. Fitria
mengajak pengelola Bank Sampah Nusantara menjadikan
keraguan itu sebagai sebuah tantangan. Dia ingin
membuktikan, Bank Sampah Nusantara dan produk yang
dihasilkannya bisa membanggakan PBNU.
KALIGRAFI. Duta Besar
Inggris, Moazzam Malik,
menerima cindera mata
berupa kaligrafi Arab. Kaligrafi
ini dibuat dari kertas koran.
Seperti berburu dengan tenggat waktu, Fitria dan
pengelola Bank Sampah Nusantara pun akhirnya berhasil
menyelesaikan cindera mata berupa kaligrafi tulisan
Arab. Cindera mata itu juga dibuat dari lintingan kertas
koran bekas. Kiai Aqil Siradj yang memberikannya kepada
Dubes Moazzam. Sang Dubes yang masa jabatannya di
negara kita berakhir pada 2019 lampau, menerima cindera
mata itu dengan suka cita. Apalagi setelah Dubes
166
Moazzam diberi tahu bahwa cindera mata itu dibuat dari
sampah daur ulang yang dikelola bank sampah milik
PBNU.
Dukungan Penuh Sang Kiai
Keraguan dan pertanyaan ihwal keberadaan bank
sampah di gedung PBNU memang menjadi sebuah
muasal bagi keberadaan Bank Sampah Nusantara.
Diresmikan persis pada Hari Peduli Sampah Nasional,
21 Februari 2016, ada penghuni gedung PBNU yang
mempertanyakan keberadaan bank sampah di gedung
itu . “Mendengar kata-kata sampah, kan konotasinya
jorok ya. Jadi, mungkin itulah yang membuat rasa kurang
nyaman bagi sebagian penghuni gedung PBNU,” ujar
Fitria.
Namun, dukungan penuh dari Kiai Aqil Siradj, membuat
Fitria dan teman-temannya tetap memelihara asa. Apalagi,
PBNU memberikan sebuah ruangan berukuran tiga kali
lima meter di gedung PBNU. Bank Sampah Nusantara
memakai ruangan itu sebagai kantor, sekaligus
gudang sampah. Itulah yang membuat Fitria yakin bahwa
kehadiran Bank Sampah Nusantara akan menjadi sebuah
kebanggaan bagi PBNU.
Memang bukan ujug-ujug Bank Sampah Nusantara
berdiri. Sebelumnya, pengurus Lembaga Penanggulangan
Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) NU sudah cukup
sering mengedukasi warga NU soal pengelolaan sampah.
Salah satu fokus LPBI NU adalah isu pengelolaan lingkungan
hidup. Dan, pengelolaan sampah menjadi bagiannya.
LPBI NU sudah pernah mendampingi cukup banyak
bank sampah. Namun, tak sedikit bank sampah binaan
LPBI NU yang mandeg dan akhirnya menghentikan
kegiatan mereka. Inilah yang memicu LPBI NU untuk
memiliki bank sampah sendiri. “Pendampingan kami
167
hanya bersifat teoritis. Jadi, kami bertekad untuk langsung
terjun ke lapangan, dengan cara membentuk bank
sampah,” ucap Fitria.
Dua tahun pertama sejak Bank Sampah Nusantara
berdiri, Fitria dan kawan-kawannya lebih banyak
mengedukasi para pengguna gedung PBNU. Ternyata,
proses itu tak semudah yang mereka bayangkan. saat
itu, paradigma kebanyakan orang tentang sampah
masih belum berubah. Slogan “buanglah sampah pada
tempatnya” tetap menjadi yang utama. Memilah sampah?
Nanti dulu. Yang penting, buang sampah ke tong sampah,
lalu akan ada petugas yang mengangkut sampah.
TIMBANG. Petugas
Bank Sampah Nusantara
menimbang sampah yang
disetorkan nasabah. BSN
terus mengedukasi penghuni
gedung PBNU.
Selain terlibat dalam proses mengedukasi penghuni
gedung PBNU, pengelola Bank Sampah Nusantara juga
belajar banyak ihwal bank sampah. Setelah memahami
seluk-beluk pengelolaan bank sampah, mereka lantas
merekrut seniman di lingkungan NU untuk menjadi
bagian Bank Sampah Nusantara.
Pengelola Bank Sampah Nusantara meyakini, sampah
yang mereka urus bisa bernilai jual lebih jika diubah
menjadi bentuk lain. Inilah konsep daur ulang yang
dipahami Fitria dan rekan-rekannya. “Kami minta para
168
seniman yang bergabung dengan kami untuk mengubah
mindset. Selama ini, mereka menghasilkan produk dari
bahan baru. Lalu, kami ajak mereka membuat produk dari
sampah,” kata Fitria.
Buku Fiqih Sebagai Bukti
Keterlibatan para seniman itu ternyata memang
banyak membantu Bank Sampah Nusantara. Beragam
produk kerajinan bisa mereka hasilkan. Dan, pemberian
cindera mata kepada Dubes Moazzam menjadi tonggak
pengakuan keberadaan Bank Sampah Nusantara. Setiap
kali ada tamu yang akan berkunjung ke PBNU, Kiai Aqil
Siradj selalu bertanya kepada pengurus Bank Sampah
Nusantara: cindera mata apa yang tersimpan di ruangan
Bank Sampah Nusantara.
Bank Sampah
Nusantara melakukan
transaksi setiap hari
Jumat. Biasanya,
usai solat Jumat di
gedung PBNU, akan
ada pengumuman
bahwa Bank Sampah
Nusantara sudah buka.
Pada masa-masa
awal berdirinya Bank
Sampah Nusantara,
pengumuman itu
terdengar cukup aneh.
“Masak iya, di gedung
PBNU ada kegiatan
menyetorkan sampah,” tutur Fitria tersenyum.
Namun, lama kelamaan pengumuman setiap hari
Jumat itu sudah menjadi lumrah. Bahkan, jika sehabis solat
JOKOWI. Salah satu hasil kerajinan
daur ulang Bank Sampah Nusantara,
berupa foto Presiden Jokowi. Kreasi
seniman yang luar biasa.
169
Jumat tak terdengar pengumuman soal menyetorkan
sampah ke Bank Sampah Nusantara, banyak penghuni
gedung PBNU yang merasa kehilangan. Ada yang sampai
menghubungi Fitria melalui pesan singkat dan bertanya
kenapa Bank Sampah Nusantara tutup.
Keinginan Fitria dan pengurus Bank Sampah Nusantara
menjadikan bank sampah mereka sebagai kebanggan NU
kian menampakkan wujudnya. Pada Munas Alim Ulama dan
Konferensi Besar NU 2019, pengelolaan sampah menjadi
salah satu perhatian penting PBNU. Untuk menunjukkan
keseriusannya, PBNU akhirnya mengeluarkan sebuah
buku tentang