sampah 5

 


ai biaya mendapatkan layanan 

kesehatan. Intinya, membayar klinik kesehatan tidak perlu 

dengan uang. Cukup dengan sampah.

 Dengan keyakinan tinggi, Gamal pun menjalankan 

gagasannya. Klinik kesehatannya pun bertransformasi 

menjadi Garbage Clinical Insurance (GCI). Lokasinya di 

Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Pada masa 

awal berdiri, petugas GCI akan mendatangi warga yang 

menderita sakit dan tak sanggup berobat ke rumah sakit 

lantaran tak memiliki uang. 

 Kepada warga yang sakit, petugas GCI menyampaikan 

bahwa mereka bisa memberikan layanan kesehatan, tanpa 

warga harus membayar memakai  uang. Cukup 

membayar dengan sampah yang ada di rumah warga. 

“Izinkan petugas kami memungut sampah nonorganik 

di rumah warga yang sakit. Cukup itu saja syaratnya,” 

kata Gamal. Dengan konsep seperti itu, GCI akhirnya 

mengajarkan kepada warga untuk memilah sampah – 

organik dipisah dari nonorganik – sejak dari rumah. 

 Perlahan namun pasti, warga Kedungkandang 

pun mulai melirik GCI. Mereka tak keberatan memilah 

sampah di rumah. Lewat konsep yang sederhana, Gamal 

menularkan virus positif kepada warga, agar memiliki 

kepedulian terhadap lingkungan. 

 Meski konsepnya sederhana, Gamal menyadari betul 

bahwa programnya memberikan nilai tambah bagi warga. 

Selama ini, paradigma yang ada di benak warga  

tidak mampu adalah kesehatan itu mahal, dan sampah 

adalah sesuatu yang tidak berguna. Melalui GCI, Gamal 

menggabungkan unsur kesehatan dan pengelolaan 

sampah. “Jadi, melalui GCI, kami berhasil mengubah 

persepsi warga  tentang sampah. Ternyata bisa 

berobat bayarnya dengan sampah,” ucapnya.

Senyuman Adalah Bahan Bakar

 Empati terhadap kisah Khairunissa itu ternyata menjadi 

tonggak penting dalam kehidupan Gamal. Namun, Gamal tak 

mau berhenti hanya sebatas empati. Dia mengawinkannya 

dengan inovasi. Gamal percaya dengan story behind 

innovation. “Banyak orang berinovasi karena ada peluang dan 

masalah. Tapi, mereka lupa berempati. Padahal, empati bagi 

saya adalah connection that lives innovation alias koneksi 

yang menghidupkan inovasi,” kata Gamal menerangkan 

filosofinya tentang kaitan empati dan inovasi. 

 Gamal beruntung. Sebab, banyak pasien GCI yang 

bisa membuatnya terus berempati. Dia mengisahkan 

perjuangan seorang ibu anggota GCI. Anaknya terkena 

penyakit pendarahan otak. Tiga tahun silam, sang ibu 

membawa anaknya berobat ke GCI dan ditangani dengan 

baik oleh petugas di GCI. Beberapa bulan lalu, Gamal 

berjumpa dengan sang ibu dan anaknya, dengan kondisi 

si anak yang terus membaik. 

 Sang anak kini sudah bisa tersenyum. Dan, senyuman 

itu ibarat bahan bakar bagi Gamal untuk terus berinovasi. 

Dia meyakini, di saat nanti dirinya kehabisan uang atau 

ditinggal pergi oleh teman-teman dan timnya, empati 

adalah alasannya untuk terus bertahan dan tetap berinovasi.

 Karena itu, Gamal selalu menekankan kepada timnya 

agar terus memelihara dan merawat empati. Salah satu 

caranya adalah mengunjungi rumah pasien anggota 

GCI. Petugas GCI akan mengukur tekanan darah dan 

memeriksa kadar gula darah sang pasien. “Kini, kami 

sudah melangkah lebih jauh. Kami juga sudah masuk ke 

program peningkatan gizi, dengan cara memberikan susu 

kepada para pasien,” tutur Gamal. 

Setorlah Sampah, Kau Bisa Berobat Gratis

 Pelayanan sungguh-sungguh dari GCI itulah yang 

akhirnya membuat banyak warga di sekitar klinik yang 

terus tumbuh kesadarannya dalam mengelola sampah. 

Padahal, Gamal awalnya tidak terlalu optimis jika 

gerakannya melalui klinik kesehatan berbayar sampah 

ini akan berhasil. Dia menyadari amat tak gampang 

mengubah perilaku orang. Kebanyakan warga sudah 

merasa nyaman dengan tak perlu memilah sampah 

secara rutin di rumah mereka. 

 Pada prinsipnya, GCI melakukan tiga aktivitas 

sekaligus: layanan kesehatan, asuransi, dan pengolahan 

sampah. GCI memobilasasi sesuatu yang selama ini 

dibuang begitu saja oleh warga , bernama sampah. 

GCI mengubah sampah itu  menjadi dana kesehatan 

dalam bentuk asuransi. Bentuk asuransi sengaja dipilih 

karena anggota GCI yang tidak sakit pun tetap harus 

menyetorkan sampah mereka ke GCI. Sampah itu lalu 

dijual GCI ke pelapak-pelapak sampah di Kota Malang. 

 GCI terus menggeliat. Memang mereka tak semata-

mata hanya mengandalkan sampah sebagai pemasukan. 

Sistem subsidi silang mereka terapkan. Pasien GCI dari 

warga mampu, tetap wajib membayar. Kendati demikian, 

tetap saja kas GCI kedodoran. Maklum, dari hitungan GCI, 

satu orang di dalam satu rumah tangga, rata-rata hanya 

bisa menghasilkan uang dari sampah sebesar empat 

belas ribu rupiah. Untunglah, dari seluruh anggota GCI, 

yang menderita sakit maksimal hanya tiga puluh persen. 

 Tapi, Gamal menyadari bahwa program yang dia 

lakukan melalui GCI adalah kegiatan wirausaha sosial. 

Wirausaha diterjemahkan harus mampu menghasilkan 

uang. Sedangkan sosial adalah menyelesaikan masalah 

kesehatan warga . Tentu saja, inovasi kembali harus 

dilakukan. Untuk itulah, GCI kini memiliki alat pencacah 

dan press plastik. Tujuannya agar sampah plastik bisa 

diolah terlebih dulu sebelum dijual ke pelapak, untuk 

mendapatkan harga lebih tinggi. 

 Selain program klinik kesehatan, Gamal juga sudah 

membawa GCI membantu warga mengurus keanggotaan 

BPJS. Ternyata, tak sedikit warga di Kota Malang yang 

bermasalah dengan keanggotaan BPJS-nya lantaran 

persoalan identitas kependudukan. GCI menyelesaikan 

persoalan itu, sekaligus membayarkan iuran BPJS warga 

yang mereka bantu. Uangnya berasal dari asuransi sampah 

yang dimiliki warga anggota GCI.

 Salah seorang anggota GCI yang dibantu mengurus 

BPJS adalah Suliati, warga Kecamatan Lokwaru. 

Perempuan paruh baya ini sudah dua tahun menjadi 

pasien Gamal. Dia punya riwayat penyakit darah tinggi 


dan gangguan lambung. Suliati biasa berobat langsung 

ke GCI. Tapi, terkadang perawat GCI yang menyambangi 

rumahnya. 


 saat  pertama kali dibujuk untuk memilah sampah, 

Suliati sempat kebingungan. Namun, dia jalankan saja 

bujukan dari petugas GCI yang datang ke rumahnya dua 

tahun silam. “Saya mau disuruh memilah sampah karena 

waktu itu langsung dijanjikan bisa berobat gratis ke klinik 

dokter Gamal. Eh, ternyata benar. Saya juga dibantu 

mengurus BPJS, padahal NIK saya bermasalah,” ujarnya. 

 Melihat Suliati bisa berobat gratis hanya dengan 

menyetorkan sampah, banyak tetangganya yang akhirnya 

ikut menjadi anggota GCI. Suliati merasa amat beruntung, 

Kota Malang memiliki warga seperti Gamal Albinsaid. 

Kesabaran Adalah Nafas Kebaikan

 Gamal sering bertanya kepada timnya soal 

keberhasilan program klinik asuransi sampah. Dia 

ingin memastikan bahwa program itu benar-benar 

memberikan keuntungan bagi warga . Sebab, meski 

dengan sampah, warga  sebetulnya juga membayar 

untuk mendapatkan layanan kesehatan. “Dengan 

empowering, saya mencoba menyadarkan warga  



bahwa dengan memilah sampah, kebersihan lingkungan 

terjaga. Lingkungan bersih memicu  lingkungan 

sehat. Dan, sampah yang dipilah warga bisa membayar 

biaya kesehatan,” kata Gamal.

 Bagi Gamal, sampah bukanlah masalah teknologi, 

melainkan masalah sosial. Penyelesaiannya harus pula 

melalui rekayasa sosial. Salah satu rekayasa sosial yang 

diyakininya bisa berhasil adalah dengan cara mengubah 

budaya warga  dalam memandang sampah. 

warga  harus mengubah paradigma sampah sebagai 

barang terbuang dan tak bernilai, menjadi paradigma 

sampah sebagai sesuatu yang memiliki nilai ekonomis. 

 Interaksi Gamal dengan tim GCI-nya boleh dibilang 

cukup intens. Kepada tim GCI, Gamal menanamkan filosofi 

“tidak ada kebaikan yang sempurna tanpa kesabaran, 

karena kesabaran adalah nafas yang menentukan lama 

atau sebentarnya sebuah kebaikan bertahan”. Gamal 

sengaja menekankan prinsip ini lantaran dia menginginkan 

wirausaha sosial bernama GCI bisa terus bertahan dan 

tak lekang oleh waktu. “Saya merintis program ini bukan 

hanya untuk dua atau tiga tahun ke depan, melainkan 

untuk dua puluh sampai tiga puluh tahun ke depan,” ujar 

Gamal. 

 Merasa tak cukup hanya berinovasi lewat sampah, 

Gamal pun mulai merambah usaha rintisan (start up). GCI 

kini mengembangkan aplikasi mobil In-Med. Aplikasi ini 

bisa diunduh di google play dan apps store. Salah satu isi 

In-Med yang berkaitan dengan layanan kesehatan adalah 

konsultasi gratis dengan dokter secara online. Selain In-

Med, Gamal juga membuat usaha rintisan crowd funding 

bernama siapapeduli.id.

 Jerih payah Gamal Albinsaid - sang dokter sampah 

- kini sudah berbuah manis. Padahal, saat  dia 

memutuskan bergiat di layanan kesehatan dengan cara 

pemberdayaan warga , tak sedikit yang mencibirnya. 

Pun, saat  namanya kini sudah dikenal dunia, tetap saja 

ada yang menilai terobosannya bukanlah sebuah bentuk 

keberhasilan dari seorang dokter. “Ukuran sukses seorang 

dokter itu kan biasanya saat  dia menjadi dokter spesialis, 

berpraktik, punya banyak pasien, dan kaya raya. Lha, saya 

sejak lulus malah sibuk ngurusin public health,” ujar Gamal 

sambil terkekeh. 

 Tapi, Gamal tak hirau dengan penilaian seperti 

itu. Gamal merasa sudah cukup puas bila ikhtiarnya 

berdampak positif bagi warga , sudah cukup. 

Bagi Gamal, saat  dia mendapatkan penghargaan dari 

Pangeran Charles di London, Inggris, pada 2014, atau 

ngobrol bareng dengan Presiden Vladimir Putin di Rusia 

pada 2017, itu adalah sebuah pembuktian bahwa usahanya 

tak sia-sia. 

 Ketidaksia-siaan usaha  Gamal itulah yang kini banyak 

dirasakan warga Kota Malang yang menjadi anggota GCI. Kini, 

GCI sudah memiliki dua klinik. Klinik lama di Kedungkandang 

tetap berdiri tegak. Anggotanya hampir seratus orang. 

 GCI melebarkan sayapnya ke Kecamatan Lokwaru 

dan kini sudah memiliki lebih dari enam ratus anggota. 

“Dalam waktu dekat, kami akan menambah tiga klinik lagi, 

di kecamatan sisa di Kota Malang, yang belum ada GCI,” 

kata Rulianto, manajer GCI. Tiga kecamatan di Kota Malang 

yang belum ada layanan kesehatan GCI adalah Kecamatan 

Klojen, Kecamatan Blimbing, dan Kecamatan Sukun.

 GCI memang bertekad untuk bisa hadir di seluruh 

kecamatan di Kota Malang. Tujuannya agar bisa 

menjangkau semua warga  di Kota Malang yang tak 

mampu membayar biaya berobat. Gamal pun ingin klinik 

asuransi sampah seperti gagasannya ini ada juga di daerah 

lain. Sebab, Gamal tak ingin ada Khairunissa lain yang 

meninggal karena tak mampu membayar biaya berobat. 


Malam sudah cukup tua. Telah melewati separuh bagiannya. Bulan sepenggal memancarkan sinar agak redup. Suasana sebuah pusat kesenian di 

kawasan Jakarta Pusat berangsur lengang. Orang-orang 

mulai beranjak pulang. Lalu lintas perlahan menyepi.

 Seorang perempuan berpakaian rapi masih terlihat 

bugar. Matanya masih awas memperhatikan beberapa 

orang yang tengah bekerja. Sesekali, keluar teriakan 

perintah dari mulutnya. Perempuan enerjik itu tak terlihat 

lelah. 

 Tanpa dinyana, muncullah beberapa orang bertubuh 

tinggi besar. Seorang yang mengenakan jaket kulit dan 

lengan bertato, mendatangi perempuan itu. Dari balik 

jaket kulitnya, lelaki berwajah beringas itu mengeluarkan 

sepucuk pistol. Lalu, menodongkan ke jidat sang 

perempuan. “Kamu masih mau tetap di sini, atau keluar 

dari sini,” kata lelaki itu pelan, namun tegas.

 Keringat dingin perlahan menetes di kening Wilda 

Yanti, perempuan yang masih terjaga pada sebuah malam, 

di tahun 2014. Mengumpulkan segenap kekuatan, Wilda 

lalu bertanya kepada lelaki yang menodongkan pistol 

itu. “Salah saya apa? Kenapa saya tidak boleh mengelola 

sampah di sini?” tanya Wilda.

 Entah keajaiban apa 

yang menghampiri, lelaki 

bertato itu pun akhirnya 

mengajak beberapa 

rekannya meninggalkan 

Wilda dan timnya. Wilda 

pun bisa menarik nafas 

lega. Keberaniannya 

menghadapi lelaki itu 

menambah semangat 

anak buahnya.

 Kisah mengerikan itu bukan rekaan. Wilda Yanti 

sungguh mengalaminya. Sebagai perempuan yang 

bergelut di bisnis pengelolaan sampah, Wilda menyadari 

banyak pihak yang merasa terusik dengan kiprahnya. 

Apalagi, di beberapa  tempat pengolahan sampah yang 

dibangunnya, Wilda berhasil memutus mata rantai per-

pungli-an dalam pengelolaan sampah. 

 Peristiwa 2014 itu hanyalah sebagian cerita suka duka 

Wilda Yanti membangun sebuah perusahaan bernama 

Xaviera Global Synergi (XGS). Perseroan terbatas (PT) yang 

berdiri pada 2011 ini bergerak dalam bisnis pengolahan 

sampah. Salah satu mitra XGS adalah para pemulung. 

Sudah cukup banyak pemulung yang berhasil dibebaskan 

Wilda dari jerat utang pihak-pihak yang tidak bertanggung 

jawab. 

 Wilda menyebut sebuah kawasan di Sentul, Bogor, 

Jawa Barat. Banyak pemulung di sana yang dimanfaatkan 

oleh pihak-pihak tertentu dengan cara “diijon” terlebih 

dulu. “Bayangkan, mereka di depan dikasih uang 150 ribu 

rupiah. Tapi karena berbunga, pemulung itu jadi punya 

utang sampai satu setengah juta rupiah,” ujar Wilda.

IJON. Banyak pemulung 

yang sudah “diijon” di depan. 

Utangnya menumpuk. Wilda 

membebaskan para pemulung 

itu .

 Ketertarikan Wilda dalam urusan sampah sejatinya 

dimulai sejak dia hijrah ke Jakarta pada 1998. Datang ke 

Jakarta dari setelah menamatkan SMA di Kabupaten 

Agam, Sumatra Barat, Wilda menempuh kuliah di 

Universitas Bisa Nusantara (Binus). Sejak mahasiswa itulah 

Wilda punya ketertarikan di bidang lingkungan, salah 

satunya mengelola sampah.

 Namun, Wilda melihat, gerakan lingkungan itu kerap 

berhenti di tengah jalan. Jarang ada yang berkelanjutan. 

Apalagi jika sudah menyangkut urusan sampah. Konotasi 

bahwa sampah itu jorok dan menjijikkan, membuat 

banyak orang enggan bersentuhan dengan sampah. 

 Setelah bekerja di sebuah perusahaan teknologi 

informasi di Jakarta, Wilda pun akhirnya menemukan 

jawaban atas kegundahannya itu. Menurut Wilda, 

gerakan lingkungan acap terhenti lantaran gerakannya 

bersifat sosial. Itulah yang membuatnya mengubah 

gerakan lingkungan dari sosial ke wirausaha. “Kalau 

ada embel-embel usaha, orang kan berpikir bahwa 

kegiatannya menghasilkan uang. Jadi, pengelolaannya 

bisa berkelanjutan,” tutur Wilda.

 Selain soal uang, Wilda juga menyadari pentingnya 

peran kelembagaan dalam pengelolaan sampah. 

Sebelumnya Wilda mengelola sampah secara sporadis 

dan tak terarah, khas sebuah gerakan sosial. Lantas, secara 

perlahan, dia mulai membuat kelompok. 

 Saat itu, bank sampah belum ada. Namun, Wilda 

menganggap, kelompok gerakan pengelola sampah yang 

dia bentuk, prinsipnya mirip dengan bank sampah. Wilda 

mengajak warga memilah sampah sejak dari rumah. Lalu, 

sampah itu disetor ke rumah Wilda. Hanya saja, saat  itu 

Wilda juga menerima sampah basah atau organik. 

Masak Iya Kasih Yang Busuk Saja

 Wilda mengawali bank sampah versinya itu pada 

2007, dari teras rumahnya. Dia memulai dari rumahnya 

sendiri. Bersama keluarganya, mereka memilah sampah 

kering dan sampah basah. Lucunya, saat  dia mengajak 

warga di sekitarnya bermukim untuk mau juga memilah 

sampah, cibiranlah yang didapatkannya. “Ngapain sih 

ngurusin sampah. Mendingan bayar, selesai urusan. 

Begitu komentar tetangga saya,” ucap Wilda mengenang 

cemooh tetangganya kala itu.

 Ditolak di lingkungannya sendiri, tak membuat Wilda 

patah arang. Dia lalu mendatangi kawasan permukiman 

yang sulit mendapatkan akses pengangkutan sampah 

yang biasa dilakukan pemerintah. Selain kawasan seperti 

itu, Wilda juga menyambangi kawasan yang dia yakini 

penghuninya kesulitan membayar iuran sampah. 

 Akhirnya, Wilda berhasil mendirikan bank sampah. 

Kadung sudah mencemplungkan diri dalam urusan 

mengelola sampah, Wilda tak ingin usaha nya berhenti di 

tengah jalan. Dia lalu mempelajari ihwal penyebab bank 

sampah banyak yang stagnan. Salah satu temuannya 

adalah persaingan dengan pemulung dan pengepul. 

Warga bisa menjual sampah terpilah langsung ke 

pemulung dengan harga lebih tinggi dari bank sampah. 

Maklum, bank sampah “mengutip” sekian persen dari 

harga jual sampah, sebagai biaya operasional.

 Wilda lantas putar otak. Selain menerima sampah 

nonorganik, dia juga ikut mengelola sampah organik yang 

dihasilkan warga. Harapannya, warga jadi tidak “enak hati” 

dengan Wilda. “Masak iya mereka hanya mau ngasih yang 

busuk ke saya, sementara sampah kering mereka jual ke 

pemulung,” kata Wilda. 

 Cara itu berhasil. Warga pun menjual sampah kering ke 

Wilda. Namun, Wilda mendengar banyak suara sumbang 

tentang prinsip kerja bank sampah. Salah satunya adalah 

penafian prinsip tanggung jawab yang dipikul oleh orang 

yang menghasilkan sampah. Seharusnya, penghasil 

sampah membayar iuran untuk mengelola sampah yang 

dihasilkannya. Sementara, melalui bank sampah, penghasil 

sampah malah mendapatkan uang dari hasil menjual 

sampah ke bank sampah. Padahal, uang yang diperoleh si 

penghasil sampah sejatinya adalah “upah” yang diberikan 

kepadanya karena sudah mengelola sampahnya sendiri. 

warga . Wilda Yanti 

selalu melibatkan warga  

setempat saat membuka 

tempat pengolahan sampah.



 Jika sampah tak dipilah dari sumbernya, biaya 

pemilahan sampah di tempat pengolahan sampah cukup 

besar. Dengan memilah sampah, biaya pengolahan 

sampah bisa ditekan karena sampah yang berasal dari 

sumber sudah dipilah terlebih dulu. “Biayanya sebagian 

dialihkan dengan cara diberikan kepada warga yang 

sudah memilah sampahnya sendiri,” tutur Wilda. 

 Keberhasilan Wilda Yanti mengelola bank sampah, 

membuatnya dijadikan rujukan pihak yang ingin 

mendirikan bank sampah. Wilda menyambangi banyak 

wilayah di negara kita  untuk memberikan edukasi 

pengelolaan bank sampah. Maka, tak salah jika pada 2017, 

Wilda didapuk menjadi Sekretaris Jenderal Asosiasi Bank 

Sampah Seluruh negara kita  (ASOBSI).

Sebelas Satu Sebelas

 Perlahan tapi pasti, usaha  Wilda membentuk kelompok 

pengolahan sampah mulai menunjukkan hasil. Wilda pun 

merasa sudah saatnya mencari format kelembagaan yang 

pas untuk kelompok-kelompok pengolahan sampah ini. 

Yang terlintas di benaknya adalah bentuk perseroan terbatas 

(PT). Filosofinya adalah membawa urusan pengolahan 

sampah menjadi ranah wirausaha. Dan, pada 11 Januari 2011, 

resmilah berdiri PT Xaviera Global Synergi (XGS). 

 Pada 2012 keluar Peraturan Menteri Lingkungan 

Hidup nomor 13 tentang bank sampah. Ternyata, Permen 

itu mengatur soal kelembagaan bank sampah dalam 

bentuk koperasi atau yayasan. Sementara, Wilda sudah 

kadung mendirikan PT. Itulah yang membuat XGS 

sering ditolak pemerintah saat menawarkan kerja sama 

mengolah sampah. Alasannya, XGS berorientasi bisnis. 

Unsur bisnis inilah yang dianggap membedakan XGS 

dengan bank sampah. “Mereka nggak tahu kalau kami 

tetap membawa idealisme di bidang sosial. Antara lain 

melalui pemberdayaan warga ,” ucap Wilda.

 Berbagai penolakan itu membuat Wilda malah 

memacu larinya lebih kencang. Dia tak ragu mengunggah 

ke media sosial segala kegiatannya mengurus sampah. 

Padahal, banyak orang yang merasa tabu menunjukkan 

aktivitas seperti itu. Dalihnya, sampah adalah sesuatu 

yang menjijikkan.

   Cara Wilda “mendemonstrasikan” 

kegiatannya itu malah berbuah 

manis. Pada 2014, dia terpilih 

menjadi “Kartini Next Generation” 

untuk kategori perempuan 

pembawa perubahan di bidang 

kesehatan dan lingkungan. 

Penobatan pada perhelatan yang 

digelar Kementerian Komunikasi 

dan Informatika itu membuat 

kiprah Wilda makin terdengar 

gaungnya. XGS pun mulai banyak 

dilirik berbagai pihak sebagai 

solusi mengatasi persoalan sampah. 

Berkawan dengan Supir Truk

 Jerih payah Wilda membangun XGS bukanlah 

proses sekejap mata. Banyak pengorbanan yang telah 

dilakukannya. Salah satunya adalah meninggalkan 

pekerjaan nyaman sebagai direktur teknologi informasi di 

sebuah perusahaan asing di Jakarta. Pada akhir 2011, Wilda 

memutuskan berhenti dari perusahaan asing itu .

 Keputusan itu tentu tak mudah. Keluarganya 

mempertanyakan pilihan Wilda untuk fokus mengurus 

sampah. Maklum, Wilda memperoleh posisi sebagai 

seorang direktur itu dengan cara tak gampang. Menempuh 

kuliah di Jakarta, Wilda melakukannya sembari bekerja 

di sebuah perusahaan yang memproduksi spare parts 

kendaraan bermotor. “Pagi sampai siang saya kuliah. Sore 

sampai malam saya kerja,” kata Wilda. 

 Setelah menamatkan kuliah di Binus, Wilda diterima 

di perusahaan asing yang bergerak di bidang teknologi 

informasi. Merangkak dari bawah, Wilda pun akhirnya 

mencapai posisi sebagai direktur. Jadi, teramat wajar jika 

keluarganya – terutama keluarga besarnya di Sumatra 

Barat – tidak memahami pilihan Wilda meninggalkan 

jabatan direktur yang diperolehnya dengan susah payah. 

 Namun, Wilda pantang bersurut langkah. Bermodalkan 

keyakinan, dia pun lalu membesarkan XGS. Wilda mendatangi 

banyak daerah di negara kita  yang berniat mendirikan dan 

mengembangkan bank sampah. “XGS sudah masuk di 

sepanjang daerah pantai utara Pulau Jawa. Tinggal Brebes 

yang belum,” ujar ibu dari tiga anak laki-laki ini. 

 Setelah bank sampah berdiri ,  sebagian besar 

pengelolanya menginginkan Wilda yang membeli sampah 

mereka. Itulah yang akhirnya membuat Wilda mendirikan 

bank sampah induk di berbagai tempat. Dan, itu pulalah yang 

memicu  Wilda berteman dengan banyak supir truk.

 Begini kisahnya. Sampah di bank sampah induk yang 

dikelola XGS, harus diangkut ke Jakarta, untuk dijual ke 

pabrik daur ulang. Jika Wilda menyewa truk, ongkosnya 

mahal. Wilda pun mendekati supir truk tronton dari 

Jakarta yang membawa beberapa  mobil dari pabrik di 

Jabodetabek ke wilayah lain di Pulau Jawa. 

 Biasanya, truk tronton itu kembali ke Jakarta dalam 

keadaan kosong. Wilda lantas menawarkan supir truk 

mengangkut sampah ke Jakarta. Dengan biaya satu 

setengah juta sampai dua juta rupiah, sampah Wilda 

pun bertolak ke Jakarta. “dibandingkan  balik ke Jakarta dalam 

keadaan truk kosong, mendingan bawa sampah saya. Kan 

mereka dapat uang tambahan,” ucap Wilda terkekeh. 

Tak Mau Berutang ke Bank

 Dengan berbagai usaha , Wilda terus mengembangkan 

XGS. Dua bisnis inti XGS adalah bank sampah dan jasa 

pengelolaan sampah. Turunannya berupa agro bisnis di 

bidang pertanian, peternakan, dan perikanan. XGS bisa 

merambah sampai ke agro bisnis lantaran mampu mengolah 

sampah organik menjadi pupuk dan pakan ternak. 

 Jadi, tak usah heran jika dari bisnis sampah, XGS kini 

bisa pula menjual sayur, buah, dan ikan. Bahkan, ke depan 

Wilda sudah merencanakan bisnisnya merambah bidang 

biogas dan penyediaan tenaga listrik. Pola bisnis seperti 

inilah yang masuk ke dalam kategori ekonomi sirkular. 

XGS terus membesar dan kini menerapkan konsep bisnis 

bercirikan circular economic. 

Padahal, dulu Wilda membangun 

XGS dari nol. Tanpa bantuan 

permodalan dari pihak mana pun. 

Bahkan, sampai sekarang, XGS 

sama sekali tidak mempunyai 

utang sepeser pun ke bank. 

 Salah satu yang 

menunjukkan kian besarnya XGS 

adalah perputaran uang tiap bulan 

yang terjadi di XGS. Menurut Wilda, 

jumlahnya kini mencapai 60 miliar 

rupiah per bulan. Dari perputaran 

uang sebesar itu, XGS bisa memperoleh keuntungan 

mencapai 12 miliar per bulan. Tentu, ini bukanlah jumlah 

uang receh. 

 Dengan pendapatan itu, XGS mampu mempekerjakan 

ratusan karyawan. Ada karyawan tetap, karyawan kontrak, 

dan binaan yang ditujukan bagi para pemulung. Gaji 

karyawan pun terbilang lumayan. Misalnya, untuk seorang 

manajer yang memegang tempat pengolahan sampah 

di kawasan besar, gajinya mencapai delapan juta rupiah 

per bulan. Sedangkan untuk seorang petugas pemilah 

sampah, gajinya bisa mencapai tiga juta rupiah per bulan. 

 Tentu saja, Wilda kini merasa amat bersyukur. Dia bisa 

menghidupi banyak orang. Dia juga sanggup berperan 

dan berkontribusi mengurangi jumlah timbulan sampah. 

Kini, Wilda sudah memetik hasil dari sebuah keputusan 

berat meninggalkan perusahaan asing untuk bergelut 

dengan sampah. 

 Dan, kejadian penodongan pistol yang pernah dia 

alami pada sebuah malam di tahun 2014 silam, tak pernah 

berulang lagi. Wilda kini bisa menikmati malam-malamnya 

dengan lebih tenang. Bergelut dengan sampah, bersama 

beberapa  karyawan. 

l

Bermula dari hobi mendaki gunung, Syaifuddin Islami mengukir kecintaannya terhadap sampah. Saat menjadi mahasiswa Fakultas Pertanian 

Universitas Andalas (Unand), lelaki yang biasa disapa Ilam 

ini, mendapat pengetahuan ihwal memilah sampah. Ilam 

memang aktif di Komma (Kelompok Mahasiswa Mencintai 

Alam) Unand. 

 Sebelum mendaki, mereka lebih dulu sudah mencatat 

barang bawaan apa saja yang bakal menjadi sampah. 

Dan, para pendaki memastikan bahwa barang yang akan 

menjadi sampah itu tak boleh ditinggalkan alias dibuang 

begitu saja selama pendakian. “Kalau setelah sampai 

kembali di bawah ada barang yang jadi sampah itu 

tidak dibawa turun, kami diwajibkan kembali naik untuk 

memungutnya,” kata Ilam.

 Tempaan didikan seperti itulah yang memulai Ilam 

punya kepedulian terhadap sampah. Pada 2003, dia 

bersama rekan-rekannya di Komma berkeliling ke kantin-

kantin dan kafe-kafe yang ada di lingkungan kampus 

Unand. Selain mengamati proses pengelolaan sampah, 

mereka memunguti sampah yang berserakan. Ilam 

pun menemukan kenyataan yang tak mengenakkan. 

Biaya pengelolaan sampah untuk satu fakultas di Unand 

hanya enam juta rupiah per tahun. Gaji seorang petugas 

kebersihan cuma 100 ribu rupiah per bulan. “Yang paling 

mudah ya sampah itu dibakar,” tutur Ilam. 

 Kecintaan Ilam terhadap persoalan sampah berlanjut. 

Setelah menamatkan pendidikan tingkat sarjana di 

Fakultas Pertanian pada 2004, Ilam melanjutkan ke 

jenjang strata dua. Masih di kampus yang sama, tapi di 

jurusan Ilmu Lingkungan. Pergaulannya dengan para 

aktivis lingkungan di Kota Padang makin bertambah. 

PANGGILAN JIWA. Menggerakkan 

warga agar mau mendirikan bank 

sampah adalah panggilan jiwa 

Syaifuddin Islami.

 Menyelesaikan pendidikan sarjana strata dua, Ilam 

sempat berkecimpung sebentar di dunia konsultan 

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Namun, 

dia merasa hatinya tidak di sana. Banyak pekerjaannya 

sebagai konsultan yang tidak sesuai dengan nurani dan 

panggilan jiwanya. 

Semula Mengira Bak Sampah 

 Ilam pun memutuskan berhenti. Lalu, dia bergabung 

dengan sebuah lembaga swadaya warga  di Padang 

yang bergiat di bidang lingkungan. Pekerjaannya sebagai 

aktivis LSM inilah yang lantas membawanya ke Yogyakarta, 

pada 2010, untuk menghadiri sebuah kegiatan lingkungan. 

 Di Yogyakarta, Ilam mendengar dari seorang teman 

tentang bank sampah di Bantul. “Lucu juga, kok ada yang 

namanya bank sampah. Semula saya kira bak sampah,” 

ujarnya terkekeh. Dia pun kemudian mendatangi Bank 

Sampah Gemah Ripah di Bantul.

 Itulah awal mula perkenalan Ilam dengan bank sampah. 

Sekaligus perkenalannya dengan Bambang Suwerda, 

penggagas bank sampah yang bermukim di Bantul. 

Ilam merasa amat beruntung karena bisa mendapatkan 

pengetahuan tentang bank sampah langsung dari 

suhunya. 

 Sekembalinya ke Padang, Ilam mulai mencoba 

menerapkan ilmu singkat tentang bank sampah yang dia 

peroleh dari Bambang Suwerda. Universitas Bung Hatta 

(UBH) Padang yang pertama mengajaknya “bergumul” 

dengan sampah. Merasa belum memiliki ilmu yang 

mumpuni soal bank sampah, Ilam pun menyarankan 

agar UBH mengundang Bambang Suwerda ke Padang. 

Satu kata kunci yang diresapinya benar saat  Bambang 

Suwerda memberikan pelatihan ke UBH: sosialisasi. 

 Dengan semangat menggebu-gebu, Ilam pun 

melaksanakan anjuran Bambang Suwerda untuk 

menyosialisasikan program bank sampah di Padang. Ilam 

mengimpikan bank sampah bisa menjadi solusi warga 

Kota Padang untuk mengatasi persoalan sampah. 


Kenapa Harus Mentawai?

 Ternyata, impian Ilam tak seindah kenyataan. Letih dia 

berkeliling ke banyak lokasi di Padang, bercuap-cuap ke 

banyak orang tentang pentingnya bank sampah, tapi tak 

ada yang menyambut gagasannya itu . “Kebanyakan 

warga di Padang merasa belum perlu secara mandiri 

mengolah sampah yang mereka hasilkan. Alasannya 

sederhana: ada petugas pengangkut sampah,” tutur Ilam. 

 Hampir setahun Ilam menyerukan pentingnya bank 

sampah. Tapi, tak satu pun bank sampah yang sesuai 

konsep Bambang Suwerda berdiri di Padang. Sampailah 

pada Desember 2010. Kala itu, Badan Pengendalian 

Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Sumatra Barat 

- kini bersalin nama menjadi Dinas Lingkungan Hidup - 

menggelar sebuah acara. Pejabat Kementerian Lingkungan 

Hidup (LH) hadir pada acara itu . Salah satunya adalah 

Deputi IV Kementerian LH, Masnellyarti Hilman, yang biasa 

disapa Ibu Nelly. Ilam hadir pada acara itu.

 Nelly meminta Bapelda Sumbar mulai menjadikan 

Pulau Mentawai sebagai percontohan pengelolaan 

sampah secara mandiri oleh warga . Ilam agak 

terperangah mendengar instruksi itu . “Kenapa harus 

memilih Mentawai, sementara pengelolaan sampah di 

Padang sendiri masih belum bagus. Apalagi Kota Padang 

daerah dengan penduduk terpadat di Sumbar,” ujar Ilam 

menceritakan yang terlintas di benaknya kala itu.

 Ia pun memberanikan diri menanggapi pejabat 

Kementerian LH. Tak hanya protes keberatan dengan 

pemilihan Mentawai, Ilam juga menyodorkan konsep bank 

sampah, seperti yang dia peroleh dari Bambang Suwerda. 

Ternyata, Nelly tertarik dengan presentasi singkat Ilam. Lalu, 

Nelly meminta Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian 

LH, Sudirman, untuk segera menyiapkan konsep pilot project 

bank sampah pertama di Padang. Ilam pun dilibatkan. 

 Merasa memperoleh dukungan dari pemerintah pusat, 

Ilam makin bergerak cepat. Pada sebuah acara sosialisasi di 

Masjid Barokah As-Salaam, di komplek perumahan Semen 

Padang, bersepakatlah warga perumahan itu mendirikan 

bank sampah. Namanya Bank Sampah Barokah As-salam, 

sesuai dengan nama masjid tempat sosialisasi digelar. 

 Warga antusias menyambut ide bank sampah. 

Apalagi, salah seorang penghuni komplek perumahan 

bernama Siti Aisyah adalah seorang pejabat di Bapedalda 

Sumbar. Siti pun merelakan rumahnya dijadikan kantor 

dan gudang sementara Bank Sampah Barokah As-salam.

SOSIALISASI. Syaifuddin 

Islami melakukan sosialisasi 

kepada warga di sebuah 

komplek perumahan di 

Padang, Sumatra Barat.

 Pengurus Bank Sampah Barokah As-salam rupanya tak 

main-main. Mereka bersurat kepada KLH agar ada pejabat 

kementerian yang meresmikan Bank Sampah Barokah 

As-salam. Keinginan pengurus bersambut. Dan, pada 28 

Februari 2011, Menteri Lingkungan Hidup, Gusti Mohammad 

Hatta, meresmikan Bank Sampah Barokah As-salam. 

 Dua tahun lamanya Ilam mendampingi Bank Sampah 

Barokah As-salam. Dia mengawal jalannya manajemen 

bank sampah. Ilam amat pede, lantaran “Ilmu tentang 

bank sampah saya dapat langsung dari pentolan bank 

sampah, mas Bambang Suwerda,” katanya. 



Uang Receh Yang Tak Dianggap

 Ilam tak mau aktivitasnya sebagai penggagas bank 

sampah di Sumatra Barat hanya mandeg di Padang. 

Maka, pada 2013, dia membentuk Jaringan Pengelola 

Sampah Mandiri (JPSM) Ranah Minang. Penggerak utama 

JPSM adalah Bambang Suwerda. Sejak 2013 itulah, Ilam 

melebarkan sayapnya menularkan virus pengelolaan 

sampah mandiri melalui bank sampah ke banyak kota di 

Sumatra Barat, antara lain di Padang Panjang, Bukittinggi, 

Pasaman, Payakumbuh, dan Sijunjung. 

 Dari pergerakannya yang lintas wilayah di Sumatra 

Barat, Ilam mendapatkan sebuah kenyataan cukup pahit. 

Ternyata, warga  Minang memiliki perbedaan kultur 

yang lumayan mencolok dibandingkan warga  di 

pulau Jawa. Kultur itu, misalnya, dalam memperlakukan 

uang. “warga  di Jawa masih menganggap uang 

seribu perak cukup berharga. Sementara, bagi warga  

Minang, mohon maaf, uang seribu itu dianggap amat 

receh,” ucap Ilam.

 Akibatnya, dia menemui banyak benturan saat  

mengajak warga mendirikan bank sampah. Uang yang 

diperoleh dari mengelola sampah melalui bank sampah, 

dipandang warga  tak begitu berarti. Ilam pernah 

ditanya warga tentang uang yang bisa didapat dari bank 

sampah. saat  dia jelaskan bahwa uangnya tergantung 

jenis sampah yang ditimbang, jawaban tak mengenakkan 

yang dia terima. “Kalau uangnya cuma segitu, mendingan 

sampahnya kami kumpulkan saja. Biarkan petugas 

kebersihan yang mengangkutnya,” kata Ilam mengenang 

jawaban warga yang bertanya itu. Toh, memang iuran 

sampah saat  itu hanya 15 ribu rupiah pert bulan. “Jadi, 

mereka tinggal bayar iuran, dan tak perlu repot mengelola 

sampah,” lanjut Ilam. 

 Berbagai penolakan warga tak membuat Ilam surut 

langkah. Dia meyakini, proses penyadaran memang butuh 

waktu. Kata kapok dia buang jauh dari kamus hidupnya. 

Masjid, musala, dan pengajian warga tetap dia datangi. 

Untuk di Kota Padang, Ilam memang mendapatkan dana 

pendampingan dari Dinas Lingkungan Hidup Sumatra 

Barat. Namun, untuk menjangkau daerah di luar Kota 

Padang, Ilam harus mengeluarkan uang dari koceknya 

sendiri. 

 Keuletan Ilam akhirnya berbuah hasil manis. Di daerah 

seperti Sijunjung, Bukittinggi, atau Pasaman, warga 

mulai tertarik mendirikan bank sampah. Setelah bank 

sampah berdiri, Ilam tak bisa meninggalkannya begitu 

saja. Sebab, dia meyakini, bank sampah membutuhkan 

pendampingan. Jika manajemen sebuah bank sampah 

sudah berjalan bagus, barulah Ilam berani melepasnya. 

 Salah satu wilayah dengan perkembangan bank 

sampah yang cukup bagus adalah di Kabupaten Sijunjung. 

Bahkan, sejak 2017, pemerintah Kabupaten Sijunjung 

sudah melakukan Gerakan Pengurangan Sampah melalui 

prinsip 3R (GPS 3R). Meski begitu, Ilam tak ingin menyebut 

bahwa keberhasilan pengelolaan sampah di Kabupaten 

Sijunjung adalah kerja dirinya belaka. “warga  

dan pemerintah kabupaten bisa bersinergi mengelola 

sampah. Itu yang diperlukan agar sebuah bank sampah 

bisa berhasil,” kata Ilam. 

Tak Enak Kena Sentil

 Pada awal 2019, Ilam tiba-tiba disentil oleh seorang 

pejabat di Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatra 

Barat. Sang pejabat merasa heran, Ilam sudah banyak 

terlibat dalam pendirian dan pendampingan bank 

sampah. Namun, dia sendiri tak memiliki bank sampah 

di lingkungan tempat tinggalnya, di kelurahan Andalas, 

Padang Timur. 



 Tergelitik dengan ucapan sang pejabat, Ilam pun lalu 

mengumpulkan para pemuda di lingkungannya. Setelah 

melalui berapa kali pertemuan, mereka pun akhirnya 

menerima gagasan Ilam mendirikan bank sampah. Lalu, 

pada Maret 2019, dibentuklah sebuah bank sampah 

bernama Andalas Sepakat. 

 Ilam menyadari, sebuah bank sampah tidak akan bisa 

bertahan jika hanya menggantungkan pendapatannya 

semata-mata dari menjual sampah. Dia putar otak. 

Akhirnya, didapatlah ide membuat komposter. Dia jajakan 

contoh produk komposter bikinan Bank Sampah Andalas 

Sepakat ke banyak pihak. Untunglah, jaringannya cukup 

luas. “Alhamdulillah, kami dapat pesanan komposter dari 

Dinas Lingkungan Hidup Sumatra Barat sebanyak 220 

unit,” ujar Ilam. 

 Tak cuma komposter, Dinas Lingkungan Hidup 

Sumatra Barat pun menanyakan kesanggupan Bank 

Sampah Andalas Sepakat membuat solar biodigester. 

Setelah berembuk dengan pengurus, mereka pun 

menerima tantangan itu. Dan, dibuatlah 300 unit solar 

biodigester, sesuai pesanan Dinas Lingkungan Hidup. 

 Pesanan komposter dan solar biodigester itu membuat 

warga bersemangat. Apalagi, ada upah bagi warga 

yang mengerjakannya. Itulah yang akhirnya memacu 

warga berperan aktif dalam pengelolaan Bank Sampah 

Andalas Sepakat. Padahal, pada mulanya warga tak peduli 

dengan sampah yang berserakan. “Cukup susah awalnya 

meyakinkan pemuda di sini agar mau mengelola sampah. 

Alasan utamanya karena mereka menganggap sampah 

itu jorok,” kata Indra, ketua pemuda setempat, yang juga 

menjabat sebagai Wakil Direktur Bank Sampah Andalas 

Sepakat. 

 Kini, Bank Sampah Andalas Sepakat sudah menjadi 

salah satu rujukan banyak pihak di Sumatra Barat yang 

ingin membuat bank sampah. Faktor nama Syaifuddin 

Islami alias Ilam, yang dikenal di Sumatra Barat sebagai 

kamus berjalan bank sampah, tetap menjadi magnet. 

 Namun, bagi Ilam, usaha nya terus menyadarkan 

warga  ihwal pentingnya bank sampah, tak akan 

berhenti sampai di Bank Sampah Andalas Sepakat saja. 

Masih cukup banyak persoalan yang harus dihadapi bank 

sampah. Misalnya, faktor harga sampah yang fluktuatif. 

Dengan kondisi ini, tak sedikit bank sampah yang 

kepayahan, limbung, dan ujungnya tumbang. “Pemerintah 

harus berperan aktif untuk mengatasi persoalan ini,” tutur 

Ilam. 

 Salah satu bentuk aktif dari pemerintah yang terlintas 

dalam benak Ilam adalah menjadikan bank sampah 

sebagai Badan Usaha Milik Nagari (BUMNag). Di Ranah 

Minang memang dikenal istilah nagari. Ini setara dengan 

desa atau kelurahan di provinsi lain di negara kita . Nagari 

dipimpin oleh seorang Wali Nagari. 

 Ilam kini kian getol “mengejar” para Wali Nagari. 

Dia membujuk agar Wali Nagari membuat peraturan 

nagari tentang pemilahan sampah sejak dari rumah dan 

pembentukan bank sampah. “Nagari itu mempunyai dana 

yang berasal dari dana desa. Jika ada dana nagari yang 

dianggarkan untuk membeli sampah dari bank sampah, 

saya yakin bank sampah akan hidup,” kata Ilam. 

 Saban akhir pekan, Ilam terus bergerak dari satu 

wilayah ke wilayah lain di Sumatra Barat. Daerah pelosok 

pun tak ragu dia sambangi, untuk mengampanyekan 

bank sampah. Dia pun harus pandai berbagi waktu 

dengan pekerjaannya sebagai dosen di sebuah perguruan 

tinggi swasta di Kabupaten Sijunjung. Dan, yang jelas, Ilam 

kini harus mengorbankan hobinya mendaki gunung. Sisa 

waktunya lebih dia fokuskan untuk menemani sang istri 

dan bermain dengan kedua buah hatinya. 


Sebelum 2008, jika Kota Surabaya banjir, yang sering jadi kambing hitam adalah Desa Mulyoagung, Kabupaten Malang. Maklum, posisinya di hulu Sungai 

Brantas dan berdekatan dengan daerah aliran sungai. 

Warga Mulyoagung biasa membuang sampah langsung 

ke aliran sungai. Tak ayal, Kepala Desa Mulyoagung acap 

mendapatkan teguran dari Dinas Lingkungan Hidup 

Provinsi Jawa Timur. 

 Akhir 2008, dua orang pegawai Dinas Cipta Karya 

dan Tata Kota Kabupaten Malang, mendatangi Desa 

Mulyoagung. Mereka meminta warga mengelola sampah 

secara mandiri dan tidak lagi membuangnya ke Sungai 

Brantas. Warga diminta menyiapkan lahan untuk 

membuat Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) 

dengan konsep 3R (reuse, reduce, recycle). 

 Setelah warga berembuk, disepakatilah sebuah lahan 

kosong sebagai lokasi TPST. Lahan itu adalah tanah kas desa 

alias tanah bengkok. Tak cuma dipinjamkan, warga pun 

sepakat menghibahkan lahan itu  untuk digunakan 

secara permanen sebagai TPST. Seorang warga senior 

di Mulyoagung bernama Fadil Supadi diminta menjadi 

pengelola TPST. Sejatinya, Supadi bukanlah warga asli 

Mulyoagung. Namun, sejak 1979, dia hijrah dari Yogyakarta 

ke Mulyoagung.

 Lahan tempat pengolahan sampah sudah ada. Pengurus 

sudah ditunjuk. Supadi pun bergerak cepat. Dia curahkan 

sepenuh waktunya untuk menjadikan TPST Mulyoagung 

sebagai program yang membanggakan Kabupaten 

Malang. Salah satu bentuk nyata keseriusan Supadi, TPST 

Mulyoagung berhasil mendapatkan kucuran dana sebesar 

seratus juta rupiah, pada 2009. Uang itu diperoleh sebagai 

hadiah kompetisi Program Nasional Pemberdayaan (PNPM) 

Mandiri Pedesaan. “Uangnya kami pakai untuk membuat 

pagar tembok di sekeliling TPST,” kata Supadi. 

 Sukses dengan kompetisi PNPM Mandiri Pedesaan, 

Supadi makin percaya diri. Pada akhir 2009, dia mengajukan 

proposal bantuan kepada Kementerian Pekerjaan Umum 

dan Perumahan Rakyat (PUPR). Proposalnya disetujui. TPST 

Mulyoagung pun mendapatkan hibah berupa hanggar, 

jalan, dan sarana lain untuk menunjang kebutuhan TPST. 

 Medio 2010, pengelola TPST membangun hanggar. 

Butuh waktu enam bulan menyelesaikan pembangunan 

hanggar. Lalu, pada Desember 2010, TPST 3R Mulyoagung 

Bersatu berdiri. “Kami baru beroperasi pada Februari 2011,” 

ujar Supadi. 

Diancam Warga, Tapi Tak Surut Langkah

 TPST 3R Mulyoagung Bersatu sudah beroperasi. Tapi, 

tetap saja sebagian besar warga Mulyoagung melakukan 

kebiasaan lama mereka: membuang sampah ke sungai 

Brantas. Supadi tentu prihatin dengan rendahnya 

kesadaran warga ini. Padahal, di banyak penjuru Desa 

Mulyoagung, terutama di masjid dan musola, terpampang 

benderang tulisan “kebersihan sebagian dari iman”. 

Tapi, “Itu cuma jadi pajangan. Bagi saya, sampah itu ada 

kepanjangannya. Semoga Allah melimpahkan pahala atas 

hamba-Nya,” ujar Supadi tersenyum. 

 Dengan makna sampah seperti itu, Supadi meyakini 

bahwa sampah adalah doa. Dan, ada tanggung jawab 

sebagai manusia di dalamnya, untuk mengelola sampah 

dengan sebaik-baiknya. Dia tak mau perilaku seseorang 

malah menyusahkan orang lain.

 Supadi mengenang betapa sulitnya menyadarkan 

warga pada masa awal berdirinya TPST. Tak jarang, dia 

mendapatkan ancaman dan akan dilaporkan ke polisi. 

Alasannya, Supadi sudah melakukan tindakan tidak 

menyenangkan dan menggangu orang lain. Belum lagi 

capnya sebagai warga pendatang di Mulyoagung. Warga 

sudah merasa nyaman dengan cara mereka mengatasi 

sampah selama ini: buang ke sungai, atau bakar. “Mereka 

tak peduli cara seperti itu menyusahkan orang lain, dalam 

hal ini warga Surabaya,” tutur Supadi. 

 Dia pun lalu mengusulkan agar Kepala Desa 

Mulyoagung mengeluarkan peraturan desa (perdes). Pada 

2012, keluarlah perdes berupa larangan dan sanksi bagi 

warga yang masih membuang sampah ke Sungai Brantas. 

Perdes itu mewajibkan warga membuang sampah 

ke TPST. Warga diwajibakan membayar iuran sebagai 

biaya pengolahan sampah. Ternyata, perdes itu ampuh. 

Perlahan, warga Mulyoagung tidak lagi membuang 

sampah ke Sungai Brantas.

 Besarnya iuran berkisar antara delapan ribu rupiah sampai 

dua belas ribu rupiah per bulan per rumah, tergantung dari 

jumlah anggota keluarga di dalam satu rumah. Iuran warga 

itu dipakai sebagai biaya operasional TPST, sebesar 180 juta 

rupiah per bulan. Sebagian besar biaya operasional – 120 juta 

rupiah per bulan – digunakan untuk menggaji karyawan 

TPST yang berjumlah 89 orang. Gaji terendah karyawan TPST 

Mulyoagung adalah 1,8 juta rupiah per bulan. Sedangkan gaji 

tertinggi sebesar 2,85 juta rupiah per bulan.

 Ternyata, iuran warga itu hanya mampu menutupi 

tak sampai empat puluh persen dari keseluruhan biaya 

operasional. Untuk menambal kekurangan, TPST mengolah 

sampah warga. Penghasilan terbesar TPST Mulyoagung 

memang produk olahan dari sampah nonorganik. TPST 

menampung 359 jenis sampah nonorganik. Lalu, diolah 

menjadi 111 paket kemasan sampah yang disesuaikan 

dengan kebutuhan pabrik daur ulang. 

Profesor Pun Belajar 

 Di awal berdiri, TPST Mulyoagung hanya melayani 

warga Desa Mulyoagung. Enam ribu kepala keluarga di 

Desa Mulyoagung semua sudah terlayani. Setelah seluruh 

warga desa terlayani, barulah sejak 2013 TPST Mulyoagung 

mengembangkan sayapnya. Kini, TPST Mulyoagung juga 

melayani warga desa tetangga, yakni Desa Sumbersekar, 



Desa Landungsari, dan Desa Gadingkulon. TPST Mulyoagung 

melayani sekitar 13 ribu keluarga di empat desa di 

Kecamatan Dau, Kabupaten Malang. 

 Setiap hari, petugas TPST Mulyoagung mengangkut 

sampah dari 13 ribu rumah. Total sampah yang diangkut 

sebanyak 216 meter kubik sampah per hari, terdiri dari 49 

persen sampah nonorganik, 38 persen sampah organik, 

dan 13 persen sampah residu. 

 Supadi kini boleh berbangga. TPST yang dia kelola 

sudah menjadi salah satu acuan pengolahan sampah 

terpadu berbasis masyakarat. Setiap tahun, TPST 

Mulyoagung menerima lebih dari seratus kunjungan 

berbagai pihak yang ingin belajar mengolah sampah 

secara mandiri. Tak sedikit pula lembaga dari luar negeri 

yang mengunjungi TPST Mulyoagung. “Bahkan, ada guru 

besar atau profesor yang ke sini dan belajar dengan kami 

cara mengelola sampah,” ucap Supadi. 

 TPST Mulyoagung memungut biaya untuk kegiatan 

studi banding sebesar 1,9 juta rupiah. Biaya itu sudah 

mencakup narasumber sebesar satu juta rupiah; 

akomodasi ruangan, listrik, dan kebersihan sebesar 500 

ribu rupiah; dan pendamping lapangan untuk empat zona 

pengolahan sampah sebesar 400 ribu rupiah. 

Memenuhi Janji, Mewakafkan Hidup 

 Keseriusan Supadi mengurus TPST Mulyoagung ini 

sejatinya merupakan janjinya kepada Tuhan. Pada 2007, 

sebelum ada gagasan untuk mendirikan TPST di Desa 

Mulyoagung, anak perempuannya terserang penyakit dan 

mengalami koma selama 21 hari. Dokter sudah angkat tangan, 

dan menyampaikan kepada Supadi bahwa usia putrinya secara 

medis hanya tinggal 40 hari. “Usianya baru tujuh tahun. Kepada 

Allah, saya hanya memohon bisa memohon kesembuhan 

untuk putri saya, jika Allah masih mempercayai kami untuk 

merawat dan membesarkannya,” ujar Supadi dengan mata 

berkaca-kaca mengenang kejadian sekian tahun silam.

 Tuhan mendengar doanya. Sang putri tercinta 

sembuh. Putrinya terbebas dari sakit, giliran Supandi yang 

terserang penyakit. Diagnosis penyakitnya tidak jelas. Yang 

pasti, selama enam bulan, Supadi tak berani memejamkan 

mata. “Kalau saya tertidur, selalu ditunjukkan alam kubur,” 

katanya. Dia pun kembali memohon kesembuhan, 

sekaligus meminta petunjuk kepada Tuhan. 

 Lalu, Supadi pun mendapatkan petunjuk supaya   

mengabdikan dirinya untuk lingkungan dan warga . 

Setelah berjanji, Tuhan memberikan kesembuhan bagi 

Supadi. “Kan ini seperti kisah spiritual yang saya alami. 

Sering saya ceritakan kepada pengunjung di sini. Makanya, 

ada yang menjuluki saya sebagai kiai sampah,” tutur Supadi.

Kerja Keras, Tapi Dikhianati

 Bagi Supadi, kesungguhannya mengurus sampah 

mendatangkan kenikmatan tersendiri. Apalagi jika dia 

berhasil memotivasi karyawannya untuk tak kenal lelah 

melayani warga dengan mengolah sampah. 

 Salah satu karyawannya, Nuryati, merasakan betul 

betapa dalam kecintaan Supadi soal urusan sampah ini. 

Sudah tujuh tahun Nuryati bekerja di TPST Mulyoagung. 

Pekerjaan utamanya adalah memisahkan botol plastik 

yang bersih dan kotor. Namun, dia bisa pula mengerjakan 

pekerjaan lain, dan mendapatkan bonus di luar gaji 

pokoknya. “Saya bisa menyelesaikan cicilan rumah selama 

bekerja di sini,” kata Nuryati, yang bersuamikan seorang 

pemulung. 

pasca sarjana Pendidikan Agama Islam. Sempat merantau 

ke Bali selama 15 tahun, Joni akhirnya memutuskan 

kembali ke kampung halamannya di Mulyoagung. 

Awalnya, Joni hanya sekadar lewat di depan TPST. Lalu, dia 

memberanikan diri singgah dan bertemu dengan Supadi. 

Dari obrolan santai dengan Supadi, Joni pun menawarkan 

diri membantu Supadi mengurus TPST. Dengan gaji yang 

jauh di bawah penghasilan sebelumnya, Joni pun kini 

menjadi tangan kanan Supadi. “Kalau Allah mengizinkan, 

saya ingin sampai akhir hayat bekerja di sini,” ujar Joni.

 Loyalitas seperti Joni itulah yang membuat Supadi tak 

pernah merasa lelah dan menyerah. Memang, dia sempat 

mengalami guncangan pada Oktober 2019 lalu. Beberapa 

Ketua RT dan Ketua RW di Desa Mulyoagung ternyata 

sudah sekian lama melakukan tindakan tidak jujur. Mereka 

memalsukan laporan jumlah rumah di wilayah masing-

masing. Umpamanya, ada satu RT dengan jumlah rumah 

warga sebanyak 125 rumah. Tapi, sang Ketua RT melaporkan 

hanya 61 rumah yang ada di RT-nya. Akibatnya, iuran yang 

disetor ke TPST di bawah jumlah yang seharusnya. 

 Supadi sempat merasa dikhianati. Namun, akhirnya 

dia mengambil hikmah dari kejadian itu . “Saya 

sampaikan agar kejadian yang sudah lalu biarlah berlalu. 

Tapi, saya ndak mau ke depan kejadian seperti itu terulang 

lagi,” ucap Supadi. 

 Begitulah Sang Kiai Sampah dari Kecamatan Dau, 

Kabupaten Malang, Jawa Timur. Totalitasnya mengurus 

TPST Mulyoagung sudah terbukti. Dan, jika kini Kota 

Surabaya mengalami banjir, Supadi meyakini bahwa 

itu sama sekali sudah tidak ada kontribusi dari Desa 

Mulyoagung.


D eretan jerigen teronggok di pojok pekarangan sebuah rumah di Kota Malang, Jawa Timur. Beberapa di antaranya memperlihatkan isi 

berwarna kecoklatan atau kehitaman. Ada yang penuh, 

ada pula yang berisi setengah. Itulah jerigen minyak 

jelantah di rumah D.K. Wardhani, di sebuah komplek 

perumahan di Kecamatan Blimbing. Sejak 2017, rumah 

Dini sapaan D.K. Wardhani memang menjadi tempat 

persinggahan terakhir minyak jelantah yang diantarkan 

anggota Komunitas Sedekah Jelantah (KSJ) Kota Malang. 

 Dini mendirikan KSJ ini sebagai bentuk keprihatinannya 

terhadap sisa minyak penggorengan. Biasanya, warga 

membuang minyak jelantah ke selokan di dekat rumah. 

Dini hanya bermodalkan nekat saat  membentuk KSJ. 

“Saya ndak tahu mau menyalurkan jelantah itu ke mana. 

Pokoknya saya tampung saja dulu,” kata Dini. 

 Mencari informasi ke kiri kanan, akhirnya Dini tahu 

cara menyalurkan jelantah yang sudah terkumpul. KSJ 

membagikan jelantah itu kepada pengelola sentra budi 

daya penyu di Kota Malang. Sentra penyu butuh lampu 

teplok. Para pengelola budi daya penyu lantas mengolah 

jelantah itu menjadi minyak untuk menghidupkan lampu 

teplok. Karena dibagikan secara gratis, dari situlah muncul 

istilah “sedekah”.

 Dari berbagai informasi, KSJ pun akhirnya tahu bahwa 

jelantah bisa pula dijadikan sabun. Mulailah KSJ mengajak 

para perempuan di Kota Malang untuk membuat sabun 

dari jelantah. Sejak itulah KSJ terus berkembang. Dari 

awalnya hanya beranggotakan lima orang, kini tercatat 

ada 23 orang pengepul jelantah yang tergabung ke dalam 

KSJ. Semuanya perempuan.

 Dini menyebut mereka sebagai “ibu-ibu bonek”. Bonek 

adalah istilah amat populer di Jawa Timur. Singkatan dari 

bondo nekat. Alias modal nekat. “Ibu-ibu itu membawa 

jelantah ke rumah saya ini pakai sepeda motor. Sekali antar 

bahkan ada yang bisa membawa sampai 70 liter,” ujar Dini. 

 Komunitas Sedekah Jelantah hanya sebagian kecil 

aktivitas Dini Wardhani sebagai perempuan pegiat 

lingkungan hidup. Sedekah jelantah menjadi salah satu 

kendaraan Dini untuk menerapkan konsep hidup minim 

sampah. Sejak 2017 itu pula, Dini sebenarnya sudah 

mencoba untuk tidak lagi menghasilkan sampah di 

rumahnya. Istilah kerennya: zero waste. Dini menyebutnya 

sebagai pola hidup minim sampah.

 Saat masih menjalani dosen di Universitas Brawijaya, 

Malang, Dini memiliki asisten rumah tangga. Tapi, Dini 

tak ingin bermanja diri. Dia ajak suami dan anak-anaknya 

untuk peduli dengan urusan sampah di rumah mereka. 

Pun dengan sang asisten rumah tangga. Dini sampai 

mengajak ART-nya menyaksikan tayangan di televisi luar 

negeri soal bahaya sampah. Dia ajarkan juga pentingnya 

memilah sampah organik dan nonorganik. “Lumayanlah 

pemahaman ART saya soal sampah. Pernah dia bilang ke 

saya, kalau pulang ke rumahnya di kampung, dia merasa 

risih melihat sampah di rumahnya masih nyampur,” tutur 

Dini.

 Pada 2017, ART-nya jatuh sakit. Dan, memutuskan 

berhenti. Saat itulah, Dini mengatakan kepada suaminya 

bahwa dia ingin berhenti mengurus sampah di rumahnya. 

Dia ingin rumahnya tak lagi menghasilkan sampah. 

Alasannya sederhana: Dini tak ingin dipusingkan dengan 

urusan sampah di rumahnya. Inilah yang menjadi titik 

awal dimulainya pola hidup zero waste di rumah Dini. 

 Pada mulanya, Dini sempat ragu menerapkan pola 

hidup minim sampah. Semua kegiatan manusia tentu 

menghasilkan barang sisa yang bernama sampah. “Kita 

kan harus makan. Nah, makanan itu pasti ada sisanya. 

Itulah yang akan jadi sampah. Masak iya makan kemenyan 

supaya   ndak nyampah?” kata Dini tergelak. 

 Perlahan, Dini mengajak keluarganya mengubah 

gaya hidup. Makanan diusahakan tak bersisa banyak. 

Dia juga memulai kebiasaan baru. Saking inginnya 

mengurangi sampah, Dini membawa rantang jika ingin 

membeli makanan ke warung atau rumah makan. Dini 

memasukkan makanan ke dalam rantang. Tidak lagi 

memakai  bungkus yang terbuat dari kertas atau 

daun. Dia membungkus rantang dengan serbet. Bukan 

memasukkan rantang ke dalam kantung plastik. Dini dan 

keluarga juga tak pernah memesan makanan melalui 

aplikasi atau ojek online. Dia tahu persis, penjual makanan 

online mengemas makanannya plastik atau styrofoam.

 Perubahan pola hidup yang cukup drastis ini tentu 

tak semudah membalikkan telapak tangan. “Di awal, kami 

jumpalitan. Tapi, saya pantang menyerah. Kami belajar 

bagaimana caranya tidak lagi memproduksi sampah di 

rumah,” ucap ibu dua ini. usaha  menahan diri menjadi 

kata kunci bagi Dini dan keluarga. Dia mengajarkan 

dirinya sendiri dan keluarganya agar bisa mengalahkan 

ego. Termasuk harus sanggup menahan godaan yang 

ditawarkan kemajuan teknologi. 

 Dini memesan makanan ke temannya yang bisa diajak 

kompromi. Tentu dalam urusan mengurangi sampah. 

Kepada sang teman, dia akan minta supaya   pesanan 

makanannya diantar ke rumahnya memakai  

wadah milik sang teman. Setelah dicucinya, wadah itu 

dia kembalikan. Atau, saat  harus mencucikan pakaian 

keluarganya ke laundry, Dini menulis pesan agar 

pakaiannya tak dibungkus plastik. Anaknya nanti yang 

akan mengambil pakaian itu. 

Merasa Sudah Menyelematkan Lingkungan

 Dini mengenal problematika persampahan 

sesungguhnya karena terpaksa. Dia adalah lulusan Teknik 

Arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia kembali 

ke kampung halamannya di Malang untuk menjadi 

dosen. Tapi, nasib membawanya mengajar di jurusan 

Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya 

(UB). Di sanalah dia belajar tentang sampah, drainase, dan 

sanitasi. 

 Saat menjadi dosen di UB, banyak koleganya sesama 

dosen yang sedang tugas belajar. Pihak kampus UB 

meminta Dini menjadi dosen pengganti. Posisi sebagai 

dosen pengganti inilah yang membuat Dini berkenalan 

dengan persampahan. Dia mendapatkan pemahaman 

baru bahwa untuk merencanakan permukiman, ternyata 

banyak aspek yang harus mendapatkan perhatian. Salah 

satunya tentang pengelolaan sampah. Padahal, saat  

sempat menjalani profesi sebagai arsitek, Dini cukup 

hanya sebatas mengurus desain rumah. Lalu selesai. 

 Suatu saat , saat sedang merencanakan permukiman, 

para mahasiswanya mengalami kesulitan. Mereka bilang 

ke Dini, tak ada lahan untuk tempat pembuangan sampah 

(TPS). Lahan sudah habis terpakai untuk membangun 

rumah, sarana prasarana, dan fasilitas umum. “Ternyata, 

TPS itu menjadi bagian paling akhir dalam sebuah 

perencanaan permukiman,” kata Dini. 

Bank Sampah Malang, Dini pun menyambanginya. Dia 

mendaftar menjadi nasabah Bank Sampah Malang. 

Dengan menjadi nasabah bank sampah, Dini merasa 

sudah berperan menyelamatkan lingkungan. 

 Dini menilai dirinya sebagai orang yang tak bisa 

diam melihat sebuah persoalan. Pun, “Saya ini orangnya 

memang suka berinovasi dan mencoba sesuatu,” ujar 

Dini. saat  ada temannya yang bercerita soal biopori, Dini 

langsung menerapkannya. Dia bikin enam lubang biopori 

di halaman rumahnya. Begitu pula saat mendengar 

informasi tentang takakura, Dini mencoba melakukan 

pengomposan dengan takakura. 

 Kepedulian Dini akan sampah yang diperolehnya 

sejak menjadi dosen di UB, ternyata tertancap mendalam 

di sanubarinya. Perlahan dia mencoba memengaruhi 

lingkungannya agar hirau dengan gaya hidup minim 

sampah. Memang tak mudah. Umpamanya, saat hendak 

menggelar rapat di kampus, Dini harus bisa membuat 

perencanaan: di mana memesan katering, siapa yang 

kebagian tugas mencuci piring, gelas pinjam ke siapa. 

Padahal, jika ingin gampang, Dini bisa saja langsung 

memesan makanan dan minuman. Tapi, risikonya akan 

timbul sampah dari kemasan styrofoam dan plastik 

minuman. 

 Bagi Dini, kegampangan itulah yang akhirnya 

membuat banyak orang merasa nyaman dan enggan 

peduli dengan persoalan sampah. “Sebagian besar kita 

sudah terbiasa dengan servis penanganan masalah 

sampah di lingkungan kita,” ujarnya. 

Tak Mau Dianggap Alien

 Selain rasa nyaman, Dini juga melihat ada rasa 

sungkan banyak orang untuk beraksi. Tentu dalam urusan 

pengelolaan sampah. Kesungkanan itu, menurut Dini, 

pada akhirnya akan berujung kepada kepasrahan dan 

ketidakberdayaan. Pasrah terhadap keadaan dan tak 

berdaya dengan situasi yang sudah terjadi. 

 Karena itu, Dini menganggap yang dilakukannya 

sekarang sebagai sebuah dakwah dengan cara halus. 

Dia tak ingin melakukannya dengan cara demonstratif. 

Dakwah halus itu, bagi Dini, bentuknya adalah keteladanan. 

Dini menghindari ajakan demonstratif lantaran, “Saya tak 

mau dianggap sebagai alien,” selorohnya terkekeh. 

 Itulah yang Dini rasakan saat melaksanakan ibadah 

umrah bersama keluarganya. Kotak makanan yang dia 

bawa dari Tanah Air, hilang di bandara. Mau tak mau, 

Dini dan keluarganya terpaksa menerima makanan yang 

sebagian sudah tersaji dalam kemasan. Itu sama artinya 

dengan menghasilkan sampah. saat  akan kembali 

ke negara kita , Dini meminta izin kepada suaminya agar 

diperbolehkan membawa sebagian sampah berupa 

kemasan makanan dan minuman. Memang tak bisa 

semuanya dibawa pulang. Sebab, usai beribadah umrah, 

Dini dan keluarganya mampir ke Turki terlebih dulu. 

 Dini dan keluarganya memang hanya bisa membawa 

pulang sebagian kecil sampah dari Tanah Suci ke negara kita . 

Tapi, polah laku itu rupanya diam-diam menarik perhatian 

beberapa jamaah yang serombongan dengan Dini. 



Setibanya di Malang, ada dua orang anggota rombongan 

yang mengirim pesan singkat kepada Dini. Mereka ternyata 

mengamati cara Dini dan keluarganya memperlakukan 

sampah. Sepulang umroh, dua anggota rombongan ini 

mulai menerapkan pola hidup minim sampah. Mereka 

bilang ke Dini, jika terpaksa memesan makanan melalui 

ojek online, mereka meminta pengemudi ojek online 

untuk terlebih dulu singgah ke rumah. “Teman saya itu 

menitipkan kotak makanan kepada si pengemudi. Lalu, 

barulah si pengemudi menuju restoran,” kata Dini. 

Perlu Teman Curhat

 Dini menganggap respon dari kedua temannya 

sesama jamaah umroh ini sebagai sebuah energi yang 

bisa menjadi bekal baginya untuk terus menerapkan pola 

hidup minim sampah. Energi itu pulalah yang dia rasakan 

saat  mendapatkan tanggapan positif dari alumnus 

peserta kelas online belajar hidup zero waste. Sejak Mei 

2018, Dini membuka kelas online melalui grup whatsapp. 

 Dini membuat kelas belajar online itu bersama 

seorang rekannya di Yogyakarta. Dini menjadi dosen. 

Rekannya menjadi moderator. Pada 2019, kelas online 

itu  sudah masuk ke angkatan ketujuh. Peserta akan 

lulus jika berhasil melewati beberapa  permainan yang 

berhubungan dengan pengelolaan sampah. Peserta yang 

lulus akan diminta membuat laporan perihal keberhasilan 

pengurangan sampah di rumah mereka. 

 Bagi Dini, cara seperti ini bisa membuat orang 

melakukan perubahan hidup secara menetap. Beda 

halnya dengan menyampaikan materi di sebuah acara, 

tapi tidak diiringi dengan pemantauan. “Bayangkan, ada 

peserta kelas online yang berhasil mengurangi sampah di 

rumahnya hingga 95 persen. Itu tercapai saat  si peserta 

tak lagi memakai  diapers untuk anaknya,” ujar Dini. 

 Kelas online belajar zero waste ini ternyata menarik 

minat salah seorang peserta untuk membuat kelas offline. 

Dan, lahirlah Akademi Minim Sampah di Kota Malang, pada 

awal 2019. Kini, Akademi Minim Sampah sudah memasuki 

tahap kelas paket yang diadakan selama enam pekan. 

 Sukses dengan berbagai usaha  pengelolaan sampah, 

ternyata tak membuat Dini berpuas diri. Dia masih ingin 

membagikan pengalamannya kepada banyak orang 

dalam bentuk tulisan. Utamanya kepada anak-anak. Dan, 

akhirnya, menjelmalah Dini menjadi seorang penulis 

buku tentang lingkungan. Dini menulis buku bertemakan 

penghematan sumber daya alam. Dia merasa perlu 

menyampaikannya kepada anak-anak agar timbul 

kesadaran sedari kecil bahwa alam sudah begitu banyak 

memberi. Dini ingin mengajarkan anak-anak mulai 

berhemat sumber daya alam. 

 Kristien Yuliarti adalah salah seorang sahabat Dini 

berbagi keluh. Sebagai sesama penggerak hidup minim 

sampah, Kristien mengalami banyak hal yang mirip 

dengan Dini. Dia pun menganut paham yang sama 

dengan Dini: tak ingin demonstratif menerapkan gaya 

hidup zero waste. Bagi Kristien, teladan jauh lebih penting 

dibandingkan  kata-kata. Misalnya, saat dia menjemur kantung 

plastik yang sudah dicuci. Lalu, ada tetangga yang melihat. 

“Eh, beberapa hari kemudian, saya melihat tetangga itu 

sudah menjemur plastik juga,” tutur Kristien tersenyum.

 Kristien sempat mengeluh saat  di masa awal merintis 

komunitas sedekah jelantah. Dia pernah mendapat pesan 

agar mengambil jelantah ke rumah seorang warga. Oleh 

sang warga, jelantah itu hanya diletakkan begitu saja di 

depan pagar rumah. “Bayangin tuh, ada yang tega seperti 

itu ke kami. Untung saya punya teman kayak mbak Dini 

yang bisa diajak curhat,” kata Kristien.

CURHAT. Dini bersama salah seorang te