pers 5




 laut merah”. Mungkin sebab  itu mereka mengejar penghasilan

dulu. Mudah-mudahan mereka tidak terlalu lama berlayar di ”laut merah”,

segera berlayar di ”laut biru” dan menyadari kewajiban mereka sebagai

lembaga penyiaran yang harus memenuhi kewajiban berdasar UUD 1945.

Pasal 33 UUD menyatakan bahwa sebab  lembaga penyiaran memakai 

frekuensi publik maka mereka harus melayani kepentingan publik untuk

sebesar-besarnya kesejahteraan warga .

Program Metro TV bernama Republik Mimpi, sebenarnya rating-nya

tinggi. Tapi, ada lembaga rating yang menyatakan penontonnya hanya

300 ribuan. Padahal, pada waktu-waktu tertentu hampir seluruh warga

Jakarta menonton Republik Mimpi. Acara seperti itu sekarang sudah diikuti

oleh stasiun televisi lain.

Di negara lain, program sejenis  Republik Mimpi banyak sekali

pengaruhnya terhadap warga . Di Australia, Dewan Pers Australia

punya program di televisi yang dikelola sedemikian rupa untuk ”menghajar”

program-program radio dan televisi yang melanggar etika. Semua wartawan

menonton program itu sambil berharap program atau berita mereka tidak

masuk dalam pembahasan. Sebab, kalau masuk, kesalahan mereka

ditelanjangi. Dengan demikian warga  akan tahu bahwa koran atau

program yang salah itu tidak layak hidup.


Bagaimana pengaruh televisi terhadap kehidupan keluarga dan

warga ?

Banyak sekali pengaruhnya. Yang terbesar adalah merusak bahasa.

Sekarang orang di daerah tidak lagi berbahasa Indonesia tapi betawi: lo,

gue, matiin dan lain-lain. Itu bukan bahasa Indonesia. Lebih parah lagi,

para pejabat di Jakarta paling banyak dosanya terhadap bangsa ini, sebab 

memakai  bahasa asing yang sebenarnya ada versi bahasa

Indonesianya. Mereka tidak gunakan bahasa Indonesia. Media hanya

mengutip saja pidato atau pernyataan mereka. Terus menerus terjadi

perusakan terhadap bahasa.

Tayangan parodi atau dagelan politik di televisi tidak mendapat

KPI Award. Yang mendapat KPI Award justru acara ”Topik Kita”

episode Aliran Sesat.

Mungkin sebab  mereka (panitia) belum tahu bagaimana membuat

kategori untuk acara Republik Mimpi. Lagipula itu tayangan baru. Memang

begitulah tayangan parodi.

Di London, Inggris, ada program ”Yes Minister.” Program ini paling

ditonton. Isinya memperlihatkan seorang menteri yang dikontrol oleh

asistennya. Asisten itulah yang memberi  pendapat dan seolah-olah

menjadi pendapat si minister. Program ini memperlihatkan kedunguan

seorang menteri sebab  bisa dikontrol oleh asistennya.

Bagaimana peran warga  untuk mendorong munculnya

tayangan berkualitas? Apa saran untuk pengelola televisi agar bisa

mewujudkan tayangan televisi yang berdampak positif pada

warga ?

Saya harapkan warga  memakai  haknya untuk mengontrol.

Misalnya, mengirim surat kepada pejabat dan terutama kepada stasiun

televisi dengan menyatakan tayangan yang disiarkan pada edisi tertentu

membodohi warga .

--


Bombardir televisi itu dengan surat pemirsa, mudah-mudahan mereka

sadar. Di sisi lain kita harapkan para profesional di televisi mau berpikir

kembali untuk kepentingan publik. Jangan hanya mau dikontrol oleh pemilik

modal yang biasanya mementingkan rating.

Yang Terbaik di KPI Award 2008

Senin, 14 Desember 2009

Diawali dengan medley lagu nusantara serta gerak tari daerah,

KPI Award dibuka pukul 19:37 WIB oleh pembawa acara Nico

Siahaan dan Ersa Mayori. KPI Award  tahun ini adalah ajang untuk

memberi penghargaan program televisi yang ditayangkan selama

tahun 2008.

Yazirwan Uyun anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat

dalam pidato sambutannnya mengatakan KPI award merupakan

kerjasama KPI dengan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI).

Tahun ini, KPI memberi  penghargaan untuk 6 kategori terbaik,

yaitu program dokumenter, berita investigasi, talkshow, program

anak, sinetron lepas, dan pembawa acara talkshow terbaik. Pro-

gram yang dinilai berasal dari 10 stasiun televisi swasta nasional

dan 1 televisi publik,  “penilaian diberikan oleh juri yang kompeten

di bidangnya dan berasal dari berbagai latar belakang, akademisi,

profesional, dan tokoh-tokoh warga  yang memiliki kredibilitas

tinggi,” ujar Yasirwan Uyun. Selain itu, pada acara ini KPI Pusat

juga meluncurkan P3-SPS yang baru.

Wakil Presiden Republik Indonesia Boediono yang turut hadir

di acara ini , menyerukan agar semua pihak mendukung

pemberian penghargaan untuk program televisi ini. Menurut Boediono,

program televisi dapat berdampak positif dalam kehidupan

warga  namun  di lain pihak, televisi juga dapat memberi 


dampak yang kurang mendukung dalam kehidupan berwarga 

maka dari itu perlu ada yang mengawal. “Mengenai frekuensi, kunci

utamanya adalah untuk kepentingan publik. Peran televisi begitu

penting termasuk dalam mengawal demokrasi di negara ini, informasi

yang diberikan harus akurat sehingga dapat mendukung kehidupan

berpolitik. “Saya mendukung KPI sebab  tidak hanya memberi sanksi

namun  KPI juga memberi  apresiasi,” ujar Boediono.

Berikut adalah para pemenang KPI Award 2008:

No. Kategori Terbaik Stasiun TV

1. Program Berita

Investigasi

Telusur: Sarjana Kilat 22 Juta

Rupiah

TVOne

2. Program

Sinetron Lepas

Ya Guru Ya Seleb SCTV

3. Program Anak Kepompong: Christmas

Secret Angel

SCTV

4. Program

Dokumenter

Jendela: Sang Lentera Hidup TPI

5. Program

Talkshow

Kick Andy: Sepotong Kaki

Sejuta Harapan

MetroTV

6. Pembawa

Acara Talkshow

Rosiana Silalahi SCTV


Yayasan SET dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) yang

didukung Yayasan TIFA baru saja mengumumkan hasil riset rating

publik tentang tayangan televisi Indonesia. Metodologi rating publik

ini berbeda dengan yang dilakukan AGB Nielsen, lembaga tersohor

yang rutin mengeluarkan grafik rating program televisi.

Rating publik sudah dua kali diselenggarakan. Dari sini

semakin terlihat warga  Indonesia lebih memerlukan program

berkualitas, terutama berita. Ini temuan menarik. Sebab, selama

ini banyak stasiun televisi mengakui program berita itu tidak layak

jual, proyek merugi.

Bincang-bincang kali ini membahas lebih dalam tentang rating

publik. Menghadirkan dua narasumber yaitu Abdullah Alamudi (Anggota

Dewan Pers), dan Agus Sudibyo (Deputi Direktur Yayasan SET).

Rating Publik:

Program Berita Berkualitas Paling Disukai

8 Desember 2008

Narasumber:

Abdullah Alamudi

Anggota Dewan Pers

Agus Sudibyo

Deputi Direktur Yayasan SET

Host Tamu:

Bekti Nugroho

Anggota Dewan Pers

Penyiar Radio:

Budi Kurniawan

--


Bekti Nugroho: Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV, Karni Ilyas,

pernah mengakui melalui sebuah koran, program berita Liputan 6 SCTV

mampu meraup keuntungan Rp 120 miliar. Sementara banyak stasiun

televisi terpaku pada pendapat bahwa tayangan hiburan lebih

menguntungkan, tayangan berita merugikan secara bisnis. Kenyataannya

tidak.

Hasil riset yang dilakukan Yayasan SET, IJTI, dan Yayasan TIFA

semakin membuktikan program berita sudah selayaknya dilirik oleh

pengelola stasiun televisi swasta dan pemasang iklan. Terbukti, program

yang berkualitas kebanyakan adalah berita.

Seperti apa hasil riset rating publik yang telah dilakukan

Yayasan SET, IJTI, dan Yayasan TIFA?

Agus Sudibyo: Yang paling menarik, berbeda dengan asumsi selama

ini yang menyatakan bahwa program informasi—dalam hal ini regular news

program dan talkshow—mendapat apresiasi yang lebih rendah daripada

program hiburan, riset ini menunjukkan sebaliknya. Program informasi,

dalam hal ini berita dan talkshow di televisi, mendapat apresiasi yang

lebih tinggi dibandingkan program hiburan.

Kalau kita bicara apresiasi (riset) ini sebagai suatu cara berpikir yang

rasional dan kritis, memang tidak bisa kita tanya kepada warga 

kebanyakan. Kita harus menanyakan itu kepada warga  yang kurang

lebih terpelajar dan bisa memberi pemahaman yang lebih rasional.

Dimana saja riset ini dilakukan?

Riset dilakukan di 11 kota, memakai  survei longitudinal dengan

metode fair group assesment. Ini bukan survei pada umumnya, lebih

menyerupai pengukuran indeks persepsi. Responden di setiap kota 20

orang. Alasannya, ada kompleksitas dimana responden bukan hanya

mengisi kuesioner namun juga harus menonton rekaman yang kita berikan.

Kita artikan mereka bukan responden tapi lebih sebagai panelis. Kita belum

bisa menjangkau responden yang lebih besar.


Apakah panelisnya beragam?

Latarbelakang pekerjaan mereka beragam. Mereka dari kelas

warga  yang terdidik dan terpelajar. Minimal lulusan SMA dan 70

persen lulusan perguruan tinggi, S3 maupun S1, dan tinggal di wilayah

perkotaan. Kita berharap diperbanyak kotanya, tapi sebab  keterbatasan

dana maka dibatasi di 11 kota.

Menurut hasil riset ini, program apa yang terunggul?

Saya lebih tertarik mengutip hasil yang lebih umum. Misalnya,

program informasi dan talkshow lebih diapresiasi sebab , pertama,

dianggap lebih banyak memberi  informasi yang relevan untuk

warga . Kedua, dia memberi  model prilaku yang baik dibanding

dengan program hiburan, meningkatkan daya kritis, meningkatkan fungsi-

fungsi pengawasan, dan memberi  atau mengangkat masalah yang

relevan untuk warga .

Sebaliknya, program sinetron—dari lima atau enam katagori yang

saya sebutkan tadi—penilaian warga  minus atau negatif, sebab  tidak

mendidik, tidak memberi  informasi yang relevan, tidak mengangkat

masalah yang relevan buat warga , tidak memberi  model prilaku

yang baik, muatan pornografi ada di sana. Kekerasan terhadap anak

muncul di sana, kurang sensitif dalam hal gender dan seterusnya. Itulah

penilaian secara umum.

Dalam penelitian ini juga disebutkan, program yang bermuatan

kriminalitas dan hiburan menurut mereka jumlahnya besar namun 

kualitasnya buruk. Berbeda dengan tayangan soal politik, ekonomi, yang

kuantitasnya banyak dan kualitasnya juga dianggap memadai.

Apa tujuan dari riset ini?

Pertama, memberi referensi untuk menilai tayangan televisi yang

berbasis pada aspek-aspek kualitas. Selama ini, kalau kita menilai

tayangan televisi hanya berdasar kuantitas seberapa banyak acara

ditonton oleh pemirsa. Aspek kuantitas tetap dibutuhkan tapi tidak bisa

menjadi satu-satunya acuan untuk menilai program televisi dan kemudian

--


lebih jauh lagi untuk menentukan kecenderungan produksi televisi.

Penilaian kuantitas itu harus diimbangi dengan penilaian yang berbasis

pada masalah kualitas.

Referensi untuk menilai acara televisi berdasar aspek kualitas

dibutuhkan baik oleh warga , yang selama ini risau terhadap dampak

tayangan televisi, maupun oleh industri televisi yang secara langsung

menentukan program seperti apa yang mau mereka tayangkan dan tidak

ditayangkan. Kita membutuhkan basis riset yang memadai untuk

mengkritik program-program televisi. Akan lebih efektif kalau kita mengkritik

atau mengevaluasi program-program televisi berdasar riset yang bisa

dipertanggungjawabkan secara metodologis.

Abdullah Alamudi: Saya respek sekali dengan rekan-rekan yang

melaksanakan riset ini. Ini akan membuat warga  lebih sadar, sebab 

sekarang ini rating hanya ditentukan oleh satu perusahaan saja: AGB

Nielsen. Dan seingat saya, Nielsen tidak pernah diaudit. Dengan rating

publik ini, saya harap bisa membuka mata warga  bahwa Nielsen

bukan satu-satunya yang harus menjadi pegangan.

Telepon

Ragil (Pulau Gebang): Saya setuju dengan hasil riset ini yang

menyatakan bahwa program berita bisa menjadi unggulan dibanding

program-program lain. Mohon maaf, saya mengkritik salah satu

program berita di Trans TV dalam segmen Tanah Airku. Saya bosan

dengan segmen itu yang dalam satu bulan diulang beberapa kali.

Untuk Indosiar seharusnya tidak menayangkan sinetron yang diluar

akal manusia.

Agus: Kalau kita bicara acara yang ideal, pertama, share dan rating-

nya tinggi sekaligus secara kualitas memadai. Riset kami bukan riset

untuk menegasikan rating kuantitatif, tapi untuk membuka suatu acuan

baru bahwa idealnya suatu acara itu rating-nya tinggi sekaligus secara

kualitas juga tinggi.


Abdullah: Kalau stasiun televisi mau melakukan, terbukti mereka

bisa menghasilkan produk yang bagus seperti ditunjukkan oleh survei ini.

Program berita, misalnya Liputan 6 dan Kick Andy, menempati tempat

yang tinggi. Acara anak Si Bolang juga mendapat tempat yang tinggi dan

disukai warga . Dari segi hiburan, misalnya, ada sinetron Para Pencari

Tuhan. Semua itu produk sangat bagus, daripada televisi membuat pro-

gram yang membodohi warga  seperti acara mistik, mewawancarai

orang gila, atau memperlihatkan orang makan kodok yang melanggar etika.

Banyak program bagus yang bisa dibuat.

Apa masalah yang dihadapi televisi untuk dapat memproduksi

tayangan berkualitas?

Agus: Problemnya, pertama, industri televisi hanya konsentrasi pada

rating kuantitatif. Mereka hanya mengejar suatu acara rating-nya tinggi

tanpa memperhatikan kualitas. Kedua, dalam konteks yang sama stasiun

televisi tidak peduli, apakah itu program hiburan atau program informasi,

semua dihadapi dengan tolok ukur yang sama: share dan rating. Ini jelas

bermasalah. Kalau hanya diukur seberapa jumlah penonton suatu acara,

jelas sekali program informasi sulit bersaing dengan program hiburan. Kalau

perhitungan kuantitas dan kualitas di-balance, kita akan menemukan

mapping yang berbeda, bahwa program talkshow dan berita pun bisa

bersaing dengan program hiburan. Sebab, yang dinilai bukan hanya

seberapa jumlah penonton, tapi berapa besar kualitas suatu acara.

Dari hasil riset terlihat program berita paling mendominasi

menjadi yang terbaik?

Betul. Ini fenomena yang berkembang dalam dua kali riset yang kami

laksanakan. Saya kira, pertama, orang-orang AC Nielsen akan bilang

”responden kita berbeda.” Tapi, saya mau mengatakan, kalau kita tanya

soal kualitas acara televisi jelas tidak bisa kita tanyakan kepada orang

kebanyakan. Itu harus kita tanyakan kepada orang berpendidikan. Kalau

ditanyakan kepada orang kebanyakan, akan sulit. Mereka tidak punya

pilihan. Mau beralih ke televisi kabel atau mencari hiburan ke bioskop,

--


tidak punya uang. Mereka tidak punya cukup daya beli untuk pindah ke

televisi kabel, misalnya.

Mengapa tayangan berkualitas seringkali rating-nya rendah?

Apakah sebab  warga  kita banyak yang belum berpendidikan

tinggi?

Abdullah: Saya kira, pertama, sebab  warga  tidak punya

pilihan. Kalau ada satu tayangan menarik, misalnya, stasiun televisi lain

berlomba membuat program yang mirip. Sehingga ada pembagian rating

dengan televisi lain. Ini sama sekali tidak membuat warga  lebih

cerdas. Itu membodohi.

Sekarang ini, dengan adanya program rating publik yang dilakukan

Yayasan SET, IJTI, dan TIFA, semua menunjukkan warga  kita

semakin cerdas. Kita harus mendorong warga  untuk memakai 

hak mereka mengontrol pers. Hak mereka mengontrol televisi. Kalau

mereka melihat program yang tidak mencerdaskan atau membodohi,

sebaiknya mereka dianjurkan mengirim surat kepada suratkabar

menyampaikan protes dan juga ke stasiun televisi bersangkutan. Hak

warga , hak setiap orang di dalam demokrasi untuk mengontrol media.

SMS

Steve (Papua): Bagaimana dengan tayangan seperti Jejak

Petualang, Jelajah, Espedisi dan tayangan sejenis, apakah disurvei

juga? Dan apa hasilnya? Tayangan sejenis  itu apa kategorinya?

Adi (Banten): Aku setuju, rating TV dimanfaatkan oleh

penguasa partai dan alat sebagai pasar yang sosial-negatif. Artinya,

kami orang desa sebagai konsumen seperti robot yang bisa dikotak-

kotakkan. Bisa tidak orang TV mencerdaskan orang awam?

Bekti: Jejak Petualang, Si Bolang di dalam riset ini masuk dalam

kategori non hiburan, berarti masuk di kategori informasi. Program-program

itu, kalau misalnya dibuat pohon, masuk di dalam pohon berita.


SMS pak Adi menyebutkan, rating TV banyak dimanfaatkan

oleh penguasa partai.

Abdullah: Itulah kesalahannya, seolah semua rating. sebab  satu-

satunya badan yang melakukan rating adalah AC Nielsen, maka semua

orang berpegang pada apa saja yang dikatakan Nielsen. Tidak ada pilihan

bagi warga  untuk mengecek benar atau tidaknya. Saya tidak

menuduh Nielsen, tapi saya punya hak sebagai warga negara untuk

mempertanyakan apakah Nielsen diaudit atau tidak.

Apakah Dewan Pers mendukung rating alternatif?

Iya. Kalau bisa lebih banyak lagi. Lembaga pelaksananya harus kita

dorong untuk memberi  alternatif kepada warga , terutama kepada

industri media. Sebab, kalau AC Nielsen hanya satu-satu lembaga pe-

rating, itu monopoli dan tidak sehat.

Bekti: Di dalam industri televisi Indonesia yang sedang sibuk

berkonsolidasi, dibutuhkan rating alternatif. Salah satunya rating publik, yang

lebih spesifik pada rating kualitas. Stasiun televisi memakai  ranah publik,

frekuensi radio yang terbatas, maka hendaknya diisi program yang berkualitas.

Seperti apa secara umum kualitas tayangan televisi kita saat ini?

Abdullah: Saya terus terang kecewa. Banyak orang bekerja di stasiun

televisi yang dulu di media cetak. Mereka profesional. Tapi, begitu masuk

ke televisi, mereka tidak bisa lagi mengatakan tidak kepada pemilik modal

yang hanya mengejar rupiah. Profesionalisme mereka tergencet oleh

tekanan pemilik modal yang hanya mengejar rating. Begitu ada satu acara

di televisi yang menarik, yang lain-lain berlomba meniru.

Bekti: Di awal sudah saya singgung, Pak Karni Ilyas mengatakan di

sebuah koran, Liputan 6 SCTV dalam satu tahun (saat ia menjadi pemimpin

redaksinya) berhasil mengumpulkan laba Rp 120 miliar. Berarti satu bulan

keuntungan bersih Rp 1 miliar. Angka yang lumayan besar. Kalau dibandingkan

dengan program lain, angka itu mungkin lebih kecil. Tapi, harus dilihat porsinya,

sebab  program berita hanya sedikit di satu stasiun televisi.

--


Lebih jauh, ini bukan persoalan untung atau tidak untung. Program

berita dibutuhkan oleh publik dan mestinya menjadi manivestasi tanggung

jawab sosial televisi yang sudah diberi frekuensi publik.

Abdullah: Stasiun televisi harus membuat berita secara obyektif,

imparsial (tidak memihak). Jangan sebab  bosnya menjadi calon satu partai

lalu ”disorot” lebih dari 5 menit, padahal ada berita lain yang juga penting.

Hal sejenis  itu merupakan pelanggaran. warga  dicekoki informasi

satu pihak. Dengan kata lain, dia memakai  stasiun televisi untuk

kepentingan partai, kepentingan politik atau ekonominya. Padahal, dia

mendapat frekuensi radio sebagai ranah publik yang harus digunakan untuk

kepentingan warga . Seharusnya KPI bersikap lebih tegas dalam

kasus seperti ini.

”Monopoli” survei rating yang dilakukan AGB Nielsen apakah

bisa disebut pelanggaran?

Tidak ada pelanggaran. AGB Nielsen tidak melakukan pelanggaran.

Kenyataannya memang hanya dia yang bisa melalukan survei, sebab 

survei ini mahal.

Bekti: Investasi untuk melakukan survei rating itu mahal. Di dunia,

AGB Nielsen termasuk salah satu yang terbesar. Pernah ada lembaga

riset masuk ke Indonesia namun gagal sebab  biaya. Nielsen terbukti

mampu melakukan itu. Tapi, bukan berarti para pemerhati media diam.

Terbukti kemudian Yayasan SET, IJTI, dan Yayasan TIFA melakukan riset

alternatif.

Depkominfo juga sudah mulai merintis rating alternatif. Mestinya

negara memberi cukup anggaran untuk pelaksanaan rating alternatif. Atau

negara cukup menjadi fasilitator dengan menyediakan dana.

Abdullah: Sebaiknya negara hanya menjadi fasilitator. Kalau mau,

silahkan negara menyediakan dana, diserahkan kepada lembaga

independen untuk melaksanakannya.



Telepon

Saiful (Menteng, Jakarta): Pers Indonesia pada dasarnya

sudah baik tapi kurang keseimbangan dalam hal peliputan. Misalnya,

berita terkesan dari pemerintah untuk pemerintah, bukan dari rakyat

untuk rakyat. Contohnya peliputan korupsi. Saya menyarankan,

menjelang Pemilu ini pers betul-betul bisa memayungi negara kita

sebagai negara demokrasi, memihak untuk menyelamatkan negara.

Tidak memihak parpol atau satu pihak.

SMS

Fadli (Jakarta): Tolong stasiun televisi lebih memperbanyak

program berita dan olahraga.

Samali: Apa konten berita yang dianggap unggulan yang

menyentuh daerah? Sebab, sekarang ini banyak berita tentang

daerah yang kebanyakan bencana, tawuran, dan kriminal.

Fajar (Banjarnegara, Jawa Tengah): Tayangan sinetron

Indosiar tidak mendidik sebab  di luar akal manusia, tidak profesional

membuatnya.

Reni (Purbalingga): Aku sangat setuju berita itu sangat

penting. Tapi, sebab  di desaku orangnya awam, mereka lebih suka

sinetron, apalagi Indosiar. Sinetron membosankan.

Ramdan (Cikarang): Memang program televisi Indonesia lebih

banyak dikuasai acara hiburan. Sedangkan acara pendidikan

semakin ke sini semakin berkurang. Apa warga  punya hak

untuk ikut andil dalam masalah ini?

Yudi (Galur): Program di televisi hendaknya perlu

mengendalikan diri dan fungsi media wajib menjaga kesehatan psiko-

sosial warga .

Apa yang bisa dilakukan warga  untuk mendorong

munculnya program  berkualitas?


Pasal 17 UU Pers mengatakan, warga  berhak ikut mengontrol

pers. warga  sebagai warga negara, secara sendiri atau berkelompok

dengan membuat media watch, berhak mengontrol pers. Pers sekarang

bukan dikontrol oleh Departemen Penerangan, Kominfo, Polisi, atau

Kodam, tapi oleh warga . Setiap warga  punya hak untuk

mengontrol pers. Gunakan hak itu. Caranya, kirim surat ke stasiun televisi

apabila ada tayangan yang tidak masuk akal. Atau kirim surat ke

suratkabar. Di setiap suratkabar ada rubrik Surat Pembaca yang disediakan

oleh media untuk warga  menyampaikan keluh kesahnya.

Ini semua bagian dari apa yang kita sebut political communication.

Doktrin political communication adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

konsep kemerdekaan pers. Maka gunakan itu untuk mengontrol pers,

susaha  jangan lagi pemerintah mencampuri urusan pers. Kalau pemerintah

mencampuri urusan pers, yang rugi warga . Yang boleh disiarkan

hanya yang menguntungkan pemerintah. Itulah yang terjadi di masa Orde

Lama dan Orde Baru dan hal sejenis  itu tidak boleh terulang. Salah

satu caranya yaitu gunakan hak mengontrol pers sebagai warga negara.

Dan jangan lupa, kalau anda merasa dizolimi oleh pers, gunakan Hak

Jawab. Kirim Hak Jawab ke media bersangkutan dan tembuskan ke Dewan

Pers. Ini bagian dari cara warga  untuk mengontrol pers.

Bekti: warga  sekarang harus peduli, jangan acuh. Bagi

kalangan televisi, kalau masukan warga  konstruktif dan produktif,

akan diikuti. Kalau masukannya tanpa dasar, tidak akan diikuti. Kalangan

televisi akan senang kalau mendapat masukan disertai data.

Abdullah: Stasiun televisi memiliki public relation officer atau

humas. Salah satu tugas humas mengumpulkan semua berita mengenai

perusahaannya. Berita itu harus dikumpulkan dan disampaikan kepada

rapat redaksi atau ke manajemen bahwa ada sesuatu yang harus disikapi.

SMS

Jenita (Sinabung): Bukankah program televisi terbanyak

adalah cerminan selera penonton?



Saya kira tidak. warga  kita tidak diberi pilihan. Bukan persoalan

kita yang memilih, tapi produser-produser itu yang mencekoki warga :

”ini lo yang bagus untuk kalian.” Buktinya apa? Kalau ada satu program

yang bagus, semua berlomba membuat program serupa, sehingga

warga  tidak memiliki pilihan yang baik.

Mungkin maksud dari pengirim SMS tadi, media itu cermin dari

taraf berpikir warga  setempat. Media di negara maju pasti

berbeda dengan di negara berkembang.

Kita harus lihat yang dimaksud media yang mana. Kalau media main-

stream atau media utama di Indonesia, semua menaruh perhatian dan

berpihak pada warga . Harian Kompas, Media Indonesia, Republika,

Tempo, semua berpihak pada warga  dan untuk kepentingan

warga .


Menanggapi kritik terhadap riset-risetnya, Irawati Pratignyo

yang mewakili AGB Nielsen menyatakan bahwa riset-risetnya sudah

sesuai dengan standar internasional. Riset Nielen dilakukan dengan

standar yang disyaratkan dalam Global Guidelines TV Audience

Measurement. Semua penyelenggara TV Audience Measurement

(TAM) seperti AGB Nielsen di Indonesia harus memakai  Glo-

bal Guidelines TV Audience Measurement sebagai panduan. Selain

itu, secara berkala AGB Nielsen Indonesia juga diaudit oleh induk

perusahaan untuk menjamin bahwa prosedur TAM yang digunakan

untuk mengukur sudah tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selama ini, Nielsen dianggap sebagai biang keladi buruknya

tayangan TV di Indonesia. Nielsen yang memang merupakan satu-

satunya lembaga yang melakukan TAM di Indonesia memang kerap

menghasilkan data yang meragukan, seperti acara yang secara

kualitas dianggap buruk oleh beberapa kalangan namun

mendapatkan rating yang tinggi.

Untuk itu, Irawati Pratignyo yang mewakili AGB Nielsen Indo-

nesia menjelaskan secara gamblang sistematika TAM.yang

dilakukan Nielsen di hadapan anggota panita ad hoc (PAH) III Dewan

Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat,

Dewan Pers dan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) di

gedung DPD Senayan, Senin kemarin (1|10).

Wakil Ketua KPI Pusat, Fetty Fajriati Miftach menyatakan

sudah banyak lembaga-lembaga lain seperti perguruan tinggi dan

Lembaga Swadaya warga  (LSM) yang meminta KPI untuk

melakukan audit publik terhadap AGB Nielsen dan membuat

lembaga pemeringkat rating tandingan. Namun Fetty menyatakan

bahwa KPI tidak memiliki kapasitas untuk melakukan audit publik

terhadap TAM yang dilakukan Nielsen. Sedangkan untuk membuat

Riset Nielsen Sudah Sesuai dengan

Standar Internasional


lembaga pemeringkat rating tandingan dibutuhkan biaya investasi

yang besar.

Agenda utama Acara Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)

antara PAH III DPD dengan KPI Pusat, Dewan Pers, AGB Nielsen

dan ATVSI ini adalah membahas kualitas siaran TV di Indonesia.

Sebagian besar anggota DPD mengeluhkan buruknya acara TV di

Indonesia.Untuk itu, PAH III DPD mendorong komponen penyiaran

untuk lebih mengutamakan tayangan TV yang sehat bagi

warga .


Penyusunan Undang-Undang Pornografi terus memunculkan

kontroversi. Pada 13 September 2007, budayawan dan cendekiawan

Bali, yang tergabung dalam Komponen Rakyat Bali, menyatakan

penolakan terhadap RUU Pornografi. Mantan Hakim Mahkamah

Konstitusi, I Dewa Gde Palguna, salah satu orang yang ikut menolak.

Soal pornografi sering kali dikaitkan dengan pers. Alasannya,

materi pornografi banyak disebarkan melalui penerbitan

mengatasnamakan pers. Sejak awal Dewan Pers berpendapat, ada

dua jenis pornografi yaitu hardcore pornography dan softcore

pornography. Hardcore pornography jelas dilarang, sedang softcore

pornography sebaiknya diatur penyebarannya agar anak-anak

terlindungi.

Berikut perbincangan tentang pornografi bersama Sekretaris

Eksekutif Dewan Pers, Lukas Luwarso.

Kontroversi tentang Pornografi

Tak Ada Habisnya

31 Desember 2007

Narasumber:

Lukas Luwarso

Sekretaris Eksekutif Dewan Pers

Host Tamu:

Bekti Nugroho

Anggota Dewan Pers

Penyiar Radio:

Budi Kurniawan

--


Apa itu pornografi dan bagaimana negara lain mengatur soal

kecabulan?

Pornografi secara semantik berasal dari kata porn dan grafic yang

berarti gambar porno, yaitu gambar yang menunjukkan satu materi yang

bersifat cabul atau asusila.

Pornografi di negara maju seperti di Jepang dan Amerika juga menjadi

perdebatan. Perdebatan Sengit di Amerika sudah diakhiri sejak 1984.

saat  itu Presiden Ronald Reagan membuat satu komisi khusus di tingkat

parlemen yang mempersoalkan bahaya pornografi. Hasil komisi ini, antara

lain, merekomendasikan pembuatan Child Protection and Obscenity

Enforcement Act atau Undang-Undang Anti Pornografi Anak.

Di negara maju, kalaupun mempersoalkan pornografi, yang diinginkan

adalah agar anak-anak tidak terekspose dan tidak terjangkau pornografi.

Pelaku yang ketahuan memakai  pornografi sehingga anak-anak dapat

mengakses, akan dihukum. Jadi, bukan mempersoalkan pornografinya,

namun  mengatur akses agar anak-anak terlindungi.

Apa parameter bagi warga  agar dapat membedakan

antara pornografi dan pers?

Yang paling sederhana adalah gambar atau materi porno itu

dieksploitasi sedemikian rupa untuk tujuan komersial. Kalau ada gambar

perempuan telanjang atau setengah telanjang dicetak besar-besaran secara

mencolok, sedangkan tidak ada isu terkait gambar ini , itu bisa

diindikasikan pornografi. Tapi, misalnya gambar yang sama diletakkan di

halaman dalam dan di situ ada artikel yang terkait dengan foto itu,

misalnya mengenai nilai artistik dari foto ini  sebagai karya fotografer

terkenal, itu bukan pornografi.

Di warga  yang pengetahuannya sudah cukup baik, persoalan

ini sebenarnya terkait self-regulated. Kalau warga  sudah berusaha 

melakukan self-regulated namun negara menginginkan hal itu diatur

sedemikian rupa dalam UU, berarti peradaban Indonesia surut.

| 193

Apa yang Anda nilai aneh dari RUU Pornografi?

Misalnya dalam klausul menimbang disebutkan bahwa sebab  dampak

globalisasi maka pornografi, tindakan asusila dan kecabulan di warga 

dianggap dapat mengancam kepribadian bangsa dan tatanan kehidupan

sosial. Kepribadian bangsa bukanlah hal yang homogen. Contohnya

warga  Bali dengan tegas menolak RUU ini. Pandangan orang

terhadap pornografi bukan monolitik atau seragam yang coba dihomogenkan

seolah seluruh bangsa Indonesia sepakat dengan definisi pornografi sesuai

isi pengusul RUU Pornografi.

Ada beberapa media yang semata-mata menonjolkan

kecabulan. Bagaimana Dewan Pers meresponnya?

Kalau yang dimaksud adalah media-media dewasa, sejauh itu hanya

untuk orang dewasa dan bisa ditolerir tingkat eksplisitas gambarnya, maka

tidak masalah. Sedang untuk “media-media gelap” yang hanya memuat

gambar cabul dengan men-download dari internet, aparat kepolisian bisa

menjerat dengan memakai  Pasal 282 KUHP tentang penyebarluasan

materi cabul. Untuk media dewasa, atau dalam RUU Pornografi disebut

sebagai pornografi ringan, harusnya bersifat delik aduan. warga  yang

tersinggung dengan media cabul, misalnya sebab  khawatir anaknya

terganggu, bisa mengadu ke polisi agar pihak-pihak yang menyebarkan

media dewasa itu diingatkan, ditindak dan diberi sanksi.

Apakah RUU Pornografi merupakan solusi atas maraknya

pornografi?

RUU Pornografi justru menciptakan problem baru. RUU ini mencoba

menjadi sangat orisinil. Misalnya ada kodifikasi yang rigit dengan membagi

pornografi menjadi tiga hal: pornografi ringan, pornografi berat, dan pornografi

anak. Pornografi ringan antara lain joget. Definisinya, kurang lebih, segala

bentuk pornografi yang menggambarkan secara implisit kegiatan seksual

termasuk bahan-bahan yang menampilkan ketelanjangan, adegan-adegan

yang secara sugestif bersifat sensual. Joget Inul bisa kena.


Lucunya, setelah RUU ini membuat kodifikasi dan pelarangan, ada

pasal pengecualiannya. Larangan terhadap pembuatan, penggunaan, dan

penyebarluasan materi pornografi bisa ditolerir untuk tujuan yang terdiri

atas pendidikan, pengobatan gangguan kesehatan seksual, seni dan

budaya, serta adat istiadat dan tradisi ritual kegiatan lain yang dilindungi

oleh undang-undang. Pengecualiannya begitu banyak sehingga perumusan

pornografi menjadi dapat dipertanyakan. Nanti, misalnya ada pelanggar

UU ini, dia bisa sewa pengacara yang mencari-cari pengecualian ini.

Apakah pornografi di Indonesia sudah begitu parah?

Saya tidak katakan lebih parah, tapi eksposenya lebih gamblang. Di

kawasan Glodok, Jakarta, secara terbuka pornografi dijual. Namun, ini

sekaligus salah satu test case bahwa pornografi itu tidak terlalu berbahaya

seperti yang dikhawatirkan banyak orang. Kalau kita mau jujur, siapa yang

tidak menikmati gambar atau tayangan porno? Bagi anak muda, mungkin

sebab  ingin tahu, sedang bagi orang tua dibutuhkan untuk “stimulasi”. Yang

dipersoalkan seharusnya eksposenya. Kalau dijual di Glodok, jelas melanggar.

Hukum itu dibuat untuk dua alasan. Pertama, untuk sesuatu yang

membahayakan, mencegah terjadinya tindak yang membahayakan atau

menyinggung. Pornografi yang mencolok itu sifatnya mengganggu,

moralitasnya terganggu. Misalnya orang sedang jalan dan melihat materi

porno di pingir jalan. Jika itu persoalannya, gunakan Pasal 282 KUHP.

Orang yang merasa risi dengan pornografi bisa langsung mengadu ke

polisi. Jika penerapan hukum ini ditegakkan, sesungguhnya tidak perlu

repot membuat UU Pornografi.

Ada pandangan maraknya pornografi sebab  UU Pers tidak

cukup tegas dan akomodatif mengatur soal ini ?

Maraknya DVD porno yang mudah didapat di pasar dan di pinggir

jalan tidak ada kaitannya dengan UU Pers. Kalau yang dipersoalkan me-

dia-media dewasa, ada perbedaan persepsi dan perspektif. Apakah betul

majalah seperti Playboy atau Popular adalah pornografi? Apakah majalah

itu hanya memuat gambar sensual saja? Apakah betul warga  kita

| 195

begitu tertutup dan puritan sehingga melihat gambar seperti itu kemudian

moralnya menjadi rusak?

Jangan terlalu memaksakan. Kalau misalnya MUI terganggu dengan

majalah-majalah dewasa yang dijual di pinggir jalan, solusinya seperti

yang ditawarkan Dewan Pers yaitu UU Distribusi. Dewan Pers sedang

menggodok Peraturan Dewan Pers agar media-media dewasa diatur

peredarannya. Solusinya ada di aspek distribusi. Kita tidak bisa mencegah

sama sekali pornografi di dunia ini, apalagi dengan perkembangan teknologi

internet. Ibaratnya kita mau menggaruk yang di jalan-jalan, tapi sebenarnya

di internet jauh lebih bahaya pornografinya.

Apa yang janggal dari isi RUU Pornografi?

Pornografi itu bisa dirasakan apakah mengeksploitasi seksual atau

sekadar mereproduksi sensualitas dan keindahan. Artinya, ada aspek

orang melihat keindangan tapi tidak harus bersifat kejahatan.

Saya lebih memilih distribusi barang-barang yang dikategorikan untuk

dewasa. Contohnya minuman keras. Bagi anak-anak, yang tidak dapat

mengontrol diri, minuman keras bisa bahaya. Tapi, bagi orang dewasa,

barang kali tidak ada masalah. Rokok sebenarnya jauh lebih berbahaya.

Anda merokok satu batang dibanding dengan melihat cover majalah

Popular, saya kira lebih berbahaya rokok, dan secara medis itu terbukti.

Mana yang lebih mendesak, UU Pornografi atau UU Distribusi?

Kalau untuk mengatasi ekspose media dewasa, solusi yang paling

masuk akal adalah UU Distribusi. Kalau tujuannya memperbaiki moral

bangsa yang rusak, saya tidak tahu apa solusinya.

Kalau UU Pornografi disahkan, saya melihat bahayanya. Ada gaya

otoritarianisme. Yang paling terlihat, misalnya, ada hegemoni makna dan

hegemoni persepsi, seolah-olah moral sekelompok orang bisa dipaksakan

ke seluruh warga  bangsa ini. Lebih parah lagi hegemoni moral. Kalau

mau menegakkan UU, untuk menyikapi ekspose media dewasa, bisa dibuat

satuan khusus di kepolisian seperti untuk penanganan narkoba.

--


Penelepon

Alvi (Jakarta): Saya melihat, pembelaan hanya pada kelompok

yang akan menjadi korban dari RUU Pornografi. Padahal, dalam

konteks demokrasi, secara potensial orang yang akan “rusak” lebih

banyak daripada orang yang menerbitkan. Dimana letak demokrasi

kalau kita hanya membahas orang yang sedang terganggu

bisnisnya? Cobalah lihat majalah-majalah dewasa yang disodorkan

ke kaca-kaca mobil.

Kalau bicara ideal, saya pernah lama di Jerman. Negara itu

bebas sebab  demokrasinya sudah matang. Di negara maju yang

kesadarannya sudah tinggi itupun masih banyak aturan. Kita ini

terlalu banyak yang tidak ada aturannya.

Saya senang mendengar radio ini. Tapi saya lihat wacananya

hanya untuk anti apapun yang dibuat pemerintah. Yang terpenting

bagaimana menertibkan pornografi, bukan UU-nya yang dibahas.

Kita punya Pasal 282 KUHP yang secara jelas mengancam

penyebaran materi yang dianggap pornografi. Kalau yang diinginkan tidak

hanya berwacana, lebih baik aturan hukum yang ada di tegakkan, daripada

membuat UU baru yang juga masih berwacana. Usulan saya tadi jelas,

buat sejenis  satgas Polisi anti pornografi.

Apa tanggapan Dewan Pers terhadap penyebaran media

dewasa yang dilakukan di sembarang tempat?

Contoh konkret, dua bulan lalu Dewan Pers meminta kepolisian untuk

menindak dua media, Pos Metro dan Lampu Merah sebab  memuat foto-

foto montase dari prilaku asusila anak Indramayu. Jadi, yang dibutuhkan

adalah warga  aktif. Kalau nanti dibentuk satgas di Kepolisian,

warga  harus aktif. Saya heran, penjualan VCD porno di Glodok begitu

bebas. Barangkali memang ada perlindungan dari aparat Polisi.



Apa isi rancangan distribusi yang dibuat Dewan Pers?

Peraturan Dewan Pers itu hanya ingin mengatur satu hal yaitu media

khusus dewasa, seperti majalah Popular, FHM, tidak boleh dijual di

sembarang tempat. Hanya tempat-tempat tertentu dan agen-agen khusus

yang boleh menjualnya. Kalau misalnya dipajang, sampulnya harus ditutup.

Ini usaha  agar warga  yang moralis, yang tersinggung dengan gambar

seronok, menjadi tidak terekspose.

Bagaimana pengawasannya?

Di dalam Peraturan disebutkan warga  harus mengadu ke Dewan

Pers jika ada pelanggaran. Dewan Pers kemudian akan mengidentifikasi,

memberi sanksi, paling tidak menegur medianya. Kalau kesalahannya

sampai lebih dua kali, kita bisa minta aparat untuk menindak.

SMS

Mun (Bekasi): Sebenarnya RUU Pornografi ini proyek dan

sponsornya siapa? DPR seperti kurang pekerjaan saja.

Adi (Pandeglang): Di desa kami masih banyak kali (sungai)

untuk mandi dan sudah menjadi adat kebiasaan. Apakah itu

pornografi? Kalau UU Pornografi disahkan mau mandi di mana kami?

Penyusun RUU Pornografi cara berpikirnya reduksionis. Sangat

menyederhanakan persoalan yang kompleks. sebab  itu, RUU ini mengatur

pengecualian, misalnya untuk adat istiadat seperti mandi di kali. namun ,

artinya, RUU Pornografi ini banyak mengatur hal yang tidak perlu. Kalau

mau mengatur warga  jangan berpatokan pada warga  yang sakit

yang suka mengonsumsi pornografi. Gunakan patokan warga  yang

sehat dulu. Inikan seperti mau mengatur segala aspek mengenai yang

nuansa pornografinya diperdebatkan.



Catatan pertama

Salam kemerdekaan pers. DEWAN PERS sepakat bahwa

pornografi dan pornoaksi harus diperangi bersama. Pengaturan

pornografi dan pornoaksi dalam undang-undang tersendiri harus dikaji

secara hati-hati dan terukur, dengan tetap memberi  pertanyaan

kritis tentang “apa masalah yang kita hadapi bersama” dan “apa

tujuan yang hendak dicapai” dengan tetap berpegang teguh pada

spirit Pasal 28F UUD 1945 sebagai hak asasi paling dasar manusia

untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan diri dan lingkungan sosialnya dengan memakai 

segala jenis saluran yang tersedia. Sikap dasar ini menjadi penting

untuk memberi  catatan atas RUU APP.  Sesungguhnya menurut

DEWAN PERS problematika kita hari ini bukanlah problem undang-

undang, namun  problem penegakan undang-undang.

Catatan kedua

DEWAN PERS mencatat bahwa RUU APP mengatur dua hal

sekaligus yakni (i) anti pornografi dan (ii) anti pornoaksi. Kedua

pokok permasalahan ini dikupas dan disajikan secara tuntas meski

tetap saja masih mendelegasikannya kepada bentuk hukum lain,

yakni Peraturan Pemerintah, bahkan harus membentuk sebuah

BADAN ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI NASIONAL.

DEWAN PERS mencatat bahwa ada  11 Bab dan 93 pasal

materi yang mengupas masalah anti pornografi dan anti pornoaksi

dalam RUU APP. Jika dibaca dan dipetakan secara sederhana, maka

Catatan Dewan Pers atas RUU Anti Pornografi

dan Pornoaksi

Disampaikan kepada Pansus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi

DPR RI

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum, Rabu, 16 November 2005



sesungguhnya RUU APP memfokuskan pengaturan pada dua hal

utama, yaitu :

(i)  larangan pornografi sebanyak 29 pasal dengan 36 materi larangan

dan 3 materi pengecualian. Dari 36 materi larangan itu, ada 

31 materi yang memakai  kata kunci “eksploitasi”; dan

(ii) larangan pornoaksi sebanyak 8 pasal dengan 26 materi larangan

dengan 4 materi pengecualian.

Catatan ketiga

DEWAN PERS mencatat ada 5 alasan mengapa RUU APP ini

lahir sebagaimana tampak pada konsideran MENIMBANGnya.  Jika

dirumuskan secara sederhana, alasannya cuma dua, yaitu:

(i) sebab  meningkatnya perbuatan, penyebarluasan, dan

penggunaan pornografi dan perbuatan serta penyelenggaraan

pornoaksi dalam warga  saat ini yang sangat

memprihatinkan dan dapat mengancam kelestarian tatanan

kehidupan warga  yang dilandasi nilai-nilai Ketuhanan Yang

Maha Esa; dan

(ii) tidak tegasnya peraturan perundang-undangan yang ada saat

ini mengatur “defenisi dan sanksi serta hal-hal lain yang berkaitan

dengan pornografi dan pornoaksi sebagai pedoman dalam usaha 

penegakan hukum untuk tujuan melestarikan tatanan kehidupan

warga .

Itu berarti RUU APP bermaksud memperjelas defenisi dan

sanksi yang berkenaan dengan pornografi dan pornoaksi agar

perbuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi dan

perbuatan serta penyelenggaraa pornoaksi tidak meningkat.

Catatan keempat

DEWAN PERS mencatat bahwa salah satu dasar hukum yang

digunakan RUU APP ini adalah Pasal 28F UUD 1945. Ini adalah

ketentuan yang penting dan azasi bagi penyusunan materi

--

200 |  -

pengaturan RUU APP selanjutnya. Seluruh materi RUU APP ini tidak

boleh bertentangan dengan amanah Pasal 28F UUD 1945, bahkan

harus menjadi pedoman. Bila, materi pengaturan RUU APP

bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945, maka berdasar

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan UU APP ini sangat berpotensi

menjadi pesakitan dalam acara judicial review di Mahkamah

Konstitusi.

RUU APP ini sama sekali tidak mengacu kepada peraturan

perundang-undangan terkait lainnya, seperti Undang-undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-undang Nomor 40 Tahun

1999 tentang Pers dan KUHP. Padahal keempat undang-undang ini

adalah undang-undang yang bersentuhan langsung dengan substansi

yang diatur dalam RUU APP ini.

Catatan kelima

DEWAN PERS mencatat bahwa sesuai dengan namanya, RUU

APP ini berjudul “ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI”. Jadi,

RUU APP hendak mengatur “ANTI PORNOGRAFI” dan “ANTI

PORNOAKSI”. ANTI berarti tidak setuju atau menolak. Padahal di

dalam materi batang tubuhnya yang diatur adalah “LARANGAN

PORNOGRAFI” dan “LARANGAN PORNOAKSI”. Oleh sebab  itu,

kalaupun harus ada undang-undang ini, sebaiknya judulnya diubah

menjadi RUU tentang LARANGAN PORNOGRAFI DAN

PORNOAKSI.

DEWAN PERS mencatat bahwa yang dimaksud dengan

pornografi dan pornoaksi dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 RUU

APP sebagai berikut: “PORNOGRAFI” adalah substansi dalam

media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan

gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/

atau erotika. Sedangkan Pasal 1 angka 2 mengatur bahwa yang

dimaksud dengan ‘PORNOAKSI” adalah perbuatan mengeksploitasi

| 201

seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum. Dengan

demikian bila rumusan ini dibaca bersamaan dengan judul RUU APP,

maka akan menjadi RUU tentang ANTI substansi dalam media atau

alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan

yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika dan

ANTI perbuatan mengekspoitasi seksual, kecabulan, dan/atau

erotika di muka umum. Ada sesuatu yang tidak nyambung dalam

rumusan ini, terutama pemahaman tentang pornografi.

DEWAN PERS mencatat bahwa rumusan ini menjadi sulit

dipahami saat  diajukan pertanyaan tentang apa yang dimaksud

dengan “MEDIA”. RUU APP sama sekali tidak menjawab apa yang

dimaksud dengan “MEDIA”, namun  mengatur tentang dua jenis me-

dia massa, yaitu (i) MEDIA MASSA CETAK dan (ii) MEDIA MASSA

ELEKTRONIK. Pasal 1 angka 3 merumuskan bahwa yang dimaksud

dengan MEDIA MASSA CETAK adalah alat atau sarana penyampaian

informasi dan pesan secara visual kepada warga  luas berupa

barang-barang cetakan massal antara lain buku, suratkabar, majalah

dan tabloid.  Pasal 1 angka 4 merumuskan bahwa yang dimaksud

dengan MEDIA MASSA ELEKTRONIK adalah alat atau sarana

penyampaian informasi dan pesan-pesan secara audio dan/atau vi-

sual kepada warga  luas antara lain berupa radio, televisi, film,

dan yang dipersamakan dengan film.

Rumusan ini, khususnya rumusan MEDIA MASSA jika

dihubungkan dengan judul RUU APP ini akan memicu  kerumitan

pemahaman, terutama sebab  rumusan ini sama sekali tidak

menyelaraskan pemahaman kepada UU Pers dan UU Penyiaran.

Sesungguhnya, khususnya untuk MEDIA MASSA CETAK, ada

perbedaan yang jelas dalam rangka pemahaman antara buku di

satu sisi dengan suratkabar, majalah dan tabloid di sisi lain. Untuk

yang disebutkan terakhir berlaku suatu kerja jurnalistik yang sarat

dengan etika dan profesi jurnalistik yang harus dihormati.  Tentang

hal ini semua sudah terang dan jelas diatur dalam UU Pers dan

Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).  Demikian halnya dengan

MEDIA MASSA ELEKTRONIK juga sudah terang dan jelas diatur

--


dalam UU Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar

Program Siaran (PPP/SPS). Yang belum tuntas adalah penegakan

hukumnya. Persoalan kita bukan persoalan undang-undang, namun 

persoalan penegakan undang-undang.

Catatan keenam

RUU APP menempatkan kata “EKSPLOITASI” sebagai kata

kunci. Pasal 1 angka 14 merumuskan bahwa yang dimaksud dengan

“EKSPLOITASI” adalah kegiatan memanfaatkan perbuatan pornoaksi

untuk tujuan mendapatkan keuntungan materi atau non materi bagi

dir i  sendir i  dan/atau orang lain. Dengan demikian kata

’EKSPLOITASI” digunakan untuk “ANTI PORNOAKSI”, itu berarti

tidak termasuk digunakan untuk “ANTI PORNOGRAFI”. Padahal,

dalam RUU APP setidaknya ada  31 buah ketentuan yang

mengatur tentang LARANGAN PORNOGRAFI dengan memakai 

rumusan kata kunci “EKSPLOITASI” (Pasal 4 sampai dengan Pasal

21).  Kerancuan ini memicu  kerancuan seluruh semangat

pengaturan larangan pornografi. Kerancuan ini terjadi mulai dari

memberi  pemaknaan judul, pengertian sampai ke pengaturannya,

sehingga jika rumusan seperti ini disahkan maka potensial

kegagalan pada penegakan hukumnya menjadi sangat dominan.

Catatan ketujuh

DEWAN PERS mencatat bahwa Pasal 2 RUU APP secara

tegas merumuskan ultimate goal RUU APP ini adalah pelarangan

terhadap perbuatan, penyebarluasan dan penggunaan

pornografi serta perbuatan dan penyelenggaraan pornoaksi.

Sedangkan di bagian judul RUU APP disebutkan ANTI PORNOGRAFI

DAN PORNOAKSI. Sesuai dengan catatan sebelumnya, sebaiknya

judul RUU APP diubah menjadi RUU LARANGAN PORNOGRAFI

DAN PORNOAKSI.  Dengan demikian rumusan Pasal 3 RUU APP

juga harus diubah dari “Anti pornografi dan pornoaksi bertujuan”

menjadi “Larangan pornografi dan pornoaksi bertujuan:”.

| 203

Catatan kedelapan

DEWAN PERS mencatat bahwa RUU APP belum menjawab

secara tegas apa sesungguhnya yang diatur dalam RUU APP

terutama tentang jawaban atas prinsip dasar pembuatan suatu

undang-undang tentang apa, siapa, bagaimana, dimana, kapan, dan

bagaimana pengaturan tentang anti pornografi dan pornoaksi,

sebagaiamana kalangan jurnalis selalu bertanya dalam menjalankan

kerja jurnalistiknya.

Prinsip dasar tentang alur berpikir materi muatan suatu undang-

undang haruslah jelas dan logis serta dapat ditegakkan. Seharusnya

RUU APP dimaksudkan untuk melindungi orang yang belum dewasa

atau anak-anaklah yang perlu dilindungi atas pornografi yang bernilai

negatif dan pornoaksi yang tidak pantas. Akan namun  DEWAN PERS

mencatat bahwa Pasal 3 butir b RUU APP merumuskannya sangat

luas bahkan sulit dipahami; “memberi  perlindungan, pembinaan,

dan pendidikan moral dan akhlak warga ”.

Catatan kesembilan

Dalam PERNYATAAN DEWAN PERS Nomor 13/PDP/X/2001

tanggal 11 Oktober 2001, telah disampaikan kepada warga 

dan juga anggota DPR yang terhormat tentang bagaimana pandangan

DEWAN PERS tentang PORNOGRAFI DALAM PERS.  (lihat

Lampiran).

DEWAN PERS mencatat dan berpendapat bahwa pornografi

dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu;

(i) hardcore pornography atau pornografi berkategori obscene yakni

berhubungan dengan seks atau melakukan aktivitas yang

mengarah pada hubungan seks (1) dengan pasangan sejenis,

(2) dengan anak-anak (pedophilia), (3) dengan kekerasan, (4)

dengan orang-orang yang telah mati, dan (5) dengan hewan.

(ii) softcore pornography yakni aktivitas pornografi di luar hal-hal

yang disebut di atas.

--

204 |  -

Jenis pornografi yang pertama adalah kriminal dan harus dapat

diancam pidana penjara dengan hukuman berat dan denda besar.

Dengan konsep pemikiran dasar seperti ini, maka:

(i)  semua pihak harus dilindungi dari hardcore pornography;

(ii) anak-anak harus dilindungi dari softcore pornography;

(iii) segmen warga  dewasa dan orang tua, khususnya kelompok

“perjuangan hidup; berjuang baru hidup”, memerlukan softcore

pornography.

Dengan pokok pikiran yang demikian, DEWAN PERS

mencatat bahwa harus dibedakan secara tegas jenis pornografi itu.

Dalam pengaturan pengecualian dengan mekanisme perizianan

dalam RUU APP yang dirumuskan dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal

36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39,  konsep pemikiran di atas

dapat diatur dan dirumuskan secara tegas. Artinya, untuk kategori

(iii) yakni segmen warga  dewasa dan orang tua, khususnya

kelompok “perjuangan hidup; berjuang baru hidup”, ketentuan RUU

APP ini dikecualikan juga.

Catatan kesepuluh

DEWAN PERS mencatat dan berpendapat bahwa, pornografi

sama sekali tidak termasuk dalam kategori pers. Sebab, Pasal 1

angka 1 UU Pers sudah secara tegas mengatur tentang apa yang

dimaksud dengan PERS, yakni lembaga sosial dan wahana

komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik

meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,

dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara,

gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam

bentuk lainnya dengan memakai  media cetak, media

elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Bila dielaborasi

lebih rinci, maka rumusan Pers yang dimaksudkan UU Pers memiliki

karakter sebagai berikut:

| 205

1.  ia merupakan lembaga sosial dan komunikasi massa;

2.   yang hanya melaksanakan kegiatan jurnalistik, yang meliputi

mencari;

memperoleh;

memiliki;

menyimpan;

mengolah; dan

menyampaikan informasi;

baik dalam bentuk tulisan;

dalam bentuk suara;

dalam bentuk gambar;

dalam bentuk suara dan gambar;

dalam bentuk data dan grafik;

maupun dalam bentuk lainnya

3.  dengan memakai  media cetak;

4.  dengan memakai   media elektronik; dan

5.  dengan memakai  segala jenis saluran yang tersedia.

Dengan demikian, cukup terang dan jelas, bahwa yang

dimaksudkan dengan Pers dalam UU Pers hanyalah terbatas dan

sangat khusus, yaitu pada “pelaksanaan kegiatan jurnalistik”.

Di luar “pelaksanaan kegiatan jurnalistik” sama sekali memang tidak

diatur. Artinya, UU Pers hanya menetapkan dan mengatur tentang

salah satu dari begitu banyak aspek tentang Pers, yakni

“pelaksanaan kegiatan jurnalistik”.

Oleh sebab  itu, rumusan Pasal 1 angka 1 RUU APP yang serta

merta mengkategorikan makna “PORNOGRAFI” sebagai substansi

dalam MEDIA atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan

gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan dan/atau

erotika sangat berlebihan dan bertentangan dengan spirit UU Pers.

Apalagi kemudian Pasal 1 angka 3 RUU APP serta merta pula

--


merumuskan bahwa suratkabar, majalah dan tabloid adalah media

massa. Jika kedua rumusan ini dibaca berbarengan, maka RUU APP

ini dapat menabrak spirit UU Pers.  Haruslah dibedakan secara tegas

bahwa persoalan produk pers sebagaimana diatur dalam UU Pers

adalah produk jurnalistik. Manakala produk jurnalistik itu melanggar

prinsip-prinsip jurnalistik telah tersedia UU Pers. Bilamana produk

pers itu tidak dapat dikategorikan sebagai produk jurnalistik, maka

UU Pers tidak dapat dikenakan.

Pers memberitakan dan menyebarluaskan informasi yang

berkaitan dengan wilayah kepentingan publik; suatu yang bermakna

bagi perikehidupan umat manusia. Sedangkan pornografi dan

kecabulan terkait dengan wilayah privat (personal).  Oleh sebab 

itu, permasalahan pornografi adalah permasalahan distribusi; (i)

distribusi kepada yang tidak berhak dan tidak pantas, dan (ii)

distribusi di tempat yang tidak pantas dan tidak layak.  Untuk

mengatasi permasalahan ini bukanlah pada pengaturan dan

pelarangan di tingkat HULU sebab  akan berpotensi melanggar Pasal

28F UUD 1945, namun  diperlukan pengaturan di tingkat HILIR, yakni

pengaturan DISTRIBUSI.

Dengan konsep yang demikian, maka konsep pengecualian

dengan mekanisme perizinan sebagaimana dimaksudkan dalam

Pasal 38 dan Pasal 39  RUU APP menjadi relevan.

Catatan kesebelas

DEWAN PERS menyampaikan dan menginformasikan bahwa

sejak 23 September 1999 dengan lahirnya Undang-undang Nomor

40 Tahun 1999 tentang Pers, mekanisme penyelesaian

permasalahan pemberitaan yang berkenaan dengan kecabulan

sudah tersedia, yakni batir keempat KEWI, sebagai berikut:

Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta,

fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebut identitas korban

kejahatan susila. Penafsirannya, Wartawan Indonesia tidak

melaporkan dan menyiarkan informasi yang tidak jelas sumber dan

| 207

kebenarannya, rumor atau tuduhan tanpa dasaar yang bersifat

sepihak. Informasi yang secara gamblang memperlihatkan aurat

yang bisa memicu  nafsu birahi atau mengundang kontroversi

publik. Untuk kasus tindak perkosaan/pelecehan seksual, tidak

menyebutkan identitas korban, untuk menjaga dan melindungi

kehormatan korban.

Catatan keduabelas

Demikian catatan DEWAN PERS atas RUU APP dalam Rapat

Dengar Pendapat Umum dengan Pansus RUU APP. Semoga

memberi  manfaat bagi usaha  menyempurnakan RUU APP menuju

hasil terbaik, tanpa harus bertabrakan dengan UU Pers, UU

Penyiaran dan bahkan tidak keluar dari amanah Pasal 28F UUD

1945 sebagai hak asasi manusia paling hakiki yang berbunyi Setiap

orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi

untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta

berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

mengolah, dan menyampaikan informasi dengan memakai 

segala jenis saluran yang tersedia.

Jakarta, 16 November 2005

DEWAN PERS

--

208 |  -

Dukung RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi

(RUU APP)

RUU APP BUKAN untuk menyeragamkan budaya, BUKAN

untuk menyeragamkan dalam berpakaian, BUKAN untuk

memaksakan aturan suatu agama.

RUU APP dapat mengangkat suatu kaum/suku yang masih

berpakaian / pola hidup

yang tertinggal, dan BUKAN untuk menangkapnya. Kenapa?

sebab  mereka bukan dengan sengaja mempertontonkannya. Tapi

ini merupakan tugas kita untuk menjadikan mereka lebih beradab

dalam era globalisasi ini.

RUU APP ini justru untuk mendefinisikan Pornografi dan

Pornoaksi, sebab  TIDAK ADA satupun UU yang jelas mendefinisikan

pornografi. RUU APP ini hanya meminta warga negaranya berpakaian

secara sopan, TIDAK untuk memancing birahi lawan jenisnya (baik

laki-laki dan perempuan), TIDAK ada pemaksaan untuk berpakaian

model Islami/Arab/Taliban.

RUU APP melindungi kaum perempuan Indonesia dari pihak-

pihak yang justru merendahkan kaum perempuan dengan dijadikan

objek yang laku dijual demi kaum laki-laki hidung belang. RUU APP

melindungi moral anak-anak kita dari bahaya pornografi

demi membangun masa depan bangsa dengan keilmuannya

bukan dengan mempertontonkan tubuhnya atau bahkan melacurkan

dirinya.

Janganlah kalian EGOIS sebab  saat ini kalian dapat menikmati

keindahan tubuh perempuan. Janganlah kalian EGOIS sebab  saat

ini banyak job order  untuk tampil  dan terkenal dengan

mempertontonkan tubuh kalian. Janganlah kalian mengeruk profit

dari mempertontonkan tubuh perempuan yang justru menghinakan/

merendahkan kaum perempuan.


Lihatlah masa depan bangsa. Lihatlah masa depan anak-anak

bangsa yang masih lucu,

lugu dan mereka sedang giat belajar. Jangan ganggu dan usik

mereka oleh media pornografi. Jangan hinakan harga diri mereka

sebab   ibunya/ayahnya mempertontonkan keindahan tubuhnya.

Selamatkan anak-anak kita dari bahaya pornografi!

Sumber: blog pendukung RUU APP.


Akhir-akhir ini kebebasan ekspresi di Indonesia melangkah

mundur, ditandai dengan pemenjaraan beberapa wartawan dan

penulis opini. Contoh terakhir menimpa Bersihar Lubis. Pengadilan

Negeri Depok, Jawa Barat, pada Rabu, 20 Februari 2008, menghukum

Bersihar satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan. Ia

dianggap menghina Kejaksaan Agung, melanggar Pasal 207 KUHP

melalui artikel atau opini yang dimuat harian Koran Tempo pada

Maret 2007.

Kebebasan berekspresi merupakan salah satu penyangga

demokrasi. Tanpa kebebasan berekspresi, demokratisasi yang

sedang dibangun bangsa ini tidak akan menemui keberuntungan.

Seperti apa usaha  yang bisa dilakukan untuk menghalangi langkah

mundur kebebasan berekspresi ini?

Berikut perbincangan dengan Anggota Dewan Pers, Bambang

Harymurti.



Wartawan senior Bersihar Lubis yang menulis artikel berjudul

“Kisah Interogator Dungu” di Koran Tempo edisi 17 Maret 2007

dituntut ke pengadilan. Hakim memutus: ia bersalah. Apa makna

putusan ini?

Satu hal yang memicu  pertanyaan, apakah Kejaksaan tahu In-

donesia sudah merdeka pada 17 Agustus 1945? Pasal-pasal haatzaai

artikelen di dalam KUHP yang dikenakan kepada Bersihar—dilihat dari

memorie van toelichting atau penyusunannya oleh Parlemen Belanda 100

tahun lalu—ditolak oleh kelompok liberal saat diberlakukan di Belanda.

Pasal itu, menurut mereka, tidak bisa diberlakukan. Akhirnya tercapai

kompromi pasal-pasal itu hanya diberlakukan di daerah jajahan, tidak

berlaku di negara merdeka seperti Belanda.

Kemudian terbukti, pada 1920-an Bung Karno (Soekarno) terkena

pasal ini di Indonesia. Bung Hatta juga terkena saat  menjadi mahasiswa

di Belanda. Di Indonesia, Bung Karno terkena vonis empat tahun penjara,

sedangkan Bung Hatta di Belanda bebas. Hakim menyatakan, pasal-pasal

ini  hanya berlaku di negara jajahan.

Sekarang, pasal yang berlaku di negara jajahan Belanda itu diterapkan

jaksa dan hakim di negara Indonesia merdeka. Jadi, mungkin hakim dan

jaksa masih merasa Indonesia ini negara jajahan.

Sudahkah sejauh itu para pejabat merasa merdeka kemudian

berpikir yang dijajah adalah rakyat?

Saya justru khawatir tidak hanya mereka merasa ini negara jajahan,

tapi saya merasa mereka lebih hebat dari Presiden dan Wakil Presiden

yang dipilih oleh lebih dari 100 juta rakyat Indonesia. sebab  apa? Menurut

Konstitusi, pasal tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil

Presiden, sebagai pejabat negara, sudah dicabut oleh Mahkamah

Konstitusi. Sedangkan dalam kasus Bersihar, pasal mengenai penghinaan

terhadap institusi Kejaksaan masih berlaku. Hebat sekali jaksa, lebih hebat

dari lembaga kepresidenan dan wapres.


Apa makna dari keputusan terhadap Bersihar terkait kebebasan

pers dan kebebasan berekspresi? Kenapa masih ada aparat penegak

hukum yang berpikiran untuk menggugat sebab  kritik?

Secara bercanda saya sampaikan ke Bung Bersihar ”jangan-jangan

anda harus dihukum bukan sebab  pasal penghinaan, namun  membocorkan

rahasia negara.” Jaksa tidak melihat bahwa kita bukan di masa Orde Baru

lagi. Mungkin dulu mereka memperoleh pendidikan di zaman Orde Baru,

hakimnya juga di zaman Orde Baru. Mereka lupa sekarang sudah reformasi

dan kita ingin mengoreksi hal-hal yang keliru di masa Orde Baru. Tapi,

mereka belum menyadari itu. Kita berharap di pengadilan yang lebih tinggi

nanti isi putusan terhadap Bersihar bisa dikoreksi.

Kita berharap di dalam pendidikan kejaksaan dan kehakiman, ada

sejenis  reformasi bahwa ada pasal-pasal di dalam undang-undang yang

tidak sesuai lagi dengan Konstitusi dan kehidupan berwarga . Tolong

pasal-pasal itu jangan digunakan lagi.

Di Medan ada vonis satu tahun penjara terhadap Dahri Uhum

Nasution, wartawan tabloid Oposisi,  berdasar putusan

Mahkamah Agung Sebelumnya wartawan Risang Bima Wijaya

dihukum enam bulan. Artinya, ada persepsi yang belum selesai

mengenai pentingnya kemerdekaan pers?

Kasus Bung Dahri Uhum Nasution terjadi tahun 1999. Mungkin kita

masih berpikir itu zaman transisi. Tapi, ternyata Mahkamah Agung terkena

juga. Mudah-mudahan ini kealpaan saja.

Kasus Bung Risang cukup menyedihkan, sebab  yang melaporkannya

pemilik koran di Yogyakarta. Dewan Pers sudah mengirim saksi ahli dan

memohonkan Peninjauan Kembali (PK). Mudah-mudahan sidang PK

segera dapat memutus, sehingga sebelum Hari Pers Sedunia, 3 Mei, sudah

tidak ada lagi wartawan yang dipenjara sebab  pemberitaan. Sebab, kalau

tidak bebas, kita malu sekali. Akan dicatat di seluruh dunia negara mana

saja yang wartawannya masih dipenjara sebab  berita. Kita punya dua

kasus (Risang Bima Wijaya dan Dahri Uhum), bahkan bisa tiga kasus

kalau bung Bersihar Lubis juga dipenjara.

--


Kita merasa malu, tapi apakah pejabat juga merasa malu?

Ada beberapa alasan yang seharusnya membuat mereka (pejabat)

malu. Pertama, tahun 2005 Indonesia sudah meratifikasi Kovenan

Internasional tentang hak-hak sipil dan politik melalui UU No.12/2005.

Sebetulnya, ratifikasi itu membuat wartawan tidak bisa dipenjara sebab 

beritanya–lain kalau memeras, silakan dipenjara.

Di wilayah Asean, Indonesia termasuk pendukung berdirinya

pengadilan hak asasi regional. Di manapun di dunia ini, pasti pengadilan

hak asasi manusia tidak memperbolehkan ada orang dipenjara hanya

sebab  berita atau ucapannya. Artinya, kondisi Indonesia saat ini tidak

konsisten, sebab  ada unsur pemerintah yang reformis dan ada yang belum.

Mahkamah Agung telah membuat putusan yang baik bahwa

penanganan kasus berita pers mendahulukan UU Pers kemudian baru UU

yang lain. Itu yang dialami Tempo dan beberapa media belakangan. Putusan

ini tepat, sebab  kalau hakim mengikuti doktrin internasional yang universal

mengenai hukum, harusnya penerapan pidana adalah ultimum remedium

atau jalan terakhir. Kalau ada jalan lain, seperti perdata atau Hak Jawab,

harusnya pilihan itu ditempuh lebih dulu, tidak langsung hukuman penjara.

Seberapa penting kebebasan pers untuk membangun

demokrasi?

Penting sekali, sebab  kebebasan pers adalah anak kandung

kebebasan berekspresi. Tanpa kebebasan berekspresi tidak mungkin ada

Di wilayah Asean, Indonesia termasuk pendukung

berdirinya pengadilan hak asasi regional.

Di manapun di dunia ini,

pasti pengadilan hak asasi manusia tidak memperbolehkan

ada orang dipenjara hanya sebab  berita atau ucapannya.

“”


demokrasi. Demokrasi intinya: setiap warga punya hak untuk turut

menentukan segala hal menyangkut kepentingan warga  banyak.

Untuk mengambil keputusan tanpa informasi yang tepat, tidak mungkin.

Orang super jenius pun kalau diminta membuat keputusan dengan informasi

yang keliru, keputusannya akan keliru juga. Apalagi warga  biasa.

sebab  itu, penting dalam demokrasi setiap warga mendapatkan akses

pada informasi yang tepat yang kemungkinan paling besar bisa tercapai

kalau alur informasi bebas, sehingga tidak ada yang disembunyikan.

Kebebasan berekspresi, kata pemenang Nobel Amartya Sen, seperti

oksigen bagi demokrasi. Seperti oksigen dalam kehidupan: tanpa oksigen,

demokrasi akan mati. Tanpa kebebasan berekspresi, demokrasi tidak bisa

hidup.

Kekerasan terhadap wartawan terus terulang. Apakah peringkat

kebebasan pers Indonesia bisa menurun?

Berpotensi menurunkan peringkat kebebasan pers Indonesia, kecuali

ada perbaikan segera. Kita berjuang keras susaha  ketiga wartawan (Dahri

Uhum Nasution, Risang Bima Wijaya, Bersihar Lubis) bisa bebas

secepatnya. Susaha  di hari pers internasional, 3 Mei nanti, kita bisa bangga

mengatakan: di Indonesia tidak ada wartawan dipenjara sebab  tulisannya.

Kita sudah menjalankan konstitusi secara benar. Hal ini harus kita dorong

terus, tanpa itu, demokrasi kita demokrasi palsu.

Kebebasan berekspresi, kata pemenang Nobel

Amartya Sen, seperti oksigen bagi demokrasi.

Seperti oksigen dalam kehidupan:

tanpa oksigen, demokrasi akan mati.

Tanpa kebebasan berekspresi,

demokrasi tidak bisa hidup.

“”

--


Apa usaha  yang dilakukan Dewan Pers?

Dewan Pers sudah meminta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers

untuk membantu mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan mengirimkan

saksi ahli. Dewan Pers juga telah menulis surat kepada MA dan lembaga

penegak hukum lainnya. Dewan Pers juga mengajak warga  pers

untuk melayangkan protes. Mudah-mudahan ini punya arti.

Kita bukan mengatakan wartawan kebal hukum. Wartawan kalau

melakukan tindak pidana, silakan dipenjara. Tapi, siapapun orangnya,

wartawan atau bukan, yang hanya menyampaikan pendapatnya sesuai

hak konstitusionalnya, tidak bisa dipidana. sebab  itu, kita mendorong

Bung Bersihar Lubis dan pengacaranya untuk membawa kasus ini ke

Mahkamah Konstitusi. Kita harus membuat jaksa dan hakim manut pada

Konstitusi.

Sudahkah Dewan Pers mendekati hakim, jaksa, dan polisi,

susaha  pandangan mengenai kemerdekaan pers bisa satu visi?

Apalagi di masa transisi ini, ada pejabat yang ”telinganya tipis”,

lebih suka langsung melapor ke polisi.

Sudah ada pertemuan dengan Kapolri dan sudah ada kesepakatan

akan dibuat MOU (Nota Kesepahaman) tentang bagaimana polisi memeriksa

kasus-kasus yang terkait dengan pers. Saat ini prosesnya masih dalam

level teknis untuk menyusun nota kesepahaman. Semoga nanti bisa dicapai

kesepakatan yang mendukung kemerdekaan pers, sebab  memang menjadi

tugas Dewan Pers untuk menjaga kemerdekaan pers.

Dari Kepolisian ada beberapa kabar menggembirakan. Misalnya,

radiogram Kepala Reserse Ekonomi ke semua Polda di Indonesia yang

cukup tegas. Radiogram itu menyebutkan kalau ada laporan pencemaran

nama baik mengenai dugaan korupsi, maka polisi harus mendahulukan

dugaan korupsinya ketimbang pencemaran nama baiknya. Itu satu

kemajuan.

Dewan Pers sedang merancang usaha  yang sama dengan Kejaksaan

Agung. Mudah-mudahan bisa cepat terselesaikan. Dengan MA juga

demikian. Keinginannya, Dewan Pers dapat membantu pendidikan

kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman susaha  mereka diingkatkan bahwa

kemerdekaan pers merupakan bagian dari kemerdekaan Indonesia.

Seperti apa umumnya pengetahuan penyidik tentang UU Pers

saat menangani perkara pers?

Problemnya, umumnya polisi hanya dilatih dengan KUHP. Apalagi

polisi di daerah. Mereka kurang paham UU Pers. Pokoknya UU diluar

KUHP mereka kurang paham, termasuk UU Lingkungan. Oleh sebab  itu,

Dewan Pers sudah mengajukan ke kepolisian susaha  ada materi di dalam

pendidikan kepolisian, terutama penyidik, mengenai UU Pers sebagai UU

yang juga harus digunakan, terutama terkait pengaduan terhadap pers.

Telepon

Mudjid (Banjarmasin): Kebebasan pers sekarang sangat

bagus. Hanya saja pemimpin tidak mau dikritik. Maunya dia yang

benar. Di Indonesia, cari orang yang mau dikritik itu susah. Padahal

kritiknya untuk membangun bangsa Indonesia. Saya berharap para

pemimpin mau dikritik.

Peris Mirdajaya (Bekasi): Lagi-lagi saya mencurigai ada

konspirasi untuk membelenggu kembali kebebasan pers di negeri

ini. Di dalam hukum ada asas lex specialist derogat legi generali:

aturan hukum yang bersifat umum dapat dikesampingkan oleh

aturan yang bersifat khusus. Lagi-lagi asas ini tidak digunakan oleh

lembaga yudikatif untuk menyikapi kasus-kasus jurnalistik di negeri

ini. Saya khawatir, dengan kasus Bersihar Lubis dan lainnya, ada

gerakan dari penguasa untuk secara perlahan membatasi kebebasan

jurnalis. Patut diwaspadai, sekalipun Bersihar Lubis mendapat

hukuman percobaan, tapi keputusannya dia bersalah. Harus betul-

betul diperjuangkan dengan kemampuan yang ada, susaha  dia

dinyatakan tidak bersalah.

--


Jon (Flores): Di Flores, pejabat menyuruh orang memukul

wartawan. Kasus sejenis  ini terus terjadi. Kita lihat lagi di televisi,

di Makassar polisi menyerang wartawan. Kadang-kadang jaksa juga

terlalu over acting. Mereka diduga banyak menerima sogok. Kadang-

kadang pol isi  membuat berkas sudah benar, tapi jaksa

menggembalikan lagi. Jadi, jaksa itu menguasai semua.

Pemimpin yang benar tidak takut kritik. Saya ingat Gubernur Jakarta

dulu, Ali Sadikin–mungkin gubernur paling sukses sampai saat ini. Dia

selalu mengundang untuk dikritik dan tidak pernah takut dikritik. Bahkan

dia memberi penghargaan kepada wartawan yang kritiknya paling baik.

Dia mengatakan dalam bukunya, justru dengan kritik-kritik itulah dia bisa

berprestasi. Pemimpin yang benar tidak takut pada kritik.

Saya juga harus memberi  apresiasi kepada Presiden SBY dan

Wakil Presiden Jusuf Kalla–sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama

yang dipilih langsung oleh rakyat. Mereka tidak terlalu takut terhadap kritik

dibandingkan dengan pejabat-pejabat yang jauh di bawahnya, seperti jaksa

itu (kasus Bersihar Lubis). Contohnya, saat  ada masalah dengan koran

Rakyat Merdeka dan Kompas, mereka mengadu ke Dewan Pers.

Bayangkan, Presiden dan Wakil Presiden saja kalau ada masalah dengan

pers menyelesaikannya dengan UU Pers. Masak jaksa, bupati, gubernur

takut dikritik. Mungkin sebab  kritiknya benar, mereka jadi takut.

Kalau ada pemimpin marah sebab  dikritik, kita harus curiga. Dia

bukan pemimpin yang benar. Pemimpin yang benar akan tenang

menghadapi kiritk. Dia anggap sebagai masukan. Dia akan berikan jawaban

apakah kritik itu berdasar informasi yang benar atau keliru. Ia akan

meluruskan kritik itu.

Mudah-mudahan konspirasi untuk membelenggu kembali kebebasan

pers tidak ada. Saya mengatakan kepada jaksa, polisi atau ahli hukum:

kalau pun mereka tidak menganggap UU Pers sebagai lex specialis derogat

legi generali, paling tidak mereka bisa menghormati Pasal 50 KUHP yang

menyebutkan ”barang siapa menjalankan amanat UU tidak dapat dipidana.”

Amanat dari UU untuk wartawan jelas, antara lain, harus menjalankan

kritik dan kontrol sosial. Apakah mungkin menjalankan kritik dan kontrol

sosial tanpa mengambil risiko menyingung perasaan orang atau merasa

nama baiknya dicemarkan? Kalau jaksa dan hakim memakai  KUHP,

mereka juga harus menghormati Pasal 50 KUHP. Selama kritik wartawan

yang memicu  ada orang merasa dicemarkan nama baiknya itu dalam

rangka menjalankan amanat UU Pers, wartawan harus dilindungi, tidak

boleh dipenjara.

Kalau ada pejabat memukul wartawan, minta kepada polisi jangan

hanya dikenakan pasal penganiayaan atau pasal perbuatan tidak

menyenangkan, tapi gunakan juga UU Pers yang menyatakan ”barang

siapa menghalangi kemerdekaan pers bisa dipidana dua tahun penjara

dan pidana denda Rp 500 juta.”

Kalau persnya bebas—sudah dibuktikan melalui berbagai penelitian

termasuk oleh Bank Dunia—sogok menyogok menurun drastis.

Dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat

atau negara-negara di Eropa, bagaimana kondisi pers Indonesia?

Di negara-negara Uni Eropa atau anggota Council Europa seperti

Norwegia, mereka mengakui wewenang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Eropa. Jelas sekali pengadilan hak asasi di Eropa menyatakan, orang

tidak boleh dipenjara sebab  menyatakan pendapat. Orang tidak bisa

dihukum sebab  pendapatnya, sebab  pendapat itu dianggap hak asasi

manusia.

Di Amerika Latin juga ada pengadilan hak asasi manusia regional

(Regional Human Rights Court). Ada teman saya orang Kostarika, dia

”mencoba” hukum Kostarika peninggalan hukum kolonial. Kemudian band-

ing ke pengadilan regional. Dia dibebaskan. Bahkan Afrika pun sekarang

sudah punya pengadilan hak asasi manusia). Jangan-jangan, kalau kita

tidak terbebas dari persoalan ini, dalam 10 tahun lagi anak cucu kita akan

bilang negara kita tertinggal dari Afrika.

Kalau kebebasan berekspresi tertahan, pembangunan ekonomi

terhambat. sebab  itu, sekarang di China keluar UU baru bahwa orang

berhak mengutarakan pendapatnya–sebab  China akan mengadakan

--


Olimpiade. China tahu, kalau soal kebebasan ini tidak ada perubahan,

perkembangan ekonominya bisa bermasalah.

Di Amerika Serikat tidak ada masalah dengan kebebasan berekspresi,

sebab  ada Amandemen Pertama (First Amendment) yang menjamin.

Bahkan di Amerika sedikit ekstrim, sebab  yang disebut ”pernyataan

penghasutan”-pun dilindungi oleh Konstitusi. Kenyataannya Amerika tidak

hancur, justru menjadi negara kuat.

Di Amerika, kalau pun ada kasus pencemaran nama baik, sifatnya

perdata. Itu pun harus benar-benar ada pembuktian. Beban pembuktian

diberikan kepada orang yang merasa dicemarkan, bukan kepada orang

yang dituduh mencemarkan. sebab  itu, biasanya orang akan hati-hati

melakukan tuntutan, sebab  biaya untuk pembuktian mahal.

Telepon

Hendri (Jambi): Saya setuju beberapa pendapat dari

pendengar. Seperti pendengar dari Banjarmasin tadi mengatakan

banyak pejabat yang tidak mau dikritik alias telinga tipis. Apakah

bapak menjamin setelah Hari Kemerdekaan Pers Sedunia nanti tidak

ada wartawan ditangkap? Apa kata dunia?

Saya suka dengan kutipan bapak tadi. Kalau pada Hari Kemerdekaan

Pers Sedunia nanti masih ada wartawan kita dipenjara, apa kata dunia?

Kita ingin negara ini lebih baik.

Dalam tiga tahun terakhir, sebenarnya kemerdekaan pers kita

membaik. Dari peringkat ke-117 meningkat ke-105, kemudian ke-103 dan

tahun lalu ke-100. Trennya membaik walaupun membaiknya masih terlalu

pelan. Artinya, masih ada 99 negara yang persnya lebih baik dan lebih

bebas dari Indonesia dan hanya 69 negara yang persnya tidak lebih merdeka

dibanding Indonesia.

Kita pernah memiliki kebebasan pers yang peringkatnya lebih baik.

Pada saat peralihan kekuasaan dari Presiden Habibie ke Presiden Gus

Dur, peringkat Indonesia pernah 57. Kita pernah terbebas di Asia. Sekarang,

Timor Leste bisa lebih baik dari kita. Meskipun di sana masih digunakan

KUHP, tapi konstitusinya tegas menyatakan tidak boleh wartawan dipenjara

sebab  pemberitaan dan orang dipenjara sebab  pendapatnya. Kalau

Belanda yang pernah menjajah Indonesia kondisinya lebih baik dari kita,

orang masih akan bilang oke. Tapi, kalau Timor Leste sekarang kondisinya

lebih bagus dari Indonesia, apa kata dunia?

Telepon

Yadi (Jakarta): Saya setuju dengan kebebasan pers yang

diatur UU. Hanya saja, bagaimana bila wartawan membuat berita

dengan cara menekan. Misalnya, meminta ongkos kepada orang

yang dimintai klarifikasi. Apa yang harus kita lakukan? Ada teman

saya ditanya sesuatu oleh wartawan dari koran yang ”menakutkan”,

dari koran KPK.

Koran KPK juga pernah dilaporkan ke Dewan Pers. Saya

mengusulkan, sebaiknya dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) agar dijebak kalau mereka melakukan pemerasan. Mereka bisa

ditangkap. Dewan Pers mendukung ”wartawan” itu dihukum berdasar pasal

pemerasan.

Kalau ”wartawan” meminta ongkos, ditolak saja. Itu namanya

pemerasan. Malah jangan hanya menolak, pura-pura saja mau lapor ke

KPK, kita jebak rame-rame, kita penjara. Orang seperti itu layak dihukum.

SMS

Ardi (Jakarta): Pers memang harus bebas tapi harus juga

bertanggung jawab. Sering pers tidak bertanggung jawab.

Tato (NTT): Kita harus berani berekspresi, kalau perlu digalang

dari Sabang sampai Merauke, kita turun.

Dadang (Jakarta): Mental inlander sekaligus inferior masih

membutuhkan puluhan tahun lagi untuk berkurang. Kita sewa saja

jaksa dari Belanda yang katanya disiplin.

--


Budi (Jambi): Apakah pembuatan karikatur Nabi Muhammad

yang dimuat di media Swedia termasuk kebebasan pers?

Safrudin (Kalimantan Tengah): Saya bekerja sebagai aparat.

Kadang-kadang pemberitaan tentang aparat memojokkan, tanpa

menjelaskan proses kenapa kasusnya terjadi.

Markewot (Cibubur): Kenapa soal ”interogator yang dungu”

lebih tepat disebut ”pembocoran rahasia negara”?

Soal ”pembocoran rahasia negara” tadi, saya sampaikan dalam nada

bercanda. Disebutkan ”interogator yang dungu” sebab  buktinya

memakai  pasal-pasal dari negara jajahan, seolah-olah merasa paling

dijajah. Atau dia tidak memahami kalau Indonesia sudah merdeka. Kalau

dilihat artinya, ”dungu” itu berarti ”otaknya tumpul”. Dalam kasus ini bisa

diartikan ”pura-pura otak tumpul”. Hal ini perlu dijelaskan oleh institusi

kejaksaan. Ada apa dengan jaksa ini? Setahu saya, sesuai UU, jaksa itu

sikapnya satu. saat  ditanya ke Jaksa Agung, katanya ia tidak tahu

menahu, padahal Kejaksaan harus satu. Ini menunjukkan ada masalah.

Mengenai kartun nabi, kalau dilihat dari kode etik secara universal,

pasti wartawan yang profesional tidak akan memuatnya. Buktinya, di

Amerika tidak ada media yang memuatnya. Padahal pers Amerika sangat

bebas dan dilindungi oleh First Amendment.

Soal kartun nabi harus dilihat konteksnya. Awalnya hanya dimuat di

koran kecil. Kasusnya menjadi lain saat  ada imam-imam di sana

mengadu, kemudian ada yang mempolitisir, muncul ancaman-ancaman.

Justru sebab  ancaman-ancaman itu akhirnya koran Eropa, yang awalnya

tidak berurusan, merasa harus bersikap sebab  tidak mau ditakut-takuti.

Terbukti, ada yang mencoba lagi memuat kartun nabi di Swedia dan tidak

ada yang menanggapi, akhirnya selesai.

Wartawan jelas harus bertanggung jawab. Kode etiknya ada. Dewan

Pers sendiri sudah menerima banyak pengaduan. Cukup banyak media

yang dinyatakan bersalah dan harus minta maaf, membuat hak jawab dan

lain sebagainya. Umumnya media yang lalai itu mau mengoreksi

kesalahannya dan kasusnya selesai.

Wawancara Melalui Telepon Dengan Bersihar

Lubis:

Apa komentar terhadap putusan Pengadilan Depok yang

memutus bersalah Bang Bersihar Lubis sebab  menulis opini?

Saya kira majelis hakimnya konservatif. Masih berpedoman

pada KUHP dan menafikan sama sekali UU Pers. Berhadapan

dengan hakim seperti itu susah. Pandangan-pandangannya

menggambarkan masa lalu.Rencana berikutnya, yang paling mungkin

yaitu melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Seperti banyak ditulis oleh media, seperti Tempo, sudah jelas

masalahnya bahwa penghinaan kepada presiden dan wakil presiden

telah dicabut oleh MK, konon pula institusi di bawahnya.

Apakah ada rencana banding?

Sedang kita pikirkan, walaupun kemarin kita cetuskan bersama

kuasa hukum dari LBH Pers. Ada pertanyaan, bagaimana sistem

peradilan banding? Apakah hakim kasasi berpikiran baru atau masih

mengidap pikiran lama? Sebab memercayakan diri kita kepada hakim

dengan pikiran lama pasti berseberangan dengan tantangan zaman.

Itulah yang ditimbang-timbang pada beberapa hari terakhir.

Banding diperlukan agar kasusnya tidak berkekuatan

hukum tetap.

Mestinya di tingkat banding bisa selesai. Tapi, kalau ketemu

dengan hakim yang berparadigma lama, bisa susah.

Apakah tidak jera berekspresi?

BL: Tidak. Pekerjaan saya memang menulis. Saya tidak ada

pengalaman dalam bisnis.

Bambang: Tugas kita untuk meluruskan ”hakim yang bengkok.” Kalau

Bang Bersihar melakukan banding, teman-teman pers perlu diberi tahu,

susaha  turut hadir memberi dukungan, susaha  bisa membantu

mengingatkan kepada hakim tinggi bahwa Indonesia sudah merdeka.

--

Ada SMS dari pendengar yang mengatakan, jangan sering

dikritik tapi beri solusi?

Solusi itu baik tapi tidak semua orang punya kemampuan untuk

memberi  solusi. Minimal dia bisa memberi  kritik dan itu harus dihargai.

Sejauhmana batasan kebebasan dan moralitas dalam pers?

Justru moral bisa teruji pada saat suasana bebas. Kalau orang

berbuat baik sebab  takut, sebab  kalau jahat dia dipukul atau dipenjara,

berarti moralnya belum teruji. Orang yang moralnya baik, yaitu meskipun

tidak ada ancaman hukuman dan dalam suasana bebas, dia tetap bermoral.

Dia bermoral sebab  yakin itu yang baik, bukan sebab  takut dihukum. Itu

yang lebih penting.

Kita ingin orang Indonesia menjadi baik bukan sebab  takut dihukum.

Kita perlu bangsa Indonesia yang baik secara moral sehingga dalam

suasana yang sangat bebas pun dia bermoral.

Mohon maaf kalau dalam perbincangan ini ada yang tersinggung. Ini

semuanya demi mencerdaskan bangsa, membebaskan dari kedunguan.

™™™


Kejaksaan Akan Evaluasi Kasus Bersihar Lubis

Rabu, 05 Maret 2008 | 22:58 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Jaksa Agung Hendarman Supandji

mengakui perlunya evaluasi dalam kasus Bersihar Lubis. “Saya kira

perlu (evaluasi), apakah pers bisa dipersalahkan dalam setiap

tulisannya,” katanya di depan rapat kerja dengan Komisi Hukum

DPR, Rabu malam (5|3).

Bulan lalu, Besihar Lubis divonis satu bulan penjara di

Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, dan dipersalahkan sebab 

dianggap menghina instansi kejaksaan. Bersihar dijerat dengan

pasal penghinaan itu akibat tulisannya di kolom “Pendapat” di Koran

Tempo.

Pernyataan Hendarman itu keluar menanggapi ungkapan

keprihatinan seorang anggota Komisi Hukum, Benny K Harman,

terhadap kasus yang menimpa seorang jurnalis yang dihukum

sebab  mengekspresikan pendapatnya.

Menurut Benny, tindakan yang dilakukan kejaksaan terhadap

Bersihar Lubis adalah sebuah kemunduran di era kebebasan

aspirasi. “Kejaksaan tidak toleran dengan kritik sosial,” katanya.

“Lagi pula itu hanya opini.”

Kasus Bersihar, kata Benny, tak beda dengan pernyataan

kontroversial yang pernah dikemukakan seorang wakil rakyat pada

zaman Abdurahman Saleh memimpin kejaksaan. Saat itu, lanjut

dia, kejaksaan tersinggung saat  disebut “kampung maling”.

“Seharusnya ditanggapi sebagai kritik yang membangun.” Sandy

Indra Pratama | Purborini


--


Bersihar Lubis: “Adakah Gunanya Memenjarakan Saya?”

Kamis, 03 Januari 2008 05:50

JAKARTA - Bersihar Lubis, penulis kolom yang sedang dituntut

ke pengadilan, mengaku khawatir kasus yang dialaminya akan

membunuh pemikiran kreatif para penulis lainnya. Padahal pemikiran

mereka