pers 4




 pers yang tidak

profesional dan tidak dipilih publik perlahan gulung tikar. Para pekerja

pers juga terus memperbaiki diri untuk menghadirkan kehidupan

pers yang bermutu.

Dalam rangka sembilan tahun UU Pers, berikut ini rangkuman

perbincangan dengan Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Ichlasul Amal,

MA., di Kantor Berita Radio 68H, Jakarta.


sesudah  sembilan tahun UU Pers, bagaimana kondisi pers

Indonesia?

Kalau melihat pengaduan ke Dewan Pers sebagai indikator, jumlah

pengaduannya semakin meningkat. Berarti warga  sudah sadar, jika

menjadi korban berita pers tidak lagi melakukan kekerasan namun  melapor

ke Dewan Pers. Namun, kalau indikator itu dilihat dari segi wartawan atau

suratkabar, ternyata menunjukkan semakin lama banyak wartawan atau

pers yang tidak memenuhi kode etik. Sehingga banyak warga 

menjadi korban.

Seperti apa kode etik yang dimiliki wartawan?

- memuat 11 pasal, merupakan revisi dari kode

etik lama yang bernama Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang berisi

sembilan pasal. Dari 11 Pasal itu yang paling utama yaitu pemberitaan

pers harus cover both sides, tidak boleh menyiarkan berita bohong dan

berita yang menyebabkan konflik antar golongan atau agama.

Aksi kekerasan terhadap wartawan masih sering terjadi. Belum

lama ini dilakukan oknum tentara. Apakah berarti masih banyak

yang belum memahami kerja wartawan?

Saat ini mind set peninggalan zaman Orde Baru bahwa yang berkuasa

adalah mereka yang membawa senjata, masih tetap terlihat. Tugas dari

Dewan Pers untuk sosialisasi dan memberi pengertian mengenai pers

kepada lembaga-lembaga seperti Polri dan TNI.

saat  ada pelatihan yang diselenggarakan Lembaga Pers. Dr. Soetomo,

yang diikuti seorang peserta dari tentara, ia mengatakan seringkali tentara

menganggap sebuah berita tidak bisa disiarkan sebab  sifatnya sensitif dan

strategis. Sedang bagi wartawan tidak ada batasan. Menurut tentara, jika

berita sejenis  itu disiarkan, siapa yang akan bertanggung jawab?

Misalnya kasus pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, ada

tuntutan agar wartawan memerhatikan nasionalisme. Tugas wartawan

adalah menyiarkan fakta, bukan tugasnya wartawan untuk nasionalisme,

| 123

meski tentara bilang ini bagian dari kepentingan nasional yang harus pula

didukung wartawan.

Apakah kekerasan terhadap wartawan menurun?

Kekerasan terhadap wartawan memang menurun, misalnya

perampasan terhadap alat kerja wartawan. Namun sebaliknya, pengaduan

warga  terhadap berita pers meningkat. Jumlah suratkabar yang

meningkat pesat, terutama di daerah, di satu sisi kita patut bergembira,

sebab  daerah bisa memiliki suratkabar sendiri meskipun terkadang

jumlahnya berlebihan. Namun, di sisi lain, banyaknya pers menciptakan

kompetisi yang seringkali menyebabkan wartawan hanya mengejar target.

Kalau tidak mencapai target kemudian membuat berita karangan sendiri.

Bagaimana dengan soal pemuatan Hak Jawab dan sengketa

pemberitaan?

Kesalahan berita yang ada di halaman 1, pemuatan Hak Jawabnya

tidak harus juga di halaman 1. Kode etik menyebut pemuatan Hak Jawab

dilakukan secara proporsional. Dikatakan secara proporsional sebab  dari

berita yang panjang mungkin kesalahannya hanya sedikit. Yang sedikit

itu kemudian digunakan Hak Jawab secara proporsional. Namun Hak Jawab

bukan berarti diselipkan di pojok. Yang penting proporsional. Kalau dimuat

tidak proporsional Dewan Pers bisa ingatkan media bersangkutan susaha 

memuat dengan proporsional.

Mengenai sengketa pers, yang penting bagi Dewan Pers kasusnya

terkait dengan pemberitaan. Kalau bukan pemberitaan berarti di luar tugas

Dewan Pers. Misalnya ada media yang menjelek-jelekkan pihak lain, bisa

diadukan ke Dewan Pers, dengan disertai kliping dan sejenisnya, sehingga

Dewan Pers bisa menilai pemberitaan itu melanggar kode etik atau tidak.

Dalam pilkada banyak pers berpihak. Seperti apa kondisinya?

Dengan adanya kebebasan pers, memang banyak sekali muncul pers

di daerah. Menjelang Pilkada jumlahnya bisa meningkat tajam. Tapi

--

124 |  -

umurnya kadang-kadang ada yang cuma satu bulan. Kita mengharapkan

media sejenis  ini ada yang bisa melaporkannya. Kalau pers digunakan

memeras calon kepala daerah dengan menakut-nakuti untuk memberitakan

keburukannya, kita bisa langsung mengirimkan kasusnya ke kepolisian.

Itu bukan lagi kasus berita, tapi kriminal.

Apa yang bisa dilakukan Dewan Pers dengan banyaknya

wartawan dituntut ke pengadilan dengan tuduhan melakukan

pencemaran nama baik?

Prinsipnya, kalau kasus pers sudah dibawa ke pengadilan, Dewan

Pers tidak bisa berbuat apa-apa. Kasusnya bisa dibawa ke Dewan Pers

kalau kedua-duanya memercayai Dewan Pers. Tapi kalau dari awal

keduanya memilih pengadilan, Dewan Pers tidak dapat berbuat apa-apa.

Kalau ada masalah berita semestinya ke Dewan Pers lebih dulu.

Polri seharusnya juga jangan asal tangkap wartawan. Bukan bermaksud

mengklaim, Dewan Pers-lah yang paling tahu apakah sebuah berita

melanggar kode etik. Polri tidak dididik untuk hal sejenis  itu. Kalau

kriminal silahkan saja Polri menindak langsung. Sedang menyangkut

berita, Dewan Pers yang tahu ukurannya.

Mengapa KUHP masih digunakan dalam banyak kasus pers?

Dewan Pers sudah sering berdiskusi dengan kepolisian. Kepolisian

mengatakan, kalau ada orang mengadu maka polisi tidak boleh menolak.

Itu alasannya. Dan seringkali kasus yang ditangani kepolisian diarahkan

ke KUHP.

 Kalau pers digunakan memeras calon kepala daerah dengan

menakut-nakuti untuk memberitakan keburukannya, kita bisa

langsung mengirimkan kasusnya ke kepolisian.

Itu bukan lagi kasus berita, tapi kriminal.


warga  harus disadarkan, kalau mengadu ke Dewan Pers

prosesnya murah, bahkan gratis. Kalau masuk ke pengadilan biayanya

mahal sekali. Di Dewan Pers tidak ada yang menang dan kalah, sebab 

win win solution.

Mengenai pengaduan dari daerah, kalau Dewan Pers mengganggap

mereka bisa datang ke Jakarta, maka merekalah yang datang ke Jakarta.

Tapi, kalau tidak mampu, Dewan Pers yang mendatangi.

Sumber: Diolah dari harian Jurnal Nasional

™™™

Kamis, 19 Mei 2005 | 23:38 WIB

Ichlasul Amal: Negatif, Jurnalis Jadi

Tim Sukses Pilkada

TEMPO Interaktif, Jakarta: Ketua Dewan Pers, Ichlasul Amal,

menyarankan agar wartawan tidak menjadi tim sukses salah satu

pasangan calon bupati/walikota dalam pelaksanaan pemilihan kepala

daerah (Pilkada). “Keterlibatan jurnalis dalam tim sukses akan

memicu  citra negatif bagi kalangan wartawan secara

umum,”kata Ichlasul usai diskusi Pers dan Pilkada di Semarang.

Menurut Amal, sangat sulit bagi jurnalis yang menjadi tim

sukses mampu menjaga independensinya. “Dalam situasi seperti

itu sangat sulit menjadikan pers sebagai salah satu pilar

demokrasi,”katanya. Ichlasul Amal yang juga anggota Deks Pilkada

Depdagri menegaskan, jika jurnalis menjadi tim sukses atau menjadi

calon kepal dawerah, maka yang bersangkutan harus non aktif dari

tugas kejurnalistikan.


Ichlasul Amal mendengar di beberapa daerah banyak wartawan

menjadi tim sukses calon bupati/walikota. Bahkan ada juga yang

menjadi calon walikota atau wakilnya. “Selain itu kecenderungan

yang terjadi akan membenarkan adanya julukan wartawan amplop.

Ini efek yang kurang bagus untuk dunia pers secara umum,”ujarnya.

Menurut Ichlasul, pers boleh saja mendukung salah satu calon,

terlebih apabila calon yang maju adalah pemilik media yang

bersangkutan, dengan catatan, media ini  tidak melakukan

black campaign terhadap calon lain.

Menurut Kepala Bidang Pengaduan Dewan Pers, Leo Batubara,

media massa cetak diperbolehkan menjadi partisan, namun tetap

harus memberi  informasi yang benar kepada publik serta harus

mengkuliti si calon agar warga  tidak memilih kucing dalam

karung. Sedangkan media elektronik tidak dibenarkan menjadi par-

tisan, sebab  terikat dengan frekwensi yang merupakan hak publik

yang sangat terbatas. “Koran tidak akan masuk ke rumah kita tanpa

kita beli. Tapi kalau siaran TV dan radio bisa masuk ke rumah kita

tanpa kita beli,” katanya. (Sohirin)


wan gadungan, atau sering disebut wartawan

bodrek, masih terus muncul. warga  banyak yang mengeluh-

kannya ke Dewan Pers. Meski jumlahnya berkurang dibanding saat

awal reformasi, namun persoalan ini tetap menjadi kabar buruk bagi

usaha  membangun kepercayaan publik terhadap pers.

Wartawan gadungan atau wartawan bodrek tentu saja bukanlah

wartawan dalam arti sebenarnya. Mereka hanya menunggangi pers

untuk kepentingan pribadi atau golongan. Cuma berbekal kartu pers,

atau bukti lembaran suratkabar yang hanya terbit satu-dua edisi,

mereka mendekati narasumber dengan alasan ingin wawancara

namun ujungnya meminta uang. Bahkan tak jarang dengan cara

pemerasan.

Pemerasan adalah tindakan kriminal yang dapat langsung

dilaporkan ke polisi. UU No.40/1999 tentang Pers maupun Kode

Etik Jurnalistik tidak akan melindungi praktik pemerasan berkedok

wartawan ini.

--

13 Oktober 2008

Narasumber:

Wikrama Iryans Abidin

Anggota Dewan Pers

Host Tamu:

Bekti Nugroho

Anggota Dewan Pers

Penyiar Radio:

Budi Kurniawan

--

--

128 |  -

Dewan Pers telah banyak menggelar sosialisasi. Tujuannya

mendorong warga , terutama yang menjadi korban, agar tegas

melawan praktik wartawan gadungan. warga  perlu mengenal

perbedaan praktik wartawan profesional dengan wartawan gadungan.

Untuk mendiskusikan lebih jauh persoalan ini, bincang-bincang

ini menghadirkan pembicara Anggota Dewan Pers, Wikrama Iryans

Abidin.

Apa yang membedakan wartawan bodrek dengan wartawan

sungguhan?

Profesi wartawan bisa dilihat dari berbagai aspek. Pertama, dalam

pengertian sehari-hari, wartawan adalah orang yang melakukan kerja

jurnalistik berdasar etika dan ada produk yang dihasilkan secara teratur.

Dalam Pasal 1 ayat (4) UU Pers dikatakan “Wartawan adalah orang yang

secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”.

Jika ada orang berniat mencuri, merampok, atau membodohi

warga  dengan bermodal kamera atau seragam wartawan, maka dia

bukan wartawan. Wartawan gadungan suka mendatangi, misalnya, orang

yang tidak paham tentang siapa dan apa pekerjaan wartawan. Atau

mendatangi orang yang sebenarnya paham jurnalistik dan aspek hukum

pers, namun  sebab  orang itu bermasalah, maka ikut menjadi bagian dari

wartawan gadungan. Ada aspek saling memanfaatkan. Orang itu bisa

menjadi perahan atau sebaliknya si wartawan menjadi penyelamatnya.

Bagaimana dengan wartawan yang bekerja di media yang

terbitnya kadang-kadang?

 Wartawan gadungan suka mendatangi,

misalnya, orang yang tidak paham tentang siapa

 dan apa pekerjaan wartawan.

“”

| 129

Saat ini adalah masa transisi dari masa lalu yang sangat menekan

dan represif terhadap kemerdekaan pers. Kini sudah dilepaskan simbol-

simbol kekuasaan pemerintah yang sepertinya tak terbatas itu. Kemudian

dibuat UU Pers yang menghapus semua atribut yang dapat membelenggu

kemerdekaan pers. Misalnya, tidak ada Surat Izin Usaha Penerbitan Pers,

tidak ada pemberedelan, tidak ada wadah tunggal organisasi wartawan,

dan tidak ada keharusan wartawan mengikuti penataran. Kita masuk ke

suatu ruang yang seolah sangat bebas, tanpa orang lain di dalamnya. Di

sinilah muncul persoalan profesionalisme.

Apa itu persoalan profesionalisme? Seseorang yang disebut memiliki

profesi harus memiliki kompetensi yang didapat melalui pelatihan

singkat, pendidikan singkat atau formal. Dengan pelatihan ini  ia

memiliki keahlian. Ia bekerja tidak semata-mata sebab  profesinya namun

juga memiliki tanggung jawab terhadap karyanya. Apakah karyanya telah

memberi manfaat, misalnya.

Kriteria mengenai profesionalisme ini sulit dibuat dalam satu regulasi.

Sekarang persoalan itu dikembalikan ke Dewan Pers. Namun, Dewan Pers

dalam posisi yang gamang. Kalau Dewan Pers membuat higher regulation

(aturan-aturan yang berlebihan), Dewan Pers bisa kembali ke masa

Departemen Penerangan. namun , jika dibiarkan, para “pembonceng-

pembonceng pers” semakin keterlaluan.

SMS

Dewan Pers menerima sejumlah SMS yang isinya

mengeluhkan keberadaan wartawan bodrek, antara lain:

Q   “Tolong wartawan gadungan diberantas sebab  merusak citra

pers, terutama menjelang lebaran.”

Q    “Bagaimana mengatasi wartawan bodrek yang datang tiap Jumat

meminta jatah dan selalu mengatasnamakan kebebasan pers.”

--

130 |  -

sesudah  sembilan tahun kebebasan pers, keberadaan

wartawan gadungan belum dapat dihilangkan. Sementara Dewan

Pers terbatas kewenangan untuk memberantas wartawan

gadungan. Lalu, apa yang dapat diusaha kan Dewan Pers?

Saat ini kita berada dalam paradigma kemerdekaan pers baru yang

menurut UU Pers merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Artinya,

kemerdekaan pers bukan milik wartawan, pemodal, atau Dewan Pers,

namun  milik warga  berdaulat yang direfleksikan melalui kemerdekaan

pers, sehingga kemerdekaan pers harus bermakna untuk kehidupan

warga  dan demokrasi.

UU Pers menyebut tujuan dari kemerdekaan pers, antara lain,

menegakkan demokrasi, mengedepankan prinsip keadilan, dan supremasi

hukum. Ini lah paradigmanya. Persoalannya, kalau kita ingin

mengimplementasikan kemerdekaan pers dengan prinsip keadilan, adilkah

wartawan profesional dicampuradukkan dengan wartawan amatiran atau

gadungan? Adilkah warga , sebagai pemilik kemerdekaan pers,

melakukan pembiaran? Lalu, apakah wartawan amatiran dapat diandalkan

untuk menegakkan prinsip kemerdekaan pers dan supremasi hukum

sementara mereka bermasalah dan cenderung melakukan pelanggaran

hukum seperti pencemaran nama baik?

Publik harus cerdas dan tegas menyikapi wartawan gadungan. Mereka

jangan diberi ruang hidup. Jika mereka memeras segera lapor ke pihak

berwajib. Berbicara mengenai wartawan gadungan tidak ada relevansinya

dengan kemerdekaan pers. Sebab wartawan gadungan bukan wartawan.

Sedang profesi wartawan adalah bermartabat dan terhormat.

Kalau kita ingin mengimplementasikan kemerdekaan pers

dengan prinsip keadilan, adilkah wartawan profesional

dicampuradukkan dengan wartawan amatiran atau gadungan?

Adilkah warga , sebagai pemilik kemerdekaan pers,

melakukan pembiaran?

“”

| 131

E-mail dari Jember yang diterima Dewan Pers:

“Kami dari Forum Media Jember Bersatu mohon bantuan untuk

masukan terkait dunia jurnalistik di Jember yang semakin keluar

dari rel jurnalistik. Pers dijadikan tunggangan untuk kepentingan

tertentu. Pers di Jember dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk

tindakan tidak terpuji.

Ada wartawan bekerja di media yang jelas namun  meminta uang

kepada narasumber usai meliput. Bagaimana menyikapinya?

Kalau wartawan bekerja secara profesional ia tidak mau meminta

amplop dari warga . Wartawan yang profesional biasanya bekerja di

perusahaan pers yang sehat. Ciri perusahaan pers yang sehat, mereka

memiliki pembaca, pendengar atau pemirsa yang mau membeli atau

menonton, sehingga ada pemasang iklannya. Mereka memiliki kredibilitas

dan dapat menggaji wartawannya secara wajar.

Selama ini rendahnya kesejahteraan banyak dijadikan alasan

wartawan untuk meminta amplop kepada narasumber. Apakah itu

dibenarkan?

Kalau ada orang mengaku wartawan, kemudian meminta uang kepada

narasumber dengan alasan gajinya tidak mencukupi, sebaiknya ia mundur

saja dari profesi wartawan. Perilakunya mencederai kehormatan profesi

wartawan.

Harapan warga  kepada Dewan Pers sangat besar. Bahkan

berharap Dewan Pers bisa seperti Komisi Pemberantasan Korupsi yang

memiliki kewenangan besar. Harapan itu tidak mungkin. Selama ini Dewan

Pers sudah merespon keluhan warga  mengenai perilaku wartawan

gadungan atau wartawan sungguhan. Dalam hal regulasi, Dewan Pers

telah membuat Standar Kompetensi Wartawan. sebab  itu, pertama,

Dewan Pers menghimbau sebaiknya wartawan bergabung dengan satu

organisasi. Dengan begitu ia terikat pada etika di organisasi ini .

Kedua, Dewan Pers telah membuat standar minimal pendirian perusahaan

pers yang mengatur, misalnya, soal modal.

--

132 |  -

Telepon

Bangun Simbolon (Bekasi): Mengenai wartawan bodrek,

dalam kondisi ekonomi yang sulit orang banyak berpikir, yang mudah

itu menjadi wartawan. Preman pun banyak jadi wartawan. Kelakuan

pejabat juga perlu diperhatikan. Siapa sebenarnya yang berwenang

mengeluarkan kartu pers? Misalnya pengacara, mereka membuat

satu wadah yang boleh mengeluarkan kartu pengacara. Untuk

mendapatkan kartu pengacara perlu menjalani tes dan pendidikan.

Apakah di wartawan juga ada ujian seperti itu?

Di satu pihak ada wartawan yang nakal. Di lain pihak ada warga 

atau pejabat yang bermasalah dan menyediakan amplop untuk wartawan.

Darimana memulai mengatasinya?

Istilah garbage in garbage out: Kalau masuknya sampah akhirnya yang

keluar juga sampah. Kalau ada warga  yang kehilangan akal, kemudian

membuat perusahaan pers atau menjadi wartawan tanpa kompetensi apapun

di bidang pers, akhirnya produk yang dihasilkannya juga sampah.

Persoalan lainnya menyangkut perilaku penegak hukum yang tidak

terpuji, yang biasa disebut oknum—meski bisa jadi sebenarnya bukan oknum

tapi perilakunya telah struktural dan kurtural. Saya setuju dengan apa yang

dikatakan wartawan Indonesia Raya, Mochtar Lubis,  bahwa korupsi dan

munafik telah membudaya, dan itu masih terjadi sampai sekarang.

Kalau kita punya moral, etika, dan kompetensi, sedarurat apapun

kita tidak akan memilih menjadi wartawan gadungan atau amplop.

Bekti Nugroho: Persoalan wartawan amplop akhirnya kembali ke

diri wartawan. Bagi wartawan profesional, jangankan meminta, diberi

amplop pun ia menolak. Kebanggaan wartawan justeru pada penolakannya.

saat  menolak, integritas dan citra wartawan akan terangkat dan kembali

bermartabat.

| 133

Bagaimana dengan usaha  peningkatan profesionalisme

wartawan?

Wikrama: Untuk mengatasi problem rendahnya kompetensi

wartawan, Dewan Pers memiliki program pendidikan dan pelatihan untuk

wartawan bernama Sekolah Jurnalistik. Program ini masih terbatas dan

dilakukan bekerjasama dengan LPDS (Lembaga Pers Dr. Soetomo).

Pesertanya akan mendapat sertifikasi di bidang etika, sebab  etika

dianggap yang terpenting. Wartawan perlu diyakinkan, kalau mereka

memiliki kemampuan profesional yang diikuti etika maka mereka memiliki

kedudukan bermartabat.

Setiap profesi modern memiliki organisasi. Di dalam organisasi itu

melekat etika sebagai mahkota. Dimungkinkan wartawan membuat

organisasi tunggal, seperti advokat, yang dapat mengeluarkan sertifikat.

Persoalannya tinggal bagaimana stakeholders di kalangan pers dan

warga  memiliki kesepakatan. Sebab, jika sebagian sepakat dan

sebagian tidak, akan jadi masalah. Wartawan profesional memang

sebaiknya dibekali sertifikat yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga yang

disepakati bersama.

Telepon

Alek (Rawamangun, Jakarta): Pendapat Simbolon (penelepon

pertama) saya dukung sepenuhnya. Pertanyaan saya, siapa yang

berhak mengeluarkan SIUPP untuk suratkabar? Sekarang ini dengan

modal sedikit sudah dapat mendirikan suratkabar ecek-ecek yang

sama sekali tidak bermutu. Masih banyak wartawan yang masuk ke

kantor-kantor hanya untuk meminta uang.

Setiap profesi modern memiliki organisasi.

Di dalam organisasi itu melekat etika sebagai mahkota.

“”

--

134 |  -

Mulyono (Tangerang): Saya berbeda pendapat dengan

narasumber. Kalau kita bicara demokrasi, tidak boleh kembali ke masa

Orde Baru dimana hanya satu lembaga yang mengeluarkan sertifikasi.

Itu sangat berbahaya. Saya setuju sertifikasi tapi tidak boleh dikeluarkan

oleh satu lembaga. Seperti sekolah, tidak boleh dikuasai satu sekolah

saja. Ada wartawan profesional bekerja di media besar, tapi belum

tentu bicaranya betul. Kalau kita mengacu kepada agama, seseorang

itu dilihat dari tindakan dan kata-katanya, bukan siapa keturunannya.

SMS

0813113117xx: Saya pernah menjadi pembicara seminar publik,

datanglah dua wartawan meminta wawancara. Mereka janjikan hasil

wawancara akan dimuat asal ada amplop.

Email dari Kabupaten Kolaka: sebab  letak daerah kami

berdekatan dengan Sulawesi Selatan, banyak wartawan yang

datang. Apakah hanya dengan kartu pers, tanpa kartu dari organisasi

pers, mereka dapat disebut wartawan? Banyak wartawan bodrek

yang berkeliaran.

sesudah  UU No.40/1999 tentang Pers disahkan, setiap warga negara

berhak mendirikan perusahaan pers. Tidak ada lagi SIUPP yang dikeluarkan

oleh pemerintah. Kita tahu SIUPP pada masa Orde Baru dijadikan alat

pemerasan dan kontrol pemerintah.

UU Pers menyebutkan perusahaan pers berbadan hukum Indonesia.

Badan Hukum dapat dalam bentuk Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi,

dan Perkumpulan. CV tidak termasuk sebab  bukan kategori usaha atau

organisasi yang harus didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM dan

masuk ke Lembaran Negara.

Dewan Pers bersama warga  pers telah membuat kesepakatan

mengenai Standar Organisasi Perusahaan Pers dan telah disahkan sebagai

Peraturan Dewan Pers. Dalam Standar ini , misalnya, disebutkan

minimal modal pendirian perusahaan pers adalah Rp50 juta. Dasarnya,

sebab  kondisi di daerah dengan di pusat berbeda.



SMS

08170761xxx: Apa perlu wartawan punya ID resmi dari Pemred

dan kontak person untuk dicek?

02150177xxx: Wartawan yang baik itu netral, seimbang,

proporsional, berani, tepat, tidak memihak, seperti ucapan Rustam

Abdulgani. Yang bodrek dibina saja jangan dipenjara. Kasihan, dia

juga manusia.

Sertifikasi wartawan yang telah dilakukan Dewan Pers, melalui pro-

gram Sekolah Jurnalistik, baru usaha  sementara untuk menjawab

persoalan wartawan tidak profesional. Sedang soal wartawan gadungan,

pada dasarnya mereka bukan wartawan. Wartawan adalah orang yang

memiliki profesionalitas yang dibekali etika.

Dewan Pers bertugas memfasilitasi organisasi pers, seperti saat

pembuatan -. Dewan Pers juga telah melakukan

verifikasi dan menetapkan tiga organisasi wartawan memenuhi Standar

Organisasi Wartawan, yaitu PWI, AJI, dan IJTI.  Kalau organisasi wartawan

sepakat ada sertifikasi, maka nanti akan dibicarakan bagaimana

mekanismenya.

™™™

--


Pernyataan Dewan Pers

Nomor: 1/P- DP/III/2008

tentang

Praktek Jurnalistik yang Tidak Etis

Dewan Pers beberapa bulan belakangan ini menerima sejumlah

pengaduan, pemberitahuan, dan permohonan perlindungan terkait

dengan praktik-praktik jurnalisme yang tidak sejalan dengan prinsip-

prinsip etika. ada  pengaduan yang mempertanyakan cara-cara

etis dalam melakukan wawancara, media secara sepihak mengklaim

adanya informasi manipulasi yang perlu dikonfirmasi, yang berujung

pada usaha  pemerasan. Contoh pengaduan lainnya menyangkut

nama “penerbitan pers” yang memicu  kesalahpahaman

(misalnya, penamaan tabloid KPK, yang tidak ada kaitannya dengan

Komisi Pemberantasan Korupsi; nama penerbitan Buser yang

mengesankan sebagai satuan tugas kepolisian).

Praktek pelanggaran etika jurnalistik ini  memanfaatkan

kemerdekaan pers dengan menyalahgunakan prinsip-prinsip

kemerdekaan pers untuk keuntungan atau kepentingan individu.

Dengan menyalahgunakan kartu pers, organisasi wartawan, atau

institusi pers, sejumlah individu mengidentifikasi diri sebagai

“wartawan” sebagai sarana mencari keuntungan secara kurang etis.

Contoh ini  merupakan sebagian dari persoalan yang

muncul dari praktek penyalahgunaan institusi pers dan profesi

wartawan. Dengan semakin maraknya kasus-kasus penyalahgunaan

ini , Dewan Pers pada kesempatan ini merasa perlu

menegaskan kembali prinsip-prinsip etika jurnalistik, untuk diketahui

dan menjadi pegangan warga  saat  berhadapan dengan

wartawan atau pers.


1.  Wartawan wajib menegakkan prinsip-prinsip etika, seperti yang

tercantum dalam - (KEJ), yang telah

disepakati oleh organisasi-organisasi wartawan. Wartawan tidak

memakai  cara-cara pemaksaan dan klaim sepihak terhadap

informasi yang ingin dikonfirmasikan kepada narasumber.

2.  Wartawan tidak boleh menerima suap (amplop) dari narasumber

dalam mencari informasi, oleh sebab  itu warga /narasumber

tidak perlu menyuap wartawan. - dengan jelas

menyatakan wartawan Indonesia selalu menjaga kehormatan

profesi dengan tidak menerima imbalan dalam bentuk apa pun

dari sumber berita. Dengan tidak menyuap, warga  turut

membantu usaha  menegakkan etika dan usaha  memberantas

praktek penyalahgunaan profesi wartawan.

3.   warga  berhak menanyakan identitas wartawan dan mencek

kebenaran status media tempatnya bekerja. warga  berhak

menolak melayani wartawan yang menyalahgunakan profesinya

dalam melakukan kegiatan jurnalistik.

4.   Dewan Pers mengimbau agar komunitas wartawan dan pers

bahu-membahu bersama warga  untuk memerangi praktik

penyalahgunaan profesi wartawan dan melaporkan pada

kepolisian.

Jakarta, 5 Maret 2008

Dewan Pers

Prof. Dr. Ichlasul Amal, M.A.

Ketua


Tidak sedikit orang yang menilai profesi wartawan tergolong

seksi, ditakuti, bahkan dianggap kebal hukum. Penilaian yang tak

sepenuhnya benar ini, telanjur memunculkan banyak orang

berlomba menjadi wartawan meskipun sudah memiliki profesi atau

pekerjaan lain. Menjadi wartawan hanya bertujuan melancarkan

profesi lainnya itu.

Sebaliknya, ada wartawan yang merangkap profesi lain. Kasus

seperti ini, lebih sering didasari rendahnya kesejahteraan wartawan.

Dia memerlukan pekerjaan ganda untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Perbincangan kali ini membahas tentang wartawan yang

berprofesi ganda, menghadirkan Anggota Dewan Pers, Bambang

Harymurti.

--

22 Oktober 2008

Narasumber:

Bambang Harymurti

Anggota Dewan Pers

Host Tamu:

Bekti Nugroho

Anggota Dewan Pers

Penyiar Radio:

Sutami

--

--


Seperti apa pengaduan yang diterima Dewan Pes tentang

wartawan yang berprofesi ganda?

Bekti Nugroho: Sekitar bulan April 2008, ada dua wartawan dari dua

media berbeda terlibat konflik bisnis. Masing-masing memakai 

medianya untuk saling serang. Satu pihak komplain ke Dewan Pers.

Akhirnya Dewan Pers mengundang keduanya. Kami jelaskan, sesuai Pasal

6 -, wartawan tidak boleh menyalahgunakan profesinya.

UU Pers jelas menyebut fungsi pers adalah kontrol sosial. Kalau ada

wartawan jadi kontraktor atau pengusaha, ikut tender dan kalah, kemudian

mencaci maki lawan dengan memakai  medianya, itu tidak adil dan

tidak boleh. Fungsi pers menjadi bias.

Bambang Harymurti: Profesi itu ada yang pribadi dan ada yang me-

nyangkut publik. Kalau profesi publik, kepentingan publik yang diutamakan,

seperti menjadi dokter atau wartawan. Jangan sampai publik yang dilayani

dirugikan sebab  ada kepentingan tersembunyi. Misalnya, dokter tidak boleh

sekaligus di sebelah tempat praktiknya ada apotik miliknya.

Wartawan juga begitu. Ada yang berpikir, sebagai pengusaha kalau

mau ketemu bupati susah, maka dia buat suratkabar pura-pura dan dia

jadi pemimpin redaksinya. Kemudian dia bilang kepada pejabat humas

untuk bertemu Bupati. Bupati bersedia bertemu sebab  disangka soal

berita, tapi tiba-tiba bicara soal proyek. Yang seperti ini tidak benar dan

merugikan publik. Bupati nanti jadi tidak mau bertemu dengan wartawan

sebab  dipikirnya wartawan bukan ngomong kepentingan publik tapi

bisnisnya sendiri. Dari daerah kita sering mendapat laporan penggunaan

pers bukan untuk kepentingan melayani warga .

Kasus seperti itu jumlahnya banyak?

Bekti: Data yang akurat masih kita kumpulkan. Dari roadshow Dewan

Pers ke beberapa daerah, sudah ada komplain dari pejabat dan humas.

Banyak yang menceritakan mengenai modus wartawan: menjadi wartawan

enak sebab  bisa masuk ke semua tempat dan jadi prioritas. Kalau bukan

wartawan, prosedurnya lebih sulit. Celakanya, banyak yang menyalah-

gunakan profesi wartawan.


Ada sekitar seratus wartawan yang masuk daftar calon anggota

legislatif. Bagaimana Dewan Pers menyikapinya?

Bambang: Salah satu anak buah saya (di majalah Tempo) menjadi

calon anggota legislatif. Dia sudah tidak lagi di redaksi, tapi di bagian

usaha. Tempo tidak bisa menghalangi, sebab  hak asasi dia dan tidak

ada larangan kalau profesinya bukan di keredaksian. Kalau posisinya

wartawan, dia harus non aktif dulu sebagai wartawan. Kalau terpilih sebagai

anggota legislatif, berarti harus berhenti dulu sebagai wartawan.

Wartawan Jawa Pos ada yang terpilih sebagai anggota legislatif. Dia

berhenti sebagai wartawan tapi tidak berhenti sebagai temannya wartawan.

Benturan kepentingan sejenis  ini yang harus dijaga.

Apakah semua profesi tidak boleh dijabat rangkap oleh

wartawan, misalnya sebagai pekerja LSM?

Kalau bekerja di tempat yang sudah mapan, ikut LSM sebenarnya

tidak boleh. Tapi inikan menyangkut kode etik yang tidak hitam putih.

Yang utama, tidak boleh ada benturan kepentingan.

Biasanya wartawan menyatakan soal hak pribadinya. Kalau begitu,

wartawan yang ikut demo tidak boleh sekaligus sebagai orang yang menulis

berita demo itu. Dia harus sebagai warga biasa yang berdemo dan atribut

kewartawaannya tidak digunakan. Ini wilayah etika, bukan wilayah hukum

yang hitam putih. Semua harus dilihat dalam konteksnya.

Yang utama, jangan sampai independensi sebagai wartawan bertolak

belakang atau berbenturan dengan profesi rangkapnya. Kalau itu terjadi,

berarti menipu warga .

Kalau wartawan sedang demo untuk kepentingan yang lebih

besar, berarti tidak boleh dia juga diminta laporannya?

Tidak bisa. Bahkan di koran New York Time, wartawannya sama

sekali tidak boleh ikut demo. Kalau di Dewan Pers, sebab  kita belum

sampai ke tahap itu, yang kita jaga jangan sampai dia menulis tentang

demo itu. Sudah pasti ada keberpihakan dia.

--


Pernah ada kasus, seorang koresponden televisi di Jawa Tengah

menjadi aktivis LSM. Muncul masalah sebab  narasumbernya komplain.

saat  Wahyu Muryadi, wartawan Tempo, menjadi juru bicara

Presiden, bagaimana aturan mainnya?

Dia cuti di luar tanggungan. Kami jelaskan juga bahwa dia tidak dalam

status sebagai wartawan Tempo.

Dari sisi akses mendapat informasi, keberadaan Wahyu Muryadi

di Istana menguntungkan atau tidak?

Antara iya dan tidak. Seolah-olah iya, kenyataannya dia dicurigai

terus kalau ada bocoran yang diterima Tempo. Padahal bukan dari dia.

Memang ada plus-minusnya. Di alam demokrasi seperti sekarang, bisa

saja orang di pemerintahan berganti-ganti. Saat partainya kalah dia ada di

luar pemerintahan. Di Amerika, misalnya Partai Demokrat kalah, orang-

orangnya berkumpul di berbagai think tank seperti Brooking Institute. Kalau

Partai Demokrat menang, mereka balik ke pemerintah. Sebaliknya dengan

Partai Republik.

Di Indonesia, seperti Meutya Hafid (wartawan Metro TV), sekarang

menjadi calon anggota legislatif maka dia harus off dulu. Apalagi kalau

dia terpilih nanti, dia tidak bisa menjadi wartawan sekaligus wakil rakyat.

Wartawan ada yang berstatus karyawan penuh atau tetap ada

yang tidak penuh atau kontributor. Bagaimana membatasi dan

mengatur mereka yang bekerja tidak penuh?

Tugas redaktur untuk memastikan bahwa wartawan yang ditugaskan

tidak ada benturan kepentingan. Misalnya, banyak aktivis lingkungan hidup

merangkap menjadi wartawan. Akhirnya, kalau menyangkut soal

lingkungan, kita pakai koresponden lain. Kalau tidak menyangkut

lingkungan, tidak masalah sebab  kita menilai dia bisa obyektif.


Jadi, si wartawan tidak harus berhenti sebagai wartawan?

Tidak harus. Benturan kepentingan kadang-kadang tidak bisa

dihindari. Kalau tidak bisa dihindari, metode untuk menangkalnya dengan

men-declair-kan kepada pembaca. Misalnya, Koran Tempo menulis tentang

kasus majalah Tempo. Masa sebab  kasusnya menimpa majalah Tempo

kemudian tidak ditulis Koran Tempo? Boleh ditulis, namun  pembaca harus

tahu bahwa Koran Tempo satu grup dengan majalah Tempo. Kita berasumsi

pembaca sendiri memahami. Sama seperti memahami kalau calon

Republican menjelek-jelekkan Obama dan mengelu-elukan McCain sebab 

satu partai. Jadi, men-declare menjadi sangat penting.

Bagaimana dengan wartawan yang sambil jualan atau

berbisnis?

Tergantung berjualannya. Kalau di butik, tidak apa-apa. Yang penting,

sekali lagi, kita perhatikan apakah ada benturan kepentingan antara profesi

sebagai wartawan—yang dipercaya warga  untuk memberi 

informasi secara independen dan obyektif—dengan apa yang disampaikan.

Kalau wartawan berjualan alat merek tertentu, lalu di beritanya dia

mempromosikan alat ini , itu sudah ada benturan. Dia tidak obyektif

lagi terhadap produk ini . Artinya, dia sudah tidak berpihak pada

warga . Yang penting di sini, saat  menjadi wartawan, dia harus

berpihak pada warga .

Saya pernah mengalami, ada wartawan ingin menjadi agen komputer.

Kebetulan dia ingin ikut tender di satu departemen pemerintah. Kalau

begitu, dia harus memilih, menjadi pengusaha atau wartawan. Di sini saya

harus berhati-hati. Misalnya, dia meliput di Departemen Pertahanan

sedangkan bisnisnya berjualan permen. Jelas tidak ada benturan

kepentingan. Tapi, begitu dia menulis berita tentang apakah permen itu

sehat atau tidak, seharusnya dia men-declare kepada atasannya dan dia

tidak bisa menulisnya.

Dilema bagi wartawan, kadang-kadang di satu sisi harus mencari

akses sebanyak mungkin, di lain pihak dituntut obyektif. sebab  itu, kalau

diminta menulis sesuatu yang sepertinya memicu  benturan

--


kepentingan, sebaiknya dinyatakan secara jujur. Profesi wartawan

membutuhkan kejujuran. Misalnya, Meutia Hafid sekarang tidak bisa

menulis tentang Golkar atau partai lain lawannya. Dia harus off. Kalau

suatu saat dia menulis make up apa yang baik untuk caleg dan tidak

disponsori oleh siapa-siapa, maka tidak salah.

Kalau warga  tahu ada wartawan berprofesi ganda, apa yang

harus dilakukan?

Bekti: Laporkan saja. Kita ingin mendapat masukan dari orang yang

pernah punya pengalaman buruk dari wartawan. Kita ingin dengar, sebab 

itu praktek wartawan yang tidak sehat.

Telepon

Tamtam: Bisa tidak Dewan Pers menghitung jumlah media?

Saya lihat ada orang bisa mencetak koran dadakan. Soal bahasa,

bagaimana media memberi  pendidikan kepada warga 

mengenai tata bahasa yang baik? Media menyampaikan informasi

tidak menyebabkan warga  bingung atau salah tafsir.

Bambang: Soal memeras, laporkan ke polisi. Dewan Pers akan

menjadi saksi ahli untuk menyatakan bahwa itu bukan pekerjaan wartawan,

perbuatan kriminal dan silakan diproses sesuai pasal-pasal kriminal.

Profesi wartawan sering disalahgunakan, namun  bukan sebab 

reformasi. Sebelum reformasi, meskipun diatur ketat, malahan organisasi

wartawan yang resmi banyak terlibat dalam perkara benturan kepentingan.

Misalnya, ingin menjadi Ketua PWI untuk bisa menjadi Menteri. Itu ingin

kita tinggalkan. Organisasi profesi bukan jenjang karir untuk masuk ke

jalur birokrat atau jalur lain. Kebanggaannya kalau wartawan menjalankan

profesinya secara benar.

Semua ini perlu kerja keras. Padahal, anggota Dewan Pers hanya

sembilan orang. sebab  itu, kita menghimbau organisasi wartawan untuk

terus menerus menyadarkan anggotanya untuk taat kode etik. Kalau kode


etik diikuti, sudah aman semuanya. Kalau anda berprofesi ganda, pasti

anda tahu kapan tidak bisa menulis atau meliput sebab  bertentangan

atau mengkhianati kepercayaan publik. Seorang redaktur harus tahu kapan

seorang koresponden diminta meliput atau tidak. Soal ini sudah ada di

sembilan elemen jurnalistik.

Intinya sangat sederhana: wartawan adalah orang yang dipercaya publik

untuk bersikap independen dan obyektif dalam menggali dan menyampaikan

berita. Jadi, boleh berprofesi ganda asal tidak ada benturan kepentingan.

Apa yang bisa menentukan atau membatasi wartawan?

Ada kode etik. Kalau ragu, tinggal tanya kepada organisasi wartawan

atau Dewan Pers. Dengan senang hati Dewan Pers akan menjawab. Bahkan

setiap bulan kita rencanakan ada diskusi tentang etika.

Telepon

Rino (Jakarta): Bagaimana Dewan Pers menyikapi advertorial

yang isinya tidak benar? Penulis-penulis iklan itu sangat pandai

sehingga kita terpengaruh. Padahal, aslinya tidak demikian itu.

Soal nasionalisme pers, bagaimana pers kita misalnya

menyikapi kasus konflik Aceh? Apakah pers memberitakan apa

adanya? warga  perlu tahu apa yang terjadi di sana. sebab 

itu, saya salut buat para wartawan yang tergabung dalam Reporter

Without Border. Mereka tidak peduli apa latarbelakang mereka, yang

penting mereka memberitakan sesuai kode etik dan tidak memihak

satu sisi.

Saya tidak setuju wartawan bisa rangkap profesi, sebab 

benturan kepentingan pasti ada, walaupun bisnis premen.

Kita selalu membedakan antara iklan dan berita, ada garis api di

antara keduanya. Tidak boleh campuraduk. sebab  itu, wartawan tidak

boleh ikut campur dalam urusan periklanan. Kita harus hormati, periklanan

itu profesi tersendiri, punya kode etik tersendiri.

--


warga  bisa langsung tahu, suatu berita itu murni berita atau

iklan. Menurut saya ini sangat prinsipil. Kalau iklan tidak bisa memengaruhi,

tentunya orang tidak akan buat iklan. Yang penting, apa yang ditulis di

iklan sesuai dengan kode etik periklanan. Kode etik periklanan di Indonesia

cukup ketat. Misalnya, tidak boleh menjelek-jelekkan produk lain. Kita

boleh bilang barang kita “kecap nomor satu” tapi tidak boleh bilang “kecap

lain nomor dua.” Di televisi juga harus jelas antara program yang dibayar

dengan yang tidak.

Kita tidak bisa bilang terlalu sederhana bahwa satu profesi tidak boleh

merangkap profesi lain. Kalau dokter merangkap profesi jual obat, jelas

ada benturan kepentingan. Tapi, kalau seorang dokter juga seorang atlet

nasional, tidak ada masalah. Misalnya, profesi sebagai anggota Komisi

Hukum DPR kemudian tetap menjalankan kantor pengacaranya, jelas ada

benturan kepentingan.

Bagaimana soal nasionalisme pers yang ditanyakan penelepon

tadi?

Saya jawab dengan pengalaman pribadi. Sebelum perdamaian di

Aceh, para pemimpin redaksi dan redaktur senior dipanggil oleh para

jenderal. Persis, kami ditekan “kalian ini tidak ada patriotisme atau

nasionalismenya. Amerika saja saat perang di Irak, wartawannya jelas

keberpihakannya.” Saya bilang “Pak, setahu saya Aceh itu masih wilayah

Indonesia. Jadi, kalau rakyat Aceh tertindas sebab  tentara, saya merasa

perlu memublikasikan itu. Kecuali kalau bapak-bapak jenderal menganggap

Aceh bukan Indonesia.”

SMS

Firman (Bekasi): Apa sebetulnya dampak buruk dari profesi

ganda wartawan dan bagaimana kalau berprofesi ganda menjadi

penceramah, mc, atau guru privat? Sebab, biasanya orang butuh

aktivitas lain agar tidak penat.


Bekti: Kalau aktivitas ganda wartawan di bidang pendidikan, saya

kira tidak masalah. Relatif potensi benturan kepentingan tidak ada. Tapi,

kalau wartawan sekaligus pengusaha, ini jadi masalah. Di sini kuncinya

adalah kode etik. Kode etik itu kalau “diperas” menjadi hanya satu kata:

nurani. Menjadi wartawan yang mengikuti nurani adalah wartawan yang

amanah. Amanah artinya menjalankan kepercayaan yang diberikan publik

kepada dia. Kalau menyalahgunakan amanah itu, dia mengkhianati publik.

Mungkin dia tidak salah dalam arti menyalahi perundang-undangan. Dan

sanksi etika itu bukan penjara, tapi moral.

Bambang: Wartawan juga boleh berpendapat pada saat, misalnya,

menulis kolom yang menjadi pendapat pribadinya. Menulis kolom itu lebih

baik, sebab  dengan tulisan kolom orang menjadi tahu sudut pandang

wartawan. Seperti di majalah Tempo, opini diletakkan di halaman depan.

Maksudnya susaha  pembaca tahu kira-kira Tempo akan melihat masalah

dari sudut pandang apa.

Jangan salah, yang dimaksud independen itu bukan netral. Independen

artinya tanpa pengaruh apa-apa, tanpa tekanan, wartawan mengambil sikap

sebab  dirasa hal itu yang paling obyektif dan paling benar. Sedangkan

netral, walaupun wartawan tahu ini salah dan itu benar, dia tetap tidak

mau berbuat apa-apa. Saya pikir, justru dalam beberapa hal wartawan

bisa terkena hukum kalau misalnya ada kejahatan dia tidak berbuat apa-

apa, turut membiarkan kejahatan itu terjadi.

Soal benturan kepentingan, satu hal yang sering saya lihat, wartawan

menulis untuk bagian iklan. Saya anjurkan itu dihindari.

SMS

Zen (Muara Jambi): Banyak pejabat malas bertemu wartawan

sebab  banyak oknum wartawan yang jadi tukang peras. Bagaimana

mengatasinya?

Narto (Pondok Gede): Wartawan yang berprofesi ganda

hendaknya memilih satu profesi sebab  apapun yang dibicarakan,

apalagi ada nego, sudah pasti profesi wartawan dijadikan iming-

iming. Wartawan dikenal dekat dengan pejabat dan mudah

menggampangkan masalah.

--


Bambang: Dewan Pers sering ke daerah. Di daerah, warga 

atau pejabat mengaku diperas “wartawan.” Saya bilang, “jangan dikasih,

jangan ada anggaran untuk wartawan.” Mereka bilang, “tidak enak. Kalau

tidak diberi uang akan diberitakan.” Kalau pejabat tidak bermasalah, tidak

perlu takut dengan model pemerasan sejenis  itu. Lawan saja. Kalau

mereka meminta-minta, itu sama saja dengan pengemis. Terserah kita

mau memberi uang atau tidak. Kalau memaksa, itu sudah pemerasan.

Bagaimana media mengatur wartawannya agar tidak

berprofesi ganda atau tidak menyalahgunakan profesinya?

Bekti: Kita tidak boleh melarang istri wartawan berbisnis. Hanya

kemudian, kita jaga agar tidak terjadi benturan kepentingan. Kalau benturan

kepentingan itu terjadi, independensi dan obyektivitas wartawan menjadi

terancam, berita yang ditulis bias dan warga  rugi.

Ini saatnya Dewan Pers bersama organisasi profesi dan perusahaan

pers berdiskusi sebab  banyaknya wartawan yang menjadi calon anggota

DPR dan yang sudah menjadi anggota DPR. Kita undang mereka.

Bambang: Wartawan sering bilang, perlu transparansi di pemerin-

tahan. Sekarang ada sejenis  desakan susaha  wartawan juga transparan

di dalam pekerjaan dan organisasinya. sebab  itu, saat ini cenderung di

dalam berita dicantumkan juga siapa yang menulisnya. Sekarang juga

ada citizen journalism, ada internet, sehingga orang mudah berinteraksi.

Semua ini bisa digunakan warga  untuk mengontrol wartawan. Misal-

nya, masyarkat tahu wartawan menulis berita, bukan opini, kasus lingku-

ngan padahal dia aktivis lingkungan hidup. warga  bisa menulis bahwa

berita wartawan itu tidak obyektif, sebab  dia memiliki benturan ke-

pentingan. Kalau kritik itu diketahui redakturnya, akan menjadi perhatian-

nya. Redaktur perlu bantuan warga  untuk mengontrol wartawannya.

Saya selalu bilang, tentara saja yang punya aturan keras dan

ancaman penjara, masih banyak yang harus ditindak sebab  melanggar,

apalagi Dewan Pers yang tidak punya aparat dan penjara. Tapi, kita juga

tidak ingin jadi “polisi pers”, sebab  warga  cukup cerdas untuk memilih

mana produk wartawan yang bisa dipercaya dan mana yang tidak.


Dewan Pers selalu ingin mencari jalan atau kebijakan agar

transparansi di dunia wartawan meningkat sehingga wartawan nakal segera

diketahui dan ditindak. Minimal warga  segera tahu mana wartawan

yang tidak bisa dipercaya.

Dewan Pers juga berharap masukan mengenai independensi Dewan

Pers. Belum lama ini ada anggota Dewan Pers diketahui terdaftar sebagai

calon anggota legislatif. Saat Dewan Pers mau membuat keputusan tentang

hal itu, kebetulan dia sudah mengundurkan diri dari daftar caleg.

Kasusnya selesai.

™™™

--


Pernyataan Dewan Pers

Nomor: 01/P-DP/IX/2009

Tentang

 Penempatan Pejabat Pemerintah

di dalam Struktur Redaksi Pers

Dewan Pers akhir-akhir ini mengamati dan menerima

pengaduan mengenai penempatan pejabat pemerintah di dalam

struktur redaksi pers. Umumnya pejabat pemerintah ini 

ditempatkan sebagai penasehat, pembina atau pelindung.

Terkait hal itu, Dewan Pers mengingatkan, Pasal 3 ayat (1)

Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers menegaskan bahwa “Pers

nasional memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan,

hiburan dan kontrol sosial”. Pasal 6 UU Pers, khususnya huruf a

dan d menyebutkan, pers nasional melaksanakan peranan

“melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal

yang berkaitan dengan kepentingan umum”.

Pejabat pemerintah dan lembaga yang dipimpinnya harus

menjadi bagian dari objek yang dikontrol oleh pers secara terus

menerus. Dengan demikian pers yang menempatkan pejabat

pemerintah di dalam struktur redaksinya bertentangan UU Pers.

Sebab pers ini  tidak akan mampu menjalankan peran dan

fungsinya secara optimal.

Pejabat pemerintah hanya dapat menjadi penasehat, pembina

atau pelindung bagi penerbitan internal yang dikelola oleh

lembaganya dan bersifat non-komersial.

Jakarta, 4 September 2009

Dewan Pers

dto

Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA

Ketua


warga  dunia menetapkan 9 Desember sebagai Hari Anti-

Korupsi Sedunia. Penetapan ini menegaskan tekat warga  dunia

untuk bersama memberantas korupsi, menjadikannya sebagai musuh

bersama yang harus terus dilawan. Perlawanan terhadap korupsi telah

menjadi strategi terpenting bagi usaha  menyejahterakan warga ,

memeratakan pembangunan, dan memperkuat demokrasi.

Bagi warga  Indonesia, tekat memberantas korupsi terus

menguat, terutama sesudah  kejatuhan rezim Orde Baru. Dalam bebe-

rapa tahun terakhir status Indonesia belum beranjak dari 10 negara

terkorup di dunia, menandakan prilaku korupsi masih sulit dicegah.

Diperlukan kerja bersama dari banyak pihak untuk mengentaskan

Indonesia dari 10 negara terkorup itu.

Ada harapan terhadap pers untuk banyak mengambil peran,

sebab  posisinya yang strategis. Saat ini pers dapat lebih bebas

berperan sebagai lembaga kontrol dan kritik sosial. Berikut perbin-

cangan dalam program Sarapan Pagi -- dengan Juru Bicara

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johan Budi, dan Wakil Ketua

Dewan Pers, Leo Batubara.

--

10 Desember 2008

Narasumber:

Johan Budi

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi

Leo Batubara

Wakil Ketua Dewan Pers

Host Tamu:

Bekti Nugroho

Anggota Dewan Pers

Penyiar Radio:

Vivi Zakki

--

--


Bagaimana peran pers dalam pemberantasan korupsi?

Johan Budi: sesudah  masa reformasi, orang begitu mudah mendapat

informasi. Perkembangan pers juga begitu pesat. Setiap orang bisa men-

dirikan koran, televisi lokal bertumbuhan. Hal ini berimbas pada persaingan

untuk mendapatkan eksklusivitas berita. Bagi media yang profesional dan

sudah mapan, persaingan itu tidak jadi masalah. Untuk media-media baru,

terutama yang “tidak jelas”, menjadi masalah sehingga muncul berita-berita

yang melanggar asas praduga tak bersalah, bahkan jauh melebihi itu. Mereka

melanggar kode etik dan UU No.40/1999 tentang Pers.

KPK melihat media saat ini tidak hanya berperan membantu KPK,

namun  juga membantu memberi informasi yang menjurus pada

pengungkapan kasus yang tidak bisa ditembus oleh aparat penegak hukum.

Kadang-kadang sumber informasi lebih terbuka pada media dibanding

kepada aparat penegak hukum. Ada beberapa pemberitaan yang terus

terang saja kita jadikan bahan awal melakukan penelaahan atau

penyelidikan lebih lanjut. Bahkan KPK sejak tahun 2007 roadshow di

delapan kota mengadakan kegiatan pelatihan untuk mengajak media,

mengingatkan media, terhadap peran strategisnya.

Rubrik investigasi di media mapan sepertinya masih jarang.

Saya paham sulitnya mencari bahan yang matang seiring semakin

sadarnya narasumber bahwa obyek berita bisa melakukan gugatan terhadap

media. Kita tahu sederet media sejak masa reformasi digugat oleh

narasumber maupun obyek berita. Sehingga, media begitu hati-hati dalam

mengungkap kasus atau persoalan yang membutuhkan in-depth reporting

atau investigative reporting yang memerlukan waktu dan biaya.

Secara umum, bagaimana pemberitaan pers dalam kaitan

pemberantasan korupsi?

Dalam era saat ini, korupsi memang menjadi top rating bagi media.

Tidak hanya media, di daerah juga pasti ada nama LSM yang embel-embel--

nya korupsi. Korupsi memang jadi topik utama media. Saya kira tidak hanya


di Indonesia, seperti di Burma atau Vietnam, saat  saya berbicara dengan

ketua “KPK”  di sana, pemberantasan korupsi juga jadi konsen media.

Negara-negara berkembang konsen dengan masalah korupsi.

Apakah media benar-benar telah berperan dalam

pemberantasan korupsi?

Leo Batubara: Pemberantasan korupsi membutuhkan informasi dan

fakta. Ternyata peran media dalam pemberantasan korupsi baru sebatas

menyediakan panggung untuk KPK. Saya lihat semua temuan KPK

diekspos oleh media—meskipun ini tidak buruk. Dengan hanya

mengekspos temuan KPK, media itu merasa aman sebab  tidak ada yang

mengadukannya ke polisi.

Peran media dalam pemberantasan korupsi, dengan memberi

panggung kepada KPK, sangat luar biasa dan terpuji. namun , dukungan

media untuk mengungkap korupsi dengan memberi bahan-bahan informasi

kepada KPK, masih sangat mengecewakan. Media berkualitas kurang berani

melakukan investigasi. Yang berani hanya satu-dua, sebab  hasil investigasi

media, tentang pejabat atau politisi bermasalah biasa di-counter back. Hasil

investigasi dianggap menghina dan mencemarkan lalu mereka menempuh

jalur hukum. KUHP, yang dibuat Belanda untuk melindungi pejabat dari

kritik pers, siap menjerat pers. Ini adalah tantangan berat bagi pers.

Pers sekarang sudah bebas. Tapi, mengapa peran pers dalam

pemberantasan korupsi masih mengecewakan?

Di zaman Orde Baru, hukuman bagi pers yang dianggap mengganggu

pejabat ialah dengan bredel dan penjara. Sekarang bredel sudah tidak

ada, bahkan UU Pers menyebut wartawan tidak boleh dipenjara. Kesalahan

kata-kata dibalas dengan kata-kata dan bagi yang tidak puas boleh

menempuh jalur hukum. Pers yang salah bisa didenda maksimum Rp.

500 juta. Namun, jika yang merasa tidak puas memakai  KUHP dan

KUHAP, maka di situ tersedia hukuman penjara sampai sembilan tahun

dan denda sampai Rp. 1,5 triliun.

--


Memang benar kebebasan pers di era Reformasi jauh lebih signifikan

dibanding Orde Baru. Tapi harus hati-hati, kemerdekaan pers kita sekarang

bagaikan madu dan racun: madunya adalah UU Pers sedang racunnya

yaitu 37 pasal di KUHP yang bisa mengirim wartawan ke penjara. UU

Pers melindungi wartawan sedang KUHP siap memenjarakan.

Dengan masih ada banyak ancaman, apakah pers bisa

disalahkan jika tidak mampu berperan maksimal?

Pers yang baik tidak bisa disalahkan, tapi pers sebagai penumpang

gelap kemerdekaan pers yang disalahkan. “Pers gelap” itu tahu “kolam ikan”

kita kotor sebab  masih banyak korupsi. Mereka mendirikan koran dan

melakukan investigasi. Tujuannya bukan untuk pemberantasan korupsi tapi

bagi-bagi hasil korupsi. Sejumlah media itu telah diadukan ke Dewan Pers.

Sekarang ini ada sekitar tujuh media bernama “KPK”. Ketua KPK

Antasari Azhar dan Kapolri Sutanto mengeluh ke Dewan Pers, mengapa

nama mereka dikaitkan dengan media-media itu. Kemudian Dewan Pers

memanggil tiga media di antaranya. Dewan Pers mengatakan kepada

mereka, jika ingin membantu memberantas korupsi jangan gunakan nama

KPK. Memang ada sebagian media yang mendiskreditkan media lain yang

ingin serius membantu pemberantasan korupsi. Inilah kondisinya.

Apakah media utama atau mainstream belum memiliki

komitmen dalam pemberantasan korupsi?

Media dalam kaitan pembahasan ini dapat dibagi dua, yaitu media

berkualitas atau mainstream dan media abal-abal. Media berkualitas di

Jakarta maupun di daerah lain, sejauh yang saya amati, tidak proaktif

Tapi harus hati-hati, kemerdekaan pers kita sekarang

bagaikan madu dan racun: madunya adalah UU Pers

sedang racunnya yaitu 37 pasal di KUHP yang bisa

mengirim wartawan ke penjara.

“”


melakukan investigasi korupsi. Mereka tahu pejabat, pebisnis atau politisi

yang diinvestigasi dapat menempuh jalur hukum sebab  dilindungi oleh

KUHP. Jika mereka mengadu ke penegak hukum, dan penegak hukum

memakai  KUHP, maka akan sangat merepotkan media berkualitas.

Sehingga, media-media itu memilih diam.

Sementara media abal-abal, mereka melakukan investigasi namun 

sasarannya bukan untuk memberantas korupsi. Mereka meminta kepada

pelaku korupsi untuk bagi-bagi hasil korupsinya.

Berbeda dengan di Amerika. Di sana ada Kongres, tugasnya

mengawasi pemerintah. Mereka bekerjasama dengan pers. Temuan-temuan

pers mengenai dugaan korupsi digunakan oleh Kongres untuk

mengusaha kan pemerintahan bersih. Jika ada perkara, penegak hukum

selalu memakai  temuan-temuan pers dalam rangka memerangi

korupsi. Di sana penegak hukum berkecenderungan melindungi

kemerdekaan pers.

Di Indonesia juga ada DPR yang memiliki fungsi pengawasan. Namun

yang terjadi, sesuai laporan ke KPK, DPR ternyata juga sarang korupsi.

Jadi, pers tidak lagi punya teman. Informasi dari pers berkualitas seharusnya

digunakan oleh penegak hukum untuk menyeret terduga korupsi ke

pengadilan. Namun, bukan tersangka yang diseret ke pengadilan namun 

medianya. Dan apabila kasusnya sampai ke Mahkamah Agung, sebagian

besar pers disalahkan atau didenda triliunan. Tahun ini (2008) saya

mengunjungi dua wartawan yang dipenjara, Nasution di Sumatera Utara

dan Risang Bima Wijaya di Yogyakarta. Mereka dipenjara sebab  beritanya.

Telepon

Saiful (Jakarta): Peran pers dalam pemberantasan korupsi

saat ini cukup baik dibanding sebelumnya, kita berikan apresiasi.

Kita ingin pers yang berdemokrasi, yaitu ada keseimbangan. Pers

tidak perlu takut dengan ancaman hukuman sebab  mengacu pada

asas praduga tak bersalah dan kesetaraan di depan hukum. Negara

kita baik. Yang tidak baik adalah oknum penyelenggara negara.

Oknum inilah yang dikejar pers selaku pengontrol.

--


Ada tanggapan terhadap penelepon tadi?

Apa yang dikemukakan Saiful memang telah menjadi pedoman bagi

pers. Sesuai dengan UU Pers dan kode etik, pers memang harus sesuai

dengan tatanan demokrasi dan berimbang. Namun, masih ada ketentuan

lain yaitu KUHP. Investigasi pers dalam mengungkap korupsi, sesuai UU

Pers, dilindungi sebab  semangatnya memberantas korupsi. Tapi, berita

dugaan korupsi oleh KUHP bisa dianggap penghinaan dan hukumannya

penjara sembilan tahun. Walaupun berimbang dan ada hak dari terduga

korupsi untuk memberi penjelasan, tapi kalau mengadu ke penegak hukum

dengan memakai  KUHP maka semua dugaan korupsi dan kritik pers

bisa dianggap pencemaran.

Pers bukan tidak berani. Di zaman Orde Lama wartawan Mochtar

Lubis dipenjara sembilan tahun dan di masa Orde Lama dipenjara dua

tahun tiga bulan bulan. Saat Orde Lama dan Orde Baru ada 237 penerbitan

dibredel sebab  mengkritik. Sekarang banyak wartawan yang berani tapi

medianya tidak berani, takut bisnisnya hancur. warga  harus tahu

kendala pers ini.

Banyak media berkualitas tidak proaktif mengungkap korupsi sebab 

mereka tahu biaya yang dikeluarkan mahal, apalagi sampai ada tuntutan.

sebab  itu, mereka lebih memilih memberi liputan yang sangat baik

mengenai keberhasilan KPK. Hanya satu-dua yang menjadi lokomotif

dengan berani mengungkap dugaan korupsi.

Untuk mendorong lebih besar lagi peran pers dalam

pemberantasan korupsi, apa yang dapat dilakukan?

Ada “sejarah gagal” terbesar di era Reformasi: Pertama, dua wartawan

yang divonis penjara mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi

dengan didukung oleh Lembaga Bantuan Hukum Pers dan Dewan Pers.

Dukungan kita susaha  Pasal 310, 315, dan 207 dalam KUHP, yang sering

digunakan untuk memenjarakan wartawan sebab  karya jurnalistiknya,

dianggap melanggar Konstitusi. Semangatnya agar UU Pers semakin

berhasil memerangi korupsi sehingga wartawan yang melakukan investigasi

tidak lagi dipenjara.

| 157

Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya justeru

memakai  dalil-dalil perancang revisi KUHP yang lebih banyak memuat

pasal yang dapat mengancam pers dibanding KUHP buatan Belanda.

Dalam rancangan KUHP ada 61 pasal yang dapat mengancam pers, dan

bentuk hukumannya lebih diperberat dari satu setengah tahun menjadi

empat tahun penjara. MK ternyata tidak mendukung dekriminalisasi pers

(yang ada di dalam UU Pers). Artinya mereka mengatakan, memenjarakan

wartawan adalah sah menurut Konstitusi.

Ini sangat mengecewakan. Wasit kita (MK) ternyata tidak pro dengan

konsep UU Pers yang melarang mengkriminalkan pers. MK berpihak kepada

KUHP buatan Belanda bahwa memenjarakan wartawan adalah sah menurut

Konstitusi. sebab  itu, saya bisa memahami media berkualitas tidak mau

repot mengungkap korupsi sebab  MK juga tidak mau melindungi mereka.

Dewan Pers telah merancang MOU dengan Polri agar apabila ada

kasus pers yang diadukan ke polisi didahulukan memakai  UU Pers.

Telepon

Tedi (NTT): Bagaimana posisi media pemerintah dalam

pemberitaan korupsi?

Sekarang media penyiaran RRI dan TVRI tidak lagi milik pemerintah,

namun  menjadi lembaga penyiaran publik. Yang terjadi sekarang, di daerah

ditemukan beberapa pejabat memiliki koran atau buletin. Hal itu boleh

saja untuk sosialisasi. Namun, warga  jangan berharap mendapat

informasi korupsi dari buletin sejenis  itu.

Apakah TVRI dan RRI di daerah masih “dikuasai” pemerintah?

Menurut Pasal 36 ayat (4) UU No.32/2002 tentang Penyiaran media

penyiaran harus netral dan tidak boleh berpihak pada golongan tertentu.

Jadi, sebenarnya tidak ada ruang bagi pemerintah untuk memiliki lembaga

penyiaran. Kalau ada pejabat memiliki lembaga penyiaran berarti melanggar

UU dan perlu diadukan ke KPI dengan ditembuskan ke Dewan Pers.

--

158 |  -

Telepon

Abdullah (Banda Aceh): Ada media abal-abal ada media main-

stream. Saya pribadi tidak terlalu berharap kepada media mainstream,

sebab  mereka sudah berubah menjadi lembaga bisnis. Kalau

memberitakan korupsi takut bisnisnya hancur. Media abal-abal kalau

meliput sering meminta amplop. Namun, kita bisa berharap kepada

media abal-abal ini sebab  secara bisnis belum mapan sehingga ada

keberanian. Atau, bisa jadi kita juga tidak dapat berharap kepada

media abal-abal atau mainstream. Untuk apa wartawan berkualitas

bekerja di media yang lebih mementingkan bisnis?

Pada awal kemerdekaan Indonesia, media yang ada adalah media

perjuangan. Mereka berkembang sebab  disubsidi pemiliknya atau partai

politik pendukungnya. Masuknya sistem pasar bebas menyebabkan koran

yang mengandalkan subsidi akan mati. Koran-koran partai zaman dulu

semua mati sebab  isinya tidak menarik. Sekarang koran yang bisa hidup

yang isinya independen dan harus dikelola atas kekuatan sendiri. Pers

harus dibeli rakyat sehingga iklan bisa masuk. Bisnis pers sejenis  ini

tidak ada dosa, sepanjang isinya tetap berorientasi untuk kepentingan

rakyat. Susaha  pers tetap laku isinya harus sesuai aspirasi rakyat.

Yang terpenting dalam industri pers, pers memiliki wartawan

profesional. Rumusnya, ia mampu membuat berita atraktif, mencerahkan

rakyat, dan taat kode etik. Media sejenis  ini pasti dibutuhkan rakyat

dan itu namanya industri. Kalau ada media maju tak gentar membela

yang bayar, itu namanya media yang salah.

Media harus dibisniskan susaha  hidup. Ada dua model media

sejenis  ini, yaitu media yang bisa menghargai aspirasi rakyat. Media

model inilah yang baik. Tapi ada media yang tunduk pada pebisnis atau

pemodal. Akibatnya banyak muncul, misalnya, “jurnalisme kuda”.

Maksudnya, isi media itu sesuai keinginan si penunggang kuda. Itu

namanya bisnis media busuk dan Dewan Pers berusaha  menguranginya

agar media berkualitas bisa berkembang.

| 159

Tampaknya ada keputusasaan sebab  media mainstream pun

tidak mampu berbuat banyak dalam mendorong pemberantasan

korupsi?

Masalah ini akhirnya ada di hulu. Berharap pers menjadi motor dalam

pemberantasan korupsi sudah sesuai konsep clean and good governance.

Tapi, di Indonesia bagian hulu-nya tidak melindungi. Maksudnya, Konstitusi

kita belum melindungi wartawan dan belum menempatkan kemerdekaan

pers untuk memiliki hak konstitusional.

Pemerintah kita, mulai dari pemerintah Belanda sampai sekarang,

masih menerapkan politik hukum yang mengkriminalkan pers. Kritik

terhadap pejabat, politisi, atau pebisnis, dapat dinilai sebagai penghinaan

atau pencemaran dan di KUHP ada pasal-pasal yang siap memenjarakan

wartawan. Politik hukum ini harus direformasi. Kita harus tiru India atau

Sri Lanka. Mereka tidak lagi mengkriminalkan pers. Pers paling hanya

diadukan dalam perkara perdata, didenda sebatas proporsional. Kalau

didenda sampai Rp 1 triliun itu namanya membunuh pers.

Jangan lagi menganggap wartawan pelaku kegiatan jurnalistik sebagai

penjahat. Memenjara wartawan sebab  kegiatan jurnalistik sama saja

memosisikan wartawan sebagai penjahat. Celakanya, MK masih

menganggap pers itu penjahat. Penjahat artinya, kritik sosial wartawan

masih dianggap kejahatan. Sehingga memenjarakan wartawan, menurut

mereka, sesuai dengan Konstitusi. Konsep itu sudah terbelakang. Dari

sembilan anggota MK tidak satupun yang memakai  dissenting opin-

ion untuk membela kemerdekaan pers.

Itu semua hulu yang harus diperbaiki. Jika sudah diperbaiki semua

media berkualitas akan aktif melakukan investigasi, bukan seperti sekarang

hanya satu-dua. Selain itu, mulai sekarang sebaiknya pejabat tidak lagi

Kritik terhadap pejabat, politisi, atau pebisnis, dapat dinilai sebagai

penghinaan atau pencemaran dan di KUHP ada pasal-pasal yang

siap memenjarakan wartawan. Politik hukum ini harus direformasi.

“”

--

160 |  -

memberi amplop kepada wartawan. Agar media abal-abal mati. Media

seperti itu akan mati jika tidak ada lagi amplop untuk mereka.

Bekti Nugroho: Hasil riset dari Bank Dunia menyebutkan negara

yang memiliki kemerdekaan pers berpeluang 70% untuk berhasil

memberantas korupsi. Artinya, Indonesia punya kesempatan.

Mamuju (Berita Dewan Pers) – Pers dan lembaga penegak

hukum (kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman), memegang peran

kunci dalam pemberantasan korupsi. “Selama dua pihak ini tidak

bersih, maka korupsi akan sulit dicegah,” kata Anggota Dewan Pers,

Bekti Nugroho, saat menjadi narasumber acara literasi media yang

digelar Dewan Pers di Mamuju, Sulawesi Barat, Senin (18|6).

Bekti menambahkan, salah satu syarat tercapainya

pemerintahan yang baik (good government) adalah adanya

kebebasan pers yang terjamin. Di sini, kelangsungan kebebasan

pers sangat dipengaruhi oleh sudut pandang positif atau negatif dari

warga .

“Jika pers dipahami sebagai kebutuhan untuk demokrasi, maka

orang cenderung melihat pers secara positif untuk memperbaiki

warga  atau pemerintah,” kata wartawan senior RCTI ini.

Literasi Media

Acara literasi media di Mamuju ini merupakan rangkaian dari

kegiatan serupa yang digelar di beberapa kota selama tahun ini.

Dewan Pers menyadari peran penting warga  dalam usaha 

Pers dan Penegak Hukum

Kunci Pemberantasan Korupsi

™™™

| 161

meningkatkan profesionalisme pers. warga  didorong untuk

kritis terhadap pers.

Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, dalam diskusi yang sama

mengungkapkan tujuh kebiasan buruk pejabat saat berhadapan

dengan pers, yaitu menutup diri; emosional atau main hakim sendiri;

tidak membedakan tanggung jawab wartawan dan pemimpin redaksi

media atas berita yang bermasalah.

Kebiasan buruk lainnya, menumpuk-numpuk kasus sebab 

berita atau tidak langsung merespon saat pertama diberitakan buruk;

langsung mengadu ke polisi; menyuap wartawan; serta mengontrol

pers melalui pemasangan iklan.

Tentang iklan, Agus mengingatkan prinsip pemisahan yang

tegas antara berita dan iklan (prinsip pagar api). Iklan tidak boleh

disajikan dalam bentuk berita. Prinsip ini harus dipegang oleh

wartawan dan dipahami oleh warga .

Agus melanjutkan, berita satu media pers yang selalu baik

terhadap lembaga tertentu sama mencurigakannya dengan berita

yang selalu jelek tentang lembaga ini . “Idealnya berita pers

proporsional: Fakta positif dan negatif tentang lembaga tertentu

diberitakan sesuai apa adanya,” katanya.

Dalam acara yang sama, mantan Wakil Ketua Dewan Pers,

Leo Batubara, meminta pejabat, politisi, dan pengusaha tidak

memberi  uang amplop kepada wartawan. Dengan begitu

keberadaan “wartawan abal-abal” (tidak profesional) dapat cepat

berkurang.

“Kebiasaan memberi  uang amplop menyuburkan praktik

wartawan abal-abal,” tegasnya. (red)


Jakarta (Berita Dewan Pers) - Pers dapat memotivasi penegak

hukum agar lebih serius dalam memberantas korupsi. Saat ini, tidak

ada pengungkapan kasus korupsi yang tidak didukung pers. Peran

pers sejenis  itu dapat lebih maksimal apabila wartawan mampu

mengulas kasus korupsi secara mendalam.

Pendapat ini  disampaikan Anggota Satgas

Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Achmad Santosa, saat menjadi

narasumber dalam program “Dewan Pers Kita” yang disiarkan TVRI

Nasional, Selasa, (24|5) pukul 22.00 – 23.00 WIB. Dialog yang

dipandu Anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi, ini juga

menghadirkan Anggota DPR RI, Didi Irawadi, dan Ketua Umum

Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nezar Patria.

Menurut Mas Achmad Santosa, saat ini masih jarang pers yang

mampu membuat berita investigasi tentang korupsi. Selain itu,

kebijakan redaksi media masih banyak yang dipengaruhi oleh

kepentingan pemiliknya. “Sekarang warga  sudah pintar untuk

memilih pers yang independen dan yang tidak independen,” katanya.

Sementara itu, Nezar Patria menyatakan, kontribusi pers dalam

pemberantasan korupsi di Indonesia sangat luar biasa. Dalam

hitungannya, hampir lima puluh persen kasus korupsi yang mencuat

ke publik atau masuk pengadilan sebab  kerja pers.

Ia menambahkan, wartawan memerlukan pelat ihan

keterampilan dan kode etik agar mampu menghasilkan berita

berkualitas. “Perpaduan antara keterampilan dan kode etik itulah

jurnalisme berkualitas,” tegasnya.

Didi Irawadi berpendapat, kunci bagi pers untuk mampu

berperan maksimal dalam pemberantasan korupsi yaitu

independensi dan obyektivitas. “Kalau pers lebih ke provokasi, ia

lebih menjadi alat politik,” tambahnya.


Pada Rabu, 19 Maret 2008, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

memberi  penghargaan untuk program-program televisi terbaik

tahun 2007. Kategorinya meliputi program dokumenter, sinetron

lepas, berita investigasi, talkshow, dan program anak. Penghargaan

sejenis  ini perlu diapresiasi sebab  dapat memberi masukan

kepada warga  tentang tayangan televisi seperti apa yang baik

untuk ditonton.

Sangat besar dampak tayangan televisi terhadap kehidupan

keluarga dan sosial, politik, serta budaya warga . Kita perlu

mendorong munculnya tayangan-tayangan berkualitas di tengah

kritik terhadap tayangan televisi kita, sebab  dianggap lebih suka

menonjolkan kekerasan, seks, sensasi, dan rumor.

Berikut perbincangan dengan Anggota Dewan Pers, Abdullah

Alamudi.

--

24 Maret 2008

Narasumber:

Abdullah Alamudi

Anggota Dewan Pers

Host Tamu:

Bekti Nugroho

Anggota Dewan Pers

Penyiar Radio:

Nanda Hidayat

--

--


KPI baru saja memberi  penghargaan untuk tayangan televisi

terbaik tahun 2007. Apa komentarnya?

Saya melihat segi positifnya. Sebab, ada dua kontroversi mengenai

hal itu. Ada yang mempertanyakan, apakah pantas lembaga seperti KPI,

sebagai lembaga kontrol, memberi  penghargaan? Kita lihat segi

positifnya. Tujuannya baik yaitu menyampaikan kepada warga  dan

industri televisi program apa yang baik untuk warga .

Yang penting di sini, penghargaan diberikan KPI namun  bukan KPI

yang menentukan. Ada badan dan orang independen yang ahli di bidang

masing-masing, seperti Kak Seto untuk anak-anak, sehingga penilaian

mereka bisa dianggap obyektif. Hasilnya juga betul-betul seperti yang

diperkirakan.

Di dalam penghargaan ini ada kategori talkshow, dokumenter,

investigasi, dan sinetron. namun , tidak ada kategori berita?

Kalau masalah berita harus dibicarakan bersama-sama antara Dewan

Pers dan KPI. Sebab, soal berita bukan wilayah KPI sendiri. Dalam kategori

ini ada program investigasi dan saya kira cukup. Yang penting, program

investigasi itu memunculkan apa yang penting bagi publik.

Kategori investigasi dimenangi oleh ANTV dalam program

Telisik berjudul ”Narkoba dalam Penjara”.

Pemberian penghargaan kepada ANTV ini bisa dipertanggungjawabkan

kepada publik. Sebab, orang yang memberi nilai dalam posisi independen

dan tahu masalahnya. Saya kira cukup adil penjuriannya.

Apakah benar tayangan televisi kita saat ini lebih menonjolkan

kekerasan, seks, dan rumor sehingga diperlukan tayangan

alternatif?

Perlu sekali alternatif, sebab  banyak sekali program televisi

bertentangan dengan Pasal 36 UU Penyiaran yang mewajibkan televisi


menyiarkan informasi yang mengandung pendidikan, hiburan, dan bermanfaat

untuk pembentukan watak dan moral bangsa. Yang banyak kita tonton adalah

tayangan horor, hantu, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga.

Misalnya, ada tayangan ayah menampar anak, ayah menganiaya istri atau

menggauli pembantunya. Hal-hal sejenis  itu ditonjolkan, padahal tidak

mendidik. Banyak tenaga profesional di dalam industri pertelevisian kita.

Cuma, mengapa skrip sejenis  itu yang sering diangkat?

Sekarang ada 11 televisi nasional di Jakarta dan lebih dari 100

televisi lokal. Khusus mengenai program berita di televisi, sejauh

ini seperti apa?

Dari segi isi masih sering terjadi pelanggaran etika. Masih sering

kita lihat televisi menyiarkan wawancara dengan anak yang menjadi korban

perkosaan. Wajah anak itu, meskipun sudah dikaburkan, tapi tidak cukup

tebal mengaburkannya. Seharusnya diberi mozaik sedemikian rupa

sehingga wajahnya sama sekali tidak terlihat. Juga masih banyak

ditonjolkan wawancara dengan anak yang tidak disertai orang tua atau

pengacaranya. Itu tidak boleh.

Banyak berita sepihak, terutama dalam program infotainmen. Hanya

satu pihak yang diwawancarai pada saat berita disiarkan. Kalaupun pada

esok harinya ada pihak lain yang diwawancarai, itu soal lain. Seharusnya,

pada saat berita awal muncul, kedua pihak diwawancarai sehingga

berimbang. Kedua pihak dimunculkan pada episode yang sama, tidak

menunggu besoknya. Verifikasi harus terjadi pada saat yang sama.

Saat ini, selain infotainmen juga marak tayangan berita

kriminalitas.

Berita kriminalitas memang perlu kita tahu. Tapi, apakah penonjolannya

perlu detail sehingga darah kelihatan? Saya kira itu tidak perlu.

Mengenai tayangan rekonstruksi kasus kriminal, ada kasus yang pernah

diselesaikan di Dewan Pers. Rekonstruksi itu belum tentu benar. Sebab,

biasanya dibuat dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) polisi. BAP itu hanya

sepihak dari pengadu. Bagaimana dengan yang diadukan? Tidak ditonjolkan.

--

166 |  -

Bagaimana ke depan agar tayangan berita di televisi semakin

profesional?

Dalam segi berita, Dewan Pers dan KPI harus bekerja bersama-sama.

KPI sudah ada MOU dengan polisi. Itu harus diberdayakan. Dari Dewan

Pers, penilaian tentang etika harus diberdayakan. Dewan Pers dan KPI

harus sering duduk bersama.

Saat pengumuman penghargaan dari KPI, ada usul dari Wakil

Presiden Jusuf Kalla, sebaiknya juga diberikan penghargaan untuk

tayangan televisi terburuk.

Pada malam penghargaan KPI, Wapres Jusuf Kalla mengatakan,

’jangan hanya memberi  penghargaan kepada tayangan yang baik saja.

Beritahu juga kepada warga  jenis program yang buruk, susaha 

warga  tidak menontonnya.’ Itu ide baik. Di beberapa negara, ada

artis berpakaian paling baik dan berpakaian paling buruk yang sama-sama

diberi penghargaan.

Anda mendukung KPI Award untuk diteruskan?

Saya melihatnya sebagai satu hal yang sangat positif. Mudah-

mudahan bisa mendorong para produser televisi agar jangan hanya

mengejar rating. Sekarang banyak tayangan televisi yang hanya mengejar

rating. Padahal, rating itu dibuat hanya dari 10 kota besar. Lembaga

pemberi rating itu sendiri pernahkah diaudit? Setahu saya belum pernah.

Hanya ada satu perusahaan yang pemberi rating, sehingga pandangannya

monopoli. Itu pun perusahaan asing. Masalahnya, kenapa tidak ada

perusahaan rating dari Indonesia?

Mungkinkah Dewan Pers, KPI, dan Kominfo membuat rating

publik seperti yang dilakukan di Malaysia?

Kemungkinan itu bisa kita kaji lebih jauh. Tapi, jangan sampai lembaga

yang akan dibentuk dan didukung kominfo itu justru menjadi alat kontrol

terhadap pers. Kita mengatakan, jangan lagi pemerintah mencampuri urusan

| 167

publik. Mungkin lembaganya cukup KPI dan Dewan Pers saja atau lembaga

independen lain, sebab  yang mengontrol pers bukan lagi pemerintah tapi

warga . Kita dorong warga  untuk memakai  haknya

mengontrol pers, secara pribadi atau kelompok. Pers adalah perpanjangan

tangan rakyat. Mereka harus memenuhi hak warga  untuk

memperoleh informasi.

Telepon

Sofyan (Padang): Saya kurang setuju banyaknya tayangan

infotainmen tentang artis-artis. Terlalu banyak penonjolan tayangan

itu oleh televisi, dari bangun pagi hingga jam sembilan malam.

Tayangan itu kurang bermanfaat bagi warga  seperti saya. Saya

membutuhkan informasi yang mendidik untuk warga  umum,

misalnya masalah sosial, kewarga an, atau pendidikan.

Apakah benar tayangan infotainmen sudah sangat dominan di

televisi kita?

Itu betul. Infotainmen di stasiun televisi kita disiarkan dari pagi sampai

malam. Ada ratusan jam dalam seminggu. Sepuluh stasiun televisi di

Jakarta menyiarkan infotainmen.

Bukankah berarti tayangan itu disukai warga  dan laku

dijual oleh stasiun televisi?

Yang berusaha ditampilkan oleh industri televisi: Si A bercerai dengan

si B, artis C sedang berpacaran, dan lain-lain. Apa kepentingan publik di

situ? Kalau tujuannya untuk memberi entertainment, iya. Tapi, apakah

sampai mayoritas waktu siaran? Coba perhatikan: pagi sudah ada

infotainmen. Sore infotainmen lagi. Malam pun ada.

Ada pendapat, apa yang ada di layar televisi adalah cerminan

dari warga . Apakah banyaknya tayangan infotainmen ini

menunjukkan warga  kita sangat menyukai gosip?

--

168 |  -

Itu tidak sepenuhnya betul. warga  kita menonton sebab  hanya

itu yang ada. Tidak ada cukup pilihan lain yang disajikan. Dan umumnya

warga  kita belum melek media. Kalau mereka melek media, mereka

akan pindah ke tayangan lain.

Bapak sempat lama di inggris. Apakah di sana ada tayangan

infotainmen?

Tidak sebanyak di sini. Infotainmen di sana tidak mengurusi pribadi

orang. Infotainmen bersifat informasi. Ada lembaga pengawasan televisi

dan radio di sana yang mengawasi betul dan ditaati. Di sini KPI banyak

tidak ditaati sebab  yang mengeluarkan izin penyiaran adalah pemerintah.

Telepon

Nadia (Jakarta): Saya memberi dukungan kepada KPI

mengenai sensor terhadap film. Belum lama ini ada pernyataan dari

Dian Sastro: ’tidak perlu ada sensor terhadap film Indonesia, sebab 

dengan sensor Indonesia dianggap tidak bisa menunjukkan kepada

dunia sifat ketimuran dalam film Indonesia.’ Sensor terhadap film

harus lebih tegas lagi.Infotainmen jangan banyak memberi yang

negatif, tapi yang posistif. Yang negatif, misalnya, masalah yang

diungkapkan saling berlawanan. Satu pihak mengatakan, pihak lain

menyangkalnya. Itu merugikan warga .

Pertama, harus jelas dulu, KPI tidak melakukan sensor terhadap

film Indonesia. Yang melakukan sensor adalah Lembaga Sensor Film.

Masalahnya sekarang, masihkah diperlukan sensor itu?

Di beberapa negara lain, yang dilakukan adalah penggolongan film

berdasar usia. Ada film yang terbuka untuk seluruh umur. Ada yang 17

tahun ke atas dan ada yang dewasa. Yang dikehendaki oleh kalangan

perfilman, terutama kalangan muda, ada penggolongan jenis film. Mana

yang boleh untuk anak-anak, remaja, dan dewasa.

| 169

KPI mengontrol infotainmen, itu betul. KPI harus memakai  UU

Penyiaran dan peraturan yang ada hubungannya dengan penyiaran,

khususnya yang menyangkut isi siaran. Pasal 36 UU Penyiaran memberi

wewenang kepada KPI untuk melakukan tindakan terhadap pelanggaran.

Bahkan ada hukuman penjara sampai lima tahun kalau ada berita berisi

fitnah. Dendanya bisa sampai Rp 1 miliar. Tapi, KPI belum melangkah

sejauh itu. Mudah-mudahan dalam waktu dekat KPI bisa memperlihatkan

gigi untuk menjamin hak warga  tidak diinjak-injak oleh industri film

yang berlindung dibalik konsep kebebasan menyatakan pendapat dan

berekspresi.

Infotainmen dikatakan banyak menonjolkan sisi negatif. Apakah

benar banyak warga  yang tidak suka?

Betul. Saya setuju dengan ibu Nadia (penelepon). Sebaiknya ada

tindakan lebih tegas, sebab  kriterianya sudah ada, baik di dalam Peraturan

Menteri maupun di dalam UU Penyiaran. Sekarang tinggal pelaksanaannya.

Kalau pemerintah betul-betul ingin warga  melek media dan ingin

melihat hak warga  memperoleh informasi terlindungi, maka harus

diberikan hak dan dana yang cukup kepada Dewan Pers dan KPI.

Telepon

Hartono (Semarang): Pertama, mengenai bagaimana posisi

warga . Jangan sampai kita seperti menggarami air laut. Kenapa

warga  tidak kita didik? Kekuatan warga  ada di ujung

remote kontrol. Kalau tidak suka acara tertentu, lebih baik beralih

ke acara lain.

Kedua, saya mendukung iklan yang dimuat di televisi, sebab 

menggeliatkan perekonomian. Tapi, mestinya program televisinya

bagus.

Selain televisi dan rumah produksi yang ditegur, satu lagi, harusnya

televisi berlangganan diperbanyak dan tambah murah. Sehingga, tidak

ada lagi alasan tayangan televisi kita tidak banyak pilihan.

--


 Apakah perlu Dewan Pers bersama KPI membicarakan lebih

lanjut soal bagaimana menegur tayangan televisi?

KPI sudah banyak menegur. sesudah  ditegur, ada beberapa stasiun

televisi yang sadar dan memperbaiki diri. Saya berharap yang mengontrol

tidak hanya KPI tapi lebih banyak dari warga . Persoalannya–mengutip

buku Mochtar Lubis—manusia banyak yang munafik. Contohnya apa?

Banyak yang mengeluhkan tayangan televisi, tapi masih menontonnya terus.

Mereka mengaku tidak suka pornografi, tapi membaca majalah porno terus.

Kalau warga  betul-betul mau mengontrol, begitu televisi

menayangkan program yang tidak mendidik, pindah ke tayangan lain. Jarak

antara kita dengan stasiun televisi itu seperti jarak kita dengan remote

control. Seharusnya warga  sendiri yang mengambil tindakan dengan

cara pindah ke tayangan lain. Sehingga, kalau ada penelitian dari lembaga

rating, diketahui tayangan ini  tidak banyak ditonton.

Seperti kata penelepon tadi, saat  orang sedang makan siang

kemudian tiba-tiba muncul tayangan tentang artis di televisi, mata

mereka langsung tertuju padanya. Mereka suka. Apakah ini tanda

kemampuan warga  kita untuk merespon tayangan televisi baru

sekelas itu? Ada yang tidak suka tayangan infotainmen tapi kadang-

kadang menontonnya juga. Harus mulai darimana mengatasi

persoalan mengenai melek media ini?

Tayangan televisi di Indonesia baru dimulai tahun 1960-an. Sekarang

sudah ada banyak televisi yang berlomba menayangkan program yang menurut

mereka baik dan menghasilkan uang. Tapi warga  bisa mengontrolnya.

Telepon

Steven (Papua): Soal infotainmen, selama ini yang saya tahu,

wartawan peliput infotainmen bukan wartawan televisi bersangkutan.

Mereka memakai  PH (production house). PH itu menjual

tayangan ke televisi. Selama ini, wartawan dari PH seperti kurang

adil, tidak pernah melakukan verifikasi. Bagaimana Dewan Pers

menyikapinya?

| 171

Di Papua, televisi swasta sulit dilihat sebab  harus mengguna-

kan parabola. Yang banyak ditonton TVRI. Dan TVRI acaranya bagus.

Saya menyarankan tayangan infotainmen di televisi swasta dikurangi.

Samsu (Jawa Barat): Sebagian besar tayangan televisi dikontrol

oleh rating. Para pemasang iklan juga berpatokan pada rating.

Pengiklan ingin promosi yang dia tawarkan ditonton oleh calon pembeli

potensial. Celakanya, para pembuat rating dan pemasang iklan

berkonspirasi. Rating dibuat bukan berdasar banyaknya penonton

sebuah tayangan tapi berdasar seberapa banyak calon pembeli

sebuah iklan menonton acara itu. Itu sebabnya rating dibuat di 10

kota besar yang diasumsikan banyak kalangan menengah ke atas,

yang dianggap mampu membeli produk iklan yang ditawarkan.

Apakah tayangan televisi yang memenangkan KPI Award

memiliki rating tinggi?

Ayub (Aceh): Saya memberi  apresiasi yang sangat tinggi

terhadap acara Metro TV yang menayangkan parodi, terutama pro-

gram Republik Mimpi. Saya berharap itu terus ada dan bisa dicontoh

televisi lain.

Tema talkshow ini tidak hanya infotainmen. Tapi, ternyata

banyak yang menanyakan masalah itu. Artinya, menunjukkan

warga  kita banyak yang tidak suka infotainmen, tapi ada juga

yang suka.

Masalahnya, orang yang meliput infotainmen apakah bisa disebut

wartawan? Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengakui dan menerima

mereka sebagai wartawan. Sebaliknya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

menganggap mereka bukan wartawan. Kalau tidak salah, ada sekitar 400

wartawan infotainmen yang melamar menjadi anggota PWI–seperti keterangan

Ketua PWI Jakarta. Tapi, saat  PWI menawarkan pelatihan jurnalistik kepada

mereka, hanya 30 yang bersedia ikut. Apa kata mereka yang tidak ikut:

’Kalau kita ikut kode etik, kita tidak dapat pekerjaan. Sebab, kalau semua

yang kita siarkan harus mengikuti kode etik, maka tayangan tidak akan terjual.’

sebab  itulah terjadi pelanggaran etika yang akibatnya kita rasakan.

-


Kalau warga  Papua lebih banyak menonton TVRI, saya kira itu

bagus. TVRI bagus. TVRI milik publik dan salah satu kewajibannya adalah

melayani publik. Dia tidak bergantung pada rating. Ada anggaran dari

pemerintah meskipun tidak cukup dan harus tetap mencari tambahan dari

iklan. Tapi, paling tidak TVRI wajib berusaha dan tetap berusaha memenuhi

kepentingan publik.

Mengenai program yang dikontrol oleh rating dan pemasang iklan,

saya kira itu banyak betulnya. Hanya saja, seberapa jauh produser dan

para pemilik modal berusaha menyeimbangkan kewajiban mereka untuk

melayani publik dan hak mereka untuk mendapatkan keuntungan. Harusnya

itu seimbang.

Sekarang ini banyak stasiun televisi yang ”berdarah-darah”, masih

berlayar di ”laut merah