pers 6

 



mereka berguna untuk mencerdaskan bangsa.

Kekhawatiran Bersihar didasari sebab  proses hukum yang

dijalaninya dianggap berlebihan dan tidak ada nilai prestasi untuk

dibanggakan bagi bangsa. “Adakah gunanya memenjarakan saya?”

katanya. Meski demikian ia mengaku siap menghadapi kasusnya.

Pernyataan ini  dikemukakan Bersihar saat  menjadi

pembicara dialog “Dewan Pers Menjawab” yang disiarkan stasiun

TVRI, Rabu, 5 Desember lalu. Hadir juga sebagai pembicara dialog

ini pengamat pers, Nono Anwar Makarim, dan Wakil Ketua Dewan

Pers, Leo Batubara. Dialog bertema “Menggugat Opini di Media

Massa” ini dipandu Anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi.

Dungu

Kasus yang dialami Bersihar bermula dari tulisannya yang

dimuat harian Koran Tempo, 17 Maret 2007, berjudul “Kisah

Interogator yang Dungu”. Dalam tulisannnya Bersihar mengkritik

pelarangan buku sejarah oleh Kejaksaan Agung. Untuk bahan

pendukung tulisan, ia mengutip perkataan Joesoef Ishak yang isinya:

“Saya telah disiksa oleh kedunguan interogator, dan interogator telah

disiksa oleh atasan mereka yang lebih tinggi tingkat kedunguannya.”

Interogator yang dimaksud Joesoef adalah seorang staf Kejaksaan

yang sedang menginterogasinya sebab  ia menerbitkan novel

Pramoedya Ananta Toer pada masa Orde Baru.

Tulisan Bersihar membuat staf Kejaksaan Negeri Depok

merasa terhina. Bersihar pun dituntut ke pengadilan sebab  dianggap

telah menghina Kejaksaan Agung, melanggar Pasal 207, 316,

KUHP. “Saya ingin urun-rembuk mengenai pelarangan buku sejarah,”

cerita Bersihar tentang tulisannya. Tulisan itu, menurutnya, adalah

bentuk dari kririk atas kondisi yang ada.

Nono Anwar Makarim mengatakan kasus yang dialami Bersihar

unik. Sebab biasanya prinsip dasar dalam penghinaan, sesuai Pasal

207 KUHP, terkait dengan pribadi. Tapi, dalam kasus ini, yang merasa

dihina adalah institusi atau lembaga yaitu Kejaksaan. “Dalam kasus

ini yang tersinggung adalah lembaga,” katanya.

Pemberlakuan Pasal 207 yang dikenakan kepada Bersihar,

lanjut Makarim, pada zaman penjajahan dulu diberlakukan dengan

prinsip tidak ada kedaulatan bagi rakyat yang dijajah. Hanya ada

kedaulatan bagi Ratu negara penjajah.

Makarim mengakui masih ada sejumlah pasal dalam KUHP

yang tidak lagi sesuai dengan peradaban yang baik, misalnya pasal

tentang pencemaran nama. “Kita harus mengumpulkan daya untuk

memisahkan beberapa pasal (dalam KUHP) dan mengajukan ke

Mahkamah Konstitusi,” ungkapnya.

Sementara itu Leo Batubara menyesalkan usaha  pemidanaan

terhadap tulisan Bersihar. Menurutnya, pihak yang tidak setuju

dengan pendapat Bersihar seharusnya mengimbangi dengan

membuat tulisan lain, sebagai Hak Jawab, yang juga dimuat di koran.

Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurut Leo, sudah

memberi pelajaran yang baik mengenai hal ini dengan memakai 

Hak Jawab saat  merasa dirugikan oleh pers.

Peran pers dalam pembangunan bangsa sekarang ini, Leo

berpendapat, adalah dengan mengatakan salah kalau salah dan

begitu juga sebaliknya. “Kalau ada penyakit harus katakan ada

penyakit,” katanya. “Temuan pers yang negatif bukan bermaksud

menghina institusi itu tapi mari kita perbaiki.”*


Pada 5 Maret 2008, Dewan Pers menghadiri Rapat Dengar

Pendapat dengan Komisi I DPR RI. Rapat berlangsung dua jam

lebih dan mengeluarkan sejumlah rekomendasi. Salah satunya,

Dewan Pers diminta oleh DPR untuk mengkaji gagasan penyusunan

undang-undang tentang distribusi media cetak khusus dewasa.

Perlunya UU distribusi ini sudah lama disuarakan Dewan Pers.

Keberadaannya diperlukan terutama untuk melindungi warga ,

khususnya anak-anak, dari penerbitan khusus dewasa. UU distribusi

media cetak sejauh ini dianggap sebagai solusi jalan tengah dalam

kontroversi tentang pornografi.

--

10 Maret 2008

Narasumber:

Lukas Luwarso

Sekretaris Eksekutif Dewan Pers

Host Tamu:

Bekti Nugroho

Anggota Dewan Pers

Penyiar Radio:

Nanda Hidayat

--

--


Seberapa penting keberadaan UU distribusi media massa

terutama media dewasa?

Sangat penting dalam konteks “kekacauan” dunia media cetak di

Indonesia. Seperti kita tahu, sejak 1998 pers cetak tumbuh esktrim, sebab 

tidak ada lagi sistem perizinan. Tidak ada lembaga yang mengatur dan

mengontrol seperti Departemen Penerangan di masa lalu. Ada Dewan Pers,

tapi perannya jauh lebih minimal, bukan pengaturan melainkan penegakan

etika.

Setelah 10 tahun (sejak UU Pers No. 40/1999 disahkan), ternyata

self-regulation media kurang berjalan efektif. Barang kali sudah saatnya

UU distribusi media cetak segera diagendakan. UU ini bukan saja bisa

menjadi solusi soal dua isu ini , tapi juga bisa sedikit banyak mengatur

atau mengontrol penerbitan yang seperti tidak ada aturan mainnya ini.

Media cetak meledak dari 270 di era 32 tahun Orde Baru menjadi

ribuan. Dewan Pers sendiri kesulitan untuk mendata berapa persisnya

jumlah media cetak. Semua boleh menerbitkan, sehingga kabur antara

penerbitan pers cetak yang berguna untuk publik dan penerbitan non pers

seperti pamflet, buletin, jurnal, dan sejenis nya. Dengan UU distribusi,

hal-hal seperti itu bisa diatur.

Komisi I DPR mengingatkan dan menagih janji sebab  tahun

lalu Komisi I sudah memberi mandat kepada Dewan Pers untuk

membuat draft mengenai distribusi media cetak. Kenapa sampai

sekarang wacana itu tidak kelihatan?

Barang kali sebab  begitu banyak agenda yang harus dikerjakan

Dewan Pers. Penyusunan legislasi itu bukan bagian yang esensial dari

Dewan Pers. Itu sebenarnya peran dari DPR, bisa juga berasal dari

kelompok advokasi kebebasan pers. Sebagai satu gagasan atau

kampanye, Dewan Pers sudah banyak mengintrodusir wacana tentang

UU distribusi media cetak ini. Dari rapat di Komisi I DPR itu sudah saatnya

sekarang Dewan Pers menginisiasi UU ini.


Belum lama ini Dewan Pers menerima surat dari sebuah

lembaga swadaya warga  yang mempersoalkan pronografi,

tidak hanya di media cetak tapi juga di televisi. Berarti ada

dorongan dari warga  untuk mengintrodusir UU ini?

Memang betul. Setelah kita introdusir selama beberapa tahun ini,

sudah saatnya diformulasi, dirumuskan kira-kira seperti apa bunyi UU ini.

Yang jelas, UU ini hanya mengatur media cetak. Tidak bisa menyentuh

media non cetak, misalnya televisi, sebab  televisi tidak didistribusikan.

Memang tidak banyak negara yang memiliki UU distribusi. Tapi,

misalnya Hongkong, menekankan persoalan ini. Bahkan UU mereka disebut

UU pendaftaran dan distribusi koran. Sangat spesifik. Di sana, definisi

tentang koran tidak sama dengan di Indonesia. Koran di sana yaitu apa

saja yang tercetak dan terbit secara periodikal atau reguler (setidaknya

enam bulan sekali) dan untuk kepentingan publik. Kalau terbitnya tahunan,

berarti bukan koran. UU mereka juga memuat ketentuan tentang apa saja

yang tidak masuk dalam kategori distribusi, misalnya buku, brosur, dan

sejenis nya. Ada rinciannya. Di Indonesia hukum sering tidak memadai,

sebab  tidak spesifik dan sering mengatur hal-hal yang umum, konseptual,

abstrak. Tidak mengatur hal-hal yang kongkrit.

Mengenai UU distribusi, saya dapat gagasan, dengan sedikit

mengadopsi yang dipunyai Hongkok, yaitu UU pendaftaran dan

pendistribusian media cetak. Salah satu yang bagus adalah pendefinisian

soal apa itu penerbitan pers. UU Pers kita tidak menyediakan definisi

yang jelas soal ini.

Di negara Barat dan Eropa, yang saya pahami, soal distribusi media

tidak spesifik diatur. Kalaupun ada, lebih mengatur soal kompetisi

antarmedia cetak. Misalnya di Amerika, di hampir belasan negara bagian,

ada ketentuan soal distribusi agar tidak menjurus monopoli. Satu

perusahaan pers tidak boleh mendirikan media cetak harian yang sama di

satu daerah. Harus diberi peluang perusahaan lain untuk menerbitkan

harian.

--

232 |  -

Pengaturan itu tampaknya lebih ke masalah konglomerasi

media?

Iya. Di Indonesia, seperti Jawa Pos, sangat ekspansif, bisa mendirikan

empat harian di satu kota. Kalau mengadopsi ketentuan di Amerika, tidak

bisa seperti itu, sebab  itu usaha  dominasi.

Kemunculan ide tentang UU tentang distribusi dan UU tentang

pornografi sebab  dipicu penyebaran gambar porno. Di negara

maju, UU apa yang mengatur persoalan seperti itu?

Ada pengaturan mengenai pornografi, namun  spesifik mengenai child

pornography atau UU pornografi untuk anak-anak. Jadi, pertama, anak-

anak tidak boleh dilibatkan dalam bisnis pornografi. Kedua, anak-anak

harus tidak boleh memiliki akses untuk media pornografi.

Untuk itu majalah seperti Playboy atau Penthouse di Amerika boleh

dijual bebas. namun , sesuai salah satu klausul di dalam UU distribusinya,

media porno itu harus ditutup sampulnya dan diletakkan di tempat yang

tidak bisa dijangkau anak-anak. Tidak bisa dijual di sembarang tempat

atau pinggir jalan. Kalau dijual di toko, harus diletakkan di tempat yang

tinggi. Jika aturan ini dilanggar, yang mendistribusikan bisa dihukum. Soal

pornografi sendiri tidak diatur. Ada pihak konservatif yang coba mengatur,

tapi sebab  di Amerika ada The First Amendment, usaha  itu selalu kalah.

Bagaimana di Australia?

Di Australia saya tidak tahu persis, tapi tidak jauh berbeda sebab 

menganut common law. Biasanya aturan di Amerika dan Inggris mirip.

Untuk itu majalah seperti Playboy atau Penthouse di Amerika

boleh dijual bebas. namun , sesuai salah satu klausul di dalam

UU distribusinya, media porno itu harus ditutup sampulnya

dan diletakkan di tempat yang tidak bisa dijangkau anak-anak.


Bagaimana dengan tayangan bermuatan pornografi untuk

kalangan dewasa?

Pengaturannya menyangkut alokasi waktu. Sejauh bukan TV publik

tapi TV kabel, tidak masalah. Di sana ada TV kabel berlangganan khusus

untuk dewasa. Asumsinya, orang dewasa sudah punya kebebasan mau

menonton yang porno atau tidak. Mereka bisa mengambil pilihan sendiri.

Di Indonesia ada kasus majalah Playboy yang sempat ramai

sebab  distribusinya dijual bebas dan mudah terjangkau anak kecil.

Ini awal perhatian kita soal distribusi media ke depan.

Betul. Kita bisa mengadopsi cara Amerika. Prinsip sistem di

Indonesia: pornografi tidak diperbolehkan, bahkan untuk media yang softporn,

yang tidak sepenuhnya porno seperti Popular dan Playboy. Menurut saya,

majalah seperti itu bukan pornografi. Hanya saja, pengaturan di dalam UU

distribusi nanti, majalah seperti itu tidak dijual di pinggir jalan. Harus dijual

di tempat tertentu dan ditutup sampulnya. Itulah esensi dari distribusi untuk

barang yang dianggap tidak layak dikonsumsi anak-anak.

Di Amerika ada Liquor Act atau UU yang mengatur penjualan minuman

keras. Minuman keras dianggap sah untuk orang dewasa tapi tidak boleh

untuk anak di bawah umur 17 tahun. sebab  itu, di sana, kalau ada anak

mau membeli minuman keras harus menunjukkan KTP. Media yang hanya

dikonsumsi orang dewasa harus diatur seperti itu. Selain dibatasi aksesnya

untuk anak-anak, penjual pun harus bertanya berapa umur pembeli. Di

Indonesia hal itu terlihat aneh untuk sekarang, tapi harus kita mulai.

Menurut peraturan di Amerika, apa sanksi yang diberikan jika

ada yang melanggar UU distribusi?

Sejauh yang saya tahu, ada denda dan penjara maksimal dua tahun.

UU distribusi itu khusus untuk melindungi anak-anak. Mereka belum bisa

memutuskan sendiri apa yang terbaik, maka mereka harus dilindungi.

Esensinya begitu.

Menyangkut soal ”materi yang berbahaya” (media cabul), untuk

exercise sistem distribusi media di Indonesia juga baik, sebab  sekarang


ini sepertinya tidak ada aturan main. Bisnis media di Indonesia adalah

bisnis distributor atau yang biasa disebut agen koran. Di Hongkok ada

aturan mengenai distributor yang dibagi menjadi tiga: distributor utama,

distributor wilayah, dan sub-distributor atau pengecer. Kemudian ada istilah

hooker, seperti burung elang, menjajakan koran di pinggir jalan. Kalau hal

ini diatur, perang distribusi media cetak di Indonesia—yang kacau seperti

hutan rimba—bisa mulai diatur agar permainannya menjadi jelas. Sekarang

ini, setiap ada koran atau media cetak baru terbit, yang kaya raya adalah

distributor atau agen.

Apakah UU distribusi media mendesak untuk Indonesia?

Sekarang hanya ada satu-dua media porno dan kalau mereka

dipanggil Dewan Pers, merasa takut.

Dipanggil merasa takut tapi besoknya mengulang lagi. Minggu ini

ramai beredar di internet konon foto bugil Dewi Sandra. Ternyata rekayasa.

Tapi, beberapa media memuatnya, meskipun bagian yang sensitif ditutupi.

Kalau menuruti selera individu, ada yang menilai pemuatan foto itu

tidak masalah. Tapi harus diakui, mayoritas warga  Indonesia

konservatif. Menilai moralitas agak sedikit kaku. Barangkali agar

perdebatan ini usai, tidak ada salahnya dicoba dirumuskan UU distribusi

ketimbang UU pornografi. UU distribusi jauh lebih baik untuk mendidik

warga , mendidik pelaku bisnis media, dan distributor media agar

bermain lebih baik.

Mengapa justru UU distribusi yang dikedepankan daripada UU

pornografi?

sebab  UU antipornografi yang sedang digodok di DPR itu berbahaya

bagi kebebasan berekspresi. Pelajaran dari berbagai negara di dunia,

kemunduran kebebasan berekspresi dimulai dari isu moral. Dari isu itu

kemudian muncul hegemoni kelompok tertentu. Akan melebar terus seperti

karet. Akhirnya kebebasan berekspresi warga  untuk berkesenian,

berpendapat, dan yang lain tergerus.


Di Indonesia, konsep Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) mulai

ada di akhir tahun 1970-an. Saat itu muncul media-media dewasa, seperti

majalah Varianada dan banyak media kriminal, dimana postur sensual

muncul. Banyak penerbitan berkualitas atau mainstream gerah dengan

munculnya “media cabul” itu kemudian mengusulkan kepada Departemen

Penerangan agar dibuat ketentuan mengenai izin penerbitan.

Adakah yang kontroversial dari UU distribusi?

Belum tahu. Yang jelas ini ide baru. Indonesia belum memilikinya

dan tidak banyak negara yang mengatur hal ini. sebab  belum dikenal

maka ada yang meragukan apakah dapat efektif. Apalagi ada

kecenderungan berpikir simplistik, yang dipersoalkan materinya (isi

penerbitannya), sehingga kalau materinya dilarang selesailah

persoalannnya.

Diasumsikan UU distribusi berada di tataran warga  yang agak

matang. warga  bisa memilih mana yang baik dan tidak. Sedangkan

isu di Indonesia fokus pada pornografi. Pihak yang anti pornografi ingin

pornografi hilang dari permukaan bumi. Sedangkan cara berpikir kelompok

liberal: mana mungkin menghapus pornografi sebab  itu bagian dari insting

manusia. Selama tidak melanggar susila secara umum, tidak masalah.

Di wilayah privat—ibaratnya orang mau melakukan apapun—tidak

dipersoalkan.

Di Amerika tidak kurang usaha  kelompok konservatif untuk melawan.

Di sana juga pernah diusulkan UU Antipornografi. namun  untungnya,

Mahkamah Agung di sana selalu memenangkan gugatan terhadap usul

itu sebab  ada The First Amendment. Persoalan ini dianggap bagian dari

kebebasan berekspresi. Moral itu urusan masing-masing. Tidak ada satu

kelompok warga  atau orang yang bisa menilai moralitas orang lain

dengan moralitas dirinya.

Apakah pornografi di Indonesia sudah begitu parah dibanding

beberapa negara lain?


Tergantung sudut pandangnya. Seingat saya, sejak tahun 2000 Dewan

Pers sudah mengintrodusir persoalan ini. Ketimbang membuat UU yang

dramatis seperti UU Antipornografi, UU distribusi ini jauh lebih jelas tolok

ukurnya.

Saya kira sudah mendesak eksperimen self-regulation di tengah

warga  Indonesia yang takut dengan hukum. Aturan mengenai

distribusi media ini bagus. Misalnya, nanti warga  yang akan

menerbitkan pers diminta untuk mendaftar, bukan meminta izin. Mendaftar

secara sukarela. Pihak tempat mendaftar tidak boleh menolak, hanya

mencatat. Dengan mencatatnya, semua akan terdata. Ini bagus untuk

data. Kemudian orang yang menerbitkan media wajib mengirimkan nomor

penerbitan (bukti terbit) untuk menunjukkan dia betul terbit atau tidak.

Kalau lembaga yang diberi kepercayaan untuk menerima pendaftaran itu

Dewan Pers, maka Dewan Pers setiap tahun tidak lagi bingung mencatat

berapa jumlah media cetak di Indonesia.

SMS

Dar (Bekasi): Pengawasan distribusi media apa perlu dibentuk

badan pengawas media cetak dan elektronik seperti BPPOM.

Tidak perlu. Saya bayangkan, lembaga yang menerima pendaftaran

dan pengecekan itu sejenis  Dewan Pers atau perpustakaan wilayah.

Tidak perlu dibentuk badan baru.

Telepon

Jiansah (Jakarta): Sudah dua kali -- berbicara terkait

media. Yang tadi pagi saya dengar terkait kebebasan memperoleh

informasi. Isu sentra yang hendak diakomodasi UU distribusi media

inikan bagaimana mengantisipasi penyebaran pornografi di media.

Tujuannya agar tidak terjangkau anak-anak. Yang menarik,

bagaimana warga  memahami pornografi itu sendiri.


Seperti pembicara sampaikan, ada dua perspektif dalam

memahami pornografi. Pertama, dari kelompok liberal yang melihat

pornografi dari sisi seni dan insting manusia. Di sisi lain, pornografi

dianggap tabu oleh kaum konservatif. Masalahnya, sejauhmana

urgensi UU distribusi media cetak terkait pornografi?

UU distribusi ini ide untuk mencari jalan tengah. Daripada pornografi

dilarang sama sekali yang tidak jelas mekanisme dan definisi larangannya,

lebih baik diatur. UU ini solusi jalan tengah, tidak memihak kelompok

liberal atau konservatif.

SMS

Doni (Jakarta): Saya sepakat. Harapan saya, nama pemodal

media sedetil-detilnya juga didaftarkan agar tidak ada keserakahan

menguasai media massa.

Di dalam UU distribusi diatur mengenai pendaftaran. Di dalam

pendaftaran disebutkan siapa penerbit dan pemiliknya. Dewan Pers

sekarang juga konsen dengan persoalan siapa sebenarnya pemilik media

pada akhirnya. Persoalan pemilik media ini bisa ditambahkan di dalam

UU distribusi agar lebih konprehensif.

Telepon

Raja Bonar (Jakarta): Saya tidak begitu setuju UU distribusi.

Kalau saya menerbitkan majalah pornografi, terserah diletakkan

dimana. Misalnya untuk orang dewasa, cantumkan saja ”17 tahun

ke atas.” Siapa yang berani membaca padahal masih di bawah umur

17 tahun, dia harus dihukum. Jadi, persoalannya di hukum bukan

distribusinya.Kita membuat aturan mengenai distribusi rokok, tapi

sekarang anak SD banyak yang terbiasa merokok. Realitasnya

hukum lemah. Jadi, tidak ada manfaatnya aturan distribusi.

Deni (Flores): Mengenai UU distribusi, banyak dibicarakan

soal pornografi. Mungkin ada hal lain selain pornografi.


Kita mencegah agar anak-anak tidak menjadi korban. Ilustrasi

mengenai rokok yang dikonsumsi anak-anak, seperti ilustrasi mengenai

pornografi. Kita harus lihat mereka sebagai korban. Yang dikejar adalah

pengedarnya. Rokok sama dengan media cabul sehingga harus dibatasi

distribusinya.

Anak-anak yang mengonsumsi rokok atau melihat materi cabul

sebenarnya korban dari pesona kenikmatan produk-produk itu. Kita atur

distribusinya susaha  anak-anak tidak bisa mengakses, tidak sampai

membelinya. Jangan sampai anak-anak itu menjadi korban tapi masih

juga dihukum.

Apakah KUHP dan UU Konsumen yang ada sekarang belum

mampu melindungi anak-anak?

KUHP tidak secara spesifik membedakan anak-anak sebagai korban

dan orang dewasa yang tidak perlu dilindungi dari materi pornografi. Di

dalam KUHP hanya disebutkan siapa saja yang mempertontonkan,

melakukan atau menunjukkan.

Telepon

Boy: Saya rasa di Indonesia banyak yang ”main belakang”

kalau mencari majalah Playboy. Banyak yang main belakang

meskipun ada UU. Negara ini pembenahannya bukan melalui UU.

Samsu (Jakarta): Ada media yang diterbitkan oleh kelompok

warga  seperti oleh pesantren, gereja. Apakah boleh

didistribusikan keluar dari kelompoknya? Ada atau tidak sanksinya

bila didistribusikan di luar kelompoknya? Kalau UU distribusi

disahkan, sejauhmana potensi untuk dilaksanakannya?

“Kita mencegah agar anak-anak tidak menjadi korban.

 Ilustrasi mengenai rokok yang dikonsumsi anak-anak,

seperti ilustrasi mengenai pronografi.

Kita harus lihat mereka sebagai korban.”


Pornografi hanya menjadi salah satu bagian dari UU distribusi. Yang

esensial justru mengatur mengenai media cetak dan penyebarannya. Dis-

tributor media ada baiknya juga terdaftar.

UU ini juga untuk membedakan barang legal dan ilegal. Setelah UU

distribusi ada, misalnya masajalah Playboy menjadi jelas kategorinya.

Kalau ada barang dijual melalui ”jalur belakang,” seperti kata penelepon

tadi, jelas itu produk ilegal. Seperti mengonsumsi kokain, kalau ketahuan

pasti dihukum. Tapi, ada kokain yang kita dapatkan untuk penyembuhan,

melalui resep dokter. Fungsi UU distribusi ini melegalkan untuk yang bisa

dilegalkan dan melarang apa yang bisa dilarang.

Mengenai media yang diterbitkan oleh lembaga keagamaan,

tergantung dari niat diterbitkannya. Kalau tujuannya untuk kalangan inter-

nal, berarti tidak perlu masuk ke dalam UU distribusi. UU ini hanya

mengatur bagi penerbitan pers yang disebarkan secara luas.

Telepon

Ulin (Jakarta): Bagaimana dengan distribusi media bekas?

Ada media yang diterbitkan dan baru didistribusikan beberapa bulan

kemudian di lapak-lapak.  Distribusi media di luar negeri itu

penanganannya seperti apa? Di atas semua itu, soal kesehatan

perusahaan pers juga perlu diperhatikan. Tidak semua perusahaan

pers sehat dan dapat mencari income dengan cara yang benar.

Misalnya, mereka menempuh cara dengan memproduksi materi

yang bertentangan dengan moralitas.

Distribusi tidak mengatur habisnya masa waktu berlaku. Tetap diatur

meskipun barang lama.

Media asing tidak harus diatur khusus. Kalau produknya pantas

dikonsumsi warga  maka distribusinya tidak dibedakan dengan me-

dia dalam negeri.

Fungsi UU distribusi juga untuk mengidentifikasi penerbitan yang

diproduksi penerbit yang baik atau tidak. Di Indonesia, kekacauan yang

paling besar, banyak orang atau oknum menerbitkan tabloid hanya sekali

terbit lalu digunakan sebagai modal untuk memeras. Dengan UU distribusi

dan adanya pendaftaran, paling tidak bisa diidentifikasi mana penerbitan

yang reguler. sebab  penerbitan itu didokumentasi maka dengan mudah

dapat dilacak kelangsungan dan kualitas penerbitannya. Akan diketahui

apakah ia konsisten terbit. Misalnya, ia mendaftarkan diri sebagai media

hukum, namun  ternyata media cabul. Secara umum ini bagus untuk evaluasi

dan memperbaiki kehidupan pers.

Telepon

Teris (Jakarta): Tujuan diskusi ini adalah untuk mencerdaskan

kehidupan berbangsa dan bernegara. Distribusi itu adalah

pembagian, sedangkan distribustor adalah penyalur.

UU ini juga untuk mengidentifikasi. Sekarang tidak ada ketentuan

tentang apa yang didistribusikan dan siapa penyalurnya. Kalau semua

aturan mengenai hal ini jelas, akan bagus.

Di awal perbicangan ini saya mengatakan, di Indonesia perang me-

dia cetak sudah tidak sehat. Setiap muncul media cetak baru, para agen

media atau distributor di bawa ke luar negeri hanya untuk “menyuap.”

Pengusaha yang menjadi distributor lisensinya juga tidak jelas, bagaimana

komitmen mereka untuk memperbaiki warga  dengan mengedarkan

produk penerbitan yang betul. Jangan-jangan di antara mereka ada yang

dimuka saja membuat atau menjual penerbitan pers tapi di belakangnya

menjual pornografi. Itu skenario terjelek.

Komisi I DPR sudah mendesak Dewan Pers untuk merumuskan

UU distribusi. Apa yang akan dilakukan Dewan Pers ke depan?

Ini gagasan baru Dewan Pers. Di dalam sistem demokrasi, untuk

usaha  mewujudkan tatanan yang terbaik selalu ada eksperimen. Ada latihan

berdemokrasi untuk mencari rumusan terbaik.


UU distribusi yang diwacanakan Dewan Pers, kalau nanti dirumuskan,

tentu harus melibatkan sebanyak mungkin pandangan warga  tentang

usaha  pengaturan distribusi media cetak. Tidak ada salahnya juga

mendorong terumuskannya distribusi barang-barang yang dianggap harus

diatur, seperti minuman keras. Selama ini, apa aturan untuk miras?

Ciri warga  maju yang demokratis yaitu bisa merumuskan

kesapakatan bersama dalam bentuk UU. sebab  itu, UU distribusi di

Indonesia mungkin akan berbeda dengan di negara lain sebab  harus

merupakan rumusan dari kebutuhan dan aspirasi warga  Indonesia.

™™™

Maraknya penerbitan pers khusus dewasa telah memicu 

persepsi negatif sebagian warga  atas kemerdekaan pers. Salah

satu penyebabnya adalah penyebaran media ini  tidak sesuai

dengan sasarannya sehingga mudah dijangkau anak-anak. Untuk

menegakkan rasa kesusilaan warga  dan melindungi anak-

anak, serta mewujudkan tanggung jawab pengelola, agen dan

penjual media khusus dewasa, maka Dewan Pers menyusun

Pedoman ini:

1.  Media cetak khusus dewasa adalah penerbitan yang memuat

materi berupa tulisan dan atau gambar, yang berkandungan seks,

kekerasan, dan mistik yang hanya patut dikonsumsi orang

dewasa yang berusia 21 tahun atau lebih.

2.  Penyebaran media khusus dewasa tidak dilakukan di tempat yang

terjangkau anak-anak, lingkungan sekolah, dan tempat ibadah.

3.  Pengelola media khusus dewasa wajib menutup sebagian sampul

depan dan belakang penerbitannya sehingga yang terlihat hanya

nama media, nomor edisi, dan label khusus dewasa 21+.

4.  Pemasangan iklan media khusus dewasa mengacu pada poin 3.

5.  Dewan Pers mengidentifikasi dan mengevaluasi media khusus

dewasa yang wajib mematuhi Pedoman ini.

6.   warga  dapat mengadukan pengelola media khusus dewasa

yang melanggar Pedoman ini ke Dewan Pers.

7.  Pengelola, agen dan penjual media khusus dewasa yang tidak

mematuhi pedoman ini dapat dikenakan sanksi sesuai dengan

ketentuan UU Pers dan atau undang-undang lain.

Jakarta, 28 Oktober 2008

(Pedoman ini ditetapkan melalui Peraturan Dewan Pers Nomor 8/

Peraturan-DP/X/2008 Tentang Pedoman Penyebaran Media Cetak

Khusus Dewasa)

Pedoman Penyebaran Media Cetak Khusus Dewas

Jakarta - Sejumlah majalah pria dewasa meratifikasi Pedoman

Distribusi Media Cetak Khusus Dewasa yang disahkan Dewan Pers

pada Oktober lalu. Ratif ikasi ini di lakukan dengan cara

menandatangani naskah di hadapan sejumlah lembaga serta agen

dan distributor media di Jakarta Media Center, Senin, (22|12|2008).

Ratifikasi ini menegaskan komitmen pengelola media khusus

dewasa untuk menaati Pedoman Distribusi. Media-media yang

menandatangani ratifikasi, antara lain, FHM Indonesia, X2 Men’s

Magazine, Maxim Indonesia, BBm, Barbuk, Popular, Oke Magazine,

Formen, dan Triple 8.

Acara ratifikasi juga disertai diskusi dan sosialisasi distribusi

media khusus dewasa dengan menghadirkan pembicara Wakil

Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, pimpinan Trantib DKI Jakarta,

Hendri, dan pengamat pers, Ade Armando.

Leo mengungkapkan, Pedoman Distribusi yang dibuat Dewan

Pers bersama pengelola media khusus dewasa merupakan bentuk

swa-regulasi di bidang pers. Pembuatannya menjadi bagian

perjuangan melindungi hak warga  tertentu untuk dapat

“menikmati” media khusus dewasa dan memberi perlindungan bagi

bisnis media ini .

“Adukan media yang melanggar. Nanti akan kami jewer,” kata

Leo.

Ia melanjutkan, Dewan Pers dan Serikat Penerbit Suratkabar

(SPS) akan membantu persoalan yang dihadapi media yang mau

mengikuti Pedoman Distribusi, misalnya dirazia. “Dewan Pers dalam

kapasitasnya akan melindungi anda (media dewasa),” imbuhnya.

Pedoman Distribusi memuat tujuh poin. Antara lain mengatur,

penyebaran media dewasa tidak boleh dilakukan di tempat yang

Sejumlah Media Dewasa Ratifikasi Pedoman

Distribusi

Selasa, 22 Desember 2009 - 13:33:45


terjangkau anak-anak, di lingkungan sekolah, dan di tempat ibadah.

Selain itu, sebagian sampul media dewasa juga wajib ditutup.

Enam Larangan

Sementara itu, Ade Armando menjelaskan, UU No.44/2008

tentang Pornografi membagi pornografi dalam dua kategori, yaitu,

pornografi yang dilarang dan yang harus diatur. Bentuk pornografi

yang dilarang termuat pada Pasal 4, meliputi: pemuatan

persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi atau onani,

ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, dan

alat kelamin.

Lebih lanjut, ia menilai, majalah-majalah yang tidak memuat

enam hal itu, sesuai UU Pornografi, tidak dilarang. Namun, media-

media ini  harus diatur distribusinya melalui peraturan

perundang-undangan.

“UU (Pornografi) ini tidak melarang media-media (dewasa) ini,

tapi keberadaannya harus diatur,” ungkap Ade yang ditunjuk

Kementerian Pemberdayaan Perempuan untuk membantu

penyusunan UU Pornografi saat dibuat.

Ia mengusulkan, Pedoman Distribusi yang dibuat Dewan Pers

bersama media khusus dewasa segera diajukan ke pemerintah untuk

bahan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP). Melalui PP,

mengaturan distribusi media khusus dewasa ini akan mendapat

kepastian hukum.*


Dewan Pers menilai, UU tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE) yang baru disahkan oleh DPR pada 25 Maret

lalu, berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kebebasan

berekspresi. Ancaman ini  ada di Pasal 27 ayat (3) mengenai

distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang

memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Ancaman lain datang dari Pasal 28 ayat (2) jika seseorang sengaja

menyebarkan informasi yang ditujukan untuk memicu  rasa

kebencian atau permusuhan. Orang yang melanggar pasal-pasal

itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp.1 miliar.

Keberadaan pasal-pasal yang mengatur soal penyebaran

kebencian dan penghinaan ini  mengingatkan pada pasal

haatzaai artikelen di KUHP, “pasal-pasal karet” produk kolonial, yang

sebenarnya sudah tidak boleh diberlakukan berdasar keputusan

Mahkamah Konstitusi. 

-

14 April 2008

Narasumber:

Lukas Luwarso

Sekretariat Eksekutif Dewan Pers

Host Tamu:

Bekti Nugroho

Anggota Dewan Pers

Penyiar Radio:

Budi Kurniawan

--

-


UU ITE patut disambut baik sebab  bisa memberi landasan

hukum untuk memerangi pornografi dan kejahatan lain melalui dunia

maya. Namun, kita cemas dengan adanya “pasal-pasal karet” yang

dapat digunakan untuk mengekang kemerdekaan pers dan

kebebasan berekspresi.

Berikut dialog tentang UU ITE bersama Sekretaris Eksekutif

Dewan Pers, Lukas Luwarso.

Apa pandangan umum terhadap UU ITE?

UU ITE sangat terlambat dibuat di Indonesia dan mencantumkan

beberapa pasal yang ketinggalan zaman (Pasal 27 dan 28). Terlambat,

sebab  isu yang diangkat, yaitu cyber law, umumnya diratifikasi tidak lama

setelah teknologi internet mulai ada. Beberapa negara sudah memulai

pada awal tahun 1990-an.

RUU yang sekarang menjadi UU ITE, sebelumnya sudah dirancang

pada tahun 1998, segera setelah Reformasi. Tapi, saat itu ada dua materi

RUU. Seingat saya RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik

serta RUU Pemanfaatan Tanda Tangan Elektronik. Satu RUU itu

dirumuskan oleh Universitas Indonesia bekerjasama dengan Departemen

Perdagangan dan satu lagi oleh Universitas Padjadjaran dan Departemen

Penerangan/Informasi.

Tahun 1998, seingat saya, isi RUU itu sangat akademis dan tepat

guna, sebab  untuk menjawab kebutuhan teknis tentang bagaimana

memanfaatkan teknologi informasi (internet) terutama untuk transaksi

bisnis. Tahun 2008, atau sepuluh tahun kemudian, dua RUU itu dijadikan

satu menjadi UU ITE. Sebagian memang masih mengadopsi esensi dua

RUU sebelumnya, namun  menambahkan beberapa materi yang tidak relevan.

Misalnya, seingat saya, soal penyebaran pornografi, penyebaran kabar

bohong, pencemaran nama baik, dan penghasutan tidak disinggung dalam

draft akademis sebelumnya. Jadi, UU ITE ini sudah terlambat 10 tahun,

kemudian isinya ketinggalan zaman 100 tahun.


Sepertinya UU ITE tiba-tiba diteken. Berbeda dengan UU

Ketebukaan Informasi Publik yang pembahasannya lama. Apakah

ada kejanggalan mengingat kemudian ada beberapa pasal yang

bermasalah?

Saya kira kalangan LSM media tidak tahu soal ini, sebab  UU ITE

dianggap teknis, hanya mengatur pemanfaatan teknologi informasi.

Biasanya mereka selalu merespon isu-isu strategis seperti UU ITE. Mereka

tidak mengira akan seperti ini hasilnya. Kita salahkan diri sendiri. Civil

society tidak mengira di dalam RUU ITE ada materi kontroversial yang

mengatur persoalan sosial dan politik, khususnya sosial-budaya.

sebab  ini terkait teknologi yang banyak angpaonya, mungkin juga

ada pihak berkepentingan yang tidak ingin pembahasan UU ITE terlalu

terbuka ke publik, agar proses pembahasan sepenuhnya sesuai dengan

kepentingan mereka.

Apakah hanya dua pasal yang bermasalah di dalam UU ITE?

Apa keberatan Dewan Pers terhadap UU ITE?

Keberatan yang utama terhadap Pasal 27 dan 28, sebab  terkait

dengan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Hal ini sangat

fundamental sebab  terkait hak asasi. Kalau mau dipersoalkan, pasal

mengenai pornografi tidak relevan diatur di UU ITE, sebab  satu isu yang

berbeda.

Hal esensi yang ingin diatur oleh UU ITE adalah transaksi elektronik,

namun  mengapa mengatur soal pornografi di dalamnya? Akhirnya UU ITE

seperti ingin mengatur segala hal, termasuk yang abstrak. Soal kebencian

coba diatur juga di UU ini.

Keberatan yang utama terhadap Pasal 27 dan 28,

sebab  terkait dengan kebebasan berekspresi

dan kebebasan pers.

Hal ini sangat fundamental sebab  terkait hak asasi.

Menghadapi UU ITE yang sudah diputuskan dan pasti berlaku,

apa yang bisa dilakukan sebab  ada potensi memasung

kemerdekaan pers?

  Skenario terbaik yang bisa dilakukan adalah judicial review untuk

mencabut pasal-pasal yang bermasalah, terutama Pasal 27 dan 28.

Skenario lain, meminta pemerintah, saat membuat Peraturan Pemerintah,

menegaskan dan merinci ketentuan-ketentuan tentang kebencian,

kebohongan, dan pencemaran nama baik. Hal-hal itu harus dijelaskan,

dijadikan delik material, kemudian tidak bisa dikenakan kepada karya

jurnalistik. Ini yang terpenting.

Dewan Pers berencana mengirim surat ke Presiden. Sebelum surat

ini  dikirim, Dewan Pers berencana bertemu dengan Menteri Kominfo.

Informasi yang diterima, Menteri belakangan agak kaget ada pasal-pasal

bermasalah itu.

Apakah UU ITE memang tidak merinci mengenai pencemaran

nama baik atau penghinaan?

Tidak rinci. Bunyi pasal itu mirip dengan isi KUHP. Untuk apa hal

yang sudah diatur di KUHP kemudian diatur lagi di UU lain yang lebih

spesifik dan ancamannya diperbesar? Ini adalah paradigma berpikir yang

berlebih-lebihan dan tidak pada tempatnya.

Di dalam KUHP, penyebaran kebencian dan pencemaran nama baik

sudah diatur, tidak melihat media untuk penyebarannya.

UU ITE dianggap ketinggalan sebab  di negara lain sudah ada

10 tahun lalu. Dengan semakin pesatnya perkembangan internet

dan adanya kejahatan di dunia maya, hal apa yang perlu sekali

diatur di dalam UU ITE?

Persoalan kejahatan melalui sarana elektronik perlu diatur, misalnya

penggunaan kartu kredit melalui jasa internet yang belum ada aturannya.

Salah satu gagasan pembuatan UU ITE adalah bagaimana dokumen

elektronik yang tidak di-print dapat berlaku sebagai dokumen yang sah.


Bekti Nugroho: Latar belakang UU ITE salah satunya untuk

mengantisipasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Tapi, kenapa ada dua pasal bermasalah (Pasal 27 dan 28) yang

kemudian memunculkan reaksi dari Dewan Pers. berdasar pasal

itu, orang yang mengirim SMS yang diduga pencemaran nama baik,

bisa dituntut. Sebab isi SMS juga tergolong data elektronik, bukan

hanya internet.

Bagaimana pengaturan kepemilikan terhadap data elektronik,

misalnya pengaturan penggunaan kepemilikan IP Address yang

begitu teknis?

Pengaturan ip address secara teknis bisa dilakukan. Di internet orang

tidak bisa sembunyi, sebab  ada ip address yang mudah dilacak jika ada

pelanggaran. Ini tidak bisa dilacak atau dilakukan melalui aturan hukum

tradisional seperti KUHP. Kalau UU ITE fokus pada hal itu, kita sambut

baik. Orang tidak perlu was-was memakai  nomor kartu kredit untuk

bertransaksi. Yang terjadi, hanya sebab  dua pasal bermasalah itu, kese-

luruhan isi UU ITE menjadi mencurigakan. Harus dipertanyakan, siapa

sebenarnya yang memboncengi pasal-pasal kolonial itu masuk ke UU ITE?

Yang paling menyedihkan adalah paradigma berpikir UU ITE.

Ibaratnya, mencoba mengadopsi gaya hukum kerajaan era perbudakan,

200 tahun sebelum masehi, untuk dimasukkan ke dalam era internet

sekarang. Itu tidak cocok. Bagaimana mau menerjemahkan ‘penyebaran

rasa kebencian’ hanya sebab  orang mem-forward (meneruskan) sebuah

informasi? Orang mem-forward informasi belum tentu untuk niat jahat.

Ada kesadaran dan teknis baru yang seharusnya tidak direspon

dengan hukum kuno. Penyebaran kebencian dan sejenisnya itu hukum

British Penal Code yang dirumuskan abad 12 untuk menghukum

warga  jajahan Inggris, untuk warga  kelas rendah. Tujuannya

melindungi privilege kaum bangsawan atau kerajaan agar orang miskin

tidak kurang ajar dan menerima nasibnya sebagai warga miskin.


Pasal 28 ayat (2) UU ITE menyebutkan, orang yang sengaja

menyebarkan informasi yang ditujukan untuk memicu  rasa

kebencian atau permusuhan bisa dihukum penjara enam tahun dan

atau denda Rp 1 miliar.  Apa hubungan pasal ini dengan

kemerdekaan berekspresi?

Menganalisa paradigmanya, perumus UU ITE mengasumsikan

warga  Indonesia preman semua. Internet itu seperti pisau yang bisa

digunakan untuk mengupas buah tapi juga bisa untuk membunuh. Dengan

UU ini, asumsinya warga  pasti memakai  internet dan teknologi

elektronik untuk hal buruk, seperti menghina.

Aturan mengenai penghinaan sudah diatur di dalam UU umum yaitu

KUHP, sehingga tidak perlu diatur di dalam UU ITE–di dalam KUHP

seharusnya juga sudah dihapus tapi malah dimasukkan ke dalam UU ITE.

UU ITE diusulkan pemerintah. Sementara politisi masih banyak yang

melihat warga  kita ini warga  preman yang sehari-hari pasti

punya niatan jahat (malice intention), memakai  teknologi pasti untuk

merusak. Kita akui warga  seperti itu ada. namun , sebagaimana pisau,

memang ada yang digunakan untuk membunuh. Itu kasuistik dan bisa

diatur di dalam hukum lain, tidak perlu di UU ITE.

Di dalam UU ITE ada potensi ancaman hukuman enam tahun

penjara. Artinya, orang yang diadukan atau wartawan penyebar

berita yang dianggap mencemarkan nama baik bisa langsung

ditahan.

Penahanannya bisa 120 hari. Tiba-tiba ada orang ditahan selama itu

sebab  polisi menganggap ada dugaan pencemaran nama baik. Jangan-

jangan nanti ada polisi yang khusus mengamati internet, milis, untuk

melihat apakah ada pencemaran nama baik yang telah dilakukan. Pasal

ini bisa dikenakan pada siapapun. Padahal, komunikasi di era internet

merupakan komunikasi sangat massif. Satu informasi dalam sekian detik

bisa langsung disebar ke banyak orang. Dengan berpikir lebih dalam,

informasi yang begitu dahsyat di internet, akhirnya yang dipercaya publik

adalah informasi yang kredibel. Pada akhirnya “sampah” akan dibuang.

| 251

Informasi yang begitu dahsyat di internet, akhirnya yang

dipercaya publik adalah informasi yang kredibel.

Pada akhirnya “sampah” akan dibuang.

Artinya, orang tidak perlu khawatir akan tercemar nama baiknya hanya

sebab  satu atau dua informasi di internet yang di-forward. Pada akhirnya

common sense, orang bisa berpikir suatu informasi layak dipercaya atau

tidak. Di dalam UU ITE tidak ada sejenis  kepercayaan kepada warga 

bahwa ada common sense, bahwa publik juga bisa memilah-milah informasi

yang benar dan salah. Jelas kurang kerjaan kalau negara mengatur apa

yang akan dibaca dan disebarkan oleh “warga  informasi.”

Masih ada potensi ancaman terhadap kebebasan pers. Apakah

artinya masih banyak elite politik belum siap dengan demokrasi?

Mindset-nya masih Orde Baru?

Bukan hanya tidak siap, tapi mereka geram, marah, dendam. Mereka

suka demokrasi sebatas demokrasi itu bisa mendudukkan mereka di kursi

parlemen. Begitu duduk di sana dan disorot oleh publik dan media, mereka

jadi gerah dan marah.

Akhirnya, semua faktor yang ingin mengebiri kebebasan berekspresi–

sebab  kebebasan berekspresi maka ekspresi tidak selamanya positif—

mereka ingin tutup dengan berbagai UU, termasuk UU ITE. Aturan kolonial

seperti virus yang ingin dicangkokkan ke dalam setiap UU sebagai bentuk

kegeraman dan kemarahan politisi di Indonesia terhadap kebebasan

berekspresi yang mengganggu kenyamanan mereka.

Bukankah Pasal 28 UU ITE tujuannya baik, untuk melarang

orang menyebarkan kebencian dan permusuhan?

Kita membutuhkan atau tidak aturan itu dalam bentuk hukum, sebab 

hukum harus jelas batasan, definisi, dan ukurannya untuk menghukum

orang. Secara teks, Pasal itu memang positif untuk mencegah rasa

“”

-

252 |  -

permusuhan. Bisa saja di milis kita berdebat dengan memakai  istilah-

istilah kasar. Namun, itu domain perdebatan di milis. Bagi generasi baru,

apalagi generasi muda yang menguasai teknologi, yang hidup dengan

internet, mereka biasa maki-maki di internet. Kemudian hal itu coba

diterjemahkan oleh kita sebagai permusuhan. Siapa yang bermusuhan?

Mengapa “otoritas” bisa menerjemahkan dan mempersepsikan secara

sepihak tentang komunikasi pihak lain? Itu sangat subyektif. Rumitnya

lagi, kemudian dikodifikasi dalam bentuk hukum. Bagaimana kita

mengidentifikasi rasa kebencian itu?

Apakah artinya Pasal 28 UU ITE tidak sejalan dengan semangat

pemerintah memberantas korupsi?

Bisa diterjemahkan begitu. Saya bisa menduga, sasarannya adalah

komunikasi melalui media massa tentang kasus korupsi, penyalahgunaan

kekuasaan di dunia internet. warga  paling suka menyebarkan isu

mengenai korupsi melalui internet. Misalnya ada anggota DPR yang

tertangkap sebab  kasus korupsi, akan menjadi “makanan empuk” di dunia

internet. Kalau di koran, misalnya oplahnya 100 ribu, paling banyak berita

itu dibaca 500 ribu orang. Itu pun orang harus bayar. Sedangkan di internet,

hanya sekali enter, bisa terkirim ke jutaan orang. Itulah kekhawatiran yang

muncul.

SMS

Ki Ageng Waliputi (Jawa Barat): Para pembuat UU senang

menyontoh dari luar negeri, atau muatannya disponsori dari luar

negeri.

Samali (Cibubur): Selain Indonesia, negara apa yang memiliki

kebijakan pemblokiran internet?

| 253

Telepon

Maramis: UU kita sedang karut marut. Yang perlu dilakukan

sekarang adalah merestorasi dari Konstitusi. Dari Bung Karno

disebut Konstitusi belum begitu beres, sampai sekarang belum juga

diberesi. Malah ditambah dengan UU yang ada titipannya, membuat

masalah baru.

Pemerintah seharusnya tidak boleh melakukan apapun kecuali

yang diperintah UU dan rakyat boleh melakukan apa saja kecuali

yang dilarang UU. Kalau UU melarang terlalu banyak, akan

membatasi warga . Kita perlu melakukan judicial review atau

usaha lain.

Apa kriteria penyebaran kebencian dan permusuhan?

Kriteria itu tidak jelas dan justru saya pertanyakan. Dalam era transisional

sekarang, warga  kecil yang selama ini tertindas, tidak memiliki akses

ekonomi dan hidup dalam kemiskinan, diberi hak untuk mengejek, hak untuk

“menyebarkan permusuhan” kepada pejabat korup. Hak itu harus dilindungi.

Saya kutip dari Syahrir, Bapak Pendiri Bangsa: satu-satunya alat bagi

warga  kecil adalah mengejek mereka yang berkuasa. Itu cara warga 

kecil untuk mengeluarkan kepahitan hidup dengan mengejek penguasa dan

orang kaya sehingga merasa nyaman. Apakah itupun tidak boleh dan dihukum

sampai enam tahun dan didenda Rp 6 miliar?

UU ITE seperti mengasumsikan siapapun pengguna internet

dipastikan pencari pornografi. Memang ada situs pornografi dan buruk

pengaruhnya. Tapi, warga  bisa memakai  cara persuasif, dengan

pendidikan. Sebab, di warga  selalu ada orang yang memiliki “faktor

x”, punya “kelainan” hobi pornografi.

Di negara-negara Eropa, pornografi menjadi persoalan, tapi tidak diatur

dalam hukum yang ketat. Yang diatur pornografi yang melibatkan anak-

anak. Untuk melindungi anak-anak, bukan orang dewasa. Anak-anak yang

menyebarkan bahkan menyimpan bisa terkena hukuman. Pendidikannya

harus ke arah sana.

-

254 |  -

SMS

John (Padang):  Bagaimana menyikapi artikel-artikel

keagamaan di internet yang dianggap merugikan atau memfitnah

kelompok tertentu?

Kalau diterjemahkan, kasus ini  terkait penyebaran permusuhan.

Namun, asumsinya jangan seperti kita melihat setiap anak SMA yang

keluar sekolah pasti tawuran. Pasti ada dua-tiga anak berandal yang

memprovokasi temannya untuk berantem. Seperti juga di dunia maya,

dengan segala keisengan dan keanehannya, pasti ada yang memakai 

internet untuk menyebarkan hal seperti itu. Tapi yakinlah, warga 

plural dan demokratis pada akhirnya bisa menyingkirkan efek negatif itu.

warga  akan mengisolasi informasi penyebaran permusuhan.

Telepon

Randena (Jakarta): Apakah kita hanya akan diam menghadapi

UU yang mengerangkeng kita? Seharusnya DPR membuat UU untuk

kesejahteraan rakyat, bukan untuk menyusahkan rakyat.

Seharusnya kita tidak terima.

Jai (Ciputat): Pasal 28 UU ITE itu pasal karet. Kita sudah

perjuangkan kebebasan berekspresi dan dituangkan ke dalam UUD.

Mengapa masih ada pasal sejenis  itu?

SMS

Hari: Pemblokiran situs porno itu bagus, tapi dikhawatirkan justru

menambah marak penjualan media porno konvensional seperti majalah

atau CD yang dijual di pinggir jalan setelah jam 8 malam.

| 255

warga  menilai UU ITE mengekang kebebasan berekspresi.

Dewan Pers juga mempersoalkannya. Apa langkah Dewan Pers

berikutnya?

Ada empat langkah yang bisa diputuskan Dewan Pers. Pertama,

mengirim surat kepada Presiden untuk menolak menandatangani UU ITE—

meskipun kecil kemungkinan Presiden tidak menandatanganinya. Namun,

paling tidak secara moral Dewan Pers sudah mengingatkan. Kedua,

mengajak pemerintah membuat Peraturan Pemerintah (PP) yang lebih

eksplisit menjabarkan pasal-pasal karet di dalam UU ITE agar tidak

seenaknya ditarik ulur. Ketiga, mengajukan judicial review, meminta

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal-pasal itu. Keempat,

mengajak warga  melakukan protes untuk menolak mematuhi

ketentuan bermasalah itu.

Tujuan pencantuman pasal-pasal bermasalah ini  (Pasal 27 dan

28) untuk membatasi kebebasan berekspresi warga . warga 

Indonesia diasumsikan jahat, sehingga kalau berekspresi itu memusuhi,

membohongi, membenci. Kalau sedikit dianalisa, pencantuman pasal itu

mengekalkan adanya kelas di warga : kelas elite dan kelas bawah.

Pasal ini  membentengi kelas elite agar tidak dimusuhi dan dibenci.

Tidak mungkin sesama anggota warga  saling ejek, kemudian

menuntut hanya sebab  saling ejek. Pasal itu yang memakai  pasti

yang memiliki kekuasaan, yang bisa membayar pengacara, yang bisa

lapor ke polisi untuk menghukum warga .

™™™

-

256 |  -

Jakarta, 28 April 2008

Nomor : 150/DP-K/IV/2008

Lampiran : -

Hal : Rekomendasi Dewan Pers untuk Pembuatan

                      Peraturan Pemerintah tentang UU ITE

Kepada Yth.

Menteri Komunikasi dan Informatika

Bapak Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh

Di

      Jakarta

Dengan hormat,

Berkenaan dengan pengesahan Undang-Undang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh Dewan Perwakilan Rakyat, pada

25 Maret 2008, bersama ini Dewan Pers perlu menyampaikan beberapa

persoalan yang muncul terkait dengan UU ini .

Dewan Pers menilai secara umum UU ITE bertujuan melindungi

warga  dari pornografi, perjudian, dan kejahatan lain yang

didistribusikan dan ditransmisikan melalui transaksi elektronik. UU ini

juga memungkinkan warga  Indonesia menikmati kemudahan

melakukan e-commerce. Dewan Pers secara prinsip menyambut baik

kehadiran UU ITE. Namun demikian, Dewan Pers menilai ada 

pasal-pasal dalam UU ITE yang berpotensi mengancam kemerdekaan

pers dan kemerdekaan berekspresi warga .

Ancaman ini  termuat pada Pasal 27 ayat (3) mengenai

distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang

memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Ancaman lainnya datang dari Pasal 28 ayat (2), menyangkut

penyebaran informasi yang memicu  rasa kebencian atau

permusuhan. Setiap orang yang melanggar pasal-pasal ini 

diancam hukuman penjara enam tahun dan atau denda Rp.1 miliar.

| 257

Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE berpotensi mengebiri pers sebab 

berita pers dalam wujud informasi elektronika, terkait dengan kasus-

kasus korupsi, manipulasi dan sengketa, dapat dinilai sebagai

penyebaran pencemaran atau kebencian. Dengan ancaman hukuman

penjara lebih dari enam tahun, aparat polisi dapat menahan setiap

orang selama 120 hari, termasuk wartawan, hanya sebab  diduga

melakukan penyebaran berita bohong seperti diatur dalam UU ITE.

Pasal-pasal yang mengatur soal penyebaran kebencian dan

penghinaan ini  mengingatkan pada haatzaai artikelen di KUHP,

pasal-pasal karet produk kolonial, yang sudah tidak diberlakukan

berdasar keputusan Mahkamah Konstitusi. Dewan Pers menilai

perumusan UU ITE tidak mengikuti perkembangan hukum internasional

yang diadopsi oleh negara-negara yang menganut sistem demokrasi. Seba-

gian negara bahkan telah menghapus sama sekali ketentuan hukum pidana

penyebaran kebencian dan penghinaan sebab  dinilai sangat subyektif.

Sejalan dengan sikap Menteri Kominfo yang selama ini

mendukung kemerdekaan pers, Dewan Pers merekomendasikan:

Q    Di dalam Peraturan Pemerintah sebagai Peraturan Pelaksanaan

UU ITE dicantumkan secara eksplisit penjelasan bahwa Pasal 27

ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak mencakup pers sesuai

penjelasan Staf Ahli Menteri Kominfo, Edmon Makarim, dalam

pertemuan di Dewan Pers, 7 April 2008.

Q     Di dalam Peraturan Pemerintah sebagai Peraturan Pelaksanaan

UU ITE perlu pula dicantumkan secara eksplisit bahwa berlakunya

Undang-Undang ini tidak membatasi hak warga  menyatakan

pendapat dan berekspresi seperti dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945.

Demikian rekomendasi kami, atas perhatian Bapak Menteri kami

sampaikan terima kasih.

Hormat kami,

Dewan Pers

ttd

Prof. Dr. Ichlasul Amal

Ketua

-

258 |  -

Jakarta, 11 Juli 2011.

Sebagaimana diberitakan oleh sebagian besar media massa

dalam beberapa hari terakhir ini, diketahui, bahwa Prita Mulyasari

telah diputuskan vonis kasasinya oleh Mahkamah Agung (MA) per

tanggal 30 Juni 2011, yang intinya Prita divonis 6 bulan, namun

dengan masa percobaan selama 1 tahun. Artinya, Prita tidak perlu

dipenjara, asalkan tidak mengulangi perbuatannya dalam waktu satu

tahun.

Kementerian Kominfo melalui Siaran Pers ini menyampaikan

tanggapan sebagai berikut:

1. Kementerian Kominfo pada dasarnya secara resmi sangat

menghormati proses hukum yang berlaku terhadap Prita

Mulyasari.

2.   Namun demikian, melalui kesempatan ini, Kementerian Kominfo

juga perlu menyampaikan sikap keprihatinan terhadap masalah

hukum yang yang menimpa Prita Mulyasari.

3.  Sejak awal masalah ini  mulai mencuat pada awal

bulan Juni 2009, Kementerian Kominfo sudah menegaskan

secara tegas legal standing -nya (melalui Siaran Pers tertanggal

6 Juni 2009), bahwa kasus Prita Mulyasari tidak bisa dikaitkan

secara langsung dan juga bukan merupakan korban dari UU No.

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

4.   Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang sering disebut-sebut sebagai

alasan untuk mendakwa Prita sesungguhnya kalimat lengkapnya

adalah sebagai berikut: “Setiap orang dengan sengaja dan

tanpa hak mendistribusikan dan / atau mentransmisikan dan/

atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan /

atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan

Siaran Pers No. 47/PIH/KOMINFO/7/2011

Mengenai Concern Kementerian Kominfo Terhadap

Keputusan Kasasi MA Yang Menimpa Prita Mulyasari

| 259

dan/atau pencemaran nama baik”. Padahal substansi “dengan

sengaja” yang dimaksudkan belum tentu terpenuhi hukumnya

secara materiil, sebab  tidak terbukti bahwa Prita melakukan

publikasi secara terbuka, terkecuali semata-mata hanya

mengirimkan sejumlah email terbatas tujuannya dengan

tujuan untuk sekedar memakai  hak dari seorang

konsumen untuk menyampaikan pendapat dan keluhan

yang dialaminya atas jasa yang diberikan oleh suatu

layanan publik yang pernah dialami dari RS Omni Internasional

saat itu. Hal itu adalah sah sesuai dengan yang termuat dalam

UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ,

khususnya Pasal 4 huruf d yang berbunyi “Hak konsumen

adalah hak untuk didengar pendapat   dan   keluhannya  

atas   barang   dan/atau   jasa yang  digunakan” Oleh sebab 

itu, unsur “tanpa hak” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27

ayat (3) UU ITE menjadi tidak terpenuhi, sehingga Pasal 27 ayat

(3) ini  tidak bisa diterapkan untuk kasus ini .

5. Pengkaitan dengan UU Perlindungan Konsumen ini 

dimungkinkan, sebab  Pasal 53 UU ITE menyebutkan secara

lengkap: “Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua

Peraturan Perundang-undangan dan kelembagaan yang

berhubungan dengan pemanfaatan tehnologi informasi

yang tidak bertentangan dengan undang-undang ini

dinyatakan tetap berlaku”.

6.  Terkait dengan masalah pemberlakukan UU ITE, maka Pasal 54

ayat (1) UU ITE menyatakan: “Undang-Undang ini mulai berlaku

pada tanggal diundangkan”. Di dalam keterangan UU ITE

disebutkan, bahwa UU ITE disahkan pada tanggal 21 April 2008

dan kemudian disebutkan juga, bahwa UU ITE diundangkan pada

tanggal 21 April 2008 juga. Sedangkan yang harus sudah

ditetapkan paling lambat tanggal 21 April 2010 adalah Peraturan

Pemerintah, sebagaimana disebutkan pada Pasal 54 ayat (2)

yang di antaranya menyatakan: “Peraturan Pemerintah harus

sudah ditetapkan pal ing lama 2 (dua) tahun setelah

-

260 |  -

diundangkannya Undang-undang ini”. Ini berbeda dengan UU No.

14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang baru

berlaku pada tanggal 30 April 2010, yaitu terhitung 2 tahun sejak

diundangkan dimana UU KIP ini  disahkan dan diundangkan

pada tanggal 30 April 2008.

7.   Hal lain yang juga diatur dalam UU ITE sehingga tidak demikian

mudah bagi seseorang untuk langsung ditangkap dan ditahan,

adalah sebab  pada dasarnya UU ITE juga telah memberi 

perlindungan lain dengan meminimalisir abuse of power dalam

melakukan penangkapan dan penahanan , sebagaimana termuat

dalam Pasal 43 ayat (6) UU ITE yang menyebutkan : “Dalam

hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik

melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua

pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh

empat jam.” Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa tiga institusi

penegak hukum: (i) kepolisian, (ii) kejaksaan, dan (iii) pengadilan

wajib melakukan koordinasi mengenai perlunya atau dasar

dilakukannya penahanan. Adanya koordinasi ini ditujukan

untuk mencegah abuse of power oleh aparat penegak hukum.

8.   Sejak berlakunya UU ITE, Kementerian Kominfo telah melakukan

sosialisasi secara intensif kepada para penegak hukum dan

warga  mengingat peraturan perundang-undangan ini

memiliki domain baru yang sifatnya sangat virtual dan sosialisasi

ini  akan terus dilakukan dan ditingkatkan. Di samping itu

kepada warga warga  juga diberikan hak dan

kesempatan untuk mengevaluasi, mencermati dan

mengkritisi UU ini  pasal demi pasal sekiranya ada 

substansi yang bertentangan dengan UUD 1945. Kesempatan

ini  telah dimanfaatkan oleh beberapa warga warga 

untuk mengajukan peninjauan kembali (judicial review) kepada

Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 27 UU ini , namun

kemudian dalam keputusannya pada tanggal 5 Mei 2009

Mahkamah Konstitusi telah menolak permohonan ini  melalui

| 261

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan

Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009 tanggal 5 Mei 2009,

menyebutkan, bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah

konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai

demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum.

9.  Meskipun sudah ada Keputusan Mahkamah Konstitusi, namun

sebab  adanya keinginan yang sangat kuat untuk dilakukan revisi

terhadap UU ITE ini , maka sejak akhir tahun 2010 hingga

saat ini Kementerian Kominfo terus melakukan pembahasan

intensif terhadap sejumlah materi yang perlu direvisi dari UU ITE.

Salah satu point krusial yang akan direvisi adalah pada Pasal 45

ayat (1) yang menyebutkan: “Setiap orang yang memenuhi unsur

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat

(3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6

(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah)”. Sangat besar kemungkinan bahwa pasal

ancaman pidana mengenai pencemaran nama baik ini 

akan jauh berlipat diperingan (dikurangi secara drastis) yang

disesuaikan dengan sejumlah aturan perundang-undangan

yang lain. Namun kesemuanya itu masih tergantung pada saat

pembahasan harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM

serta pembahasan formal di DPR-RI.

10. Dengan demikian, tidak perlu dan tidak ada alasan sedikitpun

bagi warga  untuk merasa cemas, trauma dan takut

memakai  layanan telekomunikasi dan dalam

berkomunikasi secara elektronik bagi kepentingan aktivitas

masing-masing warga  sepanjang memang tidak ada

unsur kesengajaan untuk penghinaan dan pencemaran nama

baik secara terbuka. Himbauan Kementerian Kominfo ini perlu

disampaikan agar susaha  tidak ada keragu-raguan warga 

untuk menyampaikan pendapatnya secara terbuka seperti yang

sering disampaikan dalam rubrik keluhan pembaca atau

“Redaksi Yth”  di berbagai media massa, mengingat

-

262 |  -

kecenderungan saat ini surat keluhan lebih banyak dikirimkan

melalui sarana email dibandingkan dikirimkan melalui layanan

pos atau jasa kurir swasta lainnya. Himbauan ini perlu

disampaikan secara terbuka untuk mengurangi kecemasan

warga , sebab  aturan hukum yang mengatur kebebasan

individu atau sekelompok orang atau institusi untuk

memperoleh privasi dalam berkomunikasi secara elektronik

sangat kuat dan ketat rambu-rambunya . Bahwasanya

kemudian timbul masalkah hukum akibat isi dari komunikasi

elektronik ini  yang kemudian dibuka untuk konsumsi umum

dan memicu  respon resistensi atau keberatan dari pihak

lain, maka hal ini  adalah persoalan lain yang tidak langsung

disebabkan oleh UU ITE ini .

Sumber: http://kominfo.go.id/berita/detail/770/+Siaran+Pers

+No.+47-PIH-KOMINFO-7-2011+Mengenai+Concern+Kementerian

+Kominfo+Terhadap+Keputusan+ Kasasi+MA+Yang+Menimpa+

Prita+Mulyasari+

| 263

VIVAnews – Senin, 17 September 2012, jadi hari bersejarah

bagi Prita Mulyasari, terpidana kasus pencemaran nama baik Rumah

Sakit Omni Internasional. Mahkamah Agung mengabulkan

Peninjauan Kembali (PK) yang ia ajukan. Putusan MA itu final: Prita

bebas murni.

“Majelis hakim secara bulat mengabulkan permohonan PK

terpidana. Prita tidak melakukan perbuatan melawan hukum dan

tidak mencemarkan nama baik. MA membebaskan terdakwa dari

segala dakwaan dan memulihkan martabatnya seperti semula,” kata

Kepala Biro Humas MA, Ridwan Mansyur.

Prita sangat bahagia. “Syukur alhamdulillah, saya bebas.

Subhanallah, mudah-mudahan putusan ini sudah tetap dan terakhir

sebab  proses hukum sudah saya jalani sejak tahun 2008,” ujar

Prita kepada VIVAnews, Selasa 18 September 2012.

Kasus hukum yang membelit Prita bermula pada 7 Agustus

2008, saat Prita memeriksakan kesehatannya di Rumah Sakit Omni

Internasional Alam Sutera, Serpong, Tangerang. Hasil laboratorium

menyatakan kadar trombositnya 27.000, jauh di bawah normal

200.000. Prita pun diminta menjalani rawat inap dan mendapat terapi

serta sejumlah obat.

Setelah beberapa hari dirawat, kondisi Prita tak membaik. Saat

keluarga Prita meminta penjelasan, dokter malah menyampaikan

revisi hasil tes trombosit dari 27.000 menjadi 181.000 tanpa

memberi  lembar tertulis laboratorium. Dokter mengatakan Prita

menderita demam berdarah.

Setelah Prita Mulyasari Bebas Murni

Sempat dibui belasan hari. Putusan MA itu final:

Prita bebas.

Anggi Kusumadewi

Selasa, 18 September 2012, 21:15

-

264 |  -

Namun kesembuhan tak kunjung ia dapat. Leher Prita malah

bengkak. Maka ia memutuskan pindah rumah sakit. Di rumah sakit

kedua, Prita ternyata didiagnosa menderita penyakit gondong,

bukan demam berdarah. Prita sembuh setelah dirawat di rumah

sakit yang berbeda ini.

Prita pun merasa dirugikan RS Omni Internasional. Ibu dua

anak itu kemudian menulis surat berisi keluhannya kepada RS Omni,

dan mengirimkannya kepada sejumlah rekan melalui email. Dalam

waktu singkat, email itu beredar luas di berbagai milis dan blog.

Surat Prita itu lantas terbaca oleh manajemen RS Omni

Internasional. RS itu kemudian menyeret Prita ke jalur hukum dengan

tuduhan pencemaran nama baik. Prita dijerat pasal berlapis, salah

satunya lewat Pasal 27 Ayat 3 Undang Undang Informasi dan

Transaksi Elektronik dengan ancaman 6 tahun penjara dan denda

Rp1 miliar.

UU ITE dalam Kasus Prita

Digunakannya pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik

untuk menjerat Prita itu menjadi perhatian publik. Pasal pencemaran

baik dalam UU ITE dinilai sebagai “pasal karet” yang bisa dikenakan

kepada siapa saja sehingga berpotensi membungkam kebebasan

berpendapat, persis seperti yang terjadi pada Prita Mulyasari.

Kini setelah Prita bebas, UU ITE kembali disorot. Wacana untuk

merevisi UU yang disahkan DPR tahun 2008 itu menyeruak lagi.

Anggota Komisi Hukum DPR, Eva Kusuma Sundari, mengingatkan

agar UU ITE yang bertujuan memperkuat perlindungan terhadap hak

asasi manusia dan rakyat, tidak lagi digunakan dan dimanfaatkan

untuk menyerang warga .

“Kasus Prita tak sepatutnya terjadi jika integritas penegak

hukum terjaga, dan mereka paham tujuan pembuatan UU ini .

UU ITE jangan justru jadi merugikan rakyat,” kata Eva. Hal senada

pun dilontarkan kuasa hukum Prita, Slamet Yuwono, yang meminta

| 265

penegak hukum harus lebih berhati-hati dalam memakai  dan

menafsirkan pasal-pasal UU ITE.

“Polisi dan jaksa selaku penyidik dan penuntut tidak boleh

sembrono dalam memutus suatu perkara terkait pasal pencemaran

nama baik UU ITE. Tidak semua hal, termasuk fakta atas keluhan

warga  terhadap pelayanan publik, yang disampaikan di me-

dia sosial bisa langsung ‘ditembak’ dengan pidana,” ujar Slamet.

Oleh sebab  itu Slamet dan Eva melihat kebebasan yang

diterima Prita sebagai pembelajaran bagi warga  luas, termasuk

penegak hukum. “Ini preseden bahwa RS atau lembaga publik mana

pun tidak boleh antikritik dan sewenang-wenang terhadap rakyat

sebab  kekuatan uang,” ujar Eva.

Bakal Direvisi

Anggota Komisi I DPR yang membidangi komunikasi dan

informatika, Roy Suryo, mengatakan adanya kemungkinan DPR

untuk merevisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga UU

ini  tidak akan dipahami multitafsir oleh para penegak hukum

seperti yang telah terjadi pada kasus Prita.

“Putusan MA atas Prita ini merupakan dorongan positif untuk

merevisi, memperjelas, dan melengkapi UU ITE sesuai Program

Legislasi Nasional, juga untuk menyelesaikan Rancangan Undang

Undang Tindak Pidana Teknologi Informasi,” kata Roy yang pernah

hadir sebagai saksi ahli bidang informasi dan teknologi dalam sidang

Prita di Pengadilan Negeri Tangerang tahun 2009.

Saat itu, menurut Roy, ia hadir dalam sidang Prita sebagai

saksi ahli yang dihadirkan oleh negara dan kejaksaan untuk

mempertahankan UU ITE. “Namun dalam perkembangannya, ada

kelemahan Pasal 27 UU ITE yang akhirnya menjadi seperti

sekarang,” kata politisi Demokrat itu. Menurutnya, revisi UU ITE

akan dilakukan setelah Komisi I DPR menyelesaikan revisi UU

Penyiaran.

-


Namun bagian UU ITE manakah yang bakal direvisi? Apakah

benar pasal multitafsir mengenai pencemaran nama baik dalam UU

ITE akan diubah? Kementerian Komunikasi dan Informatika justru

menyatakan UU ITE tidak salah dan tidak perlu direvisi.

Sekretaris Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo,

Djoko Agung Harijadi, mengingatkan UU ITE sudah pernah diuji

materi di Mahkamah Konstitusi. “MK menyatakan UU ITE ini sudah

benar posisinya, tinggal bagaimana menilai dan mengaplikasikannya

di kehidupan nyata,” ujar Djoko.

Oleh sebab  itu, kata dia, UU ITE harus diimplementasikan

berdasar konteks kasus per kasus dan tidak dapat dipukul rata.

Meski keberadaaan UU ITE telah dirasa tepat, namun Kemkominfo

membenarkan ada bagian dari UU ITE yang akan direvisi.

Poin yang bakal direvisi adalah terkait sanksi, bukan norma.

Kemkominfo merasa sanksi dalam UU ITE terlalu berat. “Ancaman

sanksi di atas 5 tahun itu memungkinkan tersangka ditahan dulu.

Jadi akan kami turunkan sanksinya sesuai dengan KUHP,” ucap

Djoko.

Saat ini Kemkominfo sedang melakukan harmonisasi terkait

rencana penurunan sanksi dalam UU ITE ini . “Kemungkinan

tahun depan selesai,” kata Djoko.

Prita sendiri yang sempat menjadi “korban” UU ITE belum

merasa aman mengekspresikan pendapatnya lewat media sosial

atau surat elektronik, meski ia kini telah bebas.

“Kasus hukum ini membuat saya trauma. Saya tak ada niat

apa pun saat  menulis email (keluhan terhadap RS Omni) itu. Itu

cuma curahan hati saya. Tapi ternyata jadi begini. Sementara ini,

enggak dulu deh curhat-curhat di email,” kata Prita. (eh)


Jangan Kriminalisasi Wartawan

sebab  Berita

19 November 2008

Narasumber:

Wikrama Iryans Abidin

Anggota Dewan Pers

Host Tamu:

Bekti Nugroho

Anggota Dewan Pers

Penyiar Radio:

Roni Sitangang

--

Kasus kriminalisasi pers atau tuntutan penjara terhadap

wartawan sebab  karya jurnalistik masih terus terjadi. Protes terus

bermunculan. Belum lama ini anggota Aliansi Jurnalis Independen

(AJI) Makassar yang juga Koordinator Koalisi Jurnalis Tolak

Kriminalisasi Pers, Upi Asmaradana, ditetapkan sebagai tersangka

oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat. Ia dianggap

melanggar Pasal 317 KUHP sebab  melakukan penghasutan atau

memfitnah dengan tulisan.

Kriminalisasi tidak hanya terjadi pada wartawan. Di Madura,

Alex Setiawan diadukan ke polisi sebab  dituduh melakukan

pencemaran nama baik. Penyebabnya, Alex mengkritik Dinas

Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Pamekasan, Madura,

saat acara interaktif yang disiarkan satu radio di Madura. Acara

-

268 |  -

untuk menyerap pendapat publik terkait kebijakan pemerintah itu

rutin disiarkan radio ini .

Kriminalisasi terhadap wartawan dan terhadap orang yang kritis,

sudah semakin ketinggalan zaman. UU No.40 Tahun 1999 tentang

Pers telah menganut prinsip dekriminalisasi pers. Artinya, sengketa

pemberitaan pers seharusnya diselesaikan dengan cara perdata

atau hukuman denda, bukan dalam bentuk pemenjaraan terhadap

wartawan.

Berikut perbincangan dengan Anggota Dewan Pers, Wikrama

Iryans Abidin, tentang kriminalisasi terhadap pers.

Apakah yang disebut kriminalisasi pers?

Kriminalisasi sebenarnya istilah di luar pengadilan. Satu wacana kalau

ada putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan kaedah hukum

terhadap orang yang belum tentu bersalah. Kalau mengatakan kriminalisasi

sebelum ada putusan hakim, itu perlu didiskusikan lagi.

Kriminalisasi terkadang terkait dengan istilah crimes against the free-

dom of the press. Ini istilah yang muncul di Indonesia setelah era reformasi.

Dulu yang dianggap kriminalisasi terkait pelanggaran kemerdekaan pers

dalam bentuk aturan yang represifs, sekarang terkait wilayah penegakan

hukum. Dulu pers dibredel tanpa proses hukum, sekarang berhubungan

dengan pers yang membuat kekeliruan kemudian dibawa ke pengadilan.

Suatu kemajuan bahwa di dalam proses sengketa pers, selain melalui

mekanisme Dewan Pers, juga ada mekanisme hukum kalau betul ada

unsur pidana yang serius. Di sini ada istilah quasi crime yakni kriminalitas

yang bias, terutama yang menyangkut kepentingan publik, misalnya

kegiatan pers yang merupakan refleksi dari kepentingan publik. Indonesia

sudah mengadopsi quasi crime di dalam Pasal 310 KUHP yang menyebut

mengenai kepentingan umum. Kalau ada hal yang menyangkut kepentingan

umum, seorang yang patut diduga melakukan pencemaran nama baik

bisa bebas dari segala tuntutan.

| 269

Dalam konteks gugatan terhadap majalah Tempo—terakhir kasus

gugatan Aburizal Bakrie—Indonesia menganut prinsip mengutamakan UU

No.40/1999 tentang Pers. UU ini memberi  mekanisme Hak Jawab,

Hak Koreksi, dan mekanisme hukum yang lebih berkaitan dengan tanggung

jawab korporasi. Dengan kata lain, UU No.40/1999 berprinsip, pertama,

ultimum remedium: UU Pers diutamakan. Kedua, wartawan tidak lagi

bertanggung jawab terhadap produk jurnalistik, sebab  tanggung jawab itu

ada pada korporasi. Menurut UU Pers, wartawan tidak bisa dipenjara,

tidak bisa dikriminalkan.

Persoalannya, hukum tidak berada di ruang hampa. Di Indonesia

ada aspek-aspek yang berbeda dibanding di Amerika. Kita menganut sistem

hukum yang disebut hukum positif. Sistem hukum positif selalu berpegang

pada apa yang tertulis oleh negara yang ditetapkan sebagai UU. Di sini

memicu  interpretasi dan keragu-raguan penegak hukum.

Dalam wacana disebutkan UU No.40/1999 adalah UU yang lex special-

ist. Tapi, dalam doktrin hukum dan secara eksplisit, tidak ada hal-hal yang

menyatakan bahwa UU Pers lex specialist. Misalnya, Pasal 5 ayat (2) UU

Pers: “Pers wajib melayani hak jawab.” Menurut saya, kalimat ini masih koma.

Harusnya dikunci “setiap hak jawab yang sudah digunakan tidak boleh lagi

memakai  hak melakukan proses hukum.” Dengan demikian warga 

atau penegak hukum mendapat kepastian. Hal sejenis  ini, bagi penegak

hukum, sangat penting sebab  Indonesia menganut hukum tertulis, lain dengan

negara yang menganut common law seperti Amerika: Hukum berasal dari

warga , bukan dari atas. Di Indonesia, hukum positif itu sejenis 

formulasi dari gagasan elite, kemudian dikemas dalam bentuk kekuasaan

negara entah eksekutif, legislatif dan lain sebagainya.

Dalam konteks Tempo, Tempo adalah salah satu media yang paling

sering digugat atau disomasi. Ini hal positif. Kenapa? Gugatan itu menguji

kredibilitas Tempo. Terbukti dalam kasus Bambang Harymurti (saat

menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Tempo), Mahkamah Agung

memutuskan bahwa Bambang Harymurti bebas dan untuk keputusan yang

akan datang–maksudnya sebagai pedoman—hakim-hakim harus

memakai  UU No.40/1999 tentang Pers. Tapi, sebab  hukum kita tidak

-

270 |  -

berdasar prinsip yurisprudensi seperti di Amerika, putusan MA itu tidak

final, tidak bisa jadi patokan, misalnya untuk kasus Bersihar Lubis, Risang

Bima Wijaya, atau Dahri Uhum Nasution. Ini perjuangan kita bagaimana

kemerdekaan pers harus dilindungi dalam konteks hukum yang lebih tinggi.

Saya berpendapat, UU No.40/1999 merupakan akibat saja dari Pasal

28 UUD 1945 yang banci, yang waktu itu dirumuskan dalam konteks negara

kita masih di bawah kontrol kolonial Jepang. Sehingga, format, materi,

dan substansinya masih represif. Kemerdekaan pers dijanjikan saja dalam

bentuk UU yang tergantung pada sistem politiknya. Kalau sistem politiknya

represif, lahir UU yang represif. UU No.40/1999 produk dari sistem politik

transisional. Semangatnya sangat aspiratif, tapi materi muatannya masih

ada yang bolong. Ini menjadi perjuangan kita.

Para pekerja pers selalu melihat kriminalisasi pers sebagai

usaha  untuk melawan kemerdekaan pers. Apakah Dewan Pers juga

melihatnya sebagai ancaman?

Dewan Pers harus independen. Dewan Pers adalah representasi dari

kepentingan publik dan kepentingan pers. Kita tidak bisa buru-buru

mengatakan usaha  warga  mengadu ke Dewan Pers atau melakukan

gugatan ke pengadilan akan mengurangi prinsip-prinsip kemerdekaan pers,

sejauh mereka melakukan itu dengan benar.

Dewan Pers berpendapat, pertama, kasus-kasus pers harus

diselesaikan dengan mekanisme pers. Kedua, apabila memang salah satu

pihak yang diadukan atau yang mengadu tidak puas dengan putusan Dewan

Pers, mereka bisa memakai  hal yang lain, misalnya mengadu ke

pengadilan. Tempo sudah biasa menghadapi hal sejenis  ini. Kita juga

menghargai warga  yang makin cerdas, mereka tidak lagi emosional

dan suka mengamuk seperti dulu.

Praktek kemerdekaan pers kita sudah banyak kemajuan. Ada somasi,

gugatan, itu sah saja sebab  kita tidak bisa larang, itu hak. Dengan somasi

atau gugatan hukum, saya yakin kemerdekaan pers tidak bisa diganggu

atau dihapus. Dalam rezim represif pun masih ada kemerdekaan pers,

apalagi di masa reformasi seperti sekarang. Teman-teman praktisi pers

| 271

jangan terlalu khawatir, cemas, atau cengeng, sebab  sekarang yang

mengontrol pers adalah warga . Dan yang mengontrol warga 

dan pemerintah adalah pers. Ada keseimbangan.

Kalau berita sampai diproses hukum, masing-masing pihak harus

membuktikan. Persoalannya, perlu saya tekankan, produk jurnalistik bukan

produk hukum—meskipun bisa dijadikan bukti hukum. Prinsipnya, produk

jurnalistik adalah produk yang dinamis dan dialektis, sehingga kalau ada

kekeliruan bisa dikoreksi. Sedangkan bukti hukum merupakan bukti yang

sudah kuat, bisa dibuktikan di pengadilan atau bukti yang sifatnya otentik.

Produk jurnalistik merupakan produk yang berkaitan dengan

kepentingan publik. sebab  itu, kalau ada istilah kriminalisasi, mungkin

masih bersifat quasi crime: kejahatan yang bias.

Ada kasus baru yang menimpa Upi Asmaradhana. Ia dulu

wartawan Metro TV yang memperjuangkan kemerdekaan pers saat 

Kapolda Sulawesi Selatan, Irjen Pol. Sisno Adiwinoto, mengatakan

atau sejenis  himbauan kalau ada masalah pers bisa langsung me-

ngadu ke polisi. Sekarang Upi menjadi tersangka. Kasus ini menjadi

perhatian sebab  menyangkut dua institusi: pers dan kepolisian.

Tadi sudah saya singgung sedikit mengenai cerita di awang-awang

tentang Konstitusi. Pasal 28 UUD, begitu juga Pasal 28F, merupakan

pasal di awang-awang, sebab  tidak eksplisit seperti pasal Amandemen

Pertama Konstitusi Amerika yang menyatakan bahwa Kongres tidak boleh

membuat peraturan atau UU yang bertentangan dengan prinsip

kemerdekaan pers.

Di Pasal 28 Konstitusi kita disebutkan bahwa hak berserikat,

berkumpul dan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan ditetapkan

berdasar UU. Inikan janji. Persoalannya, siapa yang membuat UU?

Setting UU Dasar 1945 membuat kedudukan eksekutif selalu dominan

dalam pembuatan UU, sampai detik ini. Kita bisa buktikan, berapa banyak

UU usul inisiatif pemerintah. Bahkan dalam praktik pembuatan UU,

warga  juga tahu, tergantung pada siapa pemesannya dan siapa di

balik itu. Contohnya, Pasal 99 UU No.10/2008 tentang Pemilu menyatakan

-

272 |  -

bahwa Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bisa mencabut

izin terbit dan izin siaran. Padahal izin terbit sudah tidak ada lagi di dalam

UU No.40/1999. Sesuatu yang janggal.

Dalam konteks apa yang disebut kriminalisasi, saya sendiri belum

sampai pada kesimpulan apakah betul ada kriminalisasi pers. Kalau kita

mengatakan kriminalisasi, berarti semua dikriminalkan. namun , ternyata

Dewan Pers sudah menerima 1.500 lebih pengaduan dari warga .

Saya tidak tahu apakah sudah ada 1.500 kasus pers yang diadukan ke

pengadilan? Jadi, pemakaian kata kriminalisasi harus kita diskusikan.

Saya ingat pendapat Ketua Dewan Pers, Prof. Ichlasul Amal:

kemerdekaan pers perlu pilar. Bukan hanya kemerdekaan pers sebagai

pilar demokrasi keempat, tapi kemerdekaan pers juga perlu pilar. Pilar

pertama, harus ada warga  yang cerdas mengawasi pers. Kedua,

harus ada praktisi pers yang profesional, taat kode etik, dan mengerti

hukum. saat  menulis dia tahu tulisannya faktual, akurat, bermakna,

apakah melanggar hak orang lain atau tidak yang nantinya berhubungan

dengan aspek hukum. Ketiga, diperlukan perusahaan pers yang kuat,

berpijak dan berpihak untuk memajukan kesejahteraan wartawan. Kalau

ke daerah, saya mendengar ratapan teman-teman kontributor yang bekerja

”kejar tayang”, tapi begitu tidak disenangi dia ditelepon oleh staf SDM

stasiun televisi untuk diminta mencari pekerjaan lain. Keempat, perlu

Dewan Pers yang independen dan kuat secara kelembagaan. Empat hal

itu masih dalam proses. warga  perlu cerdas, misalnya, warga 

sekarang tidak mudah mengamuk lagi. Dulu, di awal reformasi, banyak

kantor redaksi pers yang diduduki atau dibakar. warga  semakin

cerdas: Untuk apa merusak sebab  pers adalah refleksi dari kedaulatan

rakyat. Ada pilihan-pilihan yang disebut pilihan rasional. Kalau warga 

cerdas, tentu pilihannya rasional.

“warga  semakin cerdas: Untuk apa merusak sebab 

pers adalah refleksi dari kedaulatan rakyat. Ada pilihan-pilihan

yang disebut pilihan rasional. Kalau warga  cerdas,

tentu pilihannya rasional.”

| 273

Pilihan rasional menyangkut dua hal. Pertama, utility atau manfaat.

Kalau ke Dewan Pers apakah lebih bermanfaat daripada ke hukum?

Misalnya dalam kasus Aburizal Bakrie vs Tempo, Tempo sudah menjawab,

tidak ada itikad buruk dalam beritanya dan sudah ada usaha  untuk

berimbang. namun , pihak Aburizal Bakrie, melalui juru bicara Lalu Mara,

tetap akan melakukan langkah hukum. Kita tidak perlu marah kalau ada

orang mau menempuh langkah hukum. Itu hak. Langkah hukum harus

kita hargai sebab  itu juga langkah rasional. Mungkin menurut mereka

kalau ke Dewan Pers tidak ada cukup manfaat, kalau ke pengadilan akan

lebih puas. Yang tetap menjadi masalah, kita ingin pengadilan kita seperti

pengadilan tipikor. Hakim, jaksa dan penyidiknya independen.

Saya berpendapat kedua belah pihak (Aburizal Bakrie dan redaksi

Tempo) duduk bersama. Bagi Dewan Pers, selama kasusnya masih

berproses, Dewan Pers harus berbicara bagaimana mencari solusi,

menyarankan kedua pihak untuk win win solution.

Apakah Dewan Pers tidak ambil inisiatif untuk menjadi mediator?

Dewan Pers tidak diberikan wewenang untuk melakukannya. UU Pers

menyebutkan, Dewan Pers menyelesaikan pengaduan kasus-kasus yang

diadukan warga . Kalau belum diadukan, Dewan Pers tidak bisa

campur tangan. Tapi, bisa saja Dewan Pers mengambil inisiatif jika

kasusnya menyangkut kepentingan nasional.

Bekti Nugroho: Boleh saja Dewan Pers berinisiatif memediasi

perkara. Hanya saja tergantung kepada yang bersangkutan. Kalau Tempo,

saya yakin mau. Aburizal Bakrie saya harapkan juga bersedia. Apalagi

keluarga Bakrie dekat dengan media sebab  memiliki media.

Masalahnya di sini, kalau semua persoalan sebab  berita dibawa ke

pengadilan, akan tidak sehat, membawa dampak yang lebih banyak

mudharatnya dibanding manfaatnya. Apalagi ada Dewan Pers yang bisa

menyelesaikan secara praktis dan gratis. Memang tidak salah orang

mengadu ke pengadilan atau polisi, sebab  KUHP juga masih berlaku.

Tapi, mari berpikir bersama, berita dibuat dalam rangka memberi hak

informasi kepada warga . Kalau hal sejenis  ini sedikit-sedikit dibawa

ke polisi, akan muncul problem.

-

274 |  -

Telepon

Ahmad (Jakarta): Ada tiga hal yang ingin saya sampaikan.

Pertama, sebenarnya ini proses hukum. Saya kurang sepakat kalau

dilabeli kriminalisasi atau sejenis nya, sebab  proses itu

sebenarnya juga bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pers.

Dalam memakai  kebebasan untuk menulis, wartawan harus

memerhatikan hak-hak orang lain. Kalau pers berkualitas, tidak perlu

takut mendapatkan somasi.

Manfaat untuk warga  adalah pendidikan hukum dan

pendidikan tentang kebebasan berinformasi. Artinya, kalau mereka

diganggu privasinya, ada hak yang dilanggar, mereka akan

melakukan proses hukum, bukan proses kekerasan seperti kantor

persnya dibakar.

Saya tidak setuju kalau pers memberi label negatif, misalnya

dengan istilah kriminalisasi. Orang menjadi takut menuntut wartawan

atau lembaga pers saat  dilanggar haknya, sebab  takut diberitakan

negatif dan dilabeli negatif sebagai kriminal dan sejenis nya.

Wikrama: Saya setuju dengan pak Ahmad bahwa proses hukum

adalah refleksi dari warga  yang cerdas dalam merespon pemberitaan

pers. Di zaman Orde Baru, kalau ada pers bermasalah dengan penguasa,

persnya langsung dibredel. Tempo pernah dibredel sebab  memberitakan

hal-hal yang dianggap mengganggu kepentingan sistem politik atau or-

ang-orang penting waktu itu. Koran saya dulu juga pernah dibredel dan

saya sewaktu mahasiswa pernah diadili.

Wartawan jangan takut, jangan cengeng, belum apa-apa sudah

ketakutan dihukum. Dulu bung Adam Malik mengatakan, kalau wartawan

keluar rumah, istrinya tidak boleh bertanya mau kemana, sebab  sudah

pasti ia bekerja untuk kepentingan umum. Kakinya satu di penjara satu di

rumah sakit.

Tapi, seperti yang Anda sebut tadi, pengadilan kita belum

bersih?

| 275

Itu persoalannya. Tadi saya katakan, warga  cerdas selalu

memiliki cara rasional yang berarti ada dua hal. Pertama, dia melihat

manfaatnya. Kedua, preferensi. Bermanfaat ke pengadilan kalau

pengadilannya seperti pengadilan tipikor yang memberi  kepastian

keadilan. Kalau di pengadilan umum, masih kita pertanyakan. Jangan harap

seorang konglomerat dengan uang banyak sudah pasti menang. Kasus

Tempo melawan Tomy Winata, Tempo dimenangkan oleh MA. Tapi itu

Tempo, bagaimana dengan Risang Bima Wijaya?

Ada kontradiksi. Dalam kasus serupa, wartawan bisa dihukum atau

bebas. Bambang Harymurti ”punya” Tempo yang besar, berpengaruh, dan

memiliki pembaca yang kuat. Bagaimana dengan koran kecil seperti Radar

Jogja tempat Risang bekerja dan koran Dahri Uhum Nasution yang tidak

terkenal? Ada wartawan televisi di Jakarta dipanggil polisi tidak mau datang.

Coba kalau wartawan di daerah yang tidak datang, dia langsung ditangkap.

Ada persoalan yuridis bahwa warga  diberi hak untuk mengadu.

sebab  sifatnya delik aduan, maka aduannya bisa dicabut. Di dalam istilah

kriminologi ada juga yang disebut quasi crime, biasanya kejahatan semu

yang terkait dengan public interest. Kalau media melakukan kekeliruan,

itu bukan serious crime. Jadi, wartawan jangan takut kalau disomasi, toh

warga  juga punya hak. Namun harus diingat, proses di pengadilan

butuh waktu dan belum tentu MA memenangkan.

Dengan pengalaman seperti ini, kita harus membuat pilihan. Mengadu