pengkhotbah kidungagung 1

 



KITAB PENGKHOTBAH  


PASAL 1  7 

I. Kesia-siaan Dunia (1:1-3) 8 

II. Kesia-siaan Dunia (1:4-8) 16  

III. Perubahan tanpa Kebaruan (1:9-11) 19 

IV. Kesia-siaan Hikmat Manusia (1:12-18) 22 

PASAL 2  31 

I. Kesia-siaan Kesenangan Dunia (2:1-11) 31 

II. Keunggulan Hikmat Dibanding Kebodohan (2:12-16) 42 

III. Sumber Ketidakpuasan; Bersenang-senang 

 dalam Kelimpahan (2:17-26) 46 

PASAL 3  57 

I. Berubah-ubahnya Perkara Manusia (3:1-10) 58 

II. Berubah-ubahnya Perkara Manusia (3:11-15) 64 

III. Keabadian Putusan Tuhan ; Tingkat Kematian (3:16-22) 70 

PASAL 4  79 

I. Merajalelanya Penindasan (4:1-3) 79 

II. Merajalelanya Penindasan (4:4-6) 83 

III. Kesia-siaan Harapan Manusia (4:7-12) 85 

IV. Keuntungan-keuntungan Hidup Berwarga  

 (4:13-16) 90 


 


PASAL 5  95 

I. Sebuah Peringatan terhadap Para Penyembah Tuhan   

 (4:17, 5:1-2) 96 

II. Kewajiban Nazar (5:3-7) 102 

III. Sia-sianya Kekayaan (5:8-16) 108 

IV. Kenikmatan yang Penuh Syukur (5:17-19) 116 

PASAL 6  119 

I. Kesengsaraan Orang yang Tamak (6:1-6) 120 

II. Keinginan yang Tidak Terpuaskan (6:7-10) 126 

III. Keinginan yang Tidak Terpuaskan (6:11-12) 130 

PASAL 7  133 

I. Berharganya Nama Baik (7:1-6) 134 

II. Pemandangan Dukacita dan Pemandangan Sukacita 

 (7:7-10) 139 

III. Keuntungan-keuntungan Hikmat (7:11-22) 143 

IV. Kejahatan Dosa (7:23-29) 155 

PASAL 8  167 

I. Keunggulan Hikmat; Kewajiban Rakyat (8:1-5) 168 

II. Pastinya Kematian (8:6-8) 173 

III. Kejahatan Para Penguasa yang Penindas (8:9-13) 175 

IV. Rahasia-rahasia Penyelenggaraan Ilahi (8:14-17) 180 

PASAL 9  185 

I. Berbagai Misteri dalam Penyelenggaraan Ilahi (9:1-3) 185 

II. Akibat-akibat Kematian; Menikmati Hidup  

 dengan Benar (9:4-10) 191 

III. Dikecewakannya Harapan-harapan (9:11-12) 199 

IV. Keuntungan-keuntungan Hikmat (9:13-18) 202 

PASAL 10  209 

I. Keuntungan-keuntungan Hikmat (10:1-3) 210 

II. Kewajiban Para Pemimpin dan  

 Rakyat Satu terhadap yang Lain (10:4-11) 212 

III. Hinanya Kebodohan (10:12-15) 217 

IV. Kewajiban-kewajiban Para Pemimpin  

 dan Rakyat Satu terhadap yang Lain (10:16-20) 221 

 


PASAL 11  227 

I. Kewajiban-kewajiban untuk Bermurah Hati;  

 Jawaban-jawaban terhadap Berbagai Keberatan  

 untuk Bermurah Hati (11:1-6) 227  

II. Peringatan kepada Orang Muda;  

 Nasihat untuk Hidup Saleh Sejak Dini (11:7-10)  236  

PASAL 12  243 

I. Kelemahan di Usia Tua; Dampak Kematian (12:1-7) 243 

II. Kesimpulan dari Semuanya (12:8-12) 254  

III. Kesimpulan dari Semuanya (12:13-14) 261 

KITAB KIDUNG AGUNG  

Tafsiran Kitab Kidung Agung Disertai Renungan Praktis 267  

PASAL 1  271 

I. Judul Kitab (1:1) 271 

II. Kasih Jemaat terhadap Kristus (1:2-6) 274  

III. Kasih Jemaat terhadap Kristus (1:7-11)  286 

IV. Percakapan antara Kristus dan Jemaat-Nya (1:12-17) 292 

PASAL 2  299 

I. Kristus Sang Bunga Mawar dari Saron (2:1-2) 299 

II. Kasih Jemaat terhadap Kristus (2:3-7) 302 

III. Saling Kasih antara Kristus dan Jemaat (2:8-13) 307 

IV. Kasih Jemaat terhadap Kristus (2:14-17) 314 

PASAL 3  321 

I. Kasih Jemaat terhadap Kristus (3:1-5) 321 

II. Kasih Jemaat terhadap Kristus (3:6) 327 

III. Kasih Jemaat terhadap Kristus (3:7-11) 329 

PASAL 4  337 

I. Kecantikan Jemaat (4:1-7) 337 

II. Kasih Jemaat terhadap Kristus (4:8-14) 345 

III. Kasih Jemaat terhadap Kristus (4:15-16) 355 



PASAL 5  359 

I. Kasih Kristus terhadap Jemaat (5:1) 359 

II. Kasih Kristus terhadap Jemaat;  

 Ditinggal secara Rohani (5:2-8) 363 

III. Pertanyaan tentang Keunggulan-keunggulan Kristus; 

 Keyakinan Jemaat terhadap Kristus (5:9-16) 374 

PASAL 6  385 

I. Bertanya tentang Kristus (6:1-3) 385  

II. Keyakinan Jemaat di dalam Kristus; 

 Kasih Kristus terhadap Jemaat (6:4-10) 391 

III. Kasih Kristus terhadap Jemaat (6:11-13) 397  

PASAL 7  403 

I. Keindahan Gereja; Kepuasan Kristus  

 terhadap Jemaat-Nya (7:1-9) 403 

II. Merindukan Persekutuan dengan Kristus; 

 Kasih Jemaat terhadap Kristus (7:10-13) 410 

PASAL 8  417 

I. Kasih Jemaat terhadap Kristus (8:1-4) 418 

II. Kebergantungan Jemaat pada Kristus; 

 Kasih Jemaat terhadap Kristus (8:5-7) 422 

III. Kepedulian terhadap Orang-orang bukan Yahudi;  

 Hak Istimewa dan Kewajiban Jemaat (8:8-12) 428 

IV. Saling Kasih antara Kristus dan Jemaat;  

 Harapan agar Kemuliaan Dinyatakan (8:13-14) 435 

 


artikel  yang sedang Anda pegang ini yaitu  salah satu bagian dari 

Tafsiran Alkitab dari Matthew Henry yang secara lengkap men-

cakup Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Untuk edisi bahasa In-

donesianya, tafsiran ini  diterbitkan dalam bentuk kitab per kitab. 

Kali ini tafsiran Kitab Pengkhotbah dan Kidung Agung menjadi pilih-

an kami untuk diterbitkan.  

Matthew Henry (1662-1714) yaitu  seorang Inggris yang mulai 

menulis Tafsiran Alkitab yang terkenal ini pada usia 21 tahun. Karya-

nya ini dianggap sebagai tafsiran Alkitab yang sarat makna dan sa-

ngat terkenal di dunia. 

Kekuatan terutama terletak pada nasihat 

praktis dan saran pastoralnya. Tafsirannya mengandung banyak mu-

tiara kebenaran yang segar dan sangat tepat. Walaupun ada cukup ba-

nyak kecaman di dalamnya, ia sendiri sebenarnya tidak pernah berniat 

menuliskan tafsiran yang demikian, seperti yang berulang kali ditekan-

kannya sendiri. Beberapa pakar theologi seperti Whitefield dan Spurge-

on selalu menggunakan tafsirannya ini dan merekomendasikannya ke-

pada orang-orang untuk mereka baca. Whitefield membaca seluruh 

tafsirannya sampai empat kali; kali terakhir sambil berlutut. Spurgeon 

berkata, “Setiap hamba Tuhan harus membaca seluruh tafsiran ini 

dengan saksama, paling sedikit satu kali.” 

Sejak kecil Matthew sudah terbiasa menulis renungan atau ke-

simpulan firman Tuhan di atas kertas kecil. Namun, baru pada tahun 

1704 ia mulai sungguh-sungguh menulis dengan maksud mener-

bitkan tafsiran ini . Terutama menjelang akhir hidupnya, ia 

mengabdikan diri untuk menyusun tafsiran itu.  

artikel  pertama tentang Kitab Kejadian diterbitkan pada tahun 

1708 dan tafsiran tentang keempat Injil diterbitkan pada tahun 1710. 

Sebelum meninggal, ia sempat menyelesaikan tafsiran Kisah Para Ra-

sul. sesudah  kematiannya, Surat-surat dan Wahyu diselesaikan oleh 

13 orang pendeta berdasarkan catatan-catatan Matthew Henry yang 

telah disiapkannya sebelum meninggal. Edisi total seluruh kitab-ki-

tab diterbitkan pada tahun 1811.    

berulang kali direvisi dan dicetak ulang. 

artikel  itu juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti 

bahasa Belanda, Arab, Rusia, dan kini sedang diterjemahkan ke da-

lam bahasa Telugu dan Ivrit, yaitu bahasa Ibrani modern.  

Riwayat Hidup Matthew Henry 

Matthew Henry lahir pada tahun 1662 di Inggris. saat  itu gereja 

Anglikan menjalin hubungan baik dengan gereja Roma Katolik. Yang 

memerintah pada masa itu yaitu  Raja Karel II, yang secara resmi di-

angkat sebagai kepala gereja. Raja Karel II ingin memulihkan kekua-

saan gereja Anglikan sehingga orang Kristen Protestan lainnya sangat 

dianiaya. Mereka disebut dissenter, orang yang memisahkan diri dari 

gereja resmi. 

Puncak penganiayaan itu terjadi saat  pada 24 Agustus 1662 

lebih dari dua ribu pendeta gereja Presbiterian dilarang berkhotbah 

lagi. Mereka dipecat dan jabatan mereka dianggap tidak sah.  

Pada masa yang sulit itu lahirlah Matthew Henry. Ayahnya, 

Philip Henry, yaitu  seorang pendeta dari golongan Puritan, sedang-

kan ibunya, Katherine Matthewes, seorang keturunan bangsawan. 

sebab  Katherine berasal dari keluarga kaya, sepanjang hidupnya 

Philip Henry tak perlu memikirkan uang atau bersusah payah men-

cari nafkah bagi keluarganya, sehingga ia dapat dengan sepenuh hati 

mengabdikan diri untuk pelayanannya sebagai hamba Tuhan. 

Matthew yaitu  anak kedua. Kakaknya, John, meninggal pada usia 6 

tahun sebab  penyakit campak. saat  masih balita, Matthew sendiri 

juga terserang penyakit itu dan nyaris direnggut maut. 

Dari kecilnya Matthew sudah tampak memiliki bermacam-ma-

cam bakat, sangat cerdas, dan pintar. namun  yang lebih penting lagi, 

sejak kecil ia sudah mengasihi Tuhan Yesus dengan segenap hati dan 

mengakui-Nya sebagai Juruselamatnya. Usianya baru tiga tahun ke-

tika ia sudah mampu membaca satu pasal dari Alkitab lalu memberi-

kan keterangan dan pesan tentang apa yang dibacanya.  

Dengan demikian Matthew sudah menyiapkan diri untuk tugas-

nya di kemudian hari, yaitu tugas pelayanan sebagai pendeta.  

Sejak masa kecilnya Matthew sudah diajarkan bahasa Ibrani, 

Yunani, dan Latin oleh ayahnya, sehingga walaupun masih sangat 

muda, ia sudah pandai membaca Alkitab dalam bahasa aslinya. 

Pada tahun 1685, saat  berusia 23 tahun, Matthew pindah ke 

London, ibu kota Inggris, untuk belajar hukum di Universitas London. 

Matthew tidak berniat untuk menjadi ahli hukum, ia hanya menuruti 

saran ayahnya dan orang lain yang berpendapat bahwa studi itu 

akan memberikan manfaat besar baginya sebab  keadaan di Inggris 

pada masa itu tidak menentu bagi orang Kristen, khususnya kaum 

Puritan. 

Beberapa tahun kemudian Matthew kembali ke kampung hala-

mannya. Dalam hatinya ia merasa terpanggil menjadi pendeta. Kemu-

dian, ia diperbolehkan berkhotbah kepada beberapa jemaat di sekitar 

Broad Oak. Ia menyampaikan firman Tuhan dengan penuh kuasa. Ti-

dak lama sesudah  itu, ia dipanggil oleh dua jemaat, satu di London dan 

satu lagi jemaat kecil di wilayah pedalaman, yaitu Chester. sesudah  ber-

doa dengan tekun dan meminta petunjuk Tuhan, ia akhirnya memilih 

jemaat Chester, dan pada tanggal 9 Mei 1687 ia diteguhkan sebagai 

pendeta di jemaat ini . Waktu itu Matthew berusia 25 tahun. 

Di Chester, Matthew Henry bertemu dengan Katharine Hard-

ware. Mereka menikah pada tanggal 19 Juli 1687. Pernikahan itu sa-

ngat harmonis dan baik sebab  didasarkan atas cinta dan iman ke-

pada Tuhan. Namun pernikahan itu hanya berlangsung selama satu 

setengah tahun. Katharine yang sedang hamil terkena penyakit cacar. 

Segera sesudah  melahirkan seorang anak wanita , ia meninggal 

pada usia 25 tahun. Matthew sangat terpukul oleh dukacita ini. Anak 

Matthew dan Katherine dibaptis oleh kakeknya, yaitu Pendeta Philip, 

ayah Matthew. 

Tuhan  menguatkan Matthew dalam dukacita yang melandanya. 

sesudah  satu tahun lebih telah berlalu, mertuanya menganjurkannya 

untuk menikah lagi. Pada Juli 1690, Matthew menikah dengan Mary 

Warburton. Tahun berikutnya, mereka diberkati dengan seorang bayi, 

yang diberi nama Elisabeth. Namun, saat baru berumur satu sete-

ngah tahun, ia meninggal sebab  demam tinggi dan penyakit batuk 

rejan. Setahun kemudian mereka mendapat seorang anak wanita  

lagi. Dan bayi ini pun meninggal, tiga minggu kemudian. Betapa be-

rat dan pedih penderitaan orangtuanya. Sesudah peristiwa ini,

Matthew memeriksa diri dengan sangat teliti apakah ada dosa dalam 

hidup atau hatinya yang menyebabkan kematian anak-anaknya. Ia 

mengakhiri catatannya sebagai berikut, “Ingatlah bahwa anak-anak 

itu diambil dari dunia yang jahat dan dibawa ke sorga. Mereka tidak 

lahir percuma dan sekarang mereka telah boleh menghuni kota Yeru-

salem yang di sorga.” 

Beberapa waktu kemudian mereka mendapat seorang anak pe-

rempuan yang bertahan hidup. Demikianlah suka dan duka silih ber-

ganti dalam kehidupan Matthew Henry. Secara keseluruhan, Matthew 

Henry mendapat 10 anak, termasuk seorang putri dari pernikahan 

pertama. 

Selama 25 tahun Matthew Henry melayani jemaatnya di Chester. 

Ia sering mendapat panggilan dari jemaat-jemaat di London untuk 

melayani di sana, namun  berulang kali ia menolak panggilan ini  

sebab  merasa terlalu terikat kepada jemaat di Chester. Namun ak-

hirnya, ia yakin bahwa Tuhan  sendiri telah memanggilnya untuk men-

jadi hamba Tuhan di London, dan sebab  itu ia menyerah kepada 

kehendak Tuhan .  

Pada akhir hidupnya, Matthew Henry terkena penyakit diabetes, 

sehingga sering merasa letih dan lemah. Sejak masa muda, ia bekerja 

dari pagi buta sampai larut malam, namun  menjelang akhir hayatnya 

ia tidak mampu lagi. Ia sering mengeluh sebab  kesehatannya yang 

semakin menurun. 

Pada bulan Juni 1714 ia berkhotbah satu kali lagi di Chester, 

tempat pelayanannya yang dulu. Ia berkhotbah tentang Ibrani 4:9, 

“Jadi masih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat 

Tuhan .” Ia seolah-olah menyadari bahwa hari Minggu itu merupakan 

hari Minggu terakhir baginya di dunia ini. Secara khusus ia mene-

kankan hal perhentian di sorga supaya anak-anak Tuhan  dapat me-

nikmati kebersamaan dengan Tuhan.  

Sekembalinya ke London, ia merasa kurang sehat. Malam itu ia 

sulit tidur dan menyadari bahwa ajalnya sudah dekat. Ia dipenuhi 

rasa damai dan menulis pesan terakhirnya: “Kehidupan orang yang 

mengabdikan diri bagi pelayanan Tuhan merupakan hidup yang pa-

ling menyenangkan dan penuh penghiburan.” Ia mengembuskan 

nafas terakhir pada tanggal 22 Juni 1714, dan dimakamkan tiga hari 

kemudian di Chester. Nas dalam kebaktian pemakamannya diambil 

dari Matius 25:21, “Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali 

perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah se-


Kitab Pengkhotbah  


ita masih berada di antara orang-orang Salomo yang berbahagia, 

yaitu hamba-hambanya yang berbahagia, yang senantiasa berdiri 

di hadapannya untuk mendengarkan hikmatnya. Hamba-hambanya 

itu merupakan orang-orang pilihan, yang terpilih untuk secara 

langsung mendengar semua aturan hikmat Salomo, yang diperoleh 

Salomo secara langsung melalui ilham ilahi. Aturan-aturan hikmat-

nya itu disampaikan sekarang kepada kita, bukan untuk didengar, 

seperti oleh hamba-hambanya itu, yang hanya satu kali mendengar, 

dan kemudian cenderung dimengerti secara keliru atau dilupakan

dan dengan diulang-ulang kehilangan keindahannya. Aturan-aturan 

hikmatnya itu disampaikan kepada kita untuk dibaca, diulas kem-

bali, direnungkan, dan diingat untuk selama-lamanya. Penjelasan 

yang kita dapati tentang kemurtadan Salomo dari Tuhan , pada akhir 

pemerintahannya (1Raj. 11:1), yaitu  bagian yang mengiris hati dari 

kisahnya. Kita dapat menduga bahwa ia menyampaikan Amsalnya 

pada masa jayanya, sewaktu ia masih menjaga kelurusan hatinya, 

namun  menyampaikan Pengkhotbahnya saat  ia sudah tua (sebab 

tentang beban-beban dan kemerosotan-kemerosotan di usia tua, ia 

berbicara dengan penuh perasaan, ps. 12). Dan, oleh anugerah Tuhan , 

pada usia tuanya itu ia dipulihkan dari kemurtadannya. Dalam kitab 

Amsal ia menuturkan secara lisan pengamatan-pengamatannya, 

sementara dalam Kitab Pengkhotbah ia menuliskan pengalaman-

pengalamannya itu sendiri. Ini yaitu  apa yang dibicarakan oleh 

yang sudah lanjut usianya, dan hikmat yang dipaparkan oleh yang

sudah banyak jumlah tahunnya. Judul kitab ini dan penulisnya akan 

kita jumpai pada ayat pertama, dan oleh sebab itu di sini kita hanya 

akan mengamati, 

I.  Bahwa kitab ini yaitu  sebuah khotbah, khotbah yang tertulis. 

Yang ditulis yaitu  (1:2), kesia-siaan belaka, segala sesuatu 

yaitu  sia-sia, dan itu juga yang diajarkan. Hal itu dibuktikan 

secara umum melalui banyak alasan dan kejadian-kejadian 

tertentu, dan berbagai macam keberatan dijawab. Dalam bagian 

penutup kita mendapati pelajaran dan penerapan dari semuanya, 

melalui nasihat, untuk mengingat Pencipta kita, takut akan Dia, 

dan berpegang pada perintah-perintah-Nya. Memang ada banyak 

hal dalam kitab ini yang gelap dan sulit dipahami, dan ada bebe-

rapa hal yang oleh orang-orang yang bobrok pikirannya diputar-

balikkan sehingga menjadi kebinasaan mereka sendiri, sebab  

mereka tidak bisa membedakan antara alasan-alasan Salomo dan 

keberatan-keberatan dari orang-orang yang tidak percaya kepada 

Tuhan dan yang mementingkan kenikmatan jasmani. namun  ada 

cukup banyak hal yang mudah dan jelas untuk meyakinkan kita 

(jika kita mau diyakinkan) akan kesia-siaan dunia, dan ketidak-

sanggupannya sama sekali untuk membuat kita bahagia, dan 

akan kekejian dosa serta kecenderungannya yang pasti untuk 

membuat kita sengsara. Juga ada cukup banyak hal untuk 

menyakinkan kita akan hikmat untuk menjadi orang saleh, dan 

akan adanya penghiburan serta kepuasan yang utuh yang akan 

kita peroleh dalam menjalankan kewajiban kita baik terhadap 

Tuhan  maupun manusia. Hal ini harus diniatkan dalam setiap 

khotbah, dan khotbah yang baik yaitu  khotbah yang melaluinya 

perkara-perkara ini sedikit banyak dijelaskan.  

II. Bahwa kitab ini yaitu  sebuah khotbah pertobatan, seperti hal-

nya beberapa mazmur Daud yaitu  mazmur pertobatan. Ini ada-

lah khotbah pengakuan kesalahan, yang di dalamnya sang peng-

khotbah dengan sedih menyesali kebodohan dan kesalahannya 

sendiri, sebab  sudah menjanjikan dirinya dengan kepuasan da-

lam perkara-perkara dunia ini, dan bahkan dalam kenikmatan-

kenikmatan inderawi yang terlarang, yang sekarang didapatinya 

lebih pahit daripada maut. Kejatuhannya yaitu  bukti dari kele-

mahan kodrat manusia: Janganlah orang bijaksana bermegah 

sebab  kebijaksanaannya, atau berkata, “Aku tidak akan pernah 

menjadi orang yang begitu bodoh hingga berbuat begini dan be-

gitu,” sebab Salomo sendiri, yang terbijak dari semua orang, ber-

tindak bodoh dengan begitu mencolok. Dan juga janganlah orang 

kaya bermegah sebab  kekayaannya, sebab  kekayaan Salomo 

menjadi jerat yang begitu kuat baginya, dan membuatnya jauh 

lebih celaka daripada kemiskinan yang didatangkan terhadap 

Ayub. Pemulihannya yaitu  bukti dari kuasa anugerah Tuhan , 

dengan membawa kembali kepada-Nya orang yang sudah pergi 

begitu jauh dari-Nya. Pemulihan itu juga yaitu  bukti dari keka-

yaan rahmat Tuhan  dalam menerima dia, kendati dengan banyak-

nya hal yang memperparah dosanya, sesuai dengan janji yang 

diucapkan kepada Daud, bahwa jika anak-anaknya melakukan 

kesalahan, mereka akan dihajar, namun  tidak akan ditinggalkan 

dan dicabut hak warisnya (2Sam. 7:14-15). Oleh sebab itu, siapa 

yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia 

jangan jatuh. Dan biarlah orang yang sudah jatuh bergegas untuk 

bangkit kembali, dan tidak berputus asa dalam mencari bantuan 

dan diterima kembali.  

III. Bahwa kitab ini yaitu  khotbah yang mudah diterapkan dalam 

perbuatan dan bermanfaat. Salomo, sesudah  dibuat bertobat, me-

netapkan hati, seperti ayahnya, untuk mengajarkan jalan Tuhan  

kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran (Mzm. 51:15), 

dan untuk memberikan peringatan kepada semua orang untuk 

berjaga-jaga supaya mereka tidak membentur kepala sendiri pada 

batu-batu yang begitu mematikan seperti yang dialaminya itu. 

Dan keputusan hatinya ini yaitu  buah-buah yang pantas untuk 

pertobatan. Kesalahan mendasar dari anak-anak manusia, dan 

yang mendasari semua tindakan mereka untuk meninggalkan 

Tuhan , yaitu  sama dengan kesalahan orangtua pertama kita, 

yaitu berharap menjadi sama seperti Tuhan  dengan menghibur diri 

sendiri dengan apa yang tampak baik dimakan, indah dipandang, 

dan memikat untuk membuat orang bijaksana. Nah, maksud dari 

kitab ini yaitu  untuk menunjukkan bahwa ini merupakan kesa-

lahan besar, bahwa kebahagiaan kita bukanlah dengan menjadi 

Tuhan  bagi diri kita sendiri, dengan memiliki apa yang kita ingin-

kan dan melakukan apa yang kita dambakan, melainkan dengan 

membuat Dia yang sudah menciptakan kita menjadi Tuhan  bagi

kita. Para filsuf yang mempelajari akhlak manusia banyak ber-

debat tentang kebahagiaan manusia, atau kebaikan yang utama. 

Berbagai macam pendapat mereka kemukakan tentangnya. namun  

Salomo, dalam kitab ini, menentukan jawabannya, dan meyakin-

kan kita bahwa takut akan Tuhan  dan berpegang pada perintah-

perintah-Nya yaitu  apa yang menjadikan manusia itu seutuh-

nya. Ia sudah mencoba kepuasan apa yang bisa didapat dalam 

kekayaan dunia dan kenikmatan-kenikmatan inderawi, dan pada 

akhirnya menyatakan bahwa semuanya sia-sia dan usaha men-

jaring angin. Namun, banyak orang tidak mau mendengarkan per-

kataannya, namun  justru ingin membuat percobaan berbahaya yang 

sama, dan terbukti akibatnya mematikan bagi mereka. Salomo,  

1. Menunjukkan kesia-siaan dari perkara-perkara yang pada 

umumnya dicari orang untuk memperoleh kebahagiaan, seperti 

ilmu pengetahuan, kenikmatan inderawi, kehormatan dan ke-

kuasaan, kekayaan dan harta benda yang banyak. Dan kemu-

dian,  

2. Ia menetapkan obat penawar terhadap usaha menjaring angin 

yang menyertai perkara-perkara itu. Meskipun kita tidak bisa 

meniadakan kesia-siaan dari perkara-perkara itu, namun kita 

dapat mencegah kesusahan yang bisa ditimpakannya kepada 

kita, dengan tidak melekatkan hati kita kepadanya, dan me-

nikmatinya dengan nyaman, namun  dengan tidak berharap 

secara berlebihan terhadap semuanya itu, dan menerima saja 

tanpa membantah kehendak Tuhan  menyangkut diri kita dalam 

setiap peristiwa. Terutama, dengan mengingat Tuhan  pada 

masa muda kita, dan senantiasa takut akan Dia dan melayani-

Nya sepanjang hidup kita, dengan mata yang tertuju pada 

penghakiman yang akan datang. 

 

 

 

 

PASAL  1  

Dalam pasal ini kita mendapati,  

I. Penulis, atau judul kitab (ay. 1).  

II. Ajaran umum tentang sia-sianya makhluk ciptaan ditetapkan 

(ay. 2) dan dijelaskan (ay. 3).  

III. Bukti dari ajaran ini diambil,  

1. Dari singkatnya hidup manusia dan banyaknya kelahiran 

dan pemakaman dalam kehidupan ini (ay. 4).  

2. Dari tidak tetapnya sifat dan tetapnya perputaran-perpu-

taran, semua makhluk ciptaan, serta keadaan yang se-

nantiasa terus-menerus berubah-ubah yang di dalamnya 

mereka tinggal, matahari, angin, dan air (ay. 5-7).  

3. Dari berlimpahnya kerja keras yang ada di sekeliling ma-

nusia dan sedikitnya kepuasan yang mereka dapatkan di 

dalamnya (ay. 8).  

4. Dari kembalinya hal-hal yang sama lagi, yang menunjuk-

kan akhir dari semua kesempurnaan, dan bahwa perse-

diaan sudah habis (ay. 9-10).  

5. Dari keadaan terlupakan yang menjadi nasib segala se-

suatu (ay. 11).  

IV. Contoh pertama tentang sia-sianya pengetahuan manusia, 

dan semua ilmu pengetahuan, terutama filsafat alam dan 

ilmu pemerintahan. Amatilah,  

1.  Pengujian yang dilakukan Salomo terhadap semuanya ini 

(ay. 12-13, 16-17).  

2.  Penilaiannya tentang semua itu, bahwa segala sesuatu 

yaitu  sia-sia (ay. 14). Sebab,  

(1) Ada kerja keras dalam memperoleh pengetahuan (ay. 13).  

(2) Ada sedikit kebaikan yang dapat dilakukan dengan 

pengetahuan itu (ay. 15).  

(3) Tidak ada kepuasan di dalamnya (ay. 18). Dan, jika ini 

yaitu  kesia-siaan dan usaha menjaring angin, maka 

semua hal lain di dunia ini, sebab  jauh lebih rendah 

darinya dalam martabat dan nilai, pasti demikian juga. 

Sarjana yang hebat tidak bisa berbahagia kecuali ia 

orang kudus yang sejati. 

Kesia-siaan Dunia 

(1:1-3) 

1 Inilah perkataan Pengkhotbah, anak Daud, raja di Yerusalem. 2 Kesia-siaan 

belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu yaitu  sia-sia. 

3 Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari? 

Di sini ada,  

I.  Sebuah penjelasan tentang penulis kitab ini. Penulisnya yaitu  

Salomo, sebab tidak ada anak Daud yang lain yang menjadi raja 

Yerusalem. namun  ia menyembunyikan namanya Salomo, pen-

damai, sebab  oleh dosanya ia sudah mendatangkan kesusahan 

atas dirinya sendiri dan kerajaannya, telah melanggar perdamai-

annya dengan Tuhan , dan kehilangan kedamaian hati nuraninya. 

Oleh sebab itu, ia tidak lagi layak menyandang nama itu. Jangan 

panggil aku Salomo, panggil aku Mara, sebab, sesungguhnya, pen-

deritaan yang pahit menjadi keselamatan bagiku. namun  ia menye-

but dirinya, 

1. Pengkhotbah, yang menyiratkan tabiatnya yang sekarang. Ia 

yaitu  koheleth, yang berasal dari kata yang berarti mengum-

pulkan, namun  akhiran kata itu merujuk pada wanita . 

Mungkin Salomo berniat menegur dirinya sendiri atas kelaku-

annya yang tidak jantan dan pengecut, yang berperan lebih 

daripada apa pun dalam kemurtadannya. Sebab untuk menye-

nangkan istri-istrinyalah ia mendirikan berhala-berhala (Neh. 

13:26). Atau kata itu harus dipahami sebagai jiwa, dan dengan 

demikian koheleth yaitu , 

(1) Jiwa yang bertobat, atau yang terkumpul, jiwa yang sudah 

mengembara dan tersesat seperti domba yang hilang, namun 

Kitab Pengkhotbah 1:1-3 

 sekarang dipulihkan, dikumpulkan dari pengembaraannya 

ke sana kemari, dikumpulkan kembali kepada kewajiban-

nya, dan pada akhirnya menjadi insaf. Roh yang sudah 

berfoya-foya mengejar seribu satu macam kesia-siaan seka-

rang dikumpulkan dan dibuat berpusat pada Tuhan . Anuge-

rah ilahi dapat membuat pendosa-pendosa besar menjadi 

petobat-petobat besar, dan bahkan mempertobatkan kem-

bali orang-orang yang, sesudah  mereka tidak mengenal jalan 

kebenaran, kemudian berbalik darinya, dan menyembuhkan 

kemurtadan mereka, meskipun itu perkara yang sulit. 

Hanya jiwa yang bertobatlah yang akan diterima Tuhan , hati 

yang hancur, bukan kepala yang tertunduk seperti gelagah 

hanya untuk satu hari, pertobatan Daud, dan bukan perto-

batan Ahab. Dan hanya jiwa yang terkumpul yang merupa-

kan jiwa yang bertobat, yang kembali pulang dari jalan-

jalannya yang menyimpang, yang tidak lagi melampiaskan 

cinta berahinya kepada orang-orang asing (Yer. 3:13), namun  

dipersatukan untuk takut terhadap nama Tuhan . Yang di-

ucapkan mulut meluap dari hati, dan sebab  itu di sini kita 

mendapati kata-kata seorang petobat, dan kata-kata itu di-

beritahukan kepada semua orang. Jika orang-orang terke-

muka yang mengaku beragama jatuh ke dalam dosa yang 

menjijikkan, maka mereka berkepentingan, demi kehormat-

an Tuhan  dan untuk memperbaiki kerusakan yang sudah 

mereka perbuat terhadap kerajaan-Nya, untuk bersaksi 

tentang pertobatan mereka di depan semua orang, supaya 

obat penangkalnya dapat dioleskan ke tempat yang luas 

seluas racunnya. 

(2) Jiwa yang berkhotbah, atau yang mengumpulkan. sebab  ia 

sendiri dikumpulkan ke dalam perkumpulan orang-orang 

kudus, yang darinya ia sudah membuang dirinya sendiri 

oleh dosanya, dan sebab  ia sudah didamaikan dengan 

jemaat, ia berupaya untuk mengumpulkan orang-orang 

lain yang sudah tersesat seperti dia, dan yang mungkin di-

sesatkan oleh contoh perilakunya. Orang yang sudah mela-

kukan apa saja sampai memperdayai saudaranya berbuat 

tidak pantas, ia harus melakukan semua yang dapat di-

lakukannya untuk memulihkan saudaranya itu. Mungkin 

Salomo memanggil rakyatnya untuk berkumpul bersama-

sama, seperti yang sudah dilakukannya pada penahbisan 

Bait Tuhan  (1Raj. 8:2), demikian pula sekarang pada penah-

bisan kembali dirinya sendiri. Dalam perkumpulan sebe-

lumnya ia memimpin sebagai juru bicara rakyat kepada 

Tuhan  dalam doa (ay. 12), sementara dalam perkumpulan ini 

sebagai juru bicara Tuhan  kepada mereka dalam khotbah. 

Tuhan  dengan Roh-Nya menjadikan dia sebagai seorang 

pengkhotbah, sebagai pertanda bahwa dia sudah didamai-

kan dengan-Nya. Penugasan yaitu  pengampunan yang 

tak terucapkan. Kristus memberikan kesaksian yang cukup 

bahwa Ia telah mengampuni Petrus dengan memercayakan 

domba-domba-Nya kepadanya. Camkanlah, orang-orang yang 

bertobat harus menjadi pengkhotbah. Orang-orang yang su-

dah mendapat dan belajar dari peringatan untuk berbalik dan 

hidup, mereka sendiri harus memberikan peringatan kepada 

orang lain untuk tidak meneruskan jalannya dan mati. 

Jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu. 

Para pengkhotbah harus menjadi jiwa-jiwa yang berkhot-

bah, sebab hanya yang timbul dari dalam hatilah yang 

besar kemungkinan akan sampai ke hati. Paulus melayani 

Tuhan  dengan segenap hatinya dalam pemberitaan Injil 

Anak-Nya (Rm. 1:9). 

2. Anak Daud. Dipakainya gelar ini oleh Salomo untuk menyiratkan, 

(1) Bahwa ia memandang sebagai kehormatan besar menjadi 

anak dari orang yang begitu baik, dan menghargai dirinya 

dengan tinggi sebab  mendapat kehormatan ini. 

(2) Bahwa ia juga memandang sebagai hal yang sangat mem-

perparah dosanya sebab  ia memiliki ayah seperti itu, yang 

telah memberinya pendidikan yang baik dan memanjatkan 

banyak doa yang baik untuknya. Hatinya teriris memikir-

kan bahwa ia sampai menjadi cela dan aib bagi nama dan 

keluarga dari orang seperti Daud. Sangat parahlah dosa 

Yoyakim sebab ia yaitu  anak Yosia (Yer. 22:15-17).  

(3) Bahwa dengan menjadi anak Daud, hal itu mendorongnya 

untuk bertobat dan mengharapkan belas kasihan, sebab 

Daud sudah jatuh ke dalam dosa, yang melaluinya Salomo 

seharusnya belajar dari peringatan untuk tidak berdosa, 

namun  ternyata tidak. namun  Daud bertobat, dan dalam hal 

Kitab Pengkhotbah 1:1-3 

ini Salomo mengambil contoh darinya dan mendapatkan 

belas kasihan seperti yang didapatkan Daud. Namun ini be-

lum semuanya. Ia yaitu  anak Daud yang tentangnya Tuhan  

sudah berkata bahwa meskipun Ia akan membalas pelang-

garan mereka dengan gada, namun Ia tidak akan melanggar 

perjanjian-Nya dengan Daud (Mzm. 89:35). Kristus, sang 

pengkhotbah agung, yaitu  Anak Daud. 

3. Raja Yerusalem. Ini disebutkannya,  

(1) Sebagai hal yang sangat memperparah dosanya. Dia yaitu  

seorang raja. Tuhan  telah berbuat banyak untuknya, dalam 

mengangkatnya ke atas takhta, namun ia membalas budi 

dengan demikian jahat kepada-Nya. Martabatnya membuat 

contoh buruk dan pengaruh dosanya semakin berbahaya, 

dan banyak orang akan mengikuti jalan-jalannya yang me-

rusak. Terutama sebab  ia yaitu  raja Yerusalem, kota 

suci, yang di dalamnya terletak Bait Tuhan , dan yang dia ba-

ngun sendiri juga, yang di dalamnya ada para imam, ham-

ba-hamba Tuhan, dan para nabi-Nya yang telah mengajari-

nya hal-hal yang lebih baik.  

(2) Sebagai hal yang dapat memberikan sedikit banyak keun-

tungan kepada apa yang ditulisnya, sebab titah raja ber-

kuasa. Ia tidak menganggap bahwa akan merendahkannya, 

sebagai raja, untuk menjadi seorang pengkhotbah. Sebalik-

nya, orang-orang akan lebih mengindahkannya sebagai 

pengkhotbah sebab  ia yaitu  seorang raja. Kalau saja 

orang-orang yang terhormat mau bersedia berbuat baik, 

betapa besar kebaikan yang dapat mereka lakukan! Salomo 

tampak agung di atas mimbar, sambil mengkhotbahkan 

kesia-siaan dunia, sama agungnya seperti saat  di atas 

takhta gadingnya, sambil menghakimi. 

Terjemahan bahasa Aram (yang, dalam kitab ini, mem-

berikan tambahan yang sangat banyak kepada naskahnya, 

atau yang memberikan keterangan atasnya, di sepanjang 

kitab ini) memberikan penjelasan ini tentang Salomo yang 

menulis kitab ini. Bahwa melalui roh nubuatan ia melihat 

pemberontakan dari sepuluh suku terhadap anaknya, dan, 

seiring berjalannya waktu, kehancuran Yerusalem dan tem-

pat kudus, serta pembuangan bangsa Yahudi. Dengan 

melihat itu ia berkata, kesia-siaan belaka, segala sesuatu 

yaitu  sia-sia. Dan pada nubuatan itulah ia banyak mem-

buat rujukan dalam kitab ini. 

II. Tujuan umum dan maksud dari kitab ini. Apa yang hendak dikata-

kan oleh pengkhotbah rajawi ini? Apa yang menjadi tujuannya 

yaitu , supaya kita menjadi benar-benar saleh, untuk menurun-

kan penilaian berlebihan kita dan harapan kita terhadap perkara-

perkara dunia ini. Untuk mencapai tujuan ini, ia menunjukkan, 

1. Bahwa segala sesuatu yaitu  sia-sia (ay. 2). Ini yaitu  pokok 

pikiran yang ditetapkannya dan berusaha dibuktikannya: 

Kesia-siaan belaka, segala sesuatu yaitu  sia-sia. Ini bukan 

tulisan baru. Daud, ayahnya, sudah berbicara lebih dari satu 

kali untuk maksud yang sama. Kebenaran yang ditegaskan di 

sini sendiri yaitu , bahwa segala sesuatu yaitu  sia-sia, 

segala sesuatu selain Tuhan  dan yang dianggap terpisah dari-

Nya, semua hal dari dunia ini, semua pekerjaan dan kenikmat-

an duniawi, semuanya dari dunia (1Yoh. 2:16), semua yang 

menyenangkan bagi indra-indra kita dan bagi angan-angan 

kita dalam keadaan sekarang ini, yang membawa kesenangan 

bagi diri kita sendiri atau nama baik di mata orang lain. 

Semua itu sia-sia, bukan hanya dalam penyalahgunaannya, 

saat  semua itu diselewengkan oleh dosa manusia, melainkan 

juga bahkan dalam penggunaannya. Manusia, jika dipertim-

bangkan dengan merujuk pada hal-hal ini, yaitu  kesia-siaan 

(Mzm. 39:6-7), dan, seandainya tidak ada kehidupan lain 

sesudah ini, diciptakan dengan sia-sia (Mzm. 89:48). Dan 

semua kesenangan itu, jika dipertimbangkan dengan merujuk 

pada manusia (apa pun kesenangan-kesenangan itu dalam 

dirinya sendiri), yaitu  kesia-siaan. Semua kesenangan itu 

tidak ada hubungannya dengan jiwa, asing, dan tidak menam-

bahkan apa-apa kepadanya. Semua kesenangan itu tidak 

memenuhi tujuan, atau memberikan suatu kepuasan yang 

sejati. Semua kesenangan itu tidak pasti dalam kelanjutannya, 

memudar, lenyap, dan akan berlalu, dan pasti akan memper-

daya dan mengecewakan orang-orang yang menaruh keyakin-

an padanya. Oleh sebab itu, janganlah kita mencintai yang sia-

sia (Mzm. 4:3), atau menyerahkan diri kita kepadanya (Mzm. 

24:4), sebab kita hanya akan melelahkan diri kita sendiri (Hab. 

Kitab Pengkhotbah 1:1-3 

2:13). Hal ini diungkapkan di sini dengan sangat tegas. Bukan 

saja, segala sesuatu sia-sia, melainkan juga pada dasarnya, 

segala sesuatu yaitu  kesia-siaan. Seolah-olah kesia-siaan 

yaitu  proprium quarto modo – ciri yang keempat, dari hal-hal 

dunia ini, yang masuk menjadi kodratnya. Semuanya itu 

bukan saja kesia-siaan, melainkan juga kesia-siaan belaka 

(KJV: kesia-siaan dari semua kesia-siaan), kesia-siaan yang pa-

ling sia-sia, kesia-siaan yang setinggi-tingginya, hanya kesia-

siaan belaka, kesia-siaan yang sedemikian rupa hingga men-

jadi penyebab dari sangat banyak kesia-siaan. Dan kesia-siaan 

ini berlipat ganda lagi, sebab  perkaranya pasti dan tidak bisa 

dibantah, segala sesuatu yaitu  kesia-siaan belaka. Ini menyi-

ratkan bahwa hati orang bijak ini sepenuhnya diyakinkan dan 

sangat tergerak oleh kebenaran ini, dan bahwa ia sangat ingin 

supaya orang lain diyakinkan dan tergerak olehnya, seperti 

dirinya. namun  ia mendapati orang pada umumnya sangat 

enggan memercayainya dan merenungkannya (Ayb. 33:14). Hal 

itu juga menyiratkan bahwa kita tidak bisa memahami dan 

mengungkapkan kesia-siaan dunia ini. namun  siapakah 

gerangan yang berbicara tentang dunia dengan begitu mere-

mehkannya? Apakah dia orang yang akan memegang teguh 

apa yang dia katakan? Ya, ia mempertaruhkan namanya un-

tuk itu – kata pengkhotbah. Apakah dia seorang hakim yang 

cakap? Ya, secakap siapa saja. Banyak orang berbicara ten-

tang dunia dengan merendahkannya sebab  mereka yaitu  

para petapa, dan tidak mengenalnya, atau para pengemis, dan 

tidak memilikinya. namun  Salomo mengenalnya. Ia sudah 

menyelami kedalaman-kedalaman alam (1Raj. 4:33), dan ia 

memiliki dunia, mungkin lebih daripada yang pernah dimiliki 

siapa saja. Kepalanya penuh dengan gagasan-gagasan tentang-

nya dan perutnya penuh dengan harta yang tersembunyi (Mzm. 

17:14, KJV), dan ia menjatuhkan penghakiman ini atasnya. 

namun  apakah dia berbicara seperti orang yang berwenang? Ya, 

bukan hanya wewenang seorang raja, melainkan juga wewe-

nang seorang nabi, seorang pengkhotbah. Ia berbicara dalam 

nama Tuhan , dan diilhami oleh Tuhan  untuk mengatakannya. 

namun  tidakkah ia mengatakannya dalam ketergesa-gesaan-

nya, atau dalam amarah, sebab  mengalami suatu kekecewaan 

tertentu? Tidak, ia mengatakannya dengan sengaja, mengata

kannya dan membuktikannya, menetapkannya sebagai sebuah 

pegangan yang mendasar, yang di atasnya ia membangun 

alasan betapa pentingnya hidup saleh. Dan, seperti menurut 

sebagian orang, satu hal utama yang dirancangnya yaitu  

untuk menunjukkan bahwa takhta dan kerajaan kekal yang 

telah dijanjikan Tuhan  melalui Natan kepada Daud dan keturun-

annya pastilah takhta dan kerajaan dari dunia lain. Sebab 

segala sesuatu di dunia ini tunduk pada kesia-siaan, dan 

sebab  itu tidak memiliki dalam dirinya apa yang cukup untuk 

memenuhi luasnya janji itu. Jika Salomo mendapati segala 

sesuatu sebagai kesia-siaan, maka harus datang kerajaan Me-

sias, yang di dalamnya kita akan mewarisi sesuatu yang sejati. 

2. Bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak cukup untuk mem-

buat kita bahagia. Dan untuk ini ia berseru kepada hati 

nurani manusia: Apakah gunanya manusia berusaha dengan 

jerih payah? (ay. 3). Amatilah di sini,  

(1) Urusan dunia ini digambarkan. Urusan dunia ini yaitu  

jerih payah. Kata itu menandakan baik perhatian maupun 

kerja keras. Urusan dunia ini yaitu  pekerjaan yang mele-

lahkan manusia. Keletihan selalu menyertai urusan dunia-

wi. Urusan dunia ini yaitu  berjerih payah di bawah mata-

hari. Ini yaitu  ungkapan khas dari kitab ini, yang kita 

jumpai sebanyak dua puluh delapan kali. Ada dunia di atas 

matahari, dunia yang tidak memerlukan matahari, sebab 

kemuliaan Tuhan  yaitu  terangnya, di mana ada pekerjaan 

tanpa jerih payah dan dengan keuntungan yang besar, 

pekerjaan para malaikat. namun  Salomo berbicara tentang 

pekerjaan di bawah matahari, yang rasa sakitnya besar dan 

keuntungannya sedikit. Pekerjaan itu di bawah matahari, 

di bawah pengaruh matahari, melalui terang dan panasnya. 

Sama seperti kita mendapat manfaat dari terang siang hari, 

demikian pula ada kalanya kita bekerja berat sehari suntuk 

dan menanggung panas terik matahari (Mat. 20:12), dan 

oleh sebab itu dengan berpeluh kita akan mencari makanan 

kita. Dalam kuburan yang gelap dan dingin orang-orang 

yang lelah beristirahat.  

(2) Manfaat dari pekerjaan yang dipertanyakan: Apakah guna-

nya manusia berusaha dengan jerih payah? Salomo berkata 

(Ams. 14:23), dalam tiap jerih payah ada keuntungan. Na-

Kitab Pengkhotbah 1:1-3 

mun di sini ia menyangkal bahwa ada keuntungan. Ber-

kenaan dengan keadaan kita sekarang di dunia, memang 

benar bahwa dengan bekerja kita mendapat apa yang kita 

sebut keuntungan. Kita memakan hasil jerih payah tangan 

kita. namun  , sama seperti kekayaan dunia biasa dise-

but sebagai harta benda, namun kekayaan itu yaitu  apa 

yang lenyap (Ams. 23:5), demikian pula kekayaan itu dise-

but keuntungan, namun  pertanyaannya yaitu , apakah itu 

benar-benar demikian atau tidak. Dan di sini ia menyata-

kan bahwa itu tidak demikian, bahwa itu bukan keuntung-

an yang sesungguhnya, bahwa itu bukan keuntungan yang 

benar-benar ada. Singkatnya, kekayaan dan kesenangan 

dunia ini, seandainya pun kita memilikinya dengan begitu 

banyak, tidak cukup untuk membuat kita bahagia, tidak 

pula keduanya akan menjadi bagian untuk kita.  

[1] Berkenaan dengan tubuh, dan kehidupan yang seka-

rang, apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih 

payah? Hidup manusia tidaklah tergantung dari pada 

kekayaannya (Luk. 12:15). Seiring bertambahnya barang, 

bertambah pula kekhawatiran tentangnya, dan bertam-

bah pula orang-orang yang menghabiskannya, dan satu 

hal kecil saja akan membuat pahit semua penghiburan-

nya. Jadi apakah gunanya segala jerih payah manusia? 

Bangun pagi-pagi, namun  tidak pernah lebih dekat 

dengan tujuan.  

[2] Berkenaan dengan jiwa, dan kehidupan yang akan da-

tang, kita bisa berkata dengan jauh lebih benar, apakah 

gunanya manusia berusaha dengan jerih payah? Semua 

yang didapatnya dari jerih payahnya tidak akan meme-

nuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa, tidak pula memuas-

kan keinginan-keinginannya, tidak akan menebus dosa 

jiwa, atau menyembuhkan penyakit-penyakitnya, tidak 

pula akan mengganti kehilangannya. Apakah gunanya 

jerih payah manusia bagi jiwanya dalam kematian, da-

lam penghakiman, atau dalam kehidupan kekal? Buah 

dari jerih payah kita dalam perkara-perkara sorgawi 

yaitu  makanan yang bertahan sampai kepada hidup 

yang kekal, namun  buah dari jerih payah kita untuk 

dunia hanyalah makanan yang akan dapat binasa.  


Kesia-siaan Dunia 

(1:4-8) 

4 Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, namun  bumi tetap 

ada. 5 Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia 

terbit kembali. 6 Angin bertiup ke selatan, lalu berputar ke utara, terus-mene-

rus ia berputar, dan dalam putarannya angin itu kembali. 7 Semua sungai 

mengalir ke laut, namun  laut tidak juga menjadi penuh; ke mana sungai meng-

alir, ke situ sungai mengalir selalu. 8 Segala sesuatu menjemukan, sehingga tak 

terkatakan oleh manusia; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas 

mendengar. 

Untuk membuktikan kesia-siaan dari segala sesuatu di bawah mata-

hari, dan ketidakcukupannya untuk membuat kita bahagia, Salomo 

di sini menunjukkan,  

1. Bahwa waktu kita untuk menikmati hal-hal ini sangat singkat, 

dan hanya seperti orang upahan dapat menikmati harinya. Kita 

terus ada di dunia hanya untuk satu angkatan, yang terus-

menerus berlalu untuk memberikan tempat bagi angkatan yang 

lain, dan kita pun berlalu bersamanya. Harta duniawi yang baru 

saja kita peroleh dari orang lain, dan dalam waktu yang sangat 

singkat harus kita tinggalkan kepada orang lain, dan oleh sebab 

itu bagi kita harta duniawi yaitu  kesia-siaan. Harta duniawi itu 

tidak mungkin lebih nyata dan sejati daripada hidup yang men-

dasarinya, dan hidup itu hanyalah seperti uap yang sebentar saja 

kelihatan lalu lenyap. Sementara sungai manusia terus-menerus 

mengalir, betapa sedikitnya kenikmatan yang dirasakan oleh 

setetes air dari sungai itu, saat  ia meluncur melewati tepi-tepi 

sungai yang menyenangkan! Kita dapat memuliakan Tuhan  atas 

pergantian angkatan yang terus-menerus, yang di dalamnya du-

nia hingga saat ini tetap ada, dan akan tetap ada sampai akhir 

zaman, sambil mengakui kesabaran-Nya dalam melestarikan jenis 

makhluk yang berdosa itu, dan kuasa-Nya dalam melestarikan 

jenis makhluk yang akan mati itu. Kita juga dapat tergugah untuk 

melakukan pekerjaan angkatan kita dengan tekun, dan melayani-

nya dengan setia, sebab  angkatan itu akan segera berakhir. Dan, 

dalam kepedulian terhadap umat manusia pada umumnya, kita 

harus mengusahakan kesejahteraan angkatan-angkatan penerus. 

namun  berkenaan dengan kebahagiaan kita sendiri, janganlah kita 

mengharapkan kebahagiaan itu dalam batas-batas waktu yang 

sedemikian sempit saja, namun  dalam istirahat yang kekal dan 

terus-menerus. 

Kitab Pengkhotbah 1:4-8 

2. Bahwa saat  kita meninggalkan dunia ini, kita meninggalkan 

bumi di belakang kita, yang tetap ada di tempatnya, dan sebab  

itu hal-hal di bumi tidak dapat memberikan manfaat apa-apa 

kepada kita dalam kehidupan di masa depan. Sungguh baik bagi 

umat manusia pada umumnya bahwa bumi tetap ada sampai 

akhir zaman, saat  bumi dan semua pekerjaan di dalamnya akan 

dibakar habis. namun  apa gunanya itu bagi orang perorangan, 

saat  mereka berpindah ke dunia roh?  

3. Bahwa keadaan manusia, dalam hal ini, bahkan lebih buruk dari-

pada keadaan makhluk-makhluk yang lebih rendah: Bumi tetap 

ada, namun  manusia menetap di bumi hanya sebentar saja. Mata-

hari memang terbenam setiap malam, namun ia terbit lagi pada 

pagi hari, tetap terang dan segar selalu. Angin, meskipun bertukar 

tempat, namun ia tetap ada di satu atau lain tempat. Air-air yang 

mengalir ke laut di atas tanah datang dari laut lagi di bawah tanah. 

namun  manusia berbaring dan tidak bangkit lagi (Ayb. 14:7, 12).  

4. Bahwa segala sesuatu di dunia ini bergerak dan berubah-ubah, 

dan tunduk pada kerja keras dan goncangan yang terus-menerus, 

tidak ada yang tetap kecuali ketidaktetapan itu sendiri, senan-

tiasa bergerak, tidak pernah beristirahat. Hanya satu kali mata-

hari berhenti. saat  ia terbit, ia bergegas terbenam, dan, saat  ia 

terbenam, ia bergegas untuk terbit kembali (ay. 5). Angin senan-

tiasa bertiup (ay. 6), dan air terus-menerus mengalir (ay. 7), dan 

akan berakibat buruk bagi mereka untuk tetap diam seperti 

halnya darah dalam tubuh. Dan bisakah kita harapkan istirahat 

di dunia, di mana segala sesuatu penuh dengan jerih payah 

seperti itu (ay. 8), di laut yang selalu pasang surut, dan ombak-

ombaknya yang terus-menerus berkejaran dan bergulung?  

5. Bahwa walaupun segala sesuatu tetap bergerak, namun mereka 

masih berada di tempat mereka sebelumnya. Matahari pergi 

(demikian dalam tafsiran yang agak luas), namun  ke tempat yang 

sama. Angin berputar sampai ia tiba di tempat yang sama, dan 

begitu pula air kembali ke tempat ia datang. Dengan demikian 

manusia, sesudah  semua jerih payah yang dilakukannya untuk 

mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan dalam ciptaan, tetap 

berada di mana ia sebelumnya, masih terus mencari sejauh 

seperti sebelumnya. Pikiran manusia terus bergerak tanpa henti 

dalam pencarian-pencariannya sama seperti matahari, angin, dan 

sungai, namun  tidak pernah puas, tidak pernah merasa cukup. 

Semakin ia memiliki sesuatu dari dunia, semakin ia ingin me-

miliki lebih lagi. Dan ia tidak akan pernah penuh dengan sungai-

sungai kemakmuran lahirah, sungai-sungai yang mengalirkan 

madu dan dadih (Ayb. 20:17), sama seperti laut tidak akan pernah 

penuh dengan semua sungai yang mengalir ke sana. Ia masih 

tetap seperti yang dulu, laut yang berombak-ombak sebab tidak 

dapat tetap tenang.  

6. Bahwa segala sesuatu tetap seperti semula, pada waktu dunia di-

ciptakan (2Ptr. 3:4). Bumi tetap ada di tempatnya dulu. Matahari, 

angin, dan sungai tetap berjalan di jalan yang sama seperti sebe-

lumnya. Oleh sebab itu, jika semua itu tidak pernah cukup untuk 

memberikan kebahagiaan kepada manusia, itu mungkin tidak 

akan pernah cukup, sebab semua itu hanya dapat memberikan 

penghiburan yang sama seperti yang telah mereka berikan selama 

ini. Oleh sebab itu, kita harus mencari kepuasan, dan mencari 

dunia baru, di atas matahari.  

7. Bahwa dunia ini, sebaik-baiknya, yaitu  tanah yang melelahkan: 

Segala sesuatu sia-sia, sebab segala sesuatu menjemukan (KJV: 

segala sesuatu penuh kerja keras). Seluruh ciptaan dibuat tunduk 

pada kesia-siaan ini sejak manusia dijatuhi hukuman untuk 

mencari makanan dengan berpeluh. Jika kita mengamati seluruh 

ciptaan, kita akan melihat bahwa semuanya sibuk. Semuanya 

mempunyai cukup banyak hal untuk dilakukan, untuk mengurusi 

urusan mereka sendiri. Tak satu pun yang akan menjadi bagian 

atau kebahagiaan untuk manusia. Semua kerja keras dilakukan 

untuk memenuhi kebutuhannya, namun  tak satu pun terbukti se-

bagai penolong yang sepadan baginya. Manusia tidak bisa meng-

ungkapkan betapa penuh kerja kerasnya segala sesuatu itu, tidak 

bisa menghitung orang-orang yang bekerja keras atau mengukur 

kerja keras itu.  

8. Bahwa indra-indra kita tidak terpuaskan, dan apa yang diingin-

kannya tidak memuaskan. Salomo menyebutkan secara khusus 

indra-indra yang melakukan tugas mereka dengan sedikit peker-

jaan, dan yang paling dapat disenangkan: Mata tidak kenyang 

melihat, namun  jemu sebab  selalu melihat pemandangan yang 

sama, dan mendambakan sesuatu yang baru dan beragam. Teli-

nga senang, pada awalnya, mendengarkan lagu atau nada yang 

indah, namun  segera muak dengannya, dan harus mendengarkan 

yang lain. Baik mata maupun telinga merasa jemu, namun  tidak

Kitab Pengkhotbah 1:9-11 

 pernah dipuaskan, dan apa yang paling menyenangkan menjadi 

tidak menyenangkan. Rasa penasaran masih saja ingin tahu, 

sebab  masih belum dipuaskan, dan semakin ia dituruti, semakin 

ia cerewet dan mengomel, sambil berteriak, lagi, lagi. 

Perubahan tanpa Kebaruan 

(1:9-11) 

9 Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan 

dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. 10 Adakah sesuatu 

yang dapat dikatakan: “Lihatlah, ini baru!”? namun  itu sudah ada dulu, lama 

sebelum kita ada. 11 Kenang-kenangan dari masa lampau tidak ada, dan dari 

masa depan yang masih akan datang pun tidak akan ada kenang-kenangan 

pada mereka yang hidup sesudahnya. 

Dalam kaitan dengan pekerjaan dan kenikmatan-kenikmatan di 

dunia, ada dua hal yang dengannya kita cenderung mencari kese-

nangan dan kepuasan. Dan berdasarkan dua hal ini pula kita selalu 

menilai harga diri kita. Seolah-olah kedua hal itu membantu menye-

lamatkan kesenangan dan kepuasan kita dari kesia-siaan. Salomo 

menunjukkan kepada kita kesalahan kita dalam keduanya. 

1. Hal-hal baru untuk ditemukan. Hal-hal baru ini selalu tidak 

pernah diketahui sebelumnya. Betapa kita patut bersyukur bahwa 

belum pernah ada yang membuat kemajuan-kemajuan sedemi-

kian rupa dalam hal pengetahuan dan penemuan-penemuan me-

lalui pengetahuan ini  seperti kita. Bahwa belum pernah ada 

orang yang membuat perbaikan-perbaikan sedemikian rupa terha-

dap harta benda atau perdagangan, dan memiliki keahlian untuk 

menikmati keuntungan-keuntungan darinya seperti yang kita 

lakukan. Semua rancangan dan susunan orang dulu dipandang 

rendah dan dilindas, dan kita memegahkan gaya-gaya baru, 

dugaan-dugaan baru, cara-cara baru, ungkapan-ungkapan baru, 

yang mendesak keluar hal-hal lama dan mencampakkannya. 

namun  tindakan ini semua keliru: Apa yang ada, dan akan ada, 

yaitu  sama dengan apa yang pernah ada, dan apa yang pernah 

dibuat akan sama saja dengan apa yang akan dibuat lagi, sebab 

tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari (ay. 9). Hal ini di-

ulangi (ay. 10) dengan mengajukan pertanyaan, adakah sesuatu 

yang tentangnya dapat dikatakan, dengan rasa takjub, lihatlah, ini 

baru, belum pernah ada yang seperti ini? Ini merupakan seruan 

kepada orang-orang yang mengamat-amati, dan tantangan bagi 

orang-orang yang berteriak-teriak bahwa ilmu pengetahuan 

zaman sekarang melebihi ilmu pengetahuan zaman dulu. Biarlah 

mereka menyebutkan apa saja yang mereka anggap sebagai baru, 

dan meskipun mungkin kita tidak bisa menunjukkannya, sebab  

tidak adanya catatan tentang masa-masa dulu, namun beralasan 

bagi kita untuk menyimpulkan bahwa itu sudah ada dulu, lama 

sebelum kita ada. Apakah ada dalam kerajaan alam, yang ten-

tangnya kita dapat berkata, ini baru? Pekerjaan-Nya sudah selesai 

sejak dunia dijadikan (Ibr. 4:3). Hal-hal yang tampak baru bagi 

kita, seperti bagi anak-anak, tidaklah demikian dalam dirinya 

sendiri. Langit sudah ada sejak dulu. Bumi tetap ada selamanya. 

Kekuatan-kekuatan alam dan rantai sebab akibat alam masih 

sama seperti sebelumnya. Dalam kerajaan penyelenggaraan ilahi, 

meskipun jalan dan caranya tidak mempunyai aturan-aturan 

yang diketahui dan yang pasti seperti dalam kerajaan alam, tidak 

pula selalu lewat di jalur yang sama, namun, pada umumnya, itu 

masih hal yang sama lagi dan lagi. Hati manusia, dan kebobrok-

an-kebobrokannya, masih sama. Keinginan-keinginan, pencarian-

pencarian, dan keluhan-keluhan mereka masih sama. Dan apa 

yang dilakukan Tuhan  dalam mengurusi manusia sesuai dengan 

Kitab Suci, sesuai dengan caranya, sehingga semua itu yaitu  

pengulangan. Apa yang mengejutkan bagi kita tidak mesti demi-

kian, sebab sudah ada sejak dahulu hal yang seperti itu, kemaju-

an-kemajuan yang mengherankan dan kekecewaan-kekecewaan, 

pergolakan-pergolakan yang mengherankan dan perubahan-peru-

bahan yang tiba-tiba, perubahan yang tiba-tiba dari berbagai 

peristiwa. Kesengsaraan-kesengsaraan hidup manusia selalu sama, 

dan umat manusia mengelilingi putaran yang abadi, dan, seperti 

matahari dan angin, tetap berada di mana mereka berada sebelum-

nya. Nah, maksud dari hal ini yaitu ,  

(1) Untuk menunjukkan kebodohan anak-anak manusia dalam 

menyukai hal-hal yang baru, dalam membayangkan bahwa 

mereka telah menemukan hal-hal seperti itu, dan dalam me-

nyenangkan serta membanggakan diri mereka sendiri dengan-

nya. Kita cenderung muak dengan hal-hal yang lama, dan 

jemu dengan apa yang sudah lama terbiasa kita dapati, seperti 

Israel jemu dengan manna, dan menginginkan, bersama 

orang-orang Atena, untuk senantiasa mengatakan atau men-

dengar segala sesuatu yang baru, dan mengagumi hal ini dan 

Kitab Pengkhotbah 1:9-11 

itu sebagai sesuatu yang baru, padahal semua itu sudah per-

nah ada. Tatianus, orang Asyur, saat  menunjukkan kepada 

orang-orang Yunani bahwa semua keahlian yang dengannya 

mereka menghargai diri mereka sendiri lebih tinggi melampaui 

bangsa-bangsa yang mereka anggap biadab, beradu pendapat 

dengan mereka seperti ini: “Sungguh memalukan, jangan sebut 

hal-hal itu eureseis – temuan, sebab itu hanyalah mimeseis – 

tiruan.”  

(2) Untuk membuat kita tidak lagi mengharapkan kebahagiaan 

atau kepuasan dalam makhluk ciptaan. Mengapa kita harus 

mencarinya di sana, di mana belum pernah ada yang mene-

mukannya? Apa alasan kita untuk berpikir bahwa dunia harus 

berlaku lebih baik kepada kita dibandingkan kepada orang-

orang yang sudah pergi mendahului kita? Sebab tidak ada 

yang baru di dalamnya, dan para pendahulu kita sudah 

banyak berbuat apa yang dapat diperbuat terhadapnya. Nenek 

moyangmu telah makan manna di padang gurun, namun 

mereka telah mati. Lihat Yohanes 8:8-9; 6:49.  

(3) Untuk menggugah kita supaya mencari berkat-berkat rohani 

dan kekal. Jika kita mau dihibur dengan hal-hal yang baru, 

kita harus mengenal perkara-perkara tentang Tuhan , memper-

oleh kodrat yang baru. Maka pada saat itu yang lama sudah 

berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2Kor. 5:17). 

Injil memberikan nyanyian baru dalam mulut kita. Di sorga 

segala sesuatu baru (Why. 21:5), semuanya baru pada awal-

nya, sepenuhnya berbeda dari keadaan sekarang ini, sebuah 

dunia yang sungguh-sungguh baru (Luk. 20:35), dan semua-

nya baru sampai pada kekekalan, selalu segar, selalu berkem-

bang. Permenungan akan hal ini haruslah membuat kita ber-

sungguh-sungguh, bahwa di dunia ini tidak ada apa-apa selain 

hal yang sama berulang kali, dan kita tidak bisa mengharapkan 

darinya sesuatu yang lebih atau lebih baik daripada apa yang 

sudah kita dapatkan. 

2. Diingat-ingatnya suatu pencapaian. Bahwa pencapaian itu sede-

mikian hebatnya hingga akan dikenal dan dibicarakan sesudah 

masa ini. Banyak orang menyangka bahwa mereka sudah men-

dapatkan cukup kepuasan dalam hal ini, bahwa nama mereka 

akan diabadikan, bahwa anak cucu akan merayakan tindakan-

tindakan yang sudah mereka lakukan, kehormatan-kehormatan 

yang sudah mereka menangkan, dan harta milik yang sudah 

mereka perbanyak, bahwa rumah mereka untuk selama-lamanya 

(Mzm. 49:12). namun  dalam hal ini mereka menipu diri mereka 

sendiri. Berapa banyak hal-hal dan orang-orang dari masa lam-

pau, yang pada zaman mereka tampak sangat hebat dan berpe-

ngaruh luar biasa besar, namun kini kenang-kenangan terhadap 

mereka pun sudah tidak ada. Mereka terkubur dalam kelupaan. 

Di sana sini seseorang atau satu tindakan yang luar biasa dijum-

pai oleh sejarawan yang baik hati, dan kejadiannya yang baik 

dicatat, sementara pada saat yang sama ada orang-orang lain, 

yang tidak kalah luar biasa, dihilangkan. Oleh sebab itu, kita 

dapat menyimpulkan bahwa dari masa depan yang masih akan 

datang pun tidak akan ada kenang-kenangan pada mereka yang 

hidup sesudahnya, namun  bahwa apa yang dengannya kita ber-

harap akan dikenang, hal itu akan terhilang atau dianggap remeh. 

Kesia-siaan Hikmat Manusia 

(1:12-18) 

12 Aku, Pengkhotbah, yaitu  raja atas Israel di Yerusalem. 13 Aku membulat-

kan hatiku untuk memeriksa dan menyelidiki dengan hikmat segala yang 

terjadi di bawah langit. Itu pekerjaan yang menyusahkan yang diberikan 

Tuhan  kepada anak-anak manusia untuk melelahkan diri. 14 Aku telah melihat 

segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, namun  lihatlah, 

segala sesuatu yaitu  kesia-siaan dan usaha menjaring angin. 15 Yang bong-

kok tak dapat diluruskan, dan yang tidak ada tak dapat dihitung. 16 Aku 

berkata dalam hati: “Lihatlah, aku telah memperbesar dan menambah hik-

mat lebih dari pada semua orang yang memerintah atas Yerusalem sebelum 

aku, dan hatiku telah memperoleh banyak hikmat dan pengetahuan.” 17 Aku 

telah membulatkan hatiku untuk memahami hikmat dan pengetahuan, 

kebodohan dan kebebalan. namun  aku menyadari bahwa hal inipun yaitu  

usaha menjaring angin, 18 sebab  di dalam banyak hikmat ada banyak susah 

hati, dan siapa memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan. 

Salomo, sesudah  menegaskan secara umum bahwa segala sesuatu 

yaitu  sia-sia, dan sesudah  memberikan beberapa bukti umum ten-

tangnya, sekarang mengambil cara yang paling jitu untuk menunjuk-

kan kebenarannya,  

1. Dari pengalamannya sendiri. Ia sudah mencoba semuanya itu, 

dan mendapatinya sia-sia.  

2. Dengan menyebutkan kejadian-kejadian tertentu. Dan di sini ia 

memulai dengan apa yang paling mungkin menjadi kebahagiaan 

makhluk yang berakal, yaitu pengetahuan dan pembelajaran. Jika

Kitab Pengkhotbah 1:12-18 

 ini sia-sia, maka segala sesuatu yang lain pasti sia-sia juga. Nah, 

berkenaan dengan pengetahuan ini, 

I. Salomo memberi tahu kita di sini percobaan apa yang sudah di-

buatnya untuk itu, dan itu dengan keuntungan-keuntungan yang 

sedemikian rupa hingga, jika kepuasan yang sejati dapat ditemu-

kan di dalamnya, ia pasti akan menemukannya.  

1. Kedudukannya yang tinggi memberinya kesempatan untuk 

mengembangkan dirinya dalam semua bidang ilmu pengetahu-

an, dan khususnya dalam keahlian memerintah dan perilaku 

umat manusia (ay. 12). Dia yang menjadi pengkhotbah ajaran 

ini yaitu  raja atas Israel, yang dikagumi oleh semua sesama-

nya sebagai umat yang bijaksana dan berakal budi (Ul. 4:6). 

Kursi kerajaannya terletak di Yerusalem, yang pada saat itu 

layak, lebih daripada Atena, disebut sebagai mata dunia. Hati 

raja tak terselami. Hanya dia sendiri yang bisa menjangkau-

nya, dan keputusan dari Tuhan  ada di bibir raja. yaitu  kehor-

matannya, yaitu  urusannya, untuk menyelidiki segala sesua-

tu. Kekayaan dan kehormatan Salomo yang besar membuat-

nya mampu menjadikan istananya sebagai pusat pembelajaran 

dan tempat bertemunya orang-orang terpelajar, dan meleng-

kapi dirinya dengan artikel -artikel  terbaik. Dan ia bertukar pen-

dapat atau surat-menyurat dengan semua orang bijak dan 

berpengetahuan yang ada di dunia pada saat itu, yang datang 

kepadanya untuk belajar darinya, yang melaluinya ia tidak 

bisa tidak memperbaiki dirinya sendiri. Sebab dalam penge-

tahuan seperti juga dalam perdagangan, semua keuntungan 

akan diperoleh dengan cara tukar-menukar. Jika kita mempu-

nyai sesuatu untuk dikatakan yang akan mengajar orang lain, 

maka mereka juga akan mempunyai sesuatu untuk dikatakan 

yang akan mengajar kita. Sebagian orang mencermati betapa 

dengan meremehkan Salomo berbicara tentang martabat dan 

kehormatannya sendiri. Ia tidak berkata, aku, pengkhotbah, 

yaitu  seorang raja, melainkan aku dulu seorang raja, tidak 

peduli siapa aku sekarang. Ia berbicara tentang kedudukan-

nya itu sebagai sesuatu di masa lalu, sebab kehormatan-

kehormatan duniawi yaitu  hal yang selalu berlalu.  

2. Ia berusaha memanfaatkan keuntungan-keuntungan ini, dan 

kesempatan-kesempatan yang dimilikinya untuk memperoleh 

hikmat, yang, meskipun begitu besar, tidak akan membuat 

orang bijak kecuali ia mencurahkan segenap pikirannya untuk 

itu. Salomo membulatkan hatinya untuk memeriksa dan me-

nyelidiki semua hal yang dapat diketahui dengan hikmat (ay. 

13). Ia mencurahkan diri sepenuhnya untuk mengenal segala 

yang terjadi di bawah langit, yang terjadi oleh penyelenggaraan 

Tuhan  atau oleh keahlian dan kebijaksanaan manusia. Ia mene-

tapkan hati untuk mendapatkan semua wawasan yang bisa 

didapatnya tentang filsafat dan ilmu hitung, tentang pertanian 

dan perdagangan, barang jualan dan ilmu mesin, tentang 

sejarah masa lalu dan keadaan sekarang dari kerajaan-

kerajaan lain, hukum-hukum, adat istiadat, dan cara kebiasa-

an mereka, tentang sifat manusia yang berbeda-beda, kemam-

puan-kemampuan, rencana-rencana, dan cara-cara untuk 

mengaturnya. Ia menetapkan hati tidak hanya untuk meme-

riksa, namun  juga untuk menyelidiki, untuk mengorek-ngorek, 

apa yang paling rumit, dan yang menuntut segenap pikiran 

dan pekerjaan yang teramat gigih dan terus-menerus. Meski-

pun ia seorang raja, ia membanting tulang untuk belajar. Ia 

tidak berkecil hati sebab  kerumitan-kerumitannya, tidak pula 

asal-asalan dalam mempelajarinya. Dan ini dilakukannya, 

tidak hanya untuk memuaskan kecerdasannya sendiri, namun  

juga supaya ia memenuhi syarat untuk melayani Tuhan  dan 

angkatannya, dan untuk membuat percobaan seberapa jauh 

kemajuan pengetahuan akan membantu menenangkan dan 

menenteramkan pikiran.  

3. Ia membuat kemajuan-kemajuan yang sangat pesat dalam 

pelajaran-pelajarannya, meningkat secara menakjubkan dalam 

semua bidang ilmu pengetahuan, dan membawa penemuan-

penemuannya jauh lebih maju daripada siapa saja sebelum-

nya. Ia tidak mengutuk pengetahuan, seperti banyak orang, 

sebab  mereka tidak bisa menaklukkannya, dan tidak mau 

bersusah payah menguasainya. Tidak, apa yang menjadi tu-

juannya ia capai; ia telah melihat segala perbuatan yang di-

lakukan orang di bawah matahari (ay. 14), pekerjaan-pekerja-

an alam di dunia atas dan di dunia bawah, semuanya dalam 

pusaran ini (untuk menggunakan istilah zaman sekarang), di 

mana matahari sebagai pusatnya, baik itu karya-karya seni, 

hasil kecerdasan manusia, dalam kemampuan pribadi atau 

Kitab Pengkhotbah 1:12-18 

warga . Ia mendapat banyak kepuasan dalam keberhasil-

an penyelidikan-penyelidikannya sama seperti orang lain sebe-

lumnya. Ia berkata dalam hati mengenai pencapaian-penca-

paiannya dalam pengetahuan, dengan perasaan yang sangat 

senang seperti saudagar kaya menghitung barang-barang per-

sediaannya. Ia dapat berkata, “Lihatlah, aku telah memper-

besar dan menambah hikmat, tidak hanya sudah memperoleh 

sendiri lebih banyak hikmat, namun  juga berbuat lebih banyak 

untuk menyebarkannya dan membuatnya terkenal, daripada 

siapa saja, lebih dari pada semua orang yang memerintah atas 

Yerusalem sebelum aku.” Perhatikanlah, sudah sepatutnya 

orang-orang besar tekun belajar, dan bersuka terutama dalam 

kesenangan-kesenangan yang menuntut banyak berpikir. Apa-

bila Tuhan  memberikan keuntungan-keuntungan besar untuk 

memperoleh pengetahuan, Ia menantikan kemajuan-kemajuan 

seperti yang seharusnya. Berbahagialah sebuah bangsa jika  

raja-raja dan pemuka-pemuka mereka berusaha untuk meng-

ungguli satu sama lain dalam hikmat dan pengetahuan yang 

bermanfaat, seperti yang mereka lakukan dalam kehormatan 

dan harta milik. Mereka dapat memberikan pelayanan kepada 

seluruh dunia pendidikan dengan mengabdikan diri mereka 

kepada bidang-bidang ilmu yang tepat bagi mereka, yang tidak 

dapat dilakukan oleh orang-orang yang lebih rendah keduduk-

annya. Salomo harus diakui sebagai hakim yang cakap atas 

perkara ini, sebab bukan saja kepalanya penuh dengan ber-

bagai gagasan, melainkan juga hatinya telah memperoleh 

banyak hikmat dan pengetahuan, kekuatan dan manfaat dari 

pengetahuan, serta kesenangan dan penghiburan darinya. Apa 

yang ia ketahui telah dicernanya, dan ia tahu bagaimana me-

manfaatkannya. Hikmat masuk ke dalam hatinya, dan dengan 

demikian menyenangkan jiwanya (Ams. 2:10-11; 22:18).  

4. Ia mencurahkan penelitiannya terutama pada bidang ilmu 

yang paling berguna bagi perilaku hidup manusia, dan sebab -

nya yang paling berharga (ay. 17): “Aku telah membulatkan 

hatiku untuk memahami aturan-aturan dan perintah-perintah 

hikmat, dan bagaimana aku bisa memperolehnya. Dan untuk 

mengetahui kebodohan dan kebebalan, bagaimana aku bisa 

mencegah dan menyembuhkannya. Untuk mengetahui jerat-

jerat dan bujukan-bujukannya, supaya aku bisa menghindari-


 26

nya, berjaga-jaga terhadapnya, dan menyingkapan kesalahan-

kesalahannya.” Begitu tekunnya Salomo dalam meningkatkan 

dirinya dalam pengetahuan, hingga ia mendapat pengajaran baik 

oleh hikmat orang bijak maupun oleh kebodohan orang bebal, 

oleh ladang orang pemalas, maupun oleh ladang orang rajin. 

II. Ia memberi tahu kita apa hasil dari percobaan ini, untuk meneguh-

kan apa yang sudah dikatakannya, bahwa segala sesuatu yaitu  

sia-sia. 

1. Ia mendapati bahwa pencarian-pencariannya akan pengetahu-

an sangat meletihkan, dan tidak hanya melelahkan daging, 

namun  juga pikiran (ay. 13): Pekerjaan yang menyusahkan ini, 

kesulitan yang ada dalam mencari kebenaran dan menemu-

kannya ini, diberikan Tuhan  kepada anak-anak manusia untuk 

melelahkan diri, sebagai hukuman terhadap orangtua pertama 

kita sebab  menginginkan pengetahuan yang terlarang. Sama 

seperti makanan untuk tubuh, demikian pula makanan untuk 

jiwa, harus diperoleh dan dimakan dengan berpeluh, padahal 

keduanya akan didapat tanpa susah payah seandainya Adam 

tidak berdosa. 

2. Ia mendapati bahwa semakin ia melihat segala perbuatan yang 

dilakukan orang di bawah matahari, semakin ia melihat kesia-

siaannya. Bahkan, penglihatan itu sering kali membuat jiwa-

nya kesusahan (ay. 14): “Aku telah melihat segala perbuatan di 

dunia yang penuh pekerjaan, telah mencermati apa yang 

sedang dilakukan anak-anak manusia. namun  lihatlah, apa pun 

yang dipikirkan orang tentang pekerjaan-pekerjaan mereka 

sendiri, aku melihat bahwa segala sesuatu yaitu  kesia-siaan 

dan usaha menjaring angin.” Sebelumnya ia sudah menyata-

kan bahwa segala sesuatu yaitu  sia-sia (ay. 2), tidak perlu 

dan tidak bermanfaat, dan apa yang tidak memberikan kebaik-

an kepada kita. Di sini ia menambahkan, semuanya itu yaitu  

usaha menjaring angin, menyusahkan dan merugikan, dan se-

suatu yang mencederai kita. Itu yaitu  memakan angin, demi-

kian sebagian orang membacanya (Hos. 12:2, KJV).  

(1) Pekerjaan-pekerjaan itu sendiri, yang kita lihat dilakukan, 

yaitu  sia-sia dan usaha menjaring angin bagi orang-orang 

yang dipekerjakan di dalamnya. Ada begitu banyak kekha-

Kitab Pengkhotbah 1:12-18 

 27

watiran dalam merancang urusan duniawi kita, begitu ba-

nyak kerja keras dalam melaksanakannya, dan begitu ba-

nyak kesusahan dalam kekecewaan-kekecewaan yang kita 

jumpai di dalamnya, sehingga pantaslah jika kita berkata, 

itu yaitu  usaha menjaring angin.  

(2) Melihat pekerjaan-pekerjaan itu yaitu  kesia-siaan dan 

usaha menjaring angin bagi orang bijak yang mengamati-

nya. Semakin kita melihat dunia, semakin kita melihat apa 

yang membuat kita tidak tenang, dan, bersama Heraklitos 

(filsuf Yunani kuno – pen.), memandang semuanya dengan 

mata yang menangis. Salomo terutama memahami bahwa 

pengetahuan tentang hikmat dan kebodohan yaitu  usaha 

menjaring angin (ay. 17). Hatinya susah melihat banyak 

orang yang mempunyai hikmat namun  tidak menggunakan-

nya, dan banyak orang yang bodoh namun  tidak berusaha 

melawan kebodohan itu. Hatinya susah saat  ia mengenal 

hikmat untuk melihat seberapa jauh hikmat itu dari anak-

anak manusia, dan, saat  ia melihat kebodohan, hatinya 

susah melihat seberapa cepat kebodohan itu membelenggu 

hati mereka. 

3. Ia mendapati bahwa sesudah  ia memperoleh sedikit banyak pe-

ngetahuan, ia tidak bisa mendapatkan kepuasan bagi dirinya 

sendiri, tidak pula melakukan kebaikan kepada orang lain de-

ngannya, seperti yang dia harapkan (ay. 15). Tidak ada gunanya,  

(1) Untuk memperbaiki banyak kesusahan dalam kehidupan 

manusia: “Bagaimanapun juga, aku mendapati bahwa yang 

bongkok akan tetap bongkok dan tak dapat diluruskan.” 

Pengetahuan kita sendiri rumit dan membingungkan. Kita 

harus pergi jauh dan berputar-putar ke tempat yang jauh 

untuk sampai padanya. Salomo berpikir untuk menemu-

kan jalan yang lebih dekat ke sana, namun  tidak bisa. Jalan-

jalan pengetahuan seperti sebuah labirin (jalan yang ber-

kelok-kelok hingga menyesatkan – pen.) dari dahulu sam-

pai sekarang. Pikiran dan perilaku manusia bengkok dan 

sesat. Salomo bermaksud, dengan hikmat dan kekuasa-

annya secara bersama-sama, untuk memperbaharui kera-

jaannya secara menyeluruh, dan meluruskan apa yang 

didapatinya bengkok. namun  ia kecewa. Semua pengetahu-


 28

an dan keahlian memerintah di dunia tidak akan mengem-

balikan kodrat manusia yang bobrok kepada kelurusannya 

yang semula. Kita mendapati ketidaksanggupannya baik 

dalam diri orang lain maupun dalam diri kita sendiri. Pe-

ngetahuan tidak akan mengubah perangai-perangai alami 

manusia, atau menyembuhkan mereka dari penyakit-

penyakit mereka yang berdosa, tidak pula akan mengubah 

pembawaan dari segala sesuatu di dunia ini. Lembah air 

mata, itulah dunia ini sekarang, dan demikian pula nanti 

saat  segala sesuatu sudah dilakukan.  

(2) Untuk menutupi banyak kekurangan dalam kenyamanan 

hidup manusia: Yang tidak ada di sana tak dapat dihitung, 

atau dihitung bagi kita dari perbendaharaan pengetahuan 

manusia, namun  apa yang tidak ada tetap tidak ada. Semua 

kenikmatan kita di sini, sesudah  kita melakukan yang ter-

baik untuk membawanya pada kesempurnaan, masih saja 

lumpuh dan cacat, dan tidak dapat ditolong. Seperti apa 

adanya semua kenikmatan itu, demikian pula adanya nan-

ti. Yang tidak ada dalam pengetahuan kita begitu banyak 

hingga tak dapat dihitung. Semakin kita tahu, semakin kita 

melihat ketidaktahuan kita sendiri. Siapakah yang dapat 

mengetahui kesesatannya, cacat celanya? 

4. Oleh sebab  itu, secara keseluruhan, ia menyimpulkan bahwa 

para sarjana yang besar hanya menjadikan diri mereka sebagai 

orang-orang yang banyak berkabung. sebab  di dalam banyak 

hikmat ada banyak susah hati (ay. 18). Pasti ada banyak susah 

payah yang dikerjakan untuk memperolehnya, dan banyak 

perhatian yang diberikan untuk tidak melupakannya. Semakin 

kita tahu, semakin kita melihat ada lagi yang harus diketahui, 

dan sebagai akibatnya kita melihat dengan lebih jernih bahwa 

pekerjaan kita tiada berakhir, dan kita semakin melihat kesa-

lahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan kita yang dulu, 

yang menimbulkan banyak susah hati. Semakin kita melihat 

berbagai perasaan dan pendapat manusia yang berbeda-beda 

(dan itu yaitu  apa yang diketahui oleh banyaknya pengetahu-

an kita), semakin kita kebingungan, siapa yang sesungguhnya 

benar. Siapa memperbanyak pengetahuan, ia mempunyai daya 

pemahaman yang jauh lebih cepat dan peka akan malapetaka-

malapetaka dunia ini, dan untuk satu temuan yang mereka 

Kitab Pengkhotbah 1:12-18 

 29

buat yang mungkin menyenangkan, mereka membuat sepuluh 

temuan yang tidak menyenangkan, dan dengan demikian 

mereka memperbanyak kesedihan. Janganlah kita sebab  itu 

dijauhkan dari mengejar suatu pengetahuan yang berguna, 

namun  harus bersabar untuk maju menerobos melalui kesedih-

an yang dialami. Janganlah kita putus asa untuk menemukan 

kebahagiaan yang sejati dalam pengetahuan ini, dan meng-

harapkannya hanya dalam pengetahuan akan Tuhan  dan dalam 

melaksanakan kewajiban kita terhadap-Nya dengan penuh 

perhatian. Siapa memperbanyak hikmat sorgawi, dan melalui 

pengalaman mengenal dasar-dasar ajaran, kuasa-kuasa, dan 

kesenangan-kesenangan dari kehidupan rohani dan ilahi, ia 

memperbanyak sukacita, seperti yang akan segera disempur-

nakan dalam sukacita yang kekal. 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

PASAL  2  

etelah menyatakan semua kesia-siaan, terutama yang berkaitan 

dengan ilmu dan pengetahuan, serta mendapati bahwa semua itu 

sama sekali tidak memberikan sukacita kepadanya meskipun telah 

diperoleh dengan limpah, namun  justru membuatnya semakin sedih, 

di pasal in


Related Posts:

  • pengkhotbah kidungagung 1 KITAB PENGKHOTBAH  PASAL 1  7 I. Kesia-siaan Dunia (1:1-3) 8 II. Kesia-siaan Dunia (1:4-8) 16  III. Perubahan tanpa Kebaruan (1:9-11) 19 IV. Kesia-siaan Hikmat Manusia (1:12-18) 2… Read More