pengkhotbah kidungagung 2

 


i Salomo melanjutkan dengan memperlihatkan alasan 

mengapa ia merasa jenuh dengan dunia ini. Selain itu, ia juga me-

nunjukkan betapa kecil alasan banyak orang untuk menggemarinya. 

I. Ia menunjukkan bahwa di dalam keriangan, kegembiraan, 

dan kenikmatan indra, tidak ada  kebahagiaan dan ke-

puasan sejati (ay. 1-11). 

II. Ia mempertimbangkan kembali keutamaan hikmat, dan meng-

akuinya memang sangat unggul dan bermanfaat, namun, ia 

melihat bahwa nilainya sangat kecil, hingga terbukti belum 

memadai untuk membuat manusia berbahagia (ay. 12-16). 

III. Ia bertanya sampai sejauh apa kegiatan dan kekayaan dunia 

ini bisa membuat manusia berbahagia, dan kemudian me-

nyimpulkan dari pengalaman sendiri, bahwa bagi orang-orang 

yang mendambakannya, “semua itu hanyalah kesia-siaan dan 

usaha menjaring angin belaka,” (ay. 17-23). Kalaupun ter-

dapat kebaikan di dalamnya, hal ini hanyalah bagi mereka 

yang tidak terikat padanya (ay. 24-26).  

Kesia-siaan Kesenangan Dunia 

(2:1-11) 

1 Aku berkata dalam hati: “Mari, aku hendak menguji kegirangan! Nikmatilah 

kesenangan! namun  lihat, juga itupun sia-sia.” 2 Tentang tertawa aku berkata: 

“Itu bodoh!”, dan mengenai kegirangan: “Apa gunanya?” 3 Aku menyelidiki 

diriku dengan menyegarkan tubuhku dengan anggur, – sedang akal budiku 


 32

tetap memimpin dengan hikmat – , dan dengan memperoleh kebebalan, sam-

pai aku mengetahui apa yang baik bagi anak-anak manusia untuk dilakukan 

di bawah langit selama hidup mereka yang pendek itu. 4 Aku melakukan pe-

kerjaan-pekerjaan besar, mendirikan bagiku rumah-rumah, menanami bagi-

ku kebun-kebun anggur; 5 aku mengusahakan bagiku kebun-kebun dan 

taman-taman, dan menanaminya dengan rupa-rupa pohon buah-buahan;  

6 aku menggali bagiku kolam-kolam untuk mengairi dari situ tanaman po-

hon-pohon muda. 7 Aku membeli budak-budak laki-laki dan wanita , dan 

ada budak-budak yang lahir di rumahku; aku mempunyai juga banyak sapi 

dan kambing domba melebihi siapapun yang pernah hidup di Yerusalem 

sebelum aku. 8 Aku mengumpulkan bagiku juga perak dan emas, harta ben-

da raja-raja dan daerah-daerah. Aku mencari bagiku biduan-biduan dan 

biduanita-biduanita, dan yang menyenangkan anak-anak manusia, yaitu  

banyak gundik. 9 Dengan demikian aku menjadi besar, bahkan lebih besar 

dari pada siapapun yang pernah hidup di Yerusalem sebelum aku; dalam 

pada itu hikmatku tinggal tetap padaku. 10 Aku tidak merintangi mataku dari 

apapun yang dikehendakinya, dan aku tidak menahan hatiku dari sukacita 

apapun, sebab hatiku bersukacita sebab  segala jerih payahku. Itulah buah 

segala jerih payahku. 11 saat  aku meneliti segala pekerjaan yang telah dila-

kukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan 

jerih payah, lihatlah, segala sesuatu yaitu  kesia-siaan dan usaha menjaring 

angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari. 

Di sini, Salomo yang mengejar summum bonum – kebahagiaan manu-

sia, beranjak dari penelitiannya, keluar dari ruang perpustakaannya, 

dan dari penyidikannya, dari ruangan permenungannya, di mana di 

semua tempat itu ia telah mencari kebahagiaan dengan sia-sia. Ia 

keluar dari sana dan masuk ke taman, tempat hiburan, kebun, dan 

rumah peristirahatannya. Ia berganti teman bergaul, dari kumpulan 

para ahli pikir dan para anggota dewan kerajaan yang cerdas dan 

rupawan dan para cendekiawan, untuk mencoba kalau-kalau ia bisa 

menemukan kepuasan dan kebahagiaan sejati di antara mereka. Di 

sini Salomo mengambil langkah besar turun ke bawah, dari kesenang-

an mulia di antara kaum terpelajar ke kesenangan indra yang kasar. 

Ia sudah memutuskan untuk mengadakan percobaan yang lengkap, 

jadi memang ia harus masuk ke dalam kesenangan indra ini, sebab di 

sini sebagian besar umat manusia membayangkan bahwa mereka 

telah menemukan apa yang selama ini dicari-cari Salomo itu. 

I. Ia memutuskan untuk mencoba apa yang bisa diperoleh dari 

kegembiraan dan kesenangan dari hiburan. Ia ingin tahu apakah 

ia akan bahagia jika  senantiasa menghibur diri dan orang-

orang lain dengan kisah-kisah gembira serta senda gurau, kela-

kar, dan lelucon. Jika ia dapat melengkapi diri dengan semua 

tindakan yang cemerlang dan perkataan segar, yang bisa mem-

buat orang tertawa, serta semua omong kosong, kesalahan, dan

Kitab Pengkhotbah 2:1-11 

 33

hal-hal konyol yang bisa didengarnya dan pantas diejek serta 

ditertawakan, maka ia akan senantiasa berada dalam suasana 

ceria. 

1. Melalui percobaan ini ia mendapati bahwa (ay. 1): “Di dalam 

banyak hikmat ada banyak susah hati, dan orang-orang yang 

bersungguh-sungguh akan cenderung mudah sedih. Aku ber-

kata dalam hati,” (kepada hatiku), “Mari, aku hendak menguji 

kegirangan! Akan kucoba apakah hal itu akan memberimu 

kepuasan.” Baik jalan pikiran maupun keadaan lahiriahnya 

tidak bisa mencegah dia untuk bergembira. Sebaliknya, ke-

duanya sejalan, seperti halnya semua keuntungan lain, untuk 

terus membuatnya bergembira. Itulah sebabnya ia memutus-

kan untuk mengambil kesempatan dan berkata, “Nikmatilah 

kesenangan, puaskan dirimu dengan kesenangan, buanglah 

kekhawatiranmu, dan bergembira-rialah senantiasa.” Demi-

kianlah seseorang bisa saja seperti ini, namun tidak satupun 

dari hal-hal menyenangkan yang didapatkannya bisa meng-

hiburnya. Banyak orang miskin yang bisa sangat bergembira, 

misalnya pengemis di lumbung. Kegembiraan merupakan ke-

senangan orang yang suka mengkhayal, dan meskipun tidak 

memiliki kesukaan penuh yang masuk di akal, namun itu 

lebih disukai daripada kegembiraan yang hanya bersifat 

jasmani dan penuh hawa nafsu. Beberapa orang membedakan 

manusia dari hewan, bukan sekadar sebagai animal rationale – 

hewan berakal, melainkan juga sebagai animal risibile – hewan 

yang tertawa, oleh sebab itu orang berkata kepada jiwanya, 

Beristirahatlah, makanlah, minumlah, lalu, Dan bersenang-

senanglah, sebab untuk hal itulah ia makan dan minum. 

“Oleh sebab itu berusahalah,” kata Salomo, “untuk tertawa 

dan menjadi gemuk, tertawa dan berbahagia.” 

2. Penilaiannya terhadap percobaan ini: namun  lihat, juga itu pun 

sia-sia. Tentang tertawa aku berkata: Itu bodoh! (ay. 2), atau, 

Engkau bodoh. Oleh sebab itu aku tidak mau berurusan 

denganmu. Demikian juga mengenai kegirangan (termasuk 

semua kesenangan dan hiburan, serta apa pun yang dianggap 

mengasyikkan), Apa gunanya? Atau, Apa gunanya dirimu? 

Kegirangan itu ada tidak salahnya, bila digunakan dengan 

bijaksana, pada tempatnya, dan secukupnya, merupakan hal 

yang baik, cocok untuk kegiatan, dan membantu meringankan 


 34

kerja keras dan kesesakan dalam kehidupan manusia. Namun, 

jika  digunakan dengan berlebihan dan melampaui batas, 

kegirangan itu sungguh bodoh dan tidak bermanfaat.

(1) Hal itu tidak berguna: Apa gunanya? Cui bono – Apa man-

faatnya? Hal itu tidak akan berguna untuk meredam hati 

nurani yang bersalah, atau menenangkan roh yang ber-

duka. Tidak ada sikap yang lebih tidak pantas daripada 

menyanyikan nyanyian untuk hati yang sedih. Hal ini tidak 

akan memuaskan jiwa, atau menghasilkan makna sejati. 

Kegirangan hanyalah jalan keluar yang meredakan kesu-

sahan saat ini. Tertawa terbahak-bahak biasanya berakhir 

dengan keluh kesah. 

(2) Kegirangan justru menimbulkan kepedihan mendalam: Itu 

bodoh, artinya, hal itu membuat orang menjadi bodoh, 

sebab  membawa orang kepada berbagai ketidaksenonohan 

yang merupakan celaan terhadap akal sehat dan agama 

mereka. Orang-orang yang memperturutkan hati di dalam-

nya sungguh bodoh, sebab hal ini menjauhkan mereka dari 

Tuhan  dan hal-hal ilahi dan tanpa sadar merusak kekuatan 

agama. Orang-orang yang gemar bergembira ria lupa ber-

sikap sungguh-sungguh, dan sementara mereka mengam-

bil rebana dan kecapi, kata mereka kepada Tuhan : Pergilah 

dari kami (Ayb. 21:12, 14). Seperti halnya Salomo, kita pun 

dapat menguji diri dengan kegirangan, dan menilai keadaan 

jiwa kita dengan hal berikut: Bagaimana pengaruhnya ter-

hadap kita? Bisakah kita bergembira ria sekaligus berhik-

mat? Dapatkah kita menggunakannya sekadar sebagai 

bumbu dan bukan sebagai makanan? Namun, kita tidak 

perlu mencobanya sendiri seperti yang dilakukan Salomo, 

dan mencari tahu apakah hal itu akan membawa kebaha-

giaan bagi kita, sebab kita boleh memercayai apa yang 

dikatakan Salomo saja. Itu bodoh, dan Apa gunanya? Gelak 

tawa dan kesenangan (kata Sir William Temple) berasal dari 

jalan pikiran yang sangat berbeda. Sebab sama seperti ma-

nusia tidak cenderung menertawakan hal-hal yang paling 

mereka sukai, demikian pula mereka tidak menyukai 

banyak hal yang mereka tertawakan. 

Kitab Pengkhotbah 2:1-11 

 35

II. saat  mendapati diri tidak bahagia dengan hal yang dipakainya 

untuk memuaskan khayalannya, Salomo kemudian memutuskan 

untuk mencoba hal yang dapat memuaskan indra pengecap (ay. 

3). sebab  pengetahuan tidak akan mampu memuaskan, ia ingin 

melihat apa yang akan terjadi jika  ia menggunakan makanan 

dan minuman dengan bebas: Aku menyelidiki diriku dengan me-

nyegarkan tubuhku dengan anggur, yaitu , makanan dan minum-

an bermutu. Banyak orang yang menyerahkan diri kepada hal ini 

tanpa mempertimbangkan kata hati sama sekali. Mereka tidak 

berpikir jauh dan hanya mementingkan pemuasan hawa nafsu 

belaka. namun , Salomo makan dan minum dengan menggunakan 

akal sehat sebagai manusia, dengan penuh pertimbangan, dan 

hanya sekadar untuk membuat percobaan. Amatilah, 

1. Ia tidak mau menikmati kesenangan indra dengan bebas, sam-

pai ia sendiri jenuh melakukan penelitian mendalam. sebab  

hal itu memperbanyak kesedihan, ia tidak pernah berpikir 

untuk memberi diri kepada anggur. Sesudah berkorban untuk 

berbuat baik, kita boleh menyegarkan diri dengan karunia-

karunia kelimpahan Tuhan . Kesenangan indra baru digunakan 

dengan benar jika  digunakan sekadarnya untuk mengecap 

saja, hanya saat membutuhkannya saja. Seperti Timotius mi-

num anggur demi kesehatannya (1Tim. 5:23). Aku menyelidiki 

diriku dengan menyegarkan tubuhku dengan anggur (demikian-

lah tafsiran luasnya) atau untuk sekadar merasakan anggur. 

Orang-orang yang kecanduan minum-minum, awalnya me-

maksa diri. Mereka menyeret diri kepadanya, dan hanyut ber-

samanya. namun  mereka harus ingat kesengsaraan seperti apa 

yang menanti mereka bila melakukan hal itu. 

2. Salomo lalu memandang kenikmatan indra itu sebagai kebo-

dohan. Ia sebenarnya enggan memberi diri kepadanya. Seperti 

Rasul Paulus yang memuji diri dengan menyebutnya sebagai 

kelemahan, dan ingin orang bersabar dengan kebodohannya 

(2Kor. 11:1). Ia berusaha memperoleh kebebalan, supaya dapat 

melihat sepenuhnya apakah kebodohan itu mampu membuat 

manusia bahagia. Namun, sepertinya ia mengolok-olok (bisa 

kita katakan begitu) terlampau jauh. Ia memutuskan agar 

kebodohan jangan sampai menguasai dan menaklukkannya. 

Sebaliknya, dialah yang hendak menguasai dan menjauhkan 

hal itu. Ternyata ini terlampau berat baginya. 


 36

3. Pada saat bersamaan, ia berusaha agar akal budinya tetap 

memimpin dengan hikmat. Dengan demikian ia dapat mem-

bawa diri dengan bijak saat memanfaatkan kesenangan, 

supaya tidak merugikan atau membuatnya tidak layak menilai 

kesenangan itu. Pada waktu ia menyegarkan tubuhnya dengan 

anggur, ia memimpin hatinya dengan hikmat (demikianlah arti 

ayat ini). Sambil melakukan ini, ia terus menimba ilmu, tidak 

menjadi pemabuk, atau diperbudak oleh kesenangan. Sebalik-

nya, penyelidikan dan pesta perjamuannya seakan saling 

mengalahkan. Ia mencoba apakah saat  keduanya disatukan, 

ia akan memperoleh kepuasan yang tidak akan ditemukannya 

dalam masing-masing secara terpisah. sesudah  melakukan hal 

ini, ia menemukan bahwa hal itu hanya kesia-siaan. Sebab, 

orang-orang yang memberi diri kepada anggur, namun 

berusaha supaya hati mereka memahami hikmat, boleh jadi 

hanya akan menipu diri seperti halnya orang-orang yang 

menyangka dapat melayani Tuhan  dan Mamon. Anggur yaitu  

pencemooh dan penipu ulung. Sungguh mustahil bagi manusia 

untuk berkata bahwa ia akan memberi diri kepada anggur 

hanya sampai sejauh ini dan tidak lebih dari itu. 

4. Hal yang ditujunya bukanlah pemuasan hawa nafsunya, me-

lainkan dalam upaya untuk menemukan kebahagiaan manu-

sia. Minum anggur yang disangka dapat memberikan kebaha-

giaan, haruslah dicoba dan dibandingkan dengan hal-hal lain. 

Amatilah gambaran yang diberikannya perihal kebahagiaan 

manusia, yaitu mengetahui apa yang baik bagi anak-anak ma-

nusia untuk dilakukan di bawah langit selama hidup mereka. 

(1) Apa yang kita selidiki bukanlah kebaikan yang harus kita 

miliki (kita dapat menyerahkannya kepada Tuhan ), melain-

kan kebaikan yang harus kita kerjakan. Itulah yang harus 

kita perhatikan. Guru, perbuatan baik apakah yang harus 

kuperbuat? Kebahagiaan kita tidak terdiri atas sikap ber-

malas-malasan, namun  berbuat yang benar, bekerja dengan 

baik. Jika kita melakukan perbuatan baik, kita pasti akan 

menerima rasa tenteram dan juga beroleh pujian. 

(2) Hal ini baik dilakukan di bawah langit, sementara kita ma-

sih hidup di dunia ini, sementara hari masih siang dan 

kesempatan itu masih ada. Seperti inilah keadaan pekerja-

an dan pelayanan kita. Di dunia lainlah kita baru dapat 

Kitab Pengkhotbah 2:1-11 

 37

mengharapkan balas jasa. Ke sanalah pekerjaan kita akan 

mengikuti kita. 

(3) Hal itu harus dilakukan selama hidup kita. Kebaikan yang 

harus kita kerjakan itu, haruslah dengan tekun sampai 

akhir, sementara masih ada kesempatan untuk itu, yaitu  

sepanjang jumlah hari dalam hidup kita (begitulah tafsiran 

luasnya). Jumlah hari dalam hidup kita telah ditentukan 

oleh Tuhan , dan di dalam tangan-Nyalah Ia memegang hidup 

kita, untuk dihabiskan sesuai pimpinan-Nya. Oleh sebab  

itu, jika ada manusia yang memberi diri kepada anggur 

dengan harapan bisa menemukan cara hidup terbaik di 

dunia ini, maka hal itu dianggap sesuatu yang tidak masuk 

akal oleh Salomo, yang mencela dirinya sendiri sebab  itu. 

Mungkinkah hal ini merupakan kebaikan yang harus 

dilakukan manusia? Tidak. Hal ini jelas sangat buruk. 

III. sebab  segera menyadari bahwa sungguh bodoh untuk memberi 

diri kepada anggur, Salomo lalu mencoba pertunjukan dan hibur-

an mahal-mahal yang disukai para raja dan orang-orang besar. 

Penghasilannya sangat besar, pendapatan dari pajak melimpah, 

dan ia mengeluarkannya semua untuk memenuhi keinginannya 

dan membuatnya terlihat hebat. 

1. Ia sangat memperhatikan pembangunan, baik di kota maupun 

pedesaan. sesudah  mengeluarkan biaya sangat besar di awal 

pemerintahannya dalam membangun rumah Tuhan , ia merasa 

lebih dapat dimaafkan bila sesudah itu dia memuaskan kha-

yalannya dengan membangun istana bagi dirinya sendiri. 

Salomo mulai mengerjakan pekerjaan bagi dirinya sepenuhnya 

(Mat. 6:33), tidak seperti umat-Nya (Hag. 1:4) yang mendiami 

rumah-rumah yang dipapani dengan baik, sementara Rumah 

TUHAN tetap menjadi reruntuhan. sebab  itulah pekerjaannya 

berhasil. saat  mengerjakan pembangunan, ia suka mempe-

kerjakan orang miskin dan berbuat baik bagi anak cucu. Kita 

membaca perihal bangunan-bangunan yang didirikan Salomo 

(1Raj. 9:15-19), yang seluruhnya merupakan pekerjaan-peker-

jaan yang besar, betapa banyak uangnya, dan betapa besar 

semangat dan agung martabatnya. namun  lihatlah kesalahan 

yang diperbuatnya. Ia bertanya-tanya tentang pekerjaan baik 

yang harus dia kerjakan (ay. 3), dalam mencari jawabannya, ia 


 38

sepenuhnya menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan 

besar. Pekerjaan-pekerjaannya itu benar-benar baik, namun 

banyak karya besar jauh dari baik adanya, karya ajaib namun 

tidak mulia (Mat. 7:22). 

2. Salomo sangat menyukai taman, yang sama memukaunya de-

ngan mendirikan bangunan. Ia menanami bagi dirinya kebun-

kebun anggur, yang sangat cocok dengan tanah dan iklim 

tanah Kanaan. Ia mengusahakan bagi dirinya kebun-kebun 

dan taman-taman, dan menanaminya dengan rupa-rupa pohon 

buah-buahan (ay. 5). Boleh jadi seni pertamanannya tidak 

kalah dengan yang ada sekarang. Salomo tidak saja memiliki 

hutan-hutan pohon kayu, namun  juga rupa-rupa pohon buah-

buahan, yang ditanamnya sendiri. Dan jika ada kegiatan 

duniawi yang mampu memberi manusia kebahagiaan, maka 

hal itu pastilah apa yang dikerjakan Adam semasa saat  ia 

belum jatuh dalam dosa. 

3. Salomo mengeluarkan biaya besar untuk membuat sejumlah 

pengairan, kolam, dan terusan, bukan untuk hiburan dan 

kesenangan semata, melainkan untuk dimanfaatkan. Untuk 

mengairi dari situ tanaman pohon-pohon muda (ay. 6). Ia tidak 

saja menanam, namun  juga mengairi, dan kemudian membiar-

kan Tuhan  memberi pertumbuhan. Mata air merupakan hadiah 

besar (Yos. 15:19). Namun, bila alam telah menyediakannya, 

maka diperlukan keahlian untuk membuatnya bermanfaat 

(Ams. 21:1). 

4. Salomo menambah jumlah anggota keluarganya. saat  hen-

dak melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, Salomo harus 

mempekerjakan banyak orang. Itulah sebabnya ia mendapat-

kan budak-budak laki-laki dan wanita  dengan membeli 

mereka dengan uangnya, juga budak-budak yang lahir di 

rumahnya (ay. 7). Demikianlah jumlah pelayannya bertambah 

besar sehingga istananya tampak semakin megah (Ezr. 2:58). 

5. Salomo tidak mengabaikan urusan negaranya, namun  menyu-

kakan dan juga memperkaya diri dengannya. Perhatiannya 

tidak dialihkan dari urusan negeri oleh sebab  penyelidikan 

ataupun kesenangannya. Ia mempunyai juga banyak sapi dan 

kambing domba, lembu dan ternak seperti yang dimiliki ayah-

nya sebelum itu (1Taw. 27:29-31). Ia tidak lupa bahwa awal-

nya sang ayah yaitu  penggembala domba. Biarlah orang-

Kitab Pengkhotbah 2:1-11 

 39

orang yang mengurus ternak tidak memandang rendah peker-

jaannya atau merasa jemu dengannya, dengan mengingat 

bahwa Salomo menyebutkan kepemilikannya atas banyak sapi 

dan kambing domba bersama-sama dengan pekerjaan-pekerja-

an besar dan berbagai kegemarannya. 

6. Salomo menjadi kaya raya, dan sama sekali tidak menjadi mis-

kin sebab  kegemarannya membangun dan membuat taman. 

Banyak orang yang sebab  alasan itu semata telah menyesali 

dan menyebutnya kesia-siaan dan usaha menjaring angin. 

Salomo menghambur-hamburkan namun semakin bertambah. 

Ia mengisi perbendaharaannya dengan perak dan emas, yang 

tidak tetap tersimpan begitu saja, namun  diedarkan demi kera-

jaannya. Demikianlah ia membuat perak di Yerusalem sama 

seperti batu (1Raj. 10:27). Ia bahkan memiliki segullah, yaitu  

harta benda raja-raja dan daerah-daerah, yang dipandang dari 

sudut kekayaan dan kelangkaan, lebih berharga daripada 

perak dan emas. Para raja negeri tetangga dan daerah-daerah 

yang letaknya berjauhan dengan kerajaannya, mengirimkan 

hadiah-hadiah termewah yang mereka miliki, demi mendapat-

kan perkenannya dan berbagai petunjuk lewat hikmatnya. 

7. Salomo memiliki segala sesuatu yang memukau dan memikat 

hati. Segala macam nyanyian dan musik, baik yang dinyanyi-

kan maupun dimainkan dengan alat musik, juga biduan-

biduan dan biduanita-biduanita bersuara paling merdu yang 

bisa diperolehnya, serta semua alat musik tiup dan orkes yang 

pada masa itu sering digunakan. Ayahnya sangat berbakat di 

bidang musik, namun tampaknya ia lebih banyak mengguna-

kannya dalam penyembahan dibanding Salomo, putranya, 

yang lebih memanfaatkannya untuk hiburan. Hal ini disebut 

sebagai menyenangkan anak-anak manusia. Pemuasan indra 

merupakan hal yang oleh kebanyakan orang sangat disukai 

untuk memuaskan diri. Kesenangan anak-anak Tuhan  sangat-

lah berbeda sifatnya, yaitu murni, rohani, dan sorgawi, dan 

menjadi kesukaan para malaikat. 

8. Lebih dari siapa pun, Salomo sangat menikmati gabungan 

kesenangan yang menuntut pemikiran maupun yang penuh 

perasaan. Dalam hal ini ia sungguh besar, bahkan lebih besar 

daripada siapa pun yang pernah hidup sebelum dia. Di tengah 


 40

seribu kesenangan duniawi, ia tetap berhikmat. Sungguh aneh 

dan belum pernah terjadi, 

(1) Bahwa kesenangan-kesenangannya ini tidak merusak per-

timbangan dan hati nuraninya. Di tengah semua hiburan 

ini, hikmatnya tinggal tetap padanya (ay. 9). Di tengah se-

mua kesenangan kekanak-kanakan ini ia tetap memelihara 

rohnya dengan gagah berani, tetap menguasai jiwanya, dan 

memelihara akal sehat melebihi selera indra. Salomo memi-

liki hikmat begitu besar hingga ia tidak menyia-nyiakan 

atau merusaknya, seperti yang dilakukan orang lain dalam 

kehidupan ini. Walaupun begitu, jangan sampai ada yang 

coba-coba mengikat diri dengan berbagai hasrat jasmani 

sebab  beranggapan bahwa mereka mampu melakukannya 

dan tetap memelihara hikmat mereka. Mereka tidak memi-

liki kekuatan hikmat seperti halnya Salomo. Bahkan, Sa-

lomo pun sudah tertipu, sebab bagaimana mungkin hik-

matnya tinggal tetap padanya padahal ia kehilangan ibadah 

agamanya sehingga membangun mezbah bagi dewa-dewa 

asing, demi menyenangkan hati istri-istri asingnya? Me-

mang sejauh ini hikmatnya tinggal tetap padanya sebab  ia 

menjadi tuan atas semua kesenangannya itu, dan tidak 

menjadi budak mereka. Dan ia juga tetap mampu membuat 

penilaian yang baik mengenai semua kesenangan itu. Ia 

mendatangi negeri musuh, bukan sebagai pembelot, melain-

kan sebagai pengintai, untuk melihat-lihat di mana negeri ini 

tidak dijaga. 

(2) namun  , pertimbangan dan hati nuraninya ternyata 

tidak mampu mengendalikan kesenangannya, atau mence-

gahnya memeras inti kesenangan indra (ay. 10). Ini mung-

kin bertentangan dengan pertimbangannya bahwa jika hik-

matnya tinggal tetap padanya, ia tidak dapat memiliki 

kebebasan yang diperlukan untuk melakukan percobaan 

sepenuhnya. “Sesungguhnya,” katanya, “aku menggunakan 

kebebasan seperti siapa pun, sebab aku tidak merintangi 

mataku dari apa pun yang dikehendaki, jika itu memang 

dapat dilakukan tanpa melanggar hukum, tidak peduli 

sesulit atau semahal apa pun. sebab  aku tidak menahan 

sukacita apa pun dari hatiku, aku tidak menahan hatiku 

dari sukacita apa pun. Sebaliknya, dengan non-obstante – 

Kitab Pengkhotbah 2:1-11 

 41

penggunaan penuh hikmatku, aku sangat menyukai kese-

nanganku, menikmatinya seperti yang dilakukan pengge-

mar kesenangan indra mana pun.” Tidak ada sesuatu apa 

pun di dalam keadaan ataupun suasana hatinya yang dapat 

merusak atau mengurangi kegembiraannya. Singkat kata, 

[1] Ia menikmati kesenangan dalam kegiatannya sebanyak 

siapa pun: Hatiku bersukacita sebab  segala jerih 

payahku, sebab  itu kerja keras dan keletihannya tidak 

mengurangi sukacitanya. 

[2] Keuntungannya tidak berkurang sebab  jerih payahnya. 

Ia juga tidak merasa kecewa dan terganggu: Itulah buah 

segala jerih payahku, ia menambahkan hal ini kepada 

semua kesenangan lainnya. Di dalam semua itu ia tidak 

saja melihat, namun  juga makan dari hasil jerih payah 

tangannya. Hanya inilah yang dimilikinya, sebab me-

mang hanya itulah yang bisa diharapkannya dari jerih 

payahnya. Menikmati keberhasilan membuat jerih payah-

nya lebih menarik dan sukacitanya lebih besar, sebab  

semua itu merupakan hasil jerih payah yang dikerjakan-

nya. Secara keseluruhan, ia jelas merasa bahagia di 

dunia ini. 

9. Pada akhirnya, kita melihat penilaian yang dengan sengaja di-

berikannya tentang semua hal ini (ay. 11). saat  Sang Pencip-

ta telah menyelesaikan karya-karya-Nya yang agung, Ia 

meninjau dan menilai semuanya, dan segala yang dijadikan-

Nya itu, sungguh amat baik. Segala sesuatu menyenangkan 

hati-Nya. Sebaliknya, saat  Salomo meninjau ulang segala 

pekerjaan yang telah dilakukan tangannya dengan biaya sa-

ngat besar serta dengan segenap perhatian, dan segala usaha 

yang telah dilakukan untuk itu dengan jerih payah supaya 

dapat membuatnya nyaman dan bahagia, ternyata tidak satu 

pun memenuhi harapannya. Lihatlah, segala sesuatu yaitu  

kesia-siaan dan usaha menjaring angin. Ia tidak menemukan 

kepuasan di dalamnya dan keuntungan melalui semua itu. 

Tak ada keuntungan di bawah matahari, baik melalui pekerja-

an dan jerih payah maupun melalui kenikmatan dunia ini. 


 42

Keunggulan Hikmat Dibanding Kebodohan 

(2:12-16) 

12 Lalu aku berpaling untuk meninjau hikmat, kebodohan dan kebebalan, 

sebab apa yang dapat dilakukan orang yang menggantikan raja? Hanya apa 

yang telah dilakukan orang. 13 Dan aku melihat bahwa hikmat melebihi 

kebodohan, seperti terang melebihi kegelapan. 14 Mata orang berhikmat ada 

di kepalanya, sedangkan orang yang bodoh berjalan dalam kegelapan, namun  

aku tahu juga bahwa nasib yang sama menimpa mereka semua. 15 Maka aku 

berkata dalam hati: “Nasib yang menimpa orang bodoh juga akan menimpa 

aku. Untuk apa aku ini dulu begitu berhikmat?” Lalu aku berkata dalam 

hati, bahwa inipun sia-sia. 16 sebab  tidak ada kenang-kenangan yang kekal 

baik dari orang yang berhikmat, maupun dari orang yang bodoh, sebab pada 

hari-hari yang akan datang kesemuanya sudah lama dilupakan. Dan, ah, 

orang yang berhikmat mati juga seperti orang yang bodoh! 

sesudah  pertama mencoba menemukan kepuasan melalui ilmu penge-

tahuan, kemudian di dalam kenikmatan indra, dan kemudian meng-

gabungkan keduanya juga, di sini Salomo membandingkan satu 

sama lain dan membuat penilaian tentang masing-masing. 

I.  Ia merenungkan baik hikmat maupun kebodohan. Sebelum ini ia 

telah mempertimbangkan kedua hal ini  (1:17). Namun, su-

paya tidak disangka terlampau cepat membuat penilaian, di sini 

ia kembali mengamati untuk melihat kalau-kalau sesudah  ditinjau 

ulang, sesudah  mendapat pandangan dan pikiran kedua kalinya, ia 

dapat memperoleh kepuasan lebih besar dibanding yang pertama 

dalam penyelidikannya. Ia merasa muak dengan kesenangan-

kesenangannya, dan oleh sebab itu ia menjauhi semua itu agar 

bisa mempertimbangkannya kembali. Jika sesudah  merenungkan 

kembali perkara itu keputusannya masih tetap sama, maka peni-

laiannya itu pastilah meyakinkan. Sebab apa yang dapat dilaku-

kan orang yang menggantikan raja? Terutama sang raja ini yang 

memiliki begitu banyak dari dunia ini hingga memiliki banyak 

pengalaman dan hikmat untuk membuat penilaian. Pengalaman 

yang membingungkan tidak perlu diulang. Tidak seorang pun bisa 

mengharapkan kepuasan duniawai lebih besar daripada Salomo, 

atau memperoleh wawasan lebih mendalam terhadap asas moral. 

saat  seseorang telah melakukan sesuatu yang mampu dikerja-

kannya, maka hal itu tetap saja apa yang telah dilakukan orang. 

Marilah kita belajar, 

1. Untuk tidak memperturutkan hati dengan sikap congkak bah-

wa kita pasti mampu memperbaiki apa yang telah dilakukan

Kitab Pengkhotbah 2:12-16 

 43

dengan baik sebelum kita. Marilah kita dengan rendah hati 

yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada 

dirinya sendiri. Pikirkanlah betapa tidak pantas kita mencoba 

memperbaiki perbuatan orang-orang yang lebih baik daripada 

kita. Lebih baik kita akui betapa kita berutang budi kepada 

mereka (Yoh. 4:37-38). 

2. Menyetujui penilaian Salomo tentang hal-hal duniawi, dan tidak 

berencana mengulangi pengalamannya. Kita tidak pernah boleh 

berpikir memiliki kesempatan menguntungkan seperti dia yang 

mempunyai pengalaman itu, atau mampu menjalaninya dengan 

hikmat setara dia tanpa mendatangkan bahaya kepada diri 

sendiri. 

II. Salomo jauh lebih memilih hikmat daripada kebodohan. Jangan 

keliru beranggapan seolah-olah ia, saat berbicara tentang kesia-

siaan pengetahuan manusia, sekadar bertujuan menyenangkan 

orang dengan hal yang tampak seakan bertentangan. Atau seolah-

olah ia hendak menulis (seperti yang pernah dilakukan seorang 

cendekiawan ternama) Encomium moriæ – Tulisan berisi pujian 

bagi kebodohan. Tidak, ia sedang menegakkan kebenaran suci. 

Oleh sebab  itulah ia berhati-hati supaya tidak disalah mengerti. 

Katanya, aku segera melihat bahwa hikmat melebihi kebodohan, 

sama seperti terang melebihi kegelapan. Kegemaran terhadap 

hikmat, meskipun belum cukup untuk bisa membuat orang 

bahagia, masih lebih penting daripada kegemaran terhadap ang-

gur. Hikmat menerangi jiwa dengan penyingkapan-penyingkapan 

mengejutkan dan berbagai petunjuk yang penting untuk mengen-

dalikan dirinya sendiri. Sebaliknya, kenikmatan indra (tampaknya 

hal inilah yang terutama dimaksudkan dengan kebodohan di sini) 

mengeruhkan dan memudarkan pikiran seperti yang diakibatkan 

oleh kegelapan. Kenikmatan indra menggelapkan mata manusia, 

membuatnya tersandung dan tersesat. Atau, meskipun hikmat 

dan pengetahuan tidak akan membuat bahagia seseorang (Rasul 

Paulus menunjukkan jalan yang lebih utama lagi daripada 

karunia-karunia, yaitu anugerah), jauh lebih baik memilikinya 

daripada tidak, berkenaan dengan keamanan, kenyamanan, dan 

manfaat bagi kita sekarang ini. Mata orang berhikmat ada di 

kepalanya (ay. 14), yaitu tempat seharusnya mata berada, siap 

melihat bahaya yang harus dihindari dan keuntungan yang nanti 


 44

bisa dimanfaatkan. Orang bijaksana menggunakan akalnya saat  

ia perlukan, melihat-lihat sekelilingnya dan cepat tanggap. Ia tahu 

ke mana ia harus melangkah dan di mana ia harus berhenti. 

Sebaliknya, orang yang bodoh berjalan dalam kegelapan. Ia lang-

sung merasa tidak mengerti, bertindak gegabah, dan kebingung-

an, sehingga tidak tahu harus ke mana. Ia juga bisa merasa ter-

lampau malu hingga tidak bisa melangkah maju. Orang yang bijak-

sana dan penuh pertimbangan mampu mengendalikan kegiatannya 

dan bertindak pantas serta aman, seperti orang yang berjalan di 

siang hari. Sebaliknya, orang yang gegabah, tidak berpengetahuan, 

dan suka bermabuk-mabukan, akan selalu membuat kesalahan 

besar, dan terperosok ke dalam ngarai demi ngarai. Semua rencana 

dan kesepakatannya sungguh bodoh, serta menghancurkan semua 

urusannya. Oleh sebab itu perolehlah hikmat, perolehlah pengertian.  

III. Namun demikian, ia menegaskan bahwa berkenaan dengan keba-

hagiaan serta kepuasan kekal, hikmat dunia ini hanya memberi-

kan sedikit keuntungan kepada manusia, sebab, 

1. Nasib orang bijaksana dan orang bodoh serupa. “Memang 

benar bahwa orang bijak jauh melebihi orang bodoh dalam hal 

yang berkenaan dengan melihat ke depan dan berpandangan 

dalam, namun sangat mungkin mereka sering kali tidak 

berhasil. Melalui pengalaman pribadi, aku tahu juga bahwa 

nasib yang sama menimpa mereka semua (ay. 14). Orang-orang 

yang sangat memperhatikan kesehatan mereka, juga jatuh 

sakit seperti halnya orang-orang yang mengabaikannya, se-

dangkan orang-orang yang paling menaruh syak justru diper-

daya.” Daud mengamati bahwa orang-orang yang mempunyai 

hikmat mati dan tertimpa bencana seperti halnya orang-orang 

bodoh dan dungu (Mzm. 49:11; Pkh. 9:11). Bahkan lebih dari 

itu, sejak dahulu telah diamati bahwa kekayaan menopang 

orang bodoh, dan orang dungu sering kali justru paling ber-

hasil, sementara para pembuat rencana meramalkan mala-

petaka bagi diri mereka sendiri. Penyakit dan pedang yang 

sama menghabisi orang bijak maupun orang bodoh. Salomo 

menerapkan pengamatan memalukan ini pada diri sendiri (ay. 

15), bahwa meskipun ia orang bijaksana, ia tidak boleh ber-

megah sebab  kebijaksanaannya. Maka aku berkata dalam 

hati saat aku mulai merasa bangga dan aman: Nasib yang 

Kitab Pengkhotbah 2:12-16 

 45

menimpa orang bodoh juga akan menimpa aku. Sebab demi-

kianlah yang dikatakan dalam naskah asli: “Mengenai aku, hal 

itu terjadi padaku. Apakah aku kaya? Banyak orang yang 

seperti halnya Nabal, hidup mewah seperti aku. Apakah orang 

bodoh jatuh sakit dan terjatuh? Demikian juga aku, bahkan 

aku sendiri. Baik kekayaan maupun hikmatku tidak akan 

membuatku aman. Untuk apa aku ini dulu begitu berhikmat? 

Mengapa aku harus bersusah payah meraih hikmat, padahal 

dalam hidup ini hikmat itu mendatangkan faedah yang begitu 

kecil saja bagiku? Lalu aku berkata dalam hati, bahwa ini pun 

sia-sia.” Beberapa orang menjadikan pernyataan ini sebagai 

pembetulan terhadap apa yang dikatakan sebelum ini seperti 

misalnya Mazmur 77:11, “Maka kataku: ‘Inilah yang menikam 

hatiku.’ Aku begitu bodoh sebab  berpikir bahwa orang berhik-

mat dan bodoh sederajat.” Namun, sebenarnya mereka me-

mang tampak demikian, berkenaan dengan nasib sama yang 

menimpa mereka, dan oleh sebab itu pernyataannya tadi lebih 

merupakan penegasan atas apa yang telah dikatakannya 

sebelumnya, bahwa orang bisa saja menjadi ahli pikir yang 

hebat dan seorang politikus besar, namun tidak bahagia. 

2. Orang berhikmat dan orang bodoh sama-sama terlupakan (ay. 

16): tidak ada kenang-kenangan yang kekal baik dari orang 

yang berhikmat, maupun dari orang yang bodoh. Telah di-

janjikan kepada orang benar bahwa mereka akan diingat 

selama-lamanya. Kenangannya akan diberkati. Tidak lama lagi 

mereka akan bercahaya seperti bintang. namun  , tidak ada 

janji semacam itu mengenai orang berhikmat di dunia ini, 

yang akan mengabadikan nama mereka. Sebab, hanya nama-

nama yang ada terdaftar di sorga sajalah yang diabadikan, 

sedangkan nama orang-orang bijak dunia ini tercatat bersama 

nama orang-orang bodoh dalam debu, sebab pada hari-hari 

yang akan datang kesemuanya sudah lama dilupakan. Apa 

yang sering dibicarakan dalam satu angkatan, akan dilupakan 

dalam angkatan berikutnya, seolah-olah tidak pernah ada. 

Orang-orang baru dan hal-hal baru akan menggantikan ke-

nangan yang lama, yang dalam waktu singkat akan dipandang 

rendah dan akhirnya terkubur dalam kelupaan. Di manakah 

orang yang berhikmat? Di manakah pembantah dari dunia ini? 

(1Kor. 1:20). Untuk alasan inilah Salomo bertanya, bagaimana-


 46

kah orang yang berhikmat mati? Sama seperti orang yang bo-

doh. Ada perbedaan besar di antara kematian orang saleh dan 

orang fasik, namun tidak demikian halnya di antara kematian 

orang berhikmat dan orang bodoh. Orang bodoh dikuburkan 

lalu dilupakan (8:10). Tak ada orang yang mengingat orang 

yang miskin yang dengan hikmatnya menyelamatkan kota itu 

(9:15). Jadi bagi keduanya, kuburan bagaikan negeri segala 

lupa. saat  tidak terlihat lagi selama beberapa waktu, orang 

berhikmat dan terpelajar akan dilupakan orang. Angkatan 

baru yang timbul tidak mengenalnya. 

Sumber Ketidakpuasan; 

Bersenang-senang dalam Kelimpahan 

(2:17-26) 

17 Oleh sebab itu aku membenci hidup, sebab  aku menganggap menyusah-

kan apa yang dilakukan di bawah matahari, sebab segala sesuatu yaitu  

kesia-siaan dan usaha menjaring angin. 18 Aku membenci segala usaha yang 

kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus mening-

galkannya kepada orang yang datang sesudah aku. 19 Dan siapakah yang 

mengetahui apakah orang itu berhikmat atau bodoh? Meskipun demikian ia 

akan berkuasa atas segala usaha yang kulakukan di bawah matahari dengan 

jerih payah dan dengan mempergunakan hikmat. Inipun sia-sia. 20 Dengan 

demikian aku mulai putus asa terhadap segala usaha yang kulakukan 

dengan jerih payah di bawah matahari. 21 Sebab, kalau ada orang berlelah-

lelah dengan hikmat, pengetahuan dan kecakapan, maka ia harus mening-

galkan bahagiannya kepada orang yang tidak berlelah-lelah untuk itu. Inipun 

kesia-siaan dan kemalangan yang besar. 22 Apakah faedahnya yang diperoleh 

manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah 

matahari dan dari keinginan hatinya? 23 Seluruh hidupnya penuh kesedihan 

dan pekerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari hatinya 

tidak tenteram. Inipun sia-sia. 24 Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari 

pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku 

menyadari bahwa inipun dari tangan Tuhan . 25 sebab  siapa dapat makan dan 

merasakan kenikmatan di luar Dia? 26 sebab  kepada orang yang dikenan-

Nya Ia mengaruniakan hikmat, pengetahuan dan kesukaan, namun  orang 

berdosa ditugaskan-Nya untuk menghimpun dan menimbun sesuatu yang 

kemudian harus diberikannya kepada orang yang dikenan Tuhan . Inipun 

kesia-siaan dan usaha menjaring angin. 

Kegiatan merupakan hal yang disukai orang berhikmat. Mereka sa-

ngat suka jika  sedang melakukan kegiatan, dan mengeluh bila 

tidak ada yang bisa dikerjakan. Adakalanya mereka merasa letih 

sebab  kegiatan mereka, namun mereka tidak merasa bosan dengan-

nya atau ingin meninggalkannya. Oleh sebab  itu, di sini orang 

mungkin berharap menemukan kebaikan yang harus dilakukan

Kitab Pengkhotbah 2:17-26 

 47

orang, namun  Salomo telah mencoba hal ini juga. Sesudah menjalani 

kehidupan penuh perenungan dan gairah, ia pergi mencari kehidup-

an penuh kesibukan. Ternyata ia tidak menemukan lebih banyak ke-

puasan di dalamnya dibanding dalam hal lain. Semua ini masih tetap 

merupakan kesia-siaan dan usaha menjaring angin. Di dalam ayat-

ayat di atas tadi ia memberikan pernyataan yang perlu kita amati. 

I. Kegiatan yang dicoba Salomo merupakan kegiatan di bawah 

matahari (ay. 17-20), yaitu tentang hal-hal duniawi yang berkaitan 

dengan bumi, kekayaan, kehormatan, dan kesenangan masa kini. 

Ini yaitu  kegiatan seorang raja. Ada pula kegiatan di atas mata-

hari, kegiatan kekal yang merupakan berkat selamanya. Perbuat-

an kita yang sesuai dengan kegiatan itu (melakukan kehendak 

Tuhan  di bumi seperti di sorga), dan dalam mencari berkat ini , 

akan membawa kebaikan. Kita tidak mempunyai alasan untuk 

membenci jerih payah itu atau kehilangan harapan sebab nya. 

Namun, segala usaha yang dilakukan dengan jerih payah di 

bawah matahari, jerih payah untuk makanan yang akan dapat 

binasa (Yoh. 6:27; Yes. 55:2) yang dibicarakan Salomo di sini, 

memberi dia begitu sedikit kepuasan. Ini merupakan jenis kesi-

bukan yang lebih baik, bukan seperti yang dilakukan tukang 

belah kayu dan tukang timba air (tidak begitu mengherankan 

jika  orang membenci jerih payah semacam itu), melainkan 

hikmat, pengetahuan dan kecakapan (ay. 21). Ini yaitu  kegiatan 

yang membutuhkan banyak pemikiran, yang berhubungan de-

ngan pemerintahan kerajaannya serta kemajuan kepentingan-ke-

pentingannya. Ini yaitu  jerih payah yang dikelola dengan suara 

hikmat, dengan tuntunan pengetahuan yang diperoleh secara 

alami, dan sesuai petunjuk keadilan. Ini merupakan jerih payah 

yang dilakukan di dewan penasihat dan di gedung pengadilan. Ini 

yaitu  jerih payah yang dengannya Salomo mempergunakan 

hikmat (ay. 19), yang menjadikan kita sekutu para malaikat. Jerih 

payah ini menunjukkan manusia itu kuat sebab  karunia akal 

budi, melebihi karunia kemampuan jasmani, yang juga dimiliki 

binatang. Apa yang oleh banyak orang dipandang lebih mulia 

daripada apa pun dalam menjalankan kegiatan duniawi mereka, 

hanyalah menunjukkan bahwa mereka mempergunakan hikmat, 

untuk memperoleh nama baik sebagai orang yang berakal, ber-

perasaan, dan penuh jerih payah. 


 48

II.  Salomo menghentikan kegiatan ini, sebab  segera merasa jenuh 

dengannya. 

1. Ia  membenci segala usaha yang dilakukannya dengan jerih pa-

yah, sebab ia tidak memperoleh kepuasan yang diharapkan-

nya. sesudah  membangun rumah-rumah indah, taman-taman, 

dan kolam-kolam pengairan, beberapa waktu kemudian ia 

mulai merasa muak dengan semua itu, lalu memandangnya 

dengan rasa jijik. Mirip anak-anak yang menginginkan mainan 

dan awalnya sangat menyukainya, namun sesudah  bermain 

dengannya beberapa saat, merasa bosan dan membuangnya, 

lalu menginginkan mainan lain. Tindakannya ini bukanlah 

suatu kebencian yang mulia terhadap benda-benda ini, yang 

harus menjadi kewajiban kita, yaitu untuk tidak mencintainya 

melebihi Tuhan  dan agama (Luk. 14:26). Tindakannya ini juga 

bukan merupakan sebuah kebencian yang memandang se-

muanya itu dosa, yang merupakan kebodohan kita sebab  

merasa jenuh dengan tempat yang telah ditetapkan Tuhan  bagi 

kita dan pekerjaan di dalamnya. Tindakannya ini yaitu  kare-

na kebencian alami terhadap hal-hal itu, yang timbul akibat 

kejenuhan dan kekecewaan terhadap semuanya itu. 

2. Salomo mulai putus asa terhadap segala usaha yang dilakukan 

dengan jerih payah (ay. 20). Ia berusaha keras memiliki pema-

haman mendalam perihal kesia-siaan kesibukan duniawi, dan 

menemukan semuanya itu tidak akan memberinya keuntung-

an serta kepuasan yang selalu diingininya. Hati kita sangat 

enggan berhenti mengharapkan hal-hal hebat dari benda-

benda ciptaan. Kita harus berusaha, memberi arah, untuk me-

yakinkan hati kita bahwa tidak ada keuntungan dan kepuasan 

dalam benda-benda duniawi yang kita janjikan kepada diri 

sendiri. Apakah kita telah begitu sering menggali dan mencari 

sumber kepuasan duniawi, kemudian sama sekali tidak 

menemukan tanda-tanda keberadaannya, senantiasa merasa 

kecewa dalam pencarian itu? Akankah hati kita beristirahat 

dan patah arang saja untuk mencari-cari? 

3. Akhirnya Salomo menyadari bahwa ia membenci hidup (ay. 17), 

sebab  hidup ini cenderung penuh dengan kerja keras dan 

kesulitan, serta kekecewaan tanpa henti. Tuhan  telah memberi 

Salomo hati yang begitu lapang dan kecakapan pikiran yang 

begitu besar hingga ia mengalami lebih banyak dari siapa pun 

Kitab Pengkhotbah 2:17-26 

 49

segala macam hal dalam hidup ini yang tidak mampu mem-

buatnya puas dan bahagia. Hidup itu sendiri yang begitu 

berharga bagi manusia dan merupakan berkat bagi orang yang 

baik, bisa saja menjadi beban bagi orang yang giat dengan ber-

bagai pekerjaan. 

III. Alasan pertentangan Salomo dengan hidup dan jerih payahnya. 

Dua hal membuatnya jemu dengan semua itu: 

1. Bahwa kegiatannya itu merupakan kerja keras baginya: Ia 

menganggap menyusahkan apa yang dilakukan di bawah 

matahari (ay. 17). Segala pikiran dan perhatian yang harus 

diberikannya bagi jerih payahnya itu dan pemikiran penuh 

dan terus-menerus yang diperlukan untuk itu merupakan 

beban yang meletihkan, apalagi saat  usianya mulai lanjut. 

Ini merupakan dampak kutukan bahwa kita harus bekerja 

keras. Telah dikatakan bahwa kesibukan kita merupakan 

pekerjaan yang penuh susah payah di tanah yang telah 

terkutuk oleh TUHAN (Kej. 5:29) dan mengurangi kemampuan 

kita untuk bekerja, serta menjadi hukuman yang dijatuhkan 

kepada kita, bahwa dengan berpeluh engkau akan mencari 

makananmu. Jerih payah kita disebut keinginan hati (ay. 22), 

yang bagi kebanyakan orang merupakan kekuatan yang me-

nindih mereka. Bagi kita, sangat menyukai kenyamanan ada-

lah hal yang begitu wajar. Orang yang giat bekerja digambar-

kan sebagai orang yang merasa tidak nyaman baik saat  ia 

keluar maupun masuk (ay. 23). 

(1) Ia kehilangan kesenangan pada siang hari, sebab  seluruh 

hidupnya penuh kesedihan. Tidak saja rasa sedih, namun  

bahkan berbagai kesedihan. Kerja keras atau jerih payah-

nya penuh kesusahan hati. Orang-orang yang dipenuhi 

kesibukan akan segera menjumpai hal yang menjengkelkan 

hati mereka, dan mendatangkan amarah atau kesedihan 

bagi mereka. Orang yang mudah menjadi resah mendapati 

bahwa semakin banyak urusan yang harus mereka tangani 

di dunia ini, semakin sering juga mereka merasa resah. 

Dunia ini bagaikan lembah air mata, bahkan bagi mereka 

yang kaya. Orang-orang yang berjerih payah disebut ber-


 50

beban berat, dan oleh sebab itu dipanggil agar datang ke-

pada Kristus untuk mendapatkan kelegaan (Mat. 11:28). 

(2) Pada malam hari tidurnya juga terganggu. Saat dilanda ke-

sibukan pada siang hari dan mengharapkan kelegaan saat 

meletakkan kepala di bantal, ia merasakan kekecewaan di 

situ. Kesusahan membuat matanya tetap terbuka, atau, 

saat ia tertidur pun hatinya tetap terjaga. Akibatnya, pada 

malam hari hatinya tidak tenteram. Lihatlah betapa bodoh 

orang-orang dunia yang melakukan pekerjaan membosan-

kan, dan tidak mencari kelegaan pada Tuhan . Mau tidak 

mau, mereka akan merasa gelisah baik malam maupun 

siang. Jadi secara keseluruhan, semua itu  yaitu  kesia-

siaan belaka (ay. 17). Khususnya, inipun sia-sia (ay. 19, 

23). Bahkan lebih dari itu, ini merupakan kesia-siaan dan 

kemalangan yang besar (ay. 21). Hal ini merupakan peng-

hinaan besar terhadap Tuhan  dan mendatangkan kerugian 

bagi diri mereka sendiri. Itulah sebabnya hal ini disebut 

kemalangan yang besar. Sungguh sia-sia jika  orang 

bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam 

guna mengejar kekayaan duniawi yang tidak pernah di-

maksudkan menjadi kebaikan utama kita. 

2. Bahwa seluruh keuntungan yang didapatkan dari kegiatannya 

itu harus ditinggalkan untuk orang lain. Harapan untuk mem-

peroleh keuntungan merupakan sumber tindakan dan dorong-

an untuk melakukan kegiatan. Itulah sebabnya orang berjerih 

payah, sebab  mereka berharap bisa meraih keuntungan. Tan-

pa pengharapan, jerih payah itu akan mengendur. Itulah se-

babnya Salomo berdebat dengan semua hasil karyanya, karya 

luar biasa yang telah dihasilkannya, sebab semua itu tidak 

mampu memberi dia manfaat yang kekal. 

(1) Salomo terpaksa meninggalkan semua itu. Saat ajal men-

jemput, ia tidak akan dapat membawa semua itu bersama-

nya, bahkan sebagiannya. Ia juga tidak dapat kembali 

kepada semua itu (Ayb. 7:10). Bahkan kenangan terhadap 

semua itu takkan ada gunanya bagi dia (Luk. 16:25). Aku 

harus meninggalkannya kepada orang yang datang sesudah 

aku, kepada angkatan yang datang ke ruang yang akan 

berlalu. Sama seperti banyak orang sebelum kita yang 

Kitab Pengkhotbah 2:17-26 

 51

membangun rumah-rumah yang kita tempati, berikut ben-

da-benda yang mereka beli dan peroleh melalui jerih payah 

yang bisa kita nikmati. Begitu pula akan datang banyak 

orang sesudah kita yang akan menempati rumah-rumah 

yang kita bangun, dan menikmati segala yang kita beli dan 

peroleh dengan jerih payah. Belum pernah ada tanah yang 

terhilang sebab  tidak adanya pewaris. Bagi jiwa yang 

penuh kasih karunia, ini sama sekali tidak membuatnya 

merasa tidak nyaman. Untuk apa kita enggan memberikan 

giliran kepada orang lain untuk menikmati kesenangan 

dunia ini? Bukankah lebih baik kita merasa senang bahwa 

sesudah  kita tiada, orang-orang yang datang sesudah kita 

akan lebih berhasil berkat hikmat dan kerajinan kita? Se-

baliknya, bagi orang dengan pikiran duniawi yang mencari 

kebahagiaan sendiri melalui apa pun yang ada, akan men-

jengkelkan baginya bila harus meninggalkan kekayaan yang 

sangat dicintainya itu kepada keadaan yang tidak pasti ini. 

(2) Ia harus meninggalkan semua itu kepada orang-orang yang 

tidak perlu bersusah payah mendapatkannya dan dengan 

demikian membebaskan diri dari berlelah-lelah. Orang yang 

mengumpulkan kekayaan, telah memperolehnya dengan hik-

mat, pengetahuan dan kecakapan. Sementara orang yang 

menikmati dan menghamburkannya (boleh jadi demikian 

halnya), tidak berlelah-lelah untuk itu (ay. 21), dan lebih dari 

itu mungkin tidak akan pernah melakukannya. Lebah be-

kerja keras mempertahankan lebah pejantan. Bahkan lebih 

dari itu, hal ini justru bisa menjerat pejantan ini , se-

bab ia harus meninggalkan bagiannya, tempat ia hinggap 

dan mengisapnya. Alangkah malang orang yang diambil 

bagiannya. Padahal, jika kekayaan tidak datang semudah 

itu kepadanya, siapa tahu ia justru menjadi orang yang ra-

jin dan saleh? Walaupun demikian, janganlah kita bingung 

memikirkan hal ini, sebab bisa saja kenyataan akan berkata 

lain, bahwa apa yang diperoleh dengan baik, akan jatuh ke 

tangan orang yang akan menggunakannya dengan baik juga, 

serta berbuat baik dengan apa yang diterimanya itu. 

(3) Ia tidak tahu kepada siapa ia harus meninggalkan semua 

itu, apakah kepada orang yang berhikmat atau bodoh. 

Orang berhikmat yang akan memperbanyaknya, atau orang 


 52

bodoh yang akan menghabiskannya. Meskipun demikian ia 

akan berkuasa atas segala usaha yang kulakukan, dan 

dengan bodoh membatalkan apa yang telah dikerjakan 

ayahnya dengan bijaksana. Boleh jadi Salomo menuliskan 

hal ini dengan penuh perasaan, sebab  takut apa yang 

akan dibuktikan oleh Rehabeam kelak. Dalam tafsirannya 

atas perikop ini, Bapa Gereja Jerome menerapkan pernyata-

an Salomo ini pada kitab-kitab berharga yang ditulis Salomo, 

bahwa di dalam kitab-kitabnya yang baik itu Salomo telah 

memperlihatkan dirinya berhikmat, namun  ia tidak tahu ke 

tangan siapa artikel -artikel nya yang baik itu akan jatuh. 

Mungkin saja ke tangan orang bodoh, yang sesuai dengan 

kedegilan hatinya, justru menyalahgunakan apa yang telah 

ditulisnya dengan baik itu. Oleh sebab itu, mengenai 

seluruh perkara itu ia bertanya (ay. 22), Apakah faedahnya 

yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukan-

nya dengan jerih payahnya? Apa yang diperolehnya bagi 

diri dan kepentingannya sendiri? Apa gerangan harta milik-

nya yang bisa dibawa ke dunia lain bersamanya? 

IV. Bagaimana cara terbaik untuk menggunakan kekayaan dunia ini. 

Yaitu, menggunakannya dengan senang hati, menikmatinya, dan 

berbuat baik dengannya. Dengan kata-kata inilah Salomo meng-

akhiri pasal ini (ay. 24-26). Di dalam kekayaan tidak dapat 

ditemukan kebahagiaan sejati. Semuanya sia-sia, dan bila orang 

mengharapkan kebahagiaan dari situ, kekecewaan yang akan di-

dapatnya, seperti usaha menjaring angin. Walaupun begitu, 

Salomo menuntun kita untuk memanfaatkan kekayaan dengan 

sebaik mungkin, dan menghindari kesusahan yang telah diamati-

nya. Janganlah kita membanting tulang berlebihan seperti misal-

nya mengejar lebih banyak kekayaan, namun  kehilangan kesempat-

an untuk menikmati apa yang kita miliki. Jangan pula kita 

menimbun kekayaan dengan berlebihan untuk masa depan, atau 

kehilangan kenikmatan terhadap apa yang kita miliki itu untuk 

ditinggalkan bagi orang yang akan datang sesudah kita. Sebalik-

nya, kita harus menikmatinya sendiri terlebih dahulu. Amatilah, 

1. Kebaikan apa yang di sini ditawarkan kepada kita. Apa yang 

merupakan kesenangan dan keuntungan paling besar yang 

bisa kita harapkan atau gali dari kegiatan serta keuntungan 

Kitab Pengkhotbah 2:17-26 

 53

duniawi ini, serta upaya sejauh apa yang bisa kita lakukan 

untuk menjauhkannya dari kesia-siaan dan usaha menjaring 

angin yang ada  di dalamnya. 

(1) Kita harus menjalankan kewajiban kita dengan semua itu, 

dan lebih berhati-hati dalam menggunakan harta milik kita 

dengan baik, demi tujuan untuk apa hal itu dipercayakan 

kepada kita, daripada memperbanyak atau menambah 

kekayaan. Hal ini dinyatakan di dalam ayat 26, bahwa 

hanya orang yang dikenan-Nya sajalah yang dapat menik-

mati hidup ini. Selain itu, menjadi orang yang dikenan 

Tuhan , benar-benar diperkenan, seperti halnya Nuh, yang 

dilihat benar di hadapan-Nya. Kita harus senantiasa men-

dahulukan Tuhan , dan tekun mengerjakan segala sesuatu 

untuk membuktikan diri kepada-Nya. Ungkapan dalam 

bahasa Aram berbunyi, Tak ada yang lebih baik bagi manu-

sia dari pada bersenang-senang dengan memelihara perin-

tah Tuhan  dan menempuh jalan orang-orang benar. Dan juga 

(ay. 25) dengan membaca segala perkataan hukum Taurat, 

dan memperhatikan hari penghakiman yang akan datang. 

(2) Kita harus mencari kenyamanan dari semua itu. Hal-hal ini 

tidak akan mendatangkan kebahagiaan bagi jiwa. Semua 

kebaikan yang kita peroleh darinya yaitu  untuk tubuh. 

Jika kita menggunakannya demi mendukung kenyamanan 

tubuh, supaya dapat berfaedah bagi jiwa dan melayani 

Tuhan  dengannya, maka semua itu akan menjadi hal yang 

baik. Oleh sebab itu, sehubungan dengan hal-hal ini tak 

ada yang lebih baik bagi manusia daripada menggunakan 

semua itu dengan senang hati namun bijaksana, sesuai 

dengan kedudukan dan keadaannya. Ia boleh makan dan 

minum seorang diri, bersama keluarga dan teman-teman-

nya, sehingga dengan demikian memuaskan indranya dan 

membuat jiwanya bersenang-senang, semua kesenangan 

yang dapat diperoleh dari hal-hal ini . Jangan sampai 

kehilangan hal itu sebab  mengejar kesenangan yang tidak 

dapat diperoleh. Namun, amatilah bahwa Tuhan  tidak akan 

menyuruh kita berhenti melakukan kegiatan dan tidak 

berbuat apa-apa, dan hanya makan dan minum. Tidak, kita 

harus bersenang-senang dalam jerih payah kita. Kita harus 

memanfaatkan hal-hal ini, tidak menghindarinya, namun  


 54

harus rajin serta bergembira dalam melakukan kegiatan di 

dunia ini. 

(3) Oleh sebab itu, di dalam hal ini kita harus mengakui Tuhan . 

Kita harus melihat bahwa inipun dari tangan Tuhan . Artinya, 

[1] Segala yang baik yang kita nikmati itu memang baik, 

tidak saja sebab  merupakan hasil ciptaan-Nya, namun  

juga merupakan pemberian dari penyelenggaraan-Nya 

yang berlimpah kepada kita. Baru sesudah itulah se-

muanya bisa menyenangkan bagi kita, saat kita mene-

rimanya dari tangan Tuhan  sebagai Bapa, saat kita 

melihat bagaimana dengan hikmat-Nya Ia memberi kita 

apa yang paling sesuai bagi kita, dan kita harus meneri-

manya tanpa membantah, mengecap kasih dan kebaik-

an-Nya, menikmatinya, serta mensyukurinya. 

[2] Hati yang menikmati pemberian-Nya memang demikian 

halnya, dan ini merupakan kasih karunia Tuhan . Kecuali 

Ia memberi kita hikmat untuk menggunakan dengan 

benar apa yang melalui penyelenggaraan-Nya telah di-

limpahkan kepada kita, dan pada saat yang sama juga 

hati nurani yang tenteram sehingga kita dapat membe-

dakan perkenan Tuhan  di tengah bujuk rayu dunia, kita 

tidak akan dapat membuat jiwa kita menikmati kebaik-

an apa pun darinya. 

2. Mengapa kita harus memperhatikan hal ini dalam membawa 

diri di dunia ini, dan berharap kepada Tuhan  untuknya. 

(1) Sebab Salomo sendiri, dengan segala harta miliknya, tidak 

dapat mengharapkan lebih banyak lagi dan menginginkan 

yang lebih baik lagi (ay. 25): “Siapa dapat merasakan 

kenikmatan di luar Dia lebih dari aku? Inilah yang kucita-

citakan, aku tidak menginginkan yang lebih lagi. Orang-

orang yang hanya memiliki sedikit dibanding apa yang 

kumiliki, dapat melakukan hal ini, yaitu merasa puas 

dengan apa yang mereka miliki, dan menikmati manfaat 

darinya.” Namun, Salomo tidak mampu melakukannya 

melalui hikmatnya sendiri tanpa anugerah khusus Tuhan . 

Oleh sebab itu ia mengarahkan kita agar mengharapkan-

nya dari tangan Tuhan  dan berdoa kepada-Nya untuk itu. 

Kitab Pengkhotbah 2:17-26 

 55

(2) Sebab kekayaan merupakan berkat atau justru kutukan 

bagi seseorang, tergantung apakah ia mempergunakannya 

dengan baik atau tidak. 

[1] Tuhan  membuat kekayaan itu menjadi berkat bagi orang 

yang baik, jika  Ia juga mengaruniakan hikmat, pe-

ngetahuan dan kesukaan kepada orang itu untuk dinik-

mati sendiri dengan senang hati dan dengan murah hati 

membagikannya kepada orang lain juga. Kepada orang-

orang yang dikenan-Nya, yang memiliki watak yang 

baik, jujur dan tulus, menghormati Tuhan  mereka, serta 

menaruh perhatian kepada umat manusia, Tuhan  akan 

memberikan kebijaksanaan dan pengertian di dunia ini, 

serta sukacita bersama orang benar di dunia yang akan 

datang. Demikianlah yang tertulis dalam bahasa Aram. 

Atau, Ia akan memberikan kebijaksanaan dan pengerti-

an dalam hal-hal yang bersifat alami, moral, ilahi, dan 

yang bersangkutan dengan pemerintahan. Semua ini 

akan senantiasa menjadi sukacita dan kesukaan bagi 

mereka yang dikenan-Nya. 

[2] Tuhan  menjadikan kekayaan itu hukuman bagi orang 

jahat jika ia tidak mau menerima penghiburan dari 

kekayaan mereka, dan hanya menguasainya dengan 

sewenang-wenang. Orang berdosa ditugaskan-Nya be-

kerja keras dengan membiarkan dia berbuat sesuka hati 

menurut rencana bodohnya sendiri, yaitu menghimpun 

dan menimbun sesuatu yang tidak saja akan menjadi 

beban bagi diri sendiri bagaikan barang gadaian (Hab. 

2:6), namun  juga menjadi kesaksian terhadapnya dan 

akan memakan dagingnya seperti api (Yak. 5:3). Seba-

liknya, melalui penyelenggaraan-Nya, Tuhan  bermaksud 

memberikannya kepada orang yang dikenan-Nya. Sebab 

kekayaan orang berdosa disimpan bagi orang benar, dan 

dikumpulkan untuk orang-orang yang mempunyai belas 

kasihan kepada orang-orang lemah. Perhatikanlah, Per-

tama, ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi 

keuntungan besar, dan hanya mereka yang dikenan-Nya 

sajalah yang memiliki kebahagiaan sejati, yang mene-

rimanya dari Dia dan di dalam Dia. Kedua, orang-orang 

yang tidak beriman acap kali dihukum dengan rasa 


 56

tidak puas dan ketamakan yang tidak terpuaskan, yang 

merupakan dosa-dosa yang menjadi hukuman bagi 

mereka sendiri. Ketiga, saat  Tuhan  memberikan kelim-

pahan kepada orang fasik, hal itu dimaksudkan untuk 

memaksa mereka menyerahkannya kepada anak-anak-

Nya sendiri saat  mereka sudah cukup umur dan siap 

untuk menerimanya, seperti orang Kanaan yang memi-

liki negeri yang subur itu hingga tiba saat yang sudah 

ditentukan bagi Israel untuk memasukinya. 

[3] Pokok di dalam sajak itu masih sama: Inipun kesia-

siaan dan usaha menjaring angin. Tidak peduli sehebat 

apa pun, hal itu tetap merupakan kesia-siaan, bahkan 

bagi orang yang dikenan Tuhan  sekalipun. saat  ia 

memperoleh segala sesuatu yang telah dikumpulkan 

orang berdosa, semua itu tidak akan membuatnya ba-

hagia bila tidak ditambah dengan yang lain. Namun, 

semua itu bagaikan usaha menjaring angin bagi orang 

berdosa, saat  melihat bahwa apa yang telah dikum-

pulkannya itu ternyata dinikmati oleh orang yang di-

kenan Tuhan , dan oleh sebab  itu semua itu sia-sia saja 

di matanya. sebab  itu, pilihlah jalan mana yang akan 

kau tempuh, kesimpulannya sudah pasti, segala sesuatu 

yaitu  kesia-siaan dan usaha menjaring angin. 

 

 

 

 

 

PASAL  3  

ebelumnya Salomo menunjukkan bahwa pembelajaran, kesenang-

an, dan pekerjaan hanyalah kesia-siaan belaka, dan menjelaskan 

bahwa kebahagiaan tidak dapat ditemukan di bangku sekolah, atau 

di taman-taman Epikuros, atau dengan membolak-balik keduanya. Ia 

melanjutkan, dalam pasal ini, untuk lebih membuktikan pengajaran-

nya dan kesimpulan yang ditariknya, bahwa kita harus bersukacita 

dan puas serta memanfaatkan semua yang Tuhan  berikan kepada kita, 

dengan menunjukkan,  

I. Betapa berubah-ubah semua perkara manusia (ay. 1-10).  

II. Betapa abadi dan tak terselami pertimbangan ilahi untuk 

perkara-perkara itu (ay. 11-15).  

III. Betapa sia-sia kehormatan dan kekuasaan duniawi, yang di-

salahgunakan untuk mendukung penindasan dan pengania-

yaan jika manusia tidak dipimpin oleh rasa takut akan Tuhan  

dalam menggunakannya (ay. 16). Sebagai teguran bagi para 

penindas yang sombong, dan untuk menunjukkan betapa 

sia-sianya mereka, ia mengingatkan mereka,  

1.  Bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas 

hal itu di dunia yang lain (ay. 17).  

2. Bahwa keadaan mereka, dalam kaitannya dengan dunia 

ini (sebab  ia sedang berbicara tentang dunia ini), tidak 

lebih baik daripada binatang (ay. 18-21). Oleh sebab  itu, 

ia menyimpulkan bahwa berhikmatlah kita jika kita meng-

gunakan kuasa yang ada pada kita untuk penghiburan kita 

dan bukan untuk menindas orang lain.  


 58

Berubah-ubahnya Perkara Manusia 

(3:1-10) 

1 Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada 

waktunya. 2 Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu 

untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; 3 ada waktu 

untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk 

merombak, ada waktu untuk membangun; 4 ada waktu untuk menangis, ada 

waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;  

5 ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; 

ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;  

6 ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu 

untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; 7 ada waktu untuk mero-

bek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu 

untuk berbicara; 8 ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; 

ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai. 9 Apakah untung pekerja 

dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah? 10 Aku telah melihat peker-

jaan yang diberikan Tuhan  kepada anak-anak manusia untuk melelahkan 

dirinya. 

Tujuan ayat-ayat ini untuk menunjukkan,  

1.  Bahwa kita hidup di dunia yang berubah-ubah, bahwa beberapa 

peristiwa dan keadaan hidup manusia sangat berbeda satu sama 

lain, namun  semua terjadi tanpa pandang bulu. Kita terus melewati 

dan melewatinya lagi, seperti perputaran hari dan tahun. Dalam 

perputaran roda kehidupan (Yak. 3:6) terkadang suatu jari-jari 

berada di tempat teratas dan tidak lama kemudian sebaliknya, 

selalu ada naik dan turun, tinggi dan rendah. Dari satu ujung ke 

ujung yang lain, dunia seperti yang kita kenal sekarang selalu 

berubah, dan akan terus berubah.  

2. Bahwa setiap perubahan yang terjadi dalam hidup kita, menurut 

waktu dan saatnya, sudah tetap, tidak dapat diubah, dan telah 

ditentukan oleh suatu kuasa tertinggi. Kita harus menerima 

segala sesuatu saat  datang, sebab  kita tidak memiliki kuasa 

untuk mengubah apa yang telah ditetapkan bagi kita. Inilah alas-

an, saat  dalam kelimpahan, kita selayaknya merasa nyaman, 

namun  bukan merasa aman-aman. Tidak merasa aman-aman kare-

na kita hidup di dunia yang berubah, dan sebab  itu tidak ada 

alasan bagi kita untuk berkata, besok akan sama seperti hari ini 

(lembah terdalam kita menjadi satu dengan gunung tertinggi kita). 

Namun, kita harus tetap merasa nyaman, seperti nasihat Salomo 

(2:24), bersenang-senang dalam jerih payah kita, dalam ketergan-

tungan yang penuh pada Tuhan  dan penyediaan-Nya, tidak terbuai 

oleh harapan, ataupun terpuruk sebab  ketakutan, namun  dengan 

hati yang siap menghadapi segala peristiwa. Di sini kita melihat,

Kitab Pengkhotbah 3:1-10 

 59

I. Salomo mengemukakan dasar pengajarannya: Untuk segala se-

suatu ada masanya (ay. 1).  

1.  Perkara-perkara yang tampaknya paling bertolak belakang 

satu sama lain, dalam perputaran peristiwa, akan mengambil 

gilirannya dan terjadi. Siang akan menjadi malam dan malam 

akan berubah lagi menjadi siang. Apakah sekarang musim 

panas? Musim dingin akan datang. Apakah sekarang musim 

dingin? Tunggu saja, sebentar lagi musim panas akan datang. 

Untuk setiap perkara, ada masanya. Langit yang paling cerah 

pun akan berawan, Post gaudia luctus – Sukacita mengganti-

kan kepedihan, dan langit yang paling mendung akan menjadi 

cerah, Post nubila Phoebus – Matahari akan menerobos dari 

balik awan.  

2. Hal-hal yang menurut kita paling tidak terduga dan kebetulan, 

dalam pertimbangan dan rencana Tuhan  telah ditetapkan sam-

pai waktu persis terjadinya, serta tidak dapat dipercepat atau 

ditunda sejenak pun.  

II. Bukti dan penjelasan ajaran ini, dengan mengemukakan beberapa 

perkara khusus, ada dua puluh delapan jumlahnya, disesuaikan 

dengan hari-hari perputaran bulan, yang selalu membesar dan 

mengecil, antara bulan purnama dan perubahannya. Beberapa 

perubahan ini sepenuhnya tindakan Tuhan , beberapa yang lain 

lebih tergantung pada kehendak manusia, namun  semua ditetap-

kan oleh pertimbangan ilahi. Oleh sebab  itu, segala sesuatu di 

bawah langit dapat berubah, namun  di sorga ada keadaan yang 

tidak dapat berubah, dan ada keputusan tak-terubahkan menge-

nai perkara-perkara ini. 

1. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal. Perkara-

perkara ini ditentukan oleh pertimbangan ilahi. Jika kita lahir, 

maka kita pasti meninggal, dan terjadinya pada waktu yang 

ditentukan (Kis. 17:26). Beberapa penafsir mengamati bahwa 

ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, namun  

tidak ada waktu untuk hidup. Hidup begitu singkat sehingga 

tidak perlu disebutkan. Baru saja kita lahir, kita langsung 

mulai mengalami kematian. Namun, seperti ada waktu untuk 

lahir dan ada waktu untuk meninggal, maka akan ada waktu 

untuk bangkit lagi, waktu yang telah ditetapkan untuk mereka 

yang terbaring di dunia orang mati untuk diingat (Ayb. 14:13).  


 60

2. Ada waktu bagi Tuhan  untuk menanam suatu bangsa, seperti 

Tuhan  menanam Israel di Kanaan, dan, untuk melakukannya, 

ada waktu untuk mencabut ketujuh bangsa yang ditanam di 

sana, untuk memberi tempat bagi Israel. Akhirnya, ada waktu-

nya juga Tuhan  berbicara mengenai Israel, untuk mencabut dan 

membinasakannya, saat takaran kesalahan mereka sudah 

penuh (Yer. 18:7, 9). Ada waktu bagi manusia untuk menanam, 

waktu yang menurut musimnya, waktu dalam hidup mereka. 

Namun, saat  yang ditanam sudah tidak berbuah dan tidak 

berguna, itulah waktu untuk mencabutnya. 

3. Ada waktu untuk membunuh, yaitu saat  penghakiman Tuhan  

ditimpakan atas suatu negeri dan membuat semuanya tandus. 

Namun, saat  Dia kembali dalam jalan kasih setia-Nya, maka 

itulah waktu untuk menyembuhkan yang diterkam-Nya (Hos. 

6:1-2), yaitu menghibur suatu bangsa sesudah  Dia menindas 

mereka (Mzm. 90:15). Ada waktu saat , berdasarkan hikmat, 

pemerintah menggunakan cara yang keras, namun , ada waktu 

saat , juga berdasarkan hikmat, pemerintah menggunakan 

cara yang lebih lembut, untuk menyembuhkan, bukan meru-

sak.  

4. Ada waktu untuk merombak suatu keluarga, suatu penghidup-

an, kerajaan, yang memang telah siap untuk dihancurkan. 

namun  , Tuhan  akan mendapatkan waktu, jika mereka 

berbalik dan bertobat, untuk membangun kembali yang telah 

dihancurkan. Ada waktu, waktu yang ditetapkan, bagi Tuhan 

untuk membangun Sion (Mzm. 102:14, 17). Ada waktu bagi 

manusia untuk berpisah dengan keluarga, untuk menghenti-

kan perdagangan, dengan kata lain untuk merombak, waktu 

yang harus dimaklumi dan dihadapi dengan persiapan oleh 

mereka yang sedang membangun.  

5. Ada waktu saat  penetapan Tuhan  memanggil kita untuk me-

nangis dan meratap, saat  hikmat dan kasih manusia mau 

turut pada penetapan itu, mau menangis dan meratap. Con-

tohnya, saat semua orang mengalami kemalangan dan mara-

bahaya, di saat itu sangat aneh jika kita tertawa, dan menari, 

dan bersukacita (Yes. 22:12-13; Yeh. 21:10). namun  , di 

lain pihak, ada waktu saat  Tuhan  memanggil kita untuk ber-

sukacita, waktu untuk tertawa dan menari, dan saat itulah Dia 

ingin agar kita menjadi hamba-Nya dengan sukacita dan gem-

Kitab Pengkhotbah 3:1-10 

 61

bira hati. Perhatikanlah, waktu untuk menangis dan meratap 

diletakkan pertama, sebelum waktu untuk tertawa dan me-

nari, sebab  kita harus menabur dengan mencucurkan air mata 

dahulu sebelum menuai dengan bersorak-sorai.  

6. Ada waktu untuk membuang batu, dengan meruntuhkan dan 

menghancurkan benteng-benteng, yaitu saat  Tuhan  memberi-

kan damai di perbatasan, dan benteng-benteng itu tidak diper-

lukan lagi. namun  , ada waktu untuk mengumpulkan batu 

untuk membangun kubu-kubu pertahanan (ay. 5). Ada waktu 

untuk menara-menara tua runtuh, seperti menara yang ada di 

Siloam (Luk. 13:4), dan untuk Bait Suci sendiri dihancurkan 

sampai berkeping-keping sehingga tidak satu batupun akan 

dibiarkan terletak di atas batu yang lain. namun  ada juga waktu 

untuk menara dan piala ditegakkan, yaitu saat  bangsa ber-

jaya.  

7. Ada waktu untuk memeluk sahabat saat kita mendapatinya 

setia, namun  ada waktu untuk menahan diri dari memeluk saat 

kita mendapatinya tidak adil atau tidak setia, dan ada alasan 

bagi kita untuk mencurigainya. Di waktu seperti ini, bijaklah 

bagi kita untuk menarik diri dan menjaga jarak. Ayat ini 

biasanya diterapkan untuk pelukan dalam pernikahan, seperti 

yang dijelaskan dalam 1 Korintus 7:3-5; Yoel 2:16.  

8. Ada waktu untuk mengejar (KJV) mengejar uang, mengejar ke-

dudukan, mengejar kesempatan bagus dan keuntungan besar. 

Saat kesempatan terbuka, itulah waktu saat  orang bijak 

akan mencari (demikianlah makna kata ini). Saat ia mulai 

menjelajahi dunia, memiliki keluarga yang semakin besar, saat 

ia sedang jaya-jayanya, saat ia berhasil dan memiliki usaha 

yang berkembang, itulah waktu baginya untuk berjuang dan 

memanfaatkan kesempatan selagi masih ada. Ada waktu 

untuk mengejar hikmat, pengetahuan, dan kasih karunia, yaitu 

saat  manusia mendapat kesempatan di tangannya. Namun, 

biarlah ia menyadari akan datang waktunya untuk menghabis-

kan, saat semua yang ia miliki terlalu sedikit untuk memenuhi 

kebutuhannya. Bahkan, ada waktu untuk membiarkan rugi, 

yaitu saat hal-hal yang diperoleh dengan cepat akan cepat 

hilang lenyap dan tidak dapat digenggam erat.  

9. Ada waktu untuk menyimpan, saat  yang kita miliki berman-

faat, dan kita dapat menyimpannya tanpa menimbulkan per-


 62

tentangan dalam hati nurani. Namun, mungkin akan datang 

waktu untuk membuang, saat  kasih kita kepada Tuhan  meng-

haruskan kita membuang semua yang kita miliki, sebab  kita 

akan menyangkal Kristus dan melanggar hati nurani kita jika 

kita menyimpannya (Mat. 10:37-38). Lebih baik kita menghan-

curkan semua daripada menghancurkan iman. Bahkan, saat  

kasih kita kepada diri sendiri menuntut kita untuk membuang-

nya, jika hal itu diperlukan untuk menyelamatkan hidup kita, 

seperti yang terjadi saat  para pelaut yang bersama dengan 

Yunus membuang muatan kapal ke dalam laut.  

10. Ada waktu untuk merobek pakaian, seperti saat  berada 

dalam dukacita besar, dan ada waktu untuk menjahitnya 

kembali, sebagai tanda bahwa kesedihan itu sudah berlalu. 

Ada waktu untuk membatalkan yang kita lakukan, dan ada 

waktu untuk melakukan kembali yang telah kita batalkan. 

Jerome (Bapa Gereja – pen.) menerapkan hal ini pada peris-

tiwa dirobeknya jemaat Yahudi dan dijahit serta dibangun 

kembali jemaat Injil di atasnya.  

11. Ada waktu saat  sudah sepatutnya, dan memang bijaksana 

serta diwajibkan, bagi kita untuk berdiam diri, yaitu saat  

waktu itu yaitu  waktu yang jahat (Am. 5:13), saat  per-

kataan kita sama saja dengan melemparkan mutiara kepada 

babi, atau saat  kita kemungkinan akan salah bicara (Mzm. 

39:3). namun  , ada juga waktu untuk berbicara, untuk 

memuliakan Tuhan  dan untuk meneguhkan orang lain, saat  

berdiam diri sama saja dengan mengkhianati kebenaran, dan 

saat  dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan. Sung-

guh suatu hikmat yang besar bagi orang kristen untuk menge-

tahui kapan harus berbicara dan kapan harus menahan diri.  

12. Ada waktu untuk mengasihi, dan menunjukkan bahwa kita 

bersahabat, untuk terbuka dan gembira, dan ini merupakan 

waktu yang menyenangkan. namun  , mungkin akan 

datang waktu untuk membenci, saat  kita melihat alasan 

untuk memutuskan segala kedekatan dengan beberapa orang 

yang tadinya sangat kita sukai, dan menjadi orang yang me-

misahkan diri, seperti saat  kecurigaan kita terbukti. Pada 

saat seperti cinta itu sangat sulit untuk diakui.  

13. Ada waktu untuk perang, saat  Tuhan  menghunus pedang 

untuk penghakiman dan memberinya tugas untuk mengha-

Kitab Pengkhotbah 3:1-10 

 63

bisi, saat  manusia menghunus pedang untuk keadilan dan 

mempertahankan hak-haknya, saat  bangsa-bangsa memi-

liki alasan untuk berperang. namun  , kita boleh menanti-

kan datangnya waktu untuk damai, yaitu saat  pedang Tuhan  

disarungkan dan Dia menghentikan peperangan (Mzm. 46:10), 

saat  perang berakhir dan di segala penjuru ada damai. 

Perang tidak akan berlangsung terus, demikian pula tidak 

akan terjadi yang disebut damai selamanya yang abadi di sisi 

dunia sebelah sini. Demikianlah, dalam semua perubahan 

ini,


Related Posts:

  • pengkhotbah kidungagung 2 i Salomo melanjutkan dengan memperlihatkan alasan mengapa ia merasa jenuh dengan dunia ini. Selain itu, ia juga me-nunjukkan betapa kecil alasan banyak orang untuk menggemarinya. I. Ia menunjukkan bahwa di dal… Read More