ini akan dijelaskan lebih lanjut di sub-bab
di bawah. Kedua, pihak kepolisian juga rajin bersilaturahmi
ke kiai-kiai sembari melobi mereka agar mau menerima
warga Syiah kembali ke kampung halaman mereka. Selain
itu, ketiga, kepolisian juga mengundang ulama-ulama dari
Jakarta seperti Ustad Jefri Al Buchori dan Ustad Arifin Ilham
untuk bersalawat bersama dan mengajak seluruh warga
Sampang hidup damai. Dan keempat, menangkap dan
memeriksa semua aktor yang terlibat baik dari kelompok
Sunni maupun Syiah.
Keempat langkah di atas, menurut pengamatan saya,
di satu sisi telah mendekatkan hubungan kepolisian dengan
kiai. Salah satu bentuk “kedekatan” kepolisian dengan kiai
yaitu keikutsertaan aparat kepolisian dalam hampir setiap
pertemuan yang berkaitan dengan penyelesaian konflik. Para
kiai juga menganggap kepolisian sangat responsif terhadap
keluhan mereka, khususnya yang berkaitan dengan konflik
ini. Bentuk lain kepercayaan kiai kepada kepolisian yaitu
menjadikan Mapolres Sampang menjadi pusat pertemuan
seluruh elemen yang terlibat dalam konflik, yaitu kiai dan
warga Sunni, ABI dan Tajul beserta pengikutnya, serta dari
pihak Pemkab Sampang dan Kankemenag Sampang.
Meski demikian, kedekatan ini meletakkan kepolisian
dalam posisi dilematis dalam konflik ini. Pengungsi Syiah
menganggap kepolisian tidak netral sebab terlalu berpihak
kepada kiai dan warga Sunni. Sebagai contoh, razia
senjata tajam terhadap warga Syiah atas permintaan para
kiai dalam satu rapat dengan Forpimda Sampang.6 Razia
yang berhasil mengamankan 23 celurit dan pedang ini
mendapatkan protes dari warga Syiah sebab mereka
membutuhkan senjata-senjata ini untuk keamanan diri
mereka. Selain sebab mereka tidak bisa mempercayakan
keselamatan mereka kepada kepolisian sebab sudah
terlanjur dianggap berpihak kepada kiai Sunni, warga Syiah
juga memprotes razia ini sebab hanya dilakukan
kepada mereka namun tidak kepada warga Sunni.
Catatan lain terkait posisi dilematis kepolisian yaitu
ketidakberdayaan Polres Sampang saat harus melepas
salah satu seorang yang diduga terlibat dalam penyerangan
dan pembakaran rumah-rumah Syiah pada 29 Desember
2011. Saat itu, 9 Januari 2012, ribuan warga mengepung
Mapolres Sampang menuntut Kapolres Sampang
melepaskan salah seorang warga yang telah ditangkap
polisi. Kapolres harus bernegosiasi dengan salah seorang
kiai untuk menenangkan ribuan warga ini .8 Akhirnya,
demi keamanan aparat kepolisian, Polres Sampang terpaksa
melepaskan warga ini . Alasan yang sama diberikan
untuk memindahkan pengadilan seluruh warga Sunni
yang terlibat dalam penyerangan dan pembakaran pada
29 Desember 2011 dari Pengadilan Negeri Sampang ke
Pengadilan Negeri Surabaya.9
Tantangan lain yang harus dihadapi kepolisian dalam
yang dilakukan yaitu tidak adanya
koordinasi yang baik antara Pemkab Sampang dan instansi-
instansi dalam Forpimda, khususnya dengan Polres Sampang.
Akibatnya, masing-masing lembaga negara seakan-akan
berjalan sendiri-sendiri menyelesaikan permasalahan ini
dengan cara masing-masing. Lemahnya koordinasi ini
juga berdampak pada tidak adanya sokongan dana dari
pemerintah kabupaten terhadap kegiatan pengamanan yang
dilakukan Polres selama konflik berlangsung.10 Lamanya
proses rekonsiliasi yang berlangsung secara tidak langsung
juga berdampak pada pembengkakan dana pengamanan di
lapangan.
Selain itu, tantangan juga datang dari kondisi internal
aparat Polres Sampang dan pasukan pengamanan di
lapangan. Proses pengamanan yang memakan waktu lebih
dari 11 bulan, diakui oleh Kapolres Sampang, menguras
seluruh energi fisik dan psikis seluruh aparat kepolisian.11
Tidak sedikit dari perwira Polres Sampang yang berada
pada titik nadir kejenuhan sebab harus selalu awas dengan
kondisi keamanan selama 24 jam dan sebab pendeknya
waktu berkumpul dengan keluarga. Dan tidak sedikit pula
dari mereka yang jatuh sakit dan harus berbaring di rumah
sakit.
Bantuan hukum
saat Rois melaporkan kakaknya Tajul ke kepolisian
atas tuduhan penistaan agama pada 4 Januari 2012, konflik
ini beralih ke wilayah hukum. Tajul dan para pemimpin
Syiah yang sudah mengendus kriminalisasi atas dirinya,
meminta bantuan hukum kepada ABI (Ahlul Bait negara kita ).
ABI yaitu organisasi sosial keagamaan yang menghimpun
para pegiat ajaran ahlul bait di negara kita . ABI kemudian
menyerahkan seluruh tindakan advokasi hukum kepada
YLBHU (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia),
salah satu lembaga semi otonom di bawah ABI.12
Meski sudah mengetahui peristiwa di Sampang melalui
media masa, persentuhan ABI dengan masalah ini seminggu
sebelum kejadian 29 Desember 2011 tepatnya saat terjadi
peristiwa pembakaran di rumah Mat Siri, salah satu pengikut
Tajul yang menjadi tempat transit Tajul saat dia mengunjungi
Sampang selama di pengungsian, pada tanggal 17 Desember
2011 dini hari. saat itu ABI Jawa Timur yang sedang
mengikuti acara di Jakarta mengajak Tajul untuk bertemu
dengan pengurus ABI. sesudah mendengar penuturan Tajul
perihal permasalahan yang dihadapinya di Sampang dan
tidak adanya sokongan dari IJABI —sebab dia sudah keluar
dari IJABI sejak 24 Agustus 2011— maka dia meminta ABI
untuk membantu dirinya dan para pengikutnya.
Atas dasar kesamaan ideologi keagamaan dan dasar
kemanusiaan, ABI menyanggupi untuk memberikan
advokasi hukum dan sosial kepada Tajul dan pengikutnya.
Dan tertanggal 30 Desember 2012, Tajul, Iklil, Saiful, dan
Muhyin memberikan kuasa hukum kepada Muhammad
Hadun, SH, pengacara dari YLBHU dan ABI. Sejak saat
itu, ABI terlibat penuh dalam advokasi hukum dan sosial
Tajul Muluk dan pengikutnya.13 Muhammad Hadun, SH dan
tim YLBHU mewakili Tajul di setiap proses persidangan
dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung.
Di Sampang, YLBHU bekerja sama dengan KontraS dan
LBH Surabaya untuk menggali data guna advokasi hukum
terhadap Tajul Muluk. Di tingkat nasional, ABI bekerja
untuk memastikan penegakan hukum dan HAM yang ada
di Sampang melalui berbagai audiensi, pertemuan dengan
Kemendagri, Kemenkopolhukam, Kemenag, DPR RI, PEMDA
Sampang, Pemprov Jawa Timur, dan KOMNAS HAM.14
sesudah melewati berbagai proses persidangan, Tajul
Muluk diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Sampang
dan dijatuhi hukuman penjara 2 tahun.15 saat tim kuasa
hukum Tajul mengajukan banding, Pengadilan Tinggi
Surabaya menolak banding ini dan memperberat
hukuman Tajul Muluk menjadi 4 tahun.16 Usaha yang sama
juga gagal di tingkat kasasi di Mahkamah Agung sebab
putusan MA menolak pengajuan kasasi tim kuasa hukum
Tajul Muluk dan memperkuat putusan PT Surabaya.17 Saat
naskah ini ditulis, Tajul Muluk telah keluar penjara dengan
status bebas bersyarat sebab telah menjalani hukuman 2/3
dari putusan yang ditetapkan.
Bantuan kemanusiaan
Sedangkan advokasi kemanusiaan dilakukan oleh
lembaga-lembaga nonpemerintah yang masuk dalam
jaringan POKJA AKBB (Kelompok Kerja Advokasi Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan) Jawa Timur. Jaringan ini
meliputi beberapa lembaga swadaya warga seperti
CMARs (Center for Marginalized Communities Studies),
PUSHAM (Pusat Studi Hak Asasi Manusia) Surabaya,
Gusdurian Surabaya, dan masih banyak lagi; dan beberapa
kampus seperti Fakultas Psikologi Universitas Brawijaya
Malang dan Fakultas Psikologi Universitas Surabaya.
Fokus advokasi diarahkan pada beberapa hal, yakni
advokasi struktural, bantuan kemanusiaan, trauma healing,
dan pendidikan anak.18 Advokasi struktural yaitu bentuk
monitoring kerja pemerintah dalam pelayanan kepada
pengungsi di GOR Sampang. Monitoring ini meliputi
penyediaan air bersih, distribusi sembako, masalah
kesehatan dan sanitasi. Tidak hanya monitoring, jaringan
ini juga bekerja sama dengan instansi pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan warga yang berada di pengungsian.
Selain itu, jaringan ini juga melakukan pelatihan paralegal
secara informal kepada para pengungsi terkait hak-hak
mereka sebagai warga negara sehingga mereka tidak mudah
diintimidasi oleh pihak manapun.
Di Surabaya, jaringan ini menghimpun bantuan sosial
kemanusiaan seperti obat-obatan, pakaian, dan makanan
dari berbagai pihak untuk kemudian mereka distribusikan
ke pengungsi di GOR. ABI juga mengirim seorang dokter
yang tinggal di GOR untuk membantu warga yang terserang
penyakit. Pelayanan kesehatan juga didukung oleh MDMC
(Muhammadiyah Disaster Management Center), salah
satu lembaga otonom di bawah bendera Muhammadiyah.
Sejak 19 Desember 2012, lembaga ini bekerja sama
dengan Dinas Sosial Kabupaten Sampang dan BKIA (Balai
Kesehatan Ibu dan Anak) Pamekasan setiap seminggu sekali
mengadakan posyandu, memberikan pengobatan gratis, dan
membagikan susu ke anak-anak pengungsi secara gratis.19
saat pengungsian direlokasi di Flat Jemundo Sidoarjo,
tim MDMC bekerja sama dengan IMM (Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah) DPD Surabaya tinggal di pengungsian
melakukan bantuan kesehatan serta pendidikan.
Selain jaringan LSM dan ABI, dua kampus, Universitas
Brawijaya Malang dan Universitas Surabaya, mengirimkan
tim untuk membantu warga di pengungsian untuk mengobati
trauma akibat kekerasan yang mereka alami. Dan terakhir
yaitu pendidikan anak-anak Syiah di pengungsian. Tim
relawan dari berbagai unsur di atas mengoordinir relawan-
relawan untuk memberikan pembelajaran kepada anak-anak
pengungsi, khususnya mereka yang tidak mendapatkan
kesempatan sekolah di sekitar pengungsian.20 Program lain
yang digalakkan selama di pengungsian Jemundo yaitu
pemberdayaan ekonomi warga pengungsi sehingga mereka
dapat memperoleh penghasilan sendiri dan tidak terus
bergantung pada bantuan baik dari pemerintah maupun
swasta.
Dalam memberikan bantuan kemanusiaan ini, para
relawan tidak jarang harus berselisih paham dengan lembaga
negara yang bertanggung jawab menangani pengungsi
seperti Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, dan BPBD (Badan
Penanggulangan Bencana Daerah) baik di Kabupaten
Sampang, Kabupaten Sidoarjo, dan Propinsi Jawa Timur.
Salah paham ini biasanya diakibatkan oleh rumitnya
alur birokrasi pemerintah yang mengakibatkan terhambatnya
layanan kesehatan dari pihak pemerintah.22
Selain itu, beberapa kasus juga menunjukkan
pemerintah terkesan lepas tangan saat tim relawan sudah
bergerak untuk memberikan satu bantuan kemanusiaan
tertentu kepada pengungsi. Pihak pemerintah sering kali
mengarahkan warga pengungsi yang sakit untuk berobat
ke rumah sakit yang dimiliki salah satu organisasi relawan.
Akibatnya, rumah sakit ini harus menanggung biaya
pengobatan yang tinggi sebab para pengungsi tidak memiliki
asuransi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) atau
bentuk asuransi kesehatan lainnya.23
Dakwah damai
Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, inisiatif dakwah
damai berasal dari Polres Sampang. Merasa kecolongan
dengan peristiwa kekerasan pada 29 Desember 2011, Polres
Sampang dan Polsek Omben dan Karang Penang melakukan
gerakan masif di lapangan untuk melakukan pencegahan
agar peristiwa serupa tidak terulang kembali. Salah satu
langkah yang mereka lakukan yaitu menerjunkan personil
ke lapangan untuk melakukan “dakwah damai.” Gerakan ini
menyasar dua objek, yakni para kiai dan jamaah pengajian
di surau-surau.24
Menurut Kapolres Sampang saat itu, AKBP Solehan,25
dirinya memimpin langsung kunjungan tim Polres Sampang
ke rumah-rumah kiai. Selain untuk bersilaturahmi, agenda
utama kepolisian yaitu meminta para kiai untuk meredam
aksi ujaran kebencian terhadap kelompok Tajul Muluk
sehingga warga di tingkat akar rumput tidak terprovokasi
untuk berbuat kekerasan. Perlu dipahami bahwa kiai yaitu
figur yang paling disegani oleh warga sehingga tidak
memungkinkan bagi kepolisian untuk menangkap para kiai
pelaku ujaran kebencian sebab hal ini akan memicu
konflik lanjutan.
Selain kunjungan ke rumah kiai-kiai, Polres Sampang
juga menerjunkan tim ke masjid-masjid dan surau-surau
di sekitar wilayah konflik.26 Anggota tim yang memiliki
pengetahuan keagamaan cukup mendalam diminta untuk
memberikan khotbah Jumat dan memimpin salat Jumat,
sedangkan mereka yang memiliki pengetahuan agama
rendah akan memberikan wejangan atau nasihat di depan
jamaah Jumat selepas salat. Tema khotbah maupun nasihat
ada dua, yakni pentingnya hidup rukun bertetangga dan
saling menghargai setiap perbedaan yang ada. Agenda ini
berjalan cukup masif selama kurang lebih enam bulan.
sesudah peristiwa kekerasan 26 Agustus 2012 terjadi, agenda
ini dihentikan sebab Polres Sampang disibukkan dengan
operasi pengamanan desa.
Agenda dakwah damai kemudian dilanjutkan oleh
Kankemenag Kabupaten Sampang. Seminggu sesudah
peristiwa tanggal 26 Agustus 2012, tepatnya tanggal 3
September 2012, Kakankemenag Kabupaten Sampang
membentuk Tim Penanganan Kasus Sampang Tahun 2012
dimana Kepala Seksi Penerangan warga saat itu dijabat
Abdul Hamid. Seksi ini tepat untuk ditunjuk sebagai ketua
tim mengingat dia membawahi penyuluh-penyuluh agama
di desa-desa yang juga berasal dari penduduk lokal yang
telah mengenyam pendidikan sarjana di bidang agama.
Meski memiliki gaji yang rendah, para penyuluh
agama ini biasanya diberi akses lebih ke dalam urusan-
urusan Kankemenag sehingga mereka dapat menghidupi
keluarga mereka. Kebanyakan para penyuluh mempunyai
institusi pendidikan seperti PAUD, madrasah diniyah hingga
madrasah formal seperti ibtidaiyah sampai aliyah. Oleh
Kemenag, mereka mendapatkan akses yang lebih mudah
saat mengurus administrasi atau bantuan finansial untuk
sekolah-sekolah yang mereka kelola. Namun, kecilnya gaji
membuat Tim Penanganan Kasus Sampang ini tidak dapat
bekerja optimal di tingkatan penyuluh sebab tim segan
memberikan tugas yang berat kepada mereka mengingat
dana yang dialokasikan untuk mereka sangat kecil.27
Meski demikian, melalui anggaran Direktorat
Penerangan Agama Islam, Ditjen Bimas Islam Kemenag RI,
tim Kankemenag Kab. Sampang mengutus dua orang ustad
untuk dibina dan dilatih secara khusus dalam pelatihan
“Da’i Rahmatan Lil’alamin” bersama-sama dengan para ustad
seluruh negara kita agar mereka dapat memberikan pengajaran
Islam yang damai. sesudah pelatihan, ada tiga ustad yang
dikirim ke Sampang dan bertugas selama satu bulan (19
November s/d. 19 Desember 2012). sebab ketiadaan dana,
mengingat agenda ini sudah mendekati waktu tutup
anggaran, maka agenda Da’i Rahmatan Lil’alamin ini tidak
dilanjutkan.
Selain itu, tim Kankemenag Sampang juga mengirimkan
beberapa ustad ke pengungsian GOR. Tugas para ustad
ini yaitu mengajarkan alQuran kepada para
pengungsi sesudah salat Magrib. Program terakhir ini tidak
berjalan mulus sebab adanya penolakan dari pengungsi.
Menurut penuturan beberapa relawan yang tinggal di GOR,
pengungsi menolak kehadiran ustad dari Kankemenag
sebab mereka mencurigai program ini menjadi ajang
“pertobatan” warga Syiah ke Sunni28 yang saat itu rumor
gerakan pertobatan memang sedang santer beredar.
Rekonsiliasi konflik
1. Komnas HAM dkk
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yaitu lembaga
pemerintah yang pertama kali menginisiasi rekonsiliasi antara
Rois dan Tajul. Atensi komisi ini terhadap konflik kekerasan
antara kelompok Syiah dan anti-Syiah mulai tampak pada saat
Tajul direlokasi ke Malang pada Agustus 2011. Bersama-sama
dengan Komnas Perempuan, KPAI (Komisi Perlindungan
Anak negara kita ), dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban), Komnas HAM melakukan investigasi di
Sampang untuk kemudian melahirkan rekomendasi buat
Pemda Sampang agar dapat menyelesaikan permasalahan
ini dengan baik.
Forum mediasi pertama kali digelar oleh Komnas HAM
yaitu pada 28 Oktober 2011, antara Tajul dan pengikutnya
dengan Rois dan pengikutnya.30 Acara ini diadakan di
Surabaya sebab saat itu Tajul sudah berada pada masa
pengasingan sehingga tidak memungkinkan melakukan
pertemuan di Sampang. Pertemuan yang juga dihadiri oleh
Kepala Bakesbangpol Sampang ini menghasilkan beberapa
kesepakatan agar masing-masing pihak (1) untuk saling
menghargai keyakinan dan praktik keagamaan masing-
masing; (2) untuk tidak membuat aktivitas keagamaan yang
ditujukan untuk menjustifikasi pemahaman keberagamaan
seseorang atas yang lain; (3) untuk menjaga hubungan
persaudaraan yang berbasis pada norma agama, warga ,
dan negara, dan pada hukum yang berlaku di negara kita ;
(4) untuk menaati kesepakatan ini dengan penuh komitmen
dan tanggung jawab; dan (5) jika salah satu dari kedua
pihak melanggar kesepakatan ini, dia akan dituntut sesuai
hukum yang berlaku
Selain itu, pada tanggal 16 Januari 2012, Komnas HAM
juga menginisiasi pertemuan yang mengundang berbagai
unsur terdiri dari Bakesbangpol Propinsi Jawa Timur,
perwakilan IJABI, perwakilan Kemenag, MUI Jawa Timur,
MUI Kab. Se-Madura, Camat Omben dan Karang Penang,
PWNU, BASSRA, FKUB Jawa Timur, Kapolres Sampang dan
jajarannya. Pertemuan ini dilaksanakan di Universitas
Surabaya. Agenda utama terkait solusi yang tepat untuk
menyelesaikan konflik antara Tajul dan Rois khususnya
pasca peristiwa pembakaran pada 29 Desember 2011. Di
Jakarta, Komnas HAM juga bergerak menemui seluruh
pihak yang terlibat dan yang sekiranya dapat membantu
menyelesaikan konflik ini. Diantara mereka yang ditemui
komisioner Komnas HAM yaitu IJABI Pusat, DPP ABI, MUI
Pusat, Kemendagri, Pemprov Jawa Timur, Pemkab Sampang,
dan kiai-kiai Sunni dan Syiah di Sampang.31
Kunjungan komisioner Komnas HAM ke Sampang pada
27-28 Februari 2013 dan 9-11 April 2013 juga masuk dalam
program rekonsiliasi komisi ini. Pada kunjungan pertama,
salah seorang komisioner HAM bertemu dengan seluruh
jajaran Muspida dan tokoh agama yang ada di Sampang
untuk membahas beberapa alternatif relokasi pengungsi
Syiah dari GOR. Menurut peserta forum, opsi ini harus
dibahas mengingat anggaran Pemda untuk pengungsi tidak
memadai sedangkan opsi pemulangan pengungsi tidak bisa
dilakukan dengan alasan keamanan.32 Dalam forum ini,
didapati keengganan tokoh agama untuk menerima kembali
warga Syiah kecuali mereka bertaubat dan bersikukuh bahwa
relokasi ke luar Madura yaitu satu-satunya opsi. Adapun
proses mediasi pada kunjungan kedua tidak membuahkan
hasil yang memuaskan sebab tidak beranjak dari hasil
pertemuan yang pertama.
Kunjungan terakhir yang dilakukan oleh Komnas HAM
diakhiri pada 20 Juni 2013, tepatnya sesudah pengungsi
Syiah direlokasi paksa ke Rusunawa Puspa Agro Jemundo
Sidoarjo. Dalam kesempatan ini, Komnas HAM melakukan
pertemuan dengan Pemprov Jawa Timur, perwakilan
pengungsi, dan beberapa lembaga nonpemerintah yang
sedari awal melakukan advokasi di Sampang. Ada tiga
kesepakatan dalam forum ini , yakni: (1) akses informasi
antara satu lembaga dengan lembaga lain; (2) pemenuhan
seluruh pelayanan dasar bagi para pengungsi; dan (3)
bahwa pengungsian di rusunawa bukanlah solusi permanen,
sehingga tetap harus diupayakan pemulangan mereka.33
Permasalahan utama yang menyebabkan rekonsiliasi
damai yang digagas oleh Komnas HAM, Komnas Perempuan,
KPAI, LPSK tidak berjalan dengan baik yaitu sebab lembaga-
lembaga ini yaitu lembaga ad hoc yang tidak memiliki
struktur di tingkat propinsi/kabupaten/kota, tidak memiliki
kewenangan instruktif kepada pemerintahan di daerah.34
Akibatnya, yang bisa mereka lakukan yaitu melakukan
rekonsiliasi di tingkat elit dari pihak pemerintah dan kedua
pihak yang berseteru. saat mereka yang berkepentingan
tidak mengindahkan apa yang sudah disepakati bersama
melalui forum-forum rekonsiliasi, maka semua gagasan dan
kesepakatan ini hanya akan berhenti di ruang rapat.
2. Puslitbang Kerukunan Umat Beragama Kemenag RI
dan Kankemenag Kabupaten Sampang
Kembali kepada Tim Penanganan Kasus Sampang.
Tim yang ditunjuk atas Surat Keputusan No. Kd.13.27/6/
BA.02/146/SK/2012 ini mempunyai tugas utama untuk
merencanakan, melaksanakan, mengendalikan, dan
mengoordinasikan kegiatan penanganan konflik Sampang.
Langkah-langkah yang dilakukan sangat sistematis. Di
tingkatan bawah, tim ini menggerakkan para penyuluh
agama untuk memberikan pencerahan keagamaan tentang
kerukunan umat beragama dan mengajar Alquran di tempat
pengungsian.1* Melalui penyuluh agama juga, tim ini
mendekati kiai-kiai lokal untuk mengajak mereka berdamai
dengan warga Syiah dan saling menghargai satu sama lain.
Di tingkat elit, tim ini bergerak cepat untuk menangani
masalah ini . Mereka melakukan roadshow ke beberapa
pihak yang berpengaruh dalam konflik ini seperti Kiai Karrar
(BASSRA), Habib Umar Shahab (ABI), dan Prof. Jalaluddin
Rahmat (IJABI).35 Pada tanggal 19 September 2012, tim
bersilaturahmi dengan Kiai Karrar mendiskusikan solusi
pemulangan warga di pengungsian ke kampung halaman
mereka. Kiai Karrar menjawab secara diplomatis bahwa
warga di dua desa ini belum siap menerima kembali
kedatangan mereka.
Keesokan harinya, tim terbang ke Jakarta menemui
pengurus ABI dan IJABI. Dengan pengurus ABI, mereka
menyepakati lima hal, yakni: (1) kesediaan ABI untuk
menyatukan Tajul dan Rois; (2) kesediaan ABI untuk
menemui para kiai di Madura dan Jawa Timur; (3) ABI siap
menghentikan segala statemen yang bersifat memojokkan
warga sekitar; (4) ABI meminta pemerintah untuk
menanggung seluruh kebutuhan hidup mereka selama di
pengungsian sampai mereka kembali ke kampung halaman
mereka; dan (5) ABI menyatakan bahwa ada kemungkinan
untuk relokasi pengungsi secara sukarela. Sedangkan dengan
IJABI, mereka juga menyepakati lima hal, yaitu (1) IJABI
menyatakan bahwa Tajul bukan lagi anggota mereka sejak
Juli 2012; namun (2) mereka siap membantu kebutuhan
kemanusiaan warga pengungsi sebab mereka memiliki
kesamaan ideologi keagamaan; (3) IJABI akan berkoordinasi
dengan pemerintah untuk setiap programnya; (4) dan akan
1 *Atas inisiatif Ka Seksi Penamas Kankemenag Sampang, dia
sebenarnya sudah mengirim tim penyuluh ke daerah konflik dan ke
tempat pengungsian sejak dua hari semenjak peristiwa 26 Agustus
2012, namun kinerjanya dihitung sejak turunnya SK Tim Penanganan
Konflik Sampang
mendahulukan akhlak bukan pendekatan fiqh; dan (5)
IJABI akan berkoordinasi dengan ABI untuk mendorong
komunikasi antara Sunni dan Syiah.
sesudah menyerap aspirasi dari warga, elit kiai di
Sampang dan pengurus ABI dan IJABI, tim mengadakan
rapat koordinasi dengan Kepolisian Resort Sampang pada
tanggal 24 September 2012.36 saat semua peserta rapat
meyakini dapat memulangkan pengungsi —sebab pada
dasarnya warga sekitar tidak ada masalah dengan
pengungsi,— mereka kemudian membuat konsep kearifan
lokal budaya (local wisdom), yaitu taretan (saudara)
sebagai dasar gerakan mereka. Artinya para pengungsi akan
dititipkan kepada saudara mereka (jika kedua belah pihak
sepakat) sampai pembangunan rumah pengungsi selesai.
Tim teknis pun dibentuk untuk menyukseskan konsep
ini.37 Ada empat tim yang bekerja, yaitu tim mapping, tim
negosiasi dengan tokoh-tokoh lokal, tim negosiasi dengan
tokoh-tokoh kabupaten, dan tim yang menangani fasilitas
yang perlu dibangun. Rapat yang dilakukan hingga dini hari
ini juga dihadiri oleh perwakilan ABI, Ahmad Hidayat,
guna mendapatkan pandangan ABI terhadap konsep yang
telah dibahas bersama.
Menindaklanjuti pertemuan di atas, tanggal 26 September
2012, Kankemenag Kab. Sampang mengumpulkan tokoh-
tokoh lokal di Karang Gayam dan Blu’uran yang terlibat
untuk penyelesaian konflik.38 Tujuannya ingin menyerap
aspirasi dari mereka agar ditemukan formula yang pas untuk
penyelesaian konflik di Sampang ini. Rapat yang dihadiri
sekitar 40 orang ini menghasilkan tiga kesimpulan,
yaitu:
a. Para tokoh dan warga tidak menolak pemulangan
kembali pengungsi ke kampungnya, tetapi mereka takut
dengan akibat yang akan terjadi sebab kepulangan
para pengungsi;
b. Mereka menuntut penegakan hukum kepada kedua
belah pihak secara adil oleh aparat keamanan;
c. Mereka menuntut diakuinya hak-hak mereka untuk
hidup damai dan tenteram di rumah mereka (rumah
fisik, rumah ideologi, rumah budaya, rumah historis)
sebagaimana kondisi sebelum Tajul Muluk mengajarkan
ajarannya.
Pada tanggal 30 September 2012, Habib Umar Shahab
menepati janjinya untuk datang ke Sampang dan berdialog
dengan kiai-kiai di sana. Ada dua kiai yang ditemui oleh
Habib Umar, yakni KH. Mahrus Malik dan KH. Ja’far Shodiq.
Kedua kiai yaitu kiai-kiai Omben yang bertempat di
dekat daerah konflik. Namun pertemuan ini tidak bisa
menghasilkan hal yang signifikan kecuali keinginan bersama
untuk menuntaskan permasalahan pengungsi secepat
mungkin. Hal ini disebabkan sebab kedua kiai tidak bisa
merepresentasikan seluruh kiai di Sampang apalagi Madura.
Kedua, untuk mendapatkan suara mufakat mereka, harus
menunggu hasil pertemuan mereka secara kolektif, tidak
secara individual.
Mereka yang tidak ingin ada ajaran sesat Syiah di
Sampang kemudian memberikan enam syarat yang harus
dipenuhi oleh ABI jika ingin pengungsi GOR kembali ke
kampung halaman mereka. Enam syarat itu yaitu pertama,
warga Syiah harus mengakui bahwa Al-quran saat ini hanya
satu, tidak ada Al-quran yang lain. Kedua, warga Syiah
harus mengakui bahwa Rasulullah yaitu mahluk terbaik
ciptaan Allah, tidak ada mahluk yang lebih baik selain Nabi
Muhammada SAW. Ketiga, warga Syiah tidak boleh menghina
istri-istri Nabi. Keempat, warga Syiah tidak boleh mencela
sahabat Nabi. Kelima, warga Syiah harus menghormati
Aswaja, ahlu sunnah waljamaah. Keenam, Tajul Muluk harus
bertobat dan menyatakan keluar dari ajarannya.”
Di tingkat akar rumput, ada lima kali pertemuan
yang dilakukan melibatkan warga dalam rangka tahapan
penyelesaian konflik Sampang. Empat pertemuan ini
melibatkan unsur Kankemenag Pusat, Kankemenag Kab.
Sampang, Kanwil Kemenag Propinsi Jawa Timur, Pemda
Sampang, dan POLRES Sampang.41 Pendanaannya pun dari
berbagai sumber-sumber di atas selain juga bantuan dari
beberapa LSM seperti KontraS. Adapun tim penanggung
jawab lapangan dan teknis yaitu Tim Penanganan Kasus
Sampang yang dibentuk oleh Kakankemenag Kab. Sampang.
Pertemuan pertama Dialog Kerukunan Beragama
dilaksanakan oleh PKUB (Pusat Kerukunan Umat Beragama)
di Hotel Empire Palace Surabaya pada tanggal 15-19
Oktober 2012. Tim Kankemenag kemudian mengirim 10
orang utusan yang terdiri dari 2 pengurus NU, 2 pengurus
MUI, 2 penganut Syiah, 2 tokoh warga , dan 2 utusan
Kankemenag sendiri. Pertemuan ini yaitu pijakan awal dari
pertemuan-pertemuan mendatang. Dari merekalah kemudian
rekonsiliasi ini bergerak. Indikasi dari rekonsiliasi
ini yaitu mulai ada kerja sama antara 2 warga Syiah
dan 2 tokoh warga dalam bentuk penawaran pekerjaan
bagi warga Syiah.
Pertemuan kedua berupa workshop “Prakarsa
Perdamaian Berbasis Komunitas dan Kearifan Lokal Pasca-
Konflik Horizontal di Kabupaten Sampang” kerja sama
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sampang dengan
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI. Workshop dilaksanakan selama 3
hari yaitu tanggal 3-5 Desember 2012 di Arca Cottages &
Resort Trawas Mojokerto. Pesertanya sebanyak 60 orang
dengan rincian 10 Sunni, 10 tokoh warga , 10 tokoh
pemuda, 8 Syiah, 10 Aparat Keamanan, dan 12 orang Aparat
Pemerintah. Inilah untuk pertama kalinya sejak konflik terjadi
kedua pihak yang berkonflik di Sampang dipertemukan
secara langsung. Dan dari komunitas Syiah yang dihadirkan
yaitu mereka yang sejak 26 Agustus 2012 harus mengungsi
di GOR Sampang sebab rumahnya ludes terbakar.
Tujuan utama dari workshop ini yaitu mempertemukan
para pihak yang terlibat konflik secara langsung agar terjadi
komunikasi dan silaturahmi. Agar pertemuan ini tidak
memicu permasalahan, mereka dilarang membicarakan
masalah akidah. Workshop yang awalnya berlangsung
tegang ini kemudian mencair dan uneg-uneg
pengalaman pahit mereka selama konflik pun kemudian
keluar dan pecah tangis haru antar satu peserta dengan
yang lain. Acara ini dilanjutkan dengan jalan-jalan ke
Pesantren (Sunni) al-Hikam Malang dan Iran Corner (Syiah)
di Universitas Muhammadiyah Malang; dan diakhiri dengan
kegiatan outbond.
Pertemuan ketiga kembali difasilitasi oleh Pusat
Kerukunan Umat Beragama, Sekretariat Jenderal Kementerian
Agama RI. Pertemuan yang ketiga ini berbentuk Workshop
dan mengambil Tema “Prakarsa Perdamaian Berbasis
Religiositas dan Kearifan Lokal warga Sampang” dan
dilaksanakan di sebuah hotel di Sidoarjo Jawa Timur, pada
tanggal 10-12 Desember 2012. Pesertanya sebanyak 42
orang dengan rincian 10 Sunni, 10 tokoh warga , 10
Syiah, 8 tokoh pemuda, dan 4 orang dari aparat pemerintah
di Kabupaten Sampang. Kegiatan kali ini pun berlangsung
dengan sukses, sebab diantara peserta sudah benar-benar
bisa membaur dan bersaudara. Tidak tampak lagi kekakuan
sebagaimana terlihat pada workshop sebelumnya, baik di
dalam ruangan maupun selama dalam perjalanan. Kedua
belah pihak sudah bisa menyatu sebagai sebuah komunitas
sosial.
Pada workshop itu kedua komunitas bersepakat
untuk selalu bermusyawarah dalam setiap permasalahan
yang muncul. Bahkan masing-masing komunitas saling
menjamin keamanan komunitas lainnya jika berkunjung
ke komunitas lainnya. Berdasar kesepakatan itu, beberapa
orang dari komunitas Sunni bisa datang ke GOR Sampang
(tempat pengungsi sementara tinggal) dan sebaliknya untuk
bersilaturahmi dengan saudaranya. Komunikasi via telpon
juga semakin intensif dilakukan, bahkan pemuka Syiah (Iklil
al Milal) beberapa kali menghubungi Kiai Muhlis Nashir, KH.
Abd. Mannan Ali, Kiai Abd. Majid, Kiai R. Abd. Hayyi (Sunni)
menyatakan ingin segera pulang ke kampung halamannya.42
Pertemuan keempat dilaksanakan pada 26-27 Desember
2012 di sebuah hotel di Surabaya, atas kerja sama Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Sampang dengan KontraS
Surabaya. Kegiatan kali ini dilaksanakan dalam bentuk Focus
Group Discussion (FGD) dan mengambil tema “Prakarsa
Perdamaian Berkelanjutan (The Sustainable Peace) Berbasis
Kearifan Lokal warga Sampang”. Peserta yang hadir
sebanyak 23 orang dengan rincian, 8 orang Sunni, 6 orang
Tokoh warga , 4 orang Tokoh Pemuda, dan 5 orang
dari komunitas Syiah. Pada pertemuan di Hotel Fortuna ini,
kedua belah pihak yang hadir sudah benar-benar akrab.
Sudah tidak tampak lagi kalau mereka yang hadir sebenarnya
yaitu para pihak yang baru saja terlibat konflik berdarah
yang membawa korban jiwa dan harta benda. Yang menarik
pada pelaksanaan FGD ini yaitu munculnya ungkapan jujur
dari peserta bahwa mereka sebenarnya kerong (kangen)
untuk bersatu lagi dengan saudaranya. Mereka bersepakat:
1. Melupakan kejadian konflik untuk mewujudkan
perdamaian yang permanen;
2. Akan saling mengunjungi, bahkan jika pengungsi
merasa bosan di GOR mereka bisa menginap di
rumah peserta dari warga ;
3. Seluruh peserta siap untuk menjadi kader
perdamaian, untuk sosialisasi kepada warga ;
4. Meminta kepada pemerintah agar terus menyediakan
forum lanjutan dan membangunkan rumah para
pengungsi yang rusak saat kerusuhan.
Pertemuan kelima dan terakhir terjadi pada tanggal
6 Januari 2013 bertempat di Kantor MWC NU Kec.
Karangpenang Sampang telah dilaksanakan pertemuan
yang mengambil tema “Bhek-Rembhek Sabele’en
(Pertemuan Persaudaraan Antartetangga), Merajut Damai
Berbasis Kearifan Lokal”. Undangan yang hadir dalam
pertemuan ini lebih kurang 150 orang, meliputi
Pengurus Cabang NU Sampang sebanyak 5 orang, semua
pengurus MWC NU Kecamatan Karangpenang dan Omben,
kiai-kiai lokal dari 2 kecamatan, Tokoh warga dan
Tokoh Pemuda dari 2 kecamatan. Kepala Kankemenag
Kab. Sampang, Kepala Bakesbangpol Sampang, Kapolsek
Omben dan Karangpenang, serta Kepala KUA Omben dan
Karangpenang. Acara ini bertujuan untuk menyosialisasikan
hasil dari empat pertemuan sebelumnya —mengingat tidak
semua orang bisa mengikuti acara ini . Walhasil,
diambil kesimpulan dalam pertemuan ini bahwa
penyelesaian yang diinginkan dari beberapa pertemuan
yang telah berlangsung yaitu upaya rekonsiliasi yang
selama ini dilakukan dimaksudkan untuk memperbaiki
citra buruk umat Islam Madura sehingga bisa menetralisasi
semua informasi miring ini , dan penyelesaian yang
akan menguntungkan semua pihak.
Berbeda dengan masalah yang dihadapi oleh Komnas
HAM dkk, proses rekonsiliasi yang digagas oleh Puslitbang
Kerukunan Umat Beragama Kemenag RI dan Kankemenag
Kabupaten Sampang hanya melibatkan tokoh warga
dan warga di tingkat bawah, tidak dengan kelompok
elit. Hal ini mungkin dapat dipahami sebab gerakan ini
sebenarnya tidak “direstui” oleh kelompok kiai BASRA-
MUI-NU di Sampang.43 Akibatnya jelas, rencana yang telah
direncanakan dengan baik harus berhenti di tengah jalan.
Tidak cukup sampai di situ, para pejabat Kemenag yang
terlibat langsung dalam gerakan ini harus dimutasi
dari Sampang atau dari kedinasan yang berkaitan langsung
dengan konflik Sunni-Syiah
3. Pemprov Jawa Timur
sesudah hampir satu bulan pengungsi Syiah di GOR
direlokasi paksa ke Rusunawa Puspa Agro di Jemundo,
Sidoarjo, pemerintah membentuk tim rekonsiliasi yang
dipimpin oleh Prof. Abd. A’la yang juga rektor IAIN (sekarang
UIN) Sunan Ampel Surabaya.44 Tim ini diisi oleh tokoh-
tokoh agama dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah,
tokoh-tokoh warga Jawa Timur dan didukung oleh
Kementrian Koordinator Politik, Hukum, dan HAM serta
Bakesbangpol Jawa Timur. sesudah mendapatkan arahan
langsung dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada
1 Agustus 2013 di Gedung Grahadi Surabaya,45 tim yang
dipimpin UIN Sunan Ampel Surabaya ini bergerak cepat.
Paradigma yang dilakukan masih menjunjung tinggi
budaya lokal, namun bukan terkait buppha babbhu guru
rato ataupun taretan dibi’ seperti yang dijelaskan di bab
sebelumnya. Budaya lokal yang digunakan di sini yaitu
nemmoh lonenah, atau mencari perdamaian melalui jalur
kultural. sesudah mengumpulkan berbagai data yang
tersebar di ABI, YLBHU, Bakesbangpol Jawa Timur, dan
hasil penelitian yang sudah saya lakukan, tim UIN Sunan
Ampel kemudian menyusun beberapa langkah-langkah
rekonsiliasi,46 yakni:
a. Membentuk kelompok kerja
b. Menyamakan persepsi menuju rekonsiliasi permanen
c. Memulangkan pengungsi secara permanen dengan
(1) tetap memperhatikan syarat-syarat dari warga
yang diwakili oleh BASSRA dan aspirasi pengungsi; (2)
dilakukan secara kondisional, bertahap atau serentak;
(3) memakai pendekatan kultural; (4) memberikan
jaminan keamanan kepada warga pengungsi dan
warga sekitar; (5) memfasilitasi kegiatan bersama
yang melibatkan dua pihak, untuk mencapai rasa
kebersamaan; (6) memberikan jaminan keamanan dan
kenyamanan bagi warga oleh pihak kepolisian,
pemerintah lokal, warga , dan ulama setempat; (7)
memberikan edukasi kepada semua tentang pentingnya
nilai-nilai kebersamaan dan anti kekerasan; dan (8)
mengajak semua pihak untuk saling menghormati
perbedaan.
d. Mencegah pihak-pihak luar yang akan mengaburkan
proses-proses rekonsiliasi yang dilakukan
e. Rehabilitasi dan rekonstruksi, yang meliputi: (1)
merehabilitasi sarana dan prasarana yang rusak akibat
konflik; (2) membangun fasilitas publik yang bisa
membantu proses pemulihan; (3) memberdayakan
ekonomi warga setempat; dan (4) memberikan
pendidikan ketrampilan.
Langkah lanjutan dari road map ini yaitu mengundang
ulama-ulama lokal dan ABI serta perwakilan pengungsi
di forum terpisah untuk mendengar aspirasi dari berbagai
unsur yang terlibat dalam konflik. Tidak hanya itu, tim ini
juga berkunjung ke Sampang dan melakukan pertemuan
dengan tokoh-tokoh agama dan warga Blu’uran dan
Karang Gayam di Pondok Pesantren al-Jufri, Blumbungan,
Pamekasan pada 22 November 2013. Seluruh peserta
rapat yang berjumlah 30 orang ini bersepakat untuk
menyelesaikan konflik Sunni-Syiah di Sampang.
Pertemuan ini secara tidak langsung memberikan energi
positif dalam penyelesaian kasus ini meski sebelumnya 100
ulama Madura mendeklarasikan FAAS (Front Anti Aliran
Sesat) di Masjid Agung Sampang, yang tentunya tidak
berkontribusi positif terhadap perkembangan rekonsiliasi.
Seluruh hasil kerja tim kemudian dilaporkan ke Presiden RI
Susilo Bambang Yudhoyono saat kunjungan kerja ke pulau
Madura pada 4-6 Desember 2013.47
sesudah sempat terhenti sebab adanya momentum
Pemilu Legislatif dan Presiden/Wakil Presiden 2014, proses
rekonsiliasi kembali dilakukan meski harus berjalan tertatih-
tatih. Hingga naskah ini ditulis, tim UIN Sunan Ampel Surabaya
belum bisa mengimplementasikan road map yang sudah
mereka susun pada Juli 2013.
Tantangan dalam
Tidak berjalannya UU No. 7/2012
Sesuai amanat UU No. 7/2012, pemerintah daerah
yaitu pihak yang paling bertanggung jawab saat terjadi
konflik sosial di wilayahnya. Tanggung jawab ini
meliputi mencegah potensi konflik dalam warga ,
membangun sistem peringatan dini, dan melakukan
rekonsiliasi antara pihak-pihak yang berkonflik.48 Untuk
melaksanakan tanggung jawab ini, Pemda diberi kewenangan
untuk memakai mekanisme pranata sosial/adat dan
membentuk Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.
Instrumen terakhir memperbolehkan Pemda untuk meminta
bantuan aparat kepolisian dan pasukan TNI jika diperlukan.
Singkat kata, Pemda yaitu institusi pemerintah yang berada
pada garda depan dalam penyelesaian konflik sosial.
Pengamatan di lapangan menunjukkan seluruh kerja
Pemda Sampang terkait konflik Sunni-Syiah di Sampang ini
berada di Bakesbangpol Kabupaten Sampang yang memang
bertugas menangani kondisi sosial politik di wilayah ini.
Sebagaimana telah diatur dalam undang-undang di atas dan
sebagaimana umumnya tradisi di Madura, Bakesbangpol
juga memakai mekanisme pranata adat, dalam hal ini
yaitu kiai. Namun sayang, kuatnya peranan kiai dalam
konflik ini membuat Pemda tidak bisa bekerja netral untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi. Setiap keputusan
pemerintah harus mendapatkan restu dari kiai. Jika tidak,
dipastikan keputusan ini tidak dapat diimplementasikan
di lapangan.49 Kondisi ini diperparah oleh beberapa politisi
yang memanfaatkan isu ini untuk kepentingan pemilukada
2012.
Catatan lain terkait implementasi UU No. 7/2012
oleh Pemda Sampang yaitu tidak adanya satuan tugas
penyelesaian konflik sosial yang dibentuk untuk menangani
konflik ini. Ketiadaan satuan kerja ini berakibat pada
lemahnya koordinasi antarlembaga negara di Sampang.
Baik Bakesbangpol Sampang, Polres Sampang, dan
Kankemenag Sampang berjalan sendiri-sendiri, membentuk
tim di internal masing-masing instansi untuk menyelesaikan
permasalahan ini. Belum lagi tim-tim yang dibentuk oleh
lembaga-lembaga di luar pemerintah yang juga berniat
membantu menyelesaikan konflik ini seperti BASSRA, MUI,
NU, ABI, KontraS, LBH Surabaya, CMARs, dan lembaga-
lembaga lainnya. Akibat lainnya yaitu tidak berjalannya
setiap kebijakan pemerintah terkait konflik ini. Perlu dicatat
bahwa sesudah kejadian bentrok pada 26 Agustus 2012,
berbagai lembaga pemerintah baik di tingkat propinsi dan
pusat melibatkan diri dalam konflik ini. Berbagai rapat
digelar namun hasilnya tidak pernah diimplementasikan di
lapangan. Demikian juga saat lembaga seperti Komnas
HAM, Komnas Perlindungan Anak, dan Komnas Perempuan
melibatkan diri untuk menyelesaikan konflik ini. Hasilnya
nihil sebab tidak adanya dukungan riil dari Pemda Sampang.
Kontestasi dalam
Sama halnya dengan Komnas HAM, Kankemenag
Kabupaten Sampang dan Tim UIN Sunan Ampel Surabaya,
para kiai BMN juga melakukan usaha-usaha tertentu agar
permasalahan ini selesai. Meski dengan niat yang sama,
perbedaan cara pandang mereka terhadap persoalan ini
menuntun pada perbedaan pola gerakan para kiai.
sesudah kejadian tanggal 17 dan 29 Desember 2011,
PCNU Sampang membentuk KAR (Kader Anak Ranting)
NU yang terdiri dari pemuda-pemuda NU yang tinggal di
daerah konflik dan sekitarnya.50 Mereka dilatih bagaimana
cara berkomunikasi dengan orang lain (pengikut Tajul) dan
menelaah cara mereka bergaul sehingga dapat dilakukan
pembauran dengan mereka. Tujuannya yaitu mengajak
mereka untuk bertaubat dan kembali kepada ajaran Islam
yang sesungguhnya (ahlussunnah waljama‘ah). Sayang,
belum berjalan optimal program ini, kekerasan tanggal 26
Agustus 2012 terjadi.51
sesudah peristiwa tanggal 26 Agustus 2012, langkah
pengembalian pengungsi ke ajaran Sunni pun semakin
gencar. Salah satunya yaitu dengan memanfaatkan keluarga
Sunni dari para pengungsi. Mereka diminta untuk membujuk
saudara-saudaranya agar mau bertaubat dan kembali kepada
ajaran Islam yang benar. Konsep ini mungkin mencontoh
konsep taretan tibhi’ yang telah digagas oleh Tim Penanganan
Kasus Sampang dari Kankemenag Kab. Sampang, meski
dengan mengubah substansi dari konsep ini , yakni
mengembalikan pengungsi yang dianggap korban ajaran
sesat Tajul kepada ajaran Islam ahlussunnah waljama‘ah.
Langkah ini cukup berhasil. Lima belas KK bertaubat pada
tanggal 24 Oktober 2012 dan 8 KK lainnya pada 1 November
2012.52 Deklarasi taubat mereka dilakukan di Pesantren Darul
Ulum, Gersempal Omben dan disaksikan oleh perwakilan
Bakesbangpol Sampang, Kepala Desa Omben, POLSEK
Omben, POLRES Sampang, Kankemenag Kab. Sampang,
dan tokoh agama dan warga . Keberhasilan mereka
dalam men-Sunni-kan pengungsi menjadi justifikasi mereka
untuk mewajibkan taubat bagi mereka yang ingin pulang ke
Nangkenang dan Gading Laok. Mereka yang bertaubat akan
dijamin keamanannya baik oleh keluarga yang menjamin
dan oleh tokoh warga setempat.
Tidak hanya itu, intervensi terhadap proses hukum
terhadap Tajul Muluk juga dilakukan. Dalam beberapa
catatan dan korespondensi antara kiai dan pemerintah,
didapati para kiai BMN ini sering berkoordinasi dengan
MUSPIDA Sampang maupun dengan Gubernur Jawa
Timur untuk meminta Pengadilan Tinggi Jawa Timur dan
Mahkamah Agung RI agar banding dan kasasi Tajul ditolak.
Pada tanggal 19 Juli 2012, BASSRA mengirimkan surat
kepada FORPIMDA Sampang guna menyampaikan ucapan
terima kasih warga Karang Gayam dan Blu’uran bahwa
Pengadilan Negeri Sampang telah menghukum Tajul selama
2 tahun penjara, dan meminta mereka untuk mengawal
naik banding Tajul Muluk di Pengadilan Tinggi Jawa
Timur.53 Demikian halnya saat Tajul melakukan kasasi di
Mahkamah Agung RI, BASSRA bersama-sama dengan MUI,
NU, dan Muhammadiyah membuat pernyataan bersama
pada tanggal 12 November 2012 yang menyatakan bahwa
putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur telah sesuai dengan
undang-undang yang berlaku di negara kita dan bahwa
ajaran Tajul sangat provokatif dan meresahkan warga .54
Oleh sebab nya, demi kondusif dan stabilitas keamanan
di Sampang, BMN dan Muhammadiyah meminta Ketua
Mahkamah agar menguatkan putusan Pengadilan Tinggi
Jawa Timur.
Tidak adanya kekuatan penyeimbang di warga
Semua kiai di Sampang dan Madura mungkin memiliki
“satu suara” terkait isu Syiah, tapi tidak mengenai tindak
kekerasan terhadap warga Syiah yang ada di Sampang.
Sebagian dari kiai menganggap tindakan kiai-kiai BASSRA-
MUI-NU di Sampang terlalu “berlebihan” dalam menyikapi
Tajul dan para pengikutnya. Menurut mereka, mungkin
saja Syiah itu sesat, tapi kiai tidak harus membiarkan tindak
kekerasan seperti pembakaran dan pengusiran warga Syiah
dari Sampang.55 Namun suara ini tampaknya tidak banyak
pendukungnya. Dan bahkan suara yang sedikit ini pun tidak
banyak kiai yang menyuarakan.
Ada tiga hal yang menurut saya mengapa “suara lain” ini
tidak banyak terdengar. Pertama, banyak kiai menghindari
fitna (perpecahan) yang lebih besar jika mereka turut
berpolemik dalam isu Syiah yang digalakkan kiai-kiai anti-
Syiah.56 Para kiai sadar benar dengan kekuatan karisma yang
mereka miliki dapat menggerakkan massa yang berada di
belakang mereka. Dengan turut berpolemik dalam isu ini,
sama halnya membenturkan pengikut fanatik dari masing-
masing kiai.
Selain itu, kedua, ikatan ke-kiai-an Madura sangat kuat
sehingga sangat tidak memungkinkan bagi seorang kiai
untuk “menyeberang” berlawanan dengan arus besar dari
kiai. Narasi “hukuman” kiai yang melawan arus besar kiai
selalu didengungkan agar tidak ada perlawanan terhadap
setiap keputusan yang diambil dalam forum kiai. Cerita
salah satu kiai pendukung Orde Baru (Golkar) di Sampang
pada tahun 1990-an, yang harus rela terseok-seok mengurus
pesantrennya sebab dikucilkan oleh mayoritas kiai yang
merupakan pendukung arus utama PPP, selalu dimunculkan
sebagai contoh nyata hukuman terhadap pembangkang
keputusan kiai.57 Jaringan kiai di Madura memang sangat kuat
sehingga melawan arus ini akan sangat tidak menguntungkan
bagi kiai. Beberapa kiai pro rekonsiliasi yang saya temui
mengungkapkan hal yang sama. Mereka tidak bisa lagi
terlibat dalam forum-forum kiai di Madura sehingga secara
tidak langsung berimbas pada perkembangan pesantren
mereka.58 Banyak kiai yang diam menghindari hal ini.
Ketiga, diamnya kiai juga diakibatkan pada
ketidakmampuan mereka untuk meredam arus anti-
Syiah yang digalakkan kolega mereka sesama kiai.
Ketidakmampuan ini terkait hal-hal teknis di luar dunia
pesantren seperti urusan pemerintahan, perundang-
undangan, dan isu-isu yang terkait Syiah ini. Mereka
sangat awam dengan Undang-undang No. 1/PNPS tahun
1965, Perpres No. 7/2012 tentang Penanganan Konflik
Sosial, Pergub No. 55/2012 tentang Pembinaan Kegiatan
Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur,
atau apa pun yang berkaitan dengan hal ini.
Sebaliknya, mereka yang anti-Syiah sangat paham
dengan aturan-aturan semacam ini sehingga mereka bisa
“bermain” dengan isu ini. Ketidakmampuan kiai untuk
meredam aksi persekusi kolega-kolega mereka anti-Syiah
juga didasarkan pada fakta bahwa para kiai anti-Syiah juga
aktif di program-program suksesi penerapan syariat Islam di
Madura. Mereka yang diam tidak ingin dicap sebagai anti-
syariat Islam hanya sebab mereka tidak mendukung mereka
dalam gerakan anti-Syiah.59 Dan, mereka juga menghindari
label “pro-Syiah” saat mereka tidak mendukung gerakan
anti-Syiah. Label yang tentu sangat merugikan bagi
keberlangsungan dakwah dan pesantren mereka.60
Terpisahnya kedua kelompok yang berkonflik
Sejak pemerintah mengungsikan warga Syiah ke GOR
untuk menghindari konflik lanjutan dan aksi balas dendam,
praktis warga Sunni dan Syiah hidup terpisah. Warga Sunni
dan Syiah tidak lagi mempunyai wadah untuk bertatap
muka, bertegur sapa, dan bekerja sama bercocok tanam di
ladang sebagaimana yang mereka lakukan sebelum konflik
memuncak.61 Warga juga tidak mendapatkan kesempatan
untuk “bertemu” dengan saudara dan tetangga mereka yang
Syiah sebab selalu terintimidasi dengan doktrin anti-Syiah
yang menyebar di warga . Wacana bahwa kehidupan
warga lebih aman dan nyaman tanpa kehadiran
warga Syiah terus digulirkan oleh kelompok anti-Syiah.
Konsekuensinya, di tingkat warga , garis pemisah antara
Sunni dan Syiah semakin tebal.
Sama halnya di tingkat akar rumput, para kiai Sunni
dan Syiah juga tidak lagi menemukan ruang yang pas untuk
bertemu dan berdialog guna menyelesaikan masalah yang
ada. Forum-forum perdamaian yang diinisiasi oleh pihak
pemerintah maupun nonpemerintah tidak menjadi ajang
untuk menemukan solusi yang menguntungkan kedua
belah pihak sebab forum perdamaian hanya didominasi
oleh kelompok anti-Syiah. Seluruh keputusan perdamaian
harus mendapatkan persetujuan dari kelompok ini.62
Sehingga, dapat dipastikan inisiatif perdamaian yang tidak
sesuai keinginan mereka tidak dapat diimplementasikan
di lapangan. saat usulan itu ditolak, muncul tuduhan
bahwa orang-orang Syiah tidak mau diatur, maunya enak
sendiri, dan lain sebagainya. Sebaliknya, kubu Syiah melihat
keangkuhan para kiai yang selalu ingin menang sendiri.2**
Secara tidak langsung, dapat dikatakan tidak ada forum
rekonsiliasi yang benar-benar berjalan.
Implikasi dari tidak bertemunya kedua kelompok
ini yaitu terbentuknya pembatas (barriers) antara kedua
kelompok yang selalu membangun tembok pertahanan
agar tidak mudah diserang dengan intimidasi-intimidasi dari
pihak lawan. Kelompok anti-Syiah membangun batasan
dengan meletakkan pertahanan “taubat” dan relokasi
permanen keluar Madura sebagai solusi konflik, sedangkan
kelompok Syiah membangun tembok “hak asasi” mereka
untuk berkeyakinan yang belum dijamin secara penuh oleh
pemerintah.
Tembok pemisah antara kedua kelompok ini semakin
tebal dengan relokasi paksa yang dilakukan oleh pemerintah
dan kiai anti-Syiah kepada pengungsi Syiah ke Rusunawa
Puspa Agro di Jemundo Sidoarjo. Dengan relokasi paksa ini,
rekonsiliasi antara kedua kelompok semakin menemukan
jalan terjal.
2 ** Dua stigma ini saya dapati dari setiap pertemuan baik dengan kiai
anti-Syiah maupun dari pihak Syiah sendiri