suni syiah di sampang 4




 ini akan dijelaskan lebih lanjut di sub-bab

di bawah. Kedua, pihak kepolisian juga rajin bersilaturahmi

ke kiai-kiai sembari melobi mereka agar mau menerima 

warga Syiah kembali ke kampung halaman mereka. Selain 

itu, ketiga, kepolisian juga mengundang ulama-ulama dari 

Jakarta seperti Ustad Jefri Al Buchori dan Ustad Arifin Ilham 

untuk bersalawat bersama dan mengajak seluruh warga 

Sampang hidup damai. Dan keempat, menangkap dan 

memeriksa semua aktor yang terlibat baik dari kelompok 

Sunni maupun Syiah.

Keempat langkah di atas, menurut pengamatan saya, 

di satu sisi telah mendekatkan hubungan kepolisian dengan 

kiai. Salah satu bentuk “kedekatan” kepolisian dengan kiai 

yaitu  keikutsertaan aparat kepolisian dalam hampir setiap 

pertemuan yang berkaitan dengan penyelesaian konflik. Para 

kiai juga menganggap kepolisian sangat responsif terhadap 

keluhan mereka, khususnya yang berkaitan dengan konflik 

ini. Bentuk lain kepercayaan kiai kepada kepolisian yaitu  

menjadikan Mapolres Sampang menjadi pusat pertemuan 

seluruh elemen yang terlibat dalam konflik, yaitu kiai dan 

warga Sunni, ABI dan Tajul beserta pengikutnya, serta dari 

pihak Pemkab Sampang dan Kankemenag Sampang. 

Meski demikian, kedekatan ini meletakkan kepolisian 

dalam posisi dilematis dalam konflik ini. Pengungsi Syiah 

menganggap kepolisian tidak netral sebab  terlalu berpihak 

kepada kiai dan warga  Sunni. Sebagai contoh, razia 

senjata tajam terhadap warga Syiah atas permintaan para 

kiai dalam satu rapat dengan Forpimda Sampang.6 Razia 

yang berhasil mengamankan 23 celurit dan pedang ini 

mendapatkan protes dari warga Syiah sebab  mereka 

membutuhkan senjata-senjata ini  untuk keamanan diri 

mereka. Selain sebab  mereka tidak bisa mempercayakan 

keselamatan mereka kepada kepolisian sebab  sudah 

terlanjur dianggap berpihak kepada kiai Sunni, warga Syiah 

juga memprotes razia ini  sebab  hanya dilakukan 

kepada mereka namun tidak kepada warga Sunni.

Catatan lain terkait posisi dilematis kepolisian yaitu  

ketidakberdayaan Polres Sampang saat  harus melepas 

salah satu seorang yang diduga terlibat dalam penyerangan 

dan pembakaran rumah-rumah Syiah pada 29 Desember 

2011. Saat itu, 9 Januari 2012, ribuan warga mengepung 

Mapolres Sampang menuntut Kapolres Sampang 

melepaskan salah seorang warga yang telah ditangkap 

polisi. Kapolres harus bernegosiasi dengan salah seorang 

kiai untuk menenangkan ribuan warga ini .8 Akhirnya, 

demi keamanan aparat kepolisian, Polres Sampang terpaksa 

melepaskan warga ini . Alasan yang sama diberikan 

untuk memindahkan pengadilan seluruh warga Sunni 

yang terlibat dalam penyerangan dan pembakaran pada 

29 Desember 2011 dari Pengadilan Negeri Sampang ke 

Pengadilan Negeri Surabaya.9

Tantangan lain yang harus dihadapi kepolisian dalam 

 yang dilakukan yaitu  tidak adanya 

koordinasi yang baik antara Pemkab Sampang dan instansi-

instansi dalam Forpimda, khususnya dengan Polres Sampang. 

Akibatnya, masing-masing lembaga negara seakan-akan 

berjalan sendiri-sendiri menyelesaikan permasalahan ini 

dengan cara masing-masing. Lemahnya koordinasi ini 

juga berdampak pada tidak adanya sokongan dana dari 

pemerintah kabupaten terhadap kegiatan pengamanan yang 

dilakukan Polres selama konflik berlangsung.10 Lamanya 

proses rekonsiliasi yang berlangsung secara tidak langsung 

juga berdampak pada pembengkakan dana pengamanan di 

lapangan.

Selain itu, tantangan juga datang dari kondisi internal 

aparat Polres Sampang dan pasukan pengamanan di 

lapangan. Proses pengamanan yang memakan waktu lebih 

dari 11 bulan, diakui oleh Kapolres Sampang, menguras 

seluruh energi fisik dan psikis seluruh aparat kepolisian.11 

Tidak sedikit dari perwira Polres Sampang yang berada 

pada titik nadir kejenuhan sebab  harus selalu awas dengan 

kondisi keamanan selama 24 jam dan sebab  pendeknya 

waktu berkumpul dengan keluarga. Dan tidak sedikit pula 

dari mereka yang jatuh sakit dan harus berbaring di rumah 

sakit. 

Bantuan hukum 

saat  Rois melaporkan kakaknya Tajul ke kepolisian 

atas tuduhan penistaan agama pada 4 Januari 2012, konflik 

ini beralih ke wilayah hukum. Tajul dan para pemimpin 

Syiah yang sudah mengendus kriminalisasi atas dirinya, 

meminta bantuan hukum kepada ABI (Ahlul Bait negara kita ). 

ABI yaitu  organisasi sosial keagamaan yang menghimpun 

para pegiat ajaran ahlul bait di negara kita . ABI kemudian 

menyerahkan seluruh tindakan advokasi hukum kepada 

YLBHU (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia), 

salah satu lembaga semi otonom di bawah ABI.12 

Meski sudah mengetahui peristiwa di Sampang melalui 

media masa, persentuhan ABI dengan masalah ini seminggu 

sebelum kejadian 29 Desember 2011 tepatnya saat  terjadi 

peristiwa pembakaran di rumah Mat Siri, salah satu pengikut 

Tajul yang menjadi tempat transit Tajul saat  dia mengunjungi 

Sampang selama di pengungsian, pada tanggal 17 Desember 

2011 dini hari. saat  itu ABI Jawa Timur yang sedang 

mengikuti acara di Jakarta mengajak Tajul untuk bertemu 

dengan pengurus ABI. sesudah  mendengar penuturan Tajul 

perihal permasalahan yang dihadapinya di Sampang dan 

tidak adanya sokongan dari IJABI —sebab  dia sudah keluar 

dari IJABI sejak 24 Agustus 2011— maka dia meminta ABI 

untuk membantu dirinya dan para pengikutnya. 

Atas dasar kesamaan ideologi keagamaan dan dasar 

kemanusiaan, ABI menyanggupi untuk memberikan 

advokasi hukum dan sosial kepada Tajul dan pengikutnya. 

Dan tertanggal 30 Desember 2012, Tajul, Iklil, Saiful, dan 

Muhyin memberikan kuasa hukum kepada Muhammad 

Hadun, SH, pengacara dari YLBHU dan ABI. Sejak saat 

itu, ABI terlibat penuh dalam advokasi hukum dan sosial 

Tajul Muluk dan pengikutnya.13 Muhammad Hadun, SH dan 

tim YLBHU mewakili Tajul di setiap proses persidangan 

dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung. 

Di Sampang, YLBHU bekerja sama dengan KontraS dan 

LBH Surabaya untuk menggali data guna advokasi hukum 

terhadap Tajul Muluk. Di tingkat nasional, ABI bekerja 

untuk memastikan penegakan hukum dan HAM yang ada 

di Sampang melalui berbagai audiensi, pertemuan dengan 

Kemendagri, Kemenkopolhukam, Kemenag, DPR RI, PEMDA 

Sampang, Pemprov Jawa Timur, dan KOMNAS HAM.14 

sesudah  melewati berbagai proses persidangan, Tajul 

Muluk diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Sampang 

dan dijatuhi hukuman penjara 2 tahun.15 saat  tim kuasa 

hukum Tajul mengajukan banding, Pengadilan Tinggi 

Surabaya menolak banding ini  dan memperberat 

hukuman Tajul Muluk menjadi 4 tahun.16 Usaha yang sama 

juga gagal di tingkat kasasi di Mahkamah Agung sebab  

putusan MA menolak pengajuan kasasi tim kuasa hukum 

Tajul Muluk dan memperkuat putusan PT Surabaya.17 Saat 

naskah  ini ditulis, Tajul Muluk telah keluar penjara dengan 

status bebas bersyarat sebab  telah menjalani hukuman 2/3 

dari putusan yang ditetapkan.

Bantuan kemanusiaan

Sedangkan advokasi kemanusiaan dilakukan oleh 

lembaga-lembaga nonpemerintah yang masuk dalam 

jaringan POKJA AKBB (Kelompok Kerja Advokasi Kebebasan 

Beragama dan Berkeyakinan) Jawa Timur. Jaringan ini 

meliputi beberapa lembaga swadaya warga  seperti 

CMARs (Center for Marginalized Communities Studies), 

PUSHAM (Pusat Studi Hak Asasi Manusia) Surabaya, 

Gusdurian Surabaya, dan masih banyak lagi; dan beberapa 

kampus seperti Fakultas Psikologi Universitas Brawijaya 

Malang dan Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. 

Fokus advokasi diarahkan pada beberapa hal, yakni 

advokasi struktural, bantuan kemanusiaan, trauma healing, 

dan pendidikan anak.18 Advokasi struktural yaitu  bentuk 

monitoring kerja pemerintah dalam pelayanan kepada 

pengungsi di GOR Sampang. Monitoring ini meliputi 

penyediaan air bersih, distribusi sembako, masalah 

kesehatan dan sanitasi. Tidak hanya monitoring, jaringan 

ini juga bekerja sama dengan instansi pemerintah untuk 

memenuhi kebutuhan warga yang berada di pengungsian. 

Selain itu, jaringan ini juga melakukan pelatihan paralegal 

secara informal kepada para pengungsi terkait hak-hak 

mereka sebagai warga negara sehingga mereka tidak mudah 

diintimidasi oleh pihak manapun. 

Di Surabaya, jaringan ini menghimpun bantuan sosial 

kemanusiaan seperti obat-obatan, pakaian, dan makanan 

dari berbagai pihak untuk kemudian mereka distribusikan 

ke pengungsi di GOR. ABI juga mengirim seorang dokter 

yang tinggal di GOR untuk membantu warga yang terserang 

penyakit. Pelayanan kesehatan juga didukung oleh MDMC 

(Muhammadiyah Disaster Management Center), salah 

satu lembaga otonom di bawah bendera Muhammadiyah. 

Sejak 19 Desember 2012, lembaga ini bekerja sama 

dengan Dinas Sosial Kabupaten Sampang dan BKIA (Balai 

Kesehatan Ibu dan Anak) Pamekasan setiap seminggu sekali 

mengadakan posyandu, memberikan pengobatan gratis, dan 

membagikan susu ke anak-anak pengungsi secara gratis.19 

saat  pengungsian direlokasi di Flat Jemundo Sidoarjo, 

tim MDMC bekerja sama dengan IMM (Ikatan Mahasiswa 

Muhammadiyah) DPD Surabaya tinggal di pengungsian 

melakukan bantuan kesehatan serta pendidikan. 

Selain jaringan LSM dan ABI, dua kampus, Universitas 

Brawijaya Malang dan Universitas Surabaya, mengirimkan 

tim untuk membantu warga di pengungsian untuk mengobati 

trauma akibat kekerasan yang mereka alami. Dan terakhir 

yaitu  pendidikan anak-anak Syiah di pengungsian. Tim 

relawan dari berbagai unsur di atas mengoordinir relawan-

relawan untuk memberikan pembelajaran kepada anak-anak 

pengungsi, khususnya mereka yang tidak mendapatkan 

kesempatan sekolah di sekitar pengungsian.20 Program lain 

yang digalakkan selama di pengungsian Jemundo yaitu  

pemberdayaan ekonomi warga pengungsi sehingga mereka 

dapat memperoleh penghasilan sendiri dan tidak terus 

bergantung pada bantuan baik dari pemerintah maupun 

swasta.

Dalam memberikan bantuan kemanusiaan ini, para 

relawan tidak jarang harus berselisih paham dengan lembaga 

negara yang bertanggung jawab menangani pengungsi 

seperti Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, dan BPBD (Badan 

Penanggulangan Bencana Daerah) baik di Kabupaten 

Sampang, Kabupaten Sidoarjo, dan Propinsi Jawa Timur. 

Salah paham ini  biasanya diakibatkan oleh rumitnya 

alur birokrasi pemerintah yang mengakibatkan terhambatnya 

layanan kesehatan dari pihak pemerintah.22 

Selain itu, beberapa kasus juga menunjukkan 

pemerintah terkesan lepas tangan saat  tim relawan sudah 

bergerak untuk memberikan satu bantuan kemanusiaan 

tertentu kepada pengungsi. Pihak pemerintah sering kali 

mengarahkan warga pengungsi yang sakit untuk berobat 

ke rumah sakit yang dimiliki salah satu organisasi relawan. 

Akibatnya, rumah sakit ini  harus menanggung biaya 

pengobatan yang tinggi sebab  para pengungsi tidak memiliki 

asuransi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) atau 

bentuk asuransi kesehatan lainnya.23

Dakwah damai 

Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, inisiatif dakwah 

damai berasal dari Polres Sampang. Merasa kecolongan 

dengan peristiwa kekerasan pada 29 Desember 2011, Polres 

Sampang dan Polsek Omben dan Karang Penang melakukan 

gerakan masif di lapangan untuk melakukan pencegahan 

agar peristiwa serupa tidak terulang kembali. Salah satu 

langkah yang mereka lakukan yaitu  menerjunkan personil 

ke lapangan untuk melakukan “dakwah damai.” Gerakan ini 

menyasar dua objek, yakni para kiai dan jamaah pengajian 

di surau-surau.24 

Menurut Kapolres Sampang saat itu, AKBP Solehan,25 

dirinya memimpin langsung kunjungan tim Polres Sampang 

ke rumah-rumah kiai. Selain untuk bersilaturahmi, agenda 

utama kepolisian yaitu  meminta para kiai untuk meredam 

aksi ujaran kebencian terhadap kelompok Tajul Muluk 

sehingga warga  di tingkat akar rumput tidak terprovokasi 

untuk berbuat kekerasan. Perlu dipahami bahwa kiai yaitu  

figur yang paling disegani oleh warga  sehingga tidak 

memungkinkan bagi kepolisian untuk menangkap para kiai 

pelaku ujaran kebencian sebab  hal ini  akan memicu 

konflik lanjutan. 

Selain kunjungan ke rumah kiai-kiai, Polres Sampang 

juga menerjunkan tim ke masjid-masjid dan surau-surau 

di sekitar wilayah konflik.26 Anggota tim yang memiliki 

pengetahuan keagamaan cukup mendalam diminta untuk 

memberikan khotbah Jumat dan memimpin salat Jumat, 

sedangkan mereka yang memiliki pengetahuan agama 

rendah akan memberikan wejangan atau nasihat di depan 

jamaah Jumat selepas salat. Tema khotbah maupun nasihat 

ada dua, yakni pentingnya hidup rukun bertetangga dan 

saling menghargai setiap perbedaan yang ada. Agenda ini 

berjalan cukup masif selama kurang lebih enam bulan. 

sesudah  peristiwa kekerasan 26 Agustus 2012 terjadi, agenda 

ini dihentikan sebab  Polres Sampang disibukkan dengan 

operasi pengamanan desa. 

Agenda dakwah damai kemudian dilanjutkan oleh 

Kankemenag Kabupaten Sampang. Seminggu sesudah  

peristiwa tanggal 26 Agustus 2012, tepatnya tanggal 3 

September 2012, Kakankemenag Kabupaten Sampang 

membentuk Tim Penanganan Kasus Sampang Tahun 2012 

dimana Kepala Seksi Penerangan warga  saat itu dijabat 

Abdul Hamid. Seksi ini tepat untuk ditunjuk sebagai ketua 

tim mengingat dia membawahi penyuluh-penyuluh agama 

di desa-desa yang juga berasal dari penduduk lokal yang 

telah mengenyam pendidikan sarjana di bidang agama. 

Meski memiliki gaji yang rendah, para penyuluh 

agama ini biasanya diberi akses lebih ke dalam urusan-

urusan Kankemenag sehingga mereka dapat menghidupi 

keluarga mereka. Kebanyakan para penyuluh mempunyai 

institusi pendidikan seperti PAUD, madrasah diniyah hingga 

madrasah formal seperti ibtidaiyah sampai aliyah. Oleh 

Kemenag, mereka mendapatkan akses yang lebih mudah 

saat  mengurus administrasi atau bantuan finansial untuk 

sekolah-sekolah yang mereka kelola. Namun, kecilnya gaji 

membuat Tim Penanganan Kasus Sampang ini tidak dapat 

bekerja optimal di tingkatan penyuluh sebab  tim segan 

memberikan tugas yang berat kepada mereka mengingat 

dana yang dialokasikan untuk mereka sangat kecil.27 

Meski demikian, melalui anggaran Direktorat 

Penerangan Agama Islam, Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, 

tim Kankemenag Kab. Sampang mengutus dua orang ustad 

untuk dibina dan dilatih secara khusus dalam pelatihan 

“Da’i Rahmatan Lil’alamin” bersama-sama dengan para ustad 

seluruh negara kita  agar mereka dapat memberikan pengajaran 

Islam yang damai. sesudah  pelatihan, ada tiga ustad yang 

dikirim ke Sampang dan bertugas selama satu bulan (19 

November s/d. 19 Desember 2012). sebab  ketiadaan dana, 

mengingat agenda ini  sudah mendekati waktu tutup 

anggaran, maka agenda Da’i Rahmatan Lil’alamin ini tidak 

dilanjutkan. 

Selain itu, tim Kankemenag Sampang juga mengirimkan 

beberapa ustad ke pengungsian GOR. Tugas para ustad 

ini  yaitu  mengajarkan alQuran kepada para 

pengungsi sesudah  salat Magrib. Program terakhir ini tidak 

berjalan mulus sebab  adanya penolakan dari pengungsi. 

Menurut penuturan beberapa relawan yang tinggal di GOR, 

pengungsi menolak kehadiran ustad dari Kankemenag 

sebab  mereka mencurigai program ini  menjadi ajang 

“pertobatan” warga Syiah ke Sunni28 yang saat itu rumor 

gerakan pertobatan memang sedang santer beredar.

Rekonsiliasi konflik

1. Komnas HAM dkk

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yaitu  lembaga 

pemerintah yang pertama kali menginisiasi rekonsiliasi antara 

Rois dan Tajul. Atensi komisi ini terhadap konflik kekerasan 

antara kelompok Syiah dan anti-Syiah mulai tampak pada saat 

Tajul direlokasi ke Malang pada Agustus 2011. Bersama-sama 

dengan Komnas Perempuan, KPAI (Komisi Perlindungan 

Anak negara kita ), dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi 

dan Korban), Komnas HAM melakukan investigasi di 

Sampang untuk kemudian melahirkan rekomendasi buat 

Pemda Sampang agar dapat menyelesaikan permasalahan 

ini dengan baik.

Forum mediasi pertama kali digelar oleh Komnas HAM 

yaitu  pada 28 Oktober 2011, antara Tajul dan pengikutnya 

dengan Rois dan pengikutnya.30 Acara ini diadakan di 

Surabaya sebab  saat itu Tajul sudah berada pada masa 

pengasingan sehingga tidak memungkinkan melakukan 

pertemuan di Sampang. Pertemuan yang juga dihadiri oleh 

Kepala Bakesbangpol Sampang ini menghasilkan beberapa 

kesepakatan agar masing-masing pihak (1) untuk saling 

menghargai keyakinan dan praktik keagamaan masing-

masing; (2) untuk tidak membuat aktivitas keagamaan yang 

ditujukan untuk menjustifikasi pemahaman keberagamaan 

seseorang atas yang lain; (3) untuk menjaga hubungan 

persaudaraan yang berbasis pada norma agama, warga , 

dan negara, dan pada hukum yang berlaku di negara kita ; 

(4) untuk menaati kesepakatan ini dengan penuh komitmen 

dan tanggung jawab; dan (5) jika  salah satu dari kedua 

pihak melanggar kesepakatan ini, dia akan dituntut sesuai 

hukum yang berlaku

Selain itu, pada tanggal 16 Januari 2012, Komnas HAM 

juga menginisiasi pertemuan yang mengundang berbagai 

unsur terdiri dari Bakesbangpol Propinsi Jawa Timur, 

perwakilan IJABI, perwakilan Kemenag, MUI Jawa Timur, 

MUI Kab. Se-Madura, Camat Omben dan Karang Penang, 

PWNU, BASSRA, FKUB Jawa Timur, Kapolres Sampang dan 

jajarannya. Pertemuan ini  dilaksanakan di Universitas 

Surabaya. Agenda utama terkait solusi yang tepat untuk 

menyelesaikan konflik antara Tajul dan Rois khususnya 

pasca peristiwa pembakaran pada 29 Desember 2011. Di 

Jakarta, Komnas HAM juga bergerak menemui seluruh 

pihak yang terlibat dan yang sekiranya dapat membantu 

menyelesaikan konflik ini. Diantara mereka yang ditemui 

komisioner Komnas HAM yaitu  IJABI Pusat, DPP ABI, MUI 

Pusat, Kemendagri, Pemprov Jawa Timur, Pemkab Sampang, 

dan kiai-kiai Sunni dan Syiah di Sampang.31 

Kunjungan komisioner Komnas HAM ke Sampang pada 

27-28 Februari 2013 dan 9-11 April 2013 juga masuk dalam 

program rekonsiliasi komisi ini. Pada kunjungan pertama, 

salah seorang komisioner HAM bertemu dengan seluruh 

jajaran Muspida dan tokoh agama yang ada di Sampang 

untuk membahas beberapa alternatif relokasi pengungsi 

Syiah dari GOR. Menurut peserta forum, opsi ini harus 

dibahas mengingat anggaran Pemda untuk pengungsi tidak 

memadai sedangkan opsi pemulangan pengungsi tidak bisa 

dilakukan dengan alasan keamanan.32 Dalam forum ini, 

didapati keengganan tokoh agama untuk menerima kembali 

warga Syiah kecuali mereka bertaubat dan bersikukuh bahwa 

relokasi ke luar Madura yaitu  satu-satunya opsi. Adapun 

proses mediasi pada kunjungan kedua tidak membuahkan 

hasil yang memuaskan sebab  tidak beranjak dari hasil 

pertemuan yang pertama.

Kunjungan terakhir yang dilakukan oleh Komnas HAM 

diakhiri pada 20 Juni 2013, tepatnya sesudah  pengungsi 

Syiah direlokasi paksa ke Rusunawa Puspa Agro Jemundo 

Sidoarjo. Dalam kesempatan ini, Komnas HAM melakukan 

pertemuan dengan Pemprov Jawa Timur, perwakilan 

pengungsi, dan beberapa lembaga nonpemerintah yang 

sedari awal melakukan advokasi di Sampang. Ada tiga 

kesepakatan dalam forum ini , yakni: (1) akses informasi 

antara satu lembaga dengan lembaga lain; (2) pemenuhan 

seluruh pelayanan dasar bagi para pengungsi; dan (3) 

bahwa pengungsian di rusunawa bukanlah solusi permanen, 

sehingga tetap harus diupayakan pemulangan mereka.33

Permasalahan utama yang menyebabkan rekonsiliasi 

damai yang digagas oleh Komnas HAM, Komnas Perempuan, 

KPAI, LPSK tidak berjalan dengan baik yaitu  sebab  lembaga-

lembaga ini yaitu  lembaga ad hoc yang tidak memiliki 

struktur di tingkat propinsi/kabupaten/kota, tidak memiliki 

kewenangan instruktif kepada pemerintahan di daerah.34 

Akibatnya, yang bisa mereka lakukan yaitu  melakukan 

rekonsiliasi di tingkat elit dari pihak pemerintah dan kedua 

pihak yang berseteru. saat  mereka yang berkepentingan 

tidak mengindahkan apa yang sudah disepakati bersama 

melalui forum-forum rekonsiliasi, maka semua gagasan dan 

kesepakatan ini  hanya akan berhenti di ruang rapat.

2. Puslitbang Kerukunan Umat Beragama Kemenag RI 

dan Kankemenag Kabupaten Sampang 

Kembali kepada Tim Penanganan Kasus Sampang. 

Tim yang ditunjuk atas Surat Keputusan No. Kd.13.27/6/

BA.02/146/SK/2012 ini mempunyai tugas utama untuk 

merencanakan, melaksanakan, mengendalikan, dan 

mengoordinasikan kegiatan penanganan konflik Sampang. 

Langkah-langkah yang dilakukan sangat sistematis. Di 

tingkatan bawah, tim ini menggerakkan para penyuluh 

agama untuk memberikan pencerahan keagamaan tentang 

kerukunan umat beragama dan mengajar Alquran di tempat 

pengungsian.1* Melalui penyuluh agama juga, tim ini 

mendekati kiai-kiai lokal untuk mengajak mereka berdamai 

dengan  warga Syiah dan saling menghargai satu sama lain. 

Di tingkat elit, tim ini bergerak cepat untuk menangani 

masalah ini . Mereka melakukan roadshow ke beberapa 

pihak yang berpengaruh dalam konflik ini seperti Kiai Karrar 

(BASSRA), Habib Umar Shahab (ABI), dan Prof. Jalaluddin 

Rahmat (IJABI).35 Pada tanggal 19 September 2012, tim 

bersilaturahmi dengan Kiai Karrar mendiskusikan solusi 

pemulangan warga di pengungsian ke kampung halaman 

mereka. Kiai Karrar menjawab secara diplomatis bahwa 

warga di dua desa ini  belum siap menerima kembali 

kedatangan mereka. 

Keesokan harinya, tim terbang ke Jakarta menemui 

pengurus ABI dan IJABI. Dengan pengurus ABI, mereka 

menyepakati lima hal, yakni: (1) kesediaan ABI untuk 

menyatukan Tajul dan Rois; (2) kesediaan ABI untuk 

menemui para kiai di Madura dan Jawa Timur; (3) ABI siap 

menghentikan segala statemen yang bersifat memojokkan 

warga  sekitar; (4) ABI meminta pemerintah untuk 

menanggung seluruh kebutuhan hidup mereka selama di 

pengungsian sampai mereka kembali ke kampung halaman 

mereka; dan (5) ABI menyatakan bahwa ada kemungkinan 

untuk relokasi pengungsi secara sukarela. Sedangkan dengan 

IJABI, mereka juga menyepakati lima hal, yaitu (1) IJABI 

menyatakan bahwa Tajul bukan lagi anggota mereka sejak 

Juli 2012; namun (2) mereka siap membantu kebutuhan 

kemanusiaan warga pengungsi sebab  mereka memiliki 

kesamaan ideologi keagamaan; (3) IJABI akan berkoordinasi 

dengan pemerintah untuk setiap programnya; (4) dan akan 

1  *Atas inisiatif Ka Seksi Penamas Kankemenag Sampang, dia 

sebenarnya sudah mengirim tim penyuluh ke daerah konflik dan ke 

tempat pengungsian sejak dua hari semenjak peristiwa 26 Agustus 

2012, namun kinerjanya dihitung sejak turunnya SK Tim Penanganan 

Konflik Sampang

mendahulukan akhlak bukan pendekatan fiqh; dan (5) 

IJABI akan berkoordinasi dengan ABI untuk mendorong 

komunikasi antara Sunni dan Syiah.

sesudah  menyerap aspirasi dari warga, elit kiai di 

Sampang dan pengurus ABI dan IJABI, tim mengadakan 

rapat koordinasi dengan Kepolisian Resort Sampang pada 

tanggal 24 September 2012.36 saat  semua peserta rapat 

meyakini dapat memulangkan pengungsi —sebab  pada 

dasarnya warga  sekitar tidak ada masalah dengan 

pengungsi,— mereka kemudian membuat konsep kearifan 

lokal budaya (local wisdom), yaitu taretan (saudara) 

sebagai dasar gerakan mereka. Artinya para pengungsi akan 

dititipkan kepada saudara mereka (jika kedua belah pihak 

sepakat) sampai pembangunan rumah pengungsi selesai. 

Tim teknis pun dibentuk untuk menyukseskan konsep 

ini.37 Ada empat tim yang bekerja, yaitu tim mapping, tim 

negosiasi dengan tokoh-tokoh lokal, tim negosiasi dengan 

tokoh-tokoh kabupaten, dan tim yang menangani fasilitas 

yang perlu dibangun. Rapat yang dilakukan hingga dini hari 

ini  juga dihadiri oleh perwakilan ABI, Ahmad Hidayat, 

guna mendapatkan pandangan ABI terhadap konsep yang 

telah dibahas bersama.

Menindaklanjuti pertemuan di atas, tanggal 26 September 

2012, Kankemenag Kab. Sampang mengumpulkan tokoh-

tokoh lokal di Karang Gayam dan Blu’uran yang terlibat 

untuk penyelesaian konflik.38 Tujuannya ingin menyerap 

aspirasi dari mereka agar ditemukan formula yang pas untuk 

penyelesaian konflik di Sampang ini. Rapat yang dihadiri 

sekitar 40 orang ini  menghasilkan tiga kesimpulan, 

yaitu:

a. Para tokoh dan warga  tidak menolak pemulangan 

kembali pengungsi ke kampungnya, tetapi mereka takut 

dengan akibat yang akan terjadi sebab  kepulangan 

para pengungsi;

b. Mereka menuntut penegakan hukum kepada kedua 

belah pihak secara adil oleh aparat keamanan;

c. Mereka menuntut diakuinya hak-hak mereka untuk 

hidup damai dan tenteram di rumah mereka (rumah 

fisik, rumah ideologi, rumah budaya, rumah historis) 

sebagaimana kondisi sebelum Tajul Muluk mengajarkan 

ajarannya.

Pada tanggal 30 September 2012, Habib Umar Shahab 

menepati janjinya untuk datang ke Sampang dan berdialog 

dengan kiai-kiai di sana. Ada dua kiai yang ditemui oleh 

Habib Umar, yakni KH. Mahrus Malik dan KH. Ja’far Shodiq. 

Kedua kiai yaitu  kiai-kiai Omben yang bertempat di 

dekat daerah konflik. Namun pertemuan ini  tidak bisa 

menghasilkan hal yang signifikan kecuali keinginan bersama 

untuk menuntaskan permasalahan pengungsi secepat 

mungkin. Hal ini disebabkan sebab  kedua kiai tidak bisa 

merepresentasikan seluruh kiai di Sampang apalagi Madura. 

Kedua, untuk mendapatkan suara mufakat mereka, harus 

menunggu hasil pertemuan mereka secara kolektif, tidak 

secara individual.

Mereka yang tidak ingin ada ajaran sesat Syiah di 

Sampang kemudian memberikan enam syarat yang harus 

dipenuhi oleh ABI jika ingin pengungsi GOR kembali ke 

kampung halaman mereka. Enam syarat itu yaitu  pertama, 

warga Syiah harus mengakui bahwa Al-quran saat ini hanya 

satu, tidak ada Al-quran yang lain. Kedua, warga Syiah 

harus mengakui bahwa Rasulullah yaitu  mahluk terbaik 

ciptaan Allah, tidak ada mahluk yang lebih baik selain Nabi 

Muhammada SAW. Ketiga, warga Syiah tidak boleh menghina 

istri-istri Nabi. Keempat, warga Syiah tidak boleh mencela 

sahabat Nabi. Kelima, warga Syiah harus menghormati 

Aswaja, ahlu sunnah waljamaah. Keenam, Tajul Muluk harus 

bertobat dan menyatakan keluar dari ajarannya.”

Di tingkat akar rumput, ada lima kali pertemuan 

yang dilakukan melibatkan warga dalam rangka tahapan 

penyelesaian konflik Sampang. Empat pertemuan ini  

melibatkan unsur Kankemenag Pusat, Kankemenag Kab. 

Sampang, Kanwil Kemenag Propinsi Jawa Timur, Pemda 

Sampang, dan POLRES Sampang.41 Pendanaannya pun dari 

berbagai sumber-sumber di atas selain juga bantuan dari 

beberapa LSM seperti KontraS. Adapun tim penanggung 

jawab lapangan dan teknis yaitu Tim Penanganan Kasus 

Sampang yang dibentuk oleh Kakankemenag Kab. Sampang.

Pertemuan pertama Dialog Kerukunan Beragama 

dilaksanakan oleh PKUB (Pusat Kerukunan Umat Beragama) 

di Hotel Empire Palace Surabaya pada tanggal 15-19 

Oktober 2012. Tim Kankemenag kemudian mengirim 10 

orang utusan yang terdiri dari 2 pengurus NU, 2 pengurus 

MUI, 2 penganut Syiah, 2 tokoh warga , dan 2 utusan 

Kankemenag sendiri. Pertemuan ini yaitu  pijakan awal dari 

pertemuan-pertemuan mendatang. Dari merekalah kemudian 

rekonsiliasi ini  bergerak. Indikasi dari rekonsiliasi 

ini  yaitu  mulai ada kerja sama antara 2 warga Syiah 

dan 2 tokoh warga  dalam bentuk penawaran pekerjaan 

bagi warga Syiah.

Pertemuan kedua berupa workshop “Prakarsa 

Perdamaian Berbasis Komunitas dan Kearifan Lokal Pasca-

Konflik Horizontal di Kabupaten Sampang” kerja sama 

Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sampang dengan 

Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat 

Kementerian Agama RI. Workshop dilaksanakan selama 3 

hari yaitu tanggal 3-5 Desember 2012 di Arca Cottages & 

Resort Trawas Mojokerto. Pesertanya sebanyak 60 orang 

dengan rincian 10 Sunni, 10 tokoh warga , 10 tokoh 

pemuda, 8 Syiah, 10 Aparat Keamanan, dan 12 orang Aparat 

Pemerintah. Inilah untuk pertama kalinya sejak konflik terjadi 

kedua pihak yang berkonflik di Sampang dipertemukan 

secara langsung. Dan dari komunitas Syiah yang dihadirkan 

yaitu  mereka yang sejak 26 Agustus 2012 harus mengungsi 

di GOR Sampang sebab  rumahnya ludes terbakar. 

Tujuan utama dari workshop ini yaitu  mempertemukan 

para pihak yang terlibat konflik secara langsung agar terjadi 

komunikasi dan silaturahmi. Agar pertemuan ini  tidak 

memicu permasalahan, mereka dilarang membicarakan 

masalah akidah.  Workshop yang awalnya berlangsung 

tegang ini  kemudian mencair dan uneg-uneg 

pengalaman pahit mereka selama konflik pun kemudian 

keluar dan pecah tangis haru antar satu peserta dengan 

yang lain. Acara ini  dilanjutkan dengan jalan-jalan ke 

Pesantren (Sunni) al-Hikam Malang dan Iran Corner (Syiah) 

di Universitas Muhammadiyah Malang; dan diakhiri dengan 

kegiatan outbond.

Pertemuan ketiga kembali difasilitasi oleh Pusat 

Kerukunan Umat Beragama, Sekretariat Jenderal Kementerian 

Agama RI. Pertemuan yang ketiga ini berbentuk Workshop 

dan mengambil Tema “Prakarsa Perdamaian Berbasis 

Religiositas dan Kearifan Lokal warga  Sampang” dan 

dilaksanakan di sebuah hotel di Sidoarjo Jawa Timur, pada 

tanggal 10-12 Desember 2012. Pesertanya sebanyak 42 

orang dengan rincian 10 Sunni, 10 tokoh warga , 10 

Syiah, 8 tokoh pemuda, dan 4 orang dari aparat pemerintah 

di Kabupaten Sampang. Kegiatan kali ini pun berlangsung 

dengan sukses, sebab  diantara peserta sudah benar-benar 

bisa membaur dan bersaudara. Tidak tampak lagi kekakuan 

sebagaimana terlihat pada workshop sebelumnya, baik di 

dalam ruangan maupun selama dalam perjalanan. Kedua 

belah pihak sudah bisa menyatu sebagai sebuah komunitas 

sosial. 

Pada workshop itu kedua komunitas bersepakat 

untuk selalu bermusyawarah dalam setiap permasalahan 

yang muncul. Bahkan masing-masing komunitas saling 

menjamin keamanan komunitas lainnya jika berkunjung 

ke komunitas lainnya. Berdasar kesepakatan itu, beberapa 

orang dari komunitas Sunni bisa datang ke GOR Sampang 

(tempat pengungsi sementara tinggal) dan sebaliknya untuk 

bersilaturahmi dengan saudaranya. Komunikasi via telpon 

juga semakin intensif dilakukan, bahkan pemuka Syiah (Iklil 

al Milal) beberapa kali menghubungi Kiai Muhlis Nashir, KH. 

Abd. Mannan Ali, Kiai Abd. Majid, Kiai R. Abd. Hayyi (Sunni) 

menyatakan ingin segera pulang ke kampung halamannya.42

Pertemuan keempat dilaksanakan pada 26-27 Desember 

2012 di sebuah hotel di Surabaya, atas kerja sama Kantor 

Kementerian Agama Kabupaten Sampang dengan KontraS 

Surabaya. Kegiatan kali ini dilaksanakan dalam bentuk Focus 

Group Discussion (FGD) dan mengambil tema “Prakarsa 

Perdamaian Berkelanjutan (The Sustainable Peace) Berbasis 

Kearifan Lokal warga  Sampang”. Peserta yang hadir 

sebanyak 23 orang dengan rincian, 8 orang Sunni, 6 orang 

Tokoh warga , 4 orang Tokoh Pemuda, dan 5 orang 

dari komunitas Syiah. Pada pertemuan di Hotel Fortuna ini, 

kedua belah pihak yang hadir sudah benar-benar akrab. 

Sudah tidak tampak lagi kalau mereka yang hadir sebenarnya 

yaitu  para pihak yang baru saja terlibat konflik berdarah 

yang membawa korban jiwa dan harta benda. Yang menarik 

pada pelaksanaan FGD ini yaitu  munculnya ungkapan jujur 

dari peserta bahwa mereka sebenarnya kerong (kangen) 

untuk bersatu lagi dengan saudaranya. Mereka bersepakat:

1. Melupakan kejadian konflik untuk mewujudkan 

perdamaian yang permanen;

2. Akan saling mengunjungi, bahkan jika pengungsi 

merasa bosan di GOR mereka bisa menginap di 

rumah peserta dari warga ;

3. Seluruh peserta siap untuk menjadi kader 

perdamaian, untuk sosialisasi kepada warga ;

4. Meminta kepada pemerintah agar terus menyediakan 

forum lanjutan dan membangunkan rumah para 

pengungsi yang rusak saat kerusuhan.

Pertemuan kelima dan terakhir terjadi pada tanggal 

6 Januari 2013 bertempat di Kantor MWC NU Kec. 


Karangpenang Sampang telah dilaksanakan pertemuan 

yang mengambil tema “Bhek-Rembhek Sabele’en 

(Pertemuan Persaudaraan Antartetangga), Merajut Damai 

Berbasis Kearifan Lokal”. Undangan yang hadir dalam 

pertemuan ini  lebih kurang 150 orang, meliputi 

Pengurus Cabang NU Sampang sebanyak 5 orang, semua 

pengurus MWC NU Kecamatan Karangpenang dan Omben, 

kiai-kiai lokal dari 2 kecamatan, Tokoh warga  dan 

Tokoh Pemuda dari 2 kecamatan. Kepala Kankemenag 

Kab. Sampang, Kepala Bakesbangpol Sampang, Kapolsek 

Omben dan Karangpenang, serta Kepala KUA Omben dan 

Karangpenang. Acara ini bertujuan untuk menyosialisasikan 

hasil dari empat pertemuan sebelumnya —mengingat tidak 

semua orang bisa mengikuti acara ini . Walhasil, 

diambil kesimpulan dalam pertemuan ini  bahwa 

penyelesaian yang diinginkan dari beberapa pertemuan 

yang telah berlangsung yaitu  upaya rekonsiliasi yang 

selama ini dilakukan dimaksudkan untuk memperbaiki 

citra buruk umat Islam Madura sehingga bisa menetralisasi 

semua informasi miring ini , dan penyelesaian yang 

akan menguntungkan semua pihak. 

Berbeda dengan masalah yang dihadapi oleh Komnas 

HAM dkk, proses rekonsiliasi yang digagas oleh Puslitbang 

Kerukunan Umat Beragama Kemenag RI dan Kankemenag 

Kabupaten Sampang hanya melibatkan tokoh warga  

dan warga di tingkat bawah, tidak dengan kelompok 

elit. Hal ini mungkin dapat dipahami sebab  gerakan ini 

sebenarnya tidak “direstui” oleh kelompok kiai BASRA-

MUI-NU di Sampang.43 Akibatnya jelas, rencana yang telah 

direncanakan dengan baik harus berhenti di tengah jalan. 

Tidak cukup sampai di situ, para pejabat Kemenag yang 

terlibat langsung dalam gerakan ini  harus dimutasi 

dari Sampang atau dari kedinasan yang berkaitan langsung 

dengan konflik Sunni-Syiah

3. Pemprov Jawa Timur

sesudah  hampir satu bulan pengungsi Syiah di GOR 

direlokasi paksa ke Rusunawa Puspa Agro di Jemundo, 

Sidoarjo, pemerintah membentuk tim rekonsiliasi yang 

dipimpin oleh Prof. Abd. A’la yang juga rektor IAIN (sekarang 

UIN) Sunan Ampel Surabaya.44 Tim ini diisi oleh tokoh-

tokoh agama dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, 

tokoh-tokoh warga  Jawa Timur dan didukung oleh 

Kementrian Koordinator Politik, Hukum, dan HAM serta 

Bakesbangpol Jawa Timur. sesudah  mendapatkan arahan 

langsung dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 

1 Agustus 2013 di Gedung Grahadi Surabaya,45 tim yang 

dipimpin UIN Sunan Ampel Surabaya ini bergerak cepat. 

Paradigma yang dilakukan masih menjunjung tinggi 

budaya lokal, namun bukan terkait buppha babbhu guru 

rato ataupun taretan dibi’ seperti yang dijelaskan di bab 

sebelumnya. Budaya lokal yang digunakan di sini yaitu  

nemmoh lonenah, atau mencari perdamaian melalui jalur 

kultural. sesudah  mengumpulkan berbagai data yang 

tersebar di ABI, YLBHU, Bakesbangpol Jawa Timur, dan 

hasil penelitian yang sudah saya lakukan, tim UIN Sunan 

Ampel kemudian menyusun beberapa langkah-langkah 

rekonsiliasi,46 yakni: 

a. Membentuk kelompok kerja 

b. Menyamakan persepsi menuju rekonsiliasi permanen

c. Memulangkan pengungsi secara permanen dengan 

(1) tetap memperhatikan syarat-syarat dari warga  

yang diwakili oleh BASSRA dan aspirasi pengungsi; (2) 

dilakukan secara kondisional, bertahap atau serentak; 

(3) memakai  pendekatan kultural; (4) memberikan 

jaminan keamanan kepada warga pengungsi dan 

warga  sekitar; (5) memfasilitasi kegiatan bersama 

yang melibatkan dua pihak, untuk mencapai rasa 

kebersamaan; (6) memberikan jaminan keamanan dan 

kenyamanan bagi warga  oleh pihak kepolisian, 

pemerintah lokal, warga , dan ulama setempat; (7) 

memberikan edukasi kepada semua tentang pentingnya 

nilai-nilai kebersamaan dan anti kekerasan; dan (8) 

mengajak semua pihak untuk saling menghormati 

perbedaan.

d. Mencegah pihak-pihak luar yang akan mengaburkan 

proses-proses rekonsiliasi yang dilakukan

e. Rehabilitasi dan rekonstruksi, yang meliputi: (1) 

merehabilitasi sarana dan prasarana yang rusak akibat 

konflik; (2) membangun fasilitas publik yang bisa 

membantu proses pemulihan; (3) memberdayakan 

ekonomi warga  setempat; dan (4) memberikan 

pendidikan ketrampilan.

Langkah lanjutan dari road map ini yaitu  mengundang 

ulama-ulama lokal dan ABI serta perwakilan pengungsi 

di forum terpisah untuk mendengar aspirasi dari berbagai 

unsur yang terlibat dalam konflik. Tidak hanya itu, tim ini 

juga berkunjung ke Sampang dan melakukan pertemuan 

dengan tokoh-tokoh agama dan warga  Blu’uran dan 

Karang Gayam di Pondok Pesantren al-Jufri, Blumbungan, 

Pamekasan pada 22 November 2013. Seluruh peserta 

rapat yang berjumlah 30 orang ini  bersepakat untuk 

menyelesaikan konflik Sunni-Syiah di Sampang. 

Pertemuan ini secara tidak langsung memberikan energi 

positif dalam penyelesaian kasus ini meski sebelumnya 100 

ulama Madura mendeklarasikan FAAS (Front Anti Aliran 

Sesat) di Masjid Agung Sampang, yang tentunya tidak 

berkontribusi positif terhadap perkembangan rekonsiliasi. 

Seluruh hasil kerja tim kemudian dilaporkan ke Presiden RI 

Susilo Bambang Yudhoyono saat kunjungan kerja ke pulau 

Madura pada 4-6 Desember 2013.47 

sesudah  sempat terhenti sebab  adanya momentum 

Pemilu Legislatif dan Presiden/Wakil Presiden 2014, proses 

rekonsiliasi kembali dilakukan meski harus berjalan tertatih-

tatih. Hingga naskah  ini ditulis, tim UIN Sunan Ampel Surabaya 

belum bisa mengimplementasikan road map yang sudah 

mereka susun pada Juli 2013. 

Tantangan dalam 

Tidak berjalannya UU No. 7/2012 

Sesuai amanat UU No. 7/2012, pemerintah daerah 

yaitu  pihak yang paling bertanggung jawab saat  terjadi 

konflik sosial di wilayahnya. Tanggung jawab ini  

meliputi mencegah potensi konflik dalam warga , 

membangun sistem peringatan dini, dan melakukan 

rekonsiliasi antara pihak-pihak yang berkonflik.48 Untuk 

melaksanakan tanggung jawab ini, Pemda diberi kewenangan 

untuk memakai  mekanisme pranata sosial/adat dan 

membentuk Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial. 

Instrumen terakhir memperbolehkan Pemda untuk meminta 

bantuan aparat kepolisian dan pasukan TNI jika diperlukan. 

Singkat kata, Pemda yaitu  institusi pemerintah yang berada 

pada garda depan dalam penyelesaian konflik sosial.

Pengamatan di lapangan menunjukkan seluruh kerja 

Pemda Sampang terkait konflik Sunni-Syiah di Sampang ini 

berada di Bakesbangpol Kabupaten Sampang yang memang 

bertugas menangani kondisi sosial politik di wilayah ini. 

Sebagaimana telah diatur dalam undang-undang di atas dan 

sebagaimana umumnya tradisi di Madura, Bakesbangpol 

juga memakai  mekanisme pranata adat, dalam hal ini 

yaitu  kiai. Namun sayang, kuatnya peranan kiai dalam 

konflik ini membuat Pemda tidak bisa bekerja netral untuk 

menyelesaikan konflik yang terjadi. Setiap keputusan 

pemerintah harus mendapatkan restu dari kiai. Jika tidak, 

dipastikan keputusan ini  tidak dapat diimplementasikan 

di lapangan.49 Kondisi ini diperparah oleh beberapa politisi 

yang memanfaatkan isu ini untuk kepentingan pemilukada 

2012.

Catatan lain terkait implementasi UU No. 7/2012 

oleh Pemda Sampang yaitu  tidak adanya satuan tugas 

penyelesaian konflik sosial yang dibentuk untuk menangani 

konflik ini. Ketiadaan satuan kerja ini berakibat pada 

lemahnya koordinasi antarlembaga negara di Sampang. 

Baik Bakesbangpol Sampang, Polres Sampang, dan 

Kankemenag Sampang berjalan sendiri-sendiri, membentuk 

tim di internal masing-masing instansi untuk menyelesaikan 

permasalahan ini. Belum lagi tim-tim yang dibentuk oleh 

lembaga-lembaga di luar pemerintah yang juga berniat 

membantu menyelesaikan konflik ini seperti BASSRA, MUI, 

NU, ABI, KontraS, LBH Surabaya, CMARs, dan lembaga-

lembaga lainnya. Akibat lainnya yaitu  tidak berjalannya 

setiap kebijakan pemerintah terkait konflik ini. Perlu dicatat 

bahwa sesudah  kejadian bentrok pada 26 Agustus 2012, 

berbagai lembaga pemerintah baik di tingkat propinsi dan 

pusat melibatkan diri dalam konflik ini. Berbagai rapat 

digelar namun hasilnya tidak pernah diimplementasikan di 

lapangan. Demikian juga saat  lembaga seperti Komnas 

HAM, Komnas Perlindungan Anak, dan Komnas Perempuan 

melibatkan diri untuk menyelesaikan konflik ini. Hasilnya 

nihil sebab  tidak adanya dukungan riil dari Pemda Sampang.

Kontestasi dalam 

Sama halnya dengan Komnas HAM, Kankemenag 

Kabupaten Sampang dan Tim UIN Sunan Ampel Surabaya, 

para kiai BMN juga melakukan usaha-usaha tertentu agar 

permasalahan ini selesai. Meski dengan niat yang sama, 

perbedaan cara pandang mereka terhadap persoalan ini 

menuntun pada perbedaan pola gerakan para kiai. 

sesudah  kejadian tanggal 17 dan 29 Desember 2011, 

PCNU Sampang membentuk KAR (Kader Anak Ranting) 

NU yang terdiri dari pemuda-pemuda NU yang tinggal di 

daerah konflik dan sekitarnya.50 Mereka dilatih bagaimana 

cara berkomunikasi dengan orang lain (pengikut Tajul) dan 

menelaah cara mereka bergaul sehingga dapat dilakukan 

pembauran dengan mereka. Tujuannya yaitu  mengajak 

mereka untuk bertaubat dan kembali kepada ajaran Islam 

yang sesungguhnya (ahlussunnah waljama‘ah). Sayang, 

belum berjalan optimal program ini, kekerasan tanggal 26 

Agustus 2012 terjadi.51

sesudah  peristiwa tanggal 26 Agustus 2012, langkah 

pengembalian pengungsi ke ajaran Sunni pun semakin 

gencar. Salah satunya yaitu  dengan memanfaatkan keluarga 

Sunni dari para pengungsi. Mereka diminta untuk membujuk 

saudara-saudaranya agar mau bertaubat dan kembali kepada 

ajaran Islam yang benar. Konsep ini mungkin mencontoh 

konsep taretan tibhi’ yang telah digagas oleh Tim Penanganan 

Kasus Sampang dari Kankemenag Kab. Sampang, meski 

dengan mengubah substansi dari konsep ini , yakni 

mengembalikan pengungsi yang dianggap korban ajaran 

sesat Tajul kepada ajaran Islam ahlussunnah waljama‘ah. 

Langkah ini cukup berhasil. Lima belas KK bertaubat pada 

tanggal 24 Oktober 2012 dan 8 KK lainnya pada 1 November 

2012.52 Deklarasi taubat mereka dilakukan di Pesantren Darul 

Ulum, Gersempal Omben dan disaksikan oleh perwakilan 

Bakesbangpol Sampang, Kepala Desa Omben, POLSEK 

Omben, POLRES Sampang, Kankemenag Kab. Sampang, 

dan tokoh agama dan warga . Keberhasilan mereka 

dalam men-Sunni-kan pengungsi menjadi justifikasi mereka 

untuk mewajibkan taubat bagi mereka yang ingin pulang ke 

Nangkenang dan Gading Laok. Mereka yang bertaubat akan 

dijamin keamanannya baik oleh keluarga yang menjamin 

dan oleh tokoh warga  setempat. 

Tidak hanya itu, intervensi terhadap proses hukum 

terhadap Tajul Muluk juga dilakukan. Dalam beberapa 

catatan dan korespondensi antara kiai dan pemerintah, 

didapati para kiai BMN ini sering berkoordinasi dengan 

MUSPIDA Sampang maupun dengan Gubernur Jawa 

Timur untuk meminta Pengadilan Tinggi Jawa Timur dan 

Mahkamah Agung RI agar banding dan kasasi Tajul ditolak. 

Pada tanggal 19 Juli 2012, BASSRA mengirimkan surat 

kepada FORPIMDA Sampang guna menyampaikan ucapan 

terima kasih warga Karang Gayam dan Blu’uran bahwa 

Pengadilan Negeri Sampang telah menghukum Tajul selama 

2 tahun penjara, dan meminta mereka untuk mengawal 

naik banding Tajul Muluk di Pengadilan Tinggi Jawa 

Timur.53 Demikian halnya saat  Tajul melakukan kasasi di 

Mahkamah Agung RI, BASSRA bersama-sama dengan MUI, 

NU, dan Muhammadiyah membuat pernyataan bersama 

pada tanggal 12 November 2012 yang menyatakan bahwa 

putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur telah sesuai dengan 

undang-undang yang berlaku di negara kita  dan bahwa 

ajaran Tajul sangat provokatif dan meresahkan warga .54 

Oleh sebab nya, demi kondusif dan stabilitas keamanan 

di Sampang, BMN dan Muhammadiyah meminta Ketua 

Mahkamah agar menguatkan putusan Pengadilan Tinggi 

Jawa Timur.

Tidak adanya kekuatan penyeimbang di warga 

Semua kiai di Sampang dan Madura mungkin memiliki 

“satu suara” terkait isu Syiah, tapi tidak mengenai tindak 

kekerasan terhadap warga Syiah yang ada di Sampang. 

Sebagian dari kiai menganggap tindakan kiai-kiai BASSRA-

MUI-NU di Sampang terlalu “berlebihan” dalam menyikapi 

Tajul dan para pengikutnya. Menurut mereka, mungkin 

saja Syiah itu sesat, tapi kiai tidak harus membiarkan tindak 

kekerasan seperti pembakaran dan pengusiran warga Syiah 

dari Sampang.55 Namun suara ini tampaknya tidak banyak 

pendukungnya. Dan bahkan suara yang sedikit ini pun tidak 

banyak kiai yang menyuarakan.

Ada tiga hal yang menurut saya mengapa “suara lain” ini 

tidak banyak terdengar. Pertama, banyak kiai menghindari 

fitna (perpecahan) yang lebih besar jika mereka turut 

berpolemik dalam isu Syiah yang digalakkan kiai-kiai anti-

Syiah.56 Para kiai sadar benar dengan kekuatan karisma yang 

mereka miliki dapat menggerakkan massa yang berada di 

belakang mereka. Dengan turut berpolemik dalam isu ini, 

sama halnya membenturkan pengikut fanatik dari masing-

masing kiai. 

Selain itu, kedua, ikatan ke-kiai-an Madura sangat kuat 

sehingga sangat tidak memungkinkan bagi seorang kiai 

untuk “menyeberang” berlawanan dengan arus besar dari 

kiai. Narasi “hukuman” kiai yang melawan arus besar kiai 

selalu didengungkan agar tidak ada perlawanan terhadap 

setiap keputusan yang diambil dalam forum kiai. Cerita 

salah satu kiai pendukung Orde Baru (Golkar) di Sampang 

pada tahun 1990-an, yang harus rela terseok-seok mengurus 

pesantrennya sebab  dikucilkan oleh mayoritas kiai yang 

merupakan pendukung arus utama PPP, selalu dimunculkan 

sebagai contoh nyata hukuman terhadap pembangkang 

keputusan kiai.57 Jaringan kiai di Madura memang sangat kuat 

sehingga melawan arus ini akan sangat tidak menguntungkan 

bagi kiai. Beberapa kiai pro rekonsiliasi yang saya temui 

mengungkapkan hal yang sama. Mereka tidak bisa lagi 

terlibat dalam forum-forum kiai di Madura sehingga secara 

tidak langsung berimbas pada perkembangan pesantren 

mereka.58 Banyak kiai yang diam menghindari hal ini.

Ketiga, diamnya kiai juga diakibatkan pada 

ketidakmampuan mereka untuk meredam arus anti-

Syiah yang digalakkan kolega mereka sesama kiai. 

Ketidakmampuan ini terkait hal-hal teknis di luar dunia 

pesantren seperti urusan pemerintahan, perundang-

undangan, dan isu-isu yang terkait Syiah ini. Mereka 

sangat awam dengan Undang-undang No. 1/PNPS tahun 

1965, Perpres No. 7/2012 tentang Penanganan Konflik 

Sosial, Pergub No. 55/2012 tentang Pembinaan Kegiatan 

Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur, 

atau apa pun yang berkaitan dengan hal ini.

Sebaliknya, mereka yang anti-Syiah sangat paham 

dengan aturan-aturan semacam ini sehingga mereka bisa 

“bermain” dengan isu ini. Ketidakmampuan kiai untuk 

meredam aksi persekusi kolega-kolega mereka anti-Syiah 

juga didasarkan pada fakta bahwa para kiai anti-Syiah juga 

aktif di program-program suksesi penerapan syariat Islam di 

Madura. Mereka yang diam tidak ingin dicap sebagai anti-

syariat Islam hanya sebab  mereka tidak mendukung mereka 

dalam gerakan anti-Syiah.59 Dan, mereka juga menghindari 

label “pro-Syiah” saat  mereka tidak mendukung gerakan 

anti-Syiah. Label yang tentu sangat merugikan bagi 

keberlangsungan dakwah dan pesantren mereka.60

Terpisahnya kedua kelompok yang berkonflik

Sejak pemerintah mengungsikan warga Syiah ke GOR 

untuk menghindari konflik lanjutan dan aksi balas dendam, 

praktis warga Sunni dan Syiah hidup terpisah. Warga Sunni 

dan Syiah tidak lagi mempunyai wadah untuk bertatap 

muka, bertegur sapa, dan bekerja sama bercocok tanam di 

ladang sebagaimana yang mereka lakukan sebelum konflik 

memuncak.61 Warga juga tidak mendapatkan kesempatan 

untuk “bertemu” dengan saudara dan tetangga mereka yang 

Syiah sebab  selalu terintimidasi dengan doktrin anti-Syiah 

yang menyebar di warga . Wacana bahwa kehidupan 

warga  lebih aman dan nyaman tanpa kehadiran 

warga Syiah terus digulirkan oleh kelompok anti-Syiah. 

Konsekuensinya, di tingkat warga , garis pemisah antara 

Sunni dan Syiah semakin tebal. 

Sama halnya di tingkat akar rumput, para kiai Sunni 

dan Syiah juga tidak lagi menemukan ruang yang pas untuk 

bertemu dan berdialog guna menyelesaikan masalah yang 

ada. Forum-forum perdamaian yang diinisiasi oleh pihak 

pemerintah maupun nonpemerintah tidak menjadi ajang 

untuk menemukan solusi yang menguntungkan kedua 

belah pihak sebab  forum perdamaian hanya didominasi 

oleh kelompok anti-Syiah. Seluruh keputusan perdamaian 

harus mendapatkan persetujuan dari kelompok ini.62 

Sehingga, dapat dipastikan inisiatif perdamaian yang tidak 

sesuai keinginan mereka tidak dapat diimplementasikan 

di lapangan. saat  usulan itu ditolak, muncul tuduhan 

bahwa orang-orang Syiah tidak mau diatur, maunya enak 

sendiri, dan lain sebagainya. Sebaliknya, kubu Syiah melihat 

keangkuhan para kiai yang selalu ingin menang sendiri.2** 

Secara tidak langsung, dapat dikatakan tidak ada forum 

rekonsiliasi yang benar-benar berjalan.

Implikasi dari tidak bertemunya kedua kelompok 

ini yaitu  terbentuknya pembatas (barriers) antara kedua 

kelompok yang selalu membangun tembok pertahanan 

agar tidak mudah diserang dengan intimidasi-intimidasi dari 

pihak lawan. Kelompok anti-Syiah membangun batasan 

dengan meletakkan pertahanan “taubat” dan relokasi 

permanen keluar Madura sebagai solusi konflik, sedangkan 

kelompok Syiah membangun tembok “hak asasi” mereka 

untuk berkeyakinan yang belum dijamin secara penuh oleh 

pemerintah. 

Tembok pemisah antara kedua kelompok ini semakin 

tebal dengan relokasi paksa yang dilakukan oleh pemerintah 

dan kiai anti-Syiah kepada pengungsi Syiah ke Rusunawa 

Puspa Agro di Jemundo Sidoarjo. Dengan relokasi paksa ini, 

rekonsiliasi antara kedua kelompok semakin menemukan 

jalan terjal.

2 ** Dua stigma ini saya dapati dari setiap pertemuan baik dengan kiai 

anti-Syiah maupun dari pihak Syiah sendiri


Related Posts:

  • suni syiah di sampang 4 ini akan dijelaskan lebih lanjut di sub-babdi bawah. Kedua, pihak kepolisian juga rajin bersilaturahmike kiai-kiai sembari melobi mereka agar mau menerima warga Syiah kembali ke kampung halaman mereka. Selain … Read More