suni syiah di sampang 3


 ah dari 

Bangkalan dan Sumenep.72 Meski demonstrasi ini  

tidak berujung pada aksi anarkisme sebab  berhasil dicegah 

oleh aparat pemerintah dan kepolisian, peristiwa ini  

menunjukkan bahwa warga  pada saat itu (pada tahun 

  

2006 dimana konflik belum memuncak) sebenarnya sudah 

mudah terprovokasi. Kebersamaan yang kuat antartetangga 

dalam budaya gerjih juga turut memberi dampak negatif 

dalam hal ini komunikasi via telepon seluler mempermudah 

penggalangan massa.

Contoh lain yaitu  peristiwa pembakaran tahun 

2012 yang diawali dengan cekcok mulut antara Ummu 

Hani, adik Tajul yang juga menganut Syiah, dengan 

pemuda-pemuda kampung yang sedang cangkrukan di 

pinggir jalan. Pertengkaran ini  kemudian meluas 

kepada penghadangan warga Syiah yang kebetulan akan 

mengantarkan anak-anak mereka kembali ke pesantren 

dan lembaga pendidikan Syiah di Jawa.73 sesudah  berhasil 

menghadang mereka, warga pun bergerak ke Nangkernang 

di sekitar rumah Tajul. Perdebatan mulut pun tak terelakkan 

hingga terjadi perkelahian massal. Menjelang azan zuhur 

warga Sunni terdesak mundur sehingga ada jeda kurang 

lebih satu jam sebelum kurang lebih 5000-an warga Sunni 

mulai menyerbu dan membakar rumah-rumah warga Syiah.74

Demikian kondisi sosial yang terjadi antara warga 

Sunni dan Syiah. Kecurigaan antara satu dengan lainnya 

terus berlanjut dan bahkan diperparah oleh provokasi dan 

ujaran kebencian yang dilontarkan para kiai terhadap ajaran 

dan warga Syiah. Walhasil, tidak banyak warga Sunni yang 

mau menjenguk keluarganya, tetangganya, atau temannya 

yang beraliran Syiah baik sebab  enggan bergaul dengan 

warga Syiah atau sebab  takut dilabeli sebagai “pembela” 

aliran Syiah.


Bab sebelumnya memberikan gambaran kompleksitas 

konflik yang terjadi di Karang Gayam dan Blu’uran yang 

berujung pada kekerasan fisik yang secara berjenjang 

mengalami eskalasi dari satu kekerasan ke kekerasan yang 

lain; dari hanya demonstrasi antiperayaan maulid yang 

dirayakan Tajul hingga penyerangan, pembakaran properti 

para pengikut Tajul, dan berujung pada pengusiran warga 

Syiah dari pulau Madura. 

Selanjutnya, pertanyaan besar yang ingin dijawab dalam 

bab ini yaitu  mengapa “persoalan kecil” —jika dilihat dari 

skala konflik dan jumlah korban— ini mendapat respons 

yang sangat besar dari kalangan ulama Madura maupun 

dari pemerintah mulai Pemerintah Kabupaten Sampang, 

Pemerintah Propinsi Jawa Timur, hingga pemerintah pusat. 

Seandainya konflik ini “hanyalah” terkait sesatnya ajaran Tajul 

di Sampang, kenapa persoalan ini tidak dapat diselesaikan 

dengan fatwa sesat ajaran Tajul yang sudah dikeluarkan oleh 

MUI Kabupaten Sampang; kenapa persoalan ini menjadi 

atensi banyak pihak di luar Madura sehingga MUI Propinsi 

Jawa Timur dan MUI kabupaten se-Jawa Timur serta ormas-

ormas Islam di Jawa Timur dan negara kita  berbondong-

bondong mengeluarkan fatwa sesat Syiah. Pertanyaan lain 

yang menjadi fokus kajian dalam bab ini yaitu  mengapa 

pemerintah tidak berdaya menghadapi tekanan ormas-ormas 

ESKALASI  KONFLIK



Islam anti-Syiah sehingga mengeluarkan kebijakan relokasi 

Tajul Muluk dan pengikutnya ke luar Madura. 

Untuk menelaah persoalan di atas, kajian dalam bab 

ini akan difokuskan pada aktor yang terlibat dan peranan 

masing-masing dalam    dari tiap level, mulai 

regional Sampang, Madura, Jawa Timur, hingga lingkup 

nasional. Eskalasi yang dipahami dalam bab ini yaitu  

meluasnya aktor konflik yang terlibat dan wilayah konflik. 

Jika pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa aktor dan 

ruang konflik hanya seputar Sampang, pada bab ini akan 

dijabarkan perluasan lingkup konflik di luar Madura. Selain 

itu, bab ini juga akan mengurai lebih rinci eskalasi bentuk 

kekerasan dari “hanya” kekerasan langsung (fisik) menjadi 

kekerasan struktural dan kultural.

Gerakan Anti-Syiah

Organisasi Muslim di Madura

Sejak bergulirnya permasalahan ini, hampir dapat 

dikatakan para kiai dan tokoh warga  lokal tidak 

banyak dilibatkan dalam proses penyelesaian permasalahan 

mereka dengan Tajul Muluk.1 Memang ada kerja sama 

antara kiai-kiai besar yang memiliki pesantren-pesantren 

besar atau yang duduk di organisasi Islam di Madura seperti 

BASSRA, MUI dan NU —atau yang lebih dikenal dengan 

BMN2— dengan kiai-kiai dan tokoh-tokoh warga  lokal 

dalam penyelesaian konflik ini , namun itu sebatas 

pada penggalian informasi di lapangan dan penyebaran 

keputusan para kiai-kiai besar ini  yang kemudian harus 

dilaksanakan di lapangan. Seluruh keputusan terkait Tajul 

dan ajarannya berasal dari ketiga lembaga ini, baik secara 

bersama-sama atau sendiri-sendiri namun tetap dalam satu 

koordinasi isu. 

Intervensi yang dilakukan oleh kiai-kiai BMN ini 

wajar, mengingat para kiai di Madura dan Sampang secara 

umum dan Karang Gayam-Blu’uran masih terikat hubungan 

keluarga atau paling tidak hubungan kiai-santri.3 Tidak heran 

kemudian informasi tentang ajaran Tajul cepat menyebar 

luas di kalangan kiai. Pihak kepolisian sendiri menyebut 

salah satu kesulitan mengontrol perkembangan isu konflik 

antara Tajul dan kiai-kiai Sunni yaitu  sebab  banyak aktor 

tidak terikat oleh administrasi teritorial kepemerintahan, 

sedangkan polisi bekerja atas dasar teritorialnya, demikian 

halnya dengan Pemda Sampang.4 

Guna merespons laporan dari para santri mereka, 

para kiai melakukan beberapa pertemuan-pertemuan 

untuk mengumpulkan bukti-bukti kesesatan ajaran Tajul, 

melakukan klarifikasi (tabayyun) terhadap ajaran-ajaran 

ini , dan menghimbau Tajul untuk bertobat dan 

meminta maaf kepada kiai-kiai yang sudah dilukai hatinya 

oleh Tajul. Tidak ada titik temu dari forum-forum yang 

diadakan ini . Permintaan para kiai diacuhkan dan Tajul 

sendiri tetap pada pendiriannya mendakwahkan ajarannya. 

Tak ayal, Tajul pun dianggap cengkal, bandel, tidak mau 

mengikuti nasihat para kiai sepuh.5 Akibatnya, saat  Tajul 

hendak mengadakan perayaan maulid di rumahnya, bukan 

sambutan yang diterima oleh warga melainkan demonstrasi. 

Gerakan para kiai BMN untuk mendiskreditkan 

Tajul menemukan momentumnya saat  Rois keluar dari 

lingkaran Tajul dan mulai mempropaganda kesesatan Tajul 

dalam forum-forum pengajian dengan warga maupun dalam 

pertemuan-pertemuan kiai.6 Warga dan para kiai sangat 

percaya dengan apa yang diucapkan Rois sebab  mereka 

memandang Rois sebagai saudara kandung Tajul yang selama 

ini mendukung Tajul sekaligus sebagai mantan petinggi IJABI 

Sampang.7 Ketidaksukaan para kiai terhadap Tajul semakin 

memuncak saat  rekaman terkait “kiai slabet” beredar di 

kalangan kiai dan warga. Untuk meredakan suasana, pada 

tanggal 26 Oktober 2009, Bakorpakem Kabupaten Sampang, 

MUI Sampang, Kankemenag Sampang, PCNU Sampang, 

dan tokoh-tokoh warga  Sampang mengundang Tajul 

Tahap Konflik

Mempertahankan tradisi Islam Madura vs. Mereformasi tradisi keagamaan

Agama sebagai sumber ekonomi vs. Agama sebagai aksi kemanusiaan

Konflik keluarga, masalah Halimah, konflik warisan

Aktor: Tajul vs. Rois, dan Tajul vs. Kiai lokal

Tahap Polarisasi

Slabet (menghina kiai)

Madura = Islam (Sunni); Madura ≠ Syiah

Menciptakan batas-batas identitas Sunni dan Syiah  memecah belah warga   menciptakan ketegangan di warga 

Aktor: Tajul dan pengikutnya vs. Kiai dan pengikutnya

Tahap Kekerasan

Aktor: Pemerintah, kiai anti-Syiah, enterprenir politik

LANGSUNG

Fisik

TIDAK LANGSUNG

Demonstrasi anti-Syiah 

Relokasi Tajul

Pembakaran properti milik warga Syiah

Pengusiran warga Syiah

Kriminalisasi Tajul

Struktural

Pemahaman tunggal tentang Islam

Fatwa sesat ajaran Syiah

Taubat sebagai syarat rekonsiliasi

Kultural

Tawar menawar politik antara kiai dan politisi

Regulasi agama yang dikeluarkan oleh pemerintah dan kelompok Islam Sunni

Mengkambinghitamkan Tajul atas segala kekerasan yang terjadi

Keberpihakan pemerintah kepada pihak mayoritas

Note: Diadaptasikan dari konsep Galtung tentang mekanisme kausalitas konflik dan segitita kekerasan


keluarga atau paling tidak hubungan kiai-santri.3 Tidak heran 

kemudian informasi tentang ajaran Tajul cepat menyebar 

luas di kalangan kiai. Pihak kepolisian sendiri menyebut 

salah satu kesulitan mengontrol perkembangan isu konflik 

antara Tajul dan kiai-kiai Sunni yaitu  sebab  banyak aktor 

tidak terikat oleh administrasi teritorial kepemerintahan, 

sedangkan polisi bekerja atas dasar teritorialnya, demikian 

halnya dengan Pemda Sampang.4 

Guna merespons laporan dari para santri mereka, 

para kiai melakukan beberapa pertemuan-pertemuan 

untuk mengumpulkan bukti-bukti kesesatan ajaran Tajul, 

melakukan klarifikasi (tabayyun) terhadap ajaran-ajaran 

ini , dan menghimbau Tajul untuk bertobat dan 

meminta maaf kepada kiai-kiai yang sudah dilukai hatinya 

oleh Tajul. Tidak ada titik temu dari forum-forum yang 

diadakan ini . Permintaan para kiai diacuhkan dan Tajul 

sendiri tetap pada pendiriannya mendakwahkan ajarannya. 

Tak ayal, Tajul pun dianggap cengkal, bandel, tidak mau 

mengikuti nasihat para kiai sepuh.5 Akibatnya, saat  Tajul 

hendak mengadakan perayaan maulid di rumahnya, bukan 

sambutan yang diterima oleh warga melainkan demonstrasi. 

Gerakan para kiai BMN untuk mendiskreditkan 

Tajul menemukan momentumnya saat  Rois keluar dari 

lingkaran Tajul dan mulai mempropaganda kesesatan Tajul 

dalam forum-forum pengajian dengan warga maupun dalam 

pertemuan-pertemuan kiai.6 Warga dan para kiai sangat 

percaya dengan apa yang diucapkan Rois sebab  mereka 

memandang Rois sebagai saudara kandung Tajul yang selama 

ini mendukung Tajul sekaligus sebagai mantan petinggi IJABI 

Sampang.7 Ketidaksukaan para kiai terhadap Tajul semakin 

memuncak saat  rekaman terkait “kiai slabet” beredar di 

kalangan kiai dan warga. Untuk meredakan suasana, pada 

tanggal 26 Oktober 2009, Bakorpakem Kabupaten Sampang, 

MUI Sampang, Kankemenag Sampang, PCNU Sampang, 

dan tokoh-tokoh warga  Sampang mengundang Tajul 

Tahap Konflik

Mempertahankan tradisi Islam Madura vs. Mereformasi tradisi keagamaan

Agama sebagai sumber ekonomi vs. Agama sebagai aksi kemanusiaan

Konflik keluarga, masalah Halimah, konflik warisan

Aktor: Tajul vs. Rois, dan Tajul vs. Kiai lokal

Tahap Polarisasi

Slabet (menghina kiai)

Madura = Islam (Sunni); Madura ≠ Syiah

Menciptakan batas-batas identitas Sunni dan Syiah  memecah belah warga   menciptakan ketegangan di warga 

Aktor: Tajul dan pengikutnya vs. Kiai dan pengikutnya

Tahap Kekerasan

Aktor: Pemerintah, kiai anti-Syiah, enterprenir politik

LANGSUNG

Fisik

TIDAK LANGSUNG

Demonstrasi anti-Syiah 

Relokasi Tajul

Pembakaran properti milik warga Syiah

Pengusiran warga Syiah

Kriminalisasi Tajul

Struktural

Pemahaman tunggal tentang Islam

Fatwa sesat ajaran Syiah

Taubat sebagai syarat rekonsiliasi

Kultural

Tawar menawar politik antara kiai dan politisi

Regulasi agama yang dikeluarkan oleh pemerintah dan kelompok Islam Sunni

Mengkambinghitamkan Tajul atas segala kekerasan yang terjadi

Keberpihakan pemerintah kepada pihak mayoritas

Note: Diadaptasikan dari konsep Galtung tentang mekanisme kausalitas konflik dan segitita kekerasan


untuk mencari solusi atas keresahan warga  akibat 

ajaran Syiah yang didakwahkannya. Dalam pertemuan ini, 

Tajul menandatangani surat pernyataan bahwa dia bersedia 

untuk tidak mengadakan ritual dan dakwah yang berkaitan 

dengan ajarannya sebab  telah meresahkan warga  dan 

jika  dia melanggarnya, dia siap diberi hukuman sesuai 

dengan hukum yang berlaku. Selain itu, Bakorpakem, MUI, 

dan NU akan selalu memonitor kegiatan Tajul dan siap 

meredakan gejolak di warga  selama Tajul siap menaati 

pernyataannya untuk tidak mendakwahkan ajarannya. 

sesudah  forum ini, dapat dikatakan tidak ada gejolak 

besar yang terjadi di Karang Gayam dan Omben. Sampai 

hampir dua tahun kemudian, tepatnya tanggal 4 April 2011, 

saat  Tajul berencana mengadakan perayaan maulid nabi, 

ratusan orang datang dengan berbagai senjata tajam ke rumah 

Tajul meminta agar tidak melanjutkan rencananya. Merasa 

jiwanya terancam, Tajul pergi ke kantor Kepolisian Resort 

Sampang dan mengamankan diri di rumah Wakapolres 

Sampang. Merespons kejadian ini, keesokan harinya, Bupati 

dan jajaran Muspida dan Ulama Sampang mengundang Tajul 

untuk menyelesaikan gejolak yang terjadi di warga . 

Acara yang juga dihadiri Kapolda Jawa Timur saat itu berubah 

dari mediasi konflik menjadi penghakiman keyakinan dan 

ajaran yang dibawa Tajul Muluk.  

Pertemuan ini  tidak banyak menyelesaikan 

masalah. Beberapa hari selanjutnya, 8 April 2011, para 

kiai dan tokoh warga  Karang Gayam dan Blu’uran 

mengirim surat kepada Bupati Sampang menyampaikan 

dua tuntutan, yakni menghentikan seluruh aktivitas sekte 

Syiah di Karang Gayam dan Blu’uran secara khusus dan di 

Sampang secara umum, dan merelokasi Tajul Muluk ke luar 

Sampang untuk meredakan suasana “gaduh” di warga . 

Tiga hari kemudian, 30 kiai dari FUM (Forum Ulama 

Madura) dan PCNU berkumpul mengundang beberapa 

pejabat Muspida Sampang di salah satu pesantren di Omben. 

Mereka bersepakat Tajul Muluk harus direlokasi keluar 

Madura untuk menciptakan ketenteraman dan kedamaian di 

Sampang sebab  Tajul merupakan sumber masalah konflik 

yang selama ini terjadi dan sebab  Tajul dituduh melakukan 

pelanggaran HAM sebab  mengajarkan ajaran Syiah kepada 

warga Sunni. Selain itu, para kiai juga meminta pemerintah 

untuk bekerja sama dengan para ulama dalam pembinaan 

warga Syiah agar kembali kepada ajaran yang benar.8 

Untuk memperkuat tekanan kepada pemerintah, pada 28 

Mei 2011, MUI se-Madura mendeklarasikan hal yang sama 

dan menuntut Pemda Sampang untuk membekukan seluruh 

aktivitas dan gerakan Syiah Imamiyah yang dipimpin Tajul 

dan untuk merelokasi pemimpin Syiah ini  keluar dari 

Pulau Madura sesuai permintaan warga  Karang Gayam 

dan Blu’uran.9 

Pada fase ini, polarisasi yang terjadi antara Tajul dan 

para kiai di Madura semakin membesar. Tajul tidak lagi 

berhadapan dengan kiai Sampang, melainkan seluruh kiai 

Madura. Isu yang diangkat pun berkembang dari waktu ke 

waktu. Tajul mendapat label mulai dari pembawa ajaran 

sesat, penista agama, biang kerok kerusuhan sosial, hingga 

pelanggar HAM. Oleh sebab  itu, para kiai datang sebagai 

pembela kebenaran yang datang menolong warga yang 

menjadi korban penipuan dan bujuk rayu ajaran Tajul. 

Bagi mereka, pembakaran yaitu  bentuk konsekuensi logis 

dari kesesatan yang disebarkan oleh Tajul; dan bentuk 

“pembelaan” diri dari serangan ajaran sesat yang didakwahkan 

Tajul.10 Semua kiai BMN dan pemerintah sepakat akan hal 

ini. Satu persatu dari tiap organisasi kemudian mengeluarkan 

fatwa terkait kesesatan ajaran Tajul. Secara berurutan MUI 

Kabupaten Sampang11 dan PCNU12 mengeluarkan fatwa pada 

1 dan 2 Januari 2012, kemudian diikuti oleh BASSRA13 dan 

Bakorpakem Kabupaten Sampang14 pada 3 dan 4 Januari 2012. 

Tidak hanya itu, Rois melaporkan Tajul ke pihak kepolisian 

Sampang atas tuduhan penistaan agama pada 3 Januari 2012. 

Dalam rangka menggalang dukungan gerakan mereka, 

para kiai BMN mendorong MUI se-Madura untuk bersikap 

sama dengan mereka terkait kesesatan ajaran Tajul. Atas 

dasar ukhuwah ke-kiai-an, kemaslahatan umat, dan 

tegaknya aqidah ahlussunnah waljama'ah,15 MUI se-Madura 

mengeluarkan fatwa No. 01/MUI/KD/MDR/I/2012 tertanggal 

14 Januari 2012 tentang sesatnya ajaran Syiah Imamiyah Itsna 

Asyariyah. Para kiai juga menggalang dukungan dari MUI 

dan Ormas Islam di tingkat Jawa Timur maupun nasional. 

Dengan bantuan dari MUI Propinsi Jawa Timur, para kiai 

BMN melakukan safari ke Jakarta selama tiga hari (24-26 

Januari 2012) untuk menemui Ketua Umum PBNU, Ketua 

MUI Pusat, Menteri Agama, Ketua Mahkamah Konstitusi, 

dan Komis III DPR RI.16 Inti dari perjalanan mereka yaitu  

menyampaikan saran dan masukan warga  terkait 

keamanan Madura, khususnya Sampang. Tiga bulan 

berikutnya, 22-24 April 2012, BASSRA melakukan safari ke 

Bandung untuk menghadiri Musyawarah Ulama dan Umat 

Islam negara kita  kedua, ke MUI Pusat, dan ke kediaman 

Ketua Umum MUI Pusat saat itu, KH. Sahal Mahfudz. Semua 

kegiatan ini  untuk menggalang dukungan gerakan 

mereka menyesatkan Tajul Muluk dan ajaran Syiah yang 

dibawanya.

saat  Tajul mendapat vonis dua tahun penjara atas 

dakwaan pelanggaran pasal 156 KUHAP tentang penistaan 

agama pada 12 Juli 2012 sesuai keputusan Pengadilan Negeri 

No. 69/Pid.b/2012/PN.Spg, gerakan yang telah digalakkan oleh 

para kiai dan warga  anti-ajaran Tajul semakin menguat. 

Mereka mendapatkan justifikasi atas perbuatan mereka 

sebab  Tajul sudah dianggap sesat secara agama oleh MUI 

dan bersalah secara hukum normatif oleh pengadilan negara. 

Oleh sebab nya, gerakan mereka kemudian diarahkan untuk 

mengembalikan pengikut Tajul kepada ajaran yang benar, 

yakni ahlussunnah waljama'ah. saat  Tajul mengajukan 

naik banding atas putusan Pengadilan Negeri Sampang, para 

kiai mencoba untuk mengintervensi putusan pengadilan 

dengan mengirim surat ke Forpimda Sampang No. 45/s.2/int/

VIII/12 pada tanggal 16 Juli 2012 dengan maksud memohon 

kepada Pemda Sampang mendorong Pengadilan Tinggi 

untuk menolak banding Tajul Muluk. 

Selain itu, mereka juga memobilisasi massa untuk 

menolak keberadaan Tajul Muluk dan Syiah di Karang 

Gayam dan Blu’uran. Pertemuan para kiai BASSRA dan warga 

pada 17 Juli 2012 di salah satu pesantren di Omben ini  

menghasilkan empat hal, yaitu: (1) warga berterima kasih 

kepada pihak berwajib yang telah menghukum Tajul dengan 

2 tahun penjara; (2) warga Karang Gayam dan Blu’uran 

menginginkan Syiah hilang dari bumi Karang Gayam dan 

Blu’uran dengan mengusahakan pertaubatan pengikut Tajul 

dan kembali kepada ajaran ahlussunnah waljama'ah; (3) 

warga meminta para ulama BASSRA dan PCNU Sampang 

untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada pihak yang 

berwenang sebelum kesabaran warga habis; dan (4) BASSRA 

memohon kepada Pemda untuk membantu penolakan 

banding Tajul di Pengadilan Tinggi Surabaya.17 

Menindaklanjuti pertemuan di atas, kiai BMN 

mengadakan pertemuan dengan Forpimda Sampang pada 

7 Agustus 2012 yang difasilitasi oleh Kapolres Sampang. 

Pertemuan ini  menghasilkan enam kesepakatan, 

yaitu: (1) mengembalikan pengikut Tajul ke dalam ajaran 

ahlussunnah waljama'ah; (2) meminta Polres untuk 

mengaktifkan kampanye pelarangan senjata tajam; (3) 

Pemda Sampang agar menarik anak-anak pengikut Tajul 

yang nyantri di pesantren-pesantren Syiah di Jawa dan 

menyekolahkan mereka ke pesantren-pesantren Sunni di 

Madura, semua dengan biaya APBD Sampang; (4) BASSRA 

dan Pemda Sampang agar mengawal naik banding Tajul di 

Pengadilan Tinggi Surabaya; (5) meminta Bakorpakem Kab. 

Sampang untuk mengusahakan keputusan sesat ajaran Tajul 

juga dikeluarkan oleh Bakorpakem Propinsi Jawa Timur dan 

Bakorpakem Pusat; dan (6) untuk mendeklarasikan bahwa 

masalah Sampang ini disebabkan oleh Tajul Muluk. 

sesudah  kurang lebih dua minggu berlangsung, warga 

mulai jengah dengan tidak adanya gerakan nyata dari Pemda 

Sampang untuk merealisasikan enam tuntutan di atas. 

Mereka kembali menemui para kiai untuk mempertanyakan 

kelanjutan tuntutan yang sudah mereka sampaikan. Namun 

mereka tidak mendapatkan jawaban yang mereka harapkan 

sebab  para kiai juga menunggu langkah riil dari Pemda. 

Walhasil, warga kemudian melangkah sendiri mewujudkan 

enam tuntutan terutama pada tuntutan ketiga. saat  

warga Syiah hendak mengantar anak-anak mereka untuk 

bersekolah di beberapa pesantren Syiah di Jawa, mereka 

menghadang rombongan ini  yang kemudian berakibat 

pada peristiwa bentrok pada 26 Agustus 2012.

Organisasi Muslim di luar Madura

Peristiwa pembakaran yang terjadi di Sampang pada 29 

Desember 2011 dan 26 Agustus 2012 seperti membangunkan 

singa yang sedang tidur. Kelompok-kelompok anti-Syiah 

yang sudah lama ada di Jawa Timur dan negara kita  seakan 

menemukan momentum untuk menggalakkan kembali 

gerakan anti-Syiah di negara kita . Mereka menganggap bahwa 

kerusuhan ini  membuktikan bahwa eksistensi Syiah di 

negara kita  akan berakibat buruk pada stabilitas politik dan 

sosial negara. Gerakan mereka secara tidak langsung telah 

membuat konflik di Sampang semakin membesar sebab  

atensi yang muncul dari pihak luar Sampang yang begitu 

besar. Beberapa kelompok yang masuk dalam gerakan ini 

yaitu  MUI Propinsi Jawa Timur, GUIB (Gerakan Umat Islam 

Bersatu), Albayyinat, Jam’iyyah ASWAJA (Ahlussunnah wal 

Jama’ah), FUUI (Forum Ulama dan Ummat negara kita ), dan 

ANAS (Aliansi Nasional Anti Syiah). 

Sebagai institusi yang menangani persoalan umat 

Islam di Jawa Timur, MUI Jawa Timur secara tidak

langsung terjun melibatkan diri dalam permasalahan umat. 

Terlebih, persoalan ini juga menyangkut MUI Sampang 

dan menyangkut ajaran Syiah di mana MUI Pusat pernah 

memberikan himbauan agar umat Muslim negara kita  yang 

mayoritas beraliran ahlussunnah waljama‘ah berhati-hati 

dengan aliran Syiah yang berbeda dengan aliran mereka.18 

Persentuhan MUI Jawa Timur dengan permasalahan ajaran 

Syiah yang dibawa oleh Tajul yaitu  MUI membentuk tim 

investigasi yang langsung dipimpin oleh ketua MUI Jawa 

Timur terhadap keberadaan aliran Syiah di Sampang. Tidak 

ada yang berbeda antara laporan investigasi MUI Jawa 

Timur dengan keputusan dan hasil rapat para kiai BMN. Ada 

kesamaan gerak antara MUI dan BMN di Sampang. 

Dengan kekuasaan yang lebih luas, MUI Jawa 

Timur disinyalir mengorganisir MUI se-Jawa Timur untuk 

mengeluarkan fatwa sejenis dengan apa yang difatwakan oleh 

MUI Kab. Sampang dan MUI se-Madura, yakni aliran Syiah 

yaitu  sesat dan meminta pemerintah untuk menghentikan 

seluruh aktivitas dakwah Syiah di negara kita . Secara berurutan 

dari MUI Korda (Koordinasi Daerah) Surabaya (Surabaya, 

Gresik, Mojokerto, Jombang, dan Sidoarjo) pada tanggal 12 

Januari 2012, MUI se-Madura pada 14 Januari 2012, MUI Kab. 

Gresik dan MUI Korda Bojonegoro (Bojonegoro, Tuban, dan 

Lamongan) pada 19 Januari 2012, MUI Korda Malang pada 20 

Januari 2012, dan MUI Korda Besuki (Jember, Banyuwangi, 

Situbondo, dan Bondowoso) pada 13 Februari 2012. Merujuk 

pada fatwa-fatwa yang dikeluarkan masing-masing korda 

sekaligus fatwa MUI Kab. Sampang, Rekomendasi Hasil 

Musyawarah BASSRA, dan pernyataan GUIB, MUI Jawa 

Timur kemudian mengeluarkan Fatwa Kesesatan Ajaran 

Syiah no. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 tertanggal 21 Januari 

2012. Mengesankan bahwa fatwa ini  merupakan 

rekomendasi dari fatwa MUI kabupaten/kota se-Jawa Timur, 

MUI Propinsi Jawa Timur kemudian meminta MUI Pusat 

untuk mengeluarkan fatwa yang sama terkait Syiah. Usaha 

ini  gagal sebab  Ketua Umum MUI Pusat saat itu, KH. 

Sahal Mahfudz menolak untuk mengikuti kemauan MUI 

Propinsi Jawa Timur.

Selain mendorong gerakan dari MUI-MUI kabupaten/

kota se-Jawa Timur, MUI Jawa Timur juga mempunyai 

lembaga yang bernama GUIB (Gerakan Umat Islam Bersatu). 

Lembaga yang menaungi kurang lebih 45 ormas Islam 

ini  pada 17 Januari 2012 memberikan pernyataan sikap 

atas terjadinya “gangguan terhadap keamanan dan ketertiban 

warga  Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, 

Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur,” yang 

diakibatkan oleh ajaran sesat Syiah yang dibawa oleh Tajul 

Muluk. GUIB juga mendorong pemerintah untuk menindak 

secara hukum pihak-pihak yang mendukung gerakan Tajul 

ini  dan bertindak tegas dalam menangani konflik yang 

terjadi di Sampang demi keutuhan NKRI.

Dukungan lain MUI Jawa Timur terhadap gerakan kiai-

kiai BMN yaitu  dengan memfasilitasi perjalanan mereka ke 

Jakarta untuk mendorong diterbitkannya fatwa sesat Syiah 

secara nasional oleh MUI Pusat,21 selain juga mendorong dua 

Ormas Islam terbesar di negara kita , NU dan Muhammadiyah, 

serta Kanwil Kemenag Propinsi Jawa Timur pada pertemuan 

tanggal 6 Maret 2012 untuk menyepakati 13 kesepakatan 

yang berkutat pada dukungan mereka terhadap fatwa sesat 

Syiah yang sudah dikeluarkan oleh MUI Propinsi Jawa 

Timur, himbauan terhadap umat Islam akan ajaran sesat 

Syiah, dukungan terhadap pemerintah propinsi Jawa Timur 

dalam menangani kasus Syiah di Sampang, permohonan 

kepada Kakanwil Kemenag Propinsi Jawa Timur untuk 

berkoordinasi dengan instansi-instansi pemerintah lainnya 

untuk menyortir naskah -naskah  tentang Syiah, dan perlindungan 

hukum terhadap penganut ahlussunnah waljama‘ah. 

Kelompok di luar MUI Propinsi Jawa Timur dan GUIB 

yaitu  Albayyinat. Kelompok yang berdiri pada awal 1980-

an ini  memang mendedikasikan gerakannya untuk 

melawan keberadaan Syiah di negara kita .22 Habib Ahmad 

Alkaf, salah satu penggerak Albayyinat negara kita  telah 

banyak menulis naskah -naskah  yang mempropagandakan 

kesesatan ajaran Syiah. Di antara naskah -naskah  beliau yang 

juga menjadi rujukan utama dalam fatwa MUI Propinsi Jawa 

Timur yaitu  “Export Revolusi Syiah di negara kita ,” “Dialog 

Apa dan Siapa Syiah,” “Mengenal Syiah, Syiah bukan Islam?,” 

dan “Sayyid Syabaab Ahlil Jannah al-Hasan ra & al-Husin 

ra.” Karya-karya ini  meletakkan beliau sebagai orang 

yang ahli dan kompeten dalam dunia per-Syiah-an.23 Melalui 

karya-karyanya ini, Habib Ahmad dikenal sebagai ulama ahli 

Syiah dan oleh sebab nya layak menjadi saksi ahli untuk 

pihak penuntut umum pada saat persidangan Tajul Muluk. 

Meski tidak menanggapi langsung peristiwa kerusuhan 

yang ada di Sampang, Habib Ahmad menulis betapa 

bahayanya negara kita  jika Syiah eksis. Dalam artikel yang 

dimuat di “Ash-Showaaiq” tertanggal 10 November 2011 

ini , beliau menegaskan kepada umat Islam di negara kita  

bahwa di mana pun Syiah berada, pastilah terjadi kerusuhan 

dan kekerasan di wilayah ini , seperti di Iraq, Bahrain, 

Yaman, Pakistan, dan negara Timur Tengah lainnya.24 Dan 

hal ini  akan terjadi di negara kita  jika Syiah berkembang 

di negara ini, beliau menekankan. Albayyinat juga terlibat 

aktif bekerja sama dengan ulama-ulama anti-Syiah di Madura 

mendirikan FAAS (Front Anti Aliran Sesat). Melalui gerakan 

yang dideklarasikan di Masjid Agung Sampang pada 29 

September 2013 ini , Albayyinat dan FAAS melakukan 

pengaderan dan pembinaan santri-santri muda Madura 

untuk menangkal gerakan yang mereka sebut dengan SIBILI 

(Syiah, Wahabi, dan Liberalisme).25 

Kelompok lain yang juga bereaksi dari peristiwa 

Sampang yaitu  Jam’iyyah ASWAJA (Ahlussunnah 

waljama’ah). Kelompok yang juga terlibat dalam penyerangan 

Pesantren YAPI di Bangil ini26 mengirimkan surat kepada 

MUI Jawa Timur No. 025/ASWAJA/I/2012 tertanggal 10 

Januari 2012 memohon kepada MUI Propinsi Jawa Timur 

untuk menerbitkan fatwa sesat Syiah. Ada tujuh alasan yang 

dikemukakan oleh ASWAJA, yaitu bahwa Syiah (1) meyakini 

tahrif al-Qur’an, bahwa Alquran yang ada saat ini tidak asli; 

(2) melaknat para sahabat nabi; (3) melaknat para istri nabi; 

(4) menghalalkan nikah mut‘ah; (5) mengultuskan 12 imam; 

(6) tidak mewajibkan salat Jumat; dan (7) melabeli kelompok 

ahlussunnah waljama'ah sebagai kafir dan halal dibunuh.

Di tingkat nasional, FUUI (Forum Ulama dan Umat 

negara kita ) pada tanggal 28 Februari 2012 mengeluarkan 

Fatwa tentang Syiah dan mempersiapkan Musyawarah 

Ulama dan Umat Islam negara kita  dengan agenda khusus 

“merumuskan langkah strategis untuk menyikapi penyesatan 

dan penghinaan para penganut Syiah.” Musyawarah yang 

juga dihadiri oleh kiai-kiai BASSRA ini  merumuskan 

secara rigid langkah-langkah yang harus dilakukan untuk 

mencegah dan menghentikan penyebaran ajaran Syiah. 

Beberapa di antara langkah-langkah ini  yaitu  (1) 

memberikan rekomendasi ke MUI Pusat untuk mengeluarkan 

fatwa sesat Syiah dan ke Kemendikbud RI agar menutup 

seluruh Iranian Corner di seluruh kampus di negara kita , 

dan memperkokoh persatuan umat serta mengawal seluruh 

hasil rekomendasi dan mengajak seluruh umat Syiah untuk 

bertaubat; (2) memberikan pengimbangan isu-isu Syiah 

lewat media massa termasuk penerbitan naskah  dan khotbah 

di masjid-masjid; dan (3) melakukan gerakan sosialisasi sesat 

Syiah melalui media massa, publikasi naskah , dan forum-forum 

seminar.27 Selain FUUI, ada juga MIUMI (Majelis Intelektual 

dan Ulama Muda negara kita ) yang juga mendukung gerakan 

MUI Propinsi Jawa Timur.

Hampir seluruh ulama yang bergabung dalam 

organisasi di atas, termasuk beberapa kiai BASSRA, baik 

secara individu maupun secara organisasi, mendeklarasikan 

diri dalam wadah yang mereka sebut dengan ANAS 

(Aliansi Nasional Anti-Syiah) pada tanggal 20 April 2014. 

Gerakan anti-Syiah berskala nasional pertama di negara kita  

ini melahirkan empat komitmen, yakni: (1) menjadikan 

lembaga ANAS sebagai wadah dakwah amar ma’ruf nahi 

munkar; (2) memaksimalkan upaya preventif, antisipatif, 

dan proaktif membela dan melindungi umat, dari berbagai 

upaya penyesatan akidah dan syari’ah yang dilakukan 

oleh kelompok Syiah di negara kita ; (3) menjalin ukhuwah 

Islamiyah dengan berbagai organisasi dan gerakan dakwah di 

negara kita , untuk mewaspadai, menghambat dan mencegah 

pengembangan ajaran sesat Syiah; dan (4) mendesak 

pemerintah agar segera melarang penyebaran paham dan 

ajaran Syiah, serta mencabut izin seluruh organisasi, yayasan, 

dan lembaga yang terkait dengan ajaran Syiah di seluruh 

negara kita .29 

Politisasi Kasus Tajul Muluk

Salah satu faktor yang menyebabkan konflik Sunni dan 

Syiah di Sampang tidak terselesaikan dengan segera dan 

bahkan cenderung semakin membesar yaitu  tidak adanya 

keberpihakan politik dari pemerintah untuk menyelesaikan 

konflik ini. Jika melihat kekerasan agama terhadap komunitas 

Syiah di Sampang mulai dari Tajul menyebarkan paham 

Syiah di kampung halamannya pada awal tahun 2004, 

maka peristiwa kekerasan ini telah melalui tiga periode 

kepemimpinan politik di Sampang, yakni Bupati Fadhillah 

Budiono (2002-2007), Bupati Noer Tjahja (2008-2013), 

dan Bupati Fannan Hasib (2013-2018). Selain itu, konflik 

kekerasan ini juga telah melalui tiga periode kepemimpinan 

politik di tingkat Propinsi Jawa Timur, yakni Imam Utomo 

(2003-2008), dan dua periode Gubernur Soekarwo (2008-

2013 dan 2013-2018). 

Fakta menarik yang muncul dari periodisasi politik di 

atas yaitu  adanya    yang terjadi menjelang 

dan sesudah perhelatan pesta demokrasi atau yang biasa 

dikenal dengan pemilukada (pemilihan umum kepala 

daerah).    pertama terjadi pada tahun 2006, 

yakni menjelang pemilukada 2007 di Sampang dan 2008 

di Jawa Timur. Catatan khusus diberikan untuk Kabupaten 

Sampang yang tidak berhasil mengadakan pemilukada 

sebab  adanya turbulensi politik di daerah ini  sehingga 

pemilukada baru bisa dihelat pada akhir tahun 2007. Eskalasi 

konflik selanjutnya yaitu  kekerasan fisik pada akhir tahun 

2011 dan pertengahan tahun 2012, kedua peristiwa ini 

mendekati pemilukada Sampang pada 12 Desember 2012. 

Dan eskalasi terakhir terjadi pada 20 Juni 2013 menjelang 

pemilukada Gubernur Jawa Timur yang dilaksanakan pada 

27 Agustus 2013. 

Kriminalisasi Tajul Muluk

saat  konflik tetap berlangsung dan berpotensi meluas, 

salah seorang legislator yang berasal dari daerah pemilihan 

Omben dan Karang Penang, meminta keterlibatan lebih aktif 

Bakorpakem dan bekerja sama dengan Pemkab Sampang 

agar menyelesaikan kasus ini melalui jalur hukum, dengan 

memakai  Undang-undang PNPS/1965. Kejaksaan Negeri 

Sampang sebagai Ketua Bakorpakem Sampang merapatkan 

barisan. Pada 11 Maret 2011, institusi ini menerbitkan Surat 

Keputusan No. KEP-06/O.5.36/Dsp.5/03/2011 tentang Tim 

Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan warga  

(PAKEM) Kabupaten Sampang Negeri Sampang Tahun 

2011. Merujuk pada SK ini , jajaran BAKORPAKEM 

Kab. Sampang terdiri dari 9 orang, yaitu Kepala Kejaksaan 

Negeri Sampang sebagai ketua merangkap anggota, Kasi 

Intelijen Kejaksaan Negeri Sampang sebagai wakil ketua 

merangkap anggota, Kasubsi Sosial Politik pada Kejaksaan 

Negeri Sampang sebagai sekretaris merangkap anggota, 

Kasi Integritas Bangsa Bakesbangpol Kab. Sampang, Kasat 

Intelkam Polres Sampang, Pasi I Intel Kodim 0828 Sampang, 

Kasi Penerangan Agama Islam dan Pemberdayaan Masjid 

Kankemenag Kab. Sampang, Kabid. Kebudayaan Dinas 

Pariwisata dan Olah Raga Kabupaten Sampang, dan BIN 

Posda Kab. Sampang sebagai anggota. 

  


Posisi pemerintah, dalam hal ini Pemkab Sampang 

dan Bakorpakem, yaitu  menyelesaikan konflik dengan 

mengedepankan kearifan lokal dan menjaga stabilitas sosial 

politik di Sampang.30 Kearifan yang dipahami di sini yaitu  

ketaatan dan kepatuhan warga  kepada kiai (bhuppa’ 

bhabhu’ ghuru rato). Bagi warga  Madura, kiai tidak 

hanya tempat rujukan dalam urusan keagamaan, tetapi juga 

dalam urusan sosial politik.31 Setiap tindakan yang akan 

diambil seseorang, dia akan merasa aman dan nyaman 

saat  dia sudah berkonsultasi terlebih dahulu dengan kiai. 

Oleh sebab nya, nasihat dan petuah kiai akan selalu diikuti 

oleh warga . Dalam konteks konflik ini, guna menjaga 

stabilitas sosial politik pemerintah tidak bisa mengabaikan 

para kiai yang juga berasal dari kelompok mayoritas. 

Sebelum memberikan keputusan atau pernyataan resmi, 

pemerintah acap kali berkonsultasi terlebih dahulu dengan 

para kiai.32 Dan setiap keputusan para kiai, pemerintah 

kemudian menyetujui dan melaksanakannya.

saat  para kiai pada 8 April 2011 berkirim surat ke 

Pemda Sampang untuk menghentikan segala aktivitas 

dakwah Tajul dan merelokasinya ke luar Madura, dan 

membina pengikut Tajul agar kembali kepada ajaran 

ahlussunnah waljama‘ah . Tidak ada pilihan yang diambil 

oleh pemerintah kecuali mendukung permintaan para kiai 

ini . Demikian pula saat  hal yang sama diajukan 

kepada perwakilan dari Polri dan MUI Pusat, dan MUI 

Propinsi Jawa Timur pada pertemuan dengan para kiai 

Sampang pada 11 April 2011. Pada tanggal 31 Mei 2011, 

PEMDA Sampang berkirim surat ke Gubernur Jawa Timur 

untuk meminta dana bantuan guna merelokasi Tajul Muluk. 

Anggaran yang ditujukan untuk membiayai relokasi Tajul 

selama di Sampang dan di Malang serta pembinaan pengikut 

Tajul disetujui oleh Gubernur Jawa Timur. Sempat jajaran 

Muspida Sampang mengadakan pertemuan pada tanggal 28 

Juli 2011 di rumah kepala desa Blu’uran untuk mengetahui 

secara langsung kondisi di lapangan. Hasilnya, warga tidak 

ingin Tajul kembali sebab  dia dianggap sebagai biang keladi 

dari konflik yang terjadi.

sesudah  negosiasi yang panjang dan dengan sedikit 

intimidasi, Tajul bersedia untuk direlokasi agar pengikutnya 

tidak mengalami tekanan dari pemerintah.33 Pada tanggal 

29 Juli 2011 jelang tengah malam, Tajul membuat surat 

pernyataan bahwa dia bersedia untuk keluar Sampang 

selama satu tahun. Tujuan relokasi yaitu  Malang, di tempat 

asal desa istrinya. Tajul kemudian mendapatkan dana 

bantuan sebesar sepuluh juta untuk uang muka kontrak 

rumah dan transportasi perpindahan dari Madura ke 

Malang. Dia juga membuat surat pernyataan yang ditujukan 

kepada Bakesbangpol Sampang pada 24 Agustus 2011 yang 

dua diantaranya menyatakan bahwa dia telah keluar dari 

IJABI dan bersedia direlokasi ke luar Madura selama satu 

tahun selama Pemda memperbolehkan dirinya berkunjung 

secara periodik untuk urusan keluarga, memperbolehkan 

pengikutnya untuk mengadakan aktivitas keagamaan seperti 

biasa dan mengusahakan penyelesaian temporal sebelum 

ditemukan solusi yang permanen.

sesudah  peristiwa kekerasan pada 29 Desember 2011, 

penyelesaian masalah tidak lagi melalui pendekatan budaya 

(kearifan lokal), tapi pendekatan hukum. Pemerintah, 

Bakorpakem, dan para kiai kemudian bersepakat untuk 

menindaklanjuti permasalahan ini ke ranah hukum. 

Pemerintah kemudian meminta MUI untuk mengeluarkan 

fatwa34 yang menjadi pijakan hukum bagi instansi terkait, 

yakni Bakorpakem.35 Para kiai dari BASSRA juga membantu 

membuatkan konsep fatwa agar sesuai dengan standar 

fatwa MUI.36 Proses ini berlangsung sangat singkat. Walhasil, 

sebagaimana telah dijelaskan di subbab sebelumnya di atas, 

secara berurutan MUI Kab. Sampang mengeluarkan fatwa 

sesat ajaran Tajul dan harus diproses dalam ranah hukum 

(No. A-035/MUI/Spg/I/2012) pada tanggal 1 Januari 2012; 

  

PCNU mengeluarkan surat pernyataan dukungan terhadap 

fatwa ini  (No. 255/PC/A.2/L-36/I/2012) pada tanggal 

2 Januari 2012; BASSRA mengeluarkan surat pernyataan 

sembilan kesesatan ajaran Tajul dan rekomendasi untuk 

membawa Tajul ke meja pengadilan pada tanggal 3 Januari 

2012; pada hari yang sama, Rois mewakili para kiai Sunni 

di Sampang melaporkan Kiai Tajul ke Polres Sampang 

atas tuduhan penistaan agama; dan terakhir, Bakorpakem 

mengeluarkan laporan investigasi yang menyatakan bahwa 

ajaran Tajul sesat dan harus diproses secara hukum yang 

berlaku pada tanggal 4 Januari 2012.

Keputusan empat institusi di atas memiliki tiga 

kesamaan paham terkait Kiai Tajul dan ajarannya, yakni 

bahwa ajaran Tajul yang sesat dan menyesatkan, perbuatan 

Tajul yang menistakan agama Islam, dan tentang keharusan 

Tajul untuk diproses secara hukum. Kesamaan isu yang 

diangkat dapat dipahami sebab  empat hal. Pertama, BMN 

(BASSRA, MUI, dan NU) memiliki satu kesamaan pandangan 

meski latar belakang mereka berbeda-beda, yaitu ingin 

menyelesaikan permasalahan ini secara hukum sehingga 

gejolak di warga  yang disebabkan oleh Tajul segera 

terselesaikan.37 Kedua, salah satu unsur Bakorpakem yaitu  

MUI. Meski tidak masuk dalam jajaran BAKORPAKEM, fatwa 

MUI menjadi penting dalam penetapan keputusan institusi 

ini.38 Ketiga, mereka yang diwawancarai antara satu institusi 

dengan lainnya tidak jauh berbeda, demikian pula dengan 

objek pertanyaan yang diajukan dan tentu jawaban yang 

muncul. Dan keempat, Bakorpakem memasukkan fatwa 

MUI Kab. Sampang dan pernyataan PCNU Sampang sebagai 

bagian dari konsiderasi keputusan BAKORPAKEM.

Untuk menghadapi persoalan ini, pihak Tajul Muluk 

kemudian meminta bantuan hukum kepada Muhammad 

Hadun, SH, seorang pengacara dari ABI.39 Bekerja sama 

dengan YLBH Universalia, salah satu sayap organisasi ABI 

yang bergerak di bidang hukum, dan dengan beberapa 

elemen organisasi di Surabaya seperti LBH Surabaya, CMARs, 

dan KontraS, advokasi hukum atas Tajul Muluk berjalan. 

Bagian ini secara khusus akan dijelaskan di bab selanjutnya. 

Seminggu sesudah  kasus ini dilimpahkan ke Polda Jawa 

Timur, kasus ini meningkat dari penyelidikan ke penyidikan 

pada 27 Januari 2012. sesudah  mengalami beberapa kali 

proses persidangan, pada 12 Juli 2012, Pengadilan Negeri 

Sampang mengumumkan keputusan No. 69/Pid.b/2012/

PN.Spg menghukum Tajul Muluk dipenjara 2 tahun sebab  

melanggar KUHP 156 tentang penodaan agama. Tajul 

dianggap memfitnah agama dengan mengatakan bahwa 

Al-Qur’an tidak asli. Tajul Muluk mengajukan banding 

atas putusan ini namun ditolak oleh Pengadilan Tinggi 

Surabaya. Bahkan, melalui putusannya No. 481/PID/2012/

PT.SBY tertanggal 10 Oktober 2012, Pengadilan Tinggi 

Surabaya menambah hukuman Tajul Muluk dari dua 

tahun menjadi empat tahun sebab  Tajul dianggap terbukti 

secara meyakinkan melakukan tindakan yang menciptakan 

disharmoni di warga . Tajul terus berusaha untuk 

melawan ketidakadilan yang menimpanya. Ia bersama tim 

kuasa hukumnya melakukan kasasi ke Mahkamah Agung, 

namun lagi-lagi dia gagal. Akhirnya, ia menjalani hukumannya 

di Lembaga Pewarga an Sidoarjo. Saat naskah  ini ditulis, 

Tajul Muluk telah dibebaskan secara bersyarat sebab  telah 

menjalani ¾ dari hukuman yang ada namun ia tidak bisa 

kembali ke jemaahnya yang tinggal di pengungsian Jemundo 

Sidoarjo. 

Tidak hanya di lingkup Sampang, proses legalisasi 

penyesatan ajaran Kiai Tajul juga meluas ke wilayah Propinsi 

Jawa Timur. Sejak peristiwa demonstrasi anti-Syiah pada 4 

April 2011, Pemkab Sampang mulai melibatkan Pemprov 

Jawa Timur meski hanya seputar undangan tamu saat  ada 

rapat-rapat tertentu terkait permasalahan Tajul dan hanya 

berupa laporan resmi Bupati Sampang kepada Gubernur 

Jawa Timur. Keterlibatan aktif Pemprov Jawa Timur 

  

terhitung pasca peristiwa kekerasan 26 Agustus 2012 dimana 

pemprov menyediakan seluruh anggaran konsumsi dan 

sarana prasarana para pengungsi Syiah di GOR Sampang. 

Bentuk keterlibatan lainnya yaitu  lahirnya Pergub No. 55 

tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan 

Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Pergub ini sangat 

penting sebab  di antara poin pentingnya yaitu  dukungan 

Pergub ini terhadap fatwa MUI Jawa Timur yang menyatakan 

bahwa Syiah yaitu  ajaran sesat dalam Islam dan pentingnya 

merujuk kepada MUI dalam setiap hal yang berkaitan 

tentang ajaran Islam serta dukungan kepada Pemda untuk 

menghentikan segala bentuk aliran keagamaan yang dapat 

menyebabkan keresahan di warga .

Gubernur Jawa Timur juga membantu pendanaan 

dan penggunaan bus milik Pemprov Jawa Timur untuk 

digunakan para kiai saat  mereka melakukan kunjungan 

ke Jakarta guna mencari dukungan gerakan mereka dari 

Menteri Agama, Mahkamah Konstitusi, PBNU, Komisi VIII 

DPR RI, dan MUI Pusat.41 Selain itu, Gubernur Jawa Timur 

juga tidak bisa menolak desakan para kiai untuk merelokasi 

paksa para pengungsi Syiah dari GOR Sampang ke Rusunawa 

Puspa Agro Jemundo Sidoarjo.42 Dukungan kepada para kiai 

ditunjukkan dengan disiagakannya beberapa kendaraan 

untuk mengantar para pengungsi ke lokasi relokasi 

dan mengangkut barang-barang mereka; termasuk juga 

menyiapkan Rusunawa Jemundo Sidoarjo agar siap dihuni 

oleh pengungsi.  

Adapun dukungan teknis di lapangan, Gubernur Jawa 

Timur menunjuk wakilnya untuk secara intens berkomunikasi 

dengan para kiai khususnya terkait masalah Syiah ini. 

Penunjukan ini  masuk akal sebab  Wakil Gubernur 

Jawa Timur mempunyai latar belakang yang sama dengan 

para kiai di Sampang, yakni sama-sama berkiprah di NU. 

Dukungan ini diamini PCNU Sampang yang mengungkapkan 

janji Wagub untuk mendukung setiap langkah kiai untuk 

kemaslahatan umat termasuk di dalamnya untuk mendukung 

gerakan kiai terkait permasalahan Tajul.43 Salah satu gerakan 

yang dilakukan PCNU Sampang yaitu  deklarasi KAR (Kader 

Anak Ranting) yang dilakukan oleh Wagub Jawa Timur 

beserta jajaran pemerintah dan tokoh agama di Omben 

dan Karang Penang.44 KAR yaitu  organisasi ad hoc yang 

didirikan PCNU untuk membantu kiai menstabilkan kondisi 

sosial pasca peristiwa kekerasan pada 17 dan 29 Desember 

2011 serta mempersuasi warga Syiah untuk bertaubat ke 

ajaran ahlussunnah waljama‘ah.45 

Resistensi para kiai terhadap gerakan Syiah Tajul juga 

menggerakkan atensi Menteri Agama saat itu, Suryadharma 

Ali, yang juga Ketua Umum DPP (Dewan Pimpinan 

Pusat) PPP (Partai Persatuan Pembangunan). saat  dia 

mendapatkan mandat dari Presiden Susilo Bambang 

Yudhoyono untuk memimpin mediasi kedua kelompok 

yang berseteru,46 Menteri Suryadharma tidak bisa keluar dari 

bias posisi antara sebagai menteri dan ketua umum sebuah 

partai berbasis Islam. Target untuk menaikkan popularitas 

partai melalui program PPP sebagai “rumah besar” umat 

Islam47 mendorong menteri Suryadharma untuk mendukung 

suara mayoritas, yakni para kiai Madura. Akibatnya, tujuan 

untuk memulangkan pengungsi lewat jalan mediasi justru 

menunjukkan hasil sebaliknya, yakni memperkuat tekanan 

terhadap penganut Syiah untuk meninggalkan keyakinannya 

sebagai prasyarat untuk kembali ke kampung mereka. 

Ujaran Kebencian

Bentuk nyata resistensi para kiai terhadap ajaran Tajul 

yaitu  pidato ujaran kebencian yang hampir bisa ditemui di 

setiap forum pengajian dan khotbah Jumat. Meski demikian, 

tidak ada upaya nyata dari pemerintah untuk menghentikan 

tindak ujaran kebencian yang mempertebal garis pembatas 

antara kelompok Sunni dan Syiah di tingkat akar rumput. 

Paparan sebelumnya telah menunjukkan bahwa pemerintah 

hanya berpihak pada kelompok mayoritas sehingga gerakan 

  

intimidasi terhadap kelompok Syiah terus bergulir dan 

berkembang menjadi pengerahan massa, penyerangan 

dan pengusiran warga Syiah. Sedangkan pemerintah yang 

seharusnya melindungi warganya tanpa peduli latar belakang 

etnis, suku, dan agamanya menjadi pendukung utama dari 

gerakan intimidasi ini . 

Tercatat sejak 2004, pidato-pidato keagamaan di forum-

forum pengajian, baik yang berada di pusat dakwah Tajul 

―dusun Nangkernang dan Gading Laok― maupun secara 

umum di Sampang dan Madura banyak memperingatkan 

warga desa agar berhati-hati terhadap adanya ajaran baru 

yang “diimpor” dari luar negeri dan bukan asli ajaran 

Islam Madura.48 Dengan bergulirnya waktu dan semakin 

membesarnya skala konflik, pidato ini  berubah menjadi 

ujaran kebencian dan provokasi massa untuk membenci dan 

memarjinalkan Kiai Tajul dan pengikutnya. Hampir di setiap 

forum pengajian, baik pada saat khotbah Jumat maupun saat 

pengajian rutin di kampung-kampung, para kiai tidak lupa 

untuk menyampaikan peringatan dan kewaspadaan warga 

kampung akan adanya ajaran baru yang sesat. 

Sebagaimana yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, 

ada dua topik utama yang dijadikan alat provokasi 

warga, yakni nikah mut'ah dan taqiyya. Para kiai selalu 

mendakwahkan bahwa nikah mut'ah yaitu  bentuk 

legalisasi zina melalui hukum agama. Disebut zina sebab  

ia tidak memiliki batasan jumlah perempuan yang bisa 

dinikahi, tanpa aturan jarak waktu antara satu pernikahan 

dengan pernikahan yang lainnya termasuk waktu ‘iddah 

(jarak antara perceraian dengan pernikahan baru), tanpa 

ada saksi, dan tanpa wali.49 Isu kedua yaitu  taqiyya. Isu 

ini dijadikan alat provokasi bahwa ajaran ini mendorong 

seseorang untuk menjadi pembohong dan munafik. Hal ini 

dibuktikan dengan banyaknya perjanjian antara kiai-kiai 

Sunni dengan Kiai Tajul dilanggar oleh Kiai Tajul sendiri, 

yang kemudian berakibat pada kemarahan warga sehingga 

terjadilah penyerangan dan pembakaran terhadap rumah-

rumah orang Syiah pada kejadian 29 Desember 2011.50 Tajul 

dianggap pembohong sebab  meski telah beberapa kali 

menandatangani kesepakatan dengan para kiai maupun 

dengan pemerintah, namun selalu melanggarnya. Dan 

sebab  taqiyya pula, kesaksian Tajul dan para saksi yang 

meringankan tidak diterima oleh majelis hakim Pengadilan 

Negeri Sampang selama proses pengadilan.

Selain itu, proses ideologisasi anti-Tajul juga dilakukan 

oleh beberapa kiai Sunni. Diantaranya yaitu  penguatan isu 

enam kesesatan Tajul yang telah ditetapkan oleh para kiai 

BASSRA pada 3 Januari 2012, yaitu (1) mempunyai rukun 

Islam dan Iman yang berbeda; (2) meyakini aqidah yang 

berbeda dengan apa yang ada dalam Alquran dan al-Sunnah; 

(3) meyakini wahyu sesudah  Alquran; (4) menolak otentisitas 

dan kebenaran Alquran; (5) menafsirkan Alquran dengan 

metode tafsir yang menyimpang; dan (6) menolak hadis 

sebagai sumber ajaran Islam. Bersama-sama dengan isu 

mut’ah dan taqiyya, enam poin ini menjadi alat propaganda 

untuk menyesatkan Tajul Muluk di berbagai forum di 

Sampang.

Puncak dari gerakan ideologisasi anti-Syiah di Sampang 

yaitu  dideklarasikannya FAAS (Front Anti Aliran Sesat) 

di Masjid Jami’ Sampang pada 23 September 2015. Acara 

yang dihadiri oleh 100 kiai dari berbagai wilayah di Madura 

ini bersepakat untuk mengawal Pergub No. 55 tahun 2012 

tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan 

Aliran Sesat di Jawa Timur, serta fatwa MUI Propinsi Jawa 

Timur yang menyatakan bahwa aliran Syiah sesat.53 Selain 

itu, pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa deklarasi 

ini sebagai salah satu bentuk respons para kiai akan rencana 

kedatangan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, ke 

Madura yang salah satu agendanya terkait pengungsi Syiah.

Kuatnya resistensi ajaran Syiah di Sampang oleh 

  

para kiai Sunni mendorong para pegiat politik di wilayah 

ini memanfaatkan isu ini untuk kepentingan politiknya. 

Bupati petahana Noer Tjahja, misalnya sangat jelas sekali 

memberikan dukungannya terhadap gerakan anti-Tajul yang 

dilakukan oleh para kiai Sunni. Bahkan, dia sendiri terlibat 

langsung dalam proses provokasi massa dan sebagai pelaku 

utama dalam ujaran kebencian atas keberadaan warga dan 

ajaran Syiah di Sampang. Isu provokasi pun tidak jauh 

berbeda dengan apa yang telah diutarakan para kiai Sunni 

sebagaimana peneliti paparkan di atas, yakni isu nikah 

mut’ah, taqiyya, dan beberapa perbedaan keyakinan dan 

praktik keagamaan lainnya seperti perbedaan Rukun Iman 

dan Islam, dan perbedaan tata cara salat. Kampanye berbalut 

ujaran kebencian terhadap kelompok Tajul terekam dengan 

jelas pada acara peringatan maulid nabi di Karang Gayam 12 

Februari 2012 atau sekitar seminggu sesudah  pengembalian 

warga Syiah ke kampung mereka sesudah  penyerangan 29 

Desember 2011. Dalam forum yang dikelola oleh Rois ini, 

Bupati Noer meminta dukungan dari warga agar memilihnya 

kembali pada perhelatan pemilukada 12 Desember 2012. 

Sebagai janjinya, dia akan menyelesaikan persoalan Tajul 

dalam tiga bulan sesudah  terpilih. Gayung bersambut, seusai 

berpidato, Kiai Rois mengalungkan sorban ke leher Bupati 

Noer Tjahja sebagai simbol dukungannya kepada Bupati 

Noer untuk maju mencalonkan diri pada pesta demokrasi 

lokal ini . Berikut beberapa petikan pidato beliau yang 

sudah diterjemahkan ke bahasa negara kita :

Kalau ada aliran sesat di sini, usir! [diiringi 

tepukan warga] usir! Saya yang bertanggung 

jawab!... Ini kan ibarat orang berjualan, kalau tidak 

laku di sini, tutup aja jualan yang laku... Ini Pak 

Yusuf (Kabag Rens POLRES Sampang)... kalau 

datang ke sini tolong tangkap. Kalau datang ke sini, 

jangan pelihara, usir! [diiringi tepuk tangan warga 

dan teriakan, usir! Siap!]. Keamanan (itu) Polisi dan 

TNI, FORPIMDA anggotanya Kapolres dan TNI, 

tetapi saya ketuanya. Yang bertanggung jawab 

seluruh Kabupaten Sampang ini yaitu  bupati. 

Bupati di Sampang ini cuma satu. Jadi tolong, 

yang jadi keamanan, polisi, TNI, usir! [diiringi 

tepuk tangan warga]. Kita ingin menyelamatkan 

yang banyak ini, seluruh orang... Sebenarnya, 

saya sudah tidak tahan lagi (menghadapi masalah 

ini), sumpah demi Allah, tanya ke kiai Rois (kalau 

tidak percaya). Sayang dari wakilnya (yang akan 

maju PEMILUKADA), kalau seandainya saya jadi 

bupati lagi, selesai! (masalah ini). Pasti akan saya 

selesaikan! Masak bupati (incumbent) kalah, tidak 

mungkin (itu terjadi). [warga berteriak, buktikan!]. 

Kan benar, warga di sini saudara saya semua ini 

sudah rukun. Jangan memaksakan kehendak di 

sini (untuk mengajarkan ajaran sesat).54

Bupati Noer juga mengintensifkan agenda-agenda 

pemerintahan seperti rapat-rapat koordinasi kecamatan 

dan desa (dalam berbagai urusan, tidak hanya terkait 

permasalahan Tajul) di wilayah Omben dan Karang Gayam. 

Acara-acara ini  juga mengundang anggota legislatif 

dari PKB yang berasal dari daerah pemilihan (kecamatan) 

Omben dan Karang Penang. Salah satu tujuan utama dari 

intensifikasi kegiatan-kegiatan di dua wilayah ini yaitu , 

sebagaimana yang diakuinya sendiri,55 untuk memperkuat 

basis suara pada pemilukada Sampang 2012, di mana pada 

saat pemilukada sebelumnya beliau kalah suara di dua 

daerah ini.

Dari Lokalisasi ke Nasionalisasi Kasus Tajul

Selain masalah ujaran kebencian, Bupati Noer juga 

sangat menolak keterlibatan pihak luar Sampang untuk 

terlibat dalam permasalahan Tajul. Dalam berbagai seremoni 

pemerintahan, beliau sering menyampaikan bahwa 

permasalahan Tajul bukanlah konflik Sunni-Syiah, melainkan 

  

permasalahan ajaran Tajul sesat yang mengakibatkan 

keresahan warga . Bupati Noer juga sangat keras 

menolak keterlibatan pemerintah pusat dalam permasalahan 

Sampang. Setiap hasil kesepakatan yang dihasilkan dalam 

rapat di Kemendagri maupun di Kemenag yang dihadiri oleh 

berbagai unsur pemerintah dan ormas seperti Kemenag, 

Kemendagri, Kemenkum HAM, Komnas HAM, Pemda 

Sampang, ABI, dan IJABI tidak bisa diimplementasikan di 

lapangan sebab  penolakan Bupati Noer.57 Ada dua alasan 

mengapa beliau sangat menolak keterlibatan pihak luar 

dalam penyelesaian kasus Tajul yaitu  (1) sebab  ini yaitu  

masalah Sampang, maka hanya pemerintah atau warga 

Sampang yang bisa menyelesaikan masalahnya; dan (2) 

keterlibatan pihak luar hanya akan memperluas cakupan 

konflik dan semakin memperkeruh suasana konflik yang 

pada akhirnya tidak akan bisa diselesaikan.58 

Sebagai langkah antisipatif, Bupati Noer, baik secara 

langsung maupun melalui Bakesbangpol Kab. Sampang, 

terjun langsung untuk menyosialisasikan dan bahkan 

memaksakan ide bahwa permasalahan Tajul yaitu  

permasalahan lokal Sampang. Dalam laporan resmi bupati 

kepada Gubernur Jawa Timur No. 220/536/434.203/2011 

tertanggal 2 Agustus 2011, dengan jelas Bupati Noer 

menyatakan bahwa konflik yang terjadi bukanlah konflik 

agama (Sunni dan Syiah), melainkan konflik keluarga 

antara Tajul dan Rois yang telah terlibat perselisihan sejak 

tahun 2004. Dalam surat ini  dijelaskan, keduanya 

memakai  isu agama untuk memprovokasi pengikut 

masing-masing sehingga mereka saling berhadap-hadapan 

untuk membela agama mereka masing-masing. Bukti kedua 

yaitu  paksaan Kepala Bakesbangpol Sampang kepada 

Kiai Tajul agar keluar dari IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait 

negara kita ) sebagaimana tertuang dalam surat Kiai Tajul 

kepada Bakesbangpol tertanggal 24 Agustus 2011. Hal yang 

sama juga diutarakan langsung oleh Bupati Sampang dalam 

forum penyelesaian kasus Sampang tepat sehari sesudah  

peristiwa pembakaran 29 Desember 2011. Lokalisasi isu 

ini diamini oleh para kiai yang menjadi narasumber dalam 

penelitian ini. Selama periode kepemimpinan Bupati Noer 

Tjahja, dapat dikatakan pemberitaan media massa versi 

Pemkab Sampang yaitu  bahwa isu ini yaitu  isu ajaran 

sesat Tajul, bukan ajaran Syiah sesat.

Namun, sejak kekalahan Bupati Noer dalam pemilukada 

Sampang 12 Desember 2012 dan kepemimpinan Pemkab 

Sampang beralih ke Bupati Fannan, isu ini berubah menjadi 

ajaran Syiah sesat. Jika pada fase sebelumnya, Bupati Noer 

menolak keterlibatan pihak luar termasuk pemerintah 

pusat, Bupati Fannan malah meminta langsung keterlibatan 

Kementerian Agama dan bahkan Presiden RI untuk terlibat 

langsung. Alasan utamanya yaitu  sebab  konflik ini 

bernuansakan agama yang merupakan domain pemerintah 

pusat, bukan pemerintah daerah.59 Peralihan isu ini juga 

menguatkan eksistensi fatwa MUI Jawa Timur dan MUI se-

Jawa Timur serta beberapa ormas Islam yang menyatakan 

bahwa ajaran Syiah sesat. 

Sikap Bupati Fannan yang “menasionalkan” kasus 

Tajul secara tidak langsung yaitu  bentuk cuci tangan atas 

keterlibatan pemerintah Sampang dalam kasus ini. saat  

terjadi demonstrasi besar-besar warga anti-Syiah pada 7 Mei 

2013 menuntut percepatan penyelesaian kasus pengungsi 

dengan merelokasi mereka keluar Madura, Bupati Fannan 

tidak mampu berbuat banyak kecuali memfasilitasi para 

pengungsi untuk bertemu langsung dengan Gubernur Jawa 

Timur.60 Sikap main aman juga diperlihatkan Bupati Fannan 

saat  terjadi relokasi paksa pengungsi Syiah dari GOR 

Sampang ke Rusunawa Jemundo Sidoarjo yang langsung 

dipimpin oleh Wakil Bupati Fadhilah dan Kiai Karrar pada 

20 Juni 2013. Dengan menyerahkan langsung “mandat” 

pengusiran ke wakilnya, dia bisa melepaskan diri dari dosa 

politik pengusiran ini . 

  

Relokasi paksa warga Syiah

Saat itu, sesudah  hampir sepuluh bulan negosiasi antara 

pihak pengungsi Syiah dan anti-Syiah tidak membuahkan 

hasil, kelompok anti-Syiah mendesak Bupati Sampang terpilih 

untuk segera menyelesaikan permasalahan pengungsi Syiah 

di GOR Sampang. Penyelesaian yang dimaksud yaitu  

merelokasi para pengungsi ke luar Madura. Pada 7 Mei 

2013, sekitar 500-an orang datang ke kantor bupati untuk 

menyampaikan tuntutan mereka. Bupati Sampang yang saat 

itu tidak dapat memberikan jawaban pasti, beliau mengajak 

para demonstran untuk menemui Gubernur Jawa Timur. 

Tidak ada informasi pasti terkait apa hasil pertemuan antara 

perwakilan demonstran dengan Gubernur saat itu, tapi 

desas-desus relokasi paksa semakin kuat terdengar. Para 

kiai yang sudah tidak sabar dengan kelambanan Pemda 

Sampang untuk “menyelesaikan” masalah pengungsi, ingin 

menyelesaikan dengan cara mereka sendiri. Salah satu 

opsi yang muncul di diskusi para kiai yaitu  merelokasi 

paksa para pengungsi keluar Madura. Mereka kemudian 

mengadakan istighatsah, atau doa bersama sebagai ajang 

untuk mengumpulkan warga dari seluruh Madura. Untuk 

menghindari peristiwa kekerasan lanjutan, Menkopolhukam 

dan Gubernur Jawa Timur mengusulkan untuk merelokasi 

warga Syiah malam hari 19 Juni 2013. ABI memprotes 

rencana ini  dan mencurigai bahwa ini yaitu  desain 

dari Pemda Sampang dan Pemprov Jawa Timur.61 

Pada 20 Juni 2013, sesudah  kelompok anti-Syiah 

mengadakan istighatsah di alun-alun kota, yang berjarak 

hanya beberapa meter dari GOR, mereka berbondong-

bondong menuju GOR untuk mengusir pengungsi Syiah. 

Dipimpin oleh beberapa kiai dan Wakil Bupati Sampang 

serta dengan pengamanan dari pihak kepolisian, mereka 

merelokasi paksa keluar GOR. Para pengungsi sempat 

bertahan di dalam gedung. Namun, tekanan yang sangat kuat 

dari ribuan massa yang mengepung gedung ini mendorong 

pemerintah dan aparat kepolisian untuk memenuhi keinginan 

massa merelokasi para pengungsi. Pemda Sampang, dengan 

bantuan dari Pemprov Jawa Timur, menyiapkan lima bus 

dan dua truk untuk mengangkut para pengungsi dan barang-

barang mereka.

Hingga naskah  ini ditulis, para pengungsi Syiah tinggal 

di Flat Jemundo Sidoarjo, Jawa Timur, kurang lebih 100km 

dari Sampang.

Bab ini menjelaskan panjang dan kompleksnya proses 

 antara Tajul dan pengikutnya dengan para 

kiai anti-Syiah. Proses ini yaitu  konsekuensi dari proses 

pertahanan diri masing-masing pihak yang berkonflik agar 

tidak kehilangan muka (lose of face) sebab  sudah terlalu 

jauh terjebak dalam lingkaran konflik. Sudah banyak ide 

dan gerakan yang ditawarkan oleh banyak pihak seperti 

kepolisian, Kankemenag Kabupaten Sampang, KOMNAS 

HAM, dan pegiat  LSM, namun tidak membuahkan hasil. 

Setiap proses intervensi yang dilakukan melahirkan bentuk 

resistensi baru dari kedua kelompok yang berseteru sehingga 

konflik tidak mereda tetapi malah semakin membesar. 

Walhasil, kedua kelompok warga  tidak bisa hidup 

bersama. Satu per satu, beberapa pola  

yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak dan tantangan 

dalam proses intervensi akan dijabarkan di bawah ini.

Bentuk-bentuk 

Pengerahan “pasukan perdamaian”

sesudah  peristiwa kekerasan yang terjadi pada tanggal 

29 Desember 2011 dan tanggal 26 Agustus 2012, pihak Polres 

Sampang didukung Polda Jawa Timur mengirim pasukan 

pengamanan ke Omben dan sekitarnya untuk mencegah 

perluasan konflik dan terjadinya konflik susulan. Pada 

peristiwa pertama, pasukan pengamanan bekerja selama 15 

hari, yakni sejak 29 Desember 2011 hingga 12 Januari 2012. 

Pasukan yang berjaga saat itu berjumlah 435 aparat keamanan 

yang terdiri dari 175 anggota polisi dari Polres Sampang, 50 

Sabhara dari Polda Jawa Timur, 150 pasukan Brimob, 30 

polisi Bawah Kendali Operasi dari Polres Pamekasan, dan 

30 tentara dari Kodim Sampang.1 

Sedangkan pada peristiwa kedua, jumlah pasukan yang 

didatangkan lebih banyak lagi dan waktu pengamanan yang 

lebih panjang. Tercatat, ada 4 SSK (Satuan Setingkat Kompi) 

dari Satuan Brimob Polda Jawa Timur, 2 SSK dari Sabhara 

Polda Jawa Timur, 1 SSK Sabhara dari Polres Pamekasan, dan 

3 SSK tentara dari Batalion Rider Kodam Brawijaya.2 Seluruh 

pasukan ini bertugas mengamankan daerah konflik selama 

11 bulan (Agustus 2011 hingga Juni 2012). Lamanya proses 

pengamanan ini lebih sebab  proses mediasi perdamaian 

yang dilakukan oleh berbagai pihak menemukan jalan 

buntu. Tugas pasukan Brimob ini berakhir saat  pengungsi 

Syiah di GOR direlokasi paksa ke Rusunawa Puspa Agro 

Jemundo Sidoarjo pada 20 Juni 2012. 

Selain pengamanan wilayah konflik (Karang Gayam 

dan Blu’uran), kepolisian juga melakukan banyak hal yang 

menurut mereka sendiri jauh melampaui kewenangan 

kepolisian, untuk mendamaikan kedua kelompok yang 

berseteru.3 Menurut penuturan Kapolres Sampang4 dan 

Kasat Intelkam Polres Sampang5, ada empat hal yang telah 

dilakukan kepolisian untuk mencegah perluasan konflik dan 

menyelesaikan konflik yang sedang berlangsung. Pertama, 

penyuluhan langsung kepada warga terkait pentingnya hidup 

bertetangga dengan damai. Kegiatan ini dilakukan secara 

langsung ke rumah-rumah warga dan melalui penyuluhan di 

masjid-masjid kampung khususnya sesudah  berlangsungnya 

salat Jumat. Poin 


Related Posts:

  • suni syiah di sampang 3 ah dari Bangkalan dan Sumenep.72 Meski demonstrasi ini  tidak berujung pada aksi anarkisme sebab  berhasil dicegah oleh aparat pemerintah dan kepolisian, peristiwa ini  menunjukkan bah… Read More