ah dari
Bangkalan dan Sumenep.72 Meski demonstrasi ini
tidak berujung pada aksi anarkisme sebab berhasil dicegah
oleh aparat pemerintah dan kepolisian, peristiwa ini
menunjukkan bahwa warga pada saat itu (pada tahun
2006 dimana konflik belum memuncak) sebenarnya sudah
mudah terprovokasi. Kebersamaan yang kuat antartetangga
dalam budaya gerjih juga turut memberi dampak negatif
dalam hal ini komunikasi via telepon seluler mempermudah
penggalangan massa.
Contoh lain yaitu peristiwa pembakaran tahun
2012 yang diawali dengan cekcok mulut antara Ummu
Hani, adik Tajul yang juga menganut Syiah, dengan
pemuda-pemuda kampung yang sedang cangkrukan di
pinggir jalan. Pertengkaran ini kemudian meluas
kepada penghadangan warga Syiah yang kebetulan akan
mengantarkan anak-anak mereka kembali ke pesantren
dan lembaga pendidikan Syiah di Jawa.73 sesudah berhasil
menghadang mereka, warga pun bergerak ke Nangkernang
di sekitar rumah Tajul. Perdebatan mulut pun tak terelakkan
hingga terjadi perkelahian massal. Menjelang azan zuhur
warga Sunni terdesak mundur sehingga ada jeda kurang
lebih satu jam sebelum kurang lebih 5000-an warga Sunni
mulai menyerbu dan membakar rumah-rumah warga Syiah.74
Demikian kondisi sosial yang terjadi antara warga
Sunni dan Syiah. Kecurigaan antara satu dengan lainnya
terus berlanjut dan bahkan diperparah oleh provokasi dan
ujaran kebencian yang dilontarkan para kiai terhadap ajaran
dan warga Syiah. Walhasil, tidak banyak warga Sunni yang
mau menjenguk keluarganya, tetangganya, atau temannya
yang beraliran Syiah baik sebab enggan bergaul dengan
warga Syiah atau sebab takut dilabeli sebagai “pembela”
aliran Syiah.
Bab sebelumnya memberikan gambaran kompleksitas
konflik yang terjadi di Karang Gayam dan Blu’uran yang
berujung pada kekerasan fisik yang secara berjenjang
mengalami eskalasi dari satu kekerasan ke kekerasan yang
lain; dari hanya demonstrasi antiperayaan maulid yang
dirayakan Tajul hingga penyerangan, pembakaran properti
para pengikut Tajul, dan berujung pada pengusiran warga
Syiah dari pulau Madura.
Selanjutnya, pertanyaan besar yang ingin dijawab dalam
bab ini yaitu mengapa “persoalan kecil” —jika dilihat dari
skala konflik dan jumlah korban— ini mendapat respons
yang sangat besar dari kalangan ulama Madura maupun
dari pemerintah mulai Pemerintah Kabupaten Sampang,
Pemerintah Propinsi Jawa Timur, hingga pemerintah pusat.
Seandainya konflik ini “hanyalah” terkait sesatnya ajaran Tajul
di Sampang, kenapa persoalan ini tidak dapat diselesaikan
dengan fatwa sesat ajaran Tajul yang sudah dikeluarkan oleh
MUI Kabupaten Sampang; kenapa persoalan ini menjadi
atensi banyak pihak di luar Madura sehingga MUI Propinsi
Jawa Timur dan MUI kabupaten se-Jawa Timur serta ormas-
ormas Islam di Jawa Timur dan negara kita berbondong-
bondong mengeluarkan fatwa sesat Syiah. Pertanyaan lain
yang menjadi fokus kajian dalam bab ini yaitu mengapa
pemerintah tidak berdaya menghadapi tekanan ormas-ormas
ESKALASI KONFLIK
Islam anti-Syiah sehingga mengeluarkan kebijakan relokasi
Tajul Muluk dan pengikutnya ke luar Madura.
Untuk menelaah persoalan di atas, kajian dalam bab
ini akan difokuskan pada aktor yang terlibat dan peranan
masing-masing dalam dari tiap level, mulai
regional Sampang, Madura, Jawa Timur, hingga lingkup
nasional. Eskalasi yang dipahami dalam bab ini yaitu
meluasnya aktor konflik yang terlibat dan wilayah konflik.
Jika pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa aktor dan
ruang konflik hanya seputar Sampang, pada bab ini akan
dijabarkan perluasan lingkup konflik di luar Madura. Selain
itu, bab ini juga akan mengurai lebih rinci eskalasi bentuk
kekerasan dari “hanya” kekerasan langsung (fisik) menjadi
kekerasan struktural dan kultural.
Gerakan Anti-Syiah
Organisasi Muslim di Madura
Sejak bergulirnya permasalahan ini, hampir dapat
dikatakan para kiai dan tokoh warga lokal tidak
banyak dilibatkan dalam proses penyelesaian permasalahan
mereka dengan Tajul Muluk.1 Memang ada kerja sama
antara kiai-kiai besar yang memiliki pesantren-pesantren
besar atau yang duduk di organisasi Islam di Madura seperti
BASSRA, MUI dan NU —atau yang lebih dikenal dengan
BMN2— dengan kiai-kiai dan tokoh-tokoh warga lokal
dalam penyelesaian konflik ini , namun itu sebatas
pada penggalian informasi di lapangan dan penyebaran
keputusan para kiai-kiai besar ini yang kemudian harus
dilaksanakan di lapangan. Seluruh keputusan terkait Tajul
dan ajarannya berasal dari ketiga lembaga ini, baik secara
bersama-sama atau sendiri-sendiri namun tetap dalam satu
koordinasi isu.
Intervensi yang dilakukan oleh kiai-kiai BMN ini
wajar, mengingat para kiai di Madura dan Sampang secara
umum dan Karang Gayam-Blu’uran masih terikat hubungan
keluarga atau paling tidak hubungan kiai-santri.3 Tidak heran
kemudian informasi tentang ajaran Tajul cepat menyebar
luas di kalangan kiai. Pihak kepolisian sendiri menyebut
salah satu kesulitan mengontrol perkembangan isu konflik
antara Tajul dan kiai-kiai Sunni yaitu sebab banyak aktor
tidak terikat oleh administrasi teritorial kepemerintahan,
sedangkan polisi bekerja atas dasar teritorialnya, demikian
halnya dengan Pemda Sampang.4
Guna merespons laporan dari para santri mereka,
para kiai melakukan beberapa pertemuan-pertemuan
untuk mengumpulkan bukti-bukti kesesatan ajaran Tajul,
melakukan klarifikasi (tabayyun) terhadap ajaran-ajaran
ini , dan menghimbau Tajul untuk bertobat dan
meminta maaf kepada kiai-kiai yang sudah dilukai hatinya
oleh Tajul. Tidak ada titik temu dari forum-forum yang
diadakan ini . Permintaan para kiai diacuhkan dan Tajul
sendiri tetap pada pendiriannya mendakwahkan ajarannya.
Tak ayal, Tajul pun dianggap cengkal, bandel, tidak mau
mengikuti nasihat para kiai sepuh.5 Akibatnya, saat Tajul
hendak mengadakan perayaan maulid di rumahnya, bukan
sambutan yang diterima oleh warga melainkan demonstrasi.
Gerakan para kiai BMN untuk mendiskreditkan
Tajul menemukan momentumnya saat Rois keluar dari
lingkaran Tajul dan mulai mempropaganda kesesatan Tajul
dalam forum-forum pengajian dengan warga maupun dalam
pertemuan-pertemuan kiai.6 Warga dan para kiai sangat
percaya dengan apa yang diucapkan Rois sebab mereka
memandang Rois sebagai saudara kandung Tajul yang selama
ini mendukung Tajul sekaligus sebagai mantan petinggi IJABI
Sampang.7 Ketidaksukaan para kiai terhadap Tajul semakin
memuncak saat rekaman terkait “kiai slabet” beredar di
kalangan kiai dan warga. Untuk meredakan suasana, pada
tanggal 26 Oktober 2009, Bakorpakem Kabupaten Sampang,
MUI Sampang, Kankemenag Sampang, PCNU Sampang,
dan tokoh-tokoh warga Sampang mengundang Tajul
Tahap Konflik
• Mempertahankan tradisi Islam Madura vs. Mereformasi tradisi keagamaan
• Agama sebagai sumber ekonomi vs. Agama sebagai aksi kemanusiaan
• Konflik keluarga, masalah Halimah, konflik warisan
• Aktor: Tajul vs. Rois, dan Tajul vs. Kiai lokal
Tahap Polarisasi
• Slabet (menghina kiai)
• Madura = Islam (Sunni); Madura ≠ Syiah
• Menciptakan batas-batas identitas Sunni dan Syiah memecah belah warga menciptakan ketegangan di warga
• Aktor: Tajul dan pengikutnya vs. Kiai dan pengikutnya
Tahap Kekerasan
• Aktor: Pemerintah, kiai anti-Syiah, enterprenir politik
LANGSUNG
Fisik
TIDAK LANGSUNG
• Demonstrasi anti-Syiah
• Relokasi Tajul
• Pembakaran properti milik warga Syiah
• Pengusiran warga Syiah
• Kriminalisasi Tajul
Struktural
• Pemahaman tunggal tentang Islam
• Fatwa sesat ajaran Syiah
• Taubat sebagai syarat rekonsiliasi
Kultural
• Tawar menawar politik antara kiai dan politisi
• Regulasi agama yang dikeluarkan oleh pemerintah dan kelompok Islam Sunni
• Mengkambinghitamkan Tajul atas segala kekerasan yang terjadi
• Keberpihakan pemerintah kepada pihak mayoritas
Note: Diadaptasikan dari konsep Galtung tentang mekanisme kausalitas konflik dan segitita kekerasan
keluarga atau paling tidak hubungan kiai-santri.3 Tidak heran
kemudian informasi tentang ajaran Tajul cepat menyebar
luas di kalangan kiai. Pihak kepolisian sendiri menyebut
salah satu kesulitan mengontrol perkembangan isu konflik
antara Tajul dan kiai-kiai Sunni yaitu sebab banyak aktor
tidak terikat oleh administrasi teritorial kepemerintahan,
sedangkan polisi bekerja atas dasar teritorialnya, demikian
halnya dengan Pemda Sampang.4
Guna merespons laporan dari para santri mereka,
para kiai melakukan beberapa pertemuan-pertemuan
untuk mengumpulkan bukti-bukti kesesatan ajaran Tajul,
melakukan klarifikasi (tabayyun) terhadap ajaran-ajaran
ini , dan menghimbau Tajul untuk bertobat dan
meminta maaf kepada kiai-kiai yang sudah dilukai hatinya
oleh Tajul. Tidak ada titik temu dari forum-forum yang
diadakan ini . Permintaan para kiai diacuhkan dan Tajul
sendiri tetap pada pendiriannya mendakwahkan ajarannya.
Tak ayal, Tajul pun dianggap cengkal, bandel, tidak mau
mengikuti nasihat para kiai sepuh.5 Akibatnya, saat Tajul
hendak mengadakan perayaan maulid di rumahnya, bukan
sambutan yang diterima oleh warga melainkan demonstrasi.
Gerakan para kiai BMN untuk mendiskreditkan
Tajul menemukan momentumnya saat Rois keluar dari
lingkaran Tajul dan mulai mempropaganda kesesatan Tajul
dalam forum-forum pengajian dengan warga maupun dalam
pertemuan-pertemuan kiai.6 Warga dan para kiai sangat
percaya dengan apa yang diucapkan Rois sebab mereka
memandang Rois sebagai saudara kandung Tajul yang selama
ini mendukung Tajul sekaligus sebagai mantan petinggi IJABI
Sampang.7 Ketidaksukaan para kiai terhadap Tajul semakin
memuncak saat rekaman terkait “kiai slabet” beredar di
kalangan kiai dan warga. Untuk meredakan suasana, pada
tanggal 26 Oktober 2009, Bakorpakem Kabupaten Sampang,
MUI Sampang, Kankemenag Sampang, PCNU Sampang,
dan tokoh-tokoh warga Sampang mengundang Tajul
Tahap Konflik
• Mempertahankan tradisi Islam Madura vs. Mereformasi tradisi keagamaan
• Agama sebagai sumber ekonomi vs. Agama sebagai aksi kemanusiaan
• Konflik keluarga, masalah Halimah, konflik warisan
• Aktor: Tajul vs. Rois, dan Tajul vs. Kiai lokal
Tahap Polarisasi
• Slabet (menghina kiai)
• Madura = Islam (Sunni); Madura ≠ Syiah
• Menciptakan batas-batas identitas Sunni dan Syiah memecah belah warga menciptakan ketegangan di warga
• Aktor: Tajul dan pengikutnya vs. Kiai dan pengikutnya
Tahap Kekerasan
• Aktor: Pemerintah, kiai anti-Syiah, enterprenir politik
LANGSUNG
Fisik
TIDAK LANGSUNG
• Demonstrasi anti-Syiah
• Relokasi Tajul
• Pembakaran properti milik warga Syiah
• Pengusiran warga Syiah
• Kriminalisasi Tajul
Struktural
• Pemahaman tunggal tentang Islam
• Fatwa sesat ajaran Syiah
• Taubat sebagai syarat rekonsiliasi
Kultural
• Tawar menawar politik antara kiai dan politisi
• Regulasi agama yang dikeluarkan oleh pemerintah dan kelompok Islam Sunni
• Mengkambinghitamkan Tajul atas segala kekerasan yang terjadi
• Keberpihakan pemerintah kepada pihak mayoritas
Note: Diadaptasikan dari konsep Galtung tentang mekanisme kausalitas konflik dan segitita kekerasan
untuk mencari solusi atas keresahan warga akibat
ajaran Syiah yang didakwahkannya. Dalam pertemuan ini,
Tajul menandatangani surat pernyataan bahwa dia bersedia
untuk tidak mengadakan ritual dan dakwah yang berkaitan
dengan ajarannya sebab telah meresahkan warga dan
jika dia melanggarnya, dia siap diberi hukuman sesuai
dengan hukum yang berlaku. Selain itu, Bakorpakem, MUI,
dan NU akan selalu memonitor kegiatan Tajul dan siap
meredakan gejolak di warga selama Tajul siap menaati
pernyataannya untuk tidak mendakwahkan ajarannya.
sesudah forum ini, dapat dikatakan tidak ada gejolak
besar yang terjadi di Karang Gayam dan Omben. Sampai
hampir dua tahun kemudian, tepatnya tanggal 4 April 2011,
saat Tajul berencana mengadakan perayaan maulid nabi,
ratusan orang datang dengan berbagai senjata tajam ke rumah
Tajul meminta agar tidak melanjutkan rencananya. Merasa
jiwanya terancam, Tajul pergi ke kantor Kepolisian Resort
Sampang dan mengamankan diri di rumah Wakapolres
Sampang. Merespons kejadian ini, keesokan harinya, Bupati
dan jajaran Muspida dan Ulama Sampang mengundang Tajul
untuk menyelesaikan gejolak yang terjadi di warga .
Acara yang juga dihadiri Kapolda Jawa Timur saat itu berubah
dari mediasi konflik menjadi penghakiman keyakinan dan
ajaran yang dibawa Tajul Muluk.
Pertemuan ini tidak banyak menyelesaikan
masalah. Beberapa hari selanjutnya, 8 April 2011, para
kiai dan tokoh warga Karang Gayam dan Blu’uran
mengirim surat kepada Bupati Sampang menyampaikan
dua tuntutan, yakni menghentikan seluruh aktivitas sekte
Syiah di Karang Gayam dan Blu’uran secara khusus dan di
Sampang secara umum, dan merelokasi Tajul Muluk ke luar
Sampang untuk meredakan suasana “gaduh” di warga .
Tiga hari kemudian, 30 kiai dari FUM (Forum Ulama
Madura) dan PCNU berkumpul mengundang beberapa
pejabat Muspida Sampang di salah satu pesantren di Omben.
Mereka bersepakat Tajul Muluk harus direlokasi keluar
Madura untuk menciptakan ketenteraman dan kedamaian di
Sampang sebab Tajul merupakan sumber masalah konflik
yang selama ini terjadi dan sebab Tajul dituduh melakukan
pelanggaran HAM sebab mengajarkan ajaran Syiah kepada
warga Sunni. Selain itu, para kiai juga meminta pemerintah
untuk bekerja sama dengan para ulama dalam pembinaan
warga Syiah agar kembali kepada ajaran yang benar.8
Untuk memperkuat tekanan kepada pemerintah, pada 28
Mei 2011, MUI se-Madura mendeklarasikan hal yang sama
dan menuntut Pemda Sampang untuk membekukan seluruh
aktivitas dan gerakan Syiah Imamiyah yang dipimpin Tajul
dan untuk merelokasi pemimpin Syiah ini keluar dari
Pulau Madura sesuai permintaan warga Karang Gayam
dan Blu’uran.9
Pada fase ini, polarisasi yang terjadi antara Tajul dan
para kiai di Madura semakin membesar. Tajul tidak lagi
berhadapan dengan kiai Sampang, melainkan seluruh kiai
Madura. Isu yang diangkat pun berkembang dari waktu ke
waktu. Tajul mendapat label mulai dari pembawa ajaran
sesat, penista agama, biang kerok kerusuhan sosial, hingga
pelanggar HAM. Oleh sebab itu, para kiai datang sebagai
pembela kebenaran yang datang menolong warga yang
menjadi korban penipuan dan bujuk rayu ajaran Tajul.
Bagi mereka, pembakaran yaitu bentuk konsekuensi logis
dari kesesatan yang disebarkan oleh Tajul; dan bentuk
“pembelaan” diri dari serangan ajaran sesat yang didakwahkan
Tajul.10 Semua kiai BMN dan pemerintah sepakat akan hal
ini. Satu persatu dari tiap organisasi kemudian mengeluarkan
fatwa terkait kesesatan ajaran Tajul. Secara berurutan MUI
Kabupaten Sampang11 dan PCNU12 mengeluarkan fatwa pada
1 dan 2 Januari 2012, kemudian diikuti oleh BASSRA13 dan
Bakorpakem Kabupaten Sampang14 pada 3 dan 4 Januari 2012.
Tidak hanya itu, Rois melaporkan Tajul ke pihak kepolisian
Sampang atas tuduhan penistaan agama pada 3 Januari 2012.
Dalam rangka menggalang dukungan gerakan mereka,
para kiai BMN mendorong MUI se-Madura untuk bersikap
sama dengan mereka terkait kesesatan ajaran Tajul. Atas
dasar ukhuwah ke-kiai-an, kemaslahatan umat, dan
tegaknya aqidah ahlussunnah waljama'ah,15 MUI se-Madura
mengeluarkan fatwa No. 01/MUI/KD/MDR/I/2012 tertanggal
14 Januari 2012 tentang sesatnya ajaran Syiah Imamiyah Itsna
Asyariyah. Para kiai juga menggalang dukungan dari MUI
dan Ormas Islam di tingkat Jawa Timur maupun nasional.
Dengan bantuan dari MUI Propinsi Jawa Timur, para kiai
BMN melakukan safari ke Jakarta selama tiga hari (24-26
Januari 2012) untuk menemui Ketua Umum PBNU, Ketua
MUI Pusat, Menteri Agama, Ketua Mahkamah Konstitusi,
dan Komis III DPR RI.16 Inti dari perjalanan mereka yaitu
menyampaikan saran dan masukan warga terkait
keamanan Madura, khususnya Sampang. Tiga bulan
berikutnya, 22-24 April 2012, BASSRA melakukan safari ke
Bandung untuk menghadiri Musyawarah Ulama dan Umat
Islam negara kita kedua, ke MUI Pusat, dan ke kediaman
Ketua Umum MUI Pusat saat itu, KH. Sahal Mahfudz. Semua
kegiatan ini untuk menggalang dukungan gerakan
mereka menyesatkan Tajul Muluk dan ajaran Syiah yang
dibawanya.
saat Tajul mendapat vonis dua tahun penjara atas
dakwaan pelanggaran pasal 156 KUHAP tentang penistaan
agama pada 12 Juli 2012 sesuai keputusan Pengadilan Negeri
No. 69/Pid.b/2012/PN.Spg, gerakan yang telah digalakkan oleh
para kiai dan warga anti-ajaran Tajul semakin menguat.
Mereka mendapatkan justifikasi atas perbuatan mereka
sebab Tajul sudah dianggap sesat secara agama oleh MUI
dan bersalah secara hukum normatif oleh pengadilan negara.
Oleh sebab nya, gerakan mereka kemudian diarahkan untuk
mengembalikan pengikut Tajul kepada ajaran yang benar,
yakni ahlussunnah waljama'ah. saat Tajul mengajukan
naik banding atas putusan Pengadilan Negeri Sampang, para
kiai mencoba untuk mengintervensi putusan pengadilan
dengan mengirim surat ke Forpimda Sampang No. 45/s.2/int/
VIII/12 pada tanggal 16 Juli 2012 dengan maksud memohon
kepada Pemda Sampang mendorong Pengadilan Tinggi
untuk menolak banding Tajul Muluk.
Selain itu, mereka juga memobilisasi massa untuk
menolak keberadaan Tajul Muluk dan Syiah di Karang
Gayam dan Blu’uran. Pertemuan para kiai BASSRA dan warga
pada 17 Juli 2012 di salah satu pesantren di Omben ini
menghasilkan empat hal, yaitu: (1) warga berterima kasih
kepada pihak berwajib yang telah menghukum Tajul dengan
2 tahun penjara; (2) warga Karang Gayam dan Blu’uran
menginginkan Syiah hilang dari bumi Karang Gayam dan
Blu’uran dengan mengusahakan pertaubatan pengikut Tajul
dan kembali kepada ajaran ahlussunnah waljama'ah; (3)
warga meminta para ulama BASSRA dan PCNU Sampang
untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada pihak yang
berwenang sebelum kesabaran warga habis; dan (4) BASSRA
memohon kepada Pemda untuk membantu penolakan
banding Tajul di Pengadilan Tinggi Surabaya.17
Menindaklanjuti pertemuan di atas, kiai BMN
mengadakan pertemuan dengan Forpimda Sampang pada
7 Agustus 2012 yang difasilitasi oleh Kapolres Sampang.
Pertemuan ini menghasilkan enam kesepakatan,
yaitu: (1) mengembalikan pengikut Tajul ke dalam ajaran
ahlussunnah waljama'ah; (2) meminta Polres untuk
mengaktifkan kampanye pelarangan senjata tajam; (3)
Pemda Sampang agar menarik anak-anak pengikut Tajul
yang nyantri di pesantren-pesantren Syiah di Jawa dan
menyekolahkan mereka ke pesantren-pesantren Sunni di
Madura, semua dengan biaya APBD Sampang; (4) BASSRA
dan Pemda Sampang agar mengawal naik banding Tajul di
Pengadilan Tinggi Surabaya; (5) meminta Bakorpakem Kab.
Sampang untuk mengusahakan keputusan sesat ajaran Tajul
juga dikeluarkan oleh Bakorpakem Propinsi Jawa Timur dan
Bakorpakem Pusat; dan (6) untuk mendeklarasikan bahwa
masalah Sampang ini disebabkan oleh Tajul Muluk.
sesudah kurang lebih dua minggu berlangsung, warga
mulai jengah dengan tidak adanya gerakan nyata dari Pemda
Sampang untuk merealisasikan enam tuntutan di atas.
Mereka kembali menemui para kiai untuk mempertanyakan
kelanjutan tuntutan yang sudah mereka sampaikan. Namun
mereka tidak mendapatkan jawaban yang mereka harapkan
sebab para kiai juga menunggu langkah riil dari Pemda.
Walhasil, warga kemudian melangkah sendiri mewujudkan
enam tuntutan terutama pada tuntutan ketiga. saat
warga Syiah hendak mengantar anak-anak mereka untuk
bersekolah di beberapa pesantren Syiah di Jawa, mereka
menghadang rombongan ini yang kemudian berakibat
pada peristiwa bentrok pada 26 Agustus 2012.
Organisasi Muslim di luar Madura
Peristiwa pembakaran yang terjadi di Sampang pada 29
Desember 2011 dan 26 Agustus 2012 seperti membangunkan
singa yang sedang tidur. Kelompok-kelompok anti-Syiah
yang sudah lama ada di Jawa Timur dan negara kita seakan
menemukan momentum untuk menggalakkan kembali
gerakan anti-Syiah di negara kita . Mereka menganggap bahwa
kerusuhan ini membuktikan bahwa eksistensi Syiah di
negara kita akan berakibat buruk pada stabilitas politik dan
sosial negara. Gerakan mereka secara tidak langsung telah
membuat konflik di Sampang semakin membesar sebab
atensi yang muncul dari pihak luar Sampang yang begitu
besar. Beberapa kelompok yang masuk dalam gerakan ini
yaitu MUI Propinsi Jawa Timur, GUIB (Gerakan Umat Islam
Bersatu), Albayyinat, Jam’iyyah ASWAJA (Ahlussunnah wal
Jama’ah), FUUI (Forum Ulama dan Ummat negara kita ), dan
ANAS (Aliansi Nasional Anti Syiah).
Sebagai institusi yang menangani persoalan umat
Islam di Jawa Timur, MUI Jawa Timur secara tidak
langsung terjun melibatkan diri dalam permasalahan umat.
Terlebih, persoalan ini juga menyangkut MUI Sampang
dan menyangkut ajaran Syiah di mana MUI Pusat pernah
memberikan himbauan agar umat Muslim negara kita yang
mayoritas beraliran ahlussunnah waljama‘ah berhati-hati
dengan aliran Syiah yang berbeda dengan aliran mereka.18
Persentuhan MUI Jawa Timur dengan permasalahan ajaran
Syiah yang dibawa oleh Tajul yaitu MUI membentuk tim
investigasi yang langsung dipimpin oleh ketua MUI Jawa
Timur terhadap keberadaan aliran Syiah di Sampang. Tidak
ada yang berbeda antara laporan investigasi MUI Jawa
Timur dengan keputusan dan hasil rapat para kiai BMN. Ada
kesamaan gerak antara MUI dan BMN di Sampang.
Dengan kekuasaan yang lebih luas, MUI Jawa
Timur disinyalir mengorganisir MUI se-Jawa Timur untuk
mengeluarkan fatwa sejenis dengan apa yang difatwakan oleh
MUI Kab. Sampang dan MUI se-Madura, yakni aliran Syiah
yaitu sesat dan meminta pemerintah untuk menghentikan
seluruh aktivitas dakwah Syiah di negara kita . Secara berurutan
dari MUI Korda (Koordinasi Daerah) Surabaya (Surabaya,
Gresik, Mojokerto, Jombang, dan Sidoarjo) pada tanggal 12
Januari 2012, MUI se-Madura pada 14 Januari 2012, MUI Kab.
Gresik dan MUI Korda Bojonegoro (Bojonegoro, Tuban, dan
Lamongan) pada 19 Januari 2012, MUI Korda Malang pada 20
Januari 2012, dan MUI Korda Besuki (Jember, Banyuwangi,
Situbondo, dan Bondowoso) pada 13 Februari 2012. Merujuk
pada fatwa-fatwa yang dikeluarkan masing-masing korda
sekaligus fatwa MUI Kab. Sampang, Rekomendasi Hasil
Musyawarah BASSRA, dan pernyataan GUIB, MUI Jawa
Timur kemudian mengeluarkan Fatwa Kesesatan Ajaran
Syiah no. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 tertanggal 21 Januari
2012. Mengesankan bahwa fatwa ini merupakan
rekomendasi dari fatwa MUI kabupaten/kota se-Jawa Timur,
MUI Propinsi Jawa Timur kemudian meminta MUI Pusat
untuk mengeluarkan fatwa yang sama terkait Syiah. Usaha
ini gagal sebab Ketua Umum MUI Pusat saat itu, KH.
Sahal Mahfudz menolak untuk mengikuti kemauan MUI
Propinsi Jawa Timur.
Selain mendorong gerakan dari MUI-MUI kabupaten/
kota se-Jawa Timur, MUI Jawa Timur juga mempunyai
lembaga yang bernama GUIB (Gerakan Umat Islam Bersatu).
Lembaga yang menaungi kurang lebih 45 ormas Islam
ini pada 17 Januari 2012 memberikan pernyataan sikap
atas terjadinya “gangguan terhadap keamanan dan ketertiban
warga Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam,
Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur,” yang
diakibatkan oleh ajaran sesat Syiah yang dibawa oleh Tajul
Muluk. GUIB juga mendorong pemerintah untuk menindak
secara hukum pihak-pihak yang mendukung gerakan Tajul
ini dan bertindak tegas dalam menangani konflik yang
terjadi di Sampang demi keutuhan NKRI.
Dukungan lain MUI Jawa Timur terhadap gerakan kiai-
kiai BMN yaitu dengan memfasilitasi perjalanan mereka ke
Jakarta untuk mendorong diterbitkannya fatwa sesat Syiah
secara nasional oleh MUI Pusat,21 selain juga mendorong dua
Ormas Islam terbesar di negara kita , NU dan Muhammadiyah,
serta Kanwil Kemenag Propinsi Jawa Timur pada pertemuan
tanggal 6 Maret 2012 untuk menyepakati 13 kesepakatan
yang berkutat pada dukungan mereka terhadap fatwa sesat
Syiah yang sudah dikeluarkan oleh MUI Propinsi Jawa
Timur, himbauan terhadap umat Islam akan ajaran sesat
Syiah, dukungan terhadap pemerintah propinsi Jawa Timur
dalam menangani kasus Syiah di Sampang, permohonan
kepada Kakanwil Kemenag Propinsi Jawa Timur untuk
berkoordinasi dengan instansi-instansi pemerintah lainnya
untuk menyortir naskah -naskah tentang Syiah, dan perlindungan
hukum terhadap penganut ahlussunnah waljama‘ah.
Kelompok di luar MUI Propinsi Jawa Timur dan GUIB
yaitu Albayyinat. Kelompok yang berdiri pada awal 1980-
an ini memang mendedikasikan gerakannya untuk
melawan keberadaan Syiah di negara kita .22 Habib Ahmad
Alkaf, salah satu penggerak Albayyinat negara kita telah
banyak menulis naskah -naskah yang mempropagandakan
kesesatan ajaran Syiah. Di antara naskah -naskah beliau yang
juga menjadi rujukan utama dalam fatwa MUI Propinsi Jawa
Timur yaitu “Export Revolusi Syiah di negara kita ,” “Dialog
Apa dan Siapa Syiah,” “Mengenal Syiah, Syiah bukan Islam?,”
dan “Sayyid Syabaab Ahlil Jannah al-Hasan ra & al-Husin
ra.” Karya-karya ini meletakkan beliau sebagai orang
yang ahli dan kompeten dalam dunia per-Syiah-an.23 Melalui
karya-karyanya ini, Habib Ahmad dikenal sebagai ulama ahli
Syiah dan oleh sebab nya layak menjadi saksi ahli untuk
pihak penuntut umum pada saat persidangan Tajul Muluk.
Meski tidak menanggapi langsung peristiwa kerusuhan
yang ada di Sampang, Habib Ahmad menulis betapa
bahayanya negara kita jika Syiah eksis. Dalam artikel yang
dimuat di “Ash-Showaaiq” tertanggal 10 November 2011
ini , beliau menegaskan kepada umat Islam di negara kita
bahwa di mana pun Syiah berada, pastilah terjadi kerusuhan
dan kekerasan di wilayah ini , seperti di Iraq, Bahrain,
Yaman, Pakistan, dan negara Timur Tengah lainnya.24 Dan
hal ini akan terjadi di negara kita jika Syiah berkembang
di negara ini, beliau menekankan. Albayyinat juga terlibat
aktif bekerja sama dengan ulama-ulama anti-Syiah di Madura
mendirikan FAAS (Front Anti Aliran Sesat). Melalui gerakan
yang dideklarasikan di Masjid Agung Sampang pada 29
September 2013 ini , Albayyinat dan FAAS melakukan
pengaderan dan pembinaan santri-santri muda Madura
untuk menangkal gerakan yang mereka sebut dengan SIBILI
(Syiah, Wahabi, dan Liberalisme).25
Kelompok lain yang juga bereaksi dari peristiwa
Sampang yaitu Jam’iyyah ASWAJA (Ahlussunnah
waljama’ah). Kelompok yang juga terlibat dalam penyerangan
Pesantren YAPI di Bangil ini26 mengirimkan surat kepada
MUI Jawa Timur No. 025/ASWAJA/I/2012 tertanggal 10
Januari 2012 memohon kepada MUI Propinsi Jawa Timur
untuk menerbitkan fatwa sesat Syiah. Ada tujuh alasan yang
dikemukakan oleh ASWAJA, yaitu bahwa Syiah (1) meyakini
tahrif al-Qur’an, bahwa Alquran yang ada saat ini tidak asli;
(2) melaknat para sahabat nabi; (3) melaknat para istri nabi;
(4) menghalalkan nikah mut‘ah; (5) mengultuskan 12 imam;
(6) tidak mewajibkan salat Jumat; dan (7) melabeli kelompok
ahlussunnah waljama'ah sebagai kafir dan halal dibunuh.
Di tingkat nasional, FUUI (Forum Ulama dan Umat
negara kita ) pada tanggal 28 Februari 2012 mengeluarkan
Fatwa tentang Syiah dan mempersiapkan Musyawarah
Ulama dan Umat Islam negara kita dengan agenda khusus
“merumuskan langkah strategis untuk menyikapi penyesatan
dan penghinaan para penganut Syiah.” Musyawarah yang
juga dihadiri oleh kiai-kiai BASSRA ini merumuskan
secara rigid langkah-langkah yang harus dilakukan untuk
mencegah dan menghentikan penyebaran ajaran Syiah.
Beberapa di antara langkah-langkah ini yaitu (1)
memberikan rekomendasi ke MUI Pusat untuk mengeluarkan
fatwa sesat Syiah dan ke Kemendikbud RI agar menutup
seluruh Iranian Corner di seluruh kampus di negara kita ,
dan memperkokoh persatuan umat serta mengawal seluruh
hasil rekomendasi dan mengajak seluruh umat Syiah untuk
bertaubat; (2) memberikan pengimbangan isu-isu Syiah
lewat media massa termasuk penerbitan naskah dan khotbah
di masjid-masjid; dan (3) melakukan gerakan sosialisasi sesat
Syiah melalui media massa, publikasi naskah , dan forum-forum
seminar.27 Selain FUUI, ada juga MIUMI (Majelis Intelektual
dan Ulama Muda negara kita ) yang juga mendukung gerakan
MUI Propinsi Jawa Timur.
Hampir seluruh ulama yang bergabung dalam
organisasi di atas, termasuk beberapa kiai BASSRA, baik
secara individu maupun secara organisasi, mendeklarasikan
diri dalam wadah yang mereka sebut dengan ANAS
(Aliansi Nasional Anti-Syiah) pada tanggal 20 April 2014.
Gerakan anti-Syiah berskala nasional pertama di negara kita
ini melahirkan empat komitmen, yakni: (1) menjadikan
lembaga ANAS sebagai wadah dakwah amar ma’ruf nahi
munkar; (2) memaksimalkan upaya preventif, antisipatif,
dan proaktif membela dan melindungi umat, dari berbagai
upaya penyesatan akidah dan syari’ah yang dilakukan
oleh kelompok Syiah di negara kita ; (3) menjalin ukhuwah
Islamiyah dengan berbagai organisasi dan gerakan dakwah di
negara kita , untuk mewaspadai, menghambat dan mencegah
pengembangan ajaran sesat Syiah; dan (4) mendesak
pemerintah agar segera melarang penyebaran paham dan
ajaran Syiah, serta mencabut izin seluruh organisasi, yayasan,
dan lembaga yang terkait dengan ajaran Syiah di seluruh
negara kita .29
Politisasi Kasus Tajul Muluk
Salah satu faktor yang menyebabkan konflik Sunni dan
Syiah di Sampang tidak terselesaikan dengan segera dan
bahkan cenderung semakin membesar yaitu tidak adanya
keberpihakan politik dari pemerintah untuk menyelesaikan
konflik ini. Jika melihat kekerasan agama terhadap komunitas
Syiah di Sampang mulai dari Tajul menyebarkan paham
Syiah di kampung halamannya pada awal tahun 2004,
maka peristiwa kekerasan ini telah melalui tiga periode
kepemimpinan politik di Sampang, yakni Bupati Fadhillah
Budiono (2002-2007), Bupati Noer Tjahja (2008-2013),
dan Bupati Fannan Hasib (2013-2018). Selain itu, konflik
kekerasan ini juga telah melalui tiga periode kepemimpinan
politik di tingkat Propinsi Jawa Timur, yakni Imam Utomo
(2003-2008), dan dua periode Gubernur Soekarwo (2008-
2013 dan 2013-2018).
Fakta menarik yang muncul dari periodisasi politik di
atas yaitu adanya yang terjadi menjelang
dan sesudah perhelatan pesta demokrasi atau yang biasa
dikenal dengan pemilukada (pemilihan umum kepala
daerah). pertama terjadi pada tahun 2006,
yakni menjelang pemilukada 2007 di Sampang dan 2008
di Jawa Timur. Catatan khusus diberikan untuk Kabupaten
Sampang yang tidak berhasil mengadakan pemilukada
sebab adanya turbulensi politik di daerah ini sehingga
pemilukada baru bisa dihelat pada akhir tahun 2007. Eskalasi
konflik selanjutnya yaitu kekerasan fisik pada akhir tahun
2011 dan pertengahan tahun 2012, kedua peristiwa ini
mendekati pemilukada Sampang pada 12 Desember 2012.
Dan eskalasi terakhir terjadi pada 20 Juni 2013 menjelang
pemilukada Gubernur Jawa Timur yang dilaksanakan pada
27 Agustus 2013.
Kriminalisasi Tajul Muluk
saat konflik tetap berlangsung dan berpotensi meluas,
salah seorang legislator yang berasal dari daerah pemilihan
Omben dan Karang Penang, meminta keterlibatan lebih aktif
Bakorpakem dan bekerja sama dengan Pemkab Sampang
agar menyelesaikan kasus ini melalui jalur hukum, dengan
memakai Undang-undang PNPS/1965. Kejaksaan Negeri
Sampang sebagai Ketua Bakorpakem Sampang merapatkan
barisan. Pada 11 Maret 2011, institusi ini menerbitkan Surat
Keputusan No. KEP-06/O.5.36/Dsp.5/03/2011 tentang Tim
Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan warga
(PAKEM) Kabupaten Sampang Negeri Sampang Tahun
2011. Merujuk pada SK ini , jajaran BAKORPAKEM
Kab. Sampang terdiri dari 9 orang, yaitu Kepala Kejaksaan
Negeri Sampang sebagai ketua merangkap anggota, Kasi
Intelijen Kejaksaan Negeri Sampang sebagai wakil ketua
merangkap anggota, Kasubsi Sosial Politik pada Kejaksaan
Negeri Sampang sebagai sekretaris merangkap anggota,
Kasi Integritas Bangsa Bakesbangpol Kab. Sampang, Kasat
Intelkam Polres Sampang, Pasi I Intel Kodim 0828 Sampang,
Kasi Penerangan Agama Islam dan Pemberdayaan Masjid
Kankemenag Kab. Sampang, Kabid. Kebudayaan Dinas
Pariwisata dan Olah Raga Kabupaten Sampang, dan BIN
Posda Kab. Sampang sebagai anggota.
Posisi pemerintah, dalam hal ini Pemkab Sampang
dan Bakorpakem, yaitu menyelesaikan konflik dengan
mengedepankan kearifan lokal dan menjaga stabilitas sosial
politik di Sampang.30 Kearifan yang dipahami di sini yaitu
ketaatan dan kepatuhan warga kepada kiai (bhuppa’
bhabhu’ ghuru rato). Bagi warga Madura, kiai tidak
hanya tempat rujukan dalam urusan keagamaan, tetapi juga
dalam urusan sosial politik.31 Setiap tindakan yang akan
diambil seseorang, dia akan merasa aman dan nyaman
saat dia sudah berkonsultasi terlebih dahulu dengan kiai.
Oleh sebab nya, nasihat dan petuah kiai akan selalu diikuti
oleh warga . Dalam konteks konflik ini, guna menjaga
stabilitas sosial politik pemerintah tidak bisa mengabaikan
para kiai yang juga berasal dari kelompok mayoritas.
Sebelum memberikan keputusan atau pernyataan resmi,
pemerintah acap kali berkonsultasi terlebih dahulu dengan
para kiai.32 Dan setiap keputusan para kiai, pemerintah
kemudian menyetujui dan melaksanakannya.
saat para kiai pada 8 April 2011 berkirim surat ke
Pemda Sampang untuk menghentikan segala aktivitas
dakwah Tajul dan merelokasinya ke luar Madura, dan
membina pengikut Tajul agar kembali kepada ajaran
ahlussunnah waljama‘ah . Tidak ada pilihan yang diambil
oleh pemerintah kecuali mendukung permintaan para kiai
ini . Demikian pula saat hal yang sama diajukan
kepada perwakilan dari Polri dan MUI Pusat, dan MUI
Propinsi Jawa Timur pada pertemuan dengan para kiai
Sampang pada 11 April 2011. Pada tanggal 31 Mei 2011,
PEMDA Sampang berkirim surat ke Gubernur Jawa Timur
untuk meminta dana bantuan guna merelokasi Tajul Muluk.
Anggaran yang ditujukan untuk membiayai relokasi Tajul
selama di Sampang dan di Malang serta pembinaan pengikut
Tajul disetujui oleh Gubernur Jawa Timur. Sempat jajaran
Muspida Sampang mengadakan pertemuan pada tanggal 28
Juli 2011 di rumah kepala desa Blu’uran untuk mengetahui
secara langsung kondisi di lapangan. Hasilnya, warga tidak
ingin Tajul kembali sebab dia dianggap sebagai biang keladi
dari konflik yang terjadi.
sesudah negosiasi yang panjang dan dengan sedikit
intimidasi, Tajul bersedia untuk direlokasi agar pengikutnya
tidak mengalami tekanan dari pemerintah.33 Pada tanggal
29 Juli 2011 jelang tengah malam, Tajul membuat surat
pernyataan bahwa dia bersedia untuk keluar Sampang
selama satu tahun. Tujuan relokasi yaitu Malang, di tempat
asal desa istrinya. Tajul kemudian mendapatkan dana
bantuan sebesar sepuluh juta untuk uang muka kontrak
rumah dan transportasi perpindahan dari Madura ke
Malang. Dia juga membuat surat pernyataan yang ditujukan
kepada Bakesbangpol Sampang pada 24 Agustus 2011 yang
dua diantaranya menyatakan bahwa dia telah keluar dari
IJABI dan bersedia direlokasi ke luar Madura selama satu
tahun selama Pemda memperbolehkan dirinya berkunjung
secara periodik untuk urusan keluarga, memperbolehkan
pengikutnya untuk mengadakan aktivitas keagamaan seperti
biasa dan mengusahakan penyelesaian temporal sebelum
ditemukan solusi yang permanen.
sesudah peristiwa kekerasan pada 29 Desember 2011,
penyelesaian masalah tidak lagi melalui pendekatan budaya
(kearifan lokal), tapi pendekatan hukum. Pemerintah,
Bakorpakem, dan para kiai kemudian bersepakat untuk
menindaklanjuti permasalahan ini ke ranah hukum.
Pemerintah kemudian meminta MUI untuk mengeluarkan
fatwa34 yang menjadi pijakan hukum bagi instansi terkait,
yakni Bakorpakem.35 Para kiai dari BASSRA juga membantu
membuatkan konsep fatwa agar sesuai dengan standar
fatwa MUI.36 Proses ini berlangsung sangat singkat. Walhasil,
sebagaimana telah dijelaskan di subbab sebelumnya di atas,
secara berurutan MUI Kab. Sampang mengeluarkan fatwa
sesat ajaran Tajul dan harus diproses dalam ranah hukum
(No. A-035/MUI/Spg/I/2012) pada tanggal 1 Januari 2012;
PCNU mengeluarkan surat pernyataan dukungan terhadap
fatwa ini (No. 255/PC/A.2/L-36/I/2012) pada tanggal
2 Januari 2012; BASSRA mengeluarkan surat pernyataan
sembilan kesesatan ajaran Tajul dan rekomendasi untuk
membawa Tajul ke meja pengadilan pada tanggal 3 Januari
2012; pada hari yang sama, Rois mewakili para kiai Sunni
di Sampang melaporkan Kiai Tajul ke Polres Sampang
atas tuduhan penistaan agama; dan terakhir, Bakorpakem
mengeluarkan laporan investigasi yang menyatakan bahwa
ajaran Tajul sesat dan harus diproses secara hukum yang
berlaku pada tanggal 4 Januari 2012.
Keputusan empat institusi di atas memiliki tiga
kesamaan paham terkait Kiai Tajul dan ajarannya, yakni
bahwa ajaran Tajul yang sesat dan menyesatkan, perbuatan
Tajul yang menistakan agama Islam, dan tentang keharusan
Tajul untuk diproses secara hukum. Kesamaan isu yang
diangkat dapat dipahami sebab empat hal. Pertama, BMN
(BASSRA, MUI, dan NU) memiliki satu kesamaan pandangan
meski latar belakang mereka berbeda-beda, yaitu ingin
menyelesaikan permasalahan ini secara hukum sehingga
gejolak di warga yang disebabkan oleh Tajul segera
terselesaikan.37 Kedua, salah satu unsur Bakorpakem yaitu
MUI. Meski tidak masuk dalam jajaran BAKORPAKEM, fatwa
MUI menjadi penting dalam penetapan keputusan institusi
ini.38 Ketiga, mereka yang diwawancarai antara satu institusi
dengan lainnya tidak jauh berbeda, demikian pula dengan
objek pertanyaan yang diajukan dan tentu jawaban yang
muncul. Dan keempat, Bakorpakem memasukkan fatwa
MUI Kab. Sampang dan pernyataan PCNU Sampang sebagai
bagian dari konsiderasi keputusan BAKORPAKEM.
Untuk menghadapi persoalan ini, pihak Tajul Muluk
kemudian meminta bantuan hukum kepada Muhammad
Hadun, SH, seorang pengacara dari ABI.39 Bekerja sama
dengan YLBH Universalia, salah satu sayap organisasi ABI
yang bergerak di bidang hukum, dan dengan beberapa
elemen organisasi di Surabaya seperti LBH Surabaya, CMARs,
dan KontraS, advokasi hukum atas Tajul Muluk berjalan.
Bagian ini secara khusus akan dijelaskan di bab selanjutnya.
Seminggu sesudah kasus ini dilimpahkan ke Polda Jawa
Timur, kasus ini meningkat dari penyelidikan ke penyidikan
pada 27 Januari 2012. sesudah mengalami beberapa kali
proses persidangan, pada 12 Juli 2012, Pengadilan Negeri
Sampang mengumumkan keputusan No. 69/Pid.b/2012/
PN.Spg menghukum Tajul Muluk dipenjara 2 tahun sebab
melanggar KUHP 156 tentang penodaan agama. Tajul
dianggap memfitnah agama dengan mengatakan bahwa
Al-Qur’an tidak asli. Tajul Muluk mengajukan banding
atas putusan ini namun ditolak oleh Pengadilan Tinggi
Surabaya. Bahkan, melalui putusannya No. 481/PID/2012/
PT.SBY tertanggal 10 Oktober 2012, Pengadilan Tinggi
Surabaya menambah hukuman Tajul Muluk dari dua
tahun menjadi empat tahun sebab Tajul dianggap terbukti
secara meyakinkan melakukan tindakan yang menciptakan
disharmoni di warga . Tajul terus berusaha untuk
melawan ketidakadilan yang menimpanya. Ia bersama tim
kuasa hukumnya melakukan kasasi ke Mahkamah Agung,
namun lagi-lagi dia gagal. Akhirnya, ia menjalani hukumannya
di Lembaga Pewarga an Sidoarjo. Saat naskah ini ditulis,
Tajul Muluk telah dibebaskan secara bersyarat sebab telah
menjalani ¾ dari hukuman yang ada namun ia tidak bisa
kembali ke jemaahnya yang tinggal di pengungsian Jemundo
Sidoarjo.
Tidak hanya di lingkup Sampang, proses legalisasi
penyesatan ajaran Kiai Tajul juga meluas ke wilayah Propinsi
Jawa Timur. Sejak peristiwa demonstrasi anti-Syiah pada 4
April 2011, Pemkab Sampang mulai melibatkan Pemprov
Jawa Timur meski hanya seputar undangan tamu saat ada
rapat-rapat tertentu terkait permasalahan Tajul dan hanya
berupa laporan resmi Bupati Sampang kepada Gubernur
Jawa Timur. Keterlibatan aktif Pemprov Jawa Timur
terhitung pasca peristiwa kekerasan 26 Agustus 2012 dimana
pemprov menyediakan seluruh anggaran konsumsi dan
sarana prasarana para pengungsi Syiah di GOR Sampang.
Bentuk keterlibatan lainnya yaitu lahirnya Pergub No. 55
tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan
Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur. Pergub ini sangat
penting sebab di antara poin pentingnya yaitu dukungan
Pergub ini terhadap fatwa MUI Jawa Timur yang menyatakan
bahwa Syiah yaitu ajaran sesat dalam Islam dan pentingnya
merujuk kepada MUI dalam setiap hal yang berkaitan
tentang ajaran Islam serta dukungan kepada Pemda untuk
menghentikan segala bentuk aliran keagamaan yang dapat
menyebabkan keresahan di warga .
Gubernur Jawa Timur juga membantu pendanaan
dan penggunaan bus milik Pemprov Jawa Timur untuk
digunakan para kiai saat mereka melakukan kunjungan
ke Jakarta guna mencari dukungan gerakan mereka dari
Menteri Agama, Mahkamah Konstitusi, PBNU, Komisi VIII
DPR RI, dan MUI Pusat.41 Selain itu, Gubernur Jawa Timur
juga tidak bisa menolak desakan para kiai untuk merelokasi
paksa para pengungsi Syiah dari GOR Sampang ke Rusunawa
Puspa Agro Jemundo Sidoarjo.42 Dukungan kepada para kiai
ditunjukkan dengan disiagakannya beberapa kendaraan
untuk mengantar para pengungsi ke lokasi relokasi
dan mengangkut barang-barang mereka; termasuk juga
menyiapkan Rusunawa Jemundo Sidoarjo agar siap dihuni
oleh pengungsi.
Adapun dukungan teknis di lapangan, Gubernur Jawa
Timur menunjuk wakilnya untuk secara intens berkomunikasi
dengan para kiai khususnya terkait masalah Syiah ini.
Penunjukan ini masuk akal sebab Wakil Gubernur
Jawa Timur mempunyai latar belakang yang sama dengan
para kiai di Sampang, yakni sama-sama berkiprah di NU.
Dukungan ini diamini PCNU Sampang yang mengungkapkan
janji Wagub untuk mendukung setiap langkah kiai untuk
kemaslahatan umat termasuk di dalamnya untuk mendukung
gerakan kiai terkait permasalahan Tajul.43 Salah satu gerakan
yang dilakukan PCNU Sampang yaitu deklarasi KAR (Kader
Anak Ranting) yang dilakukan oleh Wagub Jawa Timur
beserta jajaran pemerintah dan tokoh agama di Omben
dan Karang Penang.44 KAR yaitu organisasi ad hoc yang
didirikan PCNU untuk membantu kiai menstabilkan kondisi
sosial pasca peristiwa kekerasan pada 17 dan 29 Desember
2011 serta mempersuasi warga Syiah untuk bertaubat ke
ajaran ahlussunnah waljama‘ah.45
Resistensi para kiai terhadap gerakan Syiah Tajul juga
menggerakkan atensi Menteri Agama saat itu, Suryadharma
Ali, yang juga Ketua Umum DPP (Dewan Pimpinan
Pusat) PPP (Partai Persatuan Pembangunan). saat dia
mendapatkan mandat dari Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk memimpin mediasi kedua kelompok
yang berseteru,46 Menteri Suryadharma tidak bisa keluar dari
bias posisi antara sebagai menteri dan ketua umum sebuah
partai berbasis Islam. Target untuk menaikkan popularitas
partai melalui program PPP sebagai “rumah besar” umat
Islam47 mendorong menteri Suryadharma untuk mendukung
suara mayoritas, yakni para kiai Madura. Akibatnya, tujuan
untuk memulangkan pengungsi lewat jalan mediasi justru
menunjukkan hasil sebaliknya, yakni memperkuat tekanan
terhadap penganut Syiah untuk meninggalkan keyakinannya
sebagai prasyarat untuk kembali ke kampung mereka.
Ujaran Kebencian
Bentuk nyata resistensi para kiai terhadap ajaran Tajul
yaitu pidato ujaran kebencian yang hampir bisa ditemui di
setiap forum pengajian dan khotbah Jumat. Meski demikian,
tidak ada upaya nyata dari pemerintah untuk menghentikan
tindak ujaran kebencian yang mempertebal garis pembatas
antara kelompok Sunni dan Syiah di tingkat akar rumput.
Paparan sebelumnya telah menunjukkan bahwa pemerintah
hanya berpihak pada kelompok mayoritas sehingga gerakan
intimidasi terhadap kelompok Syiah terus bergulir dan
berkembang menjadi pengerahan massa, penyerangan
dan pengusiran warga Syiah. Sedangkan pemerintah yang
seharusnya melindungi warganya tanpa peduli latar belakang
etnis, suku, dan agamanya menjadi pendukung utama dari
gerakan intimidasi ini .
Tercatat sejak 2004, pidato-pidato keagamaan di forum-
forum pengajian, baik yang berada di pusat dakwah Tajul
―dusun Nangkernang dan Gading Laok― maupun secara
umum di Sampang dan Madura banyak memperingatkan
warga desa agar berhati-hati terhadap adanya ajaran baru
yang “diimpor” dari luar negeri dan bukan asli ajaran
Islam Madura.48 Dengan bergulirnya waktu dan semakin
membesarnya skala konflik, pidato ini berubah menjadi
ujaran kebencian dan provokasi massa untuk membenci dan
memarjinalkan Kiai Tajul dan pengikutnya. Hampir di setiap
forum pengajian, baik pada saat khotbah Jumat maupun saat
pengajian rutin di kampung-kampung, para kiai tidak lupa
untuk menyampaikan peringatan dan kewaspadaan warga
kampung akan adanya ajaran baru yang sesat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di bab sebelumnya,
ada dua topik utama yang dijadikan alat provokasi
warga, yakni nikah mut'ah dan taqiyya. Para kiai selalu
mendakwahkan bahwa nikah mut'ah yaitu bentuk
legalisasi zina melalui hukum agama. Disebut zina sebab
ia tidak memiliki batasan jumlah perempuan yang bisa
dinikahi, tanpa aturan jarak waktu antara satu pernikahan
dengan pernikahan yang lainnya termasuk waktu ‘iddah
(jarak antara perceraian dengan pernikahan baru), tanpa
ada saksi, dan tanpa wali.49 Isu kedua yaitu taqiyya. Isu
ini dijadikan alat provokasi bahwa ajaran ini mendorong
seseorang untuk menjadi pembohong dan munafik. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya perjanjian antara kiai-kiai
Sunni dengan Kiai Tajul dilanggar oleh Kiai Tajul sendiri,
yang kemudian berakibat pada kemarahan warga sehingga
terjadilah penyerangan dan pembakaran terhadap rumah-
rumah orang Syiah pada kejadian 29 Desember 2011.50 Tajul
dianggap pembohong sebab meski telah beberapa kali
menandatangani kesepakatan dengan para kiai maupun
dengan pemerintah, namun selalu melanggarnya. Dan
sebab taqiyya pula, kesaksian Tajul dan para saksi yang
meringankan tidak diterima oleh majelis hakim Pengadilan
Negeri Sampang selama proses pengadilan.
Selain itu, proses ideologisasi anti-Tajul juga dilakukan
oleh beberapa kiai Sunni. Diantaranya yaitu penguatan isu
enam kesesatan Tajul yang telah ditetapkan oleh para kiai
BASSRA pada 3 Januari 2012, yaitu (1) mempunyai rukun
Islam dan Iman yang berbeda; (2) meyakini aqidah yang
berbeda dengan apa yang ada dalam Alquran dan al-Sunnah;
(3) meyakini wahyu sesudah Alquran; (4) menolak otentisitas
dan kebenaran Alquran; (5) menafsirkan Alquran dengan
metode tafsir yang menyimpang; dan (6) menolak hadis
sebagai sumber ajaran Islam. Bersama-sama dengan isu
mut’ah dan taqiyya, enam poin ini menjadi alat propaganda
untuk menyesatkan Tajul Muluk di berbagai forum di
Sampang.
Puncak dari gerakan ideologisasi anti-Syiah di Sampang
yaitu dideklarasikannya FAAS (Front Anti Aliran Sesat)
di Masjid Jami’ Sampang pada 23 September 2015. Acara
yang dihadiri oleh 100 kiai dari berbagai wilayah di Madura
ini bersepakat untuk mengawal Pergub No. 55 tahun 2012
tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan
Aliran Sesat di Jawa Timur, serta fatwa MUI Propinsi Jawa
Timur yang menyatakan bahwa aliran Syiah sesat.53 Selain
itu, pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa deklarasi
ini sebagai salah satu bentuk respons para kiai akan rencana
kedatangan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, ke
Madura yang salah satu agendanya terkait pengungsi Syiah.
Kuatnya resistensi ajaran Syiah di Sampang oleh
para kiai Sunni mendorong para pegiat politik di wilayah
ini memanfaatkan isu ini untuk kepentingan politiknya.
Bupati petahana Noer Tjahja, misalnya sangat jelas sekali
memberikan dukungannya terhadap gerakan anti-Tajul yang
dilakukan oleh para kiai Sunni. Bahkan, dia sendiri terlibat
langsung dalam proses provokasi massa dan sebagai pelaku
utama dalam ujaran kebencian atas keberadaan warga dan
ajaran Syiah di Sampang. Isu provokasi pun tidak jauh
berbeda dengan apa yang telah diutarakan para kiai Sunni
sebagaimana peneliti paparkan di atas, yakni isu nikah
mut’ah, taqiyya, dan beberapa perbedaan keyakinan dan
praktik keagamaan lainnya seperti perbedaan Rukun Iman
dan Islam, dan perbedaan tata cara salat. Kampanye berbalut
ujaran kebencian terhadap kelompok Tajul terekam dengan
jelas pada acara peringatan maulid nabi di Karang Gayam 12
Februari 2012 atau sekitar seminggu sesudah pengembalian
warga Syiah ke kampung mereka sesudah penyerangan 29
Desember 2011. Dalam forum yang dikelola oleh Rois ini,
Bupati Noer meminta dukungan dari warga agar memilihnya
kembali pada perhelatan pemilukada 12 Desember 2012.
Sebagai janjinya, dia akan menyelesaikan persoalan Tajul
dalam tiga bulan sesudah terpilih. Gayung bersambut, seusai
berpidato, Kiai Rois mengalungkan sorban ke leher Bupati
Noer Tjahja sebagai simbol dukungannya kepada Bupati
Noer untuk maju mencalonkan diri pada pesta demokrasi
lokal ini . Berikut beberapa petikan pidato beliau yang
sudah diterjemahkan ke bahasa negara kita :
Kalau ada aliran sesat di sini, usir! [diiringi
tepukan warga] usir! Saya yang bertanggung
jawab!... Ini kan ibarat orang berjualan, kalau tidak
laku di sini, tutup aja jualan yang laku... Ini Pak
Yusuf (Kabag Rens POLRES Sampang)... kalau
datang ke sini tolong tangkap. Kalau datang ke sini,
jangan pelihara, usir! [diiringi tepuk tangan warga
dan teriakan, usir! Siap!]. Keamanan (itu) Polisi dan
TNI, FORPIMDA anggotanya Kapolres dan TNI,
tetapi saya ketuanya. Yang bertanggung jawab
seluruh Kabupaten Sampang ini yaitu bupati.
Bupati di Sampang ini cuma satu. Jadi tolong,
yang jadi keamanan, polisi, TNI, usir! [diiringi
tepuk tangan warga]. Kita ingin menyelamatkan
yang banyak ini, seluruh orang... Sebenarnya,
saya sudah tidak tahan lagi (menghadapi masalah
ini), sumpah demi Allah, tanya ke kiai Rois (kalau
tidak percaya). Sayang dari wakilnya (yang akan
maju PEMILUKADA), kalau seandainya saya jadi
bupati lagi, selesai! (masalah ini). Pasti akan saya
selesaikan! Masak bupati (incumbent) kalah, tidak
mungkin (itu terjadi). [warga berteriak, buktikan!].
Kan benar, warga di sini saudara saya semua ini
sudah rukun. Jangan memaksakan kehendak di
sini (untuk mengajarkan ajaran sesat).54
Bupati Noer juga mengintensifkan agenda-agenda
pemerintahan seperti rapat-rapat koordinasi kecamatan
dan desa (dalam berbagai urusan, tidak hanya terkait
permasalahan Tajul) di wilayah Omben dan Karang Gayam.
Acara-acara ini juga mengundang anggota legislatif
dari PKB yang berasal dari daerah pemilihan (kecamatan)
Omben dan Karang Penang. Salah satu tujuan utama dari
intensifikasi kegiatan-kegiatan di dua wilayah ini yaitu ,
sebagaimana yang diakuinya sendiri,55 untuk memperkuat
basis suara pada pemilukada Sampang 2012, di mana pada
saat pemilukada sebelumnya beliau kalah suara di dua
daerah ini.
Dari Lokalisasi ke Nasionalisasi Kasus Tajul
Selain masalah ujaran kebencian, Bupati Noer juga
sangat menolak keterlibatan pihak luar Sampang untuk
terlibat dalam permasalahan Tajul. Dalam berbagai seremoni
pemerintahan, beliau sering menyampaikan bahwa
permasalahan Tajul bukanlah konflik Sunni-Syiah, melainkan
permasalahan ajaran Tajul sesat yang mengakibatkan
keresahan warga . Bupati Noer juga sangat keras
menolak keterlibatan pemerintah pusat dalam permasalahan
Sampang. Setiap hasil kesepakatan yang dihasilkan dalam
rapat di Kemendagri maupun di Kemenag yang dihadiri oleh
berbagai unsur pemerintah dan ormas seperti Kemenag,
Kemendagri, Kemenkum HAM, Komnas HAM, Pemda
Sampang, ABI, dan IJABI tidak bisa diimplementasikan di
lapangan sebab penolakan Bupati Noer.57 Ada dua alasan
mengapa beliau sangat menolak keterlibatan pihak luar
dalam penyelesaian kasus Tajul yaitu (1) sebab ini yaitu
masalah Sampang, maka hanya pemerintah atau warga
Sampang yang bisa menyelesaikan masalahnya; dan (2)
keterlibatan pihak luar hanya akan memperluas cakupan
konflik dan semakin memperkeruh suasana konflik yang
pada akhirnya tidak akan bisa diselesaikan.58
Sebagai langkah antisipatif, Bupati Noer, baik secara
langsung maupun melalui Bakesbangpol Kab. Sampang,
terjun langsung untuk menyosialisasikan dan bahkan
memaksakan ide bahwa permasalahan Tajul yaitu
permasalahan lokal Sampang. Dalam laporan resmi bupati
kepada Gubernur Jawa Timur No. 220/536/434.203/2011
tertanggal 2 Agustus 2011, dengan jelas Bupati Noer
menyatakan bahwa konflik yang terjadi bukanlah konflik
agama (Sunni dan Syiah), melainkan konflik keluarga
antara Tajul dan Rois yang telah terlibat perselisihan sejak
tahun 2004. Dalam surat ini dijelaskan, keduanya
memakai isu agama untuk memprovokasi pengikut
masing-masing sehingga mereka saling berhadap-hadapan
untuk membela agama mereka masing-masing. Bukti kedua
yaitu paksaan Kepala Bakesbangpol Sampang kepada
Kiai Tajul agar keluar dari IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait
negara kita ) sebagaimana tertuang dalam surat Kiai Tajul
kepada Bakesbangpol tertanggal 24 Agustus 2011. Hal yang
sama juga diutarakan langsung oleh Bupati Sampang dalam
forum penyelesaian kasus Sampang tepat sehari sesudah
peristiwa pembakaran 29 Desember 2011. Lokalisasi isu
ini diamini oleh para kiai yang menjadi narasumber dalam
penelitian ini. Selama periode kepemimpinan Bupati Noer
Tjahja, dapat dikatakan pemberitaan media massa versi
Pemkab Sampang yaitu bahwa isu ini yaitu isu ajaran
sesat Tajul, bukan ajaran Syiah sesat.
Namun, sejak kekalahan Bupati Noer dalam pemilukada
Sampang 12 Desember 2012 dan kepemimpinan Pemkab
Sampang beralih ke Bupati Fannan, isu ini berubah menjadi
ajaran Syiah sesat. Jika pada fase sebelumnya, Bupati Noer
menolak keterlibatan pihak luar termasuk pemerintah
pusat, Bupati Fannan malah meminta langsung keterlibatan
Kementerian Agama dan bahkan Presiden RI untuk terlibat
langsung. Alasan utamanya yaitu sebab konflik ini
bernuansakan agama yang merupakan domain pemerintah
pusat, bukan pemerintah daerah.59 Peralihan isu ini juga
menguatkan eksistensi fatwa MUI Jawa Timur dan MUI se-
Jawa Timur serta beberapa ormas Islam yang menyatakan
bahwa ajaran Syiah sesat.
Sikap Bupati Fannan yang “menasionalkan” kasus
Tajul secara tidak langsung yaitu bentuk cuci tangan atas
keterlibatan pemerintah Sampang dalam kasus ini. saat
terjadi demonstrasi besar-besar warga anti-Syiah pada 7 Mei
2013 menuntut percepatan penyelesaian kasus pengungsi
dengan merelokasi mereka keluar Madura, Bupati Fannan
tidak mampu berbuat banyak kecuali memfasilitasi para
pengungsi untuk bertemu langsung dengan Gubernur Jawa
Timur.60 Sikap main aman juga diperlihatkan Bupati Fannan
saat terjadi relokasi paksa pengungsi Syiah dari GOR
Sampang ke Rusunawa Jemundo Sidoarjo yang langsung
dipimpin oleh Wakil Bupati Fadhilah dan Kiai Karrar pada
20 Juni 2013. Dengan menyerahkan langsung “mandat”
pengusiran ke wakilnya, dia bisa melepaskan diri dari dosa
politik pengusiran ini .
Relokasi paksa warga Syiah
Saat itu, sesudah hampir sepuluh bulan negosiasi antara
pihak pengungsi Syiah dan anti-Syiah tidak membuahkan
hasil, kelompok anti-Syiah mendesak Bupati Sampang terpilih
untuk segera menyelesaikan permasalahan pengungsi Syiah
di GOR Sampang. Penyelesaian yang dimaksud yaitu
merelokasi para pengungsi ke luar Madura. Pada 7 Mei
2013, sekitar 500-an orang datang ke kantor bupati untuk
menyampaikan tuntutan mereka. Bupati Sampang yang saat
itu tidak dapat memberikan jawaban pasti, beliau mengajak
para demonstran untuk menemui Gubernur Jawa Timur.
Tidak ada informasi pasti terkait apa hasil pertemuan antara
perwakilan demonstran dengan Gubernur saat itu, tapi
desas-desus relokasi paksa semakin kuat terdengar. Para
kiai yang sudah tidak sabar dengan kelambanan Pemda
Sampang untuk “menyelesaikan” masalah pengungsi, ingin
menyelesaikan dengan cara mereka sendiri. Salah satu
opsi yang muncul di diskusi para kiai yaitu merelokasi
paksa para pengungsi keluar Madura. Mereka kemudian
mengadakan istighatsah, atau doa bersama sebagai ajang
untuk mengumpulkan warga dari seluruh Madura. Untuk
menghindari peristiwa kekerasan lanjutan, Menkopolhukam
dan Gubernur Jawa Timur mengusulkan untuk merelokasi
warga Syiah malam hari 19 Juni 2013. ABI memprotes
rencana ini dan mencurigai bahwa ini yaitu desain
dari Pemda Sampang dan Pemprov Jawa Timur.61
Pada 20 Juni 2013, sesudah kelompok anti-Syiah
mengadakan istighatsah di alun-alun kota, yang berjarak
hanya beberapa meter dari GOR, mereka berbondong-
bondong menuju GOR untuk mengusir pengungsi Syiah.
Dipimpin oleh beberapa kiai dan Wakil Bupati Sampang
serta dengan pengamanan dari pihak kepolisian, mereka
merelokasi paksa keluar GOR. Para pengungsi sempat
bertahan di dalam gedung. Namun, tekanan yang sangat kuat
dari ribuan massa yang mengepung gedung ini mendorong
pemerintah dan aparat kepolisian untuk memenuhi keinginan
massa merelokasi para pengungsi. Pemda Sampang, dengan
bantuan dari Pemprov Jawa Timur, menyiapkan lima bus
dan dua truk untuk mengangkut para pengungsi dan barang-
barang mereka.
Hingga naskah ini ditulis, para pengungsi Syiah tinggal
di Flat Jemundo Sidoarjo, Jawa Timur, kurang lebih 100km
dari Sampang.
Bab ini menjelaskan panjang dan kompleksnya proses
antara Tajul dan pengikutnya dengan para
kiai anti-Syiah. Proses ini yaitu konsekuensi dari proses
pertahanan diri masing-masing pihak yang berkonflik agar
tidak kehilangan muka (lose of face) sebab sudah terlalu
jauh terjebak dalam lingkaran konflik. Sudah banyak ide
dan gerakan yang ditawarkan oleh banyak pihak seperti
kepolisian, Kankemenag Kabupaten Sampang, KOMNAS
HAM, dan pegiat LSM, namun tidak membuahkan hasil.
Setiap proses intervensi yang dilakukan melahirkan bentuk
resistensi baru dari kedua kelompok yang berseteru sehingga
konflik tidak mereda tetapi malah semakin membesar.
Walhasil, kedua kelompok warga tidak bisa hidup
bersama. Satu per satu, beberapa pola
yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak dan tantangan
dalam proses intervensi akan dijabarkan di bawah ini.
Bentuk-bentuk
Pengerahan “pasukan perdamaian”
sesudah peristiwa kekerasan yang terjadi pada tanggal
29 Desember 2011 dan tanggal 26 Agustus 2012, pihak Polres
Sampang didukung Polda Jawa Timur mengirim pasukan
pengamanan ke Omben dan sekitarnya untuk mencegah
perluasan konflik dan terjadinya konflik susulan. Pada
peristiwa pertama, pasukan pengamanan bekerja selama 15
hari, yakni sejak 29 Desember 2011 hingga 12 Januari 2012.
Pasukan yang berjaga saat itu berjumlah 435 aparat keamanan
yang terdiri dari 175 anggota polisi dari Polres Sampang, 50
Sabhara dari Polda Jawa Timur, 150 pasukan Brimob, 30
polisi Bawah Kendali Operasi dari Polres Pamekasan, dan
30 tentara dari Kodim Sampang.1
Sedangkan pada peristiwa kedua, jumlah pasukan yang
didatangkan lebih banyak lagi dan waktu pengamanan yang
lebih panjang. Tercatat, ada 4 SSK (Satuan Setingkat Kompi)
dari Satuan Brimob Polda Jawa Timur, 2 SSK dari Sabhara
Polda Jawa Timur, 1 SSK Sabhara dari Polres Pamekasan, dan
3 SSK tentara dari Batalion Rider Kodam Brawijaya.2 Seluruh
pasukan ini bertugas mengamankan daerah konflik selama
11 bulan (Agustus 2011 hingga Juni 2012). Lamanya proses
pengamanan ini lebih sebab proses mediasi perdamaian
yang dilakukan oleh berbagai pihak menemukan jalan
buntu. Tugas pasukan Brimob ini berakhir saat pengungsi
Syiah di GOR direlokasi paksa ke Rusunawa Puspa Agro
Jemundo Sidoarjo pada 20 Juni 2012.
Selain pengamanan wilayah konflik (Karang Gayam
dan Blu’uran), kepolisian juga melakukan banyak hal yang
menurut mereka sendiri jauh melampaui kewenangan
kepolisian, untuk mendamaikan kedua kelompok yang
berseteru.3 Menurut penuturan Kapolres Sampang4 dan
Kasat Intelkam Polres Sampang5, ada empat hal yang telah
dilakukan kepolisian untuk mencegah perluasan konflik dan
menyelesaikan konflik yang sedang berlangsung. Pertama,
penyuluhan langsung kepada warga terkait pentingnya hidup
bertetangga dengan damai. Kegiatan ini dilakukan secara
langsung ke rumah-rumah warga dan melalui penyuluhan di
masjid-masjid kampung khususnya sesudah berlangsungnya
salat Jumat. Poin