Anas bin Malik Al Anshary
“Allahumma Urzuqhu Maalan wa Waladan wa Baarik Lahu (Ya
Allah berikanlah ia harta dan keturunan dan berkahilah dirinya).”
(Doa Rasul Saw baginya)
Anas bin Malik masih dalam usia belia saat ibunya yang bernama Al
Ghumaisha’1 mengajarkan kepadanya syahadatain (dua kalimat syahadat).
Al Ghumaisha’ mengisi hati Anas untuk mencintai Sang Nabi pembawa
ajaran Islam yang bernama Muhammad bin Abdillah alaihi afdhalus shalati
wa azkas salam.
Anas pun langsung tertarik untuk mendengarkan. Tidak
mengherankan, terkadang telinga dapat membuat seseorang menjadi jatuh
cinta sebelum pandangan mata menyaksikan... Betapa anak yang masih
dalam usia belia ini berharap untuk pergi menjumpai Nabinya yang berada
di Mekkah, atau Rasul Saw berkenan untuk mengunjungi mereka di Yatsrib
agar ia puas melihatnya dan bergembira sebab telah berjumpa dengannya.
Tidak lama berselang hingga di kota Yatsrib yang beruntung ini
tersebar kabar bahwa Nabi Saw dan sahabatnya yang bernama As Shiddiq
(Abu Bakar) sedang dalam perjalanan menuju Yatsrib... Maka setiap rumah
menjadi ceria sebab nya. Setiap relung hati manusia pun menjadi gembira
dibuatnya...
Semua mata dan hati manusia menjadi tertarik untuk menanti
perjalanan yang disusuri oleh Nabi Saw dan sahabatnya menuju kota
Yatsrib.
Para remaja setiap pagi berteriak: “Muhammad telah datang!” Anas
bersama bocah-bocah kecil lainnya berlari menuju ke sumber suara; akan
tetapi ia tidak mendapati apa-apa dan akhirnya ia kembali dengan hati
yang sedih.
Ada yang berpendapat nama beliau yaitu Al Rumaisha. Namun nama Al Ghumaisha yaitu
pendapat yang lebih kuat sebab merupakan sifat dari Ibu Anas. Lihat profil dirinya dalam kitab
Shuwar min Hayati As Shahabiyaat karya penulis.
Di suatu pagi yang cerah dan segar, beberapa orang pria di kota Yatsrib
berteriak seraya mengatakan bahwa Muhammad dan seorang sahabatnya
hampir tiba di Madinah.
Serentak beberapa orang pria dewasa bergerak menuju jalan yang
disusuri oleh Nabi Saw...
Mereka semua bergegas secara berbondong-bondong berlari
menghampiri Nabi Saw dan di antara mereka juga banyak anak dalam usia
belia yang dengan wajah berseri dan hati bahagia pergi menyongsong
kedatangan sang Nabi Saw.
Di barisan para anak usia belia ini terdapat seorang anak yang
bernama Anas bin Malik Al Anshary.
Tibalah Rasul Saw beserta sahabatnya As Shiddiq. Mereka berdua tiba
dengan sambutan meriah yang diberikan penduduk Madinah yang penuh
sesak terdiri dari para pria dewasa dan anak-anak.
Sedang para ibu dan gadis berada di atap rumah, memandang dari
kejauhan datangnya sang Rasul Saw. Mereka bertanya-tanya: “Yang mana
Rasul.... Yang mana Rasul?”
Hari itu menjadi sejarah... Anas masih terus mengenangnya hingga
pada usianya yang lebih dari 100 tahun.
Baru saja Rasulullah Saw hendak tinggal dan menetap di Madinah;
datanglah Al Ghumaisha’ binti Milhan ibunya Anas menghadap Beliau. Al
Ghumaisha’ membawa anaknya yang masih kecil yang diajak untuk
menghadap Rasulullah. Saat itu Anas berambut poni dengan uraian rambut
kecil yang bergerak ke kanan dan ke kiri menutupi keningnya...
Lalu Al Ghumaisha’ memberi salam kepada Nabi Saw seraya berkata:
“Ya Rasulullah... Tidak ada seorang pria dan wanita pun dari suku Anshar
yang menghadapmu kecuali mereka memberikan hadiah kepadamu. Aku
tidak memiliki apa-apa untuk dijadikan hadiah selain anak ini saja...
Ambillah ia dan jadikanlah ia pembantu sesuka hatimu!”
Nabi Saw gembira mendengarnya dan Beliaupun menerima Anas
dengan wajah yang sumringah. Beliau membelai kepala Anas dengan
tangan Beliau yang mulia. Beliau juga membelai rambut poni Anas dengan
jari Beliau yang lembut. Akhirnya Rasul Saw menerima Anas menjadi
anggota keluarganya.
Anas atau Unais –sebagaimana penduduk Madinah memanggilnya
dengan panggilan manja- saat itu berusia 10 tahun saat ia mulai bahagia
dapat membantu Nabi Saw. Ia terus tinggal dalam asuhan Nabi Saw hingga
Beliau dipanggil oleh Allah Swt.
Anas mendampingi Nabi Saw selama 10 tahun, dimana ia mendapatkan
petunjuk langsung dari Nabi Saw untuk mensucikan dirinya. Ia juga
menerima seluruh hadits Rasulullah sehingga memenuhi ruang dadanya.
Anas juga mengetahui kondisi, cerita, rahasia dan kebiasaan terpuji Beliau
yang jarang diketahui oleh orang lain.
Anas dalam pergaulannya dengan Nabi Saw mendapatkan apa yang
tidak didapat oleh seorang anak dari ayahnya. Ia juga menemukan dari
keagungan sifat Rasul yang membuat seluruh dunia merasa iri kepadanya.
Mari kita persilahkan Anas untuk bercerita tentang beberapa kisah
menarik dari pergaulannya dengan Rasul Saw yang ia dapatkan dalam
asuhan Beliau. Ia amat mengetahui hal ini, dan untuk menceritakannya ia
amat berkompeten...
Anas bin Malik berkata: “Rasulullah Saw yaitu manusia yang paling
baik akhlaknya, Beliau yaitu manusia yang paling lapang dada dan Beliau
yaitu manusia yang paling penyayang...
Beliau pernah menyuruhku untuk membeli sesuatu dan akupun keluar
untuk membelinya. Di tengah jalan Aku berniat untuk bermain bersama
para anak-anak di pasar dan aku tidak melakukan apa yang diperintahkan
oleh Rasul kepadaku. Saat aku sudah bertemu dengan anak-anak tadi aku
merasakan ada seorang pria yang berdiri di belakangku, dan ia menarik
bajuku... Aku menoleh ke belakang, ternyata ia yaitu Rasulullah Saw.
Beliau tersenyum seraya berujar: “Wahai Unais, apakah kau sudah
melakukan apa yang aku suruh?” Aku menjadi grogi dan berkata: “Baik...
aku akan melakukannya sekarang, Ya Rasulullah....”
Demi Allah, aku sudah membantu Beliau 10 tahun lamanya, namun
atas apa yang aku lakukan sepanjang itu Beliau tidak pernah berkata:
“Mengapa kau lakukan ini?” Dan Beliau tidak pernah berkata atas apa
yang tidak aku kerjakan: “Mengapa kau tidak mengerjakannya?”
Rasulullah Saw jika memanggil Anas maka Beliau memanggilnya
dengan panggilan manja dan kasih sayang; terkadang Beliau
memanggilnya dengan Unais. Kadang kala Beliau memanggilnya dengan
‘Anakku’.
Sering kali Rasulullah memberikan nasehat dan wejangan yang
memenuhi relung hati dan sanubari Anas. Salah satunya yaitu nasehat
Beliau kepada Anas:
“Anakku, bila kau mampu berada di pagi dan sore hari tanpa ada
dengki di hatimu pada siapapun, maka lakukanlah...! Anakku, yang
demikian yaitu termasuk sunnahku, barang siapa yang
menghidupkan sunnahku maka ia telah mencintaiku... barang siapa
yang mencintaiku maka ia akan berada di surga
bersamaku...Anakku, jika kau masuk ke dalam rumah ucapkanlah
salam sebab itu akan membawa keberkahan bagimu dan juga bagi
penghuni rumahmu.”
sesudah Rasulullah Saw wafat Anas bin Malik masih hidup lebih dari 80
tahun lamanya; Sepanjang itu ia mengisi ruang hatinya dengan ilmu dari
Rasulullah Saw, dan ia mencoba mengasah otaknya dengan fikih yang
diajarkan oleh Nabi Saw. Dalam masa yang sepanjang itu, Anas telah
banyak menghidupkan hati para sahabat dan tabi’in2 dengan petunjuk dan
ajaran Nabi Saw. Ia juga sering memberitahukan kepada orang lain sabda
dan kebiasaan Rasulullah Saw.
Dalam usia panjang yang dimilikinya ini, Anas menjadi referensi bagi
kaum muslimin saat itu. Mereka akan mengadukan permasalahan
kepadanya setiap kali mereka merasakan kesulitan. Setiap kali merasa
bingung memutuskan suatu persoalan hukum mereka datang kepada Anas
dan percaya atas apa yang ia putuskan.
Salah satunya yaitu sebagian orang yang memperdebatkan masalah
agama tentang kebenaran adanya telaga Nabi Saw di hari kiamat. Mereka
bertanya kepada Anas tentang hal ini . Anas berujar: “Aku tidak
pernah menduga bahwa aku akan hidup untuk melihat orang-orang
sepertimu yang memperdebatkan masalah telaga Rasul. Telah banyak
wanita-wanita tua sebelumku, dimana setiap kali ia melakukan shalat pasti
ia berdoa kepada Allah agar diberikan air minum dari telaga Nabi Saw.”
Anas masih terus hidup dengan kenangan indah bersama Rasulullah
Saw sepanjang umurnya. Ia amat bahagia di hari saat ia berjumpa dengan
Beliau. Begitu terguncang saat berpisah. Ia sering kali mengulangi
pembicaraan tentang hal ini ... Anas begitu keras untuk berusaha
mencontoh Rasulullah Saw dalam perbuatan dan ucapannya. Ia menyukai
apa yang disukai Nabi Saw, dan membenci apa yang Beliau benci. Hal yang
paling sering ia ingat saat bersama Nabi Saw yaitu 2 hari: Hari pada kali
2
Tabi’in: Mereka yaitu generasi pertama sesudah masa para sahabat Nabi Saw. Para Ulama hadits
membagi mereka menjadi beberapa tingkatan (tabaqat). Para tabi’in generasi awal yaitu mereka yang
sempat berjumpa dengan kesepuluh nama sahabat yang dijamin masuk surga, dan generasi tabi’in
terakhir yaitu mereka yang sempat berjumpa dengan para sahabat Nabi Saw yang berusia muda atau
para sahabat yang wafat pada akhir-akhir masa… Lihat kitab Shuwar min Hayatit Tabi’in.
pertama ia berjumpa dengan Nabi Saw, dan hari dimana Beliau wafat pada
terakhir kali.
Jika ia mengenang hari pertama ia berjumpa Rasul, ia menjadi gembira
dan semangat seolah ia menghirup aroma yang semerbak. Namun bila
terbersit dalam benaknya hari yang kedua, ia menjadi sedih dan menangis.
Malah ia mampu membuat manusia yang berada di sekelilingnya saat itu
menjadi menangis.
Sering kali ia berkata: “Aku melihat Nabi Saw saat Beliau datang kepada
kami, dan akupun melihatnya saat Beliau wafat. Sampai kini aku belum
menemukan hari lain seperti kedua hari ini . Pada hari Beliau datang
ke Madinah, Beliau mampu menerangi semuanya... dan pada hari ia
hampir melangkah menuju sisi Tuhannya, maka seolah semuanya menjadi
gelap. Kali terakhir aku melihat Beliau yaitu hari Senin di saat tirai kamar
Beliau di buka. Aku melihat wajah Beliau seolah lembaran kertas. Saat itu
semua orang berdiri di belakang Abu Bakar seraya memandang ke arah
Beliau. Hampir saja mereka tak kuasa menahan diri. Lalu Abu Bakar
memberi isyarat kepada mereka untuk tenang. Lalu wafatlah Rasulullah
Saw di penghujung hari itu. Kami belum pernah melihat pemandangan
yang lebih menakjubkan hati kami melebihi wajah Beliau saat kami
mengubur jasad Beliau dengan tanah.”
Rasulullah Saw sering kali mendo’akan Anas bin Malik.. Salah satu doa
Beliau untuknya yaitu : “Allahumma Urzuqhu Maalan wa Waladan, wa
Baarik Lahu (Ya Allah, berikanlah ia harta dan keturunan, dan berkahilah
hidupnya).”
Allah mengabulkan doa Nabi-Nya, dan Anas menjadi orang dari suku
Anshar yang paling banyak hartanya. Ia memiliki keturunan yang amat
banyak, sehingga bila ia melihat anak serta cucunya maka jumlahnya
melebihi 100 orang.
Allah Swt memberikan keberkahan pada umurnya sehingga ia hidup 1
abad lamanya ditambah 3 tahun lagi.
Anas ra senantiasa berharap syafaat Nabi Saw untuk dirinya pada hari
kiamat. Sering kali ia berucap: “Aku berharap dapat berjumpa dengan
Rasulullah Saw pada hari kiamat sehingga aku dapat berkata kepada
Beliau: “Ya Rasulullah, inilah pembantu kecilmu, Unais.”
saat Anas mulai jatuh sakit menjelang kematiannya, ia berujar
kepada keluarganya: “Talqinkan aku kalimat La ilaha illahu,
Muhammadun Rasulullah.” Ia terus mengucapkan kalimat tadi hingga ia
mati.
Ia berwasiat kepada keluarganya tentang sebuah tongkat kecil milik
Rasulullah Saw agar tongkat ini dikuburkan bersamanya. Maka
tongkat itupun diletakkan di sisi tubuh dan bajunya.
Selamat kepada Anas bin Malik atas anugerah kebaikan yang telah
Allah berikan kepadanya. Ia pernah hidup dalam bimbingan Rasulullah
Saw 10 tahun lamanya. Ia juga termasuk perawi hadits Rasul terbanyak
pada urutan ketiga sesudah Abu Hurairah dan Abdullah bin Umar. Semoga
Allah Swt membalas kebaikan dirinya dan ibunya yang bernama Al
Ghumaisha atas jasa baik yang mereka lakukan terhadap Islam dan kaum
muslimin.
Said Bin ‘Amir Al Jumahi
“Said bin ‘Amir yaitu Seorang yang Sanggup Membeli Akhirat
dengan Dunia. Ia yaitu Orang yang Mendahulukan Allah Dan
Rasul-Nya Daripada Siapapun.” (Ahli Sejarah)
Seorang pemuda bernama Said bin ‘Amir Al Jumahi yaitu salah satu
dari ribuan orang muallaf yang datang dari daerah Tan’im daerah luar
Mekkah demi memenuhi undangan para pemuka Quraisy untuk
menyaksikan pembunuhan Khubaib bin ‘Ady salah seorang sahabat
Muhammad sesudah mereka berhasil menangkap Khubaib dengan cara
menipunya.
Jiwa muda dan kekuatan yang dimilikinya membuat Said mampu
menerobos kumpulan manusia saat itu, sehingga ia dapat berdiri sejajar
dengan para pemuka Quraisy seperti Abu Sufyanbin Harb, Shafwan bin
Umayyah dan lainnya yang menyaksikan pemandangan saat itu.
Kesempatan itu membuat Said dapat melihat para tawanan suku
Quraisy yang sedang terikat. Tangan para wanita, anak-anak dan pemuda
mendorong tubuh Said masuk ke arena pembunuhan, di tempat para suku
Quraisy melakukan balas dendam kepada Muhammad lewat diri Khubaib,
dan sebagai balas dari para anggota suku Quraisy yang mati dalam perang
Badar.
Saat kerumunan yang sesak itu sampai ke tempat pembunuhan dengan
membawa tawanan. Berdirilah pemuda yang bernama Said bin ‘Amir Al
Jumahy dengan tegaknya dihadapan Khubaib. Ia menyaksikan Khubaib
berjalan ke arah kayu yang telah dipancangkan. Said mendengar suara
Khubaib yang tenang diantara jeritan dan teriakan para wanita dan anak-
anak. Khubaib berkata: “Dapatkah kalian mengizinkan aku untuk
melakukan shalat dua rakaat terlebih dahulu...?” Said lalu memperhatikan
Khubaib saat ia menghadap kiblat dan melakukan shalat dua rakaat. Betapa
bagus dan sempurna dua rakaat shalat yang dikerjakannya...
Said juga memperhatikan saat Khubaib menghadap para pemuka
Quraisy seraya berkata: “Demi Allah, kalau kalian tidak menduga bahwa
aku akan memperpanjang shalat sebab merasa takut mati, pasti aku akan
memperbanyak bilangan shalat tadi.”
Said menyaksikan kaumnya dengan kedua mata kepalanya saat mereka
memotong bagian tubuh Khubaib yang masih hidup. Mereka memotong
setiap bagian tubuh Khubaib sambil berkata kepadanya: “Apakah kau ingin
Muhammad menggantikan posisimu ini dan engkau akan selamat
sebab nya?”
Ia menjawab –padahal darah mengalir di sekujur tubuhnya-: “Demi
Allah, aku lebih suka menjadi pengaman dan meninggalkan istri dan
anakku, daripada Muhammad di tusuk dengan duri.”
Maka semua manusia yang hadir saat itu mengacungkan tangan
mereka ke langit, seraya berteriak sengit: “Bunuh dia... bunuh dia!”
Lalu Said bin ‘Amir menyaksikan dengan mata kepalanya senidir bahwa
Khubaib mengangkat pandangannya ke langit dari atas tiang kayu seraya
berdo’a:
“Allahumma ahshihim adadan waqtulhum badadan wa la tughadir
minhum ahadan (Ya Allah, hitunglah satu demi satu mereka semua.
Bunuhlah mereka secara kejam. Janganlah kau sisakan satu
orangpun dari mereka.”
Khubaibpun meniupkan nafasnya yang terakhir. Pada tubuhnya banyak
sekali bekas luka pedang dan tombak yang tidak bisa dihitung manusia.
Suku Quraisy pun telah kembali ke Mekkah, dan mereka semua sudah
lupa akan bangkai tubuh dan proses pembunuhan Khubaib.
namun dalam diri seorang pemuda yang hampir baligh bernama
Said bin ‘Amir Al Jumahy tidak pernah hilang bayangan Khubaib sesaatpun.
Said sering kali melihat Khubaib di kala tidur. Saat terjagapun, Said
sering melihatnya dengan ilusi. Tergambar di benak Said saat Khubaib
melakukan shalat dua rakaat yang begitu tenang dan nikmat didepan kayu
yang terpancang. Said mendengar getaran suara Khubaib di telinganya saat
Khubaib berdo’a untuk kehancuran suku Quraisy. Said menjadi khawatir
terkena petir dibuatnya, atau takut terkena hujan batu yang jatuh dari
langit sebab nya.
Lalu Khubaib seperti telah mengajarkan Said apa yang belum diketahui
sebelumnya....
Khubaib mengajarkannya bahwa hidup yang sesungguhnya yaitu
akidah dan jihad di jalan akidah hingga mati.
Khubaib mengajarkannya bahwa iman yang mantap akan
menimbulkan banyak keajaiban dan mukjizat.
Khubaib juga mengajarkannya hal lain, yaitu bahwa pria yang dicintai
oleh para sahabatnya dengan cinta seperti ini tiada lain yaitu seorang
Nabi yang didukung oleh langit.
Pada saat itu pula, Allah Swt melapangkan dada Said bin Amir untuk
memeluk Islam. Maka ia berjalan menghampiri kerumunan manusia dan
mengumumkan keterlepasan dirinya dari perbuatan dosa yang telah
dilakukan suku Quraisy, dan ia berikrar akan meninggalkan segala berhala
yang pernah disembanya dan ia mengumumkan bahwa ia telah masuk
Islam.
Said turut ikut berhijrah ke Madinah, dan ia senantiasa mendampingi
Rasulullah Saw. Ia pun turut dalam perang Khaibar dan perang-perang lain
sesudah itu.
sesudah Nabi Saw kembali keharibaan Tuhannya, Said menjadi pedang
terhunus bagi Khalifah pengganti Rasul yaitu Abu Bakar dan Umar, dan ia
menjadi satu-satunya contoh bagi orang yang beriman yang berniat
membeli kehidupan akhirat dengan dunianya. Ia rela mendahulukan Allah
dan pahala yang akan diberikan daripada semua keinginan nafsu syahwat
badan.
Kedua khalifah Rasulullah Saw mengetahui dengan baik kebenaran dan
ketaqwaan yang dimiliki oleh Said. Mereka berdua sering mendengarkan
dengan serius setiap nasehat dan ucapan Said.
Said mendatangi Umar saat Umar baru menjadi khalifah. Said berkata
kepadanya: “Ya Umar, Aku berwasiat kepadamu agar engkau takut kepada
Allah dalam urusan manusia. dan janganlah engkau takut kepada manusia
dalam urusan Allah. Ucapanmu jangan pernah menyalahi perbuatanmu,
sebab ucapan yang terbaik yaitu yang dibenarkan oleh perbuatan....
Ya Umar, perhatikanlah dengan baik orang yang telah Allah
percayakan kepadamu urusannya dari kaum muslimin baik mereka yang
jauh ataupun yang dekat. Cintailah mereka sebagaimana engkau
menyayangi dirimu dan keluargamu. Buatlah mereka membenci apa yang
engkau dan keluargamu benci. Goncanglah kumpulan manusia untuk
menuju kebaikan, dan janganlah engkau khawatir terhadap kecaman
orang selagi di jalan Allah.”
Umar pun bertanya: “ Siapa yang mampu melakukan itu, wahai Said?”
Said menjawab: “Yang mampu melakukan itu yaitu orang sepertimu yang
telah diberikan Allah kepercayaan untuk mengurusi permasalahan ummat
Muhammad. Tidak ada lagi jarak antara orang seperti dengan Allah.
Sejurus kemudian Umar mengajak Said untuk menjadi salah seorang
pembantunya seraya berkata: “Ya Said, Kami mengangkatmu menjadi wali
(gubernur) daerah Himsh.” Said menjawab: “Ya Umar, Demi Allah
janganlah engkau menimpakan fitnah (ujian) padaku.” Umar pun menjadi
berang seraya berkata: “Celaka kalian... kalian meletakkan kepemimpinan
ini di leherku, kemudian kalian mau lepas tangan dariku!! Demi Allah, aku
tidak akan membiarkanmu.” Kemudian Umar mengangkat Said menjadi
wali di daerah Himsh seraya bertanya: “Bolehkah kami menentukan gaji
buatmu?” Said menjawab: “Apa yang akan aku lakukan dengan gaji
ini wahai Amirul Mukminin?! Sebab gaji dari baitul maal melebihi
kebutuhanku.” Dan akhirnya Said pun berangkat ke Himsh.
Sedikit sekali uang yang dibawa oleh Said bin ‘Amir hingga tiba saat
datangnya beberapa orang dari penduduk Himsh yang dipercaya oleh
Amirul Mukminin. Amirul Mukminin berkata kepada mereka: “Tuliskan
nama-nama orang miskin kalian sehingga dapat aku cukupkan
kebutuhannya!” Mereka pun melaporkan data yang mereka miliki di
dalamnya terdapat nama fulan, fulan dan Said bin ‘Amir. Umar bertanya
kepada mereka: “Siapakah Said bin ‘Amir ini?” Mereka menjawab: “Dia
yaitu pemimpin kami.” Umar bertanya: “Pemimpin kalian termasuk
orang fakir?” Mereka menjawab: “Benar, Demi Allah lama waktu berjalan
namun di rumahnya tidak ada tungku api menyala.” Maka meledaklah
tangis Umar hingga air matanya membasahi janggut. Kemudian Beliau
mengumpulkan uang sebanyak 1000 dinar dan ditaruhnya dalam sebuah
ikatan seraya berkata: “Sampaikanlah salamku padanya dan katakan
padanya bahwa Amirul Mukminin mengirimkan uang ini untukmu agar
semua kebutuhanmu tercukupi.”
Datanglah utusan tadi kepada Said dengan barang bawaannya. Said
melihat bungkusan itu dan ternyata di dalamnya terdapat banyak uang
dinar. Ia menolaknya seraya berkata: “Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun-
seolah ia terkena musibah- lalu datanglah istrinya tergopoh-gopoh sambil
bertanya: “Ada apa Said, apakah Amirul Mukminin telah wafat?” Said
menjawab: “Bahkan lebih dahsyat dari itu.” Istrinya bertanya lagi: “Apa
yang lebih dahsyat dari itu?” Ia menjawab: “Dunia sudah merasuki diriku
untuk merusak akhiratku. Dan kini fitnah sudah menyebar di rumahku.”
Istrinya berkata: “Kalau begitu, campakan saja hal itu –padahal istrinya
tidak tahu tentang uang dinar tadi-.” Said bertanya: “Maukah kamu
menolongku untuk melakukannya?” Istrinya menjawab: “Ya.” Maka Said
mengambil uang dinar tadi dan ia membaginya dalam beberapa bungkusan
kemudian ia bagikan kepada kaum muslimin yang fakir.
Tidak lama berselang, datanglah Umar ra ke beberapa daerah di Syam
untuk memeriksa kondisi penduduknya. Saat ia tiba di Himsh –dan daerah
ini disebut Al Kuwaifah sebagai panggilan kecil bagi kota Kufah, dan untuk
mempersamakan daerah Himsh dengan Kufah sebab banyaknya
penduduk yang mengeluhkan kinerja para pegawai dan wali di wilayah
mereka sebagaimana yang sering terjadi di Kufah- Saat Umar tiba di sana,
beberapa penduduk menghampiri Umar untuk memberikan sambutan
terhadapnya. Umar lalu bertanya kepada mereka: “Bagaimana pendapat
kalian tentang Amir (pemimpin) di sini?” Mereka mengadukan keluhan
kepada Umar dan mereka menyebutkan 4 kekurangan Amir mereka, setiap
1 masalah lebih besar dari lainnya. Umar berkisah: Maka akupun
mengumpulkan Amir mereka yaitu Said bin Amir dengan orang-orang tadi.
Dan aku berdo’a kepada Allah agar dugaanku tidak dibuat salah; sebab
aku menaruh kepercayaan besar kepada Said.
Saat mereka dan pemimpinnya sudah tiba menghadapku, aku bertanya:
“Apa yang kalian keluhkan dari amir kalian?” Mereka menjawab: “Ia tidak
keluar bekerja sehingga hari sudah amat siang.” Aku bertanya: “Apa
komentarmu dalam hal ini, ya Said?” Ia terdiam sejenak lalu berkata:
“Demi Allah tadinya aku tidak mau mengatakan hal ini. Namun sebab ini
harus disampaikan maka akupun akan menceritakannya. Aku tidak punya
pembantu di rumah. Setiap kali aku bangun di pagi hari, maka aku harus
menumbuk gandum buat keluargaku. Kemudian aku harus mengaduknya
dengan perlahan sehingga ia menjadi ragi. Lalu aku buatkan roti untuk
keluargaku. Kemudian aku berwudhu dan keluar untuk mengurusi
permasalahan manusia.”
Umar bertanya: “Lalu apa lagi yang kalian keluhkan terhadapnya?”
Mereka menjawab: “Ia tidak mau melayani seorangpun pada waktu
malam.” Umar bertanya: “Apa komentarmu dalam hal ini, wahai Said?” Ia
menjawab: “Demi Allah, Sungguh aku juga sungkan untuk menceritakan
hal ini… Aku telah membagi waktu siangku untuk berkhidmat dalam
urusan mereka, dan waktu malamku untuk Allah Swt.”
Umar bertanya lagi: “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” Mereka
menjawab: “Ada satu hari dalam sebulan dimana ia tidak keluar untuk
mengurusi kami.” Umar bertanya: “Apa maksudnya ini, wahai Said?” Ia
menjawab: “Aku tidak memiliki pembantu, wahai Amirul Mukminin. Dan
aku tidak memiliki baju kecuali yang sedang aku pakai ini. Aku
mencucinya sebulan sekali dan aku menunggunya hingga ia kering. Dan
pada penghujung hari, baru aku dapat keluar menemui mereka.”
Umar bertanya lagi: “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” Mereka
menjawab: “Sering kali ia hilang kesadaran, sehingga ia tidak mengenali
orang yang berada di sekelilingnya.” Umar bertanya: “Apa maksudnya hal
ini, ya Said?!” Ia menjawab: “Aku menyaksikan pembunuhan Khubaib bin
‘Ady pada saat itu aku musyrik, dan aku melihat para penduduk Quraisy
memotong jasadnya dan mereka bertanya kepada Khubaib: ‘Apakah kau
ingin Muhammad menggantikanmu di sini?’ Ia menjawab: ‘Demi Allah,
aku tidak suka merasa aman dengan istri dan anakku, padahal Muhammad
sedang dicucuk dengan duri….’ Dan aku selalu teringat akan hari itu dan
mengapa aku tidak menolongnya sehingga aku menduga bahwa Allah tidak
mengampuniku… maka akupun hilang kesadaran sebab nya.
Saat itu Umar langsung berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah
membuat dugaanku kepadanya tidak rusak.” Kemudian Umar
mengirimkan 1000 dinar untuknya agar dapat memenuhi segala
kebutuhannya. Begitu istri Said melihat uang ini , maka ia berkata:
“Segala puji bagi Allah yang telah mencukupkan kami lewat khidmat yang
kau berikan. Belilah segala kebutuhan hidup kita. Dan carilah seseorang
yang mau diupah sebagai pembantu!” Said berkata kepada istrinya:
“Apakah kau punya sesuatu yang lebih baik dari itu?” Istrinya bertanya:
“Apakah itu?” Said berujar: “Kita kembalikan lagi kepada orang yang
membawanya, dan hal itu lebih kita butuhkan?” Istrinya bertanya lagi:
“Apakah itu?” Ia menjawab: “Kita pinjamkan uang ini kepada Allah
sebagai qardhan hasanan (pinjaman yang baik).” Istrinya menanggapi:
“Benar. Dan engkau akan dibalas dengan kebaikan sebab nya.”
sesudah ia meninggalkan majlis maka ia membagikan uang dinar
ini dalam beberapa bungkus dan ia berkata kepada salah seorang
anggota keluarganya: “Bawalah ini kepada janda fulan, yatim fulan, si
miskin fulan dan si fakir fulan.
Semoga Allah meridhoi Said bin ‘Amir Al Jumahy. Beliau yaitu salah
seorang sosok yang mampu mendahulukan kepentingan orang lain, meski
ia berada dalam kondisi yang mendesak.
Al Thufail Bin ‘Amr Al Dausy
“Allahumma Ij’alhu Ayatan Tu’inuhu Ala Ma Yanwi Minal Khair (Ya
Allah Berikanlah Untuknya Satu Tanda Kekuasaan yang Dapat
Membantunya Mengerjakan Kebaikan yang Telah Ia Niatkan.” (Salah
Satu Do’a Rasul Saw Untuknya)
Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy yaitu pemimpin kabilah ‘Daus’ pada
masa jahiliah. Dia yaitu salah satu sosok pemuka Arab yang berpengaruh,
dan salah seorang tokoh yang terhormat…
Tungku tidak pernah diturunkan dari perapian baginya, dan tidak ada
pintu yang tertutup baginya…
Ia gemar memberi makan orang yang lapar, memberi rasa aman bagi
orang yang ketakutan dan melindungi orang yang memohon perlindungan.
Ditambah lagi dia yaitu sosok yang beradab, cerdas dan pintar. Ia
yaitu seorang penyair yang memiliki perasaan yang peka dan lembut. Dia
amat mengerti dengan manis dan pahitnya pembicaraan… sehingga
kalimat yang diucapkannya mengandung bobot magis bagi yang
mendengarnya.
Al Thufail meninggalkan rumah tinggalnya di Tihamah3 menuju
Mekkah. Kala itu pergumulan masih terus berlangsung anyara Rasulullah
Saw dengan para kafir Quraisy. Masing-masing pihak membutuhkan
pendukung dan sahabat…
Rasul Saw berdo’a kepada Tuhannya dan yang menjadi senjata Beliau
yaitu keimanan dan kebenaran. Sedang kafir Quraisy menentang dakwah
Rasul dengan segala jenis senjata, dan mereka berusaha menghalangi
manusia dari Beliau dengan cara apapun.
Al Thufail mendapati dirinya telah berada dalam peperangan itu tanpa
persiapan apapun dan ia turut serta di dalamnya tanpa sengaja…
Ia tidak datang ke Mekkah dengan tujuan ini, dan tidak ada dalam
benaknya urusan Muhammad dan Quraisy.
Daerah pinggir laut di Jazirah Arab yang sejajar dengan Laut MErah
Dari sini maka dimulailah sebuah hikayat yang tak pernah terlupa bagi
Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy; Mari kita simak kisah ini, sebab ia yaitu
sebuah kisah yang aneh.
Al Thufail mengisahkan: “Aku tiba di Mekkah. Begitu para pemimpin
Quraisy melihatku, mereka mendatangiku dan mereka menyambutku
dengan begitu mulia. Dan mereka memposisikan diriku dengan begitu
terhormat.
Lalu para pemimpin dan pembesar mereka berkata kepadaku: “Ya
Thufail. Engkau telah datang ke negeri kami. Ada seorang disini yang
mengaku bahwa ia yaitu seorang Nabi yang telah merusak urusan dan
mencerai-berai persatuan serta jama’ah kami. Kamikhawatir ia dapat
mengganggumu dan mengganggu kepemimpinanmu pada kaummu
sebagaimana yang telah terjadi pada diri kami. Maka janganlah engkau
berbicara dengannya, dan janganlah kau dengar apapun dari
pembicaraannya; sebab ia memiliki ucapan seperti seorang penyihir: yang
dapat memisahkan seorang anak dari ayahnya, dan seorang saudara dari
saudaranya, dan seorang istri dari suaminya.”
Al Thufail berkata: “Demi Allah, mereka terus saja menceritakan
kepadaku tentang keanehan kisah Muhammad. Mereka membuat diriku
dan kaumku menjadi takut dengan keajaiban perilaku Muhammad.
Sehingga akupun bertekad untuk tidak mendekat kepadanya, dan untuk
tidak berbicara atau mendengar apapun darinya.
Saat aku datang ke Masjid untuk berthawaf di Ka’bah, dan mengambil
berkah dengan para berhala yang ada di sana sebagaimana kami
melakukan haji kepadanya untuk mengagungkan berhala-berhala tadi,
akupun menutup telingaku dengan kapas sebab khawatir telingaku
mendengar sesuatu dari perkataan Muhammad.
namun bagitu aku masuk ke dalam Masjid aku mendapati ia
sedang berdiri melakukan shalat dekat Ka’bah bukan seperti shalat yang
biasa kami lakukan. Ia melakukan ibadah bukan seperti ibadah yang biasa
kami kerjakan. Aku senang melihat pemandangan ini. Aku menjadi
tercengang dengan ibadah yang dilakukannya. Aku mulai mendekat
kepadanya. Sedikit demi sedikit tanpa disengaja sehingga aku begitu dekat
dengannya…
Kehendak Allah berbicara lain sehingga ada beberapa ucapannya yang
hinggap di telingaku. Aku mendengar pembicaraan yang baik. Dan aku
berkata dalam diri sendiri: “Celaka kamu wahai Thufail… engkau yaitu
seorang yang cerdas dan seorang penyair. Dan engkau dapat membedakan
antara yang baik dan yang buruk. Lalu apa yang menghalangimu untuk
mendengar apa yang diucapkan orang ini… Jika yang dibawa olehnya
yaitu kebaikan maka akan aku terima, jika itu yaitu keburukan maka
akan aku tinggalkan.”
Al Thufail masih mengisahkan: “Kemudian aku masih terdiam sehingga
Rasulullah Saw kembali ke rumahnya. Aku mengikuti Beliau dan begitu ia
masuk ke dalam rumahnya, akupun turut masuk. Aku berkata: “Ya
Muhammad, kaummu telah menceritakanmu kepadaku bahwa kamu
begini dan begitu. Demi Allah, mereka terus-menerus membuatku khawatir
dari mu sehingga aku menutup kedua telingaku dengan kapas agar aku
tidak mendengarkan ucapanmu. Kemudian kehendak Allah berkata lain,
sehingga aku mendengar sebagian dari ucapanmu, dan aku mengaggap hal
itu yaitu baik… maka ceritakanlah urusanmu padaku…!
Beliau menceritakan urusannya kepadaku. Beliu juga membacakan
untukku surat Al Ikhlas dan Al Falaq. Demi Allah, aku tidak pernah
mendengar sebuah ucapan yang lebih baik daripada ucapan Beliau. Dan
aku tidak pernah melihat urusan yang lebih lurus daripada urusannya.
Pada saat itu, aku bentangkan tanganku kepadanya, dan aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad yaitu utusan
Allah. Dan akupun masuk Islam.
Al Thufail berkata: “Aku tinggal beberapa lama di Mekkah untuk
mempelajari Islam dan aku selama itu aku menghapal beberapa ayat Al
Qur’an yang mudah bagiku. Begitu aku berniat kembali ke kampungku aku
berkata: “Ya Rasulullah, Aku yaitu seseorang yang dipatuhi di keluargaku.
Saat ini aku mau kembali kepada mereka dan menjadi penyeru mereka
kepada Islam. Berdo’alah kepada Allah agar ia memberikan aku sebuah
tanda kekuasaan-Nya yang dapat menjadi penolongku dalam berdakwah
kepada mereka. Maka Rasul langsung berdo’a: “Allahumma ij’al lahu
ayatan (Ya Allah jadikanlah untuknya sebuah tanda kekuasaan).”
Aku pun mendatangi kaumku, sehingga jika aku tiba di sebuah tempat
yang tinggi di sekitar rumah mereka maka turunlah sebuah cahaya di
antara kedua mataku seolah sebuah lampu. Aku pun berdo’a: “Ya Allah,
jadikanlah ia bukan pada wajahku, sebab aku khawatir mereka menduga
bahwa ini yaitu hukuman yang ditimpakan ke wajahku sebab aku
meninggalkan agama mereka… maka cahaya tadi bergeser dan turun ke
pegangan cambukku. Maka para manusia yang ada saat itu mencoba untuk
melihat cahaya tadi yang berada di cambukku seolah lampu yang
tergantung. Dan aku datang menghampiri mereka dari lembah. Begitu aku
turun ayah menghampiriku –Beliau saat itu sudah amat renta- Aku
berkata: “Kita sudah tidak berhubungan lagi. Aku bukan milikmu dan
engkau bukan milikku.” Ia bertanya: “Mengapa begitu, wahai anakku?”
Aku menjawab: “Aku telah masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad
Saw” Ia berkata: “Duhai anakku, agamaku yaitu agamamu.” Maka
akupun berkata: “Kalau begitu, mandilah dan bersihkanlah pakaianmu.
Lalu kemarilah agar aku mengajarkan apa yang pernah aku pelajari.” Lalu
Beliau mandi dan membersihkan pakaiannya, kemudian Beliau datang
menghampiriku sehingga aku paparkan Islam kepadanya dan iapun
memeluk Islam. Kemudian istriku datang dan aku berkata kepadanya:
““Kita sudah tidak berhubungan lagi. Aku bukan milikmu dan engkau
bukan milikku.” Ia bertanyaL “Mengapa demikian? Demi ibu dan
bapakku.” Aku menjawab: “Islam telah memisahkan antara kita. Aku telah
masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad Saw.” Ia berkata: “Kalau
begitu, agamaku yaitu agamamu.” Aku berkata: “Bersucilah dengan air
Dzu Syara4!” Ia bertanya: “Demi ibu dan bapakku, apakah engkau tidak
khawatir terkena musibah dari Dzu Syara?!” Aku menjawab: “Celaka kamu
dan Dzu Syara… aku katakan kepadamu: pergilah dan mandilah di sana di
tempat yang jauh dari pandangan manusia. Aku jamin pasti batu yang tuli
itu tidak dapat melakukan apapun kepadamu.”
Iapun berangkat dan mandi. Kemudian ia datang lagi dan aku
paparkan Islam kepadanya sehingga iapun mau memeluknya. Kemudian
aku berdakwah kepada penduduk Daus namun mereka tidak menjawab
dengan segera ajakan ini kecuali Abu Hurairah dan Beliau yaitu manusia
yang paling dulu masuk Islam dari mereka.”
Al Thufail berkata:“Aku mendatangi Rasulullah Saw di Mekkah dan aku
mengajak Abu Hurairah saat itu… Nabi Saw bertanya kepadaku: “Apa yang
ada di belakangmu wahai Thufail?” Aku menjawab: “Hati yang tertutup,
dan kekafiran yang dahsyat. Di daerah Daus kefasikan dan kemaksiatan
telah merajalela.” Lalu Rasulullah Saw berdiri, berwudhu lalu shalat dan ia
mengangkatkan tangannya ke langit. Abu Hurairah berkata saat itu:
“saat aku melihat Beliau melakukan hal itu aku khawatir Beliau
mendo’akan kaumku sehingga mereka dapat binasa…
Maka akupun berkata: “Ya kaumku….” namun Rasulullah Saw
berdoa: “Ya Allah berilah petunjuk bagi kaum Daus… Ya Allah berilah
petunjuk bagi kaum Daus… Ya Allah berilah petunjuk bagi kaum Daus.”
Lalu Beliau menoleh ke arag Thufail seraya bersabda: “Kembalilah ke
kaummu dan berlaku haluslah kepada mereka dan ajaklah mereka
memeluk Islam!”
Al Thufail berkata: Aku masih saja terus berdakwah di daerah daus
hingga Rasulullah Saw berhijrah ke Madinah. Meletuslah perang
Badr,Uhud, dan Khandaq. Aku datang menghadap Nabi dengan membawa
80 kepala keluarga dari daerah Daus yang telah masuk Islam dan
menjalankan keislamannya dengan baik. Rasulullah Saw menjadi gembira
sebab nya, dan Beliau membagikan kepada kami jatah ghanimah (harta
rampasan perang) Khaibar5. Lalu kami berkata: “Ya Rasulullah, jadikanlah
kami pasukan tempur sisi kanan dalam setiap peperangan yang kau
lakukan. Dan jadikanlah semboyan kami: “Mabrur”
Al Thufail masih berkisah: “Aku terus mendampingi Rasulullah Saw
hingga Beliau menaklukkan Mekkah. Akupun berkata: “Ya Rasulullah,
Kirimlah aku ke Dzul Kafain sebuah berhala milik ‘Amr bin Hamamah
sehingga aku dapat membakarnya… Rasulpun mengizinkan Thufail untuk
melakukan itu; dan ia berangkat menuju berhala itu dengan sebuah
pasukan yang terdiri dari para kaumnya.
Begitu ia sampai di sana dengan tekad bulat untuk membakar berhala
itu. Rupanya banyak wanita, pria dan anak-anak yang menunggu
datangnya musibah bagi diri Thufail. Mereka juga menunggu datangnya
petir jika Thufail berani mendekat kepada Dzul Kafain. namun Thufail
terus mendekat ke arah berhala itu dengan disaksikan oleh para
penyembah berhala… ia menyalakan api amarah di hatinya… seraya
membacakan mantra:
Wahai Dzul Kafain aku bukanlah termasuk para penyembahmu
Kami lahir lebih dahulu daripada dirimu
Aku akan mengisi api dalam hatimu
Seiring api melahap berhala ini , maka terlahap juga kemusyrikan
yang ada di kabilah Daus. Seluruh kaumnya masuk ke dalam Islam dan
mereka melaksanakan keislamannya dengan baik.
Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy sesudah itu terus mendampingi Rasul Saw
hingga Beliau kembali ke sisi Tuhannya.
Begitu kekhalifahan diserahkan kepada Abu Bakar As Shiddiq, Al
Thufail meletakkan diri, pedang dan anaknya untuk taat kepada khalifah
Rasulullah Saw.
Tatkala pecah peperangan terhadap kaum murtad, Al Thufail berangkat
dalam barisan terdepan kaum muslimin untuk memerangi Musailamah Al
Kadzab. Dan ia ditemani oleh anaknya yang bernama ‘Amr.
Saat dalam perjalanan menuju Al Yamamah, Thufail bermimpi dan ia
berkata kepada para sahabatnya: “Aku mendapatkan sebuah mimpi,
ta’birkanlah oleh kalian mimpi ini untukku!” Para sahabatnya
bertanya: “Apa mimpimu itu?” Ia menjawab: “Aku bermimpi bahwa
kepalaku dicukur, dan ada seekor burung keluar dari mulutku, dan ada
seorang wanita yang memasukkan aku ke dalam perutnya. Dan anakku
‘Amr mengejarku dengan cepat namun ada penghalang diantara kami.”
Para sahabatnya berkata: “Mungkin akan membawa kebaikan.” Thufail
Khaibar: yaitu sebuah oase di negeri hijaz yang dihuni oleh bangsa Yahudi
berkata: “Demi Allah aku telah mencoba mentakwilkannya: adapun
kepalaku yang tercukur itu berarti bahwa ia akan terpotong. Sedangkan
burung yang keluar dari mulutku maka itu yaitu ruhku… Adapun wanita
yang memasukkan aku ke dalam perutnya yaitu bumi dimana aku
dikuburkan… Aku berharap dapat terbunuh sebagai syahid…. Sedangkan
anakku yang mengejar diriku itu berarti bahwa ia juga mencari kesyahidan
seperti yang akan aku dapatkan –jika Allah mengizinkan- namun ia
akan mendapatkannya pada kesempatan selanjutnya.
Dalam peperangan Al Yamamah seorang sahabat agung yang bernama
Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy tertimpa ujian yang begitu besar, sehingga ia
jatuh tersungkur sebagai seorang syahid di medan perang.
Sedangkan anaknya yang bernama ‘Amr masih terus berperang
sehingga sekujur tubuhnya penuh dengan luka dan telapak tangan
kanannya putus. Ia pun kembali ke Madinah dari Al Yamamah tanpa ayah
dan telapak tangannya.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, ‘Amr bin Thufail datang
menghadap. Saat itu Umar sedang mendapat makanan, dan banyak orang
yang berada di sekelilingnya. Umar mengajak semua orang tadi untuk
menikmati makanannya. ‘Amr menolak undangan makan itu. Umar lalu
berkata kepadanya: “Apa yang terjadi denganmu… apakah engkau tidak
mau makan sebab merasa malu sebab tanganmu.” Ia menjawab: “Benar,
ya Amirul Mukminin.” Umar berkata: “Demi Allah, aku tidak akan
mencicipi makanan ini hingga ia tersentuh oleh tanganmu yang buntung
itu… Demi Allah tidak ada seorangpun di kaum ini yang sebagian anggota
tubuhnya berada di surga selain kamu, (maksudnya yaitu tangan ‘Amr).
Impian untuk mendapatkan syahadah (mati syahid) terus membayangi
‘Amr sejak ia berpisah dengan ayahnya. Begitu perang Yarmuk meletus,
‘Amr segera menyambutnya dengan orang-orang lain yang bersemangat. Ia
terus saja berperang sehingga ia mendapatkan syahadah seperti yang
didapatkan ayahnya.
Semoga Allah merahmati Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy; dia yaitu
seorang syahid ayah dari seorang syahid.
Abdullah Bin Hudzafah Al Sahmy
“Menjadi Kewajiban Bagi Setiap Muslim untuk Mencium Kepala
Abdullah Bin Hudzafah, Saya yang Akan Memulainya Terlebih
Dahulu” (Umar Bin Khattab)
Tokoh kisah ini yaitu seorang pria dari kalangan sahabat yang
bernama Abdullah bin Hudzafah Al Sahmy.Sejarah dapat saja berlalu atas
tokoh kita ini sebagaimana sejarah terus berlalu terhadap jutaan bangsa
Arab sebelum Abdullah tanpa memberikan perhatian khusus kepada
mereka.
namun Islam yang agung memberikan kesempatan kepada
Abdullah bin Hudzafah Al Sahmy untuk bertemu dengan pemimpin dunia
saat itu yaitu Kisra Raja Persia dan Kaisar yang agung raja Romawi…
Bersama dua pemimpin besar ini, Abdullah mencatat kisah yang senantiasa
diingat orang dan terus dikisahkan oleh lisan sejarah sepanjang masa.
Adapun kisah Abdullah dengan Kisra raja Persia itu terjadi pada tahun
ke enam hijriyah saat Nabi Saw berniat untuk mengirimkan beberapa
rombongan sahabatnya dengan membawa surat kepada para raja
berkebangsaan non-arab untuk mengajak mereka masuk ke dalam Islam.
Rasulullah Saw sudah memprediksikan bahaya dari tugas ini…. Para
utusan Rasul tadi akan berangkat menuju negeri-negeri yang jauh yang
belum pernah mengadakan kerjasama dan kesepakatan dengan Islam
sebelumnya. Para utusan tadi tidak mengerti bahasa-bahasa negeri yang
akan didatanginya dan mereka juga tidak sedikitpun mengerti watak para
raja tadi… Para utusan tadi juga akan mengajak para raja untuk
meninggalkan agama mereka, melepaskan kebesaran dan kekuasaan serta
masuk ke dalam sebauh agama suatu kaum….. Ini merupakan sebuah
ekspedisi berbahaya. Sebab yang berangkat ke sana dapat menghilang
sedang yang kembali dari ekspedisi ini hanya tinggal anaknya saja.Oleh
sebab nya Rasulullah Saw mengumpulkan para sahabatnya . Beliau berdiri
dihadapan mereka dalam sebuah khutbah: sesudah memuji Allah,
mengucapkan syahadat Beliau bersabda:
“Amma ba’du. Aku ingin mengutus beberapa orang dari kalian untuk
datang kepada beberapa orang raja non-Arab. Janganlah kalian
membantah aku sebagaimana Bani Israil membantah Isa putra Maryam.”
Para sahabat Rasulullah Saw menyambut dengan berseru: “Ya
Rasulullah, kami akan mendukung apapun yang kau inginkan. Kirimlah
kami kemana saja engkau inginkan.”
Rasulullah Saw mengutus 6 orang sahabatnya untuk membawa surat
dari Beliau kepada beberapa orang raja Arab dan non-Arab. Salah seorang
dari ke enam utusan tadi yaitu : Abdullah bin Hudzafah Al Sahmy yang
diutus untuk membawa surat Nabi Saw kepada Kisra raja Persia
Abdullah serta-merta mempersiapkan bekalnya. Ia mengucapkan kata
perpisahan kepada istri dan anaknya. Ia lalu berangkat menuju tempat
tujuannya yang melalui berbagai lereng dan bukit dataran tinggi maupun
rendah. Ia lakukan perjalanan ini sendirian tanpa ada teman yang
mengiringi selain Allah Swt. Saat ia sampai di perkampungan wilayah
Persia, ia memohon izin untuk dapat masuk kepada rajanya. Dan para
permbantu raja memperingatkan bahaya dari surat yang dibawa Abdullah
kepada raja.
Mendengar itu raja Kisra memerintahkan para pembantunya untuk
menghias istana, lalu ia megundang para pembesar bangsa Persia untuk
dapat hadir dalam kesempatan ini. Kemudian Kisra mengizinkan Abdullah
bin Hudzafah untuk datang.
Lalu datanglah Abdullah bin Hudzafah menghadap pemimpin Persia
dengan menggunakan selendang tipis yang menutupi tubuhnya, ia juga
mengenakan baju panjang berbahan kasar yang ditutupi dengan selendang
khusus bangsa Arab.
namun ia memiliki leher yang tegak. Postur tubuh yang tegap. Dari
tulang rusuknya terlihat keagungan Islam. Dalam hatinya menyala
kebesaran iman.
Begitu Kisra melihat Abdullah datang menghadap, ia langsung memberi
isyarat kepada salah seorang pembantunya untuk mengambil surat dari
tangan Abdullah, maka Abdullah langsung berkata: “Jangan, Rasulullah
Saw menyuruhku untuk menyerahkan surat ini langsung ke tanganmu,
dan aku tidak ingin melanggar perintah Rasulullah.”
Kisra langsung memerintahkan kepada semua pembantunya: “Biarkan
ia mendekat kepadaku.” Maka Abudllah langsung mendekat ke arah Kisra
sehingga ia dapat langsung menyerahkan surat ini ke tangan Kisra.
Lalu Kisra memanggil seorang juru tulis berkebangsaan Arab dari
negeri Al Hirah6 dan ia memerintahkan untuk membuka surat ini
Sebuah daerah di Iraq antara Najaf dan Kufah
dihadapannya. Dan Kisra meminta juru tulis tadi untuk membacakannya:
“Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad Rasulullah kepada Kisra yang
Agung raja Persia. Keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk…”
Begitu Kisra mendengar isi surat sebagaimana yang telah dibacakan
kepadanya, maka tersulutlah api amarah dalam dadanya. Wajahnya
menjadi merah. Keringatnya mengucur deras dari leher sebab dalam surat
ini Rasulullah Saw memulai dengan menyebut dirinya sendiri… Lalu
ia langsung menyambar surat ini dan merobeknya tanpa ia tahu apa
yang ada dalam isi surat itu. Ia pun langsung berseru: “Apakah ia berani
menuliskan hal ini kepadaku, padahal dia yaitu budakku?!!” Lalu ia
memerintahkan para pengawalnya untuk mengeluarkan Abdullah bin
Hudzafah dari hadapannya. Dan akhirnya Abdullah dibawa keluar.
Abdullah bin Hudzafah keluar meninggalkan ruang sidang Kisra. Ia
sendiri tidak tahu ketentuan Allah yang bagaimana yang akan terjadi pada
dirinya…. Apakah ia akan dibunuh atau dibiarkan hidup dengan bebas?
namun ia masih sempat berujar: “Demi Allah, aku tidak peduli
akan nasibku sesudah aku menyampaikan surat Rasulullah Saw… Iapun
langsung menaiki kendaraannya dan akhirnya berangkat.
Begitu amarah Kisra mereda, ia memerintahkan untuk membawa
masuk kembali Abdullah; namun ia tidak ditemukan… para pembantu raja
lalu mencarinya, namun sayang Abdullah telah pergi tanpa jejak.
Merekapun terus mengejar sepanjang jalan hingga ke jazirah Arab, dan
mereka menyadari bahwa Abdullah telah pergi jauh.
Begitu Abdullah datang menghadap Nabi Saw ia menceritakan apa
yang terjadi dengan Kisra dan surat Nabi Saw yang dirobeknya. Rasul Saw
tidak menanggapi dengan ucapan apa-apa selain: “Allah akan merobek-
robek kerajaannya.”
Kisra kemudian mengirim surat kepada Badzan wakilnya yang berada
di Yaman. Dalam suratnya Kisra berpesan: “Kirimlah kepada orang yang
ada di Hijaz ini (Muhammad) dua orang kuat yang kau miliki. Dan
suruhlah mereka berdua membawanya menghadapku…” Maka Badzan
mengutus dua orang terbaiknya kepada Rasulullah Saw, dan lewat kedua
orang tadi Badzan menitipkan surat kepada Rasul yang didalamnya
terdapat perintah kepada Rasul untuk berangkat bersama kedua orang
utusannya untuk menghadap Kisra sesegera mungkin…
Badzan juga meminta kedua utusannya untuk mencari informasi
tentang diri dan kisah Rasulullah, dan meminta keduanya melaporkan
setiap informasi tentang diri Beliau.
Kedua orang utusan tadi berangkat dengan kecepatan tinggi sehingga
keduanya tiba di daerah Thaif. Mereka berdua bertemu dengan para
pedagang dari suku Quraisy. Begitu melihat mereka, keduanya langsung
menanyakan tentang diri Muhammad Saw. Para pedagang Quraisy
menjawab: “Mereka kini ada di Yatsrib.” Kemudian para pedagang tadi
melanjutkan perjalanan ke Mekkah dengan gembira, dan mereka
membawa kabar gembira kepada suku Quraisy sambil berkata:
“Bergembiralah! Kisra sekarang akan menghantam Muhammad dan kalian
tidak usah lagi khawatir akan kejahatannya.”
Sedang kedua utusan tadi langsung menuju Madinah. Tatkala sampai
disana mereka berdua bertemu dengan Nabi Saw. Mereka lalu
menyerahkan surat Badzan kepada Beliau sambil berkata: “Raja diraja Kisra
menuliskan surat kepada raja kami Badzan untuk mengutus seseorang yang
dapat membawamu menghadapnya… Kami kini sudah datang untuk
menjemputmu. Jika kau ingin, kami dapat berbicara kepada Kisra sehingga
ia tidak mencelakakanmu dan membiarkanmu selamat. Jika kau menolak,
kau sudah mengerti kekuatan, kebengisan dan kemampuannya untuk
membunuhmu dan semua kaummu.”
Lalu Rasulullah Saw tersenyum sambil bersabda kepada mereka berdua:
“Kembalilah lagi ke tunggangan kalian hari ini, dan datanglah esok!.”
Begitu mereka berdua datang menghadap lagi kepada Nabi di hari
esoknya, mereka berdua berkata: “Apakah kau sudah mempersiapkan diri
untuk berangkat bersama kami menghadap Kisra?”
Nabi Saw menjawab mereka dengan bersabda: “Kalian tidak akan
bertemu dengan Kisra lagi sesudah ini…. Allah telah membunuhnya; dengan
mengangkat putranya yang bernama Syirawaih di malam ini…. Dan bulan
ini….”
Mereka berdua lalu menatap tajam wajah Nabi Saw, dan nampak
keterkejutan di wajah mereka berdua. Keduanya bertanya: “Apakah engkau
mengerti apa yang kau katakan? Apakah kami perlu menulis surat tentang
hal ini kepada Badzan?”
Rasul Saw menjawab: “Silahkan dan katakan kepadanya bahwa
agamaku akan dapat menguasai apa yang telah dikuasai oleh Kisra dan jika
ia mau masuk ke dalam Islam, aku akan membiarkan apa yang telah ia
miliki dan menjadikannya sebagai raja bagi kaumnya.”
Akhirnya kedua utusan tadi pergi meninggalkan Rasulullah Saw dan
mereka pergi menghadap Badzan. Keduanya menceritakan kisahnya.
Badzan lalu berkata: “Jika apa yang dikatakan Muhammad yaitu benar
maka dia yaitu seorang Nabi, namun jika tidak maka kami akan
mengambil keputusan atasnya…”
Tidak lama berselang maka tibalah kepada Badzan surat dari Syirawaih
yang didalamnya tertulis: “Amma ba’du… Aku telah membunuh Kisra. Aku
membunuhnya sebab ingin membalas dendam bangsaku. sebab ia telah
memerintahkan untuk membunuh para pembesar bangsa, menjadikan
wanita-wanitanya sebagai budak dan merampas harta rakyat. Jika surat ini
telah sampai di tanganmu maka engkau dan seluruh pengikutmu harus
tunduk dan taat kepadaku.”
Begitu Badzan membaca surat dari Syirawaih, ia langsung membuang
surat ini dan ia mengumumkan bahwa ia masuk Islam. sebab nya,
maka seluruh bangsa Persia yang berada di Yaman masuk Islam
bersamanya.
Demikianlah kisah perjumpaan Abdullah bin Hudzafah dengan Kisra
raja Persia. Lalu bagaimana kisah perjumpaannya dengan Kaisar yang
Agung raja Romawi?
Perjumpaan Abdullah dengan Kaisar terjadi pada masa khilafah Umar
bin Khattab ra. Dan Umar punya kisah tersendiri dengan Abdullah yang
termasuk kisah paling menakjubkan.
Pada tahun 19 Hijriyah, Umar mengirimkan pasukan untuk berperang
dengan Romawi yang didalamnya terdapat Abdullah bin Hudzafah Al
Sahmy…. Kaisar raja Romawi sudah mendengar tentang kisah pasukan
kaum muslimin dan sifat mereka yang memiliki iman yang kuat, akidah
yang kokoh dan rela mengorbankan jiwa di jalan Allah dan Rasul-Nya.
Kaisar memerintahkan kepada pasukannya –jika mereka dapat
menangkap seorang tawanan dari pasukan kaum muslimin- hendaknya
tidak diapa-apakan namun dibawa menghadapnya hidup-hidup…
Kehendak Allah menetapkan bahwa Abdullah bin Hudzafah Al Sahmy
menjadi tawanan bangsa Romawi. Maka para pasukan Romawi membawa
Abdullah menghadap Kaisar. Para pasukan tadi berkata kepadanya: “Ini
yaitu seorang sahabat Muhammad yang masuk Islam lebih dahulu, dan ia
berhasil kami tangkap; dan kini kami membawanya menghadapmu.”
Raja Romawi memadang ke arah Abdullah bin Hudzafah dengan
seksama,lalu ia berkata kepadanya: “Aku akan menawarkan sesuatu
kepadamu.” Abdullah bertanya: “Apa itu?” Kaisar menjawab: “Aku
menawarkan kepadamu untuk masuk ke dalam agama Nashrani. Jika kau
mau, aku akan membiarkanmu hidup dan membuatmu hidup muia.” Maka
Abdullah menjawab dengan sengit dan tegas: “Tidak akan bagiku.
Kematian 1000 kali lebih aku sukai daripada memenuhi ajakanmu.”
Kaisar lalu berkata: “Menurutku engkau yaitu seorang yang mulia…
Jika kau mau menerima tawaranku maka aku akan menjadikanmu sebagai
pembantuku dan aku akan berbagi kekuasaan denganmu.”
31
Abdullah yang sedang dalam kondisi terikat itu tersenyum seraya
berkata: “Demi Allah, andai saja kau beri aku seluruh apa yang kau miliki
dan semua yang dimiliki bangsa Arab agar aku keluar dari agama
Muhammad sekejap saja, maka aku tidak akan pernah melakukannya.”
Kaisar berkata: “Kalau begitu, aku akan membunuhmu.” Abdullah
menjawab: “Lakukan saja apa yang kau inginkan.”
Kemudian Kaisar memerintahkan agar Abdullah disalib. Kemudian ia
memerintahkan para juru tombaknya untuk melontarkan tombak ke arah
tangan Abdullah, sebab ia berani menolak untuk masuk agama Nasrani.
Kaisar pun memerintahkan kepada juru tombaknya untuk melemparkan
tombak ke arah kaki Abdullah sebab ia berani menolak untuk
meninggalkan agamanya.
sesudah itu, Kaisar meminta para juru tombaknya berhenti dan
menyuruh mereka untuk menurunkan Abdullah dari tiang salib. Kemudian
Kaisar meminta sebuah tungku besar yang berisikan minyak. Ia lalu
menyalakan api sehingga mendidih. Lalu ia memanggil pembantunya
untuk membawa dua orang tawanan dari kaum muslimin lainnya. Lalu
Kaisar memerintahkan agar salah seorang dari tawanan tadi dimasukkan
ke dalam tungku tadi. Maka serta merta dagingnya langsung terburai…
dan tulangnya menjadi kelihatan.
Lalu Kaisar menoleh ke arah Abdullah bin Hudzafah dan mengajaknya
untuk masuk ke dalam agama Nashrani. Namun Abdullah menolaknya
dengan lebih keras lagi.
Tatkala kesabaran Kaisar sudah habis, ia menyuruh pembantunya
untuk memasukkan Abdullah ke dalam tungku bersama kedua sahabatnya
tadi. Tatkala para pengawal membawa Abdullah, maka kedua matanya
mengeluarkan air mata. Maka para pengawal tadi memberitahukan Kaisar
bahwa Abdullah telah menangis…
Kaisar menduga bahwa Abdullah sudah merasa takut dan ia berkata:
“Bawa kembali dia menghadapku!”
Tatkala Abdullah sudah berada di hadapan Kaisar. Kaisar menawarkan
agama Nasrani kembali kepadanya dan ia pun masih menolak.
Maka Kaisar menjadi berang sebab nya seraya berkata: “Celaka kamu,
lalu apa yang membuatmu menangis tadi?” Abdullah menjawab: “Yang
membuat aku menangis yaitu saat aku berkata dalam diri sendiri:
‘Sebentar lagi kau akan dimasukkan ke dalam tungku dan ruhmu akan
pergi. Dan aku berharap aku memiliki ruh yang banyak sejumlah rambut
yang berada di badanku, sehingga semuanya dimasukkan ke dalam tungku
dan mati di jalan Allah.”
Maka Kaisar yang lalim bertanya: “Maukah kau mencium kepalaku
sehingga aku akan membebaskanmu?” Abdullah balik bertanya: “Apakah
engkau juga akan membebaskan semua tawanan kaum muslimin?” Kaisar
menjawab: “Semuanya akan aku bebaskan.” Abdullah lalu berkata dalam
dirinya: “Dia yaitu salah satu musuh Allah. Aku harus mencium
32
kepalanya sehingga ia akan membebaskanku dan semua tawanan
muslimin. Menurutku ini bukanlah hal yang dapat membawa mudharat.”
Kemudian Abdullah mendekat ke arah Kaisar dan iapun mencium
kepala Kaisar. Lalu Kaisar memerintahkan untuk membawa semua
tawanan muslimin menghadapnya dan kemudian mereka semua
dibebaskan.
Abdullah bin Hudzafah datang menghadap Umar bin Khattab ra. Ia
mengisahkan ceritanya; Umar langsung gembira dibuatnya. Tatkala Umar
melihat semua tawanan yang bersamanya ia berujar: “Menjadi kewajiban
bagi setiap muslim untuk mencium kepala Abdullah bin Hudzafah… dan
aku sendiri yang akan memulainya.” Lalu Umar berdiri dan mencium
kepala Abdullah.
Umair Bin Wahab
“Umair Bin Wahab Telah Menjadi Orang yang Paling Aku Kasihi Di
Antara Para Anakku.” (Umar Bin Khattab)
Umair bin Wahab Al Jumahy kembali dari perang Badr dalam kondisi
selamat, namun ia pulang tanpa membawa anaknya yang bernama
Wahab sebab ditawan oleh kaum muslimin.
Umair amat khawatir bila kaum muslimin akan menyiksa anaknya
sebab dosa yang telah dibuat oleh ayahnya. Dan ia juga amat khawatir
bila kaum muslimin akan menganiaya anaknya dengan bengis sebagai
balas dari tindakan ayahnya saat menyakiti Rasulullah Saw dan para
sahabatnya.
Di suatu pagi, Umair hendak pergi ke Masjidil Haram untuk bertawaf
di Ka’bah dan mencari keberkahan para berhala yang ada di sana. Ia
bertemu dengan Shafwan bin Umayyah7 yang sedang duduk di samping
Hijir Ismail. Umair lalu menghampirinya dan berkata: “Selamat pagi, wahai
pemuka bangsa Quraisy!” Shafwan membalas: “Selamat pagi, Abu Wahab.
Duduklah agar kita dapat berbicara sejenak! Sebab waktu dapat berhenti
sebab pembicaraan.” Umair pun duduk dihadapan Shafwan bin Umayyah.
Kedua pria ini akhirnya mengingat peristiwa Badr dan kekalahan
mereka yang telak. Mereka juga menghitung kaum mereka yang menjadi
tawanan di tangan Muhammad dan para sahabatnya. Dan mereka menjadi
bergidik saat mengingat para pembesar Quraisy yang mati terbunuh oleh
pedang kaum muslimin, dan mereka terkenang akan Al Qalib8… Lalu
Shafwan langsung berseru: “Demi Allah, tidak ada kehidupan yang lebih
nikmat sesudah mereka.” Umair menyahut: “Demi Allah, Engkau benar.”
Lama berselang Umair berkata lagi: “Demi Tuhan pemilik Ka’bah, kalau
aku tidak ingat hutangku yang tidak sanggup aku bayar. Kalau saja aku
tidak khawatir dengan keluarga yang aku khawatirkan kehidupan mereka
bila aku tidak ada. Pasti aku sudah mendatangi Muhammad dan
membunuhnya sehingga aku dapat menyelesaikannya dan menolak segala
kejahatannya…” Kemudian ia meneruskan lagi ucapannya dengan suara
Shafwan bin Umayyah bin Khalaf Al Jumahy Al Qurasy. Panggilannya yaitu Abu Wahab yang
masuk Islam sesudah penaklukan kota Mekkah. Dia yaitu seorang yang terhormat dan dermawan dari
kalangan bangsawan Quraisy. Dia juga termasuk golongan muallaf (orang yang masuk Islam sebab
hatinya telah ditundukan). Ia turut dalam perang Yarmuk dan meninggal di Mekkah pada tahun 41 H.
Al Qalib yaitu sebuah sumur dimana terkubur di dalamnya kaum Musyrikin saat perang Badr.
pelan: “Dan keberadaan anakku yang bernama Wahab yang menjadi
tawanan mereka, itu yang membuat kepergianku ke Yatsrib menjadi hal
yang tidak dapat dielakan.”
Shafwan bin Umayyah memegang ucapan Umair bin Wahab. Sebelum
kesempatan berlalu, Shafwan memandang Umair seraya berkata: “Ya
Umair, aku akan menanggung semua hutangmu berapapun jumlahnya…
Sedang keluargamu, aku akan menjadikan mereka seperti keluargaku
selagi aku dan mereka masih hidup. Aku memiliki uang yang cukup
banyak untuk merawat mereka semua.” Umair lalu menjawab: “Kalau
begitu, jagalah pembicaraan ini dan jangan sampai ada seorangpun yang
tahu!” Shafwan langsung membalasnya: “Aku jamin.”
Umair bangkit dari Masjid dan api kedengkian menyala dengan hebat
dalam hatinya kepada Muhammad Saw. Ia lalu mempersiapkan bekal
untuk mewujudkan tekadnya. Ia tidak khawatir kegelisahan orang lain
akan perjalanan yang ia lakukan; hal itu sebab para keluarga tawanan
Quraisy lainnya ragu untuk pergi ke Yatsrib demi mencari keluarganya
yang ditawan di sana.
Umair meminta keluarganya untuk mengasah pedangnya lalu
melumurkannya dengan racun. Dan ia juga meminta agar kendaraannya
dipersiapkan dan dibawa kehadapannya; dan iapun lalu
menungganginya… Ia mulai menuju Madinah dengan selendang
kebencian dan kejahatan. Akhirnya Umair tiba di Madinah dan ia berjalan
menuju Masjid untuk mencari Rasulullah Saw. Saat ia sudah hampir
mendekat ke pintu masjid, ia memberhentikan tunggangannya lalu turun.
Saat itu Umar bin Khattab ra sedang duduk bersama para sahabat yang
lain dekat pintu masjid. Mereka sedang mengenang perang Badr dan
tawanan Quraisy serta jumlah yang terbunuh dari pihak mereka. Mereka
juga mengenang para pahlawan muslimin dari suku muhajirin dan anshar.
Mereka juga mengingat anugerah kemenangan yang Allah berikan kepada
mereka, dan apa yang Allah perlihatkan kepada mereka tentang kekalahan
yang diterima oleh musuh.
Saat kepala Umar menoleh ia melihat Umair bin Wahab yang baru
turun dari kendaraannya. Terlihat Umair sedang berjalan ke arah masjid
dengan pedang terhunus. Maka Umar langsung bangkit dengan khawatir
seraya berkata: “Inilah si anjing musuh Allah Umair bin Wahab… Demi
35
Allah, pastilah ia datang hendak membuat keburukan. Dialah yang pernah
menghasut kaum musyrikin di Mekkah untuk memusuhi kami. Dan dia
juga yang selalu menjadi mata-mata sebelum terjadinya perang Badr.” Lalu
Umar berpesan kepada para sahabatnya: “Pergilah kepada Rasulullah dan
tetaplah kalian bersamanya! Waspyaitu saat setan pembuat makar ini
akan berlaku khianat kepada Beliau!”
Kemudian Umar datang menghadap Nabi Saw seraya berkata: “Ya
Rasulullah, ada musuh Allah bernama Umair bin Wahab datang dengan
membawa pedang terhunus. Aku menduga bahwa ia ingin membuat
kerusakan.” Lalu Rasul Saw bersabda: “Bawalah ia menghadapku.”
Kemuian Umar mendatangi Umair bin Wahab. Umar lalu mengambil
kerah baju Umair dengan keras, lalu melipat leher Umair sampai mencium
tempat pedang yang berada di pinggulnya. Lalu Umar membawanya
menghadap Rasul Saw.
Saat Rasulullah Saw mendapatinya dalam kondisi sedemikian, maka
Beliau bersabda kepada Umar: “Lepaskan dia, ya Umar!” Lalu Umar pun
melepaskannya, lalu berkata kepada Umair: Menjauhlah dari Rasul!” Lalu
Umair pun menjauh dari Rasul. Lalu Rasul Saw mendekat ke arah Umair
bin Wahab seraya bersabda: “Duduklah, ya Umair!” Lalu Umairpun duduk
dan berkata: “Selamat pagi!” Lalu Rasulullah Saw menjawab: “Allah telah
memulyakan kami dengan ucapan penghormatan yang lebih baik dari yang
kau ucapan, wahai Umair! Allah telah memuliakan kami dengan salam dan
itu yaitu ucapan ahli surga.” Lalu Umair menjawab: “Demi Allah, apa
yang kau ucapkan tidak jauh berbeda dengan ucapan kami. Dan jarakmu
dengan kami hanya sedikit saja.” Lalu Rasul Saw bertanya kepadanya: “Apa
yang membawamu ke sini, wahai Umair?” Umair menjawab: “Aku ke sini
untuk memohon kebebasan bagi tawanan yang kalian tawan. Bersikaplah
baik kepadaku dalam hal ini.” Rasul Saw bertanya lagi: “Lalu apa
maksudnya pedang yang kau bawa di lehermu ini?” Umair menjawab: “Ini
yaitu pedang yang jelek… apakah ia bermanfaat buat kami saat
terjadinya perang Badr?!!” Rasul Saw bertanya lagi: “Berkatalah yang jujur,
apa yang kau inginkan hingga datang ke sini, wahai Umair?” Umair
menjawab: “Aku hanya datang untuk maksud yang telah aku sebutkan.”
Rasul Saw bersabda: “Bukan, namun kau pernah duduk bersama Shafwan
bin Umayyah dekat Hijir Ismail, dan kalian berdua mengenang orang-
orang Quraisy yang terkubur di Al Qalib lalu kau berkata: ‘kalau bukan
sebab hutang dan keluargaku aku akan datang kepada Muhammad lalu
membunuhnya… lalu Shafwan bin Umayyah bersedia untuk membayar
hutangmu dan menjaga keluargamu agar engkau dapat membunuhku…
dan Allah yaitu penghalang dirimu untuk melakukannya.”
Umair merasa terkejut sesaat, lalu ia mengatakan: aku bersakdi bahwa
engkau yaitu utusan Allah. Kemudian ia mengatakan: “Dahulu kami
selalu mendustakan apa yang engkau bawa dari berita langit. Dan kami
juga mendustakan wahyu yang turun kepadamu. namun kisah
pembicaraanku dengan Shafwan bin Umayyah tidak ada yang
mengetahuinya selain aku dan dia.
Demi Allah, kini aku yakin bahwa yang telah memberitahukanmu
yaitu Allah. Segala puji bagi Allah yang telah mengantarkan aku kesini
untuk menunjukkan aku kepada Islam.”
Lalu ia bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa
Muhammad yaitu utusan Allah. Dan akhirnya, ia pun masuk Islam.
Rasul Saw lalu bersabda: “Ajarkan saudara kalian ini tentang
agamanya. Ajarkan kepadanya Al Qur’an dan bebaskan tawanannya.”
Kaum muslimin amat bergembira dengan keislaman Umair bin Wahab;
bahkan Umar bin Khattab ra sempat berkata: “Tidak ada babi yang lebih
aku cintai selain Umair bin Wahab saat ia datang menghadap Rasulullah
Saw. Mulai hari ini ia adalh orang yang paling aku cintai daripada anak-
anakku sendiri.”
Saat Umair sedang mensucikan dirinya dengan ajaran Islam, mengisi
hatinya dengan cahaya Al Qur’an, dan mengisi hari-hari terindah dalam
sisa umurnya yang membuat ia terlupa akan Mekkah dan orang-orang
yang tinggal di dalamnya. Pada saat yang sama Shafwan bin Umayyah
sedang berangan-angan, dan ia melewati perkumpulan orang-orang
Quraisy sambil berkata: “Bergembiralah dengan berita besar yang akan
kalian dengan sebentar lagi. Sebuah berita yang akan membuat kalian
melupakan peristiwa Badr!”
sesudah penantian cukup lama yang dijalani Shafwan bin Umayyah,
maka sedikit demi sedikit ia merasa kekhawatiran merasuki dirinya.
Sehingga hatinya menjadi lebih panas ketimbang batu bara. Dan ia mulai
kasak-kusuk bertanya kepada para pengelana tentang kabar Umair bin
Wahab, namun tidak satu pun jawaban mereka yang dapat
memuaskannya. Namun datang seorang pengelana yang mengatakan
bahwa Umair telah masuk Islam. Begitu mendengar berita itu, seraya
tersambar petir Shafwan dibuatnya… sebab ia menduga bahwa Umair bin
Wahab tidak akan masuk Islam meski semua manusia di bumi ini masuk
Islam.
Sedang Umair bin Wahab sendiri hampir saja menguasai agama yang
baru dianutnya dan menghapal beberapa ayat Al Qur’an yang mudah
baginya sehingga ia datang menghadap Nabi Saw seraya berkata: “Ya
Rasulullah dahulu aku yaitu seorang yang selalu berusaha untuk
memadamkan cahaya Allah. Dahulunya aku yaitu orang yang selalu
menyiksa para pemeluk Islam. Aku berharap engkau mengizinkan aku
untuk datang ke Mekkah untuk berdakwah kepada kaum Quraisy agar
37
kembali ke jalan Allah dan Rasul-Nya. Jika mereka menerima dakwahku,
maka itu amat baik buat mereka. Jika mereka menolak dan berpaling
dariku, maka aku akan menyiksa mereka sebagaimana aku dulunya
menyiksa para sahabat Rasul Saw.”
Rasul Saw memberinya izin dan ia pun berangkat ke Mekkah.
Sesampainya di sana ia datang ke rumah Shafwan bin Umayyah sambil
berkata: “Ya Shafwan, engkau yaitu salah seorang pemuka kota Mekkah,
seorang intelektual dari suku Quraisy. Apakah menurutmu apa yang kalian
lakukan dengan beribadah kepada batu dan melakukan penyembelihan
untuknya dap