teladan sahabat nabi 10


  

dan ia juga yang telah membunuh saudaraku Musafi, dan… akhirnya Al 

Julas pun menghembuskan nafas terakhirnya. 

Maka menjadi gilalah Sulafah binti Sa’d. Ia langsung berteriak sambil 

menangis sekuatnya. Ia bersumpah demi Lata dan Uzza bahwa ia tidak 

akan pernah merasa puas kecuali bila bangsa Quraisy telah membalaskan 

dendamnya dari Ashim bin Tsabit dan membawa tengkorak kepalanya agar 

ia jadikan tempat khamr untuk diminum. 

Kemudian Sulafah bernazar untuk memberikan siapa saja yang mampu 

menangkap, menawan atau membunuh A’shim bin Tsabit lalu membawa 

kepalanya kepada Sulafah, maka ia akan diberi harta apa saja yang paling 

indah. 

Maka tersebarlah berita tentang nadzar Sulafah ini di kalangan bangsa 

Quraisy. Lalu setiap pemuda Mekkah mulai berangan untuk dapat 

mengalahkan Ashim bin Tsabit lalu mempersembahkan tengkorak 

kepalanya kepada Sualafah, agar ia akan memenangkan hadiah Sulafah ini. 


Kembalilah pasukan muslimin ke Madinah sesudah  mereka melakukan 

perang Uhud. Mereka mengenang peperangan yang baru saja mereka 

lakukan dan mereka pun mengenang setiap kejadian dalam perang 

ini . Mereka berbelasungkawa atas setiap prajurit yang mendapatkan 

syahadah di medan laga. Mereka pun memberikan pujian kepada para 

ksatria yang begitu berani berperang… dan mereka menyebutkan salah 

satu dari para ksatria ini  yaitu  Ashim bin Tsabit. Para pasukan 

muslimin merasa kagum kepada Ashim, bagaimana ia bisa dapat 

mengalahkan tiga orang bersaudara dari satu keluarga dari sekian banyak 

korban yang berguguran di tangannya. 

Salah seorang dari pasukan muslimin berkata: “Bukankah ini 

merupakan hal yang menakjubkan?!! Apakah kalian tidak ingat saat  dulu 

Rasulullah Saw bertanya kepada kita sebelum berangkat ke Badr: 

‘Bagaimana kalian akan berperang?’… Saat itu Ashim bin Tsabit berdiri 

lalu mengambil busur panahnya dan ia letakkan di tangannya dan ia 

berkata: ‘Jika musuh berada 100 hasta dari ku maka akan aku hadapi 

dengan melesatkan anak panah. Jika musuh semakin dekat sehingga dapat 

diserang dengan tombak, maka akan dihadapi dengan tombak sehingga 

dapat terkena oleh tombak. 

Jika tombak sudah tidak mungkin lagi digunakan, maka tombak 

ini  akan kami letakkan dan kami akan mengambil pedang dan mulai 

duel dengan pedang.’ Maka pada saat itu Rasulullah Saw bersabda: 

‘Beginilah caranya berperang. Siapa yang akan berperang, maka ia harus 

berperang dengan cara yang dilakukan oleh A’shim.” 


Tidak lama berselang sesudah  usainya perang uhud, Rasulullah Saw 

mengirimkan 6 orang para sahabat pilihan dalam sebuah delegasi, dan 

delegasi ini dipimpin oleh Ashim bin Tsabit. 

Maka berangkatlah delegasi pilihan ini untuk melaksanakan apa yang 

telah diperintahkan oleh Nabi Saw. Tatkala mereka sedang berada di salah 

satu jalan antara Usfan dan Mekkah, maka ada sebuah rombongan dari 

Hudzail yang mengetahui keberadaan rombongan delegasi ini. Jamaah dari 

Hudzail itupun lalu segera mengejar mereka, dan mengepung mereka 

begitu rapatnya. 

Maka Ashim dan para sahabatnya langsung menguhunuskan pedang 

mereka dan berniat untuk menghadapi para penghadang mereka. 

Maka orang-orang Hudzail inipun berkata kepada mereka: “Kalian 

tidak akan mampu menghadapi kami. Kami yaitu  penduduk kampung ini. 

Jumlah kami begitu banyak, dan kalian hanya berjumlah sedikit saja. Demi 

Tuhan Ka’bah, kami tidak akan berbuat jahat kepada kalian bila kalian 

menyerah. Dan kalian dapat memegang janji Allah ini.” 

Maka keenam sahabat tadi saling melemparkan pandangan kepada 

masaing-masing mereka seolah mereka sedang bermusyawarah akan apa 

yang mesti mereka lakukan.” 

Lalu Ashim menoleh ke arah para sahabatnya dan berkata: “Aku tidak 

akan percaya dengan janji seorang musyrik.” Kemudian Ashim teringat 

akan nadzar Sulafah atas dirinya, dan Ashim langsung menghunuskan 

pedangnya dan berdo’a: “ Ya Allah, Aku akan berjuang dan membela 

agamamu. Maka jagalah daging dan tulangku sehingga tidak ada musuh-

musuh Allah yang dapat mengalahkannya. 

Kemudian Ashim menyerang orang-orang Hudzail tadi yang diikuti 

oleh kedua orang sahabatnya. Mereka yaitu  Martsad Al Ghanawy dan 

Khalid Al Laitsy… Mereka terus melawan kepada orang-orang Hudzail ini 

sehingga mereka pun tewas satu demi satu. 

Sedangkan ketiga orang sahabat Rasul lainnya, mereka yaitu : 

Abdullah bin Thariq, Zaid bin Al Dutsunah dan Khubaib bin Ady. Ketiganya 

menyerahkan diri kepada orang-orang Hudzail tadi. Namun orang-orang 

Hudzail telah berkhianat kepada mereka. 


Orang-orang Hudzail ini tidak mengerti bahwa salah seorang dari 

korban ini  yaitu  Ashim bin Tsabit. Begitu mereka mengetahuinya, 

maka mereka menjadi amat girang, dan mereka mengkhayalkan bahwa 

mereka akan mendapatkan hadiah yang besar. 

Tidak heran, sebab  bukankah Sulafah binti Sa’d telah bernazar bila ia 

berhasil menangkap Ashim bin Tsabit maka ia akan meminum khamr dari 

tengkorak kepalanya? 

Bukankah ia sudah berjanji bagi siapa saja yang dapat membawa Ashim 

hidup atau mati kepadanya, maka si pembawa akan mendapatkan harta 

apa saja yang ia inginkan?! 

Tidak selang begitu lama sesudah  peristiwa terbunuhnya Ashim bin 

Tsabit ini sehingga suku Quraisy mendengar kabarnya. Sebab suku Hudzail 

ini tinggal tidak jauh dari Mekkah. 

Maka para pemuka Quraisy mengutus seseorang dari mereka kepada 

para pembunuh Ashim agar kepala Ashim diserahkan kepada mereka. Hal 

itu demi membayar kebencian Sulafah binti Sa’d dan agar ia dapat 

menepati sumpahnya. Disamping itu juga agar rasa sedihnya akibat 

tewasnya ketiga anaknya berkurang yang telah dibunuh semuanya oleh 

Ashim. 

Para pembesar Quraisy ini menitipkan harta yang banyak pada utusan 

tadi, dan menyuruh utusan ini  untuk memberikan harta ini  

kepada para penduduk Hudzail begitu mereka menyerahkan kepala Ashim. 


Para penduduk Hudzail hendak memotong kepala Ashim, dan mereka 

kaget bahwa kepala Ashim telah dikerubungi oleh lebah dari seluruh 

sisinya. 

Dan setiap kali mereka hendak mendekat kepada bangkai tubuhnya, 

maka para lebah tadi akan terbang ke muka mereka dan menyengat mata, 

kening dan setiap tempat pada tubuh mereka. Semua lebah tadi berusaha 

untuk mengusir mereka dari tubuh Ashim. 

Begitu mereka putus asa sesudah  berusaha berkali-kali untuk 

melakukannya, salah seorang dari mereka berkata: “Biarkan saja tubuhnya 

hingga malam tiba. Sebab lebah bila malam tiba akan pergi darinya dan 

kalian akan dibiarkan oleh lebah untuk mendekati dirinya.” 

Kemudian mereka pun duduk menunggu tidak jauh dari tubuh Ashim. 


namun  begitu siang telah pergi dan malam mulai tiba, maka tiba-

tiba langit menjadi begitu mendung dan amat pekat. 

Cuaca menjadi dingin dan hujan pun mulai turun dengan sangat 

lebatnya. Dan belum pernah ada disaksikan oleh manusia di bumi ini, 

hujan yang begitu lebat turun dari langit. 

Maka semua lereng, lembah dan jalan-jalan di bukit pun di penuhi oleh 

air. Semua daerah di penuhi dengan air yang begitu banyak. 

Begitu waktu pagi tiba, para penduduk Hudzail mencari jasad Ashim di 

setiap tempat. Namun mereka tidak menemukannya. Hal itu terjadi, sebab  

air telah membawa jasadnya pergi jauh dari mereka ke tempat yang mereka 

tidak tahu. 

Rupanya Allah Swt telah mengabulkan do’a Ashim bin Tsabit, sehingga 

Allah Swt melindungi jasadnya yang suci agar tidak dianiaya. 

 302

Allah juga menjaga kepala Ashim agar tidak dijadikan tempat khamr 

untuk minum. Dan Allah tidak akan memberikan kesempatan bagi kaum 

musyrikin atas mukminin. 


Utbah bin Ghazwan 

“Utbah bin Ghazwan Memiliki Posisi Terhormat dalam Islam” (Umar 

bin Khattab) 

 

Amirul Mukminin merebahkan dirinya di ranjang sesudah  shatal Isya. Ia 

ingin sekali beristirahat sesudah  ia berkeliling melihat rakyatnya pada waktu 

malam. 

namun  kantuk yang ia rasakan pun pergi, sebab  ada sebuah surat 

yang datang kepada Beliau berbunyi: “Pasukan Persia yang dikalahkan oleh 

pasukan muslimin rupanya selalu mendapatkan bala bantuan dari mana 

saja. Tidak lama lagi pasukan Persia akan mempersiapkan kekuatannya dan 

akan kembali melakukan perang.” 

Dan ada yang mengatakan kepada khalifah bahwa kota Al Ubullah137 

mempersiapkan bantuan yang amat banyak bagi pasukan Persia dengan 

memberikan harta dan prajurit yang berjumlah banyak. 

Maka Umar langsung bertekad untuk mengirimkan sebuah pasukan 

untuk menaklukan Al Ubullah, dan memutuskan pasokan logistik mereka 

kepada pasukan Persia, namun  khalifah masih ragu sebab  jumlah 

pasukan yang sedikit yang kini sedang ia miliki. 

Hal itu disebab kansebab pasukan muslimin baik yang masih muda 

maupun tua telah pergi mengarungi bumi untuk berjuang di jalan Allah, 

sehingga yang tersisa di Madinah hanyalah sedikit orang saja. 

Maka khalifah berpikir dengan caranya sendiri yang telah masyhur 

dikenal orang. Yaitu dengan mengganti sedikitnya pasukan dengan 

kekuatan yang dimiliki oleh seorang panglima. 

Lalu khalifah menghamburkan anak-anak panah milik para 

prajuritnya, kemudian Beliau menguji mereka satu demi satu dalam 

memanah. Kemudian ia berkata: “Aku telah menemukannya. Ya, aku telah 

menemukannya.” 

Kemudian khalifah menuju kudanya dan berkata: “Dia yaitu  seorang 

mujahid yang telah turut dalam perang Badr, Uhud, Khandaq dan lain-lain. 

Tidak pernah pedangnya salah tebas, dan anak panah yang dilesatkannya 

tidak pernah meleset. 

Dan ia telah berhijrah dua kali138. Dan ia  yaitu  orang ketujuh yang 

masuk Islam di muka bumi ini.” 

                                                     

137

 Al Ubullah yaitu  sebuah kota yang terletak di samping Basrah yang termasuk bagian dari 

kota Basrah. 

 

 

 304

Begitu waktu Shubuh tiba, khalifah berkata: “Panggilkan Utbah bin 

Ghazwan untuk menghadapku!” 

Kemudian khalifah mempercayakan panji pasukan kepada Utbah yang 

didukung oleh 310 orang prajurit lebih. Dan Khalifah berjanji kepada 

Utbah bahwa ia akan menambahkan jumlah pasukannya. 


Begitu pasukan yang sedikit ini hendak berangkat. Umar Al faruq 

berdiri untuk berpesan dan memberikan nasehatnya kepada pemimpin 

pasukan ini. Ia berkata: “Ya Utbah, Aku telah memerintahkanmu untuk 

berangkat ke Ubullah yang merupakan salah satu benteng musuh. Aku 

berharap Allah Swt akan membantumu untuk menaklukannya. 

Jika engkau sudah tiba di sana, maka serulah penduduk Ubullah untuk 

kembali kepada Allah. Siapa di antara mereka yang memenuhi seruanmu, 

maka terimalah mereka dengan baik. Siapa yang tidak mau menerima 

seruanmu, maka pungutlah jizyah139 dengan menghinakan mereka. Kalau 

mereka tidak mau memberikannya, maka letakkanlah pedang di leher 

mereka bukan pada punuk mereka. Bertaqwalah selalu, ya Utbah dengan 

amanah yang kau emban. 

Waspyaitu  dengan jiwamu yang dapat menimbulkan rasa sombong 

dan dapat merusak akhiratmu. Ketahuilah bahwa engkau pernah menjadi 

sahabat Rasulullah Saw sehingga Allah memuliakan engkau sebab  Beliau 

sesudah  hidup nista. Ia telah memberi kekuatan kepadamu sebab  Beliau 

sesudah  kelemahan, sehingga engkau menjadi seorang pemimpin yang 

memiliki kekuasaan. Menjadi seorang panglima yang ditaati. Apa yang kau 

katakan akan didengar. Apa yang kau perintahkan akan ditaati. Alangkah 

hebat nikmat yang diberikan ini kepadamu selagi ia tidak memperdayamu 

dan memasukkanmu ke dalam jahannam. Semoga Allah akan melindungi 

dirimu dan diriku dari api jahannam.” 


Utbah bin Ghazwan berangkat bersama para pasukannya dan ia juga 

diiringi oleh istrinya dan lima wanita lain yang merupakan istri atau 

saudari dari para prajurit. Mereka berjalan terus hingga tiba di daerah 

Qashba’140 yang terletak tidak jauh dari kota Ubullah. Mereka tidak punya 

apa-apa untuk di makan. 

Begitu lapar sudah menggila mereka rasakan, maka berkatalah Utbah 

kepada beberapa orang dari prajuritnya: “Carilah oleh kalian sesuatu yang 

dapat dimakan oleh kita dari negeri ini!” 

                                                                                                                             

138

 Hijrah dua kali yaitu  pertama ke negeri Habasyah dan hijrah ke Madinah  

139

 Jizyah yaitu  pajak yang dipungut oleh penguasa Muslim atas kaum Dzimmi 

140

 Qashba’ yaitu  sebuah daerah yang banyak tumbuh di sana qashab (tebu) 

  305

Maka berangkatlah para prajurit yang disuruh tadi untuk mencari 

makanan yang dapat menghilangkan rasa lapar mereka. Rupanya ada kisah 

tersendiri yang dimiliki oleh para prajurit ini saat sedang mencari 

makanan. Salah seorang mereka berkisah: 

Saat kami sedang mencari sesuatu yang dapat dimakan, kami 

menemukan sebuah pohon yang lebat dimana terdapat dua buah keranjang 

yang salah satunya berisikan kurma, dan pada yang lainnya berisikan biji 

putih kecil yang dibungkus dengan kulit kuning. Maka lalu keduanya kami 

ambil dan kami bawa menuju ke perkemahan. Lalu salah seorang dari kami 

melihat keranjang yang berisikan biji-bijian dan ia berkata: “Ini yaitu  

racun yang disiapkan oleh musuh untuk kalian. Janganlah kalian 

mendekatinya!” Kemudian kami membawa keranjang yang berisi kurma 

dan kami makan sekeranjang kurma ini . 

Sementara kami sedang asyik makan lalu tiba-tiba ada kuda yang telah 

berhasil memutuskan tali kekangnya, kemudian ia mendatangi keranjang 

yang berisi biji putih tadi kemudian memakannya. Demi Allah, kami ingin 

sekali untuk menyembelihnya sebelum ia mati sehingga kami dapat 

memanfaatkan dagingnya. 

Lalu pemilik kuda ini  menghampiri kami dan berkata: “Biarkan 

dia, aku akan mengawasi kuda ini pada malam hari. Jika aku melihat 

bahwa ia akan mati, maka aku akan menyembelihnya. Keesokan paginya, 

kami mendapati bahwa kuda ini  masih sehat dan tidak terjadi apapun 

pada dirinya. 

Lalu saudariku berkata: “Wahai saudaraku, aku pernah mendengar 

ayah berkata bahwa racun tidak akan berbahaya jika ditaruh di atas api 

dan dimatangkan.” 

Kemudian aku mengambil beberapa biji tadi dan aku taruh di atas 

tungku lalu aku menyalakan api di bawahnya. 

Kemudian saudariku berkata: “Kemarilah kalian! Lihatlah! Bagaimana 

warnanya menjadi merah, kemudian biji ini  terkelupas kulitnya dan 

keluarlah dari bagian dalam biji yang berwarna putih.” 

Kemudian kami menaruhnya di sebuah jufnah141 agar kami dapat 

memakannya. Kemudian Utbah berkata kepada kami: “Sebutlah nama Allah 

pada makanan ini  lalu makanlah oleh kalian!” Kemudian kami 

memakannya dan rupanya ia bagus sekali. sesudah  itu kami baru tahu 

bahwa namanya yaitu  beras. 


Ubullah yang menjadi tujuan pasukan Utbah bin Ghazwan bersama 

pasukannya yang sedikit yaitu  sebuah kota yang terbenteng rapat dan 

                                                    

 Sebuah piring besar 


terletak di pinggir sungai Dajlah142. Bangsa Persia telah menjadikan kota 

Ubullah sebagai tempat penyimpanan senjata mereka. Mereka juga 

membuat beberapa menara dari benterng ini  untuk mengintai dan 

mengawasi para musuh mereka. 

namun  itu semua tidak menghalangi Utbah bin Ghazwah untuk 

memeranginya, meski jumlah pasukannya yang sedikit dan persenjataan 

yang tidak lengkap. sebab  pasukannya hanya terdiri dari 600 orang 

prajurit yang disertai sejumlah wanita. Mereka juga tidak memiliki 

persenjataan yang memadai selain pedang dan tombak. Maka Utbah harus 

menggunakan kecerdasannya dalam hal ini. 


Utbah menyiapkan beberapa panji yang terikat di ujung tombak untuk 

dipegang oleh para wanita. Ia memerintahkan kepada para perempuan tadi 

untuk berjalan di belakang para prajurit. Ia berkata kepada para 

perempuan ini : “Jika kami sudah mendekat ke kota ini . Maka 

hamburkanlah debu dari belakang kami sehingga memenuhi angin.” 

Begitu mereka sudah mendekat ke kota Ubullah, maka dihampiri oleh 

pasukan Persia yang melihat kedatangan mereka. Kemudian pasukan Persia 

melihat panji-panji yang berkibar di belakang pasukan muslimin dan 

mereka juga melihat debu-debu bertebaran yang telah memenuhi langit. 

Salah seorang dari pasukan Persia berkata: “Mereka ini yaitu  pasukan 

pembuka. Dibelakang mereka ada sebuah pasukan yang amat besar yang 

mampu menerbangkan debu. Sedangkan kita yaitu  pasukan yang sedikit.” 

Lalu merasuklah rasa takut di hati mereka, maka mereka segera 

membawa semua yang enteng bobotnya namun mahal harganya bersama 

mereka. Mereka segera berlomba-lomba untuk menaiki perahu-perahu 

besar yang ada di sungai Dajlah, dan mereka pun melarikan diri. 

Maka masuklah Utbah ke kota Ubullah tanpa kehilangan seorang pun 

dari pasukannya. 

Kemudian ia menaklukan semua kota dan kampung yang terletak 

disekeliling Ubullah. 

Ia mendapatkan ghanimah dari sana yang tidak dapat dihitung lagi, 

dan melebihi semua hitungan. Sehingga ada salah seorang prajuritnya yang 

kembali ke Madinah dan ditanya oleh orang lain: “Bagaimana kaum 

muslimin yang ada di Ubullah?” Ia menjawab: “Apa yang hendak kalian 

pertanyakan?!! Demi Allah, saat aku tinggalkan, mereka sedang menakar 

emas dan perak!” Maka serentaklah manusia segera berangkat ke Ubullah. 


                                                    

 Dajlah yaitu  sebuah sungai yang berasal dari Turky dan mengalir ke Iraq hingga ke pantai 

Arab 

 

Pada saat itulah Utbah bin Ghazwan melihat bahwa pasukannya yang 

tinggal di kota-kota yang telah ditaklukkan akan membuat mereka terbiasa 

dengan kehidupan yang lembek, dan membuat mereka bergaya hidup 

seperti para penduduk negeri ini , serta dapat melemahkan tekad 

mereka untuk meneruskan jihad. Lalu Utbah mengirimkan surat kepada 

Umar bin Khattab yang meminta izin kepadanya untuk membangun kota 

Bashrah143 dan memberitahukan kepada khalifah tempat yang ia pilih, dan 

khalifah pun mengizinkannya. 


Utbah lalu membuat berbagai perencanaan untuk kota yang baru. 

Bangunan pertama yang ia buat yaitu  sebuah mesjid yang besar.  

Ini tidak mengherankan, sebab sebab  masjid ia dan beberapa 

sahabatnya berangkat berjihad di jalan Allah. Dan dengan masjid, ia dan 

para sahabatnya menang dalam menghadapi para musuh Allah. 

Kemudian para prajurit berlomba-lomba dalam memiliki tanah dan 

membangun rumah. 

namun  Utbah belum juga membangun rumah untuk dirinya 

sendiri, namun  ia masih tinggal di sebuah rumah yang terbuat dari 

kain. Hal itu disebab kan bahwa ia telah merahasiakan sesuatu di dalam 

dirinya. 


Utbah melihat bahwa dunia telah terbentang luas bagi kaum muslimin 

di Basrah sehingga membuat manusia lupa diri. 

Dan para prajuritnya yang dulu tidak pernah kenal makanan yang 

lebih enak dari beras yang direbus bersama gabahnya, saat ini telah 

merasakan berbagai makanan bangsa Persia seperti Faludzaj144, Lauzinaj145 

dan lainnya yang membuat mereka suka. 

Maka Utbah merasa khawatir terhadap urusan agama yang mulai 

terganggu oleh perdaya dunia. Dan ia juga menyeru untuk mendahulukan 

akhirat daripada dunia. 

Lalu ia mengumpulkan semua penduduk di Masjid Kufah dan 

berkhutbah dihadapan mereka dengan berkata: “Wahai manusia, sungguh 

dunia suatu saat nanti pasti akan berakhir. Sedangkan kalian dari dunia ini 

akan berpindah ke sebuah negeri yang tidak pernah ada akhirnya. Maka 

pindahlah kalian ke semua ke negeri ini  dengan amal-amal baik 

kalian. 

                                                    

 Bashrah yaitu  sebuah kota di Iraq yang terletak di pinggir Laut Arab 

 Makanan manis yang terbuat dari tepung, minyak dan madu 

 Makanan manis 


Aku yaitu  orang ke tujuh yang masuk Islam dan beriman kepada 

Rasulullah Saw. Kami saat itu tidak memiliki apapun untuk dimakan selain 

daun pepohonan sehingga ujung bibir kami terluka sebab  memakannya. 

Aku pernah menemukan sebuah selendang -pada suatu hari- kemudian 

aku membaginya menjadi dua bagian satu untukku dan satunya lagi untuk 

Sa’d bin Abi Waqash. Kemudian selendang ini  aku jadikan sarung, 

dan Sa’d pun menjadikan sarung dengan setengah bagian selendang tadi. 

Lalu tiba-tiba pada hari ini, tidak ada seorang pun dari kita kecuali ia 

telah menjadi seorang amir atas daerah tertentu. Aku berlindung kepada 

Allah untuk menjadi besar dihadapan diri sendiri dan kecil dihadapan 

Allah.” 

Kemudian Utbah menunjuk seseorang dari mereka untuk 

menggantikannya, kemudian ia mengucapkan kata perpisahan kepada 

mereka dan ia pun berangkat ke Madinah. 

Begitu ia menghadap Umar Al Faruq, Utbah mengundurkan diri sebagai 

Gubernur Bashrah namun Umar tidak mengizinkannya. Kemudian Utbah 

mendesak namun Umar pun masih tetap dengan pendiriannya. 

Kemudian Umar memerintahkan Utbah untuk kembali ke Bashrah dan 

Utbah pun patuh atas perintah Umar dengan hati yang berat, dan ia 

menunggangi untanya dan berdo’a: “Ya Allah, janganlah Engkau 

kembalikan aku ke sana... Ya Allah, janganlah Engkau kembalikan aku ke 

sana!” 

Maka Allah Swt mengabulkan do’anya. Tidak jauh dari Madinah, unta 

yang ia tunggangi ditemukan oleh orang, dan Utbah jatuh dari atasnya 

dengan tiada bernyawa. Rupanya ia sudah meninggal. 

Nu’aim bin Mas’ud 

“Nu’aim bin Mas’ud yaitu  Orang yang Mengerti bahwa Perang 

yaitu  Tipu-Daya” 

 

Nu’aim bin Mas’ud yaitu  seorang pemuda yang memiliki hati yang 

hidup. Dia yaitu  pemuda yang cerdas, sering memberikan ide dan solusi. 

Ia tidak pernah merasa terhalang, dan tidak pernah menyerah terhadap 

segala problema. 

Dia yaitu  seorang figur anak padang pasir dengan segala potensi yang 

Allah berikan pada dirinya dengan ketepatan perkiraan dan dugaannya, 

kecepatan intuisi dan kecerdikan yang luar biasa... namun  dia yaitu  

orang yang amat menyukai kesenangan yang sering kali ia katakan kepada 

para kaum Yahudi di Yatsrib. 

Maka setiap kali jiwanya rindu kepada suara penyanyi wanita dan 

ingin mendengarkan dentingan alat musik, ia akan segera meninggalkan 

kampungnya di Najd dan pergi menuju Madinah dimana ia dapat 

menghamburkan uang dengan amat mudahnya kepada kaum Yahudi di 

sana, agar ia mendapatkan kenikmatan yang lebih banyak lagi. 

Dari sinilah, Nu’aim seringkali pulang-pergi ke Yatsrib, dan ia sudah 

berkenalan akrab dengan para Yahudi di sana, apalagi dengan Bani 

Quraidzah. 


saat  Allah Swt memuliakan manusia dengan mengutus kepada 

mereka seorang Rasul-Nya yang membawa agama petunjuk dan 

kebenaran, sehingga seluruh daerah di Mekkah tersinari oleh cahaya Islam; 

saat itu Nu’aim bin Mas’ud masih saja menjadi orang yang selalu 

memuaskan hawa nafsunya. 

Ia menolak agama yang baru ini dengan begitu kerasnya, sebab  ia 

merasa khawatir bahwa agama ini  dapat menghalanginya dari 

kesenangan dan kenikmatan. 

Kemudian ia mendapati dirinya telah bergabung dengan para musuh 

Islam yang begitu keras, yang menyerang Islam dengan menghunuskan 

pedang di wajahnya. 

namun  Nu’aim bin Mas’ud telah membuka sebuah lembaran baru 

dalam sejarah dakwah Islam bagi dirinya pada hari peperangan Al 

Ahzab146. Dalam lembaran ini ia menuliskan sebuah kisah terbaik tentang 

strategi dan tipu daya berperang. 

Sebuah kisah yang masih terus dituliskan oleh sejarah sebab  

kekaguman terhadap tokoh kisah ini yang amat cerdas dan cerdik. 


Untuk memahami kisah Nu’aim bin Mas’ud kita akan kembali ke 

belakang sejenak. 

Sesaat sebelum terjadinya perang Al Ahzab, ada sebuah kelompok 

Yahudi dari Bani Nadhir dimana para pemuka dan pembesar mereka 

membagi orang-orang dalam beberapa kelompok untuk memerangi 

Rasulullah Saw dan menumpas agamanya. 

Mereka datang menghadap suku Quraisy di Mekkah, dan menghasut 

mereka untuk memerangi pasukan muslimin. Para Yahudi ini  juga 

berjanji kepada pihak Quraisy bahwa mereka akan bergabung begitu 

bangsa Quraisy tiba di Madinah, dan para Yahudi tadi membuat perjanjian 

kepada Quraisy yang tidak akan mereka ingkari. 

Kemudian para Yahudi tadi meninggalkan bangsa Quraisy lalu 

berangkat menuju Gathfan di Najd. Lagi-lagi para Yahudi menghasut 

penduduk di sana untuk menentang Islam. Yahudi ini  mengajak 

mereka untuk memberantas agama baru Muhammad dari akar-akarnya. 

Mereka menceritakan dengan sembunyi-sembunyi atas perjanjian yang 

telah mereka buat dengan bangsa Quraisy. Yahudi ini  juga melakukan 

perjanjian yang sama dengan penduduk Gathfan, dan memberitahukan 

mereka waktu yang tepat untuk menjalankan misi ini . 


Berangkatlah bangsa Quraisy dengan semua kekuatannya, dengan 

pasukan berkendara dan pasukan yang berjalan kaki. Mereka berangkat di 

bawah komando Abu Sufyan bin Harb dan menuju ke arah Madinah. 

Bangsa Gathfan pun dari Najd berangkat dengan seluruh kekuatannya 

di bawah komando Uyainah bin Hishn Al Gathfani147. 

Salah seorang dari pasukan Gathfan yaitu  tokoh kisah ini yang 

bernama Nu’aim bin Mas’ud. 

                                                   

 Perang Al Ahzab yaitu  perang Khandaq yang terjadi pada tahun 5 H. Dinamakan dengan 

Khandaq sebab  kaum muslimin membuat khandaq (parit) di sekeliling Madinah agar menghalangi 

pasukan musyrikin. 

 Uyainah bin Hishn Al Gathfany masuk Islam sebelum Fathu Makkah dan ia menyaksikan 

peristiwa ini  dan turut serta dalam perang Hunainin dan Thaif. Ia termasuk orang yang hatinya 

tertaklukan (muallaf qulubuhum). Dia kembali murtad sesudah  wafatnya Rasul Saw dan bergabung 

kepada Thulaihah bin Khuwailid Al Asady saat mengaku sebagai nabi, kemudian ia kembali masuk 

Islam. 


Begitu Rasulullah Saw mendengar kabar keberangkatan mereka, Beliau 

langsung mengumpulkan para sahabatnya untuk memusyawarahkan 

permasalahan ini. Kemudian mereka mengambil keputusan untuk 

menggali parit di sekeliling Madinah untuk mencegah pasukan besar ini 

yang tak mampu mereka hadapi. 


Begitu kedua pasukan dari Mekkah dan Najd hampir tiba di 

penghujung kota Madinah, para pemuka Yahudi dari Bani Nadhir 

mendatangi para pemuka Yahudi Bani Quraizhah yang tinggal di Madinah. 

Yahudi dari Bani Nadhir mengajak Yahudi Bani Quraizhah untuk turut 

serta memerangi Muhammad Saw dan mengajak mereka untuk bergabung 

dengan dua pasukan besar yang datang dari Mekkah dan Najd. 

Maka berkatalah para pembesar Bani Quraizhah: “Kalian telah 

mengajak kami untuk melakukan hal yang amat kami sukai. namun  

kalian sudah tahu bahwa di antara kami dan Muhammad terdapat sebuah 

perjanjian yang tertulis bahwa kami tidak boleh menyerahkan dia dan 

meninggalkan dia dan agar kami dapat tinggal di Madinah dengan aman 

dan nyaman. Kalian sudah tahu bahwa tinta perjanjian kami dengannya, 

sampai sekarang belum juga mengering. 

Kami khawatir, jika Muhammad berhasil menang dalam peperangan 

ini, maka ia akan menyiksa kami dengan amat kejamnya. Ia pasti akan 

mengusir kami sebagai balas dari pengkhianatan yang kami lakukan 

terhadapnya.” 

namun  para pemuka Bani Nadhir ini masih saja terus membujuk 

mereka untuk mengkhianati perjanjian terhadap Muhammad. Mereka juga 

memastikan kepada Bani Quraizhah bahwa kemenangan kali ini pasti akan 

diraih oleh pihak mereka, dan itu tidak akan meleset. 

Mereka semakin menambahkan keyakinan Bani Quraizhah bahwa dua 

pasukan yang besar sudah tiba di Madinah. 

Maka segeralah Bani Quraizhah turut dengan bujukan ini  dan 

membatalkan perjanjian mereka dengan Rasulullah Saw. Mereka lalu 

merobek naskah perjanjian mereka dengan Muhammad, dan 

mengumumkan bahwa mereka akan bergabung dengan pasukan lain 

untuk memerangi Beliau. 

Maka sampailah berita ini ke telinga kaum muslimin bagai kilat 

menyambar. 


Pasukan Ahzab (Barisan musuh yang terdiri dari banyak kelompok) 

mengepung Madinah. Mereka mengembargo pasokan pangan bagi 

penduduk Madinah. Maka kaum muslimin menjadi amat menderita. 

Rasulullah Saw merasa bahwa Beliau berada di antara dua cengkraman 

musuh. 

Sebab pasukan Quraisy dan Gathfan sedang berkemah di depan 

pasukan muslimin dan berada di luar Madinah. 

Sedangkan Bani Quraizhah selalu mengintai dan berjaga-jaga dari 

dalam Madinah. 

Kemudian ada beberapa orang munafik dan mereka yang memiliki 

penyakit dalam hatinya mulai menampakkan bentuk asli diri mereka 

dengan berkata: “Dulu Muhammad menjanjikan kami harta kekayaan 

Kisra dan Kaisar. Nah, sekarang tidak ada seorang pun dari kami yang 

merasa aman untuk buang air ke kamar kecil!!” 

Lalu sedikit demi sedikit mereka mulai meninggalkan Nabi Saw dengan 

dalih bahwa mereka khawatir atas keselamatan istri, anak-anak dan rumah 

mereka dari serangan yang dapat dilancarkan oleh Bani Quraizhah jika 

perang sudah dimulai. Sehingga tidak ada yang tersisa bersama 

Muhammad Saw selain hanya ratusan orang dari para mukmin sejati. 

Pada suatu malam pada masa embargo ini  yang berlangsung 

hampir 20 hari, Rasulullah Saw menghadap Tuhannya dan ia berdo’a 

dengan selalu mengulang do’anya: “Ya Allah, aku meminta janji-Mu... Ya 

Allah, aku menagih janji-Mu!” 


Nu’aim bin Mas’ud pada malam itu sedang resah di atas 

pembaringannya seolah kelopak kedua matanya sedang tercucuk duri. Lalu 

ia membuka matanya dan melihat ke arah bintang yang ada di langit. Ia 

berfikir lama. Tiba-tiba ia mendapati hatinya berkata: “Celaka engkau, ya 

Nu’aim!! Apa yang membuat kamu datang dari negeri Najd yang jauh 

sehingga engkau mau memerangi orang ini dan para pengikutnya?!! 

Engkau tidak memeranginya sebab  hendak menolong orang yang telah 

dirampas haknya, atau menolong orang yang harga dirinya telah 

dilecehkan. namun  engkau datang untuk memeranginya tanpa sebab 

yang jelas. Apakah pantas seorang yang cerdas sepertimu untuk berperang 

sehingga membunuh atau terbunuh tanpa sebab yang jelas?!! Celaka kamu, 

ya Nu’aim!! 

Apa yang membuatmu menghunuskan pedang dihadapan wajah orang 

yang shalih ini yang memerintahkan para pengikutnya untuk berlaku adil, 

baik dan membantu kaum kerabat?!! 

Apa yang membuatmu akan membasahi tombakmu dengan darah para 

sahabatnya yang selalu mengikuti wahyu petunjuk dan kebenaran yang 

dibawa Muhammad kepada mereka?!!” 

Pembicaraan yang sengit ini tidak berakhir melainkan dengan sebuah 

keputusan bulat yang kemudian membuat Nu’aim bangkit dan langsung 

melaksanakannya. 

 


Nu’aim bin Mas’ud dengan sembunyi meninggalkan kamp kaumnya di 

bawah kegelapan malam. Ia berangkat untuk menjumpai Rasulullah Saw. 

Begitu Nabi Saw melihatnya sedang menyamar dan berdiri 

dihadapanya, maka Nabi langsung bertanya: “Apakah engkau Nu’aim bin 

Mas’ud?” Ia menjawab: “Benar, ya Rasulullah!” 

Rasul bertanya: “Apa yang membuatmu datang kemari pada saat seperti 

ini?!” Ia berkata: “Aku datang untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain 

Allah dan bahwa engkau yaitu  hamba Allah dan Rasul-Nya, dan bahwa 

apa yang engkau bawa yaitu  benar.” 

Kemudian ia menambahkan: “Aku telah masuk Islam, ya Rasulullah. 

Kaumku tidak tahu akan keislamanku. Perintahkanlah apa saja kepadaku!” 

Rasul Saw bersabda: “Bagi kami engkau hanyalah seorang saja. Pergi dan 

temuilah kaum mu. Lemahkanlah semangat dan kekuatan musuh kami jika 

engkau mampu. Sebab perang ini yaitu  tipu daya.” 

Maka ia menjawab: “Baik, ya Rasulullah! Engkau akan melihat hasil 

yang dapat membuatmu puas, Insya Allah.” 


Nu’aim bin Mas’ud langsung berangkat menemui Bani Quraizhah. 

Nu’aim bagi mereka yaitu  seorang teman yang telah mereka kenal. 

Nu’aim berkata kepada mereka: “Wahai Bani Quraizhah, engkau sudah 

mengetahui betapa aku cinta kalian dan betapa aku tulus dalam 

memberikan nasehat kepada kalian.” Mereka menjawab: “Benar. Engkau 

bukanlah orang yang memiliki reputasi buruk bagi kami.” Nu’aim berkata: 

“Quraisy dan Gathfan dalam perang ini memiliki alasan tersendiri yang 

tidak kalian miliki.” Mereka bertanya: “Mengapa bisa demikian?” Nu’aim 

menjelaskan: “Tanah ini yaitu  negeri kalian. Di sini terdapat harta, anak-

anak dan istri-istri kalian. Kalian tidak akan bisa meninggalkan negeri ini. 

Sedangkan Quraisy dan Gathfan; negeri, harta, anak dan istri mereka 

tidak berada di sini. 

Mereka datang untuk berperang melawan Muhammad. Mereka 

mengajak kalian untuk membatalkan perjanjian dengannya dan membantu 

mereka untuk memeranginya, dan kalian mau saja dengan ajakan mereka. 

Jika mereka berhasil mengalahkan Muhammad maka mereka akan 

mengambil ghanimah darinya. Jika mereka kalah dalam memeranginya, 

maka mereka akan kembali ke negeri mereka dengan aman dan 

membiarkan kalian disini bersama Muhammad sehingga ia dapat 

membalas kalian dengan begitu kejam. 

Kalian sudah tahu bahwa kalian tidak mampu untuk menghadapi 

Muhammad jika Quraisy dan Gathfan meninggalkan kalian.” 

Penduduk Bani Quraizhah berkata: “Engkau benar. Lalu apa 

pendapatmu?!” 

Nu’aim berkata: “Pendapatku yaitu  kalian jangan bergabung dengan 

mereka sehingga kalian ajak sekelompok pembesar mereka yang kalian 

jadikan sebagai jaminan bagi kalian. Para pembesar tadi kalian ajak untuk 

berperang melawan Muhammad sampai kalian dapat mengalahkannya, 

atau hingga manusia terakhir dari kalian atau dari mereka mati.” 

Bani Quraizhah menjawab: “Benar sekali pendapatmu.” 

Kemudian Nu’aim meninggalkan mereka dan pergi untuk menemui 

Abu Sufyan panglima pasukan Quraisy. Ia berkata kepadanya dan para 

pasukannya: “Wahai bangsa Quraisy, kalian sudah mengetahui betapa 

kecintaanku kepada kalian dan betapa aku memusuhi Muhammad. 

Ada suatu hal dan menurutku hal ini harus aku sampaikan kepada 

kalian sebagai sebuah nasihat namun kalian harus menyimpannya dengan 

baik dan jangan menceritakan bahwa ini berasal dariku!” Para pasukan 

Quraisy berkata: “Kami akan menjaminnya!” 

Nu’aim berkata: “Bani Quraizhah telah menyesal sebab  telah 

memusuhi Muhammad. Mereka lalu mengirimkan surat kepadanya yang 

berbunyi: ‘Kami menyesal atas apa yang telah kami perbuat. Kami berniat 

untuk kembali melakukan perjanjian dan perdamaian denganmu. Apakah 

akan membuatmu senang bila kami akan mengambil beberapa orang dari 

para pemuka Quraisy dan Gathfan, kemudian kami serahkan mereka 

kepadamu untuk dipenggal lehernya.  

Kemudian kami akan bergabung dengan kalian untuk memerangi 

mereka sehingga engkau dapat mengalahkan mereka.’ 

Maka Muhammad pun mengirimkan surat balasan yang berbunyi: 

‘Baik.’ 

Maka jika kaum Yahudi mengirimkan utusan untuk meminta jaminan 

dari beberapa orangmu, maka jangan kalian kirim seorang pun kepada 

mereka.” 

Maka Abu Sufyan pun berkata: “Sebaik-baiknya sekutu yaitu  engkau! 

Semoga kebaikanmu dibalas.” 

Kemudian Nu’aim meninggalkan Abu Sufyan dan pergi menuju 

kaumnya yaitu suku Gathfan. Ia menceritakan kepada mereka sebagaimana 

yang ia ceritakan kepada Abu Sufyan, dan ia memberikan peringatan yang 

sama persis seperti yang ia berikan kepada Abu Sufyan. 


Abu Sufyan ingin menguji Bani Quraizhah dan ia mengutus anaknya 

untuk menemui mereka dan berkata kepada mereka: “Ayahku 

menyampaikan salam kepada kalian dan berkata: ‘Sudah lama embargo 

yang kita lakukan terhadap Muhammad sehingga kami merasa bosan. Kami 

sudah mengambil keputusan untuk menyerang Muhammad dan 

mengalahkannya...’ Ayah mengutusku kepada kalian untuk mengundang 

kalian ke perkemahannya besok.” 

Bani Quraizhah berkata kepadanya: “Besok yaitu  hari Sabtu dan kami 

tidak akan melakukan apapun pada hari Sabtu. Kami tidak akan ikut 

perang bersama kalian sehingga kalian mengirimkan 70 orang pemuka 

kalian dan pemuka Gathfan sebagai jaminan untuk kami. Sebab kami 

khawatir bila peperangan nanti semakin sengit, kalian bisa kembali ke 

negeri kalian dan meninggalkan kami sendirian untuk menghadapi 

Muhammad. Kalian sudah tahu bahwa kami tidak akan mampu 

menghadapi pasukan Muhammad.” 

Begitu anaknya Abu Sufyan kembali ke kaumnya dan menceritakan apa 

yang ia dengar dari Bani Quraizhah, maka mereka berkata dengan 

perkataan yang sama: “Celaka, anak-anak keturunan monyet dan babi itu! 

Demi Allah, jika mereka meminta kami untuk memberikan seekor kambing 

sebagai jaminan, maka tidak akan pernah kami memberikannya!” 


Nu’aim bin Mas’ud berhasil memecah belah barisan pasukan Ahzab. 

Kemudian Allah Swt mengirimkan kepada Quraisy dan para sekutunya 

angin yang kencang sehingga merusak tenda-tenda, menumpahkan 

tungku, memadamkan lampu, menampar wajah mereka dan mengisi mata 

mereka dengan pasir. 

Mereka tidak menemukan lagi jalan keluar dari sana. Akhirnya, mereka 

pergi di tengah kegelapan malam. 

Begitu pagi menjelang, kaum muslimin mendapati bahwa para musuh 

Allah telah lari yang membuat mereka semua mengatakan: “Segala puji 

bagi Allah yang telah menolong hamba-Nya, menguatkan tentaranya dan 

menghancurkan Ahzab (pasukan musuh) dengan sendiri saja.” 


Sejak saat itu, Nu’aim bin Mas’ud menjadi orang kepercayaan 

Rasulullah Saw. Rasul memberikan beberapa tugas kepadanya, dan 

memberikan tanggung jawab kepada dirinya. Sering kali ia diperintahkan 

untuk menjadi pembawa panji saat berperang. 

Pada hari terjadinya Fathu Makkah, Abu Sufyan bin Harb 

memperhatikan rombongan pasukan muslimin. Kemudian ia melihat 

seorang pria yang membawa panji Gathfan dan Abu Sufyan bertanya 

kepada orang di sampingnya: “Siapakah orang itu?!” Mereka menjawab: 

“Dia yaitu  Nu’aim bin Mas’ud.” Abu Sufyan berkata: “Amat keji 

perbuatan yang ia lakukan kepada kita pada perang Khandaq. Demi Allah, 

dulunya dia yaitu  orang yang paling memusuhi Muhammad. Sekarang 

dia membawa panji kaumnya bersama Muhammad, dan turut serta untuk 

memerangi kita di bawah panji yang dibawanya. 

Khabbab bin Al Aratti 

“Semoga Allah Merahmati Khabbab. Ia Telah Masuk Islam sebab  

Keinginannya, Berhijrah sebab  Taat dan Hidup Sebagai Mujahid.” 

(Ali bin Abi Thalib) 

 

Ummu Anmar Al Khuza’iyah pergi ke pasar An Nakhasin148 di Mekkah. 

Ia ingin membeli seorang budak untuk membantunya, dan memanfaatkan 

tenaganya. Ia memperhatikan wajah-wajah budak yang ditawarkan untuk 

dijual. Pilihannya jatuh pada seorang anak kecil yang belum lagi baligh. Ia 

mendapati anak ini  sehat badannya dan tanda-tanda kecerdasan 

terpancar jelas di wajahnya. Hal itu yang membuat Ummu Anmar tertarik 

untuk membelinya. Ummu Anmar lalu menyerahkan uang untuk 

membelinya, kemudian membawa pulang bocah budak ini . 

Di tengah jalan, Ummu Anmar menoleh kepada budak kecil tadi dan 

bertanya: “Siapa namamu, wahai anak?” Ia menjawab: “Khabbab.” Ummu 

Anmar bertanya lagi: “Lalu siapa nama ayahmu?” Ia menjawab: “Al Aratt.” 

Ummu Anmar bertanya kembali: “Dari mana engkau berasal?” Ia 

menjawab: “Dari Najd.” Ummu Anmar menukas: “Kalau begitu engkau 

yaitu  orang Arab!!” Ia membalas: “Benar, saya berasal dari Bani Tamim.” 

Ummu Anmar bertanya: “Lalu apa yang membuatmu sampai ke tangan 

para penjual budak di Mekkah?!!” 

Ia menjawab: “Sebuah kabilah Arab telah menyerang kampung kami. 

Mereka mengambil hewan ternak, menyandera para wanita dan anak-

anak. Dan aku termasuk seorang anak yang tertangkap. Aku terus menjadi 

budak dengan tuan yang silih berganti sehingga aku di bawa ke Mekkah. 

dan kini aku berada di tanganmu. 


Ummu Anmar mengirimkan budaknya ini ke seorang pandai besi yang 

ada di Mekkah untuk diajarkan kepadanya bagaimana cara membuat 

pedang. Dengan cepat budak ini mempelajari dan menguasai cara 

pembuatan pedang. 

Begitu Khabbab sudah semakin besar, Ummu Anmar menyewakan 

untuknya sebuah toko dan membelikan segala perabotannya. Dan di toko 

ini , Khabbab mulai mengkomersialkan keahliannya dalam membuat 

pedang. 

                                                    

 Pasar budak 

 



Tidak terlalu lama, nama Khabbab sudah terkenal di Mekkah. Banyak 

orang yang datang kepadanya untuk membeli pedang. Sebab ia terkenal 

dengan sifat amanah, jujur dan sempurna dalam membuat pedang. 


Meski Khabbab masih berusia muda namun  ia memiliki pemikiran 

dan kearifan seperti orang dewasa. 

Jika ia sudah selesai melaksanakan tugasnya, ia sering menyendiri dan 

berpikir tentang masyarakat jahiliah yang terjerembab dalam kerusakan 

dari mulai kaki hingga ujung kepala mereka. 

Ia merasa aneh dengan kebodohan dan kesesatan yang terjadi pada 

kehidupan masyarakat Arab sehingga dirinya menjadi salah satu korban 

dari sifat mereka ini . 

Dia sering mengatakan: “Malam ini harus segera berakhir.” 

Dia berharap agar umurnya diperpanjang sehingga ia sempat melihat 

sirnanya kegelapan dan terbitnya terang. 


Penantian Khabbab tidak berlangsung lama. Telah sampai pada dirinya 

bahwa ada sebuah sinar yang muncul dan keluar dari seorang pemuda 

Bani Hasyim yang dikenal dengan Muhammad bin Abdullah. 

Khabbab pun pergi menjumpainya, dan mendengarkan sabdanya. Ia 

amat terpesona dengan sinarnya. 

Khabbab pun menjulurkan tangannya kepada orang ini  dan 

bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad yaitu  

hamba dan Rasul-Nya. 

Dia telah menjadi orang keenam yang masuk Islam di muka bumi ini 

sehingga ada orang yang berkata: “Waktu telah mendahului Khabbab 

sehingga ia menjadi orang yang keenam dalam Islam.” 


Khabbab tidak menyembunyikan keislamannya dari siapapun. Danhal 

itu segera terdengar oleh Ummu Anmar, dan ia pun menjadi marah 

dibuatnya. Ia kemudian mengajak saudaranya yang bernama Siba bin 

Abdul Uzza dan mereka juga berjumpa dengan sekelompok pemuda 

Khuza’ah. Semuanya berangkat untuk menemui Khabbab dan mereka 

mendapati Khabbab sedang tekun melakukan tugasnya. Maka datanglah 

Siba menghadapi Khabbab dan berkata kepadanya: “Kami telah mendengar 

sebuah berita tentangmu yang kami sendiri tidak mempercayainya.” 

Khabbab bertanya: “Berita apa itu?!” Siba berkata: “Banyak orang yang 

mengatakan bahwa engkau telah keluar dari agama dan kini engkau 

menjadi pengikut seorang pemuda dari Bani Hasyim.” 

Khabbab lalu berkata dengan tenang: “Aku tidak keluar dari agama, 

namun  aku telah beriman kepada Allah Yang Esa dan tidak memiliki 

sekutu baginya. Aku telah menyingkirkan berhala-berhala kalian dan aku 

bersaksi bahwa Muhammad bin Abdullah yaitu  utusan-Nya.” 

Begitu kalimat yang diucapkan Khabbab sampai di telinga Siba dan 

orang-orang yang bersamanya, maka mereka langsung merangsek ke arah 

Khabbab untuk memukulinya dengan tangan mereka, dan menendangnya 

dengan kaki mereka. Dan mereka melemparkan ke tubuhnya benada apa 

saja dari besi pemukul dan potongan besi yang dapat mereka raih. Sehingga 

Khabbab terpuruk ke tanah kehilangan kesadaran dengan darah 

berlumuran. 


Menyebarlah di Mekkah kisah yang telah terjadi antara Khabbab dan 

tuannya dengan begitu cepat bagaikan api yang membakar daun kering. 

Semua manusia keheranan dengan keberanian yang dimiliki Khabbab. 

Sebabnya belum pernah mereka dengar bahwa ada orang yang menjadi 

pengikut Muhammad lalu berdiri di depan manusia untuk menyatakan 

keislaman dirinya dengan begitu tegas dan menantang seperti Khabbab. 

Para pemuka Quraisy pun kaget oleh kisah Khabbab ini. Tidak pernah 

terbersit di hati mereka bahwa akan ada seorang budak seperti budak 

Ummu Anmar yang tidak memiliki keluarga yang dapat melindunginya 

dapat begitu berani dan keluar dari kekuasaan tuannya. Budak terseut telah 

berani mencela tuhan-tuhan mereka dengan jelas, dan menganggap bodoh 

agama bapak dan leluhur mereka. Dan para pembesar Quraisy semakin 

yakin bahwa budak ini akan semakin berani lagi. 

Perkiraan pemuka Quraisy tadi tidak meleset. Keberanian Khabbab 

rupanya telah mampu menggerakkan para sahabatnya yang lain untuk 

menyatakan keislaman mereka. Maka mereka mulai mengucapkan kalimat 

kebenaran dengan terang-terangan satu demi satu. 


Para pemuka Quraisy berkumpul di Mekkah dan sebagian dari mereka 

saat itu yaitu  Abu Sufyan bin Harb, Al Walid bin Al Mughirah, Abu Jahl 

bin Hisyam dan mereka semua sedang berbicara tentang Muhammad. 

Mereka melihat bahwa kekuatan Muhammad dari hari ke hari bahkan dari 

waktu ke waktu semakin bertambah kuat dan besar. 

Maka suku Quraisy bertekad untuk mencegah penyakit ini sebelum 

semakin parah. Dan mereka memutuskan agar setiap anggota kabilah 

menyiksa pengikut Muhammad sehingga mereka murtad dari agamanya 

atau hingga mereka mati. 


Kepada Siba dan kaumnya diberikan tanggung jawab untuk melakukan 

penyiksaan kepada Khabbab. Maka setiap kali hari terasa panas dan sinar 

mentari terasa membakar bumi, mereka akan membawa Khabbab ke 

lembah Mekkah. Mereka menanggalkan pakaian Khabbab dan 

memakaikan padanya pakaian besi. Mereka tidak memberikan air kepada 

Khabbab sehingga jika ia sudah merasa amat payah, maka mereka akan 

berkata kepadanya: “Siapa menurutmu Muhammad itu?” Ia menjawab: 

“Dia yaitu  hamba dan Rasul Allah. Ia datang kepada kami dengan 

membawa agama petunjuk dan kebenaran agar dapat mengeluarkan kami 

dari kegelapan menuju cahaya.” 

Lalu mereka memukulkan tangan mereka ke tubuhnya dan berkata: 

“Menurutmu apakah Lata dan Uzza itu?” Ia menjawab: “Keduanya yaitu  

berhala yang tuli dan bisu, tidak memberikan mudharat ataupun manfaat.” 

Lalu mereka membawakan batu-batu yang panas dan menempelkan batu 

ini  di punggung Khabbab. Mereka membiarkan bebatuan panas 

ini  di punggung Khabbab sehingga keluarlah keringat dari kedua 

pundaknya. 


Ummu Anmar tidak kalah bengis dari saudaranya yang bernama Siba. 

Dia pernah melihat Rasulullah Saw yang mempir di toko Khabbab dan 

berbicara kepadanya. Maka ia langsung marah dengan pemandangan yang 

telah dilihatnya. 

Kemudian setiap hari ia mendatangi Khabbab dan langsung mengambil 

besi panas dari tempat pembakarannya kemudian ia meletakkannya di atas 

kepala Khabbab sehingga kepalanya melepuh dan ia hilang kesadaran... 

dan Khabbab sering berdo’a jelek untuk Ummu Anmar dan saudaranya 

yang bernama Siba. 


Begitu Rasulullah Saw mengizinkan kepada para sahabatnya untuk 

berhijrah, maka Khabbab pun mempersiapkan diri untuk berhijrah. 

namun  Khabbab tidak pergi meninggalkan Mekkah kecuali sesudah  

Allah mengabulkan do’a yang ia panjatkan bagi keburukan Ummu Anmar. 

Ummu Anmar terkena penyakit sakit kepala yang belum pernah terdengar 

penyakit kepala sehebat itu. Ummu Anmar meraung sebab  kesakitan 

seperti seekor anjing yang menggonggong. 

Maka anak-anaknya mencari tabib ke seluruh tempat yang dapat 

membantu menghilangkan penyakit yang diderita ibu mereka. Ada orang 

yang menyarankan bahwa Ummu Anmar tidak akan sembuh dari 

penyakitnya kecuali bila ia mau menyulut kepalanya dengan api. 

Maka Ummu Anmar pun menyulut kepalanya dengan besi yang 

dipanaskan, maka sesudah  ia melakukannya ia pun terbebas dari sakit 

kepala yang dideritanya. 


Dalam perlindungan Bangsa Anshar di Madinah Khabbab merasakan 

ketenangan yang sudah sekian lama tidak ia rasakan. Ia begitu senang 

berada di dekat NabiSaw tanpa adanya halangan dan rintangan. 

Ia turut-serta mendampingi Nabi Saw dalam perang Badr dan berjuang 

di bawah komandonya. 

Ia juga turut-serta dalam perang Uhud, dan Allah membuat hatinya 

saat ia melihat Siba bin Abdul Uzza saudara Ummu Anmar yang 

menjumpai kematiannya di tangan Singa Allah yang bernama Hamzah bin 

Abdul Muthalib. 

Ia diberikan umur yang panjang sehingga ia merasakan kepemimpinan 

semua khulafa ar rasyidin yang empat. Dan Khabbab hidup di bawah 

pengawasan mereka dengan hidup yang mulia. 


Suatu hari ia mendatangi Umar bin Khattab dalam ruangan 

kekhilafahannya. Umar langsung menaikan tempat duduk buat Khabbab 

dan Umar terlihat berlebihan dalam mendekatkan diri kepadanya. Umar 

berkata kepada Khabbab: “Tidak ada seorang pun yang lebih berhak untuk 

mendapatkan posisi seperti ini selain Bilal.” Kemudian Umar bertanya 

kepada Khabbab penyiksaan yang paling keras ia rasakan dari kaum 

musyrikin, namun Khabbab merasa enggan untuk menceritakannya. Begitu 

Umar mendesak agar Khabbab bercerita maka Khabbab menyibakan 

selendang dari punggungnya. Maka kagetlah Umar dengan apa yang ia 

lihat di punggung Khabbab. Umar bertanya: “Bagaimana bisa seperti ini?!” 

Khabbab menjawab: “Kaum musyrikin menyalakan kayu bakar sehingga 

menjadi bara kemudian mereka menanggalkan bajuku. Kemudian mereka 

menarik tubuhku untuk tidur di atasnya, sehingga daging punggungku 

terkelupas dari tulang. Tidak ada yang memadamkan api ini  kecuali 

air keringat yang berjatuhan dari tubuhku. 


Khabbab pada paruh lain dalam hidupnya hidup berkecukupan sesudah  

merasakan kefakiran. Ia memiliki emas dan perak yang tidak pernah ia 

bayangkan sebelumnya. 

namun  ia mempergunakan uangnya dengan cara yang tidak 

pernah dibayangkan oleh orang lain. 

Ia meletakkan dirham dan dinarnya pada sebuah tempat di dalam 

rumahnya yang telah diketahui oleh orang-orang fakir miskin yang 

membutuhkan. 

Ia tidak pernah menyembunyikannya dan juga tidak pernah 

menguncinya. Orang-orang fakir dan miskin tadi selalu datang ke 

rumahnya dan mengambil harta ini  sekehendak mereka tanpa perlu 

meminta atau izin terlebih dahulu. 

Meski demikian, Khabbab masih merasa khawatir bila dirinya akan 

dihisab nanti atau akan diadzab sebab  harta ini . 


Beberapa orang sahabatnya bercerita: “Kami menjenguk Khabbab saat 

ia sekarat. Ia berkata: ‘Di tempat ini terdapat 80 ribu dirham.  Demi Allah, 

aku tidak pernah menyembunyikannya dan aku tidak pernah menghalangi 

orang yang memintanya.’ Kemudian ia menangis. 

Para sahabatnya bertanya: ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Ia 

berkata: ‘Aku menangis sebab  banyak sahabatku yang sudah wafat namun 

mereka tidak mendapatkan ganjaran kebaikan mereka di dunia ini 

sedikitpun. Sedangkan aku masih hidup hingga sekarang dan mendapatkan 

harta seperti ini yang membuatku khawatir bahwa ini yaitu  ganjaran 

kebaikan yang pernah aku lakukan.’ 


Begitu Khabbab menemui ajalnya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib 

ra berdiri di hadapan kuburnya dan berkata: “Semoga Allah merahmati 

Khabbab. Dia begitu semangat masuk ke dalam Islam. Berhijrah sebab  

patuh kepada Rasul dan hidup sebagai seorang pejuang. Allah Swt tidak 

akan pernah menyia-nyiakan pahala orang yang memperbagus amalnya. 

Al Rabi’ Bin Ziyad Al Haritsi 

“Tidak Ada Orang yang Begitu Percaya Kepadaku Sejak Aku Menjadi 

Khalifah Sebagaimana yang Dilakukan Oleh Al Rabi Bin Ziyad.” 

(Umar Bin Khattab) 

 

Madinah Rasulullah Saw masih dirundung kesedihan sebab  telah 

kehilangan seorang yang amat mulia bernama Abu Bakar As Shiddiq. 

Banyak utusan dan delegasi yang berdatangan dari segala penjuru 

setiap hari untuk membai’at Khalifah yang baru, Umar bin Khattab dan 

untuk menyatakan kepatuhan dan loyalitas mereka baik dalam kondisi 

senang maupun susah. 

Pada suatu pagi datanglah delegasi dari Bahrain untuk menghadap 

Amirul Mukminin dan beberapa rombongan delegasi yang lainnya. 

Umar Al Faruq ra senang sekali mendengar pembicaraan para delegasi 

dengan harapan ia akan mendapatkan nasehat yang bermanfaat, ide yang 

berguna atau nasehat bagi Allah, kitab-Nya dan bagi ummat muslim secara 

keseluruhan. 

Ia meminta beberapa orang dari para hadirin saat itu untuk berbicara 

namun  apa yang mereka sampaikan tidak begitu berarti. 

Kemudian khalifah menoleh kepada seorang pria yang beiau duga 

sebagai orang baik. Kemudian Beliau menoleh ke arahnya dan berkata: 

“Ungkapkanlah pendapatmu!” 

Kemudian pria tadi memuji Allah dan berkata: “Ya Amirul Mukminin 

amanat ummat yang telah Anda emban ini tiada lain merupakan ujian 

Allah yang ditimpakan kepadamu. Maka bertaqwalah kepada Allah atas 

amanah ini. Ketahuilah olehmu, anda ada seeang yankor domba tersesat di 

tdepi sungai Eufrat maka pasti enrgkau akan ditanyakan di hari kiamat 

nanti tentang domba tadi.” 

Maka menangislah Umar dengan suara yang keras lalu berkata: “Tidak 

ada orang yang berkata jujur kepadaku sejak aku menjadi khalifah 

sebagaimana yang telah ia lakukan. Siapakah dirimu?!” Ia menjawab: “Al 

rabi bin Ziyad Al Haritsi 

Umar bertanya: “Apakah engkau saudaranya Al Muhajir bin Ziyad?” 

Rabi menjawab: “Benar.” 

Begitu pertemuan itu berakhir, Umar lalu memanggil Abu Musa Al 

Asy’ari dan berkata: “Selidikilah siapa sebenarnya Rabi bin Ziyad! Jika ia 

yaitu  seorang sahabat maka pada dirinya terdapat kebaikan yang banyak 

 


dan ia dapat membantu kita dalam mengemban tugas ini. Angkatlah ia 

sebagai pegawai dan kirimkan kabar kepadaku tentang dirinya!” 


 Tidak berlangsung lama sesudah  itu, Abu Musa Al Asy’ari menyiapkan 

sebuah pasukan untuk menaklukkan Manadzir yang terletak di daerah Al 

Ahwaz berdasarkan perintah Khalifah. Abu Musa Al Ays’ari mengajak serta 

Rabi bin Ziyad dan saudaranya yang bernama Al Muhajir. 


Abu Musa Al Asy’ari berhasil mengepung Manadzir dan melakukan 

sebuah peperangan melawan penduduknya dengan begitu keras yang 

jarang terjadi peperangan sedemikian keras. 

Pasukan musyrikin menunjukkan kekuatan dan keteguhan yang amat 

hebat yang tidak pernah terbersit sebelumnya, sehingga banyak sekali 

korban berguguran di pihak muslimin yang tak pernah diperkirakan. 

Pada saat itu kaum muslimin yang sedang melakukan perang ini  

juga sedang melakukan puasa Ramadhan 

Tatkala Al Muhajir saudara Rabi binZiyad melihat sudah banyak korban 

yang berguguran pada pasukan muslimin, ia bertekad untuk 

mempersembahkan dirinya demi mencari keridhaan Allah Swt. Al Muhajir 

lalu melumurkan badannya dengan wewangian kematian dan mengenakan 

kain kafan, lalu ia berwasiat kepada saudaranya… 

Lalu datanglah Rabi menghadap Abu Musa dan berkata: “AL Muhajir 

telah bertekad untuk mempersembahkan jiwanya mati di dalam perang dan 

saat ini ia masih berpuasa. Pasukan muslimin semuanya sudah begitu 

menderita akibat ganasnya perang dan laparnya berpuasa sehingga 

melemahkan semangat mereka. Namun mereka masih saja tidak mau 

berbuka. Apa pendapatmu?”  

Abu Musa Al Asy’ari langsung berdiri dan menyerukan kepada 

pasukannya: “Wahai ma’syaral muslimin, Aku bersumpah, agar mereka 

yang berpuasa agar lekas berbuka atau tidak usah ikut berperang!” 

Kemudian Abu Musa minum dari tempat minum yang ia bawa agar 

prajurit yang lain mau mengikuti apa yang telah ia kerjakan. 

Begitu Al Muhajir mendengar seruan Abu Musa, maka ia langsung 

meminum seteguk air dan berkata: “Demi Allah, aku tidak minum air 

ini  sebab  merasa haus. namun  aku meminumnya demi 

memenuhi sumpah pemimpinku.”  

Kemudian ia menghunuskan pedangnya dan mulai menerobos barisan 

musuh dan ia menghadapi banyak musuh dengan tanpa rasa takut dan 

gentar. 

Begitu ia masuk menerobos pasukan musuh, lalu mereka segera 

menyerang Al Muhajir dari segala penjuru dan menebaskan pedang 

mereka dari depan dan dari belakang tubuhnya sehingga ia pun menemui 

ajalnya. 

Kemudian para musuh tadi memenggal kepala Al Muhajir lalu 

memancangkannya pada sebuah tempat yang tinggi di medan 

pertempuran. 

Rabi lalu melihat kepala saudaranya itu dan berkata: “Amat beruntung 

engkau dan berhak mendapatkan tempat kembali yang terbaik. Demi Allah, 

aku akan membalas dendam untuk mu dan untuk semua korban yang 

gugur di pihak muslimin, Insya Allah.” 

Begitu Abu Musa melihat kesedihan pada diri Rabi akibat kematian 

saudaranya, dan ia mengerti apa yang dirasakan oleh Rabi terhadap para 

musuh Allah itu, maka Abu Musa mempersilahkan Rabi untuk memimpin 

pasukan dan kemudian berangkat menuju Al Sus untuk menaklukannya. 


Rabi beserta pasukannya menyerang pasukan musyrikin bagaikan 

serangan angin topan yang kencang. Mereka menghancurkan pertahanan 

mereka bagaikan bebatuan yang jatuh dari dataran tinggi akibat longsor. 

Rabi dan pasukannya berhasil memporak-porandakan barisan musuh dan 

melemahkan kekuatan mereka. Dan akhirnya Allah berkenan menaklukan 

kota Al Manadzir untuk Rabi bin Ziyad. Sehingga ia dapat mengalahkan 

para musuh. Menawan beberapa orang untuk dijadikan budak, dan ia 

mendapatkan harta ghanimah sesuai kehendak Allah. 


Bersinarlah bintang Rabi bin Ziyad sesudah  peperangan Manadzir dan 

namanya mulai disebut orang. 

Dia pun menjadi salah seorang panglima ternama yang diharapkan 

untuk menyelesaikan tugas-tugas berat. 

Saat pasukan muslimin berniat untuk menaklukan negeri Sigistan, 

mereka menunjuk Rabi untuk menjadi panglima pasukan, dan mereka 

menaruh harapan kepadanya untuk dapat meraih kemenangan atas izin 

Allah. 


Berangkatlah Rabi bin Ziyad bersama para pasukannya untuk berjuang 

di jalan Allah Swt ke negeri Sigistan melintasi sebuah padang pasir yang 

panjangnya 75 farsakh yang sering membuat para hewan penunggu 

padang pasir sering merasa keletihan. 

 

Hal pertama yang ia jumpai di sana yaitu  Rustaq Zaliq149 yang terletak 

di perbatasan Sigistan, dan ini merupakan sebuah rustaq yang dipenuhi 

oleh istana-istana yang besar dan dikelilingi oleh benteng-benteng yang 

tinggi. Banyak sekali terdapat kenikmatan di dalamnya dan memiliki 

banyak buah. 


Panglima yang cerdas ini mengirimkan beberapa orang spionasenya 

untuk menyusup ke dalam Rustaq Zaliq sebelum ia tiba di sana. Rabi telah 

mengetahui bahwa penduduk Rustaq Zaliq sebentar lagi akan mengadakan 

sebuah festival. Maka Rabi memutuskan untuk terus memantau aktivitas 

penduduk tadi dan akan menyerang mereka dengan tiba-tiba pada malam 

festival saat mereka sedang tidak siaga. Kemudian Rabi akan menebas leher 

mereka dan mengalahkan mereka dengan mudah. 

Akhirnya Rabi berhasil menawan 20 ribu tawanan dan salah seorang 

Duhqan150 mereka juga turut menjadi tawanannya. 

Di antara para tawanan terdapat beberapa orang budak milik Duhqan 

dan didapati bahwa mereka telah membawakan 300 ribu dirham untuk 

dibawakan kepada tuannya. 

Al Rabi lalu berkata kepadanya: “Darimana harta ini?!” ia menjawab: 

“Dari salah satu kampung, wahai tuan!” Rabi bertanya: “Apakah sebuah 

kampung dapat memberikan harta sedemikian banyak kepadanya setiap 

tahun?” 

Ia menjawab: “Benar.” Rabi bertanya keheranan: “Bagaimana 

caranya?!” Ia menjawab: “Dengan kapak, arit dan keringat kami!” 

Begitu peperangan usai, sang duhqan menghadap Rabi untuk 

menawarkan tebusan dirinya dan keluarganya. 

Rabi lalu berkata kepadanya: “Aku akan membebaskanmu dengan 

tebusan jikalah engkau mampu membayarkan fidyah kepada kaum 

muslimin.” Ia bertanya: “Berapa yang kau mau?” Rabi berkata: 

“Tancapkanlah tombak ini di tanah lalu datangkanlah emas dan perak 

setinggi ini!”  Ia berkata: “Baiklah, aku menerimanya.” Kemudian ia 

mengeluarkan dari tempat penyimpanannya emas dan perak lalu 

menuangkannya sehingga menutupi tombak yang dipancangkan. 


Rabi bin Ziyad beserta pasukannya semakin kuat di negeri Sigistan. 

Maka benteng-benteng kuat di sana roboh di bawah kaki kuda Rabi seperti 

dedaunan pohon yang berguguran di tiup angin kencang. 

                                                   

 Rustaq Zaliq yaitu  sebuah kota yang besar dan berbenteng di negeri Sigistan 

 Duhqan yaitu  kalimat Persia yang berarti kepala suku 


Maka para penduduk desa dan kota segera menyambut kedatangannya 

untuk meminta rasa aman dan tunduk kepadanya,sebelum Rabi 

mengacungkan pedangnya di hadapan wajah mereka. Dan akhirnya 

hingga Rabi mencapai kota Zarang ibu kota Sigistan. 

Di sana ternyata musuh sudah menyiapkan segala kemampuannya, dan 

mereka sudah menyiapkan beberapa pasukan untuk menghadapi pasukan 

Rabi. Untuk menghadapi pasukan muslimin, mereka rupanya telah 

menggunakan banyak bantuan. Pihak musuh telah bertekad untuk 

memukul Rabi dan pasukannya mundur dari kota ini  dan mengusir 

pasukan muslimin dari Sigistan meski berapapun biaya yang mesti 

dikeluarkan. 

Maka berlangsunglah pertempuran yang sengit antara pasukan Rabi 

melawan para musuhnya dengan begitu ganas yang masing-masing pihak 

berharap akan banyaknya korban berjatuhan di pihak musuh. 

Begitu nampak awal tanda kemenangan di pihak muslimin, 

Marbazan151 negeri yang dikenal dengan nama Barwiz berusaha untuk 

melakukan perdamaian dengan Rabi. Selagi Marbazam tadi memiliki 

kekuatan,dan ia berharap akan mendapatkan persyaratan yang terbaik bagi 

dirinya dan bagi kaumnya. 

Maka Marbazan tadi mengirimkan seorang utusan untuk meminta Rabi 

membuat janji bertemu dengannya dan untuk merundingkan perdamaian. 


Rabi memerintahkan beberapa orang prajuritnya untuk menyiapkan 

sebuah tempat untuk menyambut Barwiz. Ia juga memerintahkan mereka 

untuk menumpukkan bangkai-bangkai pasukan Persia di sekeliling tempat 

pertemuan. Sebagaimana ia menyuruh para prajuritnya untuk meletakkan 

bangkai-bangkai lain secara tak beraturan pada pinggiran jalan yang akan 

dilintasi Barwiz. 

Dan Rabi yaitu  seorang yang berpostur tinggi. Memiliki kepala yang 

besar. Berkulit coklat. Berbadan besar yang dapat membuat gentar orang 

yang memandangnya. 

Begitu Barwiz menemuinya ia langsung gemetar sebab  merasa takut 

kepadanya. Hatinya semakin takut dengan pemandangan yang penuh 

dengan bangkai manusia dan itu membuatnya takut mendekat ke arah 

Rabi. Ia begitu merasa takut dan tidak berani berjabatan tangan dengan 

Rabi. 

Barwiz berbicara dengan suara terbata-bata kepada Rabi. Barwiz 

melakukan perundingan dengan Rabi yang keputusannya yaitu  bahwa 

Barwiz harus memberikan 1000 budak yang membawa pada setiap kepala 

                                                   

 Marbazan yaitu  pemimpin dan ini merupakan sebuah kata dalam bahasa Persia 


mereka sebuah piala dari emas. Maka Rabi menerimanya dan siap 

berdamai dengan Barwiz atas jizyah ini. 

Pada keesokan harinyua, Rabi bin Ziyad memasuki kota ini  yang 

dikelilingi oleh rombongan yang sholih yang meneriakkan kalimat tahlil 

dan takbir. 

Hari itu yaitu  sebuah hari yang bersejarah dari sekian hari milik 

Allah.  


Rabi bin Ziyad menjadi pedang terhunus di tangan pasukan muslimin 

yang mampu menebas para musuh-musuh Allah. Rabi berhasil 

menaklukan banyak kota bagi pasukan muslimin, dan menjadi wali 

(gubernur) mereka pada beberapa wilayah sehingga hal ini diketahui oleh 

Bani Umayyah, yang kemudian membuat Muawiyah bin Abu Sufyan 

mengangkatnya sebagai seorang wali di Khurasan. 

Padahal ia sendiri tidak begitu senang dengan wilayah ini . 

Yang semakin membuat ia tidak suka menjadi wali di sana yaitu  saat 

Ziyad bin Abihi salah seorang wali pemuka Bani Umayyah mengirimkan 

sebuah surat kepadanya yang berbunyi: “Amirul Mukminin Muawiyah bin 

Abu Sufyan memerintahkan kamu untuk menyisakan emas dan perak hasil 

ghanimah perang untuk disetorkan kepada baitul maal muslimin. Engkau 

boleh membagikan selebihnya kepada para mujahidin!” 

Lalu Rabi membalas surat ini  dengan: “Aku mendapati dalam 

Kitabullah Swt memerintahkan bukan seperti apa yang kau perintahkan 

dengan mengatas-namakan Amirul Mukminin.” 


Pada hari Jum’at sesudah  surat ini  ia terima, Rabi pergi ke masjid 

untuk melakukan shalat dengan mengenakan pakaian berwarna putih. Ia 

menjadi khatib yang menyampaikan khutbah Jum’at kepada seluruh 

manusia. Kemudian ia berkata: “Wahai manusia. Aku sudah bosan dengan 

kehidupan, dan aku akan membacakan sebuah do’a, maka kalian harus 

mengamini apa yang aku bacakan!” Kemudian ia berdo’a: 

“Ya Allah, jika kau menghendaki kebaikan untuk diriku, maka cabutlah 

nyawaku untuk menghadapmu sesegera mungkin dan jangan 

diperlambat!” 

Maka semua manusia mengaminkan do’a ini . 

Matahari di hari itu belum juga tenggelam, namun Rabi bin Ziyad telah 

kembali ke pangkuan Tuhannya. 


Abdullah bin Salam 

“Siapa yang Ingin Melihat Seorang Ahli Surga, Silahkan Melihat 

kepada Abdullah Bin Salam.” 

 

Hushain bin Salam yaitu  seorang kepala pendeta Yahudi terkemuka di 

Yatsrib. Penduduk Madinah meski menganut agama yang berbeda, namun 

mereka memuliakan dan menghormati Hushain. Sebab ia dikenal sebagai 

orang yang bertaqwa dan sholih yang senantiasa bersikap istiqomah dan 

jujur. 


Hushain menjalani hidupnya dengan begitu tenang dan damai, akan 

tetapi kehidupan yang ia jalani amat berarti dan bermanfaat. Ia membagi 

waktu hidupnya dalam tiga kegiatan: 

Sebagian ia gunakan di gereja untuk memberikan nasehat kepada 

ummat sekaligus beribadah. Sebagian lagi ia gunakan di kebun untuk 

merawat pohon-pohon kurma. Dan sebagian lagi ia gunakan untuk 

mempelajari ilmu agama yang ia dapatkan lewat kitab Taurat. 


Setiap kali ia membaca Taurat ia termenung memikirkan berita yang 

menyatakan akan munculnya seorang Nabi di Mekkah yang akan 

melengkapi risalah para Nabi terdahulu sekaligus menjadi pemungkas 

mereka. 

Hushain lalu mencari-cari tanda dan ciri Nabi yang dinanti-nanti ini. 

Dan ia semakin gembira saat ia mengetahui bahwa Nabi ini  akan 

berhijrah dari kampungnya menuju Yatsrib tempat tinggalnya yang baru. 

Setiap kali ia membaca berita ini atau saat ia terbersit untuk mengingat 

Nabi ini maka ia akan berdo’a kepada Allah Swt agar ia dikaruniai umur 

panjang sehingga ia dapat menyaksikan kemunculan Nabi yang ditunggu-

tunggu ini dengan hati yang gembira dan ia akan menjadi orang pertama 

yang akan beriman kepadanya. 


Allah Swt mengabulkan do’a Hushain bin Salam sehingga Ia 

memperpanjang usia Hushain hingga waktu dimana Nabi yang membawa 

petunjuk dan kebenaran ini  diutus. 

 

Ia juga diberi kesempatan oleh Allah Swt untuk dapat berjumpa dan 

bersahabat dengan Nabi ini , dan beriman kepada kebenaran yang 

diturunkan kepada Beliau. 

Kita akan memberikan kesempatan kepada Hushain untuk 

menceritakan keislamannya, sebab ia lebih pantas dan lebih mengetahui 

akan hal ini.  

Hushain bin Salam berkisah: 

Begitu aku mendengar berita kemunculan Rasulullah Saw, aku 

mencoba untuk mencari tahu tentang nama, nasab, sifat, waktu dan tempat 

Beliau. Aku mencoba mencocokkan semua data ini  dengan apa yang 

telah tertuliskan dalam kitab suci kami sehingga aku merasa yakin akan 

kenabian Beliau dan kebenaran dakwahnya. Dan aku mencoba untuk 

merahasiakan hal ini dari kaum Yahudi dan aku berusaha untuk tidak 

berbicara tentang Beliau. 

Hingga pada hari Rasulullah Saw meninggalkan Mekkah dan menuju 

Madinah. 

Begitu Beliau tiba di Yatsrib dan singgah di Quba152, salah seorang 

datang kepada kami untuk mengumumkan berita kedatangan Beliau. Saat 

itu aku sedang berada di atas pohon kurma untuk mengerjakan tugasku 

dan bibiku yang bernama Khalidah binti Al Harits sedang duduk di bawah 

pohon. Begitu aku mendengar berita ini , maka aku langsung  berseru: 

Allahu Akbar… Allahu Akbar! 

Maka bibiku berkata saat ia mendengar aku bertakbir: “Allah akan 

menolakmu! Demi Allah, jika engkau mendengar berita bahwa Musa bin 

Imran telah datang, pasti engkau tidak akan melakukan hal yang lebih dari 

itu.” 

Aku berkata kepadanya: “Wahai bibi, Demi Allah, dia yaitu  saudara 

Musa bin Imran dan memiliki agama yang sama dengannya. Ia telah diutus 

sebagai Nabi sama seperti Musa.” 

Lalu bibiku terdiam sesaat dan ia pun bertanya: “Apakah dialah seorang 

Nabi yang sering kali diceritakan bahwa dia akan diutus untuk 


Related Posts:

  • teladan sahabat nabi 10  dan ia juga yang telah membunuh saudaraku Musafi, dan… akhirnya Al Julas pun menghembuskan nafas terakhirnya. Maka menjadi gilalah Sulafah binti Sa’d. Ia langsung berteriak sambil menangis sekuatnya… Read More