dan ia juga yang telah membunuh saudaraku Musafi, dan… akhirnya Al
Julas pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Maka menjadi gilalah Sulafah binti Sa’d. Ia langsung berteriak sambil
menangis sekuatnya. Ia bersumpah demi Lata dan Uzza bahwa ia tidak
akan pernah merasa puas kecuali bila bangsa Quraisy telah membalaskan
dendamnya dari Ashim bin Tsabit dan membawa tengkorak kepalanya agar
ia jadikan tempat khamr untuk diminum.
Kemudian Sulafah bernazar untuk memberikan siapa saja yang mampu
menangkap, menawan atau membunuh A’shim bin Tsabit lalu membawa
kepalanya kepada Sulafah, maka ia akan diberi harta apa saja yang paling
indah.
Maka tersebarlah berita tentang nadzar Sulafah ini di kalangan bangsa
Quraisy. Lalu setiap pemuda Mekkah mulai berangan untuk dapat
mengalahkan Ashim bin Tsabit lalu mempersembahkan tengkorak
kepalanya kepada Sualafah, agar ia akan memenangkan hadiah Sulafah ini.
Kembalilah pasukan muslimin ke Madinah sesudah mereka melakukan
perang Uhud. Mereka mengenang peperangan yang baru saja mereka
lakukan dan mereka pun mengenang setiap kejadian dalam perang
ini . Mereka berbelasungkawa atas setiap prajurit yang mendapatkan
syahadah di medan laga. Mereka pun memberikan pujian kepada para
ksatria yang begitu berani berperang… dan mereka menyebutkan salah
satu dari para ksatria ini yaitu Ashim bin Tsabit. Para pasukan
muslimin merasa kagum kepada Ashim, bagaimana ia bisa dapat
mengalahkan tiga orang bersaudara dari satu keluarga dari sekian banyak
korban yang berguguran di tangannya.
Salah seorang dari pasukan muslimin berkata: “Bukankah ini
merupakan hal yang menakjubkan?!! Apakah kalian tidak ingat saat dulu
Rasulullah Saw bertanya kepada kita sebelum berangkat ke Badr:
‘Bagaimana kalian akan berperang?’… Saat itu Ashim bin Tsabit berdiri
lalu mengambil busur panahnya dan ia letakkan di tangannya dan ia
berkata: ‘Jika musuh berada 100 hasta dari ku maka akan aku hadapi
dengan melesatkan anak panah. Jika musuh semakin dekat sehingga dapat
diserang dengan tombak, maka akan dihadapi dengan tombak sehingga
dapat terkena oleh tombak.
Jika tombak sudah tidak mungkin lagi digunakan, maka tombak
ini akan kami letakkan dan kami akan mengambil pedang dan mulai
duel dengan pedang.’ Maka pada saat itu Rasulullah Saw bersabda:
‘Beginilah caranya berperang. Siapa yang akan berperang, maka ia harus
berperang dengan cara yang dilakukan oleh A’shim.”
Tidak lama berselang sesudah usainya perang uhud, Rasulullah Saw
mengirimkan 6 orang para sahabat pilihan dalam sebuah delegasi, dan
delegasi ini dipimpin oleh Ashim bin Tsabit.
Maka berangkatlah delegasi pilihan ini untuk melaksanakan apa yang
telah diperintahkan oleh Nabi Saw. Tatkala mereka sedang berada di salah
satu jalan antara Usfan dan Mekkah, maka ada sebuah rombongan dari
Hudzail yang mengetahui keberadaan rombongan delegasi ini. Jamaah dari
Hudzail itupun lalu segera mengejar mereka, dan mengepung mereka
begitu rapatnya.
Maka Ashim dan para sahabatnya langsung menguhunuskan pedang
mereka dan berniat untuk menghadapi para penghadang mereka.
Maka orang-orang Hudzail inipun berkata kepada mereka: “Kalian
tidak akan mampu menghadapi kami. Kami yaitu penduduk kampung ini.
Jumlah kami begitu banyak, dan kalian hanya berjumlah sedikit saja. Demi
Tuhan Ka’bah, kami tidak akan berbuat jahat kepada kalian bila kalian
menyerah. Dan kalian dapat memegang janji Allah ini.”
Maka keenam sahabat tadi saling melemparkan pandangan kepada
masaing-masing mereka seolah mereka sedang bermusyawarah akan apa
yang mesti mereka lakukan.”
Lalu Ashim menoleh ke arah para sahabatnya dan berkata: “Aku tidak
akan percaya dengan janji seorang musyrik.” Kemudian Ashim teringat
akan nadzar Sulafah atas dirinya, dan Ashim langsung menghunuskan
pedangnya dan berdo’a: “ Ya Allah, Aku akan berjuang dan membela
agamamu. Maka jagalah daging dan tulangku sehingga tidak ada musuh-
musuh Allah yang dapat mengalahkannya.
Kemudian Ashim menyerang orang-orang Hudzail tadi yang diikuti
oleh kedua orang sahabatnya. Mereka yaitu Martsad Al Ghanawy dan
Khalid Al Laitsy… Mereka terus melawan kepada orang-orang Hudzail ini
sehingga mereka pun tewas satu demi satu.
Sedangkan ketiga orang sahabat Rasul lainnya, mereka yaitu :
Abdullah bin Thariq, Zaid bin Al Dutsunah dan Khubaib bin Ady. Ketiganya
menyerahkan diri kepada orang-orang Hudzail tadi. Namun orang-orang
Hudzail telah berkhianat kepada mereka.
Orang-orang Hudzail ini tidak mengerti bahwa salah seorang dari
korban ini yaitu Ashim bin Tsabit. Begitu mereka mengetahuinya,
maka mereka menjadi amat girang, dan mereka mengkhayalkan bahwa
mereka akan mendapatkan hadiah yang besar.
Tidak heran, sebab bukankah Sulafah binti Sa’d telah bernazar bila ia
berhasil menangkap Ashim bin Tsabit maka ia akan meminum khamr dari
tengkorak kepalanya?
Bukankah ia sudah berjanji bagi siapa saja yang dapat membawa Ashim
hidup atau mati kepadanya, maka si pembawa akan mendapatkan harta
apa saja yang ia inginkan?!
Tidak selang begitu lama sesudah peristiwa terbunuhnya Ashim bin
Tsabit ini sehingga suku Quraisy mendengar kabarnya. Sebab suku Hudzail
ini tinggal tidak jauh dari Mekkah.
Maka para pemuka Quraisy mengutus seseorang dari mereka kepada
para pembunuh Ashim agar kepala Ashim diserahkan kepada mereka. Hal
itu demi membayar kebencian Sulafah binti Sa’d dan agar ia dapat
menepati sumpahnya. Disamping itu juga agar rasa sedihnya akibat
tewasnya ketiga anaknya berkurang yang telah dibunuh semuanya oleh
Ashim.
Para pembesar Quraisy ini menitipkan harta yang banyak pada utusan
tadi, dan menyuruh utusan ini untuk memberikan harta ini
kepada para penduduk Hudzail begitu mereka menyerahkan kepala Ashim.
Para penduduk Hudzail hendak memotong kepala Ashim, dan mereka
kaget bahwa kepala Ashim telah dikerubungi oleh lebah dari seluruh
sisinya.
Dan setiap kali mereka hendak mendekat kepada bangkai tubuhnya,
maka para lebah tadi akan terbang ke muka mereka dan menyengat mata,
kening dan setiap tempat pada tubuh mereka. Semua lebah tadi berusaha
untuk mengusir mereka dari tubuh Ashim.
Begitu mereka putus asa sesudah berusaha berkali-kali untuk
melakukannya, salah seorang dari mereka berkata: “Biarkan saja tubuhnya
hingga malam tiba. Sebab lebah bila malam tiba akan pergi darinya dan
kalian akan dibiarkan oleh lebah untuk mendekati dirinya.”
Kemudian mereka pun duduk menunggu tidak jauh dari tubuh Ashim.
namun begitu siang telah pergi dan malam mulai tiba, maka tiba-
tiba langit menjadi begitu mendung dan amat pekat.
Cuaca menjadi dingin dan hujan pun mulai turun dengan sangat
lebatnya. Dan belum pernah ada disaksikan oleh manusia di bumi ini,
hujan yang begitu lebat turun dari langit.
Maka semua lereng, lembah dan jalan-jalan di bukit pun di penuhi oleh
air. Semua daerah di penuhi dengan air yang begitu banyak.
Begitu waktu pagi tiba, para penduduk Hudzail mencari jasad Ashim di
setiap tempat. Namun mereka tidak menemukannya. Hal itu terjadi, sebab
air telah membawa jasadnya pergi jauh dari mereka ke tempat yang mereka
tidak tahu.
Rupanya Allah Swt telah mengabulkan do’a Ashim bin Tsabit, sehingga
Allah Swt melindungi jasadnya yang suci agar tidak dianiaya.
302
Allah juga menjaga kepala Ashim agar tidak dijadikan tempat khamr
untuk minum. Dan Allah tidak akan memberikan kesempatan bagi kaum
musyrikin atas mukminin.
Utbah bin Ghazwan
“Utbah bin Ghazwan Memiliki Posisi Terhormat dalam Islam” (Umar
bin Khattab)
Amirul Mukminin merebahkan dirinya di ranjang sesudah shatal Isya. Ia
ingin sekali beristirahat sesudah ia berkeliling melihat rakyatnya pada waktu
malam.
namun kantuk yang ia rasakan pun pergi, sebab ada sebuah surat
yang datang kepada Beliau berbunyi: “Pasukan Persia yang dikalahkan oleh
pasukan muslimin rupanya selalu mendapatkan bala bantuan dari mana
saja. Tidak lama lagi pasukan Persia akan mempersiapkan kekuatannya dan
akan kembali melakukan perang.”
Dan ada yang mengatakan kepada khalifah bahwa kota Al Ubullah137
mempersiapkan bantuan yang amat banyak bagi pasukan Persia dengan
memberikan harta dan prajurit yang berjumlah banyak.
Maka Umar langsung bertekad untuk mengirimkan sebuah pasukan
untuk menaklukan Al Ubullah, dan memutuskan pasokan logistik mereka
kepada pasukan Persia, namun khalifah masih ragu sebab jumlah
pasukan yang sedikit yang kini sedang ia miliki.
Hal itu disebab kansebab pasukan muslimin baik yang masih muda
maupun tua telah pergi mengarungi bumi untuk berjuang di jalan Allah,
sehingga yang tersisa di Madinah hanyalah sedikit orang saja.
Maka khalifah berpikir dengan caranya sendiri yang telah masyhur
dikenal orang. Yaitu dengan mengganti sedikitnya pasukan dengan
kekuatan yang dimiliki oleh seorang panglima.
Lalu khalifah menghamburkan anak-anak panah milik para
prajuritnya, kemudian Beliau menguji mereka satu demi satu dalam
memanah. Kemudian ia berkata: “Aku telah menemukannya. Ya, aku telah
menemukannya.”
Kemudian khalifah menuju kudanya dan berkata: “Dia yaitu seorang
mujahid yang telah turut dalam perang Badr, Uhud, Khandaq dan lain-lain.
Tidak pernah pedangnya salah tebas, dan anak panah yang dilesatkannya
tidak pernah meleset.
Dan ia telah berhijrah dua kali138. Dan ia yaitu orang ketujuh yang
masuk Islam di muka bumi ini.”
137
Al Ubullah yaitu sebuah kota yang terletak di samping Basrah yang termasuk bagian dari
kota Basrah.
304
Begitu waktu Shubuh tiba, khalifah berkata: “Panggilkan Utbah bin
Ghazwan untuk menghadapku!”
Kemudian khalifah mempercayakan panji pasukan kepada Utbah yang
didukung oleh 310 orang prajurit lebih. Dan Khalifah berjanji kepada
Utbah bahwa ia akan menambahkan jumlah pasukannya.
Begitu pasukan yang sedikit ini hendak berangkat. Umar Al faruq
berdiri untuk berpesan dan memberikan nasehatnya kepada pemimpin
pasukan ini. Ia berkata: “Ya Utbah, Aku telah memerintahkanmu untuk
berangkat ke Ubullah yang merupakan salah satu benteng musuh. Aku
berharap Allah Swt akan membantumu untuk menaklukannya.
Jika engkau sudah tiba di sana, maka serulah penduduk Ubullah untuk
kembali kepada Allah. Siapa di antara mereka yang memenuhi seruanmu,
maka terimalah mereka dengan baik. Siapa yang tidak mau menerima
seruanmu, maka pungutlah jizyah139 dengan menghinakan mereka. Kalau
mereka tidak mau memberikannya, maka letakkanlah pedang di leher
mereka bukan pada punuk mereka. Bertaqwalah selalu, ya Utbah dengan
amanah yang kau emban.
Waspyaitu dengan jiwamu yang dapat menimbulkan rasa sombong
dan dapat merusak akhiratmu. Ketahuilah bahwa engkau pernah menjadi
sahabat Rasulullah Saw sehingga Allah memuliakan engkau sebab Beliau
sesudah hidup nista. Ia telah memberi kekuatan kepadamu sebab Beliau
sesudah kelemahan, sehingga engkau menjadi seorang pemimpin yang
memiliki kekuasaan. Menjadi seorang panglima yang ditaati. Apa yang kau
katakan akan didengar. Apa yang kau perintahkan akan ditaati. Alangkah
hebat nikmat yang diberikan ini kepadamu selagi ia tidak memperdayamu
dan memasukkanmu ke dalam jahannam. Semoga Allah akan melindungi
dirimu dan diriku dari api jahannam.”
Utbah bin Ghazwan berangkat bersama para pasukannya dan ia juga
diiringi oleh istrinya dan lima wanita lain yang merupakan istri atau
saudari dari para prajurit. Mereka berjalan terus hingga tiba di daerah
Qashba’140 yang terletak tidak jauh dari kota Ubullah. Mereka tidak punya
apa-apa untuk di makan.
Begitu lapar sudah menggila mereka rasakan, maka berkatalah Utbah
kepada beberapa orang dari prajuritnya: “Carilah oleh kalian sesuatu yang
dapat dimakan oleh kita dari negeri ini!”
138
Hijrah dua kali yaitu pertama ke negeri Habasyah dan hijrah ke Madinah
139
Jizyah yaitu pajak yang dipungut oleh penguasa Muslim atas kaum Dzimmi
140
Qashba’ yaitu sebuah daerah yang banyak tumbuh di sana qashab (tebu)
305
Maka berangkatlah para prajurit yang disuruh tadi untuk mencari
makanan yang dapat menghilangkan rasa lapar mereka. Rupanya ada kisah
tersendiri yang dimiliki oleh para prajurit ini saat sedang mencari
makanan. Salah seorang mereka berkisah:
Saat kami sedang mencari sesuatu yang dapat dimakan, kami
menemukan sebuah pohon yang lebat dimana terdapat dua buah keranjang
yang salah satunya berisikan kurma, dan pada yang lainnya berisikan biji
putih kecil yang dibungkus dengan kulit kuning. Maka lalu keduanya kami
ambil dan kami bawa menuju ke perkemahan. Lalu salah seorang dari kami
melihat keranjang yang berisikan biji-bijian dan ia berkata: “Ini yaitu
racun yang disiapkan oleh musuh untuk kalian. Janganlah kalian
mendekatinya!” Kemudian kami membawa keranjang yang berisi kurma
dan kami makan sekeranjang kurma ini .
Sementara kami sedang asyik makan lalu tiba-tiba ada kuda yang telah
berhasil memutuskan tali kekangnya, kemudian ia mendatangi keranjang
yang berisi biji putih tadi kemudian memakannya. Demi Allah, kami ingin
sekali untuk menyembelihnya sebelum ia mati sehingga kami dapat
memanfaatkan dagingnya.
Lalu pemilik kuda ini menghampiri kami dan berkata: “Biarkan
dia, aku akan mengawasi kuda ini pada malam hari. Jika aku melihat
bahwa ia akan mati, maka aku akan menyembelihnya. Keesokan paginya,
kami mendapati bahwa kuda ini masih sehat dan tidak terjadi apapun
pada dirinya.
Lalu saudariku berkata: “Wahai saudaraku, aku pernah mendengar
ayah berkata bahwa racun tidak akan berbahaya jika ditaruh di atas api
dan dimatangkan.”
Kemudian aku mengambil beberapa biji tadi dan aku taruh di atas
tungku lalu aku menyalakan api di bawahnya.
Kemudian saudariku berkata: “Kemarilah kalian! Lihatlah! Bagaimana
warnanya menjadi merah, kemudian biji ini terkelupas kulitnya dan
keluarlah dari bagian dalam biji yang berwarna putih.”
Kemudian kami menaruhnya di sebuah jufnah141 agar kami dapat
memakannya. Kemudian Utbah berkata kepada kami: “Sebutlah nama Allah
pada makanan ini lalu makanlah oleh kalian!” Kemudian kami
memakannya dan rupanya ia bagus sekali. sesudah itu kami baru tahu
bahwa namanya yaitu beras.
Ubullah yang menjadi tujuan pasukan Utbah bin Ghazwan bersama
pasukannya yang sedikit yaitu sebuah kota yang terbenteng rapat dan
Sebuah piring besar
terletak di pinggir sungai Dajlah142. Bangsa Persia telah menjadikan kota
Ubullah sebagai tempat penyimpanan senjata mereka. Mereka juga
membuat beberapa menara dari benterng ini untuk mengintai dan
mengawasi para musuh mereka.
namun itu semua tidak menghalangi Utbah bin Ghazwah untuk
memeranginya, meski jumlah pasukannya yang sedikit dan persenjataan
yang tidak lengkap. sebab pasukannya hanya terdiri dari 600 orang
prajurit yang disertai sejumlah wanita. Mereka juga tidak memiliki
persenjataan yang memadai selain pedang dan tombak. Maka Utbah harus
menggunakan kecerdasannya dalam hal ini.
Utbah menyiapkan beberapa panji yang terikat di ujung tombak untuk
dipegang oleh para wanita. Ia memerintahkan kepada para perempuan tadi
untuk berjalan di belakang para prajurit. Ia berkata kepada para
perempuan ini : “Jika kami sudah mendekat ke kota ini . Maka
hamburkanlah debu dari belakang kami sehingga memenuhi angin.”
Begitu mereka sudah mendekat ke kota Ubullah, maka dihampiri oleh
pasukan Persia yang melihat kedatangan mereka. Kemudian pasukan Persia
melihat panji-panji yang berkibar di belakang pasukan muslimin dan
mereka juga melihat debu-debu bertebaran yang telah memenuhi langit.
Salah seorang dari pasukan Persia berkata: “Mereka ini yaitu pasukan
pembuka. Dibelakang mereka ada sebuah pasukan yang amat besar yang
mampu menerbangkan debu. Sedangkan kita yaitu pasukan yang sedikit.”
Lalu merasuklah rasa takut di hati mereka, maka mereka segera
membawa semua yang enteng bobotnya namun mahal harganya bersama
mereka. Mereka segera berlomba-lomba untuk menaiki perahu-perahu
besar yang ada di sungai Dajlah, dan mereka pun melarikan diri.
Maka masuklah Utbah ke kota Ubullah tanpa kehilangan seorang pun
dari pasukannya.
Kemudian ia menaklukan semua kota dan kampung yang terletak
disekeliling Ubullah.
Ia mendapatkan ghanimah dari sana yang tidak dapat dihitung lagi,
dan melebihi semua hitungan. Sehingga ada salah seorang prajuritnya yang
kembali ke Madinah dan ditanya oleh orang lain: “Bagaimana kaum
muslimin yang ada di Ubullah?” Ia menjawab: “Apa yang hendak kalian
pertanyakan?!! Demi Allah, saat aku tinggalkan, mereka sedang menakar
emas dan perak!” Maka serentaklah manusia segera berangkat ke Ubullah.
Dajlah yaitu sebuah sungai yang berasal dari Turky dan mengalir ke Iraq hingga ke pantai
Arab
Pada saat itulah Utbah bin Ghazwan melihat bahwa pasukannya yang
tinggal di kota-kota yang telah ditaklukkan akan membuat mereka terbiasa
dengan kehidupan yang lembek, dan membuat mereka bergaya hidup
seperti para penduduk negeri ini , serta dapat melemahkan tekad
mereka untuk meneruskan jihad. Lalu Utbah mengirimkan surat kepada
Umar bin Khattab yang meminta izin kepadanya untuk membangun kota
Bashrah143 dan memberitahukan kepada khalifah tempat yang ia pilih, dan
khalifah pun mengizinkannya.
Utbah lalu membuat berbagai perencanaan untuk kota yang baru.
Bangunan pertama yang ia buat yaitu sebuah mesjid yang besar.
Ini tidak mengherankan, sebab sebab masjid ia dan beberapa
sahabatnya berangkat berjihad di jalan Allah. Dan dengan masjid, ia dan
para sahabatnya menang dalam menghadapi para musuh Allah.
Kemudian para prajurit berlomba-lomba dalam memiliki tanah dan
membangun rumah.
namun Utbah belum juga membangun rumah untuk dirinya
sendiri, namun ia masih tinggal di sebuah rumah yang terbuat dari
kain. Hal itu disebab kan bahwa ia telah merahasiakan sesuatu di dalam
dirinya.
Utbah melihat bahwa dunia telah terbentang luas bagi kaum muslimin
di Basrah sehingga membuat manusia lupa diri.
Dan para prajuritnya yang dulu tidak pernah kenal makanan yang
lebih enak dari beras yang direbus bersama gabahnya, saat ini telah
merasakan berbagai makanan bangsa Persia seperti Faludzaj144, Lauzinaj145
dan lainnya yang membuat mereka suka.
Maka Utbah merasa khawatir terhadap urusan agama yang mulai
terganggu oleh perdaya dunia. Dan ia juga menyeru untuk mendahulukan
akhirat daripada dunia.
Lalu ia mengumpulkan semua penduduk di Masjid Kufah dan
berkhutbah dihadapan mereka dengan berkata: “Wahai manusia, sungguh
dunia suatu saat nanti pasti akan berakhir. Sedangkan kalian dari dunia ini
akan berpindah ke sebuah negeri yang tidak pernah ada akhirnya. Maka
pindahlah kalian ke semua ke negeri ini dengan amal-amal baik
kalian.
Bashrah yaitu sebuah kota di Iraq yang terletak di pinggir Laut Arab
Makanan manis yang terbuat dari tepung, minyak dan madu
Makanan manis
Aku yaitu orang ke tujuh yang masuk Islam dan beriman kepada
Rasulullah Saw. Kami saat itu tidak memiliki apapun untuk dimakan selain
daun pepohonan sehingga ujung bibir kami terluka sebab memakannya.
Aku pernah menemukan sebuah selendang -pada suatu hari- kemudian
aku membaginya menjadi dua bagian satu untukku dan satunya lagi untuk
Sa’d bin Abi Waqash. Kemudian selendang ini aku jadikan sarung,
dan Sa’d pun menjadikan sarung dengan setengah bagian selendang tadi.
Lalu tiba-tiba pada hari ini, tidak ada seorang pun dari kita kecuali ia
telah menjadi seorang amir atas daerah tertentu. Aku berlindung kepada
Allah untuk menjadi besar dihadapan diri sendiri dan kecil dihadapan
Allah.”
Kemudian Utbah menunjuk seseorang dari mereka untuk
menggantikannya, kemudian ia mengucapkan kata perpisahan kepada
mereka dan ia pun berangkat ke Madinah.
Begitu ia menghadap Umar Al Faruq, Utbah mengundurkan diri sebagai
Gubernur Bashrah namun Umar tidak mengizinkannya. Kemudian Utbah
mendesak namun Umar pun masih tetap dengan pendiriannya.
Kemudian Umar memerintahkan Utbah untuk kembali ke Bashrah dan
Utbah pun patuh atas perintah Umar dengan hati yang berat, dan ia
menunggangi untanya dan berdo’a: “Ya Allah, janganlah Engkau
kembalikan aku ke sana... Ya Allah, janganlah Engkau kembalikan aku ke
sana!”
Maka Allah Swt mengabulkan do’anya. Tidak jauh dari Madinah, unta
yang ia tunggangi ditemukan oleh orang, dan Utbah jatuh dari atasnya
dengan tiada bernyawa. Rupanya ia sudah meninggal.
Nu’aim bin Mas’ud
“Nu’aim bin Mas’ud yaitu Orang yang Mengerti bahwa Perang
yaitu Tipu-Daya”
Nu’aim bin Mas’ud yaitu seorang pemuda yang memiliki hati yang
hidup. Dia yaitu pemuda yang cerdas, sering memberikan ide dan solusi.
Ia tidak pernah merasa terhalang, dan tidak pernah menyerah terhadap
segala problema.
Dia yaitu seorang figur anak padang pasir dengan segala potensi yang
Allah berikan pada dirinya dengan ketepatan perkiraan dan dugaannya,
kecepatan intuisi dan kecerdikan yang luar biasa... namun dia yaitu
orang yang amat menyukai kesenangan yang sering kali ia katakan kepada
para kaum Yahudi di Yatsrib.
Maka setiap kali jiwanya rindu kepada suara penyanyi wanita dan
ingin mendengarkan dentingan alat musik, ia akan segera meninggalkan
kampungnya di Najd dan pergi menuju Madinah dimana ia dapat
menghamburkan uang dengan amat mudahnya kepada kaum Yahudi di
sana, agar ia mendapatkan kenikmatan yang lebih banyak lagi.
Dari sinilah, Nu’aim seringkali pulang-pergi ke Yatsrib, dan ia sudah
berkenalan akrab dengan para Yahudi di sana, apalagi dengan Bani
Quraidzah.
saat Allah Swt memuliakan manusia dengan mengutus kepada
mereka seorang Rasul-Nya yang membawa agama petunjuk dan
kebenaran, sehingga seluruh daerah di Mekkah tersinari oleh cahaya Islam;
saat itu Nu’aim bin Mas’ud masih saja menjadi orang yang selalu
memuaskan hawa nafsunya.
Ia menolak agama yang baru ini dengan begitu kerasnya, sebab ia
merasa khawatir bahwa agama ini dapat menghalanginya dari
kesenangan dan kenikmatan.
Kemudian ia mendapati dirinya telah bergabung dengan para musuh
Islam yang begitu keras, yang menyerang Islam dengan menghunuskan
pedang di wajahnya.
namun Nu’aim bin Mas’ud telah membuka sebuah lembaran baru
dalam sejarah dakwah Islam bagi dirinya pada hari peperangan Al
Ahzab146. Dalam lembaran ini ia menuliskan sebuah kisah terbaik tentang
strategi dan tipu daya berperang.
Sebuah kisah yang masih terus dituliskan oleh sejarah sebab
kekaguman terhadap tokoh kisah ini yang amat cerdas dan cerdik.
Untuk memahami kisah Nu’aim bin Mas’ud kita akan kembali ke
belakang sejenak.
Sesaat sebelum terjadinya perang Al Ahzab, ada sebuah kelompok
Yahudi dari Bani Nadhir dimana para pemuka dan pembesar mereka
membagi orang-orang dalam beberapa kelompok untuk memerangi
Rasulullah Saw dan menumpas agamanya.
Mereka datang menghadap suku Quraisy di Mekkah, dan menghasut
mereka untuk memerangi pasukan muslimin. Para Yahudi ini juga
berjanji kepada pihak Quraisy bahwa mereka akan bergabung begitu
bangsa Quraisy tiba di Madinah, dan para Yahudi tadi membuat perjanjian
kepada Quraisy yang tidak akan mereka ingkari.
Kemudian para Yahudi tadi meninggalkan bangsa Quraisy lalu
berangkat menuju Gathfan di Najd. Lagi-lagi para Yahudi menghasut
penduduk di sana untuk menentang Islam. Yahudi ini mengajak
mereka untuk memberantas agama baru Muhammad dari akar-akarnya.
Mereka menceritakan dengan sembunyi-sembunyi atas perjanjian yang
telah mereka buat dengan bangsa Quraisy. Yahudi ini juga melakukan
perjanjian yang sama dengan penduduk Gathfan, dan memberitahukan
mereka waktu yang tepat untuk menjalankan misi ini .
Berangkatlah bangsa Quraisy dengan semua kekuatannya, dengan
pasukan berkendara dan pasukan yang berjalan kaki. Mereka berangkat di
bawah komando Abu Sufyan bin Harb dan menuju ke arah Madinah.
Bangsa Gathfan pun dari Najd berangkat dengan seluruh kekuatannya
di bawah komando Uyainah bin Hishn Al Gathfani147.
Salah seorang dari pasukan Gathfan yaitu tokoh kisah ini yang
bernama Nu’aim bin Mas’ud.
Perang Al Ahzab yaitu perang Khandaq yang terjadi pada tahun 5 H. Dinamakan dengan
Khandaq sebab kaum muslimin membuat khandaq (parit) di sekeliling Madinah agar menghalangi
pasukan musyrikin.
Uyainah bin Hishn Al Gathfany masuk Islam sebelum Fathu Makkah dan ia menyaksikan
peristiwa ini dan turut serta dalam perang Hunainin dan Thaif. Ia termasuk orang yang hatinya
tertaklukan (muallaf qulubuhum). Dia kembali murtad sesudah wafatnya Rasul Saw dan bergabung
kepada Thulaihah bin Khuwailid Al Asady saat mengaku sebagai nabi, kemudian ia kembali masuk
Islam.
Begitu Rasulullah Saw mendengar kabar keberangkatan mereka, Beliau
langsung mengumpulkan para sahabatnya untuk memusyawarahkan
permasalahan ini. Kemudian mereka mengambil keputusan untuk
menggali parit di sekeliling Madinah untuk mencegah pasukan besar ini
yang tak mampu mereka hadapi.
Begitu kedua pasukan dari Mekkah dan Najd hampir tiba di
penghujung kota Madinah, para pemuka Yahudi dari Bani Nadhir
mendatangi para pemuka Yahudi Bani Quraizhah yang tinggal di Madinah.
Yahudi dari Bani Nadhir mengajak Yahudi Bani Quraizhah untuk turut
serta memerangi Muhammad Saw dan mengajak mereka untuk bergabung
dengan dua pasukan besar yang datang dari Mekkah dan Najd.
Maka berkatalah para pembesar Bani Quraizhah: “Kalian telah
mengajak kami untuk melakukan hal yang amat kami sukai. namun
kalian sudah tahu bahwa di antara kami dan Muhammad terdapat sebuah
perjanjian yang tertulis bahwa kami tidak boleh menyerahkan dia dan
meninggalkan dia dan agar kami dapat tinggal di Madinah dengan aman
dan nyaman. Kalian sudah tahu bahwa tinta perjanjian kami dengannya,
sampai sekarang belum juga mengering.
Kami khawatir, jika Muhammad berhasil menang dalam peperangan
ini, maka ia akan menyiksa kami dengan amat kejamnya. Ia pasti akan
mengusir kami sebagai balas dari pengkhianatan yang kami lakukan
terhadapnya.”
namun para pemuka Bani Nadhir ini masih saja terus membujuk
mereka untuk mengkhianati perjanjian terhadap Muhammad. Mereka juga
memastikan kepada Bani Quraizhah bahwa kemenangan kali ini pasti akan
diraih oleh pihak mereka, dan itu tidak akan meleset.
Mereka semakin menambahkan keyakinan Bani Quraizhah bahwa dua
pasukan yang besar sudah tiba di Madinah.
Maka segeralah Bani Quraizhah turut dengan bujukan ini dan
membatalkan perjanjian mereka dengan Rasulullah Saw. Mereka lalu
merobek naskah perjanjian mereka dengan Muhammad, dan
mengumumkan bahwa mereka akan bergabung dengan pasukan lain
untuk memerangi Beliau.
Maka sampailah berita ini ke telinga kaum muslimin bagai kilat
menyambar.
Pasukan Ahzab (Barisan musuh yang terdiri dari banyak kelompok)
mengepung Madinah. Mereka mengembargo pasokan pangan bagi
penduduk Madinah. Maka kaum muslimin menjadi amat menderita.
Rasulullah Saw merasa bahwa Beliau berada di antara dua cengkraman
musuh.
Sebab pasukan Quraisy dan Gathfan sedang berkemah di depan
pasukan muslimin dan berada di luar Madinah.
Sedangkan Bani Quraizhah selalu mengintai dan berjaga-jaga dari
dalam Madinah.
Kemudian ada beberapa orang munafik dan mereka yang memiliki
penyakit dalam hatinya mulai menampakkan bentuk asli diri mereka
dengan berkata: “Dulu Muhammad menjanjikan kami harta kekayaan
Kisra dan Kaisar. Nah, sekarang tidak ada seorang pun dari kami yang
merasa aman untuk buang air ke kamar kecil!!”
Lalu sedikit demi sedikit mereka mulai meninggalkan Nabi Saw dengan
dalih bahwa mereka khawatir atas keselamatan istri, anak-anak dan rumah
mereka dari serangan yang dapat dilancarkan oleh Bani Quraizhah jika
perang sudah dimulai. Sehingga tidak ada yang tersisa bersama
Muhammad Saw selain hanya ratusan orang dari para mukmin sejati.
Pada suatu malam pada masa embargo ini yang berlangsung
hampir 20 hari, Rasulullah Saw menghadap Tuhannya dan ia berdo’a
dengan selalu mengulang do’anya: “Ya Allah, aku meminta janji-Mu... Ya
Allah, aku menagih janji-Mu!”
Nu’aim bin Mas’ud pada malam itu sedang resah di atas
pembaringannya seolah kelopak kedua matanya sedang tercucuk duri. Lalu
ia membuka matanya dan melihat ke arah bintang yang ada di langit. Ia
berfikir lama. Tiba-tiba ia mendapati hatinya berkata: “Celaka engkau, ya
Nu’aim!! Apa yang membuat kamu datang dari negeri Najd yang jauh
sehingga engkau mau memerangi orang ini dan para pengikutnya?!!
Engkau tidak memeranginya sebab hendak menolong orang yang telah
dirampas haknya, atau menolong orang yang harga dirinya telah
dilecehkan. namun engkau datang untuk memeranginya tanpa sebab
yang jelas. Apakah pantas seorang yang cerdas sepertimu untuk berperang
sehingga membunuh atau terbunuh tanpa sebab yang jelas?!! Celaka kamu,
ya Nu’aim!!
Apa yang membuatmu menghunuskan pedang dihadapan wajah orang
yang shalih ini yang memerintahkan para pengikutnya untuk berlaku adil,
baik dan membantu kaum kerabat?!!
Apa yang membuatmu akan membasahi tombakmu dengan darah para
sahabatnya yang selalu mengikuti wahyu petunjuk dan kebenaran yang
dibawa Muhammad kepada mereka?!!”
Pembicaraan yang sengit ini tidak berakhir melainkan dengan sebuah
keputusan bulat yang kemudian membuat Nu’aim bangkit dan langsung
melaksanakannya.
Nu’aim bin Mas’ud dengan sembunyi meninggalkan kamp kaumnya di
bawah kegelapan malam. Ia berangkat untuk menjumpai Rasulullah Saw.
Begitu Nabi Saw melihatnya sedang menyamar dan berdiri
dihadapanya, maka Nabi langsung bertanya: “Apakah engkau Nu’aim bin
Mas’ud?” Ia menjawab: “Benar, ya Rasulullah!”
Rasul bertanya: “Apa yang membuatmu datang kemari pada saat seperti
ini?!” Ia berkata: “Aku datang untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan bahwa engkau yaitu hamba Allah dan Rasul-Nya, dan bahwa
apa yang engkau bawa yaitu benar.”
Kemudian ia menambahkan: “Aku telah masuk Islam, ya Rasulullah.
Kaumku tidak tahu akan keislamanku. Perintahkanlah apa saja kepadaku!”
Rasul Saw bersabda: “Bagi kami engkau hanyalah seorang saja. Pergi dan
temuilah kaum mu. Lemahkanlah semangat dan kekuatan musuh kami jika
engkau mampu. Sebab perang ini yaitu tipu daya.”
Maka ia menjawab: “Baik, ya Rasulullah! Engkau akan melihat hasil
yang dapat membuatmu puas, Insya Allah.”
Nu’aim bin Mas’ud langsung berangkat menemui Bani Quraizhah.
Nu’aim bagi mereka yaitu seorang teman yang telah mereka kenal.
Nu’aim berkata kepada mereka: “Wahai Bani Quraizhah, engkau sudah
mengetahui betapa aku cinta kalian dan betapa aku tulus dalam
memberikan nasehat kepada kalian.” Mereka menjawab: “Benar. Engkau
bukanlah orang yang memiliki reputasi buruk bagi kami.” Nu’aim berkata:
“Quraisy dan Gathfan dalam perang ini memiliki alasan tersendiri yang
tidak kalian miliki.” Mereka bertanya: “Mengapa bisa demikian?” Nu’aim
menjelaskan: “Tanah ini yaitu negeri kalian. Di sini terdapat harta, anak-
anak dan istri-istri kalian. Kalian tidak akan bisa meninggalkan negeri ini.
Sedangkan Quraisy dan Gathfan; negeri, harta, anak dan istri mereka
tidak berada di sini.
Mereka datang untuk berperang melawan Muhammad. Mereka
mengajak kalian untuk membatalkan perjanjian dengannya dan membantu
mereka untuk memeranginya, dan kalian mau saja dengan ajakan mereka.
Jika mereka berhasil mengalahkan Muhammad maka mereka akan
mengambil ghanimah darinya. Jika mereka kalah dalam memeranginya,
maka mereka akan kembali ke negeri mereka dengan aman dan
membiarkan kalian disini bersama Muhammad sehingga ia dapat
membalas kalian dengan begitu kejam.
Kalian sudah tahu bahwa kalian tidak mampu untuk menghadapi
Muhammad jika Quraisy dan Gathfan meninggalkan kalian.”
Penduduk Bani Quraizhah berkata: “Engkau benar. Lalu apa
pendapatmu?!”
Nu’aim berkata: “Pendapatku yaitu kalian jangan bergabung dengan
mereka sehingga kalian ajak sekelompok pembesar mereka yang kalian
jadikan sebagai jaminan bagi kalian. Para pembesar tadi kalian ajak untuk
berperang melawan Muhammad sampai kalian dapat mengalahkannya,
atau hingga manusia terakhir dari kalian atau dari mereka mati.”
Bani Quraizhah menjawab: “Benar sekali pendapatmu.”
Kemudian Nu’aim meninggalkan mereka dan pergi untuk menemui
Abu Sufyan panglima pasukan Quraisy. Ia berkata kepadanya dan para
pasukannya: “Wahai bangsa Quraisy, kalian sudah mengetahui betapa
kecintaanku kepada kalian dan betapa aku memusuhi Muhammad.
Ada suatu hal dan menurutku hal ini harus aku sampaikan kepada
kalian sebagai sebuah nasihat namun kalian harus menyimpannya dengan
baik dan jangan menceritakan bahwa ini berasal dariku!” Para pasukan
Quraisy berkata: “Kami akan menjaminnya!”
Nu’aim berkata: “Bani Quraizhah telah menyesal sebab telah
memusuhi Muhammad. Mereka lalu mengirimkan surat kepadanya yang
berbunyi: ‘Kami menyesal atas apa yang telah kami perbuat. Kami berniat
untuk kembali melakukan perjanjian dan perdamaian denganmu. Apakah
akan membuatmu senang bila kami akan mengambil beberapa orang dari
para pemuka Quraisy dan Gathfan, kemudian kami serahkan mereka
kepadamu untuk dipenggal lehernya.
Kemudian kami akan bergabung dengan kalian untuk memerangi
mereka sehingga engkau dapat mengalahkan mereka.’
Maka Muhammad pun mengirimkan surat balasan yang berbunyi:
‘Baik.’
Maka jika kaum Yahudi mengirimkan utusan untuk meminta jaminan
dari beberapa orangmu, maka jangan kalian kirim seorang pun kepada
mereka.”
Maka Abu Sufyan pun berkata: “Sebaik-baiknya sekutu yaitu engkau!
Semoga kebaikanmu dibalas.”
Kemudian Nu’aim meninggalkan Abu Sufyan dan pergi menuju
kaumnya yaitu suku Gathfan. Ia menceritakan kepada mereka sebagaimana
yang ia ceritakan kepada Abu Sufyan, dan ia memberikan peringatan yang
sama persis seperti yang ia berikan kepada Abu Sufyan.
Abu Sufyan ingin menguji Bani Quraizhah dan ia mengutus anaknya
untuk menemui mereka dan berkata kepada mereka: “Ayahku
menyampaikan salam kepada kalian dan berkata: ‘Sudah lama embargo
yang kita lakukan terhadap Muhammad sehingga kami merasa bosan. Kami
sudah mengambil keputusan untuk menyerang Muhammad dan
mengalahkannya...’ Ayah mengutusku kepada kalian untuk mengundang
kalian ke perkemahannya besok.”
Bani Quraizhah berkata kepadanya: “Besok yaitu hari Sabtu dan kami
tidak akan melakukan apapun pada hari Sabtu. Kami tidak akan ikut
perang bersama kalian sehingga kalian mengirimkan 70 orang pemuka
kalian dan pemuka Gathfan sebagai jaminan untuk kami. Sebab kami
khawatir bila peperangan nanti semakin sengit, kalian bisa kembali ke
negeri kalian dan meninggalkan kami sendirian untuk menghadapi
Muhammad. Kalian sudah tahu bahwa kami tidak akan mampu
menghadapi pasukan Muhammad.”
Begitu anaknya Abu Sufyan kembali ke kaumnya dan menceritakan apa
yang ia dengar dari Bani Quraizhah, maka mereka berkata dengan
perkataan yang sama: “Celaka, anak-anak keturunan monyet dan babi itu!
Demi Allah, jika mereka meminta kami untuk memberikan seekor kambing
sebagai jaminan, maka tidak akan pernah kami memberikannya!”
Nu’aim bin Mas’ud berhasil memecah belah barisan pasukan Ahzab.
Kemudian Allah Swt mengirimkan kepada Quraisy dan para sekutunya
angin yang kencang sehingga merusak tenda-tenda, menumpahkan
tungku, memadamkan lampu, menampar wajah mereka dan mengisi mata
mereka dengan pasir.
Mereka tidak menemukan lagi jalan keluar dari sana. Akhirnya, mereka
pergi di tengah kegelapan malam.
Begitu pagi menjelang, kaum muslimin mendapati bahwa para musuh
Allah telah lari yang membuat mereka semua mengatakan: “Segala puji
bagi Allah yang telah menolong hamba-Nya, menguatkan tentaranya dan
menghancurkan Ahzab (pasukan musuh) dengan sendiri saja.”
Sejak saat itu, Nu’aim bin Mas’ud menjadi orang kepercayaan
Rasulullah Saw. Rasul memberikan beberapa tugas kepadanya, dan
memberikan tanggung jawab kepada dirinya. Sering kali ia diperintahkan
untuk menjadi pembawa panji saat berperang.
Pada hari terjadinya Fathu Makkah, Abu Sufyan bin Harb
memperhatikan rombongan pasukan muslimin. Kemudian ia melihat
seorang pria yang membawa panji Gathfan dan Abu Sufyan bertanya
kepada orang di sampingnya: “Siapakah orang itu?!” Mereka menjawab:
“Dia yaitu Nu’aim bin Mas’ud.” Abu Sufyan berkata: “Amat keji
perbuatan yang ia lakukan kepada kita pada perang Khandaq. Demi Allah,
dulunya dia yaitu orang yang paling memusuhi Muhammad. Sekarang
dia membawa panji kaumnya bersama Muhammad, dan turut serta untuk
memerangi kita di bawah panji yang dibawanya.
Khabbab bin Al Aratti
“Semoga Allah Merahmati Khabbab. Ia Telah Masuk Islam sebab
Keinginannya, Berhijrah sebab Taat dan Hidup Sebagai Mujahid.”
(Ali bin Abi Thalib)
Ummu Anmar Al Khuza’iyah pergi ke pasar An Nakhasin148 di Mekkah.
Ia ingin membeli seorang budak untuk membantunya, dan memanfaatkan
tenaganya. Ia memperhatikan wajah-wajah budak yang ditawarkan untuk
dijual. Pilihannya jatuh pada seorang anak kecil yang belum lagi baligh. Ia
mendapati anak ini sehat badannya dan tanda-tanda kecerdasan
terpancar jelas di wajahnya. Hal itu yang membuat Ummu Anmar tertarik
untuk membelinya. Ummu Anmar lalu menyerahkan uang untuk
membelinya, kemudian membawa pulang bocah budak ini .
Di tengah jalan, Ummu Anmar menoleh kepada budak kecil tadi dan
bertanya: “Siapa namamu, wahai anak?” Ia menjawab: “Khabbab.” Ummu
Anmar bertanya lagi: “Lalu siapa nama ayahmu?” Ia menjawab: “Al Aratt.”
Ummu Anmar bertanya kembali: “Dari mana engkau berasal?” Ia
menjawab: “Dari Najd.” Ummu Anmar menukas: “Kalau begitu engkau
yaitu orang Arab!!” Ia membalas: “Benar, saya berasal dari Bani Tamim.”
Ummu Anmar bertanya: “Lalu apa yang membuatmu sampai ke tangan
para penjual budak di Mekkah?!!”
Ia menjawab: “Sebuah kabilah Arab telah menyerang kampung kami.
Mereka mengambil hewan ternak, menyandera para wanita dan anak-
anak. Dan aku termasuk seorang anak yang tertangkap. Aku terus menjadi
budak dengan tuan yang silih berganti sehingga aku di bawa ke Mekkah.
dan kini aku berada di tanganmu.
Ummu Anmar mengirimkan budaknya ini ke seorang pandai besi yang
ada di Mekkah untuk diajarkan kepadanya bagaimana cara membuat
pedang. Dengan cepat budak ini mempelajari dan menguasai cara
pembuatan pedang.
Begitu Khabbab sudah semakin besar, Ummu Anmar menyewakan
untuknya sebuah toko dan membelikan segala perabotannya. Dan di toko
ini , Khabbab mulai mengkomersialkan keahliannya dalam membuat
pedang.
Pasar budak
Tidak terlalu lama, nama Khabbab sudah terkenal di Mekkah. Banyak
orang yang datang kepadanya untuk membeli pedang. Sebab ia terkenal
dengan sifat amanah, jujur dan sempurna dalam membuat pedang.
Meski Khabbab masih berusia muda namun ia memiliki pemikiran
dan kearifan seperti orang dewasa.
Jika ia sudah selesai melaksanakan tugasnya, ia sering menyendiri dan
berpikir tentang masyarakat jahiliah yang terjerembab dalam kerusakan
dari mulai kaki hingga ujung kepala mereka.
Ia merasa aneh dengan kebodohan dan kesesatan yang terjadi pada
kehidupan masyarakat Arab sehingga dirinya menjadi salah satu korban
dari sifat mereka ini .
Dia sering mengatakan: “Malam ini harus segera berakhir.”
Dia berharap agar umurnya diperpanjang sehingga ia sempat melihat
sirnanya kegelapan dan terbitnya terang.
Penantian Khabbab tidak berlangsung lama. Telah sampai pada dirinya
bahwa ada sebuah sinar yang muncul dan keluar dari seorang pemuda
Bani Hasyim yang dikenal dengan Muhammad bin Abdullah.
Khabbab pun pergi menjumpainya, dan mendengarkan sabdanya. Ia
amat terpesona dengan sinarnya.
Khabbab pun menjulurkan tangannya kepada orang ini dan
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad yaitu
hamba dan Rasul-Nya.
Dia telah menjadi orang keenam yang masuk Islam di muka bumi ini
sehingga ada orang yang berkata: “Waktu telah mendahului Khabbab
sehingga ia menjadi orang yang keenam dalam Islam.”
Khabbab tidak menyembunyikan keislamannya dari siapapun. Danhal
itu segera terdengar oleh Ummu Anmar, dan ia pun menjadi marah
dibuatnya. Ia kemudian mengajak saudaranya yang bernama Siba bin
Abdul Uzza dan mereka juga berjumpa dengan sekelompok pemuda
Khuza’ah. Semuanya berangkat untuk menemui Khabbab dan mereka
mendapati Khabbab sedang tekun melakukan tugasnya. Maka datanglah
Siba menghadapi Khabbab dan berkata kepadanya: “Kami telah mendengar
sebuah berita tentangmu yang kami sendiri tidak mempercayainya.”
Khabbab bertanya: “Berita apa itu?!” Siba berkata: “Banyak orang yang
mengatakan bahwa engkau telah keluar dari agama dan kini engkau
menjadi pengikut seorang pemuda dari Bani Hasyim.”
Khabbab lalu berkata dengan tenang: “Aku tidak keluar dari agama,
namun aku telah beriman kepada Allah Yang Esa dan tidak memiliki
sekutu baginya. Aku telah menyingkirkan berhala-berhala kalian dan aku
bersaksi bahwa Muhammad bin Abdullah yaitu utusan-Nya.”
Begitu kalimat yang diucapkan Khabbab sampai di telinga Siba dan
orang-orang yang bersamanya, maka mereka langsung merangsek ke arah
Khabbab untuk memukulinya dengan tangan mereka, dan menendangnya
dengan kaki mereka. Dan mereka melemparkan ke tubuhnya benada apa
saja dari besi pemukul dan potongan besi yang dapat mereka raih. Sehingga
Khabbab terpuruk ke tanah kehilangan kesadaran dengan darah
berlumuran.
Menyebarlah di Mekkah kisah yang telah terjadi antara Khabbab dan
tuannya dengan begitu cepat bagaikan api yang membakar daun kering.
Semua manusia keheranan dengan keberanian yang dimiliki Khabbab.
Sebabnya belum pernah mereka dengar bahwa ada orang yang menjadi
pengikut Muhammad lalu berdiri di depan manusia untuk menyatakan
keislaman dirinya dengan begitu tegas dan menantang seperti Khabbab.
Para pemuka Quraisy pun kaget oleh kisah Khabbab ini. Tidak pernah
terbersit di hati mereka bahwa akan ada seorang budak seperti budak
Ummu Anmar yang tidak memiliki keluarga yang dapat melindunginya
dapat begitu berani dan keluar dari kekuasaan tuannya. Budak terseut telah
berani mencela tuhan-tuhan mereka dengan jelas, dan menganggap bodoh
agama bapak dan leluhur mereka. Dan para pembesar Quraisy semakin
yakin bahwa budak ini akan semakin berani lagi.
Perkiraan pemuka Quraisy tadi tidak meleset. Keberanian Khabbab
rupanya telah mampu menggerakkan para sahabatnya yang lain untuk
menyatakan keislaman mereka. Maka mereka mulai mengucapkan kalimat
kebenaran dengan terang-terangan satu demi satu.
Para pemuka Quraisy berkumpul di Mekkah dan sebagian dari mereka
saat itu yaitu Abu Sufyan bin Harb, Al Walid bin Al Mughirah, Abu Jahl
bin Hisyam dan mereka semua sedang berbicara tentang Muhammad.
Mereka melihat bahwa kekuatan Muhammad dari hari ke hari bahkan dari
waktu ke waktu semakin bertambah kuat dan besar.
Maka suku Quraisy bertekad untuk mencegah penyakit ini sebelum
semakin parah. Dan mereka memutuskan agar setiap anggota kabilah
menyiksa pengikut Muhammad sehingga mereka murtad dari agamanya
atau hingga mereka mati.
Kepada Siba dan kaumnya diberikan tanggung jawab untuk melakukan
penyiksaan kepada Khabbab. Maka setiap kali hari terasa panas dan sinar
mentari terasa membakar bumi, mereka akan membawa Khabbab ke
lembah Mekkah. Mereka menanggalkan pakaian Khabbab dan
memakaikan padanya pakaian besi. Mereka tidak memberikan air kepada
Khabbab sehingga jika ia sudah merasa amat payah, maka mereka akan
berkata kepadanya: “Siapa menurutmu Muhammad itu?” Ia menjawab:
“Dia yaitu hamba dan Rasul Allah. Ia datang kepada kami dengan
membawa agama petunjuk dan kebenaran agar dapat mengeluarkan kami
dari kegelapan menuju cahaya.”
Lalu mereka memukulkan tangan mereka ke tubuhnya dan berkata:
“Menurutmu apakah Lata dan Uzza itu?” Ia menjawab: “Keduanya yaitu
berhala yang tuli dan bisu, tidak memberikan mudharat ataupun manfaat.”
Lalu mereka membawakan batu-batu yang panas dan menempelkan batu
ini di punggung Khabbab. Mereka membiarkan bebatuan panas
ini di punggung Khabbab sehingga keluarlah keringat dari kedua
pundaknya.
Ummu Anmar tidak kalah bengis dari saudaranya yang bernama Siba.
Dia pernah melihat Rasulullah Saw yang mempir di toko Khabbab dan
berbicara kepadanya. Maka ia langsung marah dengan pemandangan yang
telah dilihatnya.
Kemudian setiap hari ia mendatangi Khabbab dan langsung mengambil
besi panas dari tempat pembakarannya kemudian ia meletakkannya di atas
kepala Khabbab sehingga kepalanya melepuh dan ia hilang kesadaran...
dan Khabbab sering berdo’a jelek untuk Ummu Anmar dan saudaranya
yang bernama Siba.
Begitu Rasulullah Saw mengizinkan kepada para sahabatnya untuk
berhijrah, maka Khabbab pun mempersiapkan diri untuk berhijrah.
namun Khabbab tidak pergi meninggalkan Mekkah kecuali sesudah
Allah mengabulkan do’a yang ia panjatkan bagi keburukan Ummu Anmar.
Ummu Anmar terkena penyakit sakit kepala yang belum pernah terdengar
penyakit kepala sehebat itu. Ummu Anmar meraung sebab kesakitan
seperti seekor anjing yang menggonggong.
Maka anak-anaknya mencari tabib ke seluruh tempat yang dapat
membantu menghilangkan penyakit yang diderita ibu mereka. Ada orang
yang menyarankan bahwa Ummu Anmar tidak akan sembuh dari
penyakitnya kecuali bila ia mau menyulut kepalanya dengan api.
Maka Ummu Anmar pun menyulut kepalanya dengan besi yang
dipanaskan, maka sesudah ia melakukannya ia pun terbebas dari sakit
kepala yang dideritanya.
Dalam perlindungan Bangsa Anshar di Madinah Khabbab merasakan
ketenangan yang sudah sekian lama tidak ia rasakan. Ia begitu senang
berada di dekat NabiSaw tanpa adanya halangan dan rintangan.
Ia turut-serta mendampingi Nabi Saw dalam perang Badr dan berjuang
di bawah komandonya.
Ia juga turut-serta dalam perang Uhud, dan Allah membuat hatinya
saat ia melihat Siba bin Abdul Uzza saudara Ummu Anmar yang
menjumpai kematiannya di tangan Singa Allah yang bernama Hamzah bin
Abdul Muthalib.
Ia diberikan umur yang panjang sehingga ia merasakan kepemimpinan
semua khulafa ar rasyidin yang empat. Dan Khabbab hidup di bawah
pengawasan mereka dengan hidup yang mulia.
Suatu hari ia mendatangi Umar bin Khattab dalam ruangan
kekhilafahannya. Umar langsung menaikan tempat duduk buat Khabbab
dan Umar terlihat berlebihan dalam mendekatkan diri kepadanya. Umar
berkata kepada Khabbab: “Tidak ada seorang pun yang lebih berhak untuk
mendapatkan posisi seperti ini selain Bilal.” Kemudian Umar bertanya
kepada Khabbab penyiksaan yang paling keras ia rasakan dari kaum
musyrikin, namun Khabbab merasa enggan untuk menceritakannya. Begitu
Umar mendesak agar Khabbab bercerita maka Khabbab menyibakan
selendang dari punggungnya. Maka kagetlah Umar dengan apa yang ia
lihat di punggung Khabbab. Umar bertanya: “Bagaimana bisa seperti ini?!”
Khabbab menjawab: “Kaum musyrikin menyalakan kayu bakar sehingga
menjadi bara kemudian mereka menanggalkan bajuku. Kemudian mereka
menarik tubuhku untuk tidur di atasnya, sehingga daging punggungku
terkelupas dari tulang. Tidak ada yang memadamkan api ini kecuali
air keringat yang berjatuhan dari tubuhku.
Khabbab pada paruh lain dalam hidupnya hidup berkecukupan sesudah
merasakan kefakiran. Ia memiliki emas dan perak yang tidak pernah ia
bayangkan sebelumnya.
namun ia mempergunakan uangnya dengan cara yang tidak
pernah dibayangkan oleh orang lain.
Ia meletakkan dirham dan dinarnya pada sebuah tempat di dalam
rumahnya yang telah diketahui oleh orang-orang fakir miskin yang
membutuhkan.
Ia tidak pernah menyembunyikannya dan juga tidak pernah
menguncinya. Orang-orang fakir dan miskin tadi selalu datang ke
rumahnya dan mengambil harta ini sekehendak mereka tanpa perlu
meminta atau izin terlebih dahulu.
Meski demikian, Khabbab masih merasa khawatir bila dirinya akan
dihisab nanti atau akan diadzab sebab harta ini .
Beberapa orang sahabatnya bercerita: “Kami menjenguk Khabbab saat
ia sekarat. Ia berkata: ‘Di tempat ini terdapat 80 ribu dirham. Demi Allah,
aku tidak pernah menyembunyikannya dan aku tidak pernah menghalangi
orang yang memintanya.’ Kemudian ia menangis.
Para sahabatnya bertanya: ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Ia
berkata: ‘Aku menangis sebab banyak sahabatku yang sudah wafat namun
mereka tidak mendapatkan ganjaran kebaikan mereka di dunia ini
sedikitpun. Sedangkan aku masih hidup hingga sekarang dan mendapatkan
harta seperti ini yang membuatku khawatir bahwa ini yaitu ganjaran
kebaikan yang pernah aku lakukan.’
Begitu Khabbab menemui ajalnya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
ra berdiri di hadapan kuburnya dan berkata: “Semoga Allah merahmati
Khabbab. Dia begitu semangat masuk ke dalam Islam. Berhijrah sebab
patuh kepada Rasul dan hidup sebagai seorang pejuang. Allah Swt tidak
akan pernah menyia-nyiakan pahala orang yang memperbagus amalnya.
Al Rabi’ Bin Ziyad Al Haritsi
“Tidak Ada Orang yang Begitu Percaya Kepadaku Sejak Aku Menjadi
Khalifah Sebagaimana yang Dilakukan Oleh Al Rabi Bin Ziyad.”
(Umar Bin Khattab)
Madinah Rasulullah Saw masih dirundung kesedihan sebab telah
kehilangan seorang yang amat mulia bernama Abu Bakar As Shiddiq.
Banyak utusan dan delegasi yang berdatangan dari segala penjuru
setiap hari untuk membai’at Khalifah yang baru, Umar bin Khattab dan
untuk menyatakan kepatuhan dan loyalitas mereka baik dalam kondisi
senang maupun susah.
Pada suatu pagi datanglah delegasi dari Bahrain untuk menghadap
Amirul Mukminin dan beberapa rombongan delegasi yang lainnya.
Umar Al Faruq ra senang sekali mendengar pembicaraan para delegasi
dengan harapan ia akan mendapatkan nasehat yang bermanfaat, ide yang
berguna atau nasehat bagi Allah, kitab-Nya dan bagi ummat muslim secara
keseluruhan.
Ia meminta beberapa orang dari para hadirin saat itu untuk berbicara
namun apa yang mereka sampaikan tidak begitu berarti.
Kemudian khalifah menoleh kepada seorang pria yang beiau duga
sebagai orang baik. Kemudian Beliau menoleh ke arahnya dan berkata:
“Ungkapkanlah pendapatmu!”
Kemudian pria tadi memuji Allah dan berkata: “Ya Amirul Mukminin
amanat ummat yang telah Anda emban ini tiada lain merupakan ujian
Allah yang ditimpakan kepadamu. Maka bertaqwalah kepada Allah atas
amanah ini. Ketahuilah olehmu, anda ada seeang yankor domba tersesat di
tdepi sungai Eufrat maka pasti enrgkau akan ditanyakan di hari kiamat
nanti tentang domba tadi.”
Maka menangislah Umar dengan suara yang keras lalu berkata: “Tidak
ada orang yang berkata jujur kepadaku sejak aku menjadi khalifah
sebagaimana yang telah ia lakukan. Siapakah dirimu?!” Ia menjawab: “Al
rabi bin Ziyad Al Haritsi
Umar bertanya: “Apakah engkau saudaranya Al Muhajir bin Ziyad?”
Rabi menjawab: “Benar.”
Begitu pertemuan itu berakhir, Umar lalu memanggil Abu Musa Al
Asy’ari dan berkata: “Selidikilah siapa sebenarnya Rabi bin Ziyad! Jika ia
yaitu seorang sahabat maka pada dirinya terdapat kebaikan yang banyak
dan ia dapat membantu kita dalam mengemban tugas ini. Angkatlah ia
sebagai pegawai dan kirimkan kabar kepadaku tentang dirinya!”
Tidak berlangsung lama sesudah itu, Abu Musa Al Asy’ari menyiapkan
sebuah pasukan untuk menaklukkan Manadzir yang terletak di daerah Al
Ahwaz berdasarkan perintah Khalifah. Abu Musa Al Ays’ari mengajak serta
Rabi bin Ziyad dan saudaranya yang bernama Al Muhajir.
Abu Musa Al Asy’ari berhasil mengepung Manadzir dan melakukan
sebuah peperangan melawan penduduknya dengan begitu keras yang
jarang terjadi peperangan sedemikian keras.
Pasukan musyrikin menunjukkan kekuatan dan keteguhan yang amat
hebat yang tidak pernah terbersit sebelumnya, sehingga banyak sekali
korban berguguran di pihak muslimin yang tak pernah diperkirakan.
Pada saat itu kaum muslimin yang sedang melakukan perang ini
juga sedang melakukan puasa Ramadhan
Tatkala Al Muhajir saudara Rabi binZiyad melihat sudah banyak korban
yang berguguran pada pasukan muslimin, ia bertekad untuk
mempersembahkan dirinya demi mencari keridhaan Allah Swt. Al Muhajir
lalu melumurkan badannya dengan wewangian kematian dan mengenakan
kain kafan, lalu ia berwasiat kepada saudaranya…
Lalu datanglah Rabi menghadap Abu Musa dan berkata: “AL Muhajir
telah bertekad untuk mempersembahkan jiwanya mati di dalam perang dan
saat ini ia masih berpuasa. Pasukan muslimin semuanya sudah begitu
menderita akibat ganasnya perang dan laparnya berpuasa sehingga
melemahkan semangat mereka. Namun mereka masih saja tidak mau
berbuka. Apa pendapatmu?”
Abu Musa Al Asy’ari langsung berdiri dan menyerukan kepada
pasukannya: “Wahai ma’syaral muslimin, Aku bersumpah, agar mereka
yang berpuasa agar lekas berbuka atau tidak usah ikut berperang!”
Kemudian Abu Musa minum dari tempat minum yang ia bawa agar
prajurit yang lain mau mengikuti apa yang telah ia kerjakan.
Begitu Al Muhajir mendengar seruan Abu Musa, maka ia langsung
meminum seteguk air dan berkata: “Demi Allah, aku tidak minum air
ini sebab merasa haus. namun aku meminumnya demi
memenuhi sumpah pemimpinku.”
Kemudian ia menghunuskan pedangnya dan mulai menerobos barisan
musuh dan ia menghadapi banyak musuh dengan tanpa rasa takut dan
gentar.
Begitu ia masuk menerobos pasukan musuh, lalu mereka segera
menyerang Al Muhajir dari segala penjuru dan menebaskan pedang
mereka dari depan dan dari belakang tubuhnya sehingga ia pun menemui
ajalnya.
Kemudian para musuh tadi memenggal kepala Al Muhajir lalu
memancangkannya pada sebuah tempat yang tinggi di medan
pertempuran.
Rabi lalu melihat kepala saudaranya itu dan berkata: “Amat beruntung
engkau dan berhak mendapatkan tempat kembali yang terbaik. Demi Allah,
aku akan membalas dendam untuk mu dan untuk semua korban yang
gugur di pihak muslimin, Insya Allah.”
Begitu Abu Musa melihat kesedihan pada diri Rabi akibat kematian
saudaranya, dan ia mengerti apa yang dirasakan oleh Rabi terhadap para
musuh Allah itu, maka Abu Musa mempersilahkan Rabi untuk memimpin
pasukan dan kemudian berangkat menuju Al Sus untuk menaklukannya.
Rabi beserta pasukannya menyerang pasukan musyrikin bagaikan
serangan angin topan yang kencang. Mereka menghancurkan pertahanan
mereka bagaikan bebatuan yang jatuh dari dataran tinggi akibat longsor.
Rabi dan pasukannya berhasil memporak-porandakan barisan musuh dan
melemahkan kekuatan mereka. Dan akhirnya Allah berkenan menaklukan
kota Al Manadzir untuk Rabi bin Ziyad. Sehingga ia dapat mengalahkan
para musuh. Menawan beberapa orang untuk dijadikan budak, dan ia
mendapatkan harta ghanimah sesuai kehendak Allah.
Bersinarlah bintang Rabi bin Ziyad sesudah peperangan Manadzir dan
namanya mulai disebut orang.
Dia pun menjadi salah seorang panglima ternama yang diharapkan
untuk menyelesaikan tugas-tugas berat.
Saat pasukan muslimin berniat untuk menaklukan negeri Sigistan,
mereka menunjuk Rabi untuk menjadi panglima pasukan, dan mereka
menaruh harapan kepadanya untuk dapat meraih kemenangan atas izin
Allah.
Berangkatlah Rabi bin Ziyad bersama para pasukannya untuk berjuang
di jalan Allah Swt ke negeri Sigistan melintasi sebuah padang pasir yang
panjangnya 75 farsakh yang sering membuat para hewan penunggu
padang pasir sering merasa keletihan.
Hal pertama yang ia jumpai di sana yaitu Rustaq Zaliq149 yang terletak
di perbatasan Sigistan, dan ini merupakan sebuah rustaq yang dipenuhi
oleh istana-istana yang besar dan dikelilingi oleh benteng-benteng yang
tinggi. Banyak sekali terdapat kenikmatan di dalamnya dan memiliki
banyak buah.
Panglima yang cerdas ini mengirimkan beberapa orang spionasenya
untuk menyusup ke dalam Rustaq Zaliq sebelum ia tiba di sana. Rabi telah
mengetahui bahwa penduduk Rustaq Zaliq sebentar lagi akan mengadakan
sebuah festival. Maka Rabi memutuskan untuk terus memantau aktivitas
penduduk tadi dan akan menyerang mereka dengan tiba-tiba pada malam
festival saat mereka sedang tidak siaga. Kemudian Rabi akan menebas leher
mereka dan mengalahkan mereka dengan mudah.
Akhirnya Rabi berhasil menawan 20 ribu tawanan dan salah seorang
Duhqan150 mereka juga turut menjadi tawanannya.
Di antara para tawanan terdapat beberapa orang budak milik Duhqan
dan didapati bahwa mereka telah membawakan 300 ribu dirham untuk
dibawakan kepada tuannya.
Al Rabi lalu berkata kepadanya: “Darimana harta ini?!” ia menjawab:
“Dari salah satu kampung, wahai tuan!” Rabi bertanya: “Apakah sebuah
kampung dapat memberikan harta sedemikian banyak kepadanya setiap
tahun?”
Ia menjawab: “Benar.” Rabi bertanya keheranan: “Bagaimana
caranya?!” Ia menjawab: “Dengan kapak, arit dan keringat kami!”
Begitu peperangan usai, sang duhqan menghadap Rabi untuk
menawarkan tebusan dirinya dan keluarganya.
Rabi lalu berkata kepadanya: “Aku akan membebaskanmu dengan
tebusan jikalah engkau mampu membayarkan fidyah kepada kaum
muslimin.” Ia bertanya: “Berapa yang kau mau?” Rabi berkata:
“Tancapkanlah tombak ini di tanah lalu datangkanlah emas dan perak
setinggi ini!” Ia berkata: “Baiklah, aku menerimanya.” Kemudian ia
mengeluarkan dari tempat penyimpanannya emas dan perak lalu
menuangkannya sehingga menutupi tombak yang dipancangkan.
Rabi bin Ziyad beserta pasukannya semakin kuat di negeri Sigistan.
Maka benteng-benteng kuat di sana roboh di bawah kaki kuda Rabi seperti
dedaunan pohon yang berguguran di tiup angin kencang.
Rustaq Zaliq yaitu sebuah kota yang besar dan berbenteng di negeri Sigistan
Duhqan yaitu kalimat Persia yang berarti kepala suku
Maka para penduduk desa dan kota segera menyambut kedatangannya
untuk meminta rasa aman dan tunduk kepadanya,sebelum Rabi
mengacungkan pedangnya di hadapan wajah mereka. Dan akhirnya
hingga Rabi mencapai kota Zarang ibu kota Sigistan.
Di sana ternyata musuh sudah menyiapkan segala kemampuannya, dan
mereka sudah menyiapkan beberapa pasukan untuk menghadapi pasukan
Rabi. Untuk menghadapi pasukan muslimin, mereka rupanya telah
menggunakan banyak bantuan. Pihak musuh telah bertekad untuk
memukul Rabi dan pasukannya mundur dari kota ini dan mengusir
pasukan muslimin dari Sigistan meski berapapun biaya yang mesti
dikeluarkan.
Maka berlangsunglah pertempuran yang sengit antara pasukan Rabi
melawan para musuhnya dengan begitu ganas yang masing-masing pihak
berharap akan banyaknya korban berjatuhan di pihak musuh.
Begitu nampak awal tanda kemenangan di pihak muslimin,
Marbazan151 negeri yang dikenal dengan nama Barwiz berusaha untuk
melakukan perdamaian dengan Rabi. Selagi Marbazam tadi memiliki
kekuatan,dan ia berharap akan mendapatkan persyaratan yang terbaik bagi
dirinya dan bagi kaumnya.
Maka Marbazan tadi mengirimkan seorang utusan untuk meminta Rabi
membuat janji bertemu dengannya dan untuk merundingkan perdamaian.
Rabi memerintahkan beberapa orang prajuritnya untuk menyiapkan
sebuah tempat untuk menyambut Barwiz. Ia juga memerintahkan mereka
untuk menumpukkan bangkai-bangkai pasukan Persia di sekeliling tempat
pertemuan. Sebagaimana ia menyuruh para prajuritnya untuk meletakkan
bangkai-bangkai lain secara tak beraturan pada pinggiran jalan yang akan
dilintasi Barwiz.
Dan Rabi yaitu seorang yang berpostur tinggi. Memiliki kepala yang
besar. Berkulit coklat. Berbadan besar yang dapat membuat gentar orang
yang memandangnya.
Begitu Barwiz menemuinya ia langsung gemetar sebab merasa takut
kepadanya. Hatinya semakin takut dengan pemandangan yang penuh
dengan bangkai manusia dan itu membuatnya takut mendekat ke arah
Rabi. Ia begitu merasa takut dan tidak berani berjabatan tangan dengan
Rabi.
Barwiz berbicara dengan suara terbata-bata kepada Rabi. Barwiz
melakukan perundingan dengan Rabi yang keputusannya yaitu bahwa
Barwiz harus memberikan 1000 budak yang membawa pada setiap kepala
Marbazan yaitu pemimpin dan ini merupakan sebuah kata dalam bahasa Persia
mereka sebuah piala dari emas. Maka Rabi menerimanya dan siap
berdamai dengan Barwiz atas jizyah ini.
Pada keesokan harinyua, Rabi bin Ziyad memasuki kota ini yang
dikelilingi oleh rombongan yang sholih yang meneriakkan kalimat tahlil
dan takbir.
Hari itu yaitu sebuah hari yang bersejarah dari sekian hari milik
Allah.
Rabi bin Ziyad menjadi pedang terhunus di tangan pasukan muslimin
yang mampu menebas para musuh-musuh Allah. Rabi berhasil
menaklukan banyak kota bagi pasukan muslimin, dan menjadi wali
(gubernur) mereka pada beberapa wilayah sehingga hal ini diketahui oleh
Bani Umayyah, yang kemudian membuat Muawiyah bin Abu Sufyan
mengangkatnya sebagai seorang wali di Khurasan.
Padahal ia sendiri tidak begitu senang dengan wilayah ini .
Yang semakin membuat ia tidak suka menjadi wali di sana yaitu saat
Ziyad bin Abihi salah seorang wali pemuka Bani Umayyah mengirimkan
sebuah surat kepadanya yang berbunyi: “Amirul Mukminin Muawiyah bin
Abu Sufyan memerintahkan kamu untuk menyisakan emas dan perak hasil
ghanimah perang untuk disetorkan kepada baitul maal muslimin. Engkau
boleh membagikan selebihnya kepada para mujahidin!”
Lalu Rabi membalas surat ini dengan: “Aku mendapati dalam
Kitabullah Swt memerintahkan bukan seperti apa yang kau perintahkan
dengan mengatas-namakan Amirul Mukminin.”
Pada hari Jum’at sesudah surat ini ia terima, Rabi pergi ke masjid
untuk melakukan shalat dengan mengenakan pakaian berwarna putih. Ia
menjadi khatib yang menyampaikan khutbah Jum’at kepada seluruh
manusia. Kemudian ia berkata: “Wahai manusia. Aku sudah bosan dengan
kehidupan, dan aku akan membacakan sebuah do’a, maka kalian harus
mengamini apa yang aku bacakan!” Kemudian ia berdo’a:
“Ya Allah, jika kau menghendaki kebaikan untuk diriku, maka cabutlah
nyawaku untuk menghadapmu sesegera mungkin dan jangan
diperlambat!”
Maka semua manusia mengaminkan do’a ini .
Matahari di hari itu belum juga tenggelam, namun Rabi bin Ziyad telah
kembali ke pangkuan Tuhannya.
Abdullah bin Salam
“Siapa yang Ingin Melihat Seorang Ahli Surga, Silahkan Melihat
kepada Abdullah Bin Salam.”
Hushain bin Salam yaitu seorang kepala pendeta Yahudi terkemuka di
Yatsrib. Penduduk Madinah meski menganut agama yang berbeda, namun
mereka memuliakan dan menghormati Hushain. Sebab ia dikenal sebagai
orang yang bertaqwa dan sholih yang senantiasa bersikap istiqomah dan
jujur.
Hushain menjalani hidupnya dengan begitu tenang dan damai, akan
tetapi kehidupan yang ia jalani amat berarti dan bermanfaat. Ia membagi
waktu hidupnya dalam tiga kegiatan:
Sebagian ia gunakan di gereja untuk memberikan nasehat kepada
ummat sekaligus beribadah. Sebagian lagi ia gunakan di kebun untuk
merawat pohon-pohon kurma. Dan sebagian lagi ia gunakan untuk
mempelajari ilmu agama yang ia dapatkan lewat kitab Taurat.
Setiap kali ia membaca Taurat ia termenung memikirkan berita yang
menyatakan akan munculnya seorang Nabi di Mekkah yang akan
melengkapi risalah para Nabi terdahulu sekaligus menjadi pemungkas
mereka.
Hushain lalu mencari-cari tanda dan ciri Nabi yang dinanti-nanti ini.
Dan ia semakin gembira saat ia mengetahui bahwa Nabi ini akan
berhijrah dari kampungnya menuju Yatsrib tempat tinggalnya yang baru.
Setiap kali ia membaca berita ini atau saat ia terbersit untuk mengingat
Nabi ini maka ia akan berdo’a kepada Allah Swt agar ia dikaruniai umur
panjang sehingga ia dapat menyaksikan kemunculan Nabi yang ditunggu-
tunggu ini dengan hati yang gembira dan ia akan menjadi orang pertama
yang akan beriman kepadanya.
Allah Swt mengabulkan do’a Hushain bin Salam sehingga Ia
memperpanjang usia Hushain hingga waktu dimana Nabi yang membawa
petunjuk dan kebenaran ini diutus.
Ia juga diberi kesempatan oleh Allah Swt untuk dapat berjumpa dan
bersahabat dengan Nabi ini , dan beriman kepada kebenaran yang
diturunkan kepada Beliau.
Kita akan memberikan kesempatan kepada Hushain untuk
menceritakan keislamannya, sebab ia lebih pantas dan lebih mengetahui
akan hal ini.
Hushain bin Salam berkisah:
Begitu aku mendengar berita kemunculan Rasulullah Saw, aku
mencoba untuk mencari tahu tentang nama, nasab, sifat, waktu dan tempat
Beliau. Aku mencoba mencocokkan semua data ini dengan apa yang
telah tertuliskan dalam kitab suci kami sehingga aku merasa yakin akan
kenabian Beliau dan kebenaran dakwahnya. Dan aku mencoba untuk
merahasiakan hal ini dari kaum Yahudi dan aku berusaha untuk tidak
berbicara tentang Beliau.
Hingga pada hari Rasulullah Saw meninggalkan Mekkah dan menuju
Madinah.
Begitu Beliau tiba di Yatsrib dan singgah di Quba152, salah seorang
datang kepada kami untuk mengumumkan berita kedatangan Beliau. Saat
itu aku sedang berada di atas pohon kurma untuk mengerjakan tugasku
dan bibiku yang bernama Khalidah binti Al Harits sedang duduk di bawah
pohon. Begitu aku mendengar berita ini , maka aku langsung berseru:
Allahu Akbar… Allahu Akbar!
Maka bibiku berkata saat ia mendengar aku bertakbir: “Allah akan
menolakmu! Demi Allah, jika engkau mendengar berita bahwa Musa bin
Imran telah datang, pasti engkau tidak akan melakukan hal yang lebih dari
itu.”
Aku berkata kepadanya: “Wahai bibi, Demi Allah, dia yaitu saudara
Musa bin Imran dan memiliki agama yang sama dengannya. Ia telah diutus
sebagai Nabi sama seperti Musa.”
Lalu bibiku terdiam sesaat dan ia pun bertanya: “Apakah dialah seorang
Nabi yang sering kali diceritakan bahwa dia akan diutus untuk