dah masuk Islam sedang
menangis. Anaknya bertanya: “Apa yang membuatmu menangis, duhai
ayah?!” Ia menjawab: “Semua hal yang begitu banyak yang telah
membuatku menangis, wahai anakku. Yang pertama yaitu aku begitu
terlambat masuk ke dalam Islam yang membuatku selalu ketinggalan dalam
melakukan kebaikan yang banyak sehingga jika aku berinfaq dengan emas
sepenuh bumi, maka akupun tidak mampu untuk menyusul mereka.
Kemudian Allah Swt menyelamatkan aku pada perang Badr dan Uhud,
pada hari itu aku berkata pada diri sendiri: ‘Aku tidak akan menolong
seorangpun sesudah itu untuk menghadapi Rasulullah Saw, dan aku tidak
akan keluar dari Mekkah. Namun aku terus ditarik untuk membela bangsa
Quraisy.
Lalu setiap kali aku hendak masuk Islam, aku melihat orang-orang tua
suku Quraisy yang tersisa dan memiliki kemampuan yang terus berpegang
dengan ajaran jahiliah. Maka aku pun mengikuti jejak mereka lagi. Ya
ampun… kalau saja aku tidak melakukannya. Tidak ada yang membuat
kita celaka kecuali sebab kita telah mengikuti jejak para bapak dan
pembesar kita. Kalau demikian, mengapa aku tidak menangis, wahai
anakku?!”
Sebagaimana kita merasa aneh dengan keterlambatan Hakim bin
Hazam dalam memeluk Islam. Sebagaiman ia juga merasa aneh. Akan
tetapi Nabi Saw merasa kagum dengan pria yang memiliki akal dan
pemahaman seperti Hakim bin Hazam, yang bagaimana Islam samar
baginya namun ia masih berharap agar dirinya dan orang-orang yang
bersamanya untuk segera masuk ke dalam agama Allah.
Pada malam sebelum terjadinya Fathu Makkah, Rasulullah Saw
bersabda kepada para sahabatnya: “Di Mekkah ada empat orang yang amat
tidak menyukai kemusyrikan dan amat menginginkan Islam.” Ada yang
bertanya: “Siapa saja mereka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Attab bin
Usaid, Jubair bin Muth’im, Hakim bin Hazam dan Suhail bin Amr.”
Dan termasuk anugerah Allah, bahwa mereka semua akhirnya masuk
ke dalam Islam.
Begitu Rasulullah Saw masuk ke kota Mekkah untuk menaklukannya,
Beliau tidak mau memasukinya kecuali bila Hakim bin Hazam dimuliakan.
Kemudian Beliau menyuruh orang untuk menyerukan: “Siapa yang
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, Yang tiada sekutu baginya, dan
bahwa Muhammad yaitu hambanya dan Rasul-Nya maka dia akan
aman… Siapa yang mau duduk dihadapan Ka’bah dan meletakkan
senjatanya maka ia akan aman. Siapa yang menutup pintu rumahnya, maka
ia akan merasa aman. Siapa yang mau masuk ke dalam rumah Abu Sufyan,
maka ia akan aman.”
Rumah Hakim bin Hazam berada di dataran rendah Mekkah, sementara
rumah Abu Sufyan berada di dataran tinggi.
Akhirnya, Hakim bin Hazam memeluk Islam yang memenuhi seluruh
relung hatinya. Ia beriman dengan seluruh butir darahnya dan segenap
hatinya.
Dan ia berjanji pada dirinya untuk menebus setiap kekeliruan yang ia
lakukan pada masa jahiliah, atau mengganti setiap harta yang ia telah
infaqkan untuk memusuhi Rasulullah dengan yang lebih besar lagi.
Dan ia pun memenuhi janjinya ini…
Salah satunya yaitu ia memberikan Darun Nadwah yaitu sebuah
rumah yang amat bersejarah.
Dalam rumah ini , biasanya bangsa Quraisy melakukan
pembicaraan mereka pada masa jahiliah. Dalam rumah ini , para
pembesar Quraisy berkumpul untuk membuat konspirasi terhadap diri
Rasulullah Saw.
Hakim bin Hazama berniat untuk melepas rumah ini –sepertinya
ia ingin membuat tirai sehingga ia dapat melupakan masa lalunya yang
begitu suram- lalu ia menjualnya dengan harga 100 ribu dirham. Maka
seorang pemuda dari suku Quraisy berkata kepadanya: “Engkau telah
menjual rumah kemuliaan bangsa Quraisy, wahai paman?” Hakim lalu
berkata kepadanya: “Engkau keliru, ananda. Semua kemuliaan telah sirna
dan tidak ada yang tersisa selain taqwa. Aku tidak menjualnya, kecuali
untuk membeli sebuah rumah di surga. Aku mempersaksikan kepada
kalian bahwa aku akan menginfakkan uang penjualan rumah ini di jalan
Allah Swt.”
sesudah masuk Islam Hakim bin Hazam melakukan haji. Ia menggiring
100 unta yang akan memberinya pahala yang banyak. Kemudian ia
menyembelih semua unta ini untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Pada haji selanjutnya, ia berdiri di padang Arafah, ia disertai oleh 100
orang budaknya. Pada setiap leher budak tadi terdapat gantungan dari
perak yang terukir disana tulisan: Ini yaitu budak-budak yang
dimerdekakan sebab Allah dari Hakim bin Hazam.
Kemudian ia membebaskan mereka semuanya.
Pada haji yang ketiga kalinya,ia menggiring 1000 domba –ya, seribu
unta- Ia menyembelih semua domba ini di Mina, dan memberikan
dagingnya kepada kaum muslimin yang fakir sebagai sebuah sarana untuk
bertaqarrub kepada Allah Swt.
sesudah perang Hunainin usai, Hakim bin Hazam meminta kepada
Rasulullah Saw ghanimah dan lalu Rasul memberikan kepadanya. Ia
meminta kepada Beliau lagi dan diberikan. Sehingga ia menerima 100 unta
–pada saat itu, ia baru saja masuk Islam- Rasulullah Saw lalu bersabda
kepadanya: “Ya Hakim, harta ini yaitu manis dan amat disukai oleh
manusia. Barang siapa yang mengambil harta ini dengan sifat qanaah,
maka ia akan diberi keberkahan. Siapa yang mengambilnya dengan
katamakan,maka ia tidak akan mendapatkan berkah, dan ia akan menjadi
orang yang terus makan tapi tidak pernah merasa kenyang. Tangan yang
atas lebih baik daripada tangan yang bawah.”
Begitu ia mendengar sabda Rasulullah Saw tadi,ia lalu berkata: “Ya
Rasulullah, Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak
akan meminta apapun kepada seseorang sesudah mu, aku tidak akan
mengambil apapun dari seseorang hingga aku meninggalkan dunia.”
Hakim menepati janjinya dengan sungguh-sungguh.
Pada masa Abu Bakar,Hakim seringkali dipanggil untuk mengambil
jatahnya dari Baitul Maal Muslimin, namun ia menolaknya.
Pada masa Umar bin Khattab, ia pun sering dipanggil untuk mengambil
jatahnya dari dari Baitul Maal Muslimin, namun ia masih menolaknya.
Lalu Umar berkata dihadapan orang-orang: “Aku mempersaksikan
kepada kalian, wahai seluruh muslimin bahwa aku telah memanggil Hakim
untuk mengambil haknya, namun ia menolak.
Hakim masih saja memegang prinsipnya untuk tidak mengambil
apapun dari seseorang sehingga ia wafat.
Abbad Bin Bisyrin
“Tidak Ada yang Menandingi Keutamaan 3 Orang dari Suku Anshar,
Mereka yaitu : Sa’d Bin Muadz, Usaid Bin Al Hudhair & Abbad Bin
Bisyrin.” (Aisyah, Ummul Mukminin)
Abbad bin Bisyrin yaitu sebuah nama yang bersinar dalam sejarah
dakwah Muhammad.
Jika engkau mencarinya diantara para hamba-hamba Allah; maka
engkau akan mendapati dirinya sebagai orang yang bertaqwa,
berkepribadian bersih, senantiasa bangun di tengah malam membaca
berjuz-juz Al Qur’an.
Jika engkau mencarinya di antara para pahlawan, maka engkau akan
mendapatinya bahwa ia yaitu seorang yang gagah berani yang turun di
berbagai pertempuran untuk menegakkan kalimat Allah Swt.
Jika engkau mencarinya di antara para wali (gubernur), maka engkau
akan mendapatinya bahwa dia yaitu seroang yang kuat dan dipercaya
untuk mengurus harta kaum muslimin… sehingga Aisyah ra berkata
tentang dirinya dan dua orang lagi dari sukunya: “Tiga orang dari suku
Anshar yang tidak tertandingi oleh seorangpun dalam keutamaan.
Semuanya berasal dari Bani Abdil Asyhal: Sa’d bin Muadz, Usaid bin Al
Hudhair dan Abbad bin Bisyrin.
Abbad bin Bisyrin Al Asyhaly saat muncul di penjuru Yatsrib sinar
petunjuk Muhammad kala itu ia masih seorang remaja yang masih segar.
Dari wajahnya terpancar kesucian dan harga diri. Dari prilakunya terlihat
bahwa ia yaitu seorang anak yang cerdas, meskipun pada saat itu ia
belum genap 25 tahun.
Ia telah bergabung dengan sang da’I dari Mekkah yang bernama
Mus’ab bin Umair, maka segeralah terhubung ikatan iman di antara
keduanya. Dan kedua jiwa mereka disatukan oleh akhlak yang terpuji dan
sifat yang mulia.
Ia mendengarkan Mus’ab yang membacakan Al Qur’an dengan suara
yang lembut dan tenang, dan dengan intonasinya yang berkesan. Maka
Abbad begitu cinta dengan kalamullah, dan membiarkan kalam ini
menembus relung hatinya yang terdalam sebagai tempat bersemayam ayat-
ayat Tuhan. Ia menjadikan ayat-ayat Allah ini menjadi kesibukannya
yang baru yang senantiasa ia ulang-ulang di waktu malam dan siang. Pada
saat ia bermukim atau sedang melakukan perjalanan. Sehingga ia dikenal
dikalangan sahabat sebagai Imam dan sahabat Al Qur’an.
Suatu malam Rasulullah Saw sedang melakukan shalat Tahajjud di
rumah Ais’yah yang menempel dengan dinding masjid. Kemudian Beliau
mendengar suara Abbad bin Bisyrin yang sedang membaca Al Qur’an
dengan begitu jernih dan segar seperti saat Jibril membawakannya kepada
hati Beliau. Rasul lalu bertanya: “Wahai Aisyah, Apakah ini suara Abbad
bin Bisyrin?!” Aisyah menjawab: “Benar, ya Rasulullah.” Rasul berdo’a: “Ya
Allah, ampunilah dirinya!”
Abbad bin Bisyrin mengikuti Rasululllah Saw dalam setiap peperangan
yang Beliau lakukan. Dalam setiap perang, ia memiliki kisah yang pantas
bagi seorang pemegang Al Qur’an…
Salah satunya yaitu saat Rasulullah Saw baru kembali dari perang
Dzatu Riqa’, Beliau berhenti bersama dengan muslimin lainnya di sebuah
lereng untuk bermalam di sana.
Salah seorang dari pasukan muslimin telah menawan –di tengah
perang- seorang wanita musyrikin tanpa sepengetahuan suaminya. Begitu
suaminya pulang –dan tidak menemukan istrinya- ia bersumpah demi Lata
dan Uzza untuk menyusul Muhammad dan para sahabatnya, dan tidaka
akan kembali kecuali sesudah membunuh salah seorang dari mereka.
Hampir saja pasukan muslimin mengistirahatkan unta-unta mereka di
lereng, lalu Rasulullah Saw bertanya kepada mereka: “Siapa yang akan
berjaga pada malam ini?”
Maka berdirilah Abbad bin Bisyrin dan Ammar bin Yasir yang berkata:
“Kami yang akan berjaga, ya Rasulullah!”
Begitu mereka keluar menuju mulut lembah, Abbad bin Bisyrin berkata
kepada sahabatnya Ammar bin Yasir: “Pada bagian malam yang mana
engkau mau tidur, awal atau akhirnya?” Ammar menjawab: “Aku akan
tidur di awalnya.” Lalu berbaringlah Ammar tidak jauh dari Abbad.
Malam begitu tenang dan damai. Bintang, pepohonan dan batu-batuan
bertasbih dan bertahmid seraya mensucikan Tuhannya. Maka jiwa Abbad
bin Bisyrin begitu ingin melakukan ibadah dan rindu untuk membaca Al
Qur’an.
Saat yang paling sukai dalam membaca Al Qur’an yaitu pada saat ia
shalat, maka ia menggabungkan kenikmatan shalat dengan kenikmatan
membaca Al Qur’an.
Ia menghadap kiblat dan mulai melakukan shalat. Ia mulai membaca
Surat Al Kahf dengan suaranya yang merdu.
Tatkala ia sedang menyerap cahaya ilahi ini, tenggelam dalam berbagai
nikmat sinar-Nya, maka datanglah pria yang mencari istrinya dengan
langkah yang cepat. Begitu ia melihat Abbad dari kejauhan yang berdiri di
mulut lereng, ia mengetahui bahwa Nabi Saw dan para sahabatnya berada
di dalam lereng ini dan bahwa orang yang berdiri yaitu penjaga
mereka. Lalu ia menyiapkan busur panahnya, kemudian mengambil sebuah
anak panah dari tempatnya, kemudian melepaskannya ke arah Abbad lalu
melukainya.
Abbad lalu mencabut anak panah itu dari tubuhnya lalu meneruskan
bacaan dan larut dalam shalat.
Kemudian orang tadi melepaskan anak panah yang kedua dan
mengenai tubuhnya. Lalu Abbad mencabutnya lagi seperti yang ia lakukan
sebelumnya. Kemudian pria tadi memanahnya untuk kali yang ketiga.
Abbad pun mencabutnya lagi seperti 2 anak panah sebelumnya. Kemudian
ia beringsut sehingga mendekat ke arah sahabatnya lalu
membangunkannya sambil berkata: “Bangunlah, luka-luka ini telah
membuatku payah.”
Begitu pria tadi melihat mereka berdua, ia langsung lari
menyelamatkan diri.
Maka disinilah Ammar melihat tubuh Abbad yang berlumuran darah
yang mengalir dari 3 luka. Ia bertanya kepada Abbad: “Subhanallah,
mengapa engkau tidak membangungkan aku saat panah pertama
mengenaimu?!” Abbad menjawab: “Aku sedang membaca surat yang aku
tidak ingin memutusnya hingga ia selesai. Demi Allah, kalau aku tidak
khawatir dapat membuat benteng Rasulullah Saw menjadi tak terjaga
sebagaimana yang Beliau perintahkan, maka jiwaku yang terputus lebih
aku sukai dari pada memutus bacaan ini .”
Saat peperangan melawan kaum murtadin terjadi pada masa
pemerintahan Abu Bakar ra. Khalifah Abu Bakar menyiapkan sebuah
pasukan yang berjumlah amat banyak untuk menumpas perlawanan yang
dipimpin oleh Musailamah Al Kadzzab dan para orang-orang murtad yang
menjadi pendukungnya serta untuk mengembalikan mereka lagi kepada
pangkuan Islam. Abbad bin Bisyrin termasuk salah seorang prajurit yang
berangkat dalam misi ini.
Abbad melihat –di tengah peperangan dimana kaum muslimin belum
dapat membukukan kemenangan- adanya kaum Anshar yang
mengandalkan kaum muhajirin, dan kaum muhajirin juga mengandalkan
kaum Anshar yang membuat hati Abbad menjadi penuh kejengkelan. Ia
juga mendengar mereka saling meledek sehingga telinganya serasa dicucuk
duri. Maka Abbad merasa yakin bahwa kaum muslimin tidak akan berhasil
dalam perang ini kecuali bila setiap kelompok berpisah dari lainnya untuk
mengemban tugas masing-masing… dan agar para mujahidin yang teguh
dan sabar mengerti dengan sebenar-benarnya.
Pada malam sebelum terjadinya perang, Abbad bermimpi dalam
tidurnya bahwa langit terbuka untuknya. Begitu ia masuk ke dalam langit,
ia tertarik ke dalam dan pintu langit pun tertutup kembali.
Keesokan paginya, ia menceritakan hal itu kepada Abu Said Al Khudry,
dan Abbad berkata: “Demi Allah, itu menandakan bahwa aku akan
mendapatkan syahadah (kematian dalam berjuang di jalan Allah).”
Begitu matahari sudah mulai meninggi dan perang pun telah di mulai.
Abbad bin Bisyrin naik ke sebuah tempat yang tinggi dan berteriak: “Wahai
kaum Anshar… berpencarlah kalian dari pasukan! Patahkanlah sarung
pedang kalian! Dan janganlah kalian meninggalkan Islam yang datang dari
arah mu!”
Ia terus saja meneriakkan seruannya sehingga berkumpul
dihadapannya 400 orang Anshar, termasuk dari mereka yaitu Tsabit bin
Qais, Al Barra bin Malik dan Abu Dajjanah, pemilik pedang Rasulullah
Saw.
Abbad bin Bisyrin lalu merangsek masuk ke barisan musuh bersama
mereka dengan menebaskan pedang mereka. Begitu beraninya sehingga ia
menghampiri kematian dengan dadanya. Sehingga pertahanan Musailamah
Al Kadzzab dan para pendukungnya semakin melemah yang membuat
mereka berlindung ke Hadiqatul Maut (Taman Kematian).
Di bawah gerbang taman itulah Abbad bin Bisyrin jatuh terpuruk
sebagai seorang syahid yang tewas berlumuran darah… di tubuhnya
banyak sekali bekas luka tebasan pedang, tusukan tombak dan anak panah,
sehingga pasukan muslimin tidak sanggup lagi untuk mengenalinya,
kecuali sesudah mereka menemukan salah satu tanda di tubuhnya.
Zaid Bin Tsabit Al Anshary
Penterjemah Rasulullah
“Siapa yang Lebih Menguasai Ilmu Qafiyah Daripada Hasan &
Putranya… Siapa yang Lebih Tahu Tentang Ilmu Ma’ani Daripada
Zaid Bin Tsabit” (Hassan Bin Tsabit)
Kita kini sedang memasuki tahun kedua hijriyah… kota Madinah
semakin sesak dipenuhi oleh manusia yang bersiap-siap untuk menyambut
perang Badr.
Nabi Saw melakukan cek akhir pada pasukan pertama yang akan
berangkat dibawah komandonya sendiri untuk berjihad di jalan Allah dan
menegakkan kalimat-Nya di muka bumi.
Terlihat di sana, ada seorang anak kecil yang belum genap berusia 12
tahun yang nampak memiliki kecerdasan dan kemuliaan diri.
Di tangannya terdapat sebilah pedang yang sama panjangnya dengan
tubuh bocah tadi atau lebih panjang dari tubuhnya. Ia mendekat ke arah
Rasul Saw lalu berkata: “Aku akan menjadi pelindungmu, ya Rasulullah.
Izinkanlah aku untuk turut serta bersamamu dan berperang melawan
musuh-musuh Allah di bawah panjimu.”
Rasulullah Saw lalu melihat anak ini dengan perasaan senang dan
kagum. Kemudian Beliau menepuk pundak anak ini dengan lembut dan
penuh perasaan sayang. Beliau menghibur anak ini, kemudian
menyuruhnya pulang sebab ia masih berusia dini.
Pulanglah bocah kecil tadi dengan menyeret pedangnya ke tanah
dengan perasaan kesal dan sedih, sebab ia dilarang untuk menemani
Rasulullah Saw dalam peperangan pertama yang Beliau lakukan.
Di belakang langkahnya juga turut pulang ibunya yang bernama An
Nawar binti Malik, yang juga tidak kalah bersedih dan kesal.
Ibunya telah berharap bahwa matanya akan berbinar-binar saat
melihat anaknyaberjalan bersama rombongan pria dewasa untuk berjihad
di bawah komando Rasulullah Saw.
Ibunya berharap bahwa bocahnya dapat menempati posisi yang
diharapkan yang dapat diisi oleh ayahnya kalau saja ia masih hidup.
namun bocah Anshar ini saat ia tidak berhasil untuk mendekatkan
diri kepada Rasulullah Saw dalam bidang ini sebab usianya yang masih
kecil, namun kecerdasannya –yang tidak berhubungan dengan umur-
membuat dirinya dapat berhubungan dengan Nabi Saw.
Bidang itu yaitu : ilmu pengetahuan dan hapalan.
Kemudian bocah tadi menceritakan ide ini kepada ibunya. Maka senang
dan gembiralah ibunya, dan ia semangat untuk mewujudkan ide anaknya.
An Nawar menceritakan keinginan anaknya kepada para pria dari
kaumnya. Maka beberapa pria tadi berangkat untuk menemui Rasulullah
Saw dan berkata kepada Beliau: “Ya Nabi Allah, ini yaitu seorang dari
anak kami yang bernama Zaid bin Tsabit yang mampu menghapal 17 surat
dari kitab Allah. Ia membacanya dengan benar persis seperti yang
diturunkan kepada hatimu.
Lebih dari itu, ia yaitu anak yang cerdas yang pandai menulis dan
membaca. Ia ingin sekali dengan potensi yang ada dapat mendekatkan diri
kepadamu dan mendampingimu… Jika engkau berkenan, silahkan
dengarkan penuturannya!”
Rasulullah Saw lalu mendengarkan dari bocah Zaid bin Tsabit beberapa
ayat Al Qur’an yang ia hapalkan. Rupanya bocah ini mampu membacanya
dengan begitu baik, dan pelafalannya pun sempurna. Kalimat Al Qur’an
keluar dari kedua bibirnya seperti bintang di langit yang menyala.
Bacaannya begitu memberikan ilustrasi akan apa yang sedang ia baca.
Setiap tanda waqaf di mana ia berhenti, menandakan bahwa ia amat
mengerti akan hal yang dibacanya.
Maka gembiralah hati Nabi Saw sebab mendapati bahwa bocah ini
memiliki potensi yang lebih dari apa yang mereka katakan. Hal yang
membuat Rasul lebih gembira yaitu sebab bocah ini amat pandai
menulis… maka Rasulullah Saw melihat ke arah bocah ini dan bersabda:
“Ya Zaid, pelajarilah untukku tulisan bangsa Yahudi. Sebab aku tidak
mempercayai mereka atas apa yang aku katakan!” Maka Zaid menjawab:
“Baik, ya Rasulullah!”
Maka mulailah Zaid mempelajari bahasa Ibrani sehingga ia menguasai
bahasa ini dalam waktu singkat saja. Kemudian ia menuliskan bahasa
ini kepada Rasulullah, jika ia berkeinginan untuk menulis surat buat
bangsa Yahudi. Dan Zaid akan membacakan kepada Rasul, jika mereka
mengirimkan surat kepada Beliau.
275
Lalu ia juga mempelajari bahasa Suryani126 atas perintah Rasul,
sebagaimana ia mempelajari bahasa Ibrani.
Maka sejak saat itu pemuda yang bernama Zaid bin Tsabit menjadi
penterjemah Rasulullah Saw.
Begitu Rasulullah Saw merasa percaya akan kecerdasan dan sifat
amanah Zaid, ketelitian dan pemahamannya, maka Nabi Saw
mempercayakan dia untuk menuliskan risalah langit yang turun ke bumi.
Maka Rasul Saw menunjuknya sebagai salah seorang pencatat wahyu
Allah…
Maka jika ada beberapa ayat Al Qur’an yang turun pada hati Beliau,
maka Beliau akan memanggil Zaid dan bersabda: “Tulislah, ya Zaid!” Maka
Zaid pun akan menuliskannya.
Maka Zaid bin Tsabit pun menerima langsung ayat-ayat Al Qur’an dari
Rasulullah waktu demi waktu, sehingga ia tumbuh dewasa bersama ayat-
ayat Al Qur’an. Ia menerima Al Qur’an yang baruu saja turun langsung
dari mulut Rasulullah Saw yang berkenan dengan asbabun nuzul tertentu.
Hal itu membuat jiwa Zaid semakin terang dengan sinar cahaya Al Qur’an,
dan menjadikan akal Zaid bercahaya dengan sinar syariatnya.
Maka pemuda yang beruntung ini semakin mendalamkan
kemampuannya dalam bidang Al Qur’an. Ia menjadi sumbur referensi
pertama dalam bidang Al Qur’an bagi ummat Islam sesudah wafatnya
Rasulullah Saw.
Dia menjadi koordinator pengumpul Kitabullah dalam masa Abu Bakar.
Ia juga menjadi tokoh yang berhasil menyatukan mushaf-mushaf Al Qur’an
pada masa Utsman bin Affan.
Apakah masih ada posisi yang melebihi hal ini yang dicita-citakan?!
Apakah ada di atas kemuliaan ini, kemuliaan yang masih di kejar oleh jiwa
manusia?!
Salah satu keistimewan Al Qur’an yang dimiliki oleh Zaid bin Tsabit
yaitu bahwa Al Qur’an selalu menerangi jalan kebenaran baginya pada
beberapa kondisi di mana orang-orang yang pintar pun sering merasa
bingung. Di hari Saqifah127 kaum muslimin bersilang pendapat tentang
orang yang tepat untuk menggantikan Rasulullah Saw.
126
Suryani yaitu salah satu bahasa yang berkembang di negeri Syam dan banyak dipakai oleh
beberapa suku di sana
127
Saqifah ini yaitu milik Bani Saidah dimana kaum muslimin berkumpul sesudah wafatnya
Rasulullah Saw untuk merundingkan urusan khilafah.
276
Kaum muhajirin berkata: “Di kelompok kamilah seharusnya terdapat
khilafah Rasulullah, sebab kamilah kaum yang lebih pantas.”
Sebagian orang Anshar berkata: “Malah khilafah ini sepantasnya,
berasal dari kami.”
Ada juga yang mengatakan: “Malah khilafah itu dapat berasal dari
kami dan kalian secara bersama-sama. Sebab Rasulullah Saw jika hendak
menyuruh seseorang dari kalian untuk mengerjakan sesuatu, Beliau pasti
menyuruh salah seorang dari kami untuk sama-sama mengerjakannya.”
Hampir saja terjadi fitnah yang amat besar. Padahal Nabi Saw baru di
kafan dan masih berada di tengah mereka belum dikubur.
Di saat itulah, kalimat tegas dan cerdas yang muncul dari petunjuk Al
Qur’an amat dibutuhkan sehingga dapat membuat tenang fitnah yang akan
bergejolak, dan memberikan cahaya bagi orang-orang bingung yang
mencari jalan kebenaran.
Maka meluncurlah kalimat ini dari mulut Zaid bin Tsabit Al Anshary.
Tatkala ia melihat ke arah kaumnya dan berkata: “Wahai, para suku
Anshar… Rasulullah Saw berasal dari suku muhajirin, maka orang yang
menjadi khalifah Beliau yaitu seorang dari suku muhajirin yang sama
seperti Beliau… dan kita dulunya yaitu anshar (penolong) Rasulullah
Saw, maka sebaiknya kita tetap menjadi anshar (penolong) bagi khalifah
sesudah nya dan pembantunya dalam kebenaran.
Kemudian Zaid bin Tsabit mengulurkan tangannya kepada Abu Bakar
As Shiddiq dan berkata: “Inilah khalifah kalian, bai’atlah dia oleh kalian!”
Zaid bin Tsabit dengan keutamaan Al Qur’an dan pemahamannya serta
lamanya ia mendampingi Rasulullah telah menjadikan dirinya sebagai
menara petunjuk bagi kaum muslimin. Para khalifah sering meminta
pendapatnya dalam masalah-masalah pelik, dan orang-orang muslimin
juga kerap meminta fatwa kepadanya dalam berbagai permasalahan.
Mereka sering kali mengadukan masalah-masalah waris kepadanya,
sebab tidak ada lagi di kalangan kaum muslimin –saat itu- orang yang
lebih tahu dan mengerti akan hukum waris dan lebih cerdas darinya dalam
membagikan harta warisan. Umar bin Khattab pernah berkhutbah di
hadapan kaum muslimin pada hari Al Jabiyah128 yang berbunyi: “Wahai
manusia, siapa yang ingin bertanya tentang Al Qur’an, maka hendaknya ia
mendatangi Zaid bin Tsabit. Siapa yang hendak menanyakan tentang
masalah fiqih, maka silahkan datang kepada Muadz bin Jabal. Siapa yang
hendak menanyakan tentang harta, maka datanglah kepadaku. Sebab Allah
Al Jabiyah yaitu sebuah desayang terletak di barat Syiria. Di desa ini Umar bin Khattab
berkumpul dengan para sahabat untuk membahas permasalahan penaklukan. Ia berkhutbah dengan
khutbahnya yang terkenal di sana. Maka hari itu dikenal dengan hari Al Jabiyah.
telah menjadikan aku wali (orang yang mengurus) harta ini , dan aku
juga yang berhak untuk membagikannya.”
Para penuntut ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in129 mengetahui
dengan amat baik kedudukan Zaid bin Tsabit yang hingga membuat
mereka memuliakan dirinya sebab ilmu yang ia kuasai dalam dadanya.
Inilah seorang yang dikenal dengan lautan ilmu yang bernama
Abdullah bin Abbas yang mendapati Zaid bin Tsabit yang hendak menaiki
kendaraannya. Abdullah berdiri di hadapan Zaid lalu memegangi hewan
kendaraannya, dan ia sendiri yang memegang tali kendali hewan
tunggangan ini seraya menariknya.
Zaid bin Tsabit lalu berkata kepadanya: “Tidak usah kau lakukan itu,
wahai sepupu Rasulullah!” Ibnu Abbas lalu menjawab: “Beginilah kami
diperintahkan untuk berlaku kepada para ulama kami!” Kemudian Zaid
berkata kepadanya: “Perlihatkan tanganmu kepadaku!” Maka Ibnu Abbas
menjulurkan tangannya ke arah Zaid. Lalu menunduklah Zaid ke arah
tangan ini dan ia menciumnya sambil berkata: “Beginilah kami
diperintahkan untuk berlaku kepada Ahli bait Nabi kami!”
Begitu Zaid bin Tsabit telah kembali ke pangkuan Tuhannya, maka
kaum muslimin menangisi ilmu sebab kematiannya yang turut
dikuburkan bersama jasadnya. Abu Hurairah berkata: “Hari ini telah
meninggal orang yang amat luas ilmunya dalam ummat ini. Semoga Allah
Swt berkenan menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.”
Dan sang penyair Rasulullah yang bernama Hassan bin Tsabit membuat
sebuah syair ratapan atas dirinya yang berbunyi: “Siapa yang lebih
menguasai ilmu qafiyah daripada Hasan dan putranya… siapa yang lebih
tahu tentang ilmu ma’ani daripada Zaid bin Tsabit?!”
Rabi’ah Bin Ka’b
“Rabi’ah Bin Ka’b Melakukan Ibadah dengan Sungguh-Sungguh
Agar Ia Dapat Menyusul Rasulullah Saw di Surga… Sebagaimana Ia
Pernah Hidup Bersama Beliau Sebagai Seorang Pembantu di Dunia.”
Rabi’ah bin Ka’b berkata: “Dulunya aku yaitu seorang pemuda yang
beranjak remaja, saat jiwaku mulai disinari oleh cahaya iman, dan hatiku
mulai dipenuhi dengan ajaran-ajaran agama Islam.”
Begitu mataku untuk pertama kalinya merasakan kedamaian menatap
Rasulullah Saw, pandangan pertama ini telah menimbulkan
kecintaanku kepadanya sehingga mengisi seluruh anggota tubuhku. Aku
begitu cinta kepada Beliau sehingga membuatku berpaling dari siapapun
selainnya.
Suatu hari aku berkata dalam diri sendiri: Celaka engkau, ya Rabiah!
Mengapa tidak kau paksakan dirimu untuk berkhidmat kepada
Rasulullah?!
Tawarkanlah dirimu kepadanya… Jika Beliau menerimamu, maka
engkau akan senang berada di dekatnya dan bahagia mendapatkan
kecintaannya. Malah engkau akan mendapatkan kebaikan di dunia dan
akhirat.
Tak lama kemudian aku langsung menawarkan diriku kepada
Rasulullah. Aku berharap ia mau menerimaku sebagai pembangtunya.
Beliau rupanya tidak memupus harapanku. Ia menerimaku sebagai
pembantunya.
Sejak saat itu, aku menjadi orang yang selalu berada di dekatnya. Aku
berjalan bersamanya kemana saja Beliau pergi. Aku selalu mengiringi
Beliau.
Kalau Beliau melirik ke arahku dengan matanya, maka pasti aku segera
datang dan sudah berada di hadapannya. Jika ia membutuhkan sesuatu,
pasti Beliau mendapatiku segera memenuhi kebutuhannya.
Aku membantu Beliau sepanjang hari. Jika siang sudah pergi dan Beliau
sudah melakukan shalat Isya dan mulai masuk ke kamarnya untuk tidur,
maka aku pun pulang dan kembali ke rumah.
namun kemudian aku bertanya dalam diri sendiri: Mau pergi
kemana, ya Rabiah?! Mungkin saja Rasulullah Saw membutuhkan sesuatu
pada malam hari. Maka aku pun duduk di depan pintu rumah Rasul Saw,
dan tidak sedikit pun bergeser dari sana.
280
Rasulullah Saw terkadang menghabiskan malamnya dengan shalat; aku
sering mendengar Beliau membaca Surat Al Fatihah. Beliau terus-menerus
membaca ulang surat ini pada sebagian malam, sehingga aku merasa
bosan dan membiarkan Beliau membacanya, atau sebab aku merasakan
ngantuk dan mataku sudah berat terasa.
Terkadang aku mendengar Beliau membaca Samia-Llahu liman
hamidahu, Beliau terus mengulanginya beberapa lama lebih lama dari pada
ia membaca surat Al Fatihah berulang-ulang.
Salah satu kebiasaan Rasulullah Saw yaitu tidak ada orang yang
berbuat kebaikan kepadanya kecuali Beliau ingin membalasnya dengan
yang lebih baik lagi kepada orang ini .
Beliau ingin sekali membalas pengabdianku kepadanya. Pada suatu
Beliau menghampiriku dan bersabda: “Ya, Rabiah bin Ka’b!” Aku
menjawab: “Baik, ada apa ya Rasulullah?!” Beliau bersabda: “Mintalah
kepadaku sesuatu dan aku akan memberikannya padamu!” Aku berpikir
sejenak dan lalu aku berkata: “Berikanlah aku waktu ya Rasul agar aku
dapat memikirkan hal apa yang dapat aku minta darimu, nanti akan aku
beritahu.” Beliau bersabda: “Baik, kalau begitu!”
Pda saat itu aku yaitu seorang pemuda yang fakir yang tidak memiliki
keluarga dan harta apalagi rumah. namun aku tinggal di Suffah130
masjid bersama orang-orang fakir muslimin sepertiku. Dan manusia pada
saat itu memanggil kami dengan sebutan Dhuyuf Al Islam (Para tamu
Islam).
Jika ada seorang dari kaummuslimin yang membayarkan sedekah,
maka Rasulullah Saw akan mengirimkan harta sedekah ini kepada
kami.
Jika ada orang yang memberi Beliau hadiah, maka Beliau mengambil
sedikit dari hadiah ini , kemudian sisanya Beliau berikan kepada kami.
Kemudian aku terpikir untuk meminta sesuatu dari kebaikan dunia
yang dapat membuatku kaya dan keluar dari kefakiran. Sehingga aku bisa
menjadi orang lain yang memiliki harta, istri dan anak.
namun sesat kemudian hatiku berkata: “Celaka kamu, ya Rabiah.
Dunia ini akan hilang dan fana. Dan engkau dalam dunia ini sudah diberi
rizqi yang telah ditanggung oleh Allah Swt. Rizqi ini pasti akan
mendatangimu. Sedangkan Rasulullah Saw memiliki posisi terhormat di sisi
Tuhannya yang tidak bakal ditolak setiap permintaannya. Maka mintalah
darinya agar ia meminta kepada Allah kebaikan akhirat bagi dirimu.
Maka hatiku pun menjadi nyaman dengan pikiran ini .
130
Suffah yaitu sebuah tempat di Masjid Rasulullah Saw sebagai tempat berteduh para kaum
fakir yang tidak memiliki rumah tinggal. Dan mereka semua dikenal dengan Ahli Suffah.
281
Kemudian aku menghadap Rasulullah Saw dan Beliau bertanya: “Apa
yang hendak kau katakan, ya Rabiah?!”
Aku menjawab: “Ya Rasulullah, aku memintamu agar engkau berdo’a
kepada Allah untukku agar Ia menjadikan aku sebagai pendampingmu di
surga!” Beliau Saw bertanya: “Siapa yang telah memberimu nasehat akan
hal ini?” Aku menjawab: “Demi Allah, tidak ada seorang pun yang
memberiku nasehat. namun saat kau bersabda kepadaku: ‘Mintalah
kepadaku, pasti akan aku berikan’ hatiku mengatakan agar aku meminta
kepadamu sebagian dari kebaikan dunia… Kemudian tidak lama berselang
aku lebih memilih kehidupan yang abadi daripada kehidupan yang fana
ini, maka aku memintamu agar engkau berdoa untukku kepada Allah agar
aku dapat menjadi pendampingmu di surga.
Rasulullah Saw diam beberapa lama kemudian bertanya: “Atau ada
permintaan selain itu, ya Rabiah?” Aku menjawab: “Tidak, ya Rasulullah.
Aku tidak akan mengganti apa yang telah aku minta kepadamu.” Beliau
bersabda: “Baiklah, kalau begitu bantu aku dalam menolong dirimu dengan
memperbanyak sujud!”
Maka aku pun bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah agar
aku dapat mendampingi Rasulullah Saw di surga, sebagaimana aku telah
beruntung telah menjadi pembantunya dan menemani Beliau di dunia.
Kemudian tidak berselang lama sejak saat itu hingga Rasulullah Saw
memanggilku dan bertanya: “Apakah engkau tidak mau menikah, ya
Rabiah?”
Aku menjawab: “Aku tidak ingin ada sesuatu yang menyibukkan aku
dari berkhidmat kepadamu, ya Rasulullah! Apalagi aku tidak memiliki
sesuatu yang dapat aku jadikan sebagai mahar. Aku pun tidak punya harta
untuk membiayai hidupnya.” Kemudian Beliau terdiam. Lalu Beliau melihat
ke arahku untuk kedua kalianya dan bertanya: “Apakah engkau tidak
berniat untuk menikah, ya Rabiah?!” Aku pun memberikan jawaban yang
sama kepada Beliau seperti sebelumnya.
namun begitu aku berpikir sejenak dalam hatiaku merasa menyesal
dengan apa yang telah aku lakukan. Aku pun berkata: “Celaka engkau, ya
Rabiah! Demi Allah, sungguh Nabi Saw lebih mengetahui dari dirimu apa
yang terbiak bagi agama dan duniamu, dan ia lebih tahu tentang apa yang
kau miliki. Demi Allah, jika Rasulullah Saw sesudah ini menanyakan aku
apakah aku hendak menikah, pasti akan aku jawab Beliau dengan jawaban
ya!”
Tidak lama sesudah itu, Rasulullah Saw bertanya kepadaku: “Apakah
engkau tidak berniat untuk menikah, ya Rabiah?!” Aku menjawab: “Tentu,
282
ya Rasul! namun siapa yang mau mengambil aku sebagai menantu,
engkau kan tahu siapa diriku?!”
Kemudian Beliau bersabda: “Pergilah kepada keluarga fulandan
katakan kepada mereka: bahwa Rasulullah Saw memerintahkan kalian
untuk menikahkan aku dengan seorang putri kalian yang bernama
fulanah!’.
Kemudian aku mendatangi mereka sambil malu-malu dan aku katakan
kepada mereka: bahwa Rasulullah Saw mengutus aku kepada kalian untuk
dinikahkan dengan salah seorang putri kalian yang bernama fulanah.
Mereka bertanya keheranan: “Fulanah?!” Aku menjawab: “Ya, dia.” Maka
mereka pun berkata: “Selamat datang Rasulullah, selamat datang bagi
orang yang diutus Rasulullah.” Demi Allah, orang yang diutus Rasulullah
tidak akan kembali pulang kecuali dengan membawa hal yang
diinginkannya.
Kemudian mereka melangsungkan akad nikah perkawinanku.
Maka aku lalu mendatangi Rasulullah Saw dan berkata: “Ya Rasulullah,
aku datang dari sebuah rumah terbaik yang pernah aku temui. Mereka
mempercayaiku dan menyambutku. Mereka pun menikahkan aku dengan
putrinya. Lalu dari mana aku dapat memberikan mahar kepada mereka?!”
Maka Rasul Saw memanggil Buraidah bin Al Hushaib –dia yaitu salah
seorang pemuka kaumku (Bani Aslam)- dan Rasul bersabda kepadanya: “Ya
Buraidah, kumpulkanlah oleh kalian emas seberat biji buat Rabiah!” Maka
Buraidah mengumpulkannya untukku.
Kemudian Rasulullah Saw bersabda kepadaku: “Bawalah ini kepada
mereka dan katakan kepada mereka bahwa ini yaitu mahar putri kalian!”
Aku pun mendatangi mereka dan menyerahkan ini kepada mereka
dan mereka pun menerimanya dengan senang hati. Mereka mengatakan:
“Ini cukup banyak dan baik.”
Kemudian aku menghadap Rasulullah Saw dan aku berkata kepada
Beliau: “Aku tidak pernah bertemu sebuah kaum yang lebih mulia dari
mereka. Mereka senang dengan apa yang aku berikan kepada mereka –
meski sedikit- namun mereka mengatakan: ‘Ini cukup banyak dan baik.’
Lalu dari mana aku akan mendapatkan dana untuk membuat walimah, ya
Rasulullah?!”
Rasul Saw lalu bersabda kepada Buraidah: “Kumpulkan uang untuk
Rabiah seharga seekor domba!” Kemudian mereka membelikan untukku
seekor domba yang besar dan gemuk.
Kemudian Rasulullah Saw bersabda kepadaku: “Temuilah Aisyah dan
katakan kepadanya bahwa ia harus memberikan kepadamu semua gandum
yang ia miliki!” Aku pun mendatanginya dan Aisyah berkata: “Ini satu
283
keranjang yang didalamnya terdapat 7 sha’131 gandum. Demi Allah, kami
tidak memiliki makanan lain selain itu.”
Kemudian aku membawa domba dan gandum tadi kepada keluarga
calon istriku. Kemudian mereka berkata: “Kami yang akan mengolah
gandum, sedangkan domba maka suruhlah para sahabatmu untuk
mengolahnya!”
Maka aku membawa kembali domba tadi –saya dan beberapa orang
dari Aslam- kemudian kami menyembelihnya dan lalu kami masak. Maka
siaplah kini bahwa kami sudah memiliki roti dan makanan.
Aku pun mengadakan walimah dan aku mengundang Rasulullah Saw
dan Beliau memenuhi undanganku.
Kemudian Rasulullah Saw memberikanku sepetak tanah yang terletak
di sebelah tanah milik Abu Bakar.Maka mulailah dunia merasuki diriku,
sehingga aku pernah berselisih dengan Abu Bakar tentang sebuah pohon
kurma. Aku berkata: “Pohon ini berada di tanahku.” Abu Bakar membalas:
“Bukan, malah pohon ini berada di tanahku.” Lalu aku pun
berargumen dengannya. Dan ia mengucapkan kalimat kasar kepadaku.
Begitu ia sadar bahwa ia telah berkata kasar, maka ia pun menyesal dan
berkata: “Ya Rabiah, balaslah ucapan tadi kepadaku sehingga menjadi
qishas atas ucapanku tadi!” Aku menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan
melakukannya.” Ia berkata: “Kalau demikian, aku akan menghadap
Rasulullah Saw untuk mengadukan bahwa engkau tidak mau menuntut
qishas kepadaku.”
Maka berangkatlah Abu Bakar untuk menghadapi Nabi Saw, dan aku
pun mengikutinya dari belakang.
Beberapa orang dari kaumku Bani Aslam mengikutiku dan berkata:
“Dia yang memulai dengan mencacimu, dan dia mendahuluimu untuk
menghadap Rasulullah Saw dan mengadukanmu?!”
Aku menoleh ke arah mereka dan berkata: “Celaka kalian, apakah
kalian tidak tahu siapa orang ini?! Dia yaitu As Shiddiq dan orang muslim
yang dituakan. Pulanglah kalian sebelum ia menoleh dan melihat kalian
semua, sehingga ia mengira bahwa kalian datang untuk menolongku, dan
itu akan membuatnya marah. Kemudian ia akan datang kepada Rasulullah
sehingga membuat Beliau marah sebab Abu Bakar marah. Dan Allah Swt
pun akan marah sebab marahnya kedua orang ini dan akhirnya
Rabiah pun akan binasa.” Maka mereka pun semua kembali pulang.
Lalu Abu Bakar menghampiri Nabi Saw, dan ia menceritakan kisah
kejadiannya sebagaimana aslinya. Kemudian Rasulullah Saw mengangkat
Sha’ yaitu sebuah takaran yang sering digunakan untuk menakar biji-bijian
kepalanya ke arahku dan bertanya: “Ya Rabiah, apa yang telah terjadi
antara dirimu dan As Shiddiq?” Aku menjawab: “Ya Rasulullah, ia
menginginkan agar aku mengatakan kepadanya sebagaimana yang telah ia
katakan kepadaku, namun aku tidak mau melakukannya.”
Beliau lalu bersabda: “Benar. Jangan kau katakan kepadanya seperti apa
yang telah ia katakan kepadamu, namun katakanlah: Semoga Allah
mengampuni Abu Bakar!”
Maka aku pun mengatakan: “Semoga Allah mengampunimu, wahai
Abu Bakar!”
Maka keluarlah Abu Bakar dengan mata yang berlinang. Dan ia
berkata: “Semoga Allah akan membalas kebaikanmu kepadaku wahai
Rabiah bin Ka’b… Semoga Allah akan membalas kebaikanmu kepadaku
wahai Rabiah bin Ka’b.”
Dzu Al Bijadain
(Abdullah al-Muzani)
“Dunia telah memanggil-manggil Dzul Bijadain. Namun ia telah
menulikan telinganya untuk mendengarkan suara dunia. Ia malah
mengejar akhirat yang ia cari lewat setiap jalan.”
Di sebelah kanan pengelana yang berasal dari Madinah hendak menuju
Mekkah Al Mukarramah ada sebuah gunung hijau yang sejuk dan enak
dipandang mata. Gunung ini dikenal dengan Warqan. Yang
menempati gunung ini yaitu sebuah kabilah yang dikenal dengan
Muzainah.
Di salah satu lereng gunung ini yang terletak dekat dengan Yatsrib
telah lahir seorang anak bernama Abdul Uzza bin Abd Naham Al Muzani
dari kedua orang tua yang miskin.
Kelahiran bocah ini sesaat sebelum terbitnya cahaya kebenaran dari
Mekkah Al Mukarramah.
namun kehendak Allah Swt telah menetapkan bahwa ayah bocah
ini meninggal dunia, padahal bocah ini belum juga dapat berjalan.
Maka selain menjadi bocah fakir, ia pun kini menjadi anak yatim.
namun bocah yatim dan fakir ini memiliki seorang paman yang
begitu kaya dan memiliki keluasan dalam harta. Paman tadi belum juga
mempunyai anak yang menghiasi hidupnya, atau yang dapat mewarisi
hartanya. Maka ia begitu senang dengan keponakannya ini. Dan ia
menjadikan diri dan hartanya seperti milik bocah tadi, seolah dia yaitu
anaknya sendiri.
Tumbuhlah bocah Al Muzany tadi di pangkuan haribaan gunung
Warqan yang lebat dengan bunga. Maka gunung yang segar ini
memberikan pakaian kesantunan dan kelembutan kepada pemuda ini.
Gunung Warqan juga memberikan kejernihannya kepada pemuda ini.
Maka tumbuhlah pemuda ini dengan perasaan yang halus, jiwa yang
bersih dan fitrah yang suci. Dan ini merupakan salah satu sebab lain yang
membuat pamannya semakin cinta kepadanya.
Meskipun pemuda Al Muzany ini sudah tumbuh dewasa sebagaimana
para pria dewasa. namun dia belum pernah mendengar kabar tentang
agama yang baru, dan ia tidak mengetahui sedikitpun informasi tentang
pembawa agama ini yaitu Muhammad bin Abdullah Saw.
Hal itu terus berlangsung sehingga kota Yatsrib merayakan hari
bergembiranya dengan kedatangan Rasulullah Saw ke sana sebagai seorang
yang berhijrah.
Maka mulailah pemuda Al Mazini ini mengikuti informasi tentang diri
Rasulullah Saw dan ia terus memantaunya. Sehingga sering kali ia berdiam
diri sepanjang hari di tengah jalan yang menuju Madinah agar ia dapat
bertanya kepada orang yang menuju kesana atau kepada orang yang baru
saja dari sana tentang agama baru dan para pengikutnya. Iapun sering
menanyakan tentang Nabi Saw dan informasi tentang dirinya, sehingga
Allah Swt berkenan melapangkan dadanya yang suci untuk menerima
Islam dan membuka hatinya untuk menyerap cahaya iman.
Maka bersaksilah pemuda ini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad yaitu utusan Allah.
Hal itu terjadi, sebelum matanya melihat langsung dengan Rasulullah
Saw atau telinganya mendegarkan sabda-sabda Beliau.
Maka dia menjadi orang pertama yang masuk Islam dari kaumnya yang
berada di gunung Warqan.
Pemuda Al Muzani ini menyembunyikan keislamannya dari kaumnya
secara umum dan secara khusus dari pamannya. Ia sering pergike sebuah
lereng yang jauh untuk beribadah kepada Allah Swt di sebuah sudutnya
yang jauh dari pandangan manusia.
Ia amat menantikan dengan sangat hari dimana pamannya akan masuk
Islam dan agar ia dapat mengumumkan keislamannya… serta agar ia
beserta pamannya dapat menjumpai Rasulullah Saw, sesudah sekian lama ia
ingin sekali berjumpa dengan Rasul yang menimbulkan rasa rindu dan
memenuhi seluruh relung hati dan sanubarinya.
saat pemuda ini mendapati bahwa kesabarannya telah berlangsung
cukup lama, dan pamannya semakin jauh dari Islam. Dan sudah banyak
sekali peperangan yang dilakukan Rasulullah Saw yang telah
meninggalkannya satu demi satu. Maka ia mengambil keputusan –tanpa
berpikir apa yang bakal terjadi pada dirinya- dan ia menghadap pamannya
seraya berkata: “Paman, Aku sudah lama sekali menunggumu agar engkau
masuk Islam sehingga habis kesabaranku. Jika engkau berkenan masuk ke
287
dalam Islam dan sehingga Allah menetapkan kebahagian bagimu maka itu
amat baik jika engkau lakukan. Jika engkau tidak berkenan, maka
izinkanlah aku untuk mengumumkan keislamanku di depan manusia.
Begitu ucapan pemuda ini mampir di telinga pamannya, maka sang
paman langsung emosi dan berkata: “Aku bersumpah demi Lata dan Uzza,
jika engkau masuk Islam maka aku akan mengambil semua yang ada di
tanganmu yang pernah aku berikan. Dan aku akan membiarkanmu hidup
miskin. Dan aku tidak akan perduli bila kau membutuhkan atau
kelaparan!”
Ancaman ini tidak membuat pemuda yang beriman ini menjadi gentar.
Dan ia tidak ragu dengan tekad yang sudah ditanamkan.
Maka pamannya meminta bantuan kepada kaumnya untuk
menghadapi dirinya. Maka mereka langsung memberikan ancaman dan
rayuan kepadanya. Dan ia pun berkata kepada mereka: “Lakukanlah segala
yang kalian inginkan, dan aku akan tetap menjadi pengikut Muhammad,
meninggalkan penyembahan batu dan berpaling ke arah penyembahan
kepada Allah Yang Esa dan Maha Perkasa! Terserah kepada kalian sendiri”
Maka serta-merta pamannya mengambil kembali apa yang telah
diberikan kepadanya. Ia juga tidak memberikan pertolongannya dan
mengharamkan dirinya untuk berbuat baik kepada pemuda ini lagi. Dan ia
tidak menyisakan apa-apa untuk pemuda ini selain pakaian yang menutupi
auratnya saja.
Berangkatlah pemuda Al Muzani ini untuk berhijrah demi
menyelamatkan agamanya menuju Allah dan Rasul-Nya. Ia pergi
meninggalkan kampung tempat ia dilahirkan dan ia bermain-main
sewaktu kecil. Ia berpaling dari kekayaan dan kenikmatan yang dimiliki
oleh pamannya, dan ia berharap akan mendapatkan ganjaran dan pahala
dari sisi Allah Swt.
Ia menyusuri langkah menuju Madinah dengan didorong oleh
kerinduan yang sudah mencabik-cabik hatinya.
Begitu ia hampir tiba di Yatsrib maka ia merobek bajunya sehingga
menjadi dua bagian. Bagian pertama ia jadikan sebagai sarung dan satunya
lagi ia jadikan pakaian.
Kemudian ia menuju masjid Rasulullah Saw dan menginap di sana pada
malam itu.
Begitu fajar sudah menjelang, ia berdiri dekat dari pintu kamar Nabi
Saw. Ia mengawasi –dengan kerinduan dan kecintaan- munculnya Nabi
Saw dari kamar Beliau.
Begitu pandangannya melihat ke arah Nabi Saw, maka melelehlah air
mata kebahagiaan dan ia merasa seolah hatinya hendak meloncat dari
dadanya untuk memberikan tahiyat dan salam kepada Beliau.
Begitu shalat telah selesai dikerjakan, Nabi Saw –sebagaimana biasa-
memperhatikan wajah-wajah orang yang hadir dan akhirnya Beliau
melihat pemuda Al Muzani ini dan bertanya: “Dari suku mana engkau,
wahai pemuda?” Maka pemuda tadi menyebutkan nasabnya. Rasul
bertanya kepadanya: “Siapa namamu?” Ia menjawab: “Abdul Uzza (Hamba
Uzza).” Rasul membalas: “Ganti dengan Abdullah (Hamba Allah)!”
Kemudia Rasul mendekat ke arahnya dan bersabda: “Tinggallah di
dekat kami, dan bergabunglah bersama para tamu kami!”
Maka sejak saat itu, semua manusia memanggilnya dengan nama
Abdullah.
Dan para sahabat Rasul Saw memberinya gelar dengan Dzul Bijadain
sesudah mereka melihat bijadaih dan mereka tidak mau menceritakannya.
Maka Bijadaih ini lebih terkenal dalam sejarah dari pada gelar yang
diberikan kepadanya.
Janganlah Anda menanyakan –wahai pembaca yang budiman-tentang
kebahagiaan Dzul Bijadain saat ia menjadi orang yang tinggal di bawah
asuhan Rasulullah dan senantiasa mengikuti seluruh majlis Beliau. Ia turut
serta shalat dibelakang Beliau. Menyerap dari seluruh petunjuk Beliau. Dan
puas dengan akhlak Beliau yang begitu mulia.
Dunia dulu pernah memanggil-manggilnya, namun ia telah menulikan
telinganya untuk mendengarkan suara dunia. Dia malah menuju akhirat
yang ia cari lewat jalan apa saja:
Ia mencari akhirat dengan do’a yang selalu ia panjatkan dengan rasa
takut dan khusyuk. Sehingga para sahabat menamakannya sebagai Al
Awwah (Orang yang sering merintih saat do’a sebab takut kepada Allah).
Ia mencari akhirat dengan Al Qur’an. Sehingga ia tidak pernah berhenti
menebarkan aroma semerbak ayat-ayat Al Qur’an di seluruh penjuru
masjid Rasulullah Saw.
Ia juga mencari akhirat dengan cara berjihad. Dan ia tidak pernah
terlewat dari satu pun peperangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah
Saw.
Dalam perang Tabuk, Dzul Bijadain meminta Rasulullah Saw agar
berdo’a untuknya agar ia diberikan syahadah (mati sebagai syahid). Namun
Rasul Saw mendo’akan agar darah Dzul Bijadain terjaga dari pedang
pasukan kafin.
Maka ia berkata kepada Rasul: “Demi ibu dan bapakku, ya Rasulullah.
Bukan ini yang aku inginkan.” Maka bersabdalah Rasulullah Saw: “Jika
engkau berangkat berjuang di jalan Allah, kemudian engkau sakit dan mati,
maka engkau akan dicatat sebagai seorang syahid. Jika hewan
kendaraanmu mengamuk dan engkau pun jatuh darinya sehingga engkau
mati, maka engkau pun syahid sebab nya.”
Tidak berselang satu hari dan satu malam sejak pembicaraan ini
sehingga pemuda Al Muzani tadi terserang penyakit demam yang
menyebabkan ia tewas.
Sunguh ia meninggal dalam kondisi berhijrah sebab Allah. Berjihad di
jalannya. Jauh dari keluarga dan kerabat. Terasing dari kampung halaman.
Dan Allah akan membalas semua itu dengan kebaikan yang terbaik.
Para sahabat yang mulya telah mengantarkan jasadnya ke kubur
dengan kaki-kaki mereka yang suci.
Rasul pun turun ke lubang untuk menguburkannya, lalu
menempatkannya di dalam tanah dengan kedua tangan Beliau yang mulya.
Yang membawa jasadnya dari luar dan mengantarkannya kepada Rasul
yang menunggu di bawah kubur yaitu Abu Bakar dan Umar, sehingga
Rasul berkata kepada keduanya: “Dekatkan kepadaku saudara kalian ini!”
Maka keduanya melepaskan tubuh Al Muzani ini hingga sampai ke tangan
Rasul Saw.
Dan Abdullah bin Mas’ud berdiri memperhatikan pemandangan semua
ini. Ia berkata: “Andai saja aku yang menjadi penghuni lubang kubur ini.
Demi Allah, aku ingin sekali seperti dia, padahal aku telah masuk Islam 15
tahun lebih dulu darinya.”
Abu Al Ash Bin Al Rabi
“Abu Al Ash Berbicara Kepadaku & Ia Membenarkanku, Ia Berjanji
Kepadaku & Ia Menepatinya Untukku.” (Muhammad Rasulullah)
Abu Al Ash bin Al Rabi yaitu seorang dari suku Al Absyami132 yang
berafiliasi ke suku Quraisy. Dia yaitu seorang pemuda yang bagus
posturnya, dan membuat iri orang yang melihatnya. Kenikmatan hidup
telah datang pada dirinya dan ia juga memiliki garis keturunan yang mulia.
Maka ia menjadi idola bagi para penunggang kuda bangsa Arab sebab ia
memiliki semua faktor yang dapat dijadikan kebanggan dirinya. Dia juga
memiliki ciri-ciri manusia yang punya harga diri dan berkomitmen serta
orang yang mempunyai semua peninggalan leluhurnya.
Abu Al Ash telah mewariskan hobby dagang Quraisy pada dirinya
sehingga selalu melakukan ekspedisi pada waktu musim dingin dan musim
panas133. Kafilahnya tidak pernah berhenti melakukan perjalanan pulang-
pergi Mekkah-Syam. Kafilah yang ia miliki terdiri dari 100 unta dan 200
orang. Banyak manusia yang menyerahkan harta mereka untuk ia
perdagangkan bersama dengan harta yang ia miliki. Mereka begitu percaya
kepadanya sebab mereka sudah mengetahui kecerdasan, kejujuran dan
sifat amanahnya.
Bibinya yang bernama Khadijah binti Khuwailid istri Nabi Muhammad
bin Abdullah menjadikan ia seperti anak sendiri. Khadijah menempatkan
Abul Ash di hati dan rumahnya sebuah tempat yang terhormat yang
dipenuhi dnegan rasa cinta dan penerimaan.
Kecintaan Muhammad bin Abdullah pun kepada Abul Ash tidak kalah
dari kecintaan Khadijah kepadanya.
Waktu berjalan tahun demi tahun menghampiri rumah keluarga
Muhammad bin Abdullah. Anak putri tertua Beliau yang bernama Zainab
Al Absyami yaitu suku yang bermula dari Abdu Syams
Ekspedisi musim dingin ke Yaman, sedangkan ekspedisi musim panas ke Syam.
sudah beranjak remaja. Ia sudah mekar bak sekuntum bunga yang harum
semerbak. Maka jangak sekali para putara pembesar Mekkah yang hendak
meminangnya.
Bagaimana tidak?! Padahal Zainab yaitu salah seorang putri Quraisy
yang berasal dari garis keturunan terpandang. Orang tuanya yaitu
manusia terhormat, dan ia yaitu gadis yang paling cerdas dan berakhlak
di sana.
namun , bagaimana mereka dapat meminang Zainab?!
Sebabnya mereka terhalang oleh sepupu Zainab senidir yang bernama
Abul Ash bin Al Rabi yang juga seorang pemuda Mekkah!!
Hanya beberapa tahun sesudah Zainab binti Muhammad dinikahkan
dengan Abul Ash, maka terbitlah cahaya Ilahi yang begitu mulia di dataran
Mekkah. Dan Allah Swt mengutus Nabi-Nya yang bernama Muhammad
untuk membawa agama petunjuk dan kebenaran. Allah juga
memerintahkan Beliau untuk memberikan peringatan kepada keluarganya
yang terdekat. Maka mereka yang pertama kali beriman kepada Beliau
yaitu istrinya Khadijah binti Khuwailid, para putrinya yang bernama
Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fathimah134, meskipun pada saat
itu Fathimah masih berusia belia.
namun menantu Beliau Abul Ash enggan untuk meninggalkan
agama leluhurnya dan menolak untuk masuk Islam sebagaimana yang
dilakukan oleh istrinya, meskipun Abul Ash amat mencintai istrinya dan
memberikan seluruh hatinya untuk Zainab.
Begitu pertentangan antara Rasulullah Saw dan Quraisy semakin sengit,
maka sebagian mereka ada yang berkata: “Payah kalian! Kalian akan dapat
membuat Muhammad galau sebab kalian pernah menikahkan putra
kalian dengan salah satu putrinya. Kalau kalian kembalikan putri ini
kepadanya, pasti ia akan kerepotan mengurusi mereka!”
Maka Quraisy yang lain menjawab: “Alangkah bagusnya pendapat
mu.” Lalu mereka mendatangi Abul Ash dan berkata kepadanya: “Ceraikan
istrimu, wahai Abul Ash dan pulangkan ia ke rumah orang tuanya. Kami
akan menikahkanmu dengan wanita mana saja yang paling cantik dari
suku Quraisy.”
Abul Ash menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan menceraikan istriku.
Aku tidak mau menikahi semua wanita di dunia ini selain dia.”
Lihat profil Fathimah dalam buku Shuwar min Hayatis Shahabiyat karya penulis
Adapun kedua putri Rasulullah Saw yang lain yang bernama Ruqayyah
dan Ummu Kultsum, mereka berdua telah dicerai dan dikembalikan ke
rumah orang tuanya. Maka senanglah hati Rasulullah Saw dengan
kembalinya kedua putri tadi ke pangkuannya, dan Beliau berharap bahwa
Abul Ash akan melakukan hal yang sama, namun Rasulullah Saw tidak
memiliki kekuatan untuk memaksakan kehendak ini , dan lagi pula
pada saat itu belum disyariatkan bahwa mengawinkan perempuan mukmin
kepada pria musyrik yaitu haram.
Begitu Rasulullah Saw berhijrah ke Madinah dan Beliau semakin
memiliki pendukung dan kekuatan di sana, maka pihak Quraisy berangkat
untuk membunuh Beliau di Badr. Maka Abul Ash pun turut serta dengan
kondisi terpaksa. Sebab ia sendiri tidak ingin memerangi kaum muslimin,
apalagi mengalahkan mereka. namun posisinya di masyarakat yang
membuatnya harus turut serta dalam keberangkatan ini. Perang Badr
berakhir dengan kekalahan di pihak Quraisy yang telah mampu
mengalahkan kekuatan syirik dan mematahkan punggung orang-orang
yang ke lewat batas. Sebagian dari mereka terbunuh. Sebgaian lagi
tertawan. Dan sebagian lagi menyelamatkan diri dengan berlari dari medan
perang.
Dan termasuk orang-orang yang menjadi tawanan yaitu Abul Ash,
suami Zainab binti Muhammad Saw.
Rasulullah Saw menetapkan tebusan atas para tawanan ini agar
mereka dapat dibebaskan. Tebusan ini berkisar antara 1000-4000
dirham sesuai status dan kekayaan tawanan ini .
Dan mulailah banyak utusan yang bolak-balik Mekkah-Madinah
dengan membawa harta yang berasal dari uang tebusan tawanan.
Maka Zainab pun mengirimkan seorang utusannya ke Madinah yang
membawa uang tebusan atas suaminya Abul Ash. Dan sebagai tebusannya
yaitu kalung yang dihadiahkan ibunya Khadijah binti Khuwailid saat
Zainab akan melangsungkan perkawinan… Begitu Rasulullah Saw melihat
kalung ini , maka wajah Beliau langsung dirundung kesedihan yang
mendalam, dan Beliau menjadi begitu kasihan kepada putrinya. Lalu Rasul
melihat ke arah para sahabatnya dan bersabda: “Zainab telah mengirimkan
harta ini untuk menebus Abul Ash. Jika kalian berkenan untuk
membebaskan tawanan ini baginya dan mengembalikan hartanya, maka
lakukanlah!”
Maka para sahabat menjawab: “Baik. Kami akan melakukannya agar
hatimu senang, ya Rasulullah!”
Namun Anbi Saw mensyaratkan kepada Abul Ash sebelum Beliau
melepaskannya agar Abul Ash mau mengirimkan putrinya Zainab segera
tanpa tunda-tunda.
Begitu Abul Ash tiba di Mekkah, ia langsung segera menepati janjinya.
Ia langsung memerintahkan istrinya untuk bersiap-siap pergi, dan ia
memberitahu Zainab bahwa utusan ayahnya menunggu Zainab tidak jauh
dari Mekkah. Abul Ash juga menyiapkan bekal dan kendaraan buat Zainab,
dan ia mengutus saudaranya yang bernama Amr bin Al Rabi untuk
mendampingi Zainab dan menyerahkannya secara langsung kepada para
utusan tadi.
Amr bin Rabi sudah menyandangkan busur panahnya dan ia pun tidak
lupa membawa sekantung penuh anak panah. Dan ia menempatkan Zainab
dalam haudaj135. Dan Amr berangkat bersama Zainab dari Mekkah dengan
terang-terangan di siang hari dan disaksikan oleh para penduduk Quraisy.
Maka para penduduk Quraisy pun menjadi berang melihatnya, mereka pun
segera menyusul keduanya sehingga tidak terlalu jauh lagi. Mereka telah
membuat Zainab menjadi takut dan cemas.
Di saat itu Amr mulai menyiapkan busur panahnya dan
menghamburkan anak panahnya dihadapan. Ia berkata: “Demi Allah, tidak
ada orang yang bisa mendekatinya kecuali akan terkena sebuah anak
panah ini di lehernya.” Amr yaitu seorang pemanah handal yang jarang
meleset.
Lalu Abu Sufyan bin Harb menghampiri Amr –Abu Sufyan juga
menyusul para penduduk Quraisy ini- Abu Sufyan berkata kepadanya:
“Wahai keponakanku, tolong turunkan anak panahmu sehingga kami
dapat berbicara kepadamu!” Maka Amr pun menurunkan anak panahnya.
Abu Sufyan berkata: “Langkah yang kau tempuh yaitu keliru. Engkau
telah membawa Zainab pergi secara terang-terangan dan diketahui oleh
orang-orang, dan mata kami menyaksikannya. Bangsa Arab semuanya
telah mengetahui tentang kekalahan kami di Badr, dan apa yang telah kami
terima dari ulah ayahnya yang bernama Muhammad.
Jika engkau membawa putrinya secara terang-terangan –seperti yang
engkau lakukan- maka para kabilah yang ada akan menuduh kita sebagai
kabilah pengecut dan mereka akan menyebut kami sebagai orang yang
kalah dan pecundang. Bawalah kembali ia pulang! Biarkan ia menetap di
rumah suaminya dalam beberapa hari, sehingga bila orang-orang sudah
mengatakan bahwa kami sudah pulih, maka bawalah ia pergi dengan
sembunyi-sembunyi. Dan antarkanlah dia ke ayahnya. Dan kami tidak
merasa perlu untuk menahannya.”
Haudaj yaitu sebuah kotak di atas punuk unta yang berisikan tempat bagi penumpang
wanita
Maka Amr menerima usulan ini , dan ia mengembalikan Zainab ke
Mekkah.
sesudah beberapa hari ia mengajak Zainab berangkat pada suatu malam,
dan ia menyerahkan Zainab kepada utusan ayahnya secara langsung
sebagaimana yang telah dipesankan oleh saudaranya.
Abul Ash masih tinggal di Mekkah sesudah berpisah sekian lama dari
istrinya. Hingga beberapa saat sebelum terjadinya Fathu Makkah. Ia pergi
ke Syam dalam sebuah ekspedisi perdagangannya. Begitu ia pulang menuju
Mekkah dan saat itu ia membawa rombongannya yang mencapai 100 unta
dan para pembantunya yang hampir berjumlah 170 orang, mereka
terhadang oleh sebuah pasukan Rasulullah Saw yang berada di dekat
Madinah. Maka pasukan tadi mengambil barang-barang dagangan dan
menawan para pembantunya. namun Abul Ash berhasil melarikan diri
dan tidak ditangkap.
Begitu malam sudah semakin gelap,dan Abul Ash pun berlindung
dengan kegelapan malam. Ia memasuki Madinah dengan sembunyi-
sembunyi dan penuh rasa takut. Ia terus berjalan hingga menemui Zainab.
Ia meminta perlindungan kepada Zainab, dan Zainab pun melindunginya.
Begitu Rasulullah Saw hendak keluar rumah untuk melakukan shalat
Fajar dan berdiri tegak di dalam mihrabnya kemudian Beliau mengucapkan
takbiratul ihram dan semua orang pun mengikuti ucapan takbir Beliau,
maka berteriaklah Zainab dari shuffah perempuan sambil berkata: “Wahai
manusia, saya yaitu Zainab binti Muhammad. Aku telah memberi
perlindungan kepada Abul Ash, maka kalian harus memberikan
perlindungan baginya!”
Begitu Rasulullah Saw selesai melakukan shalat, Beliau menoleh ke arah
manusia yang ada di belakangnya dan bertanya: “Apakah kalian
mendengar apa yang telah aku dengarkan?” Mereka menjawab: “Ya, kami
mendengarnya ya Rasul.” Beliau lalu bersabda: “Demi jiwaku yang berada
dalam kekuasaannya, aku tidak tahu hal ini sehingga aku
mendengarkan seperti apa yang telah kalian dengar. Dan ia telah
memberikan perlindungan kepada orang selain muslim.” Kemudian Beliau
kembali ke rumah dan berkata kepada putrinya: “Berikanlah tempat
terhormat kepada Abul Ash, dan ketahuilah bahwa kamu tidak halal lagi
bagi dirinya.”
Kemudian Rasulullah saw memanggil para pasukan yang telah
mengambil barang-barang dan menawan para pembantu Abul Ash. Rasul
bersabda kepada mereka: “Orang ini yaitu anggota keluarga kami
sebagaimana kalian telah ketahui. Kalian telah mengambil hartanya. Jika
kalian berbaik hati dan mengembalikan harta yang ia miliki, maka itulah
cara yang kami suka. Jika kalian menolak, maka harta ini yaitu
fay’136 yang telah diberikan Allah kepada kalian. Dan kalian berhak atas
harta ini .”
Mereka menjawab: “Kami akan mengembalikan harta ini
kepadanya, ya Rasulullah.”
Begitu Abul Ash datang untuk mengambil kembali hartanya, para
pasukan tadi berkata kepadanya: “Ya Abul Ash, engkau memiliki
kedudukan yang mulia dalam suku Quraisy. Engkau yaitu sepupu
Rasulullah sekaligus menantunya. Apakah engkau tidak mau masuk ke
dalam Islam? Kami akan memberikan semua harta ini kepadamu sehingga
engkau akan merasa nikmat seperti engkau telah memilikinya saat di
Mekkah, dan engkau dapat tinggal bersama kami di Madinah?”
Abul Ash menjawab: “Alangkah buruknya ajakan kalian agar aku
memulai agamaku yang baru dengan sebuah pengkhianatan.”
Kemudian berangkatlah Abul Ash bersama hartanya ke Mekkah.
Sesampainya di sana, ia membagikan hasil keuntungan kepada setiap orang
yang ikut serta dalam permodalan. Lalu ia berkata: “Wahai bangsa Quraisy,
apakah masih ada orang yang belum mengambil hartanya dariku?” Mereka
menjawab: “Tidak… semoga Allah membalas kebaikanmu kepada kami.
Kami mengenalmu sebagai orang yang menepati janji dan pemurah.”
Lalu Abul Ash berkata: “sebab aku sudah memenuhi hak-hak kalian,
maka aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad yaitu
Rasulullah. Demi Allah, tidak ada yang menghalangiku untuk masuk Islam
saat bersama Muhammad di Madinah kecuali sebab aku khawatir bahwa
kalian akan mengira bahwa aku akan memakan semua harta kalian. Begitu
Allah sudah mengembalikan harta ini kepada kalian, dan aku pun
sudah terbebas dari harta ini , maka aku akan masuk Islam!”
Kemudian ia berangkat sehingga ia menemui Rasulullah Saw, dan Rasul
pun menyambutnya dengan hangat. Rasul juga mengembalikan istrinya
kepadanya. Dan Rasul Saw bersabda tentang dirinya: “Dia telah berbicara
denganku lalu ia mempercayaiku. Ia telah berjanji kepadaku, dan kini ia
telah menepatinya untukku.”
Fay’ yaitu harta yang didapatkan oleh pasukan muslimin dari pihak musuh tanpa perang.
A’shim Bin Tsabit
“Siapa yang Hendak Berperang Maka Berperanglah Seperti yang
Dilakukan Oleh A’shim Bin Tsabit” (Muhammad Rasulullah)
Bangsa Quraisy berduyun-duyun yang terdiri dari para pembesar
hingga para budak pergi untuk menjumpai Muhammad bin Abdullah di
Uhud.
Kebencian mengisi relung hati mereka, dan mereka hendak menuntut
balas atas setiap darah yang tertumpah dari korban yang berjatuhan di
pihak mereka pada perang Badr.
Lebih dari itu, mereka juga mengajak beberapa orang wanita turut-
serta untuk memberikan semangat kepada para pria untuk melakukan
perang, dan mengobarkan api perjuangan pada jiwa setiap prajurit.
Wanita-wanita tadi akan terus mengobarkan semangat setiap prajurit,
setiap kali mereka lemah atau takut.
Salah seorang wanita yang turut serta dalam perang ini yaitu Hindun
binti Utbah istri dari Abu Sufyan, Raithah binti Munabbih istri dari Amr bin
Al Ash, Sulaqah binti Sa’d yang disertai oleh suaminya yang bernama
Thalhah dan ketiga putranya yang bernama: Masafi’, Al Julas dan Kilab.
Dan banyak lagi wanita lain yang turut-serta dalam peperangan ini seperti
mereka.
Begitu kedua belah pihak sudah saling bertemu, dan api peperangan
telah berkobar. Hindun binti Utbah bersama para wanita yang lain berdiri
di belakang barisan bangsa Quraisy. Mereka memukulkan genderang
sambil bersenandung:
Jika kalian berani maju, maka kami akan memberikan kalian
pelukan
dan kami akan membentangkan bantal-bantal
Jika kalian kabur dari perang maka kami akan meminta cerai
Perceraian yang tidak akan menyenangkan
Lantunan suara mereka membangkitkan kobaran semangat di hati
mereka, dan seolah memiliki daya sihir pada diri para suami mereka.
Lalu usailah peperangan. Dan kemenangan berada di pihak Quraisy
atas pasukan muslimin. Para wanita tadi begitu senang dengan
kemenangan yang mereka raih. Lalu mereka berkeliling di medan perang
yang telah selesai. Mereka melakukan penyiksaan kepada korban perang
dengan amat kejinya: Mereka merobek perut korban, mencungkil mata,
memutus telinga dan hidung.
Bahkan salah seorang dari mereka masih merasa tidak puas kecuali
sesudah membuat kalung dan untaian dari hidung dan telinga. Mereka
menjadikan kalung telinga dan hidung ini sebagai hiasan sebagai
balas dendam atas ayah, saudara, paman mereka serta lainnya yang telah
terbunuh di Badr.
namun apa yang dilakukan oleh Sulaqah binti Sa’d berbeda dengan
wanita Quraisy lainnya.
Ia terlihat bingung dan panik sambil menunggu suami dan salah
seorang dari ketiga anaknya. Ia ingin tahu kabar tentang mereka, dan ia
juga ingin berbagi kebahagiaan sebab kemenangan ini bersama wanita
yang lain.
sesudah ia menunggu lama tanpa hasil, maka ia pun memasuki bekas
medan peperangan tadi. Ia memeriksa setiap orang yang menjadi
korban.Dan ternyata ia menemukan suaminya telah terbunuh dengan
berlumuran darah.
Maka ia bagaikan singa betina yang ketakutan. Ia langsung
menyisirkan pandangannya ke setiap penjuru untuk mencari ketiga
anaknya: Masafi’, Kilab dan Al Julas.
Tidak lama kemudian, ia mendapatkan bahwa ketiganya sudah
tergeletak di tanah Uhud.
Masafi’ dan Kilab rupanya sudah tewas. Sedangkan Al Julas, rupanya ia
masih memiliki sedikit nafas untuk bertahan hidup.
Sulafah menangisi anaknya yang sedang menghadapi sakaratul maut. Ia
meletakkan kepala anaknya di pangkuannya. Sulafah mencoba untuk
menghapuskan darah yang ada di kening dan mulut anaknya. Sulafah
sudah kehabisan air mata akibat kesedihan yang ia rasakan pasca perang.
Kemudian Sulafah mendekatkan diri kepada anaknya sambil berkata:
“Siapa yang telah mengalahkanmu, wahai anakku?” Anaknya berusaha
untuk menjawab, namun ia tak kuasa lagi. Kemudian Sulafah kembali
mendesak dengan pertanyaannya, dan kali ini anaknya mampu menjawab
dengan berkata: “Orang yang membunuhku yaitu A’shim bin Tsabit,…