Hadist Nabawi 1

 


 


Pengkajian terhadap hadits Nabi, sebagaimana yang 

dilakukan oleh para ahli, tidak terbatas pada kandungan dan 

aplikasi hadits, serta yang ada hubungan dengannya saja, tetapi 

juga kajian tersebut terhadap periwayatan dan materi hadits itu 

sendiri. Masih menurut para ahli, penelitian terhadap sanad 

maupun materi hadits dianggap sangat penting. karena boleh 

jadi sebagian dan apa yang dinyatakan sebagai hadits Nabi, 

sesudah  diteliti dengan seksama ternyata sangat lemah untuk 

diterima sebagai hadits dan Nabi. Dan mempersoalkan apakah 

suatu hadits berasal dan Nabi, hal ini tidak akan membawa 

seseorang dianggap sebagai pengingkar Sunnah Nabi, bahkan 

justru sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kemurnian 

sumber ajaran Islam yang kedua sesudah  al-Qur‟an. 

Penelitian seperti ini sangat diperlukan, karena sesudah  

tersebar cukup lama di masyarakat Islam, kurang lebih seratus 

tahun lamanya, hadits Nabi baru dibukukan. Menurut M. 

Syuhudi Ismail,1 bahwa dengan melalui proses waktu yang 

cukup panjang, akhirnya seluruh hadits Nabi berhasil dihimpun 

                                                 

dalam kitab-kitab hadits. Ulama yang menyusun kitab-kitab 

hadits cukup banyak dan metode yang mereka gunakan cukup 

beragam. Yang terhimpun dalam berbagai kitab hadits itu tidak 

hanya materi (matn) haditsnya saja, tetapi juga rangkaian para 

periwayat yang menyampaikan para penghimpun hadits kepada 

materi hadits, yang disebut sebagai sanad hadits. Dengan 

demikian, hadits yang terhimpun dapat dikaji materinya dan 

rangkaian para periwayatnya. 

Selanjutnya M. Syuhudi Ismail2 menyatakan bahwa suatu 

“musibah” besar telah terjadi dalam sejarah hadits. Sebelum 

Khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz (berkuasa 99 H - 101 H) me-

ngeluarkan perintah penghimpunan hadits, telah terjadi berbagai 

pemalsuan hadits. Latar belakang orang-orang memalsukan 

hadits ini bermacam-macam, di antaranya ialah untuk kepen-

tingan-kepentingan: 1) politik; 2) ekonomi; 3) golongan madz-

hab fiqh atau teologi; 4) mencari muka di hadapan penguasa; 5) 

hidup berzuhud; dan 6) daya tarik dalam dakwah. Maka untuk 

“menyelamatkan” hadits Nabi dari “noda-noda” yang merusak 

dan menyesatkan itu, ulama bekerja keras mengembangkan 

berbagai pengetahuan, menciptakan berbagai kaidah, menyusun 

                                                 


berbagai istilah dan membuat bcrbagai metode penelitian sanad 

dan matn hadits. 

Dengan berbagai “ilmu alat” dan metode penelitian sanad 

dan matn hadits yang diciptakan oleh para ulama tersebut, dapat 

diketahui beberapa hadits yang berstatus mutawatir dan ahad. Di 

samping itu dapat diketahui juga hadits ahad yang berkualitas 

shahih dan yang tidak shahih, serta pernyataan-pernyataan yang 

dikategorikan sebagai hadits palsu. 

Sebagai contoh, Imam Bukhari menetapkan bahwa rawi 

penyampai dan penerima riwayat (hadits) ini harus bertemu 

walaupun hanya satu kali saja, ketika periwayatan itu ber-

langsung. Dan sudah dipastikan bahwa setiap bertemu itu pasti 

sezaman, tetapi sezaman belum tentu bertemu. Makanya Imam 

Bukhari menetapkan demikian sebagai syarat diterimanya 

periwayatan hadits dari segi sanadnya. Berbeda dengan Imam 

Muslim yang sedikit lebih longgar dibandingkan dengan Imam 

Bukhari dalam mensyaratkan diterimanya periwayatan suatu 

hadits, yaitu ia mensyaratkan hanya menetapkan sezaman saja 

(mu‟asharah). 

Dari pernyataan di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa 

Imam Bukhari dalam menerima periwayatan suatu hadits lebih 

menitikberatkan pada aspek sanad, sehingga apabila rawi pe-

nyampai hadits kepadanya itu memenuhi persyaratan yang 

 

 

ditetapkannya, yaitu di antaranya harus bertemu antara rawi 

penyampai dan rawi penerima walaupun hanya satu kali saja, 

maka periwayatan itu ia masukkan ke dalam Kitab Shahihnya 

sebagai hadits shahih, meskipun materi (matn) hadits itu 

dipandang oleh ulama yang lain bertentangan dengan nash al-

Qur‟an. Yang di kemudian hari muncul ulama hadits yang 

khusus menyoroti kedudukan hadits semacam itu dan tidak 

terbatas pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari saja, 

akan tetapi juga riwayat ulama yang lainnya, yang haditsnya 

senada dengan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Misalnya 

hadits yang dianggap memojokkan kaum wanita yang dinyata-

kan bahwa nanti di akhirat, wanita lebih banyak menjadi peng-

huni neraka. Hadits ini banyak digugat oleh kaum feminis 

semacam Fatima Mernissi, seorang cendekiawan Pakistan yang 

bermukim di Amerika Serikat. Menurutnya, hadits ini bukan 

sebagai hadits Nabi. 

Ulama lain, seperti Syeikh Muhammad al-Ghazali, juga 

menggugat hadits semacam itu meskipun diriwayatkan oleh 

ulama sekaliber Imam Bukhari misalnya. Hadits itu di antaranya 

adalah: 

َّ ناََِّّتٍّيمَلْاََّّب ذعَ ُيََِّّءاكَبُِبََِّّولِىَْاََِّّويْلَعَ  

 


 

“Sesungguhnya orang mati (mayyit) itu disiksa karena 

tangisan keluarganya”. 3 

Syaikh Muhammad al-Ghazali4 menyatakan bahwa hadits 

di atas bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang berbunyi: 

              

“Seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang 

lain.”5 

Lafazh dan kalimat yang sama terdapat juga dalam Surat 

al-Isra‟ ayat 15. 

Ditegaskan pula bahwa sepanjang hadits itu dianggap 

bertentangan dengan al-Qur‟an, maka ia harus ditolak karena 

tidak ada harganya sama sekali. 

Hadits-hadits yang demikian, kemudian diperkenalkan 

oleh ulama ahli hadits dengan istilah hadits shahih fi al-sanad 

dha‟if fi al-matn, atau istilah A. Qadir Hassan,6 (ulama 

terkemuka dari Persatuan Islam)  dengan istilah: shahih al-isnad 

dha‟if al-matn. 

                                                 

 

Lebih jauhnya A. Qadir Hassan7 menjelaskan bahwa 

antara sanad dan matn tidak ada hubungan kausalitas dan 

konsekuensi logis, yakni menurutnya, kalau sanad sudah sah, 

belum tentu mesti matnnya turut sah. Begitu pula kalau 

sanadnya dha‟if tidak mesti matnnya turut dha‟if.  Tetapi, 

menurut A. Qadir Hassan, hadits-hadits dan riwayat-riawayat 

bisa dibagi pada beberapa kelompok: 

1. Ada yang sah sanad dan matnnya sekaligus. Hadits yang 

demikian disebut shahih al-isnad wa al-matn. Contohnya 

seperti hadits berikut: 

َّتايٍَّ نلاِبَّلُامَعْلَااَّاَ  نَّاِ 

“Sesungguhnya arnalperbuatan itu tergantungpada niat.” 

Hadits mi diriwayatkan oleh Bukhari dan yang lainnya 

dengan sanad yang sahih. Matnnya juga dikatakan sah, 

karena tidak bertentangan dengan keterangan lain. 

2. Ada yang sah sanadnya, tetapi matnnya dianggap lemah. 

Yang demikian disebut: shahih al-isnad dha „if al-matn. 

Contohnya seperti hadits berikut: 

َُّوُّيِلوََّوُنْعََّمَاصََّمٌايَصَِّوِيْلَعَوََّتَامََّنْمَ 

                                                 


“Barang siapa mati, tetapi ada kewajiban puasa atasnya 

(berhutang puasa), maka hendaklah walinya (mengganti-

kan) puasa untuknya”. 

Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dengan sanad yang 

sahih, tetapi matnnya dianggap dha‟if karena bertentangan 

dengan Surat al-Isra‟: 15 maupun al-An‟am: 164, sebagai-

mana yang telah disebutkan di atas. 

3. Ada yang dha‟if sanad dan matnnya sekaligus. Hadits yang 

demikian disebut dha‟if al-isnad wa al-matn. Contohnya 

seperti hadits: 

سيَّٰاؤُرَ ْقِا  ََّّْۤمكُاَتوْمََّىٰلعَ 

“Bacakanlah olehmu sekalian Surat Yasin atas orang-

orang yang meninggal di antara kamu” 

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang 

lemah, karena di antara perawi-perawinya ada yang tidak 

dikenal. Matnnya pun lemah, karena tidak dapat bantuan 

dari sanad lain. 

4. Ada yang dha‟if sanadnya, tetapi matnnya dianggap sah. 

Yang demikian dinamakan dha‟if al-isnad shahih al-matn. 

Contohnya seperti hadits: 

َّفَِِّاوْرُ كفََّلاوََّقِلَْلْْاَّفَِِّاوْرُ كفَ َتَُّهَردْقََّنَوْرُدِقْ َتَّلاَّمْكُ ناَِفَّقِ ِِ لِاَلْْاَّ

 

 

“Pikirkanlah olehmu (kejadian) makhluk dan janganlah 

kamu pikirkan (kejadian) Khaliq (Allah), karena sesungguh-

nya kamu sekalian tidak dapat mengukur qadar-Nya”. 

Hadits ini sanadnya lemah tetapi matannya masuk akal, 

karena bagaimanapun kita memikirkan Dzat Allah, kita tidak 

akan dapat mengetahui hakikat yang sebenamya. 

Dengan demikian, dalam konteks penelitian terhadap 

hadits Nabi, tampaknya hadits yang shahih sanadnya dha‟if 

matnnya sangat menarik untuk dikaji. Karena bagaimanapun 

untuk menyatakan bahwa suatu hadits itu dapat dijadikan 

sumber hukum haruslah shahih, baik segi sanadnya, maupun 

segi matnnya.

KAIDAH-KAIDAH KESHAHIHAN HADITS 

 

Dalam khazanah ilmu-ilmu keislaman, istilah hadits sering 

disebut dengan sunnah yang menurut bahasa berarti jalan yang 

dijalani. Sunnah pada dasarnya sama dengan hadits, namun ia 

dapat dibedakan dalam pemaknaannya. Hadits konotasinya ialah 

segala peristiwa yang dinisbatkan kepada Nabi, walaupun hanya 

sekali nabi mengucapkannya atau mengerjakannya. Sedangkan 

sunnah, sesuatu yang secara terus-menerus dilakukan oleh Nabi 

yang dinukilkan dari masa ke masa dan dipelihara oleh umat 

Islam sebagai pengetahuan dan petunjuk keagamaan Islam. 

Setiap hadits memuat dua bagian: isnad (mata rantai para 

rawi) dan matn (teks atau lafaz hadits). Kedua bagian ini sama 

pentingnya bagi para ahli hadits. Matn  merupakan rekaman 

perkataan atau perbuatan Nabi SAW yang membentuk landasan 

ritual atau pula hukum Islam; sementara isnad  menunjukkan 

kebenaran adanya matn. 

Para ahli hadits kemudian mencari dan menempatkan 

hadits-hadits dengan isnad yang satu dan sama tetapi 

menggunakan beberapa teks yang berbeda, juga hadits-hadits 

dengan teks yang satu dan sama tetapi memiliki beberapa isnad 

yang berbeda, sebagai hadits-hadits yang berdiri sendiri-sendiri.  

 

 

 

Karena itu pokok dalam subbab ini berkisar tentang 

pengertian hadits dan sejarah dibukukannya, posisi hadits di 

samping al-Qur‟an, pengisnadan dalam upaya memelihara 

hadits, serta kaidah-kaidah keshahihan hadits.  

 

A. Pengertian Hadits, Sunnah, Atsar dan Khabar 

1. Pengertian Hadits 

Hadits, berasal dari bahasa Arab yang menurut Ibn 

Manzhur, kata ini berasal dari kata al-Hadits, jamaknya: al-

Ahadits al-Haditsan dan al-Hudtsan. Secara etimologis, kata ini 

memiliki banyak arti, di antaranya: al-Jadid (yang baru), lawan 

dari al-Qadim (yang lama), dan al-Khabar, yang berarti kabar 

atau berita.8 

Penjelasan Ibn Manzhur di atas dinyatakan pula oleh 

Mahmud Yunus,9 yang menyatakan bahwa kata al-Hadits se-

kurang-kurangnya mempunyai dua pengertian: (a) jadid (baru), 

lawan dari qadim, jamaknya hidats dan hudatsa. (b) khabar, 

berita atau riwayat, jamaknya ahadits, hidtsan dan hudtsan. 

Secara terminologis, Hadits dirumuskan dalam pengertian 

                                                 


yang berbeda-beda di antara para ulama. Perbedaan-perbedaan 

pandangan itu lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya obyek 

tinjauan masing-masing,yang tentu saja mengandung kecen-

derungan pada aliran ilmu yang didalaminya.           

Ulama Hadits mendefinisikan Hadits sebagai berikut: 

ى لصٍََّّبِِ نلاَّنِعَرَِثُاامََُّّلك للها’َّْيِرقْ َتوَْاَّلٍعْفِوَْاَّلٍوْ َقَّنْمَِّمَ لسَوََّوِيْلَعٍََّة يقِلُخُوَْاَّةٍ يقِلْخََّةٍفَصِوَْاٍر 

“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa 

sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi”.10 

Menurut istilah ahli Ushul Fiqh, pengertian Hadits ialah: 

ٍَّّبِ نلاَّنِعََّرَدَصَامََُّّلكَُّرٍيِْرقْ َتَّوَْاَّلٍعْفَِّوْ َِ اََّلٍوْ َقَّنْمَِّ ِْيْركَلْاَّنَِارْقُلْاَّرُ ْ يغََّمَ لسَوََّوِيْلَعََّللهاَّى لصَ

َّ يعِرْشََّمٍكُْلَِِّلايِْلدََّنَوْكُ يَّنَْاَّحُلُصْيََّا مَِّ

“Hadits, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada 

Nabi SAW selain al-Qur‟an al-Karim, baik berupa perkataan, 

perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan 

Hukum Syara”.11  

Tidak termasuk dalam istilah Hadits sesuatu yang tidak 

ber-sangkut paut dengan hukum, seperti urusan pakaian,yang 

merupakan bagian kebudayaan. Namun dalam cara-cara 

                                                 


 

berpakian seperti menutup aurat adalah bagian dari Hadits. 

Karena merupakan tuntutan Syari‟at Islam. Itu sebabnya, dalam 

kajian fiqh, berpakaian ini termasuk Jibiliyah, yaitu sebagian 

merupakan tuntutan kebudayaan, sebagian lagi merupakan 

tuntutan Syari‟at.  

Sedangkan menurut istilah para Fuqaha, Hadits adalah: 

ى لصٍََّّبِِ نلاَّنِعََّتَبَ َثَّامََُّّلكُ للها’َّبجِاولَْاَّلَاوََّضِرْفَلْاَّبِاَبَّنْمَِّنْكُيََّلََوََّّمَ لسَوَََّّوِيْلَعََّ

“Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak 

bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib”.12 

Apabila ditinjau dari segi bentuknya, Ibn al-Subki (w.771 

H/1370 M) berpendapat bahwa pengertian Hadits, adalah segala 

sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Ibn al-Subki tidak 

memasukkan taqrir Nabi sebagai bagian dari rumusan definisi 

Hadits. Alasannya, karena taqrir telah tercakup dalam af‟al, 

yakni segala perbuatan; apabila kata taqrir dinyatakan secara 

eksplisit, maka  rumusan  definisi akan  menjadi ghair mani‟, 

yakni tidak terhindar dari sesuatu yang tidak didefinisikan.13 

Sementara kalangan ulama ada yang menyatakan bahwa 

                                                 


 

apa yang dikatakan Hadits itu bukan hanya yang berasal dari 

Nabi SAW, namun yang berasal dari shahabat dan tabi‟in 

disebut juga Hadits. Sebagai buktinya, telah dikenal adanya 

istilah Hadits Marfu‟, yaitu Hadits yang dinisbahkan kepada 

Nabi SAW, Hadits Mauquf, yaitu Hadits yang dinisbahkan pada 

shahabat, dan Hadits Maqtu‟, yaitu Hadits yang dinisbahkan 

kepada tabi‟in. Sebagian ulama berpendapat bahwa apabila kata 

Hadits itu berdiri sendiri, dalam arti tidak dikaitkan dengan kata 

atau istilah lain, maka biasanya yang dimaksudkan adalah apa 

yang berasal dari Nabi SAW hanya kadang-kadang kata Hadits 

yang berdiri sendiri itu memiliki pengertian tentang apa yang 

dinisbahkan kepada shahabat atau tabi‟in.14  

Dari perbedaan sifat peninjauan tersebut kemudian 

melahirkan dua macam pengertian Hadits, yakni pengertian 

yang terbatas, dan pengertian yang luas. 

Pengertian Hadits yang terbatas, sebagaimana dikemuka-

kan oleh Jumhur al-Muhaditsin, ialah:  

َّضاَُّامَى لصََِّبِِ نلاَّلََاَِّفَيْ للها’اىَوَْنَََّوَْاَّاًر ْيِرقْ َتَّوََاَّلاعْفَِّوَْاَّلاوْ َقَّمَ لسَوََّوِيْلَعََّ

“Sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW baik berupa 

perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang 

                                                 


 

sebagainya”.15 

Dengan demikian, menurut umumnya ulama Hadits, esensi 

Hadits ialah segala berita yang berkenaan dengan: sabda, 

perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW. Yang 

dimaksud hal ihwal di sini adalah segala sifat dan keadaan 

pribadi Nabi SAW. 

َّAdapun َّpengertian Hadits secara luas, sebagaimana 

dikatakan Muhammad Mahfuzh al-Tirmizi, ialah: 

ى لصََّوِيَْلِاَّعِوْ ُفرْمَلْاِبَّ ُّصتَْيَُُّلَاَّثَيْدَِْلِاَّ ناِ للها’َّفِوْ ُقوْمَلِْلاضًيَْاَّوِقَِلاطْإِبَّءَاجََّلَْبََّّمَ لسَوََّويْلَعَ

ََّوَّ)هِِوْنَََّوَْاَّلٍوْ َقَّنْمَِّبِِاحَ صلاَّلََاَِّفَيْضِاُامََّوَىُوَ(ىعِِبا تلِلَّفَيْضِاُامََّوَىُوَ(ََّّعِوْطُقْمَلْا 

.)كَلِاذَكََّ

“Sesungguhnya Hadits itu bukan hanya yang dimarfukan 

kepada Nabi Muhammad SAW saja, melainkan dapat pula 

disebutkan pada apa yang maukuf (dinisbahkan pada perkataan 

dan sebagainya dari shahabat), dan pada apa yang maqthu‟ 

(dinisbahkan pada perkataan dan sebagainya dari tabi‟in)”.16  

Hal ini jelas menunjukkan bahwa para ulama beragam 

dalam mendefinisikan Hadits, karena mereka berbeda dalam 

meninjau obyek Hadits itu sendiri.   

                                                 


 

Menurut Ahli Hadits, Hadits ialah: “segala ucapan Nabi, 

perbuatan, taqrir dan keadaannya”. Sedangkan menurut ahli 

Ilmu Ushul, Hadits ialah: “segala perkataan, perbuatan dan 

taqrir Nabi yang berkaitan dengan hukum atau berdampak 

hukum”. 

Perbedaan antara ahli Hadits dan ahli Ushul di atas, 

dilatarbelakangi adanya perbedaan disiplin ilmu yang secara 

spesifik berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga 

menciptakan pandangan yang berbeda pula terhadap pribadi 

Nabi SAW sesuai dengan disiplin ilmu yang bersangkutan. Al-

Siba‟i berpendapat bahwa adanya perbedaan pengertian tentang 

istilah Hadits itu karena terdapatnya perbedaan tujuan masing-

masing ahli di berbagai bidang ilmunya.17 

Ulama Hadits, menurut al-Siba‟i, dalam membahas pribadi 

dan prilaku Nabi sebagai tokoh penuntun (pemimpin) yang telah 

digelari Allah sebagai yang pantas dijadikan teladan dan 

tuntunan (uswah wa qudwah) oleh kita. Mereka mencatat segala 

sepak terjang, kebiasaan, peristiwa, ucapan-ucapan dan 

perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan Nabi SAW baik 

yang berupa penetapan hukum Syara‟ maupun tidak.  

                                                 


 

Sedangkan ulama Ushul membahas pribadi dan prilaku 

Nabi SAW sebagai peletak dasar hukum Syara‟ yang dijadikan 

landasan ijtihad oleh kaum mujtahid di zaman sesudah beliau. 

Di samping itu mereka memandang beliau sebagai yang 

memberikan penjelasan tentang undang-undang kehidupan. 

Ucapan, perbuatan dan taqrir yang dimaksud di sini adalah yang 

berkaitan dengan penetapan hukum dan pengukuhannya.     

Dengan pendapat tersebut, menjadi jelaslah perbedaan 

antara ahli Hadits dan ahli Ushul mengenai istilah tersebut. 

Ulama Hadits mengambil segala hal yang berhubungan dengan 

Nabi SAW seperti biografi, akhlak, berita-berita, ucapan dan 

perbuatannya, baik yang berkaitan dengan hukum Syara‟ 

maupun tidak. Sedangkan ulama Ushul hanya memandang 

Rasul Allah SAW segi ucapan dan perbuatan serta keputusan-

keputusan yang menetapkan hukum-hukum dan 

memutuskannya. 

Karena itu definisi Hadits yang dikemukakan oleh ahli 

Ushul yang hanya mencakup aspek hukum dari beberapa aspek 

hal ihwal Nabi SAW penggunaannya terbatas dalam lingkup 

pembicaraan tentang Hadits sebagai sumber Tasyri‟. Sedangkan 

definisi yang dikemukakan oleh ahli Hadits mencakup hal-hal 

yang lebih luas. 

 

 

Terkait dengan pengertian Hadits, dalam khazanah Ilmu 

Hadits istilah Hadits sering disebut juga dengan istilah Sunnah, 

Khabar, dan Atsar. Adapun pengertian ketiga istilah tersebut 

sebagai berikut: 

2. Pengertian Sunnah  

Sunnah, menurut bahasa ialah: 

ًَّةمَوْمُذْمََّوَْاَّتْنَاكَََّّةًَّدَوْمُْمََََّّةُقَيَّرِ طلَاَّ

“Jalan yang dilalui, baik terpuji atau tercela”. 

Sedangkan menurut istilah, pengertian Sunnah antara lain 

sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad ajaj al-Khathib: 

ى لصََّ ٍّبِ نلاَّنِعََّ رَِثُاامَ للها’ٍَّة يقِلْخََّ ةٍفَصَِّ وَْاَّ رٍيَّْ رِقْ َتَّ وَْاَّ لٍعْفَِّ وَْاَّ لٍوْ َقَّنْمَِّ مَ لسَوََّ وِيْلَعَََّّةٍَرْ يسِوَْا

.اىَدَعْ َبَّوَْاَّةَِثعْبِلْاَّلَبْ َقَّنَاكََّءٌاوَسََّ

“Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa 

perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, 

perjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul atau 

sesudahnya”.18 

Adapun kaitannya dengan lafazh Sunnah, meskipun 

menurut kebanyakan ulama adalah sinonim (muradif) dari lafazh 

                                                 


 

Hadits, tetapi ada juga yang membedakan antara keduanya. Hasbi 

Ash-Shiddieqy memberikan komentarnya sebagai berikut: 

 “Tegasnya, antara Sunnah dan Hadits ada perbedaan 

yang tegas. Menamai Sunnah dengan Hadits adalah istilah para 

mutaakhirin saja. Ahli Hadits banyak memakai kata „Hadits‟, 

sedangkan ahli Ushul banyak memakai kata „Sunnah‟.19 

Namun Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan pula bahwa 

Sunnah sama dengan Hadits. Antara Hadits dan Sunnah dapat 

dibedakan, dalam hal bahwa Hadits konotasinya adalah segala 

peristiwa yang dinisbahkan kepada Nabi SAW walaupun hanya 

sekali saja beliau mengucapkannya atau mengerjakannya dan 

walaupun diriwayatkan oleh perorangan saja. Sedangkan 

Sunnah adalah sesuatu yang diucapkan atau dilaksanakan oleh 

Nabi SAW terus menerus, dinukilkan dari masa ke masa dengan 

jalan mutawatir. Nabi SAW melaksanakannya beserta para 

shahabat, kemudian oleh para tabi‟in, dan generasi berikutnya 

sampai pada masa-masa berikutnya menjadi pranata sosial 

dalam kehidupan umat Islam. 

Abdurrahman Ibn Mahdy, ketika ditanya tentang keula-

maan Sufyan al-Tsaury, al-A‟uza‟i dan Malik, ia mengatakan: 

                                                 


 

َّفَِِّمٍامَإِِبَّسَيَْلوََّثِيْدَِْلِاَّفَِِّمٌامَإَِّىِروْ ثلاَّنُايَفْسَُّمٍامَإِِبَّسَيَْلوََّةِ نُّسلاَّفَِِّمٌامَِاَّىعِاَزوْلَأاْوََّةِ نُّسلا

.امَهِيْفَِّمٌامَاَِّكُلاِمَوََّثِيْدَِْلِاَّفَِِّ

“Sufyan al-Tsaury, adalah ulama ahli Hadits dan bukan 

ahli di bidang Sunnah dan al-Auzai adalah ulama ahli di bidang 

Sunnah dan bukan di bidang Hadits, sedangkan Malik adalah 

ulama yang ahli keduanya”. 20 

Pendapat-pendapat tersebut di atas memberi pengertian 

bahwa lafazh Hadits dari segi istilah tidak identik dengan lafazh 

Sunnah. Demikian juga ditinjau dari segi bahasa, kedua lafazh 

tersebut memang berbeda.  

Secara bahasa, lafazh Sunnah berarti jalan yang dijalani, 

terpuji atau tercela. Sesuatu  tradisi  yang  sudah dibiasakan  

dinamai Sunnah, walaupun tradisi itu tidak baik. Jamaknya 

adalah Sunnan.21  

Adapun lafazh Sunnah disebutkan dalam Syara‟, maka 

yang dimaksud adalah sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan 

dianjurkan oleh Nabi SAW baik berupa perkataan ataupun 

perbuatan. Oleh karena itu dalam dalil-dalil Syara‟ disebut al-

                                                 


Kitab dan Sunnah, yang berarti al-Qur‟an dan Hadits.22 

Dengan demikian, Sunnah dan Hadits bersumber dan 

bersandar kepada Nabi SAW. Hanya saja Sunnah lebih spesifik 

dan khusus, karena ia merupakan soal-soal praktis yang dicon-

tohkan Nabi SAW kemudian berlaku sebagai tradisi di kalangan 

umat Islam. 

Mengenai perbedaan pendapat tentang identik dan 

tidaknya pengertian Hadits dan Sunnah, sebaiknya kita tidak 

berlebihan dalam menyikapinya, sebab bagaimanapun keduanya 

mempunyai sumber yang sama. Sunnah adalah jejak dan lang-

kah Nabi SAW yang terbentuk melalui tindakan dan ucapan-

ucapan Nabi. Sedangkan Hadits adalah berita tentang ucapan, 

perbuatan dan hal ihwal Nabi SAW. Jejak dan langkah Nabi 

tersebut di samping dicontohkan juga diberitakan. 

Berita yang benar tentang Sunnah merupakan pedoman, 

dan berpedoman kepada Sunnah akan kehilangan kontrolnya 

kalau tanpa Hadits yang memberikan gambaran yang benar 

tentang Sunnah itu. Dan Sunnah merupakan bagian dari materi 

Hadits, sedangkan Hadits sebagiannya adalah berita tentang 

Sunnah. 

                                                 


 

3. Pengertian Khabar 

Khabar, secara etimologis berasal dari kata: khabar, yang 

berati „berita‟, dan lafazh atsar artinya „bekas sesuatu‟.23 

Adapun  secara  terminologis,  para  ulama Hadits tidak 

sepakat dalam menyikapi lafazh-lafazh tersebut. Sebagian 

mereka berpendapat bahwa khabar adalah sinonim dari kata 

Hadits dan sebagian lagi tidak demikian. Karena Khabar adalah 

berita, baik berita dari Nabi SAW, maupun dari shahabat atau 

berita dari tabi‟in.  

4. Pengertian Atsar 

Kata atsar akan lebih jelas pengertiannya apabila diberi 

keterangan di belakangnya, misalnya: atsar Nabi, atsar shaha-

bat, dan sebagainya. Namun dalam istilah Ilmu Hadits, kata 

atsar diidentikkan kepada yang diterima dari shahabat, tabi‟in 

dan lain-lain. 

Memahami hakikat Hadits melalui pembahasan ta‟rifnya 

di atas merupakan pembahasan secara teoritik. Secara riil, Ha-

dits adalah yang tercantum dalam kitab-kitab Hadits sebagai 

koleksi Hadits hasil upaya tadwin,yakni kegiatan mendokumen-

tasikan Hadits yang ditekuni para perawi Hadits melalui proses 

                                                 

 

periwayatan. Misalnya Hadits di bawah ini: 

نىثََّ دحَ َّنِبْاَّنِعَََّّبٍاهَشَِّنِبْاَّنِعََّفُسُوْ ُيَّ ِنِِرَ َبخْاََّ:لَاَقَّبٍىْوََّنُبَْانَأبْنَاَّيَْيَََّنِبْةُلَمَرْحَ ِِ

ى لصََّلِلهاَّلِوْسُرََّنْعََّوُنْعََّوُلّلاَّيَضِرََّةَرَ ْيرَىَُّبِِآَّنْعََّنِحْْ رلادُبْعََّنِبْةِمَلَاسَ للها’َّمَ لسَوََّوِيْلَعََّ

ََّ يلاوََّلِلهااِبَّنُمِؤُيَّنَاكََّنْمَوََّتْمُصْيَِلَّوَْااًر ْ يخََّلْقُ َيلْ َفِرخِلَااَّْمِوْ َيلْاوََّلِلهااِبَّنُمِؤُيَّنَاكََّنْمَ:لَاَقَّمِوْ

.)ملسمَّهور(َّ,وُفَ ْ يضََّمِْركْيُلْ َفَّرِخِلآاَّمِوْ َيلْاوََّلِلهااِبََّّنُمِؤُيَّنَاكََّنْمَوََّهُرَاجََّمِْركْيُلْ َفَّرِخِلآلاَّ

Teks tersebut dikatakan Hadits karena dinisbahkan kepada 

Nabi Muhammad SAW. Tanda penisbahan ini adalah lafazh: 

َّلاَقَّمَ لسَوََّوِيلَعََّللهاَّى لصََّّلِلهاَّلِوْسُرََّنْعََّ

Dengan demikian, menurut teori atau ta‟rifnya, Hadits 

adalah segala yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW 

dan secara praktis, yang disebut Hadits itu adalah apa yang 

terkoleksi dalam kitab Hadits. Seperti tentang al-Qur‟an, 

menurut teorinya al-Qur‟an itu adalah kalamullah yang 

diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW—dikisahkan dengan 

lisan dan mutawatir, dan dianggap beribadah bagi yang men-

tilawah-kannya—yang tidak dapat ditandingi oleh yang 

menentangnya walaupun hanya seayat saja. 

Namun  secara  riil, yang dimaksud dengan al-Qur‟an ialah 

yang tersurat pada Mushhaf, yang dikenal dengan Mushhaf 

Utsman, sebagai hasil pembukuan dari kodifikasi al-Qur‟an 

masa Rasulullah SAW dan masa Abu Bakar al-Siddiq.  

 

 

Hadits yang di-wurud-kan masa Nabi oleh Nabi, diterima 

shahabat, tabi‟in, dan para pelanjutnya melalui periwayatan 

yang antara lain berupa tadwin atau pembukuan, yang 

menghasilkan terkoleksinya Hadits dalam sejumlah kitab Hadits 

seperti terlihat dewasa ini.   

Dari teks di atas tertulis dalam footnote-nya Rawahu 

Muslim  ( ملسم هاور), yang artinya diriwayatkan oleh Muslim, hal 

ini menunjukkan bahwa teks tersebut dikutip dari kitab Hadits 

al-Jami‟ al-Shahih yang ditulis oleh Muslim sebagai salah satu 

kitab Hadits yang dihasilkan dari periwayatan dan pentadwinan 

Hadits yang telah dilakukannya. 

Dari pembahasan tentang pengertian Hadits di atas, 

disebutkan bahwa Hadits adalah perkataan (aqwal), perbuatan 

(af‟al), pernyataan (taqrir) dan sifat, keadaan, himmah dan lain-

lain yang diidhafahkan kepada Nabi SAW.  

Namun apa yang dimaksud dengan aqwal, af‟al, taqrir, 

himmah itu, dan bagaimana contohnya? Tampak di sini 

memerlukan fokus bahasan masing-masing yang lebih spesifik 

dan terurai, sehingga membentuk suatu definisi oprasional.   

a. Perkataan (aqwal) ialah perkataan yang pernah beliau ucap-

kan, yakni sesuatu bunyi yang dilisankan dan mempunyai 

 


 

makna, baik mengenai aqidah, hukum, akhlak, pendidikan 

dan lain-lain. Contoh: 

ى لصََّلِلهاَّلوْسُرََّلَاَق للها’َّقفتم(َّ,ىوَنامََّئٍِرمْاٍَّّلكُلِاَ  نَّاِوَّتِاَيٍّنلاِِبَّلُامَعْلَااَّْاَ  نَّاَِّمَ لسَوََّوِيْلَعَ

).ويلع 

“Rasulullah SAW telah bersabda: Hanya saja amal-amal 

perbuatan itu dengan niat, dan setiap orang hanya mem-

peroleh apa yang ia niatkan…” Riwayat Mutafaq „alaih.  

Tanda bahwa teks itu qaul Nabi adalah lafazh: لاق   pada:  

ملّسوَّويلعَّللهاَّىلّصَّللهاَّلوسرَّلاقَّ

Dan jelas sekali lafazhnya berupa ucapan yang di-idhafah-

kan kepada Nabi SAW. 

b. Perbuatan (af‟al) ialah apa yang beliau kerjakan yang meru-

pakan penjelasan dan pengamalan praktis terhadap peraturan 

Syari‟at, praktek ibadah, aktivitas muamalah, dan lain-lain. 

Contoh: 

ى لصََّ لِلهاَّ لُوسُرََّ نَاكَ للها’َّىلّصَيَُّ َّ مَ لسَوََّ ويْلَعَََّّاذَاَِفَّ وِِبَّ تْهَ جوَ َتَّ ثُيْحََّ وِتِلَحِاَرَّىلَعَ

.ىراخبلاَّهاورَّ,ةَلَ ْ بقِلْاَّلِبَقْ َتسْاَفَّلَزَ َنَّةَضَيِْرفَلْادَاَرَاَّ

“Rasulullah SAW pernah melakukan shalat di atas 

kendaraan (dengan menghadap kiblat) menurut arah 

kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak shalat 

 

 

fardhu beliau turun sebentar, terus menghadap kiblat” 

Riwayat al-Bukhari.  

Ciri atau tanda untuk memahami bahwa teks itu merupa-

kan perbuatan (af‟al) Rasul, adalah lafazh:  

ى لصََّلِلهاَّلُوسُرََّنَاكَ للها’َّىلّصَيََُّّمَ لسَوََّويْلَعََّ

Jelas bahwa itu perbuatan Rasulullah SAW. 

c.  Pernyataan (taqrir) ialah kesan adanya ketetapan aturan dan 

ajaran dari keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan 

sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau 

diperkatakan oleh para shahabat di hadapan beliau. Sebagai 

contoh: kesan dari sikap Nabi SAW terhadap tindakan 

Khalid Ibn Walid dalam salah satu jamuan makan 

menyajikan masakan daging biawak dan mempersilahkan 

kepada Nabi SAW untuk menikmatinya bersama para 

undangan. Beliau menjawab: “(Maaf) tidak, berhubung 

binatang itu tidak terdapat di kampung kaumku, aku jijik 

padanya”. Khalid segera memotong dan memakannya, 

sedangkan Nabi melihat padanya dan tidak melarangnya. 

Membedakan mana yang taqrir dari perkataan dan perbu-

atan, memang sulit. Itulah sebabnya, ta‟rif taqrir di atas 

adalah atsar atau kesan adanya ajaran dari suatu peristiwa 

 


yang berkaitan dengan Nabi SAW sebagai sumber ajaran. 

d.  Sifat, Keadaan, dan Himmah. 

1) Sifat-sifat Nabi yang dilukiskan oleh para shahabat dan 

ahli tarikh, seperti sifat-sifat dan bentuk jasmaniah 

beliau. Contoh: 

ى لصََّللهاَّلُوسُرََّنَاَك للها’ََّّسَيَْلَّاقًلْخَََّّمْهُ َنسَحْاََّوَاهًجْوََّسِا نلاَّنَسَحْاََّمَ لسَوََّوِيْلَعَ

َِّنًْصِقَلاِبَلاوََّلِيْوِ طلاِب.َّ.ىراخبلاَّهاورَّ

“Rasulullah itu adalah sebaik-baik manusia mengenai 

paras mukanya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan 

orang tinggi dan bukan pula orang pendek”. 

2) Keadaan, antara lain silsilah, nama-nama dan tahun 

kelahiran yang ditetapkan para shahabat dan ahli tarikh. 

Contoh: Qais Ibn Marhamah berkata: 

َّلُوسُرَوََّاَنَاَّتُدْلِوُى لصََّلِلها للها’َّليْفِلْاَّمَاعََّمَ لسَوََّوِيْلَعَ .َّىذمترلاَّهاورَّ

 “Aku dan Rasulullah SAW dilahirkan pada tahun 

gajah”.  

3) Himmah, rencana (hasrat) Nabi yang belum direalisasi-

kan, misalnya hasrat beliau untuk berpuasa pada tanggal 

9 „Asyura seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, 

yang menyatakan: 

 


 

ى لصََّ لِلهاَّ لُوسُرََّ مَاصََّ ا ملَ للها’َّاولُاَقَّ وِمِايَصِبَِّ رَمََاَّ وََّ ءَاَروْشُاعََّ مَوْ َيَّ َّ مَ لسَوََّ وِيْلَعَ

َُّماعََّ نَاكََّ اذَاَِفَّ لَاقَ َفَّىراصَ نلاَّ وََّ دُوْهُ َيلْاَّ وُمٍُّظعَ ُيَّ مٌوْ َيَّ وُ نِاَّ لِلهاَّ لَوسُرَاَيََّّنِْاَّ لِبِقْ

ُ

لما

.دوادوباوَّملسمَّهاور.عِسِاتَلاَّمَوْ َيلْاانَمْصَُّللهاَّءَاشََّ

“Ketika Rasulullah SAW berpuasa pada hari „Asyura 

dan memerintahkan untuk dipuasai, para shahabat 

menghadap kepada Nabi, mereka berkata: Ya 

Rasulallah! Bahwa hari ini adalah yang diagungkan 

oleh Yahudi dan Nasrani. Ra-sul bersabda: Tahun yang 

akan datang insya Allah aku akan berpuasa tanggal 

sembilan” (Riwayat Muslim dan Abu Dawud). 

Tetapi Rasul tidak sempat menjalankan puasa di tahun 

depannya, karena beliau telah wafat. 

Berdasarkan keempat unsur Hadits di atas, maka kita 

tahu bahwa salah satu lingkup atau obyek pembahasan 

Hadits adalah hal ihwal Hadits dalam kriteria: qauliyah, 

fi‟liyah, taqririyh, kauniyah dan hamiyah Nabi itu sen-

diri. Sementara dalam suatu Hadits ternyata bisa meliputi 

keempat kriteria itu atau hanya terdiri dari salah satunya 

saja dari keempat kriteria tersebut.  

Kemudian, ruang lingkup atau obyek pembahasan tentang 

Hadits dapat kita perinci juga dari periwayatannya. Pada 

 


 

periwayatan Hadits harus terdapat tiga unsur yakni: 1) pemberita 

atau rawi, 2) sandaran berita (sanad), dan 3) materi berita 

(matan) atau marwi.24  

1. Rawi ialah subyek periwayatan, rawi atau yang meriwa-

yatkan Hadits, yakni orang yang menerima, memelihara dan 

menyampaikan Hadits dengan menyertakan sandaran 

periwayatannya. Ta‟rif tersebut diambil dari makna riwayat:      

َّريِرْتَََّوََّطٌبْضََّوََّلٌقْ َنَّ

Sebagaimana tertera pada ta‟rif Ilmu Hadits Riwayah. 

Hadits yang di-wurud-kan oleh Nabi SAW diterima oleh 

shahabat, kemudian dipelihara dalam hapalan, amalan dan 

kadang-kadang juga dalam tulisan, kemudian disampaikan 

kepada muridnya, dari kalangan shahabat, begitu selanjutnya 

berlangsung di kalangan tabi‟in, tabi‟u al-tabi‟in, dan 

sebagainya. 

Hadits tersebut ditulis pada diwan-diwan Hadits dalam 

kitab Mushanaf, Musnad, Sunan, dan Shahih yang disusun 

para rawi dan mudawin selama tiga abad. Mudawin (penulis) 

kitab Hadits tersebut merupakan rawi terakhir dari Hadits-

Hadits yang terhimpun dalam kitabnya. 

                                                 

2. Sanad atau thariq ialah jalan menghubungkan matan Hadits 

kepada junjunan kita Nabi Muhammad SAW. Sanad ialah 

sandaran Hadits, yakni referensi atau sumber yang 

memberitakan Hadits, yakni rangkaian para rawi 

keseluruhan yang meriwayatkan suatu Hadits. 

Pada saat ini, saat telah terkoleksinya Hadits dalam kitab 

Hadits, sandaran suatu Hadits adalah para mudawin, 

misalnya untuk Hadits yang tercantum pada kitab Shahih 

Muslim, sanad (sandaran) kita adalah Muslim, sanad (san-

daran) bagi Muslim adalah gurunya (syaikh), sanad bagi 

gurunya adalah gurunya pula, begitu selanjutnya sampai 

kepada shahabat sebagai sanad terakhir dan merupakan rawi 

pertama atau asal sanad. Jadi, sanad adalah rangkaian para 

rawi yang menjadi sumber pemberitaan Hadits.  

3. Matan ialah materi berita, yakni lafazh (teks) Haditsnya, 

berupa perkataan, perbuatan atau taqrir, baik yang 

diidhafahkan kepada Nabi SAW, shahabat atau tabi‟in, yang 

letaknya dalam suatu Hadits pada penghujung sanad. 

Bila dikatakan Hadits terdiri dari sanad dan matan, maka 

pengertian sanad adalah termasuk rawi, sebab sanad adalah 

kumpulan atau rangkaian para rawi yang menjadi sandaran 

matan. 

 

 

Antara sanad dan matan Hadits sangat erat hubungannya, 

yakni antara satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. 

Karenanya, di sini posisi sanad dan matan sangat menentu-

kan shahih dan tidak shahihnya suatu Hadits. 

Secara tersendiri, para ulama Hadits seperti yang dikutip 

oleh Hasbi Ash-Shiddieqy,25 menyoroti posisi sanad Hadits 

ini antara lain sebagai berikut: 

Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn Sirrin: 

َّن معََّاوْرُُظنْاَفَّنٌيْدَِّمُلْعِلْااذَىَََّّّْمكُنَ ْيدَِّنَوْذُخُأَْتَّ

“Ilmu ini (Hadits) adalah agama, maka lihatlah dari siapa 

kamu mengambil agamamu”. 

Abdullah Ibn al-Mubarak berkata: 

ََّءاشََّامََّءَاشََّنْمََّلَاقَلََّدُانَسْلِااَّْلاَّوْلَوََّنِيْ ٍّدلاَّنَمَِّدُانَسْلِاأََّ

“Sanad Hadits itu adalah suatu ketentuan agama. Seki-

ranya tidak ada sanad, tentulah siapa saja dapat menu-

turkan apa yang ia kehendaki”. 

)دُانَسْلِااَ(َّمِِئاوَقَلَْاَّ)ةِعَدْبِلْاَّلُىَْا(َّمِوْقَلْاَّ َنٌْ َبوانَ َن ْ ي َبَّ

                                                 

 

“Di antara kami dan di antara golongan ahli bid‟ah ialah 

isnad”.  

اَّلُثَمَىذِ لاَّلِثَمَكََّدٍانَسْاَِّلابَِّوِنِْيدِرَمَْاَّبُلُطَْيَّىذِ ل َّم لسُلَابَِّحِطُّْسلاَّىقَترْ َيَّ

“Perumpamaan orang yang mencari urusan agamanya 

dengan tidak memakai sanad adalah seperti orang naik ke 

atap rumahnya dengan tidak memakai tangga”. 

َّدُانَسْلإاَ؟لُِتَاقُيَّءٍيْشٍََّّيأَبَِفََّّحٌلَاسَِّوُعَمََّنْكُيََّلَََّاذَاَِفَّنِمِؤُ

لماَّحُلَاسَِّ

“Sanad itu senjata orang mu‟min apabila tidak ada 

besertanya senjata, maka dengan apa ia menghadapi 

musuhnya?”. 

Al-Syafi‟i berkata: 

َِّاَلابَِّثَيْدِلَِاَّْبُلُطَْيَّىْذِلّاَّلُثَمََّليَْلَّبِطَحََّلِثَمَكََّدٍانَسَّْ

“Perumpamaan orang yang mencari Hadits tanpa sanad 

sama dengan pengumpul kayu api di malam hari”. 

Dengan demikian posisi sanad dipandang sangat 

berpengaruh terhadap kualitas suatu Hadits, dan disinilah 

letak keistimewaan Hadits, sebagai sesuatu yang datang dari 

Nabi SAW. 

Untuk jelasnya, perhatikan contoh berikut ini. Dalam kitab 

Jami‟ al-Shahih susunan al-Bukhari tertulis: 


 

َّيَضِرََّرُمَعَُّنِبَّْلِلهادبْعََّنْعََّعٍفِاَنَّنْعََّكُلِامَاَنرَ َبخْاََّفُسُوْ ُيَّلِلهاَّدُبْعََّانَ َث  دحََّ نَاَّامَهُ ْ نعََّللها

ى لصََّلِلهاَّلَوسُرَ للها’ َّوِبِحِاصََّىلَعَِرايَِلْْاِبَّامَهُ ْ نمَِّدٍحِاوََُّّلكَُّنِاعَِيَّابَتَمُلَْاَّ:لَاَقَّمَ لسَوََّوِيْلَعَ

َّرِايَِلْاَّعَيْ َبَّ لااَِّاَق رفَ َت َيَّلَََّامَ,َّ.ىراخبلاَّهاور 

Dengan demikian uraian di atas dapat diringkaskan bahwa: 

a) Rawi dari Hadits di atas adalah Muhaditsin yang menerima 

berita yang diwurudkan oleh Nabi SAW, yakni shahabat 

yang bernama „Abdullah ibn „Umar kemudian Nafi yang 

menerima dari „Abdullah ibn „Umar, kemudian Malik, 

„Abdullah ibn Yusuf, dan akhirnya al-Bukhari sebagai rawi 

yang men-tadwin Hadits tersebut dalam kitab Jami al-

Shahih.  

b) Sanad adalah sandaran Hadits. Bagi kita sandaran pertama 

adalah mudawin, al-Bukhari, sanad kedua adalah gurunya 

al-Bukhari yakni „Abdullah ibn Yusuf, kemudian Malik 

sebagai referensi Ibn Yusuf, kemudian Nafi rujukan Malik, 

dan akhirnya „Abdullah ibn „Umar sebagai sanad terakhir, 

yang biasa disebut asal sanad dan merupakan rawi pertama. 

Rawi dan sanad adalah itu-itu juga. Rawi adalah masing-

masing periwayat, sedangkan sanad adalah rangkaian para 

rawi itu, baik rawi penerima maupun rawi penyampai. Kalau 

diurut penyebutannya, rawi dimulai dari pertama (shahabat) 

terus sampai pada rawi mudawin. Sedangkan sanad, diurut 


mulai dari mudawin, gurunya, dan seterusnya sampai rawi 

pertama (asal sanad) yaitu shahabat.  

c) Matan atau marwi atau lafazh atau teks atau Haditsnya 

adalah lafazh: 

.رِايَِلْاَّعِيْ َب لااَِّاَق رفَ َت َيَّلََامََّوِبِحِاصََّىلَعََّرِايَِلْاِْبامَهُ ْ نمَِّدٍحِاوََُّّلكَُّنِاعَِيَّابَتَمُلَْاَّ

Ruang lingkup pembicaraan atau pembahasan tentang 

Hadits harus juga sampai pada penelaahan mengenai aspek-

aspek dari materi (isi kandungan) dari Hadits tersebut. Jika 

disimpulkan isi kandungan Hadits Nabi itu meliputi: 

1. Akidah, yaitu tauhid, sifat ketuhanan, kerasulan, 

pembangkitan di hari akhir dan lain-lain. 

2. Hukum yang menerangkan ibadah, muamalah, jinayah, 

hukum keluarga dan lain-lain. 

3. Budi pekerti, etika, hikmah, kesopanan yang tinggi serta 

pengajaran yang efektif. 

4. Sejarah, yakni yang menerangkan tentang keadaan 

Rasulullah SAW, keadaan shahabat dan tentang segala usaha 

dan karya yang dilaksanakan.26 

Adapun ruang lingkup pembahasan Ilmu Hadits atau Ilmu 

Mushthalah Hadits (dalam arti luas) pada garis besarnya 

                                                 

meliputi Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah. 

Obyek Ilmu Hadits Riwayah ialah bagaimana proses 

menerima, memelihara, menyampaikan kepada orang lain dan 

memindahkan atau mentadwinkan dalam suatu diwan/kitab 

Hadits. Dalam menyampaikan dan mentadwin Hadits, hanya 

dinukilkan dan dituliskan apa adanya baik mengenai matan 

maupun sanad-nya. 

Ilmu ini tidak membicarakan apakah matan-nya ada yang 

janggal atau cacat (syadz atau „illat), dan apakah sanadnya 

bertali temali (bersambung) satu sama lainnya  atau  terputus. 

Juga  tidak membicarakan hal ihwal dan sifat-sifat perawi, 

apakah mereka „adil, dhabith, atau fasiq. 

Manfaat mempelajari Ilmu Hadits Riwayah ini ialah untuk 

menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa 

yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. 

Adapun obyek Ilmu Hadits Dirayah terutama Ilmu 

Mushthalah yang khas, ialah meneliti kelakuan para perawi, 

keadaan sanad dan keadaan marwi (matan)-nya.  

Manfaat atau tujuan Ilmu Hadits ini adalah untuk 

menetapkan maqbul (dapat diterima) dan mardud (ditolak)-nya 

suatu Hadits, dan selanjutnya yang maqbul untuk diamalkan, 

 

 

dan yang mardud ditinggalkan. 

Ruang lingkup Ilmu Hadits yang dikaitkan dengan aspek 

rawi, matan dan sanad pada Hadits, dari jenis-jenis Ilmu Hadits 

yang banyak itu digolongkan kepada Ilmu Hadits yang berkaitan 

dengan rawi atau sanad, yang berkaitan dengan matan, dan yang 

berkaitan dengan ketiganya (rawi, sanad, dan matan). 

Cabang  Ilmu Hadits dari segi rawi dan sanad, antara lain: 

Ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu Thabaqah al-Ruwat, dan ilmu Jarh 

wa al-Ta‟dil. 

Adapun cabang Ilmu Hadits dari segi matan, antara lain 

Ilmu Gharib al-Hadits, Ilmu Asbab Wurud al-Hadits, Ilmu 

Nasikh Mansukh, Ilmu Talfiq al-Hadits, Ilmu Fan al-Mubhamat, 

dan Ilmu Tashhif wa al-Tahrif. 

 

B. Periodesasi Perkembangan Hadits 

Apabila kita pelajari dengan seksama suasana dan 

keadaan-keadaan yang telah dilalui hadits sejak zaman 

tumbuhnya hingga dewasa ini, maka akan terlihat benang merah 

perjalanan hadits, antara satu periode ke periode berikutnya 

yang saling berhubungan. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy,27 

                                                 

dapat ditarik sebuah garis bahwa hadits Rasul sebagai dasar 

tasyri‟ yang kedua sesudah  al-Qur‟an telah melalui enam masa 

dan sekarang sedang menempuh periode ketujuh. 

Masa pertama, adalah masa wahyu dan pembentukan 

hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi diutus sampai 

beliau wafat pada tahun 11 H (dan 13 sH., sampai 11 H.). 

Masa kedua, adalah masa membatasi riwayat, yakni masa 

Khulafa al-Rasyidin (12 H. sampai 40 H.). 

Masa ketiga, adalah masa berkembangnya riwayat dan 

masa perlawatan dan kota ke kota untuk mencari hadits, yaitu 

masa shahabat kecil dan tabi‟in besar (41 H. sampai akhir abad 

pertama Hijriah). 

Masa keempat, adalah masa pembukuan hadits (dan 

permulaan abad kedua Hijriah sampai akhir abad tersebut). 

Masa kelima, adalah masa pentashihan hadits dan penya-

ringannya (awal abad ketiga Hijriah sampai akhir abad tersebut). 

Masa keenam, adalah masa menulis kitab-kitab hadits dan 

menyusun kitab-kitab jami‟ khusus (dan awal abad keempat 

sampai jatuhnya Baghdad tahun 656 H.) 

Masa ketujuh, adalah masa membuat syarah, membuat 

kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadits-hadits hukum dan 

membuat kitab-kitab jami‟ yang umum serta membahas hadits-

hadits zawa‟id (dari tahun 656 H. sampai sekarang). 

 


 

C. Hadits sebagai Bayan al-Qur’an 

Menurut petunjuk al-Qur‟an, hadits Nabi adalah sumber 

ajaran Islam di samping al-Qur‟an, umat Islam sekaligus 

diharuskan untuk mematuhi dan mentaatinya.28 Ini berarti, untuk 

mengetahui ajaran Islam yang benar, di samping diperlukan 

petunjuk al-Qur‟an juga diperlukan petunjuk hadits Nabi. 

Ternyata, dilihat dari wujud ajaran Islam itu sendiri, Nabi 

Muhammad SAW merupakan tokoh sentral yang sangat 

dibutuhkan. Bukan hanya sekedar pembawa risalah Ilahiyah dan 

penyampai ajaran Islam yang terkandung di dalamnya saja, 

tetapi lebih dari itu beliau sangat dibutuhkan sebagai tokoh satu-

satunya yang dipercaya Allah untuk menjelaskan, memerinci, 

atau memberi contoh ajaran tersebut. 

Sebagian ulama, misalnya, memberi istilah untuk hadits 

Nabi dengan wahyu ghair al-matlu (tak tertulis), sebagai 

imbangan terhadap istilah al-Qur‟an yang disebutnya wahyu al-

matlu (tertulis). Pendapat ini memang mengundang masalah, 

sebab dengan menyatakan bahwa seluruh hadits Nabi sebagai 

wahyu, maka berarti semua jenis apa saja yang disandarkan ke-

pada Nabi, sebagaimana pengertian menurut ulama hadits, ada-

lah wahyu. Kalau begitu apakah tertawa dan warna rambutnya 

                                                 


juga wahyu? Dalam hubungannya dengan ini, seperti yang telah 

dijelaskan di atas, ulama ushul memberi batasan bahwa hadits 

Nabi adalah yang berkaitan dengan hukum, maka bagaimana 

dengan ijtihad Nabi yang ternyata mendapat koreksi dari al-

Qur‟an, apakah termasuk wahyu juga? 

Terlepas dari tepat atau tidaknya pernyataan bahwa hadits 

Nabi adalah ghair matlu, yang pasti Allah telah memberi 

kedudukan kepada Nabi Muhammad sebagai Rasulullah dengan 

fungsi dan tugas antara lain: 1) menjelaskan al-Qur‟an,29  2) 

dipatuhi oleh orang-orang beriman,30 3) menjadi uswah 

hasanah,31  dan 4) menjadi rahmat bagi seluruh alam.32 

Posisi hadits sebagai sumber ajaran Islam yang tingkatan 

dan derajatnya di bawah al-Qur‟an, telah disepakati para ulama. 

Alasan mengenai hal ini di antaranya sebagai berikut: 

Pertama, bahwa al-Qur‟an diyakini kebenarannya dengan 

tegas, terutama dari segi periwayatannya (qat‟i al-wurud), 

sedangkan hadits bersifat zhanny alwurud.  

Kedua, hadits itu ada kalanya sebagai keterangan (penje-

lasan) dari al-Qur‟an dan ada kalanya sebagai penambah kete-

                                                 

 

rangan (penjelasan) saja, maka dengan sendirinya hadits datang 

sesudah  al-Qur‟an.  

Ketiga, banyak dalil yang menunjukan keharusan untuk 

mendahulukan al-Qur‟an sebelum al-hadits dalam penetapan 

(penunjukan) hukum-hukum tertentu, baik dalam al-Qur‟an, al-

hadits, ataupun dalam atsar shahabat.33 

Dengan demikian, pandangan para ahli di atas menjelas-

kan bahwa al-Qur'an mengandung pokok-pokok ajaran Islam 

secara global (mujmal), mutlaq dan umum, yang memerlukan 

rincian (taqyid dan takhshish) atau dengan istilah secara umum, 

al-Qur'an membutuhkan keterangan lebih lanjut (al-bayan). 

Karena itu, al-Qur'an dipandang dari sumber hukum merupakan 

asas atau dasar Islam. Ia mengatur dasar dan petunjuk hukum 

tentang hubungan muslim dengan Tuhannya dan hubungan 

muslim sesama muslim pada khususnya serta hubungan muslim 

dengan manusia pada umumnya. Sedangkan sunnah atau hadits 

Nabi merupakan sumber kedua dan Ijtihad merupakan sumber 

hukum yang ketiga. Sistematikanya adalah sebagai berikut:  

1) Al-Qur'an ialah undang-undang dasar Islam,  bersumber dari 

Allah,  

2) Sunnah atau hadits ialah undang-undang Islam bersumber 

                                                 

 

dari Nabi, dan 

3) Ijtihad ialah peraturan Islam atau kaidah-kaidah hukum yang 

dirumuskan oleh muslim yang berilmu. 

Al-Qur'an menggariskan hukum dasar cara hidup seorang 

muslim sebagai hamba Allah,  individu,  sebagai anggota sosial 

dan komunitas muslim. Dengan hukum dasar itu diaturlah, 

dikendalikan dan diarahkan cara berpikir (rasio dan rasa),  cara 

mengatur kemauan dan cara muslim berbuat sebagai individu 

maupun sebagai masyarakat. 

Di sini al-Qur‟an bisa dimisalkan sebagai undang-undang 

dasar, yang memerlukan undang-undang untuk menjelaskan, 

penafsiran, mengulas, dan melaksanakan undang-undang dasar 

tersebut, yang lazimnya bersifat dasar dan umum. Misalnya 

undang-undang dasar menentukan bahwa pemerintahan ber-

bentuk demokrasi. Bagaimana pembentukan itu, strukturnya, 

pembagian wewenang dan lain-lain, tidak diatur dalam undang-

undang dasar. Demikian pula al-Qur'an memerintahkan shalat, 

puasa, zakat, haji, adil, taqwa, dan beramal shaleh. Bagaimana 

melaksanakannya, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan lain-

lainnya tidak diuraikan dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, al-

Qur'an memerlukan undang-undang untuk menjelaskan, menaf-

sirkan, mengulas, merinci, dan melaksanakannya, yang para 

ulama merumuskannya dalam pelbagai bentuk penjelas (bayan). 

 

 

Yang menjalankan tugas dan fungsi undang-undang itu dalam 

semantik hukum Islam adalah sunnah atau hadits.  

Adanya hadits Nabi, al-Qur'an diwujudkan dalam kehi-

dupan yang nyata. Nabi Muhammad SAW dengan haditsnya, 

memberikan contoh yang konkrit, bagaimana melaksanakan al-

Qur'an dalam kehidupan. Oleh karena itu, hadits Nabi sangat 

penting kedudukannya dalam Islam sebagai hukum kedua 

sesudah  al-Qur'an. Di samping itu, memahami al-Sirah al-

Nabawiyyah adalah memahami Islam secara keseluruhan yang 

menjelma dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. 

Fungsi Nabi yang tidak hanya menyampaikan wahyu-

wahyu Allah kepada umat manusia, tetapi juga beliau memberi 

petunjuk bagaimana melaksanakan wahyu dalam kehidupan real 

sehari-hari. Beliau memberikan contoh bagaimana mewujudkan 

wahyu itu kepada diri manusia. Karena itu Rasul mestilah 

manusia. Perubahan dan perbaikan manusia hanya mungkin 

dilakukan dan diberikan contoh oleh manusia itu sendiri. Kalau 

tidak, ia akan jauh dari alam realita dan fakta yang konkrit. 

Malaikat adalah juga utusan Allah, mengapa tidak mereka 

saja yang diangkat menjadi Nabi dan Rasul? Tugas malaikat 

menyampaikan wahyu kepada manusia terpilih, manusia sem-

purna, yaitu yang diangkat Allah sebagai Rasul-Nya. Malaikat 

adalah jenis makhluk yang berbeda dengan manusia. Dia tidak 

 

 

dapat menjadi contoh bagi manusia. Rasulullah sebagai manusia 

yang sempurna, memungkinkan untuk menjadi suri teladan bagi 

jenis manusia untuk kesempurnaannya. Itulah makna ayat dalam 

al-Qur'an yang mengatakan: 

Katakanlah: Kalau seandainya ada malaikat-malaikat 

yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami 

turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi 

rasul (QS. al-Isra, 17: 95). 

Ayat di atas menandaskan bahwa Allah tidak mengutus 

malaikat menjadi Rasul, tetapi Allah mengangkat Rasul itu dari 

jenis manusia yang konkrit dari daging dan darah yang makan 

dan minum dan suatu saat akan meninggal. Karena tugas rasul 

adalah mengadakan reformasi kehidupan mansia, rasul 

mencontohkan sendiri dalam bentuk laku perbuatan, bagaimana 

reformasi itu? Rasul tidak hanya menyampaikan ilmunya, tetapi 

juga memperlihatkan bagaimana amalnya di samping berbentuk 

ucapan dan pembenaran atas sesuatu tindakan yang dilakukan 

shahabat-shahabat. Oleh karena itu para ulama membagi hadits 

Nabi ini ada yang qauli,  fi'ly,  dan taqriry. 

Al-Qur'an dan hadits Nabi diyakini oleh umat Islam 

sebagai sumber ajaran Islam. Kedua sumber ini tidak hanya 

dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan saja, tetapi juga 

disebarluaskan ke berbagai lapisan masyarakat.  

 

 

Seluruh ayat yang terhimpun dalam mushhaf al-Qur'an 

tidak dimasalahkan oleh umat Islam tentang periwayatannya. 

Seluruh lafazh yang tersusun dalam setiap ayat tidak pernah 

mengalami perubahan, baik pada zaman Nabi maupun sesudah 

zaman Nabi. Jadi, kajian yang banyak dilakukan oleh umat 

Islam terhadap al-Qur'an adalah kandungan dan aplikasinya, 

serta yang sehubungan dengannya. 

Dengan demikian kebenaran al-Qur'an sebagai firman 

Allah yang diyakini berdasarkan iman dan ilmu, tidak 

dipermasalahkan oleh umat. Kepercayaan terhadap al-Qur'an 

sehubungan dengan masalah di atas sangat jelas. Ketika Jibril 

menyampaikan al-Qur'an kepada Nabi Muhammad SAW, beliau 

menghafalkannya persis seperti ucapan Jibril. Selanjutnya Nabi 

menyampaikan al-Qur'an kepada umat. Ketika itulah Allah SWT 

menjamin bahwa Allah lah yang akan menghimpun al-Qur'an 

dengan bacaannya secara lengkap.34 

Untuk hadits Nabi, yang dikaji tidak hanya kandungan dan 

aplikasi petunjuknya serta yang sehubungannya saja, tetapi juga 

periwayatannya. Hal ini karena status hadits yang diyakini oleh 

mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran Islam yang berasal 

dari Allah (Wahyun Gairu Mathluwin), mempunyai sifat yang 

                                                 


spesifik yakni maknanya dari Allah, sementara lafazhnya dari 

Nabi Muhammad SAW. Spesifikasi dari sifat hadits demikian 

yang terbentuk dari perkataan, perbuatan, ketetapan dan hal 

ihwal Nabi ini memerlukan penelitian yang mendalam. 

Penelitian diperlukan, karena hadits yang sampai kepada umat 

Islam melalui jalan periwayatan yang panjang, sepanjang 

perjalanan sejarah kehidupan umat Islam. Di samping itu, 

perjalanan hadits yang disampaikan dari generasi ke generasi, 

memungkinkan adanya unsur-unsur yang masuk ke dalam 

periwayatan itu baik unsur sosial maupun budaya dari 

masyarakat generasi periwayat hadits itu hidup. Penelitian pada 

jalur periwayatan (sanad) dan lafazh,  materi dan isi (matn)  dari 

hadits itu menjadi sangat penting, karena boleh jadi apa yang 

dikatakan sebagai hadits, sesudah  diteliti dari kedua jalur ini 

ternyata sangat lemah untuk disebut hadits Nabi. 

Berbicara tentang fungsi hadits terhadap al-Qur'an, yang 

dilihat dari perbedaan petunjuknya, maka al-Qur'an merupakan 

sumber pertama, sedangkan hadits menempati sumber kedua. 

Bahkan sulit dipisahkan antara al-Qur'an dan hadits Nabi, 

karena kedua-duanya adalah wahyu, hanya yang pertama 

Wahyun Matluwun dan yang kedua Wahyun Ghairu Matluwin. 

Posisi hadits Nabi seperti itu tidak hanya dijelaskan oleh Nabi, 

bahkan juga oleh Allah SWT, antara lain menyatakan:  

 

 

53 

 

Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada 

Rasul (Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka 

ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, 

hanyalah menyampaikan (amanat Allah)  dengan terang (QS. 

al-Maidah, 5: 92).35 

Mayoritas umat Islam sepakat dan menerima hadits 

sebagai sumber ajaran Islam yang tak terpisahkan dari al-Qur'an. 

Namun demikian minoritas umat Islam menolaknya. Golongan 

yang menolak hadits sebagai sumber ajaran Islam terbagi 

kepada dua golongan: golongan yang menolak hadits secara 

keseluruhan, dan golongan yang menolak hadits Ahad saja. 

Imam Syafi'i menerangkan golongan yang menolak hadits 

sebagai sumber ajaran Islam dengan panjang lebar, disertai 

dengan alasan-alasan mereka dan kemudian Imam Syafi'i 

membantah pendapat mereka dengan alasan-alasan yang kuat 

dan menempatkan persoalanya secara proporsional. Ia membagi 

golongan yang menentang hadits sebagai dasar hukum Islam itu 

kepada tiga golongan:  

1) golongan yang menolak hadits secara keseluruhan, baik yang 

Mutawatir maupun yang Ahad;  

2) golongan yang menolak hadits, kecuali menerimanya jika 

                                                 

 

ada persamaan dengan al-Qur'an; dan  

3) golongan yang menolak hadits Ahad.  

Selain dalam kitab al-Umm, Imam Syafi'i juga 

menyinggung persoalan para penolak hadits ini dalam kitabnya 

al-Risalah dengan panjang lebar.36 Hanya bedanya jika di dalam 

kitab al-Risalah Imam Syafi'i menerangkan dalil-dalil untuk 

membela hadits dari penolakan ketiga golongan tersebut, maka 

di dalam kitab al-Umm ia menerangkan masalah tersebut dengan 

menggunakan metode tanya jawab. 

Di samping itu, mereka menolak  hadits karena hadits itu 

Zhanniyyat al-Wurud yang berbeda dengan al-Qur'an yang 

dikatakan Qath'iyyat al-Wurud. Sementara itu bila dilihat dari 

segi Dalalah-nya atau maknanya, baik al-Qur'an maupun hadits 

ada Qath'iyyat al-Dalalah (muhkamat). Tetapi ada juga yang 

Zhanniyyat al-Dalalah. 

Golongan yang menolak hadits secara keseluruhan, 

menggunakan alasan-alasan sebagai berikut: 

1. Al-Qur'an itu adalah kitab suci yang berbahasa Arab yang 

sudah tentu menggunakan gaya bahasa yang biasa 

dipergunakan oleh bangsa Arab. Kalau seseorang telah 

mengenal gaya bahasa Arab, akan mampu memahami al-

                                                 

Qur'an tanpa memerlukan penjelasan hadits atau Sunnah dan 

penjelasan lainnya. 

2. Al-Qur'an sendiri telah menyatakan bahwa ia telah 

mencakup segala hal yang dibutuhkan oleh manusia 

mengenai segala aspek kehidupannya. Hal ini dijelaskan 

dalam al-Qur'an sebagai berikut: 

Dan (ingatlah) hari yang Kami akan bangkitkan pada 

tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari antara 

mereka, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi 

saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan atas 

kamu al-Kitab (al-Qur‟an) yang menerangkan tiap-tiap 

sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat dan khabar 

gembira bagi kaum muslimin  (QS. al-Nahl, 16: 89). 

Firman Allah yang lain menyatakan: 

Dan tidak ada satupun dari binatang yang merayap di 

bumi, dan tidak ada satupun burung yang terbang dengan 

dua sayapnya, melainkan adalah mereka umat-umat seperti 

kamu. Tidak Kami luputkan (sisakan) dalam kitab itu 

sesuatu, kemudian kepada Tuhan merekalah, mereka akan 

dikumpulkan (QS. al-An'am, 6: 38). 

3. Berdasarkan keterangan yang menurut mereka berasal dari 

sabda Nabi sendiri yang menyatakan: 

 


 

نىعَّسيلفَّنأرقلاَّفلايَُّنىعَّمكاتأَّاموَّنىعَّوهفَّنأرقلاَّقفاويَّنىعَّمكاتأامفَّ

Apa-apa yang sampai kepadamu dari saya, maka 

cocokkanlah dengan kitab Allah (al-Qur'an). Jika sesuai 

dengan kitab Allah maka ambillah dan apabila tidak sesuai 

dengan al-Qur'an maka tolaklah.37 

Menghadapi pernyataan di atas, yang dikemukakan 

golongan penolak hadits sebagai sumber ajaran Islam yang 

kedua, Imam Syafi'i menanggapinya sebagai berikut: 

1. Menurut kenyataan,  bahwa  umat  Islam  dalam 

mengamalkan firman Allah tidak bisa lepas dari penjelasan 

atau keterangan dari hadits. Sebab banyak firman Allah yang 

bersifat mujmal, mutlaq, dan bersifat umum yang 

membutuhkan kepada penjelasan,  baik berupa rincian, 

taqyid dan takhsis. Untuk itu Nabi lah yang diberi tugas dan 

wewenang untuk memberikan penjelasan tersebut. 

2. Yang dimaksud dengan ayat 89 dari surat al-Nahl di atas,  

ialah bahwa Allah telah menjelaskan segala sesuatu yang 

diperlukan oleh manusia seutuhnya secara global dan terinci. 

Penjelasan lebih lanjut ditugaskan kepada Rasulullah SAW 

sedangkan yang dimaksud ayat 37 dari surat al-An'am, ialah 

                                                 

bahwa segala sesuatu mengenai umur seseorang dan 

rizkinya, sudah termaktub dan sudah ditentukan di alam 

Lauh al-Mahfuzh, dan bukan al-Qur'an. Pengertian ini 

diambil dari rangkaian kalimat sebelumnya dari ayat 

tersebut yang berbunyi: 

Dan mereka akan berkata: mengapakah tidak diturunkan 

atasnya satu ayat dari Tuhannya? Katakanlah: 

sesungguhnya Allah berkuasa akan menurunkan satu ayat, 

tetapi kebanyakan  mereka tidak mengetahui (QS. al-

An'am, 6: 37). 

3.  Bahwa yang dianggap hadits oleh mereka sebagaimana tersebut 

pada butir tiga di atas, menurut penelitian para ahli kritik hadits 

ternyata hadits itu adalah palsu (mawdlu). Imam al-Syafi‟i sendiri 

memberi catatan bahwa hadits itu diriwayatkan oleh Khalid ibn 

Abi Karimah dari Abi Ja‟far. Khalid meninggal pada waktu 

perang Badar.38  

Menurut Imam Syafi'i, golongan yang menolak hadits itu 

dapat menimbulkan konsekuensi yang amat berat, karena jika 

mengikuti pendapat mereka itu, maka konsekuensinya akan 

tidak mengerti cara-cara mengerjakan shalat,  puasa,  zakat,  

haji,  dan sebagainya yang di dalam al-Qur'an disebutkan secara 

                                                 

global saja. Karena cara-cara ibadah di atas hanya dapat 

dilakukan secara sempurna dengan melalui penjelasan dari Nabi. 

Adapun golongan yang menolak hadits sebagai hujjah 

karena hadits itu statusnya hanya Ahad yang tingkatannya 

zhanniy al-wurud atau zhanniy al-dalalah, hal itu pada 

hakikatnya masih bersifat sementara, sebelum diadakan 

penelitian terutama segi maknanya. Sebab, meskipun hadits itu 

berstatus Ahad, bila berkualitas shahih, maka pada hakikatnya ia 

adalah sabda Rasul yang diakui keberadaannya oleh Allah SWT. 

Dengan demikian para ulama telah bersepakat dalam 

melihat dari segi turun dan petunjuk yang dikandung al-Qur‟an, 

yakni dalam pembagian status wurud dan dalalah-nya, sebagai 

sesuatu yang qath‟i datang dari Allah SWT. Sedangkan terhadap 

hadits Nabi, para ulama berbeda dalam menentukan statusnya 

yang dilihat dari pembagian di atas. Hal ini karena dari segi 

periwayatannya, hadits ada yang mempunyai kategori mutawatir 

dan ada yang ahad. Begitu pula petunjuknya ada yang bersifat 

qath‟i dan dan ada pula yang zhanni, yang menyebabkan 

kebenaran petunjuknya menjadi relatif.39 

                                                 

 

Hadits dalam status zhanni dari segi petunjuknya, 

maksudnya ialah bahwa nash yang menunjukan satu pengertian, 

namun terhadap nash itu masih memungkinkan dilakukan 

penta‟wilan yang bisa menghasilkan pengertian yang lain. 

Dengan demikian, kebenaran pengertian dari nash tersebut bisa 

relatif atau tidak mutlak karena masih ada pengertian yang 

lainnya. Alhasil, pada nash yang bersifat zhanni al-dilalah itu 

berlaku adanya ijtihad. Sementara pengertian qath‟i al-dilalah, 

menurut para ahli, pengertiannya bisa diidentikan dengan istilah 

muhkam. Begitu pula yang zhanni al-dilalah, identik dengan 

pengertian dari istilah mutasyabih. 

Dengan demikian, sesuatu yang berstatus zhanni 

mempunyai kemungkinan mengadung kesalahan. Hadits yang 

telah diklaim sebagai hadits shahih dinilai terhindar dari 

kesalahan. Meskipun hadits tersebut berstatus ahad dari segi 

periwayatannya. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa 

hadits ahad yang shahih, dari segi petunjuknya ada yang qath‟i 

dan ada yang zhanni.40 Hal ini didasarkan pada tingkat 

periwayatannya terbatas bahkan ada yang berstatus gharib. 

Karenanya untuk mengetahui petunjuk yang terkandung dalam 

hadits, tidak cukup hanya dari pendekatan-pendekatan; syarh al-

                                                 

hadits, fiqh al-hadits atau pendekatan asbab al-wurud-nya dan 

fiqh al-sirah, tetapi juga pengetahuan-pengetahuan lain yang 

relevan, misalnya ushul fiqh, pendekatan kebahasaan, sosiologi 

dan lain sebagainya. 

Namun sejauhmana kedudukan Hadits, baik sebagai 

sumber ajaran Islam yang kedua sesudah  al-Qur‟an maupun 

sebagai interpretasi dan bayan atas firman-firman Allah dalam 

al-Qur‟an, maka para ulama41 menjelaskannya sebagai berikut:    1. Menurut ulama ahl al-Ra’y (Abu Hanifah): 

a. Bayan Taqrir: Keterangan yang didatangkan Hadits untuk 

menambah kokoh apa yang diterangkan oleh al-Qur‟an. 

Contohnya antara lain Hadits Nabi SAW tentang melihat 

bulan untuk berpuasa Ramadhan: 

َّقفتمَّ(,وِتَِيؤْرُِلَّاوْرُطِفْاوََّوِتَِيؤْرُلَِّاومُوْصُ.)ةريرىَّبِاَّنعَّويلع  

“Berpuasa kamu sesudah melihat bulan dan ber-buka kamu 

sesudah melihatnya”. Riwayat Mutafaq ‟alaih. 

Hadits ini menguatkan firman Allah SWT: 

َّىدَُلهاَّنَمَِّتٍانٍَّ ي َبَّوََّسِا نلِلَّىدًىَُّنُآرْقُلَاَّوِيْفَِّلَِزنَّْاَّىذِ لاَّنَاضَمَرََّرُهْشَ

َّناَقرْفُلاوَ 

                                                 

 

 “Bulan Ramadhan yang telah diturunkan di dalamnya al-

Qur‟an untuk petunjuk bagi manusia, keterangan yang mengan-

dung petunjuk dan penjelasan-penjelasan yang memisahkan 

antara yang benar dan yang batal” (Q.S., al-Baqarah: 185). 

َّدَهِشََّنْمَفََُّومْصُيَلْ َفَّرَهْ شلاَّمُكُنْمِ  

“Maka barangsiapa mempersaksikan bulan (hilal) di antara 

kamu hendaklah ia berpuasa” (QS.al-Baqarah: 185). 

b. Bayan Tafsir, menerangkan apa yang kira-kira tak mudah 

diketahui pengertiannya, yang mujmal dan yang 

musytarak fihi. Contoh, Hadits Nabi SAW: 

ثريولِاَّنبَّكلامَّنعَّىراخبلاَّوَّدحْاََّّهاورَّ,ىٍّلصَاَُّنِِوْمُتُ ْيَاَّرََّامَكََّاوُّْلصَ.  

“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat” 

Riwayat Ahmad dan al-Bukhari.  

Hadits ini menerangkan kemujmalan al-Qur‟an tentang shalat.  

Hadits Nabi SAW: 

.وجامَّنباوَّدوادوباَّهاور,َّمْكُلِاوَمَْاَّرِشْعَُّعَبُْراوتُاىَ 

“Berikanlah dua setengah persen dari harta-hartamu” 

Riwayat Abu Dawud dan Ibn Majah.  

Hal ini menerangkan kemujmalan perintah al-Qur-‟an 

tentang zakat. Hadits Nabi SAW: 

ََّعَّاوْذُخُ.ىئاسنلاَّوَّدوادوباَّوَّملسمَّهاورَّ,مْكُكَسَِّانَمََّ ٍّنى  

 


 

 “Ambilah olehmu dariku perbuatan-perbuatan yang dikerjakan 

buat ibadah haji itu” Riwayat Muslim, Abu Dawud dan al-

Nasai.  

Hadits Nabi SAW: 

َّدودوباَّهاور,نِاتَضَيْحَاهَ ُت  دعِوََّنِاتَنِْثَّةِمَلَااَّْقُلَاطَ.ةشئاعَّنعَّمكالِاَّوَّذمترلاَّو  

 “Talak  budak dua  kali dan  iddahnya  dua kali haidh” 

Riwayat Abu Dawud al-Turmudzi dan al-Hakim. 

Hadits di atas menerangkan ayat al-Qur‟an tentang quru 

yang musytarak fihi. 

َّ نهِسِفُ ْنَاِبَّنَصْ بَّرَ َت َيَّتُاقَ لَطُ

لماَّوٍََّءورُ ُقَّةََثَلاثََّ

Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri 

(menunggu) tiga kali quru. (Q.S., al-Baqarah: 228). 42 2. Menurut Malik 

a. Bayan Taqrir: menetapkan dan mengokohkan hukum-

hukum al-Qur‟an. 

َّؤْرُِلَّاوْرطِفْاوََّوِتَِيؤْرُلَِّاوْمُوْصُ.ةريرىَّبِاَّنعَّويلعَّقفتم,َّوِتَِي  

 “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah 

kamu sesudah melihatnya” Riwayat Mutafaq‟alaih. 

                                                 

b. Bayan Taudhih (Tafsir): menerangkan maksud-maksud 

ayat, Seperti Hadits-hadits yang menerangkan maksud 

ayat yang dipahamkan oleh para shahabat berlainan 

dengan yang dimaksud oleh ayat sendiri. Seperti ayat: 

َّفَِِّاهَ َنوْقُفِنْ ُيَّلَاَّوََّةَ ضفِلاوََّبَىَ ذلاَّنَوْزُنِكْيََّنَيذِ لاوَ .َّمٍيِْلَاَّبٍاذَعَِبَّمْىُِرٍّشبَ َفَّلِلهاَّلِيْبِسَ 

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak 

menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah 

kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang 

pedih”. (Q.S., al-Taubat: 34). 

Waktu ayat ini diturunkan para shahabat merasa sangat 

berat melaksanakan kandungan ayat. Mereka bertanya 

kepada Nabi SAW, maka Nabi menjawab: “Allah tidak 

mewajibkan zakat, melainkan supaya menjadi baik harta-

hartamu yang sudah kamu zakati”. Mendengar sabda 

tersebut, „Umar mengucapkan takbir.        

Penjelasan ini masuk ke dalam bayan Taudhih, yaitu 

menentukan salah satu kemuhtamilan, meng-qayid-kan 

yang muthlaq dan men-takhshis-kan yang umum. 

c. Bayan Tafshil; menjelaskan kemujmalan al-Qur‟an, seper-

ti Hadits-hadits yang mentafshilkan ke-mujmalan tentang 

tentang shalat: 

 

 

ََّةَلا صلاَّاومُيْقَِا 

“Dirikanlah olehmu shalat”. 

d. Bayan Bashthi (tasbith atau ta‟wil); memanjangkan 

keterangan bagi apa yang diringkaskan keterangannya 

oleh al-Qur‟an, seperti ayat: 

.اوفُلِخَُّنَيْذِ لاَّةَِثَلا ثلاَّىلَعََّوََّ

“Dan atas tiga orang yang tidak mau pergi, yang tinggal 

di tempat tidak turut pergi ke medan perang (ditangguh-

kan penerimaan taubat mereka)” (Q.S., al-Taubah: 118). 

Kisah yang dimaksudkan oleh ayat ini telah diuraikan oleh 

Hadits yang diriwayatkan al-Bukhari, Muslim, Abu Da-

wud, al-Turmudzi, al-Nasai dan Ibn Majah dengan sebab 

Nabi SAW mencegah orang berbicara dengan orang yang 

tiga itu. Menurut ahli tafsir ketiga orang tersebut adalah: 

Ka'ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mararah bin 

Rabi'. mereka disalahkan karena tidak ikut berperang, 

dalam perang Tabuk karena takut mati. 

e. Bayan Tasyri‟; mewuju


Related Posts:

  • Hadist Nabawi 1  Pengkajian terhadap hadits Nabi, sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli, tidak terbatas pada kandungan dan aplikasi hadits, serta yang ada hubungan dengannya saja, tetapi juga kajian tersebut ter… Read More