Pengkajian terhadap hadits Nabi, sebagaimana yang
dilakukan oleh para ahli, tidak terbatas pada kandungan dan
aplikasi hadits, serta yang ada hubungan dengannya saja, tetapi
juga kajian tersebut terhadap periwayatan dan materi hadits itu
sendiri. Masih menurut para ahli, penelitian terhadap sanad
maupun materi hadits dianggap sangat penting. karena boleh
jadi sebagian dan apa yang dinyatakan sebagai hadits Nabi,
sesudah diteliti dengan seksama ternyata sangat lemah untuk
diterima sebagai hadits dan Nabi. Dan mempersoalkan apakah
suatu hadits berasal dan Nabi, hal ini tidak akan membawa
seseorang dianggap sebagai pengingkar Sunnah Nabi, bahkan
justru sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kemurnian
sumber ajaran Islam yang kedua sesudah al-Qur‟an.
Penelitian seperti ini sangat diperlukan, karena sesudah
tersebar cukup lama di masyarakat Islam, kurang lebih seratus
tahun lamanya, hadits Nabi baru dibukukan. Menurut M.
Syuhudi Ismail,1 bahwa dengan melalui proses waktu yang
cukup panjang, akhirnya seluruh hadits Nabi berhasil dihimpun
dalam kitab-kitab hadits. Ulama yang menyusun kitab-kitab
hadits cukup banyak dan metode yang mereka gunakan cukup
beragam. Yang terhimpun dalam berbagai kitab hadits itu tidak
hanya materi (matn) haditsnya saja, tetapi juga rangkaian para
periwayat yang menyampaikan para penghimpun hadits kepada
materi hadits, yang disebut sebagai sanad hadits. Dengan
demikian, hadits yang terhimpun dapat dikaji materinya dan
rangkaian para periwayatnya.
Selanjutnya M. Syuhudi Ismail2 menyatakan bahwa suatu
“musibah” besar telah terjadi dalam sejarah hadits. Sebelum
Khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz (berkuasa 99 H - 101 H) me-
ngeluarkan perintah penghimpunan hadits, telah terjadi berbagai
pemalsuan hadits. Latar belakang orang-orang memalsukan
hadits ini bermacam-macam, di antaranya ialah untuk kepen-
tingan-kepentingan: 1) politik; 2) ekonomi; 3) golongan madz-
hab fiqh atau teologi; 4) mencari muka di hadapan penguasa; 5)
hidup berzuhud; dan 6) daya tarik dalam dakwah. Maka untuk
“menyelamatkan” hadits Nabi dari “noda-noda” yang merusak
dan menyesatkan itu, ulama bekerja keras mengembangkan
berbagai pengetahuan, menciptakan berbagai kaidah, menyusun
berbagai istilah dan membuat bcrbagai metode penelitian sanad
dan matn hadits.
Dengan berbagai “ilmu alat” dan metode penelitian sanad
dan matn hadits yang diciptakan oleh para ulama tersebut, dapat
diketahui beberapa hadits yang berstatus mutawatir dan ahad. Di
samping itu dapat diketahui juga hadits ahad yang berkualitas
shahih dan yang tidak shahih, serta pernyataan-pernyataan yang
dikategorikan sebagai hadits palsu.
Sebagai contoh, Imam Bukhari menetapkan bahwa rawi
penyampai dan penerima riwayat (hadits) ini harus bertemu
walaupun hanya satu kali saja, ketika periwayatan itu ber-
langsung. Dan sudah dipastikan bahwa setiap bertemu itu pasti
sezaman, tetapi sezaman belum tentu bertemu. Makanya Imam
Bukhari menetapkan demikian sebagai syarat diterimanya
periwayatan hadits dari segi sanadnya. Berbeda dengan Imam
Muslim yang sedikit lebih longgar dibandingkan dengan Imam
Bukhari dalam mensyaratkan diterimanya periwayatan suatu
hadits, yaitu ia mensyaratkan hanya menetapkan sezaman saja
(mu‟asharah).
Dari pernyataan di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa
Imam Bukhari dalam menerima periwayatan suatu hadits lebih
menitikberatkan pada aspek sanad, sehingga apabila rawi pe-
nyampai hadits kepadanya itu memenuhi persyaratan yang
ditetapkannya, yaitu di antaranya harus bertemu antara rawi
penyampai dan rawi penerima walaupun hanya satu kali saja,
maka periwayatan itu ia masukkan ke dalam Kitab Shahihnya
sebagai hadits shahih, meskipun materi (matn) hadits itu
dipandang oleh ulama yang lain bertentangan dengan nash al-
Qur‟an. Yang di kemudian hari muncul ulama hadits yang
khusus menyoroti kedudukan hadits semacam itu dan tidak
terbatas pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari saja,
akan tetapi juga riwayat ulama yang lainnya, yang haditsnya
senada dengan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Misalnya
hadits yang dianggap memojokkan kaum wanita yang dinyata-
kan bahwa nanti di akhirat, wanita lebih banyak menjadi peng-
huni neraka. Hadits ini banyak digugat oleh kaum feminis
semacam Fatima Mernissi, seorang cendekiawan Pakistan yang
bermukim di Amerika Serikat. Menurutnya, hadits ini bukan
sebagai hadits Nabi.
Ulama lain, seperti Syeikh Muhammad al-Ghazali, juga
menggugat hadits semacam itu meskipun diriwayatkan oleh
ulama sekaliber Imam Bukhari misalnya. Hadits itu di antaranya
adalah:
َّ ناََِّّتٍّيمَلْاََّّب ذعَ ُيََِّّءاكَبُِبََِّّولِىَْاََِّّويْلَعَ
“Sesungguhnya orang mati (mayyit) itu disiksa karena
tangisan keluarganya”. 3
Syaikh Muhammad al-Ghazali4 menyatakan bahwa hadits
di atas bertentangan dengan ayat al-Qur‟an yang berbunyi:
“Seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain.”5
Lafazh dan kalimat yang sama terdapat juga dalam Surat
al-Isra‟ ayat 15.
Ditegaskan pula bahwa sepanjang hadits itu dianggap
bertentangan dengan al-Qur‟an, maka ia harus ditolak karena
tidak ada harganya sama sekali.
Hadits-hadits yang demikian, kemudian diperkenalkan
oleh ulama ahli hadits dengan istilah hadits shahih fi al-sanad
dha‟if fi al-matn, atau istilah A. Qadir Hassan,6 (ulama
terkemuka dari Persatuan Islam) dengan istilah: shahih al-isnad
dha‟if al-matn.
Lebih jauhnya A. Qadir Hassan7 menjelaskan bahwa
antara sanad dan matn tidak ada hubungan kausalitas dan
konsekuensi logis, yakni menurutnya, kalau sanad sudah sah,
belum tentu mesti matnnya turut sah. Begitu pula kalau
sanadnya dha‟if tidak mesti matnnya turut dha‟if. Tetapi,
menurut A. Qadir Hassan, hadits-hadits dan riwayat-riawayat
bisa dibagi pada beberapa kelompok:
1. Ada yang sah sanad dan matnnya sekaligus. Hadits yang
demikian disebut shahih al-isnad wa al-matn. Contohnya
seperti hadits berikut:
َّتايٍَّ نلاِبَّلُامَعْلَااَّاَ نَّاِ
“Sesungguhnya arnalperbuatan itu tergantungpada niat.”
Hadits mi diriwayatkan oleh Bukhari dan yang lainnya
dengan sanad yang sahih. Matnnya juga dikatakan sah,
karena tidak bertentangan dengan keterangan lain.
2. Ada yang sah sanadnya, tetapi matnnya dianggap lemah.
Yang demikian disebut: shahih al-isnad dha „if al-matn.
Contohnya seperti hadits berikut:
َُّوُّيِلوََّوُنْعََّمَاصََّمٌايَصَِّوِيْلَعَوََّتَامََّنْمَ
“Barang siapa mati, tetapi ada kewajiban puasa atasnya
(berhutang puasa), maka hendaklah walinya (mengganti-
kan) puasa untuknya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dengan sanad yang
sahih, tetapi matnnya dianggap dha‟if karena bertentangan
dengan Surat al-Isra‟: 15 maupun al-An‟am: 164, sebagai-
mana yang telah disebutkan di atas.
3. Ada yang dha‟if sanad dan matnnya sekaligus. Hadits yang
demikian disebut dha‟if al-isnad wa al-matn. Contohnya
seperti hadits:
سيَّٰاؤُرَ ْقِا ََّّْۤمكُاَتوْمََّىٰلعَ
“Bacakanlah olehmu sekalian Surat Yasin atas orang-
orang yang meninggal di antara kamu”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang
lemah, karena di antara perawi-perawinya ada yang tidak
dikenal. Matnnya pun lemah, karena tidak dapat bantuan
dari sanad lain.
4. Ada yang dha‟if sanadnya, tetapi matnnya dianggap sah.
Yang demikian dinamakan dha‟if al-isnad shahih al-matn.
Contohnya seperti hadits:
َّفَِِّاوْرُ كفََّلاوََّقِلَْلْْاَّفَِِّاوْرُ كفَ َتَُّهَردْقََّنَوْرُدِقْ َتَّلاَّمْكُ ناَِفَّقِ ِِ لِاَلْْاَّ
“Pikirkanlah olehmu (kejadian) makhluk dan janganlah
kamu pikirkan (kejadian) Khaliq (Allah), karena sesungguh-
nya kamu sekalian tidak dapat mengukur qadar-Nya”.
Hadits ini sanadnya lemah tetapi matannya masuk akal,
karena bagaimanapun kita memikirkan Dzat Allah, kita tidak
akan dapat mengetahui hakikat yang sebenamya.
Dengan demikian, dalam konteks penelitian terhadap
hadits Nabi, tampaknya hadits yang shahih sanadnya dha‟if
matnnya sangat menarik untuk dikaji. Karena bagaimanapun
untuk menyatakan bahwa suatu hadits itu dapat dijadikan
sumber hukum haruslah shahih, baik segi sanadnya, maupun
segi matnnya.
KAIDAH-KAIDAH KESHAHIHAN HADITS
Dalam khazanah ilmu-ilmu keislaman, istilah hadits sering
disebut dengan sunnah yang menurut bahasa berarti jalan yang
dijalani. Sunnah pada dasarnya sama dengan hadits, namun ia
dapat dibedakan dalam pemaknaannya. Hadits konotasinya ialah
segala peristiwa yang dinisbatkan kepada Nabi, walaupun hanya
sekali nabi mengucapkannya atau mengerjakannya. Sedangkan
sunnah, sesuatu yang secara terus-menerus dilakukan oleh Nabi
yang dinukilkan dari masa ke masa dan dipelihara oleh umat
Islam sebagai pengetahuan dan petunjuk keagamaan Islam.
Setiap hadits memuat dua bagian: isnad (mata rantai para
rawi) dan matn (teks atau lafaz hadits). Kedua bagian ini sama
pentingnya bagi para ahli hadits. Matn merupakan rekaman
perkataan atau perbuatan Nabi SAW yang membentuk landasan
ritual atau pula hukum Islam; sementara isnad menunjukkan
kebenaran adanya matn.
Para ahli hadits kemudian mencari dan menempatkan
hadits-hadits dengan isnad yang satu dan sama tetapi
menggunakan beberapa teks yang berbeda, juga hadits-hadits
dengan teks yang satu dan sama tetapi memiliki beberapa isnad
yang berbeda, sebagai hadits-hadits yang berdiri sendiri-sendiri.
Karena itu pokok dalam subbab ini berkisar tentang
pengertian hadits dan sejarah dibukukannya, posisi hadits di
samping al-Qur‟an, pengisnadan dalam upaya memelihara
hadits, serta kaidah-kaidah keshahihan hadits.
A. Pengertian Hadits, Sunnah, Atsar dan Khabar
1. Pengertian Hadits
Hadits, berasal dari bahasa Arab yang menurut Ibn
Manzhur, kata ini berasal dari kata al-Hadits, jamaknya: al-
Ahadits al-Haditsan dan al-Hudtsan. Secara etimologis, kata ini
memiliki banyak arti, di antaranya: al-Jadid (yang baru), lawan
dari al-Qadim (yang lama), dan al-Khabar, yang berarti kabar
atau berita.8
Penjelasan Ibn Manzhur di atas dinyatakan pula oleh
Mahmud Yunus,9 yang menyatakan bahwa kata al-Hadits se-
kurang-kurangnya mempunyai dua pengertian: (a) jadid (baru),
lawan dari qadim, jamaknya hidats dan hudatsa. (b) khabar,
berita atau riwayat, jamaknya ahadits, hidtsan dan hudtsan.
Secara terminologis, Hadits dirumuskan dalam pengertian
yang berbeda-beda di antara para ulama. Perbedaan-perbedaan
pandangan itu lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya obyek
tinjauan masing-masing,yang tentu saja mengandung kecen-
derungan pada aliran ilmu yang didalaminya.
Ulama Hadits mendefinisikan Hadits sebagai berikut:
ى لصٍََّّبِِ نلاَّنِعَرَِثُاامََُّّلك للها’َّْيِرقْ َتوَْاَّلٍعْفِوَْاَّلٍوْ َقَّنْمَِّمَ لسَوََّوِيْلَعٍََّة يقِلُخُوَْاَّةٍ يقِلْخََّةٍفَصِوَْاٍر
“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa
sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi”.10
Menurut istilah ahli Ushul Fiqh, pengertian Hadits ialah:
ٍَّّبِ نلاَّنِعََّرَدَصَامََُّّلكَُّرٍيِْرقْ َتَّوَْاَّلٍعْفَِّوْ َِ اََّلٍوْ َقَّنْمَِّ ِْيْركَلْاَّنَِارْقُلْاَّرُ ْ يغََّمَ لسَوََّوِيْلَعََّللهاَّى لصَ
َّ يعِرْشََّمٍكُْلَِِّلايِْلدََّنَوْكُ يَّنَْاَّحُلُصْيََّا مَِّ
“Hadits, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW selain al-Qur‟an al-Karim, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan
Hukum Syara”.11
Tidak termasuk dalam istilah Hadits sesuatu yang tidak
ber-sangkut paut dengan hukum, seperti urusan pakaian,yang
merupakan bagian kebudayaan. Namun dalam cara-cara
berpakian seperti menutup aurat adalah bagian dari Hadits.
Karena merupakan tuntutan Syari‟at Islam. Itu sebabnya, dalam
kajian fiqh, berpakaian ini termasuk Jibiliyah, yaitu sebagian
merupakan tuntutan kebudayaan, sebagian lagi merupakan
tuntutan Syari‟at.
Sedangkan menurut istilah para Fuqaha, Hadits adalah:
ى لصٍََّّبِِ نلاَّنِعََّتَبَ َثَّامََُّّلكُ للها’َّبجِاولَْاَّلَاوََّضِرْفَلْاَّبِاَبَّنْمَِّنْكُيََّلََوََّّمَ لسَوَََّّوِيْلَعََّ
“Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak
bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib”.12
Apabila ditinjau dari segi bentuknya, Ibn al-Subki (w.771
H/1370 M) berpendapat bahwa pengertian Hadits, adalah segala
sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Ibn al-Subki tidak
memasukkan taqrir Nabi sebagai bagian dari rumusan definisi
Hadits. Alasannya, karena taqrir telah tercakup dalam af‟al,
yakni segala perbuatan; apabila kata taqrir dinyatakan secara
eksplisit, maka rumusan definisi akan menjadi ghair mani‟,
yakni tidak terhindar dari sesuatu yang tidak didefinisikan.13
Sementara kalangan ulama ada yang menyatakan bahwa
apa yang dikatakan Hadits itu bukan hanya yang berasal dari
Nabi SAW, namun yang berasal dari shahabat dan tabi‟in
disebut juga Hadits. Sebagai buktinya, telah dikenal adanya
istilah Hadits Marfu‟, yaitu Hadits yang dinisbahkan kepada
Nabi SAW, Hadits Mauquf, yaitu Hadits yang dinisbahkan pada
shahabat, dan Hadits Maqtu‟, yaitu Hadits yang dinisbahkan
kepada tabi‟in. Sebagian ulama berpendapat bahwa apabila kata
Hadits itu berdiri sendiri, dalam arti tidak dikaitkan dengan kata
atau istilah lain, maka biasanya yang dimaksudkan adalah apa
yang berasal dari Nabi SAW hanya kadang-kadang kata Hadits
yang berdiri sendiri itu memiliki pengertian tentang apa yang
dinisbahkan kepada shahabat atau tabi‟in.14
Dari perbedaan sifat peninjauan tersebut kemudian
melahirkan dua macam pengertian Hadits, yakni pengertian
yang terbatas, dan pengertian yang luas.
Pengertian Hadits yang terbatas, sebagaimana dikemuka-
kan oleh Jumhur al-Muhaditsin, ialah:
َّضاَُّامَى لصََِّبِِ نلاَّلََاَِّفَيْ للها’اىَوَْنَََّوَْاَّاًر ْيِرقْ َتَّوََاَّلاعْفَِّوَْاَّلاوْ َقَّمَ لسَوََّوِيْلَعََّ
“Sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang
sebagainya”.15
Dengan demikian, menurut umumnya ulama Hadits, esensi
Hadits ialah segala berita yang berkenaan dengan: sabda,
perbuatan, taqrir, dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW. Yang
dimaksud hal ihwal di sini adalah segala sifat dan keadaan
pribadi Nabi SAW.
َّAdapun َّpengertian Hadits secara luas, sebagaimana
dikatakan Muhammad Mahfuzh al-Tirmizi, ialah:
ى لصََّوِيَْلِاَّعِوْ ُفرْمَلْاِبَّ ُّصتَْيَُُّلَاَّثَيْدَِْلِاَّ ناِ للها’َّفِوْ ُقوْمَلِْلاضًيَْاَّوِقَِلاطْإِبَّءَاجََّلَْبََّّمَ لسَوََّويْلَعَ
ََّوَّ)هِِوْنَََّوَْاَّلٍوْ َقَّنْمَِّبِِاحَ صلاَّلََاَِّفَيْضِاُامََّوَىُوَ(ىعِِبا تلِلَّفَيْضِاُامََّوَىُوَ(ََّّعِوْطُقْمَلْا
.)كَلِاذَكََّ
“Sesungguhnya Hadits itu bukan hanya yang dimarfukan
kepada Nabi Muhammad SAW saja, melainkan dapat pula
disebutkan pada apa yang maukuf (dinisbahkan pada perkataan
dan sebagainya dari shahabat), dan pada apa yang maqthu‟
(dinisbahkan pada perkataan dan sebagainya dari tabi‟in)”.16
Hal ini jelas menunjukkan bahwa para ulama beragam
dalam mendefinisikan Hadits, karena mereka berbeda dalam
meninjau obyek Hadits itu sendiri.
Menurut Ahli Hadits, Hadits ialah: “segala ucapan Nabi,
perbuatan, taqrir dan keadaannya”. Sedangkan menurut ahli
Ilmu Ushul, Hadits ialah: “segala perkataan, perbuatan dan
taqrir Nabi yang berkaitan dengan hukum atau berdampak
hukum”.
Perbedaan antara ahli Hadits dan ahli Ushul di atas,
dilatarbelakangi adanya perbedaan disiplin ilmu yang secara
spesifik berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga
menciptakan pandangan yang berbeda pula terhadap pribadi
Nabi SAW sesuai dengan disiplin ilmu yang bersangkutan. Al-
Siba‟i berpendapat bahwa adanya perbedaan pengertian tentang
istilah Hadits itu karena terdapatnya perbedaan tujuan masing-
masing ahli di berbagai bidang ilmunya.17
Ulama Hadits, menurut al-Siba‟i, dalam membahas pribadi
dan prilaku Nabi sebagai tokoh penuntun (pemimpin) yang telah
digelari Allah sebagai yang pantas dijadikan teladan dan
tuntunan (uswah wa qudwah) oleh kita. Mereka mencatat segala
sepak terjang, kebiasaan, peristiwa, ucapan-ucapan dan
perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan Nabi SAW baik
yang berupa penetapan hukum Syara‟ maupun tidak.
Sedangkan ulama Ushul membahas pribadi dan prilaku
Nabi SAW sebagai peletak dasar hukum Syara‟ yang dijadikan
landasan ijtihad oleh kaum mujtahid di zaman sesudah beliau.
Di samping itu mereka memandang beliau sebagai yang
memberikan penjelasan tentang undang-undang kehidupan.
Ucapan, perbuatan dan taqrir yang dimaksud di sini adalah yang
berkaitan dengan penetapan hukum dan pengukuhannya.
Dengan pendapat tersebut, menjadi jelaslah perbedaan
antara ahli Hadits dan ahli Ushul mengenai istilah tersebut.
Ulama Hadits mengambil segala hal yang berhubungan dengan
Nabi SAW seperti biografi, akhlak, berita-berita, ucapan dan
perbuatannya, baik yang berkaitan dengan hukum Syara‟
maupun tidak. Sedangkan ulama Ushul hanya memandang
Rasul Allah SAW segi ucapan dan perbuatan serta keputusan-
keputusan yang menetapkan hukum-hukum dan
memutuskannya.
Karena itu definisi Hadits yang dikemukakan oleh ahli
Ushul yang hanya mencakup aspek hukum dari beberapa aspek
hal ihwal Nabi SAW penggunaannya terbatas dalam lingkup
pembicaraan tentang Hadits sebagai sumber Tasyri‟. Sedangkan
definisi yang dikemukakan oleh ahli Hadits mencakup hal-hal
yang lebih luas.
Terkait dengan pengertian Hadits, dalam khazanah Ilmu
Hadits istilah Hadits sering disebut juga dengan istilah Sunnah,
Khabar, dan Atsar. Adapun pengertian ketiga istilah tersebut
sebagai berikut:
2. Pengertian Sunnah
Sunnah, menurut bahasa ialah:
ًَّةمَوْمُذْمََّوَْاَّتْنَاكَََّّةًَّدَوْمُْمََََّّةُقَيَّرِ طلَاَّ
“Jalan yang dilalui, baik terpuji atau tercela”.
Sedangkan menurut istilah, pengertian Sunnah antara lain
sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad ajaj al-Khathib:
ى لصََّ ٍّبِ نلاَّنِعََّ رَِثُاامَ للها’ٍَّة يقِلْخََّ ةٍفَصَِّ وَْاَّ رٍيَّْ رِقْ َتَّ وَْاَّ لٍعْفَِّ وَْاَّ لٍوْ َقَّنْمَِّ مَ لسَوََّ وِيْلَعَََّّةٍَرْ يسِوَْا
.اىَدَعْ َبَّوَْاَّةَِثعْبِلْاَّلَبْ َقَّنَاكََّءٌاوَسََّ
“Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan,
perjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul atau
sesudahnya”.18
Adapun kaitannya dengan lafazh Sunnah, meskipun
menurut kebanyakan ulama adalah sinonim (muradif) dari lafazh
Hadits, tetapi ada juga yang membedakan antara keduanya. Hasbi
Ash-Shiddieqy memberikan komentarnya sebagai berikut:
“Tegasnya, antara Sunnah dan Hadits ada perbedaan
yang tegas. Menamai Sunnah dengan Hadits adalah istilah para
mutaakhirin saja. Ahli Hadits banyak memakai kata „Hadits‟,
sedangkan ahli Ushul banyak memakai kata „Sunnah‟.19
Namun Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan pula bahwa
Sunnah sama dengan Hadits. Antara Hadits dan Sunnah dapat
dibedakan, dalam hal bahwa Hadits konotasinya adalah segala
peristiwa yang dinisbahkan kepada Nabi SAW walaupun hanya
sekali saja beliau mengucapkannya atau mengerjakannya dan
walaupun diriwayatkan oleh perorangan saja. Sedangkan
Sunnah adalah sesuatu yang diucapkan atau dilaksanakan oleh
Nabi SAW terus menerus, dinukilkan dari masa ke masa dengan
jalan mutawatir. Nabi SAW melaksanakannya beserta para
shahabat, kemudian oleh para tabi‟in, dan generasi berikutnya
sampai pada masa-masa berikutnya menjadi pranata sosial
dalam kehidupan umat Islam.
Abdurrahman Ibn Mahdy, ketika ditanya tentang keula-
maan Sufyan al-Tsaury, al-A‟uza‟i dan Malik, ia mengatakan:
َّفَِِّمٍامَإِِبَّسَيَْلوََّثِيْدَِْلِاَّفَِِّمٌامَإَِّىِروْ ثلاَّنُايَفْسَُّمٍامَإِِبَّسَيَْلوََّةِ نُّسلاَّفَِِّمٌامَِاَّىعِاَزوْلَأاْوََّةِ نُّسلا
.امَهِيْفَِّمٌامَاَِّكُلاِمَوََّثِيْدَِْلِاَّفَِِّ
“Sufyan al-Tsaury, adalah ulama ahli Hadits dan bukan
ahli di bidang Sunnah dan al-Auzai adalah ulama ahli di bidang
Sunnah dan bukan di bidang Hadits, sedangkan Malik adalah
ulama yang ahli keduanya”. 20
Pendapat-pendapat tersebut di atas memberi pengertian
bahwa lafazh Hadits dari segi istilah tidak identik dengan lafazh
Sunnah. Demikian juga ditinjau dari segi bahasa, kedua lafazh
tersebut memang berbeda.
Secara bahasa, lafazh Sunnah berarti jalan yang dijalani,
terpuji atau tercela. Sesuatu tradisi yang sudah dibiasakan
dinamai Sunnah, walaupun tradisi itu tidak baik. Jamaknya
adalah Sunnan.21
Adapun lafazh Sunnah disebutkan dalam Syara‟, maka
yang dimaksud adalah sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan
dianjurkan oleh Nabi SAW baik berupa perkataan ataupun
perbuatan. Oleh karena itu dalam dalil-dalil Syara‟ disebut al-
Kitab dan Sunnah, yang berarti al-Qur‟an dan Hadits.22
Dengan demikian, Sunnah dan Hadits bersumber dan
bersandar kepada Nabi SAW. Hanya saja Sunnah lebih spesifik
dan khusus, karena ia merupakan soal-soal praktis yang dicon-
tohkan Nabi SAW kemudian berlaku sebagai tradisi di kalangan
umat Islam.
Mengenai perbedaan pendapat tentang identik dan
tidaknya pengertian Hadits dan Sunnah, sebaiknya kita tidak
berlebihan dalam menyikapinya, sebab bagaimanapun keduanya
mempunyai sumber yang sama. Sunnah adalah jejak dan lang-
kah Nabi SAW yang terbentuk melalui tindakan dan ucapan-
ucapan Nabi. Sedangkan Hadits adalah berita tentang ucapan,
perbuatan dan hal ihwal Nabi SAW. Jejak dan langkah Nabi
tersebut di samping dicontohkan juga diberitakan.
Berita yang benar tentang Sunnah merupakan pedoman,
dan berpedoman kepada Sunnah akan kehilangan kontrolnya
kalau tanpa Hadits yang memberikan gambaran yang benar
tentang Sunnah itu. Dan Sunnah merupakan bagian dari materi
Hadits, sedangkan Hadits sebagiannya adalah berita tentang
Sunnah.
3. Pengertian Khabar
Khabar, secara etimologis berasal dari kata: khabar, yang
berati „berita‟, dan lafazh atsar artinya „bekas sesuatu‟.23
Adapun secara terminologis, para ulama Hadits tidak
sepakat dalam menyikapi lafazh-lafazh tersebut. Sebagian
mereka berpendapat bahwa khabar adalah sinonim dari kata
Hadits dan sebagian lagi tidak demikian. Karena Khabar adalah
berita, baik berita dari Nabi SAW, maupun dari shahabat atau
berita dari tabi‟in.
4. Pengertian Atsar
Kata atsar akan lebih jelas pengertiannya apabila diberi
keterangan di belakangnya, misalnya: atsar Nabi, atsar shaha-
bat, dan sebagainya. Namun dalam istilah Ilmu Hadits, kata
atsar diidentikkan kepada yang diterima dari shahabat, tabi‟in
dan lain-lain.
Memahami hakikat Hadits melalui pembahasan ta‟rifnya
di atas merupakan pembahasan secara teoritik. Secara riil, Ha-
dits adalah yang tercantum dalam kitab-kitab Hadits sebagai
koleksi Hadits hasil upaya tadwin,yakni kegiatan mendokumen-
tasikan Hadits yang ditekuni para perawi Hadits melalui proses
periwayatan. Misalnya Hadits di bawah ini:
نىثََّ دحَ َّنِبْاَّنِعَََّّبٍاهَشَِّنِبْاَّنِعََّفُسُوْ ُيَّ ِنِِرَ َبخْاََّ:لَاَقَّبٍىْوََّنُبَْانَأبْنَاَّيَْيَََّنِبْةُلَمَرْحَ ِِ
ى لصََّلِلهاَّلِوْسُرََّنْعََّوُنْعََّوُلّلاَّيَضِرََّةَرَ ْيرَىَُّبِِآَّنْعََّنِحْْ رلادُبْعََّنِبْةِمَلَاسَ للها’َّمَ لسَوََّوِيْلَعََّ
ََّ يلاوََّلِلهااِبَّنُمِؤُيَّنَاكََّنْمَوََّتْمُصْيَِلَّوَْااًر ْ يخََّلْقُ َيلْ َفِرخِلَااَّْمِوْ َيلْاوََّلِلهااِبَّنُمِؤُيَّنَاكََّنْمَ:لَاَقَّمِوْ
.)ملسمَّهور(َّ,وُفَ ْ يضََّمِْركْيُلْ َفَّرِخِلآاَّمِوْ َيلْاوََّلِلهااِبََّّنُمِؤُيَّنَاكََّنْمَوََّهُرَاجََّمِْركْيُلْ َفَّرِخِلآلاَّ
Teks tersebut dikatakan Hadits karena dinisbahkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Tanda penisbahan ini adalah lafazh:
َّلاَقَّمَ لسَوََّوِيلَعََّللهاَّى لصََّّلِلهاَّلِوْسُرََّنْعََّ
Dengan demikian, menurut teori atau ta‟rifnya, Hadits
adalah segala yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW
dan secara praktis, yang disebut Hadits itu adalah apa yang
terkoleksi dalam kitab Hadits. Seperti tentang al-Qur‟an,
menurut teorinya al-Qur‟an itu adalah kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW—dikisahkan dengan
lisan dan mutawatir, dan dianggap beribadah bagi yang men-
tilawah-kannya—yang tidak dapat ditandingi oleh yang
menentangnya walaupun hanya seayat saja.
Namun secara riil, yang dimaksud dengan al-Qur‟an ialah
yang tersurat pada Mushhaf, yang dikenal dengan Mushhaf
Utsman, sebagai hasil pembukuan dari kodifikasi al-Qur‟an
masa Rasulullah SAW dan masa Abu Bakar al-Siddiq.
Hadits yang di-wurud-kan masa Nabi oleh Nabi, diterima
shahabat, tabi‟in, dan para pelanjutnya melalui periwayatan
yang antara lain berupa tadwin atau pembukuan, yang
menghasilkan terkoleksinya Hadits dalam sejumlah kitab Hadits
seperti terlihat dewasa ini.
Dari teks di atas tertulis dalam footnote-nya Rawahu
Muslim ( ملسم هاور), yang artinya diriwayatkan oleh Muslim, hal
ini menunjukkan bahwa teks tersebut dikutip dari kitab Hadits
al-Jami‟ al-Shahih yang ditulis oleh Muslim sebagai salah satu
kitab Hadits yang dihasilkan dari periwayatan dan pentadwinan
Hadits yang telah dilakukannya.
Dari pembahasan tentang pengertian Hadits di atas,
disebutkan bahwa Hadits adalah perkataan (aqwal), perbuatan
(af‟al), pernyataan (taqrir) dan sifat, keadaan, himmah dan lain-
lain yang diidhafahkan kepada Nabi SAW.
Namun apa yang dimaksud dengan aqwal, af‟al, taqrir,
himmah itu, dan bagaimana contohnya? Tampak di sini
memerlukan fokus bahasan masing-masing yang lebih spesifik
dan terurai, sehingga membentuk suatu definisi oprasional.
a. Perkataan (aqwal) ialah perkataan yang pernah beliau ucap-
kan, yakni sesuatu bunyi yang dilisankan dan mempunyai
makna, baik mengenai aqidah, hukum, akhlak, pendidikan
dan lain-lain. Contoh:
ى لصََّلِلهاَّلوْسُرََّلَاَق للها’َّقفتم(َّ,ىوَنامََّئٍِرمْاٍَّّلكُلِاَ نَّاِوَّتِاَيٍّنلاِِبَّلُامَعْلَااَّْاَ نَّاَِّمَ لسَوََّوِيْلَعَ
).ويلع
“Rasulullah SAW telah bersabda: Hanya saja amal-amal
perbuatan itu dengan niat, dan setiap orang hanya mem-
peroleh apa yang ia niatkan…” Riwayat Mutafaq „alaih.
Tanda bahwa teks itu qaul Nabi adalah lafazh: لاق pada:
ملّسوَّويلعَّللهاَّىلّصَّللهاَّلوسرَّلاقَّ
Dan jelas sekali lafazhnya berupa ucapan yang di-idhafah-
kan kepada Nabi SAW.
b. Perbuatan (af‟al) ialah apa yang beliau kerjakan yang meru-
pakan penjelasan dan pengamalan praktis terhadap peraturan
Syari‟at, praktek ibadah, aktivitas muamalah, dan lain-lain.
Contoh:
ى لصََّ لِلهاَّ لُوسُرََّ نَاكَ للها’َّىلّصَيَُّ َّ مَ لسَوََّ ويْلَعَََّّاذَاَِفَّ وِِبَّ تْهَ جوَ َتَّ ثُيْحََّ وِتِلَحِاَرَّىلَعَ
.ىراخبلاَّهاورَّ,ةَلَ ْ بقِلْاَّلِبَقْ َتسْاَفَّلَزَ َنَّةَضَيِْرفَلْادَاَرَاَّ
“Rasulullah SAW pernah melakukan shalat di atas
kendaraan (dengan menghadap kiblat) menurut arah
kendaraan itu menghadap. Apabila beliau hendak shalat
fardhu beliau turun sebentar, terus menghadap kiblat”
Riwayat al-Bukhari.
Ciri atau tanda untuk memahami bahwa teks itu merupa-
kan perbuatan (af‟al) Rasul, adalah lafazh:
ى لصََّلِلهاَّلُوسُرََّنَاكَ للها’َّىلّصَيََُّّمَ لسَوََّويْلَعََّ
Jelas bahwa itu perbuatan Rasulullah SAW.
c. Pernyataan (taqrir) ialah kesan adanya ketetapan aturan dan
ajaran dari keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan
sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau
diperkatakan oleh para shahabat di hadapan beliau. Sebagai
contoh: kesan dari sikap Nabi SAW terhadap tindakan
Khalid Ibn Walid dalam salah satu jamuan makan
menyajikan masakan daging biawak dan mempersilahkan
kepada Nabi SAW untuk menikmatinya bersama para
undangan. Beliau menjawab: “(Maaf) tidak, berhubung
binatang itu tidak terdapat di kampung kaumku, aku jijik
padanya”. Khalid segera memotong dan memakannya,
sedangkan Nabi melihat padanya dan tidak melarangnya.
Membedakan mana yang taqrir dari perkataan dan perbu-
atan, memang sulit. Itulah sebabnya, ta‟rif taqrir di atas
adalah atsar atau kesan adanya ajaran dari suatu peristiwa
yang berkaitan dengan Nabi SAW sebagai sumber ajaran.
d. Sifat, Keadaan, dan Himmah.
1) Sifat-sifat Nabi yang dilukiskan oleh para shahabat dan
ahli tarikh, seperti sifat-sifat dan bentuk jasmaniah
beliau. Contoh:
ى لصََّللهاَّلُوسُرََّنَاَك للها’ََّّسَيَْلَّاقًلْخَََّّمْهُ َنسَحْاََّوَاهًجْوََّسِا نلاَّنَسَحْاََّمَ لسَوََّوِيْلَعَ
َِّنًْصِقَلاِبَلاوََّلِيْوِ طلاِب.َّ.ىراخبلاَّهاورَّ
“Rasulullah itu adalah sebaik-baik manusia mengenai
paras mukanya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan
orang tinggi dan bukan pula orang pendek”.
2) Keadaan, antara lain silsilah, nama-nama dan tahun
kelahiran yang ditetapkan para shahabat dan ahli tarikh.
Contoh: Qais Ibn Marhamah berkata:
َّلُوسُرَوََّاَنَاَّتُدْلِوُى لصََّلِلها للها’َّليْفِلْاَّمَاعََّمَ لسَوََّوِيْلَعَ .َّىذمترلاَّهاورَّ
“Aku dan Rasulullah SAW dilahirkan pada tahun
gajah”.
3) Himmah, rencana (hasrat) Nabi yang belum direalisasi-
kan, misalnya hasrat beliau untuk berpuasa pada tanggal
9 „Asyura seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas,
yang menyatakan:
ى لصََّ لِلهاَّ لُوسُرََّ مَاصََّ ا ملَ للها’َّاولُاَقَّ وِمِايَصِبَِّ رَمََاَّ وََّ ءَاَروْشُاعََّ مَوْ َيَّ َّ مَ لسَوََّ وِيْلَعَ
َُّماعََّ نَاكََّ اذَاَِفَّ لَاقَ َفَّىراصَ نلاَّ وََّ دُوْهُ َيلْاَّ وُمٍُّظعَ ُيَّ مٌوْ َيَّ وُ نِاَّ لِلهاَّ لَوسُرَاَيََّّنِْاَّ لِبِقْ
ُ
لما
.دوادوباوَّملسمَّهاور.عِسِاتَلاَّمَوْ َيلْاانَمْصَُّللهاَّءَاشََّ
“Ketika Rasulullah SAW berpuasa pada hari „Asyura
dan memerintahkan untuk dipuasai, para shahabat
menghadap kepada Nabi, mereka berkata: Ya
Rasulallah! Bahwa hari ini adalah yang diagungkan
oleh Yahudi dan Nasrani. Ra-sul bersabda: Tahun yang
akan datang insya Allah aku akan berpuasa tanggal
sembilan” (Riwayat Muslim dan Abu Dawud).
Tetapi Rasul tidak sempat menjalankan puasa di tahun
depannya, karena beliau telah wafat.
Berdasarkan keempat unsur Hadits di atas, maka kita
tahu bahwa salah satu lingkup atau obyek pembahasan
Hadits adalah hal ihwal Hadits dalam kriteria: qauliyah,
fi‟liyah, taqririyh, kauniyah dan hamiyah Nabi itu sen-
diri. Sementara dalam suatu Hadits ternyata bisa meliputi
keempat kriteria itu atau hanya terdiri dari salah satunya
saja dari keempat kriteria tersebut.
Kemudian, ruang lingkup atau obyek pembahasan tentang
Hadits dapat kita perinci juga dari periwayatannya. Pada
periwayatan Hadits harus terdapat tiga unsur yakni: 1) pemberita
atau rawi, 2) sandaran berita (sanad), dan 3) materi berita
(matan) atau marwi.24
1. Rawi ialah subyek periwayatan, rawi atau yang meriwa-
yatkan Hadits, yakni orang yang menerima, memelihara dan
menyampaikan Hadits dengan menyertakan sandaran
periwayatannya. Ta‟rif tersebut diambil dari makna riwayat:
َّريِرْتَََّوََّطٌبْضََّوََّلٌقْ َنَّ
Sebagaimana tertera pada ta‟rif Ilmu Hadits Riwayah.
Hadits yang di-wurud-kan oleh Nabi SAW diterima oleh
shahabat, kemudian dipelihara dalam hapalan, amalan dan
kadang-kadang juga dalam tulisan, kemudian disampaikan
kepada muridnya, dari kalangan shahabat, begitu selanjutnya
berlangsung di kalangan tabi‟in, tabi‟u al-tabi‟in, dan
sebagainya.
Hadits tersebut ditulis pada diwan-diwan Hadits dalam
kitab Mushanaf, Musnad, Sunan, dan Shahih yang disusun
para rawi dan mudawin selama tiga abad. Mudawin (penulis)
kitab Hadits tersebut merupakan rawi terakhir dari Hadits-
Hadits yang terhimpun dalam kitabnya.
2. Sanad atau thariq ialah jalan menghubungkan matan Hadits
kepada junjunan kita Nabi Muhammad SAW. Sanad ialah
sandaran Hadits, yakni referensi atau sumber yang
memberitakan Hadits, yakni rangkaian para rawi
keseluruhan yang meriwayatkan suatu Hadits.
Pada saat ini, saat telah terkoleksinya Hadits dalam kitab
Hadits, sandaran suatu Hadits adalah para mudawin,
misalnya untuk Hadits yang tercantum pada kitab Shahih
Muslim, sanad (sandaran) kita adalah Muslim, sanad (san-
daran) bagi Muslim adalah gurunya (syaikh), sanad bagi
gurunya adalah gurunya pula, begitu selanjutnya sampai
kepada shahabat sebagai sanad terakhir dan merupakan rawi
pertama atau asal sanad. Jadi, sanad adalah rangkaian para
rawi yang menjadi sumber pemberitaan Hadits.
3. Matan ialah materi berita, yakni lafazh (teks) Haditsnya,
berupa perkataan, perbuatan atau taqrir, baik yang
diidhafahkan kepada Nabi SAW, shahabat atau tabi‟in, yang
letaknya dalam suatu Hadits pada penghujung sanad.
Bila dikatakan Hadits terdiri dari sanad dan matan, maka
pengertian sanad adalah termasuk rawi, sebab sanad adalah
kumpulan atau rangkaian para rawi yang menjadi sandaran
matan.
Antara sanad dan matan Hadits sangat erat hubungannya,
yakni antara satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan.
Karenanya, di sini posisi sanad dan matan sangat menentu-
kan shahih dan tidak shahihnya suatu Hadits.
Secara tersendiri, para ulama Hadits seperti yang dikutip
oleh Hasbi Ash-Shiddieqy,25 menyoroti posisi sanad Hadits
ini antara lain sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn Sirrin:
َّن معََّاوْرُُظنْاَفَّنٌيْدَِّمُلْعِلْااذَىَََّّّْمكُنَ ْيدَِّنَوْذُخُأَْتَّ
“Ilmu ini (Hadits) adalah agama, maka lihatlah dari siapa
kamu mengambil agamamu”.
Abdullah Ibn al-Mubarak berkata:
ََّءاشََّامََّءَاشََّنْمََّلَاقَلََّدُانَسْلِااَّْلاَّوْلَوََّنِيْ ٍّدلاَّنَمَِّدُانَسْلِاأََّ
“Sanad Hadits itu adalah suatu ketentuan agama. Seki-
ranya tidak ada sanad, tentulah siapa saja dapat menu-
turkan apa yang ia kehendaki”.
)دُانَسْلِااَ(َّمِِئاوَقَلَْاَّ)ةِعَدْبِلْاَّلُىَْا(َّمِوْقَلْاَّ َنٌْ َبوانَ َن ْ ي َبَّ
“Di antara kami dan di antara golongan ahli bid‟ah ialah
isnad”.
اَّلُثَمَىذِ لاَّلِثَمَكََّدٍانَسْاَِّلابَِّوِنِْيدِرَمَْاَّبُلُطَْيَّىذِ ل َّم لسُلَابَِّحِطُّْسلاَّىقَترْ َيَّ
“Perumpamaan orang yang mencari urusan agamanya
dengan tidak memakai sanad adalah seperti orang naik ke
atap rumahnya dengan tidak memakai tangga”.
َّدُانَسْلإاَ؟لُِتَاقُيَّءٍيْشٍََّّيأَبَِفََّّحٌلَاسَِّوُعَمََّنْكُيََّلَََّاذَاَِفَّنِمِؤُ
لماَّحُلَاسَِّ
“Sanad itu senjata orang mu‟min apabila tidak ada
besertanya senjata, maka dengan apa ia menghadapi
musuhnya?”.
Al-Syafi‟i berkata:
َِّاَلابَِّثَيْدِلَِاَّْبُلُطَْيَّىْذِلّاَّلُثَمََّليَْلَّبِطَحََّلِثَمَكََّدٍانَسَّْ
“Perumpamaan orang yang mencari Hadits tanpa sanad
sama dengan pengumpul kayu api di malam hari”.
Dengan demikian posisi sanad dipandang sangat
berpengaruh terhadap kualitas suatu Hadits, dan disinilah
letak keistimewaan Hadits, sebagai sesuatu yang datang dari
Nabi SAW.
Untuk jelasnya, perhatikan contoh berikut ini. Dalam kitab
Jami‟ al-Shahih susunan al-Bukhari tertulis:
َّيَضِرََّرُمَعَُّنِبَّْلِلهادبْعََّنْعََّعٍفِاَنَّنْعََّكُلِامَاَنرَ َبخْاََّفُسُوْ ُيَّلِلهاَّدُبْعََّانَ َث دحََّ نَاَّامَهُ ْ نعََّللها
ى لصََّلِلهاَّلَوسُرَ للها’ َّوِبِحِاصََّىلَعَِرايَِلْْاِبَّامَهُ ْ نمَِّدٍحِاوََُّّلكَُّنِاعَِيَّابَتَمُلَْاَّ:لَاَقَّمَ لسَوََّوِيْلَعَ
َّرِايَِلْاَّعَيْ َبَّ لااَِّاَق رفَ َت َيَّلَََّامَ,َّ.ىراخبلاَّهاور
Dengan demikian uraian di atas dapat diringkaskan bahwa:
a) Rawi dari Hadits di atas adalah Muhaditsin yang menerima
berita yang diwurudkan oleh Nabi SAW, yakni shahabat
yang bernama „Abdullah ibn „Umar kemudian Nafi yang
menerima dari „Abdullah ibn „Umar, kemudian Malik,
„Abdullah ibn Yusuf, dan akhirnya al-Bukhari sebagai rawi
yang men-tadwin Hadits tersebut dalam kitab Jami al-
Shahih.
b) Sanad adalah sandaran Hadits. Bagi kita sandaran pertama
adalah mudawin, al-Bukhari, sanad kedua adalah gurunya
al-Bukhari yakni „Abdullah ibn Yusuf, kemudian Malik
sebagai referensi Ibn Yusuf, kemudian Nafi rujukan Malik,
dan akhirnya „Abdullah ibn „Umar sebagai sanad terakhir,
yang biasa disebut asal sanad dan merupakan rawi pertama.
Rawi dan sanad adalah itu-itu juga. Rawi adalah masing-
masing periwayat, sedangkan sanad adalah rangkaian para
rawi itu, baik rawi penerima maupun rawi penyampai. Kalau
diurut penyebutannya, rawi dimulai dari pertama (shahabat)
terus sampai pada rawi mudawin. Sedangkan sanad, diurut
mulai dari mudawin, gurunya, dan seterusnya sampai rawi
pertama (asal sanad) yaitu shahabat.
c) Matan atau marwi atau lafazh atau teks atau Haditsnya
adalah lafazh:
.رِايَِلْاَّعِيْ َب لااَِّاَق رفَ َت َيَّلََامََّوِبِحِاصََّىلَعََّرِايَِلْاِْبامَهُ ْ نمَِّدٍحِاوََُّّلكَُّنِاعَِيَّابَتَمُلَْاَّ
Ruang lingkup pembicaraan atau pembahasan tentang
Hadits harus juga sampai pada penelaahan mengenai aspek-
aspek dari materi (isi kandungan) dari Hadits tersebut. Jika
disimpulkan isi kandungan Hadits Nabi itu meliputi:
1. Akidah, yaitu tauhid, sifat ketuhanan, kerasulan,
pembangkitan di hari akhir dan lain-lain.
2. Hukum yang menerangkan ibadah, muamalah, jinayah,
hukum keluarga dan lain-lain.
3. Budi pekerti, etika, hikmah, kesopanan yang tinggi serta
pengajaran yang efektif.
4. Sejarah, yakni yang menerangkan tentang keadaan
Rasulullah SAW, keadaan shahabat dan tentang segala usaha
dan karya yang dilaksanakan.26
Adapun ruang lingkup pembahasan Ilmu Hadits atau Ilmu
Mushthalah Hadits (dalam arti luas) pada garis besarnya
meliputi Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah.
Obyek Ilmu Hadits Riwayah ialah bagaimana proses
menerima, memelihara, menyampaikan kepada orang lain dan
memindahkan atau mentadwinkan dalam suatu diwan/kitab
Hadits. Dalam menyampaikan dan mentadwin Hadits, hanya
dinukilkan dan dituliskan apa adanya baik mengenai matan
maupun sanad-nya.
Ilmu ini tidak membicarakan apakah matan-nya ada yang
janggal atau cacat (syadz atau „illat), dan apakah sanadnya
bertali temali (bersambung) satu sama lainnya atau terputus.
Juga tidak membicarakan hal ihwal dan sifat-sifat perawi,
apakah mereka „adil, dhabith, atau fasiq.
Manfaat mempelajari Ilmu Hadits Riwayah ini ialah untuk
menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Adapun obyek Ilmu Hadits Dirayah terutama Ilmu
Mushthalah yang khas, ialah meneliti kelakuan para perawi,
keadaan sanad dan keadaan marwi (matan)-nya.
Manfaat atau tujuan Ilmu Hadits ini adalah untuk
menetapkan maqbul (dapat diterima) dan mardud (ditolak)-nya
suatu Hadits, dan selanjutnya yang maqbul untuk diamalkan,
dan yang mardud ditinggalkan.
Ruang lingkup Ilmu Hadits yang dikaitkan dengan aspek
rawi, matan dan sanad pada Hadits, dari jenis-jenis Ilmu Hadits
yang banyak itu digolongkan kepada Ilmu Hadits yang berkaitan
dengan rawi atau sanad, yang berkaitan dengan matan, dan yang
berkaitan dengan ketiganya (rawi, sanad, dan matan).
Cabang Ilmu Hadits dari segi rawi dan sanad, antara lain:
Ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu Thabaqah al-Ruwat, dan ilmu Jarh
wa al-Ta‟dil.
Adapun cabang Ilmu Hadits dari segi matan, antara lain
Ilmu Gharib al-Hadits, Ilmu Asbab Wurud al-Hadits, Ilmu
Nasikh Mansukh, Ilmu Talfiq al-Hadits, Ilmu Fan al-Mubhamat,
dan Ilmu Tashhif wa al-Tahrif.
B. Periodesasi Perkembangan Hadits
Apabila kita pelajari dengan seksama suasana dan
keadaan-keadaan yang telah dilalui hadits sejak zaman
tumbuhnya hingga dewasa ini, maka akan terlihat benang merah
perjalanan hadits, antara satu periode ke periode berikutnya
yang saling berhubungan. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy,27
dapat ditarik sebuah garis bahwa hadits Rasul sebagai dasar
tasyri‟ yang kedua sesudah al-Qur‟an telah melalui enam masa
dan sekarang sedang menempuh periode ketujuh.
Masa pertama, adalah masa wahyu dan pembentukan
hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi diutus sampai
beliau wafat pada tahun 11 H (dan 13 sH., sampai 11 H.).
Masa kedua, adalah masa membatasi riwayat, yakni masa
Khulafa al-Rasyidin (12 H. sampai 40 H.).
Masa ketiga, adalah masa berkembangnya riwayat dan
masa perlawatan dan kota ke kota untuk mencari hadits, yaitu
masa shahabat kecil dan tabi‟in besar (41 H. sampai akhir abad
pertama Hijriah).
Masa keempat, adalah masa pembukuan hadits (dan
permulaan abad kedua Hijriah sampai akhir abad tersebut).
Masa kelima, adalah masa pentashihan hadits dan penya-
ringannya (awal abad ketiga Hijriah sampai akhir abad tersebut).
Masa keenam, adalah masa menulis kitab-kitab hadits dan
menyusun kitab-kitab jami‟ khusus (dan awal abad keempat
sampai jatuhnya Baghdad tahun 656 H.)
Masa ketujuh, adalah masa membuat syarah, membuat
kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadits-hadits hukum dan
membuat kitab-kitab jami‟ yang umum serta membahas hadits-
hadits zawa‟id (dari tahun 656 H. sampai sekarang).
C. Hadits sebagai Bayan al-Qur’an
Menurut petunjuk al-Qur‟an, hadits Nabi adalah sumber
ajaran Islam di samping al-Qur‟an, umat Islam sekaligus
diharuskan untuk mematuhi dan mentaatinya.28 Ini berarti, untuk
mengetahui ajaran Islam yang benar, di samping diperlukan
petunjuk al-Qur‟an juga diperlukan petunjuk hadits Nabi.
Ternyata, dilihat dari wujud ajaran Islam itu sendiri, Nabi
Muhammad SAW merupakan tokoh sentral yang sangat
dibutuhkan. Bukan hanya sekedar pembawa risalah Ilahiyah dan
penyampai ajaran Islam yang terkandung di dalamnya saja,
tetapi lebih dari itu beliau sangat dibutuhkan sebagai tokoh satu-
satunya yang dipercaya Allah untuk menjelaskan, memerinci,
atau memberi contoh ajaran tersebut.
Sebagian ulama, misalnya, memberi istilah untuk hadits
Nabi dengan wahyu ghair al-matlu (tak tertulis), sebagai
imbangan terhadap istilah al-Qur‟an yang disebutnya wahyu al-
matlu (tertulis). Pendapat ini memang mengundang masalah,
sebab dengan menyatakan bahwa seluruh hadits Nabi sebagai
wahyu, maka berarti semua jenis apa saja yang disandarkan ke-
pada Nabi, sebagaimana pengertian menurut ulama hadits, ada-
lah wahyu. Kalau begitu apakah tertawa dan warna rambutnya
juga wahyu? Dalam hubungannya dengan ini, seperti yang telah
dijelaskan di atas, ulama ushul memberi batasan bahwa hadits
Nabi adalah yang berkaitan dengan hukum, maka bagaimana
dengan ijtihad Nabi yang ternyata mendapat koreksi dari al-
Qur‟an, apakah termasuk wahyu juga?
Terlepas dari tepat atau tidaknya pernyataan bahwa hadits
Nabi adalah ghair matlu, yang pasti Allah telah memberi
kedudukan kepada Nabi Muhammad sebagai Rasulullah dengan
fungsi dan tugas antara lain: 1) menjelaskan al-Qur‟an,29 2)
dipatuhi oleh orang-orang beriman,30 3) menjadi uswah
hasanah,31 dan 4) menjadi rahmat bagi seluruh alam.32
Posisi hadits sebagai sumber ajaran Islam yang tingkatan
dan derajatnya di bawah al-Qur‟an, telah disepakati para ulama.
Alasan mengenai hal ini di antaranya sebagai berikut:
Pertama, bahwa al-Qur‟an diyakini kebenarannya dengan
tegas, terutama dari segi periwayatannya (qat‟i al-wurud),
sedangkan hadits bersifat zhanny alwurud.
Kedua, hadits itu ada kalanya sebagai keterangan (penje-
lasan) dari al-Qur‟an dan ada kalanya sebagai penambah kete-
rangan (penjelasan) saja, maka dengan sendirinya hadits datang
sesudah al-Qur‟an.
Ketiga, banyak dalil yang menunjukan keharusan untuk
mendahulukan al-Qur‟an sebelum al-hadits dalam penetapan
(penunjukan) hukum-hukum tertentu, baik dalam al-Qur‟an, al-
hadits, ataupun dalam atsar shahabat.33
Dengan demikian, pandangan para ahli di atas menjelas-
kan bahwa al-Qur'an mengandung pokok-pokok ajaran Islam
secara global (mujmal), mutlaq dan umum, yang memerlukan
rincian (taqyid dan takhshish) atau dengan istilah secara umum,
al-Qur'an membutuhkan keterangan lebih lanjut (al-bayan).
Karena itu, al-Qur'an dipandang dari sumber hukum merupakan
asas atau dasar Islam. Ia mengatur dasar dan petunjuk hukum
tentang hubungan muslim dengan Tuhannya dan hubungan
muslim sesama muslim pada khususnya serta hubungan muslim
dengan manusia pada umumnya. Sedangkan sunnah atau hadits
Nabi merupakan sumber kedua dan Ijtihad merupakan sumber
hukum yang ketiga. Sistematikanya adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur'an ialah undang-undang dasar Islam, bersumber dari
Allah,
2) Sunnah atau hadits ialah undang-undang Islam bersumber
dari Nabi, dan
3) Ijtihad ialah peraturan Islam atau kaidah-kaidah hukum yang
dirumuskan oleh muslim yang berilmu.
Al-Qur'an menggariskan hukum dasar cara hidup seorang
muslim sebagai hamba Allah, individu, sebagai anggota sosial
dan komunitas muslim. Dengan hukum dasar itu diaturlah,
dikendalikan dan diarahkan cara berpikir (rasio dan rasa), cara
mengatur kemauan dan cara muslim berbuat sebagai individu
maupun sebagai masyarakat.
Di sini al-Qur‟an bisa dimisalkan sebagai undang-undang
dasar, yang memerlukan undang-undang untuk menjelaskan,
penafsiran, mengulas, dan melaksanakan undang-undang dasar
tersebut, yang lazimnya bersifat dasar dan umum. Misalnya
undang-undang dasar menentukan bahwa pemerintahan ber-
bentuk demokrasi. Bagaimana pembentukan itu, strukturnya,
pembagian wewenang dan lain-lain, tidak diatur dalam undang-
undang dasar. Demikian pula al-Qur'an memerintahkan shalat,
puasa, zakat, haji, adil, taqwa, dan beramal shaleh. Bagaimana
melaksanakannya, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan lain-
lainnya tidak diuraikan dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, al-
Qur'an memerlukan undang-undang untuk menjelaskan, menaf-
sirkan, mengulas, merinci, dan melaksanakannya, yang para
ulama merumuskannya dalam pelbagai bentuk penjelas (bayan).
Yang menjalankan tugas dan fungsi undang-undang itu dalam
semantik hukum Islam adalah sunnah atau hadits.
Adanya hadits Nabi, al-Qur'an diwujudkan dalam kehi-
dupan yang nyata. Nabi Muhammad SAW dengan haditsnya,
memberikan contoh yang konkrit, bagaimana melaksanakan al-
Qur'an dalam kehidupan. Oleh karena itu, hadits Nabi sangat
penting kedudukannya dalam Islam sebagai hukum kedua
sesudah al-Qur'an. Di samping itu, memahami al-Sirah al-
Nabawiyyah adalah memahami Islam secara keseluruhan yang
menjelma dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Fungsi Nabi yang tidak hanya menyampaikan wahyu-
wahyu Allah kepada umat manusia, tetapi juga beliau memberi
petunjuk bagaimana melaksanakan wahyu dalam kehidupan real
sehari-hari. Beliau memberikan contoh bagaimana mewujudkan
wahyu itu kepada diri manusia. Karena itu Rasul mestilah
manusia. Perubahan dan perbaikan manusia hanya mungkin
dilakukan dan diberikan contoh oleh manusia itu sendiri. Kalau
tidak, ia akan jauh dari alam realita dan fakta yang konkrit.
Malaikat adalah juga utusan Allah, mengapa tidak mereka
saja yang diangkat menjadi Nabi dan Rasul? Tugas malaikat
menyampaikan wahyu kepada manusia terpilih, manusia sem-
purna, yaitu yang diangkat Allah sebagai Rasul-Nya. Malaikat
adalah jenis makhluk yang berbeda dengan manusia. Dia tidak
dapat menjadi contoh bagi manusia. Rasulullah sebagai manusia
yang sempurna, memungkinkan untuk menjadi suri teladan bagi
jenis manusia untuk kesempurnaannya. Itulah makna ayat dalam
al-Qur'an yang mengatakan:
Katakanlah: Kalau seandainya ada malaikat-malaikat
yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami
turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi
rasul (QS. al-Isra, 17: 95).
Ayat di atas menandaskan bahwa Allah tidak mengutus
malaikat menjadi Rasul, tetapi Allah mengangkat Rasul itu dari
jenis manusia yang konkrit dari daging dan darah yang makan
dan minum dan suatu saat akan meninggal. Karena tugas rasul
adalah mengadakan reformasi kehidupan mansia, rasul
mencontohkan sendiri dalam bentuk laku perbuatan, bagaimana
reformasi itu? Rasul tidak hanya menyampaikan ilmunya, tetapi
juga memperlihatkan bagaimana amalnya di samping berbentuk
ucapan dan pembenaran atas sesuatu tindakan yang dilakukan
shahabat-shahabat. Oleh karena itu para ulama membagi hadits
Nabi ini ada yang qauli, fi'ly, dan taqriry.
Al-Qur'an dan hadits Nabi diyakini oleh umat Islam
sebagai sumber ajaran Islam. Kedua sumber ini tidak hanya
dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan saja, tetapi juga
disebarluaskan ke berbagai lapisan masyarakat.
Seluruh ayat yang terhimpun dalam mushhaf al-Qur'an
tidak dimasalahkan oleh umat Islam tentang periwayatannya.
Seluruh lafazh yang tersusun dalam setiap ayat tidak pernah
mengalami perubahan, baik pada zaman Nabi maupun sesudah
zaman Nabi. Jadi, kajian yang banyak dilakukan oleh umat
Islam terhadap al-Qur'an adalah kandungan dan aplikasinya,
serta yang sehubungan dengannya.
Dengan demikian kebenaran al-Qur'an sebagai firman
Allah yang diyakini berdasarkan iman dan ilmu, tidak
dipermasalahkan oleh umat. Kepercayaan terhadap al-Qur'an
sehubungan dengan masalah di atas sangat jelas. Ketika Jibril
menyampaikan al-Qur'an kepada Nabi Muhammad SAW, beliau
menghafalkannya persis seperti ucapan Jibril. Selanjutnya Nabi
menyampaikan al-Qur'an kepada umat. Ketika itulah Allah SWT
menjamin bahwa Allah lah yang akan menghimpun al-Qur'an
dengan bacaannya secara lengkap.34
Untuk hadits Nabi, yang dikaji tidak hanya kandungan dan
aplikasi petunjuknya serta yang sehubungannya saja, tetapi juga
periwayatannya. Hal ini karena status hadits yang diyakini oleh
mayoritas umat Islam sebagai sumber ajaran Islam yang berasal
dari Allah (Wahyun Gairu Mathluwin), mempunyai sifat yang
spesifik yakni maknanya dari Allah, sementara lafazhnya dari
Nabi Muhammad SAW. Spesifikasi dari sifat hadits demikian
yang terbentuk dari perkataan, perbuatan, ketetapan dan hal
ihwal Nabi ini memerlukan penelitian yang mendalam.
Penelitian diperlukan, karena hadits yang sampai kepada umat
Islam melalui jalan periwayatan yang panjang, sepanjang
perjalanan sejarah kehidupan umat Islam. Di samping itu,
perjalanan hadits yang disampaikan dari generasi ke generasi,
memungkinkan adanya unsur-unsur yang masuk ke dalam
periwayatan itu baik unsur sosial maupun budaya dari
masyarakat generasi periwayat hadits itu hidup. Penelitian pada
jalur periwayatan (sanad) dan lafazh, materi dan isi (matn) dari
hadits itu menjadi sangat penting, karena boleh jadi apa yang
dikatakan sebagai hadits, sesudah diteliti dari kedua jalur ini
ternyata sangat lemah untuk disebut hadits Nabi.
Berbicara tentang fungsi hadits terhadap al-Qur'an, yang
dilihat dari perbedaan petunjuknya, maka al-Qur'an merupakan
sumber pertama, sedangkan hadits menempati sumber kedua.
Bahkan sulit dipisahkan antara al-Qur'an dan hadits Nabi,
karena kedua-duanya adalah wahyu, hanya yang pertama
Wahyun Matluwun dan yang kedua Wahyun Ghairu Matluwin.
Posisi hadits Nabi seperti itu tidak hanya dijelaskan oleh Nabi,
bahkan juga oleh Allah SWT, antara lain menyatakan:
53
Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada
Rasul (Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami,
hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang (QS.
al-Maidah, 5: 92).35
Mayoritas umat Islam sepakat dan menerima hadits
sebagai sumber ajaran Islam yang tak terpisahkan dari al-Qur'an.
Namun demikian minoritas umat Islam menolaknya. Golongan
yang menolak hadits sebagai sumber ajaran Islam terbagi
kepada dua golongan: golongan yang menolak hadits secara
keseluruhan, dan golongan yang menolak hadits Ahad saja.
Imam Syafi'i menerangkan golongan yang menolak hadits
sebagai sumber ajaran Islam dengan panjang lebar, disertai
dengan alasan-alasan mereka dan kemudian Imam Syafi'i
membantah pendapat mereka dengan alasan-alasan yang kuat
dan menempatkan persoalanya secara proporsional. Ia membagi
golongan yang menentang hadits sebagai dasar hukum Islam itu
kepada tiga golongan:
1) golongan yang menolak hadits secara keseluruhan, baik yang
Mutawatir maupun yang Ahad;
2) golongan yang menolak hadits, kecuali menerimanya jika
ada persamaan dengan al-Qur'an; dan
3) golongan yang menolak hadits Ahad.
Selain dalam kitab al-Umm, Imam Syafi'i juga
menyinggung persoalan para penolak hadits ini dalam kitabnya
al-Risalah dengan panjang lebar.36 Hanya bedanya jika di dalam
kitab al-Risalah Imam Syafi'i menerangkan dalil-dalil untuk
membela hadits dari penolakan ketiga golongan tersebut, maka
di dalam kitab al-Umm ia menerangkan masalah tersebut dengan
menggunakan metode tanya jawab.
Di samping itu, mereka menolak hadits karena hadits itu
Zhanniyyat al-Wurud yang berbeda dengan al-Qur'an yang
dikatakan Qath'iyyat al-Wurud. Sementara itu bila dilihat dari
segi Dalalah-nya atau maknanya, baik al-Qur'an maupun hadits
ada Qath'iyyat al-Dalalah (muhkamat). Tetapi ada juga yang
Zhanniyyat al-Dalalah.
Golongan yang menolak hadits secara keseluruhan,
menggunakan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Al-Qur'an itu adalah kitab suci yang berbahasa Arab yang
sudah tentu menggunakan gaya bahasa yang biasa
dipergunakan oleh bangsa Arab. Kalau seseorang telah
mengenal gaya bahasa Arab, akan mampu memahami al-
Qur'an tanpa memerlukan penjelasan hadits atau Sunnah dan
penjelasan lainnya.
2. Al-Qur'an sendiri telah menyatakan bahwa ia telah
mencakup segala hal yang dibutuhkan oleh manusia
mengenai segala aspek kehidupannya. Hal ini dijelaskan
dalam al-Qur'an sebagai berikut:
Dan (ingatlah) hari yang Kami akan bangkitkan pada
tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari antara
mereka, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi
saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan atas
kamu al-Kitab (al-Qur‟an) yang menerangkan tiap-tiap
sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat dan khabar
gembira bagi kaum muslimin (QS. al-Nahl, 16: 89).
Firman Allah yang lain menyatakan:
Dan tidak ada satupun dari binatang yang merayap di
bumi, dan tidak ada satupun burung yang terbang dengan
dua sayapnya, melainkan adalah mereka umat-umat seperti
kamu. Tidak Kami luputkan (sisakan) dalam kitab itu
sesuatu, kemudian kepada Tuhan merekalah, mereka akan
dikumpulkan (QS. al-An'am, 6: 38).
3. Berdasarkan keterangan yang menurut mereka berasal dari
sabda Nabi sendiri yang menyatakan:
نىعَّسيلفَّنأرقلاَّفلايَُّنىعَّمكاتأَّاموَّنىعَّوهفَّنأرقلاَّقفاويَّنىعَّمكاتأامفَّ
Apa-apa yang sampai kepadamu dari saya, maka
cocokkanlah dengan kitab Allah (al-Qur'an). Jika sesuai
dengan kitab Allah maka ambillah dan apabila tidak sesuai
dengan al-Qur'an maka tolaklah.37
Menghadapi pernyataan di atas, yang dikemukakan
golongan penolak hadits sebagai sumber ajaran Islam yang
kedua, Imam Syafi'i menanggapinya sebagai berikut:
1. Menurut kenyataan, bahwa umat Islam dalam
mengamalkan firman Allah tidak bisa lepas dari penjelasan
atau keterangan dari hadits. Sebab banyak firman Allah yang
bersifat mujmal, mutlaq, dan bersifat umum yang
membutuhkan kepada penjelasan, baik berupa rincian,
taqyid dan takhsis. Untuk itu Nabi lah yang diberi tugas dan
wewenang untuk memberikan penjelasan tersebut.
2. Yang dimaksud dengan ayat 89 dari surat al-Nahl di atas,
ialah bahwa Allah telah menjelaskan segala sesuatu yang
diperlukan oleh manusia seutuhnya secara global dan terinci.
Penjelasan lebih lanjut ditugaskan kepada Rasulullah SAW
sedangkan yang dimaksud ayat 37 dari surat al-An'am, ialah
bahwa segala sesuatu mengenai umur seseorang dan
rizkinya, sudah termaktub dan sudah ditentukan di alam
Lauh al-Mahfuzh, dan bukan al-Qur'an. Pengertian ini
diambil dari rangkaian kalimat sebelumnya dari ayat
tersebut yang berbunyi:
Dan mereka akan berkata: mengapakah tidak diturunkan
atasnya satu ayat dari Tuhannya? Katakanlah:
sesungguhnya Allah berkuasa akan menurunkan satu ayat,
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS. al-
An'am, 6: 37).
3. Bahwa yang dianggap hadits oleh mereka sebagaimana tersebut
pada butir tiga di atas, menurut penelitian para ahli kritik hadits
ternyata hadits itu adalah palsu (mawdlu). Imam al-Syafi‟i sendiri
memberi catatan bahwa hadits itu diriwayatkan oleh Khalid ibn
Abi Karimah dari Abi Ja‟far. Khalid meninggal pada waktu
perang Badar.38
Menurut Imam Syafi'i, golongan yang menolak hadits itu
dapat menimbulkan konsekuensi yang amat berat, karena jika
mengikuti pendapat mereka itu, maka konsekuensinya akan
tidak mengerti cara-cara mengerjakan shalat, puasa, zakat,
haji, dan sebagainya yang di dalam al-Qur'an disebutkan secara
global saja. Karena cara-cara ibadah di atas hanya dapat
dilakukan secara sempurna dengan melalui penjelasan dari Nabi.
Adapun golongan yang menolak hadits sebagai hujjah
karena hadits itu statusnya hanya Ahad yang tingkatannya
zhanniy al-wurud atau zhanniy al-dalalah, hal itu pada
hakikatnya masih bersifat sementara, sebelum diadakan
penelitian terutama segi maknanya. Sebab, meskipun hadits itu
berstatus Ahad, bila berkualitas shahih, maka pada hakikatnya ia
adalah sabda Rasul yang diakui keberadaannya oleh Allah SWT.
Dengan demikian para ulama telah bersepakat dalam
melihat dari segi turun dan petunjuk yang dikandung al-Qur‟an,
yakni dalam pembagian status wurud dan dalalah-nya, sebagai
sesuatu yang qath‟i datang dari Allah SWT. Sedangkan terhadap
hadits Nabi, para ulama berbeda dalam menentukan statusnya
yang dilihat dari pembagian di atas. Hal ini karena dari segi
periwayatannya, hadits ada yang mempunyai kategori mutawatir
dan ada yang ahad. Begitu pula petunjuknya ada yang bersifat
qath‟i dan dan ada pula yang zhanni, yang menyebabkan
kebenaran petunjuknya menjadi relatif.39
Hadits dalam status zhanni dari segi petunjuknya,
maksudnya ialah bahwa nash yang menunjukan satu pengertian,
namun terhadap nash itu masih memungkinkan dilakukan
penta‟wilan yang bisa menghasilkan pengertian yang lain.
Dengan demikian, kebenaran pengertian dari nash tersebut bisa
relatif atau tidak mutlak karena masih ada pengertian yang
lainnya. Alhasil, pada nash yang bersifat zhanni al-dilalah itu
berlaku adanya ijtihad. Sementara pengertian qath‟i al-dilalah,
menurut para ahli, pengertiannya bisa diidentikan dengan istilah
muhkam. Begitu pula yang zhanni al-dilalah, identik dengan
pengertian dari istilah mutasyabih.
Dengan demikian, sesuatu yang berstatus zhanni
mempunyai kemungkinan mengadung kesalahan. Hadits yang
telah diklaim sebagai hadits shahih dinilai terhindar dari
kesalahan. Meskipun hadits tersebut berstatus ahad dari segi
periwayatannya. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa
hadits ahad yang shahih, dari segi petunjuknya ada yang qath‟i
dan ada yang zhanni.40 Hal ini didasarkan pada tingkat
periwayatannya terbatas bahkan ada yang berstatus gharib.
Karenanya untuk mengetahui petunjuk yang terkandung dalam
hadits, tidak cukup hanya dari pendekatan-pendekatan; syarh al-
hadits, fiqh al-hadits atau pendekatan asbab al-wurud-nya dan
fiqh al-sirah, tetapi juga pengetahuan-pengetahuan lain yang
relevan, misalnya ushul fiqh, pendekatan kebahasaan, sosiologi
dan lain sebagainya.
Namun sejauhmana kedudukan Hadits, baik sebagai
sumber ajaran Islam yang kedua sesudah al-Qur‟an maupun
sebagai interpretasi dan bayan atas firman-firman Allah dalam
al-Qur‟an, maka para ulama41 menjelaskannya sebagai berikut: 1. Menurut ulama ahl al-Ra’y (Abu Hanifah):
a. Bayan Taqrir: Keterangan yang didatangkan Hadits untuk
menambah kokoh apa yang diterangkan oleh al-Qur‟an.
Contohnya antara lain Hadits Nabi SAW tentang melihat
bulan untuk berpuasa Ramadhan:
َّقفتمَّ(,وِتَِيؤْرُِلَّاوْرُطِفْاوََّوِتَِيؤْرُلَِّاومُوْصُ.)ةريرىَّبِاَّنعَّويلع
“Berpuasa kamu sesudah melihat bulan dan ber-buka kamu
sesudah melihatnya”. Riwayat Mutafaq ‟alaih.
Hadits ini menguatkan firman Allah SWT:
َّىدَُلهاَّنَمَِّتٍانٍَّ ي َبَّوََّسِا نلِلَّىدًىَُّنُآرْقُلَاَّوِيْفَِّلَِزنَّْاَّىذِ لاَّنَاضَمَرََّرُهْشَ
َّناَقرْفُلاوَ
“Bulan Ramadhan yang telah diturunkan di dalamnya al-
Qur‟an untuk petunjuk bagi manusia, keterangan yang mengan-
dung petunjuk dan penjelasan-penjelasan yang memisahkan
antara yang benar dan yang batal” (Q.S., al-Baqarah: 185).
َّدَهِشََّنْمَفََُّومْصُيَلْ َفَّرَهْ شلاَّمُكُنْمِ
“Maka barangsiapa mempersaksikan bulan (hilal) di antara
kamu hendaklah ia berpuasa” (QS.al-Baqarah: 185).
b. Bayan Tafsir, menerangkan apa yang kira-kira tak mudah
diketahui pengertiannya, yang mujmal dan yang
musytarak fihi. Contoh, Hadits Nabi SAW:
ثريولِاَّنبَّكلامَّنعَّىراخبلاَّوَّدحْاََّّهاورَّ,ىٍّلصَاَُّنِِوْمُتُ ْيَاَّرََّامَكََّاوُّْلصَ.
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”
Riwayat Ahmad dan al-Bukhari.
Hadits ini menerangkan kemujmalan al-Qur‟an tentang shalat.
Hadits Nabi SAW:
.وجامَّنباوَّدوادوباَّهاور,َّمْكُلِاوَمَْاَّرِشْعَُّعَبُْراوتُاىَ
“Berikanlah dua setengah persen dari harta-hartamu”
Riwayat Abu Dawud dan Ibn Majah.
Hal ini menerangkan kemujmalan perintah al-Qur-‟an
tentang zakat. Hadits Nabi SAW:
ََّعَّاوْذُخُ.ىئاسنلاَّوَّدوادوباَّوَّملسمَّهاورَّ,مْكُكَسَِّانَمََّ ٍّنى
“Ambilah olehmu dariku perbuatan-perbuatan yang dikerjakan
buat ibadah haji itu” Riwayat Muslim, Abu Dawud dan al-
Nasai.
Hadits Nabi SAW:
َّدودوباَّهاور,نِاتَضَيْحَاهَ ُت دعِوََّنِاتَنِْثَّةِمَلَااَّْقُلَاطَ.ةشئاعَّنعَّمكالِاَّوَّذمترلاَّو
“Talak budak dua kali dan iddahnya dua kali haidh”
Riwayat Abu Dawud al-Turmudzi dan al-Hakim.
Hadits di atas menerangkan ayat al-Qur‟an tentang quru
yang musytarak fihi.
َّ نهِسِفُ ْنَاِبَّنَصْ بَّرَ َت َيَّتُاقَ لَطُ
لماَّوٍََّءورُ ُقَّةََثَلاثََّ
Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru. (Q.S., al-Baqarah: 228). 42 2. Menurut Malik
a. Bayan Taqrir: menetapkan dan mengokohkan hukum-
hukum al-Qur‟an.
َّؤْرُِلَّاوْرطِفْاوََّوِتَِيؤْرُلَِّاوْمُوْصُ.ةريرىَّبِاَّنعَّويلعَّقفتم,َّوِتَِي
“Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah
kamu sesudah melihatnya” Riwayat Mutafaq‟alaih.
b. Bayan Taudhih (Tafsir): menerangkan maksud-maksud
ayat, Seperti Hadits-hadits yang menerangkan maksud
ayat yang dipahamkan oleh para shahabat berlainan
dengan yang dimaksud oleh ayat sendiri. Seperti ayat:
َّفَِِّاهَ َنوْقُفِنْ ُيَّلَاَّوََّةَ ضفِلاوََّبَىَ ذلاَّنَوْزُنِكْيََّنَيذِ لاوَ .َّمٍيِْلَاَّبٍاذَعَِبَّمْىُِرٍّشبَ َفَّلِلهاَّلِيْبِسَ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih”. (Q.S., al-Taubat: 34).
Waktu ayat ini diturunkan para shahabat merasa sangat
berat melaksanakan kandungan ayat. Mereka bertanya
kepada Nabi SAW, maka Nabi menjawab: “Allah tidak
mewajibkan zakat, melainkan supaya menjadi baik harta-
hartamu yang sudah kamu zakati”. Mendengar sabda
tersebut, „Umar mengucapkan takbir.
Penjelasan ini masuk ke dalam bayan Taudhih, yaitu
menentukan salah satu kemuhtamilan, meng-qayid-kan
yang muthlaq dan men-takhshis-kan yang umum.
c. Bayan Tafshil; menjelaskan kemujmalan al-Qur‟an, seper-
ti Hadits-hadits yang mentafshilkan ke-mujmalan tentang
tentang shalat:
ََّةَلا صلاَّاومُيْقَِا
“Dirikanlah olehmu shalat”.
d. Bayan Bashthi (tasbith atau ta‟wil); memanjangkan
keterangan bagi apa yang diringkaskan keterangannya
oleh al-Qur‟an, seperti ayat:
.اوفُلِخَُّنَيْذِ لاَّةَِثَلا ثلاَّىلَعََّوََّ
“Dan atas tiga orang yang tidak mau pergi, yang tinggal
di tempat tidak turut pergi ke medan perang (ditangguh-
kan penerimaan taubat mereka)” (Q.S., al-Taubah: 118).
Kisah yang dimaksudkan oleh ayat ini telah diuraikan oleh
Hadits yang diriwayatkan al-Bukhari, Muslim, Abu Da-
wud, al-Turmudzi, al-Nasai dan Ibn Majah dengan sebab
Nabi SAW mencegah orang berbicara dengan orang yang
tiga itu. Menurut ahli tafsir ketiga orang tersebut adalah:
Ka'ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mararah bin
Rabi'. mereka disalahkan karena tidak ikut berperang,
dalam perang Tabuk karena takut mati.
e. Bayan Tasyri‟; mewuju