dkan suatu hukum yang tidak
tersebut di dalam al-Qur‟an, seperti menghukum dengan
bersandar kepada seorang saksi dan sumpah apabila mu-
dda‟i tidak mempunyai dua orang saksi; dan seperti ra-
dha‟ah (saudara sepersusuan) mengharamkan pernikahan
antara keduanya, mengingat ada Hadits yang menyatakan:
.ةشئاعَّنعَّدوادَّوباَّوَّدحْاَّهاور,َّبِسَ نلاَّنَمَِّمُرُْيَََّامََّةِعَاضَ رلاَّنَمَِّمُرُْيََ
“Haram karena radha‟ apa yang haram karena nasab (ketu-
runan)” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud.
3. Menurut al-Syafi‟i: a. Bayan Tafshil, menjelaskan ayat-ayat mujmal, yang sangat ringkas petunjuknya.
b. Bayan Takhshish, menentukan sesuatu dari ayat yang
umum.
c. Bayan Ta‟yin, menentukan mana yang dimaksud dari dua
tiga perkara yang mungkin dimaksud.
d. Bayan Tasyri‟, menetapkan hukum yang tiada didapati
dalam al-Qur‟an secara tekstual. 4. Menurut Ahmad ibn Hanbal:
a. Bayan Ta‟kid (taqrir), menerangkan apa yang dimaksud-
kan oleh al-Qur‟an apabila Hadits itu bersesuaian petun-
juknya dengan petunjuk al-Qur‟an.
b. Bayan Tafsir, menjelaskan suatu hukum al-Qur‟an dengan
menerangkan apa yang dimaksud oleh al-Qur‟an.
c. Bayan Tasyri‟, mendatangkan suatu hukum yang didiam-
kan oleh al-Qur‟an, yang tidak diterangkan hukumnya.
d. Bayan Takhshish dan Taqyid, mengkhususkan al-Qur‟an
dan meng-qayid-kannya.
Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Hadits atau sabd-
sabda Nabi merupakan sumber ajaran Islam sesudah al-Qur‟an.
Umat Islam harus mengikuti petunjuk Hadits sebagaimana
dituntut mengikuti petunjuk al-Qur‟an.
Allah mewajibkan umat untuk mengikuti dan mentaati
Rasul SAW yakni dengan melaksanakan perintah-perintahnya
dan meninggalkan larangan-larangannya. Allah berfirman:
َّْنعََّمْكُاهَ َنَّامََّوََّهُوْذُخُفََّلُوسُ رلاَّمُكُاَتَّآَّآمَوَ.اوهُ َت ْناَفَّوُ
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”
(Q.S., al-Haysr: 7).
Allah memerintahkan kita mengikuti Rasul sebagai-mana
mentaati Allah:
َّلَوسُ رلاَّوََّللهاَّاوعُْ يطَِاوَ.َّنَوُْحَْرْ ُتَّمْكُ لعَلَ
“Dan taatilah olehmu Allah dan Rasul supaya kamu
dirahmati” (Q.S., Ali Imran: 123).
Bahkan Allah mengancam orang-orang yang menyalahi
Rasul. Firman Allah SWT:
َّمْهُ َبيْصِتَُّنَْاَّهِِرمَْاَّنْعََّنَوفُلِاَيَُُّنَيْذِ لاَّرِذَحْيَلْ َفَّميِلَاَّبٌاذَعََّمْهُ َبيْصِيَُّوَْاَّةٌنَ ْ تفِ
“Handaklah berhati-hati mereka yang menyalahi Rasul
(tidak menuruti ketetapannya), bahwa mereka akan ditimpakan
fitnah (cobaan yang berat) atau akan ditimpa adzab yang
pedih” (Q.S., al-Nur: 63).
Yang dimaksud dengan mengikuti Rasul SAW atau
melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya
adalah dengan mengikuti Sunnahnya atau Haditsnya, yang
berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan lain sebagainya.
Wajib mengikuti Rasul SAW berlaku bagi semua umat,
untuk seluruh masa dan tempat. Oleh karena itu, segala Hadits
yang diakui shahih dan tidak berlawanan dengan sesuatu
petunjuk al-Qur‟an sama-sama wajib diikuti oleh semua umat.
Walaupun Hadits wurudnya dilingkungan masyarakat-
masyarakat tertentu, namun bukan khusus untuk masyarakat ter-
sebut, sebab Nabi SAW diutus menjadi rahmat bagi seluruh
alam.
D. Pengisnadan dan Upaya Pemeliharaan Hadits
Sebagaimana tercatat dalam sejarah perkembangan hadits,
bahwa penulisan hadits secara resmi tidak dilakukan pada masa
Nabi. Nabi bahkan pernah melarang para shahabat menulis
hadits. Namun demikian, Nabi juga pernah menyuruh para
shahabat untuk menulis hadits. Kebijaksanaan Nabi tersebut
telah menimbulkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan
ulama, bahkan di kalangan para shahabat Nabi, tentang boleh
atau tidaknya penulisan hadits.
Menurut Muhammad Rofiq,43 keberadaan dua hadits Nabi
yang berbeda tersebut bukan berarti terjadi pertentangan antara
yang satu dengan yang lainnya atau yang terakhir menghapus
yang terdahulu (nasikh-mansukh), akan tetapi semuanya tetap
dapat dipakai dan dikompromikan apabila dilihat dari situasi dan
sejarah. Bahwa larangan penulisan hadits berlaku bagi orang
yang tidak mampu menjaga dan memisahkan antara al-Qur‟an
dengan al-Hadits. Mengenai hal ini M. Syuhudi Ismail44 menje-
laskan bahwa sejarah telah membuktikan terjadinya penulisan
hadits pada zaman Nabi, misalnya berupa surat-surat Nabi
tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan
kepala negara yang belum memeluk Islam. Adapun Sejumlah
shahabat yang pernah menulis hadits Nabi, misalnya Abdullah
Ibn „Amr Ibn al-‟Ash (wafat 65 H/685 M), Abdullah Ibn „Abbas
(wafat 68 H/687 M), „Au Ibn Abi Thalib (wafat 40 H/66 1 M),
Sumrah (Samurah) Ibn Jundab (wafat 60 H), Jabir Ibn Abdillah
(wafat 78 H1697 M) dan Abdullah Ibn Abi Aufa‟ (wafat 86 H).
Walaupun demikian, lanjut Syuhudi, tidaklah berarti
seluruh hadits telah terhimpun dalam catatan para shahabat
tersebut. Hal itu sangat beralasan karena para shahabat yang
mencatat hadits tersebut didorong oleh kehendak pribadi, sedang
mereka itu sangat sulit untuk mampu mengikuti dan mencatat
apa saja yang berasal dan Nabi, khususnya hadits Nabi yang
terjadi di hadapan satu dua orang shahabat saja. Dengan
demikian, hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi lebih
banyak berlangsung secara hapalan daripada secara tulisan.
Menurut Muhammad Rofiq,45 selama abad ke-1 Hijriah,
menurut perkembangan hadits berlangsung dari mulut ke mulut.
Ketika kekhalifahan dipegang oleh Umar Ibn Abdul Aziz (99
H), seorang khalifah dan Bani Umayyah dan pecinta ilmu
pengetahuan, beliau tergerak hatinya untuk membukukan hadits
yang waktu itu masih berserakan di dada kaum muslimin. Beliau
mengirirn surat kepada gubernur Madinah yang bernama Abu
Bakar Ibn Muhammad Ibn „Amr Ibn Hazm (wafat 120 H), yang
isi suratnya meminta kepada Abu Bakar Ibn Muhammad agar
membukukan hadits Rasul yang terdapat pada seorang
penghapal wanita bernama Amarah binti Abdurrahman Ibn
Sa‟ad Ibn Zurarah Ibn „Adiy (murid Aisyah binti Abu Bakar
ash-Shiddiq) dan Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abu Bakar al-
Shiddiq (wafat 107 H).
Selanjutnya, muncul ulama yang membukukan hadits
secara ilmu yang bernama Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim
Ibn Ubaidah Ibn Syihab al-Zuhri (51-124 H) sehingga beliau
dinobatkan sebagai penemu dan perintis Ilmu Mushthalah
Hadits, kemudian cabang ilmu ini disusun secara sistematik oleh
al-Ramahurmuzi (wafat 360 H).
Kemudian pada abad kedua Hijriyah, muncul Imam Malik
(93-179 H) dengan kitabnya al-Muwaththa‟ dan Imam al-Syafi‟i
(150-204 H) dengan kitabnya al-Musnad.
Usaha pembukuan hadits memuncak pada abad ketiga
Hijriyah. Tokoh utama pembukuan hadits abad ini adalah al-
Bukhari (194-256 H), yang disusul kemudian oleh Imam
Muslim (204-261 H), Abu Daud (202-275 H), al-Turmudzi
(209-279 H), al-Nasa‟i (225-303 H) dan Ishak Ibn Rohaweih
(wafat 237 H).
Dalam masa yang cukup panjang ini, menurut Syuhudi
Ismail,46 telah terjadi pemalsuan-pemalsuan hadits yang dilaku-
kan oleh beberapa golongan dengan berbagai tujuan. Atas
kenyataan ini, menurutnya, maka ulama hadits dalam usaha
menghimpun hadits Nabi, selain harus melakukan perlawatan
untuk menghubungi para periwayat yang tersebar di berbagai
daerah yang jauh, juga harus mengadakan penelitian dan
penyeleksian terhadap semua hadits yang mereka himpun.
Karena itu, proses penghimpunan hadits secara menyeluruh
terpaksa mengalami waktu yang cukup panjang, yakni sekitar
lebih dari satu abad. Dan kitab-kitab hadits yang mereka hasil-
kan bermacam-macam jenisnya, baik dari segi kuantitas dan
kualitas hadits yang dimuatnya, maupun cara penyusunannya.
Lebih ringkasnya, Hasbi Ash-Shiddieqy47 menjelaskan
bahwa untuk memelihara hadits, para ulama telah berusaha
membukukan hadits, memisahkan hadits dan fatwa-fatwa
shahabat dan tabi‟in, mengisnadkan hadits, memeriksa benar
tidaknya hadits yang diterima oleh para perawi, mengkritik para
perawi, memisahkan yang shahih dan yang dha‟if dan
menyeleksi mana hadits yang benar-benar dari Nabi dan mana
hadits mawdhu‟ (palsu), yang bukan dari Nabi SAW.
Selain itu, para ulama juga, lanjut Hasbi, memberikan
kesungguhannya untuk menyusun kaidah-kaidah tahdits, ushul-
ushul-nya, syarat-syarat menerima riwayat, syarat-syarat meno-
laknya, syarat-syarat shahih dan dha‟if membuat ketentuan-
ketentuan umum untuk menentukan derajat-derajat hadits, serta
kaidah-kaidah yang dipegang dalam menentukan hadits-hadits
maudhu‟. Semua itu merupakan langkah-langkah yang diambil
para ulama dalam upaya memelihara hadits.
E. Kaidah-kaidah Keshahihan Hadits
Pada periodisasi perkembangan hadits yang telah
dijelaskan di muka, secara implisit maupun eksplisit tidak
dijelaskan kapan munculnya kaidah-kaidah keshahihan hadits
tersebut ke permukaan. Namun yang jelas, adanya pernyataan
seperti yang telah dikemukakan olch Ibn Mubarak bahwa isnad
itu dan agama, sekiranya tidak ada isnad, tentu saja orang
berbicara dengan sekehendak hatinya. Pernyataan ini merupakan
indikasi bahwa munculnya kaidah-kaidah keshahihan hadits,
dimulai pada awal abad ke III H, sesudah berakhirnya masa
ulama Mutaqaddimin. Meskipun harus diakui bahwa aI-Bukhari,
misalnya mempunyai persyaratan khusus tentang keshahihan
suatu hadits. Akan tetapi hal ini belum dilakukan oleh ulama-
ulama yang lain, dalam artian bahwa secara formal kaidah
keshahihan suatu hadits tersebut, meski pada zaman ulama
Mutaqaddimin sudah ada akan tetapi masih belum merata
seperti diakui oleh semua ulama hadits.
Jadi, kaidah keshahihan hadits itu muncul pada masa
ulama Mutaakhkhirin. Hal ini didukung oleh berbagai fakta
bahwa misalnya definisi keshahihan suatu hadits itu sering
banyak dikemukakan oleh ulama-ulama mutaakhkhirin. Ibn
Shalah (w. 643 H.) misalnya, menyatakan bahwa hadits shahih
ialah:
َّحيْحِ صلاَّثُيْدَِْلِاَّامََاََِّّدنَسْمُلْاَّثُيْدَِْلِاَّوَهُ َفَََّّ يَّيْذِلَاََّتَّنْعََّطِبِا ضلاَّلِدْعَلْاَّلِقْ َنِبَّهُدُانَسْاَِّلُصِ
ًَّلا لعَمُلَاوََّاًّذا َِ شََّنُوْكُيََّلاوََّاهَ َتنْمَُّلََاَِّطِبِا ضلاَّلِدْعَلْا
Adapun hadits shahih ialah hadits yang bersambung
sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat)
yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, (di dalam hadits itu)
tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) dan cacat („illat).48
Adapun definisi hadits shahih yang lebih ringkas dan
masyhur di kalangan Muhadditsin adalah:
َّطِبْ ضلاٌَّّماَتَّلٌدْعََّوُلَقَ َنامََّل لعَمَُّرُ ْ يغََّدِنَ سلاَّلُصِ تمََُّّ ذاشَلَاَّوََّ
Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh perawi yang adil,
sempurna ingatannya (dhabith), sanadnya bersambung, tidak
ber‟illat dan tidak janggal syudzudz).49
Definisi di atas, pada perkembangan berikutnya diterima
sebagai kaidah keshahihan suatu hadits. Maka jika hadits kurang
memenuhi persyaratan di atas, Hadits itu bisa saja masuk dalam
kategori hasan, dha‟if atau hadits maudhu‟.
Ulama hadits lainnya dari kalangan mutaakhkhirin,
misalnya Ibn Hajar al-Asqalaniy (wafat 852 H/1449 M), Jalal al-
Din al-Suyuthiy (wafat 911 H/1505 M). Jamal al-Din al-
Qasimiy (wafat 1332 H/1914 M) dan Muhammad Zakariya al-
Kandahlawiy (lahir 1315 H/1898 M), telah pula mengemukakan
definisi hadits shahih. Definisi yang mereka kemukakan, wa-
laupun redaksinya tampak berbeda-beda tetapi pada prinsipnya
isinya sama dengan yang telah dikemukakan oleh Ibn al-Shalah.
Ulama hadits pada masa berikutnya, misal-nya Mahmud al-
Thahhan, Shubhiy al-Shalih dan Muhammad Ajjaj al-Khatib,
juga memberikan pengertian yang demikian.50
Selanjutnya menurut Syuhudi, walaupun pengertian hadits
shahih yang dikemukakan oleh ulama di atas itu sama, akan
tetapi tidak berarti telah terjadi ijma‟. Ibn Kasir (wafat 774
H/1373 M), misalnya, berpendapat bahwa hadits shahih bukan
hanya yang sanadnya bersambung kepada Nabi saja, melainkan
juga yang bersambung sampai ke tingkat shahabat atau lainnya.
Sekalipun demikian lbn Kasir mengakui, bahwa pendapat yang
diikuti oleh ulama pada umumnya adalah pendapat yang telah
dikemukakan oleh Ibn al-Shalah di atas. Di samping itu ada pula
ulama, misalnya Abu Muhammad al-Juwayniy (wafat 478 H/
1085 M), berpendapat bahwa hadits shahih haruslah diriwayat-
kan oleh (sedikitnya) dua orang pada setiap tingkat (thabaqah)
sanadnya. Mahmud Abu Rayyah mengutip suatu pendapat yang
menyatakan, bahwa hadits shahih adalah hadits yang di satu segi
menjadikan jiwa dalam keadaan tenang, serta terhindar dari
kejanggalan (syudzudz) dan cacat („illat). Tetapi kedua pendapat
terakhir ini tidak banyak pendukungnya.
Sebagian ulama fiqh dan ushul fiqh tidak menyaratkan
keterhindaran dari syudzudz dan „illat untuk hadits shahih.
Dalam kaitan ini al-‟Iraqiy (wafat 806 H/1404 M) menandaskan,
pengertian hadits shahih haruslah didasarkan kepada ulama yang
ahli di bidang hadits dan bukan kepada yang ahli di bidang
pengetahuan lainnya. Jadi. al-‟Iraqiy menolak pendapat ulama
fiqh dan ulama ushul fiqh di atas.
Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa pengertian
hadits shahih yang diikuti oleh mayoritas ulama hadits adalah
pengertian yang telah dikemukakan Ibn al-Shalah dan diringkas-
kan oleh al-Nawawiy. Hal ini berlaku sampai sekarang.51
Pengertian hadits shahih yang disepakati oleh mayoritas
ulama hadits di atas telah mencakup sanad dan matn hadits.
Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian dalam sanad harus
bersambung dan seluruh periwayatnya harus adil dan dhabit
adalah kriteria untuk keshahihan sanad, sedangkan keterhin-
daran dari syudzudz dan „illat, selain merupakan kriteria untuk
keshahihan sanad, juga kriteria untuk keshahihan matn hadits.
Karenanya, ulama hadits pada umumnya menyatakan bahwa
hadits yang sanadnya shahih belum tentu matnnya juga shahih.
Demikian pula sebaliknya, matn yang shahih belum tentu
sanadnya juga shahih. Jadi. keshahihan hadits tidak hanya
ditentukan oleh keshahihan sanad saja, melainkan ditentukan
pula oleh keshahihan matnnya.
a. Pengertian Adil dalam Periwayatan
Keadilan seorang perawi, menurut Ibn al-Sam‟aniy yang
dikutip oleh Fatchur Rahman,52 harus memenuhi empat syarat:
1. Selalu memelihara perbuatan ta‟at dan menjauhi perbuatan
ma‟siat.
2. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan
sopan santun.
3. Tidak melakukan sesuatu yang mubah yang dapat
menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatkan
penyesalan.
4. Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang
bertentangan dengan dasar syara‟.
Fatchur Rahman juga mengutip definisi yang lebih
lengkap yang dikemukakan oleh al-Razi, yang tercantum dalam
kitab Nuzhat al-Nadhar karangan Ibn Hajar sebagai berikut:
Keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu
bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan-
kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan mubah yang dapat menodai keperwiraan
(muru„ah), seperti makan dijalan umum, buang air kecil di tempat
yang bukan disediakan untuknya dan bergurau secara berlebihan.
Kemudian Muhyi al-Din Abd al-Hamid dalam Syarah
Alfiyah-nya yang juga dikutip Fatchur Rahman,53 menjelaskan
bahwa „adalah (keadilan) merupakan terkumpulnya beberapa
hal sebagai berikut:
1) Islam. Karenanya periwayatan dari seorang kafir tidak dapat
diterima, sebab ia dianggap tidak dapat dipercaya. Lebih-
lebih kedudukan meriwayatkan hadits yang dipandang
sangat tinggi dan mulia.
2) Mukallaf. Karenanya periwayatan dari anak yang belum
dewasa, menurut pendapat yang lebih shahih, tidak diterima,
sebab ia belum terjamin dari kedustaan. Demikian pula
halnya periwayatan orang gila.
3) Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasik
dan dari sebab-sebab yang dapat mencacatkan kepribadian
seseorang.
b. Pengertian Dhabit
Yang dimaksud dhabith adalah orang yang kuat
ingatannya, artinya bahwa ingatannya lebih banyak daripada
lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya.
Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima
hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu
sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja apabila
dikehendaki, maka orang yang memenuhi kriteria ini disebut
orang yang dhabith al-shadri. Sedangkan kalau apa yang
disampaikannya itu berdasarkan pada buku catatannya (teks
book), maka dia disebut orang yang dhabith al-kitab.54
Menurut Ibn Hajar al-‟Asqalaniy dan al-Sakhawiy, yang
dimaksud sebagai orang dhabith adalah orang yang kuat
hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu
menyampaikan hafalannya itu kapan saja dia menghendakinya.
Ada pula ulama yang menyatakan bahwa orang dhabith adalah
orang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya; dia
memahami arti pembicaraan itu secara benar; kemudian dia
menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil dengan
sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu
kepada orang lain dengan baik.
Sebagian ulama lain menyatakan, orang yang dhabith
adalah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana
seharusnya; dia memahaminya dengan pemahaman yang
mendetail kemudian dia hafal secara sempurna; dan dia
memiliki kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai saat
dia mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikannya kepada
orang lain.
Masih ada lagi beberapa pernyataan ulama tentang
pengertian dhabith ini, walaupun redaksinya berbeda-beda tetapi
prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya banyak
kesamaannya.55
Adapun cara penetapan ke-dhabith-an seorang periwayat,
menurut berbagai pendapat ulama, sebagai berikut:
a. Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan
kesaksian ulama.
b. Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan
kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan
oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya.
Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ke tingkat
makna atau mungkin ke tingkat harfiah.
c. Apabila seorang periwayat sekali-sekali mengalami
kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai
periwayat yang dhabith. Tetapi apabila kesalahan itu sering
terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut
sebagai periwayat yang dhabith.
Dalam hubungan ini, yang menjadi dasar penetapan ke-
dhabith-an periwayat secara implisit adalah hafalannya dan
bukan tingkat kefahaman periwayat tersebut terhadap hadits
yang diriwayatkannya.56
c. Pengertian Sanad Bersambung
Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah sanad
yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap
perawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru
yang meriwayatkannya.57 Jadi, seluruh rangkaian periwayat
dalam sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh al-
Mukharrij (penghimpun riwayat hadits dalam karya tulisnya)
sampai kepada periwayat tingkat shahabat yang menerima
hadits yang bersangkutan dari Nabi, bersambung dalam
periwayatan.
Menurut M. Syuhudi Ismail,58 untuk mengetahui bersam-
bung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadits menem-
puh tata kerja penelitian sebagai berikut:
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat:
melalui kitab-kitab rijal al-hadits, misalnya kitab Tahdzib
al-Tahdzib susunan Ibn Hajar al-‟Asqalaniy, dan kitab al-
Kasyf susunan Muhammad Ibn Ahmad al-Dzahabiy;
dengan maksud untuk mengetahui:
a) apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal
sebagai orang yang adil dan dhabith, serta tidak suka
melakukan penyembunyian kecacatan (tadlis);
b) apakah antara para periwayat dengan periwayat yang
terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan: (1)
kesezamanan pada masa hidupnya; dan (2) hubungan
guru-murid dalam periwayatan hadits.
c) meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para
periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam
sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa:
haddatsaniy, haddatsana, akhbarana, „an, anna, atau
kata kata lainnya.
Jadi, suatu sanad hadits baru dapat dinyatakan bersambung
apabila:
a) seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil
dan dhabith); dan
b) antara masing-masing periwayat dengan pcriwayat terdekat
sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi
hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan
tahammul wa ada‟ al-hadits.
d. Pengertian Tidak ada ‘Illat
Fatchur Rahman59 menjelaskan bahwa „illat hadits adalah
suatu penyakit yang samar-samar, yang dapat menodai
keshahihan suatu hadits. Misalnya meriwayatkan hadits secara
muttashil (bersambung) terhadap hadits mursal (yang gugur
seorang shahabat yang merawikannya) atau terhadap hadits
munqathi‟ (yang gugur salah seorang perawinya). Demikian
juga dapat dianggap suatu „illat hadits, yaitu suatu sisipan yang
terdapat pada matn hadits.
„Abd al-Rahman Ibn Mahdiy (wafat 194 H/814 M)
menyatakan, untuk mengetahui „illat hadits diperlukan intuisi
(ilham). Sebagian ulama menyatakan, orang yang mampu
meneliti „illat hadits hanyalah orang yang cerdas, memiliki
hafalan hadits yang banyak, paham akan hadits yang dihafalnya,
mendalam pengetahuannya tentang berbagai tingkat ke-dhabith-
an para periwayat dan ahli di bidang sanad dan matn hadits. Al-
Hakim al-Naisaburiy berpendapat bahwa acuan utama penelitian
„illat hadits adalah hafalan, pemahaman dan pengetahuan yang
luas tentang hadits. Semua pernyataan ulama ini memberikan
petunjuk bahwa penelitian „illat hadits sangat sulit.60
e. Pengertian Tidak ada Syadz
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syadz
dalam hadits. Tetapi pada umumnya para ulama hadits
mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh al-Syafi‟i, karena
penerapannya dianggap tidak sulit.
Menurut al-Syafi‟i, suatu hadits tidak dinyatakan mengan-
dung syadz, bila hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh
seorang periwayat yang tsiqat, sedang periwayat yang tsiqat
lainnya tidak meriwayatkan hadits itu. Barulah suatu hadits
dinyatakan mengandung syadz, bila hadits yang diriwayatkan
oleh seorang periwayat yang tsiqat tersebut bertentangan dengan
hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga
bersifat tsiqat.
Penjelasan al-Syafi‟i tersebut dapat dipegangi bahwa
hadits syadz disebabkan oleh: a) kesendirian seorang perawi
dalam sanad hadits, yang dalam ilmu hadits dikenal dengan
istilah hadits fard muthlaq (kesendirian absolute, yakni hanya
ada satu jalur sanad hadits dari yang bersangkutan); atau b)
periwayat yang tidak tsiqat.
Demikian pula hadits berkemungkinan mengandung syadz,
bila: a) hadits itu memiliki lebih dari satu sanad; b) para
periwayat hadits itu seluruhnya tsiqat; dan c) matn dan atau
sanad hadits ada yang mengandung pertentangan.
Hadits yang mengandung ke-syadz-an, oleh ulama disebut
sebagai hadits syadz, sedangkan “lawan‟ dan hadits syadz
disebut sebagai hadits mahfuzh.61
Dengan demikian, hadits yang memenuhi kriteria atau
persyaratan keshahihan dengan segala unsurnya, seperti yang
telah dikemukakan di atas, maka hadits dapat dikategorikan
kepada shahih. Dan sebaliknya jika tidak memenuhi kriteria
keshahihan, maka hadits dapat digolongkan kepada dha‟if,
bahkan palsu. Jadi keshahihan atau kedha‟ifan suatu hadits, pada
prinsipnya dapat dilihat dari konsep sanad atau konsep matn
hadits itu sendiri. Karena boleh jadi, suatu hadits segi sanadnya
memenuhi persyaratan shahih, namun matn-nya tidak memenuhi
persyaratan keshahihan atau sebaliknya, maka hadits itu dapat
dikategorikan sebagai hadits yang tidak shahih.
G. Problematika Kajian Matn Hadits
Status hadits diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagai
sumber ajaran Islam yang berasal dan Allah SWT sebagai
Wahyu Ghairu Matluwin. Sebagai wahyu Allah, hadits
mempunyai sifat yang spesifik, yakni maknanya dari Allah
dengan lafazhnya dari Nabi Muhammad SAW. Spesifikasi sifat
hadits yang demikian menyebabkan hadits sebagai bentuk
perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad Saw., hal
ini memerlukan penelitian yang mendalam, karena berbeda
dengan al-Qur‟an, hadits bersifat zhanni al-wurud dan zhanni
al-dilalah.
Penelitian atas hadits diperlukan karena hadits yang
sampai kepada umat Islam melalui jalan periwayatan yang
panjang, sepanjang perjalanan kehidupan umat Islam. Di
samping itu, perjalanan hadits yang disampaikan dari generasi
ke generasi, memungkinkan adanya unsur-unsur yang masuk ke
dalamnya baik unsur sosial maupun budaya dari masyarakat
generasi periwayat hadits itu hidup.
Untuk itulah penelitian hadits harus jeli pada unsur sanad
(jalur periwayatan) matn (lafazh, materi atau isi) dari hadits
tersebut, yang kemudian diharapkan mampu membuat rumusan-
rumusan yang pasti mengenai kriteria tertentu sehingga dapat
ditelusuri hadits yang maqbul dan yang mardud.
Ketika para ulama hadits rnenetapkan lima syarat bagi
shahihnya sebuah hadits, seperti yang diungkapkan H. Afif
Muhammad,62 hal itu menunjukkan betapa telitinya mereka
(para ulama) dalam menyeleksi hadits Nabi Saw. Kelima syarat
tersebut, di antaranya tiga berkenaan dengan sanad dan dua
berkenaan dengan matn. Yang berkaitan dengan sanad, di
samping sanad harus bersambung, semua perawinya juga harus
dhabith dan tsiqqat. Sedangkan yang berkaitan dengan matn,
adalah keharusan tidak adanya syadz dan „illat. Dari seleksi
tersebut muncullah hadits shahih, hasan, dha„if dan seterusnya.
Selanjutnya H. Afif Muhammad63 menjelaskan bahwa
pengujian terhadap syarat yang berkaitan dengan sanad telah
dilakukan sejak awal dengan cara meneliti kredibilitas para
perawi, sehingga muncullah cabang ilmu hadits yang disebut
dengan al-Jarh wa al- Ta‟dil. Yakni persyaratan bagi seorang
perawi dalam kaitan diterima atau tidaknya hadits yang
diriwayatkannya. Sedangkan ketersambungan sanad, diuji
dengan melacak masa hidup para perawi tersebut.
Tetapi, menurut mantan Direktur Pascasarjana UIN
Bandung ini, yang berkaitan dengan matn, sungguhpun telah
dirintis oleh para sahabat generasi pertama, tampaknya belum
dilanjutkan secara sungguh-sungguh. Dengan demikian, bila
pengujian terhadap matn belum dilakukan, maka kesahihan
sanad belum menjamin kesahihan matn. Hal ini sejalan dengan
pandangan M. Syuhudi Ismail,64 yang memberikan alasan
kesulitan penelitian matn ini adalah karena masih sangat
langkanya kitab-kitab yang secara khusus membahas kritik
matn. Menurutnya, alasan ini timbul karena para ulama hadits
pada umumnya telah terserap waktu dan enerjinya untuk
melakukan penelitian sanad hadits. Hal itu dapat dipahami sebab
bila masalah sanad tidak segera mereka tangani, maka
kerumitan penelitian hadits akan bertambah lagi.
Lebih jauh lagi, Syuhudi Ismail65 memerinci sebab-sebab
sulitnya penelitian matn ini karena beberapa faktor berikut:
1. Adanya periwayatan secara makna;
2. Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu
macam saja;
3. Latar belakang timbulnya petunjuk hadits tidak selalu
mudah dapat diketahui;
4. Adanya kandungan petunjuk hadits yang berkaitan dengan
hal-hal yang berdimensi “supra rasional”; dan
5. Masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus
penelitian matn hadits.
Adapun al-Adlabi dalam kitabnya Manhaj Naqdi al-Matn,
seperti yang dikutip Syuhudi Ismail, mengemukakan tiga faktor
penyebab sulitnya penelitian matn, yaitu:
1. Kitab-kitab yang membahas kritik matn dan metodenya
sangat langka;
2. Pembahasan matn pada kitab-kitab tertentu termuat di
berbagai bab yang bertebaran sehingga sulit dikaji secara
khusus; dan
3. Adanya kekhawatiran menyatakan sesuatu sebagai bukan
hadits padahal hadits, dan sesuatu sebagai hadits padahal
bukan hadits.
Mengenai kriteria-kriteria yang dipergunakan para ulama
dalam penelitian matn ini, Mustafa Assibai‟66 menyebutkan hal-
hal sebagai berikut:
1. Ungkapannya tidak dangkal, sebab yang dangkal tidak akan
pernah diucapkan oleh yang memiliki apresiasi sastera tinggi
atau yang fasih;
2. Tidak menyalahi pandangan orang yang luas pikirannya,
sebab sekiranya menyalahi, tidak mungkin ditakwil;
3. Tidak menyimpang dari kaidah umum tentang hukum dan
akhlak;
4. Tidak menyalahi perasaan dan pengamatan;
5. Tidak menyalahi para cendekiawan dalam bidang
kedokteran dan filsafat;
6. Tidak mengandung kekerdilan, sebab syari‟at jauh dari sifat
kerdil;
7. Tidak bertentangan dengan akal sehubungan dengan pokok-
pokok akidah, termasuk sifat Allah dan Rasul-Nya;
8. Tidak bertentangan dengan sunnatullah mengenai alam
semesta dan kehidupan manusia;
9. Tidak mengandung sifat naif, sebab orang berakal tidak akan
seperti itu;
10. Tidak menyalahi al-Qur‟an dan al-Sunnah yang telah jelas
hukumnya, tidak pula menyalahi ijma ulama ataupun
ketetapan agama yang telah menjadi keharusan yang tidak
perlu ditafsirkan lagi;
11. Tidak bertentangan dengan kenyataan tarikh yang telah
diketahui umum mengenai zaman Nabi Saw;
12. Tidak menyerupai madzhab rawi yang selalu mau benar
sendiri;
13. Tidak meriwayatkan suatu kejadian yang dapat disaksikan
orang banyak, padahal riwayat itu hanya disampaikan
seorang rawi saja;
14. Tidak menguraikan suatu riwayat yang isinya menonjolkan
kepentingan pribadi;
15. Tidak mengandung uraian yang membesar-besarkan pahala
dan perbuatan yang minim. Dan tidak mengandung ancaman
berat terhadap perbuatan dosa kecil.
Sekalipun telah cukup banyak kriteria-kriteria yang
dipergunakan para ulama dalam meneliti matn ini, tetapi
menurut Assiba‟i‟,67 mereka belum puas sebelum mengkaji dan
meneliti segi idhthirab, syadz, dan „illat-nya. Demikian pula
mereka membahas mana yang mengandung kemungkinan
terbalik (qalb), kekeliruan (ghalath) dan sisipan (idraj).
Terdapat banyak hadits yang dari segi sanad, termasuk
kategori shahih, tetapi dari segi matn bertentangan dengan al-
Qur‟an. H. Afif Muhammad menjelaskan,68 bahwa alasan
hadits-hadits itu bertentangan dengan al-Qur‟an, maka orang-
orang seperti Ahmad Amin dan Abu Rayyah menolaknya.
Bahkan Muhammad al-Ghazali, dalam bukunya, Al-Sunnah Al-
Nabawiyyah Bain Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits mengatakan
bahwa betapapun shahihnya sanad suatu hadits, sepanjang
matnnya bertentangan dengan al-Qur‟an ia tidak ada artinya.
Muhammad al-Ghazali yang dikenal sebagai pakar hadits
dewasa ini, tampaknya tidak sembarangan untuk menyatakan
demikian, sebagai pakar tentunya dia mempunyai banyak
argumentasi yang tidak dikemukakannya secara eksplisit. Kepa-
karan al-Ghazali ini diakui oleh banyak kalangan. Yusuf Qara-
dhawi,69 menyatakan dalam satu tulisannya, antara lain:
Saya telah mengenal Syeikh Muhammad al-Ghazali sejak
setengah abad yang lalu. Cerdas, rendah hati, dan akhlaknya yang
mulia, adalah sebagian kecil dari sifatnya yang menonjol. Setiap
orang mengenalnya sebagai figur yang tulus, jujur, ikhlas, dan
dewasa dalam berfikir. Al-Ghazali juga seorang yang memiliki
keberanian luar biasa dalam membela kebenaran. Kecemburuannya
terhadap Islam amat tinggi.
Sumbangan al-Ghazali dalam dunia pemikiran Islam tak akan
pernah dilupakan. Selain berpuluh-puluh buku dan artikel yang
ditulisnya, ia juga secara rutin mengisi pengajian, ceramah, dan
wawancara di TV dan radio. Ia memiliki banyak murid dari pelbagai
penjuru dunia yang sempat dididiknya di al-Azhar, Ummul Qura
(Mekah), Fakultas Syari‟ah (Universitas Qatar,), serta di Institut
Ilmu-ilmu Islam di Universitas Amir Abdul Kadir (Aljazair).
Al-Ghazali selalu mengajarkan mahasiswa-mahasiswanya ke-
seimbangan (balance). Yaitu keseimbangan dalam menggunakan akal
(aql) dan sumber agama (naql), dan dalam memandang dunia (dunya)
dan agama (din). Ia bukan jenis orang yang mencari-cari pembenaran
agama demi meluluskan sebuah kepentingan dunia. Ia juga bukan
orang yang anti terhadap modernisme dan kema-juan. Al-Ghazali
adalah tengah-tengah, antara dunia dan agama, dan antara akal dan
naql. Ia sering melontarkan imbauan untuk para pembaharu Islam:
„Mengapa kalian tidak menuntut kemajuan sambil menjadi Islam?”
Karena perbedaan penalaran, pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa
al-Ghazali banyak dikritik. Tapi, sepengetahuan saya, dalam menge-
mukakan pendapat dan fatwa, ia tidak pernah bertentangan dengan
ijma‟ (kesepakatan) ulama.
Memang, jika dicermati, kadang-kadang beberapa ucapan al-
Ghazali sangat tajam. Itu muncul karena rasa kecemburuannya yang
mendalam. Ia benci segala macam penyimpangan. Hatinya terbakar
ketika terjadi penyelewengan. Semua itu bisa dilihat dengan jelas
dalam karya-karyanya.
Berkaitan dengan kriteria yang dipergunakan al-Ghazali
dalam mengkritik matn hadits, yakni bahwa jika makna hadits
itu tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur‟an, maupun
hadits shahih yang lain, maka keshahihan suatu hadits tidak
hanya ditentukan oleh keshahihan segi sanadnya saja, tetapi juga
ditentukan oleh keshahihan matnnya. Namun untuk meneliti
matn hadits, tampak sulit dilakukan, mengingat buku-buku
hadits yang terkait dengan analisis matn hadits ini jarang sekali
ditemukan. Karena buku atau kitab yang banyak beredar, yang
ditulis oleh para ulama dari zaman ke zaman adalah yang
berkaitan dengan syarah hadits itu sendiri dan jarang ditemukan
kitab mengenai analisis matn hadits. Demikian pula buku-buku
„ulum al-hadits, yang banyak bertebaran, baik yang baru
maupun yang lama, tampaknya satu sama lainnya sama saja,
yakni banyak kesamaannya. Sementara yang membahas matn
hadits jarang ditemukan.
Karena itu dari sinilah letak signifikansinya uraian dalam
buku ini, sebagai salah satu upaya untuk menambah khazanah
pengetahuan umat Islam, terutama dalam aspek matn hadits.
SYAIKH MUHAMMAD AL-GHAZALI DAN
PEMIKIRANNYA TENTANG HADITS
NABAWI SAW
A. Biografi Muhammad al-Ghazali dan Karir
Intelektualnya
Syaikh Muhammad al-Ghazali adalah seorang ulama
terkenal kelahiran Mesir yang sebagian besar hidupnya
dicurahkan untuk kepentingan dakwah Islam. Ia dilahirkan di
Naklal Inab, sebuah desa Mesir, tahun 1917. Masa kecilnya
dilalui di desa itu. Ia telah hafal al-Qur‟an sejak masih duduk di
sekolah dasar. Masa sekolahnya hingga SLTA ia pusatkan untuk
mengkaji ilmu-ilmu agama. Kemudian ia melanjutkan kuliahnya
di al-Azhar, mengambil Fakultas Ushuluddin, hingga tamat
tahun 1941. Dua tahun sesudah itu (1943), ia meraih magister
dalam bidang sastra Arab dari universitas yang sama.
A1-Ghazali juga seorang ulama Islam yang sangat peduli
terhadap persoalan-persoalan umat Islam kontemporer, terutama
yang berhubungan dengan dakwah dan pemikiran. Sampai
wafatnya, selain menulis di berbagai majalah dan surat kabar
berbahasa Arab, beliau juga menulis tak kurang dan 48 judul
buku yang telah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa asing, termasuk ke dalam bahasa Indonesia. Di
antara bukunya yang terkenal adalah Fiqh al-Sirah, Min Huna
Na‟lam, Kayfa Nafhamu al-Islam, Humum Da‟iyah, dan Jaddid
Hayatak. Bukunya yang menjadi best seller dan telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah, al-Sunnah al-
Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, yang juga
menjadi sumber data primer dalam penulisan penelitian ini.
Karena jasanya dalam berdakwah, baik lewat pidato (bi al-
lisan) maupun tulisan (bi al-qalam), al-Ghazali telah
mendapatkan berbagai penghargaan dari beberapa negara Islam.
Pemerintah Aljazair pernah menganugerahinya „Bintang Jasa.
sebuah penghargaan tertinggi pemerintahan Aljazair untuk
bidang dakwah Islam. Saudi Arabia menganugerahinya hadiah
Raja Faisal untuk bidang yang sama. Ia adalah orang Mesir
pertama yang mendapatkan hadiah semacam itu karena jasa-
jasanya terhadap dakwah Islam. Pada tahun 1988, pemerintah
Mesir menganugerahi “Bintang Republik”, penghargaan
tertinggi untuk warga Mesir yang dinilai telah berjasa untuk
kemanusiaan. Anugerah yang sama juga diterimanya dari
Kerajaan Maroko dan Brunei Darussalam.
Hadiah dan anugerah yang diterima al-Ghazali bukan
hanya yang berbentuk tanda jasa. Sampai kini ia juga dihormati
dan disanjung oleh banyak umat Islam di seluruh dunia. Karena
sifatnya yang terbuka, pembicaraannya yang mudah dicerna,
dan mengesankan, karya-karyanya banyak memberikan inspirasi
untuk anak muda Islam.
Al-Ghazali juga seorang pemikir muslim yang jernih dan
terbuka. Ia dekat dengan siapa saja dan selalu menghormati
pendapat orang lain. Meski ia berafiliasi dengan gerakan Ikhwan
al-Muslimin, tapi al-Ghazali tidak fanatik dengan kelompok itu.
“Saya tidak peduli dengan simbol,” tulisnya dalam salah satu
bukunya.
Karya puncaknya yang banyak diperbincangkan orang
adalah al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-
Hadits. Dalam buku tersebut terlihat dengan sangat jelas sikap
intelektual al-Ghazali. Ia tidak terpaku pada persyaratan-
persyaratan yang dibuat ulama hadits dalam menilai sebuah
hadits Nabi. Baginya ada yang lebih penting dari sekadar
metode, yaitu mashlahat al-muslimin (kepentingan umat Islam).
Karena demi kepentingan kaum muslimin itulah al-
Ghazali dirangkul oleh banyak golongan. Dalam usia senjanya,
al-Ghazali juga ikut andil dalam gerakan “Islamisasi Ilmu” yang
merebak akhir-akhir ini. Ia juga diangkat menjadi anggota
dewan penasihat pada IIIT (International Institute of Islamic
Thought) yang bermarkas di Washington. Gagasan “Islamisasi
Ilmu” juga merupakan agenda awal pemikiran al-Ghazali.Tidak
97
lama sesudah wafatnya, Qardhawi mengisahkan kekagumannya
terhadap beliau. Sebagian penuturannya telah ditulis pada bab
pendahuluan penelitian ini, dan sebagiannya lagi sebagai
berikut:70
Al-Ghazali telah menghabiskan hidupnya demi membela Islam.
Menurutnya, seorang Muslim seharusnya selalu berhati-hati
terhadap musuhnya, baik dari dalam maupun dan luar. Seorang
Muslim seharusnya selalu siap untuk membela. Bahkan, kalau
perlu, menyerang. Sebab, menyerang tidak lebih dari salah satu
sarana pertahanan.
Al-Ghazali telah berjuang dalam dua medan: pertama, terhadap
musuh-musuh yang membenci dan memerangi Islam.
Menurutnya, musuh-musuh ini terdiri dari kekuatan internasional
non-muslim. Mereka adalah jaringan Zionisme, kaum Kristen, dan
Komunisme. Walaupun mereka berbeda agama, mereka bersatu
dalam upaya menghancurkan Islam.
Medan kedua yang dihadapi al-Ghazali adalah umat Islam yang
tidak mengetahui hakikat Islam tapi mengklaim sebagai ahli
Islam. Mereka lebih berbahaya dari kelompok pertama. Al-
Ghazali menamakan mereka “kelompok pemecah belah,“ karena
mereka sering memecah belah umat Islam dengan memunculkan
isu-isu sepele dalam Islam. Biasanya mereka mengangkat
masalah-masalah khilafiyah dalam fiqih.
Al-Ghazali sangat menyayangkan kiprah orang-orang semacam
itu. Mereka hanya mendatangkan petaka bagi umat Islam yang
sedang berusaha bangkit. Untuk meluruskan orang-orang yang
seperti ini al-Ghazali menuliskan beberapa buku sebagai jawaban
atas kekeliruan mereka.
Selain itu, al-Ghazali juga mencemaskan munculnya ulama
yang tidak ahli dalam bidangnya. Ia pernah menulis, “Saya ngeri
membayangkan masa depan umat Islam. Mereka sok menjadi
„alim. Padahal mereka tak menguasai ilmu yang dibicarakannya.
Banyak ahli hadits yang berubah menjadi ahli fiqih, meskipun
sebenarnya mereka kurang ahli dalam bidang itu. Mereka
berusaha menjadi politikus yang ingin mengubah masyarakat dan
negara seperti yang mereka dapatkan dari riwayat-riwayat yang
mereka miliki.”
Al-Ghazali juga mengecam para pemikir yang tidak mengetahui
prinsip-prinsip umum Islam, seperti soal tata negana dan sistem
ekonomi Islam.
Al-Ghazali dikenal keras dalam bersikap. Jika berdebat, ia
dikenal tajam. Ia menderu bak ombak, menggelegar bak halilintar.
Mengaum bak singa. Dalam menulis, ia bagaikan seorang tentara
yang sedang perang. Saat itu, pena ditangannya berubah menjadi
pedang.
Al-Ghazali yang saya kenal dari dekat adalah seorang yang
berhati lembut, mudah menitikkan air mata, seorang yang jernih,
sederhana, rendah hati, dan tidak sungkan-sungkan untuk belajar
walaupun dari murid-muridnya. Meski begitu, ia pernah dengan
tegas berkata kepada saya,“Saya tidak suka menguasai seseorang
atau dikuasai orang.”
Sepanjang hidupnya, al-Ghazali adalah seorang pemikir bebas.
Ia tidak mengabdikan pemikirannya kepada siapa pun. Pernah
penguasa Mesir mencoba “membelinya.” Tapi siapa yang sanggup
membeli seseorang yang menginginkan Allah dan sorga-Nya?
Harga al-Ghazali terlampau mahal. Beberapa kali beliau ditawari
jahatan-jabatan yang membuat orang tergiur. Tapi ia tetap
memilih sikapnya.
Syaikh Muhammad al-Ghazali telah meninggalkan kita. Tapi
pemikirannya tidak akan pernah mati. Karena sebuah gagasan tak
akan mati dengan matinya sang pencetus. Ide-idenya akan terus
hidup, diabadikan dalam karya-karyanya yang tersebar di seluruh
penjuru dunia. Sebagaimana karya-karyanya, murid-muridnya pun
tersebar ke pelbagai pelosok dunia.
Begitulah penuturan Yusuf Qardhawi, seorang pemikir
asal Mesir yang pernah menjadi murid al-Ghazali ketika ia
belajar di al-Azhar.
A1-Ghazali wafat dalam usia 80 tahun pada hari Sabtu,
tanggal 8 Maret 1996 di tengah lawatannya ke Saudi Arabia.
Kunjungan al-Ghazali ke negeri itu adalah atas undangan
Kerajaan Saudi Arabia untuk menghadiri Pameran Warisan
Islam ke-11 yang diadakan di Riyadh. Wafatnya begitu tiba-tiba,
diduga karena serangan jantung.
Menurut Yusuf Qardhawi,71 sudah sejak lama al-Ghazali
ingin mendapatkan tempat yang dekat dengan Nabi Muhammad
SAW. Dan kematiannya di Saudi Arabia itu telah mengantar-
kannya ke pekuburan Baqi, hanya beberapa meter dari makam
Rasulullah. Dan menurut Dr. Muhammad Umar Zubair, sahabat
Yusuf Qardhawi yang sempat menghadiri upacara pemakaman
al-Ghazali di Medinah, letak kuburan al-Ghazali persis di antara
kuburan Imam Malik (pendiri Madzhab Maliki) dan Imam Nafi
(ahli hadits).
B. Syaikh Muhammad al-Ghazali dan Pandangannya
tentang Hadits
Syaikh Muhammad al-Ghazali, yang dalam biografinya
diketahui sebagai salah seorang ulama al-Azhar yang sangat
menonjol dan disegani di dunia Islam, khususnya di Timur
Tengah, adalah termasuk salah seorang penulis Arab yang
sangat produktif.
Salah satu bukunya yang dianggap sebagai masterpiece
adalah yang berjudul; al-Sunnah al-Nabawiyyah Bain Ahl al-
Fiqh wa Ahl al-Hadits, yang kemudian diterjemahkan oleh Mu-
hammad al-Baqir, dengan diberi judul; Studi Kritis atas Hadits
Nabi SA W, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual.
Buku terjemahan ini kemudian diterbitkan oleh penerbit Mizan,
Bandung, cetakan pertama pada tahun 1991.
Pandangan al-Ghazali terhadap hadits sangat penting
untuk didengar dan diperhatikan. Karena, al-Ghazali banyak
melakukan kritik terhadap pandangan para ahli hadits tentang
pandangannya terhadap suatu hadits. Al-Ghazali72 misalnya,
mengeritik Ibn Hajar yang menjustifikasi dan menguatkan
periwayatan hadits tentang al-Gharaniq. Al-Ghazali mengatakan
bahwa Ibn Hajar memberi lampu hijau terhadap hadits ini
sehingga hadits tersebut berjalan dengan mulus di antara
manusia dan mampu merusak agama dan dunia mereka. Padahal
„hadits‟ tersebut adalah hasil buatan (pemalsuan) kaum zindiq,
para pengingkar agama. Dengan diakuinya hadits ini sebagai
suatu hadits, sehingga datanglah akhir kemudian Salman
Rusdie, penulis yang hina dan berjiwa budak. Ia jadikan hadits
palsu itu sebagai landasan bagi judul novelnya; Ayat-Ayat Setan,
yag sempat menghebohkan dunia Islam dalam 10 tahun terakhir
ini, sehingga Salman Rusdie, divonis mati oleh Imam Khomae-
ni, tokoh Islam Republik Islam Iran, yang kini telah wafat.
1. Kualitas Hadits.
Yang dimaksud dengan pembagian hadits di sini adalah
pembagian hadits dilihat dan kualitasnya. Pada prinsipnya, al-
Ghazali menyepakati berbagai rumusan yang telah dibuat oleh
jumhur ulama ahli hadits, bahwa sesudah diadakan seleksi yang
ketat terhadap hadits-hadits Nabi dari zaman ke zaman yang
telah dilakukan oleh para ulama dari periode ke periode
berikutnya, akhirnya hadits-hadits tersebut terkumpul dalam
kitab-kitab hadits, yang dari segi kualitasnya terdiri dan hadits;
shahih, hasan, dha„if dan mawdhu„.73
Sementara pembagian hadits dilihat dari periwayatannya,
sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur ulama ahli hadits,
yang terbagi pada hadits Mutawatir dan Ahad, dalam pandangan
Muhammad al-Ghazali, tidak ada persoalan yang mendasar,
yang mendapat pembahasan yang luas. Hanya al-Ghazali
mempersoalkan status hadits Ahad dan segi kehujjahannya. Ia
menyatakan:
Sekali-kali kami tidak hendak melemahkan suatu hadits yang
masih bisa dishahihkan. Tetapi kami benar-benar berkeinginan
agar setiap hadits dipahami di dalam kerangka makna-makna yang
ditunjukkan oleh al-Qur„an, baik secara langsung ataupun tidak.74
Hadits-hadits Ahad -- walaupun sanadnya shahih --
kehilangan validitasnya (kesahihannya) apabila terdapat
padanya cacat-cacat tertentu yang diistilahkan dengan syadz
atau „illah qadihah. Misalnya, ia mengemukakan contoh bahwa
Abu Hanifah menolak hadits yang menyatakan bahwa “seorang
muslim tidak boleh dibunuh sebagai hukuman atas perbuatannya
membunuh seorang kafir”, walaupun hadits ini shahih sanadnya.
Karena hal ini bertentangan dengan nash al-Qur‟an tentang
qishash yang tercantum dalam ayat 45 surat al-Maidah. Bahkan
atas dasar ini, para pengikut madzhab Hanafi mengutamakan
penafsiran ayat al-Qur‟an tersebut di atas hadits Ahad.
Sedangkan para pengikut madzhab Maliki mengutamakan praktek
penduduk kota Madinah di atas hadits Ahad seperti itu, dengan
alasan bahwa praktek mereka memberikan petunjuk yang lebih
dekat kepada sunnah nabawiyah ketimbang apa yang hanya
dirawikan oleh perorangan.
Di lain tempat, Muhammad al-Ghazali menyatakan, bahwa
melemahkan seorang rawi yang meriwayatkan sesuatu yang
berlawanan dengan nukilan dalil yang pasti serta pertimbangan
keadilan yang sehat adalah sikap dan prilaku para ulama besar
yang ahli di bidang sunnah. Karena itu definisi hadits shahih
ialah tersambungnya sanad dengan orang-orang yang terpercaya
serta tidak adanya hal-hal yang ganjil atau penyakit-penyakit
yang menghilangkan bonafiditasnya. Keganjilan apalagi yang
lebih besar daripada keberlawanannya dengan ayat-ayat al-
Qur‟an? Penyakit apakah yang lebih gawat daripada perben-
turannya dengan keadilan?75
Selanjutnya Muhammad al-Ghazali menyepakati atas
persyaratan keshahihan suatu hadits yang dinyatakan oleh para
ulama ahli hadits. Bahkan ia menyatakan sendiri bahwa para
ulama hadits telah menetapkan lima persyaratan untuk
menerima baik hadits Nabi SAW; tiga berkenaan dengan sanad
(mata rantai para perawi) dan dua berkenaan dengan matn
(materi hadits). Kemudian al-Ghazali76 merinci lebih jauh
penjelasan para ulama tentang syarat keshahihan suatu hadits
tersebut sebagai berikut:
1. Setiap perawi dalam sanad suatu hadits haruslah seorang
yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti serta
benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian
ia meriwayatkannya sesudah itu, tepat seperti aslinya.
2. Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus
seorang yang mantap kepribadiannya dan bertakwa kepada
Allah, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau
penyimpangan.
3. Kedua sifat tersebut di atas (butir 1 dan 2) harus dimiliki
oleh masing-masing perawi dalam seluruh rangkaian para
perawi suatu hadits. Jika hal itu tidak terpenuhi pada diri
seorang saja dari mereka, maka hadits tersebut tidak
dianggap mencapai derajat shahih.
4. Mengenai matn (materi) hadits itu sendiri, ia harus tidak
bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya bertentangan
dalam periwayatannya dengan perawi lainnya yang
dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya).
5. Hadits tersebut harus bersih dan „illah qadihah (yakni cacat
yang diketahui oleh para ahli hadits, sedemikian sehingga
mereka menolaknya).
Dengan demikian, al-Ghazali mengakui adanya hadits
Ahad dan Mutawatir, hal ini menunjukkan bahwa al-Ghazali
mengakui adanya pembagian hadits, yakni bahwa hadits itu ada
yang mutawatir dan ada yang ahad, jika dilihat dari segi
periwayatannya. Sedangkan dilihat dan segi kualitasnya, tentu
saja al-Ghazali mengakui adanya hadits shahih, hasan, dha‟if
dan bahkan hadits mawdhu‟.
2. Pemahaman Hadits.
Segi pemahaman, Muhammad al-Ghazali tampaknya
dalam menilai dan memahami makna suatu hadits terlebih
dahulu memperbandingkannya dengan al-Qur‟an, sehingga
hadits-hadits yang bertentangan maknanya langsung atau tidak
langsung dengan al-Qur‟an (sekalipun shahih dari segi
periwayatannya), tetap ditolaknya dan dinyatakan sebagai suatu
hadits yang tidak shahih. Bahkan ia mengeritik orang yang
hanya menyibukkan diri dengan hadits Nabi dan kurang
memperhatikan al-Qur‟an. Ia menyatakan:
“Cacat yang menyertai orang-orang yang hanya menyibukkan
diri dengan hadits saja, adalah kurangnya minat dan pengetahuan
mereka untuk menekuni al-Qur„an dan mempelajari dengan sek-
sama, hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Karena itu,
mengapa bertinggi hati padahal kemampuan terbatas? Mengapa
tidak mau berlapang dada dengan membiarkan orang-orang selain
mereka, yang kebetulan tergolong para pemikir muslim yang
berwawasan luas, untuk menemukan adanya „illat atau keganjilan
dalam beberapa hadits yang dikenal?
Kerjasama dalam memeriksa dan menguji peninggalan Nabi
SAW sangat diperluan. Materi sebuah hadits adakalanya berke-
naan dengan aqidah, ibadah dan mu„amalah yang meliputi
pengetahuan dan profesi para ahli „aql dan naql (yang berdasarkan
pemikiran dan penukilan) bersama-sama. Mungkin juga sebuah
hadits adakalanya berkenaan dengan urusan da„wah, perang dan
damai. Oleh sebab itu, mengapa para ahli dipelbagai bidang yang
penting ini djauhkan dari pengujian terhadap matn (redaks) yang
dirawikan? Apa gunanya sebuah hadits yang sanadnya sehat
namun matnnya cacat?”.77
Dari sini kemudian al-Ghazali meragukan keabsahan se-
jumlah hadits yang terdapat dalam kitab-kitab hadits yang
mu„tabar. Dengan mengemukakan metode ini, kemudian ia
mengikuti sikap Aisyah r.a. ketika mendengar hadits yang me-
nyatakan bahwa orang mati diadzab kubur karena tangisan
keluarganya terhadapnya. Ia menolaknya, bahkan kemudian
bersumpah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengucapkan
“hadits” tersebut. Bahkan ia kemudian menjelaskan alasan
penolakannya dengan berkata: “Adakah kalian lupa akan firman
Allah SWT Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain ...“
(QS. al-An‟am: 164).78
Demikianlah, Aisyah dengan tegas dan berani telah
menolak periwayatan suatu “hadits” yang bertentangan dengan
al-Qur‟an. Walaupun begitu, “hadits” yang tertolak ini masih
saja tercantum dalam kitab-kitab “Shahih”. Bahkan Ibn Sa„ad,
dalam bukunya al-Thabaqat al-Kubra, mengulang-ulangnya
dengan beberapa sanad yang berbeda.
Kemudian al-Ghazali79 memberikan komentar:
“Pada hemat saya, sikap Umu al-Mu„minin (Aisyah,) tersebut
dapat dijadikan dasar untuk menguji validitas sebuah hadits yang
telah berpredikat shahih, dengan nash-nash al-Qur „an, kitab suci
yang tiada tersentuh oleh kebatilan dari arah mana pun juga. Dan
karena itulah, para imam fiqh menetapkan hukum-hukum
berdasarkan ijtihad yang luwes, dengan mengandalkan al-Qur„an
sebelum segalanya yang lain. Apabila di antara riwayat-riwayat
hadits ada yang mereka dapati sejalan dengan al-Qur„an, maka
mereka pun menerimanya. Atau, jika tidak, al-Qur‟anlah yang
lebih patut diikuti”.
Muhammad al-Ghazali80 bercerita: “Ketika saya berada di
Aljazair, seorang mahasiswa menanyakan kepada saya:
Shahihkah hadits yang menyebutkan bahwa Nah Musa A.S.
pernah menonjok mata malaikat maut sehingga menyebabkan-
nya buta sebelah. Yaitu ketika malaikat itu datang untuk men-
cabut nyawanya? Dengan perasaan sumpek saya balik bertanya
kepadanya: Apa gunanya hadits ini bagimu? Hadits ini tidak
berkaitan dengan suatu akidah dan tidak pula dengan suatu
kewajiban amaliah. Sekarang ini umat Islam sedang mengalami
pelbagai kesulitan, sementara musuh-musuhnya berambisi untuk
mencekiknya sampai mati. Karena itu, sebaiknya anda
menyibukkan diri dengan sesuatu yang lebih penting dan lebih
bermanfaat”. Mahasiswa itu mendesak lagi: Tapi aku ingin tahu,
apakah hadits itu shahih atau tidak? Dengan bersungut saya
katakan kepadanya; hadits ini dirawikan oleh Abu Hurairah.
Sebagian orang meragukan keshahihannya.
sesudah itu saya berpikir: Hadits itu sanadnya shahih.
Tetapi materinya menimbulkan keraguan. Ia mengisyaratkan
bahwa Musa A.S. membenci kematian. Ia tidak menginginkan
perjumpaan dengan Allah sesudah terpenuhi ajalnya. Sudah
barangtentu pengertian seperti ini tidak dapat diterima apabila
dikaitkan dengan hamba-hamba Allah yang saleh, sebagaimana
tersebut dalam suatu hadits lainnya:
هءاقلَّللهاَّبحأَّللهاَّءاقلَّبحأَّنم
“Barangsiapa menginginkan perjumpaan dengan Allah,
maka Allah pun menginginkan perjumpaan dengannya”.81
Barangkali matn hadits itu mengandung cacat („illat)?
Demikian pikir al-Ghazali. Hadits itu berbunyi berbagai berikut:
َّويلعَّىسومَّلَاَّتولماَّكلمَّءاجَّ:لاقَّملسوَّويلعَّللهاَّىلصَّللهاَّلوسرَّنعَّةريرىَّبِأَّنع
كبرَّبجأَّ:ولَّلاقفَّملاسلاَّىسومَّمطلفَّ:لاقَّ,ملاسلاَّويلعََّّ,اىأقفف,تولماَّكلمَّنٌع
َّأقفَّدقوَّتولماَّديريلاَّكلَّدبعَّلَاَّنىتلسرأَّكناَّ:لاقفَّ,لَاعتَّللهاَّلَاَّكللماَّعجرفَّ:لاق
َّديرتَّتنكَّنافَّ؟ديرتَّةايلِأَّ:لاقفَّىدبعَّلَاَّعجراَّ:لاقوَّ,ونيعَّويلاَّللهاَّدّرفَّ:لاقَّ,نىيع
َّ,ةنسَّابهَّشيعتَّكنافَّةرعشَّنمَّكديَّثراوامفَّ,روثَّتنمَّىلعَّكديَّعضفَّةايلِاَّثمَّ:لاق
ََّّ.رجبحَّويمرَّةسدقلماَّضرلآاَّنمَّنىتمأَّبرَّ,بيرقَّنمَّنلاافَّ:لاقَّ,توتمَّثمَّ:لاقَّ؟وم
“Dirawikan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi SAW
bersabda; Malaikat maut mendatangi Musa, lalu berkata;
Penuhilah panggilan Tuhanmu. Mendengar itu, Musa meninju
mata malaikat maut sehingga menyababkannya buta sebelah.
Lalu malaikat kembali kepada Allah SWT dan berkata; Ya
Allah! Yang telah mengutusku menemui seorang hamba-Mu
yang membenci kematian. Dan ia telah membutakan mataku!
Maka Allah mengembalikan mata tersebut kepada malaikat,
seraya berfirman: Kembalilah kepada hamba-Ku dan
katakanlah kepadanya; adakah engkau masih ingin hidup lebih
lama? Jika demikian, letakkanlah tanganmu di alas punggung
seekor kerbau. Untuk setiap helai bulunya yang tertulupi oleh
tanganmu itu, engkau akan mendapatkan tambahan hidup
setahun lebih lama. Ketika hal tersebut disampaikan kepada
Musa, ia bertanya; sesudah itu, apa yang akan terjadi (yakni,
hidup terus atau mati,)? Jawab Malaikat; sesudah itu engkau
akan mati. Mendengar itu, Musa berkata; kalau begitu, lebih
baik sekarang juga. Tuhanku, matikanlah aku ditempat yang
dekat dengan tanah suci sebatas lemparan batu”.82
Menurut al-Ghazali, meskipun hadits di atas telah
mendapat pembelaan dan para ulama sebagai suatu hadits yang
shahih, yakni perbuatan itu hanya sebagai tamsil belaka, namun
al-Ghazali menyatakan bahwa pembelaan seperti itu amat
lemah. Sama sekali tidak berarti dapat diterima. Cacat yang
terkandung dalam matn hadits itu menyebabkan derajatnya
turun sehingga di bawah derajat shahih. Kecacatannya hanya
dapat dimengerti oleh para ahli yang teliti dan kuat ilmunya.
Sebaliknya, ia pasti tertutup bagi orang-orang yang berpikiran
dangkal.
Di lain tempat, al-Ghazali83 meragukan pula keshahihan
hadits yang mengharamkan binatang bertaring untuk dikon-
sumsi. Ia menyatakan:
“Saya juga melihat ketidaktahuan tentang al-Qur‟an yang
keterlaluan pada pembahasan hadits yang dirawikan oleh
Muslim: Setiap binatang buas yang bertaring, diharamkan
memakannya.
Pemberi syarah atas hadits itu mendakwakan bahwa hadits
itu diucapkan oleh Nabi di Madinah. Dan dengan begitu, hadits
tersebut menaskhkan (menghapus hukum) ayat al-Qur„an yang
diturunkan di Mekkah, yaitu firman Allah:
“Katakanlah, tiada kujumpai dalam apa yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu (makanan) yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu ban gkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi, karena semuai itu
kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (QS. al-An‟am: 145).
Muhammad al-Ghazali84 selanjutnya mengatakan pula:
“Suatu hukum yang berdasarkan agama tidak boleh diambil
hanya dari sebuah hadits yang terpisah dari yang lainnya. Tetapi
setiap hadits harus digabungkan dengan hadits lainnya. Kemudian
hadits-hadits yang tergabung itu diperbandingkan dengan apa
yang ditunjukkan oleh al-Qur„an al-Karim. AlQur„an adalah
kerangka yang hanya dengan berada di dalam batasannya saja kita
dapat mempraktekkan hadits, bukan melampauinya. Dan siapa
saja yang berani menyatakan bahwa hadits (atau sunnah) lebih
berwenang dari al-Qur „an, atau dapat menghapus hukum-hukum
di dalamnya. maka ia adalah seorang yang terpedaya oleh hawa
nafsunya sendiri.
Keterangan kami di atas, dijelaskan oleh riwayat yang
disebutkan oleh Ibn Katsir dalam Tafsirnya, bahwa Imam al-
Syafi„i menyatakan: Apa saja yang dihukumkan oleh Rasulullah
SAW, maka yang demikian itu adalah sesuai pemahaman beliau
yang bersumber dari al-Qur„an. Firman Allah tentang hal ini:
“Sesungguhnya Kami menurunkan al-Qur„an kepadamu (wahai
Muhammad) dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu. Maka janganlah kamu menjadi pembela bagi orang-
orang yang khianat. (QS. al-Nisa: 105). Demikian pula firman
Allah: …”Dan Kami turunkan al-Qur„an kepadamu agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka, dan agar mereka mau berpikir.” (QS. al-Nahl: 44).
Karena itulah Rasulullah SAW bersabda: Sungguh, telah
diberikan kepadaku al-Qur„an dan yang sebanyak itu bersamanya
(yakni al-Sunnah).
Memang benar kehidupan Muhammad SAW adalah penerapan
sepenuhnya bagi tuntunan-tuntunan al-Qur„an. Riwayat hidupnya
dalam hal ibadah, akhlak, jihad dan pergaulannya dengan manusia
sekitarnya adalah perwujudan al-Qur„an yang hidup. Dengan itu,
ia mengubah dunia dan membangun peradaban yang baru. Dan
seandainya tidak ada sunnah beliau yang berupa perbuatan dan
ucapan, niscaya al-Qur„an mirip dengan pelbagai filsafat murni
yang hanya ada dalam alam khayal. Sunnah Muhammad SAW
dalam berbagai bidang sosial, sipil dan militer, seperti halnya
aturan-aturan ibadat dan prinsip-prinsip akidah semuanya itu
adalah bagian tak terpisahkan dari sebuah misi yang abadi. Maka
dapatlah dikatakan bahwa Islam terdiri atas al-Qur„an dan al-
Sunnah, sebagaimana air terdiri atas dua unsurnya yang telah
dikenal.
Dalam hal ini tugas kita adalah menjauhkan riwayat-riwayat
(hadits-hadits,) yang lemah dan yang diragukan keabsahannya,
sebagaimana kita menjauhkan al-Qur„an itu sendiri dari
penafsiran-penafsiran yang menyimpang serta pikiran-pikiran
yang bertentangan. Agar dengan demikian, wahyu Ilahi dapat
terpelihara kemurniannya.
Bertumpuk-tumpuk hadits yang lemah telah memenuhi udara
ilmu-ilmu keislaman dengan awan gelap. Demikian pula ber-
tumpuk-tumpuk hadits yang walaupun termasuk shahih, namun
telah diselewengkan maknanya, semua itu telah membuatnya jauh
dari petunjuk-petunjuk al-Qur„an yang dapat dipahami secara
langsung ataupun tidak langsung. Bahkan saya telah berusaha
mencegah sebagian orang meriwayatkan hadits shahih sekalipun,
kecuali jika maknanya yang kadang-kadang terselubung, dising-
kapkan dengan jelas”.
Muhammad al-Ghazali menandaskan bahwa keragu-ragu-
an yang menyertai suatu berita tidak hanya berkaitan dengan
hal-hal gaib, tetapi juga dalam hal-hal yang berkaitan dengan
tugas-tugas keagamaan yang harus dikerjakan. Adanya keraguan
atau kebingungan yang dialami oleh seorang perawi tidaklah
terlalu merugikan Islam. Kitab Allah ma„shum (terjaga dari
kekeliruan, penambahan atau pengurangan). Demikian pula
Sunnah Nabi SAW pada umumnya, tetap utuh dan sehat.
Kekeliruan seorang perawi sebenarnya adalah wajar dan tidak
mengherankan. Tetapi yang mengherankan adalah adanya usaha
pembenaran terhadap kekeliruan ini, yang kemudian ditambah
lagi dengan pembelaan secara fanatik terhadapnya. Sikap seperti
itu tidak pernah ada pada diri para imam dan tidak pula menjadi
kebiasaan para tokoh salaf maupun khalaf.85
3. Hadits dalam Kategori Shahih Sanad Dha’if Matn
Berbagai pandangan dan pemahaman tentang hadits, yang
dikemukakan oleh Muhammad al-Ghazali di atas, yakni ia
meragukan sejumlah periwayatan hadits, seperti dijelaskan di
muka, hal ini dalam pandangan al-Ghazali, meskipun hadits itu
shahih dari segi periwayatannya, namun jika isi dan
kandungannya bertentangan dengan hadits yang lebih shahih
atau bertentangan dengan makna al-Qur‟an baik langsung atau
tidak langsung, maka hadits yang demikian itu tetap tertolak
untuk dikatakan sebagai suatu hadits shahih. Dalam istilah ilmu
hadits, kondisi hadits seperti ini termasuk dalam kategori shahih
fi al-sanad, dha„if fi al-matn.
Menurut Muhammad al-Ghazali,86 hadits-hadits dalam
kategori demikian, banyak dijumpai dalam kitab-kitab hadits
yang mu„tabar, seperti dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim. Contoh-contoh hadits seperti itu, yang telah
dikemukakan oleh al-Ghazali, seperti telah dikemukakan di atas,
ia menyatakan pula: “Adakalanya sebuah hadits yang shahih
sanadnya tetapi lemah matnnya. Yaitu sesudah para faqih
menjumpai cacat tersembunyi padanya.”
Menemukan „illat dan keganjilan dalam matn suatu hadits
tidak merupakan monopoli para ahli hadits. Ulama di bidang
Tafsir, Ushul, Kalam dan Fiqh, semuanya juga bertanggung
jawab; bahkan mungkin tanggung jawab mereka lebih besar dari
selain mereka.
Dalam buku lain, Muhammad al-Ghazali87 menyatakan
bahwa tidak ada hadits yang berlawanan dengan Kitabullah al-
Qur‟an al-Karim. Kalau pada suatu saat tampak adanya
pertentangan, itu semata-mata disebabkan oleh pemahamannya
yang salah dan bukan disebabkan oleh keshahihan hadits itu
sendiri.
Hadits atau Sunnah Rasulullah SAW adalah ibarat
samudera yang beralun membadai. Orang tidak dapat
memahami arti yang dimaksud hanya dengan melihat makna
harfiyahnya saja. Hanya orang yang mendalami ilmu agamanya
sajalah yang dapat memahami kata-katanya yang samar dari
maksud yang sebenarnya. Dua puluh tiga tahun lamanya
Rasulullah SAW berbicara dengan orang yang sekian banyak-
nya, dalam keadaan yang berbeda-beda, menghadapi individu-
individu yang berlainan dan menghadapi berbagai macam
persoalan. Menempatkan suatu hadits sesuai dengan makna
yang dimaksud atau menurut pengertiannya yang benar adalah
menjadi tugas para ulama dan para faqih. Tugas itu harus
diindahkan, dan jika tidak, niscaya kita akan terjerumus ke
dalam pengertian yang salah. Menurut hemat saya, Sunnah Nabi
adalah dasar agama Islam sesudah al-Qur‟an al-Karim. Tetapi
yang dapat mempelajari perincian maknanya ialah para ulama
yang mendalami ilmu agamanya dan orang-orang yang sangat
berkepentingan langsung seperti para pemimpin Islam, para
hakim Islam, dan para da‟i serta para ahli di bidang khusus yang
sangat membutuhkan pengertian hadits-hadits secara terperinci.
Adapun orang awam atau orang biasa, jika dapat memahami
empat puluh buah hadits saja sudah cukup baginya. Dalam
keadaan bagaimana pun orang yang tidak memahami al-Qur‟an
tidak patut mengemukakan hadits-hadits atau memberikan
fatwa-fatwa atas nama Islam mengenai urusan-urusan orang
lain.
Dengan demikian, pandangan Muhammad al-Ghazali di
atas dapat dirumuskan bahwa penelitian terhadap hadits tidak
terbatas hanya dari segi sanadnya saja melainkan juga
diperlukan penelitian terhadap matn hadits itu sendiri.
Karenanya hadits yang sanadnya tersusun dan rijal (perawi)
yang dapat dipercaya (tsiqat) dan bersambung, tidak putus,
dinyatakan bahwa hadits itu shahih dari segi sanad. Adapun
matn (materi dan isi) haditsnya sendiri masih memerlukan
penelitian lebih lanjut. Sebab apabila isinya atau maknanya,
ternyata bertentangan dengan al-Qur‟an atau hadits yang lebih
kuat dari segi sanadnya (ashhah), maka hadits tersebut
dinyatakan shahih pada segi sanad saja, tetapi tidak shahih dan
segi matnnya, materinya. Dan hadits yang demikian dinilai oleh
Muhammad alGhazali, sebagai hadits yang tidak layak untuk
dijadikan hujjah.
Menurut al-Ghazali, metode perbandingan yang harus
ditempuh untuk menilai shahih dan tidak shahihnya suatu hadits
dari segi maknanya, hanya bisa diperbandingan dengan ayat-
ayat al-Qur‟an atau sekurang-kurangnya dengan hadits yang
lebih shahih dan segi sanadnya.
Maka sehubungan dengan rumusan demikian, para imam
telah menolak beberapa hadits yang walaupun sanadnya shahih
namun matnnya mengandung „illat (cacat). Maka dengan
adanya cacat tersebut, tidak terpenuhi persyaratan kasha-
hihannya.
C. Catatan atas Kualitas Hadits
Pandangan Muhammad al-Ghazali seperti telah
dikemukakan di atas, yakni jika hadits ditinjau dan segi
kuantitas periwayatannya, terdiri dari hadits Mutawatir dan
Ahad. Sedangkan jika dilihat dari segi kualitasnya, terdiri dari
hadits shahih, hasan, dha„if dan mawdhu‟. Pandangan ini tidak
jauh berbeda dengan jumhur ulama ahli hadits yang menetapkan
demikian. Buku-buku ilmu hadits, baik yang ditulis oleh ulama
Timur Tengah, maupun ulama Indonesia sendiri menyatakan
demikian. Bahkan penetapan persyaratan periwayatan hadits
dalam kategori shahih tersebut, Muhammad al-Ghazali justru
mengutip peryaratan yang telah dibuat oleh jumhur ulama,
seperti yang terdapat dalam buku-buku Mushthalah Hadits.
Fatchur Rahman,89 misalnya, menetapkan persyaratan
keshahihan suatu hadits dengan lima syarat, sama seperti yang
dikemukakan oleh Muhammad al-Ghazali di atas, sebagai
berikut:
Hadits Shahih ialah:
َّل لعَمَُّرُ ْ يغََّدِنَ سلاَّلُصِ تمَُّطِبْ ضلاٌَّّماَتَّلٌدْعََّوُلَقَ َنامَََّّوََّ ذاشَلَاَّ
Hadits yang dinuqil (diriwayatkan,) oleh rawi yang adil,
sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber„illat dan
tidak janggal.”
Sedangkan hadits Hasan, ialah:
َُّ يوَاذًاشََّنُوْكُيََّلاوََّبِذِكَلْاِبَّمُهِ ت َيَّنْمََّهِدِانَسْاَِّفَِِّنُوْكُيََّلاامََّفَِِّهِِوْنَََّوٍجْوََِّنًْغََّنْمَِّىوَرْ
َّنَىعْمَلْاَّ
“Hadits yang pada sanadnya tak ada orang yang tertuduh
dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matnnya dan hadits
tersebut tidak diriwayatkan hanya dari satu jurusan
(mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya”.
Dan hadits dha‟if ialah:
َِّنسََْلِاَّوَِاَّحِيْحِ صلاَّطِوْرُشَُّنْمِرَ َثكَْاَّوَْاَّاًطرْشََّدَقِفَامَ
“Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dan
syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan”.
Sifat adil d