Hadist Nabawi 2

 


dkan suatu hukum yang tidak 

tersebut di dalam al-Qur‟an, seperti menghukum dengan 

bersandar kepada seorang saksi dan sumpah apabila mu-

dda‟i tidak mempunyai dua orang saksi; dan seperti ra-

  

 

dha‟ah (saudara sepersusuan) mengharamkan pernikahan 

antara keduanya, mengingat ada Hadits yang menyatakan: 

.ةشئاعَّنعَّدوادَّوباَّوَّدحْاَّهاور,َّبِسَ نلاَّنَمَِّمُرُْيَََّامََّةِعَاضَ رلاَّنَمَِّمُرُْيََ 

“Haram karena radha‟ apa yang haram karena nasab (ketu-

runan)” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud.  

3. Menurut al-Syafi‟i: a. Bayan Tafshil, menjelaskan ayat-ayat mujmal, yang sangat ringkas petunjuknya. 

b. Bayan Takhshish, menentukan sesuatu dari ayat yang 

umum. 

c. Bayan Ta‟yin, menentukan mana yang dimaksud dari dua 

tiga perkara yang mungkin dimaksud. 

d. Bayan Tasyri‟, menetapkan hukum yang tiada didapati 

dalam al-Qur‟an secara tekstual. 4. Menurut Ahmad ibn Hanbal: 

a. Bayan Ta‟kid (taqrir), menerangkan apa yang dimaksud-

kan oleh al-Qur‟an apabila Hadits itu bersesuaian petun-

juknya dengan petunjuk al-Qur‟an. 

b. Bayan Tafsir, menjelaskan suatu hukum al-Qur‟an dengan 

menerangkan apa yang dimaksud oleh al-Qur‟an. 

 

 

c. Bayan Tasyri‟, mendatangkan suatu hukum yang didiam-

kan oleh al-Qur‟an, yang tidak diterangkan hukumnya.  

d. Bayan Takhshish dan Taqyid, mengkhususkan al-Qur‟an 

dan meng-qayid-kannya. 

Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Hadits atau sabd-

sabda Nabi merupakan sumber ajaran Islam sesudah  al-Qur‟an. 

Umat Islam harus mengikuti petunjuk Hadits sebagaimana 

dituntut mengikuti petunjuk al-Qur‟an.  

Allah mewajibkan umat untuk mengikuti dan mentaati 

Rasul SAW yakni dengan melaksanakan perintah-perintahnya 

dan meninggalkan larangan-larangannya. Allah berfirman: 

َّْنعََّمْكُاهَ َنَّامََّوََّهُوْذُخُفََّلُوسُ رلاَّمُكُاَتَّآَّآمَوَ.اوهُ َت ْناَفَّوُ  

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah 

dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” 

(Q.S., al-Haysr: 7). 

Allah memerintahkan kita mengikuti Rasul sebagai-mana 

mentaati Allah: 

َّلَوسُ رلاَّوََّللهاَّاوعُْ يطَِاوَ.َّنَوُْحَْرْ ُتَّمْكُ لعَلَ  

 “Dan taatilah olehmu Allah dan Rasul supaya kamu 

dirahmati” (Q.S., Ali Imran: 123). 

Bahkan Allah mengancam orang-orang yang menyalahi 

 


 

Rasul. Firman Allah SWT: 

َّمْهُ َبيْصِتَُّنَْاَّهِِرمَْاَّنْعََّنَوفُلِاَيَُُّنَيْذِ لاَّرِذَحْيَلْ َفَّميِلَاَّبٌاذَعََّمْهُ َبيْصِيَُّوَْاَّةٌنَ ْ تفِ  

“Handaklah berhati-hati mereka yang menyalahi Rasul 

(tidak menuruti ketetapannya), bahwa mereka akan ditimpakan 

fitnah (cobaan yang berat) atau akan ditimpa adzab yang 

pedih” (Q.S., al-Nur: 63). 

Yang dimaksud dengan mengikuti Rasul SAW atau 

melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya 

adalah dengan mengikuti Sunnahnya atau Haditsnya, yang 

berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan lain sebagainya. 

Wajib mengikuti Rasul SAW berlaku bagi semua umat, 

untuk seluruh masa dan tempat. Oleh karena itu, segala Hadits 

yang diakui shahih dan tidak berlawanan dengan sesuatu 

petunjuk al-Qur‟an sama-sama wajib diikuti oleh semua umat. 

Walaupun Hadits wurudnya dilingkungan masyarakat-

masyarakat tertentu, namun bukan khusus untuk masyarakat ter-

sebut, sebab Nabi SAW diutus menjadi rahmat bagi seluruh 

alam.  

 

D. Pengisnadan dan Upaya Pemeliharaan Hadits 

Sebagaimana tercatat dalam sejarah perkembangan hadits, 

bahwa penulisan hadits secara resmi tidak dilakukan pada masa 

  

 

Nabi. Nabi bahkan pernah melarang para shahabat menulis 

hadits. Namun demikian, Nabi juga pernah menyuruh para 

shahabat untuk menulis hadits. Kebijaksanaan Nabi tersebut 

telah menimbulkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan 

ulama, bahkan di kalangan para shahabat Nabi, tentang boleh 

atau tidaknya penulisan hadits. 

Menurut Muhammad Rofiq,43 keberadaan dua hadits Nabi 

yang berbeda tersebut bukan berarti terjadi pertentangan antara 

yang satu dengan yang lainnya atau yang terakhir menghapus 

yang terdahulu (nasikh-mansukh), akan tetapi semuanya tetap 

dapat dipakai dan dikompromikan apabila dilihat dari situasi dan 

sejarah. Bahwa larangan penulisan hadits berlaku bagi orang 

yang tidak mampu menjaga dan memisahkan antara al-Qur‟an 

dengan al-Hadits. Mengenai hal ini M. Syuhudi Ismail44 menje-

laskan bahwa sejarah telah membuktikan terjadinya penulisan 

hadits pada zaman Nabi, misalnya berupa surat-surat Nabi 

tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan 

kepala negara yang belum memeluk Islam. Adapun Sejumlah 

shahabat yang pernah menulis hadits Nabi, misalnya Abdullah 

Ibn „Amr Ibn al-‟Ash (wafat 65 H/685 M), Abdullah Ibn „Abbas 

                                                 

 

(wafat 68 H/687 M), „Au Ibn Abi Thalib (wafat 40 H/66 1 M), 

Sumrah (Samurah) Ibn Jundab (wafat 60 H), Jabir Ibn Abdillah 

(wafat 78 H1697 M) dan Abdullah Ibn Abi Aufa‟ (wafat 86 H). 

Walaupun demikian, lanjut Syuhudi, tidaklah berarti 

seluruh hadits telah terhimpun dalam catatan para shahabat 

tersebut. Hal itu sangat beralasan karena para shahabat yang 

mencatat hadits tersebut didorong oleh kehendak pribadi, sedang 

mereka itu sangat sulit untuk mampu mengikuti dan mencatat 

apa saja yang berasal dan Nabi, khususnya hadits Nabi yang 

terjadi di hadapan satu dua orang shahabat saja. Dengan 

demikian, hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi lebih 

banyak berlangsung secara hapalan daripada secara tulisan. 

Menurut Muhammad Rofiq,45 selama abad ke-1 Hijriah, 

menurut perkembangan hadits berlangsung dari mulut ke mulut. 

Ketika kekhalifahan dipegang oleh Umar Ibn Abdul Aziz (99 

H), seorang khalifah dan Bani Umayyah dan pecinta ilmu 

pengetahuan, beliau tergerak hatinya untuk membukukan hadits 

yang waktu itu masih berserakan di dada kaum muslimin. Beliau 

mengirirn surat kepada gubernur Madinah yang bernama Abu 

Bakar Ibn Muhammad Ibn „Amr Ibn Hazm (wafat 120 H), yang 

isi suratnya meminta kepada Abu Bakar Ibn Muhammad agar 

                                                 

membukukan hadits Rasul yang terdapat pada seorang 

penghapal wanita bernama Amarah binti Abdurrahman Ibn 

Sa‟ad Ibn Zurarah Ibn „Adiy (murid Aisyah binti Abu Bakar 

ash-Shiddiq) dan Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abu Bakar al-

Shiddiq (wafat 107 H). 

Selanjutnya, muncul ulama yang membukukan hadits 

secara ilmu yang bernama Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim 

Ibn Ubaidah Ibn Syihab al-Zuhri (51-124 H) sehingga beliau 

dinobatkan sebagai penemu dan perintis Ilmu Mushthalah 

Hadits, kemudian cabang ilmu ini disusun secara sistematik oleh 

al-Ramahurmuzi (wafat 360 H). 

Kemudian pada abad kedua Hijriyah, muncul Imam Malik 

(93-179 H) dengan kitabnya al-Muwaththa‟ dan Imam al-Syafi‟i 

(150-204 H) dengan kitabnya al-Musnad. 

Usaha pembukuan hadits memuncak pada abad ketiga 

Hijriyah. Tokoh utama pembukuan hadits abad ini adalah al-

Bukhari (194-256 H), yang disusul kemudian oleh Imam 

Muslim (204-261 H), Abu Daud (202-275 H), al-Turmudzi 

(209-279 H), al-Nasa‟i (225-303 H) dan Ishak Ibn Rohaweih 

(wafat 237 H). 

 

 

Dalam masa yang cukup panjang ini, menurut Syuhudi 

Ismail,46 telah terjadi pemalsuan-pemalsuan hadits yang dilaku-

kan oleh beberapa golongan dengan berbagai tujuan. Atas 

kenyataan ini, menurutnya, maka ulama hadits dalam usaha 

menghimpun hadits Nabi, selain harus melakukan perlawatan 

untuk menghubungi para periwayat yang tersebar di berbagai 

daerah yang jauh, juga harus mengadakan penelitian dan 

penyeleksian terhadap semua hadits yang mereka himpun. 

Karena itu, proses penghimpunan hadits secara menyeluruh 

terpaksa mengalami waktu yang cukup panjang, yakni sekitar 

lebih dari satu abad. Dan kitab-kitab hadits yang mereka hasil-

kan bermacam-macam jenisnya, baik dari segi kuantitas dan 

kualitas hadits yang dimuatnya, maupun cara penyusunannya. 

Lebih ringkasnya, Hasbi Ash-Shiddieqy47 menjelaskan 

bahwa untuk memelihara hadits, para ulama telah berusaha 

membukukan hadits, memisahkan hadits dan fatwa-fatwa 

shahabat dan tabi‟in, mengisnadkan hadits, memeriksa benar 

tidaknya hadits yang diterima oleh para perawi, mengkritik para 

perawi, memisahkan yang shahih dan yang dha‟if dan 

                                                 

menyeleksi mana hadits yang benar-benar dari Nabi dan mana 

hadits mawdhu‟ (palsu), yang bukan dari Nabi SAW. 

Selain itu, para ulama juga, lanjut Hasbi, memberikan 

kesungguhannya untuk menyusun kaidah-kaidah tahdits, ushul-

ushul-nya, syarat-syarat menerima riwayat, syarat-syarat meno-

laknya, syarat-syarat shahih dan dha‟if membuat ketentuan-

ketentuan umum untuk menentukan derajat-derajat hadits, serta 

kaidah-kaidah yang dipegang dalam menentukan hadits-hadits 

maudhu‟. Semua itu merupakan langkah-langkah yang diambil 

para ulama dalam upaya memelihara hadits. 

 

E. Kaidah-kaidah Keshahihan Hadits 

Pada periodisasi perkembangan hadits yang telah 

dijelaskan di muka, secara implisit maupun eksplisit tidak 

dijelaskan kapan munculnya kaidah-kaidah keshahihan hadits 

tersebut ke permukaan. Namun yang jelas, adanya pernyataan 

seperti yang telah dikemukakan olch Ibn Mubarak bahwa isnad 

itu dan agama, sekiranya tidak ada isnad, tentu saja orang 

berbicara dengan sekehendak hatinya. Pernyataan ini merupakan 

indikasi bahwa munculnya kaidah-kaidah keshahihan hadits, 

dimulai pada awal abad ke III H, sesudah  berakhirnya masa 

ulama Mutaqaddimin. Meskipun harus diakui bahwa aI-Bukhari, 

misalnya mempunyai persyaratan khusus tentang keshahihan 

 


 

suatu hadits. Akan tetapi hal ini belum dilakukan oleh ulama-

ulama yang lain, dalam artian bahwa secara formal kaidah 

keshahihan suatu hadits tersebut, meski pada zaman ulama 

Mutaqaddimin sudah ada akan tetapi masih belum merata 

seperti diakui oleh semua ulama hadits. 

Jadi, kaidah keshahihan hadits itu muncul pada masa 

ulama Mutaakhkhirin. Hal ini didukung oleh berbagai fakta 

bahwa misalnya definisi keshahihan suatu hadits itu sering 

banyak dikemukakan oleh ulama-ulama mutaakhkhirin. Ibn 

Shalah (w. 643 H.) misalnya, menyatakan bahwa hadits shahih 

ialah: 

َّحيْحِ صلاَّثُيْدَِْلِاَّامََاََِّّدنَسْمُلْاَّثُيْدَِْلِاَّوَهُ َفَََّّ يَّيْذِلَاََّتَّنْعََّطِبِا ضلاَّلِدْعَلْاَّلِقْ َنِبَّهُدُانَسْاَِّلُصِ

ًَّلا لعَمُلَاوََّاًّذا َِ شََّنُوْكُيََّلاوََّاهَ َتنْمَُّلََاَِّطِبِا ضلاَّلِدْعَلْا 

Adapun hadits shahih ialah hadits yang bersambung 

sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) 

yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, (di dalam hadits itu) 

tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) dan cacat („illat).48  

Adapun definisi hadits shahih yang lebih ringkas dan 

masyhur di kalangan Muhadditsin adalah: 

َّطِبْ ضلاٌَّّماَتَّلٌدْعََّوُلَقَ َنامََّل لعَمَُّرُ ْ يغََّدِنَ سلاَّلُصِ تمََُّّ ذاشَلَاَّوََّ

                                                

Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh perawi yang adil, 

sempurna ingatannya (dhabith), sanadnya bersambung, tidak 

ber‟illat dan tidak janggal syudzudz).49 

Definisi di atas, pada perkembangan berikutnya diterima 

sebagai kaidah keshahihan suatu hadits. Maka jika hadits kurang 

memenuhi persyaratan di atas, Hadits itu bisa saja masuk dalam 

kategori hasan, dha‟if atau hadits maudhu‟. 

Ulama hadits lainnya dari kalangan mutaakhkhirin, 

misalnya Ibn Hajar al-Asqalaniy (wafat 852 H/1449 M), Jalal al-

Din al-Suyuthiy (wafat 911 H/1505 M). Jamal al-Din al-

Qasimiy (wafat 1332 H/1914 M) dan Muhammad Zakariya al-

Kandahlawiy (lahir 1315 H/1898 M), telah pula mengemukakan 

definisi hadits shahih. Definisi yang mereka kemukakan, wa-

laupun redaksinya tampak berbeda-beda tetapi pada prinsipnya 

isinya sama dengan yang telah dikemukakan oleh Ibn al-Shalah. 

Ulama hadits pada masa berikutnya, misal-nya Mahmud al-

Thahhan, Shubhiy al-Shalih dan Muhammad Ajjaj al-Khatib, 

juga memberikan pengertian yang demikian.50 

Selanjutnya menurut Syuhudi, walaupun pengertian hadits 

shahih yang dikemukakan oleh ulama di atas itu sama, akan 

tetapi tidak berarti telah terjadi ijma‟. Ibn Kasir (wafat 774 

                                                 


 

H/1373 M), misalnya, berpendapat bahwa hadits shahih bukan 

hanya yang sanadnya bersambung kepada Nabi saja, melainkan 

juga yang bersambung sampai ke tingkat shahabat atau lainnya. 

Sekalipun demikian lbn Kasir mengakui, bahwa pendapat yang 

diikuti oleh ulama pada umumnya adalah pendapat yang telah 

dikemukakan oleh Ibn al-Shalah di atas. Di samping itu ada pula 

ulama, misalnya Abu Muhammad al-Juwayniy (wafat 478 H/ 

1085 M), berpendapat bahwa hadits shahih haruslah diriwayat-

kan oleh (sedikitnya) dua orang pada setiap tingkat (thabaqah) 

sanadnya. Mahmud Abu Rayyah mengutip suatu pendapat yang 

menyatakan, bahwa hadits shahih adalah hadits yang di satu segi 

menjadikan jiwa dalam keadaan tenang, serta terhindar dari 

kejanggalan (syudzudz) dan cacat („illat). Tetapi kedua pendapat 

terakhir ini tidak banyak pendukungnya. 

Sebagian ulama fiqh dan ushul fiqh tidak menyaratkan 

keterhindaran dari syudzudz dan „illat untuk hadits shahih. 

Dalam kaitan ini al-‟Iraqiy (wafat 806 H/1404 M) menandaskan, 

pengertian hadits shahih haruslah didasarkan kepada ulama yang 

ahli di bidang hadits dan bukan kepada yang ahli di bidang 

pengetahuan lainnya. Jadi. al-‟Iraqiy menolak pendapat ulama 

fiqh dan ulama ushul fiqh di atas. 

Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa pengertian 

hadits shahih yang diikuti oleh mayoritas ulama hadits adalah 

 


 

pengertian yang telah dikemukakan Ibn al-Shalah dan diringkas-

kan oleh al-Nawawiy. Hal ini berlaku sampai sekarang.51 

Pengertian hadits shahih yang disepakati oleh mayoritas 

ulama hadits di atas telah mencakup sanad dan matn hadits. 

Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian dalam sanad harus 

bersambung dan seluruh periwayatnya harus adil dan dhabit 

adalah kriteria untuk keshahihan sanad, sedangkan keterhin-

daran dari syudzudz dan „illat, selain merupakan kriteria untuk 

keshahihan sanad, juga kriteria untuk keshahihan matn hadits. 

Karenanya, ulama hadits pada umumnya menyatakan bahwa 

hadits yang sanadnya shahih belum tentu matnnya juga shahih. 

Demikian pula sebaliknya, matn yang shahih belum tentu 

sanadnya juga shahih. Jadi. keshahihan hadits tidak hanya 

ditentukan oleh keshahihan sanad saja, melainkan ditentukan 

pula oleh keshahihan matnnya. 

 

a. Pengertian Adil dalam Periwayatan 

Keadilan seorang perawi, menurut Ibn al-Sam‟aniy yang 

dikutip oleh Fatchur Rahman,52 harus memenuhi empat syarat: 

1. Selalu memelihara perbuatan ta‟at dan menjauhi perbuatan 

ma‟siat. 

                                                 

 

2. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan 

sopan santun. 

3. Tidak melakukan sesuatu yang mubah yang dapat 

menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatkan 

penyesalan. 

4. Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang 

bertentangan dengan dasar syara‟. 

Fatchur Rahman juga mengutip definisi yang lebih 

lengkap yang dikemukakan oleh al-Razi, yang tercantum dalam 

kitab Nuzhat al-Nadhar karangan Ibn Hajar sebagai berikut: 

Keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu 

bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan-

kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan 

perbuatan-perbuatan mubah yang dapat menodai keperwiraan 

(muru„ah), seperti makan dijalan umum, buang air kecil di tempat 

yang bukan disediakan untuknya dan bergurau secara berlebihan. 

Kemudian Muhyi al-Din Abd al-Hamid dalam Syarah 

Alfiyah-nya yang juga dikutip Fatchur Rahman,53 menjelaskan 

bahwa „adalah (keadilan) merupakan terkumpulnya beberapa 

hal sebagai berikut: 

1) Islam. Karenanya periwayatan dari seorang kafir tidak dapat 

diterima, sebab ia dianggap tidak dapat dipercaya. Lebih-

lebih kedudukan meriwayatkan hadits yang dipandang 

sangat tinggi dan mulia. 

                                                 

2) Mukallaf. Karenanya periwayatan dari anak yang belum 

dewasa, menurut pendapat yang lebih shahih, tidak diterima, 

sebab ia belum terjamin dari kedustaan. Demikian pula 

halnya periwayatan orang gila. 

3) Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasik 

dan dari sebab-sebab yang dapat mencacatkan kepribadian 

seseorang. 

 

b. Pengertian Dhabit 

Yang dimaksud dhabith adalah orang yang kuat 

ingatannya, artinya bahwa ingatannya lebih banyak daripada 

lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. 

Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak menerima 

hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu 

sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja apabila 

dikehendaki, maka orang yang memenuhi kriteria ini disebut 

orang yang dhabith al-shadri. Sedangkan kalau apa yang 

disampaikannya itu berdasarkan pada buku catatannya (teks 

book), maka dia disebut orang yang dhabith al-kitab.54 

Menurut Ibn Hajar al-‟Asqalaniy dan al-Sakhawiy, yang 

dimaksud sebagai orang dhabith adalah orang yang kuat 

                                                 

hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu 

menyampaikan hafalannya itu kapan saja dia menghendakinya. 

Ada pula ulama yang menyatakan bahwa orang dhabith adalah 

orang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya; dia 

memahami arti pembicaraan itu secara benar; kemudian dia 

menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil dengan 

sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu 

kepada orang lain dengan baik. 

Sebagian ulama lain menyatakan, orang yang dhabith 

adalah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana 

seharusnya; dia memahaminya dengan pemahaman yang 

mendetail kemudian dia hafal secara sempurna; dan dia 

memiliki kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai saat 

dia mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikannya kepada 

orang lain.  

Masih ada lagi beberapa pernyataan ulama tentang 

pengertian dhabith ini, walaupun redaksinya berbeda-beda tetapi 

prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya banyak 

kesamaannya.55 

Adapun cara penetapan ke-dhabith-an seorang periwayat, 

menurut berbagai pendapat ulama, sebagai berikut: 

                                                 

 

a. Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan 

kesaksian ulama. 

b. Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan 

kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan 

oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabith-annya. 

Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai ke tingkat 

makna atau mungkin ke tingkat harfiah. 

c. Apabila seorang periwayat sekali-sekali mengalami 

kekeliruan, maka dia masih dapat dinyatakan sebagai 

periwayat yang dhabith. Tetapi apabila kesalahan itu sering 

terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut 

sebagai periwayat yang dhabith. 

Dalam hubungan ini, yang menjadi dasar penetapan ke-

dhabith-an periwayat secara implisit adalah hafalannya dan 

bukan tingkat kefahaman periwayat tersebut terhadap hadits 

yang diriwayatkannya.56 

 

c. Pengertian Sanad Bersambung 

Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah sanad 

yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap 

perawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru 

                                                 

yang meriwayatkannya.57 Jadi, seluruh rangkaian periwayat 

dalam sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh al-

Mukharrij (penghimpun riwayat hadits dalam karya tulisnya) 

sampai kepada periwayat tingkat shahabat yang menerima 

hadits yang bersangkutan dari Nabi, bersambung dalam 

periwayatan. 

Menurut M. Syuhudi Ismail,58 untuk mengetahui bersam-

bung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadits menem-

puh tata kerja penelitian sebagai berikut: 

a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti. 

b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat: 

 melalui kitab-kitab rijal al-hadits, misalnya kitab Tahdzib 

al-Tahdzib susunan Ibn Hajar al-‟Asqalaniy, dan kitab al-

Kasyf susunan Muhammad Ibn Ahmad al-Dzahabiy; 

 dengan maksud untuk mengetahui: 

a) apakah setiap periwayat dalam sanad itu dikenal 

sebagai orang yang adil dan dhabith, serta tidak suka 

melakukan penyembunyian kecacatan (tadlis); 

b) apakah antara para periwayat dengan periwayat yang 

terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan: (1) 

                                                 

kesezamanan pada masa hidupnya; dan (2) hubungan 

guru-murid dalam periwayatan hadits. 

c) meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para 

periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam 

sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa: 

haddatsaniy, haddatsana, akhbarana, „an, anna, atau 

kata kata lainnya. 

Jadi, suatu sanad hadits baru dapat dinyatakan bersambung 

apabila: 

a) seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil 

dan dhabith); dan  

b) antara masing-masing periwayat dengan pcriwayat terdekat 

sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi 

hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan 

tahammul wa ada‟ al-hadits. 

 

d. Pengertian Tidak ada ‘Illat  

Fatchur Rahman59 menjelaskan bahwa „illat hadits adalah 

suatu penyakit yang samar-samar, yang dapat menodai 

keshahihan suatu hadits. Misalnya meriwayatkan hadits secara 

muttashil (bersambung) terhadap hadits mursal (yang gugur 

                                                 

 

seorang shahabat yang merawikannya) atau terhadap hadits 

munqathi‟ (yang gugur salah seorang perawinya). Demikian 

juga dapat dianggap suatu „illat hadits, yaitu suatu sisipan yang 

terdapat pada matn hadits. 

„Abd al-Rahman Ibn Mahdiy (wafat 194 H/814 M) 

menyatakan, untuk mengetahui „illat hadits diperlukan intuisi 

(ilham). Sebagian ulama menyatakan, orang yang mampu 

meneliti „illat hadits hanyalah orang yang cerdas, memiliki 

hafalan hadits yang banyak, paham akan hadits yang dihafalnya, 

mendalam pengetahuannya tentang berbagai tingkat ke-dhabith-

an para periwayat dan ahli di bidang sanad dan matn hadits. Al-

Hakim al-Naisaburiy berpendapat bahwa acuan utama penelitian 

„illat hadits adalah hafalan, pemahaman dan pengetahuan yang 

luas tentang hadits. Semua pernyataan ulama ini memberikan 

petunjuk bahwa penelitian „illat hadits sangat sulit.60 

 

e. Pengertian Tidak ada Syadz  

Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syadz 

dalam hadits. Tetapi pada umumnya para ulama hadits 

mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh al-Syafi‟i, karena 

penerapannya dianggap tidak sulit. 

                                                 

 

Menurut al-Syafi‟i, suatu hadits tidak dinyatakan mengan-

dung syadz, bila hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh 

seorang periwayat yang tsiqat, sedang periwayat yang tsiqat 

lainnya tidak meriwayatkan hadits itu. Barulah suatu hadits 

dinyatakan mengandung syadz, bila hadits yang diriwayatkan 

oleh seorang periwayat yang tsiqat tersebut bertentangan dengan 

hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga 

bersifat tsiqat. 

Penjelasan al-Syafi‟i tersebut dapat dipegangi bahwa 

hadits syadz  disebabkan oleh: a) kesendirian seorang perawi 

dalam sanad hadits, yang dalam ilmu hadits dikenal dengan 

istilah hadits fard muthlaq (kesendirian absolute, yakni hanya 

ada satu jalur sanad hadits dari yang bersangkutan); atau b) 

periwayat yang tidak tsiqat.  

Demikian pula hadits berkemungkinan mengandung syadz, 

bila: a) hadits itu memiliki lebih dari satu sanad; b) para 

periwayat hadits itu seluruhnya tsiqat; dan c) matn dan atau 

sanad hadits ada yang mengandung pertentangan. 

Hadits yang mengandung ke-syadz-an, oleh ulama disebut 

sebagai hadits syadz, sedangkan “lawan‟ dan hadits syadz 

disebut sebagai hadits mahfuzh.61 

                                                 

Dengan demikian, hadits yang memenuhi kriteria atau 

persyaratan keshahihan dengan segala unsurnya, seperti yang 

telah dikemukakan di atas, maka hadits dapat dikategorikan 

kepada shahih. Dan sebaliknya jika tidak memenuhi kriteria 

keshahihan, maka hadits dapat digolongkan kepada dha‟if, 

bahkan palsu. Jadi keshahihan atau kedha‟ifan suatu hadits, pada 

prinsipnya dapat dilihat dari konsep sanad atau konsep matn 

hadits itu sendiri. Karena boleh jadi, suatu hadits segi sanadnya 

memenuhi persyaratan shahih, namun matn-nya tidak memenuhi 

persyaratan keshahihan atau sebaliknya, maka hadits itu dapat 

dikategorikan sebagai hadits yang tidak shahih. 

 

G. Problematika Kajian Matn Hadits  

Status hadits diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagai 

sumber ajaran Islam yang berasal dan Allah SWT sebagai 

Wahyu Ghairu Matluwin. Sebagai wahyu Allah, hadits 

mempunyai sifat yang spesifik, yakni maknanya dari Allah 

dengan lafazhnya dari Nabi Muhammad SAW. Spesifikasi sifat 

hadits yang demikian menyebabkan hadits sebagai bentuk 

perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad Saw., hal 

ini memerlukan penelitian yang mendalam, karena berbeda 

dengan al-Qur‟an, hadits bersifat zhanni al-wurud dan zhanni 

al-dilalah. 

  

 

Penelitian atas hadits diperlukan karena hadits yang 

sampai kepada umat Islam melalui jalan periwayatan yang 

panjang, sepanjang perjalanan kehidupan umat Islam. Di 

samping itu, perjalanan hadits yang disampaikan dari generasi 

ke generasi, memungkinkan adanya unsur-unsur yang masuk ke 

dalamnya baik unsur sosial maupun budaya dari masyarakat 

generasi periwayat hadits itu hidup. 

Untuk itulah penelitian hadits harus jeli pada unsur sanad 

(jalur periwayatan) matn (lafazh, materi atau isi) dari hadits 

tersebut, yang kemudian diharapkan mampu membuat rumusan-

rumusan yang pasti mengenai kriteria tertentu sehingga dapat 

ditelusuri hadits yang maqbul dan yang mardud. 

Ketika para ulama hadits rnenetapkan lima syarat bagi 

shahihnya sebuah hadits, seperti yang diungkapkan H. Afif 

Muhammad,62 hal itu menunjukkan betapa telitinya mereka 

(para ulama) dalam menyeleksi hadits Nabi Saw. Kelima syarat 

tersebut, di antaranya tiga berkenaan dengan sanad dan dua 

berkenaan dengan matn. Yang berkaitan dengan sanad, di 

samping sanad harus bersambung, semua perawinya juga harus 

dhabith dan tsiqqat. Sedangkan yang berkaitan dengan matn, 

                                                 

adalah keharusan tidak adanya syadz dan „illat. Dari seleksi 

tersebut muncullah hadits shahih, hasan, dha„if dan seterusnya. 

Selanjutnya H. Afif Muhammad63 menjelaskan bahwa 

pengujian terhadap syarat yang berkaitan dengan sanad telah 

dilakukan sejak awal dengan cara meneliti kredibilitas para 

perawi, sehingga muncullah cabang ilmu hadits yang disebut 

dengan al-Jarh wa al- Ta‟dil. Yakni persyaratan bagi seorang 

perawi dalam kaitan diterima atau tidaknya hadits yang 

diriwayatkannya. Sedangkan ketersambungan sanad, diuji 

dengan melacak masa hidup para perawi tersebut. 

Tetapi, menurut mantan Direktur Pascasarjana UIN 

Bandung ini, yang berkaitan dengan matn, sungguhpun telah 

dirintis oleh para sahabat generasi pertama, tampaknya belum 

dilanjutkan secara sungguh-sungguh. Dengan demikian, bila 

pengujian terhadap matn belum dilakukan, maka kesahihan 

sanad belum menjamin kesahihan matn. Hal ini sejalan dengan 

pandangan M. Syuhudi Ismail,64 yang memberikan alasan 

kesulitan penelitian matn ini adalah karena masih sangat 

langkanya kitab-kitab yang secara khusus membahas kritik 

matn. Menurutnya, alasan ini timbul karena para ulama hadits 

                                                 

 

pada umumnya telah terserap waktu dan enerjinya untuk 

melakukan penelitian sanad hadits. Hal itu dapat dipahami sebab 

bila masalah sanad tidak segera mereka tangani, maka 

kerumitan penelitian hadits akan bertambah lagi. 

Lebih jauh lagi, Syuhudi Ismail65 memerinci sebab-sebab 

sulitnya penelitian matn ini karena beberapa faktor berikut: 

1. Adanya periwayatan secara makna; 

2. Acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu 

macam saja; 

3. Latar belakang timbulnya petunjuk hadits tidak selalu 

mudah dapat diketahui; 

4. Adanya kandungan petunjuk hadits yang berkaitan dengan 

hal-hal yang berdimensi “supra rasional”; dan 

5. Masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus 

penelitian matn hadits. 

Adapun al-Adlabi dalam kitabnya Manhaj Naqdi al-Matn, 

seperti yang dikutip Syuhudi Ismail, mengemukakan tiga faktor 

penyebab sulitnya penelitian matn, yaitu: 

1. Kitab-kitab yang membahas kritik matn dan metodenya 

sangat langka; 

                                                 

 

2. Pembahasan matn pada kitab-kitab tertentu termuat di 

berbagai bab yang bertebaran sehingga sulit dikaji secara 

khusus; dan 

3. Adanya kekhawatiran menyatakan sesuatu sebagai bukan 

hadits padahal hadits, dan sesuatu sebagai hadits padahal 

bukan hadits. 

Mengenai kriteria-kriteria yang dipergunakan para ulama 

dalam penelitian matn ini, Mustafa Assibai‟66 menyebutkan hal-

hal sebagai berikut: 

1. Ungkapannya tidak dangkal, sebab yang dangkal tidak akan 

pernah diucapkan oleh yang memiliki apresiasi sastera tinggi 

atau yang fasih; 

2. Tidak menyalahi pandangan orang yang luas pikirannya, 

sebab sekiranya menyalahi, tidak mungkin ditakwil; 

3. Tidak menyimpang dari kaidah umum tentang hukum dan 

akhlak; 

4. Tidak menyalahi perasaan dan pengamatan; 

5. Tidak menyalahi para cendekiawan dalam bidang 

kedokteran dan filsafat; 

                                                 

6. Tidak mengandung kekerdilan, sebab syari‟at jauh dari sifat 

kerdil; 

7. Tidak bertentangan dengan akal sehubungan dengan pokok-

pokok akidah, termasuk sifat Allah dan Rasul-Nya; 

8. Tidak bertentangan dengan sunnatullah mengenai alam 

semesta dan kehidupan manusia; 

9. Tidak mengandung sifat naif, sebab orang berakal tidak akan 

seperti itu; 

10. Tidak menyalahi al-Qur‟an dan al-Sunnah yang telah jelas 

hukumnya, tidak pula menyalahi ijma ulama ataupun 

ketetapan agama yang telah menjadi keharusan yang tidak 

perlu ditafsirkan lagi; 

11. Tidak bertentangan dengan kenyataan tarikh yang telah 

diketahui umum mengenai zaman Nabi Saw; 

12. Tidak menyerupai madzhab rawi yang selalu mau benar 

sendiri; 

13. Tidak meriwayatkan suatu kejadian yang dapat disaksikan 

orang banyak, padahal riwayat itu hanya disampaikan 

seorang rawi saja; 

14. Tidak menguraikan suatu riwayat yang isinya menonjolkan 

kepentingan pribadi; 

 

 

15. Tidak mengandung uraian yang membesar-besarkan pahala 

dan perbuatan yang minim. Dan tidak mengandung ancaman 

berat terhadap perbuatan dosa kecil. 

Sekalipun telah cukup banyak kriteria-kriteria yang 

dipergunakan para ulama dalam meneliti matn ini, tetapi 

menurut Assiba‟i‟,67 mereka belum puas sebelum mengkaji dan 

meneliti segi idhthirab, syadz, dan „illat-nya. Demikian pula 

mereka membahas mana yang mengandung kemungkinan 

terbalik (qalb), kekeliruan (ghalath) dan sisipan (idraj). 

Terdapat banyak hadits yang dari segi sanad, termasuk 

kategori shahih, tetapi dari segi matn bertentangan dengan al-

Qur‟an. H. Afif Muhammad menjelaskan,68 bahwa alasan 

hadits-hadits itu bertentangan dengan al-Qur‟an, maka orang-

orang seperti Ahmad Amin dan Abu Rayyah menolaknya. 

Bahkan Muhammad al-Ghazali, dalam bukunya, Al-Sunnah Al-

Nabawiyyah Bain Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits mengatakan 

bahwa betapapun shahihnya sanad suatu hadits, sepanjang 

matnnya bertentangan dengan al-Qur‟an ia tidak ada artinya. 

Muhammad al-Ghazali yang dikenal sebagai pakar hadits 

dewasa ini, tampaknya tidak sembarangan untuk menyatakan 

demikian, sebagai pakar tentunya dia mempunyai banyak 

                                                

argumentasi yang tidak dikemukakannya secara eksplisit. Kepa-

karan al-Ghazali ini diakui oleh banyak kalangan. Yusuf Qara-

dhawi,69 menyatakan dalam satu tulisannya, antara lain: 

Saya telah mengenal Syeikh Muhammad al-Ghazali sejak 

setengah abad yang lalu. Cerdas, rendah hati, dan akhlaknya yang 

mulia, adalah sebagian kecil dari sifatnya yang menonjol. Setiap 

orang mengenalnya sebagai figur yang tulus, jujur, ikhlas, dan 

dewasa dalam berfikir. Al-Ghazali juga seorang yang memiliki 

keberanian luar biasa dalam membela kebenaran. Kecemburuannya 

terhadap Islam amat tinggi. 

Sumbangan al-Ghazali dalam dunia pemikiran Islam tak akan 

pernah dilupakan. Selain berpuluh-puluh buku dan artikel yang 

ditulisnya, ia juga secara rutin mengisi pengajian, ceramah, dan 

wawancara di TV dan radio. Ia memiliki banyak murid dari pelbagai 

penjuru dunia yang sempat dididiknya di al-Azhar, Ummul Qura 

(Mekah), Fakultas Syari‟ah (Universitas Qatar,), serta di Institut 

Ilmu-ilmu Islam di Universitas Amir Abdul Kadir (Aljazair). 

Al-Ghazali selalu mengajarkan mahasiswa-mahasiswanya ke-

seimbangan (balance). Yaitu keseimbangan dalam menggunakan akal 

(aql) dan sumber agama (naql), dan dalam memandang dunia (dunya) 

dan agama (din). Ia bukan jenis orang yang mencari-cari pembenaran 

agama demi meluluskan sebuah kepentingan dunia. Ia juga bukan 

orang yang anti terhadap modernisme dan kema-juan. Al-Ghazali 

adalah tengah-tengah, antara dunia dan agama, dan antara akal dan 

naql. Ia sering melontarkan imbauan untuk para pembaharu Islam: 

„Mengapa kalian tidak menuntut kemajuan sambil menjadi Islam?” 

Karena perbedaan penalaran, pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa 

al-Ghazali banyak dikritik. Tapi, sepengetahuan saya, dalam menge-

mukakan pendapat dan fatwa, ia tidak pernah bertentangan dengan 

ijma‟ (kesepakatan) ulama. 

Memang, jika dicermati, kadang-kadang beberapa ucapan al-

Ghazali sangat tajam. Itu muncul karena rasa kecemburuannya yang 

mendalam. Ia benci segala macam penyimpangan. Hatinya terbakar 

                                                

 

ketika terjadi penyelewengan. Semua itu bisa dilihat dengan jelas 

dalam karya-karyanya.  

Berkaitan dengan kriteria yang dipergunakan al-Ghazali 

dalam mengkritik matn hadits, yakni bahwa jika makna hadits 

itu tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur‟an, maupun 

hadits shahih yang lain, maka keshahihan suatu hadits tidak 

hanya ditentukan oleh keshahihan segi sanadnya saja, tetapi juga 

ditentukan oleh keshahihan matnnya. Namun untuk meneliti 

matn hadits, tampak sulit dilakukan, mengingat buku-buku 

hadits yang terkait dengan analisis matn hadits ini jarang sekali 

ditemukan. Karena buku atau kitab yang banyak beredar, yang 

ditulis oleh para ulama dari zaman ke zaman adalah yang 

berkaitan dengan syarah hadits itu sendiri dan jarang ditemukan 

kitab mengenai analisis matn hadits. Demikian pula buku-buku 

„ulum al-hadits, yang banyak bertebaran, baik yang baru 

maupun yang lama, tampaknya satu sama lainnya sama saja, 

yakni banyak kesamaannya. Sementara yang membahas matn 

hadits jarang ditemukan. 

Karena itu dari sinilah letak signifikansinya uraian dalam 

buku ini, sebagai salah satu upaya untuk menambah khazanah 

pengetahuan umat Islam, terutama dalam aspek matn hadits. 


SYAIKH MUHAMMAD AL-GHAZALI DAN 

PEMIKIRANNYA TENTANG HADITS  

NABAWI SAW 

 

 

A. Biografi Muhammad al-Ghazali dan Karir 

Intelektualnya 

 

Syaikh Muhammad al-Ghazali adalah seorang ulama 

terkenal kelahiran Mesir yang sebagian besar hidupnya 

dicurahkan untuk kepentingan dakwah Islam. Ia dilahirkan di 

Naklal Inab, sebuah desa Mesir, tahun 1917. Masa kecilnya 

dilalui di desa itu. Ia telah hafal al-Qur‟an sejak masih duduk di 

sekolah dasar. Masa sekolahnya hingga SLTA ia pusatkan untuk 

mengkaji ilmu-ilmu agama. Kemudian ia melanjutkan kuliahnya 

di al-Azhar, mengambil Fakultas Ushuluddin, hingga tamat 

tahun 1941. Dua tahun sesudah  itu (1943), ia meraih magister 

dalam bidang sastra Arab dari universitas yang sama. 

A1-Ghazali juga seorang ulama Islam yang sangat peduli 

terhadap persoalan-persoalan umat Islam kontemporer, terutama 

yang berhubungan dengan dakwah dan pemikiran. Sampai 

wafatnya, selain menulis di berbagai majalah dan surat kabar 

berbahasa Arab, beliau juga menulis tak kurang dan 48 judul 

buku yang telah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam 

 


 

berbagai bahasa asing, termasuk ke dalam bahasa Indonesia. Di 

antara bukunya yang terkenal adalah Fiqh al-Sirah, Min Huna 

Na‟lam, Kayfa Nafhamu al-Islam, Humum Da‟iyah, dan Jaddid 

Hayatak. Bukunya yang menjadi best seller dan telah 

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah, al-Sunnah al-

Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, yang juga 

menjadi sumber data primer dalam penulisan penelitian ini. 

Karena jasanya dalam berdakwah, baik lewat pidato (bi al-

lisan) maupun tulisan (bi al-qalam), al-Ghazali telah 

mendapatkan berbagai penghargaan dari beberapa negara Islam. 

Pemerintah Aljazair pernah menganugerahinya „Bintang Jasa. 

sebuah penghargaan tertinggi pemerintahan Aljazair untuk 

bidang dakwah Islam. Saudi Arabia menganugerahinya hadiah 

Raja Faisal untuk bidang yang sama. Ia adalah orang Mesir 

pertama yang mendapatkan hadiah semacam itu karena jasa-

jasanya terhadap dakwah Islam. Pada tahun 1988, pemerintah 

Mesir menganugerahi “Bintang Republik”, penghargaan 

tertinggi untuk warga Mesir yang dinilai telah berjasa untuk 

kemanusiaan. Anugerah yang sama juga diterimanya dari 

Kerajaan Maroko dan Brunei Darussalam. 

Hadiah dan anugerah yang diterima al-Ghazali bukan 

hanya yang berbentuk tanda jasa. Sampai kini ia juga dihormati 

dan disanjung oleh banyak umat Islam di seluruh dunia. Karena 

 

sifatnya yang terbuka, pembicaraannya yang mudah dicerna, 

dan mengesankan, karya-karyanya banyak memberikan inspirasi 

untuk anak muda Islam. 

Al-Ghazali juga seorang pemikir muslim yang jernih dan 

terbuka. Ia dekat dengan siapa saja dan selalu menghormati 

pendapat orang lain. Meski ia berafiliasi dengan gerakan Ikhwan 

al-Muslimin, tapi al-Ghazali tidak fanatik dengan kelompok itu. 

“Saya tidak peduli dengan simbol,” tulisnya dalam salah satu 

bukunya. 

Karya puncaknya yang banyak diperbincangkan orang 

adalah al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-

Hadits. Dalam buku tersebut terlihat dengan sangat jelas sikap 

intelektual al-Ghazali. Ia tidak terpaku pada persyaratan-

persyaratan yang dibuat ulama hadits dalam menilai sebuah 

hadits Nabi. Baginya ada yang lebih penting dari sekadar 

metode, yaitu mashlahat al-muslimin (kepentingan umat Islam). 

Karena demi kepentingan kaum muslimin itulah al-

Ghazali dirangkul oleh banyak golongan. Dalam usia senjanya, 

al-Ghazali juga ikut andil dalam gerakan “Islamisasi Ilmu” yang 

merebak akhir-akhir ini. Ia juga diangkat menjadi anggota 

dewan penasihat pada IIIT (International Institute of Islamic 

Thought) yang bermarkas di Washington. Gagasan “Islamisasi 

Ilmu” juga merupakan agenda awal pemikiran al-Ghazali.Tidak 

 

 

97 

 

lama sesudah  wafatnya, Qardhawi mengisahkan kekagumannya 

terhadap beliau. Sebagian penuturannya telah ditulis pada bab 

pendahuluan penelitian ini, dan sebagiannya lagi sebagai 

berikut:70 

Al-Ghazali telah menghabiskan hidupnya demi membela Islam. 

Menurutnya, seorang Muslim seharusnya selalu berhati-hati 

terhadap musuhnya, baik dari dalam maupun dan luar. Seorang 

Muslim seharusnya selalu siap untuk membela. Bahkan, kalau 

perlu, menyerang. Sebab, menyerang tidak lebih dari salah satu 

sarana pertahanan. 

Al-Ghazali telah berjuang dalam dua medan: pertama, terhadap 

musuh-musuh yang membenci dan memerangi Islam. 

Menurutnya, musuh-musuh ini terdiri dari kekuatan internasional 

non-muslim. Mereka adalah jaringan Zionisme, kaum Kristen, dan 

Komunisme. Walaupun mereka berbeda agama, mereka bersatu 

dalam upaya menghancurkan Islam. 

Medan kedua yang dihadapi al-Ghazali adalah umat Islam yang 

tidak mengetahui hakikat Islam tapi mengklaim sebagai ahli 

Islam. Mereka lebih berbahaya dari kelompok pertama. Al-

Ghazali menamakan mereka “kelompok pemecah belah,“ karena 

mereka sering memecah belah umat Islam dengan memunculkan 

isu-isu sepele dalam Islam. Biasanya mereka mengangkat 

masalah-masalah khilafiyah dalam fiqih. 

Al-Ghazali sangat menyayangkan kiprah orang-orang semacam 

itu. Mereka hanya mendatangkan petaka bagi umat Islam yang 

sedang berusaha bangkit. Untuk meluruskan orang-orang yang 

seperti ini al-Ghazali menuliskan beberapa buku sebagai jawaban 

atas kekeliruan mereka. 

                                                

Selain itu, al-Ghazali juga mencemaskan munculnya ulama 

yang tidak ahli dalam bidangnya. Ia pernah menulis, “Saya ngeri 

membayangkan masa depan umat Islam. Mereka sok menjadi 

„alim. Padahal mereka tak menguasai ilmu yang dibicarakannya. 

Banyak ahli hadits yang berubah menjadi ahli fiqih, meskipun 

sebenarnya mereka kurang ahli dalam bidang itu. Mereka 

berusaha menjadi politikus yang ingin mengubah masyarakat dan 

negara seperti yang mereka dapatkan dari riwayat-riwayat yang 

mereka miliki.” 

Al-Ghazali juga mengecam para pemikir yang tidak mengetahui 

prinsip-prinsip umum Islam, seperti soal tata negana dan sistem 

ekonomi Islam. 

Al-Ghazali dikenal keras dalam bersikap. Jika berdebat, ia 

dikenal tajam. Ia menderu bak ombak, menggelegar bak halilintar. 

Mengaum bak singa. Dalam menulis, ia bagaikan seorang tentara 

yang sedang perang. Saat itu, pena ditangannya berubah menjadi 

pedang. 

Al-Ghazali yang saya kenal dari dekat adalah seorang yang 

berhati lembut, mudah menitikkan air mata, seorang yang jernih, 

sederhana, rendah hati, dan tidak sungkan-sungkan untuk belajar 

walaupun dari murid-muridnya. Meski begitu, ia pernah dengan 

tegas berkata kepada saya,“Saya tidak suka menguasai seseorang 

atau dikuasai orang.” 

Sepanjang hidupnya, al-Ghazali adalah seorang pemikir bebas. 

Ia tidak mengabdikan pemikirannya kepada siapa pun. Pernah 

penguasa Mesir mencoba “membelinya.” Tapi siapa yang sanggup 

membeli seseorang yang menginginkan Allah dan sorga-Nya? 

Harga al-Ghazali terlampau mahal. Beberapa kali beliau ditawari 

jahatan-jabatan yang membuat orang tergiur. Tapi ia tetap 

memilih sikapnya. 

Syaikh Muhammad al-Ghazali telah meninggalkan kita. Tapi 

pemikirannya tidak akan pernah mati. Karena sebuah gagasan tak 

akan mati dengan matinya sang pencetus. Ide-idenya akan terus 

hidup, diabadikan dalam karya-karyanya yang tersebar di seluruh 

penjuru dunia. Sebagaimana karya-karyanya, murid-muridnya pun 

tersebar ke pelbagai pelosok dunia. 

 


 

Begitulah penuturan Yusuf Qardhawi, seorang pemikir 

asal Mesir yang pernah menjadi murid al-Ghazali ketika ia 

belajar di al-Azhar. 

A1-Ghazali wafat dalam usia 80 tahun pada hari Sabtu, 

tanggal 8 Maret 1996 di tengah lawatannya ke Saudi Arabia. 

Kunjungan al-Ghazali ke negeri itu adalah atas undangan 

Kerajaan Saudi Arabia untuk menghadiri Pameran Warisan 

Islam ke-11 yang diadakan di Riyadh. Wafatnya begitu tiba-tiba, 

diduga karena serangan jantung. 

Menurut Yusuf Qardhawi,71 sudah sejak lama al-Ghazali 

ingin mendapatkan tempat yang dekat dengan Nabi Muhammad 

SAW. Dan kematiannya di Saudi Arabia itu telah mengantar-

kannya ke pekuburan Baqi, hanya beberapa meter dari makam 

Rasulullah. Dan menurut Dr. Muhammad Umar Zubair, sahabat 

Yusuf Qardhawi yang sempat menghadiri upacara pemakaman 

al-Ghazali di Medinah, letak kuburan al-Ghazali persis di antara 

kuburan Imam Malik (pendiri Madzhab Maliki) dan Imam Nafi 

(ahli hadits). 

 


 

B. Syaikh Muhammad al-Ghazali dan Pandangannya 

tentang Hadits 

 

Syaikh Muhammad al-Ghazali, yang dalam biografinya 

diketahui sebagai salah seorang ulama al-Azhar yang sangat 

menonjol dan disegani di dunia Islam, khususnya di Timur 

Tengah, adalah termasuk salah seorang penulis Arab yang 

sangat produktif. 

Salah satu bukunya yang dianggap sebagai masterpiece 

adalah yang berjudul; al-Sunnah al-Nabawiyyah Bain Ahl al-

Fiqh wa Ahl al-Hadits, yang kemudian diterjemahkan oleh Mu-

hammad al-Baqir, dengan diberi judul; Studi Kritis atas Hadits 

Nabi SA W, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. 

Buku terjemahan ini kemudian diterbitkan oleh penerbit Mizan, 

Bandung, cetakan pertama pada tahun 1991. 

Pandangan al-Ghazali terhadap hadits sangat penting 

untuk didengar dan diperhatikan. Karena, al-Ghazali banyak 

melakukan kritik terhadap pandangan para ahli hadits tentang 

pandangannya terhadap suatu hadits. Al-Ghazali72 misalnya, 

mengeritik Ibn Hajar yang menjustifikasi dan menguatkan 

periwayatan hadits tentang al-Gharaniq. Al-Ghazali mengatakan 

bahwa Ibn Hajar memberi lampu hijau terhadap hadits ini 

                                                 

 

sehingga hadits tersebut berjalan dengan mulus di antara 

manusia dan mampu merusak agama dan dunia mereka. Padahal 

„hadits‟ tersebut adalah hasil buatan (pemalsuan) kaum zindiq, 

para pengingkar agama. Dengan diakuinya hadits ini sebagai 

suatu hadits, sehingga datanglah akhir kemudian Salman 

Rusdie, penulis yang hina dan berjiwa budak. Ia jadikan hadits 

palsu itu sebagai landasan bagi judul novelnya; Ayat-Ayat Setan, 

yag sempat menghebohkan dunia Islam dalam 10 tahun terakhir 

ini, sehingga Salman Rusdie, divonis mati oleh Imam Khomae-

ni, tokoh Islam Republik Islam Iran, yang kini telah wafat.  

 

1. Kualitas Hadits. 

Yang dimaksud dengan pembagian hadits di sini adalah 

pembagian hadits dilihat dan kualitasnya. Pada prinsipnya, al-

Ghazali menyepakati berbagai rumusan yang telah dibuat oleh 

jumhur ulama ahli hadits, bahwa sesudah  diadakan seleksi yang 

ketat terhadap hadits-hadits Nabi dari zaman ke zaman yang 

telah dilakukan oleh para ulama dari periode ke periode 

berikutnya, akhirnya hadits-hadits tersebut terkumpul dalam 

 

 

 

kitab-kitab hadits, yang dari segi kualitasnya terdiri dan hadits; 

shahih, hasan, dha„if dan mawdhu„.73 

Sementara pembagian hadits dilihat dari periwayatannya, 

sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur ulama ahli hadits, 

yang terbagi pada hadits Mutawatir dan Ahad, dalam pandangan 

Muhammad al-Ghazali, tidak ada persoalan yang mendasar, 

yang mendapat pembahasan yang luas. Hanya al-Ghazali 

mempersoalkan status hadits Ahad dan segi kehujjahannya. Ia 

menyatakan: 

Sekali-kali kami tidak hendak melemahkan suatu hadits yang 

masih bisa dishahihkan. Tetapi kami benar-benar berkeinginan 

agar setiap hadits dipahami di dalam kerangka makna-makna yang 

ditunjukkan oleh al-Qur„an, baik secara langsung ataupun tidak.74 

 

Hadits-hadits Ahad -- walaupun sanadnya shahih -- 

kehilangan validitasnya (kesahihannya) apabila terdapat 

padanya cacat-cacat tertentu yang diistilahkan dengan syadz 

atau „illah qadihah. Misalnya, ia mengemukakan contoh bahwa 

Abu Hanifah menolak hadits yang menyatakan bahwa “seorang 

muslim tidak boleh dibunuh sebagai hukuman atas perbuatannya 

membunuh seorang kafir”, walaupun hadits ini shahih sanadnya. 

Karena hal ini bertentangan dengan nash al-Qur‟an tentang 

                                                

qishash yang tercantum dalam ayat 45 surat al-Maidah. Bahkan 

atas dasar ini, para pengikut madzhab Hanafi mengutamakan 

penafsiran ayat al-Qur‟an tersebut di atas hadits Ahad. 

Sedangkan para pengikut madzhab Maliki mengutamakan praktek 

penduduk kota Madinah di atas hadits Ahad seperti itu, dengan 

alasan bahwa praktek mereka memberikan petunjuk yang lebih 

dekat kepada sunnah nabawiyah ketimbang apa yang hanya 

dirawikan oleh perorangan. 

Di lain tempat, Muhammad al-Ghazali menyatakan, bahwa 

melemahkan seorang rawi yang meriwayatkan sesuatu yang 

berlawanan dengan nukilan dalil yang pasti serta pertimbangan 

keadilan yang sehat adalah sikap dan prilaku para ulama besar 

yang ahli di bidang sunnah. Karena itu definisi hadits shahih 

ialah tersambungnya sanad dengan orang-orang yang terpercaya 

serta tidak adanya hal-hal yang ganjil atau penyakit-penyakit 

yang menghilangkan bonafiditasnya. Keganjilan apalagi yang 

lebih besar daripada keberlawanannya dengan ayat-ayat al-

Qur‟an? Penyakit apakah yang lebih gawat daripada perben-

turannya dengan keadilan?75  

Selanjutnya Muhammad al-Ghazali menyepakati atas 

persyaratan keshahihan suatu hadits yang dinyatakan oleh para 

                                                 

 

ulama ahli hadits. Bahkan ia menyatakan sendiri bahwa para 

ulama hadits telah menetapkan lima persyaratan untuk 

menerima baik hadits Nabi SAW; tiga berkenaan dengan sanad 

(mata rantai para perawi) dan dua berkenaan dengan matn 

(materi hadits). Kemudian al-Ghazali76 merinci lebih jauh 

penjelasan para ulama tentang syarat keshahihan suatu hadits 

tersebut sebagai berikut: 

1. Setiap perawi dalam sanad suatu hadits haruslah seorang 

yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas dan teliti serta 

benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian 

ia meriwayatkannya sesudah  itu, tepat seperti aslinya. 

2. Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus 

seorang yang mantap kepribadiannya dan bertakwa kepada 

Allah, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau 

penyimpangan. 

3. Kedua sifat tersebut di atas (butir 1 dan 2) harus dimiliki 

oleh masing-masing perawi dalam seluruh rangkaian para 

perawi suatu hadits. Jika hal itu tidak terpenuhi pada diri 

seorang saja dari mereka, maka hadits tersebut tidak 

dianggap mencapai derajat shahih. 

                                                

4. Mengenai matn (materi) hadits itu sendiri, ia harus tidak 

bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya bertentangan 

dalam periwayatannya dengan perawi lainnya yang 

dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya). 

5. Hadits tersebut harus bersih dan „illah qadihah (yakni cacat 

yang diketahui oleh para ahli hadits, sedemikian sehingga 

mereka menolaknya). 

Dengan demikian, al-Ghazali mengakui adanya hadits 

Ahad dan Mutawatir, hal ini menunjukkan bahwa al-Ghazali 

mengakui adanya pembagian hadits, yakni bahwa hadits itu ada 

yang mutawatir dan ada yang ahad, jika dilihat dari segi 

periwayatannya. Sedangkan dilihat dan segi kualitasnya, tentu 

saja al-Ghazali mengakui adanya hadits shahih, hasan, dha‟if 

dan bahkan hadits mawdhu‟. 

 

2. Pemahaman Hadits. 

Segi pemahaman, Muhammad al-Ghazali tampaknya 

dalam menilai dan memahami makna suatu hadits terlebih 

dahulu memperbandingkannya dengan al-Qur‟an, sehingga 

hadits-hadits yang bertentangan maknanya langsung atau tidak 

langsung dengan al-Qur‟an (sekalipun shahih dari segi 

periwayatannya), tetap ditolaknya dan dinyatakan sebagai suatu 

hadits yang tidak shahih. Bahkan ia mengeritik orang yang 

 

hanya menyibukkan diri dengan hadits Nabi dan kurang 

memperhatikan al-Qur‟an. Ia menyatakan: 

“Cacat yang menyertai orang-orang yang hanya menyibukkan 

diri dengan hadits saja, adalah kurangnya minat dan pengetahuan 

mereka untuk menekuni al-Qur„an dan mempelajari dengan sek-

sama, hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Karena itu, 

mengapa bertinggi hati padahal kemampuan terbatas? Mengapa 

tidak mau berlapang dada dengan membiarkan orang-orang selain 

mereka, yang kebetulan tergolong para pemikir muslim yang 

berwawasan luas, untuk menemukan adanya „illat atau keganjilan 

dalam beberapa hadits yang dikenal? 

Kerjasama dalam memeriksa dan menguji peninggalan Nabi 

SAW sangat diperluan. Materi sebuah hadits adakalanya berke-

naan dengan aqidah, ibadah dan mu„amalah yang meliputi 

pengetahuan dan profesi para ahli „aql dan naql (yang berdasarkan 

pemikiran dan penukilan) bersama-sama. Mungkin juga sebuah 

hadits adakalanya berkenaan dengan urusan da„wah, perang dan 

damai. Oleh sebab itu, mengapa para ahli dipelbagai bidang yang 

penting ini djauhkan dari pengujian terhadap matn (redaks) yang 

dirawikan? Apa gunanya sebuah hadits yang sanadnya sehat 

namun matnnya cacat?”.77 

 

Dari sini kemudian al-Ghazali meragukan keabsahan se-

jumlah hadits yang terdapat dalam kitab-kitab hadits yang 

mu„tabar. Dengan mengemukakan metode ini, kemudian ia 

mengikuti sikap Aisyah r.a. ketika mendengar hadits yang me-

nyatakan bahwa orang mati diadzab kubur karena tangisan 

keluarganya terhadapnya. Ia menolaknya, bahkan kemudian 

bersumpah bahwa Nabi SAW tidak pernah mengucapkan 

                                                 

“hadits” tersebut. Bahkan ia kemudian menjelaskan alasan 

penolakannya dengan berkata: “Adakah kalian lupa akan firman 

Allah SWT Tidaklah seseorang menanggung dosa orang lain ...“ 

(QS. al-An‟am: 164).78 

Demikianlah, Aisyah dengan tegas dan berani telah 

menolak periwayatan suatu “hadits” yang bertentangan dengan 

al-Qur‟an. Walaupun begitu, “hadits” yang tertolak ini masih 

saja tercantum dalam kitab-kitab “Shahih”. Bahkan Ibn Sa„ad, 

dalam bukunya al-Thabaqat al-Kubra, mengulang-ulangnya 

dengan beberapa sanad yang berbeda. 

Kemudian al-Ghazali79 memberikan komentar: 

“Pada hemat saya, sikap Umu al-Mu„minin (Aisyah,) tersebut 

dapat dijadikan dasar untuk menguji validitas sebuah hadits yang 

telah berpredikat shahih, dengan nash-nash al-Qur „an, kitab suci 

yang tiada tersentuh oleh kebatilan dari arah mana pun juga. Dan 

karena itulah, para imam fiqh menetapkan hukum-hukum 

berdasarkan ijtihad yang luwes, dengan mengandalkan al-Qur„an 

sebelum segalanya yang lain. Apabila di antara riwayat-riwayat 

hadits ada yang mereka dapati sejalan dengan al-Qur„an, maka 

mereka pun menerimanya. Atau, jika tidak, al-Qur‟anlah yang 

lebih patut diikuti”. 

 

Muhammad al-Ghazali80 bercerita: “Ketika saya berada di 

Aljazair, seorang mahasiswa menanyakan kepada saya: 

                                                 

 

Shahihkah hadits yang menyebutkan bahwa Nah Musa A.S. 

pernah menonjok mata malaikat maut sehingga menyebabkan-

nya buta sebelah. Yaitu ketika malaikat itu datang untuk men-

cabut nyawanya? Dengan perasaan sumpek saya balik bertanya 

kepadanya: Apa gunanya hadits ini bagimu? Hadits ini tidak 

berkaitan dengan suatu akidah dan tidak pula dengan suatu 

kewajiban amaliah. Sekarang ini umat Islam sedang mengalami 

pelbagai kesulitan, sementara musuh-musuhnya berambisi untuk 

mencekiknya sampai mati. Karena itu, sebaiknya anda 

menyibukkan diri dengan sesuatu yang lebih penting dan lebih 

bermanfaat”. Mahasiswa itu mendesak lagi: Tapi aku ingin tahu, 

apakah hadits itu shahih atau tidak? Dengan bersungut saya 

katakan kepadanya; hadits ini dirawikan oleh Abu Hurairah. 

Sebagian orang meragukan keshahihannya. 

sesudah  itu saya berpikir: Hadits itu sanadnya shahih. 

Tetapi materinya menimbulkan keraguan. Ia mengisyaratkan 

bahwa Musa A.S. membenci kematian. Ia tidak menginginkan 

perjumpaan dengan Allah sesudah  terpenuhi ajalnya. Sudah 

barangtentu pengertian seperti ini tidak dapat diterima apabila 

dikaitkan dengan hamba-hamba Allah yang saleh, sebagaimana 

tersebut dalam suatu hadits lainnya:  

هءاقلَّللهاَّبحأَّللهاَّءاقلَّبحأَّنم 

 

 

 

“Barangsiapa menginginkan perjumpaan dengan Allah, 

maka Allah pun menginginkan perjumpaan dengannya”.81 

Barangkali matn hadits itu mengandung cacat („illat)? 

Demikian pikir al-Ghazali. Hadits itu berbunyi berbagai berikut: 

َّويلعَّىسومَّلَاَّتولماَّكلمَّءاجَّ:لاقَّملسوَّويلعَّللهاَّىلصَّللهاَّلوسرَّنعَّةريرىَّبِأَّنع

كبرَّبجأَّ:ولَّلاقفَّملاسلاَّىسومَّمطلفَّ:لاقَّ,ملاسلاَّويلعََّّ,اىأقفف,تولماَّكلمَّنٌع

َّأقفَّدقوَّتولماَّديريلاَّكلَّدبعَّلَاَّنىتلسرأَّكناَّ:لاقفَّ,لَاعتَّللهاَّلَاَّكللماَّعجرفَّ:لاق

َّديرتَّتنكَّنافَّ؟ديرتَّةايلِأَّ:لاقفَّىدبعَّلَاَّعجراَّ:لاقوَّ,ونيعَّويلاَّللهاَّدّرفَّ:لاقَّ,نىيع

َّ,ةنسَّابهَّشيعتَّكنافَّةرعشَّنمَّكديَّثراوامفَّ,روثَّتنمَّىلعَّكديَّعضفَّةايلِاَّثمَّ:لاق

ََّّ.رجبحَّويمرَّةسدقلماَّضرلآاَّنمَّنىتمأَّبرَّ,بيرقَّنمَّنلاافَّ:لاقَّ,توتمَّثمَّ:لاقَّ؟وم 

 

“Dirawikan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi SAW 

bersabda; Malaikat maut mendatangi Musa, lalu berkata; 

Penuhilah panggilan Tuhanmu. Mendengar itu, Musa meninju 

mata malaikat maut sehingga menyababkannya buta sebelah. 

Lalu malaikat kembali kepada Allah SWT dan berkata; Ya 

Allah! Yang telah mengutusku menemui seorang hamba-Mu 

yang membenci kematian. Dan ia telah membutakan mataku! 

Maka Allah mengembalikan mata tersebut kepada malaikat, 

seraya berfirman: Kembalilah kepada hamba-Ku dan 

katakanlah kepadanya; adakah engkau masih ingin hidup lebih 

lama? Jika demikian, letakkanlah tanganmu di alas punggung 

seekor kerbau. Untuk setiap helai bulunya yang tertulupi oleh 

tanganmu itu, engkau akan mendapatkan tambahan hidup 

setahun lebih lama. Ketika hal tersebut disampaikan kepada 

Musa, ia bertanya; sesudah  itu, apa yang akan terjadi (yakni, 

hidup terus atau mati,)? Jawab Malaikat; sesudah  itu engkau 

                                                

akan mati. Mendengar itu, Musa berkata; kalau begitu, lebih 

baik sekarang juga. Tuhanku, matikanlah aku ditempat yang 

dekat dengan tanah suci sebatas lemparan batu”.82 

 

Menurut al-Ghazali, meskipun hadits di atas telah 

mendapat pembelaan dan para ulama sebagai suatu hadits yang 

shahih, yakni perbuatan itu hanya sebagai tamsil belaka, namun 

al-Ghazali menyatakan bahwa pembelaan seperti itu amat 

lemah. Sama sekali tidak berarti dapat diterima. Cacat yang 

terkandung dalam matn hadits itu menyebabkan derajatnya 

turun sehingga di bawah derajat shahih. Kecacatannya hanya 

dapat dimengerti oleh para ahli yang teliti dan kuat ilmunya. 

Sebaliknya, ia pasti tertutup bagi orang-orang yang berpikiran 

dangkal. 

Di lain tempat, al-Ghazali83 meragukan pula keshahihan 

hadits yang mengharamkan binatang bertaring untuk dikon-

sumsi. Ia menyatakan: 

“Saya juga melihat ketidaktahuan tentang al-Qur‟an yang 

keterlaluan pada pembahasan hadits yang dirawikan oleh 

Muslim: Setiap binatang buas yang bertaring, diharamkan 

memakannya. 

                                                 


 

Pemberi syarah atas hadits itu mendakwakan bahwa hadits 

itu diucapkan oleh Nabi di Madinah. Dan dengan begitu, hadits 

tersebut menaskhkan (menghapus hukum) ayat al-Qur„an yang 

diturunkan di Mekkah, yaitu firman Allah: 

“Katakanlah, tiada kujumpai dalam apa yang diwahyukan 

kepadaku, sesuatu (makanan) yang diharamkan bagi orang 

yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu ban gkai, 

atau darah yang mengalir atau daging babi, karena semuai itu 

kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. 

Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak 

menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka 

sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha 

Penyayang” (QS. al-An‟am: 145). 

 

Muhammad al-Ghazali84 selanjutnya mengatakan pula: 

“Suatu hukum yang berdasarkan agama tidak boleh diambil 

hanya dari sebuah hadits yang terpisah dari yang lainnya. Tetapi 

setiap hadits harus digabungkan dengan hadits lainnya. Kemudian 

hadits-hadits yang tergabung itu diperbandingkan dengan apa 

yang ditunjukkan oleh al-Qur„an al-Karim. AlQur„an adalah 

kerangka yang hanya dengan berada di dalam batasannya saja kita 

dapat mempraktekkan hadits, bukan melampauinya. Dan siapa 

saja yang berani menyatakan bahwa hadits (atau sunnah) lebih 

berwenang dari al-Qur „an, atau dapat menghapus hukum-hukum 

                                                 

di dalamnya. maka ia adalah seorang yang terpedaya oleh hawa 

nafsunya sendiri. 

Keterangan kami di atas, dijelaskan oleh riwayat yang 

disebutkan oleh Ibn Katsir dalam Tafsirnya, bahwa Imam al-

Syafi„i menyatakan: Apa saja yang dihukumkan oleh Rasulullah 

SAW, maka yang demikian itu adalah sesuai pemahaman beliau 

yang bersumber dari al-Qur„an. Firman Allah tentang hal ini: 

“Sesungguhnya Kami menurunkan al-Qur„an kepadamu (wahai 

Muhammad) dengan membawa kebenaran, supaya kamu 

mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan 

kepadamu. Maka janganlah kamu menjadi pembela bagi orang-

orang yang khianat. (QS. al-Nisa: 105). Demikian pula firman 

Allah: …”Dan Kami turunkan al-Qur„an kepadamu agar kamu 

menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan 

kepada mereka, dan agar mereka mau berpikir.” (QS. al-Nahl: 44). 

Karena itulah Rasulullah SAW bersabda: Sungguh, telah 

diberikan kepadaku al-Qur„an dan yang sebanyak itu bersamanya 

(yakni al-Sunnah). 

Memang benar kehidupan Muhammad SAW adalah penerapan 

sepenuhnya bagi tuntunan-tuntunan al-Qur„an. Riwayat hidupnya 

dalam hal ibadah, akhlak, jihad dan pergaulannya dengan manusia 

sekitarnya adalah perwujudan al-Qur„an yang hidup. Dengan itu, 

ia mengubah dunia dan membangun peradaban yang baru. Dan 

seandainya tidak ada sunnah beliau yang berupa perbuatan dan 

ucapan, niscaya al-Qur„an mirip dengan pelbagai filsafat murni 

yang hanya ada dalam alam khayal. Sunnah Muhammad SAW 

dalam berbagai bidang sosial, sipil dan militer, seperti halnya 

aturan-aturan ibadat dan prinsip-prinsip akidah semuanya itu 

adalah bagian tak terpisahkan dari sebuah misi yang abadi. Maka 

dapatlah dikatakan bahwa Islam terdiri atas al-Qur„an dan al-

Sunnah, sebagaimana air terdiri atas dua unsurnya yang telah 

dikenal. 

Dalam hal ini tugas kita adalah menjauhkan riwayat-riwayat 

(hadits-hadits,) yang lemah dan yang diragukan keabsahannya, 

sebagaimana kita menjauhkan al-Qur„an itu sendiri dari 

penafsiran-penafsiran yang menyimpang serta pikiran-pikiran 

  

 

yang bertentangan. Agar dengan demikian, wahyu Ilahi dapat 

terpelihara kemurniannya. 

Bertumpuk-tumpuk hadits yang lemah telah memenuhi udara 

ilmu-ilmu keislaman dengan awan gelap. Demikian pula ber-

tumpuk-tumpuk hadits yang walaupun termasuk shahih, namun 

telah diselewengkan maknanya, semua itu telah membuatnya jauh 

dari petunjuk-petunjuk al-Qur„an yang dapat dipahami secara 

langsung ataupun tidak langsung. Bahkan saya telah berusaha 

mencegah sebagian orang meriwayatkan hadits shahih sekalipun, 

kecuali jika maknanya yang kadang-kadang terselubung, dising-

kapkan dengan jelas”. 

 

Muhammad al-Ghazali menandaskan bahwa keragu-ragu-

an yang menyertai suatu berita tidak hanya berkaitan dengan 

hal-hal gaib, tetapi juga dalam hal-hal yang berkaitan dengan 

tugas-tugas keagamaan yang harus dikerjakan. Adanya keraguan 

atau kebingungan yang dialami oleh seorang perawi tidaklah 

terlalu merugikan Islam. Kitab Allah ma„shum (terjaga dari 

kekeliruan, penambahan atau pengurangan). Demikian pula 

Sunnah Nabi SAW pada umumnya, tetap utuh dan sehat. 

Kekeliruan seorang perawi sebenarnya adalah wajar dan tidak 

mengherankan. Tetapi yang mengherankan adalah adanya usaha 

pembenaran terhadap kekeliruan ini, yang kemudian ditambah 

lagi dengan pembelaan secara fanatik terhadapnya. Sikap seperti 

itu tidak pernah ada pada diri para imam dan tidak pula menjadi 

kebiasaan para tokoh salaf maupun khalaf.85 

                                                 

3. Hadits dalam Kategori Shahih Sanad Dha’if Matn 

Berbagai pandangan dan pemahaman tentang hadits, yang 

dikemukakan oleh Muhammad al-Ghazali di atas, yakni ia 

meragukan sejumlah periwayatan hadits, seperti dijelaskan di 

muka, hal ini dalam pandangan al-Ghazali, meskipun hadits itu 

shahih dari segi periwayatannya, namun jika isi dan 

kandungannya bertentangan dengan hadits yang lebih shahih 

atau bertentangan dengan makna al-Qur‟an baik langsung atau 

tidak langsung, maka hadits yang demikian itu tetap tertolak 

untuk dikatakan sebagai suatu hadits shahih. Dalam istilah ilmu 

hadits, kondisi hadits seperti ini termasuk dalam kategori shahih 

fi al-sanad, dha„if fi al-matn. 

Menurut Muhammad al-Ghazali,86 hadits-hadits dalam 

kategori demikian, banyak dijumpai dalam kitab-kitab hadits 

yang mu„tabar, seperti dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih 

Muslim. Contoh-contoh hadits seperti itu, yang telah 

dikemukakan oleh al-Ghazali, seperti telah dikemukakan di atas, 

ia menyatakan pula: “Adakalanya sebuah hadits yang shahih 

sanadnya tetapi lemah matnnya. Yaitu sesudah  para faqih 

menjumpai cacat tersembunyi padanya.” 

                                                 

Menemukan „illat dan keganjilan dalam matn suatu hadits 

tidak merupakan monopoli para ahli hadits. Ulama di bidang 

Tafsir, Ushul, Kalam dan Fiqh, semuanya juga bertanggung 

jawab; bahkan mungkin tanggung jawab mereka lebih besar dari 

selain mereka. 

Dalam buku lain, Muhammad al-Ghazali87 menyatakan 

bahwa tidak ada hadits yang berlawanan dengan Kitabullah al-

Qur‟an al-Karim. Kalau pada suatu saat tampak adanya 

pertentangan, itu semata-mata disebabkan oleh pemahamannya 

yang salah dan bukan disebabkan oleh keshahihan hadits itu 

sendiri. 

Hadits atau Sunnah Rasulullah SAW adalah ibarat 

samudera yang beralun membadai. Orang tidak dapat 

memahami arti yang dimaksud hanya dengan melihat makna 

harfiyahnya saja. Hanya orang yang mendalami ilmu agamanya 

sajalah yang dapat memahami kata-katanya yang samar dari 

maksud yang sebenarnya. Dua puluh tiga tahun lamanya 

Rasulullah SAW berbicara dengan orang yang sekian banyak-

nya, dalam keadaan yang berbeda-beda, menghadapi individu-

individu yang berlainan dan menghadapi berbagai macam 

persoalan. Menempatkan suatu hadits sesuai dengan makna 

                                                 

yang dimaksud atau menurut pengertiannya yang benar adalah 

menjadi tugas para ulama dan para faqih. Tugas itu harus 

diindahkan, dan jika tidak, niscaya kita akan terjerumus ke 

dalam pengertian yang salah. Menurut hemat saya, Sunnah Nabi 

adalah dasar agama Islam sesudah al-Qur‟an al-Karim. Tetapi 

yang dapat mempelajari perincian maknanya ialah para ulama 

yang mendalami ilmu agamanya dan orang-orang yang sangat 

berkepentingan langsung seperti para pemimpin Islam, para 

hakim Islam, dan para da‟i serta para ahli di bidang khusus yang 

sangat membutuhkan pengertian hadits-hadits secara terperinci. 

Adapun orang awam atau orang biasa, jika dapat memahami 

empat puluh buah hadits saja sudah cukup baginya. Dalam 

keadaan bagaimana pun orang yang tidak memahami al-Qur‟an 

tidak patut mengemukakan hadits-hadits atau memberikan 

fatwa-fatwa atas nama Islam mengenai urusan-urusan orang 

lain. 

Dengan demikian, pandangan Muhammad al-Ghazali di 

atas dapat dirumuskan bahwa penelitian terhadap hadits tidak 

terbatas hanya dari segi sanadnya saja melainkan juga 

diperlukan penelitian terhadap matn hadits itu sendiri. 

Karenanya hadits yang sanadnya tersusun dan rijal (perawi) 

yang dapat dipercaya (tsiqat) dan bersambung, tidak putus, 

dinyatakan bahwa hadits itu shahih dari segi sanad. Adapun 

  

 

matn (materi dan isi) haditsnya sendiri masih memerlukan 

penelitian lebih lanjut. Sebab apabila isinya atau maknanya, 

ternyata bertentangan dengan al-Qur‟an atau hadits yang lebih 

kuat dari segi sanadnya (ashhah), maka hadits tersebut 

dinyatakan shahih pada segi sanad saja, tetapi tidak shahih dan 

segi matnnya, materinya. Dan hadits yang demikian dinilai oleh 

Muhammad alGhazali, sebagai hadits yang tidak layak untuk 

dijadikan hujjah. 

Menurut al-Ghazali, metode perbandingan yang harus 

ditempuh untuk menilai shahih dan tidak shahihnya suatu hadits 

dari segi maknanya, hanya bisa diperbandingan dengan ayat-

ayat al-Qur‟an atau sekurang-kurangnya dengan hadits yang 

lebih shahih dan segi sanadnya. 

Maka sehubungan dengan rumusan demikian, para imam 

telah menolak beberapa hadits yang walaupun sanadnya shahih 

namun matnnya mengandung „illat (cacat). Maka dengan 

adanya cacat tersebut, tidak terpenuhi persyaratan kasha-

hihannya.

 

C. Catatan atas Kualitas Hadits  

Pandangan Muhammad al-Ghazali seperti telah 

dikemukakan di atas, yakni jika hadits ditinjau dan segi 

kuantitas periwayatannya, terdiri dari hadits Mutawatir dan 

Ahad. Sedangkan jika dilihat dari segi kualitasnya, terdiri dari 

hadits shahih, hasan, dha„if dan mawdhu‟. Pandangan ini tidak 

jauh berbeda dengan jumhur ulama ahli hadits yang menetapkan 

demikian. Buku-buku ilmu hadits, baik yang ditulis oleh ulama 

Timur Tengah, maupun ulama Indonesia sendiri menyatakan 

demikian. Bahkan penetapan persyaratan periwayatan hadits 

dalam kategori shahih tersebut, Muhammad al-Ghazali justru 

mengutip peryaratan yang telah dibuat oleh jumhur ulama, 

seperti yang terdapat dalam buku-buku Mushthalah Hadits. 

Fatchur Rahman,89 misalnya, menetapkan persyaratan 

keshahihan suatu hadits dengan lima syarat, sama seperti yang 

dikemukakan oleh Muhammad al-Ghazali di atas, sebagai 

berikut: 

Hadits Shahih ialah: 

َّل لعَمَُّرُ ْ يغََّدِنَ سلاَّلُصِ تمَُّطِبْ ضلاٌَّّماَتَّلٌدْعََّوُلَقَ َنامَََّّوََّ ذاشَلَاَّ

                                                 


Hadits yang dinuqil (diriwayatkan,) oleh rawi yang adil, 

sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber„illat dan 

tidak janggal.” 

Sedangkan hadits Hasan, ialah: 

َُّ يوَاذًاشََّنُوْكُيََّلاوََّبِذِكَلْاِبَّمُهِ ت َيَّنْمََّهِدِانَسْاَِّفَِِّنُوْكُيََّلاامََّفَِِّهِِوْنَََّوٍجْوََِّنًْغََّنْمَِّىوَرْ

َّنَىعْمَلْاَّ

“Hadits yang pada sanadnya tak ada orang yang tertuduh 

dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matnnya dan hadits 

tersebut tidak diriwayatkan hanya dari satu jurusan 

(mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya”. 

Dan hadits dha‟if ialah: 

َِّنسََْلِاَّوَِاَّحِيْحِ صلاَّطِوْرُشَُّنْمِرَ َثكَْاَّوَْاَّاًطرْشََّدَقِفَامَ 

“Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dan 

syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan”. 

Sifat adil d


Related Posts:

  • Hadist Nabawi 2 dkan suatu hukum yang tidak tersebut di dalam al-Qur‟an, seperti menghukum dengan bersandar kepada seorang saksi dan sumpah apabila mu-dda‟i tidak mempunyai dua orang saksi; dan seperti ra-   dh… Read More