Tampilkan postingan dengan label islam ku 10. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam ku 10. Tampilkan semua postingan

islam ku 10


  hanya kenyataan empirik mengenai Umar Farouq itu 

yang dapat dibenarkan. Berarti, harus ada orang dari pihak ke￾tiga untuk memberikan kesaksian tentang mana yang benar dari 

kedua versi di atas.

sebab  itu, penulis mengusulkan agar dibentuk sebuah ko￾mi­si independen yang harus meneliti kenyataan empirik me­nge￾nai Umar Farouq itu. Orang Ambon, bagaimanapun juga tentu 

berbeda dari orang kelahiran Kuwait, sehingga dengan per­te­mu￾an langsung, antara satu-dua orang anggota komisi inde­pen­den 

itu dengan Umar Farouq, akan memungkinkan mereka me­ne￾tapkan adakah pria ini  memang orang Ambon atau orang 

Kuwait. Kalau ia ternyata orang kelahiran Ambon berarti peng￾akuannya akan Abu Bakar Ba’asyir seorang teroris inter­nasio­nal 

otomatis gugur, dan ia haruslah dihukum sebab  menu­duh de￾ngan cara fitnah, seorang warga negara negara kita  bernama Abu 

Bakar Ba’asyir. Kalau yang terjadi justru sebaliknya, peng­aku­an 

Umar Farouq mempunyai nilai yang sangat tinggi, dan pe­me￾riksaan lebih mendalam harus dilanjutkan, atau klaim bahwa 

Ba’asyir tidak berdosa harus diragukan.

Demikianlah, usul jalan tengah dari penulis melalui tu￾lisan ini, yang sangat berbeda dari apa yang dikemukakan Emha 

Ainun Nadjib, Dr. Adnan Buyung Nasution dan Wakil Presiden 

Hamzah Haz. Mereka melihat masalahnya dari sudut pro dan 

kontra sehingga mereka lupa akan perlunya verifikasi empirik, 

yaitu dengan membentuk sebuah komisi independen. Usul pem￾bentukan komisi ini  semata-mata didasarkan pada obyek￾tifitas sikap dan pandangan, sehingga memiliki kredibilitas yang 

cukup tinggi. Obyektifitas ini sangat diperlukan untuk me­nilai 

sikap dan pandangan kita dalam menentukan secara hukum for￾mal, mana yang benar antara dua versi yang berten­tang­an menge￾nai sebuah kejadianPepatah di atas sudah sangat terkenal dalam bahasa kita, 

sebab  demikian banyak ia dilakukan dalam praktek ke￾hidupan. Maksudnya adalah, kita sama-sama mempu­nyai 

rambut, tetapi pemikiran tetap berbeda. Jadi dalam ajaran Is￾lam, satu ke lain orangpun terdapat pluralitas/kemajemukan 

pen­dapat, ini diterima sebagai prinsip pengaturan hidup ber­ma￾sya­­rakat: “Perbedaan para pemimpin adalah rahmat bagi umat 

(ikhtilâf al-a‘immah rahmat al-ummah).” Prinsip ini sangat di￾pe­gang teguh dalam kehidupan kaum muslimin, sehingga perbe￾da­an pandangan dilihat sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja. 

Kaum muslimin hanya dapat dipersatukan dalam masalah-ma￾salah dasar belaka, seperti keharusan adanya ke­adil­an dan seba￾gainya.

Keluarga penulis sendiri merupakan contoh yang tepat akan 

pluralitas pandangan. Penulis sendiri menjadi Ketua Umum De￾wan Syura DPP PKB, adik penulis menjadi ketua umum orga­ni￾sa­si kaum ibu Al-Hidayah (yang oleh sementara orang dianggap 

mendukung Partai Golkar), dan adik penulis mengikuti sebuah 

partai politik sempalan (serta sekarang menjadi Wakil Ketua Tan￾fi­dziyah PBNU). Tiga orang yang lain tidak mau memasuki par­pol 

ataupun organisasi non-profesional. Ada semacam kesepakat­an 

antara penulis dan adik-adiknya, kami berenam tidak akan mem￾bicarakan aspirasi, partai politik atau organisasi apapun. De­ngan 

demikian terhindarlah kami dari perdebatan pendapat, yang bia￾sanya berjalan cukup tajam.Habib Rizieq, pendiri dan pemimpin Front Pembela Islam 

(FPI)1

 ditangkap oleh Polda Metro Jaya. Dalam pandangannya, 

proses penangkapan itu tidak berjalan sesuai prosedur yang di￾tetap­kan oleh undang-undang, sebab nya menjadi cacat hukum 

dan ilegal. Ketika protesnya itu tidak didengarkan oleh aparat 

ke­aman­an, ia pun meminta para pengacaranya untuk meng­aju￾kan gugatan kepada pengadilan. sebab  gugatannya itu, maka 

Polda Metro Jaya segera mengirimkan utusan untuk berunding. 

Hasil perundingan itu seperti tersirat dalam pemberitaan media 

massa, akhirnya membuahkan sebuah cara penyelesaian yang 

unik: Rizieq mencabut tuntutannya dari pengadilan, tetapi oleh 

pihak kepolisian ia diberi status yang lebih ringan yaitu dirubah 

dari tahanan Polda Metro Jaya menjadi tahanan rumah (house 

arrest). 

Kejadian itu menunjukan sesuatu yang sangat menarik, 

yaitu bahwa Habib Rizieq masih menggangap kepolisian sebagai 

penyelenggara keamanan dan pemeriksa hukum dalam negeri 

yang memiliki wewenang memeriksa dirinya. Ini berarti, ia ma￾sih mengakui sistem hukum yang berlaku di negeri kita, dengan 

de­mi­kian ia mengakui wujud negara yang ada, yang oleh semen￾tara kalangan disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indo￾nesia. Jadi, apapun yang ia lakukan, masih dalam kerangka yang 

di­tetap­kan oleh Undang-undang Dasar 1945. Dengan demikian, 

ia tidak menyimpang dari pengakuan akan adanya negara In￾donesia, juga kepada sistem hukumnya. Berarti, ia tetap berada 

dalam kerangka legal yang ada, dan dilindungi oleh kerangka 

ini .

Dengan demikian, Habib Rizieq melindungi dirinya se￾cara legal, betapa jauhnya sekalipun pandangan yang dianut￾nya dari pan­dangan lembaga kenegaraan dan lembaga hukum 

yang ada. Dengan demikian, ia menjaga dirinya dari tindakan


apapun yang tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. 

Boleh jadi ia melanggar hukum, tetapi justru hukum itulah yang 

melin­dunginya dari tindakan apapun oleh negara atas diri­nya. 

Secara teoritis ia terlindung dari tindakan yang tidak ber­da­sar￾kan hukum, siapapun yang melakukannya. Dengan kata lain, 

ia memiliki hak asasinya sebagai manusia, yang sekaligus di­per￾oleh­nya dari kedudukan sebagai warga negara sebuah bangsa 

yang berdaulat.

Prinsip inilah yang paling penting untuk dipegang oleh se￾seorang dalam negara ini, yang katanya memiliki kedaulatan hu￾kum. Pasal-pasal dalam undang-undang dasar-lah yang mem­beri￾kan perlindungan hukum ini , yang membedakannya dari 

subyek politik. Sebagai seorang penduduk biasa, Habib Rizieq 

memperoleh perlindungan politik dari tindakan apapun, walau￾pun secara politik pula ia sering menganggu hak-hak war­ga nega￾ra yang lain, seperti ketika ia memerintahkan sweeping. Tindak￾an untuk mengatasi hal itu adalah tindakan hukum, yang dapat 

dikenakan atas dirinya. Na­mun, ia juga memperoleh perlindung￾an hukum, untuk tidak terkena tindakan hukum lebih jauh dari 

itu. Prinsip inilah yang melindungi sekaligus mengekang lang￾kah-langkahnya, agar tidak melanggar hukum dan merugikan 

orang lain. Namun, perlindungan hukum itu juga mencegahnya 

dari tindakan politik yang tentu merugikan dirinya. Dengan kata 

lain ia harus bergerak dalam koridor hukum yang berlaku di 

nege­ri ini.

eg

Lain halnya dengan Abu Bakar Ba’asyir, yang sejauh ini me￾nolak memberikan keterangan kepada pihak kepolisian, ter­le­­pas 

dari kenyataan pihak kepolisian “mengambilnya” dari Ru­mah 

Sakit PKU Muhammadiyah di Solo dengan pro­se­dur yang salah 

dan tidak memenuhi ketentuan hukum. Namun, peno­la­kannya 

untuk memberikan keterangan hukum, menem­pat­kan tokoh 

ini dalam kedudukan yang tidak sama dengan Habib Rizieq. Ini 

tentu akan membawakan konsekuensi-kon­se­kuen­sinya sendiri. 

Dengan demikian menjadi nyata, dua orang yang dalam status 

hukum berkedudukan sama, ternyata dapat mengalami per￾lakuan yang sangat berbeda satu dari yang lain. Benarlah kata 

pepatah di atas, “kepala orang sama-sama berbulu pendapat ber￾lain lain” artinya sama-sama memiliki rambut, tapi pemikiran 

dapat berbeda.

Dengan menolak memberikan keterangan hukum, untuk 

ke­pen­tingan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Abu 

Ba­kar Ba’asyir menempatkan diri di luar wewenang hukum. De￾ngan demikian, ia menjadi orang yang tidak menganggap ne­ga­ra 

dan hukum memiliki wujud/eksistensi. Dan sudah tentu juga ia 

tidak dapat bersikap terus demikian, sebab  negara harus meng￾hadirkan adanya dua buah eksistensi yang berlainan: wu­jud ne￾ga­ra di satu sisi, dan keadilan atas tokoh ini  di sisi lain. 

Negara memiliki hak hukum untuk menganggapnya sebagai pem￾berontak yang melanggar Undang-Undang Dasar, dan de­ngan 

demikian dapat memilih salah satu dari dua alternatif berikut: 

mengusir atau menghukum mati tokoh ini . Ini adalah kon￾sekuensi logis dan legal dari tindakan yang dila­ku­kannya sendiri 

dan Islam-pun dapat membenarkan hal ini .

Ketegasan pihak pemerintah diperlukan, dalam hal ini un￾tuk mencegah anarkhi hukum. Ini juga pernah terjadi di masa 

pemerintahan Bung Karno dan Panglima Besar Soedirman2

 seba￾gai panglima angkatan perangnya, yang memerintahkan Sekar￾madji Kartosuwiryo3

 untuk mendirikan DI/TII (Darul Islam/

Tentara Islam negara kita ) di Jawa Barat. Dasar perintah itu ada￾lah ketentuan Perjanjian Renville, bahwa TNI harus ditarik dari 

kawasan ini  ke Jawa Tengah. Untuk menghindarkan vacu￾um di kawasan itu, yang akan dimanfaatkan oleh pasukan-pasu￾kan Belanda, maka dibentuklah DI/TII, sudah tentu perintah itu 

diketahui oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara. 

Namun, Sekarmadji Kartosuwiryo terus memakai  

DI/TII untuk membunuh rakyat, melakukan pembakaran dan 

meram­pok setelah kemerdekaan tercapai dan penyerahan kedau￾latan berlangsung. Pemberontakan dan pemerin­tah me­num­pas 

pemberontakan itu berakhir tahun 1962. Di saat itu, Presiden 

Soekarno yang juga menjadi kepala pemerin­tahan, memerin­tahkan Sekarmadji Kartosuwiryo diadili oleh Mahka­mah Militer 

yang kemudian menjatuhkan hukuman mati, atas diri tokoh dan 

teman dekat Bung Karno itu. Bung Karno tidak mem­berikan gra￾si/pengampunan kepadanya, sebab  Kartosuwiryo telah meme￾rin­tahkan pembunuhan rakyat dan perampokan. Bung Karno 

bahkan memerintahkan pelaksanaan hukum mati atas diri tokoh 

itu, dan menghilangkan jejak penguburannya di Kepulauan Seri￾bu. Persoalannya tidak rumit kalau kita memiliki keberanian, 

bukan?Dr. Djohan Effendi menulis dalam sebuah harian nasio￾nal, bahwa baik Abdullah Sungkar maupun Abu Bakar 

Ba’asyir dilaporkan sebagai pendiri gerakan Jama’ah Is￾la­mi­yah, baik di Malaysia maupun Singapura. Organisasi inilah 

yang oleh intelijen Amerika Serikat (AS) maupun Australia, di￾anggap sebagai gerakan teroris internasional. Bahkan, oleh pihak 

intelijen Malaysia dan Singapura, organisasi itu dilaporkan telah 

merencanakan tindak kekerasan di kedua negara ini . Pers 

internasional menyebutkan, baik Sungkar maupun Ba’asyir, seba￾gai pemimpin spiritual organisasi ini . Benarkah orga­ni­sasi 

itu merupakan persambungan gerakan teroris Al-Qaeda1

 seperti 

yang disangkakan AS, yang berpangkalan di Afghanistan di masa 

pra-pemboman atas AS? Sejarahlah yang akan menjawab perta￾nya­an itu, setelah pemeriksaan teliti selama bertahun-tahun.

Tulisan Dr. Djohan Effendi itu segera dijawab dalam hari￾an yang sama, oleh Fauzan Al-Anshori, Ketua Departemen Data 

dan Informasi Majelis Mujahidin negara kita  (MII), beberapa harikemudian. Namun, jawaban itu tidak menyangkal keterang­an 

Dr. Djohan Effendi akan kebenaran ungkapan, maupun penye￾butan oleh pers internasional bahwa Abdullah Sungkar dan Abu 

Ba­kar Ba’asyir sebagai pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah. 

Yang dilakukan Fauzan Al-Anshori dalam jawaban tertulis itu, 

hanya ‘mengungkit’ penamaan Dr. Djohan Effendi selaku salah 

seorang yang di­sebutnya sebagai pemikir kaum Muslim neo￾modernis. Ke­lom­pok terakhir ini di­sebut-sebut dalam disertasi 

Greg Barton2

 dari Deakin Uni­ver­sity, Australia, sebagai pihak 

yang meneliti dan memakai  waris­an budaya Islam lama un￾tuk menafsirkan secara kontem­po­rer tempat Islam dalam kebu￾dayaan modern.

Greg Barton menyebutkan, Dr. Djohan Effendi, Dr. Nur￾cholish Madjid, almarhum Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, dan 

diri pe­nulis sendiri, sebagai pemuka pendekatan neo-modern­is 

itu. Orang boleh saja suka atau tidak suka terhadap kelompok 

pemi­kir ini , bahkan juga dapat menerima atau menolaknya 

se­bagai cara berpikir yang absah dalam Islam. Tetapi faktanya, 

pemi­kiran dan kelompok pemikir seperti itu memang ada dalam 

dunia Islam, jadi tidak dapat ditolak secara empirik. Demikian 

pula, reaksi atasnya adalah sesuatu yang wajar-wajar saja, seper￾ti yang diperlihatkan oleh tokoh gerakan Majelis Mujahidin yang 

membuat jawaban tertulis atas pendapat Dr. Djohan Effendi itu.

eg

Lagi-lagi terbukti adanya pendapat yang berbeda dalam ge￾rak­an Islam mengenai sesuatu. Tidak­kah ini menunjukkan perbe￾daan antara mereka di saat-saat yang sangat menentukan seperti 

di masa kini, sebagai sesuatu dianggap penting.? Jawabannya, 

persoalan itu tergantung dari sikap kaum muslimin sendiri. Seba￾gaimana kita ketahui, kaum muslimin dapat dibagi dua, dalam 

pendekat­an mereka kepada perubahan-perubahan sosial yang 

terjadi. Di satu pihak, ada kaum muslimin yang merasakan tidak 

ada keharusan bergabung dalam gerakan-gerakan Islam terse­but. Di lain pihak, ada pengikut gerakan-gerakan Islam modernis 

dan tradisional, dan di samping mereka yang mengikuti strategi 

budaya atau stra­te­gi ideologis. Inilah yang senantiasa harus di￾ingat, kalau kita berbi­ca­ra tentang Islam negara kita  saat ini.

Seringkali, orang berbicara tentang Islam tanpa memper￾hati­kan kenyataan ini , terjadilah klaim yang sangat berani, 

bahwa orang yang mengemukakan pendapat ini  berbicara 

atas nama Islam secara keseluruhan. Padahal, ia sebenarnya ha￾nya ber­bicara atas nama kelompok atau pemikirannya sendiri 

yang dalam bahasa teori hukum Islam (ushûl fiqh) disebutkan 

se­ba­gai langkah menyebutkan hal-hal umum, dan dimaksudkan 

untuk hal-hal khusus (ithlâqu al-‘âm wa yurâdu bihi al-khâs). 

Di sini, terjadi perpindahan dari seorang pengamat yang seha￾rusnya bersikap obyektif, menjadi seorang aktivis perjuangan 

yang sering bersikap subyektif.

Selama kaum muslimin belum dapat menghilangkan klaim￾klaim ini  di atas, selalu akan terjadi kerancuan berpikir, apa￾lagi kalau hal itu disampaikan melalui media massa. Pantas­lah ka￾lau kaum muslimin pada umumnya dibuat kebingung­an, mung￾kin termasuk oleh penulis sendiri. Ini sebab  posisi penulis, yang 

sering dikacaukan (dan juga mengacaukan) antara peran­an seba￾gai pengamat atau berperan sebagai aktivis perjuangan gerak­an 

Islam. Lima belas tahun penulis menjadi Ketua Umum Pengu­rus 

Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), dan sekarang pun masih men￾jadi Mustasyar (penasehat-nya). Warga Nahdlatul Ulama (NU) 

saja sering kebingungan akan hal itu, apalagi orang lain.

eg

memakai  pendekatan ilmiah atau tidak subyektif ada￾lah persyaratan mutlak bagi sebuah pandangan/pendapat yang 

baik. Emosi tidak boleh digunakan, walaupun kita berada dalam 

keadaan sesulit apapun dan terjepit/tersudut. Argumentasi yang 

baik harus ke­ring dari emosi untuk mencapai obyektivitas yang 

dimaksud­kan. Kalau ini tidak diperhatikan, maka pendapat itu 

dianggap sebagai sesuatu yang me­malukan dan tidak diterima 

sebagai sesuatu yang rasional oleh publik. Salah-salah, pandang￾an atau pendapat subyektif dan penuh emosi seperti itu akan 

di­tertawakan oleh masyarakat, di­ang­gap sebagai lelucon yang 

tidak lucu.Demikian pula, sanggahan saudara Fauzan atas keterang￾an Dr. Djohan Effendi itu, yang hanya berisi “tudingan“ bahwa 

Dr. Djohan Effendi adalah anggota kelompok kaum neo-mo￾dernis Islam di negeri kita. Kalau Dr. Djohan Effendi menggu￾na­kan rekaman atas keterangan Abdullah Sungkar dan Abu 

Bakar Ba’asyir, mengenai peranan mereka dalam pembentukan 

Jama­ah Islamiyah, sehingga berani mengambil kesimpulan yang 

dikemu­kakannya, sanggahan saudara Fauzan justru tidaklah 

de­mi­kian. Yang dilakukan, hanyalah ‘penamaan’ terhadap Dr. 

Djohan Effendi sebagai anggota kelompok neo-modernis Islam 

di nege­ri kita. Tentu orang bertanya, manakah obyektivitas sang￾gahan ter­­se­but? Ternyata, yang dilakukan hanyalah penamaan 

be­laka, tanpa memberikan argumentasi apa-apa. Tidakkah lang￾kah ini justru akan ditertawakan? Tentu saja hal itu akan dilaku￾kan penu­lis, jika tidak menyangkut sesuatu yang sangat penting 

bagi kita bangsa negara kita , seperti tragedi terorisme.

Dari kritikan di atas, menjadi jelas bahwa sanggahan ter￾se­but sangat memalukan, sebab  tidak disertai argumentasi apa￾pun. Bahwa keterlibatan Dr. Djohan Effendi dalam kelompok 

neo-modernis Islam di Tanah Air kita adalah informasi yang 

be­nar. Dr. Djohan Effendi, dan juga penulis, tidak perlu merasa 

malu dengan penamaan itu. Selama kita menghormati dan ber￾sikap benar terhadap sebuah fakta, selama itu pula kita tidak 

per­lu merasa malu atau takut kepada siapapun. Sedangkan sang￾gahan terhadap sikap itu, kalau hendak dibantah atau ditolak, 

hendak­nya berdasarkan argumentasi yang kuat dan rasional. Bu￾kannya dengan penamaan belaka bahwa si fulan anggota ke­lom￾pok ini atau warga kalangan itu. h


Dalam keterangannya yang dimuat Far Eastern Economic 

Review (FEER) edisi 12 Desember 2002, Menteri Senior 

Singapura Lee Kuan Yew, menyatakan dia ber­­tanya ke￾pada orang-orang Muslim gerakan radikal dari Asia Tenggara. 

Pertanyaannya, apa sebab mereka mengubah citra mo­de­rat kaum 

Muslimin di Asia Tenggara menjadi radikalisme ber­lebihan? Bagi 

penulis, pendapat Lee Kuan Yew tidak dapat di­­per­hitungkan da￾lam pandangannya mengenai Islam di Indo­nesia. sebab  itu dia 

mengajukan pertanyaan yang salah, seperti yang diajukannya 

kepada gerakan Islam radikal: Mengapakah Anda membuat cit￾ra Islam di Asia Tenggara menjadi begitu bu­ruk de­ngan mele￾dakkan bom? Sedangkan tadinya citra agama Islam di kawasan 

ini begitu moderat? Mengapa penulis meng­ang­gap per­ta­nyaan 

itu salah, dan sebab  itu menilainya naif? Bu­kankah ini se­buah 

“tuduhan berat” terhadap seorang penga­mat sekaliber Lee yang 

kawakan menguasai dunia perpolitikan di Singapura?

Tentu saja penulis mempunyai dasar yang cukup bagi “tu￾duhannya” itu. Pertama, sebab  hal itu di kemukakan oleh tokoh 

ter­sebut, dengan sendirinya didengarkan oleh banyak pihak, ter￾utama pengambil keputusan di Barat. sebab  itu, kalau me­mang 

benar pernyataan Lee Kuan Yew itu salah atau naif, maka harus 

segera dikoreksi. Koreksi itu harus segera dilakukan sebe­lum 

pernyataan itu disimpulkan sebagai “kebenaran” oleh para peng￾ambil keputusan di Barat. Demikian juga sebelum “kebe­nar­an” 

ini  dipakai sebagai landasan berpikir oleh para pengamat 

di seluruh dunia.Walhasil, pendapat dari seorang tokoh seperti pimpinan 

Singapura itu haruslah kita bedah dan koreksi bilamana perlu. 

Ke­gagalan melakukan hal ini amat sangat merugikan bagi per￾kem­­bangan Islam di seluruh dunia. sebab nya tulisan ini dibuat 

sebagai referensi atas ucapannya ini .

Kedua, agama Islam selama ini telah menjadi korban dari 

sekian banyak anggapan. sebab nya diperlukan “keberanian mo￾ral” untuk memulai koreksi atas kesalahan demi kesa­lah­an yang 

telah terjadi, guna menghindari terulangnya hal itu di masa de￾pan. Bukankah tidak ada yang lebih baik untuk “me­mu­lai” deret￾an responsi, selain menerangkan masalah sebenar­nya dari per￾nyataan Lee Kuan Yew itu? Melalui sebuah responsi yang se­­­hat, 

yaitu dengan mempertanyakan dasar-dasar apa yang digu­nakan 

Lee Kuan Yew untuk menyusun pernyataannya itu. Begitu juga 

tinjauan “dari dalam” Islam sendiri, adalah sesuatu yang sangat 

pen­ting guna “membaca” kebenaran sebuah pernyataan “orang 

luar.” Tulisan ini justru dikemukakan dengan tujuan mem­per￾oleh pandangan yang tepat tentang gerakan radikal Islam di 

nege­ri kita.

Dalam mengajukan pernyataan di atas, Lee Kuan Yew tam￾pak mempersamakan kekuatan gerakan Islam radikal de­ngan 

gerakan Islam moderat di kawasan Asia Tenggara. Ini adalah 

ke­sa­­lahpandangan di kalangan “para pengamat.” Tetapi, bagai￾mana­pun juga Lee Kuan Yew harus disanggah, jika ia tidak me￾ngemukakan kebenaran. Kenyataannya, gerakan Islam radikal 

itu tidaklah besar, tetapi sanggup melakukan kekerasan. Hal itu 

terjadi sebab  “kesalahan” prinsipil yang dilakukan pemerintah/

eksekutif di negeri kita. Hal ini juga terjadi sebab  kebanyakan 

pengamat menganggap berbagai gerakan Islam radikal sebagai 

sesuatu yang besar. Padahal sebenarnya, muslim yang “terlibat” 

gerakan radikal itu, tidaklah banyak. Katakanlah, mereka hanya 

berjumlah 50.000-an orang, namun jumlah itu tidak ada artinya 

di hadapan 200 juta umat Muslim yang moderat. Hanya saja, “ke￾lompok” moderat ini tidak mempunyai dukungan materiil yang 

kuat dan minimnya skill/kecakapan, lain halnya dengan gerakan 

Islam radikal. Selain itu, gerakan Islam moderat belum memiliki 

kohesi organisatoris, yang diperlukannya untuk maju ke depan. 

Jika dibiarkan, ketakutan berlebihan peradaban “Islam” 

yang merasa dikalahkan oleh peradaban “Ba­rat”, akan menjadi 

semakin besar. Padahal kalau dilihat secara budaya, persoalan￾nya akan jauh berlainan dari pandangan ini . Kalaupun “Is￾lam” di­kalah­kan “Barat”, itu mungkin hanya mencakup teknologi, 

ja­ringan perdagangan dan komunikasi. Namun di bidang-bidang 

per­adaban kultural lainnya, secara relatif sangat kuat kedudukan￾nya. sebab nya, kita tidak usah merasa “kalah” oleh keadaan itu. 

Kita tidak perlu “membuktikan” kehebatan kita melalui penggu￾na­an kekerasan (termasuk terorisme), yang berakibat kematian 

orang-orang yang tidak bersalah.

Salah satu tanda pendangkalan agama yang terjadi di ka￾lang­­an gerakan radikal Islam adalah upaya memandang hal-hal 

yang berbau kelembagaan/institusional sebagai satu-satunya 

ukur­an “keberhasilan” kaum muslimin. Padahal kultur Islam 

lain­nya, seperti, rebana, sufisme dan sebagainya, cukup menon￾jol, bahkan dengan kultur itu kaum muslimin berhasil menolak 

pengaruh “Barat.” 

Lihat saja siaran televisi, yang semakin lama, semakin me￾nun­jukkan warna Islam. Di sini kita melihat, tampak kebangki￾tan kultural Islam dalam perpaduan yang lama dan yang baru, 

seperti artis yang sudah tidak malu lagi mejeng membawakan 

acara ke­agamaan pada bulan Ramadhan. Jadi, kebesaran Islam 

tidak diten­tukan oleh pakaian jubah yang dikenakan, atau jeng￾got, sorban dan cadar yang dikenakan, yang menutup seluruh 

badan dan wajah perempuan. Seorang perempuan yang meng￾gunakan kerudung “biasa” sama Islamnya dengan yang menggu￾nakan cadar. sebab  itu, pandangan yang membedakan antara 

mereka, adalah pandangan yang tidak mengenal kaum muslimin 

dan hakikat Islam.

Dalam perdebatan dengan Samuel Huntington,1

 tentang 

teo­ri perbenturan budaya (clash of civilization), penulis me￾nyatakan, bahwa dalam teori perbenturan budaya Islam dan 

Barat itu, Hun­tington hanya melihat pohon, tanpa mengenal 

hutannya. Me­­mang ada pohon dalam jumlah kecil yang berbe￾da dari yang lainnya, tetapi keseluruhan hutannya justru mem￾perlihatkan pohon yang sama dengan jumlahnya lebih besar. Maksudnya, pu­luhan ribu kaum Muslimin, tiap tahun belajar di 

Barat dalam berbagai bidang, tentu saja kalau ada yang radikal di 

antara me­reka jumlahnya sangat kecil, dan tidak dapat dijadikan 

ukuran bahwa mereka mewakili Islam. Arus belajar “ke Barat” 

sangat besar, sehingga pertentangan Islam melawan Barat, tidak 

usah dikhawatirkan, apalagi dijadikan momok.

sebab  itu, ungkapan Lee Kuan Yew yang memandang ge￾rakan Islam radikal secara berlebih-lebihan, sebagai representasi 

umat Islam ini , jelas tidak berada pada tempat sebenarnya. 

Inilah yang harus diubah, yaitu penggunaan kelompok Islam ra￾dikal sebagai ukuran bagi Islam dan kaum Muslimin yang mayo￾ritas justru bersikap moderat dalam hampir semua hal. Un­tuk 

perubahan itu, kita harus bersabar sedikit, untuk menunggu 

hasil pemilihan umum yang akan datang, yang menurut penulis 

akan menunjukkan keunggulan yang sangat besar dari gerakan 

moderat dalam Islam. Penulis dapat mengatakan hal ini, sebab  

dalam sehari dapat melakukan tiga sampai empat kali komu­ni￾kasi langsung dengan rakyat di seluruh pelosok tanah air. Ini 

ka­­re­­na penulis dan partai politik yang dipimpinnya, tidak dapat 

bersandar pada media massa domestik yang masih “lintang pu￾kang” ke­adaannya.

Juga harus ada faktor lain yang harus diperhitungkan, ya￾itu peranan pemerintah/eksekutif. Kalau pihak itu takut kepada 

gerakan Islam radikal, seperti yang terjadi dewasa ini di Indo￾nesia, maka gerakan ini  akan menjadi be­rani dan melang￾gar undang-undang. sebab  itu diperlukan keberanian bersikap 

tegas (kalau perlu bertindak keras), terhadap unsur-unsur garis 

keras yang mengacaukan keamanan. 

Penulis tidak setuju dengan RUU Antiterorisme, tetapi di￾perlukan juga keberanian secara fisik berhadapan dengan para 

pelaku kekerasan itu. Hal-hal inilah yang harus dimengerti oleh 

orang-orang seperti Lee Kuan Yew. Sederhana dalam konsep, 

tapi sulit dilaksanakan bukan? 


Pertemuan itu diadakan di sebuah kuil/gereja milik sebuah 

agama baru di Jepang, pecahan dari agama Buddha. Dari 

pihak penulis, hadir Konsul Jenderal Republik negara kita  

(Konjen Rl) untuk daerah Kansai, Hupudio Supaidi. Dari pihak 

Je­pang datang berpuluh-puluh agamawan dari berbagai agama, 

termasuk tokoh-tokoh Kristen Protestan-Katolik serta seorang 

peser­ta wanita dari Partai Komunis Jepang. Ia juga termasuk 

seorang legislator lokal yang menjadi anggota dewan kota (town 

consellor) dari Sakai, yang berpenduduk sekitar 800 ribu jiwa. 

Sakai adalah kota satelit di Osaka, Jepang, yang sekarang sedang 

berusaha menjadi sebuah provinsi/prefectures sendiri, lepas 

dari Osaka. 

Dalam pertemuan itu, penulis juga ditemani oleh Mr. Hi￾to­shi Kato, seorang politisi lokal yang mengundang penulis ke 

Sa­kai dan sang keponakan Hisanori Kato1

, seorang ahli tentang 

negara kita dan dapat berbahasa negara kita . Ia bekerja di Ma￾nila dan kembali ke Sakai hanya untuk menemani penulis. Hi￾toshi Kato datang ke negara kita  pada bulan Juli lalu, dan men￾coba me­la­kukan kerjasama dengan Universitas negara kita  (UI) dan Uni­­­versitas Nasional (Unas) di Jakarta dengan Universitas 

Hago­romo yang memiliki mahasiswa 2000 orang, padahal baru 

didiri­kan beberapa bulan yang lalu di Sakai. Akibat pemberitaan 

media massa di Jepang tentang peledakan bom di Bali, ia mem￾punyai persepsi yang ‘salah’ tentang Islam dan kaum Muslimin, 

sebagai kaum penjarah dan teroris. Padahal ia menyadari, ratus￾an ribu warga daerah Kansai, di mana Osaka dan Sakai terletak, 

me­man­dang Bali sebagai tujuan pariwisata yang harus didatangi 

berkali-kali. 

Ternyata, kesan mereka itu salah sama sekali, begitu ia 

sam­pai di Jakarta, ia bertemu dengan orang-orang yang ramah, 

dan banyak di antaranya dapat dijadikan kawan. Ia bertemu pe￾nu­lis, dan meminta keterangan tentang Islam dan kaum Mus￾limin. Tentu saja, penulis menyatakan tindakan para teroris itu 

—kalau benar dilakukan oleh gerakan Islam— adalah sebuah pe￾nyimpangan kecil dari mayoritas gerakan Islam, yang terutama 

ba­nyak dikuasai oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamma­di￾yah. Jadi tidak benar, anggapan bahwa mayoritas kaum Muslim￾in di negeri ini menyetujui peledakan bom di Bali yang dilakukan 

oleh gerakan Islam. sebab  tindakan itu akan dianggap diskri­mi￾natif oleh pemeluk-pemeluk agama Hindu, yang justru sebab  

pendu­duk Bali mayoritas beragama Hindu. Jelas gerakan Islam 

tidak menyetujuinya, dan ini jelas bertentangan dengan agama 

Islam yang memberikan perlindungan dan menjamin keselamat￾an ter­hadap kaum minoritas. 

Pelurusan pandangan itu, membuat Hitoshi Kato meng￾ang­­gap perlu mengundang penulis ke Sakai. la ingin agar penulis 

menjelaskan sendiri kepada penduduk Jepang di Sakai, bahwa 

apa yang digambarkan tentang Islam oleh media massa Jepang 

se­lama ini adalah sesuatu yang salah, bertentangan dengan ke￾nya­taan sebenarnya. Tentu saja, penulis menyambut baik ajakan 

itu, dan menyediakan waktu untuk itu pada minggu pertama bu­￾lan November 2002. Berbagai acara digelar, termasuk kun­jung­an 

kepada Walikota Sakai dan pertemuan di Tokyo dengan Ambas￾sa­dor Noburo Matsunaga dan Pendeta Niwano, keduanya teman 

penulis yang akrab sejak beberapa tahun yang lalu. Sa­yang seka￾li, penulis tidak bertemu dengan Daisaku Ikeda, pendiri gerakan 

Buddhis Soka Gakkai, yang memiliki sebuah Universitas —tem￾pat penulis menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang 

humaniora pada bulan April yang lalu. Dalam rangkaian pertemuan-pertemuan di Sakai itu -yang, 

juga diliput oleh koran Mainichi Shimbun (yang memiliki edisi 

Jepang dan Inggris), penulis menjelaskan hakekat Islam sebagai 

agama perdamaian, yang disalah-mengerti oleh sebagian kecil 

kaum Muslimin, dengan tindakan-tindakan penuh keke­ras­an 

yang mereka lakukan. 

Menurut penulis, hal ini mereka laku­­kan sebab  dua hal. 

Di satu sisi, mereka hanya memen­ting­kan institusi (kelemba­ga￾an) dalam Islam, yang sekarang tengah terancam di mana-mana, 

dalam masyarakat yang berteknologi maju. Mereka lupa, bahwa 

Islam juga membawakan kultur/bu­da­ya kesantrian, yang jus￾tru sekarang semakin berkembang se­ba­gai pertahanan kaum 

Muslimin dalam menghadapi “serang­an teknologi maju” itu. 

Di sisi kedua, mereka yang melakukan tero­risme itu tidak per￾nah mendalami Islam sebagai bidang ka­ji­an, sebab  mereka ti￾dak mengenal kultur/budaya santri itu. Se­bagai akibatnya, lalu 

mereka langsung mengambil dari sumber-sumber tertulis Islam 

(al-adillah al-naqliyyah), tanpa menge­ta­hui deretan penafsiran 

yang sudah berjalan berabad-abad un­tuk memahami kitab suci 

al-Qur’ân dan Hadits Nabi Muham­mad Saw melalui perubahan￾perubahan penafsirannya. Inilah yang mem­buat mengapa Islam 

memahami toleransi dan menerima plura­litas, yang berujung 

pada penerimaan mayoritas Muslim di negeri ini akan Pancasila 

dan penolakan mereka atas negara Islam me­lalui penghapusan 

Piagam Jakarta dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. 

Dalam keterangannya, penulis menyatakan bahwa di Indo￾nesia masih terdapat kelompok-kelompok kecil dalam gerakan 

Islam yang masih menginginkan adanya negara Islam. Namun, 

mereka selalu dikalahkan dalam setiap upaya formal dalam mela￾ku­kan hal itu. Penulis tambahkan, ia memiliki keyakinan bahwa 

upaya-upaya ini  tidak akan pernah mencapai hasil sebab  

tradisi kesantrian ini  justru semakin berkembang, kini dan 

di masa depan, dalam bentuk kultural dan bukan dalam bentuk 

politik. Ini rupanya ditangkap oleh mereka yang bertemu dengan 

penulis dan, mudah-mudahan, membuat mereka merasa aman 

dengan Islam.

eg

Sisi lain yang juga disinggung penulis, adalah kekhususan Islam, khususnya di kawasan Asia Tenggara, yang mengem­bang￾kan pendidikan pesantren dengan nama bermacam-macam, se￾per­ti pondok di Malaysia-Thailand-Kamboja serta Madrasah di 

Philipina Selatan. Lembaga ini  membuat prioritasnya sen￾diri, yang berbeda dari prioritas pendidikan yang di negara kita 

dikenal sebagai pendidikan umum. Pendidikan umum itu tidak 

mem­berikan tempat penting kepada etika/akhlak, dan sama se￾ka­li tidak menghiraukan pendidikan agama. Hal itu berakibat 

hilangnya pertimbangan moral dari pendidikan dan hanya me￾men­tingkan penguasaan ketrampilan dan pengetahuan belaka. 

Sebenarnya, kalau ditinjau secara mendalam, sikap “ga￾rang” yang ditunjukkan berbagai gerakan-gerakan Islam yang 

kecil, dan sikap memakai  kekerasan yang diperlihatkan ber￾bagai elemen teroris di negara kita, bersumber pada kurangnya 

penge­ta­huan akan Islam itu sendiri. Dengan mencuatnya mani￾festasi lahiriyah dalam ilmu pengetahuan dan teknologi “Barat”, 

mereka lalu menjadi ketakutan akan kekalahan Islam dari per￾adaban yang berteknologi maju. Ini tentu saja salah, sebab  per￾adaban adalah milik manusia secara keseluruhan. Akan terjadi 

proses perpindahan pengetahuan dan teknologi “Barat” itu ke 

seluruh peradaban-peradaban lain, termasuk peradaban Islam. 

Proses pergulatan antara kultur/budaya Islam dengan pengeta￾hu­an dan teknologi “Barat” itu, tentu akan mengalami perubah￾an bentuk di lingkungan masyarakat Muslim. Inilah yang tidak 

per­nah ditangkap mereka, hingga mereka melakukan perlawan￾an yang acapkali berbentuk kekerasan dan tindakan teror. 

Ini semua, juga pernah dikemukakan penulis dalam ce­ra￾mah Maulid Nabi Saw di halaman kantor harian umum Memo￾ran­dum di Surabaya, beberapa waktu yang lalu. Bahwa, peru­ba­h￾an sosial yang terjadi di Mesir, misalnya, dibawakan atau justru 

di­do­rong oleh perubahan bahasa dan sastra Arab yang menjadi 

bahasa dan sastra nasional. Tanpa perubahan bahasa dan sastra 

Arab sebagai bahasa nasional, perubahan sosial di negeri itu ti￾dak mungkin terjadi. Inilah jasa Dr. Thaha Husein (1889-1973)2dan murid-murid­nya. Sebaliknya, perubahan sosial juga dapat 

mengakibatkan ter­ja­dinya perubahan bahasa dan sastra nasio￾nal, seperti dapat dilihat dalam perdebatan antara Sutan Tak￾dir Alisyah­bana de­ngan Sanusi Pane menjelang Perang Dunia 

II, walaupun tidak membawa perubahan apa-apa pada bahasa 

dan sastra Arab di negara kita . Ia tetap menjadi bahasa dan sas￾tra tradisional yang dibawakan dalam tembang/sya’ir Arab yang 

demikian banyak ditampilkan di negara kita  kini, dengan iring­an 

musik campuran antara yang lama dan yang baru. Ini terjadi, 

sebab  bahasa dan sastra Arab di negeri ini dianggap sebagai 

“bahasa dan sastra Islam”, sebab  memang tidak menjadi bahasa 

nasional. Sebab, bahasa dan sastra nasional kita berasal dari ba￾hasa Melayu, seper­ti kita ketahui selama ini. Proses yang sangat 

menarik, bukan? h


Ulang tahun ke-101 Mahatma Gandhi, bulan Oktober 

yang lalu dirayakan secara sederhana. Tokoh pejuang 

berkebangsaan India ini terkenal dengan ajaran yang me￾nentang kekerasan (ahimsa) dan satyagraha, yang diguna­kan￾nya dalam perjuangan menuntut kemerdekaan secara damai bagi 

India dari tangan Inggris. Untuk itu, ia meninggalkan praktek 

hu­kum yang sangat menguntungkan di Afrika Selatan, dan kem￾bali ke India untuk memimpin perjuangan kemerdekaan yang 

dilakukannya tanpa kekerasaan. Kita yang mela­ku­kan peperang￾an melawan Belanda dalam menuntut kemerdeka­an, cenderung 

untuk meremehkan arti perjuangan damai yang mereka lakukan. 

Sikap inilah yang perlu kita ubah, agar tidak mewar­nai hubung￾an kita dengan negeri-negeri lain.

India, setelah perang kemerdekaan usai, ternyata menum￾buh­kan dua hal yang sangat penting, yaitu ketundukan kepada 

hu­kum dan berani mengembangkan identitas bangsa ini . 

Ketundukan kepada hukum itu tampak nyata dalam kehidup￾an sehari-hari, seperti ketika seorang tamtama polisi mencatat 

dalam buku catatannya hal-hal yang membuat ia menahan/me￾nang­kap seseorang. Setelah keterangan tertulis itu dibacakan ke￾pada si tertangkap, maka ia diminta menandatangani “pra/beri￾ta acara polisi” itu, maka dokumen yang bertanda tangan warga 

itu, di­jadi­kan pegangan untuk memeriksanya dengan teliti dan 

me­ng­­adilinya di pengadilan, kalau memang ia pantas dihukum. De­ngan kata lain, hanya orang yang memang ada indikasi kuat 

secara obyektiflah yang dapat ditahan, bukannya keterang­an ok￾num polisi ini . sebab nya warga negara India lebih banyak 

dilindungi oleh hukum, dibandingkan warga negara kita di nege￾ri sendiri.

Namun, ini tidak berarti undang-undang (law) di India 

su­­­dah mencerminkan keadilan. Banyak undang-undang yang 

dihasilkan Lok Sabha (Majelis Rendah Parlemen India), tidak 

menyelesaikan masalah hak-hak anak dan perempuan, dan juga 

perlindungan kepada kerja paksa (bounded labour). Kedudukan 

pekerja paksa itu sa­ngat rendah secara sosial, hal ini sebab  di￾perkuat oleh agama Hin­du dengan sistem kastanya. Datanglah 

Gandhi dengan ajakan menciptakan masyarakat tanpa kasta, 

dan memandang mere­ka dari kasta terbawah (sudra) sebagai 

harijan (anak Tuhan). Ter­nya­ta, peno­la­kan­nya atas kekerasan 

menumbuhkan rasa peri­kema­nusiaan yang sangat dalam pada 

diri Gandhi. Dan ini pula, yang membuat orang-orang Hindu 

fundamentalis/ekstrim mem­bunuhnya pada tahun 1948.1

eg

Islam juga mengajarkan hidup tanpa kekerasan. Satu-satu￾nya alasan untuk memakai  kekerasan, adalah jika kaum 

Mus­limin diusir dari tempat tinggal mereka (idzâ ukhirijû min 

diyârihim). Itupun masih diperdebatkan, bolehkah kaum Muslim￾in membunuh orang lain, jika jiwanya sendiri tidak terancam? 

Demikianlah Islam berjalan berabad-abad lamanya tanpa keke￾ras­an, termasuk penyebaran agama ini  di negeri ini. Alang￾kah jauh bedanya dengan sikap sementara fundamentalis/teroris 

Muslim di mana-mana dewasa ini. Terjadi pergolakan berdarah 

di sementara daerah, seperti Poso, Sulawesi Tengah dan Ambon, 

Maluku. Begitu juga, mereka yang berhaluan “garis keras” di 

ka­langan berbagai gerakan Islam di sini, berlalu-lalang kian-ke￾mari membawa pedang, clurit, bom, granat serta senapan rakit￾an. Per­buatan itu jelas melanggar undang-undang, tetapi tanpa ada tindakan apapun dari pemerintah. 

Bahkan beberapa dari mereka melakukan gerakan pember￾sih­an (sweeping) dan memberhentikan kendaraan untuk diperik￾sa sesuka hati. Pernah juga terjadi, dilakukan sweeping atas cof￾fee house di Kemang, Jakarta, demi untuk menegakkan syari’ah 

Is­lamiyah di negeri ini. Anehnya, botol-botol sandy dipecahkan 

di­buang ke lantai, sebab  berharga murah, sebaliknya wishky

dan vodka yang berharga mahal dibawa pulang dalam keadaan 

utuh, mungkin untuk dijual lagi. Sikap mendua yang materialis￾tik ini memperkuat dugaan bahwa di antara para fundamentalis 

itu ada orang-orang bayaran dari luar. Masalahnya, mengapakah 

para pemimpin berbagai gerakan ini  tidak dapat mengen￾dalikan anak buah mereka ?

Sikap memakai  kekerasan itu, juga tidak sedikit di­do￾rong oleh berbagai produk Dewan Perwakilan Rakyat Dae­rah 

(DPRD I dan DPRD II) di berbagai kawasan, seperti di Suma￾tera Barat, Garut, Cianjur, Tasikmalaya dan Pemekasan yang 

ber­ke­cen­derungan untuk memberlakukan syari’ah Islamiyah se￾cara for­mal. Umpamanya saja dalam bentuk peraturan daerah, 

me­re­ka ingin melambangkan kuatnya semangat untuk menolak 

tindak­an-tindakan yang bertentangan dengan syari’ah Islamiyah 

saat masa Orde Baru. Jadi, sebenarnya sikap itu tidak berbeda 

jauh de­ngan orang-orang fundamentalis itu. sebab nya, sidang 

kabi­net di waktu penulis masih menjadi Presiden memutuskan 

bahwa Per­aturan Daerah (Perda) yang berlawanan dengan Un￾dang-Undang Dasar (UUD) dianggap tidak berlaku. Penulis ber￾ang­gap­an, keputusan para pendiri negara ini termasuk 7 (tujuh) 

orang pemimpin berbagai gerakan Islam, untuk memisahkan 

agama dan negara dengan menghilangkan tujuh kata dalam Pia￾gam Jakarta, masih berlaku dan belum dicabut oleh siapapun.

eg

Lalu, mengapakah ada orang-orang fundamentalis itu, yang 

umumnya terdiri dari orang-orang muda yang terampil yang ca￾kap secara teknis, namun tidak pernah jelas diri mereka secara 

psi­kologis? Jawabnya sebenarnya sederhana saja. Pertama kare￾na orang-orang itu melihat kaum Muslimin tertinggal jauh di be￾la­kang dari orang-orang lain. Nah, “ketertinggalan” itu mereka 

kejar secara fisik, yaitu memakai  kekerasan untuk mengha￾lang­i kemajuan materialistik dan duniawi itu. Mereka lebih me￾men­tingkan berbagai institusi kaum Muslimin, dan tidak percaya 

bahwa budaya kaum Muslimin dapat mendorong me­reka untuk 

meninggalkan kelompok-kelompok lain. Jika sudah mengutama￾kan budaya, maka nantinya “mengejar ketertinggal­an” dengan 

cara penolakan atas “budaya Barat” akan dilupakan, sebab  keca￾kap­an yang mereka miliki juga berasal dari “dunia Barat”.

Aspek kedua dari munculnya gerakan-gerakan funda­men￾ta­listik ini adalah proses pendangkalan agama yang meng­hing￾gapi kaum muda Muslimin sendiri. Mereka kebanyakan adalah 

ahli matematika dan ilmu-ilmu eksakta lainnya, para ahli eko￾nomi yang penuh dengan hitungan-hitungan rasional dan para 

dokter yang selalu bekerja secara empirik. Maka dengan sendi­ri￾nya tidak ada waktu bagi mereka untuk mempelajari agama Is￾lam dengan mendalam. sebab nya, mereka mencari jalan pintas 

dengan kembali kepada sumber-sumber teksual Islam seperti al￾Qur’ân dan Hadits, tanpa mempelajari berbagai penafsiran dan 

pendapat-pendapat hukum yang sudah berjalan berabad-abad 

lamanya.

sebab  itulah, mereka mencukupkan diri dengan sum￾ber-sumber tekstual yang ada. sebab  mereka biasa menghafal 

vademecum berbagai nama obat-obatan dan benda-benda lain, 

maka dengan mudah mereka menghafal ayat-ayat dan hadits-ha￾dits dalam jumlah besar yang memicu  kekaguman orang. 

sebab  sumber-sumber tertulis itu diturunkan dalam abad ke-7 

sampai ke-8 masehi di Jazirah Arab, tentu dibutuhkan penaf­sir￾an yang kontemporer dan bertanggung jawab untuk mema­ha￾mi kedua sumber tertulis di atas. Tetapi sebab  pengetahuan 

mereka yang sangat terbatas tentang Islam membuat mereka 

fun­da­mentalis. Akibatnya bagi kaum Muslimin lainnya dan bagi 

se­lu­ruh dunia pula sangat drastis. Tindak kekerasan yang sudah 

biasa mewarnai langkah-langkah mereka, dianggap oleh masya￾rakat dunia sebagai ciri khas gerakan Islam. hDalam sebuah diskusi yang diselengarakan FES (Friedrich 

Ebert Stiftung) di Singapura baru-baru ini, dalam ses￾si pertama para peserta membicarakan konsep Samuel 

Hun­ting­ton tentang perbenturan antar budaya (clash of civiliza￾tions). Yang menggemparkan, beberapa peserta membicarakan 

kon­sep itu sebagai landasan pembenaran bagi pendapat adanya 

para teroris dari kelompok Islam, walaupun sebenarnya Islam 

se­bagai jalan hidup (syari’ah) menolak penggunaan kekerasan 

ter­masuk terorisme dalam menentang modernitas. Mengemuka￾kan Islam sebagai jalan hidup adalah sesuatu yang wajar, sebab  

perbedaan pandangan dalam cara hidup itu diperkenankan, yang 

tidak dapat diterima adalah perpe­cah­an/pertentangan yang tim￾bul sebab nya. Dengan demikian penggunaan kekerasan (teror￾isme) harus ditolak.

Seorang peserta mengemukakan, bahwa di sini terjadi se￾buah proses sangat menarik. Sebagai upaya pemberagaman, bu￾kan­kah universalitas konsep Samuel Huntington justru harus di￾tolak? Bukankah yang kita inginkan, justru konsep Huntington 

itu hanya merupakan kekhususan? Dimanakah batasan antara 

yang umum dan yang khusus sehingga tidak ada keraguan lagi 

menge­nai konsep Huntington itu? Penulis menanggapi pernya￾ta­an itu dengan mengemukakan, bahwa tidak ada pertentang￾an antara yang khusus dan yang umum. Dua-duanya berjalan 

seiring, tapi pemaksaan yang umum dengan menghilangkan 

yang khusus itu­lah yang justru harus ditolak. Dengan demikian 

kita menolak konsep Huntington itu dengan tidak mengingkari 

haknya untuk menyatakan konsep-konsep.

Di sinilah sebenarnya terletak kepemimpinan yang diharap￾kan, yaitu yang dapat menyampaikan kepada masyarakat luas 

bahwa penolakan suatu konsep adalah hal umum, namun dapat 

men­jadi pendapat dominan dalam sebuah masyarakat. Dengan 

demikian cara hidup kaum Muslimin dapat ditegakkan, dengan 

tidak usah melanggar hak siapapun. Jadi yang harus ditolak ada￾lah pemaksaan itu sendiri, bukannya sikap ingin memberlaku￾kan se­buah cara hidup. Inilah arti penolakan terhadap penetap￾an aga­ma sebagai ideologi negara, dan arti ini sangat dalam bagi 

gagas­an pemisahan agama dari negara.

eg

Sikap para peserta untuk menolak pemaksaan sesuatu kon￾sep, benar-benar merupakan sebuah hal yang sangat menggem￾bi­ra­kan. Dengan sikap para intelektual, politisi, dan jurnalis Ti￾mur dan Barat itu, menjadi jelas bahwa konsep Huntington itu 

di­perik­sa bersama-sama secara teliti dan terbuka. Diakui bahwa 

Huntington memakai  standar ganda dalam menyusun kon￾sep itu. Tetapi ia juga mengingatkan kita kepada perbedaan￾per­bedaan yang harus dihargai, antara berbagai sistem budaya. 

Ini justru menim­bulkan harapan besar, akan masa depan umat 

ma­nusia. Berbeda dengan Francis Fukuyama yang mengajukan 

kon­sep “Berakhirnya Seja­rah” (The End of History), konsep ini 

mem­be­nar­kan sikap pemerintah Amerika Serikat memiliki we￾wenang menjadi “polisi dunia” (policeman of the world). Juga 

ber­arti ia mempunyai hak untuk campur tangan dalam masalah 

dalam negeri orang lain. 

Sikap yang membenarkan pelanggaran wewenang oleh 

Ame­rika Serikat atas negara-negara lain, sangat bertentangan 

de­ngan pendapat Republik Rakyat Tiongkok (RRT). RRT ber￾pendapat pengeboman atas sebuah negara harus diputuskan 

secara multilateral oleh PBB, dan berdasarkan bukti-bukti yang 

kuat. Ini da­pat diartikan negara itu menolak “hak-hak” Ameri￾ka Serikat untuk melakukan pengeboman atas Afghanistan dan Irak seba­gai negeri yang berdaulat. Bahkan RRT berpendapat, 

tindak­an Ame­rika Serikat itu hanya berdasarkan kepada pertim￾bangan-pertimbangan geopolitis yang belum tentu benar.

Sudah tentu, kita sangat berkepentingan dengan konsep 

Huntington itu. Bukankah di negeri kita juga ada terorisme 

—untuk “melawan” kebudayaan Barat—, yang dituduh menjadi 

bagian dari terorisme internasional. Pembenaran anggapan bah￾wa bu­daya Islam ataupun budaya bangsa-bangsa berkembang 

ber­ten­tangan dengan “budaya Barat”, adalah pembenaran bagi 

teroris yang merasa budaya Islam harus lebih unggul dari pada 

budaya Barat. Mungkin saja pendapat ini di dasarkan pada ha￾dits “Islam harus diunggulkan atas (cara-cara hidup) yang lain” 

(al-Islâm ya’lû wa lâ yu’lâ ‘alaih). Secara tersamar Huntington 

menyim­pul­kan ada keterpisahan antara budaya Islam –budaya 

non Barat— de­ngan budaya Barat. Justru itulah yang menjadi 

ke­beratan pe­nul­is dan teman-teman sebab  menyiratkan adanya 

perbenturan.

eg

Asal pandangan yang menganggap Islam sebagai cara hi￾dup memiliki keungulan atas cara-cara hidup lain, sebenarnya 

ti­dak salah. Setiap orang tentu menganggap sistemnya sendiri 

yang benar. sebab  itu perbedaan cara hidup adalah sesuatu 

yang wajar. Ini termasuk dalam apa yang dimaksudkan oleh 

kitab suci al-Qur’ân : “Dan telah Ku buat kalian berbangsa-bang￾sa dan ber­suku-suku bangsa, agar kalian saling mengenal (wa 

ja’alnâkum syu’ûban waqabâila li ta’ârafû)” (QS al-Hujurat 

(49):13). Per­be­da­an pandangan atau pendapat adalah sesuatu 

yang wajar bah­kan akan memperkaya kehidupan kolektif kita, 

sehingga ti­dak perlu ditakuti. Kenyataan inilah yang mengiringi 

adanya per­bedaan kultural (dan juga politik) antara berbagai ke￾lompok Muslimin yang ada kawasan-kawasan dunia.

Yang dilarang oleh agama Islam adalah perpecahan, bu￾kan­nya perbedaan pendapat. Kitab suci al-Qur’ân menyatakan ; 

“Berpeganglah kalian pada tali Allah, dan jangan terpecah-pecah 

(wa’tashimû bi hablillâh jamîan wa lâ tafarraqû)” (QS Ali Im￾ran (3): 103). Dengan demikian, perbedaan diakui namun per￾pecahan/keterpecah-belahan ditolak oleh agama Islam. Padahal 

para teroris yang mengatasnamakan Islam, justru menolak per￾be­daan pandangan/pendapat itu. Jika pan­dangan ini diterima, 

maka artinya akan menjadi, agama Islam memerintahkan teror￾isme. Padahal agama ini  memper­ke­nan­­­kan pengunaan ke￾kerasannya, hanya jika kaum Muslimin di­usir dari tempat tinggal 

mereka, (idzâ ukhrijû min diyârihim). Jadi di sini ada perten￾tangan antara pendirian sebagian sangat kecil kaum Muslimin 

dengan ajaran agama mereka.

Ada sesuatu yang sangat menarik dalam membandingkan 

ajaran Islam dengan konsep perbenturan budaya dari Hunting￾ton itu. Penolakan atas konsep Huntington ini , berarti juga 

pe­no­lakan teoritis atas terorisme dan penggunaan kekerasan 

yang dilakukan oleh sebagian sangat kecil kaum Muslimin. Me￾nu­rut penulis, baik konsep ataupun pandangan ini  berasal 

dari suatu hal yang sama: rasa rendah diri yang ditutupi de­ngan 

ke­congkakan sikap. Konsep dan pandangan ini  sangat 

meng­­ganggu saling pengertian antara kekuatan jiwa dari buda￾ya-bu­daya yang saling berbeda dalam kehidupan umat manusia 

dewasa ini.


Penulis diundang oleh UNESCO ke Paris, pada Mei 2003, 

untuk menyampaikan pidato pembukaan (keynote ad￾dress) dalam sebuah konferensi mengenai pemerintahan 

yang baik (good governance) dan etika dunia (global ethics), 

yang diadakan antara kaum Budhis dan Muslimin. Konferensi 

itu dimaksudkan untuk mencari jembatan antara agama Islam, 

yang mewakili agama-agama Ibrahim dan Budhisme yang mewa￾kili agama-agama di luar tradisi Ibrahim. 

Dalam kesempatan itu juga, penulis diminta berbicara 

me­­nge­­nai asal-usul (origins) terorisme bersenjata yang sedang 

me­lan­da dunia saat ini. Diharapkan pidato pembukaan itu akan 

me­warnai dialog ini , yang juga dihadiri oleh delegasi dari 

Persekutuan Gereja-Gereja Eropa, wakil dari pimpinan agama 

Yahudi, Gereja Kristen Orthodox Syria, wakil agama Hindu dan 

sebagainya. Dari kalangan agama Budha sendiri, hadir Dharma 

Master Hsin-Tao dari Taiwan dan Sulak Sivaraksa dari Thailand, 

di samping David Chappel dari University of California di Los 

Angeles.

Pertemuan ini  adalah yang ketiga kalinya, antara se￾ba­gian kaum Budhis dan kaum Muslimin (termasuk dari Tu­ni￾sia, Maroko, Saudi Arabia, Sudan, Tanzania dan sejumlah pemu￾ka kaum Muslimin lainnya). Pertemuan pertama terjadi ta­hun 

lalu di sebuah Hotel di Jakarta, disusul pertemuan di New York 

dan disudahi dengan pertemuan di Kuala Lumpur (dengan Dr. 

Chandra Muzaffar sebagai tuan rumah). Dari pertemuan-perte￾muan ini , diharapkan kelanjutan hubungan antara kaum 

Muslimin dan Budhis, disamping juga akan dilaksanakannya se￾buah konferensi besar antar kepala negara-negara berkembang 

(developing countries) di Bandung, untuk merayakan 50 tahun 

konferensi Asia-Afrika pertama —Bandung I— pada tahun 2005 

ke­lak. Agenda-agenda Konferensi Bandung II harus ditetapkan 

tahun ini, untuk mempersiapkan peringatan itu sendiri di Jawa 

Barat pada waktunya nanti. Hal ini diperlukan, guna mencari 

alter­natif bagi dominasi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya 

dalam dunia internasional (seperti terbukti dari serangan-se￾rang­an atas Afghanistan dan Irak), tanpa harus berkonfrontasi 

dengan negara adi kuasa ini . 

Timbulnya sikap menolak dengan cara konfrontatif itu, ka￾rena tidak dipikirkan dengan mendalam dan jika hanya dilaku￾kan oleh sebuah negara saja. Terbukti dengan adanya rencana 

“politik luar negeri” negara kita  yang konyol –seperti keputusan 

untuk (pada akhir tahun 2003 ini) keluar dari keanggotaan Dana 

Moneter Internasional (International Monetary Funds). Pada 

saat menjadi Presiden, penulis bertanya pada seorang ekonom 

raksasa dari MIT (Massachusset Institute of Technology), Paul 

Krugman. Ia menjawab, sebaiknya negara kita  jangan keluar dari 

keanggotaan badan internasional ini . Paul Krugman yang 

juga pengkritik terbesar lembaga itu menyatakan pada penulis, 

hanya negara dengan birokrasi kecil dan bersih yang dapat ke￾luar dari IMF secara baik, sedangkan birokrasi negara kita  sangat￾lah besar dan kotor.

eg

Dalam pidato pembukaan itu, penulis menyatakan bahwa 

etika global dan pemerintahan yang baik (good governance) 

hanya akan ada artinya kalau didasarkan pada dua hal: kedaulat￾an hukum dan keadilan dalam hubungan internasional. Ini ber￾arti, negara adi-kuasa manapun harus memperhatikan ke­dua 

prin­sip ini. sebab  itu, perjuangan untuk menegakkan ke­dau­lat￾an hukum dan keadilan dalam hubungan internasional itu ha­rus 

mendapat perhatian utama. Pidato pembukaan itu, men­dapatkan 

jawaban dan tanggapan sangat positif dari ber­bagai pihak, ter￾masuk Dharma Master Hsin-Tao (Taiwan) yang mewakili para 

pengikut agama Budha. Tanggapan yang sama positifnya juga 

disampaikan oleh Wolfgang Smiths dari Persekutuan Gereja-Ge￾reja Eropa dan Rabbi Alon Goshen Gottstein dari JerusalemPenulis menyatakan pentingnya arti kedaulatan hukum, 

sebab  di negara kita  dan umumnya negara-negara berkembang, 

hal ini masih sangat langka. Justru pada umumnya pemerintah￾an mereka bersifat korup, mudah sekali melakukan pelanggaran 

hukum dan di sini konstitusi hampir-hampir diabaikan. Perintah 

kitab suci al-Qur’ân: “Wahai kaum Muslimin, tegakkanlah keadil￾an dan jadilah saksi bagi Tuhan, walaupun mengenai diri kalian 

sendiri” (yâ ayyuha alladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi al￾qisthi syuhadâ’a li allâhi walau ‘alâ anfusikum) (QS al-Nisa 

[4]:135), ternyata tidak dipatuhi oleh umat Islam sendiri. Yang 

lebih senang dengan capaian duniawi yang penuh ketidakadilan, 

de­ngan meninggalkan ketentuan-ketentuan yang dirumuskan 

oleh kitab suci agama mereka sendiri.

Dalam pidato pembukaan ini  penulis menyatakan, 

agar keadilan menjadi sifat dari etika global dan pemerintahan 

yang baik (good governance). Itu didasarkan pada pengamatan 

bahwa sebuah negara adi-kuasa, seperti Amerika Serikat dapat 

sa­ja melaksanakan dominasi yang hanya menguntungkan diri￾nya sendiri dan merugikan kepentingan negara-negara lain. Ini 

terbukti dari serangannya atas Irak, yang terjadi dengan meng￾abaikan sikap Dewan Keamanan (DK) PBB. 

Penulis berpendapat jika dalam waktu tiga bulan Saddam 

Hussein tidak dapat ditangkap, maka tentu rakyat AS akan ribut 

minta tentara mereka ditarik dari Irak. Dan perdamaian di nege￾ri Abu Nawas itu harus ditegakkan melalui perundingan damai. 

Dengan kata lain, perubahan berbagai sis­tem (termasuk sistem 

politik dan pemerintahan) di Irak harus dilakukan tanpa melalui 

paksaan. Ka­lau tidak, pemerintah apapun yang akan menggan￾tikan Sad­dam Hussein akan dianggap sebagai pemerintahan 

boneka oleh rakyat Irak sendiri. Kenyataan inilah yang harus 

dipahami oleh semua pihak, termasuk AS. Dengan demikian, 

apa yang sejak berbulan-bulan ini diusulkan penulis, yaitu per￾damaian di Irak harus dikaitkan langsung dengan perdamaian 

abadi antara Pales­tina dan Israel, semakin menjadi relevan.

eg

Sebagai bagian dari pembentukan etika global dan peme￾rin­tahan baik (good governance) itu, tentu diperlukan adanya 

kam­panye besar-besaran untuk membentuk pengertian yang men­dalam atas kedua hal ini . Di sinilah terletak peranan pa￾ra agamawan dan moralis dunia, dengan didukung oleh lemba￾ga-lembaga internasional seperti UNESCO. sebab  itu tindakan 

sendiri-sendiri dalam pembentukan pendapat dunia, mengenai 

etika global dan pemerintahan baik itu, tidak dapat dibenarkan 

sebab  diragukan keberhasilannya. Harus ada dialog terus-me￾nerus antara berbagai kalangan bangsa, terutama antara para 

teoritisi dan para penerap nilai-nilai di lapangan. Di sinilah te￾rasa betapa pentingnya arti dialog seperti yang telah diseleng￾garakan oleh UNESCO di Paris itu. Minimal, bagi berbagai pihak 

di luar lingkup negara, dapat melakukan pembicaraan mengenai 

nilai-nilai global yang ingin kita tegakkan dalam pergaulan inter￾nasional. Dengan pertemuan antar berbagai agama tadi, masing￾masing pihak akan saling belajar dan menimba sumber-sumber 

spiritual, dalam membentuk pandangan hidup di masa depan.

Kesadaran seperti ini, mulai muncul akibat merajalelanya 

sinisme yang dibawa oleh “pertimbangan-pertimbangan poli­tik 

global” (global political considerations) dan akhirnya men­­jadi 

sa­tu-satunya alat pertimbangan. Pertimbangan itu —da­lam ke￾rang­ka kajian strategis disebut sebagai “geopolitical considera￾tions”—, hanya melahirkan kepentingan antara nega­ra-negara 

adi-kuasa (super-powers) saja, akibatnya tentu akan melumpuh￾kan negara-negara yang bukan adi-kuasa. Apalagi setelah Uni￾Soviet berantakan, maka hanya tinggal se­buah nega­ra adi-kuasa 

yang memaksakan kehendak dan meng­injak-injak hukum inter￾nasional untuk kepentingannya sen­diri. Contohnya adalah pe￾nyerbuan AS atas Irak, dengan me­ngesampingkan peran­­an PBB 

melalui Dewan Keamanan.

Di masa depan, tentu saja hal ini akan membawakan reaksi 

berupa sederet tuntutan dari negara-negara berkembang akan 

sebuah tatanan yang lebih berimbang secara internasional, an￾tara negara industri maju (developed countries) dengan ne­ga­ra 

berkembang (developing countries). Dalam penyusunan ta­tan­an 

baru seperti itu, tentu saja etika global dan pemerintahan yang 

baik harus memperoleh perhatian khusus, baik untuk acu­an ke￾rangka baru yang hendak didirikan maupun untuk mengendali￾kan perubahan perubahan yang bakal terjadi. 

sebab  itu dialog terus-menerus akan kedua hal itu harus 

dilakukan, termasuk pertukaran pikiran mengenai peran­an spiri￾tualitas manusia. Dialog antara para pemeluk berbagai agama, seperti yang diselenggarakan di Pa­ris ini , tentulah sangat 

menarik bagi kita. Pemaparan penga­laman pribadi dan pikiran 

dari para pemimpin agama, seperti Dharma Master Hsin Tao 

dari Taiwan, tentu saja harus menjadi bagian integral dari dialog 

semacam itu. h


Pada akhir Februari hingga awal Maret 2003 ini, penulis 

berada di Washington DC, Amerika Serikat (AS), guna 

menghadiri sebuah konferensi perdamaian untuk kawasan 

Timur Tengah. Undangan sebagai peserta konferensi, diberikan 

oleh IIFWP (Interreligious and International Federation for 

World Peace, Federasi Internasional Antar Agama untuk Per￾damaian Dunia), yang berkedudukan di New York. Mengapakah 

penulis jauh-jauh mengikuti konferensi ini , padahal ham￾pir setiap hari demonstrasi-demonstrasi di tanah air, menuntut 

turun/lengsernya pasangan Megawati-Hamzah Haz? Penulis me￾mu­tuskan pergi ke negara Paman Sam itu, sebab  dua alasan. 

Per­tama, sebab  perkembangan dalam negeri baru mencapai 

titik kulminasi setelah minggu kedua bulan Maret 2003. Kedua, 

sebab  persiapan-persiapan perang yang dilakukan oleh AS dan 

Inggris sudah berjalan sangat jauh, -saat tulisan ini dibuat- peng￾i­rim­an 198.000 pasukan AS dan 40.000 tentara Inggris ke kawa￾s­an ini , berarti pencegahan perang lebih terasa urgensinya 

di kawasan Timur Tengah saat ini.

Tentu ada orang yang berpendapat, sikap gila dalam pen￾diri­an penulis, sebab  menilai saat ini justru saat yang paling 

baik untuk memulai sebuah inisiatif baru guna mencari titik 

perda­mai­an abadi bagi kawasan Timur Tengah. Bukankah per￾siapan negara adi kuasa AS dan sekutunya Inggris Raya, meru￾pakan pe­tunjuk tak terbantahkan akan adanya perang yang sudah ber­jalan sangat jauh, hingga tidak dapat dihentikan? Bu￾kankah per­timbangan-pertimbangan geopolitik telah memaksa 

AS dan para sekutunya untuk memakai  perang sebagai “alat 

pemaksa” atas Irak? Jawabannya, adalah bahwa dapat dibenar￾kan ucapan ahli strategi perang Jerman Von Clausewitz, bahwa 

“perang adalah ke­lanjutan dari diplomasi/perundingan yang ga￾gal”. Dalam pan­dangan penulis, sikap negara-negara besar seper￾ti Jerman, Pe­ran­cis, Rusia dan Tiongkok menunjukan, bahwa 

upaya-upa­ya diplomatik tetap memiliki relevansi yang besar, 

dalam men­cari solusi damai atas masalah Timur Tengah. Kare￾nanya, da­ri sekarang sampai dengan terjadinya secara aktual 

pem­boman atas Irak, dapat dikatakan peluang bagi perdamaian 

di kawasan itu tetap terbuka.

Kitapun sudah terbiasa menghadapi kenyataan, bahwa 

pe­nyelesaian sebuah konflik didapati hanya pada akhir sebuah 

pro­ses yang panjang, dihadapan persiapan-persiapan “penuh 

kekerasan”, yang dalam bahasa asing disebut “merebut keme￾nang­an dari gigitan musuh di saat-saat terakhir” (to grab peace 

from the jaw of war). Namun, hal itu tidak akan tercapai, apabi￾la dua buah tindakan tidak diambil pada waktu yang bersamaan. 

Pertama, adanya sebuah forum yang untuk kesekalian kalinya 

membicarakan dan kemudian menetapkan upaya terakhir yang 

harus dijalankan untuk menyelesaikan konflik secara damai. 

Kedua, begitu keputusan diambil, harus segera ditunjuk orang 

yang melaksanakannya, dalam waktu yang begitu sempit. 

Dengan dua persyaratan itulah, baru ada harganya untuk 

“meng­gunakan kesempatan dalam kesempitan”. Kesempatan 

me­negakkan perdamaian abadi di kawasan ini , dan meng￾guna­kan kesempitan menghadapi kenyataan pahit di kawasan 

ini .

eg

Penulis mengajukan dalam pidato pembukaan di konferen￾si itu, bahwa perdamaian abadi di Timur Tengah hanya dapat 

dicapai, kalau penyelesaian damai atas konflik Israel-Palestina 

dikaitkan dengan perdamaian di Irak. Perdamaian antara Israel–

Palestina dapat dicapai dengan dihentikannya persiap­an–persiap￾an untuk melakukan pemboman dan pengiriman pasu­k­­an-pasu￾kan ke negara Abu Nawas itu. Dengan demikian, pe­nyelesaian konflik Israel-Palestina akan membawa perdamaian di Timur 

Tengah secara keseluruhan. Demikian pula, upaya perdamaian 

dapat dilakukan de­ngan dihentikannya pemboman atas Irak. 

Jika ternyata hal itu tidak mem­­bawa hasil, maka ucapan 

Von Clausewitz di atas harus diteruskan dengan ungkapan “pe￾rundingan/negosiasi adalah kelanjutan dari peperangan yang 

gagal”. “Kegagalan pe­pe­rangan” atas Irak akan terjadi, jika Pre￾siden AS, George Bush Jr. gagal menangkap Saddam dalam wak￾tu yang cepat. Mengapa? sebab  rakyat AS tidak akan bersedia 

membiayai peperangan un­tuk jangka waktu yang lama, walau￾pun negara ini  telah men­­capai kekayaan berlimpah-limpah 

dan memiliki per­sen­­jataan yang sangat canggih yang juga mem￾butuhkan biaya yang sangat besar untuk digunakan. Dikombi￾nasikan dengan demon­strasi di mana-mana termasuk di AS dan 

Inggris, untuk tidak menyelesaikan konflik ini  dengan ke￾kerasan, maka dapatlah diperhitungkan peperangan akan ter￾henti dengan sendirinya. 

Ka­lau Saddam Hussein tidak juga segera tertangkap oleh 

musuh-musuh politiknya, maka untuk menolong “muka” AS￾Inggris dan Israel, —upaya ini dilakukan agar tidak membuat 

peperangan berjalan lama— diperlukan langkah-langkah untuk 

mencapai dua pemecahan (so­lusi). Caranya adalah dengan men￾capai kesepakatan antara ke empat pihak (AS, Inggris, Israel dan 

Irak), yang berlanjut dengan penghentian tindak-tindak mili￾ter di kawasan Israel-Palestina dan Irak. Digabungkan dengan 

melakukan hal-hal berikut. Per­tama, dengan memperkuat nega￾ra Palestina merdeka, melalui pem­berian bantuan keuangan 

berupa kredit murah berjangka pan­jang bagi negara itu, katakan￾lah sebesar 1 miliar dolar AS. sebab  dengan bantuan seperti itu, 

kebangkitan industri dan perdagangan Palestina akan terjadi 

sa­ngat cepat, apabila para pemimpin Palestina mampu mencip￾takan pemerintahan yang ber­sih di masa depan. Kedua, untuk 

menghindari perang, —ini paling pahit dan sulit dilaksanakan— 

mengusahakan agar Sad­dam Hussein lengser dari jabatan ke￾presidenan secara sukarela, untuk memungkinkan tercapainya 

negara Palestina yang kuat secara industrial/komersial dalam 

waktu cepat.Untuk memungkinkan tercapainya hal ini  di atas, 

yaitu “menolong posisi” Israel dan Amerika Serikat-Inggris da￾lam percaturan politik internasional, maka diperlukan seorang 

pe­nengah yang bersedia mondar-mandir ke AS, Inggris, Israel, 

Palestina, Libya, Irak dan negara-negara lain di Timur Tengah. 

Dengan demikian, sikap untuk menentang atau mendukung po￾sisi Israel dan Amerika Serikat-Inggris dalam kedua hal ini , 

ha­rus dibaca sebagai sikap permulaan (initial attitudes), yang 

da­pat saja berubah sebab  perkembangan keadaan. Sedangkan 

peranan “negotiator” (juru runding) itu, kalau tidak dilakukan 

oleh seseorang secara pribadi (seperti disebutkan di atas), dapat 

saja dilakukan oleh sekelompok orang (institusi/group). Hal itu 

telah dilakukan dalam kasus Aceh oleh Henry Dunant Center, 

sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang 

berkedudukan di Geneva.

Agar tercapai perdamaian abadi di kawasan itu, kesungguh￾an sikap negara-negara yang terlibat, maupun kegigihan sang 

negosiator sangatlah diperlukan. sebab nya, negosiator ter­se­but 

haruslah memperoleh dukungan kuat dari siapapun, dalam ben￾tuk bantuan logistik maupun kemudahan-kemudahan yang lain. 

Kalau tugas itu dibebankan pada seseorang, haruslah dipasti­kan 

orang ini  memiliki stamina yang sangat prima, dibantu oleh 

dua orang asisten yang bekerja terus-menerus selama bebe­rapa 

bulan. Tentu saja, peranan seperti itu akan sangat menarik hati 

siapapun, hingga banyak yang ingin melakukannya. Tetapi, tentu 

saja tidak setiap orang (termasuk para dip