hanya kenyataan empirik mengenai Umar Farouq itu
yang dapat dibenarkan. Berarti, harus ada orang dari pihak ketiga untuk memberikan kesaksian tentang mana yang benar dari
kedua versi di atas.
sebab itu, penulis mengusulkan agar dibentuk sebuah komisi independen yang harus meneliti kenyataan empirik mengenai Umar Farouq itu. Orang Ambon, bagaimanapun juga tentu
berbeda dari orang kelahiran Kuwait, sehingga dengan pertemuan langsung, antara satu-dua orang anggota komisi independen
itu dengan Umar Farouq, akan memungkinkan mereka menetapkan adakah pria ini memang orang Ambon atau orang
Kuwait. Kalau ia ternyata orang kelahiran Ambon berarti pengakuannya akan Abu Bakar Ba’asyir seorang teroris internasional
otomatis gugur, dan ia haruslah dihukum sebab menuduh dengan cara fitnah, seorang warga negara negara kita bernama Abu
Bakar Ba’asyir. Kalau yang terjadi justru sebaliknya, pengakuan
Umar Farouq mempunyai nilai yang sangat tinggi, dan pemeriksaan lebih mendalam harus dilanjutkan, atau klaim bahwa
Ba’asyir tidak berdosa harus diragukan.
Demikianlah, usul jalan tengah dari penulis melalui tulisan ini, yang sangat berbeda dari apa yang dikemukakan Emha
Ainun Nadjib, Dr. Adnan Buyung Nasution dan Wakil Presiden
Hamzah Haz. Mereka melihat masalahnya dari sudut pro dan
kontra sehingga mereka lupa akan perlunya verifikasi empirik,
yaitu dengan membentuk sebuah komisi independen. Usul pembentukan komisi ini semata-mata didasarkan pada obyektifitas sikap dan pandangan, sehingga memiliki kredibilitas yang
cukup tinggi. Obyektifitas ini sangat diperlukan untuk menilai
sikap dan pandangan kita dalam menentukan secara hukum formal, mana yang benar antara dua versi yang bertentangan mengenai sebuah kejadianPepatah di atas sudah sangat terkenal dalam bahasa kita,
sebab demikian banyak ia dilakukan dalam praktek kehidupan. Maksudnya adalah, kita sama-sama mempunyai
rambut, tetapi pemikiran tetap berbeda. Jadi dalam ajaran Islam, satu ke lain orangpun terdapat pluralitas/kemajemukan
pendapat, ini diterima sebagai prinsip pengaturan hidup bermasyarakat: “Perbedaan para pemimpin adalah rahmat bagi umat
(ikhtilâf al-a‘immah rahmat al-ummah).” Prinsip ini sangat dipegang teguh dalam kehidupan kaum muslimin, sehingga perbedaan pandangan dilihat sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja.
Kaum muslimin hanya dapat dipersatukan dalam masalah-masalah dasar belaka, seperti keharusan adanya keadilan dan sebagainya.
Keluarga penulis sendiri merupakan contoh yang tepat akan
pluralitas pandangan. Penulis sendiri menjadi Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB, adik penulis menjadi ketua umum organisasi kaum ibu Al-Hidayah (yang oleh sementara orang dianggap
mendukung Partai Golkar), dan adik penulis mengikuti sebuah
partai politik sempalan (serta sekarang menjadi Wakil Ketua Tanfidziyah PBNU). Tiga orang yang lain tidak mau memasuki parpol
ataupun organisasi non-profesional. Ada semacam kesepakatan
antara penulis dan adik-adiknya, kami berenam tidak akan membicarakan aspirasi, partai politik atau organisasi apapun. Dengan
demikian terhindarlah kami dari perdebatan pendapat, yang biasanya berjalan cukup tajam.Habib Rizieq, pendiri dan pemimpin Front Pembela Islam
(FPI)1
ditangkap oleh Polda Metro Jaya. Dalam pandangannya,
proses penangkapan itu tidak berjalan sesuai prosedur yang ditetapkan oleh undang-undang, sebab nya menjadi cacat hukum
dan ilegal. Ketika protesnya itu tidak didengarkan oleh aparat
keamanan, ia pun meminta para pengacaranya untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan. sebab gugatannya itu, maka
Polda Metro Jaya segera mengirimkan utusan untuk berunding.
Hasil perundingan itu seperti tersirat dalam pemberitaan media
massa, akhirnya membuahkan sebuah cara penyelesaian yang
unik: Rizieq mencabut tuntutannya dari pengadilan, tetapi oleh
pihak kepolisian ia diberi status yang lebih ringan yaitu dirubah
dari tahanan Polda Metro Jaya menjadi tahanan rumah (house
arrest).
Kejadian itu menunjukan sesuatu yang sangat menarik,
yaitu bahwa Habib Rizieq masih menggangap kepolisian sebagai
penyelenggara keamanan dan pemeriksa hukum dalam negeri
yang memiliki wewenang memeriksa dirinya. Ini berarti, ia masih mengakui sistem hukum yang berlaku di negeri kita, dengan
demikian ia mengakui wujud negara yang ada, yang oleh sementara kalangan disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, apapun yang ia lakukan, masih dalam kerangka yang
ditetapkan oleh Undang-undang Dasar 1945. Dengan demikian,
ia tidak menyimpang dari pengakuan akan adanya negara Indonesia, juga kepada sistem hukumnya. Berarti, ia tetap berada
dalam kerangka legal yang ada, dan dilindungi oleh kerangka
ini .
Dengan demikian, Habib Rizieq melindungi dirinya secara legal, betapa jauhnya sekalipun pandangan yang dianutnya dari pandangan lembaga kenegaraan dan lembaga hukum
yang ada. Dengan demikian, ia menjaga dirinya dari tindakan
apapun yang tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Boleh jadi ia melanggar hukum, tetapi justru hukum itulah yang
melindunginya dari tindakan apapun oleh negara atas dirinya.
Secara teoritis ia terlindung dari tindakan yang tidak berdasarkan hukum, siapapun yang melakukannya. Dengan kata lain,
ia memiliki hak asasinya sebagai manusia, yang sekaligus diperolehnya dari kedudukan sebagai warga negara sebuah bangsa
yang berdaulat.
Prinsip inilah yang paling penting untuk dipegang oleh seseorang dalam negara ini, yang katanya memiliki kedaulatan hukum. Pasal-pasal dalam undang-undang dasar-lah yang memberikan perlindungan hukum ini , yang membedakannya dari
subyek politik. Sebagai seorang penduduk biasa, Habib Rizieq
memperoleh perlindungan politik dari tindakan apapun, walaupun secara politik pula ia sering menganggu hak-hak warga negara yang lain, seperti ketika ia memerintahkan sweeping. Tindakan untuk mengatasi hal itu adalah tindakan hukum, yang dapat
dikenakan atas dirinya. Namun, ia juga memperoleh perlindungan hukum, untuk tidak terkena tindakan hukum lebih jauh dari
itu. Prinsip inilah yang melindungi sekaligus mengekang langkah-langkahnya, agar tidak melanggar hukum dan merugikan
orang lain. Namun, perlindungan hukum itu juga mencegahnya
dari tindakan politik yang tentu merugikan dirinya. Dengan kata
lain ia harus bergerak dalam koridor hukum yang berlaku di
negeri ini.
eg
Lain halnya dengan Abu Bakar Ba’asyir, yang sejauh ini menolak memberikan keterangan kepada pihak kepolisian, terlepas
dari kenyataan pihak kepolisian “mengambilnya” dari Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah di Solo dengan prosedur yang salah
dan tidak memenuhi ketentuan hukum. Namun, penolakannya
untuk memberikan keterangan hukum, menempatkan tokoh
ini dalam kedudukan yang tidak sama dengan Habib Rizieq. Ini
tentu akan membawakan konsekuensi-konsekuensinya sendiri.
Dengan demikian menjadi nyata, dua orang yang dalam status
hukum berkedudukan sama, ternyata dapat mengalami perlakuan yang sangat berbeda satu dari yang lain. Benarlah kata
pepatah di atas, “kepala orang sama-sama berbulu pendapat berlain lain” artinya sama-sama memiliki rambut, tapi pemikiran
dapat berbeda.
Dengan menolak memberikan keterangan hukum, untuk
kepentingan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Abu
Bakar Ba’asyir menempatkan diri di luar wewenang hukum. Dengan demikian, ia menjadi orang yang tidak menganggap negara
dan hukum memiliki wujud/eksistensi. Dan sudah tentu juga ia
tidak dapat bersikap terus demikian, sebab negara harus menghadirkan adanya dua buah eksistensi yang berlainan: wujud negara di satu sisi, dan keadilan atas tokoh ini di sisi lain.
Negara memiliki hak hukum untuk menganggapnya sebagai pemberontak yang melanggar Undang-Undang Dasar, dan dengan
demikian dapat memilih salah satu dari dua alternatif berikut:
mengusir atau menghukum mati tokoh ini . Ini adalah konsekuensi logis dan legal dari tindakan yang dilakukannya sendiri
dan Islam-pun dapat membenarkan hal ini .
Ketegasan pihak pemerintah diperlukan, dalam hal ini untuk mencegah anarkhi hukum. Ini juga pernah terjadi di masa
pemerintahan Bung Karno dan Panglima Besar Soedirman2
sebagai panglima angkatan perangnya, yang memerintahkan Sekarmadji Kartosuwiryo3
untuk mendirikan DI/TII (Darul Islam/
Tentara Islam negara kita ) di Jawa Barat. Dasar perintah itu adalah ketentuan Perjanjian Renville, bahwa TNI harus ditarik dari
kawasan ini ke Jawa Tengah. Untuk menghindarkan vacuum di kawasan itu, yang akan dimanfaatkan oleh pasukan-pasukan Belanda, maka dibentuklah DI/TII, sudah tentu perintah itu
diketahui oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara.
Namun, Sekarmadji Kartosuwiryo terus memakai
DI/TII untuk membunuh rakyat, melakukan pembakaran dan
merampok setelah kemerdekaan tercapai dan penyerahan kedaulatan berlangsung. Pemberontakan dan pemerintah menumpas
pemberontakan itu berakhir tahun 1962. Di saat itu, Presiden
Soekarno yang juga menjadi kepala pemerintahan, memerintahkan Sekarmadji Kartosuwiryo diadili oleh Mahkamah Militer
yang kemudian menjatuhkan hukuman mati, atas diri tokoh dan
teman dekat Bung Karno itu. Bung Karno tidak memberikan grasi/pengampunan kepadanya, sebab Kartosuwiryo telah memerintahkan pembunuhan rakyat dan perampokan. Bung Karno
bahkan memerintahkan pelaksanaan hukum mati atas diri tokoh
itu, dan menghilangkan jejak penguburannya di Kepulauan Seribu. Persoalannya tidak rumit kalau kita memiliki keberanian,
bukan?Dr. Djohan Effendi menulis dalam sebuah harian nasional, bahwa baik Abdullah Sungkar maupun Abu Bakar
Ba’asyir dilaporkan sebagai pendiri gerakan Jama’ah Islamiyah, baik di Malaysia maupun Singapura. Organisasi inilah
yang oleh intelijen Amerika Serikat (AS) maupun Australia, dianggap sebagai gerakan teroris internasional. Bahkan, oleh pihak
intelijen Malaysia dan Singapura, organisasi itu dilaporkan telah
merencanakan tindak kekerasan di kedua negara ini . Pers
internasional menyebutkan, baik Sungkar maupun Ba’asyir, sebagai pemimpin spiritual organisasi ini . Benarkah organisasi
itu merupakan persambungan gerakan teroris Al-Qaeda1
seperti
yang disangkakan AS, yang berpangkalan di Afghanistan di masa
pra-pemboman atas AS? Sejarahlah yang akan menjawab pertanyaan itu, setelah pemeriksaan teliti selama bertahun-tahun.
Tulisan Dr. Djohan Effendi itu segera dijawab dalam harian yang sama, oleh Fauzan Al-Anshori, Ketua Departemen Data
dan Informasi Majelis Mujahidin negara kita (MII), beberapa harikemudian. Namun, jawaban itu tidak menyangkal keterangan
Dr. Djohan Effendi akan kebenaran ungkapan, maupun penyebutan oleh pers internasional bahwa Abdullah Sungkar dan Abu
Bakar Ba’asyir sebagai pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah.
Yang dilakukan Fauzan Al-Anshori dalam jawaban tertulis itu,
hanya ‘mengungkit’ penamaan Dr. Djohan Effendi selaku salah
seorang yang disebutnya sebagai pemikir kaum Muslim neomodernis. Kelompok terakhir ini disebut-sebut dalam disertasi
Greg Barton2
dari Deakin University, Australia, sebagai pihak
yang meneliti dan memakai warisan budaya Islam lama untuk menafsirkan secara kontemporer tempat Islam dalam kebudayaan modern.
Greg Barton menyebutkan, Dr. Djohan Effendi, Dr. Nurcholish Madjid, almarhum Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, dan
diri penulis sendiri, sebagai pemuka pendekatan neo-modernis
itu. Orang boleh saja suka atau tidak suka terhadap kelompok
pemikir ini , bahkan juga dapat menerima atau menolaknya
sebagai cara berpikir yang absah dalam Islam. Tetapi faktanya,
pemikiran dan kelompok pemikir seperti itu memang ada dalam
dunia Islam, jadi tidak dapat ditolak secara empirik. Demikian
pula, reaksi atasnya adalah sesuatu yang wajar-wajar saja, seperti yang diperlihatkan oleh tokoh gerakan Majelis Mujahidin yang
membuat jawaban tertulis atas pendapat Dr. Djohan Effendi itu.
eg
Lagi-lagi terbukti adanya pendapat yang berbeda dalam gerakan Islam mengenai sesuatu. Tidakkah ini menunjukkan perbedaan antara mereka di saat-saat yang sangat menentukan seperti
di masa kini, sebagai sesuatu dianggap penting.? Jawabannya,
persoalan itu tergantung dari sikap kaum muslimin sendiri. Sebagaimana kita ketahui, kaum muslimin dapat dibagi dua, dalam
pendekatan mereka kepada perubahan-perubahan sosial yang
terjadi. Di satu pihak, ada kaum muslimin yang merasakan tidak
ada keharusan bergabung dalam gerakan-gerakan Islam tersebut. Di lain pihak, ada pengikut gerakan-gerakan Islam modernis
dan tradisional, dan di samping mereka yang mengikuti strategi
budaya atau strategi ideologis. Inilah yang senantiasa harus diingat, kalau kita berbicara tentang Islam negara kita saat ini.
Seringkali, orang berbicara tentang Islam tanpa memperhatikan kenyataan ini , terjadilah klaim yang sangat berani,
bahwa orang yang mengemukakan pendapat ini berbicara
atas nama Islam secara keseluruhan. Padahal, ia sebenarnya hanya berbicara atas nama kelompok atau pemikirannya sendiri
yang dalam bahasa teori hukum Islam (ushûl fiqh) disebutkan
sebagai langkah menyebutkan hal-hal umum, dan dimaksudkan
untuk hal-hal khusus (ithlâqu al-‘âm wa yurâdu bihi al-khâs).
Di sini, terjadi perpindahan dari seorang pengamat yang seharusnya bersikap obyektif, menjadi seorang aktivis perjuangan
yang sering bersikap subyektif.
Selama kaum muslimin belum dapat menghilangkan klaimklaim ini di atas, selalu akan terjadi kerancuan berpikir, apalagi kalau hal itu disampaikan melalui media massa. Pantaslah kalau kaum muslimin pada umumnya dibuat kebingungan, mungkin termasuk oleh penulis sendiri. Ini sebab posisi penulis, yang
sering dikacaukan (dan juga mengacaukan) antara peranan sebagai pengamat atau berperan sebagai aktivis perjuangan gerakan
Islam. Lima belas tahun penulis menjadi Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), dan sekarang pun masih menjadi Mustasyar (penasehat-nya). Warga Nahdlatul Ulama (NU)
saja sering kebingungan akan hal itu, apalagi orang lain.
eg
memakai pendekatan ilmiah atau tidak subyektif adalah persyaratan mutlak bagi sebuah pandangan/pendapat yang
baik. Emosi tidak boleh digunakan, walaupun kita berada dalam
keadaan sesulit apapun dan terjepit/tersudut. Argumentasi yang
baik harus kering dari emosi untuk mencapai obyektivitas yang
dimaksudkan. Kalau ini tidak diperhatikan, maka pendapat itu
dianggap sebagai sesuatu yang memalukan dan tidak diterima
sebagai sesuatu yang rasional oleh publik. Salah-salah, pandangan atau pendapat subyektif dan penuh emosi seperti itu akan
ditertawakan oleh masyarakat, dianggap sebagai lelucon yang
tidak lucu.Demikian pula, sanggahan saudara Fauzan atas keterangan Dr. Djohan Effendi itu, yang hanya berisi “tudingan“ bahwa
Dr. Djohan Effendi adalah anggota kelompok kaum neo-modernis Islam di negeri kita. Kalau Dr. Djohan Effendi menggunakan rekaman atas keterangan Abdullah Sungkar dan Abu
Bakar Ba’asyir, mengenai peranan mereka dalam pembentukan
Jamaah Islamiyah, sehingga berani mengambil kesimpulan yang
dikemukakannya, sanggahan saudara Fauzan justru tidaklah
demikian. Yang dilakukan, hanyalah ‘penamaan’ terhadap Dr.
Djohan Effendi sebagai anggota kelompok neo-modernis Islam
di negeri kita. Tentu orang bertanya, manakah obyektivitas sanggahan tersebut? Ternyata, yang dilakukan hanyalah penamaan
belaka, tanpa memberikan argumentasi apa-apa. Tidakkah langkah ini justru akan ditertawakan? Tentu saja hal itu akan dilakukan penulis, jika tidak menyangkut sesuatu yang sangat penting
bagi kita bangsa negara kita , seperti tragedi terorisme.
Dari kritikan di atas, menjadi jelas bahwa sanggahan tersebut sangat memalukan, sebab tidak disertai argumentasi apapun. Bahwa keterlibatan Dr. Djohan Effendi dalam kelompok
neo-modernis Islam di Tanah Air kita adalah informasi yang
benar. Dr. Djohan Effendi, dan juga penulis, tidak perlu merasa
malu dengan penamaan itu. Selama kita menghormati dan bersikap benar terhadap sebuah fakta, selama itu pula kita tidak
perlu merasa malu atau takut kepada siapapun. Sedangkan sanggahan terhadap sikap itu, kalau hendak dibantah atau ditolak,
hendaknya berdasarkan argumentasi yang kuat dan rasional. Bukannya dengan penamaan belaka bahwa si fulan anggota kelompok ini atau warga kalangan itu. h
Dalam keterangannya yang dimuat Far Eastern Economic
Review (FEER) edisi 12 Desember 2002, Menteri Senior
Singapura Lee Kuan Yew, menyatakan dia bertanya kepada orang-orang Muslim gerakan radikal dari Asia Tenggara.
Pertanyaannya, apa sebab mereka mengubah citra moderat kaum
Muslimin di Asia Tenggara menjadi radikalisme berlebihan? Bagi
penulis, pendapat Lee Kuan Yew tidak dapat diperhitungkan dalam pandangannya mengenai Islam di Indonesia. sebab itu dia
mengajukan pertanyaan yang salah, seperti yang diajukannya
kepada gerakan Islam radikal: Mengapakah Anda membuat citra Islam di Asia Tenggara menjadi begitu buruk dengan meledakkan bom? Sedangkan tadinya citra agama Islam di kawasan
ini begitu moderat? Mengapa penulis menganggap pertanyaan
itu salah, dan sebab itu menilainya naif? Bukankah ini sebuah
“tuduhan berat” terhadap seorang pengamat sekaliber Lee yang
kawakan menguasai dunia perpolitikan di Singapura?
Tentu saja penulis mempunyai dasar yang cukup bagi “tuduhannya” itu. Pertama, sebab hal itu di kemukakan oleh tokoh
tersebut, dengan sendirinya didengarkan oleh banyak pihak, terutama pengambil keputusan di Barat. sebab itu, kalau memang
benar pernyataan Lee Kuan Yew itu salah atau naif, maka harus
segera dikoreksi. Koreksi itu harus segera dilakukan sebelum
pernyataan itu disimpulkan sebagai “kebenaran” oleh para pengambil keputusan di Barat. Demikian juga sebelum “kebenaran”
ini dipakai sebagai landasan berpikir oleh para pengamat
di seluruh dunia.Walhasil, pendapat dari seorang tokoh seperti pimpinan
Singapura itu haruslah kita bedah dan koreksi bilamana perlu.
Kegagalan melakukan hal ini amat sangat merugikan bagi perkembangan Islam di seluruh dunia. sebab nya tulisan ini dibuat
sebagai referensi atas ucapannya ini .
Kedua, agama Islam selama ini telah menjadi korban dari
sekian banyak anggapan. sebab nya diperlukan “keberanian moral” untuk memulai koreksi atas kesalahan demi kesalahan yang
telah terjadi, guna menghindari terulangnya hal itu di masa depan. Bukankah tidak ada yang lebih baik untuk “memulai” deretan responsi, selain menerangkan masalah sebenarnya dari pernyataan Lee Kuan Yew itu? Melalui sebuah responsi yang sehat,
yaitu dengan mempertanyakan dasar-dasar apa yang digunakan
Lee Kuan Yew untuk menyusun pernyataannya itu. Begitu juga
tinjauan “dari dalam” Islam sendiri, adalah sesuatu yang sangat
penting guna “membaca” kebenaran sebuah pernyataan “orang
luar.” Tulisan ini justru dikemukakan dengan tujuan memperoleh pandangan yang tepat tentang gerakan radikal Islam di
negeri kita.
Dalam mengajukan pernyataan di atas, Lee Kuan Yew tampak mempersamakan kekuatan gerakan Islam radikal dengan
gerakan Islam moderat di kawasan Asia Tenggara. Ini adalah
kesalahpandangan di kalangan “para pengamat.” Tetapi, bagaimanapun juga Lee Kuan Yew harus disanggah, jika ia tidak mengemukakan kebenaran. Kenyataannya, gerakan Islam radikal
itu tidaklah besar, tetapi sanggup melakukan kekerasan. Hal itu
terjadi sebab “kesalahan” prinsipil yang dilakukan pemerintah/
eksekutif di negeri kita. Hal ini juga terjadi sebab kebanyakan
pengamat menganggap berbagai gerakan Islam radikal sebagai
sesuatu yang besar. Padahal sebenarnya, muslim yang “terlibat”
gerakan radikal itu, tidaklah banyak. Katakanlah, mereka hanya
berjumlah 50.000-an orang, namun jumlah itu tidak ada artinya
di hadapan 200 juta umat Muslim yang moderat. Hanya saja, “kelompok” moderat ini tidak mempunyai dukungan materiil yang
kuat dan minimnya skill/kecakapan, lain halnya dengan gerakan
Islam radikal. Selain itu, gerakan Islam moderat belum memiliki
kohesi organisatoris, yang diperlukannya untuk maju ke depan.
Jika dibiarkan, ketakutan berlebihan peradaban “Islam”
yang merasa dikalahkan oleh peradaban “Barat”, akan menjadi
semakin besar. Padahal kalau dilihat secara budaya, persoalannya akan jauh berlainan dari pandangan ini . Kalaupun “Islam” dikalahkan “Barat”, itu mungkin hanya mencakup teknologi,
jaringan perdagangan dan komunikasi. Namun di bidang-bidang
peradaban kultural lainnya, secara relatif sangat kuat kedudukannya. sebab nya, kita tidak usah merasa “kalah” oleh keadaan itu.
Kita tidak perlu “membuktikan” kehebatan kita melalui penggunaan kekerasan (termasuk terorisme), yang berakibat kematian
orang-orang yang tidak bersalah.
Salah satu tanda pendangkalan agama yang terjadi di kalangan gerakan radikal Islam adalah upaya memandang hal-hal
yang berbau kelembagaan/institusional sebagai satu-satunya
ukuran “keberhasilan” kaum muslimin. Padahal kultur Islam
lainnya, seperti, rebana, sufisme dan sebagainya, cukup menonjol, bahkan dengan kultur itu kaum muslimin berhasil menolak
pengaruh “Barat.”
Lihat saja siaran televisi, yang semakin lama, semakin menunjukkan warna Islam. Di sini kita melihat, tampak kebangkitan kultural Islam dalam perpaduan yang lama dan yang baru,
seperti artis yang sudah tidak malu lagi mejeng membawakan
acara keagamaan pada bulan Ramadhan. Jadi, kebesaran Islam
tidak ditentukan oleh pakaian jubah yang dikenakan, atau jenggot, sorban dan cadar yang dikenakan, yang menutup seluruh
badan dan wajah perempuan. Seorang perempuan yang menggunakan kerudung “biasa” sama Islamnya dengan yang menggunakan cadar. sebab itu, pandangan yang membedakan antara
mereka, adalah pandangan yang tidak mengenal kaum muslimin
dan hakikat Islam.
Dalam perdebatan dengan Samuel Huntington,1
tentang
teori perbenturan budaya (clash of civilization), penulis menyatakan, bahwa dalam teori perbenturan budaya Islam dan
Barat itu, Huntington hanya melihat pohon, tanpa mengenal
hutannya. Memang ada pohon dalam jumlah kecil yang berbeda dari yang lainnya, tetapi keseluruhan hutannya justru memperlihatkan pohon yang sama dengan jumlahnya lebih besar. Maksudnya, puluhan ribu kaum Muslimin, tiap tahun belajar di
Barat dalam berbagai bidang, tentu saja kalau ada yang radikal di
antara mereka jumlahnya sangat kecil, dan tidak dapat dijadikan
ukuran bahwa mereka mewakili Islam. Arus belajar “ke Barat”
sangat besar, sehingga pertentangan Islam melawan Barat, tidak
usah dikhawatirkan, apalagi dijadikan momok.
sebab itu, ungkapan Lee Kuan Yew yang memandang gerakan Islam radikal secara berlebih-lebihan, sebagai representasi
umat Islam ini , jelas tidak berada pada tempat sebenarnya.
Inilah yang harus diubah, yaitu penggunaan kelompok Islam radikal sebagai ukuran bagi Islam dan kaum Muslimin yang mayoritas justru bersikap moderat dalam hampir semua hal. Untuk
perubahan itu, kita harus bersabar sedikit, untuk menunggu
hasil pemilihan umum yang akan datang, yang menurut penulis
akan menunjukkan keunggulan yang sangat besar dari gerakan
moderat dalam Islam. Penulis dapat mengatakan hal ini, sebab
dalam sehari dapat melakukan tiga sampai empat kali komunikasi langsung dengan rakyat di seluruh pelosok tanah air. Ini
karena penulis dan partai politik yang dipimpinnya, tidak dapat
bersandar pada media massa domestik yang masih “lintang pukang” keadaannya.
Juga harus ada faktor lain yang harus diperhitungkan, yaitu peranan pemerintah/eksekutif. Kalau pihak itu takut kepada
gerakan Islam radikal, seperti yang terjadi dewasa ini di Indonesia, maka gerakan ini akan menjadi berani dan melanggar undang-undang. sebab itu diperlukan keberanian bersikap
tegas (kalau perlu bertindak keras), terhadap unsur-unsur garis
keras yang mengacaukan keamanan.
Penulis tidak setuju dengan RUU Antiterorisme, tetapi diperlukan juga keberanian secara fisik berhadapan dengan para
pelaku kekerasan itu. Hal-hal inilah yang harus dimengerti oleh
orang-orang seperti Lee Kuan Yew. Sederhana dalam konsep,
tapi sulit dilaksanakan bukan?
Pertemuan itu diadakan di sebuah kuil/gereja milik sebuah
agama baru di Jepang, pecahan dari agama Buddha. Dari
pihak penulis, hadir Konsul Jenderal Republik negara kita
(Konjen Rl) untuk daerah Kansai, Hupudio Supaidi. Dari pihak
Jepang datang berpuluh-puluh agamawan dari berbagai agama,
termasuk tokoh-tokoh Kristen Protestan-Katolik serta seorang
peserta wanita dari Partai Komunis Jepang. Ia juga termasuk
seorang legislator lokal yang menjadi anggota dewan kota (town
consellor) dari Sakai, yang berpenduduk sekitar 800 ribu jiwa.
Sakai adalah kota satelit di Osaka, Jepang, yang sekarang sedang
berusaha menjadi sebuah provinsi/prefectures sendiri, lepas
dari Osaka.
Dalam pertemuan itu, penulis juga ditemani oleh Mr. Hitoshi Kato, seorang politisi lokal yang mengundang penulis ke
Sakai dan sang keponakan Hisanori Kato1
, seorang ahli tentang
negara kita dan dapat berbahasa negara kita . Ia bekerja di Manila dan kembali ke Sakai hanya untuk menemani penulis. Hitoshi Kato datang ke negara kita pada bulan Juli lalu, dan mencoba melakukan kerjasama dengan Universitas negara kita (UI) dan Universitas Nasional (Unas) di Jakarta dengan Universitas
Hagoromo yang memiliki mahasiswa 2000 orang, padahal baru
didirikan beberapa bulan yang lalu di Sakai. Akibat pemberitaan
media massa di Jepang tentang peledakan bom di Bali, ia mempunyai persepsi yang ‘salah’ tentang Islam dan kaum Muslimin,
sebagai kaum penjarah dan teroris. Padahal ia menyadari, ratusan ribu warga daerah Kansai, di mana Osaka dan Sakai terletak,
memandang Bali sebagai tujuan pariwisata yang harus didatangi
berkali-kali.
Ternyata, kesan mereka itu salah sama sekali, begitu ia
sampai di Jakarta, ia bertemu dengan orang-orang yang ramah,
dan banyak di antaranya dapat dijadikan kawan. Ia bertemu penulis, dan meminta keterangan tentang Islam dan kaum Muslimin. Tentu saja, penulis menyatakan tindakan para teroris itu
—kalau benar dilakukan oleh gerakan Islam— adalah sebuah penyimpangan kecil dari mayoritas gerakan Islam, yang terutama
banyak dikuasai oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Jadi tidak benar, anggapan bahwa mayoritas kaum Muslimin di negeri ini menyetujui peledakan bom di Bali yang dilakukan
oleh gerakan Islam. sebab tindakan itu akan dianggap diskriminatif oleh pemeluk-pemeluk agama Hindu, yang justru sebab
penduduk Bali mayoritas beragama Hindu. Jelas gerakan Islam
tidak menyetujuinya, dan ini jelas bertentangan dengan agama
Islam yang memberikan perlindungan dan menjamin keselamatan terhadap kaum minoritas.
Pelurusan pandangan itu, membuat Hitoshi Kato menganggap perlu mengundang penulis ke Sakai. la ingin agar penulis
menjelaskan sendiri kepada penduduk Jepang di Sakai, bahwa
apa yang digambarkan tentang Islam oleh media massa Jepang
selama ini adalah sesuatu yang salah, bertentangan dengan kenyataan sebenarnya. Tentu saja, penulis menyambut baik ajakan
itu, dan menyediakan waktu untuk itu pada minggu pertama bulan November 2002. Berbagai acara digelar, termasuk kunjungan
kepada Walikota Sakai dan pertemuan di Tokyo dengan Ambassador Noburo Matsunaga dan Pendeta Niwano, keduanya teman
penulis yang akrab sejak beberapa tahun yang lalu. Sayang sekali, penulis tidak bertemu dengan Daisaku Ikeda, pendiri gerakan
Buddhis Soka Gakkai, yang memiliki sebuah Universitas —tempat penulis menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang
humaniora pada bulan April yang lalu. Dalam rangkaian pertemuan-pertemuan di Sakai itu -yang,
juga diliput oleh koran Mainichi Shimbun (yang memiliki edisi
Jepang dan Inggris), penulis menjelaskan hakekat Islam sebagai
agama perdamaian, yang disalah-mengerti oleh sebagian kecil
kaum Muslimin, dengan tindakan-tindakan penuh kekerasan
yang mereka lakukan.
Menurut penulis, hal ini mereka lakukan sebab dua hal.
Di satu sisi, mereka hanya mementingkan institusi (kelembagaan) dalam Islam, yang sekarang tengah terancam di mana-mana,
dalam masyarakat yang berteknologi maju. Mereka lupa, bahwa
Islam juga membawakan kultur/budaya kesantrian, yang justru sekarang semakin berkembang sebagai pertahanan kaum
Muslimin dalam menghadapi “serangan teknologi maju” itu.
Di sisi kedua, mereka yang melakukan terorisme itu tidak pernah mendalami Islam sebagai bidang kajian, sebab mereka tidak mengenal kultur/budaya santri itu. Sebagai akibatnya, lalu
mereka langsung mengambil dari sumber-sumber tertulis Islam
(al-adillah al-naqliyyah), tanpa mengetahui deretan penafsiran
yang sudah berjalan berabad-abad untuk memahami kitab suci
al-Qur’ân dan Hadits Nabi Muhammad Saw melalui perubahanperubahan penafsirannya. Inilah yang membuat mengapa Islam
memahami toleransi dan menerima pluralitas, yang berujung
pada penerimaan mayoritas Muslim di negeri ini akan Pancasila
dan penolakan mereka atas negara Islam melalui penghapusan
Piagam Jakarta dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam keterangannya, penulis menyatakan bahwa di Indonesia masih terdapat kelompok-kelompok kecil dalam gerakan
Islam yang masih menginginkan adanya negara Islam. Namun,
mereka selalu dikalahkan dalam setiap upaya formal dalam melakukan hal itu. Penulis tambahkan, ia memiliki keyakinan bahwa
upaya-upaya ini tidak akan pernah mencapai hasil sebab
tradisi kesantrian ini justru semakin berkembang, kini dan
di masa depan, dalam bentuk kultural dan bukan dalam bentuk
politik. Ini rupanya ditangkap oleh mereka yang bertemu dengan
penulis dan, mudah-mudahan, membuat mereka merasa aman
dengan Islam.
eg
Sisi lain yang juga disinggung penulis, adalah kekhususan Islam, khususnya di kawasan Asia Tenggara, yang mengembangkan pendidikan pesantren dengan nama bermacam-macam, seperti pondok di Malaysia-Thailand-Kamboja serta Madrasah di
Philipina Selatan. Lembaga ini membuat prioritasnya sendiri, yang berbeda dari prioritas pendidikan yang di negara kita
dikenal sebagai pendidikan umum. Pendidikan umum itu tidak
memberikan tempat penting kepada etika/akhlak, dan sama sekali tidak menghiraukan pendidikan agama. Hal itu berakibat
hilangnya pertimbangan moral dari pendidikan dan hanya mementingkan penguasaan ketrampilan dan pengetahuan belaka.
Sebenarnya, kalau ditinjau secara mendalam, sikap “garang” yang ditunjukkan berbagai gerakan-gerakan Islam yang
kecil, dan sikap memakai kekerasan yang diperlihatkan berbagai elemen teroris di negara kita, bersumber pada kurangnya
pengetahuan akan Islam itu sendiri. Dengan mencuatnya manifestasi lahiriyah dalam ilmu pengetahuan dan teknologi “Barat”,
mereka lalu menjadi ketakutan akan kekalahan Islam dari peradaban yang berteknologi maju. Ini tentu saja salah, sebab peradaban adalah milik manusia secara keseluruhan. Akan terjadi
proses perpindahan pengetahuan dan teknologi “Barat” itu ke
seluruh peradaban-peradaban lain, termasuk peradaban Islam.
Proses pergulatan antara kultur/budaya Islam dengan pengetahuan dan teknologi “Barat” itu, tentu akan mengalami perubahan bentuk di lingkungan masyarakat Muslim. Inilah yang tidak
pernah ditangkap mereka, hingga mereka melakukan perlawanan yang acapkali berbentuk kekerasan dan tindakan teror.
Ini semua, juga pernah dikemukakan penulis dalam ceramah Maulid Nabi Saw di halaman kantor harian umum Memorandum di Surabaya, beberapa waktu yang lalu. Bahwa, perubahan sosial yang terjadi di Mesir, misalnya, dibawakan atau justru
didorong oleh perubahan bahasa dan sastra Arab yang menjadi
bahasa dan sastra nasional. Tanpa perubahan bahasa dan sastra
Arab sebagai bahasa nasional, perubahan sosial di negeri itu tidak mungkin terjadi. Inilah jasa Dr. Thaha Husein (1889-1973)2dan murid-muridnya. Sebaliknya, perubahan sosial juga dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan bahasa dan sastra nasional, seperti dapat dilihat dalam perdebatan antara Sutan Takdir Alisyahbana dengan Sanusi Pane menjelang Perang Dunia
II, walaupun tidak membawa perubahan apa-apa pada bahasa
dan sastra Arab di negara kita . Ia tetap menjadi bahasa dan sastra tradisional yang dibawakan dalam tembang/sya’ir Arab yang
demikian banyak ditampilkan di negara kita kini, dengan iringan
musik campuran antara yang lama dan yang baru. Ini terjadi,
sebab bahasa dan sastra Arab di negeri ini dianggap sebagai
“bahasa dan sastra Islam”, sebab memang tidak menjadi bahasa
nasional. Sebab, bahasa dan sastra nasional kita berasal dari bahasa Melayu, seperti kita ketahui selama ini. Proses yang sangat
menarik, bukan? h
Ulang tahun ke-101 Mahatma Gandhi, bulan Oktober
yang lalu dirayakan secara sederhana. Tokoh pejuang
berkebangsaan India ini terkenal dengan ajaran yang menentang kekerasan (ahimsa) dan satyagraha, yang digunakannya dalam perjuangan menuntut kemerdekaan secara damai bagi
India dari tangan Inggris. Untuk itu, ia meninggalkan praktek
hukum yang sangat menguntungkan di Afrika Selatan, dan kembali ke India untuk memimpin perjuangan kemerdekaan yang
dilakukannya tanpa kekerasaan. Kita yang melakukan peperangan melawan Belanda dalam menuntut kemerdekaan, cenderung
untuk meremehkan arti perjuangan damai yang mereka lakukan.
Sikap inilah yang perlu kita ubah, agar tidak mewarnai hubungan kita dengan negeri-negeri lain.
India, setelah perang kemerdekaan usai, ternyata menumbuhkan dua hal yang sangat penting, yaitu ketundukan kepada
hukum dan berani mengembangkan identitas bangsa ini .
Ketundukan kepada hukum itu tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari, seperti ketika seorang tamtama polisi mencatat
dalam buku catatannya hal-hal yang membuat ia menahan/menangkap seseorang. Setelah keterangan tertulis itu dibacakan kepada si tertangkap, maka ia diminta menandatangani “pra/berita acara polisi” itu, maka dokumen yang bertanda tangan warga
itu, dijadikan pegangan untuk memeriksanya dengan teliti dan
mengadilinya di pengadilan, kalau memang ia pantas dihukum. Dengan kata lain, hanya orang yang memang ada indikasi kuat
secara obyektiflah yang dapat ditahan, bukannya keterangan oknum polisi ini . sebab nya warga negara India lebih banyak
dilindungi oleh hukum, dibandingkan warga negara kita di negeri sendiri.
Namun, ini tidak berarti undang-undang (law) di India
sudah mencerminkan keadilan. Banyak undang-undang yang
dihasilkan Lok Sabha (Majelis Rendah Parlemen India), tidak
menyelesaikan masalah hak-hak anak dan perempuan, dan juga
perlindungan kepada kerja paksa (bounded labour). Kedudukan
pekerja paksa itu sangat rendah secara sosial, hal ini sebab diperkuat oleh agama Hindu dengan sistem kastanya. Datanglah
Gandhi dengan ajakan menciptakan masyarakat tanpa kasta,
dan memandang mereka dari kasta terbawah (sudra) sebagai
harijan (anak Tuhan). Ternyata, penolakannya atas kekerasan
menumbuhkan rasa perikemanusiaan yang sangat dalam pada
diri Gandhi. Dan ini pula, yang membuat orang-orang Hindu
fundamentalis/ekstrim membunuhnya pada tahun 1948.1
eg
Islam juga mengajarkan hidup tanpa kekerasan. Satu-satunya alasan untuk memakai kekerasan, adalah jika kaum
Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka (idzâ ukhirijû min
diyârihim). Itupun masih diperdebatkan, bolehkah kaum Muslimin membunuh orang lain, jika jiwanya sendiri tidak terancam?
Demikianlah Islam berjalan berabad-abad lamanya tanpa kekerasan, termasuk penyebaran agama ini di negeri ini. Alangkah jauh bedanya dengan sikap sementara fundamentalis/teroris
Muslim di mana-mana dewasa ini. Terjadi pergolakan berdarah
di sementara daerah, seperti Poso, Sulawesi Tengah dan Ambon,
Maluku. Begitu juga, mereka yang berhaluan “garis keras” di
kalangan berbagai gerakan Islam di sini, berlalu-lalang kian-kemari membawa pedang, clurit, bom, granat serta senapan rakitan. Perbuatan itu jelas melanggar undang-undang, tetapi tanpa ada tindakan apapun dari pemerintah.
Bahkan beberapa dari mereka melakukan gerakan pembersihan (sweeping) dan memberhentikan kendaraan untuk diperiksa sesuka hati. Pernah juga terjadi, dilakukan sweeping atas coffee house di Kemang, Jakarta, demi untuk menegakkan syari’ah
Islamiyah di negeri ini. Anehnya, botol-botol sandy dipecahkan
dibuang ke lantai, sebab berharga murah, sebaliknya wishky
dan vodka yang berharga mahal dibawa pulang dalam keadaan
utuh, mungkin untuk dijual lagi. Sikap mendua yang materialistik ini memperkuat dugaan bahwa di antara para fundamentalis
itu ada orang-orang bayaran dari luar. Masalahnya, mengapakah
para pemimpin berbagai gerakan ini tidak dapat mengendalikan anak buah mereka ?
Sikap memakai kekerasan itu, juga tidak sedikit didorong oleh berbagai produk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD I dan DPRD II) di berbagai kawasan, seperti di Sumatera Barat, Garut, Cianjur, Tasikmalaya dan Pemekasan yang
berkecenderungan untuk memberlakukan syari’ah Islamiyah secara formal. Umpamanya saja dalam bentuk peraturan daerah,
mereka ingin melambangkan kuatnya semangat untuk menolak
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan syari’ah Islamiyah
saat masa Orde Baru. Jadi, sebenarnya sikap itu tidak berbeda
jauh dengan orang-orang fundamentalis itu. sebab nya, sidang
kabinet di waktu penulis masih menjadi Presiden memutuskan
bahwa Peraturan Daerah (Perda) yang berlawanan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) dianggap tidak berlaku. Penulis beranggapan, keputusan para pendiri negara ini termasuk 7 (tujuh)
orang pemimpin berbagai gerakan Islam, untuk memisahkan
agama dan negara dengan menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, masih berlaku dan belum dicabut oleh siapapun.
eg
Lalu, mengapakah ada orang-orang fundamentalis itu, yang
umumnya terdiri dari orang-orang muda yang terampil yang cakap secara teknis, namun tidak pernah jelas diri mereka secara
psikologis? Jawabnya sebenarnya sederhana saja. Pertama karena orang-orang itu melihat kaum Muslimin tertinggal jauh di belakang dari orang-orang lain. Nah, “ketertinggalan” itu mereka
kejar secara fisik, yaitu memakai kekerasan untuk menghalangi kemajuan materialistik dan duniawi itu. Mereka lebih mementingkan berbagai institusi kaum Muslimin, dan tidak percaya
bahwa budaya kaum Muslimin dapat mendorong mereka untuk
meninggalkan kelompok-kelompok lain. Jika sudah mengutamakan budaya, maka nantinya “mengejar ketertinggalan” dengan
cara penolakan atas “budaya Barat” akan dilupakan, sebab kecakapan yang mereka miliki juga berasal dari “dunia Barat”.
Aspek kedua dari munculnya gerakan-gerakan fundamentalistik ini adalah proses pendangkalan agama yang menghinggapi kaum muda Muslimin sendiri. Mereka kebanyakan adalah
ahli matematika dan ilmu-ilmu eksakta lainnya, para ahli ekonomi yang penuh dengan hitungan-hitungan rasional dan para
dokter yang selalu bekerja secara empirik. Maka dengan sendirinya tidak ada waktu bagi mereka untuk mempelajari agama Islam dengan mendalam. sebab nya, mereka mencari jalan pintas
dengan kembali kepada sumber-sumber teksual Islam seperti alQur’ân dan Hadits, tanpa mempelajari berbagai penafsiran dan
pendapat-pendapat hukum yang sudah berjalan berabad-abad
lamanya.
sebab itulah, mereka mencukupkan diri dengan sumber-sumber tekstual yang ada. sebab mereka biasa menghafal
vademecum berbagai nama obat-obatan dan benda-benda lain,
maka dengan mudah mereka menghafal ayat-ayat dan hadits-hadits dalam jumlah besar yang memicu kekaguman orang.
sebab sumber-sumber tertulis itu diturunkan dalam abad ke-7
sampai ke-8 masehi di Jazirah Arab, tentu dibutuhkan penafsiran yang kontemporer dan bertanggung jawab untuk memahami kedua sumber tertulis di atas. Tetapi sebab pengetahuan
mereka yang sangat terbatas tentang Islam membuat mereka
fundamentalis. Akibatnya bagi kaum Muslimin lainnya dan bagi
seluruh dunia pula sangat drastis. Tindak kekerasan yang sudah
biasa mewarnai langkah-langkah mereka, dianggap oleh masyarakat dunia sebagai ciri khas gerakan Islam. hDalam sebuah diskusi yang diselengarakan FES (Friedrich
Ebert Stiftung) di Singapura baru-baru ini, dalam sessi pertama para peserta membicarakan konsep Samuel
Huntington tentang perbenturan antar budaya (clash of civilizations). Yang menggemparkan, beberapa peserta membicarakan
konsep itu sebagai landasan pembenaran bagi pendapat adanya
para teroris dari kelompok Islam, walaupun sebenarnya Islam
sebagai jalan hidup (syari’ah) menolak penggunaan kekerasan
termasuk terorisme dalam menentang modernitas. Mengemukakan Islam sebagai jalan hidup adalah sesuatu yang wajar, sebab
perbedaan pandangan dalam cara hidup itu diperkenankan, yang
tidak dapat diterima adalah perpecahan/pertentangan yang timbul sebab nya. Dengan demikian penggunaan kekerasan (terorisme) harus ditolak.
Seorang peserta mengemukakan, bahwa di sini terjadi sebuah proses sangat menarik. Sebagai upaya pemberagaman, bukankah universalitas konsep Samuel Huntington justru harus ditolak? Bukankah yang kita inginkan, justru konsep Huntington
itu hanya merupakan kekhususan? Dimanakah batasan antara
yang umum dan yang khusus sehingga tidak ada keraguan lagi
mengenai konsep Huntington itu? Penulis menanggapi pernyataan itu dengan mengemukakan, bahwa tidak ada pertentangan antara yang khusus dan yang umum. Dua-duanya berjalan
seiring, tapi pemaksaan yang umum dengan menghilangkan
yang khusus itulah yang justru harus ditolak. Dengan demikian
kita menolak konsep Huntington itu dengan tidak mengingkari
haknya untuk menyatakan konsep-konsep.
Di sinilah sebenarnya terletak kepemimpinan yang diharapkan, yaitu yang dapat menyampaikan kepada masyarakat luas
bahwa penolakan suatu konsep adalah hal umum, namun dapat
menjadi pendapat dominan dalam sebuah masyarakat. Dengan
demikian cara hidup kaum Muslimin dapat ditegakkan, dengan
tidak usah melanggar hak siapapun. Jadi yang harus ditolak adalah pemaksaan itu sendiri, bukannya sikap ingin memberlakukan sebuah cara hidup. Inilah arti penolakan terhadap penetapan agama sebagai ideologi negara, dan arti ini sangat dalam bagi
gagasan pemisahan agama dari negara.
eg
Sikap para peserta untuk menolak pemaksaan sesuatu konsep, benar-benar merupakan sebuah hal yang sangat menggembirakan. Dengan sikap para intelektual, politisi, dan jurnalis Timur dan Barat itu, menjadi jelas bahwa konsep Huntington itu
diperiksa bersama-sama secara teliti dan terbuka. Diakui bahwa
Huntington memakai standar ganda dalam menyusun konsep itu. Tetapi ia juga mengingatkan kita kepada perbedaanperbedaan yang harus dihargai, antara berbagai sistem budaya.
Ini justru menimbulkan harapan besar, akan masa depan umat
manusia. Berbeda dengan Francis Fukuyama yang mengajukan
konsep “Berakhirnya Sejarah” (The End of History), konsep ini
membenarkan sikap pemerintah Amerika Serikat memiliki wewenang menjadi “polisi dunia” (policeman of the world). Juga
berarti ia mempunyai hak untuk campur tangan dalam masalah
dalam negeri orang lain.
Sikap yang membenarkan pelanggaran wewenang oleh
Amerika Serikat atas negara-negara lain, sangat bertentangan
dengan pendapat Republik Rakyat Tiongkok (RRT). RRT berpendapat pengeboman atas sebuah negara harus diputuskan
secara multilateral oleh PBB, dan berdasarkan bukti-bukti yang
kuat. Ini dapat diartikan negara itu menolak “hak-hak” Amerika Serikat untuk melakukan pengeboman atas Afghanistan dan Irak sebagai negeri yang berdaulat. Bahkan RRT berpendapat,
tindakan Amerika Serikat itu hanya berdasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan geopolitis yang belum tentu benar.
Sudah tentu, kita sangat berkepentingan dengan konsep
Huntington itu. Bukankah di negeri kita juga ada terorisme
—untuk “melawan” kebudayaan Barat—, yang dituduh menjadi
bagian dari terorisme internasional. Pembenaran anggapan bahwa budaya Islam ataupun budaya bangsa-bangsa berkembang
bertentangan dengan “budaya Barat”, adalah pembenaran bagi
teroris yang merasa budaya Islam harus lebih unggul dari pada
budaya Barat. Mungkin saja pendapat ini di dasarkan pada hadits “Islam harus diunggulkan atas (cara-cara hidup) yang lain”
(al-Islâm ya’lû wa lâ yu’lâ ‘alaih). Secara tersamar Huntington
menyimpulkan ada keterpisahan antara budaya Islam –budaya
non Barat— dengan budaya Barat. Justru itulah yang menjadi
keberatan penulis dan teman-teman sebab menyiratkan adanya
perbenturan.
eg
Asal pandangan yang menganggap Islam sebagai cara hidup memiliki keungulan atas cara-cara hidup lain, sebenarnya
tidak salah. Setiap orang tentu menganggap sistemnya sendiri
yang benar. sebab itu perbedaan cara hidup adalah sesuatu
yang wajar. Ini termasuk dalam apa yang dimaksudkan oleh
kitab suci al-Qur’ân : “Dan telah Ku buat kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, agar kalian saling mengenal (wa
ja’alnâkum syu’ûban waqabâila li ta’ârafû)” (QS al-Hujurat
(49):13). Perbedaan pandangan atau pendapat adalah sesuatu
yang wajar bahkan akan memperkaya kehidupan kolektif kita,
sehingga tidak perlu ditakuti. Kenyataan inilah yang mengiringi
adanya perbedaan kultural (dan juga politik) antara berbagai kelompok Muslimin yang ada kawasan-kawasan dunia.
Yang dilarang oleh agama Islam adalah perpecahan, bukannya perbedaan pendapat. Kitab suci al-Qur’ân menyatakan ;
“Berpeganglah kalian pada tali Allah, dan jangan terpecah-pecah
(wa’tashimû bi hablillâh jamîan wa lâ tafarraqû)” (QS Ali Imran (3): 103). Dengan demikian, perbedaan diakui namun perpecahan/keterpecah-belahan ditolak oleh agama Islam. Padahal
para teroris yang mengatasnamakan Islam, justru menolak perbedaan pandangan/pendapat itu. Jika pandangan ini diterima,
maka artinya akan menjadi, agama Islam memerintahkan terorisme. Padahal agama ini memperkenankan pengunaan kekerasannya, hanya jika kaum Muslimin diusir dari tempat tinggal
mereka, (idzâ ukhrijû min diyârihim). Jadi di sini ada pertentangan antara pendirian sebagian sangat kecil kaum Muslimin
dengan ajaran agama mereka.
Ada sesuatu yang sangat menarik dalam membandingkan
ajaran Islam dengan konsep perbenturan budaya dari Huntington itu. Penolakan atas konsep Huntington ini , berarti juga
penolakan teoritis atas terorisme dan penggunaan kekerasan
yang dilakukan oleh sebagian sangat kecil kaum Muslimin. Menurut penulis, baik konsep ataupun pandangan ini berasal
dari suatu hal yang sama: rasa rendah diri yang ditutupi dengan
kecongkakan sikap. Konsep dan pandangan ini sangat
mengganggu saling pengertian antara kekuatan jiwa dari budaya-budaya yang saling berbeda dalam kehidupan umat manusia
dewasa ini.
Penulis diundang oleh UNESCO ke Paris, pada Mei 2003,
untuk menyampaikan pidato pembukaan (keynote address) dalam sebuah konferensi mengenai pemerintahan
yang baik (good governance) dan etika dunia (global ethics),
yang diadakan antara kaum Budhis dan Muslimin. Konferensi
itu dimaksudkan untuk mencari jembatan antara agama Islam,
yang mewakili agama-agama Ibrahim dan Budhisme yang mewakili agama-agama di luar tradisi Ibrahim.
Dalam kesempatan itu juga, penulis diminta berbicara
mengenai asal-usul (origins) terorisme bersenjata yang sedang
melanda dunia saat ini. Diharapkan pidato pembukaan itu akan
mewarnai dialog ini , yang juga dihadiri oleh delegasi dari
Persekutuan Gereja-Gereja Eropa, wakil dari pimpinan agama
Yahudi, Gereja Kristen Orthodox Syria, wakil agama Hindu dan
sebagainya. Dari kalangan agama Budha sendiri, hadir Dharma
Master Hsin-Tao dari Taiwan dan Sulak Sivaraksa dari Thailand,
di samping David Chappel dari University of California di Los
Angeles.
Pertemuan ini adalah yang ketiga kalinya, antara sebagian kaum Budhis dan kaum Muslimin (termasuk dari Tunisia, Maroko, Saudi Arabia, Sudan, Tanzania dan sejumlah pemuka kaum Muslimin lainnya). Pertemuan pertama terjadi tahun
lalu di sebuah Hotel di Jakarta, disusul pertemuan di New York
dan disudahi dengan pertemuan di Kuala Lumpur (dengan Dr.
Chandra Muzaffar sebagai tuan rumah). Dari pertemuan-pertemuan ini , diharapkan kelanjutan hubungan antara kaum
Muslimin dan Budhis, disamping juga akan dilaksanakannya sebuah konferensi besar antar kepala negara-negara berkembang
(developing countries) di Bandung, untuk merayakan 50 tahun
konferensi Asia-Afrika pertama —Bandung I— pada tahun 2005
kelak. Agenda-agenda Konferensi Bandung II harus ditetapkan
tahun ini, untuk mempersiapkan peringatan itu sendiri di Jawa
Barat pada waktunya nanti. Hal ini diperlukan, guna mencari
alternatif bagi dominasi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya
dalam dunia internasional (seperti terbukti dari serangan-serangan atas Afghanistan dan Irak), tanpa harus berkonfrontasi
dengan negara adi kuasa ini .
Timbulnya sikap menolak dengan cara konfrontatif itu, karena tidak dipikirkan dengan mendalam dan jika hanya dilakukan oleh sebuah negara saja. Terbukti dengan adanya rencana
“politik luar negeri” negara kita yang konyol –seperti keputusan
untuk (pada akhir tahun 2003 ini) keluar dari keanggotaan Dana
Moneter Internasional (International Monetary Funds). Pada
saat menjadi Presiden, penulis bertanya pada seorang ekonom
raksasa dari MIT (Massachusset Institute of Technology), Paul
Krugman. Ia menjawab, sebaiknya negara kita jangan keluar dari
keanggotaan badan internasional ini . Paul Krugman yang
juga pengkritik terbesar lembaga itu menyatakan pada penulis,
hanya negara dengan birokrasi kecil dan bersih yang dapat keluar dari IMF secara baik, sedangkan birokrasi negara kita sangatlah besar dan kotor.
eg
Dalam pidato pembukaan itu, penulis menyatakan bahwa
etika global dan pemerintahan yang baik (good governance)
hanya akan ada artinya kalau didasarkan pada dua hal: kedaulatan hukum dan keadilan dalam hubungan internasional. Ini berarti, negara adi-kuasa manapun harus memperhatikan kedua
prinsip ini. sebab itu, perjuangan untuk menegakkan kedaulatan hukum dan keadilan dalam hubungan internasional itu harus
mendapat perhatian utama. Pidato pembukaan itu, mendapatkan
jawaban dan tanggapan sangat positif dari berbagai pihak, termasuk Dharma Master Hsin-Tao (Taiwan) yang mewakili para
pengikut agama Budha. Tanggapan yang sama positifnya juga
disampaikan oleh Wolfgang Smiths dari Persekutuan Gereja-Gereja Eropa dan Rabbi Alon Goshen Gottstein dari JerusalemPenulis menyatakan pentingnya arti kedaulatan hukum,
sebab di negara kita dan umumnya negara-negara berkembang,
hal ini masih sangat langka. Justru pada umumnya pemerintahan mereka bersifat korup, mudah sekali melakukan pelanggaran
hukum dan di sini konstitusi hampir-hampir diabaikan. Perintah
kitab suci al-Qur’ân: “Wahai kaum Muslimin, tegakkanlah keadilan dan jadilah saksi bagi Tuhan, walaupun mengenai diri kalian
sendiri” (yâ ayyuha alladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi alqisthi syuhadâ’a li allâhi walau ‘alâ anfusikum) (QS al-Nisa
[4]:135), ternyata tidak dipatuhi oleh umat Islam sendiri. Yang
lebih senang dengan capaian duniawi yang penuh ketidakadilan,
dengan meninggalkan ketentuan-ketentuan yang dirumuskan
oleh kitab suci agama mereka sendiri.
Dalam pidato pembukaan ini penulis menyatakan,
agar keadilan menjadi sifat dari etika global dan pemerintahan
yang baik (good governance). Itu didasarkan pada pengamatan
bahwa sebuah negara adi-kuasa, seperti Amerika Serikat dapat
saja melaksanakan dominasi yang hanya menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan kepentingan negara-negara lain. Ini
terbukti dari serangannya atas Irak, yang terjadi dengan mengabaikan sikap Dewan Keamanan (DK) PBB.
Penulis berpendapat jika dalam waktu tiga bulan Saddam
Hussein tidak dapat ditangkap, maka tentu rakyat AS akan ribut
minta tentara mereka ditarik dari Irak. Dan perdamaian di negeri Abu Nawas itu harus ditegakkan melalui perundingan damai.
Dengan kata lain, perubahan berbagai sistem (termasuk sistem
politik dan pemerintahan) di Irak harus dilakukan tanpa melalui
paksaan. Kalau tidak, pemerintah apapun yang akan menggantikan Saddam Hussein akan dianggap sebagai pemerintahan
boneka oleh rakyat Irak sendiri. Kenyataan inilah yang harus
dipahami oleh semua pihak, termasuk AS. Dengan demikian,
apa yang sejak berbulan-bulan ini diusulkan penulis, yaitu perdamaian di Irak harus dikaitkan langsung dengan perdamaian
abadi antara Palestina dan Israel, semakin menjadi relevan.
eg
Sebagai bagian dari pembentukan etika global dan pemerintahan baik (good governance) itu, tentu diperlukan adanya
kampanye besar-besaran untuk membentuk pengertian yang mendalam atas kedua hal ini . Di sinilah terletak peranan para agamawan dan moralis dunia, dengan didukung oleh lembaga-lembaga internasional seperti UNESCO. sebab itu tindakan
sendiri-sendiri dalam pembentukan pendapat dunia, mengenai
etika global dan pemerintahan baik itu, tidak dapat dibenarkan
sebab diragukan keberhasilannya. Harus ada dialog terus-menerus antara berbagai kalangan bangsa, terutama antara para
teoritisi dan para penerap nilai-nilai di lapangan. Di sinilah terasa betapa pentingnya arti dialog seperti yang telah diselenggarakan oleh UNESCO di Paris itu. Minimal, bagi berbagai pihak
di luar lingkup negara, dapat melakukan pembicaraan mengenai
nilai-nilai global yang ingin kita tegakkan dalam pergaulan internasional. Dengan pertemuan antar berbagai agama tadi, masingmasing pihak akan saling belajar dan menimba sumber-sumber
spiritual, dalam membentuk pandangan hidup di masa depan.
Kesadaran seperti ini, mulai muncul akibat merajalelanya
sinisme yang dibawa oleh “pertimbangan-pertimbangan politik
global” (global political considerations) dan akhirnya menjadi
satu-satunya alat pertimbangan. Pertimbangan itu —dalam kerangka kajian strategis disebut sebagai “geopolitical considerations”—, hanya melahirkan kepentingan antara negara-negara
adi-kuasa (super-powers) saja, akibatnya tentu akan melumpuhkan negara-negara yang bukan adi-kuasa. Apalagi setelah UniSoviet berantakan, maka hanya tinggal sebuah negara adi-kuasa
yang memaksakan kehendak dan menginjak-injak hukum internasional untuk kepentingannya sendiri. Contohnya adalah penyerbuan AS atas Irak, dengan mengesampingkan peranan PBB
melalui Dewan Keamanan.
Di masa depan, tentu saja hal ini akan membawakan reaksi
berupa sederet tuntutan dari negara-negara berkembang akan
sebuah tatanan yang lebih berimbang secara internasional, antara negara industri maju (developed countries) dengan negara
berkembang (developing countries). Dalam penyusunan tatanan
baru seperti itu, tentu saja etika global dan pemerintahan yang
baik harus memperoleh perhatian khusus, baik untuk acuan kerangka baru yang hendak didirikan maupun untuk mengendalikan perubahan perubahan yang bakal terjadi.
sebab itu dialog terus-menerus akan kedua hal itu harus
dilakukan, termasuk pertukaran pikiran mengenai peranan spiritualitas manusia. Dialog antara para pemeluk berbagai agama, seperti yang diselenggarakan di Paris ini , tentulah sangat
menarik bagi kita. Pemaparan pengalaman pribadi dan pikiran
dari para pemimpin agama, seperti Dharma Master Hsin Tao
dari Taiwan, tentu saja harus menjadi bagian integral dari dialog
semacam itu. h
Pada akhir Februari hingga awal Maret 2003 ini, penulis
berada di Washington DC, Amerika Serikat (AS), guna
menghadiri sebuah konferensi perdamaian untuk kawasan
Timur Tengah. Undangan sebagai peserta konferensi, diberikan
oleh IIFWP (Interreligious and International Federation for
World Peace, Federasi Internasional Antar Agama untuk Perdamaian Dunia), yang berkedudukan di New York. Mengapakah
penulis jauh-jauh mengikuti konferensi ini , padahal hampir setiap hari demonstrasi-demonstrasi di tanah air, menuntut
turun/lengsernya pasangan Megawati-Hamzah Haz? Penulis memutuskan pergi ke negara Paman Sam itu, sebab dua alasan.
Pertama, sebab perkembangan dalam negeri baru mencapai
titik kulminasi setelah minggu kedua bulan Maret 2003. Kedua,
sebab persiapan-persiapan perang yang dilakukan oleh AS dan
Inggris sudah berjalan sangat jauh, -saat tulisan ini dibuat- pengiriman 198.000 pasukan AS dan 40.000 tentara Inggris ke kawasan ini , berarti pencegahan perang lebih terasa urgensinya
di kawasan Timur Tengah saat ini.
Tentu ada orang yang berpendapat, sikap gila dalam pendirian penulis, sebab menilai saat ini justru saat yang paling
baik untuk memulai sebuah inisiatif baru guna mencari titik
perdamaian abadi bagi kawasan Timur Tengah. Bukankah persiapan negara adi kuasa AS dan sekutunya Inggris Raya, merupakan petunjuk tak terbantahkan akan adanya perang yang sudah berjalan sangat jauh, hingga tidak dapat dihentikan? Bukankah pertimbangan-pertimbangan geopolitik telah memaksa
AS dan para sekutunya untuk memakai perang sebagai “alat
pemaksa” atas Irak? Jawabannya, adalah bahwa dapat dibenarkan ucapan ahli strategi perang Jerman Von Clausewitz, bahwa
“perang adalah kelanjutan dari diplomasi/perundingan yang gagal”. Dalam pandangan penulis, sikap negara-negara besar seperti Jerman, Perancis, Rusia dan Tiongkok menunjukan, bahwa
upaya-upaya diplomatik tetap memiliki relevansi yang besar,
dalam mencari solusi damai atas masalah Timur Tengah. Karenanya, dari sekarang sampai dengan terjadinya secara aktual
pemboman atas Irak, dapat dikatakan peluang bagi perdamaian
di kawasan itu tetap terbuka.
Kitapun sudah terbiasa menghadapi kenyataan, bahwa
penyelesaian sebuah konflik didapati hanya pada akhir sebuah
proses yang panjang, dihadapan persiapan-persiapan “penuh
kekerasan”, yang dalam bahasa asing disebut “merebut kemenangan dari gigitan musuh di saat-saat terakhir” (to grab peace
from the jaw of war). Namun, hal itu tidak akan tercapai, apabila dua buah tindakan tidak diambil pada waktu yang bersamaan.
Pertama, adanya sebuah forum yang untuk kesekalian kalinya
membicarakan dan kemudian menetapkan upaya terakhir yang
harus dijalankan untuk menyelesaikan konflik secara damai.
Kedua, begitu keputusan diambil, harus segera ditunjuk orang
yang melaksanakannya, dalam waktu yang begitu sempit.
Dengan dua persyaratan itulah, baru ada harganya untuk
“menggunakan kesempatan dalam kesempitan”. Kesempatan
menegakkan perdamaian abadi di kawasan ini , dan menggunakan kesempitan menghadapi kenyataan pahit di kawasan
ini .
eg
Penulis mengajukan dalam pidato pembukaan di konferensi itu, bahwa perdamaian abadi di Timur Tengah hanya dapat
dicapai, kalau penyelesaian damai atas konflik Israel-Palestina
dikaitkan dengan perdamaian di Irak. Perdamaian antara Israel–
Palestina dapat dicapai dengan dihentikannya persiapan–persiapan untuk melakukan pemboman dan pengiriman pasukan-pasukan ke negara Abu Nawas itu. Dengan demikian, penyelesaian konflik Israel-Palestina akan membawa perdamaian di Timur
Tengah secara keseluruhan. Demikian pula, upaya perdamaian
dapat dilakukan dengan dihentikannya pemboman atas Irak.
Jika ternyata hal itu tidak membawa hasil, maka ucapan
Von Clausewitz di atas harus diteruskan dengan ungkapan “perundingan/negosiasi adalah kelanjutan dari peperangan yang
gagal”. “Kegagalan peperangan” atas Irak akan terjadi, jika Presiden AS, George Bush Jr. gagal menangkap Saddam dalam waktu yang cepat. Mengapa? sebab rakyat AS tidak akan bersedia
membiayai peperangan untuk jangka waktu yang lama, walaupun negara ini telah mencapai kekayaan berlimpah-limpah
dan memiliki persenjataan yang sangat canggih yang juga membutuhkan biaya yang sangat besar untuk digunakan. Dikombinasikan dengan demonstrasi di mana-mana termasuk di AS dan
Inggris, untuk tidak menyelesaikan konflik ini dengan kekerasan, maka dapatlah diperhitungkan peperangan akan terhenti dengan sendirinya.
Kalau Saddam Hussein tidak juga segera tertangkap oleh
musuh-musuh politiknya, maka untuk menolong “muka” ASInggris dan Israel, —upaya ini dilakukan agar tidak membuat
peperangan berjalan lama— diperlukan langkah-langkah untuk
mencapai dua pemecahan (solusi). Caranya adalah dengan mencapai kesepakatan antara ke empat pihak (AS, Inggris, Israel dan
Irak), yang berlanjut dengan penghentian tindak-tindak militer di kawasan Israel-Palestina dan Irak. Digabungkan dengan
melakukan hal-hal berikut. Pertama, dengan memperkuat negara Palestina merdeka, melalui pemberian bantuan keuangan
berupa kredit murah berjangka panjang bagi negara itu, katakanlah sebesar 1 miliar dolar AS. sebab dengan bantuan seperti itu,
kebangkitan industri dan perdagangan Palestina akan terjadi
sangat cepat, apabila para pemimpin Palestina mampu menciptakan pemerintahan yang bersih di masa depan. Kedua, untuk
menghindari perang, —ini paling pahit dan sulit dilaksanakan—
mengusahakan agar Saddam Hussein lengser dari jabatan kepresidenan secara sukarela, untuk memungkinkan tercapainya
negara Palestina yang kuat secara industrial/komersial dalam
waktu cepat.Untuk memungkinkan tercapainya hal ini di atas,
yaitu “menolong posisi” Israel dan Amerika Serikat-Inggris dalam percaturan politik internasional, maka diperlukan seorang
penengah yang bersedia mondar-mandir ke AS, Inggris, Israel,
Palestina, Libya, Irak dan negara-negara lain di Timur Tengah.
Dengan demikian, sikap untuk menentang atau mendukung posisi Israel dan Amerika Serikat-Inggris dalam kedua hal ini ,
harus dibaca sebagai sikap permulaan (initial attitudes), yang
dapat saja berubah sebab perkembangan keadaan. Sedangkan
peranan “negotiator” (juru runding) itu, kalau tidak dilakukan
oleh seseorang secara pribadi (seperti disebutkan di atas), dapat
saja dilakukan oleh sekelompok orang (institusi/group). Hal itu
telah dilakukan dalam kasus Aceh oleh Henry Dunant Center,
sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang
berkedudukan di Geneva.
Agar tercapai perdamaian abadi di kawasan itu, kesungguhan sikap negara-negara yang terlibat, maupun kegigihan sang
negosiator sangatlah diperlukan. sebab nya, negosiator tersebut
haruslah memperoleh dukungan kuat dari siapapun, dalam bentuk bantuan logistik maupun kemudahan-kemudahan yang lain.
Kalau tugas itu dibebankan pada seseorang, haruslah dipastikan
orang ini memiliki stamina yang sangat prima, dibantu oleh
dua orang asisten yang bekerja terus-menerus selama beberapa
bulan. Tentu saja, peranan seperti itu akan sangat menarik hati
siapapun, hingga banyak yang ingin melakukannya. Tetapi, tentu
saja tidak setiap orang (termasuk para dip