katan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam tahun 1948. Dalam
deklarasi itu, tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama
adalah Hak Asasi Manusia. Padahal fiqh/hukum Islam sampai
hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah dari
agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (apostasy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri
kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia negara kita yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah
dihukum mati. Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan
yang tidak akan ada jawabnya, sebab jika hal itu terjadi merupakan kenyataan yang demikian besar mengguncang perasaan
kita.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa di hadapan kita
hanya ada satu dari dua kemungkinan: menolak Deklarasi Universal HAM itu sebagai sesuatu yang asing bagi Islam, seperti
yang dilakukan al-Maududi terhadap Nasionalisme atau justru
merubah diktum fiqh/hukum Islam itu sendiri. Sikap menolak,
hanya akan berakibat seperti sikap burung onta yang menolak
kenyataan dan menghindarinya, dengan bersandar kepada lamunan indah tentang keselamatan diri sendiri. Sikap seperti ini,
hanya akan berarti menyakiti diri sendiri dalam jangka panjang.
Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan
mekanisme untuk merubah ketentuan fiqh/hukum Islam, yang
secara formal sudah berabad-abad diikuti. Tetapi disinilah terletak kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan keimanan kita hanya kepada Allah dan utusan-Nya sebagai sesuatu
yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa hukum muhkamat
lainnya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu.
Apabila yang demikian itu juga dapat diubah-ubah maka hilanglah ke-Islaman kita.Sebuah contoh menarik dalam hal ini adalah tentang budak
sahaya (slaves), yang justru banyak menghiasi al-Qurân dan alHadits (tradisi kenabian). Sekarang, perbudakan dan sejenisnya
tidak lagi diakui oleh bangsa muslim manapun, hingga secara
tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Praktek-praktek perbudakan, kalaupun masih ada, tidak
diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok muslimin yang kecil tanpa perlindungan negara. Dalam jangka tidak lama lagi, praktek semacam
itu akan hilang dengan sendirinya.
Nah, kita harus mampu melihat ufuk kejauhan, dalam hal
ini kepada mereka yang mengalami konversi ke agama lain. Ini
merupakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat menjawab
tantangan masa kini dan masa depan. Firman Allah Swt dalam
kitab suci al-Qurân, “Semuanya akan binasa dan yang tetap hanya Dzat Tuhanmu (Kullu man ‘alayha fânin. Wa yabqâ wajhu
rabbika)” (QS al-Rahman [55]: 26-27) menunjukkan hal itu dengan jelas. Ketentuan ushûl fiqh (Islamic legal theory) “Hukum
agama sepenuhnya tergantung kepada sebab-sebabnya, baik ada
ataupun tidak adanya hukum itu sendiri (al-hukmu yadûru ma’a
‘illatihi wujûdan wa ‘adaman)” jelas menunjuk kepada kemungkinan perubahan diktum seperti ini.
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan antisipasi terhadap hal ini. Dalam salah sebuah muktamarnya, NU
telah mengambil keputusan “perumusan hukum haruslah sesuai
dengan prinsip-prinsip yang digunakan”. Ambil contoh masalah
Keluarga Berencana (KB), yang dahulu dilarang sebab pembatasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah
semata. Sekarang, sebab pertimbangan biaya pendidikan yang
semakin tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan tetap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Kalau diinginkan memperoleh anak lagi, tinggal membuang kondom atau menjauhi obat-obat yang dapat mengatur kelahiran. Jelaslah dengan
demikian, bahwa Islam memang menjadi agama di setiap masa
dan tempat (shalihun li kulli zamân wa makân). Indah bukan,
untuk mengetahui hal ini semasa kita masih hidup? hDalam dialog dengan para mahasiswa di Samarinda akhir
Januari lalu, lagi-lagi keluar sebuah pertanyaan yang
di mana-mana penulis hadapi, terutama dari kalangan
anak muda. Seorang mahasiswa bertanya; mengapa penulis tak
mau menerima sesuatu yang dianggap sebagai pendirian Islam,
umpamanya saja mengenai kehadiran “negara Islam”? Nah, jawaban atas pertanyaan itu, penulis kemukakan dalam tulisan ini
untuk dipikirkan bersama. Kalau ada argumentasi berbeda, diharapkan disampaikan pada penulis. Bisa jadi itu akan merubah
pendirian penulis, atau malah sebaliknya. Ini penting dilakukan,
untuk semakin menajamkan argumentasi orang yang pro (menyetujui) atau kontra (menentang) terhadap sebuah gagasan
atau pendapat. Ini hal biasa dalam sebuah pertukaran pendapat
yang bebas dan terbuka, untuk mencapai kebenaran bagi sebuah
persoalan.
Kita memang belum terbiasa dengan hal seperti ini, karena sekian lama kita terpasung dalam menyampaikan pendapat.
Mengapa? sebab para penguasa otoriter memaksakan pendapat
dan memaksakan “kebenaran” miliknya sendiri. sebab kalau
pintu perdebatan dibuka, salah-salah akan ada argumentasi
yang menyangkal “kebenaran” yang dikemukakan rezim tersebut. Apalagi, kalau kontra argumentasi itu dikemukakan dalam
bentuk pertanyaan. Kalau tidak dapat menjawab, maka sang
penguasa itu akan kehilangan pendapat, sesuatu yang tidak diinginkan. Bukankah filosof Yunani kuno, Plato, pernah menyatakan, sebuah pertanyaan berarti separuh kebenaran. Ketakutan
akan lemahnya argumentasi sendiri, menyebabkan seseorang
tidak memperkenankan adanya pertukaran argumentasi, yang
menjadi dasar sebuah perdebatan terbuka dan saling tukar pendapat. sebab nya sejarah telah mencatat, seorang penguasa otoriter
tidak akan bersedia mengadakan dialog dan pertukaran pendapat.
Lain halnya dengan agama yang memiliki “kebenaran moral”,
yang tetap akan ada walaupun terjadi penyanggahan. Kitab suci
al-Qurân menyatakan; “Kalau para hamba-Ku bertanya tentang
diri-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat (dengan mereka) memenuhi permintaan orang yang berdo’a jika (diajukan) kepada-Ku
(wa idzâ sa’alaka ‘ibâdî ‘annî fa-innî qarîbun ujîbu da’wata aldâ’i idzâ da’âni)” (QS al-Baqarah [2]:186).
Prinsip di atas, perlu dikemukakan di sini, sebab hanya
melalui dialog yang bebas dan terbuka, dapat dicapai kebenaran
akhir yang diikuti dan diterima orang yang berpikiran sehat dan
wajar. Inilah arti penting dari sikap jujur, untuk mempertahankan
kebenaran, berpikir, berpendapat dan menyatakan pendapat. Ini
pula yang merupakan ciri berlangsungnya kehidupan demokratis,
tidak seperti di beberapa negara tetangga kita. Mereka mengajukan klaim sebagai negara demokratis, namun dengan alasan keamanan internal, diberlakukan kekangan/hambatan psikologis
agar tidak menyatakan pendapat secara bebas. Dengan kata lain,
yang berlaku di tempat-tempat itu adalah demokrasi prosedural,
bukan demokrasi sesungguhnya. Kalau ditambahkan embel-embel kata lain pada istilah demokrasi, seperti demokrasi rakyat
dan demokrasi Islam, maka pada akhirnya demokrasi itu sendiri
akan mati dan tidak muncul ke permukaan.
eg
Kembali pada pertanyaan mahasiswa di atas, mengapa ada
“ajaran Islam” yang ditolak? Penulis dapat menjawab bahwa tidak pernah menolak “ajaran Islam yang baku”, seperti tauhid
dan sebagainya. Namun, penulis hanya menyanggah pendapat
yang oleh banyak orang dianggap sebagai “ajaran tetap” dalam
agama Islam. Padahal, ajaran itu telah berubah melalui perubahan zaman, dengan memakai cara tertentu. Di antara cara
tertentu itu, adalah penafsiran ulang (reinterpretasi) oleh kaum
muslimin sendiri, atas sesuatu yang tadinya diterima sebagai kebenaran tetap oleh mereka. “Kebenaran relatif” itu lalu berubah
dengan adanya penafsiran ulang itu.
Contoh yang dapat dikemukakan di sini, adalah penafsiran
ulang atas ucapan Rasulullah Saw: “Maka Aku (akan) membanggakan kalian (di hadapan) umat-umat (lain) pada hari kiamat (fa
innî mubâhin bikum al-umam yauma al-qiyâmah).” Dalam penafsiran lama, kaum muslimin mengartikan kebanggaan beliau
itu bertalian dengan jumlah (kuantitas) kaum muslimin, hingga
merekapun berbanyak-banyak anak. Tafsiran ulang yang baru,
yang didukung oleh kenyataan meluasnya program Keluarga
Berencana (KB) di kalangan kaum muslimin, minimal di negeri
ini, menunjuk pada arti lain dari apa yang dibanggakan itu: kebanggaan akan mutu (kualitas) kaum muslimin sendiri. Dengan
demikian, Islam dapat berkembang sesuai dengan perubahan
tempat dan waktu (Shalihun li kulli zamânin wa makânin).
Dengan demikian, apa yang tadinya dianggap sebagai “kebenaran” lalu dianggap oleh sebagaian kaum muslimin sendiri,
pada masa kini, sebagai “kebenaran relatif” yang perlu diberi
tafsiran baru. Contoh di atas adalah sebuah kenyataan empirik
yang tidak dapat dibantah oleh siapapun.
Sebuah tafsir ulang lain yang dapat dikemukakan di sini,
adalah melaksanakan sumpah setia ketika berjanji; “Orang-orang
yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan prasetia (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âahadû)” (QS al-Baqarah
[2]:176), sebuah ungkapan firman Allah yang tadinya dianggap
janji secara umum saja. Tafsir ulang atas istilah tersebut, dapat
diartikan dengan pengertian baru “menjunjung tinggi profesionalisme”. Bukankah janji tertinggi dari seseorang, disampaikan
ketika ia mengucapkan sumpah/prasetia jabatan? Bukankah
dengan demikian, berarti Islam sangat mengutamakan profesionalisme, dengan segala implikasinya?
eg
Jelaslah dari keterangan di atas, dengan tafsir ulang seperti
itu, “kebenaran relatif” Islam dapat ditegakkan secara pasti. Dengan demikian, ada jalinan sangat halus antara keyakinan yang
terdapat dalam diri seorang muslim dan data empirik. Hal ini
telah terjadi dengan sendirinya, sebagai proses alami yang wajar,
dalam kehidupan masyarakat kaum muslimin. Ini dimungkinkan
oleh kenyataan yang terdapat dalam sejarah kaum muslim sendiri, seperti yang kita ketahui dari bacaan selama ini.
Ketentuan ushûl fiqh (teori hukum Islam) berbunyi; bahwa hukum agama (qarâr al-hukmi) terbagi dalam dua jenis; qath’iyah al-tsubût (ketentuan berdasarkan sumber tertulis atau
dalil naqli) dan dhanniyah al-tsubût (hukum tidak berdasarkan sumber tertulis atau dalil aqli). Dengan demikian, sepanjang dapat diterima oleh akal, maka sebuah hukum agama dapat
berlaku berdasarkan pandangan akal dan selama tidak bertentangan dengan sumber-sumber tertulis al-Qurân dan al-Hadits.
Pembedaan ini dilakukan dalam teori hukum Islam sebab tidak
semua hal lalu ada sumber-sumber tertulisnya. Bagi kasus-kasus
yang termasuk dalam kategori ini, maka dibuatlah jenis hukum
yang tidak berdasarkan pada sumber-sumber tertulis. Termasuk
dalam hal ini, fatwa Syekh Yusuf al-Qaradhawi, bahwa bunga
bank yang tidak eksploitatif dan berguna bagi reproduksi barang
(termasuk dalam ongkos produksi), tidaklah dapat dianggap riba.
Masih banyak penafsiran lain tentang hal ini. Di sinilah sangat
terasa kegunaan sebuah adagium “perbedaan pendapat para pemimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmatu
al-ummah).” Kalau kita pegang adagium ini, maka yang dilarang
hanyalah perpecahan dan pertentangan saja di antara kita.
Sekarang, bila sebuah hukum agama sudah ada dalam sumber tertulis al-Qurân dan al-Hadits (qath’iyah al-tsubût), sementara keadaan membutuhkan penafsiran baru. Lalu ,apakah yang
harus diterapkan dalam hal seperti itu? Dalam hal ini, kita menggunakan sebuah kaidah hukum Islam (qaidah al-fiqh), bahwa
keadaan tertentu dapat memaksakan sebuah larangan untuk dilaksanakan (al-dharûratu tubîhu al-mahdhûrât).1
Hal ini, umpamanya saja, terlihat pada kasus negara yang sudah meratifikasi Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM)
—(Universal Declaration of Human Rights) yang ditetapkan
PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam Deklarasi HAM itu
terdapat masalah hak memeluk atau berpindah agama. Ini tentu
bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, sebab menurut
hukum agama (fiqh) orang yang berpindah agama Islam kepada
agama lain, harus dianggap sebagai apostacy (murtad). Kalau
hukum ini dilaksanakan, maka lebih dari 25 juta jiwa penduduk
negara kita –yang berpindah dari agama Islam ke agama lain
dalam lingkungan negara Republik negara kita , dapat dijatuhi hukuman mati .
Dalam kitab suci al-Qur’ân disebutkan: “masuklah kalian
ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh (udkhulû fi alsilmi kâffah)” (QS al-Baqarah [2]:208)1
. Di sinilah terletak perbedaan pendapat sangat fundamental di antara kaum
muslimin. Kalau kata “al-silmi” diterjemahkan menjadi kata Islam, dengan sendirinya harus ada sebuah entitas Islam formal,
dengan keharusan menciptakan sistem yang Islami. Sedangkan
mereka yang menterjemahkan kata ini dengan kata sifat
kedamaian, menunjuk pada sebuah entitas universal, yang tidak
perlu dijabarkan oleh sebuah sistem tertentu, termasuk sistem
Islami.
Bagi mereka yang terbiasa dengan formalisasi, tentu digunakan penterjemahan kata al-silmi itu dengan kata Islami,
dan dengan demikian mereka terikat kepada sebuah sistem yang
dianggap mewakili keseluruhan perwujudan ajaran Islam dalam kehidupan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah. Hal ini membawakan implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem yang
dapat mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin. sebab
itu, dapat dimengerti mengapa ada yang menganggap penting
perwujudan “partai politik Islam” dalam kehidupan berpolitik.
Tentu saja, demokrasi mengajarkan kita untuk menghormati eksistensi parpol-parpol Islam, tetapi ini tidak berarti keharusan
untuk mengikuti mereka.
Di lain pihak kita juga harus menghormati hak mereka yang
justru mempertanyakan kehadiran sistem Islami ini , yang
secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama
Islam sebagai warga dunia yang kalah dari kaum muslimin. Ini
juga berarti, bahwa dalam kerangka kenegaraan sebuah bangsa,
sebuah sistem Islami otomatis membuat warga negara non-muslim berada di bawah kedudukan warga negara beragama Islam,
alias menjadi warga negara kelas dua. Ini patut dipersoalkan,
sebab juga akan berdampak pada kaum muslimin yang tidak
menjalankan ajaran Islam secara penuh. Kaum muslimin seperti
ini, –sering disebut muslim nominal atau abangan–, tentu akan
dinilai kurang Islami jika dibandingkan dengan mereka yang
menjadi anggota/warga partai/organisasi yang menjalankan ajaran Islam secara penuh, yang juga sering dikenal dengan nama
“kaum santri”.
eg
Apabila terdapat pendapat tentang perlunya sebuah sistem
Islami, mengapa lalu ada ketentuan-ketentuan non-organisatoris
yang harus diterapkan di antara kaum muslimin oleh kitab suci
al-Qur’ân? Sebuah ayat menyatakan adanya lima syarat untuk
dianggap sebagai “muslim yang baik”, sebagaimana disebutkan
dalam ayat-ayat di kitab suci al-Qur’ân, yaitu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara
utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak
saudara, anak yatim, kaum miskin dan sebagainya) menegakkan
profesionalisme dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan
dan kesusahan.
Kesetiaan kepada profesi itu, digambarkan oleh kitab suci
al-Qur’ân dengan istilah, “mereka yang memenuhi janji yang
mereka berikan” (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû) (QS al-Baqarah [2]: 177). Adakah janji yang lebih nilainya daripada janji
kepada profesi masing-masing, yang disampaikan ketika membacakan janji prasetia pada waktu menerima sebuah jabatan?
Kalau kelima syarat di atas dilaksanakan oleh seorang muslim, tanpa menerima adanya sebuah sistem Islami, dengan sendirinya tidak diperlukan lagi sebuah kerangka sistemik menurut
ajaran Islam. Dengan demikian, mewujudkan sebuah sistem Islami tidak termasuk syarat bagi seseorang untuk dianggap “muslim yang taat”. Ini menjadi titik sengketa yang sangat penting,
sebab di banyak tempat telah tumbuh paham yang tidak mementingkan arti sistem.
Maka ketika NU (Nahdlatul Ulama) menyatakan deklarasi
berdirinya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tanpa menyebutkan bahwa partai ini adalah partai Islam, penulis dihujani
kritik tajam selama berbulan-bulan dari mereka yang menginginkan partai ini dinyatakan sebagai partai Islam. Ini
dilakukan oleh mereka yang tidak menyadari, bahwa NU sejak
semula telah menerima kehadiran upaya berbeda-beda dalam
sebuah negara atau kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau
terjebak dalam tasyis an-nushush al-muqaddasah (politisasi terhadap teks keagamaan).
Dalam Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin, muktamar harus menjawab sebuah pertanyaan: wajibkah bagi kaum
muslimin mempertahankan kawasan yang waktu itu bernama
Hindia Belanda (sekarang negara kita ) yang diperintah oleh
orang-orang non-muslim (para kolonialis Belanda)? Jawab
muktamar saat itu; wajib. sebab di kawasan ini , yang di
kemudian hari bernama negara kita , ajaran Islam dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga bangsa secara
bebas, dan dahulu ada kerajaan-kerajaan Islam di kawasan itu.
Dengan demikian, tidak harus dibuat sistem Islam, dan dihargai
perbedaan cara dan pendapat di antara kaum muslimin di kawasan ini .
eg
Diktum Muktamar NU di Banjarmasin ini , memungkinkan dukungan pimpinan NU kepada mendiang Presiden
Soekarno dan Hatta untuk memimpin bangsa ini. Demikian
pula, pembentukan badan-badan formal Islam bukanlah satusatunya medium bagi perjuangan Islam untuk menerapkan ajaran di bumi nusantara. NU yang resminya sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dan bukannya lembaga politik, dapat saja
menyalurkan aspirasinya tentang pelaksanaan ajaran Islam di
kawasan ini melalui Golkar (Golongan Karya) yang bukan
sebagai organisasi Islam resmi. Perbedaan jalan perjuangan antara yang menganut paham lembaga Islam sebagai sistem di satu
pihak, dan mereka yang tidak ingin melaksanakan perjuangan
melalui jalur-jalur resmi Islam, dihargai dan diterima oleh para
pendukung Ibn Taimiyyah2
beberapa abad yang lalu.
Lalu, bagaimana dengan adagium yang dikenal Islam; “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa
bi Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa
Bi Tha’ah)3
. Bukankah ini sudah menunjukkan adanya sebuah sistem, maka jawabannya bahwa tidak ada sesuatu dalam ungkapan ini yang menunjukkan secara spesifik adanya sebuah sistem Islami. Dengan demikian, setiap sistem diakui kebenarannya oleh ungkapan tersebut, asal ia memperjuangkan berlakunya ajaran Islam dalam kehidupan sebuah bangsa/negara.
sebab itu penulis berpendapat, dalam pandangan Islam
tidak diwajibkan adanya sebuah sistem Islam, ini berarti tidak
ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Ini penting untuk diingat, sebab sampai sekarang pun masih ada pihak-pihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam
UUD (Undang-Undang Dasar) kita. Dengan klaim mendirikan
negara untuk kepentingan Islam jelas bertentangan dengan demokrasi. sebab paham itu berintikan kedaulatan hukum di satu
pihak dan perlakuan sama pada semua warga negara di hadapan
Undang-Undang (UU) di pihak lain.Para santri yakin bahwa kekuasaan menjatuhkan azab dan
memberikan pahala atas sebuah perbuatan, berada di
tangan Allah Swt. Dalam hal ini, berlaku sebuah adagium
yang didasarkan atas kitab suci al-Qur’ân dan Hadits Nabi Saw.
Adagium itu berbunyi: “memberikan pengampunan dan menurunkan siksa kepada siapapun adalah otoritas Allah (yaghfiru liman yasya’ wa yu ‘adzibu man yasyâ).” Dalam hal ini, kendali
atas keadaan sepenuhnya berada di tangan Allah Swt.
Dalam konteks ini pula, sebuah pengertian baru haruslah
dipertimbangkan: sampai di manakah peranan negara dalam
menjatuhkan hukuman, sebagai salah satu bentuk siksaan. Dapatkah negara atas nama Allah memberikan hukuman sebagai bagian dari siksa di dunia? Sudahkah manusia terbebas dari siksa
neraka, jikalau ia telah menjalani hukuman negara? Kalau belum, berarti ada penggandaan (dubbleleren) antara negara sebagai wakil Allah dan kekuasaan Allah sendiri untuk menetapkan
hukuman. Bukankah justru hal ini bertentangan dengan hadits
Nabi Saw: “Idra’ul hudud bi as-syubuhat. (Jangan berlakukan
hukum hadd ketika permasalahan tidak jelas).” Dari hadis ini
dapat difahami, bahwa hendaknya hakim jangan menjatuhkan
hukuman mati jika ia ragu-ragu, benarkah si terdakwa nyata-nyata bersalah? Jelas dari hadits itu pula memberikan pengertian
bahwa kekuasaan negara ada batasnya, sedangkan kekuasaan
Allah tidak dapat dibatasi.
Dari pengertian yang sangat sederhana ini, kita sudah
dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak dapat sebuah
negara disebut sebagai negara Islam, tanpa harus memperkosa
hal-hal yang menjadi kewajiban negara secara wajar. Jadi, dalam
masalah azab dan pahala pun kita langsung terkait dengan pertanyaan adakah negara agama atau tidak? Jawaban yang salah
akan berakibat pada konsep yang salah pula dalam hubungan
antara agama dan negara. Hal inilah yang memerlukan perenungan mendalam dari kita dalam menanggapi pendapat bahwa
diperlukan sebuah negara Islam, kalau memang diinginkan berdiri negara teokratis itu, bagi bangsa kita yang majemuk.
eg
Memang benar, diperlukan pemikiran yang mendalam
tentang konsepsi yang jelas dalam hubungan antara negara dan
agama, jika diinginkan keselamatan kita sebagai bangsa yang
majemuk terpelihara di kawasan ini. Kalau belum apa-apa kita
sudah menyuarakan adanya negara Islam, tanpa adanya konsepsi yang jelas tentang hal itu sendiri, berarti telah dilakukan
sebuah perbuatan yang gegabah dan sembrono. Bukankah sikap
demikian justru harus dijauhi oleh kaum muslimin dalam mencari hubungan antara agama dan negara? Apalagi jika ditemukan
motif-motif lain dalam mendirikan sebuah negara agama, seperti adanya keinginan untuk berkuasa sendiri bagi partai-partai
politik Islam, yang melihat bentuk Negara Kesatuan Republik
negara kita (NKRI) sebagai “kekalahan” dalam pertarungan politik di tingkat nasional.
Dengan demikian gagasaan federalisme, yang menganggap
gagasan NKRI bertentangan dengan keinginan berbagai propinsi
untuk lebih independen dari pemerintah pusat, dapat dinilai
sebagai aspirasi-aspirasi separatis. Sebenarnya propinsi hanya
menghendaki pengambilan keputusan tentang penerimaan dan
pengeluaran uang harus lebih banyak dilakukan di daerah dari
pada di pusat. Jadi dengan demikian, yang diingini adalah fungsi
federal dari pemerintahan, bukannya separatisme negara kita untuk menjadi 7 (tujuh) negara atau republik federatif. Kalau ada
orang-orang yang menghendaki negara kita dalam bentuk federatif menjadi tujuh republik, maka pendapat itu adalah merupakan
suara minoritas yang sangat kecil, yang tidak perlu mendapatkan perhatian besar.
Cara yang terbaik untuk mengetahui benar tidaknya bahwa
yang menghendaki bentuk RI sebagai republik federatif, –yang
bertentangan dengan gagasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah suara minoritas yang demikian kecil, dapat
diketahui melalui pemilihan umum. Dan jika hal itu dilakukan
dengan pengawasan internasional, maka akan menghasilkan
mayoritas suara bagi partai-partai politik yang hanya menginginkan perampingan kekuasaan pemerintah pusat, dalam hal penunjukkan kepala daerah oleh DPRD setempat maupun penetapan
anggaran penerimaan dan belanja yang berpusat pada daerah,
dan bukannya pada pemerintah pusat.
eg
sebab ketidakmampuan memahami hal ini, maka para
eksponen konsep negara federal sebenarnya harus menjelaskan
bahwa gagasan mereka tidak berarti menjadikan RI terkepingkeping menjadi sekian negara yang masing-masing berdaulat.
Bahkan negara unitaris seperti Jepang dan Perancis-pun memberikan kedaulatan penuh kepada propinsi/negara bagian untuk
melaksanakan pemilihan kepala daerah dan menetapkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masing-masing. Bahkan kepolisiannya pun ditetapkan dan diatur oleh pemerintah
daerah setempat. Jadi, independensi daerah dari pusat tidaklah
berarti hilangnya kesatuan negara —yang berarti, watak negara
kesatuan dapat saja menampung aspirasi-aspirasi federal. Singkatnya, negara federal bukanlah negara federatif.
Langkanya penjelasan seperti ini telah menerbitkan kesalahpahaman sangat besar antara partai-partai politik yang
mempertahankan NKRI dan menentang negara federal di satu
pihak, dan eksponen gagasan negara federal yang mencurigai
NKRI. Kedua-duanya memiliki baik legitimasi maupun kepentingan masing-masing tentang konsep negara yang dikehendaki.
Sangatlah tragis untuk melihat kecurigaan yang satu terhadap
yang lain dalam hal ini, dan lebih-lebih untuk menyifati gagasan
NKRI sebagai gagasan nasionalistik, dan gagasan negara federal
sebagai sebuah pandangan Islam. Jadi, satu sama lain saling menyalahkan, padahal kedua-duanya saling menyepakati perlunya
sebuah negara yang satu, dengan watak federal dalam artian independensi seperti yang dimaksudkan diatas.
Dari sinilah kita menjadi tahu, bangsa kita telah kekehilangan komunikasi dan sosialisasi mengenai kedua hal di atas. Kita
lalu curiga antara satu terhadap yang lain. Kecurigaan itu telah
menjadikan kehidupan politik kita sebagai bangsa menjadi sangat labil. Tidak stabilnya sistem politik itu menjadi penyebab
dari krisis multi-dimensional yang kita alami sekarang ini. Jadi,
bukankah ketidakmampuan komunikasi dan sosialisasi politik
ini dapat dinilai sebagai azab dari Allah bagi bangsa kita?
hPara penganjur “negara Islam” selalu menggunakan dua
firman Allah Swt dalam kitab suci al-Qur’ân sebagai landasan bagi pemikiran mereka. Di satu pihak, mereka selalu mengemukakan bahwa kitab suci ini menyatakan;
“Masukilah Islam/kedamaian secara keseluruhan (udkhulû fî alsilmi kâffah)” (QS. al-Baqarah [2]: 208), yang jelas-jelas harus
ditafsirkan dengan mengambil Islam tidaklah boleh sepotongpotong belaka. Padahal, Islam juga menolak atas sikap mengkhususkan sekelompok manusia dari kelompok-kelompok lain.
Dalam hal ini, mereka dapat dinyatakan “terkena” firman Tuhan
dalam kitab suci ini ; “Tiap kelompok sangat bangga dengan
apa yang dimilikinya (kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS
al-Mu’minûn [23]:53) dengan mementingkan “milik sendiri” itu,
mereka melupakan firman lain: “Dan tiadalah Ku-utus Engkau
Ya Muhammad, kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi
umat manusia (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan lî al-‘âlamîn)”
(QS al-Anbiyâ [21]:107). Ini adalah prinsip yang mulia, namun
sedikit sekali yang diperhatikan kaum muslimin.
Firman Tuhan berikut juga sering dijadikan landasan bagi
gagasan negara Islam; “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian, Ku-tuntaskan bagi kalian pemberian nikmatKu dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama (al yauma
akmaltu lakum dînakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matî wa radhîtu lakum al-Islâma dîinan)” (QS al-Maidah [5]:3) Firman Tuhan itu diandaikan menunjuk Islam sebagai sebuah sistem hidup
yang sempurna yang hanya dapat terwujud dalam sebuah sistem
kenegaraan yang “berbau agama”. Diandaikan, tanpa negara, Islam tidak dapat diwujudkan dengan sempurna. Sebuah andaian
yang justru harus kita bicarakan secara tuntas dalam tulisan ini.
Kalau hal ini tidak kita lakukan, maka dasar bagi sebuah negara
Islam akan goyah selamanya dan gagasan bernegara seperti itu
akan kehilangan kredibilitas.
Dengan demikian, permasalahannya menjadi jelas bagi
kita semua. Benarkah asumsi dasar, bahwa Islam adalah sebuah
sistem hidup yang sempurna, dan harus diwujudkan dalam sebuah bentuk kenegaraan tertentu? Jika jawabannya positif, kita
harus mendirikan negara Islam sebagai “perintah agama” yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi. Pengingkaran terhadap perintah semacam itu, berarti pembangkangan yang harus dihukum
dan ditindak. Sedangkan kelalaian untuk melaksanakannya
merupakan pengingkaran terhadap kewajiban agama. Ini adalah
konsekuensi logis yang harus ditanggung oleh kaum muslimin,
di manapun mereka berada. Ini termasuk dalam perintah “dan
berjihadlah kalian dengan harta benda kalian dan diri/jiwa kalian (wa jâhidû bi amwâlikum wa anfusikum)” (QS at-Taubah
[9]:41).
eg
Tentu saja, kedua firman “sistemik” di atas, tidak berdiri
sendiri, sebagaimana dipahami oleh penganut paham negara
Islam ini –yang tentunya, berhak melakukan hal itu sepenuhnya. Terserah pada publik untuk mengartikan kedua “perintah sistemik” Tuhan itu secara berdiri sendiri atau justru sebaliknya. Jika cara pendekatan negara Islam lebih mengutamakan
kesendirian penggunaan kedua “perintah sistemik” itu, maka
timbul pertanyaan; di manakah terletak kesempurnaan Islam?
sebab nya, kedua “perintah sistemik” ini dalam pandangan penulis artikel ini haruslah dipahami bersama-sama “perintah sistemik” lain. Hanya dengan cara demikianlah dapat dicapai
pengertian yang benar-benar rasional dan utuh. Cara yang pertama, jelas hanya “mau menangnya sendiri”, berdasarkan emosi
dan sama sekali tidak rasional.
“Perintah-perintah sistemik” lain yang dapat digunakan dalam hal ini berjumlah sangat banyak. Penulis hanya menggunakan dua buah saja dalam tulisan ini. Perintah “tidak ada paksaan
dalam beragama, sebab telah jelas mana yang lurus dan mana yang palsu (lâ ikrâha fî al-dîn, qad tabayyana al-rusydu min
al-ghayyi)” (QS al-Baqarah [2]:256). Perintah dalam bentuk
pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan lain dalam kitab suci
“Bagi kalian agama kalian dan bagi-ku agama-ku (lakum dînukum wa liyadîn)” (QS al-Kafirun [109]:6). Jelas, kitab suci alQur’ân tidak menyatakan lembaga tertentu menjadi “penjamin”
kelebihan agama Islam atas agama lain, melainkan “diserahkan”
kepada akal sehat manusia untuk “mencapai kebenaran”.
Dengan demikian, “kesempurnaan sistem” Islam sebagai
agama, tidak didasarkan pada kekuatan atau wewenang lembaga
tertentu, melainkan pada kemampuan akal manusia untuk melakukan perbandingan sendiri-sendiri. Dalam pandangan penulis,
kesadaran pluralistik seperti inilah yang harus kita pelihara dan
bukannya lembaga tertentu seperti negara yang harus kita sandari. Bukankah ini sesuai dengan pernyataan Tuhan –sebagaimana yang disebutkan di atas, tentang diutusnya Nabi kita
Muhammad Saw, untuk membawakan persaudaraan di antara
sesama manusia? Pengertian berangkai yang penulis ajukan ini,
tentulah terkait sepenuhnya dengan pernyataan Tuhan: “Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, tiada diterima (amal)-nya dan ia akan termasuk di akhirat “kelak” sebagai
orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâma dînan fa
lan yuqbala minhu wa hua fî al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS
Ali Imran [3]:85). Pernyataan ini menunjukkan hak tiap orang
untuk merasa benar, walaupun Islam meyakini kebenarannya
sendiri.
Prinsip ini seperti dalam pernyataan Konsili Vatikan II
(1962-1965)1
di bawah Paus Yohannes XXIII; “Kami para Uskup
yang berkumpul di Vatikan menghormati hak tiap orang untuk mencapai kebenaran abadi, walaupun tetap meyakini hal itu ada
dalam Gereja Katolik Roma.” Sekarang, gereja ini merupakan lembaga yang tidak berfungsi penuh sebagai negara, walaupun secara protokoler memang demikian. Ini adalah proses
menuju perubahan signifikan dalam peran yang diambil Vatikan –dari sebuah negara penuh, menjadi sebuah negara-protokoler. Tentu saja, ini adalah sebuah proses sejarah yang sangat
menarik, walaupun dalam perubahan ini tetap ada Bapak Suci
Sri Paus, yang oleh kaum Katolik dianggap tidak “terbantahkan
(infallible)”2
sebagai pemberi tafsir dan fatwa tunggal, yang tak
dikenal oleh Islam.
eg
Dengan melihat kepada “kenyataan” ini , jelaslah
bahwa ketiadaan negara tidak berarti kaum muslimin “harus”
hidup secara individual (perorangan), melainkan mereka harus
membuat komunitas masing-masing, dan merumuskan “kewajiban-kewajiban kolektif agama” yang mereka anut. Dengan kata
lain, ber amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kewajiban
agama dan mencegah larangannya) dilakukan secara persuasif
oleh tiap warga masyarakat beragama Islam, yang merasa memiliki kemampuan.
Dengan demikian, terjadi keseimbangan antara hak-hak
dan kewajiban-kewajiban perorangan (individual) dan secara
bersama (kolektif). Dalam kehidupan masyarakat Islam “kenyataan” seperti ini harus terus-menerus kita sadari dalam sebuah kehidupan bersama. Dengan cara ini, kita akan dapat memahami
ucapan Umar bin Khattab ketika menjabat khalifah bertujuan
sebagai jaring pengaman sosial “Tiada Islam tanpa komunitas,
tiada komunitas tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan
tanpa ketaatan (La islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi
imarah wala imarata illa bi tha’ah).”
Di sinilah, letak kegunaan membagi perspektif pernyataan
dan perintah agama, yang disampaikan kepada kita melalui kitab
suci al-Qur’ân maupun ucapan Nabi Muhammad Saw, dalam artian perorangan dan bermasyarakat (individual ataupun kolektif). Perkembangan sejarah telah menunjukkan tidak ada sistem
tunggal maupun menetap dalam Islam. Umpamanya saja, tidak
ada cara untuk menetapkan pergantian pemimpin. Dari Abu
Bakar ke Umar bin Khattab ke Utsman bin Affan ke Ali bin Abi
Thalib ke para Raja setelah mereka, kemudian para Presiden
hingga para Amir di masa kini, semuanya menjadi saksi bagi kelangkaaan adanya suksesi dalam Islam, walaupun harus ada suksesi sebagai tuntutan sejarah, tanpa disebut caranya.
Begitu juga, ukuran “masyarakat Islam” tidak pernah sama.
Nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar memimpin Madinah sebagai komunitas, Umar memimpin imperium Islam dari Persia
di timur hingga Gibraltar di barat, negara-bangsa (nation-state)
di bawah imperialisme hingga kini, dan negara kota (city-state)
di kawasan-kawasan teluk saat ini, semuanya memiliki legitimitas yang sama dalam pandangan Islam.
Tak adanya kesamaan dalam kedua hal di atas, yang juga diikuti oleh keragaman yang sangat tinggi dalam kalangan masyarakat-masyarakat Islam, membuat sebuah konsep negara Islam
tidak dapat dibangun. Pilihannya, kita harus membangun masyarakat-masyarakat Islam –yang beraneka ragam. Ini berarti,
perlunya “kajian kawasan” (area studies) –sebagaimana pernah
penulis kemukakan kepada Universitas Perserikatan BangsaBangsa (PBB) (United Nation University) di Tokyo dalam tahun-tahun 1980-an, di bawah Rektor Dr. Soedjatmoko.3
Mudah
mengatakannya, sulit membuat pusat-pusat kajian seperti itu,
bukan? hDjamil Suherman1
menulis beberapa cerita pendek tentang dunia pesantren dengan tokoh utamanya Ummi
Kulsum. Dijelaskannya, bagaimana di pesantren orang
berbudaya tersendiri yang lepas dari budaya umum, yang ada di
pedesaan kita. Termasuk di dalamnya penggambaran para santri yang mencintai buah hati mereka, tanpa boleh berhubungan
sama sekali. Penggambaran itu oleh para kritikus sastra, seperti
H.B. Jassin,2
sebagai deskripsi terbaik tentang dunia pesantren.
Dengan demikian, apa yang dituliskan Djamil Suherman menentukan pandangan kita tentang para penghuni pondok pesantren
dan jaringan-jaringan mereka, dengan sistem nilai yang tak kalah dahsyatnya dari sistem nilai yang ada dalam cerita-cerita silat/kungfu karya Chin Yung3
, yang diterjemahkan dalam bahasa kita secara terpisah oleh O.K.T stsu Boe Beng Tjoe4
, kedua bahasa itu mencapai dua puluh lima judul (per judul 20 jilid).
Sebaliknya “Robohnya Surau Kami”, karya A.A. Navis5
,
menggambarkan realita kegundahan hati para pengikut tradisionalisme agama di Ranah Minang, sebab tidak menemukan
pemecahan rasional atas krisis multi-dimensional yang dihadapi
lembaga pondok pesantren di kawasan ini . Nada lebih
mementingkan pembaharuan dalam karya A.A. Navis ini tampak jelas, dan sesuai dengan kenyataan adanya krisis keagamaan yang mendalam di Sumatera Barat. Deskripsi situasi itu oleh
A.A. Navis, jelas menunjukkan dinamika lain dari dunianya
Djamil Suherman yang terasa sangat romantis. Perbandingan kedua karya itu saja, sudah menunjukkan pentingnya arti sebuah
deskripsi dalam memaparkan situasi kehidupan yang tengah
digumuli.
Maka, jelaslah dari perbandingan di atas, bahwa deskripsi
kehidupan beragama di sebuah masyarakat pada suatu waktu,
sangatlah penting artinya bagi para pengamat. Romantisme pondok pesantren, dan kemurungan para pencari jawaban atas krisis
yang berlarut-larut, menunjukkan dengan jelas besarnya perbedaan dalam kehidupan beragama yang dijalani oleh dua buah
masyarakat yang berbeda. Menjadi kewajiban kitalah untuk sanggup mencari benang merah yang menghubungkan keduanya.
Dalam film “The Singer, Not The Song”, dari tahun 50
atau 60-an, John Mills6
yang menjadi Pendeta Keogh berusaha melakukan konversi kepada agama Kristen atas diri Dirk Bogarde7
yang bermain sebagai Ancleto, si bandit yang piawai. Akhirnya, ketika Bogarde dikepung oleh aparat negara dan tertembak,
di saat itulah si pendeta yang ikut ditembus peluru merangkak
mendekatinya. Di saat menjelang kematian mereka, Bogarde
yang telah memeluk agama Kristen, melihat Pendeta Mills yang
mengorbankan jiwanya untuk mengkonversikannya. Ia menjadi
Kristen sungguh-sungguh sebab pengorbanan Pendeta Mills
dan bukan sebab "kebenaran" yang dibawakan dan dikhotbahkan pendeta ini .
Jelas dari gambaran di atas, bagi seorang Bogarde yang
sudah muak dengan “kebenaran ajaran agama”, yang lebih berpengaruh atas perilakunya adalah pengorbanan dari “pembawa
kebenaran” itu sendiri. Dengan kata lain, setiap orang melihat
segala sesuatu dari sudut pandangan tertentu yang terkadang
kita anggap tidak penting. Permasalahannya bagi kita adalah pilihan-pilihan pandangan itu sendiri, yang sangat ditentukan oleh
deskripsi yang dikemukakan. Jika ini kita abaikan, berarti kita
melihat agama sebagai sesuatu yang tidak hidup, melainkan kita
hanya melihat sisi universal dan ideal dari agama ini .
Dalam kenyataan sehari-hari kita melihat pentingnya arti
deskripsi yang diberikan atas sebuah “kebenaran agama”. Akibat dari melupakan hal ini, kita lalu melakukan idealisasi universal atas ajaran agama, bukannya melihat agama sebagai sebuah
proses yang dijalani secara berbeda-beda oleh orang-orang yang
berlainan, dan dengan sendirinya membawa pemahaman yang
tidak sama pula. Pendekatan idealisasi universal di atas memang
sangat penting, tetapi juga sama pentingnya untuk melihat bagaimana pengertian orang tentang sebuah agama dibangun dari kenyataan-kenyataaan empirik dalam kehidupan kita.
Kedua pendapat di atas, yaitu pendekatan empirik di satu pihak dan pendekatan idealisme-universal di pihak lain, penting
untuk sama-sama kita hayati dan kita pikirkan lebih jauh. Kepincangan untuk melihat sebuah agama dari pendekatan formal dan
universal, akan menghasilkan sudut pandang ideal tanpa memahami hakikat agama itu sendiri. Sebaliknya, jika hanya menekankan diri pada aspek empirik belaka sama saja artinya dengan memisahkan kehidupan dunia dari kehidupan akhirat.
Dewasa ini, kehidupan dua organisasi keagamaan Islam terbesar di negeri kita, yaitu NU dan Muhammadiyah seolah terpaku dalam pandangan universal yang idealistik, yaitu
bagaimana sumber-sumber tekstual (adillah naqliyyah) membentuk hukum agama/fiqh secara ideal; dan dari situ dibangun
sebuah kerangka universal tentang “kehidupan menurut ajaran
Islam”. Terkadang sudut pandang ini tidak bersinggungan dengan kepentingan sebenarnya di masyarakat. Umpamanya saja,
mengenai perjudian dan hiburan malam. Yang lebih dipentingkan adalah melarang keduanya, tanpa menghilangkan sebab-sebab utama yang mendukungnya. Bagaimana judi akan terbasmi
kalau ketidakpastian hukum masih merajalela? Bukankah yang
kaya dan berpunya akan selalu memenangkan perkara hukum?
Dengan ketidakpastian itu, herankah kita kalau ada orang berjudi untuk mencari kekayaan dengan cepat?
Nah, di sinilah terletak arti penting deskripsi tentang Islam. Dari manakah ia harus dilihat? Dari kenyataan hidup orang
Islam (berarti deskripsi empirik), ataukah dari sudut ajaran formal (berarti pendekatan ideal-formalistik) yang bersifat universal? Tergantung dari kemampuan kita menjawab hal ini dengan
baik. Dari situ "nasib" sejumlah kajian Islam di berbagai lembaga
penelitian dewasa ini diujiDalam sejarah umat manusia, selalu terdapat kesenjangan antara teori dan praktek. Terkadang kesenjangan itu
sangatlah besar, dan kadang kecil. Apa yang oleh paham komunisme dirumuskan dengan kata “rakyat”, dalam teori dimaksudkan untuk membela kepentingan orang kecil; tapi
dalam praktek justru yang banyak dibela adalah kepentingan
kaum aparatchik. Itupun berlaku dalam orientasi paham tersebut, yang lebih banyak membela kepentingan penguasa daripada
kepentingan rakyat kebanyakan. sebab itu, kita harus berhatihati dalam merumuskan orientasi paham ke-Islaman, agar tidak
mengalami nasib seperti paham komunisme.
Orientasi paham ke-Islaman sebenarnya adalah kepentingan orang kecil dalam hampir seluruh persoalannya. Lihat saja
kata “maslahah ‘ammah”,1
yang berarti kesejahteraan umum.
Inilah seharusnya yang menjadi objek dari segala macam tindakan yang diambil pemerintah. Kata kesejahteraan umum dan/atau
kemaslahatan umum itu tampak nyata dalam keseluruhan umat
Islam. Yang langsung tampak, umpamanya, adalah kata kunci dalam adagium fiqh: “tindakan/kebijakan seorang pemimpin atas
rakyat (yang dipimpin) sepenuhnya bergantung kepada kebutuhan/kesejahteraan mereka (tasharruf al-imâm ‘ala al-ra’iyyah
manûthun bi al-mashlahah).”2
Adapun yang tidak langsung mengenai kebutuhan orang
banyak dapat dilihat dalam adagium lain: “menghindarkan kerusakan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntungan/kebaikan (dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalbi al-mashâlih).”3
Artinya, menghindari hal-hal yang merusak umat lebih
diutamakan atas upaya membawakan kebaikan bagi mereka. Dengan demikian, menghindari kerusakan dianggap lebih berarti
daripada mendatangkan kebaikan. Adagium inilah yang digunakan Dr. Amien Rais untuk meyakinkan penulis untuk menerima
pencalonan sebagai Presiden Republik negara kita , tiga tahun lalu.
sebab Amien yakin bangsa ini waktu itu belum dapat menerima seorang wanita (Megawati)4 sebagai Presiden negara, hingga
dikhawatirkan akan ada perang saudara jika hal itu terjadi.
eg
Nah, pengaturan melalui kesejahteraan/keselamatan/keutuhan sesuatu, secara langsung atau tidak langsung, menjadi
pegangan gerakan-gerakan Islam di negeri kita semenjak dahulu. Contoh terbaik dalam hal ini adalah gugurnya Piagam Jakarta
(The Jakarta Charter) dari Undang-Undang Dasar (UUD) kita.
Para pemimpin berbagai gerakan Islam pada saat itu, tanggal 18
Agustus 1945, setuju membuang Piagam Jakarta ini dari
UUD ‘45, agar bangsa kita yang heterogen dalam asal-usul mereka itu dapat bergabung ke dalam pangkuan Republik negara kita . Pendapat yang dipegang oleh Ki Bagus Hadikusumo dan KHA
Kahar Mudzakir dari Muhammadiyah, Abi Kusno Cokrosuyoso
dari Sarekat Islam, A. Rahman Baswedan dari Partai Arab Indonesia (PAI), A. Subardjo dari Masyumi, H. Agus Salim dan A.
Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama (NU),5 itu jelas menonjolkan semangat persatuan negara kita pada tingkat paling tinggi.
Bahwa para ulama fiqh (Hukum Islam) tidak menolak tindakan
itu, menunjukkan dengan jelas bahwa keutuhan dan kesejahteraan umat dinilai begitu tinggi oleh berbagai gerakan Islam.
Dengan demikian, tertolaklah anggapan bahwa Islam hanya bersandar pada formalitas belaka. Secara kultural, masuknya
beberapa unsur budaya lokal ke dalam budaya Islam, atau sebaliknya, merupakan bukti kuat akan hal ini. Tari Seudati yang digambarkan dengan indahnya oleh James Siegel6
dalam The Rope
of God, sebagai kesenian daerah Aceh yang bernapaskan praktekpraktek kaum sufi itu. Demikian pula, diciptakannya tembang
Ilir-ilir
oleh Sunan Ampel, menunjukkan bagaimana terjadi saling pengaruh-mempengaruhi yang sangat halus antara budaya
daerah kita dan budaya agama yang dibawakan oleh Islam.
Demikian pula manifestasi budaya santri dalam tradisi
Tabot8 di Sumatera Barat dan Bengkulu. Dengan mudahnya
wahana ekspresi keagamaan kaum Syi’ah itu menjadi budaya
daerah setempat di hadapan tindakan-tindakan “budaya Sunni” dalam beberapa abad terakhir. Penggunaan “budaya adat” sebagai wahana ekspresi dari yang sebelumnya dikenal sebagai budaya agama, menunjukkan betapa besar dinamika budaya yang
terjadi.
eg
Nah, hal ini yang menjadi tantangan kita dewasa ini. Ayat
kitab suci al-Qur'an “Dan dalam diri utusan Tuhan benar-benar
telah ada contoh yang sempurna bagi orang yang mengharapkan
kerelaan Allah, kebahagiaan akhirat dan senantiasa ingat akan
tanda-tanda kebesaran Allah (laqad kâna lakum fî rasûlillâhi
uswatun hasanatun li man kâna yarju Allâha wa al-yauma
al âkhira wa dzakara Allâha katsîra)” (QS al-Ahzâb [33]:21).
Dalam kasu makro ayat itu dapat juga digunakan sebagai pengingat bagi kita akan pentingnya melestarikan lingkungan alam.
Hal-hal seperti ini seharusnya menjadi tekanan bagi gerakan-gerakan Islam dalam membangun bangsa. Bukan malah mementingkan formalisasi ajaran-ajaran agama tersebut dalam
kehidupan bernegara, yang tidak menjadi kebutuhan utama
masyarakat. Jika penampilan dari agama Islam terwujud tanpa
formalisasi dalam kehidupan bernegara, maka agama ini
menjadi sumber inspirasi bagi gerakan-gerakan Islam dalam kehidupan bernegara, seperti di negara ini.
Dasar perjuangan seperti inilah yang sebenarnya mengilhami juga lahirnya partai-partai CDU (Christian Democratic
Union, Uni Demokratik Kristen)9, di Jerman dan sejumlah negara lain. Inti dari pandangan seperti itu, terletak pada kesadaran
bahwa agama harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan, daripada membuat dirinya menjadi wahana formalisasi agama yang
bersangkutan dalam kehidupan bernegara. Esensi inilah yang
telah dijalankan dengan sangat baik oleh berbagai gerakan Islam
di negara ini semenjak beberapa puluh tahun yang lalu.
Sejarah perkembangan Islam di manapun juga, senantiasa
memperlihatkan jalinan antara dua hal, yaitu sistem individu (perorangan) dan sisi kemasyarakatan (sosial). Kedua
hal itu harus dimengerti benar, kalau kita menginginkan pengetahuan mendalam akan agama ini . Kalau hal ini telah dilaksanakan, maka akan kita lihat beberapa kemungkinan untuk
pengembangan lebih jauh. Tentu saja ada yang menyanggah
pendirian ini , dengan dalih Islam telah sempurna, dan tidak memerlukan pengembangan. Pendapat ini perlu diuji
kebenarannya, agar kita memperoleh gambaran lengkap tentang
apa yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan. Dengan
kata lain, sebenarnya kita saat ini memerlukan skala prioritas
yang lebih jelas, dalam menatap masa depan.
Memang kitab suci al-Qurân tidak pernah secara jelas
membagi kedua masalah itu (individu dan sosial) dalam kandungannya. Seluruhnya bersandar pada kemampuan kita memahami kitab suci ini , mana yang merupakan perintah
(khittah) untuk perorangan, dan mana yang untuk masyarakat.
Seluruhnya bergantung atas penafsiran kita. Umpamanya saja
firman Allah Swt yang menyatakan: “Dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal
(wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâila lita’ârafû)” (QS al-Hujurât
[49]:13). Jelas di situ, yang dimaksudkan umat manusia secara
keseluruhan, dan yang dikehendaki adalah kenyataan yang tidak tertulis: persaudaraan antara sesama manusia.
Dalam kitab suci al-Qurân terdapat sebuah ayat yang sangat penting yang berbunyi: “kawinilah apa yang baik bagi kalian, daripada wanita-wanita, dua, tiga atau empat orang wanita
(tetapi) jika kalian takut tidak dapat (bersikap) adil, maka hanya
seorang (istri) saja (fankihû mâ thâba lakum min an-nisa matsnâ
wa tsulâtsâ wa rubâ’a wa in khiftum an lâ ta’dilû fa wâhidah)”
(QS al-Nisa [4]:3).1
Jelas ini merupakan perkenan, bukan perintah. sebab itu, ia bersifat perorangan sebab tidak dapat dilakukan generalisasi, itupun harus dirangkaikan dengan kenyataan,
siapakah yang menentukan poligami itu adil? Kalau pihak lelaki,
berapa orang perempuan pun akan tetap dirasa "adil". Sedangkan bagi perempuan, masalah keadilan itu bersangkut paut
dengan rasa keadilan secara "normal", tentu lebih banyak kaum
perempuan yang merasakan poligami itu tidak adil.
eg
Dengan kemampuan memilih dan membedakan mana
yang bersifat individual, dari hal yang bersifat kemasyarakatan (kolektif) jelas peranan memakai akal dan pikiran kita
menjadi sangat besar. Dalam khasanah pemikiran ini, salah
satu adagium “harta warisan“ yang dipakai NU sebagai patokan
adalah: “memelihara apa yang baik dari masa lampau, dan menggunakan hanya yang lebih baik yang ada dalam hal yang baru
(al-muhâfadzatu’ala al-qadîmi al sâlih wa al akhdzu bi al jadîd
al-ashlah).”2Terkadang, sebuah kewajiban agama memiliki dua sisi itu,
yaitu sisi individual dan sisi kolektif sekaligus, yang menjadikan kita sering lupa bahwa perintah agama dapat saja memiliki
kedua dimensi ini . Umpamanya saja, kewajiban berpuasa,
yang semula diperintahkan sebagai sesuatu yang bersifat individual, perintah Allah Swt: “Diperintahkan kepada kalian untuk
berpuasa, seperti juga diwajibkan atas kaum-kaum sebelum kalian (kutiba ’alaikum al-shiyâm kamâ kutiba ’ala ladzîna min
qablikum)” (QS al-Baqarah [2]:183). Perintah yang sepintas
lalu bersifat individual ini pada akhirnya berlaku bagi seluruh
kaum muslimin, sebagai kewajiban semua orang Islam. Dengan
demikian, kita harus mampu mencari yang kolektif dari sumbersumber tertulis (dalil naqli).
Dalam perintah Nabi yang tertulis saja, yang membawakan
sebuah kecenderungan baru, terkadang kita sulit untuk membedakan atau menetapkan, mana yang berwatak kolektif dan
mana yang individual. Sebagai contoh, dapat dikemukakan adanya adagium: “Carilah ilmu dari buaian hingga ke liang kubur
(uthlub al-ilma min al-mahdi ila al-lahdi).” Memang hal itu adalah kerja terpuji, tetapi tidak jelas dalam ungkapan ini, apakah
kewajiban yang timbul itu berlaku untuk perorangan seorang
muslim ataukah bagi sekelompok kolektif kaum muslimin? Jika
diartikan sebagai kewajiban kolektif, bagaimanakah halnya dengan mereka yang tidak bersekolah? Benarkah mereka termasuk
orang-orang bersalah?
Kejelasannya tidak dapat dicapai dengan ungkapan harfiyah (literalis), sebab tidak akan tercapai kesepakatan kaum
muslimin tentang “kewajiban” bersekolah. Tapi apakah tanpa
kesepakatan itu, lalu orang tidak berhak mendapat pendidikan?
Dalam keadaan tiadanya kesepakatan tentang suatu hal, maka
seseorang dapat mengikuti pendapat wajib bersekolah, sama halnya seperti orang yang mengikuti pendapat tidak wajib bersekolah. Apakah sesuatu itu merupakan kewajiban universal ataukah
kewajiban fakultatif? Dapat dikemukakan sebagai contoh mengenai hal ini, yaitu adanya ungkapan populer “mencintai tanah air adalah sebagian (pertanda) dari keimanan (hubbu al-wathan
min al-îmân).”3
Tidak jelas apa wujud “kewajiban” mencintai
tanah air yang menjadi tanda keimanan seseorang itu? Apakah
ini berarti kewajiban memasuki milisi untuk mempertahankan
tanah air, atau bukan? Untuk itu, diperlukan penjelasan dengan
memakai akal, sehingga sumber tertulis (dalil naqli) maupun keterangan rasional (dalil aqli) dapat digunakan bersamaan.
Terkadang, sebuah ucapan yang secara harfiyah tidak menunjukan suatu arti khusus, dapat saja secara rasional diberi arti
sendiri oleh kaum muslimin. Contohnya, adalah ucapan Nabi
Muhammad Saw: “Tuntutlah ilmu pengetahuan hingga ke (tanah) Tiongkok (uthlub al-ilma walau bi al-shîn).”4
Ungkapan tersebut hanya menunjuk kepada perintah menuntut pengetahuan
hingga ke tanah Cina, namun para ahli hadis memberikan arti
lain lagi. Menurut mereka, yang dimaksudkan oleh ungkapan
Nabi Muhammad Saw ini jelas-jelas menunjukan, kewajiban mempelajari ilmu pengetahuan non-agama juga. Bukankah di
tanah Tiongkok waktu itu belum ada masyarakat muslim sama
sekali? Bukankah ini secara teoritik, pemberian kedudukan yang
sama di mata agama, antara pengetahuan agama (Islamic studies) dan pengetahuan non-agama? Perumusan sikap oleh para
ahli agama Islam ini , yaitu kewajiban menuntut disiplin
ilmu non-agama, memberikan kedudukan yang sama diantara
keduanya.
Di lihat dari berbagai pengertian, seperti diterangkan di
atas, jelaslah bahwa ribuan sumber tertulis (dalil naqli), baik
berupa ayat-ayat kitab suci al-Quran maupun ucapan Nabi Muhammad Saw, akan memiliki peluang-peluang yang sama bagi
pendapat-pendapat yang saling berbeda, antara universalitas se buah pandangan atau partikularitasnya di antara kaum muslimin
sendiri. Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa perbedaan pendapat justru sangat dihargai oleh Islam, sebab yang
tidak diperbolehkan bukannya perbedaan pandangan, melainkan pertentangan dan perpecahan. Kitab suci kita menyatakan:
“Berpeganglah kalian kepada tali Allah secara menyeluruh, dan
janganlah terpecah-belah/saling bertentangan (wa’ tashimû bi
habli Allâh jamî’an walâ tafarraqû)” (QS Ali Imran [3]:103).
Ini menunjukkan lebih jelas, bahwa perbedaan pendapat
itu penting, tetapi pertentangan dan keterpecah-belahan adalah
sebuah malapetaka. Dengan demikian, nampak bahwa perbedaan, yang menjadi inti sikap dan pandangan perorangan harus
dibedakan dari pertentangan dan keterpecah-belahan dari sebuah totalitas masyarakat. Mudah untuk mengikuti ayat kitab
suci ini , bukan?
Charles Torrey menyatakan dalam disertasinya1
, kitab suci
al-Qurân sangat menarik bila dibandingkan dengan kitab
suci agama lain. Kenapa ia menyatakan demikian? sebab ,
seperti dikatakannya, kitab suci ini memakai peristilahan profesional untuk menyatakan hal-hal yang paling dalam dari
lubuk hati manusia. Dengan demikian, al-Qurân memberikan
penghormatan yang sangat tinggi kepada profesi yang kita anut.
“Barang siapa mengikuti selain Islam sebagai agama maka amal
perbuatannya tidak akan diterima (menurut Islam) dan di akhirat
kelak ia akan merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâmi dînan
falan yuqbala minhu wahuwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn)”
(QS ali-Imran [3]: 85). Bukankah istilah merugi merupakan istilah profesional dalam dunia perdagangan. Walaupun dalam ayat
ini, kata merugi dimaskudkan untuk menunjuk hal yang paling
dalam di hati manusia, yaitu tidak memperoleh pahala?
Istilah-istilah lain dari dunia profesi lain juga dipakai
dalam pengertian yang sama oleh kitab suci al-Qurân. "Barang
siapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang
baik, maka ia akan melipat-gandakan imbalannya (man dzalladzi yuqridhullâh qardhan hasanan fayudhâ’ifahu lahu)” (QS
al-Baqarah (2): 245). Kata pinjaman di sini, jelas menunjuk ke
pada perolehan pahala, dan bukannya pengembalian kredit seperti di bumi.
Ketika Allah Swt berfirman: “Barang siapa menginginkan
panenan di akhirat kelak, akan Ku-tambahi panenannya (man
kâna yurîdu harts al-âkhirati nazid lahu fi hartsihi)” (QS al-Syura [42]:20). Panenan yang dimaksudkan sebagai pahala di akhirat bagi perbuatan kita di dunia ini. Digunakannya istilah-istilah
perdagangan dan pertanian dalam al-Qurân untuk keinginan
memperoleh pahala bagi amal perbuatan, merupakan penghargaan yang sangat tinggi atas profesi-profesi manusia.
Dalam sebuah ayat suci al-Qurân dinyatakan: “Orangorang yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan
prasetia (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû)” (QS al-Baqarah [2]:177). Ini jelas menunjuk kepada profesionalisme seperti
itu. Bukankah manusia paling mengutamakan janji profesi ketika mengucapkan prasetia?
eg
Dikombinasikan dengan pengamatan Torrey di atas, jelaslah bahwa Islam memberikan penghargaan sangat tinggi kepada
profesi. Pemahaman ini justru hilang dari kehidupan kaum muslimin dari beberapa abad silam, sebab memberikan perhatian
terlalu banyak kepada kaum penguasa, serta kebijakan-kebijakan
dan tindakan-tindakan mereka, alias memberi perhatian terlalu
besar porsinya kepada aspek politik dalam kehidupan bangsabangsa muslim.
Sebagai akibat, perhatian atas masalah-masalah profesional ternyata kurang besar, dan dengan sendirinya pemikiran ke
arah itupun menjadi sangat kecil. Pada saat yang sama, bangsabangsa Barat telah mencurahkan perhatiannya yang sangat besar kepada masalah-masalah profesionalisme. Dengan sendirinya, pertautan antara Islam sebagai ajaran dan profesi sebagai
penerapan ajaran-ajaran ini , menjadi tidak bersambung
satu sama lain.
Ini mengakibatkan ketertinggalan sangat besar dalam
pemahaman Islam sebagai agama kehidupan di kalangan para
pemeluknya. sebab nya, diperlukan sebuah keberanian moral
untuk merambah jalan baru bagi sebuah penafsiran, yang tidak
lain adalah sebuah pendekatan profesional.Kita ambil sebuah firman Allah dalam al-Qurân: “Jika
kalian disapa dengan sapaan yang baik, maka sapalah dengan
ungkapan yang lebih baik lagi (wa idzâ huyyîtum bitahiyyatin fa hayyû bi ahsana minhâ)” (QS al-Nisa [4]:86). Jika ayat
ini ditafsirkan dengan pendekatan profesional, katakanlah bagi
seorang produsen barang, maka maknanya menjadi kalau barang produksi Anda dipuji orang lain, maka tingkatkanlah mutu
produksi barang itu sebagai jawaban atas pujian baik yang diucapkan.
eg
Hal inilah yang harus kita mengerti, jika diinginkan pemahaman lengkap terhadap kitab suci al-Qurân: kitab suci itu janganlah hanya dipahami sebagai dokumen politik, melainkan
sebuah penggambaran kehidupan yang lengkap, termasuk pemahaman sejarah masa lampau.
Jelas bahwa Islam memperlakukan kehidupan sebagaimana mestinya. Sebuah pemahaman yang benar akan menunjuk
kepada kenyataan bahwa Islam bukanlah agama politik semata.
Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Islam sangatlah kecil, itupun terkait langsung dengan kepentingan orang banyak, yang berarti kepentingan rakyat kebanyakan
(kelas bawah di masyarakat). Kalau hal ini tidak disadari, maka
politik akan menjadi panglima bagi gerakan-gerakan Islam dan
terkait dengan institusi yang bernama kekuasaan.
Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah dalam
kitab suci al-Qurân: “Apa yang diberikan Allah kepada utusanNya sebagai pungutan fai’ dari kaum non-Muslim (sekitar Madinah), hanya bagi Allah, utusan-Nya, sanak keluarga terdekat,
anak-anak yatim, kaum miskin dan pejalan kaki untuk menuntut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang terkumpul tidak
hanya beredar di kalangan kaum kaya saja di lingkungan kalian
(mâ afâ ‘a Allâhu alâ rasûlihi min ahli al-Qurâ fa lillâhi wa li
ar-rasûlihi wa lidzî al-qurbâ wa al-yatâmâ wa al-masâkîni wa
ibni al-sabîl, kaila yakûna dûlatan baina al-aghniyâ’ minkum)”
(QS al-Hasyr [59]:7). Ayai itu menjadi bukti bahwa Islam lebih
mementingkan fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan menderita, dan tidak memberikan perhatian khusus tentang bentuk
negara yang diinginkan?Kalau saja ini dimengerti dengan baik, akan menjadi jelaslah bahwa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan makmur, dengan kata lain masyarakat sejahtera, yang lebih diutamakan kitab suci ini daripada masalah bentuk negara.
Kalaulah hal ini disadari sepenuhnya oleh kaum muslimin, tentulah salah satu sumber keruwetan dalam hubungan
antara sesama umat Islam dapat dihindarkan. Artinya, ketidakmampuan dalam memahami hal inilah, yang menjadi sebab kemelut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa ini. h
Pada tahun-tahun 50-an dan 60-an, di Mesir terjadi perdebatan sengit tentang bahasa dan sastra Arab, antara para
eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi. Dr.
Thaha Husein,1
salah seorang tuna netra yang pernah menjabat
menteri pendidikan dan pengajaran serta pelopor modernisasi,
menganggap bahasa dan sastra Arab harus mengalami modernisasi, jika diinginkan ia dapat menjadi wahana bagi perubahanperubahan sosial di jaman modern ini. Ia menganggap bahasa
dan sastra Arab yang digunakan secara klise oleh sajak-sajak puja
(al-madh) seperti bahasa yang digunakan dalam dzibâ’iyyah
dan al-barzanji sebagai dekadensi bahasa yang justru akan
memperkuat tradisionalisme dan menentang pembaharuan.
Dari pendapat ini dan dari tangan Dr. Thaha Husein, lahirlah para pembaharu sastra dan bahasa Arab yang kita kenal sekarang
ini.
Nama-nama terkenal seperti Syauqi Dhaif3
dan Suhair
al-Qalamawi4
muncul sebagai bintang-bintang gemerlap dalam
perbincangan mengenai pembaharuan bahasa dan sastra Arab.
Sejak masa itu, munculah madzhab baru bahasa Arab, yang dirasakan oleh mereka sebagai pendorong dinamika dan perubahan
sosial. Bahasa dan sastra Arab dari masa lampau, yang lebih berbau agama dikesampingkan oleh kebangkitan kembali bahasa
dan sastra Arab masa pra-Islam (‘asr al-jâhiliyah).
Dalam pandangan ini, produk-produk dekaden harus dikesampingkan, guna memberi jalan kepada proses modernisasi
bahasa dan sastra Arab. Ini merupakan reaksi terhadap paham
serba agama yang merajai Timur Tengah sebelum itu. Sejalan dengan tumbuhnya nasionalisme Arab (al-qawmiyyah al-arabiyyah), yang kala itu menjadi pikiran dominan di kalangan para
pemikir Arab. Dengan demikian, tradisionalisme yang dibawakan agama, dianggap sebagai penghalang bagi munculnya kecenderungan baru ini . sebab sifatnya yang intelektual,
pandangan ini tidak langsung diikuti oleh rakyat kebanyakan,
halnya menjadi pemikiran elitis dari kaum cendekiawan di negeri-negeri Arab selama dua puluh lima tahun.
eg
Di negeri kita, kemunculan kelompok nasionalis itu juga
berkembang. Persamaannya dengan pandangan anti-tradisionalisme bahasa dan sastra Arab di kalangan bangsa-bangsa Mesir,
yaitu pandangan elitisme kaum cendekiawan ini tidak menyentuh pikiran-pikiran rakyat awam di negeri ini. Perbedaanya,
agama dengan tradisionalismenya tidak dipersalahkan menghambat kemajuan. Mungkin ini disebabkan oleh kekuatan politik organisasi tradisional agama, seperti NU (Nahdlatul Ulama).
Tradisionalisme agama yang dibawa NU justru menyatu dengan
kaum nasionalis, sebab kedua-duanya harus berhadapan dengan modernisme non-ideologis yan