Tampilkan postingan dengan label islam ku 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam ku 2. Tampilkan semua postingan

islam ku 2


 katan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam tahun 1948. Dalam 

dek­larasi itu, tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama 

ada­lah Hak Asasi Manusia. Padahal fiqh/hukum Islam sampai 

hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah dari 

agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (aposta￾sy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri 

kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia negara kita  yang ber￾pindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah 

dihukum mati. Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan 

yang tidak akan ada jawabnya, sebab  jika hal itu terjadi meru￾pakan kenyataan yang demikian besar mengguncang perasaan 

kita.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa di hadapan kita 

hanya ada satu dari dua kemungkinan: menolak Deklarasi Uni￾ver­sal HAM itu sebagai sesuatu yang asing bagi Islam, seperti 

yang dilakukan al-Maududi terhadap Nasionalisme atau justru 

merubah diktum fiqh/hukum Islam itu sendiri. Sikap menolak, 

hanya akan berakibat seperti sikap burung onta yang menolak 

kenyataan dan menghindarinya, dengan bersandar kepada la￾mun­an indah tentang keselamatan diri sendiri. Sikap seperti ini, 

hanya akan berarti menyakiti diri sendiri dalam jangka panjang.

Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan 

me­kanis­me untuk merubah ketentuan fiqh/hukum Islam, yang 

se­cara formal sudah berabad-abad diikuti. Tetapi disinilah ter￾letak kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan ke￾iman­an kita hanya kepada Allah dan utusan-Nya sebagai sesuatu 

yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa hukum muhkamat 

lain­nya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu. 

Apabila yang demikian itu juga dapat diubah-ubah maka hilang￾lah ke-Islaman kita.Sebuah contoh menarik dalam hal ini adalah tentang budak 

sahaya (slaves), yang justru banyak menghiasi al-Qurân dan al￾Hadits (tradisi kenabian). Sekarang, perbudakan dan sejenisnya 

tidak lagi diakui oleh bangsa muslim manapun, hingga secara 

tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum mus￾limin. Praktek-praktek perbudakan, kalaupun masih ada, tidak 

diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dila­ku￾kan oleh kelompok-kelompok muslimin yang kecil tanpa per­lin￾dungan negara. Dalam jangka tidak lama lagi, praktek semacam 

itu akan hilang dengan sendirinya.

Nah, kita harus mampu melihat ufuk kejauhan, dalam hal 

ini kepada mereka yang mengalami konversi ke agama lain. Ini 

me­ru­pakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat menjawab 

tan­tangan masa kini dan masa depan. Firman Allah Swt dalam 

kitab suci al-Qurân, “Semuanya akan binasa dan yang tetap ha￾nya Dzat Tuhanmu (Kullu man ‘alayha fânin. Wa yabqâ wajhu 

rabbika)” (QS al-Rahman [55]: 26-27) menunjukkan hal itu de￾ngan jelas. Ketentuan ushûl fiqh (Islamic legal theory) “Hukum 

agama sepenuhnya tergantung kepada sebab-sebabnya, baik ada 

ataupun tidak adanya hukum itu sendiri (al-hukmu yadûru ma’a 

‘illatihi wujûdan wa ‘adaman)” jelas menunjuk kepada ke­mung￾kinan perubahan diktum seperti ini.

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan anti￾si­­pasi terhadap hal ini. Dalam salah sebuah muktamarnya, NU 

telah mengambil keputusan “perumusan hukum haruslah sesuai 

dengan prinsip-prinsip yang digunakan”. Ambil contoh masalah 

Keluarga Berencana (KB), yang dahulu dilarang sebab  pemba￾tas­an kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah 

semata. Sekarang, sebab  pertimbangan biaya pendidikan yang 

semakin tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan te￾tap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Kalau diingin￾kan memperoleh anak lagi, tinggal membuang kondom atau men￾jauhi obat-obat yang dapat mengatur kelahiran. Jelaslah de­ngan 

demikian, bahwa Islam memang menjadi agama di setiap masa 

dan tempat (shalihun li kulli zamân wa makân). Indah bukan, 

untuk mengetahui hal ini semasa kita masih hidup? hDalam dialog dengan para mahasiswa di Samarinda akhir 

Januari lalu, lagi-lagi keluar sebuah pertanyaan yang 

di mana-mana penulis hadapi, terutama dari kalangan 

anak muda. Seorang mahasiswa bertanya; mengapa penulis tak 

mau menerima sesuatu yang dianggap sebagai pendirian Islam, 

umpamanya saja mengenai kehadiran “negara Islam”? Nah, ja￾waban atas pertanyaan itu, penulis kemukakan dalam tulisan ini 

untuk dipikirkan bersama. Kalau ada argumentasi berbeda, di￾harapkan disampaikan pada penulis. Bisa jadi itu akan merubah 

pendirian penulis, atau malah sebaliknya. Ini penting dilakukan, 

untuk semakin menajamkan argumentasi orang yang pro (me￾nyetujui) atau kontra (menentang) terhadap sebuah gagasan 

atau pendapat. Ini hal biasa dalam sebuah pertukaran pendapat 

yang bebas dan terbuka, untuk mencapai kebenaran bagi sebuah 

persoalan.

Kita memang belum terbiasa dengan hal seperti ini, kare￾na sekian lama kita terpasung dalam me­nyampaikan pendapat. 

Mengapa? sebab  para penguasa otoriter memaksakan pendapat 

dan memaksakan “kebenaran” miliknya sendiri. sebab  kalau 

pin­tu perdebatan dibuka, salah-salah akan ada argumentasi 

yang menyangkal “kebenaran” yang dikemukakan rezim terse￾but. Apalagi, kalau kontra argumentasi itu dikemukakan dalam 

bentuk pertanyaan. Kalau tidak dapat menjawab, maka sang 

pe­nguasa itu akan kehilangan pendapat, sesuatu yang tidak di￾inginkan. Bukankah filosof Yunani kuno, Plato, pernah me­nya­ta￾kan, sebuah pertanyaan berarti separuh kebenaran. Keta­kut­an 

akan lemahnya argumentasi sendiri, menyebabkan seseorang 

tidak memperkenankan adanya pertukaran argumen­tasi, yang 

menjadi dasar sebuah perdebatan terbuka dan saling tukar pen­da￾pat. sebab nya sejarah telah mencatat, seorang penguasa oto­riter 

tidak akan bersedia mengadakan dialog dan pertukaran pendapat. 

Lain halnya dengan agama yang memiliki “kebenaran moral”, 

yang tetap akan ada walaupun terjadi penyang­gah­an. Kitab suci 

al-Qurân menyatakan; “Kalau para hamba-Ku bertanya ten­tang 

diri-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat (de­ngan mereka) me­me￾nuhi permintaan orang yang berdo’a jika (diajukan) kepada-Ku 

(wa idzâ sa’alaka ‘ibâdî ‘annî fa-innî qarîbun ujîbu da’wata al￾dâ’i idzâ da’âni)” (QS al-Baqarah [2]:186).

Prinsip di atas, perlu dikemukakan di sini, sebab  hanya 

me­lalui dialog yang bebas dan terbuka, dapat dicapai kebenaran 

akhir yang diikuti dan diterima orang yang berpikiran sehat dan 

wajar. Inilah arti penting dari sikap jujur, untuk mempertahan­kan 

kebenaran, berpikir, berpendapat dan menyatakan pendapat. Ini 

pula yang merupakan ciri berlangsungnya kehidupan demo­kratis, 

tidak seperti di beberapa negara tetangga kita. Mereka mengaju￾kan klaim sebagai negara demokratis, namun dengan alasan ke￾amanan internal, diberlakukan kekangan/hambatan psi­kologis 

agar tidak menyatakan pendapat secara bebas. De­ngan kata lain, 

yang berlaku di tempat-tempat itu adalah demo­krasi prosedural, 

bukan demokrasi sesungguhnya. Kalau ditambahkan embel-em￾bel kata lain pada istilah demokrasi, seperti demokrasi rakyat 

dan demokrasi Islam, maka pada akhirnya demokrasi itu sendiri 

akan mati dan tidak muncul ke permukaan.

eg

Kembali pada pertanyaan mahasiswa di atas, mengapa ada 

“ajaran Islam” yang ditolak? Penulis dapat menjawab bahwa ti￾dak per­nah menolak “ajaran Islam yang baku”, seperti tauhid 

dan se­­­bagai­nya. Namun, penulis hanya menyanggah pendapat 

yang oleh banyak orang dianggap sebagai “ajaran tetap” dalam 

agama Islam. Padahal, ajaran itu telah berubah melalui peru­bah￾an zaman, dengan memakai  cara tertentu. Di antara cara 

tertentu itu, adalah penafsiran ulang (reinterpretasi) oleh kaum 

muslimin sendiri, atas sesuatu yang tadinya diterima sebagai ke￾benaran tetap oleh mereka. “Kebenaran relatif” itu lalu berubah 

de­ngan adanya penafsiran ulang itu.

Contoh yang dapat dikemukakan di sini, adalah penafsiran 

ulang atas ucapan Rasulullah Saw: “Maka Aku (akan) membanggakan kalian (di hadapan) umat-umat (lain) pada hari kiamat (fa 

innî mubâhin bikum al-umam yauma al-qiyâmah).” Dalam pe￾naf­­sir­an lama, kaum muslimin mengartikan kebanggaan beliau 

itu bertalian dengan jumlah (kuantitas) kaum muslimin, hingga 

mere­kapun berbanyak-banyak anak. Tafsiran ulang yang baru, 

yang didukung oleh kenyataan meluasnya program Keluarga 

Be­rencana (KB) di kalangan kaum muslimin, minimal di negeri 

ini, menunjuk pada arti lain dari apa yang dibanggakan itu: ke￾bang­gaan akan mutu (kualitas) kaum muslimin sendiri. De­ngan 

demikian, Islam dapat berkembang sesuai dengan perubah­an 

tempat dan waktu (Shalihun li kulli zamânin wa makânin).

Dengan demikian, apa yang tadinya dianggap sebagai “ke￾be­naran” lalu dianggap oleh sebagaian kaum mus­limin sendiri, 

pada masa kini, sebagai “kebenaran relatif” yang per­lu diberi 

tafsiran baru. Contoh di atas adalah sebuah ke­­nyataan empirik 

yang tidak dapat dibantah oleh siapapun.

Se­buah tafsir ulang lain yang dapat dikemukakan di sini, 

adalah melaksanakan sumpah setia ketika berjanji; “Orang-orang 

yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan pra￾setia (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âahadû)” (QS al-Baqarah 

[2]:176), sebuah ungkapan firman Allah yang tadinya dianggap 

janji se­ca­ra umum saja. Tafsir ulang atas istilah ter­sebut, dapat 

diartikan dengan pengertian baru “menjunjung tinggi profe­sio￾nalisme”. Bukankah janji tertinggi dari seseorang, disampaikan 

ke­tika ia mengucapkan sumpah/prasetia jabatan? Bukankah 

de­ngan demikian, berarti Islam sangat mengutamakan profe￾sionalisme, dengan segala implikasinya?

eg

Jelaslah dari keterangan di atas, dengan tafsir ulang seperti 

itu, “kebenaran relatif” Islam dapat ditegakkan secara pasti. De￾ngan demikian, ada jalinan sangat halus antara keyakinan yang 

terdapat dalam diri seorang muslim dan data empirik. Hal ini 

telah terjadi dengan sendirinya, sebagai proses alami yang wa­jar, 

dalam kehidupan masyarakat kaum muslimin. Ini di­mung­kinkan 

oleh kenyataan yang terdapat dalam sejarah kaum muslim sendi￾ri, seperti yang kita ketahui dari bacaan selama ini.

Ketentuan ushûl fiqh (teori hukum Islam) berbunyi; bah￾wa hukum agama (qarâr al-hukmi) terbagi dalam dua jenis; qath’iyah al-tsubût (ketentuan berdasarkan sumber tertulis atau 

dalil naqli) dan dhanniyah al-tsubût (hukum tidak berdasar￾kan sumber tertulis atau dalil aqli). Dengan demikian, sepan￾jang dapat diterima oleh akal, maka sebuah hukum agama dapat 

berlaku berdasarkan pandangan akal dan selama tidak berten￾tangan de­ngan sumber-sumber tertulis al-Qurân dan al-Hadits. 

Pembe­da­an ini dilakukan dalam teori hukum Islam sebab  tidak 

semua hal lalu ada sumber-sumber tertulisnya. Bagi kasus-kasus 

yang termasuk dalam kategori ini, maka dibuatlah jenis hukum 

yang tidak berdasarkan pada sumber-sumber tertulis. Termasuk 

dalam hal ini, fatwa Syekh Yusuf al-Qaradhawi, bahwa bunga 

bank yang tidak eksploitatif dan berguna bagi reproduksi barang 

(termasuk dalam ongkos pro­duk­si), tidaklah dapat dianggap riba. 

Masih banyak penafsiran lain tentang hal ini. Di sinilah sangat 

terasa kegunaan sebuah adagium “perbedaan pendapat para pe￾mimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rah­matu 

al-ummah).” Kalau kita pegang adagium ini, maka yang dilarang 

hanyalah perpecahan dan pertentangan saja di antara kita.

Sekarang, bila sebuah hu­kum agama sudah ada dalam sum￾ber tertulis al-Qurân dan al-Ha­dits (qath’iyah al-tsubût), semen￾tara keadaan membutuhkan pe­naf­siran baru. Lalu ,apakah yang 

harus diterapkan dalam hal seperti itu? Dalam hal ini, kita meng￾gunakan sebuah kaidah hukum Islam (qaidah al-fiqh), bahwa 

keadaan tertentu dapat me­mak­sakan sebuah larangan untuk di￾laksanakan (al-dharûratu tubîhu al-mahdhûrât).1

 Hal ini, um￾pamanya saja, terlihat pada kasus ne­gara yang sudah meratifi￾kasi Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) 

—(Universal Declaration of Human Rights) yang ditetapkan 

PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam Deklarasi HAM itu 

terdapat masalah hak memeluk atau berpindah agama. Ini tentu 

bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, sebab me­­nu­rut 

hukum agama (fiqh) orang yang berpindah agama Islam kepada 

aga­ma lain, harus dianggap sebagai apostacy (murtad). Kalau 

hukum ini dilaksanakan, maka lebih dari 25 juta jiwa penduduk 

negara kita  –yang berpindah dari agama Islam ke agama lain 

dalam ling­kung­an negara Republik negara kita , dapat dijatuhi hu￾kuman ma­ti .





Dalam kitab suci al-Qur’ân disebutkan: “masuklah kalian 

ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh (udkhulû fi al￾silmi kâffah)” (QS al-Baqarah [2]:208)1

. Di sinilah ter￾letak perbedaan pendapat sangat fundamental di antara kaum 

muslimin. Kalau kata “al-silmi” diterjemahkan menjadi kata Is￾lam, dengan sendirinya harus ada se­buah entitas Islam formal, 

dengan keharusan menciptakan sistem yang Islami. Sedangkan 

mereka yang menterjemahkan kata ini  de­ngan kata sifat 

kedamaian, menunjuk pada sebuah entitas universal, yang tidak 

perlu dijabarkan oleh sebuah sistem tertentu, termasuk sis­tem 

Islami.

Bagi mereka yang terbiasa dengan formalisasi, tentu di￾guna­kan penterjemahan kata al-silmi itu dengan kata Islami, 

dan dengan demi­kian mereka terikat kepada sebuah sistem yang 

diang­gap mewakili kese­lu­ruhan perwujudan ajaran Islam dalam kehidupan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah. Hal ini mem￾bawakan implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem yang 

dapat mewakili keseluruhan aspirasi kaum mus­limin. sebab  

itu, dapat dimengerti mengapa ada yang menganggap pen­ting 

per­wu­judan “partai politik Islam” dalam kehidupan berpolitik. 

Ten­tu saja, demokrasi mengajarkan kita untuk menghormati ek￾sis­tensi parpol-parpol Islam, tetapi ini tidak berarti keharusan 

untuk mengikuti mereka.

Di lain pihak kita juga harus menghormati hak mereka yang 

justru mempertanyakan kehadiran sistem Islami ini , yang 

secara oto­ma­tis akan membuat mereka yang tidak ber­agama 

Islam sebagai warga dunia yang kalah dari kaum mus­limin. Ini 

juga berarti, bahwa dalam ke­rangka kenegaraan sebuah bangsa, 

sebuah sistem Islami otomatis mem­buat warga negara non-mus￾lim berada di bawah kedudukan warga negara beragama Islam, 

alias menjadi warga negara kelas dua. Ini patut diper­soalkan, 

sebab  juga akan berdampak pada kaum muslimin yang tidak 

menjalankan ajaran Islam secara penuh. Kaum muslimin seper­ti 

ini, –sering disebut muslim nominal atau abangan–, tentu akan 

dinilai kurang Islami jika dibandingkan dengan mereka yang 

menjadi anggota/warga partai/organisasi yang menjalankan ajar￾an Islam secara penuh, yang juga sering dikenal dengan nama 

“kaum santri”.

eg

Apabila terdapat pendapat tentang perlunya sebuah sistem 

Is­lami, mengapa lalu ada ketentuan-ketentuan non-organisatoris 

yang ha­rus diterapkan di antara kaum muslimin oleh kitab suci 

al-Qur’ân? Se­buah ayat menyatakan adanya lima syarat untuk 

dianggap sebagai “mus­lim yang baik”, sebagaimana disebutkan 

dalam ayat-ayat di kitab suci al-Qur’ân, yaitu menerima prin￾sip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara 

utuh, menolong mereka yang memerlukan per­tolongan (sanak 

saudara, anak yatim, kaum miskin dan sebagainya) me­negakkan 

profesionalisme dan bersikap sabar ketika menghadapi co­ba­an 

dan kesusahan. 

Kesetiaan kepada profesi itu, digambarkan oleh kitab suci 

al-Qur’­Ã¢n dengan istilah, “mereka yang memenuhi janji yang 

mereka beri­kan” (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû) (QS al-Baqarah [2]: 177). Adakah janji yang lebih nilainya daripada janji 

kepada profesi masing-ma­sing, yang disampaikan ketika mem￾bacakan janji prasetia pada waktu menerima sebuah jabatan?

Kalau kelima syarat di atas dilaksanakan oleh seorang mus￾lim, tanpa menerima adanya sebuah sistem Islami, dengan sen￾dirinya tidak diperlukan lagi sebuah kerangka sistemik me­nu­rut 

ajaran Islam. De­ngan demikian, mewujudkan sebuah sistem Is￾lami tidak termasuk syarat bagi seseorang untuk di­anggap “mus￾lim yang taat”. Ini menjadi titik sengketa yang sa­ngat penting, 

sebab  di banyak tempat telah tumbuh paham yang tidak me￾mentingkan arti sistem. 

Maka ketika NU (Nahdlatul Ulama) menyatakan deklarasi 

ber­diri­nya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tanpa menyebut￾kan bahwa partai ini  adalah partai Islam, penulis dihujani 

kritik tajam selama berbulan-bulan dari mereka yang meng￾inginkan partai ini  di­nyata­kan sebagai partai Islam. Ini 

dilakukan oleh mereka yang tidak me­nyadari, bahwa NU sejak 

semula te­lah menerima kehadiran upaya ber­beda-beda dalam 

sebuah ne­ga­ra atau kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau 

terjebak da­lam tasyis an-nushush al-muqaddasah (politisasi ter￾ha­dap teks keagamaan).

Dalam Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin, muk­ta￾mar ha­­rus menjawab sebuah pertanyaan: wajibkah bagi kaum 

muslimin mem­­pertahankan kawasan yang waktu itu bernama 

Hindia Belanda (seka­rang negara kita ) yang diperintah oleh 

orang-orang non-muslim (para kolonialis Belanda)? Jawab 

muktamar saat itu; wajib. sebab  di kawasan ini , yang di 

kemudian hari bernama negara kita , ajaran Islam dapat diprak￾tekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga bang­sa secara 

bebas, dan da­hulu ada kerajaan-kerajaan Islam di kawasan itu. 

Dengan de­mi­kian, tidak harus dibuat sistem Islam, dan dihargai 

per­beda­an cara dan pendapat di antara kaum muslimin di ka￾wasan ini .

eg

Diktum Muktamar NU di Banjarmasin ini , me­mung￾kinkan dukungan pimpinan NU kepada mendiang Presiden 

Soekarno dan Hatta untuk memimpin bangsa ini. Demikian 

pula, pembentukan badan-badan formal Islam bukanlah satu￾satunya medium bagi per­juang­an Islam untuk menerapkan ajar￾an di bumi nusantara. NU yang res­minya sebagai organisasi ke￾masyarakatan Islam dan bukannya lem­baga politik, dapat saja 

menyalurkan aspirasinya tentang pelaksanaan ajaran Islam di 

kawasan ini  melalui Golkar (Golongan Karya) yang bukan 

sebagai organisasi Islam resmi. Perbedaan jalan perjuangan an￾tara yang menganut paham lembaga Islam sebagai sistem di satu 

pihak, dan mereka yang tidak ingin melaksanakan perjuangan 

melalui jalur-jalur resmi Islam, dihargai dan diterima oleh para 

pendukung Ibn Taimiyyah2

 beberapa abad yang lalu.

Lalu, bagaimana dengan adagium yang dikenal Islam; “Ti￾ada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpin￾an, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa 

bi Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa 

Bi Tha’ah)3

. Bukankah ini sudah menunjukkan adanya sebuah sistem, maka jawabannya bahwa tidak ada sesuatu dalam ung￾kapan ini  yang menun­juk­kan secara spesifik adanya se￾buah sistem Islami. Dengan demikian, setiap sistem diakui kebe￾narannya oleh ungkapan ter­sebut, asal ia memperjuangkan ber￾lakunya ajaran Islam dalam kehidupan sebuah bangsa/negara.

sebab  itu penulis berpendapat, dalam pandangan Islam 

tidak diwajibkan adanya sebuah sistem Islam, ini berarti tidak 

ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Ini pen￾ting untuk diingat, sebab  sampai sekarang pun masih ada pi￾hak-pihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam 

UUD (Undang-Undang Dasar) kita. Dengan klaim mendirikan 

negara untuk kepentingan Islam jelas bertentangan dengan de￾mokrasi. sebab  paham itu berintikan kedaulatan hukum di satu 

pihak dan perlakuan sama pada semua warga negara di hadapan 

Undang-Undang (UU) di pihak lain.Para santri yakin bahwa kekuasaan menjatuhkan azab dan 

memberikan pahala atas sebuah per­buatan, berada di 

tangan Allah Swt. Dalam hal ini, berlaku sebuah adagium 

yang didasarkan atas kitab suci al-Qur’ân dan Hadits Nabi Saw. 

Adagium itu berbunyi: “mem­berikan pengampunan dan menu￾runkan sik­sa kepada siapapun ada­lah otoritas Allah (yaghfiru li￾man yasya’ wa yu ‘adzibu man yasyâ).” Da­lam hal ini, ken­­­­­­­dali 

atas keadaan sepenuhnya berada di tangan Allah Swt.

Dalam konteks ini pula, sebuah pengertian baru haruslah 

diper­tim­bangkan: sampai di manakah peranan negara dalam 

men­­jatuhkan hu­kuman, sebagai salah satu bentuk siksaan. Dapat￾kah negara atas na­ma Allah memberikan hukuman sebagai bagi￾an dari siksa di dunia? Sudahkah manusia terbebas dari siksa 

ne­ra­ka, jikalau ia telah menjalani hukuman negara? Kalau be￾lum, berarti ada penggandaan (dubbleleren) antara negara seba￾gai wakil Allah dan kekuasaan Allah sendiri untuk menetapkan 

hukuman. Bukankah justru hal ini bertentangan dengan hadits 

Nabi Saw: “Idra’ul hudud bi as-syubuhat. (Jangan berlakukan 

hu­kum hadd ketika permasalahan tidak jelas).” Dari hadis ini 

dapat difahami, bah­wa hendaknya hakim jangan menjatuhkan 

hukuman mati jika ia ragu-ragu, benarkah si terdakwa nyata-nya￾ta bersalah? Jelas dari hadits itu pula memberikan pengertian 

bah­wa kekuasaan negara ada batasnya, sedangkan kekuasaan 

Allah tidak dapat dibatasi.

Dari pengertian yang sangat sederhana ini, kita sudah 

dapat me­nyimpulkan bahwa sebenarnya tidak dapat sebuah 

negara disebut seba­gai negara Islam, tanpa harus memperkosa 

hal-hal yang menjadi ke­wajiban negara secara wajar. Jadi, dalam 

masalah azab dan pahala pun kita langsung terkait dengan per￾tanyaan adakah negara agama atau ti­dak? Jawaban yang salah 

akan berakibat pada konsep yang salah pula da­lam hubungan 

antara agama dan negara. Hal inilah yang memerlukan pe­re￾nungan mendalam dari kita dalam menanggapi pendapat bahwa 

diperlukan sebuah negara Islam, kalau memang diinginkan ber￾diri negara teokratis itu, bagi bangsa kita yang majemuk.

eg

Memang benar, diperlukan pemikiran yang mendalam 

tentang kon­sep­­si yang jelas dalam hubungan antara negara dan 

agama, jika diinginkan keselamatan kita sebagai bangsa yang 

majemuk terpelihara di ka­was­an ini. Kalau belum apa-apa kita 

sudah menyuarakan adanya negara Islam, tanpa adanya kon￾sepsi yang jelas tentang hal itu sendiri, berarti te­lah dilakukan 

sebuah perbuatan yang gegabah dan sembrono. Bukankah si­kap 

demikian justru harus dijauhi oleh kaum muslimin dalam men￾cari hubungan antara agama dan negara? Apalagi jika di­te­mu­kan 

motif-motif lain dalam mendirikan sebuah negara agama, seper￾ti adanya keinginan untuk berkuasa sendiri ba­gi partai-partai 

politik Islam, yang melihat bentuk Negara Kesatu­an Republik 

negara kita  (NKRI) sebagai “kekalahan” dalam per­tarungan poli￾tik di tingkat nasional.

Dengan demikian gagasaan federalisme, yang menganggap 

gagasan NKRI ber­ten­tang­an dengan keinginan berbagai propinsi 

untuk lebih independen dari pemerintah pusat, dapat dinilai 

sebagai aspirasi-aspirasi separatis. Sebenarnya propinsi hanya 

menghendaki peng­ambil­an keputusan tentang penerima­an dan 

pengeluaran uang harus lebih banyak dilakukan di dae­rah dari 

pada di pusat. Jadi dengan demi­kian, yang diingini ada­lah fungsi 

federal dari pemerintahan, bukannya se­paratisme negara kita  un￾tuk menjadi 7 (tujuh) negara atau republik fede­ratif. Kalau ada 

orang-orang yang menghendaki negara kita  da­lam ben­tuk federa￾tif menjadi tujuh republik, maka pendapat itu ada­lah merupakan 

suara minoritas yang sangat kecil, yang tidak perlu menda­pat­kan perhatian besar.

Cara yang terbaik untuk mengetahui benar tidaknya bahwa 

yang menghendaki bentuk RI sebagai republik federatif, –yang 

bertentangan dengan gagasan Negara Kesatuan Republik Indo￾nesia (NKRI), adalah suara minoritas yang demikian kecil, dapat 

diketahui melalui pemilihan umum. Dan jika hal itu dilakukan 

de­ngan pengawasan internasional, maka akan menghasilkan 

ma­yo­­ritas suara bagi partai-partai politik yang hanya mengingin￾kan perampingan kekuasaan pemerintah pusat, dalam hal penun￾jukkan kepala daerah oleh DPRD setempat maupun pene­tapan 

anggaran penerimaan dan belanja yang berpusat pada daerah, 

dan bukannya pada pemerintah pusat.

eg

sebab  ketidakmampuan memahami hal ini, maka para 

eks­po­nen konsep negara federal sebenarnya harus menjelas­kan 

bahwa gagasan mereka tidak berarti menjadikan RI ter­ke­ping￾keping menjadi sekian negara yang masing-masing berdau­lat. 

Bahkan negara unitaris seperti Jepang dan Perancis-pun mem￾berikan kedaulatan penuh kepada propinsi/negara bagian untuk 

melaksanakan pemilihan kepala daerah dan menetapkan Ang￾garan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) ma­sing-masing. Bah￾kan kepolisiannya pun ditetapkan dan diatur oleh pe­me­rintah 

daerah setempat. Jadi, independensi daerah dari pusat tidak­lah 

berarti hilangnya kesatuan negara —yang berarti, watak negara 

ke­sa­­tuan dapat saja menampung aspirasi-aspirasi federal. Sing￾kat­nya, negara federal bukanlah negara federatif.

Langkanya penjelasan seperti ini telah menerbitkan ke￾salah­­paham­an sangat besar antara partai-partai politik yang 

mem­pertahankan NKRI dan menentang negara federal di satu 

pi­hak, dan eksponen gagasan negara federal yang mencurigai 

NKRI. Kedua-duanya memiliki baik legitimasi maupun kepen￾ting­an masing-masing tentang konsep negara yang dikehendaki. 

Sangatlah tragis untuk melihat kecurigaan yang satu terhadap 

yang lain dalam hal ini, dan lebih-lebih untuk menyifati gagasan 

NKRI sebagai gagasan nasionalistik, dan gagasan negara federal 

sebagai sebuah pandangan Islam. Jadi, satu sama lain saling me￾nyalahkan, pa­da­hal kedua-duanya saling menyepakati perlu­nya 

sebuah negara yang satu, dengan watak federal dalam artian in­dependensi seperti yang dimaksudkan diatas.

Dari sinilah kita menjadi tahu, bangsa kita telah kekehilang￾an komunikasi dan sosialisasi mengenai kedua hal di atas. Kita 

lalu curiga antara satu terhadap yang lain. Kecurigaan itu telah 

menjadikan kehi­dup­an politik kita sebagai bangsa menjadi sa￾ngat labil. Tidak stabilnya sistem politik itu menjadi penyebab 

da­ri krisis multi-dimen­sio­nal yang kita alami sekarang ini. Jadi, 

bu­kankah ketidakmampuan komunikasi dan sosialisasi politik 

ini  dapat dinilai sebagai azab dari Allah bagi bangsa kita? 

hPara penganjur “negara Islam” selalu mengguna­kan dua 

firman Allah Swt dalam kitab suci al-Qur’ân sebagai lan￾dasan bagi pemikiran mereka. Di satu pihak, mereka se￾lalu mengemukakan bahwa kitab suci ini  menyatakan; 

“Masukilah Islam/kedamaian secara keseluruhan (udkhulû fî al￾silmi kâffah)” (QS. al-Baqarah [2]: 208), yang jelas-jelas harus 

ditafsirkan dengan mengambil Islam tidaklah boleh sepotong￾potong belaka. Padahal, Islam juga menolak atas sikap meng￾khususkan sekelompok manusia dari kelompok-kelompok lain. 

Dalam hal ini, mereka dapat dinyatakan “terkena” firman Tuhan 

dalam kitab suci ini ; “Tiap kelom­pok sangat bangga de­ngan 

apa yang dimilikinya (kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS 

al-Mu’minûn [23]:53) dengan me­mentingkan “milik sendiri” itu, 

mereka melupakan firman lain: “Dan tiadalah Ku-utus Engkau 

Ya Muhammad, kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi 

umat manusia (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan lî al-‘âlamîn)” 

(QS al-Anbiyâ [21]:107). Ini adalah prinsip yang mulia, namun 

sedikit sekali yang di­per­hatikan kaum muslimin. 

Firman Tuhan berikut juga sering dijadikan landasan ba­gi 

ga­gas­an negara Islam; “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagi ka￾lian agama ka­lian, Ku-tuntaskan bagi kalian pemberian nik­mat￾Ku dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama (al yauma 

akmaltu lakum dînakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matî wa ra￾dhî­tu lakum al-Islâma dîinan)” (QS al-Maidah [5]:3) Firman Tu￾han itu di­andai­kan me­nunjuk Islam sebagai sebuah sistem hidup 

yang sempurna yang hanya dapat terwujud dalam sebuah sistem 

ke­ne­garaan yang “berbau agama”. Diandaikan, tanpa negara, Is￾lam tidak dapat diwujudkan dengan sempurna. Sebuah andaian 

yang justru harus kita bicarakan secara tuntas dalam tulisan ini. 

Kalau hal ini tidak kita lakukan, maka dasar bagi sebuah negara 

Islam akan goyah sela­manya dan gagasan bernegara seperti itu 

akan kehilangan kredibilitas.

Dengan demikian, permasalahannya menjadi jelas bagi 

kita se­mua. Benarkah asumsi dasar, bahwa Islam adalah sebuah 

sis­tem hi­dup yang sempurna, dan harus diwujudkan dalam se￾buah bentuk kene­gara­an tertentu? Jika jawabannya positif, kita 

harus mendirikan negara Islam sebagai “perintah agama” yang 

tidak da­pat ditawar-tawar lagi. Peng­­ingkaran terhadap perin￾tah sema­cam itu, berarti pembangkangan yang harus dihukum 

dan ditin­dak. Sedangkan kelalaian untuk melak­sanakannya 

meru­pa­kan pengingkaran terhadap kewajiban agama. Ini adalah 

konsekuensi logis yang harus ditanggung oleh kaum muslimin, 

di manapun mereka berada. Ini termasuk dalam perintah “dan 

ber­jihad­lah kalian dengan harta benda kalian dan diri/jiwa ka￾lian (wa jâhidû bi amwâlikum wa anfusikum)” (QS at-Taubah 

[9]:41).

eg

Tentu saja, kedua firman “sistemik” di atas, tidak berdiri 

sendiri, se­bagaimana dipahami oleh penganut paham negara 

Islam ini  –yang tentunya, berhak melakukan hal itu sepe￾nuhnya. Terserah pada publik untuk mengartikan kedua “pe￾rintah sistemik” Tuhan itu secara berdiri sendiri atau justru se­ba￾lik­nya. Jika cara pendekatan negara Islam lebih mengutamakan 

ke­sen­­diri­an penggunaan kedua “perintah sistemik” itu, maka 

timbul per­­tanyaan; di mana­kah terletak kesempurnaan Islam? 

sebab nya, ke­dua “perintah sistemik” ini  dalam pandang￾an penulis artikel ini haruslah dipahami bersama-sama “perin￾tah sistemik” lain. Hanya de­ngan cara demikianlah dapat dicapai 

pengertian yang benar-benar ra­sional dan utuh. Cara yang per￾tama, jelas hanya “mau menang­nya sen­diri”, berdasarkan emosi 

dan sama sekali tidak rasional.

“Perintah-perintah sistemik” lain yang dapat digunakan da￾lam hal ini berjumlah sangat banyak. Penulis hanya meng­guna￾kan dua buah saja dalam tulisan ini. Perintah “tidak ada paksaan 

dalam beragama, sebab  telah jelas mana yang lurus dan mana yang palsu (lâ ikrâha fî al-dîn, qad tabayyana al-rusydu min 

al-ghayyi)” (QS al-Baqarah [2]:256). Perintah dalam bentuk 

pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan lain dalam kitab suci 

“Bagi kalian aga­ma kalian dan bagi-ku agama-ku (lakum dînu￾kum wa liyadîn)” (QS al-Kafirun [109]:6). Jelas, kitab suci al￾Qur’ân tidak menyatakan lem­baga tertentu menjadi “penjamin” 

kelebihan agama Islam atas agama lain, melainkan “diserahkan” 

kepada akal sehat manu­sia untuk “mencapai kebenaran”.

Dengan demikian, “kesempurnaan sistem” Islam sebagai 

aga­ma, tidak didasarkan pada kekuatan atau wewenang lembaga 

ter­ten­tu, melainkan pada kemampuan akal manusia untuk mela￾ku­kan per­bandingan sendiri-sendiri. Dalam pandangan penulis, 

kesadaran pluralistik seperti inilah yang harus kita pelihara dan 

bukannya lembaga tertentu seperti negara yang ha­rus kita san￾dari. Bukankah ini sesuai dengan pernyataan Tuhan –sebagai￾mana yang disebutkan di atas, ten­tang diutusnya Nabi kita 

Muhammad Saw, untuk membawakan per­saudaraan di antara 

sesama manusia? Pengertian berangkai yang penu­lis ajukan ini, 

tentulah terkait sepenuhnya dengan pernyataan Tuhan: “Ba￾rang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, tiada diteri￾ma (amal)-nya dan ia akan termasuk di akhirat “kelak” sebagai 

orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâma dînan fa 

lan yuqbala minhu wa hua fî al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS 

Ali Imran [3]:85). Pernyataan ini me­nunjukkan hak tiap orang 

untuk merasa benar, walaupun Islam me­ya­kini kebenarannya 

sendiri.

Prinsip ini seperti dalam pernyataan Konsili Vatikan II 

(1962-1965)1

 di bawah Paus Yohannes XXIII; “Kami para Uskup 

yang ber­kumpul di Vatikan menghormati hak tiap orang untuk mencapai ke­benaran abadi, walaupun tetap meyakini hal itu ada 

dalam Gereja Katolik Roma.” Sekarang, gereja ini  meru￾pakan lembaga yang tidak berfungsi penuh sebagai negara, wa￾laupun secara protokoler me­mang demikian. Ini adalah proses 

menuju perubahan signifikan da­lam peran yang diambil Vati￾kan –dari sebuah negara penuh, menjadi sebuah negara-proto￾koler. Ten­­tu saja, ini adalah sebuah proses sejarah yang sangat 

me­narik, walaupun dalam perubahan ini tetap ada Bapak Suci 

Sri Paus, yang oleh kaum Katolik dianggap tidak “ter­bantahkan 

(infallible)”2

 sebagai pemberi tafsir dan fatwa tunggal, yang tak 

dikenal oleh Islam.

eg

Dengan melihat kepada “kenyataan” ini , jelaslah 

bah­­wa ketiadaan negara tidak berarti kaum muslimin “harus” 

hidup se­ca­ra in­di­vidual (perorangan), melainkan mereka harus 

mem­buat komunitas ma­sing-masing, dan merumuskan “kewa￾jiban-kewa­jiban kolektif aga­ma” yang mereka anut. Dengan kata 

lain, ber amar ma’ruf nahi munkar (me­merintahkan kewajiban 

agama dan mencegah larangannya) dilakukan secara persuasif 

oleh tiap warga masyarakat beragama Islam, yang merasa me­mi￾liki ke­mam­­puan. 

Dengan demikian, terjadi kese­imbangan antara hak-hak 

dan ke­­wajiban-kewajiban perorangan (individual) dan secara 

bersama (ko­­lek­­tif). Dalam kehidupan masyarakat Islam “kenyata￾an” seperti ini­­ harus terus-menerus kita sadari dalam se­buah ke￾hidupan bersama. Dengan cara ini, kita akan dapat memahami 

ucapan Umar bin Khattab ketika menjabat khalifah bertujuan 

se­ba­gai jaring pengaman sosial “Tiada Islam tanpa komunitas, 

tiada komunitas tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan 

tanpa ketaatan (La islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi 

imarah wala imarata illa bi tha’ah).”

Di sinilah, letak kegunaan membagi perspektif pernyataan 

dan perintah agama, yang disampaikan kepada kita melalui kitab 

suci al-Qur’ân maupun ucapan Nabi Muhammad Saw, dalam ar￾tian perorangan dan bermasyarakat (individual ataupun kolek￾tif). Perkembangan sejarah telah menunjukkan tidak ada sistem 

tunggal maupun menetap dalam Islam. Umpamanya saja, tidak 

ada cara untuk menetapkan pergantian pemimpin. Dari Abu 

Bakar ke Umar bin Khattab ke Utsman bin Affan ke Ali bin Abi 

Thalib ke para Raja setelah mereka, kemudian para Presiden 

hing­­ga para Amir di masa kini, semuanya menjadi saksi bagi ke￾langkaaan adanya suksesi dalam Islam, walaupun harus ada suk￾sesi sebagai tuntutan sejarah, tanpa disebut caranya. 

Begitu juga, ukuran “masyarakat Islam” tidak pernah sama. 

Nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar memimpin Madinah se￾bagai komunitas, Umar memimpin imperium Islam dari Persia 

di timur hingga Gibraltar di barat, negara-bangsa (nation-state) 

di bawah imperialisme hingga kini, dan negara kota (city-state) 

di kawasan-kawasan teluk saat ini, semuanya memiliki legiti­mi￾tas yang sama dalam pandangan Islam. 

Tak adanya kesamaan dalam kedua hal di atas, yang juga di￾ikuti oleh keragaman yang sangat tinggi dalam kalangan ma­sya￾rakat-masyarakat Islam, membuat sebuah konsep negara Islam 

tidak dapat di­bangun. Pilihannya, kita harus membangun ma￾syarakat-masyarakat Islam –yang beraneka ragam. Ini berarti, 

perlunya “kajian kawasan” (area studies) –sebagaimana pernah 

penulis kemukakan kepada Universitas Perserikatan Bangsa￾Bang­sa (PBB) (United Nation University) di Tokyo dalam ta￾hun-tahun 1980-an, di bawah Rektor Dr. Soedjatmoko.3

 Mu­dah 

menga­ta­kannya, sulit membuat pusat-pusat kajian seperti itu, 

bukan? hDjamil Suherman1

 menulis beberapa cerita pendek ten￾tang dunia pesantren dengan tokoh utamanya Ummi 

Kulsum. Di­jelaskannya, bagaimana di pesantren orang 

berbudaya ter­sen­diri yang lepas dari budaya umum, yang ada di 

pedesaan kita. Termasuk di dalamnya penggambaran para san￾tri yang mencintai buah hati me­reka, tanpa boleh berhu­bung­an 

sama sekali. Penggambaran itu oleh para kritikus sastra, seperti

H.B. Jassin,2

 sebagai deskripsi terbaik tentang dunia pe­santren. 

Dengan demikian, apa yang dituliskan Djamil Su­herman menen￾tukan pandangan kita tentang para penghuni pondok pesantren 

dan jaringan-jaringan mereka, dengan sistem nilai yang tak ka￾lah dahsyatnya dari sistem nilai yang ada dalam cerita-cerita si￾lat/kungfu karya Chin Yung3

, yang diterjemahkan dalam bahasa kita secara terpisah oleh O.K.T stsu Boe Beng Tjoe4

, kedua ba￾hasa itu mencapai dua puluh lima judul (per judul 20 jilid).

Sebaliknya “Robohnya Surau Kami”, karya A.A. Navis5

meng­­­gambarkan realita kegundahan hati para pengikut tra­di￾sio­nalisme agama di Ranah Minang, sebab  tidak menemu­kan 

pemecahan rasional atas krisis multi-dimensional yang di­hadapi 

lembaga pondok pesantren di kawasan ini . Nada lebih 

mementingkan pembaharuan dalam karya A.A. Navis ini tam￾pak jelas, dan sesuai dengan kenyataan adanya krisis ke­agama￾an yang mendalam di Sumatera Barat. Deskripsi situasi itu oleh 

A.A. Navis, jelas menunjukkan dinamika lain dari dunia­nya 

Djamil Suherman yang terasa sangat romantis. Perbandingan ke￾dua karya itu saja, sudah menunjukkan penting­nya arti sebuah 

deskripsi dalam memaparkan situasi kehidupan yang tengah 

digumuli.

Maka, jelaslah dari perbandingan di atas, bahwa deskripsi 

kehidupan beragama di sebuah masyarakat pada suatu waktu, 

sangatlah penting artinya bagi para pengamat. Romantisme pon￾dok pesantren, dan kemurungan para pencari jawaban atas krisis 

yang berlarut-larut, menunjukkan dengan jelas besarnya perbe￾da­an dalam kehidupan beragama yang dijalani oleh dua buah 

masyarakat yang berbeda. Menjadi kewajiban kitalah untuk sang￾gup mencari benang merah yang menghubungkan keduanya.

Dalam film “The Singer, Not The Song”, dari tahun 50 

atau 60-an, John Mills6

 yang menjadi Pendeta Keogh berusaha melakukan konversi kepada agama Kristen atas diri Dirk Bogar￾de7

 yang bermain sebagai Ancleto, si bandit yang piawai. Akhir￾nya, ketika Bogarde dikepung oleh aparat negara dan tertembak, 

di saat itulah si pendeta yang ikut ditembus peluru me­rang­kak 

mendekatinya. Di saat menjelang kematian mereka, Bogarde 

yang telah memeluk agama Kristen, melihat Pendeta Mills yang 

mengorbankan jiwanya untuk mengkonversikannya. Ia menjadi 

Kristen sungguh-sungguh sebab  pengorbanan Pendeta Mills 

dan bukan sebab  "kebenaran" yang dibawakan dan dikhotbah￾kan pendeta ini .

Jelas dari gambaran di atas, bagi seorang Bogarde yang 

sudah muak dengan “kebenaran ajaran agama”, yang lebih ber￾pengaruh atas perilakunya adalah pengorbanan dari “pembawa 

kebenaran” itu sendiri. Dengan kata lain, setiap orang melihat 

segala sesuatu dari sudut pandangan tertentu yang terkadang 

kita anggap tidak penting. Permasalahannya bagi kita adalah pi￾lihan-pilihan pandangan itu sendiri, yang sangat ditentukan oleh 

deskripsi yang dikemukakan. Jika ini kita abai­kan, berarti kita 

melihat agama sebagai sesuatu yang tidak hidup, melainkan kita 

hanya melihat sisi universal dan ideal dari agama ini .

Dalam kenyataan sehari-hari kita melihat pen­tingnya arti 

deskripsi yang diberikan atas sebuah “kebenaran agama”. Aki￾bat dari melupakan hal ini, kita lalu melakukan idealisasi univer￾sal atas ajaran agama, bukannya melihat agama sebagai sebuah 

pro­ses yang dijalani secara berbeda-beda oleh orang-orang yang 

ber­lainan, dan dengan sendirinya membawa pemahaman yang 

ti­dak sama pula. Pendekatan idealisasi universal di atas memang 

sangat penting, tetapi juga sama pentingnya untuk melihat bagai￾mana pengertian orang tentang sebuah agama dibangun dari ke￾nyataan-kenyataaan empirik dalam kehidupan kita.

Kedua pendapat di atas, yaitu pendekatan empirik di satu pihak dan pendekatan idealisme-universal di pihak lain, penting 

untuk sama-sama kita hayati dan kita pikirkan lebih jauh. Kepin￾cang­an untuk melihat sebuah agama dari pendekatan formal dan 

universal, akan menghasilkan sudut pandang ideal tanpa mema￾hami hakikat agama itu sendiri. Sebaliknya, jika hanya mene­kan￾kan diri pada aspek empirik belaka sama saja artinya dengan me￾misahkan kehi­dupan dunia dari kehidupan akhirat.

Dewasa ini, kehidupan dua organisasi keagamaan Is￾lam terbesar di negeri kita, yaitu NU dan Muhammadiyah se￾olah terpaku dalam pan­dang­­an universal yang idealistik, yaitu 

bagaimana sumber-sumber tekstual (adillah naqliyyah) mem￾bentuk hukum agama/fiqh secara ideal; dan dari situ dibangun 

sebuah kerangka uni­versal tentang “kehidupan menurut ajaran 

Islam”. Terkadang sudut pandang ini tidak bersinggungan de￾ngan kepentingan sebenarnya di masyarakat. Umpamanya saja, 

menge­nai perjudian dan hiburan malam. Yang lebih dipenting￾kan adalah melarang keduanya, tanpa menghilangkan sebab-se￾bab utama yang mendukungnya. Bagaimana judi akan terbasmi 

kalau ketidakpastian hukum masih merajalela? Bukan­kah yang 

kaya dan berpunya akan selalu memenangkan perkara hu­kum? 

Dengan ketidak­pastian itu, herankah kita kalau ada orang ber￾judi untuk mencari kekayaan dengan cepat?

Nah, di sinilah terletak arti penting deskripsi tentang Is￾lam. Dari manakah ia harus dilihat? Dari kenyataan hidup orang 

Islam (berarti deskripsi empirik), ataukah dari sudut ajaran for￾mal (ber­arti pendekatan ideal-formalistik) yang bersifat univer￾sal? Ter­gan­tung dari kemampuan kita menjawab hal ini dengan 

baik. Dari situ "nasib" sejumlah kajian Islam di berbagai lembaga 

penelitian dewasa ini diujiDalam sejarah umat manusia, selalu terdapat kesenjang￾an antara teori dan praktek. Terkadang kesenjangan itu 

sangatlah besar, dan kadang kecil. Apa yang oleh pa￾ham komunisme dirumuskan dengan kata “rakyat”, dalam teo￾ri dimak­sudkan untuk membela kepentingan orang kecil; tapi 

dalam praktek justru yang banyak dibela adalah kepentingan 

kaum aparatchik. Itupun berlaku dalam orientasi paham terse￾but, yang lebih banyak membela kepentingan penguasa daripada 

kepen­ting­an rakyat kebanyakan. sebab  itu, kita harus berhati￾hati dalam merumuskan orientasi paham ke-Islaman, agar tidak 

mengalami nasib seperti paham komunisme.

Orientasi paham ke-Islaman sebenarnya adalah kepen­ting￾an orang kecil dalam hampir seluruh persoalannya. Lihat saja 

kata “maslahah ‘ammah”,1

 yang berarti kesejahteraan umum. 

Inilah seharusnya yang menjadi objek dari segala macam tindak￾an yang diambil pemerintah. Kata kesejahteraan umum dan/atau 

ke­­mas­lahatan umum itu tampak nyata dalam keseluruhan umat 

Islam. Yang langsung tampak, umpamanya, adalah kata kunci da￾lam ada­gium fiqh: “tindakan/kebijakan seorang pemimpin atas 

rakyat (yang dipimpin) sepenuhnya bergantung kepada kebutuh­an/kesejahteraan mereka (tasharruf al-imâm ‘ala al-ra’iyyah 

manûthun bi al-mashlahah).”2

Adapun yang tidak langsung mengenai kebutuhan orang 

banyak dapat dilihat dalam adagium lain: “menghindarkan ke­ru￾sakan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keun­tung￾an/kebaikan (dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalbi al-mashâ￾lih).”3

 Artinya, menghindari hal-hal yang merusak umat lebih 

di­utama­kan atas upaya membawakan kebaikan bagi mereka. De￾ngan demikian, menghindari kerusakan dianggap lebih berarti 

dari­pada mendatangkan kebaikan. Adagium inilah yang di­gu­na￾kan Dr. Amien Rais untuk meyakinkan penulis untuk mene­rima 

pen­ca­lonan sebagai Presiden Republik negara kita , tiga tahun lalu. 

sebab  Amien yakin bangsa ini waktu itu belum dapat meneri￾ma se­orang wanita (Megawati)4 sebagai Presiden negara, hingga 

dikha­wa­tirkan akan ada perang saudara jika hal itu terjadi.

eg

Nah, pengaturan melalui kesejahteraan/keselamatan/ke￾utuhan sesuatu, secara langsung atau tidak langsung, menjadi 

pegangan gerakan-gerakan Islam di negeri kita semenjak dahu￾lu. Contoh terbaik dalam hal ini adalah gugurnya Piagam Jakarta 

(The Jakarta Charter) dari Undang-Undang Dasar (UUD) kita. 

Para pemimpin berbagai gerakan Islam pada saat itu, tanggal 18 

Agus­tus 1945, setuju membuang Piagam Jakarta ini  dari 

UUD ‘45, agar bangsa kita yang heterogen dalam asal-usul mere￾ka itu dapat bergabung ke dalam pangkuan Republik negara kita . Pen­da­pat yang dipegang oleh Ki Bagus Hadikusumo dan KHA 

Kahar Mudzakir dari Muhammadiyah, Abi Kusno Cokro­suyoso 

dari Sarekat Islam, A. Rahman Baswedan dari Partai Arab Indo￾nesia (PAI), A. Subardjo dari Masyumi, H. Agus Salim dan A. 

Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama (NU),5 itu jelas menonjol￾kan sema­ngat persatuan negara kita  pada tingkat paling tinggi. 

Bahwa para ulama fiqh (Hukum Islam) tidak menolak tindakan 

itu, menunjukkan dengan jelas bahwa keutuhan dan kesejah￾teraan umat dinilai begitu tinggi oleh berbagai gerakan Islam.

Dengan demikian, tertolaklah anggapan bahwa Islam ha￾nya bersandar pada formalitas belaka. Secara kultural, masuknya 

beberapa unsur budaya lokal ke dalam budaya Islam, atau seba￾lik­nya, merupakan bukti kuat akan hal ini. Tari Seudati yang di￾gambarkan dengan indahnya oleh James Siegel6

 dalam The Rope 

of God, sebagai kesenian daerah Aceh yang bernapaskan prak­tek￾praktek kaum sufi itu. Demi­kian pula, diciptakannya tembang 

Ilir-ilir

 oleh Sunan Ampel, menun­juk­kan bagaimana terjadi sa￾ling pengaruh-mempengaruhi yang sangat halus antara budaya 

daerah kita dan budaya agama yang dibawakan oleh Islam.

Demikian pula manifestasi budaya santri dalam tradisi 

Tabot8 di Suma­tera Barat dan Bengkulu. Dengan mudahnya 

wahana ekspresi keagamaan kaum Syi’ah itu menjadi budaya 

daerah setempat di hadapan tindakan-tindakan “budaya Sunni” dalam beberapa abad terakhir. Penggunaan “budaya adat” seba￾gai wahana ekspresi dari yang sebelumnya dikenal sebagai bu￾daya agama, menunjukkan betapa besar dinamika budaya yang 

terjadi.

eg

Nah, hal ini yang menjadi tantangan kita dewasa ini. Ayat 

kitab suci al-Qur'an “Dan dalam diri utusan Tuhan benar-benar 

telah ada contoh yang sempurna bagi orang yang meng­ha­rapkan 

kerelaan Allah, kebahagiaan akhirat dan senantiasa ingat akan 

tanda-tanda kebesaran Allah (laqad kâna lakum fî rasûlillâhi 

uswatun hasanatun li man kâna yarju Allâha wa al-yauma 

al âkhi­ra wa dzakara Allâha katsîra)” (QS al-Ahzâb [33]:21). 

Dalam kasu makro ayat itu dapat juga digunakan sebagai peng￾ingat bagi kita akan pentingnya me­les­tarikan lingkungan alam.

Hal-hal seperti ini seharusnya menjadi tekanan bagi gerak￾an-gerakan Islam dalam membangun bangsa. Bukan malah me￾mentingkan formalisasi ajaran-ajaran agama ter­sebut dalam 

ke­hi­dupan bernegara, yang tidak menjadi kebu­tuh­an utama 

masyarakat. Jika penampilan dari agama Islam terwujud tanpa 

formalisasi dalam kehidupan bernegara, maka agama ini  

menjadi sumber inspirasi bagi gerakan-gerakan Islam dalam ke￾hidupan ber­negara, seperti di negara ini.

Dasar perjuangan seperti inilah yang sebenarnya meng￾ilhami juga lahirnya partai-partai CDU (Christian Democratic 

Union, Uni Demokratik Kristen)9, di Jerman dan sejumlah nega￾ra lain. Inti dari pandangan seperti itu, terletak pada kesadaran 

bahwa agama harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan, dari￾pada membuat dirinya menjadi wahana formalisasi agama yang 

bersangkutan dalam kehidupan bernegara. Esensi inilah yang 

telah dijalankan dengan sangat baik oleh berbagai gerakan Islam 

di negara ini semenjak beberapa puluh tahun yang lalu.

Sejarah perkembangan Islam di manapun juga, senantiasa 

memperlihatkan jalinan antara dua hal, yaitu sis­tem indi￾vidu (perorangan) dan sisi kemasyarakatan (so­sial). Kedua 

hal itu harus dimengerti benar, kalau ki­ta meng­­­inginkan penge￾tahuan mendalam akan agama ini . Ka­lau hal ini telah di￾laksanakan, maka akan kita lihat beberapa ke­­mungkinan untuk 

pengembangan lebih jauh. Tentu saja ada yang menyanggah 

pendirian ini , dengan dalih Islam telah sem­­purna, dan ti￾dak memerlukan pengembangan. Pen­dapat ini  perlu diuji 

kebenarannya, agar kita memper­oleh gambaran lengkap tentang 

apa yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan. Dengan 

kata lain, sebenarnya kita saat ini memerlukan skala prioritas 

yang lebih jelas, dalam mena­tap masa depan.

Memang kitab suci al-Qurân tidak pernah secara jelas 

membagi kedua masalah itu (individu dan sosial) dalam kan￾dungannya. Seluruhnya bersandar pada kemampuan kita me￾mahami kitab suci ini , mana yang merupakan pe­rintah 

(khittah) untuk perorangan, dan mana yang untuk masyarakat. 

Seluruhnya bergantung atas penafsiran kita. Umpamanya saja 

firman Allah Swt yang menyatakan: “Dan Ku-jadikan kalian ber￾bangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal 

(wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâila lita’ârafû)” (QS al-Hujurât 

[49]:13). Jelas di situ, yang dimaksudkan umat manu­sia secara 

kese­lu­ruhan, dan yang dikehendaki adalah ke­nya­taan yang tidak tertulis: persaudaraan antara sesama manusia.

Dalam kitab suci al-Qurân terdapat sebuah ayat yang sa￾ngat penting yang berbunyi: “kawinilah apa yang baik bagi ka￾lian, daripada wanita-wanita, dua, tiga atau empat orang wa­ni­ta 

(tetapi) jika kalian takut tidak dapat (bersikap) adil, maka hanya 

seorang (istri) saja (fankihû mâ thâba lakum min an-nisa matsnâ 

wa tsulâtsâ wa rubâ’a wa in khiftum an lâ ta’dilû fa wâ­hidah)” 

(QS al-Nisa [4]:3).1

 Jelas ini merupakan perkenan, bu­kan perin￾tah. sebab  itu, ia bersifat per­orang­an sebab  tidak dapat dilaku￾kan generalisasi, itupun harus dirangkaikan dengan kenyataan, 

siapakah yang menentu­kan poligami itu adil? Kalau pihak lelaki, 

berapa orang perempuan pun akan tetap dirasa "adil". Sedan￾gkan bagi perempuan, masalah keadilan itu ber­sang­kut paut 

dengan rasa keadilan secara "normal", tentu lebih ba­nyak kaum 

perempuan yang merasakan poligami itu tidak adil.

eg

Dengan kemampuan memilih dan membedakan mana 

yang bersifat individual, dari hal yang bersifat kemasyarakat￾an (kolek­tif) jelas peranan memakai  akal dan pikiran kita 

men­jadi sangat besar. Dalam khasanah pemikiran ini, salah 

satu adagium “harta warisan“ yang dipakai NU sebagai patokan 

adalah: “me­me­lihara apa yang baik dari masa lampau, dan meng￾gunakan hanya yang lebih baik yang ada dalam hal yang baru 

(al-muhâ­fadzatu’ala al-qadîmi al sâlih wa al akhdzu bi al jadîd 

al-ashlah).”2Terkadang, sebuah kewajiban agama memiliki dua sisi itu, 

yaitu sisi individual dan sisi kolektif sekaligus, yang menjadi￾kan kita sering lupa bahwa perintah agama dapat saja memiliki 

kedua dimensi ini . Umpamanya saja, kewajiban berpuasa, 

yang semula diperintahkan sebagai sesuatu yang bersifat indi￾vidual, pe­rintah Allah Swt: “Diperintahkan kepada kalian untuk 

ber­puasa, seperti juga diwajibkan atas kaum-kaum sebelum ka￾lian (ku­tiba ’alaikum al-shiyâm kamâ kutiba ’ala ladzîna min 

qab­likum)” (QS al-Baqarah [2]:183). Perintah yang sepintas 

lalu ber­sifat individual ini pada akhirnya berlaku bagi seluruh 

kaum muslimin, sebagai ke­wajiban semua orang Islam. Dengan 

de­mikian, kita harus mam­pu mencari yang kolektif dari sumber￾sumber tertulis (dalil naqli).

Dalam perintah Nabi yang tertulis saja, yang membawakan 

sebuah kecenderungan baru, terkadang kita sulit untuk mem￾bedakan atau menetapkan, mana yang berwatak ko­lektif dan 

mana yang individual. Sebagai contoh, dapat dike­mu­kakan ada￾nya adagium: “Carilah ilmu dari buaian hingga ke liang kubur 

(uthlub al-ilma min al-mahdi ila al-lahdi).” Memang hal itu ada￾lah kerja terpuji, tetapi tidak jelas dalam ungkapan ini, apakah 

kewajiban yang timbul itu ber­laku untuk perorangan seorang 

muslim ataukah bagi seke­lom­pok kolektif kaum muslimin? Jika 

diartikan sebagai kewajib­an kolektif, bagaimanakah halnya de￾ngan mereka yang tidak berse­kolah? Benarkah mereka termasuk 

orang-orang bersalah? 

Kejelasannya tidak dapat dicapai dengan ungkapan harfi￾yah (literalis), sebab  tidak akan tercapai kesepakatan kaum 

muslimin tentang “kewajiban” bersekolah. Tapi apakah tanpa 

kesepakatan itu, lalu orang tidak berhak mendapat pendidikan? 

Dalam keada­an tiadanya kesepakatan tentang suatu hal, maka 

seseorang dapat mengikuti pendapat wajib bersekolah, sama hal￾nya seperti orang yang mengikuti pendapat tidak wajib berseko￾lah. Apakah sesuatu itu merupakan ke­wa­jiban universal ataukah 

kewajiban fakultatif? Dapat dikemukakan sebagai contoh menge￾nai hal ini, yaitu adanya ungkapan po­pu­ler “mencintai tanah air adalah sebagian (pertanda) dari ke­iman­an (hubbu al-wathan 

min al-îmân).”3

 Tidak jelas apa wujud “ke­­wa­jiban” mencintai 

tanah air yang menjadi tanda keimanan sese­orang itu? Apakah 

ini berarti kewa­jib­an memasuki milisi untuk mem­pertahankan 

tanah air, atau bukan? Untuk itu, diperlukan penjelasan de­ngan 

memakai  akal, sehingga sumber tertulis (dalil naqli) mau￾pun keterangan rasional (dalil aqli) dapat di­guna­kan bersa￾maan.

Terkadang, sebuah ucapan yang secara harfiyah tidak me￾nun­jukan suatu arti khusus, dapat saja secara rasional diberi arti 

sendiri oleh kaum muslimin. Contohnya, adalah ucapan Nabi 

Mu­ham­mad Saw: “Tuntutlah ilmu pengetahuan hingga ke (ta￾nah) Tiongkok (uthlub al-ilma walau bi al-shîn).”4

 Ungkapan ter￾se­but hanya menunjuk kepada perintah menuntut pengetahuan 

hing­­ga ke tanah Cina, namun para ahli hadis memberikan arti 

lain lagi. Menurut mereka, yang dimaksudkan oleh ungkapan 

Nabi Muhammad Saw ini  jelas-jelas menunjukan, kewa­jib￾an mempelajari ilmu pengetahuan non-agama juga. Bukankah di 

tanah Tiongkok waktu itu belum ada masyarakat muslim sama 

se­kali? Bukankah ini secara teoritik, pemberian kedudukan yang 

sama di mata agama, antara pengetahuan agama (Islamic stu￾dies) dan pengetahuan non-agama? Perumusan sikap oleh para 

ahli aga­ma Islam ini , yaitu kewajiban menuntut disiplin 

ilmu non-agama, memberikan kedudukan yang sama diantara 

keduanya. 

Di lihat dari berbagai pengertian, seperti diterangkan di 

atas, jelaslah bahwa ribuan sumber tertulis (dalil naqli), baik 

berupa ayat-ayat kitab suci al-Quran maupun ucapan Nabi Mu￾hammad Saw, akan memiliki peluang-peluang yang sama bagi 

pendapat-pendapat yang saling berbeda, antara universalitas se­ buah pan­dangan atau partikularitasnya di antara kaum muslimin 

sendiri. Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa per￾bedaan pen­dapat justru sangat dihargai oleh Islam, sebab  yang 

tidak di­­perbolehkan bukannya perbedaan pandangan, melain￾kan per­­ten­tangan dan perpecahan. Kitab suci kita menya­takan: 

“Ber­pe­­gang­lah kalian kepada tali Allah secara menyelu­ruh, dan 

ja­ngan­lah terpecah-belah/saling bertentangan (wa’ tashimû bi 

habli Allâh jamî’an walâ tafarraqû)” (QS Ali Imran [3]:103). 

Ini menunjukkan lebih jelas, bahwa perbedaan pendapat 

itu penting, tetapi per­ten­tangan dan keterpecah-belahan adalah 

se­buah malapetaka. Dengan demikian, nampak bahwa perbe￾daan, yang menjadi inti sikap dan pandangan perorangan harus 

di­be­da­kan dari perten­tangan dan keterpecah-belahan dari se￾buah totalitas masyarakat. Mudah untuk meng­ikuti ayat kitab 

suci ini , bukan?

Charles Torrey menyatakan dalam disertasinya1

, kitab suci 

al-Qurân sangat menarik bila dibandingkan dengan kitab 

suci agama lain. Kenapa ia menyatakan demikian? sebab , 

seperti dikatakannya, kitab suci ini  memakai  peristilah￾an profesional untuk menyatakan hal-hal yang paling dalam dari 

lubuk hati manusia. Dengan demikian, al-Qurân mem­berikan 

penghormatan yang sangat tinggi kepada profesi yang kita anut. 

“Barang siapa mengikuti selain Islam sebagai agama maka amal 

perbuatannya tidak akan diterima (menurut Islam) dan di akhirat 

kelak ia akan merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâmi dînan 

falan yuqbala minhu wahuwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn)” 

(QS ali-Imran [3]: 85). Bukankah istilah merugi merupakan isti￾lah profesional dalam dunia perdagangan. Walaupun dalam ayat 

ini, kata merugi dimaskudkan untuk menunjuk hal yang paling 

dalam di hati manusia, yaitu tidak memperoleh pahala?

Istilah-istilah lain dari dunia profesi lain juga dipakai 

dalam pe­ngertian yang sama oleh kitab suci al-Qurân. "Barang 

siapa mem­­­beri pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang 

baik, ma­ka ia akan melipat-gandakan imbalannya (man dzal￾ladzi yuq­ridhullâh qardhan hasanan fayudhâ’ifahu lahu)” (QS 

al-Baqa­rah (2): 245). Kata pinjaman di sini, jelas menunjuk ke­

pada perolehan pahala, dan bukannya pengembali­an kredit se￾perti di bumi. 

Ketika Allah Swt berfirman: “Barang siapa menginginkan 

pa­nenan di akhirat kelak, akan Ku-tambahi panenannya (man 

kâna yurîdu harts al-âkhirati nazid lahu fi hartsihi)” (QS al-Syu￾ra [42]:20). Panenan yang dimaksudkan sebagai pahala di akhi￾rat bagi per­buat­an kita di dunia ini. Digunakannya istilah-istilah 

perdagangan dan perta­ni­an dalam al-Qurân untuk keingin­an 

memperoleh pa­hala bagi amal perbuatan, merupakan penghar￾gaan yang sangat tinggi atas profesi-profesi manusia.

Dalam sebuah ayat suci al-Qurân dinyatakan: “Orang￾orang yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan 

pra­setia (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû)” (QS al-Baqa￾rah [2]:177). Ini jelas menunjuk kepada profesionalisme seperti 

itu. Bukankah ma­nu­sia paling meng­uta­ma­kan janji profesi ke￾tika mengucapkan prasetia? 

eg

Dikombinasi­kan dengan pengamatan Torrey di atas, je­las￾lah bahwa Islam memberikan penghargaan sangat tinggi ke­pada 

profesi. Pemahaman ini justru hilang dari kehidupan kaum mus￾limin dari beberapa abad silam, sebab  mem­beri­kan perhatian 

terlalu banyak kepada kaum penguasa, serta kebi­jak­an-kebijakan 

dan tindakan-tindakan mereka, alias memberi per­hati­an terlalu 

besar porsinya kepada aspek politik dalam ke­hi­dupan bangsa￾bangsa muslim.

Sebagai akibat, perhatian atas masalah-masalah profesio￾nal ternyata kurang besar, dan dengan sendirinya pemikiran ke 

arah itupun menjadi sangat kecil. Pada saat yang sama, bangsa￾bangsa Barat telah mencurahkan perhatiannya yang sangat be￾sar kepada masalah-masalah profesionalisme. Dengan sendiri￾nya, pertautan antara Islam sebagai ajaran dan profesi sebagai 

penerapan ajaran-ajar­an ini , menjadi tidak bersambung 

satu sama lain. 

Ini mengakibatkan ketertinggalan sangat besar dalam 

pe­mahaman Islam sebagai agama kehidupan di kalangan para 

pemeluknya. sebab nya, diperlukan sebuah keberanian moral 

untuk me­ram­bah jalan baru bagi sebuah penafsiran, yang tidak 

lain adalah se­buah pendekatan profesional.Kita ambil sebuah firman Allah dalam al-Qurân: “Jika 

kalian disapa dengan sapaan yang baik, maka sapalah dengan 

ungkapan yang lebih baik lagi (wa idzâ huyyîtum bitahiyya￾tin fa hayyû bi ahsana minhâ)” (QS al-Nisa [4]:86). Jika ayat 

ini ditafsirkan dengan pendekatan profesional, katakanlah bagi 

seorang produsen ba­rang, maka maknanya menjadi kalau ba￾rang produksi Anda dipuji orang lain, maka tingkatkanlah mutu 

produksi barang itu sebagai jawaban atas pujian baik yang di￾ucapkan. 

eg

Hal inilah yang harus kita mengerti, jika diingin­kan pema￾haman lengkap terhadap kitab suci al-Qurân: kitab suci itu ja￾nganlah hanya dipahami sebagai dokumen politik, melainkan 

sebuah peng­gambaran kehidupan yang leng­kap, termasuk pema￾haman sejarah masa lampau.

Jelas bahwa Islam memperlakukan kehidupan sebagaima￾na mestinya. Sebuah pemahaman yang benar akan menunjuk 

kepada kenyataan bah­wa Islam bukanlah agama politik semata. 

Bahkan dapat dikata­kan bahwa porsi politik dalam ajaran Is￾lam sangatlah kecil, itupun terkait langsung dengan kepenting￾an orang banyak, yang berarti kepentingan rakyat kebanyakan 

(kelas bawah di masya­ra­kat). Kalau hal ini tidak disadari, maka 

politik akan menjadi panglima bagi gerakan-gerakan Islam dan 

terkait dengan institusi yang bernama kekuasaan.

Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah dalam 

kitab suci al-Qurân: “Apa yang diberikan Allah kepada utusan￾Nya sebagai pungutan fai’ dari kaum non-Muslim (sekitar Madi￾nah), hanya bagi Allah, utusan-Nya, sanak keluarga terdekat, 

anak-anak yatim, kaum miskin dan pejalan kaki untuk menun￾tut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang terkumpul tidak 

hanya beredar di kalangan kaum kaya saja di lingkungan kalian 

(mâ afâ ‘a Allâhu alâ rasûlihi min ahli al-Qurâ fa lillâhi wa li 

ar-rasûlihi wa lidzî al-qurbâ wa al-yatâmâ wa al-masâkîni wa 

ibni al-sabîl, kaila yakûna dûlatan baina al-aghniyâ’ minkum)” 

(QS al-Hasyr [59]:7). Ayai itu menjadi bukti bahwa Islam lebih 

me­mentingkan fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan men￾de­rita, dan tidak memberikan perhatian khusus tentang bentuk 

negara yang diinginkan?Kalau saja ini dimengerti dengan baik, akan menjadi jelas￾lah bahwa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan mak￾mur, dengan kata lain masyarakat sejahtera, yang lebih diuta￾makan kitab suci ini  daripada masalah bentuk negara. 

Kalaulah hal ini disadari sepenuhnya oleh kaum mus­li￾min, tentulah salah satu sumber keruwetan dalam hubungan 

antara sesama umat Islam dapat dihindarkan. Artinya, ketidak￾mampuan dalam memahami hal inilah, yang menjadi sebab ke￾melut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa ini. h


Pada tahun-tahun 50-an dan 60-an, di Mesir terjadi perde￾batan sengit tentang bahasa dan sastra Arab, antara para 

eksponen modernisasi dan eksponen tradisionali­sasi. Dr. 

Thaha Husein,1

 salah seorang tuna netra yang pernah menjabat 

menteri pendidikan dan pengajaran serta pelopor mo­dernisasi, 

meng­anggap bahasa dan sastra Arab harus mengalami mo­der­ni￾sasi, jika diinginkan ia dapat menjadi wahana bagi per­ubahan￾perubahan sosial di jaman modern ini. Ia menganggap bahasa 

dan sas­tra Arab yang digunakan secara klise oleh sajak-sajak puja 

(al-madh) seperti bahasa yang digunakan dalam dzibâ’iyyah

dan al-barzanji sebagai dekadensi bahasa yang justru akan 

memper­kuat tradisionalisme dan menentang pembaharuan. 

Dari pendapat ini dan dari tangan Dr. Thaha Husein, lahirlah pa￾ra pembaharu sastra dan bahasa Arab yang kita kenal sekarang 

ini.


Nama-nama terkenal seperti Syauqi Dhaif3

 dan Suhair 

al-Qalamawi4

 muncul sebagai bintang-bintang gemerlap dalam 

perbincangan mengenai pembaharuan bahasa dan sastra Arab. 

Se­jak masa itu, munculah madzhab baru bahasa Arab, yang dira￾sakan oleh mereka sebagai pendorong dinamika dan pe­ru­bah­an 

sosial. Bahasa dan sastra Arab dari masa lampau, yang lebih ber￾bau agama dikesampingkan oleh kebangkitan kembali bahasa 

dan sastra Arab masa pra-Islam (‘asr al-jâhiliyah).

Dalam pandangan ini, produk-produk dekaden harus di￾ke­sampingkan, guna memberi jalan kepada proses modernisasi 

bahasa dan sastra Arab. Ini merupakan reaksi terhadap paham 

serba agama yang merajai Timur Tengah sebelum itu. Sejalan de￾ngan tumbuhnya nasionalisme Arab (al-qawmiyyah al-ara­biy￾yah), yang kala itu menjadi pikiran dominan di kalangan para 

pemikir Arab. Dengan demikian, tradisionalisme yang dibawa￾kan agama, dianggap sebagai penghalang bagi munculnya ke￾cen­derungan baru ini . sebab  sifatnya yang intelektual, 

pandangan ini tidak langsung diikuti oleh rakyat kebanyakan, 

hal­nya menjadi pemikiran elitis dari kaum cendekiawan di nege￾ri-negeri Arab selama dua puluh lima tahun.

eg

Di negeri kita, kemunculan kelompok nasionalis itu juga 

berkembang. Persamaannya dengan pandangan anti-tradisional￾isme bahasa dan sastra Arab di kalangan bangsa-bangsa Mesir, 

yaitu pandangan elitisme kaum cendekiawan ini tidak menyen￾tuh pikiran-pikiran rakyat awam di negeri ini. Perbedaanya, 

agama dengan tra­disionalismenya tidak dipersalahkan meng￾hambat kemajuan. Mungkin ini disebabkan oleh kekuatan poli￾tik organisasi tradi­sio­nal agama, seperti NU (Nahdlatul Ulama). 

Tradisionalisme agama yang dibawa NU justru menyatu dengan 

kaum nasionalis, sebab  kedua-duanya harus berhadapan de￾ngan modernisme non-ideologis yan