Tampilkan postingan dengan label islam ku 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam ku 9. Tampilkan semua postingan

islam ku 9




 lam tem￾bang “Lir-ilir”, dalam ungkapan yang sesuai dengan budaya pe￾nguasa Jawa di Majapahit. Makna tembang ini  yaitu blim￾bing untuk mencuci pakaian yang sobek pinggirnya, perlambang 

rakyat yang tidak mempu­nyai kekuasaan apapun. Baju sobek itu 

dipakai untuk menghadap raja (seba), sebab  lingkaran meng￾hadap raja masih lebar, dan sinar rembulan menyinari lingkaran 

(pumpung jembar kala­ngane, pum­­pung padang rembulane). 

Tampak di situ bagaimana Su­nan Ampel3

 memakai  sim￾bol-simbol budaya Jawa dalam hubungan ma­syarakat dengan 

pe­nguasa, yang sama sekali tidak ideologis. 

Dalam kasus ini terlihat, pendekatan budaya dan ideo­logis 

saling bertentangan. Dalam pendekatan yang meng­gu­nakan 

strategi budaya tadi, kaum muslimin tidak diseyog­ya­kan meng­gunakan ideologi untuk merubah kultur masyarakat atas nama 

agama. Biarlah struktur itu berubah dengan sendirinya melalui 

pranata-pranata lain, sejarah jualah yang akan menun­juk­kan ke￾pada kita perubahan-perubahan yang akan terjadi. Ka­re­­nanya, 

strategi semacam ini selalu berjangka sangat panjang, dan meli￾puti masa yang sangat panjang pula, yaitu berubah dari generasi 

ke generasi. 

Berbeda dengan strategi budaya itu, strategi ideologis se￾nan­tiasa menekankan diri pada pentingnya merubah struktur 

ma­syarakat, dan mengganti sistem kekuasaan yang ada, guna 

menjamin berlangsungnya perubahan politik dalam sistem ke￾kua­saan yang bersangkutan. Dalam hal ini, sering dilupakan 

pilih­an-pilihan rakyat akan sistem kekuasaan yang mereka i￾nginkan. Yang penting, sang pemimpin dan teman-teman se￾ideologi nya memegang tampuk kepemimpinan dan merubah 

struktur masya­ra­kat yang dimaksudkan. Di sini berlakulah sep￾erti apa yang dikatakan Vladimir Illyich Lenin dalam pamflet￾nya “penyakit kiri kekanak-kanakan kaum revolusioner (The In￾fantile Disease of ‘Leftism’ in Communism),” yaitu perjuangan 

yang selalu menekankan keha­rusan sukses akan dicapai semasa 

sang aku masih hidup. Ini terjadi pada kaum komunis di bawah 

Lenin-Mao Zedong, di kalangan kaum nasionalis di bawah Soek￾arno, dan gerakan Islam di bawah pimpinan Imam Khamenei 

dan kawan-kawan yang sekarang menguasai Dewan Ulama 

(Khubrigan

), yang oleh pers Barat di­sebut sebagai ulama kon￾servatif. Herankah kita jika orang-orang seperti Presiden Iran, 

Mohammad Khatami, lalu berhadapan dengan mereka, sebab  

strategi budaya yang dianutnya? 


Tiga buah bom meledak dalam waktu yang hampir bersa￾maan di Denpasar, Bali pada 12 Oktober 2002. Lebih dari 

180 orang menjadi korban, termasuk sangat banyak orang 

yang mati seketika. Jelas ini adalah bagian mengerikan dari tin￾dakan teror yang selama belasan bulan ini menggetarkan pe￾rasaan kita seba­gai warga masyarakat. Penulis berkali-kali me￾minta agar pihak ke­aman­an mengambil langkah-langkah yang 

diperlukan guna meng­hindarkan terjadinya hal itu. Termasuk 

mengambil lang­kah-langkah preventif, antara lain menahan 

orang-orang yang ke­lu­yuran di negeri kita membawa senjata ta￾jam, membuat bom-bom rakitan, memproduksi senjata-senjata 

yang banyak ragamnya.

Namun pihak keamanan merasa tidak punya bukti-bukti 

le­­gal yang cukup untuk mengambil tindakan hukum terhadap 

mere­ka. Mungkin di sinilah terletak pokok permasalahan yang 

kita hadapi. Kita masih menganut kebijakan-kebijakan punitif

dan kurang memberikan perhatian pada tindakan-tindakan pre￾ven­tif, kalau belum ada bukti legal yang cukup tidak dilakukan 

penang­kapan. Ini jelas kekeliruan yang menyebabkan hilangnya 

rasa hormat pada aparat negara. Hal lainnya adalah, dalam kehi￾dupan sehari-hari begitu banyak pelanggaran hukum dilakukan 

oleh aparat keamanan, sehingga mereka pun tidak dapat mela￾ku­­kan tindakan efektif untuk mencegah tindakan teror yang di￾laku­kan orang. Itupun tidak bisa dibenahi oleh sistem politik 

kita yang sekarang, sebab  banyak sekali pelanggaran politik di￾la­kukan oleh oknum-oknum pemerintah.Sikap menutup mata oleh aparat keamanan kita terhadap 

hal-hal yang tidak benar, juga terjadi dalam praktek kehidupan 

sehari-hari di masyarakat. Apabila akan diambil tindakan hu­kum 

terhadap aparat, banyak pihak lalu melakukan sesuatu un­tuk 

“menetralisir” tindakan itu. Kasus bentroknya Batalyon Linud 

(Lintas Udara) Angkatan Darat dengan aparat kepolisian di Bin￾jai, Sumatra Utara, dapat dijadikan contoh. Mereka mela­kukan 

tindakan “netralisasi” terhadap langkah-langkah hukum, sebab  

para anggota batalyon itu menyaksikan sendiri bagaimana para 

perwira mereka, baik di Angkatan Darat dan Polri, yang men￾dukung (backing) kelom­pok-kelompok pelaksana perjudian dan 

pengedar narkoba, tidak mendapat tindakan hukum apapun.

Masalah yang timbul kemudian adalah, bagaimana mere­ka 

da­pat mencegah kelompok-kelompok kriminal dalam mem­per￾siap­­kan tindakan teror terhadap masyarakat, termasuk warga 

asin­g­? Si­kap tutup mata itu sudah menjadi demikian luas sehing￾ga tidak ada pihak keamanan yang berani bertindak terhadap ke￾lom­­pok-kelom­pok seperti itu. Kalaupun ada aparat keamanan 

yang ber­sih, dapat dimengerti keengganan mereka melakukan 

tindakan preventif, sebab  akan berarti kemungkinan berhada￾pan dengan atasan atau teman sejawatnya sendiri. Dalam hal ini 

ber­lakulah pe­patah “Guru kencing berdiri, murid kencing ber￾lari.” Inilah penyebab dari apa yang terjadi di pulau Bali itu, jadi 

tidak usah heran jika hal itu terjadi, bahkan yang harus diheran￾kan, mengapakah hal ini baru terjadi sekarang.

Penyebab lain dari “paralyse” (kelumpuhan) tadi, adalah 

adanya hubungan sangat baik antara aparat keamanan dengan 

pihak-pihak teroris dan preman sendiri. Seolah-olah mereka 

men­da­­pat­­kan kedudukan terhormat dalam masyarakat, sebab  

kema­na­pun ke-premanan mereka dapat ditutupi. Bahkan ada 

benggolan preman yang berpidato di depan agamawan, seolah￾olah dia lepas dari hu­kum-hukum sebab-akibat. Herankah kita 

jika orang tidak me­rasa ada gunanya melakukan tindakan pre￾ventif? Pa­dahal haki­kat tindakan itu adalah mencegah dilaku￾kannya lang­kah-lang­kah melanggar hukum, dengan terciptanya 

rasa malu pada diri calon-calon pelanggar kedaulatan hukum.

Kalau orang merasa terjerumus menjadi preman atau tero￾ris, herankah kita jika pihak keamanan yang justru takut dan bu￾kannya menindak mereka? Apalagi kalau Wakil Presidennya me￾nerima para teroris di kantor dan memperlakukan seolah-olah pahlawan? Bukankah ini berarti pelecehan yang sangat se­rius 

dalam kehidupan bermasyarakat kita? Ditambah lagi kesalahan 

sikap ini di­tutup-tutupi pula oleh anggapan bahwa Amerika Seri￾kat-lah yang bersekongkol dengan TNI untuk memicu  hal￾hal di atas guna melaksanakan “rencana jahat” dari CIA (Central 

Inteligence Agency)? Teori ini harus diselidiki secara mendalam, 

namun masing-masing pihak tidak perlu saling menunggu. Ini￾lah prinsip yang harus dilakukan.

Memang setelah bertahun-tahun, hal semacam ini baru da￾pat diketahui sebagai kebijakan baru di bidang keamanan, guna 

memungkinkan tercapainya ketenangan yang benar-benar tang￾guh. Sudah tentu, kebijakan itu harus benar-benar se­suai dengan 

kebutuhan yang ada. Dalam hal ini keperluan akan tin­dakan-tin￾dakan untuk mencegah terulangnya kejadian seperti di Bali itu. 

sebab nya tindakan preventif harus diutamakan. Kebu­tuhan itu 

mengharuskan kita segera mencapai kesepakatan, meng­atasi 

kekosongan kekuasaan keamanan yang terlalu lama dapat ber￾akibat semakin beraninya pihak-pihak yang melakukan destabili￾sasi di negeri kita.

Untuk itu diperlukan beberapa tindakan yang dilakukan se￾cara simultan (bersama-sama). Pertama, harus dilakukan upaya 

nyata menghentikan KKN oleh birokrasi negara. De­ngan adanya 

KKN, birokrasi pemerintah tidak akan dapat menjalankan tugas 

secara adil, jujur dan sesuai dengan undang-undang yang ada. 

Kedua, persamaan perlakuan bagi semua warga negara di muka 

undang-undang tidak akan dapat terlaksana jika KKN ma­sih 

ada. Dengan demikian, menciptakan kebersihan di lingkung­an 

sipil dan militer merupakan persyaratan utama bagi penegak­an 

demokrasi di negeri kita. 

Syarat ketiga yang tidak kalah penting adalah, kebijakan 

yang sesuai dengan kebutuhan dan kenyataan yang ada. Kita 

ti­dak dapat membuat istana di awang-awang, melainkan atas 

ke­­nyataan yang ada di bumi Indoesia. sebab  itulah, dalam se￾buah surat kepada mantan Presiden HM. Soeharto, penulis 

me­­ngatakan bahwa kita harus siap untuk memaafkan dalam 

ma­­sa­­lah perdata para konglomerat yang tidak mengembalikan 

pinjam­an mereka pada bank-bank pemerintah, asalkan uang ha￾sil pinjaman itu dikonversikan menjadi kredit murah bagi usaha 

kecil dan menengah (UKM). Soal-soal pidana menjadi tanggung 

jawab aparat hukum yang ada, dan tidak pantas dicampuri baik oleh pihak eksekutif maupun legislatif. Resep ini memang terasa 

terlalu sumir dan elitis, tetapi memberikan harapan cukup untuk 

tetap menciptakan keamanan dan dalam menopang kebangkitan 

kembali ekonomi nasional kita. 


Terorisme memang merajalela di negeri kita. Dalam waktu 

setahun terakhir ini, seharusnya ada tindakan yang jelas 

dari pe­me­rintah untuk memberantas dan mengikis habis 

terorisme ini. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Para tero￾ris semakin lama semakin merajalela, dan mendorong masyara￾kat untuk meng­anggapnya sebagai buatan luar negeri yang tidak 

dapat diatasi. Akhirnya, terorisme mengalami eskalasi luar biasa, 

dan terjadilah peledakan 3 buah bom berkekuatan sangat tinggi 

di Bali. Korban yang berjatuhan sangat besar, berjumlah di atas 

200 jiwa, ini menurut laporan media massa sendiri.1

Pemerintah sendiri tidak siap menghadapinya, terbukti da￾ri usulan-usulan yang saling bertentangan antar pejabat peme­rin￾tah­­an di tingkat pusat. Ada usul agar supaya kegiatan-kegiat­an 

intelejen dikoordinir oleh sebuah badan baru, sedangkan Menko 

Polkam Susilo Bambang Yudhoyono menganggap hal itu tidak 

per­lu. Menhan Matori Abdul Djalil menganggap ada gerakan 

Islam internasional di belakang peristiwa pengeboman itu, se￾dang­kan Kapolri sendiri menyatakan belum ada bukti-bukti hu￾kum yang dapat dipertanggungjawabkan di pengadilan. Kalau 

di lingkungan pemerintahan saja terjadi perbedaan pendapat


se­perti itu, berarti itu menunjukkan ketidaksiapan menghadapi 

kejadian ini, dan dapat diperkirakan betapa banyaknya pendapat 

saling bertentangan dalam masyarakat.

Secara internasional, ketidaksiapan pemerintah atas keja￾di­an itu dilontarkan oleh berbagai pihak atau negara. Ini juga 

ber­akibat parah terhadap ekonomi kita yang sedang dilanda kri￾sis. Bagaikan orang yang jatuh ditimpa tangga pula. Bukan ha￾nya menurunnya jumlah wisatawan asing yang ke Bali melain￾kan juga jumlah ekspor kita ke negara lain terkena pukulan he￾bat. Demikian juga, usaha di bidang pariwisata kita mengalami 

pukulan berat. Jumlah penganggur semakin membengkak dan 

tak terbatas hanya pada daerah Bali saja. Gubernur Jawa Timur 

(Jatim) menyatakan kepada pe­nulis, ekspor daerah itu melalui 

Bali yang telah lalu mencapai jumlah 1 milyar rupiah. Jelas Jatim 

mengalami pukul­an hebat akibat peristiwa pemboman itu. Penu￾lis menambahkan, para wi­sa­tawan asing itu banyak juga yang 

kemudian berselancar di selatan Banyuwangi dan menyaksikan 

matahari terbit di puncak Gunung Bromo. Kalau mereka tidak 

datang ke Bali, maka mereka tidak akan datang ke Jatim.

eg

Secara matematis pendapatan negeri kita mengalami pu￾kulan hebat akibat peristiwa di Bali ini. Tapi hitungan mate­ma­­tis 

ini tidak berlaku bagi kehidupan perikemanusiaan, dengan hi￾langnya nyawa orang sedemikian banyak itu. Inilah yang harus 

diingat dalam memperhatikan akibat-akibat dari peristiwa ter­se￾but. Hilangnya kepercayaan negara-negara lain akan ke­mam­pu￾an kita sebagai bangsa untuk memelihara keamanan siapa pun, 

juga mengalami pukulan berat. Kita juga tidak tahu, harus berse￾dih hati kah? Atau justru menjadi marah oleh kejadian ini . 

Ha­nya pernyataan, bahwa apa yang telah terjadi itu adalah sebu￾ah force majeur –hal yang tidak dapat kita tanggulangi secara 

tuntas-, membuat kita sedikit tenang.

Yang tidak kita mengerti, mengapa pihak keamanan sama 

sekali tidak tanggap terhadap kekerasan, bersiap siaga terhadap 

kemungkinan yang ditimbulkannya. Kesimpulannya, pihak ke￾amanan memang kekurangan tenaga, atau mereka cerminan dari 

sistem politik kita yang kacau balau. Itu semua terjadi sebab  ada￾nya perintah tak tertulis “dari atas” yang saling bertentangan. Di satu pihak, ada yang menyatakan bahwa kaum tero­ris merajalela 

di negeri kita, sebab  itu kita harus siaga sepe­nuh­nya. Di pihak 

lain, ada “bisikan” agar kelompok-kelom­pok teroris di negara 

kita jangan ditindak kalau belum terbukti me­langgar hukum. 

Ini berarti, tidak ada tindakan antisipatif apapun terhadap ke￾mungkinan tindakan yang ditimbulkan oleh para teroris. Makna 

dari hal ini adalah, pihak keamanan me­­ne­rima perintah saling 

bertentangan, dan wajar saja kalau mereka lalu dibuat bingung 

oleh kebijakan itu, yang berakibat pada ke­tidak­pastian dalam 

penyelenggaraan keamanan. Justru inilah kesempatan yang di￾tunggu-tunggu oleh para teroris, yang masih harus dibuktikan 

secara hukum melalui kerjasama de­ngan unsur-unsur aparat ke￾amanan luar negeri.

Tidak heranlah jika negara-negara lain lalu menganggap 

kita tidak memiliki kesanggupan menjaga keamanan dan meneli￾ti pelanggaran-pelanggaran atasnya. Tawaran yang oleh Kapolri 

di­nyata­kan datang dari berbagai negara, pada hakikatnya adalah 

kritikan terhadap kemampuan kita di bidang keamanan dalam 

negeri. Jadi tidak tepatlah kebanggaan sementara kalangan akan 

datangnya tawaran membantu itu. Ini adalah akibat belaka dari 

kela­laian kita di masa-masa lampau, termasuk ketika penulis 

men­jadi Kepala Pemerintahan.

Yang sebenarnya mengejutkan kita adalah sikap Wapres 

Hamzah Haz. Pertama, ia tidak pernah mengutuk tindakan tero￾ris ini . Kedua, ia justru mengunjungi para tahanan seperti 

Ja’far Umar Thalib2

, mengunjungi tempat-tempat yang selama 

ini diduga dipakai sebagai pangkalan teroris di negara kita. Pa­ling 

tidak, Hamzah seharusnya menahan diri dan tidak melakukan 

kunjung­an ini , sampai dibuktikan oleh pengadilan bahwa 

mereka tidak bersalah. Tundalah melakukan kunjungan demi kunjungan itu sampai masalahnya menjadi terang. Kesimpulan 

kita, ia perlu mendekati kelompok garis keras gerakan Islam, un￾tuk kepen­ting­an politik, mencari dukungan bagi partainya dalam 

pemilu mendatang. Berarti ia melakukan kunjungan demi kun￾jungan itu untuk kepentingan politik pribadinya.

Ini dapat dimengerti sebagai kebutuhan politik yang wajar. 

Tapi tindakannya menerima orang-orang yang diduga melang￾gar hukum atau undang-undang di Istana (kantor) Wapres, ada￾lah tindakan politik gegabah.3

 Ia tidak bisa membedakan kedu￾dukan sebagai ketua umum sebuah parpol dari jabatan Wapres. 

Hal ini langsung atau tidak langsung memberikan dorongan bagi 

kaum teroris untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak 

berperi­kemanusiaan dan melanggar undang-undang. Melihat 

langkah-langkah yang diambilnya, demikian jauh ia dari rakyat 

pada umumnya. Ini sebagai sesuatu yang mengherankan. Di sini￾lah ia akan dinilai, mampukah ia membebaskan diri dari kepen￾ting­an-kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan 

umum. 

Seorang pejabat negara tidak boleh mencampuradukkan 

kepentingan jabatan dengan kelompok yang dipimpinnya. Kalau 

ia ingin melaksanakan sebuah garis perjuangan par­tainya dalam 

jangka panjang, umpamanya saja dengan mende­kati kelompok￾kelompok garis keras, untuk memperoleh suara mereka dalam 

pemilu yang akan datang, maka pertemuan itu harus dilakukan 

di tempat mereka atau di kalangan partai yang dipimpinnya. Ti￾daklah layak mengundang mereka yang dituduh sebagai teroris 

oleh banyak pihak untuk makan siang di Kantor Wakil Presiden. 

Perbedaan utama fungsi resmi jabatan atas pe­me­rintahan dari 

fungsi politik kepartaian harus selalu diper­hati­kan, agar baik 

pemerintah maupun partai politiknya tidak saling mengalami 

kerugian. sebab  itu, upaya memerangi terorisme memerlukan 

ketegasan sikap yang ditujukan untuk mereka, ini harus benar￾benar diperhatikan. h


Pada sebuah diskusi beberapa tahun yang lalu di Masjid Sun￾da Kelapa, Jakarta, penulis dikritik oleh Dr. Yusril Ihza Ma￾hendra.1

 Kata Bang Yusril, ia kecewa dengan penulis sebab  

bergaul terlalu erat dengan umat Yahudi dan Nasrani. Bukankah 

kitab suci al-Qur’ân menyatakan salah satu tanda-tanda seorang 

muslim yang baik ada­lah “bersikap keras terhadap orang kafir 

dan bersikap lembut terhadap sesama muslim (asyiddâ’u ‘alâ al￾kuffâr ruhamâ bayna­hum)” (QS al-Fath [48]:29). Menanggapi 

hal itu, penulis menjawab, sebaiknya Bang Yusril mempelajari 

kem­bali ajaran Islam, dengan mondok di pesantren. sebab  ia 

tidak tahu, bahwa yang dimak­sud al-Qur’ân dalam kata “kafir” 

atau “kuffar” adalah orang-orang musyrik (polytheis) yang ada 

di Mekkah, waktu itu. Kalau hal ini saja Bang Yusril tidak tahu, 

ba­gaimana ia berani menjadi mubaligh? 

Dengan masih adanya pendangkalan pemahaman seperti 

itu, penulis jadi tidak begitu heran kalau terjadi kekerasan di Ma￾luku, Poso, Aceh dan Sampit. Penulis mengutuk peledakan bom 

di Legian, Bali, sebab  itu berarti pem­bu­­nuhan atas begitu ba￾nyak orang yang tidak bersalah. Walau mengutuk, tidak berarti

penulis heran atas terjadinya peledakan bom itu. sebab  dalam 

pandangan penulis, hal itu terjadi akibat para pelakunya tidak 

mengerti, bahwa Islam tidak membenarkan tindak kekerasan 

dan diskriminatif. Satu-satunya pembenar­an bagi tindakan ke￾kerasan secara individual adalah, jika kaum mus­limin diusir dari 

rumahnya (idzâ ukhrijû min diyârihim). Kare­na itulah, ketika 

harus meninggalkan Istana Merdeka, penu­lis me­minta Luhut 

Panjaitan mencari surat perintah dari Lurah seka­li­pun. Sebab￾nya, sebab  ada perintah lain dalam Sunni tradi­sio­nal yang diya￾kini penulis, untuk taat pada pemerintah. Ber­da­sar ayat kitab suci 

al-Quran, “Taatlah kalian pada Allah, pada utusan-Nya dan pada 

pemegang kekuasaan pemerintahan (athî‘u allâha wa’athî’u ar￾rasûl wa ulî al-amri minkum)” (QS. Al-Nisa [4]:59). Pak Luhut 

Panjaitan2

 mencarikan surat perintah itu dari se­orang Lurah, dan 

pe­nulis sebagai warga negara dan rakyat biasa –sebab  lengser 

dari jabatan kepresidenan- mengikuti perintah ini . 

Soal bersedianya penulis lengser dari jabatan kepresiden￾an, sebab  penulis menganggap tidak layak jabatan setinggi apa￾pun di negeri ini, dipertahankan dengan pertumpahan darah. 

Padahal waktu itu, sudah ada pernyataan yang ditandatangani 

300.000 orang akan mendukung penulis mempertahankan ja￾batan kepre­si­denan, kalau perlu mengorbankan nyawa. 

eg

Tindak kekerasan -walaupun atas nama agama- dinyatakan 

oleh siapapun dan dimanapun sebagai terorisme. Beberapa ta￾hun sebelum menjabat sebagai presiden, penulis merencanakan 

ber­kun­jung ke Israel untuk menghadiri pertemuan para pendiri 

Pusat Perdamaian Shimon Peres di Tel Aviv. Sebelum keberang￾kat­an ke Tel Aviv, penulis menerima rancangan pernyataan ber­sa￾ma, yang disampaikan oleh Rabi Kepala Sevaflim Eli Bakshiloron. 

Dalam rancangan pernyataan itu, terdapat pernyataan penulis 

dan Rabi yang menyatakan “berdasarkan keyakinan agama Is￾lam dan Yahudi, menolak penggunaan kekerasan yang berakibat 

pada matinya orang-orang yang tidak berdosa”. Pengurus Besar Nah­dlatul Ulama (NU) mengutus Wakil Rois ‘Am, KH. M.A. Sa￾hal Mah­fudz3

 untuk memeriksa rancangan pernyataan itu. KH. 

M.A. Sahal Mahfudz memin­ta kata-kata “tidak berdosa” diubah 

menjadi “tidak bersalah”.

Mengapa demikian? sebab , yang menentukan seseorang 

itu berdosa atau tidak adalah Allah Swt. Sedangkan salah atau 

tidak­nya seseorang oleh hakim atau pengadilan, berarti oleh sesa￾ma manusia. Penulis menerima keputusan itu dan perubahan 

ran­­cangan pernyataan ini , juga diterima oleh Rabi Eli Bak￾shiloron. Ketika tiba di Tel Aviv, penulis bersama Rabi Eli lang￾sung menuju kantornya di Yerusalem. Di tempat itu, penulis dan 

Rabi Eli menandatangani pernyataan bersama itu di depan pub￾lik dan media massa. Ini menunjukkan bahwa, NU sebagai or￾ganisasi Islam terbesar di negara kita  —bahkan menurut statistik 

sebagai organisasi Islam terbesar di dunia— menolak terorisme 

dan penggunaan kekerasan atas nama agama sekalipun. sebab  

itu, kita mengutuk peledakan bom di Bali dan menganggapnya 

se­bagai “tindak kejahatan/ kriminal” yang harus dihukum.

Keseluruhan penolakan penulis itu, bersumber pada penda￾pat agama yang tercantum dalam literatur keagamaan (al-kutub 

al-mu’tabarah), jadi bukannya isapan jempol penulis sendiri. 

Me­ngapa demikian? sebab  Islam adalah agama hukum, kare￾nanya setiap sengketa seharusnya diselesaikan berdasarkan hu￾kum. Dan sebab  hukum agama dirumuskan sesuai dengan tu￾juannya (al-umûru bi maqâshidiha), maka kita patut menyimak 

pendapat mantan ketua Mahkamah Agung Mesir, Muhammad 

Sa’id al-Ashmawy.4

 Menu­rut­nya, “hukum Barat” dapat dijadikan hukum Islam”, jika memi­li­ki tujuan yang sama. Hukum pidana 

Islam (jarimah), menurut Muhammad Sa’id al-Ashmawy, sama 

dengan hukum pidana Barat, sebab  sama berfungsi dan bertu￾juan mencegah (deterrence) dan menghukum (punishment).

eg

Namun, mengapa terorisme dan tindak kekerasan yang 

lain masih juga dijalankan oleh sebagian kaum muslimin? Ka￾lau me­mang benar kaum muslimin melakukan tindakan-tindak￾an ter­sebut, jelas bahwa mereka telah melanggar ajaran-ajaran 

aga­ma. Pertanyaan di atas dapat dijawab dengan sekian banyak 

ja­wab­an, antara lain rendahnya mutu sumber daya manusia para 

pelaku tindak kekerasan dan terorisme itu sendiri. Mutu yang 

rendah di kalangan kaum muslimin, dapat dikembalikan kepada 

aktifitas imperalisme dan kolonialisme yang begitu lama me­ngua￾sai kaum muslimin. Ditambah lagi dengan, orientasi pemimpin 

kaum muslimin yang sekarang menjadi elite politik nasional. 

Mereka selalu mementingkan kelompoknya sendiri dan mem­ba￾ngun masyarakat Islam yang elitis.

Apa pun bentuk dan sebab tindak kekerasan dan teroris￾me, seluruhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini ada￾lah kenyataan yang tidak dapat dibantah, termasuk oleh para 

pela­ku kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. 

Penye­bab lain dijalankannya tindakan-tindakan yang telah dila￾rang Islam itu —sesuai dengan ajaran kitab suci al-Qur’ân dan 

ajaran Nabi Muhammad Saw— adalah proses pendangkalan 

agama Islam yang berlangsung sangat hebat.5

 Walau kita lihat, 

adanya praktek imperialisme dan kolonialisme atau kapitalisme 

klasik di jaman ini terhadap kaum muslim, tidak berarti proses 

sejarah itu mem­perkenankan kaum muslimin untuk bertindak 

kekerasan dan terorisme. 

Harus kita pahami, bahwa dalam sejarah Islam yang pan￾jang, kaum muslimin tidak memakai  kekerasan dan tero￾ris­me untuk memaksakan kehendak. Lalu, bagaimanakah cara kaum muslimin mengkoreksi lang­kah-langkah yang salah, atau 

melakukan “responsi yang benar” atas tantang­an berat yang 

di­hadapi? Jawabannya, yaitu dengan mengadakan pe­naf­siran 

baru (reinterpretasi). Melalui mekanisme inilah, kaum muslim￾in melakukan koreksi atas kesalahan-kesa­lah­an yang di­per­buat 

sebelumnya, maupun memberikan res­ponsi yang me­ma­dai atas 

tantangan yang dihadapi. Jelas, dengan demikian Islam adalah 

“agama kedamaian” bukannya “agama kekerasan”. Proses seja￾rah berkembangnya Islam di kawasan ini, adalah buk­ti nya­ta 

akan kedamaian itu, walaupun di kawasan-kawasan lain, masih 

juga terjadi tindak kekerasan -atas nama Islam- yang tidak di￾harapkan


Dalam sebuah konferensi internasional, penulis diminta 

memaparkan pandangannya mengenai terorisme yang 

tengah terjadi, seperti peledakan bom di Bali dan per￾buatan-perbuatan lain yang serupa. Penulis jadi teringat pada 

penggu­na­an nama Islam dalam kerusuhan-kerusuhan di Ambon 

dan Poso, serta peristiwa terbunuhnya para ulama dalam jumlah 

be­sar da­lam kasus “santet di Banyuwangi”. Tentu saja penulis 

menjadi ter­perangah oleh banyaknya tindakan-tindakan yang 

dilakukan atas nama Islam di atas. 

Tentu saja kita tidak dapat menerima hal itu, seperti hal￾nya kita tolak tindak kekerasan di Irlandia Utara sebagai per­ten￾tang­an agama Protestantisme melawan Katholikisme. Begitu 

juga perusakan Masjid Babri sebagai pertentangan orang-orang 

beragama Hindu melawan kaum Muslimin di negeri India, wa￾lau­pun yang bermusuhan memang jelas orang-orang dari kedua 

agama itu. Pasalnya, sebab  mayoritas orang-orang beragama 

Islam di berbagai negeri tidak terlibat dalam pertikaian dengan 

tindakan kekerasan seperti di negeri-negeri ini .

Dalam jenis-jenis tindakan teroristik itu, para pemuda 

mus­­lim jelas-jelas terlibat dalam terorisme yang dipersiapkan. 

Me­­reka mendapatkan bantuan keuangan dan latihan-latihan 

guna melakukan tindakan-tindakan ini . Belasan bulan per￾siap­an teknis dan finansial dilakukan, sehingga tidak dapat ia 

disebut sebagai sesuatu yang bersifat spontanitas belaka. Jika ti￾dak ter­jadi secara spontan, sudah pasti hal itu merupakan tindak￾an teror yang memerlukan waktu lama untuk direncanakan dan 

dilak­sa­na­kan. Para pelaksana kegiatan teror itu menganggap 

diri mereka bertindak atas nama Islam. Dengan demikian, men￾jadi jelaslah arti hukum Islam bagi kehidupan mereka, yang ter￾kadang hanya di­anggap sebagai kegiatan ilmiah guna membahas 

kecilnya de­skripsi yang dilakukan. 

Suatu hal yang harus selalu diperhatikan, yaitu gerakan Is￾lam apa pun dan di mana pun senantiasa terkait dengan pilihan 

berikut: gerakan mereka sebagai kultur atau sebagai lembaga/

institusi. Yang mementingkan kultur, tidak begitu memper­ha­ti￾kan lembaga yang mereka dukung. Ambil contoh NU (Nahdlatul 

Ulama) de­ngan para anggota/ pengikutnya. Perhatikan dengan 

seksama “budaya NU” seperti tahlil, halal bi halal, dan meng￾ikuti rukyah (melihat bulan) untuk menetapkan permu­la­an hari 

raya. Mereka tidak peduli dengan keadaan lembaga-orga­ni­sasi 

yang mereka dukung, dipimpin oleh orang yang tepat­kah atau 

tidak.

sebab  itulah, ketika para aktivis muda Islam yang bela￾kang­an dikenal sebagai “muslim radikal”, dan kemudian lagi di￾kenal sebagai para teroris yang memulai konflik di Ambon dan 

Poso, dan sebagian lagi meledakkan bom di Bali, mereka pun 

meng­­hadapi pilihan yang sama, mementingkan budaya atau lem￾baga (institusi). Sebagian dari mereka melupakan “warisan Is￾lam” —berupa proses penafsiran kembali (reinterpretasi)— yang 

sudah dipakai kaum muslimin ra­tusan ta­hun lamanya, guna me￾masukkan perkembangan za­man ke dalam ajaran agama mere￾ka. Sebagai akibat, mereka me­ngem­bangkan “cara hidup Islam” 

serba keras dan memusuhi cara-cara hidup lain, dan dengan 

demikian membuat Islam berbeda dari yang lain. Ini tampak 

ketika penulis suatu ketika memberikan ceramah kepada para 

calon dokter di sebuah fakultas kedokteran. Para calon dokter le￾laki dipisah tempat duduk mereka dari para calon dokter perem￾puan, dan pemisahan mereka itu “dijaga” oleh seorang bertubuh 

kekar yang lalu lalang di tengahnya. Perte­mu­­an NU pun tidak 

sampai sedemikian keadaannya, sebab  di te­ngah-tengah tidak 

ada “penjaga” yang bertubuh kekar dan bersifat galak terhadap 

pelanggaran halangan yang mereka lakukan.

eg

Sikap mementingkan lembaga (institusi) inilah, —seti￾dak-ti­dak­nya lebih mementingkan institusi dari kultur— seperti 

di­per­li­hat­kan contoh di atas, menurut pendapat penulis adalah sum­ber dari terorisme yang berkedok Islam. Jika institusi atau 

lembaga ke-Islaman ditantang oleh sebuah cara hidup, seperti 

halnya seka­rang cara hidup orang Islam ditantang oleh cara 

hidup “Barat”, maka mereka pun merasa terancam dan bersikap 

ketakutan. Pera­sa­an dan sikap itu ditutupi oleh tindakan garang 

kepada “sang penantang”, dan menganggap “budaya sendiri” se￾bagai lebih dari segala-galanya dari “sang penantang”.

sebab  tidak dapat membuktikannya secara pasti dan ma￾suk akal, maka lalu diambil sikap keras, yang kemudian berujung 

pada terorisme, seperti meledakkan bom (di Bali) dan menculik 

para turis (seperti dilakukan kelompok Abu Sayyaf di Filipina Se￾latan). Mereka lalu memakai  kekerasan, sesuatu yang ti­dak 

diminta atau diperintahkan oleh Islam. Agama mereka me­nen￾tukan hanya kalau diusir dari rumah-rumah mereka, baru di￾perkenankan melakukan tindak kekerasan untuk membela diri 

(idzâ ukhrijû min diyârihim). 

sebab  pendekatan institusional yang mereka perguna￾kan, maka mereka merasa “dikalahkan” oleh peradaban-budaya 

lain, yaitu “kebudayaan barat modern”. Dilupakan umpamanya 

saja, ba­gai­mana Saladin sebagai Sultan Mamalik ‘mengalahkan’ 

Ri­chard Berhati Singa (The Lion Heart) dengan mengirimkan 

dok­­ter pribadinya untuk menyembuhkan anak raja Inggris itu 

da­lam Perang Salib. Dokter ini  disertai anak Saladin yang 

da­pat saja dibunuh, kalau dokter pribadi itu tidak dapat menyem￾buhkan anak Richard. Raja Inggris ini  dengan demikian 

me­ngetahui betapa luhur budi Saladin. Dari upaya itu akhirnya 

ia pulang ke negaranya dan menghentikan Perang Salib.

Demikian pula hubungan antara budaya Islam dan budaya￾buda­ya lain, harus dikembangkan dalam pola menghargai mere￾ka, dengan demikian akan tampak keluhuran Islam yang dipe￾luk saat ini paling tidak oleh 1/6 jumlah umat manusia. sebab  

itu, sejak dahulu penulis menolak penggunaan terorisme untuk 

“mem­­per­­tahankan Islam”. Tindakan seperti itu justru merendah￾kan Islam di mata budaya-budaya lain, termasuk budaya mo­dern 

di Barat yang telah membawakan keunggulan organisasi, pe­nge￾tahuan, dan teknologi. Islam hanya dapat “mengejar keter­ting­gal￾an’ itu, jika ia memakai  rasionalitas dan sikap ilmiah. Me￾mang, rasionalitas Islam sangat jauh berbeda dari rasionalitas 

lain, sebab  kuatnya unsur identitas Islam itu. Rasionalitas Is￾lam yang harus dibuktikan dalam kehidupan bersama ini , ber­intikan penggunaan unsur-unsur manusiawi, dengan segala 

per­tim­bangannya ditunjukkan kepada “sumber-sumber tertu￾lis” (adillah naqliyyah) dari Allah, seperti ungkapan-ung­­kapan 

resmi Tuhan dalam al-Qur’ân dan ucapan Nabi (al-Ha­dits). Kare￾na itu, pengenalan ini  tidak memerlukan tin­dak kekerasan 

apa pun, yang hanya akan membuktikan “ke­le­mahan” Islam saja. 

sebab  itulah, kita harus memiliki sikap jelas mengu­tuk teroris￾me, siapa pun yang melakukannya. Apa­lagi kalau hal itu dilaku￾kan oleh mereka yang tidak mengerti perkembangan Islam yang 

sebenarnya. 

Padahal kaum muslimin sejak dahulu terbagi dua, yaitu 

yang menjadi warga berbagai gerakan Islam (al-munadzamah 

al-Islamiyyah) dan orang-orang Islam kebanyakan (‘awâm atau

laymen). Kalau mayoritas warga berbagai gerakan Islam saja 

ti­dak menyetujui penggunaan kekerasan (terorisme), apalagi 

kaum muslimin awam. Inilah yang sering dilupakan para teroris 

itu dan harus diingat oleh mereka yang ingin melakukan tindak 

kekerasan, apalagi terorisme, di kalangan para aktivis muslimin. 

Kalau hal ini tidak diingat, maka tentu saja mereka akan lambat￾laun berhadapan dengan “kaum awam” ini . Para teroris pe￾ledak bom di Bali pada akhirnya berhadapan dengan Undang-un￾dang Anti-Terorisme, yang merupakan produk mayoritas kaum 

muslimin awam di negeri ini. Dari semula, NU bersikap tidak 

menyetujui tindak tero­r­is­me.

eg

Dalam Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, ada perta￾nya­an dalam “baths al-masâ’il”; wajibkah kaum muslimin di 

ka­wasan Hindia Belanda mempertahankan kawasan itu, sedang￾kan mereka diperintah oleh kaum non-muslimin (para kolonialis 

Belan­da)? Jawab Muktamar; wajib, sebab  kawasan itu dahulu￾nya memiliki kerajaan-kerajaan Islam, dan kini kaum muslimin 

da­pat menerapkan ajaran-ajaran agama ini  dengan bebas. 

Diktum pertama (mengenai kerajaan-kerajaan Islam di kawasan 

ini) diambilkan dari sebuah teks kuno, Bughyah al-Mustarsyi￾dîn, sedang­kan diktum kedua hasil pemikiran (reinterpretasi) 

para ulama negara kita  sendiri, tetapi sebenarnya pernah diung￾kapkan sarjana muslim kenamaan Ibn Taimiyyah, yang di nege￾ri ini kemu­dian dikenal sebab  menjadi subjek disertasi doktor Nurcholish Madjid.1

Keputusan Muktamar NU sepuluh tahun sebelum prok­la￾ma­si kemerdekaan itu, meratakan jalan bagi pencabutan Piagam 

Jakarta dari Pembukaan UUD 1945 oleh para wakil organisasi￾orga­nisasi Islam di negeri kita, seperti Muhammadiyah dan NU. 

Kalau pemimpin dari gerakan-gerakan Islam tidak mewajibkan, 

berarti negara yang didirikan itu tidaklah harus menjadi negara 

Islam. Kalau demikian, Islam tidak didekati secara kelembagaan 

atau institusional, melainkan dari sudut budaya. Selama “buda￾ya” Islam masih ada di negeri ini, maka Islam tidak mengalami 

ke­kalahan dan tidak harus “dipertahankan” dengan tindak keke￾rasan, seperti terorisme.

Islam memiliki cara hidupnya sendiri, yang tidak perlu di￾per­­tahankan dengan kekerasan, sebab  cukup dikembangkan 

da­­lam bentuk budaya. Dan inilah yang terjadi, seperti ada­nya 

MTQ, penerbitan-penerbitan Islam yang berjumlah sa­ngat ba￾nyak, dan berbagai manifestasi ke-Islaman lain. Bahkan seka￾rang, wajah “kesenian Islam” sudah menonjol demikian rupa 

se­hingga layar televisi pun menampung sekian banyak dari 

berba­gai wajah se­ni Islam yang kita miliki. sebab  itu, Islam 

ti­dak perlu diper­ta­han­kan dari ancaman siapa pun sebab  ia 

me­miliki dinamika tersendiri. Sebagai responsi atas “tekanan￾tekan­an” modernisasi, terutama dari “proses pem-Barat-an” 

yang terjadi, kaum mus­limin di negeri ini dapat mengambil atau 

me­nolak pilihan-pilihan mereka sendiri dari proses ini , 

mana yang me­reka anut dan mana yang mereka buang. sebab  

itu, hasilnya juga akan ber­beda-beda dari satu orang ke orang 

lain dan dari satu kelompok ke kelompok lain. Penerimaan be￾ragam atas proses itu akan mem­bu­at variasi sangat tinggi dari 

responsi ini , yang sesuai dengan firman Allah: “dan Ku-ja­dikan kalian ber­bangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa untuk 

dapat saling me­nge­nal (wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li 

ta’ârafû)” (QS al Hujurât [49]:13). Ayat itu jelas memerintahkan 

adanya ke-bhinekaan dan melarang eksklusifisme dari kalangan 

kaum muslimin manapun.

Sebenarnya di antara “kalangan teroris” itu, terdapat juga 

mereka yang melakukan tindak kekerasan atas perintah-pesanan 

dari mereka yang tadinya memegang kekuasaan. sebab  mereka 

masih ingin berkuasa, mereka memakai  orang-orang itu 

atas nama Islam, untuk menghalangi proses-proses munculnya 

rakyat ke jenjang kekuasaan. Dengan demikian, kalangan-ka￾langan itu memiliki tujuan menghadang proses demokratisasi 

dan untuk itu sebuah kelompok kaum muslimin digunakan un￾tuk membela kepentingan orang-orang ini  atas nama Is￾lam. Sungguh sa­yang jika maksud itu berhasil dilakukan. Rasa￾rasanya, NU berkewajiban menggagalkan rencana ini , dan 

sebab nya bersikap kon­sis­ten untuk menolak tindak kekerasan 

dalam memper­juang­kan “kepentingan Islam”. 

Islam tidak perlu dibela sebagaimana juga halnya Allah. 

Kedua-duanya dapat mempertahankan diri terhadap gangguan 

siapa pun. Inilah yang dimaksudkan firman Allah; “Hari ini Ku￾sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Ku-sempurnakan 

bagi kalian (pemberian) nikmat-Ku, dan Ku-relakan bagi kalian 

Islam sebagai agama (al-yauma akmaltu lakum dînakum wa 

atmam­tu ‘alaikum nikmatî wa radlîtû lakum al-Islâma dînan)” 

(QS al-Maidah [5]:3), menunjuk dengan tepat mengapa Islam 

tidak per­lu diper­ta­hankan dengan tindakan apa pun, kecuali 

dengan me­lak­­sa­na­kan cara hidup Islam itu sendiri. Sangat indah 

untuk diucap­kan, namun sulit dilaksanakan, bukan? h


Peledakan bom di Denpasar, semakin hari semakin ba￾nyak mendapat sorotan. Salah satu hal terpenting, adalah 

mengetahui siapa yang melakukan, dan mengapa mereka 

melakukannya. Dikatakan “mereka”, sebab  jelas sekali peris￾tiwa seperti itu tidak akan mungkin dilakukan oleh seorang diri 

be­laka, sehingga digunakan kata ini  untuk menunjuk para 

pe­lakunya. Sayangnya, hingga hari ini belum dapat disebutkan 

siapa-siapa pelaku sebenarnya. Jangan-jangan, hasil pemeriksa￾an tidak akan diumumkan secara jujur, sebab  menyangkut peja￾bat yang berada dalam sistem kekuasaan. Bukankah banyak hal 

di negara kita  selama ini tidak pernah dibongkar sampai tuntas, 

me­lain­kan ditutup-tutupi dari mata masyarakat?.

Banyak pihak ditunjuk oleh orang yang berbeda-beda se­ba￾gai para pelaku kejadian itu, sesuai dengan kepentingan masing￾masing. Juga sebab  adanya hal-hal yang dapat ditunjuk sebagai 

persambungan dari peristiwa pemboman yang pernah terjadi. 

Be­gitu juga, demikian banyak konspirasi/komplotan yang dapat 

di­tunjuk sebagai biang keladi, sehingga hal yang sebenarnya ter￾jadi menjadi tertutup olehnya. Penulis khawatir, jangan-jangan 

pe­ristiwa yang sebenarnya, justru malah dikaburkan oleh sekian 

banyak gambaran adanya konspirasi/komplotan yang terjadi di 

Bali ini .Yang tampak jelas hanyalah beberapa hal saja. Pertama, 

peledakan bom itu terjadi di Pulau Dewata Bali. Kedua, bahwa 

korbannya adalah orang-orang Australia, yang berjumlah sa￾ngat be­sar dan menerbitkan amarah dunia internasional. Masih 

men­­jadi pertanyaan lagi, mungkinkah pemerintah kita sendiri 

da­pat dan bersedia melakukan pelacakan atas kejadian ini  

de­ngan tuntas? Mungkin pertanyaan ini terdengar agak sinis, 

tapi bu­kankah demikian banyak peristiwa yang telah terjadi di 

negeri kita tanpa ada pemeriksaan sampai tuntas, hingga kita pa￾tut bertanya-tanya, benarkah pemerintah kita nanti akan mena￾nga­ni segala sesuatunya secara serius? Buktinya, penulis telah 

me­merintahkan Panglima TNI dan Kapolri —sewaktu menjabat 

se­bagai Presiden, untuk melakukan penangkapan-penangkapan. 

Namun, mereka tidak melaksanakan perintah ini , bahkan 

sampai hari inipun pihak Mahkamah Agung (MA) belum mau 

menjawab pertanyaan penulis, apakah terjadi tindakan insu­b￾ordinatif oleh kedua pejabat ini , dengan menolak menger￾jakannya? Kalau MA saja tidak memiliki keberanian untuk mem￾berikan jawaban terhadap keadaan yang demikian jelas tadi, dan 

pihak ekskutif-pemerintah dan legislatif-juga tidak mau mem￾pertanyakan hal itu, bukankah hal sejelas itu menun­juk­kan ada￾nya kebuntuan pemerintahan? Bukankah kebun­tu­an itu juga 

yang dapat menghentikan pemerintah untuk men­cari tahu siapa 

saja yang menjadi para pelaku peledakan bom di Denpasar itu?

eg

Terjadilah simpang-siur pendapat sebab nya. Ada yang 

men­gatakan pelakunya adalah pihak luar negeri, dalam hal ini 

adalah orang-orang Amerika Serikat (AS). Di pihak lain, ada yang 

beranggapan bahwa hanya pihak dalam negeri saja yang terlibat 

dalam kejadian ini. Ada yang berpendapat lagi, bahwa pihak luar 

negeri bekerjasama dengan unsur-unsur yang ada di dalam nege￾ri sendiri yang menjadi para pelaku. Demikian ju­ga terjadi per­be￾da­an yang cukup tajam antara mereka yang ber­pendapat adakah 

jaringan Islam ekstrim/garis keras terlibat dalam kejadian ini .

Jika jalan pikiran ini terus diikuti, tentu timbul pertanyaan 

siapa saja atau organisasi mana yang membiarkan diri terlibat 

dalam kejadian ini ? Laskar Jihad-kah, yang merupakan ca￾bang dari organisasi dengan nama serupa di Saudi Arabia. Lalu, mengapakah mereka “buru-buru” membubarkan diri begitu 

ter­­jadi peristiwa di Bali ini ? Adakah hubungan antara ke￾jadian ini  di satu pihak, dengan masa depan organisasi itu? 

Bukan­kah bubarnya organisasi itu di Saudi Arabia dan Indone￾sia —pada wak­tu yang hampir bersamaan, justru menunjukkan 

adanya ja­ringan (networking) dalam tubuh sebagian gerakan 

Islam di dalam dan luar negeri? Bukankah ini menunjukkan ada￾nya jaring­­an internasional di kalangan mereka, yang oleh pihak 

lain dianggap sebagai bukti hadirnya jaringan internasional un￾tuk mem­promosikan versi mereka tentang hubungan gerakan 

Islam dan non-Islam secara keseluruhan?

Demikian kacaunya perkembangan yang terjadi, hingga 

ada pihak yang menganggap Abu Bakar Ba’asyir —seorang Kyai 

pe­san­tren dari Solo, sebagai salah seorang pelaku, sedangkan 

yang lain menganggap ia tidak terkait sama sekali dengan peris￾tiwa itu. Lalu, mengapakah ia sampai pingsan di rumah sakit, 

begitu me­ngetahui dirinya akan diekstradisi ke AS? Ini lagi-lagi 

me­nun­jukkan ketidakjelasan yang kita hadapi. Hanya penelitian 

yang mendalam dan kejujuranlah yang dapat mengungkapkan 

hal ini secara terbuka kepada masyarakat. Rasanya, kalau tidak 

ada tim khusus untuk melakukan hal itu, kita tetap tidak akan 

ta­hu mengenai latar belakang maupun hal-hal lain dalam peris￾tiwa itu.

eg

Dapat digambarkan di sini, betapa marahnya pihak-pihak 

internasional maupun domestik terhadap hal itu. Pe­nu­lis yang 

memakai  rasio dengan tenang, dalam hal ini tidak dapat 

mengemukakan secara menyeluruh dengan jujur apa yang ada 

dalam pikirannya tentang kemungkinan siapa yang meme­rin￾tahkan para pelaku sebenarnya yang melaksanakan pem­bom­an 

ini . Mengapa? sebab  benak penulis penuh dengan nama 

orang-orang yang mungkin melakukan hal itu, dan juga nama 

orang-orang yang “patut diduga” (untuk meminjam istilah pe￾lang­garan konstitusi yang dilakukan para pemimpin partai poli￾tik di DPR/MPR, dengan menggelar Sidang Istimewa beberapa 

waktu yang lalu) terlibat dalam kasus ini.

Sementara, hal yang paling memilukan hati adalah nama 

Islam dibawa-bawa dalam hal ini. Seolah-olah kaum mus­limin seluruhnya turut serta melakukan hal ini , apalagi apa yang 

terjadi di Pulau Dewata itu mayoritas penduduknya non-mus­lim. 

Demikian juga korban orang asing —yang keseluruhan­nya be￾ragama non-muslim. Padahal kita tahu kalaupun ada orang yang 

beragama Islam terlibat dalam kasus ini, motif mereka bukanlah 

faktor agama, melainkan uang, jabatan ataupun pengaruh. Kalau 

orang yang benar-benar cinta terhadap Islam, mereka akan tahu 

bahwa agama ini  melarang tindak kekerasan, dan hanya 

mengijinkannya untuk mempertahankan diri jika mereka diusir 

dari rumah mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim). Kalaupun ada 

seorang muslim melakukan tindakan seperti itu guna membela 

Islam dari “ancaman pihak lain” itu berarti ada penafsiran salah 

yang dilakukan dalam memahami agama ini .

Demikianlah, Islam dan negara kita  menjadi korban dari 

per­buatan yang tidak bertujuan mulia, jika alasan pribadi seper￾ti, perebutan kekuasaan satu sama lain dengan korban rakyat 

biasa dan para wisatawan mancanegara yang tak mengerti apa￾apa, dipakai dalam hal ini. Semua dugaan dan rekonstruksi 

bermacam-macam di awal tulisan ini, akan menjadi terang jika 

pemerintah membentuk tim independen yang diisi oleh orang￾orang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi 

Massa (Ormas). Tetapi, bukan­kah itu justru dianggap sebagai 

sikap tidak percaya terhadap pe­me­rintah, walaupun sebenarnya 

kecurigaan seperti itu tidak pernah ada. Tragis, bukan? h


Beberapa waktu yang lalu, penulis diwawancarai oleh 

wartawan dari Televisi SBS (Special Broadcasting Sys￾tem) dari Melbourne, Australia di lapangan terbang Ceng￾ka­reng, sekitar jam 5.30 Wib. Ada tiga buah pertanyaan men￾dasar yang diajukan pada penulis. Pertanyaan pertama berkisar 

pada masalah mengapa penulis menganggap Abu Bakar Ba’asyir1

seba­gai teroris? Penulis menjawab, bahwa laporan intelijen dari 

lima negara menyebutkan hal ini . Termasuk di dalamnya 

inteli­jen Malaysia dan Amerika Serikat, yang sejak dahulu tidak 

per­nah ada kecocokan antara keduanya. Selain itu penulis me￾nga­cu Hadits Nabi Saw menyatakan: “Kalau suatu masalah ti￾dak diserah­kan pada ahlinya, tunggulah datangnya kiamat (idzâ 

wushida al ‘amru ilâ ghairi ahlihî fa intadziri al-sâ’ah).” Jadi, 

sikap pe­nulis itu sudah benar menurut ketentuan agama, dan ka￾lau terbukti ada masalah lain akan diperiksa di kemudian hari.Beberapa hari sebelum itu, budayawan Emha Ainun Na￾djib2

 menyatakan dalam salah satu wawancara di Radio Rama￾ko, bah­wa keterangan mengenai keterlibatan Abu Bakar Ba’asyir 

dalam terorisme, didasarkan pada pengakuan Umar Farouq3

pada pihak Amerika Serikat (AS). Menurut Emha, pengakuan 

Umar Farouq ti­dak dapat diterima kebenarannya, sebab  ia ber￾asal dari Ambon. Umar Farouq, demikian Emha menyimpulkan, 

adalah lawan Abu Bakar Ba’asyir. Seolah-olah Emha mengikuti 

pendapat Al-Isfa­rayini bahwa pendapat seseorang tentang mu￾suh atau lawannya tidak dapat diterima (la yuqbalu qaulu muj­ta￾hid ‘an-khashmihi). Benarkah pendapat Emha ini? Penulis meng￾usulkan dalam se­buah konperensi pers sehari setelah itu, agar 

dibuat komisi inde­pen­den yang terdiri dari para ahli hukum dan 

wakil-wakil masya­rakat, untuk meneliti mana yang benar: peng￾akuan CIA (Central lntelligence Agency) ataukah Emha?

Sedangkan pendapat Wakil Presiden Hamzah Haz agar 

Umar Farouq dibawa ke negeri ini untuk ditanyai, tidak sesuai 

dengan kenyataan. CIA tidak akan mau mengirimkannya ke 

ne­­geri ini, sebab  khawatir jika tidak dilakukan penyelidikan 

de­ngan benar. Sedangkan kalau dia diadili di sini (negara kita ), 

kemung­kinan mafia peradilan akan membebaskannya dari tu￾duh­­an ini . Bukankah segala hal dapat dibeli di negeri ini? 

Demi­kian burukkah citra kita di dunia internasional, hingga ha￾rapan seorang tokoh —seperti seorang Wakil Presiden Repub￾lik negara kita  (RI)— disepelekan oleh pihak luar negeri? Tentu 

saja kita tidak akan marah melihat kenyataan ini, sebab  hal itu 

ada­lah kesalahan kita sendiri sebagai bangsa, yakni dengan mem­biarkan semua hal itu tanpa koreksi.

Lain halnya dengan Robert Gelbard, mantan Duta Besar 

Amerika Serikat (AS) untuk negara kita . Ia menyatakan kepada 

pers Australia, bahwa ia kecewa sebab  telah memberitahukan 

kepada pemerintah RI, ada gerakan-gerakan yang mencurigakan 

di negara kita . Tetapi tidak ada upaya sungguh-sungguh yang 

mem­­perhatikan hal ini, dan menangkal kemungkinan terjadinya 

tero­risme di negeri ini. Penulis sendiri sebagai Presiden pada 

waktu itu, tidak pernah mendapat peringatan seperti itu secara 

langsung dari Gelbard. Ini berarti ada pihak pemerintahan yang 

menutupi keterangan itu dari pengetahuan penulis.

Hal ini tidak mengherankan dan penulis menyatakan pada 

TV SBS, pada waktu itu —baik Panglima Tentara Nasional Indo￾ne­sia (TNI) Jenderal Widodo AS maupun Kepala Kepolisian Re￾publik negara kita  (Kapoiri) Jenderal Polisi S. Bimantoro ti­dak 

mau melaksanakan perintah Presiden. Ketika lengser dari kur­si 

kepresidenan, penulis menanyakan kepada Mahkamah Agung 

(MA), adakah tindakan kedua orang itu merupakan insubordi￾nasi? Sampai hari inipun, MA tidak pernah menjawab pertanya￾an penulis, yang berarti juga bahwa lembaga itu telah melanggar 

hukum dan undang-undang dasar.

Keterangan Gelbard pada pers Australia ini , menun￾jukkan bahwa dalam tubuh TNI, Polri maupun aparat pemerin￾tahan kita memang terdapat per­bedaan pendapat yang tajam. 

Ada pihak yang mencoba menutup-nutupi informasi hingga 

pemerintahan tidak berjalan secara obyektif. Herankah kita, jika 

akhirnya kebijakan pemerintah menjadi sulit dirumuskan? Apa￾lagi kalau Presidennya tidak mau aktif menyusun kebijakannya 

sendiri, melainkan menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada 

aparat di bawahnya. Ditambah Presiden berbeda paham dengan 

Wakil Presiden, Ketua Majelis Per­musyawaratan Rakyat Repub￾lik negara kita  (MPR-RI) dan sebagainya.

Juga, tidak ada kejelasan mengenai sikap yang diambil 

Megawati Soekarnoputri dalam pemerintahannya. Umpama￾nya, me­nge­nai orientasi pejabat di bawahnya. Ia mengangkat 

Bam­bang Kesowo, seorang etatis (paham serba negara). Dan 

kombi­nasinya adalah Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai 

Demokrasi Indo­ne­sia Perjuangan (PDI-P) sebelum bulan puasa 

telah memu­tus­kan harus terkumpul uang sebanyak lima trilyun 

rupiah untuk menghadapi Pemilihan Umum 2004 mendatang. Dari manakah akan diperoleh dana sejumlah itu? Apakah dari 

BUMN (Badan Usa­ha Milik Negara)? Tetapi, Megawati juga me￾ng­angkat Doro­­djatun Kuntjorojakti dan Budiono sebagai Men￾teri Koor­dinator (Menko) Ekuin dan Menteri Keuangan, —kedua￾nya orang teknokrat yang percaya pada privatisasi/swastanisasi. 

Lalu, ke­mana­kah orien­tasi ekonomi yang diikuti Megawati? Ti￾dak pernah jelas sampai se­­ka­rang, sebab  ia berdiam diri saja 

tentang pilihan yang diam­bil­nya. Ironis memang!

Penulis tertarik pada ucapan Habib Husein Al-Habsyi4

 dari 

Pasuruan, yang menyatakan peristiwa ledakan bom atas Candi 

Borobudur adalah rekayasa Ali Murtopo yang kemudian di dak￾wakan pada dia sebagai pelakunya. Ketika TV SBS mena­nya­kan 

hal itu penulis langsung menjawab, Habib ini  ada­lah pem￾bohong. Mengapa? sebab  ia sudah dijatuhi hukuman seumur 

hidup oleh Pengadilan Negeri, dan ia pun di penjara di Lowok 

Waru, Malang. Walaupun melalui seorang perwira tinggi TNI, 

penulis berhasil membebaskan dia dari penjara, tapi apa yang 

didapatkan penulis? Ternyata ia menyatakan di mana-mana bah￾wa penulis tersangkut dengan kasus Bruneigate dan Bulogate, 

di samping hal-hal lain. Itu semua adalah isapan jempol belaka, 

sebab  sampai hari ini baik melalui pembentukan Pansus DPR 

ataupun jalan lain, penulis tidak pernah terbukti melakukan hal￾hal yang dituduhkan. Bukankah dengan demikian ia menjadi 

pembohong?

Kalau seseorang berbohong tentang sesuatu hal, dapatkah 

keterangannya bisa dipercaya? sebab nya, kita harus hati-hati 

menerima keterangan orang ini , bahwa ada rekayasa Ali 

Murtopo yang membuat Habib ini  mendapatkan hukuman 

seumur hidup. Ini tidak berarti, bahwa penulis pembela Ali Mur￾topo. Tetapi kita harus berhati-hati dalam menerima kete­rang￾an orang tentang diri pejabat berbintang tiga (Letjen TNI) itu. 

Hanya dengan sikap obyektif seperti itulah kita dapat mem­per­ta­han­kan integritas pribadi di masa-masa sulit ini. Sebab jika tidak 

kita akan kehilangan obyektifitas atau takut menge­muka­kannya 

dengan banyak orang tidak akan percaya lagi pada kita.

Itulah kira-kira reaksi/jawaban penulis atas deretan per￾ta­­nya­an yang dikemukakan oleh wartawan TV SBS. Mudah￾mudah­­an dengan demikian, publik internasional akan menge­ta￾hui keadaan sebenarnya di negeri kita, yang terkait dengan hal￾hal yang ditanyakan kepada penulis di lapangan ter­bang Juanda, 

Surabaya ini dan jawabannya disiarkan malam harinya di Austra￾lia. Namun, tentu akan ada yang bertanya, bijaksanakah hal ini? 

Jawaban penulis terhadap pertanyaan ini  adalah kejujuran 

merupakan kunci pemecahan masalah yang kita hadapi sebagai 

bangsa dewasa ini. Dengan kejujuran inilah kita akan mengatasi 

krisis multidimensional. Ukuran kejujuran inilah yang akan me￾nentukan kualitas kita sebagai bangsa. Kede­nga­ran­nya sederha￾na tapi sulit dilaksanakan, bukan? 




Laporan dari berbagai pihak, baik intelejen maupun bukan, 

menunjukkan bahwa Abu Bakar Ba’asyir termasuk pimpin￾an Jama’ah Islamiah (JI) di kawasan Asia Tenggara. De￾wan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah 

memasukkan JI (Al-Jama’ah Al-Islamiyah)1

 ini  ke dalam 

daftar organisasi terorisme intemasional sebagai perkumpulan 

ke-88. Tetapi kesimpulan ter­sebut disanggah oleh berbagai ka￾langan, termasuk para penga­mat yang menulis sebuah analisis 

tentang keputusan DK-PBB itu. Manakah yang benar antara 

ke­dua pandangan ini ? Kita perlu berhati-hati, walaupun 

pi­hak Depar­temen Luar Negeri, Depar­temen Pertahanan, Ke￾polisian Negara telah mencapai ke­simpulan dan mendukung 

Resolusi DK PBB itu. 

Sekali lagi, manakah yang benar antara kedua pandangan 

ini ? Ketika dibacakan laporan dari berbagai pihak —di­an￾ta­ra­­­nya intelejen dari lima negara, yang menyebutkan bahwa 

Abu Bakar Ba’asyir sebagai teroris, penulis dengan sederhana mene­ri­ma laporan ini . Penulis pun menganggap Abu Bakar 

Ba’asyir dan kelompok Islam garis keras lainnya sebagai teroris, 

yang da­lam sebuah konperensi pers pernah penulis sebut seba￾gai teroris domestik, sebab  kelakuan mereka yang membawa 

senjata tajam di tempat umum membuat orang lain ketakutan. 

Walaupun ada laporan banyak pihak bahwa Wakil Presiden 

Hamzah Haz me­ngundang makan siang Ja’far Umar Thalib2

dan kawan-kawan ke Istana Wapres, dan mereka mengaku bu￾kan teroris. Dari ja­wab­an mereka itu, Hamzah Haz menyatakan 

kepada dua orang Senator Amerika Serikat bahwa di negara kita  

tidak ada ada teroris. Dan, sehari kemudian terjadilah ledakan 

bom di Bali itu. 

Penulis menyebutkan dalam sebuah kolomnya, bahwa 

Ham­­zah Haz mencampur-adukan antara Wakil Presiden Repub￾lik negara kita , sebagai sebuah jabatan pemerintahan, dengan 

fungsi­nya sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan 

(PPP). Undangan makan siang kepada orang-orang yang di­sang￾ka seba­gai teroris oleh masyarakat, ke Kantor Wakil Presiden RI, 

seha­rus­nya dilakukannya di luar kantor pemerintahan dan dalam 

kedudukan sebagai Ketua Umum PPP. sebab nya, kita lalu jadi 

serba salah, mempercayai atau tidak keterangan Hamzah Haz 

itu. Keinginannya untuk memperoleh dukungan dari gerakan￾gerakan Islam radikal dalam pemilu yang akan datang, tampak 

sekali dalam tindakan itu, yang jelas sangat kita sayangkan.

eg

Kembali kepada tuduhan Abu Bakar Ba’asyir adalah tero￾ris, kita tetap tidak tahu. Dalam rapat para penanggungjawab 

ke­ama­nan di kota Solo hari Minggu malam (27 Oktober 2002), 

diambil keputusan membawa orang itu dari Rumah Sakit PKU 

Muham­madiyah Solo, ke Jakarta. Tentu ini adalah untuk peme￾riksaan/klarifikasi atas persangkaan bahwa ia adalah seorang teroris. Ki­ta tidak tahu, apakah pendapat para dokter yang mera￾wat­nya di rumah sakit ini  selama sembilan hari. Sedangkan 

para pendukungnya, baik dari Pondok Pesantren al-Mukmin, 

Ngruki di kawasan Solo dan lain-lainnya, meminta agar ia diijin￾kan beristirahat di pondok pesantren ini  untuk dua sampai 

tiga hari.

Warga masyarakat seperti kita, tidak mengetahui secara 

lebih mendalam hal-hal yang bersangkutan dengan tokoh terse￾but. Sedangkan selama ini pihak keamanan seringkali menun­juk￾kan sikap berat sebelah dan melanggar asas praduga tak ber­salah 

(pressumption of innocent) dalam langkah-langkah mereka, 

kare­na­nya kita juga tidak merasa pas betul untuk percaya begitu 

saja kepada keterangan pihak keamanan. Menurut hemat penu￾lis, sebenarnya harus ada sebuah komisi independen dari ma￾syarakat guna memastikan hal ini. Namun, apa boleh buat kita 

harus per­caya kepada aparat keamanan dengan harapan semoga 

hal itu diberikan dengan jujur dan apa adanya.

Kita mengharapkan adanya kata pasti dalam kasus ini, 

yang hanya dapat diperoleh kalau ada kejujuran. Sementara itu, 

lang­kah-langkah memerangi terorisme domestik maupun inter￾nasio­nal, harus tetap dilanjutkan. Dengan demikian, kredibilitas 

kita dapat segara dipulihkan walaupun kata “segera” bagi pihak￾pihak yang berbeda, memiliki arti yang berlainan. Keputusan 

kelom­pok yang dipimpin oleh Menko Kesra Jusuf Kalla yang 

te­lah menganggap ringan akibat pemboman di Bali atas arus 

datangnya para wisatawan ke pulau ini , tampak gegabah 

alias terlalu optimis. Sikap inilah yang penulis harapkan tidak 

dilakukan oleh pihak keamanan dalam memeriksa keterlibatan 

Abu Bakar Ba’asyir dalam tindakan-tindakan terorisme.

eg

Alasan satu-satunya bagi kaum muslimin untuk mela­ku￾kan tindakan kekerasan adalah, “jika mereka di usir dari tem­pat 

tinggal mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim),” sehingga tidak 

ada alasan lain untuk melakukan tindak terorisme terhadap pa­ra 

turis asing, yang justru datang untuk membawakan usaha per￾da­gang­­an bagi masyarakat yang didatangi. Kalaupun mereka 

melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syariah Is￾lamiyah, merekapun tidak terkena sanksi pidana Islam, sebab  me­­reka bukan orang yang terkena (mukallaf) hukum Islam. Ini 

adalah ketentuan Islam, dan berlaku hanya bagi kaum mus­limin 

saja, dan tidak berlaku bagi orang-orang beragama lain. 

sebab  itulah, penulis menjadi pengikut Mahatma Gandhi,3

walaupun penulis adalah seorang Muslim. Mengapa? Bukankah 

tidak layak bagi seorang Muslim untuk menjadi pengikut siapa 

pun selain Nabi Muhammad Saw? Jawabannya sederhana saja, 

yaitu untuk memudahkan penulis sendiri. Memang penolakan 

ter­hadap kekerasan, telah ada dalam ajaran Islam kalau kita sung￾guh-sungguh menggalinya. Prinsip yang dikemukakan penulis di 

atas, jelas merupakan penolakan Islam terhadap tindak keke­ras￾an. Tapi dengan melakukan identifikasi terhadap ajaran Gandhi, 

penulis langsung menjadi teman seiring pula bagi ratusan juta 

pengikut Gandhi, yang tersebar di seluruh dunia. Inilah maksud 

penulis dengan menjadi pengikut Gandhi, bukannya sebab  pe￾nu­lis menganggap ia memiliki ajaran lebih baik dari pada ajaran 

Islam, tapi penulis hanya ingin melakukan kerja sama de­ngan 

ratusan juta pengikutnya, sehingga penulis dalam mem­per­juang￾kan cita-cita Islam dibantu oleh orang-orang lain. 

Kuncinya, bagaimana memperjuangkan cita-cita Islam, 

dengan mencari persamaan dengan paham-paham lain di dunia 

tanpa menentang dan berbeda dari cita-cita Islam sen­diri. Prin￾sip ini yang harus dipahami oleh para pejuang Islam, jika ingin 

ber­iring­an dengan perjuangan-perjuangan yang lain. Yang harus 

ditakuti adalah ketakutan itu sendiri, kata Franklin D. Roosevelt. 

sebab  itu para pejuang Islam tidak boleh takut ber­iring­an dan 

ber­gandengan tangan dengan pejuang lain. Seder­hana saja, bu￾kan? hPada saat tulisan ini dibuat, terjadi perbedaan pendapat 

tajam mengenai pelaku kasus peledakan bom di Bali. 

Adakah itu ulah Abu Bakar Ba’asyir atau tidak. Yang ter￾libat perbe­da­an ini adalah para pejabat pemerintah melawan 

“orang luar” se­per­ti Emha Ainun Nadjib dan Dr. Adnan Buyung 

Nasution, SH.1

 Pemerintah beralasan penangkapan Abu Bakar 

Ba’asyir, ada­lah usaha mencari bukti hukum, adakah orang itu 

terlibat de­ngan pe­ledakan bom ini  atau tidak? sebab  itu￾lah, Abu Bakar Ba’asyir diambil dari Rumah Sakit PKU di Solo, 

dan dipin­dah­kan ke Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, Jakarta. 

Diharapkan dengan demikian, penyelidikan dapat segera dimu￾lai oleh aparat kepolisian, dengan harapan persoalannya akan 

segera diketahui dan orang itu akan dibawa ke pengadilan kalau 

ada bukti ia bersalah.

Di Australia, hari minggu 20 Oktober 2002 menjadi hari 

ber­­duka. Gereja-gereja dan tempat-tempat beribadah lainnya 

mela­ku­kan kebaktian duka bagi para korban peledakan bom 

di Bali itu. Semenjak Perang Dunia II lebih dari 50 tahun yang 

lalu, jum­lah orang Australia yang meninggal dunia akibat tin￾dak keke­rasan belum pernah sebesar itu, sebab  itu dapat di￾mengerti ke­ma­rah­an orang-orang Australia yang menuntut 

segera dibuk­ti­kan­nya pa­ra pelaku peledakan bom di Bali terse￾but. Da­pat dimengerti, walaupun juga harus disesalkan tindakan

pe­nge­rusakan masjid oleh sementara orang yang marah di benua 

Kangguru itu. Juga dapat dimengerti pengi­ri­man para penyelidik 

Australia dan Amerika Serikat untuk me­ngetahui para pelaku ka￾sus itu, sebab  hilangnya kepercayaan, apakah benar peme­rin­tah 

negara kita  akan menyelidiki secara tuntas kasus ini .

Kecenderungan menyalahkan Abu Bakar Ba’asyir dan ka￾wan-kawannya dari “gerakan Islam garis keras”, dilawan oleh 

semen­tara kalangan dalam negeri sendiri. Emha Ainun Nad￾jib me­nyatakan di Radio Ramako, Jakarta, bahwa Abu Bakar 

Ba’asyir tidak akan melakukan hal itu. Walaupun ia menyesalkan 

si­kap Abu Bakar Ba’asyir yang tidak kooperatif dengan siapapun 

dalam hal ini. Tetapi, Abu Bakar Ba’asyir telah siap menerima 

akibat sikap non-kooperatifnya. Menurut Emha Ainun Nadjib, 

Ba’asyir termasuk menjadi “martir-syahid” bagi agama Islam. 

Dr. Adnan Buyung Nasution SH menyatakan di media massa, 

ada­nya anggapan dari luar negeri, bahwa Abu Bakar Ba’asyir 

menjadi aktor intelektual kejadian pengeboman ini , sebab  

itu ia bersedia menjadi pembela tokoh ini . Benarkah sikap 

itu? Tidak, kalau ia berpendapat Abu Bakar Ba’asyir tidak ber￾salah. Proses pengadilanlah yang akan membuktikan hal itu be￾nar atau tidaknya. Bukan sebab  tokoh seperti dirinya, dan juga 

bukan sebab  hakim yang kita belum tahu termasuk mafia peng￾adilan atau tidak.

sebab  kita mudah menjadi partisan, lalu dalam perbe￾daan pen­dapat yang terjadi kita jadi mudah memihak kepada 

pendirian yang kita anut. Juga dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir 

ini, yang jika disarikan berbunyi: “Benarkah ia terlibat dengan 

kejadian pe­ledakan bom di Bali itu?” “Tidakkah ia menjadi kor￾ban baru kons­pirasi asing/komplotan untuk memburukkan nama 

Indone­sia dan Islam?” Inilah yang harus diperiksa dengan teliti, 

dan se­buah jawaban yang salah akan berakibat buruk bagi In￾donesia, maupun pihak-pihak asing itu. Kejadian ini mengingat￾kan kita pada sikap Senator Robert A. Taft2

 dari negeri bagian 

Ohio, Amerika Serikat. Ia dalam tahun 1948 mengajukan kritik 

atas pengadilan terhadap diri para pemimpin Nazi di Jerman, 

dan meng­hukum mati mereka di tiang gantungan. Menurut Taft, 

tin­dakan itu melanggar Undang-undang Dasar Amerika Serikat. Dan untuk sikapnya membela kebenaran itu, ia kehilangan pen￾calon­an untuk menjadi Presiden Amerika Serikat. 

Dalam kasus pengeboman di Bali itu, sikap Emha Ainun 

Nadjib dan Dr. Adnan Buyung Nasution SH itu jelas menim­bul￾kan keberpihakan kepada Abu Bakar Ba’asyir. Dari situ mun­cul 

penilaian, sikap mereka itu memiliki landasan empirik dan se￾mangat orang-orang asing yang menggangap Ba’asyir terlibat 

dalam kasus ini, tidak memiliki landasan empirik. Tentu saja kita 

tidak boleh gegabah menyimpulkan demikian, sebab  kita adalah 

negara besar dan memiliki Undang-Undang Dasar (UUD), yang 

dalam pembukaan UUD disebutkan untuk men­diri­kan negara 

yang adil dan makmur. Kalau kita menyimpang dari hal itu, ber￾arti kita tidak setia kepada UUD itu, yang kita buat sendiri dan 

seharusnya kita pertahankan habis-habisan.

Tetapi, sikap sama tengah seperti ini, memang tidak po­pu￾ler. Lebih mudah untuk mengikuti salah satu dari dua pendapat 

ini : “Abu Bakar Ba’asyir memang terlibat dengan kasus 

pengeboman di atas, atau sebaliknya, ia tidak bersalah sama 

sekali.” Sikap tidak populer ini jarang diambil orang, sebab  me￾nam­pilkan pendapat pertama maupun pendapat kedua, tetapi 

harus kita ambil, kalau kita cinta kepada undang-undang sendiri. 

Penilaian dini, baik yang pro dan kontra, mengenai keterlibatan 

Abu Bakar Ba’asyir dalam kasus peledakan bom di Denpasar itu, 

sama arti­nya dengan mengkhianati UUD kita sendiri. sebab ￾nya, mau ti­dak mau kita harus mengambil tindakan berdasarkan 

hukum yang tuntas tentang hal itu. Sikap lain kita tidak terima, 

sebab  kita sudah terlalu lama mende­ri­ta aki­­bat penyimpangan￾penyimpangan serius atas UUD kita sendiri.

Emha Ainun Nadjib, dalam wawancara Radio Ramako, me￾nyatakan bahwa Umar Farouq yang kini ditahan CIA di Amerika 

Serikat adalah pria kelahiran Ambon dan dengan demikian se￾orang warga negara asli negara kita . Dengan demikian, pengaku­an 

bahwa Abu Bakar Ba’asyir adalah bagian dari jaring­an internasio￾nal Al-Qaeda, tidak dapat diterima. Ini tentu saja ber­ten­tangan 

dengan versi pihak Amerika Serikat yang menyata­kan bahwa 

Umar Farouq adalah pria Kuwait yang beroperasi dan kawin lagi 

di Tanah Air kita. Salah seorang anak buahnya ada­lah Abu Bakar 

Ba’asyir. Manakah di antara dua versi itu yang dapat diterima? 

Tentu saja