lam tembang “Lir-ilir”, dalam ungkapan yang sesuai dengan budaya penguasa Jawa di Majapahit. Makna tembang ini yaitu blimbing untuk mencuci pakaian yang sobek pinggirnya, perlambang
rakyat yang tidak mempunyai kekuasaan apapun. Baju sobek itu
dipakai untuk menghadap raja (seba), sebab lingkaran menghadap raja masih lebar, dan sinar rembulan menyinari lingkaran
(pumpung jembar kalangane, pumpung padang rembulane).
Tampak di situ bagaimana Sunan Ampel3
memakai simbol-simbol budaya Jawa dalam hubungan masyarakat dengan
penguasa, yang sama sekali tidak ideologis.
Dalam kasus ini terlihat, pendekatan budaya dan ideologis
saling bertentangan. Dalam pendekatan yang menggunakan
strategi budaya tadi, kaum muslimin tidak diseyogyakan menggunakan ideologi untuk merubah kultur masyarakat atas nama
agama. Biarlah struktur itu berubah dengan sendirinya melalui
pranata-pranata lain, sejarah jualah yang akan menunjukkan kepada kita perubahan-perubahan yang akan terjadi. Karenanya,
strategi semacam ini selalu berjangka sangat panjang, dan meliputi masa yang sangat panjang pula, yaitu berubah dari generasi
ke generasi.
Berbeda dengan strategi budaya itu, strategi ideologis senantiasa menekankan diri pada pentingnya merubah struktur
masyarakat, dan mengganti sistem kekuasaan yang ada, guna
menjamin berlangsungnya perubahan politik dalam sistem kekuasaan yang bersangkutan. Dalam hal ini, sering dilupakan
pilihan-pilihan rakyat akan sistem kekuasaan yang mereka inginkan. Yang penting, sang pemimpin dan teman-teman seideologi nya memegang tampuk kepemimpinan dan merubah
struktur masyarakat yang dimaksudkan. Di sini berlakulah seperti apa yang dikatakan Vladimir Illyich Lenin dalam pamfletnya “penyakit kiri kekanak-kanakan kaum revolusioner (The Infantile Disease of ‘Leftism’ in Communism),” yaitu perjuangan
yang selalu menekankan keharusan sukses akan dicapai semasa
sang aku masih hidup. Ini terjadi pada kaum komunis di bawah
Lenin-Mao Zedong, di kalangan kaum nasionalis di bawah Soekarno, dan gerakan Islam di bawah pimpinan Imam Khamenei
dan kawan-kawan yang sekarang menguasai Dewan Ulama
(Khubrigan
), yang oleh pers Barat disebut sebagai ulama konservatif. Herankah kita jika orang-orang seperti Presiden Iran,
Mohammad Khatami, lalu berhadapan dengan mereka, sebab
strategi budaya yang dianutnya?
Tiga buah bom meledak dalam waktu yang hampir bersamaan di Denpasar, Bali pada 12 Oktober 2002. Lebih dari
180 orang menjadi korban, termasuk sangat banyak orang
yang mati seketika. Jelas ini adalah bagian mengerikan dari tindakan teror yang selama belasan bulan ini menggetarkan perasaan kita sebagai warga masyarakat. Penulis berkali-kali meminta agar pihak keamanan mengambil langkah-langkah yang
diperlukan guna menghindarkan terjadinya hal itu. Termasuk
mengambil langkah-langkah preventif, antara lain menahan
orang-orang yang keluyuran di negeri kita membawa senjata tajam, membuat bom-bom rakitan, memproduksi senjata-senjata
yang banyak ragamnya.
Namun pihak keamanan merasa tidak punya bukti-bukti
legal yang cukup untuk mengambil tindakan hukum terhadap
mereka. Mungkin di sinilah terletak pokok permasalahan yang
kita hadapi. Kita masih menganut kebijakan-kebijakan punitif
dan kurang memberikan perhatian pada tindakan-tindakan preventif, kalau belum ada bukti legal yang cukup tidak dilakukan
penangkapan. Ini jelas kekeliruan yang menyebabkan hilangnya
rasa hormat pada aparat negara. Hal lainnya adalah, dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak pelanggaran hukum dilakukan
oleh aparat keamanan, sehingga mereka pun tidak dapat melakukan tindakan efektif untuk mencegah tindakan teror yang dilakukan orang. Itupun tidak bisa dibenahi oleh sistem politik
kita yang sekarang, sebab banyak sekali pelanggaran politik dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah.Sikap menutup mata oleh aparat keamanan kita terhadap
hal-hal yang tidak benar, juga terjadi dalam praktek kehidupan
sehari-hari di masyarakat. Apabila akan diambil tindakan hukum
terhadap aparat, banyak pihak lalu melakukan sesuatu untuk
“menetralisir” tindakan itu. Kasus bentroknya Batalyon Linud
(Lintas Udara) Angkatan Darat dengan aparat kepolisian di Binjai, Sumatra Utara, dapat dijadikan contoh. Mereka melakukan
tindakan “netralisasi” terhadap langkah-langkah hukum, sebab
para anggota batalyon itu menyaksikan sendiri bagaimana para
perwira mereka, baik di Angkatan Darat dan Polri, yang mendukung (backing) kelompok-kelompok pelaksana perjudian dan
pengedar narkoba, tidak mendapat tindakan hukum apapun.
Masalah yang timbul kemudian adalah, bagaimana mereka
dapat mencegah kelompok-kelompok kriminal dalam mempersiapkan tindakan teror terhadap masyarakat, termasuk warga
asing? Sikap tutup mata itu sudah menjadi demikian luas sehingga tidak ada pihak keamanan yang berani bertindak terhadap kelompok-kelompok seperti itu. Kalaupun ada aparat keamanan
yang bersih, dapat dimengerti keengganan mereka melakukan
tindakan preventif, sebab akan berarti kemungkinan berhadapan dengan atasan atau teman sejawatnya sendiri. Dalam hal ini
berlakulah pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Inilah penyebab dari apa yang terjadi di pulau Bali itu, jadi
tidak usah heran jika hal itu terjadi, bahkan yang harus diherankan, mengapakah hal ini baru terjadi sekarang.
Penyebab lain dari “paralyse” (kelumpuhan) tadi, adalah
adanya hubungan sangat baik antara aparat keamanan dengan
pihak-pihak teroris dan preman sendiri. Seolah-olah mereka
mendapatkan kedudukan terhormat dalam masyarakat, sebab
kemanapun ke-premanan mereka dapat ditutupi. Bahkan ada
benggolan preman yang berpidato di depan agamawan, seolaholah dia lepas dari hukum-hukum sebab-akibat. Herankah kita
jika orang tidak merasa ada gunanya melakukan tindakan preventif? Padahal hakikat tindakan itu adalah mencegah dilakukannya langkah-langkah melanggar hukum, dengan terciptanya
rasa malu pada diri calon-calon pelanggar kedaulatan hukum.
Kalau orang merasa terjerumus menjadi preman atau teroris, herankah kita jika pihak keamanan yang justru takut dan bukannya menindak mereka? Apalagi kalau Wakil Presidennya menerima para teroris di kantor dan memperlakukan seolah-olah pahlawan? Bukankah ini berarti pelecehan yang sangat serius
dalam kehidupan bermasyarakat kita? Ditambah lagi kesalahan
sikap ini ditutup-tutupi pula oleh anggapan bahwa Amerika Serikat-lah yang bersekongkol dengan TNI untuk memicu halhal di atas guna melaksanakan “rencana jahat” dari CIA (Central
Inteligence Agency)? Teori ini harus diselidiki secara mendalam,
namun masing-masing pihak tidak perlu saling menunggu. Inilah prinsip yang harus dilakukan.
Memang setelah bertahun-tahun, hal semacam ini baru dapat diketahui sebagai kebijakan baru di bidang keamanan, guna
memungkinkan tercapainya ketenangan yang benar-benar tangguh. Sudah tentu, kebijakan itu harus benar-benar sesuai dengan
kebutuhan yang ada. Dalam hal ini keperluan akan tindakan-tindakan untuk mencegah terulangnya kejadian seperti di Bali itu.
sebab nya tindakan preventif harus diutamakan. Kebutuhan itu
mengharuskan kita segera mencapai kesepakatan, mengatasi
kekosongan kekuasaan keamanan yang terlalu lama dapat berakibat semakin beraninya pihak-pihak yang melakukan destabilisasi di negeri kita.
Untuk itu diperlukan beberapa tindakan yang dilakukan secara simultan (bersama-sama). Pertama, harus dilakukan upaya
nyata menghentikan KKN oleh birokrasi negara. Dengan adanya
KKN, birokrasi pemerintah tidak akan dapat menjalankan tugas
secara adil, jujur dan sesuai dengan undang-undang yang ada.
Kedua, persamaan perlakuan bagi semua warga negara di muka
undang-undang tidak akan dapat terlaksana jika KKN masih
ada. Dengan demikian, menciptakan kebersihan di lingkungan
sipil dan militer merupakan persyaratan utama bagi penegakan
demokrasi di negeri kita.
Syarat ketiga yang tidak kalah penting adalah, kebijakan
yang sesuai dengan kebutuhan dan kenyataan yang ada. Kita
tidak dapat membuat istana di awang-awang, melainkan atas
kenyataan yang ada di bumi Indoesia. sebab itulah, dalam sebuah surat kepada mantan Presiden HM. Soeharto, penulis
mengatakan bahwa kita harus siap untuk memaafkan dalam
masalah perdata para konglomerat yang tidak mengembalikan
pinjaman mereka pada bank-bank pemerintah, asalkan uang hasil pinjaman itu dikonversikan menjadi kredit murah bagi usaha
kecil dan menengah (UKM). Soal-soal pidana menjadi tanggung
jawab aparat hukum yang ada, dan tidak pantas dicampuri baik oleh pihak eksekutif maupun legislatif. Resep ini memang terasa
terlalu sumir dan elitis, tetapi memberikan harapan cukup untuk
tetap menciptakan keamanan dan dalam menopang kebangkitan
kembali ekonomi nasional kita.
Terorisme memang merajalela di negeri kita. Dalam waktu
setahun terakhir ini, seharusnya ada tindakan yang jelas
dari pemerintah untuk memberantas dan mengikis habis
terorisme ini. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Para teroris semakin lama semakin merajalela, dan mendorong masyarakat untuk menganggapnya sebagai buatan luar negeri yang tidak
dapat diatasi. Akhirnya, terorisme mengalami eskalasi luar biasa,
dan terjadilah peledakan 3 buah bom berkekuatan sangat tinggi
di Bali. Korban yang berjatuhan sangat besar, berjumlah di atas
200 jiwa, ini menurut laporan media massa sendiri.1
Pemerintah sendiri tidak siap menghadapinya, terbukti dari usulan-usulan yang saling bertentangan antar pejabat pemerintahan di tingkat pusat. Ada usul agar supaya kegiatan-kegiatan
intelejen dikoordinir oleh sebuah badan baru, sedangkan Menko
Polkam Susilo Bambang Yudhoyono menganggap hal itu tidak
perlu. Menhan Matori Abdul Djalil menganggap ada gerakan
Islam internasional di belakang peristiwa pengeboman itu, sedangkan Kapolri sendiri menyatakan belum ada bukti-bukti hukum yang dapat dipertanggungjawabkan di pengadilan. Kalau
di lingkungan pemerintahan saja terjadi perbedaan pendapat
seperti itu, berarti itu menunjukkan ketidaksiapan menghadapi
kejadian ini, dan dapat diperkirakan betapa banyaknya pendapat
saling bertentangan dalam masyarakat.
Secara internasional, ketidaksiapan pemerintah atas kejadian itu dilontarkan oleh berbagai pihak atau negara. Ini juga
berakibat parah terhadap ekonomi kita yang sedang dilanda krisis. Bagaikan orang yang jatuh ditimpa tangga pula. Bukan hanya menurunnya jumlah wisatawan asing yang ke Bali melainkan juga jumlah ekspor kita ke negara lain terkena pukulan hebat. Demikian juga, usaha di bidang pariwisata kita mengalami
pukulan berat. Jumlah penganggur semakin membengkak dan
tak terbatas hanya pada daerah Bali saja. Gubernur Jawa Timur
(Jatim) menyatakan kepada penulis, ekspor daerah itu melalui
Bali yang telah lalu mencapai jumlah 1 milyar rupiah. Jelas Jatim
mengalami pukulan hebat akibat peristiwa pemboman itu. Penulis menambahkan, para wisatawan asing itu banyak juga yang
kemudian berselancar di selatan Banyuwangi dan menyaksikan
matahari terbit di puncak Gunung Bromo. Kalau mereka tidak
datang ke Bali, maka mereka tidak akan datang ke Jatim.
eg
Secara matematis pendapatan negeri kita mengalami pukulan hebat akibat peristiwa di Bali ini. Tapi hitungan matematis
ini tidak berlaku bagi kehidupan perikemanusiaan, dengan hilangnya nyawa orang sedemikian banyak itu. Inilah yang harus
diingat dalam memperhatikan akibat-akibat dari peristiwa tersebut. Hilangnya kepercayaan negara-negara lain akan kemampuan kita sebagai bangsa untuk memelihara keamanan siapa pun,
juga mengalami pukulan berat. Kita juga tidak tahu, harus bersedih hati kah? Atau justru menjadi marah oleh kejadian ini .
Hanya pernyataan, bahwa apa yang telah terjadi itu adalah sebuah force majeur –hal yang tidak dapat kita tanggulangi secara
tuntas-, membuat kita sedikit tenang.
Yang tidak kita mengerti, mengapa pihak keamanan sama
sekali tidak tanggap terhadap kekerasan, bersiap siaga terhadap
kemungkinan yang ditimbulkannya. Kesimpulannya, pihak keamanan memang kekurangan tenaga, atau mereka cerminan dari
sistem politik kita yang kacau balau. Itu semua terjadi sebab adanya perintah tak tertulis “dari atas” yang saling bertentangan. Di satu pihak, ada yang menyatakan bahwa kaum teroris merajalela
di negeri kita, sebab itu kita harus siaga sepenuhnya. Di pihak
lain, ada “bisikan” agar kelompok-kelompok teroris di negara
kita jangan ditindak kalau belum terbukti melanggar hukum.
Ini berarti, tidak ada tindakan antisipatif apapun terhadap kemungkinan tindakan yang ditimbulkan oleh para teroris. Makna
dari hal ini adalah, pihak keamanan menerima perintah saling
bertentangan, dan wajar saja kalau mereka lalu dibuat bingung
oleh kebijakan itu, yang berakibat pada ketidakpastian dalam
penyelenggaraan keamanan. Justru inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh para teroris, yang masih harus dibuktikan
secara hukum melalui kerjasama dengan unsur-unsur aparat keamanan luar negeri.
Tidak heranlah jika negara-negara lain lalu menganggap
kita tidak memiliki kesanggupan menjaga keamanan dan meneliti pelanggaran-pelanggaran atasnya. Tawaran yang oleh Kapolri
dinyatakan datang dari berbagai negara, pada hakikatnya adalah
kritikan terhadap kemampuan kita di bidang keamanan dalam
negeri. Jadi tidak tepatlah kebanggaan sementara kalangan akan
datangnya tawaran membantu itu. Ini adalah akibat belaka dari
kelalaian kita di masa-masa lampau, termasuk ketika penulis
menjadi Kepala Pemerintahan.
Yang sebenarnya mengejutkan kita adalah sikap Wapres
Hamzah Haz. Pertama, ia tidak pernah mengutuk tindakan teroris ini . Kedua, ia justru mengunjungi para tahanan seperti
Ja’far Umar Thalib2
, mengunjungi tempat-tempat yang selama
ini diduga dipakai sebagai pangkalan teroris di negara kita. Paling
tidak, Hamzah seharusnya menahan diri dan tidak melakukan
kunjungan ini , sampai dibuktikan oleh pengadilan bahwa
mereka tidak bersalah. Tundalah melakukan kunjungan demi kunjungan itu sampai masalahnya menjadi terang. Kesimpulan
kita, ia perlu mendekati kelompok garis keras gerakan Islam, untuk kepentingan politik, mencari dukungan bagi partainya dalam
pemilu mendatang. Berarti ia melakukan kunjungan demi kunjungan itu untuk kepentingan politik pribadinya.
Ini dapat dimengerti sebagai kebutuhan politik yang wajar.
Tapi tindakannya menerima orang-orang yang diduga melanggar hukum atau undang-undang di Istana (kantor) Wapres, adalah tindakan politik gegabah.3
Ia tidak bisa membedakan kedudukan sebagai ketua umum sebuah parpol dari jabatan Wapres.
Hal ini langsung atau tidak langsung memberikan dorongan bagi
kaum teroris untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak
berperikemanusiaan dan melanggar undang-undang. Melihat
langkah-langkah yang diambilnya, demikian jauh ia dari rakyat
pada umumnya. Ini sebagai sesuatu yang mengherankan. Di sinilah ia akan dinilai, mampukah ia membebaskan diri dari kepentingan-kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan
umum.
Seorang pejabat negara tidak boleh mencampuradukkan
kepentingan jabatan dengan kelompok yang dipimpinnya. Kalau
ia ingin melaksanakan sebuah garis perjuangan partainya dalam
jangka panjang, umpamanya saja dengan mendekati kelompokkelompok garis keras, untuk memperoleh suara mereka dalam
pemilu yang akan datang, maka pertemuan itu harus dilakukan
di tempat mereka atau di kalangan partai yang dipimpinnya. Tidaklah layak mengundang mereka yang dituduh sebagai teroris
oleh banyak pihak untuk makan siang di Kantor Wakil Presiden.
Perbedaan utama fungsi resmi jabatan atas pemerintahan dari
fungsi politik kepartaian harus selalu diperhatikan, agar baik
pemerintah maupun partai politiknya tidak saling mengalami
kerugian. sebab itu, upaya memerangi terorisme memerlukan
ketegasan sikap yang ditujukan untuk mereka, ini harus benarbenar diperhatikan. h
Pada sebuah diskusi beberapa tahun yang lalu di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, penulis dikritik oleh Dr. Yusril Ihza Mahendra.1
Kata Bang Yusril, ia kecewa dengan penulis sebab
bergaul terlalu erat dengan umat Yahudi dan Nasrani. Bukankah
kitab suci al-Qur’ân menyatakan salah satu tanda-tanda seorang
muslim yang baik adalah “bersikap keras terhadap orang kafir
dan bersikap lembut terhadap sesama muslim (asyiddâ’u ‘alâ alkuffâr ruhamâ baynahum)” (QS al-Fath [48]:29). Menanggapi
hal itu, penulis menjawab, sebaiknya Bang Yusril mempelajari
kembali ajaran Islam, dengan mondok di pesantren. sebab ia
tidak tahu, bahwa yang dimaksud al-Qur’ân dalam kata “kafir”
atau “kuffar” adalah orang-orang musyrik (polytheis) yang ada
di Mekkah, waktu itu. Kalau hal ini saja Bang Yusril tidak tahu,
bagaimana ia berani menjadi mubaligh?
Dengan masih adanya pendangkalan pemahaman seperti
itu, penulis jadi tidak begitu heran kalau terjadi kekerasan di Maluku, Poso, Aceh dan Sampit. Penulis mengutuk peledakan bom
di Legian, Bali, sebab itu berarti pembunuhan atas begitu banyak orang yang tidak bersalah. Walau mengutuk, tidak berarti
penulis heran atas terjadinya peledakan bom itu. sebab dalam
pandangan penulis, hal itu terjadi akibat para pelakunya tidak
mengerti, bahwa Islam tidak membenarkan tindak kekerasan
dan diskriminatif. Satu-satunya pembenaran bagi tindakan kekerasan secara individual adalah, jika kaum muslimin diusir dari
rumahnya (idzâ ukhrijû min diyârihim). Karena itulah, ketika
harus meninggalkan Istana Merdeka, penulis meminta Luhut
Panjaitan mencari surat perintah dari Lurah sekalipun. Sebabnya, sebab ada perintah lain dalam Sunni tradisional yang diyakini penulis, untuk taat pada pemerintah. Berdasar ayat kitab suci
al-Quran, “Taatlah kalian pada Allah, pada utusan-Nya dan pada
pemegang kekuasaan pemerintahan (athî‘u allâha wa’athî’u arrasûl wa ulî al-amri minkum)” (QS. Al-Nisa [4]:59). Pak Luhut
Panjaitan2
mencarikan surat perintah itu dari seorang Lurah, dan
penulis sebagai warga negara dan rakyat biasa –sebab lengser
dari jabatan kepresidenan- mengikuti perintah ini .
Soal bersedianya penulis lengser dari jabatan kepresidenan, sebab penulis menganggap tidak layak jabatan setinggi apapun di negeri ini, dipertahankan dengan pertumpahan darah.
Padahal waktu itu, sudah ada pernyataan yang ditandatangani
300.000 orang akan mendukung penulis mempertahankan jabatan kepresidenan, kalau perlu mengorbankan nyawa.
eg
Tindak kekerasan -walaupun atas nama agama- dinyatakan
oleh siapapun dan dimanapun sebagai terorisme. Beberapa tahun sebelum menjabat sebagai presiden, penulis merencanakan
berkunjung ke Israel untuk menghadiri pertemuan para pendiri
Pusat Perdamaian Shimon Peres di Tel Aviv. Sebelum keberangkatan ke Tel Aviv, penulis menerima rancangan pernyataan bersama, yang disampaikan oleh Rabi Kepala Sevaflim Eli Bakshiloron.
Dalam rancangan pernyataan itu, terdapat pernyataan penulis
dan Rabi yang menyatakan “berdasarkan keyakinan agama Islam dan Yahudi, menolak penggunaan kekerasan yang berakibat
pada matinya orang-orang yang tidak berdosa”. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) mengutus Wakil Rois ‘Am, KH. M.A. Sahal Mahfudz3
untuk memeriksa rancangan pernyataan itu. KH.
M.A. Sahal Mahfudz meminta kata-kata “tidak berdosa” diubah
menjadi “tidak bersalah”.
Mengapa demikian? sebab , yang menentukan seseorang
itu berdosa atau tidak adalah Allah Swt. Sedangkan salah atau
tidaknya seseorang oleh hakim atau pengadilan, berarti oleh sesama manusia. Penulis menerima keputusan itu dan perubahan
rancangan pernyataan ini , juga diterima oleh Rabi Eli Bakshiloron. Ketika tiba di Tel Aviv, penulis bersama Rabi Eli langsung menuju kantornya di Yerusalem. Di tempat itu, penulis dan
Rabi Eli menandatangani pernyataan bersama itu di depan publik dan media massa. Ini menunjukkan bahwa, NU sebagai organisasi Islam terbesar di negara kita —bahkan menurut statistik
sebagai organisasi Islam terbesar di dunia— menolak terorisme
dan penggunaan kekerasan atas nama agama sekalipun. sebab
itu, kita mengutuk peledakan bom di Bali dan menganggapnya
sebagai “tindak kejahatan/ kriminal” yang harus dihukum.
Keseluruhan penolakan penulis itu, bersumber pada pendapat agama yang tercantum dalam literatur keagamaan (al-kutub
al-mu’tabarah), jadi bukannya isapan jempol penulis sendiri.
Mengapa demikian? sebab Islam adalah agama hukum, karenanya setiap sengketa seharusnya diselesaikan berdasarkan hukum. Dan sebab hukum agama dirumuskan sesuai dengan tujuannya (al-umûru bi maqâshidiha), maka kita patut menyimak
pendapat mantan ketua Mahkamah Agung Mesir, Muhammad
Sa’id al-Ashmawy.4
Menurutnya, “hukum Barat” dapat dijadikan hukum Islam”, jika memiliki tujuan yang sama. Hukum pidana
Islam (jarimah), menurut Muhammad Sa’id al-Ashmawy, sama
dengan hukum pidana Barat, sebab sama berfungsi dan bertujuan mencegah (deterrence) dan menghukum (punishment).
eg
Namun, mengapa terorisme dan tindak kekerasan yang
lain masih juga dijalankan oleh sebagian kaum muslimin? Kalau memang benar kaum muslimin melakukan tindakan-tindakan tersebut, jelas bahwa mereka telah melanggar ajaran-ajaran
agama. Pertanyaan di atas dapat dijawab dengan sekian banyak
jawaban, antara lain rendahnya mutu sumber daya manusia para
pelaku tindak kekerasan dan terorisme itu sendiri. Mutu yang
rendah di kalangan kaum muslimin, dapat dikembalikan kepada
aktifitas imperalisme dan kolonialisme yang begitu lama menguasai kaum muslimin. Ditambah lagi dengan, orientasi pemimpin
kaum muslimin yang sekarang menjadi elite politik nasional.
Mereka selalu mementingkan kelompoknya sendiri dan membangun masyarakat Islam yang elitis.
Apa pun bentuk dan sebab tindak kekerasan dan terorisme, seluruhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah, termasuk oleh para
pelaku kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan Islam.
Penyebab lain dijalankannya tindakan-tindakan yang telah dilarang Islam itu —sesuai dengan ajaran kitab suci al-Qur’ân dan
ajaran Nabi Muhammad Saw— adalah proses pendangkalan
agama Islam yang berlangsung sangat hebat.5
Walau kita lihat,
adanya praktek imperialisme dan kolonialisme atau kapitalisme
klasik di jaman ini terhadap kaum muslim, tidak berarti proses
sejarah itu memperkenankan kaum muslimin untuk bertindak
kekerasan dan terorisme.
Harus kita pahami, bahwa dalam sejarah Islam yang panjang, kaum muslimin tidak memakai kekerasan dan terorisme untuk memaksakan kehendak. Lalu, bagaimanakah cara kaum muslimin mengkoreksi langkah-langkah yang salah, atau
melakukan “responsi yang benar” atas tantangan berat yang
dihadapi? Jawabannya, yaitu dengan mengadakan penafsiran
baru (reinterpretasi). Melalui mekanisme inilah, kaum muslimin melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat
sebelumnya, maupun memberikan responsi yang memadai atas
tantangan yang dihadapi. Jelas, dengan demikian Islam adalah
“agama kedamaian” bukannya “agama kekerasan”. Proses sejarah berkembangnya Islam di kawasan ini, adalah bukti nyata
akan kedamaian itu, walaupun di kawasan-kawasan lain, masih
juga terjadi tindak kekerasan -atas nama Islam- yang tidak diharapkan
Dalam sebuah konferensi internasional, penulis diminta
memaparkan pandangannya mengenai terorisme yang
tengah terjadi, seperti peledakan bom di Bali dan perbuatan-perbuatan lain yang serupa. Penulis jadi teringat pada
penggunaan nama Islam dalam kerusuhan-kerusuhan di Ambon
dan Poso, serta peristiwa terbunuhnya para ulama dalam jumlah
besar dalam kasus “santet di Banyuwangi”. Tentu saja penulis
menjadi terperangah oleh banyaknya tindakan-tindakan yang
dilakukan atas nama Islam di atas.
Tentu saja kita tidak dapat menerima hal itu, seperti halnya kita tolak tindak kekerasan di Irlandia Utara sebagai pertentangan agama Protestantisme melawan Katholikisme. Begitu
juga perusakan Masjid Babri sebagai pertentangan orang-orang
beragama Hindu melawan kaum Muslimin di negeri India, walaupun yang bermusuhan memang jelas orang-orang dari kedua
agama itu. Pasalnya, sebab mayoritas orang-orang beragama
Islam di berbagai negeri tidak terlibat dalam pertikaian dengan
tindakan kekerasan seperti di negeri-negeri ini .
Dalam jenis-jenis tindakan teroristik itu, para pemuda
muslim jelas-jelas terlibat dalam terorisme yang dipersiapkan.
Mereka mendapatkan bantuan keuangan dan latihan-latihan
guna melakukan tindakan-tindakan ini . Belasan bulan persiapan teknis dan finansial dilakukan, sehingga tidak dapat ia
disebut sebagai sesuatu yang bersifat spontanitas belaka. Jika tidak terjadi secara spontan, sudah pasti hal itu merupakan tindakan teror yang memerlukan waktu lama untuk direncanakan dan
dilaksanakan. Para pelaksana kegiatan teror itu menganggap
diri mereka bertindak atas nama Islam. Dengan demikian, menjadi jelaslah arti hukum Islam bagi kehidupan mereka, yang terkadang hanya dianggap sebagai kegiatan ilmiah guna membahas
kecilnya deskripsi yang dilakukan.
Suatu hal yang harus selalu diperhatikan, yaitu gerakan Islam apa pun dan di mana pun senantiasa terkait dengan pilihan
berikut: gerakan mereka sebagai kultur atau sebagai lembaga/
institusi. Yang mementingkan kultur, tidak begitu memperhatikan lembaga yang mereka dukung. Ambil contoh NU (Nahdlatul
Ulama) dengan para anggota/ pengikutnya. Perhatikan dengan
seksama “budaya NU” seperti tahlil, halal bi halal, dan mengikuti rukyah (melihat bulan) untuk menetapkan permulaan hari
raya. Mereka tidak peduli dengan keadaan lembaga-organisasi
yang mereka dukung, dipimpin oleh orang yang tepatkah atau
tidak.
sebab itulah, ketika para aktivis muda Islam yang belakangan dikenal sebagai “muslim radikal”, dan kemudian lagi dikenal sebagai para teroris yang memulai konflik di Ambon dan
Poso, dan sebagian lagi meledakkan bom di Bali, mereka pun
menghadapi pilihan yang sama, mementingkan budaya atau lembaga (institusi). Sebagian dari mereka melupakan “warisan Islam” —berupa proses penafsiran kembali (reinterpretasi)— yang
sudah dipakai kaum muslimin ratusan tahun lamanya, guna memasukkan perkembangan zaman ke dalam ajaran agama mereka. Sebagai akibat, mereka mengembangkan “cara hidup Islam”
serba keras dan memusuhi cara-cara hidup lain, dan dengan
demikian membuat Islam berbeda dari yang lain. Ini tampak
ketika penulis suatu ketika memberikan ceramah kepada para
calon dokter di sebuah fakultas kedokteran. Para calon dokter lelaki dipisah tempat duduk mereka dari para calon dokter perempuan, dan pemisahan mereka itu “dijaga” oleh seorang bertubuh
kekar yang lalu lalang di tengahnya. Pertemuan NU pun tidak
sampai sedemikian keadaannya, sebab di tengah-tengah tidak
ada “penjaga” yang bertubuh kekar dan bersifat galak terhadap
pelanggaran halangan yang mereka lakukan.
eg
Sikap mementingkan lembaga (institusi) inilah, —setidak-tidaknya lebih mementingkan institusi dari kultur— seperti
diperlihatkan contoh di atas, menurut pendapat penulis adalah sumber dari terorisme yang berkedok Islam. Jika institusi atau
lembaga ke-Islaman ditantang oleh sebuah cara hidup, seperti
halnya sekarang cara hidup orang Islam ditantang oleh cara
hidup “Barat”, maka mereka pun merasa terancam dan bersikap
ketakutan. Perasaan dan sikap itu ditutupi oleh tindakan garang
kepada “sang penantang”, dan menganggap “budaya sendiri” sebagai lebih dari segala-galanya dari “sang penantang”.
sebab tidak dapat membuktikannya secara pasti dan masuk akal, maka lalu diambil sikap keras, yang kemudian berujung
pada terorisme, seperti meledakkan bom (di Bali) dan menculik
para turis (seperti dilakukan kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan). Mereka lalu memakai kekerasan, sesuatu yang tidak
diminta atau diperintahkan oleh Islam. Agama mereka menentukan hanya kalau diusir dari rumah-rumah mereka, baru diperkenankan melakukan tindak kekerasan untuk membela diri
(idzâ ukhrijû min diyârihim).
sebab pendekatan institusional yang mereka pergunakan, maka mereka merasa “dikalahkan” oleh peradaban-budaya
lain, yaitu “kebudayaan barat modern”. Dilupakan umpamanya
saja, bagaimana Saladin sebagai Sultan Mamalik ‘mengalahkan’
Richard Berhati Singa (The Lion Heart) dengan mengirimkan
dokter pribadinya untuk menyembuhkan anak raja Inggris itu
dalam Perang Salib. Dokter ini disertai anak Saladin yang
dapat saja dibunuh, kalau dokter pribadi itu tidak dapat menyembuhkan anak Richard. Raja Inggris ini dengan demikian
mengetahui betapa luhur budi Saladin. Dari upaya itu akhirnya
ia pulang ke negaranya dan menghentikan Perang Salib.
Demikian pula hubungan antara budaya Islam dan budayabudaya lain, harus dikembangkan dalam pola menghargai mereka, dengan demikian akan tampak keluhuran Islam yang dipeluk saat ini paling tidak oleh 1/6 jumlah umat manusia. sebab
itu, sejak dahulu penulis menolak penggunaan terorisme untuk
“mempertahankan Islam”. Tindakan seperti itu justru merendahkan Islam di mata budaya-budaya lain, termasuk budaya modern
di Barat yang telah membawakan keunggulan organisasi, pengetahuan, dan teknologi. Islam hanya dapat “mengejar ketertinggalan’ itu, jika ia memakai rasionalitas dan sikap ilmiah. Memang, rasionalitas Islam sangat jauh berbeda dari rasionalitas
lain, sebab kuatnya unsur identitas Islam itu. Rasionalitas Islam yang harus dibuktikan dalam kehidupan bersama ini , berintikan penggunaan unsur-unsur manusiawi, dengan segala
pertimbangannya ditunjukkan kepada “sumber-sumber tertulis” (adillah naqliyyah) dari Allah, seperti ungkapan-ungkapan
resmi Tuhan dalam al-Qur’ân dan ucapan Nabi (al-Hadits). Karena itu, pengenalan ini tidak memerlukan tindak kekerasan
apa pun, yang hanya akan membuktikan “kelemahan” Islam saja.
sebab itulah, kita harus memiliki sikap jelas mengutuk terorisme, siapa pun yang melakukannya. Apalagi kalau hal itu dilakukan oleh mereka yang tidak mengerti perkembangan Islam yang
sebenarnya.
Padahal kaum muslimin sejak dahulu terbagi dua, yaitu
yang menjadi warga berbagai gerakan Islam (al-munadzamah
al-Islamiyyah) dan orang-orang Islam kebanyakan (‘awâm atau
laymen). Kalau mayoritas warga berbagai gerakan Islam saja
tidak menyetujui penggunaan kekerasan (terorisme), apalagi
kaum muslimin awam. Inilah yang sering dilupakan para teroris
itu dan harus diingat oleh mereka yang ingin melakukan tindak
kekerasan, apalagi terorisme, di kalangan para aktivis muslimin.
Kalau hal ini tidak diingat, maka tentu saja mereka akan lambatlaun berhadapan dengan “kaum awam” ini . Para teroris peledak bom di Bali pada akhirnya berhadapan dengan Undang-undang Anti-Terorisme, yang merupakan produk mayoritas kaum
muslimin awam di negeri ini. Dari semula, NU bersikap tidak
menyetujui tindak terorisme.
eg
Dalam Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, ada pertanyaan dalam “baths al-masâ’il”; wajibkah kaum muslimin di
kawasan Hindia Belanda mempertahankan kawasan itu, sedangkan mereka diperintah oleh kaum non-muslimin (para kolonialis
Belanda)? Jawab Muktamar; wajib, sebab kawasan itu dahulunya memiliki kerajaan-kerajaan Islam, dan kini kaum muslimin
dapat menerapkan ajaran-ajaran agama ini dengan bebas.
Diktum pertama (mengenai kerajaan-kerajaan Islam di kawasan
ini) diambilkan dari sebuah teks kuno, Bughyah al-Mustarsyidîn, sedangkan diktum kedua hasil pemikiran (reinterpretasi)
para ulama negara kita sendiri, tetapi sebenarnya pernah diungkapkan sarjana muslim kenamaan Ibn Taimiyyah, yang di negeri ini kemudian dikenal sebab menjadi subjek disertasi doktor Nurcholish Madjid.1
Keputusan Muktamar NU sepuluh tahun sebelum proklamasi kemerdekaan itu, meratakan jalan bagi pencabutan Piagam
Jakarta dari Pembukaan UUD 1945 oleh para wakil organisasiorganisasi Islam di negeri kita, seperti Muhammadiyah dan NU.
Kalau pemimpin dari gerakan-gerakan Islam tidak mewajibkan,
berarti negara yang didirikan itu tidaklah harus menjadi negara
Islam. Kalau demikian, Islam tidak didekati secara kelembagaan
atau institusional, melainkan dari sudut budaya. Selama “budaya” Islam masih ada di negeri ini, maka Islam tidak mengalami
kekalahan dan tidak harus “dipertahankan” dengan tindak kekerasan, seperti terorisme.
Islam memiliki cara hidupnya sendiri, yang tidak perlu dipertahankan dengan kekerasan, sebab cukup dikembangkan
dalam bentuk budaya. Dan inilah yang terjadi, seperti adanya
MTQ, penerbitan-penerbitan Islam yang berjumlah sangat banyak, dan berbagai manifestasi ke-Islaman lain. Bahkan sekarang, wajah “kesenian Islam” sudah menonjol demikian rupa
sehingga layar televisi pun menampung sekian banyak dari
berbagai wajah seni Islam yang kita miliki. sebab itu, Islam
tidak perlu dipertahankan dari ancaman siapa pun sebab ia
memiliki dinamika tersendiri. Sebagai responsi atas “tekanantekanan” modernisasi, terutama dari “proses pem-Barat-an”
yang terjadi, kaum muslimin di negeri ini dapat mengambil atau
menolak pilihan-pilihan mereka sendiri dari proses ini ,
mana yang mereka anut dan mana yang mereka buang. sebab
itu, hasilnya juga akan berbeda-beda dari satu orang ke orang
lain dan dari satu kelompok ke kelompok lain. Penerimaan beragam atas proses itu akan membuat variasi sangat tinggi dari
responsi ini , yang sesuai dengan firman Allah: “dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa untuk
dapat saling mengenal (wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li
ta’ârafû)” (QS al Hujurât [49]:13). Ayat itu jelas memerintahkan
adanya ke-bhinekaan dan melarang eksklusifisme dari kalangan
kaum muslimin manapun.
Sebenarnya di antara “kalangan teroris” itu, terdapat juga
mereka yang melakukan tindak kekerasan atas perintah-pesanan
dari mereka yang tadinya memegang kekuasaan. sebab mereka
masih ingin berkuasa, mereka memakai orang-orang itu
atas nama Islam, untuk menghalangi proses-proses munculnya
rakyat ke jenjang kekuasaan. Dengan demikian, kalangan-kalangan itu memiliki tujuan menghadang proses demokratisasi
dan untuk itu sebuah kelompok kaum muslimin digunakan untuk membela kepentingan orang-orang ini atas nama Islam. Sungguh sayang jika maksud itu berhasil dilakukan. Rasarasanya, NU berkewajiban menggagalkan rencana ini , dan
sebab nya bersikap konsisten untuk menolak tindak kekerasan
dalam memperjuangkan “kepentingan Islam”.
Islam tidak perlu dibela sebagaimana juga halnya Allah.
Kedua-duanya dapat mempertahankan diri terhadap gangguan
siapa pun. Inilah yang dimaksudkan firman Allah; “Hari ini Kusempurnakan bagi kalian agama kalian dan Ku-sempurnakan
bagi kalian (pemberian) nikmat-Ku, dan Ku-relakan bagi kalian
Islam sebagai agama (al-yauma akmaltu lakum dînakum wa
atmamtu ‘alaikum nikmatî wa radlîtû lakum al-Islâma dînan)”
(QS al-Maidah [5]:3), menunjuk dengan tepat mengapa Islam
tidak perlu dipertahankan dengan tindakan apa pun, kecuali
dengan melaksanakan cara hidup Islam itu sendiri. Sangat indah
untuk diucapkan, namun sulit dilaksanakan, bukan? h
Peledakan bom di Denpasar, semakin hari semakin banyak mendapat sorotan. Salah satu hal terpenting, adalah
mengetahui siapa yang melakukan, dan mengapa mereka
melakukannya. Dikatakan “mereka”, sebab jelas sekali peristiwa seperti itu tidak akan mungkin dilakukan oleh seorang diri
belaka, sehingga digunakan kata ini untuk menunjuk para
pelakunya. Sayangnya, hingga hari ini belum dapat disebutkan
siapa-siapa pelaku sebenarnya. Jangan-jangan, hasil pemeriksaan tidak akan diumumkan secara jujur, sebab menyangkut pejabat yang berada dalam sistem kekuasaan. Bukankah banyak hal
di negara kita selama ini tidak pernah dibongkar sampai tuntas,
melainkan ditutup-tutupi dari mata masyarakat?.
Banyak pihak ditunjuk oleh orang yang berbeda-beda sebagai para pelaku kejadian itu, sesuai dengan kepentingan masingmasing. Juga sebab adanya hal-hal yang dapat ditunjuk sebagai
persambungan dari peristiwa pemboman yang pernah terjadi.
Begitu juga, demikian banyak konspirasi/komplotan yang dapat
ditunjuk sebagai biang keladi, sehingga hal yang sebenarnya terjadi menjadi tertutup olehnya. Penulis khawatir, jangan-jangan
peristiwa yang sebenarnya, justru malah dikaburkan oleh sekian
banyak gambaran adanya konspirasi/komplotan yang terjadi di
Bali ini .Yang tampak jelas hanyalah beberapa hal saja. Pertama,
peledakan bom itu terjadi di Pulau Dewata Bali. Kedua, bahwa
korbannya adalah orang-orang Australia, yang berjumlah sangat besar dan menerbitkan amarah dunia internasional. Masih
menjadi pertanyaan lagi, mungkinkah pemerintah kita sendiri
dapat dan bersedia melakukan pelacakan atas kejadian ini
dengan tuntas? Mungkin pertanyaan ini terdengar agak sinis,
tapi bukankah demikian banyak peristiwa yang telah terjadi di
negeri kita tanpa ada pemeriksaan sampai tuntas, hingga kita patut bertanya-tanya, benarkah pemerintah kita nanti akan menangani segala sesuatunya secara serius? Buktinya, penulis telah
memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri —sewaktu menjabat
sebagai Presiden, untuk melakukan penangkapan-penangkapan.
Namun, mereka tidak melaksanakan perintah ini , bahkan
sampai hari inipun pihak Mahkamah Agung (MA) belum mau
menjawab pertanyaan penulis, apakah terjadi tindakan insubordinatif oleh kedua pejabat ini , dengan menolak mengerjakannya? Kalau MA saja tidak memiliki keberanian untuk memberikan jawaban terhadap keadaan yang demikian jelas tadi, dan
pihak ekskutif-pemerintah dan legislatif-juga tidak mau mempertanyakan hal itu, bukankah hal sejelas itu menunjukkan adanya kebuntuan pemerintahan? Bukankah kebuntuan itu juga
yang dapat menghentikan pemerintah untuk mencari tahu siapa
saja yang menjadi para pelaku peledakan bom di Denpasar itu?
eg
Terjadilah simpang-siur pendapat sebab nya. Ada yang
mengatakan pelakunya adalah pihak luar negeri, dalam hal ini
adalah orang-orang Amerika Serikat (AS). Di pihak lain, ada yang
beranggapan bahwa hanya pihak dalam negeri saja yang terlibat
dalam kejadian ini. Ada yang berpendapat lagi, bahwa pihak luar
negeri bekerjasama dengan unsur-unsur yang ada di dalam negeri sendiri yang menjadi para pelaku. Demikian juga terjadi perbedaan yang cukup tajam antara mereka yang berpendapat adakah
jaringan Islam ekstrim/garis keras terlibat dalam kejadian ini .
Jika jalan pikiran ini terus diikuti, tentu timbul pertanyaan
siapa saja atau organisasi mana yang membiarkan diri terlibat
dalam kejadian ini ? Laskar Jihad-kah, yang merupakan cabang dari organisasi dengan nama serupa di Saudi Arabia. Lalu, mengapakah mereka “buru-buru” membubarkan diri begitu
terjadi peristiwa di Bali ini ? Adakah hubungan antara kejadian ini di satu pihak, dengan masa depan organisasi itu?
Bukankah bubarnya organisasi itu di Saudi Arabia dan Indonesia —pada waktu yang hampir bersamaan, justru menunjukkan
adanya jaringan (networking) dalam tubuh sebagian gerakan
Islam di dalam dan luar negeri? Bukankah ini menunjukkan adanya jaringan internasional di kalangan mereka, yang oleh pihak
lain dianggap sebagai bukti hadirnya jaringan internasional untuk mempromosikan versi mereka tentang hubungan gerakan
Islam dan non-Islam secara keseluruhan?
Demikian kacaunya perkembangan yang terjadi, hingga
ada pihak yang menganggap Abu Bakar Ba’asyir —seorang Kyai
pesantren dari Solo, sebagai salah seorang pelaku, sedangkan
yang lain menganggap ia tidak terkait sama sekali dengan peristiwa itu. Lalu, mengapakah ia sampai pingsan di rumah sakit,
begitu mengetahui dirinya akan diekstradisi ke AS? Ini lagi-lagi
menunjukkan ketidakjelasan yang kita hadapi. Hanya penelitian
yang mendalam dan kejujuranlah yang dapat mengungkapkan
hal ini secara terbuka kepada masyarakat. Rasanya, kalau tidak
ada tim khusus untuk melakukan hal itu, kita tetap tidak akan
tahu mengenai latar belakang maupun hal-hal lain dalam peristiwa itu.
eg
Dapat digambarkan di sini, betapa marahnya pihak-pihak
internasional maupun domestik terhadap hal itu. Penulis yang
memakai rasio dengan tenang, dalam hal ini tidak dapat
mengemukakan secara menyeluruh dengan jujur apa yang ada
dalam pikirannya tentang kemungkinan siapa yang memerintahkan para pelaku sebenarnya yang melaksanakan pemboman
ini . Mengapa? sebab benak penulis penuh dengan nama
orang-orang yang mungkin melakukan hal itu, dan juga nama
orang-orang yang “patut diduga” (untuk meminjam istilah pelanggaran konstitusi yang dilakukan para pemimpin partai politik di DPR/MPR, dengan menggelar Sidang Istimewa beberapa
waktu yang lalu) terlibat dalam kasus ini.
Sementara, hal yang paling memilukan hati adalah nama
Islam dibawa-bawa dalam hal ini. Seolah-olah kaum muslimin seluruhnya turut serta melakukan hal ini , apalagi apa yang
terjadi di Pulau Dewata itu mayoritas penduduknya non-muslim.
Demikian juga korban orang asing —yang keseluruhannya beragama non-muslim. Padahal kita tahu kalaupun ada orang yang
beragama Islam terlibat dalam kasus ini, motif mereka bukanlah
faktor agama, melainkan uang, jabatan ataupun pengaruh. Kalau
orang yang benar-benar cinta terhadap Islam, mereka akan tahu
bahwa agama ini melarang tindak kekerasan, dan hanya
mengijinkannya untuk mempertahankan diri jika mereka diusir
dari rumah mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim). Kalaupun ada
seorang muslim melakukan tindakan seperti itu guna membela
Islam dari “ancaman pihak lain” itu berarti ada penafsiran salah
yang dilakukan dalam memahami agama ini .
Demikianlah, Islam dan negara kita menjadi korban dari
perbuatan yang tidak bertujuan mulia, jika alasan pribadi seperti, perebutan kekuasaan satu sama lain dengan korban rakyat
biasa dan para wisatawan mancanegara yang tak mengerti apaapa, dipakai dalam hal ini. Semua dugaan dan rekonstruksi
bermacam-macam di awal tulisan ini, akan menjadi terang jika
pemerintah membentuk tim independen yang diisi oleh orangorang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi
Massa (Ormas). Tetapi, bukankah itu justru dianggap sebagai
sikap tidak percaya terhadap pemerintah, walaupun sebenarnya
kecurigaan seperti itu tidak pernah ada. Tragis, bukan? h
Beberapa waktu yang lalu, penulis diwawancarai oleh
wartawan dari Televisi SBS (Special Broadcasting System) dari Melbourne, Australia di lapangan terbang Cengkareng, sekitar jam 5.30 Wib. Ada tiga buah pertanyaan mendasar yang diajukan pada penulis. Pertanyaan pertama berkisar
pada masalah mengapa penulis menganggap Abu Bakar Ba’asyir1
sebagai teroris? Penulis menjawab, bahwa laporan intelijen dari
lima negara menyebutkan hal ini . Termasuk di dalamnya
intelijen Malaysia dan Amerika Serikat, yang sejak dahulu tidak
pernah ada kecocokan antara keduanya. Selain itu penulis mengacu Hadits Nabi Saw menyatakan: “Kalau suatu masalah tidak diserahkan pada ahlinya, tunggulah datangnya kiamat (idzâ
wushida al ‘amru ilâ ghairi ahlihî fa intadziri al-sâ’ah).” Jadi,
sikap penulis itu sudah benar menurut ketentuan agama, dan kalau terbukti ada masalah lain akan diperiksa di kemudian hari.Beberapa hari sebelum itu, budayawan Emha Ainun Nadjib2
menyatakan dalam salah satu wawancara di Radio Ramako, bahwa keterangan mengenai keterlibatan Abu Bakar Ba’asyir
dalam terorisme, didasarkan pada pengakuan Umar Farouq3
pada pihak Amerika Serikat (AS). Menurut Emha, pengakuan
Umar Farouq tidak dapat diterima kebenarannya, sebab ia berasal dari Ambon. Umar Farouq, demikian Emha menyimpulkan,
adalah lawan Abu Bakar Ba’asyir. Seolah-olah Emha mengikuti
pendapat Al-Isfarayini bahwa pendapat seseorang tentang musuh atau lawannya tidak dapat diterima (la yuqbalu qaulu mujtahid ‘an-khashmihi). Benarkah pendapat Emha ini? Penulis mengusulkan dalam sebuah konperensi pers sehari setelah itu, agar
dibuat komisi independen yang terdiri dari para ahli hukum dan
wakil-wakil masyarakat, untuk meneliti mana yang benar: pengakuan CIA (Central lntelligence Agency) ataukah Emha?
Sedangkan pendapat Wakil Presiden Hamzah Haz agar
Umar Farouq dibawa ke negeri ini untuk ditanyai, tidak sesuai
dengan kenyataan. CIA tidak akan mau mengirimkannya ke
negeri ini, sebab khawatir jika tidak dilakukan penyelidikan
dengan benar. Sedangkan kalau dia diadili di sini (negara kita ),
kemungkinan mafia peradilan akan membebaskannya dari tuduhan ini . Bukankah segala hal dapat dibeli di negeri ini?
Demikian burukkah citra kita di dunia internasional, hingga harapan seorang tokoh —seperti seorang Wakil Presiden Republik negara kita (RI)— disepelekan oleh pihak luar negeri? Tentu
saja kita tidak akan marah melihat kenyataan ini, sebab hal itu
adalah kesalahan kita sendiri sebagai bangsa, yakni dengan membiarkan semua hal itu tanpa koreksi.
Lain halnya dengan Robert Gelbard, mantan Duta Besar
Amerika Serikat (AS) untuk negara kita . Ia menyatakan kepada
pers Australia, bahwa ia kecewa sebab telah memberitahukan
kepada pemerintah RI, ada gerakan-gerakan yang mencurigakan
di negara kita . Tetapi tidak ada upaya sungguh-sungguh yang
memperhatikan hal ini, dan menangkal kemungkinan terjadinya
terorisme di negeri ini. Penulis sendiri sebagai Presiden pada
waktu itu, tidak pernah mendapat peringatan seperti itu secara
langsung dari Gelbard. Ini berarti ada pihak pemerintahan yang
menutupi keterangan itu dari pengetahuan penulis.
Hal ini tidak mengherankan dan penulis menyatakan pada
TV SBS, pada waktu itu —baik Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Widodo AS maupun Kepala Kepolisian Republik negara kita (Kapoiri) Jenderal Polisi S. Bimantoro tidak
mau melaksanakan perintah Presiden. Ketika lengser dari kursi
kepresidenan, penulis menanyakan kepada Mahkamah Agung
(MA), adakah tindakan kedua orang itu merupakan insubordinasi? Sampai hari inipun, MA tidak pernah menjawab pertanyaan penulis, yang berarti juga bahwa lembaga itu telah melanggar
hukum dan undang-undang dasar.
Keterangan Gelbard pada pers Australia ini , menunjukkan bahwa dalam tubuh TNI, Polri maupun aparat pemerintahan kita memang terdapat perbedaan pendapat yang tajam.
Ada pihak yang mencoba menutup-nutupi informasi hingga
pemerintahan tidak berjalan secara obyektif. Herankah kita, jika
akhirnya kebijakan pemerintah menjadi sulit dirumuskan? Apalagi kalau Presidennya tidak mau aktif menyusun kebijakannya
sendiri, melainkan menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada
aparat di bawahnya. Ditambah Presiden berbeda paham dengan
Wakil Presiden, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik negara kita (MPR-RI) dan sebagainya.
Juga, tidak ada kejelasan mengenai sikap yang diambil
Megawati Soekarnoputri dalam pemerintahannya. Umpamanya, mengenai orientasi pejabat di bawahnya. Ia mengangkat
Bambang Kesowo, seorang etatis (paham serba negara). Dan
kombinasinya adalah Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebelum bulan puasa
telah memutuskan harus terkumpul uang sebanyak lima trilyun
rupiah untuk menghadapi Pemilihan Umum 2004 mendatang. Dari manakah akan diperoleh dana sejumlah itu? Apakah dari
BUMN (Badan Usaha Milik Negara)? Tetapi, Megawati juga mengangkat Dorodjatun Kuntjorojakti dan Budiono sebagai Menteri Koordinator (Menko) Ekuin dan Menteri Keuangan, —keduanya orang teknokrat yang percaya pada privatisasi/swastanisasi.
Lalu, kemanakah orientasi ekonomi yang diikuti Megawati? Tidak pernah jelas sampai sekarang, sebab ia berdiam diri saja
tentang pilihan yang diambilnya. Ironis memang!
Penulis tertarik pada ucapan Habib Husein Al-Habsyi4
dari
Pasuruan, yang menyatakan peristiwa ledakan bom atas Candi
Borobudur adalah rekayasa Ali Murtopo yang kemudian di dakwakan pada dia sebagai pelakunya. Ketika TV SBS menanyakan
hal itu penulis langsung menjawab, Habib ini adalah pembohong. Mengapa? sebab ia sudah dijatuhi hukuman seumur
hidup oleh Pengadilan Negeri, dan ia pun di penjara di Lowok
Waru, Malang. Walaupun melalui seorang perwira tinggi TNI,
penulis berhasil membebaskan dia dari penjara, tapi apa yang
didapatkan penulis? Ternyata ia menyatakan di mana-mana bahwa penulis tersangkut dengan kasus Bruneigate dan Bulogate,
di samping hal-hal lain. Itu semua adalah isapan jempol belaka,
sebab sampai hari ini baik melalui pembentukan Pansus DPR
ataupun jalan lain, penulis tidak pernah terbukti melakukan halhal yang dituduhkan. Bukankah dengan demikian ia menjadi
pembohong?
Kalau seseorang berbohong tentang sesuatu hal, dapatkah
keterangannya bisa dipercaya? sebab nya, kita harus hati-hati
menerima keterangan orang ini , bahwa ada rekayasa Ali
Murtopo yang membuat Habib ini mendapatkan hukuman
seumur hidup. Ini tidak berarti, bahwa penulis pembela Ali Murtopo. Tetapi kita harus berhati-hati dalam menerima keterangan orang tentang diri pejabat berbintang tiga (Letjen TNI) itu.
Hanya dengan sikap obyektif seperti itulah kita dapat mempertahankan integritas pribadi di masa-masa sulit ini. Sebab jika tidak
kita akan kehilangan obyektifitas atau takut mengemukakannya
dengan banyak orang tidak akan percaya lagi pada kita.
Itulah kira-kira reaksi/jawaban penulis atas deretan pertanyaan yang dikemukakan oleh wartawan TV SBS. Mudahmudahan dengan demikian, publik internasional akan mengetahui keadaan sebenarnya di negeri kita, yang terkait dengan halhal yang ditanyakan kepada penulis di lapangan terbang Juanda,
Surabaya ini dan jawabannya disiarkan malam harinya di Australia. Namun, tentu akan ada yang bertanya, bijaksanakah hal ini?
Jawaban penulis terhadap pertanyaan ini adalah kejujuran
merupakan kunci pemecahan masalah yang kita hadapi sebagai
bangsa dewasa ini. Dengan kejujuran inilah kita akan mengatasi
krisis multidimensional. Ukuran kejujuran inilah yang akan menentukan kualitas kita sebagai bangsa. Kedengarannya sederhana tapi sulit dilaksanakan, bukan?
Laporan dari berbagai pihak, baik intelejen maupun bukan,
menunjukkan bahwa Abu Bakar Ba’asyir termasuk pimpinan Jama’ah Islamiah (JI) di kawasan Asia Tenggara. Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah
memasukkan JI (Al-Jama’ah Al-Islamiyah)1
ini ke dalam
daftar organisasi terorisme intemasional sebagai perkumpulan
ke-88. Tetapi kesimpulan tersebut disanggah oleh berbagai kalangan, termasuk para pengamat yang menulis sebuah analisis
tentang keputusan DK-PBB itu. Manakah yang benar antara
kedua pandangan ini ? Kita perlu berhati-hati, walaupun
pihak Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Kepolisian Negara telah mencapai kesimpulan dan mendukung
Resolusi DK PBB itu.
Sekali lagi, manakah yang benar antara kedua pandangan
ini ? Ketika dibacakan laporan dari berbagai pihak —diantaranya intelejen dari lima negara, yang menyebutkan bahwa
Abu Bakar Ba’asyir sebagai teroris, penulis dengan sederhana menerima laporan ini . Penulis pun menganggap Abu Bakar
Ba’asyir dan kelompok Islam garis keras lainnya sebagai teroris,
yang dalam sebuah konperensi pers pernah penulis sebut sebagai teroris domestik, sebab kelakuan mereka yang membawa
senjata tajam di tempat umum membuat orang lain ketakutan.
Walaupun ada laporan banyak pihak bahwa Wakil Presiden
Hamzah Haz mengundang makan siang Ja’far Umar Thalib2
dan kawan-kawan ke Istana Wapres, dan mereka mengaku bukan teroris. Dari jawaban mereka itu, Hamzah Haz menyatakan
kepada dua orang Senator Amerika Serikat bahwa di negara kita
tidak ada ada teroris. Dan, sehari kemudian terjadilah ledakan
bom di Bali itu.
Penulis menyebutkan dalam sebuah kolomnya, bahwa
Hamzah Haz mencampur-adukan antara Wakil Presiden Republik negara kita , sebagai sebuah jabatan pemerintahan, dengan
fungsinya sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan
(PPP). Undangan makan siang kepada orang-orang yang disangka sebagai teroris oleh masyarakat, ke Kantor Wakil Presiden RI,
seharusnya dilakukannya di luar kantor pemerintahan dan dalam
kedudukan sebagai Ketua Umum PPP. sebab nya, kita lalu jadi
serba salah, mempercayai atau tidak keterangan Hamzah Haz
itu. Keinginannya untuk memperoleh dukungan dari gerakangerakan Islam radikal dalam pemilu yang akan datang, tampak
sekali dalam tindakan itu, yang jelas sangat kita sayangkan.
eg
Kembali kepada tuduhan Abu Bakar Ba’asyir adalah teroris, kita tetap tidak tahu. Dalam rapat para penanggungjawab
keamanan di kota Solo hari Minggu malam (27 Oktober 2002),
diambil keputusan membawa orang itu dari Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Solo, ke Jakarta. Tentu ini adalah untuk pemeriksaan/klarifikasi atas persangkaan bahwa ia adalah seorang teroris. Kita tidak tahu, apakah pendapat para dokter yang merawatnya di rumah sakit ini selama sembilan hari. Sedangkan
para pendukungnya, baik dari Pondok Pesantren al-Mukmin,
Ngruki di kawasan Solo dan lain-lainnya, meminta agar ia diijinkan beristirahat di pondok pesantren ini untuk dua sampai
tiga hari.
Warga masyarakat seperti kita, tidak mengetahui secara
lebih mendalam hal-hal yang bersangkutan dengan tokoh tersebut. Sedangkan selama ini pihak keamanan seringkali menunjukkan sikap berat sebelah dan melanggar asas praduga tak bersalah
(pressumption of innocent) dalam langkah-langkah mereka,
karenanya kita juga tidak merasa pas betul untuk percaya begitu
saja kepada keterangan pihak keamanan. Menurut hemat penulis, sebenarnya harus ada sebuah komisi independen dari masyarakat guna memastikan hal ini. Namun, apa boleh buat kita
harus percaya kepada aparat keamanan dengan harapan semoga
hal itu diberikan dengan jujur dan apa adanya.
Kita mengharapkan adanya kata pasti dalam kasus ini,
yang hanya dapat diperoleh kalau ada kejujuran. Sementara itu,
langkah-langkah memerangi terorisme domestik maupun internasional, harus tetap dilanjutkan. Dengan demikian, kredibilitas
kita dapat segara dipulihkan walaupun kata “segera” bagi pihakpihak yang berbeda, memiliki arti yang berlainan. Keputusan
kelompok yang dipimpin oleh Menko Kesra Jusuf Kalla yang
telah menganggap ringan akibat pemboman di Bali atas arus
datangnya para wisatawan ke pulau ini , tampak gegabah
alias terlalu optimis. Sikap inilah yang penulis harapkan tidak
dilakukan oleh pihak keamanan dalam memeriksa keterlibatan
Abu Bakar Ba’asyir dalam tindakan-tindakan terorisme.
eg
Alasan satu-satunya bagi kaum muslimin untuk melakukan tindakan kekerasan adalah, “jika mereka di usir dari tempat
tinggal mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim),” sehingga tidak
ada alasan lain untuk melakukan tindak terorisme terhadap para
turis asing, yang justru datang untuk membawakan usaha perdagangan bagi masyarakat yang didatangi. Kalaupun mereka
melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syariah Islamiyah, merekapun tidak terkena sanksi pidana Islam, sebab mereka bukan orang yang terkena (mukallaf) hukum Islam. Ini
adalah ketentuan Islam, dan berlaku hanya bagi kaum muslimin
saja, dan tidak berlaku bagi orang-orang beragama lain.
sebab itulah, penulis menjadi pengikut Mahatma Gandhi,3
walaupun penulis adalah seorang Muslim. Mengapa? Bukankah
tidak layak bagi seorang Muslim untuk menjadi pengikut siapa
pun selain Nabi Muhammad Saw? Jawabannya sederhana saja,
yaitu untuk memudahkan penulis sendiri. Memang penolakan
terhadap kekerasan, telah ada dalam ajaran Islam kalau kita sungguh-sungguh menggalinya. Prinsip yang dikemukakan penulis di
atas, jelas merupakan penolakan Islam terhadap tindak kekerasan. Tapi dengan melakukan identifikasi terhadap ajaran Gandhi,
penulis langsung menjadi teman seiring pula bagi ratusan juta
pengikut Gandhi, yang tersebar di seluruh dunia. Inilah maksud
penulis dengan menjadi pengikut Gandhi, bukannya sebab penulis menganggap ia memiliki ajaran lebih baik dari pada ajaran
Islam, tapi penulis hanya ingin melakukan kerja sama dengan
ratusan juta pengikutnya, sehingga penulis dalam memperjuangkan cita-cita Islam dibantu oleh orang-orang lain.
Kuncinya, bagaimana memperjuangkan cita-cita Islam,
dengan mencari persamaan dengan paham-paham lain di dunia
tanpa menentang dan berbeda dari cita-cita Islam sendiri. Prinsip ini yang harus dipahami oleh para pejuang Islam, jika ingin
beriringan dengan perjuangan-perjuangan yang lain. Yang harus
ditakuti adalah ketakutan itu sendiri, kata Franklin D. Roosevelt.
sebab itu para pejuang Islam tidak boleh takut beriringan dan
bergandengan tangan dengan pejuang lain. Sederhana saja, bukan? hPada saat tulisan ini dibuat, terjadi perbedaan pendapat
tajam mengenai pelaku kasus peledakan bom di Bali.
Adakah itu ulah Abu Bakar Ba’asyir atau tidak. Yang terlibat perbedaan ini adalah para pejabat pemerintah melawan
“orang luar” seperti Emha Ainun Nadjib dan Dr. Adnan Buyung
Nasution, SH.1
Pemerintah beralasan penangkapan Abu Bakar
Ba’asyir, adalah usaha mencari bukti hukum, adakah orang itu
terlibat dengan peledakan bom ini atau tidak? sebab itulah, Abu Bakar Ba’asyir diambil dari Rumah Sakit PKU di Solo,
dan dipindahkan ke Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, Jakarta.
Diharapkan dengan demikian, penyelidikan dapat segera dimulai oleh aparat kepolisian, dengan harapan persoalannya akan
segera diketahui dan orang itu akan dibawa ke pengadilan kalau
ada bukti ia bersalah.
Di Australia, hari minggu 20 Oktober 2002 menjadi hari
berduka. Gereja-gereja dan tempat-tempat beribadah lainnya
melakukan kebaktian duka bagi para korban peledakan bom
di Bali itu. Semenjak Perang Dunia II lebih dari 50 tahun yang
lalu, jumlah orang Australia yang meninggal dunia akibat tindak kekerasan belum pernah sebesar itu, sebab itu dapat dimengerti kemarahan orang-orang Australia yang menuntut
segera dibuktikannya para pelaku peledakan bom di Bali tersebut. Dapat dimengerti, walaupun juga harus disesalkan tindakan
pengerusakan masjid oleh sementara orang yang marah di benua
Kangguru itu. Juga dapat dimengerti pengiriman para penyelidik
Australia dan Amerika Serikat untuk mengetahui para pelaku kasus itu, sebab hilangnya kepercayaan, apakah benar pemerintah
negara kita akan menyelidiki secara tuntas kasus ini .
Kecenderungan menyalahkan Abu Bakar Ba’asyir dan kawan-kawannya dari “gerakan Islam garis keras”, dilawan oleh
sementara kalangan dalam negeri sendiri. Emha Ainun Nadjib menyatakan di Radio Ramako, Jakarta, bahwa Abu Bakar
Ba’asyir tidak akan melakukan hal itu. Walaupun ia menyesalkan
sikap Abu Bakar Ba’asyir yang tidak kooperatif dengan siapapun
dalam hal ini. Tetapi, Abu Bakar Ba’asyir telah siap menerima
akibat sikap non-kooperatifnya. Menurut Emha Ainun Nadjib,
Ba’asyir termasuk menjadi “martir-syahid” bagi agama Islam.
Dr. Adnan Buyung Nasution SH menyatakan di media massa,
adanya anggapan dari luar negeri, bahwa Abu Bakar Ba’asyir
menjadi aktor intelektual kejadian pengeboman ini , sebab
itu ia bersedia menjadi pembela tokoh ini . Benarkah sikap
itu? Tidak, kalau ia berpendapat Abu Bakar Ba’asyir tidak bersalah. Proses pengadilanlah yang akan membuktikan hal itu benar atau tidaknya. Bukan sebab tokoh seperti dirinya, dan juga
bukan sebab hakim yang kita belum tahu termasuk mafia pengadilan atau tidak.
sebab kita mudah menjadi partisan, lalu dalam perbedaan pendapat yang terjadi kita jadi mudah memihak kepada
pendirian yang kita anut. Juga dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir
ini, yang jika disarikan berbunyi: “Benarkah ia terlibat dengan
kejadian peledakan bom di Bali itu?” “Tidakkah ia menjadi korban baru konspirasi asing/komplotan untuk memburukkan nama
Indonesia dan Islam?” Inilah yang harus diperiksa dengan teliti,
dan sebuah jawaban yang salah akan berakibat buruk bagi Indonesia, maupun pihak-pihak asing itu. Kejadian ini mengingatkan kita pada sikap Senator Robert A. Taft2
dari negeri bagian
Ohio, Amerika Serikat. Ia dalam tahun 1948 mengajukan kritik
atas pengadilan terhadap diri para pemimpin Nazi di Jerman,
dan menghukum mati mereka di tiang gantungan. Menurut Taft,
tindakan itu melanggar Undang-undang Dasar Amerika Serikat. Dan untuk sikapnya membela kebenaran itu, ia kehilangan pencalonan untuk menjadi Presiden Amerika Serikat.
Dalam kasus pengeboman di Bali itu, sikap Emha Ainun
Nadjib dan Dr. Adnan Buyung Nasution SH itu jelas menimbulkan keberpihakan kepada Abu Bakar Ba’asyir. Dari situ muncul
penilaian, sikap mereka itu memiliki landasan empirik dan semangat orang-orang asing yang menggangap Ba’asyir terlibat
dalam kasus ini, tidak memiliki landasan empirik. Tentu saja kita
tidak boleh gegabah menyimpulkan demikian, sebab kita adalah
negara besar dan memiliki Undang-Undang Dasar (UUD), yang
dalam pembukaan UUD disebutkan untuk mendirikan negara
yang adil dan makmur. Kalau kita menyimpang dari hal itu, berarti kita tidak setia kepada UUD itu, yang kita buat sendiri dan
seharusnya kita pertahankan habis-habisan.
Tetapi, sikap sama tengah seperti ini, memang tidak populer. Lebih mudah untuk mengikuti salah satu dari dua pendapat
ini : “Abu Bakar Ba’asyir memang terlibat dengan kasus
pengeboman di atas, atau sebaliknya, ia tidak bersalah sama
sekali.” Sikap tidak populer ini jarang diambil orang, sebab menampilkan pendapat pertama maupun pendapat kedua, tetapi
harus kita ambil, kalau kita cinta kepada undang-undang sendiri.
Penilaian dini, baik yang pro dan kontra, mengenai keterlibatan
Abu Bakar Ba’asyir dalam kasus peledakan bom di Denpasar itu,
sama artinya dengan mengkhianati UUD kita sendiri. sebab nya, mau tidak mau kita harus mengambil tindakan berdasarkan
hukum yang tuntas tentang hal itu. Sikap lain kita tidak terima,
sebab kita sudah terlalu lama menderita akibat penyimpanganpenyimpangan serius atas UUD kita sendiri.
Emha Ainun Nadjib, dalam wawancara Radio Ramako, menyatakan bahwa Umar Farouq yang kini ditahan CIA di Amerika
Serikat adalah pria kelahiran Ambon dan dengan demikian seorang warga negara asli negara kita . Dengan demikian, pengakuan
bahwa Abu Bakar Ba’asyir adalah bagian dari jaringan internasional Al-Qaeda, tidak dapat diterima. Ini tentu saja bertentangan
dengan versi pihak Amerika Serikat yang menyatakan bahwa
Umar Farouq adalah pria Kuwait yang beroperasi dan kawin lagi
di Tanah Air kita. Salah seorang anak buahnya adalah Abu Bakar
Ba’asyir. Manakah di antara dua versi itu yang dapat diterima?
Tentu saja