lomat dan para negarawan) mampu untuk melaksanakannya. Ada sebuah persyaratan
lain yang sangat penting dalam hal ini; negosiator itu haruslah
dipercaya oleh semua pihak yang terlibat, yang juga membawa
“kelayakan” bagi seorang muslim untuk tugas ini .
Itulah sebabnya, mengapa penulis bergairah untuk datang
ke Washington DC. Pertama, untuk mengemukakan pendapatnya, bahwa sampai titik terakhir sekalipun, harus diupayakan penyelesaiaan damai (peaceful settlement) yang bersifat permanen
untuk kawasan Timur Tengah. Kedua, untuk bertemu dan menyampaikan beberapa hasil pemikiran pada negosiator yang dipilih atau ditunjuk oleh konferensi di ibu kota negara ini .
Konferensi yang diselenggarakan di sebuah hotel di Washington,
yang dari dalam ruangannya masih dapat terlihat bekas-bekas serangan ke gedung Pentagon pada tragedi 11 September 2001 itu, diharapkan menjadi forum dengan kewibawaan sangat tinggi
(prestigious body) dalam lingkup politik dunia. Di samping itu,
penulis juga dapat memenuhi undangan berceramah pada Universitas Michigan di Ann Arbor dan disamping check up medis di
Boston General Hospital. Perjalanan menarik walaupun sangat
melelahkan. hPeperangan di Irak telah terjadi, dengan dilemparnya ratusan buah peluru kendali dari sejumlah alat perang Amerika
Serikat (AS) dan sekutunya. Bagi sementara orang, perang
itu disebut sebagai penyerbuan (invasi), sebab kekuatan militer yang sangat tidak berimbang antara kedua belah pihak. Pada
waktu penulis berada di Ann Arbor, di kalangan kampus Universitas Michigan, seorang hadirin bertanya; —mengenai terjadinya penyerbuan AS ke Irak, namun seorang peserta lain segera
melakukan koreksi; —bukan penyerbuan AS, melainkan penyerbuan George W. Bush Junior. Ini menunjukkan bahwa penentangan terhadap perang itu berjumlah sangat besar, termasuk
oleh pemerintah kita. Bahkan tiga negara anggota tetap Dewan
Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) –yakni,
Perancis, Rusia, dan RRT menentangnya. Artinya Bush melakukan penyerbuan dengan tidak ada izin dari DK-PBB, yang membawa krisisnya sendiri —minimal krisis kredibilitas bagi PBB.
Bush selalu menyatakan keinginannya untuk menghilangkan “semangat kejahatan” (evil spirit), dengan jalan menurunkan
Saddam Hussein dari kursi kepresidenan Irak. Dengan demikian, ia berusaha menegakkan pemerintahan demokratis yang
kuat di Irak. Tetapi banyak orang meragukan niatan Bush itu,
sebab terlihat pertimbangan-pertimbangan geopolitik juga ada
dalam memutuskan penyerangan atas Irak itu. sebab tampaknya Saudi Arabia —yang merupakan penghasil minyak terbesar
di dunia— dalam kasus Israel-Palestina, telah meninggalkan kebijakan politik luar negeri AS. Dengan demikian, peranan negeri
itu haruslah diimbangi dengan negeri penghasil minyak terbesar
kedua di dunia, yaitu Irak. sebab Irak masih diperintah oleh
Saddam Hussein, dengan sendirinya iapun harus diganti dengan
orang lain, yang lebih “terbuka” bagi tekanan-tekanan politik
luar negeri AS, berarti Irak harus diserang. Ada pula orang yang
menganggap faktor psikologis tidak boleh dilupakan dalam hal
ini, yaitu Presiden Bush muda (Junior) harus memenangkan perang terhadap Saddam Hussein, yang telah menggagalkan “kemenangan” Presiden Bush tua (Senior). Benar-tidaknya semua argumentasi tadi, cukup beralasan untuk diajukan dalam perdebatan
pendapat tentang penyerbuan ke Irak itu. Kalau memang benar
adanya, maka AS dan sekutunya harus mengakhiri perang.
Jelas, Irak harus menemukan jalannya sendiri kepada kemajuan dalam pembangunan ekonomi, maupun dalam menemukan identitas sendiri, seperti diharapkan oleh banyak kalangan.
Sebagaimana halnya dengan Chun Doo-Hwan1
di Korea Selatan,
yang pada akhirnya menjadi biarawan Budha, dan dengan demikian tidak dituntut oleh pengadilan di sana, sebagai bagian penting dari rekonsiliasi nasional ala Korea, maka tentu Irak pun
akan menemukan caranya sendiri akan rekonsiliasi nasional
tanpa campur tangan AS.
eg
Gempuran militer atas Irak itu tentu saja memicu
reaksi keras cukup besar di seluruh dunia. Sebuah negara adikuasa telah memaksakan kehendak kepada dunia, melalui penafsirannya sendiri atas perkembangan yang terjadi di dunia ini,
dengan alasan-alasannya sendiri yang berbeda dari pendapat
resmi DK-PBB, jelas telah membuka lembaran buruk dalam tata
hubungan internasional.
Banyak juga orang memuji keberanian “moral” Bush dalam hal ini. Tetapi, ada juga yang menyatakan, hancurnya
kredibilitas PBB dan tata hukum internasional yang obyektif.
Dampaknya, memungkinkan sebuah negara di Afrika untuk menyerbu tetangganya dengan alasan yang dicari-cari. Jika ini yang
terjadi, dapatkah AS mengerahkan kekuatan militer di seluruh
dunia pada saat bersamaan? Inilah yang mengkhawatirkan para
pengamat itu: hubungan internasional atas dasar penafsiran sepihak, tanpa ada pembenaran formal dari DK-PBB, tidak dapat
menjamin menetapnya perdamaian dan ketentraman dunia.
Di hari-hari pertama penyerangan atas Irak ini , tentu sajian televisi CNN selalu menggambarkan tentang keperkasaan AS.2
Setelah dua hari “membatasi diri” dalam penyerangan
ini , di hari ketiga kekuatan militer AS yang demikian dahsyat digelar dengan kekuatan penuh. Sebagian Irak selatan telah
“dibebaskan” dari Saddam Hussein. Pasukan-pasukan kavaleri
AS dari kawasan Kuwait menerobos dengan mudah wilayah Irak
selatan, dan dalam hal ini kecepatan yang luar biasa dari pasukan-pasukan kavaleri AS dan para marinir Inggris sangat mengagumkan. Dalam waktu sebentar saja, tanpa perlawanan berarti,
pasukan-pasukan Irak dengan mudah begitu saja menyerah
tanpa syarat. sebab itulah, dapat saja segera diajukan klaim
“kemenangan” AS dan sekutu-sekutunya ditambah dengan pasukan-pasukan AS yang tergabung dalam bala tentara Kurdi di
sebelah utara Irak, jelas bahwa Baghdad dijepit dari utara dan
selatan. Dengan demikian, kejatuhan Baghdad tinggal menunggu waktu saja.
Benarkah sikap menganggap AS telah memenangkan pertempuran-pertempuran ini ? Penulis justru menganggapnya sebagai permulaaan dari sebuah proses yang sangat panjang,
jika AS tidak dapat menangkap Saddam Hussein dalam waktu
beberapa bulan yang akan datang ini, maka sikap rakyat Irak
akan berubah dengan cepat. Sikap yang selama ini diperlihatkan, paling tidak akan berubah menjadi sikap menolak secara psikologis serangan demi serangan AS itu. Sikap seperti ini, jelas
didukung oleh mayoritas bangsa-bangsa dan negara-negara di
dunia. Jelas yang harus diperbuat oleh Saddam Hussein adalah
menghindari penangkapan atas dirinya. Selebihnya, akan “diselesaikan dengan cara damai dan dengan perundingan”. Jika Von
Clausewitz menyatakan, perang adalah penerusan perundingan
yang gagal, maka dapat kita katakan, perundingan damai adalah
penerusan dari peperangan yang tidak mencapai maksudnya.
eg
Inilah kemungkinan buruk yang tidak diperhitungkan jauh
sebelumnya oleh Bush, yang hanya mengandalkan kemarahan
kepada Saddam Hussein saja. Sikap seperti ini memang dapat
saja membawa hasil cepat yang menguntungkan, tetapi dapat
juga berakibat sebaliknya. Penulis memandang rakyat AS tidak
akan mau berperang lama-lama melawan siapapun. sebab nya,
sangat riskan melakukan penyerbuan besar-besaran atas negeri
lain dalam tatanan dunia sekarang ini. Di sinilah letak arti penting dari peranan sebuah lembaga internasional —seperti PBB—.
Paling tidak, persetujuan PBB merupakan pembenaran formal
atas apapun yang dilakukan oleh seluruh negara atas negara
yang lain. Jika kenyataan ini diabaikan, tidaklah menjadi soal
jika sukses yang diperoleh, tapi jika sebaliknya, akan runtuhlah
kewibawaan AS di mata negara-negara lain yang kecil.
Jika AS gagal menangkap Saddam Hussein, dan terpaksa
berperang untuk jangka panjang, maka segera tindakan itu harus dihentikan, sebab tuntutan rakyat Amerika Serikat sendiri
yang tidak mau berperang lama-lama. Jika ini terjadi, maka mau
tidak mau harus dicari formula persetujuan damai atas Irak.
Banyak masalah terkait dengan hal itu, tetapi jelas perundingan
merupakan penyelesaian terbaik. Dalam hal ini, penulis meminta agar supaya penyelesaian damai di Irak, dikaitkan langsung
dengan upaya perdamaian antara Israel dan Palestina. Dengan
demikian, baik Israel maupun seluruh bangsa-bangsa Arab akan
berkepentingan untuk menjaga perdamaian ini . Ini adalah
persyaratan sangat penting, sebab hanya dengan cara demikianlah sebuah perdamaian abadi dapat ditegakkan di kawasan
Timur-Tengah. Di sinilah terletak kaitan vital antara penyelesaian sengketa Irak di satu pihak dan sengketa Israel-Palestina di
pihak lain.
Perdamaian abadi antara Israel dan Palestina, hanya dapat
dicapai manakala negara Palestina diperkuat dengan mengembangkan industri dan perdagangannya. Hal itu hanya dapat dicapai jika ada bantuan ekonomi besar-besaran, dalam bentuk
kredit murah bagi mereka. Katakanlah pinjaman lunak selama
dua puluh tahun, sebesar satu milyar dollar AS. Sedangkan jika
AS-Inggris tidak dapat menangkap Saddam Hussein, maka
pendapat umum dalam negeri maupun internasional akan memaksa penarikan mundur pasukan-pasukan mereka. Dalam hal
ini, dapat diminta Saddam Hussein mengundurkan diri untuk
kepentingan bangsa Arab secara keseluruhan, khususnya agar
memungkinkan pemberian kredit lunak dalam jumlah demikian besar kepada negara Palestina. Ini sebab keyakinan penulis, bahwa Saddam Hussein sangat menghormati sebuah negara
Palestina yang merdeka, dan sebab ia sendiri telah berhasil
menunjukkan keberhasilannya dalam memimpin Irak yang diserang sebuah negara adi-kuasa, seperti AS. h
Pada umumnya, kita mengikuti salah satu dari dua pandangan berikut. Pendapat pertama adalah, kita memandang kemungkinan pemboman atas Irak oleh Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya sebagai sebuah bagian dari rencana jahat untuk menyerang Irak dan mengganti presidennya, Saddam Hussein. Dilanjutkan dengan pandangan bahwa rencana itu adalah
bagian dari Konspirasi Zionisme yang dipelopori Israel. Kita boleh setuju atau tidak dengan pandangan ini, namun penulis menolak teori komplotan/konspirasi seperti itu. Tetapi bagaimana
pun pendapat seperti itu ada dan diikuti banyak orang. sebab nya, pendapat seperti itu harus diakui keberadaannya dan untuk
itulah diciptakan sebuah disiplin ilmiah yang bernama studi kawasan, yang berjalan seiring dengan teori-teori geopolitik dalam
kajian internasional yang berkembang saat ini.
Sebaliknya, ada pihak lain yang memandang Irak di bawah
pimpinan Presiden Sadam Hussein sebagai biang kerok tindakan-tindakan teror internasional, sebab itu diperlukan pemboman ke Irak, untuk menggulingkan presiden ini dari jabatannya. Pemboman itu harus dilakukan secara masif, walaupun
memakan korban sangat banyak dari penduduk Irak, belum lagi
rusaknya kota-kota besar di Irak sebagai akibatnya, yang kesemuanya tidak dapat dinilai kerugiannya. Tindakan itu, dalam
pandangan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya haruslah dilakukan dengan tujuan untuk membersihkan dunia dari terorisme. Kalau ini tidak dilakukan, terorisme internasional akan berlanjut, dan kehidupan di negara-negara ini akan sangat
terganggu. Karenanya walaupun memicu banyak korban,
langkah itu harus tetap diambil untuk perdamaian dunia.Memang, kedua hal yang saling bertentangan itu terwujud
dalam kenyataan, dan kita tidak dapat menutup mata akan keadaan ini. Berarti, kita harus mengambil sikap: membenarkan
atau menolak tindakan pemboman atas Irak itu. Memang, ini
pilihan yang sangat sulit, tetapi bagaimanapun juga pilihan harus dilakukan. Pandangan kita harus dirumuskan. Keengganan,
ketakutan ataupun emosi kita hanya akan memperpanjang soal
itu. Belum lagi akan munculnya sikap pihak-pihak lain terhadap
pendirian kita itu. sebab nya, sebaiknya kita bersikap yang jelas,
masing-masing dengan akibat-akibatnya sendiri.
eg
Sikap itu pun tidak seluruhnya dapat dikemukakan dengan
lugas apa adanya. sebab salah satu persyaratan hubungan internasional adalah, kemampuan untuk menyampaikan ‘bahasa’
yang dapat mengaitkan kepentingan bangsa atau kelompok yang
satu dengan yang lain. Kemampuan itu yang semakin canggih itu
untuk menutupi ambisi pribadi atau golongan yang ada. Dan segala sesuatunya dirumuskan, supaya sesedikit mungkin membuat
orang yang berpandangan lain dengan kita menjadi jengkel atau
marah. Kita menyaksikan beberapa istilah-istilah yang berubah
arti atau bentuk. Ini adalah konsekuensi logis dari tatanan geopolitik yang ada. Penguasaan pendapat umum di sebuah negara,
yang ditentukan oleh faktor-faktor yang serba geopolitis, akibatnya penggunaan istilah semakin menyimpang jauh dari apa yang
dimaksudkan semula.
Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah
kata “globalisasi” (penduniaan). Dalam pengertian yang kita
gunakan sehari-hari, yang dimaksud globalisasi adalah sikap
memberikan arti terhadap dunia atau universal. Tetapi segera
terjadi perubahan arti dari kata ini , yaitu terjadi pemaksaan kehendak atas pemahaman orang banyak, seperti dikehendaki oleh kelompok-kelompok yang berjumlah kecil. sebab nya
bagi perusahaan-perusahaan raksasa, kata globalisasi ini
lalu berubah makna menjadi dominasi.
Selain itu pengertian dan pemahaman kelompok yang lebih besar atas kata “perdagangan bebas” (free trade) yaitu kebebasan berdagang. Namun menurut pengertian pihak yang kecil,
kata itu berarti sistem yang menguntungkan pihak yang mempunyai modal besar. Kata “modern” berarti penggusuran hal-hal
yang tradisional oleh yang baru, yang dianggap lebih menguntungkan. Dengan demikian, tersembunyilah arti lebih dalam dari
tradisional, oleh bentuk-bentuk baru yang dianggap modern.
Kata “tempe” umpamanya, dipakaikan untuk menentukan
kekurangan, kelemahan atau ketidakmampuan. Mengemukakan
suatu istilah “bangsa tempe”, umpamanya, dianggap kalah arti
dari bangsa yang kuat. Padahal kata tempe dalam pengunaan di
sini, seharusnya sesuai dengan hakikatnya sebagai sesuatu yang
memiliki gizi tinggi dan nilai berlebih. Jadi, penggunaan kata itu
mencerminkan pandangan salah di masa lampau, bahwa hanya
makanan yang memakai daging sajalah yang dianggap bergizi.
Demikian pula kata “perdamaian” dalam pergaulan antar-bangsa. Sekarang kata itu berarti, tidak adanya peperangan
atau penggunaan kekerasan oleh sesuatu pihak atas pihak yang
lain, namun dengan persyaratan dan pengertian dari pihak yang
menang. Kata “terorisme” dapat diartikan menurut kepentingan
geopolitik negara-negara adi kuasa, sehingga yang menentang
pengertian ini dianggap sebagai teroris. Berhasilkah upaya
Presiden George W Bush Jr. mengembalikan arti kata teroris,
pada pengertian semula, yaitu penggunaan kekerasan oleh pihak-pihak yang tidak mau berunding? Kalau ini yang dimaksudkan oleh Presiden Amerika Serikat itu, lalu mengapakah harus
jatuh korban puluhan ribu jiwa orang-orang yang tidak bersalah,
akibat pemboman itu sendiri? Di sini, kita lihat terjadi perubahan arti kata “perdamaian” dan “terorisme”.
eg
Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa tindakan pemboman secara masif atas Irak adalah sesuatu yang juga
diperdebatkan secara bahasa/epistemologi, dan tidak hanya berdasarkan “rasa panggilan historis” seperti dirasakan pemerintahan Amerika Serikat saat ini. Inilah akibat kalau penafsiran diserahkan kepada sebuah negara adikuasa belaka. Lebih jauh lagi,
sinisme kekuasaan yang didasari pertimbangan-pertimbangan
geopolitik, lalu membuat kita menghadapi jurang pertentangan
dan peperangan dalam ukuran yang masif. sebab nya, marilah
kita berupaya memakai ukuran-ukuran moral dan etis dalam tata pergaulan internasional, walaupun banyak penguasa
lain memaksakan kehendak dengan menggunakan kekerasan.
Dan ini yang sebenarnya menjadi esensi ajaran Mahatma Gandhi tentang ahimsa, dunia tanpa kekerasan. Islam juga menolak
penggunaan kekerasan semaunya saja oleh siapapun, dan kekerasan hanya dapat dilakukan oleh kaum muslimin, jika mereka diusir dari rumah-rumah kediaman mereka (idzâ ukhrijû min
diyârihim).
Di sinilah terletak signifikansi dari filsafat dan moralitas,
perdamaian dunia tidak selayaknya hanya dibatasi pengertiannya secara geopolitik belaka melainkan harus memasukan moralitas ke dalam dirinya. Dalam hal ini, moralitas harus ditentukan
oleh kerangka multilateral seperti PBB, bukan hanya oleh sebuah
negara adi kuasa belaka. Mungkin ini terdengar seperti lamunan
belaka, namun bukankah cita-cita besar sering berangkat dari
lamunan?
Dalam sebuah wawancara televisi, penulis mengemukakan bahwa banyak hal yang dilupakan Presiden Amerika
Serikat, George W Bush Junior, mengenai Presiden Saddam Hussein dari Irak. Bush beberapa kali mengatakan, bahwa
tujuan Amerika Serikat melakukan penyerangan berulang kali,
untuk menangkap Saddam Hussein yang dianggapnya menjadi
penyebab terorisme bersimaharajalela di dunia saat ini. Jadi, ia
merasa berkewajiban menangkap Saddam Hussein untuk menegakkan pemerintahan yang kuat dan demokratis di Irak. Untuk
tujuan itulah ia menyerang Irak secara besar-besaran. Bukan
hanya sekadar bom yang dijatuhkan seperti hujan, melainkan
juga dengan serangan seperempat juta orang bala tentara dari
utara dan selatan, ditambah 40.000 orang prajurit Inggris. Ini
berarti rangkaian serangan besar dalam ukuran perang sebenarnya.
Dilihat dari rencana semula, serangan itu seharusnya berakhir dengan kemenangan mutlak dalam waktu paling akhir 3
hari. Tetapi ternyata, setelah 13 hari serangan —ketika tulisan ini
dibuat—, Saddam Hussein belum juga tertangkap. Sedang jumlah korban jiwa dan harta benda dalam satuan-satuan tempur
pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat maupun kerugian
material lainnya telah menimpa Amerika Serikat dan sekutunya
dalam jumlah sangat besar, termasuk di dalamnya tank-tank dan
senjata berat yang terkubur di gurun pasir. Ini belum lagi termasuk sikap negara-negara Arab lainnya
(di luar Kuwait), yang justru cenderung bersikap netral dalam
sengketa ini . Di satu pihak, Bush Jr, tidak mengindahkan
keputusan Dewan Keamanan PBB, sehingga serangan yang dilakukannya seperti tidak memiliki legitimasi internasional, sedang
serangan atas Irak, merusak kehormatan nasional yang dimiliki
negara-negara Arab lainnya.
Di samping hal-hal di atas, serangan Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya itu juga dilihat sebagai serangan terhadap Islam. Umat Islam di seluruh dunia menyesalkan hal itu, apapun
sebab, alasan dan argumentasi untuk mendukung sikap menolak
serangan itu. Megawati Soekarnoputri yang tidak mau mengutuk
serangan ini , dianggap oleh banyak kalangan gerakan Islam di negeri kita, sebagai tidak membela Islam dari serangan
(invasi) atas sebuah bangsa muslim seperti Irak. Bahkan banyak
demonstrasi yang menuntut agar hubungan diplomatik RI-AS
diputuskan saja, sedang produk-produk AS di boikot oleh kaum
muslimin. Sebuah sikap konfrontatif yang sebenarnya jarang diperlihatkan oleh gerakan-gerakan Islam, di manapun ia berada.
Sebab utama dari reaksi seperti itu adalah inkonsistensi
pernyataan Presiden AS George W Bush Jr, tentang hakikat serangan AS atas Irak. Awalnya ia mengemukakan serangan itu dilakukan guna mencegah malapetaka bagi dunia, sebab Saddam
Hussein memiliki senjata pemusnah massal dalam jumlah besar
yang ditemukan. Ternyata belakangan diketahui, senjata-senjata
itu justru dahulu diberikan AS kepada Saddam Hussein untuk
menyerang Iran. Ini berarti AS ikut membuat senjata-senjata tersebut di masa lampau, dan sekarang cuci tangan dari kesalahan
ini .
Dalam kesempatan lain, Bush mengatakan bahwa Saddam
adalah “tokoh jahat (evil figure)” yang harus dilenyapkan karena melanggar hak-hak asasi manusia. Mengapa hanya Saddam
Hussein? Bukankah ada sebuah negeri di Timur Tengah yang setiap tahun menembak mati para warga negaranya, hanya sebab
mereka dianggap menjadi oposan politik bagi para penguasa
negeri? Kalau memang Bush benar-benar ingin membela demokrasi, tentunya ia harus mulai dengan Benua Amerika sendiri,
masih ada negara-negara otokrasi di benua ini , seperti Guatemala. Bahwa ini tidak diperbuat Bush Jr, sangat mengurangi
kredibilitas ungkapannya itu, hingga dapat dikatakan sebagai ar
gumentasi kosong. Pernyataan Bush Jr. ini tidak punya arti
apa-apa dan dengan demikian tidak meyakinkan siapapun.
sebab itulah terjadi demonstrasi besar-besaran di seluruh dunia, apalagi di kalangan bangsa-bangsa muslim. Walaupun penulis sendiri dianggap sebagai “moderat”, namun penulis
tidak dapat menerima serbuan itu sebagai sebuah langkah yang
tepat. Baik secara militer maupun menurut diplomasi, langkah
itu adalah sebuah tindakan gegabah dari sebuah negara adi kuasa atas negara lain yang lemah.
Lebih-lebih lagi, Bush Jr sama sekali “melalaikan” perhitungan tujuan perangnya, yaitu menangkap Presiden Irak, Saddam Hussein. Maka jika dalam waktu tiga bulan Saddam Hussein
tidak tertangkap, haruslah dilakukan penyelesaian damai. Sangat
sulit untuk menangkap Saddam Hussein, sebab hubungan yang
sangat baik dengan suku-suku Arab yang berpindah-pindah
tempat (nomaden) di Irak, Jordania, dan Syria. Mungkin Saddam Hussein akan mengulangi tindakannya dalam pertengahan
abad lampau, ketika ia melarikan diri sebab diancam hukuman
mati di Irak. Dengan hubungannya yang sangat baik itu, Saddam dilindungi oleh suku-suku (qabilah) dari berbagai negara,
sehingga ia sanggup berjalan kaki dan naik unta sejauh lebih dari
2.000 km untuk mencapai Mesir di bawah pahlawan Gamal Abdul Nasser.
sebab itulah, penulis mengatakan dalam wawancara dengan TV7, bahwa jangan-jangan diktum Von Clausewitz1
: “perang adalah penerusan perundingan damai yang gagal” harus
dilaksanakan secara terbalik dalam kasus Irak. Yaitu, perundingan damai adalah kelanjutan dari perang yang tidak mencapai
tujuannya. Ini akan terjadi kalau dalam tiga bulan pasukan-pasukan AS-Inggris tidak berhasil menangkap Saddam Hussein.
sebab rakyat AS tentu menuntut melalui demonstrasi besarbesaran agar pasukan AS ditarik dari Irak. Perundingan tersebut diperlukan untuk “menolong muka” AS. Hal ini juga penulis
sampaikan kepada Duta Besar Australia di sebuah tempat lima
hari setelah itu, di depan para stafnya.
Menjadi jelas dari uraian di atas, bahwa pengenalan mendalam atas sebuah kawasan sangat diperlukan jika ingin diambil tindakan militer atasnya. Dan pengenalan kawasan itu harus
disertai pertimbangan objektif yang justru sangat diabaikan oleh
Presiden Bush Jr. Arogansi yang timbul dari pengetahuannya,
bahwa AS adalah satu-satunya negara adi kuasa yang dapat “mengalahkan” negara manapun, menyingkap kenyataan serangan
militer itu dilakukan sebab pertimbangan-pertimbangan geopolitis, bukan pertimbangan moral. Menurut perhitungan geopolitis
Bush Jr, Irak sebagai penghasil minyak kedua terbesar di dunia,
dengan 116 miliar barel atau sekitar separuh dari produksi Arab
Saudi penghasil minyak terbesar di dunia, haruslah “dikembangkan” sebagai imbangan Arab Saudi, sebab Arab Saudi dewasa ini
menyimpang dari kebijaksanaan luar negeri AS. Ditambah lagi,
sebab Irak saat ini mulai memakai mata uang masyarakat
Eropa, Euro dalam menyelesaikan transaksi minyaknya.
Keterusterangan pihak AS dalam memakai pertimbangan-pertimbangan ekonomis ini, haruslah disampaikan oleh
Bush Jr, setidak-tidaknya melalui berbagai lembaga-lembaga
non-pemerintahan di negeri Paman Sam itu. Tindakan menutupnutupi berbagai pertimbangan geopolitis dan finansial itu hanya
akan mengurangi kredibilitas AS saja. Hilangnya kredibilitas itu
akan memaksa negara ini , memakai kekuatan militer
dalam hubungan dengan negeri-negeri lain. Menjadi teladan bagi kita, bahwa mengendalikan sebuah negara adi kuasa tidaklah
mudah, melainkan membutuhkan kemampuan bersabar dan
sikap tidak memandang rendah orang lain. Apalagi hanya mendengarkan suara kelompok-kelompok garis keras belaka. Tidak
mudah menjadi pemimpin dunia, bukan? h
A merika Serikat (AS) telah menyerbu Irak dengan sekutusekutunya, melalui peralatan militer yang sangat canggih
dan personel tentara yang tangguh dibantu oleh sistem
komunikasi mutakhir. Dalam waktu tiga minggu, ibu kota Baghdad jatuh ke tangan pasukan AS, dan patung Saddam Hussein
setinggi belasan meter itu dirobohkan. Anehnya, Saddam sendiri
bersama keluarga dan menteri-menterinya tidak juga tertangkap.
Hal ini sangat mengherankan, dan memicu tanda tanya besar, apakah gerangan yang terjadi. Kalau tadinya diproyeksikan
Saddam akan tertangkap dan ia digantikan oleh seorang pemimpin lewat pemilu demokratis, maka sampai tulisan ini dibuat hal
itu belum terjadi.
sebab nnya kita perkirakan hanya satu dari kedua proyeksi
di atas akan terwujud, yaitu mengganti pemerintahan Saddam dengan pemerintah yang baru, itu pun belum tentu dapat diterima
rakyat Irak. Pemerintahan yang baru itu akan melaksanakan pemilu dalam waktu dekat, guna mendapat legitimasi bagi dirinya.
Dan tanpa legitimasi itu, pemerintah yang didirikan, tidak akan
menjadi pemerintahan yang kuat. Klaim Presiden Bush akan
menjadi suatu yang kosong dan seluruh dunia akan bertanya mengapa Irak harus diserang? Jawabannya adalah, AS menyerbu
Irak untuk kepentingan minyak bumi, alias hanya berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan geopolitis: “Menciptakan imbangan bagi Saudi Arabia yang merupakan negara penghasil minyak bumi terbesar di dunia (dengan cadangan 260 milyar barel minyak mentah (crude oil), yang sekarang sudah mulai menyimpang dari kebijakan luar negeri AS dalam soal Israel.”
Dalam waktu sekitar tiga bulan atau 100 hari, jika AS tidak berhasil menangkap Saddam Hussein maka rakyat AS tentu
akan menuntut pasukan-pasukan mereka ditarik dari Irak. Jika
ini terjadi, maka di samping adanya pemerintah yang lemah (dan
belum tentu demokratis), maka mau tidak mau perdamaian di
Irak menjadi opsi yang harus diperhitungkan? Di sinilah letak
“kelalaian” dari serangan AS atas Irak itu. Sebuah serangan yang
tidak memperhitungkan kemungkinan Saddam tidak tertangkap
tentulah membawa resiko tersendiri, jalan selanjutnya melalui
perdamaian untuk menyelesaikan konflik di Irak.
eg
Kemungkinan penyelesaian damai di Irak, apalagi kalau
PBB diserahi tugas “mengamankan” negeri itu, haruslah memperhitungkan hal lain, yaitu perlunya menciptakan perdamaian
abadi di kawasan Timur Tengah. sebab itulah, penulis mengusulkan perdamaian di Irak harus terkait langsung dengan perdamaian abadi antara Palestina dan Israel. Dengan demikian,
selanjutnya tidak ada “pengaruh-pengaruh negatif” perkembangan konflik antara Israel dan Palestina dengan perkembangan di
Irak. Kalau kita berpikir secara rasional dan obyektif, tentu akan
sampai ke tingkat itu. Dalam hal ini, apa yang dilontarkan penulis
itu bukanlah sesuatu yang utopis dan dalam angan-angan saja.
Untuk mencapai perdamaian abadi antara Palestina dan
Israel harus ada negara Palestina yang kuat, terutama industri
dan perdagangannya. Hal itu hanya mungkin terjadi kalau ada
pemerintahan yang kuat dan tangguh dalam negara Palestina
(State of Palestine). Jika Israel memiliki industri dan perdagangan yang tangguh, itu tidak lain pada masa permulaanya negeri
itu mengenal sistem Kibutz (koperasi pertanian) yang sangat
tangguh. Sebagai tandingannya negara Palestina harus mengembangkan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang tangguh, guna
melakukan pembangunan industri dan perdagangan yang tangguh pula. Untuk hal ini , disamping pemerintahan yang moderat dan kuat, juga diperlukan bantuan ekonomi secara besarbesaran dalam bentuk kredit murah bagi negeri Palestina.Israel dan Palestina yang kuat, merupakan persyaratan utama bagi perdamaian dunia kawasan Timur Tengah, sedangkan
perdamaian seperti itu sangat tergantung kepada kemampuan
dunia untuk menciptakan perdamaian abadi di Irak. Inilah sebabnya mengapa penulis mengusulkan kaitan langsung antara perdamaian di Irak dengan antara Israel-Palestina. Sebagai orang
luar yang memperhatikan perkembangan di kawasan Timur Tengah —sebab merupakan bagian dari dunia Islam yang digelutinya—, maka usul itu tentunya memiliki unsur kemungkinan gagal yang cukup besar, tetapi ini tidak menghilangkan keharusan
kita terus berupaya menciptakan perdamaian di manapun juga.
eg
Usul di atas penulis kemukakan dalam berbagai forum, antaranya pada ujung bulan Maret 2003, dalam sebuah konferensi
penciptaan perdamaian di seluruh dunia di selenggarakan oleh
IIFWP (Interreligius and International Federation for World
Peace) di Washington DC. Begitu juga hal itu penulis kemukakan
dalam rangkaian ceramah di Michigan University, Ann Arbor,
pada akhir Maret 2003. Penulis lagi-lagi mengemukakan hal itu
dalam seminar yang diselenggarakan Strategic Dialogue Centre
Universitas Netanya, Israel di New York awal Februari 2003 lalu,
berjudul “Mencari Kerangka Perdamaian di Timur Tengah”. Dalam seminar di New York itu, penulis juga mengemukakan pentingnya mengenal sebab-sebab terorisme yang dilakukan sebagian sangat kecil kaum muslimin, dengan atas nama agama mereka,
seperti peledakan bom di Bali
Di antara sebab-sebab yang dikemukakan penulis adalah
kelalaian sebagian kecil kalangan pemuda muslimin untuk membedakan antara institusi (lembaga) dan budaya (kultur) Islam.
Jika ada yang melupakan budaya (kultur) itu, tentu ada ketakutan bahwa institusi (kelembagaan) ke-Islaman sedang diancam
oleh peradaban Barat dalam bentuk modernisasi. Dengan sendirinya, mereka merasa tantangan modernisasi dan ke barat-baratan
sulit untuk dihadapi, maka mereka memakai segala macam
cara (termasuk penggunaan kekerasan) dalam “mempertahankan” agama yang mereka cintai.
Dalam hal itu, mereka tidak memperhitungkan nyawa para
korban yang berjatuhan, yang terpenting “rasa puas” sebab telah dapat “membela agama”. Sikap mental yang demikian ini tentu
saja negatif dan perlu diganti dengan tindakan lain yang lebih
positif. Hal itu akan terjadi jika pemikiran yang ada diarahkan
kepada penciptaan kondisi damai di manapun kaum muslimin
berada, termasuk di kawasan Timur Tengah.
Kalau kita palingkan perhatian dari kawasan ini ,
maka akan tampak betapa besar keragaman cara hidup di kalangan kaum muslimin yang berbeda etnis, bahasa, agama dan budaya yang mereka miliki. Kalau kita sadari hal ini dengan mendalam, maka tampak nyata bagi kita, bahwa ragam dan jenis
kaum muslimin pun sangat banyak jumlahnya. Kewajiban kita
untuk melestarikan hal itu. h
J
udul dan sekaligus pertanyaan di atas, dapat dijawab dengan berbagai cara. Secara historis, perang dunia kedua
berakhir dengan kalahnya Adolf Hitler1
dan Jenderal Tojo2
(Jepang) pada tahun 1945. Peperangan yang terjadi setelah itu
secara umum dapat dianggap sebagai perang kemerdekaan, setidak-tidaknya dari kaca mata negara-negara yang memerdekakan diri dari penjajahan. Namun anehnya, perang Arab-Israel
dalam tahun 1948, hanya oleh orang-orang Israel saja dianggap
sebagai perang kemerdekaan. sebab orang-orang Israel melihat gerakan-gerakan Hagana
, yang dipimpin Menachem Begin4
sebagai upaya mencapai kemerdekaan, sedangkan sejarah dunia
tidak mau mencatatnya demikian.
Setelah terorisme berkembang, baik dalam bentuk “gerakan pembebasan” yang berdasarkan marxisme-leninisme, seperti
di Kuba dan beberapa negara Amerika Latin, maupun yang berdasarkan ideologi keagamaan tertentu, seperti Pan-Islamisme dari
al-Afghani hingga Abu al-A’la al-Maududi5
di Pakistan, semuanya menunjuk kepada sebuah upaya bersenjata untuk merebut
kekuasaan dan memaksakan visi masing-masing atas bangsa
yang sebenarnya tidak mengikuti pikiran mereka.
Berbeda dari sejarah berbagai gerakan Islam berwajah ideologis, di Turki gerakan di bawah pimpinan Nejmetin Erbakan
kemudian “terpaksa” mengadopsi pikiran-pikiran sekuler dalam
partai politiknya, Partai Keadilan dan Pembangunan, dan barubaru ini memenangkan 2/3 lebih kursi parlemen negeri itu. Dengan kata lain, ketidakpuasan bangsa Turki atas pendekatan politis anti-agama dan pendekatan teknokratis dalam pembangunan oleh partai–partai politik yang berkuasa, akhirnya membawakan
sesuatu yang baru: Islam membawa akhlak agama yang dirindukan, tetapi tidak menciptakan negara-agama yang penuh dengan
segala macam keruwetan.
Seperti persoalan di Turki ini juga, yang melatarbelakangi
tumbuhnya afilitas berbagai agama dunia kepada sejumlah partai politik tertentu. Soka Gakkai, sebagai organisasi Buddha terbesar di dunia, berada di belakang Partai Komeito, (partai bersih), yang sekarang menjadi partner junior dalam pemerintahan
Jepang; begitu juga RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangh), sebagai organisasi Hindu terbesar di India, berada di belakang BJP
(Barathiya Janata Party) yang dipimpin Perdana Menteri Atal
Behari Vajpayee. Sementara itu, di Iran, Jam’iya al-Taqrib bain
al-Madzahib (asosiasi pendekatan antar madzhab) pimpinan
Ayatullah Wa’iz Zadeh mendukung tokoh moderat Mohammad
Al-Khatami —yang kini menjadì Presiden Iran. Semuanya itu
menunjukkan bangkitnya kembali paham keagamaan “non-legalis dan non-ideologis” di negara-negara itu.
Dari sudut sosiologis, munculnya elit baru yang sepenuhnya memakai acuan-acuan Barat yang positivistik dan teknokratik, yang didahului oleh sejarah moral yang panjang dari
“bangsa-bangsa Barat”, telah membawa ketegangan-ketegangan
baru dalam hubungan antar kelompok di negara-negara sedang
berkembang. Baik di dalam negeri masing-masing, maupun di kalangan anak-anak mereka yang belajar di “negeri-negeri Barat”,
segera muncul semacam kesadaran harus melakukan sesuatu
untuk melaksanakan —dalam beberapa hal tertentu memaksakan— moralitas baru dalam kehidupan masyarakat yang mereka
kenal. Kesadaran seperti itu, dikombinasikan dengan sedikitnya
pengenalan mereka akan sejarah Islam yang panjang —yang senantiasa bersandar pada proses reinterpretasi ajaran agama—,
akhirnya menumbuhkan “kebutuhan” akan tindak kekerasan,
yang menjadi pangkal bagi munculnya terorisme dalam kalangan gerakan-gerakan Islam.
Dangkalnya pengetahuan agama para teroris itu, sebab
tidak mengenal proses penafsiran kembali ajaran Islam, juga diperparah dengan langkanya pengenalan akan kondisi berbagai
masyarakat Muslim. Tradisi Asia Tenggara yang menganggap
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sebagai partner pemerintah dalam pembangunan, jelas tidak terdapat di Timur Tengah, di mana para rektor dan ketua gerakan palang merah, juga harus ditunjuk oleh Presiden, Raja atau Amir. Mereka yang tidak setuju dengan peranan pemerintah yang demikian besar,
dengan sendirinya harus bergerak di bawah tanah untuk tidak
melawan pemerintah. sebab itu pula mereka harus meniadakan
perlawanan politis kepada pemerintah sendiri, namun melawan
“materialisme Barat” dengan tindak-tindak kekerasan. Barulah
setelah mereka mencapai kecanggihan finansial dan militer tertentu, mereka lalu membantu “orang-orang dangkal” di berbagai
bilangan dunia, termasuk di negara-negara Asia Tenggara yang
tadinya tidak mengenal terorisme terorganisir seperti itu. Yang
dalam abad-abad yang lalu, adalah gerakan spontan yang tidak
berumur panjang dalam “pembelaan terhadap Islam”, yang bersifat mesianistik.
Hal yang bersifat antropologis yang menandai munculnya berbagai usaha teroris di kalangan kaum Muslimin, adalah
hilangnya pembedaan antara institusi dan kultur. Gerakangerakan Islam tradisional tetap menekankan diri pada upayaupaya kultural, —seperti pendidikan agama, pengelolaan harta
benda-benda kaum Muslimin (wakaf), pemunculan berbagai
manifestasi kultural, seperti ziarah ke makam-makam suci dan
penggunaan simbol-simbol agama seperti shalawat dan kegiatan seremonial kaum sufi dan reformulasi peranan perempuan
dalam kehidupan masyarakat, dengan tidak memberikan tempat kepada upaya-upaya institusionalisasi yang dibawakan oleh
“kaum pembaharu” itu.
eg
Dilihat dari berbagainya sudut pandang Muslim Sunni tradisional dan manifestasi tindakan kaum Muslimin di seluruh dunia, jelas tidak dapat digunakan pendekatan “berlatar belakang
terorisme” belaka. Ada berbagai reaksi antara bermacam-macam
masyarakat Islam, sehingga tidak dapat dicari pola umum tunggal dalam hal ini. Umpamanya saja, pandangan terhadap upaya
demokratisasi dengan tumpuan pada kedaulatan hukum dan
persamaan perlakuan bagi semua warga negara di muka undangundang, bagi beberapa kaum Muslimin Sunni tradisional tidak
dianggap sebagai langkah menuju “pem-Barat-an”. Oleh sebab
itu, tidak setiap tindakan menyimpang dari demokrasi liberal harus dianggap sebagai sikap anti-Barat, melainkan pertanda
sebuah pencarian antara sesama “gerakan Islam”. Jelas upaya
mereka itu tidak memakai kekerasan seperti beberapa partai-partai Islam di negara kita , PAS di semenanjung Malaysia dan
berbagai wilayah kaum Muslimin yang lain. sebab nya, kita harus bersikap hati-hati dalam hal ini, dan tidak menganggap setiap upaya non-liberal sebagai musuh dari lingkungan anti-demokrasi.
Namun tidak semua keinginan berbagai gerakan Islam harus diwujudkan dalam kehidupan bernegara, sebab sifatnya yang
khusus bagi masyarakat Islam saja. Contohnya, adalah penghormatan sangat tinggi kepada para ulama —dalam masyarakat Islam, mereka adalah penentu pendapat umum masyarakat. Selain
itu perlu dicari formulasi peranan para birokrat dan pengusaha
kaya dalam masyarakat Muslim yang semakin lama semakin
canggih. Kegagalan menemukan rumusan yang baik dalam hal
ini, akan membuat masyarakat Muslim di mana-mana menjadi
korban kepentingan kelompok birokrat maupun pengusaha kaya
yang ada, sementara kelompok muslim itu tidak mengenal warisan tradisi yang ada, dalam bentuk penafsiran kembali ajaran-ajaran Islam sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Dengan sendirinya penafsiran mereka hanya bertujuan mencapai kebutuhan
jangka pendek mereka sendiri akan sangat dominan.
Apa yang diperbuat mantan Presiden Soeharto dari Indonesia antara akhir 1989 hingga pertengahan 1999, dapat digunakan
sebagai contoh dalam hal ini. Soeharto, yang tidak memiliki pengetahuan mendalam akan sejarah Islam, menganggap penguatan institusional bagi kaum Muslimin di negaranya, sebagai cara
terbaik untuk memperoleh dukungan masyarakat Muslimin di
negara kita bagi pemerintahannya, yang semula didukung oleh
ABRI/birokrasi/Golongaan Karya sebagai “partai pemerintah”.
Ia menambahkan unsur keempat untuk menopang pemerintahannya yang semakin melemah, dalam bentuk dukungan kongkrit
kepada kaum Muslim modernis, khususnya kepada Ikatan Cendikiawan Muslim negara kita (ICMI)6
. Ia melupakan NU sebagai kelompok Muslim Sunni tradisional yang sibuk dengan manifestasi kultural Islam, dan melupakan kebutuhan institusional
golongan itu. Sebagai seorang Muslim dari lingkungan perwira
yang dididik secara Barat, Soeharto mengabaikan aspek-aspek
kultural dan memusatkan diri pada penguatan institusional kaum
Muslimin modernis itu. Sebagai akibat, ia terasing dari dua kelompok masyarakat luas yang sangat berpengaruh: kaum Muslim
Sunni tradisional (yang diwakili NU) dan mereka yang terdidik
oleh “sistem Barat” dan tidak mementingkan gerakan-gerakan
Islam lagi, seperti kaum profesional, pengusaha, intelektual dan
mahasiswa. Akibat lainnya, Soeharto tidak kuat menghadapai
tekanan demokratisasi, apalagi ketika para politisi “mencuri”
isu demokratisiasi dan reformasi di negara kita , maka Soeharto
tidak memiliki pilihan selain lengser. Ini menunjukkan, betapa
salahnya menganggap Soeharto sebagai wakil golongan Islam.
Dia hanyalah seorang pemimpin yang mencoba memanfaatkan
sekian banyak institusi keagamaan bagi kepentingan memelihara kekuasaan, namun ia gagal dalam hal ini.
Demikianlah salah satu contoh dari “manipulasi” kekuatan
gerakan-gerakan Islam. Setelah “manipulasi” itu tidak lagi dinilai sebagai satu-satunya kebutuhan menjaga kepentingan bangsa
—sebagaimana dirasakan para ulama di negara kita —, maka upaya menegakkan demokrasi dan memperluas otonomi daerah di
negeri itu, dianggap sebagai “memenuhi kebutuhan kaum Muslimin” di negeri itu. Inilah yang membuat mengapa PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) memiliki prospek sangat cerah sebagai
pemenang mayoritas tunggal dalam pemilu negara kita tahun depan. Ini tampak jelas bagi orang yang mengikuti dan mengamati
komunikasi langsung antara PKB dan seluruh masyarakat bangsa Indonesia. Kalangan Kristen, kelompok-kelompok minoritas
etnis (seperti kaum Tionghoa) yang mencapai 15% seluruh bangsa, kaum profesional-intelektual-mahasiswa mendukung partai
itu, sebab melalui dukungan itu mereka mengharapkan bentukbentuk demokratisasi akan terwujud di negeri khatulistiwa ini.
Dengan melakukan fungsionalisasi Islam, disamping mempelopori proses demokratisasi, PKB berhasil menetralisir dampakdampak negatif di dalam negeri dari terorisme kaum Muslimin
radikal.
Hasil dari upaya ini tidak akan lama lagi, jika negeri ini menjalankan dua hal. Pertama, haruslah dikembangkan pendapat yang mencoba melakukan identifikasi upaya-upaya redefinisi
fungsi-fungsi Islam dalam kehidupan masyarakat, dengan berbagai tindakan demokratisasi. Dan kedua, adalah penegakkan
demokrasi di negeri berpenduduk puluhan juta manusia yang
menginginkan kehidupan demokratis bagi bangsa ini , yang
berintikan penegakan kedaulatan hukum.
eg
Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan, untuk
memerangi terorisme yang dilakukan oleh golongan-golongan
Muslimin radikal di negara kita , dengan ujung peledakan bom di
Bali, diperlukan langkah-langkah berikut.
Pertama, kemampuan membedakan secara tajam antara
kelompok kultural dan kelompok institusional, di antara berbagai kelompok–kelompok kaum Muslimin di negeri itu. Kedua,
dilakukan pengenalan mendalam dan penyebaran konsep-konsep memajukan warga masyarakat Muslim di negeri itu, dari
kemiskinan yang masih melatarbelakangi prosentasi sangat besar dari penduduk secara keseluruhan. Ketiga, mengoptimalkan
kembali kemampuan bangsa negara kita menekan pertumbuhan
penduduk, -hingga pertengahan 1995 pertumbuhan penduduk
hanya 1,6% tiap tahun, berarti penambahan penduduk sekitar 3,5 juta jiwa, tapi sejak beberapa tahun terakhir ini kembali
menjadi 3,5%-. Pemerintah yang sekarang ini berkuasa, tidak
mampu menekan kenaikan absolut jumlah warga negara yang
justru dirugikan oleh program-program pembangunan yang tidak memiliki wawasan kependudukan. Keempat, sikap arogan
mereka yang merasa “berjuang secara fisik untuk Islam”, haruslah diatasi paling tidak oleh pemerintah. Tindakan menghukum
mereka itu haruslah diusahakan, sebab sebenarnya bertujuan
menghilangkan sikap arogan yang selalu merasa benar dan menganggap pihak-pihak lain salah. sebab nnya tindakan kepala
team Polri yang menangkap mereka yang disangka melakukan
terorisme dengan meledakkan bom di Bali (Imam Samudra,
Amrozy dan sejumlah temannya yang lain) dengan memasukkan
I Made Pastika dan Edy Darnadi ke dalam team ini , jelas
merupakan upaya pemerintah negara kita untuk memberlakukan
keinginan menghukum itu.
Terserah kepada bukti-bukti legal yang diperoleh, memiliki kekuatan untuk itu atau tidak, namun jelas itu merupakan langkah pertama untuk menindak terorisme yang berbaju agama. Di
sini berlaku apa yang dikatakan oleh mantan Ketua Mahkamah
Agung Mesir, Al-Asymawi, bahwa selama tiap tindakan hukum
di bidang pidana memiliki unsur hukuman dan cegahan (punishment and deterrence), selama itu pula ia dapat disamakan dengan hukum pidana kanonik yang terdapat dalam hukum Islam
(fiqh). Dengan demikian, salah satu keberatan para teroris yang
diadili itu, melalui para pengacara mereka, bahwa mereka tidak
dapat dikenakan tindakan legal berdasarkan “Hukum Barat”,
seperti hukum Pidana negara kita saat ini yang dikodifikasikan
dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana),
tertolak dengan sendirinya.
Di samping upaya hukum itu, diperlukan pengamatan ketat dari pihak intelijen, guna menangkal upaya-upaya teroristik, sebelum hal itu terjadi. Ini sangat diperlukan sebab letak
geografis negara kita yang sangat memudahkan langkah-langkah
mempersiapkan terorisme internasional di dalam negeri, dengan bantuan keuangan dan latihan-latihan dari luar kawasan
Asia Tenggara. Jumlah pulau negara kita sebanyak 17.000 buah,
dengan 4.000 buah diantaranya tanpa penghuni, adalah sesuatu
yang sangat mudah bagi gerakan-gerakan teroris internasional
untuk menciptakan kondisi matang bagi terorisme. Apa yang dilakukan gerakan Abu Sayyaf di Filipina Selatan, merupakan bukti adanya watak internasionalistik dari tindakan-tindakan teror
yang dilakukan di kawasan Asia Tenggara. Jika gerakan ini
punya kaitan dengan MILF (Moro Islamic Liberation Front) atau
MNLF (Moro National Liberation Front), jelas adanya watak internasional dari gerakan ini merujuk kepada penanganan
lebih menyeluruh dari pihak internasional di bawah koordinasi
Pemerintah Filipina.
Kegagalan menciptakan mekanisme yang diperlukan untuk menangani terorisme itu, akan membawa konsekuensi-konsekuensinya sendiri, seperti perkembangan di Australia dan Jepang serta reaksi-reaksi balik dari “negeri-negeri sosialistik” di
kawasan pasifik selatan. Belum lagi kalau dilihat kemungkinan
bersambungnya gerakan ini dengan terorisme “bertopeng”
agama Islam yang berkembang secara domestik di negara kita .
Tindakan-tindakan hukumlah yang akan membuktikan, apakah
yang terjadi di negara kita juga merupakan sesuatu yang berwatak internasional. Memang ada oknum-oknum dari berbagai gerakan Islam di negara kita yang tampak memiliki hubungan dengan
MILF dan MNLF di Filipina Selatan, tetapi masih terlalu dini untuk melihatnya sebagai jaringan terorisme internasional.
eg
Hal kelima yang harus dilakukan, adalah memberikan informasi yang benar tentang jalannya sejarah Islam kepada generasi
muda kaum Muslimin sendiri. Kepada mereka tidak jemu-jemunya harus diberikan keterangan, bahwa dalam perkembangannya, Islam mendasarkan diri kepada proses penafsiran kembali,
dan tidak merujuk kepada perlawanan keras (apalagi fisik) kepada proses modernisasi. Sabda Nabi Muhammad Saw, umpamanya, “Sesungguhnya aku akan membanggakan kalian di muka
umat-umat lain pada hari kiamat”, seharusnya maksud sabda
itu bersifat kualitatif, bukannya kuantitatif seperti yang banyak
diartikan oleh mayoritas kaum Muslimin sekarang. sebab nya
tidak ada alasan untuk menolak gagasan keluarga berencana selama tidak menghilangkan wewenang reproduktif yang ada di
tangan Tuhan atas umat manusia, dengan melaksanakan kontrasepsi yang tidak bertentangan dengan syari’ah.
Di samping itu diperlukan pula pengembangan pemikiran
kaum muda bangsa ini, dengan memaparkan bahwa kawasan
Timur Tengah tidak memiliki tradisi LSM yang kuat, sehingga
kritik-kritik terhadap pemerintahan mereka harus dilaksanakan
di bawah tanah, maka kritik-kritik terbuka itu diarahkan bukan kepada pemerintah sendiri, melainkan kepada “cara hidup
Barat”. Inilah yang kemudian masuk ke dalam pola pemikiran
Samuel Huntington dengan teori perbenturan budayanya (Clash
of Civilization) yang terkenal itu. Huntington lupa bahwa tiap
tahun, puluhan kalau tidak ratusan ribu pemuda Muslim belajar
“teknologi Barat”, yang berarti juga terjadinya akomodasi budaya antara Islam dan Barat.
Proses saling belajar seperti itu, jika tidak dijelaskan dengan baik, justru akan membuat para pemuda Muslim cenderung menganggap Barat sebagai musuh, dan dengan demikian
membuat mereka memakai kekerasan melawan apa yang
mereka anggap sebagai “musuh” itu. Perbedaan persepsi dari
proses besar itu, justru digunakan oleh tokoh-tokoh Islam yang melihat “bahaya” dari perjumpaan akomodatif antara Islam dan
Barat itu. Apalagi, jika di dunia Barat sendiri lahir kelompok-kelompok yang “benci” kepada peradaban Barat itu sendiri, seperti
Louis Farrakhan7
di Amerika Serikat.
Dalam hal ini, studi kawasan Islam (Islamic Area Studies)
sangat diperlukan, sebab dengan demikian akan nampak perbedaan cara hidup kaum Muslimin dari sebuah kawasan ke kawasan lain dengan jelas. Penulis pernah mengemukakan kepada
Universitas PBB di Tokyo dalam tahun-tahun 80-an, dunia Islam sebaiknya dibagi menjadi enam buah studi kawasan: masyarakat-masyarakat Muslim di kawasan Afrika hitam, kawasan
Afrika utara dan dunia Arab, kawasan budaya Turki-Persia-Afghan, kawasan Asia Selatan (Bangladesh, Nepal, Pakistan, India
dan Srilangka), kawasan Asia Tenggara dan kawasan minoritas
Muslim di negeri-negeri berteknologi maju. Sekarang ini kita
cenderung melakukan studi kawasan nasional, padahal yang
diperlukan adalah studi kawasan regional. Ini saja sudah menunjukkan betapa jauhnya jarak antara kerja intelijen dengan kerja
dunia akademik. Herankah kita jika lalu para politisi banyak melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan? Ini tentu berimbas pada sikap bersama kita terhadap tindakan-tindakan para
teroris.
Sewaktu penulis berkunjung ke Boston, kota pelajar di Amerika Serikat (AS), bulan September 2002, penulis diminta
memberikan ceramah bagi sejumlah mahasiswa asing di
Kennedy School of Government Universitas Harvard. Penulis diminta para mahasiswa ini melalui anak penulis Zannuba
Arifah Chafsoh1
yang belajar di situ untuk program setahun lamanya. Saat itu minggu sore hari, penulis diminta berbicara mengenai situasi global saat ini, bagaimana responsi gerakan-gerakan
dan negara-negara Muslim di dunia atas perkembangan tersebut, dan apa akibatnya bagi negara kita .
Sungguh sebuah tema yang besar —yang tentunya tidak
akan dapat dikemukakan hanya dalam waktu dua jam saja, dan
itupun termasuk dengan tanya jawabnya sekalian. Demikian pula, melihat komposisi mahasiswanya yang datang dari berbagai
negara, kiranya tidak memungkinkan untuk mengupas satu-persatu tema di atas. Sebab, bagi mahasiswa-mahasiswa Amerika
Latin —misalnya, tentu tidak tahu persoalan Asia Tenggara. Dan
begitupun mahasiswa non-Muslim tentu juga tidak mengerti
masalah-masalah yang dihadapi kaum Muslimin. sebab itu, penulis harus memilih masalah paling utama yang sedang aktual dibicarakan di mana-mana, yaitu rencana penyerangan dan
pem-boman AS atas Irak. Dari hal itulah baru dikemukakan halhal mendasar yang menyangkut ketiga tema di atas.
Penulis beranggapan, penyerangan dan pemboman AS
atas Irak dapat dipastikan akan mencapai hasil yang diharapkan.
Mungkin, mengenai masalah produksi dan penyediaan bahan
bakar minyak bumi yang melimpah-ruah dapat diubah melalui
penyerangan ini , atau Saddam Husein digulingkan dari pemerintahannya. Tetapi bahwa Irak akan menjadi negara penurut
bagi AS, rasanya jauh dari kenyataan. Para pemimpin oposisi
Irak yang menentang Saddam Husein dan baru-baru ini berkumpul di Gedung Putih—setelah memegang tampuk pemerintahan
dukungan AS, belum tentu nantinya akan mengikuti kehendak
negara Paman Sam itu. Untuk dapat bertahan, mereka harus pandai-pandai menampung perasaan rakyat Irak yang benci terhadap campur tangan asing, dalam hal ini adalah AS. Ini semua,
merupakan sebuah aspek saja yang harus diperhitungkan dalam
melihat permasalahan di atas.
eg
Sekali lagi, menjadi nyatalah bagi kita bahwa kekuatan saja
belum tentu dapat mengubah perasaan orang banyak. Ada residu
perasaan tidak senang, apabila kekuatan dan kekuasaan digunakan secara berlebihan. Dalam jangka panjang, hanya kerugian
bagi semua pihak saja yang terjadi akibat pertimbangan-pertimbangan geopolitik yang digunakan AS saat ini. sebab nya, kita
harus berhati-hati dengan berbagai pertimbangan ini , apalagi kalau tindakan yang diambil sangat dipengaruhi oleh emosi
para pengambil keputusan.
Tampaknya, Presiden AS George W. Bush Jr., merencanakan serangan dan pemboman atas Irak itu dengan pertimbangan mencari popularitas, sebab ketidakmampuan memecahkan
krisis ekonomi AS yang sedang terjadi. Tetapi bahayanya, kalau
serangan dan pemboman besar-besaran itu tidak menghasilkan
sikap Irak untuk mengikuti kehendak AS -katakanlah di bidang
minyak bumi, ditambah dengan jumlah besar penduduk sipil
yang menjadi korban serta banyaknya serdadu AS yang gugur
atau menderita luka-luka di kawasan ini , bisa jadi pendapat umum di AS dapat berbalik menyalahkan presiden ini . Dan
kemungkinan untuk itu tampaknya cukup besar, sebab Saddam
Husein menarik pasukan-pasukannya ke kawasan perkotaan,
yang berati akan jatuh lebih banyak korban, apalagi kalau ia berhasil menggerakkan perlawanan gerilya kota terhadap serangan
AS.
Serangan dan pemboman itu akan memicu kemarahan luar biasa bagi kaum Muslimin di seluruh dunia terhadap
Pemerintah AS sendiri. sebab ketidakberdayaan menghentikan
serangan dan pemboman itu, dengan sendirinya peradaban yang
melahirkannya yaitu peradaban Barat, ditolak sebagai mitra
peradaban Islam ke arah kemajuan. Dengan demikian, kemelut psikologis yang menghinggapi diri kaum Muslimin di seluruh dunia, akan semakin menjadi-jadi, minimal bagi para warga
gerakan-gerakan Islam. Sikap keras sebagian mereka, dengan
sendirinya semakin sulit untuk dilerai, dan perlawanan gila-gilaan seperti bom bunuh diri di Israel-Palestina akan semakin banyak. Kalaupun tidak bertambah jumlahnya, reaksi psikologis
yang menghinggapi para warga gerakan-gerakan Islam itu akan
menjadi keras dan bertambah kompleks. Apalagi ditambah dengan sikap Perdana Menteri Ariel Sharon2
dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel Jenderal Allon yang semakin qkeras terhadap kaum pejuang Palestina, maka rasa tidak berdaya itu akan
berubah secara kualitatif dan kuantitatif menjadi kebencian semakin besar terhadap “peradaban Barat”.
eg
Bagi negara kita , atau lebih tepatnya bagi gerakan-gerakan
Islam moderat di negeri ini, tantangan yang dihadapi juga akan semakin besar. Di tengah-tengah sikap moderat kebanyakan kaum
Muslimin di negeri ini, terdapat kelompok-kelompok “Muslim
garis keras” yang tentu saja akan merasakan tekanan-tekanan
psikologis yang dirasakan kaum Muslimin di seluruh dunia sebagai akibat dari serangan dan pemboman AS atas Irak itu. Rasa tidak berdaya itu tentu akan membawa akibat-akibatnya sendiri
yang serius bagi keadaan umat manusia dewasa ini, yaitu membuat lebih tipis keinginan mencari langkah-langkah akomodatif
antara peradaban Islam dan peradaban-peradaban lain.
Rasa tidak berdaya itu, tentu lebih terasa di kalangan kaum
muda dan kaum miskin perkotaan (urban poor), suatu hal yang
sama sekali tidak dilihat oleh Presiden George Bush Jr., yang
sudah dapat diperkirakan sebelumnya, dari kualitas pertimbangan-pertimbangan geopolitis yang digunakan olehnya. Di sinilah
sebenarnya terletak pangkal masalah yang dihadapi umat manusia dewasa ini.
Di satu pihak, negara-negara yang berindustri maju, sering
disebut sebagai negara-negara makmur (affluent countries),
tidak penah menyadari parahnya keadaan di negara-negara
berkembang dan lebarnya kesenjangan antara kaum kaya dan
miskin di kawasan ini . Memang, meski peperangan terhadap terorisme internasional dan penegakan demokrasi telah dilakukan, tetapi AS bukanlah contoh yang baik tentang bagaimana
upaya menegakkan demokrasi dan menghilangkan kesenjangan
kaya-miskin serta pembelaan terhadap negara-negara berkembang yang lemah. Bahkan, AS sendiri lebih sering dianggap sebagai pendukung para penguasa lalim di seluruh dunia. Kalau demikian, berhakkah dia berbicara tentang moral dan etika? Padahal
perjuangan melawan terorisme internasional dan domestik, haruslah didasarkan pada acuan moral dan etika. sebab , banyak
yang mempertanyakan hak AS untuk memberantas terorisme
internasional, yang membunuh sangat banyak penduduk sipil
yang dibom dan diserang dengan sebuah keputusan yang bersifat unilateral.
Dengan dasar etis dan moral yang masih dipertanyakan,
herankah kita jika banyak kaum muslimin lalu mempertanyakan
sendi-sendi peradaban yang tidak seimbang antara yang terjadi
dengan yang dibawakan AS sebagai negara adikuasa dan negaranegara berteknologi maju? sebab tidak memiliki pengetahuan
agama yang cukup, herankah jika mereka melihat sikap moderat
mayoritas kaum muslimin, sebagai langkah menyerah bulat pada
peradaban sekuler yang melahirkan arogansi sikap itu? Sikap
Presiden Bush itu membebani kaum muslimin moderat dengan
tugas yang tidak ringan, yaitu mengatasi sikap utopis di kalangan
kaum “muslimin garis keras”. Adilkah yang demikian itu? h
Ketika penulis memberikan ceramah di KSG (Kennedy
School of Government) bagi sejumlah orang mahasiswa
Universitas Harvard, akhir September 2002 ini, ada pertanyaan dari seorang mahasiswa pascasarjana asal Singapura:
mengapakah penulis memusuhi Singapura? Penulis menjawab,
bahwa ia memang menolak arogansi sementara para pemimpin
Singapura, yang sok tahu tentang perkembangan Islam di Tanah
Air kita. Bahkan dua orang pejabat tinggi Singapura menyatakan
bahwa “Muslim garis keras” akan memerintah negara kita dalam
waktu 50 tahun lagi. Penulis menyatakan melalui jawaban tulisan —ia menjawab melalui beberapa buah media massa Indonesia yang masih mau memuat pernyataannya, bahwa kita tidak
perlu mendengarkan pendapat kedua orang pemimpin Singapura tentang Islam di negeri ini, sebab mereka tidak tahu apa-apa
tentang agama ini .
Jawaban penulis ini, menunjuk pada sebuah perkembangan penting di negeri kita. sebab sebelumnya, para pemimpin
kita di masa lampau menerima suapan dari sejumlah tokoh Singapura, lalu mereka berada pada posisi bergantung pada ekonomi
Singapura. Karena itu, timbulah arogansi di kalangan sementara
tokoh negeri itu. Dari arogansi ini, lalu timbul sikap mementingkan pihak yang tidak penting, dan memberikan penilaian yang
terlalu tinggi terhadap mereka. Termasuk dalam sikap ini, pandangan sangat merendahkan terhadap kaum Sunni tradisional
seperti yang ada di lingkungan Nahdlatul Ulama. Selain itu, karena penulis tidak mau menggunakan kekerasan untuk mempertahankan jabatan negara, sebagai presiden yang berfungsi menjadi
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, sikap itu dianggap mereka sebagai kelemahan. Mereka tidak percaya, bahwa
demokrasi melalui pemilihan umum akan memberikan penilaiannya sendiri. Apalagi karena memang para tokoh Singapura itu
tidak percaya pada demokrasi dan memperlakukannya secara
manipulatif.
Begitulah pandangan seorang tokoh Singapura yang dianggap sudah mendunia, padahal postulat-postulat yang digunakannya hanya berasal dari kalangan elit belaka. Tokoh ini ,
tidak pernah menyadari bahwa dunia baru sedang menggeliat,
bangun dari tidurnya selama berabad-abad. Dunia baru itu mengembangkan postulat-postulat dan premis-premisnya sendiri,
yang harus ditangkap dengan jitu, agar tidak terjadi hal-hal yang
merugikan semua pihak. Termasuk di dalamnya, kaum Muslimin moderat yang sanggup mempertahankan keyakinan agama
mereka, sambil menyerap hal-hal baik dari kemajuan pengetahuan dan teknologi modern.
Jelaslah dari uraian di atas, penulis tetap menganggap penting kemajuan pengetahuan dan teknologi Singapura, namun
penulis tetap beranggapan bahwa Singapura juga memiliki keterbatasannya sendiri. Ini berarti, sikap arogan dari sejumlah tokoh
mereka terhadap negara kita dan Islam harus dihilangkan, jika diinginkan tetap ada hubungan baik antara kedua negara. Penulis
sendiri sangat menghargai kemampuan bangsa Singapura untuk
maju dengan cepat, walaupun terkadang dicapai atas kerugian
bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Jadi harus dicari bagaimana
mempertahankan kemajuan yang dicapai, sambil menghargai
dengan sungguh-sungguh upaya bangsa-bangsa sekitar untuk
maju dengan cara mereka sendiri.
Sikap memandang rendah bangsa dan negara lain —betapa
canggihnya sekalipun ia dibungkus—, tetap akan tampak dalam
jangka panjang. Inilah yang membuat orang-orang seperti penulis berbeda pandangan dari tokoh-tokoh arogan Singapura itu.
Walaupun penulis berbeda pandangan dari tokoh-tokoh ini ,
namun ia tidak memusuhi bangsa Singapura. Sebagai penganut
paham non-hegemonik hubungan internasional, penulis sangat
menghargai bangsa Singapura. Tetapi ini tidak berarti penulis
menganggap Singapura patut menjadi contoh bangsa dan negara
kita. Tentu saja persoalan-persoalan yang dihadapi negara-kota (city state) —yang sangat kecil seperti Singapura—, tidak sama
dengan masalah-masalah yang dihadapi negara-bangsa (nation
state) seperti negara kita , yang memiliki lebih dari 200 juta penduduk dan memiliki wilayah ribuan kilometer.
Dengan sendirinya, para pemimpin negara kita harus memiliki wawasan dan kebijakan (policy) sendiri, yang akan melahirkan kebijaksanaan (wisdom) dalam menangani berbagai
masalah dalam menghadapi bermacam-macam sikap, termasuk
arogansi tokoh-tokoh negara lain sekecil Singapura itu.
Penulis teringat ungkapan CEO (Chief Excutive Officer),
pejabat ekskutif tertinggi General Motors, beberapa puluh tahun yang lalu, yaitu Charlie “Engine” Wilson, bahwa apa yang
baik bagi perusahaan ini , juga baik bagi Amerika Serikat,
tidak berlaku dalam hubungan internasional antara negara kita
dan Singapura. Jelaslah dengan demikian, apa yang baik bagi
Singapura, belum tentu baik bagi negara kita . Sekarang saja, ketika komplek serba ada seperti ITC di Mangga Dua sudah berfungsi, Singapura sudah kewalahan menarik para pembeli kita.
Demikian juga, hotel-hotel mereka yang dahulu memanfaatkan
konsumen dari negara kita, sekarang juga dibuat pusing oleh sulitnya menarik para pembeli bangsa kita.
Bangsa Singapura harus menyadari, pola hubungan berketergantungan antara negara mereka dengan negara kita -Malaysia-Thailand-Brunei Darussalam, adalah pola hubungan tidak normal, yang pada suatu ketika akan kontraproduktif dan
merugikan Singapura sendiri. Ini berarti, sikap arogan terhadap
bangsa-bangsa dan negara-negara sekitar, haruslah diakhiri.
Hubungan baru harus segera dibuat atas dasar saling penghormatan dan kesadaran masa depan bersama yang akan penuh rintangan. Sekarang saja, tekanan kegiatan ekonomi ASEAN sudah
berpindah dari kawasan selatan ke kawasan utara persekutuan
ini . Proyek Delta Mekong yang melibatkan Thailand-Kambodia-Vietnam-Laos dan Myanmar merupakan titik baru ekonomi regional, walaupun proyek jalan raya, pelayaran maupun
penerbangan BIMP-EAGA1
(Filipina–Brunei–Malaysia-Indonesia dan kawasan pengembangan ASEAN Timur) masih tersendat-sendat.
Kesadaran bersama ini mengambil bentuk bermacam-macam. negara kita , umpamanya, lebih mementingkan pelabuhan
samudera. Sementara upaya mengatasi kebakaran hutan yang
mengganggu negara-negara tetangga, adalah antara lain dengan
mempertimbangkan usulan Ir. Erna Witoelar agar kelompokkelompok masyarakat memiliki dan mengelola daerah-daerah
pinggiran hutan, agar mereka turut bertanggungjawab dalam
memelihara kelebatan hutan, sebab ditakutkan akan merembet
ke kawasan yang mereka miliki. Juga, kelestarian sumber-sumber alam, seperti batu-bara, minyak bumi, gas alam serta barang
tambang lainnya, akan membawa perubahan besar-besaran dalam mengelola ekonomi di masa depan. Di sini yang dipentingkan adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup rakyat kebanyakan, agar mereka turut bertangungjawab atas kelestarian
sumber-sumber alam ini .
Ini semua berarti, negara kita akan membuka diri terhadap
masuknya investasi asing. Kalau ini yang selalu diingat, hubungan
negara kita dengan negara-negara tetangganya, atas dasar prinsip
saling menghormati, akan menjadi lancar dan mendorong stabilitas kawasan. Dan, hal itu berarti harus ada penyeimbangan
kepentingan nasional masing-masing negara, di satu sisi dan kepentingan bersama bagi kawasan yang memiliki kolektifitasnya
sendiri, di sisi lain. h
Seorang yang dekat dengan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra (dibaca, Cinawat) mengatakan pada penulis tentang ketidakmengertian orang-orang Thai tentang tidak
terlaksananya dua buah masalah pokok yang telah disepakati antara Muangthai dan negara kita . Yang pernah dicapai antara Perdana Menteri Thaksin dengan penulis, dalam kapasitas sebagai
Presiden Republik negara kita . Tanpa pelaksanaan kedua hal itu,
yang terjadi adalah keraguan dari pihak Muangthai, benarkah
orang negara kita serius dalam melaksanakan hal-hal yang telah
disepakati? Jika dapat berjalan dengan lancar, maka sekaligus
akan merupakan terobosan.
Kedua hal itu adalah kesepakatan untuk memproses minyak mentah negara kita di berbagai kilang minyak Muangthai,
tujuannya untuk mengurangi ketergantungan negara kita kepada
kilang-kilang minyak Singapura. Tampaknya, para pejabat Pertamina tidak mau bersusah payah dalam hal ini, sebab hanya
bersedia bersandar pada keinginan pemerintah Singapura saja.
Dalam pembicaraan itu penulis menyatakan bahwa mungkin pihak pemilik kilang di Singapura telah memberikan sesuatu sebagai sogokan kepada para pejabat negara kita .
Hal kedua adalah menciptakan keseimbangan perdagangan (balance trade account) dalam perdagangan antara Indonesia-Muangthai. Dasar dari pemikiran itu, adalah apa yang dialami oleh negara-negara Eropa setelah Perang Dunia II. Waktu itu,
negara-negara Eropa tidak memiliki jumlah uang yang besar, sehingga mereka tidak memakai uang sama sekali dalam perdagangan antar negara di Benua Eropa. Jika hampir tutup buku,
mereka cukup membandingkan neraca pembayaran antara dua
negara. Dari situ akan tampak, berapa tanggungan sebuah negara pada negara yang lain sebagai hasil penyeimbangan. Hanya
jumlah berlebih itulah yang harus dibayar dalam valuta asing
oleh sebuah negara dalam sistem penyeimbangan itu. Hal ini dilakukan, oleh negara-negara yang kekurangan valuta asing.
eg
Bagi negara-negara berkembang, yang selalu kekurangan
devisa, sebaiknya menerapkan cara ini di antara mereka. Dengan
demikian, keseimbangan neraca perdagangan dapat dipelihara,
tanpa menghilangkan kewajiban menyelesaikan jumlah-jumlah
selisih antara mereka dalam neraca pembayaran. Hanya dengan
cara inilah dapat dilakukan kerjasama untuk melawan kekuasaan
negara-negara maju, seperti Amerika Serikat. Namun, keinginan
mulia Muangthai justru tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah
negara kita sekarang, yang sedang mengalami krisis multidimensional. Ini adalah hal yang sangat mengherankan Muangthai
sendiri.
Penulis menyatakan, tidak usah heran dengan sikap tersebut. sebab negara kita sangat tergantung kepada mitranya dari
negara-negara berteknologi maju, dan kurang memperhatikan
sesama negara melarat. Ini tentu disebabkan oleh kecenderungan
para penguasa negara untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, baru setelah itu memikirkan kepentingan negara. Mentalitas
inilah yang diketahui para pengusaha negara-negara berteknologi maju, hingga upeti tertentu dapat dibayarkan untuk kepentingan kalangan pejabat di negeri ini.
Keheranan teman-teman di Muangthai itu segera terjawab
sebab sebab-sebab tadi. Nyata benar, sikap para penyelenggara pemerintahan, dapat memicu dampak-dampak negatif
bagi pertumbuhan ekonomi negeri ini. sebab nya, patutlah pertimbangan Paul Krugman, seorang maha guru ekonomi dari MIT
(Massachusset Institute of Technology) bahwa selama birokrasi
pemerintah di negara kita berjumlah terlalu besar dan belum bersih betul dari korupsi, selama itu pula jangan diharapkan untuk
bisa sukses ketika keluar dari IMF (International Monetary
Fund). Selama kebersihan birokrasi pemerintah tidak diperhatikan, maka jangan diharapkan akan tumbuh sikap yang memandang perlu memelihara kepentingan orang banyak.
eg
Jelas dari uraian di atas, hubungan sehat dalam perdagangan antar negara sangat tergantung pada kesehatan birokrasinya.
Sikap inilah yang tidak pernah mendapatkan perhatian serius
kita dalam peyelenggaraan kemitraan dengan sesama negara berkembang, baik dalam lingkungan ASEAN maupun di luarnya.
sebab itu, kita tidak perlu heran dengan pertanyaan orangorang Muangthai yang menanyakan keseriusan untuk bermitra
antara sesama Negara ASEAN, maupun antara sesama negara
berkembang. Dan jangan heran dengan keluhan para pengamat
luar dan dalam negeri, sebab sebenarnya kita juga tahu akibat
yang ditimbulkan penyelenggara pemerintahan, bersumber dari
pemahaman mereka atas situasi yang dipengaruhi oleh kepentingan pribadi masing-masing.
Dengan menelaah apa yang terjadi dalam proses pengambilan keputusan tadi, tentu saja keinginan penulis untuk mewujudkan sebuah prinsip bekerjasama antara sesama negara berkembang seringkali diabaikan, seperti halnya bagaimana kita
menyambut sebuah investasi yang akan menguntungkan daerah. Keinginan penulis untuk mewujudkan segala sesuatu yang
produktif, antara para pejabat Muangthai dengan pejabat Indonesia ternyata masih harus ditunda lagi, hingga entah kapan terwujudnya. Jadi tidak heranlah jika kepentingan negara-negara
berteknologi maju lebih diutamakan oleh para penyelenggara
pemerintahan kita saat ini. h
Pada pertengahan Juni 2002, penulis pergi ke Bangkok,
Thailand. Di kota ini , penulis menghadiri pembentukan sebuah lembaga pertimbangan bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bernama World Council for Religious Leaders
(Dewan Dunia Pemimpin-pemimpin Agama). Dalam anggaran
dasar lembaga pertimbangan itu, dikemukakan bahwa lembaga
itu mengacu kepada perdamaian dunia tanpa kekerasan, dan
harus berbicara mengenai cara-cara mencapai perjuangan perdamaian dunia sebagai kenyataan yang paling diperlukan di dunia
ini. Lembaga ini adalah hasil dari Konferensi Dunia untuk Agama dan Perdamaian (World Conference on Religion and PeaceWCRP)1
, yang dibuka oleh Presiden Amerika Serikat (AS) saat
itu, Bill Clinton, tahun 2001. Penulis sendiri dan Presiden Khatami dari Iran, ketika itu, tidak dapat datang sebab kesibukan masing-masing di dalam negeri. Namun, ia diwakili oleh Ayatullah
Taskhiri dan Diwan al-Taqrib Baina al-Madzâhib (Dewan Pendekatan Antar Sekte). Dihadiri oleh para agamawan dari berbagai agama, pembentukan lembaga ini merupakan sebuah
kejadian penting, sebab para agamawan itu mewakili para agamawan se-dunia untuk memberikan pertimbangan bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Walaupun fungsi badan ini hanyalah memberikan pertimbangan belaka, yang dapat dipakai atau dibuang oleh organisasi
tingkat dunia itu, namun pertimbangan yang diberikan memiliki
bobot tersendiri. sebab nya, lembaga baru ini tidak dapat begitu
saja diabaikan, sebab ia merupakan langkah baru untuk memperkuat badan tingkat dunia seperti PBB.
eg
Dalam pidato pembukaan, penulis mengemukakan tiga hal
yang harus menjadi kerangka lembaga baru ini . Pertama,
harus disadari bahwa pertimbangan yang diberikan akan memiliki spiritualitasnya sendiri, di tengah-tengah orientasi PBB
sendiri yang bersandarkan filsafat materialisme dalam segenap
teori pembangunan yang sekuler yang jauh dari ukuran-ukuran
keagamaan. Kedua, pertimbangan yang diberikan memiliki latar
belakang dinamika masing-masing agama yang penuh dengan
perubahan, yang berarti ia adalah hasil dan sebuah proses yang
belum selesai. Ketiga, proses yang menghasilkan pertimbanganpertimbangan itu harus dilihat dari sudut pandang dialog antar
agama, bukannya konfrontasi antara agama dan materialisme.
Mengenai hal pertama, sudah jelas bahwa acuan materialistik sekarang merupakan bahan pertimbangan satu-satunya
bagi organisasi tingkat dunia ini . Dasar-dasar pertimbangan geopolitik yang benar-benar materialistik dalam orientasi,
merupakan satu-satunya nafas dalam mengambil keputusan.
Ini tejadi, sebab lembaga tertinggi dunia itu meneruskan proses pengambilan keputusan-keputusan yang hampir seluruhnya
didasarkan pada pemikiran materialistik masing-masing negara.
Akibatnya, terjadilah perbenturan kepentingan, antara negaranegara besar yang menjadi anggota Dewan Keamanan PBB.
Dalam lingkup pikiran materialistik yang dominan, pertimbangan-pertimbangan spiritual yang dibawakan oleh berbagai
agama tentu dirasa tidak diperlukan bagi PBB. Tetapi, kemacetan-kemacetan dalam pengambilan keputusan yang diakibatkan
oleh sederetan pertentangan yang ada kini, membuat setiap pertimbangan keagamaan menjadi kebutuhan tersendiri yang dapat
membawa pemecahan, melalui pendekatan spiritual yang holistik. Di sinilah nantinya akan terasa adanya keperluan membentuk dewan baru itu.
eg
Pertimbangan-pertimbangan spiritual itu hanya pencerminan belaka dan dinamika yang terjadi di masing-masing agama.
Aspek-aspek tradisionalisme dan pembaharuan dalam masingmasing agama terjadi dalam skala yang sangat luas, dan merupakan proses yang memberikan bekas mendalam atas perilaku
perorangan maupun kelompok dalam masing-masing agama. Ini
berarti, lembaga baru itu harus memperhitungkan aspek-aspek
tradisional yang dipelihara dan langkah-langkah pembaharuan
yang diambil oleh tiap agama. Dari pengalaman tersebut baru
dapat diperoleh pertimbangan yang matang untuk dibawa kepada lembaga tertinggi dunia ini . Hanya dengan cara inilah,
sebuah pertimbangan akan memiliki kematangan spiritual yang
diperlukan, guna menghadapi dasar-dasar materialistik dari
keputusan yang diambil oleh masing-masing negara.
Sedangkan aspek ketiga yang dikemukakan penulis, yaitu
watak saling melengkapi dan tidak konfrontatif antara berbagai
peradaban dunia, merupakan sebuah alasan yang diperlukan di
masa-masa yang akan datang. Hal itu telah melatarbelakangi
keputusan-keputusan bersama berbagai cabang dan anak cabang dari lembaga tertinggi dunia itu. Forum UNESCO, Komisariat Tinggi PBB untuk HAM, Konferensi Lingkungan Hidup di
Rio de Janeiro beberapa tahun lalu dan kegiatan-kegiatan sejenis, seluruh produk-produknya saling melengkapi dan bukannya
memakai pendekatan persaingan antar berbagai peradaban. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa PBB memiliki dua
jenis produk saat ini yang harus dipahami.
Kemacetan dalam pengambilan keputusan, baik kegagalan
dalam memutuskan maupun kegagalan dalam melaksanakan
keputusan, tampak jelas sekali akibat perbedaan kepentingan
negara-negara besar. sebab nya, dibutuhkan pelestarian dunia
dan isinya, berdasarkan pada sikap yang mengacu kepada kepentingan bersama semua negara di masa depan. Dari sinilah PBB
dapat menyampaikan keputusan-keputusan yang membuatnya
menjadi badan tertinggi dunia yang diperlukan di masa depan,
dan bukannya lembaga yang terpaku pada kemacetan-kemacetan
di masa kini belaka. h