Tampilkan postingan dengan label islam ku 11. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam ku 11. Tampilkan semua postingan

islam ku 11


 lomat dan pa­ra negara￾wan) mampu untuk melaksanakannya. Ada sebuah per­syaratan 

lain yang sangat penting dalam hal ini; negosiator itu haruslah 

dipercaya oleh semua pihak yang terlibat, yang juga membawa 

“kelayakan” bagi seorang muslim untuk tugas ini .

Itulah sebabnya, mengapa penulis bergairah untuk da­tang 

ke Washington DC. Pertama, untuk mengemukakan pen­da­pat￾nya, bahwa sampai titik terakhir sekalipun, harus diupayakan pe￾nye­lesaiaan damai (peaceful settlement) yang bersifat permanen 

untuk kawasan Timur Tengah. Kedua, untuk bertemu dan me￾nyam­­paikan beberapa hasil pemikiran pada negosiator yang di￾pi­lih atau ditunjuk oleh konferensi di ibu kota negara ini . 

Konferensi yang diselenggarakan di sebuah hotel di Washington, 

yang dari dalam ruangannya masih dapat terlihat bekas-bekas se￾rangan ke gedung Pentagon pada tragedi 11 September 2001 itu, di­harapkan menjadi forum dengan kewibawaan sangat tinggi 

(prestigious body) dalam lingkup politik dunia. Di samping itu, 

penulis juga dapat memenuhi undangan berceramah pada Uni￾versitas Michigan di Ann Arbor dan disamping check up medis di 

Boston General Hospital. Perjalanan menarik walaupun sangat 

melelahkan. hPeperangan di Irak telah terjadi, dengan dilemparnya ratu￾san buah peluru kendali dari sejumlah alat perang Amerika 

Serikat (AS) dan sekutunya. Bagi sementara orang, perang 

itu disebut sebagai penyerbuan (invasi), sebab  kekuatan mili￾ter yang sangat tidak berimbang antara kedua belah pihak. Pada 

waktu penulis berada di Ann Arbor, di kalangan kampus Uni￾versitas Michigan, seorang hadirin bertanya; —mengenai terjadi￾nya penyerbuan AS ke Irak, namun seorang peserta lain segera 

melakukan ko­reksi; —bukan penyerbuan AS, melainkan penyer￾buan George W. Bush Junior. Ini menunjukkan bahwa penen￾tangan terhadap pe­rang itu berjumlah sangat besar, termasuk 

oleh pemerintah kita. Bahkan tiga negara anggota tetap Dewan 

Keamanan (DK) Per­serikatan Bangsa-Bangsa (PBB) –yakni, 

Peran­cis, Rusia, dan RRT menentangnya. Artinya Bush melaku￾kan penyerbu­an dengan tidak ada izin dari DK-PBB, yang mem￾bawa krisisnya sendiri —minimal krisis kredibilitas bagi PBB.

Bush selalu menyatakan keinginannya untuk menghilang￾kan “semangat kejahatan” (evil spirit), dengan jalan menurunkan 

Saddam Hussein dari kursi kepresidenan Irak. Dengan demiki￾an, ia berusaha menegakkan pemerintahan demokratis yang 

kuat di Irak. Tetapi banyak orang meragukan niatan Bush itu, 

sebab  terlihat pertimbangan-pertimbangan geopolitik juga ada 

dalam memutuskan penyerangan atas Irak itu. sebab  tampak￾nya Saudi Arabia —yang merupakan penghasil minyak terbesar 

di dunia— da­lam kasus Israel-Palestina, telah meninggalkan ke￾bijakan po­­li­tik luar negeri AS. Dengan demikian, peranan negeri 

itu ha­rus­lah diimbangi dengan negeri penghasil minyak terbesar 

kedua di dunia, yaitu Irak. sebab  Irak masih diperintah oleh 

Saddam Hussein, dengan sendirinya iapun harus diganti dengan 

orang lain, yang lebih “terbuka” bagi tekanan-tekanan politik 

luar negeri AS, berarti Irak harus diserang. Ada pula orang yang 

menganggap faktor psikologis tidak boleh dilupakan dalam hal 

ini, yaitu Presiden Bush muda (Junior) harus memenangkan pe￾rang terhadap Saddam Hussein, yang telah menggagalkan “ke­me￾nangan” Presiden Bush tua (Senior). Benar-tidaknya semua argu￾mentasi tadi, cukup beralasan untuk diajukan dalam per­de­batan 

pendapat tentang penyerbuan ke Irak itu. Kalau memang benar 

adanya, maka AS dan sekutunya harus mengakhiri perang. 

Jelas, Irak harus menemukan jalannya sendiri kepada ke￾majuan dalam pembangunan ekonomi, maupun dalam menemu￾kan identitas sendiri, seperti diharapkan oleh banyak kalangan. 

Sebagaimana halnya dengan Chun Doo-Hwan1

 di Korea Selatan, 

yang pada akhirnya menjadi biarawan Budha, dan dengan demi￾ki­an tidak dituntut oleh pengadilan di sana, sebagai bagian pen￾ting dari rekonsiliasi nasional ala Korea, maka tentu Irak pun 

akan menemukan caranya sendiri akan rekonsiliasi nasional 

tanpa campur tangan AS.

eg

Gempuran militer atas Irak itu tentu saja memicu  

reak­si keras cukup besar di seluruh dunia. Sebuah negara adi￾kua­sa telah memaksakan kehendak kepada dunia, melalui pe­naf￾sirannya sendiri atas perkembangan yang terjadi di dunia ini, 

dengan alasan-alasannya sendiri yang berbeda dari pendapat 

res­mi DK-PBB, jelas telah membuka lembaran buruk dalam tata 

hubung­an internasional. 

Banyak juga orang memuji keberanian “moral” Bush dalam hal ini. Tetapi, ada juga yang menyatakan, hancurnya 

kredibi­litas PBB dan tata hukum internasional yang obyektif. 

Dampaknya, me­mungkinkan sebuah negara di Afrika untuk me￾nyerbu tetang­ga­nya dengan alasan yang dicari-cari. Jika ini yang 

terjadi, dapatkah AS mengerahkan kekuatan militer di seluruh 

dunia pada saat ber­samaan? Inilah yang mengkhawatirkan para 

pengamat itu: hubungan internasional atas dasar penafsiran se￾pihak, tanpa ada pembenaran formal dari DK-PBB, tidak dapat 

menjamin menetapnya perdamaian dan ketentraman dunia.

Di hari-hari pertama penyerangan atas Irak ini , ten￾tu sajian televisi CNN selalu menggambarkan tentang keper­ka￾saan AS.2

 Setelah dua hari “membatasi diri” dalam penyerangan 

ini , di hari ketiga kekuatan militer AS yang demikian dah￾syat digelar dengan kekuatan penuh. Sebagian Irak selatan telah 

“di­be­bas­kan” dari Saddam Hussein. Pasukan-pasukan kavaleri 

AS dari kawasan Kuwait menerobos dengan mudah wilayah Irak 

selatan, dan dalam hal ini kecepatan yang luar biasa dari pasu￾kan-pasukan kavaleri AS dan para marinir Inggris sangat menga￾gumkan. Dalam waktu sebentar saja, tanpa perlawanan berarti, 

pasukan-pasukan Irak dengan mudah begitu saja menyerah 

tan­pa syarat. sebab  itulah, dapat saja segera diajukan klaim 

“kemenangan” AS dan sekutu-sekutunya ditambah dengan pa￾sukan-pasukan AS yang tergabung dalam bala tentara Kurdi di 

sebelah utara Irak, jelas bahwa Baghdad dijepit dari utara dan 

selatan. Dengan demikian, kejatuhan Baghdad tinggal menung￾gu waktu saja.

Benarkah sikap menganggap AS telah memenangkan per￾tem­puran-pertempuran ini ? Penulis justru menganggap￾nya se­bagai permulaaan dari sebuah proses yang sangat panjang, 

jika AS tidak dapat menangkap Saddam Hussein dalam waktu 

beberapa bulan yang akan datang ini, maka sikap rakyat Irak 

akan berubah dengan cepat. Sikap yang selama ini diperlihat￾kan, paling tidak akan berubah menjadi sikap menolak secara psikologis serangan demi serangan AS itu. Sikap seperti ini, jelas 

didukung oleh mayoritas bangsa-bangsa dan negara-negara di 

dunia. Jelas yang harus diperbuat oleh Saddam Hussein adalah 

menghindari penangkapan atas dirinya. Selebihnya, akan “dise￾lesaikan dengan cara damai dan dengan perundingan”. Jika Von 

Clausewitz me­nya­ta­kan, perang adalah penerusan perundingan 

yang gagal, ma­ka dapat kita katakan, perundingan damai adalah 

penerusan dari peperangan yang tidak mencapai maksudnya.

eg

Inilah kemungkinan buruk yang tidak diperhitungkan jauh 

sebelumnya oleh Bush, yang hanya mengandalkan kemarahan 

kepada Saddam Hussein saja. Sikap seperti ini memang dapat 

saja membawa hasil cepat yang menguntungkan, tetapi dapat 

juga berakibat sebaliknya. Penulis memandang rakyat AS tidak 

akan mau berperang lama-lama melawan siapapun. sebab nya, 

sangat riskan melakukan penyerbuan besar-besaran atas negeri 

lain dalam tatanan dunia sekarang ini. Di sinilah letak arti pent￾ing dari peranan sebuah lembaga internasional —seperti PBB—. 

Paling tidak, persetujuan PBB merupakan pembenaran for­mal 

atas apapun yang dilakukan oleh seluruh negara atas negara 

yang lain. Jika kenyataan ini diabaikan, tidaklah menjadi soal 

jika sukses yang diperoleh, tapi jika sebaliknya, akan runtuhlah 

kewibawaan AS di mata negara-negara lain yang kecil.

Jika AS gagal menangkap Saddam Hussein, dan terpaksa 

berperang untuk jangka panjang, maka segera tindakan itu ha￾rus dihentikan, sebab  tuntutan rakyat Amerika Serikat sendiri 

yang tidak mau berperang lama-lama. Jika ini terjadi, maka mau 

tidak mau harus dicari formula persetujuan damai atas Irak. 

Banyak masalah terkait dengan hal itu, tetapi jelas perundingan 

merupakan penyelesaian terbaik. Dalam hal ini, penulis memin￾ta agar supaya penyelesaian damai di Irak, dikaitkan langsung 

de­ngan upaya perdamaian antara Israel dan Palestina. Dengan 

de­­mikian, baik Israel maupun seluruh bangsa-bangsa Arab akan 

berkepentingan untuk menjaga perdamaian ini . Ini ada­lah 

persyaratan sangat penting, sebab  hanya dengan cara demiki￾anlah sebuah perdamaian abadi dapat ditegakkan di ka­was­an 

Timur-Tengah. Di sinilah terletak kaitan vital antara penyelesai￾an sengketa Irak di satu pihak dan sengketa Israel-Palestina di

pihak lain.

Perdamaian abadi antara Israel dan Palestina, hanya dapat 

di­capai manakala negara Palestina diperkuat dengan mengem￾bangkan industri dan perdagangannya. Hal itu hanya dapat di￾capai jika ada bantuan ekonomi besar-be­sar­an, dalam bentuk 

kredit murah bagi mereka. Katakanlah pin­jaman lunak selama 

dua puluh tahun, sebesar satu milyar dollar AS. Sedangkan jika 

AS-Inggris tidak dapat me­nangkap Saddam Hussein, maka 

pen­­dapat umum dalam ne­geri maupun internasional akan me￾maksa penarikan mundur pasukan-pasuk­an mereka. Dalam hal 

ini, dapat diminta Saddam Hussein mengundurkan diri untuk 

kepentingan bangsa Arab secara keseluruhan, khususnya agar 

memungkinkan pemberian kredit lunak dalam jumlah demiki￾an besar kepada negara Pa­les­tina. Ini sebab  keyakinan penu￾lis, bahwa Saddam Hussein sangat menghormati sebuah negara 

Palestina yang merdeka, dan sebab  ia sen­diri telah berhasil 

menunjukkan keberhasilannya dalam memimpin Irak yang dise￾rang sebuah negara adi-kuasa, seperti AS. h

Pada umumnya, kita mengikuti salah satu dari dua pandang￾an berikut. Pendapat pertama adalah, kita memandang ke￾mungkinan pemboman atas Irak oleh Amerika Serikat dan 

sekutu-sekutunya sebagai sebuah bagian dari rencana jahat un￾tuk menyerang Irak dan mengganti pre­si­den­nya, Saddam Hus￾sein. Dilanjutkan dengan pandangan bahwa rencana itu adalah 

bagian dari Konspirasi Zionisme yang di­pe­lo­pori Israel. Kita bo￾leh setuju atau tidak dengan pandangan ini, namun penulis me￾nolak teori komplotan/konspirasi seperti itu. Tetapi bagaimana 

pun pendapat seperti itu ada dan diikuti ba­nyak orang. sebab ￾nya, pendapat seperti itu harus diakui keber­ada­annya dan untuk 

itulah diciptakan sebuah disiplin ilmiah yang bernama studi ka￾wasan, yang berjalan seiring dengan teori-teori geopolitik dalam 

kajian internasional yang berkembang saat ini.

Sebaliknya, ada pihak lain yang memandang Irak di bawah 

pimpinan Presiden Sadam Hussein sebagai biang kerok tindak￾an-tindakan teror internasional, sebab  itu diperlukan pembom￾an ke Irak, untuk menggulingkan presiden ini  dari jabatan￾nya. Pemboman itu harus dilakukan secara masif, walaupun 

me­ma­­kan korban sangat banyak dari penduduk Irak, belum lagi 

rusak­nya kota-kota besar di Irak sebagai akibatnya, yang kes￾emuanya tidak dapat dinilai kerugiannya. Tindakan itu, dalam 

pandangan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya haruslah di￾laku­kan de­ngan tujuan untuk membersihkan dunia dari teroris￾me. Kalau ini tidak dilakukan, terorisme internasional akan ber￾lanjut, dan kehidupan di negara-negara ini  akan sangat 

terganggu. Ka­re­nanya walaupun memicu  banyak korban, 

langkah itu harus tetap diambil untuk perdamaian dunia.Memang, kedua hal yang saling bertentangan itu terwujud 

dalam kenyataan, dan kita tidak dapat menutup mata akan ke￾ada­­an ini. Berarti, kita harus mengambil sikap: membenarkan 

atau menolak tindakan pemboman atas Irak itu. Memang, ini 

pi­lih­­an yang sangat sulit, tetapi bagaimanapun juga pilihan ha￾rus dilakukan. Pandangan kita harus dirumuskan. Keengganan, 

ketakutan ataupun emosi kita hanya akan memperpanjang soal 

itu. Belum lagi akan munculnya sikap pihak-pihak lain terhadap 

pendirian kita itu. sebab nya, sebaiknya kita bersikap yang jelas, 

masing-masing dengan akibat-akibatnya sendiri.

eg

Sikap itu pun tidak seluruhnya dapat dikemukakan dengan 

lugas apa adanya. sebab  salah satu persyaratan hubungan inter￾na­sio­nal adalah, kemampuan untuk menyampaikan ‘bahasa’ 

yang dapat mengaitkan kepentingan bangsa atau kelompok yang 

sa­tu dengan yang lain. Kemampuan itu yang semakin canggih itu 

untuk menutupi ambisi pribadi atau golongan yang ada. Dan se­ga￾la sesuatunya dirumuskan, supaya sesedikit mungkin membuat 

orang yang berpandangan lain dengan kita menjadi jengkel atau 

marah. Kita menyaksikan beberapa istilah-istilah yang berubah 

arti atau bentuk. Ini adalah konsekuensi logis dari ta­tanan geo￾politik yang ada. Penguasaan pendapat umum di sebuah negara, 

yang ditentukan oleh faktor-faktor yang serba geopolitis, akibat￾nya penggunaan istilah semakin menyimpang jauh dari apa yang 

dimaksudkan semula.

Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah 

kata “globalisasi” (penduniaan). Dalam pengertian yang kita 

guna­kan sehari-hari, yang dimaksud globalisasi adalah sikap 

mem­beri­kan arti terhadap dunia atau universal. Tetapi segera 

ter­jadi perubahan arti dari kata ini , yaitu terjadi pemaksa￾an kehen­dak atas pemahaman orang banyak, seperti dikehen￾daki oleh kelom­pok-kelompok yang berjumlah kecil. sebab nya 

bagi peru­sa­haan-perusahaan raksasa, kata globalisasi ini  

lalu berubah makna menjadi dominasi. 

Selain itu pengertian dan pemahaman kelompok yang le￾bih besar atas kata “perdagangan bebas” (free trade) yaitu kebe￾basan berdagang. Namun menurut pengertian pihak yang kecil, 

kata itu ber­arti sistem yang menguntungkan pihak yang mem￾punyai mo­dal besar. Kata “modern” berarti penggusuran hal-hal 

yang tra­di­sional oleh yang baru, yang dianggap lebih mengun￾tung­kan. Dengan demikian, tersembunyi­lah arti lebih dalam dari 

tradisional, oleh bentuk-bentuk baru yang dianggap modern. 

Kata “tempe” umpamanya, dipakaikan untuk menentukan 

kekurangan, kelemahan atau ketidakmampuan. Mengemukakan 

suatu istilah “bangsa tempe”, umpamanya, dianggap kalah arti 

dari bangsa yang kuat. Padahal kata tempe dalam pengunaan di 

sini, seharusnya sesuai dengan hakikatnya sebagai sesuatu yang 

memiliki gizi tinggi dan nilai berlebih. Jadi, penggunaan kata itu 

mencerminkan pandangan salah di masa lampau, bahwa hanya 

makanan yang memakai  daging sajalah yang dianggap ber￾gizi.

Demikian pula kata “perdamaian” dalam pergaulan an￾tar-bangsa. Sekarang kata itu berarti, tidak adanya peperangan 

atau penggunaan kekerasan oleh sesuatu pihak atas pihak yang 

lain, namun de­ngan persyaratan dan pengertian dari pihak yang 

menang. Kata “terorisme” dapat diartikan menurut kepentingan 

geopolitik negara-negara adi kuasa, sehingga yang menentang 

pengertian ini  dianggap sebagai teroris. Berhasilkah upaya 

Pre­siden George W Bush Jr. mengembalikan arti kata teroris, 

pada pe­nger­ti­an semula, yaitu penggunaan kekerasan oleh pi￾hak-pihak yang tidak mau berunding? Kalau ini yang dimaksud￾kan oleh Presiden Amerika Serikat itu, lalu mengapakah harus 

jatuh korban puluh­an ribu jiwa orang-orang yang tidak bersalah, 

akibat pemboman itu sendiri? Di sini, kita lihat terjadi perubah￾an arti kata “per­da­mai­an” dan “terorisme”.

eg

Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa tindak￾an pemboman secara masif atas Irak adalah sesuatu yang juga 

di­­perdebatkan secara bahasa/epistemologi, dan tidak hanya ber￾dasar­kan “rasa panggilan historis” seperti dirasakan peme­rin­ta­h￾an Amerika Serikat saat ini. Inilah akibat kalau penafsiran dise￾rah­kan kepada se­bu­ah negara adikuasa belaka. Lebih jauh lagi, 

sinisme kekuasaan yang didasari pertimbangan-pertimbangan 

geopolitik, lalu membuat kita menghadapi jurang pertentangan 

dan pepe­rang­an dalam ukuran yang masif. sebab nya, marilah 

kita berupaya memakai  ukuran-ukuran moral dan etis dalam tata pergaulan internasional, walau­pun banyak penguasa 

lain memaksakan kehendak dengan meng­guna­kan kekerasan. 

Dan ini yang sebenarnya menjadi esensi ajaran Mahatma Gan￾dhi tentang ahimsa, dunia tanpa kekerasan. Islam juga menolak 

penggunaan keke­ras­an semaunya saja oleh siapapun, dan ke￾kerasan hanya da­pat dilakukan oleh kaum muslimin, jika mere￾ka diusir dari ru­mah-rumah kediaman mereka (idzâ ukhrijû min 

diyârihim). 

Di sinilah terletak signifikansi dari filsafat dan moralitas, 

perdamaian dunia tidak selayaknya hanya dibatasi pengertian￾nya secara geopolitik belaka melainkan harus memasukan mora￾litas ke dalam dirinya. Dalam hal ini, mo­­ra­litas harus ditentukan 

oleh kerangka multilateral seperti PBB, bukan ha­nya oleh sebuah 

negara adi kuasa belaka. Mungkin ini terdengar seperti lamunan 

belaka, namun bukankah cita-cita besar se­ring berangkat dari 

lamunan?



Dalam sebuah wawancara televisi, penulis menge­mu­ka￾kan bahwa banyak hal yang dilupakan Presiden Amerika 

Serikat, George W Bush Junior, mengenai Presiden Sad￾dam Hussein dari Irak. Bush beberapa kali menga­ta­kan, bahwa 

tu­juan Amerika Serikat melakukan penyerangan berulang kali, 

un­tuk menangkap Saddam Hussein yang di­ang­gap­nya menjadi 

penyebab terorisme bersimaharajalela di dunia saat ini. Jadi, ia 

merasa berkewajiban menangkap Saddam Hussein untuk mene￾gakkan pemerintahan yang kuat dan demo­kratis di Irak. Untuk 

tujuan itu­lah ia menyerang Irak secara besar-besaran. Bukan 

hanya se­kadar bom yang dijatuhkan seperti hujan, melain­kan 

ju­ga de­ngan serangan seperempat juta orang bala tentara dari 

utara dan selatan, ditambah 40.000 orang prajurit Inggris. Ini 

ber­arti rang­kaian serangan besar dalam ukuran perang sebenar­nya.

Dilihat dari rencana semula, serangan itu seharusnya ber￾akhir dengan kemenangan mutlak dalam waktu paling akhir 3 

ha­ri. Tetapi ternyata, setelah 13 hari serangan —ketika tulisan ini 

dibuat—, Saddam Hussein belum juga tertangkap. Sedang jum￾lah korban jiwa dan harta benda dalam satuan-satuan tempur 

pa­sukan koalisi pimpinan Amerika Serikat maupun kerugian 

ma­­te­­rial lainnya telah menimpa Amerika Serikat dan sekutunya 

dalam jumlah sangat besar, termasuk di dalamnya tank-tank dan 

senjata berat yang terkubur di gurun pasir. Ini belum lagi termasuk sikap negara-negara Arab lainnya 

(di luar Kuwait), yang justru cenderung bersikap netral dalam 

seng­keta ini . Di satu pihak, Bush Jr, tidak mengindahkan 

keputusan Dewan Keamanan PBB, sehingga serangan yang di­la￾ku­kannya seperti tidak memiliki legitimasi internasional, se­dang 

serangan atas Irak, merusak kehormatan nasional yang dimiliki 

negara-negara Arab lainnya.

Di samping hal-hal di atas, serangan Amerika Serikat dan 

se­kutu-sekutunya itu juga dilihat sebagai serangan terhadap Is￾lam. Umat Islam di seluruh dunia menyesalkan hal itu, apapun 

se­bab, alasan dan argumentasi untuk mendukung sikap menolak 

serangan itu. Megawati Soekarnoputri yang tidak mau mengutuk 

serangan ini , dianggap oleh banyak kalangan gerakan Is￾lam di negeri kita, sebagai tidak membela Islam dari serangan 

(invasi) atas sebuah bangsa muslim seperti Irak. Bahkan banyak 

demons­trasi yang menuntut agar hubungan diplomatik RI-AS 

diputus­kan saja, sedang produk-produk AS di boikot oleh kaum 

mus­limin. Sebuah sikap konfrontatif yang sebenarnya jarang di￾per­lihatkan oleh gerakan-gerakan Islam, di manapun ia berada.

Sebab utama dari reaksi seperti itu adalah inkonsistensi 

per­nyataan Presiden AS George W Bush Jr, tentang hakikat se￾rang­an AS atas Irak. Awalnya ia mengemukakan serangan itu di￾lakukan guna mencegah malapetaka bagi dunia, sebab  Saddam 

Hussein memiliki senjata pemusnah massal dalam jumlah besar 

yang ditemukan. Ternyata belakangan diketahui, senjata-senjata 

itu justru dahulu diberikan AS kepada Saddam Hussein untuk 

me­­nyerang Iran. Ini berarti AS ikut membuat senjata-senjata ter￾sebut di masa lampau, dan sekarang cuci tangan dari kesalahan 

ini . 

Dalam kesempatan lain, Bush mengatakan bahwa Saddam 

adalah “tokoh jahat (evil figure)” yang harus dilenyapkan kare￾na melanggar hak-hak asasi manusia. Mengapa hanya Saddam 

Hussein? Bukankah ada sebuah negeri di Timur Tengah yang se￾tiap tahun menembak mati para warga negaranya, hanya sebab  

mereka dianggap menjadi oposan politik bagi para penguasa 

negeri? Kalau memang Bush benar-benar ingin membela demo￾krasi, tentunya ia harus mulai dengan Benua Amerika sendiri, 

masih ada negara-negara otokrasi di benua ini , seperti Gua￾te­mala. Bahwa ini tidak diperbuat Bush Jr, sangat me­ngu­rangi 

kredibilitas ungkapannya itu, hingga dapat dikatakan sebagai ar￾

gumentasi kosong. Pernyataan Bush Jr. ini  tidak punya arti 

apa-apa dan dengan demikian tidak meyakinkan siapapun.

sebab  itulah terjadi demonstrasi besar-besaran di selu￾ruh dunia, apalagi di kalangan bangsa-bangsa muslim. Walau￾pun penulis sendiri dianggap sebagai “moderat”, namun penulis 

tidak dapat menerima serbuan itu sebagai sebuah langkah yang 

tepat. Baik secara militer maupun menurut diplomasi, langkah 

itu ada­lah sebuah tindakan gegabah dari sebuah negara adi kua￾sa atas negara lain yang lemah.

Lebih-lebih lagi, Bush Jr sama sekali “melalaikan” per­hi￾tung­­an tujuan perangnya, yaitu menangkap Presiden Irak, Sad￾dam Hussein. Maka jika dalam waktu tiga bulan Saddam Hussein 

tidak tertangkap, haruslah dilakukan penyelesaian damai. Sangat 

sulit untuk menangkap Saddam Hussein, sebab  hubung­an yang 

sangat baik dengan suku-suku Arab yang berpindah-pindah 

tempat (nomaden) di Irak, Jordania, dan Syria. Mungkin Sad￾dam Hussein akan mengulangi tindakannya dalam pertengah­­an 

abad lampau, ketika ia melarikan diri sebab  diancam hukuman 

mati di Irak. Dengan hubungannya yang sangat baik itu, Sad￾dam dilindungi oleh suku-suku (qabilah) dari berba­gai negara, 

sehingga ia sanggup berjalan kaki dan naik unta sejauh lebih dari 

2.000 km untuk mencapai Mesir di bawah pahlawan Gamal Ab￾dul Nasser.

sebab  itulah, penulis mengatakan dalam wawancara de￾ngan TV7, bahwa jangan-jangan diktum Von Clausewitz1

: “pe￾rang adalah penerusan perundingan damai yang gagal” harus 

dilak­sanakan secara terbalik dalam kasus Irak. Yaitu, perunding￾an damai adalah kelanjutan dari perang yang tidak mencapai 

tujuannya. Ini akan terjadi kalau dalam tiga bulan pasukan-pa￾sukan AS-Inggris tidak berhasil menangkap Saddam Hussein. 

sebab  rakyat AS tentu menuntut melalui demonstrasi besar￾besar­an agar pasukan AS ditarik dari Irak. Perundingan terse￾but diperlukan untuk “menolong muka” AS. Hal ini juga penulis 

sampaikan kepada Duta Besar Australia di sebuah tempat lima 

hari setelah itu, di depan para stafnya.

Menjadi jelas dari uraian di atas, bahwa pengenalan men￾dalam atas sebuah kawasan sangat diperlukan jika ingin diam­bil tindakan militer atasnya. Dan pengenalan kawasan itu harus 

disertai pertimbangan objektif yang justru sangat diabaikan oleh 

Presiden Bush Jr. Arogansi yang timbul dari penge­ta­hu­annya, 

bahwa AS adalah satu-satunya negara adi kuasa yang dapat “me￾nga­lahkan” negara manapun, menyingkap kenyataan serangan 

mi­­li­ter itu dilakukan sebab  pertimbangan-pertimbangan geo­po￾litis, bukan pertimbangan moral. Menurut perhitungan geo­po­li­tis 

Bush Jr, Irak sebagai penghasil minyak kedua terbesar di dunia, 

dengan 116 miliar barel atau sekitar separuh dari produksi Arab 

Saudi penghasil minyak terbesar di dunia, ha­rus­lah “dikembang￾kan” sebagai imbangan Arab Saudi, sebab  Arab Saudi de­­wasa ini 

menyimpang dari kebijaksanaan luar negeri AS. Di­tam­­bah lagi, 

sebab  Irak saat ini mulai memakai  mata uang ma­syarakat 

Eropa, Euro dalam menyelesaikan transaksi minyak­nya.

Keterusterangan pihak AS dalam memakai  pertim￾bang­an-pertimbangan ekonomis ini, haruslah disampaikan oleh 

Bush Jr, setidak-tidaknya melalui berbagai lembaga-lembaga 

non-pemerintahan di negeri Paman Sam itu. Tindakan menutup￾nu­tup­i berbagai pertimbangan geopolitis dan finansial itu hanya 

akan mengurangi kredibilitas AS saja. Hilangnya kredibilitas itu 

akan memaksa negara ini , memakai  kekuatan militer 

da­lam hubungan dengan negeri-negeri lain. Menjadi teladan ba￾gi kita, bahwa mengendalikan sebuah negara adi kuasa tidaklah 

mudah, melainkan membutuhkan kemampuan bersabar dan 

si­kap tidak memandang rendah orang lain. Apalagi hanya men￾de­ngarkan suara kelompok-kelompok garis keras belaka. Tidak 

mudah menjadi pemimpin dunia, bukan? h



A merika Serikat (AS) telah menyerbu Irak dengan sekutu￾sekutunya, melalui peralatan militer yang sangat canggih 

dan personel tentara yang tangguh dibantu oleh sistem 

komunikasi mutakhir. Dalam waktu tiga minggu, ibu kota Bagh￾dad jatuh ke tangan pasukan AS, dan patung Saddam Hussein 

se­tinggi belasan meter itu dirobohkan. Anehnya, Saddam sendiri 

bersama keluarga dan menteri-menterinya tidak juga tertangkap. 

Hal ini sangat mengherankan, dan memicu  tanda ta­nya be￾sar, apakah gerangan yang terjadi. Kalau tadinya diproyeksi­kan 

Saddam akan tertangkap dan ia digantikan oleh seorang pemim￾pin lewat pemilu demokratis, maka sampai tulisan ini di­buat hal 

itu belum terjadi.

sebab nnya kita perkirakan hanya satu dari kedua proyeksi 

di atas akan terwujud, yaitu mengganti pemerintahan Saddam de￾ngan pemerintah yang baru, itu pun belum tentu dapat diteri­ma 

rakyat Irak. Pemerintahan yang baru itu akan melaksanakan pe￾milu dalam waktu dekat, guna mendapat legitimasi bagi diri­nya. 

Dan tanpa legitimasi itu, pemerintah yang didirikan, tidak akan 

menjadi pemerintahan yang kuat. Klaim Presiden Bush akan 

men­jadi suatu yang kosong dan seluruh dunia akan berta­nya me￾ngapa Irak harus diserang? Jawabannya adalah, AS menyer­bu 

Irak untuk kepentingan minyak bumi, alias hanya berdasarkan 

pertimbangan-pertimbangan geopolitis: “Menciptakan imbang￾an bagi Saudi Arabia yang merupakan negara penghasil minyak bu­mi terbesar di dunia (dengan cadangan 260 milyar barel mi￾nyak mentah (crude oil), yang sekarang sudah mulai menyim￾pang dari kebijakan luar negeri AS dalam soal Israel.”

Dalam waktu sekitar tiga bulan atau 100 hari, jika AS ti￾dak ber­hasil menangkap Saddam Hussein maka rakyat AS tentu 

akan menuntut pasukan-pasukan mereka ditarik dari Irak. Jika 

ini ter­ja­di, maka di samping adanya pemerintah yang lemah (dan 

be­­lum tentu demokratis), maka mau tidak mau perdamaian di 

Irak menjadi opsi yang harus diperhitungkan? Di sinilah letak 

“kela­lai­an” dari serangan AS atas Irak itu. Sebuah serangan yang 

tidak memperhitungkan kemungkinan Saddam tidak tertangkap 

ten­tu­lah membawa resiko tersendiri, jalan selanjutnya melalui 

perdamaian untuk menyelesaikan konflik di Irak.

eg

Kemungkinan penyelesaian damai di Irak, apalagi kalau 

PBB diserahi tugas “mengamankan” negeri itu, haruslah mem￾per­hitungkan hal lain, yaitu perlunya menciptakan perdamaian 

aba­di di kawasan Timur Tengah. sebab  itulah, penulis meng￾usul­­kan perdamaian di Irak harus terkait langsung dengan per￾da­maian abadi antara Palestina dan Israel. Dengan demikian, 

selanjutnya tidak ada “pengaruh-pengaruh negatif” perkembang￾an konflik antara Israel dan Palestina dengan perkembangan di 

Irak. Kalau kita berpikir secara rasional dan obyektif, tentu akan 

sampai ke tingkat itu. Dalam hal ini, apa yang dilontarkan penulis 

itu bukanlah sesuatu yang utopis dan dalam angan-angan saja.

Untuk mencapai perdamaian abadi antara Palestina dan 

Israel harus ada negara Palestina yang kuat, terutama industri 

dan perdagangannya. Hal itu hanya mungkin terjadi kalau ada 

pe­me­rintahan yang kuat dan tangguh dalam negara Palestina 

(State of Palestine). Jika Israel memiliki industri dan perdagang￾an yang tangguh, itu tidak lain pada masa permulaanya negeri 

itu me­ngenal sistem Kibutz (koperasi pertanian) yang sangat 

tang­guh. Sebagai tandingannya negara Palestina harus mengem￾bang­­kan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang tangguh, guna 

me­lakukan pembangunan industri dan perdagangan yang tang￾guh pula. Untuk hal ini , disamping pemerintahan yang mo￾de­rat dan kuat, juga diperlukan bantuan ekonomi secara besar￾besaran dalam bentuk kredit murah bagi negeri Palestina.Israel dan Palestina yang kuat, merupakan persyaratan uta￾ma bagi perdamaian dunia kawasan Timur Tengah, sedangkan 

perdamaian seperti itu sangat tergantung kepada kemampuan 

du­nia untuk menciptakan perdamaian abadi di Irak. Inilah se­bab￾nya mengapa penulis mengusulkan kaitan langsung antara per￾damaian di Irak dengan antara Israel-Palestina. Sebagai orang 

luar yang memperhatikan perkembangan di kawasan Timur Te￾ngah —sebab  merupakan bagian dari dunia Islam yang dige­luti￾nya—, maka usul itu tentunya memiliki unsur kemungkinan ga￾gal yang cukup besar, tetapi ini tidak menghilangkan keha­rus­­an 

kita terus berupaya menciptakan perdamaian di manapun juga.

eg

Usul di atas penulis kemukakan dalam berbagai forum, an￾taranya pada ujung bulan Maret 2003, dalam sebuah konferensi 

penciptaan perdamaian di seluruh dunia di selenggarakan oleh 

IIFWP (Interreligius and International Federation for World 

Peace) di Washington DC. Begitu juga hal itu penulis kemukakan 

dalam rangkaian ceramah di Michigan University, Ann Arbor, 

pada ak­hir Maret 2003. Penulis lagi-lagi mengemukakan hal itu 

dalam seminar yang diselenggarakan Strategic Dialogue Centre 

Uni­ver­sitas Netanya, Israel di New York awal Februari 2003 lalu, 

berjudul “Mencari Kerangka Perdamaian di Timur Tengah”. Da￾lam seminar di New York itu, penulis juga mengemukakan pen￾ting­nya mengenal sebab-sebab terorisme yang dilakukan seba­gi￾an sangat kecil kaum muslimin, dengan atas nama agama mere­ka, 

seperti peledakan bom di Bali 

Di antara sebab-sebab yang dikemukakan penulis adalah 

kelalaian sebagian kecil kalangan pemuda muslimin untuk mem￾be­dakan antara institusi (lembaga) dan budaya (kultur) Islam. 

Jika ada yang melupakan budaya (kultur) itu, tentu ada ketakut￾an bahwa institusi (kelembagaan) ke-Islaman sedang diancam 

oleh peradaban Barat dalam bentuk modernisasi. Dengan sendiri￾nya, mereka merasa tantangan modernisasi dan ke barat-baratan 

sulit untuk dihadapi, maka mereka memakai  segala macam 

cara (termasuk penggunaan kekerasan) dalam “mempertahan￾kan” agama yang mereka cintai.

Dalam hal itu, mereka tidak memperhitungkan nyawa para 

korban yang berjatuhan, yang terpenting “rasa puas” sebab  te­lah dapat “membela agama”. Sikap mental yang demikian ini tentu 

sa­ja negatif dan perlu diganti dengan tindakan lain yang lebih 

po­si­tif. Hal itu akan terjadi jika pemikiran yang ada diarah­kan 

kepada penciptaan kondisi damai di manapun kaum mus­limin 

berada, termasuk di kawasan Timur Tengah. 

Kalau kita palingkan perhatian dari kawasan ini , 

maka akan tampak betapa besar keragaman cara hidup di kalang￾an ka­um muslimin yang berbeda etnis, bahasa, agama dan bu￾daya yang mereka miliki. Kalau kita sadari hal ini dengan men￾dalam, maka tampak nyata bagi kita, bahwa ragam dan jenis 

kaum mus­limin pun sangat banyak jumlahnya. Kewajiban kita 

untuk meles­tari­kan hal itu. h


J

udul dan sekaligus pertanyaan di atas, dapat dijawab de￾ngan berbagai cara. Secara historis, perang dunia kedua 

ber­akhir dengan kalahnya Adolf Hitler1

 dan Jenderal Tojo2

(Jepang) pada tahun 1945. Peperangan yang terjadi setelah itu 

se­cara umum dapat dianggap sebagai perang kemerdekaan, seti￾dak-tidaknya dari kaca mata negara-negara yang memerdeka￾kan diri dari pen­ja­jahan. Namun anehnya, perang Arab-Israel 

da­lam tahun 1948, hanya oleh orang-orang Israel saja dianggap 

se­bagai perang ke­mer­dekaan. sebab  orang-orang Israel meli­hat gerakan-gerakan Hagana

, yang dipimpin Menachem Begin4

se­bagai upaya mencapai kemerdekaan, sedangkan sejarah dunia 

tidak mau mencatatnya demikian. 

Setelah terorisme berkembang, baik dalam bentuk “gerak￾an pembebasan” yang berdasarkan marxisme-leninisme, seperti 

di Kuba dan beberapa negara Amerika Latin, maupun yang berda￾sar­kan ideologi keagamaan tertentu, seperti Pan-Islamisme dari 

al-Afghani hingga Abu al-A’la al-Maududi5

 di Pakistan, se­mua￾nya menunjuk kepada sebuah upaya bersenjata untuk mere­but 

ke­kuasaan dan memaksakan visi masing-masing atas bangsa 

yang sebenarnya tidak mengikuti pikiran mereka. 

Berbeda dari sejarah berbagai gerakan Islam berwajah ideo￾logis, di Turki gerakan di bawah pimpinan Nejmetin Erba­kan 

kemudian “terpaksa” meng­adop­si pikiran-pikiran sekuler dalam 

partai politiknya, Par­tai Ke­adilan dan Pembangunan, dan baru￾baru ini meme­nang­kan 2/3 lebih kursi parlemen negeri itu. De￾ngan kata lain, keti­dak­puasan bangsa Turki atas pendekatan poli￾tis anti-agama dan pendekatan teknokratis dalam pembangun­an oleh partai–partai politik yang ber­kuasa, akhirnya membawakan 

sesuatu yang baru: Islam mem­ba­wa akhlak agama yang dirindu￾kan, tetapi tidak menciptakan ne­ga­ra-agama yang penuh dengan 

segala macam keruwetan. 

Seperti persoalan di Turki ini juga, yang melatarbelakangi 

tumbuhnya afilitas berbagai agama dunia ke­pa­da sejumlah par￾tai politik tertentu. Soka Gakkai, sebagai organi­sasi Buddha ter￾besar di dunia, berada di belakang Partai Komeito, (par­tai ber￾sih), yang sekarang menjadi partner junior dalam pe­merintahan 

Jepang; begitu juga RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangh), se￾bagai organisasi Hindu terbesar di India, berada di bela­kang BJP 

(Barathiya Janata Party) yang dipimpin Per­da­na Menteri Atal 

Behari Vajpayee. Sementara itu, di Iran, Jam’iya al-Taqrib bain 

al-Madzahib (asosiasi pendekatan antar madz­hab) pimpinan 

Aya­tullah Wa’iz Zadeh mendukung tokoh mo­de­rat Mohammad 

Al-Khatami —yang kini menjadì Presiden Iran. Semuanya itu 

menun­jukkan bangkitnya kembali paham ke­aga­maan “non-le￾galis dan non-ideologis” di negara-negara itu.

Dari sudut sosiologis, munculnya elit baru yang sepenuh￾nya memakai  acuan-acuan Barat yang positivistik dan tekno￾kra­tik, yang didahului oleh sejarah moral yang panjang dari 

“bang­sa-bangsa Barat”, telah membawa ketegangan-ketegangan 

baru dalam hubungan antar kelompok di negara-nega­ra sedang 

ber­kembang. Baik di dalam negeri masing-masing, maupun di ka￾lang­­an anak-anak mereka yang belajar di “negeri-negeri Barat”, 

segera muncul semacam kesadaran harus melakukan se­sua­­tu 

untuk melaksanakan —dalam beberapa hal tertentu memak­­sa­­￾kan— moralitas baru dalam kehidupan masyarakat yang me­reka 

kenal. Kesadaran seperti itu, dikombinasikan dengan sedi­kit­nya 

pengenalan mereka akan sejarah Islam yang panjang —yang se￾nan­tiasa bersandar pada proses reinterpretasi ajaran agama—, 

ak­hir­nya menumbuhkan “kebutuhan” akan tindak kekerasan, 

yang menjadi pangkal bagi munculnya terorisme dalam kalang￾an ge­rakan-gerakan Islam.

Dangkalnya pengetahuan agama para teroris itu, sebab  

tidak mengenal proses penafsiran kembali ajaran Islam, juga di￾perparah dengan langkanya pengenalan akan kondisi berbagai 

ma­syarakat Muslim. Tradisi Asia Tenggara yang menganggap 

LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sebagai partner pemerin￾tah dalam pembangunan, jelas tidak terdapat di Timur Tengah, di mana para rektor dan ketua gerakan palang merah, juga ha￾rus ditunjuk oleh Presiden, Raja atau Amir. Mereka yang ti￾dak setuju dengan peranan pemerintah yang demikian besar, 

de­­ngan sendirinya harus bergerak di bawah tanah untuk tidak 

melawan pemerintah. sebab  itu pula mereka harus meniadakan 

perla­wan­­­an politis kepada pemerintah sendiri, namun melawan 

“ma­­te­­­­rialisme Barat” dengan tindak-tindak kekerasan. Barulah 

sete­lah mereka mencapai kecanggihan finansial dan militer ter￾tentu, mereka lalu membantu “orang-orang dangkal” di ber­bagai 

bilangan dunia, termasuk di negara-negara Asia Tenggara yang 

tadinya tidak mengenal terorisme terorganisir seperti itu. Yang 

dalam abad-abad yang lalu, adalah gerakan spontan yang tidak 

ber­umur panjang dalam “pembelaan terhadap Islam”, yang ber￾sifat mesianistik.

Hal yang bersifat antropologis yang menandai muncul￾nya berbagai usaha teroris di kalangan kaum Muslimin, adalah 

hi­lang­nya pembedaan antara institusi dan kultur. Gerak­an￾gerakan Islam tradisional tetap menekankan diri pada upaya￾upaya kultural, —seperti pendidikan agama, pengelolaan har­ta 

ben­da-benda kaum Muslimin (wakaf), pemunculan berbagai 

ma­­ni­festasi kultural, seperti ziarah ke makam-makam suci dan 

peng­­gunaan simbol-simbol agama seperti shalawat dan kegiat￾an seremonial kaum sufi dan reformulasi peranan perempuan 

da­lam kehidupan masyarakat, dengan tidak memberikan tem￾pat ke­pada upaya-upaya institusionalisasi yang dibawakan oleh 

“kaum pembaharu” itu.

eg

Dilihat dari berbagainya sudut pandang Muslim Sunni tra￾di­sio­nal dan manifestasi tindakan kaum Muslimin di seluruh du￾nia, jelas tidak dapat digunakan pendekatan “berlatar belakang 

terorisme” belaka. Ada ber­ba­­gai reaksi antara bermacam-macam 

masyarakat Is­lam, sehingga tidak dapat dicari pola umum tung￾gal dalam hal ini. Umpamanya saja, pandangan terhadap upaya 

demo­kra­ti­sa­si dengan tumpuan pada kedaulatan hukum dan 

persamaan per­lakuan bagi semua warga negara di muka undang￾undang, bagi beberapa kaum Muslimin Sunni tradisional tidak 

dianggap se­bagai langkah menuju “pem-Barat-an”. Oleh sebab  

itu, ti­dak setiap tindakan menyimpang dari demokrasi liberal harus di­anggap sebagai sikap anti-Barat, melainkan pertanda 

sebuah pencarian antara sesama “gerakan Islam”. Jelas upaya 

mereka itu tidak memakai  kekerasan seperti beberapa par￾tai-partai Islam di negara kita , PAS di semenanjung Malaysia dan 

berbagai wilayah kaum Muslimin yang lain. sebab nya, kita ha￾rus ber­si­kap hati-hati dalam hal ini, dan tidak menganggap se￾tiap upaya non-liberal sebagai musuh dari lingkungan anti-demo￾krasi. 

Namun tidak semua keinginan berbagai gerakan Islam ha￾rus di­wu­judkan dalam kehidupan bernegara, sebab  sifatnya yang 

khusus bagi masyarakat Islam saja. Contohnya, adalah penghor￾matan sa­ngat tinggi kepada para ulama —dalam masyarakat Is￾lam, mereka ada­­lah penentu pendapat umum masyarakat. Selain 

itu perlu di­cari formulasi peranan para birokrat dan pengusaha 

kaya da­lam ma­syarakat Muslim yang semakin lama semakin 

canggih. Kegagalan menemukan rumusan yang baik dalam hal 

ini, akan membuat masyarakat Muslim di mana-mana menjadi 

korban kepentingan kelompok birokrat maupun pengusaha kaya 

yang ada, sementara kelompok muslim itu tidak mengenal waris￾an tradisi yang ada, dalam bentuk penafsiran kem­­bali ajaran-ajar￾an Islam sesuai dengan tantangan yang di­ha­dapi. Dengan sendi￾rinya penafsiran mereka hanya bertujuan mencapai kebutuhan 

jangka pendek mereka sendiri akan sangat dominan. 

Apa yang diperbuat mantan Presiden Soeharto dari In­do­ne￾sia antara akhir 1989 hingga pertengahan 1999, dapat di­guna­kan 

sebagai contoh dalam hal ini. Soeharto, yang tidak me­mi­liki pe￾nge­tahuan mendalam akan sejarah Islam, meng­anggap pe­nguat￾an institusional bagi kaum Muslimin di negara­nya, se­­ba­­gai cara 

terbaik untuk memperoleh dukungan masya­ra­kat Mus­limin di 

negara kita  bagi pemerintahannya, yang semula di­dukung oleh 

ABRI/birokrasi/Golongaan Karya sebagai “partai pe­merintah”. 

Ia menambahkan unsur keempat untuk menopang pemerintah￾annya yang semakin melemah, dalam bentuk du­kung­­an kongkrit 

kepada kaum Muslim modernis, khususnya kepada Ikatan Cen￾dikiawan Muslim negara kita  (ICMI)6

. Ia melu­pa­­kan NU sebagai kelompok Muslim Sunni tradisional yang sibuk dengan mani￾festasi kultural Islam, dan melupakan kebu­tuh­an institusional 

golongan itu. Sebagai seorang Muslim dari lingkungan perwira 

yang dididik secara Barat, Soeharto mengabaikan aspek-aspek 

kultu­ral dan memusatkan diri pada penguatan institusional kaum 

Muslimin modernis itu. Sebagai akibat, ia ter­asing dari dua ke￾lompok masyarakat luas yang sangat ber­pe­nga­ruh: kaum Muslim 

Sunni tradisional (yang diwakili NU) dan mereka yang terdidik 

oleh “sistem Barat” dan tidak memen­ting­kan gerakan-gerakan 

Islam lagi, seperti kaum profesional, peng­usaha, intelektual dan 

mahasiswa. Akibat lainnya, Soeharto tidak kuat menghadapai 

tekanan demokratisasi, apalagi ketika para politisi “mencuri” 

isu demokratisiasi dan reformasi di negara kita , maka Soeharto 

tidak memiliki pilihan selain lengser. Ini menun­juk­kan, betapa 

salahnya menganggap Soeharto sebagai wakil go­longan Islam. 

Dia hanyalah seorang pemimpin yang mencoba memanfaatkan 

sekian banyak institusi keagamaan bagi kepen­ting­an memeli￾hara kekuasaan, namun ia gagal dalam hal ini.

Demikianlah salah satu contoh dari “manipulasi” kekuatan 

gerakan-gerakan Islam. Setelah “manipulasi” itu tidak lagi dini￾lai sebagai satu-satunya kebutuhan menjaga kepentingan bangsa 

—sebagaimana dirasakan para ulama di negara kita —, maka upa￾ya menegakkan demokrasi dan memperluas otonomi daerah di 

ne­geri itu, dianggap sebagai “memenuhi kebutuhan kaum Mus￾limin” di negeri itu. Inilah yang membuat mengapa PKB (Par￾tai Ke­bang­kitan Bangsa) memiliki prospek sangat cerah sebagai 

peme­nang mayoritas tunggal dalam pemilu negara kita  tahun de￾pan. Ini tam­­pak jelas bagi orang yang mengikuti dan mengamati 

komu­ni­kasi langsung antara PKB dan seluruh masyarakat bang￾sa Indo­nesia. Kalangan Kristen, kelompok-kelompok minoritas 

etnis (se­perti kaum Tionghoa) yang mencapai 15% seluruh bang￾sa, kaum profesional-intelektual-mahasiswa mendukung partai 

itu, sebab  melalui dukungan itu mereka mengharapkan bentuk￾bentuk demokratisasi akan terwujud di negeri khatu­lis­tiwa ini. 

Dengan melakukan fungsionalisasi Islam, disamping mempe­lo￾po­ri proses demokratisasi, PKB berhasil menetralisir dampak￾dampak negatif di dalam negeri dari terorisme kaum Muslimin 

radikal. 

Hasil dari upaya ini tidak akan lama lagi, jika negeri ini men￾jalankan dua hal. Pertama, haruslah dikembangkan pendapat yang men­coba melakukan identifikasi upaya-upaya redefinisi 

fungsi-fungsi Islam dalam kehidupan masyarakat, dengan ber￾bagai tindakan demokratisasi. Dan kedua, adalah penegakkan 

demokrasi di ne­geri berpenduduk puluhan juta manusia yang 

menginginkan ke­hi­dupan demokratis bagi bangsa ini , yang 

berintikan pene­gakan kedaulatan hukum.

eg

Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan, untuk 

memerangi terorisme yang dilakukan oleh golongan-golongan 

Mus­limin radikal di negara kita , dengan ujung peledakan bom di 

Bali, diperlukan langkah-langkah berikut.

Pertama, kemampuan membedakan secara ta­jam antara 

kelompok kultural dan kelompok institusional, di an­tara berba￾gai kelompok–kelompok kaum Muslimin di negeri itu. Kedua, 

dilakukan pengenalan mendalam dan penyebaran konsep-kon￾sep memajukan warga masyarakat Muslim di nege­ri itu, dari 

kemiskinan yang masih melatarbelakangi prosentasi sa­ngat be￾sar dari penduduk secara keseluruhan. Ketiga, meng­opti­mal­kan 

kembali kemampuan bangsa negara kita  menekan per­tum­buhan 

penduduk, -hingga pertengahan 1995 pertumbuhan pen­duduk 

hanya 1,6% tiap tahun, berarti penambahan penduduk seki￾tar 3,5 juta jiwa, tapi sejak beberapa tahun terakhir ini kem­bali 

menjadi 3,5%-. Pemerintah yang sekarang ini berkuasa, tidak 

mampu menekan kenaikan absolut jumlah warga negara yang 

jus­tru dirugikan oleh program-program pembangunan yang ti￾dak memiliki wawasan kependudukan. Keempat, sikap arogan 

me­reka yang merasa “berjuang secara fisik untuk Islam”, harus￾lah diatasi paling tidak oleh pemerintah. Tindakan menghukum 

mereka itu haruslah diusahakan, sebab  sebenarnya bertujuan 

menghilangkan sikap arogan yang selalu merasa benar dan me￾nganggap pihak-pihak lain salah. sebab nnya tindakan kepala 

team Polri yang menangkap mereka yang disangka melakukan 

te­ro­risme dengan meledakkan bom di Bali (Imam Samudra, 

Amrozy dan sejumlah temannya yang lain) dengan memasukkan 

I Made Pastika dan Edy Darnadi ke dalam team ini , jelas 

me­rupakan upaya pemerintah negara kita  untuk memberlakukan 

keinginan menghukum itu. 

Terserah kepada bukti-bukti legal yang diperoleh, memiliki kekuatan untuk itu atau tidak, namun jelas itu merupakan lang￾kah pertama untuk menindak terorisme yang berbaju agama. Di 

sini berlaku apa yang dikatakan oleh mantan Ketua Mahkamah 

Agung Mesir, Al-Asymawi, bahwa selama tiap tindakan hukum 

di bidang pidana memiliki unsur hukuman dan cegahan (punish￾ment and deterrence), selama itu pula ia dapat disamakan de￾ngan hu­kum pidana kanonik yang terdapat dalam hukum Islam 

(fiqh). Dengan demikian, salah satu keberatan para teroris yang 

diadili itu, melalui para pengacara mereka, bahwa mereka tidak 

dapat dikenakan tindakan legal berdasarkan “Hukum Barat”, 

seperti hu­kum Pidana negara kita  saat ini yang dikodi­fi­ka­sikan 

dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), 

tertolak dengan sendirinya.

Di samping upaya hukum itu, diperlukan pengamatan ke￾tat dari pihak intelijen, guna menangkal upaya-upaya teroris￾tik, sebelum hal itu terjadi. Ini sangat diperlukan sebab  letak 

geografis negara kita  yang sangat memudahkan lang­kah-langkah 

mempersiapkan terorisme internasional di dalam negeri, de￾ngan bantuan keuangan dan latihan-latihan dari luar kawasan 

Asia Tenggara. Jumlah pulau negara kita  sebanyak 17.000 buah, 

dengan 4.000 buah diantaranya tanpa penghuni, adalah se­sua­tu 

yang sangat mudah bagi gerakan-gerakan teroris inter­na­sio­nal 

untuk menciptakan kondisi matang bagi terorisme. Apa yang di￾lakukan gerakan Abu Sayyaf di Filipina Selatan, meru­pa­kan buk￾ti adanya watak internasionalistik dari tindakan-tin­dakan te­ror 

yang dilakukan di kawasan Asia Tenggara. Jika gerakan ini  

punya kaitan dengan MILF (Moro Islamic Liberation Front) atau 

MNLF (Moro National Li­bera­tion Front), jelas adanya watak in￾ternasional dari gerakan ini  merujuk kepada penanganan 

lebih menyeluruh dari pihak internasional di bawah koordinasi 

Pemerintah Filipina. 

Kegagalan menciptakan mekanisme yang diperlukan un￾tuk menangani terorisme itu, akan membawa konsekuensi-kon￾sekuensinya sendiri, seperti perkembangan di Australia dan Je￾pang serta reaksi-reaksi balik dari “negeri-negeri sosialistik” di 

kawasan pasifik selatan. Belum lagi kalau dilihat kemungkinan 

bersambungnya gerakan ini  dengan terorisme “bertopeng” 

agama Islam yang berkembang secara domestik di negara kita . 

Tindakan-tindakan hukumlah yang akan membuktikan, apakah 

yang terjadi di negara kita  juga merupakan sesuatu yang berwatak internasional. Memang ada oknum-oknum dari berbagai gerak￾an Islam di negara kita  yang tampak memiliki hubungan dengan 

MILF dan MNLF di Filipina Selatan, tetapi masih terlalu dini un￾tuk melihatnya sebagai jaringan terorisme internasional.

eg

Hal kelima yang harus dilakukan, adalah memberikan infor￾masi yang benar tentang jalannya sejarah Islam kepada generasi 

muda kaum Muslimin sendiri. Kepada mereka tidak jemu-jemu￾nya harus diberikan keterangan, bahwa dalam perkembang­an￾nya, Islam mendasarkan diri kepada proses penafsiran kembali, 

dan tidak merujuk kepada perlawanan keras (apalagi fisik) ke­pa￾da proses modernisasi. Sabda Nabi Muhammad Saw, umpa­ma￾nya, “Sesungguhnya aku akan membanggakan kalian di muka 

umat-umat lain pada hari kiamat”, seharusnya maksud sabda 

itu bersifat kualitatif, bukannya kuantitatif seperti yang banyak 

diartikan oleh mayoritas kaum Muslimin sekarang. sebab nya 

tidak ada alasan untuk menolak gagasan keluarga berencana se￾lama tidak menghilangkan wewenang reproduktif yang ada di 

tangan Tuhan atas umat manusia, dengan melaksanakan kon­tra￾sepsi yang tidak bertentangan dengan syari’ah. 

Di samping itu diperlukan pula pengembangan pemikiran 

kaum muda bangsa ini, dengan memaparkan bahwa kawasan 

Timur Tengah tidak memiliki tradisi LSM yang kuat, sehingga 

kri­tik-kritik terhadap pemerintahan mereka harus dilaksanakan 

di bawah tanah, maka kritik-kritik terbuka itu diarahkan bu￾kan ke­pada pemerintah sendiri, melainkan kepada “cara hidup 

Barat”. Inilah yang kemudian masuk ke dalam pola pemikiran 

Samuel Hun­tington dengan teori perbenturan budayanya (Clash 

of Civi­li­zation) yang terkenal itu. Huntington lupa bahwa tiap 

tahun, puluh­an kalau tidak ratusan ribu pemuda Muslim belajar 

“tek­no­logi Barat”, yang berarti juga terjadinya akomodasi buda￾ya antara Islam dan Barat. 

Proses saling belajar seperti itu, jika tidak dijelaskan de￾ngan baik, justru akan membuat para pemuda Muslim cende￾rung me­ng­anggap Barat sebagai musuh, dan dengan demikian 

mem­buat mereka memakai  kekerasan melawan apa yang 

mereka ang­gap sebagai “musuh” itu. Perbedaan persepsi dari 

proses be­sar itu, justru digunakan oleh tokoh-tokoh Islam yang melihat “ba­haya” dari perjumpaan akomodatif antara Islam dan 

Barat itu. Apalagi, jika di dunia Barat sendiri lahir kelompok-ke￾lompok yang “benci” kepada peradaban Barat itu sendiri, seperti 

Louis Farrakhan7

 di Amerika Serikat.

Dalam hal ini, studi kawasan Islam (Islamic Area Stu­dies) 

sangat diperlukan, sebab  dengan demikian akan nampak per￾be­­da­an cara hidup kaum Muslimin dari sebuah kawasan ke ka￾was­­an lain dengan jelas. Penulis pernah mengemukakan kepa­da 

Universitas PBB di Tokyo dalam tahun-tahun 80-an, dunia Is￾lam sebaiknya dibagi menjadi enam buah studi kawasan: masya￾ra­kat-masyarakat Muslim di kawasan Afrika hitam, kawasan 

Afrika utara dan dunia Arab, kawasan budaya Turki-Persia-Af￾ghan, ka­wasan Asia Selatan (Bangladesh, Nepal, Pakistan, India 

dan Srilangka), kawasan Asia Tenggara dan kawasan mi­no­ritas 

Muslim di negeri-negeri berteknologi maju. Sekarang ini kita 

cende­rung melakukan studi kawasan nasional, padahal yang 

diperlu­kan adalah studi kawasan regional. Ini saja sudah menun￾jukkan betapa jauhnya jarak antara kerja intelijen de­ngan kerja 

dunia akademik. Herankah kita jika lalu para politisi banyak me￾lakukan kesalahan dalam mengambil keputusan? Ini tentu ber￾imbas pada sikap bersama kita terhadap tindakan-tindakan para 

teroris.


Sewaktu penulis berkunjung ke Boston, kota pelajar di Ameri￾ka Serikat (AS), bulan September 2002, penulis di­minta 

memberikan ceramah bagi sejumlah mahasiswa asing di 

Kennedy School of Government Universitas Harvard. Pe­nulis di￾minta para mahasiswa ini  melalui anak penulis Zannuba 

Arifah Chafsoh1

 yang belajar di situ untuk program se­tahun lama￾nya. Saat itu minggu sore hari, penulis diminta ber­bicara menge￾nai situasi global saat ini, bagaimana responsi gerak­an-gerakan 

dan negara-negara Muslim di dunia atas perkembang­an terse￾but, dan apa akibatnya bagi negara kita .

Sungguh sebuah tema yang besar —yang tentunya tidak 

akan dapat dikemukakan hanya dalam waktu dua jam saja, dan 

itu­pun termasuk dengan tanya jawabnya sekalian. Demikian pu￾la, melihat komposisi mahasiswanya yang datang dari ber­ba­gai 

negara, kiranya tidak memungkinkan untuk mengupas satu-per￾satu tema di atas. Sebab, bagi mahasiswa-mahasiswa Amerika 

La­tin —misalnya, tentu tidak tahu persoalan Asia Tenggara. Dan 

be­­gi­tu­pun mahasiswa non-Muslim tentu juga tidak mengerti 

ma­­sa­­lah-masalah yang dihadapi kaum Muslimin. sebab  itu, pe­nu­lis harus memilih masalah paling utama yang sedang ak￾tual dibi­ca­rakan di mana-mana, yaitu rencana penyerangan dan 

pem-bom­an AS atas Irak. Dari hal itulah baru dikemukakan hal￾hal mendasar yang menyangkut ketiga tema di atas. 

Penulis beranggapan, penyerangan dan pemboman AS 

atas Irak dapat dipastikan akan mencapai hasil yang diharap­kan. 

Mungkin, mengenai masalah produksi dan penyediaan bahan 

bakar minyak bumi yang melimpah-ruah dapat diubah melalui 

pe­nyerangan ini , atau Saddam Husein digulingkan dari pe￾me­rintahannya. Tetapi bahwa Irak akan menjadi negara penu­rut 

bagi AS, rasanya jauh dari kenyataan. Para pemimpin oposisi 

Irak yang menentang Saddam Husein dan baru-baru ini berkum￾pul di Gedung Putih—setelah memegang tampuk pemerintahan 

dukungan AS, belum tentu nantinya akan mengikuti kehendak 

ne­gara Paman Sam itu. Untuk dapat bertahan, mereka harus pan￾dai-pandai menampung perasaan rakyat Irak yang benci terha￾dap campur tangan asing, dalam hal ini adalah AS. Ini semua, 

me­rupakan sebuah aspek saja yang harus diperhitungkan dalam 

melihat permasalahan di atas.

eg

Sekali lagi, menjadi nyatalah bagi kita bahwa kekuatan saja 

belum tentu dapat mengubah perasaan orang banyak. Ada residu 

perasaan tidak senang, apabila kekuatan dan kekuasaan diguna￾kan secara berlebihan. Dalam jangka panjang, hanya kerugian 

bagi semua pihak saja yang terjadi akibat pertimbangan-pertim￾bang­an geopolitik yang digunakan AS saat ini. sebab nya, kita 

harus berhati-hati dengan berbagai pertimbangan ini , apa￾la­gi kalau tindakan yang diambil sangat dipengaruhi oleh emosi 

para pengambil keputusan. 

Tampaknya, Presiden AS George W. Bush Jr., merencana￾kan serangan dan pemboman atas Irak itu dengan pertimbang￾an men­cari popularitas, sebab  ketidakmampuan memecahkan 

krisis ekonomi AS yang sedang terjadi. Tetapi bahayanya, kalau 

serang­an dan pemboman besar-besaran itu tidak menghasilkan 

si­kap Irak untuk mengikuti kehendak AS -katakanlah di bidang 

mi­­nyak bumi, ditambah dengan jumlah besar penduduk sipil 

yang menjadi korban serta banyaknya serdadu AS yang gugur 

atau menderita luka-luka di kawasan ini , bisa jadi pendapat umum di AS dapat berbalik menyalahkan presiden ini . Dan 

kemungkinan untuk itu tampaknya cukup besar, sebab  Saddam 

Husein menarik pasukan-pasukannya ke kawasan perkotaan, 

yang berati akan jatuh lebih banyak korban, apalagi kalau ia ber￾hasil menggerakkan perlawanan gerilya kota terhadap serangan 

AS. 

Se­rang­­­an dan pemboman itu akan memicu  kemarah￾an luar biasa bagi kaum Muslimin di seluruh dunia terhadap 

Pemerintah AS sendiri. sebab  ketidakberdayaan menghentikan 

serangan dan pemboman itu, dengan sendirinya peradaban yang 

melahirkannya yaitu peradaban Barat, ditolak sebagai mitra 

peradaban Islam ke arah kemajuan. Dengan demi­kian, keme￾lut psikologis yang menghinggapi diri kaum Muslimin di selu￾ruh dunia, akan semakin menjadi-jadi, minimal bagi para war­ga 

gerakan-gerakan Islam. Sikap keras sebagian mereka, de­ngan 

sendirinya semakin sulit untuk dilerai, dan perlawanan gila-gila￾an seperti bom bunuh diri di Israel-Palestina akan semakin ba￾nyak. Kalaupun tidak bertambah jumlahnya, reaksi psikologis 

yang menghinggapi para warga gerakan-gerakan Islam itu akan 

menjadi keras dan bertambah kompleks. Apalagi ditambah de￾ngan sikap Perdana Menteri Ariel Sharon2

 dan Kepala Staf Ang￾katan Bersenjata Israel Jen­deral Allon yang semakin qkeras ter￾hadap kaum pejuang Pa­lestina, maka rasa tidak berdaya itu akan 

berubah secara kualitatif dan kuantitatif menjadi kebencian se￾makin besar terhadap “peradaban Barat”.

eg

Bagi negara kita , atau lebih tepatnya bagi gerakan-gerakan 

Islam moderat di negeri ini, tantangan yang dihadapi juga akan se￾makin besar. Di tengah-tengah sikap moderat kebanyakan kaum 

Muslimin di negeri ini, terdapat kelompok-kelompok “Muslim 

garis keras” yang tentu saja akan merasakan tekanan-tekanan 

psi­ko­logis yang dirasakan kaum Muslimin di seluruh dunia seba￾gai akibat dari serangan dan pemboman AS atas Irak itu. Rasa tidak berdaya itu tentu akan membawa akibat-akibatnya sendiri 

yang serius bagi keadaan umat manusia dewasa ini, yaitu mem￾buat lebih tipis keinginan mencari langkah-langkah akomodatif 

antara peradaban Islam dan peradaban-peradaban lain. 

Rasa tidak berdaya itu, tentu lebih terasa di kalangan kaum 

muda dan kaum miskin perkotaan (urban poor), suatu hal yang 

sa­ma sekali tidak dilihat oleh Presiden George Bush Jr., yang 

sudah dapat diperkirakan sebelumnya, dari kualitas pertimbang￾an-pertimbangan geo­poli­tis yang digunakan olehnya. Di sinilah 

sebenarnya terletak pang­kal masalah yang dihadapi umat manu￾sia dewasa ini. 

Di satu pihak, negara-negara yang berindustri maju, sering 

di­­sebut sebagai negara-negara makmur (affluent countries), 

ti­dak penah menyadari parahnya keadaan di negara-negara 

ber­­kem­­bang dan lebarnya kesenjangan antara kaum kaya dan 

miskin di kawasan ini . Memang, meski peperangan terha￾dap terorisme internasional dan penegakan demokrasi telah dila￾kukan, tetapi AS bukanlah contoh yang baik tentang bagaimana 

upaya menegakkan demokrasi dan menghilangkan kesenjangan 

kaya-miskin serta pembelaan terhadap negara-negara berkem￾bang yang lemah. Bahkan, AS sendiri lebih sering dianggap seba￾gai pendukung para penguasa lalim di seluruh dunia. Kalau demi￾kian, berhakkah dia berbicara tentang moral dan etika? Pa­da­­hal 

perjuangan melawan terorisme internasional dan domestik, ha￾ruslah didasarkan pada acuan moral dan etika. sebab , banyak 

yang mempertanyakan hak AS untuk memberantas terorisme 

in­ter­­nasional, yang membunuh sangat banyak penduduk sipil 

yang dibom dan diserang dengan sebuah keputusan yang bersi￾fat unilateral.

Dengan dasar etis dan moral yang masih dipertanyakan, 

herankah kita jika banyak kaum muslimin lalu mempertanyakan 

sendi-sendi peradaban yang tidak seimbang antara yang terjadi 

dengan yang dibawakan AS sebagai negara adikuasa dan negara￾negara berteknologi maju? sebab  tidak me­miliki pengetahuan 

agama yang cukup, herankah jika mereka melihat sikap moderat 

mayoritas kaum muslimin, sebagai lang­kah menyerah bulat pada 

peradaban sekuler yang melahirkan aro­gansi sikap itu? Sikap 

Presiden Bush itu membebani kaum muslimin moderat dengan 

tugas yang tidak ringan, yaitu meng­ata­si sikap utopis di kalangan 

kaum “muslimin garis keras”. Adil­kah yang demikian itu? h


Ketika penulis memberikan ceramah di KSG (Kennedy 

School of Government) bagi sejumlah orang mahasiswa 

Universitas Harvard, akhir September 2002 ini, ada per￾ta­nyaan dari seorang mahasiswa pascasarjana asal Singapura: 

me­ngapakah penulis memusuhi Singapura? Penulis menjawab, 

bah­wa ia memang menolak arogansi sementara para pemimpin 

Singapura, yang sok tahu tentang perkembangan Islam di Tanah 

Air kita. Bahkan dua orang pejabat tinggi Singapura menyatakan 

bahwa “Muslim garis keras” akan memerintah negara kita  dalam 

waktu 50 tahun lagi. Penulis menyatakan melalui jawaban tu￾lisan —ia menjawab melalui beberapa buah media massa Indone￾sia yang masih mau memuat pernyataannya, bahwa kita tidak 

per­lu mendengarkan pendapat kedua orang pemimpin Singapu￾ra ten­tang Islam di negeri ini, sebab  mereka tidak tahu apa-apa 

tentang agama ini .

Jawaban penulis ini, menunjuk pada sebuah perkembang￾an penting di negeri kita. sebab  sebelumnya, para pemimpin 

kita di masa lam­pau menerima suapan dari sejumlah tokoh Singa￾pura, lalu mere­ka berada pada posisi bergantung pada ekonomi 

Singapura. Kare­na itu, timbulah arogansi di kalangan sementara 

tokoh nege­ri itu. Dari arogansi ini, lalu timbul sikap mementing￾kan pihak yang tidak penting, dan mem­­berikan penilaian yang 

terlalu tinggi terhadap mereka. Ter­ma­suk dalam sikap ini, pan￾dangan sangat merendahkan ter­hadap kaum Sunni tradisional 

seperti yang ada di lingkungan Nahdlatul Ulama. Selain itu, kare￾na pe­nulis tidak mau meng­gunakan kekerasan untuk memper­ta￾han­kan jabatan nega­ra, sebagai presiden yang berfungsi menjadi 

kepala negara seka­li­gus kepala pemerintahan, sikap itu diang￾gap mereka sebagai kele­mah­an. Mereka tidak percaya, bahwa 

demokrasi me­lalui pe­milihan umum akan memberikan penilai￾annya sendiri. Apalagi ka­rena memang para tokoh Singapura itu 

tidak percaya pada de­mo­krasi dan memperlakukannya secara 

manipulatif.

Begitulah pandangan seorang tokoh Singapura yang di­ang￾gap sudah mendunia, padahal postulat-postulat yang di­guna￾kan­nya hanya berasal dari kalangan elit belaka. Tokoh ini , 

tidak pernah menyadari bahwa dunia baru sedang meng­geliat, 

bangun dari tidurnya selama berabad-abad. Dunia baru itu me￾ngem­bangkan postulat-postulat dan premis-pre­mis­nya sendiri, 

yang harus ditangkap dengan jitu, agar tidak ter­jadi hal-hal yang 

merugikan semua pihak. Termasuk di dalam­nya, kaum Musli￾min moderat yang sanggup memper­ta­hankan ke­yakinan agama 

mereka, sambil menyerap hal-hal baik dari ke­ma­juan pengeta￾huan dan teknologi modern.

Jelaslah dari uraian di atas, penulis tetap menganggap pen￾ting kemajuan pengetahuan dan teknologi Singapura, namun 

pe­nulis tetap beranggapan bahwa Singapura juga memiliki keter￾batasannya sendiri. Ini berarti, sikap arogan dari sejumlah tokoh 

mereka terhadap negara kita  dan Islam harus dihilangkan, jika di￾ingin­kan tetap ada hubungan baik antara kedua negara. Penulis 

sendiri sangat menghargai kemampuan bangsa Singapura untuk 

maju dengan cepat, walaupun terkadang dicapai atas kerugian 

bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Jadi harus dicari bagaimana 

mempertahankan kemajuan yang dicapai, sambil menghargai 

de­ngan sungguh-sung­guh upaya bangsa-bangsa sekitar untuk 

maju dengan cara mereka sendiri.

Sikap memandang rendah bangsa dan negara lain —betapa 

canggihnya sekalipun ia dibungkus­—, tetap akan tampak dalam 

jang­ka panjang. Inilah yang membuat orang-orang seperti penu￾lis berbeda pandangan dari tokoh-tokoh arogan Singapura itu. 

Wa­lau­­pun penulis berbeda pandangan dari tokoh-tokoh ini , 

na­­mun ia tidak memusuhi bangsa Singapura. Sebagai penganut 

paham non-hegemonik hubungan internasional, penulis sangat 

meng­hargai bangsa Singapura. Tetapi ini tidak berarti penulis 

meng­­anggap Singapura patut menjadi contoh bangsa dan negara 

kita. Tentu saja persoalan-persoalan yang dihadapi negara-kota (city state) —yang sangat kecil seperti Singapura—, tidak sama 

de­­ngan masalah-masalah yang dihadapi negara-bangsa (nation 

state) seperti negara kita , yang memiliki lebih dari 200 juta pen­du￾duk dan memiliki wilayah ribuan kilometer. 

Dengan sendirinya, para pemimpin negara kita harus me￾mi­­­liki wawasan dan kebijakan (policy) sendiri, yang akan me￾la­hir­­­kan kebijaksanaan (wisdom) dalam menangani berbagai 

masa­­lah dalam menghadapi bermacam-macam sikap, termasuk 

aro­gansi tokoh-tokoh negara lain sekecil Singapura itu.

Penulis teringat ungkapan CEO (Chief Excutive Officer), 

pejabat ekskutif tertinggi General Motors, beberapa puluh ta￾hun yang lalu, yaitu Charlie “Engine” Wilson, bahwa apa yang 

baik bagi perusahaan ini , juga baik bagi Amerika Serikat, 

tidak berlaku dalam hubungan internasio­nal an­tara negara kita  

dan Singapura. Jelaslah dengan demikian, apa yang baik bagi 

Singapura, belum tentu baik bagi negara kita . Sekarang saja, ke￾tika komplek serba ada seperti ITC di Mangga Dua sudah ber￾fungsi, Singa­pura su­dah ke­walahan menarik para pembeli kita. 

Demikian juga, hotel-hotel mereka yang dahulu memanfaatkan 

konsumen dari negara kita, sekarang juga dibuat pusing oleh su￾litnya mena­rik para pembeli bangsa kita.

Bangsa Singapura harus menyadari, pola hubungan berke￾ter­gantungan antara negara mereka dengan negara kita -Ma￾laysia-Thailand-Brunei Darussalam, adalah pola hubungan ti￾dak nor­mal, yang pada suatu ketika akan kontraproduktif dan 

merugikan Singapura sendiri. Ini berarti, sikap arogan terha­dap 

bangsa-bangsa dan negara-negara sekitar, haruslah diakhiri. 

Hu­bungan baru harus segera dibuat atas dasar saling penghor￾mat­­an dan kesadaran masa depan bersama yang akan penuh rin￾tang­an. Sekarang saja, tekanan kegiatan ekonomi ASEAN su­dah 

berpindah dari kawasan selatan ke kawasan utara perse­ku­tu­­an 

ini . Proyek Delta Mekong yang melibatkan Thailand-Kam￾bodia-Vietnam-Laos dan Myanmar merupakan titik baru eko￾nomi regional, walaupun proyek jalan raya, pelayaran mau­pun 

pener­bangan BIMP-EAGA1

 (Filipina–Brunei–Malaysia-In­do­­ne­sia dan kawasan pengembangan ASEAN Timur) masih tersen￾dat-sendat.

Kesadaran bersama ini mengambil bentuk bermacam-ma￾cam. negara kita , umpamanya, lebih mementingkan pelabuhan 

sa­­mu­dera. Sementara upaya mengatasi kebakaran hutan yang 

me­ng­ganggu negara-negara tetangga, adalah antara lain dengan 

mempertimbangkan usulan Ir. Erna Witoelar agar kelompok￾ke­lompok masyarakat memiliki dan mengelola daerah-daerah 

ping­giran hutan, agar mereka turut bertanggungjawab dalam 

meme­li­hara kelebatan hutan, sebab  ditakutkan akan merembet 

ke ka­wasan yang mereka miliki. Juga, kelestarian sumber-sum￾ber alam, seperti batu-bara, minyak bumi, gas alam serta barang 

tambang lainnya, akan membawa perubahan besar-besaran da￾lam mengelola ekonomi di masa depan. Di sini yang dipenting￾kan adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup rakyat keba￾nyak­an, agar mereka turut bertangungjawab atas kelestarian 

sumber-sumber alam ini . 

Ini semua berarti, negara kita  akan membuka diri terhadap 

masuknya investasi asing. Kalau ini yang selalu diingat, hubungan 

negara kita  dengan negara-negara tetangganya, atas da­sar prinsip 

saling menghormati, akan menjadi lancar dan men­dorong sta￾bilitas kawasan. Dan, hal itu berarti harus ada pe­nyeimbangan 

kepentingan nasional masing-masing negara, di satu sisi dan ke￾pentingan bersama bagi kawasan yang memiliki kolektifitasnya 

sendiri, di sisi lain. h


Seorang yang dekat dengan Perdana Menteri Thaksin Shi￾nawatra (dibaca, Cinawat) mengatakan pada penulis ten￾tang ketidakmengertian orang-orang Thai tentang tidak 

terlaksananya dua buah masalah pokok yang telah disepakati an￾tara Muangthai dan negara kita . Yang pernah dicapai antara Per￾da­na Menteri Thaksin dengan penulis, dalam kapasitas sebagai 

Presiden Republik negara kita . Tanpa pelaksanaan kedua hal itu, 

yang terjadi adalah keraguan dari pihak Muangthai, benarkah 

orang negara kita  serius dalam melaksanakan hal-hal yang telah 

disepakati? Jika dapat berjalan dengan lancar, maka sekaligus 

akan merupakan terobosan.

Kedua hal itu adalah kesepakatan untuk memproses mi￾nyak mentah negara kita  di berbagai kilang minyak Muangthai, 

tujuan­nya untuk mengurangi ketergantungan negara kita  kepada 

kilang-kilang minyak Singapura. Tampaknya, para pejabat Per￾tamina ti­­dak mau bersusah payah dalam hal ini, sebab  hanya 

bersedia ber­­sandar pada keinginan pemerintah Singapura saja. 

Dalam pem­­bicaraan itu penulis menyatakan bahwa mungkin pi￾hak pe­mi­­lik kilang di Singapura telah memberikan sesuatu seba￾gai so­gok­an kepada para pejabat negara kita .

Hal kedua adalah menciptakan keseimbangan perdagang￾an (balance trade account) dalam perdagangan antara Indone￾sia-Muangthai. Dasar dari pemikiran itu, adalah apa yang diala￾mi oleh negara-negara Eropa setelah Perang Dunia II. Waktu itu,

ne­gara-negara Eropa tidak memiliki jumlah uang yang besar, se￾hing­ga mereka tidak memakai  uang sama sekali dalam per￾dagangan antar negara di Benua Eropa. Jika hampir tutup buku, 

mereka cukup membandingkan neraca pembayaran antara dua 

negara. Dari situ akan tampak, berapa tanggungan sebuah nega￾ra pa­da negara yang lain sebagai hasil penyeimbangan. Hanya 

jum­lah berlebih itulah yang harus dibayar dalam valuta asing 

oleh sebuah negara dalam sistem penyeimbangan itu. Hal ini di￾lakukan, oleh negara-negara yang kekurangan valuta asing.

eg

Bagi negara-negara berkembang, yang selalu kekurangan 

devisa, sebaiknya menerapkan cara ini di antara mereka. Dengan 

demikian, keseimbangan neraca perdagangan dapat dipelihara, 

tanpa menghilangkan kewajiban menyelesaikan jumlah-jumlah 

selisih antara mereka dalam neraca pembayaran. Hanya dengan 

cara inilah dapat dilakukan kerjasama untuk melawan kekuasaan 

negara-negara maju, seperti Amerika Serikat. Namun, keinginan 

mulia Muangthai justru tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah 

negara kita  sekarang, yang sedang mengalami krisis multidimen￾sional. Ini adalah hal yang sangat mengherankan Muangthai 

sendiri.

Penulis menyatakan, tidak usah heran dengan sikap terse￾but. sebab  negara kita  sangat tergantung kepada mitranya dari 

negara-negara berteknologi maju, dan kurang memperhatikan 

sesama negara melarat. Ini tentu disebabkan oleh kecenderungan 

para penguasa negara untuk mencari keuntungan bagi diri sen­di￾ri, baru setelah itu memikirkan kepentingan negara. Mentalitas 

inilah yang diketahui para pengusaha negara-negara bertek­no­lo￾gi maju, hingga upeti tertentu dapat dibayarkan untuk kepen­ting￾an kalangan pejabat di negeri ini.

Keheranan teman-teman di Muangthai itu segera terjawab 

sebab  sebab-sebab tadi. Nyata benar, sikap para penyelengga￾ra pemerintahan, dapat memicu  dampak-dampak negatif 

bagi pertumbuhan ekonomi negeri ini. sebab nya, patutlah per￾tim­­bang­an Paul Krugman, seorang maha guru ekonomi dari MIT 

(Massa­chusset Institute of Technology) bahwa selama birokrasi 

pemerintah di negara kita  berjumlah terlalu besar dan belum ber￾sih betul dari korupsi, selama itu pula jangan diharapkan untuk 

bisa sukses ketika keluar dari IMF (International Monetary 

Fund). Selama kebersihan birokrasi pemerintah tidak diperhati￾kan, maka jangan diharapkan akan tumbuh sikap yang meman￾dang perlu memelihara kepentingan orang banyak.

eg

Jelas dari uraian di atas, hubungan sehat dalam perdagang￾an antar negara sangat tergantung pada kesehatan birokrasinya. 

Sikap inilah yang tidak pernah mendapatkan perhatian serius 

kita dalam peyelenggaraan kemitraan dengan sesama negara ber￾kem­bang, baik dalam lingkungan ASEAN maupun di luarnya.

sebab  itu, kita tidak perlu heran dengan pertanyaan orang￾orang Muangthai yang menanyakan keseriusan untuk bermitra 

an­tara sesama Negara ASEAN, maupun antara sesama negara 

berkembang. Dan jangan heran dengan keluhan para pengamat 

luar dan dalam negeri, sebab  sebenarnya kita juga tahu akibat 

yang ditimbulkan penyelenggara pemerintahan, bersumber dari 

pe­mahaman mereka atas situasi yang dipengaruhi oleh kepen￾ting­an pribadi masing-masing.

Dengan menelaah apa yang terjadi dalam proses pengam￾bil­­an keputusan tadi, tentu saja keinginan penulis untuk mewu￾jud­­­kan sebuah prinsip bekerjasama antara sesama negara ber￾kem­­bang seringkali diabaikan, seperti halnya bagaimana kita 

me­nyambut sebuah investasi yang akan menguntungkan dae￾rah. Keinginan penulis untuk mewujudkan segala sesuatu yang 

produktif, antara para pejabat Muangthai dengan pejabat Indo￾nesia ternyata masih harus ditunda lagi, hingga entah kapan ter￾wujudnya. Jadi tidak heranlah jika kepentingan negara-negara 

berteknologi maju lebih diutamakan oleh para penyelenggara 

pemerintahan kita saat ini. h



Pada pertengahan Juni 2002, penulis pergi ke Bangkok, 

Thailand. Di kota ini , penulis menghadiri pembentuk￾an sebuah lembaga pertimbangan bagi Per­se­rikatan Bang￾sa-Bangsa (PBB), bernama World Council for Reli­gious Leaders

(Dewan Dunia Pemimpin-pemimpin Agama). Dalam anggaran 

dasar lembaga pertimbangan itu, dikemukakan bahwa lemba­ga 

itu mengacu kepada perdamaian dunia tanpa kekerasan, dan 

ha­rus berbicara mengenai cara-cara mencapai perjuangan per­­da￾maian dunia sebagai kenyataan yang paling diperlukan di dunia 

ini. Lembaga ini adalah hasil dari Konferensi Dunia untuk Aga￾ma dan Perdamaian (World Conference on Religion and Peace￾WCRP)1

, yang dibuka oleh Presiden Amerika Serikat (AS) saat 

itu, Bill Clinton, tahun 2001. Penulis sendiri dan Presiden Khata￾mi dari Iran, ketika itu, tidak dapat datang sebab  kesibukan ma￾sing-masing di dalam negeri. Namun, ia diwakili oleh Ayatullah 

Taskhiri dan Diwan al-Taqrib Baina al-Madzâhib (Dewan Pen￾de­katan Antar Sekte). Dihadiri oleh para agamawan dari ber­ba￾gai agama, pembentukan lembaga ini  merupakan sebuah 

kejadian penting, sebab  para aga­ma­wan itu mewakili para aga￾ma­wan se-dunia untuk membe­rikan pertimbangan bagi Per­se­ri￾katan Bangsa-Bangsa (PBB).

Walaupun fungsi badan ini hanyalah memberikan per­tim￾bang­an belaka, yang dapat dipakai atau dibuang oleh organisasi 

tingkat dunia itu, namun pertimbangan yang diberikan memiliki

bobot tersendiri. sebab nya, lembaga baru ini tidak dapat begitu

saja diabaikan, sebab ia merupakan langkah baru untuk mem­per￾kuat badan tingkat dunia seperti PBB.

eg

Dalam pidato pembukaan, penulis mengemukakan tiga hal 

yang harus menjadi kerangka lembaga baru ini . Pertama, 

harus disadari bahwa pertimbangan yang diberikan akan me￾mi­liki spiritualitasnya sendiri, di tengah-tengah orientasi PBB 

sen­diri yang bersandarkan filsafat materialisme dalam segenap 

teori pembangunan yang sekuler yang jauh dari ukuran-ukuran 

keagamaan. Kedua, pertimbangan yang diberikan memiliki latar 

belakang dinamika masing-masing agama yang penuh dengan 

perubahan, yang berarti ia adalah hasil dan sebuah proses yang 

belum selesai. Ketiga, proses yang menghasilkan pertimbangan￾pertimbangan itu harus dilihat dari sudut pandang dialog antar 

agama, bukannya konfrontasi antara agama dan materialisme. 

Mengenai hal pertama, sudah jelas bahwa acuan mate­ria￾lis­tik sekarang merupakan bahan pertimbangan satu-satunya 

bagi organisasi tingkat dunia ini . Dasar-dasar pertimbang￾an geo­­politik yang benar-benar materialistik dalam orientasi, 

me­­­ru­­­pakan satu-satunya nafas dalam mengambil keputusan. 

Ini tejadi, sebab  lembaga tertinggi dunia itu meneruskan pro￾ses pe­ngambilan keputusan-keputusan yang hampir seluruh­nya 

didasar­kan pada pemikiran materialistik masing-masing negara. 

Aki­batnya, terjadilah perbenturan kepentingan, antara negara￾negara besar yang menjadi anggota Dewan Keamanan PBB. 

Dalam lingkup pikiran materialistik yang dominan, per­tim￾bangan-pertimbangan spiritual yang dibawakan oleh berbagai 

agama tentu dirasa tidak diperlukan bagi PBB. Tetapi, kemacet￾an-kemacetan dalam pengambilan keputusan yang diakibatkan 

oleh sederetan pertentangan yang ada kini, membuat setiap per￾tim­­bangan keagamaan menjadi kebutuhan tersendiri yang dapat 

membawa pemecahan, melalui pendekatan spiritual yang ho­lis￾tik. Di sinilah nantinya akan terasa adanya keperluan memben￾tuk dewan baru itu.

eg

Pertimbangan-pertimbangan spiritual itu ha­nya pencermi­nan belaka dan dinamika yang terjadi di masing-ma­sing agama. 

Aspek-aspek tradisionalisme dan pembaharuan dalam masing￾masing agama terjadi dalam skala yang sangat luas, dan meru￾pakan proses yang memberikan bekas mendalam atas peri­la­ku 

perorangan maupun kelompok dalam masing-ma­sing aga­ma. Ini 

berarti, lembaga baru itu harus memperhitungkan aspek-aspek 

tradisional yang dipelihara dan langkah-langkah pem­­ba­ha­ruan 

yang diambil oleh tiap agama. Dari pengalam­an ter­sebut baru 

dapat diperoleh pertimbangan yang matang untuk dibawa kepa￾da lembaga tertinggi dunia ini . Hanya dengan cara inilah, 

sebuah pertimbangan akan memiliki kematangan spiritual yang 

diperlukan, guna menghadapi dasar-dasar materialistik dari 

keputusan yang diambil oleh ma­sing-masing negara. 

Sedangkan aspek ketiga yang dikemuka­kan penulis, yaitu 

watak saling melengkapi dan tidak konfrontatif antara berbagai 

peradaban dunia, merupakan sebuah alasan yang diper­lu­kan di 

masa-masa yang akan datang. Hal itu telah melatarbela­kangi 

keputusan-keputusan bersama berbagai cabang dan anak ca￾bang dari lembaga tertinggi dunia itu. Forum UNESCO, Komi￾sariat Tinggi PBB untuk HAM, Kon­feren­si Lingkungan Hidup di 

Rio de Janeiro beberapa tahun lalu dan kegiatan-kegiatan seje￾nis, selu­ruh produk-produknya saling melengkapi dan bu­kannya 

memakai  pendekatan persaingan antar berbagai perada￾ban. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa PBB memiliki dua 

je­nis produk saat ini yang harus dipahami.

Kemacetan dalam pe­ngambilan keputusan, baik kegagalan 

dalam memutuskan mau­­­pun kegagalan dalam melaksanakan 

keputusan, tampak je­las sekali akibat perbedaan kepentingan 

negara-negara besar. sebab nya, dibutuhkan pelestarian dunia 

dan isinya, berdasarkan pada sikap yang mengacu kepada kepen￾ting­an bersama semua negara di masa depan. Dari sinilah PBB 

dapat menyampaikan ke­pu­tusan-keputusan yang membuatnya 

men­jadi badan tertinggi du­nia yang diperlukan di masa depan, 

dan bukannya lembaga yang terpaku pada kemacetan-kemacetan 

di masa kini belaka. h