ganalisa dan
menjelaskannya mulai dari Kamaluddin Al-Farisi pada akhir abad ketiga
belas Masehi. Dalam hal ini, Kamaluddin Al-Farisi menulis sebuah buku
berjudul Tanqih Al-Manazhir,so darr diakhir Prof. DR. Mushtahafa Nazhif
pada pertengahan abad ini, dimana ia menulis buku berjudul Al-Hasan
bin Al-Haitsam dalam dua bagian. Kami akan mengemukakan sejumlah
pendapat dan teori yang dinisbatkan kepada Al-Hazin -sebagaimana yang
dikenal di kalangan ilmuwan Barat- sebagai berikut:
1. Al-Hasan bin Al-Haitsam menunuskan sebuah batasan atau dinding
pemisah bagi beberapa perbedaan pendapat klasik dalam menjelaskan
proses penglihatan yang belum mencapai kata sepakat dan berangkat dari
prinsip umum, yaitu pendapat yang menyatakan adanya dunia luar yang
eksistensinya keluar dari pemikiran dan jiwa manusia. Dan bahwasanya
panca indera merupakan piranti-piranti untuk mengetahuinya. Karena itu,
ia menisbatkan kesadaran pandangan mata pada faktor atau pengaruh luar
yang pada dasarnya memiliki bentuk nyata yang dinamakannya cahaya.
Berangkat dari prinsip ini, maka secara natural akan menjauhkan ide
tentang keluamya sesuatu dari mata yang memancar ke arah obyeknya
sehingga terlihat.
Al-Hasan bin Al-Haitsam memperkenalkan dua definisi yang berbeda
terhadap cahaya, dimana salah satunya menyatakan bahwa cahaya
merupakan panas api, yang muncul dari benda-benda yang bercahaya
karena eksistensinya seperti matahari, api dan benda-benda yang berpijar.
Apabila cahaya ini menimpa benda yang tidak transpararL maka
akan menyebabkannya menjadi panas. Apabila cahaya ini memantul
dari sebuah cermin cekung dan fokus pada satu titik sedangkan titik temu
cahaya ini berupa benda yang berpotensi untuk terbakar, maka akan
membakarnya.
Definisi ini sesuai dengan pendapat yang diungkapkan dalam ilmu
cahaya modern seperti sekarang ini. Adapun definisi kedua dari cahaya
menurut Al-Hasan bin Al-Haitsam, maka sesuai dengan pendapat para
filosof naturalis. Pendapat ini menyatakan bahwa cahaya merupakan
ilustrasi esensial dalam benda yang bercahaya karena eksistensinya.
Sedangkan ilustrasi yang bukan inti akan hilang bersamaan dengan
hilangnya perkara yang mempengaruhinya.
Al-Hasan bin Al-Haitsam tidak menunjukkan manakah di antara dua
definisi ini yang lebih bisa diterima. Akan tetapi pendapat-pendapatnya
yang menjadi titik tolak studi dan penelitian-penelitan yang dilakukannya
tentang cahaya, maka jelaslah bahwa cahaya akan menembus sebagian
benda dan tidak tembus pada sebagian yang lain. Benda-benda yang
dapat ditembus oleh cahaya dinamakan denganAl-Ajsam Asy-Syafafiyyah
(Benda-benda yang Transparan). Adapun benda-benda yang tidak tembus
cahaya, maka ia menamakannya Al-Ajsam Al-Katsifah (Benda-benda yang
Tebal).
Al-Hasan bin Al-Haitsam mencontohkan karakter penyebaran cahaya
ini dalam garis-garis lurus dengan sebuah eksperimen terhadap kamar
yang gelap ataupun lemari yang memiliki lobang yang biasa dipelajari
para siswa pada masa sekarang. Dalam point pertama dari Al-Manazhirnya Al-Hasan bin Al-Haitsam berkata, "Apabila dalam sebuah tempat
terdapat banyak lampu dalam beberapa tempat yang terpisah-pisah dimana
semuanya menghadap pada sebuah lobang, sedangkan lobang tersebut
menembus sebuah tempat yang gelap dan di hadapan lobang di tempat
yang gelap ini terdapat sebuah dinding, maka cahaya lampu-lampu
ini akan nampak pada dinding ini menyebar sebanyak jumlah
lampu yang ada. Masing-masing cahaya yang tersebar berhadapan dengan
satu lampu dalam bentuk garis lurus yang melalui lobang. Apabila salah
satu dari lampu-lampu ini ditutup dengan sebuah kain, maka akan
menghapuskan cahaya yang masuk pada tempat yang gelap itu, yangberhadapan dengan lampu itu saja. Apabila kain ini diangkat dari
lampu, maka cahaya ini akan kembali ke tempatnya semula.,,s1
Ketika Al-Hasan bin Al-Haitsam membagi cahaya manjadi Dzatiyah
(Inti) dan urdhiyyah (bukan inti), tidak dimaksudkan untuk memberikan
sinyal bahwa di sana terdapat perbedaan berkaitan dengan karakter
cahaya itu sendiri. Melainkan untuk membedakan antara aksi benda
yang transparan dan benda yang tidak transparan (yang tebal). Cahaya
inti seperti halnya matahari, akan memancar dalam satu garis lurus di
tengah-tengah benda yang transparan, udara misalnya. Apabila berhadapan
dengan benda yang tebal dan tidak transparary maka akan terhalang dan
terjadi perubahan. Benda yang tebal itu pun menjadi sumber baru bagi
cahaya tersebut, dan memancarkan cahaya yang baru dari setiap titip di
permukaannya.
Dengan pengertian ini, maka jelaslah faktor yang menyebabkan bahwa
mata tidak dapat melihat obyeknya, kecuali jika obyek-obyek tersebut
tidak transparan atau semi transparan. Udara misalnya, tidak dapat dilihat
karena sifatnya transparan secara total. sedangkan air, maka dapat dilihat
karena terdapat sedikit ketebalan.
Al-Hasan bin Al-Haitsam mengenal cahaya dan mendefinisikannya
selama beberapa abad sebelum muncul sir Isaac Newton dengan teori
geraknya. Mengenai cahaya ini, Al-Hasan bin Al-Haitsam berkata, ,,Cahaya
merupakan benda atau materi yang lembut, yang terdiri dari radiasi yang
memiliki panjang dan lebar. Radiasi ini tidak lairy kecuali merupakan
benang-benang cahaya yang memancar dari benda-benda yang bercahaya
inti saja.Al-Hasan bin Al-Haitsam menjelaskan cahaya rembulan, dengan
mengatakan, "Volume rembulan tidak bercahaya. Cahaya yang ada
padanya dan menerangi bumi hanyalah radiasi sinar matahari, dimana
ketika matahari menyinarinya maka sinar ini memantul dari
permukaannya ke bumi."
Dalam hal ini, Al-Hasan bin Al-Haitsam mendatangkan beberapa bukti
tehnik yang dapat dipertanggungjawabkan, yang menyatakan bahwa sinar
cahaya dari rembulan ke bumi bukan hanya dari refleksi saja melainkan
juga dari sinar cahaya horizontal dari permukaan benda-benda yang
tidak transparan dan bercahaya. Di antara informasi-informasi penting
yang berhasil diungkapkan Al-Hasan bin Al-Haitsam mengenai karakter
cahaya dan spesifikasinya sebelum Decart pada abad ketujuh belas Masehi
dan didukung berbagai eksperimen modem pada abad kesembilan belas
Masehi ini yaitu pendapatnya yang menyatakan bahwa cahaya memiliki
kecepatan terbatas.
Ilmuwan eksperimen berupaya menielaskan teorinya melalui metode
ilmiah yang benar. Hal ini dikemukakannya dalam artikel keduanya
sebagai berikut, "Apabila lobang itu tertutup lalu tutup ini diangkat
sehingga cahaya menerobos lobang ini hingga sampai pada benda
yang berhadapan dengarurya maka semua membutuhkan waktu meskipun
tidak terdeteksi oleh panca indera. Sebab sampainya cahaya dari lobang
hingga benda yang berhadapan dengan lobang tersebut, tidak lepas dari
salah satu dari dua kemungkinan. Bisa jadi cahaya ini sampai pada
salah satu bagian udara yang berada di dekat lobang itu sebelum sampai
ke bagian berikutnya, lalu bergerak mencapai bagian berikutnya, lalu
bergerak pada bagian yang berada di dekat bagran dari udara tersebut
hir,ggu sampai pada benda yang berhadapan dengan lobang tersebut. Dan
bisa juga cahaya ini melewati semua bagian udara yang berada di
tengah-tengah antara lobang dan benda yang berhadapan dengan lobang
tersebut, serta benda yang berhadapan dengan lobang itu sendiri dalam
satu kali tekanan. Dengan demikian, maka semua bagian udara menerirna
cahaya dalam satu kali tekanan dan bukan melalui bagian demi bagian.
Jika udara itu menerima cahaya secara bertahap melalui bagian
demi bagian, maka cahaya ini sampai pada benda yang berhadapan
dengan lobang itu dengan gerak. Sedangkan gerak itu sendiri tidak lain,
kecuali membutuhkanwaktu. Jika udara itu menerimacahaya dalam satu
kali tekanan, maka berlalunya cahaya di udara setelah sebelumnya tidak
ada cahaya tidak lairn, kecuali juga membutuhkan waktu meskipun tidak
terdeteksi oleh panca indera."
2. Al-Hasan bin Al-Haits,un merumuskan dua hukum refleksi dengan
persepsi yang sama sebagaimana yang dipelajari sekarang. Hukum refleksi
pertama menyatakan bahwa sudut yang jatuh sama dengan sudut refleksi.
Sedangkan hukum kedua menyatakan bahwa dua sudut jatuh dan refleksi
jatuh dalam satu bidang vertikal pada permukaan yang memantul. Hukum
pertama berhasil ditemukan atau dirumuskan para ilmuwan Yunani dengan
menggunakan metode teoritis. Al-Hasan bin Al-Haitsam menggunakan
definisi mekanik terhadap refleksi benda yang bergerak ketika berbenturan
dengan benda padat dan licin atau mengkilat. Hal itu diterapkannya dalam
menjelaskan dua hukum refleksi cahaya sebagai berikut:
Hendaklah kita memiliki bola kecil yang padat bergerak sejajar
dengan garis lurus F B, dan berbenturan dengan permukaan O pada titik
B. Kami menggambar garis lurus B T yang menopang permukaan O. Kita
rnempersepsikan bahwa kita dapat memperpanjangnya hingga titik E.
Setelah itu, kita menggambar permukaan bidang F B T dan garis lurus B I
yang menopang garis lurus B T. Kemudian kita menariknya hingga ke titik
H. Dari sini kita dapat memperhatikan bahwa gerakan bola ketika bertemu
dengan permukaan O terdiri dari dua komposisi:
Pertama: Ke arah T B, dan kedua: ke arah I B. Akibat benturan, maka
komposisi pertama ke arah T B sedangkan komposisi kedua ke arah B C,
sehingga gerakan yang terbentuk ketika itu merupakan akumulasi dari
dua komposisi: Pertama ke arah B T dan sama dengan komposisi pertama
sebelum teriadi benturan. Sedangkan komposisi kedua ke arah B C dan
sama dengan komposisi kedua sebelum terjadi benturan. Dengan demikian,bola ini setelah terjadi benturan akan memantul sejajar dengan garis
lurus B D, dimana sudut jatuh F B sama dengan sudut pantulan T B D.
Ketika bola ini jatuh ke arah vertikal T B, maka akan memantul
setelah membentur pada arah sebaliknya B T. Al-Hasan bin Al-Haitsam
menerapkan pengertian mekanika ini pada refleksi cahaya karena
berdasarkan keyakinannya bahwa cahaya merupakan sesuatu yang
bersifat materi dan eksis. Ia menjelaskan alasan terjadinya pemantulan
cahaya ini, yaitu permukaanbidangnya sangathalus yang dinamakarurya
Shaqilan, yang berarti mengkilat. Ia mendefinisikan Ash-Shaqqal sebagai
beriku[ Terjadinya hubungan antara bagian-bagian permukaan bidang
secara intensif hingga menyebabkan pori-porinya hilang karena sangat
kecil. Apabila pori-pori ini membesar, maka permukaan bidang
ini kembali menjadi kasar.
Dalam hal ini, Al-Hasan bin Al-Haitsam berkata, " Apabila cahayacahaya itu menempa benda-benda yang kasar ini, maka cahaya-cahaya
ini akan menembus pori-porinya hingga sampai pada dasamya dan
tercerai-berai di antara bagian-bagiannya. Kondisi ini mengakibatkan
cahaya yang menimpa benda-benda yang kasar terpecah-pecah bagianbagiannya." Adapun jika permukaan bidang itu mengkilat dan halus,
maka cahaya ini akan memantul darinya layaknya bola yang keras
memantul pada benda yang keras, sebagaimana yang telah kami jelaskan
sebelumnya.
Al-Hasan bin Al-Haitsam melanjutkan penjelasan hukum kedua
tentang refleksi cahaya, seraya mengemukakan perbedaan antara gerak
cahaya dan gerak bola meskipun keduanya memiliki kesamaan dalam
proses refleksinya. Al-Hasan bin Al-Haitsam berkata, "Adapun cahaya,
maka tidak memiliki kekuatan yang menggerakkannya ke arah tertentu.
Bahkan karakteristiknya ini yaitu bergerak lurus ke semua arah dimana
cahaya ini menemukan jalannya jika arah ini memanjang dan
menembus benda yang transparan. Apabila terjadi refleksi pada cahaya
ini karena adanya kekuatan yang mengarahkannya dan mengarah
pada garis lurus yang diharuskan oleh refleksi tersebut, maka cahaya
ini akan memanjang ke arah garis ini jika tidak ada kekuatan
yang mengarahkannya kecuali pada garis tersebut. Sebab cahaya tidak
memiliki karakter untuk memilih arah tertentu." Karena ifu, cahaya ini
tidak menyimpang dari garis lurus tertentu setelah memantul.
Al-Hasan bin Al-Haitsam tidak lupa untuk menunjukkan dimungkinkannya refleksi cahaya dari berbagai benda. [a berkata, "Sesungguhnya
cahaya-cahaya itu memantul dari benda-benda yang licin meskipun bendabenda yang licin itu tidak keras seperti air dan semua kelembaban yang
permukaannya licin atau mengkilat."
3. Al-Hasan bin Al-Haitsam juga menjelaskan dua hukum
berpendarnya cahaya ketika menembus di tengah-tengah benda-benda
transparan menuju tengah benda-benda bercahaya lainnya yang berbeda
tingkat transparansinya. Al-Hasan bin Al-Haitsam mengungkapkan
berpendarnya cahaya ini dengan kata Al-ln' ithaf (kelokan/ pembelokan).
Sampai di sini, kami mengingatkan kepada pembaca yang budiman
mengenai sejauhmana kecermatan dan ketelitian ilmiah Al-Hasan bin
Al-Haitsam dalam menyeleksi istilah-istilah ilmiah yang sesuai dengan
realita sensitifitas tanggungjawabnya dalam setiap kata yang ditulisnya.
Sebab kata Al-ln'ithaf, berurti perubahan rute asli. Kata ini merupakan
ungkapan yang lebih cermat dibandingkan menggunakan kata Al-Inkisar
(berpendar/pecah), yang kami ambil dari istilah bahasa asing yang pada
dasamya diambil dari Al-Hasanbin Al-Haitsam.
Al-Hasan bin Al-Haitsam menegaskan bahwa kecepatan cahaya pada
benda yang lebih transparan akan lebih cepat dibandingkan kecepatannya
pada benda semi transparan. Dalam hal ini, ia juga menjelaskan bagaimana
proses terjadinya kecepatan cahaya pada benda yang lebih transparan
menjadi lebib besar dibandingkan kecepatannya pada benda yang semi
transparan. Cahaya ini membelok ketika menembus benda yang
lebih transparan menuju benda yang semi transparan lalu dilanjutkan ke
arahvertikal, danketika sampai pada benda yang semi transparanmenuju
benda yang lebih transparan jauh dari arah vertikal.
Kami tidak mendapatkan kesulitan dalam memahami hakikat ilmiah
ini, ketika Al-Hasan bin Al-Haitsam memaparkannya dengan gaya bahasa
ilmiah yang istimewa. Dalam hal ini, ia berkata, "Dan cahaya-cahaya itu
menembus benda-benda transparan dengan kecepatan tinggi sehingga tidak
terdeteksi oleh panca indera. Meskipun demikian, gerakan cahaya pada
benda-benda yang transparan ini -maksud saya, sangat transparanlebih cepat dibandingkan gerakannya pada benda-benda yang semi
transparan -maksud saya, lebih tebal-. Hal itu disebabkan bahwa semua
benda yang transparan jika cahaya itu menerpanya, maka benda yang
transparan itu akan menghambat datangnya cahaya ini berdasarkan
kadar ketebalannya. Sebab semua benda secara natural memiliki ketebalan
tertentu. Sebab kejernihan dan transparan tidak memiliki imajinasi terbatas.
Benda-benda yang nampak transparan itu secara natural tidak lepas dari
ketebalan tertentu. Sehingga apabila cahaya-cahaya ini menembus
benda-benda transparan ini, maka akan menembusnya berdasarkan volume
tranparansinya. Benda-benda yang transparan itu dapat menghambat
cahaya-cahaya yang menerpa berdasarkan volume ketebalannya.
Adapun faktor yang mengharuskan cahaya ini berbelok dari
benda-benda yang tebal menuju benda-benda yang transparan dan
menyimpang dari arah vertikal, maka dikarenakan bahwa apabila cahaya
ini bergerak pada benda yang transparan, maka benda yang transparan
ini akan menghambabrya dalam tingkat tertentu. Sedangkan benda
yang tebal, akan menghambat dan melawannya dengan kekuatan yang
jauh lebih besar. Sebagaimana bebatuan apabila bergerak ke udara maka
nampak lebih cepat dan lebih mudah gerakannya dibandingkan jika harus
bergerak dalam air. Sebab air ini akan menghambat dan melawannya
dengan lebih kuat dibandingkan udara. Apabila cahaya ini keluar
dari benda-benda yang tebal menuju benda-benda yang lebih transparan
darinya, maka gerakannya lebih cepat.
fika cahaya ini dimiringkan pada permukaan bidang benda
yang transparan yang merupakan dinding pemisah antara dua benda
tersebut, maka gerakannya melewati garis antara garis vertikal yang keluar
dari permulaan geraknya dengan garis vertikal yang berdiri di atas garis
vertikal yang keluar dari permulaan geraknya juga. Dengan demikian,
maka hambatan benda yang lebih tebal terhadapnya itu berasal dari arah
dimana garis vertikal kedua menuju ke sana. Apabila cahaya ini keluar
dari benda yang lebih tebal dan kemudian masuk dalam benda yang lebih
transparan, maka hambatan benda yang lebih transparan terhadap cahaya
yang berasal dari arah dimana garis vertikal kedua menuju ke sana,lebih
kecil dibandingkan hambatannya. sehingga gerakan cahaya ini akan
mengarah pada yang lebih kuat menghambatnya. Begitu juga dengan
pembelokan cahaya pada benda yang lebih transparan menuju arah yang
berlawanan dengan garis vertikal."
Inilah penjelasan cermat terhadap gambaran yang populer dipelajari
para mahasiswa sekarang di berbagai universitas di dunia dan sekolahsekolah menengahnya. Dalam penjelasan ini, juga menunjukkan
karakteristik cahaya yang bisa berbalik arah perjalanannya. Ilmu modem
tidak menambahkan apa pun pada teori yang dipersembahkan Al-Hasan
bin Al-Haitsam tersebut, kecuali indeks bias relatif antara dua media dan
indeks bias mutlak setiap sin rasio antara sudut insidensi (o) dan sudut
sin refraksi (R).
4. Al-Hasan bin Al-Haitsam mencetuskan revolusi besar-besaran
dalam ilmu-ilmu optik ketika ia berhasil merumuskan teori optik yang
benar, yang kemudian dikembangkan dalam ilmu cahaya modern, setelah
melontarkan kritik terhadap berbagai teori klasik dan menganalisanya. Ia
juga menghentikan berbagai ide dan pemikiran yang diwarisi dari para
ilmuwan klasik yang keliru tentang ilmu optik sejak masa Yunani hingga
pada masanya.
Al-Hasan bin Al-Haitsam merumuskan teori barunya tentang optik
berdasarkan kriteria-kriteria ataupun pengertian-pengertian dimana
penglihatan itu tidak te4adi kecuali dengannya. Teori dan kriteria-kriteria
yang dimaksud ini yaitu hendaknya benda yang menjadi obyek penglihatan
itu bercahaya, baik dari benda itu sendiri maupun dari pantulan sinar
benda yang lain, hendaknya antara benda yang menjadi obyek penglihatan
dan mata berada dalam jarak tertentu, hendaknya dinding atau benda
pemisah antara keduanya sifatnya transparan dan obyek-obyek yang
dilihat memiliki volume dan ketebalan yang memungkinkan mata
memandangnya, dan hendaknya mata ini tidak mengalami cacat
yang menyebabkan penglihatan terganggu.
Al-Hasan bin Al-Haitsam juga memperdebatkan Proses penglihatan
dengan Baya-gayarasional dan logis dan jauh dari mistis dan mitos-mitos
klasik. Dalam hal ini, ia berkata, "Sesungguhnya jika mata merasakan
obyek-obyek yang dilihat dimana sebelumnya belum merasakannya,
maka telah terjadi sesuatu setelah sebelumnya tidak ada. Sesuatu itu tidak
terjadi yang sebelumnya tidak terjadi, kecuali karena suatu faktor. Kita
mendapati apabila obyek penglihatan berhadapan dengan mata, maka
mata akan merasakannya. Apabila obyek penglihatan ini tidak terjadi
pertemuan dengan mata, maka mata tidak akan merasakannya. Apabila
obyek penglihatan itu berhadapan kembali dengan mata, maka Perasaan
itu pun kembali.
Kita juga mendapati mata apabila merasakan adanya obyek Penglihatan lalu menutup kelopak matanya, maka perasaan ini pun batal.
Apabila ia membuka kelopak matanya kembali dan obyek ini berada
di hadapannya, maka perasaanitu punkembali. Faktor itulah, yang apabila
batal maka batal pula akibatnya dan apabila kembali, mdka akibatnya pun
kembali. Jadi, sebab itulah yang menyebabkan terjadinya sesuatu itu pada
mata, yaitu obyek yang dilihat." Dengan demikian, maka ia pun mencapai
sebuah kesimpulan bahwa penglihatan tidak terjadi kecuali adanya
pengaruh cahaya yang datang dari obyek kepada mata. Ia pun menjelaskan
teorinya itu secara rinci mengenai proses terjadinya penglihatan melalui
mata setelah menjelaskan anatomi dan fungsi-fungsi masing-masing organ.
Ia menjelaskannya secara baik melalui cara-cara yang logis dan rasional
dan membedakan antara pandangan melalui pengetahuan dan pandangan
melalui logika dan pembedaan."
Al-Hasan bin Al-Haitsam juga membahas tentang pandangan
melalui pembesaran obyek dari sudut penglihatan dan jauhnya darimata. Penjelasan mengenai pandangan terhadap bintang-bintang di ufuk
cakrawala senantiasa dinisbatkan kepadanya,'rsesungguhnya jika semua
bintang memiliki volume atau ukuran sebesar kepala, maka mata akan
melihat ukurannya lebih kecil dibandingkan volumeny a, y ang dilihatnya
dari semua sisi langit yang menjadi tempat pergerakan bintang-bintang
tersebut. Kesalahan pandangan ini dikarenakan jarak yang jauh.
5. Di sana terdapatbeberapa pendapat ilmiah lainnya yang dikemukakan Al-Hasan bin Al-Haitsam dalam bukunya yang monumental ini.
Sebagian besar teori yang dikemukakannya sesuai dengan teori dan
kemajuan yang dicapai ilmu modern. Misalnya, pendapat-pendapatnya
tentang penyebaran-penyebaran cahaya, kolaborasi warna-warna,
terbentuknya bayangary pengetahuan tentang gelap dan teori lemari
berlobang.
Dalam ilmu-ilmu optik terdapat sebuah masalah yang populer dengan
nama Problem Al-Hasanbin Haitsam, yang di kalangan bangsa Eropa populer
dengan nama Problem Al-Hazen. Masalah ini menyebutkan, "Jika
diasumsikan terdapat dua garis bertemu pada sebuah bidang permukaan
refleksi, bagaimana permukaan ini membentuk sebuah titik, dirnana garis
yang terpantul darinya akan mengarah pada salah satu dari dua titik
asumsi dalam kedudukannya sebagai radiasi insidensi sedangkan yang
lain sebagai radiasi refleksi."
Untuk menyelesaikan masalah Ibnul Haitsam ini jika permukaan
bidang refleksi ini datar, terangkum pada asumsi dua titik B C di
pada permukaan refleksi datar O. Kemudian kita menggambar salah
satu dari dua titik asumsi, dimana B ditopang garis B E pada permukaan
refleksi O. Dengan demikian, maka garis datar jatuhnya pada garis
penopang dan titik kedua C merupakan bidang datar reflektif. Jika garis
penopang B E ini ditarik lurus memanjang ke titik V, dimana garis B E=B
E, kemudian garis dari B C disatukan dalam sebuah titik, maka titik yang
merupakan hasil dari pertemuan garis B dengan permukaan reflektif
merupakan titik refleksi yang ingin dicari. Hal ini sebagaimana nampak
jelas dalam gambar.
Sedangkan penyelesaian masalah Al-Hazen ketika permukaan reflektif
itu berupa lingkaran atau bulat, maka terangkum pada asumsi dengan
membuat garis setengahlingkaran dengan titik pusat dan berdiameter A B
sebagaimana nampak jelas dalam gambar. Kemudian kita asumsikan dua
titik C D pada diameternya, dimana jarak keduanya dari titik pusat sama
besar. Dan kita juga mengasumsikan titik M E menyelimuti lingkaran. Lalu
kita menghubungkan titik E D dan E C.
Al-Hasan bin Al-Haitsam telah melakukan studi dan riset dalam ilmuilmu optik dengan gaya-gaya ilmuwan yang percaya diri, gaya seorang
matematikawan yang cerdas, seorang pakar eksperimen yang cermat,
seorang cendekiawan yang berwawasan luas dan berpendidikan tinggi,
sehingga sudah selayaknya jika namanya senantiasa dikenang bersama
para ilmuwan lainnya yang mempersembahkan warisan ilmiah dalam
peradaban lslam.
Kita tidak boleh melupakan para ilmuwan lainnya yang berpartisipasi
dalam menulis tentang ilmu-ilmu optik dan mengemukakan beberapa
teorinya seperti Al-Kindi, Al-Razi, dan Ibnu Sina. Akan tetapi Al-Hasan
bin Al-Haitsam ini ia menempati kedudukan terhormat dalam bidang ilmu
yang urgen ini di antara bidang-bidang ilmu fisika lainnya.
Ketiga: Karakteristik Materi dan Suara
Para ilmuwan Arab dan umat Islam memberikan perhatian yang
sangat besar untuk mempelajari karakteristik materi yang keras dan cair
serta cara menentukannya. Dalam pembahasan sebelumnya tepatnya
tentang mekanika, kami mengemukakan pengetahuan mereka tentang
beberapa karakter mekanik dari beberapa benda, dari segi jenis geraknya
hukum-hukumnya, ketika berbenturan, kecepatary kwantitas gerakan,
energi gerak, dan energi diam. Semua tema ini berafiliasi pada prinsipprinsip dasar mekanika atau karakteristik materi, sebagaimana yang
dipelajari para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi dalam materimateri ilmu fisika.
Di sana juga terdapat beberapa karakter yang banyak mereka bahas
dalam buku-buku mereka, hingga mereka (para ilmuwan) berhasil
merealisasikan beberapa penemuan, ymg membuat mereka senantiasa
dikenang dalam sejarah ilmu pengetahuan dengan penghargaan dan
prestise. Di antara karakteristik ini, muncul dua karakter penting yang
sangat jelas, yaitu:
1. Karakter Viskositas (Kekentalan):
Sejumlah ilmuwan telah membahasnya ketika mereka membicarakan
tentangcara atgerak.lnimempakanupayauntukmenyederhanakan beberapa fenomena alam agar mudah dipahami dan dipelajari lebih
lanjut.
Di antara upaya ini adalahpendapatyang dilontarkan Ibnu Sina
mengenai benda-benda yang jatuh bebas di tengah-tengah materi yang
beragam, yang menyatakan bahwa perlawanan materi yang ditembus itulah
yang menghentikan daya penggeraknya. Begitu juga dengan pendapat yang
dilontarkan Hibbatullah Al-Baghdadi, yang menyatakan, "Bahwasanya
benda yang lebih tebal berpotensi memperlambat gerak benda lebih banyak,
sedangkan yang lebih tipis lebih sedikit."
Jika yang dimaksudkan dalam pernyataan ini ini yaitu pengaruh
viskositas menengah atas jatuhnya benda padanya, sebagaimana yang
kita lihat dengan jelas dalam kedua kalimat Al-Aktsaf (Lebih lengket/lebih
tebal), dan Al-Araqq (kbih ringan), maka kata Al-Mubthil yang dipergunakan
oleh Ibnul Haitsam bisa jadi yang dimaksudkan ini yaitu kecondongan
benda yang jatuh di tengah-tengah benda yang tebal atau kental dengan
kecepatan konstan setelah beberapa lama. Inilah yang dikenal dengan AsSur' ah An-Niha-iyyah, y ang dipergunakan Snoxel di kemudian hari dalam
merumuskan hukumnya yang populer dalam masalah kekentalan.
Di antara bukti-bukti yang menunjukan bahwa kata Al-Aktsal(lebih
tebal/kental) danAl-Araqq (lebih tipis) yang dipergunakan Hibbatullah bin
Milkan menunjukkan perbedaan mengenai tingkat kekentalannya, bahwa
dua kalimat yang sama juga dipergunakan oleh Al-Hasan bin Al-Haitsam
di dalam kesempatan-kesempatan lain untuk menunjukkan perbedaan
ketebalan cahaya menengah yang menyebabkan perpecahan cahaya ketika
berpindah melaluinya.
Di sana adapula yang mempergunakan secara tegas pengertian
viskositas pada materi-materi cair dan gas, bukan hanya dalam pengertian
bahwa viskositas menengah itu melawan gerakan benda, melainkan juga
dengan pengertianbahwa viskositas menengah itu bisa jadi berpostur tebal
atau berpostur ringan atau tipis.
Imam Ar-Razi berkata, "Sesungguhnya apabila suatu benda itu
bergerakmenempuh suatu jarak, maka setiap kali bendayangmenempuh
jarak ini lebih tipis atau lebih ringan, maka gerakannya lebih cepat.
Setiap kali benda ini lebih tebal posturnya, maka gerakannya akan
lebih lambat."
Abu Al-Barakat Hibbatullah Al-Baghdadi dalam Al-Mu'tabar fi AlHikmah berkata "Di samping itu, apabila benda-benda itu bergerak di
tempat kosong, maka gerakan benda yang berat, ringan, besar, kecil,
berbentuk kerucut yang bergerak dengan ujungnya yang runcing dan
kerucut yang bergerak dengan pangkalnya yang lebar menjadi sama, dari
segi kecepatan dan lambahrya. Sebab perbedaan yang terjadi hanya pada
karakter materi yang memenuhi ruangan dengan benda-benda ini dan
mudah menembusnya seperti air, udara, dan lainnya."
Al-Hasan bin Al-Haitsam berkata, "....Sebagaimana batu apabila
bergerak di udara, maka gerakannya lebih cepat dan lebih mudah
dibandingkan gerakannya ketika bergerak dalam air; karena air itu
melawannya lebih kuat dibandingkan perlawanan air."
2. Berat ]enis:
Para ilmuwan pada masa kejayaan peradaban Islam mendefinisikan
karakter berat jenis bagi benda-benda yang keras dan cair, dan mereka
memberikan perhatian lebih intensif dan teliti terhadap beberapa benda
ini, sesuai dengan ukuran para ilmuwan kontemporer seperti sekarang
ini, meskipun terdapat perbedaan tingkat kemajuan ilmu dan teknologi
bagi berbagai peralatan dan pirantiyang dipergunakan pada dua masa ini.
Di antara para pioner yang melakukan berbagai eksperimen untuk
menghitung berat jenis dari beberapa benda atau materi yang berbedabeda, kami menyebutkan Abu Ar-Raihan Al-Bairuni, yang mempergunakan
peralatan kerucut yang telah dikenal. Alat ini berupa sebuah bejana yang
mulutnya mengarah ke bawah.
Abu Ar-Raihan Al-Bairuni menimbang materi yang ingin dipelajarinya
secara intensif. Setelah itu, ia menimbang air yang digantikan kedudukannya
oleh materi atau benda yang dimasukkannya dan yang keluar dari alat
ini melalui sebuah lobang yang diletakkan pada posisi yang tepat.
Hubungan antara berat benda atau materi dengan berat volumenya sama
dengan air yang menentukan berat jenis yang dibutuhkan.
Al-Khazin juga menggunakan ukuran khusus untuk menentukan
beratjenis dari beberapa benda cair dan benda-benda keras. Tabel berikut
ini dapat menjelaskan perbandingan antara nilai-nilai yang diperoleh AlBairuni dan Al-Khazin dari beberapa materi yang keras dan cair, dengan
nilai-nilai modern yang telah dikenal dari materi-materi ini. Beberapa hasil
penelitiannya secara tidak langsung menunjukkan bahwa bejana-bejana
yang dipergunakan pada dasarnya dibuat dengan standar yang cermat
dan teliti.s2
No Materil Nilai
Al-Bairuni
Nilai
Al-Khazin Nilai Modern
1 Emas 19,26 19,05 79,26
2 Air Raksa 13,49 13,56 13,59
3 Tembaga 8,83 8,66 8,67-8,73
4
Tembaga
Kuning
(kuningan)
8,85 8,57 8,45-8,60
5 Perak L0,38 10,30 10,43-10,47
6
Papan dari
Logam (Timah 7,15 7,32 7,291
7 Kortez 2,58 2,58
8 Mutiara Merah 4,01 3,99-4,4
9
Air Tawar
(Albumin) 0,995 ,999
10 Air Laut 1.,041. 7,027
11 Minyak Zaitun 0,920 1,91,
12 Susu Sapi L,1'J_ 1.,04-'l,42
13 Darah Manusia 1,033 1.,045-1.,075
Yang terakhir ini yaitu berkaitan dengan suara, maka para ilmuwan
muslim sangat mengenal urgensitas cabang ini dari ilmu-ilmu fisika
dan memahami karakter gerak cahaya yang ideal. Mereka juga mampu
menjelaskan gema dan meneliti tentang musik, berbagai peralatannya,
dan macam-macam irama yang dimainkannya. Mereka memanfaatkan
suara sebagai piranti untuk membedakan dan mengklasifikasikan antara
binatang yang satu dengan binatang yang lain.
Mereka membagi binatang-binatang ini menjadi beberapa
bagian.
Binatang-binatang yang memiliki paru-paru, yang memiliki
perbedaan dan keragaman suara berdasarkan panjang leher dan lebar
tenggorokannya, susunan kerongkongan dan kemampuannya menghirup
udara dengan hidungnya, kekuatan mulut dan tenggorokannya menghembuskan naf as-naf asnya.
- Binatang-binatang yang tidak memiliki paru-paru, akan tetapi
mempunyai sayap seperti lalat kerbau, belalang dan kecoa. Sayap-sayap
itulah yang menimbulkan suara-suara akibat gerakan udara karena
sayapnya.
- Binatang-binatang yang tidak memiliki paru-paru dan tidak pula
sayap seperti ikary kura-kura, dan lainnya. Binatang-binatang jenis ini
dinamakan Al-Iairs (Binatang yang bisu). suara-suara yang dihasilkannya
tergantung pada kering dan kerasnya.
Di antara naskah-naskah yang menjelaskan buku-buku Arab
terkemuka yang membahas tentang karakter suara, seperti yang
dikemukakan Bahmenyar bin Al-Marzabary dalam At-Tahshil, dimana ia
berkata, "Suara merupakan sesuatu yang terjadi akibat benda cair yang
berfluktuasi seperti udara dan air yang menekan antara dua benda yang
bergesekan dan saling melawan."
Adapun gema, maka terjadi karena adanya fluktuasi yang
menyebabkan terjadinya suara semacam ini. Karena apabila fluktuasi
ini dihadang oleh sesuatu seperti gunung ataupun dinding hingga
mendorongnya, maka pastilah mengalami tekanan di antara fluktuasi ini
yang bergerak menghantam dinding atau gunung, dan antara tekanan
udara lain yang mendorongnya serta memalingkannya ke belakang dengan
menekannya, sehingga bentuknya layaknya bentuk dan kerangka yang
pertama.
Setiap suara bisa saja menimbulkan gema, akan tetapi tidak terdengar.
Sebagaimana setiap cahaya pastilah mengalami refleksi. Faktor yang
menyebabkan suara gema ini tidak terdengar dirumah-rumahkarena
jarak yang dekat sumber suara dan pantulan suara dan pendengaran
sekaligus dalam waktu yang sama atau dekat salah satunya."
Al-Fakhrurrazi juga mengemukakan pendapat yang hampir sama.
Hal itu membuktikan sejauhmana perhatian umat Islam terhadap prinsipprinsip ilmu suara dan upaya mereka memanfaatkannya dalam berbagai
bidang.
Jika kita sudah merasa cukup dengan penjelasan yang telah kami
kemukakan tentang ilmu-ilmu fisika dalam warisan peradaban Islam
dengan sangat ringkas, maka kita tidak membutuhkan pembahasan spesifik
berkaitan tentang metode eksperimen dalam ilmu-ilmu ini. Sebab ilmu-ilmu
ini tidak akan maju dan mencapai masa kegemilangannya, kecuali
berdasarkan metode eksperimen ilmiah ini, yang diterapkan para ilmuwan
dalam berbagai sfudi dan riset ilmiah mereka mengenai cahaya, suara, dan
mekanika. Mereka juga memanfaatkan berbagai piranti demi mencapai
ketelitian dalam mengungkapkan karakteristik fisika secara maksimal.
Dengan demikiaru maka kami berpendapat bahwa ilmu-ilmu fisika
yang oleh para ilmuwan Yunani menjadi sekadar pelajaran filosofis dan
metafisik yang hanya bertumpu pada metode rasional deduktif, maka
pada masa kejayaan peradaban Islam berubah menjadi studi-studi
ilmiah yang bertumpu pada metode eksperimen induktif. Hasil gemilang
dari metode ini belum dirasakan kecuali setelah mengamati, meneliti,
mengajukan beberapa asumsi, melakukan proses-proses eksperimery
dan menyimpulkan hasilnya. Itulah metode yang dipergunakan umat
Islam dalam menemukan hakikat segala sesuatu, yang kemudian diadopsi
oleh bangsa Eropa hingga mereka bangkit dari keterbelakangannya dan
mencapai berbagai keberhasilan peradaban yang gemilang.
Ilmu Astronomi dan meteorologi dikenal hingga periode kejayaan
peradaban Islam dengan namallmu Al-Hai'ahkarena berkaitan erat dengan
studi tentang komposisi planet-planet dan kwantitas bintang-bintang,
pembagian gugusan bintang-bintang, dimensi-dimensi dan kerangkanya,
gerakan-gerakannya serta berbagai persoalan yang berkaitan dengan ilmu
ini, sebagaimana yang dikemukakan Ikhwan Ash-Shafa.s3
Di sana terdapat beberapa definisi lainnya yang memiliki pengertian
serupa seperti yang dikemukakan Ibnu Khalduns dan Thasy Kubra Zadah.s
Bangsa Mesir Kuno sibuk mempelajari ilmu astronomi karena pada
awalnya mereka memperhatikan masalah ini untuk mengetahui waktu
perrnulaan terjadinya banjir bandang pada sungai Nil sehingga mereka
siap untuk menghadapinya. Berbagai informasi dan pengetahuan mereka
tentang astronomi menambah pengetahuan mereka tentang teiarah. Mereka
pun menghitung tahun dengan berpedoman dengan matahari karena
mereka mengetahui bahwa banjir sungai Nil sangat berkaitan erat dengan
matahari (musim) dimana sebelumnya mereka menghitung tahunnya
dengan berpedoman dengan rembulan.Mereka juga mengenal Al-Mizwalah (Jam dengan bayangan sinar
Matahari), membagi tahun dalam 365 hari, menambahkan lima hari
padanya yang mereka namakan Al-Ayyam As-Samawiyyah atau Al-Ayyam
Al-Muqaddasah (Hari-hari Suci) dan yang mereka jadikan sebagai hari raya
yang mereka peringati tiap tahunnya. Kemudian mereka menambahkan
satu tahun setiap L460 tahun ketika mereka mengetahui bahwa tahun itu
kelebihan seperempat hari dibandingkan hari-hari pada umumnya akibat
peneropongan mereka terhadap bintang Aquarius yang kemunculannya
bersamaan dengan banjir sungai Nil.
Di daerah antara dua sungai, bangsa Babilonia memfokuskan
perhatian mereka pada ilmu meteorologi dan menghitung Qiran Az-Zahrah,
maksudnya adanya bintang Az-Zafuah yang berada satu garis pandang
dengan matahari, maka mereka mendapati bahwa antara tiap dua qiran
terdapat 584 hari.
Bangsa Babilonia juga mengenal sistem enam puluhan dalam
astronomi dan mereka mengenalnya dalam aritmatik dan geometri. Mereka
menjadikan hari yang normal terdiri dari24iam, satu jam terdiri dari enam
puluh menit dan satu menit terdiri dari enam puluh detik.
Di Babiloru bangsa Kaldania juga ahli dalam ilmu astronomi. Mereka
pun merumuskan tabel-tabel meteorologi yang dikumpulkan dalam
tiga ratus tahury mengetahui nilai tambahan atau kelebihan hari, yaitu
menambahkan tahun agar sesuai dengan tahun bulan dan tahun astronomi.
Bangsa India tidak mengenal informasi tentang astronomi sama sekali
kecuali dari sebuah buku berjudul As -Sidd Hantayang diterjemahkan dalam
bahasa Arab pada abad-abad terakhir ini dengan judul As-Shindu Hind.
Pada tahun 628M,pakar astronomi India bernama Brahma Gupta menulis
sebuah artikel berjudul Brahma Safuta Sidanta. Artikel ini terdiri dari
sebuah pengantar mengenai gerakan-gerakan benda-benda langit muncul
dan terbenamnya gUgusan bintang-bintang yang dihitung berdasarkan
peredaran waktu yang mencapai ribuan tahun. Peredaran ini dikenal
dengan Sistem Kalba, yang mengasumsikan bahwa matahari dan rembulan
serta bintang-bintang pada permulaan terciptanya alam berkumpul dalam
satu garis. Dan ketiganya akan kembali pada posisi semula pada akhir
dunia atau kiamat.
Pengertian Brahma sindata merupakan buku tentang astronomi
yang dinisbatkan kepada Brahma. Ketika diterjemahkan bangsa
Arab, maka mereka mengambil sepertiga terakhir dari namanya. Lalu
menyelewengkannya sedikit dengan melengkapinya dengan nama negara
dimana buku ini dikutip darinya. Mereka berkata, "As-shindu Hind..
Nama ini pun kemudian menjadi populer dan kemudian disematkan pada
sejumlah karya ilmiah bangsa Arab dalam bidang Astronomi.
Para pakar Astronomi India Kuno meyakini bahwa bumi ini berbentuk
bulat bola yang terpisah atau berdiri sendiri di angkasa dan bahwasanya
bintang-bintang dan planet-planet ini beredar mengelilingi bumi
dengan kecepatan yang sama.
sebagian bangsa India meyakini bahwa di sana terdapat tujuh bola
bumi yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain
.
dan masingmasing bola bumi memiliki penghuni dan alamnya sendiri-sendiri.
Di negara Persia, terdapat sebuah keyakinan yang populer bahwa
bumi ini berbentuk bulat dengan permukaan datar dan terdiri dari tujuh
bagian, dimana masing-masing bagian memiliki nama-nama tersendiri.
Di Yunani, ilmu Astronomi memperlihatkan awal-awal pembentukannya secara teoritis dan menyelamatkannya dari koridor mistis menuju
koridor ilmu pengetahuan yang dibangun di atas rasionalitas akal akan
tetapi jauh dari metode-metode eksperimen. Kondisi ini dibantu oleh
kontemplasi matematika dan filsafat mereka dalam merumuskan berbagai
persepsi tentang bentuk alam dan hukum-hukum gerak planet, baik yang
nampak oleh mata maupun gerakan sebenarnya, volume-volume bendabenda langit ini dan dimensi-dimensinsya, serta karakteristiknya. Teoriteori metafisik yang mereka dalami membantu mereka dalam meluruskan
sistem alam raya yang sangat indah yang dibangun berdasarkan rasionalitas
akal yang kompleks.
Ptolemeus mempersepsikan bahwa bumi ini tetap di pusat alam
raya. sedangkan matahari dan rembulan serta planet-planet lainnya
mengitarinya. Ia mempersepsikan adanya sejumlah bintang yang tetap
atau tidak berputar. Hal itu bukan berarti bahwa bintang-bintang tersebut
tidak bergerak, melainkan nampak diam karena jaraknya sangat jauh dari
matahari dan terus bergerak di angkasa mengitari bumi sebagai poros tata
surya.
Para filosof Yunani sebelumnya dan yang hidup sezaman dengannya
memiliki persepsi yang sedikit berbeda dengan teorinya. Lihatlah
Fythagoras yang menyatakan bahwa bumi ini bukanlah menetap di pusat
tata surya, melainkan bergerak mengitari matahari. Aristarkhos dari
Samos juga menyerukan persepsi atau teori yang sama, bahwa matahari
dan bintang-bintang itu tetaP, sedangkan bumi mengitari matahari dan
mengelilingi dirinya pada waktu yang sama.
Hipparkhos meyakini bahwa bumi bukanlah pusat tata surya dan
menjadi poros peredaran matahari. Sedangkan Plato dan Aristoteles
berpendapat bahwa bumi ini merupakan Poros dunia dan bahwasanya
bintang-bintang dan matahari itu mengelilinginya dalam satu gerakan.
Karena bintang-bintang tetap berada dalam orbitnya. Orbit ini memiliki
satu penggerak.
Karena Plato dan Aristoteles memiliki kedudukan terhormat dan
populer di kalangan ilmuwan Yuani dan filosofnya, maka oranS-orang
cenderung mengadopsi pendapatnya yang keliru mengenai astronomi.
Sedangkan pendapat yang benar harus terkubur selama beberapa abad
lamany+ sehingga mengakibatkan terhambatrya kemajuan ilmu astronomi
eksperimen dan mitos-mitos dan sihir senantiasa menyelimutinya hingga
pada masa sekarang.
Peninggalan penting peradaban Greece dalam bidang astronomi
ini yaitu buku berjudul Almagest karya: Ptolemeus. Almagest dalam bahsa
Yunani berarti klasifikasi besar dalam ilmu aritmetik. Bisa jadi bangsa
Arab mengukir namanya dari dua kata pada judulnya. Buku Almagest ini
merupakan ensiklopedia dalam bidang astronomi dan segitiga. Tema-tema
yang dibahas antara lain: Bola bumi yang bulat, ketetapan bumi di Pusat
tata surya, gugusan bintang-bintang, luas wilayah negara-negara, gerakan
matahari, pergantian musim gugur dan musim semi, siang-malam, gerakan
rembulan dan perhitungannya, gerhana matahari dan gerhana bulan,
bintang-bintan yang tetap dan planet-planet yang berputar.
Ketika Aristoteles dan Ptolemeus berpersepsi bahwa perputaran
bintang-bintang ataupun planet mengitari bumi sifatnya perputaran yang
melingkar, karena keduanya meyakini bahwa lingkaran ini yaitu bentuk
tehnik terbaik dan bola ini yaitu yang paling indah, maka bumi pastilah
bulat seperti bola; sebab Allah tidak menciptakan sesuatu kecuali yang
baik, dan tentunya gerakan memutar juga merupakan gerakan alami setiap
benda-benda langit.
Keunggulan bangsa Yunani dalam bidang matematika berkontribusi
besar dalam memmperluas imajinasi-imajinasi mereka. Meskipun
biasanya bersifat metafisik, akan tetapi kontemplasi-kontemplasi tersebut
mengantarkan mereka pada beberapa pendapat ilmiah yang benar dan
tidak bisa dijelaskan atau.diuji kebenarannya kecuali pada masa modern.
Misalnya, sebuah teori yang dirumuskan Ptolemeus yang menyebutkan
bahwa gerakan planet-planet mengitari bumi, tidak menggambarkan
garis edar atau orbit yang melingkar lurus dengan bumi sebagai pusatnya,
melainkan orbit yang gerakannya bersilangan. Yang dimaksud dengan
lingkaran bersilangan ini yaitu bahwa gerakan planet-planet tersebut
merupakan gerak melingkar mengitari porosnya yang menciptakan orbit
dengan bumi sebagai pusatnya.
Ptolemeus berupaya menjelaskan secara tehnik dan mendetail
terhadap setiap plane! yang gerakannya berbenturan lingkaran dan saling
bersilangan. Karena itu, asumsi atau teorinya ini dikenal dengan teori
yang rumit. Kebenaran dari teori ini belum terlihat kecuali pada masa
kebangkitan peradaban Islam, dimana astronomi dan meteorologi menjadi
sebuah ilmu eksperimental. Kemudian pada abad keenam belas Masehi
dikembangkan lagi oleh Nicolaus Copernicus (1473 - 1543) dan Johannes
Kepler (1571.-1630).
Dari kesimpulan mengenai kedudukan ilmu astronomi, kita dapat
mengambil kesimpulan yang dibuat seorang orientalis bernama Tanryterhadap Yunani, ketika mengatakan, "Mereka tidak terbiasa menjelaskan
secara rinci metode-metode dan poranti yang mereka pergunakan guna
menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan serta menambah kecermatan
mereka mengenai ukuran-ukuran astronomis sesuai dengan karakter ilmu
matematika."
Adapun bilangan-bilangan yang diperoleh dari analogi, maka mereka
tidak menganggapnya kecuali meyakininya sebagai postulat-postulat yang
tidak boleh didiskusikan hanya mendalami pengamatan-pengamatan
mereka terhadap bukti-bukti geometris berdasarkan asumsi bahwa postulatpostulat itu benar. Misalnya, sebuah asumsi yang menjadi kesepakatan
beberapa buku referensi, bahwa Iratustinus seorang pakar astronomi dan
geografi berhasil mengukur garis tengah bumi dengan sangat cermat dan
memperkirakan ukurannya sebesar 572 dan14839 km.56E
Astronomi ini yaitu salah satu dari cabang ilmu pengetahuan alam yang
mendapat perhatian besar orang-orang Arab, baik pada masa ]ahiliyah
maupun pada masa Islam. Akan tetapi pengetahuan orang-orang Arab
tentang astronomi pada masa ]ahiliyah hanya terbatas pada pengamatan
pada gerakan bintang-bintang dan planet, mengetahui kondisi angin,
cuaca sepanjang musim dalam setahun, mengetahui wakfu-waktu unfuk
ekpedisi perdagangan, ritual keagamaan dan sosial. Mereka mengaitkan
pengamatan astronomi dengan usaha mengamati kondisi alam, mengetahui
hal ghaib, meramal nasib dan masa depan. Inilah yang dikenal di kalangan
mereka dengan ilmu Nujum. Ilmu ini mendominasi bangsa-bangsa Timur
dan Barat selama berabad-abad dan pengaruhnya masih terasa sampai
sekarang.
Para ahli Nujum -bahkan sampai pada masa muncurnya agama Islammendapat tempat di mata sebagian penguasa negara dan mereka ikut
intervensi dalam banyak urusan pemerintahan dan mengambil keputusankeputusan perang dan perdamaian. Bahkan, mereka juga melakukan terapi
dan diagnosa atas penyakit-penyakit akut.
Agama Islam melarang praktik ilmu Nujum dan menegaskannya
sebagai bagian dari akidah yang bathil. Allah berfirmary
"Katakanlah, "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku ilan
tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehenilaki Allah. Dansekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpakernudharatan. Aku tidak
lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa beita gembira bagi orangorang yang beriman." (Al- A'raf: 188)
" (Dia ini yaitu Tuhan) Yang Mmgetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkankepada seorangpun tentangyang ghaib itu. " (Al-jinn: 25)
Rasulullah bersabda,
.r,uJ J; i;i q i fr ;Aq';35 .,lrs ,i vr'i et ,y
"Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu ia membenarkan
atas apa yang dikatakannya, maka ia telah kafir dengan apa yang diturunkan
k"podo Muhnmmad."S7
Di sisi yang lain, Islam menyerukan umatnya untuk merenungkan
ciptaan-ciptaan Allah dan memperhatikan alam langit dan bumi. Allah
berfirman,
" Sesungguhny a dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orung yang berakal.
ffartQ orang-orang yang mengingat Allah sambil berdii atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka metnikirkan tentang pmciptaan langit
dan bumi (seray a b erkata), " Y a Tuhan kami, tiadnlah Engkau mmcip takan ini
dengan sia-sia Mahn Suci Engkau, maka peliharalah kami dai siksa nernkt. "
(Ali Imran:19().191)
"Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu, terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang mempuny ai penglihatan." (An-Nur: tM)
'Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka,
bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak
mempunyai retak-retak sedikitpun." (Qaf: 5)
Allah berfirman tentang gerakan-gerakan bumi dan matahari,.
"Dan matahari berjalan di tempat peredarannya, Demikianlah ketetapan
Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah IGmi tetapkan bagi
bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang
terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin
bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahurui
siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya." (yasin: 3840)
Ayat-ayat ini menghimpun ilmu yang penemuannya pada zaman
modern merupakan kemenangan besar bagi akal pemikiran manusia.
Hal ini terbukti bahwa tata surya dan sekelilingnya berputar dalam orbitorbitnya. seorang astronom modem menegaskan bahwa di antara hakikat
besar yang ditemukan akal manusia di sepanjang masa ini yaitu hakikat
bahwa matahari dan bintang-bintang yang berjalan serta bulan-bulan yang
berjalan berada dalam hamparan luas menuju "Menara Elang." Unfuk
menggambarkan hakikat ini seandainya kita berjalan dengan kecepatan
sejuta mil perhari, maka tata surya kita tidak akan sampai pada menara
kecuali setelah satu juta lima ratus ribu tahun dari waktu kita sekarang.
Melalui tahun matahari dan tahun bulan mungkin kita tahu sebagian
hakikat ilmiah dari firman Allalu
"Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah
sembilan tahun (lagi)." (Al- Kahf: 25) Dalam hal ini Allah mengisahkan
tentang kisah para penghuni gua. Rasulullah mengabarkan bahwa
mereka tidur di dalam gua selama 300 tahun ditambah 9 tahun.
Ketika orang-orang Nasrani dari Najran mendengar ayat ini, mereka
berkata, "Adapun yang seratus tahun kami telah mengetahuinya,
sedangkan yang sembilan tahun lagi mereka tinggal di gua kami tidak
mengetahuinya. Maka Allah berfirman kepada Rasul-Nya,
"Katakanlah, "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggat (di
gua)." (Al- Kahf :25)
Ilmu modern menyoroti rahasia-rahasia Al-eur'an ini ketika
penemuan terbaru menyebut tahun matahari sebagai "Inqilabiyah atau
kup" karena merupakan masa yang berlalu antara dua perjalanan yang
berurutan bagi matahari melewati titik inqilab satu yang mencapai 355,
242217 hari matahari. Yaitu masa antara dua gerhana yang berurutan
dibagi jumlah gerakan-gerakan bulan yang melingkar. Perbedaan antara
tahun matahari dan tahun bulan ini yaitu 10,8751'49 hari. Dengan demikian
setiap 33 tahun ada perbedaan kurang lebih 357, 879917 hari atau hampir
satu tahun. Maka dari itu, setiap seratus tahun ada tambahan 3 tahury
sehingga 300 tahun matahari sama dengan 309 tahun bulan. Dan inilah
yang ditegaskan Al-Qur'an sejak L4 abad yang lalu.
Ketika Rasulullah ditanya tentang tahapan-tahapan bulan, Al-Qur'an
tidak memberikan jawaban rinci berkaitan dengan sebab-sebab bertambah
dan berkurangnya ukuran bola bulan. Al-Qur'an tidak mengharuskan
satu teori ilmiah atas akal manusia sehingga akan melumpuhkannya
untuk berpikir. Al-Qur'an cukup menyebutkan manfaat-manfaat bulan
untuk menentukan waktu-waktu secara umum, waktu bulan dan hari
dilaksanakannya manasik haji sebagaimana firman Allah,
" Mer eka b er tany a kep adamu tentang bulan sabit. Katakanlah, " B ulan sabit
itu ini yaitu tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haii." (AlBaqarah:189)
Ayat ini Al-Qur'an menunjukkan manfaat langsung dari bulan yang
berkaitan dengan urusan-urusan umum dan agama mereka. Al-Qur'an
memberikan peluang luas bagi akal mereka kebebasan dalam meneliti di
balik sebab-sebab bertambah dan berkurangnya ukuran bularu gerhana
bulary hubungannya dengan matahari dan bumi, dan mencari petunjuk
atas sebab-sebab fenomena dan hukumnya.
Kita mengamini pendapat yang dilontarkan oleh Abdullah bin
Zakariya Al-Qazwini, ilmuwan Islam dalam bidang astronomi, alam,
tumbuhary hewan dan tambang ketika menyerukan dalam bukunya yang
berjudul Al a' ib Al-Makhluqat wa Ghara-ib Al-Maujudat agar melihat kembali
keajaiban-keajaiban ciptaan Allah. Al-Qazwini mencurahkan pikiriannya
dalam memperhatikan ayat-ayat Allah yang jelas dalam ciptaan-Nnya,
keajaiban-Nya dengan mecari petunjuk dari firman Allah,
"Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka,
bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak
mempunyai retak-retak sedikitpun." (Qaf: 5)
Al-Qazwini berkata, "Yang dimaksud melihat bukanlah membolakbalik kelopak mata dan semisalnya, sebab hewan-hewan juga sama-sama
ikut dalam melihat seperti ini. Barangsiapa melihat langit hanya warna
birunya, melihat bumi hanya debunya, maka ia sama haLrya dengan hewan,
atau lebih rendah darinya dan lebih lalai, sebagaimana firman Allah,
"Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergukan untuk memahami (ayatayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai
telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka
itulah orang-orang yang lalai." (Al-A'raf: 1791Y ang dimaksud melilhat
ini yaitu berpikir dalam hal-hal yang bisa dirasio, melihat pada halhal yang bisa dirasa, mencari-cari hikmanya agar tampak bagi kita
hakikat-hakikatnya. Itulah sebab kenikmatan duniawi dan ukhrawi.
Setiap orang yang melihat secara mendalam padanya, maka akan
bertambah petunjuk, yakin dan cahaya dari Allah. Berpikir dalam halhal yang bisa dirasio tidak akan datang kecuali dari orang yang memiliki
pengalaman dalam ilmu-ilmu alam dan matematika setelah memperbaiki
akhlak dan jiwanya. Di saat itulah akan terbuka baginya mata hati dan bisa
melihat dari setiap keajaiban apa yang sulit diketahui sebagian darinya.
Stimulus keempat yang ditemukan umat Islam dalam agamanya/
setelah mereka dilarang mempraktikkan ilmu perbintangary meraka diseru
untuk mendalami ilmu pengetahuan dan memikirkan sinyal-sinyal pada
sebagian hakikat dan rahasia alam. Islam mewajibkan umatnya hal-hal
yang mengharuskan untuk mempelajari alam semesta, mengetahui masa
dan waktu untuk menentukan waktu-waktu shalat, munculnya bulan
sabit, waktu-waktu hari raya dan melaksanakan ritual-ritual keagamaan,
menentukan arah kiblat dan lokasi-lokasi negara. Maka dari itu orang-orang
Arab mulai memperhatikan ilmu astronomi dan meteorologi.
Pada awalnya mereka berdasar pada informasi-informasi orangorang kuno dari Yunani, Mesir, Persia dan India. Buku pertama yang
diterjemahkan tentang ilmu astronomi dari bahasa Yunani ke bahasa
Arab ini yaitu buku yang berjudul Miftah An-Nujum yang ditulis oleh
Hermes sang ahli bijak. Buku ini diterjemahkan pada masa pemerintahan
dinasti Bani Umayah. Setelah itu, pada masa pemerintahan khalifah AlManshur diterjemahkan referensi-referensi penting yang menjadi sumber
pengetahuan umat Islam untuk ilmu-ilmu para pendahulu dalam bidang
astronomi, yaitu buku As-Shindu Hanta atau As-Sind Hind dan buku AlMagest.
Karangan-karangan Islami pada awalnya menganut metode dua buku
tersebut, lalu berkembang menuju penemuan baru yang orisinil seperti
halnya perkembangan ilmu dan pengetahuan yang mengalami puncak
kemajuannya mulai pada abad ke 9 M.
Ciri utama dari periode ini ini yaitu dibuatnya alat Azyaj dan jadwaljadwal matematis. Di antara mereka yang menulis dalam ilmu astronomi
ini yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Jabir bin Sinan Al-Harrani yang
terkenal dengan Al-Battani dan dianggap oleh Laland sebagai salah satu
dari dua puluh astronom yang paling masyhur di dunia. Ia menulis
bukunya yang berjudul Az-Zaij Ash-Shabi'. Zaijperlama berisi informasiinformasi yang valid, detil dan pengamatan yang memiliki pengaruh besar
dalam ilmu astronomi pada masa pertengahan di kalangan orang-orang
Arab dan pada awal masa kebangkitan di Eropa setelah diterjemahkan ke
dalam bahasa latin pada abad ke 12 M.
Dalam bukunya ini Al-Battani membuat 57 Bab mencakup metode
proses penghitungan dalam sistem enam pulutr, angka ganjil berputar, bola
langit dan lingkarannya/ kadar kemiringan falak dari falak pelurus siang
atau yang disebut dengan kemiringan besar. Nilai angka yang dicapainya
dari alat observasinya ini yaitu akurat dalam jangka waktu satu menit. Hal
ini diamini oleh para astronom setelahnya seperti Ash-Shufi, Al-Buzajani
dan Al-Bairuni.
Buku Az-Zaij Ash-Shabi' juga mencakup pencarian ukuran waktu
dengan mengawasi ketinggian matahari, meneliti bintang-bintang
yang tetap, menentukan panjangnya tahun matahari lewat pengamtary
mempelajari gerakan matahari, gerakan bulan, gerhana matahari, gerhana
bulary jarak matahari dan bulan dari bumi. Ia juga membandingkan antara
penanggalan-penanggalan yang berbeda menurut orang-orang Arab,
Romawi, Persia dan Mesir. Ia juga membahas tentang posisi bulan dan
bintang, membahas alat-alat astonomi dan cara pembuatannya. Buku ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke 12 M.
Al-Battani menyebutkan metodenya dalam menulis buku ini, ia
berkata dalam mukaddimahnya,ss "Ketika aku melihat jauh, berpikir
panjang dalam ilmu ini, mengetahui perbedaan buku-buku yang dikarang
tentang gerakan bintang yang kelihatannya ada sebagian kesalahan dari
pengarangnya dalam membuat kaidah dalam gerakan-gerakan bintang
sepanjang masa -ketika observasinya dianalogikan dengan observasi
kuno- ditemukannya kemiringan falak bintang dari falak pelurus siang
yang berupa kedekatan, perubahan angka-angka dan ukuran waktu
tahun dan waktu musim, hubungan An-Nirain yang dijadikan petunjuk
atas masa-masa gerhana dan waktunya, aku melakukan pelurusan hal
ini dan mengaturnya berdasarkan aliran Potalemus dalam bukunya
yang mashur yaitu Al-Majasti setelah meneliti jautr, melihat dan berpikir
mengikuti jejaknya dan menerapkan apa yang ditulisnya. Sebab ia telah
menghitungnya dari berbagai sisi, menunjukkan alasan-alasan dan sebabsebab yang muncul dengan bukti angka dan teknis yang tidak diragukan
lagi kevalidannya dan hakikatnya. Ia telah memerintahkan untuk menguji
dan menghitung setelahnya. Ia menyebutkan bahwa boleh saja ia dibantah
dalam observasinya terhadap panjangnya masa sebagaimana ia membantah
Ibbarkus dan lainnya dari pada rekannya, sebab besamya pekerjaan ini dan
kaitannya dengan langit yang besar yang tidak bisa diketahui melainkan
dengan perkiraan yang paling dekat.
Dan aku menulis tentang hal ini sebuah buku, di dalamnya aku
menjelaskan apa yang sulit, membuka apa yang tertutup, menerangkan apa
yang musykil dari dasar-dasar ilmu ini dancabang-cabangnya yangjanggal.
Dalam buku ini aku memudahkan jalan petunjuk bagi yang memilihnya
dan melakukannya dalam bidang ilmu perbintangan. Aku juga mengoreksi
gerakan-gerakan bintang dan posisinya dari wilayah falak bintang seperti
yang aku temukan dalam obsevasi dan perhitungan dua gerhana dan
semua amal yang diperlukan. Aku menambahkan selairueya dari apa yang
dirasa perlu. Aku membuat gerakan-gerakan bintang dari jadwal-jadwal
untuk waktu tengah hari dari satu hari yang dihitung di kota Raqqah dan
di sanalah observasi dan ujian untuk mencerdaskan semuanya dengan ijin
Allah dan pertolongan-Nya.
Demikianlatu jelas bahwa ilmu falak dan meteorologi telah menjadi
ilmu matematis yang jauh dari khurafat dan perdukunan, melainkan
berpedoman pada ilmu hitung dan observasi yang teliti sehingga
berkembang dengan adanya penyaksian langsung dan ekperimen yang
didasarkan pada dasar keilmuan yang normal dengan menggunakan alatalat dan azyaj ataujadwal falak.
Prestasi besar ini tercapai atas jasa para ilmuwan yang menulis dalam
ilmu falak, meteorologi, membuat obeservasi dan azy a) seperti Al-B uzajani,
Al-Hamdani, Al-Kindi, Al-Battani, Ibnu Yunus, Al-Khazin dan lainnya.
Dan juga penelitian-penelitian Ibnu Al-Haitsam dan karangannya
dalam bidang falak dan meteorologi mempunyai manfaat besar dalam
menemukan hakikat-hakikat ilmiah yang penting. Ia membuktikan
bahwa bintang-bintang memiliki sinar khusus yang dikirimnya dan bulan
mengambil cahaya dari matahari. Ia menghitung ketinggian lapisan udara
yang mengelilingi bumi dan memperkirakannya sampai 15 Kilometer. Ia
juga memberikan perhatiaanya terhadap sebab-sebab munculnya bulan
sabit, gelap, pelangi, dan juga menemukan kacamata pembesar pertama
untuk membaca.
Para sejarahwan mengakui andilnya yang besar dalam bidang ini,
sampai-sampai orientalis dari |erman Sigrid Hunkese bersaksi bahwa ketika
Kepler pada abad ke L6 M meneliti hukum-hukum yang membantu Galileo
menemukan bintang-bintang yang belum diketahui melalui kacamata
pembesar, bayangan Ibnu Al-Haitsam membuntutinya dari belakang.
Pengaruh ilmuwan dari Arab yang jenius ini sangat besar terhadap
negara-negara Barat. Kemajuan ilmu falak pada masa kebangkitan Islam
diiringi dengan menyebarnya observasi-observasi di berbagai penjuru
negara Islam. Para khalifah dinasti Bani Umayyah membangun observatori
di Damaskus tahun 829 H yang dianggap sebagian peneriti sebagai
observatori pertama pada masa Islam. Putera-putera Musa membangun
observatori di kota Baghdad, para khalifah dinasti bani Fathimiyah
mendirikan observatori di gunung Mukattam yang tekenal dengan
peralatannya yang canggih dan para pakarnya yang unggul. Dan masih
ada lagi beberapa observator di syam, Ashfahary Maraghatr, samarkand,
Mesir dan Andalusia.
selain membuat observatori falak, para ilmuwan berhasil menemukan
sejumlah peralatan yang digunakan dalam proses obeservasi seperti alat
penentu posisi matahari condong, jam air untuk membatasi waktu, alat
Isterlap Arab untuk menentukan ketinggian dan mengetahui zaman
dan waktu. Penggunaan Isterlap sangat terkenal dalam observatori yang
dibuat oleh orang-orang Arab yang kemudian menjadi dasar daripada
teori penggunaan alat Theodolet baru yang banyak digunakan untuk
tujuan pengukuran ruang geologis untuk mengukur sudut vertikal dan
horizontal. Demikian juga untuk pengukuran dalam bidang meteorologi.
Hal ini mematahkan anggapan yang sering dilontarkan sebagian orang
bahwa alat Isterlap merupakan penemuan Tikhobrahi. Dan telah diyakini
bahwa Al-Fazari ini yaitu orang pertama kali yang membuat Isterlap dan
orang pertama yang mengarang buku tentang Isteilap yang berjudul AlIsterlap Al-Musathah.
Demikan juga Al-Bairuni menggunakan perhitungan segitiga untuk
mengukur keliling bumi.60 Dalam bukunya yang berjudul Al-eanun AlMas'udi fi Al-Ha'iah wa An-Nujum, ia menggambarkan gerakan bola langit
setiap hari yang tampak di sekitar bumi dan yang berkaitan dengannya.
Ia juga menulis tentang luasnya negeri-negeri, gambar bumi, arah kibrat
dan posisi kota-kota yang terkenal.
Sebagian besar alat-alat modern mengambil dasar dari teorinya dan
hasil pemikirannya seperti yang dijumpai dalam buku-buku karangan
para ilmuwan Arab dan Islam. Di antara peralatan ini ini yaitu seperti alat
yang dinamakanKassyaf As-Sahab atau penyingkap awanyang digunakan
untuk mengukur ketinggian awan pada malam hari. Alat ini disebut
Midelton dalam bukunya yang terbit pada tahun 1947 dengan judul AlatAlat Meteorologi. Buku ini berisi teori penghitungan segitiga sederhana.
Seperti yang dikatakan Midelton, jika kita mengatakan seandainya huruf
Ain menunjukkan ketinggian awary maka huruf lammenunjukkan panjang
garis dasar, huruf sln menunjukkan sudut cahaya yang membuka yang
jatuh di atas dasar awan pada hurfi jim. Huruf shad menuniukkan sudut
titik cahaya.
G-, +-
Di antara buku-buku penting dalam ilmu falak yang merupakan
warisan peradaban Islam ini yaitu An-N uj um Ats-T sabitahkary a Abdurrahman
Ash-Shufi. Buku ini merupakan buku paling baik yang dikarang dalam ilmu
falak karena menyebutkan lebih dari seribu bintang, dilengkapi dengan
peta dan gambar berwarna serta melukiskan bentuk-bentuk bintang dalam
gambaran manusia dan binatang.Juga menyebutkan nama-nama dengan
bahasa Arab yang sebagian nama ini masih digunakan sampai sekarang,
seperti bintang beruang besar, beruang kecil, paus dan kalajengking. Para
astronom modern berpegangan pada buku-buku yang ditulis oleh AshShufi ini untuk mengukur perubahan pada cahaya sebagian bintang
Ash-Shufi dianggap sebagai orang pertama yang meneliti adanya
awan yang terbentuk dari meteri alam yang sekarang dikenal dengan
Nebula Terang.
Abdurrahman bin Al-A'lam Ash-Shufi merupakan salah satu
peneliti di sekolah para ahli falak yang muncul pada pertengahan abad
ke 10 M di negeri Persia di kota Syairaz yang diawasi langsung oleh para
penguasa Bani Buwaih. Lembaga ini mengalami kemajuannya pada masa
pemerintahan AdhAd-Daulahyang terkenal dengan cintanya kepada ilmu
dan para ilmuwan.
Di antara karya Abdurrahman Ash-Shufi yang masyhur adalah
bukunya Shuwar Al-Kawakib Ats-Tsamaniyah wa Al-Arba'in . Di dalam
bukunya ini Ash-shufi mengevaluasi dengan teliti bintang-bintang yang
ini dalam buku Al-Majasti karya Potalemus. Karya Ash-Shufi ini
mendapat pujian dari penerjemahnya Shilreb dari Denmark, di mana ia
berkata, "Ash-Shufi telah memberikan kepada kita gambaran tentang langit
yang dihiasi dengan bintang-bintang dalam gambaran yang lebih indah
daripada gambaran yang ada sebelumnya. Gambaran ini bertahan selama
sembilan abad tanpa ada yang menandinginya."
Pada awal abad ke L1 M muncul buku Az-Zaij Al-Hakimi Al-Kabir
yang ditulis pakar falak Ibnu Yunus dan dijadikan dasar oleh ilmuwan
Perancis ternama Lapaz dalam menentukan kecondongan bintangbintang dan perbedaan-perbedaan antara planet Saturnus dan Venus.
Demikian pula astronom Amerika ternama Simon Neokomb menggunakan
pengamatan Ibnu Yunus tentang gerhana matahari dan gerhana bulan
dalam penelitiannya tentang gerakan bulan.
Ibnu Yunus menggambarkan metode akurat untuk menentukan arah
kiblat. Karl Shawa melihat bahwa metode ini patut diperhatikary dimana
teks yang disebutkan Ibnu Yunus memberikan kita dalam bahasa modern
definisi persamaan sinus sudut dan sinus sempurna dalam perhitungan
sepertiga bola.
Di kota Baghdad, Abu Al-Wafa Al-Buzajani (328-388) pada akhir abad
ke 10 M melakukan koreksi terhadap jadwal-jadwal falakyang dibuat pada
masa pemerintahan khalifah Al-Makmun. Ia mengumpulkan hasil risetnya
dalam bukunya yang berjudul Az-Zaij Asy-Syamil.
Di negeri Andalusia Al-Majrithi meneliti Zaij Al-Khawarizmi dan
mengubahnya dari kalender tahun Persia menjadi kalender tahun Arab,
lalu ia meringkas dan memperbaikinya.
Jabir bin Al-Aflah Al-Isybili mengarang bukunya yang berjudul AlHa'iah