Tampilkan postingan dengan label islam ku 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam ku 6. Tampilkan semua postingan

islam ku 6

 


pada ayat 

suci berikut; “Apa yang dilimpahkan (dalam bentuk pungutan fai’) oleh Allah atas kaum (penduduk sekitar Madinah), maka ha￾rus digunakan bagi Allah, utusan-Nya, sanak keluarga terdekat, 

anak-anak yatim, orang-orang miskin, para peminta-minta/

pengemis dan pejalan kaki di jalan Allah. Agar supaya harta yang 

terkumpul itu tidak hanya berputar/beredar di kalangan orang￾orang kaya saja di lingkungan kalian. (mâ afâ ‘a Allâhu ‘alâ rasû-

lihi min ahl al-qurâ fa li-Allâhi wa li al-rasûl wa li dzî al-qurbâ 

wa al-yatâ mâ wa al-masâkîn wa ibn al-sabîl, kailâ yakûnâ 

dûlatan bain al-aghniyâ’a minkum)” (QS al-Hasyr [59]:7).

Harus­lah senantiasa diingat oleh para pemimpin gerakan 

Islam saat ini, bahwa apa yang dikemu­ka­kan oleh ayat suci di 

atas, menunjukkan dengan jelas watak keadilan struk­tural dari 

bangunan masyarakat, baik itu dicapai melalui perjuangan struk￾tural (seperti dike­hendaki Sosialisme dan Komunisme) maupun 

tidak. Jika hal ini diabaikan, maka sang pemimpin gerakan Is￾lam hanya akan men­jadi mangsa pandangan yang memanfaat￾kan manusia untuk ke­pen­tingan manusia lain (exploitation de 

l’home par l’home). Je­las, sikap itu berlawanan dengan keselu￾ruhan ajaran Islam sebagai agama terakhir bagi manusia. Kare￾nanya, mereka yang memperebutkan jabatan atau menjalankan 

KKN dalam me­ngemban jabatan itu, mau tidak mau harus ber￾hadapan dengan pengertian keadilan dalam Islam, baik bersifat 

struktural atau non-struktural.

Jelaslah, bahwa telah terjadi pergeseran pemahaman dan 

pengertian dalam Islam mengenai kata “keadil­an” itu sendiri. 

Dalam proses memahami dan mencoba mengerti garis terjauh 

dari kata i’dilû’ atau ‘al-qisth’ itu sendiri, lalu ada se­mentara pe­￾mikir muslim yang menganggap, sebaiknya diguna­kan kata “ke￾adilan sosial” (social justice) dalam wacana kaum mus­limin me￾nge­nai perubahan sosial yang terjadi. Kelom­pok ini meng­inginkan 

pendekatan struktural dalam mema­ham­i perubahan sosial. Na￾mun pada umumnya masih ber­fung­­si wa­ca­na dari sebagian be￾sar adalah para pemikir saja, bu­kannya pejuang/aktifis masyara￾kat. Tetapi, lambat-laun akan muncul para aktifis yang meng￾gunakan acuan struktural itu, dan dengan demikian merubah 

keseluruhan watak perjuangan kaum muslimin. Impli­ka­sinya 

akan muncul istilah “muslim revolu­sio­ner” dan lawannya yaitu 

“muslim reaksioner”. Memang mudah merumuskan per­juangan 

kaum muslimin itu, namun sulit me­mim­­pinnya, bukan? h


Kitab suci al-Qurân berkali-kali menandaskan, bahwa ma￾salah kecukupan adalah masalah yang kerapkali meng￾gang­gu hidup manusia. Dikatakan; “Telah membuat ka￾lian lalai, upaya memperbanyak harta, hingga kalian masuk liang 

kubur (Alhâkum al-takâtsur. Hattâ zurtum al-maqâbir)” (QS. 

at-Takatsur [102]:1-2). Jelas dari ayat ini bahwa, upaya me­nge­jar 

harta se­banyak mungkin dapat melupakan manusia dari Tuhan, 

apalagi bila mengakibatkan penderitaan sesama manusia. Den￾gan demi­kian, melalui ayat di atas, Islam jelas sekali menentu￾kan bah­wa manusia harus bersama-sama dalam kehidupan, ter￾masuk dalam mencari apa yang dinamakan “kecukupan”, baik 

yang bersifat perorangan maupun keseluruhan masyarakat (af￾fluent society).

Dengan demikian, nyata bagi kita, kecukupan itu dalam pe￾mi­kiran Islam ada aturannya, yaitu mencapai tingkat perolehan 

yang tinggi tanpa mencegah orang lain mencapai hal yang sama. 

Kesamaan hak ini perlu mendapat tekanan, sebab  dalam kon￾sep kapitalisme klasik tidak pernah dipikirkan tentang gairah 

menca­pai hal yang maksimal, namun senantiasa manusia lain 

menjadi korban. 

Dalam persaingan bebas itu, tidak lagi mempedulikan siapa 

korban, toh manusia memang tidak bernasib sama. Jadi, negara 

berkewajiban menyediakan kompensasi bagi warga negara yang 

"kalah" dalam bentuk kecukupan minimal. Contoh yang paling umum adalah asu­ransi sosial, yang diberikan kepada orang yang 

menganggur. Sedang asuransi sosial bagi pensiunan, sebesar 

80% pen­da­pat­an tertinggi semasa mereka masih bekerja. Asu￾ransi sosial ini adalah jaminan sosial akan kebutuhan terendah 

seorang warga masyarakat, dan itulah yang menjadi tugas utama 

peme­rin­tah, yakni penyediaan jaminan sosial yang mencukupi 

kebu­tuhan stan­dard kehidupan. Untuk tujuan politik, pemerin￾tah me­nyediakan berbagai pelatihan kerja, guna memungkinkan 

pa­ra penganggur itu memperoleh lapangan pekerjaan yang ta￾dinya tidak dapat mereka masuki.

Diharapkan dengan pembayaran pajak yang besar dari per￾saingan bebas, maka pemerintah kapitalis akan mampu menang￾gulangi masalah pengangguran itu melalui penetapan dasar ke￾cukupan minimal seorang warga negara. Kalau tercapai jumlah 

yang ditentukan itu, berarti pemerintah su­dah melaksanakan 

tugas. 

Jadi keseluruhan hidup manusia diukur dengan capaian 

minimal ini , dan selebihnya manu­sia dapat mengejar ke￾ting­gian mak­simal dalam keenakan hidup secara material. Hal 

ini berarti, seluruh kehidupan diukur dengan ukuran capaian 

materialistik belaka. Maka, tidak mengherankan jika penerapan 

ukuran-ukur­an pincang itu menghasilkan juga pola kehidupan 

yang pincang. Dalam institusi perkawinan pun terjadi perkem￾bangan yang sedemikian rupa, seperti masyarakat gay, lesbi dan 

bahkan perka­win­an sejenis. Di sini, ukuran-ukuran moral yang 

kita ikuti selama ini justru “meng­ganggu” lembaga-lembaga baru 

yang akan diwujudkan mereka.

Sudah tentu, pengembangan ukuran materialistik bagi war￾ga negara harus diwujudkan guna mencapai masyarakat yang 

sejahtera. Tetapi, hal ini tanpa harus me­ning­gal­kan ukuran-ukur￾an moral yang konvensional dalam kehidupan bermasyarakat. 

Tanggung jawab sosial para warga masyarakat tidak dapat di￾gantikan negara demikian saja, seperti yang terjadi di Skandi￾navia1

. Angka bunuh diri yang tinggi di dalamnya, menunjukkan 

besarnya rasa tidak puas atas tatanan struktural yang dikem­bangkan. Sikap negara yang tidak memihak pada si lemah, mem￾buat para warga negara gundah perasaannya. Di tengah-tengah 

kemakmuran serba benda, dalam negara yang diperintah oleh 

kaum sosial demokrat itu, ternyata manusia tidak cukup dilayani 

dengan struktur materialistik belaka, melain­kan juga membutuh￾kan institusi-institusi lain yang lebih mengarah kepada hal-hal 

spiritual. Aspek spiritual ini menjadi menonjol, dan mengambil 

bentuk muncul­nya nasionalisme sempit atau radikalisme model 

baru seperti yang terjadi di Eropa Barat, yang sering menyebut 

diri mereka sebagai golongan konservatif.

eg

Kehidupan di bawah tingkat kecukupan itu tidak menjadi 

perhatian benar bagi pemerintah, paling jauh hanya ditangani 

aspek psikologis yang bersifat materialistik saja. Contohnya ada￾lah manusia lanjut usia (manula) yang dalam masyarakat kita 

jum­lahnya semakin lama semakin bertambah besar. Sebagai ca￾tat­an di berbagai negara, dibangun sejumlah rumah panti jompo 

bagi para warga negara manula. Me­re­ka berkumpul di rumah￾rumah jompo dan hidup bersama manula-manula lain. Negara 

tidak melihat hal yang aneh dalam keter­pi­sahan (isolasi) antara 

sesama warga negara itu. Jadi, yang diperhatikan hanya sudut 

psikologis, tanpa meninjau terlalu jauh keterikatan manula dari 

keluarganya.

Tentu, apa yang diterangkaan di atas dapat diperdebatkan, 

seperti jawaban atas pertanyaan adakah pengaruh seorang manu￾la atas cucunya; bersifat positif ataukah negatif? Jawaban-jawab￾an atas pertanyaan seperti itu tentu saja menjadi penting untuk 

ditemukan rumusan-rumusannya yang definitif. Demikian pula, 

dapatkah jawaban-jawaban seperti itu menjadi sama bagi setiap 

warga negara, ataukah hanya berkenaan dengan warga negara 

tertentu saja? sebab  itu, diperlukan sejumlah lembaga yang 

dipimpin oleh para pakar dari berbagai bidang untuk me­ma­du 

jawaban yang diperoleh, sehingga menjadi landasan bagi se­jum￾lah kebijakan umum.

Dari hal-hal yang disebutkan di atas, menjadi jelas bagi 

kita, bahwa wawasan agama harus dapat digabungkan dengan 

pertimbangan-pertimbangan kepakaran yang lain. sebab nya, 

menjadi penting untuk memahami peranan agama dalam me­lihat masalah tidak hanya dari sudut agama belaka, melainkan 

se­cara menyeluruh dari berbagai bidang. Menjadi pertanyaan 

pen­ting bagi kita, adakah Islam dapat menerima jawaban multi￾fungsi dan multi-bidang seperti ini.

eg

Jelaslah dari uraian di atas, bahwa aplikasi atau penerap￾an-penerapan ajaran agama, termasuk agama Islam, memang 

bersifat sangat sulit dan sangat komplek dalam kehidupan nya￾ta. sebab nya, kita harus bersikap hati-hati dalam masalah ini. 

Kita tidak dapat berlepas-tangan dari aspek penyediaan jawab­an 

dari sudut pandang agama atau justru hanya mengandalkan dari 

sudut pandang materialisme.

Guna memungkinkan jawaban-jawaban dalam hal ini, pe￾nulis beranggapan faktor nilai (values) turut menentukan tin￾dakan-tindakan manusia untuk memecahkan masalah-masa­lah 

yang mereka hadapi dalam kehidupan nyata. Pendekatan ini ber￾sifat komprehensif, berlawanan dengan jawaban dari lembaga 

pemerintahan pada umumnya. Sungguh rumit bukan? h


Dalam fiqh dikemukakan keharusan seorang pemimpin 

agar mementingkan kesejahteraan rakyat yang dipimpin, 

sebagai tugas yang harus dilaksanakan: “Ke­bi­jaksanaan 

dan tindakan Imam (pemimpin) harus terkait lang­sung dengan 

ke­sejahteraan rakyat yang dipim­pin (tasharruf al-imâm ‘alâ ar￾ra’iyyah manûtun bi al-maslahah)”. Sangat jelas tujuan berkua￾sa bukan­lah kekuasaan itu sendiri, me­lainkan sesuatu yang di￾rumuskan dengan kata kemas­la­hatan (al-maslahah). Prinsip 

kemaslahatan itu sendiri seringkali diterjemahkan de­ngan kata 

“kesejahteraan rakyat”, yang dalam ungkapan ekonom dosen 

Harvard, yang juga man­tan Duta Besar Amerika Serikat (AS) 

untuk India, John Kenneth Galbraith, sebagai “The Affluent So￾ciety”.1

Dalam bahasa pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 

1945, kata kesejahteraan ini  dirumuskan dengan ungkap­an 

lain, yaitu dengan istilah “masyarakat adil dan makmur”. Itulah 

tuju­an dari berdirinya sebuah Negara Kesatuan Republik Indo￾nesia (NKRI) dalam siklus berikut: hak setiap bangsa untuk mem­per­oleh kemerdekaan, guna mewujudkan perdamaian dunia 

yang abadi dan mening­katkan kecerdasan bangsa, guna menca￾pai tu­juan masyarakat adil dan makmur. Dengan menganggap￾nya sebagai tujuan bernegara, UUD 1945 jelas-jelas menempat￾kan ke­se­jahteraan/keadilan-kemakmuran sebagai sesuatu yang 

esen­sial bagi kehidupan kita.

Menjadi nyata bagi kita bahwa prinsip me­nye­lenggarakan 

negara yang adil dan makmur menurut UUD 1945, menjadi sama 

nilainya dengan pencapaian kesejahteraan yang dimaksudkan 

oleh fiqh tadi. Hal inilah yang harus dipi­kir­kan secara mendalam 

oleh mereka yang menginginkan aman­de­men terhadap UUD 

1945. Tidakkah amandemen seperti itu dalam waktu dekat ini, 

akan merusak rumusan tujuan ber­negara ini ? 

eg

Tingginya kesejahteraan suatu bangsa, dengan demikian 

menjadi sesuatu yang esensial bagi Islam. Saudi Arabia dan ne­ga￾ra-negara Teluk lainnya telah mencapai taraf ini, walaupun masa￾lah keadilan di negeri-negeri ini  masih belum terwujud se￾lu­ruhnya. Keadilan baru dibatasi pengertiannya pada keadilan 

hukum belaka, namun keadilan politik2

 dan budaya belum ter­wu￾jud. Dengan demikian, masih menjadi pertanyaan besar, apa­kah 

negara-negara ini  demokratis ataukah belum? Memang 

tera­sa, jawaban atas pertanyaan di atas bersifat sangat pelik, 

apalagi dalam hal ini kita berhadapan dengan sebuah pertanya￾an besar: benarkah penerapan hak bersuara bagi tiap individu 

(one man one vote principle) telah mencerminkan demo­krasi3yang sesungguhnya?

Penulis mengemukakan hal ini dengan maksud agar hal 

itu dibicarakan secara serius dalam wacana terbuka bagi kaum 

muslimin. Haruskah kita menerima pencapaian kesejahteraan 

dan terselenggaranya keadilan sekaligus sebagai persyaratan de￾mokrasi?.

Jalinan antara kesejahteraan dan keadilan menjadi sa￾ngat penting bagi kaum muslimin di negeri ini, paling tidak bagi 

kaum santri yang melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan 

sehari-hari. Pentingnya upaya ini  dapat dilihat pada tidak 

ter­capainya keadilan maupun kesejahteraan di negeri ini, wa￾laupun ia memiliki tiga sumber alam yang tidak dimiliki oleh 

negara-negara lain: hutan yang lebat yang dikenal sebagai paru￾paru dunia, kekayaan tambang yang luar biasa dan kekayaan laut 

yang kini banyak dicuri orang. Kegagalan mencapai kesejahtera￾an hidup bagi rakyat banyak itu, dapat dikembalikan sebabnya 

ke­pa­da kebijakan ekonomi dan peraturan-peraturan semenjak 

kemerdekaan kita, yang lebih banyak ditekankan pada kepen￾tingan orang kaya/ cabang atas dari masyarakat kita, bukan ke￾pentingan rakyat banyak.

eg

sebab  eratnya hubungan antara kebijakan/ tindakan pe￾me­rintah di bidang ekonomi dengan pencapaian kesejahteraan, 

jelas bagi kita nilai-nilai Islam memang belum dilaksanakan de￾ngan tuntas oleh bangsa kita selama ini. Dikombinasikan de­ngan 

maraknya ko­rup­si dan pungutan-pungutan liar, maka secara 

keselu­ruhan dapat dikatakan telah terjadi penguasaan aset-aset 

ke­ka­yaan bangsa oleh segelintir orang. Dan dari penguasaan se￾per­ti itu dapatkah di­ha­rapkan akan tercapai kesejahteraan yang 

merata bagi bangsa kita? Jawaban atas pertanyaan ini, menun￾jukkan keharusan bagi kita untuk berani banting setir/kemudi 

dalam upaya menca­pai­nya. Kalau tidak, berarti kita rela membiar￾kan sebagian besar bang­sa kita hidup di bawah garis kemiskinan 

atau tidak jauh dari garis ini . Inginkah kita hal itu akan ter￾jadi, manakala kita ingat tujuan mendirikan negeri ini?

 Bukankah pembiaran kita atas rakyat kecil di pedesaan, 

yang menjual tanah dan aset-aset lain untuk sekedar memper￾oleh makanan, merupa­kan kejahatan kita atas agama yang tidak 

dapat dimaafkan?Jelaslah bagi kita bahwa pencapaian kesejah￾tera­an yang merata bagi seluruh bangsa, merupakan amanat aga￾ma juga. Bukankah kita menjadi berdosa jika hal ini dilupakan 

dan kita te­tap tidak melakukan perbaikan? 

Jawaban atas rangkaian pertanyaan di atas yaitu, kita ha￾rus menempuh kebijakan dan tindakan baru di bidang ekonomi. 

Caranya dengan mengembangkan ekonomi rakyat dalam bentuk 

memperluas dengan cepat inisiatif mendirikan dan mengem￾bang­­kan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Sege­nap sumber￾sumber daya kita harus diarahkan kepada upaya ini , yang 

berarti pemerintah langsung memimpin tindakan itu. Namun, 

ini tidak berarti kita menentang usaha besar dan raksasa, me￾lainkan mereka harus berdiri sendiri tanpa perto­long­an peme￾rin­tah dan tanpa memperoleh keistimewaan apapun. Selain itu, 

kita tetap berpegang pada persaingan bebas, efisiensi dan per￾modalan swasta dalam dan luar negeri. 

Jelaslah dari uraian di atas, upaya menegakkan ekonomi 

rakyat seperti itu tidak terlepas dari tujuan UUD 1945 atau ajar￾an Islam. Pencapaian kesejahteraan/maslahah menurut ajaran 

Islam dan pencapaian masyarakat adil dan makmur menurut 

UUD 1945 adalah sesuatu yang esensial bagi kita. Tanpa orien￾tasi itu, apa­pun yang kita lakukan akan bertentangan dengan 

kedua-duanya. Untuk melaku­kan upaya banting setir/kemudi 

di bidang ekonomi, cukup mudah dalam perumusan, tapi sangat 

sulit dalam pelak­sanaan, bukan? Dalam menguraikan sejarah ekonomi bangsa-bangsa Ti￾mur Tengah, Charles Issawi1

 menunjuk kepada Bangsa 

Me­sir. Bangsa ini sulit melepaskan diri dari birokrasi pe￾me­rintahan, sebab  tradisi sejarah itu yang menunjukkan kekuat￾an mereka semenjak ribuan tahun yang lalu. Di mulai dengan 

Fir’aun/Paraoh yang menjadi manifestasi kekuasaan Tuhan di 

muka bumi, melalui para sultan yang menjadi wakilnya. Dilan￾jutkan oleh kekuasaan kaum imperialis yang luar biasa, birokrasi 

pe­me­rintah menjadi sesuatu yang kokoh dengan adanya Sosialis￾me Arab di bawah Gamal Abdel Naser.2

 Birokrasi pe­me­rintahan 

me­ngembangkan diri begitu rupa, hingga kepentingan-kepen￾ting­an­nya seringkali disamakan dengan kepentingan rakyat ba￾nyak, sebuah hal yang secara perlahan-lahan tapi pasti sedang 

merasuki kehidupan kita sebagai bangsa.

Hal ini jarang dipikirkan orang, dan mau tak mau kita harus 

mengaitkannya dengan konsep negara Islam yang saat ini ditiup￾tiupkan oleh sementara orang. sebab nya, sebuah pertanyaan 

harus dijawab sebelum meneruskan pemikiran tentang konsep 

ini  yaitu: di manakah letak birokrasi pemerintahan dalam 

sebuah konsep negara Islam? Ini diperlukan, untuk menghin­dar￾kan atau menghadirkan sebuah negara Islam, kalau konsep se­perti itu dapat di­buat dan kemudian dilaksanakan, sebab  hal itu 

akan menyangkut kepentingan kita bersama sebagai bangsa.

Dapat saja keinginan itu dianggap sebagai sesuatu yang 

mengada-ada, tetapi ia harus dibicarakan di sini untuk memper￾oleh kejelasan tentang posisi Islam dalam kehidupan kita seba­gai 

bangsa yang bernegara dan bermasyarakat. Jika ini kita abaikan, 

jangan-jangan nantinya kita dihadapkan kepada semakin kuat￾nya biro­krasi pemerintahan dalam kehidupan kita. Ini untuk 

meng­hin­dar­kan kita dari penyesalan berkepanjangan, jika gagas￾an tentang konsep negara Islam dapat diwujudkan.

eg

Ketika penulis menanyakan kepada Datuk Seri Dr. Maha￾thir Muhamad,3

 tentang keputusan Malaysia keluar dari kung￾kungan Dana Moneter Internasional (IMF), beliau menjawab 

bahwa guru besar Massachussets Institute of Techno­logy (MIT), 

Paul Krugman4

 yang menganjurkan hal itu. Ketika guru besar itu 

sing­gah di Jakarta, penulis bertanya kepadanya; apakah hal itu 

sebaiknya juga dilakukan oleh negara kita ? Beliau menyatakan, 

Malay­sia dapat melakukannya sebab  memiliki birokrasi yang 

bersih dan ramping (clean and lean bureaucracy), dan In­do­­nesia 

sebaiknya tidak melakukan hal itu, sebab  tidak me­mi­li­ki biro￾krasi seperti yang disebutkan tadi. Penulis tidak men­jawabnya, 

sebab  disa­da­ri kita memang memiliki birokrasi pemerintahan 

yang terlalu besar dan korup.Untuk mencapai birokrasi yang ramping dan bersih, diuta￾makan beberapa hal, dimulai dari peningkatan pendapatan pe￾ga­wai negeri sipil dan warga TNI/POLRI. Persenjataan dan 

kese­jahteraan mereka ha­rus ditingkatkan secara drastis, kalau 

diinginkan mereka tidak ter­li­bat tindakan-tindakan korup dan 

penyelundupan. Tan­pa dilaku­kan­nya kedua hal itu, mustahil kita 

akan memiliki biro­krasi yang jujur. Sementara itu, penyebaran 

tenaga-tenaga biro­krasi harus efisien, agar tempat-tempat yang 

memerlu­kan­nya memperoleh tenaga birokrat yang cukup, dan 

tempat-tempat yang tidak begitu memerlukan terlalu ba­nyak 

akan memperoleh birokrasi sejumlah yang diperlukan.

Demikian pula, status purnawirawan harus diterapkan 

pada waktunya agar tidak menghambat karier maupun kemung￾kinan promosi generasi muda. Jika hal ini dilaksanakan secara 

kon­sekuen, dalam waktu beberapa tahun saja akan tercapai kese￾im­bangan antara kebutuhan birokrasi dan tersediannya tenaga 

untuk itu. Pada tahap itulah kita baru dapat melakukan kon￾solidasi kepegawaian –seperti yang ditentukan oleh undang-un￾dang. Memang berat tugas menciptakan birokrasi dalam jum­lah 

dan tingkatan yang sesuai dengan kebutuhan, tapi memang masa 

depan bangsa ini tergantung sepenuhnya pada kemampuan kita 

untuk mewujudkan keseimbangan seperti itu.

eg

Keharusan menciptakan profesionalisme penuh bagi sis￾tem kepegawaian kita, tertera dalam Kitab suci al-Qurân yang 

me­nyebut dengan istilah “Memenuhi janji mere­ka di kala meng￾ucapkan sumpah prasetia kepada jabatan (Wal mûfûna bi ‘ahdi￾him idzâ ‘âhadû)” (QS. al-Baqarah [2]:177). Adakah se­buah janji 

yang lebih besar dari pada sesuatu yang diucapkan ketika me￾nyatakan janji prasetia kepada jabat­an? sebab  itulah profesion￾alisme harus ditegakkan, guna memung­kinkan kita menepati 

janji prasetia yang kita ucapkan ketika pertama kali menerima 

jabatan.

Birokrasi pemerintahan memang diperlukan oleh sebuah 

negara modern, namun birokrasi seperti itu haruslah benar￾benar profesional, untuk membantu dalam pengambilan keputus￾an pe­merintah serta mencari kebijakan yang diperlukan untuk 

me­nye­jahterakan rakyat. Tetapi, birokrasi pemerintahan bukan­lah entitas independen, melainkan sebagai pihak yang selalu ber￾pe­gang kepada kepentingan warga negara kebanyakan. 

Jelaslah dari uraian di atas, bahwa Islam tidak memberi￾kan kekuasaan mutlak kepada birokrasi pemerintahan untuk 

berbuat semau mereka. Tetapi, Islam juga memandang penting￾nya arti birokrasi pemerintahan yang baik, sebab  segenap kebi￾jakan pe­mimpin tidak dapat dipisahkan dari pelaksananya, yaitu 

birokrasi pemerintahan. sebab nya, birokrasi pemerintahan 

yang tidak terlalu besar dan tunduk sepenuhnya kepada para 

pemimpin politik sebagai pengambil keputusan ter­akhir, meru￾pakan keharusan yang tak dapat ditawar lagi (conditio sine qua 

non, mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihî fahua wâjibun). Tidak￾kah lalu menjadi jelas bagi kita, bahwa menurut pandangan Is￾lam, birokrasi pemerintahan seharusnya berukuran tidak terlalu 

besar dan memiliki wewenang serba terbatas


Nabi Muhammad Saw bersabda: “Setiap kalian adalah 

peng­gembala, dan seorang penggembala akan ditanya 

ten­tang gembalaannya (kullukum râ’in wa kullu râ’in 

mas­’ûlun ‘an ra’îyyatihi).” Hal ini merupakan landasan moral 

bagi setiap warga negara untuk mempertanyakan orientasi dan 

teori pembangunan nasional yang dipakai di negaranya. Sejauh 

ini, yang diajukan selalu hanya orientasi pembangunan yang eli￾tis dan teori pembangunan nasional yang sekuler. Sangat sedikit 

perhatian diberikan pada orientasi dan teori pem­ba­ngunan na￾sio­nal yang diambil dari ajaran agama. Padahal, banyak sekali 

aspek-aspek spiritual yang dapat dijadikan lan­dasan bagi teori 

pembangunan nasional yang lebih menye­luruh dan orientasi 

pem­­bangunan yang memiliki sisi keagamaan sangat kuat.

Akibat yang sangat terasa bagi kita dewasa ini adalah, orien￾tasi pembangunan kita yang serba elitis dan hanya memen­ting￾kan kaum kaya dan cabang atas dari masyarakat kita, sedangkan 

banyak sekali para orang kaya –yang di kemudian hari menjadi 

kong­lomerat hitam, membawa lari modal pinjaman me­reka ke 

luar negeri. Ini adalah akibat langsung dari orientasi pem­­ba￾ngunan yang serba elitis tadi, yang bertumpu pada ekspor pro￾duk-produk ke luar negeri, dan sama sekali tidak memberikan 

perhatian pada pembentukan modal secara besar-besaran ke￾pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM), minimal dengan pem￾berian kredit murah bagi mereka, serta pemberian kemudahan￾kemu­da­h­an dan fasilitas-fasilitas lain. Akibatnya, adalah krisis 

eko­nomi dan keuangan yang berkepanjangan di negeri kita, 

hingga dewasa ini.

Untuk meredam suara protes yang mencari sebab-mu￾sabab kedua krisis ini, dikemukakanlah acuan-acuan seperti 

persaing­an, perniagaan internasional yang bebas dan keharusan 

ber­efi­sien­si. Padahal ketiga patokan itu berarti persyaratan yang 

harus dipenuhi, jika diinginkan gerak perekonomian yang sehat 

bagi sebuah negara. Orientasi memajukan gerak ekonomi, baik 

yang bersifat elitis seperti memajukan konglomerasi, maupun 

yang profesional dengan bersandar pada pertumbuhan UKM 

yang kuat, mengharuskan adanya kompetisi yang ketat, penghor￾matan ke­pa­da tata niaga internasional dan kemampuan efisiensi 

yang tinggi.

eg

Ukuran teori pembangunan nasio­nal yang sekuler yang di￾gunakan dalam menilai majunya perekonomian, memang ber￾beda dari teori pembangunan nasional yang lebih leng­kap (baik 

aspek spiritual keagamaan maupun aspek-aspek lainnya). Teori 

pembangunan nasional yang sekuler selalu ber­mula dari tinggi 

rendahnya pendapatan nasional sebuah bang­sa, dengan meng￾gunakan berbagai pertimbangan kuan­ti­tatif. Se­dangkan teori 

pembangunan nasional yang bersumber pada agama, senantiasa 

bermula dari tanggung jawab mencip­ta­kan ma­syarakat yang adil 

dan makmur (menurut bahasa UUD 1945), sedangkan menu￾rut ajaran Islam dinamai kese­jah­teraan. Perbedaan titik tolak 

dalam memandang hasil pemba­ngun­an nasional ini, tidak dapat 

dihindarkan, sebab  memang cara meli­hat masalahnya pun 

berbeda. Dari sudut pandang spiritual ke­agamaan, yang dinilai 

adalah capaian individu warga masyara­kat, sedangkan bagi teori 

pembangunan nasional yang sekuler, yang dipentingkan adalah 

capaian makro negara.

Dari perbedaan teori yang digunakan, yang akhirnya ber￾beda dalam cara memandang pembangunan nasional, jelas bah￾wa kita harus memilih antara teori pembangunan nasional yang 

sekuler atau teori pembangunan yang lebih menyeluruh. Tentu 

saja pilihan orang seperti penulis lalu jatuh pada teori pemba￾ngunan nasional yang lebih berorientasi spiritual/keaga­maan. 

sebab , di samping ukuran-ukuran kuantitatif seperti penghasil￾an nasional, capaian umur rata-rata warga negara –baik pria 

dan wanita serta pemilikan rata-rata perorangan tiap penduduk

sebuah negara terhadap mobil, rumah, telepon dan sebagainya, 

juga digunakan ukuran non-materiil –seperti ke­adilan, HAM, 

dan kemakmuran kolektif. Jadi, ukuran yang digunakan tidak 

hanya satu corak saja, tapi memiliki beragam ukuran dari satu 

ke lain bidang.

Ini menjadi sesuatu yang penting, sebab  dengan ukuran￾ukuran kuantitatif akan tetap terdapat disparitas yang tinggi 

da­lam kehidupan di berbagai sektor, seperti perniagaan, pertu￾kang­an dan sebagainya. Justru di negara-negara berkembang, 

dispa­ri­tas itu terasa sangat tinggi. Sedangkan di negara-negara 

berteknologi maju hal itu kurang terasa. Kecenderungan masya￾rakat di Jepang, misalnya, yang membatasi perbedaan penda￾patan tertinggi sekitar 20 kali lipat pendapatan terendah, mem￾buat masyarakat tidak terlalu dilanda kecemburuan sosial yang 

besar. Dengan ungkapan lain, kapitalisme di negara-negara ber￾tek­nologi maju telah membentuk susunan masyarakat yang lebih 

kecil kesenjangannya, sesuatu yang belum ada pengaturan­nya di 

negara-negara yang sedang berkembang.

eg

Dengan demikian, slogan-motto-semboyan yang diguna￾kan dalam pembangunan nasional pun juga berbeda. Nah, per￾bedaan ini harus dicari sumber-sumbernya dalam teori pemba￾ngunan nasional yang digunakan. Inilah yang membuat penulis 

membe­da­kan teori pembangunan nasional yang sekuler dengan 

teori yang juga memasukkan aspek-aspek spiritual-ke­aga­ma­an. 

Pencarian orientasi lebih lengkap ini dilakukan penulis, kare­na 

ia melihat ketimpangan-ketimpangan dalam orientasi pem­ba￾ngunan yang sedang berjalan, yang memanjakan golongan atas 

dan pengusaha kaya belaka.

Perhatian kurang sekali diberikan, kepada teori pemba￾ngun­an nasional yang lebih lengkap, yang memunculkan orien￾tasi kesejahteraan bersama seluruh warga negara, di samping 

ukur­an kuantitatif yang lazim digunakan. Krisis ekonomi finan￾sial yang melanda kehidupan bangsa kita dewasa ini, jelas diaki￾batkan oleh orientasi pembangunan nasional yang terlalu elitis, 

dan mengabaikan ukuran-ukuran seperti kesejahteraan bersa￾ma, keadilan sosial, penegakan hukum dan pelaksanaan hak-hak 

asasi manusia.

Jelaslah dengan demikian, ukuran mikro dan mak­ro yang 

benar harus sama-sama digunakan dalam mengukur capai­an 

pembangunan nasional kita. Ini berarti harus ada perubahan 

besar dalam strategi pembangunan nasional yang digunakan. Di 

samping optimasi persaingan, penerimaan tulus terhadap tata 

niaga internasional dan penghargaaan rasional ke­pada efisiensi 

(yang lebih bersifat ukuran-ukuran mikro), di­guna­kan juga orien￾tasi yang benar akan keadilan sosial, ke­dau­latan hukum dan 

HAM. Dengan kata lain, di samping ukuran-ukuran kuantitatif 

yang bersifat mikro, digunakan juga ukuran-ukuran kualitatif 

dalam arti orientasi pada keadilan, kedaulatan hukum dan ke￾pentingan rakyat banyak, sebagai hal-hal makro yang juga harus 

diperhatikan.

Globalisasi ekonomi, saat ini sering diartikan sebagai per￾saingan terbuka, ketundukan mutlak pada kompetisi 

dan penerimaan total atas “kebenaran” tata niaga inter￾nasional yang diwakili oleh World Trade Organisation (WTO)1

Benarkah dan cukupkah, hal ini menjadi perhatian kita melalui 

tulisan ini. Dalam uraian ini, akan ter­capai keje­lasan pandang­an 

dan maksud tentang hal-hal ini .

Globalisasi ekonomi dimaksudkan untuk membenarkan 

do­mi­nasi perusahaan-perusahaan besar atas per­eko­nomian 

nega­ra-negara berkembang, yang tentu saja akan sangat meru￾gikan negara-negara ini . sebab  itulah, ten­tangan atas 

WTO dan pengertian globalisasi seperti itu justru dilancarkan 

oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) inter­nasional yang 

berpangkalan di negara-negara berteknologi ma­ju. Penentangan 

terbuka atas WTO oleh LSM internasional di Seatle2

, mempenga­ruhi sikap negara-negara berkembang, yang dimun­culkan dalam 

konfe­rensi WTO di Doha, Qatar tahun 2001. 

Namun, tentangan terhadap gagasan globalisasi ekonomi 

itu tidak dilanjutkan dengan kampanye besar-besaran untuk me￾numbuhkan alternatif baru atas globalisasi itu. Dengan kegagal￾an menampilkan strategi positif itu tampak bahwa pengertian 

lama yang negatif tentang globalisasi tetap berlaku. Hal ini tentu 

ber­beda, misalnya, dengan strategi Bung Karno untuk menye￾rang imperialisme dengan mengemu­ka­kan alternatifnya, yaitu 

negara-negara Asia-Afrika.

Dalam memahami arti globalisasi di luar pengertian yang 

sudah lazim, kita dapat juga bertitik tolak dari pandangan agama 

tentang pembangunan nasional. Pandangan itu, berangkat dari 

apa yang dimaksudkan agama Islam tentang fungsi ekonomi 

dalam kehidupan sebuah masyarakat, bertumpu pada dua faktor 

utama: arti barang dan jasa bagi kehidupan manusia dan bagai￾mana masyarakat memakai  barang dan jasa ini . Mo￾dal, dalam pandangan ini, adalah sesuatu yang diperlukan untuk 

mem­buat sesuatu barang atau jasa bagi kehidupan masyarakat. 

Dalam memandang modal seperti itu, menjadi jelas bahwa ke­un￾tungan/profit merupakan hasil sekunder yang tidak hanya mem￾perbaiki kehidupan pemilik modal, tapi juga ia tidak ber­akibat 

menyengsarakan pembeli/pengguna barang ini .

Maksudnya, laba tidak hanya berfungsi menguntungkan 

pemilik modal, tapi ia juga berfungsi menciptakan keadilan da￾lam hubungan antara produsen dan konsumen. Dengan kata 

la­in, laba/keuntungan tidak boleh bersifat manipulatif, berarti 

tidak dibenarkan penggunaan sebuah faktor produksi, untuk me￾ma­nipulasi pihak lain. Dalam pandangan Islam, tidak diperke￾nan­kan adanya pendekatan laisses faire (kebebasan penuh) yang 

menjadi ciri kapitalisme klasik. Dalam pandangan Islam, benda 

dan jasa harus memberikan keuntungan pada kedua belah pi￾hak, hingga hilanglah sifat eksploitatif dari sebuah transaksi eko￾nomi. Dengan ungkapan lain, yang dijauhi oleh Islam bukanlah 

pencarian laba/untung dari sebuah transaksi ekonomi, melain￾kan sebuah pencarian laba/untung yang bersifat eksploitatif.Dengan pendekatan non-eksploitatif semacam itu, me￾mang tidak dibenarkan adanya perkembangan pasar tanpa cam￾pur tangan pemerintah, minimal untuk mencegah terjadinya 

eks­­­ploi­tasi itu sendiri. Di sinilah peranan negara menjadi sangat 

penting, yaitu menjamin agar tidak ada manusia/warga negara 

yang ter­himpit oleh sebuah transaksi ekonomi. Manusia harus 

diuta­ma­kan dari mekanisme pasar dan bukan sebaliknya. Jika 

prinsip non-eksploitatif dalam sebuah transaksi ekonomi seperti 

digam­barkan di atas terjadi, maka dengan sendirinya pengertian 

akan globalisasi juga harus dijauhkan dari dominasi sebuah nega￾ra/perusahaan atas negara/perusahaan lain. sebab  itu, global￾isasi dalam pengertian lama yang hanya mementingkan sa­tu 

pihak saja haruslah dirubah dengan pengertian baru yang le­bih 

mene­kan­kan keseimbangan antara pemakai/pengguna se­buah 

barang/jasa dan penghasil (produsennya).

Dengan demikian, pencarian untung/laba dalam global￾isasi tidak harus diartikan sebagai kemerdekaan penuh pengua￾sa modal untuk meli­kui­­dasi saingan mereka, melainkan justru 

diarahkan pada ter­ca­painya keseimbangan antara kepentingan 

produsen dan kon­sumen. Penyesuaian antara kepentingan pihak 

konsumen dan produsen ini, tentulah menjadi titik penyesuaian 

antara kepen­tingan berbagai negara satu sama lain di bidang 

ekonomi dan perdagangan.

Di lihat dari sudut penafsiran seperti itu, dalam pandangan 

Islam diperlukan keseimbangan antara kepentingan negara pro￾du­sen barang/jasa dan negara pengguna barang/jasa terse­but, 

sehingga tercapai keseimbangan atas kehidupan inter­nasio­nal 

di bidang ekonomi/finansial. Dengan kata lain, ke­adilan tidak 

memperkenankan kata globalisasi digunakan untuk menjarah 

kepentingan sesuatu bangsa atau negara, hingga kata itu sendiri 

berubah arti menjadi tercapainya keseimbangan antara kedua 

belah pihak. Singkatnya, WTO seharusnya berperan mendorong 

perkembangan ke arah itu, bukannya menjamin kebebasan ber￾niaga secara penuh, dengan hasil terlemparnya bangsa atau peru￾sahaan lain sebab nya. Sederhana, bukan?

J

udul di atas keluar dari pengamatan penulis yang melihat 

proses “penyantrian”1

 kaum muslimin di seluruh dunia Is￾lam saat ini. Tentu saja, pendapat ini berdasarkan peng­a￾matan sebelumnya, bahwa ratusan juta muslimin dapat dianggap 

sebagai orang-orang “Islam statistik” belaka alias kaum musli￾min yang tidak mau atau tidak dapat menjalankan ajaran-ajaran 

agama mereka. Orang-orang seperti itu, dikalangan “kaum san￾tri” di negeri kita, dikenal dengan nama “orang-orang abangan” 

(nominal muslim) di negara kita . Mereka berjumlah sangat besar, 

jauh lebih besar daripada kaum santri. Jika di masa lampau ada 

anggapan, bahwa kaum santri yang melaksanakan secara tuntas 

ajaran-ajaran agama mereka berjumlah sekitar 30 % dari pen￾duduk negara kita , maka selebihnya, mayoritas bangsa ini tidak 

melaksanakan “kewajiban-kewajiban” agama dengan tuntas.

sebab  “menyadari” hal itu, dengan kata lain menganggap 

Islam baru tersebar dalam lingkup tauhid di negeri kita, maka 

para wakil berbagai organisasi Islam, menerima pencabutan Piagam Jakarta dari pembukaan UUD 1945. Ki Bagus Hadiku￾sumo, Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosuyoso, Ahmad Subar￾djo, Agus Salim, dan A. Wahid Hasyim menerima pencabutan 

itu dengan mewakili organisasi masing-masing. Tentu mereka 

bersikap se­perti itu, sebab  secara de facto telah berkonsultasi 

dengan kawan-kawan lain dari organisasi masing-masing, atau 

paling tidak mengetahui sikap itu diterima secara umum di ka￾langan gerakan Islam di negara kita . Hanya dengan keyakinan 

seperti itulah, mereka akan mengambil sikap seperti di kemuka￾kan di atas. Pengetahuan sejarah ini  sangat diperlukan, un￾tuk mengetahui jalan pikiran para wakil berbagai perkumpulan 

Islam itu, sebuah kenyataan sejarah yang penting untuk menge￾tahui motif dari keputusan yang diambil ini .

Pada saat ini, organisasi-organisasi Islam menguasai wa￾cana politik dan budaya di negeri kita. Sebagaimana terlihat 

dalam demikian banyak para “santri” yang membeberkan pan￾dangan dan pemikiran mengenai kedua bidang ini  dalam 

media khalayak. Walaupun yang dibicarakan adalah topik-topik 

yang sangat beragam, yang hanya sebagian saja menyangkut 

aspek-aspek agama Islam, namun hampir dua pertiga paparan 

pendapat dan pemikiran itu berasal dari “dunia santri”. Bahkan 

mereka yang tidak menjalankan seluruh ajaran Islam dalam 

kehidupan sehari-hari telah turut bersama-sama menyatakan 

pendapat dan pandangan kaum santri di media khalayak. Dari 

fakta ini, banyak pengamat asing tentang negara kita , berpan￾dangan bahwa sangatlah penting untuk me­nge­tahui pandangan 

kaum santri tentang berbagai hal yang menyangkut negara kita .

eg

Salah satu perkembangan yang menarik untuk diamati 

adalah pelaksanaan syari’ah (jalan hidup kaum muslimin), 

umum­nya terkodifikasikan dalam kehidupan masyarakat santri di negeri kita. Walaupun tidak semua ajaran Islam dijalankan 

dengan tekun, paling tidak slogan “syari’atisasi” telah dilaku￾kan oleh mereka yang “sadar” akan pentingnya Islam sebagai 

“pem­beri warna” hidup bangsa kita. Bahkan, berbagai lembaga 

per­wakil­an rakyat di tingkat propinsi, kabupaten dan kota, telah 

membuat sesuatu yang melanggar “kesepakatan bersama” untuk 

tidak mengaitkan negara kepada kehidupan beragama secara for￾mal atau resmi. sebab  itu, ketika penulis masih menjadi Presi￾den, telah mengusulkan agar tiap Peraturan Daerah yang isinya 

bertentangan dengan undang-undang dasar dianggap batal.

sebab  itulah, perkembangan upaya “syari’atisasi” harus 

dimonitor terus, semestinya perkembangan itu harus sejalan de￾ngan keputusan sidang kabinet yang tertera di atas. Nah, me­ngapa 

sampai sekarang belum ada pelaksanaan syari’ah di be­berapa 

daerah yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945? Jawab￾nya, sebab  Mahkamah Agung yang seharusnya memberikan 

kata akhir bagi pembahasan hal-hal mendasar bagi kehidupan 

kita bersama, tidak menjalankan kewajibannya. Se­buah Mahka￾mah Agung yang benar-benar menjalankan ke­wa­jiban, tentulah 

tidak takut kepada tekanan berbagai pihak, ter­masuk “kaum tero￾ris”. sebab  ketakutan itu, Mahkamah Agung kita akhirnya tidak 

memberikan kontribusi apa-apa dalam me­mu­dahkan berbagai 

masalah sangat penting bagi negeri kita. Mah­kamah Agung kita 

sekarang takut oleh tekanan dari pihak yang ingin memberlaku￾kan syari’ah Islam, maka benarlah apa yang dikatakan Franklin 

D. Roosevelt, Presiden USA yang meninggal dunia tahun 1945, 

bahwa apa yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri 

(what we have to fear is fear itself).

Umpamanya, Peraturan Daerah yang dibuat DPRD Su­ma￾tera Barat bahwa perempuan tidak boleh bekerja sendirian setelah 

jam 09.00 malam tanpa “dikawal” seorang keluarga de­kat, jelas￾lah sekali bertentangan dengan UUD 1945, yang menyamakan 

kedudukan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban war­ga negara le￾laki dan perempuan. Syariatisasi macam inilah yang seharusnya 

dilihat bertentangan dengan UUD 1945, atau tidak oleh MA yang 

penakut itu. Kalau ada upaya membuat syariatisasi yang sejalan 

atau tidak bertentangan dengan UUD 1945, persoalannya adalah 

penggunaan nama syari’ah itu sen­diri. Tentu itu dilakukan de￾ngan tujuan “meng-Islamkan” per­undang-undangan di negeri 

ini, sesuatu yang sebenarnya berbau politik. Mantan Ketua Mah￾kamah Agung Mesir, Al-Asmawi3

 pernah mengemukakan dalam 

sebuah buku, bahwa tiap undang-undang yang berisikan pence￾gahan dan hukuman (deterrence and punishment) pada haki￾katnya dapat diperlakukan sebagai bagian dari hukum Islam?

Jelaslah dengan demikian, upaya melakukan syari’atisasi 

dengan memakai  kerangka Al-Asmawi itu, adalah apa 

yang oleh fiqh (hukum Islam) dan cabang-cabangnya dinamai 

“melakukan hal yang tidak perlu, sebab  sudah dilakukan” (tah￾sil al-hasil). Yang tercapai hanyalah penamaan saja, sedang­kan 

substansi atau isinya tidak diperhatikan, sehingga di­lakukan se￾cara sembarangan saja. Sedangkan seharusnya, proses syari­’ati￾sasi lebih tepat dilakukan oleh masyarakat sendiri, tanpa peng￾gunaan nama syari’ah. Hal ini  dapat terjadi sebagai proses 

dalam hidup bernegara. Dengan demikian dapat disimpulkan, 

sebab  terbawa oleh kerancuan kerangka berpikir, penyebutan 

syari’ah dalam produk-produk DPRD propinsi, ka­bupaten dan 

kota hanya bersifat politis saja, sesuatu yang perlu disayangkan. 

eg

Hal lain yang perlu kita sayangkan, bahwa beberapa bank 

pemerintah telah mendirikan bank syari’ah, sesuatu hal yang ma￾sih dapat diperdebatkan. Bukankah bank seperti itu me­nyatakan 

tidak memungut bunga bank (interest) tetapi menaikkan ong￾kos-ongkos (bank cost) di atas kebiasaan? Bukankah dengan 

demikian, terjadi pembengkakan ongkos yang tidak termoni￾tor, sesuatu yang berlawanan dengan prinsip-prinsip cara kerja 

se­­buah dengan bank yang sehat. Lalu, bagaimanakah halnya 

de­ngan transparansi yang dituntut dari cara kerja sebuah bank 

agar biaya usaha dapat ditekan serendah mungkin.

sebab nya, banyak bank-bank swasta dengan para pemi￾lik saham non-muslim, turut terkena “demam syari’atisasi” ter￾se­but. Hal itu disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka 

tentang hukum Islam ini . Begitu juga, sangat kurang dike￾tahui bah­wa Islam dapat dilihat secara institusional/kelem­bagaan di satu pihak, dan sebagai kultur/budaya dipihak lain. 

Kalau kita mementingkan budaya/kultur, maka lembaga yang 

mewa­ki­li Islam tidak harus dipertahankan mati-matian, seperti 

par­tai Islam, pesantren, dan tentu saja bank syari’ah. Selama 

bu­da­ya Islam masih hidup terus, selama itu pula benih-benih 

ber­lang­sungnya cara hidup Islam tetap terjaga. sebab  itu, kita 

tidak perlu berlomba-lomba mengadakan syari’atisasi, bahkan 

itu dilarang UUD 1945 jika dilakukan oleh pihak pemerintah dan 

lembaga-lembaga negara. Mudah dikatakan, namun sulit dilak￾sanakan bukan? 



Dalam tiga dasawarsa terakhir ini, beberapa pemikir me￾ngemukakan apa yang mereka namakan sebagai teori 

ekonomi Islam. Semula, gagasan ini  berangkat dari 

ajaran formal Islam mengenai riba dan asuransi, yang berintikan 

penolakan terhadap bunga bank sebagai riba, dan praktek asuran￾si yang bersandar pada sifat “untung-untungan”. Ditambahkan 

dalam kedua hal itu, penolakan pada persaingan bebas (laisses 

faire) sebagai sistem ekonomi yang banyak digunakan. Intinya 

dalam hal ini adalah sikap melindungi yang lemah dan mem￾batasi yang kuat seperti dalam pandangan Islam.

Dalam perkembangan berikutnya, pada dasawarsa 80-an 

mun­cul sejumlah orang yang dianggap menjadi ekspo­nen pan￾dangan ekonomi Islam. Mereka banyak berasal dari ling­kung￾an lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga tak heran jika 

mere­ka mengacu pada orientasi kepentingan rakyat kecil dan 

menolak peranan perusahaan-perusahaan besar dalam tatanan 

ekonomi yang ada waktu itu. Namun, mereka gagal mengajukan 

sebuah teori yang bulat dan utuh yang dapat dianggap mewakili 

ekonomi Islam. Keberatan mereka terhadap praktek-praktek 

ko­lusi, korupsi dan nepotisme (KKN), monopoli dan dominasi 

(oleh kerjasama pengusaha dengan para pejabat pemerintahan), 

adalah keberatan yang tidak didukung oleh teori yang lengkap, 

dan dengan demikian hanya dianggap sebagai orientasi kelom￾pok belaka.Dengan perubahan kebijaksanaan di masa pemerintahan 

Presiden Soeharto, di ujung dasawarsa itu dan didukung pula 

oleh kemunculan Ikatan Cendekiawan Muslim negara kita  (ICMI), 

kelompok ini  lalu berubah pikiran dan ikut memperebut￾kan kekuasaan sebagai pejabat pemerintah. Dengan merebut 

ins­ti­tusi-institusi pemerintahan, berarti mereka lebih menguta￾makan pendekatan institusional dan cenderung meninggalkan 

per­juang­an kultural. Namun, “kemenangan” institusional itu ti￾dak membuat mereka semakin kuat, sebab  mereka tidak dapat 

menghambat korupsi, dan bahkan akhirnya justru mereka sendi￾ri-lah yang melakukan korupsi. Akhirnya mereka menghamba 

pada kekuasaan. Jus­tru organisasi-organisasi Islam seperti Mu￾hammadiyah dan Nah­dlatul Ulama (NU) yang mempelopori per￾lawanan kul­tural itu, dengan tetap menolak untuk melegitimasi 

institusi peme­rintahan.

eg

Dengan demikian, watak merakyat dari perjuangan di para 

cendikiawan itu berubah menjadi perjuangan politik. sebab nya, 

hal-hal eko­nomi pun juga diukur dengan ukuran-ukuran politik. 

Nyata sekali dalam hal ini, contohnya yang terjadi dengan kredit 

usaha tani (KUT). KUT yang semula merupakan program eko￾nomi, dengan cepat berubah menjadi sebuah program politik. 

Yaitu mengusahakan sebuah program pendukung kekuasaan 

untuk menang dalam pertarungan politik melawan pihak-pihak 

lain, tanpa memandang kecakapan ekonomis dan kemampuan 

fi­nan­sial. Jadilah pelaku program itu seperti sekarang ini, yakni 

menjadi bu­lan-bulanan pihak Pengadilan Negeri (PN) sebab  

mereka dihadapkan pada pengadilan, termasuk di dalamnya 

para kyai. Ini semua, merupakan kenyataan yang tidak dapat 

dibantah oleh siapapun, dan metamorfosa yang terjadi adalah 

bagian dari perjuangan politik, dan bukan bagian dari perjuang￾an ekonomi.

Dengan metamorfosa itu, otomatis upaya menolong rak￾yat kecil ha­nya menjadi sisa-sisa. Bahwa upaya politik mem￾pertahankan institusi, baik itu institusi mikro seperti proyek￾proyek yang ter­gabung da­lam KUT, maupun upaya makro untuk 

mempertahan­kan ke­kuasa­an, jelas menggambarkan kenyataan 

menarik: kegagalan dalam mengembangkan apa yang dinama￾kan ekonomi Islam, baik dalam teori maupun praktek. Rentetan 

yang terjadi adalah, upaya pelestarian kekuasaan secara politis 

juga menghadapi kegagalan pula.

Turut hancur pula dalam proses ini, pengembangan teori 

ekonomi Islam, sebab  ia dikait-kaitkan dengan kekuasaan yang 

ada. Keadaan diperparah oleh kenyataan tidak adanya penin￾jauan ulang terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah 

di ma­sa lampau. Ini berarti, gagasan tentang ekonomi Islam di 

ne­ge­ri kita, tidak pernah didasarkan atas peninjauan mendalam 

dari kebijakan, langkah-langkah dan keputusan-keputusan peme￾rin­tah di bidang ini . Bagaimana akan dibuat acuan menge￾nai se­buah sistem ekonomi Islam, kalau fakta-fakta ekonomi dan 

finansial semenjak kita merdeka tak pernah ditinjau ulang? 

eg

Dari tinjauan ulang itu akan dapat diketahui, bahwa tata￾nan ekonomi dan finansial kita, didasarkan hampir seluruhnya 

atas kecenderungan menolong sektor yang kuat dan mengabai￾kan sek­tor yang dianggap sebagai ekonomi lemah. Ketimpangan 

ini dapat dilihat, umpamanya dalam hal pemberian fasilitas, 

ke­­­mu­dahan dan pertolongan bagi usaha kuat. Apalagi, setelah 

be­berapa peng­usaha keturunan Tionghoa, yang belakangan men￾jadi konglomerat, berhasil menguasai sektor ini . Eko­­no­mi 

rakyat menjadi semakin tidak diperhatikan, dan ung­kapan-ung￾kapan tentang ekonomi rakyat itu dalam kebijakan pemerintah 

hanyalah bersifat retorika belaka.

Alokasi dana untuk pengembangan ekonomi rakyat dalam 

RAPBN, umpamanya, menunjukkan betapa sedikitnya perha￾tian kepada sektor ini. Kebocoran RAPBN, yang dalam perkiraan 

Prof. Soemitro Djojohadikusumo telah mencapai 30% dari jum￾lah anggaran, menunjukkan sangat kecilnya perhatian pemerin￾tah ke­pada sektor ini. Belum lagi matinya kreatifitas usaha kecil 

dan menengah (UKM) di hadapan birokrasi pemerintahan yang 

sa­ngat kaku. Ketika para pemikir ekonomi Islam tidak mencari 

pemecahan bagi masalah-masalah yang dihadapi tadi, di sinilah 

tampak adanya kegagalan terhadap apa yang dinamakan ekono￾mi Islam. Itulah sebabnya, mengapa pemikiran mengenai eko￾nomi Islam sekarang menjadi sangat mandul. 

Ketika Drs. Kwik Kian Gie mengemukakan keinginan agar negara kita  keluar dari dana moneter internasional (IMF, Inter￾national Monetary Fund), tak ada seorang pun dari para pemikir 

gagasan ekonomi Islam itu yang menyatakan suara menerima 

atau menolak pandangan ini . Ini tentu disebabkan oleh pe￾rubahan besar dari pemikir ekonomi itu yang tertuju pada upaya 

politik seperti digambarkan di atas. 

Padahal, salah satu gagasan yang sering dilontarkan pe￾nulis secara lisan dalam rapat-rapat umum di seluruh bagian 

ne­­geri ini, jelas mengacu pada kebutuhan ini . Keharusan 

kita untuk mempertahankan kompetisi, tata niaga internasional 

dan efisiensi yang rasional, merupakan bagian yang tidak bisa 

ditinggalkan dari sebuah kebangkitan ekonomi. Namun, yang 

harus didorong sekuat tenaga, adalah ekonomi rakyat dalam ben￾tuk kemudahan-kemudahan, fasilitas-fasilitas dan sistem kre­dit 

sangat murah bagi perkembangan UKM dengan cepat. Di­barengi 

dengan peningkatan pendapatan pegawai negeri sipil dan mili￾ter, yang harus dilakukan guna mendorong peningkatan kemam￾puan daya beli (purchasing power) mereka.

Perkembangan gagasan ekonomi Islam jelas menunjukkan 

ke­mandulan, sebab  lebih cenderung untuk memper­ma­salahkan 

aspek-aspek normatif, seperti bunga bank dan asu­ran­si. Artinya, 

pemikiran yang dikembangkan dalam gagasan ekonomi Islam itu 

lebih banyak menyangkut pencarian nilai-nilai daripada pencari￾an cara-cara/ aplikasi yang dilakukan oleh nilai-nilai ini . 

Jadi, masalahnya cukup sederhana bukan? 

Sebagai penulis kata pengantar buku “Perekonomian In￾donesia dari Bangkrut Menuju Makmur” ini (Teplok 

Press, Januari 2003), saya bukanlah seorang ahli ekono￾mi. sebab  tidak me­nge­tahui lebih mendalam tentang ekonomi 

rakyat (people economics), dan tidak tahu hal-hal lain mengenai 

sebuah perekonomian, kecuali dua hal saja. Pertama, ekonomi 

adalah pemenuhan kebu­tuh­an manusia, dan ia memiliki meka￾nis­me sendiri. Selebihnya, haruslah dirumuskan oleh para ahli 

eko­nomi, dan mereka harus mempertimbangkan kaitan sebuah 

perekono­mi­an dengan hal-hal lain dalam kehidupan seper­ti, 

politik, hukum, teknologi, pasar, agama dan lain-lain. Dengan 

kata lain, kebijakan ekonomi (economic policy) tidak pernah 

sepe­nuhnya dapat diterapkan, sehingga harus selalu diingat 

keter­kait­an ekonomi dengan hal-hal lain dalam kehidup­an sebu￾ah negara. Kedua, sebuah perekonomian tidak pernah terlepas 

dari per­da­gang­an atau transaksi, baik di tingkat lokal, nasional 

maupun inter­nasio­nal, dengan demikian tidak pernah ada tempat 

untuk memi­sah­kan perekonomian kita sendiri dari perekonomi￾an global, yang mem­buat kita sengsara lebih dari perkiraan kita 

sendiri.

Hal ini dapat kita lihat pada perjalanan sejarah bangsa￾bangsa di dunia ini, yang baru berjalan puluhan ribu tahun saja. 

sebab nya, sangatlah menarik untuk melihat bagaimana kebijak￾an ekonomi yang diambil dalam sejarah sebuah bangsa. Sejarah 

memberikan pengaruh sangat besar kepada para pe­mim­pin 

bang­sa yang bersangkutan, dalam menentukan kebijakan demi

kebijakan selanjutnya. Ini adalah bidang tersendiri, yang sering 

dinamai sejarah perekonomian (economic history), yang meru­pa￾kan disiplin ilmu, yang harus diketahui seorang penguasa peme￾rin­tahan. Namun wajar saja, jika seorang pe­nguasa tidak menge￾tahui hal itu, mereka mengira apa yang mere­ka putuskan hanya 

bersifat teknis belaka, paling tinggi seba­gai sebuah “keputusan 

politik”. Dengan demikian, mereka tidak menyadari keputusan 

mereka sebenarnya menyangkut bidang politik ekonomi. Tin￾dakan penguasa itu bagai­kan menganggap “susu ker­bau sebagai 

susu sapi” hanya sebab  sama-sama putih warnanya.

Kerancuan mengira apa yang dibaca atau diamatinya dari 

sejarah sebuah bangsa, sebagai sebuah keputusan politik pada￾hal itu adalah keputusan politik ekonomi, pernah juga di­alami 

oleh penulis kata pengantar ini (selanjutnya disebut penu­lis). 

Pada waktu baru di terbitkan, penulis membaca karya Arthur 

M. Schlesinger Jr,1

 penulis pidato masa mendiang Presiden Ken￾nedy, yang berjudul “The Age of Jackson”.2

 Sebagai dosen Uni￾versitas Harvard di bidang sejarah, ia menghasilkan apa yang 

oleh penulis dianggap sebagai buku sejarah. Baru belakangan 

disadari penulis, bahwa yang dilakukan Presiden Jackson itu 

adalah pengambilan keputusan politik ekonomi yang sangat men￾da­sar. Jackson memutuskan untuk mengangkat Kepala Gube­nur 

Bank Sentral Amerika dari seorang Jerman berkewar­ga­negaraan 

Amerika Serikat. Ia memimpin sekian orang direktur dengan ja￾batan gubenur, dan bersama mereka mengemudikan bank sen￾tral yang kemudian bernama Federal Reserve System.

eg

Keputusan Jackson membawa perubahan mendasar atas 

jalannya sistem ekonomi di negara ini . sebab  ia meng￾anggap pemimpin Bank Sentral di negerinya harus ditetapkan 

presiden dengan persetujuan kongres. Padahal teori kapitalisme

klasik menya­ta­kan pemerintah tidak boleh ikut campur dalam 

urusan ekonomi nasional, dan pengangkatan pejabat ekono￾mi dan finansial sepenuhnya menjadi wewenang pihak swasta 

bu­kan pemerintah. Tetapi Jackson justru mengangkat para pe￾jabat pemerintahan untuk mengelola bank sentral itu. Hal ini 

menunjukkan keya­kin­an Jackson, bahwa urusan bank sentral 

tidak terbatas hanya pada bidang ekonomi saja, melainkan juga 

menyangkut penge­lo­laan uang pajak yang dibayarkan rakyat se￾bagai warga negara. Untuk melakukan pengelolaan itu dan sete￾rus­nya, juga meng­guna­kannya untuk keperluan rakyat, harus 

dilakukan oleh “orang-orang pemerintah”. Dengan demikian, 

Jackson berkeya­kin­an bank sentral bukanlah semata-mata ber￾tanggung jawab atas jalannya perekonomian nasional, melain￾kan juga bertang­gung jawab atas tingkat kesejahteraan rakyat.

Apa yang dilakukan Presiden Jackson itu, melahirkan apa 

yang disebut sebagai “kapitalisme rakyat” (folks capitalism). Bah￾wa negara biangnya kapitalisme seperti Amerika Serikat, da­pat 

mengembangkan paham kerakyatan seperti itu, adalah sua­tu hal 

yang sangat menarik. Ini menunjukkan kapitalisme bukan ba￾rang mati melainkan dapat berkembang sesuai dengan kebutuh￾an. Kebencian Bung Karno terhadap kapitalisme, sebe­nar­nya 

adalah penolakan terhadap kapitalisme klasik itu, yang hanya 

dipergunakan untuk mencari keuntungan maksimal bagi para 

pemilik modal belaka. Jika kapitalisme dapat menerima modifi￾kasi, dan dapat dipakai untuk tujuan memperbaiki tingkat hidup 

dan kesejahteraan rakyat di sebuah negara, ia tidak patut lagi 

dibenci seperti itu. sebab  itu, kebencian Bung Karno ter­hadap 

kapitalisme klasik, bukanlah sesuatu yang harus ber­laku secara 

tetap atau permanen, melainkan juga harus di­arahkan kepada 

modifikasi ideologi ini .

Dengan demikian, jelaslah bahwa ada perbedaan besar an￾tara berpikir ilmiah dan berpikir ideologis. Secara ilmiah pandang￾an apapun memiliki kemungkinan menerima modifi­kasi, yang 

terkadang merubah orientasi dan pandangan itu sendiri. Sedang￾kan pemikiran ideologis adalah sesuatu yang “jahat”. sebab  itu, 

kita harus bedakan benar pemikiran ideologis dan pemikiran il￾miah. Sewaktu membuat pledoi (pembelaan) di muka pengadil­an 

kolonial di tahun 1931, sikap Bung Karno me­mang benar, mela￾wan kapitalisme klasik itu. Ini sebab  pa­n­dang­an ini  digu￾nakan untuk menindas bangsa kita. sebab  itu­lah, Bung Karno menulis pledoinya ini , yang belakangan di­ter­bitkan dalam 

bentuk buku berjudul “negara kita  Menggugat”.

eg

Sebuah contoh lain dapat dikemukakan dalam hal ini ya￾itu kebijakan Dr. Hjalmar Schacht, Menteri Perekonomian Jer￾man tahun 30-an, di bawah Kepala Pemerintahan Adolf Hitler. 

Ia me­­mu­tuskan membangun jaringan jalan aspal yang halus 

(auto­­bahnen) di seluruh negeri, sepanjang lebih dari 80.000 

kilo­meter. Pembuatan jalan raya bagi kendaraan bermotor de￾ngan memakai  hotmix itu, dengan sendirinya menaikkan 

pendapatan bangsa ini , yang kemu­di­an mendorong mun￾culnya industri pem­buatan barang (manu­facturing industry) 

yang kuat. Kita ing­at pabrik lokomotif Kruff dan mobil Volkswa￾gen yang tangguh. Bahwa kemudian Hitler menempuh kebijakan 

lebensraum (ruang hidup) dengan menjarah negeri-negeri lain, 

tidak merubah kenyataan bahwa pandangan Schacht itu meru￾pakan sesuatu yang sangat diper­lu­kan bangsa Jerman.

Kesalahan Hitler itu, yang berakibat pecah Perang Dunia 

II dengan korban 35 juta jiwa melayang, kemudian diganti oleh 

sebuah pandangan lain yang belakangan dikemukakan oleh Kan￾selir (Perdana Menteri) Jerman Barat Ludwig Erhard.3

 De­ngan 

pan­dangan yang terkenal “Sozialen Marktwirtschaft”, adalah 

se­buah upaya untuk meneruskan upaya Schacht itu. Dengan 

pan­dangannya itu, Erhard mementingkan fungsi sosial, pening￾kat­an kesejahteraan dan perebutan pasar bagi industri Jerman 

di seantero dunia. Yang direbut bukanlah negara, melainkan pa￾sar tanpa melalui peperangan dan melanggar perikemanusian. 

Jelas ini merupakan modifikasi atas kapitalisme klasik yang oleh 

Karl Marx dan Friederich Engels dianggap mengandung benih￾benih “kontradiksi struktural” yang akan memicu  keke­ras￾an. Kaum kapitalisme akan berhadapan dengan kaum proletar 

dalam sebuah kontradiksi maha dahsyat, yang akan meliputi se￾luruh dunia.Buku yang ada di tangan pembaca ini, yang ditulis oleh 

Hendi Kariawan memang tidak menyebutkan kon­tra­diksi seperti 

itu, ataupun menggambarkan modifikasi atas ka­pitalisme klasik 

yang dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti Andrew Jackson. Tetapi 

buku ini sendiri adalah cerminan dari sebuah pandangan, bahwa 

perekonomian nasional sebuah nege­ri me­mang harus meng￾abdi kepada kesejahteraan dan tingkat hidup tinggi (high living 

standard) suatu bangsa. Ini adalah juga pan­dang­an dari kapital￾isme klasik yang mengalami modi­fi­kasi. Bahwa hal itu kemudian 

dinamai pandangan ekonomi rakyat, tidak dapat menghilangkan 

kenyataan adanya modifikasi itu sen­diri. Selama perekonomian 

nasional berdasarkan per­saingan atau kompetisi terbuka, dan 

tetap dalam lingkup per­dagangan internasional yang bebas dan 

memakai  prinsip efisiensi ra­sio­nal, selama itu pula ia tetap 

akan memelihara se­ma­ngat ka­pitalisme, walaupun dengan nama 

lain.

Sumbangan pemikiran ekonomi dari buku ini, adalah se￾sua­­tu yang harus kita hargai. Dalam bahasa lain, buku ini menya￾ji­kan daya hidup (vitalitas) yang terkandung dalam paham 

kapi­talisme, perlu dikaji secara ilmiah, bukan secara ideologis. 

Bahwa kemudian muncul sosialisme sebagai lawan kapitalisme 

tidak berarti “konfrontasi” itu bersifat tetap/permanen. Kalau 

memin­jam filsafat Hegel tentang thesa melawan antithesa akan 

lahir sinthesa, maka dari kapitalisme klasik melawan sosialisme 

akan lahir pandangan ekonomi rakyat seperti yang digambarkan 

buku ini. 

Sejak kemerdekaan di tahun 1945, orientasi ekonomi kita 

banyak ditekankan pada kepentingan para pengusaha be￾sar dan modern. Di tahun 1950-an, dilakukan kebijakan 

Benteng, dengan para pengusaha pribumi atau nasional mem­per￾oleh hampir seluruh lisensi, kredit dan pelayanan pemerintah 

untuk “mengangkat” mereka. Hasilnya adalah lahir peru­sa­ha­an 

“Ali-Baba” , yaitu dengan mayoritas pemilikan ada di tangan para 

pengusaha pribumi (Ali) dan pelaksana perusahaan seperti itu 

dipimpin oleh keturunan Tionghoa (Baba). Ternyata, kebi­jakan 

itu gagal. ‘Si Baba’ atau pengusaha keturunan Tionghoa, sebab  

ketekunan dan kesungguhannya mulai menguasai dunia usaha, 

baik yang bersifat peredaran/perdagangan barang-barang mau￾pun pembuatan/produksinya, walau adanya pembatasan ru­ang 

gerak warga negara keturunan Tionghoa, untuk tidak aktif/me￾mimpin di bidang-bidang selain perdagangan.

Demikian pula dengan sistem quota dalam pendidikan, 

mau tidak mau mempengaruhi ruang gerak warga negara ke­tu￾run­an Tionghoa di bidang perdagangan saja. Mereka dengan 

segera me­manfaatkan kelebihan uang mereka, untuk membia­yai 

pendi­dik­an anak-anak mereka di luar negeri. sebab  tidak ter￾ikat de­ngan sistem beasiswa yang disediakan pemerintah untuk 

berbagai bidang studi, me­reka lalu memanfaatkan pendidikan 

luar negeri yang memberikan perhatian lebih besar kepada pen￾didikan berbagai bidang seperti, teknologi, produksi, kimia, ko￾munikasi terapan, kemasan (package), pemasaran, penciptaan 

jaringan (net­work­ing) dan permodalan. Di tahun-tahun terakhir 

ini, para pengusaha keturunan Tionghoa itu bah­kan sudah men￾capai tingkatan kesempurnaan (excellence) da­lam bidang-bidang 

ini , seperti terbukti dari hasil-hasil yang dicapai anak-anak 

mereka di luar negeri.

sebab  itu tidaklah mengherankan, jika lalu dunia usaha 

(bis­nis) mereka kuasai. Para manager/pimpinan usaha ada di 

tangan mereka, bahkan hal itu terasa pada tingkat usaha di bi￾dang keuangan/finansial. Bahkan Bulog dan Dolog hampir selu￾ruhnya ber­hutang uang pada mereka. Sehingga praktis merekalah 

yang me­­nen­tukan jalannya kebijakan teknis, dalam hal-hal yang 

me­nyangkut sembilan macam kebutuhan pokok bangsa. Tidak 

meng­herankan jika lalu ada pihak yang merasa, ekonomi negeri 

kita dikuasai oleh keturunan Tionghoa. Itu wajar saja. Bahkan 

lontaran emosional itu akan menjadi sangat berbahaya, jika di￾tutup-tutupi oleh pemerintah dan media dalam negeri. Namun, 

harus segera ditemukan sebuah kerangka lain, untuk menghin￾dar­kan lontaran-lontaran perasaan yang emosional seperti itu. 

Janganlah berbagai reaksi itu, lalu berkembang sebab  diper￾caya oleh orang banyak.

Kesenjangan kaya-miskin yang terus menjadi besar dalam 

kenyataan, maka diperlukan sebuah penataan ekonomi bangsa 

kita. Bagai­mana­pun juga harus diakui, bahwa apa-apa yang ter￾baik di ne­ge­ri kita, dikuasai/dimiliki oleh mereka yang kaya, baik 

golong­an pribumi maupun golongan keturunan Tionghoa. Na￾mun untuk me­nye­lamatkan diri dari kemarahan orang melarat, 

baik yang merasa miskin ataupun yang memang benar-benar 

tidak me­ngua­sai/memiliki apa-apa, maka elite ekonomi/orang 

kaya kalang­an pribumi selalu meniup-niupkan bahwa perekono￾mi­an nasional kita dikuasai/dimiliki para pengusaha golongan 

keturunan Tiong­hoa. sebab  memang selama ini media nasio￾nal dan ke­kua­saan politik selalu berada di tangan mereka, de￾ngan mudah saja pendapat umum dibentuk dengan mengang￾gap golongan keturunan Tionghoa, yang lazim disebut golongan 

non-pribumi, sebagai penguasa perekonomian bangsa kita.

Kesan salah itu dapat segera dibetulkan dengan sebuah 

koreksi total atas jalannya orientasi perekonomian kita sendiri. 

Koreksi total itu harus dilakukan. Orientasi yang lebih me­men￾tingkan pelayanan kepada pengusaha besar dan raksasa, apa￾pun alasannya, termasuk klaim pertolongan kepada peng­usaha 

nasional “pribumi”, haruslah disudahi. Sebenarnya yang harus 

di­to­­long adalah pengusaha kecil dan menengah, seperti yang


diingin­kan oleh Undang-undang Dasar kita, maupun berbagai 

peraturan yang lain. Dengan demikian tidaklah tepat memperso￾alkan “pribumi” dan “non-pribumi”, sebab  per­soalannya bukan 

terletak di situ, masalahnya adalah kesen­jang­an antara kaya dan 

miskin.

Jadi, yang harus dibenahi, adalah orientasi yang terlalu 

me­­layani kepentingan orang-orang kaya, atas kerugian orang 

miskin. Kita harus jeli melihat masalah ini dengan kacamata yang 

jernih. Perubahan orientasi itu terletak pada dua bidang utama, 

yaitu pertolongan kepada UKM, Usaha Kecil dan Menengah dan 

upaya mengatasi kemiskinan. Kedua langkah itu harus disertai 

pengawasan yang ketat, disamping liku-liku birokrasi, yang me￾mang merupakan hambatan tersendiri bagi upaya memberikan 

kredit murah kepada UKM. Padahal saat ini, apapun upaya yang 

dila­ku­kan untuk menolong UKM, selalu menghadapi hambatan. 

Jadi, haruslah dirumuskan kerangka yang tepat untuk tujuan ini. 

Dan tentu saja, upaya mengatasi kemiskinan menghadapi begitu 

banyak rintangan dan hambatan, terutama dari lingkungan biro￾krasi sendiri.

eg

Padahal tujuan pemerintah dan kepemimpinan dalam 

pan­dang­an Islam adalah maslahah al-‘âmmah, yang secara se￾derhana diter­je­mah­kan dengan kata kesejahteraan. Kata kese­jah￾teraan ini, dalam Undang-undang Dasar kita, dinamakan keadil￾an dan kemak­mur­an. Sekaligus dalam pembukaan UUD 1945 

diterangkan, bahwa tujuan bernegara bagi kita semua diibarat￾kan mene­gakkan ma­sya­rakat yang adil dan makmur. Ini juga 

menjadi sasaran dari ke­tentuan Islam itu, dengan pengungkap￾an “kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang 

dipimpinnya, terkait lang­sung dengan kepentingan rakyat yang 

dipimpinnya (tasharruf al-imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûthun bi￾al-mashlahah).“

Dalam bahasa sekarang, sikap agama seperti itu dirumus￾kan sebagai titik yang menentukan bagi orientasi kerakyataan. 

Itulah yang seharusnya menjadi arah kita dalam menye­leng­ga￾ra­kan perekonomian nasional. Bukannya mempersoalkan asli 

dan tidak dengan latar belakang seorang pengusaha. Pandang­an 

picik seperti itu, sudah seharusnya digantikan oleh orientasi per￾eko­nomian nasional kita yang lebih sesuai dengan kebutuhan 

mayoritas bangsa.

Masalahnya s