pada ayat
suci berikut; “Apa yang dilimpahkan (dalam bentuk pungutan fai’) oleh Allah atas kaum (penduduk sekitar Madinah), maka harus digunakan bagi Allah, utusan-Nya, sanak keluarga terdekat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, para peminta-minta/
pengemis dan pejalan kaki di jalan Allah. Agar supaya harta yang
terkumpul itu tidak hanya berputar/beredar di kalangan orangorang kaya saja di lingkungan kalian. (mâ afâ ‘a Allâhu ‘alâ rasû-
lihi min ahl al-qurâ fa li-Allâhi wa li al-rasûl wa li dzî al-qurbâ
wa al-yatâ mâ wa al-masâkîn wa ibn al-sabîl, kailâ yakûnâ
dûlatan bain al-aghniyâ’a minkum)” (QS al-Hasyr [59]:7).
Haruslah senantiasa diingat oleh para pemimpin gerakan
Islam saat ini, bahwa apa yang dikemukakan oleh ayat suci di
atas, menunjukkan dengan jelas watak keadilan struktural dari
bangunan masyarakat, baik itu dicapai melalui perjuangan struktural (seperti dikehendaki Sosialisme dan Komunisme) maupun
tidak. Jika hal ini diabaikan, maka sang pemimpin gerakan Islam hanya akan menjadi mangsa pandangan yang memanfaatkan manusia untuk kepentingan manusia lain (exploitation de
l’home par l’home). Jelas, sikap itu berlawanan dengan keseluruhan ajaran Islam sebagai agama terakhir bagi manusia. Karenanya, mereka yang memperebutkan jabatan atau menjalankan
KKN dalam mengemban jabatan itu, mau tidak mau harus berhadapan dengan pengertian keadilan dalam Islam, baik bersifat
struktural atau non-struktural.
Jelaslah, bahwa telah terjadi pergeseran pemahaman dan
pengertian dalam Islam mengenai kata “keadilan” itu sendiri.
Dalam proses memahami dan mencoba mengerti garis terjauh
dari kata i’dilû’ atau ‘al-qisth’ itu sendiri, lalu ada sementara pemikir muslim yang menganggap, sebaiknya digunakan kata “keadilan sosial” (social justice) dalam wacana kaum muslimin mengenai perubahan sosial yang terjadi. Kelompok ini menginginkan
pendekatan struktural dalam memahami perubahan sosial. Namun pada umumnya masih berfungsi wacana dari sebagian besar adalah para pemikir saja, bukannya pejuang/aktifis masyarakat. Tetapi, lambat-laun akan muncul para aktifis yang menggunakan acuan struktural itu, dan dengan demikian merubah
keseluruhan watak perjuangan kaum muslimin. Implikasinya
akan muncul istilah “muslim revolusioner” dan lawannya yaitu
“muslim reaksioner”. Memang mudah merumuskan perjuangan
kaum muslimin itu, namun sulit memimpinnya, bukan? h
Kitab suci al-Qurân berkali-kali menandaskan, bahwa masalah kecukupan adalah masalah yang kerapkali mengganggu hidup manusia. Dikatakan; “Telah membuat kalian lalai, upaya memperbanyak harta, hingga kalian masuk liang
kubur (Alhâkum al-takâtsur. Hattâ zurtum al-maqâbir)” (QS.
at-Takatsur [102]:1-2). Jelas dari ayat ini bahwa, upaya mengejar
harta sebanyak mungkin dapat melupakan manusia dari Tuhan,
apalagi bila mengakibatkan penderitaan sesama manusia. Dengan demikian, melalui ayat di atas, Islam jelas sekali menentukan bahwa manusia harus bersama-sama dalam kehidupan, termasuk dalam mencari apa yang dinamakan “kecukupan”, baik
yang bersifat perorangan maupun keseluruhan masyarakat (affluent society).
Dengan demikian, nyata bagi kita, kecukupan itu dalam pemikiran Islam ada aturannya, yaitu mencapai tingkat perolehan
yang tinggi tanpa mencegah orang lain mencapai hal yang sama.
Kesamaan hak ini perlu mendapat tekanan, sebab dalam konsep kapitalisme klasik tidak pernah dipikirkan tentang gairah
mencapai hal yang maksimal, namun senantiasa manusia lain
menjadi korban.
Dalam persaingan bebas itu, tidak lagi mempedulikan siapa
korban, toh manusia memang tidak bernasib sama. Jadi, negara
berkewajiban menyediakan kompensasi bagi warga negara yang
"kalah" dalam bentuk kecukupan minimal. Contoh yang paling umum adalah asuransi sosial, yang diberikan kepada orang yang
menganggur. Sedang asuransi sosial bagi pensiunan, sebesar
80% pendapatan tertinggi semasa mereka masih bekerja. Asuransi sosial ini adalah jaminan sosial akan kebutuhan terendah
seorang warga masyarakat, dan itulah yang menjadi tugas utama
pemerintah, yakni penyediaan jaminan sosial yang mencukupi
kebutuhan standard kehidupan. Untuk tujuan politik, pemerintah menyediakan berbagai pelatihan kerja, guna memungkinkan
para penganggur itu memperoleh lapangan pekerjaan yang tadinya tidak dapat mereka masuki.
Diharapkan dengan pembayaran pajak yang besar dari persaingan bebas, maka pemerintah kapitalis akan mampu menanggulangi masalah pengangguran itu melalui penetapan dasar kecukupan minimal seorang warga negara. Kalau tercapai jumlah
yang ditentukan itu, berarti pemerintah sudah melaksanakan
tugas.
Jadi keseluruhan hidup manusia diukur dengan capaian
minimal ini , dan selebihnya manusia dapat mengejar ketinggian maksimal dalam keenakan hidup secara material. Hal
ini berarti, seluruh kehidupan diukur dengan ukuran capaian
materialistik belaka. Maka, tidak mengherankan jika penerapan
ukuran-ukuran pincang itu menghasilkan juga pola kehidupan
yang pincang. Dalam institusi perkawinan pun terjadi perkembangan yang sedemikian rupa, seperti masyarakat gay, lesbi dan
bahkan perkawinan sejenis. Di sini, ukuran-ukuran moral yang
kita ikuti selama ini justru “mengganggu” lembaga-lembaga baru
yang akan diwujudkan mereka.
Sudah tentu, pengembangan ukuran materialistik bagi warga negara harus diwujudkan guna mencapai masyarakat yang
sejahtera. Tetapi, hal ini tanpa harus meninggalkan ukuran-ukuran moral yang konvensional dalam kehidupan bermasyarakat.
Tanggung jawab sosial para warga masyarakat tidak dapat digantikan negara demikian saja, seperti yang terjadi di Skandinavia1
. Angka bunuh diri yang tinggi di dalamnya, menunjukkan
besarnya rasa tidak puas atas tatanan struktural yang dikembangkan. Sikap negara yang tidak memihak pada si lemah, membuat para warga negara gundah perasaannya. Di tengah-tengah
kemakmuran serba benda, dalam negara yang diperintah oleh
kaum sosial demokrat itu, ternyata manusia tidak cukup dilayani
dengan struktur materialistik belaka, melainkan juga membutuhkan institusi-institusi lain yang lebih mengarah kepada hal-hal
spiritual. Aspek spiritual ini menjadi menonjol, dan mengambil
bentuk munculnya nasionalisme sempit atau radikalisme model
baru seperti yang terjadi di Eropa Barat, yang sering menyebut
diri mereka sebagai golongan konservatif.
eg
Kehidupan di bawah tingkat kecukupan itu tidak menjadi
perhatian benar bagi pemerintah, paling jauh hanya ditangani
aspek psikologis yang bersifat materialistik saja. Contohnya adalah manusia lanjut usia (manula) yang dalam masyarakat kita
jumlahnya semakin lama semakin bertambah besar. Sebagai catatan di berbagai negara, dibangun sejumlah rumah panti jompo
bagi para warga negara manula. Mereka berkumpul di rumahrumah jompo dan hidup bersama manula-manula lain. Negara
tidak melihat hal yang aneh dalam keterpisahan (isolasi) antara
sesama warga negara itu. Jadi, yang diperhatikan hanya sudut
psikologis, tanpa meninjau terlalu jauh keterikatan manula dari
keluarganya.
Tentu, apa yang diterangkaan di atas dapat diperdebatkan,
seperti jawaban atas pertanyaan adakah pengaruh seorang manula atas cucunya; bersifat positif ataukah negatif? Jawaban-jawaban atas pertanyaan seperti itu tentu saja menjadi penting untuk
ditemukan rumusan-rumusannya yang definitif. Demikian pula,
dapatkah jawaban-jawaban seperti itu menjadi sama bagi setiap
warga negara, ataukah hanya berkenaan dengan warga negara
tertentu saja? sebab itu, diperlukan sejumlah lembaga yang
dipimpin oleh para pakar dari berbagai bidang untuk memadu
jawaban yang diperoleh, sehingga menjadi landasan bagi sejumlah kebijakan umum.
Dari hal-hal yang disebutkan di atas, menjadi jelas bagi
kita, bahwa wawasan agama harus dapat digabungkan dengan
pertimbangan-pertimbangan kepakaran yang lain. sebab nya,
menjadi penting untuk memahami peranan agama dalam melihat masalah tidak hanya dari sudut agama belaka, melainkan
secara menyeluruh dari berbagai bidang. Menjadi pertanyaan
penting bagi kita, adakah Islam dapat menerima jawaban multifungsi dan multi-bidang seperti ini.
eg
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa aplikasi atau penerapan-penerapan ajaran agama, termasuk agama Islam, memang
bersifat sangat sulit dan sangat komplek dalam kehidupan nyata. sebab nya, kita harus bersikap hati-hati dalam masalah ini.
Kita tidak dapat berlepas-tangan dari aspek penyediaan jawaban
dari sudut pandang agama atau justru hanya mengandalkan dari
sudut pandang materialisme.
Guna memungkinkan jawaban-jawaban dalam hal ini, penulis beranggapan faktor nilai (values) turut menentukan tindakan-tindakan manusia untuk memecahkan masalah-masalah
yang mereka hadapi dalam kehidupan nyata. Pendekatan ini bersifat komprehensif, berlawanan dengan jawaban dari lembaga
pemerintahan pada umumnya. Sungguh rumit bukan? h
Dalam fiqh dikemukakan keharusan seorang pemimpin
agar mementingkan kesejahteraan rakyat yang dipimpin,
sebagai tugas yang harus dilaksanakan: “Kebijaksanaan
dan tindakan Imam (pemimpin) harus terkait langsung dengan
kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al-imâm ‘alâ arra’iyyah manûtun bi al-maslahah)”. Sangat jelas tujuan berkuasa bukanlah kekuasaan itu sendiri, melainkan sesuatu yang dirumuskan dengan kata kemaslahatan (al-maslahah). Prinsip
kemaslahatan itu sendiri seringkali diterjemahkan dengan kata
“kesejahteraan rakyat”, yang dalam ungkapan ekonom dosen
Harvard, yang juga mantan Duta Besar Amerika Serikat (AS)
untuk India, John Kenneth Galbraith, sebagai “The Affluent Society”.1
Dalam bahasa pembukaan Undang-undang Dasar (UUD)
1945, kata kesejahteraan ini dirumuskan dengan ungkapan
lain, yaitu dengan istilah “masyarakat adil dan makmur”. Itulah
tujuan dari berdirinya sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam siklus berikut: hak setiap bangsa untuk memperoleh kemerdekaan, guna mewujudkan perdamaian dunia
yang abadi dan meningkatkan kecerdasan bangsa, guna mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur. Dengan menganggapnya sebagai tujuan bernegara, UUD 1945 jelas-jelas menempatkan kesejahteraan/keadilan-kemakmuran sebagai sesuatu yang
esensial bagi kehidupan kita.
Menjadi nyata bagi kita bahwa prinsip menyelenggarakan
negara yang adil dan makmur menurut UUD 1945, menjadi sama
nilainya dengan pencapaian kesejahteraan yang dimaksudkan
oleh fiqh tadi. Hal inilah yang harus dipikirkan secara mendalam
oleh mereka yang menginginkan amandemen terhadap UUD
1945. Tidakkah amandemen seperti itu dalam waktu dekat ini,
akan merusak rumusan tujuan bernegara ini ?
eg
Tingginya kesejahteraan suatu bangsa, dengan demikian
menjadi sesuatu yang esensial bagi Islam. Saudi Arabia dan negara-negara Teluk lainnya telah mencapai taraf ini, walaupun masalah keadilan di negeri-negeri ini masih belum terwujud seluruhnya. Keadilan baru dibatasi pengertiannya pada keadilan
hukum belaka, namun keadilan politik2
dan budaya belum terwujud. Dengan demikian, masih menjadi pertanyaan besar, apakah
negara-negara ini demokratis ataukah belum? Memang
terasa, jawaban atas pertanyaan di atas bersifat sangat pelik,
apalagi dalam hal ini kita berhadapan dengan sebuah pertanyaan besar: benarkah penerapan hak bersuara bagi tiap individu
(one man one vote principle) telah mencerminkan demokrasi3yang sesungguhnya?
Penulis mengemukakan hal ini dengan maksud agar hal
itu dibicarakan secara serius dalam wacana terbuka bagi kaum
muslimin. Haruskah kita menerima pencapaian kesejahteraan
dan terselenggaranya keadilan sekaligus sebagai persyaratan demokrasi?.
Jalinan antara kesejahteraan dan keadilan menjadi sangat penting bagi kaum muslimin di negeri ini, paling tidak bagi
kaum santri yang melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari. Pentingnya upaya ini dapat dilihat pada tidak
tercapainya keadilan maupun kesejahteraan di negeri ini, walaupun ia memiliki tiga sumber alam yang tidak dimiliki oleh
negara-negara lain: hutan yang lebat yang dikenal sebagai paruparu dunia, kekayaan tambang yang luar biasa dan kekayaan laut
yang kini banyak dicuri orang. Kegagalan mencapai kesejahteraan hidup bagi rakyat banyak itu, dapat dikembalikan sebabnya
kepada kebijakan ekonomi dan peraturan-peraturan semenjak
kemerdekaan kita, yang lebih banyak ditekankan pada kepentingan orang kaya/ cabang atas dari masyarakat kita, bukan kepentingan rakyat banyak.
eg
sebab eratnya hubungan antara kebijakan/ tindakan pemerintah di bidang ekonomi dengan pencapaian kesejahteraan,
jelas bagi kita nilai-nilai Islam memang belum dilaksanakan dengan tuntas oleh bangsa kita selama ini. Dikombinasikan dengan
maraknya korupsi dan pungutan-pungutan liar, maka secara
keseluruhan dapat dikatakan telah terjadi penguasaan aset-aset
kekayaan bangsa oleh segelintir orang. Dan dari penguasaan seperti itu dapatkah diharapkan akan tercapai kesejahteraan yang
merata bagi bangsa kita? Jawaban atas pertanyaan ini, menunjukkan keharusan bagi kita untuk berani banting setir/kemudi
dalam upaya mencapainya. Kalau tidak, berarti kita rela membiarkan sebagian besar bangsa kita hidup di bawah garis kemiskinan
atau tidak jauh dari garis ini . Inginkah kita hal itu akan terjadi, manakala kita ingat tujuan mendirikan negeri ini?
Bukankah pembiaran kita atas rakyat kecil di pedesaan,
yang menjual tanah dan aset-aset lain untuk sekedar memperoleh makanan, merupakan kejahatan kita atas agama yang tidak
dapat dimaafkan?Jelaslah bagi kita bahwa pencapaian kesejahteraan yang merata bagi seluruh bangsa, merupakan amanat agama juga. Bukankah kita menjadi berdosa jika hal ini dilupakan
dan kita tetap tidak melakukan perbaikan?
Jawaban atas rangkaian pertanyaan di atas yaitu, kita harus menempuh kebijakan dan tindakan baru di bidang ekonomi.
Caranya dengan mengembangkan ekonomi rakyat dalam bentuk
memperluas dengan cepat inisiatif mendirikan dan mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Segenap sumbersumber daya kita harus diarahkan kepada upaya ini , yang
berarti pemerintah langsung memimpin tindakan itu. Namun,
ini tidak berarti kita menentang usaha besar dan raksasa, melainkan mereka harus berdiri sendiri tanpa pertolongan pemerintah dan tanpa memperoleh keistimewaan apapun. Selain itu,
kita tetap berpegang pada persaingan bebas, efisiensi dan permodalan swasta dalam dan luar negeri.
Jelaslah dari uraian di atas, upaya menegakkan ekonomi
rakyat seperti itu tidak terlepas dari tujuan UUD 1945 atau ajaran Islam. Pencapaian kesejahteraan/maslahah menurut ajaran
Islam dan pencapaian masyarakat adil dan makmur menurut
UUD 1945 adalah sesuatu yang esensial bagi kita. Tanpa orientasi itu, apapun yang kita lakukan akan bertentangan dengan
kedua-duanya. Untuk melakukan upaya banting setir/kemudi
di bidang ekonomi, cukup mudah dalam perumusan, tapi sangat
sulit dalam pelaksanaan, bukan? Dalam menguraikan sejarah ekonomi bangsa-bangsa Timur Tengah, Charles Issawi1
menunjuk kepada Bangsa
Mesir. Bangsa ini sulit melepaskan diri dari birokrasi pemerintahan, sebab tradisi sejarah itu yang menunjukkan kekuatan mereka semenjak ribuan tahun yang lalu. Di mulai dengan
Fir’aun/Paraoh yang menjadi manifestasi kekuasaan Tuhan di
muka bumi, melalui para sultan yang menjadi wakilnya. Dilanjutkan oleh kekuasaan kaum imperialis yang luar biasa, birokrasi
pemerintah menjadi sesuatu yang kokoh dengan adanya Sosialisme Arab di bawah Gamal Abdel Naser.2
Birokrasi pemerintahan
mengembangkan diri begitu rupa, hingga kepentingan-kepentingannya seringkali disamakan dengan kepentingan rakyat banyak, sebuah hal yang secara perlahan-lahan tapi pasti sedang
merasuki kehidupan kita sebagai bangsa.
Hal ini jarang dipikirkan orang, dan mau tak mau kita harus
mengaitkannya dengan konsep negara Islam yang saat ini ditiuptiupkan oleh sementara orang. sebab nya, sebuah pertanyaan
harus dijawab sebelum meneruskan pemikiran tentang konsep
ini yaitu: di manakah letak birokrasi pemerintahan dalam
sebuah konsep negara Islam? Ini diperlukan, untuk menghindarkan atau menghadirkan sebuah negara Islam, kalau konsep seperti itu dapat dibuat dan kemudian dilaksanakan, sebab hal itu
akan menyangkut kepentingan kita bersama sebagai bangsa.
Dapat saja keinginan itu dianggap sebagai sesuatu yang
mengada-ada, tetapi ia harus dibicarakan di sini untuk memperoleh kejelasan tentang posisi Islam dalam kehidupan kita sebagai
bangsa yang bernegara dan bermasyarakat. Jika ini kita abaikan,
jangan-jangan nantinya kita dihadapkan kepada semakin kuatnya birokrasi pemerintahan dalam kehidupan kita. Ini untuk
menghindarkan kita dari penyesalan berkepanjangan, jika gagasan tentang konsep negara Islam dapat diwujudkan.
eg
Ketika penulis menanyakan kepada Datuk Seri Dr. Mahathir Muhamad,3
tentang keputusan Malaysia keluar dari kungkungan Dana Moneter Internasional (IMF), beliau menjawab
bahwa guru besar Massachussets Institute of Technology (MIT),
Paul Krugman4
yang menganjurkan hal itu. Ketika guru besar itu
singgah di Jakarta, penulis bertanya kepadanya; apakah hal itu
sebaiknya juga dilakukan oleh negara kita ? Beliau menyatakan,
Malaysia dapat melakukannya sebab memiliki birokrasi yang
bersih dan ramping (clean and lean bureaucracy), dan Indonesia
sebaiknya tidak melakukan hal itu, sebab tidak memiliki birokrasi seperti yang disebutkan tadi. Penulis tidak menjawabnya,
sebab disadari kita memang memiliki birokrasi pemerintahan
yang terlalu besar dan korup.Untuk mencapai birokrasi yang ramping dan bersih, diutamakan beberapa hal, dimulai dari peningkatan pendapatan pegawai negeri sipil dan warga TNI/POLRI. Persenjataan dan
kesejahteraan mereka harus ditingkatkan secara drastis, kalau
diinginkan mereka tidak terlibat tindakan-tindakan korup dan
penyelundupan. Tanpa dilakukannya kedua hal itu, mustahil kita
akan memiliki birokrasi yang jujur. Sementara itu, penyebaran
tenaga-tenaga birokrasi harus efisien, agar tempat-tempat yang
memerlukannya memperoleh tenaga birokrat yang cukup, dan
tempat-tempat yang tidak begitu memerlukan terlalu banyak
akan memperoleh birokrasi sejumlah yang diperlukan.
Demikian pula, status purnawirawan harus diterapkan
pada waktunya agar tidak menghambat karier maupun kemungkinan promosi generasi muda. Jika hal ini dilaksanakan secara
konsekuen, dalam waktu beberapa tahun saja akan tercapai keseimbangan antara kebutuhan birokrasi dan tersediannya tenaga
untuk itu. Pada tahap itulah kita baru dapat melakukan konsolidasi kepegawaian –seperti yang ditentukan oleh undang-undang. Memang berat tugas menciptakan birokrasi dalam jumlah
dan tingkatan yang sesuai dengan kebutuhan, tapi memang masa
depan bangsa ini tergantung sepenuhnya pada kemampuan kita
untuk mewujudkan keseimbangan seperti itu.
eg
Keharusan menciptakan profesionalisme penuh bagi sistem kepegawaian kita, tertera dalam Kitab suci al-Qurân yang
menyebut dengan istilah “Memenuhi janji mereka di kala mengucapkan sumpah prasetia kepada jabatan (Wal mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû)” (QS. al-Baqarah [2]:177). Adakah sebuah janji
yang lebih besar dari pada sesuatu yang diucapkan ketika menyatakan janji prasetia kepada jabatan? sebab itulah profesionalisme harus ditegakkan, guna memungkinkan kita menepati
janji prasetia yang kita ucapkan ketika pertama kali menerima
jabatan.
Birokrasi pemerintahan memang diperlukan oleh sebuah
negara modern, namun birokrasi seperti itu haruslah benarbenar profesional, untuk membantu dalam pengambilan keputusan pemerintah serta mencari kebijakan yang diperlukan untuk
menyejahterakan rakyat. Tetapi, birokrasi pemerintahan bukanlah entitas independen, melainkan sebagai pihak yang selalu berpegang kepada kepentingan warga negara kebanyakan.
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa Islam tidak memberikan kekuasaan mutlak kepada birokrasi pemerintahan untuk
berbuat semau mereka. Tetapi, Islam juga memandang pentingnya arti birokrasi pemerintahan yang baik, sebab segenap kebijakan pemimpin tidak dapat dipisahkan dari pelaksananya, yaitu
birokrasi pemerintahan. sebab nya, birokrasi pemerintahan
yang tidak terlalu besar dan tunduk sepenuhnya kepada para
pemimpin politik sebagai pengambil keputusan terakhir, merupakan keharusan yang tak dapat ditawar lagi (conditio sine qua
non, mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihî fahua wâjibun). Tidakkah lalu menjadi jelas bagi kita, bahwa menurut pandangan Islam, birokrasi pemerintahan seharusnya berukuran tidak terlalu
besar dan memiliki wewenang serba terbatas
Nabi Muhammad Saw bersabda: “Setiap kalian adalah
penggembala, dan seorang penggembala akan ditanya
tentang gembalaannya (kullukum râ’in wa kullu râ’in
mas’ûlun ‘an ra’îyyatihi).” Hal ini merupakan landasan moral
bagi setiap warga negara untuk mempertanyakan orientasi dan
teori pembangunan nasional yang dipakai di negaranya. Sejauh
ini, yang diajukan selalu hanya orientasi pembangunan yang elitis dan teori pembangunan nasional yang sekuler. Sangat sedikit
perhatian diberikan pada orientasi dan teori pembangunan nasional yang diambil dari ajaran agama. Padahal, banyak sekali
aspek-aspek spiritual yang dapat dijadikan landasan bagi teori
pembangunan nasional yang lebih menyeluruh dan orientasi
pembangunan yang memiliki sisi keagamaan sangat kuat.
Akibat yang sangat terasa bagi kita dewasa ini adalah, orientasi pembangunan kita yang serba elitis dan hanya mementingkan kaum kaya dan cabang atas dari masyarakat kita, sedangkan
banyak sekali para orang kaya –yang di kemudian hari menjadi
konglomerat hitam, membawa lari modal pinjaman mereka ke
luar negeri. Ini adalah akibat langsung dari orientasi pembangunan yang serba elitis tadi, yang bertumpu pada ekspor produk-produk ke luar negeri, dan sama sekali tidak memberikan
perhatian pada pembentukan modal secara besar-besaran kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM), minimal dengan pemberian kredit murah bagi mereka, serta pemberian kemudahankemudahan dan fasilitas-fasilitas lain. Akibatnya, adalah krisis
ekonomi dan keuangan yang berkepanjangan di negeri kita,
hingga dewasa ini.
Untuk meredam suara protes yang mencari sebab-musabab kedua krisis ini, dikemukakanlah acuan-acuan seperti
persaingan, perniagaan internasional yang bebas dan keharusan
berefisiensi. Padahal ketiga patokan itu berarti persyaratan yang
harus dipenuhi, jika diinginkan gerak perekonomian yang sehat
bagi sebuah negara. Orientasi memajukan gerak ekonomi, baik
yang bersifat elitis seperti memajukan konglomerasi, maupun
yang profesional dengan bersandar pada pertumbuhan UKM
yang kuat, mengharuskan adanya kompetisi yang ketat, penghormatan kepada tata niaga internasional dan kemampuan efisiensi
yang tinggi.
eg
Ukuran teori pembangunan nasional yang sekuler yang digunakan dalam menilai majunya perekonomian, memang berbeda dari teori pembangunan nasional yang lebih lengkap (baik
aspek spiritual keagamaan maupun aspek-aspek lainnya). Teori
pembangunan nasional yang sekuler selalu bermula dari tinggi
rendahnya pendapatan nasional sebuah bangsa, dengan menggunakan berbagai pertimbangan kuantitatif. Sedangkan teori
pembangunan nasional yang bersumber pada agama, senantiasa
bermula dari tanggung jawab menciptakan masyarakat yang adil
dan makmur (menurut bahasa UUD 1945), sedangkan menurut ajaran Islam dinamai kesejahteraan. Perbedaan titik tolak
dalam memandang hasil pembangunan nasional ini, tidak dapat
dihindarkan, sebab memang cara melihat masalahnya pun
berbeda. Dari sudut pandang spiritual keagamaan, yang dinilai
adalah capaian individu warga masyarakat, sedangkan bagi teori
pembangunan nasional yang sekuler, yang dipentingkan adalah
capaian makro negara.
Dari perbedaan teori yang digunakan, yang akhirnya berbeda dalam cara memandang pembangunan nasional, jelas bahwa kita harus memilih antara teori pembangunan nasional yang
sekuler atau teori pembangunan yang lebih menyeluruh. Tentu
saja pilihan orang seperti penulis lalu jatuh pada teori pembangunan nasional yang lebih berorientasi spiritual/keagamaan.
sebab , di samping ukuran-ukuran kuantitatif seperti penghasilan nasional, capaian umur rata-rata warga negara –baik pria
dan wanita serta pemilikan rata-rata perorangan tiap penduduk
sebuah negara terhadap mobil, rumah, telepon dan sebagainya,
juga digunakan ukuran non-materiil –seperti keadilan, HAM,
dan kemakmuran kolektif. Jadi, ukuran yang digunakan tidak
hanya satu corak saja, tapi memiliki beragam ukuran dari satu
ke lain bidang.
Ini menjadi sesuatu yang penting, sebab dengan ukuranukuran kuantitatif akan tetap terdapat disparitas yang tinggi
dalam kehidupan di berbagai sektor, seperti perniagaan, pertukangan dan sebagainya. Justru di negara-negara berkembang,
disparitas itu terasa sangat tinggi. Sedangkan di negara-negara
berteknologi maju hal itu kurang terasa. Kecenderungan masyarakat di Jepang, misalnya, yang membatasi perbedaan pendapatan tertinggi sekitar 20 kali lipat pendapatan terendah, membuat masyarakat tidak terlalu dilanda kecemburuan sosial yang
besar. Dengan ungkapan lain, kapitalisme di negara-negara berteknologi maju telah membentuk susunan masyarakat yang lebih
kecil kesenjangannya, sesuatu yang belum ada pengaturannya di
negara-negara yang sedang berkembang.
eg
Dengan demikian, slogan-motto-semboyan yang digunakan dalam pembangunan nasional pun juga berbeda. Nah, perbedaan ini harus dicari sumber-sumbernya dalam teori pembangunan nasional yang digunakan. Inilah yang membuat penulis
membedakan teori pembangunan nasional yang sekuler dengan
teori yang juga memasukkan aspek-aspek spiritual-keagamaan.
Pencarian orientasi lebih lengkap ini dilakukan penulis, karena
ia melihat ketimpangan-ketimpangan dalam orientasi pembangunan yang sedang berjalan, yang memanjakan golongan atas
dan pengusaha kaya belaka.
Perhatian kurang sekali diberikan, kepada teori pembangunan nasional yang lebih lengkap, yang memunculkan orientasi kesejahteraan bersama seluruh warga negara, di samping
ukuran kuantitatif yang lazim digunakan. Krisis ekonomi finansial yang melanda kehidupan bangsa kita dewasa ini, jelas diakibatkan oleh orientasi pembangunan nasional yang terlalu elitis,
dan mengabaikan ukuran-ukuran seperti kesejahteraan bersama, keadilan sosial, penegakan hukum dan pelaksanaan hak-hak
asasi manusia.
Jelaslah dengan demikian, ukuran mikro dan makro yang
benar harus sama-sama digunakan dalam mengukur capaian
pembangunan nasional kita. Ini berarti harus ada perubahan
besar dalam strategi pembangunan nasional yang digunakan. Di
samping optimasi persaingan, penerimaan tulus terhadap tata
niaga internasional dan penghargaaan rasional kepada efisiensi
(yang lebih bersifat ukuran-ukuran mikro), digunakan juga orientasi yang benar akan keadilan sosial, kedaulatan hukum dan
HAM. Dengan kata lain, di samping ukuran-ukuran kuantitatif
yang bersifat mikro, digunakan juga ukuran-ukuran kualitatif
dalam arti orientasi pada keadilan, kedaulatan hukum dan kepentingan rakyat banyak, sebagai hal-hal makro yang juga harus
diperhatikan.
Globalisasi ekonomi, saat ini sering diartikan sebagai persaingan terbuka, ketundukan mutlak pada kompetisi
dan penerimaan total atas “kebenaran” tata niaga internasional yang diwakili oleh World Trade Organisation (WTO)1
.
Benarkah dan cukupkah, hal ini menjadi perhatian kita melalui
tulisan ini. Dalam uraian ini, akan tercapai kejelasan pandangan
dan maksud tentang hal-hal ini .
Globalisasi ekonomi dimaksudkan untuk membenarkan
dominasi perusahaan-perusahaan besar atas perekonomian
negara-negara berkembang, yang tentu saja akan sangat merugikan negara-negara ini . sebab itulah, tentangan atas
WTO dan pengertian globalisasi seperti itu justru dilancarkan
oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang
berpangkalan di negara-negara berteknologi maju. Penentangan
terbuka atas WTO oleh LSM internasional di Seatle2
, mempengaruhi sikap negara-negara berkembang, yang dimunculkan dalam
konferensi WTO di Doha, Qatar tahun 2001.
Namun, tentangan terhadap gagasan globalisasi ekonomi
itu tidak dilanjutkan dengan kampanye besar-besaran untuk menumbuhkan alternatif baru atas globalisasi itu. Dengan kegagalan menampilkan strategi positif itu tampak bahwa pengertian
lama yang negatif tentang globalisasi tetap berlaku. Hal ini tentu
berbeda, misalnya, dengan strategi Bung Karno untuk menyerang imperialisme dengan mengemukakan alternatifnya, yaitu
negara-negara Asia-Afrika.
Dalam memahami arti globalisasi di luar pengertian yang
sudah lazim, kita dapat juga bertitik tolak dari pandangan agama
tentang pembangunan nasional. Pandangan itu, berangkat dari
apa yang dimaksudkan agama Islam tentang fungsi ekonomi
dalam kehidupan sebuah masyarakat, bertumpu pada dua faktor
utama: arti barang dan jasa bagi kehidupan manusia dan bagaimana masyarakat memakai barang dan jasa ini . Modal, dalam pandangan ini, adalah sesuatu yang diperlukan untuk
membuat sesuatu barang atau jasa bagi kehidupan masyarakat.
Dalam memandang modal seperti itu, menjadi jelas bahwa keuntungan/profit merupakan hasil sekunder yang tidak hanya memperbaiki kehidupan pemilik modal, tapi juga ia tidak berakibat
menyengsarakan pembeli/pengguna barang ini .
Maksudnya, laba tidak hanya berfungsi menguntungkan
pemilik modal, tapi ia juga berfungsi menciptakan keadilan dalam hubungan antara produsen dan konsumen. Dengan kata
lain, laba/keuntungan tidak boleh bersifat manipulatif, berarti
tidak dibenarkan penggunaan sebuah faktor produksi, untuk memanipulasi pihak lain. Dalam pandangan Islam, tidak diperkenankan adanya pendekatan laisses faire (kebebasan penuh) yang
menjadi ciri kapitalisme klasik. Dalam pandangan Islam, benda
dan jasa harus memberikan keuntungan pada kedua belah pihak, hingga hilanglah sifat eksploitatif dari sebuah transaksi ekonomi. Dengan ungkapan lain, yang dijauhi oleh Islam bukanlah
pencarian laba/untung dari sebuah transaksi ekonomi, melainkan sebuah pencarian laba/untung yang bersifat eksploitatif.Dengan pendekatan non-eksploitatif semacam itu, memang tidak dibenarkan adanya perkembangan pasar tanpa campur tangan pemerintah, minimal untuk mencegah terjadinya
eksploitasi itu sendiri. Di sinilah peranan negara menjadi sangat
penting, yaitu menjamin agar tidak ada manusia/warga negara
yang terhimpit oleh sebuah transaksi ekonomi. Manusia harus
diutamakan dari mekanisme pasar dan bukan sebaliknya. Jika
prinsip non-eksploitatif dalam sebuah transaksi ekonomi seperti
digambarkan di atas terjadi, maka dengan sendirinya pengertian
akan globalisasi juga harus dijauhkan dari dominasi sebuah negara/perusahaan atas negara/perusahaan lain. sebab itu, globalisasi dalam pengertian lama yang hanya mementingkan satu
pihak saja haruslah dirubah dengan pengertian baru yang lebih
menekankan keseimbangan antara pemakai/pengguna sebuah
barang/jasa dan penghasil (produsennya).
Dengan demikian, pencarian untung/laba dalam globalisasi tidak harus diartikan sebagai kemerdekaan penuh penguasa modal untuk melikuidasi saingan mereka, melainkan justru
diarahkan pada tercapainya keseimbangan antara kepentingan
produsen dan konsumen. Penyesuaian antara kepentingan pihak
konsumen dan produsen ini, tentulah menjadi titik penyesuaian
antara kepentingan berbagai negara satu sama lain di bidang
ekonomi dan perdagangan.
Di lihat dari sudut penafsiran seperti itu, dalam pandangan
Islam diperlukan keseimbangan antara kepentingan negara produsen barang/jasa dan negara pengguna barang/jasa tersebut,
sehingga tercapai keseimbangan atas kehidupan internasional
di bidang ekonomi/finansial. Dengan kata lain, keadilan tidak
memperkenankan kata globalisasi digunakan untuk menjarah
kepentingan sesuatu bangsa atau negara, hingga kata itu sendiri
berubah arti menjadi tercapainya keseimbangan antara kedua
belah pihak. Singkatnya, WTO seharusnya berperan mendorong
perkembangan ke arah itu, bukannya menjamin kebebasan berniaga secara penuh, dengan hasil terlemparnya bangsa atau perusahaan lain sebab nya. Sederhana, bukan?
J
udul di atas keluar dari pengamatan penulis yang melihat
proses “penyantrian”1
kaum muslimin di seluruh dunia Islam saat ini. Tentu saja, pendapat ini berdasarkan pengamatan sebelumnya, bahwa ratusan juta muslimin dapat dianggap
sebagai orang-orang “Islam statistik” belaka alias kaum muslimin yang tidak mau atau tidak dapat menjalankan ajaran-ajaran
agama mereka. Orang-orang seperti itu, dikalangan “kaum santri” di negeri kita, dikenal dengan nama “orang-orang abangan”
(nominal muslim) di negara kita . Mereka berjumlah sangat besar,
jauh lebih besar daripada kaum santri. Jika di masa lampau ada
anggapan, bahwa kaum santri yang melaksanakan secara tuntas
ajaran-ajaran agama mereka berjumlah sekitar 30 % dari penduduk negara kita , maka selebihnya, mayoritas bangsa ini tidak
melaksanakan “kewajiban-kewajiban” agama dengan tuntas.
sebab “menyadari” hal itu, dengan kata lain menganggap
Islam baru tersebar dalam lingkup tauhid di negeri kita, maka
para wakil berbagai organisasi Islam, menerima pencabutan Piagam Jakarta dari pembukaan UUD 1945. Ki Bagus Hadikusumo, Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosuyoso, Ahmad Subardjo, Agus Salim, dan A. Wahid Hasyim menerima pencabutan
itu dengan mewakili organisasi masing-masing. Tentu mereka
bersikap seperti itu, sebab secara de facto telah berkonsultasi
dengan kawan-kawan lain dari organisasi masing-masing, atau
paling tidak mengetahui sikap itu diterima secara umum di kalangan gerakan Islam di negara kita . Hanya dengan keyakinan
seperti itulah, mereka akan mengambil sikap seperti di kemukakan di atas. Pengetahuan sejarah ini sangat diperlukan, untuk mengetahui jalan pikiran para wakil berbagai perkumpulan
Islam itu, sebuah kenyataan sejarah yang penting untuk mengetahui motif dari keputusan yang diambil ini .
Pada saat ini, organisasi-organisasi Islam menguasai wacana politik dan budaya di negeri kita. Sebagaimana terlihat
dalam demikian banyak para “santri” yang membeberkan pandangan dan pemikiran mengenai kedua bidang ini dalam
media khalayak. Walaupun yang dibicarakan adalah topik-topik
yang sangat beragam, yang hanya sebagian saja menyangkut
aspek-aspek agama Islam, namun hampir dua pertiga paparan
pendapat dan pemikiran itu berasal dari “dunia santri”. Bahkan
mereka yang tidak menjalankan seluruh ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari telah turut bersama-sama menyatakan
pendapat dan pandangan kaum santri di media khalayak. Dari
fakta ini, banyak pengamat asing tentang negara kita , berpandangan bahwa sangatlah penting untuk mengetahui pandangan
kaum santri tentang berbagai hal yang menyangkut negara kita .
eg
Salah satu perkembangan yang menarik untuk diamati
adalah pelaksanaan syari’ah (jalan hidup kaum muslimin),
umumnya terkodifikasikan dalam kehidupan masyarakat santri di negeri kita. Walaupun tidak semua ajaran Islam dijalankan
dengan tekun, paling tidak slogan “syari’atisasi” telah dilakukan oleh mereka yang “sadar” akan pentingnya Islam sebagai
“pemberi warna” hidup bangsa kita. Bahkan, berbagai lembaga
perwakilan rakyat di tingkat propinsi, kabupaten dan kota, telah
membuat sesuatu yang melanggar “kesepakatan bersama” untuk
tidak mengaitkan negara kepada kehidupan beragama secara formal atau resmi. sebab itu, ketika penulis masih menjadi Presiden, telah mengusulkan agar tiap Peraturan Daerah yang isinya
bertentangan dengan undang-undang dasar dianggap batal.
sebab itulah, perkembangan upaya “syari’atisasi” harus
dimonitor terus, semestinya perkembangan itu harus sejalan dengan keputusan sidang kabinet yang tertera di atas. Nah, mengapa
sampai sekarang belum ada pelaksanaan syari’ah di beberapa
daerah yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945? Jawabnya, sebab Mahkamah Agung yang seharusnya memberikan
kata akhir bagi pembahasan hal-hal mendasar bagi kehidupan
kita bersama, tidak menjalankan kewajibannya. Sebuah Mahkamah Agung yang benar-benar menjalankan kewajiban, tentulah
tidak takut kepada tekanan berbagai pihak, termasuk “kaum teroris”. sebab ketakutan itu, Mahkamah Agung kita akhirnya tidak
memberikan kontribusi apa-apa dalam memudahkan berbagai
masalah sangat penting bagi negeri kita. Mahkamah Agung kita
sekarang takut oleh tekanan dari pihak yang ingin memberlakukan syari’ah Islam, maka benarlah apa yang dikatakan Franklin
D. Roosevelt, Presiden USA yang meninggal dunia tahun 1945,
bahwa apa yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri
(what we have to fear is fear itself).
Umpamanya, Peraturan Daerah yang dibuat DPRD Sumatera Barat bahwa perempuan tidak boleh bekerja sendirian setelah
jam 09.00 malam tanpa “dikawal” seorang keluarga dekat, jelaslah sekali bertentangan dengan UUD 1945, yang menyamakan
kedudukan, hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara lelaki dan perempuan. Syariatisasi macam inilah yang seharusnya
dilihat bertentangan dengan UUD 1945, atau tidak oleh MA yang
penakut itu. Kalau ada upaya membuat syariatisasi yang sejalan
atau tidak bertentangan dengan UUD 1945, persoalannya adalah
penggunaan nama syari’ah itu sendiri. Tentu itu dilakukan dengan tujuan “meng-Islamkan” perundang-undangan di negeri
ini, sesuatu yang sebenarnya berbau politik. Mantan Ketua Mahkamah Agung Mesir, Al-Asmawi3
pernah mengemukakan dalam
sebuah buku, bahwa tiap undang-undang yang berisikan pencegahan dan hukuman (deterrence and punishment) pada hakikatnya dapat diperlakukan sebagai bagian dari hukum Islam?
Jelaslah dengan demikian, upaya melakukan syari’atisasi
dengan memakai kerangka Al-Asmawi itu, adalah apa
yang oleh fiqh (hukum Islam) dan cabang-cabangnya dinamai
“melakukan hal yang tidak perlu, sebab sudah dilakukan” (tahsil al-hasil). Yang tercapai hanyalah penamaan saja, sedangkan
substansi atau isinya tidak diperhatikan, sehingga dilakukan secara sembarangan saja. Sedangkan seharusnya, proses syari’atisasi lebih tepat dilakukan oleh masyarakat sendiri, tanpa penggunaan nama syari’ah. Hal ini dapat terjadi sebagai proses
dalam hidup bernegara. Dengan demikian dapat disimpulkan,
sebab terbawa oleh kerancuan kerangka berpikir, penyebutan
syari’ah dalam produk-produk DPRD propinsi, kabupaten dan
kota hanya bersifat politis saja, sesuatu yang perlu disayangkan.
eg
Hal lain yang perlu kita sayangkan, bahwa beberapa bank
pemerintah telah mendirikan bank syari’ah, sesuatu hal yang masih dapat diperdebatkan. Bukankah bank seperti itu menyatakan
tidak memungut bunga bank (interest) tetapi menaikkan ongkos-ongkos (bank cost) di atas kebiasaan? Bukankah dengan
demikian, terjadi pembengkakan ongkos yang tidak termonitor, sesuatu yang berlawanan dengan prinsip-prinsip cara kerja
sebuah dengan bank yang sehat. Lalu, bagaimanakah halnya
dengan transparansi yang dituntut dari cara kerja sebuah bank
agar biaya usaha dapat ditekan serendah mungkin.
sebab nya, banyak bank-bank swasta dengan para pemilik saham non-muslim, turut terkena “demam syari’atisasi” tersebut. Hal itu disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka
tentang hukum Islam ini . Begitu juga, sangat kurang diketahui bahwa Islam dapat dilihat secara institusional/kelembagaan di satu pihak, dan sebagai kultur/budaya dipihak lain.
Kalau kita mementingkan budaya/kultur, maka lembaga yang
mewakili Islam tidak harus dipertahankan mati-matian, seperti
partai Islam, pesantren, dan tentu saja bank syari’ah. Selama
budaya Islam masih hidup terus, selama itu pula benih-benih
berlangsungnya cara hidup Islam tetap terjaga. sebab itu, kita
tidak perlu berlomba-lomba mengadakan syari’atisasi, bahkan
itu dilarang UUD 1945 jika dilakukan oleh pihak pemerintah dan
lembaga-lembaga negara. Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan bukan?
Dalam tiga dasawarsa terakhir ini, beberapa pemikir mengemukakan apa yang mereka namakan sebagai teori
ekonomi Islam. Semula, gagasan ini berangkat dari
ajaran formal Islam mengenai riba dan asuransi, yang berintikan
penolakan terhadap bunga bank sebagai riba, dan praktek asuransi yang bersandar pada sifat “untung-untungan”. Ditambahkan
dalam kedua hal itu, penolakan pada persaingan bebas (laisses
faire) sebagai sistem ekonomi yang banyak digunakan. Intinya
dalam hal ini adalah sikap melindungi yang lemah dan membatasi yang kuat seperti dalam pandangan Islam.
Dalam perkembangan berikutnya, pada dasawarsa 80-an
muncul sejumlah orang yang dianggap menjadi eksponen pandangan ekonomi Islam. Mereka banyak berasal dari lingkungan lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga tak heran jika
mereka mengacu pada orientasi kepentingan rakyat kecil dan
menolak peranan perusahaan-perusahaan besar dalam tatanan
ekonomi yang ada waktu itu. Namun, mereka gagal mengajukan
sebuah teori yang bulat dan utuh yang dapat dianggap mewakili
ekonomi Islam. Keberatan mereka terhadap praktek-praktek
kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), monopoli dan dominasi
(oleh kerjasama pengusaha dengan para pejabat pemerintahan),
adalah keberatan yang tidak didukung oleh teori yang lengkap,
dan dengan demikian hanya dianggap sebagai orientasi kelompok belaka.Dengan perubahan kebijaksanaan di masa pemerintahan
Presiden Soeharto, di ujung dasawarsa itu dan didukung pula
oleh kemunculan Ikatan Cendekiawan Muslim negara kita (ICMI),
kelompok ini lalu berubah pikiran dan ikut memperebutkan kekuasaan sebagai pejabat pemerintah. Dengan merebut
institusi-institusi pemerintahan, berarti mereka lebih mengutamakan pendekatan institusional dan cenderung meninggalkan
perjuangan kultural. Namun, “kemenangan” institusional itu tidak membuat mereka semakin kuat, sebab mereka tidak dapat
menghambat korupsi, dan bahkan akhirnya justru mereka sendiri-lah yang melakukan korupsi. Akhirnya mereka menghamba
pada kekuasaan. Justru organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang mempelopori perlawanan kultural itu, dengan tetap menolak untuk melegitimasi
institusi pemerintahan.
eg
Dengan demikian, watak merakyat dari perjuangan di para
cendikiawan itu berubah menjadi perjuangan politik. sebab nya,
hal-hal ekonomi pun juga diukur dengan ukuran-ukuran politik.
Nyata sekali dalam hal ini, contohnya yang terjadi dengan kredit
usaha tani (KUT). KUT yang semula merupakan program ekonomi, dengan cepat berubah menjadi sebuah program politik.
Yaitu mengusahakan sebuah program pendukung kekuasaan
untuk menang dalam pertarungan politik melawan pihak-pihak
lain, tanpa memandang kecakapan ekonomis dan kemampuan
finansial. Jadilah pelaku program itu seperti sekarang ini, yakni
menjadi bulan-bulanan pihak Pengadilan Negeri (PN) sebab
mereka dihadapkan pada pengadilan, termasuk di dalamnya
para kyai. Ini semua, merupakan kenyataan yang tidak dapat
dibantah oleh siapapun, dan metamorfosa yang terjadi adalah
bagian dari perjuangan politik, dan bukan bagian dari perjuangan ekonomi.
Dengan metamorfosa itu, otomatis upaya menolong rakyat kecil hanya menjadi sisa-sisa. Bahwa upaya politik mempertahankan institusi, baik itu institusi mikro seperti proyekproyek yang tergabung dalam KUT, maupun upaya makro untuk
mempertahankan kekuasaan, jelas menggambarkan kenyataan
menarik: kegagalan dalam mengembangkan apa yang dinamakan ekonomi Islam, baik dalam teori maupun praktek. Rentetan
yang terjadi adalah, upaya pelestarian kekuasaan secara politis
juga menghadapi kegagalan pula.
Turut hancur pula dalam proses ini, pengembangan teori
ekonomi Islam, sebab ia dikait-kaitkan dengan kekuasaan yang
ada. Keadaan diperparah oleh kenyataan tidak adanya peninjauan ulang terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah
di masa lampau. Ini berarti, gagasan tentang ekonomi Islam di
negeri kita, tidak pernah didasarkan atas peninjauan mendalam
dari kebijakan, langkah-langkah dan keputusan-keputusan pemerintah di bidang ini . Bagaimana akan dibuat acuan mengenai sebuah sistem ekonomi Islam, kalau fakta-fakta ekonomi dan
finansial semenjak kita merdeka tak pernah ditinjau ulang?
eg
Dari tinjauan ulang itu akan dapat diketahui, bahwa tatanan ekonomi dan finansial kita, didasarkan hampir seluruhnya
atas kecenderungan menolong sektor yang kuat dan mengabaikan sektor yang dianggap sebagai ekonomi lemah. Ketimpangan
ini dapat dilihat, umpamanya dalam hal pemberian fasilitas,
kemudahan dan pertolongan bagi usaha kuat. Apalagi, setelah
beberapa pengusaha keturunan Tionghoa, yang belakangan menjadi konglomerat, berhasil menguasai sektor ini . Ekonomi
rakyat menjadi semakin tidak diperhatikan, dan ungkapan-ungkapan tentang ekonomi rakyat itu dalam kebijakan pemerintah
hanyalah bersifat retorika belaka.
Alokasi dana untuk pengembangan ekonomi rakyat dalam
RAPBN, umpamanya, menunjukkan betapa sedikitnya perhatian kepada sektor ini. Kebocoran RAPBN, yang dalam perkiraan
Prof. Soemitro Djojohadikusumo telah mencapai 30% dari jumlah anggaran, menunjukkan sangat kecilnya perhatian pemerintah kepada sektor ini. Belum lagi matinya kreatifitas usaha kecil
dan menengah (UKM) di hadapan birokrasi pemerintahan yang
sangat kaku. Ketika para pemikir ekonomi Islam tidak mencari
pemecahan bagi masalah-masalah yang dihadapi tadi, di sinilah
tampak adanya kegagalan terhadap apa yang dinamakan ekonomi Islam. Itulah sebabnya, mengapa pemikiran mengenai ekonomi Islam sekarang menjadi sangat mandul.
Ketika Drs. Kwik Kian Gie mengemukakan keinginan agar negara kita keluar dari dana moneter internasional (IMF, International Monetary Fund), tak ada seorang pun dari para pemikir
gagasan ekonomi Islam itu yang menyatakan suara menerima
atau menolak pandangan ini . Ini tentu disebabkan oleh perubahan besar dari pemikir ekonomi itu yang tertuju pada upaya
politik seperti digambarkan di atas.
Padahal, salah satu gagasan yang sering dilontarkan penulis secara lisan dalam rapat-rapat umum di seluruh bagian
negeri ini, jelas mengacu pada kebutuhan ini . Keharusan
kita untuk mempertahankan kompetisi, tata niaga internasional
dan efisiensi yang rasional, merupakan bagian yang tidak bisa
ditinggalkan dari sebuah kebangkitan ekonomi. Namun, yang
harus didorong sekuat tenaga, adalah ekonomi rakyat dalam bentuk kemudahan-kemudahan, fasilitas-fasilitas dan sistem kredit
sangat murah bagi perkembangan UKM dengan cepat. Dibarengi
dengan peningkatan pendapatan pegawai negeri sipil dan militer, yang harus dilakukan guna mendorong peningkatan kemampuan daya beli (purchasing power) mereka.
Perkembangan gagasan ekonomi Islam jelas menunjukkan
kemandulan, sebab lebih cenderung untuk mempermasalahkan
aspek-aspek normatif, seperti bunga bank dan asuransi. Artinya,
pemikiran yang dikembangkan dalam gagasan ekonomi Islam itu
lebih banyak menyangkut pencarian nilai-nilai daripada pencarian cara-cara/ aplikasi yang dilakukan oleh nilai-nilai ini .
Jadi, masalahnya cukup sederhana bukan?
Sebagai penulis kata pengantar buku “Perekonomian Indonesia dari Bangkrut Menuju Makmur” ini (Teplok
Press, Januari 2003), saya bukanlah seorang ahli ekonomi. sebab tidak mengetahui lebih mendalam tentang ekonomi
rakyat (people economics), dan tidak tahu hal-hal lain mengenai
sebuah perekonomian, kecuali dua hal saja. Pertama, ekonomi
adalah pemenuhan kebutuhan manusia, dan ia memiliki mekanisme sendiri. Selebihnya, haruslah dirumuskan oleh para ahli
ekonomi, dan mereka harus mempertimbangkan kaitan sebuah
perekonomian dengan hal-hal lain dalam kehidupan seperti,
politik, hukum, teknologi, pasar, agama dan lain-lain. Dengan
kata lain, kebijakan ekonomi (economic policy) tidak pernah
sepenuhnya dapat diterapkan, sehingga harus selalu diingat
keterkaitan ekonomi dengan hal-hal lain dalam kehidupan sebuah negara. Kedua, sebuah perekonomian tidak pernah terlepas
dari perdagangan atau transaksi, baik di tingkat lokal, nasional
maupun internasional, dengan demikian tidak pernah ada tempat
untuk memisahkan perekonomian kita sendiri dari perekonomian global, yang membuat kita sengsara lebih dari perkiraan kita
sendiri.
Hal ini dapat kita lihat pada perjalanan sejarah bangsabangsa di dunia ini, yang baru berjalan puluhan ribu tahun saja.
sebab nya, sangatlah menarik untuk melihat bagaimana kebijakan ekonomi yang diambil dalam sejarah sebuah bangsa. Sejarah
memberikan pengaruh sangat besar kepada para pemimpin
bangsa yang bersangkutan, dalam menentukan kebijakan demi
kebijakan selanjutnya. Ini adalah bidang tersendiri, yang sering
dinamai sejarah perekonomian (economic history), yang merupakan disiplin ilmu, yang harus diketahui seorang penguasa pemerintahan. Namun wajar saja, jika seorang penguasa tidak mengetahui hal itu, mereka mengira apa yang mereka putuskan hanya
bersifat teknis belaka, paling tinggi sebagai sebuah “keputusan
politik”. Dengan demikian, mereka tidak menyadari keputusan
mereka sebenarnya menyangkut bidang politik ekonomi. Tindakan penguasa itu bagaikan menganggap “susu kerbau sebagai
susu sapi” hanya sebab sama-sama putih warnanya.
Kerancuan mengira apa yang dibaca atau diamatinya dari
sejarah sebuah bangsa, sebagai sebuah keputusan politik padahal itu adalah keputusan politik ekonomi, pernah juga dialami
oleh penulis kata pengantar ini (selanjutnya disebut penulis).
Pada waktu baru di terbitkan, penulis membaca karya Arthur
M. Schlesinger Jr,1
penulis pidato masa mendiang Presiden Kennedy, yang berjudul “The Age of Jackson”.2
Sebagai dosen Universitas Harvard di bidang sejarah, ia menghasilkan apa yang
oleh penulis dianggap sebagai buku sejarah. Baru belakangan
disadari penulis, bahwa yang dilakukan Presiden Jackson itu
adalah pengambilan keputusan politik ekonomi yang sangat mendasar. Jackson memutuskan untuk mengangkat Kepala Gubenur
Bank Sentral Amerika dari seorang Jerman berkewarganegaraan
Amerika Serikat. Ia memimpin sekian orang direktur dengan jabatan gubenur, dan bersama mereka mengemudikan bank sentral yang kemudian bernama Federal Reserve System.
eg
Keputusan Jackson membawa perubahan mendasar atas
jalannya sistem ekonomi di negara ini . sebab ia menganggap pemimpin Bank Sentral di negerinya harus ditetapkan
presiden dengan persetujuan kongres. Padahal teori kapitalisme
klasik menyatakan pemerintah tidak boleh ikut campur dalam
urusan ekonomi nasional, dan pengangkatan pejabat ekonomi dan finansial sepenuhnya menjadi wewenang pihak swasta
bukan pemerintah. Tetapi Jackson justru mengangkat para pejabat pemerintahan untuk mengelola bank sentral itu. Hal ini
menunjukkan keyakinan Jackson, bahwa urusan bank sentral
tidak terbatas hanya pada bidang ekonomi saja, melainkan juga
menyangkut pengelolaan uang pajak yang dibayarkan rakyat sebagai warga negara. Untuk melakukan pengelolaan itu dan seterusnya, juga menggunakannya untuk keperluan rakyat, harus
dilakukan oleh “orang-orang pemerintah”. Dengan demikian,
Jackson berkeyakinan bank sentral bukanlah semata-mata bertanggung jawab atas jalannya perekonomian nasional, melainkan juga bertanggung jawab atas tingkat kesejahteraan rakyat.
Apa yang dilakukan Presiden Jackson itu, melahirkan apa
yang disebut sebagai “kapitalisme rakyat” (folks capitalism). Bahwa negara biangnya kapitalisme seperti Amerika Serikat, dapat
mengembangkan paham kerakyatan seperti itu, adalah suatu hal
yang sangat menarik. Ini menunjukkan kapitalisme bukan barang mati melainkan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan. Kebencian Bung Karno terhadap kapitalisme, sebenarnya
adalah penolakan terhadap kapitalisme klasik itu, yang hanya
dipergunakan untuk mencari keuntungan maksimal bagi para
pemilik modal belaka. Jika kapitalisme dapat menerima modifikasi, dan dapat dipakai untuk tujuan memperbaiki tingkat hidup
dan kesejahteraan rakyat di sebuah negara, ia tidak patut lagi
dibenci seperti itu. sebab itu, kebencian Bung Karno terhadap
kapitalisme klasik, bukanlah sesuatu yang harus berlaku secara
tetap atau permanen, melainkan juga harus diarahkan kepada
modifikasi ideologi ini .
Dengan demikian, jelaslah bahwa ada perbedaan besar antara berpikir ilmiah dan berpikir ideologis. Secara ilmiah pandangan apapun memiliki kemungkinan menerima modifikasi, yang
terkadang merubah orientasi dan pandangan itu sendiri. Sedangkan pemikiran ideologis adalah sesuatu yang “jahat”. sebab itu,
kita harus bedakan benar pemikiran ideologis dan pemikiran ilmiah. Sewaktu membuat pledoi (pembelaan) di muka pengadilan
kolonial di tahun 1931, sikap Bung Karno memang benar, melawan kapitalisme klasik itu. Ini sebab pandangan ini digunakan untuk menindas bangsa kita. sebab itulah, Bung Karno menulis pledoinya ini , yang belakangan diterbitkan dalam
bentuk buku berjudul “negara kita Menggugat”.
eg
Sebuah contoh lain dapat dikemukakan dalam hal ini yaitu kebijakan Dr. Hjalmar Schacht, Menteri Perekonomian Jerman tahun 30-an, di bawah Kepala Pemerintahan Adolf Hitler.
Ia memutuskan membangun jaringan jalan aspal yang halus
(autobahnen) di seluruh negeri, sepanjang lebih dari 80.000
kilometer. Pembuatan jalan raya bagi kendaraan bermotor dengan memakai hotmix itu, dengan sendirinya menaikkan
pendapatan bangsa ini , yang kemudian mendorong munculnya industri pembuatan barang (manufacturing industry)
yang kuat. Kita ingat pabrik lokomotif Kruff dan mobil Volkswagen yang tangguh. Bahwa kemudian Hitler menempuh kebijakan
lebensraum (ruang hidup) dengan menjarah negeri-negeri lain,
tidak merubah kenyataan bahwa pandangan Schacht itu merupakan sesuatu yang sangat diperlukan bangsa Jerman.
Kesalahan Hitler itu, yang berakibat pecah Perang Dunia
II dengan korban 35 juta jiwa melayang, kemudian diganti oleh
sebuah pandangan lain yang belakangan dikemukakan oleh Kanselir (Perdana Menteri) Jerman Barat Ludwig Erhard.3
Dengan
pandangan yang terkenal “Sozialen Marktwirtschaft”, adalah
sebuah upaya untuk meneruskan upaya Schacht itu. Dengan
pandangannya itu, Erhard mementingkan fungsi sosial, peningkatan kesejahteraan dan perebutan pasar bagi industri Jerman
di seantero dunia. Yang direbut bukanlah negara, melainkan pasar tanpa melalui peperangan dan melanggar perikemanusian.
Jelas ini merupakan modifikasi atas kapitalisme klasik yang oleh
Karl Marx dan Friederich Engels dianggap mengandung benihbenih “kontradiksi struktural” yang akan memicu kekerasan. Kaum kapitalisme akan berhadapan dengan kaum proletar
dalam sebuah kontradiksi maha dahsyat, yang akan meliputi seluruh dunia.Buku yang ada di tangan pembaca ini, yang ditulis oleh
Hendi Kariawan memang tidak menyebutkan kontradiksi seperti
itu, ataupun menggambarkan modifikasi atas kapitalisme klasik
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti Andrew Jackson. Tetapi
buku ini sendiri adalah cerminan dari sebuah pandangan, bahwa
perekonomian nasional sebuah negeri memang harus mengabdi kepada kesejahteraan dan tingkat hidup tinggi (high living
standard) suatu bangsa. Ini adalah juga pandangan dari kapitalisme klasik yang mengalami modifikasi. Bahwa hal itu kemudian
dinamai pandangan ekonomi rakyat, tidak dapat menghilangkan
kenyataan adanya modifikasi itu sendiri. Selama perekonomian
nasional berdasarkan persaingan atau kompetisi terbuka, dan
tetap dalam lingkup perdagangan internasional yang bebas dan
memakai prinsip efisiensi rasional, selama itu pula ia tetap
akan memelihara semangat kapitalisme, walaupun dengan nama
lain.
Sumbangan pemikiran ekonomi dari buku ini, adalah sesuatu yang harus kita hargai. Dalam bahasa lain, buku ini menyajikan daya hidup (vitalitas) yang terkandung dalam paham
kapitalisme, perlu dikaji secara ilmiah, bukan secara ideologis.
Bahwa kemudian muncul sosialisme sebagai lawan kapitalisme
tidak berarti “konfrontasi” itu bersifat tetap/permanen. Kalau
meminjam filsafat Hegel tentang thesa melawan antithesa akan
lahir sinthesa, maka dari kapitalisme klasik melawan sosialisme
akan lahir pandangan ekonomi rakyat seperti yang digambarkan
buku ini.
Sejak kemerdekaan di tahun 1945, orientasi ekonomi kita
banyak ditekankan pada kepentingan para pengusaha besar dan modern. Di tahun 1950-an, dilakukan kebijakan
Benteng, dengan para pengusaha pribumi atau nasional memperoleh hampir seluruh lisensi, kredit dan pelayanan pemerintah
untuk “mengangkat” mereka. Hasilnya adalah lahir perusahaan
“Ali-Baba” , yaitu dengan mayoritas pemilikan ada di tangan para
pengusaha pribumi (Ali) dan pelaksana perusahaan seperti itu
dipimpin oleh keturunan Tionghoa (Baba). Ternyata, kebijakan
itu gagal. ‘Si Baba’ atau pengusaha keturunan Tionghoa, sebab
ketekunan dan kesungguhannya mulai menguasai dunia usaha,
baik yang bersifat peredaran/perdagangan barang-barang maupun pembuatan/produksinya, walau adanya pembatasan ruang
gerak warga negara keturunan Tionghoa, untuk tidak aktif/memimpin di bidang-bidang selain perdagangan.
Demikian pula dengan sistem quota dalam pendidikan,
mau tidak mau mempengaruhi ruang gerak warga negara keturunan Tionghoa di bidang perdagangan saja. Mereka dengan
segera memanfaatkan kelebihan uang mereka, untuk membiayai
pendidikan anak-anak mereka di luar negeri. sebab tidak terikat dengan sistem beasiswa yang disediakan pemerintah untuk
berbagai bidang studi, mereka lalu memanfaatkan pendidikan
luar negeri yang memberikan perhatian lebih besar kepada pendidikan berbagai bidang seperti, teknologi, produksi, kimia, komunikasi terapan, kemasan (package), pemasaran, penciptaan
jaringan (networking) dan permodalan. Di tahun-tahun terakhir
ini, para pengusaha keturunan Tionghoa itu bahkan sudah mencapai tingkatan kesempurnaan (excellence) dalam bidang-bidang
ini , seperti terbukti dari hasil-hasil yang dicapai anak-anak
mereka di luar negeri.
sebab itu tidaklah mengherankan, jika lalu dunia usaha
(bisnis) mereka kuasai. Para manager/pimpinan usaha ada di
tangan mereka, bahkan hal itu terasa pada tingkat usaha di bidang keuangan/finansial. Bahkan Bulog dan Dolog hampir seluruhnya berhutang uang pada mereka. Sehingga praktis merekalah
yang menentukan jalannya kebijakan teknis, dalam hal-hal yang
menyangkut sembilan macam kebutuhan pokok bangsa. Tidak
mengherankan jika lalu ada pihak yang merasa, ekonomi negeri
kita dikuasai oleh keturunan Tionghoa. Itu wajar saja. Bahkan
lontaran emosional itu akan menjadi sangat berbahaya, jika ditutup-tutupi oleh pemerintah dan media dalam negeri. Namun,
harus segera ditemukan sebuah kerangka lain, untuk menghindarkan lontaran-lontaran perasaan yang emosional seperti itu.
Janganlah berbagai reaksi itu, lalu berkembang sebab dipercaya oleh orang banyak.
Kesenjangan kaya-miskin yang terus menjadi besar dalam
kenyataan, maka diperlukan sebuah penataan ekonomi bangsa
kita. Bagaimanapun juga harus diakui, bahwa apa-apa yang terbaik di negeri kita, dikuasai/dimiliki oleh mereka yang kaya, baik
golongan pribumi maupun golongan keturunan Tionghoa. Namun untuk menyelamatkan diri dari kemarahan orang melarat,
baik yang merasa miskin ataupun yang memang benar-benar
tidak menguasai/memiliki apa-apa, maka elite ekonomi/orang
kaya kalangan pribumi selalu meniup-niupkan bahwa perekonomian nasional kita dikuasai/dimiliki para pengusaha golongan
keturunan Tionghoa. sebab memang selama ini media nasional dan kekuasaan politik selalu berada di tangan mereka, dengan mudah saja pendapat umum dibentuk dengan menganggap golongan keturunan Tionghoa, yang lazim disebut golongan
non-pribumi, sebagai penguasa perekonomian bangsa kita.
Kesan salah itu dapat segera dibetulkan dengan sebuah
koreksi total atas jalannya orientasi perekonomian kita sendiri.
Koreksi total itu harus dilakukan. Orientasi yang lebih mementingkan pelayanan kepada pengusaha besar dan raksasa, apapun alasannya, termasuk klaim pertolongan kepada pengusaha
nasional “pribumi”, haruslah disudahi. Sebenarnya yang harus
ditolong adalah pengusaha kecil dan menengah, seperti yang
diinginkan oleh Undang-undang Dasar kita, maupun berbagai
peraturan yang lain. Dengan demikian tidaklah tepat mempersoalkan “pribumi” dan “non-pribumi”, sebab persoalannya bukan
terletak di situ, masalahnya adalah kesenjangan antara kaya dan
miskin.
Jadi, yang harus dibenahi, adalah orientasi yang terlalu
melayani kepentingan orang-orang kaya, atas kerugian orang
miskin. Kita harus jeli melihat masalah ini dengan kacamata yang
jernih. Perubahan orientasi itu terletak pada dua bidang utama,
yaitu pertolongan kepada UKM, Usaha Kecil dan Menengah dan
upaya mengatasi kemiskinan. Kedua langkah itu harus disertai
pengawasan yang ketat, disamping liku-liku birokrasi, yang memang merupakan hambatan tersendiri bagi upaya memberikan
kredit murah kepada UKM. Padahal saat ini, apapun upaya yang
dilakukan untuk menolong UKM, selalu menghadapi hambatan.
Jadi, haruslah dirumuskan kerangka yang tepat untuk tujuan ini.
Dan tentu saja, upaya mengatasi kemiskinan menghadapi begitu
banyak rintangan dan hambatan, terutama dari lingkungan birokrasi sendiri.
eg
Padahal tujuan pemerintah dan kepemimpinan dalam
pandangan Islam adalah maslahah al-‘âmmah, yang secara sederhana diterjemahkan dengan kata kesejahteraan. Kata kesejahteraan ini, dalam Undang-undang Dasar kita, dinamakan keadilan dan kemakmuran. Sekaligus dalam pembukaan UUD 1945
diterangkan, bahwa tujuan bernegara bagi kita semua diibaratkan menegakkan masyarakat yang adil dan makmur. Ini juga
menjadi sasaran dari ketentuan Islam itu, dengan pengungkapan “kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang
dipimpinnya, terkait langsung dengan kepentingan rakyat yang
dipimpinnya (tasharruf al-imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûthun bial-mashlahah).“
Dalam bahasa sekarang, sikap agama seperti itu dirumuskan sebagai titik yang menentukan bagi orientasi kerakyataan.
Itulah yang seharusnya menjadi arah kita dalam menyelenggarakan perekonomian nasional. Bukannya mempersoalkan asli
dan tidak dengan latar belakang seorang pengusaha. Pandangan
picik seperti itu, sudah seharusnya digantikan oleh orientasi perekonomian nasional kita yang lebih sesuai dengan kebutuhan
mayoritas bangsa.
Masalahnya s