ekarang, perekonomian nasional kita terkait
sepenuhnya dengan persaingan bebas, keikutsertaan dalam perdagangan internasional yang bebas dan mengutamakan efisiensi
rasional. sebab nya orientasi ekonomi rakyat harus difokuskan
kepada prinsip “menjaga dan mendorong” UKM. Namun sebelumnya dalam hal ini adalah, keharusan merubah orientasi perekonomian nasional itu sendiri.
Pertanyaan di atas harus diajukan kepada pemerintahan
sekarang ini, yang tampaknya tidak memiliki konsep apa
pun dalam menangani krisis multidimensi yang menghinggapi bangsa kita. Sebab kenyataannya, pemerintah tidak
memiliki keberanian untuk mengambil satu sikap saja dalam
setiap persoalan. sebab konsistensi pandangan yang diambil
tidak diperhatikan, maka orientasi permasalahan tidak pernah
memiliki kejelasan. Bukti yang paling jelas adalah, inkonsistensi
dalam orientasi ekonomi kita. Di satu pihak, kita merasakan adanya kecenderungan untuk membiarkan optimalisasi keuntungan,
yaitu perusahaan mendiktekan “keharusan-keharusan” yang kemudian diikuti pemerintah. Di antaranya adalah dihilangkannya
bentuk-bentuk subsidi bagi kebutuhan masyarakat, untuk menghilangkan “kerugian-kerugian” setiap usaha.
Contoh yang paling jelas dan aktual adalah berbagai kenaikan tarif dan harga penjualan BBM (Bahan Bakar Minyak). Jelas,
hal itu disebabkan oleh desakan luar negeri, agar supaya segala
macam subsidi dihilangkan. Hal itu diperlukan, guna menghindarkan “kerugian” pada berbagai BUMN (Badan Usaha Milik
Negara). Padahal subsidi bagi sejumlah hajat hidup orang banyak, adalah sebuah keharusan. Dan yang perlu diubah bukanlah keberadaan subsidi, melainkan terjadinya biaya tinggi ekonomi (high cost economy) akibat permainan birokrasi pemerintah.
Untuk mengikis KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang
tambah merajalela ini, diperlukan keberaniaan moral yang tinggi
dan kemauan politik yang kuat. Bukan dengan mengurangi subsidi yang akan menyusahkan rakyat banyak saja.
Akibatnya sekarang, masyarakat ditimpa dua hal yang sebenarnya berbeda satu dengan yang lain. Pertama, rakyat menderita
akibat dicabutnya subsidi dari berbagai barang yang menjadi kebutuhan pokok. Kedua, yang secara politis dianggap sebagai “kebutuhan pokok”, yaitu perdagangan dunia, rakyat juga “terkena
imbasnya” akibat kemahiran birokrasi pemerintahan ber-KKN.
Kedua hal inilah yang dikhawatirkan akan menciptakan situasi
sangat negatif bagi perekonomian nasional kita, dan bahkan revolusi atau anarki sosial yang tidak terkendalikan lagi. Dalam ungkapan lain, bahaya akan terjadinya konflik horisontal haruslah
benar-benar dirasakan pemerintah, justru agar supaya kita tidak
terdesak oleh perkembangan keadaan yang sama sekali tidak terduga. Semua itu disebabkan langkanya konsep dalam menangani
permasalahan krisis multidimensi yang kita hadapi saat ini.
eg
Di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng,
menjelang keberangkatan ke Semarang, penulis mendengar dari
tayangan televisi mengenai aktivitas sebuah LSM di Kabupaten
Simalungun (Sumatera Utara), yang mengusahakan agar masyarakat merasakan perlunya kepemilikan hutan pohon meranti di
sebuah suaka alam yang hanya seluas 200 Ha. Kepemilikan itu
ternyata berdampak pada terlindung dan terjaganya hutan itu
dari para perambah hutan, sebab masyarakat merasa penting
melestarikan hutan Meranti itu. Ini menunjukkan bahwa rasa
turut memiliki oleh rakyat, sebagai sebuah faktor dalam perekonomian kita, memang sangat dibutuhkan. Jadi, penghapusan
subsidi secara semena-mena akan sangat mempengaruhi kemampuan kita untuk menyelesaikan krisis ekonomi, karena hilangnya
faktor rakyat tadi.
Apa yang terjadi di Kecamatan Purba Tengah di kawasan
Simalungun itu bersesuaian sepenuhnya dengan usul Erna Witoelar, semasa menjadi Menteri Permukiman dan Pengembangan
Wilayah, dengan gagasan agar masyarakat diberi kepemilikan
sejumlah luas tertentu atas hutan-hutan kita, agar mereka merasa berkepentingan untuk menjaga kelestarian hutan. Usul itu
diajukan untuk mencegah pembakaran hutan oleh orang-orang
yang membuat ladang.
Di sini jelas tidak ada perbedaan antara upaya mengatasi
pembakaran hutan dengan upaya melestarikanya. Kedua kenyataan di atas membuktikan betapa pentingnya menciptakan rasa memiliki hutan-hutan kita oleh masyarakat luas. Ini dimungkinkan, jika pemerintah mengenal sangat dalam atas adanya rasa
memiliki itu di kalangan masyarakat.
Jadi, faktor masyarakat menjadi sesuatu yang tidak dapat
dipungkiri lagi oleh siapa pun, terutama pemerintah. Tanpa adanya rasa memiliki seperti itu, sia-sialah kebijakan apa pun yang
akan di ambil, walaupun para perumus kebijakan itu sendiri
adalah tokoh-tokoh intelektual dengan berbagai gelar ilmu dari
beberapa perguruan tinggi, yang memiliki reputasi ilmiah yang
sangat baik. Jadi, benarlah kata sebaris sajak Arab: “Bukanlah
pemuda kalau mengatakan itulah bapak kami (yang berbuat),
melainkan seorang pemuda yang berani berkata inilah aku (laisa
al-fatâ man yaqûlû kâna abî lâkin al-fatâ man yaqûlû hâ’anâ
dza).”
eg
Sikap menghamba kepada ‘orang luar’ tanpa memikirkan
kerugian orang banyak adalah sikap yang sangat sempit, yang
didasarkan ketakutan pada pihak asing itu sendiri. Dalam ajaran Islam, kepentingan orang banyak itu dirumuskan sebagai kebutuhan umum (al-mashlahah al-‘âmmah) yang dalam bahasa
kita digantikan oleh kata kesejahteraan. Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, hal itu dirumuskan sebagai masyarakat adil dan makmur. Kata adil (al-adlu) dan kemakmuran (arrafahiyah), menunjukkan orientasi mementingkan kebutuhan
orang banyak dan kesejahteraan mereka (moril dan materiil).
Jadi, orientasi kepentingan orang banyak menjadi ukuran penyelenggaraan pemerintahan dalam Islam. Menarik sekali, ungkapan fiqh “kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas/
bagi rakyat yang dipimpin, harus terkait langsung, dengan kesejahteraan mereka (tasharruf al-Imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manû-
thun bi al-mashlahah). sebab itu, kepentingan rakyat adalah
ukuran satu-satunya dalam Islam bagi penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Dalam dunia modern sekarang, kebijakan subsidi yang
tidak begitu mempengaruhi perdagangan bebas selalu terjadi.
Seperti di Amerika Serikat, dana milyaran dollar US untuk membeli dan menyimpan susu dan produk ikutannya (keju, mentega,
dan sebagainya), dimasukkan dalam anggaran belanja negara (federal budget) tiap tahunnya. Mengapa? sebab subsidi yang
diberikan itu menyangkut persediaan dan permintaan (supply
and demand). Mengapa kita tidak berani menetapkan ukuran
sendiri mengenai harga minyak bumi dan barang-barang tambang lainnya? Bukankah mark-up dan pungutan–pungutan
yang dibebankan kepada Pertamina, mengakibatkan mahalnya
bahan bakar di negeri ini? Bukankah dalam hal ini diperlukan
subsidi tertentu kepada minyak bumi kita? Subsidi untuk kendaraan maupun angkutan yang diperlukan rakyat kebanyakan?
Jadi, penghapusan subsidi bahan bakar tanpa melihat keperluan
rakyat, berarti kita menaikkan biaya hidup masyarakat kebanyakan, tanpa diimbangi oleh kenaikan pendapatan mereka.
Jadi, kebijakan mengurangi subsidi minyak atau menghilangkan subsidi bahan bakar minyak adalah sebuah tindakan
kapitalistik, tanpa melihat pendapatan kebanyakan orang. Kalau pemerintah lalu menaikan harga BBM dan menaikkan tariftarif tertentu, ini jelas menunjukkan orientasi memaksimalkan
keuntungan (profit maximalization) telah berhasil didesakkan
oleh negara-negara kapitalis kepada pemerintah. Sikap ini jelas
menunjukkan berhasilnya tekanan-tekanan beberapa negara
kuat di Barat atas pemerintah kita, walaupun bertentangan dengan UUD 1945 yang berorientasi memenuhi kebutuhan orang
banyak. Tugas kita adalah memberikan koreksi atas keputusan
ini , sebab sudah demikian jelas Islam berorientasi kepada
kebutuhan orang banyak. h
Serombongan orang mendatangi kantor penulis pada suatu
siang. Singkatan nama mereka adalah R, S, H dan F. R
menjadi kontraktor dan supplier sebuah perusahaan negara yang besar, si S semula bekerja di sebuah perusahaan swasta
dan sekarang menjadi supplier bagi pemerintah daerah di sebuah propinsi. H dan F juga pengusaha yang aktif, tapi penulis
tidak bertanya tentang jenis kegiatan mereka. Dua hal penting
yang penulis lihat dalam kiprah mereka adalah: pimpinan daerah sebuah parpol, dan dengan demikian menjadi “anak buah”
penulis; dan mereka mempunyai SPK (surat perintah kerja)
pelaksana bisnis dari Pemerintah Daerah tempat mereka tinggal,
untuk menjadi supplier agrobisnis bagi rakyat di tempat mereka
tinggal.
Yang menarik perhatian penulis, adalah cara berpikir mereka. Di satu sisi, mereka tidak mengandalkan diri pada cara-cara
politik lama seperti pembagian kaos oblong dan sejenisnya, dalam meraih perolehan suara melalui pemilu akan datang; dan di
pihak lain, mereka langsung menghubungkan masalah politik
dengan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, mereka melihat politik sebagai sebuah proses, dan tidak mendasarkan kegiatan politik atas cara-cara usang, melainkan dengan pendekatan menghilangkan kemiskinan. Dalam bahasa klise, yang mereka
perbuat bukanlah memberikan ikan kepada rakyat, melainkan
memberikan kail pada mereka untuk mencari ikan sendiri. Ini
berarti, tingkat kesejahteraan rakyat, ditentukan oleh masyarakat sendiri, bukan orang lain. Pendekatan baru ini, katakanlah sebuah pendekatan struktural dalam menangani masalah kemiskinan yang bersifat memberdayakan masyarakat, dan tidak
bertumpu pada santunan kepada mereka. Pendekatan seperti
inilah yang jarang terlihat dalam pendekatan partai politik pada
masyarakat yang terbiasa dengan janji kosong untuk memberantas kemiskinan, dan hanya memberi santunan materi dan himbauan moral belaka dalam kampanye pemilihan umum.
eg
Sebuah tindakan merubah kehidupan masyarakat terjadi
ketika rakyat Amerika Serikat memilih Presiden Andrew Jackson1
dalam Abad ke 19 Masehi. Mereka memilih pemimpin yang
mengerti benar mana yang menjadi hak rakyat, dan mana yang
menjadi hak perorangan para kapitalis/bankir/industrialis. Mereka, di mata Jackson adalah orang-orang yang harus melakukan kegiatan ekonomi dalam arti membangun dan membesarkan perusahaan di berbagai bidang tetapi tingkat kesejahteraan
rakyat, adalah tanggung jawab Presiden dan Kongres yang dipilih untuk periode tertentu oleh rakyat. Ini berarti, keduanya
tidak boleh dicampur aduk dan pemisahan ini harus tercermin
dalam kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan finansial/
keuangan. Ia melihat Bank Sentral Amerika Serikat di samping
menjadi alat pemupukan modal negara, juga menyangkut pengelolaan uang pajak penduduk negeri; dan sebab itu pengelolaannya ada pada mereka. Maka Bank Sentral negara ini , haruslah diisi dengan pimpinan yang ditunjuk rakyat melalui Presiden
dan Kongres sebagai lembaga perwakilan rakyat. Ini adalah langkah pertama kearah Folks Kapitalism (kapitalisme rakyat), yang
berbeda dari kapitalisme klasik dari John Stuart Mill.2
Akibat
sikapnya ini, Jackson harus berhadapan dengan para kapitalis/
bankir/ industrialis yang beranggapan, pemerintah sama sekali
tidak boleh campur tangan dalam Bank Sentral.
Pendapat Jackson itu sebenarnya adalah pendekatan struktural, artinya, hanya dengan perubahan struktur menuju pemberdayaan masyarakat yang dapat mengurus diri sendiri, barulah
masyarakat itu akan terbebas dari kemiskinan. Jika hal ini yang
ingin dicapai sebuah parpol melalui pemilu, maka perubahan
itu seharusnya menuju pada hilangnya kemiskinan, sebab terjadi perubahan struktur masyarakat. Kalau tadinya rakyat hanya
menunggu santunan pemerintah atau pihak-pihak tertentu saja,
maka dengan cara pemberian kail ini masyarakat akan mampu
memecahkan masalah-masalah ekonomi mereka sendiri. Di
sinilah terletak hubungan antara sebuah sistem ekonomi ideal
dengan sistem ekonomi yang ada.
Kemampuan rakyat mengubah nasib mereka sendiri dengan bantuan parpol dan sistem politik yang ada merupakan
masalah pokok yang dihadapi oleh pemilu yang demokratis dan
melayani kepentingan rakyat. Dan yang dihasilkan adalah para
anggota perwakilan rakyat, seperti Dewan Perwakilan Rakyat
yang benar-benar bertanggung jawab atas keselamatan negeri
dalam arti yang luas, yang berfungsi baik, dengan wewenangwewenang yang jelas. Dengan cara itulah pembagian wewenang
antara pihak-pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif terjaga
dalam keseimbangan, sebab semua berkewajiban melayani masyarakat dan tidak mementingkan pelayanan dari masyarakat
kepada dirinya.
eg
Bagi kaum muslimin tujuan itu benar-benar merupakan
kewajiban mutlak. Kitab suci al-Qur’ân menyatakan; “Dibuatkan
bagi kaum muslimim kehinaan dan kemiskinan (wa dhuribat
a’laihim adz-dzillatu wa al-maskanah)” (QS. al-Baqarah [2]:
61), berarti Islam menolak kemiskinan sebagai sesuatu yang
langgeng dan tetap, Islam menganggap kedua hal berubah-ubah
menurut struktur masyarakat. Dengan demikian, terserah kepada manusia jualah untuk menghapuskan atau melestarikan
kemiskinan itu. Tuhan atau nasib tidak terkait dengan hal itu,
sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Termasuk di dalamnya
struktur masyarakat yang menghapuskan atau melestarikan kemiskinan itu sendiri. Walaupun banyak sekali pemahaman kaum
muslimin yang menganggap masalah kemiskinan sebagai kepastian dari Allah, sebab itu harus diganti dengan pemahaman
lain dari pemahaman itu. Allah akan melestarikan kemiskinan apabila manusia sebagai warga masyarakat tidak mengadakan
perubahan melalui sistem politik yang dianutnya sendiri.
Jelaslah dengan demikian, manusia menentukan nasib
mereka sendiri, dan jika tidak menjalankan perubahan itu mereka akan dipersalahkan Allah. Dalam hal ini kitab suci al-Qur’ân
menyatakan, “Tidaklah kau lihat orang yang menipu agama?
Yaitu mereka yang membiarkan anak-anak yatim (terlantar)
dan tidak perduli atas makanan orang miskin? (ara’aita al-ladzî
yukadzdzibu bi al-dîn fadzâlikâ al-ladzî yadu’ulyatîm. Wa lâ
yahudhdhu ‘alâ tha’âmi al-miskîn)” (QS. al-Maun [107]:1-3) menunjukan dengan jelas kepada kita adanya orang-orang yang justru memanipulasi kesengsaraan anak yatim dan hak orang miskin demi kepentingan mereka sendiri. sebab manipulasi seperti
itu dianggap sebagai perbuatan menipu agama, dengan sendirinya perbaikan harus dilakukan oleh manusia yang sadar untuk
sistem politik yang membela kepentingan rakyat. Kesimpulan
seperti itulah yang dicapai oleh kelompok muda yang menjadi
pimpinan sebuah partai politik di suatu daerah, dan inilah yang
membahagiakan hati penulis. Perbuatan nyata yang harus menjadi dasar bagi perkembangan sebuah parpol, dan bukannya retorika belaka. hPada pertengahan Desember tahun 2002, penulis bertemu
sutradara Garin Nugroho1
di Airport Adi Sucipto, Yogyakarta. Sambil menunggu pesawat terbang yang akan membawa kami ke Jakarta, Garin Nugroho dan penulis terlibat dalam
pembicaraan mengenai cara mengatasi krisis multidimensi yang
kita hadapi saat ini. Sebagai seorang yang melakukan referensi
terus menerus atas kitab suci al-Qur’ân, penulis mengemukakan
analogi dari para kyai. Mereka berpendapat krisis multidimensi
yang kita hadapi saat ini adalah seperti krisis Mesir di zaman Nabi
Yusuf dahulu. Krisis itu memakan waktu tujuh tahun, menurut
kitab suci ini . Kalau ini kita analogikan kepada keadaan
sekarang, maka era tujuh tahun itu akan berakhir pada tahun
2003 (1997 hingga 2003). Memang, sekarang kalangan atas mulai dapat mengatasi krisis ekonomi, terbukti dari penuhnya jalan
dengan kendaraan dan lapangan terbang, tetapi kalangan bawah
masih saja mengeluh dan kesusahan sebab memang mereka
masih dilanda krisis.
Keluhan utama adalah menurunnya daya beli secara drastis, sedangkan harga-harga beberapa jenis barang kebutuhan
sehari-hari justru melonjak. Dengan demikian, masih menjadi
pertanyaan apakah dalam waktu cepat krisis multidimensi itu
dapat dipecahkan, katakanlah pertengahan tahun 2003. Dalam
hal ini, sangat menarik pembicaraan penulis dengan Kyai Nukman Thahir dari Ampel, Surabaya. Ia menyatakan, kalau kitab
suci al-Qur’ân dibaca dengan mendalam, di sana disebutkan
bahwa krisis Nabi Yusuf berlangsung tujuh tahun, namun untuk mengatasi krisis ini diperlukan juga waktu tujuh tahun lamanya. Penulis menjawab apa yang ia terima dari para kyai
adalah waktu berlangsungnya krisis itu tujuh tahun lamanya,
tidak pernah mereka mengatakan diperlukan waktu tertentu
untuk menyelesaikan krisis. sebab nya, penulis mengungkapkan bahwa penyelesaian krisis itu sendiri, terjadi secara formal
dimulai dalam waktu bersamaan/simultan dengan berakhirnya
krisis itu. sebab nya, penyelesaian krisis tidak merupakan entitas yang berdiri sendiri terlepas dari krisis yang dialami.
eg
Percakapan penulis dengan Garin Nugroho di bawah ini
menjadi petunjuk kongkrit cara penyelesaian masalah secara
simultan itu. Mula-mula Garin Nugroho mengatakan dua hal
sangat penting, satu pihak, ada perbedaan/ kesenjangan antara
para teoritisi hukum dan pembuat undang-undang (DPR dan
MPR). Para ahli teori hukum itu mengemukakan hukum-hukum
baru dalam bentuk undang-undang maupun lainnya dari berbagai sumber Eropa Continental yang kita kenal. Tetapi pelaksana berbagai macam peraturan itu, pada umumnya dididik di
lingkungan hukum Anglo-Saxon yang berlaku di Amerika Serikat. Tidak usah heran, jika terjadi kesenjangan antara kedua
sistem hukum Anglo-Saxon dan Eropa Continental itu. Adalah
tugas kita, menurut Garin Nugroho, untuk “mendamaikan” antara keduanya, inilah yang harus diperbuat untuk menyelesaikan
krisis.
Dalam percakapan itu, penulis mengemukakan bahwa secara kongkrit apa yang dinamai Garin Nugroho dengan “mendamaikan” itu, haruslah tercermin dalam empat buah sistem
politik baru. Katakanlah konsepsi mengenai empat buah sistem
baru yang diperlukan, untuk kongkritisasi gagasan “mendamaikan” dari Garin itu. Di sini, penulis akan mencoba mengemukakan beberapa konsep seperti di bawah ini.
Tentu saja, konsepsi-konsepsi yang dikemukakan itu adalah
bukan bentuk final dari apa yang penulis pikirkan, sebab justru masih memerlukan perbaikan-perbaikan serius, dan belum
dapat digunakan sebagai konsepsi formal. Konsep empat sistem
ini, masih harus diperjuangkan untuk masa kehidupan kita yang
akan datang. Hanya dengan cara demikianlah, bangsa kita dapat
mengatasi krisis multidimensional itu dengan cepat.Empat sistem baru yang penulis kemukakan kepada Garin Nugroho; meliputi sistem politik (pemerintahan), perbaikan
sistem ekonomi dengan mengemukakan sebuah orientasi baru,
sistem pendidikan nasional dan sistem etika atau hukum, yang
semuanya harus serba baru. Mengapa baru? sebab sistem lama
tidak dapat dipakai lagi, tanpa akibat-akibat serius bagi kita.
Yang didahulukan adalah sistem politik (pemerintahan) yang
baru. Kedua badan legislatif yang baru, DPR dan DPD (Dewan
Perwakilan Daerah) haruslah menjadi perwakilan bikameral.
Mereka bertugas menetapkan undang-undang serta menyetujui
pengangkatan eksekutif dengan pemungutan suara. Sedangkan
Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dipilih langsung oleh rakyat, sebab kalau diserahkan pada DPR
dan DPRD saja hanya akan memperbesar korupsi saja.
Disamping itu juga dibentuk MPR, yang hanya bersidang
enam bulan saja, dalam lima tahun. Mereka bertugas menyusun
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang harus dilaksanakan seluruh komponen pemerintahan. Keanggotaanya, terdiri
dari para anggota DPR, DPD dan dari golongan fungsional, guna
menguntungkan kelompok-kelompok minoritas ikut serta dalam
proses pengambilan keputusan, yang dicapai melalui prosedur
musyawarah untuk mufakat, bukannya melalui pemungutan suara. Dengan demikian, kalangan minoritas turut serta memutuskan jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini diperlukan, agar semua pihak merasa memiliki negara ini, dan dengan
demikian menghindarkan separatisme yang mulai bermunculan
di sana-sini. Justru inilah yang merupakan tugas demokrasi, bukannya liberalisasi total.
eg
Orientasi baru dalam sistem perekonomian kita, dicapai
dengan melakukan pilihan berat antara dua hal, yaitu moratorium
(penundaan sementara) cicilan tanggungan luar negeri kita, dan
pembebasan para konglomerat hitam yang nakal dari tuntutan
perdata, jika membayar kembali 95% kredit yang dia terima dari
bank-bank pemerintah (tetapi tuntutan pidana tetap dilakukan
oleh petugas-petugas hukum). Uang yang didapat dari kedua
langkah ini, menurut perkiraan sekitar US$ 230 milyar, dan digunakan terutama untuk: Pertama, memberikan kredit ringan,
kira-kira 5% setahun, bagi UKM (Usaha Kecil dan Menengah)
dengan pengawasan yang ketat. Kedua, peningkatan pendapatan PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan militer, kira-kira sepuluh
kali lipat dalam masa tiga tahun. Langkah ini guna mencegah
KKN dan menegakkan kedaulatan hukum. Melalui cara ini pula,
dapat memperbesar jumlah wajib pajak, menjadi 20 juta orang
dalam lima tahun dan melipatgandakan kemampuan daya beli
masyarakat.
Sudah tentu dikombinasikan dengan hal-hal, seperti perbaikan undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada, serta penataan kembali BI (Bank negara kita ) dan MA (Mahkamah
Agung). Melalui langkah-langkah ini, diharapkan dengan cepat
sebuah pemerintahan yang baru akan segera mengatasi krisis
multi-dimensional ini. Hal penting lainnya, kemampuan pemerintah dalam mengatasi krisis juga sangat bergantung pada kemampuan bekerja sama dengan negeri-negeri lain. Sudah tentu, ini harus dibarengi oleh dua buah perbaikan sistematik lain.
Perbaikan pertama, adalah pada perbaikan sistem pendidikan
kita, yang hampir tidak memperhatikan penanaman nilai daripada hafalan. sebab tekanan yang sangat kecil kepada praktek
kehidupan, dengan sendirinya hafalan mendapatkan perhatian
yang luar biasa, dan pemahaman nilai-nilai menjadi terbengkalai. Keadaan ini mengharuskan dibuatnya sistem pendidikan
baru yang lebih ditekankan kepada sistem nilai dan struktur masyarakat yang ada, sehingga pendidikan berdasarkan masyarakat
(community-based education) dapat dilaksanakan.
Dikombinasikan dengan perbaikan sistematik pada kerangka etika/moralitas/akhlak yang telah ada dalam kehidupan bangsa, maka perbaikan sistem hukum, akan menjadi dasar bagi pengampunan umum/rekonsiliasi atas kesalahan-kesalahan masa
lampau, kecuali mereka yang bersalah dan dapat dibuktikan
secara hukum oleh kekuasaan kehakiman dengan sistem pengadilan kita. Tentu saja, ini juga meliputi mereka yang sekarang
disebut sebagai kaum ekstremis/fundamentalis dalam gerakan
Islam, selama kejahatan yang mereka perbuat tidak dapat dibuktikan secara hukum. Sudah tentu ini berlawanan dengan kehendak orang lain yang ingin menghukum segala macam “kesalahan.” Namun, kita harus bertindak secara hukum, bukan karena pertimbangan-pertimbangan lain.
Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam, yang berlangsung di Beirut (Lebanon) tanggal 13-14 Desember
2002 dan diselenggarakan oleh KAF (Konrad Adenauer
Stiftung), ternyata disepakati adanya berbagai corak pendidikan
agama. Hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Ternyata
ada beberapa orang yang terus terang mengakui, maupun yang
menganggap, pendidikan Islam yang benar haruslah mengajarkan “formalisasi” Islam. Termasuk dalam barisan ini adalah
dekan-dekan Fakultas Syari’ah dan Perundang-undangan dari
Universitas Al-Azhar di Kairo. Diskusi tentang mewujudkan
“pendidikan Islam yang benar” memang terjadi, tapi tidak ada
seorang peserta pun yang menafikan dan mengingkari peranan
berbagai corak pendidikan Islam yang telah ada. Penulis sendiri
membawakan makalah tentang pondok pesantren sebagai bagian dari pendidikan Islam.
Dalam makalah itu, penulis melihat pondok pesantren dari
berbagai sudut. Pondok pesantren sebagai “lembaga kultural”
yang memakai simbol-simbol budaya Jawa; sebagai “agen
pembaharuan” yang memperkenalkan gagasan pembangunan
pedesaan (rural development); sebagai pusat kegiatan belajar
masyarakat (centre of community learning); dan juga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada
silabi, yang dibawakan oleh intelektual prolifik Imam Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuti1
lebih dari 500 tahun yang lalu, dalam
Itmam al-Dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren tradisional selama ini, dengan pengembangan “kajian Islam” yang terbagi dalam 14 macam disiplin ilmu yang kita
kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa Arab klasik hingga
tafsir al-Qur’ân dan teks Hadits Nabi. Semuanya dipelajari dalam
lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui pondok pesantren juga nilai ke-Islam-an ditularkan dari generasi ke generasi.
Sudah tentu, cara penularan seperti itu merupakan titik
sambung pengetahuan tentang Islam secara rinci, dari generasi
ke generasi. Di satu sisi, ajaran-ajaran formal Islam dipertahankan sebagai sebuah “keharusan” yang diterima kaum muslimin
di berbagai penjuru dunia. Tetapi, di sini juga terdapat “benihbenih perubahan”, yang membedakan antara kaum muslimin di
sebuah kawasan dengan kaum muslimin lainnya dari kawasan
yang lainnya. Tentang perbedaan antara kaum muslimin di
suatu kawasan ini, penulis pernah mengajukan sebuah makalah
kepada Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1980-an. Tentang
perlu adanya “studi kawasan” tentang Islam di lingkungan Afrika Hitam, budaya Afrika Utara dan negeri-negeri Arab, budaya
Turki-Persia-Afghan, budaya Islam di Asia Selatan, budaya Islam di Asia Tenggara dan budaya minoritas muslim di kawasankawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area studies) ini diteliti bersamaan dengan kajian Islam klasik (classiccal
Islamic studies).Pembahasan pada akhirnya lebih banyak ditekankan pada
dua hal yang saling terkait dalam pendidikan Islam. Kedua hal
itu adalah, pembaharuan pendidikan Islam dan modernisasi
pendidikan Islam, dalam bahasa Arab: tajdid al-tarbiyah al-Islâ-
miah dan al-hadâsah. Dalam liputan istilah pertama, tentu saja
ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus dididik mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang
diubah adalah cara penyampaiannya kepada peserta didik, sehingga mereka akan mampu memahami dan mempertahankan
“kebenaran”. Bahwa hal ini memiliki validitas sendiri, dapat dilihat pada kesungguhan anak-anak muda muslimin terpelajar,
untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai “ajaran-ajaran yang benar” tentang Islam. Contoh paling mudahnya adalah
menggunakan tutup kepala di sekolah non-agama, yang di negeri
ini dikenal dengan nama jilbab. Ke-Islaman lahiriyah seperti itu,
juga terbukti dari semakin tingginya jumlah mereka dari tahun
ke-tahun yang melakukan ibadah umroh/ haji kecil.
Demikian juga, “semangat menjalankan ajaran Islam”, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam. Dengan kata lain, pendidikan Islam tidak hanya disampaikan dalam ajaran-ajaran formal
Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan
juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang berserak-serak di
seluruh penjuru dunia. Tentu saja, kenyataan seperti itu tidak
dapat diabaikan di dalam penyelenggaraan pendidikan Islam di
negeri manapun. Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan
hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat Islam
terhadap “tantangan modernisasi”. Tantangan seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya,
adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam.
Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup “meluruskan”
responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di
mana-mana. Hal inilah yang merisaukan hati para pengamat
seperti penulis, sebab ujungnya adalah diperlukan jawaban yang
benar atas pernyataan berikut: bagaimanakah caranya membuat
kesadaran struktural sebagai bagian alamiah dari perkembangan
pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak
perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus
ditangani dengan baik.
eg
Jelas dari uraian di atas, pendidikan Islam memiliki begitu
banyak model pengajaran, baik yang berupa pendidikan sekolah,
maupun “pendidikan non-formal” seperti pengajian, arisan dan
sebagainya. Tak terhindarkan lagi, keragaman jenis dan corak
pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah air kita dewasa
ini. Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah2
di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah
akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam
itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari
pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja ini menjadi tugas berat
para perencana pendidikan Islam. Kenyataan ini menunjukkan
di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan Islam.
Dalam kenyataan ini haruslah diperhitungkan juga penjabaran tarekat dan gerakan shalawat Nabi, yang terjadi demikian
cepat di mana-mana. Tentu saja, “kenyataan yang diam” seperti
itu sebenarnya berbicara sangat nyaring, namun kita sendiri yang
tidak dapat menangkapnya. Seorang warga Islam yang memperoleh kedamaian dengan ritual memuja Nabi itu, dengan sendirinya berupaya menyesuaikan hidupnya dari pola hidup Nabi yang
diketahuinya, yaitu kepatuhan kepada ajaran Islam. Ritual itu,
tentu saja akan menyadarkan kembali orang ini kepada kehidupan agama walaupun hanya bersifat parsial (juz’i) belaka.
Hal inilah yang seharusnya kita pahami sebagai “kenyataan sosial” yang tidak dapat kita pungkiri dan abaikan.
sebab nya, peta “keberagaman” pendidikan Islam seperti
dimaksudkan di atas, haruslah bersifat lengkap dan tidak mengabaikan kenyataan yang ada. Lagi-lagi kita berhadapan dengan
kenyataan sejarah, yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri.
Mengembangkan keadaan dengan tidak memperhitungkan hal
ini, mungkin hanya bersifat menina-bobokan kita belaka dari
tugas sebenarnya yang harus kita pikul dan laksanakan. Sikap
mengabaikan keberagaman ini, adalah sama dengan sikap burung onta yang menyembunyikan kepalanya di bawah timbunan
pasir tanpa menyadari badannya masih tampak. Jika kita masih
bersikap seperti itu, akan berakibat sangat besar bagi perkembangan Islam di masa yang akan datang. sebab nya jalan terbaik
adalah membiarkan keanekaragaman sangat tinggi dalam pendidikan Islam dan membiarkan perkembangan waktu dan tempat
yang akan menentukanDalam kitab suci al-Qur’ân dinyatakan: “Demi masa, manusia selalu merugi, kecuali mereka yang beriman, beramal
shaleh, berpegang kepada kebenaran dan berpegang kepada kesabaran (Wa al-‘ashri inna al–insâna la fî khusrin illâ alladzîna ‘âmanû wa ‘amilu al-shâlihâti wa tawâshau bi al-haqqi
wa tawâshau bi al-shabr)” QS al-‘Ashr (103):1-3). Ayat tersebut
mengharuskan kita senantiasa menyerukan kebenaran namun
tanpa kehilangan kesabaran. Dengan kata lain, kebenaran barulah ada artinya, kalau kita juga memiliki kesabaran. Kadangkala
kebenaran itu baru dapat ditegakkan secara bertahap, seperti
halnya demokrasi. Di sinilah rasa pentingnya arti kesabaran.
Demikian pula sikap pemaaf juga disebutkan sebagai tanda
kebaikan seorang muslim. Sebuah ayat menyatakan: “Apa yang
mengenai diri kalian dari (sekian banyak) musibah yang menimpa, (tidak lain merupakan) hal-hal berupa buah tangan kalian
sendiri. Dan (walaupun demikian) Allah memaafkan sebagian
(besar) hal-hal itu (mâ ashâbakum min mushîbatin fa bimâ kasabat a’ydîkum wa ya’fû ‘an katsîrin)” (QS al-Syura (42):30).
Firman Allah ini mengharuskan kita juga mudah memberikan
maaf kepada siapapun, sehingga sikap saling memaafkan adalah
sesuatu yang secara inherent menjadi sifat seorang muslim. Inilah yang diambil mendiang Mahatma Gandhi sebagai muatan
dalam sikap hidupnya yang menolak kekerasan (ahimsa), yang
terkenal itu. Sikap inilah yang kemudian diambil oleh mendiang Pendeta Marthin Luther King Junior1 di Amerika Serikat, dalam
tahun-tahun 60-an, ketika ia memperjuangkan hak-hak sipil
(civil rights) di kawasan itu, yaitu agar warga kulit hitam berhak
memilih dalam pemilu.
Hal ini membuktikan, kesabaran dalam membawakan kebenaran adalah sifat utama yang dipuji oleh sejarah. Sebagaimana
dituturkan oleh kisah perwayangan, para ksatria Pandawa yang
dengan sabar dibuang ke hutan untuk jangka waktu yang lama,
juga merupakan contoh sebuah kesabaran. Jadi, kesadaran akan
perlunya kesabaran itu, memang sudah sejak lama menjadi sifat
manusia. Tanpa kesabaran, konflik yang terjadi akan dipenuhi
oleh kekerasan. Sesuatu yang merugikan manusia sendiri. Kekerasan tidak akan dipakai, kecuali dalam keadaan tertentu. Hal
ini memang sering dilanggar oleh kaum muslimin sendiri. Sudah waktunya kita kaum muslimin kembali kepada ayat di atas
dan mengambil kesabaran serta kesediaan memberi maaf, atas
segala kejadian yang menimpa diri kita sebagai hikmah.
eg
Hiruk pikuk kehidupan, selalu penuh dengan godaan kepada kita untuk tidak bersikap sabar dan mudah memberikan
maaf. Dalam pandangan penulis, kedua hal ini seharusnya selalu digunakan oleh kaum muslimin. Tetapi harus kita
akui dengan jujur, bahwa justru kesabaran itulah yang paling
sulit ditegakkan dan kalau kita tidak dapat bersabar bagaimana kita akan memberi maaf atas kesalahan orang kepada kita?
Jelas, bahwa antara keduanya terdapat hubungan timbal balik
yang sangat mendalam, walaupun tidak dapat dikatakan terjadi
hubungan kausalitas antara kesabaran dan kemampuan memaafkan kesalahan orang lain pada diri kita.
Kita sebagai seorang muslim, mau tidak mau harus menyediakan keduanya sebagai pegangan hidup baik secara kolektif maupun secara perorangan. Dari sinilah dapat dimengerti,
mengapa hikmah 1 Muharam 1424 Hijriyah ini sebaiknya tetap
ditekankan pada penciptaan kesabaran dan penumbuhan kemampuan untuk memberikan maaf kepada orang yang dalam
pandangan kita, berbuat salah kepada diri kita. Bukankah kedua
ayat kitab suci yang dikemukakan di atas, sudah cukup kuat dalam mendorong kita membuat kesabaran dan kemampuan memaafkan kesalahan orang kepada diri kita, sebagai hikmah yang
kita petik di hari raya yang mulia ini . Kedengarannya prinsip yang sederhana, tetapi sulit dikembangkan dalam diri kita.
Namun, lain halnya dengan para politisi yang berinisiatif
menyelenggarakan Sidang Istimewa yang terakhir, dengan dasar
“kebenaran” hasil penafsiran politik masing-masing. Tindakan
ini berarti melanggar Undang-undang Dasar 1945, sebab tidak
memiliki landasan hukum. Dengan “nafsu” politiknya –yaitu Presiden harus lengser- mereka pun meninggalkan jalan permusyawaratan. Padahal, semua persoalan yang melibatkan orang banyak harus dipecahkan dengan negosiasi, seperti firman Allah:
“dan persoalan mereka harus lah di musyawarahkan oleh mereka
sendiri (wa amruhum syûrâ bainahum)” (QS al-Syura [42]:38).
Terlihat selain melanggar konstitusi, dalam hal ini merekalah
yang tidak dapat memaafkan. Sederhana saja, walaupun rumit
dalam kehidupan politik kita sebagai bangsa dan negara.
Ketua Umum PIB Syahrir membuat tulisan menarik dalam
sebuah media. Dalam kesimpulan penulis, dalam karyanya itu, Syahrir menyebutkan ada orang berkuasa tetapi
tidak memimpin. Dengan tepat, Syahrir menunjukkan pada kita
sebagai bangsa yang sedang porak-poranda, sebab tidak adanya
kepemimpinan. Buktinya, krisis multi-dimensi yang sedang kita
hadapi dewasa ini, sama sekali tidak mendapatkan pemecahan
–kalau tidak dikatakan justru diperparah oleh ulah para pemimpin kita sendiri—. Ada pejabat yang menganggap TKI (Tenaga
Kerja negara kita ) di Malaysia sebagai persoalan pemerintah daerah, padahal seluruh peraturan yang menyangkut diri mereka
dibuat oleh pemerintah pusat. Demikian juga pejabat lain yang
tidak mau meninggalkan jabatan, walaupun telah diputuskan
oleh Pengadilan Negeri di Jakarta sebagai pihak yang bersalah.
Alasannya, sebab menunggu putusan Pengadilan Tinggi. Bukankah ini berarti sebuah pengakuan, bahwa sistem pengadilan kita
bekerja di bawah pengaruh mafia peradilan? Alangkah tragisnya
keadaan kita saat ini?
Dengan tepat pula, Syahrir menunjuk kepada pemerintahan kita yang memiliki sejumlah orang berkuasa, namun tidak
sanggup memimpin. Bahkan, aparat penegak hukum kita cenderung melanggar konstitusi. Pertanyaan Klinik Hukum Merdeka,
adakah DPR/MPR kita dewasa ini legal atau tidak, mengingat
baru 60% suara hasil pemilihan umum (Pemilu) tahun 1999 yang lalu dihitung, namun pemerintah telah mengumumkan Surat Keputusan (SK) Presiden, mengenai komposisi DPR/MPR
—tidak dijawab hingga saat ini oleh Mahkamah Agung (MA). Begitu juga, pertanyaan penulis kepada MA, apakah Maklumat Keadaan Bahaya yang dikeluarkan penulis sebagai Presiden tanggal
21-23 Juli 2001 merupakan tindakan legal atau illegal berdasarkan konstitusi, juga tidak mendapatkan jawaban.
Ditambah lagi, bahwa showroom mobil termahal (mewah)
di dunia saat ini berada di halaman gedung DPR, yang dipenuhi
oleh mobil para anggotanya, bahkan tanpa mengindahkan batas besarnya kubik silinder (cc) yang dimiliki kendaraan tersebut. Keluhan birokrasi pemerintahan dan kejengkelan rakyat
sama sekali tidak diperhatikan. DPR tidak lagi memperhatikan
kepentingan rakyat, melainkan hanya sibuk dengan urusan mereka sendiri tampak jelas di mata kita. Dengan kata lain, para anggota DPR/MPR kita tengah menikmati kekuasaan yang mereka
peroleh tanpa memperhatikan sah atau tidaknya kekuasaan mereka itu. Dengan demikian, pengamatan Syahrir itu juga berlaku
bagi para anggota DPR/MPR kita dewasa ini.
Masalahnya adalah persoalan klasik yang harus kita hadapi
sekarang ini. Kepercayaaan (trust) masyarakat kepada sistem
pemerintahan kita dewasa ini menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan. KKN, terutama dalam bentuk korupsi, kini tampak
nyata sudah tak terkendali lagi. Benarlah kata alm. Mahbub Junaidi: bahwa nanti kita harus membayar pajak sebab mengantuk,
seolah-olah sebuah kenyataan yang hidup. Runtuhnya kekuasaan
Wangsa Syailendra (pembangun candi Borobudur) dan kerajaan
Majapahit (untuk membiayai perang dan perluasan kawasan)
—misalnya, akhirnya runtuh sebab keduanya hanya sekadar
berkuasa tetapi tidak memimpin. Kekuasaan wangsa Syailendra
dianggap tidak ada oleh kaum Hindu-Budha yang membangun
candi Prambanan yang di kemudian hari hijrah ke Kediri di
bawah Darmawangsa dan mengingkari kekuasaan wangsa tersebut. Kekuasaan Majapahit, yang semula memeluk agama HinduBudha/Bhairawa, akhirnya juga hilang tanpa dapat ditolong lagi
sebab ketidakmampuan mempertahankan keadaan di hadapan
tantangan kaum muslimin, terutama di bawah pimpinan Sayyid
Jamaluddin Husaini dalam abad ke-15 Masehi.
Dengan mengacu kepada ketidakmampuan pemerintah
yang ada untuk memelihara kepercayaan (trust) rakyat ini , jelas bagi kita adanya kewajiban besar untuk berpegang kepada
amanat ini . Kepentingan rakyat, yang dirumuskan dengan
sangat baik oleh para pendiri negeri ini, melalui pembukaan UUD
1945, yaitu dengan rumusan ”masyarakat adil dan makmur”, jelas
menunjuk pada keharusan mencapai kesejahteraan bangsa. Pernah diperdebatkan, apakah peningkatan PNB (Produk National
Bruto), dapat dinilai sebagai upaya mencapai keadaan tersebut?
Sekarang jangankan berusaha ke arah itu, berdebat mengenai
apa yang dimaksud dengan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran pun sudah tidak lagi kita lakukan.
Kehidupan kita yang kering-kerontang ini sekarang hanya
dipenuhi oleh kegiatan untuk mempertahankan kekuasaan, bukannya untuk mencapai kepemimpinan yang diharapkan. Kekuasaan disamakan dengan kepemimpinan, dan kekuasaan tidak
lagi mengindahkan aspek moral/etika-nya dalam kehidupan kita
sebagai bangsa. Pantaslah jika kita sekarang seolah-olah tidak
memiliki kepemimpinan, sebab kita sudah kehilangan aspek
moral dan etika ini . Kepemimpinan kita saat ini, sebagai
bangsa, hanya dipenuhi oleh basa-basi (etiket) yang tidak memberikan jaminan apa-apa kepada kita sebagai bangsa.
Agama Islam, yang dipeluk oleh mayoritas bangsa kita,
memiliki sebuah adagium yang sangat penting: ”Kebijakan dan
tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah
terkait langsung dengan kesejahteraan mereka” (Tasharruf alimâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûtun bi al-maslahah) jelas menunjuk kewajiban sang pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya.
Benarkah kita saat ini memperjuangkan kesejahteraan dengan
sungguh-sungguh, kalau dilihat kelalaian para penguasa kita
dewasa ini? Tentu saja pertanyaan ini tidak akan ada yang menjawab sekarang, sebab dalam kenyataan hal ini tidak dipikirkan
secara sungguh-sungguh oleh para penguasa kita. Tidak ada
usaha untuk mengkaji kembali sistem pemerintahan kita, minimal mengenai orientasinya, hingga tidak heranlah jika langkah
bangsa ini sedang terseok-seok.
Umar bin Khattab pernah mengeluarkan sebuah statemen
populer: “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa
kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan
(La islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala
imarata illa bi tha’ah),” jelas sekali menunjuk pada pentingnya
arti kepemimpinan dan sang pemimpin. Dengan demikian, kepemimpinan mempunyai arti yang sangat besar bagi sebuah bangsa.
Ketika para pemimpin kita bertikai mengenai kapan waktu yang
tepat bagi proklamasi kemerdekaan, ada yang merasakan sudah
waktunya hal itu dilaksanakan, dan ada pula yang merasa belum waktunya, tetapi semuanya mengetahui bahwa proklamasi
harus dilakukan, hanya soal waktu saja yang dipersengketakan.
Ketika para pemuda menculik Soekarno ke Rengasdengklok, hal
itu menunjukkan bahwa mereka memiliki jiwa kepemimpinan
yang diperlukan, sedangkan Soekarno tidak mempersoalkan keharusan proklamasi itu sendiri. Ia hanya mempersoalkan bila
proklamasi itu harus dilakukan. Dan akhirnya, semua sepakat,
bahwa hal itu harus dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Bahwa krisis multidimensi yang kita hadapi sekarang ini,
memerlukan jawaban serba-bagai dari para penguasa pemerintahan kita; dari menciptakan sistem politik baru yang mengacu
kepada etika dan moral, melalui kedaulatan hukum dan perlakuan yang sama bagi semua warga negara di depan undangundang, hingga pengembangan orientasi ekonomi yang tepat.
Pengamatan Syahrir bahwa kita tidak memiliki pemimpin, melainkan hanya seorang penguasa belaka, tentu didasarkan pada
sebuah kenyataan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki keberanian moral, kemauan politik (political will) dan kejujuran untuk mengutamakan kepentingan rakyat, bukannya kepentingan
sendiri ataupun kelompok. sebab kepemimpinan formal yang
seperti itu belum ada, pantaslah bila ada anggapan, kita tidak
memiliki pimpinan saat ini, melainkan hanya penguasa saja. h
Dalam terbitan perdana sebuah jurnal ilmiah bulanan Nahdlatul Ulama, yang diterbitkan pada 1928 dan bertahan
sampai tahun 60-an, KH. M. Hasyim Asy’ari menuliskan
fatwa: bahwa kentongan (alat dari kayu yang dipukul hingga berbunyi nyaring) tidak diperkenankan untuk memanggil shalat dalam hukum Islam. Dasar dari pendapatnya itu adalah kelangkaan
hadits Nabi; biasanya disebut sebagai tidak adanya teks tertulis
(dalil naqli) dalam hal ini.
Dalam penerbitan bulan berikutnya, pendapat ini disanggah oleh wakil beliau, Kyai Faqih dari Maskumambang, Gresik, yang menyatakan bahwa kentongan harus diperkenankan,
sebab bisa dianalogikan atau di-qiyas-kan kepada beduk sebagai alat pemanggil shalat. sebab beduk diperkenankan, atas adanya sumber tertulis (dalil naqli) berupa hadits Nabi Muhammad
SAW mengenai adanya atau dipergunakannya alat tersebut pada
zaman Nabi, maka kentongan pun harus diperkenankan.
Segera setelah uraian Kyai Faqih Maskumambang itu
muncul, KH. M. Hasyim Asy’ari segera memanggil para ulama
se-Jombang dan para santri senior beliau untuk berkumpul di
pesantren Tebu Ireng, Jombang. Ia pun lalu memerintahkan
kedua artikel itu untuk dibacakan kepada para hadirin. Setelah
itu, beliau menyatakan mereka dapat memakai salah satu
dari kedua alat pemanggil itu dengan bebas. Yang beliau minta
hanyalah satu hal, yaitu hendaknya di Mesjid Tebu Ireng, Jombang kentongan itu tidak digunakan selama-lamanya. Pandangan beliau itu mencerminkan sikap sangat menghormati pendirian
Kyai Faqih dari Maskumambang ini , dan bagaimana sikap
itu didasarkan pada “kebenaran” yang beliau kenal.
Dalam bulan Maulid/Rabi’ul Awal berikutnya, KH. M.
Hasyim Asy’ari diundang berceramah di Pesantren Maskumambang. Tiga hari sebelumnya, para utusan Kyai Faqih Maskumambang menemui para ketua/pemimpin ta’mir mesjid dan surau
yang ada di kabupaten Gresik dengan membawa pesan beliau:
selama KH. M. Hasyim Asy’ari berada di kawasan kabupaten
tersebut, semua kentongan yang ada harus diturunkan dari
tempat bergantungnya alat itu. Sikap ini diambil beliau sebab
penghormatan beliau terhadap Kyai Hasyim Asy’ari, yang bagaimanapun adalah atasan beliau dalam berorganisasi. Meyakini
sebuah kebenaran, tidak berarti hilangnya sikap menghormati
pandangan orang lain, sebuah sikap tanda kematangan pribadi
kedua tokoh ini .
Sikap saling menghargai satu sama lain, antara kedua tokoh ini yaitu antara Rois ‘Am dan Wakil Rois ‘Am PBNU
waktu itu, menunjukkan tata krama yang sangat tinggi di antara
dua orang ulama yang berbeda pendapat, tapi menghargai satu
sama lain. Inilah yang justru tidak kita lihat saat ini, terlebih-lebih di antara pemimpin gerakan Islam dewasa ini, yang tampak
mencuat justru sikap saling menyalahkan, sehingga tidak terdapat kesatuan pendapat antar mereka. Yang menonjol adalah
perbedaan pendapat, bukan persamaan antara mereka. Penulis
tidak tahu, haruskah kenyataan itu disayangkan ataukah justru
dibiarkan?
Mungkin ini adalah sisa-sisa dari sebuah nostalgia yang
ada mengenai “keagungan” masa lampau belaka. Tapi bukankah
seseorang berhak merasa seperti itu? Bukankah kitab suci alQur’ân menyatakan, “Sesungguhnya telah Kuciptakan kalian
(dalam bentuk) lelaki dan perempuan dan Kujadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa (innâ khalaqnâ kum min dzakarin wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû
innâ akramakum ‘inda Allâhi atqâkum)” (QS al-Hujurat [49]:13)
Ayat ini jelas membenarkan perbedaan pendapat di antara kaum
muslimin.
Namun Allah juga berfirman dalam kitab suci-Nya itu: Dan berpeganglah kalian kepada tali Allah (secara) keseluruhan
dan janganlah bercerai-berai/terpecah belah (wa’ tashimû bi habli allâhi jamî’an wa lâ tafarraqû)” (QS Ali Imran [3]:103). Ayat
ini menunjukkan kepada kita, bahwa yang dilarang bukannya
perbedaan pandangan melainkan bersikap terpecah-belah satu
dari yang lain. Hal ini diperkuat oleh sebuah ayat lain: “Bekerjasamalah kalian dalam (bekerja untuk) kebaikan dan ketakwaan
(ta’âwanû ‘alâ al-birri wa al-taqwâ)” (QS al-Maidah [5]:2) yang
jelas-jelas mengharuskan kita melakukan koordinasi berbagai
kegiatan. Tetapi, kerjasama seperti itu hanya dapat dilakukan
oleh kepemimpinan tunggal dalam berbagai gerakan Islam.
Masalahnya sekarang adalah langkanya kepemimpinan
seperti itu. Para pimpinan gerakan Islam saling bertengkar, minimal hanya bersatu dalam ucapan. Mengapakah demikian? Karena para pemimpin itu hanya mengejar ambisi pribadi belaka, dan
jarang berpikir mengenai umat Islam secara keseluruhan. Seharusnya, mereka berpikir tentang bagaimana melestarikan agama
Islam sebagai budaya, melalui upaya melayani dan mewujudkan
kepentingan seluruh bangsa. Ambisi politik masing-masing akan
terwujud jika ada pengendalian diri, dan jika diletakkan dalam
kerangka kepentingan seluruh bangsa.
Dalam ajaran Islam dikenal istilah “ikhlas”. Keikhlasan
yang dimaksudkan adalah peleburan ambisi pribadi masing-masing ke dalam pelayanan kepentingan seluruh bangsa. Di sinilah
justru harus ada kesepakatan antara para pemimpin berbagai
gerakan atau organisasi Islam yang ada, dan ketundukkan kepada keputusan sang pemimpin dirumuskan. Untuk melakukan
perumusan seperti itu, diperlakukan dua persyaratan sekaligus,
yaitu kejujuran sikap dan ucapan, yang disertai dengan sikap
“mengalah” kepada kepentingan berbagai gerakan organisasi itu.
Tanpa kedua hal itu, sia-sialah upaya “menyatukan” umat Islam
dalam sebuah kerangka perjuangan yang diperlukan.
Dalam hal ini, penulis lagi-lagi teringat kepada sebuah
adagium yang sering dinyatakan berbagai kalangan Islam: “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La islama
illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa
bi tha’ah). Adagiumnya memang benar, walaupun sekelompok
kecil pernah mengajukan klaim kepemimpinan itu dan minta
diterima sebagai pemimpin. Namun sikap mereka yang memandang rendah kelompok lain, justru menggagalkan niatan tersebut, sedangkan kelompok-kelompok lain tidaklah memiliki kepemimpinan kohesif seperti itu. Herankah kita, jika wajah berbagai
gerakan Islam di Tanah Air kita saat ini tampak tidak memiliki
kepemimpinan yang jelas? Di sinilah kita perlu membangun kembali “kesatuan” umat (ummatan wahidatan). Mudah diucapkan,
tapi sulit diwujudkan bukan?
Pada suatu hari yang cerah, penulis memasuki ruang tunggu
lapangan terbang Cengkareng, jam 05.30 WIB pagi. Sambil menunggu saat penerbangan pertama ke Yogyakarta,
penulis mendengarkan siaran TV di ruang tunggu itu. Seorang
penceramah agama sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan para pemirsa melalui telepon, ketika dihadapkan pada masalah-masalah hukum Islam (fiqh) tentang saat
menjalankan ibadah haji. Salah seorang pemirsa menanyakan;
apakah sebuah tindakan yang dilakukan jama’ah haji dapat dimasukkan dalam kategori perbuatan yang merusak ihram atau
tidak.
Dalam menjawab pertanyaan ini , sang penceramah
melakukan pembedaan, antara hal-hal yang merusak syarat-syarat ibadah haji, merusak kewajiban-kewajiban haji dan merusak
ihram itu sendiri. Hal elementer seperti ini –dengan akibat hukum-hukum agama (canon law) sendiri pula yang biasa dipelajari dari kitab-kitab agama di pesantren, dijelaskan di layar televisi itu oleh sang penceramah. Ini tentu sebab sang penanya
diandaikan tidak tahu masalahnya, sebab mereka hanya berkomunikasi melalui telepon. Sekaligus, pertanyaan itu menunjukkan perhatian sang pemirsa ini pada segi-segi ibadah, ketika menunaikan perjalanan ibadah haji. Mungkin itu juga disertai
oleh pandangan tertentu mengenai perjalanan haji: peribadatan
yang menyenangkan, menjengkelkan atau yang tidak berguna
sama sekali.
Sudah tentu seorang jama’ah haji memiliki wewenang bertanya tentang sesuatu hal yang oleh jama’ah lain dianggap soal
kecil. Bukankah ia telah mengeluarkan biaya yang sangat besar
untuk melakukan perjalanan ini , bahkan mungkin saja ia
sampai menabung uang seumur hidup untuk itu. sebab nya, ia
berhak bertanya apa saja, sebab perjalanan ini merupakan
sebuah obsesi dalam hidupnya. “Hak” ini adalah sesuatu yang sangat inherent dalam hidup sang penanya, dan sangat menyedihkan bahwa Departemen Agama Republik negara kita (Depag-RI)
yang menjadi penyelenggara ibadah haji ini tidak pernah
mengumpulkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti
itu dalam sebuah buku yang dapat dijadikan pegangan bagi para
calon jama’ah haji. Maka terpaksalah mereka bertanya melalui
TV sebab tidak ada saluran lain.
Ketika memasuki lapangan terbang itu, penulis juga berjumpa dengan Jajang C. Noer dan Debra Yatim, keduanya aktivis perempuan –yang juga sama-sama akan menuju Yogyakarta, untuk menayangkan film tentang perjuangan kaum perempuan di negeri kita. Tentu saja pertunjukkan film ini akan
disertai dialog antara para pemirsa dan kedua aktifis tersebut.
Dan dapat diperkirakan, mereka akan berbeda mengenai tema
makro yaitu tentang perjuangan menegakkan hak-hak wanita
di negeri kita. Ini adalah hal yang wajar, bahkan kalau itu tidak
dibicarakan, justru kita bertanya-tanya dalam hati, kedua orang
aktifis itu untuk apa datang ke Yogyakarta? Kalau hanya untuk
memutar film itu dapat dilakukan oleh para petugas setempat.
Tentu saja merupakan hal yang wajar pula, jika orang lain menganggap pembicaraan mereka itu sesuatu yang bersifat setengah
makro, sebab membahas kepentingan kurang lebih separuh
warga masyarakat, yaitu kaum perempuan. Pembahasan baru dianggap makro ketika menyangkut pembedaan masyarakat oleh
negara, sebab mereka berpendapat bahwa bahasan yang tidak
menyangkut struktur masyarakat, belumlah dianggap sebagai
pembahasan yang serius. Bahwa pembahasan mengenai nasib
perempuan, termasuk apakah poligami (beristri banyak) selayaknya dilarang atau tidak, juga menyangkut posisi dan harkat tiga
milyar jiwa lebih kaum perempuan di seluruh dunia saat ini, dalam pandangan ini tidak otomatis menjadikan masalah gender
sebagai masalah makro. Memang ini adalah masalah yang sangat
besar dan menyangkut jumlah manusia yang sangat besar pula. Tapi, ia tidak terkait dengan masalah struktur masyarakat.
sebab itu pula ia tetap diperlakukan sebagai masalah mikro. Ditambah dengan ketidakpedulian mayoritas jumlah laki-laki
dan perempuan yang tidak memperhatikan masalah ini, dengan
sendirinya masalah gender ini tidak berkembang menjadi masalah struktural. Memang para aktifis di berbagai bidang di lingkungan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dari jenis hawa,
selalu meneriakkan dengan lantang bahwa masalah perempuan/
gender adalah masalah struktural, tetapi tetap saja masalah itu
diperlakukan dalam dunia LSM internasional dan domestik sebagai masalah non-struktural. Ini memang menyakitkan, tapi
dalam kenyataan hal ini memang terjadi, dan kita tidak usah meratapinya. Perjuangan memang masih panjang, dan hal itu tidak
perlu diperlakukan secara emosional.
Paham ketiga yaitu, tidak pernah mempersoalkan struktur
masyarakat, dan menganggap semua struktur masyarakat yang
ada dalam sejarah sebagai sesuatu yang benar. Masalah pokok
yang dihadapi umat manusia, menurut pandangan ini, adalah
bagaimana menegakkan keadilan dan kemakmuran yang dalam
ajaran agama Islam disebut dengan istilah kesejahteraan. Jadi,
menurut pandangan ini, masalah utamanya adalah penegakan
hukum dan perumusan kebijakan serta pelaksanaan di bidang
ekonomi, terlepas dari jenis dan watak struktur itu sendiri. Inilah pandangan yang sering disebut sebagai pandangan non-struktural, juga dikenal dengan pandangan developmentalist.
Dalam pandangan ini, Islam atau agama-agama lain dapat
berperan memerangi materialisme dan sebagainya, tanpa mempengaruhi struktur masyarakat. Masalah yang dihadapi terkait
sepenuhnya dengan keahlian dan pengorganisasian sumber daya
manusia yang dimiliki.
Pandangan non-struktural ini, antara lain diikuti oleh para
teknokrat kita, yang selama ini menentukan kebijakan pembangunan yang kita ikuti sebagai bangsa. Dan ternyata para teknokrat ini telah menemui kegagalan, sebab keadilan dan
kemakmuran ternyata tidak kunjung tercapai, yang menikmati
hanyalah sejumlah konglomerat belaka. sebab nya, pembahasan
mengenai hubungan antara agama dan ideologi negara, sebaiknya dibatasi pada pandangan-pandangan agama yang ada mengenai struktur sosial yang adil bagi seluruh warga masyarakat,
dan menuju pada kemakmuran bangsa. Pendekatan struktural ini diperlukan, sebab memang semua agama menghendaki masyarakat yang adil, menuju pencapaian kemakmuran. “Baldatun
tayyibatun wa rabbun ghafûr (QS Saba’ [34]:15) (negara yang
baik dan Tuhan yang Maha Pengampun)” adalah semboyan upaya kaum muslimin dalam menciptakan masyarakat yang demikian itu, sesuai dengan ajaran Islam sendiri. sebab nya, membahas hubungan antara Islam dengan negara, dengan membahas
struktur masyarakat yang hendak didirikan, adalah sesuatu yang
secara inherent menyangkut keadilan, dan dengan demikian
merupakan struktur masyarakat yang benar.
Beberapa tahun yang lampau, seorang ulama dari Pakistan
datang pada penulis di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) Jakarta. Pada saat itu, Benazir Bhutto masih menjabat Perdana Menteri Pakistan. Permintaan orang alim
itu adalah agar penulis memerintahkan semua warga NU untuk
membacakan surah Al-Fatihah bagi keselamatan Bangsa Pakistan. Mengapa? sebab mereka dipimpin Benazir Bhutto yang
berjenis kelamin perempuan. Bukankah Rasulullah SAW telah
bersabda “celakalah sebuah kaum jika dipimpin oleh seorang
perempuan”? Penulis menjawab bahwa hadits ini disabdakan pada Abad VIII Masehi di Jazirah Arab. Ini berarti diperlukan sebuah penafsiran baru yang berlaku untuk masa kini?
Pada tempat dan waktu Rasulullah masih hidup itu, konsep kepemimpinan bersifat perorangan -di mana seorang kepala
suku harus melakukan hal-hal berikut: memimpin peperangan
melawan suku lain, membagi air melalui irigasi di daerah padang
pasir yang demikian panas, memimpin karavan perdagangan dari
kawasan satu ke kawasan lain dan mendamaikan segala macam
persoalan antar para keluarga yang berbeda-beda kepentingan
dalam sebuah suku, yang berarti juga dia harus berfungsi membuat dan sekaligus melaksanakan hukum.
Sekarang keadaannya sudah lain, dengan menjadi pemimpin, baik ia presiden maupun perdana menteri sebuah negara,
konsep kepemimpinan kini telah dilembagakan/diinstitusional
isasikan. Dalam konteks ini, Perdana Menteri Bhutto tidak boleh
mengambil keputusan sendiri, melainkan melalui sidang kabinet yang mayoritas para menterinya adalah kaum lelaki. Kabinet
juga tidak boleh menyimpang dari Undang-undang (UU) yang
dibuat oleh parlemen yang mayoritas beranggotakan laki-laki.
Untuk mengawal mereka, diangkatlah para Hakim Agung yang
membentuk Mahkamah Agung (MA), yang anggotanya juga lakilaki. sebab nya, kepemimpinan di tangan perempuan tidak lagi
menjadi masalah, sebab konsep kepemimpinan itu sendiri telah
dilembagakan/ di-institusionalisasi-kan. “Anda memang benar,”
demikian kata orang alim Pakistan itu, “tetapi tolong tetap bacakan surah Al-Fatihah untuk keselamatan bangsa Pakistan”.
eg
Kisah di atas, dapat dijadikan contoh betapa Arabisasi telah
berkembang menjadi Islamisasi -dengan segala konsekuensinya.
Hal ini pula yang membuat banyak aspek dari kehidupan kaum
muslimin yang dinyatakan dalam simbolisme Arab. Atau dalam
bahasa ini , simbolisasi itu bahkan sudah begitu merasuk ke
dalam kehidupan bangsa-bangsa muslim, sehingga secara tidak
terasa Arabisasi disamakan dengan Islamisasi.1
Sebagai contoh,
nama-nama beberapa fakultas di lingkungan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga di-Arabkan; kata syarî’ah untuk hukum
Islam, adab untuk sastra Arab, ushûluddin untuk studi gerakangerakan Islam dan tarbiyah untuk pendidikan agama. Bahkan
fakultas keputrian dinamakan kulliyyat al-banât. Seolah-olah
tidak terasa ke-Islaman-nya kalau tidak memakai kata-kata bahasa Arab ini .
Kalau di IAIN saja, yang sekarang juga disebut UIN (Universitas Islam Negeri) sudah demikian keadaannya, apa pula nama-nama berbagai pondok pesantren.2
Kebiasaan masa lampau
untuk menunjuk kepada pondok pesantren dengan menggunakan nama sebuah kawasan/tempat, seperti Pondok Pesantren
(PP) Lirboyo di Kediri, Tebu Ireng di Jombang dan Krapyak di
Yogyakarta, seolah-olah kurang Islami, kalau tidak menggunakan nama-nama berbahasa Arab. Maka, dipakailah nama PP AlMunawwir di Yogya -misalnya, sebagai pengganti PP Krapyak.
Demikian juga, sebutan nama untuk hari dalam seminggu.
Kalau dahulu orang awam memakai kata “Minggu” untuk
hari ke tujuh dalam almanak, sekarang orang tidak puas kalau
tidak memakai kata “Ahad”. Padahal kata Minggu, sebenarnya berasal dari bahasa Portugis, “jour dominggo”, yang berarti
hari Tuhan. Mengapa demikian? sebab pada hari itu orangorang Portugis —kulit putih pergi ke Gereja. Sedang pada hari
itu, kini kaum muslimin banyak mengadakan kegiatan keagamaan, seperti pengajian. Bukankah dengan demikian, justru kaum
muslimin memakai hari tutup kantor ini sebagai pusat
kegiatan kolektif dalam ber-Tuhan?
eg
Dengan melihat kenyataan di atas, penulis mempunyai
persangkaan bahwa kaum muslimin di negara kita , sekarang justru sedang asyik bagaimana mewujudkan berbagai keagamaan
mereka dengan bentuk dan nama yang diambilkan dari Bahasa
Arab. Formalisasi ini, tidak lain adalah kompensasi dari rasa kurang percaya diri terhadap kemampuan bertahan dalam meng
hadapi “kemajuan Barat”. Seolah-olah Islam akan kalah dari peradaban Barat yang sekuler, jika tidak digunakan kata-kata berbahasa Arab. Tentu saja rasa kurang percaya diri ini juga dapat
dilihat dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin sekarang di seluruh dunia. Mereka yang tidak pernah mempelajari
agama dan ajaran Islam dengan mendalam, langsung kembali
ke “akar” Islam, yaitu kitab suci al-Qur’ân dan Hadits Nabi Saw.
Dengan demikian, penafsiran mereka atas kedua sumber tertulis
agama Islam yang dikenal dengan sebutan dalil naqli, menjadi
superficial dan “sangat keras” sekali. Bukankah ini sumber dari
terorisme yang kita tolak yang memakai nama Islam?
Dari “rujukan langsung” pada kedua sumber pertama Islam itu, juga mengakibatkan sikap sempit yang menolak segala
macam penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu agama (religious subject). Padahal penafsiran baru itu adalah hasil pengalaman dan
pemikiran kaum muslimin dari berbagai kawasan dalam waktu
yang sangat panjang. Para “Pemurni Islam” (Islamic puritanism) seperti itu, juga membuat tudingan salah alamat ke arah
tradisi Islam yang sudah berkembang di berbagai kawasan selama berabad-abad. Memang ada ekses buruk dari pengalaman
perkembangan pemikiran itu, tetapi jawabnya b