Tampilkan postingan dengan label islam ku 7. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam ku 7. Tampilkan semua postingan

islam ku 7


 ekarang, perekonomian nasional kita terkait 

sepenuhnya dengan persaingan bebas, keikutsertaan dalam per￾da­gangan internasional yang bebas dan mengutamakan efisiensi 

rasional. sebab nya orientasi ekonomi rakyat harus difokuskan 

kepada prinsip “menjaga dan mendorong” UKM. Namun sebe￾lum­­nya dalam hal ini adalah, keharusan merubah orientasi per￾ekonomian nasional itu sendiri. 



Pertanyaan di atas harus diajukan kepada pemerintahan 

sekarang ini, yang tampaknya tidak memiliki konsep apa 

pun dalam menangani krisis multidimensi yang meng￾hinggapi bangsa kita. Sebab kenyataannya, pemerintah tidak 

memiliki keberanian untuk mengambil satu sikap saja dalam 

setiap persoalan. sebab  kon­sistensi pandangan yang diambil 

tidak diperhatikan, maka orientasi permasalahan tidak pernah 

memiliki kejelasan. Bukti yang paling jelas adalah, inkon­sis­tensi 

dalam orientasi ekonomi kita. Di satu pihak, kita merasa­kan ada￾nya kecenderungan untuk mem­biarkan optima­lisasi keuntungan, 

yaitu perusahaan men­dik­tekan “keharusan-keha­rus­an” yang ke￾mudian diikuti pemerintah. Di antaranya adalah dihilangkannya 

bentuk-bentuk subsidi bagi kebutuhan masya­rakat, untuk meng￾hilangkan “kerugian-kerugian” setiap usaha.

Contoh yang paling jelas dan aktual adalah berbagai ke­naik￾an tarif dan harga penjualan BBM (Bahan Bakar Minyak). Jelas, 

hal itu disebabkan oleh desakan luar negeri, agar supaya segala 

macam subsidi dihilangkan. Hal itu diperlukan, guna meng­hin￾da­rkan “kerugi­an” pada berbagai BUMN (Badan Usaha Milik 

Negara). Padahal subsidi bagi sejumlah hajat hidup orang ba￾nyak, adalah sebuah keha­rus­an. Dan yang perlu diubah bukan￾lah keberadaan subsidi, melain­kan terjadinya biaya tinggi ekono￾mi (high cost eco­no­my) akibat permainan biro­krasi pemerintah. 

Untuk meng­i­kis KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang 

tambah merajalela ini, diper­lukan keberaniaan moral yang tinggi 

dan kemauan politik yang kuat. Bukan de­ngan me­ngu­rangi subsi￾di yang akan menyusahkan rakyat banyak saja. 

Akibatnya sekarang, masyarakat ditimpa dua hal yang sebe￾nar­­nya berbeda satu dengan yang lain. Pertama, rakyat men­derita

akibat dicabutnya subsidi dari berbagai barang yang menjadi ke￾butuhan pokok. Kedua, yang secara politis di­anggap sebagai “ke￾butuhan pokok”, yaitu perdagangan dunia, rakyat juga “terkena 

imbasnya” akibat kemahiran birokrasi pe­me­rintahan ber-KKN. 

Kedua hal inilah yang dikhawatirkan akan menciptakan situasi 

sangat negatif bagi perekonomian na­sio­nal kita, dan bahkan revo￾lusi atau anarki sosial yang tidak terkendalikan lagi. Dalam ung￾kapan lain, bahaya akan terjadinya konflik horisontal haruslah 

benar-benar dirasakan pemerintah, justru agar supaya kita tidak 

terdesak oleh perkembangan keada­an yang sama sekali tidak ter￾duga. Semua itu disebabkan lang­kanya konsep dalam menangani 

permasalah­an krisis multidi­men­si yang kita hadapi saat ini.

eg 

Di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, 

menjelang keberangkatan ke Semarang, penulis mende­ngar­ dari 

tayangan televisi mengenai aktivitas sebuah LSM di Ka­bu­pa­ten 

Simalungun (Sumatera Utara), yang mengusahakan agar ma­sya￾rakat merasakan perlunya kepemilikan hu­tan pohon meranti di 

sebuah suaka alam yang hanya seluas 200 Ha. Kepemilikan itu 

ternyata berdampak pada terlindung dan terja­ga­nya hutan itu 

dari para perambah hutan, sebab  masyarakat merasa penting 

melestarikan hutan Meranti itu. Ini menunjukkan bahwa rasa 

turut memiliki oleh rakyat, sebagai sebuah faktor dalam pereko￾nomian kita, memang sangat dibutuhkan. Jadi, peng­hapusan 

sub­sidi secara semena-mena akan sangat mem­penga­ruh­i kemam￾puan kita untuk menyelesaikan krisis ekonomi, kare­na hilangnya 

faktor rakyat tadi.

Apa yang terjadi di Kecamatan Purba Tengah di kawa­san 

Simalungun itu bersesuaian sepenuhnya dengan usul Erna Witoe￾lar, semasa menjadi Menteri Permukiman dan Pengem­bang­an 

Wilayah, dengan gagasan agar masyarakat diberi ke­pe­milikan 

sejumlah luas tertentu atas hutan-hutan kita, agar mereka mera￾sa ber­kepentingan untuk menjaga kelestarian hutan. Usul itu 

di­aju­kan untuk mencegah pembakaran hutan oleh orang-orang 

yang membuat ladang. 

Di sini jelas tidak ada perbedaan antara upaya mengatasi 

pembakaran hutan dengan upaya melestarikanya. Kedua kenya￾taan di atas membuktikan betapa pentingnya men­ciptakan rasa memiliki hutan-hutan kita oleh masyarakat luas. Ini dimungkin￾kan, jika pemerintah mengenal sangat dalam atas adanya rasa 

memi­liki itu di kalangan masyarakat.

Jadi, faktor masyarakat menjadi sesuatu yang tidak dapat 

di­pungkiri lagi oleh siapa pun, terutama pemerintah. Tanpa ada￾nya rasa memiliki seperti itu, sia-sialah kebijakan apa pun yang 

akan di ambil, walaupun para perumus kebijakan itu sendiri 

ada­lah tokoh-tokoh intelektual dengan berbagai gelar ilmu dari 

bebe­rapa perguruan tinggi, yang memiliki reputasi ilmiah yang 

sangat baik. Jadi, benarlah kata sebaris sajak Arab: “Bukanlah 

pemuda kalau mengatakan itulah bapak kami (yang berbuat), 

melain­kan seorang pemuda yang berani berkata inilah aku (laisa 

al-fatâ man yaqûlû kâna abî lâkin al-fatâ man yaqûlû hâ’anâ 

dza).”

eg

Sikap meng­hamba kepada ‘orang luar’ tanpa me­mikirkan 

kerugian orang banyak ada­lah sikap yang sangat sempit, yang 

didasarkan ketakutan pada pihak asing itu sendi­ri. Dalam ajar￾an Islam, kepentingan orang banyak itu dirumus­kan sebagai ke￾butuhan umum (al-mashlahah al-‘âmmah) yang dalam bahasa 

kita digantikan oleh kata kesejahteraan. Dalam pem­buka­an Un￾dang-undang Dasar 1945, hal itu dirumuskan sebagai masyara￾kat adil dan makmur. Kata adil (al-adlu) dan kemakmuran (ar￾ra­fahiyah), menunjukkan orientasi mementing­kan kebutuh­an 

orang ba­nyak dan kesejahteraan mereka (moril dan materiil). 

Jadi, orien­ta­si kepentingan orang banyak menjadi ukuran pe￾nyelenggaraan pemerintahan dalam Islam. Menarik sekali, ung￾kapan fiqh “kebi­jak­an dan tindakan seorang pemimpin atas/

bagi rakyat yang di­pim­pin, harus terkait langsung, dengan kese￾jahteraan mereka (tasharruf al-Imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manû-

thun bi al-mashlahah). sebab  itu, kepentingan rakyat ada­lah 

ukur­an satu-satunya dalam Islam bagi penyelenggaraan peme￾rintahan yang baik.

Dalam dunia modern sekarang, kebijakan subsidi yang 

tidak begitu mempengaruhi perdagangan bebas selalu terjadi. 

Seperti di Amerika Serikat, dana milyaran dollar US untuk mem￾beli dan menyimpan susu dan produk ikutannya (keju, men­tega, 

dan sebagainya), dimasukkan dalam anggaran belanja negara (federal budget) tiap tahunnya. Mengapa? sebab  subsidi yang 

diberikan itu me­nyangkut persediaan dan permintaan (supply 

and demand). Mengapa kita tidak berani me­ne­tapkan ukuran 

sendiri menge­nai harga minyak bumi dan barang-barang tam￾bang lainnya? Bukankah mark-up dan pungut­an–pungutan 

yang dibebankan kepada Pertamina, meng­akibat­kan mahalnya 

bahan bakar di negeri ini? Bukankah dalam hal ini diperlukan 

subsidi tertentu kepada minyak bumi kita? Subsidi untuk kenda￾raan maupun angkutan yang diperlukan rakyat keba­nyakan? 

Jadi, penghapusan subsidi bahan bakar tanpa melihat keperluan 

rakyat, berarti kita menaik­kan biaya hidup masyarakat keban￾yakan, tanpa diimbangi oleh kenaikan pendapatan mereka.

Jadi, kebijakan mengurangi subsidi minyak atau meng­hi￾lang­kan subsidi bahan bakar minyak adalah sebuah tindakan 

ka­pi­talistik, tanpa melihat pendapatan kebanyakan orang. Ka￾lau pemerintah lalu menaikan harga BBM dan menaikkan tarif￾tarif tertentu, ini jelas menun­juk­kan orientasi memaksimalkan 

keuntungan (profit maximali­zation) telah berhasil didesakkan 

oleh negara-negara kapitalis kepada pemerintah. Sikap ini jelas 

menunjukkan berhasilnya tekanan-tekanan beberapa negara 

kuat di Barat atas pemerintah kita, walaupun bertentangan de￾ngan UUD 1945 yang berorientasi memenuhi kebutuhan orang 

banyak. Tugas kita adalah memberikan koreksi atas keputusan 

ini , sebab  sudah demikian jelas Islam berorientasi kepada 

kebutuhan orang banyak. h


Serombongan orang mendatangi kantor penulis pada suatu 

siang. Singkatan nama mereka adalah R, S, H dan F. R 

menjadi kontraktor dan supplier sebuah perusahaan nega￾ra yang besar, si S semula bekerja di sebuah perusahaan swasta 

dan sekarang menjadi supplier bagi pemerintah daerah di se￾buah propinsi. H dan F juga pengusaha yang aktif, tapi penulis 

tidak bertanya tentang jenis kegiatan mereka. Dua hal penting 

yang penulis lihat dalam kiprah mereka adalah: pimpinan dae￾rah sebuah par­pol, dan dengan demikian menjadi “anak buah” 

penulis; dan mere­ka mempunyai SPK (surat perintah ker­ja) 

pelaksana bisnis dari Pemerintah Daerah tempat mereka tinggal, 

untuk menjadi supplier agrobisnis bagi rakyat di tempat mereka 

tinggal.

Yang menarik perhatian penulis, adalah cara berpikir mere￾ka. Di satu sisi, mereka tidak mengandalkan diri pada cara-cara 

politik lama seperti pembagian kaos oblong dan sejenisnya, da￾lam meraih perolehan suara melalui pemilu akan datang; dan di 

pihak lain, mereka langsung menghubungkan masalah politik 

dengan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, mereka me￾lihat politik sebagai sebuah proses, dan tidak mendasarkan ke￾giatan politik atas cara-cara usang, melainkan dengan pen­de­kat￾an menghilangkan kemiskinan. Dalam bahasa klise, yang mereka 

perbuat bukanlah memberikan ikan kepada rakyat, melainkan 

memberikan kail pada mereka untuk mencari ikan sendi­ri. Ini 

berarti, tingkat kesejahteraan rakyat, ditentukan oleh masyara￾kat sendiri, bukan orang lain. Pendekatan baru ini, kata­kan­lah sebuah pendekatan struktural dalam menangani masalah ke￾miskinan yang ber­sifat memberdayakan masyarakat, dan tidak 

bertumpu pada santunan kepada mereka. Pendekatan seperti 

inilah yang jarang terlihat dalam pendekatan partai politik pada 

masya­ra­kat yang terbiasa dengan janji kosong untuk memberan￾tas kemiskin­an, dan hanya memberi santunan materi dan him￾bauan moral belaka dalam kampanye pemilihan umum.

eg

Sebuah tin­dak­an merubah kehidupan masyarakat terjadi 

ketika rakyat Amerika Serikat memilih Presiden Andrew Jack￾son1

 dalam Abad ke 19 Masehi. Mereka memilih pemimpin yang 

mengerti benar mana yang menjadi hak rakyat, dan mana yang 

menjadi hak perorangan para kapitalis/bankir/industrialis. Me￾reka, di mata Jackson adalah orang-orang yang harus melaku￾kan kegia­tan ekonomi dalam arti membangun dan membesar￾kan perusaha­an di berbagai bidang tetapi tingkat kesejahteraan 

rakyat, adalah tang­gung jawab Presiden dan Kongres yang di￾pilih untuk pe­rio­de tertentu oleh rakyat. Ini berarti, keduanya 

tidak boleh di­campur aduk dan pemisahan ini harus tercermin 

dalam ke­bijak­an peme­rin­tah di bidang ekonomi dan finansial/ 

keuangan. Ia melihat Bank Sentral Amerika Serikat di samping 

menjadi alat pemupuk­an modal negara, juga menyangkut pe­nge￾lo­laan uang pajak penduduk negeri; dan sebab  itu pengelolaan￾nya ada pada mereka. Maka Bank Sentral negara ini , harus￾lah diisi dengan pimpinan yang di­tunjuk rakyat melalui Presiden 

dan Kongres sebagai lembaga perwakilan rakyat. Ini adalah lang￾kah pertama kearah Folks Ka­pitalism (kapitalisme rakyat), yang 

berbeda dari kapitalisme klasik dari John Stuart Mill.2

 Akibat 

sikapnya ini, Jackson harus berhadapan dengan para kapitalis/ 

bankir/ industrialis yang ber­ang­gapan, pemerintah sama sekali 

tidak boleh campur tangan dalam Bank Sentral.

Pendapat Jackson itu sebenarnya adalah pendekatan struk￾tural, artinya, hanya dengan perubahan struktur menuju pem­berdayaan masyarakat yang dapat mengurus diri sen­­diri, barulah 

masyarakat itu akan terbebas dari kemis­kinan. Jika hal ini yang 

ingin dicapai sebuah parpol melalui pemilu, maka perubahan 

itu seharusnya menuju pada hilangnya kemis­kin­an, sebab  ter￾jadi perubahan struktur masya­rakat. Kalau tadinya rakyat hanya 

menunggu santunan pemerin­tah atau pihak-pihak tertentu saja, 

maka dengan cara pemberian kail ini masyarakat akan mampu 

memecahkan masalah-masalah eko­nomi mereka sendi­ri. Di 

sinilah terletak hubungan antara sebuah sistem eko­no­mi ideal 

de­ngan sistem ekonomi yang ada.

Kemampuan rakyat mengubah nasib mereka sendiri de￾ngan bantuan parpol dan sistem politik yang ada merupakan 

masalah pokok yang dihadapi oleh pemilu yang demokratis dan 

melayani kepentingan rakyat. Dan yang dihasilkan adalah para 

ang­gota perwakilan rakyat, seperti Dewan Perwakilan Rakyat 

yang benar-benar bertanggung jawab atas keselamatan negeri 

dalam arti yang luas, yang berfungsi baik, dengan wewenang￾wewe­nang yang jelas. Dengan cara itulah pembagian wewenang 

antara pihak-pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif terjaga 

dalam ke­sei­mbangan, sebab  semua berkewajiban mela­ya­ni ma￾syarakat dan tidak mementingkan pelayan­an dari masyarakat 

kepada dirinya.

eg

Bagi kaum muslimin tujuan itu benar-benar merupakan 

kewajiban mutlak. Kitab suci al-Qur’ân menyatakan; “Dibuatkan 

bagi kaum muslimim kehinaan dan kemiskinan (wa dhuribat 

a’laihim adz-dzillatu wa al-maskanah)” (QS. al-Baqarah [2]: 

61), berarti Islam menolak ke­mis­kinan sebagai sesuatu yang 

lang­geng dan tetap, Islam meng­anggap kedua hal berubah-ubah 

menurut struktur masyarakat. Dengan demikian, terserah ke￾pa­da manusia jualah untuk meng­ha­puskan atau melestarikan 

kemiskinan itu. Tuhan atau nasib tidak terkait dengan hal itu, 

sepenuhnya diserahkan kepada ma­nu­sia. Termasuk di dalamnya 

struktur masyarakat yang meng­hapuskan atau melestarikan ke￾miskinan itu sendiri. Walaupun banyak sekali pemahaman kaum 

muslimin yang meng­anggap masa­lah kemiskinan sebagai kepas￾tian dari Allah, sebab  itu harus diganti dengan pemahaman 

lain dari pemaham­an itu. Allah akan melestarikan kemiskinan apabila manusia sebagai warga masya­rakat tidak mengadakan 

perubah­an melalui sistem politik yang dianutnya sendiri. 

Jelaslah dengan demikian, manusia menentu­kan nasib 

mereka sendiri, dan jika tidak men­ja­lankan perubahan itu me­re￾ka akan dipersalahkan Allah. Dalam hal ini kitab suci al-Qur’ân 

menyatakan, “Tidaklah kau lihat orang yang menipu agama? 

Yaitu mereka yang membiarkan anak-anak yatim (ter­lan­tar) 

dan tidak perduli atas makanan orang miskin? (ara’aita al-ladzî 

yukadzdzibu bi al-dîn fadzâlikâ al-ladzî yadu’ulyatîm. Wa lâ 

yahudhdhu ‘alâ tha’âmi al-miskîn)” (QS. al-Maun [107]:1-3) me￾nun­jukan dengan jelas kepada kita adanya orang-orang yang jus￾tru memanipulasi kesengsaraan anak yatim dan hak orang mis￾kin demi kepentingan mereka sendiri. sebab  manipulasi se­perti 

itu dianggap sebagai perbuatan menipu agama, dengan sendiri￾nya perbaikan harus dilakukan oleh manusia yang sadar untuk 

sistem politik yang membela kepentingan rakyat. Kesim­pul­an 

seperti itulah yang dicapai oleh kelompok muda yang menjadi 

pimpinan sebuah partai politik di suatu daerah, dan inilah yang 

membahagiakan hati penulis. Perbuatan nyata yang harus men￾jadi dasar bagi perkembangan sebuah parpol, dan bukannya re￾torika belaka. hPada pertengahan Desember tahun 2002, penulis bertemu 

sutradara Garin Nugroho1

 di Airport Adi Sucipto, Yogya￾karta. Sambil menunggu pesawat terbang yang akan mem￾bawa kami ke Jakarta, Garin Nugroho dan penulis terlibat dalam 

pembicaraan mengenai cara mengatasi krisis multi­dimensi yang 

kita hadapi saat ini. Sebagai seorang yang mela­ku­kan referensi 

terus menerus atas kitab suci al-Qur’ân, pe­nu­lis mengemukakan 

analogi dari para kyai. Mereka berpendapat krisis multidimensi 

yang kita hadapi saat ini adalah seperti krisis Mesir di zaman Nabi 

Yusuf dahulu. Krisis itu memakan waktu tujuh tahun, menurut 

kitab suci ini . Kalau ini kita analogi­kan kepada keadaan 

se­ka­rang, maka era tujuh tahun itu akan berakhir pada tahun 

2003 (1997 hingga 2003). Memang, sekarang kalangan atas mu￾lai dapat mengatasi krisis ekonomi, terbukti dari penuhnya jalan 

dengan kendaraan dan lapangan terbang, tetapi kalangan bawah 

masih saja mengeluh dan kesusahan sebab  memang mereka 

masih dilanda krisis.

Keluhan utama adalah menurunnya daya beli secara dras￾tis, sedangkan harga-harga beberapa jenis barang kebutuhan 

sehari-hari justru melonjak. Dengan demikian, masih menjadi 

perta­nya­an apakah dalam waktu cepat krisis multidimensi itu 

dapat dipecahkan, katakanlah pertengahan tahun 2003. Dalam 

hal ini, sangat menarik pembicaraan penulis dengan Kyai Nuk￾man Thahir dari Ampel, Surabaya. Ia menyatakan, kalau kitab 

suci al-Qur’ân dibaca dengan mendalam, di sana disebutkan 

bahwa krisis Nabi Yusuf berlangsung tujuh tahun, namun un￾tuk meng­atasi krisis ini  diperlukan juga waktu tujuh tahun lamanya. Penulis menjawab apa yang ia terima dari para kyai 

adalah waktu berlangsungnya krisis itu tujuh tahun lamanya, 

tidak pernah me­reka me­ngatakan diperlukan waktu tertentu 

untuk menye­le­saikan krisis. sebab nya, penulis mengungkap￾kan bahwa penye­le­sai­an krisis itu sendiri, terjadi secara formal 

dimulai dalam waktu ber­samaan/simultan dengan berakhirnya 

krisis itu. sebab nya, pe­nye­lesaian krisis tidak merupakan enti￾tas yang berdiri sendiri terlepas dari krisis yang dialami.

eg

Percakapan penulis dengan Garin Nugroho di bawah ini 

men­jadi petunjuk kongkrit cara penyelesaian masalah secara 

simul­tan itu. Mula-mula Garin Nugroho mengatakan dua hal 

sa­ngat pen­ting, satu pihak, ada perbedaan/ kesenjangan anta­ra 

para teoritisi hu­kum dan pembuat undang-undang (DPR dan 

MPR). Para ahli teo­ri hukum itu mengemukakan hukum-hukum 

baru dalam bentuk undang-undang maupun lainnya dari ber￾bagai sumber Eropa Con­tinental yang kita kenal. Tetapi pelak￾sana berbagai macam peraturan itu, pada umumnya dididik di 

lingkungan hukum Anglo-Saxon yang berlaku di Amerika Seri￾kat. Tidak usah heran, jika terjadi kesenjangan antara kedua 

sistem hukum Anglo-Saxon dan Eropa Continental itu. Adalah 

tugas kita, menurut Garin Nugroho, untuk “mendamaikan” an￾tara kedua­nya, inilah yang harus diperbuat untuk menyelesaikan 

krisis.

Dalam percakapan itu, penulis mengemukakan bahwa se￾cara kongkrit apa yang dinamai Garin Nugroho dengan “men￾da­maikan” itu, haruslah tercermin dalam empat buah sistem 

po­litik baru. Katakanlah konsepsi mengenai empat buah sistem 

baru yang diperlukan, untuk kongkritisasi gagasan “mendamai￾kan” dari Garin itu. Di sini, penulis akan mencoba mengemu­ka￾kan beberapa konsep seperti di bawah ini.

Tentu saja, konsepsi-konsepsi yang dikemukakan itu adalah 

bukan bentuk final dari apa yang penulis pikirkan, sebab  jus￾tru masih memerlukan perbaikan-perbaikan serius, dan belum 

da­pat digunakan sebagai konsepsi formal. Konsep empat sistem 

ini, masih harus diperjuangkan untuk masa kehidupan kita yang 

akan datang. Hanya dengan cara demikianlah, bangsa kita dapat 

mengatasi krisis multidimensional itu dengan cepat.Empat sistem baru yang penulis kemukakan kepada Ga￾rin Nugroho; meliputi sistem politik (pemerintahan), perbaikan 

sis­­tem ekonomi dengan mengemukakan sebuah orientasi baru, 

sistem pendidikan nasional dan sistem etika atau hukum, yang 

se­muanya harus serba baru. Mengapa baru? sebab  sistem lama 

tidak dapat dipakai lagi, tanpa akibat-akibat serius bagi kita. 

Yang didahulukan adalah sistem politik (pemerintahan) yang 

baru. Kedua badan legislatif yang baru, DPR dan DPD (Dewan 

Perwa­kil­an Daerah) haruslah menjadi perwakilan bikameral. 

Mereka bertugas menetapkan undang-undang serta menyetujui 

pengang­katan eksekutif dengan pemungutan suara. Sedangkan 

Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, 

Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota di￾pilih langsung oleh rakyat, sebab  kalau diserahkan pada DPR 

dan DPRD saja hanya akan memperbesar korupsi saja.

Disamping itu juga dibentuk MPR, yang hanya bersidang 

enam bulan saja, dalam lima tahun. Mereka bertugas menyusun 

Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang harus dilaksana￾kan seluruh komponen pemerintahan. Keanggotaanya, terdiri 

dari para anggota DPR, DPD dan dari golongan fungsional, guna 

meng­untungkan kelompok-kelompok minoritas ikut serta dalam 

proses pengambilan keputusan, yang dicapai melalui prosedur 

musyawarah untuk mufakat, bukannya melalui pemungutan sua￾ra. Dengan demikian, kalangan minoritas turut serta memu­tus￾kan jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini diper￾lukan, agar semua pihak merasa memiliki negara ini, dan dengan 

demikian menghindarkan separatisme yang mulai ber­munculan 

di sana-sini. Justru inilah yang merupakan tugas demokrasi, bu￾kannya liberalisasi total.

eg

Orientasi baru dalam sistem perekonomian kita, dicapai 

dengan melakukan pilihan berat antara dua hal, yaitu mora­to­rium 

(penundaan sementara) cicilan tanggungan luar negeri kita, dan 

pembebasan para konglomerat hitam yang nakal dari tun­tutan 

perdata, jika membayar kembali 95% kredit yang dia terima dari 

bank-bank pemerintah (tetapi tuntutan pidana tetap dilaku­kan 

oleh petugas-petugas hukum). Uang yang didapat dari kedua 

lang­kah ini, menurut perkiraan sekitar US$ 230 milyar, dan di￾guna­kan terutama untuk: Pertama, memberikan kredit ringan, 

kira-kira 5% setahun, bagi UKM (Usaha Kecil dan Menengah) 

de­ngan pengawasan yang ketat. Kedua, peningkatan pendapat￾an PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan militer, kira-kira sepuluh 

kali lipat dalam masa tiga tahun. Langkah ini guna mencegah 

KKN dan menegakkan kedaulatan hukum. Melalui cara ini pula, 

da­pat memperbesar jumlah wajib pajak, menjadi 20 juta orang 

da­lam lima tahun dan melipatgandakan kemampuan daya beli 

masyarakat. 

Sudah tentu dikombinasikan dengan hal-hal, seperti per￾baikan undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada, ser￾ta penataan kembali BI (Bank negara kita ) dan MA (Mahkamah 

Agung). Melalui langkah-langkah ini, diharapkan dengan cepat 

sebuah pemerintahan yang baru akan segera mengatasi krisis 

multi-dimensional ini. Hal penting lainnya, kemampuan peme￾rin­­tah dalam mengatasi krisis juga sangat bergantung pada ke￾mam­puan bekerja sama dengan negeri-negeri lain. Sudah ten￾tu, ini harus dibarengi oleh dua buah perbaikan sistematik lain. 

Perbaikan pertama, adalah pada perbaikan sistem pen­di­dik­­an 

kita, yang hampir tidak memperhatikan penanaman nilai dari￾pada hafalan. sebab  tekanan yang sangat kecil kepada prak­tek 

kehidupan, dengan sendirinya hafalan mendapatkan per­ha­ti­an 

yang luar biasa, dan pemahaman nilai-nilai menjadi terbeng￾kalai. Keadaan ini mengharuskan dibuatnya sistem pendidikan 

baru yang lebih ditekankan kepada sistem nilai dan struktur ma￾syarakat yang ada, sehingga pendidikan berdasarkan masyarakat 

(community-based education) dapat dilaksanakan.

Dikombinasikan dengan perbaikan sistematik pada kerang￾ka etika/moralitas/akhlak yang telah ada dalam kehidupan bang￾sa, maka perbaikan sistem hukum, akan menjadi dasar bagi pe￾ng­ampunan umum/rekonsiliasi atas kesalahan-kesalahan ma­sa 

lampau, kecuali mereka yang bersalah dan dapat dibukti­­kan 

secara hukum oleh kekuasaan kehakiman dengan sistem peng￾adilan kita. Tentu saja, ini juga meliputi mereka yang seka­rang 

disebut sebagai kaum ekstremis/fundamentalis dalam ge­rak­­­an 

Islam, selama kejahatan yang mereka perbuat tidak dapat di￾buktikan secara hukum. Sudah tentu ini berlawanan dengan ke￾hendak orang lain yang ingin menghukum segala macam “kesa￾lahan.” Namun, kita harus bertindak secara hukum, bukan kare￾na pertimbangan-pertimbangan lain.


Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam, yang ber￾langsung di Beirut (Lebanon) tanggal 13-14 Desember 

2002 dan diselenggarakan oleh KAF (Konrad Adenauer 

Stiftung), ternyata disepakati adanya berbagai corak pendidikan 

agama. Hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Ternyata 

ada beberapa orang yang terus terang mengakui, maupun yang 

meng­­anggap, pendidikan Islam yang benar haruslah menga­jar￾kan “formalisasi” Islam. Termasuk dalam barisan ini adalah 

dekan-dekan Fakultas Syari’ah dan Perundang-undangan dari 

Universitas Al-Azhar di Kairo. Diskusi tentang mewujudkan 

“pendidikan Islam yang benar” memang terjadi, tapi tidak ada 

se­orang peserta pun yang menafikan dan mengingkari peranan 

berbagai corak pendidikan Islam yang telah ada. Penulis sendiri 

membawakan makalah tentang pondok pesantren sebagai ba￾gian dari pendidikan Islam.

Dalam makalah itu, penulis melihat pondok pesantren dari 

berbagai sudut. Pondok pesantren sebagai “lembaga kultural” 

yang memakai  simbol-simbol budaya Jawa; sebagai “agen 

pembaharuan” yang memperkenalkan gagasan pembangunan 

pe­desaan (rural development); sebagai pusat kegiatan belajar 

ma­syarakat (centre of community learning); dan juga pondok pe￾san­tren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada 

silabi, yang dibawakan oleh intelektual prolifik Imam Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuti1

 lebih dari 500 tahun yang lalu, dalam 

Itmam al-Dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pon￾dok pesantren tradisional selama ini, dengan pengembangan “ka￾jian Islam” yang terbagi dalam 14 macam disiplin ilmu yang kita 

kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa Arab klasik hingga 

tafsir al-Qur’ân dan teks Hadits Nabi. Semua­nya dipelajari dalam 

lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidik￾an Islam. Melalui pondok pesantren juga nilai ke-Islam-an ditu￾larkan dari generasi ke generasi.

Sudah tentu, cara penularan seperti itu merupakan titik 

sam­­bung pengetahuan tentang Islam secara rinci, dari generasi 

ke generasi. Di satu sisi, ajaran-ajaran formal Islam dipertahan￾kan sebagai sebuah “keharusan” yang diterima kaum muslimin 

di berbagai penjuru dunia. Tetapi, di sini juga terdapat “benih￾benih perubahan”, yang membedakan antara kaum muslimin di 

sebuah kawasan dengan kaum muslimin lainnya dari kawasan 

yang lainnya. Tentang perbedaan antara kaum muslimin di 

suatu kawas­an ini, penulis pernah mengajukan sebuah makalah 

kepada Uni­ver­sitas PBB di Tokyo pada tahun 1980-an. Tentang 

perlu adanya “studi kawasan” tentang Islam di lingkungan Af￾rika Hitam, bu­daya Afrika Utara dan negeri-negeri Arab, budaya 

Turki-Persia-Afghan, budaya Islam di Asia Selatan, budaya Is￾lam di Asia Teng­ga­ra dan budaya minoritas muslim di kawasan￾kawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area studi￾es) ini diteliti ber­samaan dengan kajian Islam klasik (classiccal 

Islamic studies).Pembahasan pada akhirnya lebih banyak ditekankan pada 

dua hal yang saling terkait dalam pendidikan Islam. Kedua hal 

itu adalah, pembaharuan pendidikan Islam dan modernisasi 

pen­­di­dikan Islam, dalam bahasa Arab: tajdid al-tarbiyah al-Islâ-

miah dan al-hadâsah. Dalam liputan istilah pertama, tentu saja 

ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum musli￾min harus dididik mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang 

diubah ada­lah cara penyampaiannya kepada peserta didik, se￾hingga mereka akan mampu memahami dan mempertahankan 

“kebenaran”. Bah­wa hal ini memiliki validitas sendiri, dapat di￾lihat pada ke­sung­guhan anak-anak muda muslimin terpelajar, 

untuk mene­rap­kan apa yang mereka anggap sebagai “ajaran-ajar￾an yang benar” tentang Islam. Contoh paling mudahnya adalah 

meng­gu­nakan tutup kepala di sekolah non-agama, yang di negeri 

ini dikenal dengan nama jilbab. Ke-Islaman lahiriyah seperti itu, 

juga terbukti dari semakin tingginya jumlah mereka dari tahun 

ke-tahun yang melakukan ibadah umroh/ haji kecil.

Demikian juga, “semangat menjalankan ajaran Islam”, da￾tangnya lebih ba­nyak dari komunikasi di luar sekolah, anta­ra ber￾bagai komponen masyarakat Islam. Dengan kata lain, pendidik￾an Islam tidak hanya disampaikan da­lam ajaran-ajaran formal 

Islam di sekolah-sekolah agama/mad­rasah belaka, me­lainkan 

juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang berserak-serak di 

seluruh penjuru dunia. Tentu saja, kenyataan seperti itu tidak 

dapat diabaikan di dalam penyelenggaraan pendidikan Islam di 

negeri manapun. Hal lain yang harus diterima sebagai kenya­ta­an 

hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat Islam 

terhadap “tantangan modernisasi”. Tantangan seperti pe­ngen￾tasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan seba­gai­nya, 

adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendi­dik­an Is￾lam, yang perlu kita renungkan secara mendalam.

Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup “meluruskan” 

responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadar￾an kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di 

mana-mana. Hal inilah yang merisaukan hati para pengamat 

seperti penulis, sebab  ujungnya adalah diperlukan jawaban yang 

benar atas pernyataan berikut: bagaimanakah caranya membuat 

kesa­dar­an struktural sebagai bagian alamiah dari perkembangan 

pen­didikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak 

perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan mem￾buat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sen￾diri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus 

ditangani dengan baik.

eg

Jelas dari uraian di atas, pendidikan Islam memiliki begitu 

banyak model pengajaran, baik yang berupa pendidikan sekolah, 

maupun “pendidikan non-formal” seperti pengajian, arisan dan 

sebagainya. Tak terhindarkan lagi, keragaman jenis dan corak 

pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah air kita dewasa 

ini. Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya me￾lihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madra­sah2

di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanya­lah 

akan mempersempit pandangan kita tentang pendi­dik­an Islam 

itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi be￾laka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari 

pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja ini menjadi tugas berat 

para perencana pendidikan Islam. Kenyataan ini menun­juk­kan 

di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan Islam.

Dalam kenyataan ini haruslah diperhitungkan juga pen­ja￾baran tarekat dan gerakan shalawat Nabi, yang terjadi demikian 

cepat di mana-mana. Tentu saja, “kenyataan yang diam” seperti 

itu sebenarnya berbicara sangat nyaring, namun kita sendiri yang 

tidak dapat menangkapnya. Seorang warga Islam yang memper￾oleh kedamaian dengan ritual memuja Nabi itu, dengan sendi­rinya berupaya menyesuaikan hidupnya dari pola hidup Nabi yang 

diketahuinya, yaitu kepatuhan kepada ajaran Islam. Ritual itu, 

tentu saja akan menyadarkan kembali orang ini  kepada ke￾hidupan agama walaupun hanya bersifat parsial (juz’i) belaka. 

Hal inilah yang seharusnya kita pahami sebagai “kenyataan so￾sial” yang tidak dapat kita pungkiri dan abaikan.

sebab nya, peta “keberagaman” pendidikan Islam seperti 

di­maksudkan di atas, haruslah bersifat lengkap dan tidak meng￾abai­kan kenyataan yang ada. Lagi-lagi kita berhadapan dengan 

kenyataan sejarah, yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri. 

Mengembangkan keadaan dengan tidak memperhitungkan hal 

ini, mungkin hanya bersifat menina-bobokan kita belaka dari 

tugas sebenarnya yang harus kita pikul dan laksanakan. Sikap 

mengabaikan keberagaman ini, adalah sama dengan sikap bu￾rung onta yang menyembunyikan kepalanya di bawah tim­bun­an 

pasir tanpa menyadari badannya masih tampak. Jika kita masih 

bersikap seperti itu, akan berakibat sangat besar bagi perkem￾bangan Islam di masa yang akan datang. sebab nya jalan terbaik 

adalah membiarkan keanekaragaman sangat tinggi dalam pendi￾dikan Islam dan membiarkan perkembangan waktu dan tempat 

yang akan menentukanDalam kitab suci al-Qur’ân dinyatakan: “Demi masa, manu￾sia selalu merugi, kecuali mereka yang beriman, ber­amal 

shaleh, berpegang kepada kebenaran dan ber­pegang ke￾pada kesabaran (Wa al-‘ashri inna al–insâna la fî khusrin illâ al￾ladzîna ‘âmanû wa ‘amilu al-shâlihâti wa tawâshau bi al-haq­qi 

wa tawâshau bi al-shabr)” QS al-‘Ashr (103):1-3). Ayat ter­­sebut 

meng­haruskan kita senantiasa menyerukan kebenaran na­mun 

tanpa kehilangan kesabaran. Dengan kata lain, kebenar­an baru￾lah ada artinya, kalau kita juga memiliki kesabaran. Kadangkala 

kebe­nar­an itu baru dapat ditegakkan secara bertahap, seperti 

halnya demokrasi. Di sinilah rasa pentingnya arti kesabar­an.

Demikian pula sikap pemaaf juga disebutkan sebagai tanda 

kebaikan seorang muslim. Sebuah ayat menyatakan: “Apa yang 

me­ngenai diri kalian dari (sekian banyak) musibah yang menim￾pa, (tidak lain merupakan) hal-hal berupa buah tangan kalian 

sen­diri. Dan (walaupun demikian) Allah memaafkan sebagian 

(besar) hal-hal itu (mâ ashâbakum min mushîbatin fa bimâ ka￾sabat a’ydîkum wa ya’fû ‘an katsîrin)” (QS al-Syura (42):30).

Firman Allah ini mengharuskan kita juga mudah memberikan 

maaf kepada siapapun, sehingga sikap saling memaafkan adalah 

sesuatu yang secara inherent menjadi sifat seorang muslim. Ini￾lah yang diambil mendiang Mahatma Gandhi sebagai muatan 

dalam sikap hidupnya yang menolak kekerasan (ahimsa), yang 

terkenal itu. Sikap inilah yang kemudian diambil oleh mendiang Pendeta Marthin Luther King Junior1 di Amerika Serikat, dalam 

tahun-tahun 60-an, ketika ia memperjuangkan hak-hak sipil 

(civil rights) di kawas­an itu, yaitu agar warga kulit hitam berhak 

memilih dalam pemilu.

Hal ini membuktikan, kesabaran dalam membawakan kebe￾naran adalah sifat utama yang dipuji oleh sejarah. Sebagaimana 

dituturkan oleh kisah perwayangan, para ksatria Pandawa yang 

dengan sabar dibuang ke hutan untuk jangka waktu yang lama, 

juga merupakan contoh sebuah kesa­bar­an. Jadi, kesadaran akan 

perlunya kesabaran itu, memang sudah sejak lama menjadi sifat 

manusia. Tanpa kesabaran, konflik yang terjadi akan dipenuhi 

oleh kekerasan. Sesuatu yang meru­gi­kan manusia sendiri. Ke￾kerasan tidak akan dipakai, kecuali dalam ke­ada­an ter­tentu. Hal 

ini memang sering dilanggar oleh kaum muslimin sendiri. Su￾dah waktunya kita kaum muslimin kembali kepada ayat di atas 

dan mengambil kesabaran serta kese­diaan memberi maaf, atas 

segala kejadian yang menimpa diri kita sebagai hikmah.

eg 

Hiruk pikuk kehidupan, selalu penuh dengan godaan ke￾pada kita untuk tidak bersikap sabar dan mudah memberikan 

maaf. Dalam pandangan penulis, kedua hal ini  seharus￾nya selalu digunakan oleh kaum muslimin. Tetapi harus kita 

akui de­­ngan jujur, bahwa justru kesabaran itulah yang paling 

sulit di­tegakkan dan kalau kita tidak dapat bersabar bagaima￾na kita akan memberi maaf atas kesalahan orang kepada kita? 

Jelas, bahwa antara keduanya terdapat hubungan timbal ba­lik 

yang sangat mendalam, walaupun tidak dapat dikatakan terjadi 

hubungan kausalitas antara kesabaran dan kemampuan mema­af￾kan kesalahan orang lain pada diri kita. 

Kita sebagai seorang muslim, mau tidak mau harus menye­dia­kan keduanya sebagai pegangan hidup baik secara kolek￾tif mau­pun secara perorangan. Dari sinilah dapat dimengerti, 

mengapa hikmah 1 Muharam 1424 Hijriyah ini sebaiknya tetap 

di­tekan­kan pada penciptaan kesabaran dan penumbuhan ke￾mam­puan untuk memberikan maaf kepada orang yang dalam 

pandangan kita, berbuat salah kepada diri kita. Bukankah kedua 

ayat kitab suci yang dikemukakan di atas, sudah cukup kuat da￾lam mendorong kita membuat kesabaran dan kemampuan me￾ma­afkan kesalahan orang kepada diri kita, sebagai hikmah yang 

kita petik di hari raya yang mulia ini . Kedengarannya prin￾sip yang sederhana, tetapi sulit dikembangkan dalam diri kita.

Namun, lain halnya dengan para politisi yang berinisiatif 

menye­lenggarakan Sidang Istimewa yang terakhir, dengan dasar 

“kebenaran” hasil penafsiran politik masing-masing. Tindakan 

ini berarti melanggar Undang-undang Dasar 1945, sebab  tidak 

memiliki landasan hukum. Dengan “nafsu” politiknya –yaitu Pre￾siden harus lengser- mereka pun meninggalkan jalan permu­sya￾wa­ratan. Padahal, semua persoalan yang melibatkan orang ba￾nyak harus dipecahkan dengan negosiasi, seperti firman Allah:

“dan persoalan mereka harus lah di musyawarahkan oleh mereka 

sendiri (wa amruhum syûrâ bainahum)” (QS al-Syura [42]:38). 

Ter­lihat selain melanggar konstitusi, dalam hal ini merekalah 

yang tidak dapat memaafkan. Sederhana saja, walaupun rumit 

dalam kehidupan politik kita sebagai bangsa dan negara.


Ketua Umum PIB Syahrir membuat tulisan menarik dalam 

sebuah media. Dalam kesimpulan penulis, dalam karya￾nya itu, Syahrir menyebutkan ada orang berkuasa tetapi 

tidak memimpin. Dengan tepat, Syahrir menunjukkan pada kita 

sebagai bangsa yang sedang porak-poranda, sebab  tidak adanya 

kepemimpinan. Buktinya, krisis multi-dimensi yang sedang kita 

hadapi dewasa ini, sama sekali tidak mendapatkan pemecahan 

–kalau tidak dikatakan justru diperparah oleh ulah para pemim￾pin kita sendiri—. Ada pejabat yang menganggap TKI (Tenaga 

Kerja negara kita ) di Malaysia sebagai persoalan pemerintah dae￾rah, padahal seluruh peraturan yang menyangkut diri mereka 

dibuat oleh pemerintah pusat. Demikian juga pejabat lain yang 

ti­dak mau meninggalkan jabatan, walaupun telah diputuskan 

oleh Pengadilan Negeri di Jakarta sebagai pihak yang bersalah. 

Alasannya, sebab  menunggu putusan Pengadilan Tinggi. Bukan￾kah ini berarti sebuah pengakuan, bahwa sistem pengadilan kita 

be­kerja di bawah pengaruh mafia peradilan? Alangkah tragisnya 

keadaan kita saat ini?

Dengan tepat pula, Syahrir menunjuk kepada pemerin￾tahan kita yang memiliki sejumlah orang berkuasa, namun tidak 

sang­gup memimpin. Bahkan, aparat penegak hukum kita cende￾rung me­­langgar konstitusi. Pertanyaan Klinik Hukum Merdeka, 

ada­­kah DPR/MPR kita dewasa ini legal atau tidak, mengingat 

baru 60% suara hasil pemilihan umum (Pemilu) tahun 1999 yang lalu di­hi­tung, namun pemerintah telah mengumumkan Su￾rat Kepu­tusan (SK) Presiden, mengenai komposisi DPR/MPR 

—tidak dijawab hingga saat ini oleh Mahkamah Agung (MA). Be￾gitu juga, pertanyaan penulis kepada MA, apakah Maklumat Ke￾adaan Bahaya yang dikeluarkan penulis sebagai Presiden tanggal 

21-23 Juli 2001 merupakan tindakan legal atau illegal berdasar￾kan konstitusi, juga tidak mendapatkan jawaban.

Ditambah lagi, bahwa showroom mobil termahal (mewah) 

di dunia saat ini berada di halaman gedung DPR, yang dipenuhi 

oleh mobil para anggotanya, bahkan tanpa mengindahkan ba￾tas besarnya kubik silinder (cc) yang dimiliki kendaraan terse￾but. Keluhan birokrasi pemerintahan dan kejengkelan rakyat 

sama sekali tidak diperhatikan. DPR tidak lagi memperhatikan 

kepentingan rakyat, melainkan hanya sibuk de­ngan urusan mere￾ka sendiri tampak jelas di mata kita. Dengan kata lain, para ang￾gota DPR/MPR kita tengah menikmati kekuasaan yang mereka 

peroleh tanpa memperhatikan sah atau tidaknya kekuasaan me￾re­ka itu. Dengan demikian, pengamatan Syahrir itu juga berlaku 

bagi para anggota DPR/MPR kita de­wa­sa ini. 

Masalahnya adalah persoalan klasik yang harus kita ha­dapi 

sekarang ini. Kepercayaaan (trust) masyarakat kepada sis­tem 

pemerintahan kita dewasa ini menjadi sesuatu yang sangat mem￾prihatinkan. KKN, terutama dalam bentuk korupsi, kini tam­pak 

nyata sudah tak terkendali lagi. Benarlah kata alm. Mah­bub Ju­nai￾di: bahwa nanti kita harus membayar pajak sebab  mengan­tuk, 

seolah-olah sebuah kenyataan yang hidup. Runtuh­nya kekuasaan 

Wangsa Syailendra (pembangun candi Borobu­dur) dan kerajaan 

Majapahit (untuk membiayai perang dan per­­luas­an kawasan) 

—misalnya, akhirnya runtuh sebab  kedua­nya ha­nya sekadar 

berkuasa tetapi tidak memimpin. Kekuasa­an wangsa Syailendra 

dianggap tidak ada oleh kaum Hindu-Bu­dha yang mem­bangun 

candi Prambanan yang di kemudian ha­ri hijrah ke Kediri di 

bawah Darmawangsa dan mengingkari kekuasaan wangsa terse￾but. Kekuasaan Majapahit, yang semula memeluk agama Hindu￾Budha/Bhairawa, akhirnya juga hilang tanpa da­pat ditolong lagi 

sebab  ketidakmampuan mempertahankan keada­an di hadapan 

tantangan kaum muslimin, terutama di bawah pimpinan Sayyid 

Jamaluddin Husaini dalam abad ke-15 Masehi.

Dengan mengacu kepada ketidakmampuan pemerintah 

yang ada untuk memelihara kepercayaan (trust) rakyat ini , jelas bagi kita adanya kewajiban besar untuk berpegang kepada 

amanat ini . Kepentingan rakyat, yang dirumuskan dengan 

sangat baik oleh para pendiri negeri ini, melalui pembukaan UUD 

1945, yaitu dengan rumusan ”masyarakat adil dan makmur”, je­las 

menunjuk pada keharusan mencapai kesejahteraan bangsa. Per￾nah diperdebatkan, apakah peningkatan PNB (Produk Natio­nal 

Bruto), dapat dinilai sebagai upaya mencapai keadaan ter­sebut? 

Sekarang jangankan berusaha ke arah itu, berdebat mengenai 

apa yang dimaksud dengan kesejahteraan, keadilan dan kemak￾muran pun sudah tidak lagi kita lakukan.

Kehidupan kita yang kering-kerontang ini sekarang ha­nya 

dipenuhi oleh kegiatan untuk mempertahankan kekuasaan, bu￾kannya untuk mencapai kepemimpinan yang diharapkan. Ke­­kua￾sa­an disamakan dengan kepemimpinan, dan kekuasaan tidak 

lagi mengindahkan aspek moral/etika-nya dalam kehidupan kita 

sebagai bangsa. Pantaslah jika kita sekarang seolah-olah tidak 

memiliki kepemimpinan, sebab  kita sudah kehilangan aspek 

mo­ral dan etika ini . Kepemimpinan kita saat ini, sebagai 

bangsa, hanya dipenuhi oleh basa-basi (etiket) yang tidak mem￾berikan jaminan apa-apa kepada kita sebagai bangsa.

Agama Islam, yang dipeluk oleh mayoritas bangsa kita, 

memiliki sebuah adagium yang sangat penting: ”Kebijakan dan 

tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah 

terkait langsung dengan kesejahteraan mereka” (Tasharruf al￾imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûtun bi al-maslahah) jelas menun￾juk kewajiban sang pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya. 

Benarkah kita saat ini memperjuangkan kesejahteraan dengan 

sungguh-sungguh, kalau dilihat kelalaian para penguasa kita 

de­­wasa ini? Tentu saja pertanyaan ini tidak akan ada yang men￾jawab sekarang, sebab  dalam kenyataan hal ini tidak di­pikir­kan 

secara sungguh-sungguh oleh para penguasa kita. Tidak ada 

usaha untuk mengkaji kembali sistem pemerintahan kita, mini￾mal mengenai orientasinya, hingga tidak heranlah jika langkah 

bangsa ini sedang terseok-seok.

Umar bin Khattab pernah mengeluarkan sebuah statemen 

populer: “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa 

kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan 

(La islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala 

imarata illa bi tha’ah),” jelas sekali menunjuk pada pentingnya 

arti kepemimpinan dan sang pemimpin. Dengan demikian, ke­pe￾mimpinan mempunyai arti yang sangat besar bagi sebuah bangsa. 

Ketika para pemimpin kita bertikai mengenai kapan waktu yang 

tepat bagi proklamasi kemerdekaan, ada yang merasakan sudah 

waktunya hal itu dilaksanakan, dan ada pula yang merasa be￾lum waktunya, tetapi semuanya mengetahui bahwa proklamasi 

ha­rus dilakukan, hanya soal waktu saja yang dipersengketakan. 

Ketika para pemuda menculik Soekarno ke Rengasdengklok, hal 

itu menunjukkan bahwa mereka memiliki jiwa kepemimpinan 

yang diperlukan, sedangkan Soekarno tidak mempersoalkan ke￾harusan proklamasi itu sendiri. Ia hanya mempersoalkan bila 

proklamasi itu harus dilakukan. Dan akhirnya, semua sepakat, 

bahwa hal itu harus dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Bahwa krisis multidimensi yang kita hadapi sekarang ini, 

memerlukan jawaban serba-bagai dari para penguasa pemerin￾tahan kita; dari menciptakan sistem politik baru yang mengacu 

kepada etika dan moral, melalui ke­dau­latan hukum dan per￾lakuan yang sama bagi semua warga negara di depan undang￾undang, hingga pengembangan orientasi eko­no­mi yang tepat. 

Pengamatan Syahrir bahwa kita tidak memiliki pemimpin, me￾lainkan hanya seorang penguasa belaka, tentu didasarkan pada 

sebuah kenyataan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki ke￾beranian mo­ral, kemauan politik (political will) dan kejujuran un￾tuk meng­uta­ma­kan kepentingan rakyat, bukannya kepenting­an 

sendiri ataupun kelompok. sebab  kepemimpinan formal yang 

seperti itu belum ada, pantaslah bila ada anggapan, kita tidak 

memiliki pimpinan saat ini, melainkan hanya penguasa saja. h


Dalam terbitan perdana sebuah jurnal ilmiah bulanan Nah￾dlatul Ulama, yang diterbitkan pada 1928 dan bertahan 

sampai tahun 60-an, KH. M. Hasyim Asy’ari menuliskan 

fatwa: bahwa kentongan (alat dari kayu yang dipukul hingga ber￾bu­nyi nyaring) tidak diperkenankan untuk memanggil shalat da￾lam hukum Islam. Dasar dari pendapatnya itu adalah kelangkaan 

hadits Nabi; biasanya disebut sebagai tidak adanya teks tertulis 

(dalil naqli) dalam hal ini. 

Dalam penerbitan bulan berikutnya, pendapat ini  di￾sanggah oleh wakil beliau, Kyai Faqih dari Maskumambang, Gre￾sik, yang menyatakan bahwa kentongan harus diperkenan­kan, 

sebab  bisa dianalogikan atau di-qiyas-kan kepada beduk se­ba￾gai alat pemanggil shalat. sebab  beduk diperkenankan, atas ada￾nya sumber tertulis (dalil naqli) berupa hadits Nabi Muhammad 

SAW mengenai adanya atau dipergunakannya alat ter­sebut pada 

zaman Nabi, maka kentongan pun harus diper­ke­nankan.

Segera setelah uraian Kyai Faqih Maskumambang itu 

mun­­cul, KH. M. Hasyim Asy’ari segera memanggil para ulama 

se-Jombang dan para santri senior beliau untuk berkumpul di 

pesantren Tebu Ireng, Jombang. Ia pun lalu memerintahkan 

kedua artikel itu untuk dibacakan ke­pada para hadirin. Setelah 

itu, beliau menyatakan mereka da­pat memakai  salah satu 

dari kedua alat pemanggil itu dengan bebas. Yang beliau minta 

hanyalah satu hal, yaitu hendaknya di Mesjid Tebu Ireng, Jom￾bang kentongan itu tidak digunakan selama-lamanya. Pandangan be­liau itu mencerminkan sikap sangat menghormati pendirian 

Kyai Faqih dari Masku­mam­bang ini , dan bagaimana sikap 

itu didasarkan pada “kebenaran” yang beliau kenal.

Dalam bulan Maulid/Rabi’ul Awal berikutnya, KH. M. 

Hasyim Asy’ari diundang berceramah di Pesantren Maskumam￾bang. Tiga hari sebelumnya, para utusan Kyai Faqih Maskumam￾bang menemui para ketua/pemimpin ta’mir mesjid dan surau 

yang ada di kabupaten Gresik dengan membawa pesan beliau: 

se­lama KH. M. Hasyim Asy’ari berada di kawasan kabupaten 

ter­­sebut, semua kentongan yang ada harus diturunkan dari 

tem­­­­pat bergantungnya alat itu. Sikap ini diambil beliau sebab  

peng­hormatan beliau terhadap Kyai Hasyim Asy’ari, yang bagai￾manapun adalah atasan beliau dalam berorganisasi. Meya­kini 

sebuah kebenaran, tidak berarti hilangnya sikap menghor­ma­ti 

pandangan orang lain, sebuah sikap tanda kematangan pribadi 

kedua tokoh ini . 

Sikap saling menghargai satu sama lain, antara kedua to￾koh ini  yaitu antara Rois ‘Am dan Wakil Rois ‘Am PBNU 

waktu itu, menunjukkan tata krama yang sangat tinggi di antara 

dua orang ulama yang berbeda pendapat, tapi menghargai satu 

sama lain. Inilah yang justru tidak kita lihat saat ini, terlebih-le￾bih di antara pemimpin gerakan Islam dewasa ini, yang tam­pak 

men­­cuat justru sikap saling menyalahkan, sehingga tidak ter￾da­­pat kesatuan pendapat antar mereka. Yang menonjol adalah 

per­beda­an pendapat, bukan persamaan antara mereka. Penulis 

tidak ta­hu, haruskah kenyataan itu disayangkan ataukah justru 

dibiarkan?

Mungkin ini adalah sisa-sisa dari sebuah nostalgia yang 

ada mengenai “keagungan” masa lampau belaka. Tapi bukankah 

se­se­­orang berhak merasa seperti itu? Bukankah kitab suci al￾Qur’ân menyatakan, “Sesungguhnya telah Kuciptakan kalian 

(dalam ben­­tuk) lelaki dan perempuan dan Kujadikan kalian ber￾bangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling menge­nal. 

Sesung­guh­nya yang paling mulia di antara kalian di hadapan Al￾lah adalah yang paling bertaqwa (innâ khalaqnâ kum min dza￾karin wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû 

innâ akra­makum ‘inda Allâhi atqâkum)” (QS al-Hujurat [49]:13) 

Ayat ini jelas membenarkan perbedaan pendapat di antara kaum 

muslimin. 

Namun Allah juga berfirman dalam kitab suci-Nya itu: Dan berpeganglah kalian kepada tali Allah (secara) keseluruhan 

dan janganlah bercerai-berai/terpecah belah (wa’ tashimû bi ha￾bli allâhi jamî’an wa lâ tafarraqû)” (QS Ali Imran [3]:103). Ayat 

ini me­nun­jukkan kepada kita, bahwa yang dilarang bukannya 

per­be­da­an pandangan melainkan bersikap terpecah-belah satu 

dari yang lain. Hal ini diperkuat oleh sebuah ayat lain: “Bekerja￾sa­ma­lah kalian dalam (bekerja untuk) kebaikan dan ketakwaan

(ta’âwanû ‘alâ al-birri wa al-taqwâ)” (QS al-Maidah [5]:2) yang 

jelas-jelas mengharuskan kita melakukan koordinasi berbagai 

kegiat­an. Tetapi, kerjasama seperti itu hanya dapat dilakukan 

oleh kepemimpinan tunggal dalam berbagai gerakan Islam.

Masalahnya sekarang adalah langkanya kepemimpinan 

seperti itu. Para pimpinan gerakan Islam saling bertengkar, mini￾mal hanya bersatu dalam ucapan. Mengapakah demikian? Kare￾na para pemimpin itu hanya mengejar ambisi pribadi belaka, dan 

jarang berpikir mengenai umat Islam secara keseluruhan. Seha￾rus­nya, mereka berpikir tentang bagaimana melestarikan agama 

Islam sebagai budaya, melalui upaya melayani dan mewujudkan 

kepentingan seluruh bangsa. Ambisi politik masing-masing akan 

terwujud jika ada pengendalian diri, dan jika diletakkan dalam 

kerangka kepentingan seluruh bangsa.

Dalam ajaran Islam dikenal istilah “ikhlas”. Keikhlasan 

yang dimaksudkan adalah peleburan ambisi pribadi masing-ma￾sing ke dalam pelayanan kepentingan seluruh bangsa. Di sinilah 

justru harus ada kesepakatan antara para pemimpin berbagai 

gerakan atau organisasi Islam yang ada, dan ketundukkan ke￾pada kepu­tus­an sang pemimpin dirumuskan. Untuk melakukan 

perumusan seperti itu, diperlakukan dua persyaratan sekaligus, 

yaitu keju­jur­an sikap dan ucapan, yang disertai dengan sikap 

“mengalah” kepada kepentingan berbagai gerakan organisasi itu. 

Tanpa ke­dua hal itu, sia-sialah upaya “menyatukan” umat Islam 

dalam sebuah kerangka perjuangan yang diperlukan.

Dalam hal ini, penulis lagi-lagi teringat kepada sebuah 

ada­gium yang sering dinyatakan berbagai kalangan Islam: “Ti￾ada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpi￾nan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La islama 

illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa 

bi tha’ah). Adagiumnya memang benar, walaupun sekelompok 

ke­cil pernah mengajukan klaim kepemimpinan itu dan minta 

di­terima sebagai pe­mimpin. Namun sikap mereka yang meman￾dang rendah ke­lom­pok lain, justru menggagalkan niatan terse￾but, sedangkan kelompok-kelompok lain tidaklah memiliki kepe￾mimpinan kohe­sif seperti itu. Herankah kita, jika wajah berbagai 

gerakan Islam di Tanah Air kita saat ini tampak tidak memiliki 

kepemimpinan yang jelas? Di sinilah kita perlu membangun kem￾bali “kesatuan” umat (ummatan wahidatan). Mudah diucap­kan, 

tapi sulit diwujud­kan bukan?



Pada suatu hari yang cerah, penulis memasuki ruang tunggu 

lapangan terbang Cengkareng, jam 05.30 WIB pagi. Sam￾bil menunggu saat penerbangan pertama ke Yogya­kar­ta, 

penulis mendengarkan siaran TV di ruang tunggu itu. Seorang 

penceramah agama sedang menjawab pertanyaan-perta­nya­an 

yang diajukan para pemirsa melalui telepon, ketika diha­dap￾kan pa­da masalah-masalah hukum Islam (fiqh) tentang saat 

men­jalankan ibadah haji. Salah seorang pemirsa menanyakan; 

apa­kah sebuah tindakan yang dilakukan jama’ah haji dapat di￾masukkan dalam kategori perbuatan yang merusak ihram atau 

tidak.

Dalam menjawab pertanyaan ini , sang penceramah 

melakukan pembedaan, antara hal-hal yang merusak syarat-sya￾rat ibadah haji, merusak kewajiban-kewajiban haji dan merusak 

ihram itu sendiri. Hal elementer seperti ini –dengan akibat hu￾kum-hukum agama (canon law) sendiri pula yang biasa di­pe­la￾ja­r­i dari kitab-kitab agama di pesantren, dijelaskan di layar tele￾visi itu oleh sang penceramah. Ini tentu sebab  sang penanya 

diandai­kan tidak tahu masalahnya, sebab  mereka hanya ber­ko￾mu­nikasi melalui telepon. Sekaligus, pertanyaan itu menunjuk￾kan perhatian sang pemirsa ini  pada segi-segi ibadah, keti￾ka menunaikan perjalanan ibadah haji. Mungkin itu juga disertai 

oleh pandangan tertentu mengenai perjalanan haji: peribadatan 

yang menyenangkan, menjengkelkan atau yang tidak berguna 

sama sekali.


Sudah tentu seorang jama’ah haji memiliki wewenang ber￾tanya tentang sesuatu hal yang oleh jama’ah lain dianggap soal 

kecil. Bukankah ia telah mengeluarkan biaya yang sangat besar 

untuk melakukan perjalanan ini , bahkan mungkin saja ia 

sampai me­nabung uang seumur hidup untuk itu. sebab nya, ia 

berhak ber­­tanya apa saja, sebab  perjalanan ini  merupa­kan 

sebuah ob­sesi dalam hidupnya. “Hak” ini adalah sesuatu yang sa￾ngat in­herent dalam hidup sang penanya, dan sangat menyedih￾kan bah­wa Departemen Agama Republik negara kita  (Depag-RI) 

yang menjadi penyelenggara ibadah haji ini  tidak pernah 

me­ngumpulkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti 

itu dalam sebuah buku yang dapat dijadikan pegangan bagi para 

calon jama’ah haji. Maka terpaksalah mereka bertanya melalui 

TV sebab  tidak ada saluran lain.

Ketika memasuki lapangan terbang itu, penulis juga ber￾jumpa dengan Jajang C. Noer dan Debra Yatim, keduanya ak￾tivis perempuan –yang juga sama-sama akan menuju Yogya­kar￾ta, untuk menayangkan film tentang perjuangan kaum perem￾pu­­an di negeri kita. Tentu saja pertunjukkan film ini  akan 

disertai dialog antara para pemirsa dan kedua aktifis terse­but. 

Dan dapat diperkirakan, mereka akan berbeda mengenai tema 

makro yaitu tentang perjuangan menegakkan hak-hak wa­nita 

di negeri kita. Ini adalah hal yang wajar, bahkan kalau itu tidak 

dibicarakan, justru kita bertanya-tanya dalam hati, kedua orang 

aktifis itu untuk apa datang ke Yogyakarta? Kalau hanya untuk 

memutar film itu dapat dilakukan oleh para petugas setem­pat. 

Tentu saja merupakan hal yang wajar pula, jika orang lain meng￾anggap pembicaraan mere­ka itu sesuatu yang bersifat setengah 

makro, sebab  membahas kepentingan kurang lebih separuh 

warga masyarakat, yaitu kaum perempuan. Pembahasan baru di￾anggap makro ketika menyangkut pembedaan masyarakat oleh 

negara, sebab  mereka berpendapat bahwa bahasan yang tidak 

me­nyangkut struktur masyarakat, belumlah dianggap sebagai 

pem­bahasan yang serius. Bahwa pembahasan mengenai nasib 

perempuan, termasuk apakah poligami (beristri banyak) selayak￾nya dilarang atau tidak, juga menyangkut posisi dan harkat tiga 

milyar jiwa lebih kaum perempuan di seluruh dunia saat ini, da￾lam pandangan ini tidak otomatis menjadikan masalah gender 

sebagai masalah makro. Memang ini adalah masalah yang sangat 

besar dan menyangkut jumlah manusia yang sangat besar pula. Tapi, ia tidak terkait dengan masalah struktur masyarakat.

sebab  itu pula ia tetap diperlakukan sebagai masalah mik￾ro. Ditambah dengan ketidakpedulian mayoritas jumlah laki-laki 

dan perempuan yang tidak memperhatikan masalah ini, de­ngan 

sendirinya masalah gender ini tidak berkembang menjadi ma￾salah struktural. Memang para aktifis di berbagai bidang di ling￾kungan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dari jenis hawa, 

selalu meneriakkan dengan lantang bahwa masalah perempuan/

gender adalah masalah struktural, tetapi tetap saja masalah itu 

diperlakukan dalam dunia LSM internasional dan domestik se￾ba­gai masalah non-struktural. Ini memang menyakitkan, tapi 

dalam kenyataan hal ini memang terjadi, dan kita tidak usah me￾ra­tapinya. Perjuangan memang masih panjang, dan hal itu tidak 

perlu diperlakukan secara emosional.

Paham ketiga yaitu, tidak pernah mempersoalkan struktur 

masyarakat, dan menganggap semua struktur masyarakat yang 

ada dalam sejarah sebagai sesuatu yang benar. Masalah pokok 

yang dihadapi umat manusia, menurut pandangan ini, adalah 

ba­gai­mana menegakkan keadilan dan kemakmuran yang dalam 

ajaran agama Islam disebut dengan istilah kesejahteraan. Jadi, 

menurut pandangan ini, masalah utamanya adalah penegakan 

hu­­kum dan perumusan kebijakan serta pelaksanaan di bidang 

ekonomi, terlepas dari jenis dan watak struktur itu sendiri. Ini￾lah pandangan yang sering disebut sebagai pandangan non-struk￾tural, juga dikenal dengan pandangan developmentalist.

Dalam pandangan ini, Islam atau agama-agama lain dapat 

berperan memerangi materialisme dan sebagainya, tanpa mem￾pe­ngaruhi struktur masyarakat. Masalah yang dihadapi terkait 

sepenuhnya dengan keahlian dan peng­orga­­nisasian sumber daya 

manusia yang dimiliki. 

Pandangan non-struktural ini, antara lain diikuti oleh para 

teknokrat kita, yang selama ini menentukan kebijakan pemba￾ngunan yang kita ikuti sebagai bangsa. Dan ternyata para tek￾nokrat ini  telah menemui kega­gal­an, sebab  keadilan dan 

kemakmuran ternyata tidak kunjung tercapai, yang menikmati 

hanyalah sejumlah konglomerat belaka. sebab nya, pembahasan 

mengenai hubungan antara agama dan ideologi negara, sebaik￾nya dibatasi pada pandangan-pandangan agama yang ada me￾nge­nai struktur sosial yang adil bagi seluruh war­ga masyarakat, 

dan menuju pada kemakmuran bangsa. Pen­de­katan struktural ini diperlukan, sebab  memang semua agama meng­hendaki ma￾syarakat yang adil, menuju pencapaian kemak­mur­an. “Baldatun 

tayyibatun wa rabbun ghafûr (QS Saba’ [34]:15) (negara yang 

baik dan Tuhan yang Maha Pengampun)” adalah semboyan upa￾ya ka­um muslimin dalam menciptakan masyarakat yang de­mi￾kian itu, sesuai dengan ajaran Islam sendiri. sebab nya, mem￾bahas hu­bungan antara Islam dengan negara, dengan membahas 

struktur masya­rakat yang hendak didirikan, adalah sesuatu yang 

secara inhe­rent menyangkut keadilan, dan dengan demikian 

merupakan struktur masyarakat yang benar.




Beberapa tahun yang lampau, seorang ulama dari Pakistan 

datang pada penulis di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul 

Ulama (PBNU) Jakarta. Pada saat itu, Benazir Bhutto ma￾sih menjabat Perdana Menteri Pakistan. Permintaan orang alim 

itu adalah agar penulis memerintahkan semua warga NU untuk 

membacakan surah Al-Fatihah bagi keselamatan Bangsa Pakis￾tan. Mengapa? sebab  mereka dipimpin Benazir Bhutto yang 

berjenis kelamin perempuan. Bukankah Rasulullah SAW telah 

ber­sabda “celakalah sebuah kaum jika dipimpin oleh se­orang 

perempuan”? Penulis menjawab bahwa hadits ini  disab­da￾kan pada Abad VIII Masehi di Jazirah Arab. Ini berarti diperlu￾kan sebuah penafsiran baru yang berlaku untuk masa kini?

Pada tempat dan waktu Rasulullah masih hidup itu, kon￾sep kepemimpinan bersifat perorangan -di mana seorang kepala 

suku harus melakukan hal-hal berikut: memimpin peperangan 

melawan suku lain, membagi air melalui irigasi di daerah padang 

pasir yang demikian panas, memimpin karavan perdagangan dari 

kawasan satu ke kawasan lain dan mendamaikan segala macam 

persoalan antar para ke­luar­ga yang berbeda-beda kepentingan 

dalam sebuah suku, yang berarti juga dia harus berfungsi mem￾buat dan sekaligus melaksanakan hukum.

Sekarang keadaannya sudah lain, dengan menjadi pemim￾pin, baik ia presiden maupun perdana menteri sebuah negara, 

konsep kepemimpinan kini telah dilembagakan/diinstitu­sio­na­l￾

isa­sikan. Dalam konteks ini, Perdana Menteri Bhutto tidak boleh 

mengambil keputusan sendiri, melainkan melalui sidang kabi￾net yang mayoritas para menterinya adalah kaum lelaki. Ka­binet 

juga tidak boleh menyimpang dari Undang-undang (UU) yang 

dibuat oleh parlemen yang mayoritas beranggotakan laki-laki. 

Untuk mengawal mereka, diangkatlah para Hakim Agung yang 

membentuk Mahkamah Agung (MA), yang anggota­nya juga laki￾laki. sebab nya, kepemimpinan di tangan perempuan tidak lagi 

menjadi masalah, sebab  konsep kepemimpinan itu sendiri telah 

dilembagakan/ di-institusionalisasi-kan. “Anda memang benar,” 

demikian kata orang alim Pakistan itu, “tetapi tolong te­tap ba￾cakan surah Al-Fatihah untuk keselamatan bangsa Pakis­tan”.

eg

Kisah di atas, dapat dijadikan contoh betapa Arabisasi telah 

berkembang menjadi Islamisasi -dengan segala konsekuensinya. 

Hal ini pula yang membuat banyak aspek dari kehidupan kaum 

muslimin yang dinyatakan dalam simbolisme Arab. Atau dalam 

bahasa ini , simbolisasi itu bahkan sudah begitu merasuk ke 

dalam kehidupan bangsa-bangsa muslim, sehingga secara tidak 

te­rasa Arabisasi disamakan dengan Islamisasi.1

 Sebagai contoh, 

nama-nama beberapa fakultas di lingkungan Institut Agama Is￾lam Negeri (IAIN) juga di-Arabkan; kata syarî’ah untuk hukum 

Islam, adab untuk sastra Arab, ushûluddin untuk studi gerakan￾gerakan Islam dan tarbiyah untuk pendidikan agama. Bahkan 

fakultas keputrian dinamakan kulliyyat al-banât. Seolah-olah 

tidak terasa ke-Islaman-nya kalau tidak memakai  kata-kata bahasa Arab ini .

Kalau di IAIN saja, yang sekarang juga disebut UIN (Uni￾versitas Islam Negeri) sudah demikian keadaannya, apa pula na￾ma-nama berbagai pondok pesantren.2

 Kebiasaan masa lam­pau 

untuk menunjuk kepada pondok pesantren dengan meng­guna￾kan nama sebuah kawasan/tempat, seperti Pondok Pesantren 

(PP) Lirboyo di Kediri, Tebu Ireng di Jombang dan Krapyak di 

Yog­yakarta, seolah-olah kurang Islami, kalau tidak mengguna￾kan nama-nama berbahasa Arab. Maka, dipakailah nama PP Al￾Munawwir di Yogya -misalnya, sebagai pengganti PP Krapyak.

Demikian juga, sebutan nama untuk hari dalam seminggu. 

Ka­lau dahulu orang awam memakai  kata “Minggu” untuk 

ha­ri ke tujuh dalam almanak, sekarang orang tidak puas kalau 

ti­dak memakai  kata “Ahad”. Padahal kata Minggu, sebe­nar￾nya berasal dari bahasa Portugis, “jour dominggo”, yang berarti 

hari Tuhan. Mengapa demikian? sebab  pada hari itu orang￾orang Portugis —kulit putih pergi ke Gereja. Sedang pada hari 

itu, kini kaum muslimin banyak mengadakan kegiatan keaga­ma￾an, seperti pengajian. Bukankah dengan demikian, justru kaum 

muslimin memakai  hari tutup kantor ini  sebagai pusat 

kegiatan kolektif dalam ber-Tuhan?

eg

Dengan melihat kenyataan di atas, penulis mempunyai 

per­sang­kaan bahwa kaum muslimin di negara kita , sekarang jus￾tru sedang asyik bagaimana mewujudkan berbagai keagamaan 

me­reka dengan bentuk dan nama yang diambilkan dari Bahasa 

Arab. Formalisasi ini, tidak lain adalah kompensasi dari rasa ku￾rang percaya diri terhadap kemampuan bertahan dalam meng­


ha­dapi “kemajuan Barat”. Seolah-olah Islam akan kalah dari per￾adaban Barat yang sekuler, jika tidak digunakan kata-kata ber￾bahasa Arab. Tentu saja rasa kurang percaya diri ini juga dapat 

dilihat da­lam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin seka￾rang di se­luruh dunia. Mereka yang tidak pernah mempelajari 

agama dan ajaran Islam dengan mendalam, langsung kembali 

ke “akar” Islam, yaitu kitab suci al-Qur’ân dan Hadits Nabi Saw. 

Dengan demikian, penafsiran mereka atas kedua sumber tertulis 

agama Islam yang dikenal dengan sebutan dalil naqli, menjadi 

superficial dan “sangat keras” sekali. Bukankah ini sumber dari 

terorisme yang kita tolak yang memakai  nama Islam?

Dari “rujukan langsung” pada kedua sumber pertama Is￾lam itu, juga mengakibatkan sikap sempit yang menolak segala 

macam penafsiran berdasarkan ilmu-ilmu agama (religious sub￾ject). Padahal penafsiran baru itu adalah hasil penga­lam­an dan 

pemikiran kaum muslimin dari berbagai ka­wasan dalam wak­­tu 

yang sangat panjang. Para “Pemurni Islam” (Islamic purita­n￾ism) seperti itu, juga membuat tudingan salah alamat ke arah 

tradisi Islam yang sudah berkembang di berbagai ka­was­an se￾lama ber­abad-abad. Memang ada ekses buruk dari pe­nga­laman 

per­kem­bangan pemikiran itu, tetapi jawabnya b