Tampilkan postingan dengan label islam ku 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam ku 8. Tampilkan semua postingan

islam ku 8


 ukanlah berben￾tuk puritanisme yang berlebihan, melainkan da­lam kesa­daran 

mem­bersihkan Islam dari ekses-ekses yang keliru ini .

Agama lainpun pernah atau sedang mengalami hal ini, se￾per­ti yang dijalani kaum Katholik dewasa ini. Reformasi yang 

dibawakan oleh berbagai macam kaum Protestan, bagi kaum 

Ka­tholik dijawab dengan berbagai langkah kontrareformasi se￾menjak seabad lebih yang lalu. Pengalaman mereka itu yang 

kemudian berujung pada teologi pembebasan (liberation theo￾logy),3

 merupakan perkembangan menarik yang harus dikaji 

oleh kaum muslimin. Ini adalah pelaksanaan dari adagium “per￾beda­an pen­dapat dari para pemimpin, adalah rahmat bagi umat 

(ikhtilâf al-a’immah rahmat al-ummah).” Adagium ini  

ber­mula dari keten­tu­an kitab suci al-Qur’ân: “Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling 

mengenal (Wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû)” 

(QS al-Hujurat(49):13). Makanya, cara terbaik bagi kedua belah 

pihak, baik kaum tradi­sio­nalis maupun kaum pembaharu dalam 

Islam, adalah meng­akui pluralitas yang dibawakan oleh agama 

Islam.


Prof. Dr. Azyumardi Azra, Rektor UIN Syarif Hidayatullah 

di Ciputat menjelaskan dalam dialog dengan para maha￾siswa di layar TVRI tanggal 26 Nopember 2002, tentang 

penyebaran Islam di Nusantara. Ia mengemukakan bahwa Islam 

disebarkan sejak berabad-abad yang lalu, di seluruh Nusantara 

dengan berbagai karya para ulama kita dalam pengajian-penga￾ji­­an. Di antara nama-nama yang disebutkan, terdapat nama 

Syekh Arsyad Banjari (1710-1812)1

 dari Marta­pura, Kalimantan 

Se­­la­tan, ia dikirim oleh salah seorang sultan yang ber­kuasa di 

ka­wasan ini  untuk belajar belasan tahun lamanya di Mek￾kah. Namun, ia kembali ke Tanah Air dalam abad ke-18 M, dan 

dikubur­kan di Kelampayan, Martapura. Walaupun TVRI hanya

menampilkan gambar istana sultan di Martapura, namun sebe￾nar­­nya saat ini ada pesantren di Kelampayan yang memiliki 

santri (pelajar) berjumlah belasan ribu orang.

Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutkan betapa besar jasa 

para ulama yang mengaji di Mekkah dan dan kembali ke tanah 

air, dalam dua hal: penyebaran agama Islam di kawasan masing￾ma­sing, dan penerapan ajaran agama Islam secara lebih murni. 

Pengawasan seorang pakar atas jalannya sejarah di bumi Nusan￾tara ini haruslah dihargai, dan temuan-temuan­nya itu haruslah 

diteruskan oleh para peneliti sejarah Nusantara. Hanya dengan 

demikian, kita akan dapat mencapai mutu kese­ja­­rahan yang 

tinggi, sebab  didasarkan pada hasil-hasil kajian ilmiah yang 

benar. Tentu saja, hasil-hasil kajian ini juga harus di­­siarkan me￾lalui media khalayak kepada orang awam dengan bahasa yang 

mereka me­ngerti.

Apa yang dilakukan Prof. Dr. Azyumardi ini patut di­har￾gai, sebab  dengan demikian ia telah menyajikan fakta-fakta 

sejarah kepada khalayak ramai. Ini bukanlah sesuatu yang kecil 

artinya, sebab  justru dengan cara demikianlah dapat dilakukan 

pendidikan masyarakat mengenai masa lampau negeri dan bang￾sa kita. Ini bahkan lebih besar jasanya daripada penyampaian 

hal-hal normatif yang sekarang mendominasi penyiaran kita. 

Kare­nanya, dibutuhkan lebih banyak orang-orang seperti Prof. 

Dr. Azra ini, yang pandai menghubungkan dunia ilmiah dengan 

masyarakat awam kita. Katakanlah dalam bahasa kuis televisi: 

“seratus untuk Pak Azra.”

eg

Namun, tak ada gading yang tak retak, kalau meminjam 

ung­kapan terkenal berikut: “manusia adalah tempat kesalahan 

dan kelalaian (al insân mahallu al khatha’ wa al-nisyân).” Ada 

se­­dikit kesalahan dalam penyampaian beliau akan sejarah masa 

lam­pau kita. Beliau menyatakan, bahwa ba­nyak penyimpangan 

yang disebabkan oleh adat dan budaya kita dari masa sebelum 

itu, kemudian oleh ulama kita disesuaikan de­ngan hukum-hu￾kum agama (fiqh) yang formal. Disimpulkan dari situ, bahwa 

mereka para ulama melakukan pemurnian Islam. Dan pemur￾nian itu se­benarnya adalah upaya untuk memelihara keabsahan 

ajaran-ajaran agama Islam di negeri kita.


Dalam hal ini, apa yang diuraikan secara umum oleh Prof. 

Dr. Azra itu, berlaku untuk para ulama umumnya di kawasan ini 

pada masa lampau. Juga dengan percontohan mereka, seperti 

terlihat dalam pelaksanaan akhlak dan penerapan ibadah, me￾re­ka para ulama itu telah merintis “ketaatan” agama yang luar 

bia­sa pada bangsa kita, yang masih terpelihara sampai hari ini di 

ha­dap­an “pembaratan” (westernisasi) yang dianggap sebagai mo￾der­nisasi. Proses seperti ini, yang berjalan sangat lambat selama 

berabad-abad lamanya, sangat ditentukan oleh percon­toh­an yang 

diberikan elite kepada masyarakat kita. Inilah sebe­nar­nya yang 

ha­rus kita ingat, sebab  kuatnya kecenderungan elite politik kita 

dewasa ini hanya untuk mengejar keuntungan pribadi/golongan, 

di atas kepentingan bangsa secara keselu­ruh­an.

eg

Hal yang dilupakan Prof. Dr. Azra, adalah menyebutkan 

juga fungsi lain yang dilakukan oleh Syekh Arsyad al-Banjari 

de­­­­gan karyanya Sabîl al-Muhtadîn, yang sekarang ini juga men￾jadi nama Masjid Raya/Agung di Kota Banjarmasin. Apa yang 

dilupakan Dr. Azra, adalah bahwa dalam karya ini  Syekh 

Arsyad juga melakukan sebuah pembaharuan terbatas atas hu￾kum-hukum agama (fiqh). Dalam karyanya itu, beliau me­­nyam￾paikan hukum agama Perpantangan. Hukum agama ini je­las 

mem­perbaharui hukum agama pembagian waris (farâidh) seca￾ra umum. Kalau biasanya dalam hukum agama itu di­se­but­kan, 

ahli waris lelaki menerima bagian dua kali lipat ahli waris perem￾puan. Beliau beranggapan lain halnya dengan adat Banjar yang 

berlaku di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan 

dewasa ini.

Dalam karyanya itu, beliau menganggap untuk masyara￾kat bersungai besar, seperti di Kalimantan Selatan, harus di­ingat 

adanya sebuah ketentuan lain. Yaitu, rejeki di kawasan itu ada￾lah hasil kerjasama antara suami dan istri. Ketika sang suami 

ma­suk hutan mencari damar, rotan, kayu dan sebagainya, maka 

istri men­jaga jangan sampai perahu yang ditumpangi itu tidak 

ter­ba­wa arus air, di samping kewajiban lain seperti menanak 

nasi dan sebagainya. Dengan demikian, hasil-hasil hutan yang 

dibawa pulang adalah hasil karya dua orang, dan ini tercermin 

dalam pembagian harta waris. Menurut adat Perpantangan itu,

harta waris dibagi dahulu menjadi dua. Dengan paroh partama 

di­se­rah­kan kepada pasangan yang masih hidup, jika suami atau 

istri meninggal dunia dan hanya paroh kedua itu yang dibagikan 

secara hukum waris Islam.

Dengan demikian, Syekh Arsyad melestarikan hukum aga￾ma Islam (fiqh) dengan cara melakukan pembaharuan ter­ba­tas. 

Namun, pada saat yang bersamaan, beliau juga melakukan pe￾nyebaran agama Islam dan memberikan contoh yang baik bagi 

masyarakatnya. Inilah jasa yang sangat besar yang kita kenang 

dari hidup beliau, sekembalinya ke tanah air di kawasan Nusan￾ta­ra ini. Hanya dengan inisiatif yang beliau ambil itu, dapat kita 

simpulkan dua hal yang sangat penting: pertama, kemampuan 

melakukan pembaharuan terbatas, kedua berjasa mendidik ma￾sya­­­rakat dalam perjuangan hidup selama puluhan tahun lama￾nya. Jasa dalam dua bidang ini sudah pantas membuat beliau 

memperoleh gelar, sebagai penghargaan atas jasa-jasa beliau 

yang sangat besar bagi kehidupan kita sebagai bangsa, di masa 

kini maupun masa depan.

Jasa Syekh Arsyad di bidang pembaharuan terbatas ini, 

da­pat disamakan dengan jasa Sultan Agung Hanyakrakusuma2

dalam dinasti para penguasa Mataram. Dengan menetapkan 

bah­wa tahun Saka, harus dimulai pada bulan Syura, dan bulan￾nya berjumlah tigapuluh hari. Hal yang sama juga dilaku­kan­nya 

atas hukum perkawinan-perceraian-rujuk yang berlaku hingga sa­at ini, yang diambilnya dari hukum agama Islam formal (fiqh). 

Dengan demikian “pembaharuan terbatas” yang dilakukan kedua 

to­koh ini  berjalan tanpa kekerasan, seperti yang di­ajarkan 

oleh agama Islam. Bukan dengan memakai  keke­ras­an, apala￾gi terorisme seperti yang dilakukan sebagian sangat kecil kaum 

mus­­limin yang tidak terdidik secara baik di negeri kita saat ini. 



Di akhir November tahun lalu, penulis diundang oleh se￾buah lembaga yang dipimpin Dr. Chandra Muzaffar1

untuk turut dalam sebuah diskusi di Malaysia. sebab  

tempat dan tanggal diskusi itu dirubah, penulis tidak dapat turut 

serta dalam pembahasan-pembahasan yang dilakukan. Penulis 

hanya mengirimkan sebuah makalah tertulis kepada lembaga 

itu, untuk dibahas dalam kesempatan ini . Mudah-mudah￾an dengan langkah itu penulis dapat turut serta dalam mem­­ba￾has masalah yang diperbincangkan, yaitu peranan agama da­lam 

mencari pemahaman yang benar tentang globalisasi. Ka­lau hal 

itu tercapai, berarti penulis telah mengambil bagian da­lam pem￾bahasan mengenai satu sisi globalisasi.

Memang, pembahasan mengenai globalisasi selalu sangat 

me­narik, bukankah hal itu menyangkut seluruh sisi kehidupan 

umat manusia? Sisi kolektif kehidupan manusia, se­per­­­ti perda￾gangan dan sistem keuangan, maupun sisi individual (pribadi) 

seseorang -seperti selera kita akan sesuatu, sangat ditentukan 

oleh pengertian kita akan globalisasi. Pengertian tertentu yang 

diambil itu, dengan sendirinya mengakibatkan sikap tertentu 

pula akan globalisasi. Pembahasan istilah ini  akan sa­ngat 

menarik, sebab  relevansinya dengan kehidupan umat manusia. 

Inilah yang mendorong penulis untuk mengirimkan ring­kas­an 

sumbangan pemikiran bagi jalannya pembahasan menge­nai pe­ran­an agama dan globalisasi yang berlangsung di Malaysia itu. 

Persoalannya terletak pada cara bagaimana kita memaha￾mi arti kata globalisasi ini . Sebuah pemahaman yang salah 

akan mengakibatkan pandangan yang salah pula, dan ini beraki￾bat pa­da pengambilan sikap yang tidak benar. Dengan demikian 

si­­kap kita, dan juga sikap agama-agama yang ada, harus diuji 

kebe­na­rannya melalui pengertian yang benar pula, dan memiliki 

ob­yektifitas yang diperlukan. Dengan demikian, jelaslah bahwa 

pengertian yang benar tentang kata ini  sangat diperlukan, 

kalau kita ingin memperoleh kesimpulan yang jelas dan benar.

eg

Dalam pengertian yang umum dipakai, kata globalisasi sa￾ngat dipahami sebagai dominasi usaha-usaha besar dan raksasa 

atas tata niaga dan sistem keuangan internasional yang kita ikuti. 

Ia juga dipahami sebagai pembentukan selera warga masyarakat 

secara global/mendunia yang juga turut kita nikmati saat ini. De￾re­t­an penjualan “makanan siap-telan” (fast food) menjadi saksi 

akan pemaknaan seperti itu. Selera kita ditentukan oleh pasar, 

bu­kannya menentukan pasar. Dari fakta ini saja sudah cukup un￾tuk menjadi bukti akan kuatnya dominasi ini . Pengertian 

lain globalisasi adalah dominasi komersial dan pengawasan atas 

sistem finansial dalam hubungan antar-negara, inilah yang seka￾rang menentukan sekali tata hubungan antara negara-negara 

yang ada. sebab nya, pembahasan arti kata globalisasi itu men￾ja­di sangat penting dan akan menentukan masa depan umat ma￾nusia. sebab  itulah kita juga harus turut berbicara, kalau tidak 

ingin nantinya arti itu ditentukan oleh pihak lain yang disebut￾kan di atas. 

Dalam hal ini, penulis menganggap arti kata globalisasi ini 

harus dipahami secara lebih serius, sebab  kalau kita lengah dan 

tidak memberikan perhatian, justru akan menjadi mangsa tata 

niaga internasional yang berlaku di seluruh dunia saat ini. Ma­ka￾nya, dari dulu penulis telah berkali-kali menyampaikan hal ini 

kepada masyarakat melalui pidato, ceramah, prasaran mau­pun 

artikel seperti ini. 

Sikap penulis ini hampir-hampir tidak pernah mendapat￾kan responsi-responsi yang kreatif. Walaupun penulis juga menge￾ta­hui banyak artikel ditulis untuk jurnal-jurnal ilmiah tentang hal ini, namun hampir seluruh karya-karya itu tidak mencapai 

pem­­baca kebanyakan dan dengan demikian masyarakat tidak 

turut pula dalam pembahasan mengenai arti kata globalisasi itu. 

Dengan demikian, pemahaman sepihak yang bersifat materi­alis￾tik atas kata itu tetap saja menjadi dominan. Penulis juga tahu 

bah­wa dengan tulisan ini pun, masyarakat tetap saja banyak 

yang tidak mengetahui adanya bermacam-macam pengertian 

dari kata ini , sebab  mungkin terlalu kecilnya upaya untuk 

meng­aju­kan pengertian lain, dari apa yang dimengerti masyara￾kat pada waktu ini. Namun, tulisan seperti itu harus dikemuka￾kan guna menunjang sebuah keputusan politik yang nanti akan 

di­ambil pada waktunya.

eg

Dengan kata lain penulis memiliki keyakinan, bahwa peru￾bah­an sebuah pengertian akan terjadi, jika ada pihak yang nan￾tinya mengambil kebijakan sesuai dengan kebutuhan ini . 

Ini akan terjadi jika ada pemerintahan yang benar-benar memi￾kir­kan kepentingan rakyat kebanyakan, dalam perimbangan ke￾kuat­an antara berbagai pemikiran di dunia ini. Jika nantinya ada 

pemerintahan yang benar-benar tidak rela akan adanya ketim￾pang­­an kekuatan luar biasa, antara negara-negara berteknologi 

maju dengan negara-negara yang sedang berkembang, tentu 

akan ada tindakan-tindakan untuk melakukan korek­si terhadap 

ketimpangan ini . Upaya korektif itulah yang akan menim￾bulkan pengertian yang benar atas kata globalisasi itu.

Islam mengajarkan perlunya dijaga keseimbangan antara 

hal-hal yang mengatur kehidupan manusia, mengapa? sebab  

hanya dengan keseimbangan itulah keadilan dapat dijaga dan 

akan berlangsung baik dalam kehidupan individual maupun 

ko­­­lektif kita. Sangat banyak kata “i’dilû” (berlakulah yang adil) 

dimuat dalam kitab suci al-Qur’ân, maka mau tidak mau pemi­kir￾an tentang masyarakat harus bertumpu pada kebijakan ini . 

Kata “al-qisthu” (keadilan) juga demi­ki­an banyak terdapat dalam 

pemikiran Islam, seperti “Wahai orang-orang beriman, tegak￾kan keadilan dan jadilah saksi bagi Tuhan kalian, walau akan 

merugikan (sebagian dari kalangan) kalian sendiri (yâ ayyuha 

al-ladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi al-qisthi syuhadâ’a li al￾lâhi walau ‘alâ anfusikum)” (QS al-Nisa [4]:135).Jadi, jelaslah bahwa upaya menegakkan pengertian yang 

benar atas kata “globalisasi” sangat terkait dengan penegakan 

keseimbangan antara berbagai kekuatan di dunia ini, yang juga 

berkaitan dengan pemikiran akan keadilan dalam pandangan 

Islam. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan ungkapan po￾pu­ler “Sebaik-baik perkara/persoalan, adalah yang (terletak) 

di tengah-tengah” (khairu al ‘umur ausâthuhâ). Jelaslah dari 

ha­dits tadi, Islam sangat terkait dari sudut pemikiran kese­im￾bang­­an antar-negara. Dengan kata lain, Islam sebenarnya ti­dak 

merelakan ketimpangan yang terjadi pada saat ini. 


Beberapa belas tahun lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan In￾donesia (LIPI) mengadakan penelitian tentang 14 sistem 

budaya daerah di negeri kita. Sistem budaya daerah Aceh 

hingga Nusa Tenggata Timur (NTT) diteliti, termasuk sistem bu￾daya Jawa I dan Jawa II. Yang dimaksudkan dengan sistem buda￾ya Jawa I adalah sistem budaya Jawa yang ada di daerah-daerah 

pusat keraton, seperti Yogyakarta dan Solo. Sebaliknya, sistem 

bu­daya Jawa II adalah Jawa pinggiran, terutama di Jawa Timur. 

Budaya pesantren, dalam hal ini, termasuk sistem budaya Jawa 

II.

Hasil yang sangat menarik dari penelitian ini , yang 

di­pimpin Dr. Mochtar Buchori, adalah pentingnya menerapkan 

sis­tem-sistem ini  di saat sistem modern belum dapat dite￾rap­­kan. Sistem budaya Ngada di Flores Timur, umpamanya, 

ada­­lah substitusi bagi sistem hukum nasional kita di daerah itu, 

ketika belum berdiri lembaga pengadilan di sana. Kode etik Siri 

dalam masyarakat Bugis, yang berintikan pembelaan terhadap 

kehormatan diri, tidaklah lekang pada masa ini. Beberapa kejadi￾an penggunaan badik untuk mempertahankan diri, di berbagai 

dae­rah di kalangan orang Bugis, jelas menunjukkan adanya pe­ne￾rap­an nilai-nilai yang berlaku dalam sistem budaya daerah Bugis 

itu. 

Penelitian menunjukkan, terdapat kemampuan hidup sis￾tem budaya daerah ki­ta di tengah-tengah arus modernisasi yang 

datang tanpa dapat dice­gah. sebab nya, sikap yang tepat adalah bagaimana meman­fa­at­kan sistem budaya daerah di suatu tem￾pat dalam satu perio­de, dengan dua tujuan: menunggu mapan￾nya masyarakat dalam menghadapi modernisasi, dan mengelo￾la arus perubahan untuk tidak datang secara tiba-tiba. Dengan 

cara demikian, kita dapat mengurangi akibat-akibat mo­der­nisasi 

menjadi sekecil mungkin.

eg

Clifford Geertz1

 dari Universitas Princeton, menganggap 

kyai/ulama’ pesantren sebagai “makelar budaya” (cultural bro￾ker). Dia menyimpulkan demikian, sebab  melihat para kyai 

mela­ku­kan fungsi screening bagi budaya di luar masyarakatnya. 

Nilai-nilai baru yang dianggap merugikan, disaring oleh mereka 

agar tidak menang­gal­kan budaya lama —kyai bagaikan dam/

waduk yang me­nyim­pan air untuk menghidupi daerah sekitar. 

Namun pengaruh bu­da­ya luar yang datang ke suatu daerah, 

bagaikan permukaan air yang naik oleh adanya bendungan itu. 

Masyarakat dilindungi dari penga­ruh-pengaruh negatif, dan di￾biar­kan mengambil pe­nga­ruh-pengaruh luar yang positif. 

Hiroko Horikoshi dalam disertasinya2

 berhasil membukti￾kan bahwa Kyai mengambil peranan sendiri untuk merumus￾kan ge­rak pembangunan di tempat mereka berada. Ini berarti, 

menurut Horikoshi reaksi pesantren terhadap modernisasi tidak￾lah sama dari satu ke lain tempat. Dengan demikian, tidak akan 

ada sebuah jawaban umum yang berlaku bagi semua pesantren 

terhadap tantangan pro­ses modernisasi. Dengan kata lain, Hori￾koshi menolak pendapat Geertz di atas.

Menurut Horikoshi, masing-masing pe­santren dan Kyai 

akan mencari jawaban-jawaban sendiri —dan, dengan demikian 

tidak ada jawaban umum yang berlaku bagi semua dalam hal 

ini. Pendapat Geertz di atas, dengan sendirinya, terbantahkan oleh temuan-temuan yang dilakukan Horikoshi terhadap reaksi 

Kyai Yusuf Thojiri dari Pesantren Cipari, Garut, atas tantangan 

modernisasi. Pesantren yang dipimpin oleh besan mendiang 

KH. Anwar Musaddad itu, tentu memberikan reaksi lain terha￾dap proses modernisasi. Pesantren yang sekarang dipimpin oleh 

Ustadzah Aminah Anwar Musaddad itu, sekarang justru tertarik 

pada upaya mendukung Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang 

bergerak di bidang garment dan pelestarian lingkungan alam 

melalui penghutanan kembali.

eg

Jelaslah dengan demikian, bahwa bermacam cara dapat 

digunakan untuk mengenal berbagai reaksi terhadap proses mo￾dernisasi. Ada reaksi yang memakai  warisan sistem budaya 

daerah, tapi ada pula yang merumuskan reaksi mereka dalam 

bentuk tradisi yang tidak tersistemkan. Ada pula reaksi yang 

bersifat temporer, tapi ada pula yang bersifat permanen. Ada 

yang ber­­pola umum, tapi ada pula yang memakai  cara-cara 

khu­sus dalam memberikan reaksi. 

Kesemuannya itu dapat disimpulkan, ke­eng­­ganan mene­ri￾ma bulat-bulat apa yang dirumuskan “orang lain” untuk diri kita 

sendiri. Proses pribumi­sasi (nati­visasi) berlangsung dalam ben￾tuk bermacam-macam, pa­­da saat tingkat penalaran dan keteram￾pilan berjalan, melalui ber­­­bagai sistem pen­di­dikan. Dengan de￾mi­kian, proses pe­ngem­­bang­an Sum­ber Daya Manusia (SDM) 

di negara kita  ber­jalan da­lam dua arah yang berbeda. Di satu pi￾hak, kita menerima pengalihan teknologi dan keterampilan dari 

bangsa-bangsa lain, melalui sistem pendidi­kan formal —maka, 

lahirlah tenaga-tenaga profesio­nal untuk me­nge­­lolanya. Di pi￾hak lain, pendidikan infor­mal kita justru meno­lak pendekatan 

menelan bulat-bulat apa yang datang dari luar. 

Dengan demikian, tidaklah heran jika ada dua macam 

jalur komunikasi dalam kehidupan bangsa kita. Di satu sisi, kita 

memakai  jalur komunikasi modern, yang bersandar pada 

sistem pendapat formal dan media massa. Media massa pun, 

yang dahulu sangat takut pada kekuasaan pemerintah, kini jus￾tru tunduk terhadap kekuasaan uang; dengan kemampuan yang 

belum berkembang menjadi proses yang efektif. Di sisi lain, di￾gunakan jalur lain, yaitu komunikasi langsung de­ngan massa kongregasi jama’ah masjid/surau, gereja, pengajian-penga­jian 

khalayak/majelis ta’lim, kelenteng/vihara, merupa­kan saluran 

wahana langsung ini . Apalagi, jika seseorang atau kelom￾pok mampu mengguna­kan kedua jalur komunikasi itu, tentu 

akan menjadikan sis­tem po­litik kita sekarang dan di masa depan 

menjadi sangat trans­paran, akan menjadi lahan menarik untuk 

dapat dipelajari dan diamati dengan seksama.


Sebagaimana diketahui “Tombo Ati” adalah nama sebuah 

sajak berbahasa Arab ciptaan Sayyidina Ali, yang oleh KH. 

Bisri Mustofa dari Rembang (ayah KH. A. Mustofa Bisri) 

diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan memakai  ju￾dul ini . Dalam sajak itu, disebutkan 5 hal yang seha­rus­nya 

dilakukan oleh seorang muslim yang ingin mendekatkan diri ke￾pada Allah Swt. Kelima hal itu dianggap sebagai obat (tombo) 

bagi seorang Muslim. Dengan melaksanakan secara ter­atur ke￾lima hal yang disebutkan dalam sajak ini , dijanjikan orang 

itu akan menjadi Muslim “yang baik”. Dianggap demikian sebab  

ia me­lak­­sa­nakan amalan agama secara tuntas. Sajak ini sangat 

populer di kalangan para santri di Pulau Jawa, terutama di ling￾kungan pesantren.

sebab nya sangatlah penting untuk mengamati, adakah sa￾jak itu tetap digemari oleh kaum Muslimin Sunni tradisio­nal? 

Kalau ia tetap diles­tari­kan, maka hal itu menunjukkan kemam￾puan Muslimin Sunni tradisional menjaga budaya kesantrian 

mereka di alam serba modern ini. Jadi kemampuan sebuah ke￾lompok melestarikan se­buah sajak bukanlah “peristiwa lumrah”. 

Peristiwa itu justru menyentuh sebuah pergulatan dahsyat yang 

menyangkut budaya kelompok Sunni tradisional melawan proses 

modernisasi, yang dalam hal ini berbentuk westernisasi (pem￾baratan). Bahwa sajak itu, dalam bentuk sangat tradisional dan 

memiliki isi kongkret lo­kal (Jawa), justru membuat pertarungan 

budaya itu lebih me­narik untuk diamati. 

Sebuah proses maha besar yang meliputi jutaan jiwa warga 

masyarakat, sedang terjadi dalam bentuk yang sama sekali tidak terduga. Terlihat dalam sajak ini  yang berisi “pe­rin­tah 

agama” untuk berdzikir tengah malam, mengerti dan mema￾hami isi kandungan kitab suci al-Qur’ân, bergaul erat de­ngan 

para ulama dan berpuasa untuk menjaga hawa nafsu, ada­lah 

hal-hal utama dalam asketisme (khalwah) yang merupakan pola 

hidup ideal bagi seorang Muslim, yang menempa dirinya men￾jadi “orang baik dan layak” (shaleh). Jika anjuran itu diikuti oleh 

kaum Muslim dalam jumlah besar, tentu saja keseluruhan kaum 

Muslimin akan memperoleh “kebaikan” tertentu dalam hidup 

mereka. Gambaran itu sangat ideal, namun modernisasi datang 

untuk menantangnya.

eg

Dalam sebuah perhelatan perkawinan di Kota Solo, penulis 

mengalami sendiri hal itu. Ketika sebuah kelompok band menam￾pilkan permainan lagu Tombo Ati itu secara “modern”. Penulis 

sa­ngat tercengang. Pertama, oleh kenyataan sebuah produk sas￾tra yang sangat kuno (walaupun berupa terjemahan) dapat disaji￾kan dalam irama yang tidak terduga sama sekali. Mungkin irama 

jazz itu bercampur dengan langgam Jawa, namun ia tetap saja 

sebuah iring­an jazz. Mungkin tidak semodern permainan Sadao 

Wata­nabe1

, namun bentuk jazz dari Tombo Ati itu tetap tampak 

dalam sajian sekitar 5 menit itu.

Di sini kita sampai kepada sebuah kenyataan, munculnya 

ber­bagai bentuk dan sajian tradisional dengan mempertahan￾kan “hakikat keaslian” di hadapan tantangan modernitas. Tidak 

ha­­nya penampilan alat-alat musiknya saja, melainkan dalam 

per­u­­bah­an fungsi dari sajak itu sendiri. Kalau semula sajak itu 

dimaksudkan sebagai pesan moral sangat ideal bagi kaum Mus￾limin, namun dalam pagelaran ini  berubah peran menjadi 

sebuah hiburan.

Tentu saja kita tidak dapat menyamakan pagelaran musik 

yang menggemakan Tombo Ati dengan Debus dari Banten, yang 

memperagakan manusia tidak berdarah ketika ditusuk benda ta￾jam. Kita tidak menyadari, se­benarnya untuk melakukan pertun￾jukan Debus itu, seseorang yang belasan tahun “tirakat” harus­lah menahan diri dari kebiasaan-kebiasaan me­ma­kan sejumlah 

makanan dan membatasi kebiasaan yang di­­jalankan dalam ke￾hidupan sehari-hari. Dengan demikian untuk menjalankan per￾tunjukan itu terda­pat keyakinan agama dan latihan-latihan mere￾duk­si kebiasaan sehari-hari.

Penampilan sajak Tombo Ati dalam sajian jazz adalah se￾suatu yang sangat menarik untuk diamati. Jelas dari pe­nam­pilan 

Tombo Ati itu terjadi sebuah proses yang oleh para pengamat 

perkembangan masyarakat disebut sebagai perjumpa­an (en￾counter) antara peradaban tradisional dengan peradaban mo￾dern. Dilanjutkan dengan “proses tawar menawar” (trade off) 

yang sering terasa aneh, sebab  menampilkan sesuatu yang tidak 

tradisional maupun modern. Kemampuan melakukan tawar-me￾na­war seperti itulah, yang sekarang dihadapi kebudaya­an kita. 

Ini adalah kenyataan hidup yang harus dihadapi bukan­nya dihar￾dik atau disesali (seperti terlihat dari sementara reaksi berlebih￾an atas pagelaran “ngebor” dari Inul). 

eg

Perjumpaan antara yang tradisional dan yang modern itu 

dimungkinkan oleh kerangka komersial yang bernama pari­wi￾sata. Namun dalam tradisio­nalis­me ada juga mengandung watak￾watak yang tidak komersial, dan harus didorong untuk maju. 

Perjumpaan juga terjadi antar aga­ma. Contohnya, keti￾ka agama Buddha dibawa oleh Dinasti Syailendra ke pu­lau 

Jawa dan bertemu dengan agama Hindu yang sudah ter­lebih 

da­hulu datang, hasilnya adalah agama Hindu-Buddha (Bhai￾rawa). Agama Islam yang masuk ke negara kita  juga mengalami 

hal yang sama. Perjumpaan antara ajaran formal Islam dengan 

budaya Aceh misalnya melahirkan “seni kaum Sufi” seperti tari 

Seudati, yang dengan indahnya digambarkan oleh James Siegel 

dalam Rope of God.

2

 Berbeda dari model Minangkabau yang 

mengalami perbenturan dahsyat bidang hukum agama, antara 

hukum formal Islam dan ketentuan-ketentuan adat. Hasilnya 

adalah ketidak­pas­tian sikap yang ditutup-tutupi oleh ungkapan Adat Basandi Sara’ dan Sara’ Basandi Kitabullah .”3

 Di Gua 

(Sumatera Selatan) yang terjadi adalah lain lagi, yaitu ketentuan 

Islam jalan terus, sedangkan hal-hal tradisional pra-Islam juga 

di­lakukan. Di pulau Jawa yang terjadi adalah hubungan yang 

dinamai oleh seorang akademisi sebagai “hubungan multi-kera￾to­nik.” Dalam hubung­an ini kaum santri mengembangkan pola 

kehidupan sendiri yang tidak dipengaruhi oleh “adat pra Islam” 

yang datang dari kera­ton.

Perkembangan keadaan seperti itu, mengharuskan kita 

me­nyadari bahwa setiap agama di samping ajaran-ajaran for￾mal yang dimilikinya, juga mempunyai proses saling mengam￾bil de­ngan aspek-aspek lain dari kehidupan budaya. Dari situ￾lah, kita ha­rus menerima adanya perkembangan empirik yang 

se­ring dinamakan studi kawasan mengenai Islam. Penulis meli￾hat perlunya studi kawasan itu untuk setidak-tidak­nya kawasan￾kawasan Islam berikut: Islam dalam masyarakat Afrika-Utara 

dan negara-negara Arab, kawasan Islam di Afrika Hitam, Islam 

dalam masyarakat Turki-Persia-Afganistan, Islam di masyarakat 

Asia Selatan, Islam di masyarakat Asia Tenggara dan masyara￾kat minoritas Islam yang berindustri maju. Kede­nga­rannya mu￾dah membuat studi kawasan (area-studies) Islam, tapi hal itu 

sebenarnya sulit dilaksanakan


Ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh 

me­reka yang meneriakan kebesaran Islam: “Islam itu 

unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala 

yu’la alahi).” Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka 

menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan ke￾jayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradaban-peradaban 

lain dengan menyerukan sikap “mengunggulkan“ Islam secara 

doktriner. Pendekatan doktriner seperti itu berbentuk pemujaan 

Islam terhadap “keunggulan” teknis peradaban-peradaban lain. 

Dari sinilah lahir semacam klaim kebesaran Islam dan keren­dah￾an peradaban lain, sebab  memandang Islam secara berlebihan 

dan memandang peradaban lain lebih rendah. 

Dari “keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap oto￾ri­­ter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menggangap 

orang atau peradaban lain sebagai yang bersalah atas kemundur￾an per­adaban lainnya. Akibat dari pandangan itu, segala macam 

cara dapat dipergunakan kaum muslim untuk mempertahankan 

ke­­ung­­­gulan Islam. Kemudian lahir semacam sikap yang melihat 

ke­­ke­­rasan sebagai satu-satunya cara “mempertahankan Islam”.

Dan lahirlah terorisme dan sikap radikal demi “kepentingan” Is￾lam. 

Mereka tidak mengenal ketentuan hukum Islam/fiqh bah￾wa orang Islam diperkenankan memakai  kekerasan hanya 

jika diusir dari kediaman mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim). 

Selain alasan ini  itu tidak diperkenankan memakai  

kekerasan terhadap siapapun, walau atas dasar keunggulan pan￾dangan Islam. Sesuai dengan ungkapan di atas maka jelas, me￾re­ka salah me­mahami Islam, ketika memaahami bahwa kaum 

muslimin dipe­r­ke­nankan memakai  kekerasan atas kaum lain. Inilah yang dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan 

ungkapan “Tiap kelompok bersikap bangga atas milik sendiri 

(kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS al-Mu’minûn [23]: 

54). Kalau sikap itu dicerca oleh al-Qur’ân, berarti juga dicerca 

oleh Rasul-Nya.

eg

Jelaslah sikap Islam dalam hal ini, yaitu tidak meng­angap 

rendah peradaban orang lain. Bahkan Islam mengajukan un￾tuk mencari keunggulan dari orang lain sebagai bagian dari 

pe­ngem­bangan­nya. Untuk mencapai keunggulan itu Nabi ber￾sabda “cari­lah ilmu hingga ke tanah Tiongkok (utlubû al-ilmâ 

walau bî al-shîn).” Bukankah hingga saat ini pun ilmu-ilmu ka￾jian keagamaan Islam telah berkembang luas di kawasan terse￾but? Dengan demi­ki­an, Nabi mengharuskan kita mencarinya ke 

mana-mana. Ini ber­arti kita tidak boleh apriori terhadap siapa￾pun, sebab  ilmu penge­ta­huan dan teknologi sekarang terdapat 

di mana-mana. Bah­kan teknologi maju yang kita gunakan adalah 

hasil ikutan (spend off) dari teknologi ruang angkasa yang dirin￾tis dan di­buat di bumi ini. Dengan demikian, teknologi antariksa 

juga meng­hasilkan hal-hal yang berguna bagi kehidupan kita se￾hari-hari. Pengertian “long­gar” seperi inilah yang dikehendaki 

kitab suci al-Qur’ân dan Hadits.

Lalu adakah “kelebihan teknis” orang-orang lain atas ka­um 

muslimin yang dapat dianggap sebagai “kekalahan” umat Islam? 

Tidak, sebab  amal perbuatan kaum muslimin yang ikh­las kepa￾da agama mereka memiliki sebuah nilai lebih. Hal itu di­nyatakan 

sendiri oleh Al-Qur’an: “Dan orang yang menjadikan selain Is￾lam sebagai agama, tak akan diterima amal perbuat­annya di akhi￾rat. Dan ia adalah orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira 

al-Islâmi dînan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-âkhirati 

min al-khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Dari kitab suci ini dapat 

diartikan bahwa Allah tidak akan menerima amal per­buatan 

seorang non-mus­lim, tetapi di dalam kehidupan sehari-hari kita 

tidak boleh memandang rendah kerja siapapun.

Sebenarnya pengertian kata “diterima di akhirat” berkait­an 

dengan keyakinan agama dan dengan demikian memiliki kuali￾tas tersendiri. Sedangkan pada tataran duniawi perbuatan itu 

ti­dak tersangkut dengan keyakinan agama, melainkan “secara

tek­nis” membawa manfaat bagi manusia lain. Jadi manfaat dari 

setiap perbuatan dilepaskan oleh Islam dari keya­kin­an agama 

dan sesuatu yang secara teknis memiliki kegunaan bagi manu￾sia diakui oleh Islam. Namun, dimensi “penerimaan” dari sudut 

keyakinan agama memiliki nilainya sendiri. Peng-Islaman per￾buatan kita justru tidak tergantung dari nilai “perbuatan tek­nis” 

semata, sebab  antara dunia dan akhirat memiliki dua dimensi 

yang berbeda satu dari yang lain.

eg

Dengan demikian, jelas peradaban Islam memiliki keung￾gul­­an budaya dari sudut penglihatan Islam sendiri, sebab  ada 

ka­itannya dengan keyakinan keagamaan. Kita diharuskan me￾ngem­­bangkan dua sikap hidup yang berlainan. Di satu pihak, 

kaum muslimin harus mengusahakan agar supaya Islam -sebagai 

agama langit yang terakhir- tidak tertinggal, minimal secara teo￾ritik. Tetapi di pihak lain kaum muslimin diingatkan untuk me­li￾hat juga dimensi keyakinan agama dalam menilai hasil budaya 

sendiri. Ini juga ber­ar­ti Islam menolak tindak kekerasan untuk 

mengejar ke­ter­­tinggalan “teknis” tadi. Walaupun kita menggu￾na­kan keke­rasan berlipat-lipat kalau memang secara budaya 

kita tidak memiliki pendorong ke arah kemajuan, maka kaum 

muslimin akan tetap ter­tinggal di bidang ilmu pengetahuan dan 

teknologi. Dengan demikian keunggulan atau ketertinggalan 

buda­ya Islam tidak terkait dengan penguasaan “kekuatan poli￾tik”, me­­lainkan dari kemampuan budaya sebuah masyarakat 

muslim un­tuk memelihara kekuatan pendorong ke arah kema￾juan, tek­no­logi dan ilmu pengetahuan.

Kita tidak perlu berkecil hati melihat “ke­­le­bihan” orang 

lain, sebab  hal itu hanya akibat belaka dari ke­­mam­puan bu￾daya mereka mendorong munculnya hal-hal baru yang bersifat 

“teknis”. Di sinilah letak pentingnya dari apa yang oleh Samuel 

Huntington disebut sebagai “perbenturan budaya (clash of civi￾lizations)”. Perbenturan ini secara positif harus dilihat sebagai 

perlombaan antar budaya, jadi bukanlah sesuatu yang harus di￾hindari.Beberapa tahun lalu penulis diminta oleh Yomiuri Shim￾bun, harian berbahasa Jepang terbitan Tokyo dan terbesar di 

dunia dengan oplah 11 juta lembar tiap hari, untuk berdiskusi 

dengan Pro­fesor Huntington, bersama-sama dengan Chan Heng 

Chee (dulu Direktur Lembaga Kajian Asia-Tenggara di Singa￾pura dan sekarang Dubes negeri itu untuk Amerika Serikat) dan 

Profesor Aoki dari Universitas Osaka. Dalam diskusi di Tokyo 

itu, penulis menyatakan kenyataan yang terjadi justru berten￾tangan dengan teori “perbenturan budaya” yang dikemukakan 

Huntington. Jus­tru sebaliknya ratusan ribu warga muslimin dari 

seluruh dunia belajar ilmu pengetahuan dan teknologi di nege￾ri-negeri Barat tiap tahunnya, yang berarti di kedua bidang itu 

kaum muslim saat ini tengah mengadopsi (mengambil) dari bu￾daya Barat.1

Nah, keyakinan agama Islam mengarahkan mereka agar 

memakai  ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mereka 

kem­bangkan dari negeri-negeri Barat untuk kepentingan ke­ma­­nu￾siaan, bukannya untuk kepentingan diri sendiri. Pada wak­tu­nya 

nanti, sikap ini akan melahirkan kelebihan budaya Islam yang 

mungkin tidak dimiliki orang lain: “kebudayaan yang tetap ber￾orientasi melestarikan perikemanusiaan, dan tetap me­lanjutkan 

misi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Kalau perlu 

harus kita tambahkan pelestarian akhlak yang sekarang meru￾pakan kesulitan terbesar yang dihadapi umat manusia di masa 

depan, seperti terbukti dengan penyebaran AIDS di seluruh du￾nia, termasuk di negeri-negeri muslim.


Minggu keempat bulan Desember 2002, penulis atas 

undangan Susuhunan Pakubuwono XII1

 dari Solo, me￾lan­cong ke Kuala Lumpur untuk dua malam. Penulis 

memperoleh undangan itu, sebab  Sri Susuhunan juga diundang 

oleh sejumlah petinggi Malaysia guna merayakan ulang tahun￾nya yang ke-80. Ini menunjukkan, bahwa pengaruh Keraton 

Solo Hadiningrat masih kuat hingga ke Negeri Jiran, seperti Ma￾laysia. Sudah tentu pengaruh ini  bersifat budaya/kultural 

saja, kare­na pengaruh politisnya sudah diambil alih pemerintah 

nege­ri kita. Inilah yang harus disadari, sebab  kalau yang di￾inginkan adalah pengaruh politik tentu akan kecewa.

Kunjungan ini  penulis lakukan tanpa memberitahu￾kan pihak Pemerintah Malaysia, terutama Kantor Perdana Mente￾ri Mahathir Muhammad, sebab  protokoler kunjungan ini  

tentu akan di­am­bil alih oleh pihak pemerintah federal, yang ka￾lau di Malay­sia disebut kerajaan. Pihak protokol akan membuat 

susah teman-te­man Malaysia yang ingin menjumpai penulis dan 

akan mem­­buat penulis tidak merdeka. Tentu, ini juga merupa￾kan pertanda bahwa kunjungan itu tidak mempunyai arti politis apa­­­pun. De­ngan demikian, penulis juga merasa tidak perlu mem￾be­ri­tahukan Kedutaan Besar Republik negara kita  (KBRI) Kuala 

Lumpur atas kunjungan ini . sebab  penulis tidak ingin di￾ganggu siapapun dalam melakukan kunjungan ini .

Pada hari kedua, penulis melakukan perjalanan selama tu￾juh jam (pulang-pergi) untuk melakukan ziarah ke makam Hang 

Tuah, di Tanjung Kling, negara bagian Malaka. Di tempat itu, 

kepada penulis dibacakan serangkaian tulisan yang menyer­tai 

be­berapa buah gambaran/lukisan tentang beliau. Katakanlah 

sema­cam diorama tentang kehidupan Hang Tuah,2

 yang sejak 

ma­sih muda sudah mengabdi kepada Raja/Sultan Malaka. Bah￾kan, oleh intrik istana ia diharuskan membunuh saudara seper￾guruan dan senasib sepenanggungan yaitu, Hang Jebat.3

 Harga 

inilah yang harus dibayar oleh Hang Tuah untuk pengabdiannya 

kepa­da Sultan. Ia adalah prototype “Korpri sempurna”, —seperti 

hal­nya Habib Abdurrahman al-Basyaibani, yang dikuburkan di 

Se­garapura, Kemantrenjero (sekarang terletak di Kecamatan Re￾joso, Pasuruan). Ia adalah nenek moyang penulis yang menjadi 

abdi dalem Sultan Trenggono dari Demak.

eg

Penulis mengemukakan bahwa Susuhunan Pakubuwono 

XII masih memainkan peranan penting dalam rangkaian ikatan 

budaya/kultural yang merekatkan kedua bangsa serumpun, Indo￾nesia dan Malaysia. Apapun perbedaan antara keduanya, na­mun 

persamaan yang ada haruslah dipupuk terus, agar meng­hasil­kan 

ikatan yang semakin kuat di hadapan tantangan moder­nisasi ke￾hidupan, yang sering berbentuk westerni­sasi (pembaratan). Di 

kala perkembangan politik justru mengarah­­kan negara kita  dan Malaysia untuk saling bersaing, namun per­saing­an itu sendiri 

haruslah diimbangi oleh ikatan-ikatan budaya/kultural yang 

sangat kuat. Seperti halnya Kanada, yang secara politis le­bih ter￾ikat kepada Kerajaan Inggris, yang terletak 9000 km di seberang 

lautan, walau secara kultural lebih dekat ke­pada Amerika Serikat 

yang secara geografis adalah negara jiran/tetang­ga.

Ikatan seperti ini, yaitu berdasarkan persamaan budaya 

an­tara dua negara, masih mempunyai kekuatan sendiri. Seperti 

negara jiran, Australia justru merasa lebih dekat kepada Keraja￾an Inggris atau Amerika Serikat, yang memiliki ikatannya sendi￾ri satu dengan yang lain dari sisi budaya. Inilah “kodrat alami” 

yang intensitasnya tidak dapat disangkal lagi oleh siapapun. 

sebab  itu, kemauan pihak Keraton Solo4

 sangatlah memiliki ar￾ti penting; ia menunjang kedekatan hubungan antara negara kita  

dan Malaysia.

sebab  itulah, penulis tidak mengerti mengapa ada pejabat 

negara kita  yang mengatakan bahwa Keraton Solo tidak penting 

artinya bila dibandingkan dengan keraton lainnya di Jawa. Ini 

adalah ucapan orang yang tidak mengerti peranan bu­da­ya sebuah 

keraton. Yang dimengerti orang itu hanyalah peran­an politisnya 

belaka, yang belum tentu memiliki kelang­geng­an dalam hubung￾an antara kedua bangsa. Padahal setiap kali kita memperhatikan 

hubungan antara dua bangsa serumpun, seperti negara kita  dan 

Malaysia, tentulah menjadi sangat penting untuk mengetahui 

pe­ranan politik atau peranan budayanyan. Kerancuan dalam 

melihat hal ini hanya akan mem­buat kita kepada keadaan tidak Dalam jamuan makan malam untuk menghormati ulang 

tahun ke-80 Susuhunan Pakubuwono XII di Kuala Lumpur itu, 

pe­nulis juga mengemukakan peran lain selain peran bu­da­ya itu. 

Pada saat ini, Malaysia dan Thailand sedang meng­uta­ma­kan 

pengembangan wilayah ke sebelah utara kawasan ASEAN –yaitu, 

Myanmar, Vietnam, Laos dan Kamboja. Secara po­li­tis, ini berarti 

Malaysia dan Thailand mengambil peranan po­litik lebih besar di 

wilayah utara kawasan ASEAN ini . Ini dapat dimengerti, 

ka­rena dua negara di wilayah selatan dari perhimpun­an ASEAN 

itu, yaitu Singapura dan In­do­nesia sedang dilanda krisis ma­sing￾masing. Dalam hal ini, Malaysia dan Thailand melakukan sebuah 

hal yang alami dan wajar, yaitu mengisi sebuah kekosongan politik.

Peran Malaysia di wi­la­yah sebelah utara kawasan ASEAN 

itu berja­lan sangat cepat, tidak seperti peran politik negara kita  di 

wila­yah selatan kawasan ini , yang terasa tidak bertambah 

sama sekali. Ini sebab  ASEAN belum dapat menerima Papua 

Nugini, Timor Lorosae dan negeri-negeri pasifik sebelah barat 

(western pacific states). Maka dengan sendirinya, lebih sulit 

bagi negara kita  untuk men­du­kung mereka secara kongkrit di bi￾dang politik, sedangkan hu­bungan budaya dengan wilayah terse￾but masih belum berkem­bang secara pesat. Keeratan hubungan 

budaya antara negara kita  dengan wilayah pasifik barat ini , 

akan sangat ditentukan oleh kerjasama ekonomi dan komersial. 

Peran budaya negara kita  dan peran bu­daya Malaysia di 

wilayah masing-masing itu, harus disam­bung­kan secara baik. 

Dalam hal ini, keraton Surakarta Hadining­rat mempunyai pelu￾ang sangat besar mengembangkan peranan ke­dua bangsa serum￾pun itu. Inilah yang harus senantiasa men­ja­di pegangan dalam 

meninjau posisi keraton dalam hubungan itu. Dan ini adalah 

peran alami, yang bagaimanapun juga tidak akan dapat diim￾bangi oleh hubungan yang direkayasa. Dalam hal ini, kita tidak 

memerlukan inter­vensi khusus. hKata “Raja” di Maluku, terutama Ambon, berarti kepala 

kam­pung/desa. Ada yang perempuan, ada pula yang laki￾laki; berfungsi sebagai pemimpin masyarakat dan sangat 

berpengaruh secara adat di lingkungan masyarakat mere­ka. Per￾gaulan mereka dengan rakyat yang dipimpin sangatlah erat, dan 

boleh dikata merekalah yang menjadi penentu (decision maker). 

Kalau para Raja dan berbagai dusun/desa setuju tentang sesuatu, 

biasanya itulah yang menjadi konsensus bersama yang diikuti 

rakyat. Dengan konsep adat mengenai fungsi para pemuka adat 

ini , seper­ti Raja dan sebagainya itu, membuat pemerintah 

dae­rah/pusat terbantu dalam melaksanakan tugasnya. Seperti 

memutuskan cara pe­nye­­lesaian bagi kasus konflik antar agama 

dan antar etnis pada saat-saat seperti sekarang ini dengan cara 

gerakan Baku Bae.

1

Dengan fungsi dari konsep adat tadi, mengharuskan pe￾me­rintah daerah dan pusat untuk bersikap rendah hati dalam 

memberikan tempat bagi pelaksanaan peran mereka. Bahkan 

kalau perlu seolah-olah hanya mereka-lah yang berperan, sedang 

pemerintah pusat dan dae­rah hanya bersifat membantu, teruta￾ma dalam konseptualisasi cara-cara yang diperlukan untuk me￾ng­atasi konflik yang terjadi. Dalam hal ini, peran para pemimpin 

agama dalam proses ter­sebut juga menjadi sangat penting. Baik para pemuka agama maupun adat, merupakan pihak-pihak yang 

dipercayai oleh warga masyarakat. sebab nya, kerjasama erat 

antara para pe­mim­pin informal seperti mereka itu, dan para pe￾mimpin for­mal (pejabat dae­rah dan pusat), sangat diperlukan 

dan merupakan sarat uta­ma bagi penyelesaian konflik-konflik 

yang terjadi.

Apalagi, kalau dalam konflik-konflik ini  terjadi pe­ng￾am­bilan peran oleh sebagian sangat kecil orang-orang yang me￾ngaku menjadi pemimpin masyarakat, atas nama agama atau ke￾lom­pok etnis yang ada. Inilah penyebab berlarutnya konflik, baik 

di Ambon maupun di Poso (Sulawesi Tengah) dan mungkin juga 

daerah-daerah lain. Melakukan identifikasi para pelaku perda￾maian ti­dak­lah mudah, dan sebab nya sering diambil tindakan 

pintas de­ngan membuat persetujuan atas penyelesaian konflik, 

melalui perjanjian-perjanjian seperti Malino, yang meliputi ber￾bagai pihak resmi maupun tidak resmi di ka­lang­an bangsa kita, 

dengan disaksikan oleh pihak negara-negara lain. Diharapkan, 

dengan penandatanganan Perjanjian Malino yang sudah berusia 

setahun itu, dapat dicapai sendi-sendi perdamaian antara ber￾bagai pihak yang terlibat dalam konflik agama maupun etnis di 

berbagai kawasan negara kita  Timur itu.

eg

Ini adalah kesimpulan pertemuan penulis dengan Barron￾ess Cox2

 di Majelis Tinggi (House of Lords) London, Inggris, 

per­tenga­h­an November 2002. Pertemuan itu sendiri berjalan 

sangat se­der­­ha­na di sebuah restoran dalam Gedung Parlemen 

Inggris, sambil san­tap malam. Namun, kesederhanaan itu tidak 

menutup kenya­ta­an akan pentingnya pertemuan ini . Bar￾roness Cox sedang mempersiapkan sebuah pertemuan antara 

para pe­mim­­pin agama bagi kedua daerah itu, sedangkan penulis 

da­lam hal ini ditunjuk sebagai Presiden Kehormatan (Honorary 

President) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Internasional3yang didi­ri­kan oleh tokoh itu yang bekerja khusus untuk men￾cari penye­lesaian bagi konflik berdasarkan agama maupun etnis 

di kawasan negara kita . Dalam pemikiran penulis, bah­wa bukan 

hanya para pemuka agama saja yang mempunyai pe­­ranan sangat 

menentukan dalam mencari penyelesaian bagi konflik-konflik 

ini , namun juga para pemuka adat, ternyata dapat diterima.

Dengan dasar yang disetujui itu, dalam waktu tidak terlalu 

lama lagi, pertemuan antar pemuka agama dan adat itu akan di­se￾lenggarakan, dan ini akan merupakan sumbangan besar bagi pe￾nyelesaian krisis yang terjadi di kedua kawasan ini . Ten­tu 

saja, dalam pertemuan ini  para pejabat pemerintah pusat 

dan daerah yang bersangkutan dengan masalah itu akan di­un￾dang sebagai peserta atau pemberi makalah. Ini adalah hal yang 

normal-normal saja, sebab  kerja mencari penyelesaian bagi 

kon­flik berdasarkan agama dan etnisitas ini  memang meru￾pakan kerja kolektif yang harus diselesaikan dengan baik.

sebab nya, prinsip-prinsip penyelesaian berbagai konflik 

di kedua kawasan itu merupakan kerja awal yang harus ditanga￾ni dengan tuntas. Penulis sendiri meminta kepada Barroness 

Cox supaya penyelesaian masalah ini  dapat dilakukan se￾cara alami (natural).

Putri sulung penulis, Alissa Munawarah, yang tinggal di 

Yogyakarta terlibat sangat mendalam pada proses penciptaan 

ga­gasan Baku Bae itu. Beberapa orang pemimpin adat telah 

mene­­mui penulis, dalam kedudukan sebagai presiden. Ternyata 

perkembangan keadaan selama lebih setahun ini sangat meng￾gem­birakan, walaupun di sana-sini masih ada upaya berbagai 

kelom­pok sangat kecil yang berusaha “memanaskan” situasi 

dan mencegah terjadinya proses penyelesaian yang diharapkan 

ini .

eg

Dengan sendirinya, gagasan penulis tentang peranan para 

pemuka adat itu memicu  pertanyaan-pertanyaan baru 

mengenai kedudukan mereka dalam kehidupan masyarakat In￾do­­nesia di masa depan. sebab  agama Islam juga mengem­bang￾kan nilai-nilai (values) yang penting bagi pembangunan dan pe￾rubahan sosial, dengan sendirinya lalu timbul pertanyaan; ni­lai 

Islam apakah yang paling tepat dikembangkan dalam hal ini? Juga ada sebuah pertanyaan lain: dalam perkembangan sosial 

se­perti itu, adakah tempat bagi pelaksanaan nilai-nilai Islam ter￾sebut? Dari kedua pertanyaan pokok ini  di atas, tentu juga 

muncul ba­nyak pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak akan di￾jawab di sini. Panjangnya ruangan untuk tulisan ini membatasi 

hal ini .

Sebuah nilai Islam (Islamic value) tepat untuk dipakai bagi 

peranan para pemuka adat ini , yaitu; “Tiada Islam tanpa 

kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepe￾mim­pinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa bi Jama’ah wala 

Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah).” Ini 

ber­arti, pemuka adat dapat menjadi pemimpin, sebab  sebuah 

ung­­kapan lain juga mengatakan: “hukum adat dapat saja diguna￾kan sebagai pedoman agama (al ‘âdatu muhakkamah),” yang 

menunjukkan pertalian antara hukum adat dan Islam, hingga 

benar adanya anggapan bahwa nilai-nilai Islam tidak berten­tang￾an dengan adat.

Kedua ungkapan di atas, harus diletakkan dalam sebuah 

kerangka, yaitu harus memberikan prioritas kepada kepentingan 

umum. Pengertian ke­pen­tingan umum itu adalah tindakan-tin￾dakan yang dalam li­te­ratur agama Islam diberi nama maslahah 

‘âmmah, yang harus tercermin dalam kebijakan yang diambil 

maupun tindakan yang dilaksanakan bagi kepentingan masyara￾kat/orang banyak oleh para pemimpin. 

Hal ini dengan jelas tergambar dalam adagium “kebijakan￾kebi­jakan/tindakan-tindakan seorang pemimpin harus terkait 

sepenuhnya dengan ke­pentingan masyarakat (tasharruf al￾lmâm ‘alâ al-ra’îyyah ma­nû­thun bi al-mashlahah).” Jadi jelas, 

prinsip kegunaan (asas manfaat) dan bukan sekedar berkuasa, 

menjadi ukuran keberhasilan atau ke­ga­galan seorang pemimpin. 

Para pe­muka agama dan para pe­mim­pin adat di masa depan ha￾rus mengambil peran lebih banyak sebagai pemimpin masyara￾kat. Dalam arti selalu mementingkan kese­jahteraan masyarakat 

dan bukannya kelangsungan lembaga-lembaga yang mereka 

pimpin. h


Penulis diundang oleh harian Memorandum untuk mem￾berikan ceramah Maulid Nabi Muhammad Saw, beberapa 

waktu yang lalu yang dihadiri ribuan massa, diantaranya 

para habaib yang datang dari berbagai penjuru Jawa Timur. Pe￾nu­lis sendiri disertai Prof. Dr. Mona Abaza1

 dari Mesir, Maria 

Pakpahan dan dr. Sugiat dari DPW PKB Jakarta. Dalam acara itu 

H. Moh. Aqiel Ali, selaku pemimpin umum harian ini menya­ta￾kan, peredaran oplaag harian ini  kini sudah mencapai 120 

ribu exemplar per hari, yang menjadikannya koran besar dengan 

pem­baca yang rata di Jawa Timur.

Maksud penulis mengajak Prof. Dr. Mona Abaza dan Maria 

Pakpahantercapai yaitu melihat sesuatu yang belum pernah me­re￾ka saksikan. Hal itu adalah digelarnya pembacaan shalawat Nabi 

dari Habib Al-Haddad dan sajak Burdah2

 dari Imam Al-Bushairi. Ketika memberikan ceramah, penulis mempertanyakan ada­kah 

para peraga kedua jenis pagelaran agama itu berlatih atas ke￾hendak sendiri sepanjang tahun, ataukah ada yang membiayai? 

Terdengar jawaban gemuruh; tidak! Ini artinya mereka tidak per￾nah mengkaitkan latihan sepanjang tahun dengan pem­biaya­an 

acara. Dengan kata lain, mereka berlatih atas inisiatif sendiri dan 

dibiayai oleh keinginan keras mengabdi pada agama.

Inisiatif sendiri tanpa ada yang menyuruh inilah yang oleh 

Marshall McLuhan, seorang pakar komunikasi,3

 sebagai “hap­pe￾ning (kejadian)”. Dicontohkan penulis dalam ceramah itu –seper￾ti yang terjadi di Masjid Raya Pasuruan, setiap tahun dua kali. 

Para pe­main rebana datang dari seluruh penjuru Jawa Ti­mur, 

setiap ke­lom­pok bermain sekitar 5-10 menit. Mereka da­tang 

sendiri dengan menyewa truk, memakai pakaian dan tan­da pe￾nge­nal serta makanan sendiri. Begitu juga kendaraan yang mere￾ka pakai, umumnya truk, disewa sendiri oleh tiap kelompok.

eg

Apa yang disebutkan sebagai happening oleh McLuhan itu, 

juga terjadi pada acara haul/peringatan upacara kematian Sunan 

Bonang di Tuban. Acara itu tidak memerlukan undangan dari 

pa­ni­tia, kecuali hanya berupa pemberitahuan yang sangat ter­ba￾tas, tidak lebih dari 300 orang saja, untuk mereka yang dise­dia￾kan tempat duduk. Sedangkan untuk puluhan ribu pengun­jung 

lainnya, mereka membawa sendiri tikar/koran bekas seba­gai 

alas duduk serta botol air untuk mereka minum sendiri, tanpa 

men­dapat undangan untuk hadir. Selama 43 tahun, muballigh 

kondang alm. KH. Yasin Yusuf dari Blitar, berpidato dalam acara 

haul ini , tanpa mendapatkan undangan dari panitia. Yang 

penting, ia dan rakyat pengunjung tahu hari dan tanggal acara 

haul ini , dan mereka datang atas dasar kesadaran mereka 

sendiri.

Ternyata, dalam hal-hal yang terjadi tanpa disiapkan ma￾tang-matang terlebih dahulu, pengamatan Marshall McLuhan 

itu terjadi. Happening itu terdapat di seluruh dunia dalam ben￾tuk dan ragam yang beraneka warna. Apakah implikasi dari hal 

ini ? Mudah saja pertanyaan itu untuk dapat dijawab: se￾lama hal-hal itu dianggap membawa berkah Tuhan dan terbuk￾tikan, maka selama itu pula kesuka-re­­­la­an akan menjadi pen￾dorongnya. Ini terjadi, dalam banyak bidang kehidupan yang 

memperagakan kekayaan kultural suatu kelompok, tanpa ada 

yang dapat melarangnya.

Dengan kata lain, kesukarelaan atas dasar keagamaan itu, 

adalah sesuatu yang menghidupi masyarakat kita. Apa yang ti￾dak diuraikan penulis dalam acara peringatan maulid Nabi Saw. 

itu, sebab  keterbatasan waktu, adalah keharusan bagi kita un￾tuk menerapkan secara lebih luas prinsip kesukarelaan di atas. 

Ter­uta­ma dalam kehidupan politik kita, perlu dipikirkan adanya 

se­buah sistem politik yang sesuai dengan ajaran agama tentang 

keikhlasan, kejujuran/ketulusan dan keterbukaan. Menjadi nya￾ta bagi kita, bahwa pembentukan sebuah sistem politik yang me￾mi­liki kandungan sangat beragam, benar-benar diperlukan saat 

ini.

Jelaslah bahwa aspek kesukarelaan dan keterbukaan sis￾tem politik itu sangat diperlukan dalam sikap dan landasan ke￾hi­­dupan kita sebagai bangsa. Sementara itu, happening se­ba￾gai­­mana yang diamati McLuhan itu ternyata memiliki arti yang 

mendalam bagi peneropongan akan fungsi ajaran agama terse￾but. Hal ini berlaku pula dalam politik. Pengingkaran terhadap 

kesukarelaan di bidang politik, ha­nya akan menghasilkan sistem 

po­litik yang memungkinkan sese­orang berbohong kepada rakyat. Pada minggu terakhir bulan September 2002, penulis di￾minta hadir pada sebuah pertemuan untuk membentuk 

sebuah Dewan Agama, yang akan menjadi organisasi pe￾nasehat bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York. 

Penulis yang seharusnya tidak berangkat, sebab  situasi di tanah 

air yang sangat sensitif, menganggap pertemuan ini  sangat 

penting, hingga penulis datang ke New York untuk hadir, walau￾pun tidak untuk seluruh pertemuan ini . Dalam pertemuan 

itu, penulis mendapat peluang waktu untuk berbicara selama tu￾juh menit saja, di hadapan begitu banyak negarawan, orang pan￾dai dan para pemimpin berbagai negara serta bermacam-macam 

corak organisasi.

Waktu tujuh menit yang disediakan untuk penulis pun ti￾dak seluruhnya dipakai, sebab  penulis hanya berbicara lima 

me­nit saja. Namun, pembicaraan selama lima menit itu ternyata 

meng­ubah jalannya pertemuan. Hampir seluruh peserta menjadi￾kan pidato penulis sebagai rujukan dalam pembicaraan dua hari 

berikutnya. Sebenarnya yang dikemukakan penulis da­lam per￾temuan ini  sa­ngat­lah sederhana saja, yakni: spiritualitas 

harus kem­bali ber­bicara dalam arena politik. Hal ini sebelumnya 

pernah di­ke­mu­ka­kan penulis sewaktu menerima gelar Doctor 

Honoris Causa di bidang Humaniora dari Universitas Soka Gak￾kai di Tokyo, pada bulan April 2002.Apa yang penulis kemukakan baik di Tokyo maupun di New 

York, adalah sebuah kenyataan bahwa berbagai organisasi ke￾agamaan yang besar di dunia ternyata menyokong partai-par­tai 

politik tertentu. Soka Gakkai selaku organisasi Buddha ter­besar 

di dunia sejak tiga dasawarsa terakhir ini, men­du­kung Partai Ko￾meito (partai bersih), yang sekarang menjadi mitra ju­nior bagi 

Partai Demokratik Liberal yang memerintah Jepang saat ini. Di 

India, RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangha) se­buah organisa￾si keagamaan Hindu terbesar yang didirikan pada tahun 1925, 

mendukung Bharatya Janatha Party (BJP), di bawah pimpinan 

Atal Behari Vajpayee yang memerintah India se­karang ini, meru￾pakan bukti tak terbantahkan tentang hal di atas. Demikian juga, 

Jam’iyyah al-Taqrib Baina al-Madzâhib, di ba­wah pim­pinan 

orang-orang seperti Ayatullah Wa’iz Zadeh, men­du­kung Presi￾den Iran Mohammad Khatami. Sedang orga­ni­sasi keagamaan 

seperti Nahdlatul Ulama di negara kita , mendu­kung Partai Ke￾bangkitan Bangsa (PKB).

eg

Apakah artinya semua ini? sebab  agama memiliki sudut 

pan­dang yang berdasarkan pada etika dan moralitas suatu 

bangsa, yang sudah hampir hilang dari kehidupan politik ber￾bagai bangsa. sebab  itu muncul reaksi dalam ber­bagai bentuk. 

Di kalangan gerakan-gerakan Kristiani, baik dari kaum Katolik 

maupun Protestan, timbul apa yang dinamakan se­bagai “tanda￾tanda zaman” ataupun pembebasan manusia dari keterkung￾kungan pandangan sekuler yang tidak mengacu pada etika dan 

moralitas. Maka, lahirlah sejumlah “alternatif-alter­natif”, seperti 

Teologi Pembebasan (liberation theology) yang di­bawakan oleh 

Leonardo Boff1

 dan kawan-kawan di Amerika La­tin dalam paruh 

kedua abad lalu. Ini membawa gaungnya sen­diri yang dipenuhi 

dengan perdebatan sengit di hampir semua pemi­kir keagamaan 

dari berbagai keyakinan yang ada saat ini. Dari “alternatif-alter￾natif” seperti inilah lahir kesadaran, bahwa harus dilakukan ber­bagai tindakan untuk menghidupkan kem­bali berbagai peranan 

agama, pada bidang-bidang yang strategis untuk kehidupan ber￾sama seluruh umat manusia.

Namun, perkembangan spiritualitas yang demikian hiruk￾pikuk, ternyata tidaklah bergema di bidang politik. Para politisi 

tetap saja sibuk dengan kepentingan-kepentingan me­reka, dan 

hampir-hampir tidak mau melihat etika, moral, dan kehi­­dup￾an umat manusia, kecuali secara manipulatif. lnilah yang me­­ru￾pakan hidangan sehari-hari yang kita saksikan saat ini, mulai 

dari berbagai skandal seksual, finansial maupun kultural yang 

melibatkan para pemimpin dari berbagai negara. Kenyataan pa￾ling jelas dari hal ini dapat dilihat pada bagaimana usaha banyak 

politisi untuk kepentingan pribadi ataupun golongan.

eg

Dekadensi moral itu, dalam artiannya yang luas, dapat di￾li­­hat pada lembaga PBB saat ini. Bahwa ada Dewan Keamanan 

(DK) dengan wewenang lima buah negara anggota untuk menja￾tuh­­kan veto, menunjukkan dengan jelas bahwa wawasan moral 

dan etika telah hilang dari badan politik tertinggi dunia saat ini. 

Dan, jika diperlukan, maka sebuah negara adi kuasa yang juga 

menjadi anggota tetap DK-PBB, yaitu Amerika Serikat (AS) dapat 

memaksakan kehendak untuk menyerbu Irak dan Afghanis­tan di 

luar kerangka PBB sendiri. Ketidakseimbangan ini jelas meru­pa￾kan hal yang memerlukan koreksi, untuk menyehatkan proses 

di dalamnya. Diantaranya, melalui penyadaran semua pihak 

akan pentingnya arti spiritualitas yang baru dalam perpolitikan 

tingkat dunia.

Dalam hal ini, penulis menerima penuh ketentuan dari 

ada­­­gium geopolitik “tak ada hegemoni dalam hubungan inter￾na­sio­nal” seperti yang diajarkan oleh para pemimpin Republik 

Rakyat Tiongkok (RRT) di bawah kekuasaan Mao Zedong atas 

Partai Komunis Tiongkok. Kebijakan tanpa hegemoni itu, men￾jadi ukuran penting yang harus diaplikasikan dalam hubungan 

internasiona oleh lembaga spiri­tualitas baru. Namun, pemikiran 

yang demi­kian me­na­rik ini sering juga dilanggar oleh para peng￾a­nutnya sendiri. Itu semua terjadi sebab  dia ditetapkan tanpa 

ada spiritualitas itu sendiri di dalamnya. Apabila geopolitik di￾lepaskan dari spiritualitas hubungan inter­nasio­nal, maka akan mem­buat­nya menjadi alat belaka bagi sikap hidup mate­ria­listik 

yang dikembangkan di luar ketentuan etis dan moral.

Oleh sebab  itu, harus dilihat dan selalu diper­timbang­kan 

sebuah tindakan yang akan diambil oleh sebuah negara, akan￾kah memenuhi kriteria keadilan dan kemakmuran bersama? 

Memang, pertanyaan ini kedengarannya sangat naif, namun bu￾kan­­kah kita sekarang sudah melihat akibat-akibat terjauh dari 

politik kepentingan (interest politics) dalam hubungan inter­na￾sio­­nal? Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra menye￾barkan gagasan, agar ada transaksi barter (counter trade) dalam 

hu­bung­an antar negara-negara berkembang, guna menghemat 

devisa an­tara mereka. Bukankah ini berarti sebagai sikap protes 

atas ke­ter­­gan­tung­an negara-negara berkembang kepada sebuah 

nega­ra saja, yaitu AS, dalam masalah devisa? Bukankah keter­gan￾tung­an ini sekarang juga terdapat dalam penggunaan mata uang

Euro dan Yen? Belum lagi diingat kekuatan Renminbi dari RRC, 

yang diper­kirakan akan turut menguasai pasaran uang dunia 

sepuluh tahun lagi? Bukankah dengan demikian menjadi nyata 

bagi kita, keper­luan akan sebuah spiritualitas baru? h

Dalam budaya Jawa, dikenal tembang anak-anak “Lir-ilir”.1

De­mikian terkenalnya tembang anak-anak itu, sehingga 

ia sering terdengar dibawakan bocah angon (anak gem￾bala ternak) di atas punggung kerbau pada sebuah sawah yang 

sedang kering kerontang di musim kemarau. Apa yang isti­me­wa 

dari tembang ini , hingga perlu diketengahkan mela­lui tu￾lisan ini? Apakah penulis kehabisan bahan untuk dibahas, hing￾ga ‘barang sekecil’ itu diketengahkan kembali dalam forum mu­lia 

ini? Bukankah itu sebuah tanda, bahwa penulis hanya meng­ada￾ada, dan mem­bahas sesuatu yang tidak ada artinya?

Sebenarnya, tidak demikian halnya. Justru dengan meng￾ungkapkan adanya hubungan antara aqidah Islam dan tem­bang 

anak-anak di atas, penulis ingin mengemukakan sebuah pen­de￾katan strategis yang ditempuh para pejuang muslim di ka­wa­san 

budaya Nusantara di masa lampau. Penulis ingin memper­ta­nya￾kan, pendekatan strategis mereka, benarkah memiliki efektifitas 

di masa lampau, waktu sekarang dan masa depan? Kalau pe­nulis 

dapat mengajak para pembaca tulisan ini untuk turut memikir￾kannya, tercapailah sudah tujuan penulis membahas ma­salah 

ini. Sebuah kerja sederhana, yang menyangkut masa depan umat 

Islam di negeri ini. Adakah sesuatu yang lebih mulia dari maksud 

di atas?Terus terang saja, artikel ini diilhami oleh beberapa tin￾dak kekerasan atas nama Islam yang terjadi di berbagai kawasan 

ne­ga­ra kita dalam masa setahun-dua terakhir ini. Seolah-olah 

stra­te­gi yang ditempuh melalui pendekatan sistematik itu, ha￾rus di­lak­sanakan dengan memakai  kekerasan atau dengan 

berbagai macam sweeping dan sejenisnya. Mungkin, sebab  

pe­mahaman bergaris keras dan bersifat militan mereka, dalam 

membela agama Islam di hadapan berbagai macam tantangan 

dewasa ini, yang mengakibatkan perlawanan disamakan dengan 

peng­gunaan kekerasan.

eg

Tembang anak-anak berjudul “lir-ilir” di atas, sebenarnya 

su­­dah berusia ratusan tahun, ia menjadi bagian inheren dari se￾buah pendekatan strategis yang dibawakan Sunan Ampel di akhir 

masa kejayaan Majapahit. Dalam tembang itu tergambar jelas 

pendekatan beliau dan rekan-rekan terhadap kekuasaan, sebuah 

model perjuangan yang menurut penulis, baik untuk di­jadikan 

kaca pembanding saat ini. Ketika itu, para Wali Sembilan (Wali 

Songo)2

 di Pulau Jawa sedang mengembangkan dengan sangat 

baik sistem kekuasaan yang ada. Para perintis gerakan Islam 

waktu itu, de­ngan sengaja mengusahakan hak bagi para penganut 

agama Islam untuk bisa hidup di hadapan raja-raja yang sedang 

ber­kuasa di Pulau Jawa. Cara mengusahakan agar hak hidup itu 

diperoleh, adalah dengan mengajarkan bahwa kaum muslimin 

dapat saja mem­punyai raja/penguasa non-muslim. Seperti Sunan 

Ampel mengakui keabsahan Brawijaya yang ber-agama Hindu￾Buddha (Bhairawa). Inilah yang akhirnya membuat Brawijaya V 

beragama Islam pada masa akhir hayatnya de­ngan gelar Sunan 

Lawu. Nah, strategi untuk memperkenalkan aga­ma Islam ke­pa￾da sistem kekuasaan yang ada, sangat jelas, yaitu menekan­kan pada pendekatan budaya daripada pendekatan ideologis yang 

sangat berbau politik. Dalam kerangka “membu­da­yakan” sebuah 

doktrin kalangan ahlus sunnah tradisional itu­lah, sebuah dok￾trin sentral dikemukakan melalui sebuah tem­bang anak-anak.

Doktrin yang dimaksud pandangan kaum Sunni tra­di￾sional itu ialah adanya kewajiban tunduk kepada peme­rintah 

oleh semua kaum muslimin tanpa pandang bulu. Di kalangan 

mereka ada ungkapan “para penguasa lalim untuk masa 60 ta￾hun, masih lebih baik dari pada anarki sesaat (imâmun fâjirun 

sittîna âmman khairun min faudhâ sâ ‘atin).” Ketundukan itu, 

sama sekali tidak memperhitungkan penggunaan kekuasaan se￾cara salah. Ketundukan kepada penguasa ini sebenarnya adalah 

doktrin kaum Sunni tra­di­­sional, yang sudah tentu sangat berla￾wanan dengan berba­gai ajaran dan orang-orang seperti Imam 

Ayatullah Khomenei dan Ali Syariati. 

eg

Doktrin di atas oleh Sunan Ampel dimasukkan da