ukanlah berbentuk puritanisme yang berlebihan, melainkan dalam kesadaran
membersihkan Islam dari ekses-ekses yang keliru ini .
Agama lainpun pernah atau sedang mengalami hal ini, seperti yang dijalani kaum Katholik dewasa ini. Reformasi yang
dibawakan oleh berbagai macam kaum Protestan, bagi kaum
Katholik dijawab dengan berbagai langkah kontrareformasi semenjak seabad lebih yang lalu. Pengalaman mereka itu yang
kemudian berujung pada teologi pembebasan (liberation theology),3
merupakan perkembangan menarik yang harus dikaji
oleh kaum muslimin. Ini adalah pelaksanaan dari adagium “perbedaan pendapat dari para pemimpin, adalah rahmat bagi umat
(ikhtilâf al-a’immah rahmat al-ummah).” Adagium ini
bermula dari ketentuan kitab suci al-Qur’ân: “Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling
mengenal (Wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû)”
(QS al-Hujurat(49):13). Makanya, cara terbaik bagi kedua belah
pihak, baik kaum tradisionalis maupun kaum pembaharu dalam
Islam, adalah mengakui pluralitas yang dibawakan oleh agama
Islam.
Prof. Dr. Azyumardi Azra, Rektor UIN Syarif Hidayatullah
di Ciputat menjelaskan dalam dialog dengan para mahasiswa di layar TVRI tanggal 26 Nopember 2002, tentang
penyebaran Islam di Nusantara. Ia mengemukakan bahwa Islam
disebarkan sejak berabad-abad yang lalu, di seluruh Nusantara
dengan berbagai karya para ulama kita dalam pengajian-pengajian. Di antara nama-nama yang disebutkan, terdapat nama
Syekh Arsyad Banjari (1710-1812)1
dari Martapura, Kalimantan
Selatan, ia dikirim oleh salah seorang sultan yang berkuasa di
kawasan ini untuk belajar belasan tahun lamanya di Mekkah. Namun, ia kembali ke Tanah Air dalam abad ke-18 M, dan
dikuburkan di Kelampayan, Martapura. Walaupun TVRI hanya
menampilkan gambar istana sultan di Martapura, namun sebenarnya saat ini ada pesantren di Kelampayan yang memiliki
santri (pelajar) berjumlah belasan ribu orang.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutkan betapa besar jasa
para ulama yang mengaji di Mekkah dan dan kembali ke tanah
air, dalam dua hal: penyebaran agama Islam di kawasan masingmasing, dan penerapan ajaran agama Islam secara lebih murni.
Pengawasan seorang pakar atas jalannya sejarah di bumi Nusantara ini haruslah dihargai, dan temuan-temuannya itu haruslah
diteruskan oleh para peneliti sejarah Nusantara. Hanya dengan
demikian, kita akan dapat mencapai mutu kesejarahan yang
tinggi, sebab didasarkan pada hasil-hasil kajian ilmiah yang
benar. Tentu saja, hasil-hasil kajian ini juga harus disiarkan melalui media khalayak kepada orang awam dengan bahasa yang
mereka mengerti.
Apa yang dilakukan Prof. Dr. Azyumardi ini patut dihargai, sebab dengan demikian ia telah menyajikan fakta-fakta
sejarah kepada khalayak ramai. Ini bukanlah sesuatu yang kecil
artinya, sebab justru dengan cara demikianlah dapat dilakukan
pendidikan masyarakat mengenai masa lampau negeri dan bangsa kita. Ini bahkan lebih besar jasanya daripada penyampaian
hal-hal normatif yang sekarang mendominasi penyiaran kita.
Karenanya, dibutuhkan lebih banyak orang-orang seperti Prof.
Dr. Azra ini, yang pandai menghubungkan dunia ilmiah dengan
masyarakat awam kita. Katakanlah dalam bahasa kuis televisi:
“seratus untuk Pak Azra.”
eg
Namun, tak ada gading yang tak retak, kalau meminjam
ungkapan terkenal berikut: “manusia adalah tempat kesalahan
dan kelalaian (al insân mahallu al khatha’ wa al-nisyân).” Ada
sedikit kesalahan dalam penyampaian beliau akan sejarah masa
lampau kita. Beliau menyatakan, bahwa banyak penyimpangan
yang disebabkan oleh adat dan budaya kita dari masa sebelum
itu, kemudian oleh ulama kita disesuaikan dengan hukum-hukum agama (fiqh) yang formal. Disimpulkan dari situ, bahwa
mereka para ulama melakukan pemurnian Islam. Dan pemurnian itu sebenarnya adalah upaya untuk memelihara keabsahan
ajaran-ajaran agama Islam di negeri kita.
Dalam hal ini, apa yang diuraikan secara umum oleh Prof.
Dr. Azra itu, berlaku untuk para ulama umumnya di kawasan ini
pada masa lampau. Juga dengan percontohan mereka, seperti
terlihat dalam pelaksanaan akhlak dan penerapan ibadah, mereka para ulama itu telah merintis “ketaatan” agama yang luar
biasa pada bangsa kita, yang masih terpelihara sampai hari ini di
hadapan “pembaratan” (westernisasi) yang dianggap sebagai modernisasi. Proses seperti ini, yang berjalan sangat lambat selama
berabad-abad lamanya, sangat ditentukan oleh percontohan yang
diberikan elite kepada masyarakat kita. Inilah sebenarnya yang
harus kita ingat, sebab kuatnya kecenderungan elite politik kita
dewasa ini hanya untuk mengejar keuntungan pribadi/golongan,
di atas kepentingan bangsa secara keseluruhan.
eg
Hal yang dilupakan Prof. Dr. Azra, adalah menyebutkan
juga fungsi lain yang dilakukan oleh Syekh Arsyad al-Banjari
degan karyanya Sabîl al-Muhtadîn, yang sekarang ini juga menjadi nama Masjid Raya/Agung di Kota Banjarmasin. Apa yang
dilupakan Dr. Azra, adalah bahwa dalam karya ini Syekh
Arsyad juga melakukan sebuah pembaharuan terbatas atas hukum-hukum agama (fiqh). Dalam karyanya itu, beliau menyampaikan hukum agama Perpantangan. Hukum agama ini jelas
memperbaharui hukum agama pembagian waris (farâidh) secara umum. Kalau biasanya dalam hukum agama itu disebutkan,
ahli waris lelaki menerima bagian dua kali lipat ahli waris perempuan. Beliau beranggapan lain halnya dengan adat Banjar yang
berlaku di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan
dewasa ini.
Dalam karyanya itu, beliau menganggap untuk masyarakat bersungai besar, seperti di Kalimantan Selatan, harus diingat
adanya sebuah ketentuan lain. Yaitu, rejeki di kawasan itu adalah hasil kerjasama antara suami dan istri. Ketika sang suami
masuk hutan mencari damar, rotan, kayu dan sebagainya, maka
istri menjaga jangan sampai perahu yang ditumpangi itu tidak
terbawa arus air, di samping kewajiban lain seperti menanak
nasi dan sebagainya. Dengan demikian, hasil-hasil hutan yang
dibawa pulang adalah hasil karya dua orang, dan ini tercermin
dalam pembagian harta waris. Menurut adat Perpantangan itu,
harta waris dibagi dahulu menjadi dua. Dengan paroh partama
diserahkan kepada pasangan yang masih hidup, jika suami atau
istri meninggal dunia dan hanya paroh kedua itu yang dibagikan
secara hukum waris Islam.
Dengan demikian, Syekh Arsyad melestarikan hukum agama Islam (fiqh) dengan cara melakukan pembaharuan terbatas.
Namun, pada saat yang bersamaan, beliau juga melakukan penyebaran agama Islam dan memberikan contoh yang baik bagi
masyarakatnya. Inilah jasa yang sangat besar yang kita kenang
dari hidup beliau, sekembalinya ke tanah air di kawasan Nusantara ini. Hanya dengan inisiatif yang beliau ambil itu, dapat kita
simpulkan dua hal yang sangat penting: pertama, kemampuan
melakukan pembaharuan terbatas, kedua berjasa mendidik masyarakat dalam perjuangan hidup selama puluhan tahun lamanya. Jasa dalam dua bidang ini sudah pantas membuat beliau
memperoleh gelar, sebagai penghargaan atas jasa-jasa beliau
yang sangat besar bagi kehidupan kita sebagai bangsa, di masa
kini maupun masa depan.
Jasa Syekh Arsyad di bidang pembaharuan terbatas ini,
dapat disamakan dengan jasa Sultan Agung Hanyakrakusuma2
dalam dinasti para penguasa Mataram. Dengan menetapkan
bahwa tahun Saka, harus dimulai pada bulan Syura, dan bulannya berjumlah tigapuluh hari. Hal yang sama juga dilakukannya
atas hukum perkawinan-perceraian-rujuk yang berlaku hingga saat ini, yang diambilnya dari hukum agama Islam formal (fiqh).
Dengan demikian “pembaharuan terbatas” yang dilakukan kedua
tokoh ini berjalan tanpa kekerasan, seperti yang diajarkan
oleh agama Islam. Bukan dengan memakai kekerasan, apalagi terorisme seperti yang dilakukan sebagian sangat kecil kaum
muslimin yang tidak terdidik secara baik di negeri kita saat ini.
Di akhir November tahun lalu, penulis diundang oleh sebuah lembaga yang dipimpin Dr. Chandra Muzaffar1
untuk turut dalam sebuah diskusi di Malaysia. sebab
tempat dan tanggal diskusi itu dirubah, penulis tidak dapat turut
serta dalam pembahasan-pembahasan yang dilakukan. Penulis
hanya mengirimkan sebuah makalah tertulis kepada lembaga
itu, untuk dibahas dalam kesempatan ini . Mudah-mudahan dengan langkah itu penulis dapat turut serta dalam membahas masalah yang diperbincangkan, yaitu peranan agama dalam
mencari pemahaman yang benar tentang globalisasi. Kalau hal
itu tercapai, berarti penulis telah mengambil bagian dalam pembahasan mengenai satu sisi globalisasi.
Memang, pembahasan mengenai globalisasi selalu sangat
menarik, bukankah hal itu menyangkut seluruh sisi kehidupan
umat manusia? Sisi kolektif kehidupan manusia, seperti perdagangan dan sistem keuangan, maupun sisi individual (pribadi)
seseorang -seperti selera kita akan sesuatu, sangat ditentukan
oleh pengertian kita akan globalisasi. Pengertian tertentu yang
diambil itu, dengan sendirinya mengakibatkan sikap tertentu
pula akan globalisasi. Pembahasan istilah ini akan sangat
menarik, sebab relevansinya dengan kehidupan umat manusia.
Inilah yang mendorong penulis untuk mengirimkan ringkasan
sumbangan pemikiran bagi jalannya pembahasan mengenai peranan agama dan globalisasi yang berlangsung di Malaysia itu.
Persoalannya terletak pada cara bagaimana kita memahami arti kata globalisasi ini . Sebuah pemahaman yang salah
akan mengakibatkan pandangan yang salah pula, dan ini berakibat pada pengambilan sikap yang tidak benar. Dengan demikian
sikap kita, dan juga sikap agama-agama yang ada, harus diuji
kebenarannya melalui pengertian yang benar pula, dan memiliki
obyektifitas yang diperlukan. Dengan demikian, jelaslah bahwa
pengertian yang benar tentang kata ini sangat diperlukan,
kalau kita ingin memperoleh kesimpulan yang jelas dan benar.
eg
Dalam pengertian yang umum dipakai, kata globalisasi sangat dipahami sebagai dominasi usaha-usaha besar dan raksasa
atas tata niaga dan sistem keuangan internasional yang kita ikuti.
Ia juga dipahami sebagai pembentukan selera warga masyarakat
secara global/mendunia yang juga turut kita nikmati saat ini. Deretan penjualan “makanan siap-telan” (fast food) menjadi saksi
akan pemaknaan seperti itu. Selera kita ditentukan oleh pasar,
bukannya menentukan pasar. Dari fakta ini saja sudah cukup untuk menjadi bukti akan kuatnya dominasi ini . Pengertian
lain globalisasi adalah dominasi komersial dan pengawasan atas
sistem finansial dalam hubungan antar-negara, inilah yang sekarang menentukan sekali tata hubungan antara negara-negara
yang ada. sebab nya, pembahasan arti kata globalisasi itu menjadi sangat penting dan akan menentukan masa depan umat manusia. sebab itulah kita juga harus turut berbicara, kalau tidak
ingin nantinya arti itu ditentukan oleh pihak lain yang disebutkan di atas.
Dalam hal ini, penulis menganggap arti kata globalisasi ini
harus dipahami secara lebih serius, sebab kalau kita lengah dan
tidak memberikan perhatian, justru akan menjadi mangsa tata
niaga internasional yang berlaku di seluruh dunia saat ini. Makanya, dari dulu penulis telah berkali-kali menyampaikan hal ini
kepada masyarakat melalui pidato, ceramah, prasaran maupun
artikel seperti ini.
Sikap penulis ini hampir-hampir tidak pernah mendapatkan responsi-responsi yang kreatif. Walaupun penulis juga mengetahui banyak artikel ditulis untuk jurnal-jurnal ilmiah tentang hal ini, namun hampir seluruh karya-karya itu tidak mencapai
pembaca kebanyakan dan dengan demikian masyarakat tidak
turut pula dalam pembahasan mengenai arti kata globalisasi itu.
Dengan demikian, pemahaman sepihak yang bersifat materialistik atas kata itu tetap saja menjadi dominan. Penulis juga tahu
bahwa dengan tulisan ini pun, masyarakat tetap saja banyak
yang tidak mengetahui adanya bermacam-macam pengertian
dari kata ini , sebab mungkin terlalu kecilnya upaya untuk
mengajukan pengertian lain, dari apa yang dimengerti masyarakat pada waktu ini. Namun, tulisan seperti itu harus dikemukakan guna menunjang sebuah keputusan politik yang nanti akan
diambil pada waktunya.
eg
Dengan kata lain penulis memiliki keyakinan, bahwa perubahan sebuah pengertian akan terjadi, jika ada pihak yang nantinya mengambil kebijakan sesuai dengan kebutuhan ini .
Ini akan terjadi jika ada pemerintahan yang benar-benar memikirkan kepentingan rakyat kebanyakan, dalam perimbangan kekuatan antara berbagai pemikiran di dunia ini. Jika nantinya ada
pemerintahan yang benar-benar tidak rela akan adanya ketimpangan kekuatan luar biasa, antara negara-negara berteknologi
maju dengan negara-negara yang sedang berkembang, tentu
akan ada tindakan-tindakan untuk melakukan koreksi terhadap
ketimpangan ini . Upaya korektif itulah yang akan menimbulkan pengertian yang benar atas kata globalisasi itu.
Islam mengajarkan perlunya dijaga keseimbangan antara
hal-hal yang mengatur kehidupan manusia, mengapa? sebab
hanya dengan keseimbangan itulah keadilan dapat dijaga dan
akan berlangsung baik dalam kehidupan individual maupun
kolektif kita. Sangat banyak kata “i’dilû” (berlakulah yang adil)
dimuat dalam kitab suci al-Qur’ân, maka mau tidak mau pemikiran tentang masyarakat harus bertumpu pada kebijakan ini .
Kata “al-qisthu” (keadilan) juga demikian banyak terdapat dalam
pemikiran Islam, seperti “Wahai orang-orang beriman, tegakkan keadilan dan jadilah saksi bagi Tuhan kalian, walau akan
merugikan (sebagian dari kalangan) kalian sendiri (yâ ayyuha
al-ladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi al-qisthi syuhadâ’a li allâhi walau ‘alâ anfusikum)” (QS al-Nisa [4]:135).Jadi, jelaslah bahwa upaya menegakkan pengertian yang
benar atas kata “globalisasi” sangat terkait dengan penegakan
keseimbangan antara berbagai kekuatan di dunia ini, yang juga
berkaitan dengan pemikiran akan keadilan dalam pandangan
Islam. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan ungkapan populer “Sebaik-baik perkara/persoalan, adalah yang (terletak)
di tengah-tengah” (khairu al ‘umur ausâthuhâ). Jelaslah dari
hadits tadi, Islam sangat terkait dari sudut pemikiran keseimbangan antar-negara. Dengan kata lain, Islam sebenarnya tidak
merelakan ketimpangan yang terjadi pada saat ini.
Beberapa belas tahun lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan penelitian tentang 14 sistem
budaya daerah di negeri kita. Sistem budaya daerah Aceh
hingga Nusa Tenggata Timur (NTT) diteliti, termasuk sistem budaya Jawa I dan Jawa II. Yang dimaksudkan dengan sistem budaya Jawa I adalah sistem budaya Jawa yang ada di daerah-daerah
pusat keraton, seperti Yogyakarta dan Solo. Sebaliknya, sistem
budaya Jawa II adalah Jawa pinggiran, terutama di Jawa Timur.
Budaya pesantren, dalam hal ini, termasuk sistem budaya Jawa
II.
Hasil yang sangat menarik dari penelitian ini , yang
dipimpin Dr. Mochtar Buchori, adalah pentingnya menerapkan
sistem-sistem ini di saat sistem modern belum dapat diterapkan. Sistem budaya Ngada di Flores Timur, umpamanya,
adalah substitusi bagi sistem hukum nasional kita di daerah itu,
ketika belum berdiri lembaga pengadilan di sana. Kode etik Siri
dalam masyarakat Bugis, yang berintikan pembelaan terhadap
kehormatan diri, tidaklah lekang pada masa ini. Beberapa kejadian penggunaan badik untuk mempertahankan diri, di berbagai
daerah di kalangan orang Bugis, jelas menunjukkan adanya penerapan nilai-nilai yang berlaku dalam sistem budaya daerah Bugis
itu.
Penelitian menunjukkan, terdapat kemampuan hidup sistem budaya daerah kita di tengah-tengah arus modernisasi yang
datang tanpa dapat dicegah. sebab nya, sikap yang tepat adalah bagaimana memanfaatkan sistem budaya daerah di suatu tempat dalam satu periode, dengan dua tujuan: menunggu mapannya masyarakat dalam menghadapi modernisasi, dan mengelola arus perubahan untuk tidak datang secara tiba-tiba. Dengan
cara demikian, kita dapat mengurangi akibat-akibat modernisasi
menjadi sekecil mungkin.
eg
Clifford Geertz1
dari Universitas Princeton, menganggap
kyai/ulama’ pesantren sebagai “makelar budaya” (cultural broker). Dia menyimpulkan demikian, sebab melihat para kyai
melakukan fungsi screening bagi budaya di luar masyarakatnya.
Nilai-nilai baru yang dianggap merugikan, disaring oleh mereka
agar tidak menanggalkan budaya lama —kyai bagaikan dam/
waduk yang menyimpan air untuk menghidupi daerah sekitar.
Namun pengaruh budaya luar yang datang ke suatu daerah,
bagaikan permukaan air yang naik oleh adanya bendungan itu.
Masyarakat dilindungi dari pengaruh-pengaruh negatif, dan dibiarkan mengambil pengaruh-pengaruh luar yang positif.
Hiroko Horikoshi dalam disertasinya2
berhasil membuktikan bahwa Kyai mengambil peranan sendiri untuk merumuskan gerak pembangunan di tempat mereka berada. Ini berarti,
menurut Horikoshi reaksi pesantren terhadap modernisasi tidaklah sama dari satu ke lain tempat. Dengan demikian, tidak akan
ada sebuah jawaban umum yang berlaku bagi semua pesantren
terhadap tantangan proses modernisasi. Dengan kata lain, Horikoshi menolak pendapat Geertz di atas.
Menurut Horikoshi, masing-masing pesantren dan Kyai
akan mencari jawaban-jawaban sendiri —dan, dengan demikian
tidak ada jawaban umum yang berlaku bagi semua dalam hal
ini. Pendapat Geertz di atas, dengan sendirinya, terbantahkan oleh temuan-temuan yang dilakukan Horikoshi terhadap reaksi
Kyai Yusuf Thojiri dari Pesantren Cipari, Garut, atas tantangan
modernisasi. Pesantren yang dipimpin oleh besan mendiang
KH. Anwar Musaddad itu, tentu memberikan reaksi lain terhadap proses modernisasi. Pesantren yang sekarang dipimpin oleh
Ustadzah Aminah Anwar Musaddad itu, sekarang justru tertarik
pada upaya mendukung Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang
bergerak di bidang garment dan pelestarian lingkungan alam
melalui penghutanan kembali.
eg
Jelaslah dengan demikian, bahwa bermacam cara dapat
digunakan untuk mengenal berbagai reaksi terhadap proses modernisasi. Ada reaksi yang memakai warisan sistem budaya
daerah, tapi ada pula yang merumuskan reaksi mereka dalam
bentuk tradisi yang tidak tersistemkan. Ada pula reaksi yang
bersifat temporer, tapi ada pula yang bersifat permanen. Ada
yang berpola umum, tapi ada pula yang memakai cara-cara
khusus dalam memberikan reaksi.
Kesemuannya itu dapat disimpulkan, keengganan menerima bulat-bulat apa yang dirumuskan “orang lain” untuk diri kita
sendiri. Proses pribumisasi (nativisasi) berlangsung dalam bentuk bermacam-macam, pada saat tingkat penalaran dan keterampilan berjalan, melalui berbagai sistem pendidikan. Dengan demikian, proses pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
di negara kita berjalan dalam dua arah yang berbeda. Di satu pihak, kita menerima pengalihan teknologi dan keterampilan dari
bangsa-bangsa lain, melalui sistem pendidikan formal —maka,
lahirlah tenaga-tenaga profesional untuk mengelolanya. Di pihak lain, pendidikan informal kita justru menolak pendekatan
menelan bulat-bulat apa yang datang dari luar.
Dengan demikian, tidaklah heran jika ada dua macam
jalur komunikasi dalam kehidupan bangsa kita. Di satu sisi, kita
memakai jalur komunikasi modern, yang bersandar pada
sistem pendapat formal dan media massa. Media massa pun,
yang dahulu sangat takut pada kekuasaan pemerintah, kini justru tunduk terhadap kekuasaan uang; dengan kemampuan yang
belum berkembang menjadi proses yang efektif. Di sisi lain, digunakan jalur lain, yaitu komunikasi langsung dengan massa kongregasi jama’ah masjid/surau, gereja, pengajian-pengajian
khalayak/majelis ta’lim, kelenteng/vihara, merupakan saluran
wahana langsung ini . Apalagi, jika seseorang atau kelompok mampu menggunakan kedua jalur komunikasi itu, tentu
akan menjadikan sistem politik kita sekarang dan di masa depan
menjadi sangat transparan, akan menjadi lahan menarik untuk
dapat dipelajari dan diamati dengan seksama.
Sebagaimana diketahui “Tombo Ati” adalah nama sebuah
sajak berbahasa Arab ciptaan Sayyidina Ali, yang oleh KH.
Bisri Mustofa dari Rembang (ayah KH. A. Mustofa Bisri)
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan memakai judul ini . Dalam sajak itu, disebutkan 5 hal yang seharusnya
dilakukan oleh seorang muslim yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kelima hal itu dianggap sebagai obat (tombo)
bagi seorang Muslim. Dengan melaksanakan secara teratur kelima hal yang disebutkan dalam sajak ini , dijanjikan orang
itu akan menjadi Muslim “yang baik”. Dianggap demikian sebab
ia melaksanakan amalan agama secara tuntas. Sajak ini sangat
populer di kalangan para santri di Pulau Jawa, terutama di lingkungan pesantren.
sebab nya sangatlah penting untuk mengamati, adakah sajak itu tetap digemari oleh kaum Muslimin Sunni tradisional?
Kalau ia tetap dilestarikan, maka hal itu menunjukkan kemampuan Muslimin Sunni tradisional menjaga budaya kesantrian
mereka di alam serba modern ini. Jadi kemampuan sebuah kelompok melestarikan sebuah sajak bukanlah “peristiwa lumrah”.
Peristiwa itu justru menyentuh sebuah pergulatan dahsyat yang
menyangkut budaya kelompok Sunni tradisional melawan proses
modernisasi, yang dalam hal ini berbentuk westernisasi (pembaratan). Bahwa sajak itu, dalam bentuk sangat tradisional dan
memiliki isi kongkret lokal (Jawa), justru membuat pertarungan
budaya itu lebih menarik untuk diamati.
Sebuah proses maha besar yang meliputi jutaan jiwa warga
masyarakat, sedang terjadi dalam bentuk yang sama sekali tidak terduga. Terlihat dalam sajak ini yang berisi “perintah
agama” untuk berdzikir tengah malam, mengerti dan memahami isi kandungan kitab suci al-Qur’ân, bergaul erat dengan
para ulama dan berpuasa untuk menjaga hawa nafsu, adalah
hal-hal utama dalam asketisme (khalwah) yang merupakan pola
hidup ideal bagi seorang Muslim, yang menempa dirinya menjadi “orang baik dan layak” (shaleh). Jika anjuran itu diikuti oleh
kaum Muslim dalam jumlah besar, tentu saja keseluruhan kaum
Muslimin akan memperoleh “kebaikan” tertentu dalam hidup
mereka. Gambaran itu sangat ideal, namun modernisasi datang
untuk menantangnya.
eg
Dalam sebuah perhelatan perkawinan di Kota Solo, penulis
mengalami sendiri hal itu. Ketika sebuah kelompok band menampilkan permainan lagu Tombo Ati itu secara “modern”. Penulis
sangat tercengang. Pertama, oleh kenyataan sebuah produk sastra yang sangat kuno (walaupun berupa terjemahan) dapat disajikan dalam irama yang tidak terduga sama sekali. Mungkin irama
jazz itu bercampur dengan langgam Jawa, namun ia tetap saja
sebuah iringan jazz. Mungkin tidak semodern permainan Sadao
Watanabe1
, namun bentuk jazz dari Tombo Ati itu tetap tampak
dalam sajian sekitar 5 menit itu.
Di sini kita sampai kepada sebuah kenyataan, munculnya
berbagai bentuk dan sajian tradisional dengan mempertahankan “hakikat keaslian” di hadapan tantangan modernitas. Tidak
hanya penampilan alat-alat musiknya saja, melainkan dalam
perubahan fungsi dari sajak itu sendiri. Kalau semula sajak itu
dimaksudkan sebagai pesan moral sangat ideal bagi kaum Muslimin, namun dalam pagelaran ini berubah peran menjadi
sebuah hiburan.
Tentu saja kita tidak dapat menyamakan pagelaran musik
yang menggemakan Tombo Ati dengan Debus dari Banten, yang
memperagakan manusia tidak berdarah ketika ditusuk benda tajam. Kita tidak menyadari, sebenarnya untuk melakukan pertunjukan Debus itu, seseorang yang belasan tahun “tirakat” haruslah menahan diri dari kebiasaan-kebiasaan memakan sejumlah
makanan dan membatasi kebiasaan yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian untuk menjalankan pertunjukan itu terdapat keyakinan agama dan latihan-latihan mereduksi kebiasaan sehari-hari.
Penampilan sajak Tombo Ati dalam sajian jazz adalah sesuatu yang sangat menarik untuk diamati. Jelas dari penampilan
Tombo Ati itu terjadi sebuah proses yang oleh para pengamat
perkembangan masyarakat disebut sebagai perjumpaan (encounter) antara peradaban tradisional dengan peradaban modern. Dilanjutkan dengan “proses tawar menawar” (trade off)
yang sering terasa aneh, sebab menampilkan sesuatu yang tidak
tradisional maupun modern. Kemampuan melakukan tawar-menawar seperti itulah, yang sekarang dihadapi kebudayaan kita.
Ini adalah kenyataan hidup yang harus dihadapi bukannya dihardik atau disesali (seperti terlihat dari sementara reaksi berlebihan atas pagelaran “ngebor” dari Inul).
eg
Perjumpaan antara yang tradisional dan yang modern itu
dimungkinkan oleh kerangka komersial yang bernama pariwisata. Namun dalam tradisionalisme ada juga mengandung watakwatak yang tidak komersial, dan harus didorong untuk maju.
Perjumpaan juga terjadi antar agama. Contohnya, ketika agama Buddha dibawa oleh Dinasti Syailendra ke pulau
Jawa dan bertemu dengan agama Hindu yang sudah terlebih
dahulu datang, hasilnya adalah agama Hindu-Buddha (Bhairawa). Agama Islam yang masuk ke negara kita juga mengalami
hal yang sama. Perjumpaan antara ajaran formal Islam dengan
budaya Aceh misalnya melahirkan “seni kaum Sufi” seperti tari
Seudati, yang dengan indahnya digambarkan oleh James Siegel
dalam Rope of God.
2
Berbeda dari model Minangkabau yang
mengalami perbenturan dahsyat bidang hukum agama, antara
hukum formal Islam dan ketentuan-ketentuan adat. Hasilnya
adalah ketidakpastian sikap yang ditutup-tutupi oleh ungkapan Adat Basandi Sara’ dan Sara’ Basandi Kitabullah .”3
Di Gua
(Sumatera Selatan) yang terjadi adalah lain lagi, yaitu ketentuan
Islam jalan terus, sedangkan hal-hal tradisional pra-Islam juga
dilakukan. Di pulau Jawa yang terjadi adalah hubungan yang
dinamai oleh seorang akademisi sebagai “hubungan multi-keratonik.” Dalam hubungan ini kaum santri mengembangkan pola
kehidupan sendiri yang tidak dipengaruhi oleh “adat pra Islam”
yang datang dari keraton.
Perkembangan keadaan seperti itu, mengharuskan kita
menyadari bahwa setiap agama di samping ajaran-ajaran formal yang dimilikinya, juga mempunyai proses saling mengambil dengan aspek-aspek lain dari kehidupan budaya. Dari situlah, kita harus menerima adanya perkembangan empirik yang
sering dinamakan studi kawasan mengenai Islam. Penulis melihat perlunya studi kawasan itu untuk setidak-tidaknya kawasankawasan Islam berikut: Islam dalam masyarakat Afrika-Utara
dan negara-negara Arab, kawasan Islam di Afrika Hitam, Islam
dalam masyarakat Turki-Persia-Afganistan, Islam di masyarakat
Asia Selatan, Islam di masyarakat Asia Tenggara dan masyarakat minoritas Islam yang berindustri maju. Kedengarannya mudah membuat studi kawasan (area-studies) Islam, tapi hal itu
sebenarnya sulit dilaksanakan
Ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh
mereka yang meneriakan kebesaran Islam: “Islam itu
unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala
yu’la alahi).” Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka
menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradaban-peradaban
lain dengan menyerukan sikap “mengunggulkan“ Islam secara
doktriner. Pendekatan doktriner seperti itu berbentuk pemujaan
Islam terhadap “keunggulan” teknis peradaban-peradaban lain.
Dari sinilah lahir semacam klaim kebesaran Islam dan kerendahan peradaban lain, sebab memandang Islam secara berlebihan
dan memandang peradaban lain lebih rendah.
Dari “keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap otoriter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menggangap
orang atau peradaban lain sebagai yang bersalah atas kemunduran peradaban lainnya. Akibat dari pandangan itu, segala macam
cara dapat dipergunakan kaum muslim untuk mempertahankan
keunggulan Islam. Kemudian lahir semacam sikap yang melihat
kekerasan sebagai satu-satunya cara “mempertahankan Islam”.
Dan lahirlah terorisme dan sikap radikal demi “kepentingan” Islam.
Mereka tidak mengenal ketentuan hukum Islam/fiqh bahwa orang Islam diperkenankan memakai kekerasan hanya
jika diusir dari kediaman mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim).
Selain alasan ini itu tidak diperkenankan memakai
kekerasan terhadap siapapun, walau atas dasar keunggulan pandangan Islam. Sesuai dengan ungkapan di atas maka jelas, mereka salah memahami Islam, ketika memaahami bahwa kaum
muslimin diperkenankan memakai kekerasan atas kaum lain. Inilah yang dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan
ungkapan “Tiap kelompok bersikap bangga atas milik sendiri
(kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS al-Mu’minûn [23]:
54). Kalau sikap itu dicerca oleh al-Qur’ân, berarti juga dicerca
oleh Rasul-Nya.
eg
Jelaslah sikap Islam dalam hal ini, yaitu tidak mengangap
rendah peradaban orang lain. Bahkan Islam mengajukan untuk mencari keunggulan dari orang lain sebagai bagian dari
pengembangannya. Untuk mencapai keunggulan itu Nabi bersabda “carilah ilmu hingga ke tanah Tiongkok (utlubû al-ilmâ
walau bî al-shîn).” Bukankah hingga saat ini pun ilmu-ilmu kajian keagamaan Islam telah berkembang luas di kawasan tersebut? Dengan demikian, Nabi mengharuskan kita mencarinya ke
mana-mana. Ini berarti kita tidak boleh apriori terhadap siapapun, sebab ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang terdapat
di mana-mana. Bahkan teknologi maju yang kita gunakan adalah
hasil ikutan (spend off) dari teknologi ruang angkasa yang dirintis dan dibuat di bumi ini. Dengan demikian, teknologi antariksa
juga menghasilkan hal-hal yang berguna bagi kehidupan kita sehari-hari. Pengertian “longgar” seperi inilah yang dikehendaki
kitab suci al-Qur’ân dan Hadits.
Lalu adakah “kelebihan teknis” orang-orang lain atas kaum
muslimin yang dapat dianggap sebagai “kekalahan” umat Islam?
Tidak, sebab amal perbuatan kaum muslimin yang ikhlas kepada agama mereka memiliki sebuah nilai lebih. Hal itu dinyatakan
sendiri oleh Al-Qur’an: “Dan orang yang menjadikan selain Islam sebagai agama, tak akan diterima amal perbuatannya di akhirat. Dan ia adalah orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira
al-Islâmi dînan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-âkhirati
min al-khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Dari kitab suci ini dapat
diartikan bahwa Allah tidak akan menerima amal perbuatan
seorang non-muslim, tetapi di dalam kehidupan sehari-hari kita
tidak boleh memandang rendah kerja siapapun.
Sebenarnya pengertian kata “diterima di akhirat” berkaitan
dengan keyakinan agama dan dengan demikian memiliki kualitas tersendiri. Sedangkan pada tataran duniawi perbuatan itu
tidak tersangkut dengan keyakinan agama, melainkan “secara
teknis” membawa manfaat bagi manusia lain. Jadi manfaat dari
setiap perbuatan dilepaskan oleh Islam dari keyakinan agama
dan sesuatu yang secara teknis memiliki kegunaan bagi manusia diakui oleh Islam. Namun, dimensi “penerimaan” dari sudut
keyakinan agama memiliki nilainya sendiri. Peng-Islaman perbuatan kita justru tidak tergantung dari nilai “perbuatan teknis”
semata, sebab antara dunia dan akhirat memiliki dua dimensi
yang berbeda satu dari yang lain.
eg
Dengan demikian, jelas peradaban Islam memiliki keunggulan budaya dari sudut penglihatan Islam sendiri, sebab ada
kaitannya dengan keyakinan keagamaan. Kita diharuskan mengembangkan dua sikap hidup yang berlainan. Di satu pihak,
kaum muslimin harus mengusahakan agar supaya Islam -sebagai
agama langit yang terakhir- tidak tertinggal, minimal secara teoritik. Tetapi di pihak lain kaum muslimin diingatkan untuk melihat juga dimensi keyakinan agama dalam menilai hasil budaya
sendiri. Ini juga berarti Islam menolak tindak kekerasan untuk
mengejar ketertinggalan “teknis” tadi. Walaupun kita menggunakan kekerasan berlipat-lipat kalau memang secara budaya
kita tidak memiliki pendorong ke arah kemajuan, maka kaum
muslimin akan tetap tertinggal di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan demikian keunggulan atau ketertinggalan
budaya Islam tidak terkait dengan penguasaan “kekuatan politik”, melainkan dari kemampuan budaya sebuah masyarakat
muslim untuk memelihara kekuatan pendorong ke arah kemajuan, teknologi dan ilmu pengetahuan.
Kita tidak perlu berkecil hati melihat “kelebihan” orang
lain, sebab hal itu hanya akibat belaka dari kemampuan budaya mereka mendorong munculnya hal-hal baru yang bersifat
“teknis”. Di sinilah letak pentingnya dari apa yang oleh Samuel
Huntington disebut sebagai “perbenturan budaya (clash of civilizations)”. Perbenturan ini secara positif harus dilihat sebagai
perlombaan antar budaya, jadi bukanlah sesuatu yang harus dihindari.Beberapa tahun lalu penulis diminta oleh Yomiuri Shimbun, harian berbahasa Jepang terbitan Tokyo dan terbesar di
dunia dengan oplah 11 juta lembar tiap hari, untuk berdiskusi
dengan Profesor Huntington, bersama-sama dengan Chan Heng
Chee (dulu Direktur Lembaga Kajian Asia-Tenggara di Singapura dan sekarang Dubes negeri itu untuk Amerika Serikat) dan
Profesor Aoki dari Universitas Osaka. Dalam diskusi di Tokyo
itu, penulis menyatakan kenyataan yang terjadi justru bertentangan dengan teori “perbenturan budaya” yang dikemukakan
Huntington. Justru sebaliknya ratusan ribu warga muslimin dari
seluruh dunia belajar ilmu pengetahuan dan teknologi di negeri-negeri Barat tiap tahunnya, yang berarti di kedua bidang itu
kaum muslim saat ini tengah mengadopsi (mengambil) dari budaya Barat.1
Nah, keyakinan agama Islam mengarahkan mereka agar
memakai ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mereka
kembangkan dari negeri-negeri Barat untuk kepentingan kemanusiaan, bukannya untuk kepentingan diri sendiri. Pada waktunya
nanti, sikap ini akan melahirkan kelebihan budaya Islam yang
mungkin tidak dimiliki orang lain: “kebudayaan yang tetap berorientasi melestarikan perikemanusiaan, dan tetap melanjutkan
misi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Kalau perlu
harus kita tambahkan pelestarian akhlak yang sekarang merupakan kesulitan terbesar yang dihadapi umat manusia di masa
depan, seperti terbukti dengan penyebaran AIDS di seluruh dunia, termasuk di negeri-negeri muslim.
Minggu keempat bulan Desember 2002, penulis atas
undangan Susuhunan Pakubuwono XII1
dari Solo, melancong ke Kuala Lumpur untuk dua malam. Penulis
memperoleh undangan itu, sebab Sri Susuhunan juga diundang
oleh sejumlah petinggi Malaysia guna merayakan ulang tahunnya yang ke-80. Ini menunjukkan, bahwa pengaruh Keraton
Solo Hadiningrat masih kuat hingga ke Negeri Jiran, seperti Malaysia. Sudah tentu pengaruh ini bersifat budaya/kultural
saja, karena pengaruh politisnya sudah diambil alih pemerintah
negeri kita. Inilah yang harus disadari, sebab kalau yang diinginkan adalah pengaruh politik tentu akan kecewa.
Kunjungan ini penulis lakukan tanpa memberitahukan pihak Pemerintah Malaysia, terutama Kantor Perdana Menteri Mahathir Muhammad, sebab protokoler kunjungan ini
tentu akan diambil alih oleh pihak pemerintah federal, yang kalau di Malaysia disebut kerajaan. Pihak protokol akan membuat
susah teman-teman Malaysia yang ingin menjumpai penulis dan
akan membuat penulis tidak merdeka. Tentu, ini juga merupakan pertanda bahwa kunjungan itu tidak mempunyai arti politis apapun. Dengan demikian, penulis juga merasa tidak perlu memberitahukan Kedutaan Besar Republik negara kita (KBRI) Kuala
Lumpur atas kunjungan ini . sebab penulis tidak ingin diganggu siapapun dalam melakukan kunjungan ini .
Pada hari kedua, penulis melakukan perjalanan selama tujuh jam (pulang-pergi) untuk melakukan ziarah ke makam Hang
Tuah, di Tanjung Kling, negara bagian Malaka. Di tempat itu,
kepada penulis dibacakan serangkaian tulisan yang menyertai
beberapa buah gambaran/lukisan tentang beliau. Katakanlah
semacam diorama tentang kehidupan Hang Tuah,2
yang sejak
masih muda sudah mengabdi kepada Raja/Sultan Malaka. Bahkan, oleh intrik istana ia diharuskan membunuh saudara seperguruan dan senasib sepenanggungan yaitu, Hang Jebat.3
Harga
inilah yang harus dibayar oleh Hang Tuah untuk pengabdiannya
kepada Sultan. Ia adalah prototype “Korpri sempurna”, —seperti
halnya Habib Abdurrahman al-Basyaibani, yang dikuburkan di
Segarapura, Kemantrenjero (sekarang terletak di Kecamatan Rejoso, Pasuruan). Ia adalah nenek moyang penulis yang menjadi
abdi dalem Sultan Trenggono dari Demak.
eg
Penulis mengemukakan bahwa Susuhunan Pakubuwono
XII masih memainkan peranan penting dalam rangkaian ikatan
budaya/kultural yang merekatkan kedua bangsa serumpun, Indonesia dan Malaysia. Apapun perbedaan antara keduanya, namun
persamaan yang ada haruslah dipupuk terus, agar menghasilkan
ikatan yang semakin kuat di hadapan tantangan modernisasi kehidupan, yang sering berbentuk westernisasi (pembaratan). Di
kala perkembangan politik justru mengarahkan negara kita dan Malaysia untuk saling bersaing, namun persaingan itu sendiri
haruslah diimbangi oleh ikatan-ikatan budaya/kultural yang
sangat kuat. Seperti halnya Kanada, yang secara politis lebih terikat kepada Kerajaan Inggris, yang terletak 9000 km di seberang
lautan, walau secara kultural lebih dekat kepada Amerika Serikat
yang secara geografis adalah negara jiran/tetangga.
Ikatan seperti ini, yaitu berdasarkan persamaan budaya
antara dua negara, masih mempunyai kekuatan sendiri. Seperti
negara jiran, Australia justru merasa lebih dekat kepada Kerajaan Inggris atau Amerika Serikat, yang memiliki ikatannya sendiri satu dengan yang lain dari sisi budaya. Inilah “kodrat alami”
yang intensitasnya tidak dapat disangkal lagi oleh siapapun.
sebab itu, kemauan pihak Keraton Solo4
sangatlah memiliki arti penting; ia menunjang kedekatan hubungan antara negara kita
dan Malaysia.
sebab itulah, penulis tidak mengerti mengapa ada pejabat
negara kita yang mengatakan bahwa Keraton Solo tidak penting
artinya bila dibandingkan dengan keraton lainnya di Jawa. Ini
adalah ucapan orang yang tidak mengerti peranan budaya sebuah
keraton. Yang dimengerti orang itu hanyalah peranan politisnya
belaka, yang belum tentu memiliki kelanggengan dalam hubungan antara kedua bangsa. Padahal setiap kali kita memperhatikan
hubungan antara dua bangsa serumpun, seperti negara kita dan
Malaysia, tentulah menjadi sangat penting untuk mengetahui
peranan politik atau peranan budayanyan. Kerancuan dalam
melihat hal ini hanya akan membuat kita kepada keadaan tidak Dalam jamuan makan malam untuk menghormati ulang
tahun ke-80 Susuhunan Pakubuwono XII di Kuala Lumpur itu,
penulis juga mengemukakan peran lain selain peran budaya itu.
Pada saat ini, Malaysia dan Thailand sedang mengutamakan
pengembangan wilayah ke sebelah utara kawasan ASEAN –yaitu,
Myanmar, Vietnam, Laos dan Kamboja. Secara politis, ini berarti
Malaysia dan Thailand mengambil peranan politik lebih besar di
wilayah utara kawasan ASEAN ini . Ini dapat dimengerti,
karena dua negara di wilayah selatan dari perhimpunan ASEAN
itu, yaitu Singapura dan Indonesia sedang dilanda krisis masingmasing. Dalam hal ini, Malaysia dan Thailand melakukan sebuah
hal yang alami dan wajar, yaitu mengisi sebuah kekosongan politik.
Peran Malaysia di wilayah sebelah utara kawasan ASEAN
itu berjalan sangat cepat, tidak seperti peran politik negara kita di
wilayah selatan kawasan ini , yang terasa tidak bertambah
sama sekali. Ini sebab ASEAN belum dapat menerima Papua
Nugini, Timor Lorosae dan negeri-negeri pasifik sebelah barat
(western pacific states). Maka dengan sendirinya, lebih sulit
bagi negara kita untuk mendukung mereka secara kongkrit di bidang politik, sedangkan hubungan budaya dengan wilayah tersebut masih belum berkembang secara pesat. Keeratan hubungan
budaya antara negara kita dengan wilayah pasifik barat ini ,
akan sangat ditentukan oleh kerjasama ekonomi dan komersial.
Peran budaya negara kita dan peran budaya Malaysia di
wilayah masing-masing itu, harus disambungkan secara baik.
Dalam hal ini, keraton Surakarta Hadiningrat mempunyai peluang sangat besar mengembangkan peranan kedua bangsa serumpun itu. Inilah yang harus senantiasa menjadi pegangan dalam
meninjau posisi keraton dalam hubungan itu. Dan ini adalah
peran alami, yang bagaimanapun juga tidak akan dapat diimbangi oleh hubungan yang direkayasa. Dalam hal ini, kita tidak
memerlukan intervensi khusus. hKata “Raja” di Maluku, terutama Ambon, berarti kepala
kampung/desa. Ada yang perempuan, ada pula yang lakilaki; berfungsi sebagai pemimpin masyarakat dan sangat
berpengaruh secara adat di lingkungan masyarakat mereka. Pergaulan mereka dengan rakyat yang dipimpin sangatlah erat, dan
boleh dikata merekalah yang menjadi penentu (decision maker).
Kalau para Raja dan berbagai dusun/desa setuju tentang sesuatu,
biasanya itulah yang menjadi konsensus bersama yang diikuti
rakyat. Dengan konsep adat mengenai fungsi para pemuka adat
ini , seperti Raja dan sebagainya itu, membuat pemerintah
daerah/pusat terbantu dalam melaksanakan tugasnya. Seperti
memutuskan cara penyelesaian bagi kasus konflik antar agama
dan antar etnis pada saat-saat seperti sekarang ini dengan cara
gerakan Baku Bae.
1
Dengan fungsi dari konsep adat tadi, mengharuskan pemerintah daerah dan pusat untuk bersikap rendah hati dalam
memberikan tempat bagi pelaksanaan peran mereka. Bahkan
kalau perlu seolah-olah hanya mereka-lah yang berperan, sedang
pemerintah pusat dan daerah hanya bersifat membantu, terutama dalam konseptualisasi cara-cara yang diperlukan untuk mengatasi konflik yang terjadi. Dalam hal ini, peran para pemimpin
agama dalam proses tersebut juga menjadi sangat penting. Baik para pemuka agama maupun adat, merupakan pihak-pihak yang
dipercayai oleh warga masyarakat. sebab nya, kerjasama erat
antara para pemimpin informal seperti mereka itu, dan para pemimpin formal (pejabat daerah dan pusat), sangat diperlukan
dan merupakan sarat utama bagi penyelesaian konflik-konflik
yang terjadi.
Apalagi, kalau dalam konflik-konflik ini terjadi pengambilan peran oleh sebagian sangat kecil orang-orang yang mengaku menjadi pemimpin masyarakat, atas nama agama atau kelompok etnis yang ada. Inilah penyebab berlarutnya konflik, baik
di Ambon maupun di Poso (Sulawesi Tengah) dan mungkin juga
daerah-daerah lain. Melakukan identifikasi para pelaku perdamaian tidaklah mudah, dan sebab nya sering diambil tindakan
pintas dengan membuat persetujuan atas penyelesaian konflik,
melalui perjanjian-perjanjian seperti Malino, yang meliputi berbagai pihak resmi maupun tidak resmi di kalangan bangsa kita,
dengan disaksikan oleh pihak negara-negara lain. Diharapkan,
dengan penandatanganan Perjanjian Malino yang sudah berusia
setahun itu, dapat dicapai sendi-sendi perdamaian antara berbagai pihak yang terlibat dalam konflik agama maupun etnis di
berbagai kawasan negara kita Timur itu.
eg
Ini adalah kesimpulan pertemuan penulis dengan Barroness Cox2
di Majelis Tinggi (House of Lords) London, Inggris,
pertengahan November 2002. Pertemuan itu sendiri berjalan
sangat sederhana di sebuah restoran dalam Gedung Parlemen
Inggris, sambil santap malam. Namun, kesederhanaan itu tidak
menutup kenyataan akan pentingnya pertemuan ini . Barroness Cox sedang mempersiapkan sebuah pertemuan antara
para pemimpin agama bagi kedua daerah itu, sedangkan penulis
dalam hal ini ditunjuk sebagai Presiden Kehormatan (Honorary
President) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Internasional3yang didirikan oleh tokoh itu yang bekerja khusus untuk mencari penyelesaian bagi konflik berdasarkan agama maupun etnis
di kawasan negara kita . Dalam pemikiran penulis, bahwa bukan
hanya para pemuka agama saja yang mempunyai peranan sangat
menentukan dalam mencari penyelesaian bagi konflik-konflik
ini , namun juga para pemuka adat, ternyata dapat diterima.
Dengan dasar yang disetujui itu, dalam waktu tidak terlalu
lama lagi, pertemuan antar pemuka agama dan adat itu akan diselenggarakan, dan ini akan merupakan sumbangan besar bagi penyelesaian krisis yang terjadi di kedua kawasan ini . Tentu
saja, dalam pertemuan ini para pejabat pemerintah pusat
dan daerah yang bersangkutan dengan masalah itu akan diundang sebagai peserta atau pemberi makalah. Ini adalah hal yang
normal-normal saja, sebab kerja mencari penyelesaian bagi
konflik berdasarkan agama dan etnisitas ini memang merupakan kerja kolektif yang harus diselesaikan dengan baik.
sebab nya, prinsip-prinsip penyelesaian berbagai konflik
di kedua kawasan itu merupakan kerja awal yang harus ditangani dengan tuntas. Penulis sendiri meminta kepada Barroness
Cox supaya penyelesaian masalah ini dapat dilakukan secara alami (natural).
Putri sulung penulis, Alissa Munawarah, yang tinggal di
Yogyakarta terlibat sangat mendalam pada proses penciptaan
gagasan Baku Bae itu. Beberapa orang pemimpin adat telah
menemui penulis, dalam kedudukan sebagai presiden. Ternyata
perkembangan keadaan selama lebih setahun ini sangat menggembirakan, walaupun di sana-sini masih ada upaya berbagai
kelompok sangat kecil yang berusaha “memanaskan” situasi
dan mencegah terjadinya proses penyelesaian yang diharapkan
ini .
eg
Dengan sendirinya, gagasan penulis tentang peranan para
pemuka adat itu memicu pertanyaan-pertanyaan baru
mengenai kedudukan mereka dalam kehidupan masyarakat Indonesia di masa depan. sebab agama Islam juga mengembangkan nilai-nilai (values) yang penting bagi pembangunan dan perubahan sosial, dengan sendirinya lalu timbul pertanyaan; nilai
Islam apakah yang paling tepat dikembangkan dalam hal ini? Juga ada sebuah pertanyaan lain: dalam perkembangan sosial
seperti itu, adakah tempat bagi pelaksanaan nilai-nilai Islam tersebut? Dari kedua pertanyaan pokok ini di atas, tentu juga
muncul banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak akan dijawab di sini. Panjangnya ruangan untuk tulisan ini membatasi
hal ini .
Sebuah nilai Islam (Islamic value) tepat untuk dipakai bagi
peranan para pemuka adat ini , yaitu; “Tiada Islam tanpa
kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa bi Jama’ah wala
Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah).” Ini
berarti, pemuka adat dapat menjadi pemimpin, sebab sebuah
ungkapan lain juga mengatakan: “hukum adat dapat saja digunakan sebagai pedoman agama (al ‘âdatu muhakkamah),” yang
menunjukkan pertalian antara hukum adat dan Islam, hingga
benar adanya anggapan bahwa nilai-nilai Islam tidak bertentangan dengan adat.
Kedua ungkapan di atas, harus diletakkan dalam sebuah
kerangka, yaitu harus memberikan prioritas kepada kepentingan
umum. Pengertian kepentingan umum itu adalah tindakan-tindakan yang dalam literatur agama Islam diberi nama maslahah
‘âmmah, yang harus tercermin dalam kebijakan yang diambil
maupun tindakan yang dilaksanakan bagi kepentingan masyarakat/orang banyak oleh para pemimpin.
Hal ini dengan jelas tergambar dalam adagium “kebijakankebijakan/tindakan-tindakan seorang pemimpin harus terkait
sepenuhnya dengan kepentingan masyarakat (tasharruf allmâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah).” Jadi jelas,
prinsip kegunaan (asas manfaat) dan bukan sekedar berkuasa,
menjadi ukuran keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin.
Para pemuka agama dan para pemimpin adat di masa depan harus mengambil peran lebih banyak sebagai pemimpin masyarakat. Dalam arti selalu mementingkan kesejahteraan masyarakat
dan bukannya kelangsungan lembaga-lembaga yang mereka
pimpin. h
Penulis diundang oleh harian Memorandum untuk memberikan ceramah Maulid Nabi Muhammad Saw, beberapa
waktu yang lalu yang dihadiri ribuan massa, diantaranya
para habaib yang datang dari berbagai penjuru Jawa Timur. Penulis sendiri disertai Prof. Dr. Mona Abaza1
dari Mesir, Maria
Pakpahan dan dr. Sugiat dari DPW PKB Jakarta. Dalam acara itu
H. Moh. Aqiel Ali, selaku pemimpin umum harian ini menyatakan, peredaran oplaag harian ini kini sudah mencapai 120
ribu exemplar per hari, yang menjadikannya koran besar dengan
pembaca yang rata di Jawa Timur.
Maksud penulis mengajak Prof. Dr. Mona Abaza dan Maria
Pakpahantercapai yaitu melihat sesuatu yang belum pernah mereka saksikan. Hal itu adalah digelarnya pembacaan shalawat Nabi
dari Habib Al-Haddad dan sajak Burdah2
dari Imam Al-Bushairi. Ketika memberikan ceramah, penulis mempertanyakan adakah
para peraga kedua jenis pagelaran agama itu berlatih atas kehendak sendiri sepanjang tahun, ataukah ada yang membiayai?
Terdengar jawaban gemuruh; tidak! Ini artinya mereka tidak pernah mengkaitkan latihan sepanjang tahun dengan pembiayaan
acara. Dengan kata lain, mereka berlatih atas inisiatif sendiri dan
dibiayai oleh keinginan keras mengabdi pada agama.
Inisiatif sendiri tanpa ada yang menyuruh inilah yang oleh
Marshall McLuhan, seorang pakar komunikasi,3
sebagai “happening (kejadian)”. Dicontohkan penulis dalam ceramah itu –seperti yang terjadi di Masjid Raya Pasuruan, setiap tahun dua kali.
Para pemain rebana datang dari seluruh penjuru Jawa Timur,
setiap kelompok bermain sekitar 5-10 menit. Mereka datang
sendiri dengan menyewa truk, memakai pakaian dan tanda pengenal serta makanan sendiri. Begitu juga kendaraan yang mereka pakai, umumnya truk, disewa sendiri oleh tiap kelompok.
eg
Apa yang disebutkan sebagai happening oleh McLuhan itu,
juga terjadi pada acara haul/peringatan upacara kematian Sunan
Bonang di Tuban. Acara itu tidak memerlukan undangan dari
panitia, kecuali hanya berupa pemberitahuan yang sangat terbatas, tidak lebih dari 300 orang saja, untuk mereka yang disediakan tempat duduk. Sedangkan untuk puluhan ribu pengunjung
lainnya, mereka membawa sendiri tikar/koran bekas sebagai
alas duduk serta botol air untuk mereka minum sendiri, tanpa
mendapat undangan untuk hadir. Selama 43 tahun, muballigh
kondang alm. KH. Yasin Yusuf dari Blitar, berpidato dalam acara
haul ini , tanpa mendapatkan undangan dari panitia. Yang
penting, ia dan rakyat pengunjung tahu hari dan tanggal acara
haul ini , dan mereka datang atas dasar kesadaran mereka
sendiri.
Ternyata, dalam hal-hal yang terjadi tanpa disiapkan matang-matang terlebih dahulu, pengamatan Marshall McLuhan
itu terjadi. Happening itu terdapat di seluruh dunia dalam bentuk dan ragam yang beraneka warna. Apakah implikasi dari hal
ini ? Mudah saja pertanyaan itu untuk dapat dijawab: selama hal-hal itu dianggap membawa berkah Tuhan dan terbuktikan, maka selama itu pula kesuka-relaan akan menjadi pendorongnya. Ini terjadi, dalam banyak bidang kehidupan yang
memperagakan kekayaan kultural suatu kelompok, tanpa ada
yang dapat melarangnya.
Dengan kata lain, kesukarelaan atas dasar keagamaan itu,
adalah sesuatu yang menghidupi masyarakat kita. Apa yang tidak diuraikan penulis dalam acara peringatan maulid Nabi Saw.
itu, sebab keterbatasan waktu, adalah keharusan bagi kita untuk menerapkan secara lebih luas prinsip kesukarelaan di atas.
Terutama dalam kehidupan politik kita, perlu dipikirkan adanya
sebuah sistem politik yang sesuai dengan ajaran agama tentang
keikhlasan, kejujuran/ketulusan dan keterbukaan. Menjadi nyata bagi kita, bahwa pembentukan sebuah sistem politik yang memiliki kandungan sangat beragam, benar-benar diperlukan saat
ini.
Jelaslah bahwa aspek kesukarelaan dan keterbukaan sistem politik itu sangat diperlukan dalam sikap dan landasan kehidupan kita sebagai bangsa. Sementara itu, happening sebagaimana yang diamati McLuhan itu ternyata memiliki arti yang
mendalam bagi peneropongan akan fungsi ajaran agama tersebut. Hal ini berlaku pula dalam politik. Pengingkaran terhadap
kesukarelaan di bidang politik, hanya akan menghasilkan sistem
politik yang memungkinkan seseorang berbohong kepada rakyat. Pada minggu terakhir bulan September 2002, penulis diminta hadir pada sebuah pertemuan untuk membentuk
sebuah Dewan Agama, yang akan menjadi organisasi penasehat bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.
Penulis yang seharusnya tidak berangkat, sebab situasi di tanah
air yang sangat sensitif, menganggap pertemuan ini sangat
penting, hingga penulis datang ke New York untuk hadir, walaupun tidak untuk seluruh pertemuan ini . Dalam pertemuan
itu, penulis mendapat peluang waktu untuk berbicara selama tujuh menit saja, di hadapan begitu banyak negarawan, orang pandai dan para pemimpin berbagai negara serta bermacam-macam
corak organisasi.
Waktu tujuh menit yang disediakan untuk penulis pun tidak seluruhnya dipakai, sebab penulis hanya berbicara lima
menit saja. Namun, pembicaraan selama lima menit itu ternyata
mengubah jalannya pertemuan. Hampir seluruh peserta menjadikan pidato penulis sebagai rujukan dalam pembicaraan dua hari
berikutnya. Sebenarnya yang dikemukakan penulis dalam pertemuan ini sangatlah sederhana saja, yakni: spiritualitas
harus kembali berbicara dalam arena politik. Hal ini sebelumnya
pernah dikemukakan penulis sewaktu menerima gelar Doctor
Honoris Causa di bidang Humaniora dari Universitas Soka Gakkai di Tokyo, pada bulan April 2002.Apa yang penulis kemukakan baik di Tokyo maupun di New
York, adalah sebuah kenyataan bahwa berbagai organisasi keagamaan yang besar di dunia ternyata menyokong partai-partai
politik tertentu. Soka Gakkai selaku organisasi Buddha terbesar
di dunia sejak tiga dasawarsa terakhir ini, mendukung Partai Komeito (partai bersih), yang sekarang menjadi mitra junior bagi
Partai Demokratik Liberal yang memerintah Jepang saat ini. Di
India, RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangha) sebuah organisasi keagamaan Hindu terbesar yang didirikan pada tahun 1925,
mendukung Bharatya Janatha Party (BJP), di bawah pimpinan
Atal Behari Vajpayee yang memerintah India sekarang ini, merupakan bukti tak terbantahkan tentang hal di atas. Demikian juga,
Jam’iyyah al-Taqrib Baina al-Madzâhib, di bawah pimpinan
orang-orang seperti Ayatullah Wa’iz Zadeh, mendukung Presiden Iran Mohammad Khatami. Sedang organisasi keagamaan
seperti Nahdlatul Ulama di negara kita , mendukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
eg
Apakah artinya semua ini? sebab agama memiliki sudut
pandang yang berdasarkan pada etika dan moralitas suatu
bangsa, yang sudah hampir hilang dari kehidupan politik berbagai bangsa. sebab itu muncul reaksi dalam berbagai bentuk.
Di kalangan gerakan-gerakan Kristiani, baik dari kaum Katolik
maupun Protestan, timbul apa yang dinamakan sebagai “tandatanda zaman” ataupun pembebasan manusia dari keterkungkungan pandangan sekuler yang tidak mengacu pada etika dan
moralitas. Maka, lahirlah sejumlah “alternatif-alternatif”, seperti
Teologi Pembebasan (liberation theology) yang dibawakan oleh
Leonardo Boff1
dan kawan-kawan di Amerika Latin dalam paruh
kedua abad lalu. Ini membawa gaungnya sendiri yang dipenuhi
dengan perdebatan sengit di hampir semua pemikir keagamaan
dari berbagai keyakinan yang ada saat ini. Dari “alternatif-alternatif” seperti inilah lahir kesadaran, bahwa harus dilakukan berbagai tindakan untuk menghidupkan kembali berbagai peranan
agama, pada bidang-bidang yang strategis untuk kehidupan bersama seluruh umat manusia.
Namun, perkembangan spiritualitas yang demikian hirukpikuk, ternyata tidaklah bergema di bidang politik. Para politisi
tetap saja sibuk dengan kepentingan-kepentingan mereka, dan
hampir-hampir tidak mau melihat etika, moral, dan kehidupan umat manusia, kecuali secara manipulatif. lnilah yang merupakan hidangan sehari-hari yang kita saksikan saat ini, mulai
dari berbagai skandal seksual, finansial maupun kultural yang
melibatkan para pemimpin dari berbagai negara. Kenyataan paling jelas dari hal ini dapat dilihat pada bagaimana usaha banyak
politisi untuk kepentingan pribadi ataupun golongan.
eg
Dekadensi moral itu, dalam artiannya yang luas, dapat dilihat pada lembaga PBB saat ini. Bahwa ada Dewan Keamanan
(DK) dengan wewenang lima buah negara anggota untuk menjatuhkan veto, menunjukkan dengan jelas bahwa wawasan moral
dan etika telah hilang dari badan politik tertinggi dunia saat ini.
Dan, jika diperlukan, maka sebuah negara adi kuasa yang juga
menjadi anggota tetap DK-PBB, yaitu Amerika Serikat (AS) dapat
memaksakan kehendak untuk menyerbu Irak dan Afghanistan di
luar kerangka PBB sendiri. Ketidakseimbangan ini jelas merupakan hal yang memerlukan koreksi, untuk menyehatkan proses
di dalamnya. Diantaranya, melalui penyadaran semua pihak
akan pentingnya arti spiritualitas yang baru dalam perpolitikan
tingkat dunia.
Dalam hal ini, penulis menerima penuh ketentuan dari
adagium geopolitik “tak ada hegemoni dalam hubungan internasional” seperti yang diajarkan oleh para pemimpin Republik
Rakyat Tiongkok (RRT) di bawah kekuasaan Mao Zedong atas
Partai Komunis Tiongkok. Kebijakan tanpa hegemoni itu, menjadi ukuran penting yang harus diaplikasikan dalam hubungan
internasiona oleh lembaga spiritualitas baru. Namun, pemikiran
yang demikian menarik ini sering juga dilanggar oleh para penganutnya sendiri. Itu semua terjadi sebab dia ditetapkan tanpa
ada spiritualitas itu sendiri di dalamnya. Apabila geopolitik dilepaskan dari spiritualitas hubungan internasional, maka akan membuatnya menjadi alat belaka bagi sikap hidup materialistik
yang dikembangkan di luar ketentuan etis dan moral.
Oleh sebab itu, harus dilihat dan selalu dipertimbangkan
sebuah tindakan yang akan diambil oleh sebuah negara, akankah memenuhi kriteria keadilan dan kemakmuran bersama?
Memang, pertanyaan ini kedengarannya sangat naif, namun bukankah kita sekarang sudah melihat akibat-akibat terjauh dari
politik kepentingan (interest politics) dalam hubungan internasional? Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra menyebarkan gagasan, agar ada transaksi barter (counter trade) dalam
hubungan antar negara-negara berkembang, guna menghemat
devisa antara mereka. Bukankah ini berarti sebagai sikap protes
atas ketergantungan negara-negara berkembang kepada sebuah
negara saja, yaitu AS, dalam masalah devisa? Bukankah ketergantungan ini sekarang juga terdapat dalam penggunaan mata uang
Euro dan Yen? Belum lagi diingat kekuatan Renminbi dari RRC,
yang diperkirakan akan turut menguasai pasaran uang dunia
sepuluh tahun lagi? Bukankah dengan demikian menjadi nyata
bagi kita, keperluan akan sebuah spiritualitas baru? h
Dalam budaya Jawa, dikenal tembang anak-anak “Lir-ilir”.1
Demikian terkenalnya tembang anak-anak itu, sehingga
ia sering terdengar dibawakan bocah angon (anak gembala ternak) di atas punggung kerbau pada sebuah sawah yang
sedang kering kerontang di musim kemarau. Apa yang istimewa
dari tembang ini , hingga perlu diketengahkan melalui tulisan ini? Apakah penulis kehabisan bahan untuk dibahas, hingga ‘barang sekecil’ itu diketengahkan kembali dalam forum mulia
ini? Bukankah itu sebuah tanda, bahwa penulis hanya mengadaada, dan membahas sesuatu yang tidak ada artinya?
Sebenarnya, tidak demikian halnya. Justru dengan mengungkapkan adanya hubungan antara aqidah Islam dan tembang
anak-anak di atas, penulis ingin mengemukakan sebuah pendekatan strategis yang ditempuh para pejuang muslim di kawasan
budaya Nusantara di masa lampau. Penulis ingin mempertanyakan, pendekatan strategis mereka, benarkah memiliki efektifitas
di masa lampau, waktu sekarang dan masa depan? Kalau penulis
dapat mengajak para pembaca tulisan ini untuk turut memikirkannya, tercapailah sudah tujuan penulis membahas masalah
ini. Sebuah kerja sederhana, yang menyangkut masa depan umat
Islam di negeri ini. Adakah sesuatu yang lebih mulia dari maksud
di atas?Terus terang saja, artikel ini diilhami oleh beberapa tindak kekerasan atas nama Islam yang terjadi di berbagai kawasan
negara kita dalam masa setahun-dua terakhir ini. Seolah-olah
strategi yang ditempuh melalui pendekatan sistematik itu, harus dilaksanakan dengan memakai kekerasan atau dengan
berbagai macam sweeping dan sejenisnya. Mungkin, sebab
pemahaman bergaris keras dan bersifat militan mereka, dalam
membela agama Islam di hadapan berbagai macam tantangan
dewasa ini, yang mengakibatkan perlawanan disamakan dengan
penggunaan kekerasan.
eg
Tembang anak-anak berjudul “lir-ilir” di atas, sebenarnya
sudah berusia ratusan tahun, ia menjadi bagian inheren dari sebuah pendekatan strategis yang dibawakan Sunan Ampel di akhir
masa kejayaan Majapahit. Dalam tembang itu tergambar jelas
pendekatan beliau dan rekan-rekan terhadap kekuasaan, sebuah
model perjuangan yang menurut penulis, baik untuk dijadikan
kaca pembanding saat ini. Ketika itu, para Wali Sembilan (Wali
Songo)2
di Pulau Jawa sedang mengembangkan dengan sangat
baik sistem kekuasaan yang ada. Para perintis gerakan Islam
waktu itu, dengan sengaja mengusahakan hak bagi para penganut
agama Islam untuk bisa hidup di hadapan raja-raja yang sedang
berkuasa di Pulau Jawa. Cara mengusahakan agar hak hidup itu
diperoleh, adalah dengan mengajarkan bahwa kaum muslimin
dapat saja mempunyai raja/penguasa non-muslim. Seperti Sunan
Ampel mengakui keabsahan Brawijaya yang ber-agama HinduBuddha (Bhairawa). Inilah yang akhirnya membuat Brawijaya V
beragama Islam pada masa akhir hayatnya dengan gelar Sunan
Lawu. Nah, strategi untuk memperkenalkan agama Islam kepada sistem kekuasaan yang ada, sangat jelas, yaitu menekankan pada pendekatan budaya daripada pendekatan ideologis yang
sangat berbau politik. Dalam kerangka “membudayakan” sebuah
doktrin kalangan ahlus sunnah tradisional itulah, sebuah doktrin sentral dikemukakan melalui sebuah tembang anak-anak.
Doktrin yang dimaksud pandangan kaum Sunni tradisional itu ialah adanya kewajiban tunduk kepada pemerintah
oleh semua kaum muslimin tanpa pandang bulu. Di kalangan
mereka ada ungkapan “para penguasa lalim untuk masa 60 tahun, masih lebih baik dari pada anarki sesaat (imâmun fâjirun
sittîna âmman khairun min faudhâ sâ ‘atin).” Ketundukan itu,
sama sekali tidak memperhitungkan penggunaan kekuasaan secara salah. Ketundukan kepada penguasa ini sebenarnya adalah
doktrin kaum Sunni tradisional, yang sudah tentu sangat berlawanan dengan berbagai ajaran dan orang-orang seperti Imam
Ayatullah Khomenei dan Ali Syariati.
eg
Doktrin di atas oleh Sunan Ampel dimasukkan da