Tampilkan postingan dengan label islam ku 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam ku 3. Tampilkan semua postingan

islam ku 3


 g datang dari Barat, dalam berbagai bentuk. Yang terpenting diantaranya adalah pragma￾tisme yang dibawa oleh para teknokrat, yang dipermukaan ber￾arti penyerah­an diri secara total kepada sistem nilai yang dimi￾liki orang-orang Barat.

Modernisasi dianggap sebagai pengikisan tradisionalisme 

agama dan rasa kebangsaan kaum nasionalis. Tidak heran, jika 

yang muncul dipermukaan adalah manifestasi tradisionalisme 

agama, digabungkan dengan semangat nasionalisme yang meng￾agungkan kejayaan masa lampau. Kedua paham itu menampil￾kan tradisionalismenya sendiri: anti-Barat, anti penuhnya rasio￾nalisme dan penghormatan berlebihan ke­pa­da masa lampau. 

Kalau hal ini diingat benar, dengan sendiri­nya kita lalu dapat 

melihat kedangkalan dua paham ini .

Manifestasi budaya dari munculnya kembali tradisiona­l­is￾me agama itu, seperti terlihat dalam blantika musik kita dewasa 

ini. Musik Arab tradisional dengan enam belas birama (bahr, 

plu­ral­nya buhur) seperti yang ada dalam sajak-sajak Arab tra￾disional, muncul sebagai “wakil agama” dalam blantika musik 

ki­­ta dewasa ini. Hal ini sebab , pembaharuan bahasa dan sastra 

na­sional, yang dirintis Sutan Takdir Alisyahbana tidak sampai 

menyentuh akar tra­di­­sio­nalis­me agama itu. Sebagai akibatnya 

kita melihat se­buah penampilan yang lucu: bahasa dan sastra na￾sional yang diperbaharui dan berwatak kontemporer dan —pada 

saat yang sama, menampilkan tradisionalisme agama. 

eg

Dengan memperhatikan kenyataan di atas, kita sampai ke￾pada sebuah pertanyaan yang fundamental: haruskah kehi­dup­­an 

beragama kita semata-semata berwatak tradisional dan adakah 

penggunaan rasio dalam menyegarkan kembali tra­di­sio­nalisme 

agama itu dianggap sebagai “bahaya”? Pertanyaan ini patut dipi￾kir­kan jawabannya secara mendalam, sebab  selama ini per­cam￾puran antara semangat kebangsaan kaum nasionalis dan tradi￾sionalisme agama hanya membawa hasil positif di bi­dang politik 

belaka, bukannya di bidang budaya dan bahasa. Tradi­sio­­nalisme 

agama tidak menyukai ideologisasi-agama dalam kehi­dup­an ber￾negara, seperti terbukti dari penolakan NU atas Piagam Jakarta. 

Kehidupan beragama kita, yang menjadi salah satu penyum￾bang kebudayaan dalam kebudayaan nasional kita, bagai­manapun juga haruslah berwatak rasional. Apa yang dikemuka­kan 

A.A. Navis dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” adalah rasio￾nalitas kehidupan beragama yang kita perlukan, bukannya se￾sua­tu yang harus ditakuti. Ini bukan berarti meman­dang rendah 

tradisionalisme agama, sebab  elemen-elemen posi­tif dari tra￾disionalisme itu sendiri harus kita terus­kan. Tetapi unsur-unsur 

irrasional yang akan mengham­bat fungsionalisasi tradisional￾isme itu sendiri haruslah diganti dengan nilai-nilai rasional yang 

akan menjamin kelangsungan tradisionalisme agama itu. Seperti 

halnya dengan kontra-reformasi yang di­jalani oleh gereja Kato￾lik Roma, yang dijalankan untuk menja­min kelangsungan hidup 

tradisionalisme agamanya. Penggunaan gamelan di satu sisi —

misalnya, dan musik hard rock serta rap di sisi lain, sama-sama 

rasionalnya dalam penyampaian pesan-pe­san gerejawi melalui 

misa dan sebagainya.

Jadi revitalisasi tradisionalisme memang agama sangat di￾perlukan, dalam bentuk memasukkan unsur-unsur rasional ke 

dalamnya, hingga modernisme agama itu sendiri dapat dirasa￾kan sebagai kebutuhan, baik di kalangan elitis yang diwakili para 

cendekiawan, maupun rakyat jelata yang mengembangkan tradi￾sio­nalisme agama populis. Di sinilah terletak tantangan yang di￾hadap­i Islam di negeri kita, dengan penduduk muslimnya yang 

berjumlah lebih dari 170 juta jiwa.

Masalahnya sekarang, bagai­mana mengembangkan mo￾dern­isme agama dan tradisionalisme agama yang serba rasional, 

dan menghindarkan agar keduanya tidak bertubrukan secara 

praktis. Dapatkah kaum muslimin di negeri ini mencapai hal itu? Pada pertengahan bulan Mei 2002, penulis menyampaikan 

penilaiannya atas diri KH. A. Mutamakkin dalam sebuah 

seminar yang berlangsung di IAIN (UIN, red) Syarif Hi￾dayatullah, Ciputat. Pendapat itu dikemukakan dalam seminar 

un­tuk menyam­but terbitnya sebuah buku1

 tentang diri beliau, 

yang memang benar-benar merupakan karya berbobot ilmiah 

dan melihat peranan beliau dari berbagai sudut pandang. Baik 

da­ri aspek epistemologis, kesejarahan maupun aspek sosiologis. 

Karya ini  memerlukan sebuah penanganan serius yang ha￾rus diteruskan oleh para peneliti lainnya.

Dalam seminar itu, penulis mengemukakan sebuah sudut 

pandang yang sama sekali baru dalam menilai dan memahami 

tokoh KH. A. Mutamakkin yang wafat pada abad ke 18 Masehi 

dan dimakamkan di desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Te­ngah. 

Di­antara keturunannya yang masih aktif dalam kehidupan masya￾rakat adalah Rois ‘Am NU (Nahdlatul Ulama), KH. A. M. Sahal 

Mahfudz dan diri penulis sendiri. Salah satu sesepuh keluarga dan 

keturunan beliau, dengan pengaruh sangat besar semasa hidup 

nyaadalah KH. Abdullah Salam yang meninggal dunia tahun lalu 

(2001) dan di­makam­kan di desa ini . Sebagai penghafal al￾Qur’ân beliau memim­pin sebuah pesantren di desa ini  dan 

mengembangkan asketisme yang sangat mengagumkan, dalam 

bahasa pesantren dikenal dengan istilah akhlakul karimah.Dalam menilik riwayat KH. A. Mutamakin itu penulis juga 

memakai  Serat Cebolek yang diterbitkan Keraton Amang￾kurat IV dan Pakubuwono II di Surakarta, yang dibahas oleh 

diser­tasi Dr. Soebardi2

; juga ceritera ketoprak dan ceritera-ceri￾tera lain, di samping berbagai tulisan kaum pesantren tentang 

beliau dan terutama tulisan-tulisan beliau sendiri. Yang tidak 

sempat penulis gunakan, adalah tulisan Dr. Kuntowidjoyo dari 

Uni­ver­si­tas Gadjah Mada (UGM) tentang KH. Rifa’i, Batang, 

yang meng­gu­nakan referensi Serat Cebolek dan sebuah buku 

tentang beliau yang diterbitkan oleh LKiS, di Yogyakarta, tulisan 

Dr. Abdul Djamil,3 Rektor IAIN Walisongo di Semarang. 

eg

Penulis berpendapat, KH. A. Mutamakin telah memelopori 

sebuah pendekatan baru dalam hubungan antara Islam dan ke￾kuasaan negara pada abad ke 18 Masehi. Ini memerlukan pene￾liti­an mendalam, agar kita mene­mu­kan strategi perjuangan Is￾lam yang tepat di negeri ini.

Perjuangan umat Islam dalam abad ke 18 Masehi itu, pada 

intinya ada yang berupa sikap pro/menunjang pemerintah, dan 

sikap me­nen­tangnya. Kaum syari’ah/ fiqh (hukum Islam) pada 

umum­nya bersikap mendukung kekuasaan, mungkin atas dasar 

ada­gium yang terkenal: “Enam puluh tahun dalam pemerin￾tahan penguasa yang bobrok, masih lebih baik daripada anar￾ki semalam (sittuna sanatan min imâmin fâjirin ashlahu min 

lailatin bila sulthan).”4

 Sikap ini merupakan sebuah kenyataan 

tidak adanya kontrol atas jalannya pemerin­tah­an, semuanya ter￾gantung pada kehendak sang penguasa. Para pelanggar hukum, 

termasuk pelanggar fiqh/hukum Islam ter­kena sanksi atau tidak 

secara legal seluruhnya tergantung sang penguasa. Kaum fiqh itu menetapkan KH. A. Mutamakin telah melanggar syari’ah sebab  

memasang lukisan binatang secara utuh, dan sering menonton 

wayang dengan lakon Bima Suci/Dewa Ruci. Oleh sebab itu ia 

harus dihukum. Tetapi hukuman itu terserah pada sultan seba￾gai penguasa.

Sebaliknya, para pemimpin tarekat dan tassawuf bersi￾kap menentang penguasa. Perbedaan sikap ini menjadi pemicu 

pemberontakan di be­be­rapa tempat dalam abad ini . Dalam 

pandangan kaum tarekat, penguasa dianggap menyimpang dari 

kebenaran formal agama, sebab  itu haruslah dilawan secara 

terbuka. Sikap ini, sebenarnya sama-sama bersifat politis, bila 

dibandingkan dengan sikap KH. A. Mutamakkin di atas. Ha­nya 

saja, jika yang satu menentang maka yang lain men­du­kung. Sikap 

politis inilah yang membuat penguasa waktu itu banyak meng￾hukum mati dan menyiksa para pemimpin gerakan tarekat. Ceri￾ta ulama yang mati dibakar atas perintah sultan adalah se­suatu 

yang memilukan di waktu itu.

eg

Di sini, KH. A. Mutamakin memperkenalkan pendekatan 

yang lain sama sekali. Ia mengutamakan pandangan alternatif 

terhadap kelaliman penguasa, namun tidak memberi­kan perla￾wanan secara terbuka. Dengan demikian, ia lebih meng­utamakan 

sikap memberikan contoh bagaimana seharusnya se­orang pe￾mimpin wajib bertindak dan menampilkan para ulama sebagai 

kekuatan alternatif kultural di hadapan sang penguasa. Pendekat￾an inilah yang di kemudian hari dikenal dengan pendekatan kul￾tural yang memicu perlawanan rakyat, tanpa melawan sang pe￾nguasa. Sikap ini dikecam dengan keras oleh pendekatan politis 

yang me­nun­jang penguasa dan yang menentangnya.

Pendekatan kultural ini, tidak pernah jelas-jelas menen￾tang penguasa, tapi ia juga tidak pernah menunjang penguasa. 

Di ma­sa itu, kaum syari’ah memberikan dukungan kepada pe￾nguasa sedangkan pihak tarekat bersikap menentang. KH. A. 

Mutamakin mengembangkan sikap kultural di atas, yakni pilih￾an alternatif yang bersifat kultural. Di masa Orde Baru, keadaan 

menjadi ter­ba­lik: pihak tarekat justru menjadi penunjang dan 

mendukung kekuasaan, seperti terjadi pada pemimpin-pemim￾pin tarekat pada masa itu. Sedangkan kaum syari’at, seperti yang tergabung dalam kalangan NU dalam PPP (Partai Persatuan 

Pem­bangunan) masa itu me­nam­pil­kan perlawanan kultural ter￾hadap kekuasaan.

Sekarang, pertanyaan pokok adalah, haruskah perlawanan 

kultural itu dikembangkan terus di masa depan? Atau justru di￾matikan? Dan dengan demikian perjuangan seterusnya menjadi 

per­lawanan politis saja. Jawabannya menurut penulis adalah se￾suatu yang sangat komplek: bagi organisasi non-politis, seperti 

NU, pendekatan yang harus diambil adalah pendekatan kultural 

yang lebih didasarkan pada alternatif-alternatif yang meng­uta￾ma­kan kebersihan perilaku di bidang pemerintahan. Sedangkan 

bagi organisasi-organisasi politik, seperti PKB (Partai Kebangkit￾an Bangsa), tekanan harus diletakkan pada penciptaan sistem po￾li­tik yang bersih, meliputi ketiga bidang eksekutif-legislatif-yudi￾katif. Hanya dengan kombinasi kedua pendekatan kultural dan 

politis itu dapat ditegakkan proses demokratisasi di negeri kita. 

Se­bagaimana diketahui, demokratisasi hanya dapat tegak kalau 

dapat di­upayakan berlakunya kedaulatan hukum dan adanya per￾lakuan yang sama bagi semua warga negara di muka Undang￾Undang. 

Bukankah dengan demikian, menjadi relevan bagi kita di 

saat ini, mengembangkan pendekatan kultural yang dahulu di￾rintis KH. A. Mutamakin?

Dalam acara NU (Nahdlatul Ulama)/PKB (Partai Kebang￾kitan Bangsa) dan beberapa pesantren di Kalimantan Se￾latan, serta orasi budaya dalam Konferensi Besar Ikatan 

Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) di Samarinda, pe­nulis 

me­lihat sebuah fenomena yang sangat menarik. Di tiap tempat, 

penulis selalu disuguhi pagelaran qasidah shalawat badar, bah￾kan di acara lainnya justru orang-orang non-muslim yang mem￾ba­wa­­kannya. Ini berarti, sajak Arab ciptaan KH. Ali Mansyur 

dari Tuban, di Banyuwangi tahun 1962 itu, telah menjadi kha￾zanah budaya nasional, minimal budaya NU/PKB. Terlepas dari 

penye­rahan Bintang NU kepada keluarga almarhum pencipta sa￾jak ini  di Muktamar Krapyak, Yogyakarta tahun 1989, fak￾ta lainnya adalah penyebaran sajak yang ditembangkan dalam 

birama (bahr) tra­di­sional ini , tampak jelas telah dianggap 

sebagai fenomena budaya nasional tanpa disadari.

Hal ini menunjukkan eratnya hubungan antara budaya 

dan agama. Sama eratnya dengan penyampaian lagu-puja dalam 

qa­sidah dzibâ’iyah, yang dibawakan jutaan anak-anak muda NU 

setiap minggu. Ini menunjukkan bahwa penyebaran agama Is￾lam di negeri ini, antara lain lewat budaya, disampaikan secara 

damai, ti­dak melalui jalan peperangan. Memang harus diakui, 

kekuatan yang dimiliki kaum muslimin, melalui kekuasaan atau 

tidak, telah turut mendukung penyebaran agama secara damai 

itu. Namun, tidak selamanya penyebaran agama secara damai 

itu terkait dengan kekuasaan, seperti terlihat pada berbagai akti￾fitas yang dulu menyertai aliran Syi’ah di negeri kita, bebe­ra­pa 

abad yang lalu. Secara budaya, apa yang tadinya dianggap seba￾gai tindakan penyebaran agama, sekarang diterima sebagai adat 

di berbagai daerah. Perayaan Tabot, di Bengkulu umpa­ma­nya, 

dapat dikemukakan sebagai salah satu contoh. Adat yang satu 

ini, menampilkan diusungnya tabot (peti mati/ keranda cucu) 

Nabi Saw, Sayyidina Husein, yang justru men­jadi tanda bagi ke￾setiaan orang pada ajaran ahl al-bait (keluarga Rasulullah) yang 

menjadi titik sentral ajaran Syi’ah. Bahwa Tabot telah men­ja­di 

manifestasi budaya negara kita , menunjukkan perkembangan se￾jarah yang sangat penting. 

eg

Hal yang sama juga kita temui dalam penggunaan nama￾nama di Gedung DPR/MPR-RI kita. Gedung yang megah itu di￾haruskan memakai  nama-nama dalam bahasa Sansekerta, 

seperti Graha Nusantara dan sebagainya. Sedangkan nama DPR/

MPR sebagai institusi produk Undang-Undang Dasar (UUD), 

lebih mencerminkan dialog yang umu dipakai antara para pe￾mimpin negara kita  sebelum ke­merdekaan, yang memakai  

pengaruh bahasa Arab. Lihat­lah kata-kata yang dipakai, seper￾ti Dewan Perwakilan Rak­yat. Ke­tiga kata itu, baik kata dewan, 

wakil mau­pun rakyat, sebelum mengalami konjugasi dalam ba￾hasa kita adalah kata-kata yang berasal dari bahasa Arab. Begitu 

juga dengan pe­mi­lihan umum, kata “umum” digunakan untuk 

hal-hal yang menyangkut publik, jelas berasal dari “sono”.

Namun, perkembangan bahasa yang semula diambil dari 

kata-kata Arab dan kemudian dari kata-kata San­sekerta, menun￾jukkan kemampuan beradaptasi yang dimiliki oleh bangsa kita. 

Kalau itu kita kaitkan dengan bidang-bidang lain, akan lebih be￾sar kemelut pengertian yang diakibatkan oleh pemakaian sehari￾hari. Ambil saja kata hukum, yang berasal dari kata al-hukm

dalam bahasa Arab. Kata ini semula digunakan un­tuk menunjuk 

hukum agama Islam (fiqh). Namun sebab  per­luas­an pemakai￾annya yang meliputi produk-produk yang dihasilkannya, akhir￾nya kata itu melingkupi makna baru, yang memiliki arti yang 

berbeda dari asal usulnya. Al-hukm yang semula berarti aturan dan undang-undang agama (canonical law), berkembang men￾jadi hukum –yang ber­arti undang-undang dan peraturan negara. 

Perubahan pengertian ini, disebabkan sebagian oleh pe­ru­bah­an 

arti kata law atau recht, yang diambilkan dari bahasa-bahasa 

Eropa modern.

Belum lagi kalau diingat terjadinya bahasa-semu (meta 

language) dalam bahasa nasional kita, seperti disinyalir oleh 

Dr. Toety Herati Nurhadi: diamankan berarti ditangkap, har￾ga disesuaikan berarti dinaikkan, dan sebagainya. Akibat dari 

peng­gu­naan bahasa semu ini, masyarakat terkotak-kotak dan 

timbulah isolasi antar golongan di dalamnya. Akibat lanjutan￾nya, muncul jalan pintas berupa budaya kekerasan (culture of 

violence) —terutama dalam ben­tuk muncul­nya penggunaan pre￾man, yang terjadi dalam kehidupan kita sebagai bangsa. 

eg

Jelaslah dengan demikian, hal pertama yang harus di­la­ku￾kan adalah pembakuan arti yang kita gunakan sehari-hari. Tan￾pa pembakuan ini, kita akan tetap rancu dalam pemikiran dan 

kacau dalam pengertian. Akibatnya, kita sebagai bangsa tidak 

tahu ke­mana orientasi kehidupan harus diarahkan. Hal ini tam￾pak an­tara lain, adanya pernyataan seorang anggota fraksi PDI-P 

DPR-RI bahwa ia bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil partai. 

Ini berarti, kerancuan telah menelusup dalam tubuh kita sebagai 

bang­sa, juga menunjukkan cara berpikir yang carut marut yang 

kita alami saat ini. Demokrasi kita, yang semula berarti peng￾utamaan kepentingan rakyat banyak, diubah dengan tidak terasa 

kepada pemenuhan kebutuhan golongan dan ambisi pribadi. 

Dengan demikian, kebutuhan menyamakan pandangan 

ten­tang demokrasi yang ingin kita ciptakan dalam kehidupan 

bangsa, haruslah tetap dilanjutkan. Walaupun sudah lebih dari 

150 tahun, Alexis de Tocquevile1

 menerbitkan bukunya tentang 

demokrasi di Amerika Serikat, sampai hari inipun pembicaraan 

tentang jenis-jenis dan jangkauan proses ini  dalam kehi­dup­an bangsa Amerika tetap berlangsung. Dengan demikian, 

perkembangan proses demokratisasi itu sendiri senantiasa dijaga 

oleh para pemikir, agar tidak menyimpang dari tujuan semula. 

Ini adalah sebuah hal yang sangat mendasar (fundamental), ka￾re­nanya ia tidak dapat diabaikan begitu saja.

sebab  itu, keinginan berbagai kalangan gerakan Islam, 

agar Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam pasal 29 UUD kita, 

harus­lah terus dibicarakan. Ia menunjukkan kurang adanya pe￾nger­tian di kalangan gerakan-gerakan Islam ini . Bukan­kah 

pen­can­tum­an Piagam Jakarta itu dalam salah satu pasal UUD 

akan ber­arti memasukkan ideologi agama ke dalam kehidupan 

negara, dan dengan demikian memberi kepadanya kedu­duk­an 

resmi sebagai ideologi negara? Bukankah dengan demikian, 

para warga negara lain yang non-muslim di­ma­sukkan ke dalam 

lingkungan warga negara kelas dua? Dan bukankah orang yang 

berpaham atau berideologi non-agama, seperti kaum nasionalis 

dan sosialis, juga tidak memperoleh kedudukan terhormat di 

negeri ini? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus 

dija­wab, bila kita menginginkan kehidupan bangsa yang benar￾benar demo­kratis di masa depan.Pada waktu penulis berkunjung ke Pusat Persatuan Muslim 

Tiongkok, penulis menyatakan persamaan antara kaum 

muslimin Tiongkok dan negara kita . Kedua negeri ini di­atur 

oleh Undang-Undang Dasar (UUD) yang tidak men­can­tum­kan Is￾lam sebagai dasar negara. Dalam struktur seperti itu, Islam tidak 

berfungsi sebagai hukum negara, melainkan sebagai jalan hidup 

masyarakat. Demikian halnya dengan negara kita , tentu masyara￾kat sen­diri yang memilih berkeyakinan Islam, dan masya­ra­kat 

yang menentukan untuk tidak menampakkan afiliasi agama­nya 

sebagai ideologi negara seperti di Tiongkok. Persamaan men￾dasar ini, harus dipakai selaku tali pengikat antara kedua negara 

itu dalam hubungan formal dan non-formal dengan mereka.

Namun, antara kedua negeri itu terdapat perbedaan yang 

sangat besar, yang sering luput dari perhatian kita. Mengingat 

perbedaan ini , maka pentinglah arti sejarah bagi pem­ben￾tukan pandangan umum sebuah negeri. Hal ini sering diabaikan 

orang, hingga secara tidak terasa kita terjerumus kepada sikap 

menyamakan hal yang tidak sama. sebab nya, tulisan ini men￾coba menyoroti hal itu, agar kita tidak terus-menerus me­la­ku￾kan kesalahan. Dengan cara inilah kita melakukan koreksi atas 

kesa­lahan-kesalahan masa lampau, dalam menyongsong masa 

depan.

Salah satu hal yang membedakan kedua negeri adalah se￾ja­rah masing-masing yang saling berbeda. Sejak semula Tiong￾kok berpenduduk sangat banyak, maka pemerintahan di­kem￾bangkan lebih seragam. Keseragaman itu dilambangkan oleh 

sistem administrasi yang sama dan birokrasi yang tunggal di 

se­mua propinsi, mengikuti apa yang ditetapkan di ibu Kota Nan￾king maupun Beijing. Bahkan Tiongkok telah memiliki wadah 

tunggal pendidikan tenaga administrasi pemerintahan semen­jak 

ratusan tahun yang lalu.1

 Sementara APDN (Akademi Pemerin￾tahan Dalam Negeri) dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) di 

ne­geri kita baru berlangsung puluhan tahun lamanya, itupun 

dengan hasil yang sudah sangat menggembirakan. Di Universi￾tas Tokyo, Jepang dan Ecole Superieur, Perancis yang berusia 

sedikit lebih tua juga mencatat hal yang sama.

eg

Perbedaan sangat mencolok antara kedua bangsa dapat 

di­telu­suri pada sejarah masing-masing. Tiongkok sebagai nega￾ra da­rat­an (land-based country) dan negara kita  sebagai negara 

maritim. Sudah tentu dengan lebih banyak keseragaman di China 

dan keragaman kerajaan-kerajaan di negeri kita. Kalau daratan 

Tiongkok terkenal dengan sistem agraris yang berintikan sawah 

dan padang rumput (lengkap dengan tradisi penggemba­la­an￾nya), maka perairan negeri kita justru menunjukkan ciri perbeda￾an sangat besar dalam cara hidup masing-masing daerah. Ada 

yang bergantung pada hasil hutan yang sangat besar, seperti di 

Jambi dan Pulau Kalimantan, ada pula yang lebih meng­an­dal­kan 

perdagangan laut antar pulau, seperti terdapat dalam kebu­da­ya￾an Bugis dan Madura. Hanya di Jawa, Sultan Agung Hanya­kra￾kusuma2

 dapat menegakkan cara hidup agraris lengkap dengan 

sistem kepegawaiannya.

Namun, pengenalan antropologis antara keduanya, de­ngan 

yang satu memakai  konsep agraris dan yang kedua dengan 

konsep maritim, harus diimbangi dengan analisa sosiologis, yang juga akan menunjukkan perbedaan dan persamaan keduanya. 

Um­pa­mannya saja, pada kuatnya kekuasaan pi­­hak yang meme￾rintah (the ruling class).

Sebenarnya, nama Mandarin untuk bahasa nasional Tiong￾kok saat ini, diambil dari nama kelompok birokrat pemerintahan 

yang menguasai ne­geri itu sejak lebih dari 2000 tahun lampau. 

Kelompok birokrat ini sanggup bertahan, bahkan menghadapi 

tantangan kaum pen­dekar bersenjata yang menguasai pedalam￾an Tiongkok selama ratusan tahun terakhir ini. Sekarang pun, 

masih belum diketahui bagaimana keberadaan mereka dalam 

pe­merintahan dan sistem politik yang ada, walaupun kekuasa￾an komite militer di lingkungan Partai Komunis Tiongkok ma￾sih sangat besar. Apa­kah kelas bersenjata itu diserap ke dalam 

komite militer ini  dengan bawahan-bawahannya, juga ti￾dak kita ketahui.

Di negeri kita pun kekuasaan kaum priyayi dengan nilai￾nilainya sendiri terasa sangat besar di masa lampau. Hanya saja, 

dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, kaum agamawan mus￾lim (dikenal dengan nama kaum santri) berhasil menyelusup 

ke dalam jantung kekuatan kaum priyayi ini . Jalan yang 

dilalui ada dua model, yaitu jalur kekuasaan politik dan jalur 

pengem­bang­an profesi. Kalau ini kita lupakan, sama saja artinya 

dengan membiarkan diri hidup di masa lampau tanpa mengenal 

hidup masa kini dan masa mendatang.

eg

Jelas, kalau kita proyeksikan bayangan masa lalu itu, ber￾tam­bah nyata persamaan maupun per­be­da­an sistem-sistem poli￾tik yang dianut kedua negeri itu –di masa kini dan masa depan. 

Bagaimana masing-masing men­ja­wab tantangan yang dihadapi, 

yang datang dari proses mo­der­nisasi yang penuh dengan per￾saingan, adalah pengenalan sebuah proses yangmenarik untuk 

dikaji. Di sinilah, terasa betapa pentingnya deskripsi historis 

sistem politik yang digunakan kedua bangsa itu (ethnografi, 

yang sangat dikuasai oleh administrasi pemerintahan kolonial 

Hindia-Belanda).

Mengingat hal itulah perlu kita sadari betapa pentingnya 

catatan-catatan historis yang dikenal oleh kedua belah pihak. Ini 

adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan sejarah kedua bangsa. Bahwa ada perbedaan-perbedaan sejarah 

di dua orkestra-kamar (chamber orchestra) itu adalah hal yang 

wajar. Tetapi, membandingkan antar keduanya, untuk mencari 

pelajaran yang dapat kita gunakan untuk menge­nal cara hidup 

kita sendiri, adalah sebuah hal yang wajar pula. 

sebab nya, segala macam tulisan dan rekaman suara yang 

memberikan gambaran akan perjalanan sejarah kedua bangsa 

itu, jelas akan sangat menarik hati para pengamat. Akankah kita 

menjadi sebuah bangsa yang hanya mengandalkan dominasi 

masa lampau, terlepas sama sekali dari konteks historis yang se￾dang berjalan? Ataukah justru kita menjadi bangsa yang dapat 

menatap masa depan sendiri? Semuanya terpulang kepada kita 

sendiri. Di sinilah perlunya kita mengenal kedua bangsa secara 

lebih mendalam sebagai bangsa yang sama-sama bukan negara 

agama, walaupun mempunyai perkembangan sejarah (historical 

development) yang berbeda.



Beberapa partai politik masih mencantumkan Islam seba­gai 

asas/dasar organisasinya, begitu juga beberapa perkum￾pulan lain yang non-politis. Ketika hal itu ditanyakan pada 

penulis, maka jawabannya adalah biar saja, sebab  itu adalah ke￾hendak mereka. Si penanya mengemukakan: aneh sekali, Anda 

dari dahulu selalu menentang negara Islam, me­nga­pakah partai 

politik yang berasaskan Islam tidak Anda tolak? Bukankah ini 

berarti Anda menerima pandangan mereka?

Jawabannya justru sebab  penulis menolak negara Islam 

Islam di negara kita , tapi tidak di tempat lain yang penduduknya 

homogen (berpandangan tung­gal). sebab  bangsa kita beraneka 

ragam dalam pandangan hi­dup, dengan sendirinya negara tidak 

dapat hanya melayani me­reka yang berpandangan negara Islam 

saja. Orang muslim pun, seperti penulis yang tidak menerima 

negara Islam di negara kita , harus dihargai pendapat dan sikap 

hidup mereka. Apalagi yang tidak beragama Islam, yang jum￾lahnya melebihi 10% bangsa ini. Adalah tindakan gegabah untuk 

menganggap konsep negara Is­lam diterima seluruh kaum mus￾limin di negeri ini, hanya sebab  Islam sebagai agama mayoritas 

penduduk negara kita .

Itulah yang membuat mengapa penulis menolak gagasan 

negara Islam di sini, sebab  penulis tidak ingin menyangkal ke￾benaran yang dibawakan oleh statistik tadi. Lain halnya dengan 

bang­sa Pakistan, yang ingin mendirikan negara sendiri sebab  

per­samaan agama, dan untuk itu mereka berani berpindah tem￾pat ke kawasan ini  dari daerah asal, dan di Pakistan mere￾ka mem­bentuk kelompok kaum pendatang (muhajirin). Dapat 

di­mengerti mengapa mereka menginginkan Republik Islam Pakistan pada waktu ini, walaupun tidak sejalan dengan pikiran 

penulis.

eg

Kembali pada masalah asas Islam bagi partai politik mau￾pun perkumpulan. sebab  yang beratribut Islam adalah par­tai 

politik dan/atau perkumpulan-perkumpulan, maka tidak ada 

sangkut pautnya dengan negara. Kalau mereka mem­per­juang￾kan Piagam Jakarta, untuk dimasukkan ke dalam Undang￾Undang Dasar kita maka itu adalah hak mereka, juga untuk 

me­ru­bah kons­titusi dan dasar negara. Ini adalah kon­sekuensi 

ber­demokrasi, bahkan di Amerika Serikat pun ada orang yang 

ingin agar Undang-Undang Dasar-nya diubah menjadi Undang￾Undang Dasar berideologi komunis. Masalah­nya tinggal, apakah 

dalam pemilu, rakyat mau menerimanya atau tidak? 

Sikap membedakan kehidupan negara dari kehidupan per￾kum­­pulan yang seperti ini, adalah sikap yang sehat kalau kita 

ingin mengembangkan de­mo­krasi di negara kita. Dasar dari si￾kap ini adalah keyakinan bahwa, rakyat banyak sudah tahu apa 

yang ha­rus dilakukan, walaupun mayo­ri­tas mereka tidak ber￾pendidikan tinggi, dan bahkan masih besar prosen­tase yang buta 

huruf. Kalau dalam hal ini kita memiliki keberanian, maka mere￾ka yang bercita-cita men­di­rikan negara Islam tidak akan mem￾peroleh tempat untuk menyuara­kan kehendak, dan mereka akan 

menempuh jalan pemberon­tak­an bersenjata.

sebab nya, kita harus memberikan tempat bagi perbedaan 

pendapat dan kemerdekaan berbicara, artinya adalah kebebasan 

me­nyatakan pikiran tanpa dikekang sama sekali. Inilah yang men￾dasari pendapat penulis, bahwa TAP MPRS No. 25 tahun 19661

harus dicabut. sebab  TAP itu melarang penyebaran pa­ham 

Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Sebagai sebuah paham, 

pikiran itu hanya dapat diperangi oleh pendidikan dan pene­rang￾an, bukan oleh sebuah Ketetapan MPR ataupun produk hukum apapun. Lain halnya, kalau yang dilarang adalah lembaga atau 

institusi seperti Partai Komunis negara kita  (PKI). Lembaga dapat 

dilarang oleh negara, seperti halnya kita melarang lembaga ber￾nama Freemason (lembaga yang berpikiran bebas tanpa agama)2

Di sinilah diperlukan ketelitian kita, agar produk-produk kene­ga￾ra­an kita tidak merugikan diri sendiri.

eg

Mengetahui hal sekecil ini, yaitu perbedaan antara paham 

dan lembaga harus dilakukan dengan cermat. Tanpa kecermatan 

seperti itu, kita akan berjalan ke arah yang salah, yaitu menindak 

hal yang tidak perlu diperhatikan dan membiarkan sesuatu yang 

memerlukan tindakan. Prinsip ini penting diingat oleh lembaga 

lembaga yang mengutamakan perem­bugan/permusyawaratan, 

seperti yang dibuat oleh Undang-Un­dang Dasar kita: Majelis 

Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang seringkali hanya diang￾gap sebagai ajang percaturan kekuasaan. 

Walaupun banyak dijalankan oleh umat muslim, tetapi 

sistem politik nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari 

tradisi politik Jawa dalam menjaga keberlangsungan negara. 

Sering kontinuitas kekuasan diwariskan dari sebuah generasi 

kepada generasi selanjutnya. Joko Tingkir, umpamanya, mem￾punyai keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakkin3

 dari Kajen, 

Pati, yang sangat tunduk pada Amangkurat IV4

 di Surakarta. Se￾dang Joko Tingkir alias Sultan Hadiwidjaya adalah penguasa Ke￾sultanan Demak (memerintah tahun 1550-1582) yang diguling￾kan oleh Sutawidjaya5

, pendiri dinasti Mataram yang kemudian 

bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayyidin Pana￾tagama Kalifatullah Ing Tanah Jawi. sebab  penulis masih keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakkin, berarti masih terkait 

dengan Sunan Benawa di Ken­dal, ayah Sunan Pakubuwana I, 

dengan sendirinya para penguasa Mataram masih menghormati 

penulis.

sebab  sistem politik Jawa masih memiliki bekasnya yang 

men­dalam atas sistem politik nasional kita sekarang, de­ngan 

sendirinya tali temali ini harus diperhatikan juga. Contoh tadi 

juga memperkuat pendapat penulis, bahwa kita tidak memiliki 

acuan negara Islam bagi sistem politik yang kita kembangkan. 

Menurut dugaan penulis, kurang dari 20 % pemilih akan mem￾berikan suara ke­pada partai-partai politik yang menginginkan 

Islam sebagai da­sar negara. Benarkah apa yang disangkakan 

penulis itu? Pemilu adalah satu-satunya tempat untuk menguji 

kebenaran pendapat itu. Sejarahlah yang akan menjawab


Dalam upacara penganugerahan gelar Doktor Honoris 

Causa untuk bidang humaniora di Universitas Soka Gak￾kai, Tokyo, baru-baru ini, penulis mengemukakan dalam 

sambutannya bahwa sebuah tradisi baru telah dimulai di Asia. 

Di samping PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang mem­bawa 

moralitas keagamaan dalam kehidupan politik suatu bangsa, kita 

melihat hal yang sama dilakukan Par­tai Komeito, yang didukung 

oleh gerakan Buddha terbesar di dunia, Soka Gakkai di Jepang. 

Hal yang sama juga dilakukan oleh Bharatiya Janata Party, yang 

dipimpin oleh Perdana Menteri India Atal Behari Vajpayee. Dan, 

didukung oleh oraganisasi Hindu kenamaan di negeri itu, Rash￾triya Swayamsevak Sangh (RSS), yang didirikan tahun 1925, se￾tahun sebelum NU lahir (tahun 1926).

Malam harinya, sebelum pemberian gelar ini , penu￾lis berkunjung ke rumah Prof. Mitsuo Nakamura, seorang ahli 

ge­rak­an Islam di negara kita , yang tinggal di Ito City (sekitar dua 

jam berkendaraan mobil dari kota Tokyo). Sebuah pertanyaan 

be­liau menunjuk dengan tepat problematika yang dihadapi pe￾nulis: “Anda memisahkan ideologi agama dari kehidupan nega­ra. 

Mengapakah sekarang Anda justru membawa agama dalam ke￾hidupan bernegara?” tanyanya. Mendengar pertanyaan ini , 

badan yang terasa ke­capaian akibat berkendaraan mobil ke Ito 

City selama dua jam itu, hilang seketika. Inilah yang penulis cari 

selama beberapa tahun ini, tetapi tidak pernah di­ru­mus­kannya 

dalam bentuk pertanyaan seperti itu.

Penulis memberi jawaban, bahwa yang terjadi (dan terus 

terang saja, dikembangkan penulis di negara kita  melalui PKB),

adalah penolakan terhadap langkanya moralitas dalam kehidup￾an politik kita dewasa ini. Jadi dengan demikian, kalau dalam 

masyarakat sekuler di Barat ada moralitas non-agama dalam ke￾hidupan politik, di negara-negara berkembang yang belum me￾mi­liki tradisi yang mapan, moralitas ditegakkan melalui dasar￾dasar agama. Dalam pandangan penulis, ukuran-ukuran ideo￾logis-agama tetap tidak mem­peroleh tempat dalam kehidupan 

bernegara, sebab  sifatnya yang sesisi dan hanya khusus untuk 

kepentingan para pemeluk agama ini . Di sinilah terletak 

perbedaan antara mora­li­tas dan ideologi, walaupun sama-sama 

berasal dari wahyu yang satu.

eg

Kita harus jeli mem­baca sejarah bangsa-bangsa di dunia, 

untuk mengambil pe­­lajaran serta sikap yang diperlukan. Kita 

sering mendengar moralitas yang tinggi tanpa berdasarkan 

agama, seperti di­­perlihatkan Jiang Zemin dan Zhu Rongji di 

Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang sepenuhnya disandar￾kan pada moralitas sekuler yang bersifat materiil. Oleh sebab  

itu, kita harus mampu mengembang­kan moralitas politik yang 

di dasarkan pada ajaran-ajaran umum semua agama. Kejujuran, 

kesungguhan kerja dan pertang­gung­an-jawab secara jujur kepa￾da nasib bangsa di kemudian hari, me­ru­pakan sebagian morali￾tas umum agama-agama. sebab ­nya, pemakaian agama untuk 

memicu  moralitas seperti itu justru harus dihargai, dan 

bukannya dicurigai.

Antonio Gramsci1

 mengemukakan gagasan sosialisme yang 

penuh kemanusiaan, dan di dalamnya tentu terdapat peran be￾sar dari moralitas yang tinggi, sebagai sebuah koreksi atas Marx￾isme-Leninisme yang sarat dengan ketentuan-ketentuan organi￾satoris belaka. Pandangannya saat itu (sebelum 1927) dianggap 

sebagai penyimpangan Komunisme di Italia, namun adanya ke￾bang­krutan dan kehancuran Uni-Soviet justru membenarkan￾nya. Demi­kian pula halnya dengan Alexander Dubcek2 di Praha 

yang berani menawarkan Komunisme yang berwajah kemanu￾siaan. Namun, beberapa puluh tahun kemudian apa yang mere￾ka bawa­kan menjadi kenyataan: bahwa Komunisme pun harus 

melakukan koreksi atas peranannya dalam kebangunan ma￾nusia di ak­hir abad lalu dan sepanjang abad ini. Pengamatan 

ini sepenuh­nya mengikuti apa yang diingatkan Vladimir Ilyich 

Lenin: “pe­nya­kit kiri ke-kanak-kanakan (leftism infantile disease)” 

yang di­ha­­­dapi kaum revolusioner manapun, yaitu heroisme roman￾tis. Mere­­ka menganggap revolusi akan rampung ketika aku yang 

ber­­juang. Aku-isme seperti inilah yang justru merusak revolusi, 

sebab  perjuangan jangka panjang harus ditundukkan kepada 

kebutuhan pribadi seorang pemimpin yang tidak lama jangka 

hidupnya. 

Lawan dari aku-isme itu adalah budaya/kultur dan agama, 

termasuk manifestasi budayanya yang sangat penting dalam 

sejarah umat manusia. Kalau tidak kita pahami dengan benar, 

peran­an agama tidak lagi berorientasi kultural, melainkan ber￾orientasi in­s­ti­tusional. Kegagalan memahami hal ini berarti 

kegagalan pula dalam memahami proses demokratisasi, yang 

memang sejak semula sudah tidak ideal. Sir Winston Spencer 

Churchill3

 pernah menyatakan, demokrasi banyak kelemahan 

dan kekurangannya, tetapi ia tetap merupakan perwujudan ter￾baik dari upaya umat manusia menegakkan pemerintahan yang 

benar. Dengan meng­hiraukan hal-hal seperti ini, maka pandang￾an Mao Zedong4

 di RRT menjadi sesuatu yang tidak sehat. 

Demikianlah, terlihat betapa erat hubungan antara buda￾ya/kultur dan politik, paling tidak untuk menampilkan kesusila­an 

politik (political morality) yang diperlukan oleh sistem pemerin￾tahan manapun di dunia ini. Kata-kata Zhu Rongji5 “sediakan se￾puluh buah peti mati, sembilan buah untuk para koruptor dan se￾buah lagi untuk diriku, kalau aku juga korup”, adalah ung­kapan 

moralitas yang diingini. sebab nya, baik itu moralitas sekuler 

dari sebuah ideologi duniawi seperti Komunisme, mau­pun mo￾ralitas agama yang digunakan dalam pengembangan sistem poli￾tik, haruslah dibaca sebagai keniscayaan sebuah pemerintahan 

yang benar-benar bertanggung jawab pada rakyat.

Di sini, kita harus belajar dari para moralis dunia, dari Fir­

’aun Akhnaton di Mesir kuno hingga Mahatma Gandhi di In­­dia 

dalam abad ke 20, membuat rambu-rambu yang harus di­guna￾kan dalam mengemban amanat rakyat yang kita junjung tinggi. 

Kegagalan memahami hal ini, hanya akan membuat se­orang pe￾nguasa mementingkan diri saja, seperti halnya Kaisar Nero6

 yang 

membakar kota Roma untuk mencari kesenangan. Juga Kaisar 

Wu Zetian7

 yang curiga dan menganggap semua orang ingin me￾nyingkirkan dirinya dari peme­rintahan, maupun Sultan Agung 

Hanyakrakusuma dari Mataram yang bergembira dengan para 

dayang-dayangnya di atas Taman Sari dengan membuang dan 

menyaksikan lawan-lawan politiknya di makan bua­ya, sebab  ti￾dak dapat melawan binatang-binatang buas itu tanpa senjata.

Jadi benar menurut kaidah fiqh: “tindakan dan kebijak￾sanaan seorang pemimpin mengenai rakyat yang dipimpin, ha￾rus terkait langsung dengan kesejahteraan mereka”, merupakan sebuah ram­­bu moral yang melarang seorang pemimpin untuk 

menumpuk kekayaan bagi diri­­nya sendiri. Tiap agama dan keya￾kinan memiliki sejumlah ada­gium/ketentuan seperti itu, sebab  

itulah moralitas-agama sangat diperlukan dalam menciptakan 

sistem politik yang sehat. sebab nya, kita tidak perlu ragu-ragu 

bahwa moralitas-agama memberikan sumbangan bagi pemben￾tukan sistem politik yang sehat bagi sebuah bangsa. Pada tingkat 

inilah agama dan politik dapat dihubungkan, dan tidak pada 

tingkat ideologis





Dalam perjalanan menuju Banjarmasin, di pagi hari, penu￾lis mengikuti siaran warta berita televisi di ruang tunggu 

pesawat Mandala. Ditayangkan di televisi itu peringatan 

Tabot di Bengkulu, yang diselenggarakan untuk menghormati 

Syekh Burhanudin1

 yang hidup di kawasan itu pada akhir abad 

ke 17 dan awal abad ke 18 Masehi. sebab  dijelaskan dalam 

pem­beritaan ini , bahwa acara ini  juga diikuti orang￾orang keturunan India, jelaslah bahwa orang-orang Syi’ah sekte 

Is­ma’illiyah2

 adalah pembawa Islam ke Bengkulu saat itu. Sekte 

Syi’ah Isma’iliyah inilah yang kemudian menurunkan para pe￾mimpin yang bernama Aga Khan di negeri India.

Walaupun kemudian ajaran Sunni tradisional menguasai 

Bengkulu, upacara Tabot itu tampaknya tidak juga kunjung hi￾lang, dan sekarang bahkan menjadi bagian dari adat setempat. 

Di permukaan tampak Syi’isme dalam baju adat atau kultur ma￾syarakat setempat, walaupun seluruh ajaran kaum muslimin —di 

kawasan itu, di “sunni”kan melalui fiqh/hukum Islam. Ini berarti bahwa, Sayyidina Hasan dan Husain dimuliakan dalam “ajaran” 

Sunni, dengan dilepas­kan dari sekte Syi’isme. Ini adalah kejadi￾an lumrah, seperti halnya pembacaan dziba’ oleh jutaan warga 

Nahdltul Ulama di berbagai kawasan di negeri kita.

Kedua hal ini  di atas, yaitu munculnya Syi’isme dan 

pembacaan dziba’ dalam bentuk budaya adalah bentuk paling 

kongkrit dari penampilan Islam di masa lampau di negeri ini, 

yakni dalam bentuk kultural, bukannya ideologis. Hal ini harus 

kita perhatikan baik-baik, jika ingin memahami proses masuknya 

Islam ke negara kita  dan menyimak perkem­bang­an agama terse￾but di kawasan Asia Tenggara. Ketidakmam­pu­an memahami­nya, 

hanya akan menghadapkan Islam pada paham-paham lain di 

negeri ini. Sesuatu yang jelas-jelas tidak diingini oleh mayoritas 

kaum muslimin negara kita  —bahkan mayoritas bangsa.

Inilah yang menjadi tema utama yang harus diperhati￾kan dalam mencermati perkembangan Islam di negeri ini, yang 

sering disebut sebagai “negerinya kaum muslim moderat.” Kega￾galan mengambil sikap ini, apapun alasannya (ideologis ataupun 

poli­tis), jelas menjadi tantangan bagi kaum mus­limin di negeri 

ini. sebab  kedudukan negara kita  sebagai ne­ga­ra berpenduduk 

mayoritas muslimin (sekitar 185 juta jiwa) terbesar di seluruh 

dunia. Dengan sendirinya siapa yang menang di negeri ini akan 

menentukan masa depan Islam; apakah ia berkembang sebagai 

ideologi ataukah secara kultural?

Tulisan-tulisan berikut akan mencoba menelusuri perkem￾bangan ini, tentu saja dengan memenangkan pendapat kaum 

moderat yang tidak memen­ting­kan ideologi. Dalam pandangan 

mereka, Islam muncul dalam keseharian kultural, tanpa berbaju 

ideologi sama sekali. Dengan mencoba bersikap simpatik kepada 

pendekatan ideo­logis, penulis bermaksud menekankan penting￾nya saling pe­­ngertian antara kedua pendekatan ini .

eg

Kalau kita tidak menginginkan tero­risme merajalela di 

negeri kita, dengan memakai  nama Islam, tentu pendekat￾an ideologis ini harus benar-benar diperha­tikan dengan cermat. 

Apapun sebab-sebab yang memicu nya, terorisme dengan 

memakai  nama Islam lebih banyak disebabkan oleh ketidak￾pahaman mereka akan proses modernisasi yang dialami bangsa kita mulai abad ke-19 masehi hingga saat ini. Ini bukan berarti, 

penulis meniadakan kemungkinan adanya asal-usul lain bagi ter￾orisme yang memakai  nama Islam yang kini sudah mera­ja￾lela di mana-mana —seperti kita saksikan di berbagai kawasan di 

negeri ini dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai sebuah pro­ses 

sejarah, hal itu adalah sesuatu yang biasa, beta­pa­pun sakit dan 

susah kita dibuatnya, akibat dari rumah-rumah, seko­lah-sekolah 

dan tempat-tempat umum lain yang dirusakkan, mau­pun jiwa 

yang melayang sebab nya. Namun dapat disimpulkan bahwa 

terorisme bukan­nya sebuah proses yang tidak dapat dihindari.

eg

Di samping itu ideologis, pendekatan institusional ini se￾ring­kali ditunggangi oleh kepentingan politis. Ini terjadi terus￾menerus hingga tulisan ini dikirimkan ke meja redaksi untuk 

di­terbitkan. Kepentingan politik sesaat, untuk merebut atau 

mem­­pertahankan kepemimpinan negara, membuat sejumlah 

ling­karan kekuasaan di negeri ini —dalam beberapa tahun terak￾hir, untuk mendukung ge­rakan-gerakan ideologis Islam. sebab  

kepentingan politik mereka, dikombinasikan dengan keta­kutan 

sebagian penguasa untuk menindak terorisme berbaju ideo­logis 

itu, jadilah toleransi kepada gerakan-gerakan mereka justru 

menjadi pendorong para teroris untuk memakai  nama suci 

agama.

William Cleveland menuliskan dalam disertasinya3

, bebe￾rapa waktu lalu. Ia menjelaskan ideologi Islamistik dari Syakib 

Arsalan, pemimpin sekte Druz di Lebanon yang juga kakek dari 

Kamal Jumlad ini, berasal dari penolakannya terhadap gagasan 

nasio­nalisme Arab. Hal itu timbul dari ambisi pribadi Syakib un￾tuk tetap menjadi anggota Parlemen Ottoman di Turki. Ambisi 

ini hanya dapat dicapai kalau keutuhan Islam di bawah pemerin￾tah­an Ottoman dapat dipertahankan di seluruh kawasan Arab, 

juga di tempat-tempat lain dalam dunia Islam. Tentu saja, kita 

dapat menolak atau menerima pendapat ini, tapi yang terpenting 

adalah upaya untuk mencoba mengerti asal-usul his­toris mau­pun idealistik dari gagasan itu sendiri. 

Disertasi itu, yang ditulis oleh paman tua Paul Cleveland, 

ketua Lembaga Persahabatan Amerika Serikat-negara kita  (Usin￾do) saat ini, mencoba menggali alasan-alasan historis pemikir­an 

utama yang dikembangkan Syakib Arsalan, yang tentu saja ber￾be­da, atau mungkin bertentangan dengan sebab-sebab idealistik 

dari Syakib Arsalan, yang dikenal sebagai penganjur Islam ideo￾logis dengan bukunya “limâzâ ta’-akhkhara al-muslimûn wa 

taqaddama ghairuhum (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan 

Selain Mereka Maju?)”. Dari sinilah kita lalu mengerti mengapa 

harus diketahui sebab-sebab paham Islam ideologis itu, termasuk 

nantinya sebab-sebab sosio­logis dan seba­gai­nya. Ka­lau tujuan 

ini dapat dicapai, nama Islam dapat di­jer­nihkan dan dipisahkan 

dari terorisme, serta dapat dikembangkan pegangan lebih pasti 

bagi kaum “muslimin moderat”. Mereka ini dalam pan­dangan 

penulis adalah mayoritas kaum muslimin yang te­ngah disalah­pa￾hami orang —terutama oleh kaum non-muslim. h

Ketika menghadapi Hari Waisak 2546 pada 26 Mei 2002 

pe­nulis mendapat undangan dari KASI (Konferensi 

Agung Sangha negara kita ) untuk hadir dalam acara terse￾but di Balai Sidang Senayan Jakarta. Penulis menjawab akan 

hadir. Dan, rombongan KASI berlalu dengan hati lega. Setelah 

berjalan beberapa waktu, penulis mendengar bahwa Megawati 

Soekarnoputri sebagai personifikasi kepala negara dan peme­rin￾tah akan datang pada peringatan yang sama di Candi Borobudur 

oleh Walubi (Perwakilan Umat Buddha negara kita ), pada waktu 

yang besamaan pula. Di saat itulah ada orang yang bertanya pada 

penulis, akan datangkah ke acara KASI? 

Ketika penulis menjawab ya, segera disusul dengan per­ta￾nya­an berikut, hadirkah Anda dalam acara KASI itu yang ber￾beda dari pemerintah? Penulis menjawab, akan hadir. Apakah 

alasan­nya? sebab  penulis yakin, KASI mewakili para bhiksu 

dan agamawan dalam agama Buddha di negeri kita. Sedangkan 

Walubi adalah organisasi yang dikendalikan bukan oleh agama￾wan. Dengan kata lain, Walubi adalah organisasi milik orang 

awam (laymen).1

 Prinsip inilah yang penulis pakai sejak awal 

dalam bersikap pada sebuah organisasi agama.

Pada Hari Raya Waisak itu, sebelum berangkat ke Balai 

Si­dang, penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri ter­

nyata tidak jadi hadir untuk keperluan ini  di Candi Boro￾budur. Namun, pemerintah diwakili Menteri Agama. De­ngan 

demikian jelas, pemerintah mengakui Walubi sebagai perwakilan 

umat Buddha di negeri kita. Sedangkan di Balai Sidang hadir 

Menteri Te­naga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea, yang 

bukan membidangi masalah agama. Dengan ungkapan lain, 

pe­merintah justru mengutamakan Walubi sebagai perwakilan 

umat Buddha dan bukannya KASI.

Nah, disamping penulis, juga hadir Kardinal Dharma­at￾madja, Haksu Tjhie Tjay Ing dan seseorang yang mewakili Maje￾lis Ulama negara kita  (MUI). Untunglah, datang Akbar Tandjung 

mewakili DPR dan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie yang bertin￾dak selaku penasihat panitia. Namun, kesan bahwa pemerintah 

lebih mengutamakan Walubi dan bukannya KASI sebagai per￾wakilan umat Buddha di negara kita  tidak dapat dihindari lagi.

Sebenarnya, sikap tidak jelas pemerintah itu sangat meng￾untungkan KASI. Dengan ungkapan lain, di hadapan ke­kua­sa­an 

pemerintah yang tidak begitu melindunginya, ter­nya­ta KASI jus￾tru ditunjang dua pihak yang penting, pihak aga­ma­wan Buddha 

sendiri dan para pemuka agama-agama lain yang menghargai￾nya. Bukankah kedua modal itu akan memung­kinkan KASI dapat 

bergerak lebih maju?

Kejadian di atas menjadi lebih menarik lagi, jika kita 

banding­kan dengan ke­adaan internal kaum muslim di Indone￾sia. Kalau dalam agama-agama lain seorang agamawan diang￾kat organisasi tertinggi dari agama ini , yang biasanya di￾domi­­nasi para agamawan, justru dalam Islam hal itu tidak ada. 

Bukan­kah justru Rasulullah Saw sendiri yang bersabda, “Tidak 

ada kependetaan dalam Islam (lâ rahbâniyyata fî al-Islâm).” Ka￾renanya, pantaslah kalau dalam Islam tidak ada pihak yang me￾miliki oto­ritas dalam pengangkatan ulama. Semua terserah pada 

pengakuan ma­sya­rakat kepada seseorang untuk dianggap seba￾gai ulama. sebab  kekosongan itu, lalu organisasi-organisasi Is￾lam mele­tak­kan para wakil mereka dalam Majelis Ulama Indo￾nesia (MUI). Apakah yang terjadi? Hilangnya keulamaan dalam 

arti penguasaan ilmu-ilmu agama dalam kepengurusan MUI itu 

sen­­diri. Sese­orang yang hanya hafal sepuluh ayat al-Qur’an dan 

sepu­luh hadis Nabi, sudah bisa masuk dalam jajaran pimpinan 

ha­rian MUI. Seolah aspek penguasaan ilmu-ilmu agama di ling￾kungan MUI tidak bersifat baku, padahal merekalah pembawa tradisi Islam kultural dalam kehi­dup­an umat. Jadi organisasi 

itu ti­dak mencerminkan kelompok agamawan, melainkan hanya 

tampilan wakil gerakan-gerakan agama atau organisasi, seperti 

Muham­madiyah, NU, dan sebagainya. 

 Dari sini letak kelemahan dan justru kekuatan yang dimili￾ki umat Islam. Dikatakan kelemahan, sebab  tidak ada kohesi 

dan kejelasan siapa yang diterima dan tidak sebagai agamawan. 

sebab  langkanya kohesi intern umat itu, cara termudah mem￾persatukan seluruh elemen umat Islam adalah menentukan mu￾suh bersama, dipilihlah kekuatan Barat yang dianggap merusak 

kekuatan Islam. Dan dikatakan kekuatan, sebab  tak adanya si￾kap dominan dari para agamawan. Oleh sebab itu, pemikiran-pe￾mikiran orang awam tentang agama diperlakukan sama de­ngan 

pemikiran para ahli agama itu sendiri.

Contoh konkret yang dapat dikemukakan di sini, yaitu 

kisah Ki Panji Kusmin2 di awal-awal tahun 1970-an. Orang awam 

ini dapat digambarkan sebagai pihak representatif yang mewakili 

Islam, atau justru sebaliknya. Kemudian beberapa tokoh mus­lim 

yang memiliki kekuatan sendiri, walau di­dukung oleh kekuatan 

pemerintahan, menentang pandangannya yang memandang Tu￾han tidak perlu dibela siapa pun dalam ke­be­sa­ran-Nya. Sangat 

nyata, dengan berniat mem­bela-Nya berarti terjadi dikotomi 

pandangan para tokoh agama berpandangan formal itu.

sebab  tiap orang dapat menyatakan dirinya mewakili Is￾lam, maka harus ada standar minimal untuk menilai apakah sese￾orang dapat dianggap me­wa­kili Islam atau tidak. Tanpa kriteria 

ini, hanya situasi sem­ra­­wut­lah yang lahir, seperti yang terjadi 

sekarang ini. Di sinilah arti penting dari sabda Nabi Muham￾mad Saw: “Kalau persoalan diserahkan kepada bukan ahlinya, 

tunggulah hari kiamat, (idzâ wussida al-amru ilâ ghairi ahlihi, 

fantazdiri al-sâ’ah).”3

 Sang­gup­kah kaum muslimin di negeri kita 

menetapkan kriteria ini ?


Saat membaca kembali makalah-makalah yang dikirimkan 

kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian 

buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak dis￾ku­­si, penulis mendapati pandangan-pandangannya sendiri ten￾tang Islam yang tengah mengalami perubahan-perubahan besar. 

Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang 

menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemi­kir­an 

“Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam ge￾rak­an lkhwanul Muslimin

 di Jombang, dalam tahun-tahun 50￾an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasiona￾l­is­me Arab di Mesir pada tahun-tahun 60-an, dan Sosialisme 

Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah) di Baghdad. Sekembali 

di tanah air, di tahun-tahun 70-an penulis melihat Islam sebagai 

jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling mengam￾bil berbagai ideo­logi non-agama, serta berbagai pandangan dari 

agama-agama lain. 

Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal seka­li￾gus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesa­ma￾an pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengem­ba￾raan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu ber­akhir 

pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada 

orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, 

tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang 

tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan 

demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikir￾an sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain. 

Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, 

bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu 

yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga 

sebab ­nya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai 

penga­lam­an pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa me￾mi­liki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, 

akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan mem￾bu­nuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.

eg

Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan ke￾hendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya se￾bagai satu-satunya kebenaran, dan sebab nya ingin dipaksakan 

kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun 

kan­dungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiri￾tual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa 

paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu 

diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal-hal irra￾sional itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata. 

Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola 

ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan3

se­­orang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa 

dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana se­lalu 

memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pa­su￾ruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang 

mengendarai truk ke kota ini  dengan mengenakan seragam masing-masing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak 

lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain 

rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pu￾lang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang-rombongan 

lain. 

Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan ke￾matian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa 

diumum­kan­kan, orang datang berduyun-duyun ke alun-alun Tu￾ban, mem­­­­bawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar 

men­­­­dengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di 

si­ni, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah 

itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja-kursi ala 

ka­darnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak 

penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pi￾kir­an pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan 

—yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “ke￾benaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang dida­sar￾kan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah 

yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar 

penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang 

yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.

eg

Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian 

hari, kita sampai pada keharusan-keharusan rasional untuk di￾lak­sanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai 

“muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran 

Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu. 

Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”, 

sebab  ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedang￾kan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran 

agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya kare￾na ia menyatakan pikiran-pikiran tentang masa depan Islam. 

Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Is￾lam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, sebab  pe￾rumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama ini , 

sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan 

bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” 

ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, sebab  ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di 

manapun mereka berada. 

Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu 

jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang 

membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam 

Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di 

sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipak­sa￾kan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan se­ga￾la sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam 

bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. 

Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. 

Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa 

yang dinamakan “ideologi-lslam”, yang oleh orang-orang terse￾but hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. sebab nya, 

kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”, 

yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideo￾logi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah 

hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum mus­li­min, me￾la­lui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima seba­gai “Islam 

Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemak­sa￾an pandangan? Cukup jelas, bukan? hSoal cita-cita kaum muslimin, tentu saja harus dipresen￾tasi­kan dengan mendalam. Ini sesuai dengan kenyataan, 

bahwa kaum muslimin terbagi dalam dua kelompok besar. 

Ada kaum muslimin yang menjadi gerakan Islam, ada pula yang 

hanya ingin menjadi warga negara tempat mereka hidup, tanpa 

menjadi warga gerakan apapun di dalamnya. Dalam hal ini su￾dah tentu harus dikecualikan gerakan yang menyangkut selu￾ruh warga negara, seperti gerakan Pramuka yang menggantikan 

gerak­an kepanduan di masa lampau dalam kehidupan masya￾rakat negara kita . Pengecualian ini dilakukan dengan kesadaraan 

penuh sebab  ia menyangkut kehidupan seluruh warga bang­sa, 

dan dengan demikian tidak memiliki “warna ideologis apapun.” 

Sedangkan jenis lainnya adalah kaum muslimin warga ge￾rak­an-gerakan Islam, apapun wujud dan bentuknya. Ada yang 

ha­nya bersifat lokal belaka, nasional, dan ada yang bersifat in￾ter­­nasional. Yang terakhir ini dapat dilihat pada pembubaran 

Las­kar Jihad di Saudi Arabia yang secara otomatis berarti pula 

pem­bubar­an perkumpulan yang bernama Laskar Jihad1

 di Indo￾nesia. Juga dapat dilihat pada pembentukan Nahdlatul Ulama 

(NU) di beberapa kawasan mancanegara, ataupun pembentukan 

Ikhwanul Muslimin di sejumlah negara Timur Tengah. sebab  

sifatnya yang sangat heterogen, jelas tidak ada satu pihak pun 

yang dapat mengajukan klaim sebagai “perwakilan Islam” di 

manapun.sebab  itu pula lembaga-lembaga keagamaan Islam, tidak 

dapat bersatu dalam sebuah kesatuan dengan memiliki otori￾tas penuh. Lembaga yang mencoba mewakili ulama atau kaum 

mus­limin dengan klaim seperti itu, dalam hal ini Majelis Ulama 

negara kita  (MUI), hanya menjadi salah se­buah diantara organi￾sasi-organisasi Islam yang ada. Lembaga ini tidak memiliki su￾premasi, seperti yang ada dalam agama-agama lain, seperti Kon￾ferensi Waligereja negara kita  (KWI), Persekutuan-perse­kutu­an 

Gereja-Gereja negara kita  (PGI) atau Parisada Hindu Dharma. 

Tetapi, MUI harus berbagi tempat dengan NU, Muhammadiyah 

dan lain-lain. sebab nya, hanya hal-hal yang disepakati bersama 

oleh sekian banyak perkumpulan itu, yang dapat dianggap seba￾gai nilai-nilai yang diterima umat. 

Ketika Rois Syuriyah NU cabang Pasuruan menyatakan 

“pengeboran Inul“ bertentangan dengan ketentuan agama Islam, 

disusul dengan fatwa MUI daerah itu, timbul reaksi di kalangan 

para warga negara republik kita. Untuk apa kedua lemba­ga itu 

“mengurus Inul” sejauh itu? Apalagi ketika H. Rhoma Irama 

menyatakan Inul tidak boleh membawa lagu ciptaan beliau, 

ka­langan muda santri mentertawakannya sebagai “tindakan 

ke­tinggalan jaman”. sebab  memang, orang seperti Inul tidak 

cocok membawakan lagu-lagu beliau. Dalam hal ini, masyara￾kat mengem­bang­kan pandangan mereka sendiri. Ketika ditanya 

dalam wawan­­­cara TV, Inul menyatakan, ia “mengebor” untuk 

mencari ma­kan. Ia tidak menutup-nutupinya dengan berbagai 

istilah "keren" seperti memajukan seni dan sebagainya, melain￾kan seca­ra berterus-terang ia mengatakan mencari makan. Keju￾juran ucap­an seperti ini, sangat bertentangan dengan sikap palsu 

gaya “sok untuk kepentingan bangsa” yang diperlihatkan keba￾nyak­an tokoh-tokoh politik kita. Padahal itu untuk menutupi 

ambisi pribadi masing-masing. Mungkin inilah maksud pepatah 

“kata­kan apa yang benar, walaupun pahit (qul al-haqqa walau 

kana murran).”

sebab nya tidak heran, jika pendapat atau kritikan berba￾gai macam pihak terhadap Inul, tidak memperoleh respon yang 

berarti dari kaum muslimin sendiri. Dengan kata lain, pendapat 

mereka itu akhirnya memiliki pengaruh sangat terbatas, bahkan 

banyak badan-badan penyiaran yang tidak mendukung. Bahkan 

ancaman H. Rhoma Irama untuk menggerakkan sejumlah orga￾nisasi ekstrim Islam melawan Inul, dalam pandangan penulis merupakan sesuatu yang sudah keterlaluan (over acting), yang 

mengancam keselamatan hidup kita sebagai bangsa. Apa beda￾nya ancaman itu dengan tindakan Front Pembela Islam (FPI) 

yang menyerbu rumah-rumah makan (Coffe House) di Kemang, 

Jakarta Selatan beberapa tahun lalu.

eg

Kita harus merubah moralitas masyarakat dengan sabar, 

agar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang kita yakini kebe­nar￾an­nya, dengan memberikan contoh yang baik sebagai wahana 

utama dalam pembentukan moralitas yang berlaku di tengah￾tengah masya­ra­kat. Hal ini yang tampaknya sering tidak disadari 

beberapa to­koh Islam maupun beberapa perkumpulan kaum 

muslimin. Masyarakat kita sekarang ini memiliki kemajemukan 

sangat tinggi, kalau kita tidak menyadari hal ini, kita akan mu￾dah marah dan bersikap “memaksakan” kehendak kepada ma￾syarakat. 

Cara itu membutuhkan sikap serba resmi (formalisme) 

yang be­lum tentu disepakati semua pihak. Mengapa? sebab  ini 

dapat men­jurus kepada “terorisme moralitas”, dengan akibat 

yang sa­ma seperti peledakan bom di Bali, di Medan maupun di 

lapang­an terbang Cengkareng. Pelakunya harus dicari sampai 

dapat dan ha­rus diganjar hukuman sangat berat, sebab  bersifat 

meru­sak dan mengacaukan keadaan secara umum. Tentu saja 

kita tidak ingin tuduhan ini terjadi pada tokoh-tokoh yang kita 

kagumi seperti H. Rhoma Irama.

sebab  itu dalam pandangan penulis, perlu diperhatikan 

bahwa cita-cita kaum muslimin dibagi dua, yaitu antara keingin￾an kaum muslim yang tidak memasuki perkumpulan gerakan 

Islam ma­na­pun, dan cita-cita para warga gerakan Islam. Tanpa 

adanya per­­hatian terhadap perbedaan ini, maka apa yang kita 

anggap pen­ting, tidak begitu diperhatikan oleh kaum muslim 

yang lain. Akibatnya kita akan kehilangan hubungan. Berlaku￾lah dalam hal ini adagium ushûl fiqh (teori hukum Islam atau Is￾lamic legal theory), yang berbunyi “yuthalaqu al-âm wa yurâdû 

bihi al-khâs (hal umum yang disebut, hal khusus yang dimak￾sud).” Kita harus hati-hati dan sadar sepenuhnya dengan apa 

yang kita ucapkan, agar kita memperoleh setepatnya apa yang 

kita inginkan. Me­mang ini me­lelahkan, tapi inilah konsekuensi dari apa yang kita upayakan selama ini.

Dengan demikian, keputusan para pendiri negeri ini untuk 

tidak mendirikan sebuah negara agama adalah keputusan yang 

berakibat jauh. Hal ini harus kita sadari konsekuensinya. sebab  

ada pemisahan agama dari negara, maka hukum yang ber­laku 

bukanlah hukum Islam, tetapi hukum nasional yang belum tentu 

sama dengan keyakinan kita. 

Artinya, dasar dari pembentukan hukum itu adalah tata 

cara yang kita gunakan bersama sehari-hari sebagai bangsa atau 

yang bukan berdasarkan suatu agama, yang memperoleh materi 

hukumnya dari wahyu yang dikeluarkan Tuhan. 

Selama berabad-abad ini, kaum muslimin melakukan pe￾nafsiran kembali (reinterpretasi) wahyu Tuhan itu, sebagai acu￾an moral dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Namun ada 

juga yang kemudian menjadi materi hukum nasional kita dan 

ada yang menjadi moralitas bangsa (setidak-tidaknya moralitas 

kaum muslimin). 

Daripada memperjuangkan ajaran-ajaran Islam menjadi 

hukum formal, lebih berat memper­juang­kan moralitas bangsa. 

Tapi ini adalah konsekuensi terjauh dari pandangan kita untuk 

memisahkan agama dari negara. Mu­dah kedengarannya, tapi su￾lit dilaksanakan, bukan? h


Yang paling banyak dilakukan orang adalah mengacaukan 

antara orientasi kehidupan dengan konsep sebuah bangsa. 

Makanya sering ada kerancuan dengan mengang­gap ada￾nya sebuah konsep negara dalam Islam. Atas dasar ini, orang 

pan­dai –semacam Abul A’la Al-Maududi,1

 menganggap ideologi 

sebagai sebuah kerangka-pandang Islam. sebab  itulah, ia lalu 

menganggap tidak ada nasionalisme dalam Islam, sebab  Islam 

bersifat universal bagi seluruh umat manusia. Tentunya, ini ber￾hadapan dengan kenyataan bahwa sangat besar jumlah kaum 

mus­limin yang memeluk nasionalisme, seperti mendiang Bung 

Kar­no. Pertanyaannya, dapatkah mereka dianggap kurang Islam 

dibanding ulama besar ini ?

Pendapat al-Maududi itu jelas membedakan antara mere￾ka yang menerima universalitas Islam sebagai sebuah formalitas, 

dengan mereka yang tidak memiliki atau mempercayai formalitas 

seperti itu. Pendapat ini, antara lain disanggah oleh seorang pe￾ne­liti dari Amerika Serikat (AS), William Cleveland. Dalam diser￾tasinya berjudul “Islam Against the West: Shakib Arslan and 

the campaign for Islamic nationalism”, Cleveland mengungkap­kan bahwa teori universalitas dan formalitas pandangan Islam 

Shakib Arsalan2

 (kakek Kamal Jumlad3

 dari Lebanon, seorang 

pemimpin Druz) ini, bersumber pada keanggotaannya dalam 

parlemen Ottoman (Ust­ma­niyyah). Kalau Shakib tidak ber­pan￾dang­an demikian, maka ia harus ikut nasionalisme Arab, sebuah 

pandangan yang justru ditolaknya. Dengan demikian, universali￾tas dari pandanga