g datang dari Barat, dalam berbagai bentuk. Yang terpenting diantaranya adalah pragmatisme yang dibawa oleh para teknokrat, yang dipermukaan berarti penyerahan diri secara total kepada sistem nilai yang dimiliki orang-orang Barat.
Modernisasi dianggap sebagai pengikisan tradisionalisme
agama dan rasa kebangsaan kaum nasionalis. Tidak heran, jika
yang muncul dipermukaan adalah manifestasi tradisionalisme
agama, digabungkan dengan semangat nasionalisme yang mengagungkan kejayaan masa lampau. Kedua paham itu menampilkan tradisionalismenya sendiri: anti-Barat, anti penuhnya rasionalisme dan penghormatan berlebihan kepada masa lampau.
Kalau hal ini diingat benar, dengan sendirinya kita lalu dapat
melihat kedangkalan dua paham ini .
Manifestasi budaya dari munculnya kembali tradisionalisme agama itu, seperti terlihat dalam blantika musik kita dewasa
ini. Musik Arab tradisional dengan enam belas birama (bahr,
pluralnya buhur) seperti yang ada dalam sajak-sajak Arab tradisional, muncul sebagai “wakil agama” dalam blantika musik
kita dewasa ini. Hal ini sebab , pembaharuan bahasa dan sastra
nasional, yang dirintis Sutan Takdir Alisyahbana tidak sampai
menyentuh akar tradisionalisme agama itu. Sebagai akibatnya
kita melihat sebuah penampilan yang lucu: bahasa dan sastra nasional yang diperbaharui dan berwatak kontemporer dan —pada
saat yang sama, menampilkan tradisionalisme agama.
eg
Dengan memperhatikan kenyataan di atas, kita sampai kepada sebuah pertanyaan yang fundamental: haruskah kehidupan
beragama kita semata-semata berwatak tradisional dan adakah
penggunaan rasio dalam menyegarkan kembali tradisionalisme
agama itu dianggap sebagai “bahaya”? Pertanyaan ini patut dipikirkan jawabannya secara mendalam, sebab selama ini percampuran antara semangat kebangsaan kaum nasionalis dan tradisionalisme agama hanya membawa hasil positif di bidang politik
belaka, bukannya di bidang budaya dan bahasa. Tradisionalisme
agama tidak menyukai ideologisasi-agama dalam kehidupan bernegara, seperti terbukti dari penolakan NU atas Piagam Jakarta.
Kehidupan beragama kita, yang menjadi salah satu penyumbang kebudayaan dalam kebudayaan nasional kita, bagaimanapun juga haruslah berwatak rasional. Apa yang dikemukakan
A.A. Navis dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” adalah rasionalitas kehidupan beragama yang kita perlukan, bukannya sesuatu yang harus ditakuti. Ini bukan berarti memandang rendah
tradisionalisme agama, sebab elemen-elemen positif dari tradisionalisme itu sendiri harus kita teruskan. Tetapi unsur-unsur
irrasional yang akan menghambat fungsionalisasi tradisionalisme itu sendiri haruslah diganti dengan nilai-nilai rasional yang
akan menjamin kelangsungan tradisionalisme agama itu. Seperti
halnya dengan kontra-reformasi yang dijalani oleh gereja Katolik Roma, yang dijalankan untuk menjamin kelangsungan hidup
tradisionalisme agamanya. Penggunaan gamelan di satu sisi —
misalnya, dan musik hard rock serta rap di sisi lain, sama-sama
rasionalnya dalam penyampaian pesan-pesan gerejawi melalui
misa dan sebagainya.
Jadi revitalisasi tradisionalisme memang agama sangat diperlukan, dalam bentuk memasukkan unsur-unsur rasional ke
dalamnya, hingga modernisme agama itu sendiri dapat dirasakan sebagai kebutuhan, baik di kalangan elitis yang diwakili para
cendekiawan, maupun rakyat jelata yang mengembangkan tradisionalisme agama populis. Di sinilah terletak tantangan yang dihadapi Islam di negeri kita, dengan penduduk muslimnya yang
berjumlah lebih dari 170 juta jiwa.
Masalahnya sekarang, bagaimana mengembangkan modernisme agama dan tradisionalisme agama yang serba rasional,
dan menghindarkan agar keduanya tidak bertubrukan secara
praktis. Dapatkah kaum muslimin di negeri ini mencapai hal itu? Pada pertengahan bulan Mei 2002, penulis menyampaikan
penilaiannya atas diri KH. A. Mutamakkin dalam sebuah
seminar yang berlangsung di IAIN (UIN, red) Syarif Hidayatullah, Ciputat. Pendapat itu dikemukakan dalam seminar
untuk menyambut terbitnya sebuah buku1
tentang diri beliau,
yang memang benar-benar merupakan karya berbobot ilmiah
dan melihat peranan beliau dari berbagai sudut pandang. Baik
dari aspek epistemologis, kesejarahan maupun aspek sosiologis.
Karya ini memerlukan sebuah penanganan serius yang harus diteruskan oleh para peneliti lainnya.
Dalam seminar itu, penulis mengemukakan sebuah sudut
pandang yang sama sekali baru dalam menilai dan memahami
tokoh KH. A. Mutamakkin yang wafat pada abad ke 18 Masehi
dan dimakamkan di desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah.
Diantara keturunannya yang masih aktif dalam kehidupan masyarakat adalah Rois ‘Am NU (Nahdlatul Ulama), KH. A. M. Sahal
Mahfudz dan diri penulis sendiri. Salah satu sesepuh keluarga dan
keturunan beliau, dengan pengaruh sangat besar semasa hidup
nyaadalah KH. Abdullah Salam yang meninggal dunia tahun lalu
(2001) dan dimakamkan di desa ini . Sebagai penghafal alQur’ân beliau memimpin sebuah pesantren di desa ini dan
mengembangkan asketisme yang sangat mengagumkan, dalam
bahasa pesantren dikenal dengan istilah akhlakul karimah.Dalam menilik riwayat KH. A. Mutamakin itu penulis juga
memakai Serat Cebolek yang diterbitkan Keraton Amangkurat IV dan Pakubuwono II di Surakarta, yang dibahas oleh
disertasi Dr. Soebardi2
; juga ceritera ketoprak dan ceritera-ceritera lain, di samping berbagai tulisan kaum pesantren tentang
beliau dan terutama tulisan-tulisan beliau sendiri. Yang tidak
sempat penulis gunakan, adalah tulisan Dr. Kuntowidjoyo dari
Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang KH. Rifa’i, Batang,
yang menggunakan referensi Serat Cebolek dan sebuah buku
tentang beliau yang diterbitkan oleh LKiS, di Yogyakarta, tulisan
Dr. Abdul Djamil,3 Rektor IAIN Walisongo di Semarang.
eg
Penulis berpendapat, KH. A. Mutamakin telah memelopori
sebuah pendekatan baru dalam hubungan antara Islam dan kekuasaan negara pada abad ke 18 Masehi. Ini memerlukan penelitian mendalam, agar kita menemukan strategi perjuangan Islam yang tepat di negeri ini.
Perjuangan umat Islam dalam abad ke 18 Masehi itu, pada
intinya ada yang berupa sikap pro/menunjang pemerintah, dan
sikap menentangnya. Kaum syari’ah/ fiqh (hukum Islam) pada
umumnya bersikap mendukung kekuasaan, mungkin atas dasar
adagium yang terkenal: “Enam puluh tahun dalam pemerintahan penguasa yang bobrok, masih lebih baik daripada anarki semalam (sittuna sanatan min imâmin fâjirin ashlahu min
lailatin bila sulthan).”4
Sikap ini merupakan sebuah kenyataan
tidak adanya kontrol atas jalannya pemerintahan, semuanya tergantung pada kehendak sang penguasa. Para pelanggar hukum,
termasuk pelanggar fiqh/hukum Islam terkena sanksi atau tidak
secara legal seluruhnya tergantung sang penguasa. Kaum fiqh itu menetapkan KH. A. Mutamakin telah melanggar syari’ah sebab
memasang lukisan binatang secara utuh, dan sering menonton
wayang dengan lakon Bima Suci/Dewa Ruci. Oleh sebab itu ia
harus dihukum. Tetapi hukuman itu terserah pada sultan sebagai penguasa.
Sebaliknya, para pemimpin tarekat dan tassawuf bersikap menentang penguasa. Perbedaan sikap ini menjadi pemicu
pemberontakan di beberapa tempat dalam abad ini . Dalam
pandangan kaum tarekat, penguasa dianggap menyimpang dari
kebenaran formal agama, sebab itu haruslah dilawan secara
terbuka. Sikap ini, sebenarnya sama-sama bersifat politis, bila
dibandingkan dengan sikap KH. A. Mutamakkin di atas. Hanya
saja, jika yang satu menentang maka yang lain mendukung. Sikap
politis inilah yang membuat penguasa waktu itu banyak menghukum mati dan menyiksa para pemimpin gerakan tarekat. Cerita ulama yang mati dibakar atas perintah sultan adalah sesuatu
yang memilukan di waktu itu.
eg
Di sini, KH. A. Mutamakin memperkenalkan pendekatan
yang lain sama sekali. Ia mengutamakan pandangan alternatif
terhadap kelaliman penguasa, namun tidak memberikan perlawanan secara terbuka. Dengan demikian, ia lebih mengutamakan
sikap memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang pemimpin wajib bertindak dan menampilkan para ulama sebagai
kekuatan alternatif kultural di hadapan sang penguasa. Pendekatan inilah yang di kemudian hari dikenal dengan pendekatan kultural yang memicu perlawanan rakyat, tanpa melawan sang penguasa. Sikap ini dikecam dengan keras oleh pendekatan politis
yang menunjang penguasa dan yang menentangnya.
Pendekatan kultural ini, tidak pernah jelas-jelas menentang penguasa, tapi ia juga tidak pernah menunjang penguasa.
Di masa itu, kaum syari’ah memberikan dukungan kepada penguasa sedangkan pihak tarekat bersikap menentang. KH. A.
Mutamakin mengembangkan sikap kultural di atas, yakni pilihan alternatif yang bersifat kultural. Di masa Orde Baru, keadaan
menjadi terbalik: pihak tarekat justru menjadi penunjang dan
mendukung kekuasaan, seperti terjadi pada pemimpin-pemimpin tarekat pada masa itu. Sedangkan kaum syari’at, seperti yang tergabung dalam kalangan NU dalam PPP (Partai Persatuan
Pembangunan) masa itu menampilkan perlawanan kultural terhadap kekuasaan.
Sekarang, pertanyaan pokok adalah, haruskah perlawanan
kultural itu dikembangkan terus di masa depan? Atau justru dimatikan? Dan dengan demikian perjuangan seterusnya menjadi
perlawanan politis saja. Jawabannya menurut penulis adalah sesuatu yang sangat komplek: bagi organisasi non-politis, seperti
NU, pendekatan yang harus diambil adalah pendekatan kultural
yang lebih didasarkan pada alternatif-alternatif yang mengutamakan kebersihan perilaku di bidang pemerintahan. Sedangkan
bagi organisasi-organisasi politik, seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tekanan harus diletakkan pada penciptaan sistem politik yang bersih, meliputi ketiga bidang eksekutif-legislatif-yudikatif. Hanya dengan kombinasi kedua pendekatan kultural dan
politis itu dapat ditegakkan proses demokratisasi di negeri kita.
Sebagaimana diketahui, demokratisasi hanya dapat tegak kalau
dapat diupayakan berlakunya kedaulatan hukum dan adanya perlakuan yang sama bagi semua warga negara di muka UndangUndang.
Bukankah dengan demikian, menjadi relevan bagi kita di
saat ini, mengembangkan pendekatan kultural yang dahulu dirintis KH. A. Mutamakin?
Dalam acara NU (Nahdlatul Ulama)/PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan beberapa pesantren di Kalimantan Selatan, serta orasi budaya dalam Konferensi Besar Ikatan
Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) di Samarinda, penulis
melihat sebuah fenomena yang sangat menarik. Di tiap tempat,
penulis selalu disuguhi pagelaran qasidah shalawat badar, bahkan di acara lainnya justru orang-orang non-muslim yang membawakannya. Ini berarti, sajak Arab ciptaan KH. Ali Mansyur
dari Tuban, di Banyuwangi tahun 1962 itu, telah menjadi khazanah budaya nasional, minimal budaya NU/PKB. Terlepas dari
penyerahan Bintang NU kepada keluarga almarhum pencipta sajak ini di Muktamar Krapyak, Yogyakarta tahun 1989, fakta lainnya adalah penyebaran sajak yang ditembangkan dalam
birama (bahr) tradisional ini , tampak jelas telah dianggap
sebagai fenomena budaya nasional tanpa disadari.
Hal ini menunjukkan eratnya hubungan antara budaya
dan agama. Sama eratnya dengan penyampaian lagu-puja dalam
qasidah dzibâ’iyah, yang dibawakan jutaan anak-anak muda NU
setiap minggu. Ini menunjukkan bahwa penyebaran agama Islam di negeri ini, antara lain lewat budaya, disampaikan secara
damai, tidak melalui jalan peperangan. Memang harus diakui,
kekuatan yang dimiliki kaum muslimin, melalui kekuasaan atau
tidak, telah turut mendukung penyebaran agama secara damai
itu. Namun, tidak selamanya penyebaran agama secara damai
itu terkait dengan kekuasaan, seperti terlihat pada berbagai aktifitas yang dulu menyertai aliran Syi’ah di negeri kita, beberapa
abad yang lalu. Secara budaya, apa yang tadinya dianggap sebagai tindakan penyebaran agama, sekarang diterima sebagai adat
di berbagai daerah. Perayaan Tabot, di Bengkulu umpamanya,
dapat dikemukakan sebagai salah satu contoh. Adat yang satu
ini, menampilkan diusungnya tabot (peti mati/ keranda cucu)
Nabi Saw, Sayyidina Husein, yang justru menjadi tanda bagi kesetiaan orang pada ajaran ahl al-bait (keluarga Rasulullah) yang
menjadi titik sentral ajaran Syi’ah. Bahwa Tabot telah menjadi
manifestasi budaya negara kita , menunjukkan perkembangan sejarah yang sangat penting.
eg
Hal yang sama juga kita temui dalam penggunaan namanama di Gedung DPR/MPR-RI kita. Gedung yang megah itu diharuskan memakai nama-nama dalam bahasa Sansekerta,
seperti Graha Nusantara dan sebagainya. Sedangkan nama DPR/
MPR sebagai institusi produk Undang-Undang Dasar (UUD),
lebih mencerminkan dialog yang umu dipakai antara para pemimpin negara kita sebelum kemerdekaan, yang memakai
pengaruh bahasa Arab. Lihatlah kata-kata yang dipakai, seperti Dewan Perwakilan Rakyat. Ketiga kata itu, baik kata dewan,
wakil maupun rakyat, sebelum mengalami konjugasi dalam bahasa kita adalah kata-kata yang berasal dari bahasa Arab. Begitu
juga dengan pemilihan umum, kata “umum” digunakan untuk
hal-hal yang menyangkut publik, jelas berasal dari “sono”.
Namun, perkembangan bahasa yang semula diambil dari
kata-kata Arab dan kemudian dari kata-kata Sansekerta, menunjukkan kemampuan beradaptasi yang dimiliki oleh bangsa kita.
Kalau itu kita kaitkan dengan bidang-bidang lain, akan lebih besar kemelut pengertian yang diakibatkan oleh pemakaian seharihari. Ambil saja kata hukum, yang berasal dari kata al-hukm
dalam bahasa Arab. Kata ini semula digunakan untuk menunjuk
hukum agama Islam (fiqh). Namun sebab perluasan pemakaiannya yang meliputi produk-produk yang dihasilkannya, akhirnya kata itu melingkupi makna baru, yang memiliki arti yang
berbeda dari asal usulnya. Al-hukm yang semula berarti aturan dan undang-undang agama (canonical law), berkembang menjadi hukum –yang berarti undang-undang dan peraturan negara.
Perubahan pengertian ini, disebabkan sebagian oleh perubahan
arti kata law atau recht, yang diambilkan dari bahasa-bahasa
Eropa modern.
Belum lagi kalau diingat terjadinya bahasa-semu (meta
language) dalam bahasa nasional kita, seperti disinyalir oleh
Dr. Toety Herati Nurhadi: diamankan berarti ditangkap, harga disesuaikan berarti dinaikkan, dan sebagainya. Akibat dari
penggunaan bahasa semu ini, masyarakat terkotak-kotak dan
timbulah isolasi antar golongan di dalamnya. Akibat lanjutannya, muncul jalan pintas berupa budaya kekerasan (culture of
violence) —terutama dalam bentuk munculnya penggunaan preman, yang terjadi dalam kehidupan kita sebagai bangsa.
eg
Jelaslah dengan demikian, hal pertama yang harus dilakukan adalah pembakuan arti yang kita gunakan sehari-hari. Tanpa pembakuan ini, kita akan tetap rancu dalam pemikiran dan
kacau dalam pengertian. Akibatnya, kita sebagai bangsa tidak
tahu kemana orientasi kehidupan harus diarahkan. Hal ini tampak antara lain, adanya pernyataan seorang anggota fraksi PDI-P
DPR-RI bahwa ia bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil partai.
Ini berarti, kerancuan telah menelusup dalam tubuh kita sebagai
bangsa, juga menunjukkan cara berpikir yang carut marut yang
kita alami saat ini. Demokrasi kita, yang semula berarti pengutamaan kepentingan rakyat banyak, diubah dengan tidak terasa
kepada pemenuhan kebutuhan golongan dan ambisi pribadi.
Dengan demikian, kebutuhan menyamakan pandangan
tentang demokrasi yang ingin kita ciptakan dalam kehidupan
bangsa, haruslah tetap dilanjutkan. Walaupun sudah lebih dari
150 tahun, Alexis de Tocquevile1
menerbitkan bukunya tentang
demokrasi di Amerika Serikat, sampai hari inipun pembicaraan
tentang jenis-jenis dan jangkauan proses ini dalam kehidupan bangsa Amerika tetap berlangsung. Dengan demikian,
perkembangan proses demokratisasi itu sendiri senantiasa dijaga
oleh para pemikir, agar tidak menyimpang dari tujuan semula.
Ini adalah sebuah hal yang sangat mendasar (fundamental), karenanya ia tidak dapat diabaikan begitu saja.
sebab itu, keinginan berbagai kalangan gerakan Islam,
agar Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam pasal 29 UUD kita,
haruslah terus dibicarakan. Ia menunjukkan kurang adanya pengertian di kalangan gerakan-gerakan Islam ini . Bukankah
pencantuman Piagam Jakarta itu dalam salah satu pasal UUD
akan berarti memasukkan ideologi agama ke dalam kehidupan
negara, dan dengan demikian memberi kepadanya kedudukan
resmi sebagai ideologi negara? Bukankah dengan demikian,
para warga negara lain yang non-muslim dimasukkan ke dalam
lingkungan warga negara kelas dua? Dan bukankah orang yang
berpaham atau berideologi non-agama, seperti kaum nasionalis
dan sosialis, juga tidak memperoleh kedudukan terhormat di
negeri ini? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus
dijawab, bila kita menginginkan kehidupan bangsa yang benarbenar demokratis di masa depan.Pada waktu penulis berkunjung ke Pusat Persatuan Muslim
Tiongkok, penulis menyatakan persamaan antara kaum
muslimin Tiongkok dan negara kita . Kedua negeri ini diatur
oleh Undang-Undang Dasar (UUD) yang tidak mencantumkan Islam sebagai dasar negara. Dalam struktur seperti itu, Islam tidak
berfungsi sebagai hukum negara, melainkan sebagai jalan hidup
masyarakat. Demikian halnya dengan negara kita , tentu masyarakat sendiri yang memilih berkeyakinan Islam, dan masyarakat
yang menentukan untuk tidak menampakkan afiliasi agamanya
sebagai ideologi negara seperti di Tiongkok. Persamaan mendasar ini, harus dipakai selaku tali pengikat antara kedua negara
itu dalam hubungan formal dan non-formal dengan mereka.
Namun, antara kedua negeri itu terdapat perbedaan yang
sangat besar, yang sering luput dari perhatian kita. Mengingat
perbedaan ini , maka pentinglah arti sejarah bagi pembentukan pandangan umum sebuah negeri. Hal ini sering diabaikan
orang, hingga secara tidak terasa kita terjerumus kepada sikap
menyamakan hal yang tidak sama. sebab nya, tulisan ini mencoba menyoroti hal itu, agar kita tidak terus-menerus melakukan kesalahan. Dengan cara inilah kita melakukan koreksi atas
kesalahan-kesalahan masa lampau, dalam menyongsong masa
depan.
Salah satu hal yang membedakan kedua negeri adalah sejarah masing-masing yang saling berbeda. Sejak semula Tiongkok berpenduduk sangat banyak, maka pemerintahan dikembangkan lebih seragam. Keseragaman itu dilambangkan oleh
sistem administrasi yang sama dan birokrasi yang tunggal di
semua propinsi, mengikuti apa yang ditetapkan di ibu Kota Nanking maupun Beijing. Bahkan Tiongkok telah memiliki wadah
tunggal pendidikan tenaga administrasi pemerintahan semenjak
ratusan tahun yang lalu.1
Sementara APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri) dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) di
negeri kita baru berlangsung puluhan tahun lamanya, itupun
dengan hasil yang sudah sangat menggembirakan. Di Universitas Tokyo, Jepang dan Ecole Superieur, Perancis yang berusia
sedikit lebih tua juga mencatat hal yang sama.
eg
Perbedaan sangat mencolok antara kedua bangsa dapat
ditelusuri pada sejarah masing-masing. Tiongkok sebagai negara daratan (land-based country) dan negara kita sebagai negara
maritim. Sudah tentu dengan lebih banyak keseragaman di China
dan keragaman kerajaan-kerajaan di negeri kita. Kalau daratan
Tiongkok terkenal dengan sistem agraris yang berintikan sawah
dan padang rumput (lengkap dengan tradisi penggembalaannya), maka perairan negeri kita justru menunjukkan ciri perbedaan sangat besar dalam cara hidup masing-masing daerah. Ada
yang bergantung pada hasil hutan yang sangat besar, seperti di
Jambi dan Pulau Kalimantan, ada pula yang lebih mengandalkan
perdagangan laut antar pulau, seperti terdapat dalam kebudayaan Bugis dan Madura. Hanya di Jawa, Sultan Agung Hanyakrakusuma2
dapat menegakkan cara hidup agraris lengkap dengan
sistem kepegawaiannya.
Namun, pengenalan antropologis antara keduanya, dengan
yang satu memakai konsep agraris dan yang kedua dengan
konsep maritim, harus diimbangi dengan analisa sosiologis, yang juga akan menunjukkan perbedaan dan persamaan keduanya.
Umpamannya saja, pada kuatnya kekuasaan pihak yang memerintah (the ruling class).
Sebenarnya, nama Mandarin untuk bahasa nasional Tiongkok saat ini, diambil dari nama kelompok birokrat pemerintahan
yang menguasai negeri itu sejak lebih dari 2000 tahun lampau.
Kelompok birokrat ini sanggup bertahan, bahkan menghadapi
tantangan kaum pendekar bersenjata yang menguasai pedalaman Tiongkok selama ratusan tahun terakhir ini. Sekarang pun,
masih belum diketahui bagaimana keberadaan mereka dalam
pemerintahan dan sistem politik yang ada, walaupun kekuasaan komite militer di lingkungan Partai Komunis Tiongkok masih sangat besar. Apakah kelas bersenjata itu diserap ke dalam
komite militer ini dengan bawahan-bawahannya, juga tidak kita ketahui.
Di negeri kita pun kekuasaan kaum priyayi dengan nilainilainya sendiri terasa sangat besar di masa lampau. Hanya saja,
dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, kaum agamawan muslim (dikenal dengan nama kaum santri) berhasil menyelusup
ke dalam jantung kekuatan kaum priyayi ini . Jalan yang
dilalui ada dua model, yaitu jalur kekuasaan politik dan jalur
pengembangan profesi. Kalau ini kita lupakan, sama saja artinya
dengan membiarkan diri hidup di masa lampau tanpa mengenal
hidup masa kini dan masa mendatang.
eg
Jelas, kalau kita proyeksikan bayangan masa lalu itu, bertambah nyata persamaan maupun perbedaan sistem-sistem politik yang dianut kedua negeri itu –di masa kini dan masa depan.
Bagaimana masing-masing menjawab tantangan yang dihadapi,
yang datang dari proses modernisasi yang penuh dengan persaingan, adalah pengenalan sebuah proses yangmenarik untuk
dikaji. Di sinilah, terasa betapa pentingnya deskripsi historis
sistem politik yang digunakan kedua bangsa itu (ethnografi,
yang sangat dikuasai oleh administrasi pemerintahan kolonial
Hindia-Belanda).
Mengingat hal itulah perlu kita sadari betapa pentingnya
catatan-catatan historis yang dikenal oleh kedua belah pihak. Ini
adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan sejarah kedua bangsa. Bahwa ada perbedaan-perbedaan sejarah
di dua orkestra-kamar (chamber orchestra) itu adalah hal yang
wajar. Tetapi, membandingkan antar keduanya, untuk mencari
pelajaran yang dapat kita gunakan untuk mengenal cara hidup
kita sendiri, adalah sebuah hal yang wajar pula.
sebab nya, segala macam tulisan dan rekaman suara yang
memberikan gambaran akan perjalanan sejarah kedua bangsa
itu, jelas akan sangat menarik hati para pengamat. Akankah kita
menjadi sebuah bangsa yang hanya mengandalkan dominasi
masa lampau, terlepas sama sekali dari konteks historis yang sedang berjalan? Ataukah justru kita menjadi bangsa yang dapat
menatap masa depan sendiri? Semuanya terpulang kepada kita
sendiri. Di sinilah perlunya kita mengenal kedua bangsa secara
lebih mendalam sebagai bangsa yang sama-sama bukan negara
agama, walaupun mempunyai perkembangan sejarah (historical
development) yang berbeda.
Beberapa partai politik masih mencantumkan Islam sebagai
asas/dasar organisasinya, begitu juga beberapa perkumpulan lain yang non-politis. Ketika hal itu ditanyakan pada
penulis, maka jawabannya adalah biar saja, sebab itu adalah kehendak mereka. Si penanya mengemukakan: aneh sekali, Anda
dari dahulu selalu menentang negara Islam, mengapakah partai
politik yang berasaskan Islam tidak Anda tolak? Bukankah ini
berarti Anda menerima pandangan mereka?
Jawabannya justru sebab penulis menolak negara Islam
Islam di negara kita , tapi tidak di tempat lain yang penduduknya
homogen (berpandangan tunggal). sebab bangsa kita beraneka
ragam dalam pandangan hidup, dengan sendirinya negara tidak
dapat hanya melayani mereka yang berpandangan negara Islam
saja. Orang muslim pun, seperti penulis yang tidak menerima
negara Islam di negara kita , harus dihargai pendapat dan sikap
hidup mereka. Apalagi yang tidak beragama Islam, yang jumlahnya melebihi 10% bangsa ini. Adalah tindakan gegabah untuk
menganggap konsep negara Islam diterima seluruh kaum muslimin di negeri ini, hanya sebab Islam sebagai agama mayoritas
penduduk negara kita .
Itulah yang membuat mengapa penulis menolak gagasan
negara Islam di sini, sebab penulis tidak ingin menyangkal kebenaran yang dibawakan oleh statistik tadi. Lain halnya dengan
bangsa Pakistan, yang ingin mendirikan negara sendiri sebab
persamaan agama, dan untuk itu mereka berani berpindah tempat ke kawasan ini dari daerah asal, dan di Pakistan mereka membentuk kelompok kaum pendatang (muhajirin). Dapat
dimengerti mengapa mereka menginginkan Republik Islam Pakistan pada waktu ini, walaupun tidak sejalan dengan pikiran
penulis.
eg
Kembali pada masalah asas Islam bagi partai politik maupun perkumpulan. sebab yang beratribut Islam adalah partai
politik dan/atau perkumpulan-perkumpulan, maka tidak ada
sangkut pautnya dengan negara. Kalau mereka memperjuangkan Piagam Jakarta, untuk dimasukkan ke dalam UndangUndang Dasar kita maka itu adalah hak mereka, juga untuk
merubah konstitusi dan dasar negara. Ini adalah konsekuensi
berdemokrasi, bahkan di Amerika Serikat pun ada orang yang
ingin agar Undang-Undang Dasar-nya diubah menjadi UndangUndang Dasar berideologi komunis. Masalahnya tinggal, apakah
dalam pemilu, rakyat mau menerimanya atau tidak?
Sikap membedakan kehidupan negara dari kehidupan perkumpulan yang seperti ini, adalah sikap yang sehat kalau kita
ingin mengembangkan demokrasi di negara kita. Dasar dari sikap ini adalah keyakinan bahwa, rakyat banyak sudah tahu apa
yang harus dilakukan, walaupun mayoritas mereka tidak berpendidikan tinggi, dan bahkan masih besar prosentase yang buta
huruf. Kalau dalam hal ini kita memiliki keberanian, maka mereka yang bercita-cita mendirikan negara Islam tidak akan memperoleh tempat untuk menyuarakan kehendak, dan mereka akan
menempuh jalan pemberontakan bersenjata.
sebab nya, kita harus memberikan tempat bagi perbedaan
pendapat dan kemerdekaan berbicara, artinya adalah kebebasan
menyatakan pikiran tanpa dikekang sama sekali. Inilah yang mendasari pendapat penulis, bahwa TAP MPRS No. 25 tahun 19661
harus dicabut. sebab TAP itu melarang penyebaran paham
Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Sebagai sebuah paham,
pikiran itu hanya dapat diperangi oleh pendidikan dan penerangan, bukan oleh sebuah Ketetapan MPR ataupun produk hukum apapun. Lain halnya, kalau yang dilarang adalah lembaga atau
institusi seperti Partai Komunis negara kita (PKI). Lembaga dapat
dilarang oleh negara, seperti halnya kita melarang lembaga bernama Freemason (lembaga yang berpikiran bebas tanpa agama)2
.
Di sinilah diperlukan ketelitian kita, agar produk-produk kenegaraan kita tidak merugikan diri sendiri.
eg
Mengetahui hal sekecil ini, yaitu perbedaan antara paham
dan lembaga harus dilakukan dengan cermat. Tanpa kecermatan
seperti itu, kita akan berjalan ke arah yang salah, yaitu menindak
hal yang tidak perlu diperhatikan dan membiarkan sesuatu yang
memerlukan tindakan. Prinsip ini penting diingat oleh lembaga
lembaga yang mengutamakan perembugan/permusyawaratan,
seperti yang dibuat oleh Undang-Undang Dasar kita: Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang seringkali hanya dianggap sebagai ajang percaturan kekuasaan.
Walaupun banyak dijalankan oleh umat muslim, tetapi
sistem politik nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari
tradisi politik Jawa dalam menjaga keberlangsungan negara.
Sering kontinuitas kekuasan diwariskan dari sebuah generasi
kepada generasi selanjutnya. Joko Tingkir, umpamanya, mempunyai keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakkin3
dari Kajen,
Pati, yang sangat tunduk pada Amangkurat IV4
di Surakarta. Sedang Joko Tingkir alias Sultan Hadiwidjaya adalah penguasa Kesultanan Demak (memerintah tahun 1550-1582) yang digulingkan oleh Sutawidjaya5
, pendiri dinasti Mataram yang kemudian
bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayyidin Panatagama Kalifatullah Ing Tanah Jawi. sebab penulis masih keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakkin, berarti masih terkait
dengan Sunan Benawa di Kendal, ayah Sunan Pakubuwana I,
dengan sendirinya para penguasa Mataram masih menghormati
penulis.
sebab sistem politik Jawa masih memiliki bekasnya yang
mendalam atas sistem politik nasional kita sekarang, dengan
sendirinya tali temali ini harus diperhatikan juga. Contoh tadi
juga memperkuat pendapat penulis, bahwa kita tidak memiliki
acuan negara Islam bagi sistem politik yang kita kembangkan.
Menurut dugaan penulis, kurang dari 20 % pemilih akan memberikan suara kepada partai-partai politik yang menginginkan
Islam sebagai dasar negara. Benarkah apa yang disangkakan
penulis itu? Pemilu adalah satu-satunya tempat untuk menguji
kebenaran pendapat itu. Sejarahlah yang akan menjawab
Dalam upacara penganugerahan gelar Doktor Honoris
Causa untuk bidang humaniora di Universitas Soka Gakkai, Tokyo, baru-baru ini, penulis mengemukakan dalam
sambutannya bahwa sebuah tradisi baru telah dimulai di Asia.
Di samping PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang membawa
moralitas keagamaan dalam kehidupan politik suatu bangsa, kita
melihat hal yang sama dilakukan Partai Komeito, yang didukung
oleh gerakan Buddha terbesar di dunia, Soka Gakkai di Jepang.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Bharatiya Janata Party, yang
dipimpin oleh Perdana Menteri India Atal Behari Vajpayee. Dan,
didukung oleh oraganisasi Hindu kenamaan di negeri itu, Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), yang didirikan tahun 1925, setahun sebelum NU lahir (tahun 1926).
Malam harinya, sebelum pemberian gelar ini , penulis berkunjung ke rumah Prof. Mitsuo Nakamura, seorang ahli
gerakan Islam di negara kita , yang tinggal di Ito City (sekitar dua
jam berkendaraan mobil dari kota Tokyo). Sebuah pertanyaan
beliau menunjuk dengan tepat problematika yang dihadapi penulis: “Anda memisahkan ideologi agama dari kehidupan negara.
Mengapakah sekarang Anda justru membawa agama dalam kehidupan bernegara?” tanyanya. Mendengar pertanyaan ini ,
badan yang terasa kecapaian akibat berkendaraan mobil ke Ito
City selama dua jam itu, hilang seketika. Inilah yang penulis cari
selama beberapa tahun ini, tetapi tidak pernah dirumuskannya
dalam bentuk pertanyaan seperti itu.
Penulis memberi jawaban, bahwa yang terjadi (dan terus
terang saja, dikembangkan penulis di negara kita melalui PKB),
adalah penolakan terhadap langkanya moralitas dalam kehidupan politik kita dewasa ini. Jadi dengan demikian, kalau dalam
masyarakat sekuler di Barat ada moralitas non-agama dalam kehidupan politik, di negara-negara berkembang yang belum memiliki tradisi yang mapan, moralitas ditegakkan melalui dasardasar agama. Dalam pandangan penulis, ukuran-ukuran ideologis-agama tetap tidak memperoleh tempat dalam kehidupan
bernegara, sebab sifatnya yang sesisi dan hanya khusus untuk
kepentingan para pemeluk agama ini . Di sinilah terletak
perbedaan antara moralitas dan ideologi, walaupun sama-sama
berasal dari wahyu yang satu.
eg
Kita harus jeli membaca sejarah bangsa-bangsa di dunia,
untuk mengambil pelajaran serta sikap yang diperlukan. Kita
sering mendengar moralitas yang tinggi tanpa berdasarkan
agama, seperti diperlihatkan Jiang Zemin dan Zhu Rongji di
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang sepenuhnya disandarkan pada moralitas sekuler yang bersifat materiil. Oleh sebab
itu, kita harus mampu mengembangkan moralitas politik yang
di dasarkan pada ajaran-ajaran umum semua agama. Kejujuran,
kesungguhan kerja dan pertanggungan-jawab secara jujur kepada nasib bangsa di kemudian hari, merupakan sebagian moralitas umum agama-agama. sebab nya, pemakaian agama untuk
memicu moralitas seperti itu justru harus dihargai, dan
bukannya dicurigai.
Antonio Gramsci1
mengemukakan gagasan sosialisme yang
penuh kemanusiaan, dan di dalamnya tentu terdapat peran besar dari moralitas yang tinggi, sebagai sebuah koreksi atas Marxisme-Leninisme yang sarat dengan ketentuan-ketentuan organisatoris belaka. Pandangannya saat itu (sebelum 1927) dianggap
sebagai penyimpangan Komunisme di Italia, namun adanya kebangkrutan dan kehancuran Uni-Soviet justru membenarkannya. Demikian pula halnya dengan Alexander Dubcek2 di Praha
yang berani menawarkan Komunisme yang berwajah kemanusiaan. Namun, beberapa puluh tahun kemudian apa yang mereka bawakan menjadi kenyataan: bahwa Komunisme pun harus
melakukan koreksi atas peranannya dalam kebangunan manusia di akhir abad lalu dan sepanjang abad ini. Pengamatan
ini sepenuhnya mengikuti apa yang diingatkan Vladimir Ilyich
Lenin: “penyakit kiri ke-kanak-kanakan (leftism infantile disease)”
yang dihadapi kaum revolusioner manapun, yaitu heroisme romantis. Mereka menganggap revolusi akan rampung ketika aku yang
berjuang. Aku-isme seperti inilah yang justru merusak revolusi,
sebab perjuangan jangka panjang harus ditundukkan kepada
kebutuhan pribadi seorang pemimpin yang tidak lama jangka
hidupnya.
Lawan dari aku-isme itu adalah budaya/kultur dan agama,
termasuk manifestasi budayanya yang sangat penting dalam
sejarah umat manusia. Kalau tidak kita pahami dengan benar,
peranan agama tidak lagi berorientasi kultural, melainkan berorientasi institusional. Kegagalan memahami hal ini berarti
kegagalan pula dalam memahami proses demokratisasi, yang
memang sejak semula sudah tidak ideal. Sir Winston Spencer
Churchill3
pernah menyatakan, demokrasi banyak kelemahan
dan kekurangannya, tetapi ia tetap merupakan perwujudan terbaik dari upaya umat manusia menegakkan pemerintahan yang
benar. Dengan menghiraukan hal-hal seperti ini, maka pandangan Mao Zedong4
di RRT menjadi sesuatu yang tidak sehat.
Demikianlah, terlihat betapa erat hubungan antara budaya/kultur dan politik, paling tidak untuk menampilkan kesusilaan
politik (political morality) yang diperlukan oleh sistem pemerintahan manapun di dunia ini. Kata-kata Zhu Rongji5 “sediakan sepuluh buah peti mati, sembilan buah untuk para koruptor dan sebuah lagi untuk diriku, kalau aku juga korup”, adalah ungkapan
moralitas yang diingini. sebab nya, baik itu moralitas sekuler
dari sebuah ideologi duniawi seperti Komunisme, maupun moralitas agama yang digunakan dalam pengembangan sistem politik, haruslah dibaca sebagai keniscayaan sebuah pemerintahan
yang benar-benar bertanggung jawab pada rakyat.
Di sini, kita harus belajar dari para moralis dunia, dari Fir
’aun Akhnaton di Mesir kuno hingga Mahatma Gandhi di India
dalam abad ke 20, membuat rambu-rambu yang harus digunakan dalam mengemban amanat rakyat yang kita junjung tinggi.
Kegagalan memahami hal ini, hanya akan membuat seorang penguasa mementingkan diri saja, seperti halnya Kaisar Nero6
yang
membakar kota Roma untuk mencari kesenangan. Juga Kaisar
Wu Zetian7
yang curiga dan menganggap semua orang ingin menyingkirkan dirinya dari pemerintahan, maupun Sultan Agung
Hanyakrakusuma dari Mataram yang bergembira dengan para
dayang-dayangnya di atas Taman Sari dengan membuang dan
menyaksikan lawan-lawan politiknya di makan buaya, sebab tidak dapat melawan binatang-binatang buas itu tanpa senjata.
Jadi benar menurut kaidah fiqh: “tindakan dan kebijaksanaan seorang pemimpin mengenai rakyat yang dipimpin, harus terkait langsung dengan kesejahteraan mereka”, merupakan sebuah rambu moral yang melarang seorang pemimpin untuk
menumpuk kekayaan bagi dirinya sendiri. Tiap agama dan keyakinan memiliki sejumlah adagium/ketentuan seperti itu, sebab
itulah moralitas-agama sangat diperlukan dalam menciptakan
sistem politik yang sehat. sebab nya, kita tidak perlu ragu-ragu
bahwa moralitas-agama memberikan sumbangan bagi pembentukan sistem politik yang sehat bagi sebuah bangsa. Pada tingkat
inilah agama dan politik dapat dihubungkan, dan tidak pada
tingkat ideologis
Dalam perjalanan menuju Banjarmasin, di pagi hari, penulis mengikuti siaran warta berita televisi di ruang tunggu
pesawat Mandala. Ditayangkan di televisi itu peringatan
Tabot di Bengkulu, yang diselenggarakan untuk menghormati
Syekh Burhanudin1
yang hidup di kawasan itu pada akhir abad
ke 17 dan awal abad ke 18 Masehi. sebab dijelaskan dalam
pemberitaan ini , bahwa acara ini juga diikuti orangorang keturunan India, jelaslah bahwa orang-orang Syi’ah sekte
Isma’illiyah2
adalah pembawa Islam ke Bengkulu saat itu. Sekte
Syi’ah Isma’iliyah inilah yang kemudian menurunkan para pemimpin yang bernama Aga Khan di negeri India.
Walaupun kemudian ajaran Sunni tradisional menguasai
Bengkulu, upacara Tabot itu tampaknya tidak juga kunjung hilang, dan sekarang bahkan menjadi bagian dari adat setempat.
Di permukaan tampak Syi’isme dalam baju adat atau kultur masyarakat setempat, walaupun seluruh ajaran kaum muslimin —di
kawasan itu, di “sunni”kan melalui fiqh/hukum Islam. Ini berarti bahwa, Sayyidina Hasan dan Husain dimuliakan dalam “ajaran”
Sunni, dengan dilepaskan dari sekte Syi’isme. Ini adalah kejadian lumrah, seperti halnya pembacaan dziba’ oleh jutaan warga
Nahdltul Ulama di berbagai kawasan di negeri kita.
Kedua hal ini di atas, yaitu munculnya Syi’isme dan
pembacaan dziba’ dalam bentuk budaya adalah bentuk paling
kongkrit dari penampilan Islam di masa lampau di negeri ini,
yakni dalam bentuk kultural, bukannya ideologis. Hal ini harus
kita perhatikan baik-baik, jika ingin memahami proses masuknya
Islam ke negara kita dan menyimak perkembangan agama tersebut di kawasan Asia Tenggara. Ketidakmampuan memahaminya,
hanya akan menghadapkan Islam pada paham-paham lain di
negeri ini. Sesuatu yang jelas-jelas tidak diingini oleh mayoritas
kaum muslimin negara kita —bahkan mayoritas bangsa.
Inilah yang menjadi tema utama yang harus diperhatikan dalam mencermati perkembangan Islam di negeri ini, yang
sering disebut sebagai “negerinya kaum muslim moderat.” Kegagalan mengambil sikap ini, apapun alasannya (ideologis ataupun
politis), jelas menjadi tantangan bagi kaum muslimin di negeri
ini. sebab kedudukan negara kita sebagai negara berpenduduk
mayoritas muslimin (sekitar 185 juta jiwa) terbesar di seluruh
dunia. Dengan sendirinya siapa yang menang di negeri ini akan
menentukan masa depan Islam; apakah ia berkembang sebagai
ideologi ataukah secara kultural?
Tulisan-tulisan berikut akan mencoba menelusuri perkembangan ini, tentu saja dengan memenangkan pendapat kaum
moderat yang tidak mementingkan ideologi. Dalam pandangan
mereka, Islam muncul dalam keseharian kultural, tanpa berbaju
ideologi sama sekali. Dengan mencoba bersikap simpatik kepada
pendekatan ideologis, penulis bermaksud menekankan pentingnya saling pengertian antara kedua pendekatan ini .
eg
Kalau kita tidak menginginkan terorisme merajalela di
negeri kita, dengan memakai nama Islam, tentu pendekatan ideologis ini harus benar-benar diperhatikan dengan cermat.
Apapun sebab-sebab yang memicu nya, terorisme dengan
memakai nama Islam lebih banyak disebabkan oleh ketidakpahaman mereka akan proses modernisasi yang dialami bangsa kita mulai abad ke-19 masehi hingga saat ini. Ini bukan berarti,
penulis meniadakan kemungkinan adanya asal-usul lain bagi terorisme yang memakai nama Islam yang kini sudah merajalela di mana-mana —seperti kita saksikan di berbagai kawasan di
negeri ini dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai sebuah proses
sejarah, hal itu adalah sesuatu yang biasa, betapapun sakit dan
susah kita dibuatnya, akibat dari rumah-rumah, sekolah-sekolah
dan tempat-tempat umum lain yang dirusakkan, maupun jiwa
yang melayang sebab nya. Namun dapat disimpulkan bahwa
terorisme bukannya sebuah proses yang tidak dapat dihindari.
eg
Di samping itu ideologis, pendekatan institusional ini seringkali ditunggangi oleh kepentingan politis. Ini terjadi terusmenerus hingga tulisan ini dikirimkan ke meja redaksi untuk
diterbitkan. Kepentingan politik sesaat, untuk merebut atau
mempertahankan kepemimpinan negara, membuat sejumlah
lingkaran kekuasaan di negeri ini —dalam beberapa tahun terakhir, untuk mendukung gerakan-gerakan ideologis Islam. sebab
kepentingan politik mereka, dikombinasikan dengan ketakutan
sebagian penguasa untuk menindak terorisme berbaju ideologis
itu, jadilah toleransi kepada gerakan-gerakan mereka justru
menjadi pendorong para teroris untuk memakai nama suci
agama.
William Cleveland menuliskan dalam disertasinya3
, beberapa waktu lalu. Ia menjelaskan ideologi Islamistik dari Syakib
Arsalan, pemimpin sekte Druz di Lebanon yang juga kakek dari
Kamal Jumlad ini, berasal dari penolakannya terhadap gagasan
nasionalisme Arab. Hal itu timbul dari ambisi pribadi Syakib untuk tetap menjadi anggota Parlemen Ottoman di Turki. Ambisi
ini hanya dapat dicapai kalau keutuhan Islam di bawah pemerintahan Ottoman dapat dipertahankan di seluruh kawasan Arab,
juga di tempat-tempat lain dalam dunia Islam. Tentu saja, kita
dapat menolak atau menerima pendapat ini, tapi yang terpenting
adalah upaya untuk mencoba mengerti asal-usul historis maupun idealistik dari gagasan itu sendiri.
Disertasi itu, yang ditulis oleh paman tua Paul Cleveland,
ketua Lembaga Persahabatan Amerika Serikat-negara kita (Usindo) saat ini, mencoba menggali alasan-alasan historis pemikiran
utama yang dikembangkan Syakib Arsalan, yang tentu saja berbeda, atau mungkin bertentangan dengan sebab-sebab idealistik
dari Syakib Arsalan, yang dikenal sebagai penganjur Islam ideologis dengan bukunya “limâzâ ta’-akhkhara al-muslimûn wa
taqaddama ghairuhum (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan
Selain Mereka Maju?)”. Dari sinilah kita lalu mengerti mengapa
harus diketahui sebab-sebab paham Islam ideologis itu, termasuk
nantinya sebab-sebab sosiologis dan sebagainya. Kalau tujuan
ini dapat dicapai, nama Islam dapat dijernihkan dan dipisahkan
dari terorisme, serta dapat dikembangkan pegangan lebih pasti
bagi kaum “muslimin moderat”. Mereka ini dalam pandangan
penulis adalah mayoritas kaum muslimin yang tengah disalahpahami orang —terutama oleh kaum non-muslim. h
Ketika menghadapi Hari Waisak 2546 pada 26 Mei 2002
penulis mendapat undangan dari KASI (Konferensi
Agung Sangha negara kita ) untuk hadir dalam acara tersebut di Balai Sidang Senayan Jakarta. Penulis menjawab akan
hadir. Dan, rombongan KASI berlalu dengan hati lega. Setelah
berjalan beberapa waktu, penulis mendengar bahwa Megawati
Soekarnoputri sebagai personifikasi kepala negara dan pemerintah akan datang pada peringatan yang sama di Candi Borobudur
oleh Walubi (Perwakilan Umat Buddha negara kita ), pada waktu
yang besamaan pula. Di saat itulah ada orang yang bertanya pada
penulis, akan datangkah ke acara KASI?
Ketika penulis menjawab ya, segera disusul dengan pertanyaan berikut, hadirkah Anda dalam acara KASI itu yang berbeda dari pemerintah? Penulis menjawab, akan hadir. Apakah
alasannya? sebab penulis yakin, KASI mewakili para bhiksu
dan agamawan dalam agama Buddha di negeri kita. Sedangkan
Walubi adalah organisasi yang dikendalikan bukan oleh agamawan. Dengan kata lain, Walubi adalah organisasi milik orang
awam (laymen).1
Prinsip inilah yang penulis pakai sejak awal
dalam bersikap pada sebuah organisasi agama.
Pada Hari Raya Waisak itu, sebelum berangkat ke Balai
Sidang, penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri ter
nyata tidak jadi hadir untuk keperluan ini di Candi Borobudur. Namun, pemerintah diwakili Menteri Agama. Dengan
demikian jelas, pemerintah mengakui Walubi sebagai perwakilan
umat Buddha di negeri kita. Sedangkan di Balai Sidang hadir
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea, yang
bukan membidangi masalah agama. Dengan ungkapan lain,
pemerintah justru mengutamakan Walubi sebagai perwakilan
umat Buddha dan bukannya KASI.
Nah, disamping penulis, juga hadir Kardinal Dharmaatmadja, Haksu Tjhie Tjay Ing dan seseorang yang mewakili Majelis Ulama negara kita (MUI). Untunglah, datang Akbar Tandjung
mewakili DPR dan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie yang bertindak selaku penasihat panitia. Namun, kesan bahwa pemerintah
lebih mengutamakan Walubi dan bukannya KASI sebagai perwakilan umat Buddha di negara kita tidak dapat dihindari lagi.
Sebenarnya, sikap tidak jelas pemerintah itu sangat menguntungkan KASI. Dengan ungkapan lain, di hadapan kekuasaan
pemerintah yang tidak begitu melindunginya, ternyata KASI justru ditunjang dua pihak yang penting, pihak agamawan Buddha
sendiri dan para pemuka agama-agama lain yang menghargainya. Bukankah kedua modal itu akan memungkinkan KASI dapat
bergerak lebih maju?
Kejadian di atas menjadi lebih menarik lagi, jika kita
bandingkan dengan keadaan internal kaum muslim di Indonesia. Kalau dalam agama-agama lain seorang agamawan diangkat organisasi tertinggi dari agama ini , yang biasanya didominasi para agamawan, justru dalam Islam hal itu tidak ada.
Bukankah justru Rasulullah Saw sendiri yang bersabda, “Tidak
ada kependetaan dalam Islam (lâ rahbâniyyata fî al-Islâm).” Karenanya, pantaslah kalau dalam Islam tidak ada pihak yang memiliki otoritas dalam pengangkatan ulama. Semua terserah pada
pengakuan masyarakat kepada seseorang untuk dianggap sebagai ulama. sebab kekosongan itu, lalu organisasi-organisasi Islam meletakkan para wakil mereka dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI). Apakah yang terjadi? Hilangnya keulamaan dalam
arti penguasaan ilmu-ilmu agama dalam kepengurusan MUI itu
sendiri. Seseorang yang hanya hafal sepuluh ayat al-Qur’an dan
sepuluh hadis Nabi, sudah bisa masuk dalam jajaran pimpinan
harian MUI. Seolah aspek penguasaan ilmu-ilmu agama di lingkungan MUI tidak bersifat baku, padahal merekalah pembawa tradisi Islam kultural dalam kehidupan umat. Jadi organisasi
itu tidak mencerminkan kelompok agamawan, melainkan hanya
tampilan wakil gerakan-gerakan agama atau organisasi, seperti
Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.
Dari sini letak kelemahan dan justru kekuatan yang dimiliki umat Islam. Dikatakan kelemahan, sebab tidak ada kohesi
dan kejelasan siapa yang diterima dan tidak sebagai agamawan.
sebab langkanya kohesi intern umat itu, cara termudah mempersatukan seluruh elemen umat Islam adalah menentukan musuh bersama, dipilihlah kekuatan Barat yang dianggap merusak
kekuatan Islam. Dan dikatakan kekuatan, sebab tak adanya sikap dominan dari para agamawan. Oleh sebab itu, pemikiran-pemikiran orang awam tentang agama diperlakukan sama dengan
pemikiran para ahli agama itu sendiri.
Contoh konkret yang dapat dikemukakan di sini, yaitu
kisah Ki Panji Kusmin2 di awal-awal tahun 1970-an. Orang awam
ini dapat digambarkan sebagai pihak representatif yang mewakili
Islam, atau justru sebaliknya. Kemudian beberapa tokoh muslim
yang memiliki kekuatan sendiri, walau didukung oleh kekuatan
pemerintahan, menentang pandangannya yang memandang Tuhan tidak perlu dibela siapa pun dalam kebesaran-Nya. Sangat
nyata, dengan berniat membela-Nya berarti terjadi dikotomi
pandangan para tokoh agama berpandangan formal itu.
sebab tiap orang dapat menyatakan dirinya mewakili Islam, maka harus ada standar minimal untuk menilai apakah seseorang dapat dianggap mewakili Islam atau tidak. Tanpa kriteria
ini, hanya situasi semrawutlah yang lahir, seperti yang terjadi
sekarang ini. Di sinilah arti penting dari sabda Nabi Muhammad Saw: “Kalau persoalan diserahkan kepada bukan ahlinya,
tunggulah hari kiamat, (idzâ wussida al-amru ilâ ghairi ahlihi,
fantazdiri al-sâ’ah).”3
Sanggupkah kaum muslimin di negeri kita
menetapkan kriteria ini ?
Saat membaca kembali makalah-makalah yang dikirimkan
kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian
buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak diskusi, penulis mendapati pandangan-pandangannya sendiri tentang Islam yang tengah mengalami perubahan-perubahan besar.
Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang
menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran
“Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin
di Jombang, dalam tahun-tahun 50an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada tahun-tahun 60-an, dan Sosialisme
Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah) di Baghdad. Sekembali
di tanah air, di tahun-tahun 70-an penulis melihat Islam sebagai
jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, serta berbagai pandangan dari
agama-agama lain.
Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekaligus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengembaraan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir
pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada
orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya,
tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang
tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan
demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.
Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan,
bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu
yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga
sebab nya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai
pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga,
akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.
eg
Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan sebab nya ingin dipaksakan
kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun
kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa
paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu
diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal-hal irrasional itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.
Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola
ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan3
seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa
dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu
memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasuruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang
mengendarai truk ke kota ini dengan mengenakan seragam masing-masing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak
lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain
rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pulang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang-rombongan
lain.
Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan kematian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa
diumumkankan, orang datang berduyun-duyun ke alun-alun Tuban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar
mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di
sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah
itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja-kursi ala
kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak
penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pikiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan
—yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “kebenaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasarkan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah
yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar
penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang
yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.
eg
Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian
hari, kita sampai pada keharusan-keharusan rasional untuk dilaksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai
“muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran
Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu.
Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”,
sebab ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran
agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya karena ia menyatakan pikiran-pikiran tentang masa depan Islam.
Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, sebab perumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama ini ,
sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan
bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita”
ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, sebab ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di
manapun mereka berada.
Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu
jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang
membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam
Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di
sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam
bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi.
Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa.
Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa
yang dinamakan “ideologi-lslam”, yang oleh orang-orang tersebut hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. sebab nya,
kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”,
yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideologi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah
hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, melalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam
Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan pandangan? Cukup jelas, bukan? hSoal cita-cita kaum muslimin, tentu saja harus dipresentasikan dengan mendalam. Ini sesuai dengan kenyataan,
bahwa kaum muslimin terbagi dalam dua kelompok besar.
Ada kaum muslimin yang menjadi gerakan Islam, ada pula yang
hanya ingin menjadi warga negara tempat mereka hidup, tanpa
menjadi warga gerakan apapun di dalamnya. Dalam hal ini sudah tentu harus dikecualikan gerakan yang menyangkut seluruh warga negara, seperti gerakan Pramuka yang menggantikan
gerakan kepanduan di masa lampau dalam kehidupan masyarakat negara kita . Pengecualian ini dilakukan dengan kesadaraan
penuh sebab ia menyangkut kehidupan seluruh warga bangsa,
dan dengan demikian tidak memiliki “warna ideologis apapun.”
Sedangkan jenis lainnya adalah kaum muslimin warga gerakan-gerakan Islam, apapun wujud dan bentuknya. Ada yang
hanya bersifat lokal belaka, nasional, dan ada yang bersifat internasional. Yang terakhir ini dapat dilihat pada pembubaran
Laskar Jihad di Saudi Arabia yang secara otomatis berarti pula
pembubaran perkumpulan yang bernama Laskar Jihad1
di Indonesia. Juga dapat dilihat pada pembentukan Nahdlatul Ulama
(NU) di beberapa kawasan mancanegara, ataupun pembentukan
Ikhwanul Muslimin di sejumlah negara Timur Tengah. sebab
sifatnya yang sangat heterogen, jelas tidak ada satu pihak pun
yang dapat mengajukan klaim sebagai “perwakilan Islam” di
manapun.sebab itu pula lembaga-lembaga keagamaan Islam, tidak
dapat bersatu dalam sebuah kesatuan dengan memiliki otoritas penuh. Lembaga yang mencoba mewakili ulama atau kaum
muslimin dengan klaim seperti itu, dalam hal ini Majelis Ulama
negara kita (MUI), hanya menjadi salah sebuah diantara organisasi-organisasi Islam yang ada. Lembaga ini tidak memiliki supremasi, seperti yang ada dalam agama-agama lain, seperti Konferensi Waligereja negara kita (KWI), Persekutuan-persekutuan
Gereja-Gereja negara kita (PGI) atau Parisada Hindu Dharma.
Tetapi, MUI harus berbagi tempat dengan NU, Muhammadiyah
dan lain-lain. sebab nya, hanya hal-hal yang disepakati bersama
oleh sekian banyak perkumpulan itu, yang dapat dianggap sebagai nilai-nilai yang diterima umat.
Ketika Rois Syuriyah NU cabang Pasuruan menyatakan
“pengeboran Inul“ bertentangan dengan ketentuan agama Islam,
disusul dengan fatwa MUI daerah itu, timbul reaksi di kalangan
para warga negara republik kita. Untuk apa kedua lembaga itu
“mengurus Inul” sejauh itu? Apalagi ketika H. Rhoma Irama
menyatakan Inul tidak boleh membawa lagu ciptaan beliau,
kalangan muda santri mentertawakannya sebagai “tindakan
ketinggalan jaman”. sebab memang, orang seperti Inul tidak
cocok membawakan lagu-lagu beliau. Dalam hal ini, masyarakat mengembangkan pandangan mereka sendiri. Ketika ditanya
dalam wawancara TV, Inul menyatakan, ia “mengebor” untuk
mencari makan. Ia tidak menutup-nutupinya dengan berbagai
istilah "keren" seperti memajukan seni dan sebagainya, melainkan secara berterus-terang ia mengatakan mencari makan. Kejujuran ucapan seperti ini, sangat bertentangan dengan sikap palsu
gaya “sok untuk kepentingan bangsa” yang diperlihatkan kebanyakan tokoh-tokoh politik kita. Padahal itu untuk menutupi
ambisi pribadi masing-masing. Mungkin inilah maksud pepatah
“katakan apa yang benar, walaupun pahit (qul al-haqqa walau
kana murran).”
sebab nya tidak heran, jika pendapat atau kritikan berbagai macam pihak terhadap Inul, tidak memperoleh respon yang
berarti dari kaum muslimin sendiri. Dengan kata lain, pendapat
mereka itu akhirnya memiliki pengaruh sangat terbatas, bahkan
banyak badan-badan penyiaran yang tidak mendukung. Bahkan
ancaman H. Rhoma Irama untuk menggerakkan sejumlah organisasi ekstrim Islam melawan Inul, dalam pandangan penulis merupakan sesuatu yang sudah keterlaluan (over acting), yang
mengancam keselamatan hidup kita sebagai bangsa. Apa bedanya ancaman itu dengan tindakan Front Pembela Islam (FPI)
yang menyerbu rumah-rumah makan (Coffe House) di Kemang,
Jakarta Selatan beberapa tahun lalu.
eg
Kita harus merubah moralitas masyarakat dengan sabar,
agar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang kita yakini kebenarannya, dengan memberikan contoh yang baik sebagai wahana
utama dalam pembentukan moralitas yang berlaku di tengahtengah masyarakat. Hal ini yang tampaknya sering tidak disadari
beberapa tokoh Islam maupun beberapa perkumpulan kaum
muslimin. Masyarakat kita sekarang ini memiliki kemajemukan
sangat tinggi, kalau kita tidak menyadari hal ini, kita akan mudah marah dan bersikap “memaksakan” kehendak kepada masyarakat.
Cara itu membutuhkan sikap serba resmi (formalisme)
yang belum tentu disepakati semua pihak. Mengapa? sebab ini
dapat menjurus kepada “terorisme moralitas”, dengan akibat
yang sama seperti peledakan bom di Bali, di Medan maupun di
lapangan terbang Cengkareng. Pelakunya harus dicari sampai
dapat dan harus diganjar hukuman sangat berat, sebab bersifat
merusak dan mengacaukan keadaan secara umum. Tentu saja
kita tidak ingin tuduhan ini terjadi pada tokoh-tokoh yang kita
kagumi seperti H. Rhoma Irama.
sebab itu dalam pandangan penulis, perlu diperhatikan
bahwa cita-cita kaum muslimin dibagi dua, yaitu antara keinginan kaum muslim yang tidak memasuki perkumpulan gerakan
Islam manapun, dan cita-cita para warga gerakan Islam. Tanpa
adanya perhatian terhadap perbedaan ini, maka apa yang kita
anggap penting, tidak begitu diperhatikan oleh kaum muslim
yang lain. Akibatnya kita akan kehilangan hubungan. Berlakulah dalam hal ini adagium ushûl fiqh (teori hukum Islam atau Islamic legal theory), yang berbunyi “yuthalaqu al-âm wa yurâdû
bihi al-khâs (hal umum yang disebut, hal khusus yang dimaksud).” Kita harus hati-hati dan sadar sepenuhnya dengan apa
yang kita ucapkan, agar kita memperoleh setepatnya apa yang
kita inginkan. Memang ini melelahkan, tapi inilah konsekuensi dari apa yang kita upayakan selama ini.
Dengan demikian, keputusan para pendiri negeri ini untuk
tidak mendirikan sebuah negara agama adalah keputusan yang
berakibat jauh. Hal ini harus kita sadari konsekuensinya. sebab
ada pemisahan agama dari negara, maka hukum yang berlaku
bukanlah hukum Islam, tetapi hukum nasional yang belum tentu
sama dengan keyakinan kita.
Artinya, dasar dari pembentukan hukum itu adalah tata
cara yang kita gunakan bersama sehari-hari sebagai bangsa atau
yang bukan berdasarkan suatu agama, yang memperoleh materi
hukumnya dari wahyu yang dikeluarkan Tuhan.
Selama berabad-abad ini, kaum muslimin melakukan penafsiran kembali (reinterpretasi) wahyu Tuhan itu, sebagai acuan moral dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Namun ada
juga yang kemudian menjadi materi hukum nasional kita dan
ada yang menjadi moralitas bangsa (setidak-tidaknya moralitas
kaum muslimin).
Daripada memperjuangkan ajaran-ajaran Islam menjadi
hukum formal, lebih berat memperjuangkan moralitas bangsa.
Tapi ini adalah konsekuensi terjauh dari pandangan kita untuk
memisahkan agama dari negara. Mudah kedengarannya, tapi sulit dilaksanakan, bukan? h
Yang paling banyak dilakukan orang adalah mengacaukan
antara orientasi kehidupan dengan konsep sebuah bangsa.
Makanya sering ada kerancuan dengan menganggap adanya sebuah konsep negara dalam Islam. Atas dasar ini, orang
pandai –semacam Abul A’la Al-Maududi,1
menganggap ideologi
sebagai sebuah kerangka-pandang Islam. sebab itulah, ia lalu
menganggap tidak ada nasionalisme dalam Islam, sebab Islam
bersifat universal bagi seluruh umat manusia. Tentunya, ini berhadapan dengan kenyataan bahwa sangat besar jumlah kaum
muslimin yang memeluk nasionalisme, seperti mendiang Bung
Karno. Pertanyaannya, dapatkah mereka dianggap kurang Islam
dibanding ulama besar ini ?
Pendapat al-Maududi itu jelas membedakan antara mereka yang menerima universalitas Islam sebagai sebuah formalitas,
dengan mereka yang tidak memiliki atau mempercayai formalitas
seperti itu. Pendapat ini, antara lain disanggah oleh seorang peneliti dari Amerika Serikat (AS), William Cleveland. Dalam disertasinya berjudul “Islam Against the West: Shakib Arslan and
the campaign for Islamic nationalism”, Cleveland mengungkapkan bahwa teori universalitas dan formalitas pandangan Islam
Shakib Arsalan2
(kakek Kamal Jumlad3
dari Lebanon, seorang
pemimpin Druz) ini, bersumber pada keanggotaannya dalam
parlemen Ottoman (Ustmaniyyah). Kalau Shakib tidak berpandangan demikian, maka ia harus ikut nasionalisme Arab, sebuah
pandangan yang justru ditolaknya. Dengan demikian, universalitas dari pandanga