Tampilkan postingan dengan label islam ku 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam ku 4. Tampilkan semua postingan

islam ku 4


islam ku  3n for­mal Islam ia jadikan teori, sebab  ia ingin 
mem­per­tahankan ke­du­du­kannya sebagai anggota parlemen Ot￾toman ini .
Terlihat ada dua orientasi yang saling bertentangan antara 
karya-karya Al-Maududi dengan Shakib Arsalan dalam disertasi 
Cleveland di atas. Tapi pandangan Al-Maududi dan Shakib yang 
dikenal di kalangan orang-orang Perancis –seba­gai golongan 
l’integrist (di dunia Barat lain dikenal dengan se­butan Islamists) 
itu, menganggap bahwa Islam harus di­wu­jud­kan secara keselu￾ruhan, bukan secara parsial. Sebagai landasan, pandangan itu 
selalu memakai  ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “Hari ini 
telah Ku-sempurnakan bagi kalian, agama kalian, dan Ku-sem￾pur­nakan bagi kalian pemberian nikmat-Ku, dan Ku-relakan 
bagi kalian Islam sebagai agama kalian (al-yauma akmaltu la￾kum dîinakum wa atmamtu alaikum nikmatî wa radhîtu lakum 
al-Islâma dîna)” (QS al-Maidah [5]:3). Menurut pandangan ini, 
Islam hanya akan tampak dan berarti kalau ia menjadi sebuah 
sistem, dan itu hanya berarti kalau dia ada secara formal. Maka, 
dari pikiran inilah lahir gagasan negara Islam.
eg
Dengan demikian, Islam dapat dibagi menjadi dua bagian: 
Islam formal dan tidak formal. Dalam pandangan formal, ajaran 
Islam selalu menjadi aturan bernegara, dalam ben­tuk undang￾undang (UU). Formalisasi ini juga mengancam kebersamaan kaum muslimin negara kita . sebab  negara akan menetapkan se￾buah versi (madzhab) dalam Islam untuk dijadikan UU, sedang 
hukum Islam versi lain berada di luar UU. Dengan demikian, 
yang benar atau yang salah adalah apa yang tertera dalam rumus￾an UU itu, sedangkan yang tidak ter­can­tum di dalamnya tentu 
saja tidak dipakai.
Formalisasi ini sudah tentu ber­be­da dari pandangan umum 
madzhab fiqh (Islamic law school). Dalam pandangan mereka, 
orang dapat saja berbeda pandangan dan rumusan aturan, ter￾gantung dari pilihan masing-masing. Ada­gium terkenal dalam 
hal ini adalah: “perbedaan pandangan di kalangan para Imam 
adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-aim­mah rahmat al-um￾mah).”4
 Bahkan, pandangan ini memper­ke­nan­kan perubahan￾perubahan rumusan hukum agama dari wak­tu ke waktu.
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1989 di Pondok 
Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, merumuskan 
ke­­bo­lehan itu dengan kata-kata: rumusan hukum agama sangat 
tergantung kepada prinsip-prinsip yang digunakan. Jelaslah, pe￾ru­bahan rumusan hukum agama itu menjadi diperkenankan, 
sebab  adanya kebutuhan. Salah satu kaidah fiqh berbunyi: “kebu­￾tuhan dapat saja dianggap sebagai keadaan darurat (al-hâjatu 
tanzilu manzilata al-dharûrah).” Prinsip ini memperkenankan 
pe­rubahan rumusan hukum agama jika memang ada kebutuhan 
nyata untuk itu.
sebab  hukum agama dalam sebuah negara Islam adalah 
keputusan-keputusan hukum yang diwujudkan secara formal, 
hing­ga dengan sendirinya asas pluralitas tidak dapat dilak­sana￾kan, dan yang ada adalah UU formal. Dan, sistem formal agama 
lalu menjadi lahan tawar-menawar. sebab  itu, banyak pihak 
yang berpendapat bahwa, ajaran formal Islam selalu bersifat kaku 
dan tidak mampu menampung perkembangan-perkembangan baru yang terjadi. Contohnya adalah sikap para penguasa Saudi 
Arabia yang telah membongkar tanah pusara Sayyid Ali al Urai￾dhi,5
 di Madinah, untuk mencegah terjadinya penyembahan ber￾hala yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi ratusan juta 
orang kaum tradisionalis muslim, yang seringkali disebut orang 
kolot, si­kap seperti itu berarti justru membuat Islam tidak ber­ge￾rak se­suai dengan perkembangan zaman. Islam akan mengalami 
ke­bekuan, yang sering di sebut dengan istilah al-jumûd.
eg
Penentengan terhadap pembongkaran makam Sayyid ‘Urai￾dhi di atas, putra ketiga Ja’far Shaddiq setelah Isma’il (diaba￾dikan dalam nama kelompok Syi’ah Isma­’iliyyah) dan Musa al￾Kadzim (perintis Syi’ah Itsna ‘Asy­ariyah yang memerintah Iran 
dan menjadi kelompok mayoritas di Irak saat ini), menunjukkan 
betapa besar para pengikut beliau di seluruh dunia, katakanlah 
para kelompok Sunni tradisionalis. Namun perasaan mereka di￾anggap sepele saja oleh pemerintah Saudi Arabia. Sikap formal 
yang diwariskan Muhammad bin Abdul Wahab6
 (di­abadikan 
dalam istilah-salah, Wahabbisme) membuat pemerin­tah Saudi 
Arabia menjadi formalis, merusak/menghancurkan ma­kam be￾liau di ‘Uraidhah, dekat Madinah, beberapa waktu yang lalu. 
Kejadian di atas, dilakukan oleh rezim yang katanya ber￾undang-undang dasar kitab suci al-Qurân dengan 6666 ayatnya. 
Hal ini menunjuk dengan jelas kenyataan bahwa formalisme di negeri itu justru memacu konser­vativisme di kalangan para ula￾manya. Kalau hal ini tidak mereka perbaiki dalam waktu dekat 
ini, maka di kalangan kaum mus­limin di seluruh dunia akan 
terjadi pertentangan sangat dahsyat, yang belum pernah terjadi 
selama ini. Keputusan Raja Saudi pertama, Abdul Aziz, di tahun 
1924, untuk mengijinkan kaum muslimin melakukan ibadah 
haji menurut keyakinan ma­sing-masing, telah membuat Saudi 
Arabia bisa diterima semua kalangan Dunia Islam. Keputusan 
membongkar kuburan Sayyid ‘Uraidhi adalah sesuatu yang jus￾tru berkebalikan dari keluasan pandangan di atas. 
Pegangan golongan formalis dalam Islam adalah ayat: 
“Ma­suklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (udkhulû 
fi al-silmi kâffah)” (QS al-Baqarah [2]:208), yang berarti kalau 
Anda menyerah kepada Tuhan, lakukan hal itu secara sungguh￾sungguh dan tak tanggung-tanggung. Para formalis meng­artikan 
kata “al-silmi” di sini, de­ngan arti Islam sebagai sis­tem, katakan￾lah sistem Islami. Namun, penafsiran ini hanya memperoleh 
pe­ng­ikut yang sedikit, sedang­kan mayoritas kaum muslimin 
(ter­utama para ulama negara kita ), memegang arti Islam sebagai 
pengayom. Toleransi kita diminta oleh kitab suci yang kita ya￾kini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk 
kaum non-muslim. Ini bersesuaian dengan ayat lain yang ber￾bunyi: “Tiadalah Ku-utus engkau kecuali sebagai penyambung 
tali persaudaraan dengan sesama umat manusia (wa mâ arsal￾nâka illâ rahmatan li al-‘âlamîn)” (QS al-Anbiya [21]:107). Ini 
jika para ahli tafsir mengartikan kata “al-‘âlamîn” dengan umat 
manusia belaka, dan bukan semua makhluk yang ada di dunia 
ini. Indah, pengertian tentang Islam sebagai pelindung itu, bu￾kan? h

















ada mulanya adalah sebuah pertemuan. Tepatnya 
per­temuan antara saya dan KH Abdurrahman Wahid 
(Gus Dur) tanggal 11 Oktober 2001 di rumahnya, di ka￾was­an Ciganjur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Waktu itu saya 
mene­mui­nya untuk keperluan wawancara dalam rangka penu­lis￾an disertasi yang sedang saya tulis pada Departement of Indo￾nesian Studies, Uni­ver­sity of Melbourne, Australia. Hari masih 
pagi, kira-kira pukul 8 ketika saya datang ke rumah Gus Dur. 
Tapi sepagi itu deretan orang yang antri untuk bertemu Gus Dur 
sudah cukup panjang. Gus Dur ba­ru selesai mandi pagi ketika 
saya datang. Segera saja Mas Munib, ajudan Gus Dur memberi￾tahukan bahwa saya sudah datang. Begitu diberitahu saya sudah 
datang, Gus Dur segera bertanya “Mana Mas Sya­fi’i?.” Segera saya 
pun menghampiri dan menyalaminya. “Wawan­cara­nya di mobil 
saja, ya Mas ...sambil jalan-jalan ...,” ujarnya dengan rileks. 
Tentu saja saya agak sedikit terkejut dengan tawaran man￾tan pre­si­den RI ke-empat ini, meskipun senang juga sebab  Gus 
Dur bersedia meluangkan waktunya di tengah kesibukannya 
me­la­­ya­ni ummat. Bagi se­orang mantan wartawan seperti saya, 
tak ada masalah di mana pun tempat wawancara. Yang penting 
ada­lah kese­dia­an narasumber untuk diwawancara. Namun yang 
se­dikit agak merisaukan saya justru pergi ke luar naik mobil de￾ngan Gus Dur itu. Saya khawatir, orang-orang yang ingin ber­te￾mu dan sudah cukup lama menunggu itu akan kecewa sebab  
me­re­ka mengira Gus Dur akan pergi, sementara mereka sudah cukup lama menunggu. “Tapi ba­gaimana dengan orang-orang 
yang sudah cukup lama me­nung­gu itu. Nanti mereka kecewa ka￾rena mengira Gus Dur akan pergi. Wawancara di sini juga nggak 
apa-apa,” kata saya. “Ah, ndak ada masalah. Mereka kan bisa me￾nunggu, Munib sudah mem­beri tahu mereka, dan mereka mak￾lum. Lagi pula Anda kan datang dari Australia dan waktu Anda 
di sini tidak banyak,” kata Gus Dur. Ak­hir­nya saya pun tak dapat 
menolak ajakannya. Bersama sopirnya, kami ber­dua berkeliling 
naik mobil, berputar-putar di kawasan Ciganjur dan Pasar Ming­gu. 
Selama hampir satu jam sopir membawa kami berputar￾putar di kawasan ini , sementara saya sibuk merekam dan 
mencatat ha­sil wawancara. Kadang-kadang kami berdua tertawa 
tergelak-gelak, ter­utama kalau Gus Dur membuat joke-joke yang 
segar tentang berbagai soal politik mutakhir. Gus Dur menjawab 
semua pertanyaan yang saya aju­kan, disertai dengan argumen￾argumen yang kaya wa­wasan, bahkan dengan banyak kutipan 
ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadits Nabi yang men­jadi landasan 
jawabannya. Ketika sopir menghentikan mobil di rumah Gus 
Dur, wawancara pun belum sele­sai dan dilanjutkan kembali di 
ru­mah. Tapi saya segera membatasi diri untuk tidak berlama￾lama lagi sebab  mempertimbangkan ba­nyak­­nya orang yang su￾dah an­tri. Sewaktu hendak pulang, Gus Dur berkata: “Mas, saya 
ingin mempercayakan ke­pada sampeyan untuk mengedit dan 
memberi pengantar untuk kumpul­an artikel saya. Ini kumpul￾an ar­ti­kel saya era pasca lengser. Anda kan wartawan, jadi bisa 
meng­gunting-gunting kumpulan tulisan itu.” 
Sejenak saya tertegun dengan permintaan dan ungkapan 
Gus Dur itu. Bagaimana pun saya merasa surprise dengan apa 
yang di­ung­kap­kan Gus Dur. Bukan apa-apa, di satu sisi saya me￾rasa mendapat kehormatan dengan kepercayaan itu. Tapi di sisi 
lain, saya merasa bahwa tugas meng­edit dan memberi pe­ngan￾tar untuk buku kumpulan tulisan Gus Dur juga bukan pe­kerjaan 
sederhana. Masalahnya bukan saja sebab  waktu saya yang ter￾batas, tapi juga sebab  saya merasa bukan tokoh yang pas untuk 
mengedit dan memberi pengantar un­tuk tokoh seka­li­ber Gus 
Dur. Meskipun sebagai mantan wartawan mungkin saya banyak 
mem­peroleh informasi tentang sepak terjang seorang Gus Dur, 
baik sebagai tokoh nasional maupun news maker, tetapi itu ti￾dak berarti saya paham dengan apa yang dilakukan. Apa­lagi per￾nyataan dan tindakan Gus Dur terkadang nyleneh dan kontro­ver­sial, bahkan tidak jarang memicu  polemik dan perde­bat­an 
antara mereka yang setuju dan tidak. Jangankan saya yang ber￾latar belakang Muhammadiyah, bahkan di kalangan Nah­dla­tul 
Ulama (NU) sendiri pun, pikiran dan sepak terjang Gus Dur tak 
selamanya bisa dipahami kalangan nahdliyin. 
Terus terang pada awalnya saya khawatir, jangan-jangan 
editing dan kata pengantar yang akan saya lakukan nanti jus￾tru tidak berhasil memotret jalan pikiran yang sebenarnya atau 
oten­­ti­sitas dari latar be­la­kang ucapan dan tindakannya. Apalagi 
bagi sebagian besar warga nah­dliyin, Gus Dur adalah figur yang 
di­hor­mati, betapapun nyleneh dan kontroversialnya ucapan 
dan tindakannya. Bukan saja sebab  ia adalah cucu pendiri NU 
Had­­ra­tus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, tapi juga sebab  Gus Dur 
adalah ulama-intelektual NU terkemuka dan berwawasan kos­mo￾politan. Seorang tokoh yang berhasil membawa NU me­nem­bus 
dan membebaskan batas-batas orientasi, visi, dan wa­was­­an tra￾disionalisme NU untuk masuk ke wacana modern, libe­ral, dan 
kosmopolitan sambil tetap menjaga kelestarian tradisi klasik Is￾lam. Melalui Gus Dur, NU sebagai organisasi Islam tra­disional 
yang telah “mendunia” dan diperhitungkan dunia luar.1 
Namun demikian, sebagai orang Muhammadiyah dan juga 
man­tan wartawan, saya barangkali termasuk orang yang percaya 
bah­wa Gus Dur adalah Gus Dur. Ia memang dilahirkan oleh seja￾rah se­ba­gai tokoh terkemuka, tetapi ia bukan seorang wali atau 
figur yang can do no wrong. Ia tetap manusia biasa yang pu￾nya ke­­kuatan dan kelemahan, dan tentu saja ia bisa salah dalam 
berfikir atau bertindak. Sekalipun kita mungkin tidak setuju ter￾hadap gagasan dan sepak ter­jangnya, tetapi kita tetap harus fair 
untuk menilai kontribusinya dalam pemikiran politik Islam di 
negara kita . Bagi saya, Gus Dur ber­sama-sama dengan intekletual 
Muslim lainnya telah memberikan kontribusi yang penting bagi 
perkembangan pemikiran politik Islam di negara kita .2 
sebab  itu ketika dia menawari untuk mengedit dan mem￾be­ri kata pengantar kumpulan tulisannya untuk dijadikan buku, 
se­ca­ra spontan saya menerimanya. Pada saat itu saya cuma ber￾keya­kinan bah­wa kepercayaan dari seorang Gus Dur kepada 
saya tentu dengan per­timbangan tersendiri. Menariknya, ketika 
ta­war­an Gus Dur itu saya diskusikan dengan teman-teman, mere￾ka dengan segera menganjurkan agar tawaran itu saya terima. 
Salah satu di antara saha­bat saya yang mem­berikan dorongan agar saya mengerjakan pe­ker­jaan editing dan memberi kata pen￾gantar untuk kumpulan tulisan ini adalah Dr. Haidar Bagir, MA 
intelek­tual muda Muslim alumnus Universitas Harvard, yang 
juga Di­rek­tur Penerbit Mizan. “Dengan mengedit dan memberi￾kan kata pengantar yang kritis terhadap kum­pul­an tulisan Gus 
Dur, Anda bisa berperan untuk menjadi semacam “perantara” 
bagi sim­bio­se intelektual di antara kalangan NU dan Muhamma￾di­yah,” ujar Haidar. 
Ucapan Haidar itu mengingatkan saya pada Dr. Greg 
Barton, sahabat lama saya yang juga menjadi dosen di Deakin 
Uni­versity, Aus­tralia. Dalam bukunya, Barton menyebut saya 
yang waktu itu menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Mingguan 
Berita Ummat, sebagai orang yang berusaha menjembatani hu￾bungan Gus Dur dengan tokoh-tokoh modernis Muslim, ter­uta￾ma Amien Rais. Greg Barton mungkin se­di­kit berlebihan ke­tika 
menyebutkan peran saya sebagai perantara untuk menjem­bat­ani 
hubungan Gus Dur dengan tokoh-tokoh Islam modernis, wa￾laupun saya bisa memahami apa yang dia maksud.3
 Yang jelas 
saya merasa dekat dengan siapa saja, baik de­ngan tokoh-tokoh 
Muhammadiyah maupun NU dan sejumlah cendekiawan Mus￾lim lain­nya. sebab  sebagai wartawan, saya merasa nyaman dan 
akrab dengan berbagai tokoh dari kedua ormas terbesar di Indo￾nesia itu, seperti Gus Dur, Mas Amien Rais, Bang Syafi’i Ma’arif, 
Gus Mus (KH Mustafa Bisri), Dr. Fahmi Saefuddin, M. Dawam 
Rahardjo, Kang Muslim Abdurrahman, dan lain-lain. Tentu saya 
juga merasa akrab dengan Cak Nur, Bang Hussein Umar, dan 
tokoh-tokoh cendekiawan lintas agama. Lepas dari perbedaan 
pen­dapat dan visi mereka dalam pergumulan ide dan percaturan 
politik, saya merasa merasa berhutang budi secara intelektual 
kepada mereka semua. 
Adalah sejarahwan Prof. Dr. Taufik Abdullah yang juga 
mem­berikan dorongan positif kepada saya untuk mengedit dan 
memberikan kata pengantar buku Gus Dur ini. “Itu suatu kehor￾mat­an. Anda tak perlu ragu untuk untuk melakukannya. Saya sen￾diri merasa dekat dengan Gus Dur, sekalipun tidak semua piki￾ran dan tin­dakan politiknya saya setujui. Tapi kita harus jujur, 
jernih, dan bijak dalam menilai pikiran dan tindakan seseorang,” 
ujarnya ketika kami bertemu di National University of Singapore, 
tahun 2004 yang lalu. 
Dengan dorongan para sahabat dan para senior itulah, sun­ting­an dan kata pengantar untuk kumpulan tulisan ini saya ker￾jakan. 
Memperkuat Substansi Islam
Judul buku ini, Islamku, Islam Anda, Islam Kita diambil 
dari sa­lah satu artikel yang ditulis Gus Dur. Ia dipilih sebab  
dapat meng­gam­bar­kan pengembaraan intelektual Gus Dur dari 
masa ke masa. Sebuah pengembaraan intelektual yang bukan 
saja tidak linear, tetapi juga berproses. Itu terlihat misalnya 
dalam pe­ng­akuan Gus Dur sendiri, yang melihat Islam sebagai 
agama yang tengah mengalami perubahan-perubahan besar. 
Diakui oleh Gus Dur bah­wa di masa mudanya, di tahun-tahun 
1950-an, ia mengikuti jalan pikiran Ikhwanul Muslimun, sebuah 
kelompok Islam “garis keras” yang pengaruhnya juga sampai ke 
Jombang, Jawa Timur. Bahkan Gus Dur juga ikut aktif dalam 
gerakan Ikh­wanul Muslimun di kota kelahirannya itu. Lalu pada 
tahun 1960-an, Gus Dur tertarik untuk mendalami nasional￾isme dan sosialis­me Arab di Mesir dan Irak, tepatnya ketika ia 
menjadi mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Kairo dan Univer￾sitas Baghdad, Irak. Pe­nga­laman menimba ilmu di kedua negara 
ini  tentu ber­pe­ngaruh terhadap perkembangan pemikiran￾nya. Namun setelah kembali ke negara kita  di tahun 1970-an, Gus 
Dur melihat per­kem­bangan dan dinamika baru Islam yang ber￾beda dengan di Timur Tengah. Ia melihat realitas bahwa Islam 
sebagai jalan hidup (syari’at) bisa belajar dan saling mengam￾bil berbagai ideo­logi non-agama, bahkan juga pandangan dari 
agama-agama lain. 
Selanjutnya Gus Dur mengatakan, pengembaraan intelek￾tual itu menghasilkan dua hal sekaligus: pengalaman pribadinya 
tidak akan per­nah dirasakan atau dialami oleh orang lain, se­men￾tara mungkin saja pengalaman Gus Dur punya ke­sama­an de­ngan 
orang lain yang punya pe­ngembaraan sendiri. Persoalan apa­kah 
pengembaraan Gus Dur itu berakhir pada ek­le­tisme yang ber￾watak kosmopolitan, sementara pe­ngembaraan orang lain ber￾akibat sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi Gus Dur. Sebab 
pengalaman pribadi seseorang ti­dak akan pernah sama dengan 
orang lain. Orang justru harus bang­ga dengan pi­kir­an-pikiran￾nya sendiri yang berbeda dengan orang lain. 
Berangkat dengan pandangan semacam itu, Gus Dur me￾nyim­pulkan bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah Islam yang khas, yang diistilahkan sebagai “Islamku”. Tetapi Gus 
Dur me­nya­takan, “Islamku” atau “Islamnya Gus Dur” perlu di￾lihat sebagai ren­tetan pengalaman pribadi yang perlu diketahui 
oleh orang lain, te­tapi tidak dapat dipaksakan kepada orang lain. 
Sementara yang di­mak­sud dengan “Islam Anda”, lebih meru­pa￾kan apresiasi dan refleksi Gus Dur terhadap tradisionalisme atau 
ritual keagamaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks 
ini, Gus Dur memberikan apresiasi ter­hadap kepercayaan dan 
tra­disi keagamaan sebagai “kebenaran” yang dianut oleh komu­ni￾tas masyarakat tertentu yang harus dihargai. Menu­rut Gus Dur, 
“kebenaran” semacam itu berangkat dari keya­kin­­an, dan bukan 
dari pengalaman. Keberagamaan semacam itu di­for­mulasikan 
oleh Gus Dur sebagai “Islam Anda” yang juga perlu dihargai. Ada￾pun perumusan tentang “Islam Kita” lebih merupakan deri­va­si 
dari keprihatinan seseorang terhadap masa depan Islam yang 
didasarkan pada kepentingan bersama kaum Muslimin. Visi ten￾tang “Islam Kita” menyangkut konsep integratif yang mencakup 
“Islamku” dan “Islam Anda”, dan menyangkut nasib kaum Mus­li￾min seluruhnya. Da­lam konteks ini, Gus Dur menyadari adanya 
kesulitan dalam me­ru­muskan “Islam Kita”. Itu sebab  penga­lam￾an yang membentuk “Islamku” berbeda bentuknya dari “Islam 
Anda”, yang menyebabkan kesulitan tersendiri dalam mencari 
formulasi atas “Islam Kita”. Tetapi persoalan mendasar dalam 
konteks “Islam Kita” itu terletak pada ada­nya kecenderungan 
se­men­tara kelompok orang untuk memaksakan kon­sep “Islam 
Kita” menurut tafsiran mereka sen­diri. Dengan kata lain, mereka 
ingin memaksakan kebenaran Is­lam menurut tafsirannya sen￾diri. Monopoli tafsir kebenaran Islam seperti ini, menurut Gus 
Dur ber­tentangan dengan semangat demo­krasi. 
Dari uraian yang secara agak panjang dipaparkan di sini, 
menjadi jelas kiranya bahwa perjalanan intelektual seorang 
Abdur­­rahman Wahid lebih merupakan “proses menjadi” (process 
of becoming), daripada “proses ada­nya” (process of being). Yang 
menarik dan hampir jarang diketahui ada­lah, bahwa seorang Gus 
Dur yang kita kenal sebagai pemikir liberal itu, di masa mudanya 
juga tertarik pada pemikiran Ikhwanul Muslimin yang umumnya 
sangat konsen dengan ideologisasi Islam. Tetapi setelah melalui 
pendidikan dan pengalaman pribadi, akhirnya mengantarkan￾nya menjadi cendekiawan Muslim liberal, yang secara sadar 
menolak konsepsi atau gerakan yang mengusung tema-tema yang ber­orien­tasi pada ideologisasi Islam. Penjelasan ini cukup 
penting ka­rena ia bisa menjadi semacam perspektif bahwa pen￾didikan, bacaan, dan pengalaman sese­orang bisa merubah pan￾dang­an hidup dan pemikirannya. Namun de­mi­kian, yang perlu 
di­ca­tat adalah bahwa seseorang tidak seharusnya memonopoli 
atau memaksakan penafsirannya kepada orang. 
Benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus 
Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, 
dan syari­’ati­sasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat bahwa keja￾ya­an Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk 
berkembang secara kultural. Dengan kata lain, Gus Dur lebih 
mem­berikan apresiasi ke­pada upaya kulturalisasi (culturaliza￾tion). Itu terlihat dengan jelas, misalnya, dari serial tulisannya 
yang berjudul “Islam: Ideologis Atau­kah Kultural”. Ketidak 
setujuan Gus Dur terhadap formalisasi Islam itu terlihat, misal￾nya terha­dap tafsiran ayat Al Qur’an yang berbunyi “udhkuluu 
fi al silmi kaffah”, yang seringkali ditafsirkan secara literal oleh 
para pen­du­kung Islam formalis. Jika kelompok Islam formalis 
yang me­naf­sirkan kata “al silmi” dengan kata “Islami”, Gus Dur 
me­naf­­sir­kan kata ini  dengan “perdamaian”. Menurut Gus 
Dur, kon­­sekuensi dari kedua penafsiran itu punya implikasi luas. 
Mere­ka yang terbiasa dengan formalisasi, akan terikat kepada 
upaya-upaya untuk mewujudkan “sistem Islami” secara funda￾men­tal dengan meng­abaikan pluralitas masyarakat. Aki­bat­nya, 
pemahaman seperti ini akan menjadikan warga negara non-Mus￾lim menjadi warga ne­ga­ra kelas dua. Bagi Gus Dur, untuk men￾ja­di Muslim yang baik, se­orang Muslim kiranya perlu menerima 
prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam 
se­ca­ra utuh, me­no­long mereka yang memerlukan pertolongan, 
me­negak­kan pro­fe­sio­nalisme, dan ber­sikap sabar ketika mengha￾dapi cobaan dan ujian. Konsekuensinya, mewujudkan sistem 
Islami atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang 
untuk diberi predikat sebagai muslim yang taat.
Masih dalam konteks formalisasi, Gus Dur juga menolak 
ideo­logisasi Islam. Bagi Gus Dur, ideologisasi Islam tidak sesuai 
dengan per­kembangan Islam di negara kita , yang dikenal dengan 
“negerinya kaum Muslim moderat”. Islam di negara kita , menurut 
Gus Dur, muncul da­lam keseharian kultural yang tidak berbaju 
ideologis. Di sisi lain, Gus Dur melihat bahwa ideologisasi Islam 
mudah mendorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks￾teks keagamaan. Implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam 
adalah upaya-upaya sejumlah kalangan untuk men­ja­dikan Islam 
sebagai ideologi alternatif terhadap Pancasila, serta ke­ingin­an 
sejumlah ke­lom­pok untuk memperjuangkan kembalinya Pia­gam 
Jakarta. Juga langkah-langkah sejumlah pemerintah daerah dan 
DPRD yang me­nge­luarkan peraturan daerah berdasarkan “Syari­
’at Islam”. Menu­rut Gus Dur, upaya-upaya untuk “meng-Islam￾kan” dasar negara dan “men-syari’atkan” peraturan-per­atur­an 
daerah itu bukan sa­ja a-historis, tetapi juga bertentangan dengan 
Undang-Undang Da­sar 1945. Me­ngu­tip pendapat mantan Ha￾kim Agung Mesir, Al-Ashmawi, upaya syari’atisasi semacam itu 
menurut ilmu fiqh termasuk dalam tahsil al-hasil (me­lakukan 
hal yang tidak perlu sebab  sudah dilakukan). 
Penolakan Gus Dur terhadap formalisasi, ideologisasi, dan 
syari­’atisasi itu mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan 
ten­tang ne­ga­ra Islam. Seperti sudah sering dinyatakannya, Gus 
Dur secara tegas menolak gagasan negara Islam. Sikapnya ini 
didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup 
(syari’at) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Gus 
Dur mengklaim, se­panjang hidupnya ia telah mencari dengan sia￾sia makhluk yang bernama negara Islam itu. “Sampai hari ini be￾lum juga saya temukan. Sehingga saya sampai pada ke­sim­­pulan 
bahwa Islam memang tidak memiliki konsep tentang bagaimana 
negara dibuat dan dipertahankan”. Da­sar yang di­pakai oleh Gus 
Dur ada dua. Pertama, bahwa Islam tidak menge­nal pandangan 
yang jelas dan pasti tentang pergantian kepe­mim­pin­an. Itu ter￾bukti ketika Nabi Muhammad wafat dan digantikan oleh Abu 
Bakar. Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Rasu­lullah di￾lakukan melalui bai’at oleh para kepala suku dan wakil-wakil ke￾lompok ummat yang ada pada waktu itu. Sedangkan Abu bakar 
sebelum wafat menyatakan kepada kaum Muslimin, hendaknya 
Umar bin Khattab yang diangkat mengantikan posi­si­nya. Ini ber￾arti, sistem yang dipakai adalah penunjukkan. Se­mentara Umar 
menjelang wafatnya meminta agar penggantinya ditunjuk me￾lalui sebuah dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Lalu dipilih￾lah Utsman bin Affan untuk menggantikan Umar. Selanjutnya, 
Utsman digantikan Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan 
juga telah menyiapkan anak cucunya untuk meng­gantikan Ali. 
Sistem ini kelak menjadi acuan un­tuk menja­di­kan kerajaan atau marga yang menurunkan calon-calon raja dan sultan dalam se￾jarah Islam. 
Kedua, besarnya negara yang diidealisasikan oleh Islam, 
juga tak jelas ukurannya. Nabi Muhammad meninggalkan Madi￾nah tan­pa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum 
Muslimin. Tidak ada kejelasan, misalnya, negara Islam yang di￾idealkan bersifat mendunia dalam konteks negara-bangsa (na￾tion-state), ataukah hanya negara-kota (city-state). 
Dari paparan ini  di atas, cukup jelas kiranya ke arah 
ma­na alur pemikiran politik Gus Dur. Dalam konteks ini, sebagai 
warga Muhammadiyah yang mengamati perkembangan pemi­kir­­an 
politiknya, pada tahun 1995 lewat buku Pemikiran dan Aksi Is￾lam negara kita , saya me­ngelompokan pemikirannya ke dalam 
tipo­logi pemikiran substantif-inklusif.4
 Jika dalam aksi atau tin￾dak­an politiknya, mungkin saya bisa punya persepsi lain, dalam 
hal pemikiran politik saya tetap berpendapat bahwa pemikiran 
politik Gus Dur sampai sekarang tetap tidak berubah. Untuk 
itu, ada baiknya jika terlebih dahulu kita memahami paradigma 
pe­mikiran politik Islam yang berkembang di dunia kaum Mus￾limin. Paradigma itu adalah (1) substantif-inklusif, dan (2) legal￾eksklusif. 
Dalam paradigma pemikiran politik Islam yang substantif￾in­klu­sif, secara umum ditandai dengan keyakinan bahwa Islam 
se­ba­gai agama tidak merumuskan konsep-konsep teoritis yang 
ber­hu­bungan dengan politik. Adapun ciri-ciri yang menonjol pa￾da pemikiran substantif-inklusif ada empat. Pertama, adanya 
ke­per­ca­yaan yang tinggi bahwa Al Qur’an sebagai kitab suci ber￾isikan aspek-aspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan 
manusia, tetapi tidak menyediakan detil-detil pembahasan ter￾ha­dap setiap obyek permasalahan kehidupan. Argumen utama 
dari pendukung paradigma ini adalah, bahwa tak ada satu pun 
dari ayat Al Qur’an yang menekankan bahwa ummat Islam harus 
mendirikan negara Islam. Mereka berpendapat bahwa Al Qur’an 
memang memuat kan­­dungan etika dan panduan moral untuk 
memimpin masyarakat po­litik, termasuk bagaimana menegak￾kan keadilan, kebebasan, ke­se­taraan, demokrasi, dan lain-lain.5
Kedua, pendukung paradigma substantif-inklusif meya￾kini bah­wa missi utama Nabi Muhammad bukanlah untuk mem￾ba­ngun ke­ra­ja­an atau negara. Tetapi seperti halnya para nabi 
lain­nya, yakni men­dakwahkan nilai-nilai Islam dan kebajikan. Dengan demikian missi Nabi Muhammad tidak perlu diartikan 
sebagai langkah untuk membangun negara atau sistem peme￾rin­tahan tertentu. Meminjam ungkapan pemikir Mesir Husain 
Fawzi al-Najjar, concern utama Nabi Muhammad ketika menye￾bar­kan Islam adalah lebih tertuju pada upaya untuk memper­sa￾tu­kan para pemeluk Islam (al- wihda al-ijtimai) daripada mem￾bangun sebuah negara atau sistem pemerintahan.6 Kenyataan 
kemudian ter­bukti bahwa sesudah Nabi Muhammad wafat, di￾perlukan waktu be­be­rapa hari untuk melakukan musyawarah 
dan memu­tus­kan siapa peng­gantinya, yang kemudian terpilih 
Abu Bakar. Sementara pergantian kepemimpinan para sahabat 
Nabi Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali semuanya melalui sis￾tem dan mekanisme yang berbeda. 
Ketiga, para proponen paradigma substantif-inklusif ber￾pen­da­pat bahwa syari’at tidak dibatasi atau terikat oleh negara. 
De­mi­kian pula syari’at tidak berkaitan dengan gagasan-gagasan 
spe­sifik yang berkaitan dengan pemerintahan atau sistem poli￾tik. sebab  Islam dipandang semata-mata sebagai agama dan 
bukan­nya sebuah sistem yang berkaitan dengan tertib negara, 
syari’at seharusnya tidak diletakkan ke dalam domain negara, 
tetapi tetap diletakkan dalam kerangka sistem keimanan Islam. 
Menurut Al Ashmawi, man­tan hakim agung Mesir yang juga 
dikenal sebagai pemikir progressif Islam terkemuka, bahkan Al 
Qur’an sendiri menetapkan bahwa syari’at adalah sumber dari 
orientasi etika Islam dan tidak berhubungan dengan ajaran yang 
berkaitan de­ngan bentuk-bentuk negara. Syari’at adalah sebuah 
jalan dan ge­rak langkah yang selalu dinamis dan membawa ma￾nusia pada tu­juan-tujuan yang benar dan orientasi-orientasi etis 
yang mulia.7
Keempat, refleksi para pendukung paradigma substantif￾in­klu­sif dalam bidang politik pada dasarnya adalah melakukan 
u­pa­ya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik 
yang menekan­kan manifestasi substansial dari nilai–nilai Islam 
(Islamic injuctions) dalam aktivitas politik. Bukan saja dalam pe￾nam­pilan, tetapi juga da­lam format pemikiran dan kelembagaan 
politik mereka. Dalam kon­teks negara kita , paradigma ini cen­de￾rung untuk mengetengahkan eksistensi dan artikulasi nilai–nilai 
Islam yang intrinsik, dalam rangka mengembangkan wajah kul­tu￾ral Islam dalam masyarakat negara kita  modern. Proses kultura­li￾sasi telah melahirkan kompetisi di antara berbagai kekuatan kul­tural, dan Islam hanyalah satu diantara kekuatan kultural yang 
bersaing itu. Agar supaya Islam dapat memenangkan per­saing­an 
itu, proses Islamisasi haruslah mengambil bentuk kultu­ralisasi 
dan bukannya politisasi.8
Sementara itu, paradigma legal-eksklusif mempunyai ciri￾ciri umum sebagai berikut. Pertama, paradigma legal-eksklusif 
da­lam pemi­kir­an politik Islam meyakini bahwa Islam bukan 
ha­nya aga­ma, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, 
sebu­ah ideo­logi universal dan sistem yang paling sempurna yang 
mam­­pu memecahkan seluruh per­masalahan kehidupan ummat 
ma­nusia. Pa­ra pendukung paradigma legal-eksklusif sepenuhnya 
yakin bahwa Islam adalah totalitas inte­gra­tif dari “tiga d”: din
(aga­ma), daulah (ne­ga­ra), dan dunya (dunia). Kon­se­kuensinya, 
seperti dikemukakan oleh Nazih Ayubi, paradigma ini di­disain 
untuk mengaplikasikan se­mua aspek kehidupan, mulai dari 
soal remeh temeh masalah keluarga hingga menjangkau semua 
perma­sa­lahan ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya. 
Kedua, dalam realitas politik, pendukung paradigma legal￾eks­klu­sif mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk mendirikan 
ne­ga­ra Islam. Paradigma ini menghendaki agar ummat Islam 
selalu menja­­di­­kan kehidupan Nabi Muhammad dan para saha￾bat­nya (khu­lafa ar ra­syi­dun) dalam mengatur tatanan kemasya￾rakat­an, dijadikan se­ba­gai referensi utama dan modal untuk 
me­wujudkan “negara Islam yang ideal”, dan menganjurkan peno￾lak­an sistemik terhadap kon­sep-konsep politik Barat. Akibatnya, 
paradigma ini mendorong um­mat Islam untuk memperkuat iden￾titas dan ideologi mereka sebagai “alternatif” terhadap sistem￾sistem yang dipandang sebagai bertentangan dengan Islam. 
Ketiga, para pendukung paradigma ini meyakini bahwa 
syari’at harus menjadi fundamen dan jiwa dari agama, negara, 
dan dunia ini . Syari’at dengan demikian diinterpretasikan 
sebagai Hukum Tuhan (Divine Law), dan harus dijadikan seba￾gai dasar dari negara dan konstitusinya, serta diformalisasikan 
ke dalam seluruh proses pe­me­rintahan, dan menjadi pedoman 
bagi perilaku politik penguasa. Selan­jut­nya, paradigma ini juga 
me­ne­gasikan adanya kedaulatan rakyat, tetapi lebih yakin terha￾dap kedaulatan Tuhan, yang implemen­tasi­nya harus didukung 
oleh syari’at. Konsekuensinya, paradigma ini menerapkan visi 
dan missi yang menegaskan dan mewajibkan se­tiap Muslim un￾tuk menegakkan syari’at, apa pun yang akan terjadi, sebagai al­ternatif terhadap sistem-sistem dunia yang berlaku. 
Keempat, dalam konteks politik paradigma legal-eksklusif 
me­nun­jukkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cende￾rung meno­pang bentuk-bentuk masyarakat politik Islam yang 
diba­yang­kan (imagin­ed Islam polity); seperti mewujudkan suatu 
“sistem politik Islam,” mun­culnya partai Islam, ekspresi simbo￾lis dan idiom-idiom politik, ke­masyarakatan, budaya Islam, serta 
ekspe­ri­­mentasi ketatanegaraan Islam. Dalam konteks negara kita , 
pen­du­­kung paradigma legal-eksklusif sangat menekankan ideo￾logis atau politisasi yang mengarah pada simbolisme keagamaan 
secara formal. 
Dengan memahami kedua paradigma pemikiran politik Is￾lam ini  di atas, kita akan bisa memahami alasan Gus Dur 
me­no­­lak for­malisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam ter­sebut 
di atas. Jelas kira­nya bahwa sebagai pemikir Islam sub­stantif￾in­klusif, kritik-kritiknya banyak diarahkan kepada pada pendu￾kung paradigma legal-eksklusif, yang banyak dianut oleh kelom￾pok Islam radikal, fundamentalis, maupun kelompok-kelompok 
revivalis lain­nya. Mengenai hal ini, cukup menarik kiranya pan￾dangan John L.Esposito, guru besar kajian agama dan hubungan 
internasional dari Georgetown University, Wa­shington, tentang 
Gus Dur. Berikut pandangan Esposito tentang Gus Dur yang saya 
kutip agak panjang dari naskah aslinya, sebagai berikut:
“Wahid believes that contemporary Muslims are at critical cross￾road. Two choices or paths confront them: to pursue a tradi￾tional, static legal-formalistic Islam or to reclaim and refashion a 
more dynamic cosmopolitan, universal, pluralistic worldview. In 
contrast to many “fundamentalists” today, he rejects the nation 
that Islam should form the basis for the nation-state’s political 
or legal system, a nation he characterizes as a Middle Eastern 
tradition, alien to negara kita . negara kita n Muslims should apply 
a moderate, tolerant brand of Islam to their daily lives in a so￾ciety where “a Muslim and a non-Muslim are the same”, a state in 
which religion and politics are separate. Rejecting legal-formal￾ism or fundamentalism as an aberration and a major obstacle to 
Islamic reform and to Islam’s response to global change, Wahid 
has spent his life promoting the development of a multifaceted 
Muslim identity and a dynamic Islamic tradition capable of re￾sponding to the realities of modern life. Its cornerstones are free 
will and the right of all Muslims, both laity and religious scholars 
(ulama) to “perpetual reinterpretation” (ijtihad) of the Quran

Pandangan Esposito itu layak untuk dipertimbangkan, 
sebab  ia muncul dari kajian akademis seorang pakar terkemuka 
yang dikenal punya perspektif empatik terhadap kajian Islam.
Tapi setajam apa pun kritik yang dilontarkan terhadap ke￾lompok ter­sebut, Gus Dur tetap menghargai perbe­da­an pen­dapat. 
Hanya saja, ketika sebagain dari kelompok itu meng­gunakan ke￾kerasan un­tuk men­ca­pai tujuannya, ia nampak tidak mau kom￾promi. Ia me­mang anti kekerasan. 
HAM dan Perlunya Pembaruan Fiqh
Dalam melihat hubungan antara Islam dan hak asasi manu￾sia, Gus Dur mempersoalkan klaim sejumlah pemikir dan pemim￾pin dunia Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang 
paling demokratis dan amat menghargai hak asasi manusia. 
Ironisnya, kenyataan yang ada justru berbeda dari klaim mere­ka. 
Di negeri-negeri Muslim pelanggaran berat terhadap hak asasi 
manusia justru banyak terjadi. Jadi apa yang mereka klaim itu ti￾dak sesuai dengan kenyataan. Tetapi, pemikiran yang tergolong 
berani tentang hak asasi manusia justru disuarakan oleh Gus Dur 
tentang ketidak sesuaian pandangan fiqh/ hukum Islam dengan 
deklarasi universal hak asasi manusia. Jika deklarasi HAM me￾ng­akui kebebasan untuk berpindah agama, hukum Islam seba￾lik­nya memberikan ancaman hukuman yang keras terhadap me￾reka yang ber­pindah agama atau murtad. Menurut hukum Islam 
yang sampai seka­rang masih dianut oleh sebagian besar kaum 
Muslimin, orang yang mur­tad dapat dihukum mati. Lalu apa 
kata Gus Dur? “Kalau ketentuan fiqh seperti ini diberlakukan di 
negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia negara kita  yang 
berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965 harus￾lah dihukum mati,” tandasnya. 
Pendapat Gus Dur di atas cukup tajam dan berani. Namun 
sa­­yang­nya Gus Dur kurang memberikan elaborasi yang lebih 
subtil tentang ketentuan fiqh yang dikritiknya itu. Padahal se￾andainya ia memberikan elaborasi lebih dalam tentang soal itu, 
kritiknya mung­kin akan lebih mengena. Dalam konteks ini, saya 
teringat Ibrahim Moosa, seorang pemikir Islam progresif asal 
Afrika Selatan. Menu­rut Moosa, hukum Islam klasik memangmelarang orang Islam pin­dah agama ke agama lain. Ketentuan 
ini merupakan pelanggaran ter­ha­dap pasal 18 deklarasi hak asasi 
manusia (HAM) universal yang menghendaki adanya suatu ke­be￾basan berpikir, berbuat dan ber­aga­ma, termasuk di dalam­nya 
hak untuk mengubah agama dan keper­caya­an. Padahal, ke­ten￾tuan hukum Islam, perpindahan agama adalah murtad (riddah)
dan menurut mayoritas madzhab orang yang murtad itu dian￾cam dengan sanksi hukuman mati.10
Namun menurut Moosa, pandangan seperti ini berasal dari 
ke­se­pa­katan ulama masa pertengahan yang menganggap murtad 
se­bagai perlawanan terhadap agama dan hukumannya telah di­te￾tap­kan dalam hukum. Sementara para pemikir Islam prog­resif, 
ter­ma­suk Moosa tentunya, berpendapat bahwa murtad tidak be￾rarti perlawanan terhadap agama dan sebagai sesuatu yang dapat 
diberi sanksi. Selanjutnya Moosa berpendapat, ketentuan ten￾tang murtad ini  tidaklah bersumber pada Al Qur’an, te­ta­pi 
dari Hadits. Na­mun Moosa berpendapat bahwa Hadits ter­sebut 
dapat diragukan kesa­hihannya sebab  kemungkinan terjadi ke￾salahan transmisi atau pemahaman. Pada akhirnya, Moosa me￾nyim­pulkan, semangat ajaran Al Qur’an memberikan kebebasan 
yang luas bagi seseorang untuk memilih kepercayaannya.11
Contoh lain yang dikemukakan oleh Gus Dur adalah soal 
per­­­­­­budakan (slavery) yang banyak menghiasi Al Qur’an dan 
Hadits. Seka­rang, perbudakan tidak akui bangsa Muslim mana￾pun, sehingga ia lenyap dari perbendaharaan pemikiran kaum 
Mus­limin. sebab  itu Gus Dur berpendapat, ummat Islam mau 
tak mau harus melakukan ijti­had untuk merubah ketentuan fiqh
yang sudah berabad-abad diikuti itu. Dengan berpijak pada fir￾man Allah dalam ayat suci Al Qur’an yang menyatakan, “Kullu 
man ’alayha fâ nin. Wa yabqâ wajhu rabbika” (Tiada yang tetap 
dalam kehidupan kecuali wajah Tuhan), Gus Dur lalu me­rujuk 
pada ketentuan ushul fiqh yang berbunyi, al-hukmu yadûru 
ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman (hukum agama sepenuhnya 
tergantung ke­pada sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak ada￾nya hukum itu sendiri). Apa yang dilakukan Gus Dur sebenar­nya 
adalah sebuah usaha untuk memberikan substansiasi bagi fiqh
itu sendiri, de­ngan tetap berpijak pada fundamen yang telah di￾gariskan oleh tu­juan yang termaktub dalam nilai-nilai syari’at 
(maqâshid al-syarî’ah).
Apresiasi Gus Dur terhadap hak asasi manusia ternyata bukan dalam konsep saja, tetapi juga implementasinya dalam 
praktek, termasuk di negara kita . Itu sebabnya Gus Dur juga me￾nyuarakan pem­belaan ter­ha­dap sejumlah kasus tertentu yang 
menyangkut hak asasi manusia seperti hak-hak kaum minori￾tas, penghormatan terha­dap non-Muslim, hingga kasus-kasus 
yang dipandangnya sebagai “ke­tidak­adilan” sejumlah ke­lom­­pok 
kaum Muslimin terhadap saudara sesama Muslim lainnya. Ia, 
mi­sal­nya, tanpa ragu membela Ulil Ab­shar-Abdala, intelektual 
muda NU yang juga tokoh muda “Islam liberal”. Seperti dike￾tahui, sejumlah ulama atau aktifis Islam tertentu yang menilai 
pemikiran Ulil te­lah sesat dan keluar dari Islam, dan sebab  itu 
layak dihukum mati. Yang menarik, sejumlah ulama dan to­koh 
NU sendiri juga ada yang menilai pemikiran Ulil telah sesat. Me￾nanggapi adanya kecaman terhadap Ulil itu, Gus Dur berprinsip 
bahwa perbedaan pendapat harus dihargai dan tidak seharusnya 
me­la­hirkan an­cam­an atau kekerasan. Oleh sebab  itu ia meng￾kritik ke­ras mere­ka yang dengan gampang melayangkan tuduh￾an-tuduhan be­rat kepada Ulil, dan mengatakan bahwa fatwa hu￾kuman mati itu sama sekali tidak berdasar. 
Demikian pula dalam kasus Inul Daratista. Perempuan 
lugu dan sederhana ini dicerca keras oleh sebagian tokoh agama, 
ma­je­lis ula­ma dan seniman sebab  “goyang ngebor”nya yang di­ang￾gap me­lang­gar batas-batas kesusilaan umum. Seperti biasa, para 
tokoh agama dan ulama itu memakai  justifikasi fatwa-fatwa 
keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Semen￾tara itu, seorang seniman besar semacam H. Rhoma Irama, atas 
nama menjaga kesucian seni dan “moralitas” seniman juga ikut 
menggempur Inul. Walaupun Inul membela diri dengan me­nga￾takan bahwa “goyang ngebor” nya ada­lah bagian dari krea­ti­vitas 
dan improvisasi seni dan usaha untuk mencari sesuap nasi, para 
ulama, tokoh Islam, dan H. Rhoma Irama tetap tidak bisa me￾nerima alasannya. Atas nama agama dan moralitas seni, mere￾ka menghangatkan opini publik yang menista si “Ratu Nge­bor”, 
Inul Daratista. Begitu gencarnya kecaman dan cercaan ter­hadap 
perempuan lugu anggota Fatayat NU yang pintar mengaji ini, 
sehingga hampir-hampir saja Inul putus asa dan menyerah. 
Dan kalau saja Inul menyerah, dapat diduga karirnya sebagai pe￾nyanyi akan tamat. Itu berarti, ia akan kehilangan nafkah yang 
menjadi tu­lang punggung kehidupan keluarganya. Di te­ngah 
kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran ke­cam­an dan panasnya opi­ni publik yang menekan Inul. Pem￾belaan Gus Dur di dasarkan pada melindungi hak asasi “wong 
cilik” ber­na­ma Inul dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas 
moralitas ke­se­nian yang agak represif. Sementara banyak tokoh 
agama yang tidak hirau terhadap soal atau bahkan mengambil 
sikap diam, Gus Dur tampil dengan pandangan yang melawan 
arus demi membela hak asasi Inul. 
Dari pandangan dan impressinya terhadap hak asasi ma­nu￾sia itu, jelas Gus Dur sebagai tokoh Islam punya paradigma sen￾di­ri dalam memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai hak 
asasi manusia. 
Antara Demam Syari’at dan Kapitalisasi 
Dalam konteks ekonomi-politik, implikasi dari penolakan 
Gus Dur terhadap ideologisasi, formalisasi, dan politisasi Islam 
sebagai syari’at (jalan atau petunjuk ummat manusia) terlihat 
dari ketidak setujuannya terhadap gagasan ekonomi Islam. Menu￾rut Gus Dur, gagasan ekonomi Islam terlalu memfokuskan pada 
aspek-aspek normatif, dan kurang mempedulikan aplikasinya 
dalam praktek, yang justru diperlukan bagi implementasi nilai￾nilai ini  di masyarakat. Fokus kajian ekonomi Islam, menu￾rut Gus Dur, lebih banyak diarahkan pada persoalan sekitar 
bunga bank, asuransi, dan sejenisnya. Bagi Gus Dur, prinsip “eko￾nomi Islam” adalah pendekatan parsial yang memanfaatkan kata 
Islam sebagai predikat atau simbol saja. Padahal yang terpen­ting 
bukanlah nama atau simbol itu sendiri, tetapi substansinya. Un￾tuk itu, tanpa ragu Gus Dur tanpa ragu mendukung “ekonomi 
kerak­yat­an” baik dalam konsepsi mau­pun aplikasinya. Dukung￾annya terhadap ekonomi kerakyatan di­dasarkan pada tiga per￾timbangan. Pertama, dalam konsepsi Islam, orien­tasi ekonomi 
haruslah mem­perjuangkan nasib rakyat kecil serta kesejahtera￾an rakyat ba­nyak, yang dalam teori ushul fiqh dinamakan al 
maslahah al ammah. Kedua, mekanisme yang digunakan untuk 
mencapai kesejahteraan itu tidaklah ditentukan format dan ben￾tuknya. Oleh sebab  itu, acuan dan praktek perdagangan bebas 
dan efi­siensi yang di­bawakan oleh sistem kapitalisme tidaklah 
ber­tentangan dengan Islam, sebab  Islam sendiri mengajarkan 
fastabiqu al khairat (berlomba dalam kebaikan). Bahkan dalam 
persaingan dan perlombaan yang sehat, akan dihasilkan krea­tifi￾tas dan efisiensi yang justru menjadi inti dari praktek ekonomi yang sehat pula. Dalam bahasa Gus Dur, ummat Islam “bisa mene￾rima pelaksanaan prinsip-prinsip Islam dalam orientasi dan me￾ka­nisme ekonomi kapitalistik tanpa harus memeluk kapita­lis­me 
itu sen­diri”. Yang ditentang oleh Islam adalah orientasi ka­pi­ta￾lis­tik yang hanya mengutamakan pengusaha besar dan pemilik 
modal. Sebab dalam Islam yang terpenting justru ke­se­jah­teraan 
rakyat secara keseluruhan. 
Dalam konteks ini  di atas, ia tidak setuju dengan pan￾dang­an yang menggeneralisasi bahwa setiap bunga bank sebagai 
riba. Mengutip pendapat Yusuf Qardhawi, jika bunga bank di­pu￾ngut dari upaya non-produktif, maka ia dapat dikatakan riba. 
Tetapi jika bunga bank ini  merupakan bagian dari sebuah 
upaya produktif, maka ia bukan riba, te­tapi merupakan bagian 
da­ri ongkos produksi saja. Selanjutnya, Gus Dur juga mengkritik 
kecenderungan yang ia namakan sebagai “demam syari’at” yang 
kini banyak dilakukan oleh bank-bank swasta di mana pe­mi­lik 
sahamnya sebagian adalah non-Muslim. Menurut Gus Dur, ke￾cen­derungan seperti itu sebab  kurangnya pengetahuan mereka 
tentang hu­kum Islam. Jelas bahwa Gus Dur tidak setuju dengan 
langkah-langkah yang mengarah pada formalisasi syari’at Islam 
seperti itu. 
Namun lepas dari ketidak setujuan Gus Dur kepada “de￾mam sya­ri’at” bank-bank swasta, perkembangan bank-bank yang 
me­man­faat­kan jasa syari’at itu menurut laporan sejumlah me￾dia massa nasional ternyata cukup bagus. Bahkan permodalan, 
likui­di­tas, dan kinerja bank-bank syari’at disebutkan mengalami 
ke­naik­an yang cu­kup signifikan dalam beberapa tahun terakhir 
ini. Untuk itu, ten­tu saja masih diperlukan data dan penelitian 
yang valid. Yakni penelitian yang memverifikasi apakah demam 
syari’at yang melanda bank-bank konvensional itu, bagian dari 
pe­ningkatan kesadaran ma­syarakat terhadap implementasi sya­­ri­
’at, atau­kah justru hal itu semacam bentuk “kapitalisasi syari­’at” 
yang lebih di­da­sarkan pada motif-motif ekonomi yang tun­duk 
pada kepentingan pasar. 
Islam Radikal dan Pendangkalan Agama 
Dalam soal pandangan Islam terhadap kekerasan dan te￾ror­is­me, sikap Gus Dur sangat jelas: mengecam keras dan mengu￾tuk peng­gunaan kekerasan oleh sejumlah kelompok Islam radi￾kal. Me­nu­­rut Gus Dur, satu-satunya alasan penggunaan kekerasan yang bi­sa ditolerir oleh Islam adalah jika kaum Mus­lim­in diusir 
dari tem­­pat tinggal mereka (idza ukhriju min diya­ri­him). Ini pun 
masih diper­debatkan oleh sebagian ulama. Misal­nya diperdebat￾kan, bolehkah ka­um membunuh orang lain jika jiwanya sendiri 
tidak terancam. Tidak tanggung-tanggung, ke­caman Gus Dur di￾alamatkan kepada kelompok-kelompok Islam “garis keras” yang 
beberapa waktu lalu sering unjuk rasa dengan membawa pedang, 
celurit, atau bahan pele­dak lain hingga mere­ka yang melakukan 
sweeping terhadap warga asing (terutama AS) dan kafe-kafe 
minuman di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.12 
Menurut Gus Dur, lahirnya kelompok-kelompok Islam 
garis keras atau radikal ini  tidak bisa dipisahkan dari dua 
sebab. Per­ta­ma, para penganut Islam garis keras ini  meng￾alami se­macam ke­kecewaan dan alienasi sebab  “keterting￾galan” ummat Islam ter­ha­dap kemajuan Barat dan penetrasi 
budayanya dengan segala ek­ses­nya. sebab  ketidakmampuan 
mereka untuk meng­im­bangi dampak materialistik budaya Barat, 
akhirnya mereka memakai  kekerasan untuk menghalangi 
ofensif materialistik dan penetrasi Barat. Kedua, kemunculan 
kelompok-kelompok Islam garis keras itu tidak terlepas dari 
sebab  adanya pendang­kal­an agama dari kalangan ummat Islam 
sendiri, khususnya ang­katan mudanya. Pendangkalan itu terjadi 
sebab  mereka yang terpengaruh atau terlibat dalam gerakan￾gerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari 
mereka yang belatar bela­kang pendidikan ilmu-ilmu eksakta dan 
ekonomi. Latar belakang seperti itu menyebabkan fikiran mere￾ka penuh dengan hitungan-hitungan ma­te­­matik dan ekonomis 
yang rasional dan tidak ada wak­tu untuk meng­­kaji Islam secara 
mendalam. Mereka mencu­kup­kan diri dengan inter­pretasi ke￾agamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau 
tekstual. Bacaan atau hafalan mereka terhadap ayat-ayat suci Al 
Qur’an dan Hadits dalam jum­lah besar memang mengagumkan. 
Tetapi pemahaman mereka terhadap substansi ajaran Islam le￾mah sebab  tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang ada, 
kaidah-kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap 
teks-teks yang ada.13 
Pandangan Gus Dur ini  di atas, sebenarnya tertuju 
ke­pa­­da kelompok-kelompok yang dalam sosiologi agama bisa di­ka￾te­gori­kan sebagai neo-fundamentalisme. Ini mengingatkan saya 
pada ana­­­­li­sis Fazlur Rahman yang juga dikutip oleh Cak Nur ter­hadap ke­bangkit­an neo-fundamentalis Islam. Rahman menilai, 
keberadaan neo-funda­men­talisme Islam di berbagai ne­geri Mus￾lim, sebenarnya bu­kanlah mem­berikan alternatif atau tawaran 
yang baik bagi masa de­pan Islam itu sendiri. Ini ka­rena neo￾fun­da­mentalisme sebenarnya me­ngidap pe­nya­kit yang cu­kup 
berbahaya, yakni mendorong ke arah pe­miskinan in­te­lektual 
sebab  pandangan-pandangan literal dan teks­tual yang tidak 
mem­berikan apresiasi terhadap kekayaan khasanah ke-Islaman 
klasik yang kaya dengan alternatif pemikiran. Selain itu, Rahman 
me­nilai kelompok neo-fundamentalis umumnya me­miliki pe­ma￾haman yang superfisial, anti intelektual dan pe­mi­kirannya tidak 
ber­sumber dari ruh Al Qur’an dan budaya intelektual tradisional 
Islam.14 Bagaimana pun pengamatan Gus Dur dan Fazlur Rah￾man itu layak untuk dipertimbangkan.
Pribumisasi, Bukan Arabisasi 
Dalam soal Islam dan kaitannya dengan masalah sosial 
budaya, menarik kiranya untuk dikemukakan kritik Gus Dur 
ter­hadap gejala yang ia sebut sebagai “Arabisasi”. Kecen­derung￾an semacam itu nampak, misalnya, dengan penamaan terhadap 
aktivitas keagamaan dengan meng­gunakan bahasa Arab. Itu ter￾li­hat misalnya dengan kebanggaan orang untuk memakai  
kata-kata atau kalimat bahasa Arab untuk sesuatu yang sebenar￾nya sudah lazim dikenal. Gus Dur menunjuk pe­nye­butan Fa­kul￾tas Keputrian dengan sebutan kulliyatul bannat di UIN. Juga 
ketidak­puas­an orang awam jika tidak memakai  kata “ahad” 
untuk meng­gantikan kata “minggu”, dan sebagainya. Seolah￾olah kalau tidak memakai  kata-kata ber­bahasa Arab terse￾but, akan menjadi “tidak Islami” atau ke-Islaman seseorang akan 
berkurang sebab nya. For­malisasi seperti ini, menu­rut Gus Dur, 
merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri keti­ka mengha￾dapi “kema­ju­an Barat” yang se­ku­ler. Maka jalan satu-satunya 
adalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk Ara￾bisasi yang diya­ki­ni sebagai langkah ke arah Islami­sasi. Padahal 
Arabisasi bu­kanlah Islamisasi. 
Sebenarnya kritik Gus Dur terhadap “Arabisasi” itu sudah 
di­ung­kapkan pada tahun 1980-an, yakni ketika ia mengung­kap￾kan gagasannya tentang “pribumisasi Islam”. Ia meminta agar 
wah­yu Tuhan dipahami dengan mempertimbangkan faktor–fak￾tor kon­teks­tual, termasuk ke­sa­daran hukum dan rasa keadilan­nya. Se­hubungan dengan hal ini, ia melansir apa yang disebutnya 
de­ngan “pribumisasi Islam” sebagai upaya melakukan “rekon­si￾li­a­si” Islam dengan kekuatan–kekuatan budaya setempat, agar 
budaya lokal itu tidak hilang. Di sini pribumisasi dilihat sebagai 
kebu­tuh­an, bukannya sebagai upaya menghindari polarisasi an￾tara aga­ma dengan budaya setempat. Pribumisasi juga bukan 
sebuah upaya mensubordinasikan Islam dengan budaya lokal, 
sebab  dalam pribumisasi Islam ha­rus tetap pada sifat Islam￾nya. Pri­bu­mi­sasi Islam juga bukan se­ma­­cam “jawanisasi” atau 
sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan 
kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam me­ru­mus­kan hukum-hu￾kum agama, tan­­pa merubah hukum itu sen­diri. Juga bukannya 
meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu 
menampung ke­butuhan–kebutuhan dari budaya dengan mem￾pergunakan pe­luang yang disediakan oleh variasi pemahaman 
nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan 
qâidah fiqh. Sedangkan sinkretisme adalah usaha memadukan 
teologi atau sistem kepercayaan lama, tentang sekian banyak hal 
yang diya­ki­ni sebagai ke­kuat­an gaib berikut dimensi eskatologis￾nya de­ngan Islam, yang lalu membentuk panteisme.15
Mencari Perdamaian
Masalah terakhir yang dibahas Gus Dur dalam kumpulan 
tu­lis­an ini adalah Islam dan hubungannya dengan pedamaian 
dan ma­salah-masalah internasional. Dalam kumpulan tulisan ini 
nampak jelas sikap Gus Dur terhadap perdamaian dunia men￾dorong upaya-upaya ke arah perwujudan perdamaian di dunia. 
Tanpa ra­gu Gus Dur mengecam invasi AS ke Irak yang kemu￾dian ber­hasil menumbangkan rezim Saddam Hussein. Peperang￾an yang tidak seimbang itu memang berhasil menumbangkan 
rezim dik­tator Saddam Hussein. Bahkan dalam perkembangan￾nya kemu­di­an, militer AS berhasil menangkap hidup-hidup Sad￾dam Hussein. Ini mungkin tidak menjadi prediksi Gus Dur ke￾tika ia menu­run­kan kolom-kolomnya di media massa, dan juga 
perhitungan para pengamat, bahwa Saddam akhirnya tertang￾kap dalam keadaan yang penuh dengan ironi. Tetapi masalahnya 
tidak akan berhenti di sana. Gus Dur pernah memperkirakan, 
masalah-masalah baru akan terus bermunculan, seiring dengan 
kondisi ob­yek­tif yang ada di Irak pasca pendudukan AS dan ten￾tara sekutu di negeri Se­ribu Satu Malam itu. Dan ternyata apa yang terjadi di Irak se­ka­rang adalah sebuah drama peperangan, 
pendudukan, dan perlawanan yang sepertinya tak berujung. 
Ada beberapa hal lain tentang masalah internasional yang 
di­sorot oleh Gus Dur, seperti kritiknya terhadap mantan Perdana 
Men­teri (kini Menteri Senior) Singapura Lee Kuan Yew yang dini￾lai­nya terlalu provokatif dan mencampuri urusan dalam negeri 
negara kita . Lee juga dikritik oleh Gus Dur sebab  pandangan￾nya yang stereotipe dan agak misleading terhadap Islam Sunni 
di negara kita . Namun Gus Dur sadar pandangan Lee yang salah 
ter­­ha­dap Islam di negara kita  itu sebab  kurangnya pengetahuan 
man­tan PM Singapura itu tentang dinamika dan perkembangan 
Islam di negara kita . 
Memang ada masalah internasional lain yang dibahas oleh 
Gus Dur, tetapi dalam kumpulan tulisannya kali ini ia lebih me￾nyo­rot perlunya upaya-upaya untuk mengembangkan dunia 
yang damai dan jika mungkin jauh dari peperangan dan keke­ras￾an. Ia memang concern dengan perdamaian dunia, dan per­caya 
bahwa agama mau­pun tokoh-tokohnya bisa berperan aktif dalam 
mengusahakan per­da­maian dunia. Tetapi, seperti sebuah judul 
tulisannya dalam buku ini, “Dicari Perdamaian, Perang Yang 
Didapat”. Ada nada getir dalam tulisannya itu. Dan seper­ti hal￾nya Gus Dur, kita juga tidak tahu akan seperti apa masa depan 
sejarah dunia di abad ke 21 jika perang menjadi alternatif yang 
gampang dicetuskan, ketimbang usaha-usaha kolektif untuk me￾wu­judkan perdamaian. 
Sebuah Bingkai Pemikiran 
Bagi mereka yang mengikuti secara intens pemikiran poli￾tik Gus Dur, buku ini memang belum bisa memetakan bingkai 
pe­mi­­­kir­annya dengan utuh. Bisa jadi sebab  cakupan persoalan 
yang dibahas cukup luas dan beragam, sehingga agak sulit untuk 
menganalisis se­ca­ra terstruktur dan lebih memfokus. Demikian 
pula bagi pembaca yang ingin mendapatkan pembahasan yang 
tuntas, apalagi dengan meng­idea­lisasikan penggunaan disiplin 
akademis yang ketat, jelas tidak atau belum mendapatkannya 
di sini. Sebab buku ini adalah kum­pulan kolom dan artikel yang 
dibatasi oleh aktualitas peristiwa, wak­tu penulisan, dan keter￾sedia­an halaman media tempat Gus Dur menuliskan gagasan￾ga­gasannya. Mudah-mudahan dengan pener­bitan kumpulan 
tulisan ini akan memudahkan Anda memahami konstruk dan prisma pemikiran Gus Dur yang luas itu, sekalipun itu ditulis me￾lalui kolom-kolom lepas di berbagai media.
Akhirnya dengan terus terang saya nyatakan bahwa se­kali￾pun buku ini memuat pemikiran penting dan visioner, tentu ti￾dak terlepas dari kekurangan. Lazimnya sebagai sebuah kum­pul￾an tulisan, ada se­jum­lah repetisi atau pengulangan baik dalam 
ide maupun penyajian di sana-sini. Pengulangan itu dimung­kin￾kan terjadi sebab  meskipun tema pokok atau topik yang di­ulas 
berbeda judulnya, substansi dan missi yang disampaikan ke￾mungkinan meng­guna­kan referensi yang sama. Sementara itu, 
produktivitas Gus Dur sebagai penulis prolifik ternyata sangat 
mencengangkan. Menurut penuturannya, dalam satu minggu 
ia menulis antara dua atau tiga kali, bahkan terkadang hingga 
empat kali, di media yang berbeda, baik nasional maupun lo￾kal. Padahal kita tahu, meskipun sudah tidak menjabat sebagai 
presiden, kesibukan tokoh yang satu ini tidaklah ber­kurang. Ia 
masih sering melakukan perjalanan ke luar negeri atau berbagai 
kota dan pelo­sok tanah air, baik untuk memenuhi un­dangan-un￾dangan se­mi­nar atau pertemuan internasional, maupun un­tuk 
menjadi pence­ra­mah dalam pengajian atau melakukan kegiatan 
sosial-politiknya sebagai Ketua Dewan Syura PKB (Partai Ke￾bangkitan Bangsa). 
Toh sesibuk apa pun, Gus Dur tetap meluangkan waktunya 
un­tuk menulis artikel. Sebuah kegiatan yang tidak mudah dila￾ku­kan banyak oleh orang. Sebagai intelektual dan sekaligus pe￾mim­pin serta po­litisi, Gus Dur sangat menyadari pengaruh dari 
ide-ide dan gagasan yang dituangkannya dalam bentuk tulisan. 
Hal lain yang tak boleh dikesampingkan adalah leverage atau pe￾nga­ruh Gus Dur di mata warga nahdliyyin dan publik negara kita  
lainnya. 
Bagaimana pun, paling tidak menurut saya selaku pe­nyun￾ting, tulisan-tulisan Gus Dur tetap enak dibaca dan gampang 
di­cer­na. Mudah-mudahan ini bukanlah sebuah apologia sebab  
ketidak sempurnaaan saya selaku penyunting. Wallahu alam bi 
al sawab.

Sejumlah pemimpin partai-partai politik Islam, beberapa 
tahun yang lalu, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita 
tidak tepat dalam pandangan agama. Dasar anggapan itu 
adalah ungkapan al-Qurân “Lelaki lebih tegak atas wanita (al-ri￾jâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ)” (QS Al-Nisa [4]:34), yang dapat 
diartikan menjadi dua macam. Pertama, lelaki bertanggung ja￾ab fisik atas keselamatan wanita; dan kedua, lelaki lebih pan￾tas menjadi pemimpin negara. Ternyata para pemimpin partai 
po­litik Islam di atas memilih pendapat kedua itu, terbukti dari 
ucapan mereka di muka umum. Anggapan bahwa wanita lebih 
lemah, yang menjadi pendapat dunia Islam pada umum­nya se￾lama ini, dalam kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. 
Untuk melanjutkan ang­gapan ini digunakan beberapa sum￾ber tekstual (‘adillah naqliyah). Seperti ungkapan “Wanita ha­nya 
mempunyai sepa­ruh akal lelaki”, dan sumber-sumber sejenis. 
Bahkan sebuah kutipan dari kitab suci al-Qurân dipakai dalam 
hal ini, yaitu “Bagi­an pria (dalam masalah warisan) adalah dua 
kali bagian wanita (Li al-dzakari mistlu hazzi al-untsayain)” 
(QS al-Nisa [4]:11). Pa­da­hal kutipan itu hanya mengenai ma￾salah waris-mewaris saja. sebab  itu, dua pandangan di atas, 
yang selalu menilai rendah wanita, masih umum dipakai orang 
dalam dunia Islam. 
Dalam tulisan ini, penulis ingin meluruskan hal itu agar 
hak lelaki dan hak wanita menjadi semakin berimbang sebab  
memang Islam menilai seperti itu. Firman Allah Swt dalam al￾Qurân. “Sesungguhnya Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan 
perempuan (Innâ khalaqnâkum min dzakarin wa untsa),” (QS 
al-Hujurat [49]:13) mengisyaratkan persamaan seperti itu. Per￾be­da­an pria dan wanita hanyalah bersifat biologis, tidak bersifat 
institu­sio­nal/kelembagaan sebagaimana disangkakan banyak 
orang dalam literatur Islam klasik. Akibatnya, masyarakat pun 
menjadi terpengaruh, termasuk kaum wanitanya sendiri. 
Sewaktu masih menjadi Ketua Umum PBNU, penulis per￾nah didatangi seorang ulama Pakistan, sewaktu Benazir Bhutto 
masih menjadi orang pertama dalam pemerintahan ne­geri terse￾but. Ia meminta agar penulis membacakan surat Al-Fatihah bagi 
bangsa Pakistan, agar mereka terhindar dari malapetaka. Kata￾nya: "Bukankah Rasulullah Saw bersabda Ti­­dak akan pernah suk￾ses sebuah kaum yang menyerahkan ke­pemimpinannya kepada 
wanita?1
" Bukankah dengan naiknya Benazir Bhutto menjadi Per­dana Menteri, nasib Pakistan akan seperti yang disampaikan 
Rasulullah itu?’’ Penulis menjawab, bahwa dalam hal ini diper￾lukan pe­nafsiran baru sesuai dengan perubahan yang terjadi? 
Bukankah Nabi Muhammad Saw menunjuk kepada kepemimpin￾an Abad VII hingga IX Masehi di Jazirah Arab? Kepemimpinan 
suku atau kaum, waktu itu memang berbentuk perseorangan (in￾dividual leader­ship), sedangkan sekarang kepemimpinan negara 
justru dilembagakan? 
Benazir Bhutto harus mengambil keputusan melalui si￾dang kabinet, dengan para menteri yang mayoritasnya pria. Dan, 
kabinet tidak boleh menyimpang dari kebijakan parlemen, juga 
mayoritas anggotanya adalah pria. Hingga, parlemen pun tidak 
boleh menyimpang dari Undang-Undang Dasar, dengan penja￾ga­an dan pengawalan dari Mahkamah Agung yang seluruh­nya 
beranggotakan kaum pria. Kata tamu Pakistan ini : "Anda 
benar, namun saya minta Anda tetap membacakan surat Al-Fati￾hah untuk keselamatan bangsa Pakistan."
Apa yang digambarkan di atas menunjuk kepada suatu hal: 
sulitnya mengubah sebuah pandangan yang telah berabad-abad 
lamanya diikuti orang. Dalam hal ini, antara pandangan agama 
Islam di mata orang-orang itu, dalam kenyataan berlawanan de￾ngan apa yang dirumuskan oleh UUD. Seolah-olah terjadi per￾ben­turan antara agama dan negara. Padahal, dalam ke­nya­taan, 
ribuan anak-anak perempuan ulama muslimin justru menjadi 
sarjana S1 hingga S3, sebab  UUD memungkinkan hal itu. Bukan￾kah persamaan hak antara pria dan wanita dijamin oleh UUD 
kita, termasuk dalam pendidikan? 
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Su￾matra Barat, mengeluarkan peraturan daerah yang melarang 
war­­ga masya­rakat dari jenis wanita untuk keluar rumah tan­pa 
mahram (suami atau sanak keluarga yang tidak boleh dika­win­i￾nya), setelah pukul 09.00 malam. Bukankah ini jelas melanggar 
UUD, yang menyama­kan kedudukan antara pria dan wanita di 
muka undang-undang? sebab nya, sidang kabinet saat penu￾lis menjadi Presiden telah memu­tus­kan: Tidak diper­ke­nan­kan 
ada­nya peraturan daerah atau produk-produk lain hasil DPRD I 
atau DPRD II, yang berlawanan dengan Undang-Undang Dasar. 
Dalam hal ini, yang me­mi­liki wewenang untuk menya­ta­kan, 
apakah sebuah produk DPRD ini  melanggar UUD atau ti￾dak mestinya adalah Mahkamah Agung. Jika tidak sah, otomatis 
produk itu tidak berlaku lagi. 
Jelaslah, memperjuangkan hak-hak wa­­ni­ta adalah peker￾jaan yang masih berat di masa kini, hingga wajib­lah kita bersikap 
sabar dan bertindak hati-hati dalam hal ini. Tetapi, keadaan ini 
pun, bukanlah hanya monopoli golongan Islam saja. Di Amerika 
Serikat (AS) yang dianggap memelih