Tampilkan postingan dengan label islam ku 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam ku 4. Tampilkan semua postingan
islam ku 4
Juli 09, 2025
islam ku 4
mempertahankan kedudukannya sebagai anggota parlemen Ottoman ini .
Terlihat ada dua orientasi yang saling bertentangan antara
karya-karya Al-Maududi dengan Shakib Arsalan dalam disertasi
Cleveland di atas. Tapi pandangan Al-Maududi dan Shakib yang
dikenal di kalangan orang-orang Perancis –sebagai golongan
l’integrist (di dunia Barat lain dikenal dengan sebutan Islamists)
itu, menganggap bahwa Islam harus diwujudkan secara keseluruhan, bukan secara parsial. Sebagai landasan, pandangan itu
selalu memakai ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “Hari ini
telah Ku-sempurnakan bagi kalian, agama kalian, dan Ku-sempurnakan bagi kalian pemberian nikmat-Ku, dan Ku-relakan
bagi kalian Islam sebagai agama kalian (al-yauma akmaltu lakum dîinakum wa atmamtu alaikum nikmatî wa radhîtu lakum
al-Islâma dîna)” (QS al-Maidah [5]:3). Menurut pandangan ini,
Islam hanya akan tampak dan berarti kalau ia menjadi sebuah
sistem, dan itu hanya berarti kalau dia ada secara formal. Maka,
dari pikiran inilah lahir gagasan negara Islam.
eg
Dengan demikian, Islam dapat dibagi menjadi dua bagian:
Islam formal dan tidak formal. Dalam pandangan formal, ajaran
Islam selalu menjadi aturan bernegara, dalam bentuk undangundang (UU). Formalisasi ini juga mengancam kebersamaan kaum muslimin negara kita . sebab negara akan menetapkan sebuah versi (madzhab) dalam Islam untuk dijadikan UU, sedang
hukum Islam versi lain berada di luar UU. Dengan demikian,
yang benar atau yang salah adalah apa yang tertera dalam rumusan UU itu, sedangkan yang tidak tercantum di dalamnya tentu
saja tidak dipakai.
Formalisasi ini sudah tentu berbeda dari pandangan umum
madzhab fiqh (Islamic law school). Dalam pandangan mereka,
orang dapat saja berbeda pandangan dan rumusan aturan, tergantung dari pilihan masing-masing. Adagium terkenal dalam
hal ini adalah: “perbedaan pandangan di kalangan para Imam
adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-aimmah rahmat al-ummah).”4
Bahkan, pandangan ini memperkenankan perubahanperubahan rumusan hukum agama dari waktu ke waktu.
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1989 di Pondok
Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, merumuskan
kebolehan itu dengan kata-kata: rumusan hukum agama sangat
tergantung kepada prinsip-prinsip yang digunakan. Jelaslah, perubahan rumusan hukum agama itu menjadi diperkenankan,
sebab adanya kebutuhan. Salah satu kaidah fiqh berbunyi: “kebutuhan dapat saja dianggap sebagai keadaan darurat (al-hâjatu
tanzilu manzilata al-dharûrah).” Prinsip ini memperkenankan
perubahan rumusan hukum agama jika memang ada kebutuhan
nyata untuk itu.
sebab hukum agama dalam sebuah negara Islam adalah
keputusan-keputusan hukum yang diwujudkan secara formal,
hingga dengan sendirinya asas pluralitas tidak dapat dilaksanakan, dan yang ada adalah UU formal. Dan, sistem formal agama
lalu menjadi lahan tawar-menawar. sebab itu, banyak pihak
yang berpendapat bahwa, ajaran formal Islam selalu bersifat kaku
dan tidak mampu menampung perkembangan-perkembangan baru yang terjadi. Contohnya adalah sikap para penguasa Saudi
Arabia yang telah membongkar tanah pusara Sayyid Ali al Uraidhi,5
di Madinah, untuk mencegah terjadinya penyembahan berhala yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi ratusan juta
orang kaum tradisionalis muslim, yang seringkali disebut orang
kolot, sikap seperti itu berarti justru membuat Islam tidak bergerak sesuai dengan perkembangan zaman. Islam akan mengalami
kebekuan, yang sering di sebut dengan istilah al-jumûd.
eg
Penentengan terhadap pembongkaran makam Sayyid ‘Uraidhi di atas, putra ketiga Ja’far Shaddiq setelah Isma’il (diabadikan dalam nama kelompok Syi’ah Isma’iliyyah) dan Musa alKadzim (perintis Syi’ah Itsna ‘Asyariyah yang memerintah Iran
dan menjadi kelompok mayoritas di Irak saat ini), menunjukkan
betapa besar para pengikut beliau di seluruh dunia, katakanlah
para kelompok Sunni tradisionalis. Namun perasaan mereka dianggap sepele saja oleh pemerintah Saudi Arabia. Sikap formal
yang diwariskan Muhammad bin Abdul Wahab6
(diabadikan
dalam istilah-salah, Wahabbisme) membuat pemerintah Saudi
Arabia menjadi formalis, merusak/menghancurkan makam beliau di ‘Uraidhah, dekat Madinah, beberapa waktu yang lalu.
Kejadian di atas, dilakukan oleh rezim yang katanya berundang-undang dasar kitab suci al-Qurân dengan 6666 ayatnya.
Hal ini menunjuk dengan jelas kenyataan bahwa formalisme di negeri itu justru memacu konservativisme di kalangan para ulamanya. Kalau hal ini tidak mereka perbaiki dalam waktu dekat
ini, maka di kalangan kaum muslimin di seluruh dunia akan
terjadi pertentangan sangat dahsyat, yang belum pernah terjadi
selama ini. Keputusan Raja Saudi pertama, Abdul Aziz, di tahun
1924, untuk mengijinkan kaum muslimin melakukan ibadah
haji menurut keyakinan masing-masing, telah membuat Saudi
Arabia bisa diterima semua kalangan Dunia Islam. Keputusan
membongkar kuburan Sayyid ‘Uraidhi adalah sesuatu yang justru berkebalikan dari keluasan pandangan di atas.
Pegangan golongan formalis dalam Islam adalah ayat:
“Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (udkhulû
fi al-silmi kâffah)” (QS al-Baqarah [2]:208), yang berarti kalau
Anda menyerah kepada Tuhan, lakukan hal itu secara sungguhsungguh dan tak tanggung-tanggung. Para formalis mengartikan
kata “al-silmi” di sini, dengan arti Islam sebagai sistem, katakanlah sistem Islami. Namun, penafsiran ini hanya memperoleh
pengikut yang sedikit, sedangkan mayoritas kaum muslimin
(terutama para ulama negara kita ), memegang arti Islam sebagai
pengayom. Toleransi kita diminta oleh kitab suci yang kita yakini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk
kaum non-muslim. Ini bersesuaian dengan ayat lain yang berbunyi: “Tiadalah Ku-utus engkau kecuali sebagai penyambung
tali persaudaraan dengan sesama umat manusia (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan li al-‘âlamîn)” (QS al-Anbiya [21]:107). Ini
jika para ahli tafsir mengartikan kata “al-‘âlamîn” dengan umat
manusia belaka, dan bukan semua makhluk yang ada di dunia
ini. Indah, pengertian tentang Islam sebagai pelindung itu, bukan? h
ada mulanya adalah sebuah pertemuan. Tepatnya
pertemuan antara saya dan KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) tanggal 11 Oktober 2001 di rumahnya, di kawasan Ciganjur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Waktu itu saya
menemuinya untuk keperluan wawancara dalam rangka penulisan disertasi yang sedang saya tulis pada Departement of Indonesian Studies, University of Melbourne, Australia. Hari masih
pagi, kira-kira pukul 8 ketika saya datang ke rumah Gus Dur.
Tapi sepagi itu deretan orang yang antri untuk bertemu Gus Dur
sudah cukup panjang. Gus Dur baru selesai mandi pagi ketika
saya datang. Segera saja Mas Munib, ajudan Gus Dur memberitahukan bahwa saya sudah datang. Begitu diberitahu saya sudah
datang, Gus Dur segera bertanya “Mana Mas Syafi’i?.” Segera saya
pun menghampiri dan menyalaminya. “Wawancaranya di mobil
saja, ya Mas ...sambil jalan-jalan ...,” ujarnya dengan rileks.
Tentu saja saya agak sedikit terkejut dengan tawaran mantan presiden RI ke-empat ini, meskipun senang juga sebab Gus
Dur bersedia meluangkan waktunya di tengah kesibukannya
melayani ummat. Bagi seorang mantan wartawan seperti saya,
tak ada masalah di mana pun tempat wawancara. Yang penting
adalah kesediaan narasumber untuk diwawancara. Namun yang
sedikit agak merisaukan saya justru pergi ke luar naik mobil dengan Gus Dur itu. Saya khawatir, orang-orang yang ingin bertemu dan sudah cukup lama menunggu itu akan kecewa sebab
mereka mengira Gus Dur akan pergi, sementara mereka sudah cukup lama menunggu. “Tapi bagaimana dengan orang-orang
yang sudah cukup lama menunggu itu. Nanti mereka kecewa karena mengira Gus Dur akan pergi. Wawancara di sini juga nggak
apa-apa,” kata saya. “Ah, ndak ada masalah. Mereka kan bisa menunggu, Munib sudah memberi tahu mereka, dan mereka maklum. Lagi pula Anda kan datang dari Australia dan waktu Anda
di sini tidak banyak,” kata Gus Dur. Akhirnya saya pun tak dapat
menolak ajakannya. Bersama sopirnya, kami berdua berkeliling
naik mobil, berputar-putar di kawasan Ciganjur dan Pasar Minggu.
Selama hampir satu jam sopir membawa kami berputarputar di kawasan ini , sementara saya sibuk merekam dan
mencatat hasil wawancara. Kadang-kadang kami berdua tertawa
tergelak-gelak, terutama kalau Gus Dur membuat joke-joke yang
segar tentang berbagai soal politik mutakhir. Gus Dur menjawab
semua pertanyaan yang saya ajukan, disertai dengan argumenargumen yang kaya wawasan, bahkan dengan banyak kutipan
ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menjadi landasan
jawabannya. Ketika sopir menghentikan mobil di rumah Gus
Dur, wawancara pun belum selesai dan dilanjutkan kembali di
rumah. Tapi saya segera membatasi diri untuk tidak berlamalama lagi sebab mempertimbangkan banyaknya orang yang sudah antri. Sewaktu hendak pulang, Gus Dur berkata: “Mas, saya
ingin mempercayakan kepada sampeyan untuk mengedit dan
memberi pengantar untuk kumpulan artikel saya. Ini kumpulan artikel saya era pasca lengser. Anda kan wartawan, jadi bisa
menggunting-gunting kumpulan tulisan itu.”
Sejenak saya tertegun dengan permintaan dan ungkapan
Gus Dur itu. Bagaimana pun saya merasa surprise dengan apa
yang diungkapkan Gus Dur. Bukan apa-apa, di satu sisi saya merasa mendapat kehormatan dengan kepercayaan itu. Tapi di sisi
lain, saya merasa bahwa tugas mengedit dan memberi pengantar untuk buku kumpulan tulisan Gus Dur juga bukan pekerjaan
sederhana. Masalahnya bukan saja sebab waktu saya yang terbatas, tapi juga sebab saya merasa bukan tokoh yang pas untuk
mengedit dan memberi pengantar untuk tokoh sekaliber Gus
Dur. Meskipun sebagai mantan wartawan mungkin saya banyak
memperoleh informasi tentang sepak terjang seorang Gus Dur,
baik sebagai tokoh nasional maupun news maker, tetapi itu tidak berarti saya paham dengan apa yang dilakukan. Apalagi pernyataan dan tindakan Gus Dur terkadang nyleneh dan kontroversial, bahkan tidak jarang memicu polemik dan perdebatan
antara mereka yang setuju dan tidak. Jangankan saya yang berlatar belakang Muhammadiyah, bahkan di kalangan Nahdlatul
Ulama (NU) sendiri pun, pikiran dan sepak terjang Gus Dur tak
selamanya bisa dipahami kalangan nahdliyin.
Terus terang pada awalnya saya khawatir, jangan-jangan
editing dan kata pengantar yang akan saya lakukan nanti justru tidak berhasil memotret jalan pikiran yang sebenarnya atau
otentisitas dari latar belakang ucapan dan tindakannya. Apalagi
bagi sebagian besar warga nahdliyin, Gus Dur adalah figur yang
dihormati, betapapun nyleneh dan kontroversialnya ucapan
dan tindakannya. Bukan saja sebab ia adalah cucu pendiri NU
Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, tapi juga sebab Gus Dur
adalah ulama-intelektual NU terkemuka dan berwawasan kosmopolitan. Seorang tokoh yang berhasil membawa NU menembus
dan membebaskan batas-batas orientasi, visi, dan wawasan tradisionalisme NU untuk masuk ke wacana modern, liberal, dan
kosmopolitan sambil tetap menjaga kelestarian tradisi klasik Islam. Melalui Gus Dur, NU sebagai organisasi Islam tradisional
yang telah “mendunia” dan diperhitungkan dunia luar.1
Namun demikian, sebagai orang Muhammadiyah dan juga
mantan wartawan, saya barangkali termasuk orang yang percaya
bahwa Gus Dur adalah Gus Dur. Ia memang dilahirkan oleh sejarah sebagai tokoh terkemuka, tetapi ia bukan seorang wali atau
figur yang can do no wrong. Ia tetap manusia biasa yang punya kekuatan dan kelemahan, dan tentu saja ia bisa salah dalam
berfikir atau bertindak. Sekalipun kita mungkin tidak setuju terhadap gagasan dan sepak terjangnya, tetapi kita tetap harus fair
untuk menilai kontribusinya dalam pemikiran politik Islam di
negara kita . Bagi saya, Gus Dur bersama-sama dengan intekletual
Muslim lainnya telah memberikan kontribusi yang penting bagi
perkembangan pemikiran politik Islam di negara kita .2
sebab itu ketika dia menawari untuk mengedit dan memberi kata pengantar kumpulan tulisannya untuk dijadikan buku,
secara spontan saya menerimanya. Pada saat itu saya cuma berkeyakinan bahwa kepercayaan dari seorang Gus Dur kepada
saya tentu dengan pertimbangan tersendiri. Menariknya, ketika
tawaran Gus Dur itu saya diskusikan dengan teman-teman, mereka dengan segera menganjurkan agar tawaran itu saya terima.
Salah satu di antara sahabat saya yang memberikan dorongan agar saya mengerjakan pekerjaan editing dan memberi kata pengantar untuk kumpulan tulisan ini adalah Dr. Haidar Bagir, MA
intelektual muda Muslim alumnus Universitas Harvard, yang
juga Direktur Penerbit Mizan. “Dengan mengedit dan memberikan kata pengantar yang kritis terhadap kumpulan tulisan Gus
Dur, Anda bisa berperan untuk menjadi semacam “perantara”
bagi simbiose intelektual di antara kalangan NU dan Muhammadiyah,” ujar Haidar.
Ucapan Haidar itu mengingatkan saya pada Dr. Greg
Barton, sahabat lama saya yang juga menjadi dosen di Deakin
University, Australia. Dalam bukunya, Barton menyebut saya
yang waktu itu menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Mingguan
Berita Ummat, sebagai orang yang berusaha menjembatani hubungan Gus Dur dengan tokoh-tokoh modernis Muslim, terutama Amien Rais. Greg Barton mungkin sedikit berlebihan ketika
menyebutkan peran saya sebagai perantara untuk menjembatani
hubungan Gus Dur dengan tokoh-tokoh Islam modernis, walaupun saya bisa memahami apa yang dia maksud.3
Yang jelas
saya merasa dekat dengan siapa saja, baik dengan tokoh-tokoh
Muhammadiyah maupun NU dan sejumlah cendekiawan Muslim lainnya. sebab sebagai wartawan, saya merasa nyaman dan
akrab dengan berbagai tokoh dari kedua ormas terbesar di Indonesia itu, seperti Gus Dur, Mas Amien Rais, Bang Syafi’i Ma’arif,
Gus Mus (KH Mustafa Bisri), Dr. Fahmi Saefuddin, M. Dawam
Rahardjo, Kang Muslim Abdurrahman, dan lain-lain. Tentu saya
juga merasa akrab dengan Cak Nur, Bang Hussein Umar, dan
tokoh-tokoh cendekiawan lintas agama. Lepas dari perbedaan
pendapat dan visi mereka dalam pergumulan ide dan percaturan
politik, saya merasa merasa berhutang budi secara intelektual
kepada mereka semua.
Adalah sejarahwan Prof. Dr. Taufik Abdullah yang juga
memberikan dorongan positif kepada saya untuk mengedit dan
memberikan kata pengantar buku Gus Dur ini. “Itu suatu kehormatan. Anda tak perlu ragu untuk untuk melakukannya. Saya sendiri merasa dekat dengan Gus Dur, sekalipun tidak semua pikiran dan tindakan politiknya saya setujui. Tapi kita harus jujur,
jernih, dan bijak dalam menilai pikiran dan tindakan seseorang,”
ujarnya ketika kami bertemu di National University of Singapore,
tahun 2004 yang lalu.
Dengan dorongan para sahabat dan para senior itulah, suntingan dan kata pengantar untuk kumpulan tulisan ini saya kerjakan.
Memperkuat Substansi Islam
Judul buku ini, Islamku, Islam Anda, Islam Kita diambil
dari salah satu artikel yang ditulis Gus Dur. Ia dipilih sebab
dapat menggambarkan pengembaraan intelektual Gus Dur dari
masa ke masa. Sebuah pengembaraan intelektual yang bukan
saja tidak linear, tetapi juga berproses. Itu terlihat misalnya
dalam pengakuan Gus Dur sendiri, yang melihat Islam sebagai
agama yang tengah mengalami perubahan-perubahan besar.
Diakui oleh Gus Dur bahwa di masa mudanya, di tahun-tahun
1950-an, ia mengikuti jalan pikiran Ikhwanul Muslimun, sebuah
kelompok Islam “garis keras” yang pengaruhnya juga sampai ke
Jombang, Jawa Timur. Bahkan Gus Dur juga ikut aktif dalam
gerakan Ikhwanul Muslimun di kota kelahirannya itu. Lalu pada
tahun 1960-an, Gus Dur tertarik untuk mendalami nasionalisme dan sosialisme Arab di Mesir dan Irak, tepatnya ketika ia
menjadi mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Kairo dan Universitas Baghdad, Irak. Pengalaman menimba ilmu di kedua negara
ini tentu berpengaruh terhadap perkembangan pemikirannya. Namun setelah kembali ke negara kita di tahun 1970-an, Gus
Dur melihat perkembangan dan dinamika baru Islam yang berbeda dengan di Timur Tengah. Ia melihat realitas bahwa Islam
sebagai jalan hidup (syari’at) bisa belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, bahkan juga pandangan dari
agama-agama lain.
Selanjutnya Gus Dur mengatakan, pengembaraan intelektual itu menghasilkan dua hal sekaligus: pengalaman pribadinya
tidak akan pernah dirasakan atau dialami oleh orang lain, sementara mungkin saja pengalaman Gus Dur punya kesamaan dengan
orang lain yang punya pengembaraan sendiri. Persoalan apakah
pengembaraan Gus Dur itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sementara pengembaraan orang lain berakibat sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi Gus Dur. Sebab
pengalaman pribadi seseorang tidak akan pernah sama dengan
orang lain. Orang justru harus bangga dengan pikiran-pikirannya sendiri yang berbeda dengan orang lain.
Berangkat dengan pandangan semacam itu, Gus Dur menyimpulkan bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah Islam yang khas, yang diistilahkan sebagai “Islamku”. Tetapi Gus
Dur menyatakan, “Islamku” atau “Islamnya Gus Dur” perlu dilihat sebagai rentetan pengalaman pribadi yang perlu diketahui
oleh orang lain, tetapi tidak dapat dipaksakan kepada orang lain.
Sementara yang dimaksud dengan “Islam Anda”, lebih merupakan apresiasi dan refleksi Gus Dur terhadap tradisionalisme atau
ritual keagamaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks
ini, Gus Dur memberikan apresiasi terhadap kepercayaan dan
tradisi keagamaan sebagai “kebenaran” yang dianut oleh komunitas masyarakat tertentu yang harus dihargai. Menurut Gus Dur,
“kebenaran” semacam itu berangkat dari keyakinan, dan bukan
dari pengalaman. Keberagamaan semacam itu diformulasikan
oleh Gus Dur sebagai “Islam Anda” yang juga perlu dihargai. Adapun perumusan tentang “Islam Kita” lebih merupakan derivasi
dari keprihatinan seseorang terhadap masa depan Islam yang
didasarkan pada kepentingan bersama kaum Muslimin. Visi tentang “Islam Kita” menyangkut konsep integratif yang mencakup
“Islamku” dan “Islam Anda”, dan menyangkut nasib kaum Muslimin seluruhnya. Dalam konteks ini, Gus Dur menyadari adanya
kesulitan dalam merumuskan “Islam Kita”. Itu sebab pengalaman yang membentuk “Islamku” berbeda bentuknya dari “Islam
Anda”, yang menyebabkan kesulitan tersendiri dalam mencari
formulasi atas “Islam Kita”. Tetapi persoalan mendasar dalam
konteks “Islam Kita” itu terletak pada adanya kecenderungan
sementara kelompok orang untuk memaksakan konsep “Islam
Kita” menurut tafsiran mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka
ingin memaksakan kebenaran Islam menurut tafsirannya sendiri. Monopoli tafsir kebenaran Islam seperti ini, menurut Gus
Dur bertentangan dengan semangat demokrasi.
Dari uraian yang secara agak panjang dipaparkan di sini,
menjadi jelas kiranya bahwa perjalanan intelektual seorang
Abdurrahman Wahid lebih merupakan “proses menjadi” (process
of becoming), daripada “proses adanya” (process of being). Yang
menarik dan hampir jarang diketahui adalah, bahwa seorang Gus
Dur yang kita kenal sebagai pemikir liberal itu, di masa mudanya
juga tertarik pada pemikiran Ikhwanul Muslimin yang umumnya
sangat konsen dengan ideologisasi Islam. Tetapi setelah melalui
pendidikan dan pengalaman pribadi, akhirnya mengantarkannya menjadi cendekiawan Muslim liberal, yang secara sadar
menolak konsepsi atau gerakan yang mengusung tema-tema yang berorientasi pada ideologisasi Islam. Penjelasan ini cukup
penting karena ia bisa menjadi semacam perspektif bahwa pendidikan, bacaan, dan pengalaman seseorang bisa merubah pandangan hidup dan pemikirannya. Namun demikian, yang perlu
dicatat adalah bahwa seseorang tidak seharusnya memonopoli
atau memaksakan penafsirannya kepada orang.
Benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus
Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi,
dan syari’atisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat bahwa kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk
berkembang secara kultural. Dengan kata lain, Gus Dur lebih
memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi (culturalization). Itu terlihat dengan jelas, misalnya, dari serial tulisannya
yang berjudul “Islam: Ideologis Ataukah Kultural”. Ketidak
setujuan Gus Dur terhadap formalisasi Islam itu terlihat, misalnya terhadap tafsiran ayat Al Qur’an yang berbunyi “udhkuluu
fi al silmi kaffah”, yang seringkali ditafsirkan secara literal oleh
para pendukung Islam formalis. Jika kelompok Islam formalis
yang menafsirkan kata “al silmi” dengan kata “Islami”, Gus Dur
menafsirkan kata ini dengan “perdamaian”. Menurut Gus
Dur, konsekuensi dari kedua penafsiran itu punya implikasi luas.
Mereka yang terbiasa dengan formalisasi, akan terikat kepada
upaya-upaya untuk mewujudkan “sistem Islami” secara fundamental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat. Akibatnya,
pemahaman seperti ini akan menjadikan warga negara non-Muslim menjadi warga negara kelas dua. Bagi Gus Dur, untuk menjadi Muslim yang baik, seorang Muslim kiranya perlu menerima
prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam
secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan,
menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan ujian. Konsekuensinya, mewujudkan sistem
Islami atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang
untuk diberi predikat sebagai muslim yang taat.
Masih dalam konteks formalisasi, Gus Dur juga menolak
ideologisasi Islam. Bagi Gus Dur, ideologisasi Islam tidak sesuai
dengan perkembangan Islam di negara kita , yang dikenal dengan
“negerinya kaum Muslim moderat”. Islam di negara kita , menurut
Gus Dur, muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju
ideologis. Di sisi lain, Gus Dur melihat bahwa ideologisasi Islam
mudah mendorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teksteks keagamaan. Implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam
adalah upaya-upaya sejumlah kalangan untuk menjadikan Islam
sebagai ideologi alternatif terhadap Pancasila, serta keinginan
sejumlah kelompok untuk memperjuangkan kembalinya Piagam
Jakarta. Juga langkah-langkah sejumlah pemerintah daerah dan
DPRD yang mengeluarkan peraturan daerah berdasarkan “Syari
’at Islam”. Menurut Gus Dur, upaya-upaya untuk “meng-Islamkan” dasar negara dan “men-syari’atkan” peraturan-peraturan
daerah itu bukan saja a-historis, tetapi juga bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Mengutip pendapat mantan Hakim Agung Mesir, Al-Ashmawi, upaya syari’atisasi semacam itu
menurut ilmu fiqh termasuk dalam tahsil al-hasil (melakukan
hal yang tidak perlu sebab sudah dilakukan).
Penolakan Gus Dur terhadap formalisasi, ideologisasi, dan
syari’atisasi itu mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan
tentang negara Islam. Seperti sudah sering dinyatakannya, Gus
Dur secara tegas menolak gagasan negara Islam. Sikapnya ini
didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup
(syari’at) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Gus
Dur mengklaim, sepanjang hidupnya ia telah mencari dengan siasia makhluk yang bernama negara Islam itu. “Sampai hari ini belum juga saya temukan. Sehingga saya sampai pada kesimpulan
bahwa Islam memang tidak memiliki konsep tentang bagaimana
negara dibuat dan dipertahankan”. Dasar yang dipakai oleh Gus
Dur ada dua. Pertama, bahwa Islam tidak mengenal pandangan
yang jelas dan pasti tentang pergantian kepemimpinan. Itu terbukti ketika Nabi Muhammad wafat dan digantikan oleh Abu
Bakar. Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah dilakukan melalui bai’at oleh para kepala suku dan wakil-wakil kelompok ummat yang ada pada waktu itu. Sedangkan Abu bakar
sebelum wafat menyatakan kepada kaum Muslimin, hendaknya
Umar bin Khattab yang diangkat mengantikan posisinya. Ini berarti, sistem yang dipakai adalah penunjukkan. Sementara Umar
menjelang wafatnya meminta agar penggantinya ditunjuk melalui sebuah dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Lalu dipilihlah Utsman bin Affan untuk menggantikan Umar. Selanjutnya,
Utsman digantikan Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan
juga telah menyiapkan anak cucunya untuk menggantikan Ali.
Sistem ini kelak menjadi acuan untuk menjadikan kerajaan atau marga yang menurunkan calon-calon raja dan sultan dalam sejarah Islam.
Kedua, besarnya negara yang diidealisasikan oleh Islam,
juga tak jelas ukurannya. Nabi Muhammad meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum
Muslimin. Tidak ada kejelasan, misalnya, negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks negara-bangsa (nation-state), ataukah hanya negara-kota (city-state).
Dari paparan ini di atas, cukup jelas kiranya ke arah
mana alur pemikiran politik Gus Dur. Dalam konteks ini, sebagai
warga Muhammadiyah yang mengamati perkembangan pemikiran
politiknya, pada tahun 1995 lewat buku Pemikiran dan Aksi Islam negara kita , saya mengelompokan pemikirannya ke dalam
tipologi pemikiran substantif-inklusif.4
Jika dalam aksi atau tindakan politiknya, mungkin saya bisa punya persepsi lain, dalam
hal pemikiran politik saya tetap berpendapat bahwa pemikiran
politik Gus Dur sampai sekarang tetap tidak berubah. Untuk
itu, ada baiknya jika terlebih dahulu kita memahami paradigma
pemikiran politik Islam yang berkembang di dunia kaum Muslimin. Paradigma itu adalah (1) substantif-inklusif, dan (2) legaleksklusif.
Dalam paradigma pemikiran politik Islam yang substantifinklusif, secara umum ditandai dengan keyakinan bahwa Islam
sebagai agama tidak merumuskan konsep-konsep teoritis yang
berhubungan dengan politik. Adapun ciri-ciri yang menonjol pada pemikiran substantif-inklusif ada empat. Pertama, adanya
kepercayaan yang tinggi bahwa Al Qur’an sebagai kitab suci berisikan aspek-aspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan
manusia, tetapi tidak menyediakan detil-detil pembahasan terhadap setiap obyek permasalahan kehidupan. Argumen utama
dari pendukung paradigma ini adalah, bahwa tak ada satu pun
dari ayat Al Qur’an yang menekankan bahwa ummat Islam harus
mendirikan negara Islam. Mereka berpendapat bahwa Al Qur’an
memang memuat kandungan etika dan panduan moral untuk
memimpin masyarakat politik, termasuk bagaimana menegakkan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan lain-lain.5
Kedua, pendukung paradigma substantif-inklusif meyakini bahwa missi utama Nabi Muhammad bukanlah untuk membangun kerajaan atau negara. Tetapi seperti halnya para nabi
lainnya, yakni mendakwahkan nilai-nilai Islam dan kebajikan. Dengan demikian missi Nabi Muhammad tidak perlu diartikan
sebagai langkah untuk membangun negara atau sistem pemerintahan tertentu. Meminjam ungkapan pemikir Mesir Husain
Fawzi al-Najjar, concern utama Nabi Muhammad ketika menyebarkan Islam adalah lebih tertuju pada upaya untuk mempersatukan para pemeluk Islam (al- wihda al-ijtimai) daripada membangun sebuah negara atau sistem pemerintahan.6 Kenyataan
kemudian terbukti bahwa sesudah Nabi Muhammad wafat, diperlukan waktu beberapa hari untuk melakukan musyawarah
dan memutuskan siapa penggantinya, yang kemudian terpilih
Abu Bakar. Sementara pergantian kepemimpinan para sahabat
Nabi Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali semuanya melalui sistem dan mekanisme yang berbeda.
Ketiga, para proponen paradigma substantif-inklusif berpendapat bahwa syari’at tidak dibatasi atau terikat oleh negara.
Demikian pula syari’at tidak berkaitan dengan gagasan-gagasan
spesifik yang berkaitan dengan pemerintahan atau sistem politik. sebab Islam dipandang semata-mata sebagai agama dan
bukannya sebuah sistem yang berkaitan dengan tertib negara,
syari’at seharusnya tidak diletakkan ke dalam domain negara,
tetapi tetap diletakkan dalam kerangka sistem keimanan Islam.
Menurut Al Ashmawi, mantan hakim agung Mesir yang juga
dikenal sebagai pemikir progressif Islam terkemuka, bahkan Al
Qur’an sendiri menetapkan bahwa syari’at adalah sumber dari
orientasi etika Islam dan tidak berhubungan dengan ajaran yang
berkaitan dengan bentuk-bentuk negara. Syari’at adalah sebuah
jalan dan gerak langkah yang selalu dinamis dan membawa manusia pada tujuan-tujuan yang benar dan orientasi-orientasi etis
yang mulia.7
Keempat, refleksi para pendukung paradigma substantifinklusif dalam bidang politik pada dasarnya adalah melakukan
upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik
yang menekankan manifestasi substansial dari nilai–nilai Islam
(Islamic injuctions) dalam aktivitas politik. Bukan saja dalam penampilan, tetapi juga dalam format pemikiran dan kelembagaan
politik mereka. Dalam konteks negara kita , paradigma ini cenderung untuk mengetengahkan eksistensi dan artikulasi nilai–nilai
Islam yang intrinsik, dalam rangka mengembangkan wajah kultural Islam dalam masyarakat negara kita modern. Proses kulturalisasi telah melahirkan kompetisi di antara berbagai kekuatan kultural, dan Islam hanyalah satu diantara kekuatan kultural yang
bersaing itu. Agar supaya Islam dapat memenangkan persaingan
itu, proses Islamisasi haruslah mengambil bentuk kulturalisasi
dan bukannya politisasi.8
Sementara itu, paradigma legal-eksklusif mempunyai ciriciri umum sebagai berikut. Pertama, paradigma legal-eksklusif
dalam pemikiran politik Islam meyakini bahwa Islam bukan
hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap,
sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang
mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan ummat
manusia. Para pendukung paradigma legal-eksklusif sepenuhnya
yakin bahwa Islam adalah totalitas integratif dari “tiga d”: din
(agama), daulah (negara), dan dunya (dunia). Konsekuensinya,
seperti dikemukakan oleh Nazih Ayubi, paradigma ini didisain
untuk mengaplikasikan semua aspek kehidupan, mulai dari
soal remeh temeh masalah keluarga hingga menjangkau semua
permasalahan ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.
Kedua, dalam realitas politik, pendukung paradigma legaleksklusif mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk mendirikan
negara Islam. Paradigma ini menghendaki agar ummat Islam
selalu menjadikan kehidupan Nabi Muhammad dan para sahabatnya (khulafa ar rasyidun) dalam mengatur tatanan kemasyarakatan, dijadikan sebagai referensi utama dan modal untuk
mewujudkan “negara Islam yang ideal”, dan menganjurkan penolakan sistemik terhadap konsep-konsep politik Barat. Akibatnya,
paradigma ini mendorong ummat Islam untuk memperkuat identitas dan ideologi mereka sebagai “alternatif” terhadap sistemsistem yang dipandang sebagai bertentangan dengan Islam.
Ketiga, para pendukung paradigma ini meyakini bahwa
syari’at harus menjadi fundamen dan jiwa dari agama, negara,
dan dunia ini . Syari’at dengan demikian diinterpretasikan
sebagai Hukum Tuhan (Divine Law), dan harus dijadikan sebagai dasar dari negara dan konstitusinya, serta diformalisasikan
ke dalam seluruh proses pemerintahan, dan menjadi pedoman
bagi perilaku politik penguasa. Selanjutnya, paradigma ini juga
menegasikan adanya kedaulatan rakyat, tetapi lebih yakin terhadap kedaulatan Tuhan, yang implementasinya harus didukung
oleh syari’at. Konsekuensinya, paradigma ini menerapkan visi
dan missi yang menegaskan dan mewajibkan setiap Muslim untuk menegakkan syari’at, apa pun yang akan terjadi, sebagai alternatif terhadap sistem-sistem dunia yang berlaku.
Keempat, dalam konteks politik paradigma legal-eksklusif
menunjukkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cenderung menopang bentuk-bentuk masyarakat politik Islam yang
dibayangkan (imagined Islam polity); seperti mewujudkan suatu
“sistem politik Islam,” munculnya partai Islam, ekspresi simbolis dan idiom-idiom politik, kemasyarakatan, budaya Islam, serta
eksperimentasi ketatanegaraan Islam. Dalam konteks negara kita ,
pendukung paradigma legal-eksklusif sangat menekankan ideologis atau politisasi yang mengarah pada simbolisme keagamaan
secara formal.
Dengan memahami kedua paradigma pemikiran politik Islam ini di atas, kita akan bisa memahami alasan Gus Dur
menolak formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam tersebut
di atas. Jelas kiranya bahwa sebagai pemikir Islam substantifinklusif, kritik-kritiknya banyak diarahkan kepada pada pendukung paradigma legal-eksklusif, yang banyak dianut oleh kelompok Islam radikal, fundamentalis, maupun kelompok-kelompok
revivalis lainnya. Mengenai hal ini, cukup menarik kiranya pandangan John L.Esposito, guru besar kajian agama dan hubungan
internasional dari Georgetown University, Washington, tentang
Gus Dur. Berikut pandangan Esposito tentang Gus Dur yang saya
kutip agak panjang dari naskah aslinya, sebagai berikut:
“Wahid believes that contemporary Muslims are at critical crossroad. Two choices or paths confront them: to pursue a traditional, static legal-formalistic Islam or to reclaim and refashion a
more dynamic cosmopolitan, universal, pluralistic worldview. In
contrast to many “fundamentalists” today, he rejects the nation
that Islam should form the basis for the nation-state’s political
or legal system, a nation he characterizes as a Middle Eastern
tradition, alien to negara kita . negara kita n Muslims should apply
a moderate, tolerant brand of Islam to their daily lives in a society where “a Muslim and a non-Muslim are the same”, a state in
which religion and politics are separate. Rejecting legal-formalism or fundamentalism as an aberration and a major obstacle to
Islamic reform and to Islam’s response to global change, Wahid
has spent his life promoting the development of a multifaceted
Muslim identity and a dynamic Islamic tradition capable of responding to the realities of modern life. Its cornerstones are free
will and the right of all Muslims, both laity and religious scholars
(ulama) to “perpetual reinterpretation” (ijtihad) of the Quran
Pandangan Esposito itu layak untuk dipertimbangkan,
sebab ia muncul dari kajian akademis seorang pakar terkemuka
yang dikenal punya perspektif empatik terhadap kajian Islam.
Tapi setajam apa pun kritik yang dilontarkan terhadap kelompok tersebut, Gus Dur tetap menghargai perbedaan pendapat.
Hanya saja, ketika sebagain dari kelompok itu menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya, ia nampak tidak mau kompromi. Ia memang anti kekerasan.
HAM dan Perlunya Pembaruan Fiqh
Dalam melihat hubungan antara Islam dan hak asasi manusia, Gus Dur mempersoalkan klaim sejumlah pemikir dan pemimpin dunia Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang
paling demokratis dan amat menghargai hak asasi manusia.
Ironisnya, kenyataan yang ada justru berbeda dari klaim mereka.
Di negeri-negeri Muslim pelanggaran berat terhadap hak asasi
manusia justru banyak terjadi. Jadi apa yang mereka klaim itu tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi, pemikiran yang tergolong
berani tentang hak asasi manusia justru disuarakan oleh Gus Dur
tentang ketidak sesuaian pandangan fiqh/ hukum Islam dengan
deklarasi universal hak asasi manusia. Jika deklarasi HAM mengakui kebebasan untuk berpindah agama, hukum Islam sebaliknya memberikan ancaman hukuman yang keras terhadap mereka yang berpindah agama atau murtad. Menurut hukum Islam
yang sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar kaum
Muslimin, orang yang murtad dapat dihukum mati. Lalu apa
kata Gus Dur? “Kalau ketentuan fiqh seperti ini diberlakukan di
negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia negara kita yang
berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965 haruslah dihukum mati,” tandasnya.
Pendapat Gus Dur di atas cukup tajam dan berani. Namun
sayangnya Gus Dur kurang memberikan elaborasi yang lebih
subtil tentang ketentuan fiqh yang dikritiknya itu. Padahal seandainya ia memberikan elaborasi lebih dalam tentang soal itu,
kritiknya mungkin akan lebih mengena. Dalam konteks ini, saya
teringat Ibrahim Moosa, seorang pemikir Islam progresif asal
Afrika Selatan. Menurut Moosa, hukum Islam klasik memangmelarang orang Islam pindah agama ke agama lain. Ketentuan
ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 18 deklarasi hak asasi
manusia (HAM) universal yang menghendaki adanya suatu kebebasan berpikir, berbuat dan beragama, termasuk di dalamnya
hak untuk mengubah agama dan kepercayaan. Padahal, ketentuan hukum Islam, perpindahan agama adalah murtad (riddah)
dan menurut mayoritas madzhab orang yang murtad itu diancam dengan sanksi hukuman mati.10
Namun menurut Moosa, pandangan seperti ini berasal dari
kesepakatan ulama masa pertengahan yang menganggap murtad
sebagai perlawanan terhadap agama dan hukumannya telah ditetapkan dalam hukum. Sementara para pemikir Islam progresif,
termasuk Moosa tentunya, berpendapat bahwa murtad tidak berarti perlawanan terhadap agama dan sebagai sesuatu yang dapat
diberi sanksi. Selanjutnya Moosa berpendapat, ketentuan tentang murtad ini tidaklah bersumber pada Al Qur’an, tetapi
dari Hadits. Namun Moosa berpendapat bahwa Hadits tersebut
dapat diragukan kesahihannya sebab kemungkinan terjadi kesalahan transmisi atau pemahaman. Pada akhirnya, Moosa menyimpulkan, semangat ajaran Al Qur’an memberikan kebebasan
yang luas bagi seseorang untuk memilih kepercayaannya.11
Contoh lain yang dikemukakan oleh Gus Dur adalah soal
perbudakan (slavery) yang banyak menghiasi Al Qur’an dan
Hadits. Sekarang, perbudakan tidak akui bangsa Muslim manapun, sehingga ia lenyap dari perbendaharaan pemikiran kaum
Muslimin. sebab itu Gus Dur berpendapat, ummat Islam mau
tak mau harus melakukan ijtihad untuk merubah ketentuan fiqh
yang sudah berabad-abad diikuti itu. Dengan berpijak pada firman Allah dalam ayat suci Al Qur’an yang menyatakan, “Kullu
man ’alayha fâ nin. Wa yabqâ wajhu rabbika” (Tiada yang tetap
dalam kehidupan kecuali wajah Tuhan), Gus Dur lalu merujuk
pada ketentuan ushul fiqh yang berbunyi, al-hukmu yadûru
ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman (hukum agama sepenuhnya
tergantung kepada sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri). Apa yang dilakukan Gus Dur sebenarnya
adalah sebuah usaha untuk memberikan substansiasi bagi fiqh
itu sendiri, dengan tetap berpijak pada fundamen yang telah digariskan oleh tujuan yang termaktub dalam nilai-nilai syari’at
(maqâshid al-syarî’ah).
Apresiasi Gus Dur terhadap hak asasi manusia ternyata bukan dalam konsep saja, tetapi juga implementasinya dalam
praktek, termasuk di negara kita . Itu sebabnya Gus Dur juga menyuarakan pembelaan terhadap sejumlah kasus tertentu yang
menyangkut hak asasi manusia seperti hak-hak kaum minoritas, penghormatan terhadap non-Muslim, hingga kasus-kasus
yang dipandangnya sebagai “ketidakadilan” sejumlah kelompok
kaum Muslimin terhadap saudara sesama Muslim lainnya. Ia,
misalnya, tanpa ragu membela Ulil Abshar-Abdala, intelektual
muda NU yang juga tokoh muda “Islam liberal”. Seperti diketahui, sejumlah ulama atau aktifis Islam tertentu yang menilai
pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan sebab itu
layak dihukum mati. Yang menarik, sejumlah ulama dan tokoh
NU sendiri juga ada yang menilai pemikiran Ulil telah sesat. Menanggapi adanya kecaman terhadap Ulil itu, Gus Dur berprinsip
bahwa perbedaan pendapat harus dihargai dan tidak seharusnya
melahirkan ancaman atau kekerasan. Oleh sebab itu ia mengkritik keras mereka yang dengan gampang melayangkan tuduhan-tuduhan berat kepada Ulil, dan mengatakan bahwa fatwa hukuman mati itu sama sekali tidak berdasar.
Demikian pula dalam kasus Inul Daratista. Perempuan
lugu dan sederhana ini dicerca keras oleh sebagian tokoh agama,
majelis ulama dan seniman sebab “goyang ngebor”nya yang dianggap melanggar batas-batas kesusilaan umum. Seperti biasa, para
tokoh agama dan ulama itu memakai justifikasi fatwa-fatwa
keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Sementara itu, seorang seniman besar semacam H. Rhoma Irama, atas
nama menjaga kesucian seni dan “moralitas” seniman juga ikut
menggempur Inul. Walaupun Inul membela diri dengan mengatakan bahwa “goyang ngebor” nya adalah bagian dari kreativitas
dan improvisasi seni dan usaha untuk mencari sesuap nasi, para
ulama, tokoh Islam, dan H. Rhoma Irama tetap tidak bisa menerima alasannya. Atas nama agama dan moralitas seni, mereka menghangatkan opini publik yang menista si “Ratu Ngebor”,
Inul Daratista. Begitu gencarnya kecaman dan cercaan terhadap
perempuan lugu anggota Fatayat NU yang pintar mengaji ini,
sehingga hampir-hampir saja Inul putus asa dan menyerah.
Dan kalau saja Inul menyerah, dapat diduga karirnya sebagai penyanyi akan tamat. Itu berarti, ia akan kehilangan nafkah yang
menjadi tulang punggung kehidupan keluarganya. Di tengah
kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran kecaman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pembelaan Gus Dur di dasarkan pada melindungi hak asasi “wong
cilik” bernama Inul dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas
moralitas kesenian yang agak represif. Sementara banyak tokoh
agama yang tidak hirau terhadap soal atau bahkan mengambil
sikap diam, Gus Dur tampil dengan pandangan yang melawan
arus demi membela hak asasi Inul.
Dari pandangan dan impressinya terhadap hak asasi manusia itu, jelas Gus Dur sebagai tokoh Islam punya paradigma sendiri dalam memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai hak
asasi manusia.
Antara Demam Syari’at dan Kapitalisasi
Dalam konteks ekonomi-politik, implikasi dari penolakan
Gus Dur terhadap ideologisasi, formalisasi, dan politisasi Islam
sebagai syari’at (jalan atau petunjuk ummat manusia) terlihat
dari ketidak setujuannya terhadap gagasan ekonomi Islam. Menurut Gus Dur, gagasan ekonomi Islam terlalu memfokuskan pada
aspek-aspek normatif, dan kurang mempedulikan aplikasinya
dalam praktek, yang justru diperlukan bagi implementasi nilainilai ini di masyarakat. Fokus kajian ekonomi Islam, menurut Gus Dur, lebih banyak diarahkan pada persoalan sekitar
bunga bank, asuransi, dan sejenisnya. Bagi Gus Dur, prinsip “ekonomi Islam” adalah pendekatan parsial yang memanfaatkan kata
Islam sebagai predikat atau simbol saja. Padahal yang terpenting
bukanlah nama atau simbol itu sendiri, tetapi substansinya. Untuk itu, tanpa ragu Gus Dur tanpa ragu mendukung “ekonomi
kerakyatan” baik dalam konsepsi maupun aplikasinya. Dukungannya terhadap ekonomi kerakyatan didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, dalam konsepsi Islam, orientasi ekonomi
haruslah memperjuangkan nasib rakyat kecil serta kesejahteraan rakyat banyak, yang dalam teori ushul fiqh dinamakan al
maslahah al ammah. Kedua, mekanisme yang digunakan untuk
mencapai kesejahteraan itu tidaklah ditentukan format dan bentuknya. Oleh sebab itu, acuan dan praktek perdagangan bebas
dan efisiensi yang dibawakan oleh sistem kapitalisme tidaklah
bertentangan dengan Islam, sebab Islam sendiri mengajarkan
fastabiqu al khairat (berlomba dalam kebaikan). Bahkan dalam
persaingan dan perlombaan yang sehat, akan dihasilkan kreatifitas dan efisiensi yang justru menjadi inti dari praktek ekonomi yang sehat pula. Dalam bahasa Gus Dur, ummat Islam “bisa menerima pelaksanaan prinsip-prinsip Islam dalam orientasi dan mekanisme ekonomi kapitalistik tanpa harus memeluk kapitalisme
itu sendiri”. Yang ditentang oleh Islam adalah orientasi kapitalistik yang hanya mengutamakan pengusaha besar dan pemilik
modal. Sebab dalam Islam yang terpenting justru kesejahteraan
rakyat secara keseluruhan.
Dalam konteks ini di atas, ia tidak setuju dengan pandangan yang menggeneralisasi bahwa setiap bunga bank sebagai
riba. Mengutip pendapat Yusuf Qardhawi, jika bunga bank dipungut dari upaya non-produktif, maka ia dapat dikatakan riba.
Tetapi jika bunga bank ini merupakan bagian dari sebuah
upaya produktif, maka ia bukan riba, tetapi merupakan bagian
dari ongkos produksi saja. Selanjutnya, Gus Dur juga mengkritik
kecenderungan yang ia namakan sebagai “demam syari’at” yang
kini banyak dilakukan oleh bank-bank swasta di mana pemilik
sahamnya sebagian adalah non-Muslim. Menurut Gus Dur, kecenderungan seperti itu sebab kurangnya pengetahuan mereka
tentang hukum Islam. Jelas bahwa Gus Dur tidak setuju dengan
langkah-langkah yang mengarah pada formalisasi syari’at Islam
seperti itu.
Namun lepas dari ketidak setujuan Gus Dur kepada “demam syari’at” bank-bank swasta, perkembangan bank-bank yang
memanfaatkan jasa syari’at itu menurut laporan sejumlah media massa nasional ternyata cukup bagus. Bahkan permodalan,
likuiditas, dan kinerja bank-bank syari’at disebutkan mengalami
kenaikan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir
ini. Untuk itu, tentu saja masih diperlukan data dan penelitian
yang valid. Yakni penelitian yang memverifikasi apakah demam
syari’at yang melanda bank-bank konvensional itu, bagian dari
peningkatan kesadaran masyarakat terhadap implementasi syari
’at, ataukah justru hal itu semacam bentuk “kapitalisasi syari’at”
yang lebih didasarkan pada motif-motif ekonomi yang tunduk
pada kepentingan pasar.
Islam Radikal dan Pendangkalan Agama
Dalam soal pandangan Islam terhadap kekerasan dan terorisme, sikap Gus Dur sangat jelas: mengecam keras dan mengutuk penggunaan kekerasan oleh sejumlah kelompok Islam radikal. Menurut Gus Dur, satu-satunya alasan penggunaan kekerasan yang bisa ditolerir oleh Islam adalah jika kaum Muslimin diusir
dari tempat tinggal mereka (idza ukhriju min diyarihim). Ini pun
masih diperdebatkan oleh sebagian ulama. Misalnya diperdebatkan, bolehkah kaum membunuh orang lain jika jiwanya sendiri
tidak terancam. Tidak tanggung-tanggung, kecaman Gus Dur dialamatkan kepada kelompok-kelompok Islam “garis keras” yang
beberapa waktu lalu sering unjuk rasa dengan membawa pedang,
celurit, atau bahan peledak lain hingga mereka yang melakukan
sweeping terhadap warga asing (terutama AS) dan kafe-kafe
minuman di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.12
Menurut Gus Dur, lahirnya kelompok-kelompok Islam
garis keras atau radikal ini tidak bisa dipisahkan dari dua
sebab. Pertama, para penganut Islam garis keras ini mengalami semacam kekecewaan dan alienasi sebab “ketertinggalan” ummat Islam terhadap kemajuan Barat dan penetrasi
budayanya dengan segala eksesnya. sebab ketidakmampuan
mereka untuk mengimbangi dampak materialistik budaya Barat,
akhirnya mereka memakai kekerasan untuk menghalangi
ofensif materialistik dan penetrasi Barat. Kedua, kemunculan
kelompok-kelompok Islam garis keras itu tidak terlepas dari
sebab adanya pendangkalan agama dari kalangan ummat Islam
sendiri, khususnya angkatan mudanya. Pendangkalan itu terjadi
sebab mereka yang terpengaruh atau terlibat dalam gerakangerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari
mereka yang belatar belakang pendidikan ilmu-ilmu eksakta dan
ekonomi. Latar belakang seperti itu menyebabkan fikiran mereka penuh dengan hitungan-hitungan matematik dan ekonomis
yang rasional dan tidak ada waktu untuk mengkaji Islam secara
mendalam. Mereka mencukupkan diri dengan interpretasi keagamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau
tekstual. Bacaan atau hafalan mereka terhadap ayat-ayat suci Al
Qur’an dan Hadits dalam jumlah besar memang mengagumkan.
Tetapi pemahaman mereka terhadap substansi ajaran Islam lemah sebab tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang ada,
kaidah-kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap
teks-teks yang ada.13
Pandangan Gus Dur ini di atas, sebenarnya tertuju
kepada kelompok-kelompok yang dalam sosiologi agama bisa dikategorikan sebagai neo-fundamentalisme. Ini mengingatkan saya
pada analisis Fazlur Rahman yang juga dikutip oleh Cak Nur terhadap kebangkitan neo-fundamentalis Islam. Rahman menilai,
keberadaan neo-fundamentalisme Islam di berbagai negeri Muslim, sebenarnya bukanlah memberikan alternatif atau tawaran
yang baik bagi masa depan Islam itu sendiri. Ini karena neofundamentalisme sebenarnya mengidap penyakit yang cukup
berbahaya, yakni mendorong ke arah pemiskinan intelektual
sebab pandangan-pandangan literal dan tekstual yang tidak
memberikan apresiasi terhadap kekayaan khasanah ke-Islaman
klasik yang kaya dengan alternatif pemikiran. Selain itu, Rahman
menilai kelompok neo-fundamentalis umumnya memiliki pemahaman yang superfisial, anti intelektual dan pemikirannya tidak
bersumber dari ruh Al Qur’an dan budaya intelektual tradisional
Islam.14 Bagaimana pun pengamatan Gus Dur dan Fazlur Rahman itu layak untuk dipertimbangkan.
Pribumisasi, Bukan Arabisasi
Dalam soal Islam dan kaitannya dengan masalah sosial
budaya, menarik kiranya untuk dikemukakan kritik Gus Dur
terhadap gejala yang ia sebut sebagai “Arabisasi”. Kecenderungan semacam itu nampak, misalnya, dengan penamaan terhadap
aktivitas keagamaan dengan menggunakan bahasa Arab. Itu terlihat misalnya dengan kebanggaan orang untuk memakai
kata-kata atau kalimat bahasa Arab untuk sesuatu yang sebenarnya sudah lazim dikenal. Gus Dur menunjuk penyebutan Fakultas Keputrian dengan sebutan kulliyatul bannat di UIN. Juga
ketidakpuasan orang awam jika tidak memakai kata “ahad”
untuk menggantikan kata “minggu”, dan sebagainya. Seolaholah kalau tidak memakai kata-kata berbahasa Arab tersebut, akan menjadi “tidak Islami” atau ke-Islaman seseorang akan
berkurang sebab nya. Formalisasi seperti ini, menurut Gus Dur,
merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri ketika menghadapi “kemajuan Barat” yang sekuler. Maka jalan satu-satunya
adalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk Arabisasi yang diyakini sebagai langkah ke arah Islamisasi. Padahal
Arabisasi bukanlah Islamisasi.
Sebenarnya kritik Gus Dur terhadap “Arabisasi” itu sudah
diungkapkan pada tahun 1980-an, yakni ketika ia mengungkapkan gagasannya tentang “pribumisasi Islam”. Ia meminta agar
wahyu Tuhan dipahami dengan mempertimbangkan faktor–faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya. Sehubungan dengan hal ini, ia melansir apa yang disebutnya
dengan “pribumisasi Islam” sebagai upaya melakukan “rekonsiliasi” Islam dengan kekuatan–kekuatan budaya setempat, agar
budaya lokal itu tidak hilang. Di sini pribumisasi dilihat sebagai
kebutuhan, bukannya sebagai upaya menghindari polarisasi antara agama dengan budaya setempat. Pribumisasi juga bukan
sebuah upaya mensubordinasikan Islam dengan budaya lokal,
sebab dalam pribumisasi Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Pribumisasi Islam juga bukan semacam “jawanisasi” atau
sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukannya
meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu
menampung kebutuhan–kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman
nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan
qâidah fiqh. Sedangkan sinkretisme adalah usaha memadukan
teologi atau sistem kepercayaan lama, tentang sekian banyak hal
yang diyakini sebagai kekuatan gaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam, yang lalu membentuk panteisme.15
Mencari Perdamaian
Masalah terakhir yang dibahas Gus Dur dalam kumpulan
tulisan ini adalah Islam dan hubungannya dengan pedamaian
dan masalah-masalah internasional. Dalam kumpulan tulisan ini
nampak jelas sikap Gus Dur terhadap perdamaian dunia mendorong upaya-upaya ke arah perwujudan perdamaian di dunia.
Tanpa ragu Gus Dur mengecam invasi AS ke Irak yang kemudian berhasil menumbangkan rezim Saddam Hussein. Peperangan yang tidak seimbang itu memang berhasil menumbangkan
rezim diktator Saddam Hussein. Bahkan dalam perkembangannya kemudian, militer AS berhasil menangkap hidup-hidup Saddam Hussein. Ini mungkin tidak menjadi prediksi Gus Dur ketika ia menurunkan kolom-kolomnya di media massa, dan juga
perhitungan para pengamat, bahwa Saddam akhirnya tertangkap dalam keadaan yang penuh dengan ironi. Tetapi masalahnya
tidak akan berhenti di sana. Gus Dur pernah memperkirakan,
masalah-masalah baru akan terus bermunculan, seiring dengan
kondisi obyektif yang ada di Irak pasca pendudukan AS dan tentara sekutu di negeri Seribu Satu Malam itu. Dan ternyata apa yang terjadi di Irak sekarang adalah sebuah drama peperangan,
pendudukan, dan perlawanan yang sepertinya tak berujung.
Ada beberapa hal lain tentang masalah internasional yang
disorot oleh Gus Dur, seperti kritiknya terhadap mantan Perdana
Menteri (kini Menteri Senior) Singapura Lee Kuan Yew yang dinilainya terlalu provokatif dan mencampuri urusan dalam negeri
negara kita . Lee juga dikritik oleh Gus Dur sebab pandangannya yang stereotipe dan agak misleading terhadap Islam Sunni
di negara kita . Namun Gus Dur sadar pandangan Lee yang salah
terhadap Islam di negara kita itu sebab kurangnya pengetahuan
mantan PM Singapura itu tentang dinamika dan perkembangan
Islam di negara kita .
Memang ada masalah internasional lain yang dibahas oleh
Gus Dur, tetapi dalam kumpulan tulisannya kali ini ia lebih menyorot perlunya upaya-upaya untuk mengembangkan dunia
yang damai dan jika mungkin jauh dari peperangan dan kekerasan. Ia memang concern dengan perdamaian dunia, dan percaya
bahwa agama maupun tokoh-tokohnya bisa berperan aktif dalam
mengusahakan perdamaian dunia. Tetapi, seperti sebuah judul
tulisannya dalam buku ini, “Dicari Perdamaian, Perang Yang
Didapat”. Ada nada getir dalam tulisannya itu. Dan seperti halnya Gus Dur, kita juga tidak tahu akan seperti apa masa depan
sejarah dunia di abad ke 21 jika perang menjadi alternatif yang
gampang dicetuskan, ketimbang usaha-usaha kolektif untuk mewujudkan perdamaian.
Sebuah Bingkai Pemikiran
Bagi mereka yang mengikuti secara intens pemikiran politik Gus Dur, buku ini memang belum bisa memetakan bingkai
pemikirannya dengan utuh. Bisa jadi sebab cakupan persoalan
yang dibahas cukup luas dan beragam, sehingga agak sulit untuk
menganalisis secara terstruktur dan lebih memfokus. Demikian
pula bagi pembaca yang ingin mendapatkan pembahasan yang
tuntas, apalagi dengan mengidealisasikan penggunaan disiplin
akademis yang ketat, jelas tidak atau belum mendapatkannya
di sini. Sebab buku ini adalah kumpulan kolom dan artikel yang
dibatasi oleh aktualitas peristiwa, waktu penulisan, dan ketersediaan halaman media tempat Gus Dur menuliskan gagasangagasannya. Mudah-mudahan dengan penerbitan kumpulan
tulisan ini akan memudahkan Anda memahami konstruk dan prisma pemikiran Gus Dur yang luas itu, sekalipun itu ditulis melalui kolom-kolom lepas di berbagai media.
Akhirnya dengan terus terang saya nyatakan bahwa sekalipun buku ini memuat pemikiran penting dan visioner, tentu tidak terlepas dari kekurangan. Lazimnya sebagai sebuah kumpulan tulisan, ada sejumlah repetisi atau pengulangan baik dalam
ide maupun penyajian di sana-sini. Pengulangan itu dimungkinkan terjadi sebab meskipun tema pokok atau topik yang diulas
berbeda judulnya, substansi dan missi yang disampaikan kemungkinan menggunakan referensi yang sama. Sementara itu,
produktivitas Gus Dur sebagai penulis prolifik ternyata sangat
mencengangkan. Menurut penuturannya, dalam satu minggu
ia menulis antara dua atau tiga kali, bahkan terkadang hingga
empat kali, di media yang berbeda, baik nasional maupun lokal. Padahal kita tahu, meskipun sudah tidak menjabat sebagai
presiden, kesibukan tokoh yang satu ini tidaklah berkurang. Ia
masih sering melakukan perjalanan ke luar negeri atau berbagai
kota dan pelosok tanah air, baik untuk memenuhi undangan-undangan seminar atau pertemuan internasional, maupun untuk
menjadi penceramah dalam pengajian atau melakukan kegiatan
sosial-politiknya sebagai Ketua Dewan Syura PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).
Toh sesibuk apa pun, Gus Dur tetap meluangkan waktunya
untuk menulis artikel. Sebuah kegiatan yang tidak mudah dilakukan banyak oleh orang. Sebagai intelektual dan sekaligus pemimpin serta politisi, Gus Dur sangat menyadari pengaruh dari
ide-ide dan gagasan yang dituangkannya dalam bentuk tulisan.
Hal lain yang tak boleh dikesampingkan adalah leverage atau pengaruh Gus Dur di mata warga nahdliyyin dan publik negara kita
lainnya.
Bagaimana pun, paling tidak menurut saya selaku penyunting, tulisan-tulisan Gus Dur tetap enak dibaca dan gampang
dicerna. Mudah-mudahan ini bukanlah sebuah apologia sebab
ketidak sempurnaaan saya selaku penyunting. Wallahu alam bi
al sawab.
Sejumlah pemimpin partai-partai politik Islam, beberapa
tahun yang lalu, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita
tidak tepat dalam pandangan agama. Dasar anggapan itu
adalah ungkapan al-Qurân “Lelaki lebih tegak atas wanita (al-rijâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ)” (QS Al-Nisa [4]:34), yang dapat
diartikan menjadi dua macam. Pertama, lelaki bertanggung jaab fisik atas keselamatan wanita; dan kedua, lelaki lebih pantas menjadi pemimpin negara. Ternyata para pemimpin partai
politik Islam di atas memilih pendapat kedua itu, terbukti dari
ucapan mereka di muka umum. Anggapan bahwa wanita lebih
lemah, yang menjadi pendapat dunia Islam pada umumnya selama ini, dalam kenyataan justru menunjukkan sebaliknya.
Untuk melanjutkan anggapan ini digunakan beberapa sumber tekstual (‘adillah naqliyah). Seperti ungkapan “Wanita hanya
mempunyai separuh akal lelaki”, dan sumber-sumber sejenis.
Bahkan sebuah kutipan dari kitab suci al-Qurân dipakai dalam
hal ini, yaitu “Bagian pria (dalam masalah warisan) adalah dua
kali bagian wanita (Li al-dzakari mistlu hazzi al-untsayain)”
(QS al-Nisa [4]:11). Padahal kutipan itu hanya mengenai masalah waris-mewaris saja. sebab itu, dua pandangan di atas,
yang selalu menilai rendah wanita, masih umum dipakai orang
dalam dunia Islam.
Dalam tulisan ini, penulis ingin meluruskan hal itu agar
hak lelaki dan hak wanita menjadi semakin berimbang sebab
memang Islam menilai seperti itu. Firman Allah Swt dalam alQurân. “Sesungguhnya Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan
perempuan (Innâ khalaqnâkum min dzakarin wa untsa),” (QS
al-Hujurat [49]:13) mengisyaratkan persamaan seperti itu. Perbedaan pria dan wanita hanyalah bersifat biologis, tidak bersifat
institusional/kelembagaan sebagaimana disangkakan banyak
orang dalam literatur Islam klasik. Akibatnya, masyarakat pun
menjadi terpengaruh, termasuk kaum wanitanya sendiri.
Sewaktu masih menjadi Ketua Umum PBNU, penulis pernah didatangi seorang ulama Pakistan, sewaktu Benazir Bhutto
masih menjadi orang pertama dalam pemerintahan negeri tersebut. Ia meminta agar penulis membacakan surat Al-Fatihah bagi
bangsa Pakistan, agar mereka terhindar dari malapetaka. Katanya: "Bukankah Rasulullah Saw bersabda Tidak akan pernah sukses sebuah kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada
wanita?1
" Bukankah dengan naiknya Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri, nasib Pakistan akan seperti yang disampaikan
Rasulullah itu?’’ Penulis menjawab, bahwa dalam hal ini diperlukan penafsiran baru sesuai dengan perubahan yang terjadi?
Bukankah Nabi Muhammad Saw menunjuk kepada kepemimpinan Abad VII hingga IX Masehi di Jazirah Arab? Kepemimpinan
suku atau kaum, waktu itu memang berbentuk perseorangan (individual leadership), sedangkan sekarang kepemimpinan negara
justru dilembagakan?
Benazir Bhutto harus mengambil keputusan melalui sidang kabinet, dengan para menteri yang mayoritasnya pria. Dan,
kabinet tidak boleh menyimpang dari kebijakan parlemen, juga
mayoritas anggotanya adalah pria. Hingga, parlemen pun tidak
boleh menyimpang dari Undang-Undang Dasar, dengan penjagaan dan pengawalan dari Mahkamah Agung yang seluruhnya
beranggotakan kaum pria. Kata tamu Pakistan ini : "Anda
benar, namun saya minta Anda tetap membacakan surat Al-Fatihah untuk keselamatan bangsa Pakistan."
Apa yang digambarkan di atas menunjuk kepada suatu hal:
sulitnya mengubah sebuah pandangan yang telah berabad-abad
lamanya diikuti orang. Dalam hal ini, antara pandangan agama
Islam di mata orang-orang itu, dalam kenyataan berlawanan dengan apa yang dirumuskan oleh UUD. Seolah-olah terjadi perbenturan antara agama dan negara. Padahal, dalam kenyataan,
ribuan anak-anak perempuan ulama muslimin justru menjadi
sarjana S1 hingga S3, sebab UUD memungkinkan hal itu. Bukankah persamaan hak antara pria dan wanita dijamin oleh UUD
kita, termasuk dalam pendidikan?
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Sumatra Barat, mengeluarkan peraturan daerah yang melarang
warga masyarakat dari jenis wanita untuk keluar rumah tanpa
mahram (suami atau sanak keluarga yang tidak boleh dikawininya), setelah pukul 09.00 malam. Bukankah ini jelas melanggar
UUD, yang menyamakan kedudukan antara pria dan wanita di
muka undang-undang? sebab nya, sidang kabinet saat penulis menjadi Presiden telah memutuskan: Tidak diperkenankan
adanya peraturan daerah atau produk-produk lain hasil DPRD I
atau DPRD II, yang berlawanan dengan Undang-Undang Dasar.
Dalam hal ini, yang memiliki wewenang untuk menyatakan,
apakah sebuah produk DPRD ini melanggar UUD atau tidak mestinya adalah Mahkamah Agung. Jika tidak sah, otomatis
produk itu tidak berlaku lagi.
Jelaslah, memperjuangkan hak-hak wanita adalah pekerjaan yang masih berat di masa kini, hingga wajiblah kita bersikap
sabar dan bertindak hati-hati dalam hal ini. Tetapi, keadaan ini
pun, bukanlah hanya monopoli golongan Islam saja. Di Amerika
Serikat (AS) yang dianggap memelih