Al-Qur'an diyakini oleh umat Islam sebagai representasi
kehendak Tuhan1
yang harus diaktualisasikan dalam kehidupan
mereka di dunia. Keyakinan teologis ini mendorong setiap Muslim
untuk senantiasa mengkonsultasikan berbagai persoalan kehidupan
mereka yang terus berubah, dengan ajaran, nilai-nilai moral dan
ketentuan-ketentuan hukum yang termaktub dalam teks kitab suci
ini. Oleh karena itu, upaya untuk memahami dan menggali makna
teks al-Qur'an telah, sedang dan akan dilakukan sejak generasi
Muslim pertama saat al-Qur'an diturunkan hingga generasi yang
akan datang. Aktivitas penafsiran terhadap Kitab Suci ini pada
gilirannya melahirkan prinsip-prinsip metodologis penafsiran alQur'an yang kemudian dibakukan dalam disiplin Ilmu Tafsir dan
Ulumul Qur'an.Sebagai sebuah tradisi keilmuan, Ilmu Tafsir dan Ulum alQur'an telah mengalami berbagai perkembangan yang signifikan.
Ulama dalam kedua disiplin ilmu tersebut telah melakukan
berbagai upaya untuk mengembangkan prinsip-prinsip metodologis
guna menangkap pesan-pesan al-Qur'an. Pada masa awal Ilmu
Tafsir, para mufassir telah mengembangkan pendekatan tafsi>r bi
al-ma's|u>r (tradition-based tafsir), suatu pendekatan yang menunjuk
pada upaya menafsirkan al-Qur'an dengan informasi dari al-Qur'an
itu sendiri, penjelasan dari Nabi, para Sahabat dan Tabi'in.3
Seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Daulah
‘Abbasiyah, para mufassir—yang merasa tidak puas dengan
metode tafsir bi al-ma's|u>r—mulai memperkenalkan pendekatan attafsi>r bi ar-ra'y (reason-based tafsir), suatu pendekatan dalam
menafsirkan al-Qur'an dengan menggunakan kemampuan ijtihad
atau daya nalar, dengan tetap memberikan porsi yang signifikan
pada berbagai informasi yang diperoleh dari pendekatan tafsi>r bi
al-ma's|u>r. Metode ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan
berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qira’ah,
ilmu-ilmu al-Qur'an, ilmu hadis, ushul fiqh, ilmu sejarah—yang
masih terbatas pada kajian asba>b an-nuzu>l—dan ilmu-ilmu
keislaman lainnya. Berbagai perspektif keilmuan ini pada giliran
berikutnya melahirkan corak-corak penafsiran yang beragam,
mencakup penafsiran teologis, legal-formal (hukum), linguistik,
dan mistis.Namun seiring dengan perkembangan zaman—terutama setelah
masuknya modernitas Barat di negara-negara Islam—metode tafsir
klasik dengan kedua pendekatan tersebut dianggap semakin tidak
memadai lagi untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial
kemanusiaan yang terus berkembang. Prinsip-prinsip metodologis
yang dikembangkan dalam tradisi tafsir klasik dipandang tidak
menyediakan perangkat metodologis yang memadai untuk
memberikan penghargaan yang wajar kepada fungsi performatif
audiens atau fungsi keagenan manusia dalam menafsirkan makna
teks. Metode penafsiran al-Qur'an klasik—sebagaimana
diungkapkan M. Amin Abdullah—hanya memperhatikan hubungan
penafsir dan teks al-Qur'an, tanpa pernah mengeksplisitkan
kepentingan audiens terhadap teks. Akibatnya, tafsir-tafsir klasik alQur'an tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam
kehidupan umat manusia.5 Dengan nada yang sama, Abdullah Saeed
menegaskan bahwa dari sekian banyak pendekatan dan metode
tafsir, secara keseluruhan para mufassir Muslim belum
memperhitungkan kebutuhan Muslim yang selalu berubah dalam
penafsiran mereka. Sebagian besar karya-karya tafsir masih tetap
mempertahankan karakter literalistik dan legalistiknya, karena
pendekatan tersebut diyakini sebagai pendekatan yang paling kecil
kemungkinan salahnya.6 Akibatnya, kerja-kerja penafsiran selama
inibelum mampu melampaui fase syarah (komentar), tafsil
(detailisasi), tikrar(pengulangan) dan penjelasan atas apa yang
sedikit banyak tidak dibutuhkannya dengan mengabaikan
kehidupan, problem, beban, dan kebutuhan manusia.Kesadaran akan adanya stagnasi dan kebuntuan metodologis di
atas mendorong sebagian pemikir Muslim untuk mengusulkan
berbagai perspektif dan pendekatan baru dalam menafsirkan alQur’an.
8
Selain untuk mengevaluasi pendekatan tradisional terhadap
al-Qur’an, upaya pembaharuan metodologi penafsiran al-Qur’an
juga dilakukan untuk mengkontekstualisasikan Islam dalam situasi
kekinian. Para pemikir Muslim ini melihat bahwa realitas telah
berubah dan perubahan tersebut telah melahirkan tantangantantangan yang harus direspon dengan tepat. Sejalan dengan
kegelisahan tersebut, upaya pembaharuan metodologi penafsiran alQur’an dapat dipandang sebagai upaya untuk menemukan cara agar
Islam dapat sejalan dengan perubahan zaman. Dalam merealisasikan
upaya ini, problem utama yang dihadapi adalah problem jarak antara
era di mana al-Qur’an diwahyukan dan ketika al-Qur’an ditafsirkan
(era modern).
9
Dari berbagai perspektif dan pendekatan yang ditawarkan,
hermeneutika menjadi salah satu alternatif yang diyakini paling
memadai untuk mengatasi kelemahanpendekatan ilmu tafsir klasik.
Tradisi penafsiran yang lahir dalam rahim pemikiran Barat ini
dipandang mampu memberikan peran yang berimbangtidak hanya
kepada variabel teks an sich—sebagaimana dalam tradisi tafsir—
tetapi juga kepada variable pengarang dan penafsir. Oleh karena itu,
hermeneutika diyakini mampu menjadi mitra dialog yang
konstruktif dalam mengembangkan prinsip-prinsip metodologis
tafsir al-Qur'an, terutama mengatasi problem jarak antara masa lalu
dan masa kini. Gagasan untuk mengadopsi hermeneutika ini
semakin menguat dengan banyaknya karya pemikir Muslim
kontemporer yang mendorong, menganjurkan dan menerapkanhermeneutika dalam memahami teks-teks al-Qur'an. Para pemikir
Muslim kontemporer seperti M. Arkoun, Fazlur Rahman, Nasr
Hamid Abu Zaid, Hassan Hanafi, Aminah Wadud, Khaled Abu elFadhl, M. Amin Abdullah adalah di antara sederet pemikir Muslim
kontemporer yang mendukung penggunaan metode ini.10
Dalam diskursus pemikiran Islam di Indonesia, integrasi
hermeneutika dalam kajian tafsir ditanggapi secara beragam.11 Sikap
apresiatif antara lain ditunjukkan—tanpa menafikan kelompok
lainnya—sekelompok akademisi yang mengajar Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri maupun swasta di seluruh Indonesia—terutama
di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dukungan tersebut antara lain tercermin dalam bentuk penerbitan
buku-buku, penelitian skripsi, tesis dan disertasi yang mengangkat
tema-tema seputar hermeneutika, dan dimasukannya hermeneutika
sebagai bagian dari kurikulum resmi UIN/IAIN/STAIN di seluruh
Indonesia.12 Dari kalangan non-akademisi, hermeneutika menjadi
salah satu ikon lembaga-lembaga pemikiran yang mengusung
gagasan Islam liberal seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), dan (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)13 dan Jaringan
Islam Emansipatoris dan kelompok-kelompok Islam yang berhaluan
liberal lainnya.14
Sementara itu, resistensi terhadap hermeneutika antara lain
ditunjukkan—tanpa menafikan komunitas lain—oleh sebagian
akademisi perguruan tinggi, kalangan ormas-ormas keagamaan
bahkan pesantren di Indonesia. Penolakan dari kalangan akademisi
antara lain ditunjukkan oleh sekelompok pemikir muda Muslim
yang tergabung dalam organisasi INSISTS (Institute for Islamic
Thought and Civilization).15 Sedangkan penolakan dari kalangan
ormas Islam antara lain ditunjukkan MUI melalui hasil
Muasyawarah Nasional (MUNAS) VII tertanggal 29 Juli 2005, yang
mengeluarkan 11 fatwa yang salah satu poinnya adalah mengharamkan hermeneutika sebagai metode tafsir al-Qur'an.16
Selain itu, kaukus para Kyai dalam forum Muktamar Nahdhatul
Ulama di Donohudan Boyolali menolak untuk merekomendasikan
hermeneutika sebagai salah satu metode istinbat hukum dalam
komisi Bahtsul Masail.17 Sedangkan reaksi paling keras dan
emosional diperlihatkan oleh para pegiat dakwah yang tergabung
dalam wadah Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang
menyatakan bahwa hermeneutika adalah kemusyrikan dalam bentuk
modern.18
Perdebatan antara kelompok yang pro dan kontra hermeneutika
berkembang menjadi semakin intens dan massif karena masingmasing kelompok memiliki perangkat-perangkat yang canggih
untuk menyebarluaskan pemikirannya. Intensitas perdebatan antara
dua kutub pemikiran ini, di satu sisi melahirkan ketegangan kreatif
(creative tension), yang kemudian melahirkan karya-karya yang
cukup berharga dalam diskursus tafsir. Namun di sisi lain, tidak bisa
dimungkiri, ketegangan tersebut juga mengarah pada ketegangan
destruktif, ketika setiap kelompok berusaha menegasikan eksistensi
kelompok yang berseberangan.19 Berangkat dari realitas tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh sisi-sisi ketegangan
kreatif antara dua schools of thougth tersebut. Penelitian ini menjadi
penting karena, meminjam istilah Kuhn. kemampuan community of
science—dalam hal ini para pegiat studi Islam—untuk mendukung
atau mengelola ketegangan—yang kadang-kadang bisa menjadi tak
tertahankan—adalah salah satu persyaratan utama untuk sebentuk
penelitian saintifik yang terbaik.20
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, penelitian disertasi ini mengkaji
permasalahan berikut:
1. Bagaimana munculnya gagasan penerapan hermeneutika dalam
studi al-Qur'an di Indonesia? Bagaimana respon para pemikir
Muslim Indonesia terhadap gagasan tersebut?
2. Apa argumen yang dibangun oleh kelompok pemikir Muslim
yang pro dan yang kontra terhadap penerapan hermeneutika?
Tema-tema apa saja yang menjadi fokus perdebatan antara
kedua kelompok tersebut? 3. Faktor-faktor sosio-politik apakah yang melatarbelakangi
polemik seputar hermeneutika? Bagaimana pengaruh dan
penyebaran gagasan yang pro dan kontra hermeneutika di
kalangan pegiat studi Islam di Indonesia?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan sejarah munculnya gagasan penerapan
hermeneutika dalam studi al-Qur'an di Indonesia dan
memetakan ragam respon yang ditunjukkan oleh masyarakat
pegiat studi Islam terhadap gagasan tersebut.
2. Mengkomparasikan argumen yang diajukan oleh kelompok yang
pro dan kontra terhadap hermeneutika dan menjelaskan
persoalan-persoalan krusial yang menjadi fokus perdebatan
antara kedua kelompok tersebut.
3. Mengetahui konteks sosio-historis yang melatarbelakangi
polemik seputar hermeneutika dan mengetahui pengaruh kedua
schools of thought tersebut terhadap masyarakat pegiat studi
Islam di Indonesia.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan sebagai
berikut:
1. Memberikan kontribusi akademis-teoritis bagi pengembangan
teori-teori baru tentang prinsip-prinsip metodologis dalam
menafsirkan kitab suci yang lebih dpat diterima oleh kedua
kutub penafsiran yang saling berseberangan, yaitu kelompok
literalis-tekstualis dengan liberalis-kontekstualis.
2. Perdebatan antara dua kutub yang mendukung dan menolak
hermeneutika akhir-akhir ini semakin mengarah kepada
ketegangan yang destruktif yang ditunjukkan dalam upaya
masing-masing kelompok untuk saling menafikan satu sama
lain. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menemukan
persoalan-persoalan krusial yang menjadi titik perbedaan dan
memprediksi prospek dialog antara kedua kelompok yang saling
berseberangan di masa yang akan datang. Penelitian seputar hermeneutika dan kemungkinannya untuk
diterapkan dalam metode tafsir al-Qur'an, baik sebagai alat bantu
maupun substitusi bagi tafsir konvensional, telah banyak dilakukan.
Karya-karya baik dalam bentuk hasil penelitian maupun kumpulan
tulisan yang mengangkat persoalan tersebut dapat diklasifikasikan
dalam tiga kategori. Pertama, karya-karya penelitian yang mengkaji
pemikiran para penganjur penerapan hermeneutika dalam studi alQur’an dan ilmu-ilmu keislaman pada umumnya. Kedua, karyakarya penelitian yang mengangkat pemikiran para penentang adopsi
hermeneutika dalam studi al-Qur'an dan ilmu-ilmu keislaman pada
umumnya. Ketiga, karya-karya penelitian yang memperhadapkan
dan mempertemukan pemikiran kedua belah pihak,baik yang
mendukung maupun menolak tawaran hermeneutika.
Penelitian yang termasuk dalam kategori yang pertama sudah
banyak dilakukan. Di antaranya—untuk tidak membatasi—
adalahpenelitian yang berjudul Hermeneutika Kritis: Kritik Wacana
Keagamaan dalam Memahami Teks Keagamaan (Telaah terhadap
Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid) (2003);21Hermeneutika Islam:
Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global,
(2003);22Hermenutika Qur'ani: antara Teks, Konteks dan
Kontekstualisasi (2003);23Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur'an:
Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid, (2003);24Metodologi Kritik Teks Keagamaan (Studi atas Pemikiran Hermeneutika Nasr
Hamid Abu Zaid) (2007);25Hermeneutika Relijius Ricoeur (1913-
2005) dan Fazlur Rahman (1919-1988) (2007);
26 dan Hermeneutika
Hadis (Studi Teori Pemahaman Hadis Menurut Fazlur Rahman dan
Muhammad Syahrur) (2011).27
Sementara itu, karya-karya penelitian atau tulisan yang masuk
kategori yang kedua, yang mengkaji pemikiran para tokoh yang
menolak hermeneutika, juga sudah pernah dilakukan. Di antaranya
adalah skripsi yang berjudul Hermeneutika sebagai Metode
Penafsiran al-Qur’an: Studi Analisis terhadap Majalah Islamia
(2009).
28 Dalam skripsi ini, Subhan Asshidiq mengangkat pemikiran
anti hermenenutika para tokoh INSISTS yang diterbitkan dalam
Jurnal Islamia. Selain itu, termasuk dalam kategori kedua adalah
tulisan-tulisan yang mengkritisidan meng-counter pemikiran para
tokoh hermeneut Muslim tertentu. Termasuk dalam kategori ini
adalah karya yang berjudul al-Qur’an Dihujat (2007);
29 dan Studi alQur’an Islam Liberal (2010).
30 Penelitian yang pertama mengkritisi
pemikiran hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid, sedangkan yang
kedua mengungkapdan mengkritisi pemikiran tiga tokoh hermeneut
Muslim, yaitu Hassan Hanafi, Nasr Hamdi Abu Zaid dan
Muhammad Arkoun. Dari pemaparandi atas dapat disimpulkan bahwa karya-karya
penelitian baik kategori pertama maupun kedua memiliki kesamaan
karakter, yaitu: Pertama, hanya menampilkan pemikiran
hermeneutika seorang tokoh hermeneut yang diteliti, baik tokoh
pemikir yang mendukung maupun menolak hermeneutika. Kedua,
kedua model penelitian di atas tidak memperhadapkan atau
mengkomparasikan dua pandangan yang berbeda dari kalangan yang
pro dan kontra hermeneutika dan untuk kemudian mencari titik
temu dan titik seteru antara keduanya. Kekurangan ini kemudian
diambil alih oleh model penelitian atau tulisan yang ketiga, yaitu
karya atau penelitian yaitu memperhadapkan argumen dari masingmasing pendukung maupun penentang hermeneutika.
Termasuk dalam kategori ini adalah buku yang berjudul
Hermeneutika Al-Qur'an: Tema-tema Kontroversial;
31 dan Teori
Pemahaman Kitab Suci: Studi Perbandingan antara Hermeneutika
dengan Tafsir al-Qur’an (2006).32 Dalam karyayang pertama,
penulis buku memaparkan berbagai keberatan terhadap adopsi
hermeneutika dalam penafsiran al-Qur'an dan kemudian
membuktikan bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak mempunyai
pijakan epistemologis yang kuat. Sementara dalam karya yang
kedua, penulis mengungkap sisi-sisi persamaan dan perbedaan
antara metode hermeneutika dan tafsir al-Qur’an. Menurutnya,
keduanya dapat dipertemukan dalam posisinya sebagai ilmu atau
metode untuk memahami teks yang secara historis berbeda jarak
ruang dan waktu. Jika terdapat perbedaan, maka perbedaan tersebut
lebih disebabkan karena asal-usul dan latar belakang yang berbeda,
hermeneutika berlatarbelakang teologi Kristen, sedangkan tafsir
berlatarbelakang teologi Islam. Meskipun mengakui adanya
kontroversi seputar penerapan hermeneutika dalam tafsir al-Qur’an, namun Shiddiq tidak mengeksplorasi lebih jauh pro kontra yang
terjadi di kalangan umat Islam dalam merespon hermeneutika.33
Upaya yang lebih mendekati objek penelitian disertasi ini,
sepanjang pengetahuan peneliti, dilakukan oleh Izza Rohman dalam
tesis masternya yang berjudul Rethinking Approaches to
Interpreting the Qur’an in Contemporary Indonesian Muslim
Thoughts (2006). Melalui karya tesis ini, Rohman menelusuri upaya
para pemikir Muslim Indonesia untuk mencari formulasi metodologi
yang paling memadai dalam menafsirkan al-Qur’an. Berdasarkan
pengamatannya, setidaknya ada tiga gagasan yang ditawarkan untuk
rethinking tafsir, yaitu tawaran metode tafsir tematik, teori
historisitas al-Qur’an dan teori hermeneutika Barat. Ketiga tawaran
metodologis ini tumbuh dari kesadaran para pemikir Muslim
Indonesia untuk mengkontekstualisasi (membumikan) ajaran alQur’an dalam merespon persoalan-persoalan sosial yang terus
berkembang. Meskipun mengungkap pro kontra hermeneutika,
namun tema ini hanya menjadi salah satu sub tema yang dibahas,
dan lebih dari itu, penulis tidak menjelaskan konteks sosio-historis
yang memicu perdebatan tersebut.34
Dari pemaparan kajian pustaka di atas dapat disimpulkan
bahwa karya-karya penelitian seputar tema hermeneutika yang telah
dilakukan, belum ada satupun penelitian yang mencoba secara
intens memperhadapkan dan mengkomparasikan argumen para
pendukung maupun penentang hermeneutika. Kajian yang dilakukan
baru sebatas menawarkan hermeneutika sebagai metodologi bantu
dalam mengatasi berbagai krisis epistemik yang dihadapi tradisi
tafsir konvensional atau membangun argumen untuk menolak
tawaran hermeneutika. Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian
ini akan mempertemukan dan mengkomparasikan pandangan para
pegiat Islamic Studies baik yang mendukung maupun menolakhermeneutika, menelusuri faktor-faktor penyebab munculnya
kontroversi, dan kemudian memprediksi prospek dialog antara
keduanya dan implikasi lebih lanjut bagi pengembangan tradisi
keilmuan Tafsir dan 'Ulum al-Qur'an.
E. Kerangka Teori
Dalam sejarah pemikiran Islam—berkenaan dengan
permasalahan cara atau metode pemahaman atau interpretasi—
terdapat dua kubu yang sepanjang sejarah cenderung menampakkan
disparitas dan polemik, yaitu kelompok tekstualis-skriptualisdogmatif-normatif di satu sisi, dengan kelompok kontekstualisrasional-historis di sisi lain.35 Kelompok pertama pada umumnya
memahami teks-teks keagamaan secara literalis, tekstualis, atau
skripturalis. Sedangkan kelompok kedua, pemahamannya tentang
Islam tidak hanya mengacu kepada bunyi teks, namun lebih kepada
esensi makna terdalam (esoterik), tujuan atau pesan moral dari teks
yang ada, sehingga dalam aplikasinya selalu mempertimbangkan
konteks ruang dan waktu, situasi dan kondisi sosial kultural serta
historisnya.36
Menurut Amin Abdullah, hubungan antara kedua pendekatan
tersebut tidak selamanya akur dan seirama. Hubungan antara
keduanya seringkali diwarnai dengan tension atau ketegangan, baik
yang bersifat kreatif maupun destruktif. Ketegangan bersifat
destruktif jika masing-masing pendekatan saling menegasikan
eksistensi dan menghilangkan nilai manfaat yang melekat pada
pendekatan keilmuan yang dimiliki oleh tradisi keilmuan lain.37
Ketegangan akan menjadi kreatif bila kemudian melahirkan
pemikiran-pemikiran baru yang sangat berharga untuk
mengembangkan dan memperkaya khazanah keilmuan Islam. Ketegangan di antara para pegiat studi Islam dalam penelitian
disertasi ini dapat dan akan dilihat dari perspektif ketegangan yang
kreatif ini.
Sebagai sebuah disiplin keilmuan yang otonom, ilmu tafsir
sejatinya telah mengalami berbagai perkembangan yang signifikan,
dari model tafsir yang sangat sederhana (practical exegesis) hingga
kajian tafsir yang melibatkan berbagai perspektif kelimuan yang
rumit. Para mufassir telah berusaha mengembangkan dan
memperbaharui teori-teori, metode-metode dan cara-cara melakukan
penelitian (penafsiran), ketika teori-teori, metode-metode dan caracara tafsir yang lama dirasa sudah tidak lagi memadai untuk
memberi jawaban yang memuaskan terhadap persoalan-persoalan
baru. Meski demikian, pembaharuan tersebut tidak selamanya
diterima oleh para pendukung tradisi yang ingin mempertahankan
teori dan metode penafsiran lama. Ketegangan dan konflik
seringkali terjadi dan tak terhindarkan antar pendukung paradigma
baru (inovasi) dengan pendukung paradigma lama (tradisi).38
Pergumulan di antara para pendukung hermeneutika dan para
penantangnya yang diteliti dalam penelitian ini akan dilihat dari
perspektif ketegangan ini. Ketegangan tersebut tidak selamanya
dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan menurut Thomas
Kuhn, ketegangan seperti itu harus dikelola dengan bijak sebagai
prasyarat untuk mencapai kemajuan (progress) suatu ilmu. Sebab
dalam setiap perkembangan ilmu selalu mengimplisitkan adanya
ketegangan esensial (essential tensions) antara para pendukung
paradigma baru (inovator) dengan para pendukung paradigma lama
(tradisi).
Selain konsep tentang essential tension, teori Kuhn tentang
revolusi sains dapat menjelaskan ketegangan antara para pendukung
tradisi tafsir dengan para pendukung hermeneutika. Paradigma tafsir
konvensional selama ini telah membimbing kegiatan penafsiran
dalam masa yang disebut "normal science", di mana para mufassir
berkesempatan menggunakan dan mengembangkannya tanpa harus
disibukkan dengan hal-hal yang mendasar. Dalam tahap ini, mufassir
tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing
aktivitas penafsirannya. Namun selama menjalankan aktivitas
penafsiran ini, seorang mufassir bisa menjumpai berbagai fenomena
yang tidak bisa diterangkan dengan teorinya. Inilah yang disebut
anomali dan jika anomali ini berakumulasi dan semakin meningkat
jumlahnya, maka bisa timbul krisis. Dalam krisis inilah, paradigma
tafsir konvensional mulai dipertanyakan. Untuk mengatasi krisis itu,
mufassir bisa mengembangkan suatu paradigma tandingan yang bisa
memecahkan masalah dan membimbing aktivtas tafsir selanjutnya.40
Revolusi sains adalah suatu episode perkembangan yang di
dalamnya paradigma yang lama diganti seluruhnya atau sebagiannya
oleh paradigma yang baru yang bertentangan. Pergeseran paradigma
tidak selamanya berjalan mulus tanpa hambatan. Permasalahan
muncul jika sebagian ilmuwan atau masyarakat ilmiah tertentu tidak
mau menerima paradigma baru tersebut. Dalam pemilihan
paradigma, tidak ada standar yang lebih tinggi daripada persetujuan
masyarakat yang bersangkutan. Keberhasilan sebuah revolusi sains
sangat dipengaruhi teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif
dan retorika di kalangan akademisi dan atau masyarakat sains itu
sendiri. Sejauh mana paradigma baru itu diterima oleh mayoritas
masyarakat sains, maka revolusi sains dapat terwujud.Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang memadukan
antara penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian
lapangan (field research). Disebut penelitian kepustakaan karena
data-data tentang kontroversi seputar hermeneutika diperoleh dari
bahan-bahan kepustakaan. Penelitian ini juga disebut penelitian
lapangan karena sebagian data-data penelitian ini diperoleh melalui
wawancara di lapangan. Data-data tersebut meliputi data-data yang
terkait dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yang
belum terungkap dalam data-data kepustakaan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan sejarah. Pendekatan sejarah dipilih karena dua alasan:
Pertama, untuk menemukan kesinambungan dan perubahan
(continuity and change) pemikiran dalam perdebatan seputar
penerapan hermeneutika dalam tafsir al-Qur'an. Kedua, menemukan
latarbelakang yang menyebabkan munculnya gagasan penerapan
hermeneutika dalam studi tafsir al-Qur'an di Indonesia dan ragam
respon yang ditunjukkan oleh para pegiat studi Islam terhadapnya.
Ketiga, mendapatkan pelajaran sejarah yang berharga dalam rangka
memperbaiki dan mengembangkan metodologi tafsir al-Qur'an yang
lebih bisa diterima bagi semua kalangan.
Pendekatan sejarah yang digunakan dalam penelitian disertasi
ini adalah pendekatan sejarah intelektual. Premis utama pendekatan
ini adalah bahwa setiap pemikiran atau gagasan tidak berkembang
secara terpisah dari individu-individu yangmenciptakan dan
menggunakannya; danbahwa seorang sejarawan intelektual harus
mengkaji gagasan-gagasan bukan sebagai proposisi abstrak, tetapi
dalam konteks budaya, kehidupandansejarahyang melahirkannya.
Pendekatan ini sesuai untuk mengkaji pemikiran para pendukung
maupun penentang hermeneutika karena penelitian ini bertujuan
menelusuri konteks sosio-historis yang melatarbelakangi munculnya kontroversi seputar hermeneutika dan pengaruhnya terhadap
masyarakat.42
Dilihat dari rentang waktu objek yang diteliti, penelitian ini
termasuk dalam kategori penelitian sejarah kontemporer.
Kontroversi seputar penerapan hermeneutika dalam studi tafsir alQur’an mulai muncul sejak tahun 1990-an dan masih terus berlanjut
hingga penelitian ini dilakukan (2016). Berdasar asumsi tersebut,
periodisasi sejarah tidak dibuat dalam penelitian ini karena peristiwa
tersebut dipandang sebagai ‚proses yang sedang berjalan‛.43 Meski
demikian, tantangan utama penelitian sejarah kontemporer adalah
bagaimana sejarawan menjaga jarak terhadap objek yang
ditelitinya.44 Kedekatan dan keterlibatan penulis dengan subjek maupun objek yang diteliti dalam disertasi ini tidak bisa dimungkiri
dapat mempengaruhi objektivitas penelitian ini. Untuk itu, penulis
berusaha menjaga netralitas dengan cara memilih sikap jalan tengah
(middle path) di antara dua mazhab pemikiran yang diteliti.
Netralitas ini tidak harus menghalangi penulis untuk menunjukkan
empati kepada kedua belah pihak yang menjadi subjek penelitian ini,
antara lain dengan kesungguhan penulis dalam mengungkap
kegelisahan para pendukung maupun penentang hermeneutika.45
2. Metode Pengumpulan Data
Data-data tentang kontroversi penerapan hermeneutika dalam
tafsir al-Qur'an diperoleh dari sumber-sumber primer maupun
sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini meliputi dokumen
yang ditulis oleh orang-orang yang terlibat atau menjadi saksi
sejarah dalam peristiwa yang diteliti. Sumber-sumber tersebut
meliputi: (1) Karya-karya tentang hermeneutika—baik dari
kalangan yang mendukung maupun menolak—yang ditulis oleh para
pemikir Muslim Indonesia; (2) laporan atau berita surat kabar yang
meliput polemik seputar hermeneutika dan memuat pandanganpandangan para pendukung dan penentang hermeneutika; dan (3)
sejarah resmi atau diotorisasi mengenai kegiatan-kegiatan mutakhir
lembaga-lembaga yang mendukung dan menolak hermeneutika.
Sumber-sumber ini menurut klasifikasi Louis Gotschalk termasuk
dalam laporan umum yang ditujukan kepada masyarakat luas,
sehingga memiliki tingkat keterpercayaan yang memadai.46 Selain laporan umum, penelitian juga menggunakan pernyataan opini dari
para pendukung dan penentang hermeneutika yang baik dalam
bentuk tajuk, esei, pidato, brosur, surat kepada redaksi, rubrik
opinion, baik individu maupun umum.47
Sumber-sumber data di atas termasuk kategori sumber primer,
karena disampaikan oleh para pelaku atau saksi mata peristiwa pro
kontra seputar hermeneutika. Selain data primer, penelitian ini juga
menggunakan data-data sekunder yang berbentuk karya-karya
pemikir terdahulu yang meneliti tentang perkembangan pro dan
kontra hermeneutika di Indonesia. Sumber-sumber sekunder ini
bertujuan: Pertama, menjelaskan konteks sosial yang
melatarbelakangi munculnya kontroversi seputar hermeneutika.
Kedua, untuk memperoleh petunjuk mengenai data bibliografis yang
lain. Ketiga, untuk memperoleh kutipan atau petikan dari sumbersumber sejaman atau sumber-sumber lain, jika mereka tidak bisa
diperoleh secara lebih lengkap di tempat lain. Keempat, untuk
memperoleh interpretasi dan hipotesa mengenai masalah yang
diteliti, tetapi dengan tujuan untuk menguji atau memperbaikinya,
bukan untuk menerimanya secara total.48
Selain data-data tertulis, penelitian ini juga menggunakan
sejarah lisan, baik sebagai metode maupun sebagai sumber sejarah.
Sebagai metode, sejarah lisan dapat diperoleh melalui teknik
wawancara yang dilakukan peneliti terhadap pelaku-pelaku atau
aktor-aktor sejarah. Sedangkan sebagai sumber, sejarah lisan
diperoleh melalui rekaman ceramah atau wawancara orang lain
dengan pelaku dan tokoh tersebut yang tersimpan dalam rekaman
audio maunpun visual. Data sejarah lisan diperlukan untuk
melengkapi "lubang-lubang" informasi yang diperlukan dalam usaha
mendapatkan rekonstruksi yang relatif utuh tentang pro kontra
hermeneutika.49 Informan ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu penentuan informan yang didasarkan atas
tujuan penelitian. Dalam kaitan ini, maka informan yang akan
diwawancari adalah para pegiat studi Islam yang dipandang
memiliki kompetensi dan menghasilkan karya baik yang mendukung
maupun menolak penerapan hermeneutika dalam tafsir al-Qur'an.
Semua data primer dan sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini berbentuk cetakan yang diterbitkan untuk umum.
Demikian juga, sumber lisan yang berupa rekaman wawancara atau
dialog interaktif juga telah dipublikasikan melalui kaset, CD,
talkshow di media televisi atau internet. Oleh karena itu, dapat
diketahui siapa yang membuat atau menyusunnya, kapan, di mana,
dari bahan apa dan dalam bentuk apa dibuat. Dengan demikian,
pengujian otentisitas terhadap sumber-sumber tersebut dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak perlu dilakukan.
Adapun kredibilitas sumber-sumber tersebut, khususnya sumber
lisan masih tetap harus diuji, dengan mempertanyakan kemampuan
dan kemauan saksi primer untuk menyatakan kebenaran, akurasi
keterangan yang diberikannya, dan ada atau atau tidaknya bukti
pendukung bagi keterangan itu.50
3. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari sumber-sumber yang telah
dikumpulkan (heuristik) dan diuji otentisitas dan kredibilitasnya
(kritik ekstern dan internal) selajutnya dianalisis menggunakan
analisis sejarah. Analisis dilakukan dengan menguraikan (analisis)
data-data sehingga diperoleh fakta-fakta sejarah. Fakta-fakta
tersebut kemudian dikelompokkan (sintesis) dengan menggunakan
bantuan konsep atau teori, kemudian disusun menjadi interpretasi
yang menyeluruh (generalisasi)Interpretasi dalam sejarah intelektual, sebagaimana dalam
sejarah yang lain, dilakukan dengan memberikan analisis terhadap
pelbagai unsur dan faktor-faktor penyebab yang melatarbelakangi
gejala sejarah (causal explanation). Dalam penelitian ini, digunakan
model penafsiran monistik dengan menjelaskan faktor tunggal yaitu
kondisi sosial-politik yang telah menyebabkan munculnya polemik
seputar hermeneutika.52
Di samping menjelaskan faktor penyebab, sejarah intelektual
juga melakukan penelusuran kembali sebuah gagasan dan
penyebaran gagasan tersebut dalam masyarakat tertentu. Selain itu,
sejarah intelektual juga berusaha memahami hubungan antara
gagasan tersebut di satu pihak, dan "kecenderungan" (drives) dan
kepentingan (interest), serta faktor-faktor nonintelektual pada
umumnya dalam sosiologi perorangan dan masyarakat, di pihak
lain.53 Penyebaran ide berkait erat dengan pengaruh. Sebagai suatu
konsep sejarah, pengaruh didefinisikan sebagai "efek yang tegar dan
membentuk pikiran dan perilaku manusia, baik dalam level individu
maupun kolektif." Karena bersifat tegar maupun merupakan suatu
efek, pengaruh dibedakan dari faktor-faktor yang mengenai satu
kejadian tunggal seperti dorongan atau bujukan dan karena bersifat
membentuk maupun merupakan suatu efek, pengaruh dibedakan dari
penerimaan pasif belaka seperti misalnya penerimaan terhadap
mazhab pemikiran yang sedang menjadi mode atau suatu perangkat
desakan-desakan sesaat. Dalam penelitian ini, pengaruh akan diukur dengan standar
yang sering digunakan dalam sejarah pemikiran, yaitu: pertama,
adanya perubahan atau perbedaan setelah mengenal pemikiran yang
tidak dikenal sebelumnya. Jika seseorang yang semula berpikiran A,
setelah berkenalan dengan pemikiran B kemudian ia berubah
menjadi berpikiran B, maka bisa dipastikan dia terpengaruh oleh
pemikiran B itu. Untuk membuktikan hal itu, harus dapat
dibuktikan bahwa B merupakan anteseden atau hidup sezaman
dengan A. Selain itu, adanya pengaruh tersebut juga bisa dibuktikan
dengan pengakuan oleh A mengenai pengaruh B. Kedua, jika standar
pertama tidak didapatkan, maka pengaruh akan diukur dengan
standar yang lebih memungkinkan, yaitu adanya pengakuan dalam
bentuk kutipan dari karya tertentu atau referensi kepada karya itu,
yang tidak dimaksudkan sebagai retorika untuk merias ide yang
dikemukakan.55 Jika standar yang kedua tidak bisa dipenuhi, maka
akan digunakan standar ketiga, yaitu inspirasi.56
Dengan mempertimbangkan prinsip kesinambungan sejarah,
analisis historis dalam penelitian ini tidak hanya menjelaskan
faktor-faktor penyebab dan penyebaran gagasan yang pro maupun
kontra hermeneutika, tetapi juga menjelaskan pemahaman baru yang
menjadi perkembangannya dalam tradisi metodologi tafsir alQur'an. Penjelasan ini dilakukan dengan memberikan kategori
berdasarkan konsep polarisasi. Dalam menjelaskan perkembangan
baru yang membedakan pandangan para pendukung maupun
penentang hermeneutika dengan para pemikir sebelumnya, akan
dijelaskan dengan konsep polarisasi: sentral dan periferal. Kemudian
dalam penjelasan mengenai perkembangan baru dalam tradisi
metodologi penafsiran al-Qur'an digunakan konsep polarisasi dengan
menggunakan berbagai teori dan paradigma tafsir yang pernah
berkembang dalam sejarah penafsiran al-Qur'an. Teori-teori dimaksud antara lain: teori teknis dengan paradigma kompleksitas
al-Qur'an, teori akomodasi dengan paradigma eksplanasi al-Qur'an,
dan teori ta'wil dengan paradigma legitimasi al-Qur'an, teori
fungsional dengan paradigma petunjuk al-Qur'an dan teori literasi
dengan paradigma kesasteraan al-Qur'an.57
Sedangkan untuk tahapan terakhir dalam metode sejarah, yaitu
penyajian penelitian dalam tulisan (eksposisi), akan digunakan
kombinasi penulisan sejarah naratif dan sejarah analitik. Dalam
uraian sejarah naratif, akan diberikan gambaran proses, urutan
kejadian, dan bagaimana perkembangan peristiwa yang
menyebabkan unit proses tertentu. Sedangkan uraian sejarah
analitik, akan dijelaskan eksplanasi mengenai hal-hal yang menjadi
fokus sejarah intelektual, yaitu faktor-faktor penyebab,
kesinambungan dan perubahan, asal-usul dan pengaruh serta sebaran
gagasan dalam masyarakat.
G. Sistematika Pembahasan
Penulisan sejarah kontroversi seputar hermeneutika akan
disajikan dalam tiga bagian: pengantar, hasil penelitian, dan
kesimpulan. Dalam bagian pengantar akan dikemukakan
latarbelakang masalah, rumusan permasalahan yang akan dikaji
dalam penelitian ini, tujuan dan manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini, serta kajian pustaka untuk melihat posisi penelitian
ini di antara penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, dan
kerangka teoritik untuk membantu menjelaskan objek yang dikaji,
serta metode penelitian yang digunakan dan sistematika
pembahasan.
Sedangkan untuk hasil penelitian akan disajikan dalam empat
bab berikutnya, sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lain. Dalam bab kedua disajikan uraian deskriptif naratif
seputar sejarah lahirnya gagasan hermeneutika. Bab ketiga akan
disajikan deskripsi naratif tentang respon masyarakat intelektual
Muslim Indonesia terhadap wacana tersebut. Selanjutnya dalam bab keempat akan diuraikan argumen yang dibangun oleh kedua
kelompok pemikiran yang berpolemik dan tema-tema yang menjadi
fokus perdebatan.
Sedangkan dalam bab kelima akan disajikan uraian deskriptif
analitik mengenai konteks perkembangan gagasan yang pro dan
kontra terhadap hermeneutika dan pengaruhnya dalam pemikiran
Islam di Indonesia. Dalam bab ini akan diuraikan tentang
perkembangan gagasan-gagasan baru dalam polemik seputar
hermeneutika, semangat zaman yang melatarbelakangi munculnya
kontroversi (causal explanation), dan penyebaran gagasan dari kedua
mazhab pemikiran tersebut, baik di kalangan otoritas dan tokohtokoh yang muncul sebelum, semasa dan sesudah mereka sebagai
sumber dan penerima pengaruh serta inspirasi. Terakhir, bab ini
akan menjelaskan relevansi perdebatan hermeneutika bagi
pengembangan ilmu tafsir al-Qur’an.
Sedangkan dalam bagian terakhir (bab keenam), yaitu
kesimpulan, akan dikemukakan generalisasi terhadap persoalanpersoalan yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya dan signifikansi
ilmiah dari penelitian ini. Sejarah munculnya diskursus hermeneutika di Indonesia dapat
diklasifikasikan setidaknya dalam tiga fase: Pertama, fase
pengenalan hermeneutika dalam wacana pemikiran Islam di
Indonesia (1985-2000). Fase ini dimulai sejak masuknya pemikiran
para hermeneut Muslim baik dari Timur Tengah maupun Barat
hingga kajian hermeneutika menjadi concern kalangan akademisi
Indonesia, seperti M. Amin Abdullah dan Komaruddin Hidayat, Ulil
AbsharAbdalla dan para pemikir Muslim lainnya. Kedua, fase
identifikasi hermeneutika sebagai bagian dari gerakan Islam Liberal
(2001-2008). Fase ini ditandai munculnya gerakan Islam Liberal
yang mengusung hermeneutika sebagai tawaran metodologi dalam
menafsirkan Islam liberalnya. Pada fase ini polemik seputar
hermeneutika mengalami titik kulminasinya ketika berbagai
gagasan Islam Liberal mendapat tentangan dari kelompok Islam
fundamentalis. Ketiga, pasca “gelombang Islam Liberal” yang
ditandai dengan menurunnya aktivitas Islam Liberal (2008-
sekarang). Dalam fase ini, upaya untuk mempromosikan
hermeneutika menempuh cara-cara yang lebih akademik ketimbang
propaganda media. Upaya-upaya tersebut antara lain dipelopori oleh
akademisi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menerbitkan
karya-karya akademik yang mencoba menawarkan integrasi
hermeneutika dalam studi al-Qur’an.
Sedangkan resistensi terhadap gagasan penerapan hermeneutika
baru muncul tahun 2001 dan berkembang semakin masif dan
terorganisir sejak penerbitan majalah Pemikiran dan Peradaban
Islam Islamia (2004). Jurnal yang diterbitkan oleh lembaga
INSISTSini menjadi titik awal gerakan penolakan terhadap hermeneutika dan bahkan menginspirasi berbagai tulisan yang
mengusung wacana anti-hermeneutika.Respon penolakan terhadap
hermeneutika setidaknya dilatarbelakangi oleh tiga fenomena yang
berkembang saat itu. Pertama, munculnya gerakan Islam Liberal
yang mengusung hermeneutika sebagai salah satu agenda utamanya.
Kedua,masuknya hermeneutika dalam kurikulum UIN/IAIN/PTAIN
di Indonesia yang turut meningkatkan eskalasi penolakan. Ketiga,
munculnya buku-buku Nasr Hamid Abu Zaid yang dipandang
banyak melakukan dekonstruksi terhadap sejumlah teori dan konsep
Ulum al-Qur’an.
Untuk mendukung gagasan penerapan hermeneutika dalam
penafsiran al-Qur’an, para tokoh yang pro-hermeneutika
mengajukan lima argumen: Pertama, anomali atau cacat epistemik
ilmu tafsir konvensional. Dengan menempatkan wahyu dalam
kerangka teori komunikasi, para pendukung hermeneutika
menegaskan adanya kelemahan tafsir konvensional, yaitu hilangnya
fungsi keagenan/performatif audiens dalam menafsirkan teks, yang
berakibat munculnya produk-produk tafsir yang gagap menghadapi
perubahan. Kedua, penegasan historisitas al-Qur’an. Keyakinan
akan keazalian al-Qur’an telah menghalangi upaya untuk mendekati
al-Qur’an dengan pendekatan ilmiah. Oleh karena itual-Qur’an harus
didesakralisasi dengan cara menegaskan historisitas kitab suci ini.
Tanpa penegasan historisitasnya, al-Qur’an tidak akan bisa disentuh
oleh pemahaman manusia. Ketiga,hermeneutika mampu
mengungkap sifat relativitas penafsiran manusia.Keempat,
hermeneutika mampu mendialogkan antara tiga dunia yang
dibangun oleh teks, yaitu: dunia pengarang, dunia teks itu sendiri
dan dunia pembaca. Dengan kemampuan ini, hermeneutika mampu
menghindarkan adanya upaya untuk memaksakan kebenaran tafsir
kelompok tertentu (interpretive despotism).Kelima, meskipun
istilah hermeneutika merupakan hal yang baru dalam tradisi
keilmuan Islam, tetapi praktek hermeneutika telah lama dilakukan
oleh umat Islam.
Sedangkan sikap anti-hermeneutika dibangun di atas
tigaargumen utama. Pertama, kememadaian Ulum al-Qur’an dan tafsir konvensional. Menurut pendukungnya, ilmu tafsir telah
dibangun di atas prinsip-prinsip metodologis yang diyakini mampu
meminimalisir kesalahan dan kesewenangan-wenangan dalam
menafsirkan al-Qur'an. Kedua, sebagai disiplin ilmu yang diadopsi
dari Barat-Kristen, hermeneutika tidak bebas nilai. Oleh karena itu,
mengadopsi hermeneutika tanpa mengadapsinya, akan
mengasumsikan bahwa nilai-nilai tersebut juga inheren di dalam
ilmu tafsir al-Qur’an. Ketiga, penerapan hermeneutika akan
menimbulkan dampak (1) mendekonstruksi konsep wahyu yang
telah mapan; (2) merombak dan bahkan menganulir berbagai
ketentuan hukum syariah dan membenarkan upaya adaptasi hukumhukum positif Barat kontemporer; (3) mencurigai upaya kodifikasi
Usman dan pengukuhan Sunnah sebagai sumber hukum oleh Syafi’i
sebagai upaya untuk meneguhkan hegemoni Quraisy; (4)
merelatifkan semua bentuk penafsiran manusia.
Polemik seputar hermeneutika tidak dapat dilepaskan dari
konteks sosio-politik pasca reformasi. Keberhasilan agenda
Reformasi 21 Mei 1998 untuk mendorong proses demokratisasi
politik di Indonesia telah mengubah dasar dan konstelasi politik
dalam negeri. Iklim kebebasan politik yang sangat luas dan hampir
tanpa batas,telah melahirkan dua arus gerakan Islam yang saling
berseberangan: Pertama, kelompok Islam literal-fundamentalis yang
mengusung agenda utamanya, yaitu formalisasi syariah dalam
kehidupan bernegara.Kelompok ini secara intens terus berupaya
mewujudkan pemberlakuan syariat Islam secara formal sebagai
dasar dan hukum resmi negara. Dalam melaksanakan perjuangannya,
gerakan-gerakan Islam menempuh dua jalur yaitu struktural dan
kultural. Kedua, kelompok Islam Liberal-Progresif yang
menghendaki berlakunya Islam dalam kehidupan publik (termasuk
politik kenegaraan), tetapi tidak tataran legal-formal sebagaimana
diperjuangkan kelompok pertama, melainkan dalam tataran nilainilai ideal-moral ajaran Islam.Dalam keterbukaan ruang publik yang
sangat luas, kedua kelompok ini saling bersaing untuk merebut
simpati publik umat Islam Indonesia. Pro-kontra seputar hermeneutika muncul dariproses pergumulan wacana yang
berkembang sejak orde reformasi.
Perdebatan seputar isu-isu global yang menjadi tren pemikiran
era reformasi merefleksikan semangat zaman (zeitgeist) yang
menjadi karakter khas pemikiran Islam pada saat itu. Dari sisi para
pendukung hermeneutika, semangat tersebut mengejawantah dalam
bentuk kegigihan mereka untuk mengupayakan pembaharuan
penafsiran terhadap doktrin-doktrin agar ajaran Islam agar dapat
berjalan sesuai dengan perkembangan zaman (s}a>lih} li kull zama>n wa
maka>n). Munculnya berbagai persoalan baru yang belum pernah
ada—bahkan belum terbayangkan—sebelumnya dan belum termuat
secara eksplisit dalam teks-teks kitab suci, mendorong mereka untuk
melakukan reformulasi metodologis untuk menggali petunjuk teksteks agama dalam menghadapi hal-hal baru tersebut.
Sementara itu, dari kalangan para penentang hermeneutika,
semangat zaman tersebut mewujud dalam bentuk kegigihan untuk
mempertahankan tradisi keilmuan Islam warisan ulama salaf as}-s}a>lih}
yang diyakini kememadaiannya sepanjang sejarah Islam. Semangat
menjaga tradisi ini tidak dapat dilepaskan dari konteks sosiopolitikpasca reformasi 1998 yang ditandai denganmenguatnya
hegemoni politik Barat baik di luar maupun di dalam negeri.
Campur tangan militer Barat di negara-negara Islam—seperti
Afghanistan, Irak, Libya, Aljazair, Bosnia dan Palestina—
menunjukkan hegemoni politik Barat di negara-negara Islam.
Sementara itu, hegemoni budaya Barat melalui proyek
globalisasinya di dalam negeri sendiri dipandang telah
menghancurkan norma-norma masyarakat Islamdalam bentuk gaya
hidup permisif, fashion, dan liberalisme pemikiran telah mengancam
eksistensi agama.Ketika kelompok ini melihat bahwa hermeneutika
menjadi salah satu cara yang paling efektif untuk meliberalkan
pemikiran Islam, maka pilihan satu-satunya menolak secara total
semua yang ditawarkan oleh disiplin keilmuan ini.
Penelusuran terhadap asal-usul gagasan penerapan
hermeneutika dalam studi al-Qur’an menunjukkan bahwa gagasan
ini mendapat pengaruh atau setidaknya terinspirasi oleh para pemikir Muslim kontemporer yang terlebih dahulu mengaplikasikan
hermeneutika dalam kajian mereka, seperti Hassan Hanafi, Fazlur
Rahman, M. Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Khaled Abou elFadl. Sementara itu, gagasan yang kontra hermeneutika banyak
mendapat pengaruh atau inspirasi dari para pemikir Muslim
kontemporer seperti SMN Naquib al-Attas dan Wan Mohd. Nor
Wan Daud. Hal itu dapat dipahami karena sebagian besar pemikir
yang menolak hermeneutika adalah para mahasiswa yang sedang
menempuh studi Islam di ISTAC Malaysia di bawah bimbingan dua
tokoh pemikir Malaysia ini.
Dari sisi spektrum pengaruhnya, gagasan pro-hermeneutika
disebarluaskan melalui Perguruan Tinggi Keagamaan Islam
terutama Universitas Islam Negeri Yogyakarta dan Universitas
Islam Negeri Jakarta. Melalui jaringan alumninya yang sebagian
besar menjadi tenaga pengajar di PTKIN/S di seluruh Indonesia,
gagasan disemaikan ke seluruh PTKIN/S di seluruh Indonesia.
Selain melalui lembaga pendidikan, penyebaran gagasan prohermeneutika juga dikembangkan melalui jaringan LSM, seperti
Jaringan Islam Liberal dan Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM) yang memiliki akses—meskipun tidak
melalui jalur formal-struktural—ke dua ormas terbesar di Indonesia,
yaitu Nahdlatul Ulama untuk JIL dan Muhammadiyah untuk JIMM.
Di lain pihak, gagasan kontra hermeneutika disebarluaskan
melalui jaringan alumni ISTAC Malaysia yang tergabung dalam
lembaga INSISTS. Para pendiri lembaga ini baik secara
organisasional maupun secara personal,menyemaikan gagasan
kontra hermeneutika melalui Perguruan Tinggi Umum maupun
Islam seperti PKU ISID Gontor, PPS Universitas Islam Ibn
Khaldun, PPS Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan
Universitas Islam az-Zahra, dan Institut Pemikiran Islam yang
digawangi oleh sebagian dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. Selain
itu, gagasan kontra hermeneutika disebarluaskan melalui ormasormas Islam seperti Muhammadiyah melalui Majlis Tablighnya,
Nahdlatul Ulama melalui Lembaga Kajian Islam Hanif (ELJIHAN),
Dewan Dakwah Islam Indonesia serta ormas Islam Hidayatullah.Perdebatan antara yang pro dan kontra hermeneutika dalam
penelitian ini menunjukkan kompleksitas upaya untuk mewujudkan
proyek integrasi-interkoneksi keilmuan yang menjadi spirit
peralihan IAIN menjadi UIN. Meski demikian, dengan perspektif
yang lebih optimistik, penelitian ini dapat membantu
melempangkan jalan menuju terwujudnya paradigma keilmuan tafsir
yang integratif-interkonektif. Kelompok yang menentang
hermeneutika sejatinya mengakui—baik secara eksplisit maupun
implisit—kemungkinan integrasi hermeneutika dalam studi tafsir alQur’an. Penegasan perlunya proses adopsi dan adapsi—atau
“borrowing process” (proses peminjaman)—menegaskan adanya
ruang yang relatif terbuka untuk proses integrasi tersebut.
Sementara itu, kelompok pendukung hermeneutika, meskipun
mendukung sepenuhnya adopsi hermeneutika, namun secara
eksplisit mereka menegaskan perlunyaproses aklimatisasi atau
proses adaptasi sejumlah prinsip-prinsip hermeneutika untuk dapat
diintegrasikan dalam ilmu-ilmu tafsir al-Qur’an. Para pendukung
hermeneutika tidak menginginkan adopsi yang sewenang-wenang
dalam mengintegraskan hermeneutika.
Integrasi konseptual, menurut hemat penulis, dapat dilakukan
dengan mengubah paradigma ilmu tafsir yang selama inicenderung
didominasi oleh paradigma keilmuan yang positivistik dengan
paradigma keilmuan dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Paradigma keilmuan tafsir selama ini hanya berempati kepada dunia
di dalam teks, perlu dilengkapi dengan empati kepada dunia di
belakang teks (pengarang) dan empati kepada dunia di dapan teks
(pembaca). Teks Kitab Suci (meskipun bersumber dari yang ilahi)
merupakan ungkapan kehidupan batiniah manusia dalam
menghayati kehidupan dunia ini. Untuk memahami ungkapan
tersebut, seorang penafsir tidak cukup hanya sekadar mengkaji
ungkapan tersebut, tetapi perlu menyelami kedalaman jiwa
pengarang atau mengalami kembali dunia sosio-historisnya. Pemahaman yang hanya berempati pada teks telah mengabaikan
dimensi kehidupan batiniah manusia itu sendiri.
Perubahan paradigma juga perlu dilakukan dalam subjek
penafsir. Harapan adanya sosok penafsir yang bebas dari semua
bentuk kepentingan, harapan dan ekspektasi, perlu diubah dengan
wawasan dunia yang memberi penghargaan terhadap subjektivitas
penafsir. Tuntutan untuk membebaskan seorang mufassir dari
pengaruh-pengaruh masa lalu adalah tuntutan yang asimetris dengan
fakta bahwa setiap penafsir telah tersituasikan dalam dunia sosiohistorisnya. Oleh karena itu, paradigma ilmu tafsir harus memiliki
keberanian untuk memberikan peran kepada penafsir untuk
menjalankan peran performatifnya dalam menafsirkan teks.
C. Saran
Upaya untuk mengintegrasikan hermeneutika untuk
pengembangan Ulum al-Qur’an dan Tafsir perlu dilakukan lebih
lanjut melalui kerja-kerja penelitian yang lebih intesif dan serius,
baik dengan cara menggali kekayaan tradisi keilmuan Ulum alQur’an dan tafsir maupun dengan cara mengadopsi dan mengadapsi
tradisi hermeneutika Barat. Perbedaan pandangan antara kelompok
yang pro maupun kontra hermeneutika perlu dikelola dan diarahkan
menuju sebuah perdebatan akademik-intelektual yang kreatif
ketimbang perdebatan ideologis-emosional yang destruktif. Sebab
seringkali perbedaan antara kedua aliran yang berseberangan ini—
dalam kasus-kasus tertentu—tidak lebih dari sekadar verbal
disagreement, ketimbang perbedaan yang substansial.
Ijtihad yang dilakukan para penganjur hermeneutika harus
dimaknai sebagai suatu upaya yang sungguh-sungguh untuk mencari
formulasi yang paling tepat dalam menafsirkan kitab suci al-Qur’an
di tengah deru perkembangan dan perubahan zaman yang begitu
cepat. Upaya-upaya tersebut harus terus dilakukan agar umat Islam
tidak menjadi umat yang terasing dari pergaulan dunia yang
semakin mengglobal. Tentu saja hasil ijtihad mereka tidak
semuanya harus diterima sebagai sebuah kebenaran mutlak. Anjuran untuk melakukan “borrowing process” atau proses adapsi dan seleksi
merupakan tuntutan yang wajar dalam setiap transfer keilmuan. Di
lain pihak, kritik-kritik yang dilontarkankalangan yang kontra
hermeneutika perlu dijadikan sebagai sparing partner bagi para
penganjur hermeneutika, sehingga mereka dapat merumuskan suatu
formulasi atau model integrasi yang lebih dapat diterima oleh kedua
belah pihak, baik yang pro maupun kontra hermeneutika.