uanya
tidak bisa dimulai pada satu hari yang berada ditengah-tenganya.
Satu hari ini membuat fasid kesucian penuh yang ada didepannya.
Molla Husrev “rahimahullah taala” menyebutkan dalam
penjelasan Gurer, “jika pada seorang gadis terjadi hari darah satu
hari, empat belas hari bersih, satu hari darah, delapan hari bersih,
satu hari darah, tujuh hari bersih, dua hari darah, tiga hari bersih
dan satu hari darah, maka menurut imam Muhammad
“rahimahullah taala” dari empat puluh lima hari ini, sepuluh hari
yang ada setelah hari bersih empat belas hari ini yaitu haid, dan
sisanya ini yaitu hari istihadhah”. sebab tidak ada kesucian penuh
setelah sepuluh hari ini maka tidak bisa terjadi haid yang baru.
Dan sebab hari bersih yang terjadi setelahnya itu tidak berada
dalam waktu haid maka darahnya tidak dianggap selalu mengalir.
“Sedangkan menurut imam Abu Yusuf “rahimahullah taala”
sepuluh hari pertama dan sepuluh hari keempat yang diapit oleh
hari bersih ini yaitu haid”. sebab kesucian fasid yang terjadi
setelahnya menurut imam Abu Yusuf, dianggap selalu mengalir.
Menurut poin pertama yang ada dibawah ini setelah sepuluh hari
haid dua puluh hari bersih, lalu sepuluh hari [sepuluh hari
keempat] ini ini yaitu haid.Jika darah terus keluar “istimrar” dalam lima belas hari tanpa
ada hari bersih maka dihitung sesuai masa menstruasinya. Yakni
hari bersihnya dihitung sebanyak hari bersih yang ada pada bulan
sebelumnya yang dimulai setelah menstruasinya dan haidnya
dihitung sebanyak menstruasi seperti itu pula.
Jika istimrar-nya terjadi pada gadis, maka dalam Menhelul
Waridin dijelaskan empat macamnya:
1- Jika darah yang terlihat terus keluar, maka dianggap sepuluh
hari pertama ini yaitu haid dan dua puluh hari setelahnya adalah
hari bersih.
2- Jika darah berlanjut setelah gadis itu melihat darah dan
bersih shahih maka gadis ini menjadi wanita yang masa
menstruasinya jelas. Contohnya, lima hari darah lalu empat puluh
hari bersih maka dianggap lima haru itu haid dan empat puluh
harinya ini yaitu hari bersih. Dan ini terus berlangsung sampai
darah berhenti.
3- Jika ia melihat darah dan bersih yang fasid maka keduanya
tidak dianggap sebagai masa menstruasi. Bersih yang fasid sebab
kurang dari lima belas hari maka dianggap seperti darah yang
terus keluar pertama kalinya. Jika sebelas hari darah dan empat
belas hari bersih, lalu itu berlanjut maka darah pertama itu fasid
sebab melebihi sepuluh hari. Dan hari kesebelas dan lima hari
darah setelah istimrar itu menjadi hari bersih dan setelah hari
kelima itu berlanjut sebagai sepuluh hari haid dan dua puluh hari
bersih. Kesuciannya ini yaitu bersih yang penuh, jika ia fasid sebab
bercampur dengan hari darah dan hari darahnya tidak melebihi
tiga puluh hari dengan kesucian yang fasid ini maka darah pertama
ini dianggap istimrar. Dan istimrar memang terjadi setelah
sebelas hari darah dan lima belas hari bersih. Dan sebab hari
pertama dari enam belas hari itu berdarah maka ia adalah
kesucian yang fasid. Empat hari pertama dari istimrar itu adalah
kesucian. Jika totalnya melebihi tiga puluh maka sepuluh hari
pertamanya itu haid, lalu hari-hari yang berada dalam istimrar
dianggap sebagai hari bersih dan sepuluh hari setelah istimrar itu
dianggap haid dan dua puluh harinya dianggap hari bersih. Dan
beginilah istimrar setelah sebelas hari darah, lalu dua puluh hari
bersih.
4- Jika ia melihat darah shahih dan bersih fasid maka hari-hari
darah shahih itu menjadi masa menstruasi. Lalu tiga puluh hari
setelahnya dianggap sebagai hari-hari bersih. Contohnya, jika iaberlanjut setelah lima hari darah dan empat belas hari bersih maka
lima hari pertama itu menjadi hari darah dan dua puluh lima hari
setelahnya ini yaitu hari bersih. Dan untuk menyempurakan dua
puluh lima hari ini, sebelas hari pertama pada istimrar itu dianggap
sebagai hari bersih. Dan setelah itu berlanjut dengan lima hari
haid dan dua puluh lima hari bersih. Dan jika terjadi tiga hari
darah, lima belas hari bersih, satu hari darah lalu lima belas hari
bersih maka tiga hari pertama itu darah shahih, lalu sisa hari
semuanya itu menjadi kesucian fasid, yakni tiga hari haid lalu tiga
puluh satu hari bersih. Jika istimrar terjadi pada waktunya maka
tiga hari haid, lalu dua puluh tujuhnya berlanjut sebagai hari
bersih. Jika kesucian yang kedua itu empat belas hari maka sebab
menurut Abu Yusuf dianggap selalu mengalir, maka dua hari
pertama itu ini yaitu haid lalu lima belas harinya ini yaitu hari bersih.
sebab tiga hari awal itu darah dan lima belas hari bersih itu
ini yaitu shahih maka ia dianggap sebagai masa menstruasi.
Wanita yang lupa menganai masa menstruasinya disebut
Muhayyire atau Dalle.
“Nifas” ini yaitu darah nifas “lochia”. Darah yang keluar pada
keguguran yang sudah terlihat jelas tangan, kaki, kepala dan lainlainnya juga termasuk nifas. Tidak ada waktu minimal dalam nifas.
Ketika darah berhenti maka hendaknya ghusl dan salat. Namun ia
tidak bisa berjima sebelum lewat masa menstruasinya. Waktu
maksimumnya ini yaitu empat puluh hari. Jika sudah sempurna
empat puluh hari namun darah tidak berhenti pun wajib ghusl dan
salat. Darah yang keluar setelah empat puluh hari termasuk
istihadhah. Jika pada kelahiran anak pertama seorang wanita
bersih dalam dua puluh lima hari maka ia memiliki masa dua
puluh lima hari juga. Jika pada kelahiran anak kedua darahnya
keluar selama empat puluh lima hari maka nifasnya dua puluh
lima hari dan istihadhahnya ini yaitu dua puluh hari. Dan
hendaknya mengqadha salatnya selam dua puluh hari ini .
Maka hendaknya ia menghafal masa nifasnya. Namun jika pada
kelahiran anak keduanya itu darah keluar kurang dari empat
puluh hari, misal tiga puluh lima hari maka itu semua dihitung
sebagai nifas, dan masa nifasnya berubah dari dua puluh lima hari
menjadi tiga puluh lima hari.
Pada bulan Ramadan barang siapa yang haid dan nifasnya
berhenti setelah sahur “yakni fajar” maka hendaknya ia tidak
makan dan minum pada hari itu. Namun harus mengqhodo puasa
hari ini . Dan apabila haid dan nifasnya dimulai setelah sahurmaka hendaknya ia makan dan minum, walaupun dimulai setelah
ashar sekalipun.
Pada hari-hari haid dan nifas, salat, puasa, masuk masjid,
membaca dan memegang Al-Quran al-Karim, thawaf dan jima’
hukumnya ini yaitu haram dalam keempat mazhab. Hendaknya
mengqhodo puasanya. Namun tidak dengan salatnya. Salatsalatnya dibebaskan dari kewajibannya. Jika pada setiap waktu
salat ia mengambil wudhu, lalu duduk selama salat ditunaikan,
berzikir dan bertasbih, maka ia mendapatkan pahala salat yang
sempurna.
Dalam kitab Jawharatun nayyira[1]
disebutkan “seorang wanita
yang memasuki masa haid wajib memberitahu kepada suaminya.
Apabila ia tidak memberitahu ketika ditanya suaminya maka itu
merupakan dosa besar. Sebaliknya jika dalam keadaan bersih ia
berkata bahwa dirinya sedang haid itu juga merupakan dosa besar.
Rasulullah “shallallahu alaihi wassalam” bersabda “wanita yang
menyembunyikan mulai dan selesainya haid dari suaminya maka
ia terkutuk”. Hukum mendekati wanita dari duburnya adalah
haram pada masa haid maupun suci. Itu merupakan dosa besar”.
Barang siapa yang melakukannya pada pasanganya maka ia
terkutuk. Sodomi ini yaitu yang dosa yang terburuk. Itu juga disebut
dengan Liwat. Dalam surat Anbiya sodomi disebutkan sebagai
kebiasaan yang sangat buruk. Dalam penjelasan Birgivi, nabi
“shallallahu alaihi wassalam” bersabda, jika kalian menemukan
orang-orang yang melakukan sodomi seperti kaum Luth, maka
bunuhlah keduanya. Beberapa alim ulama juga memerintahkan
untuk membakar keduanya. Ia menjadi junub ketika melakukan
sodomi. Sedangkan enema tidak membuat seseorang menjadi
junub namun ia membatalkan puasa seseorang “Feyziyye”.]
Jika didalam waktu salat seorang wanita menyadari haidnya
sebelum menunaikan salat, maka ia tidak wajib mengqadha
salatnya ini . [Silahkan baca bab tentang ghusl dalam buku
Kebahagiaan Abadi.]
BAB WUDHU
Fardhu-fardhu wudhu ada empat dalam Hanafi, tujuh dalam
Maliki dan enam dalam Syafii dan Hambali. Dalam Hanafi :
1- Membasuh wajah.
2- Mencuci tangan hingga kesiku.
3- Membasuh seperempat kepala.
4- Mencuci telapak kaki hingga mata kaki.
Dan juga ada empat macam wudhu: fardhu, wajib, sunnah dan
mandub.
Yang fardhu ada empat: wudhu untuk memegang mushaf,
mendirikan salat, mensalatkan mayat –dijelaskan dalam bab
kelima belas jilid kelima dari buku Kebahagiaan Abadi- dan sujud
tilawah –dijelaskan dalam bab keenam belas jilid keempat dari
Kebahagiaan Abadi.
Yang wajib: berwudhu untuk melakukan thawaf ziarah
–dijelaskan dalam bab ketujuh jilid keempat dari buku
Kebahagiaan Abadi.
Sedangkan wudhu yang hukumnya sunnah ini yaitu yang
dilakukan untuk membaca Al-Quran yang dihafal, ziarah kubur
dan sebelum ghusl.
Dan yang mandub: wudhu yang dilakukan ketika hendak tidur
dan bangun dari tidur, berkata bohong dan gibah, taubat dan
istighfar ketika mendengar sesuatu yang membangkitkan syahwat.
Dan juga yang hukumnya mandub ini yaitu berwudhu ketika
hendak pergi ke majlis ilmu dan mengambil wudhu ulang ketika
melakukan sesuatu yang tidak baik walaupun sebelumnya dalam
kondisi wudhu. Namun jika tidak melakukan apa-apa maka
makruh untuk mengambil wudhu lagi.
PERKARA AIR
Air dibagi menjadi empat macam: air mutlak, air mukayyad, air
meshkuk dan air musta’mal.
1- Air mutlak, air hujan, air laut, mata air mengalir dan air
sumur. Air ini mensucikan sesuatu yang kotor. Bisa digunakan
untuk apapun.
2- Air mukayyad, air melon, semangka, anggur, bunga dan
sebagainya. Air ini mensucikan sesuatu yang kotor namun tidak
bisa digunakan untuk wudhu dan ghusl.
3- Air meshkuk, ini yaitu air sisa dari minum keledai atau bagal
yang ibunya keledai. Air ini bisa digunakan untuk wudhu dan
ghusl. Seseorang punya pilihan untuk memilih yang satu dengan
yang lain.
4- Air musta’mal, ada perbedaan apakah ini air yang turun ke
bumi atau yang keluar dari badan. Dan yang paling shahih ada
yang keluar dari badan. Terdapat tiga pendapat dalam hal ini.
Menurut iman Hanafi “rahimahullah taala” najis mughalazah.
Menurut imam Abu Yusuf “rahimahullah taala” ini yaitu najis
mutawashitah. Sedangkan menurut imam Muhammad
“rahimahullah taala” ini yaitu bersih “suci”. Dan inilah pendapat
yang paling benar.
Ada sembilah syarat wajib wudhu :
1- Muslim
2- Baligh
3- Berakal
4- Tidak ada wudhu sebelumnya
5- Air wudhu yang suci
6- Mampu berwudhu
7- Tidak dalam keadaan haid
8- Tidak sedang nifas
9- Dalam waktu salat. [Syarat yang kesembilan disesuaikan
dengan orang yang ada uzurnya]
SUNNAH-SUNNAH WUDHU: ada dua puluh lima yang
dijelaskan.
1- Membaca isti’adzah
2- Membaca basmalah
3- Mencuci tangan
4- Membasuh sela-sela jari jemari
5- Berkumur
6- Memasukkan air ke hidung
7- Berniat. Dalam Hanafi berniat ketika membasuh wajah
bukanlah fardhu, tetapi sunnah. Sedangkan di Syafii itu fardhu.
Dalam Maliki itu fardhu ketika membasuh tangan.
8- Menghadap kiblah
9- Membasuh sela-sela janggut [Jika janggutnya lebat]
10- Mengusap janggut
11- Memulai dari sisi yang kanan
12- Menggosok sela jari-jari kaki kanan dan dimulai dari bawah
jari kelingking kaki dengan jari kelingking tangan, dan sebaliknya.
13- Membasuh seluruh bagian kepala
14- Menggosok telinga dan leher dengan air sisa dari kepala
15- Melaksanakan dengan tertib dan teratur
16- Melakukan dengan tertib tanpa terputus
17- Mulai membasuh kepala dari bagian depan
18- Menggunakan miswak
19- Membasuh samping mata dan kelopak mata dengan air
20- Menggosok anggota badan yang telah terbasuh
21- Mengambil wudhu di tempat yang agak tinggi
22- Melakukan minimal tiga kali
23- Mengisi guci kembali setelah setelah wudhu
24- Tidak berbicara hal dunia
25- Selalu berniat seperti ini
PERKARA PENGGUNAAN MISWAK
Dan penggunaan miswak ada lima belas manfaatnya. Berikut
dibawah ini manfaat-manfaatnya yang diambil dari Sirajul
Wahhaj.
1- Mempermudah pengucapan kalimat syahadat ketika
sakaratul maut
2- Memperbaiki daging gigi
3- Menghilangkan dahak di dada “ekspektoran yang baik”
4- Menghilangkan sekresi empedu
5- Menghilangkan sakit gigi
6- Menghilangkan bau mulut
7- Allahu te’ala ridha padanya
8- Memperkuat pembuluh darah kepala
9- Dikutuk setan
10- Mencerahkan mata
11- Didalamnya terdapat banyak kebaikan dan hasanat
12- Sunnah
13- Muluhnya menjadi bersih
14- Lidahnya menjadi fasih
15- Pahalanya lebih banyak dari pahala salat tujuh puluh kali
rakaat yang tidak menggunakan miswak.
HAL-HAL YANG MUSTAHAB DALAM WUDHU: ada
enam perkara:
1- Tidak mengucapka niat yang dilakukan oleh hati
2- Membasuh leher dengan air sisa dari basuhan telinga
3- Tidak mencuci kaki dengan menghadapkan ke kiblat
4- Jika memungkinkan minum air yang tersisa dari wudhu
sambil berdiri menghadap kiblat
5- Mencipratkan sedikit air kepakaiannya setelah wudhu
6- Mengeringkan anggota tubuh dengan kain bersih
Ibnu Abidin berpendapat mengenai orang-orang yang
membatalkan wudhunya, “melakukan sesuatu yang makruh
dalam mazhabnya sendiri namun fardhu dalam mazhab lain,
hukumnya ini yaitu mustahab”. Imam Rabbani menyebutkan
dalam risalah yang kedua ratus delapan puluh enam, “menggosok
anggota tubuh untuk berwudhu hukumnya ini yaitu fardhu dalam
mazhab Maliki, maka kita wajib melakukannya”. Ibnu Abidin
menyebutkan ketika menjelaskan tentang talaqi rij’i, “seseorang
yang mengikuti mazhab imam Hanafi lebih utama mengikuti
mazhab Maliki. sebab imam Malik seperti murid Imam Hanafi.
Ketika tidak terdapat hukum dalam mazhab Hanafi maka alim
ulama Hanafi memberikan fatwa menurut Maliki. Mazhab Maliki
ini yaitu yang paling dekat dengan mazhab Hanafi diantara mazhab
yang lainya”.
HAL-HAL YANG MAKRUH DALAM WUDHU: ada
delapan belas:
1- Mengguyur air dengan keras kewajah
2- Meniup air yang dipakai untuk wudhu
3- Membasuh kurang dari tiga kali
4- Membasuh lebih dari tiga kali
5- Meludahi air untuk wudhu
6- Mengingusi air yang dipakai untuk wudhu
7- Memasukkan air ketika sedang berkumur
8- Bertolak belakang dengan kiblat
9- Berkedip-kedip
10- Melotot
11- Memulai dari yang kiri
12- Membuang ingus dengan tangan kanan
13- Memasukkan air kedalam mulut dengan tangan kiri
14- Memasukkan air kedalam hidung dengan tangan kiri
15- Menghentakkan kaki ketanah
16- Berwudhu dengan air yang sudah hangat sebab matahari
17- Tidak menggunakan air musta’mal “silahkan liat jenis-jenis
air di paragraf atas”
18- Berbicara hal dunia
PERKARA-PERKARA YANG MERUSAK WUDHU: ada
dua puluh empat hal yang disebutkan:
1- Sesuatu yang keluar dari belakang2- Sesuatu yang keluar dari depan
3- Sesuatu yang keluar dari depan dan belakang walaupun
sebesar cacing atau kerikil
4- Melakukan enema “memasukan cairan lewat anus”
5- Jika obat yang dimasukkan lewat tempat melahirkan
kembali keluar
6- Sesorang yang memasukkan obat lewat telinga lalu keluar
lewat mulut maka itu membatalkan wudhu. [Jika keluar lewat
telinga atau hidung tidak membatalkan “Hindiyye”]
7- Jika kapas yang dipakai seorang laki-laki untuk menyubat
air kecil basah dan lepas. [Jika sebagian kapasnya keluar dan tidak
basah maka selama ia tidak lepas, itu tidak membatalkan]
8- Jika kapasnya jatuh dan bagian yang luarnya basah
9- Muntah yang banyak. Jika yang dimuntahkan ini yaitu dahak
maka tidak membatalkan walaupun keluar banyak. Cairan yang
keluar dari mulut seseorang yang tidur juga termasuk bersih
walaupun berwarna kuning.
10- Mengeluarkan air mata yang disebabkan oleh penyakit.
Jika air mata keluar diakibatkan oleh bawang dan sebagainya
maka tidak membatalkan.
11- Darah, nanah, dan cairan kuning yang keluar dari hidung
hukumnya membatalkan walaupun tidak keluar dari lubang
hidung. Ingus bukanlah najis, tidak membatalkan.
12- Jika terdapat banyak darah dari ludah
13- Jika darah keluar ketika menggigit sesuatu dan gigi,
mulutnya terkena darah ini maka ia membatalkan wudhu.
Jika tidak terkena gigi dan mulut maka tidak batal
14- Jika ada darah yang terlihat disalah satu anggota tubuh dan
ia terlihat menyebar walaupun sedikit maka dalam Hanafi itu
batal. Namun tidak didalam Syafii dan Maliki.
15- Tidur nyenyak diatas hewan tunggangan.
16- Ragu-ragu apakah masih ada wudhu atau tidak, maka
hendaknya beranggapan tidak ada wudhu
17- Jika seorang suami berpelukan dengan istrinya dalam
keadaan telanjang
18- Lupa dalam membasuh salah satu anggota tubuh, walaupunia tidak tahu bagian yang mana
19- Jika darah, nanah dan cairan kuning yang ada disalah satu
anggota tubuh keluar dengan sendirinya atau ketika dipencet
20- Jika terdapat luka pada salah satu anggota tubuh yang
terdapat cairan kuning, darah atau nanah ditengah-tengahnya
maka jika itu merembes keanggota tubuh yang sehat atau ke kapas
yang ada diatasnya, hukumya ini yaitu batal. Namun jika yang
keluar ini yaitu cairan yang tidak berwarna dari lukanya maka itu
tidak membatalkan. Orang yang menderita kudis dan eksim boleh
mengikuti pendapat diatas.
21- Jika ia bersandar lalu tidur dengan nyenyak seakan akan
jatuh
22- Jika ia tertawa pada salat-salat yang ada ruku’ dan sujudnya
hingga terdengar oleh diri sendiri dan orang yang disampingnya.
Namun jika hanya terdengar oleh diri sendiri maka salatnya
menjadi fasid, tapi wudhunya tidak batal
23- Jika epilepsinya kambuh dan ia jatuh pingsan
24- Jika keluar darah, nanah dan cairan kuning dari telinga dan
turun ke anggota tubuh yang perlu dibasuh dalam ghusl.
Orang-orang Eropa belajar mandi di hamam dari kita
Sebelum itu mereka tidak bisa masuk kerumah masing-masing sebab bau mereka sendiri
Orang-orang muslimlah yang menyebarkan perkara kebersihan kepada dunia
Dengan begitu manusia tertolong dari musuh yang besar
DOA-DOA WUDHU
Ketika akan berwudhu hendaknya mengucapkan, “Bismillâhiladzim wal-hamdulillâhi ’alâ dînil islâmi wa ’alâ tawfîq ilîmâni
alhamdulillâhil ladzî ja’alal mâa tahûran wa ja’al al islâma nûran.”
Ketika memberi air kemulutnya, “Allâhummasqinî min hawdi
nabiyyika ka’san lâ ’azmau ba’dahu abadan.”
Ketika memasukkan air kedalam hidungnya, “Allâhumma
arihnî râyihat al Jannati warzuqnî min naîmihâ wa lâ turihnî
râyihatan nârî.”
Ketika akan membasuh wajah, “Allâhumma bayyid wajhî
binûrika yawma tabyaddu wujûhu awliyâika walâ tusawwid wajhî
bizunûbî yawma taswaddu wujûhu a’dâika.”
Ketika akan membasuh tangan kanan sampai kesiku,
“Allâhumma a’tinî kitâbî biyamîni wa hâsibnî hisâban yasîran.”
Ketika akan membasuh tangan kiri sampai kesiku,
“Allâhumma lâ tu’tinî kitâbî bishimâlî wa lâ min warâî zahrî walâ
tuhâsibnî hisâban syadîdan.”
Ketika akan membasuh kepala, “Allâhumma harrim sha’rî wa
basharî ’alannârî wa azillanî tahta dhillî ’Arshika yawma lâ dhilla
illâ dhilluka.”
Ketika akan mencuci telinga, “Allâhumma j’alnî minalla dhîna
yastami’ûnal qawla fa yattabi’ûna ahsanah.”
Ketika akan membasuh leher “bagian belakang”, “Allâhumma
a’tik raqâbatî minannâri wahfaz min as-salâsili wal-aghlâl.”
Ketika akan membasuh kaki kanan, “Allâhumma thabbit
qadamayya ’ala sirâti yawma tazillu fîhil aqdâm.”
Ketika akan membasuh tangan kanan sampai kesiku,
“Allâhumma lâ tatrud qadamayya ’alas sirâti yawma tatrudu kullu
aqdâmi a’daika. Allâhumma j’al sa’yî masykûran wa zanbî
maghfûran wa ’amalî maqbûlan wa tijâratî lan’ tabûra.”
Ketika selesai berwudhu, “Allâhummaj’alnî minattawwâbîna
waj’alnî min-almutetahhirîna wa-j’alnî min ’ibâdika sâlihîna waj’alnî min alladhîna lâ khawfun ’alaihim walâ hum yahzanûn.”
Maka ketika ia melihat ke langit, “Subhânakallâhumma wa
bihamdika asy-hadu an lâ ilâha illâ Anta wahdaka lâ sharîka laka
wa anna Muhammadan ’abduka wa rasûluka.”
Lalu membaca surat Inna anzalna satu atau dua kali, bahkan
tiga kali dengan diawali basmalah.
Dan juga pelajari dan ajarkan ilmu agama kepada keluarga,
anak dan cucu, sebab laki-laki akan diminta pertanggung
jawaban atas wanitanya.
BAB TAYAMUM
Dalam mazhab Hanafi tayamum sebelum masuk waktu salat
ini yaitu sah. Sedangkan di tiga mazhab lain tidak. Ada tiga fardhu
tayamum: tayamum untuk wudhu sama dengan tayamum untuk
ghusl. Hanya niatnya yang berbeda. Oleh sebab itu salah satu
dari tayamum ini tidak bisa digunakan untuk yang lain.
1- Niat, dan ini ini yaitu wajib
2- Memukulkan tangan ke tanah lalu mengusapkannya ke
wajah.
3- Memukulkan tangannya ke tanah lagi lalu mengusapkannya
ke tangan kanan menggunakan telapak tangan kiri terlebih dahulu
lalu ke sebaliknya, dan ini semua ini yaitu rukun.
Dalil yang menunjukan bahwa tayamum ini yaitu fardhu ada
pada surat An-Nisa ayat keempat puluh tiga dan surat Al-Maidah
ayat keenam. Dalam Maliki dan Syafii, tayamum tidak boleh
dilakukan sebelum masuk waktu salat dan tidak bisa salat
menggunakan satu tayamum.
Tayamum tidak boleh dilakukan dengan enam hal. Kecuali
terdapat debu tanah diatasnya. Enam hal itu adalah: besi,
tembaga, perunggu, timah, emas, perak dan semua logam.
Tayamum diperbolehkan menggunakan bahan selain logamlogam yang dapat cair ketika dipanaskan, kaca yang melunak
ketika dipanaskan dan porselen yang mengkilap. Namun ia harus
dari jenis tanah.
Salat bisa dilakukan ditanah yang telah dikencingi lalu ia
mengering. Namun ia tidak bisa dilakukan untuk tayamum.
Agar dapat melakukan tayamum, wajib untuk mencari air
dahulu, lalu tidak menemuinya, dan bertanya kepada seorang
muslin dan seorang yang adil, dan orang yang adil ini
haruslah shalih juga.
Ada lima syarat tayamum:
1- Niat.
2- Mengusap.
3- Barang yang dipakai untuk tayamum berasal dari jenis
tanah. Jika bukan maka harus ada debu tanah diatasnya.
4- Barang yang dipakai atau debu ini haruslah bersih.
5- Tidak sanggup secara hakikat atau hukum dalam
penggunaan air. [Sakit yang ada ditangan atau kaki setelah
sembuh dari suatu penyakit merupakan uzur. Begitu pula dalam
masalah usia. Maka mereka mendirikan salat dengan duduk].
Sedangkan sunnah-sunnah dari tayamum ada tujuh:
1- Membaca basmalah.
2- Memukulkan telapak tangan ke tanah yang bersih.
3- Mengusapkan tangan maju mundur diatas benda ini .
4- Melebarkan jari jemari.
5- Meniriskan debu yang ada ditangan.
6- Mengusap wajah terlebih dahulu.
7- Mengusap tangan hingga ke siku kemudian.
Ada empat kondisi yang harus dipenuhi untuk mencari air:
1- Lokasi yang dihuni
2- Jika diberi kabar bahwa air sudah ditemukan
3- Jika anda yakin bahwa ada air
4- Jika anda tidak berada di tempat yang seharusnya.
Jika seseorang menemukan air namun tempat adanya air itu
lebih dari satu mil maka tayamum diperbolehkan. Namun jika
kurang dari satu mil dan waktu salat belum lewat maka tidak
diperbolehkan tayamum. [Satu mil ini yaitu empat ribu zra, yakni
dalam mazhab Hanafi 0,48 x 4000 = 1920 meter].
Dan jika seseorang pergi mencari air dan ketika tidak
menemukannya ia bertayamum dan salat, lalu setelahnya melihat
air maka terdapat perbedaan pendapat untuknya mengulang atau
tidak salatnya ini . Namun yang paling benar ini yaitu ia tidak
wajib mengulang salatnya.
Seseorang sedang dalam keadaan basah namun ia tidak
menemukan air dan bahkan tidak menemukan tempat untuk
bertayamum, maka hendaknya ia mengeringkan sepotong lumpur
lalu bertayamum dengannya. Jika terdapat beberapa orang yang
bertayamum lalu salah satu darinya melihat air, maka hukum
tayamum mereka semua batal.
Dan juga jika dibawakan sedikit air kepada beberapa orang
lalu dikatakan ambillah wudhu salah satu dari kalian, maka
tayamum mereka semua menjadi batal. Namun jika dikatakan
ambillah wudhu kalian semua, padahal air yang dibawakan
ini hanya cukup untuk satu orang, namun hukum tayamum
mereka semua menjadi shahih.
Jika seseorang sedang dalam keadaan junub dan ia tidak
menemukan kecuali di masjid untuk ghusl, maka hendaknya ia
tayamum lalu masuk masjid untuk mengambil air. Namun ketika
sudah masuk masjid ia tidak menemukan air untuk salat maka
hendaknya ia tayamum lagi.
Jika seseorang yang sedang duduk didalam masjid mimpi basah
maka hendaknya ia bertayamum dan setelah itu baru keluar
masjid.
Seseorang yang tidak mempunyai tangan bisa melakukan
tayamum. Namun jika ia memiliki orang yang melakukan istinja
kepadanya maka istinja masih wajib padanya. Namun jika tidak
ada ia terbebas dari istinja ini .
Dan jika kedua kaki dan tangannya tidak ada maka ia
terbebaskan dari melaksanakan salat menurut Tarafayn “Imam
Abu Hanifah dan Imam Muhammad Syahbani”. Sedangkan
menurut imam Abu Yusuf ia wajib melaksanakan salat.
Dan juga tidak diperbolehkan bertayamum untuk salat Jumat.
Yakni ketika waktu untuk berwudhu tinggal sedikit dan takut jika
terlewat salat Jumatnya lalu ia bertayamum maka itu tidak sah.
[Qodho untuk salat Jumat ini yaitu salat dzuhur]. Dalam Darrul
Muhtar, berwudhu dengan air kurma dari jenis nebidh tidak sah.
Seseorang yang bermimpi basah dalam perjalanan
diperbolehkan untuk tayamum dan melaksanakan salat subuh.
Dan perjalanan berlangsung hingga waktu dzuhur. Setelah itu
hendaknya salat dzuhur dengan bertayamum ketika waktu salat
ashar sudah mendekat atau waktu salat dzuhur sudah akan selesai.
Dan jika pada waktu ashar ia mendapatkan air, apakah ia wajib
mengqadha salat subuh dan dzuhurnya ? Terdapat perbedaan
pendapat ulama dalam hal ini. Dalam salah satu pendapatdisebutkan ia wajib mengulangnya. Dan dipendapat yang lain
tidak. Sepertinya masalah ini harus dibahas setelah pembahasan
mengenai ‘tertib’ “yang dijelaskan pada paragraf ketujuh dari bab
kedua puluh tiga dari jilid keempat Kebahagiaan yang Kekal”.
Jika seseorang mempunyai air yang diletakkan ditunggangan
keledainya, lalu ia kehilangan keledainya maka hendaknya ia
bertayamum dan melaksanakan salat. Dan ketika sedang salat ia
mendengar suara keledainya ini maka wudhunya batal.
Jika seseorang berpergian dengan kuda namun jika ia turun ia
akan ditinggalkan teman-temannya, maka hendaknya
bertayamum diatas kudanya ini dan melaksanakan salatnya
sambil duduk.
Jika jalanan berbahaya atau cuaca yang dingin menyebabkan
kemungkinan seseorang akan sakit maka hendaknya ia salat
dengan bertayamum.
Hendaknya seseorang yang berpergian membawa potongan
keramik atau bata. sebab jika hendak melaksanakan salat ia
tidak menemukan air dan lingkungan sekitarnya lembab. Maka ia
bertayamum dengan bata ini .
Jika seseorang yang hendak akan melaksanakan salat ‘id batal
wudhunya, namun ia khawatir jika ia pergi mengambil wudhu
maka akan ketinggalan salat ‘idnya dan kekhawatirannya itu besar
maka hendaknya ia bertayamum dan salat dengannya. Ini adalah
pendapat imam Abu Hanifah. Sedangkan menurut imamayn ia
tetap harus ambil wudhu kembali.
[Disebutkan dalam catatan “Ahmad bin Muhammad bin
Ismail” Tahtawi pada buku Meraq al falah “Abul-Ikhlâs Hasan
bin Ammar” Sherblali, “penyakit ini yaitu uzur untuk tayamum.
Sedangkan seseorang yang sehat dan takut sakit jika mengambil
wudhu bukanlah suatu uzur. Para alim ulama yang membolehkan
seseorang untuk mengqadha puasanya dengan alasan takut sakit,
juga memperbolehkan tayamum bagi orang yang takut sakit.
Penyakit sendiri ada empat macam: Air mungkin berbahaya.
Begitu pula dengan bergerak. Seseorang mungkin tidak bisa
menggunakan air. Dan juga tidak bisa bertayamum. Berbahaya
bisa dipahami oleh rasa takut orang ini atau keputusan
dokter yang muslim, adil dan jujur. Jika tidak ada dokter yang adil
maka keputusan dokter yang baik dan tidak berdosa dapat
diterima. Seseorang yang tidak bisa menggunakan air dan ia tidakmenemukan orang lain untuk mengambilkan wudhu maka
hendaknya bertayamum. Namun jika ia memiliki anak ataupun
pembantu yang bisa mengambilkannya wudhu maka dianjurkan
untuk diambilkan wudhu padanya. Dan jika tidak ada maka
dipersilahakan tayamum. Juga tidak perlu untuk menyewa
pembantu dalam hal ini menurut imam Hanafi. Sedangkan orang
yang sama sekali tidak bisa tayamum pun hendaknya mengqhodo
salat-salatnya. Walaupun antar suami dan istri tidak wajib untuk
membantu wudhu dan salat satu sama lain, suami perlu meminta
kepada istri. Barang siapa yang sedang berada diluar kota atau
desa yang tidak bisa menemukan air panas dan ia takut akan sakit
jika ghusl dengan air dingin maka hendaknya ia bertayamum.
Untuk dalam kota pun diberi fatwa yang seperti ini. Jika anggota
tubuh ghusl dan wudhu terluka lebih dari setengahnya maka
hendaknya tayamum. Jika hanya setengahnya maka basuhlah
anggota tubuh yang sehat. Dan mengusap bagian yang terluka,
namun jika mengusap juga berbahaya maka usaplah balutan
lukanya. Dan jika itu juga berbahaya maka janganlah diusap. Jika
mengusap itu berbahaya disebab kan sakit maka ia terbebas dari
membasuhnya. Jika wajah dari seseorang yang kehilangan kedua
kaki dan tangannya itu terluka maka hendaknya ia salat tanpa
wudhu disebab kan ia pun tidak bisa bertayamum, dan tidak perlu
mengqhodonya. Namun jika wajahnya sehat maka hendaknya
dibasuh. Jika tidak ada pembantu maka hendaknya mengusap
wajahnya langsung ke tanah. Seseorang yang salah satu tangannya
cacat, terluka atau putus maka hendaknya ia berwudhu dengan
tangannya yang sehat. Namun jika keduanya pun begitu maka
hendaknya mengusap wajahnya ketanah langsung. Balutan atau
kayu, salep dan gips yang dipasang pada luka-luka atau patah
secara darurat untuk kesembuhan dan perlindungan dari bahaya
itu tidak bisa dibuka dan lukanya tidak bisa basuh dengan dan juga
tidak bisa diusap, maka hendaknya diusaplah balutan dan
sejenisnya ini dan juga sisa dari anggota tubuh yang sehat.
Namun jika ada kemungkinan untuk dilepas, maka wajib dibasuh
luka bagian atasnya dan dicuci kulit yang masih sehat ini .
Hal-hal ini tidak harus diterapkan setelah berwudhu; juga tidak
ada batas waktu untuk penggunaannya. Diperbolehkan untuk
membasuh kaki yang sehat dan mengusap balutan yang ada dikaki
yang lain. Jika balutan yang menempel itu lepas maka wudhu tidak
batal selama luka belum sembuh. Begitu juga jika bahan yang
diusap itu diganti setelah ia diusap, maka wudhu pun tidak batal.Jika kuku patah atau terluka dan menghapus salep yang
dipakaikan itu berbahaya, maka cukup basuhlah bagian atas salep
ini sebab itu termasuk darurat. Jika mencucinya itu
berbahaya maka cukup diusap. Jika itupun membahayakan maka
janganlah diusap. [sebab didalam tiga mazhab lain juga memiliki
hukum seperti ini maka tidak perlu mengikuti mazhab lain
ini .] Dalam Ibnu Abidin salep dijelaskan seperti splint.
Namun tidak dengan tambalan dan bungkusan gigi. sebab ia
memungkinkan untuk mengikuti imam Maliki atau Syafii.
Seseorang yang tertinggal salatnya sebab hilang akal dan pingsan
disebabkan bukan dari dirinya sendiri maka ia tidak perlu
mengganti salat-salat yang terlewat hingga ia sadar. Dan juga
berapa pun jumlah salat yang tidak dilaksanakan sebab sakit dan
yang dilaksanakan dengan ima “duduk, berbaring dan lain-lain”,
maka tidak perlu diganti sebab keadaan darurat. Namun jika ia
sehat-sehat saja maka wajib diganti semuanya”.
Ibnu Abidin “rahimahullah taala” menyebutkan “seseorang
yang mewudhukan atau membasuh anggota bagian wudhu orangorang yang sehat hukumnya ini yaitu makruh. Sedangkan jika ia
hanya membawakan air dan menuangkan air kepada orang itu
untuk berwudhu maka itu diperbolehkan. Jika seseorang yang
sedang sakit itu selalu mengotori pakaian dan kasurnya, dan untuk
menggantinya itu sangatlah merepotkan maka hendaknya ia salat
walaupun dalam keadaan najis. Jika splint, kayu, plaster dan
balutan salep itu lepas dan jatuh setelah luka yang terdapat
dibawahnya itu sembuh maka wudhunya batal. Dan juga wudhu
dan ghusl akan batal jika luka telah sembuh, walaupun plester dan
lain-lainnya belum jatuh dan bisa diangkat dengan aman.”
Allahu te’ala memberikan masalah dan penyakit dengan
tujuan untuk memaafkan dosa-dosa hamba-hambanya atau
menambah nikmatnya nanti di surga. Oleh sebab nya ibadahibadah kadang merepotkan dan menyusahkan. Namun sebagai
gantinya Ia memberika kemudahan, kenyamanan dan keberkahan
pada pekerjaan-pekerjaan dunia. Dan tidak akan memberikan
keberkahan dan kemudahan bagi yang tidak melakukannya.
Kalaupun mereka hidup dalam kenyamanan dan kekayaan yang
mereka dapatkan dari berbuat curang dan khianat, kenikmatan itu
tidak akan berlangsung lama. Dalam waktu yang singkat mereka
akan menderita di rumah sakit ataupun penjara. Dan siksa mereka
di akhirat nanti akanlah keras].
–
ISTINJA, ISTIBRA DAN ISTINQA
Istinja ini yaitu mencuci bagian yang diketahui dengan air.
Istibra, mengulur waktu sebelum mengambil wudhu setelah buang
air kecil dengan berjalan-jalan atau diam beberapa saat sampai air
kecilnya benar-benar hilang. Sedangkan istinqa ini yaitu yakin dan
tenangnya hati tentang kebersihan fisiknya.
Istinja ada enam macam:
Yang fardhu ini yaitu membersihkan najis walaupun sebesar
satu dirham yang ada dipakaian, tubuh atau tempat yang akan
digunakan untuk salat, dengan air. Begitu pula dalam ghusl, istinja
ini yaitu fardhu. [Yang dimaksud dengan satu dirham disini adalah
satu misqal, yani empat gram dan delapan pulun santigram].
Yang wajib ini yaitu membersihkan najis walaupun sebesar satu
dirham pada pakaian dan tempat ibadah.
Membersihkan najis yang kurang dari satu dirham adalah
sunnah.
Yang mustahab ini yaitu membersihkan najis yang sedikit. Yang
mandub ini yaitu membersihkan tempat duduk yang dikentuti
ketika tempat itu sedang basah.
Sedangkan jika ia membersihkan tempat duduk yang dikentuti
ketika sedang kering ini yaitu bid’ah.
Sunnah-sunnah dalam istinja: membersihkan dengan batu atau
tanah diikuti dengan air sesudahnya.
Namun jika najis itu tidak hilang dengan batu dan tanah, dan
tersisa satu dirham lebih atau bahkan ia merembet ketempat
duduknya maka membersihkan dengan air menjadi fardhu.
Setelah itu wajib mengeringkan dengan kain lap yang bersih dan
jika tidak ada hendaknya dengan tangan.
Hukum mustahab pada istinja ada satu: menggunakan jumlah
batu yang ganjil. Yakni, tiga, lima atau tujuh.
[Untuk seseorang yang memiliki kebiasaan mengompol
“enuresis” agar pakaiannya tidak terkena air seninya ini
maka hendaknya dipasangkan popok atau kain sebesar 12x12 cm
lalu diikatkan benang sepanjang setengan meter. Kainnya ini
hendaknya menutupi kemaluannya. Dan benangnya setidaknya
mengikat satu ikatan pada ujung-ujung kain, yakni atas
kemaluannya. Bagian yang dekat dengan kain balutan diikat duakali, dan bagian yang dibalut ini ditarik lalu dimasukkan
kedalam balutan dan diikat. Lalu ujungnya dikaitkan dengan
peniti dan disangkutkan ke celana dalam. Ketika akan buang air
kecil maka penitinya dilepas dan ditarik benangnya maka kain
pembalutnya akan segera lepas. Terdapat pada beberapa orang
tua bahwa kelamin mereka sudah mulai mengecil. Oleh sebab nya
kain pembalut tidak bisa menutupinya. Maka mereka harus
meletakkan kelamin dan buah zakarnya kedalam kain nilon dan
mengikat kepala kainnya ini . Seseorang yang bermazhab
Hanafi dan memiliki kebiasaan ini namun tidak memiliki uzur
maka ketika hendak berwudhu, ghusl dan salat berniat untuk
mengikuti mazhab imam Maliki. Salah seorang guru Jamiatul
Azhar yang wafat pada tahun 1384 H, Abdurrahman Ceziri
“rahimahullah taala” menyebutkan dalam “Kitabul Fiqh Alal
Mazhahibil Arba’” yang disusun oleh alim ulama Mesir “Dalam
mazhab imam Maliki menurut pendapat yang kedua, jika terjadi
sesuatu yang membatalkan wudhu pada orang yang sakit dan tua
maka ia langsung beruzur dan wudhunya tidak batal. Seseorang
yang bermazhab Hanafi dan Syafii yang dalam keadaan haraj
“kesulitan” bisa mengikuti pendapat ini”. Seorang yang
bermazhab Hanafi yang mengompol saat salat ketika keadaannya
tidak nyaman ini boleh mengikuti pendapat imam Maliki. Maka
hendaknya ia berniat demikian dan melanjutkan salatnya dalam
keadaan uzur].
BAGAIMANA MELAKSANAKAN SALAT
Salat didirikan dengan empat perkara: dengan fardhunya,
wajibnya, sunnahnya dan mustahabnya. Dalam mazhab Hanafi
mengangkat tangan sejajar dengan daun telinga itu merupakan
sunnah. Mengarahkan telapak tangan kearah kiblat pun
merupakan sunnah. Dan merupakan mustahab bagi laki-laki
untuk menyentuhkan ibu jari kedaun telinga dan bagi perempuan
mengangkat tangan sejajar dengan bahu, dan mengatakan Allahu
Akbar ini yaitu fardhu. Setelah takbir maka mendekapkan tangan
ini yaitu sunnah. Meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri juga
merupakan sunnah. Dan juga bagi laki-laki meletakkan tangan
dibawah perut dan bagi perempuan meletakkan tangan didada
ini yaitu sunnah. Dan bagi laki-laki juga ini yaitu mustahab untuk
menggenggam pergelangan tangan kirinya.Membaca ‘Subhanaka’ dalam salat ini yaitu sunnah, baik itu
imam, makmum ataupun sendiri. Membaca ta’awudz juga
merupakan sunnah bagi imam atau yang sendiri. Membaca
basmalah ini yaitu sunnah. Membaca surat Al-Fatihah dan
membaca tiga ayat atau lebih panjang dari itu juga wajib,
sedangkan membaca satu ayat dari Al-Quran al-Karim dalam
keadaan berdiri pada setiap rakaat salat-salat sunnah dan witir,
dan dua rakaat ketika salat sendiri ini yaitu fardhu.
Membungkukkan pinggul dalam ruku ini yaitu fardhu. Dan
membungkuk sebanyak tiga kali mengucapkan Subhanallah
ini yaitu wajib. Sedangkan mengucapkan Subhana rabbiyal azhim
tiga kali ini yaitu sunnah. Dan hukumnya mustahab jika
mengucapkan sebanyak lima atau tujuh kali. Untuk menunduk
selama pengucapan satu kali Subhanallah antara ruku dan qiyam
juga antara dua sujud, menurut imam Abu Yusuf ini yaitu fardhu.
Sedangkan menurut tarafayn ini yaitu wajib, dan walaupun
beberapa ulama menyebutkan itu ini yaitu sunnah, namun yang
paling benar ini yaitu wajib.
Dalam sujud, meletakkan kepala ketanah ini yaitu fardhu. Dan
membungkuk selama tiga kali Subhanallah adaah wajib. Dan
mengucapkan tiga kali Subhana rabbiyal a’la ini yaitu sunnah.
Sedangkan mengucapkan lima atau tujuh ini yaitu mustahab.
Ibnu Abidin menyebutkan “dalam proses sujud, hendaknya
meletakkan dua lutut terlebih dahulu, lalu kedua tangan, lalu
hidung diikuti dengan kening. Jari jempol sejajar dengan telinga.
Dalam Syafii tangan disejajarkan dengan pundak. Dan
meletakkan setidaknya satu jari kaki ini yaitu fardhu. Tanah atau
lantai haruslah keras agar kepala tidak tenggelam kedalam.
Contohnya ini yaitu karpet yang tebal, anyaman rotan, gabah dan
gandum. Meja, sofa dan mobil yang ada diatas tanah juga
termasuk tanah. Namun pelana dan sejenisnya yang berada diatas
hewan tunggangan tidaklah termasuk. Juga kain, karpet dan
anyaman yang dipasang dan diikat ke pohon atau tiang bukanlah
tanah. Sujud diatas jawawut dan gabah-gabah yang termasuk
bahan yang licin tidaklah sah. Namun jika berada dalam karung
maka ia shahih. Jika tempat sujud itu berjarak dua belas jari atau
dua puluh lima cm dari tanah tempat meletakkan lutut maka
walaupun salatnya sah tapi ia makruh. Dalam sujud siku-siku
dibiarkan terbuka dari badan dan perut. Jari jemari kakidiarahkan ke kiblat. Sebagaimana hukum menempekan tumit satu
dengan yang lainnya itu sunnah ketika akan ruku, begitu pula
dalam sujud ditempatkan berdekatan.
Bagi wanita ketika takbir maka hendaknya mengangkat
tangannya sampai pundak. Dan jangan sampai pergelangan
tangan keluar dari lubang pergelangan pakaian. Lalu meletakkan
pergelangan tangan kanan diatas tangan kiri didada. Menunduk
sedikit ketika ruku. Tidak perlu mensejajarkan pinggul dengan
kepala. Dan juga tidak membuka jari jemari saat ruku dan sujud.
Sebaliknya justru harusnya menempelkan jari jemarinya.
Meletakkan tangannya diatas lutut dan menggenggamnya. Dia
meletakkan kedua tangannya di atas lututnya dan harus ditekuk.
Dia tidak memegang lututnya. Dan ketika sujud hendaknya
meletakkan tangannya ketanah dekat dengan perutnya. Dan
menempelkan perutnya kepaha. Dan dalam duduk tasyahud
mengeluarkan kakinya kebagian kanan. Jari jemari tangannya
diletakkan diatas lutut. [Dan bagi laki-laki juga tidak perlu
mencengkram lututnya]. Jari jemarinya dirapatkan satu sama lain.
Dan makruh hukumnya mereka salat dengan imam baik itu dari
kalangan mereka sendiri atau kalangan jamaah laki-laki. Dan bagi
wanita, salat Jum’at dan shola Id tidaklah fardhu. Dan ketika
pembacaan Takbir tasyrik setelah salat Id Adha, membacanya
pelan dari dalam hati. Dan tidaklah mustahab jika ia
melaksanakan salat subuhnya telat.” Dengan begini telah selesai
terjemahan dari Ibnu Abidin telah selesai. Sayyid Ahmad Hamawi
bin Muhammad Mekki “rahimahullah taala” “wafat 1098 [1686
A.D] dalam bukunya Uyunul Bashaair yang merupakan sebuah
pendapat dari bukunya yang berjudul Eshbah “yang mana ditulis
oleh Zaynal Abidin bin Ibrahim ibnu Nujaymi Misri
“rahimahullah taala, 926 A.D – 970 [1562 A.D] menyebutkan bagi
wanita yang menggunduli rambut mereka dengan cara mencukur
atau memotong atau bahkan dengan menggunakan obat,
hukumnya ini yaitu makruh tahrim. [Namun diperbolehkan untuk
memotong rambut sampai daun telingan dengan syarat tidak
menyerupai laki-laki]. Makruh juga bagi wanita untuk
mengumandangkan azan atau iqomah. Dan juga tidak
diperbolehkan berpergian tanpa suami atau mahramnya. Tidak
boleh membuka jilbabnya ketika haji. Bisa melakukan ibadah sai
dari Safa ke Marwa walaupun dalam keadaan uzur, tidak suci.
Namun harus thawaf dari jarak yang jauh dari Ka’bah. Tidakboleh berkhutbah. sebab suara mereka ini yaitu aurat mereka.
Mereka boleh menggunakan khuf saat haji. Para wanita tidak
diperbolehkan mengangkat jenazah. Dan tidak bisa dibunuh jika
ia murtad. Dan dalam kasus qisas atau hudud tidak diterima
persaksiannya. Tidak beritikaf didalam masjid. Diperbolehkan
untuk mewarnai tangan dan kakinya dengan inai. [Namun tidak
dengan kutek]. Dalam pembagian warisan, persaksian dan nafkah
untuk saudaranya memiliki jatah setengan dari laki-laki. Seorang
wanita muhsinah tidak diperkenankan dipanggil ke mahkamah.
Seorang hakim atau wakilnyalah yang patut pergi kerumahnya.
Seorang wanita muda tidak sepatutnya mengucapkan salam, bela
sungkawa dan menjawab bersin laki-laki asing dan juga jika lakilakinya telah mengucapkan lebih dahulu ia pun tidak seharusnya
membalas. Juga mereka dilarang untuk berdiam diri dengan lakilaki asing dalam satu kamar. Dan selesailah terjemahan dari
Hamawi.
Duduk tahiyat awal hukumnya wajib. Sedangkan duduk
tahiyat akhir ini yaitu fardhu. Dan membaca tahiyat pada duduk
yang terakhir ini yaitu wajib.
Membaca shalawat pada duduk tahiyat akhir di salat fardhu,
salat wajib, lalu salat sunnah qabliyah dzuhur dan qabliyah dan
ba’diyah salat Jum’at, dan tiap tahiyat dalam sunnah empat rakaat
ashar dan isya. Melafalkan salam ini yaitu wajib. Dan menoleh
kekanan dan kiri ini yaitu sunnah. Sedangkan melihat dengan
perhatian penuh ini yaitu mustahab.
Dan juga syarat dikabulkannya salat dengan sempurna adalah
[menjauhi yang haram dan] khusuk, taqwa dan meninggalkan hal
yang tidak bermanfaat “malaa ya’nihi” dan meninggalkan
kemalasan dan ibdad. Khusuk ini yaitu takut kepada Allahu te’ala,
taqwa ini yaitu menjaga Sembilan anggota tubuh dari haram dan
makruh, meninggalkan yang tidak bermanfaat adalah
meninggalkan majelis dan pekerjaan yang tidak bermanfaat bagi
dunia dan akhiratnya, meninggalkan kemalasan adalah
meninggalkan kejenuhan dalam mendirikan salat, dan ibdad
ini yaitu memenuhi panggilan azan ketika dikumandangkan lalu
meninggalkan semua pekerjaan dan masuk dalam jamaah.
Ada enam perkara yang penting untuk dilakukan didalam
salat: ikhlas, tafakkur, khauf, roja, ru’yati taqsir dan mujahadah.
Yang dimaksud dengan ikhlas ini yaitu ibadahnya terdapat hulushanya mengharap ridha Allahu te’ala], tafakkur adalah
memikirkan perkara yang ada didalam salat, khauf ini yaitu takut
kepada Allahu te’ala, roja ini yaitu mengharapkan rahmat dari
Allahu te’ala, ru’yati taqsir ini yaitu menyadari kesalahan diri
sendiri, dan mujahadah ini yaitu berusaha melawan hawa nafsu dan
syetan.
Ketika adzan dikumandangkan bayangkanlah seperti malaikat
Israfil meniup sangkakala, lalu ketika bangkit mengambil wudhu
bayangkanlah seakan akan bangkit dari kuburmu sendiri, ketika
pergi kemasjid bayangkanlah kalau kita sedang pergi kepadang
mahsyar, ketika muazin mengumandangkan qomat dan makmum
membentuk saf-safnya maka bayangkanlah seratus dua puluh saf
yang dibentuk manusia dipadang mahsyar, yang mana delapan
puluh saf milik umat nabi Muhammad dan empat puluh saf sisanya
ini yaitu milik nabi-nabi lain, ketika telah mengikuti imam dan
imam membaca surat Al-Fatihah maka bayangkanlah dirimu
sedang berada dilingkungan yang disebelah kananmu adalah
surga, dikirimu ini yaitu neraka, tepat dibelakangmu adalah
malaikan Izrail “alaihissalam” dan diseberangmu adalah
Baitullah, dan didepanmu ini yaitu kubur dan dibawah kakimu
ini yaitu shirataki mustaqim. Maka patutlah bertafakkur apakah
interogasiku akan mudah? Dan apakah ibadah-ibadahku akan
menjadi mahkota diatas kepalaku dan menjadi teman
disampingku dan menjadi lentera dikuburku? Atau malah mereka
tidak dikabulkan dan dilemparkan kewajahku bagai kain lap
bekas.
Tidak setialah semua nikmatmu, dan kamu dunia, kamu sangat rendah!
Badai kematian menghancurkan semua yang Anda tawarkan atas nama kemuliaan
ADZAN
Tulisan dibawah ini diterjemahkan dari Darul Mukhtar dan
penjelasannya yang berjudul Ibnu Abidin:
Kalimat-kalimat yang telah jelas diajarkan dalam buku-buku
pengetahuan agama Islam dan itu dibacakan oleh seorang muslim
yang berakal dengan nada yang jelas disebut dengan Adzan.
Yakni diwajibkan untuk membaca kalimat dalam Bahasa Arab
ini dalam keadaan berdiri dan naik keatas menara masjid.
Dan jika ia dibaca dari terjemahan Bahasa lain maka tidak
disebut dengan adzan walaupun maknanya dipahami. Adzan
dikumandangkan untuk memberitahu masuknya waktu salat lima
waktu. Laki-laki yang mengumandangkannya diluar masjid dan
naik ketempat yang tinggi maka hukumnya Sunnah muakkad.
Sedangkan bagi wanita hukumnya ini yaitu makruh
mengumandangkannya. Haram bagi laki-laki mendengar
lantunan suara wanita.
Wajib bagi sang muadzin untuk berdiri ditempat tinggi diluar
masjid dan memperdengarkan kepada tetangganya dengan
bacaan yang lantang. Namun tidak diperbolehkan berteriakteriak dalam mengumandangkannya. Ketika mengucapkan
“akbar” maka disukunkan huruf terakhirnya atau dilanjutkan
dengan membaca fathah. Dan tidak didhammahkan. Dan
membaca dengan lantunan yang berlebihan bagaikan menyanyi
dengan menambahkan harakat, huruf dan mad, dan juga
mendengarnya hukumnya tidaklah halal. Ketika membaca shalah
dan falah menghadapkan wajahnya kekanan dan kekiri adalah
Sunnah. Tidak boleh mengalihkan kaki dan dadanya kearah
selain kiblat. Dan jika mengumandangkannya dimenara maka
hendaknya ia mengelilingi Menara ini . Muawiyah adalah
yang membuat Menara pertama kali. Sesuatu yang tinggi pernah
dibuat diatas masjid Rasulullah. Dan Bilal bin Rabah menaikinya
dan adzan disitu. Dan Rasulullah “shallallahu alaihi wassalam”
memerintahkan Bilal untuk meletakkan jari jemarinya ketelinga.
Dan jika ia berbicara diantaranya maka hendaknya mengulang
adzannya ini . Dan juga diperbolehkan untuk
mengumandangkannya secara bersama-sama lebih dari satu
orang. Dan tidak sah jika sebagian dibacakan dan sebagiannya
lagi tidak. Mengumandangkan adzan sambal duduk adalah
makruh tahrim. Muadzinnya orang yang sholih, mengetahuiSunnah-sunnah dan waktu adzan, mengumandangkannya secara
terus menerus dan juga mengumandangkannya tidak
mengharapkan kecuali ridho dari Allahu te’ala, maka hokumhukumnya ini yaitu Sunnah. Namun mengumandangkan dengan
adanya bayaran pun diperbolehkan. Adzan seorang anak yang
belum dewasa tidaklah sah. sebab suaranya masih menyerupai
suara burung dan suara instrument musik. [Oleh sebab nya
mengumandangkan adzan dengan menggunakan speaker
tidaklah sah. Dan adzan yang dikumandangkan oleh orang fasik
tidak bisa dipercaya, begitu pula takbir yang dibacakan oleh
imam dalam salat orang yang seperti itu. Makruh baginya
mengumandangkan adzan. Seorang muadzin harus mengetahui
bahwa adzan dikumandangkan pada waktunya, sedangkan yang
lainnya harus mengetahui bahwa salat juga dilaksanakan pada
waktunya. Seseorang yang salat namun ragu akan masuknya
waktu salat, maka salatnya tidak sah meskipun nanti diketahui
bahwa salatnya itu tepat waktu. Dan salat-salat yang dilakukan
dengan mengikuti kalender yang disiapkan oleh orang kafir dan
fasik tidaklah sah. Maka wajib bertanya kepada seorang muslim
yang sholih dan dapat dipercaya untuk mencari tahu kebenaran
kalender yang digunakan pada negara yang tengah berperang.]
Adzan-adzan yang sah menurut Sunnah dan dikumandangkan
dari berbagai tempat maka hendaknya ia menjawab adzan yang
pertama kali ia dengar dan jika itu berasal dari masjid tempat ia
biasa melaksanakan salat maka hendaknya ia pergi kesana untuk
salat berjamaah. Dan orang yang sedang membaca Al-Quran pun
tetap harus menjawab adzan. Dan bagi orang yang sedang
melaksanakan salat jenazah, orang yang sedang ditoilet, sedang
makan, sedang dimasjid dan orang yang sedang mengajar atau
belajar ilmu agama tidak wajib menjawab adzan. Adzan yang
tidak dikumandangkan dalam Bahasa Arab dan berlebihan dalam
lantunannya tidaklah sesuai dengan Sunnah. Jika orang yang
mendengar adzan itu sedang duduk maka berdirinya, dan jika
sedang berjalan maka berhentinya itu ini yaitu mustahab. Ketika
sedang menjelaskan perkara nazar dalam subjek sumpah
dijelaskan bahwa, “membuat masjid disebuah wilayah atau desa
ini yaitu wajib bagi sebuah pemerintahan. Ia bisa dibangun dari
uang baitul mal. Jika pemerintah tidak mendirikannya maka
wajib bagi muslimin untuk mendirikannya.”
[Diperhatikan bahwa jika masjid dibangun disetiap desasesuai dengan ajaran Islam maka disetiap desa ini akan
berkumandang adzan dan semua orang akan mendengar adzan
dari masjidnya masing-masing. Dan para muadzin tidak perlu
berterik-teriak dan menggunakan speaker lagi. Speaker adalah
bid’ah yang menjadi penyebab ditinggalkannya Sunnah-sunnah
adzan. Dan melakukan bid’ah ini ketika adzan dan salat
dilaksanakan ini yaitu sebuah dosa besar. Juga menjadi penyebab
rusaknya ibadah-ibadah yang dilakukan. Maka untuk itu dalam
bagian kelima belas pada keputusan tanggal 1.12.1954 dengan
nomor 737 di Rekonsiliasi Kementrian Agama dan komite
penelitian karya-karya agama disebutkan “pemasangan mikrofon
pada mihrab ini yaitu sangat dilarang. sebab jika takbir dan
bacaan imam tidak terdengar oleh mayoritas jamaah maka
hendaknya salah satu dari muadzin dan seorang lainnya
mengulangi perkataan imam dari jauh.” Telah dijelaskan panjang
lebar dalam penjelasan sujud tilawah di al-Fiqh-u-’alal madhâhibularba’a dan dalam penjelasan lagu dan musik di buku
Kebahagiaan Abadi bahwa walaupun tilawah Al-Quran dan
adzan yang dibaca di radio, type dan speaker bukanlah suara
manusia, dan suara intrumen yang dihasilkan ini yaitu dari magnet
dan elektrik yang keluar dari pembacanya, dan juga meskipun
asal suaranya bukanlah suara manusia sebenarnya tapi sebab
sangat mirip dengan mereka maka itu dianggap seperti pembaca
manusia itu sendiri. Adzan yang diperintahkan oleh Islam adalah
suara yang dikumandangkan oleh seorang mukmin yang sholeh.
Sedangkan suara yang keluar dari pipa tidak disebut dengan
adzan. Seorang ulama besar pada abad kita ini, Elmalili Hamdi
Efendi “rahimahullah taala” dalam tafsir jilid ketiga halaman
2361 menyebutkan “terlihat bahwa perintah “mendengar dan
diam” ditetapkan untuk qiraat. Sedangkan qiraat ini yaitu kegiatan
linguistik opsional, dilakukan dengan mengamati tempat-tempat
mahrajul huruf dan melantunkannya dengan niat dan
pemahaman. Begitu pula apa yang dilakukan malaikat Jibril pun
bukanlah qiraatnya sendiri tapi membuat nabi Muhammad
“shallallahu alaihi wassalam” melantunkan qiraat. Dan fiil yang
dilakukan oleh Allah pun ini yaitu menurunkan wahyu dan
menciptakan qiraat. Dengan begitu suara yang dihasilkan oleh
orang yang tidak berakal bukanlah qiraat, begitu pula kita juga
tidak seharusnya memanggil suara yang dipantulkan dari
permukaan itu ini yaitu qiraat. Oleh sebab itu para ahli fiqh telahmenyatakan bahwa gema qiraat yang dilakukan tidak boleh
disebut qiraat, dan tidak perlu melakukan sujud tilawah sebab ia
hanya dibebani kepada siapa saja yang “membaca atau
melantunkan atau” mendengar ayat sajadah. Sebagaimana
membaca buku dengan tidak bersuara bukanlah sebuah qiraat,
maka mendengar lantunan yang diputar atau dideringkan pula
bukanlah berarti mendengarkan qiraat, melainkan itu hanyalah
berarti mendengarkan yang disetel atau yang berdering. Oleh
sebab itu suara orang yang sedang membaca atau melantunkan
Al-Quran dari dalam perekam suara, radio “atau televisi dan
DVD player” bukanlah qiraat, melainkan gema dan reproduksi
dari qiraat, maka mendengar dan diam tidaklah wajib bagi
siapapun yang mendengar atau memperhatikannya. Jadi AlQuran yang wajib didengar dan diam atasnya ini yaitu Al-Quran
yang dibacakan qiraatnya bukan yang diputarkan. Namun bukan
berarti mendengarkan sesuatu yang bukan wajib atau mustahab
itu tidak diperbolehkan atau bahkan wajib untuk tidak
mendengarkannya. sebab menyetel ayat Al-Quran di radio dan
media yang lain dan mendengarkan Al-Quran yang sedang
diputar ini yaitu dua perkara yang berbeda. Jelas bahwa bukan
sesuatu yang bisa dibenarkan untuk memainkan Al-Qur'an di
radio atau untuk menyampaikannya melalui instrumen. Yakni
membaca Al-Quran ini yaitu perbuatan taqarrub ilallah sedangkan
melantunkannya ditempat yang tidak seharusnya ini yaitu sebuah
penghinaan. Namun jika ditemukan bahwa ia telah diputar maka
mendengarnya bukanlah penghinaan dan mengacuhkannya
ini yaitu penghinaan. Contohnya barang siapa yang membaca
qiraah Al-Quran dikamar mandi maka ia telah berbuat dosa. Dan
juga tidak mendengarkannya selagi itu dibacakan juga tidak
termasuk pahala. Dan juga hendaknya janganlah mengira-ngira
bahwa mendengarkan lantunan ayat suci Al-Quran yang diputar
dalam alat pemutar rekaman atau radio ini yaitu sebuah kewajiban
atau bukan. sebab jika pun itu bukan qiraat tapi ia
menyerupainya. sebab itu menunjukan Kalimah nafsiyyah
“kalimat Allah”. Jika mendengar qiraat yang seperti itu bukanlah
wajib ataupun mustahab tapi paling tidak ia diperbolehkan, dan
itu lebih baik dan apabila tidak menghormatinya maka itu sama
sekali tidak diperbolehkan. Seorang muslim yang menemui hal ini
maka ia seperti menemui Al-Quran yang tidak ditempatkan
ditempat yang selayaknya, maka janganlah ia menghiraukannyadan sebisa mungkin mengangkat lalu meletakkannya ditempat
yang layak, dan itu ini yaitu sebagian dari tugas agama.”]
Mayoritas dari buku-buku fiqh dan fatwa, seperti dalam
Qadihan menyebutkan “hukum mengumandangkan adzan adalah
Sunnah. sebab dia ini yaitu syiar dan tanda dari agama Islam
maka jika di sebuah kota atau perkampungan tidak ada adzan
maka pemerintah setempat hendaknya memaksakan kepada
kaum muslimin setempat untuk mengumandangkannya. Seorang
muadzin harus mengetahui arah kiblat dan waktu-waktu salat.
sebab mengumandangkan adzan dari awal hingga akhir dengan
menghadap kiblat ini yaitu Sunnah. Adzan dikumandangkan untuk
memberitahu masuknya waktu salat dan waktu berbuka puasa.
Jika adzan dikumandangkan oleh orang fasik dan orang yang
tidak mengetahui waktu-waktu ini maka akan
mengakibatkan timbulnya fitnah. Dan hukum bagi anak kecil
yang belum berakal, orang yang mabuk, gila, orang junub dan
wanita ini yaitu makruh. Jika dilakukan maka adzan itu harus
diulang oleh muadzin. [Membaca, membacakan dan pergi untuk
mendengarkan maulid memiliki pahala yang banyak. Seorang
wanita yang membaca maulid dan adzan, banyak berbicara dari
yang diperlukan, memperdengarkan suaranya kepada laki-laki
asing dan laki-laki yang mendengarnya ini yaitu perbuatanperbuatan yang haram. Wanita hendaknya membaca untuk
dirinya sendiri dan tidak untuk diberikan ke radio, type dan
televisi.] Mengumandangkan adzan dengan duduk, tanpa wudhu
dan diatas hewan dalam kota hukumnya ini yaitu makruh namun
adzan yang seperti ini tidak bisa diganti. Adzan seharusnya
dikumandangkan di Menara atau diluar masjid. Dan hendaknya
tidak didalam masjid. Talhin yakni membaca dengan lantunan
nada yang berlebihan sehingga merusak kata-kata, maka
hukumnya ini yaitu makruh. Adzan juga tidak bisa dibaca dalam
Bahasa lain”. Dan dalam Hindiyye disebutkan “hokum seorang
muadzin yang membacanya melebihi batas kemampuannya
ini yaitu makruh.” Ibnu Abidin “rahimahullah taala” menyebutkan
“agar adzan bisa didengar dari jarak jauh maka hukum seorang
muadzin yang naik ketempat tinggi ini yaitu Sunnah. Dan
mengumandangkan adzan bersama-sama lebih dari satu juga
diperbolehkan.” Maka dapat dipahami dari tulisan-tulisan para
alim ulama ini bahwa membaca adzan dan qomat lalu mengimami
salat dengan speaker ini yaitu bid’ah. Dan melakukan bid’ahini yaitu merupakan dosa besar. Disebutkan dalam hadist sahih
“Ibadah yang dilakukan oleh pelaku bid’ah tidaklah
dikabulkan!” Walaupun suara speaker mirip dengan suara
manusia namun ia bukanlah suara manusia itu sendiri. Itu adalah
suara yang dihasilkan dari benda yang tergerakkan oleh magnet.
Dan meletakkan speaker dikanan, kiri, dan belakang atap
Menara sehingga suaranya tidak menghadap kiblat maka ia
menjadi sebuah dosa. Tidak diperlukan suara keras yang
terdengar sampai jauh dan juga pemasangan suara yang keras dan
melengking pada speaker. sebab membangun masjid disetiap
perkampungan ini yaitu wajib. Dan adzan akan terdengar di setiap
perkampungan, maka adzan ini akan terdengar dari setiap rumah.
Dan Adzan jawq juga diperbolehkan. Yakni adzan yang
dibacakan oleh beberapa muadzin secara bersamaan disebut
Adzan jawq. Suara seseorang yang sangat menyentuh, itu bisa
didengar dari kejauhan, membekas dalam hati dan ruh, serta
menyegarkan kembali iman. [Muadzin mengumandangkan adzan
dana imam membacakan qiraat dengan suara yang cukup bisa
didengar oleh jamaah yang ada di masjid. Sedangkan jika mereka
bersusah payah agar suaranya terdengar sampai jauh maka itu
makruh. Oleh sebab itu disini dipahami bahwa penggunaan
speaker tidaklah wajib.] Kesimpulannya suara yang keluar dari
pipa atau saluran speaker itu bukanlah adzan. Sedangkan suara
yang keluar dari mulut muadzin langsung maka itu baru disebut
Adzan. Seorang alim ulama besar, Abu Nuaym Isfahaninin
bukunya Hilyatul Awliya bahwa hadist menyatakan “suara adzan
yang keluar dari alat music ini yaitu suara setan. Dan bagi siapapun
yang mengumandangkannya ini yaitu muadzinnya setan.”
Dalam hadist disebutkan. “ketika kiamat sudah dekat AlQuran akan dibacakan melalui alat musik mizmar” dan “Lalu
akan datang sebuah masa dimana Al-Quran akan dibacakan
dengan alat music mizmar. Dibaca bukan untuk Allah tapi untuk
kesenangan” dan “Akan ada orang-orang yang membaca AlQuran, namun Al-Quran justru melaknatnya” dan “Akan datang
suatu masa dimana manusia yang paling jahat ini yaitu para
muadzin” dan “Akan datang masa dimana Al-Quran dibaca
dengan alat musik mizmar. Dan Allahu te’ala pun melaknat
mereka”. Mizmar ini yaitu segala instrument dan yang ditiup.
Speaker juga termasuk dari mizmar. Para muadzin yang takut
akan hadist-hadist diatas hendaknya tidak mengumandangkanadzan dengan speaker. Sebagian dari para jahil agama
menyatakan bahwa speaker sangatlah berguna dan ia bisa
mengeraskan suara hingga jauh. Nabi kita “shallallahu alaihi
wassalam” bersabda “Lakukanlah ibadah-ibadah yang kalian
lihat dariku dan sahabatku! Orang-orang yang melakukan
perubahan pada ibadah-ibadahnya maka ia disebut ahli bid’ah.
Para ahli pasti akan masuk neraka. Dan setiap ibadah yang
dilakukan tidak akan terkabulkan”. Tidaklah benar seseorang
yang mengatakan bahwa kita menambahkan sesuatu yang
bermanfaat kedalam ibadah-ibadah. Kata-kata ini merupakan
sesuatu yang diucapkan oleh musuh-musuh Islam. Hanya para
alim ulamalah yang mengerti bahwa suatu perubahan itu baik
atau tidak. Dan untuk ulama yang menekuni permasalahan yang
rumit seperti ini disebut mujtahid. Para mujtahid tidak sama
sekali melakukan perubahan yang bersumber dari diri mereka
sendiri. Mereka mengerti bahwa sebuah penambahan atau
perubahan itu suatu bidah atau bukan. Telah ditentukan bahwa
mengumandangkan adzan dengan menggunakan mizmar adalah
bid’ah. Jalan yang mengantarkan manusia pada keridhoan dan
kecintaan Allahu te’ala ini yaitu hati manusia itu sendiri. Dalam
penciptaannya hati ini yaitu perumpamaan dari cermin yang bersih
dan jernih. Ibadah-ibadah meningkatkan kebersihan dan kesucia
hati. Sedangkan bid’ah dan dosa menghitamkan hati. Maka ia
tidak bisa mencuri kenikmatan dan cahaya yang datang dari jalan
kasih sayang. Dan orang-orang salih mengerti hal ini, dan sedih
dibuatnya. Ia tidak berniat sama sekali untuk berbuat dosa.
Berharap dapat beribadah dengan banyak. Dan mendirikan salat
sebanyak-banyaknya lebih dari yang lima sehari. Perbuatan dosa
itu manis dan baik untuk hawa nafsu. Seluruh bid’ah dan dosadosa itu menyuburkan dan menguatkan hawa nafsu yang
merupakan musuh terhadap Allah. Dan begitulah adzan
menggunakan speaker. Khalifah dari Abdullah Dehlevi, Rauf
Ahmed dalam pengantar “Darul Maarif” menyebutkan
“membaca Al-Quran dan beberapa tugas lain dengan
menggunakan alat instrument “mizmar” hukumnya adalah
haram.” Begitu pula adzan menggunakan speaker.
[Imam Syafii dalam kitab “Al Mukadimatul Hadramiyyah”
dan “Anwar” menyebutkan bahwa “dalam mazhab Syafii agar
salat seseorang yang ada diluar masjid itu sah maka ia harus bisa
melihat imam, mendengarnya dan tidak lebih jauh dari 300 dhradari saf terakhir “300x0,42 = 126 meter”. Salat yang dilakukan
dengan menggunakan tampilan dan suara imam yang ada di
televisi tidaklah sah menurut mazhab Hanafi dan Syafii.
Mencampurkan sesuatu kedalam ibadah-ibadah yang tidak ada
pada masa salafus shalih, maka ia termasuk Bid’ah. Orang-orang
yang melakukan kebid’ahan seperti memasukkan radio, televisi
dan speaker kedalam adzan dan salat, maka dalam surat Nisa ayat
keseratus empat belas bahwa ia akan masuk neraka. Suara yang
didengar speaker dan radio bukanlah suara adzan itu sendiri,
hanya mirip. Seperti manusia yang terpancar dari cermin, ia
bukanlah manusia itu hanya bentuk miripnya.]
WAJIB-WAJIB SALAT: wajib-wajib dalam mazhab Hanafi:
ketika sedang menjadi makmum tidak membaca sesuatu kecuali
Subhanaka. Bagi imam atau yang salat sendiri maka membaca
satu kali surat Al-Fatihah pada dua awal salat fardhu dan setiap
rakaat salat Sunnah. Membaca surat tambahan pada dua rakaat
awal salat fardhu yang empat atau tiga rakaat dan juga
membacanya pada setiap rakaat salat Sunnah. Memberi
perhatian khusus kepada surat Al-Fatihah pada dua rakaat awal
salat fardhu yang tiga dan empat rakaat. Beralih dari satu fardhu
ke fardhu yang lain. Membaca surat Al-Fatihah sebelum
membaca surat yang lain. Duduk tahiyat awal. Melakukan sujud
dua kali secara bergiliran. Membaca tahiyat dalam duduk yang
terakhir. Menyelesaikan salat dengan membaca salam. Membaca
doa qunut pada salat witir. Membacakan kalimat-kalimat takbir
tambahan pada salat ‘Id. Men-sir-kan bacaan saat waktunya salat
sirriyah. Dan menjarhkan saat waktunya salat Jahriyyah.
Melaksanakan salat sesuai dengan rukun-rukunnya. [yang artinya
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak banyak
bergerak, membaca subhanallah antara ruku dan berdiri. Artinya
berdiri tegak setelah bangun dari ruku, dan duduk diantara dua
sujud” maka tidak banyak bergerak ini disebut tuma’ninah.]
Melakukan sujud tilawah jika membacanya atau mendengarnya
dari imam pada salat berjamaah. Melakukan sujud sahwi jika
diperlukan. Bangun langsung tanpa sujud kembali setelah
membaca tahiyat pada duduk tahiyat awal di salat-salat yang
empat rakaat. Senantiasa mengikuti imam. Salat berjamaah jika
tidak ada uzur. Membaca takbir tasyriq pada pagi hari sehari
sebelum salat ‘id dan sampai salat ashar dihari keempat, dansetelah dua puluh tiga salat fardhu.
SUNNAH-SUNNAH SALAT: Sunnah-sunnah salat pada
mazhab Hanafi:
Bagi laki-laki mengangkat tangan hingga daun telinga
sedangkan perempuan mengangkatnya hingga pundak pada
takbir iftitah dan qunut salat witir. Menghadapkan telapak tangan
kearah kiblat pada takbir iftitah dan qunut. K