Tampilkan postingan dengan label islam ku 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam ku 5. Tampilkan semua postingan

islam ku 5


 ara hak-hak wanita dan pria 

secara berimbang menurut Undang-Un­dang Dasarnya, ternyata 

dalam praktik tidak semudah yang diperkirakan. Belum pernah 

dalam sejarah AS ada pre­si­den wanita, walaupun UUD-nya tidak

Charles Torrey dalam disertasi doktor-nya di Universitas 

Heidelburg tahun 1880-an, mengemukakan bahwa al￾Qurân mempunyai keistimewaan, berupa penggunaan 

isti­lah-istilah profesi untuk menyatakan keyakinan agama. Dise￾but­kannya ayat; “Barang siapa memberikan pinjaman yang baik 

pada Allah, maka akan diberi imbalan berlipat ganda (man dzal 

ladzi yuqridu Allâha qardlan hasanan fa yudhâ’ifahu)” (QS al:

Baqarah (2): 245), yang berarti bukan sebuah transaksi kredit 

melainkan pelak­sanaan amal kebajikan. Contoh lain, adalah; 

“Ba­rang siapa meng­hen­daki panenan yang baik di akhirat, akan 

Ku-tambahi pane­nan­nya (man kâna yurîdu hartsa al-âkhirati 

nazid lahu fî-hartsihi)” (QS al Syura [42]:20) –yang lagi-lagi 

meng­gunakan kata panenan sebagai penunjuk kepada amal ke￾bajikan/amal sholeh.

Di sini, Torrey juga memakai  sebuah ayat lain untuk 

menunjuk kepada perbedaan antara Islam dan agama-agama 

lain, tanpa menolak klaim kebenaran agama-agama ini . 

“Ba­rang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka 

amal ke­baji­k­annya tidak akan diterima oleh Allah, dan dia di 

akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi perdagangannya 

(wa man yabtaghi ghaira al-Islâm dînan falan yuqbala minhu 

wa huwa fi al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85).

Dalam ayat ini jelas menunjuk kepa­da masalah keyakinan Islam 

yang berbeda dengan keyakinan lainnya, dengan tidak menolak 

kerjasama antar Islam dengan berbagai agama lainnya.

Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang ker￾jasama antara Islam dan agama-agama lain, ter­utama dalam 

hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Peneri￾maan Islam akan kerjasama itu, tentunya akan dapat diwujud￾kan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antar agama. 

Dengan kata lain, prinsip peme­nu­h­an kebutuhan berlaku dalam 

hal ini, seperti adagium ushul fiqh/teori legal hukum Islam; 

“Sesuatu yang membuat sebuah ke­wajiban agama tidak terwu￾jud tanpa kehadirannya, akan men­­jadi wajib pula (Ma lâ yatim￾mu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjibun)”. Kerjasama tidak akan 

terlaksana tanpa dialog, oleh sebab  itu dialog antar agama juga 

menjadi kewajiban.

eg

Kitab suci al-Qurân juga menyatakan: “Sesungguhnya te￾lah Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan, dan 

Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa 

agar kalian saling mengenal (Innâ khalaqnâkum min dzakarin 

wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû)” (QS 

al-Hujurat [49]:13), menunjuk kepada perbedaan yang senan­tia￾sa ada antara laki-laki dan perempuan serta antar berbagai bang￾sa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan 

sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah 

perpecahan dan keterpisahan (tafarruq).

Tentu saja, adanya berbagai keyakinan itu tidak perlu 

dipersa­ma­­kan secara total, sebab  masing-masing memili­ki ke￾per­­ca­ya­an/aqidah yang dianggap benar. Demikian pula kedu­duk￾an penafsiran-penafsiran aqidah/ke­ya­kinan itu. Umat Katholik 

sendiri memegang prinsip itu. Seperti dalam Konsili Vatikan II 

yang dipimpin Paus Yohanes XXIII dari tahun 1962 hingga 1965, 

menyebutkan bahwa para uskup yang menjadi peserta meng￾hormati setiap upaya men­capai kebenaran, walaupun tetap yakin 

bahwa kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran agama mereka. 

Jadi, keyakinan masing-masing tidak perlu diper­ban­dingkan 

atau dipertentangkan.

Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa kerjasama an￾tara berbagai sistem keyakinan itu sangat dibutuhkan dalam 

me­nangani kehidupan masyarakat, sebab  masing-ma­sing me￾miliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir (ke­adilan dan 

kemakmuran) dalam kehidupan bersama, walau­pun bentuknya berbeda-beda. Di sinilah, nantinya, terbentuk persamaan an￾tar agama, bukannya dalam ajaran/aqidah yang dianut, namun 

hanya pada tingkat capaian materi. sebab  ukuran capaian ma￾teri memakai  bukti-bukti kuantitatif, seperti tingkat peng￾hasilan rata-rata warga masyarakat ataupun jumlah kepemilikan 

–misalnya, telpon atau kendaraan per-keluarga.Sedangkan yang 

tidak, seperti ukuran keadilan, dapat diamati se­cara empirik 

dalam kehidupan sebuah sistem ke­masya­rakatan.

eg

Yang dikemukakan di atas adalah persamaan-persamaan 

yang dapat dicapai antara berbagai agama. Lalu, bagaimana hal￾nya dengan ayat al-Qurân, seperti; “Dan orang-orang Yahudi 

dan Kristen tidak akan rela kepadamu, hingga engkau meng­ikuti 

kebenaran/aqidah me­re­ka (Wa lan tardhâ ‘anka al-yahûdu 

wa la al-nashârâ hattâ tat­tabi’a millatahum)” (QS al-Baqarah 

[2]:120). Selama Nabi Muha­mad Saw masih berkeyakinan; Tu￾han adalah Allah, dan beliau sendiri adalah utusan Allah Swt, 

selama itu pula orang-orang Yahudi dan Kristen tidak dapat 

menerima (berarti tidak rela kepada) ke­yakinan/aqidah terse￾but. Sama halnya dengan sikap kaum muslimin sendiri. Selama 

orang Kristen yakin bahwa Ye­sus adalah anak Tuhan dan orang 

Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan, maka 

selama itu pula kaum muslimin tidak akan rela kepada kedua 

agama ini . Dalam arti, tidak menerima ajaran mereka. 

Kalau kita ber­sikap demikian, hal itu sebenarnya wajar￾wajar saja, sebab  menyangkut pene­ri­maan keyakinan/aqidah. 

Tetapi hal itu tidak menghalangi para pemeluk ketiga agama itu 

untuk be­­ker­­ja­sama dalam hal muamalat, yaitu memperbaiki 

nasib ber­sama dalam mencapai kesejahteraan materi. Mereka 

dapat bekerjasama untuk mengatur kesejahteraan materi terse￾but de­ngan meng­guna­kan ajaran masing-masing. h

Tulisan ini merupakan sambutan yang disampaikan penu￾lis atas datangnya Hari Raya Waisak 2547/2003. Semakin 

hari semakin nyata, bahwa peranan umat Buddha sebagai 

bagian dari bangsa negara kita  tampak semakin penting, teruta￾ma sebab  mereka banyak yang bergerak di bidang ekonomi dan 

dunia usaha. Dunia ini  mengharuskan adanya orientasi 

yang jelas sebagai umat agar tidak terjadi kehilangan arah secara 

kolektif. sebab  itulah, dalam jumlah penganut yang tidak ter￾lalu besar, namun pengaruh umat Budha itu sendiri tambah hari 

tampak semakin besar.

Jacob Oetama, pemimpin umum “Kompas” mengatakan 

masa depan bangsa kita ditentukan oleh kemampuan mem­per￾satukan diri antara dua golongan yang berperan be­sar dalam 

hidup kita: kaum muslimin “mainstream” (mereka yang tidak 

mendukung terorisme serta tidak menghendaki ne­ga­ra agama di 

negeri kita) dan kaum pengusaha. Ka­um pengusaha yang memi￾liki demikian banyak sumber-sumber dan ke­mam­puan teknis, 

siapa lagi kalau bukan pengusaha Tionghoa, yang umumnya ber￾agama Budha dan Konghucu.

Orang-orang Tionghoa, yang di negeri asal dianggap se­ba￾gai perantau (Hoa-Kiauw), di negeri ini menggangap diri dan 

diterima sebagai warga negara, dan memiliki hak-hak yang sa­ma 

dengan para warga negara yang lain. Mengapa? sebab  me­re­­ka 

lahir di negeri ini dan menjadi warga negara, sehingga sepatutnya 

mereka juga dikenal sebagai “penduduk asli” seperti yang lain￾lain juga. Hanya sebab  peraturan kolonial yang ter­tulis sajalah 

mereka dianggap sebagai “orang Asing Timur” (vremde oster￾lingen) yang hidup damai dengan penduduk Asli. Orang-orang seperti John Lie1

 yang turut angkat senjata memperjuangkan 

kemerdekaan kita, adalah bukti dari perjuangan mereka mem￾pertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda. Yang sangat 

menyakitkan, mereka dianggap sebagai orang lain.

Tentu saja, menganggap mereka sebagai orang lain ada­lah 

kesalahan besar yang harus kita koreksi. Kalaupun ada ikat­an 

dengan tanah leluhur, itu tidak lain hanya sesuatu yang bersifat 

kultural dan historis belaka. Sama dengan orang Mina­hasa dan 

orang Minangkabau memakai  nama-nama barat, seperti 

Frederick Waworontu dan Emil Salim, yang tidak menjadikan 

mereka Barat.

sebab  itulah, saya selalu melawan anggapan atau penye￾butan umat Budha, yang sebagian besar dianut oleh suku Tiong￾hoa di negeri ini, sebagai “warga keturunan”. Mereka adalah 

orang Tiong­­hoa sebagaimana halnya ada orang Papua, orang 

Aceh, orang Sunda dan sebagainya. Juga menjadi kerja kita un￾tuk mem­beri kerangka gerak yang memadai bagi umat Bu­dha, 

yang merupakan salah satu asset (kekayaan) bangsa ki­ta. Pe￾ngem­bang­an asset ini haruslah dilakukan dengan kepala dingin, 

sebagai bagian dari penataan kehidupan nasional secara keselu￾ruhan dalam jangka panjang.

Kalau nilai-nilai yang diikuti golongan Islam seperti san­tri 

ditentukan oleh Majelis Ulama negara kita , orang-orang Katho￾lik oleh Konferensi Wali Gereja negara kita  dan umat Kristen Pro￾testan oleh Persekutuan Gereja-Gereja Indo­nesia, orang-orang 

Konghucu oleh Majelis Tinggi Agama Konghucu negara kita , 

ma­ka umat Budha, da­lam pandangan penulis, mengikuti dan 

me­laksanakan nilai-ni­lai agama yang dirumuskan oleh Konfe￾rensi Agung Sangha negara kita . Bukannya oleh pihak atau per￾kumpulan orang awam. Merekalah yang harus tunduk kepada 

perkumpulan para agamawan. Hal inilah yang harus kita sadari, 

baik sebagai aparat pemerintah maupun sebagai warga masyara￾kat. Selama hal ini belum terwujud dengan sempurna, maka ke￾hidupan kita sebagai bangsa juga akan pincang

diosinkrasi adalah sifat-sifat perorangan yang khusus ada 

pada seseorang, yang membuat ia menjadi lain dari orang 

kebanyakan. Dalam sejarah Islam, hal ini juga tampak se￾cara jelas, walaupun ia juga ada di kalangan non-muslim. Kalau 

idiosinkrasi ada dalam diri penguasa muslim, maka ia akan di￾maafkan, sebab  orang itu banyak jasanya dalam bidang-bidang 

lain untuk kepentingan bersama. Baik di masa kuno maupun di 

masa sekarang, ataupun di masa yang akan datang, idiosinkrasi 

itu akan tetap ada dan akan dibiarkan selama tidak merugikan 

kepentingan orang banyak.

Seperti Sultan Agung Hanyakrakusuma, seorang pengua￾sa yang dinilai berjasa sangat besar bagi kepentingan orang ba￾nyak. Salah satu kelebihannya adalah kemampuannya dalam 

mem­ba­ngun sistem birokrasi agraris untuk mencapai kemaju­an 

pertanian yang tidak pernah surut semasa hidupnya. Sebalik￾nya, salah satu kekurangannya adalah ketidakmampuannya da￾lam mengguna­kan kekuatan laut untuk kejayaan bangsa yang 

dipimpin­nya. sebab  itu, kekuatan laut dari berbagai kota pe￾labuhan dalam masa pemerintahan Mataram saat itu, merupa￾kan saingan politik yang harus dihancurkan.

Salah satu idiosinkrasi yang dimiliki Sultan Agung Hanya 

krakusuma adalah kegemarannya menyiksa para oposan politik 

yang menentangnya. Terkenal sekali deskripsi bagaimana ia ber￾cengkerama dengan para dayang di atas taman/gazebo di atas 

air, dan para tahanan politik dibiarkan berkumpul di atas tanah 

(seperti pulau kecil) yang ada di tengah kolam. Dan, pada saat 

yang ditentukan, ia membiarkan para pengawal melepaskan be￾berapa buaya yang merayap ke “pulau” itu dan memakan para tawanan politik yang tak bersenjata. Anehnya, ia tampak menik￾mati bagaimana lawan-lawan politiknya menjerit ketakutan se￾belum dimangsa buaya-buaya buas ini .

eg

Sultan Trenggono dari Demak, dalam abad sebelumnya, 

sangat tertarik dengan seorang wanita cantik, yang kebetulan 

menjadi istri muda Ki Pengging Sepuh, salah seorang pangli￾manya. Suatu ketika, Ki Pengging diperintahkan sang Sultan 

untuk menyerbu daerah-daerah non-muslim di Jawa Timur, 

dan akhirnya ia pun gugur di daerah Pasuruan (Segarapura, Ke￾mantren Jero, kini terletak di Kecamatan Rejoso). Maka, se­iring 

dengan kematian Ki Pengging Sepuh itu, segera setelah habis 

masa iddah si perempuan muda dan cantik itupun diambil Sultan 

Trenggono sebagai istri selir. Idiosinkrasi pemimpin Kesultanan 

Demak ini  menunjukkan, bahwa motif pribadi dapat saja 

mendorong seorang penguasa untuk mengambil tindakan atas 

nama agama, dalam hal ini “peng-islaman daerah Pasuruan”.

Drama seperti itu menunjukkan bahwa kekuasaan yang 

tidak dibatasi akan membuat seorang penguasa pada akhirnya 

menjadi lalim dan mempersamakan kepentingan pribadi de￾ngan kepentingan bangsa secara utuh. Hal ini juga mendera para 

pemimpin seperti Mao Zedong (RRT) dan Kim Il Sung (Korea 

Utara). Begitu lama mereka berkuasa, tanpa berani ada yang me￾nentang secara terbuka, hingga memaksa orang banyak untuk 

melawan dengan cara mereka sendiri. 

Dengan demikian, masalah pokok yang kita hadapi adalah 

bagaimana membatasi para pemegang kekuasaan, baik wak￾tu maupun wewenangnya. Tanpa ada kepastian dalam hal itu, 

maka demokrasi tidak akan pernah berdiri dalam negara yang 

bersangkutan. Demokrasi bukanlah sekedar aturan permainan 

kelembagaan yang berdasarkan formalitas belaka, melainkan 

menciptakan tradisi demokrasi yang benar-benar hidup di ka￾langan rakyat. Para penguasa yang demikian lama menguasai 

pemerintahan, seperti yang terjadi di sebagian negara, jelas-jelas 

tidak demokratis walaupun mereka melaksanakan aturan kelem￾bagaan yang ada. Tanpa mengembangkan tradisi demokrasi 

dalam lembaga-lembaga yang bersangkutan, klaim sejumlah pe￾mimpin bahwa di negara mereka sudah tercipta demokrasi, yaitu dengan adanya pemilihan umum yang teratur, jelas merupakan 

pelanggaran terhadap gagasan demokrasi itu sendiri.

eg

Hal itulah yang harus diingat ketika seorang penguasa 

menyatakan akan membangun demokrasi dalam konsep negara 

Islam. Pendapat ini  mengabaikan dua hal, di satu pihak 

yaitu adanya idiosinkrasi para penguasa. Di pihak lain terjadi de￾mokrasi sebagai formalitas saja. Keduanya merupakan sesuatu 

yang harus dihilangkan dalam konsep ini . Dengan kata lain, 

sebuah konsep tentang negara dalam Islam, tidak dapat hanya 

terkait dengan idealisme kekuasaan itu sendiri, melainkan juga 

terkait kepada mekanisme apa yang digunakan.

Kenyataan seperti itulah yang pada akhirnya memaksa 

Kongres Amerika Serikat (AS) untuk membatasi kepresidenan di 

negara itu hanya dalam masa dua term saja, pada paruh pertama 

abad yang lalu.Pembatasan itu tadinya hanya bersifat tradisi, 

yang diambil oleh Presiden Amerika Serikat semenjak George 

Washington. Namun sebab  Franklin Delano Roosevelt (FDR) 

terpilih kembali untuk keempat kalinya pada tahun 1944, wa￾laupun secara efektif kekuasaan berada di tangan pembantunya 

yaitu Harry Hopkins1

, Kongres kemudian mengubah undang-un￾dang, dengan membatasi masa jabatan Presiden Amerika Serikat 

hanya untuk dua kali empat tahun saja.2

Jelaslah dengan demikian, bahwa membuat konsep ten￾tang sebuah negara demokratis bukanlah hal yang mudah. Apa￾lagi jika hal itu dikaitkan dengan sebuah agama, seperti konsep 

negara dalam Islam. Ini belum lagi diingat, bahwa para pemilih 

senantiasa berkembang dalam pikiran dan perasaan —seperti yang terjadi di Republik Islam Iran saat ini. Dahulu para pemilih 

di sana mendukung para Ayatullah konservatif, sekarang justru 

mendukung para Ayatullah dan para pemimpin moderat, seperti 

Presiden Khatami.

Ada keharusan menjawab pertanyaan yang belum juga di￾laksanakan oleh Parlemen Iran hingga saat ini, yaitu membiar￾kan orang-orang yang tidak beragama Islam -atau yang dianggap 

demikian oleh Parlemen Iran, mencalonkan diri seba­gai presi￾den. Bukankah hal itu menunjukkan ketakutan bahwa orang￾orang non-muslim akan dapat menjadi presiden, dan bukan­kah 

ketakutan seperti itu menunjukkan para legislator Iran memba￾tasi demokrasi itu sendiri? Kalau kecenderungan moderatisme 

di Iran berlangsung terus, hal ini akan menjadi tekanan terha￾dap para anggota parlemen yang membuat undang-undang ten￾tang syarat-syarat pemilihan presiden agar tidak bertentangan 

de­ngan demokrasi.



Ulil Abshar-Abdalla adalah seorang muda Nahdlatul Ula￾ma (NU) yang berasal dari lingkungan “orang santri”. 

Istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri budayawan 

Muslim Mustofa Bisri, sehingga kredibilitasnya sebagai seorang 

santri tidak pernah dipertanyakan orang. Mungkin juga cara 

hidupnya masih bersifat santri. Tetapi ada hal yang membeda￾kan Ulil dari orang-orang pesantren lainya, yaitu profesinya bu￾kanlah profesi lingkungan pesantren. Rupa­nya hal itulah yang 

akhirnya membuat ia dimaki-maki sebagai seorang yang “meng￾hina” Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia dianggap 

“abangan”. Dan di lingkungan NU, cu­kup banyak yang memper￾tanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap “aneh” bagi 

kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.

Mengapa demikian? sebab  ia berani mengemukakan libe￾ral­isme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan me￾mi­liki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya, 

adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan “kemer­de­ka￾an” berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya, se­hing­ga 

meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan “kebenaran” 

Islam. Padahal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam di­ri 

setiap orang beragama Islam. Itulah sebabnya, mengapa demi￾kian besar reaksi orang terhadap pemikirannya ini. 

Reaksi seperti ini pernah terjadi ketika penulis menge­mu￾kakan bahwa ucapan “Assalâmu’alaikum” dapat diganti dengan ucapan lain. Mereka menganggap penulis lah yang memutuskan 

hal itu. Segera penulis dimaki-maki oleh mereka yang tidak me￾nger­ti maksud penulis sebenarnya. Seperti KH. Syukron Mak￾mun dari jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta Selatan) 

yang me­nge­mukakan, bahwa penulis ingin merubah cara orang 

ber­shalat. Penulis, demikian kata kyai yang dahulu kondang itu, 

meng­hendaki orang menutup shalat dengan ucapan “selamat 

pagi” dan “selamat sore”. Padahal penulis tahu definisi shalat 

ada­­lah sesuatu yang dimulai dengan “takbiratul al-ihram” dan 

di­­sudahi dengan ucapan “salam”. Jadi, menurut paham Mazhab 

al-Syafi’i, penulis tidak akan semaunya sendiri menghilangkan 

salam sebagai peribadatan, melainkan hanya mengemukakan pe￾ru­bah­an salam sebagai ungkapan, baik ketika orang bertemu de￾ngan seorang muslim yang lain maupun dengan non-muslim. Di 

ling­kung­an Universitas Al-Azhar di Kairo misalnya, para sya­ikh/

kyai yang menjadi dosen juga sering merubah “tanda perkenal￾an“ ini , umpamanya saja dengan ungkapan “selamat pagi 

yang cerah (shabâh al-nûr).” Kurangnya pengetahuan kyai kita 

itu, mengakibatkan beliau berburuk sangka kepada penulis. Dan 

tentu reaksi terhadap pandangan Ulil sekarang, adalah akibat 

dari kekurangan pengetahuan itu.

eg

Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat be￾sar terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting, penulis in￾gin menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil Abshar-Abdalla 

adalah seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan 

berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia 

percaya akan batas-batas kemerdekaan itu, sebab  bagaimana￾pun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama 

ia percaya ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “Segala sesuatu mus￾nah kecuali Dzat Allah (kullu syai’in halikun illa wajhah)” (QS 

al-Qashash [28]:88), dan yakin akan ke­be­­naran kalimat Tauhid, 

maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat 

apa saja, tetapi tidak dapat meng­ubah kenyataan ini. Seorang 

Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti-Muslim, akan terkena 

sabda Nabi Muhammad Saw: “Barang siapa yang mengkafirkan 

saudara yang beragam Islam, justru ialah yang kafir (man kaf￾fara akhâhu musliman fahuwa kâfirun)."

Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd1

 (Averoes) 

yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Is￾lam. Sebagai akibat Averros juga di “kafir” kan orang, tentu saja 

oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan￾peru­bahan. Dalam hal ini, memang spektrum antara pengikut 

paham sumber tertulis “ahl al-naql”, dan penganut paham serba 

akal “ahl al-aqli (kaum rasionalis)” dalam Islam memang sa­ngat 

le­bar. Kedua pendekatan ini pun, sekarang sedang ditantang 

oleh pa­ham yang menerima “sumber intuisi (ahl al-dzauq),” 

seperti di­ke­mukakan oleh al-Jabiri. Ketiga sumber ini, diusung 

oleh al-Imam al-Ghazali2

 dalam mag­num opus (karya besar), 

“Ihyâ’ulûm al-dîn”, yang saat ini masih diajarkan di pondok￾pon­dok pesantren dan perguruan-perguru­an tinggi di seantero 

dunia Islam.

Jelaslah, dengan demikian “kesalahan” Ulil adalah sebab  

ia bersikap “menentang” anggapan salah yang sudah tertanam 

kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci al-Qur’ân menya￾ta­kan “Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini 

(al-yauma akmaltu lakum dînakum)” (QS al-Maidah [5]:3) dan 

“Masuklah ke dalam Islam/ kedamaian secara menyeluruh (ud￾khu­lû fî al-silmi kâffah)” (QS al-Baqarah [2]:208), maka seo￾lah-olah jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang 

di­mak­sudkan kedua ayat ini  adalah terwujudnya prinsip￾prin­sip kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian ten­tang kebenaran dalam Islam. Ulil mengetahui hal itu, dan sebab  

pengetahuannya ini  ia berani menumbuhkan dan me­ngem￾bang­kan liberalisme (keterbukaan) dalam keyakinan agama yang 

diperlukannya. Dan orang-orang lain itu marah ke­padanya, ka￾rena mereka tidak menguasai penafsiran istilah ter­sebut. Berpu￾lang kepada kita jualah untuk menilai tindakan Ulil Abshar Ab￾dalla, yang mengembangkan paham liberalisme dalam Islam. 

Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak menge￾ta­hui kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti itu? Tentu saja 

ia mengetahui kemungkinan itu, sebab  sebagai seorang santri 

Ulil tentu paham “kebebasan” yang dinilai buruk itu. Lalu, me￾nga­pa ia tetap melakukan kerja menyebarkan paham ini ? 

Tentu sebab  ia “terganggu” oleh kenyataan akan lebarnya spek￾trum di atas. sebab  ia khawatir pendapat “keras” akan mewar￾nai jalan pikiran kaum Muslim pada umumnya. Mungkin juga, ia 

ingin membuat para “Muslim pinggiran” merasa di rumah me­re￾ka sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan 

itu baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja 

menjadi motif yang diambil Ulil Abshar-Abdalla ini .

Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami 

Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika dibenarkan, tentu saja kita 

akan “membiarkan” Ulil mengemukakan gagasan-gagasannya 

di masa depan. Disadari, hanya dengan cara “menemukan” pe￾mikiran se­perti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tan￾tangan se­ku­larisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita 

masih mengharapkan Ulil mau melahirkan pendapat-pendapat 

terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama di masa 

lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaan-per￾bedaan pemikiran seperti itu? Adagium seperti “perbedaan pan￾dangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat 

(ikhtilâf al-a’immah rahmah al-ummah).”

Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil 

“berpikir” dalam media khalayak, maka kita dihadapkan kepada 

dua pilihan yaitu “larangan terbatas” untuk berpikir bebas, atau 

sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari 

proses modernisasi. Sikap pertama, hanya akan melambatkan 

pemikiran demi pemikiran dari orang-orang seperti Ulil. Pada￾hal pemikiran-pemikiran ini, harus dimengerti oleh mereka yang 

dianggap sebagai “orang luar”. Pendapat kedua, berarti kita ha￾rus menutup diri, yang pada puncaknya dapat berwujud pada ra￾di­ka­lis­me yang bersandar pada tindak kekerasan. Dari pan­dang￾an inilah lahirnya terorisme yang sekarang “menghantui” dunia 

Islam. Kalau kita tidak ingin menjadi radikal, sudah tentu kita 

harus dapat mengendalikan kecurigaan kita atas proses moderni￾sasi, yang untuk sebagian berakibat kepada munculnya paham 

“serba kekerasan”, yang saat ini sedang menghingapi dunia Is￾lam. Pilihan yang kelihatannya mudah tetapi sulit di lakukan, 

bukan?


Dalam berbagai pernyataan, sejumlah pejabat pemerin￾tah pekan lalu menyatakan, sikap pihak Gerakan Aceh 

Merdeka (GAM)1

 menunjukkan tidak mau berunding 

de­ngan RI. Dengan demikian GAM harus dianggap sebagai mu￾suh bersenjata dan harus diserang. Kapolri bahkan menya­ta­kan, 

Polri akan menambah personil di kawasan itu guna meng­hadapi 

setiap kemungkinan. Bentuk-bentuk lain tindakan fisik yang 

akan dilakukan terhadap GAM disuarakan secara bergan­tian, 

umum­nya oleh para pejabat tinggi kita. Ini merupakan per­tan￾da ketidaksabaran mereka untuk berunding dan akan kembali­￾nya penyelesaian konflik di Aceh ke arena perjuangan bersen­jata 

melawan GAM. Konsekuensi dari pandangan ini , jelas tidak 

hanya menyangkut pemerintah saja, me­lainkan seluruh bangsa.

Kalau kita tidak berunding dengan GAM, sudah tentu kon￾se­kuensinya adalah kembali bertempur melawan mereka. Ini 

ber­arti memaksa kelompok-kelompok GAM yang moderat un￾tuk ber­gabung dengan mereka yang ekstrim (bergaris keras). 

Artinya, rakyat Aceh akan menyaksikan kembali berbagai tindak keke­ras­an yang mau tidak mau akan mengorbankan nyawa ba￾nyak orang yang tidak bersalah, seperti kembalinya Daerah Ope￾rasi Militer (DOM)2

 di Tanah Rencong. Kalau DOM I saja sudah 

me­ngorbankan lebih dari 9.900 nyawa yang tidak bersalah, ke￾mung­kinan besar hal seperti itu akan terulang kembali. Dalam 

keadaan demikian, salahkah jika rakyat kawasan Nangroe Aceh 

Darussalam (NAD)3

 lalu beranggapan: Apa gunanya berada di 

lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesai (NKRI)?

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa dua hal akan men￾jadi akibat dari ucapan-ucapan para pejabat pemerintah kita 

me­nge­nai Aceh. Pertama, membuat kelompok-kelompok ako­mo￾datif di kalangan GAM tidak dapat bersikap lain kecuali me­ng￾ikuti kebijakan keras dari kelompok-kelompok ekstrim di dalam 

GAM sendiri. Kedua, jika hal itu terjadi, akan ada aki­bat poli￾tis yang harus kita hindari yaitu memisahnya NAD dari NKRI. 

Ini tentu bukan kehendak kita, sebab  pada pasca perang ke￾merdekaan saja, para pemimpin berbagai gerakan Is­lam menye￾tujui dihapusnya Piagam Jakarta, dari UUD 1945 demi menjaga 

kelangsungan negara dan kesatuan bangsa kita. Relakah kita jika 

keutuhan dan kesatuan bangsa dan negara yang dihasilkan tang￾gal 17 Agustus 1945 tercabik-cabik, sebab  adanya kebijakan kita 

yang selalu gegabah dalam masalah NAD?

Tentu saja kita tidak hanya ingin hal itu terjadi, apalagi 

hanya sebab  ucapan-ucapan tidak berarti dari para pejabat pe￾me­rintah sendiri. Ribuan warga telah memberikan nyawa dan 

harta benda mereka, masih banyak para pejuang yang menang￾gung cacat sebagai akibat perjuangan mempertahankan kemer￾de­kaan dan kedaulatan, sebagai sebuah entitas negara dan 

bang­­­­sa. Tentu saja kita menjadi tidak akan rela adanya berbagai 

tuntutan separatisme seperti itu. sebab nya, melalui tulisan ini, 

penulis mengajukan sanggahan terhadap ucapan-ucapan seperti itu, yang mengganggu keselamatan dan keutuhan kita sebagai 

bangsa dan negara. 

Siapa pun yang mengeluarkan pernyataan, dari rakyat je￾lata di tingkat yang paling rendah hingga pejabat pemerintah 

pusat, semua harus berhati-hati dalam menanggapi langkah￾langkah yang di­­ambil oleh kelompok-kelompok ekstrim di ling￾kungan GAM itu sendiri. Tidak semua hal dapat dipecahkan me￾lalui langkah-langkah yang gegabah dan terburu-buru. sebab  

itu diperlukan daya tahan sangat besar untuk berunding dalam 

jangka panjang, guna menyelamatkan teritorial negara kita. Ini 

yang penulis lakukan semasa menjadi presiden dengan berper￾gian ke sana ke mari ke luar negeri, menjaga agar dunia interna￾sional mengakui keutuhan teritorial kita. Tidak rela rasanya jika 

langkah penulis itu dianggap sebagai lelucon saja, dan kemudian 

saat ini ke­utuhan teritorial itu terganggu sebab  ucapan-ucapan 

sangat negatif dari dalam negeri sendiri.

eg

Para pejabat pemerintah yang mengeluarkan ucapan-ucap￾an di atas, jelas tidak mengikuti perintah agama untuk ber­sabar 

dan memaafkan, dari apa yang kita anggap sebagai kesa­lah­an￾kesalahan mereka. Apalah artinya mengeluarkan biaya sangat 

besar dalam RAPBN untuk menerjemahkan kitab suci al-Qurân 

dalam bahasa nasional kita, kalau kemudian para pejabat peme￾rintah kita sendiri tidak mau memahaminya? Kearifan si­kap jus￾tru sangat diperlukan, dan hanya didapat kalau kita sen­diri mau 

mengerti dan mengambil pelajaran, antara lain dari kitab suci 

kita sendiri.

Puluhan ayat kitab suci al-Qurân meminta kaum muslimin 

untuk bersikap sabar dalam menghadapi berbagai persoalan. 

Yang paling sederhana adalah firman Allah: “Bersabarlah ter­ha￾dap apa yang menimpa kamu (washbir ’alâ mâ ashâbak)” (QS. 

Luqman [31]:17), dan ungkapan “Maka bersabarlah kamu de￾ngan sabar yang baik (fashbir shabran jamîla)” (QS. al-Ma’ârij 

[70]:5), menunjukkan kepada kita betapa kuatnya kedudukan 

sikap bersabar itu dalam pandangan Islam. Terkadang orang ke￾hilangan kesabaran, dan menjadi teroris seperti orang yang me￾ledakkan bom di Bali.

sebab nya kita himbau sekali lagi bagi orang-orang yang mengemukakan “jalan kekerasan” di atas. Dalam saat-saat serba 

sulit seperti sekarang ini, tentu mudah bagi kita untuk menjadi 

marah. Tetapi bukankah justru sikap mudah marah itu yang 

di­kehendaki golongan ekstrim di negeri kita, dari mana pun ia 

berasal. Kedewasaan sikap kita justru harus ditunjukan di saat￾saat seperti ini. Dengan sendirinya ucapan-ucapan yang menun￾jukkan hilangnya kesabaran harus dihindari. 


Dalam perjalanan ke gedung TVRI saat subuh awal Feb￾ruari 2003, penulis mendengar siaran sebuah radio 

swasta Jakarta yang menyiarkan dialog tentang masalah 

ras dan diskriminasi. sebab  format siarannya dialog interaktif, 

maka dapat dimengerti jika para pendengar melalui telepon me￾ngemukakan pendapat dan pernyataan berbeda-beda mengenai 

ke­dua hal itu. Ada yang menunjuk kepada keterangan etnografis, 

yang menyatakan orang-orang di Asia Tenggara, Jepang, Korea, 

Tiongkok, Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan 

mem­punyai penduduk asli dari ras Mongol (Mongoloid). sebab  

itu narasumber pada dialog itu, menolak perbedaan antara kaum 

asli dan kaum turunan di negara kita . Menurutnya kita semua ber￾asal dari satu turunan dan tidak ada bedanya satu dari yang lain. 

Maka pembagian kelompok asli dan keturunan di negeri kita ti￾dak dapat diterima dari sudut pemikirannya.

Pendengar lain juga memiliki pandangan yang sama, ada 

yang melihat dari segi sejarah atau historis, bahwa orang yang 

mempunyai asal-usul sangat berbeda secara bersama-sama men￾di­rikan negara ini, dengan demikian dari masa itulah harus dihi￾tung titik tolak eksistensi kita sebagai bangsa. Menurut pendapat 

ini, kalau memakai  ukuran ini  kita tidak akan da­pat 

membeda-bedakan warga negara negara kita  yang demikian be￾sar jumlahnya. Pendapat ini juga menolak pem­­be­daan para war￾ga negara kita menjadi asli dan keturunan, kare­na hal itu tidak 

berasal dari kenyataan historis tentang pem­bentukan bangsa ini. 

Menurut pendapat ini, perbedaan seperti itu terlalu dipaksakan 

dan tidak sesuai dengan kenyataan empirik, ini berarti peno￾lakan atas teori perbedaan ini .Seorang pendengar, bahkan menolak bahwa ada diskri￾mi­­nasi golongan di negeri kita. Yang ada adalah diskriminasi 

per­­orangan atau diskriminasi oknum yang terjadi pada warga 

dengan ras yang berbeda. Penulis bertanya-tanya akan hal itu, 

bagaimana kita menjelaskan adanya semacam kuota yang terjadi 

di negeri kita, seperti orang keturunan Tionghoa hanya boleh 

mengisi 15% kursi mahasiswa baru di sebuah Perguruan Tinggi 

Negeri? Juga, bagaimana menerangkan bahwa dalam seluruh 

jajaran TNI, hanya ada dua orang Perwira Tinggi dari ras “non 

pribumi”, yaitu Mayjen Purnawirawan TNI Iskandar Kamil dan 

Brigjen Purnawirawan TNI Teddy Yusuf? Juga pertanyaan seba￾liknya, soal adanya “kuota halus” di kalangan masyarakat ketu￾run­an Tionghoa sendiri, mengenai sangat langkanya manager

dari “orang-orang pribumi asli” dalam perusahaan-perusahaan 

besar milik mereka.

Ada juga pendengar yang menyebutkan, bahwa di masa 

lampau bendera Merah Putih berkibar diatas sejumlah kapal 

laut milik negara kita , yang menandakan kebesaran angkatan laut 

kita pada masa itu. Dalam kenyataan, sebenarnya angkatan laut 

kita waktu itu adalah bagian dari angkatan laut Tiongkok. Ji­ka 

diban­ding­kan dengan keadaan sekarang, seperti kekuatan ang￾katan laut Australia dan Kanada, yang menjadi bagian dari se￾buah dominion angkatan laut dari angkatan perang Inggris Raya 

(Great Britain). Jadi sebagai angkatan laut dominion, ang­katan 

laut kita pada era ini  adalah bagian dari sebuah ang­katan 

laut Tiong­kok. Kenyataan sejarah ini harus kita akui, jika kita 

ingin men­dirikan/mengembangkan sebuah entitas yang besar 

dan jaya.

eg

Sebelum masa ini, para warga negara keturunan Tionghoa 

harus mengganti namanya menjadi nama “pribumi”, tidak diper￾ke­nan­kan mendirikan sekolah-sekolah dan tidak diperbolehkan 

membuat surat ka­bar atau majalah umum berbahasa Mandarin. 

Ter­lebih parah lagi adalah mereka dilarang beragama Konghu￾cu1

, sebab  keyakinan ini  diasumsikan adalah sebuah fil­safat hidup, bukan­nya agama. Sebagai akibat, kita memiliki peng￾usaha ber­mata sipit yang bernama Mochammad Harun Musa. 

Padahal jelas sekali, dia bukan seorang muslim, atau pun bukan 

pula beragama Kris­tiani, melainkan ia “beragama” Budha dalam 

kartu identitasnya.

Dalam hal keyakinan ini, kita berhadapan dengan pihak￾pihak pejabat pemerintah yang beranggapan, negara dapat me￾nentukan mana agama dan mana yang bukan. Mereka sebenar￾nya memiliki motif lain, seperti dahulu sejumlah perwira BAKIN 

(Badan Koordinasi Intelejen Negara) yang beranggapan jika war￾ga “keturunan Tionghoa” dilarang beragama Khonghucu, maka 

para warga negara itu akan masuk ke dalam agama “resmi” yang 

diizinkan negara. Inilah bahaya penafsiran oleh negara, padahal 

sebenarnya yang menentukan sesuatu agama atau bukan, adalah 

pemeluknya sendiri. sebab  itu, peranan negara sebaik­nya diba￾ta­si pada pemberian bantuan belaka. sebab  hal itu pula lah 

pe­nulis menyanggah niatan Kapolda Jawa Tengah, yang ingin 

me­nutup Pondok Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Solo. Biar￾kan masyarakat yang menolak peranannya dalam pembentukan 

sebuah nega­ra Islam di negara ini!

Di sini harus jelas, mana yang menjadi batasan antara pe￾ran­an negara dan peranan masyarakat dalam menye­leng­gara­kan 

kehi­dup­an beragama. Negara hanya bersifat membantu, justru 

masyarakat yang harus berperan menentukan hidup ma­ti­nya agama ini  di negeri ini. Di sinilah terletak arti firman Tuhan 

dalam kitab suci al-Qurân: “Tak ada paksaan dalam ber­agama, 

(sebab ) benar-benar telah jelas mana yang benar dan mana 

yang palsu (lâ ikrâha fî ad-dîn qadtabayyana ar-rusydu min 

al-ghayyi)” (QS. Al-Baqarah [2]: 256). Jelas dalam ayat itu, tidak 

ada peranan negara sama sekali melainkan yang ada hanyalah 

peran­an masyarakat yang menentukan mana yang be­nar dan 

mana yang palsu. Jika semua agama itu bersikap saling meng￾hormati, maka setiap agama berhak hidup di negeri ini, terlepas 

dari se­nang atau tidaknya pejabat pemerintahan.

Sangat jelas dari uraian di atas, bahwa diskriminasi me￾mang ada di masa lampau, tetapi sekarang harus dikikis habis. 

Ini kalau kita ingin memiliki negara yang kuat dan bangsa yang 

besar. Perbedaan di antara kita, justru harus dianggap se­bagai 

kekayaan bangsa. Berbeda, dalam pandangan Islam, wajar terja￾di dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi pada tingkat sebuah 

bangsa besar, seperti manusia negara kita . Kitab suci al-Qurân 

menye­but­kan: “Berpeganglah kalian kepada tali Tuhan dan se￾cara kese­lu­ruhan serta jangan terpecah-pecah dan saling berten￾tang­an (wa’ tashimû bi habli Allah jamî’an wa lâ tafarraqû)” 

(QS. Ali Imran [3]:103). Ayat kitab suci ini  jelas membe￾dakan perbedaan pendapat dengan pertentangan, yang memang 

nyata-nyata dilarang.

Walau telah lewat, tulisan ini dimaksudkan sebagai hadiah 

Tahun Baru Imlek yang harus kita hargai, seperti hari-hari besar 

agama yang lain. Tentu, hadiah berupa peletakkan dasar-dasar 

perbedaan di antara kita, sambil menolak pertentangan dan 

keter­pe­cahbelahan di antara komponen-komponen bangsa kita, 

jauh lebih berharga daripada hadiah materi. Apalagi, jika pene￾rima hadiah itu telah berlimpah-limpah secara materi, sedang￾kan pem­beri hadiah itu justru secara relatif lebih tidak berpunya. 

Memang mudah sekali mengatakan tidak boleh ada diskrimina￾si, tetapi justru upaya mengikis habis tindakan itu memer­lukan 

waktu, yang mungkin memerlukan masa bergenerasi dalam ke￾hidupan kita sebagai bangsa. Memang selalu ada jarak waktu 

sangat panjang antara penetapan secara resmi dengan kenyata￾an empirik dalam kehidupan. Mudah dirumuskan, namun sulit 

dilaksanakanMinggu lalu, di bilangan Kramat V, Jakarta, penulis me￾res­mikan sebuah panti jompo milik sebuah yayasan 

yang dipimpin orang-orang eks Tapol (Tahanan Poli￾tik) dan Napol (Narapidana Politik), kasarnya orang-orang PKI 

(Partai Komunis negara kita ) yang sudah dibubarkan. Mereka 

men­­dirikan sebuah panti jompo di gedung bekas kantor Gerwani 

(Gerakan Wanita negara kita ), yang dianggap sebagai organisasi 

perempuan PKI. Peresmian yang diminta mereka secara apa 

ada­nya pada pagi yang cerah itu, disaksikan antara lain oleh SK 

Trimurti1

, salah seorang pejuang kemerdekaan kita. Ini penulis 

lakukan sebab  solidaritas ter­ha­dap nasib mereka, yang sampai 

sekarang pun masih mengalami tekanan-tekanan dan kehilang￾an segala-galanya. Puluhan ribu, mung­kin ratusan ribu orang 

di­pen­ja­rakan, sebab  ditu­duh “terlibat” dan bahkan me­mimpin 

PKI. Banyak yang mening­gal dunia dalam keadaan sangat me￾nyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak me￾miliki hak-hak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam 

pemilu. Rumah-rumah dan harta benda mereka yang diram­pas. 

Dan stigma (cap) pengkhianat bangsa, tetap melekat pada diri 

mereka hingga saat ini. 

Dengan dipimpin oleh dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati2

mereka membentuk PAKORBA (Paguyuban Korban Orde Baru) 

yang memiliki cabang di mana-mana, walhasil gerakan mereka 

berskala nasional. Namun sebab  prikemanusiaan juga lah penu­lis mempunyai solidaritas yang kuat dengan mereka, seperti hal￾nya solidaritas penulis kepada mantan anak buah Karto­suwir­yo, 

yang disebut DI/TII (Darul Islam dan Tentara Islam negara kita ). 

Bahkan waktu turut “ber­kuasa”, PKI pernah turut mem­be­­ri­­­kan 

cap pemberontak kepada (mantan) anggota DI/TII itu. 

Penulis pernah menyebutkan dalam sebuah tulisan, Karto￾suwiryo merekrut anggota dengan memakai  nama DI/ TII, 

sebab  ia diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedir￾man, guna menghindarkan kekosongan dae­­rah Jawa Barat, 

yang ditinggalkan TNI untuk kembali ke Jawa Tengah (kawasan 

RI) akibat Perjanjian Renville3

 . Seorang pembaca menyanggah 

“ca­tat­an” penulis itu sebab  di matanya tidak mungkin Kar­to￾suwiryo menjadi “penasehat militer” Jenderal Soedirman. Lebih 

pantas kalau ia adalah penasehat politik. Pembaca itu tidak tahu, 

bahwa penasehat politik Jenderal Sudirman adalah ayah penulis 

sendiri, KH. A. Wahid Hasyim. sebab  itu simpati penulis kepa￾da anggota DI/ TII juga tidak kalah besarnya dari simpati kepada 

mantan orang-orang PKI.

eg

Di sini penulis ingin menekankan, bahwa konflik-konflik 

ber­senjata di masa lampau dapat dianggap selesai, apapun alas￾an­­nya, sebab  kita sekarang sudah kuat sebagai bangsa dan tidak 

usah menakuti kelompok manapun. Justru keadilan yang harus 

kita tegakkan, sebagai persyaratan utama bagi sebuah proses de￾mo­­kratisasi. Kita adalah bangsa yang besar. Dengan penduduk 

saat ini 205 juta lebih, kita harus mampu menegakkan keadilan, 

dan tidak “menghukum” mereka yang tidak bersalah. Seperti 

pembelaan (pledoi) Amrozi di muka Pengadilan Negeri Denpa￾sar, bahwa ia merakit bom kecil saja, sedangkan ada orang yang 

dibalik pemboman Bali itu dengan bom besar yang mem­bunuh lebih dari 200 orang. Pernyataan Amrozi ini seharusnya men￾dorong kita memeriksa “pengakuan” ini . sebab  hal ini ti￾dak dilakukan maka hingga saat ini kita tetap tidak tahu, apakah 

pendapat Amrozi itu berdasarkan fakta atau tidak. Demikian 

juga, kita tetap tidak tahu siapa yang meledakan bom di Hotel 

Marriott Jakarta beberapa waktu kemudian.

Begitu banyak rahasia menyelimuti masa lampau kita, 

se­hingga tidak layak jika kita bersikap congkak dengan tetap 

meng­anggap diri kita benar dan orang lain salah. Diperlukan ke￾rendahan hati untuk melihat semua yang terjadi itu dalam per￾spektif prikemanusiaan, bukannya secara ideologis. Kalau meng￾gunakan kacamata ideologis saja, maka sudah tentu akan sangat 

mudah bagi kita untuk menganggap diri sendiri benar dan orang 

lain bersalah. Ini bertentangan dengan hakekat kehidupan bang￾sa kita yang demikian beragam. Kebhinekaan/keragaman justru 

menunjukkan kekayaan kita yang sangat besar. sebab ­nya kita 

tidak boleh menyalahkan siapa-siapa atas keme­lut yang masih 

menghinggapi kehidupan bangsa kita saat ini. 

Sebuah contoh lagi dapat dikemukakan. Abu Bakar Ba’asyir 

yang dianggap sebagai “biang kerok” terorisme di negeri kita, 

saat ini mendekam di LP (Lembaga Per­masya­rakat­an) Cipinang, 

Jakarta Timur setelah pengadilan menjatuhkan hukuman em￾pat tahun pen­jara. Memang pengadilan mene­tap­kan ia bersalah 

namun kepastian sejarah belum kita ketahui, mengingat data￾data yang “tidak pasti (unreliable)” digunakan dalam mengambil 

keputusan. Selain itu, memang peng­adilan-pengadilan kita penuh 

dengan “mafia peradilan’, ma­ka kita tidak dapat diyakinkan oleh 

“kepastian hukum” yang dihasilkannya. Seperti halnya kasus 

Akbar Tandjung, jelas ke­pu­tus­an Mahkamah Agung akan terus 

“diragukan” apapun bunyi ke­putusan itu sendiri. Tidak heran￾lah sekarang kita mengalami “kelesuan” dalam menegakkan ke￾daulatan hukum. Inilah raha­sia mengapa tidak ada investasi dari 

luar negeri, sebab  lang­ka­nya kepastian hukum tadi.

eg

Sebuah kasus lain cukup menarik untuk dikemukakan di 

sini. Kyai Mahfud Sumalangu (Kebumen), adalah pahlawan yang 

memerangi balatentara pendudukan Belanda di Banyumas Se￾latan. Ketika Kabinet Hatta memutuskan “rasionalisasi” TNI atas usul Jenderal Besar AH. Nasution, antara lain berupa keten­tuan 

bahwa Komandan Batalyon TNI haruslah berijazah. Ijazah itu 

hanya dibatasi pada keluaran beberapa lembaga pendi­dik­an saja 

(tidak termasuk pesantren), maka kyai kita itu tidak diperkenan￾kan menjadi komandan batalyon di Purworejo. Sebagai gantinya 

diangkat seorang perwira muda bernama A. Yani. Akibatnya kyai 

kita itu mendirikan Angkatan Umat Islam (AUI) yang kemudian 

dinyatakan oleh A. Yani sebagai pembe­ron­tak. Peristiwa tragis 

ini terjadi pada awal tahun 50-an, namun bekasnya yang pahit 

masih saja tersisa sampai hari ini.

Korban-korban politik seperti ini masih banyak terdapat di 

negeri kita dewasa ini. sebab nya, kita harus memiliki kelapang￾an dada untuk dapat menerima kehadiran pihak-pihak lain yang 

tidak sepaham dengan kita. Termasuk di dalamnya orang-orang 

mantan Napol dan Tapol PKI, yang kebanyakan bukan orang 

yang benar-benar memahami ideologi komunis. sebab  itulah, 

penulis tidak pernah menganggap mantan anggota PKI maupun 

DI/TII sebagai “lawan yang harus diwas­pa­dai”. Penulis justru 

beranggapan bahwa mantan anggota PKI itu, sekarang sedang 

mencari Tuhan dalam kehidupan mere­ka, sebab  apa yang saat 

ini mereka anggap sebagai “kezaliman-kezaliman”, justru pernah 

mereka jalani saat “berkuasa”. Seka­rang mereka berpegang pada 

keyakinan yang mereka miliki, yang tidak bertentangan dengan 

undang-undang dasar. Kalau kita juga memakai  cara pan￾dang itu, berarti kita sudah turut menegakkan keadilan.

Dari uraian di atas, jelas bahwa yang kita perlukan ada­lah 

rekonsiliasi nasional, setelah pengadilan memberikan keputusan 

“yang adil” bagi semua pihak. Kalau “konglomerat hitam” dapat 

diberi status Release and Discharge (bebas dari segala tuntutan), 

mengapakah kita tidak melakukan hal seper­ti itu pada orang￾orang mantan PKI dan DI/TII? Jadi, pengertian dari rekonsiliasi 

yang benar adalah pertama mengharuskan ada­­nya pemeriksaan 

tuntas oleh pengadilan, kalau bukti-bukti yang jelas masih dapat 

dicari. Baru kemudian diumumkan peng­ampunan setelah vonis 

pengadilan dikeluarkan. Di sinilah keadilan harus ditegakkan di 

Bumi Nusantara. Sebuah tekad untuk memeriksa kasus-kasus 

yang terjadi di depan mata kita dalam masa lima belas tahun ter￾akhir ini, justru meminta kepada kita agar “melupakan” apa yang 

terjadi 40-50 tahun yang lalu. Kedengarannya mudah dilakukan, 

namun dalam kenyataan sulit dilaksanakan

Dalam pandangan Islam, tujuan hidup perorangan adalah 

mencari kebahagian dunia dan akhirat yang dicapai me￾lalui kerangka peribadatan kepada Allah Swt. Terkenal 

dalam hal ini firman Allah melalui kitab suci al-Qurân: “Tidak 

Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada 

Ku (wa mâ khalaqtu al-jinna wa al-insâ illâ liya’budûni)” (QS. 

adz-Dzâriyât [51]:56). Dengan adanya konteks ini, manusia se￾lalu merasakan kebu­tuh­an akan Tuhan, dan dengan demikian ia 

tidak berbuat sesuka hati. sebab  itulah, akan ada kendali atas 

perilakunya selama hidup, dalam hal ini adalah pencarian pa￾hala/kebaikan untuk akhirat, dan pencegahan sesuatu yang se￾cara moral dinilai buruk atau baik di dunia. sebab  itulah do’a 

seorang muslim yang paling te­pat adalah “Wahai Tuhan, berikan 

kepada kami kebaikan di du­nia dan kebaikan di akhirat (rabbanâ 

âtinâ fî ad-dunya hasanatan wa fî al-âkhirati hasanatan)” (QS. 

al-Baqarah [2]:201).

Yang digambarkan di atas adalah kerangka mikro bagi ke￾hi­dupan seorang Muslim di dunia dan akhirat. Hal ini adalah se￾suatu yang pokok dalam kehidupan seorang manusia, yang di￾simpulkan dari keyakinan akan adanya Allah dan bahwa Nabi 

Muhammad Saw adalah utusan-Nya. Tanpa kedua hal pokok itu 

sebagai keyakinan, secara teknis dia bukanlah seorang muslim. 

sebab  manusia adalah bagian dari sebuah masyarakat, 

maka secara makro ia adalah makhluk sosial yang tidak berdiri 

sendiri. Terkenal dalam hal ini ungkapan: “Tiada Islam tanpa ke￾lompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepe￾mimpinan tanpa ketundukan. (La Islama Illa bi Jama’ah wala 

Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah).” Dengan 

demikian, kedudukan dan tugas seorang pemimpin sangat berat 

dalam pandangan Islam. Dia harus menciptakan kelompok yang kuat, patuh dan setia pada kerangka peribadatan yang dikemu￾kakan Islam. Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus memiliki 

strategi yang jelas agar tercapai tujuan ma­syarakat yang adil 

dan makmur. Tujuan ini diungkapkan dengan indah­nya dalam 

pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Sedang dalam 

bahasa Arab, seornag pemimpin harus mampu menciptakan ke￾sejahteraan masyarakat yang bertumpukan keadilan dan kemak￾muran atau “al-maslahah al-âmmah”. 

eg

Hal kedua yang harus ditegakkannya adalah orientasi yang 

benar dalam memerintah, termasuk orientasi ekonomi yang jelas. 

Jika segala macam kebijakan pemerintah, tindakan yang diam￾bil dan peraturan-peraturan di bidang ekonomi yang selama ini 

–se­­jak kemerdekaan kita-, hampir seluruhnya mengacu kepada 

kemu­dahan prosedur dan pemberian fasilitas kepada usaha be￾sar dan raksasa, yang berarti orientasi ini tidak memihak ke­pada 

kepentingan Usaha Kecil Menengah (UKM), maka seka­rang su￾dah tiba saatnya untuk melakukan perubahan-perubahan dalam 

orientasi ekonomi kita. Orientasi membangun UKM, dijalankan 

dengan penyediaan kredit yang berbunga sangat rendah sebagai 

modal pembentukan UKM ini .

Perubahan orientasi ekonomi itu berarti juga perubahan 

te­­kanan dalam ekonomi kita. Jika sebelumnya penekanan pada 

bidang ekspor, yang hasilnya dalam bentuk pajak- sangat sedikit 

kembali ke kas pemerintah, sebab  begitu banyak keringanan 

untuk kalangan eksportir. Maka, selanjutnya justru harus diuta￾ma­kan perluasan pasaran di dalam negeri secara besar-besaran.

Untuk itu, tiga hal sangat diperlukan, yaitu: pertama, pe￾ningkatan pendapatan masyarakat guna menciptakan kemam￾puan daya beli yang besar. Kedua, pengerahan industri guna 

menghidupkan kembali penyedia­an ba­rang untuk pasaran dalam 

negeri. Ketiga, independensi eko­nomi dari yang sebelumnya ter￾gantung kepada tata niaga internasional.

Ini berarti, kita harus tetap memelihara kompetisi yang ju￾jur, mengadakan efisiensi dan menciptakan jaringan fungsional 

bagi UKM kita, baik untuk menggalakkan produksi dalam negeri, 

mau­pun untuk penciptaan pemasaran dalam negeri yang kita per￾luk­an. Keterkaitannya adalah tetap memelihara tata niaga inter­na­sio­nal yang bersih dan bersaing, disamping memperluas basis 

pajak kita (dari sekitar 2 juta orang saat ini ke 20 juta orang wa￾jib pajak dalam beberapa tahun menda­tang). Ditambah dengan, 

pemberantasan kebocoran-kebocoran dan pungutan liar yang 

ma­sih ada sekarang ini. Barulah dengan demikian, dapat kita 

naikkan pendapatan. 

eg

Tata ekonomi seperti itu akan lebih memungkinkan terca￾pai­­nya kesejahteraan dengan cepat, yang dalam pembukaan 

UUD 1945 disebutkan sebagai terciptanya masyarakat adil dan 

mak­mur. Dalam fiqh disebutkan “kebijakan dan tindakan pe￾mim­pin atas rakyat yang dipimpin harus sejalan dengan kemas￾lahatan mereka’ (tasharruf al-imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûthun 

bi al-mashlahah)”. Itu berlaku juga untuk bidang ekonomi. Eko￾nomi yang ber­orientasi kepada kemampuan berdiri di atas kaki 

sendi­ri, men­jadikan ekonomi kita akan sesuai dengan ajaran-ajar￾an Islam. 

Apakah ekonomi yang sedemikian itu akan dinamai eko￾no­mi Islam atau hanya disebut ekonomi nasional saja, tidak­lah 

relevan untuk didiskusikan di sini. Yang terpenting, ba­ngun­­an 

ekonomi yang dikembangkan, baik tatanan maupun orienta­si￾nya, sesuai dengan ajaran Islam. Penulis yakin, ekonomi yang 

se­­demikian itu juga sesuai dengan ajaran-ajaran berbagai agama 

lain. sebab nya, penamaan ekonomi seperti itu dengan na­ma eko￾nomi Islam, sebenarnya juga tidak diperlukan sekali, kare­na yang 

terpenting adalah pemberlakuannya, dan bukan penamaannya.

Dalam kerangka inilah, kepentingan mikro ekonomi Islam 

secara pribadi, yaitu untuk mencapai kebahagiaan dunia-akhirat, 

lalu sama posisinya dengan dibangunnya ekonomi makro yang 

mementingkan keadilan dan kemakmuran seluruh bangsa. Se­be￾narnya kita dapat melakukan hal itu, apabila tersedia political 

will untuk menerapkannya. Memang, ekonomi terlalu penting 

bagi sebuah bangsa jika hanya untuk diputuskan oleh sejumlah 

ahli ekonomi belaka, tanpa melibatkan seluruh bangsa. sebab  

menyangkut kesejahteraan seluruh bangsa, maka di­perlu­kan 

keputusan bersama dalan hal ini. Untuk mengambil kepu­tusan 

seperti itu, haruslah didengar lebih dahulu per­de­bat­an­nya. hSejumlah ahli ekonomi berpendapat bahwa ada kaitan 

lang­­sung antara Islam dan ekonomi. Dengan demikian, 

ada yang dinamakan ekonomi Islam, yaitu Islam memuat 

ajar­an-ajaran ekonomi yang harus diterapkan oleh masyarakat 

kaum muslimin. Pengakuan ini sangatlah menarik, sebab  kita 

su­dah lama melihat bahwa ekonomi hanyalah bersifat empirik 

saja, sedangkan agama memiliki nuansa spiritual yang sangat 

kuat. Jadi, ada sebuah pertanyaan yang sangat menarik, adakah 

ekonomi Islam? 

Pada tahun-tahun 70-an dan 80-an, sejumlah ekonom 

meng­­­­­ajukan pendapat, bahwa sebuah ekonomi dapatlah dina￾makan ekonomi Islam, kalau mengikuti ketentuan-ketentuan 

agama Islam mengenai riba, eksistensi bank dan penolakan ter￾hadap asuransi. Menurut pendapat ini, sistem perbankan tidak 

diper­ke­nankan memakai  bunga bank (bank interest), se￾dangkan ketentuan-ketentuan yang lazim dalam asuransi sama 

saja dengan permainan judi, yang diharamkan oleh Islam. De￾ngan demikian, pemberian atau pengambilan bunga bank dan 

pene­ri­maan asuransi berarti penyimpangan dari hukum Islam. 

Ekonomi yang memakai  kedua-duanya sama saja dengan 

ekonomi yang menolak ajaran Islam. 

Dalam tahun-tahun 70-an, muncul juga pendapat orang￾orang seperti Prof. Dr. Mubyarto dari Universitas Gajah Mada 

(UGM), yang mengemukakan pendapat tentang Ekonomi Panca￾sila. Menurut pendapat beliau, Ekonomi Pancasila harus terkait 

langsung dengan ekonomi orang kecil, dan bertumpu pada mo￾ralitas. Pendapat ini identik dengan konsepsi dari ekonomi Islam, minus soal bunga bank dan asuransi. sebab nya, pembahasan 

tentang ekonomi Islam dengan segera lalu terhenti, sebab  orang 

lalu berdiskusi tentang Ekonomi Pancasila. Dalam pada itu, eko￾nomi yang empirik dan bebas nilai, seperti yang dibawakan kaum 

teknokrat, tetap dilaksanakan dan berkembang pesat.

Sekarang ini, terasa adanya keperluan untuk membahas 

ada tidaknya ekonomi Islam. Pertama, sebab  adanya sejum￾lah program yang memakai  nama syari’ah, seperti bank 

sya­ri’ah yang ada di lingkungan sebuah bank besar milik nega￾ra (BUMN). Begitu juga ada beberapa upaya percobaan untuk 

menerapkan asuransi menurut ajaran Islam –yang dikenal de￾ngan nama takaful. Kedua, sebab  dalam waktu lima belas tahun 

terakhir, ekonomi kita benar-benar bersifat empirik dan tidak 

menggu­na­kan acuan moral sama sekali. Ini berarti, telah terba￾ngun­nya ekonomi yang benar-benar kapitalistik dan berazas sia￾pa yang kuat dan cerdik, dialah yang menguasai segala-galanya.

Bahkan, begitu kuatnya watak kapitalistik dalam ekonomi 

kita waktu itu, hingga seorang bankir dan pendiri jaringan se￾buah bank raksasa di negeri ini, senantiasa mengucapkan “puji 

Tuhan” setiap kali akan atau usai menipu orang. Jadi agama dire￾dusir hanya menjadi keimanan dan keyakinan belaka, sedangkan 

dimensi sosial dijauhkan dari agama dalam pengertian ini . 

Benarkah dengan sistem ekonomi harus membuang jauh-jauh 

pertim­bang­an moral sama sekali? Di sisi lain, dapatkah sebuah 

sistem yang hanya bertumpu pada acuan moral saja, dinamai 

sebuah sistem ekonomi? Kalau jawabannya positif, berarti eko￾nomi Islam ada; dan kalau jawabannya negatif, berarti tidak ada 

ekonomi Islam. Justru dalam menentukan jawaban atas kedua 

pertanyaan di atas, terletak wujud atau tidak terwujudnya eko￾nomi Islam.

Yusuf Qardhawi1

 mengemukakan, bahwa tidak dapat begitu 

saja bunga bank dianggap sebagai riba, tergantung pada besar￾kecil dan maksud pemungutan bunga bank ini . Menurut pendapatnya, jika bunga bank dipungut dari upaya non-pro­duk￾tif –katakanlah bersifat konsumtif belaka, maka ia dapat dikata￾kan riba. Kalau bunga bank itu merupakan bagian dari sebuah 

upaya produktif maka bunga bank yang digunakan atas transaksi 

itu bukanlah riba, melainkan bagian dari ongkos produksi saja.

Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa ada tiga 

hal yang sangat penting yang tidak boleh dilupakan sama sekali. 

Pertama, orientasi ekonomi itu sendiri, yang harus memper­juang￾kan nasib rakyat kecil serta kepentingan orang banyak. Ini sesuai 

dengan ketentuan agama Islam bahwa tindakan pemimpin atas 

rakyat yang dipimpin harus terkait langsung dengan kesejah­tera￾an rakyat yang dipimpin. Istilah yang digunakan dalam bahasa 

Arab oleh fiqh adalah maslahah, diterjemahkan oleh penulis 

dengan istilah kesejahteraan. Dan, dalam bahasa Undang-un￾dang Dasar (UUD) 1945, masyarakat sejahtera dirumuskan seba￾gai masyarakat adil dan makmur, hingga orientasi kepen­tingan 

dan kesejahteraan warga masyarakat itu, yang dikandung oleh 

Islam, sepenuhnya sesuai dengan UUD 1945.

Kedua, mekanisme yang digunakan untuk mencapai kese￾jahteraan itu, tidak ditentukan format dan bentuknya. Dengan 

de­mi­kian, acuan persaingan-perdagangan bebas dan efisiensi 

yang dibawakan oleh kapitalisme, tidaklah bertentangan dengan 

pandangan ekonomi yang dibawakan Islam. Bahkan Islam me￾ng­­an­jurkan adanya sikap fastabiqu al-khairat (ber­lomba dalam 

kebaikan), yang menjadi inti dalam praktek ekonomi yang se￾hat. Dengan persaingan dan perlombaan, akan terjadi efisiensi 

yang semakin meningkat. Namun, pemerintah sebagai pengua￾sa ha­rus memberikan perlindungan kepada yang lemah tanpa 

melakukan intervensi dalam perdagangan. Negara-negara yang 

berteknologi maju-pun melindungi para pe­­nganggur, sampai 3% 

dari jumlah keseluruhan kaum pekerja. Ini adalah prinsip yang 

harus dipegang teguh dalam menentukan kebijakan ekonomi. 

Dari orientasi dan mekanisme pasar seperti itu, jelas bahwa 

tidak ada satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Se￾dangkan masalah bunga bank dan pelaksanaan asuransi seba­gai 

unit parsial dalam kehidupan ekonomi, dapat saja dirumuskan 

yang benar-benar sesuai dengan ajaran Islam, dengan predikat 

bank Islam/bank syari’ah maupun takaful/asuransi Islam. Pe￾nyebutan ekonomi secara keseluruhan seba­gai “ekonomi Islam” 

dapat saja dilakukan tanpa kehilangan Islamisitas kita sendiri. What is a name? ungkap dramawan dunia William Shakespeare. 

sebab nya, dapat saja kita melihat pelak­sana­an prinsip-prinsip 

Islam, namun dalam orientasi dan meka­nis­menya adalah ekono￾mi kapitalistik. Padahal orientasi kapitalistik itu dapat dibeda￾kan dari orientasi Islam. Dalam orien­tasi kapitalistik yang di￾uta­makan adalah individu peng­usaha besar dan pemilik modal. 

Dalam Islam, justru kepen­ting­an rakyat-kesejahteraan masyara￾kat secara keseluruhan yang menjadi ukuran

Salah satu ketentuan dasar yang dibawakan Islam adalah 

keadilan, baik yang bersifat perorangan maupun dalam ke￾hidupan politik. Keadilan adalah tuntutan mutlak dalam Is￾lam, baik rumusan “hendaklah kalian bertindak adil (an ta’dilû)” 

maupun keharusan “menegakkan keadilan (kûnû qawwâmîna bi 

al-qisthi),” berkali-kali dikemukakan dalam kitab suci al-Qurân. 

Dengan meminjam dua buah kata sangat populer dalam peristi￾lah­­an kaum muslimin di atas, UUD 45 mengemukakan tujuan 

Negara Ke­sa­tuan Republik negara kita  (NKRI): menegakkan ke￾adilan dan mencapai kemakmuran. Kalau negara lain menge­mu￾ka­kan kemakmuran dan kemerdekaan (prosperity and liberty) 

seba­gai tujuan, maka negara kita lebih menekankan prinsip ke￾adil­an daripada prinsip kemerdekaan itu.

Dengan demikian, sangat mengherankan jika kita seka￾rang lebih mementingkan swastanisasi/privatisasi dalam dunia 

usaha, daripada mengembangkan rasa keadilan itu sendiri. Se￾olah-olah kita mengikuti prinsip kemakmuran dan kebebasan 

itu, dan dengan demikian kita kehilangan rasa keadilan kita. 

Sikap de­ngan mudah menentukan kenaikan harga BBM -yang 

kemu­di­­an dicabut kembali-, menunjukkan hal itu dengan jelas, 

kalau kita tidak berprinsip keadilan. Tentulah kenaikan harga itu 

harus me­nunggu kenaikan pendapatan, bukan sebaliknya. De￾ngan de­mikian, bukankah telah terjadi pengambilalihan sebuah 

paham dari negeri lain ke negeri kita, yang memiliki prinsip se￾su­ai de­ngan ketentuan UUD 45? Adakah kapitalisme klasik yang 

me­lin­dungi kaum lemah, padahal akibat paham itu mereka ha￾rus dihi­lang­­kan begitu saja dalam kehidupan kita sebagai bang￾sa? Bukankah yang dimaksudkan oleh para pendiri negeri kita, 

adalah bentuk peme­­rin­tahan yang melindungi kaum lemah?

Jelaslah dengan demikian, antara ketentuan dalam UUD 45 dengan kebijakan pemerintah, terdapat kesenjangan dan per￾be­da­an yang sangat menyolok. Dapat dikatakan, kebijakan peme￾rintah di bidang ekonomi tidaklah didasarkan pada konstitusi. 

Dengan demikian dapat disimpulkan, ketentuan UUD diting­gal­­kan 

sebab  keserakahan beberapa orang saja yang mengingin­kan 

ke­­untungan maksimal bagi diri dan golongan mereka saja. Ini 

ada­­lah sikap dan kebijakan pemerintah yang harus dikoreksi 

oleh masyarakat dengan tegas. Keengganan kita untuk mela­ku￾kan koreksi itu, hanya akan mengakibatkan kebijakan dan sikap 

peme­rin­tah yang lebih jauh lagi menyimpang dari ketentuan 

UUD 45. 

Hendaknya pun pemerintah bersikap lapang dada dan me￾ne­rima kritikan atas penyimpangan dari UUD 45 itu, sebagai 

sebuah masukan yang konstruktif. Kita memiliki UUD 45 yang 

harus diperhatikan dan tidak dapat dikesampingkan begitu saja. 

Ka­lau ingin menyimpang dari ketentuan konstitusi itu, maka 

kons­titusi harus dirubah melalui pemilu yang akan datang. Se￾per­ti halnya pengamatan Jenderal (Purn.) Try Soetrisno, bahwa 

rangkaian amandemen yang diputuskan sekarang telah menja￾di­kan sistem politik kita benar-benar liberal, yang berdasarkan 

suara terbanyak saja. Tentu ini harus dikoreksi de­ngan amande￾men UUD lagi, sebab  hak minoritas harus di­lin­dungi.

eg

Dalam memahami perubahan-perubahan sosial yang ter￾jadi, kita juga harus melihat bagaimana sejarah Islam menerima 

hal itu sebagai sebuah proses dan melakukan identifikasi atas ja￾lan­nya proses ini . Dalam hal ini, penulis mengemukakan 

sebuah proses yang kita identifikasikan sebagai proses penaf￾siran kembali (reinterpretasi) atas ajaran-ajaran agama yang 

tadinya dianggap sebagai sebuah keadaan yang “normal”. Tanpa 

proses pe­nafsiran ulang itu tentunya Islam akan sangat sempit 

memaha­mi ayat-ayat al-Qurân. Seperti misalnya “Hari ini telah 

Ku-sem­­pur­nakan bagi kalian agama kalian dan Ku-sempur￾nakan (pemberi­an) nikmat-Ku dan Ku-relakan bagi kalian Islam 

se­ba­gai agama (al-yauma akmaltu lakum dînakum wa atmam￾tu ‘alaikum ni’ma­tî wa radhîtu lakum al-Islâma dînan)” (QS. 

al-Maidah [5]:3). Ayat ini  menunjukkan bahwa Allah telah 

menurunkan prinsip-prinsip yang tetap (seperti daging bangkai itu haram), sedangkan hukum-hukum agama (fiqh/ canon laws) 

terus-menerus mengalami perubahan dalam perinciannya. 

Sangat terkenal dalam hal ini hukum agama (fiqh) menge￾nai Keluarga Berencana (KB), yang bersifat rincian dan meng­a￾lami perubahan-perubahan. Dahulu, KB sama se­ka­li ditolak, 

padahal waktu itu ia adalah satu-satunya cara untuk membatasi 

peningkatan jumlah penduduk. Dasarnya adalah program ini se￾bagai cam­pur-tangan manusia dalam hak reproduksi manusia 

yang berada di ta­ngan Tuhan sebagai sang pencipta. Namun, ke￾mudian manusia meru­mus­kan upaya baru untuk merencanakan 

kelahiran (tanzim an-nasl atau family planning) sebagai ikhtiar 

menentukan jumlah penduduk sebuah negara pada suatu waktu. 

Dengan demikian, dipakailah cara-cara, metode, alat-alat dan 

obat yang dapat di­be­narkan oleh agama, seperti pil KB, kon￾dom dan seba­gainya. Penggunaan metode dan alat-alat ini  

sekarang ini, dilaku­kan sebab  ada penafsiran kembali ayat suci 

dalam upaya mengu­rangi jumlah kenaikan penduduk dari pem￾batasan kelahir­an (birth control) ke perencanaan keluarga (fami￾ly planning). 

Contoh sederhana di atas, menunjukkan kepada kita, de￾ngan jelas, betapa pentingnya proses penafsiran ulang ini . 

Tan­pa kehadirannya, Islam akan menjadi agama yang mengala￾mi “kemacetan”. Hal itu menyalahi ketentuan agama itu sendiri 

yang tertuang dalam ucapan “Islam sesuai untuk segenap tem￾pat dan masa (al-Islâm yasluhu li kulli makânin wa zamânin).” 

Dengan demikian jelaslah, agama yang dibawakan Nabi Muham￾mad Saw itu pantas dinyatakan sebagai sesuatu yang sempurna, 

sebab  hanya pada hal-hal prinsip saja Islam bersifat tetap, se￾dangkan dalam hal-hal rincian dapat dilakukan penafsiran ulang, 

kalau telah memenuhi persyaratan-persyaratan untuk itu.

eg

Dalam hal ini, kita lalu teringat pada konsep keadilan yang 

pada prinsipnya berarti pemberdayaan kaum miskin/lemah un￾tuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam sejarah manusia 

yang terus mengalami perubahan sosial. Secara umum, Islam 

memperhatikan susunan masyarakat yang adil dengan mem￾bela nasib mereka yang miskin/lemah, seperti terlihat