ara hak-hak wanita dan pria
secara berimbang menurut Undang-Undang Dasarnya, ternyata
dalam praktik tidak semudah yang diperkirakan. Belum pernah
dalam sejarah AS ada presiden wanita, walaupun UUD-nya tidak
Charles Torrey dalam disertasi doktor-nya di Universitas
Heidelburg tahun 1880-an, mengemukakan bahwa alQurân mempunyai keistimewaan, berupa penggunaan
istilah-istilah profesi untuk menyatakan keyakinan agama. Disebutkannya ayat; “Barang siapa memberikan pinjaman yang baik
pada Allah, maka akan diberi imbalan berlipat ganda (man dzal
ladzi yuqridu Allâha qardlan hasanan fa yudhâ’ifahu)” (QS al:
Baqarah (2): 245), yang berarti bukan sebuah transaksi kredit
melainkan pelaksanaan amal kebajikan. Contoh lain, adalah;
“Barang siapa menghendaki panenan yang baik di akhirat, akan
Ku-tambahi panenannya (man kâna yurîdu hartsa al-âkhirati
nazid lahu fî-hartsihi)” (QS al Syura [42]:20) –yang lagi-lagi
menggunakan kata panenan sebagai penunjuk kepada amal kebajikan/amal sholeh.
Di sini, Torrey juga memakai sebuah ayat lain untuk
menunjuk kepada perbedaan antara Islam dan agama-agama
lain, tanpa menolak klaim kebenaran agama-agama ini .
“Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka
amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah, dan dia di
akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi perdagangannya
(wa man yabtaghi ghaira al-Islâm dînan falan yuqbala minhu
wa huwa fi al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85).
Dalam ayat ini jelas menunjuk kepada masalah keyakinan Islam
yang berbeda dengan keyakinan lainnya, dengan tidak menolak
kerjasama antar Islam dengan berbagai agama lainnya.
Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam
hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu, tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antar agama.
Dengan kata lain, prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku dalam
hal ini, seperti adagium ushul fiqh/teori legal hukum Islam;
“Sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula (Ma lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjibun)”. Kerjasama tidak akan
terlaksana tanpa dialog, oleh sebab itu dialog antar agama juga
menjadi kewajiban.
eg
Kitab suci al-Qurân juga menyatakan: “Sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan, dan
Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa
agar kalian saling mengenal (Innâ khalaqnâkum min dzakarin
wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû)” (QS
al-Hujurat [49]:13), menunjuk kepada perbedaan yang senantiasa ada antara laki-laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan
sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah
perpecahan dan keterpisahan (tafarruq).
Tentu saja, adanya berbagai keyakinan itu tidak perlu
dipersamakan secara total, sebab masing-masing memiliki kepercayaan/aqidah yang dianggap benar. Demikian pula kedudukan penafsiran-penafsiran aqidah/keyakinan itu. Umat Katholik
sendiri memegang prinsip itu. Seperti dalam Konsili Vatikan II
yang dipimpin Paus Yohanes XXIII dari tahun 1962 hingga 1965,
menyebutkan bahwa para uskup yang menjadi peserta menghormati setiap upaya mencapai kebenaran, walaupun tetap yakin
bahwa kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran agama mereka.
Jadi, keyakinan masing-masing tidak perlu diperbandingkan
atau dipertentangkan.
Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa kerjasama antara berbagai sistem keyakinan itu sangat dibutuhkan dalam
menangani kehidupan masyarakat, sebab masing-masing memiliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir (keadilan dan
kemakmuran) dalam kehidupan bersama, walaupun bentuknya berbeda-beda. Di sinilah, nantinya, terbentuk persamaan antar agama, bukannya dalam ajaran/aqidah yang dianut, namun
hanya pada tingkat capaian materi. sebab ukuran capaian materi memakai bukti-bukti kuantitatif, seperti tingkat penghasilan rata-rata warga masyarakat ataupun jumlah kepemilikan
–misalnya, telpon atau kendaraan per-keluarga.Sedangkan yang
tidak, seperti ukuran keadilan, dapat diamati secara empirik
dalam kehidupan sebuah sistem kemasyarakatan.
eg
Yang dikemukakan di atas adalah persamaan-persamaan
yang dapat dicapai antara berbagai agama. Lalu, bagaimana halnya dengan ayat al-Qurân, seperti; “Dan orang-orang Yahudi
dan Kristen tidak akan rela kepadamu, hingga engkau mengikuti
kebenaran/aqidah mereka (Wa lan tardhâ ‘anka al-yahûdu
wa la al-nashârâ hattâ tattabi’a millatahum)” (QS al-Baqarah
[2]:120). Selama Nabi Muhamad Saw masih berkeyakinan; Tuhan adalah Allah, dan beliau sendiri adalah utusan Allah Swt,
selama itu pula orang-orang Yahudi dan Kristen tidak dapat
menerima (berarti tidak rela kepada) keyakinan/aqidah tersebut. Sama halnya dengan sikap kaum muslimin sendiri. Selama
orang Kristen yakin bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan orang
Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan, maka
selama itu pula kaum muslimin tidak akan rela kepada kedua
agama ini . Dalam arti, tidak menerima ajaran mereka.
Kalau kita bersikap demikian, hal itu sebenarnya wajarwajar saja, sebab menyangkut penerimaan keyakinan/aqidah.
Tetapi hal itu tidak menghalangi para pemeluk ketiga agama itu
untuk bekerjasama dalam hal muamalat, yaitu memperbaiki
nasib bersama dalam mencapai kesejahteraan materi. Mereka
dapat bekerjasama untuk mengatur kesejahteraan materi tersebut dengan menggunakan ajaran masing-masing. h
Tulisan ini merupakan sambutan yang disampaikan penulis atas datangnya Hari Raya Waisak 2547/2003. Semakin
hari semakin nyata, bahwa peranan umat Buddha sebagai
bagian dari bangsa negara kita tampak semakin penting, terutama sebab mereka banyak yang bergerak di bidang ekonomi dan
dunia usaha. Dunia ini mengharuskan adanya orientasi
yang jelas sebagai umat agar tidak terjadi kehilangan arah secara
kolektif. sebab itulah, dalam jumlah penganut yang tidak terlalu besar, namun pengaruh umat Budha itu sendiri tambah hari
tampak semakin besar.
Jacob Oetama, pemimpin umum “Kompas” mengatakan
masa depan bangsa kita ditentukan oleh kemampuan mempersatukan diri antara dua golongan yang berperan besar dalam
hidup kita: kaum muslimin “mainstream” (mereka yang tidak
mendukung terorisme serta tidak menghendaki negara agama di
negeri kita) dan kaum pengusaha. Kaum pengusaha yang memiliki demikian banyak sumber-sumber dan kemampuan teknis,
siapa lagi kalau bukan pengusaha Tionghoa, yang umumnya beragama Budha dan Konghucu.
Orang-orang Tionghoa, yang di negeri asal dianggap sebagai perantau (Hoa-Kiauw), di negeri ini menggangap diri dan
diterima sebagai warga negara, dan memiliki hak-hak yang sama
dengan para warga negara yang lain. Mengapa? sebab mereka
lahir di negeri ini dan menjadi warga negara, sehingga sepatutnya
mereka juga dikenal sebagai “penduduk asli” seperti yang lainlain juga. Hanya sebab peraturan kolonial yang tertulis sajalah
mereka dianggap sebagai “orang Asing Timur” (vremde osterlingen) yang hidup damai dengan penduduk Asli. Orang-orang seperti John Lie1
yang turut angkat senjata memperjuangkan
kemerdekaan kita, adalah bukti dari perjuangan mereka mempertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda. Yang sangat
menyakitkan, mereka dianggap sebagai orang lain.
Tentu saja, menganggap mereka sebagai orang lain adalah
kesalahan besar yang harus kita koreksi. Kalaupun ada ikatan
dengan tanah leluhur, itu tidak lain hanya sesuatu yang bersifat
kultural dan historis belaka. Sama dengan orang Minahasa dan
orang Minangkabau memakai nama-nama barat, seperti
Frederick Waworontu dan Emil Salim, yang tidak menjadikan
mereka Barat.
sebab itulah, saya selalu melawan anggapan atau penyebutan umat Budha, yang sebagian besar dianut oleh suku Tionghoa di negeri ini, sebagai “warga keturunan”. Mereka adalah
orang Tionghoa sebagaimana halnya ada orang Papua, orang
Aceh, orang Sunda dan sebagainya. Juga menjadi kerja kita untuk memberi kerangka gerak yang memadai bagi umat Budha,
yang merupakan salah satu asset (kekayaan) bangsa kita. Pengembangan asset ini haruslah dilakukan dengan kepala dingin,
sebagai bagian dari penataan kehidupan nasional secara keseluruhan dalam jangka panjang.
Kalau nilai-nilai yang diikuti golongan Islam seperti santri
ditentukan oleh Majelis Ulama negara kita , orang-orang Katholik oleh Konferensi Wali Gereja negara kita dan umat Kristen Protestan oleh Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, orang-orang
Konghucu oleh Majelis Tinggi Agama Konghucu negara kita ,
maka umat Budha, dalam pandangan penulis, mengikuti dan
melaksanakan nilai-nilai agama yang dirumuskan oleh Konferensi Agung Sangha negara kita . Bukannya oleh pihak atau perkumpulan orang awam. Merekalah yang harus tunduk kepada
perkumpulan para agamawan. Hal inilah yang harus kita sadari,
baik sebagai aparat pemerintah maupun sebagai warga masyarakat. Selama hal ini belum terwujud dengan sempurna, maka kehidupan kita sebagai bangsa juga akan pincang
diosinkrasi adalah sifat-sifat perorangan yang khusus ada
pada seseorang, yang membuat ia menjadi lain dari orang
kebanyakan. Dalam sejarah Islam, hal ini juga tampak secara jelas, walaupun ia juga ada di kalangan non-muslim. Kalau
idiosinkrasi ada dalam diri penguasa muslim, maka ia akan dimaafkan, sebab orang itu banyak jasanya dalam bidang-bidang
lain untuk kepentingan bersama. Baik di masa kuno maupun di
masa sekarang, ataupun di masa yang akan datang, idiosinkrasi
itu akan tetap ada dan akan dibiarkan selama tidak merugikan
kepentingan orang banyak.
Seperti Sultan Agung Hanyakrakusuma, seorang penguasa yang dinilai berjasa sangat besar bagi kepentingan orang banyak. Salah satu kelebihannya adalah kemampuannya dalam
membangun sistem birokrasi agraris untuk mencapai kemajuan
pertanian yang tidak pernah surut semasa hidupnya. Sebaliknya, salah satu kekurangannya adalah ketidakmampuannya dalam menggunakan kekuatan laut untuk kejayaan bangsa yang
dipimpinnya. sebab itu, kekuatan laut dari berbagai kota pelabuhan dalam masa pemerintahan Mataram saat itu, merupakan saingan politik yang harus dihancurkan.
Salah satu idiosinkrasi yang dimiliki Sultan Agung Hanya
krakusuma adalah kegemarannya menyiksa para oposan politik
yang menentangnya. Terkenal sekali deskripsi bagaimana ia bercengkerama dengan para dayang di atas taman/gazebo di atas
air, dan para tahanan politik dibiarkan berkumpul di atas tanah
(seperti pulau kecil) yang ada di tengah kolam. Dan, pada saat
yang ditentukan, ia membiarkan para pengawal melepaskan beberapa buaya yang merayap ke “pulau” itu dan memakan para tawanan politik yang tak bersenjata. Anehnya, ia tampak menikmati bagaimana lawan-lawan politiknya menjerit ketakutan sebelum dimangsa buaya-buaya buas ini .
eg
Sultan Trenggono dari Demak, dalam abad sebelumnya,
sangat tertarik dengan seorang wanita cantik, yang kebetulan
menjadi istri muda Ki Pengging Sepuh, salah seorang panglimanya. Suatu ketika, Ki Pengging diperintahkan sang Sultan
untuk menyerbu daerah-daerah non-muslim di Jawa Timur,
dan akhirnya ia pun gugur di daerah Pasuruan (Segarapura, Kemantren Jero, kini terletak di Kecamatan Rejoso). Maka, seiring
dengan kematian Ki Pengging Sepuh itu, segera setelah habis
masa iddah si perempuan muda dan cantik itupun diambil Sultan
Trenggono sebagai istri selir. Idiosinkrasi pemimpin Kesultanan
Demak ini menunjukkan, bahwa motif pribadi dapat saja
mendorong seorang penguasa untuk mengambil tindakan atas
nama agama, dalam hal ini “peng-islaman daerah Pasuruan”.
Drama seperti itu menunjukkan bahwa kekuasaan yang
tidak dibatasi akan membuat seorang penguasa pada akhirnya
menjadi lalim dan mempersamakan kepentingan pribadi dengan kepentingan bangsa secara utuh. Hal ini juga mendera para
pemimpin seperti Mao Zedong (RRT) dan Kim Il Sung (Korea
Utara). Begitu lama mereka berkuasa, tanpa berani ada yang menentang secara terbuka, hingga memaksa orang banyak untuk
melawan dengan cara mereka sendiri.
Dengan demikian, masalah pokok yang kita hadapi adalah
bagaimana membatasi para pemegang kekuasaan, baik waktu maupun wewenangnya. Tanpa ada kepastian dalam hal itu,
maka demokrasi tidak akan pernah berdiri dalam negara yang
bersangkutan. Demokrasi bukanlah sekedar aturan permainan
kelembagaan yang berdasarkan formalitas belaka, melainkan
menciptakan tradisi demokrasi yang benar-benar hidup di kalangan rakyat. Para penguasa yang demikian lama menguasai
pemerintahan, seperti yang terjadi di sebagian negara, jelas-jelas
tidak demokratis walaupun mereka melaksanakan aturan kelembagaan yang ada. Tanpa mengembangkan tradisi demokrasi
dalam lembaga-lembaga yang bersangkutan, klaim sejumlah pemimpin bahwa di negara mereka sudah tercipta demokrasi, yaitu dengan adanya pemilihan umum yang teratur, jelas merupakan
pelanggaran terhadap gagasan demokrasi itu sendiri.
eg
Hal itulah yang harus diingat ketika seorang penguasa
menyatakan akan membangun demokrasi dalam konsep negara
Islam. Pendapat ini mengabaikan dua hal, di satu pihak
yaitu adanya idiosinkrasi para penguasa. Di pihak lain terjadi demokrasi sebagai formalitas saja. Keduanya merupakan sesuatu
yang harus dihilangkan dalam konsep ini . Dengan kata lain,
sebuah konsep tentang negara dalam Islam, tidak dapat hanya
terkait dengan idealisme kekuasaan itu sendiri, melainkan juga
terkait kepada mekanisme apa yang digunakan.
Kenyataan seperti itulah yang pada akhirnya memaksa
Kongres Amerika Serikat (AS) untuk membatasi kepresidenan di
negara itu hanya dalam masa dua term saja, pada paruh pertama
abad yang lalu.Pembatasan itu tadinya hanya bersifat tradisi,
yang diambil oleh Presiden Amerika Serikat semenjak George
Washington. Namun sebab Franklin Delano Roosevelt (FDR)
terpilih kembali untuk keempat kalinya pada tahun 1944, walaupun secara efektif kekuasaan berada di tangan pembantunya
yaitu Harry Hopkins1
, Kongres kemudian mengubah undang-undang, dengan membatasi masa jabatan Presiden Amerika Serikat
hanya untuk dua kali empat tahun saja.2
Jelaslah dengan demikian, bahwa membuat konsep tentang sebuah negara demokratis bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika hal itu dikaitkan dengan sebuah agama, seperti konsep
negara dalam Islam. Ini belum lagi diingat, bahwa para pemilih
senantiasa berkembang dalam pikiran dan perasaan —seperti yang terjadi di Republik Islam Iran saat ini. Dahulu para pemilih
di sana mendukung para Ayatullah konservatif, sekarang justru
mendukung para Ayatullah dan para pemimpin moderat, seperti
Presiden Khatami.
Ada keharusan menjawab pertanyaan yang belum juga dilaksanakan oleh Parlemen Iran hingga saat ini, yaitu membiarkan orang-orang yang tidak beragama Islam -atau yang dianggap
demikian oleh Parlemen Iran, mencalonkan diri sebagai presiden. Bukankah hal itu menunjukkan ketakutan bahwa orangorang non-muslim akan dapat menjadi presiden, dan bukankah
ketakutan seperti itu menunjukkan para legislator Iran membatasi demokrasi itu sendiri? Kalau kecenderungan moderatisme
di Iran berlangsung terus, hal ini akan menjadi tekanan terhadap para anggota parlemen yang membuat undang-undang tentang syarat-syarat pemilihan presiden agar tidak bertentangan
dengan demokrasi.
Ulil Abshar-Abdalla adalah seorang muda Nahdlatul Ulama (NU) yang berasal dari lingkungan “orang santri”.
Istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri budayawan
Muslim Mustofa Bisri, sehingga kredibilitasnya sebagai seorang
santri tidak pernah dipertanyakan orang. Mungkin juga cara
hidupnya masih bersifat santri. Tetapi ada hal yang membedakan Ulil dari orang-orang pesantren lainya, yaitu profesinya bukanlah profesi lingkungan pesantren. Rupanya hal itulah yang
akhirnya membuat ia dimaki-maki sebagai seorang yang “menghina” Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia dianggap
“abangan”. Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang mempertanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap “aneh” bagi
kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.
Mengapa demikian? sebab ia berani mengemukakan liberalisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan memiliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya,
adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan “kemerdekaan” berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya, sehingga
meruntuhkan asas-asas keyakinannya sendiri akan “kebenaran”
Islam. Padahal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam diri
setiap orang beragama Islam. Itulah sebabnya, mengapa demikian besar reaksi orang terhadap pemikirannya ini.
Reaksi seperti ini pernah terjadi ketika penulis mengemukakan bahwa ucapan “Assalâmu’alaikum” dapat diganti dengan ucapan lain. Mereka menganggap penulis lah yang memutuskan
hal itu. Segera penulis dimaki-maki oleh mereka yang tidak mengerti maksud penulis sebenarnya. Seperti KH. Syukron Makmun dari jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta Selatan)
yang mengemukakan, bahwa penulis ingin merubah cara orang
bershalat. Penulis, demikian kata kyai yang dahulu kondang itu,
menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan “selamat
pagi” dan “selamat sore”. Padahal penulis tahu definisi shalat
adalah sesuatu yang dimulai dengan “takbiratul al-ihram” dan
disudahi dengan ucapan “salam”. Jadi, menurut paham Mazhab
al-Syafi’i, penulis tidak akan semaunya sendiri menghilangkan
salam sebagai peribadatan, melainkan hanya mengemukakan perubahan salam sebagai ungkapan, baik ketika orang bertemu dengan seorang muslim yang lain maupun dengan non-muslim. Di
lingkungan Universitas Al-Azhar di Kairo misalnya, para syaikh/
kyai yang menjadi dosen juga sering merubah “tanda perkenalan“ ini , umpamanya saja dengan ungkapan “selamat pagi
yang cerah (shabâh al-nûr).” Kurangnya pengetahuan kyai kita
itu, mengakibatkan beliau berburuk sangka kepada penulis. Dan
tentu reaksi terhadap pandangan Ulil sekarang, adalah akibat
dari kekurangan pengetahuan itu.
eg
Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat besar terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting, penulis ingin menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil Abshar-Abdalla
adalah seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan
berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia
percaya akan batas-batas kemerdekaan itu, sebab bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Tuhan. Selama
ia percaya ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “Segala sesuatu musnah kecuali Dzat Allah (kullu syai’in halikun illa wajhah)” (QS
al-Qashash [28]:88), dan yakin akan kebenaran kalimat Tauhid,
maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat
apa saja, tetapi tidak dapat mengubah kenyataan ini. Seorang
Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti-Muslim, akan terkena
sabda Nabi Muhammad Saw: “Barang siapa yang mengkafirkan
saudara yang beragam Islam, justru ialah yang kafir (man kaffara akhâhu musliman fahuwa kâfirun)."
Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd1
(Averoes)
yang membela habis-habisan kemerdekaan berpikir dalam Islam. Sebagai akibat Averros juga di “kafir” kan orang, tentu saja
oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahanperubahan. Dalam hal ini, memang spektrum antara pengikut
paham sumber tertulis “ahl al-naql”, dan penganut paham serba
akal “ahl al-aqli (kaum rasionalis)” dalam Islam memang sangat
lebar. Kedua pendekatan ini pun, sekarang sedang ditantang
oleh paham yang menerima “sumber intuisi (ahl al-dzauq),”
seperti dikemukakan oleh al-Jabiri. Ketiga sumber ini, diusung
oleh al-Imam al-Ghazali2
dalam magnum opus (karya besar),
“Ihyâ’ulûm al-dîn”, yang saat ini masih diajarkan di pondokpondok pesantren dan perguruan-perguruan tinggi di seantero
dunia Islam.
Jelaslah, dengan demikian “kesalahan” Ulil adalah sebab
ia bersikap “menentang” anggapan salah yang sudah tertanam
kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci al-Qur’ân menyatakan “Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini
(al-yauma akmaltu lakum dînakum)” (QS al-Maidah [5]:3) dan
“Masuklah ke dalam Islam/ kedamaian secara menyeluruh (udkhulû fî al-silmi kâffah)” (QS al-Baqarah [2]:208), maka seolah-olah jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang
dimaksudkan kedua ayat ini adalah terwujudnya prinsipprinsip kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian tentang kebenaran dalam Islam. Ulil mengetahui hal itu, dan sebab
pengetahuannya ini ia berani menumbuhkan dan mengembangkan liberalisme (keterbukaan) dalam keyakinan agama yang
diperlukannya. Dan orang-orang lain itu marah kepadanya, karena mereka tidak menguasai penafsiran istilah tersebut. Berpulang kepada kita jualah untuk menilai tindakan Ulil Abshar Abdalla, yang mengembangkan paham liberalisme dalam Islam.
Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak mengetahui kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti itu? Tentu saja
ia mengetahui kemungkinan itu, sebab sebagai seorang santri
Ulil tentu paham “kebebasan” yang dinilai buruk itu. Lalu, mengapa ia tetap melakukan kerja menyebarkan paham ini ?
Tentu sebab ia “terganggu” oleh kenyataan akan lebarnya spektrum di atas. sebab ia khawatir pendapat “keras” akan mewarnai jalan pikiran kaum Muslim pada umumnya. Mungkin juga, ia
ingin membuat para “Muslim pinggiran” merasa di rumah mereka sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan
itu baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja
menjadi motif yang diambil Ulil Abshar-Abdalla ini .
Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami
Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika dibenarkan, tentu saja kita
akan “membiarkan” Ulil mengemukakan gagasan-gagasannya
di masa depan. Disadari, hanya dengan cara “menemukan” pemikiran seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tantangan sekularisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita
masih mengharapkan Ulil mau melahirkan pendapat-pendapat
terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama di masa
lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaan-perbedaan pemikiran seperti itu? Adagium seperti “perbedaan pandangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat
(ikhtilâf al-a’immah rahmah al-ummah).”
Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil
“berpikir” dalam media khalayak, maka kita dihadapkan kepada
dua pilihan yaitu “larangan terbatas” untuk berpikir bebas, atau
sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari
proses modernisasi. Sikap pertama, hanya akan melambatkan
pemikiran demi pemikiran dari orang-orang seperti Ulil. Padahal pemikiran-pemikiran ini, harus dimengerti oleh mereka yang
dianggap sebagai “orang luar”. Pendapat kedua, berarti kita harus menutup diri, yang pada puncaknya dapat berwujud pada radikalisme yang bersandar pada tindak kekerasan. Dari pandangan inilah lahirnya terorisme yang sekarang “menghantui” dunia
Islam. Kalau kita tidak ingin menjadi radikal, sudah tentu kita
harus dapat mengendalikan kecurigaan kita atas proses modernisasi, yang untuk sebagian berakibat kepada munculnya paham
“serba kekerasan”, yang saat ini sedang menghingapi dunia Islam. Pilihan yang kelihatannya mudah tetapi sulit di lakukan,
bukan?
Dalam berbagai pernyataan, sejumlah pejabat pemerintah pekan lalu menyatakan, sikap pihak Gerakan Aceh
Merdeka (GAM)1
menunjukkan tidak mau berunding
dengan RI. Dengan demikian GAM harus dianggap sebagai musuh bersenjata dan harus diserang. Kapolri bahkan menyatakan,
Polri akan menambah personil di kawasan itu guna menghadapi
setiap kemungkinan. Bentuk-bentuk lain tindakan fisik yang
akan dilakukan terhadap GAM disuarakan secara bergantian,
umumnya oleh para pejabat tinggi kita. Ini merupakan pertanda ketidaksabaran mereka untuk berunding dan akan kembalinya penyelesaian konflik di Aceh ke arena perjuangan bersenjata
melawan GAM. Konsekuensi dari pandangan ini , jelas tidak
hanya menyangkut pemerintah saja, melainkan seluruh bangsa.
Kalau kita tidak berunding dengan GAM, sudah tentu konsekuensinya adalah kembali bertempur melawan mereka. Ini
berarti memaksa kelompok-kelompok GAM yang moderat untuk bergabung dengan mereka yang ekstrim (bergaris keras).
Artinya, rakyat Aceh akan menyaksikan kembali berbagai tindak kekerasan yang mau tidak mau akan mengorbankan nyawa banyak orang yang tidak bersalah, seperti kembalinya Daerah Operasi Militer (DOM)2
di Tanah Rencong. Kalau DOM I saja sudah
mengorbankan lebih dari 9.900 nyawa yang tidak bersalah, kemungkinan besar hal seperti itu akan terulang kembali. Dalam
keadaan demikian, salahkah jika rakyat kawasan Nangroe Aceh
Darussalam (NAD)3
lalu beranggapan: Apa gunanya berada di
lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesai (NKRI)?
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa dua hal akan menjadi akibat dari ucapan-ucapan para pejabat pemerintah kita
mengenai Aceh. Pertama, membuat kelompok-kelompok akomodatif di kalangan GAM tidak dapat bersikap lain kecuali mengikuti kebijakan keras dari kelompok-kelompok ekstrim di dalam
GAM sendiri. Kedua, jika hal itu terjadi, akan ada akibat politis yang harus kita hindari yaitu memisahnya NAD dari NKRI.
Ini tentu bukan kehendak kita, sebab pada pasca perang kemerdekaan saja, para pemimpin berbagai gerakan Islam menyetujui dihapusnya Piagam Jakarta, dari UUD 1945 demi menjaga
kelangsungan negara dan kesatuan bangsa kita. Relakah kita jika
keutuhan dan kesatuan bangsa dan negara yang dihasilkan tanggal 17 Agustus 1945 tercabik-cabik, sebab adanya kebijakan kita
yang selalu gegabah dalam masalah NAD?
Tentu saja kita tidak hanya ingin hal itu terjadi, apalagi
hanya sebab ucapan-ucapan tidak berarti dari para pejabat pemerintah sendiri. Ribuan warga telah memberikan nyawa dan
harta benda mereka, masih banyak para pejuang yang menanggung cacat sebagai akibat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan, sebagai sebuah entitas negara dan
bangsa. Tentu saja kita menjadi tidak akan rela adanya berbagai
tuntutan separatisme seperti itu. sebab nya, melalui tulisan ini,
penulis mengajukan sanggahan terhadap ucapan-ucapan seperti itu, yang mengganggu keselamatan dan keutuhan kita sebagai
bangsa dan negara.
Siapa pun yang mengeluarkan pernyataan, dari rakyat jelata di tingkat yang paling rendah hingga pejabat pemerintah
pusat, semua harus berhati-hati dalam menanggapi langkahlangkah yang diambil oleh kelompok-kelompok ekstrim di lingkungan GAM itu sendiri. Tidak semua hal dapat dipecahkan melalui langkah-langkah yang gegabah dan terburu-buru. sebab
itu diperlukan daya tahan sangat besar untuk berunding dalam
jangka panjang, guna menyelamatkan teritorial negara kita. Ini
yang penulis lakukan semasa menjadi presiden dengan berpergian ke sana ke mari ke luar negeri, menjaga agar dunia internasional mengakui keutuhan teritorial kita. Tidak rela rasanya jika
langkah penulis itu dianggap sebagai lelucon saja, dan kemudian
saat ini keutuhan teritorial itu terganggu sebab ucapan-ucapan
sangat negatif dari dalam negeri sendiri.
eg
Para pejabat pemerintah yang mengeluarkan ucapan-ucapan di atas, jelas tidak mengikuti perintah agama untuk bersabar
dan memaafkan, dari apa yang kita anggap sebagai kesalahankesalahan mereka. Apalah artinya mengeluarkan biaya sangat
besar dalam RAPBN untuk menerjemahkan kitab suci al-Qurân
dalam bahasa nasional kita, kalau kemudian para pejabat pemerintah kita sendiri tidak mau memahaminya? Kearifan sikap justru sangat diperlukan, dan hanya didapat kalau kita sendiri mau
mengerti dan mengambil pelajaran, antara lain dari kitab suci
kita sendiri.
Puluhan ayat kitab suci al-Qurân meminta kaum muslimin
untuk bersikap sabar dalam menghadapi berbagai persoalan.
Yang paling sederhana adalah firman Allah: “Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu (washbir ’alâ mâ ashâbak)” (QS.
Luqman [31]:17), dan ungkapan “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik (fashbir shabran jamîla)” (QS. al-Ma’ârij
[70]:5), menunjukkan kepada kita betapa kuatnya kedudukan
sikap bersabar itu dalam pandangan Islam. Terkadang orang kehilangan kesabaran, dan menjadi teroris seperti orang yang meledakkan bom di Bali.
sebab nya kita himbau sekali lagi bagi orang-orang yang mengemukakan “jalan kekerasan” di atas. Dalam saat-saat serba
sulit seperti sekarang ini, tentu mudah bagi kita untuk menjadi
marah. Tetapi bukankah justru sikap mudah marah itu yang
dikehendaki golongan ekstrim di negeri kita, dari mana pun ia
berasal. Kedewasaan sikap kita justru harus ditunjukan di saatsaat seperti ini. Dengan sendirinya ucapan-ucapan yang menunjukkan hilangnya kesabaran harus dihindari.
Dalam perjalanan ke gedung TVRI saat subuh awal Februari 2003, penulis mendengar siaran sebuah radio
swasta Jakarta yang menyiarkan dialog tentang masalah
ras dan diskriminasi. sebab format siarannya dialog interaktif,
maka dapat dimengerti jika para pendengar melalui telepon mengemukakan pendapat dan pernyataan berbeda-beda mengenai
kedua hal itu. Ada yang menunjuk kepada keterangan etnografis,
yang menyatakan orang-orang di Asia Tenggara, Jepang, Korea,
Tiongkok, Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan
mempunyai penduduk asli dari ras Mongol (Mongoloid). sebab
itu narasumber pada dialog itu, menolak perbedaan antara kaum
asli dan kaum turunan di negara kita . Menurutnya kita semua berasal dari satu turunan dan tidak ada bedanya satu dari yang lain.
Maka pembagian kelompok asli dan keturunan di negeri kita tidak dapat diterima dari sudut pemikirannya.
Pendengar lain juga memiliki pandangan yang sama, ada
yang melihat dari segi sejarah atau historis, bahwa orang yang
mempunyai asal-usul sangat berbeda secara bersama-sama mendirikan negara ini, dengan demikian dari masa itulah harus dihitung titik tolak eksistensi kita sebagai bangsa. Menurut pendapat
ini, kalau memakai ukuran ini kita tidak akan dapat
membeda-bedakan warga negara negara kita yang demikian besar jumlahnya. Pendapat ini juga menolak pembedaan para warga negara kita menjadi asli dan keturunan, karena hal itu tidak
berasal dari kenyataan historis tentang pembentukan bangsa ini.
Menurut pendapat ini, perbedaan seperti itu terlalu dipaksakan
dan tidak sesuai dengan kenyataan empirik, ini berarti penolakan atas teori perbedaan ini .Seorang pendengar, bahkan menolak bahwa ada diskriminasi golongan di negeri kita. Yang ada adalah diskriminasi
perorangan atau diskriminasi oknum yang terjadi pada warga
dengan ras yang berbeda. Penulis bertanya-tanya akan hal itu,
bagaimana kita menjelaskan adanya semacam kuota yang terjadi
di negeri kita, seperti orang keturunan Tionghoa hanya boleh
mengisi 15% kursi mahasiswa baru di sebuah Perguruan Tinggi
Negeri? Juga, bagaimana menerangkan bahwa dalam seluruh
jajaran TNI, hanya ada dua orang Perwira Tinggi dari ras “non
pribumi”, yaitu Mayjen Purnawirawan TNI Iskandar Kamil dan
Brigjen Purnawirawan TNI Teddy Yusuf? Juga pertanyaan sebaliknya, soal adanya “kuota halus” di kalangan masyarakat keturunan Tionghoa sendiri, mengenai sangat langkanya manager
dari “orang-orang pribumi asli” dalam perusahaan-perusahaan
besar milik mereka.
Ada juga pendengar yang menyebutkan, bahwa di masa
lampau bendera Merah Putih berkibar diatas sejumlah kapal
laut milik negara kita , yang menandakan kebesaran angkatan laut
kita pada masa itu. Dalam kenyataan, sebenarnya angkatan laut
kita waktu itu adalah bagian dari angkatan laut Tiongkok. Jika
dibandingkan dengan keadaan sekarang, seperti kekuatan angkatan laut Australia dan Kanada, yang menjadi bagian dari sebuah dominion angkatan laut dari angkatan perang Inggris Raya
(Great Britain). Jadi sebagai angkatan laut dominion, angkatan
laut kita pada era ini adalah bagian dari sebuah angkatan
laut Tiongkok. Kenyataan sejarah ini harus kita akui, jika kita
ingin mendirikan/mengembangkan sebuah entitas yang besar
dan jaya.
eg
Sebelum masa ini, para warga negara keturunan Tionghoa
harus mengganti namanya menjadi nama “pribumi”, tidak diperkenankan mendirikan sekolah-sekolah dan tidak diperbolehkan
membuat surat kabar atau majalah umum berbahasa Mandarin.
Terlebih parah lagi adalah mereka dilarang beragama Konghucu1
, sebab keyakinan ini diasumsikan adalah sebuah filsafat hidup, bukannya agama. Sebagai akibat, kita memiliki pengusaha bermata sipit yang bernama Mochammad Harun Musa.
Padahal jelas sekali, dia bukan seorang muslim, atau pun bukan
pula beragama Kristiani, melainkan ia “beragama” Budha dalam
kartu identitasnya.
Dalam hal keyakinan ini, kita berhadapan dengan pihakpihak pejabat pemerintah yang beranggapan, negara dapat menentukan mana agama dan mana yang bukan. Mereka sebenarnya memiliki motif lain, seperti dahulu sejumlah perwira BAKIN
(Badan Koordinasi Intelejen Negara) yang beranggapan jika warga “keturunan Tionghoa” dilarang beragama Khonghucu, maka
para warga negara itu akan masuk ke dalam agama “resmi” yang
diizinkan negara. Inilah bahaya penafsiran oleh negara, padahal
sebenarnya yang menentukan sesuatu agama atau bukan, adalah
pemeluknya sendiri. sebab itu, peranan negara sebaiknya dibatasi pada pemberian bantuan belaka. sebab hal itu pula lah
penulis menyanggah niatan Kapolda Jawa Tengah, yang ingin
menutup Pondok Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Solo. Biarkan masyarakat yang menolak peranannya dalam pembentukan
sebuah negara Islam di negara ini!
Di sini harus jelas, mana yang menjadi batasan antara peranan negara dan peranan masyarakat dalam menyelenggarakan
kehidupan beragama. Negara hanya bersifat membantu, justru
masyarakat yang harus berperan menentukan hidup matinya agama ini di negeri ini. Di sinilah terletak arti firman Tuhan
dalam kitab suci al-Qurân: “Tak ada paksaan dalam beragama,
(sebab ) benar-benar telah jelas mana yang benar dan mana
yang palsu (lâ ikrâha fî ad-dîn qadtabayyana ar-rusydu min
al-ghayyi)” (QS. Al-Baqarah [2]: 256). Jelas dalam ayat itu, tidak
ada peranan negara sama sekali melainkan yang ada hanyalah
peranan masyarakat yang menentukan mana yang benar dan
mana yang palsu. Jika semua agama itu bersikap saling menghormati, maka setiap agama berhak hidup di negeri ini, terlepas
dari senang atau tidaknya pejabat pemerintahan.
Sangat jelas dari uraian di atas, bahwa diskriminasi memang ada di masa lampau, tetapi sekarang harus dikikis habis.
Ini kalau kita ingin memiliki negara yang kuat dan bangsa yang
besar. Perbedaan di antara kita, justru harus dianggap sebagai
kekayaan bangsa. Berbeda, dalam pandangan Islam, wajar terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi pada tingkat sebuah
bangsa besar, seperti manusia negara kita . Kitab suci al-Qurân
menyebutkan: “Berpeganglah kalian kepada tali Tuhan dan secara keseluruhan serta jangan terpecah-pecah dan saling bertentangan (wa’ tashimû bi habli Allah jamî’an wa lâ tafarraqû)”
(QS. Ali Imran [3]:103). Ayat kitab suci ini jelas membedakan perbedaan pendapat dengan pertentangan, yang memang
nyata-nyata dilarang.
Walau telah lewat, tulisan ini dimaksudkan sebagai hadiah
Tahun Baru Imlek yang harus kita hargai, seperti hari-hari besar
agama yang lain. Tentu, hadiah berupa peletakkan dasar-dasar
perbedaan di antara kita, sambil menolak pertentangan dan
keterpecahbelahan di antara komponen-komponen bangsa kita,
jauh lebih berharga daripada hadiah materi. Apalagi, jika penerima hadiah itu telah berlimpah-limpah secara materi, sedangkan pemberi hadiah itu justru secara relatif lebih tidak berpunya.
Memang mudah sekali mengatakan tidak boleh ada diskriminasi, tetapi justru upaya mengikis habis tindakan itu memerlukan
waktu, yang mungkin memerlukan masa bergenerasi dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Memang selalu ada jarak waktu
sangat panjang antara penetapan secara resmi dengan kenyataan empirik dalam kehidupan. Mudah dirumuskan, namun sulit
dilaksanakanMinggu lalu, di bilangan Kramat V, Jakarta, penulis meresmikan sebuah panti jompo milik sebuah yayasan
yang dipimpin orang-orang eks Tapol (Tahanan Politik) dan Napol (Narapidana Politik), kasarnya orang-orang PKI
(Partai Komunis negara kita ) yang sudah dibubarkan. Mereka
mendirikan sebuah panti jompo di gedung bekas kantor Gerwani
(Gerakan Wanita negara kita ), yang dianggap sebagai organisasi
perempuan PKI. Peresmian yang diminta mereka secara apa
adanya pada pagi yang cerah itu, disaksikan antara lain oleh SK
Trimurti1
, salah seorang pejuang kemerdekaan kita. Ini penulis
lakukan sebab solidaritas terhadap nasib mereka, yang sampai
sekarang pun masih mengalami tekanan-tekanan dan kehilangan segala-galanya. Puluhan ribu, mungkin ratusan ribu orang
dipenjarakan, sebab dituduh “terlibat” dan bahkan memimpin
PKI. Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat menyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak memiliki hak-hak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam
pemilu. Rumah-rumah dan harta benda mereka yang dirampas.
Dan stigma (cap) pengkhianat bangsa, tetap melekat pada diri
mereka hingga saat ini.
Dengan dipimpin oleh dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati2
,
mereka membentuk PAKORBA (Paguyuban Korban Orde Baru)
yang memiliki cabang di mana-mana, walhasil gerakan mereka
berskala nasional. Namun sebab prikemanusiaan juga lah penulis mempunyai solidaritas yang kuat dengan mereka, seperti halnya solidaritas penulis kepada mantan anak buah Kartosuwiryo,
yang disebut DI/TII (Darul Islam dan Tentara Islam negara kita ).
Bahkan waktu turut “berkuasa”, PKI pernah turut memberikan
cap pemberontak kepada (mantan) anggota DI/TII itu.
Penulis pernah menyebutkan dalam sebuah tulisan, Kartosuwiryo merekrut anggota dengan memakai nama DI/ TII,
sebab ia diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, guna menghindarkan kekosongan daerah Jawa Barat,
yang ditinggalkan TNI untuk kembali ke Jawa Tengah (kawasan
RI) akibat Perjanjian Renville3
. Seorang pembaca menyanggah
“catatan” penulis itu sebab di matanya tidak mungkin Kartosuwiryo menjadi “penasehat militer” Jenderal Soedirman. Lebih
pantas kalau ia adalah penasehat politik. Pembaca itu tidak tahu,
bahwa penasehat politik Jenderal Sudirman adalah ayah penulis
sendiri, KH. A. Wahid Hasyim. sebab itu simpati penulis kepada anggota DI/ TII juga tidak kalah besarnya dari simpati kepada
mantan orang-orang PKI.
eg
Di sini penulis ingin menekankan, bahwa konflik-konflik
bersenjata di masa lampau dapat dianggap selesai, apapun alasannya, sebab kita sekarang sudah kuat sebagai bangsa dan tidak
usah menakuti kelompok manapun. Justru keadilan yang harus
kita tegakkan, sebagai persyaratan utama bagi sebuah proses demokratisasi. Kita adalah bangsa yang besar. Dengan penduduk
saat ini 205 juta lebih, kita harus mampu menegakkan keadilan,
dan tidak “menghukum” mereka yang tidak bersalah. Seperti
pembelaan (pledoi) Amrozi di muka Pengadilan Negeri Denpasar, bahwa ia merakit bom kecil saja, sedangkan ada orang yang
dibalik pemboman Bali itu dengan bom besar yang membunuh lebih dari 200 orang. Pernyataan Amrozi ini seharusnya mendorong kita memeriksa “pengakuan” ini . sebab hal ini tidak dilakukan maka hingga saat ini kita tetap tidak tahu, apakah
pendapat Amrozi itu berdasarkan fakta atau tidak. Demikian
juga, kita tetap tidak tahu siapa yang meledakan bom di Hotel
Marriott Jakarta beberapa waktu kemudian.
Begitu banyak rahasia menyelimuti masa lampau kita,
sehingga tidak layak jika kita bersikap congkak dengan tetap
menganggap diri kita benar dan orang lain salah. Diperlukan kerendahan hati untuk melihat semua yang terjadi itu dalam perspektif prikemanusiaan, bukannya secara ideologis. Kalau menggunakan kacamata ideologis saja, maka sudah tentu akan sangat
mudah bagi kita untuk menganggap diri sendiri benar dan orang
lain bersalah. Ini bertentangan dengan hakekat kehidupan bangsa kita yang demikian beragam. Kebhinekaan/keragaman justru
menunjukkan kekayaan kita yang sangat besar. sebab nya kita
tidak boleh menyalahkan siapa-siapa atas kemelut yang masih
menghinggapi kehidupan bangsa kita saat ini.
Sebuah contoh lagi dapat dikemukakan. Abu Bakar Ba’asyir
yang dianggap sebagai “biang kerok” terorisme di negeri kita,
saat ini mendekam di LP (Lembaga Permasyarakatan) Cipinang,
Jakarta Timur setelah pengadilan menjatuhkan hukuman empat tahun penjara. Memang pengadilan menetapkan ia bersalah
namun kepastian sejarah belum kita ketahui, mengingat datadata yang “tidak pasti (unreliable)” digunakan dalam mengambil
keputusan. Selain itu, memang pengadilan-pengadilan kita penuh
dengan “mafia peradilan’, maka kita tidak dapat diyakinkan oleh
“kepastian hukum” yang dihasilkannya. Seperti halnya kasus
Akbar Tandjung, jelas keputusan Mahkamah Agung akan terus
“diragukan” apapun bunyi keputusan itu sendiri. Tidak heranlah sekarang kita mengalami “kelesuan” dalam menegakkan kedaulatan hukum. Inilah rahasia mengapa tidak ada investasi dari
luar negeri, sebab langkanya kepastian hukum tadi.
eg
Sebuah kasus lain cukup menarik untuk dikemukakan di
sini. Kyai Mahfud Sumalangu (Kebumen), adalah pahlawan yang
memerangi balatentara pendudukan Belanda di Banyumas Selatan. Ketika Kabinet Hatta memutuskan “rasionalisasi” TNI atas usul Jenderal Besar AH. Nasution, antara lain berupa ketentuan
bahwa Komandan Batalyon TNI haruslah berijazah. Ijazah itu
hanya dibatasi pada keluaran beberapa lembaga pendidikan saja
(tidak termasuk pesantren), maka kyai kita itu tidak diperkenankan menjadi komandan batalyon di Purworejo. Sebagai gantinya
diangkat seorang perwira muda bernama A. Yani. Akibatnya kyai
kita itu mendirikan Angkatan Umat Islam (AUI) yang kemudian
dinyatakan oleh A. Yani sebagai pemberontak. Peristiwa tragis
ini terjadi pada awal tahun 50-an, namun bekasnya yang pahit
masih saja tersisa sampai hari ini.
Korban-korban politik seperti ini masih banyak terdapat di
negeri kita dewasa ini. sebab nya, kita harus memiliki kelapangan dada untuk dapat menerima kehadiran pihak-pihak lain yang
tidak sepaham dengan kita. Termasuk di dalamnya orang-orang
mantan Napol dan Tapol PKI, yang kebanyakan bukan orang
yang benar-benar memahami ideologi komunis. sebab itulah,
penulis tidak pernah menganggap mantan anggota PKI maupun
DI/TII sebagai “lawan yang harus diwaspadai”. Penulis justru
beranggapan bahwa mantan anggota PKI itu, sekarang sedang
mencari Tuhan dalam kehidupan mereka, sebab apa yang saat
ini mereka anggap sebagai “kezaliman-kezaliman”, justru pernah
mereka jalani saat “berkuasa”. Sekarang mereka berpegang pada
keyakinan yang mereka miliki, yang tidak bertentangan dengan
undang-undang dasar. Kalau kita juga memakai cara pandang itu, berarti kita sudah turut menegakkan keadilan.
Dari uraian di atas, jelas bahwa yang kita perlukan adalah
rekonsiliasi nasional, setelah pengadilan memberikan keputusan
“yang adil” bagi semua pihak. Kalau “konglomerat hitam” dapat
diberi status Release and Discharge (bebas dari segala tuntutan),
mengapakah kita tidak melakukan hal seperti itu pada orangorang mantan PKI dan DI/TII? Jadi, pengertian dari rekonsiliasi
yang benar adalah pertama mengharuskan adanya pemeriksaan
tuntas oleh pengadilan, kalau bukti-bukti yang jelas masih dapat
dicari. Baru kemudian diumumkan pengampunan setelah vonis
pengadilan dikeluarkan. Di sinilah keadilan harus ditegakkan di
Bumi Nusantara. Sebuah tekad untuk memeriksa kasus-kasus
yang terjadi di depan mata kita dalam masa lima belas tahun terakhir ini, justru meminta kepada kita agar “melupakan” apa yang
terjadi 40-50 tahun yang lalu. Kedengarannya mudah dilakukan,
namun dalam kenyataan sulit dilaksanakan
Dalam pandangan Islam, tujuan hidup perorangan adalah
mencari kebahagian dunia dan akhirat yang dicapai melalui kerangka peribadatan kepada Allah Swt. Terkenal
dalam hal ini firman Allah melalui kitab suci al-Qurân: “Tidak
Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada
Ku (wa mâ khalaqtu al-jinna wa al-insâ illâ liya’budûni)” (QS.
adz-Dzâriyât [51]:56). Dengan adanya konteks ini, manusia selalu merasakan kebutuhan akan Tuhan, dan dengan demikian ia
tidak berbuat sesuka hati. sebab itulah, akan ada kendali atas
perilakunya selama hidup, dalam hal ini adalah pencarian pahala/kebaikan untuk akhirat, dan pencegahan sesuatu yang secara moral dinilai buruk atau baik di dunia. sebab itulah do’a
seorang muslim yang paling tepat adalah “Wahai Tuhan, berikan
kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat (rabbanâ
âtinâ fî ad-dunya hasanatan wa fî al-âkhirati hasanatan)” (QS.
al-Baqarah [2]:201).
Yang digambarkan di atas adalah kerangka mikro bagi kehidupan seorang Muslim di dunia dan akhirat. Hal ini adalah sesuatu yang pokok dalam kehidupan seorang manusia, yang disimpulkan dari keyakinan akan adanya Allah dan bahwa Nabi
Muhammad Saw adalah utusan-Nya. Tanpa kedua hal pokok itu
sebagai keyakinan, secara teknis dia bukanlah seorang muslim.
sebab manusia adalah bagian dari sebuah masyarakat,
maka secara makro ia adalah makhluk sosial yang tidak berdiri
sendiri. Terkenal dalam hal ini ungkapan: “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan. (La Islama Illa bi Jama’ah wala
Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah).” Dengan
demikian, kedudukan dan tugas seorang pemimpin sangat berat
dalam pandangan Islam. Dia harus menciptakan kelompok yang kuat, patuh dan setia pada kerangka peribadatan yang dikemukakan Islam. Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus memiliki
strategi yang jelas agar tercapai tujuan masyarakat yang adil
dan makmur. Tujuan ini diungkapkan dengan indahnya dalam
pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Sedang dalam
bahasa Arab, seornag pemimpin harus mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat yang bertumpukan keadilan dan kemakmuran atau “al-maslahah al-âmmah”.
eg
Hal kedua yang harus ditegakkannya adalah orientasi yang
benar dalam memerintah, termasuk orientasi ekonomi yang jelas.
Jika segala macam kebijakan pemerintah, tindakan yang diambil dan peraturan-peraturan di bidang ekonomi yang selama ini
–sejak kemerdekaan kita-, hampir seluruhnya mengacu kepada
kemudahan prosedur dan pemberian fasilitas kepada usaha besar dan raksasa, yang berarti orientasi ini tidak memihak kepada
kepentingan Usaha Kecil Menengah (UKM), maka sekarang sudah tiba saatnya untuk melakukan perubahan-perubahan dalam
orientasi ekonomi kita. Orientasi membangun UKM, dijalankan
dengan penyediaan kredit yang berbunga sangat rendah sebagai
modal pembentukan UKM ini .
Perubahan orientasi ekonomi itu berarti juga perubahan
tekanan dalam ekonomi kita. Jika sebelumnya penekanan pada
bidang ekspor, yang hasilnya dalam bentuk pajak- sangat sedikit
kembali ke kas pemerintah, sebab begitu banyak keringanan
untuk kalangan eksportir. Maka, selanjutnya justru harus diutamakan perluasan pasaran di dalam negeri secara besar-besaran.
Untuk itu, tiga hal sangat diperlukan, yaitu: pertama, peningkatan pendapatan masyarakat guna menciptakan kemampuan daya beli yang besar. Kedua, pengerahan industri guna
menghidupkan kembali penyediaan barang untuk pasaran dalam
negeri. Ketiga, independensi ekonomi dari yang sebelumnya tergantung kepada tata niaga internasional.
Ini berarti, kita harus tetap memelihara kompetisi yang jujur, mengadakan efisiensi dan menciptakan jaringan fungsional
bagi UKM kita, baik untuk menggalakkan produksi dalam negeri,
maupun untuk penciptaan pemasaran dalam negeri yang kita perlukan. Keterkaitannya adalah tetap memelihara tata niaga internasional yang bersih dan bersaing, disamping memperluas basis
pajak kita (dari sekitar 2 juta orang saat ini ke 20 juta orang wajib pajak dalam beberapa tahun mendatang). Ditambah dengan,
pemberantasan kebocoran-kebocoran dan pungutan liar yang
masih ada sekarang ini. Barulah dengan demikian, dapat kita
naikkan pendapatan.
eg
Tata ekonomi seperti itu akan lebih memungkinkan tercapainya kesejahteraan dengan cepat, yang dalam pembukaan
UUD 1945 disebutkan sebagai terciptanya masyarakat adil dan
makmur. Dalam fiqh disebutkan “kebijakan dan tindakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin harus sejalan dengan kemaslahatan mereka’ (tasharruf al-imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûthun
bi al-mashlahah)”. Itu berlaku juga untuk bidang ekonomi. Ekonomi yang berorientasi kepada kemampuan berdiri di atas kaki
sendiri, menjadikan ekonomi kita akan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Apakah ekonomi yang sedemikian itu akan dinamai ekonomi Islam atau hanya disebut ekonomi nasional saja, tidaklah
relevan untuk didiskusikan di sini. Yang terpenting, bangunan
ekonomi yang dikembangkan, baik tatanan maupun orientasinya, sesuai dengan ajaran Islam. Penulis yakin, ekonomi yang
sedemikian itu juga sesuai dengan ajaran-ajaran berbagai agama
lain. sebab nya, penamaan ekonomi seperti itu dengan nama ekonomi Islam, sebenarnya juga tidak diperlukan sekali, karena yang
terpenting adalah pemberlakuannya, dan bukan penamaannya.
Dalam kerangka inilah, kepentingan mikro ekonomi Islam
secara pribadi, yaitu untuk mencapai kebahagiaan dunia-akhirat,
lalu sama posisinya dengan dibangunnya ekonomi makro yang
mementingkan keadilan dan kemakmuran seluruh bangsa. Sebenarnya kita dapat melakukan hal itu, apabila tersedia political
will untuk menerapkannya. Memang, ekonomi terlalu penting
bagi sebuah bangsa jika hanya untuk diputuskan oleh sejumlah
ahli ekonomi belaka, tanpa melibatkan seluruh bangsa. sebab
menyangkut kesejahteraan seluruh bangsa, maka diperlukan
keputusan bersama dalan hal ini. Untuk mengambil keputusan
seperti itu, haruslah didengar lebih dahulu perdebatannya. hSejumlah ahli ekonomi berpendapat bahwa ada kaitan
langsung antara Islam dan ekonomi. Dengan demikian,
ada yang dinamakan ekonomi Islam, yaitu Islam memuat
ajaran-ajaran ekonomi yang harus diterapkan oleh masyarakat
kaum muslimin. Pengakuan ini sangatlah menarik, sebab kita
sudah lama melihat bahwa ekonomi hanyalah bersifat empirik
saja, sedangkan agama memiliki nuansa spiritual yang sangat
kuat. Jadi, ada sebuah pertanyaan yang sangat menarik, adakah
ekonomi Islam?
Pada tahun-tahun 70-an dan 80-an, sejumlah ekonom
mengajukan pendapat, bahwa sebuah ekonomi dapatlah dinamakan ekonomi Islam, kalau mengikuti ketentuan-ketentuan
agama Islam mengenai riba, eksistensi bank dan penolakan terhadap asuransi. Menurut pendapat ini, sistem perbankan tidak
diperkenankan memakai bunga bank (bank interest), sedangkan ketentuan-ketentuan yang lazim dalam asuransi sama
saja dengan permainan judi, yang diharamkan oleh Islam. Dengan demikian, pemberian atau pengambilan bunga bank dan
penerimaan asuransi berarti penyimpangan dari hukum Islam.
Ekonomi yang memakai kedua-duanya sama saja dengan
ekonomi yang menolak ajaran Islam.
Dalam tahun-tahun 70-an, muncul juga pendapat orangorang seperti Prof. Dr. Mubyarto dari Universitas Gajah Mada
(UGM), yang mengemukakan pendapat tentang Ekonomi Pancasila. Menurut pendapat beliau, Ekonomi Pancasila harus terkait
langsung dengan ekonomi orang kecil, dan bertumpu pada moralitas. Pendapat ini identik dengan konsepsi dari ekonomi Islam, minus soal bunga bank dan asuransi. sebab nya, pembahasan
tentang ekonomi Islam dengan segera lalu terhenti, sebab orang
lalu berdiskusi tentang Ekonomi Pancasila. Dalam pada itu, ekonomi yang empirik dan bebas nilai, seperti yang dibawakan kaum
teknokrat, tetap dilaksanakan dan berkembang pesat.
Sekarang ini, terasa adanya keperluan untuk membahas
ada tidaknya ekonomi Islam. Pertama, sebab adanya sejumlah program yang memakai nama syari’ah, seperti bank
syari’ah yang ada di lingkungan sebuah bank besar milik negara (BUMN). Begitu juga ada beberapa upaya percobaan untuk
menerapkan asuransi menurut ajaran Islam –yang dikenal dengan nama takaful. Kedua, sebab dalam waktu lima belas tahun
terakhir, ekonomi kita benar-benar bersifat empirik dan tidak
menggunakan acuan moral sama sekali. Ini berarti, telah terbangunnya ekonomi yang benar-benar kapitalistik dan berazas siapa yang kuat dan cerdik, dialah yang menguasai segala-galanya.
Bahkan, begitu kuatnya watak kapitalistik dalam ekonomi
kita waktu itu, hingga seorang bankir dan pendiri jaringan sebuah bank raksasa di negeri ini, senantiasa mengucapkan “puji
Tuhan” setiap kali akan atau usai menipu orang. Jadi agama diredusir hanya menjadi keimanan dan keyakinan belaka, sedangkan
dimensi sosial dijauhkan dari agama dalam pengertian ini .
Benarkah dengan sistem ekonomi harus membuang jauh-jauh
pertimbangan moral sama sekali? Di sisi lain, dapatkah sebuah
sistem yang hanya bertumpu pada acuan moral saja, dinamai
sebuah sistem ekonomi? Kalau jawabannya positif, berarti ekonomi Islam ada; dan kalau jawabannya negatif, berarti tidak ada
ekonomi Islam. Justru dalam menentukan jawaban atas kedua
pertanyaan di atas, terletak wujud atau tidak terwujudnya ekonomi Islam.
Yusuf Qardhawi1
mengemukakan, bahwa tidak dapat begitu
saja bunga bank dianggap sebagai riba, tergantung pada besarkecil dan maksud pemungutan bunga bank ini . Menurut pendapatnya, jika bunga bank dipungut dari upaya non-produktif –katakanlah bersifat konsumtif belaka, maka ia dapat dikatakan riba. Kalau bunga bank itu merupakan bagian dari sebuah
upaya produktif maka bunga bank yang digunakan atas transaksi
itu bukanlah riba, melainkan bagian dari ongkos produksi saja.
Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa ada tiga
hal yang sangat penting yang tidak boleh dilupakan sama sekali.
Pertama, orientasi ekonomi itu sendiri, yang harus memperjuangkan nasib rakyat kecil serta kepentingan orang banyak. Ini sesuai
dengan ketentuan agama Islam bahwa tindakan pemimpin atas
rakyat yang dipimpin harus terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin. Istilah yang digunakan dalam bahasa
Arab oleh fiqh adalah maslahah, diterjemahkan oleh penulis
dengan istilah kesejahteraan. Dan, dalam bahasa Undang-undang Dasar (UUD) 1945, masyarakat sejahtera dirumuskan sebagai masyarakat adil dan makmur, hingga orientasi kepentingan
dan kesejahteraan warga masyarakat itu, yang dikandung oleh
Islam, sepenuhnya sesuai dengan UUD 1945.
Kedua, mekanisme yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan itu, tidak ditentukan format dan bentuknya. Dengan
demikian, acuan persaingan-perdagangan bebas dan efisiensi
yang dibawakan oleh kapitalisme, tidaklah bertentangan dengan
pandangan ekonomi yang dibawakan Islam. Bahkan Islam menganjurkan adanya sikap fastabiqu al-khairat (berlomba dalam
kebaikan), yang menjadi inti dalam praktek ekonomi yang sehat. Dengan persaingan dan perlombaan, akan terjadi efisiensi
yang semakin meningkat. Namun, pemerintah sebagai penguasa harus memberikan perlindungan kepada yang lemah tanpa
melakukan intervensi dalam perdagangan. Negara-negara yang
berteknologi maju-pun melindungi para penganggur, sampai 3%
dari jumlah keseluruhan kaum pekerja. Ini adalah prinsip yang
harus dipegang teguh dalam menentukan kebijakan ekonomi.
Dari orientasi dan mekanisme pasar seperti itu, jelas bahwa
tidak ada satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan masalah bunga bank dan pelaksanaan asuransi sebagai
unit parsial dalam kehidupan ekonomi, dapat saja dirumuskan
yang benar-benar sesuai dengan ajaran Islam, dengan predikat
bank Islam/bank syari’ah maupun takaful/asuransi Islam. Penyebutan ekonomi secara keseluruhan sebagai “ekonomi Islam”
dapat saja dilakukan tanpa kehilangan Islamisitas kita sendiri. What is a name? ungkap dramawan dunia William Shakespeare.
sebab nya, dapat saja kita melihat pelaksanaan prinsip-prinsip
Islam, namun dalam orientasi dan mekanismenya adalah ekonomi kapitalistik. Padahal orientasi kapitalistik itu dapat dibedakan dari orientasi Islam. Dalam orientasi kapitalistik yang diutamakan adalah individu pengusaha besar dan pemilik modal.
Dalam Islam, justru kepentingan rakyat-kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan yang menjadi ukuran
Salah satu ketentuan dasar yang dibawakan Islam adalah
keadilan, baik yang bersifat perorangan maupun dalam kehidupan politik. Keadilan adalah tuntutan mutlak dalam Islam, baik rumusan “hendaklah kalian bertindak adil (an ta’dilû)”
maupun keharusan “menegakkan keadilan (kûnû qawwâmîna bi
al-qisthi),” berkali-kali dikemukakan dalam kitab suci al-Qurân.
Dengan meminjam dua buah kata sangat populer dalam peristilahan kaum muslimin di atas, UUD 45 mengemukakan tujuan
Negara Kesatuan Republik negara kita (NKRI): menegakkan keadilan dan mencapai kemakmuran. Kalau negara lain mengemukakan kemakmuran dan kemerdekaan (prosperity and liberty)
sebagai tujuan, maka negara kita lebih menekankan prinsip keadilan daripada prinsip kemerdekaan itu.
Dengan demikian, sangat mengherankan jika kita sekarang lebih mementingkan swastanisasi/privatisasi dalam dunia
usaha, daripada mengembangkan rasa keadilan itu sendiri. Seolah-olah kita mengikuti prinsip kemakmuran dan kebebasan
itu, dan dengan demikian kita kehilangan rasa keadilan kita.
Sikap dengan mudah menentukan kenaikan harga BBM -yang
kemudian dicabut kembali-, menunjukkan hal itu dengan jelas,
kalau kita tidak berprinsip keadilan. Tentulah kenaikan harga itu
harus menunggu kenaikan pendapatan, bukan sebaliknya. Dengan demikian, bukankah telah terjadi pengambilalihan sebuah
paham dari negeri lain ke negeri kita, yang memiliki prinsip sesuai dengan ketentuan UUD 45? Adakah kapitalisme klasik yang
melindungi kaum lemah, padahal akibat paham itu mereka harus dihilangkan begitu saja dalam kehidupan kita sebagai bangsa? Bukankah yang dimaksudkan oleh para pendiri negeri kita,
adalah bentuk pemerintahan yang melindungi kaum lemah?
Jelaslah dengan demikian, antara ketentuan dalam UUD 45 dengan kebijakan pemerintah, terdapat kesenjangan dan perbedaan yang sangat menyolok. Dapat dikatakan, kebijakan pemerintah di bidang ekonomi tidaklah didasarkan pada konstitusi.
Dengan demikian dapat disimpulkan, ketentuan UUD ditinggalkan
sebab keserakahan beberapa orang saja yang menginginkan
keuntungan maksimal bagi diri dan golongan mereka saja. Ini
adalah sikap dan kebijakan pemerintah yang harus dikoreksi
oleh masyarakat dengan tegas. Keengganan kita untuk melakukan koreksi itu, hanya akan mengakibatkan kebijakan dan sikap
pemerintah yang lebih jauh lagi menyimpang dari ketentuan
UUD 45.
Hendaknya pun pemerintah bersikap lapang dada dan menerima kritikan atas penyimpangan dari UUD 45 itu, sebagai
sebuah masukan yang konstruktif. Kita memiliki UUD 45 yang
harus diperhatikan dan tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Kalau ingin menyimpang dari ketentuan konstitusi itu, maka
konstitusi harus dirubah melalui pemilu yang akan datang. Seperti halnya pengamatan Jenderal (Purn.) Try Soetrisno, bahwa
rangkaian amandemen yang diputuskan sekarang telah menjadikan sistem politik kita benar-benar liberal, yang berdasarkan
suara terbanyak saja. Tentu ini harus dikoreksi dengan amandemen UUD lagi, sebab hak minoritas harus dilindungi.
eg
Dalam memahami perubahan-perubahan sosial yang terjadi, kita juga harus melihat bagaimana sejarah Islam menerima
hal itu sebagai sebuah proses dan melakukan identifikasi atas jalannya proses ini . Dalam hal ini, penulis mengemukakan
sebuah proses yang kita identifikasikan sebagai proses penafsiran kembali (reinterpretasi) atas ajaran-ajaran agama yang
tadinya dianggap sebagai sebuah keadaan yang “normal”. Tanpa
proses penafsiran ulang itu tentunya Islam akan sangat sempit
memahami ayat-ayat al-Qurân. Seperti misalnya “Hari ini telah
Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Ku-sempurnakan (pemberian) nikmat-Ku dan Ku-relakan bagi kalian Islam
sebagai agama (al-yauma akmaltu lakum dînakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matî wa radhîtu lakum al-Islâma dînan)” (QS.
al-Maidah [5]:3). Ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah
menurunkan prinsip-prinsip yang tetap (seperti daging bangkai itu haram), sedangkan hukum-hukum agama (fiqh/ canon laws)
terus-menerus mengalami perubahan dalam perinciannya.
Sangat terkenal dalam hal ini hukum agama (fiqh) mengenai Keluarga Berencana (KB), yang bersifat rincian dan mengalami perubahan-perubahan. Dahulu, KB sama sekali ditolak,
padahal waktu itu ia adalah satu-satunya cara untuk membatasi
peningkatan jumlah penduduk. Dasarnya adalah program ini sebagai campur-tangan manusia dalam hak reproduksi manusia
yang berada di tangan Tuhan sebagai sang pencipta. Namun, kemudian manusia merumuskan upaya baru untuk merencanakan
kelahiran (tanzim an-nasl atau family planning) sebagai ikhtiar
menentukan jumlah penduduk sebuah negara pada suatu waktu.
Dengan demikian, dipakailah cara-cara, metode, alat-alat dan
obat yang dapat dibenarkan oleh agama, seperti pil KB, kondom dan sebagainya. Penggunaan metode dan alat-alat ini
sekarang ini, dilakukan sebab ada penafsiran kembali ayat suci
dalam upaya mengurangi jumlah kenaikan penduduk dari pembatasan kelahiran (birth control) ke perencanaan keluarga (family planning).
Contoh sederhana di atas, menunjukkan kepada kita, dengan jelas, betapa pentingnya proses penafsiran ulang ini .
Tanpa kehadirannya, Islam akan menjadi agama yang mengalami “kemacetan”. Hal itu menyalahi ketentuan agama itu sendiri
yang tertuang dalam ucapan “Islam sesuai untuk segenap tempat dan masa (al-Islâm yasluhu li kulli makânin wa zamânin).”
Dengan demikian jelaslah, agama yang dibawakan Nabi Muhammad Saw itu pantas dinyatakan sebagai sesuatu yang sempurna,
sebab hanya pada hal-hal prinsip saja Islam bersifat tetap, sedangkan dalam hal-hal rincian dapat dilakukan penafsiran ulang,
kalau telah memenuhi persyaratan-persyaratan untuk itu.
eg
Dalam hal ini, kita lalu teringat pada konsep keadilan yang
pada prinsipnya berarti pemberdayaan kaum miskin/lemah untuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam sejarah manusia
yang terus mengalami perubahan sosial. Secara umum, Islam
memperhatikan susunan masyarakat yang adil dengan membela nasib mereka yang miskin/lemah, seperti terlihat