Ada pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawabannya; apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara?
Sampai seberapa jauhkah hal ini dirasakan oleh kalangan
pemikir Islam sendiri? Dan, apakah konsekuensi dari konsep ini
jika memang ada? Rangkaian pertanyaan di atas perlu diajukan
di sini, sebab dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran tentang Negara Islam, yang berimplikasi pada
orang yang tidak memakai pemikiran itu dinilai telah meninggalkan Islam.
Jawaban-jawaban atas rangkaian pertanyaan itu dapat disederhanakan dalam pandangan penulis dengan kata-kata: tidak
ada. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari’ah)
tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Mengapakah
penulis beranggapan demikian? sebab sepanjang hidupnya,
penulis telah mencari dengan sia-sia makhluk yang dinamakan
Negara Islam itu. Sampai hari inipun ia belum menemukannya,
jadi tidak salahlah jika disimpulkan memang Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.
Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat yang baku dalam dunia Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin. Rasulullah Saw digantikan Sayyidina Abu Bakar –tiga
hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum
muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah
tiga hari, semua bersepakat bahwa Sayyidina Abu Bakar-lah
yang menggantikan Rasulullah Saw melalui bai’at/prasetia. Janji itu disampaikan oleh para kepala suku/wakil-wakil mereka, dan
dengan demikian terhindarlah kaum muslimin dari malapetaka.
Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan kepada komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar Bin Khattab
yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh
cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Ini
tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden oleh
seorang Presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.
Ketika Umar1
ditikam Abu Lu’luah2
dan berada di akhir
masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilih (electoral college -ahl halli wa al-aqdli), yang terdiri dari
tujuh orang, termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh dipilih menjadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala negara/kepala
pemerintahan.3
Untuk selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan tengah mempersiapkan
anak cucunya untuk mengisi jabatan di atas, sebagai penganti
Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian, sistem kerajaan
dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon raja/sultan
dalam Islam sampai dengan khilafah Usmaniyyah/ottoman empire yang oleh para “Islam politik” dianggap sebagai prototype
pemerintahan harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah “formula Islami”.
eg
Demikian pula, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi
kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah imperium dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara.
Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam
berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis),
juga tidak jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah negarakota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.
Dalam hal ini, Islam menjadi seperti komunisme: manakah
yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah negara-bangsa yang
berideologi satu sebagai negara induk, ataukah menunggu sampai seluruh dunia di-Islam-kan, baru dipikirkan bentuk negara
dan ideologinya? Menyikapi analogi negara Komunis, manakah
yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin4
ataukah Leon
Trotsky?5
Sudah tentu perdebatan ini jangan seperti yang dilakukan Stalin hingga membunuh Trotsky di Meksiko.
Hal ini menjadi sangat penting, sebab mengemukan gagasan Negara Islam tanpa ada kejelasan konseptualnya, berarti
membiarkan gagasan ini tercabik-tercabik sebab perbedaan pandangan para pemimpin Islam sendiri. Misalnya kemelut di Iran, antara para “pemimpin moderat” seperti Presiden
Khatami dengan para Mullah konservatif seperti Khamenei, saat
ini. Satu-satunya hal yang mereka sepakati bersama adalah nama
“Islam” itu sendiri. Mungkin, mereka juga berselisih paham tentang “jenis” Islam yang akan diterapkan dalam negara ini ,
haruskah Islam Syi’ah atau sesuatu yang lebih “universal”? Kalau harus mengikuti paham Syi’ah itu, bukankah gagasan Negara
Islam lalu menjadi milik kelompok minoritas belaka? Bukankah
syi’isme hanya menjadi pandangan satu dari delapan orang muslim di dunia saja?
eg
Jelaslah dengan demikian, gagasan Negara Islam adalah
sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas
kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang
pemimpin, yang terlalu memandang Islam dari sudut institusionalnya belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut,
dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak gagasan ini , adakah mereka masih layak disebut kaum muslimin atau bukan? Padahal yanga menolak justru adalah mayoritas penganut agama ini ?
Kalau diteruskan dengan sebuah pertanyaan lain, akan
menjadi berantakanlah gagasan ini : dengan cara apa dia
akan diwujudkan? Dengan cara teror atau dengan “menghukum”
kaum non-muslim? Bagaimana halnya dengan para pemikir muslimin yang mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani
penulis? Layakkah penulis disebut kaum teroris, padahal ia sangat menentang penggunaan kekerasan untuk mencapai sebuah
tujuan. Lalu, mengapakah penulis juga harus bertanggungjawab
atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi teroris itu? hPenulis menerima sebuah permintaan dari teman-teman
MILF (Moro Islamic Liberation Front)1
, untuk menghentikan penyerbuan tentara Philipina atas kamp-kamp mereka di Philipina Selatan. Padahal, mereka sudah menandatangani
Perjanjian Tripoli (Lybia) pada 2001, yang berisikan ketentuan
memperjuangkan otonomi daerah itu bagi kaum muslimin, melalui negosiasi dan perundingan. Ini berarti mereka telah meninggalkan perjuangan bersenjata, guna memungkinkan perundingan
damai. Namun, MNLF (Moro National Liberation Front),2
yang
dipimpin oleh Nur Misuari, menurut tentara Philipina kembali
pada perjuangan bersenjata dengan cara bergerilya, untuk memperjuangkan sebuah Negara Islam (NI).
Ternyata, kemudian Nur Misuari dikejar-kejar, dan dengan
memakai perahu memasuki kawasan Malaysia di Sarawak.
Di tempat itu ia ditangkap oleh pihak keamanan Malaysia, lalu
diterbangkan ke Kuala Lumpur, dan selanjutnya diekstradisikan
ke Manila. Kini ia meringkuk di tahanan, dan menjalani proses
pengadilan Philipina. Sekarang, pihak MILF meminta pertolongan penulis agar tentara Philipina tidak menyerbu kamp-kamp
MILF yang dianggap juga akan memberontak, seperti halnya
MNLF. Penulis menjawab, tidak dapat melakukan hal itu, sebab
tidak akan didengar oleh tentara Philipina; sedangkan Presiden
Gloria Macapagal Arroyo saja tidak didengar oleh tentara Philipina. Apalagi orang luar yang melakukan hal itu.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tentara Philipina, atau oknum-oknum dalam kepemimpinan formalnya, cenderung untuk melanggar kebijakan pemerintah untuk berunding.
Hal ini patut disayangkan, tetapi demikianlah kenyataan yang
ada dan sikap seperti itu juga dijalankan oleh oknum-oknum militeristik dalam lingkungan tentara Thailand dan negara kita . Di
Thailand, mereka cenderung mencurigai orang-orang Islam di
selatan, timur dan utara negeri itu. Diabaikan kenyataan, bahwa
komunitas kaum muslimin kini sudah mencapai antara 20-25%
dari total penduduk negeri itu. Demikian juga negara kita , ada
sikap menolak berunding dengan pihak GAM dan pihak Hasan
Tiro untuk merumuskan batasan-batasan otonomi khusus di
Aceh, dengan menembak mati orang-orang GAM yang dianggap sebagai pengacau keamanan yang harus ditumpas dengan
kekerasan bersenjata oleh aparat keamanan.
Akibat kekerasan di kawan-kawasan itu, unsur-unsur yang
tadinya menolak separatisme, mau tak mau akhirnya menjadi
kaum separatis. Sedangkan pihak moderat (kaum yang tidak
keras), akhirnya dikalahkan oleh kelompok-kelompok garis keras
(kaum ekstrimis atau fundamentalis kalangan kaum mudanya).
Kaum moderat itu digambarkan oleh saingan-saingan mereka
sebagai yang berhati lemah dan tunduk pada pemerintah. Selanjutnya keadaan akan dikuasai oleh mereka yang berhaluan keras,
hingga memicu kesan seolah-olah seluruh kaum muslimin
di kawasan-kawasan itu benar-benar telah menjadi kaum separatis secara keseluruhan.
Dengan demikian, terjadi eskalasi antara perlawanan mereka dan pembalasan bersenjata oleh aparat pemerintah, yang
belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Di Aceh, misalnya,
proyek DOM (Daerah Operasi Militer) berjalan bertahun-tahun tanpa ada penyelesaian, dan akhirnya dunia internasional
menyalahkan negara kita sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia
(HAM). Kalau Belanda saja tidak dapat menyelesaikan penyelenggaraan pemerintahan pendudukan/kolonial selama lebih dari 350 tahun, apakah kita juga akan bermusuhan dengan rakyat
sendiri di kawasan Aceh untuk masa yang sama?
sebab nya, jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah
pertentangan pemerintah dan kaum beragama di Philipina, Thailand dan Aceh, sebaiknya dilakukan secara berunding, agar tidak
menjadi semakin berlarut-larut. Perundingan seperti itu mengharuskan adanya kesediaan oknum-oknum militer untuk mendengarkan dan menghormati pendapat pemerintah, dan bukan
sebaliknya.
eg
Dengan demikian, penyelesaian yang diharapkan bukanlah
penyelesaian militer, melainkan penyelesaian politis. Kenyataan
yang demikian sederhana, memang tampak seperti mengalah
kepada mereka yang berhaluan keras (kaum ekstrimis atau fundamentalis). Namun, yang kita utamakan bukanlah mereka, tapi
rakyat banyak yang menginginkan otonomi khusus melalui perundingan damai. Dalam kenyataannya, tidak sedemikian benar
yang terjadi, sebab toh pada akhirnya kaum ekstrimis itu akan
diserap oleh masyarakat yang memang berjiwa moderat. Hal inilah yang mendorong Bung Karno menyelesaikan masalah Tengku
Daud Beureueh3
di Aceh, yang dikenal sebagai pemimpin pemberontakan Darul Islam di tahun-tahun 50-an dengan penyelesaian secara politis. Demikian pula, diselesaikannya pemberontakan PRRI Permesta secara politis setelah penyerbuan oleh TNI
ke kawasan Sumatera Barat dan Tomohon di Sulawesi Utara.
Kalau penyelesaian politis ini tidak dilakukan, maka rakyat kebanyakan akan dimanipulir oleh kaum muda yang bergaris keras. Mereka tinggal menunjuk kepada kenyataan adanya
represi dan penembakan oleh tentara atas penduduk yang tidak
bersalah, yang nantinya akan membuat perlawanan rakyat menjadi semakin nyata. Kalau ini terjadi, oknum-oknum militer itu
akan menyerahkan persoalan kepada pemerintah yang dengan
susah payah harus mengulang kembali dari awal perundingan
dengan mereka yang menginginkan otonomi khusus bagi kawasan yang bersangkutan, dalam jumlah orang yang lebih sedikit dari semula.
sebab itu, jelas bagi pihak militer yang ingin menggunakan kekerasan di Philipina Selatan, Thailand Selatan maupun di
Aceh, hendaknya segera menghentikan langkah-langkah mereka
itu. Biarkan pemerintah mencari penyelesaian damai melalui
perundingan dengan kaum moderat yang masih berjumlah besar. Kalau terlambat, perundingan itu akan menjadi lebih sulit, dan hasilnya tidak dapat dipastikan. Demikian pula, dalam
proses yang terjadi wibawa pemerintah masih akan tetap besar
kalau penyelesaian dicapai melalui perundingan sekarang. Dan
sebaliknya, wibawa itu tentu semakin berkurang, kalau eskalasi
pertentangan bersenjata tetap berjalan. Benarkah para jenderal
itu berpikir hanya untuk kepentingan bangsa dan bukannya kepentingan sendiri?Selama beberapa tahun terakhir ini, ada suara-suara untuk
menjadikan Islam sebagai ideologi negara, yaitu sebagai
pengganti Pancasila. Menurut pandangan penulis, hal itu
terjadi akibat terjadi penyempitan pandangan mengenai Pancasila itu sendiri, yaitu pengertian Pancasila hanya menurut mereka yang berkuasa. Ini berarti pemahaman Pancasila melalui satu
jurusan belaka, yaitu jurusan melestarikan kekuasan. Pandangan
lain yang menyatakan Pancasila harus dipahami lebih longgar, dilarang sama sekali. Dengan demikian, sebenarnya yang terjadi
bukanlah pertentangan mengenai Pancasila itu sendiri, melainkan soal pengertian Pancasila ini .
Menurut pandangan kekuasaan, penafsiran yang benar tentang Pancasila adalah apa yang disepakati pemerintah, bukannya
kritik terhadap pendekatan yang terasa monolit bagi rakyat itu.
sebab dalam pandangan mereka penafsiran pemerintah hanyalah satu dari penafsiran yang ada. Untuk menetapkan mana
yang benar, Mahkamah Agung (MA) harus mengemukakan penafsiran legal berdasarkan Undang-undang (UU) yang ada. Jadi,
penafsiran yang tidak sejalan dengan pemerintah, belum tentu
salah. Penafsiran legal-lah yang dijadikan ukuran, bukan penafsiran pemerintah.
Ketika yang dianggap benar hanyalah penafsiran kekuasaan dan MA takut membuat penafsiran legal yang mengikat, maka
masyarakat tidak memiliki pilihan lain, kecuali mencarikan alternatif bagi Pancasila yang telah dikebiri itu. Muncullah Islam
sebagai alternatif penafsiran, bukannya alternatif ideologis. Namun, sebab kurangnya kecanggihan, maka Islam dikemukakan sebagai alternatif ideologis bagi Pancasila, bukannya terbatas
pada masalah penafsiran saja. Dalam bahasa teori hukum Islam
(ushûl fiqh), hal itu dinamai penyebutan yang mutlak umum, dengan maksud yang mutlak khusus (yuthlaqu al-‘âm wa yurâdu
bihi al-khâsh).1
Hal itu perlu dinyatakan di sini, sebab akhir-akhir ini
muncul anggapan, bahwa sesuatu yang berdasarkan Islam sangat berbahaya bagi negara kita. Ini antara lain dikemukakan
Lee Kuan Yew, Menteri Senior Republik Singapura, yang menyatakan bahwa dalam satu dua generasi lagi negara kita akan diperintah oleh teroris yang memakai Islam. Ini tentu dapat
dibaca sebagai undangan bagi Amerika Serikat, untuk menduduki negara kita dan membagi-baginya ke dalam beberapa negara. Tentu saja, penulis boleh beranggapan bahwa hal itu dikemukakan sebab Lee Kuan Yew takut dengan negara kita yang kuat
dan besar serta tidak dapat “disogok”. Itu akan sangat berbahaya
bagi Singapura, sebab itu negara kita harus dibagi-bagi ke dalam
beberapa republik.
Namun, asumsi di balik pernyataan “Islam akan tumbuh di
negeri ini sebagai alternatif Pancasila,” adalah sesuatu yang banyak dipakai orang. sebab itu, kita harus memahami Islam pada
fungsi sebagai penafsir, dengan demikian ia tidak dapat menjadi
ideologi negara yang plural dan majemuk ini. Dalam hal ini, Islam memiliki fungsi yang sama dengan nasionalisme, sosialisme
dan pandangan-pandangan lain di dunia ini. Inilah yang merupakan pembedaan antara Pancasila sebagai ideologi negara yang
berwatak pluralistik, dari berbagai ideologi masyarakat yang berkembang di negeri ini, seperti Islam, nasionalisme, sosialisme,
dan lain-lain.
Jelaslah, dengan uraian di atas, bahwa penghadapan Islam kepada Pancasila adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan, karena menghadapkan sesuatu yang bersifat umum kepada
pandangan yang bersifat khusus. Kalau itu diteruskan, berarti
rasionalitas telah ditinggalkan, dan hanya emosi yang mengendalikan pandangan hidup kita. Tentu kita lebih mementingkan
sesuatu yang rasional, bila dibandingkan dengan sesuatu yang
emosional.Sebagai bangsa, tentu kita hanya mempunyai sebuah ideologi negara, tetapi dengan penafsiran kemasyarakatan yang berbeda-beda. Dengan demikian, yang diberlakukan secara formal
adalah penafsiran legal yang dilakukan oleh MA. Inilah yang harus kita bangun ke depan, dan untuk itu diperlukan keberanian
moral untuk berhadapan dengan negara, atau dengan kata lain
menghadapi sistem kekuasaan. Kalau ini dilupakan, sudah tentu
kita tidak tahu apa yang menjadi tugas kita di masa depan.
Pembedaan antara ideologi di satu sisi dan penafsiran atasnya, menjadi sesuatu yang sangat menentukan bagi kehidupan
kita di masa depan. Beberapa minggu sebelum dilengserkan dari jabatan Presiden, penulis mengusulkan pada sebuah sidang
kabinet agar dibuat ketentuan bahwa keputusan bertentangan
atau tidaknya seluruh peraturan daerah (perda) berdasarkan
Syari’ah Islâmiyah yang dibuat DPRD di semua tingkatan di Indonesia dengan Undang-Undang Dasar (UUD), harus dilakukan
secara legal oleh MA. Inilah mengapa sebabnya MA harus kuat
dan berani, serta berkedudukan sama tinggi dengan badan legislatif maupun eksekutif.
Di sinilah keseimbangan antara badan-badan yudikatif,
legislatif dan eksekutif harus benar-benar dijaga, sebagai sebuah
hal yang mendasar bagi kehidupan kita. UUD adalah instrumen
satu-satunya yang mempersatukan kita sebagai bangsa, sebab
itu penafsiran atasnya secara legal, adalah sesuatu yang sangat
penting bagi kita. Kita berideologi negara yang satu, bukannya
dua. Tapi mempunyai penafsiran legal atasnya, yang dapat bervariasi dalam bentuk dan isi, walaupun hanya satu pihak yang
dapat melakukannya, yaitu MA. sebab itulah, keanggotaannya
harus diputuskan bersama oleh pihak eksekutif dan legislatif.
Dengan pemaparan di atas, menjadi jelas bahwa ideologi
negara kita hanyalah satu, yaitu Pancasila. Pendekatan lain, yaitu menjadikan Islam sebagai ideologi negara adalah sesuatu
yang salahDalam dua sumber tekstual kitab suci al-Qurân mengenai keadilan, tampak terlihat dengan jelas bagaimana
keadilan dapat ditegakkan, baik dari masalah prinsip
hingga prosedurnya. Dari sudut prinsip, kitab suci al-Qurân menyatakan; “Wahai orang-orang yang beriman, tegakkan keadilan
dan jadilah saksi-saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri kalian sendiri (yâ ayyuha al-ladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi
al-qisthi syuhadâ’a li Allâhi walau ‘alâ anfusikum)” (QS al-Nisa
[4]:135). Dari ayat ini tampak jelas bahwa, rasa keadilan menjadi
titik sentral dalam Islam.
Sedangkan dari sudut prosedur, kitab suci al-Qurân menyatakan; “Jika kalian saling berhutang, maka hendaknya kalian gunakan tanda-tanda tertulis (idzâ tadâyantum bidainin ilâ ajalin
musammâ faktubûhu)” (QS al-Baqarah [2]:282). Dalam hal ini,
rasa keadilan harus ditegakkan dengan bukti tertulis, sehingga
tidak dapat dipungkiri oleh orang. Prosedur ini juga dijalankan
dalam masyarakat berteknologi maju, sehingga kesan yang ada
selama ini menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sangat
tertinggal dapat dihilangkan.
Demikian pula, seorang hakim tidak dapat lepas dari tuntutan keadilan ini, seperti yang dikemukakan oleh sebuah hadits; “idraul hudud bi as-subuhat” yang memberikan pesan jika
seorang hakim ragu-ragu tentang kesalahan seorang terdakwa,
maka ia tidak boleh menjatuhkan hukuman mati, sebab ditakutkan si hakim berbuat kesalahan.” Jadi, aspek-aspek keadilan
dalam Islam bersifat menyeluruh, meliputi prinsip, prosedur
dan pelaksanaannya.Apa yang dikemukakan di atas, adalah aspek-aspek keadilan dalam masalah mikro. Dalam banyak hal, keadilan mikro itu seluruhnya tergantung dari bangunan makro sistem kemasyarakatan yang ditegakkan. Banyak ungkapan dari sumber-sumber tertulis dalam Islam yang memungkinkan adanya
penafsiran makro yang berdasarkan prinsip keadilan bagi umat
manusia. Ungkapan dalam hadits; “Tangan yang memberi lebih
baik daripada tangan yang menerima (al-yadu al-‘ulyâ khairun
min al-yadi al-suflâ),” jelas menunjukkan adanya keharusan
dipeliharanya keadilan dalam hubungan antara negara kreditor
kepada debitor. Sayangnya, hal ini justru tidak terdapat dalam
tata ekonomi modern kita di seluruh dunia saat ini.
Pengertian makro, juga tampak dalam keharusan bagi
para pemimpin negara/masyarakat untuk menunaikan tugas
membawa kesejahteraan. Adagium fiqh menyatakan; “Langkah
dan kebijakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin terkait langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf alimâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah).” Artinya, kesejahteraan masyarakat tidak akan dapat tercapai, jika pemimpinnya tidak mewujudkan keadilan seluruh warga masyarakat,
melainkan hanya untuk sebagian saja.
Ini sangat penting untuk diperhatikan sebab kebanyakan
di negeri-negeri muslim, seorang penguasa selalu menikmati
kekayaan berlimpah, sementara banyak kaum miskin di sekelilingnya. Kehidupan kaum miskin seperti terombang-ambing di
tengah banyaknya produk-produk yang dihasilkan oleh para pemilik modal yang berjumlah sangat kecil. Ketimpangan situasi
seperti itu terjadi dalam kehidupan modern –secara internasional dewasa ini. Dengan situasi yang tidak adil seperti itu, jelas
bahwa Islam tidak menyetujui kapitalisme klasik yang didasarkan pada prinsip persaingan bebas (laises faire) dalam pergaulan
internasional saat ini.
eg
sebab itu, orientasi pembangunan negara untuk kepentingan warga masyarakat/rakyat kebanyakan, harus lebih diutamakan, dan bukannya pengembangan sumber daya manusia
yang tinggi maupun penguasaan teknis yang memadai bagi modernisasi. Dengan kata lain, bukan modernitas yang lebih dikejar melainkan terpenuhinya rasa keadilan dalam kehidupan bermasyarakat yang harus diutamakan. Kehidupan modern yang penuh kenikmatan bagi sekelompok orang bukanlah sesuatu yang
dituju Islam, melainkan kesejahteraan bagi seluruh penduduk.
Prinsip ini sangat menentukan bagi keberlangsungan hidup sebuah negara.
Di sinilah kemampuan kita untuk menemukan sebuah sistem yang menjamin kepentingan rakyat kebanyakan, diatas kepentingan, dalam batas waktu tertentu, kelompok industrialis
pemilik modal. Dalam pengertian ini, asas keseimbangan diperlukan agar kesejahteraan orang kebanyakan benar-benar diperhatikan, tanpa mengekang kelompok industrialis maupun pemilik modal untuk berkembang.
Sebenarnya telah banyak percobaan untuk menemukan
sistem yang demikian itu, namun semuanya gagal apabila hanya
mengandalkan kepada ideologi-ideologi yang ada yaitu sistem
kapitalisme, sosialisme maupun komunisme. Seringkali, koreksi-koreksi dilakukan dengan mencampuradukkan beberapa
ideologi di dalam sebuah wawasan yang sangat umum. Seperti
modifikasi atas ideologi kapitalisme menjadi folks kapitalismus
(kapitalisme rakyat), yang mencoba mengoreksi kapitalisme klasik yang hanya mementingkan persaingan bebas, dengan tidak
menganggap penting arti rakyat kebanyakan.
Folks kapitalismus mengambil semangat egalitarian dari
sosialisme, ini berbeda dari birokrasi komunisme yang banyak
mengadopsi dari kapitalisme klasik, paling tidak mengenai caracara berkompetisi. Islam-pun juga pernah harus melakukan hal
yang sama yaitu dengan berani mengambil cara-cara dari ideologi-ideologi lain. Puluhan tahun yang lalu, ada gagasan tentang
“Sosialisme Islam”1
, yang walaupun gagal berkembang namun
tetap saja harus dihargai sebagai upaya dinamisasi agama tersebut. Begitu juga dengan pengertian-pengertian dasar yang kita
terus mengalami perubahan. Dahulu, pengangguran berarti tiadanya pekerjaan bagi seorang warga negara, sekarang orang
yang bekerja tapi di bawah 35 jam perminggu sudah dinamai
penganggur.
Dengan arti perubahan ini , maka pemahaman kita mengenai hubungan antara negara dan warganya juga bersifat dinamis. Jika negara mampu mewujudkan kemakmuran warganya
pada taraf tertentu, maka hal itu sudah dianggap menunaikan
kewajiban menciptakan kesejahteraan, sebab negara mampu
melindungi para warganya dengan menjamin taraf kehidupan
pada titik tertentu, misalnya, melalui asuransi sosial. Ini berarti
penciptaan kemakmuran dan keadilan, yang kedua-duanya dijadikan tujuan UUD 1945 sudah ditunaikan dengan baik, meski
ada sejumlah warga negara yang berkerja di bawah 35 jam. Nah,
kalau ini berhasil diwujudkan oleh sebuah masyarakat Islam,
berarti pula Islam telah berhasil mensejahterakan warga negara
tanpa menjadi sebuah sistem formal. Sangat kompleks memang,
tapi cukup berharga untuk direnungkan, bukan?
Sebenarnya, terdapat hubungan sangat erat antara kepemimpinan dan konsep negara dalam pandangan Islam.
Penulis pernah mengemukakan sebuah sumber tertulis
(dalil naqli) dalam pandangan Islam. Adagium itu adalah “Tiada
Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan,
dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa bi
Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi
Tha’ah). Di sini tampak jelas, arti seorang pemimpin bagi Islam,
ia adalah pejabat yang bertanggung jawab tentang penegakan
perintah-perintah Islam dan pencegah larangan-larangan-Nya
(amar ma’rûf nahi munkar). sebab nya, pemimpin dilengkapi
dengan kekuasaan efektif, yang jelas kekuasaan efektif inilah
yang oleh Munas Ulama tahun 1957 di Medan, dinyatakan sebagai “wewenang kekuasaan efektif “ (syaukah).
sebab itulah, Munas ini mengatakan bahwa Presiden Republik negara kita adalah “penguasa pemerintahan untuk
sementara, dengan kekuasaan efektif (walîyyu al-amri li dharûri bi al-syaukah).” Maksud dari kata “untuk sementara”, karena ia adalah pengganti Imam yang dalam hal ini Kepala Pemerintahan. Namun wewenang yang dimilikinya sebagai pengganti
Imam tidak berdasarkan sumber tertulis (dalil naqli), melainkan
karena pertimbangan rasional (dalil aqli), yang tidak mengurangi keabsahan kekuasaan itu sendiri. Kemudian kata “sementara”, artinya sebelum datangnya hari kiamat. Keputusan Munas
di atas, dinyatakan berlaku bagi semua Presiden Republik Indonesia, namun oleh mereka yang “dibius” oleh konsep Negara Islam, dinyatakan hanya berlaku untuk Kepresidenan Bung Karno
saja.sebab itu diandaikan, di dalam bukan negara Islam tidak
ada konsep Islam tentang kepemimpinan, dan dengan demikian
konsep itu tidak memiliki keabsahan dalam pandangan Islam.
Ternyata setelah berjalan puluhan tahun lamanya, kini kita mengetahui kenyataan sebenarnya, yaitu bahwa kelangkaan konsep
Islam tentang negara, tidak berarti agama ini tidak memiliki pandangan tentang kepemimpinan. Pandangan ini melihat
kepemimpinan menurut Islam berlaku untuk kepemimpinan
negara (kepemimpinan formal) maupun kepemimpinan dalam
masyarakat (kepemimpinan non-formal). Dalam tulisan ini akan
ditinjau orientasi minimalnya, sebab hal-hal lain diserahkan
kepada akal kita untuk merumuskannya.
eg
Dalam pandangan Islam: “orientasi seorang pemimpinan
terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin”.
Ini berarti, Islam tidak membeda-bedakan antara kepemimpinan
negara dengan kepemimpinan masyarakat, juga mengenai bentuk dan batas waktunya. Serta tidak memikirkan format kenegaraan atau kemasyarakatan yang melatarbelakangi kepemimpinan itu, apakah itu imperium dunia, republik negara bangsa atau
negara kota. Maka dari itu, sia-sia juga jika kita kaitkan langsung
kepemimpinan di “Negara Islam” yang ada dengan proses demokratisasi. Karenanya, kita lihat sekarang ini kepemimpinan dalam “Negara Islam”ada yang bersifat otoriter atau demokratis, dengan sistem pemerintahan Raja atau Amir, kepemimpinan ulama
maupun kepemimpinan para sesepuh masyarakat (community
leaders). Selama kepemimpinan itu mendatangkan kesejahteraan langsung pada masyarakat, selama itu pula kepemimpinan
yang ada memiliki legitimasi dalam pandangan umat Islam.
Namun di sinilah kita sering terjebak, yaitu dalam anggapan kesejahteraan di atas hanya menyangkut kenyataan-kenyataan lahiriah dan angka statistik belaka, seperti kepemilikan benda, usia hidup rata-rata dan sebagainya. Sering dilupakan, masalah kesejahteraan juga menyangkut kemerdekaan berbicara dan
berpendapat, kedaulatan hukum dan persamaan perlakuan bagi
semua warga negara di hadapan undang-undang. Hal-hal itu
nantinya akan menyangkut kebebasan berorganisasi, kebebasan
rakyat dalam menentukan bentuk negara yang mereka ingini dan beberapa aspek kehidupan agar tercipta rasa keadilan.
Proses peralihan (transisi) kepemimpinan dunia, negara
dan masyarakat seperti kita lihat dewasa ini, masih menimbulkan keresahan. Keresahan ini seperti yang menghinggapi negara
dengan mayoritas warganya yang beragama Islam, akibat dari gagalnya upaya-upaya terorisme dengan mengatasnamakan Islam
yang terjadi di mana-mana. Seharusnya, para pakar masyarakat
muslim di seluruh dunia, harus mensosialisasikan pengenalan
dan identifikasi sebab-sebab utama munculnya terorisme itu.
Dan bukannya diselesaikan dengan penyerangan dan pengeboman seperti yang terjadi di Afghanistan dan Irak. Pengeboman itu
sendiri secara tidak jujur dikemukakan Presiden Amerika Serikat
(AS) Geogre W. Bush Jr. sebagai upaya menurunkan diktaktor
Saddam Husein dari jabatan kepresidenan di Irak. Padahal, pertimbangan-pertimbangan geopolitik internasional yang membuat Amerika mengambil tindakan terhadap Irak. Yaitu, sebab
Saudi Arabia telah “menyimpang” dari politik luar negeri AS, padahal ia adalah penghasil minyak bumi (BBM) nomor satu di dunia, maka harus dicarikan kekuatan pengimbang terhadapnya.
Pilihan itu jatuh kepada Irak, sebab ia adalah penghasil minyak
bumi kedua terbesar saat ini. sebab Irak di bawah kepresidenan Saddam tidak akan mungkin mengikuti politik luar negeri
AS maka ia harus diganti secepatnya. Kalau Saddam dianggap
sebagai “kekuatan jahat” (evil force), mengapakah hal itu tidak
dikenakan atas para pemimpin Saudi Arabia? Negara yang telah
menghukum mati sekitar dua ribu orang yang dianggap “kaum
oposan”? Standar moral ganda (double morality) seperti inilah yang digunakan para pemimpin seperti Bush saat ini, yang
membuat istilah “politik” dicitrakan sangat buruk. Padahal oleh
mendiang Presiden AS John F. Kennedy, politik sebagai “karya
termulya”, sebab menyangkut kesejahteraan (lahir dan batin)
rakyat.
eg
Kembali pada kepemimpinan Islam. Dalam Islam kepemimpinan haruslah berorientasi kepada pencapaian kesejahteraan
orang banyak. Sebuah adagium terkenal dari hukum Islam adalah
“kebijakan dan tindakan seorang pemimpin haruslah terkait
langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah).” Jelaslah
dengan demikian kepemimpinan yang tidak berorientasi kepada
hal itu, melainkan hanya sibuk dengan mengurusi kelangsungan
kekuasaan saja, bertentangan dengan pandangan Islam. Karenanya, dalam menilai kepemimpinan dalam sebuah gerakan, selalu diutamakan pembicaraan mengenai kesejahteraan itu, yang
dalam bahasa Arab dinamakan al-mashlahah al-âmmah (secara
harfiyah, dalam bahasa negara kita berarti: kepentingan umum).
Selain itu, Islam tidak mempunyai konsep yang pasti (baku)
tentang bagaimana sang pemimpin ditetapkan. Kepemimpinan
sebuah organisasi Islam, ada yang ditetapkan melalui pemilihan dalam kongres atau muktamar, tetapi masih tampak betapa
kuatnya faktor keturunan dalam hal ini, seperti dialami penulis
sendiri. Baiknya sistem ini, jika orang itu membentuk kehidupannya sesuai dengan konsep kemaslahatan umat. Buruknya, jika
pemimpin berdasarkan garis keturunan itu tidak memahami tugas dan kewajibannya, melainkan hanya asyik dengan kekuasaan dan kemudahan-kemudahan yang diperolehnya, maka akan
menjadi lemahlah kepemimpinan ini . Apalagi jika kepemimpinan itu di tangan seorang penakut, yaitu pemimpin yang
takut kepada tekanan-tekanan dari luar dirinya. Memang kedengarannya mudah mengembangkan kepemimpinan dalam kehidupan, tetapi sebenarnya sulit juga, bukan?
Sebuah pertanyaan diajukan kepada penulis: apakah reaksi
NU (Nahdlatul Ulama) terhadap gagasan Negara Islam
(NI), yang dikembangkan oleh beberapa partai politik
yang memakai nama ini ?1
Pertanyaan ini sangat menarik untuk dikaji terlebih dahulu dan dicarikan jawaban yang
tepat atasnya. Ini berarti, keingintahuan akan hubungan NU dan
keadaan bernegara yang kita jalani sekarang ini dipersoalkan
orang. Dengan kata lain, pendapat NU sekarang bukan hanya
menjadi masalah intern organisasi yang didirikan tahun 1926 itu
saja, melainkan sudah menjadi “bagian” dari kesadaran umum
bangsa kita. Dengan berupaya menjawab pertanyaan ini ,
penulis ingin menjadi bagian dari proses berpikir bangsa ini yang
sangat luas. Sebuah keinginan yang pantas-pantas saja dimiliki
seseorang yang sudah sejak lama tergoda oleh gagasan NI. Dalam sebuah tesis Magister –yang dibuatnya beberapa
tahun yang lalu, Pendeta Einar Martahan Sitompul2
, yang di kemudian hari menjadi Sekretaris Jenderal Gereja Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP), menuliskan bahwa Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), harus menjawab sebuah pertanyaan, yang dalam tradisi organisasi ini dinamai
bahts al-masâ’il (pembahasan masalah)3
. Salah sebuah masalah
yang diajukan kepada muktamar ini berbunyi: wajibkah
bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan Kerajaan
Hindia Belanda, demikian negara kita waktu itu disebut, padahal
diperintah orang-orang non-muslim? Muktamar yang dihadiri
oleh ribuan orang ulama itu, menjawab bahwa wajib hukumnya
secara agama, sebab adanya dua sebab. Sebab pertama, sebab
kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam.
Sebab kedua, sebab dahulu di kawasan ini telah ada Kerajaan Islam. Jawaban kedua itu, diambilkan dari karya hukum
agama di masa lampau, berjudul “Bughyah al-Mustarsyidîn”.4
Jawabaan di atas seolah memperkuat pandangan Ibn
Taimiyyah, beberapa abad yang lalu. Dalam pendapat pemikir
ini, hukum agama Islam (fiqh) memperkenankan adanya “pimpinan berbilang” (ta’addud al-a’immah), yang berarti pengakuan
akan kenyataan bahwa kawasan dunia Islam sangatlah lebar
di muka bumi ini, hingga tidak dapat dihindarkan untuk dapat
menjadi efektif (syaukah). Konsep ini, yaitu adanya pimpinan berbilang yang khusus berlaku bagi kawasan yang bersangkutan,
telah diperkirakan oleh kitab suci al-Qurân dengan firman Allah;
“Sesungguhnya Aku telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki
dan perempuan dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku bangsa, agar kamu sekalian saling mengenal (innâ
khalaqnâkum min dzakarin wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban
wa qabâ’ila li ta’ârafû)” (QS al-Hujurat [49]:13). Firman Allah
ini juga yang menjadi dasar adanya perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, walaupun dilarang adanya perpecahan
diantara mereka, seperti kata firman Allah juga: “Berpeganglah
kalian (erat-erat) kepada tali Allah secara keseluruhan, dan janganlah terbelah-belah/saling bertentangan (wa’tashimû bi habli Allâhi jamî’an wa lâ tafarraqû)” (QS ali-Imran [3]:103).
eg
Dengan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935
itu, NU dapat menerima kenyataan tentang kedudukan negara
Hindia Belanda (negara kita ) dalam pandangan Islam. Menurut
pendapat organisasi ini tidak perlu NI didirikan. Dalam hal
ini, diperlukan sebuah klarifikasi yang jelas tentang perlu tidaknya didirikan sebuah NI.
Di sini ada dua pendapat, pertama; sebuah NI harus ada,
seperti pendapat kaum elit politik di Saudi Arabia, Iran, Pakistan
dan Mauritania. Pendapat kedua, seperti dianut oleh NU dan
banyak organisasi Islam lainnya, tidak perlu ada NI. Ini disebabkan oleh heterogenitas sangat tinggi di antara warga negara
negara kita , di samping kenyataan ajaran Islam menjadi tanggungjawab masyarakat, dan bukannya negara. Pandangan NU
ini bertolak dari kenyataan bahwa Islam tidak memiliki ajaran formal yang baku tentang negara, yang jelas ada adalah mengenai
tanggungjawab tiap kaum muslim untuk melaksanakan Syari’ah
Islam.
Memang, diajukan pada penulis argumentasi dalam bentuk firman Allah; “Hari ini telah Ku-sempurnakan agama kalian, Ku-sempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmat-Ku dan
Ku-relakan Islam “sebagai” agama (al-yauma akmaltu lakum
dînakum wa atmamtu ‘alaikum nikmatî wa radhîtu lakum alIslâma dînan)” (QS al-Maidah [5]:3). Jelaslah dengan demikian,
Islam tidak harus mendirikan negara agama, melainkan ia berbicara tentang kemanusiaan secara umum, yang sama sekali tidak
memiliki sifat memaksa, yang jelas terdapat dalam tiap konsep
tentang negara. Demikian pula, firman Allah; “Masuklah kalian
ke dalam Islam (kedamaian) secara keseluruhan (udkhulû fî alsilmi kâffah)” (QS al-Baqarah (2): 208). Ini berarti kewajiban
bagi kita untuk menegakkan ajaran-ajaran kehidupan yang tidak
terhingga, sedangkan yang disempurnakan adalah prinsip-prinsip Islam. Hal itu menunjukkan, Islam sesuai dengan tempat dan
waktu manapun juga, asalkan tidak melanggar prinsip-prinsip
ini . Inilah maksud dari ungkapan Islam tepat untuk segenap waktu dan tempat (al-Islâm shalihun likulli zamânin wa
makânin).
Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu ungkapan
Kitab Suci; “Orang yang tidak ‘mengeluarkan’ fatwa hukum (sesuai dengan) apa yang diturunkan Tuhan, maka orang itu (termasuk) orang yang kafir –atau dalam variasi lain dinyatakan orang
yang dzalim atau orang yang munafiq- (wa man lam yahkum
bimâ anzala Allâhu faulâika hum al kâfirûn)” (QS al-Maidah
[5]:44).5
Namun bagi penulis, tidak ada alasan untuk melihat keharusan mendirikan NI, sebab hukum Islam tidak bergantung
pada adanya negara, melainkan masyarakat pun dapat memberlakukan hukum agama. Misalnya, kita bersholat Jum’at juga tidak sebab undang-undang negara, melainkan sebab itu diperintahkan oleh syari’at Islam. Sebuah masyarakat yang secara moral
berpegang kepada Islam dan dengan sendirinya melaksanakan
syari’at Islam, tidak lagi memerlukan kehadiran sebuah negara
agama, seperti yang dibuktikan para sahabat di Madinah setelah
Nabi Muhammad Saw wafat. Inilah yang membuat mengapa NU tidak memperjuangkan negara kita menjadi NII, Negara Islam negara kita . Kemajemukan (heterogenitas) yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita,
membuat kita hanya dapat bersatu dan kemudian mendirikan
negara, yang tidak berdasarkan agama tertentu. Kenyataan inilah yang sering dikacaukan oleh orang yang tidak mau mengerti
bahwa mendirikan sebuah NI tidak wajib bagi kaum muslimin,
tapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada ajaran-ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib. Artinya, haruskah agama
secara formal ditubuhkan dalam bentuk negara, atau cukup dilahirkan dalam bentuk masyarakat saja? Orang “berakal sehat”
tentu akan berpendapat sebaiknya kita mendirikan NI, kalau hal
itu tidak memperoleh tentangan, dan tidak melanggar prinsip
persamaan hak bagi semua warga negara untuk mengatur kehidupan mereka.
Telah disebutkan di atas tentang fatwa Ibn Taimiyyah, tentang kebolehan Imam berbilang yang berarti tidak adanya keharusan mendirikan NI. Lalu mengapakah fatwa-fatwa beliau tidak digunakan sebagai rujukan oleh Muktamar NU itu? sebab ,
pandangan beliau dirujuk oleh wangsa yang berkuasa di Saudi
Arabia bersama-sama dengan ajaran-ajaran Madzhab Hambali
(disebutkan juga dalam bahasa Inggris Hambalite School), yang
secara de facto melarang orang bermadzhab lain. Kenyataan
ini tentu saja membuat orang-orang NU bersikap reaktif terhadap madzhab ini . Tentu saja hal itu secara resmi tidak
dilakukan, sebab sikap Saudi Arabia terhadap madzhab-madzhab non-Hambali juga tidak bersifat formal. Dengan kata lain,
pertentangan pendapat antara “pandangan kaum Wahabi” yang
secara de facto demikian keras terhadap madzhab-madzhab lain
itu, melahirkan reaksi yang tidak kalah kerasnya. Ini adalah contoh dari sikap keras yang memicu sikap yang sama dari “pihak seberang”.
Contoh dari sikap saling menolak, dan saling tak mau mengalah itu membuat gagasan membentuk NI di negara kita (menjadi NII), sebagai sebuah utopia yang terdengar sangat indah,
namun sangat meragukan dalam kenyataan. Ini belum kalau pihak non-muslim ataupun pihak kaum muslimin nominal (kaum
abangan), berkeberatan atas gagasan mewujudkan negara Islam itu. Jadi gagasan yang semula tampak indah itu, pada akhirnya
akan dinafikan sendiri oleh bermacam-macam sikap para warga
negara negara kita , yang hanya sepakat dalam mendirikan negara
bukan agama. Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan
sejarah. Kalaupun toh dipaksakan –sekali lagi- untuk mewujudkan gagasan NI itu di negara kita, maka yang akan terjadi hanyalah serangkaian pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi
di negara kita tahun-tahun 50-an. Apakah deretan pemberontakan bersenjata seperti itu, yang ingin kita saksikan kembali dalam
sejarah modern bangsa kita.
Ketika berada di Makassar pada minggu ke tiga bulan Februari 2003, penulis di wawancarai oleh TVRI di studio
televisi kawasan ini , yang direlay oleh studio-studio TVRI seluruh negara kita Timur. Penulis memulai wawancara
itu dengan menyatakan, menyadari sepenuhnya bahwa masih
cukup kuat sekelompok orang yang menginginkan negara Islam
(NI). Pengaruh almarhum Kahar Mudzakar1
yang dinyatakan
meninggal dalam paruh kedua tahun 60-an ternyata masih besar. sebab nya, penulis menyatakan dalam wawancara tersebut,
pembicaraan sebaiknya ditekankan pada pembahasan tentang
pembentukan NI di Sulawesi Selatan itu. Penulis menyatakan,
bahwa ia menganggap tidak ada kewajiban mendirikan NI, tapi
ia juga tidak memusuhi orang-orang yang berpikiran seperti itu.
Dalam dialog interaktif yang terjadi setelah itu, penulis dihujani pertanyaan demi pertanyaan tentang hal itu. Bahkan ada
yang menyatakan, penulis adalah diktator sebab tidak menyetujui pemikiran adanya NI. Penulis menjawab, bahwa saya menganggap boleh saja menganut paham itu, dan berbicara terbuka
di muka umum tentang gagasan ini , itu sudah berarti saya
bukan diktator. Salah satu tanda kediktaktoran adalah tidak adanya dialog dan orang menerima saja sebuah gagasan dan tidak
boleh membicarakannya secara kritis dan terbuka. Dari dialog
interaktif itu dapat diketahui bahwa pengaruh luar pun harus
dipikirkan, seperti pengaruhnya bagi berbagai kawasan dunia
Islam lainnya dan juga kadar pengetahuan agama Islam yang
rendah.
Rendahnya pengetahuan agama yang dimiliki itu, digabungkan dengan rasa kekhawatiran sangat besar lembaga/institusi ke-Islam-an melihat tantangan modernisasi, membuat
mereka melihat bahaya di mana-mana terhadap Islam. Proses
pemahaman keadaan seperti itu, yang terlalu menekankan pada
aspek kelembagaan/institusional Islam belaka, dapat dinamakan sebagai proses pendangkalan agama kalangan kaum muslimin. Pihak-pihak lain yang non-muslim juga mengalami pendangkalan seperti itu, dan juga memberikan responsi yang salah
terhadap tantangan keadaan. Kalau kita melihat pada budaya/
kultur kaum muslimin dimana-mana, sebenarnya kekhawatiran
demikian besar seperti itu tidak seharusnya ada di kalangan
mereka. Cara hidup, membaca al-Qurân dan Hadist, main rebana, tahlil, berbagai bentuk “seni Islam” dan lain-lainnya, justru
mampu menumbuhkan rasa percaya diri yang besar, dalam diri
kaum muslimin.
Salah seorang penanya dalam dialog interaktif itu mengutip al-Qurân “Barang siapa tidak (ber) pendapat hukum dengan
apa yang di turunkan Allah, mereka adalah orang yang kafir
(wa man lam yahkum bimâ anzala Allâh fa’ulâika hum al-kâ-
firûn)” (QS al-Maidah [5]:44). Lalu bagaimana mungkin kita
menjalankan hukum Allah, tanpa NI? Jawab penulis, sebab ada
masyarakat yang menerapkan hal itu, dan, atau mendidik kita
agar melaksanakan hukum Allah. Jika negara yang melakukan
itu, maka dapat saja lembaga bikinan manusia ini ditinggalkan.
Jadi, untuk memelihara pluralitas bangsa, tidak ada kewajiban
mendirikan NI atau menentang mereka yang menentang adanya
gagasan mendirikan NI. Netralitas seperti inilah yang sebenarnya jadi pandangan Islam dalam soal wajib tidaknya gagasan
mendirikan NI.
Netralitas ini sangat penting untuk dijunjung tinggi, karena hanya dengan demikian sebuah Negara Kesatuan Republik
negara kita dapat didirikan. Dengan berdirinya NII, maka pihak
minoritas -baik minoritas agama maupun minoritas lain-lainnya-, tidak mau berada dalam negara ini dan menjadi bagian dari
negara ini . Dengan demikian, yang dinamakan Republik
negara kita tidak dapat diwujudkan, sebab ketidaksediaan tersebut. Akhirnya, negara kita akan tidak terwujud sebagai kesatuan,
sebab ada negara Aceh, negara bagian Timur dan Selatan dari
Sumatra Utara, negara Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, Lampung, Seluruh pulau Jawa, NTB, Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan sebagian Maluku dan lainlainnya, berada di luar susunan kenegaraan NKRI, sebab berdasarkan agama mayoritas penduduknya itu.
sebab nya, keputusan para wakil berbagai organisasi Islam
dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan negara kita (PPKI) untuk
menghilangkan Piagam Jakarta2
dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah sebuah
sikap yang sangat bijaksana dan harus di pertahankan. Keputusan itu diikuti oleh antara lain: Resolusi Jihad
, yang dikeluarkan PBNU pada tanggal 22 Oktober 1945, adalah sesuatu yang
sangat mendasar, dengan menyatakan bahwa mempertahankan
wilayah Republik negara kita adalah kewajiban agama bagi kaum
muslimin. Dengan rangkaian kegiatan seperti itu, termasuk
mendirikan Markas Besar Oelama Djawa–Timoer (MBODT) di
Surabaya dalam bulan Nopember 1945, adalah salah satu dari
kegiatan bermacam-macam untuk mempertahankan Republik negara kita , yang notabene bukanlah sebuah NI. Diteruskan
dengan perang gerilya melawan tentara pendudukan Belanda
di tahun-tahun berikutnya. Dengan peran aktif para ulama dan
pesantren-pesantren yang mereka pimpin, selamatlah negara
kita dari berbagai rongrongan dalam dan luar negeri, hingga tercapainya penyerahan kedaulatan dalam tahun 1949 - 1950.
Perkembangan sejarah setelah itu menunjukkan bahwa
agama Islam tidak berkurang perannya dalam kehidupan bangsa, walaupun beberapa kali usaha merubah Negara Kesatuan Republik negara kita (NKRI) berhasil digagalkan, seperti dalam Dewan Konstituante di tahun 1956-1959. Demikian juga beberapa
kali pemberontakan bersenjata terhadap NKRI dapat digagalkan
seperti DI-TII dan APRA (Bandung 1950). Ini tidak berarti Islam
dibatasi ruang geraknya dalam negara, seperti terbukti dari kiprah yang dilakukan oleh Al-Azhar di Kairo.
Siapapun tidak dapat menyangkal bangsa negara kita adalah
memiliki jumlah terbesar kaum muslimin. Ini berbeda dari bangsa-bangsa lain, negara kita justru memiliki jumlah yang sangat
besar kaum “muslimin statistik” atau lebih dikenal dengan sebutan “muslim abangan”. Walaupun demikian, kaum muslim yang
taat beragama dengan nama “kaum santri” masih merupakan
minoritas. sebab itu, alangkah tidak bijaksananya sikap ingin
memaksakan NI atas diri mereka.
Lalu, bagaimana dengan ayat kitab suci al-Qurân yang di
sebutkan di atas? Jawabnya, kalau tidak ada NI untuk menegakkan hukum agama maka masyarakatlah yang berkewajiban. Dalam hal ini, berlaku juga sebuah kenyataan sejarah yang telah
berjalan 1000 tahun lamanya yaitu penafsiran ulang (re-interprensi) atas hukum agama yang ada. Dahulu kita berkeberatan
terhadap celana dan dasi, sebab itu adalah pakaian orang-orang
non-muslim. Sebuah diktum mengemukakan, “Barang siapa menyerupai sesuatu kaum ia adalah sebagian dari mereka (man tasyâbbaha bi qaumin fahuwa min hum).”4
Tetapi sekarang, tidak
ada lagi persoalan tentang hal itu sebab esensi Islam tidak terletak pada pakaian yang dikenakan melainkan pada akhlak yang
dilaksanakan.
sebab itu, kita lalu mengerti mengapa para wakil berbagai
gerakan Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan negara kita PPKI) memutuskan untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari
UUD 1945. Mereka inilah yang berpandangan jauh, dapat melihat bersungguhnya kaum muslim menegakkan ajaran-ajaran
agama mereka tanpa bersandar kepada negara. Dengan demikian, mereka menghidupi baik agama maupun negara. Sikap inilah
yang secara gigih dipertahankan Nahdlatul Ulama (NU), sehingga agama Islam terus berkembang dan hidup di negeri kita.
Pada suatu pagi selepas olahraga jalan-jalan, penulis diminta oleh sejumlah orang untuk memberikan apa yang
mereka namakan “petuah”. Saat itu, ada Kyai Aminullah
Muchtar dari Bekasi, sejumlah aktifis NU dan PKB dan sekelompok pengikut aliran kepercayaan dari Samosir. Dalam kesempatan itu, penulis mengemukakan pentingnya memahami arti
yang benar tentang Islam. sebab ditafsirkan secara tidak benar,
maka Islam tampil sebagai ajakan untuk memakai kekerasan/terorisme dan tidak memperhatikan suara-suara moderat.
Padahal, justru Islam-lah pembawa pesan-pesan persaudaraan
abadi antara umat manusia, bila ditafsirkan secara benar.
Pada kesempatan itu, penulis mengajak terlebih dahulu
memahami fungsi Islam bagi kehidupan manusia. Kata al-Qurân,
Nabi Muhammad Saw diutus tidak lain untuk membawakan
amanat persaudaraan dalam kehidupan (wa mâ arsalnâka illâ
rahmatan lil ‘âlamîn) (QS al-Anbiya [21]:107), dengan kata “rahmah” diambilkan dari pengertian “rahim” ibu, dengan demikian
manusia semuanya bersaudara. Kata “’alamîn” di sini berarti
manusia, bukannya berarti semua makhluk yang ada. Jadi tugas
kenabian yang utama adalah membawakan persaudaraan yang
diperlukan guna memelihara keutuhan manusia dan jauhnya tindak kekerasan dari kehidupan. Bahkan dikemukakan penulis,
kaum muslimin diperkenankan memakai kekerasan hanya
kalau aqidah mereka terancam, atau mereka diusir dari tempat
tinggalnya (idzâ ukhriju min diyârihim).
Kemudian, penulis menyebutkan disertasi doktor dari
Charles Torrey yang diajukan kepada Universitas Heidelberg
di Jerman tahun 1880. Dalam disertasi itu, Torrey mengemu
kakan bahwa kitab suci al-Qurân memakai istilah-istilah
paling duniawi, seperti kata “rugi”, “untung” dan “panen”, untuk
menyatakan hal-hal yang paling dalam dari keyakinan manusia.
Umpamanya saja, ungkapan “ia di akhirat menjadi orang-orang
yang merugi (perniagaannya) (wa huwa fi al-âkhirati min alkhâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Begitu juga ayat lain, “menghutangi Allah dengan hutang yang baik (yuqridhullâha qardhan hasanan)” (QS al-Baqarah [2]:245), serta ayat “barang siapa
menginginkan panen di akhirat, akan Ku-tambahi panenannya
(man kâna yurîdu hartsa al-âkhirati nazid lahû fi hartsihi)” (QS
al-Syûra [42]:20).
eg
Dalam uraian selanjutnya, penulis mengemukakan pengertian negara dari kata “daulah”, yang tidak dikenal oleh al-Qur’an.
Dalam hal ini, kata ini mempunyai arti lain, yaitu “berputar”
atau “beredar”, yaitu dalam ayat “agar harta yang terkumpul itu
tidak berputar/beredar antara orang-orang kaya saja di lingkungan anda semua (kailâ yakûna dûlatan baina al-aghniyâ’i minkum)” (QS al-Hasyr (59):7). Ini menunjukkan yang dianggap
oleh al-Quran adalah sistem ekonomi dari sebuah negara, bukan
bentuk dari sebuah negara itu sendiri. Jadi, pembuktian tekstual
ini menunjukkan Islam tidak memandang penting bentuk negara. Atau, dengan kata lain, Islam tidak mementingkan konsep
negara itu sendiri.
Dapat disimpulkan dari uraian di atas, Islam lebih mengutamakan fungsi negara dari pada bentuknya. Dalam hal ini, bentuk kepemimpinan dalam sejarah Islam senantiasa mengalami
perubahan. Bermula dari sistem prasetia (bai’at) dari suku-suku
kepada Sayyidina Abu Bakar, melalui pergantian pemimpin dengan penunjukkan dari beliau kepada Sayyidina Umar, diteruskan dengan sistem para pemilih (ahl al-halli wa al-aqdi) baik
langsung maupun tidak, diteruskan dengan sistem kerajaan atau
keturunan di satu sisi dan kepala negara atau kepala pemerintahan dipilih oleh lembaga perwakilan, serta memimpin melalui
coup d’etat di sementara negara, semuanya menunjukkan tiadanya konsep pergantian pemimpin negara secara jelas dalam pandangan Islam.
Demikian juga, Islam tidak menentukan besarnya negara yang akan dibentuk. Di zaman Nabi Saw, negara meliputi satu
wilayah kecil saja –yaitu kota Madinah dan sekitarnya, diteruskan dengan imperium dunia di masa para khalifah dan kemudian Dinasti Umaiyyah dan Abbasyiah. Setelah itu, berdirilah
kerajaan-kerajaan lokal dari Dinasti Murabbitîn1
di barat Afrika
hingga Mataram di Pulau Jawa. Kini, kita kenal dua model; model negara-bangsa (nation state) dan negara kota (city state).
Keadaan menjadi lebih sulit, sebab negara kota menyebut dirinya negara-bangsa, seperti Kuwait dan Qatar.
eg
Dengan tidak jelasnya konsep Islam tentang pergantian
pemimpin negara dan bentuk negara seperti diterangkan di atas,
boleh dikatakan bahwa Islam tidak mengenal konsep negara.
Dalam hal ini, yang dipentingkan adalah masyarakat (mujtama’
atau society), dan ini diperkuat oleh penggunaan kata umat
(ummah) dalam pengertian ini. Sidney Jones2
mengupas perubahan arti kata "umat Islam" dalam berbagai masa di negara kita ,
yang diterbitkan di jurnal negara kita Universitas Cornell di Ithaca, New York, beberapa tahun lalu. Semuanya menunjuk pada
pengertian masyarakat itu, baik seluruh bangsa maupun hanya
para pengikut gerakan-gerakan Islam di sini belaka.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan adanya pandangan tentang negara dalam Islam, harus diartikan ada pandangan agama ini tentang masyarakat. Ini semua, akan
membawa konsekuensi tiadanya hubungan antara Islam sebagai
ideologi politik dan negara. Dengan kata lain, Islam mengenal
ideologi sebagai pegangan hidup masyarakat, minimal berlaku
untuk para warga gerakan-gerakan Islam saja. Jadi negara dapat
saja didirikan tanpa ideologi Islam, untuk menyantuni hak-hak
semua warga negara di hadapan Undang-Undang Dasar (UUD),
baik mereka muslim maupun non-muslim.
Tanpa menyadari hal ini, kita secara emosional akan mengajukan tuntutan akan adanya sebuah ideologi Islam dalam kehidupan bernegara. Ini berarti, warga negara non-muslim akan
menjadi warga negara kelas dua, baik secara hukum maupun
dalam kenyatan praktis. Padahal Republik negara kita tanpa menggunakan ideologi agama secara konstitusional dalam hidupnya,
berhasil menghilangkan kesenjangan itu. Dengan demikian, terjadilah proses alami kaum muslimin memperjuangkan 'ideologi
masyarakat' yang mereka ingini melalui penegakkan etika Islam,
bukannya ideologi Islam. Bukankah ini lebih rasional? h
J
udul diatas diilhami oleh jargon populer: “Sebaik-baik persoalan adalah yang berada di tengah (khairu al-umûr aus-
âthuha).” Ia juga bisa mencerminkan pandangan agama
Buddha tentang “jalan tengah” yang dicari dan diwujudkan oleh
penganut agama ini . Walaupun demikian, judul itu dimaksudkan untuk mengupas sebuah buku karya tokoh Syi’ah terkemuka Dr. Musa al-Asy’ari, “Menggagas Revolusi Kebudayaan
Tanpa Kekerasan” –dalam sebuah diskusi di kampus Universitas
Darul Ulum Jombang, beberapa waktu lalu. Katakanlah sebagai
sebuah resensi, yang juga semacam analisa terhadap kecenderungan umum mengambil “jalan tengah” yang dimiliki bangsa
kita, dan mempengaruhi kehidupan di negeri ini.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, sikap mencari jalan
tengah ini, akhirnya berujung pada sikap mencari jalan sendiri
di tengah tawaran penyelesaian berbagai persoalan yang masuk
ke kawasan ini. Namun, sebelum menyimpulkan hal itu, terlebih
dahulu penulis ingin melihat buku itu dari kacamata sejarah jalan hidup banyak peradaban dunia. Kalau kita tidak pahami masalah ini dari sudut ini, kita akan mudah menggangap “jalan tengah” sebagai sesuatu yang khas dari bangsa kita, padahal
dalam kenyataannya tidaklah demikian.
Bahwa bangsa kita cenderung untuk mencari sesuatu yang
“independen” dari bangsa-bangsa lain, merupakan sebuah kenyataan yang tidak terbantahkan. Mr. Muhammad Yamin, umpamanya menggangap kerajaan Majapahit memiliki angkatan laut
yang kuat dan menguasai kawasan antara Pulau Madagaskar di
lautan Hindia/Samudra negara kita di Barat dan Pulau Tahiti di
tengah-tengah Lautan Pasifik, dengan benderanya yang terkenal
Merah Putih. Padahal, angkatan laut kerajaan Majapahit hanyalah fatsal (pengikut) belaka dari Angkatan Laut Tiongkok yang
menguasai kawasan perairan ini selama berabad-abad.
Kita tentu tidak senang dengan klaim sejarah ini sebab
mengartikan kita lemah di hadapan Tiongkok. Tetapi kenyataan
sejarah berbunyi lain, Australia, misalnya, yang menjadi dominion Inggris, secara hukum dan tata negara, memiliki indenpendensi sendiri terlepas dari negara induk.
eg
Penulis melihat, bahwa sejarah dunia penuh dengan penyimpangan-penyimpangan. seperti itu Umpamanya saja, seperti ditunjukkan oleh Oswald Spengler dalam “Die Untergang
des Abendlandes” (The Decline of The West). Dalam buku itu
digambarkan, ternyata kejayaan peradaban Barat dalam abad
ke 20 ini mulai mengalami keruntuhan (Untergang). Filosof
Spanyol kenamaan, Ortega Y Gasset, juga menunjuk kepada tantangan dari massa rakyat kebanyakan dalam peradaban modern
ini terhadap karya-karya dan produk kaum elit, seperti tertuang
dalam bukunya yang sangat terkenal “Rebellion of the Masses”
(Pemberontakan Rakyat Kebanyakan).
Kemudian itu semua, disederhanakan oleh Arnold Jacob
Toynbee dalam karya momentumnya yang terdiri dari 2 jilid, A
Study of History. Toynbee mengemukakan sebuah mekanisme
sejarah dalam peradaban manusia, yaitu tantangan (challenges)
dan jawaban (responses). Kalau tantangan terlalu berat, seperti
tantangan alam di kawasan Kutub Utara, seperti yang dialami
bangsa Eskimo, maka manusia tidak dapat memberikan jawaban
memadai, jadi hanya mampu bertahan hidup saja. Sebaliknya,
kalau tantangan dapat diatasi dengan kreatifitas, seperti tantangan banjir sungai yang merusak untuk beberapa bulan dan kemudian membawa kemakmuran melalui kesuburan tanah untuk
masa selanjutnya, maka akan melahirkan peradaban tepi sungai
yang sangat besar, seperti di tepian Nil, Tigris, Euphrat, Gangga,
Huang Ho, Yang Tse Kiang, Musi dan Brantas. Lahirnya pusatpusat peradaban dunia di tepian sungai-sungai itu, merupakan
bukti kesejahteraan yang tidak terbantah.
Jan Romein, seorang sejarawan Belanda, penulis buku
Aera Eropa ia menggambarkan adanya PKU I (Pola Kemanusiaan Umum pertama, Eerste Algemeene Menselijk Patron). PKU I
itu, menurut karya Romein ini memperlihatkan diri dalam
tradisionalisme yang dianut oleh peradaban dunia dan kerajaankerajaan besar waktu itu, berupa masyarakat agraris, birokrasi
kuat di bawah kekuasaan raja, yang moralitasnya sama di manamana. Pada abad ke-6 sebelum masehi, terjadi krisis moral besar-besaran yang disusul dengan munculnya nama-nama Lao Tze
dan Konghucu di China, Budha Gautama di India, Zarathustra di
Persia dan Akhnaton di Mesir. Para moralis hebat ini mengembalikan dunia kepada tradisionalismenya, dengan memperkuat
“keseimbangan”. Sebaliknya, para filosof Yunani Kuno, membuat penyimpangan pertama terhadap PKU I itu, dengan mengemukakan rasionalitas sebagai ukuran perbuatan manusia yang
terbaik. Penyimpangan-penyimpangan PKU I ini diikuti oleh penyimpangan-penyimpangan lain oleh Eropa seperti kedaulatan
hukum Romawi (Lex Romanum) pengorganisasian kinerja, Renaissance (Abad Kebangkitan), Abad Pencerahan (Aufklarung),
Abad Industri dan Abad Ideologi. Dengan adanya penyimpangan
itu, Eropa memaksa dunia untuk menemukan PKU II (Tweede
Algemeene Menselijk Patron), yang belum kita kenal bentuk finalnya.
eg
Nah, kita menolak teokrasi (negara agama) dan sekularisme, dengan mengajukan alternatif ketiga berupa Pancasila.
Kompromi politik yang dikembangkan kemudian (dan sampai
sekarang belum juga berhasil) sebagai ideologi bangsa, menolak
dominasi agama maupun kekuasaan anti agama dalam kehidupan bernegara. sebab sekularisme dipandang sebagai penolakan
kepada agama -dan bukannya sebagai pemisahan agama dari
negara, maka kita merasakan perlunya mempercayai Pancasila
yang menggabungkan Sila Pertama (Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa), dan sila-sila lain yang oleh banyak penulis
dianggap sebagai penolakan atas agama.
Buku yang ditinjau penulis ini, sebenarnya adalah upaya
dari jenis yang berupaya menyatukan “kebenaran agama” dan ilmu pengetahuan sekuler (dirumuskan sebagai kemerdekaan berpikir oleh pengarangnya). Jelas yang dituju adalah sebuah sintesa baru yang terbaik bagi kita, dari dua hal yang saling bertentangan. Apakah ini merupakan sesuatu yang berharga, ataukah
hanya berujung kepada sebuah masyarakat (dan negara) “yang
bukan-bukan”? h
Tulisan-tulisan yang menyatakan Islam melindungi Hak
Asasi Manusia (HAM), seringkali menyebut Islam sebagai
agama yang paling demokratis. Pernyataan itu, seringkali
tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Justru di negeri-negeri muslim-lah terjadi banyak pelanggaran yang berat atas HAM,
termasuk di negara kita . Kalau kita tidak mau mengakui hal ini,
berarti kita melihat Islam sebagai acuan ideal namun sama sekali
tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keadaan demikian, klaim
Islam sebagai agama pelindung HAM hanya akan terasa kosong
saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek kehidupan.
Di sisi lain, kita melihat para penulis seperti Al-Maududi,
seorang pemimpin muslim yang lahir di India dan kemudian
pindah ke Pakistan di abad yang lalu, justru tidak mempedulikan
hubungan antara Islam dan HAM. Bahkan, baginya hubungan
antara Islam dan Nasionalisme justru tidak ada. Nasionalisme
adalah ideologi buatan manusia, sedangkan Islam adalah buatan
Allah Swt. Bagaimana mungkin mempersamakan sesuatu buatan
Allah Swt dengan sesuatu buatan manusia? Lantas, bagaimanakah harus diterangkan adanya hubungan antara perkembangan
Islam dalam kehidupan yang dipenuhi oleh tindakan-tindakan
manusia? Al-Maududi tidak mau menjawab pertanyaan ini, sebuah sikap yang pada akhirnya menghilangkan arti acuan yang
digunakannya.
Bukankah Liga Muslim (Muslim League) yang didukungnya adalah buatan Ali Jinnah dan Liaquat Ali Khan, yang kemudian melahirkan Pakistan, tiga kali berganti nama antara Republik Pakistan dan Republik Islam Pakistan? Bukankah ini berarti
campur tangan manusia yang sangat besar dalam pertumbuhan
negeri muslim itu? Dan, bagaimanakah harus dibaca tindakan Jenderal Pervez Musharraf yang pada bulan lalu telah memenangkan kepresidenan Pakistan melalui plebisit, bukannya
melalui pemilu? Dan bagaimana dengan tuduhan-tuduhannya,
bahwa para pemuka partai politik, termasuk Liga Muslim, sebagai orang-orang yang korup dan hanya mementingkan diri
sendiri?
eg
Banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifikasi atas Deklarasi Universal HAM, yang dikumandangkan oleh
Perseri