Tampilkan postingan dengan label islam ku 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam ku 1. Tampilkan semua postingan

islam ku 1

 



Ada pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawaban￾nya; apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? 

Sampai seberapa jauhkah hal ini dirasakan oleh kalangan 

pemikir Islam sendiri? Dan, apakah konsekuensi dari konsep ini 

jika memang ada? Rangkaian pertanyaan di atas perlu diajukan 

di sini, sebab  dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diaju￾kan pemikiran tentang Negara Islam, yang berimplikasi pada 

orang yang tidak memakai  pemikiran itu dinilai telah me￾ninggalkan Islam.

Jawaban-jawaban atas rangkaian pertanyaan itu dapat di￾sederhanakan dalam pandangan penulis dengan kata-kata: tidak 

ada. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) 

tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Mengapakah 

pe­nulis beranggapan demikian? sebab  sepanjang hidupnya, 

pe­nulis telah mencari dengan sia-sia makhluk yang dinamakan 

Ne­gara Islam itu. Sampai hari inipun ia belum mene­mukannya, 

jadi tidak salahlah jika disimpulkan memang Islam tidak memi￾liki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.

Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat yang ba￾ku dalam dunia Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak me￾nge­nal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pe￾mimpin. Rasulullah Saw digantikan Sayyidina Abu Bakar –tiga 

hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum 

muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagai￾mana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah 

tiga hari, semua bersepakat bahwa Sayyidina Abu Bakar-lah 

yang menggantikan Rasulullah Saw melalui bai’at/prasetia. Janji itu disampaikan oleh para kepala suku/wakil-wakil mereka, dan 

de­ngan demikian terhindarlah kaum muslimin dari malapetaka. 

Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan ke￾pa­da komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar Bin Khattab 

yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh 

cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Ini 

tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden oleh 

seorang Presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.

Ketika Umar1

 ditikam Abu Lu’luah2

 dan berada di akhir 

masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pe￾milih (electoral college -ahl halli wa al-aqdli), yang terdiri dari 

tu­juh orang, termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh di￾pilih men­jadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka un￾tuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala negara/kepala 

pe­merintahan.3

 Untuk selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan tengah mempersiapkan 

anak cucunya untuk mengisi jabatan di atas, sebagai penganti 

Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian, sistem kerajaan 

dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon raja/sultan 

dalam Islam sampai dengan khilafah Usmaniyyah/ottoman em￾pire yang oleh para “Islam politik” dianggap sebagai prototype 

pemerintahan harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah “for￾mula Islami”.

eg

Demikian pula, besarnya negara yang dikonsepkan menu￾rut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madi￾nah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi 

kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah im￾perium dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. 

Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam 

berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), 

juga tidak jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah ne­gara￾kota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.

Dalam hal ini, Islam menjadi seperti komunisme: manakah 

yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah negara-bangsa yang 

berideologi satu sebagai negara induk, ataukah menunggu sam￾pai seluruh dunia di-Islam-kan, baru dipikirkan bentuk nega­ra 

dan ideologinya? Menyikapi analogi negara Komunis, mana­kah 

yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin4

 ataukah Leon 

Trotsky?5

 Sudah tentu perdebatan ini jangan seperti yang dilaku￾kan Stalin hingga membunuh Trotsky di Meksiko.

Hal ini menjadi sangat penting, sebab  mengemukan ga￾gasan Negara Islam tanpa ada kejelasan konseptualnya, berarti 

membiarkan gagasan ini  tercabik-tercabik sebab  perbe￾daan pandangan para pemimpin Islam sendiri. Misalnya keme­lut di Iran, antara para “pemimpin moderat” seperti Presiden 

Khatami dengan para Mullah konservatif seperti Khamenei, saat 

ini. Satu-satunya hal yang mereka sepakati bersama adalah nama 

“Islam” itu sendiri. Mungkin, mereka juga berselisih paham ten￾tang “jenis” Islam yang akan diterapkan dalam negara ini , 

harus­kah Islam Syi’ah atau sesuatu yang lebih “universal”? Ka￾lau harus mengikuti paham Syi’ah itu, bukankah gagasan Negara 

Islam lalu menjadi milik kelompok minoritas belaka? Bukankah 

syi’isme hanya menjadi pandangan satu dari delapan orang mus￾lim di dunia saja? 

eg

Jelaslah dengan demikian, gagasan Negara Islam adalah 

sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas 

kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang 

pe­­mim­pin, yang terlalu memandang Islam dari sudut insti￾tusionalnya belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, 

dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak ga￾gas­an ini , adakah mereka masih layak disebut kaum mus￾limin atau bukan? Padahal yanga menolak justru adalah mayori￾tas penganut agama ini ?

Kalau diteruskan dengan sebuah pertanyaan lain, akan 

menjadi berantakanlah gagasan ini : dengan cara apa dia 

akan diwujudkan? Dengan cara teror atau dengan “menghukum” 

kaum non-muslim? Bagaimana halnya dengan para pemikir mus￾limin yang mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani 

penulis? Layakkah penulis disebut kaum teroris, padahal ia sa￾ngat me­nen­tang penggunaan kekerasan untuk mencapai sebuah 

tuju­an. Lalu, mengapakah penulis juga harus bertanggungjawab 

atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi teroris itu? hPenulis menerima sebuah permintaan dari teman-teman 

MILF (Moro Islamic Liberation Front)1

, untuk menghen￾tikan penyerbuan tentara Philipina atas kamp-kamp mere￾ka di Philipina Selatan. Padahal, mereka sudah menandatangani 

Per­jan­jian Tripoli (Lybia) pada 2001, yang berisikan ketentuan 

memperjuangkan otonomi daerah itu bagi kaum muslimin, mela￾lui negosiasi dan perundingan. Ini berarti mereka telah mening￾galkan perjuangan bersenjata, guna memungkinkan perundingan 

damai. Namun, MNLF (Moro National Liberation Front),2

 yang 

di­pim­pin oleh Nur Misuari, menurut tentara Philipina kembali 

pada perjuangan bersenjata dengan cara bergerilya, untuk mem￾perjuangkan sebuah Negara Islam (NI).

Ternyata, kemudian Nur Misuari dikejar-kejar, dan dengan 

memakai  perahu memasuki kawasan Malaysia di Sarawak. 

Di tempat itu ia ditangkap oleh pihak keamanan Malaysia, lalu 

diterbangkan ke Kuala Lumpur, dan selanjutnya diekstradisikan 

ke Manila. Kini ia meringkuk di tahanan, dan menjalani proses 

pengadilan Philipina. Sekarang, pihak MILF meminta perto­long￾an penulis agar tentara Philipina tidak menyerbu kamp-kamp

MILF yang dianggap juga akan memberontak, seperti halnya 

MNLF. Penulis menjawab, ti­dak dapat melakukan hal itu, sebab  

tidak akan didengar oleh ten­tara Philipina; sedangkan Presiden 

Gloria Macapagal Arroyo saja tidak didengar oleh tentara Phili￾pina. Apalagi orang luar yang melakukan hal itu.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tentara Phili￾pina, atau oknum-oknum dalam kepemimpinan formalnya, cen￾derung untuk melanggar kebijakan pemerintah untuk berunding. 

Hal ini patut disayangkan, tetapi demikianlah kenyataan yang 

ada dan sikap seperti itu juga dijalankan oleh oknum-oknum mi￾literistik dalam lingkungan tentara Thailand dan negara kita . Di 

Thailand, mereka cenderung mencurigai orang-orang Islam di 

selatan, ti­mur dan utara negeri itu. Diabaikan kenyataan, bahwa 

komunitas kaum muslimin kini sudah men­ca­pai antara 20-25% 

dari total pen­duduk negeri itu. Demikian juga negara kita , ada 

sikap meno­lak berunding dengan pihak GAM dan pihak Hasan 

Tiro untuk merumuskan batasan-batasan otonomi khusus di 

Aceh, dengan menembak mati orang-orang GAM yang diang￾gap sebagai pe­nga­­cau keamanan yang harus ditumpas dengan 

kekerasan ber­senjata oleh aparat keamanan.

Akibat kekerasan di kawan-kawasan itu, unsur-unsur yang 

tadinya menolak separatisme, mau tak mau akhirnya menjadi 

kaum separatis. Sedangkan pihak moderat (kaum yang tidak 

keras), akhirnya dikalahkan oleh ke­lom­pok-kelompok garis keras 

(kaum ekstrimis atau fundamen­talis kalangan kaum mudanya). 

Kaum mode­rat itu digambarkan oleh saingan-saingan mereka 

sebagai yang berhati lemah dan tunduk pada pemerintah. Selan￾jutnya keadaan akan dikuasai oleh mereka yang berhaluan keras, 

hingga memicu  kesan seolah-olah seluruh kaum muslimin 

di ka­was­an-kawasan itu benar-benar telah menjadi kaum sepa￾ratis secara keseluruhan.

Dengan demikian, terjadi eskalasi antara perlawanan mere￾ka dan pembalasan bersenjata oleh aparat peme­rin­tah, yang 

be­lum tentu dapat menyele­saikan masa­lah. Di Aceh, misalnya, 

proyek DOM (Daerah Operasi Mi­liter) berjalan bertahun-ta￾hun tanpa ada penyelesaian, dan akhirnya dunia internasional 

menyalahkan negara kita sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia 

(HAM). Kalau Belanda saja tidak dapat menyelesaikan penye￾lenggaraan pemerintahan penduduk­an/kolonial selama lebih da￾ri 350 tahun, apakah kita juga akan bermusuhan dengan rakyat

sendiri di kawasan Aceh untuk masa yang sama?

sebab nya, jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah 

per­tentangan pemerintah dan kaum beragama di Philipina, Thai￾land dan Aceh, sebaiknya dilakukan secara berunding, agar tidak 

men­jadi semakin berlarut-larut. Perun­ding­an seperti itu meng￾haruskan adanya kesediaan ok­num-oknum militer untuk men￾dengarkan dan menghormati pendapat pemerintah, dan bukan 

sebaliknya.

eg

Dengan demikian, penyelesaian yang diharapkan bukanlah 

penyelesaian militer, melainkan penyelesaian politis. Kenyataan 

yang demikian sederhana, memang tampak seperti mengalah 

kepada mereka yang berha­lu­an keras (kaum ekstrimis atau fun￾damentalis). Namun, yang kita utamakan bukanlah mereka, tapi 

rakyat banyak yang meng­ingin­kan otonomi khusus melalui pe￾rundingan da­mai. Dalam kenyataannya, tidak sedemikian benar 

yang terjadi, sebab  toh pada akhirnya kaum ekstrimis itu akan 

diserap oleh masyarakat yang memang berjiwa moderat. Hal ini￾lah yang mendorong Bung Karno menyelesaikan masalah Tengku 

Daud Beureueh3

 di Aceh, yang dikenal sebagai pemimpin pem￾berontakan Darul Islam di tahun-tahun 50-an dengan penyele￾saian secara politis. Demikian pula, diselesaikannya pemberon￾takan PRRI Permesta secara politis setelah penyerbuan oleh TNI 

ke kawasan Sumatera Barat dan Tomohon di Sulawesi Utara.

Kalau penyelesaian politis ini tidak dilakukan, maka rak￾yat kebanyakan akan dimanipulir oleh kaum muda yang ber￾garis keras. Mereka tinggal menunjuk kepada kenyataan adanya 

represi dan penembakan oleh tentara atas penduduk yang tidak 

bersalah, yang nantinya akan membuat perlawanan rakyat men￾jadi semakin nyata. Kalau ini terjadi, oknum-oknum mi­liter itu 

akan menyerahkan persoalan kepada pemerintah yang de­ngan 

susah payah harus mengulang kembali dari awal pe­rundingan 

dengan mereka yang menginginkan otonomi khusus bagi ka­wasan yang bersangkutan, dalam jumlah orang yang lebih se￾dikit dari semula.

sebab  itu, jelas bagi pihak militer yang ingin mengguna￾kan kekerasan di Philipina Selatan, Thailand Selatan maupun di 

Aceh, hendaknya segera menghentikan langkah-langkah mereka 

itu. Biarkan pemerintah mencari penyelesaian damai melalui 

perun­dingan dengan kaum moderat yang masih berjumlah be￾sar. Kalau terlambat, perundingan itu akan menjadi lebih su￾lit, dan hasilnya tidak dapat dipastikan. Demikian pula, dalam 

proses yang terjadi wibawa pemerintah masih akan tetap besar 

kalau penyelesaian dicapai melalui perundingan sekarang. Dan 

sebaliknya, wibawa itu tentu semakin berkurang, kalau eskalasi 

pertentangan bersenjata tetap berjalan. Benarkah para jenderal 

itu berpikir hanya untuk kepen­ting­an bangsa dan bukannya ke￾pentingan sendiri?Selama beberapa tahun terakhir ini, ada suara-suara untuk 

menjadikan Islam sebagai ideologi negara, yaitu sebagai 

pengganti Pancasila. Menurut pandangan penulis, hal itu 

terjadi akibat terjadi penyempitan pandangan mengenai Panca￾sila itu sendiri, yaitu pengertian Pancasila hanya menurut mere￾ka yang berkuasa. Ini berarti pemahaman Pancasila melalui satu 

jurusan belaka, yaitu jurusan melestarikan kekuasan. Pandangan 

lain yang menyatakan Pancasila harus dipahami lebih longgar, di￾la­rang sama sekali. Dengan demikian, sebenarnya yang terjadi 

bukanlah pertentangan mengenai Pancasila itu sendiri, melain￾kan soal pengertian Pancasila ini .

Menurut pandangan kekuasaan, penafsiran yang benar ten￾tang Pancasila adalah apa yang disepakati pemerintah, bukan­nya 

kritik terhadap pendekatan yang terasa monolit bagi rak­yat itu. 

sebab  dalam pandangan mereka penafsiran pemerintah hanya￾lah satu dari penafsiran yang ada. Untuk menetapkan mana 

yang benar, Mahkamah Agung (MA) harus mengemukakan pe￾naf­siran legal berdasarkan Undang-undang (UU) yang ada. Jadi, 

penafsiran yang tidak sejalan dengan pemerintah, belum tentu 

salah. Penafsiran legal-lah yang dijadikan ukuran, bukan penaf￾sir­an pemerintah.

Ketika yang dianggap benar hanyalah penafsiran kekuasa￾an dan MA takut membuat penafsiran legal yang mengikat, maka 

masyarakat tidak memiliki pilihan lain, kecuali mencarikan alter￾na­tif bagi Pancasila yang telah dikebiri itu. Muncullah Islam 

seba­gai alternatif penafsiran, bukannya alternatif ideologis. Na￾mun, sebab  kurangnya kecanggihan, maka Islam dikemuka­kan seba­gai alternatif ideologis bagi Pancasila, bukannya terbatas 

pada ma­salah penafsiran saja. Dalam bahasa teori hukum Islam 

(ushû­l fiqh), hal itu dinamai penyebutan yang mutlak umum, de￾ngan mak­sud yang mutlak khusus (yuthlaqu al-‘âm wa yurâdu 

bihi al-khâsh).1

Hal itu perlu dinyatakan di sini, sebab  akhir-akhir ini 

muncul anggapan, bahwa sesuatu yang berdasarkan Islam sa￾ngat ber­bahaya bagi negara kita. Ini antara lain dikemukakan 

Lee Kuan Yew, Menteri Senior Republik Si­nga­pura, yang me￾nyatakan bahwa dalam satu dua generasi lagi negara kita  akan di￾perintah oleh teroris yang memakai  Islam. Ini tentu dapat 

dibaca sebagai undangan bagi Amerika Serikat, untuk mendu￾duki negara kita  dan membagi-baginya ke dalam beberapa nega￾ra. Tentu saja, penulis boleh beranggapan bahwa hal itu dike­mu￾kakan sebab  Lee Kuan Yew takut dengan negara kita  yang kuat 

dan besar serta tidak dapat “disogok”. Itu akan sangat berba­haya 

bagi Singapura, sebab  itu negara kita  harus dibagi-bagi ke dalam 

beberapa republik.

Namun, asumsi di balik pernyataan “Islam akan tumbuh di 

negeri ini sebagai alternatif Pancasila,” adalah sesuatu yang ba￾nyak dipakai orang. sebab  itu, kita harus memahami Islam pa­da 

fungsi sebagai penafsir, dengan demi­kian ia tidak dapat menjadi 

ideologi negara yang plural dan majemuk ini. Dalam hal ini, Is￾lam memiliki fungsi yang sama dengan nasionalisme, sosialis­me 

dan pandangan-pandangan lain di dunia ini. Inilah yang meru￾pakan pembedaan antara Pancasila sebagai ideologi negara yang 

ber­wa­tak pluralistik, dari berbagai ideologi masyarakat yang ber￾kembang di negeri ini, seperti Islam, nasionalisme, sosialisme, 

dan lain-lain.

Jelaslah, dengan uraian di atas, bahwa penghadapan Is￾lam kepada Pancasila adalah sesuatu yang tidak dapat dibenar￾kan, ka­rena menghadapkan sesuatu yang bersifat umum kepada 

pandangan yang bersifat khusus. Kalau itu diteruskan, berarti 

rasionalitas telah ditinggalkan, dan hanya emosi yang mengen￾da­likan pandangan hidup kita. Tentu kita lebih mementingkan 

sesuatu yang rasional, bila dibandingkan dengan sesuatu yang 

emosional.Sebagai bangsa, tentu kita hanya mempunyai sebuah ideo￾logi negara, tetapi dengan penafsiran kemasyarakatan yang ber￾beda-beda. Dengan demikian, yang diberlakukan secara formal 

adalah penafsiran legal yang dilakukan oleh MA. Inilah yang ha￾rus kita bangun ke depan, dan untuk itu diperlukan kebe­ra­nian 

moral untuk berhadapan dengan negara, atau dengan kata lain 

menghadapi sistem kekuasaan. Kalau ini dilupakan, sudah tentu 

kita tidak tahu apa yang menjadi tugas kita di masa depan.

Pembedaan antara ideologi di satu sisi dan penafsiran atas￾nya, menjadi sesuatu yang sangat menentukan bagi kehi­dup­an 

kita di masa depan. Beberapa minggu sebelum dilengserkan da￾ri jabatan Presiden, penulis mengusulkan pada sebuah sidang 

ka­bi­net agar dibuat ketentuan bahwa keputusan bertentangan 

atau tidaknya seluruh peraturan daerah (perda) ber­da­sarkan 

Syari’ah Islâmiyah yang dibuat DPRD di semua tingkatan di In￾donesia dengan Undang-Undang Dasar (UUD), harus dila­ku­kan 

secara legal oleh MA. Inilah mengapa sebabnya MA harus kuat 

dan berani, serta berkedudukan sama tinggi dengan badan legis￾latif maupun eksekutif.

Di sinilah keseimbangan antara badan-badan yudi­katif, 

legislatif dan eksekutif harus benar-benar dijaga, seba­gai se­buah 

hal yang mendasar bagi kehidupan kita. UUD adalah instrumen 

satu-satunya yang mempersatukan kita sebagai bangsa, sebab  

itu penafsiran atasnya secara legal, adalah sesuatu yang sangat 

penting bagi kita. Kita berideologi negara yang satu, bu­kan­nya 

dua. Tapi mempunyai penafsiran legal atasnya, yang dapat ber￾variasi dalam bentuk dan isi, walaupun hanya satu pi­hak yang 

dapat melakukannya, yaitu MA. sebab  itulah, keang­gotaannya 

harus diputuskan bersama oleh pihak eksekutif dan legislatif.

Dengan pemaparan di atas, menjadi jelas bahwa ideologi 

negara kita hanyalah satu, yaitu Pancasila. Pendekatan lain, ya￾itu menjadikan Islam sebagai ideologi negara adalah sesuatu 

yang salahDalam dua sumber tekstual kitab suci al-Qurân menge￾nai keadilan, tampak terlihat dengan jelas bagaimana 

keadilan dapat ditegakkan, baik dari masalah prinsip 

hing­ga prosedurnya. Dari sudut prinsip, kitab su­ci al-Qurân me￾nyatakan; “Wahai orang-orang yang beriman, te­gakkan keadilan 

dan jadilah saksi-saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri ka￾lian sendiri (yâ ayyuha al-ladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi 

al-qisthi syuhadâ’a li Allâhi walau ‘alâ anfusikum)” (QS al-Nisa 

[4]:135). Dari ayat ini tampak jelas bahwa, rasa keadilan menjadi 

titik sentral dalam Islam.

Sedangkan dari sudut prosedur, kitab suci al-Qurân menya￾ta­kan; “Jika kalian saling berhutang, maka hendaknya kalian gu￾nakan tanda-tanda tertulis (idzâ tadâyantum bidainin ilâ ajalin 

musammâ faktubûhu)” (QS al-Baqarah [2]:282). Dalam hal ini, 

rasa keadilan harus ditegakkan dengan bukti tertulis, sehingga 

tidak dapat dipungkiri oleh orang. Pro­se­dur ini juga dijalankan 

dalam masyarakat berteknologi maju, sehingga kesan yang ada 

selama ini menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sangat 

tertinggal dapat dihilangkan.

Demikian pula, seorang hakim tidak dapat lepas dari tun￾tutan keadilan ini, seperti yang dikemukakan oleh sebuah ha￾dits; “idraul hudud bi as-subuhat” yang memberikan pesan jika 

seorang hakim ragu-ragu tentang kesalahan seorang ter­dak­wa, 

maka ia tidak boleh menjatuhkan hukuman mati, sebab dita￾kutkan si hakim berbuat kesalahan.” Jadi, aspek-aspek keadil­an 

dalam Islam bersifat menyeluruh, meliputi prinsip, prosedur 

dan pelak­sa­naannya.Apa yang dikemukakan di atas, adalah aspek-aspek ke￾adilan dalam masalah mikro. Dalam banyak hal, keadilan mik￾ro itu seluruhnya tergantung dari bangunan makro sistem ke￾masyarakatan yang ditegakkan. Banyak ungkapan dari sum￾ber-sumber tertulis dalam Islam yang memungkinkan adanya 

pe­naf­­sir­an makro yang berdasarkan prinsip keadilan bagi umat 

manu­sia. Ungkapan dalam hadits; “Tangan yang memberi lebih 

baik dari­pada tangan yang menerima (al-yadu al-‘ulyâ khairun 

min al-yadi al-suflâ),” jelas menunjukkan adanya keharusan 

dipeliharanya kea­dil­an dalam hubungan antara negara kreditor 

kepada debitor. Sayangnya, hal ini justru tidak terdapat dalam 

tata ekonomi mo­dern kita di seluruh dunia saat ini.

Pengertian makro, juga tampak dalam keharusan bagi 

pa­ra pemimpin negara/masyarakat untuk menunaikan tugas 

mem­ba­wa kesejahteraan. Adagium fiqh menyatakan; “Langkah 

dan kebijakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin terkait lang￾sung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al￾imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah).” Artinya, ke￾sejahteraan masyarakat tidak akan dapat tercapai, jika pemim￾pinnya tidak mewujudkan keadilan seluruh warga masyarakat, 

melainkan hanya untuk sebagian saja.

Ini sangat penting untuk diperhatikan sebab  kebanyakan 

di negeri-negeri muslim, seorang penguasa selalu menikmati 

ke­kayaan berlimpah, sementara banyak kaum miskin di sekeli￾ling­nya. Kehi­dup­an kaum miskin seperti terombang-ambing di 

te­ngah banyaknya produk-produk yang dihasilkan oleh para pe￾milik modal yang berjumlah sangat kecil. Ketimpangan situasi 

seperti itu terjadi dalam kehidupan modern –secara internasio￾nal dewasa ini. Dengan situasi yang tidak adil seperti itu, jelas 

bahwa Islam tidak menyetujui kapitalisme klasik yang didasar￾kan pada prinsip persaingan bebas (laises faire) dalam pergaulan 

internasional saat ini.

eg

sebab  itu, orientasi pembangunan negara untuk kepen￾ting­an warga masyarakat/rakyat kebanyakan, harus lebih di￾utamakan, dan bukannya pengembangan sumber daya manusia 

yang tinggi mau­pun penguasaan teknis yang memadai bagi mo￾dernisasi. Dengan kata lain, bukan modernitas yang lebih dikejar melainkan terpenuhinya rasa keadilan dalam kehidupan berma￾syarakat yang harus diutamakan. Kehidupan mo­dern yang pe￾nuh kenikmatan bagi sekelompok orang bukanlah sesuatu yang 

dituju Islam, melainkan kesejahteraan bagi seluruh penduduk. 

Prinsip ini sangat menentukan bagi keberlangsungan hidup se￾buah negara.

Di sinilah kemampuan kita untuk menemukan sebuah sis￾tem yang menjamin kepentingan rakyat kebanyakan, diatas ke￾pentingan, dalam batas waktu ter­ten­tu, kelom­pok industrialis 

pemilik modal. Dalam pengertian ini, asas keseimbangan diper￾lukan agar kesejahteraan orang kebanyakan benar-benar di­­­per￾hati­kan, tanpa menge­kang kelompok industrialis maupun pemi￾lik modal untuk ber­kembang. 

Sebenarnya telah banyak percobaan untuk menemukan 

sistem yang demikian itu, na­mun semuanya gagal apabila hanya 

mengandalkan kepada ideo­logi-ideologi yang ada yaitu sistem 

kapitalisme, sosialisme mau­pun komunisme. Seringkali, korek￾si-koreksi dilakukan dengan mencam­pur­adukkan beberapa 

ideo­logi di dalam sebuah wawasan yang sangat umum. Seperti 

modifikasi atas ideologi kapitalisme menjadi folks kapi­ta­lismus

(kapitalisme rakyat), yang mencoba mengo­reksi kapitalisme kla￾sik yang hanya mementingkan per­saingan bebas, dengan tidak 

menganggap penting arti rakyat kebanyakan.

Folks kapitalismus mengambil semangat egalitari­an dari 

sosialisme, ini berbeda dari birokrasi komunisme yang ba­nyak 

mengadopsi dari kapitalisme klasik, paling tidak mengenai cara￾cara berkompetisi. Islam-pun juga pernah harus me­la­kukan hal 

yang sama yaitu dengan berani mengambil cara-cara dari ideo￾logi-ideologi lain. Puluhan tahun yang lalu, ada gagasan tentang 

“Sosialisme Islam”1

, yang walaupun gagal berkembang namun 

tetap saja harus dihargai sebagai upaya dinamisasi aga­ma terse￾but. Begitu juga dengan pengertian-pengertian dasar yang kita 

terus mengalami perubahan. Dahulu, pengangguran berarti ti￾adanya pekerjaan bagi seorang warga negara, sekarang orang 

yang be­kerja tapi di bawah 35 jam perminggu sudah dinamai 

penganggur.

Dengan arti perubahan ini , maka pemahaman kita mengenai hubungan antara negara dan warganya juga bersifat di￾namis. Jika negara mampu mewujudkan kemakmuran warga­­nya 

pada taraf tertentu, maka hal itu sudah dianggap menunaikan 

ke­wajiban menciptakan kesejahteraan, sebab  negara mampu 

melindungi para warganya dengan menjamin taraf kehidupan 

pada titik tertentu, misalnya, melalui asuransi sosial. Ini berarti 

pen­ciptaan kemakmuran dan keadilan, yang kedua-duanya dija￾di­kan tujuan UUD 1945 sudah ditunaikan dengan baik, meski 

ada sejumlah warga negara yang berkerja di bawah 35 jam. Nah, 

kalau ini berhasil diwujudkan oleh sebuah masyarakat Islam, 

berarti pula Islam telah berhasil mensejahterakan warga negara 

tanpa menjadi sebuah sistem for­mal. Sangat kompleks memang, 

tapi cukup berharga untuk direnungkan, bukan?


Sebenarnya, terdapat hubungan sangat erat antara kepe￾mimpinan dan konsep negara dalam pandangan Islam. 

Penulis pernah mengemukakan sebuah sumber tertulis 

(dalil naqli) dalam pandangan Islam. Adagium itu adalah “Tiada 

Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, 

dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa bi 

Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi 

Tha’ah). Di sini tampak jelas, arti seorang pemimpin bagi Islam, 

ia adalah pejabat yang bertanggung jawab tentang pene­gakan 

perintah-perintah Islam dan pencegah larangan-larangan-Nya 

(amar ma’rûf nahi munkar). sebab nya, pemimpin dilengkapi 

dengan kekuasaan efektif, yang jelas kekuasaan efektif inilah 

yang oleh Munas Ulama tahun 1957 di Medan, dinyatakan seba￾gai “wewenang kekuasaan efektif “ (syaukah).

sebab  itulah, Munas ini  mengatakan bahwa Presi￾den Republik negara kita  adalah “penguasa pemerintahan untuk 

se­­men­­­tara, dengan kekuasaan efektif (walîyyu al-amri li dha￾rûri bi al-syaukah).” Maksud dari kata “untuk sementara”, ka￾re­na ia ada­lah pengganti Imam yang dalam hal ini Kepala Pe­me￾rintahan. Namun wewenang yang dimilikinya sebagai peng­ganti 

Imam tidak berdasarkan sumber tertulis (dalil naqli), me­lainkan 

kare­na pertimbangan rasional (dalil aqli), yang tidak mengu￾rangi ke­ab­sahan kekuasaan itu sendiri. Kemudian kata “semen￾tara”, artinya sebelum datangnya hari kiamat. Keputusan Munas 

di atas, dinyatakan berlaku bagi semua Presiden Republik Indo￾nesia, namun oleh mereka yang “dibius” oleh konsep Negara Is￾lam, dinyatakan hanya berlaku untuk Kepresidenan Bung Karno 

saja.sebab  itu diandaikan, di dalam bukan negara Islam tidak 

ada konsep Islam tentang kepemimpinan, dan dengan demikian 

konsep itu tidak memiliki keabsahan dalam pandangan Islam. 

Ternyata setelah berjalan puluhan tahun lama­nya, kini kita me￾ngetahui kenyataan sebenarnya, yaitu bahwa kelangkaan konsep 

Islam tentang negara, tidak berarti agama ini  tidak memi￾liki pandangan tentang kepemimpinan. Pan­dang­an ini melihat 

kepemimpinan menurut Islam berlaku untuk kepemimpinan 

negara (kepemimpinan formal) maupun kepe­mim­pinan dalam 

masyarakat (kepemimpinan non-formal). Dalam tulisan ini akan 

ditinjau orientasi minimalnya, sebab  hal-hal lain diserahkan 

kepada akal kita untuk merumuskannya.

eg

Dalam pandangan Islam: “orientasi seorang pemimpinan 

terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin”. 

Ini berarti, Islam tidak membeda-bedakan antara kepemimpinan 

negara dengan kepemimpinan masyarakat, juga mengenai ben￾tuk dan batas waktunya. Serta tidak memikirkan format kenega￾ra­an atau kema­syarakatan yang melatarbelakangi kepemimpin￾an itu, apakah itu imperium dunia, republik negara bangsa atau 

negara kota. Maka dari itu, sia-sia juga jika kita kaitkan langsung 

kepemimpinan di “Negara Islam” yang ada dengan proses demo￾kratisasi. Kare­na­nya, kita lihat sekarang ini kepemimpinan da￾lam “Negara Islam”ada yang bersifat otoriter atau demokratis, de￾ngan sistem peme­rin­tahan Raja atau Amir, kepemimpinan ulama 

maupun kepemim­pin­an para sesepuh masyarakat (com­mu­nity 

leaders). Selama kepemimpinan itu mendatangkan kesejahtera￾an langsung pada masyarakat, selama itu pula kepemim­pinan 

yang ada memiliki legitimasi dalam pandangan umat Islam. 

Namun di sinilah kita sering terjebak, yaitu dalam anggap￾an kesejahteraan di atas hanya menyangkut kenyataan-kenyata￾an lahiriah dan angka statistik belaka, seperti kepemilikan ben￾da, usia hidup rata-rata dan sebagainya. Sering dilupakan, masa￾lah kesejahteraan juga menyangkut kemerdekaan berbicara dan 

berpendapat, kedaulatan hukum dan persamaan perlakuan bagi 

semua warga negara di hadapan undang-undang. Hal-hal itu 

nantinya akan menyangkut kebebasan berorganisasi, kebebasan 

rakyat dalam menentukan bentuk negara yang mereka ingini dan beberapa aspek kehidupan agar tercipta rasa keadilan. 

Proses peralihan (transisi) kepemimpinan dunia, negara 

dan masyarakat seperti kita lihat dewasa ini, masih menimbul￾kan keresahan. Keresahan ini seperti yang menghinggapi negara 

de­ngan mayoritas warganya yang beragama Islam, akibat dari ga￾gal­nya upaya-upaya terorisme de­­ngan mengatasnamakan Islam 

yang terjadi di mana-mana. Seharusnya, para pakar ma­sya­­rakat 

muslim di seluruh dunia, harus mensosialisasikan pe­nge­­nalan 

dan identifikasi sebab-sebab utama munculnya tero­risme itu. 

Dan bukannya diselesaikan dengan penyerangan dan pengebom￾an seperti yang terjadi di Afghanistan dan Irak. Pe­ngeboman itu 

sendiri secara tidak jujur dikemukakan Presiden Amerika Serikat 

(AS) Geogre W. Bush Jr. sebagai upaya menu­run­kan diktaktor 

Saddam Husein dari jabatan kepresidenan di Irak. Padahal, per￾timbangan-pertimbangan geopolitik interna­sio­nal yang mem￾buat Amerika mengambil tindakan terhadap Irak. Yaitu, sebab  

Saudi Arabia telah “menyimpang” dari politik luar negeri AS, pa￾dahal ia adalah penghasil minyak bumi (BBM) nomor satu di du￾nia, maka harus dicarikan kekuatan pengimbang ter­ha­dap­nya. 

Pilihan itu jatuh kepada Irak, sebab  ia adalah penghasil minyak 

bumi kedua terbesar saat ini. sebab  Irak di bawah kepresiden￾an Saddam tidak akan mungkin mengikuti politik luar negeri 

AS maka ia harus diganti secepatnya. Kalau Saddam dianggap 

sebagai “kekuatan jahat” (evil force), mengapa­kah hal itu tidak 

dikenakan atas para pemimpin Saudi Arabia? Negara yang telah 

menghukum mati sekitar dua ribu orang yang dianggap “kaum 

oposan”? Standar moral ganda (double morality) seperti ini￾lah yang digunakan para pemimpin seperti Bush saat ini, yang 

membuat istilah “politik” dicitrakan sangat buruk. Padahal oleh 

mendiang Presiden AS John F. Kennedy, politik sebagai “karya 

termulya”, sebab  menyangkut kesejah­tera­an (lahir dan batin) 

rakyat. 

eg

Kembali pada kepemimpinan Islam. Dalam Islam kepe­mim￾pinan haruslah berorientasi kepada pencapaian kesejahteraan 

orang banyak. Sebuah adagium terkenal dari hukum Islam adalah 

“kebijakan dan tindakan seorang pemimpin haruslah terkait 

langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah).” Jelaslah 

dengan demikian kepemimpinan yang tidak berorientasi kepada 

hal itu, melainkan hanya sibuk dengan mengurusi kelangsungan 

ke­kua­sa­an saja, bertentangan dengan pandangan Islam. Kare￾nanya, dalam menilai kepemimpinan dalam sebuah gerakan, se￾lalu diutamakan pembicaraan mengenai kese­jah­teraan itu, yang 

dalam bahasa Arab dinamakan al-mash­lahah al-âmmah (secara 

harfiyah, dalam bahasa negara kita  berarti: kepentingan umum).

Selain itu, Islam tidak mempunyai konsep yang pasti (baku) 

tentang bagaimana sang pemimpin ditetapkan. Kepemimpinan 

sebuah organisasi Islam, ada yang ditetapkan melalui pemilih￾an dalam kongres atau muktamar, tetapi masih tampak betapa 

kuatnya faktor keturunan dalam hal ini, seperti dialami penulis 

sendiri. Baiknya sistem ini, jika orang itu membentuk kehidup￾annya sesuai dengan konsep kemaslahatan umat. Buruknya, jika 

pemimpin berdasarkan garis keturunan itu tidak memahami tu￾gas dan kewajibannya, melainkan hanya asyik dengan kekuasa￾an dan kemudahan-kemudahan yang diperolehnya, maka akan 

menjadi lemahlah kepemimpinan ini . Apalagi jika kepe￾mimpinan itu di tangan seorang penakut, yaitu pemimpin yang 

takut kepada tekanan-tekanan dari luar dirinya. Memang kede￾ngarannya mudah mengembang­kan kepemimpinan dalam ke￾hidupan, tetapi sebenarnya sulit juga, bukan?

Sebuah pertanyaan diajukan kepada penulis: apakah reaksi 

NU (Nahdlatul Ulama) terhadap gagasan Negara Islam 

(NI), yang dikembangkan oleh beberapa partai politik 

yang memakai  nama ini ?1

 Pertanyaan ini sangat me￾narik untuk dikaji terlebih dahulu dan dicarikan jawaban yang 

tepat atas­nya. Ini berarti, keingintahuan akan hubungan NU dan 

keadaan bernegara yang kita jalani sekarang ini dipersoalkan 

orang. Dengan kata lain, pendapat NU sekarang bukan hanya 

menjadi masalah intern organisasi yang didirikan tahun 1926 itu 

saja, melainkan sudah menjadi “bagian” dari kesadaran umum 

bangsa kita. Dengan berupaya menjawab pertanyaan ini , 

penulis ingin menjadi bagian dari proses berpikir bangsa ini yang 

sangat luas. Sebuah keinginan yang pantas-pantas saja dimiliki 

seseorang yang sudah sejak lama tergoda oleh gagasan NI. Dalam sebuah tesis Magister –yang dibuatnya beberapa 

tahun yang lalu, Pendeta Einar Martahan Sitompul2

, yang di ke￾mudian hari menjadi Sekretaris Jenderal Gereja Huria Kristen 

Batak Protestan (HKBP), menuliskan bahwa Muktamar NU ta￾hun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), harus menjawab se￾buah per­ta­nya­an, yang dalam tradisi organisasi ini  dinamai 

bahts al-masâ’il (pembahasan masalah)3

. Salah sebuah masalah 

yang diajukan kepada muktamar ini  berbunyi: wajibkah 

ba­gi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan Kerajaan 

Hindia Belanda, demikian negara kita waktu itu disebut, padahal 

diperintah orang-orang non-muslim? Muktamar yang dihadiri 

oleh ribuan orang ulama itu, menjawab bahwa wajib hukumnya 

secara agama, sebab  adanya dua sebab. Sebab pertama, sebab  

kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam. 

Sebab kedua, sebab  dahulu di kawasan ini  telah ada Kera￾jaan Islam. Jawaban kedua itu, diambilkan dari karya hukum 

agama di masa lampau, berjudul “Bughyah al-Mustarsyidîn”.4

Jawabaan di atas seolah memperkuat pandangan Ibn 

Taimiyyah, beberapa abad yang lalu. Dalam pendapat pemikir 

ini, hukum aga­ma Islam (fiqh) memperkenankan adanya “pimpin￾an ber­bilang” (ta’addud al-a’immah), yang berarti pengakuan 

akan kenyataan bahwa kawasan dunia Islam sangatlah lebar 

di muka bumi ini, hingga tidak dapat dihindarkan untuk dapat 

menjadi efektif (syaukah). Konsep ini, yaitu adanya pimpinan berbilang yang khusus berlaku bagi kawasan yang bersangkutan, 

telah diperkirakan oleh kitab suci al-Qurân dengan firman Allah; 

“Se­sung­guhnya Aku telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki 

dan perempuan dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan 

bersuku-suku bangsa, agar kamu sekalian saling mengenal (innâ 

khalaqnâkum min dzakarin wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban 

wa qabâ’ila li ta’ârafû)” (QS al-Hujurat [49]:13). Firman Allah 

ini­ juga yang menjadi dasar adanya perbedaan pendapat di ka￾langan kaum muslimin, walaupun dilarang adanya perpecahan 

diantara mereka, seperti kata firman Allah juga: “Berpeganglah 

kalian (erat-erat) kepada tali Allah secara keseluruhan, dan ja￾ngan­lah terbelah-belah/saling bertentangan (wa’tashimû bi ha￾bli Allâhi jamî’an wa lâ tafarraqû)” (QS ali-Imran [3]:103).

eg

Dengan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935 

itu, NU dapat menerima kenyataan tentang kedudukan negara 

Hindia Belanda (negara kita ) dalam pandangan Islam. Menurut 

pendapat organisasi ini  tidak perlu NI didirikan. Dalam hal 

ini, diperlukan sebuah klarifikasi yang jelas tentang perlu tidak￾nya didirikan sebuah NI.

Di sini ada dua pendapat, pertama; sebuah NI harus ada, 

seperti pendapat kaum elit politik di Saudi Arabia, Iran, Pakistan 

dan Mauritania. Pendapat kedua, seperti dianut oleh NU dan 

banyak organisasi Islam lainnya, tidak perlu ada NI. Ini dise￾babkan oleh heterogenitas sangat tinggi di antara warga negara 

negara kita , di samping kenyataan ajaran Islam menjadi tang￾gungjawab masyarakat, dan bukannya negara. Pandangan NU 

ini bertolak dari kenyataan bahwa Islam tidak memiliki ajar­an for￾mal yang baku tentang negara, yang jelas ada adalah me­ngenai 

tanggungjawab tiap kaum muslim untuk melaksanakan Syari’ah 

Islam.

Memang, diajukan pada penulis argumentasi dalam ben￾tuk firman Allah; “Hari ini telah Ku-sempurnakan agama ka￾lian, Ku-sempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmat-Ku dan 

Ku-relakan Islam “sebagai” agama (al-yauma akmaltu lakum 

dînakum wa atmam­tu ‘alaikum nikmatî wa radhîtu lakum al￾Islâma dînan)” (QS al-Maidah [5]:3). Jelaslah dengan demikian, 

Islam tidak harus men­dirikan negara agama, melainkan ia berbi­cara tentang kema­nu­siaan secara umum, yang sama sekali tidak 

memiliki sifat memak­sa, yang jelas terdapat dalam tiap konsep 

tentang negara. Demikian pula, firman Allah; “Masuklah kalian 

ke dalam Islam (keda­mai­an) secara keseluruhan (udkhulû fî al￾silmi kâffah)” (QS al-Baqarah (2): 208). Ini berarti kewajiban 

bagi kita untuk me­negakkan ajaran-ajaran kehidupan yang tidak 

terhingga, se­dang­kan yang disem­pur­nakan adalah prinsip-prin￾sip Islam. Hal itu menunjukkan, Islam sesuai dengan tempat dan 

waktu mana­pun juga, asalkan tidak melanggar prinsip-prinsip 

ini . Ini­lah maksud dari ungkapan Islam tepat untuk sege￾nap waktu dan tempat (al-Islâm shalihun likulli zamânin wa 

makânin).

Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu ungkapan 

Kitab Suci; “Orang yang tidak ‘mengeluarkan’ fatwa hukum (se­￾suai dengan) apa yang diturunkan Tuhan, maka orang itu (terma￾suk) orang yang kafir –atau dalam variasi lain dinyatakan orang 

yang dzalim atau orang yang munafiq- (wa man lam yah­kum 

bimâ anzala Allâhu faulâika hum al kâfirûn)” (QS al-Maidah 

[5]:44).5

 Namun bagi penulis, tidak ada alasan untuk meli­hat ke￾harusan mendirikan NI, sebab  hukum Islam tidak bergantung 

pada adanya negara, melainkan masyarakat pun dapat member￾laku­kan hukum agama. Misalnya, kita bersholat Jum’at juga ti￾dak sebab  undang-undang negara, melainkan sebab  itu diperin￾tah­kan oleh syari’at Islam. Sebuah masyarakat yang secara moral 

berpegang kepada Islam dan dengan sendirinya melaksanakan 

syari’at Islam, tidak lagi memerlukan kehadiran sebuah negara 

agama, seperti yang dibuktikan para sahabat di Madinah setelah 

Nabi Muhammad Saw wafat. Inilah yang membuat mengapa NU tidak memperjuang￾kan negara kita  menjadi NII, Negara Islam negara kita . Kemaje￾mukan (heterogenitas) yang tinggi dalam kehidupan bang­sa kita, 

membuat kita hanya dapat bersatu dan kemudian mendirikan 

negara, yang tidak berdasarkan agama tertentu. Kenyataan ini￾lah yang sering dikacaukan oleh orang yang tidak mau mengerti 

bahwa mendirikan sebuah NI tidak wajib bagi kaum muslimin, 

tapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada ajaran-ajar￾an Islam adalah sesuatu yang wajib. Artinya, haruskah agama 

secara formal ditubuhkan dalam bentuk negara, atau cukup di￾lahirkan dalam bentuk masyarakat saja? Orang “berakal sehat” 

tentu akan berpendapat sebaiknya kita mendiri­kan NI, kalau hal 

itu tidak memperoleh tentangan, dan tidak melanggar prinsip 

persamaan hak bagi semua warga negara untuk mengatur ke￾hidupan mereka.

Telah disebutkan di atas tentang fatwa Ibn Taimiyyah, ten￾tang kebolehan Imam berbilang yang berarti tidak adanya keha￾rusan mendirikan NI. Lalu mengapakah fatwa-fatwa beliau ti￾dak digunakan sebagai rujukan oleh Muktamar NU itu? sebab , 

pandangan beliau dirujuk oleh wangsa yang berkuasa di Saudi 

Arabia bersama-sama dengan ajaran-ajaran Madzhab Hambali 

(disebutkan juga dalam bahasa Inggris Hambalite School), yang 

secara de facto melarang orang bermadzhab lain. Kenyataan 

ini tentu saja membuat orang-orang NU bersikap reaktif ter￾hadap madzhab ini . Tentu saja hal itu secara resmi tidak 

dilakukan, sebab  sikap Saudi Arabia terhadap madzhab-madz￾hab non-Hambali juga tidak bersifat formal. Dengan kata lain, 

pertentang­an pendapat antara “pandangan kaum Wahabi” yang 

secara de facto demikian keras terhadap madzhab-madzhab lain 

itu, me­lahirkan reaksi yang tidak kalah kerasnya. Ini adalah con￾toh dari sikap keras yang memicu  sikap yang sama dari “pi￾hak seberang”.

Contoh dari sikap saling menolak, dan saling tak mau me￾ngalah itu membuat gagasan membentuk NI di negara kita (men￾jadi NII), sebagai sebuah utopia yang terdengar sangat indah, 

namun sangat meragukan dalam kenyataan. Ini belum kalau pi￾hak non-muslim ataupun pihak kaum muslimin nominal (kaum 

abangan), berkeberatan atas gagasan mewujudkan negara Islam itu. Jadi gagasan yang semula tampak indah itu, pada akhirnya 

akan dinafikan sendiri oleh bermacam-macam sikap para warga 

negara negara kita , yang hanya sepakat dalam mendirikan negara 

bukan agama. Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan 

sejarah. Kalaupun toh dipaksakan –sekali lagi- untuk mewu­jud￾kan gagasan NI itu di negara kita, maka yang akan terjadi hanya￾lah serangkaian pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi 

di negara kita tahun-tahun 50-an. Apakah deretan pembe­ron­tak￾an bersenjata seperti itu, yang ingin kita saksikan kembali dalam 

sejarah modern bangsa kita. 


Ketika berada di Makassar pada minggu ke tiga bulan Feb￾ruari 2003, penulis di wawancarai oleh TVRI di studio 

televisi kawasan ini , yang direlay oleh studio-stu￾dio TVRI seluruh negara kita  Timur. Penulis memulai wawancara 

itu de­ngan menyatakan, menyadari sepenuhnya bahwa masih 

cukup kuat sekelompok orang yang menginginkan negara Islam 

(NI). Pengaruh almarhum Kahar Mudzakar1

 yang dinyatakan 

me­ning­gal dalam paruh kedua tahun 60-an ternyata masih be￾sar. sebab nya, penulis menyatakan dalam wawancara ter­sebut, 

pem­bicaraan sebaiknya ditekankan pada pembahasan tentang 

pembentukan NI di Sulawesi Selatan itu. Penulis menyatakan, 

bahwa ia menganggap tidak ada kewajiban mendirikan NI, tapi 

ia juga tidak memusuhi orang-orang yang berpikiran seperti itu.

Dalam dialog interaktif yang terjadi setelah itu, penulis di￾hujani pertanyaan demi pertanyaan tentang hal itu. Bahkan ada 

yang menyatakan, penulis adalah diktator sebab  tidak me­nye­tu￾jui pemikiran adanya NI. Penulis menjawab, bahwa saya meng￾anggap boleh saja menganut paham itu, dan berbicara ter­buka 

di muka umum tentang gagasan ini , itu sudah ber­arti saya 

bukan diktator. Salah satu tanda kediktaktoran adalah tidak ada￾nya dialog dan orang menerima saja sebuah gagasan dan tidak 

boleh membicarakannya secara kritis dan terbuka. Dari dialog

interaktif itu dapat diketahui bahwa pengaruh luar pun harus 

dipikirkan, seperti pengaruhnya bagi ber­ba­gai kawasan dunia 

Islam lainnya dan juga kadar pengetahuan agama Islam yang 

rendah.

Rendahnya pengetahuan agama yang dimiliki itu, diga￾bung­­­kan dengan rasa kekhawatiran sangat besar lembaga/in￾stitusi ke-Islam-an melihat tan­tang­an modernisasi, mem­­buat 

mereka melihat bahaya di mana-mana terhadap Islam. Proses 

pemaham­an keadaan seperti itu, yang terlalu menekankan pada 

aspek kelembagaan/institusional Islam belaka, dapat dina­ma￾kan seba­gai proses pendangkalan agama kalangan kaum mus￾limin. Pihak-pihak lain yang non-muslim juga mengalami pen￾dangkalan seperti itu, dan juga memberikan responsi yang salah 

terhadap tantangan keadaan. Kalau kita melihat pada budaya/

kultur kaum muslimin dimana-mana, sebenarnya ke­kha­watiran 

demikian besar seperti itu tidak seharusnya ada di kalangan 

mereka. Cara hidup, membaca al-Qurân dan Hadist, main reba￾na, tahlil, berbagai bentuk “seni Islam” dan lain-lain­nya, justru 

mam­pu menumbuhkan rasa percaya diri yang besar, dalam diri 

kaum muslimin.

Salah seorang penanya dalam dialog interaktif itu mengu￾tip al-Qurân “Barang siapa tidak (ber) pendapat hukum de­ngan 

apa yang di turunkan Allah, mereka adalah orang yang kafir 

(wa man lam yahkum bimâ anzala Allâh fa’ulâika hum al-kâ-

fi­rûn)” (QS al-Maidah [5]:44). Lalu bagaimana mungkin kita 

men­­jalankan hukum Allah, tanpa NI? Jawab penulis, sebab  ada 

masya­rakat yang menerapkan hal itu, dan, atau mendidik kita 

agar melaksanakan hukum Allah. Jika negara yang melakukan 

itu, maka dapat saja lembaga bikinan manusia ini ditinggal­kan. 

Jadi, untuk memelihara pluralitas bangsa, tidak ada kewajiban 

mendirikan NI atau menentang mereka yang menen­tang adanya 

gagasan mendirikan NI. Netralitas seperti inilah yang sebenar￾nya jadi pandangan Islam dalam soal wajib tidaknya gagasan 

men­dirikan NI.

Netralitas ini sangat penting untuk dijunjung tinggi, kare￾na hanya dengan demikian sebuah Negara Kesatuan Republik 

negara kita  dapat didirikan. Dengan berdirinya NII, maka pihak 

minoritas -baik minoritas agama maupun minoritas lain-lain￾nya-, tidak mau berada dalam negara ini dan menjadi bagian dari 

negara ini . Dengan demikian, yang dinamakan Republik

negara kita  tidak dapat diwujudkan, sebab  ketidak­sedia­an terse￾but. Akhirnya, negara kita  akan tidak terwujud se­bagai kesatuan, 

sebab  ada negara Aceh, negara bagian Timur dan Selatan dari 

Sumatra Utara, negara Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Suma￾tra Selatan, Lampung, Seluruh pulau Jawa, NTB, Kalimantan 

Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, 

Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan sebagian Maluku dan lain￾lainnya, berada di luar susunan kenegaraan NKRI, sebab  ber￾dasarkan agama mayoritas penduduknya itu.

sebab nya, keputusan para wakil berbagai organisasi Islam 

dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan negara kita  (PPKI) untuk 

meng­hi­langkan Piagam Jakarta2

 dari Pembukaan Undang-Un￾dang Dasar 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah sebuah 

sikap yang sangat bijaksana dan harus di pertahankan. Keputus￾an itu diikuti oleh antara lain: Resolusi Jihad

, yang dikeluar￾kan PBNU pada tanggal 22 Oktober 1945, adalah sesuatu yang 

sangat mendasar, dengan menyatakan bahwa mempertahankan 

wilayah Republik negara kita  adalah kewajiban agama bagi kaum 

mus­limin. Dengan rangkaian kegiatan seperti itu, termasuk 

mendiri­kan Markas Besar Oelama Djawa–Timoer (MBODT) di 

Surabaya dalam bulan Nopember 1945, adalah salah satu dari 

ke­giatan bermacam-macam untuk mempertahankan Repub￾lik negara kita , yang notabene bukanlah sebuah NI. Diteruskan 

dengan perang gerilya melawan tentara pendudukan Belanda 

di tahun-tahun berikutnya. Dengan peran aktif para ulama dan 

pesantren-pesantren yang mereka pimpin, selamatlah negara 

kita dari berbagai rongrongan dalam dan luar negeri, hingga ter￾capainya penyerahan kedaulatan dalam tahun 1949 - 1950.

Perkembangan sejarah setelah itu menunjukkan bahwa 

agama Islam tidak berkurang perannya dalam kehidupan bang￾sa, walaupun beberapa kali usaha merubah Negara Kesa­tu­an Re￾publik negara kita  (NKRI) berhasil digagalkan, seperti dalam De￾wan Konstituante di tahun 1956-1959. Demikian juga beberapa 

kali pemberontakan bersenjata terhadap NKRI dapat digagalkan 

seperti DI-TII dan APRA (Bandung 1950). Ini tidak berarti Islam 

dibatasi ruang geraknya dalam negara, seperti terbukti dari kip￾rah yang dilakukan oleh Al-Azhar di Kairo. 

Siapapun tidak dapat menyangkal bangsa negara kita  adalah 

memiliki jumlah terbesar kaum muslimin. Ini berbeda dari bang￾sa-bangsa lain, negara kita  justru memiliki jumlah yang sangat 

besar kaum “muslimin statistik” atau lebih dikenal dengan sebut￾an “muslim abangan”. Walaupun demikian, kaum muslim yang 

taat beragama dengan nama “kaum santri” masih merupakan 

mi­no­ritas. sebab  itu, alangkah tidak bijaksananya sikap ingin 

memaksakan NI atas diri mereka.

Lalu, bagaimana dengan ayat kitab suci al-Qurân yang di 

sebutkan di atas? Jawabnya, kalau tidak ada NI untuk menegak￾kan hukum agama maka masyarakatlah yang berkewajiban. Da￾lam hal ini, berlaku juga sebuah kenyataan sejarah yang telah 

berjalan 1000 tahun lamanya yaitu penafsiran ulang (re-inter￾prensi) atas hukum agama yang ada. Dahulu kita berkeberatan 

terhadap celana dan dasi, sebab  itu adalah pakaian orang-orang 

non-muslim. Sebuah diktum mengemukakan, “Barang siapa me￾nye­rupai sesuatu kaum ia adalah sebagian dari mereka (man ta￾syâbbaha bi qaumin fahuwa min hum).”4

 Tetapi sekarang, ti­dak 

ada lagi persoalan tentang hal itu sebab  esensi Islam tidak ter￾letak pada pakaian yang dikenakan melainkan pada akhlak yang 

dilaksanakan.

sebab  itu, kita lalu mengerti mengapa para wakil berbagai 

gerakan Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan negara kita  PPKI) memutuskan untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari 

UUD 1945. Mereka inilah yang berpandangan jauh, dapat meli￾hat bersungguhnya kaum muslim menegakkan ajaran-ajaran 

agama mereka tanpa bersandar kepada negara. Dengan demiki￾an, mereka menghidupi baik agama maupun negara. Sikap inilah 

yang secara gigih dipertahankan Nahdlatul Ulama (NU), se­hing￾ga agama Islam terus berkembang dan hidup di negeri kita. 



Pada suatu pagi selepas olahraga jalan-jalan, penulis di￾minta oleh sejumlah orang untuk memberikan apa yang 

mereka namakan “petuah”. Saat itu, ada Kyai Aminullah 

Muchtar dari Bekasi, sejumlah aktifis NU dan PKB dan sekelom￾pok pe­ngikut aliran kepercayaan dari Samosir. Dalam kesem￾patan itu, penulis mengemukakan pentingnya memahami arti 

yang benar tentang Islam. sebab  ditafsirkan secara tidak benar, 

maka Islam tampil sebagai ajakan untuk memakai  keke­ras￾an/terorisme dan tidak memperhatikan suara-suara moderat. 

Padahal, justru Islam-lah pembawa pesan-pesan persaudaraan 

abadi antara umat manusia, bila ditafsirkan secara benar.

Pada kesempatan itu, penulis mengajak terlebih dahulu 

memahami fungsi Islam bagi kehidupan manusia. Kata al-Qurân, 

Nabi Muhammad Saw diutus tidak lain untuk membawakan 

ama­nat persaudaraan dalam kehidupan (wa mâ arsalnâka illâ 

rahmatan lil ‘âlamîn) (QS al-Anbiya [21]:107), dengan kata “rah￾mah” diambilkan dari pengertian “rahim” ibu, dengan demikian 

manusia semuanya bersaudara. Kata “’alamîn” di sini berarti 

ma­nusia, bukannya berarti semua makhluk yang ada. Jadi tugas 

kenabian yang utama adalah membawakan persaudaraan yang 

diperlukan guna memelihara keutuhan manusia dan jauhnya tin￾dak kekerasan dari kehidupan. Bahkan dikemukakan penulis, 

kaum muslimin diperkenankan memakai  kekerasan hanya 

kalau aqidah mereka terancam, atau mereka diusir dari tempat 

tinggalnya (idzâ ukhriju min diyârihim).

Kemudian, penulis menyebutkan disertasi doktor dari 

Char­les Torrey yang diajukan kepada Universitas Heidelberg 

di Jerman tahun 1880. Dalam disertasi itu, Torrey mengemu￾

kakan bahwa kitab suci al-Qurân memakai  istilah-istilah 

paling duniawi, seperti kata “rugi”, “untung” dan “panen”, untuk 

me­­nya­takan hal-hal yang paling dalam dari keyakinan manusia. 

Umpamanya saja, ungkapan “ia di akhirat menjadi orang-orang 

yang merugi (perniagaannya) (wa huwa fi al-âkhirati min al￾khâ­sirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Begitu juga ayat lain, “men￾ghutangi Allah de­ngan hutang yang baik (yuqridhullâha qard￾han hasanan)” (QS al-Baqarah [2]:245), serta ayat “barang siapa 

menginginkan pa­­nen di akhirat, akan Ku-tambahi panenannya 

(man kâna yurî­du hartsa al-âkhirati nazid lahû fi hartsihi)” (QS 

al-Syûra [42]:20).

eg

Dalam uraian selanjutnya, penulis mengemukakan pe­nger￾tian negara dari kata “daulah”, yang tidak dikenal oleh al-Qur’an. 

Dalam hal ini, kata ini  mempunyai arti lain, yaitu “ber­putar” 

atau “beredar”, yaitu dalam ayat “agar harta yang ter­kumpul itu 

tidak berputar/beredar antara orang-orang kaya saja di lingkung￾an anda semua (kailâ yakûna dûlatan baina al-aghniyâ’i min￾kum)” (QS al-Hasyr (59):7). Ini menunjukkan yang dianggap 

oleh al-Quran adalah sistem ekonomi dari sebuah ne­gara, bukan 

bentuk dari sebuah negara itu sendiri. Jadi, pem­buktian tekstual 

ini menunjukkan Islam tidak memandang pen­ting bentuk nega￾ra. Atau, dengan kata lain, Islam tidak memen­tingkan konsep 

negara itu sendiri.

Dapat disimpulkan dari uraian di atas, Islam lebih meng￾utamakan fungsi negara dari pada bentuknya. Dalam hal ini, ben￾tuk kepemimpinan dalam sejarah Islam senantiasa me­ng­alami 

perubahan. Bermula dari sistem prasetia (bai’at) dari suku-suku 

kepada Sayyidina Abu Bakar, melalui pergantian pemimpin de￾ngan penunjukkan dari beliau kepada Sayyidina Umar, diterus￾kan dengan sistem para pemilih (ahl al-halli wa al-aqdi) baik 

langsung maupun tidak, diteruskan dengan sistem kerajaan atau 

ketu­runan di satu sisi dan kepala negara atau kepala pemerin￾tahan dipilih oleh lembaga perwakilan, serta me­mim­pin melalui 

coup d’etat di sementara negara, semuanya menunjukkan tiada￾nya konsep pergantian pemimpin negara secara jelas dalam pan￾dangan Islam. 

Demikian juga, Islam tidak menentukan besarnya negara yang akan dibentuk. Di zaman Nabi Saw, negara meliputi sa­tu 

wilayah kecil saja –yaitu kota Madinah dan sekitarnya, diterus￾kan dengan imperium dunia di masa para khalifah dan kemu￾dian Dinasti Umaiyyah dan Abbasyiah. Setelah itu, ber­dirilah 

kerajaan-kerajaan lokal dari Dinasti Murabbitîn1

 di barat Afrika 

hingga Mata­ram di Pulau Jawa. Kini, kita kenal dua model; mo￾del negara-bangsa (nation state) dan negara kota (city state). 

Keadaan menjadi lebih sulit, sebab  negara kota menyebut diri￾nya negara-bangsa, seperti Kuwait dan Qatar.

eg

Dengan tidak jelasnya konsep Islam tentang pergantian 

pemimpin negara dan bentuk negara seperti diterangkan di atas, 

boleh dikatakan bahwa Islam tidak mengenal konsep negara. 

Da­lam hal ini, yang dipentingkan adalah masyarakat (mujtama’

atau society), dan ini diperkuat oleh penggunaan kata umat 

(ummah) dalam pengertian ini. Sidney Jones2

 mengupas peru­bah­an arti kata "umat Islam" dalam berbagai masa di negara kita , 

yang diter­bit­kan di jurnal negara kita  Universitas Cornell di Itha￾ca, New York, be­be­rapa tahun lalu. Semuanya menunjuk pada 

pengertian ma­sya­rakat itu, baik seluruh bangsa maupun hanya 

para pengi­kut gerak­an-gerakan Islam di sini belaka.

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan adanya pan￾dangan tentang negara dalam Islam, harus diartikan ada pan￾dangan agama ini  tentang masyarakat. Ini semua, akan 

membawa konsekuensi tiadanya hubungan antara Islam sebagai 

ideologi politik dan negara. Dengan kata lain, Islam mengenal 

ideologi se­bagai pegangan hidup masyarakat, minimal berlaku 

untuk para warga gerakan-gerakan Islam saja. Jadi negara dapat 

saja didirikan tanpa ideologi Islam, untuk menyan­tuni hak-hak 

semua warga negara di hadapan Undang-Undang Dasar (UUD), 

baik mereka muslim maupun non-muslim.

Tanpa menyadari hal ini, kita secara emosional akan meng￾ajukan tuntutan akan adanya sebuah ideologi Islam dalam kehi￾dup­an bernegara. Ini berarti, warga negara non-muslim akan 

men­jadi warga negara kelas dua, baik secara hukum maupun 

dalam kenyatan praktis. Padahal Republik negara kita  tanpa meng￾gunakan ideologi agama secara konstitusional dalam hidup­nya, 

berhasil menghilangkan kesenjangan itu. Dengan demikian, ter￾jadilah proses alami kaum muslimin memper­juang­kan 'ideologi 

masyarakat' yang mereka ingini melalui pene­gakkan etika Islam, 

bukannya ideologi Islam. Bukankah ini lebih rasional? h


J

udul diatas diilhami oleh jargon populer: “Sebaik-baik per￾soalan adalah yang berada di tengah (khairu al-umûr aus-

âthuha).” Ia juga bisa mencerminkan pandangan agama 

Buddha tentang “jalan tengah” yang dicari dan diwujudkan oleh 

penganut agama ini . Walaupun demikian, judul itu dimak￾sudkan untuk mengupas sebuah buku karya tokoh Syi’ah terke￾muka Dr. Musa al-Asy’ari, “Menggagas Revolusi Kebu­da­ya­an 

Tanpa Kekerasan” –dalam sebuah diskusi di kampus Uni­versitas 

Darul Ulum Jombang, beberapa waktu lalu. Katakanlah sebagai 

sebuah resensi, yang juga semacam analisa terhadap kecende￾rung­an umum mengambil “jalan tengah” yang dimiliki bangsa 

kita, dan mempengaruhi kehidupan di negeri ini.

Dalam kenyataan hidup sehari-hari, sikap mencari jalan 

tengah ini, akhirnya berujung pada sikap mencari jalan sendiri 

di tengah tawaran penyelesaian berbagai persoalan yang masuk 

ke kawasan ini. Namun, sebelum menyimpulkan hal itu, ter­lebih 

dahulu penulis ingin melihat buku itu dari kacamata sejarah ja￾lan hidup banyak peradaban dunia. Kalau kita tidak pahami ma￾salah ini  dari sudut ini, kita akan mudah menggangap “ja￾lan tengah” sebagai sesuatu yang khas dari bangsa kita, padahal 

dalam kenyataannya tidaklah demikian.

Bahwa bangsa kita cenderung untuk mencari sesuatu yang 

“independen” dari bangsa-bangsa lain, merupakan sebuah kenya￾ta­an yang tidak terbantahkan. Mr. Muhammad Yamin, umpa­ma￾nya menggangap kerajaan Majapahit memiliki angkatan laut 

yang kuat dan menguasai kawasan antara Pulau Madagaskar di 

lautan Hindia/Samudra negara kita  di Barat dan Pulau Tahiti di 

tengah-tengah Lautan Pasifik, dengan benderanya yang terkenal 

Merah Putih. Padahal, angkatan laut kerajaan Majapahit hanya￾lah fatsal (pengikut) belaka dari Angkatan Laut Tiongkok yang 

menguasai kawasan perairan ini  selama berabad-abad.

Kita tentu tidak senang dengan klaim sejarah ini  sebab  

mengartikan kita lemah di hadapan Tiongkok. Tetapi kenyataan 

sejarah berbunyi lain, Australia, misalnya, yang menjadi domini￾on Inggris, secara hukum dan tata negara, memiliki indenpen￾densi sendiri terlepas dari negara induk.

eg

Penulis melihat, bahwa sejarah dunia penuh dengan pe￾nyim­­pangan-penyimpangan. seperti itu Umpamanya saja, seper￾ti ditunjukkan oleh Oswald Spengler dalam “Die Untergang 

des Abendlandes” (The Decline of The West). Dalam buku itu 

digambarkan, ternyata kejayaan peradaban Barat dalam abad 

ke 20 ini mu­lai mengalami keruntuhan (Untergang). Filosof 

Spa­nyol kena­ma­an, Ortega Y Gasset, juga menunjuk kepada tan￾tangan dari massa rakyat kebanyakan dalam peradaban modern 

ini terhadap karya-karya dan produk kaum elit, seperti tertuang 

dalam buku­nya yang sangat terkenal “Rebellion of the Masses” 

(Pemberon­tak­an Rakyat Kebanyakan).

Kemudian itu semua, disederhanakan oleh Arnold Jacob 

Toynbee dalam karya momentumnya yang terdiri dari 2 jilid, A 

Study of History. Toynbee mengemukakan sebuah mekanisme 

sejarah dalam peradaban manusia, yaitu tantangan (challenges) 

dan jawaban (responses). Kalau tantangan terlalu berat, seperti 

tantangan alam di kawasan Kutub Utara, seperti yang dialami 

bangsa Eskimo, maka manusia tidak dapat memberikan jawaban 

memadai, jadi hanya mampu bertahan hidup saja. Sebaliknya, 

kalau tantangan dapat diatasi dengan kreatifitas, seperti tantang￾an banjir sungai yang merusak untuk beberapa bulan dan kemu￾dian membawa kemakmuran melalui kesuburan tanah untuk 

masa selanjutnya, maka akan melahirkan peradaban tepi sungai 

yang sangat besar, seperti di tepian Nil, Tigris, Euphrat, Gangga, 

Huang Ho, Yang Tse Kiang, Musi dan Brantas. Lahirnya pusat￾pusat peradaban dunia di tepian sungai-sungai itu, merupakan 

bukti kesejahteraan yang tidak terbantah.

Jan Romein, seorang sejarawan Belanda, penulis buku 

Aera Eropa ia menggambarkan adanya PKU I (Pola Kemanusia￾an Umum pertama, Eerste Algemeene Menselijk Patron). PKU I 

itu, menurut karya Romein ini  memperlihatkan diri dalam 

tra­di­sionalisme yang dianut oleh peradaban dunia dan kerajaan￾kerajaan besar waktu itu, berupa masyarakat agraris, birokrasi 

kuat di bawah kekuasaan raja, yang moralitasnya sama di mana￾mana. Pada abad ke-6 sebelum masehi, terjadi krisis moral be￾sar-besaran yang disusul dengan munculnya nama-nama Lao Tze 

dan Konghucu di China, Budha Gautama di India, Zara­thustra di 

Persia dan Akhnaton di Mesir. Para moralis he­bat ini mengem￾balikan dunia kepada tradisionalismenya, dengan memperkuat 

“keseimbangan”. Sebaliknya, para filosof Yu­na­ni Kuno, mem￾buat penyimpangan pertama terhadap PKU I itu, dengan menge￾mukakan rasionalitas sebagai ukuran per­buat­an manusia yang 

terbaik. Penyimpangan-penyimpangan PKU I ini diikuti oleh pe￾nyimpangan-penyimpangan lain oleh Eropa seperti kedaulatan 

hukum Romawi (Lex Romanum) peng­or­­gani­sasian kinerja, Re￾naissance (Abad Kebangkitan), Abad Pencerahan (Aufklarung), 

Abad Industri dan Abad Ideologi. De­ngan adanya penyimpangan 

itu, Eropa memaksa dunia untuk me­nemukan PKU II (Tweede 

Algemeene Menselijk Patron), yang belum kita kenal bentuk fi￾nalnya.

eg

Nah, kita menolak teokrasi (negara agama) dan sekular￾isme, dengan mengajukan alternatif ketiga berupa Pancasila. 

Kompro­mi politik yang dikembangkan kemudian (dan sampai 

sekarang belum juga berhasil) sebagai ideologi bangsa, menolak 

dominasi agama maupun kekuasaan anti agama dalam kehidup￾an ber­ne­gara. sebab  sekularisme dipandang sebagai penolakan 

kepa­da agama -dan bukannya sebagai pemisahan agama dari 

ne­gara, maka kita merasakan perlunya mempercayai Pancasila 

yang meng­gabungkan Sila Pertama (Kepercayaan terhadap Tu￾han Yang Maha Esa), dan sila-sila lain yang oleh banyak penulis 

di­ang­gap sebagai penolakan atas agama.

Buku yang ditinjau penulis ini, sebenarnya adalah upaya 

dari jenis yang berupaya menyatukan “kebenaran agama” dan il￾mu pengetahuan sekuler (dirumuskan sebagai kemerdekaan ber￾pikir oleh pengarangnya). Jelas yang dituju adalah se­buah sin￾tesa baru yang terbaik bagi kita, dari dua hal yang saling berten￾tangan. Apakah ini merupakan sesuatu yang berharga, ataukah 

hanya berujung kepada sebuah masyarakat (dan negara) “yang 

bukan-bukan”? h



Tulisan-tulisan yang menyatakan Islam melindungi Hak 

Asasi Manusia (HAM), seringkali menyebut Islam sebagai 

agama yang paling demokratis. Pernyataan itu, se­ringkali 

tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Justru di negeri-nege￾ri muslim-lah terjadi banyak pelanggaran yang be­rat atas HAM, 

termasuk di negara kita . Kalau kita tidak mau meng­­­akui hal ini, 

berarti kita melihat Islam sebagai acuan ideal namun sama sekali 

tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keada­an demikian, klaim 

Islam sebagai agama pelindung HAM hanya akan terasa kosong 

saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek kehidupan.

Di sisi lain, kita melihat para penulis seperti Al-Maududi, 

se­orang pemimpin muslim yang lahir di India dan kemudian 

pindah ke Pakistan di abad yang lalu, justru tidak mempedulikan 

hubungan antara Islam dan HAM. Bahkan, baginya hubungan 

antara Islam dan Nasionalisme justru tidak ada. Nasionalisme 

adalah ideologi buatan manusia, sedangkan Islam adalah buatan 

Allah Swt. Bagaimana mungkin mempersamakan sesuatu buatan 

Allah Swt dengan sesuatu buatan manusia? Lantas, bagai­mana￾kah harus diterangkan adanya hubungan antara perkembangan 

Islam dalam kehidupan yang dipenuhi oleh tindakan-tindakan 

manusia? Al-Maududi tidak mau menjawab pertanyaan ini, se￾buah sikap yang pada akhirnya menghilangkan arti acuan yang 

digunakannya.

Bukankah Liga Muslim (Muslim League) yang didukung￾nya adalah buatan Ali Jinnah dan Liaquat Ali Khan, yang kemu￾dian melahirkan Pakistan, tiga kali berganti nama antara Repub￾lik Pakistan dan Republik Islam Pakistan? Bukankah ini berarti 

cam­pur tangan manusia yang sangat besar dalam pertumbuhan 

ne­ge­ri muslim itu? Dan, bagaimanakah harus dibaca tindak￾an Jenderal Pervez Musharraf yang pada bulan lalu telah me￾menangkan ke­presidenan Pakistan melalui plebisit, bukannya 

melalui pemi­lu? Dan bagaimana dengan tuduhan-tuduhannya, 

bahwa para pemuka partai politik, termasuk Liga Muslim, se￾bagai orang-orang yang korup dan hanya mementingkan diri 

sendiri?

eg

Banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan rati­fi￾ka­si atas Deklarasi Universal HAM, yang dikumandangkan oleh 

Perseri