jurnal 1

 






Sebelum bicara mengenai Jurnalisme , kita perlu memahami asal-usul 

perkembangan ilmu komunikasi pasca penemuan mesin cetak pada 

abad ke-14. Kata Jurnalisme  berasal dari kata Bahasa Inggris Jour-

nalistic yang artinya ‘mengenai kewartawanan’. namun  bila dikaji 

lebih dalam, kata Jurnalisme  berasal dari kata latin Acta Diurna yang 

artinya ‘catatan harian’. 

 

 ini  bisa dipahami bahwa kegiatan Jurnalisme  pada awalnya

memang bersifat harian, atau berita-berita yang dikemas dalam 

bentuk cetakan yang disampaikan setiap hari.

 

 asal-usul  media modern bermula dari buku cetak.1 Denis 

McQuail (1987) mengungkapkan bahwa, walau  pada awalnya 

pencetakan buku yaitu  penggunaan alat teknik untuk mere-

produksi teks yang sama atau hampir sama, yang telah disalin dalam 

jumlah besar, namun upaya itu bisa disebut sebagai “revolusi”. Lam-

bat laun perkembangan buku cetak mengalami perubahan dalam 

segi isi –semakin bersifat sekuler dan praktis. lalu  banyak pula 

karya populer –dalam wujud brosur dan pamflet politik dan agama 

yang ditulis dalam bahasa daerah yang ikut berperan dalam proses 

transformasi abad pertengahan.

1  Gutenberg pertama kali menerbitkan Injil dalam buku cetak pada tahun 1455, lalu  baru pada tahun

1640 buku pertamakali diterbitkan untuk warga koloni Amerika. 

 Sejak ditemukan mesin cetak 

pada 1456 oleh Gutenberg, mulailah 

‘The printing Era Of Communication’ 

yang ditandai banyaknya cetakan yang 

bersifat massal. Hampir dua ratus tahun

sesudah  ditemukannya percetakan barulah

sekarang ini dikenal sebagai surat kabar 

prototype. Surat Kabar ini dapat dibeda-

kan dengan surat edaran, pamphlet, dan 

buku cerita akhir abad ke enam belas dan 

abad ke tujuh belas. faktanya 

terbukti bahwa ‘surat’-lah yaitu 

bentuk awal dari surat kabar bukan 

lembaran yang berbentuk buku.

 

 Surat edaran disebarkan melalui pelayanan pos yang belum 

sempurna dan berperan utama menyebarkan berita menyangkut 

peristiwa yang ada hubungannya dengan perdagangan internasional.

Jadi, munculnya surat kabar yaitu  pengembangan suatu 

kegiatan yang sudah lama berlangsung dalam dunia diplomasi dan di 

lingkungan dunia usaha.

 

 Surat kabar pada masa awal ditandai lewat wujudnya yang 

tepat, bersifat komersial (dijual secara bebas), bertujuan banyak 

yakni memberi informasi, mencatat, menyajikan, periklanan, hiburan,

dan desas-desus. Selain itu, surat kabar juga bersifat umum dan 

terbuka.

 

 Surat kabar komersial abad ketujuh belas tidak lahir dari 

suatu sumber, namun  dari gabungan kerjasama antara pihak perce-

takan dan pihak penerbit.

 

 Ragam surat kabar resmi (seperti yang diterbitkan oleh raja 

atau pemerintah) memang memiliki beberapa  ciri khas yang sama 

dengan surat kabar komersial. Keduanya juga berfungsi sebagai 

‘terompet’ pengusaha dan alat pemerintah. Bila ditelusuri kembali, 

akan tampak bahwa pengaruh surat kabar komersial yaitu  

tonggak penting dalam asal-usul  komunikasi. ini  disebab kan 

sejak itu pola pelayanan beralih kepada para anggota warga  

pembaca yang tidak dikenal (khalayak bersifat anonim) dan bukan-

nya yaitu  alat para propagandis dan raja.

 Dalam konsep pengertian di atas, surat kabar memiliki kadar 

inovasi yang lebih tinggi daripada buku cetak (penemuan/invensi 

bentuk karya tulis sosial dan budaya yang baru). walau  demikian,

pada masa itu pandangan yang muncul tidak demikian adanya. 

Kekhususan surat kabar, jika dibandingkan dengan sarana komuni-

kasi budaya lainnya terletak pada individualisme.ii

 Tonggak asal-usul  lainnya terjadi pada tahun 1833, saat per-

tama kalinya penyebaran media secara massal yang disebut sebagai 

‘penny press’ newspapers yakni ‘The New york Sun. Begitu juga 

pada tahun 1893, metode baru fotografi mulai dikembangkan oleh

Daguerre yang akhirnya banyak memberi warna bagi surat kabar.2

 

 sesudah  The Printing Era Of Communication (mulai 1456)

masuklah lalu  kita pada era telekomunikasi pada tahun 1844 

hingga sekarang.

Pada tahun 1894, mulai dikembangkan teknologi pembuatan film 

yang ditandai dengan penayangan film pertama kalinya pada mas-

yarakat. Beberapa tahun lalu , yakni pada 1895, Guglielmo 

Marconi mulai mengenalkan cara mengirim pesan melalui perangkat 

radio.

 

 Radio lalu  berkembang pesat dan akhirnya pada 1920 

mulai ada siaran radio di Pittsburg. Televisi muncul belakangan pada 

tahun 1933 saat  RCA mulai mendemonstrasikan kepada publik 

dan televisi komersial mulai ditujukan pada publik pada tahun 1941.

A. DEFINISI

Pada awalnya, Jurnalisme  diartikan sebagai catatan harian  khusus-

nya pada jaman Julius Caesar. Akan namun , lalu  berkembang 

pesat di mana pada tahun 1960-an muncul ‘Jurnalisme  baru’ yakni 

bagaimana menyampaikan pesan atau berita menuruti gaya prosa.

 

 Pada tahun 1970-an muncul juga apa yang disebut sebagai 

‘Jurnalisme  presisi’. Jurnalisme  ini lebih kepada menyusun pesan atau 

berita yang diolah selayaknya laporan  memakai  metode riset 

ilmu sosial.

 

 sesudah  computer dan internet makin mewarga , kemu-

dian muncul apa yang disebut sebagai ‘Cyber Jurnalisme ’3. Jurnalisme  

yang memakai  jaringan internet dalam penyusunan dan penye-

barluasan berita atau pesan. 

 

 Lalu apa sebenarnya pengertian Jurnalisme  itu sendiri? Ada 

tiga pengertian Jurnalisme , yakni sebagai berikut.

3  Secara serius Straubhaar menjelaskan bahwa media massa yang tidak memanfaatkan atau memakai  internet

lambat laun akan tertinggal sebab   adanya trend konvergensi media yang  menggabungkan seluruh kemampuan

audio visual, elektronika dan media massa menghadapi tantangan era informasi global. 


1. Jurnalisme  yaitu  segala bentuk kegiatan yang dilakukan dan sarana

yang dipakai  dalam mencari, memproses, dan menyusun berita

serta ulasan mengenai berita hingga mencapai publik atau 

gerombolan tertentu yang menaruh perhatian khusus pada hal-hal 

tertentu.

2. Jurnalisme  yaitu  pengetahuan tentang penulisan, penafsiran, 

proses, dan penyebaran informasi umum, serta hiburan umum 

secara sistematik yang dapat dipercaya untuk diterbitkan.

3. Jurnalisme  yaitu  pekerjaan tetap untuk menyampaikan berita, 

tafsiran, dan pendapat yang bertolak dari berita.

 Dari ketiga batasan di atas, terlihat bahwa Jurnalisme  men-

cakup kegiatan yang berkaitan dengan pencarian, pengolahan dan 

penyusunan berita, ulasan berita dan pendapat, serta sarana yang 

mendukung kegiatan berita atau ulasan berita/pendapat itu sampai

ke warga . Termasuk dalam ini  pencarian/pengolahan serta

penyusunan foto. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa

Jurnalisme  meliputi hal berikut ini.

1. Mencari dan mengumpulkan apa yang akan disebarluaskan pada 

warga  pada umumnya.

2. Mengolah atau memilah serta menyeleksi hasil pencarian/pengum-

pulan ini .

3. Menyusun hasil pengolahan dalam bentuk tertulis seperti berita

(berita lempang, berita bertafsir, berita investigative, analisis berita 

dan sebagainya, juga non berita atau pendapat (artikel, feature, tajuk 

rencana, kolom, pojok, surat pembaca, karikatur), atau gambar/

foto.

4. Menyebarluaskan berita, tafsiran, pendapat, foto melalui surat 

kabar, majalah, radio, televisi atau media lain yang memungkinkan. 4

4  baca ‘Dasar-Dasar Jurnalisme ” Drs Indiwan Seto, Wacana Fikom UPDM (B) 2003 

5

B. PRODUK Jurnalisme 

Pada umumnya, produk Jurnalisme  yang dihasilkan wartawan dapat 

digolongkan menjadi tiga gerombolan besar, yaitu: berita, non berita,

dan foto Jurnalisme . Adapun yang masuk dalam gerombolan berita 

yaitu  berita lempang (straight news), berita bertafsir, berita 

berkedalaman, dan lain sebagainya. Untuk gerombolan non berita 

terdiri atas artikel, feature, tajuk rencana, pojok, karikatur, dan surat

pembaca. Sementara, foto Jurnalisme  terbagi menjadi foto berita dan 

foto human interest. Di masa datang, besar kemungkinan internet

dan ragam ‘image’ yang dihasilkannya bisa dimasukkan menjadi 

produk Jurnalisme , khususnya produk “cyber journalistic”.

 Perbedaan berita dan non berita terletak pada bagaimana cara 

mengungkapkan fakta. Pada berita, fakta diungkapkan sebagaimana 

adanya sebab  fakta itu suci dan murni. Kalau pun ada opini, maka 

perlu ada perbedaan yang jelas antara fakta dan opini dalam berita 

yang dibuat. sedang , pada non berita fakta disampaikan sesudah  

diolah oleh akal budi si penulis. Jadi, yang dimuat dalam produk non 

berita sebenarnya opini si penulis atas fakta.

 

 Oscar I Motuloh dalam artikel  berjudul “Foto Jurnalisme , 

Suatu Pendekatan Visual Dengan Suara Hati”5 mengatakan bahwa

foto Jurnalisme  yaitu  suatu medium sajian untuk menyampaikan 

beragam bukti visual atas berbagai peristiwa pada warga  

seluas-luasnya, bahkan hingga kerak di balik peristiwa ini , 

dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

 

 Berbeda dengan wartawan tulis, seorang wartawan foto harus 

terjun langsung dalam peristiwa yang terjadi. Henri Cartier-Bresson 

pendiri agen foto terkemuka ‘Magnum’, menyatakan dalam bukunya

‘Decisive Moment’ bahwa foto Jurnalisme  berkisah dengan sebuah

5  Oscar Motuloh yaitu  wartawan foto senior  LKBN ANTARA, kini penanggungjawab Galeri Foto Jurnalisme  

Antara di Pasar baru Jakarta Pusat, membuat artikel  ini  untuk kepentingan pelatihan Foto Jurnalisme   

yang diselenggarakan oleh  Lembaga Pendidikan Jurnalisme  Antara (LPJA) Wisma Sahardjo Jakarta.

6

gambar. lalu , melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya

dalam  waktu, yang seluruhnya berlangsung sesaat  saat suatu citra 

ini  mengungkap suatu cerita.

 sedang , menurut ‘Bapak Foto Jurnalisme ’ asal Amerika

Serikat, Prof Clifton Edom dalam bukunya ‘Photojournalism, Principles

and Practice’ seorang foto jurnalis pertama-tama yaitu  seorang

wartawan. Mereka harus selalu memotret langsung di jantung 

peristiwa yang tengah panas-panasnya. Mereka tidak bisa mencip-

takan suatu foto dengan hanya mengangkat telepon. Mereka yaitu  

mata dunia, dia harus bisa melihat dari dekat apa yang terjadi dan 

lalu  melaporkannya.

 Sebelum membahas secara komprehensif berita dan non

berita serta mengenai seluk-beluk foto Jurnalisme , kita membahas

lebih dulu aliran-aliran besar serta sistem pers di dunia. Aliran ini 

penting untuk memahami mengapa pola pemberitaan di suatu 

negara berbeda dengan negara lainnya.

C. MEMAHAMI  MEDIA CETAK

Siapa tak kenal maka dia tak sayang. Idiom ini sepertinya cocok 

diterapkan pada media massa khususnya media cetak. Sebagai 

seorang calon manajer media, pemahaman mengenai media cetak 

yang akan menjadi objek garapan sangatlah penting. Dengan mema-

haminya, semakin mudah menerapkan tindakan atau aksi manajerial 

yang penting untuk kelangsungan usaha.

 

 Jurnalisme  berasal dari kata Journal atau du Jour dan juga 

acta Diurna yang berarti ‘catatan harian’. Pada awalnya Jurnalisme  

berarti catatan atau laporan harian yang disajikan untuk khalayak atau 

massa. Dalam perkembangannya, kegiatan Jurnalisme  yaitu  kegiatan 

mengumpulkan, menyiapkan, menuliskan, dan menyebarkan 

informasi melalui media massa.

7

 Media massa di dunia biasanya dibedakan menjadi dua, yakni:

media cetak dan media elektronik. Media cetak terdiri dari surat 

kabar, tabloid, dan majalah. Kedua, media elektronik terdiri dari 

radio siaran dan televisi siaran. Selain pembagian di atas, banyak ahli 

juga memasukkan film dan buku sebagai bentuk dari komunikasi

massa. Bahkan di negara-negara maju, buku dan kaset musik 

rekaman dimasukkan pula sebagai media komunikasi massa. Kondisi

ini sebab  di negara ini  tiras penerbitan buku bisa mencapai 

ratusan hingga jutaan eksemplar setiap kali terbit, begitu juga kaset 

rekaman musik. 

 

 Film, buku, dan kaset rekaman musik disebut sebagai media 

komunikasi massa sebab  sama-sama memiliki unsur-unsur komu-

nikasi. Bahkan, dari kedua media itu kerap memunculkan dampak 

baik dampak negatif maupun dampak positif. Dalam mata kuliah ini, 

yang akan dibahas secara mendalam yaitu  media massa cetak. Di 

Indonesia, sejak era reformasi menjadi keniscayaan ada  sedikit-

nya 1.500 media cetak pada Juli 1999, baik itu media surat kabar dan 

majalah. Jumlah itu semakin banyak saat  kunci kebebasan pers di 

buka. Sekitar 70 persen dari jumlah keseluruhan dicetak di Jakarta 

sisanya tersebar di seluruh nusantara.

 Sejak pertengahan tahun 1980-an, kualitas media cetak

Indonesia makin baik. ini  terlihat dari sudut tiras, sisi perwajahan

atau tata layout maupun kualitas isinya. Ditambah lagi ‘kualitas’ SDM 

yang ada di balik sebuah media cetak. 

 Saat ini banyak media cetak terkenal dan besar di Indonesia

memberi syarat minimal lulus sarjana (S1), punya kemampuan dasar 

komputer (mampu menulis berita memakai  komputer), punya

pemahaman memadai dalam berbahasa Indonesia dan Inggris, 

serta terakhir lulus Psikotest. Selain itu, media cetak menjanjikan 

penghasilan yang lumayan bagi si calon wartawan sesuai dengan

kemampuannya. Begitu pula dengan tenaga desain grafis serta teknis 

komputer. Para tenaga ini  saat ini dibutuhkan media cetak agar

8

tidak tertinggal dalam persaingan yang makin ketat.

 Dalam pemilihan tenaga wartawan, terjadi juga kecenderungan

spesialisasi atau penonjolan terhadap kemampuan khusus sesuai 

media yang memperkerjakan dirinya. beberapa  media cetak khusus

seperti otomotif, komputer, selular, hukum, serta budaya yang 

meminta syarat-syarat keahlian khusus bagi calon wartawannya.

 Spesifikasi ini juga tak urung merambah ke dunia hiburan 

dan yang terkait dengan kebutuhan wanita. Ini ditandai dengan 

munculnya beberapa  majalah internasional berbahasa lokal seperti 

Kosmopolitan, Health yang meniru habis-habis majalah serupa di 

luar negeri. Tapi, di luar itu masih banyak juga yang bertahan sebagai

media cetak umum yang memuat berbagai bidang kehidupan. 

Bahkan, kini beberapa  media cetak terbitan Jakarta atau daerah yang 

menerbitkan suplemen (sisipan) yang membahas garapan media 

spesialis; mulai dari olah raga hingga ke komunikasi bisnis. 

II. PERBEDAAN  MEDIA CETAK

Media cetak bisa dibedakan dari berbagai segi. Bisa dilihat dari 

format atau ukurannya. Bisa dari periodisasi terbitnya, jangkauan

sirkulasinya, bahasa yang dipakai , segmen pembacanya, atau 

waktu terbitnya. Namun, bisa juga berdasar  sisi Format Media

Cetak. Format media cetak bisa dibedakan menjadi empat yakni 

format ‘Broadsheet’, format tabloid, format majalah, dan format buku.

1. Format Broadsheet. Format ini yaitu  format media cetak berukuran

surat kabar umum (setengah ukuran plano). Di Indonesia hampir 

seluruh koran berukuran sama sebab  kertas yang dipakai  uku-

rannya sudah standar. Contoh Koran Suara Pembaruan, Kompas, 

Suara Karya, Republika, dan Kompas.

2. Format Tabloid. Format jenis ini berukuran setengah dari format 

Broadsheet. Dalam asal-usul nya di AS, format ini diperkenalkan

untuk mereka yang selalu sibuk sehingga harus membaca di dalam

9

bus, atau kereta api sehingga di cari bentuk koran yang praktis dan 

gampang dibaca di tempat yang sempit. Pada awalnya tabloid di

negara maju dikenal sebagai ‘yellow journalism’ artinya bacaan 

yang hanya memuat gosip dan isu-isu murahan seputar skandal 

dan seks atau berita-berita ringan. Tapi lama-kelamaan, bentuk 

ini digemari, sebab  bentuk ini dipakai  di beberapa  kampus 

dengan bobot isi yang lebih baik. 

Di Indonesia, sejak muncul Tabloid Bola, demam tabloid melanda

dunia media cetak nasional. Bola sebelumnya yaitu  

suplemen dari Koran Kompas. sesudah  Bola sukses, lalu  

bermunculan media berformat tabloid seperti Monitor. Bahkan 

sebelum dibreidel, Monitor sempat menjadi tabloid terlaris sebab  

pernah tirasnya mencapai satu juta eksemplar per hari. Saat ini 

sudah begitu banyak media cetak berformat tabloid di antaranya 

Nova, Aksi, Paron, Bintang, Aura, Wanita Indonesia. 

3. Format Majalah. Format majalah yaitu  setengah dari ukuran

tabloid atau seperempat ukuran broadsheet. Menurut Mario R 

Garcia dalam bukunya ‘Newspapers Design’, selain umumnya

berukuran seperempat halaman broadsheet, pengertian majalah 

sebab  halaman demi halamannya diikat dengan kawat atau dilem, 

serta memakai  sampul yang jenis kertasnya lebih tebal, lebih 

mengkilat di banding kertas bagian dalam. Oleh sebab  itu, 

majalah ‘Film’ yang berukuran tabloid tidak disebut sebagai 

tabloid namun  sebagai majalah sebab  seluruh halamannya diikat 

dengan kawat (Dihekter) dan memakai  sampul atau cover 

dari jenis kertas yang berbeda.

4. Format Buku. Kendati di Indonesia masih ada perdebatan apakah 

buku bisa masuk menjadi media komunikasi massa, di sini sejak 

lama sudah dikenal adanya media massa berformat buku. Format

buku ini yaitu  setengah dari halaman majalah atau kira-kira

seperdelapan dari format broadsheet. Contoh media massa 

berformat buku yaitu  Intisari dan Warnasari, Prisma, Sabili, dan 

lain-lain.

10

III. SEGMENTASI  PEMBACA MEDIA CETAK

Syarat untuk mencapai sasaran yang tepat, seorang pengelola media 

cetak akan mempertimbangkan matang-matang beberapa hal. Siapa 

yang akan menjadi pembacanya, siapa khalayak yang akan dibidik 

lewat sajian berita atau tulisan atau juga iklan yang disiarkan media 

ini .

 

 Semua media massa memiliki  khalayaknya masing-

masing, sehingga seringkali sukar dimengerti mengapa begitu banyak

orang membaca Harian Pos Kota, dan begitu susah payahnya harian 

Warta Kota atau Berita Kota untuk melawan dominasi Pos Kota dalam 

meraup khalayak dan ‘iklannya’.

 Ada beberapa  media yang harus bersaing memperebutkan 

khalayak yang sama. Kondisi ini mengingat kemampuan atau daya 

beli warga  Indonesia masih terbatas sehingga tidak memung-

kinkan mereka membeli dua atau tiga surat kabar atau majalah 

sekaligus. 

 Pembagian khalayak atau segmen pembaca ini bisa berdasar-

kan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, profesi,

spesialisasi, hobi, suku atau budaya, agama, serta ras atau etnik.

1. Jenis kelamin. Kita harus menetapkan majalah itu ditujukan kepada

siapa? Apakah kaum wanita atau pria? Ini terkait dengan isi tulisan 

atau artikel bahkan iklan yang akan kita tampilkan.

2. Usia. Adakalanya media cetak mengkhususkan diri membidik 

segmentasi berdasar  usia. Maka dari itu ada media cetak yang 

khusus buat remaja putri atau buat laki-laki dewasa.

3. Tingkat Pendidikan. Ada kecenderungan tingkat pendidikan 

memengaruhi daya serap atau kebutuhan membaca atau mencari 

informasi. Jadi wajar saja dalam sebuah media planning seorang 

manajer harus bisa menetapkan segmentasi pasar berdasar  

tingkat pendidikan dan harus disesuaikan dengan materi atau isi 


dari media yang kita luncurkan. Artinya, kalau kita menerbitkan 

media berisikan soal nuklir dan bom atom, maka segmen pasarnya

tak akan seluas atau selebar pangsa pasar media cetak hiburan 

yang menampilkan kehidupan dan gaya hidup artis atau bintang 

film.

4. Tingkat ekonomi. Untuk melihat secara gampang, ekonomi pem-

baca bisa dilihat dari harga medianya. Mereka yang mampu 

berlangganan majalah Bisnis seharga Rp 75.000 per eksemplar 

tentu berbeda dengan para pelanggan harian Rakyat Merdeka 

atau majalah film.

5. Profesi. Dalam sebuah media planning, perlu diperhatikan siapa 

yang menjadi khalayak; apa profesinya dan berapa jumlahnya. Jadi 

kalau kita ingin membidik segmen pasar khusus seperti majalah 

kedokteran, maka setidaknya harus dipikirkan ada berapa banyak 

dokter yang bisa menjadi pelanggannya. Dan, apakah biaya cetak 

bisa tertutupi bila hanya mengandalkan langganan yang khusus 

itu?

6. Hobi dan minat. Ada beberapa  media cetak yang mengarahkan 

sasaran penjualannya pada khalayak dengan hobi atau minat 

tertentu. Sebagai contoh Majalah Bola jelas mengincar mereka 

yang senang olah raga khususnya sepak bola. Semakin mampu 

mencari informasi soal minat atau hobi yang digemari sebagian 

besar warga  Indonesia, tentu akan semakin mudah menetap-

kan harga jual, isi media, dan target penjualannya.

7. Suku/Budaya/Agama/dan Ras. Media cetak juga bisa mengkhusus-

kan diri menggaet pangsa pasar yang berasal dari suku tertentu, 

budaya tertentu, agama tertentu, atau ras tertentu. Semakin 

khusus akan semakin menimbulkan resiko bahwa jumlah pemba-

canya akan makin sedikit dan spesialis.

Media cetak jenis ini misalnya majalah Hidup (Katolik), Majalah 

Sabili (Islam), Harian Indonesia (etnis keturunan Cina), Majalah 

Mangle (suku Sunda), Panyebar Semangat (Jawa).6

6  Majalah-majalah khusus ini memang banyak ‘jatuh bangun dalam persaingan pasar khususnya saat melawan

pemain lama yang sudah punya ‘pelanggan atau langganan tradisional’ mereka hanya berharap diri pada 

kekuatan ‘emosional’ dan kaitan primordialisme para pembacanya.


ALIRAN-ALIRAN BESAR

Jurnalisme  DUNIA

Pada awal perkembangannya, surat kabar sudah menjadi lawan 

nyata atau musuh penguasa mapan. Secara khusus, surat kabar 

memiliki persepsi diri sebagai lembaga penekan (maka sering 

disebut sebagai pers atau press yang berarti penekan).

 

 Citra pers yang dominan dalam asal-usul  selalu dikaitkan dengan

pemberian hukuman bagi para pengusaha percetakan, penyunting 

dan wartawan. Perjuangan untuk mencapai kebebasan penerbitan, 

pelbagai kegiatan surat kabar untuk memperjuangkan kemerdekaan, 

serta hak-hak pekerja dan mereka yang tertindas.7

 Sebenarnya dari kajian asal-usul  ada sedikitnya enam teori atau 

aliran besar menyangkut teori normatif media massa.8 Indonesia

saat ini, mungkin yaitu  negara yang menganut perpaduan 

beberapa  teori.

 Pertama, yang mencoba membedakan beberapa teori besar 

menyangkut media massa berawal pada tahun 1956. Pada saat itu, 

F Siebert menyebut ada empat sistem pers di dunia. namun , Denis 

McQuail menambahnya menjadi enam teori pers yang sampai saat ini 

masih dianut oleh sebagian negara di dunia dengan berbagai modi-

fikasinya termasuk di Indonesia. Sistem pers ini  yakni sistem


otoriter, pers bebas, tanggung jawab sosial, teori media soviet, teori 

media pembangunan dan teori media demokratik partisipan yang 

muncul mengikuti jamannya. Pada awalnya, pers sebagai salah satu 

medium komunikasi modern lahir di dalam warga  Authokratis

Feodalistis (1450). Pada saat itu mulai dikenal teknik cetak yang 

diciptakan oleh Johan Guternberg. lalu  berkembang terus 

menjadi sistem Libertarian pada abad 18, sistem pers Soviet, dan 

social responsibility pers.

 

 Di Indonesia sendiri, konsep-konsep dari teori Authoritarian,

libertarian, dan social responsibility pers saling bergesek mencari 

tempat. Lalu, bagaimana saat ini di tengah era reformasi? Sistem apa 

yang dipakai  Indonesia di era kebebasan pers pasca pembubaran 

Deppen yang dianggap sebagai lembaga penghambat kebebasan pers 

di era orde baru? Apakah pers Indonesia otomatis berubah menjadi

pers liberal? Apakah pemerintah kita tak lagi punya gigi untuk 

mengendalikan pers?

 Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dipahami 

terlebih dahulu empat konsep atau teori pers klasik yang masih 

dianut di berbagai belahan dunia hingga saat ini. Selanjutnya, 

ditambah dua teori lain yang muncul belakangan.

 Menurut Fred S Siebert dan kawan-kawan dalam buku ‘Four

Theories Of The Press’ (1956) pada awalnya sistem pers di dunia ini 

dibagi menjadi empat.

Authoritarian Theory 

Teori pers ini terkait dengan konsep negara otoriter. Sumber dari 

dasar keyakinan pada konsep otoriter ini yaitu  bahwa tidak setiap

orang memeroleh kekuasaan mutlak dan bahwa setiap anggota

warga  tanpa “Reserve” diwajibkan tunduk dan taat kepada

kekuasaan ini . Oleh sebab nya, fungsi dari suatu negara



otokratis yaitu  menjaga persatuan atau kesatuan pikiran dan 

tindakan diantara rakyatnya dengan mempertahankan kontinuitas 

kepemimpinannya.

 

 Cara untuk memeroleh segalanya itu dipakai secara persuasi, 

bisa juga paksaan serta kadang-kadang juga paksaan serta kadang-

kadang memakai  kekerasan. Teori otoriter ini berkembang 

hingga abad 18 dan mendapat ‘tantangan’ dari para penganut pers 

liberal yang muncul lalu . Konsep dasar dari teori authoritarian

antara lain sebagai berikut.

1. Bukanlah tugas atau kewajiban dari alat komunikasi massa atau 

pers untuk menetapkan haluan dan tujuan negara, sebab  ini  

yaitu  hak dari golongan yang berkuasa.

2. Alat komunikasi massa hanya yaitu  alat belaka untuk men-

capai tujuan dan kepentingan negara bahkan seringkali jadi alat 

untuk kepentingan dan tujuan golongan vested interest.

3. Kritik masih dimungkinkan, kalau tidak dilarang sama sekali. namun  

kritik itu hanya boleh pada bidang penyelenggaraannya tidak 

diperbolehkan untuk menggugat tujuan.  

4. Teori ini cenderung bersikap skeptis terhadap kemampuan rakyat 

banyak10

Libertarian Theory

Teori pers ini amat dipengaruhi paham liberal klasik yang menem-

patkan pers sebagai ‘free market place of ideas’ dimana ide yang baik 

akan dipakai orang sedang  ide yang terburuk akan gagal memen-

garuhi orang. Teori ini mulai berkembang pada abad 17 dan sangat  

dipengaruhi karya John Stuart Mill ‘On Liberty’. 

 Stuart Mill hidup di jaman liberal, yaitu suatu jaman dimana 

warga  secara prinsip menentang campur tangan berlebihan 

dari pemerintah atau penguasa. Bukan saja di bidang ekonomi dan 

politik, akan namun  juga di dalam usaha pembentukan watak manusia 

merdeka.

 Dua konsep penting yang dianut teori Libertarian yaitu  

“freedom of expression” dan “freedom of property”. Artinya, konsep pers  

liberal ini sangat mengagungkan kebebasan berekspresi dan kebe-

basan dalam hal kepemilikan. Kendati pers bebas, beberapa  problem 

dan inkonsistensi muncul, khususnya saat  menyangkut kebebasan 

pribadi. Kritik keras muncul terhadap teori ini sebab  seringkali 

mengabaikan hak-hak individu dan munculnya ‘abuse of liberty’.

 Situasi ini terjadi antara lain sebab  orang dan media massa 

terlalu menonjolkan hak-haknya untuk menyatakan pendapat tanpa

batas dengan tidak menunjukkan kewajiban dan tanggung jawab 

kepada warga nya. Pers ibarat pada titik yang ekstrim beralih 

menjadi industri pers raksasa dan terpusat sehingga semakin sukar 

ditembus dominasinya. ini  akhirnya menimbulkan ekses-ekses 

diantaranyapers makin menjauh dari suara hati nurani warga  

yang sebenarnya.

12 Dalam prakteknya, kebebasan pers bisa membuat warga  dirugikan dengan munculnya berita-berita 

sensasional, mistik dan mengumbar kekerasan dan seks dengan dalih bahwa warga  yang menginginkan 

berita-berita macam ini. Di Indonesia, kondisi yang hampir sama terjadi saat era Reformasi, saat  tidak ada 

lagi lembaga yang mampu mengontrol secara tegas isi media seperti di era Orba dengan ancaman pencabutan 

SIUPP bagi mereka yang seenaknya membuat berita sensasional, menyebarkan kebencian dan kabar bohong 

serta melanggar kesusilaan.

 Theodore B Peterson mengecam pers liberal sebagai berikut.

1. Bahwa pers telah memeroleh pengaruh dan kekuasaannya untuk

tujuan sendiri, yakni bagi kepentingan si pemilik media massa. 

Pers seringkali hanya mempropagandakan pendapatnya sendiri, 

terutama untuk tujuan politik dan ekonomi dengan merugikan 

pendapat-pendapat yang berlawanan.

2. Bahwa pers liberal memiliki watak sebagai perusahaan ‘big 

business’ yang terkadang tak menolak untuk dikuasai atau diken-

dalikan para pemasang iklan sehingga mereka bisa seenaknya 

menentukan isi dan politik tajuk rencana.

3. Pers seringkali menentang atau merintangi perubahan sosial.

4. Pers seringkali lebih memerhatikan hal-hal yang dangkal dan 

sensasional di dalam pemberitaannya dan sifat hiburannya tidak 

bernilai.

5. Bahwa pers seringkali membahayakan penegakan moral di tengah 

warga .

6. Bahwa pers tidak segan-segan menyerang soal-soal  pribadi.

7. Bahwa pers biasanya dikuasai oleh suatu kelas sosial ekonomi dan 

bila pers ini  berkembang pesat menjadi suatu industri maka 

tertutuplah peluang bagi newcomers. Dengan demikian “The free 

and open market place of ideas” menjadi terancam.

Social Responsibility Theory

Media massa sesungguhnya wajib ‘bertanggungjawab’ kepada mas-

yarakat, dan pemilik media massa yaitu  sebuah ‘public trust’. Maka 

dari itu, berita-berita media massa harus berlandaskan pada 

kebenaran, akurat, fair, objectif, dan relevan.

 

 Media massa seharusnya menyediakan para pembacanya 

sebuah forum pertukaran ide atau gagasan (public sphere). Konsep 

ini


muncul di era 1947-an dan sangat dipengaruhi oleh terbentuknya 

Komisi Kebebasan Press di Amerika.

 Pada tahun 1947, di AS dibentuk sebuah komisi yang diketuai

oleh Prof Robert M Hutchins dari Universitas Chicago. Komisi ini 

lalu  dikenal sebagai ‘Commission on Freedom Of The Press’ yang 

beranggotakan 7 orang guru besar dari pelbagai universitas di Amerika.

Komisi ini dibentuk atas saran Henry R Luce. Tugasnya yaitu  

mengadakan riset mengenai kehidupan pers di AS dan prospeknya 

di masa depan.

 Menurut teori ini, media massa seharusnya bebas namun 

hendaknya memiliki budaya ‘self regulated’. Media massa seharusnya

mengikuti atau menyetujui kode etik dan standar professional 

wartawan. Dalam bukunya ‘Mass Communication Theory’, Denis 

McQuail menulis berikut ini.

“…Social responsibility theory involved the view that media owner-

ship and operation are form of public trust or stewardship, rather

than an unlimited private franchise. For the privately owned media,

social responsibility theory has been expressed and applied mainly

in the form of codes of professional journalistic standards, ethics

and conduct or in various kinds of council or tribunal for dealing

with individual complaints against the press or by way of public

commissions of inquiry into particular media. Most such councils

have been organized by the press media themselves, a key feature

of the theory being its emphasis on self regulation.”

Soviet Communis Concept

Sumber dari konsep sistem pers ini yaitu  ajaran komunisme yang 

berasal dari Marxis-Leninisme. Filsafat historis-materialisme ada-

lah dasarnya, sedang  penilaian baik buruk diukur dengan dogma 

marxisme dan leninisme.


 Teori ini muncul sekitar tahun 1917 sesudah  peristiwa Revolusi

Oktober meletus yang mampu mengubah wajah Rusia. Menurut 

pakar Komunikasi Denis McQuail, Soviet dan negara beraliran komu-

nis lainnya menerapkan ‘teori authoritarian baru’ yang sering disebut 

sebagai teori pers soviet komunis. Pada konsep ini, pers dipandang 

hanya sebagai alat partai komunis bukan sebagai alat komunikasi 

massa apalagi dianggap sebagai ‘kekuatan ke empat’ sebagaimana 

dianut kaum liberal.

 Di negara komunis, media yaitu  alat ‘public opinion’ untuk

tujuan dan kepentingan rakyat pekerja dan memperkuat sistem

sosialis. Secara formal, sebenarnya ada kebebasan rakyat untuk 

menyatakan pendapatnya. Namun, sebab  alat komunikasi massa 

dijadikan alat dari partai dan negara, maka mana mungkin suara-

suara yang tak senada dengan partai dan negara bisa muncul?

 Denis McQuail lalu  menambahkan dua teori atau 

sistem pers lain, yakni: teori Media pembangunan dan teori media 

demokratik – partisipan 

Teori Media pembangunan

Titik tolak “teori pembangunan” tentang media massa ialah adanya 

fakta beberapa kondisi umum negara berkembang yang membatasi

aplikasi teori lain yang mengurangi kemungkinan kegunaannya. 

Salah satu kenyataan yaitu  tidak adanya beberapa kondisi yang 

diperlukan bagi pengembangansistem komunikasi massa seperti 

infrastruktur komunikasi, ketrampilan professional, sumber daya 

produksi dan budaya, serta audiens yang tersedia. Faktor lain yang 

berhubungan yaitu  ketergantungan pada dunia telah berkembang 

atas hal-hal yang menyangkut produk teknologi, ketrampilan, dan 

budaya.

 

 sesudah  itu, warga  di negara dunia ketiga sangat 

gandrung pada penekanan pembangunan ekonomi, politik, dan sosial 


sebagai tugas utama nasional di mana semua lembaga lainnya 

harus bermuara. Ciri-ciri utama dari teori media pembangunan 

diantaranya yaitu  sebagai berikut.

1. Media seyogyanya menerima dan melaksanakan tugas pembangun-

an positif sejalan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan secara 

nasional.

2. Kebebasan media seyogyanya dibatasi sesuai dengan (1) prioritas 

ekonomi (2) kebutuhan pembangunan warga .

3. Media perlu memprioritaskan isinya pada kebudayaan dan bahasa

nasional.

4. Media hendaknya memprioritaskan berita dan informasinya pada 

negara sedang berkembang lainnya yang sangat erat kaitannya 

secara geografis, kebudayaan atau politik.

5. Para wartawan dan karyawan media lainnya memiliki tanggung

jawab serta kebebasan dalam tugas mengumpulkan informasi 

dan penyebarluasannya.

6. Bagi kepentingan tujuan pembangunan, negara memiliki hak 

untuk campur tangan dalam atau membatasi pengoperasian 

media serta sarana penyensoran, subsidi, dan pengendalian 

langsung dapat dibenarkan.

Teori Media demokratik-partisipan

Teori ini sebenarnya yaitu  perkembangan baru sebagai reaksi

dari penyelewengan atau kekecewaan terhadap pers liberal yang 

diterapkan di dunia maju. Teori ini yaitu  reaksi terhadap 

komersialisasi dan aksi monopoli media yang dimiliki secara 

pribadi. Juga reaksi terhadap sentralisme dan birokratisasi lembaga

siaran publik yang diadakan sesuai dengan norma dan tanggung 

jawab sosial. Teori ini dipicu dari adanya kecenderungan beberapa 

organisasi siaran publik yang terlalu paternalistik, terlalu elit, dan 

terlalu akrab dengan proses pemapanan warga . Teori ini 

juga disebabkan banyaknya organisasi siaran publik yang terlalu

tanggap terhadap tekanan politik dan ekonomi, terlalu monolitik 


dan terlalu diprofesionalkan.

 Istilah demokratik partisipan juga mengungkapkan rasa 

kecewa terhadap partai politik yang ada. Selain itu juga terhadap 

sistem demokrasi parlementer yang telah tercabut dari akarnya 

yang asli sehingga menghalangi keterlibatan  warga  dalam 

kehidupan politik dan sosial.

 Teori pers bebas dianggap gagal sebab  subversinya berdasar-

kan pasar, dan teori tanggung jawab sosial tidak memadai sebagai 

akibat dari Keterlibatan organisasi pers dalam organisasi pemerin-

tahan dan dalam kemandirian organisasi saat  melayani publik. 

Rumusan penting dari teori ini dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Warga negara secara individu dan gerombolan minoritas memiliki 

hak pemanfaatan media –hak untuk berkomunikasi- dan hak 

untuk dilayani oleh media sesuai dengan kebutuhan yang mereka 

tentukan sendiri.

2. Organisasi dan isi media seyogyanya tidak tunduk pada pengenda-

lian politik yang dipusatkan atau pengendalian birokrasi negara.

3. Media seyogyanya ada terutama untuk audiensnya dan bukan 

untuk organisasi media, para ahli atau nasabah media ini .

4. gerombolan, organisasi, dan warga  lokal seyogyanya memiliki 

media sendiri.

5. Bentuk media dalam skala kecil dan bersifat interaktif dan partisi-

patif lebih baik ketimbang media berskala besar, satu arah, dan 

diprofesionalkan.

6. Kebutuhan sosial tertentu yang berhubungan dengan media massa

tidak cukup hanya diungkapkan melalui tuntutan konsumen 

perorangan, tidak juga melalui negara dan berbagai lembaga 

utamanya.

7. Komunikasi terlalu penting untuk diabaikan oleh para ahli.


Bagaimana Teori di Indonesia?

Dari enam teori pers di atas, terletak di posisi mana sistem pers

Indonesia saat ini? Meski belum separah di negara barat, nampaknya

pers Indonesia sudah mulai memasuki fase sistem pers liberal. 

walau  demikian dalam berbagai situasi peranan penguasa dan 

kekuatan massa masih bisa memengaruhi kinerja pers Indonesia.

 Pada saat ini, model pers seperti apa yang tidak bisa kita 

dapatkan di Indonesia? Bagi yang ingin mendapatkan berita-berita

serius dan mendalam, mereka bisa memilih koran-koran atau 

majalah berbobot seperti Kompas, Suara Pembaruan, Media Indonesia,

Jawa Pos, Majalah Forum, dan Tempo. Bila ingin mendapat berita-

berita sensasional, menjijikkan, dan bisa mendirikan bulu roma kita 

bisa ambil koran Sentana, Inti Jaya, Rakyat Merdeka, Lampu Merah, 

Misteri, Pos Kota, dan beberapa  koran atau majalah senada.

 Atau bila hanya ingin memenuhi selera rendah, banyak koran 

atau tabloid yang memasang cover gadis cantik dan seksi. Ditambah 

penuh cerita menyerempet porno yang bisa didapat dengan mudah, 

seperti majalah ‘Bos’, ‘Top’, ‘Pop’, ‘Fenomena’.

 Dahulu di era Orde Lama dan Orde Baru,--meski kadang ter-

samar--, kita pernah mengalami bagaimana pemerintah berupaya

mengendalikan media massa lewat beberapa  peraturan dan hambatan

seperti ketentuan SIUPP. Kebebasan pers sendiri di era itu masih 

dibayang-bayangi ancaman dan momok pembredelan pers, bila

memuat berita-berita yang mengkritik pemerintah atau penguasa.

 Pada saat ini, di era reformasi, tak ada lagi yang bisa mengen-

dalikan media massa kecuali media massa sendiri. Tekanan 

warga  memang selalu ada namun  sifatnya hanya sporadis tidak 

otomatis muncul begitu saja. Akan namun , bila muncul gerakan massa 

melawan media massa, dampaknya terkadang menyakitkan. Kasus

pendudukan kantor Jawa Pos oleh massa/banser NU yaitu  

contoh yang sulit untuk dilupakan.

Namun ternyata jumlah kasus-kasus pengrusakan terhadap media

massa masih kecil. Biasanya disebabkan oleh ulah media massa itu 

sendiri yang tidak mampu melakukan self regulated atau sensor 

pribadi terhadap apa-apa yang hendak disajikan.

 Pada era reformasi ini seringkali pers tidak lagi menghargai 

privasi, dan tidak pandang bulu menyebarkan gosip atau desas-

desus meski belum teruji kebenarannya.

 Ancaman real terhadap media massa justru muncul di sektor

ekonomi, yakni mampukah dia bertahan hidup melawan persaingan

dunia usaha. Caranya, lewat penyajian media yang bisa menarik 

pembaca dan pemasang iklan.

 Idealnya, Indonesia harusnya menerapkan sistem pers yang 

bertanggungjawab pada warga  (social responsibility pers) dan 

menjunjung tinggi kode etik serta standard profesional.14 Media 

massa harus punya kebebasan pers tapi tidak kebablasan dan harus 

menghargai juga etika dan norma warga . Mewartakan berita

berlandaskan kebenaran, kejujuran dan akurasi, yaitu  

pedoman utama yang tak bisa ditawar-tawar lagi.



KODE ETIK Jurnalisme  DAN

DELIK PERS

Mengapa sebuah profesi bergengsi seperti jurnalis membutuhkan 

sebuah kode etik? Mengapa, tata kerja wartawan harus diatur oleh 

etika? Pertanyaan ini sebenarnya terkait dengan sistem pers atau 

aliran pers apa yang dipakai di negara tempat pers itu ada. Di negara 

berkembang seperti Indonesia, campur tangan pemerintah terhadap 

perkembangan pers relatif amat besar. Oleh sebab  itu, terkadang 

selain ada kode etik yang dibuat oleh kalangan profesi, pemerintah 

juga menerapkan aturan sendiri.

 Kode etik sesungguhnya yaitu  petunjuk untuk menjaga mutu

profesi sekaligus memelihara kepercayaan warga  terhadap 

profesi kewartawanan. Sesungguhnya kode etik ini yang membuat 

bukan orang lain. Bukan pemerintah, bukan pula lembaga legislatif, 

melainkan oleh kalangan wartawan itu sendiri.

 Ada yang melakukan fungsi pengawasan atas pelaksanaan 

kode etik. Lembaga itu yaitu  sebuah dewan yang yaitu  

perangkat dari organisasi wartawan itu sendiri, yaitu Dewan Kehor-

matan PWI. Dan bila  terjadi suatu pelanggaran, maka lembaga 

itulah yang memberikan sanksi. Sebab, menurut Pasal 17 Kode Etik 

PWI “Tidak ada satu pihakpun di luar PWI yang dapat mengambil 

tindakan terhadap wartawan Indonesia dan atau medianya berdasar 

pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalisme  ini”.

KODE ETIK Jurnalisme  


 Mengapa wartawan perlu kode etik? sebab  kode etik yaitu 

penuntun moral wartawan kala bekerja. Oleh sebab  itu, wartawan 

yang mau dipandang harkat dan martabatnya sebagai jurnalis 

professional wajib menegakkan dan melaksanakan kode etiknya. 

Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi manakala etik profesi ini 

diabaikan. Fenomena munculnya jurnalisme plintir, jurnalisme anarki,

jurnalisme provokasi, jurnalisme preman, jurnalisme adu domba, 

jurnalisme semau gue dan jurnalisme cabul, sadar atau tidak muncul 

sebab  lemahnya penghayatan dan kepatuhan sebagian wartawan 

terhadap etika profesi.

 Tanpa etika profesi, pers dapat menjadi sewenang-wenang.

Seperti apa yang diuangkapkan wartawan senior Mahbub Djunaidi 

bahwa tanpa kode etik, pemberitaan pers akan menjadi anarkis. 

Tanpa kode etik, begitu kata mantan Ketua Umum PWI Pusat itu, 

wartawan bisa menjadi teroris.15

Kode Etik Jurnalisme  (KEJ) PWI

Kode etik Jurnalisme  PWI terdiri atas IV Bab dan 17 pasal. Intinya

sebagai berikut.

1. Mempertimbangkan secara bijaksana patut tidaknya dimuat suatu 

karya Jurnalisme  (tulisan, suara, serta suara dan gambar). Kalau 

membahayakan keselamatan dan keamanan negara, kalau merusak

persatuan dan kesatuan bangsa, atau bakal menyinggung perasaan 

satu gerombolan agama, sepatutnya tidak disiarkan. (pasal 2)

2. Tidak memutarbalikan fakta, tidak memfitnah, tidak cabul dan

tidak sensasional. (pasal 3)

3. Tidak menerima imbalan yang dapat mempengaruhi obyektivitas 

pemberitaan. (pasal 4)

4. Menulis berita dengan berimbang, adil, dan jujur. (pasal 5)

15  diambil dari artikel  “Kode etik Jurnalisme ”  karya Akhmad Kusaeni wartawan senior LKBN ANTARA untuk

kepentingann pelatihan Jurnalisme  LPJA 2004.

26

5. Menjunjung kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan tulisan 

yang merugikan nama baik seseorang, kecuali untuk kepentingan 

umum. (pasal 6)

6. Mengetahui teknik penulisan yang tidak melanggar asas praduga 

tak bersalah serta tidak merugikan korban susila. (pasal 7 dan 8)

7. Sopan dan terhormat dalam mencari bahan berita. (pasal 9)

8. Bertanggungjawab secara moral dengan mencabut sendiri berita 

salah walau tanpa permintaan dan memberikan hak jawab kepada 

sumber atau obyek berita. (pasal 10)

9. Meneliti semua kebenaran bahan berita dan kredibilitas nara-

sumbernya. (pasal 11)

10. Tidak melakukan plagiat. (pasal 12)

11. Harus menyebutkan sumber beritanya. (pasal 13)

12. Tidak menyiarkan keterangan yang off the record dan menghor-

mati embargo. (pasal 14)

UU POKOK PERS

Pada era reformasi ini pers seolah dimerdekakan lewat undang-

undang baru, yaitu UU No40/1999 tentang Pers. Undang-undang 

baru ini secara eksplisit mengatur masalah kode etik di dalam pasal 

7 Bab III. Pada Ayat (1) menyatakan “wartawan bebas memilih 

organisasi wartawan”, sehingga PWI bukan lagi satu-satunya organi-

sasi kewartawanan. sedang , ayat (2) menyatakan “wartawan 

memiliki dan mentaati etik Jurnalisme ”. Dalam penjelasan disebut-

kan bahwa yang dimaksud dengan kode etik yaitu  kode etik yang 

disepakati oleh organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan 

Pers.

 Menurut RH Siregar dari PWI, sesungguhnya dapat ditafsir-

kan bahwa lewat pasal 7 ini UU Pers yang baru tidak memerbolehkan 

adanya organisasi tunggal kewartawanan. namun , urusan kode etik 

tidak lagi sepenuhnya urusan internal wartawan. walau  tidak 

tegas menyatakan harus atau wajib, ayat dua pasal 7 mematok war-

tawan untuk mentaati kode etik. Artinya, pelanggaran terhadap kode

etik Jurnalisme  tidak lagi sekedar pelanggaran organisatoris war-

tawan dan organisasinya, tapi telah menjadi pelanggaran hukum 

positif, terutama jika itu telah menjadi kekuatan hukum di penga-

dilan. 

 Bisa dikatakan bila  wartawan melanggar kode etik berarti

juga melanggar hukum. Ini tersirat dengan ditetapkannya oleh UU 

Pers bahwa “wartawan mentaati kode etik”, maka secara hukum 

mengikat. sebab  sudah yaitu  ketentuan UU, maka siapapun 

secara hukum bisa mengatakan wartawan tertentu telah melanggar

kode etik. Tegasnya, aparat penyidik misalnya bisa melakukan

penilaian apakah wartawan sudah melanggar kode etik atau tidak, 

bahkan memrosesnya melalui pengadilan.

 Dengan kewenangan seperti itu, maka kode etik tidak lagi 

bersifat otonom, sebab  penilaian dan penetapan sanksi atas

pelanggarannya bukan lagi sepenuhnya wewenang profesi. Dengan 

demikian, UU Pers yang baru ini menjadikan wartawan setiap saat 

bisa ditangkap dan ditahan atas tuduhan pelanggaran kode etik. 

ini  dimungkinkan mengingat kode etik yang sifatnya normatif, 

telah dikriminalisasi menjadi pelanggaran hukum yang positif dan 

imperatif.

 Bagi pers yang melanggar prinsif dasar (pasal 5) didenda 

paling banyak Rp 500 juta. Pasal 5 dimaksud yaitu  mengenai 

pelanggaran atas norma agama, rasa susila, dan asas praduga tak 

bersalah. Ayat lainnya menyebut kewajiban pers melayani Hak Jawab 

dan Hak Koreksi.

 

 Sementara bagi pihak di luar pers yang melanggar prinsip 

dasar (pasal 4 ayat 2 dan 3) dihukum penjara paling lama dua tahun 

dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 500 juta. Pasal 4 dimaksud 

berbunyi “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, 

pembredeilan, atau larangan penyiaran” (ayat 2). Ayat 3 berbunyi 

“Untuk menjamin kebebasan pers, pers nasional memiliki  hak 

16 Empat wartawan foto yang dipukuli polisi saat meliput acara demonstrasi mahasiswa di DPR yang mendukung 

pembentukan Pansus Buloggate II 1 Juli 2002 lalu berusaha memperjuangkan agar aparat yang terlibat dibawa 

ke pengadilan. Selain dengan tuduhan penganiayaan, juga dikenakan tuduhan menghalang-halangi hak warta-

wan untuk mencari dan memperoleh berita yang hukumannya bisa penjara dua tahun dan atau denda Rp500 

juta.

mencari, memeroleh, dan menyebarluaskan informasi”.

 Bagi seluruh wartawan Indonesia, sesungguhnya ini sesuatu 

yang amat berat. Tak heran, jika beberapa  wartawan senior, seperti 

RH Siregar, Sekretaris Dewan Kehormatan PWI, dan juga Wakil Ketua

Dewan Pers menilai bahwa sesungguhnya UU Pers baru itu tidak 

sepenuhnya undang-undang yang memerdekakan pers. Melainkan, 

produk legislasi baru yang membelenggu para wartawan melalui 

aturan kode etik Jurnalisme  mereka masing-masing. Melanggar kode 

etik berarti pelanggaran hukum.

 Padahal, kode etik yaitu  rambu-rambu internal yang dibuat 

oleh para wartawan sendiri yang dilaksanakan dengan ketat guna 

membatasi cara dan etika bekerja para wartawan. Tak seorang pun 

penyusun kode etik itu berfikir bahwa suatu kali rambu yang mereka

susun itu kelak menjadi rambu hukum yang mengikat mereka. PWI 

sendiri termasuk organisasi yang menentang pasal yang memasuk-

kan aturan kode etik ini dalam pasal di undang-undang pers. Dan 

sampai kini terus mengusahakan agar pasal itu dikeluarkan dari 

undang-undang.

 UU Pers No 40 Tahun 1999 juga dirasakan tidak adil oleh

kalangan pers. Dalam pasal 5 ayat 2 ditetapkan “Pers wajib melayani 

Hak Jawab”. Rumusan seperti itu, apalagi dengan mencantumkan 

kata “wajib”, dengan sendirinya menimbulkan konsekuensi hukum, 

yakni bisa dipidana denda sebanyak-banyaknya Rp 500 juta jika

tidak melakukannya.

 Padahal seperti diketahui, Hak Jawab yaitu  ketentuan 

normatif yang diatur dalam Kode Etik Jurnalisme , sehingga sanksinya 

pun bersifat moral. namun  dengan diangkatnya ketentuan normatif 

tadi ke dalam hukum positif, dengan sendirinya menimbulkan 

konsekuensi hukum dan sanksi pidana.

DELIK PERS

beberapa  pasal KUHP yang sering disebut sebagai pasal-pasal 

Delik Pers masih berlaku hingga saat ini. Salah satunya yaitu  soal 

Pembocoran Rahasia Negara (KUHP Pasal 112). Pasal itu berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-

berita atau keterangan-keterangan yang diketahuinya bahwa harus

dirahasiakan untuk kepentingan negara, atau dengan sengaja 

memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, 

diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

 Pasal lain yang juga sering ‘dilanggar’ pers yaitu  Penghi-

naan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 134). Pasal ini 

berbunyi: “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil 

Presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau 

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Peng-

hinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Penghinaan dengan 

sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan

pidana paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak 

empat ribu lima ratus rupiah.

 Sementara itu dalam Pasal 137 KUHP diatur: (1) Barang siapa

menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka 

umum tulisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden dan Wakil

Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih 

diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama 

satu tahun empat bulan denda paling banyak empat ribu lima ratus 

rupiah.

 Bila tulisan itu berisikan sikap: Permusuhan, Kebencian 

atau penghinaan terhadap Pemerintah melangar (Pasal 154). Pasal

itu berbunyi: Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan 

permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah

Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun 

atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

 sedang  pada Pasal 155 KUHP berisi: (1) Barang siapa 

di muka umum mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau 

lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan

permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah

Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketa-

hui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat 

tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima 

ratus rupiah.

 Pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghi-

naan golongan (Pasal 156). Barang siapa di muka umum menyatakan 

perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu 

atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana 

penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak 

empat ribu lima ratus rupiah.

 Perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama

sesuai pasal 156a, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya

lima tahun. Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluar-

kan perasaan atau perbuatan: (a) Yang pada pokoknya bersifat

permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama 

yang dianut di Indonesia. (b) Dengan maksud agar orang tidak meng-

anut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha 

Esa.

           Penghasutan (pasal 160). Pasal ini  berbunyi: Barang 

siapa di muka umum lisan atau tulisan menghasut supaya melaku-

kan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa 

umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun 

perintah jabatan yang diberikan berdasar  ketentuan undang-

undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun

atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 

 Sementara pada pasal 282 mengatur soal Pelanggaran Kesu-

silaan, Yakni: ayat (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan 

atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda

yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, barang siapa 

dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan 

di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda ini , 

memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya mengeluarkannya

dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara 

terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, 

menawarkan atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam

dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau 

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

 Pada ayat (2) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan 

atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda 

yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa dengan maksud 

untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, 

membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluar-

kannya dari negeri, atau memiliki persediaan, atau barang siapa

secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa 

diminta, menawarkan atau menunjuk sebagai bisa diperoleh,

diancam jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, 

gambaran, atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana 

paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat 

ribu lima ratus rupiah.

 Sementara itu, soal Pemberitaan Palsu Diatur dalam pasal 

317 yang berbunyi: (1) Barang siapa dengan sengaja mengajukan 

pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara 

tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga 

kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam sebab  melaku-

kan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat

tahun. Sebagai contoh bisa dilihat dari beberapa  fakta di bawah ini.

 Dalam prakteknya, sejak Orde Lama hingga saat ini, masih 

terjadi pelanggaran KUHP khususnya berkenaan dengan Delik Pers.

Selama tahun 1957 telah terjadi 125 kali tindakan dan tuduhan

terhadap pers. Bagian terbesar dari tindakan dan tuduhan terhadap

pers itu menyangkut politilk. Di antaranya 6 kasus pengecaman

terhadap pemerintah atau pejabat tinggi negara. Dan juga 9 kasus 

penghinaan terhadap pemerintah/pejabat pemerintah di samping 

 kasus berisi tuduhan mengganggu keamanan dan ketertiban.

 Salah satu kasus yang mendapat perhatian warga  waktu 

itu menyangkut Mr. T.D. Hafas, Pemimpin Redaksi Harian Nusantara, 

Jakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 2 September 1971 

menghukum Mr Hafas satu tahun penjara sebab  dituduh melanggar 

Pasal 154 KUHPidana yang terkenal dengan haatzaai artikelen.

 Mr. Hafas dalam Harian Nusantara dari tahun 1970 sampai 

tahun 1971 memuat beberapa  tulisan. Tulisannya termuat dalam 

tajuk rencana dan rubrik “Tahan Ora” beserta gambar dan karikatur

yang dinilai merendahkan dan menghina kekuasaan. Kekuasaan sah 

serta menghasut supaya timbul rasa permusuhan dan kebencian 

dalam warga  terhadap pemerintah.

 Tanggal 4 November 1989, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 

telah menghukum redaktur pelaksana harian berita buana, Jakarta 

satu setengah tahun penjara. Dia terbuti menyiarkan kabar bohong 

ex Pasal 160 KUHPidana mengenai makanan kaleng yang mengan-

dung lemak babi. Berita yang disajikan berjudul “Banyak Makanan 

Yang Dihasilkan, Ternyata Mengandung Lemak Babi”. 

 Ternyata dalam pemeriksaan di sidang pengadilan terbukti

yang bersangkutan tidak berusaha meneliti kebenaran informasi 

yang diperolehnya sebelum disiarkan. Dengan kenyataan itu, Majelis

Hakim berpendapat ada unsur dengan sengaja menyiarkan kabar 

bohong.


 Tanggal 7 April 1991, Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor, 

Arswendo Atmowiloto dihukum 5 tahun penjara oleh Majelis Hakim 

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebab  terbukti sah menurut hukum 

melakukan perbuatan yang bersifat penodaan terhadap agama.

 Redaksi Majalah Hiburan Senang diusut oleh Polda Metro 

Jaya sebab  dituduh telah menghina Nabi Muhammad SAW dengan

memuat ilustrasi berupa rekaan gambar Nabi Muhammad SAW 

di dalam rubrik konsultasi “Ketok Magic” edisi No. 34 tanggal 24 

September s/d 4 Oktober 1990. Tidak diketahui bagaimana kelanjutan

perkara ini, sedang pemiliknya memutuskan mengembalikan SIUPP 

majalah ini  ke Dep. Penerangan.

 Pada Minggu Ke-3 September 1998 Skh Indonesia Merdeka, 

Banjarmasin memuat tulisan berjudul “Dari Negara Dipa Hingga 

Kotamadya Banjarmasin”. namun , penulis mengajukan protes sebab  

redaksi dituduh memotong-motong artikel sedemikian rupa sehingga

makna dan arti yang terkandung dalam artikel menjadi berbeda. 

Perbuatan mana dianggap merugikan dan mencemarkan nama baik 

penulis.

 Tanggal 25 Agustus 1999, pemimpin redaksi tabloid warta 

republik oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di-

hukum percobaan sebab  mencemarkan nama baik pengadu, yaitu

Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno dan Jenderal TNI (Purn) Edi 

Sudradjat. Tabloid itu pada edisi No.01/l/Minggu III November 1998 

memuat dalam cover “Cinta Segitiga Dua Orang Jenderal” dan di 

halaman dalam berjudul “Try Sutrisno dan Edi Sudradjat Berebut 

Janda”.

 Majalah D&R diajukan ke pengadilan sebab  dalam edisi No. 

42/XXIX/6 Juni 1999 memuat berita yang dianggap mencemarkan

nama baik Gubernur Sulsel, HZB Palaguna. Dalam beritanya mengenai

berbagai praktik KKN di provinsi itu dan lalu  mengatur

tender proyek serta melaksanakan pernikahan tiga anaknya dengan 

biaya yang ditanggung para Bupati.

 Majalah Gatra digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 

sebab  memuat berita “Obat Terlarang, Nama Tommy Pun Disebut” 

dalam edisi No. 48 Tahun IV, 17 Oktober 1998. Pemuatan berita 

ini  dianggap sebagai perbuatan tidak menyenangkan dan 

menggugat ganti rugi Rp 150 miliar. namun , Majelis Hakim Pengadilan 

Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan dan membebaskan Majalah 

Gatra membayar ganti rugi sebab  media ini  sudah melakukan 

peliputan berita sesuai ketentuan kode etik. 



SEMBILAN ELEMEN

Jurnalisme 

Media massa yang baik tentunya menerapkan proses dan etika kerja 

yang baik juga. Ada sembilan elemen penting dalam dunia jurnalisme 

yang ditawarkan oleh Bill Kovach. Wartawan ujarnya yaitu  

sebuah profesi, dan saat  seorang ingin menjadi wartawan yang 

profesional, tentulah dia harus mematuhi kode etik Jurnalisme . 

Menurut Bill Kovach dan Tom Rosentiels (2001) ada sembilan

elemen Jurnalisme  yang  menjadi standar perilaku wartawan dan 

menjadi basic sebuah jurnalisme.

 Keseluruhan elemen ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain 

sebab  semuanya memiliki  kedudukan yang sama, tidak bisa hanya

salah satu elemen saja yang dipatuhi oleh wartawan. 

 Elemen penting yang pertama yaitu  Kewajiban utama jur-

nalisme yaitu  pencarian kebenaran. Artinya sebagai seorang 

wartawan dia harus selalu menjunjung kebenaran. Dalam ini  

kebenaran yang dijunjung, yaitu  kebenaran secara fungsional yang 

sesuai dengan tugasnya seorang wartawan.

 Kebalikannya, bila wartawan tidak menjunjung faktor kebe-

naran dalam liputannya, tentu saja dia akan merugikan banyak pihak,

terutama publik yang  menjadi korban dari pemberitaan itu. Bila 

elemen pertama ini dianggar, maka akan berdampak pada perusa-

haan yang bisa kehilangan harga diri sebagai media yang seharusnya 

menyampaikan kebenaran.

 Menurut Kovach, kebenaran dalam jurnalisme sangat sakral 

maknanya. Sehingga Wartawan wajib bertanggung jawab pada publik

atas kebenaran yang disampaikannya. Jadi apapun yang terjadi di 

lapangan kebenaran yaitu  hal yang utama yang harus disampaikan 

oleh wartawan. Untuk mendapat sebuah kebenaran yaitu 

sebuah resiko yang dilakukan oleh seorang wartawan, mengingat

proses untuk mendapatkan kebenaran itu memerlukan waktu yang 

panjang. Dia benar-benar dituntut untuk bekerja keras. Medan yang 

terjal tak jarang ditemui oleh wartawan dalam proses peliputan. 

Perluketerampilan-keterampilan khusus wartawan dalam melaku-

kan peliputan dengan narasumber yang berbeda-beda, dari mulai 

wartawan pemula sampai yang professional. Namun, bagaimanapun 

wartawan harus bertanggung jawab atas berita yang disampaikannya

yang tentunya harus mutlak benar.

 Elemen kedua, yaitu  Loyalitas utama jurnalisme yaitu  

pada warga negara. Menurut Kovach, loyalitas wartawan seharusnya 

berujung pada publik, sebagai pembaca dari apa yang kita beritakan.

Yang harus selalu diingat oleh wartawan yaitu  bagaimana mem-

buat suatu berita yang menarik bagi pembaca yang menjunjung

kebenaran, dan bagaimana bertanggung jawab pada publik jika

berita yang dibuat hanya fiktif padahal sudah jelas yang akan mem-

baca suatu media bukan hanya segerombolan orang, tapi semua orang 

di bangsa ini bahkan di seluruh dunia.

 Begitu juga, media yang jujur, yang lebih mementingkan 

kepentingan publik justru lebih menguntungkan perusahaan terse-

but, tak hanya soal prestisius, tapi soal financial juga menjadi lebih 

baik. Kepercayaan yang diberikan publik pada media bisa saja hilang 

akibat satu berita bohong dari oknum wartawan.

 Elemen ketiga berbunyi: Esensi jurnalisme yaitu  disiplin 

verifikasi. Artinya, dengan adanya disiplin verifikasi yang dilakukan 

wartawan upaya menyampaikan berita yang fiktif tidak akan terjadi.

Jurnalis harus bisa menentukan batas antara fiksi dan jurnalisme

yang jelas, artinya jurnalisme tidak bisa digabungkan dengan fiksi. 

Semua yang disampaikan wartawan dalam pemberitaannya harus 

fakta dan nyata. Menurut Kovach verifikasi itu bersifat personal, oleh 

sebab nya masalah yang hadir yaitu  standar verifikasi sendiri. Dan 

ini soal objektivitas sebuah berita biasanya sering dikaitkan dengan 

disiplin verifikasi itu sendiri.

 Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam 

mencari verifikasi. Pertama, wartawan jangan menambah atau 

mengarang apa pun. Kedua, jangan menipu atau menyesatkan 

pembaca, pemirsa, maupun pendengar. Ketiga, bersikaplah setrans-

paran dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam 

melakukan reportase. Keempat, bersandarlah terutama pada repor-

tase Anda sendiri. Kelima, bersikaplah rendah hati.

 Sementara soal bagaimana metode efektif dalam melakukan 

verifikasi itu. Pertama, wartawan atau editor melakukan penyuntingan

secara skeptis. Kedua, semua pihak memeriksa akurasi. Ketiga, 

wartawan jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. 

Keempat, wartawan selalu melakukan pengecekan fakta.

 Elemen keempat, Jurnalis harus menjaga independensi dari 

objek liputannya. Artinya saat  melakukan suatu peliputan, wartawan 

harus benar-benar independen, melakukan peliputan secara objek-

tif. Tidak terpengaruh pada apapun, kepentingan siapapun, kecuali 

kepentingan bahwa sebagai wartawan harus menyampaikan berita

yang benar- benar terjadi untuk disampaikan pada warga .

Tidak peduli siapapun, apapun. Bahkan jika itu menyangkut keluarga

sendiri, dan wartawan harus memberitakannya jangan anggap itu 

keluarga. Wartawan harus bertanggung jawab pada publik itu penting

dan harus selalu di ingat. Lebih jauh lagi semangat independensi

harus dijunjung tinggi oleh setiap wartawan. Dengan menjunjung 

kebenaran seperti inilah yang membedakan wartawan dengan 

profesi lainnya.

 Elemen kelima Jurnalis harus membuat dirinya sebagai 

pemantau independen dari kekuasaan. Dalam tugasnya memantau

kekuasaan, bukan berarti wartawan harus menghancurkan 

kekuasaan. Namun wartawan bertugas sebagai pemantau kekua-

saan, yaitu ikut menegakkan demokrasi. Salah satu cara wartawan 

memantau ini dengan melakukan investigatif reporting. Inilah 

yang sering menjadi masalah antarwartawan dengan penguasa. Ini 

yang sering memperbesar konflik antara wartawan dan penguasa.

Biasanya banyak penguasa yang enggan privasi tentang dirinya

dipublikasikan, sedang  itu harus diketahui oleh rakyat. Dalam 

melakukan investigasi terhadap sebuah kasus, seharusnya media 

melakukan dengan hati-hati. Artinya, wartawan harus super teliti 

melakukan penelusuran narasumber dan fakta-fakta yang hendak 

ditulisnya.

 Elemen keenam, Jurnalis harus memberi forum bagi publik

untuk saling kritik dan menemukan kompromi. Ini berarti bahwa

saat melakukan tugasnya, seorang wartawan yang bertanggung 

jawab pada publik harus mendengarkan apa keinginan publik itu 

sendiri. Di sisi ini, wartawan harus terbuka pada publik untuk 

mendengarkan segala sesuatunya. Jadi, jika ada anggota publik yang 

ingin lebih mengetahui dalam sebuah kasus bisa menanyakannya 

langsung ke media. Via komunikasi media dengan publik seperti 

surat pembaca atau di media elektronik, ada  alamat fax atau 

nomor telepon yang disediakan untuk menanggapi atau memberikan

komentar.

 Elemen ketujuh, Jurnalis harus berusaha membuat hal 

yang penting menjadi menarik dan relevan. Menurut Kovach, 

wartawan harus tahu tentang komposisi, tentang etika, tentang naik 

turunnya emosi pembaca dan sebagainya. Ini berarti berita yang 

dibuat jangan sampai membosankan bagi pembaca. Jangan sampai 

berita yang penting jadi tidak penting sebab  pembaca bosan. Berita

itu dibuat tidak membosankan dan harus memikat namun  tetap 

relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang

bertolak belakang. Terkadang, laporan yang memikat dianggap

laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas.

namun , laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan 

membosankan.

 Elemen ke delapan, Jurnalis harus membuat berita yang 

komprehensif dan proporsional. Artinya, jurnalis perlu membuat 

berita secara profesional dan proposinal. Oleh sebab  itu, perlu 

banyak hal yang dilakukan untuk mendapatkan dan membuat berita 

semacam itu. Di lapangan, jurnalis tidak hanya menerima fakta yang 

mudah diraih. Harus ada sesuatu yang menantang dari pekerjaan 

wartawan pelaporan ivestigasi mewakili berita yang komprehensif

dan proposional ini. Wartawan harus tahu bagaimana caranya 

melaporkan suatu hal yang bermutu. Berita yang komprehensif 

bukanberita yang hanya punya judul sensasional sebab  berita 

macam itu hanya akan memalukan wartawan dan media yang 

menerbitkannya.

 Elemen ke sembilan Jurnalis harus diperbolehkan untuk 

mendengarkan hati nurani pribadinya. Jangan hanya sebuah 

berita, hati nurani diabaikan sebab  segala sesuatu yang berasal dari 

hati nurani akan lebih baik dari apapun. Dari kasus  yang terjadi 

di dalam kehidupan wartawan jawabnnya yaitu  bersumber pada 

hati nurani. Di sisi lain, jurnalis yang berbohong, melakukan fiktifisasi

narasumber pasti tidak bersumber pada hati nurani. Setiap jurnalis 

harus menetapkan kode etiknya sendiri, punya standarnya sendiri 

dan berdasar  model itulah si wartawan membangun karakter 

dan melakukan pekerjaannya. Menjalankan prinsip semacam ini 

memang tidak mudah sebab  membutuhkan suasana kerja yang 

aman dan nyaman, yang bebas dimana setiap orang bisa berpendapat.


BERITA

Bila Anda digigit anjing, apakah kejadian ini layak diangkat menjadi 

berita? Bagaimana kalau Anda yang menggigit anjing dan anjingnya 

mati, ini layak jadi konsumsi wartawan? Contoh di atas yaitu  contoh

dari ‘kriteria’ berita, yakni menyajikan suatu informasi yang unusual 

atau unik.

 Tapi konsep ini mulai ditinggalkan orang, sebab  peristiwa 

‘digigit anjing’ itu bisa saja punya nilai jual tinggi, bila misalnya artis

Tamara Bleszynki atau Ike Nurjanah, artis cantik yang mengalaminya.

Kadar nilai berita itu makin tinggi lagi bila menyangkut nama tokoh, 

artis terkemuka, penguasa pemerintahan, dan serombongan figur 

lain yang sering menjadi ‘bahan berita’.

 Bagi seorang wartawan, baik pemula maupun senior, kepekaan

mencari, merangkai, dan ‘mencium berita’ yaitu  hal yang mutlak 

diperlukan. Hal penting dari Jurnalisme  yaitu  bagaimana membuat 

berita sesudah  sebelumnya menyusun data-data serta fakta yang ada. 

 Konsep dasar dari News atau berita yaitu  “apa-apa yang 

diberitakan oleh wartawan dan termuat dalam media”. Artinya, berita

yaitu  informasi yang sudah diolah oleh wartawan dan dinilai punya 

keunggulan relatif, kadang bersifat objektif kadang bersifat subjektif.

Keunggulan sebuah berita banyak ditentukan oleh apakah berita

ini  benar-benar punya nilai. Walaupun, seringkali bersifat 

APA ITU BERITA?


sangat subjektif tergantung dari siapa yang melihat dan memanfaat-

kannya.

 Kebanyakan literatur yang mengulas definisi berita memang 

berasal dari Barat. walau begitu , hingga kini masih dipakai  

orang di antaranya yaitu  sebagai berikut.

a. Berita yaitu  laporan yang baru tentang peristiwa, pendapat atau 

masalah yang menarik perhatian sebanyak-banyaknya orang.

(Laurence R Campbell, Rolland E Wolseley, How To Report and 

Write The News, 1961)

b. Berita yaitu  laporan yang tepat waktu mengenai fakta, opini yang 

menarik. Atau penting, atau keduanya yang dibutuhkan beberapa  

orang. (Mitchell V Charnley, reporting, edisi ke III, Holt-Rinehart 

and Winston, New York, 1975)

c. Berita yaitu  laporan yang tepat waktu mengenai segala sesuatu 

yang menarik perhatian orang dan berita yang terbaik yaitu  yang 

menarik sebagian besar pembaca. 

 Dari batasan-batasan di atas menunjukkan bahwa pada 

dasarnya berita yaitu  sebuah laporan mengenai segala sesuatu 

(fakta atau opini) yang menarik atau penting bagi pembaca dan

disampaikan tepat waktu. Dan ‘segala sesuatu‘ yang dilaporkan itu 

yaitu  hanya yang menarik dan penting, dan harus disampaikan 

tepat pada waktunya. Akan namun , dari kesemua definisi yang ada 

mengenai berita ada hal-hal penting misalnya soal nilai berita (news 

value), serta strukturnya.

NILAI DAN STRUKTUR BERITA

Istilah yang tidak dapat dipisahkan dengan nilai berita yaitu  News 

Judgement. Kemampuan ini untuk mengevaluasi berita berdasar  

kepada news value yang sudah disepakati dan yaitu  ukuran dari 

kepatutan berita serta yaitu  rutinitas yang berorientasikan 

kepada audiens. Newsworthiness dibutuhkan untuk menentukan

apa yang dianggap menarik dan penting bagi audiens. Pada praktiknya,

Newsworthiness membantu gatekeepers (penjaga gawang) untuk 

menyeleksi berita secara konsisten.

 Sejak dulu, news value biasanya dapat diperkirakan dan tidak 

banyak berbeda antara satu buku teks dengan buku teks yang lain. 

Stephens (1980) menyebut variable news values sebagai: importance 

(hal penting), interest (menarik), controversy (mengandung kontro-

versi), the unusual (sesuatu yang unik atau tidak biasa), timeliness

(punya keterikatan pada waktu/aktual), dan proximity (dekat

dengan kita).


mengatakan nilai berita yaitu  berikut ini.

1. Prominence/Importance: Pentingnya suatu berita diukur dari

dampaknya: bagaimana dia mempengaruhi anda. Korban yang 

meninggal lebih penting ketimbang kerusakan benda.      

2. Human Interest: Suatu yang menarik perhatian orang seperti berita

mengenai selebritis, gosip politik, dan drama yang menceritakan 

kehidupan manusia.

3. Conflict/controversy: Konflik biasanya lebih menarik daripada 

keharmonisan.

4. The unusual: Suatu yang tidak biasa atau unik umumnya menarik,

misalnya berita mengenai seorang wanita yang melahirkan anak 

kembar lima yaitu  berita yang bernilai sebab  tidak biasa.

5. Timeliness: Berita yaitu  tepat waktu, artinya unsur kecepatan

menyampaikan berita sesuai waktu atau aktual merupakah hal 

yang penting, melewatinya maka berita ini  bisa disebut

sebagai berita yang sudah basi atau kedaluarsa.

6. Proximity: Kegiatan yang terjadi dekat kita dinilai memiliki 

nilai yang lebih tinggi. Misalnya, gempa bumi di Jakarta dan

menimbulkan korban jiwa jelas akan lebih bernilai berita bagi 

publik Indonesia ketimbang kasus ‘Mad Cow’ di luar negeri walau-

pun sama-sama menjadi bahan berita bagi media massa. 


JENIS-JENIS BERITA

Berita bisa dibedakan menjadi beraneka ragam diantaranya yaitu  

sebagai berikut.

1. Berita lempang atau Straight News: Berita yang langsung pada 

sasaran (News with strong claim of public attention). Diberitakan 

tanpa mencampurbaurkan dengan opini penulis, dan disiarkan

secara cepat dengan batas penyiaran biasanya 24 jam.

2. Berita Bertafsir: berita ini yaitu  berita yang tidak sekedar 

menyampaikan fakta sebagaimana adanya, namun  juga memberi-

kan latar belakang (sebab akibat peristiwa terjadi), keadaan yang 

mungkin berkembang atau yang mungkin terjadi. Dengan kata lain, 

berita ini menyampaikan sesuatu tidak sekedar untuk diketahui

tapi juga untuk dipahami oleh pembaca.

3. Berita Investigatif: berita yang dihasilkan lewat sebuah proses 

penyelidikan atau investigasi yang biasanya berangkat dari 

keresahan atau kasus penting yang perlu diketahui oleh warga 

luas. Seringkali, wartawan mendapatkan berita berdasar 

pendapat dari sumber berita yang ingin jati dirinya dirahasiakan.

4. Berita Berkedalaman: nyaris sama dengan berita investigatif

bedanya berita ini tidak ditulis berdasar  pengungkapan 

sesuatu yang dirahasiakan, tapi lebih jauh mencari tali-temali 

sesuatu sehingga pembaca memeroleh pemahaman yang lebih 

jelas tentang duduk perkara sesuatu.

5. Analisis berita: analisis berita yaitu  berita yang berkedalaman 

namun menyajikan juga kemungkinan yang akan dan bisa terjadi 

sehubungan dengan peristiwa yang menjadi topic penulisan.

NEWS WRITING

      

Struktur penulisan berita dalam praktek sehari-hari seorang

wartawan biasanya memakai  rumus paramida terbalik yang 

mencerminkan adanya kebutuhan untuk menonjolkan hal-hal

penting di bagian depan. Struktur berita ini dipakai  untuk

merangkai beberapa  unsur berita yang sering disebut  ‘rumus’ dasar 

berita.

 Rumus ini secara sederhana diformulasikan sebagai berikut: 

5 W + 1 H (who, what, where, when, why + How). Artinya, sebuah 

berita yang baik itu memiliki unsur ‘who’ atau siapa yang melakukan,

‘what’ atau apa, ‘where’ atau di mana berita itu terjadi, unsur ‘when’ 

atau kapan kejadian ini  terjadi, ‘why’ atau kenapa, dan ‘how’ 

atau bagaimana kejadiannya. Untuk lebih jelasnya, kita simak dan 

analisa contoh berita di bawah ini:

Contoh 1.

PREMAN TANAH ABANG TEWAS USAI KERUSUHAN

Jakarta, Media, (12/3). Satu hari sesudah  kerusuhan di Tanah Abang 

Minggu malam, seorang preman Pasar Tanah Abang, Rozali bin Joned, 

Senin pagi ditemukan tewas mengenaskan dengan tubuh telanjang 

dan penuh luka bekas tusukan pisau di salah satu kios yang habis 

terbakar.

 Dari data kepolisian, diduga Rozali yang selama ini disebut 

‘jagoan’ Tanah Abang ini tewas dikeroyok warga setempat yang muak 

melihat tingkah polahnya yang meresahkan warga.

 Kejadian ini sempat membuat suasana pasar tanah Abang 

mencekam sejak Minggu malam hingga Senin siang, apalagi sempat 

tersebar isu akan ada pembalasan dari teman-teman Rozali yang

tewas mengenaskan.

 Suasana jalan di sekitar Pasar Tanah Abang sejak Minggu 

malam hingga Senin siang tampak sepi, tak banyak warga yang lalu 

lalang, beberapa  kios masih tutup dan di mana-mana banyak polisi

dan anggota TNI bersenjata lengkap berjaga-jaga mengantisipasi 

keadaan

ANALISA STRUKTUR BERITA

 

Bila dirinci lebih jauh dari lead berita ini  didapatkan: Unsur 

Who: seorang preman Tanah Abang, Rozali bin Joned. What: preman 

ditemukan mati mengenaskan usai kerusuhan Tanah Abang. Where: 

di salah satu kios di pasar Tanah Abang Jakarta Pusat. When: Senin 

pagi (12/3), seusai kerusuhan Tanah Abang yang terjadi Minggu 

malam. Why: tewas dikeroyok warga setempat sebab  warga muak 

melihat tingkah polah Rozali yang sering meresahkan. How: ditelan-

jangi dan ditusuk pisau hingga tewas.

 Idealnya dalam setiap berita, unsur 5 W + 1 H harus ada

dalam sebuah kalimat di awal berita, tapi seringkali untuk memu-

dahkan membaca, wartawan membaginya menjadi beberapa

kalimat, dan unsur Why dan Who ditempatkan di bagian bawah atau 

akhir dari tubuh berita.

Struktur Piramida Terbalik


 Judul: judul berita berfungsi sebagai etalase berita. Sebagai 

etalase, maka judul harus ditata dengan menarik. Selain itu, tidak

berarti ganda, jernih, mencerminkan isi berita dan bernada menggu-

gah. Judul berita biasanya dibuat dalam kalimat lengkap tanpa tanda 

titik (.).

 Teras atau Lead Berita. Pada saat menyusun berita, wartawan 

menempatkan unsur yang paling penting dalam ‘teras berita’ atau 

‘lead’. Biasanya unsur Who, What, Where dan When masuk dalam 

kalimat-kalimat awal dalam teras berita. Sebaiknya lead terdiri dari 

satu kalimat efektif yang memiliki maksimal 35 kata atau terdiri dari 

tiga setengah baris. namun , ada kalanya lead ini  terdiri dari dua 

kalimat yang saling bertautan satu sama lain untuk memudahkan 

pemahamannya.

 Jumlah kata yang singkat padat ini banyak terkait dengan

tersedianya ruang atau kolom di media cetak atau  ruang waktu di 

media elektronik sehingga bila terjadi pemotongan dari berita terse-

but, maka unsur-unsur penting  masih bisa dimuat.

TIPE-TIPE TERAS BERITA

1. Formal: yaitu  teras/lead yang berisi jawaban 5 W + 1 H 

secara lengkap. 

Contoh:

Prof Dr Kenzie Markonah, Rektor Universitas ASBUN Jakarta akan 

memasuki masa pensiun pada September 2001 sesudah  menekuni 

profesinya selama 21 tahun, kata Mendikbud Prof Dr Banyak Maunya 

di Jakarta, Senin.

2. Informal: yaitu  lead yang berisi jawaban beberapa unsur 

dari 5 W + 1 H tapi tidak selengkap Lead Formal.

49

Contoh:

Prof Dr Kenzie Markonah kemarin sore masuk rumah sakit  Jakarta 

sesudah  tangan kirinya hampir putus digigit anjing piaraannya.

Selain dua tipe Lead atau Teras Berita, Group Kompas dalam buku 

‘Vademecum Wartawan’17 menyebut sedikitnya ada enam belas jenis 

Lead yang bisa dipakai  dalam menulis berita atau artikel panjang/

feature. Jenis-Jenis Lead Berita, artikel atau tulisan ini  yaitu  

sebagai berikut. 

1. LEAD PASAK

2. LEAD KONTRAS

3. LEAD PERTANYAAN

4. LEAD DISKRIPTIF

5. LEAD STAKATO

6. LEAD LEDAKAN

7.LEAD FIGURATIF

8.LEAD EPIGRAM

9. LEAD LITERER

10. LEAD PARODI

11. LEAD KUTIPAN

12. LEAD DIALOG

13. LEAD KUMULATIF

14. LEAD SUSPENSI

15. LEAD URUTAN

16. LEAD SAPAAN

Contoh-contoh lead dapat dibaca di bawah ini.

1. LEAD PASAK (lead yang langsung mengungkap kasus  yang 

paling utama dalam berita).

17  Untuk lebih jelasnya, bisa dibaca ‘Vademecum Wartawan Kompas, Gramedia 

50

Putus asa sebab  ditinggal suami yang kawin lagi, seorang ibu 

tega menggantung tiga anaknya kemarin siang di Cipanas. Ketiga 

korban berumur 4, 6 dan 8 tahun itu masih berpakaian seragam 

sekolah lengkap.

2. LEAD KONTRAS (lead yang memerlihatkan kontras yang terjadi di 

antara subjek atau objek yang hendak ditulis dengan orang lain 

atau lingkungannya).

Di Medan, di kantor yang modern ber-AC, di balik meja tua yang 

sudutnya bekas terbakar, T.D Pardede menerima pemilihannya 

sebagai ketua Asosiasi Pengusaha Tekstil Indonesia. Berita itu 

disampaikan dengan telepon tadi malam dari Jakarta, tempat 

pemilihan itu berlangsung.

3. LEAD PERTANYAAN

Berapa ratus Baileys-kah untuk memulihkan sebuah kebahagiaan? 

Arjuna (37) bukan nama sebenarnya, salah satu peminum berat 

yang kepergok kemarin di salah satu bar di Jakarta, menjawab 

dua botol sekali minum, dua kali sehari, 25 hari sebulan. Ia seo-

rang pengusaha yang sukses, namun  seorang suami yang malang, 

menurut pengakuannya.

4. LEAD DESKRIPTIF

Gedung Gotham masih mencakar langit sampai pukul 14.35 

kemarin, saat  tiba-tiba puncaknya gemetar, hanya satu menit, 

lalu retak kecil membelah dari atas sampai ke bawah. Tidak

seorangpun penghuninya sempat berteriak, tahu-tahu gedung itu 

sudah roboh jadi puing berlepotan darah, korban gempa 

berkekuatan enam pada skala Richter.

5. LEAD STAKATO

Wus, wus, wus! Lima mobil balap serentak meraung. Kuning-

merah-hijau-putih-hitam. Hayo-hayo! Penonton serentak ber-

jingkrak dan berteriak. Laki-wanita -tua-muda. Urutan warna 

tidak berubah. 

Finish! Mobil kuning sudah pasti menang sesudah  tikungan maut 

itu, kemarin sore di sirkuit Sentul.

6. LEAD LEDAKAN

Seorang lelaki keriput bagai buah markisa tua tertatih-tatih di 

tengah peserta seminar parapsikologi kemarin di Jakarta. Tiba 

sidang gempar. Lelaki tua itu menghamburkan serbuk merica ke 

seluruh ruangan, memicu  orang ramai bersin. Dengan itulah 

seminar resmi dibuka.

7. LEAD FIGURATIF

Bagai siang memetik malam, begitulah perkawinan Firman (27) 

dan Fiona (54) kemarin sore di Cibubur. Beda usia yang besar 

tampak tidak mampu membedakan, malah menyamakan keduanya.

8. LEAD EPIGRAM

Sudah diberi hati minta jantung pula. Seorang suami diancam

cerai oleh istrinya di PN jakarta Selatan, kemarin pagi. Suami itu 

dituduh memperkosa anak tirinya, anak dari istri dari perkawinan 

terdahulu, sementara istrinya membanting tulang berjualan di 

pasar. Sang suami menolak tuduhan. Katanya malah dirinya yang 

dipaksa oleh anak tirinya.

9. LEAD LITERER

Kisah si kabayan terulang di Ciputat kemarin sore. Seorang laki-

laki muda dituduh oleh penduduk mencuri sapi. Laki-laki itu mem-

bantah. Alasannya, dia hanya memungut tali jerami yang melintang 

di jalan. Bukan salahnya, kata lelaki itu, jika di ujung tali ini  

terikat seekor sapi.

10. LEAD PARODI

Gara-gara terlalu bersemangat mengolahragakan warga  dan 

mewarga kan olahraga. Rumahpun disantroni maling. Itulah 

yang menimpa keluarga panjaitan saat  seisi rumahnya, termasuk

pembantu, meninggalkan rumah untuk lari di Monas Minggu pagi.


11. LEAD KUTIPAN

“Akan saya gebuk,” kata Presiden Soeharto kemarin di Boyolali, 

mereka yang mencoba mengganti presiden dengan cara-cara yang 

tidak konstitusional.

12. LEAD DIALOG

“Betulkah saudara mencuri sapi?”

“Tidak pak Hakim. Saya hanya menarik tali. Eh tahu-tahu ada anak 

sapi di ujungnya,” begitulah dialog hakim dan tersangka kemarin 

siang di PN Jakarta Selatan.

13. LEAD KUMULATIF

Polisi menerima laporan seorang gadis di Menteng, Jakarta Pusat 

kemarin sore. Konon di rumahnya ada cairan nitrogliserin, bahan 

pokok pembuat bom. Sepasukan polisi segera datang menggele-

dah kulkas, tempat cairan itu. Si gadis mengatakan, ia panik saat 

menerima botol itu dari temannya dan disuruh untuk melemparkan

pada siapa saja yang berani mengganggu. saat  polisi menemu-

kan dan memeriksanya, benda itu ternyata cuma lem.

14. LEAD SUSPENSI

Seorang pemuda bermaksud mengukur kadar cinta kekasihnya. 

Dia lantas menyamar sebagai pelanglang kelelahan dan kumuh. 

Ia memperkenalkan diri sebagai teman kekasih si gadis. Ia minta 

tolong di